BAB 4 ANALISA KELAYAKAN BISNIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 4 ANALISA KELAYAKAN BISNIS"

Transkripsi

1 BAB 4 ANALISA KELAYAKAN BISNIS 4.1 Deskripsi Bisnis Deskripsi Umum Sebagai perusahan yang memiliki sertifikasi standard mutu ISO 9002;2000, PT. XYZ dalam menjalankan operasional armada kapal-kapalnya dalam rangka menjalankan dan menyediakan jasanya pada para pelanggan, menetapkan dan menggariskan suatu Kebijakan Mutu, sebagaimana berikut; Menyediakan jasa angkutan laut secara profesional bagi pelanggan dengan selalu meningkatkan mutu dan menjamin keselamatan pelayaran. Adapun penjelasan dari hal tersebut adalah sebagai berikut; Profesional, melakukan pekerjaan yang selalu didasari oleh sikap yang selalu mengutamakan kepuasan pelanggan yang telah disetujui pada kontrak dengan menempatkan pekerja yang mampu, dimana kemampuan karyawan ditingkatkan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya melalui pelatihan yang memadai. Selalu Meningkatkan Mutu, komitmen manajemen untuk selalu meningkatkan mutu layanan berkesinambungan dan mengefektifkan sistem manajemen mutu. Keselamatan Pelayaran, Komitmen manajemen untuk selalu memberikan jaminan keselamatan baik di darat maupun selama pelayaran dengan menunjuk supplier yang memiliki komitmen sama terhadap keselamatan pelayaran. 49

2 4.1.2 Profil Armada Secara umum armada PT. XYZ total berjumlah 24 kapal, terdiri dari 13 kapal tanker, 2 kapal kontainer, dan 9 kapal Bulk & Off shore (detail fleet list atau daftar kapal-kapal armada seperti terlampir). Dari jumlah tersebut 4 dari 13 kapal tanker yang dimiliki dioperasikan sendiri dalam bisnis charter muatan (tramper business) termasuk yang akan digunakan untuk (rencana) komoditi CPO dan sisanya dioperasikan dalam bisnis Time Charter. Dari keseluruhan armada kapal PT. XYZ sebagai alat produksi atau penyedia jasa, semuanya menerapkan standard mutu dan keselamatan yang tinggi yang menjamin keselamatan pelayaran dan muatan yang ada di dalamnya. Adapun standard mutu dan kualitas itu sendiri telah melibatkan dan telah diterapkan pada semua aspek baik itu aspek perencanaan (design), struktur kapal, peralatan-peralatan yang ada, perawatan, peremajaan, perbaikan, perawakan, pembelanjaan maupun aspek operasional secara menyeluruh. Semua standard tersebut setidaknya telah memenuhi aturan dan tuntutan dari lembaga-lembaga Maritime dan Industry International sebagai berikut; 1. IMO (International Maritime Organization) untuk ISMC, SOLAS, MARPOL, COLREG, ISPS 2. ILO (International Labor Organization) 3. WHO (World Health Organization) untuk Health and Hygine 4. Classification Society Rules (Lembaga Klass) 5. Pemerintah negara bendera kapal 6. Port Authority (Syahbandar setempat) dan Coast Guard 50

3 7. Beberapa Major Terminal Vetting requirement Manajemen Armada Disamping dilibatkannya standard mutu dan keselamatan yang tinggi, untuk selalu dapat menjamin tuntutan atas mutu dan keselamatan yang tinggi tersebut, PT. XYZ telah menunjuk dan mempercayakan kepada pihak ketiga melalui suatu Kontrak Manajemen untuk secara profesional dan fokus khusus menangani manajemen armada PT. XYZ yang dalam hal ini adalah PT. XXX. Dengan ditanganinya masalah manajemen aramada oleh pihak ketiga diharapkan manajemen PT. XYZ dapat lebih fokus pada masalah pengembangan usaha dan masalah komersial lainnya dengan tanpa merasa ragu akan terjaminnya selalu tuntutan standard mutu dan keselamatan yang tinggi atas armada kapalnya. Sedangkan PT. XXX sendiri meskipun masih dalam satu Holding Company dengan PT. XYZ adalah pihak ketiga yang memang secara khusus dibentuk untuk mengelola armada Kapal secara professional dan modern yag meliputi semua aspek baik itu teknis, ekonomis, keselamatan, legal, maupun informasi. PT. XXX juga memiliki sertifikasi Standard mutu internasional (ISO), sertifikasi standard manajemen keselamatan di laut (ISMC), dll. Adapun konteks Manajemen Kontrak antara PT. XYZ dengan PT. XXX sendiri meliputi berbagai hal sebagai berikut di bawah ini; 1. Penanganan Asuransi dan Legal kapal-kapal armada (H&M and P&I) 2. Pelaksanaan Perawatan berkala kapal-kapal armada (perbaikan, perawatan, docking, dll) 51

4 3. Pelaksanaan Supply / Pembelian kebutuhan kapal-kapal armada (suku cadang, persediaan minyak pelumas, running store) 4. Penyediaan kebutuhan tenaga kerja laut (crew kapal) yang berkualitas dan memenuhi standard internasional 5. Pelaksanaan Audit keselamatan internal dan eksternal 6. Sertifikasi Kapal 7. Cost Budgetting dan perencanaan 8. Accounting service untuk kapal-kapal armada 9. Manajemen Informasi teknis kapal-kapal armada Dari internal Organisasi PT. XYZ sendiri yang banyak terlibat di operasional kapal-kapal aramada XYZ adalah Divisi Operasi yang lebih banyak terlibat pada masalah Operational & Commercial kapal-kapal armada dan Divisi Fleet Control & Safety yang lebih banyak bersentuhan dengan pihak Ship Manager untuk masalahmasalah yang berkaitan dengan teknis dan standard safety dari kapal-kapal armada Rute Pelayanan CPO Pada analisa kelayakan bisnis ini menitikberatkan pada pembahasan kemungkinan bagi PT XYZ untuk membuka jalur pelayanan kargo yang baru khusus untuk mengangkut CPO. Selama ini PT XYZ lebih berfokus pada angkutan kargo methanol dan caustic soda baik angkutan yang bersifat domestik maupun internasional. Hal ini dapat dilihat dari komposisi kargo yang diangkut dalam 52

5 beberapa tahun terakhir dimana kargo methanol dapat mencapai 70% dari total angkutan sepanjang tahun. Dalam mencermati kondisi persaingan usaha di masa yang akan datang dan makin matangnya industri methanol dan turunannya di Indonesia dan di skala regional, PT XYZ berupaya untuk mengembangkan kemungkinan rute yang baru dengan jenis angkutan kargo lain yang masih berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu jenis kargo yang mempunyai potensi tinggi untuk mendatangkan penghasilan adalah kargo CPO. Selama ini pengangkutan CPO dilayani oleh armada dari perusahaan pelayaran lainnya yang beroperasi di Indonesia dan regional. Pusat penyimpanan CPO terbesar di Indonesia terdapat di Belawan, Sumatera Utara. Kontribusi Sumatera Utara terhadap keseluruhan produksi CPO nasional mencapai 32% dan angka tersebut diprediksikan akan terus stabil dalam beberapa tahun ke depan. CPO tersebut kemudian diangkut ke daerah tempat industri yang membutuhkan. Di dalam negeri, permintaan terbesar ada di Pulau Jawa sedangkan untuk ekspor terbesar adalah India. Dalam analisa kelayakan ini, pembahasan dilakukan untuk menguji kelayakan rute kargo CPO dari Belawan ke Surabaya dan juga Belawan ke Tanjung Priok, khusus untuk melayani kebutuhan domestik Indonesia dengan menggunakan kapal berbobot 6000 metric ton. Diasumsikan bahwa kapal tersebut didedikasikan khusus untuk mengangkut kargo CPO sepanjang tahun. Dengan dua pelabuhan tujuan tersebut, diperkirakan bisnis baru ini dapat mengambil pangsa pasar yang cukup signifikan untuk melayani permintaan CPO dari pabrik yang berlokasi di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur. 53

6 Rute domestik dipilih karena adanya permintaan yang tinggi terhadap CPO (pembahasan lebih lanjut di bagian Aspek Pasar) dan juga dilakukan sebagai langkah awal untuk masuk ke rute luar negeri yang meliputi India, China dan Korea. 4.2 Aspek Pasar Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan kelapa sawit Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih berada di Pulau Sumatra. Hal ini tidak terlepas dari sejarah perkembangan perkebunan kelapa sawit yang memang dirintis di daerah ini. Hingga tahun 1995, luas areal perkebunan sawit di Sumatera masih mencapai 81,9% dari luas perkebunan kelasa sawit secara nasional. Tetapi pada beberapa tahun terakhir ini sejalan dengan mulai dibukanya perkebunan kelapa sawit di daerah lain seperti di Kalimantan, proporsi perkebunan kelapa sawit di Sumatera diperkirakan kurang dari 70% di tahun Perkembangan luas daerah prkebunan di Kalimantan dalam beberapa tahun terakhir ini terlihat cukup pesat. Luas areal perkebunan di daerah ini pada tahun 1995 baru sekitar 14% dari total luas areal perkebunan yang ada, tetapi pada tahun 2002 daerah ini sudah memiliki sekitar 26% dari luas perkebunan nasional. Perkembangan areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera saat ini terlihat menunjukkan pergeseran. Sumatera Utara pada beberapa tahun lalu memiliki luas perkebunan yang apling besar mencapai 40,8% dari total 54

7 perkebunan nasional, pada saat ini kontribusi proporsinya hanya kurang dari 16% di tahun Penambahan perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat selama beberapa tahun terakhir ini di Sumatera yaitu di propinsi Riau. Luas perkebunan pada tahun 2002 telah mencapai 20% dari total perkebunan nasional. Adapun perkembangan luas lahan di perkebunan kelapa swit dalam beberapa tahun terakhir ini dapat dilihat di tabel 4.1 sebagai berikut. Tabel 4.1 Perkembangan Luas Kebun Kelapa Sawit (ha) Lokasi Perkebunan Nasional Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Irian Jaya Sumber: CIC Indonesia, Produksi CPO Indonesia Sumatera hingga saat ini masih merupakan penghasil utama CPO di dalam negeri. Kontribusinya terhadap produksi CPO nasional tetap yang paling besar, meskipun sedikit mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 1995, Sumatera memiliki kontribusi sebesar 92% dari total produksi CPO nasional. Pada tahun-tahun berikutnya kontribusi sedikit 55

8 mengalami penurunan sehingga pada tahun 2002 menjadi sebesar 85%. Daerah yang mengalami peningkatan pesat dalam produksi CPO yaitu Kalimantan. Pada tahun 1995, daerah ini baru memiliki kontribusi sebesar 6% tetapi pada tahun 2002 kontribusinya meningkat menjadi 11%. Secara keseluruhan produksi CPO Indonesia hingga saat ini sebagian besar dihasilkan di propinsi Sumatera Utara. Secara perlahan, kontribusi daerah ini memang mengalami penurunan yang disebabkan karena pesatnya pertumbuhan di Kalimantan. Pada tahun 1995 propinsi ini memiliki kontribusi sebesar 45,6% dari total produksi CPO nasional. Pada tahun 2002 kontribusinya menurun menjadi 32% walaupun dari sisi volume terjadi peningkatan yang signifikan. Daerah lainnya yang cukup banyak menghasilkan minyak sawit adalah Riau. Dalam beberapa tahun terakhir ini produksi CPO di propinsi ini mengalami peningkatan pesat. Tahun 2002, kontribusinya mencapai 21%, kemudian diikuti oleh propinsi Sumatera Selatan sebesar 10,9%, Jambi sebesar 6,5%, Aceh sebesar 5,7% dan Sumatera Barat sebesar 4,3%. Kalimantan merupakan kawasan di luar pulau Sumatera yang memiliki potensi sebesar 10,9% dari produksi nasional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 4.2 berikut ini. Tabel 4.2 Produksi CPO Nasional (ton) Daerah DI Aceh

9 Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Jawa Kalimantan Sulawesi Irian Jaya Total Sumber: CIC Indonesia, Produsen CPO dan Kapasitasnya Pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) di Indonesia selama ini dikelola dua badan usaha yaitu perusahaan milik negara melalui PT Perkebunan Nusantara dan perusahaan swasta. Pengolahan kelapa sawit tersebut selain memproses tandan buah segar dari hasil perkebunan mereka sendiri juga mendapatkan pasokan dari perusahaan lain dan perkebunan rakyat. 57

10 Pada awal perkembangannya industri pengolahan kelapa sawit ini hanya dilakukan oleh perusahaan perkebunan milik negara yang pada tahun 1996 diubah menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Namun dalam perkembangannya perusahaan milik swasta justru lebih pesat daripada milik negara. PTPN III yang berlokasi di Medan, Sumatera Utara merupakan perusahaan negara yang tercatat sebagai pengelola pabrik PKS terbesar. Saat ini perusahaan tersebut setidaknya mengelola 20 unit pabrik PKS dengan kapasitas 960 tandan sawit (TBS) per jam. PTPN IV yang berkedudukan di Jambi adalah pengelola PKS terbesar kedua dengan kapasitas 853 ton TBS per jam. Perusahaan swasta asing yang memiliki unit pabrik PKS terbanyak adalah PT Socfindo yang mengelola 10 unit pabrik PKS dengan kapasitas 170 ton TBS per jam. PT London Sumatra Plantation tercatat sebagai pengelola pabrik PKS terbesar kedua yang memiliki 7 unit pabrik dengan kapasitas 205 ton TBS per jam. Sementara itu jumlah pabrik pengolahan TBS milik perkebunan besar swasta nasional yang beroperasi hingga saat ini paling tidak tercatat sekitar 90 unit dengan kapasitas lebih dari 3000 ton TBS per jam. PT Sinar Mas memiliki 4 unit dengan kapasitas seluruhnya 155 ton TBS per jam PT Astra Agro Lestari juga terus meningkatkan kapasitas produksi CPO, ini dilakukan untuk mendukung usaha perkebunan kelapa sawit yang dimiliki. Saat ini kelompok perusahaan tersebut memiliki 15 pabrik 58

11 pengolahan CPO dengan kapasitas produksi sebesar 700 ton TBS per jam dan akan ditingkatkan dua kali lipat. Adapun penyebaran pabrik pengolahan CPO berdasarkan lokasinya dapat dilihat di tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3 Produsen CPO Indonesia dan Kapasitasnya DI Aceh Propinsi/Pulau Kabupaten Aceh Barat 60 Kapasitas Produksi (ton/tbs/jam) Sumatera Utara Aceh Selatan Aceh Timur Asahan Deli Serdang Labuhan Batu 955 Langkat 325 Simalungun 333 Tapanuli Tengah 20 Tapanuli Selatan 45 Riau Indragiri 355 Kampar 816 Jambi Batang Hari 260 Sumatera Barat 134 Sumatera Selatan 469 Bengkulu

12 Lampung 180 Jawa Barat 60 Kalimantan 331 Sulawesi 142 Irian Jaya 200 Sumber: CIC Indonesia, Supply Minyak Sawit Dalam Negeri Supply minyak sawit di dalam negeri dapat diketahui dengan menjumlahkan produksi dengan impor, kemudian dikurangi dengan ekspornya pada periode yang sama. Dari data yang berhasil dikumpulkan dapat diketahui bahwa supply minyak sawit yang terdiri dari Crude Palm Oil dan Palm Kernel Oil dari tahun 1996 terus mengalami kenaikan sampai tahun Melonjaknya supply tersebut karena pemerintah melakukan pembatasan ekspor melalui kebijakan pemberlakuan kuota dan pembebanan pajak ekspor. Kebijakan tersebut ditempuh karena ekspor CPO yang meningkat pesat akibat tingginya harga di luar negeri. Akibatnya di dalam negeri mengalami kekurangan pasok CPO, sehingga banyak perusahaan minyak goreng yang mengalami kekurangan bahan baku. Kurangnya produksi minyak goreng pada saat itu sempat mengakibatkan krisis sosial di masyarakat. Tetapi pada tahun 1999 supply minyak kelapa sawit kembali normal, yaitu sebesar 4,76 juta ton. Dan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai sekitar 5,36 juta 60

13 ton. Lebih jelasnya mengenai perkembangan supply minyak kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut. Tabel 4.4 Perkembangan Supply Minyak Kelapa Sawit (ton) Tahun Produksi Ekspor Impor Supply ,983,334 1,322, ,685 4,771, ,609,780 2,584,530 94,839 4,120, ,923, ,560 18,170 6,230, ,397,610 2,637,570 2,857 4,762, ,335,719 3,646,020 7,476 5,697, ,622,562 4,271,560 5,117 5,356, ,139,193 5,871,700 8,827 5,276, ,629,346 6,273,000 4,546 5,360,892 Sumber: CIC Indonesia, Produksi Ekspor Impor Supply Grafik 4.1 Supply CPO Dalam Negeri 61

14 4.2.5 Konsumsi CPO Dalam Negeri Konsumsi CPO oleh Industri Minyak Goreng Peningkatan produksi minyak goreng kelapa sawit tentu saja akan semakin memperbesar kebutuhan akan bahan bakunya. Menurut beberapa produsen minyak goreng yang menggunakan CPO sebagai bahan bakunya, kebutuhan untuk memproduksi munyak goreng setiap ton sangat bervariasi tergantung dari tingkat teknologinya disamping juga peralatan yang digunakan. Ada pabrik yang setiap ton CPO bisa menghasilkan sekitar 0,6 ton minyak goreng. Apabila diambil rata-rata bahwa setiap ton CPO dapat diproses menjadi minyak goreng sebanyak 0,65 ton minyak goreng, maka konsumsi CPO bagi industri minyak goreng sawit tersebut pada tahun 1996 mencapai 2,8 juta ton. Pada tahun 2000 konsumsi CPO menjadi 3,9 juta ton. Pada tahun 2003 konsumsi CPO sedikit mengalami penurunan karena menurunnya jumlah produsen minyak goreng skala kecil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 4.5 berikut. Tabel 4.5 Konsumsi CPO oleh Industri Minyak Goreng (ton) Tahun Produksi Minyak Goreng Konsumsi CPO ,849,761 2,811, ,007,627 3,051, ,163,247 3,288, ,385,058 3,625,303 62

15 2000 2,571,990 3,909, ,686,061 4,082, ,566,959 3,901, ,572,800 3,910,656 Sumber: CIC Indonesia, Konsumsi CPO oleh Industri Margarin Margarin secara keseluruhan saat in dibuat dari minyak kelapa sawit, pembuatan margarin tidak lagi menggunakan minyak kelapa, hal ini terutama dipengaruhi oleh ketersediaan bahan bakunya yang tidak kontinu, disamping harganya sering berfluktuasi. Penggunaan minyak kelapa sawit untuk bahan baku margarin juga lebih efisien sehingga produksi yang dicapai lebih tinggi. Menurut beberapa produesn margarin, komponen minyak sawit dalam produk tersebut mencapai 80% dan sisanya merupakan bahan lainnya. Dengan demikian penentuan pemakaian minyak kelapa sawit untuk produk margarin ini digunakan potongan kandungan minyak sawit dalam margarin yaitu sekitar 80% dari jumlah produksi. Peningkatan produksi margarin selama ini tentu saja membawa pengaruh bagi konsumsi CPO. Pada tahun 1996 pemakaian minyak sawit oleh industri margarin baru sekitar 238 ribu ton, dan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai 324 ribu ton. Adapun konsumsi CPO oleh industri margarin di 63

16 Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini secara singkat dapat dilihat di tabel 4.6 berikut ini. Tabel 4.6 Konsumsi CPO oleh Industri Margarin (ton) Tahun Produksi Margarin Konsumsi CPO , , , , , , , , , , , , , , , ,333 Sumber: CIC Indonesia, Konsumsi CPO oleh Industri Sabun Dalam industri sabun mandi, minyak kelapa sawit merupakan bahan baku utama. Selain itu dibutuhkan juga beberapa bahan penolong yang diantaranya adalah soda ash, caustic soda dan parfum. Penggunaan CPO dalam industri ini sangat bervariasi tergantung kepada jenis serta mutu sabun yang diproduksi. Bahan baku utama pembuatan sabun ini adalah minyak nabati yang dicampur dengan minyak kelapa. Campuran itu umumnya berkisar sekitar 80% minyak sawit dan minyak kelapa 20% atau tergantung 64

17 kepada jenis sabun yang akan dihasilkan. Namun secara umum komposisi dapat disimpulkan bahwa untuk 1 ton sabun mandi dibutuhkan 600 kg minyak sawit. Dalam proses produksinya setiap ton minyak nabati yang merupakan campuran antara minyak kelapa dan minyak sawit dapat dibuat sabun mandi sebanyak 1,2 sampai 1,46 ton. Campuran antara minyak sawit dan minyak kelapa mutlak diperlukan karena minyak kelapa bisa meningkatkan busa tetapi campurannya sangat bervariasi tergantung dari jenis dan kualitas sabun yang dikehendaki. Dengan menggunakan asumsi tersebut, pemakaian CPO oleh industri sabun mandi pada tahun 1996 diperkirakan mencapai 308 ribu ton dan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai 368 ribu ton. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.7 dibawah ini. Tabel 4.7 Konsumsi CPO oleh Industri Sabun Mandi (ton) Tahun Produksi Sabun Konsumsi CPO , , , , , , , , , , , , , ,114 65

18 , ,578 Sumber: CIC Indonesia, Konsumsi CPO oleh Industri Oleochemical Oleochemical merupakan hasil olahan dari minyak nabati maupun hewani, maka bahan bakunya bisa berupa minyak sawit, minyak kelapa, minyak kedelai dan minyak hewani. Sedangkan produsen oleochemical Indonesia pada umumnya menggunakan bahan baku berupa CPO dan minyak inti sawit (PKO) karena bahan baku ini yang termurah dan jumlahnya melimpah. Menurut Departemen Perindustrian, pada umumnya dari 1 ton CPO dapat diproses sekitar 900 kg produk oleochemical. Analisa perhitungan ini masih kasar, sebab produk yang dihasilkan sangat bergantung dari jenis dan tingkat efisiensi prosesnya. Namun sebagai dasar analisa sidah dapat dipergunakan koefisien tersebut, khususnya untuk produk oleochemical yang menggunakan bahan baku CPO atau PKO. Dengan demikian pemakaian CPO untuk industri oleochemical dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut. Tabel 4.8 Konsumsi CPO oleh Industri Oleochemical (ton) Tahun Produksi Oleochemical Konsumsi CPO , , , , , ,890 66

19 , , , , , , , , , ,184 Sumber: CIC Indonesia, Konsumsi Total CPO Minyak goreng merupakan industri pemakai minyak sawit terbesar di Indonesia, menyusul industri oleochemical, industri sabun dan yang terakhir industri margarin. Pada tahun 1996 dari total pemakaian CPO sebesar ribu ton, pemakaian oleh industri minyak goreng mencapai sebesar ribu ton atau mencapai 75,1% dari total pemakaian minyak kelapa sawit. Menyusul kemudian oleh industri oleochemical sebesar 573 ribu ton (14,6%), indsutri sabun sebesar 308 ribu ton (7,8%) dan industri margarin sebesar 238 ribu ton (6,1%). Peranan minyak goreng dalam pemakaian minyak sawit tersebut menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada tahun 2001 dari total konsumsi minyak sawit sebesar ton, pemakaian untuk industri minyak goreng mencapai sebesar ribu ton atau sekitar 77% dari total pemakaian minyak sawit. Industri oleochemical pada tahun yang sama mengkonsumsi sebesar 579 ribu ton (10,9%), industri sabun sebesar 353 ribu ton (6,7%) dan 67

20 industri margarin sebesar 285 ribu ton (5,4%) dari total pemakaian minyak sawit nasional. Pada tahun 2002 total konsumsi CPO tercatat sebesar ribu ton dan pada tahun 2003 sekitar ribu ton dengan proporsi yang hampir sama. Adapun perkembangan konsumsi minyak kelapa sawit oleh masingmasing industri pemakai utamanya secara jelas dapat dilihat pada tabel 4.9 dibawah ini. Tabel 4.9 Konsumsi CPO Total (ton) Tahun M. Goreng Margarin Sabun Oleochemical Total Sumber: CIC Indonesia,

21 M. Goreng Margarin Sabun Oleochemical Total Grafik 4.2 Konsumsi Total CPO Dalam Negeri Proyeksi Konsumsi CPO Dalam Negeri Proyeksi Konsumsi Industri Minyak Goreng Selama beberapa dekade ini industri minyak goreng sawit mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan produksi minyak goreng kelapa. Bahkan pada saat yang bersamaan produksi minyak goreng kelapa mengalami kecenderungan menurun. Laju pertumbuhan produksi rata-rata minyak goreng sawit dalam beberapa tahun terakhir ini mencapai 6,8% per tahun, sedangkan produksi minyak goreng kelapa hanya mencapai 3% per tahun. Kenaikan produksi ini tampaknya masih akan berlangsung dalam beberapa tahun mendatang yang diantaranya didorong oleh penambahan jumla penduduk yang mencapai 1,8% per tahun. Pada lima tahun mendatang produksi minyak goreng kelapa sawit diperkirakan akan mengalami pertumbuhan lebih dari 4,5% per tahunnya. Dengan 69

22 tingkat pertumbuhan tersebut maka produksi minyak goreng kelapa sawit pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 2,7 juta ton dan hingga tahun 2008 produksinya diperkirakan akan mencapai 3,2 juta ton. Dengan adanya peningkatan produksi tersebut tentu saja juga akan semakin memperbesar kebutuhan bahan bakunya yang diperkirakan pada tahun 2008 akan menyerap sekitar 4,9 juta ton CPO. Lebih jelasnya mengenai proyeksi produksi minyak goreng kelapa sawit dan konsumsi CPO oleh industri tersebut dalam lima tahun mendatang secara singkat dapat dilihat pada tabel 4.10 dibawah ini. Tabel 4.10 Proyeksi Konsumsi CPO oleh Industri Minyak Goreng (ton) Tahun Produksi Minyak Goreng Konsumsi CPO ,688, Proyeksi Konsumsi Industri Margarin Permintaan akan produk margarin di dalam negeri pada tahun-tahun mendatang diyakini juga akan mengalami kenaikan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi dari sebelumnya. Pertumbuhan permintaan tersebut terutama didorong oleh konsumsi margarin pada industri biskuit atau juga sektor informal 70

23 lainnya serta untuk keutuhan rumah tangga seperti pengoles roti atau untuk keperluan memasak. Selama lima tahun mendatang produksi margarin diperkirakan akan mengalami pertumbuhan lebih dari 5,5% per tahun. Tingkat pertumbuhan produksi tersebut lebih tinggi dari yang terjadi beberapa tahun terakhir ini yang rata-rata sekitar 4,8% per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan sebesar itu maka pada tahun 2004 produksi margarin diperkirakan mencapai 427 ribu ton dan hingga tahun 2008 akan mencapai 530 ribu ton. Sehingga konsumsi CPO oleh industri ini pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 342 ribu ton, yang akan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun 2008 diperkirakan akan mencapai lebih dari 423 ribu ton. Lebih jelasnya mengenai proyeksi produksi margarin serta proyeksi konsumsi CPO oleh margarin dalam beberapa tahun mendatang secara singkat dapat dilihat pada tabel 4.11 dibawah ini. Tabel 4.11 Proyeksi Konsumsi CPO oleh Industri Margarin (ton) Tahun Produksi Margarin Konsumsi CPO

24 Proyeksi Konsumsi Industri Sabun Demikian juga dengan industri sabun mandi, pada lima tahun mendatang produksinya diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Krisis ekonomi yang terjadi memang berpengaruh terhadap perkembangan produksi industri ini. Selama enam tahun terakhir ini produksi sabun rata-rata mengalami peningkatan sekitar 2,4% pr tahun. Pada lima tahun mendatang pertumbuhannya diperkirakan akan mengalami peningkatan 3,5%. Peningkatan produksi tersebut selain karena meningkatnya konsumsi di dalam negeri juga akan banyak dipengaruhi oleh tingginya permintaan di pasar ekspor. Dengan proyeksi tingkat pertumbuhan tersebut maka produksi sabun pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 635 ribu ton. Hingga pada tahun 2007 diperkirakan akan mencapai 730 ribu ton. Peningkatan produksi sabun tersebut tentu saja akan mendorong semakin tingginya konsumsi CPO oleh industri ini, sehingga pada tahun 2008 nanti diperkirakan mencapai 437 ribu ton. Adapun proyeksi produksi dan konsumsi CPO di industri sabun dalam lima tahun secara singkat dapat dilihat pada tabel 4.12 dibawah ini. Tabel 4.12 Proyeksi Konsumsi CPO oleh Industri Sabun (ton) Tahun Produksi Sabun Konsumsi CPO

25 Proyeksi Konsumsi Industri Oleochemical Industri Oleochemical di Indonesia dalam lima tahun mendatang diperkirakan akan tetap berkembang. Namun demikian sulit untuk dapat memeprkirakan secara tepat karena sangat dipengaruhi oleh permintaan di pasar internasional, yang merupakan konsumen paling besar. Sedangkan di pasar dalam negeri kebutuhan akan industri ini masih terbatas. Perkembangan produksinya selama ini terlihat berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan hanya sebesar 0,8% per tahun. Dengan asumsi pertumbuhan tersebut maka permintaan CPO oleh industri oleochemical pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 530 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2008 yang diperkirakan akan mencapai 564 ribu ton. Adapun proyeksi produksi oleochemical dan konsumsi CPO oleh sektor industri tersebut selama lima tahun dapat dilihat pada tabel 4.13 dibawah ini. Tabel 4.13 Proyeksi Konsumsi CPO oleh Industri Oleochemical (ton) Tahun Produksi Oleochemical Konsumsi CPO , , , , , , , ,461 73

26 , , Proyeksi Konsumsi CPO Total Secara keseluruhan, konsumsi CPO di dalam negeri oleh sektor industri pemakainya di pasar dalam negeri masih menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Selama lima tahun mendatang diperkirakan kebutuhan CPO akan meningkat sebanyak 1 juta ton. Dimana konsumsi CPO oleh industri pada tahun 2004 mencapai 5,36 juta ton dan pada tahun 2008 permintaannya menjadi sekitar 6,3 juta ton. Lebih jelasnya mengenai proyeksi konsumsi CPO oleh industri pemakainya selama lima tahun mendatang dapat dilihat pada tabel 4.14 dibawah ini. Tabel 4.14 Proyeksi Konsumsi CPO Total (ton) Tahun M.Goreng Margarin Sabun Oleochemical Total ,086, , , ,493 5,360, ,270, , , ,795 5,580, ,462, , , ,118 5,809, ,663, , , ,461 6,048, ,873, , , ,824 6,299,010 74

27 M.Goreng Margarin Sabun Oleochemical Total Grafik 4.3 Proyeksi Konsumsi CPO Dalam Negeri Penyebaran Produsen Pengguna CPO Penyebaran Produsen Minyak Goreng Pada saat ini di Indonesia terdapat sekitar 84 buah pabrik minyak goreng kelapa sawit dengan kapasitas produksi sebesar 9,2 juta ton. Tetapi dari jumlah tersebut yang aktif berproduksi adalah sebanyak 53 pabrik. Dari keseluruhan pabrik yang masih beroperasi tersebut kapasitas produksi yang ada mencapai 7,2 juta ton. Jumlah terbanyak produsen minyak goreng kelapa sawit pada saat ini masih terdapat di wilayah Sumatera khususnya Sumatera Utara, hal ini dilatarbelakangi oleh ketersediaan bahan baku yang melimpah dan kedekatan dengan sumber bahan baku. Berikut adalah tabel penyebaran produsen minyak goreng dan kapasitasnya di Indonesia 75

28 Tabel 4.15 Penyebaran Produsen Minyak Goreng Daerah Jumlah Kapasitas (ton/thn) Share Sumatera ,31% Jakarta, Jawa Barat, Banten ,2% Jawa Timur ,12% Kalimantan Barat ,4% Sumber: Diolah dari data CIC Penyebaran Produsen Margarin Industri margarin di Indonesia pada saat ini juga menunjukkan perkembangan yang baik. Pada saat ini setidaknya terdapat 17 industri dengan kapasitas produksi total mencapai ton per tahun. Kapasitas produksi tersebut menurut beberapa produsen dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan produksinya. DKI Jakarta tercatat sebagai propinsi yang memiliki kapasitas produksi margarin yang terbesar sekitat 65% dari total kapasitas nasional. Tabel 4.16 Penyebaran Produsen Margarin Daerah Jumlah Kapasitas (ton/thn) Share Jakarta, Jawa Barat ,5% Jawa Timur ,1% Sumatera ,3% Sumber: Diolah dari data CIC 76

29 Penyebaran Produsen Sabun Perkembangan industri sabun, terutama sabun mandi tetap menunjukkan perkembangan yang baik karena semakin meningkatnya kebutuhan di dalam negeri. Hingga saat ini tercatat paling tidak 25 perusahaan yang memproduksi sabun mandi dan 26 perusahaan yang memproduksi sabun cuci. Sebagian besar industri sabun berlokasi di Pulau Jawa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.17 Penyebaran Produsen Sabun Daerah Jumlah Kapasitas Share Sumatera ,8% Jakarta, Jawa Barat ,9% Jawa Timur ,9% Kalimantan, Sulawesi % Sumber: Diolah dari data CIC Penyebaran Produsen Oleochemical Pembangunan industri Oleochemical murni di Indonesia secara nyata baru terealisasi pada tahun 1975 melalui PT Cisadane Raya Chemical yang berstatus PMDN dan dirintis pada tahun Secara nasional, produsen oleochemical lebih terpusat pada daerah Sumatera Utara dan Jawa Barat dengan perbandingan yang hampir berimbang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.18 Penyebaran Produsen Oleochemical Daerah Jumlah Kapasitas (ton/thn) Share 77

30 Sumatera % Jawa Barat % Sumber: Diolah dari data CIC Proyeksi Pangsa Pasar Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa rute pelayanan CPO yang diajukan dalam rencana bisnis ini adalah yang melayani rute Belawan-Surabaya dan Belawan-Tanjung Priok. Sebagai suatu perusahaan yang baru pertama kali menerjuni bisnis transportasi CPO ini, ditargetkan pangsa pasar yang mampu diraup sekitar 10%. Perkiraan ini dapat dianggap cukup konservatif dan dapat dicapai, malah bisa dilewati apabila kegiatan pemasaran yang dilakukan berhasil mendatangkan konsumen baru. Untuk rute Belawan-Tanjung Priok difokuskan untuk melayani kebutuhan CPO dari para produsen yang berlokasi di propinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Secara detail mengenai komposisi pangsa pasar yang diperkirakan dapat diraup dapat dilihat pada tabel 4.19 dibawah ini. Tabel 4.19 Perkiraan Volume Rute Belawan-Tanjung Priok Tahun 2006 Produsen Minyak Goreng Proyeksi Kebutuhan Nasional (ton/thn) 4,462,847 Share Jakarta, Banten, Jawa Barat Proyeksi Kebutuhan Regional Supply Belawan (ton/thn) 32% Proyeksi Target Volume 10% (ton/thn) 29.2% 1,303,152 1,428, ,811 78

31 Margarin 380, % 272, ,871 12,187 Sabun 408, % 183, ,768 13,076 Oleochemical 557,118 46% 256, ,278 17,827 Total 2,015,215 1,859, ,902 Untuk rute Belawan-Surabaya difokuskan untuk melayani kebutuhan CPO dari para produsen yang berlokasi di propinsi Jawa Timur dan sekitarnya. Secara detail mengenai komposisi pangsa pasar yang diperkirakan dapat diraup dapat dilihat pada tabel 4.20 dibawah ini Tabel 4.20 Perkiraan Volume Rute Belawan-Surabaya Tahun 2006 Produsen Proyeksi Kebutuhan Nasional Share Jawa Timur Proyeksi Kebutuhan Regional (ton/thn) Minyak Goreng 4,462, % 853,297 Margarin 380, % 91,784 Sabun 408, % 134,445 Oleochemical 557, Total 1,079, Aspek Pemasaran Market Segmentation Pasar yang akan dituju dalam bisnis ini adalah pasar industri. Secara umum pasar industri lebih homogen daripada pasar konsumen karena dari segi jumlah jauh 79

32 lebih sedikit pemainnya. Namun demikian tetap saja terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat menjadi dasar bagi pengelompokkan konsumen. Perbedaan-perbedaan tersebut bisa berupa kondisi keuangan, keinginan, lokasi, sikap terhadap suatu produk dan perbedaan lainnya. Dari perbedaan-perbedaan ini dapat dilakukan segmentasi pasar. Tidak ada cara yang tunggal dan sama bagi setiap manajemen perusahaan untuk melakukan segmentasi pasar. Manajemen dapat melakukan pengkombinasian dari beberapa variabel untuk mendapatkan suatu cara yang paling pas dalam segmentasi pasarnya. Dalam hal ini, segmentasi pasar industri untuk bisnis pelayanan kargo CPO PT XYZ akan dibagi berdasarkan beberapa aspek sebagai berikut. Tabel 4.21 Segmentasi Geografis GEOGRAFIS Negara Propinsi Kotamadya Iklim Republik Indonesia Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta Bandung, Surabaya Tropis Tabel 4.22 Segmentasi Demografis Usia Industri Jenis Industri Penghasilan DEMOGRAFIS Diatas 5 tahun Industri Sabun mandi, margarin, minyak goreng dan oleochemical Diatas Rp 10 milyar per tahun 80

33 Pendidikan Kelas Sosial Warga Negara Segala jenis golongan dan tingkat pendidikan Menengah ke atas Warga Negara Indonesia dan Asing Tabel 4.23 Segmentasi Perilaku User status Usage state PERILAKU Potential user, First time user and Regular user Light user, Medium User, Heavy user Loyality status Low, Medium, Strong Buyer Readiness stage Attitude Toward Product Aware, Informed and Interested Enthusiastic, Positive Tabel 4.24 Segmentasi Konsumen Industri Tramper Critical needs Good service Demographics High income, well established, educated Decision maker Purchasing manager and director COA Good and continual service High income, well established, educated Purchasing manager and director 81

34 Setelah mengevaluasi segmen-segmen yang berbeda, manajemen perusahaan dapat mempertimbangkan dan memilih pola pemasaran pasar seperti apa yang tepat untuk mengembangkan bisnis ini Market Targeting Setelah segmen pasar diketahui, selanjutnya perusahaan perlu melakukan analisa untuk dapat memutuskan berapa segmen pasar yang akan dicakup dan dilayani karena akan sangat sulit bagi perusahaan untuk dapat melayani semua segmen yang ada. Keunggulan kompetitif suatu perusahaan hanya dapat dieksploitasi untuk memuaskan keinginan beberapa segmen konsumen saja. Analisis dapat dilakukan dengan menelaah faktor-faktor seperti ukuran dan pertumbuhan segmen dan kemenarikan struktural segmen. Tabel 4.25 Penetapan Sasaran Konsumen M1 M2 p1 p2 X X p3 Keterangan: p = produk M = Market Dalam hal ini, perusahaan berkonsentrasi dalam memberikan suatu servis yang terstandarisasi yang ditujukan untuk melayani keseluruhan segmen yang dengan 82

35 berbagai kebutuhan yang diinginkan. Melalui strategi standarisasi pelayanan dan kualitas, perusahaan berusaha membangun reputasi yang kuat di bidang usaha ini Marketing Approach Pemasaran space pemuatan kapal dalam hal ini dibedakan menjadi dua segmen yang berbeda seperti tersebut di bawah ini; a. Segmen market spot atau tramper (berdasarkan Voyage Contract) kontrak yang berbeda-beda untuk setiap single voyage b. Segmen market COA kontrak yang sama untuk beberapa serial voyage Secara natural dan konteks hubungan dengan shipper (yang dalam hal ini adalah customer), pengelompokan kedua market segmen tersebut untuk membedakan metode pendekatan pemasaran yang diterapkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah pentingnya keberhasilan kinerja divisi pemasaran dalam menunjang rencana bisnis ini. Terdapat dua departemen dari organisasi PT. XYZ yang terlibat secara aktif dalam usaha-usaha pemasaran space pemuatan kapal, yakni Departament Chartering di bawah koordinasi Divisi Comercial and Operation dan Business Dev / Marketing Executive di bawah koordinasi Divisi Marketing and Business Development Segmen Tramper Pada segmen pasar ini, space / ruang pemuatan kapal ditawarkan kepada pemakai (shipper) secara spot berdasarkan ketersediaan kapal pada suatu kondisi lay 83

36 can.(pada rentang waktu tertentu). Pada prinsipnya si pemilik barang (shipper) menginformasikan ketersediaan barang muatan (cargo) mereka melalui perantara Cargo Broker kepada pihak Ship Operator (carrier) untuk diangkut dari satu pelabuhan muat tertentu ke pelabuhan bongkar tujuan yang dimulai pada satu rentang waktu tertentu yang biasa disebut lay can. Sementara para Ship Operator (carrier) jika pada saat yang sama memiliki ketersediaan space pemuatan pada kapal mereka yang memiliki kesesuaian dengan lay can sesuai yang ditawarkan oleh pihak shipper, melalui pihak Cargo Broker menawarkan tingkat harga freight kepada pihak shipper. Setelah disepakati tingkat freight dan kondisi pemuatan tertentu, maka muatan (cargo) akan diangkut oleh shipper dibawah suatu kontrak voyage yang telah disepakati dimuka. Dalam hal ini kebanyakan kasus pihak Cargo Broker akan mendapatkan fee atau komisi atas jasa intermediasinya dari pihak shipper. Dalam segmen market ini Departemen Charatering lebih banyak berperan dalam pemasaran space pemuatan kapal-kapal armada PT. XYZ. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, departemen ini banyak bersentuhan dengan pihak-pihak seperti tersebut di bawah ini; 1. Pihak Cargo Broker 2. Pihak Shipper (bisa sebagai pemilik barang, baik itu Industri penghasil atau pengguna maupun hanya sebatas Cargo Integrator atau trader) 84

37 3. Pihak Ship Operator atau Shipping Company yang lain (terdapat banyak kasus dimana pemilik barang / cargo juga memiliki dan mengoperasikan kapal) Untuk menjamin kelanjutan order dan kesinambungan operasional kapalkapal armada Departemen Chartering memiliki kewajiban untuk selalu menjaga dan membina hubungan baik (relasi) dengan pihak-pihak yang sudah disebut di atas. Yang salah satu pendekatannya dapat dilakukan dengan selalu memberikan up-date ketersediaan kapal dan utilitas ruang (space) pemuatan kapal secara akurat, dan berkala (timely manner) kepada pihak-pihak yang disebut di atas setidaknya untuk fix shipment schedule satu bulan di muka Segmen COA Pada segmen market ini, space pemuatan kapal ditawarkan kepada pihak Industri pemilik muatan (cargo) atau pihak Cargo Integrator (Trader) untuk didedikasikan mengangkut sejumlah volume muatan dalam satu kurun waktu tertentu (terdiri dari beberapa shipment atau pengapalan). Dalam hal ini pihak Ship Operator (carrier) berkewajiban untuk selalu menyediakan space kapalnya (bisa beberapa kapal yang berbeda) setiap saat untuk mengangkut sejumlah volume cargo yang telah disepakati, sebaliknya shipper (pemilik cargo) berkewajiban pula untuk selalu menyediakan muatan (cargo) mereka sejumlah volume yang telah disepakati dalam satu kurun waktu tertentu. 85

38 Untuk segmen market ini yang banyak berperan dalam pemasaran space kapal kepada pihak pemilik muatan (cargo) baik itu sebagai Industri penghasil atau pengguna maupun Cargo Integrator (Trader) adalah Bagian Marketing / Business Development Executive. Dalam hal ini space kapal untuk COA ditawarkan kepada industri yang memiliki cargo, tentunya dengan iming-iming berupa harga freight yang lebih kompetitif dari market dan juga jaminan ketersediaan kapal setiap saat dibutuhkan. Secara natural bentuk kontrak ini memberikan kemudahan berupa jaminan kepada kedua belah pihak, ketersediaan kapal dipihak shipper dan juga kelanjutan/ kesinambungan operasional di pihak carrier selama masa kontrak (biasanya selama satu tahun) Dalam pemasaran space kapal untuk segmen market ini, Bagian Marketing/ Bisdev Executive membina hubungan baik dengan pihak-pihak Industri pemilik muatan dengan cara membangun suatu kepercayaan dan komitmen jangka panjang, dalam bentuk kunjungan rutin, penyampaian presentasi, pemberian company profile dari PT. XYZ yang memberikan gambaran PT. XYZ sebagai reliable partner untuk masalah transportasi laut yang memiliki standard quality yang tinggi yang selalu menjamin tingkat kepuasan pelanggan Pricing Policy Secara umum Pola Kebijakan Penentuan Freight yang berlaku pada PT. XYZ mengacu kepada dan ditentukan oleh dua hal sebagai berikut: 86

39 i. Perhitungan biaya voyage (seluruh biaya baik fixed maupun variabel yang harus ditanggung untuk mengangkut muatan, dalam konteks pembahasan ini adalah CPO dalam jumlah volume tertentu dari suatu pelabuhan muat tertentu ke pelabuhan bongkar tertentu dan menempuh jarak sekian miles, termasuk juga didalamnya biaya pajak dan komisi jika ada). ii. Tingkat freight yang berlaku di pasar Pada suatu prospek pengangkutan muatan (dalam konteks ini adalah CPO) dari suatu pelabuhan pemuatan tertentu ke pelabuhan bongkar tertentu semua komponen biaya pengapalan tersebut dapat diketahui dan dihitung dimuka (sebelum proses pengapalan dilakukan). Dari sana akan dapat diketahui total biaya yang harus ditanggung untuk melaksanakan proses pengapalan tersebut. Jika total biaya yang dimaksud sudah diketahui, tentunya biaya freight minimal untuk menutup biaya pengangkutan per-ton muatan CPO dapat diketahui. Setelah unit freight per-ton muatan sudah diketahui maka penentuan harga freight (per-ton) yang akan diberikan kepada shipper dapat ditentukan berdasarkan satuan freight rate yang berlaku dipasar pada saat itu untuk ukuran shipment (volume) muatan dan ukuran kapal (tonase) tertentu, tentunya dengan tetap mempertimbangkan tingkat profitabilitas maksimal yang dapat diberikan kepada perusahaan dan atau juga pertimbangan-pertimbangan taktis pemberian bonus yang meliputi beberapa aspek seperti tersebut di bawah ini; a. Kontinuitas order dari Prime Customer yang memungkinkan untuk diberikannya suatu bonus tertentu 87

40 b. Kontinuitas voyage yang memungkinkan untuk diperolehnya consecutive voyage atau back haul cargo dari pelabuhan bongkar yang di tuju. c. Optimalisasi shipment lot yang memungkinkan tingginya load factor dari suatu perjalanan kapal (voyage) Dari semua perhitungan biaya voyage, secara umum dapat di simpulkan halhal sebagai berikut; 1. Semakin besar ukuran kapal dan shipment lot (ukuran volume pengapalan) maka unit cost akan menjadi lebih kecil untuk carrier (pengoperasi kapal). 2. Secara alamiah semakin tinggi/bagus kondisi kapal (kapal yang masih baru/muda) maka unit cost per-milege dan per-ton muatan akan menjadi semakin tinggi. 3. Secara umum shipper yang menawarkan suatu consecutive voyage atau yang mampu memberikan suatu back haul cargo (muatan balik) pada carrier (pengoperasi kapal) maka tentunya akan berhak untuk mendapatkan harga freight yang lebih kompetitive 4. Freight akan semakin tinggi untuk jarak (mileage) yang semakin jauh 5. Freight rate berbeda untuk masing-masing jenis muatan dan biasanya juga berbeda dari waktu ke waktu (berdasarkan kondisi supply and demand) Pada pelaksanaannya Pola Kebijakan Penentuan Freight pada PT. XYZ diterjemahkan lebih jauh menjadi suatu bentuk petunjuk pelaksanaan penentuan freight yang menjadi petunjuk dan rujukan dari Departement Chartering dalam pelaksanaan tugasnya dalam rangka memasarkan space pemuatan kapal armada. 88

41 Adapun petunjuk pelaksanaan itu sendiri meliputi hal-hal sebagai berikut di bawah ini; 1. Staff Chartering Executive mempersiapkan perhitungan cost dan freight untuk setiap prospek pengangkutan muatan. 2. Staff Chartering Executive membandingkan perhitungan cost dengan freight rate yang ada di market. 3. Staff Chartering Executive mengajukan dan mendiskusikan hasil perhitungan dengan Chartering Manager. 4. Chartering Manager berdasarkan data-data yang disajikan Chartering Executive memutuskan tingkat freight yang dikehendaki dalam penawaran disertai dengan petunjuk strategi negosiasi. 5. Staff Chartering Executive menyampaikan penawaran kepada prospek customer dan menegosiasikan seperlunya. 6. Untuk kasus-kasus tertentu Chartering Manager berhak untuk memberikan bonus khusus kepada pihak customer tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan atas sepengetahuan General Manager. 7. Untuk shipment regular (regular customer) Chartering Executive berhak memutuskan tingkat freight (tanpa sepengetahuan Manager) berdasarkan batasan-batasan yang sudah ditetapkan dan disetujui Chartering Manager. 89

42 4.3.5 Competitor Analysis BLTR PT. Berlian Laju Tanker didirikan pada tahun 1981 dengan nama PT. Bhaita Laju Tanker dan memulai bisnisnya dengan 2 kapal tanker minyak. Secara legal perusahaan mengubah namanya menjadi PT. Berlian Laju Tanker pada tahun 1988 dan sampai saat ini mengoperasikan 51 kapal tanker. Seiring dengan pertumbuhan industri petrochemical, perusahaan memperluas bisnisnya. Pada tahun 1989, perusahaan memilah bisnis transportasinya menjadi liquid cargo seperti kimia, Liquified Petroleum Gas (LPG), Palm oil dan Molas. Perusahaan ini menjadi perusahaan terbuka pada tahun Mission Statement: Is to serve the public interest, as well as the needs of our Customers by preventing loss of life, marine casualties, and environmental pollution. BLTR fokus dalam transportasi industrial liquid bulk cargo dan jasa-jasa kelautan, bertujuan untuk memposisikan dirinya sebagai specialized shipping company di industrial tankers. Bisnisnya meliputi spot market, kontrak jangka pendek dan panjang (COA). BLTR mempunyai 15 kapal oil tanker, 32 kapal chemical tanker dan 4 kapal gas carrier. Pada saat ini BLTR telah memasuki transportasi CPO dengan mengoperasikan 1 kapal khusus. Tahta Bahtera Tahta Bahtera bukan merupakan perusahaan terbuka. Pada saat ini Tahta Bahtera mengoperasikan dua kapal yang melayani rute domestik dengan total 90

43 kapasitas 7,700 DWT dengan usia rata-rata kapal 26 tahun. Tahta Bahtera juga belum melayani jalur angkutan CPO. Taruna Cipta Kencana Taruna Cipta Kencana adalah salah satu anak perusahaan Salim Group yang juga bergerak di bidang transportasi liquid. Pada saat ini TCK mengoperasikan 8 kapal dengan total 67,000 DWT. Usia rata-rata kapal adalah 30 tahun. Pada saat ini TCK sudah melayani transportasi CPO dengan kakuatan sekitar 3 kapal. Dari analisis kekuatan kompetitor perusahaan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang menjadi kompetitor utama di bidang bisnis CPO ini adalah PT Berlian Laju Tanker dan Taruna Cipta Kencana. Hal ini dikarenakan BLTA dan TCK mempunyai konsentrasi bisnis yang sama dengan PT XYZ yaitu di bidang liquid cargo, termasuk didalamnya adalah cargo CPO yang selama ini telah dilayani oleh BLTA dan TCK. 4.4 Aspek Teknis Pemilihan Jenis Kapal Secara umum berdasarkan IMO, jenis muatan (cargo) CPO dikategorikan sebagai salah satu jenis muatan non-imo, dalam arti tidak masuk ke dalam jenisjenis muatan yang pelaksanaannya di atur oleh aturan-aturan IMO. Dengan demikian berarti jenis muatan tersebut secara umum dinilai memiliki potensi 91

44 hazard yang rendah terhadap lingkungan (untuk potensi bahaya polusi) dan kesehatan manusia. Namun demikian salah satu hasil dari pertemuan MEPC - 52 (Marine Environment Protection Committee), Organisasi Maritime Internasional (IMO) merekomendasikan untuk meningkatkan status cargo CPO dari sebelumnya non- IMO cargo menjadi IMO type III cargo, dimana penerapannya secara keseluruhan akan dilaksanakan pada tahun 2007 dan sosialisasinya sudah dimulai dari sekarang. Namun demikian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pemilihan jenis kapal tanker yang tepat untuk jenis muatan (cargo) CPO ini beberapa hal di bawah perlu diperhatikan: (i) Berdasarkan jenis design dan konstruksi, jenis muatan ini memerlukan cukup kapal non IMO (sampai tahun 2007), tentunya pengunaan kapal tanker dengan standard yang lebih tinggi (IMO class type II or III) akan sangat diperbolehkan, tetapi kembali lagi pertimbangan ekonomis tentunya harus diperhatikan. (ii) Berdasarkan jenis coating atau lining dari tanki pemuatan, cukup bare steel (tanpa pelapisan) dan tidak diperkenankan penggunaan jenis pelapisan (coating) berbahan dasar Epoxy atau phenguard, tentunya penggunaan kapal dengan tangki stain less atau zinc coated diperbolehkan, tetapi kembali masalah ekonomis harus diperhatikan. (iii)peralatan standard tangki pemuatan, dibutuhkan heating coils pada setiap tangki pemuatan untuk menjaga kualitas atau kondisi muatan di 92

Jakarta, 13 Juli 2005

Jakarta, 13 Juli 2005 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Thesis ini disusun

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB III GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 3.1. Sejarah Singkat Perusahaan PT. X merupakan perusahaan pelayaran swasta nasional yang telah berdiri semenjak tahun 1981 di Indonesia, dengan akta pendirian pada tanggal

Lebih terperinci

Model Pengangkutan Crude Palm Oil

Model Pengangkutan Crude Palm Oil TUGAS AKHIR Model Pengangkutan Crude Palm Oil (CPO) Untuk Domestik Oleh : Wahyu Aryawan 4105 100 013 Dosen Pembimbing : Ir. Setijoprajudo, M.SE. Bidang Studi Transportasi Laut dan Logistik Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha.

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul Provinsi Sumatera. dan Sumatera Selatan dengan luas 1,11 juta Ha. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perdagangan antar negara akan menciptakan pasar yang lebih kompetitif dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke tingkat yang lebih tinggi. Kondisi sumber daya alam Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia Menurut Martha Prasetyani dan Ermina Miranti, sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting

BAB I PENDAHULUAN. Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit, berasal dari daerah tropis di Amerika Barat yang penting sebagai suatu sumber minyak nabati. Kelapa sawit tumbuh sepanjang pantai barat Afrika dari Gambia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai penghasil produk-produk hulu pertanian yang mencakup sektor perkebunan, hortikultura dan perikanan. Potensi alam di Indonesia memungkinkan pengembangan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan.

BAB I PENDAHULUAN. sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berasal dari buah kelapa sawit, serta banyak digunakan untuk konsumsi makanan maupun non-makanan. Minyak

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT

5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT 27 5 GAMBARAN UMUM AGRIBISNIS KELAPA SAWIT Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit yang menjadi salah satu tanaman unggulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ekonomis pada tahun 1910 (di Pulau Raja), Asahan dan sungai Liput (dekat perbatasan Aceh).

TINJAUAN PUSTAKA. ekonomis pada tahun 1910 (di Pulau Raja), Asahan dan sungai Liput (dekat perbatasan Aceh). II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tanaman sawit telah diperkenalkan sejak tahun 1848, baru diusahakan dalam skala ekonomis pada tahun 1910 (di Pulau Raja),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam GBHN 1993, disebutkan bahwa pembangunan pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman lainnya diarahkan pada berkembangnya pertanian yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PROFIL PERUSAHAAN

BAB I PROFIL PERUSAHAAN BAB I PROFIL PERUSAHAAN 1.1 Sejarah Singkat PT. Paya Pinang Pada bulan Maret tahun 1962 para pendiri perusahaan (pribumi) yang tergabung dalam PT. Sumber Deli dan PT. Tjipta Makmur (sebagai owner) yang

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO

KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO KAJIAN PENGEMBANGAN KONTRAK BERJANGKA CPO Widiastuti *) Kepala Bagian Pengembangan Pasar, BAPPEBTI Pengantar redaksi: Tahun 2010, lalu, Biro Analisa Pasar, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Tahun BAB I PENDAHULUAN Penelitian menjelaskan bagaimana sistem informasi manajemen rantai pasok minyak sawit mentah berbasis GIS dirancang. Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, perumusan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. lebih cepat dalam mengantisipasi kebutuhan dari pelanggan sehingga dapat lebih

BAB III METODOLOGI. lebih cepat dalam mengantisipasi kebutuhan dari pelanggan sehingga dapat lebih BAB III METODOLOGI 3.1 KERANGKA PIKIR Perusahaan pada masa sekarang ini dituntut untuk dapat lebih efisien serta lebih cepat dalam mengantisipasi kebutuhan dari pelanggan sehingga dapat lebih bersaing

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia

Gambar 1.1. Perkembangan Konsumsi Minyak Nabati Dunia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit telah menjadi komoditas andalan sebagai sumber devisa negara non migas, penciptaan lapangan kerja dan pelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan kelestarian sumber daya alam (Mubyarto, 1994). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum sektor pertanian dapat memperluas kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha, mendukung pembangunan daerah dan tetap memperhatikan kelestarian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. nabati yang bermanfaat dan memiliki keunggulan dibanding minyak nabati II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Pustaka Minyak goreng kelapa sawit berasal dari kelapa sawit yaitu sejenis tanaman keras yang digunakan sebagai salah satu sumber penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan. bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan. bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Business Assignment Pada dasarnya setiap perusahaan memiliki rencana pengembangan bisnis perusahaan untuk jangka waktu yang akan datang. Pengembangan bisnis ini diharapkan dapat memberikan

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang dihasilkan dari produk CPO, diolah menjadi Stearin Oil

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan masyarakat yang dihasilkan dari produk CPO, diolah menjadi Stearin Oil BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak Goreng adalah salah satu komoditi dari sembilan bahan pokok kebutuhan masyarakat yang dihasilkan dari produk CPO, diolah menjadi Stearin Oil sebagai bahan dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, industri di Indonesia berkembang pesat. Di antara subsektor

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, industri di Indonesia berkembang pesat. Di antara subsektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dewasa ini, industri di Indonesia berkembang pesat. Di antara subsektor industri yang pembangunannya berkembang pesat adalah subsektor industri pangan. Hal ini terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama lebih dari 3 dasawarsa dalam pasar minyak nabati dunia, terjadi pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara tahun 1980 sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai salah satu sub sistem pembangunan nasional harus selalu memperhatikan dan senantiasa diupayakan untuk menunjang pembangunan wilayah setempat.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA 55 V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI KELAPA SAWIT INDONESIA 5.1 Pemanfaatan Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang multi guna, karena seluruh bagian tanaman tersebut dapat dimanfaatkan dalam

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. opportunity cost. Perbedaan opportunity cost suatu produk antara suatu negara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu kegiatan yang berperan penting dalam perekonomian suatu negara adalah kegiatan perdagangan internasional. Sehingga perdagangan internasional harus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa

I. PENDAHULUAN konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit adalah komoditi strategis yang diharapkan dapat memberikan konstribusi yang besar bagi devisa negara, khususnya karena pergeseran pangsa konsumsi minyak nabati

Lebih terperinci

PROSPEK INDUSTRI DAN SUMBER POTENSIAL MINYAK/LEMAK (INDUSTRIAL PROSPECT AND POTENCIAL SOURCES OF FAT AND OIL)

PROSPEK INDUSTRI DAN SUMBER POTENSIAL MINYAK/LEMAK (INDUSTRIAL PROSPECT AND POTENCIAL SOURCES OF FAT AND OIL) PROSPEK INDUSTRI DAN SUMBER POTENSIAL MINYAK/LEMAK (INDUSTRIAL PROSPECT AND POTENCIAL SOURCES OF FAT AND OIL) 2 nd Lecture of Fat and Oil Technology By Dr. Krishna P. Candra PS Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA KELOMPOK I KEBIJAKAN PENGEMBANGAN INDUSTRI AGRO DAN KIMIA TOPIK : PENINGKATAN DAYA SAING INDUSTRI AGRO DAN KIMIA MELALUI PENDEKATAN KLASTER KELOMPOK INDUSTRI HASIL HUTAN DAN PERKEBUNAN, KIMIA HULU DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai. meningkatkan perekonomian adalah kelapa sawit. Gambar 1.

BAB I PENDAHULUAN. pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai. meningkatkan perekonomian adalah kelapa sawit. Gambar 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar diberbagai wilayah dan kondisi tanahnya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, salah satu alat dan sumber pembiayaan yang sangat penting adalah devisa. Devisa diperlukan untuk membiayai impor dan membayar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada saat sekarang ini pertumbuhan industri sedang gencar-gencarnya,

I. PENDAHULUAN. Pada saat sekarang ini pertumbuhan industri sedang gencar-gencarnya, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat sekarang ini pertumbuhan industri sedang gencar-gencarnya, seiring dengan pertumbuhan penduduk dunia. Industri tidak dapat dilepaskan dari penggunaan air, baik

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. PT. Samudera Indonesia adalah sebuah perusahaan nasional yang bergerak di

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. PT. Samudera Indonesia adalah sebuah perusahaan nasional yang bergerak di BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian PT. Samudera Indonesia adalah sebuah perusahaan nasional yang bergerak di dalam bidang transportasi kargo dan pelayanan logistik yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat

BAB 1 PENDAHULUAN. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk pada saat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit (elaeis guineensis) menurut para ahli secara umum berasal dari Afrika. Disamping itu ada pula para ahli yang berpendapat bahwa kelapa sawit terbentuk

Lebih terperinci

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara

PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA. Makalah. Disusun Oleh : Imam Anggara PELUANG INVESTASI BISNIS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Makalah Disusun Oleh : Imam Anggara 11.12.5617 11.S1SI.04 STMIK AMIKOM Yogyakarta 2012-03-16 KATA PENGANTAR Makalah ini mengangkat judul tentang Peluang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2014) Gambar 2 Perkembangan Produksi CPO Indonesia

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2014) Gambar 2 Perkembangan Produksi CPO Indonesia 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang berpotensi pada sektor pertanian. Wilayah Indonesia yang luas tersebar di berbagai wilayah dan kondisi tanahnya yang subur

Lebih terperinci

Lampiran 1. Lanjutan. Keterangan : *) sementara **) sangat sementara. Sumber : Ditjenbun dan PPKS, 2006

Lampiran 1. Lanjutan. Keterangan : *) sementara **) sangat sementara. Sumber : Ditjenbun dan PPKS, 2006 Lampiran. Lanjutan LUAS AREA (HA) PRODUKSI CPO (TON) PRODUKSI PKO (TON) TAHUN PR PBN PBS JUMLAH PR PBN PBS JUMLAH PR PBN PBS 990 29,338 372,246 463,093,26,677 376,950,247,56 788,506 2,42,62 75,390 249,43

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan perusahaan besar adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit telah tumbuh BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persaingan antar perusahaan semakin ketat dalam suatu industri termasuk pada agroindustri. Salah satu produk komoditi yang saat ini sangat digemari oleh perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tandan buah segar (TBS) sampai dihasilkan crude palm oil (CPO). dari beberapa family Arecacea (dahulu disebut Palmae).

BAB I PENDAHULUAN. tandan buah segar (TBS) sampai dihasilkan crude palm oil (CPO). dari beberapa family Arecacea (dahulu disebut Palmae). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit merupakan sumber minyak nabati yang pada saat ini telah menjadi komoditas pertanian unggulan di negara Indonesia. Tanaman kelapa sawit dewasa ini

Lebih terperinci

Oleh. Capt. Purnama S. Meliala, MM

Oleh. Capt. Purnama S. Meliala, MM Oleh. Capt. Purnama S. Meliala, MM Data & Fakta Jumlah kapal niaga internasional maupun domestik mencapai 11.300 unit, atau naik sekitar 80 persen dibandingkan dengan posisi Maret 2005 Data Indonesia National

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, 60 BAB I PENDAHULUAN 3.1. Latar Belakang Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Gejolak moneter yang terjadi pada November 1997 dan mencapai Mminasi

PENDAHULUAN Gejolak moneter yang terjadi pada November 1997 dan mencapai Mminasi L PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gejolak moneter yang terjadi pada November 1997 dan mencapai Mminasi pada Mei 1998 telah melumpuhkan pembangunan di Indonesia terutama yang berbasis bahan baku impor. Bersamaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Proses Layanan Bisnis. B. Transportasi

TINJAUAN PUSTAKA. A. Proses Layanan Bisnis. B. Transportasi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Layanan Bisnis Pada umumnya proses layanan bisnis yang digunakan setiap perusahaan jasa penyewaan kapal untuk mendistribusikan barang adalah perusahaan tersebut mengikuti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada

I. PENDAHULUAN. kebutuhan akan minyak nabati dalam negeri. Kontribusi ekspor di sektor ini pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA II. TINJAUAN UMUM MINYAK NABATI DUNIA DAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA 2.1. Tinjauan Umum Minyak Nabati Dunia Minyak nabati (vegetable oils) dan minyak hewani (oil and fats) merupakan bagian dari minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia dilihat dari aspek kontribusinya terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja, penyediaan penganekaragaman menu makanan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia CPO Turunan CPO Jumlah. Miliar) 1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Komoditas kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peranan sangat penting dalam penerimaan devisa negara, pengembangan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah energi yang dimiliki Indonesia pada umumnya dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan energi di sektor industri (47,9%), transportasi (40,6%), dan rumah tangga (11,4%)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN LATAR BELAKANG PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Saat ini, dunia memasuki era globalisasi yang berdampak terhadap sistem perdagangan internasional yang bebas dan lebih terbuka. Keadaan ini memberi peluang sekaligus tantangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang penting di Indonesia, baik dilihat dari devisa yang dihasilkan maupun bagi pemenuhan kebutuhan akan minyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, karena selain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, sektor ini juga menyumbang devisa, menyediakan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PT. MITHA SAMUDRA WIJAYA. Berdiri pada 11 Maret 1999 yang beralamat di Jalan Raya Belawan

BAB II GAMBARAN UMUM PT. MITHA SAMUDRA WIJAYA. Berdiri pada 11 Maret 1999 yang beralamat di Jalan Raya Belawan BAB II GAMBARAN UMUM PT. MITHA SAMUDRA WIJAYA A. Sejarah Singkat PT. Mitha Samudra Wijaya Berdiri pada 11 Maret 1999 yang beralamat di Jalan Raya Belawan Nomor 2 Kecamatan Medan Kota Belawan, perusahaan

Lebih terperinci

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Manajemen rantai pasok, sebagai subyek penelitian, masih dalam masa

BAB 1 PENDAHULUAN. Manajemen rantai pasok, sebagai subyek penelitian, masih dalam masa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manajemen rantai pasok, sebagai subyek penelitian, masih dalam masa pertumbuhan. Hal ini dicerminkan dari penggunaan aplikasi logistik dalam perusahaan, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup adalah salah satu alasan agar setiap individu maupun kelompok melakukan aktivitas bekerja dan mendapatkan hasil sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian merupakan salah satu sektor penggerak utama dalam pembangunan ekonomi. Menurut Soekartawi (2000),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Indonesia terletak di wilayah Jawa Tengah, yaitu Pelabuhan Tanjung Emas

BAB I. Pendahuluan. Indonesia terletak di wilayah Jawa Tengah, yaitu Pelabuhan Tanjung Emas BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Salah satu pelabuhan besar di Indonesia yang dikelola oleh PT Pelabuhan Indonesia terletak di wilayah Jawa Tengah, yaitu Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Pelabuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 25 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Area Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia secara berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001 dan

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Crude palm oil (CPO) merupakan produk olahan dari kelapa sawit dengan cara perebusan dan pemerasan daging buah dari kelapa sawit. Minyak kelapa sawit (CPO)

Lebih terperinci

KAJIAN PERMINTAAN MINYAK GORENG PADA BERBAGAI GOLONGAN PENDAPATAN DAN SEGMEN PASAR DI INDONESIA ')

KAJIAN PERMINTAAN MINYAK GORENG PADA BERBAGAI GOLONGAN PENDAPATAN DAN SEGMEN PASAR DI INDONESIA ') KAJIAN PERMINTAAN MINYAK GORENG PADA BERBAGAI GOLONGAN PENDAPATAN DAN SEGMEN PASAR DI INDONESIA ') Oleh : Delima H. Azahari Darmawan 2), I Wayan Rusastra 2) dan Nizwar Sjafa'at Abstrak Masalah kekurangan

Lebih terperinci

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN

6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN 6 PEMETAAN KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HASIL TANGKAPAN Hasil tangkapan di PPS Belawan idistribusikan dengan dua cara. Cara pertama adalah hasil tangkapan dari jalur laut didaratkan di PPS Belawan didistribusikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Pengembangan tanaman kelapa sawit di Indonesia diawali pada tahun 1848 sebagai salah satu tanaman koleksi kebun Raya Bogor, dan mulai dikembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia modern sekarang suatu negara sulit untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan negara lain. Dengan kemajuan teknologi yang sangat

Lebih terperinci

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi

Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun. dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi intermediasi atau memperlancar lalu lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemudahan ini melahirkan sisi negatif pada perkembangan komoditas pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kemudahan ini melahirkan sisi negatif pada perkembangan komoditas pangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pasar bebas dipandang sebagai peluang sekaligus ancaman bagi sektor pertanian Indonesia, ditambah dengan lahirnya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015 yang diwanti-wanti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kenaikan pendapatan nasional. Cara mengukur pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kenaikan pendapatan nasional. Cara mengukur pertumbuhan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam industri yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat ekonomi yang terjadi. Bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. dalam realita ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak masa kolonial sampai sekarang Indonesia tidak dapat lepas dari sektor perkebunan. Bahkan sektor ini memiliki arti penting dan menentukan dalam realita ekonomi

Lebih terperinci

JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK

JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK Sumber: Studi Kelayakan (FS) Kawasan Agro Industri Jambi (JAIP) JAMBI AGRO INDUSTRIAL PARK (JAIP) telah menjadi komitmen Pemerintah Provinsi Jambi dan Pemerintah Kabupaten terkait pengembangan Kawasan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub

BAB I. PENDAHULUAN. kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agroindustri akan berdampak pada penciptaan kesempatan kerja seluas-luasnya sekaligus pemerataan pembangunan. Data kontribusi sub sektor agroindustri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia sehingga industri kelapa sawit diusahakan secara besar-besaran. Pesatnya perkembangan industri kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor dari sektor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor dari sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor dari sektor pertanian yang dapat meningkatkan devisa negara dan menyerap tenaga kerja. Pemerintah mengutamakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam pengembangan suatu wilayah, terdapat beberapa konsep pengembangan, yaitu : konsep pengembangan wilayah berdasarkan Daerah Aliran Sungai (DAS), konsep pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Musyawarah perencanaan pembangunan pertanian merumuskan bahwa kegiatan pembangunan pertanian periode 2005 2009 dilaksanakan melalui tiga program yaitu :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis kelapa sawit mempunyai peranan yang sangat besar dalam perekonomian Indonesia melalui peningkatan nilai tambah, ekspor, pengurangan kemiskinan, dan penciptaan

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. dalam bidang industri pengolahan minyak goreng. Perusahaan Permata Hijau

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. dalam bidang industri pengolahan minyak goreng. Perusahaan Permata Hijau BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1. Sejarah Perusahaan Perusahaan Permata Hijau Group (PHG) adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang industri pengolahan minyak goreng. Perusahaan Permata Hijau Group

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan BAB 1 PENDAHULUAN

Bab 1 Pendahuluan BAB 1 PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN Transportasi laut atau shipping adalah salah satu komponen pendukung utama perdagangan internasional. Salah satu keunggulan transportasi laut adalah economies of scale dimana transportasi

Lebih terperinci

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. Group atau Astra International Group dimana perusahaan ini bergerak dalam

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. Group atau Astra International Group dimana perusahaan ini bergerak dalam BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Ringkas PTAstra Agro Lestari, Tbk PT. Astra Argo Lestari,Tbk merupakan salah satu anggota Astra Business Group atau Astra International Group dimana perusahaan ini bergerak

Lebih terperinci

BAB 4 IMPLEMENTASI SOLUSI BISNIS Kesimpulan analis kenaikan harga CPO terhadap NPV dan PBP

BAB 4 IMPLEMENTASI SOLUSI BISNIS Kesimpulan analis kenaikan harga CPO terhadap NPV dan PBP BAB 4 IMPLEMENTASI SOLUSI BISNIS 4.1. Kesimpulan analis kenaikan harga CPO terhadap NPV dan PBP Pada PT Agricinal, kenaikan harga CPO seperti yang terjadi beberapa bulan belakangan ini tentunya berpengaruh

Lebih terperinci

dan 3) Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian USU

dan 3) Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian USU ANALISIS HARGA POKOK TANDAN BUAH SEGAR(TBS), CPO DAN INTI SAWIT DI KEBUN GUNUNG BAYU PT. PERKEBUNAN NUSANTARA IV KABUPATEN SIMALUNGUN M. Zainul Arifin SPY 1), Salmiah 2) dan Emalisa 3) 1) Alumni Fakultas

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 3.1 Perkembangan Perusahaan 3.1.1 Sejarah Perusahaan PT. Citra Logam Alpha Sejahtera adalah sebuah perusahaan industri yang bergerak dalam bidang pengolahan logam, dimana

Lebih terperinci

I. U M U M. TATA CARA PANEN.

I. U M U M. TATA CARA PANEN. LAMPIRAN : PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 17/Permentan/OT.140/2/2010 TANGGAL : 5 Pebruari 2010 TENTANG : PEDOMAN PENETAPAN HARGA PEMBELIAN TANDA BUAH SEGAR (TBS) KELAPA SAWIT PRODUKSI PEKEBUN TATA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kelapa sawit merupakan tanaman dengan banyak manfaat. Tanaman ini menjadi bahan baku dalam industri penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi, batas geografis suatu wilayah bukan lagi merupakan entry barrier. Hal ini membawa suatu opportunity sekaligus threat bagi perusahaan. Perusahaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang melimpah, baik berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, iklim yang bersahabat, dan potensi lahan yang besar. Pada

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Minyak goreng sawit adalah salah satu jenis minyak makan yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. Minyak goreng sawit adalah salah satu jenis minyak makan yang berasal dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak goreng sawit adalah salah satu jenis minyak makan yang berasal dari minyak sawit (Crude Palm Oil) yang dihasilkan dari tanaman kelapa sawit. Salah satu produk

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN BISNIS OUTBOUND LOGISTIC PADA DIVISI PENJUALAN PT AGRICINAL PROYEK AKHIR. Oleh: INDRA SANTO NIM:

PENGEMBANGAN BISNIS OUTBOUND LOGISTIC PADA DIVISI PENJUALAN PT AGRICINAL PROYEK AKHIR. Oleh: INDRA SANTO NIM: PENGEMBANGAN BISNIS OUTBOUND LOGISTIC PADA DIVISI PENJUALAN PT AGRICINAL PROYEK AKHIR Oleh: INDRA SANTO NIM: 29106421 Program Magister Administrasi Bisnis Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian adalah perusahaan perusahaan yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia yang termasuk ke dalam sub sektor Transportation. Penentuan

Lebih terperinci