MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN PERAIRAN PESISIR BAGI KEBERLANJUTAN PERIKANAN DAN WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR HAMZAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN PERAIRAN PESISIR BAGI KEBERLANJUTAN PERIKANAN DAN WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR HAMZAH"

Transkripsi

1 MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN PERAIRAN PESISIR BAGI KEBERLANJUTAN PERIKANAN DAN WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR HAMZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Hamzah NIM C

4

5 ABSTRACT HAMZAH. Management Pollution Model for Sustainability Tourism and Fisheries in Coastal Areas of Makassar City. Under direction of ACHMAD FAHRUDIN, HEFNI EFFENDI, ISMUDI MUCHSIN Coastal areas of Makassar have a rapid development growth deployed with various activities including tourism and fisheries. Such resource utilizations have impacted coastal environment particularly its water quality. This research is intended to assess bio-physical condition, water quality, pollution loading, pollution level, land suitability, land carrying capacity for tourism and fisheries activities, and to develop sustainable management model of the activities for the coastal area. Geographical information system was applied to determine land suitability, whereas computation of pollution total loading, assimilative capacity, and pollution index were applied to determine water quality. Sustainable management model was developed using Stella version software. Research results showed that the coastal area of Makassar was generally suitable for tourism and fisheries activities, with exclusion in several locations. Furthermore, pollution loading from Jenneberang and Tallo rivers along with several major water channels was high. Pollution index of Jenneberang river, harbor, and Tallo river stations were low, and pollution index for Tanjung Bunga, Losari beach, Potere, downstream of Tallo river, Panampu channel, Benteng, H Bau, and Jongaya stations were moderate. Amongst measured water quality parameters, only BOD 5 has value below allowed concentration standard, while values of other parameters, specifically COD, NO 3 and PO 4, have surpassed allowed standard, and in some stations have even surpassed assimilative capacity. Modeling result using base, pessimistic, and optimistic models showed that coastal management of Makassar City can sustain if water quality of the area was preserved through pollution loading controls. Keywords: Tourism, fisheries, management, makassar coastal areas,

6

7 RINGKASAN HAMZAH. Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN, HEFNI EFFENDI, ISMUDI MUCHSIN Kota Makassar adalah salah satu kota yang berada di pesisir pantai dengan perkembangan pembangunan yang cepat dengan daya tarik dan potensi yang besar. Perkembangan dan pertumbuhan Kota Makassar tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan bagian pesisir pantai Kota yang sangat dinamis. Hampir semua aspek pemanfaatan untuk pembangunan di Kota makassar dapat kita temui di kawasan pesisir pantai kota, mulai pemanfaatan sumberdaya perikanan, pemukiman, pariwisata, perdagangan, pelabuhan dan pelayaran terjadi kawasan ini. Bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan yang telah dilakukan di lingkungan pantai Kota Makassar antara lain pembukaan kawasan wisata Tanjung Bunga, pembuatan anjungan pantai, pembangunan kawasan pemukiman, pusat perdagangan dan bisnis serta perhotelan. Kegiatan pemanfaatan ini bisa saja berdampak pada perubahan kualitas perairan pantai kota yang diakibatkan dari limbah yang dihasilkan Pencemaran yang terjadi di sepanjang pantai Kota Makassar diduga berasal dari aktivitas pemanfaatan yang ada di sepanjang kawasan tersebut. Selain itu pencemaran yang terjadi berasal dari limbah yang terbawa aliran Sungai Tallo dan Jenneberang serta aliran kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di kawasan pantai. Jumlah dan intensitas limbah yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal berasal dari aktivitas industri, pemukiman dan wisata di daerah daratan. Kualitas perairan juga bergantung pada berbagai faktor diantaranya daya asimilasi lingkungan yang bergantung pada berbagai faktor fisik, biologi dan kimia dari perairan tersebut. Kondisi lingkungan perairan yang baik, akan memberikan dukungan pada aktifitas wisata pantai bagi masyarakat pengunjung yang akan merasa lebih nyaman. Aktifitas perikanan dapat juga dilakukan dengan baik apabila didukung oleh kondisi lingkungan perairan yang baik. Kualitas lingkungan yang kurang baik akibat dari pencemaran yang terjadi pada pesisir pantai Kota Makassar dapat memberikan pengaruh pada aktivitas wisata bahari dan perikanan. Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran dan mengukur beban limbah serta kapasitas asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan. Selain itu untuk mengetahui kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar akibat pencemaran yang terjadi sertamembuat model pengelolaan pencemaran yang terjadi di perairan pesisir untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir kota Makassar Sulawesi Selatan. Jenis dan sumber data yang digunakan yakni data primer bersumber dari pengukuran langsung (insitu) dan laboratorium, observasi dan wawancara langsung dengan contoh atau responden (wisatawan, industri, pengusaha wisata, masyarakat lokal dan staf pemerintah) di lapangan. Data sekunder diperoleh dari

8 studi pustaka dan dari instansi terkait. Kajian kesesuaian kawasan pesisir kota Makassar untuk pemanfaatan wisata dan perkanan menggunakan metode analisis spasial dengan pendekatan Sistim Informasi Geografis (SIG), sedangkan untuk mengetahui kualitas perairan pantai dilakukan perhitungan jumlah beban limbah, kapasitas asimilasi perairan dan mengukur indeks pencemaran dari limbah yang masuk melalui sungai dan kanal. Untuk mengetahui keberlanjutan dari pemanfaatan wisata dan perikanan dianalisi dengan membuat model dinamik dengan bantuan software stella versi yang dibuat dalam 3 skenario yakni basis model, skenario pesismis dan optimis, yang selanjutnya dibuat rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan. Hasil perhitungan daya dukung lahan untuk KJA 8,796 ha, jumlah unit KJA yang dapat di dukung adalah unit. Dengan menggunakan metode budidaya sistem long line dengan ukuran 40 x 60 m dan kapasitas lahan yang memungkinkan 50% dari kapasitas lahan, diperoleh 231 unit pada kawasan seluas 554,25 ha. Daya dukung wisata pantai: P kayangan 15 orang;p Lae-lae 53 orang; Tanjung Bayam, Tanjung Bunga dan Akarena 162 orang; pantai Losari 137 orang; Pantai Barombong 47 orang, sedang daya dukung untuk kegiatan wisata selam pada perairan pantai kota Makassar adalah 344 org/hari. Hasil analisis kualitas perairan menunjukkan bahwa aliran beban limbah yang berasal dari sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta beberapa kanal utama yang bermuara di pantai kota Makassar cukup tinggi. Beban limbah bulanan rata-rata (ton/bulan) adalah BOD , COD , NO , PO Indeks pencemaran yang menunjukkan tingkat pencemaran menunjukkan bahwa Sungai Jenneberang, Muara Sungai Jenneberang, Pelabuhan, Sungai Tallo tercemar ringan, sedangkan stasiun Tanjung Bunga, Pantai losari, Potere, Muara Sungai Tallo, Kanal Panampu, Benteng, H Bau, Jongaya termasuk tercemar sedang.parameter limbah yang belum melampaui kapsitas asimilasi karena mempunyai nilai konsentrasi yang belum melewati batas baku mutu air yang diperkenankan adalah BOD 5. Namun untuk parameter COD, NO 3 dan PO 4 telah melewati batas baku mutu dan beberapa stasiun telah melampaui kapasitas asimilasinya. Hasil analisis model pengelolaan dengan penerapan 3 skenario yakni model basis, skenario pesimis dan skenario optimis menunjukkan bahwa pengelolaan pesisir pantai Kota Makassar dapat berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kualitas lingkungan perairan yang ada dengan penerapan pengendalian beban limbah. Beberapa kebijakan yang penting dilakukan agar pengelolaan di pantai kota Makassar dapat berkelanjutan diantaranya adalah pengendalian jumlah pertumbuhan penduduk, tingkat kesadaran masyarakat akan lingkungan, penyediaan instalasi pengolahan air limbah untuk setiap sumber pencemar, dan peningkatan alokasi anggaran untuk konservasi lingkungan terutama terumbu karang Kata Kunci : Wisata, perikanan,pengelolaan Pencemaran,Pantai kota Makassar

9 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

10

11 MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN PERAIRAN PESISIR BAGI KEBERLANJUTAN PERIKANAN DAN WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR HAMZAH Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

12 Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiyandi, M.Sc Prof. Dr. Ir. H.M. Natsir Nessa, M.S

13 Judul Disertasi Nama NRP Program Studi : Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar : Hamzah : C : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL) Disetujui oleh : Komisi Pembimbing Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si Ketua Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Anggota Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phill Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 19 Januari 2012 Tanggal Lulus :

14

15 PRAKATA Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan karunia dan rakhmat-nya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tema yang penulis kaji adalah pengelolaan pencemaran pantai dengan judul Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Kota Makassar Tekanan terhadap ekosistem pantai kota dan kualitas perairan pesisir terjadi semakin tinggi akibat Pemanfaatan sumberdaya pesisir pantai yang dilakukan untuk kepentingan pembangunan, terutama beban pencemaran. Hal ini sering terjadi untuk wilayah pesisir yang berada dikawasan perkotaan seperti di Pantai Kota Makassar. Model pengelolaan pesisir dirasa sangat perlu untuk dijadikan sebagai acuan pembangunan dalam pengelolaan pesisir sekaligus memperkirakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan pesisir Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si serta Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phill masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan, dan dukungannya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tak lupa ucapan terima kasih buat seluruh staf pengajar pada Program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Ucapan terima kasih pula penulis haturkan kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS, dan pimpinan Universitas Hasanuddin yang telah memberikan izin studi. ucapan terima terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Koji Tanaka dan Prof okamoto Masaaki atas bimbingan dan izin yang diberikan kepada penulis selama menjalani Program Sandwich di Universitas Kyoto. Tak lupa ucapan terima kasih buat rekan-rekan di SPL yang terus memberikan semangat dan berbagai bantuan yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu Ucapan terima kasih tak terhingga dan terhusus kepada istri tercinta Fatmawaty Amry dan anak-anakku tersayang Nurul Inayah Febriani, dan Anisah Jasmine Puspita yang telah memberikan cinta dan kasih sayang,pengertian, kesabaran, doa dan pengorbanannya, mulai dari awal studi sampai disertasi ini terselesaikan. Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran dan perbaikannya akan sangat kami harapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan Bogor, Januari 2012 Hamzah

16

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 26 Januari 1971 sebagai anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan H. Tahang Dg Passanre dan Hj Intang. Selepas lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Watampone tahun 1991, penulis melanjutkan studi di Universitas Hasanuddin Makassar pada Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, lulus pada tahun Pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan S2 pada program pascasarjana Universitas Hasanuddin dan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) untuk Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan studi program Doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2006 dengan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Saat ini penulis berkerja sebagai staf pengajar pada jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar sejak tahun Bidang ilmu yang ditekuni adalah ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Selain itu penulis juga melakukan beberapa penelitian mengenai ekonomi sumberdaya diantaranya di perairan pulau Barrang Lompo serta penelitian-penelitian mengenai terumbu karang dan kaitannya dengan sosial ekonomi pada beberapa lokasi diantara kepulauan Spermonde dan Pulau-pulau Sembilan. Adapun bidang ilmu yang digeluti sejak penelitian disertasi adalah Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan terutama mengenai pencemaran perairan pesisir. Artikel yang rencananya diterbitkan adalah Beban pencemaran dan Kapasitas Asimilasi dalam Pengelolaan Pesisir Kota Makassar Sulawesi Selatan pada jurnal Mutiara universitas Muslim Indonesia Makassar, serta artikel Kesesuaian Lahan dan Daya dukung Lahan untuk Kegiatan Wisata dan Perikanan di Pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan pada jurnal Agrisains Universitas Tadulako. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis

18 xx DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... 1 PENDAHULUAN Halaman 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Pantai dan Pengelolaannya Pencemaran dan Dampak Terhadap Kualitas Perairan Konsep Kesesuain Lingkungan Konsep Daya Dukung Lingkungan Perairan Sistem dan Pemodelan Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Wisata Pantai Pemanfaatan Perikanan Tinjauan Penelitian Terdahulu METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Daerah Penelitian Metode Pengumpulan Data Data Primer Data Sekunder Analisis Data Analisis Pencemaran Analisis Daya Dukung Analisis Sistem dan Pemodelan KARAKTERISTIK UMUM WILAYAH STUDI 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah Kondisi Biofisik Ekosistem Pantai Demografi Pariwisata Potensi dan Permasalahan Kawasan Pantai Losari Makassar Isu-isu Pengelolaan Sepanjang Pantai Kota Makassar Arahan Pengendalian Saat ini PENCEMARAN PANTAI KOTA MAKASSAR 5.1 Beban Pencemaran Perairan Pantai Kota Makassar Tingkat Pencemaran Pantai Kota Makassar xix xxi xxiii xxv

19 xx 5.3 Kapasitas Asimilasi Perairan Pantai Kota Makassar Hubungan Pencemaran Perairan dan Perikanan Pencemaran dan Daya Dukung lingkungan Pantai MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN 6.1 Penyusunan Skenario Model Pembangunan Model Simulasi Model Pengelolaan Basis Model Pengelolaan Pencemaran Skenario Pesimis Skenario Optimis Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Pesisir KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Saran 148 DAFTAR PUSTAKA 149 LAMPIRAN xix

20 xx No DAFTAR TABEL Halaman 1. Baku mutu untuk kegiatan budidaya dan wisata bahari Beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya di bidang perikanan Nilai beberapa parameter kualitas air di muara sungai Tallo dan Jenneberang Jenis dan kelimpahan makrozoobenthos yang ditemukan di muara Sungai Tallo dan Sungai Jenneberang Parameter kualitas air yang diukur dan metode analisisnya Komponen data dan parameter yang diukur Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata Tujuan dan metode analisis model pengelolaan wisata pantai dan perikanan Jumlah penduduk menurut kecamatan, jenis kelamin dan sex rasio di kota Makassar Jumlah penduduk dirinci menurut kecamatan di kota Makassar Beban pencemaran Bulanan dari Sungai. Jenneberang dan Sungai Tallo di pantai Kota Makassar Tingkat pencemaran di lingkungan pantai kota Makassar Pengaruh ph terhadap komunitas biologi perairan Lokasi dan daya dukung untuk wisata pantai Nilai dugaan parameter pada sub-sub model pengelolaan pengelolaan pencemamaran pantai kota Makassar Kebijkan dan program pengelolaan pesisir Kota Makassar berdasarkan analisis model dinamik 145 xix

21 xx xix

22 xx No DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran dinamika dan dampak pencemaran terhadap aktivitas perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar Peta lokasi penelitian model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan wisata dan perikanan Grafik hubungan antara beban limbah dan kualitas air (Dahuri,1999) Diagram lingkar Sebab Akibat (causal loop) model pengelolaan wisata dan perikanan berkelanjutan di pantai Kota Makassar Model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan wisata dan perikanan di pantai Kota Makassar Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Makassar Komposisi beban limbah BOD 5 dan COD berdasarkan aliran sungai dan kanal Komposisi beban limbah NO 3 dan PO 4 berdasarkan aliran sungai dan kanal Kapasitas asimilasi BOD 5 dan COD di pantai Kota Makassar Kapasitas asimilasi NO 3 dan PO 4 di pantai Kota Makassar Sebaran suhu pada berbagai stasiun pengamatan Sebaran ph pada berbagai stasiun pengamatan Sebaran kadar salinitas pada berbagai stasiun pengamatan Sebaran kadar DO pada berbagai stasiun pengamatan Sebaran kadar BOD 5 pada berbagai stasiun pengamatan Sebaran kadar COD pada berbagai stasiun pengamatan Sebaran kadar NO 3 pada berbagai stasiun pengamatan Sebaran kadar PO4 pada berbagai stasiun pengamatan Model pengelolaan pencemaran perairan Makassar Sub model beban limbah BOD Sub model beban limbah COD Sub model beban limbah NO Sub model beban limbah PO Sub Model Ekonomi dan IPAL Hasil Simulasi Beban limbah BOD 5 Skenario Basis Hasil Simulasi Beban limbah COD Skenario Basis Hasil simulasi beban limbah NO 3 skenario basis Hasil simulasi beban limbah PO 4 skenario basis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban 116 limbah BOD 5 skenario basis xix

23 xx 30. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario basis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario basis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO 4 skenario basis Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario basis Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario basis Hasil simulasi beban limbah BOD 5 Skenario pesimis Hasil simulasi beban limbah COD Skenario pesimis Hasil simulasi beban limbah NO 3 Skenario pesimis Hasil simulasi beban limbah PO 4 Skenario pesimis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban Limbah BOD 5 skenario pesimis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban Limbah COD skenario pesimis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 5 skenario pesimis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban Limbah PO 4 skenario pesimis Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis Hasil simulasi beban limbah BOD 5 Skenario optimis Hasil simulasi beban limbah COD Skenario optimis Hasil simulasi beban limbah NO 3 Skenario optimis Hasil simulasi beban limbah PO 4 Skenario optimis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah BOD 5 skenario optimis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario optimis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario optimis Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO 4 skenario optimis Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario optimis Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario optimis. 143 xix

24 xx DAFTAR LAMPIRAN No 1 Data Pengukuran Parameter Fisik di Pantai Kota Makassar..... Halaman 2 Data Pengukuran Parameter Kimia di Pantai Kota Makassar Perhitungan beban Pencemaran bulanan pantai Kota Makassar Perhitungan Indeks Pencemaran Pantai Kota Makassar Sub Model beban Limbah BOD Sub Model beban Limbah COD Sub Model beban Limbah NO Sub Model beban Limbah PO Sub Model Ekonomi IPAL Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No.51/MENLH/10/2004 tentang Baku Mutu air laut untuk 174 wisata Bahari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No.51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri xix

25 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota di dunia dengan penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa terdapat di wilayah pantai (UNESCO, 1993; Edgen, 1993; dalam Kay dan Alder, 1999). Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yang hampir 60% jumlah penduduk kota-kota besar (seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar) menyebar di kawasan pantai (Dahuri, dkk, 2001). Pertumbuhan dan konsentrasi penduduk yang tinggi seperti Kota Makassar mengakibatkan tekanan yang tinggi terhadap lingkungan pantai, sepert pencemaran perairan Berdasarkan rencana tata ruang, wilayah pantai Kota Makassar akan menjadi berbagai kawasan yang dibagi berdasarkan kesesuaian lingkungan dan pemanfaatannya. Kawasan-kawasan tersebut diantaranya kawasan pariwisata, perikanan terpadu, pelabuhan terpadu, bisnis dan perdagangan serta kawasan pemukiman. Dalam perkembangan terakhir, pantai kota Makassar telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan akibat dari adanya kegiatan pembangunan. Kawasan pantai Kota Makassar sendiri telah mengalami perubahan sesuai dengan laju pertumbuhan pembangunan yang mengalami kendala dalam penyediaan lahan untuk pembangunan. Salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan lahan akibat pembangunan adalah dengan melakukan reklamasi. Beberapa daerah di Indonesia juga melakukan kegiatan reklamasi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan akan lahan seperti reklamasi pantai utara Jakarta untuk kawasan pemukiman, reklamasi laut Bali Benoa seluas 300 Ha, Pantai utara semarang serta reklamasi pantai utara Surabaya. Pada Negara-negara maju lainnya, kegiatan reklamasi merupakan salah satu alternative solusi dalam mengantisipasi kebutuhan lahan untuk pembangunan. Salah satu contoh kegiatan reklamasi pantai dan laut yang terkenal adalah Jepang yang membangun bandara internasional Kansai di tengah laut.

26 2 Sejak tahun 2003 pemerintah Kota Makassar menerapkan sistem manajemen pesisir dan lautan terpadu (integrated coastal zone Management) pada pantai kota dengan revitalisasi, yaitu upaya untuk memperbaiki kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya baik tetapi mengalami kemunduran atau degradasi. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra dari suatu tempat) (Danisworo, 2002). Kegiatan revitalisasi yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi perairan dan lingkungan pantai kota agar dapat mendukung aktivitas pemanfaatan. Pendekatan pembangunan pesisir secara terpadu sangat diperlukan mengingat adanya berbagai kegiatan pemanfaatan antara lain pariwisata, perikanan, bisnis dan pemukiman, sehingga diharapkan berbagai jenis kegiatan pemanfaatan pada pantai kota dapat berjalan dengan baik. Kegiatan reklamasi di kawasan pantai kota selain memberikan manfaat ketersediaan ruang untuk pembangunan juga akan menimbulkan sisi negatif berupa perubahan habitat dan ekosistem seperti penurunan kualitas lingkungan, perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi yang akan merusak ekosistem pantai diantaranya terumbu karang dan padang lamun. Akibat-akibat negatif ini juga akan terjadi bila kegiatan pembangunan berupa revitalisasi dan reklamasi tidak dilakukan dengan bijak dan pertimbangan yang matang. Reklamasi dalam artian umum adalah suatu pekerjaan penimbunan tanah/pengurukan pada suatu kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna/masih kosong dan berair menjadi lahan berguna. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Tekanan terhadap ekosistem pantai kota dan kualitas perairan pesisir terjadi semakin tinggi dengan adanya proyek Central Point of Indonesia (CPI). Proyek CPI ini sendiri telah dimulai tahun 2009, dengan membangun berbagai fasilitas di sepanjang pantai kota antara lain museum, kawasan bisnis, taman dan lapangan golf. Luas area yang dibangun dari reklamasi pantai adalah sekitar 157 ha Pada berbagai aktivitas pemanfaatan yang ada di kawasan pantai Kota Makassar seperti kegiatan wisata pantai, pemukiman, pelabuhan, dapat memberikan dampak pada perubahan kualitas perairan. Hal ini dikarenakan

27 3 adanya pencemaran dari limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas yang ada. Limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Fardiaz (1992) mengemukakan bahwa polusi air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, dengan demikian perairan yang sudah tidak lagi berfungsi secara normal dapat dikategorikan sebagai perairan tercemar. Ketchum (1971) lebih jauh menegaskan bahwa pencemaran disebabkan oleh masuknya zat-zat asing ke dalam lingkungan, sebagai akibat dari tindakan manusia, yang merubah sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis lingkungannya. Bahan-bahan pencemar tersebut digolongkan ke dalam tiga tipe yaitu: (1) patogenik (menyebabkan penyakit pada manusia), (2) estetik (menyebabkan perubahan lingkungan yang tidak nyaman berdasarkan panca indera) dan (3) ekomorpik (bahan cemar yang menyebabkan perubahan sifat sifat fisika lingkungan). Pencemaran pada perairan pantai Makassar diduga sangat tinggi karena terdapat 2 sungai besar yakni Jenneberang dan Tallo serta kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di Pantai Kota Makassar. Kualitas perairan dapat diperkirakan dengan membandingkan dengan standar baku mutu kualitas air. Dinamika kualitas air pantai ditentukan oleh laju beban limbah yang masuk pada perairan yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal. Selain itu tingkat pencemaran yang ada juga berasal dari limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas pemanfaatan yang ada disepanjang pantai. Apabila pencemaran berupa limbah yang masuk ke dalam perairan pantai kota tidak tertangani dengan baik, maka diperkirakan daya dukung perairan pantai akan mengalami penurunan dan tidak mampu menopang aktivitas pemanfaatan yang ada Dalam Perda Kota Makassar No 6 tahun 2006 tentang Tata Ruang Wilayah kota Makassar mencakup kawasan wisata pantai dan perikanan. Aktivitas pada kawasan ini sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan ekologis yang ada. Selain dari faktor ekologis, aktivitas pemanfaatan pada kawasan ini juga dipengaruhi oleh faktor lain yakni kondisi sosial dan ekonomi. Berbagai faktor sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi aktivitas wisata dan perikanan diantaranya pertumbuhan penduduk, tingkat kesejahteraan dan tingkat pendapatan

28 4 Faktor sosial seperti jumlah penduduk misalnya selain mempangaruhi banyaknya limbah yang dihasilkan, juga mempengaruhi jumlah pengunjung serta besarnya permintaan terhadap wisata. Jumlah konsumsi ikan yang dihasilkan dari aktivitas perikanan, juga dpengaruhi oleh jumlah penduduk. Adapun faktor ekonomi misalnya tingkat pendapatan akan menentukan kemampuan konsumsi dan daya beli masyarakat yang berkaitan dengan jumlah kunjungan untuk wisata, serta jumlah konsumsi ikan yang dihasilkan dari aktivitas perikanan yang ada di pantai kota Makassar. Jadi keberadaan dan keberlanjutan aktivitas wisata pantai dan perikanan yang ada di Pantai Kota Makassar bukan saja ditentukan oleh kelayakan ekologis berupa daya dukung lingkunan, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi Beban limbah yang masuk ke parairan pesisir Kota Makassar saat ini sedang diusahakan untuk dapat diatasi oleh pemerintah Kota Makassar. Salah satu program yang sedang dilakukan oleh pemerintah adalah membangun sistem pengolahan air limbah (IPAL). Dengan adanya IPAL ini diharapkan beban limbah yang berasal dari penduduk dan industry kecil yang ada di Kota Makassar dapat diatasi, yakni dengan mengalirkan limbah dari rumah penduduk yang dialirkan melalui pipa-pipa limbah untuk diolah di IPAL. Setelah limbah-limbah tersebut diolah sampai memenuhi standar yang aman bagi lingkungan, kemudian akan dibuang ke perairan. Jadi dengan dibangunnya IPAL diharapkan akan membuat lingkungan perairan pesisir Kota Makassar dapat bebas dari limbah. Salah satu kendala yang dihadapi adalah bagaimana IPAL tersebut dapat dibangun oleh pemerintah mengingat biaya pembuatan IPAL yang relatif besar. Mengacu pada uraian di atas, kegiatan pemanfaaan lingkungan pantai untuk wisata dan perikanan terpadu yang ada di pantai Kota Makassar tidak hanya didukung oleh faktor ekologis tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi. Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara aktivitas pemanfaatan lingkungan pantai untuk wisata dan perikanan dengan kualitas perairan dan ekosistem serta kondisi sosial dan ekonomi. Kualitas air yang ada di perairan pantai yang baik, kondisi sosial dan ekonomi yang kondusif akan mendukung aktivitas perikanan dan wisata pantai, sebaliknya wisata pantai dan aktivitas perikanan yang ada juga memberikan kontribusi terhadap kualitas

29 5 perairan pantai dari limbah atau sampah yang dihasilkan. Untuk itu diperlukan suatu penelitian yang diarahkan untuk mengelola dan mengatasi beban dan dampak pencemaran terhadap lingkungan pesisir Kota Makassar. Selain itu dibutuhkan suatu model dan rancangan pengelolaan pencemaran yang baik untuk aktivitas wisata dan perikanan yang berkelanjutan di Kota Makassar. 1.2 Perumusan Masalah Kota Makassar adalah salah satu kota yang berada di pesisir pantai dengan perkembangan pembangunan yang cepat dengan daya tarik dan potensi yang besar. Perkembangangan dan pertumbuhan Kota Makassar tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan bagian pesisir pantai Kota yang sangat dinamis. Hampir semua aspek pemanfaatan untuk pembangunan di Kota Makassar dapat kita temui di kawasan pesisir pantai kota, mulai pemanfaatan sumberdaya perikanan, pemukiman, pariwisata, perdagangan, pelabuhan dan pelayaran terjadi kawasan ini. Pengelolaan sumberdaya pesisir pantai Kota Makassar apakah dapat dilakukan dengan konsep dan tujuan pemanfaatan yang terpadu dan berkelanjutan seperti yang dikemukakan Dahuri (2001) Pemanfaatan yang ada di pantai Kota Makassar selama ini mengalami berbagai perkembangan yang sangat dinamis. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya di sepanjang pantai kota Makassar. Bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan yang telah dilakukan di lingkungan pantai Kota Makassar antara lain pembukaan kawasan wisata Tanjung Bunga, pembuatan anjungan pantai, pembangunan kawasan pemukiman, pusat perdagangan dan bisnis serta perhotelan. Kegiatan pemanfaatan ini bisa saja berdampak pada perubahan kualitas perairan pantai kota yang diakibatkan dari limbah yang dihasilkan Pencemaran di sepanjang pantai Kota Makassar diduga berasal dari aktivitas pemanfaatan yang ada di sepanjang kawasan tersebut. Selain itu pencemaran yang terjadi berasal dari limbah yang terbawa aliran Sungai Tallo dan Jenneberang serta aliran kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di kawasan pantai. Jumlah dan intensitas limbah yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal berasal dari aktivitas industri, pemukiman dan pertanian di daerah daratan.

30 6 Pencemaran yang terjadi di sepanjang pantai Kota Makassar dan kontribusi limbah yang dibawa oleh aliran sungai dan kanal akan mempengaruhi kualitas perairan. Kualitas perairan juga bergantung pada berbagai faktor diantaranya daya asimilasi lingkungan yang bergantung pada berbagai faktor fisik, biologi dan kimia dari perairan tersebut. Kondisi lingkungan perairan yang baik, akan memberikan dukungan pada aktifitas wisata pantai bagi masyarakat pengunjung yang akan merasa lebih nyaman. Aktifitas perikanan dapat juga dilakukan dengan baik apabila didukung oleh kondisi lingkungan perairan yang baik Kualitas lingkungan yang kurang baik akibat dari pencemaran yang terjadi pada pesisir pantai Kota Makassar dapat memberikan pengaruh pada aktivitas wisata bahari dan perikanan. Pengaruh yang terjadi bukan saja pada penurunan daya dukung terhadap aktivitas perikanan dan wisata, akan tetapi sekaligus dapat mengancam keberlanjutannya. faktor sosial dan ekonomi diantaranya laju pertumbuhan penduduk, industri dan perhotelan serta pemukiman juga turut mempengaruhi keberlanjutan dari kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar. Dari uraian permasalahan tersebut diatas maka diperlukan suatu penelitian tentang pengelolaan pencemaran di perairan pesisir dan mengukur tingkat keberlanjutan wisata pantai dan perikanan di Kota Makassar yang dirumuskan sebagai berikut : a) Bagaimana tingkat pencemaran dan beban limbah serta kapasitas asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan b) Bagaimana pengaruh pencemaran terhadap kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar c) Apakah kegiatan wisata pantai dan perikanan dapat berkelanjutan dan bagaimana membentuk model pengelolaan pencemaran di pantai Kota Makassar 1.3 Tujuan dan manfaat Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya pantai kota terutama yang berkaitan dengan

31 7 pemanfaatan untuk kegiatan pembangunan di sepanjang pantai kota akibat dari pencemaran yang ditimbulkan adalah sebagai berikut : a) Mengetahui tingkat pencemaran dan mengukur beban limbah serta kapasitas asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan b) Mengetahui kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar akibat pencemaran yang terjadi c) Membuat model pengelolaan pencemaran yang terjadi di perairan pesisir untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Pengembangan ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, terutama pengelolaan untuk mengatasi pencemaran di kawasan perikanan dan wisata. 2. Sumber informasi bagi pemerintah dan stakeholder lain dalam upaya pengelolaan wisata dan perikanan yang berkelanjutan di Kota Makassar. 1.4 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari dinamika dan dampak pencemaran terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya pantai bagi kegiatan perikanan dan wisata pantai adalah sebagai berikut :

32 8 Pengelolaan Pesisir Kota Makassar Pertumbuhan penduduk Tata ruang pesisir Kota Makassar Aktivitas daratan (Up land) Pemukiman Penduduk Wisata Pantai Perikanan Terpadu Industri dan Perdagangan Perubahan Habitat Pencemaran Pencemaran dari sungai dan Kanal Lingkungan Pesisir Perikanan Wisata Daya Dukung (Kelayakan ekologis) Desain Model pengelolaan pencemaran Wisata pantai dan Perikanan Berkelanjutan Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak Pencemaran terhadap aktivitas perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan

33 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Pantai dan Pengelolaannya Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif di perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik dan unik, karena pada mintakat ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang berasal daratan, perairan laut dan udara. Kekuatan dari darat dapat berwujud air dan sedimen yang terangkut sungai dan masuk ke perairan pesisir, dan kekuatan dari batuan pembentuk tebing pantainya. Kekuatan dari darat ini sangat beraneka. Sedang kekuatan yang berasal dari perairan dapat berwujud tenaga gelombang, pasang surut dan arus, sedangkan yang berasal dari udara berupa angin yang mengakibatkan gelombang dan arus sepanjang pantai, suhu udara dan curah hujan (Davies, 1972 in Soetikno, 1993). Wilayah Pesisir memiliki sumberdaya alam yang unik, dinamis, dan produktivitas yang tinggi, terdiri dari sumberdaya yang dapat pulih, sumberdaya yang tidak dapat pulih, serta jasa jasa lingkungan (Bengen, 2002; Bengen, 2004). Beberapa ekosistim utama yang terdapat di wilayah pesisir adalah estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu, berpasir, dan berlumpur), dan pulau kecil (Bengen, 2002). Menurut Bengen (2004) wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Selain itu, wilayah ini juga memiliki aksesibilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti transportasi dan kepelabuhanan, industri dan permukiman. Namun demikian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, daya dukung ekosistem pesisir dalam menyediakan segenap sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan terancam rusak. Selanjutnya Bengen (2004) menyatakan pengalaman membangun sumberdaya pesisir masa lalu, selain telah menghasilkan berbagai keberhasilan, juga telah menimbulkan berbagai permasalahan ekologis dan sosial-ekonomis yang justru dapat mengancam kesimanbungan pembangunan nasional. Secara ekologis, banyak kawasan pesisir, terutama di Pesisir Timur Sumatera, Pantai

34 10 Utara Jawa, Bali dan Makasar, yang telah terancam kapasitas keberlanjutannya akbibat adanya pencemaran, degradasi fisik habitat, over-eksploitasi sumerdaya alam, dan konflik penggunaan lahan (ruang) pembangunan. Secara sosialekonomi, sebagian besar penduduk pesisir masih merupakan kelompok sosial termiskin di tanah air, dan kesenjangan pembangunan antar wilayah masih sangat besar. Berbagai permasalahan yang muncul di kawasan pesisir sebagaimana dikemukakan di atas ternyata banyak diakibatkan oleh faktor eksternal yang terjadi di luar kawasan pesisir itu sendiri (baik dari daratan maupun lautan), sehingga berbagai aktivitas yang dilakukan di kedua kawasan tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak terhadap kawasan pesisir. Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan, misalnya akibat adanya bahan pencemar atau sedimen yang masuk ke pesisir atau adanya abrasi pantai, sangat diperlukan pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan keterkaitan kawasan, bagi keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir (Bengen, 2004). Secara konseptual pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam skala tertentu setiap pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan lautan itu sendiri. Perubahanperubahan itu tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan lautan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak mernpertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir (Dahuri et al, 1996). Kegiatan pembangunan, terutama yang melakukan pembukaan atau pemanfaatan lahan dan atau mengubah suatu bentuk bentang alam secara fisik di wilayah pesisir sudah tentu harus diukur dan dilakukan penilaian untuk menentukan keberlanjutan penggunaan atau pemanfaatan lahan tersebut. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir yang juga melakukan suatu penataan dan peletakan infrastruktur yang berfungsi untuk menunjang kegiatan pembangunan

35 11 seperti pengembangan kawasan untuk pemukiman, rekreasi, budidaya, serta kegiatan lainnya, apabila tidak diperhitungkan dengan baik akan mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan yaitu terjadinya erosi tanah, menurunnya tingkat estetika lingkungan, pencemaran, menurunnya jumlah dan jenis populasi satwa, serta berbagai bentuk vandalism lainnya. Karena itu, pembangunan atau pemanfaatan di wilayah pesisir harus betul betul dilakukan secara efisien, efektif, optimal, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukung lingkungan untuk meminimalisasi kerusakan atau membatasi penggunaan sumberdaya pesisir 2.2 Pencemaran dan Dampak Terhadap Kualitas Perairan Menurut Dahuri et al. (1996); Dahuri (1999) untuk keberlanjutan pemanfaatan, salah satu dimensi yang harus diperhatikan adalah dimensi ekologis, dengan tiga persyaratan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas assimilasi dan daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan. Keharmonisan spasial menuntut perlunya penyusunan tata ruang pembangunan wilayah secara tepat dan akurat berdasarkan potensi sumberdaya yang ada Dampak pembangunan terhadap lingkungan mempunyai dua arti. Pertama adalah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah pembangunan, dan kedua perbedaan antara kondisi lingkungan yang diperkirakan akan ada dampak tampa adanya pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah adanya pembangunan. Jadi dampak dapat bersifat negatif dan bisa positif. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Sorensen et.al.(1999) dalam Ismail (2000), bahwa antar sektor-sektor kegiatan pemanfaatan yang ada di wilayah pesisir dan lautan saling mempengaruhi dan menimbulkan dua jenis dampak, yaitu dampak positif dan negatif Pencemaran air merupakan akibat logis dari pemanfaatannya, sehingga tidak dapat ditiadakan, namun dapat dikurangi dengan cara-cara pengolahan tertentu (Suriawiria, 1993). Limbah yang dibuang langsung ke perairan bebas tanpa dikelola terlebih dahulu dapat menimbulkan pencemaran yang menyebabkan gangguan serius pada lingkungan, bahkan dapat mematikan hewan, tumbuhan dan manusia (Dix, 1981).

36 12 Dengan pertumbuhan peduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan yang sangat tinggi di wilayah pesisir untuk berbagai peruntukkan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dan lain sebagainya), maka tekanan ekologis terhadap ekoistem dan sumberdaya pesisir akan semakin meningkat ( Bengen, 2004). Meningkatnya tekanan ini sudah tentu akan mengancam keberadaan dan kelansungan ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir baik secara langsung (misal kegiatan konversi lahan) maupun tidak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah dari berbagai kegiatan pembangunan). Pencemaran dapat mengubah struktur ekosistem dan mengurangi jumlah spesies dalam suatu komunitas, sehingga keragamannya berkurang. Dengan demikian indeks diversitas ekosistem yang tercemar selalu lebih kecil dari pada ekosistem alami. Diversitas di suatu perairan biasanya dinyatakan dalam jumlah spesies yang terdapat di tempat tersebut. Semakin besar jumlah spesies akan semakin besar pula diversitasnya. Hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah individu dapat dinyatakan dalam bentuk indeks diversitas.(astirin,dkk. 2001) Pencemaran organik merupakan limbah paling banyak di perairan yang sumbernya berasal dari pemukiman, pertanian, industri, pengolahan makanan, pengolahan material alam (tekstil). Kebanyakan limbah organik mengandung sebagian besar bahan tersuspensi. Pencemaran oleh bahan organik dapat ditelusuri dari kandungan oksigen terlarut (DO) di air dan sedimen. Persyaratan batas maksimum yang aman bagi budidaya perikanan adalah COD = 50 ppm (Poernomo, 1992) Menurut Sastrawijaya (2000), adanya amonia merupakan indikator masuknya buangan permukiman. Alerts dan Santika (1987) menyatakan amonia dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi zat organik secara mikrobiologis yang berasal dari buangan pemukiman penduduk. Pendapat ini didukung oleh Kumar De(1997) yang menyatakan bahwa limbah domestik mengandung amonia. Amonia tersebut berasal dari pembusukan protein tanaman/hewan dan kotoran. Pencemaran dapat berdampak pada suplai air minum, ekosistem, ekonomi, serta kesehatan manusia dan keamanan social (social security). Sekitar 3 4 juta jiwa penduduk dunia meninggal setiap tahun disebabkan oleh waterborne disease,

37 13 termasuk didalamnya lebih dari 2 juta jiwa anak-anak meninggal karena diare. Negara-negara berkembang sangat rentan terkena dampak negatit dari pencemaran khususnya perkampungan miskin dan kotor (Andreas, et al., 2001) 2.3 Konsep Kesesuaian Lingkungan Perairan Dalam proses penentuan pola pemanfaatan ruang, menentukan lokasi yang secara biogeofisik sesuai adalah faktor penting yang dapat menjamin kelangsungan kegiatan pada lokasi yang ditentukan. Penempatan kegiatan pembangunan di lokasi yang sesuai, tidak saja mencegah kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan ekonomi kegiatan tersebut. Tahap pertama proses perencanaan pola pemanfaatan ruang adalah penentuan kelayakan biogeofisik dari wilayah pesisir dan laut. Pendugaan kelayakan biogeofisik dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biogeofisik setiap kegiatan, kemudian dipetakan (dibandingkan dengan karakteristik biogeofisik wilayah pesisir itu sendiri). Dengan cara ini kemudian ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) peruntukan di wilayah pesisir dan laut. Penentuan kelayakan biogeofisik ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) seperti Arc View (Kapetsy et al, 1987). Informasi dasar biasanya dalam bentuk peta tematik, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biogeofisik ini tidak saja meliputi karakteristik daratan dan hidrometeorologi seperti kelerengan, tutupan lahan, peruntukan lahan, dan lain-lain tetapi juga oseanografi dan biologi perairan pesisir dan laut seperti pasang surut, arus, kedalaman, ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan lain-lain. Berdasarkan fungsinya, ruang dapat dikelompokkan menjadi kawasan Iindung dan budidaya yang masing-masing memiliki persyaratan biogeofisik. Kawasan Iindung merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia kecuali penelitian ilmiah atau seremoni keagamaan/budaya oleh masyarakat lokal dan harus dapat diterima dan didukung oleh masyarakat lokal. Sedangkan kawasan budidaya dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan sesuai dengan kemampuan lahannya (Dacles et al., 2000).

38 14 Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori rekreasi pantai, meliputi (Hutabarat dkk. 2009): 1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25 o ) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir) (Wong 1991). 2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km) (Wong 1991). 3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan). Kualitas perairan untuk budidaya laut dan pariwisata di analisis dengan berpedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, seperti yang tertera pada Tabel 1 : Tabel 1 Baku mutu untuk kegiatan budidaya dan wisata bahari No Baku Mutu Air Laut Parameter Satuan Wisata Bahari Budidaya Laut 1 DO mg/l >5 >5 2 ph - a) 7-8,5 7-8,5 3 Salinitas %o 1b) Alami 1b) Alami 4 Nitrat mg/l 0, Fosfat mg/l BOD5 mg/l TSS mg/l 20 e) coral:20 e) mangrove:80 e) lamun:20 8 Suhu ºC 1c) Alami 1c) Alami 9 Kecerahan m >6 d) coral:20 mangrove:- lamun:>3 d) Sumber: : Lampiran II dan III SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Keterangan: 1. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, berva riasi setiap saat (siang, malamdan musim) a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0.2 satuan ph b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata -rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 oc dari suhu alami

39 15 d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic (lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis) e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman Tabel Baku mutu ini akan dijadikan sebagai acuan penyusunan matriks kesesuaian, antara lain untuk matriks kesesuaian budidaya laut terdiri ph 6-9, DO >5 mg/lt, salinitas ppm, fosfat mg/lt, nitrat mg/lt, suhu permukaan laut C, kecepatan arus <=0.5 m/dt, dan kecerahan >5 m. Sementara itu untuk wisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu kesesuaian pariwisata pantai dan pariwisata bahari, untuk kesesuaian pariwisata pantai meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/l, kecerahan >5 m, kecepatan arus <=0.3 m/det, dan material dasar perairan berpasir, sedangkan untuk kesesuaian pariwisata bahari meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/lt, dan kecerahan >5 m kecepatan arus <=0.5 m/det, tutupan komunitas karang >75% (Bakosurtanal,1996; Dahyar, 1999; Arifin, 2001; Soselisa, 2006). 2.4 Konsep Daya Dukung Lingkungan Perairan Sejak pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan, Odum (1971) menyatakan bahwa daya dukung merupakan pembatasan penggunaan dari suatu areal yang mempunyai beberapa faktor alam dan lingkungan. Handee et.al (1978), dalam tulisannya di Wilderness Management, menyatakan bahwa daya dukung merupakan suatu ukuran batas maksimal penggunaan suatu area berdasarkan kepekaan atau toleransinya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alami seperti ketersediaan makanan, ruang untuk tempat hidup dan tempat berlindung atau air. Knudson (1980) menyatakan bahwa daya dukung merupakan penggunaan secara lestari dan produktif dari suatu sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran kemampuannya. Konsep daya dukung ini dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan sehingga kelestarian, keberadaan, dan fungsinya dapat tetap terwujud dan pada

40 16 saat yang bersamaan, masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut akan tetap berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan (Intergenerational Welfare). Konsep dan penghitungan terhadap daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan juga awalnya digunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi dalam suatu unit ekologis (ekosistem). Sebagai contoh dari beberapa penilaian yang umum dilakukan terhadap penghitungan daya dukung ini adalah : (1) penghitungan terhadap ecological capacity atau daya dukung ekologis yaitu jumlah individu yang yang dapat didukung oleh sutau habitat dan; (2) penghitungan terhadap grazing capacity yaitu jumlah individu (biota) dalam keadaan sehat dan kuat yang dapat didukung oleh ketersediaan pakannya dalam suatu areal tertentu. Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan juga kebutuhan manusia akan sumberdaya alam dan jasa jasa lingkungan dari wilayah tersebut. Misalnya, daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural forces), seperti bencana alam atau dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan melalui pengelolaan atau penerapan teknologi. Contoh lain adalah produktivitas tambak udang yang hanya mengandalkan alam tanpa teknologi (tradisional) adalah sekitar 200 kg/ha/tahun, akan tetapi dengan penerapan teknologi pengelolaan tanah dan air, manajemen pemberian pakan produktivitas dapat meningkat 6 ton/ha/thn. Konsep daya dukung yang paling mendasar adalah menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumber daya dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut. Penggunaan konsep daya dukung lingkungan tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dalam suatu kondisi populasi atau sumber daya. Walau kadang-kadang tidak dinyatakan secara ekspilisit, proses penentuan suatu daya dukung lingkungan untuk berbagai aktivitas memerlukan suatu nilai justifikasi mengenai apa yang akan dioptimumkan. Konsep daya dukung ini sudah dikemukakan oleh banyak ilmuwan sejak tahun 1940, dimana secara keseluruhan mempunyai kerangka acuan yang tidak

41 17 terlalu banyak mengalami perubahan. Hal yang terpenting dari definisi konseptual daya dukung yang diajukan adalah pemeliharaan dan pengendalian integritas dari suatu sumberdaya yang memberikan tingkat kesejahteraan tertinggi dan berkualitas bagi masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut. Konsep ini pada tahapan dan perkembangan selanjutnya juga digunakan untuk pengelolaan/ pengembangan wilayah pesisir dan laut (ekowisata, budidaya (tambak dan laut), pulau pulau kecil) serta pengembangan kegiatan lainnya di wilayah pesisir dan laut. Tujuan dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan atau melestarikan potensi alami dari kawasan tersebut pada batas batas penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan. Batasan daya dukung untuk populasi manusia dinyatakan oleh Soerianegara (1977), yaitu merupakan jumlah individu yang dapat didukung oleh satuan luas sumberdaya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera. Daya dukung mempunyai dua komponen utama yang harus diperhatikan (Soerianegara, 1977), yaitu : 1. Besarnya atau jumlah populasi mahluk hidup yang akan menggunakan sumberdaya tersebut pada tingkat kesejahteraan yang baik 2. Ukuran atau luas sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada populasi manusia pada tingkat yang lestari. Selanjutnya Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu (destorasi). Sementara, Kechington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu yang panjang. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya orgnanisme hidup dalam jumlah atau massa yang dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung merupakan ultimate constrain yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, atau penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas. Sistem daya dukung lingkungan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia

42 18 yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau penggunaan energi (Clark, 1974). Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993). Piper et al (1982 in Meade, 1989) mendefinisikan daya dukung sebagai suatu sistem yang dapat mendukung beban hewan yang dinyatakan sebagai pound ikan per kubik air (lb/ft 3 ). Haskel (1995 in Meade, 1989) membuat dua asumsi yang menyangkut daya dukung sebagai berikut : 1. Daya dukung yang dibatasi oleh laju konsumsi oksigen dan akumulasi metabolit 2. Laju konsumsi oksigen dan akumulasi tersebut sebanding dengan jumlah pakan yang dimakan per hari Daya tampung kawasan pesisir adalah kemampuan badan air atau perairan di kawasan tersebut dalam menerima limbah organik termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk mendaur ulang atau mengasimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat terganggunya keseimbangan ekologisnya (Krom, 1996). Sedangkan daya dukung suatu lahan perairan untuk budidaya udang adalah biomassa udang yang dapat hidup di dalamnya secara berkesinambungan untuk ukuran dan situasi tertentu, dan bila keadaan lahannya berubah, daya dukungnya juga akan berubah. Faktor penentu daya dukung lingkungan perairan adalah volume perairan, kualitas perairan, dinamika perairan, dan beban pencemar yang ada /limbah dari hulu. Daya dukung perairan pesisir untuk menerima limbah dipengaruhi oleh beberapa faktor (Rompas, 1998) antara lain : (1) kualitas air perairan pesisir; (2)dinamika perairan; (3) tingkat kesuburan perairan (oligotrofik, mesotrofik, atau eutrofik); (4) beban limbah; (5) jenis dan jumlah mikroba; (6) aktivitas manusia di pesisir. Karena itu, pengukuran kualitas air perairan pesisir penerima limbah atau tingkat pencemarannya sangat penting untuk memperkirakan level pengenceran dan kemampuan asimilasinya, apakah sudah berada pada level rendah (tingkat pencemaran tinggi) atau masih pada level tinggi (tingkat pencemaran rendah).

43 19 Penentuan besarnya nilai daya dukung juga dapat dilakukan dengan membangun suatu model hubungan kuantitatif antara faktor pembatas dan peubah pertumbuhan, dimana nilai maksimum dan minimum pada suatu tingkat pertumbuhan akan ditentukan pada faktor pembatas tertentu (Ortolano, 1994). Menurut Hendee et al. (1978), bahwa penilaian kemampuan suatu kawasan berdasarkan pendekatan daya dukung cenderung merupakan suatu probabilistic concept atau teori kemungkinan jadi bukan merupakan suatu yang bersifat absolut/ mutlak karena hasil perhitungan yang diperoleh merupakan nilai optimasi atau perpaduan dari kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut denga tingkat pengelolaan yang tersedia atau yang mungkin dapat dilakukan. Selanjutnya dikatakan oleh Hendee et al (1978) bahwa penggunaan IPTEK yang tidak bijaksana dan tidak terencana dengan baik dalam upaya untuk mengatasi kerusakan sumberdaya justru akan menghancurkan lingkungan. Proses penentuan daya dukung lingkungan untuk suatu aktivitas ditentukan umumnya dengan dua cara, yaitu : (1) suatu gambaran hubungan antara tingkat kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan dan pengaruhnya terhadap parameter-parameter lingkungan, dan (2) suatu penilaian kritis terhadap dampak-dampak lingkungan yang diinginkan dalam rejim manajemen tertentu. Daya dukung ekologis adalah maksimum (jumlah maupun volume) dalam penggunaan suatu ekosistem atau kawasan baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan didalamnya sebelum terjadi suatu penurunan kualitas ekologis kawasan tersebut (Supriharyono, 2002). Scones dalam Prasetyawati (2001) mengatakan juga bahwa daya dukung ekologis (ecological carrying capacity) adalah jumlah maksimum hewan hewan pada suatu lahan (tambak) yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor faktor lingkungan seperti suhu, ph, salinitas, CO, dan kandungan oksigen. Menurut Piagram (1983) bahwa daya dukung ekologis dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan didalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut, termasuk lingkungan alami yang dimilikinya. Kawasan yang menjadi perhatian

44 20 utama adalah berbagai kawasan yang rapuh (fragile) dan yang tidak dapat pulih (unrenewable) seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetlands) antara lain rawa payau, danau, laut, pesisir, dan sungai. Ekosistem yang digunakan sebagai dasar dari penilaian daya dukung dinyatakan sebagai suatu sistem (tatanan) kesatuan yang utuh antara semua unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Odum (1971) menyatakan bahwa ekosistem adalah suatu sistem dalam alam yang mengandung makhluk hidup (unsur biotik) dan lingkungannya yang terdiri dari zat zat yang tidak hidup (unsur abiotik) dan saling mempengaruhi dan diantara keduanya terjadi pertukaran zat atau energi yang dperlukan dalam dan untuk mempertahankan kehidupannya. Kondisi ekosistem ini harus dipertahakan walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik, karena setiap biota yang ada dan hidup didalamnya akan menjadi tua dan mati dan selanjutnya akan digantikan oleh biota lainnya yang sejenis. Namun apabila ada gangguan yang melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses pemulihannya akan memakan waktu yang sangat panjang. Daya dukung fisik. Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal tersebut tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (Piagram, 1983). Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya ruang. Daya dukung fisik pada hakekatnya juga merupakan suatu bentuk ukuran kapasitas rancangan dan juga model rancangan untuk berbagai infrastruktur yang diakomodasikan pada suatu kawasan. Sebagai contoh misalnya model konservasi yang akan dilakukan pada kawasan yang mengalami erosi yang berlebihan. Tingkat atau jumlah erosi tanah yang terjadi pada kawasan ini merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung kawasan tersebut secara fisik. Penggunaan umum dari daya dukung fisik ini adalah penghitungan terhadap jumlah populasi penduduk disuatu kawasan berdasarkan ukuran dan kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Contoh penghitungan lain yang umum untuk daya dukung fisik ini adalah ketersediaan air bersih pada pulau pulau kecil untuk mendukung pengembangannya sebagai

45 21 areal atau kawasan wisata yang reaktif, ketersediaan air irigasi untuk persawahan produktif, jumlah sarana transpor dalam suatu kawasan serta daya dukung tanah yang dinyatakan berdasarkan ukuran kemampuan dan kesesuaiannya. 2.5 Sistem dan Pemodelan Fauzi (2005) menyatakan bahwa model adalah representasi dari suatu realitas dari seorang pemodel, dengan kata lain, model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecah suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut modelling atau pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis. Selanjutnya dikatakan bahwa proses interpretasi dunia nyata tersebut ke dalam dunia model, berbagai proses transformasi atau model dapat dilakukan. Ada model yang lebih mengembangkan interpretasi verbal (bahasa), ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa simbolik seperti bahasa matematika sehingga menghasilkan model kuantitatif. Untuk menjembatani dunia nyata yang dalam presepsi manusia bersifat kualitatif menjadi model yang bersifat kuantitatif diperlukan proses transformasi berupa alat pengukuran dan proses pengembilan keputusan Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi, 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk membentuk sinergi. Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno,1999). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2)

46 22 dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1999). Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1) Tahap seleksi konsep dan variabel Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitive map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap asumsi asumsi, serta konsistensinya terhadap variable dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang. 2) Konstruksi model (tahap pengembangan model) Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) kedalam model dinamiknya dengan bantuan soft ware tool Powersim versi 2.5 berbasis sistem operasi Windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi. 3) Tahap analisis sensivitas Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis kebijakan, kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model

47 23 Menurut DePinto, et al.(2004) yang melakukan pemodelan terhadap total maksimum load dari limbah dimana ditemukan bahwa model yang baik mempunyai beberapa syarat diantaranya : definisi masalah dan pembangunan model konseptual, sintesa data, pilihan model dan pembenaran, penjabaran teoritis, konfigurasi spesifik, okasi dan dugaan kunci, kalibrasi dan strategi konfirmasi dan hasil Kerangka berfikit epistimologi dalam ICZM saling sinergis dengan karakteristik wilayah pesisir yang merupakan suatu sistem dinamis dan saling terkait antara sistem manusia / komunitas dengan sistem alam sehingga kedua sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran (magnitude), sehingga diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan pesisir secara terpadu. Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma Social- Ecological System disingkat SES. (Adrianto and Aziz, 2006). Social-Ecological System (SES) didefinisikan sebagai : "a... system of biological unit / ecosystem unit linked with and affected by one or more social systems" (Anderies, et.al, 2004 dalam Andrianto, 2006). Salah satu contohnya adalah konsep Coastal Livelihood System Analysis (CLSA) yang dikembangkan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, di mana aspek sistem alam (ekologi/ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan 2.6 Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Karakteristik lingkungan, modeling, dan proses pengambilan keputusan melalui evaluasi berdasarkan survey lapangan dengan sistem informasi geografis terdapat tiga tahapan antara lain (Carver et al., 1996) : (1) Pra-lapangan, koleksi data/prosessing terhadap sumber-sumber data primer dan sekunder ; (2) lapangan, koleksi data di lapangan, verifikasi, update dan modeling ; (3) pengembangan sistem pengambilan keputusan secara spasial (SDSS; Spatial Decision Support System), merupakan penggunaan data base dan model yang dikembangkan untuk strategi pengembilan keputusan Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Sistem komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia

48 24 (personal) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI, 1995). Yang paling utama adalah kemampuan SIG menyajikan data spasial yang dilengkapi dengan informasi sebab SIG dapat menangkap data spasial baik dari peta ataupun data atribut yang memiliki informasi geografis. SIG juga mampu menerima peta dari berbagai skala dan proyeksi dan mentransformasi menjadi skala yang standar sehingga hasilnya yang diperoleh juga menjadi standar. Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang perikanan, pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi bahkan pada bidang politik. Inderaja disefenisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tampa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dalam indera sistem satelit, informasi keadaan permukaan bumi direkam oleh sensor yang dapat menangkap sinyal gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh penampakan atau gejala yang terdapat dipermukaan bumi. Sensor yang dipasang pada satelit harus peka terhadap beberapa panjang gelombang elektromagnetik. Sinyal dapat memberikan data dan informasi tentang keadaan permukaan bumi. Sinyal tersebut ditangkap dan kemudian dikirim ke stasiun bumi atau direkam terlebih dahalu bila satsiun yang ada tidak dapat dijangkau (lillesand & Kiefer, 1990). Menurut Hartanto (1995) paling tidak terdapat beberapa fungsi inderaja dalam perencanaan tata ruang di wilayah pesisir dan lautan ; pertama memberikan informasi perubahan keruangan (spatial) dari waktu ke waktu. Kedua, menggambarkan ruang saat ini untuk berbagai kegiatan. Mendapatkan data awal yang akan ditransformasikan kedalam perangkat lain seperti GIS (Sistem informasi geografis) untuk analisis perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan lautan lebih lanjut. Keempat memberikan data luasan setiap penggunaan ruang dengan menggunakan software tertentu (IDRISI, ERDAS, ErMapper), sehingga

49 25 akan memberikan gambaran yang lebih jelas dalam peruntukan ruang sesuai dengan daya dukung ruang pada wilayah pesisir dan lautan. Dan kelima, memudahkan perencanaan dalam melakukan pemetaan (manual maupun digital), sehingga akan menghasilkan peta yang lebih akurat dalam perencanaan tata ruang di wilayah pesisir dan lautan. Beberapa cara untuk mengintegrasikan indraja dengan SIG dikemukakan oleh Campbell (1997) adalah : 1. Foto udara dan hasil photography dari citra satelit (setelah diolah dan diklasifikasikan) dintepretasikan secara manual dan dijadikan peta tematik seperti : penutupan lahan, dapat didigitasi kedalam SIG 2. Data digital INDERAJA dianalisis dan diklasifikasikan secara digital, output dari proses tersebut berupa peta konvensional kemudian didigitasi ke dalam SIG 3. Data digital dianalisis dan diklasifikasikan dengan menggunakan metode digital otomatis dan hasilnya langsung dapat ditransfer ke dalam SIG. 4. Data mentah hasil INDERAJA dimasukkan langsung ke dalam SIG apabila terdapat perangkat lunak yang dapat menganalisis data citra dan SIG sekaligus Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan dibidang pertanian, kehutanan, serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya (transportasi). Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan dibidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi, terutama dengan menggunakan SIG tiga dimensi Cara yang terbaik untuk integrasi INDERAJA dan SIG adalah proses digital dan transfer data diantara kedua sistem tersebut. Penelitian yang menggunakan data inderaja yang dioleh secara digital, otomatis, intepretasi dan analisis data citra belum dapat diterima seutuhnya pada tingkatan ketelitian yang diperlukan SIG. Banyak penelitian masih difokuskan pada aspek pemerosesan digital seperti minimalisasi distorsi dan kesalahan selama transformasi data, teknik otomatisasi yang lebih baik untuk mengintepretasi dan meningkatkan ketelitian pada proses klasifikasi (David and Simon ; Davis et al., 1991)

50 26 Tabel 2 Beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya dibidang perikanan APLIKASI 1. Pengelolaan Lahan 2. Pengelolaan habitat air tawar 3. Pengelolaan habitat laut 4. Potensi Pengembangan budidaya 5. Studi Sumberdaya wilayah Pesisir 6. Studi indeks kepekaan lingkungan 7. Perencanaan di wilayah pesisir Sumber : Dahuri et al., 1996 KETERANGAN Pembuatan beberapa profil DAS di areal kehutanan, lahan budidaya, daerah permukiman, perubahan garis pantai, tanah payau, tanah pasir dengan kemiringan 3-6% dan parameter lain dengan memperkirakan sumber air. Studi kasus dalam analisis dampak pencemaran. Membangun basis data untuk habitat potensial, data atribut dari kondisi habitat dan aliran arus, DAS, lokasi pembuangan bahan pencemar. Menggambarkan dampak di bagian hilir sungai terhadap potensi kehilangan produksi ikan. Analis habitat yang terpengaruh oleh bahan pencemar, dan konversi areal habitat untuk pemiliharaan ikan Membangun basis data untuk beberapa data atribut. Membangun kriteria untuk model kesesuaian habitat dengan menggambarkan hubungan antara variabel spasial. Overlay peta untuk memproduksi data yang dihasilkan. Dalam penentuan lokasi untuk sesuai dengan budidaya udang diperlukan beberapa data, antara lain ; salinitas, jenis tanah, pola curah hujan, penggunaan lahan (mangrove dan nonmangrove). Data yang digunakan merupakan parameterparameter lingkungan dan infrakstruktur yang tersedia, penggunaan lahan, jenis tanah, hidrologi, geomorfologi pantai dan karakteritik meteorologi. Sedangkan untuk lokasi yang sesuai untuk pembenihan udangdan ikan data yang diperlukan adalah sebagai berikut : kualitas air, pola penggunaan lahan, jarak dari sumber air, geomorfologi dan jarak dari tambak Identifikasi variabel sosial ekonomi yang terpengaruh akibat pembangunan diwilayah pesisir. Data yang digunakan adalah populasi, ketenagkerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, infrakstruktur dan fasilitas umum. Klasifikasi P. Sumatera bagian timur dan jawa barat bagian utara, kedalam 5 kelas tingkat kepekaan lingkungan terhadap pencemaran minyak Berdasarkan karakteristik biofisik/ekologi dari wilayah pesisir dibandingkan dengan kriteria kebutuhan biofisik untuk berbagai kegiatan pembangunan. Wilayah pesisir Kalimantan Timur dapat dibagi menjadi beberapa tipe kegiatan pembangunan seperti pemukiman, sawah, tambak, pertambangan dan padang penggembalaan. Memadukan berarti menyatukan memberikan implikasi adanya kesatuan (dan konsistensi) dalam pengolahan data mulai dari awal sampai akhir, yang mempertimbangkan adanya masalah ketidakkompitebelan antar data yang disebabkan oleh bentuk, struktur asli serta sifat-sifatnya. Memadukan indraja dan

51 27 SIG sudah lama menjadi masalah, sehubungan dengan adanya perbedaan struktur dan karakteristk data yang diperoleh melalui prosedur yang berbeda-beda Terdapat beberapa keuntungan pada kombinasi pengunaan INDERAJA dan SIG pada pengolahan informasi untuk studi (Davis and Simonet 1991 ; Davis et al, 1991) yaitu : 1. Data INDERAJA dapat digunakan dengan cepat pada saat memperbaharui peta, khususnya pada data hasil survey lapang yang lambat dan belum tentu selesai pada selang waktu proyek. 2. Basis data dan SIG dapat menyediakan data tambahan untuk membantu dalam klasifikasi atau analisis data INDERAJA, dengan demikian dapat meningkatkan ketepatan peta yang dihasilkan. Sebagai contoh penambahan data seperti topography, geologi tanah, dan sebagainya, dapat berguna sebagai penunjuk yang vital bagi intepretasi penutupan lahan dibandingkan respon dari informasi spektral data INDERAJA. 3. Data INDERAJA sangat bermanfaat sekali apabila dikombinasikan dengan SIG dari sumber data lainnya, atau citra dari berbagai waktu dan spektrum yang berbeda disajikan secara bersama-sama. SIG memiliki fasilitas untuk menerima (integrasi) dari berbagai format data. Pekerjaan dengan SIG membutuhkan data, khususnya data spasil yang teliti, penutupan spektral dan temporal untuk analisis dan pemodelan fenomena-fenomena alami yang kompleks dan INDERAJA dapat memberikan semua tuntutan data tersebut 2.7 Wisata Pantai Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu wisata pantai dan wisata laut (bahari). Wisata pantai lebih mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat, sedangkan wisata laut (bahari) lebih mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air lautnya (Yulianda, 2007). Kota Makassar mempunyai potensi dan daya tarik pariwisata yang cukup banyak dan dapat dikembangkan (81 objek). Objek-objek tersebut adalah objek wisata pulau, sungai dan pantai (26 objek), objek wisata budaya dan sejarah (11

52 28 objek), objek wisata pendidikan (8 objek) dan fasilitas olahraga 5 objek. Diantara objek-objek tersebut, yang masih sangat minim dan kurang dikembangkanadalah objek wisata pulau, sungai dan pantai, padahal objek tersebut memiliki potensi yang sangat tinggi. Kota Makassar mempunyai potensi pariwisata yang potensial, karena wilayahnya berada di dataran dengan ketinggian 0-25 m dengan panorama alam yang indah,terutama di sepanjang pantai dengan beberapa pulau pulau kecil, sehingga mempunyai berbagai potensi pariwisata perairan/bahari cukup banyak. (Pemda Makassar, 2004) Untuk Pariwisata Alam seperti pantai banyak dijumpai di daerah ini sehingga Kota Makassar menjadi daerah tujuan wisata bagi wisatawan untuk mengunjungi tempat-tempat wisata alam dan wisata sejarah karena kota Makassar dahulu dikenal dengan kota maritim dan niaga, bahkan bandar terbesar pada saat itu, maka akan sulit kita melepaskan antara Kota Makassar dengan Sejarah, budaya, maritim dan religius. Beberapa lokasi wisata antara lain adalah Benteng/ fort Rotterdam, makam Pangeran Diponegoro, Makam Raja raja Tallo, Perkampungan multi etnis, dan objek wisata lainnya. Permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan potensi tersebut adalah :Kurangnya sarana dan infrastruktur pendukung pariwisata, masih kurangnya promosi, masih kurangnya kerjasama dalam pengelolaan objek-objek pariwisata. seperti halnya potensi pada 11 pulau di kota Makassar yaitu : Pulau Kayangan, Lae-lae, Barang Lompo, Barang Caddi, Kodingareng Lompo, Kodingareng Keke, Bone Tambung, Lanjukang, Langkai, Lumu-lumu, yang keseluruhannya seluas 1,4 Km2. (Pemda Makassar, 2004) Luas wilayah Kota Makassar adalah 175,77 km2 yang terdiri atas 14 kecamatan dan 143 kelurahan. Makassar berbatasan langsung dengan Selat Makassar, mempunyai garis pantai sepanjang 32 Km serta mencakup 11 pulau dengan luas keseluruhan Ha atau 1,1% dari luas wilayah daratan. Dengan kondisi geografis yang demikian, maka prospek pengembangan wilayah pesisir dan kepulauan dengan melakukan eksplorasi terhadap potensi kelautan dan perikanan, harusnya sangat kondusif bagi peningkatan investasi. Seperti diketahui bahwa pembangunan kelautan merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan konservasi sumberdaya di kawasan pesisir dan laut di bidang perikanan

53 29 dengan tujuan pelesrtarian, pengendalian dan pengawasan sumber daya hayati dan non hayati daerah pesisir, pantai, laut dan pulau-pulau kecil. Hal ini di dorong oleh berbagai faktor yang mempengaruhi ekosistim pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang terjadi di Kota Makassar seperti terjadinya tekanan pemanfaatan lahan dan ruang serta SDA yang ada diwilayah tersebut secara tidak terkendali, terhadap ekosistim wilayah pesisir. Sasaran pembangunan kelautan dan perikanan meliputi terciptanya pemanfaatan, perlindungan, pengendalian dan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan dalam menjaga kelestarian ekosistim pesisir,laut dan pulau-pulau kecil sekaligus meningkatkan taraf hidup nelayan/masyarakat pesisir, terciptanya penataan ruang kawasan pesisir yang akan mendorong pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat guna mencegah dan menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan serta mewujudkan pengembangan pariwisata bahari. (Pemda Makassar, 2004) Dalam pengelolaan ekowisata, kegiatan pembangunan akan tetap berlanjut apabila memenuhi tiga prasyarat daya dukung lingkungan yang ada. Pertama, bahwa kegiatan ekowisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai dengan kebutuhan dengan kegiatan ini. Kedua, jumlah limbah dari kegiatan ekowisata dan kegiatan lain yang dibuang kedalam lingkungan pesisir/laut hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi atau kemampuan suatu sistem lingkungan dalam menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan. Ketiga, bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumber daya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri, 1993). Sebaiknya untuk menjaga keberlanjutan dari pengelolaan ekowisata maka lingkungan harus bebas dari limbah, artinya tidak diberikan ruang untuk terjadinya pencemaran di daerah wisata Selanjutnya Fandeli (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa usaha yang dapat meningkatkan daya tarik wisata, usaha yang demikian ini antara lain: 1. Usaha sarana wisata, penyewaan peralatan renang, selam, selancar, dan sebagainya. 2. Usaha jasa, jasa pemandu wisata dan jasa biro perjalanan.

54 30 Tipologi pariwisata yang menjadi alternatif kegiatan bahari saat ini adalah kegiatan ekoturisme (wisata alam) yang mengandalkan keindahan alam. Dari dimensi ekologis kegiatan ini jelas mengandalkan keindahan alam sehingga kegiatan ini akan mendorong tindakan konservasi untuk mempertahankan daya tariknya agar keuntungan ekonomi dari kegiatan pariwisata ini dapat dipertahankan. Sementara itu aspek sosial masyarakat setempat dimana kegiatan ekoturisme ini berlangsung sering mendapat manfaat ekonomi dari pengembangan kegiatan jasa pendukung wisata, selain itu juga gangguan terhadap kehidupan tradisional masyarakat umumnya sangat kecil sekali (Dahuri, 2003). Saifullah (2000) mengungkapkan bahwa ada beberapa manfaat pembangunan pariwisata : 1. Bidang ekonomi Dapat meningkatkan kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung maupun tidak langsung. Meningkatkan devisa, mempunyai peluang besar untuk mendapatkan devisa dan dapat mendukung kelanjutan pembangunan di sektor lain. Meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat, dengan belanja wisatawan akan meningkatkan pendapatan dan pemerataan pada masyarakat setempat baik secara langsung maupun tidak langsung. Meningkatkan penjualan barang-barang lokal keluar. Menunjang pembangunan daerah, karena kunjungan wisatawan cenderung tidak terpusat di kota melainkan di pesisir, dengan demikian amat berperan dalam menunjang pembangunan daerah. 2. Bidang sosial budaya Keanekaragaman kekayaan sosial budaya merupakan modal dasar dari pengembangan pariwisata. Sosial budaya merupakan salah satu aspek penunjang karakteristik suatu kawasan wisata sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan. Sosial budaya dapat memberikan ruang bagi kelestarian sumber daya alam, sehingga hubungan antar sosial budaya masyarakat dan konservasi sumber daya alam memiliki keterkaitan yang erat. Oleh karena itu, kemampuan melestarikan dan mengembangkan budaya yang ada harus menjadi perhatian pemerintah dan lapisan sosial masyarakat.

55 31 3. Bidang lingkungan Karena pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk pariwisata pada dasarnya adalah lingkungan dan ekosistem yang masih alami, menarik, dan bahkan unik, maka pengembangan wisata alam dan lingkungan senantiasa menghindari dampak kerusakan lingkungan hidup, melalui perencanaan yang teratur dan terarah. Atraksi-atraksi yang dikembangkan harus sesuai dengan kaidah-kaidah alami sehingga katerkaitan antara potensi ekosistem dengan kegiatan wisata dapat berjalan seiring saling melengkapi menjadi satu paket ekowisata. Berhasil tidaknya pengembangan daerah tujuan wisata sangat tergantung pada tiga faktor utama, yaitu: atraksi, aksessibilitas dan amenitas (Samsuridjal dan Kaelany, 1997). Betapapun baik dan menariknya suatu atraksi yang dapat ditampilkan oleh daerah tujuan wisata, belum menarik minat wisata untuk berkunjung karena masih ada faktor lain yang menjadi pertimbangan menyangkut fasilitas-fasilitas penunjang yang memungkinkan mereka dapat menikmati kenyamanan, keamanan, dan alat-alat telekomunikasi. Walaupun keberadaan sarana dan prasarana sangat dibutuhkan, namun pengembangannya harus menghindari bahaya eksploitasi, sehingga lingkungan hidup tidak mengalami degradasi (Soewantoro, 2001). 2.8 Pemanfaatan Perikanan Indonesia mempunyai potensi perikanan pantai dengan luas area sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut sedangkan potensi lahan kegiatan budi daya laut diperkirakan sekitar 24,53 juta hektar yang terbentang dari ujung bagian barat Indonesia sampai ke ujung wilayah timur Indonesia. Produksi perikanan budi daya Indonesia sampai tahun 2005 mencapai ton. Meski demikian, jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara produsen perikanan lainnya seperti China, India, Jepang dan Filipina. Pada tahun 2005 saja produksi perikanan budidaya China sudah mencapai sekitar tonsementara itu dari sisi potensi lahan, total lahan budi daya di kawasan pesisir (budidaya udang/tambak) mencapai hektar yang tersebar di 28 propinsi. Namun demikian, pemanfaatan lahan budi daya untuk tambak baru mencapai sekitar 40 persen atau hektar. Sebagai ilustrasi, dengan produktivitas tambak sebesar 3 ton/ha maka apabila seluruh potensi lahan dimanfaatkan maka

56 32 produksi yang bisa dihasilkan dari budi daya di kawasan pesisir mencapai 2,739,000 ton per musim tanam atau kurang lebih 5,478,000 ton per tahun. (DKP, 2007) Luasnya perairan pantai dengan pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia merupakan potensi yang cukup besar dalam pengembangan budidaya laut (mariculture). Jenis-jenis biota laut yang dapat dibudidayakan antara lain ikan-ikan karang, kerang dan tiram, rumput laut (algae), teripang, dan kuda laut. Menurut Sunyoto (2000), penentuan lokasi untuk budidaya ikan kerapu dengan metode keramba jaring apung (KJA) harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti: terlindung dari badai dan gelombang besar, jauh dari pencemaran, tidak berada dalam alur pelayaran, kondisi perairan sesuai (salinitas ppt, suhu C, kecepatan arus 0,2-0,5 m/det, DO 4 ppm, ph antara , amonia 0,1 ppm, BOD < 5 ppm, serta total bakteri < 3000 sel/m 3. 5 Lahan budidaya rumput yang cocok terutama sangat ditentukan oleh kondisi ekologis yang meliputi kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi. Adapun persyaratan lahan budidaya Eucheuma sp. adalah: Lokasi budidaya harus terlindung dari hempasan langsung ombak yang kuat. Lokasi budidaya harus mempunyai gerakan air yang cukup. Kecepatan arus yang cukup untuk budidaya Eucheuma sp cm/detik. Dasar perairan budidaya Eucheuma sp. adalah dasar perairan karang berpasir. Pada surut terendah lahan budidaya masih terendam air minimal 30 cm. Kejernihan air tidak kurang dari 5 m dengan jarak pandang secara horisontal. Suhu air berkisar C dengan fluktuasi harian maksirnai 4 C. Salinitas (kadar garam) perairan antara permil (optimum sekitar 33 permil). ph air antara 7-9 dengan kisaran optimum 7,3-8,2 Lokasi dan lahan sebaiknya jauh dari pengaruh sungai dan bebas dari pencemaran. Pemilihan lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut menurut Indriani dan Suminarsih (1999) adalah sebagai berikut : lokasi harus bebas dari pengaruh angin topan, tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, mengandung

57 33 makanan (nutrien) untuk tumbuhnya rumput laut, bebas dari pencemaran industri dan rumah tangga, lokasi mudah dijangkau sehingga tidak memberatkan biaya transportasi, serta dekat dengan sumber tenaga kerja. Pembangunan perikanan dipengaruhi oleh kondisi geografis Kota Makassar yang merupakan wilayah daratan dan kepulauan sehingga peningkatan potensi perikanan diarahkan pada pendayagunaan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan dengan sasaran meliputi perikanan tangkap, perikanan budidaya baik rumput laut, keramba jaring apung maupun pengembangan budidaya ikan hias. Sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan salah satu kekayaan alam yang harus dikelola dan didayagunakan sebagai piranti kekuatan ekonomi riil dan dapat dikembangkan sebagai lokomotif perekonomian bagi kemakmuran masyarakat oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan bukan hanya berorientasi pada peningkatan produksi saja namun pengembangan dan pengelolaan diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan. 2.9 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penyebab penurunan kualitas perairan pantai Losari diduga berasal dari tiga sumber yang dominan yaitu adanya pemusatan penduduk di kota, kegiatan industri di sekitar kota makassar dan kegiatan pertanian di hulu sungai Jeneberang serta Sungai Tallo. Terpusatnya penduduk di kota menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar. Selanjutnya limbah tersebut masuk ke dalam perairan pantai Losari melalui run-off dan mengakibatkan pendangkalan pantai serta perubahan beberapa parameter kaulitas air seperti kandungan DO, BOD, COD, peningkatan kandungan deterjen dan munculnya senyawa-senyawa beracun dan eutrofikasi. Kegiatan industri yang ada di kota Makassar diduga ikut mempengaruhi penurunan kualitas perairan pantai Losari. Dalam banyak hal limbah industri walaupun telah diproses di IPAL, namun kualitasnya masih jelek (nilainya masih di atas ambang batas yang telah ditetapkan) saat dibuang ke laut, sehingga masih berpengaruh terhadap kualitas ekosistim perairan. Jenis bahan pencemar yang berasal dari industri adalah bahan organik yang degrdable dan non degradable (persisten) menyebabkan perubahan DO, BOD, COD, TSS, dan eutrofikasi Samawi (2007). Selanjutnya dikatakan bahwa pencemaran terbesar yang masuk ke pantai Makassar adalah bahan organik dan padatan tersuspensi yang

58 34 mengakibatkan terjadinya pencemaran pantai pada kategori ringan. Persepsi dan partisipasi masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran perairan pantai Kota Makassar termasuk kategori tinggi. Kota Makassar mempunyai tiga tipologi aliran beban limbah Analisis tentang keberlanjutan pengelolaan pesisir di Makassar diungkapkan oleh Bohari (2010) bahwa Secara multidimensi, wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan kawasan pesisir termasuk dalam status kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 41,09 %. Status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar pada setiap dimensi masing-masing dimensi ekologi termasuk dalam status kurang berkelanjutan (47,13%), Dimensi ekonomi cukup berkelanjutan (53,89%), dimensi sosial-budaya kurang berkelanjutan (34,82 %), dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan (13,28 %) dan dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan (50,74 %) Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter kimia air yang berperan pada kehidupan biota perairan. Penurunan okasigen terlarut dapat mengurangi efisiensi pengambilan oksigen bagi biota perairan sehingga menurunkan kemampuannya untuk hidup normal. Menurut Lung (1993), kelarutan oksigen minimum untuk mendukung kehidupan ikan adalah sekitar 4 ppm. Nilai oksigen terlarut di perairan pantai Losari adalah berkisar antara 4,48-8,3 ppm. Nilai tersebut masih mendukung kehidupan biota perairan yaitu minimum 4, 0 ppm. Namun berdasarkan kriteria Miller dan Lygre (1994) yang didasarkan pada kandungan oksigen terlarut, maka kondisi perairan pantai Losari sudah termasuk kategori agak tercemar (DO = 6,7-7,9 ppm) sampai tercemar sedang (DO = 4,5-6,6 ppm). Nilai DO suatu perairan mempunyai sifat yang terbalik dari indikator lainnya, nilai DO yang semakin tinggi mempunyai indikasi yang semakin baik sementara semakin rendah maka semakin buruk kualitas perairan tersebut Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi. Sama halnya dengan BOD, COD juga digunakan menduga jumlah bahan organik yang dapat dioksidasi secara kimia. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai COD perairan Pantai Losari sudah cukup tinggi yaitu berkisar antara ppm. Mutu air yang baik untuk standar kualitas air limbah adalah 40 ppm (Allaert, 1984). Sedang nilai

59 35 COD yang paling tinggi untuk kehidupan biota perairan adalah sekitar 10 ppm, dan untuk kebutuhan mandi dan renang lebih kecil dari 30 ppm Hasil penelitian Samawi (2007) dan Bohari (2009), memperlihatkan hasil ternyata perairan pantai Losari telah terkontaminasi oleh logam berat antara lain besi (Fe), timbal (Pb) dan tembaga (Cu). Kandungan logam besi yang terukur adalah berkisar antara 0, ,0324 ppm, timbal (Pb) sekitar 0,008 0,780 ppm dan tembaga (Cu) berkisar antara 0,027 0,039 ppm. Kehadiran jenis logam ini akan mengancam kehidupan biota perairan karena logam tersebut selain mempunyai sifat peracunan kronis juga bersifat akut Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di sekitar pantai kota Makassar yang berlokasi di daerah muara sungai Jenneberang dan Sungai Tallo dan Kepmen LH No 51 tahon 2004 memperlihatkan variasi hasil pada tabel 3 Tabel 3. Nilai Beberapa parameter kualitas air di Muara Sungai Tallo dan Jenneberang No Parameter Kualitas Air Unit Nilai Baku Mutu Air Laut I Fisik 1 TSS* ppm Suhu* oc Alami II Kimia 1 DO* ppm 3,80 5,10 >5 2 BOD5* ppm 2,30 2, COD* ppm 98,0 156, ph* - 7,75 8, Besi (Fe)** ppm 0, , Timbal (Pb)** ppm 0,008 0,780 0,008 7 Tembaga (Cu)** ppm 0,027 0,039 0,008 Sumber : * = Samawi, 2009 ** = Bohari, 2010 BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan untuk mendegrdasi bahan organik secara biokimia, sehingga juga dapat diartikan sebagai ukuran bahan yang dapat dioksidasimelalui proses biokimia. Jadi semakin inggi kandungan BOD semikin tercemar perairan tersebut. Oleh karena itu, tujuan pemeriksaan BOD adalah untuk menentukan pencemaran air akibat limbah domestik atau limbah industri. Hasil penelitian Mispar (2001), menunjukkan nilai BOD di perairan

60 36 pantai Losari berkisar antara 1,8-8,64 ppm. Menurut Miller dan Lygre (1994), jika nilai BODdi atas dari 5,0 ppm maka perairan tersebut tergolong tercemar, sedang Mahida (1984) menganjurkan kadar BOD yang aman adalah tidak lebih dari 4 ppm. Dengan demikian, berdasarkan nilai BOD, perairan pantai Losari termasuk ke dalam kategori tercemar ringan - sedang. Kualitas perairan pantai dapat diindikasikan juga dari jumlah dan kelimpahan organism makroozoobenthos. Hasil penelitian Samawi (2007), menunjukkan bahwa jumlah kelas benthos yangditemukan di muara Sungai Tallo lebih rendah yaitu sebanyak 8 (delapan) kelas sedang di muara sungai Jeneberang sebanyak 6 kelas. Namun kelimpahan organisme benthos di muara sungai Jenneberang lebih tinggi (16-64 individu/m2) dibanding muara Sungai Tallo (16-48 individu/m2). Hal ini menandakan bahwa stabilitas ekosistim muara sungai Tallo relatif lebih baik dari pada muara Sungai Jenneberang, sehingga memungkinkan beragam individu khususnya makrozoobenthos dapat hidup dan beradaptasi di lingkungan tersebut, hal ini dilihat dari indikator organisme benthos pada tabel 4. Tabel 4. Jenis dan kelimpahan makrozoobenthos yang ditemukan di muara Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang No Jenis Kelas Benthos Muara Sungai Tallo Muara Sungai Jenneberang 1 Pholas dactylus 16-2 Botitium reticulatum Mya arenaria Montacuta ferruginosa 32-5 Anadara sp Apseudes latrelei 32-7 Calapppa granulata 48-8 Eunice harastii 32-9 Centium vulagatum Astarta boraelis Tellina distorta - 16 Sumber : Samawi, 2007

61 37 Salah satu indikator yang dijadikan acuan kualitas lingkungan suatu perairan adalah kandungan padatan tersuspensi. Kandungan total padatan tersuspensi (TSS) yang terukur di perairan pantai Losari sudah sangat tinggi yaitu sekitar ppm yang dibawa oleh aliran Sungai Tallo dan Jenneberang (Mispar, 2001). Perairan yang mempunyai nilai kandungan padatan tersuspensi sebesar ppm mutu perairan tersebut tergolong buruk (Allert, 1984). Berdasarkan kandungan TSS, perairan pantai Losari termasuk kategori tinggi karena kandungan padatan tersuspensinya jauh di atas ambang batas yang diinginkan yaitu 23 ppm (Monoarfa, 2002)

62 3. METODE PENELITIAN 3.1. Daerah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah pantai Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan mulai bulan Juni sampai Oktober Lokasi dipilih secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa: a). Pantai kota Makassar memiliki tingkat pemanfaatan yang telatif tinggi dan bersifat multi dimensi untuk berbagai tujuan pembangunan seperti kegiatan reklamasi untuk pemukiman dan bisnis, perikanan, pelayaran, wisata dan lainnya. b). Terdapat dinamika pencemaran perairan pantai kota akibat dari aliran limbah dan kanal yang berasal dari berbagai kegiatan yang ada di sepanjang pantai kota dan sumbangan limbah yang berasal dari berbagai aktivitas daratan ' ' ' ' ' P. Bonetambung Kesesuaian Permukiman P. Barrang Lompo P. Barrang Caddi 5 8' 5 4' 5 4' P. Kodingareng Lompo P. Kodingareng Keke UJUNGTANAH P. Samalona P. Lae-lae Caddi TALLO WAIO P. Lae-lae UJUNGPANDANG MARISO TAMALANREA BIRINGKANAYA B U S Km T 5 8' 5 12' TAMALATE Pantai Sungai Jalan Batas Kecamatan Batas 4 nm Batas 12 nm Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Laut 5 12' ' ' ' ' ' *Ket : 1. S Jenneberang 2. Muara Sungai Jenneberang 3.Kawasan Tanjung Bunga 4.Pantai Losasi/laguna 5. Kawasan pelabuhan 6. Potere 7. Sungai Tallo 8. Muara Sungai Tallo Gambar 2 Peta lokasi penelitian model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Makassar

63 Batasan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak antara bujur timur dan lintang selatan yang berbatasan Kabupaten Pangkep di sebelah utara, Kabupaten Maros disebelah timur, Kabupaten Gowa di sebelah selatan dan Selat Makassar di sebelah barat. Batas wilayah penelitian meliputi DAS Jeneberang dan DAS Tallo utamanya daerah yang berada dihulu yang terkait dengan laut Batas studi ini ditentukan 4 mil dari garis pantai hal ini terkait dengan ruang penyebaran limbah diperairan pantai Kota Makassar yang dibawa oleh aliran Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta kanal-kanal kota yang kesemuanya bermuara di pantai Kota Makassar, adapun batas wilayah darat berkaitan pada wilayah pesisir yang masih dipengaruhi oleh aktivitas laut 3.2 Metodologi Pengumpulan Data Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dan pertimbangan kondisi wilayah penelitian, maka penelitian ini dilakukan dengan studi literatur dan metode survei. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi data kerat lintang (cross section) dan data deret waktu (time series). Dasar pertimbangan penggunaan kedua jenis data adalah beberapa variabel dengan tingkat keragaman tinggi hanya terdapat pada satu jenis data, sehingga kedua jenis data dikumpulkan dan digunakan secara bersamaan saling melengkapi dan berdasarkan pencapaian tujuan dan target penelitian Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap kualitas perairan. Tahap pertama dilakukan dengan menentukan stasiun pengamatan dan pengukuran. Stasiun pengukuran direncanakan terdiri dari 8 statasiun pada gambar 2, yakni 1) Sungai Jenneberang 2)Muara sungai Jenneberang 3) daerah wisata Tanjung Bunga 4) Daerah losari/ laguna 5) kawasan pelabuhan 6) kawasan Potere 7) Sungai Tallo 8) muara Sungai Tallo Penentuan stasiun dan penetapan parameter yang diukur didasarkan terutama pada : - Jenis limbah yang terbawa oleh aliran sungai atau kanal (effluent) yang menjadi bahan pencemar

64 41 - Keterwakilan wilayah dan aktivitas yang menjadi sumber pencemar seperti rumah tangga, industry dan wisata serta perikanan - Ketentuan jenis-jenis parameter yang ditetapkan berdasarkan dalam standar baku mutu air laut untuk wisata dan perikanan Sementara itu untuk pengukuran faktor sosial dan ekonomi dilakukan dengan interview dengan metode deep interview secara terstruktur terhadap kelompok sampel yang telah ditentukan dari berbagai macam aktivitas yang ada di daerah pesisir dan lautan Kota Makassar. Wawancara terhadap responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang ditunjang dengan observasi langsung terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya. Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan responden adalah aktor atau pengguna lahan (stakeholders) terdiri dari pemerintah, swasta, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Responden yang dimaksud adalah responden yang terlibat langsung atau responden yang dianggap mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan terkait dengan pencemaran dan aktivitas wisata pantai dan perikanan - Data Kualitas fisik dan Kimia Perairan Data tentang kualitas biofisik meliputi data fisik seperti suhu, kekeruhan, salinitas, kedalaman, dan data kimia seperti, Suhu,, ph, Salinitas, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia (BOD), NO 3 -N,. Beberapa parameter kualitas air serta metode pengukurannya didasarkan pada peruntukkan untuk kegiatan perikanan dan wisata dan mengacu pada Kepmen LH No 51 tahun Metode analisis dan metode pengukurannya disajikan pada tabel Tabel 5 Parameter kualitas air yang diukur dan metode analisisnya Parameter Satuan Metode /alat Lokasi I. Fisika Suhu o C Tetrimetri In situ Salinitas o % Refraktometer In situ II. Kimia ph - ph meter In situ DO mg/l Tetrimetri In situ BOD mg/l Titrimetri Winkler Lab. COD mg/l Titrimetri dengan pemanasan Lab. Nitrat mg/l Spektrometrik/spektrometer Lab. Fosfat mg/l Spektrometrik/spektrometer Lab.

65 42 - Data pencemaran Pencemaran perairan pantai kota terdiri dari limbah organik dan anorganik. Data beban limbah diperoleh melalui pengukuran debit sungai dan kanal serta konsentrasi parameter beban limbah di muara tiap stasiun pengukuran. Data kapasitas asimilasi perairan pantai diperoleh melalui pengukuran parameter beban limbah di perairan pantai yang kemudian dibandingkan dengan baku mutu - Tata Guna lahan Data berupa peta tataguna lahan dan pemanfaatan sumberdaya yang saat ini dan perkembangan pengguanaan lahan beberapa tahun sebelumnya (temporal). Untuk diperlukan beberapa jenis data diantaranya Peta Rupa Bumi, peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), peta bathimetri, peta administrasi,dan Citra Landsat - Data Sosial dan Ekonomi Data Jumlah unit usaha, jumlah pengunjung wisata, kelembagaan perikanan dan wisata, dan sebaran penduduk di kawasan pantai Data Sekunder Metode Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan berbagai laporan dari berbagai lembaga dan instansi yang terkait serta penelusuran berbagai pustaka yang ada. Jenis-jenis data yang dikumpulkan berasal dari berbagai sumber berkaitan dengan berbagai hal yang dikaji dalam penelitian ini Berbagai komponen data serta peramater yang diukur dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6 Komponen data dan Parameter yang diukur No. Komponen Data Data Primer 1. Kualitas Biofisik dan kimia Perairan 2. Laju pencemaran Pantai Parameter Total suspended Solid (TSS), Suhu, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimia(bod), kebutuhan oksigen kima (COD) NO 3 -N, PO 4, ph, salinitas, kecepatan arus, suhu dan kecerahan Bahan-bahan pencemar (polutan), kecepatan arus sungai dan kanal, luas penampang sungai dan kanal, debit air

66 43 3 Data Peta Peta Rupa Bumi, peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI), peta batimetri, peta administrasi,dan Citra Landsat 4. Kebijakan pembangunan dan pemanfaatan pantai kota makassar 5 Data Sosial dan Ekonomi Data Sekunder 1. Kondisi ekologi daerah pantai Kota Makassar Rencana Tata uang Wilayah pantai Kota Makassar serta Berbagai kebijakan pemerintah, (dinas perikanan dan kelautan, pariwisata, dan lainnya Jumlah unit usaha Perikanan dan wisata, jumlah pengunjung wisata, kelembagaan perikanan dan wisata Data perubahan kondisi lahan, kualitas Air dan perubahan pemanfatan lahan pesisir 2 Perikanan dan Wisata Lokasi budidaya laut, Tempat Pelelangan Ikan, Pelabuhan Pendaratan Ikan, Jumlah pengunjung di tempat wisata, retribusi dan pendapatan daerah wisata 3 Data Sosial dan Ekonomi Tingkat keuntungan usaha budidaya dan wisata pantai Data sekunder yang dikumpulkan berkaitan dengan data kualitas air, kondisi geografi, perubahan tataguna lahan, Rencana Tata ruang dan administrasi wilayah, iklim, pemanfaatan wilayah pesisir dan laut, kondisi penduduk, keadaan sarana dan prasarana penunjang perikanan dan perikanan, serta tentang kondisi perikanan secara umum. Komponen data tersebut diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar, Kantor Pemerintahan Daerah, Pariwisata dan Biro Pusat Statistik (BPS) serta intansi terkait lainnya 3.3. Analisis Data Analisis Pencemaran Analisis Beban Limbah Beban limbah yang berasal dari darat melalui sungai dan kanal yang menuju perairan pantai Makassar diukur melalui perkalian debit sungai dan kanal (m 3 /det) dengan konsentrasi limbah (mg/l). Debit sungai (Q) diukur dengan persamaan (Gordon et al., 1992) yaitu : Q = V.A Keterangan: V = Kecepatan aliran sungai/kanal (m/det) A = Luas penampang sungai atau kanal (m 2 )

67 44 Beban limbah dihitung berdasarkan rumus berikut (Mitsch dan Gosselink,1993): BL = Q x C Keterangan: BL = Beban limbah yang berasal dari satu sungai/ kanal (gram/det) Q = Debit sungai/kanal (m 3 /det) C = Konsentrasi limbah (mg/l) Konversi beban limbah ke ton/bulan dikali dengan 10-6 x 3600 x 24 x Analisis Kapasitas Asimilasi Pendugaan nilai kapasitas asimilasi ditentukan dengan cara memplotkan nilai-nilai kualitas air suatu perairan pada kurun waktu tertentu dengan beban limbah yang dikandungnya ke dalam suatu grafik, yang selanjutnya direferensikan dengan nilai baku mutu air yang diperuntukkan bagi biota dan budidaya berdasarkan Kep.Men KLH No. 51/Men-KLH/2004 dari titik potong yang diperoleh melalui grafik ini kemudian diketahui waktu (tahun) terjadinya dan selanjutnya dilihat nilai beban limbahnya. Nilai beban limbah inilah yang dimaksud dengan nilai kapasitas asimilasi (Dahuri, 1999). Metode ini adalah yang paling sederhana dan mudah dilakukan. Kelemahan dari metode ini adalah hanya berdasarkan pada hubungan kualitas air dan beban limbahnya, tanpa memperhatikan berbagai dinamika perairan yang ada. Konsentrasi pencemar Baku mutu Kapasitas asimilasi Beban limbah Gambar 3. Grafik hubungan antara beban limbah dan kualitas air (Dahuri, 1999)

68 45 Pencemaran pantai Kota Makassar secara matematis ditulis sebagai berikut : y = f (x) Secara maematis persamaan regresi linear dapat ditulis sebagai berikut : y = a + bx Keterangan : x = Nilai parameter di sungai/kanal y = Nilai parameter di muara/pantai a = nilai tengah/rataan umum b = keofisien regresi untuk parameter di sungai dan kanal Gambar 3. Grafik hubungan antara beban limbah dan kualitas air (Dahuri, 1999) Asumsi : 1. Nilai Kapasitas asimilasi hanya berlaku di wilayah perairan yang ditetapkan dalam penelitian 2. Nilai hasil pengamatan baik di perairan pantai dan di muara sungai atau kanal diasumsikan telah mencerminkan dinamika yang ada diperairan tersebut. 3. Perhitungan beban limbah hanya berasal dari land based, Kegiatan di perairan atau di laut tidak diperhitungkan. Beban Limbah Konsentrasi Pencemar Baku mutu Kapasitas asimilasi Analisis Tingkat Pencemaran (Indeks pencemaran) Tingkat pencemaran ditentukan menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) berdasar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 115 Tahun 2003 Lampiran II. Pada penelitian ini yang digunakan hanya beberapa parameter lingkungan utama yaitu BOD, COD, DO, ph. Adapun persamaan yang digunakan: IP j = f (C i /L ij ) Keterangan: IP j = Indeks polusi bagi peruntukan air L C i ij = konsentrasi parameter untuk baku mutu peruntukan = Konsentrasi parameter kualitas air Karena pengukuran dalam metode ini menggunakan berbagai parameter kualitas air, maka pada penggunaannya dibutuhkan nilai rata-rata dari keseluruhan C i /L ij

69 46 acuan polusi. Merangkum indeks polusi beberapa parameter digunakan rumus Numerow (1991) Keterangan: (C i /L ij ) R : nilai rata-rata C i /L (C /L ) : nilai maksimum C /L i ij M i ij ij Metoda ini dapat langsung menghubungkan tingkat ketercemaran dengan dapat atau tidaknya dipakai untuk penggunaan tertentu dan dengan nilai parameter-parameter tertentu. Untuk menentukan tingkat pencemaran digunakan indeks sebagai berikut: 0 P ij 1,0 memenuhi baku mutu 1,0 P 5,0 P P ij ij ij 5,0 tercemar ringan 10 tercemar sedang > 10 tercemar berat Analisis Daya Dukung Lingkungan Menurut Ortolano (1994) bahwa dalam menganalisis daya dukung, terdapat dua faktor yang penting untuk dipertimbangkan yaitu yang terkait dengan: a) Peubah pertumbuhan (growth variable), yaitu peubah pertumbuhan dapat direpresentasikan sebagai populasi atau ukuran kegiatan manusia b) Faktor pembatas (limiting factor), yaitu sumberdaya alam, infrastruktur fisik dan elemen elemen lain ketersediannya tidak berada dalam jumah yang terbatas sehingga faktor ini dapat menjadi kendala untuk faktor peubah pertumbuhan. Widigdo (2004) mengemukakan bahwa penentu daya dukung suatu wilayah adalah : (1) Kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia akan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan paradigma ini maka metode penghitungan daya dukung kawasan pesisir tersebut dilakukan dengan menganalisis:

70 47 (1) Kondisi (variables) biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan, dan (2) Variables sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan Sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir Analisis Daya Dukung Budidaya KJA dan Rumput Laut - Daya Dukung KJA. Penentuan daya dukung lingkungan untuk kegiatan perikanan di Pantai Kota Makassar mengacu pada berbagai paramater yang digunakan dalam analisis kesesuaian. Berdasarkan pengukuran berbagai parameter yang menjadi acuan maka ditentukan luasan areal budidaya perikanan Karamba Jaring Apung (KJA) yang dimungkinkan. Parameter tersebut antara lain: a. Luas lahan budidaya ikan dengan KJA yang sesuai. Luas lahan (areal perairan) budidaya ikan dengan KJA yang sesuai dapat diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan. b. Kapasitas lahan perairan. Besarnya kapasitas lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya dengan KJA dianalisis seperti formula yang digunakan pada budidaya rumput laut. Yang berbeda adalah luas unit budidaya yang digunakan secara umum di perairan Indonesia (Sunyoto, 2000), yaitu dengan luas (12 x 12) m 2 = 144 m 2 = 0,00014 km 2. c. Luasan unit rakit KJA. Luasan unit rakit KJA adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu unit rakit dengan empat keramba berukuran (3x3x3) 3 m. d. Daya Dukung Lahan. Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan maksimum lahan yang mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan terjadinya penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan dengan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan untuk budidaya KJA dapat dianalisis dengan formula sebagai berikut : DDL KJA = LLS x KL

71 48 dimana : DDL KJA LLS KL = Daya dukung lahan budidaya dengan KJA (ha) = Luas lahan sesuai (ha) = Kapasitas lahan (ha) Sedangkan untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan persamaan sebagai berikut : DDL JUB KJA = LUB Dimana : JUB KJA = Jumlah unit budidaya dengan KJA (unit) DDL = Daya dukung lahan (ha) LUB = Luas unit budidaya (unit/ha) - Daya Dukung Budidaya Rumput Laut : Daya dukung lahan budidaya rumput laut dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan luas areal budidaya yang sesuai (katagori sangat sesuai dan sesuai), kapasitas lahan dan metode budidaya yang diterapkan. Parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung lahan tersebut, antara lain; a. Luas lahan budidaya rumput laut yang sesuai Luas lahan (areal perairan) budidaya rumput laut yang sesuai dapat di peroleh dari hasil analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan GIS. b. Kapasitas lahan perairan Kapasitas lahan diartikan sebagai luasan lahan perairan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya rumput laut secara terus menerus dan secara sosial tidak menimbulkan konflik serta secara ekologi tidak mengganggu ekosistem pesisir. Besarnya kapasitas lahan yang ditetapkan dalam studi ini dianalisis dengan formula sebagai berikut L L KL = x 100% = L 2 L L2 p l p l = x 100% p l Dimana : KL = Kapasitas Lahan L = L 2 L1 L = Luas unit budidaya x 100%

72 49 L 2 = Luas yang sesuai untuk satu unit budidaya l1 = lebar unit budidaya l2 = lebar yang sesuai untuk satu unit budidaya p1 = panjang unit budidaya p2 = panjang yang sesuai untuk satu unit budidaya c. Luasan Unit Budidaya Luasan unit budidaya adalah besaran yang menunjukkan luasan dari satu unit budidaya rumput laut, dimana setiap luasan unit budidaya berbeda-beda tergantung dari metode budidaya yang digunakan. d. Daya Dukung Lahan Daya dukung lahan menunjukkan kemampuan maksimum lahan yang mendukung aktivitas budidaya secara terus menerus tanpa menimbulkan terjadinya penurunan kualitas, baik lingkungan biofisik maupun sosial. Berdasarkan dengan pendekatan tersebut di atas maka daya dukung lahan untuk budidaya rumput laut dapat dihitung dengan formula sebagai berikut : DDL RL = LLS x KL dimana : DDLRL = Daya dukung lahan budidaya rumput laut (ha) LLS = Luas lahan sesuai (ha) KL = Kapasitas lahan (ha) Untuk menghitung berapa jumlah unit budidaya yang dapat didukung oleh lahan berdasarkan daya dukung yang diperoleh, dapat dianalisis dengan persamaan sebagai berikut : DDL JUB RL = LUB dimana : JUB RL = Jumlah unit budidaya rumput laut (unit) DDL = Daya dukung lahan (ha) LUB = Luas unit budidaya (unit/ha) Analisis Daya Dukung Wisata Analisis daya dukung pada pengembangan wisata mengacu kepada konsep ekowisata bahari yang dikelompokkan kedalam wisata pantai dan wisata bahari. Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olah raga dan menikmati pemandangan. Metode yang digunakan untuk menghitung daya dukung pengembangan wisata pantai yaitu dengan pendekatan konsep Daya Dukung

73 50 Kawasan (DDK). DDK adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dikawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. DDK dapat dihitung dengan formula: Dimana : DDK = K x Lp Lt x Wt Wp DDK = Daya dukung kawasan K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan Lt = Unit area untuk kategori tertentu Wt = Waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan wisata dalam satu hari Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu. Luas suatu area yang dapat digunakan oleh pengunjung mempertimbangkan kemampuan alam mentolerir pengunjung sehingga keaslian alam tetap terjaga. Tabel 7 Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis Kegiatan K ( Pengunjung) Unit Area (Lt) Keterangan Selam 2 Setiap 2 orang dalam 100 m x m 10 m 2 Snorkling m Setiap 1 orang dalam 50 x 5 m Wisata 2 Dihitung panjang track, setiap 1 50 m Mangrove 1 orang sepanjang 50 m 2 Rekreasi Pantai 1 50 m 1 orang setiap panjang pantai Wisata Olah 2 1 orang setiap 50 m panjang 1 50 m Raga pantai Sumber : Yulianda (2007) Daya dukung kawasan disesuaikan karakteristik sumberdaya dan peruntukan. Misalnya, daya dukung wisata selam ditentukan sebaran dan kondisi terumbu karang, daya dukung wisata pantai ditentukan panjang/luas dan kondisi pantai. Kebutuhan manusia akan ruang diasumsikan dengan keperluan ruang horisontal untuk dapat bergerak bebas dan tidak merasa terganggu oleh keberadaan manusia (pengunjung) lainnya.

74 51 Tabel 8. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata No. Kegiatan Waktu yang dibutuhkan Total waktu 1 hari Wp (jam) Wt (jam) 1 Selam Snorkling Berenang Berperahu Berjemur Rekreasi pantai Olah raga air Memancing Wisata mangrove Wisata lamun dan ekosistem lainnya Wisata satwa 2 4 Sumber: Yulianda (2007) Khusus untuk wisata selam luas terumbu karang mempertimbangkan kondisi komunitas karang. Persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang disuatu kawasan baik dengan tutupan 76%, maka luas area selam di terumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah 76% dari luas hamparan karang (Yulianda, 2007) Analisis Sistem dan Pemodelan Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno,1999). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1999).

75 52 Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi (Eriyatno, 1999). Identifikasi sistem diagram lingkar sebab-akibat kemudian diinterpretasikan untuk membangun konsep kotak gelap (black box) diagram input-output. Diagram input-output merepresentasikan input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen pengendalian.. Pemodelan merupakan suatu gugus aktivitas pembuatan model. Secara umum pemodelan didefinisikan sebagai suatu abstraksi dari sebuah obyek atau situasi actual. Tujuannya adalah untuk menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat, sehingga dapat dibangun struktur modelnya. Teknik kuantitatif dan simulasi digunakan untuk mengkaji keterkaitan antar peubah dalam sebuah model (Eriyatno, 1999). Industri Limbah Pencemaran - penduduk + Peningkatan Kualitas lingkungan - Kerusakan lingkungan - Aktivitas Perikanan + Pajak dan retribusi + pendapatan treatment Daya dukung PDB Sektor + Income perkapita Gambar 4. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop) Model Pengelolaan Wisata dan Perikanan Berkelanjutan di Pantai Kota Makassar Aktivitas Wisata pantai + Jumlah pengunjung + Daya beli + Kesejahteraan meningkat

76 53 Dalam simulasi model pemanfaatan wilayah pantai Makassar untuk kegiatan Wisata pantai dan perikanan, optimasi ini akan dilakukan tiga skenario, yaitu : 1. Skenario laju pencemaran pantai kota (ekologi), perkembangan berbagai faktor ekonomi dan sosial serta kegiatan pemanfataan untuk wisata dan perikanan seperti kondisi sekarang. 2. Skenario pesimis, meningkatkatkan laju pencemaran (tekanan ekologi), dan tekanan sosial ekonomi terhadap kegiatan wisata pantai dan perikanan terpadu. 3. Skenario optimis, laju pencemaran dikendalikan dan faktor sosial dan ekonomi yang kondusif untuk mendukung wisata pantai dan perikanan. Analisis model optimalisasi ini akan menggunakan alat bantu perangkat lunak stella versi (High Performance System, Inc., 2007). Tabel 9 Tujuan dan metode analisis model pengelolaan wisata pantai dan perikanan NO Tujuan Metode analisis 1 Mengukur kondisi fisika dan kimia perairan pantai Kota Makassar 2 Mengetahui Daya dukung untuk Wisata dan Perikanan 3 Mengetahui tingkat laju pencemaran Mengetahui pengaruh 4 berbagai faktor sosial pada kegiatan wisata dan perikanan 5 Merancang model dinamik pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan wisata dan perikanan - Pengukuran data lapangan dan analisis laboratorium untuk parameter : Kecepatan arus, ph, Suhu,, salinitas, Disolved Oxygen (DO), Biochemical Oxygen Demand (BOD), COD, NO 3,PO 4 - Pengukuran daya dukung lahan untuk kegiatan wisata pantai dan perikanan budidaya KJA serta rumput laut - Mengukur beban limbah, indeks pencemaran kapasitas asimilasi - Menghitung tingkat pendapatan, kelayakan usaha, PDB subsektor wisata dan perikanan, daya serap tenaga kerja - Analisis sistem dan pemodelan dengan berbagai faktor yang mempengaruhi yakni ekologi, sosial dan ekonomi dengan software stella versi Tahapan analisis rancangan model pengelolaan wisata pantai dan perikanan di pantai Kota Makassar dapat dilihat pada skema gambar 5 :

77 54 Pengelolaan Pantai Kota Makassar Pertumbuhan penduduk Tata ruang pantai Kota Makassar Tata ruang daratan (Up Pemukiman Penduduk Wisata Pantai Perikanan Terpadu Industri dan dan Perdagangan Bisnis Perubahan Habitat Pencemaran Pencemaran dari sungai dan Kanal Analisis daya dukung Analisis Kelayakan Ekonomi Perikanan Lingkungan Pantai Wisata Wisata Daya Dukung (Kelayakan ekologis) Analisis pencemaran, beban Limbah, Kapasitas Asimilasi Analisis Sistem dan Pemodelan Desain Model Perikanan & Wisata Pengelolaan Wisata pantai dan Perikanan Berkelanjutan Gambar 5. Model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan

78 6. MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN 6.1 Penyusunan Skenario Model Pemanfaatan kawasan pesisir kota Makassar untuk perikanan dan wisata sangat berkaitan dengan kesesuian dan daya dukung kawasan tersebut. Sementara kesesuian dan daya dukung suatu kawasan sangat bergantung pada kondisi ekologis dari lingkungan. Pada sisi lain kondisi lingkungan ekologis terukur dari parameter diantaranya parameter fisika dan kimianya. Selanjutnya kondisi fisika dan kimia suatu kawasan pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya beban limbah yang masuk. Mungkin terlalu sederhana untuk menggambarkan interaksi berbagai komponen dalam suatu sistem pengelolaan perikanan dan wisata seperti gambaran tersebut diatas, karena kondisi yang ada di alam tentunya terjadi dengan interaksi yang lebih kompleks, jadi pemodelan adalah penyederhanaan dari kondisi yang lebih kompleks. Hal ini dikemukakan oleh Muhamadi (2001) bahwa salah satu tujuan dari dibangunnya model untuk pengelolaan di pesisir pantai Kota Makassar adalah bagaimana mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian. Rancangan dan skenario model di kawasan pantai Kota Makassar juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan aspek penekanan yang berbeda, Samawi (2007) dan Bohari (2010) masing-masing model dan pengendalian pencemaran serta model pengelolaan pantai Kota. Perangkat lunak yang digunakan untuk merumuskan dan menganalisis model yang dibangun dalam penelitian ini yakni Stella versi Skenario merupakan rancangan kebijakan yang memungkinkan dapat dilaksanakan dalam kondisi nyata, didasarkan pada faktor-faktor yang berpengaruh di masa datang. Dengan melakukan perkiraan pada faktor-faktor yang akan datang maka dapat dilakukan penyusunan skenario model. Skenario yang yang dimodelkan adalah kondisi lingkungan ekologis pantai pesisir Makassar akibat adanya pencemaran yang akan berdampak pada aktivitas perikanan dan wisata di masa datang. Dalam penyusunan skenario model ini, berdasarkan pada data yang ada berupa hasil survey dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, simulasi akan dilakukan dalam rentang 10

79 104 tahun. Simulasi ini dilakukan dengan asumsi model akan terus berlanjut di masa datang. Asumsi-asumsi ini disusun untuk membatasi cakupan model dan adanya berbagai kekurangan berkaitan dengan ketersedian data dan keterbatasan kemampuan dari peneliti. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk skenario model ini secara umum adalah : 1. Periode waktu simulasi dibatasi hanya 10 tahun adalah periode umur efektif dari Instalasi Pengolahan Air Limbah 2. Jumlah penduduk dan wisatawan mengikuti pola pertumbuhan penduduk kota Makassar.yang terjadi pada saat penelitian 3. Parameter limbah yang digunakan dalam model adalah BOD 5,COD, NO3 dan PO4 dan konsentrasinya mengacu pada saat penelitian 4. Migrasi penduduk tidak diperhitungkan dan dianggap nol 6.2 Pembangunan Model Model pengelolaan pencemaran di perairan pantai Kota Makassar dibangun atas beberapa sub model, meliputi 1) Sub model beban limbah BOD 2) sub model beban limbah COD 3) sub model beban limbah NO3 4) sub model beban limbah PO4 5) Sub model ekonomi dan IPAL. Sub-sub model yang ada kemudian disusun secara sederhana menjadi sebuah model pengelolaan pesisir terutama mengenai pengelolaan pencemaran untuk mengukur keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar. Nilai-nilai atribut dan parameter yang digunakan untuk membangun model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan wisata dan perikanan di pantai kota Makassar, dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 16. Nilai dugaan parameter pada sub-sub model model pengelolaan pencemaran pantai Kota Makassar No. Dimensi dan Atribut Nilai /dugaan parameter Keterangan 1 Initial jumlah penduduk (jiwa) BPS Makassar dalam angka 2010) 2 Laju pertumbuhan penduduk 1,63% Analisisdata sekunder Tingkat kematian penduduk 1% Analisis deskriptif data sekunder Jumlah Hotel di Makassar (buah) 127 Disbudpar,2009

80 105 No. Dimensi dan Atribut Nilai /dugaan parameter Keterangan 5 Jumlah kamar hotel di Makassar Disbudpar,2009 (buah) 6 Fraksi pertumbuhan hotel 0,20 Disbudpar, Tingkat hunian (okupansi) 0,47 Disbudpar, Daya dukung KJA (unit) Analisis deskriptif data sekunder Daya dukung budidaya rumput laut (unit) 554 Analisis deskriptif data sekunder Daya dukung Wisata pantai (org/hari) 414 Analisis deskriptif data sekunder Fraksi limbah BOD (mg/hari) 0, Analisis data primer , Fraksi Limbah COD (mg/hari) 0, , Analisis data primer Fraksi limbah NO3 (mg/hari) 0, Analisis data primer , Fraksi Limbah PO4 (mg/hari) 0, Analisis data primer , Nilai Ekonomi IPAL (Rp) ,- Pemkot Makassar, Faktor konversi beban limbah 2,592 Analisis data primer Keuntungan KJA (Rp) Analisis data sekunder Kapasiitas asimilasi BOD 83269,32 Analisis data primer Kapasiitas asimilasi COD 0, Analisis data primer Kapasiitas asimilasi NO3 0, Analisis data primer Kapasiitas asimilasi PO4 0, Analisis data primer Kompensasi IPAL (Rp) Analisis data sekunder Umur IPAL (bln) 120 Analisis deskriptif data sekunder Debit s Jenneberang ( m 3 /dtk) 1028,50 Analisis data primer Debit S Tallo ( m 3 /dtk) 387,85 Analisis data primer Debit Kanal Panampu ( m 3 /dtk) 39,154 Analisis deskriptif data sekunder Debit Kanal Jongaya ( m 3 /dtk) 24,921 Analisis data sekunder Debit Kanal Benteng ( m 3 /dtk) 1,494 Analisis data sekunder 2010

81 106 No. Dimensi dan Atribut Nilai /dugaan Keterangan parameter Debit Kanal H Bau ( m 3 /dtk) 1,8998 Analisisdata sekunder Biaya Operasional IPAL (Rp/tahun) Analisis deskriptif data sekunder Keuntungan Budidaya rumput laut (Rp) Coremap, mitra bahari sulsel Keuntungan Wisata (Rp) Analisis deskriptif data sekunder Pajak PPh dan retribusi usaha 10% Analisis deskriptif data sekunder 2011 Model pengelolaan pencemaran perairan pesisir bagi keberlanjutan perikanan dan wisata pantai Kota Makassar adalah sebagi berikut : Gambar 19 Model pengelolaan pencemaran perairan Makassar Model ini menggambarkan aliran beban limbah BOD 5, COD, NO 3 dan PO 4 yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan kanal. Jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan okupansi (tingkat hunian kamar) sebagai pemicu dinamik. Sumber aliran terdiri dari Sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi limbah yang berbeda-beda. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) serta kapasitas asimimilasi menjadi atribut

82 107 pengurang beban limbah. Status keberlanjutan perikanan dan wisata terukur dari penurunan kapasitas asimilasi yang mempengaruhi daya dukung. Operasionalisasi IPAL dibiayai oleh sumber pencemar melalui pungutan/kompensasi yang dikeluarkan. Alokasi nilai kompensasi menentukan kinerja IPAL yang mempengaruhi daya dukung perairan untuk aktivitas perikanan dan wisata. Nilai keuntungan dari usaha perikanan dan wisata akan memberikan memberikan manfaat bersih setelah dikurangi dengan biaya kompensasi. Keuntungan dari usaha perikanan dan wisata selain memberikan insentif atas biaya kompensasi yang dikeluarkan oleh pencemar juga memberikan pemasukan bagi pemerintah berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD) 6.3. Simulasi Model Pengelolaan Simulasi skenario model dilakukan untuk mencari dan membentuk model pengelolaan pencemaran kota Makassar untuk mengukur keberlanjutan perikanan dan wisata yang ada. Dalam simulasi skanario model yang dibuat akan dibentuk berbagai parameter dan atribut yang didesain untuk menentukan pengelolaan secara baik. Dalam membentuk skenario pengelolaan pencemaran yang ada di pantai Kota Makassar diperkirakan ada aspek atribut yang luput untuk dimasukkan dalam model, akan tetapi dengan model yang ada diharapkan minimal dapat dijadikan sebagai gambaran tentang pengelolaan pantai kota agar tetap berkelanjutan Analisis kebijakan adalah pengetahuan tentang cara cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model. Simulasi model adalah tiruan perilaku sistem nyata. Dengan menirukan perilaku sistem nyata tersebut maka proses analisis akan lebih cepat, bersifat holistik, hemat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini akan diuraikan tentang bagaimana melakukan analisis kebijakan tersebut secara teknis dan operasional dengan simulasi model (Muhamadi 2001). Analisis kebijakan ini dilakukan dengan melakukan intervensi fungsional dan intervensi struktural. Intervensi fungsional adalah intervensi terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter. Intervensi struktural adalah intervensi dengan mengubah unsur, mengubah hubungan yang membentuk struktur model atau intervensi dengan menambahkan

83 108 sub model penghubung ke dalam model awal. Dalam model ini ini yang menjadi aspek penekanan adalah kualitas perairan yang ada akibat dari pencemaran yang dilakukan oleh masyarakat Sub Model Beban Limbah BOD 5 Gambar 20.Sub model beban limbah BOD Sub Model ini menggambarkan aliran beban limbah BOD5 yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan kanal. Sub model ini dibangun berdasarkan jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan okupansi (tingkat hunian kamar) sebagai pemicu dinamik. Sumber aliran terdiri dari Sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi BOD 5 yang berbeda-beda. Tiap beban limbah akan dikalikan dengan faktor konversi untuk mendapatkan loading beban bulanan. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) menjadi atribut pengurang beban limbah. 5

84 Sub Model Beban Limbah COD Gambar 21 Sub model beban limbah COD Sub Model ini menggambarkan aliran beban limbah COD yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan Kanal. Sub model ini dibangun berdasarkan jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan tingkat hunian kamar (okupansi) sebagai pemicu dinamik. Sumber aliran terdiri dari Sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi COD yang berbeda-beda. Tiap beban limbah akan dikalikan dengan faktor konversi untuk mendapatkan loading beban bulanan. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) menjadi atribut pengurang beban limbah. Keberlanjutan dinilai dari beban limbah yang dikurangi dengan kapasitas asimilasi

85 Sub Model Beban Limbah NO3 Gambar 22 Sub model beban limbah NO3 Sub Model ini menggambarkan aliran beban limbah NO3 yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan Kanal. Sub model ini dibangun berdasarkan jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan okupansi (tingkat hunian kamar) sebagai pemicu dinamik. Sumber aliran terdiri dari Sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi NO3 yang berbeda-beda. Tiap beban limbah akan dikalikan dengan faktor konversi untuk mendapatkan loading beban bulanan. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) menjadi atribut pengurang beban limbah. Asumsi IPAL adalah berkerja merata pada semua sumber limbah.

86 Sub Model Beban Limbah PO 4 Gambar 23 Sub model beban limbah PO 4 Sub Model ini menggambarkan aliran beban limbah PO4 yang masuk perairan pesisir Makassar melalui berbagai aliran sungai dan Kanal. Sub model ini dibangun berdasarkan jumlah populasi sumber pencemaran yang terdiri dari penduduk dan wisatawan di kota Makassar, dimana tingkat pertumbuhan dan okupansi (tingkat hunian kamar) sebagai pemicu dinamik. Sumber aliran terdiri dari Sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Panampu, Jongaya, Benteng dan Haji Bau. Tiap aliran memiliki debit dan konsentrasi PO 4 yang berbeda-beda. Tiap beban limbah akan dikalikan dengan faktor konversi untuk mendapatkan loading beban bulanan. Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) menjadi atribut pengurang beban limbah yang bekerja bergantung pada kapasitas instalasinya Sub model Ekonomi dan Daya Dukung Sub model Ekonomi dan IPAl ini menggambarkan kondisi dari nilai ekonomi aktivitas perikanan dan wisata yang mengalami perubahan akibat adanya pencemaran. Besarnya beban pencemaran dipengaruhi oleh jumlah Total sumber

87 112 pencemaran dan efektivitas kerja dari IPAL. Efektivitas kerja IPAL diasumsikan dipengaruhi oleh nilai kompensasi dari sumber pencemar (penduduk). Penurunan dan peningkatan daya dukung untuk aktivitas perikanan dan wisata pantai bergantung pada beban pencemaran yang terjadi dan kapasitas asimilasi. Nilai daya dukung menggambarkan seberapa banyak kemungkinan aktivitas perikanan dan wisata yang dapat dilakukan di kawasan pantai Kota Makassar. Nilai ekonomi diperoleh dari estimasi asumsi nilai keuntungan bersih tiap-tiap aktivitas perikanan dan wisata. Manfaat ekonomi dari perikanan dan wisata akan dialokasikan sebagai Pendapatan Daerah (PAD) yang diperoleh dari pengutan atau retribusi. Manfaat bersih diperoleh dari pengurangan nilai manfaat total perikanan dan wisata dengan nilai kompensasi yang dibayarkan oleh pencemar untuk membiayai IPAL. Gambar 24 Sub model ekonomi dan IPAL 6.4. Basis Model Pengelolaan Pencemaran Basis model dibangun berdasarkan kondisi lapangan yang sebenarnya (eksisting) dimana atribut dan nilainya diperoleh berdasarkan pengukuran dan pengumpulan data dari berbagai sumber penelitian dan literature tentang pengelolaan pencemaran dan perikanan serta wisata

88 Beban Limbah Skenario Basis Hasil simulasi beban limbah untuk parameter-parameter yang dijadikan acuan, diperoleh hasil akhir yang berbeda. Hal ini bergantung pada nilai atribut masing-masing parameter. Nilai parameter BOD yang diperoleh dari hasil simulasi paling tinggi pada aliran sungai Jenneberang dan terkecil pada Kanal Benteng (lihat gambar 24). Aliran beban limbah pada Sungai Jenneberang pada awal simulasi ton/bln menjadi ton/bln diakhir periode dengan lama simulasi 10 tahun, adapun beban limbah pada Kanal Benteng 9 ton/bln menjadi 52 ton/bln. Total limbah BOD yang terakumulasi pada perairan pesisir Kota Makassar dari semua aliran limbah yang masuk adalah ton/bln pada awal simulasi menjadi ton/bln Gambar 25 Hasil simulasi beban limbah BOD 5 skenario basis Hasil simulasi untuk beban limbah COD pada skenario basis ini juga tidak berbeda hampir sama dengan BOD. Beban terbesar limbah COD tertinggi dialirkan oleh Sungai Jenneberang dengan ton/bln diawal periode

89 114 ton/bln diakhir periode. Loading beban terendah di Kanal Benteng dan Kanal Haji Bau. Gambar 26 Hasil simulasi beban limbah COD skenario basis Konsentrasi beban limbah NO 3 pada pesisir kota Makassar memperlihatkan hasil yang relatif hampir sama dengan parameter lain. Loading beban NO 3 memperlihatkan besaran yang berbeda-beda. Kontribusi terbesar masih dari aliran beban limbah pada sungai Jenneberang selanjutnya berturutturut Kanal Panampu, Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal H Bau dan Kanal Benteng. Terdapat sedikit perbedaan besaran loading beban antara Kanal Panampu dan Sungai Tallo, walaupun debit Sungai Jenneberang lebih tinggi tetapi memiliki konsentrasi limbah aliran yang lebih rendah dari Kanal Panampu (lihat gambar 26). Hasil simulasi beban limbah PO4 total diperairan pesisir Kota Makassar adalah ton/bln menjadi ton/bln diakhir periode simulasi 10 tahun mendatang. Sama dengan konsentrasi parameter limbah yang lain, PO 4 yang ada di perairan pesisir kota Makassar disumbangkan oleh aliran sungai dan kanal. Aliran limbah PO 4 tertinggi berasal dari Sungai Jenneberang dan terendah oleh Kanal Haji Bau. Variasi beban limbah pada airan beban dikarenakan tingkat konsentrasi parameter dan debit aliran yang berbeda-beda

90 115 Gambar 27 Hasil simulasi beban limbah NO 3 skenario basis t Gambar 28 Hasil simulasi beban limbah PO 4 skenario basis Status Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Skenario Basis Model pengelolaan pencemaran di perairan pesisir Kota Makassar adalah untuk melihat status keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata. Aktivitas perikanan dan wisata yang memungkinkan terdapat di perairan pantai Kota

91 116 Makassar diukur berdasarkan kesesuaian lahan dan daya dukung perairan. Pencemaran beban limbah yang terdapat di perairan akan mempengaruhi daya dukung perairan, sehingga keberlanjutan perikanan dan wisata akan terancam karena adanya pencemaran. Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993) Gambar 29 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah BOD 5 skenario basis Beban limbah yang masuk ke perairan selain bergantung pada aliran dan konsentrasi pencemar, serta jumlah pencemar juga bergantung pada kemampuan perairan tersebut untuk menampung beban limbah yang biasanya dinyatakan dengan kemampuan asimilasi perairan. Bila beban limbah yang masuk belum melebihi kapasitas asimilasinya maka perairan tersebut masih dapat mendukung aktivitas yang sesuai dengan peruntukkannya. Sejalan yang dikemukakan Krom (1996) bahwa Daya tampung kawasan pesisir adalah kemampuan badan air atau perairan di kawasan tersebut dalam menerima limbah organik termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk mendaur ulang atau mengasimilasi limbah

92 117 tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat terganggunya keseimbangan ekologisnya Dalam simulasi model yang dibangun terdapat berbagai parameter yang dijadikan acuan dengan kondisi aliran sungai dan kanal. Hasil simulasi status keberlanjutan dengan parameter acuan beban limbah BOD 5, didapatkan hasil yang bervariasi. Status perikanan dan wisata di daerah muara aliran sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta Kanal-kanal masih memungkinkan untuk dilanjutkan karena memperlihatkan nilai negatif artinya beban limbah yang masuk masih dibawah kemampuan asimilasi. Gambar 30 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario basis Hasil simulasi status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter COD mempelihatkan bahwa kegiatan perikanan dan wisata masih dapat dimungkinkan dilakukan kecuali perairan disekitar muara Sungai Jenneberang. Hal ini terindikasi dari nilai negatif yang diperoleh untuk semua aliran sungai dan kanal, walaupun dengan nilai yang beragam sementara nilai keberlanjutan di muara sungai Jenneberang walaupun pada awalnya memungkinkan karena nilainya negative, tetapi untuk periode simulasi akhir memperlihatkan hasil nilai positif

93 118 Hasil simulasi status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter NO 3 juga mempelihatkan bahwa kegiatan perikanan dan wisata masih dapat dimungkinkan dilakukan kecuali perairan disekitar muara Sungai Jenneberang. Hal ini terindikasi dari nilai negatif yang diperoleh untuk semua aliran sungai dan kanal, walaupun dengan nilai yang beragam. Adapun untuk aliran pada sungai Jenneberang memperlihatkan status tidak berlanjut karena sejak awal simulasi nilainya positif yang artinnya aliran beban limbah NO 3 yang masuk terlalu tinggi dibandingkan kemampuan asimilasi perairan tersebut Gambar 31 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario basis Hasil simulasi model basis untuk mengukur status keberlanjutan perikanan dan wisata di perairan pesisir Makassar berdasarkan aliran limbah PO4 memperlihatkan hasil yang bervariasi. Untuk aliran sungai Jenneberang dan Tallo memperlihatkan hasil positif artinya aktivitas perikanan disekitar muara sungai tidak dapat dilakukan karena beban limbah terlalu tinggi, sementara untuk aliran kanal masih dapat dimungkinkan. Hal ini karena selain jumlah debit yang lebih besar dari masing-masing sungai juga karena nilai konsentrasi parameter pada aliran juga besar

94 119 Gambar 32 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO 4 skenario basis Pencemaran dan Nilai Kompensasi Skenario Basis Model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar, mencoba untuk menerapkan prinsip bahwa pencemar akan membayar setiap kerusakan yang ditimbulkan pada lingkungan (polluter must pay principle). Dengan menerapkan sistem kompensasi atas limbah atau cemaran yang dihasilkan pada setiap pencemar maka pengelolaan pencemaran diharapkan akan dapat berkelanjutan, karena setiap individu ataupun lembaga pencemar akan membayar tiap cemaran yang dihasilkan. Semakin tinggi kesadaran akan lingkungan semakin rendah biaya yang akan dibayarkan begitu juga sebaliknya. Pada model yang dibangun terdapat atribut penduduk sebagai sumber pencemar. Penduduk dalam model terdiri dari jumlah penduduk lokal Kota Makassar dan tamu atau wisatawan yang menginap di hotel-hotel yang ada di Makassar. Jumlah penduduk kota Makassar saat ini berjumlah jiwa (BPS kota Makassar, 2010) dan diperkirakan jiwa pada 25 tahun mendatang. Pertumbuhan penduduk kota Makassar berdasarkan asumsi

95 120 pertumbuhan 1,63% untuk setiap tahun, jumlah ini bisa saja lebih besar mengingat prediksi ini tidak memasukkan jumlah migrasi penduduk. Asumsi ini karena perkembangan Kota Makassar yang relatif pesat serta merupakan pintu gerbang pembangunan dan pertumbuhan di Indonesia timur. Adapun jumlah tamu mengikuti pertumbuhan jumlah hotel, jumlah kamar dan tingkat hunian (okupansi) dari hotel. Nilai kompensasi dalam model pengelolaan pencemaran, menggambarkan berapa besar nilai ekonomi yang yang harus dibayarkan oleh penduduk (sumber pencemar) untuk dapat memulihkan kondisi perairan agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam memulihkan kondisi perairan agar tidak tercemar maka IPAL (instalasi pengolahan air limbah) sebagi medianya. Jadi dalam model ini diasumsikan berapa nilai ekonomi yang harus dibayar oleh penduduk Makassar untuk dapat membiayai IPAL. Gambar 33 Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario basis Hasil simulasi memperlihatkan pertumbuhan sumber pencemar yang terdiri dari penduduk Kota Makassar dan Jumlah tamu hotel di Makassar pada awal simulasi berjumlah jiwa sementara pada akhir simulasi 10 tahun kemudian berjumlah jiwa. Sementara nilai kompensasi untuk tiap sumber pencemar adalah Rp 798,- pada awal simulasi menjadi Rp 676,- pada akhir simulasi. Hasil simulasi ini memperlihatkan adanya penurunan nilai

96 121 kompensasi untuk tiap pencemar (penduduk) yang disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk. Nilai kompensasi sendiri diperoleh dari nilai IPAL yang terdiri dari nilai investasi dan operasional dibagi dengan jumlah penduduk. Jadi semakin tinggi jumlah penduduk maka semakin rendah jumlah nilai kompensasi yang dibayar oleh setiap penduduk Dalam Simulasi model basis jumlah nilai IPAL hanya dialokasikan sebesar 30% dari total nilainya. Hal ini juga diasumsikan sama dengan efektfitas kerja dan alokasi nilai kompensasi. Dari hasil simulasi dengan alokasi anggaran IPAL dan efektifitas kerja 30%, diperoleh nilai manfaat bersih perikanan dan wisata Rp /bln dan manfaat total yang diperoleh sampai tahun ke-10 menjadi Rp ,- (lihat gambar 32). Nilai manfaat ini diperoleh dari akumulasi manfaat perikanan dan wisata dikurangi dengan biaya total yang berasal dari operasional IPAL yang dibayarkan oleh penduduk Imbangan nilai insentif pada model basis menggambarkan jumlah keuntungan tiap-tiap sumber pencemar (penduduk). Pada hasil simulasi model imbangan nilan insentif diperoleh sebesar Rp 1.153,-/orang/bln pada awal periode menjadi total Rp ,- pada akhir simulasi. Jadi bila dibandingkan antara nilai kompensasi dan imbangan nilai insentif yang diperoleh penduduk, masih terdapat selisih nilai bersih yang menguntungkan. Pada awal simulasi nilai insentif adalah Rp 1.153,-/orang/bln dikurangi dengan nilai kompensasi yang dibayar penduduk sebesar Rp 798,-, masih terdapat keuntungan bersih sebesar Rp 355,-/orang/bln IPAL, Daya Dukung dan Keuntungan Ekonomi Dalam model pengelolaan pencemaran yang dibangun, IPAL mempunyai peranan penting sebagai pengendali beban pencemaran yang bermuara di perairan Makassar. Kinerja IPAL sangat menentukan keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata, hal ini dikarenakan beban limbah yang berasal dari penduduk Kota Makassar akan dikelola terlebih dahulu hingga mencapai titik aman konsentrasi sebelum dibuang ke perairan pantai, Menurut Pemkot Makassar (2010) dana pembangunan IPAL akan dialokasikan sebesar 407 milyar. Instalasi pengolahan air limbah saat ini hanya baru melayani beberapa kecamatan dan diharapkan semua kecamatan memiliki intalasi pengolahan sehingga Makassar akan terbebas dari limbah.

97 122. Gambar 34 Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario basis Dengan adanya proses pengolahan limbah sebelum masuk ke perairan pantai, tentu akan tetap menjaga lingkungan supaya tidak tercemar. Perairan yang tidak tercemari beban limbah tentu akan dapat memberikan jasa lingkungan sesuai dengan peruntukkan berdasarkan tingkat kesesuaian dan daya dukungnya. Jadi IPAL memgang peranan penting agar perairan pesisir pantai tetap terpelihara daya dukung untuk berbagai aktivitas termasuk perikanan dan wisata. Dampak dari tetap terpeliharanya daya dukung lingkungan akan memberikan efek positif dari sisi ekonomi, selain tentunya efek pembiayaan untuk pembangunan dan operasionalisasi IPAL tersebut Berdasarkan hasil simulasi model dengan skenario basis memperlihatkan bahwa nilai keuntungan perikanan dan wisata cukup besar yakni Rp ,-/bulan pada awal simulasi dan kemudian menjadi Rp Rp ,-/bln pada akhir periode. Selain nilai keuntungan yang dapat diperoleh masyarakat atau pelaku usaha pada bidang perikanan dan wisata, pemerintah juga dapat memperoleh pemasukan berupa pajak yang dipungut sebesar 10% dari tingkat keuntungan usaha dengan asumsi yang digunakan dalah pajak PPh atau pajak penghasilan. Bila dilihat dari sisi ekonomi maka pembangunan IPAL bukan membebani anggaran secara negatif tetapi memberikan manfaat ekonomi dua sisi baik bagi masyarakat maupun pemerintah,

98 123 itupun belum memperhitungkan manfaat lainnya seperti terpeliharanya ekosistem dan estetika serta lainnya Skenario Pesimis Skenario pesimis dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu skenario kebijakan pengelolaan pencemaran pesisir pantai Kota Makassar, yang dilakukan dengan tidak mempertimbangkan menciptakan kondisi atau suasanya yang buruk bagi keberlanjutan salah satu atau seluruh dimensi pengelolaan. Skenario pesisimis pada model pengelolaan pencemaran pantai Kota Makassar dapat juga dikatakan bahwa atribut atau faktor-faktor (atribut) penting mengalami pengurangan atau degradasi sehingga pengelolan akan semakin buruk. Skenario ini juga dibangun dengan tujuan memberikan gambaran kemungkinan terburuk yang akan dialami, sehingga menjadi petunjuk bagi pemerintah daerah Kota Makassar untuk mengelolan dan membangun wilayah pesisir Makassar. Perubahan nilai atribut pada skenario pesimis model pengelolaan pantai Kota Makassar diantaranya adalah Penurunan kinerja IPAL dari 30% menjadi 10%, peningkatan populasi pencemar yakni pertumbuhan penduduk dari 1,65% menjadi 2% pertahun, peningkatan konsentarsi parameter pencemar menjadi 50% diatas model basis. : Beban Limbah Skenario Pesimis Hasil simulasi beban limbah untuk parameter-parameter yang dijadikan acuan pada skanario pesimis, diperoleh hasil akhir yang berbeda. Penurunan kinerja IPAL, peningkatan konsentrasi parameter perkapita, serta peningkatan jumlah pertumbuhan pencemar sangat mempengaruhi hasil akhir running model. Nilai parameter BOD5 yang diperoleh dari hasil simulasi paling tinggi pada aliran sungai Jenneberang dan terkecil pada Kanal Benteng. Aliran beban limbah pada Sungai Jenneberang pada awal simulasi ton/bln meningkat signifikan bila dibandingkan dengan model basis yang hanya ton/bln, sementara hasil akhir simulasi menjadi ton/bln dengan lama simulasi 10 tahun. Aliran beban limbah terkecil oleh kanal Benteng sebesar 13,94 ton/bln menjadi 167,71 ton/bln Hasil simulasi model skenario pesismis untuk beban limbah COD juga berbeda dengan beban limbah pada skenario basis.. Beban terbesar limbah COD tertinggi dialirkan oleh Sungai Jenneberang dengan kontribusi sebesar ton/bln pada awal periode simulasi cukup tinggi peningkatannya bila dibandingkan model basis sebesar ton/bln diawal periode, sementara akhir

99 124 periode jumlah beban adalah ton/bln. Loading beban terendah di Kanal Benteng dan Kanal Haji Bau. Beban limbah COD total yang bermuara di perairan pantai Kota Makassar yang berasal dari sungai dan kanal adalah ton/bln pada awal simulasi menjadi ton/bln Gambar 35 Hasil simulasi beban limbah BOD 5 skenario pesimis Gambar 36 Hasil simulasi beban limbah COD skenario pesimis

100 125 Pada simulasi model pesismis konsentrasi beban limbah NO3 pada pesisir kota Makassar memperlihatkan hasil yang relatif hampir sama dengan parameter lain. Loading beban NO 3 memperlihatkan besaran yang berbeda-beda. Kontribusi terbesar masih dari aliran beban limbah pada sungai Jenneberang selanjutnya berturut-turut Kanal Panampu, Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal H Bau dan Kanal Benteng. Terdapat sedikit perbedaan besaran loading beban antara Kanal Panampu dan Sungai Tallo, walaupun debit Sungai Jenneberang lebih tinggi tetapi memiliki konsentrasi limbah aliran yang lebih rendah dari Kanal Panampu. Total beban limbah NO 3 yang berasal dari aliran sungai dan kanal adalah 227,82 ton/bln pada awal simulasi menjadi ,85 ton/bln di akhir periode Gambar 37 Hasil simulasi beban limbah NO3 skenario pesimis Hasil simulasi beban limbah PO4 total pada skenario pesimis diperairan pesisir Kota Makassar adalah ton/bln meningkat cukup tinggi bila dibandingkan dengan hasil pada skenario basis yang hanya ton/bln, sementara pada akhir periode simulasi 10 tahun kedepan jumlah beban limbah PO 4 adalah ton juga meningkat secara signifikan bila dibandingkan dengan beban limbah pada skenario basis ton. Sama dengan konsentrasi parameter limbah yang lain, PO 4 yang ada di perairan pesisir kota Makassar

101 126 disumbangkan oleh aliran sungai dan kanal. Aliran limbah PO 4 tertinggi berasal dari Sungai Jenneberang dan terendah oleh Kanal Haji Bau. Variasi beban limbah pada airan beban karena tingkat konsentrasi parameter dan debit aliran yang berbeda-beda. Selain itu beban limbah pada model pesismis sangat meningkat disebabkan karena peningkatan atribut pemicu sepeti tingkat pertumbuhan penduduk, tingkat konsentrasi perkapita serta penurunan kinerja IPAL Gambar 38 Hasil simulasi beban limbah PO4 skenario pesimis Status Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Skenario Pesimis Model pengelolaan pencemaran di perairan pesisir Kota Makassar adalah untuk melihat status keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata. Pada skenario pesismis akan dicoba begaimana secara keseluruhan status keberlanjutan perikanan dan wisata diperairan pantai kota Makassar akibat perubahan atribut yang ada dalam model. Seperti diketahui aktivitas perikanan dan wisata yang memungkinkan terdapat di perairan pantai Kota Makassar diukur berdasarkan kesesuaian lahan dan daya dukung perairan. Sementara di lain sisi pencemaran beban limbah yang terdapat di perairan akan mempengaruhi daya dukung perairan, sehingga keberlanjutan perikanan dan wisata akan terancam karena adanya pencemaran. Beban limbah yang masuk ke perairan selain bergantung pada aliran dan konsentrasi pencemar, juga bergantung pada kemampuan perairan tersebut untuk menampung beban limbah yang biasanya dinyatakan dengan kemampuan

102 127 asimilasi perairan. Bila beban limbah yang masuk belum melebihi kapasitas asimilasinya maka perairan tersebut masih dapat mendukung aktivitas yang sesuai dengan peruntukkannya. Dalam simulasi model pesimis yang dibangun terdapat perubahan pada berbagai parameter yang dijadikan acuan dengan kondisi aliran sungai dan kanal seperti penurunan kinerja IPAL dan peningkatan konsentrasi pencemaran serta tingkat pertumbuhan penduduk. Hasil simulasi status keberlanjutan dengan parameter acuan beban limbah BOD 5 pada skenario pesimis, didapatkan hasil yang berbeda bila dibandingkan skenario basis Gambar 39 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah BOD 5 skenario pesimis Status perikanan dan wisata di daerah muara aliran sungai Jenneberang dan Sungai Tallo walaupun pada awalnya masih memungkinkan tetapi pada akhir simulasi memperlihatkan hasil sebaliknya karena kemampuan asimilasi perairan sudah berada di bawah besaran limbah yang masuk hal itu ditandai dari nilai keberlanjutan yang awalnya negatif berubah menjadi positif. Sementara status keberlanjutan untuk aliran kanal semua bernilai negatif. Sementara itu status keberlanjutan di Kanal-kanal masih memungkinkan untuk dilanjutkan karena memperlihatkan nilai negatif artinya beban limbah yang masuk masih dibawah kemampuan asimilasi.

103 128 Gambar 40 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario pesimis Hasil simulasi status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter COD pada skenario pesimis memperlihatkan bahwa aliran beban limbah pada Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo mengalami perubahan status, dari awal simulasi masih memungkinkan untuk kegiatan perikanan (budidaya) dan wisata karena masih bernilai negatif tetapi akhirnya tidak memungkinkan karena bernilai positif di akhir periode simulasi. Untuk status perikanan dan wisata pada muara kanal-kanal dimakassar berdasarkan loading beban COD kesemuanya masih memungkinkan karena nilai kapasitas asimilasi masih diatas beban limbah yang masuk ke perairan Berdasarkan hasil simulasi model pesimis, status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter NO 3 juga mempelihatkan bahwa kegiatan perikanan dan wisata tidak dapat dimungkinkan dilakukan kecuali perairan disekitar muara Kanal Benteng. Sementara untuk aliran sungai dan kanal-kanal lainnya sudah tidak memungkinkan dengan kondisi hasil simulasi yang posisitif pada akhir simulasi. Berdasarkan gambar grafik perkembangan simulasi status keberlanjutan dengan parameter NO 3, pada awalnya memungkinkan karena beban limbah masih

104 129 berada dibawah kemampuan asimilasi, akan tetapi setelah berjalan sekitar 3 tahun periode simulasi hampir semua status memperlihatkan angka positif yang artinya beban limbah sudah tidak mampu diasimilasi oleh perairan dimana limbah tersebut bermuara. Gambar 41 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario pesimis Hasil simulasi model pesimis untuk mengukur status keberlanjutan perikanan dan wisata di perairan pesisir Makassar berdasarkan aliran limbah PO4 memperlihatkan hasil yang hampir seragam untuk sungai Jenneberang dan Tallo dengan status tidak berlanjut. Nilai positif status keberlanjutan ditemukan pada semua tipe aliran limbah pada kedua sungai sungai tersebut. Sementara itu pada Kanal Jongaya pada awalnya memperlihatkan status berlanjut, tetapi pada akhir periode memperlihatkan status tidak berlanjut. Adapun kanal Benteng, Panampu dan Haji Bau status keberlanjutan perikanan dan wisata diperoleh dengan nilai negative sejak awal simulasi. Hal ini mengindikasikan walaupun berbagai atribut ditingkatkan sperti jumlah penduduk dan konsentrasi pencemar, tetapi kemampuan asimilasi pada muara pada kanal-kanal terbut masih dapat dilakukan

105 130 Gambar 42 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO 4 skenario pesimis Pencemaran dan Nilai Kompensasi Skenario Pesimis Pada model skenario pesimis yang dibangun terdapat atribut penduduk sebagai sumber pencemar. Penduduk dalam model terdiri dari jumlah penduduk local Kota Makassar dan tamu atau wisatawan yang menginap di hotel-hotel yang ada di Makassar. Jumlah penduduk kota Makassar saat ini berjumlah jiwa Pertumbuhan penduduk kota Makassar berdasarkan asumsi pertumbuhan berubah menjadi 2% dari 1,63% untuk model basis untuk setiap tahun, jumlah ini bisa saja lebih besar mengingat prediksi ini tidak memasukkan jumlah migrasi penduduk. Nilai kompensasi dalam model pengelolaan pencemaran skenario pesimis menggambarkan berapa besar nilai ekonomi yang yang harus dibayarkan oleh penduduk (sumber pencemar) untuk dapat memulihkan kondisi perairan agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan peruntukkannya. Dalam memulihkan kondisi perairan agar tidak tercemar maka IPAL (instalasi pengolahan air limbah) sebagi medianya. Jadi dalam model ini diasumsikan berapa nilai ekonomi yang harus dibayar oleh penduduk Makassar untuk dapat membiayai IPAL. Hasil simulasi memperlihatkan pertumbuhan sumber pencemar yang terdiri dari penduduk Kota Makassar dan Jumlah tamu hotel di Makassar pada

106 131 awal simulasi berjumlah jiwa sementara pada akhir simulasi 10 tahun kemudian berjumlah jiwa, sedikit mengalami peningkatan jumlah dari model basis dengan jiwa. Untuk nilai kompensasi yang harus dibayar untuk tiap sumber pencemar adalah Rp 266,- pada awal simulasi menjadi Rp 217,- pada akhir simulasi.. Gambar 43 Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis Bila dilihat dari jumlah mengalami penurunan nilai, dan menagpa pada simulasi model pesimis nilai kompensasi yang dibayar oleh penduduk lebih rendah dibandingkan dengan skenario model basis. Hal ini disebabkan kapasitas kinerja IPAL juga mengalami penurunan dari 30% menjadi 10%. Jadi nilai yang dibayarkan juga mengalami penurunan Pada simulasi model pesimis jumlah nilai IPAL hanya dialokasikan sebesar 10% dari total nilainya. Hal ini juga diasumsikan sama dengan efektfitas kerja dan alokasi nilai kompensasi. Dari hasil simulasi dengan alokasi anggaran, nilai kompensasi IPAL dan efektifitas kerja 10%, diperoleh nilai manfaat bersih perikanan dan wisata hanya Rp ,-/bln. Jumlah penerimaan manfaat bersih ini mengalami penurunan yang sangat drastic bila dibandingkan pada kodel basis dimana manfaat bersih didapatkan sebesar Rp /bln. Sampai pada tahun ke-10 terakumulasi menjadi Rp ,- Imbangan nilai insentif pada model pesimis menggambarkan jumlah keuntungan untuk tiap-tiap sumber pencemar. Berdasarkan hasil simulasi model imbangan nilai insentif juga mengalami penurunan nilai bila dibandingkan dengan

107 132 model basis, yakni hanya sebesar Rp 437,-/orang sementara pada model basis nilai imbangan insentif adalah Rp 1.153,-/orang/bln. Selanjutnya pada akhir simulasi nilai insentif yang diperoleh adalah /orang juga lebih kecil dari model basis yakni total Rp ,-. Walaupun demikian bila dibandingkan antara nilai kompensasi dan imbangan nilai insentif yang diperoleh penduduk, masih terdapat selisih nilai bersih yang menguntungkan. Pada awal simulasi nilai insentif adalah Rp 437,-/orang/bln dikurangi dengan nilai kompensasi yang dibayar penduduk sebesar Rp 266,-, masih terdapat keuntungan bersih sebesar Rp 171,-/orang/bln. Jadi terdapat banyak kehilangan nilai ekonomi yang cukup besar bila kinerja IPAL dioperasikan dengan rasio 30% pada model basis dengan 10% pada model pesismis IPAL, Daya Dukung dan Keuntungan Ekonomi Skenario Pesimis Sama halnya dengan model basis, penyusunan skenario pesimis hanya memberikan perubahan pada beberapa atribut. Beberapa atribut yang membedakan antara model basis dengan limbah akan mempengaruhi kinerja IPAL untuk memproses limbah yang masuk keperairan. Pengaruh penurunan kinerja IPAL akan mempengaruh tingkat daya dukung lingkungan perairan Makassar akan aktivitas perikanan dan wisata Dalam skenario model pesimis, nilai kinerja IPAL dialokasikan hanya sebesar 10%. Skenario ini merupakan kemungkinan paling minimal dari kinerja IPAL. Akibat penurunan kinerja IPAL maka akan berakibat pada penurunan kemampuan untuk pengolahan limbah yang mengalir masuk ke perairan pesisir Kota Makassar. Daya dukung perairan secara logika juga akan mengalami penurunan, dan diskenariokan juga hanya sebesar 10% daya dukung lahan yang tersisa untuk aktivitas perikanan dan wisata. Nilai IPAL total dengan kinerja 10% yakni hanya 4,07 milyar sementara nilai kompensasi oleh masyarakat untuk membiayai IPAL juga mengalami penurunan Berdasarkan hasil simulasi model dengan skenario pesimis memperlihatkan bahwa nilai keuntungan perikanan dan wisata mengalami penurunan cukup besar yakni Rp ,-/bulan pada skenario basis menjadi hanya Rp /bln pada awal simulasi dan kemudian menjadi Rp menurun dari Rp ,-/bln pada akhir periode.

108 133 Selain nilai keuntungan yang dapat diperoleh masyarakat atau pelaku usaha pada bidang perikanan dan wisata, pemerintah juga dapat memperoleh pemasukan berupa pajak yang dipungut sebesar 10% dari tingkat keuntungan usaha dengan asumsi yang digunakan dalah pajak PPh atau pajak penghasilan. Nilai Pendapatan daerah dari hasil simulasi adalah Rp ,-/bln Gambar 44 Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis 6.6. Skenario Optimis Skenario optimis dalam penelitian adalah suatu skenario kebijakan pengelolaan pencemaran pesisir kota Makassar yang dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan dari perikanan dan wisata. Selain itu skenario ini mempertimbangkan kemampuan pemerintah dalam hal ini pemerintah kota Makassar untuk menjalankan program-program tersebut. Skenario optimis disusun dengan merubah berbagai atribut penting yang bisa menjadi pemicu bagi pengelolaan pencemaran. Perubahan nilai atribut model pengelolaan pencemaran skenario optimis diantaranya adalah penurunan nilai pertumbuhan penduduk sebagai sumber pencemar dari 1,63%/tahun menjadi 1%/tahun, peningkatan kinerja IPAL dari 30% menjadi 90%, serta penurunan tingkat konsentrasi parameter pencemar rata-rata 50% dari nilai pada basis model Beban Limbah Skenario Optimis Skenario model optimis dibangun agar diharapkan hasil yang lebih baik bagi pengelolaan beban limbah yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar.

109 134 Dengan melakukan perubahan pada atribut yang menyebabkan penurunan beban limbah maka hasil yang diharapkan dapat tercapai. Perubahan pada berbagai atribut pada model dilakukan tentu saja dengan mempertimbangkan berbagai aspek diantaranya kemampuan pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah untuk dapat melaksanakan baik berupa kebijakan ataupun program pembangunan. Untuk dapat mengurangi angka sumber pencemar (penduduk) tentu dapat dilakukan dengan program pengendalian penduduk diantaranya Keluarga Berencana, sedangkan peningkatan kinerja IPAL dapat dilakukan dengan pembangunan IPAL baru dengan kapasitas yang lebih besar dari yang telah ada. Gambar 45 Hasil simulasi beban limbah BOD 5 Skenario optimis Hasil simulasi beban limbah pada skenario optimis bagi parameterparameter yang dijadikan acuan diperoleh hasil akhir yang berbeda-beda. Peningkatan kinerja IPAL, penurunan konsentrasi parameter perkapita, serta penurunan jumlah pertumbuhan pencemar sangat mempengaruhi hasil akhir running model. Nilai parameter BOD5 yang diperoleh dari hasil simulasi mengalami penurunan secara drastis. Total beban limbah BOD yang bermuara dipantai Kota Makassar pada skenario optimis hanya tersisa ton/bln sementara pada skenario basis ton/bln. Jadi terjadi penurunan beban limbah total mendekati setengah beban pada model basis. Beban limbah terbesar masih dari aliran limbah pada Sungai Jenneberang mengingat debit air sungai

110 135 yang relatif lebih tinggi dari aliran sumber pencemaran lainnya. Kontribusi terkecil berasal dari aliran limbah pada Kanal Benteng Gambar 46 Hasil simulasi beban limbah COD Skenario optimis Simulasi model skenario optimis untuk beban limbah COD juga memperlihatkan penurunan drastis. Beban limbah total COD pada awal simulasi ton/bln menjadi ton pada akhir simulasi. Peranan IPAL untuk menurunkan beban limbah yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar terlihat jelas pada gambar grafik simulasi untuk semua jenis aliran, pada bulan awal semulasi terlihat curam akibat adanya pengurangan oleh IPAL Kontribusi beban limbah sama dengan skenario basis dikarenakan perubahan atribut seperti IPAL, jumlah pencemar dan konsentrasi dilakukan dengan perubahan yang sama untuk semua aliran limbah.sungai maupun kanal. Loading beban limbah terbesar oleh Sungai Jenneberang dan sungai Tallo sementra terendah Kanal Benteng dan Kanal Haji Bau Perubahan atribut pada skenario optimis juga memberikan dapak penurunan beban limbah secara umum pada semua aliran beban limbah NO3. Hasil simulasi model optimis untuk konsentrasi beban limbah NO3 pada pesisir kota Makassar memperlihatkan hasil yang relatif hampir sama dengan parameter lain. Loading beban NO3 memperlihatkan besaran yang berbeda-beda.

111 136 Gambar 47 Hasil simulasi beban limbah NO 3 Skenario optimis Kontribusi terbesar masih dari aliran beban limbah pada sungai Jenneberang selanjutnya berturut-turut Kanal Panampu, Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal H Bau dan Kanal Benteng. Terdapat sedikit perbedaan besaran loading beban antara Kanal Panampu dan Sungai Tallo, walaupun debit Sungai Jenneberang lebih tinggi tetapi memiliki konsentrasi limbah aliran yang lebih rendah dari Kanal Panampu. Hasil simulasi beban limbah PO 4 total pada skenario optimis diperairan pesisir Kota Makassar adalah tersisa hanya 677,54 ton/bln menurun tajam dari ton/bln pada model basis, sementara pada akhir periode simulasi 10 tahun kedepan jumlah beban limbah PO 4 adalah ton menurun jika dibandingkan dengan skenario basis ton. Aliran limbah PO 4 terbesar berasal dari Sungai Jenneberang dan terendah oleh Kanal Haji Bau. Variasi beban limbah pada airan beban dikarenakan tingkat konsentrasi parameter dan debit aliran yang berbeda-beda. Jadi secara umum beban limbah PO 4 mengalami penurunan yang diakibatkan oleh kinerja IPAL yang meningkat dari 30% pada model basi menjadi 90% pada skenario optimis, selain dari faktor IPAL penurunan jumlah pencemar (penduduk turut memberikan pengaruh pada total beban limbah bukan saja pada konsentrasi PO 4 tetapi pada semua parameter yang dijadikan acuan pada model yang dibangun

112 137 Gambar 48 Hasil simulasi beban limbah PO 4 skenario optimis Status Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Skenario Optimis Salah satu tujuan untuk membentuk model pengelolaan pencemaran adalah selain mensimulasi aliran beban limbah yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar adalah mengetahui tingkat keberlanjutan aktivitas perikanan dan wisata. Pada skenario optimis terdapat perubahan pada beberapa atribut yang mana diharapkan dapat mengurangi beban limbah yang masuk kedalam perairan. Setiap perubahan atribut akan mengacu kemampuan dari pemerintah Kota Makassar untuk dapat menerapkan. Perubahan atribut yang diperkirakan dapat dilakukan oleh pemerintah Makassar adalah peningkatan kapasitas atau kinerja IPAL dari kondisi basis 30% menjadi 90%. Dalam kondisi yang sebenarnya Pemerintah Kota Makassar sedang berusaha untuk membangun IPAL untuk menangani semua beban limbah rumh tangga dan industri kecil yang ada di seluruh wilayah Makassar. Adapun biaya untuk membangun IPAL berasal dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) serta dana pinjaman, total dana yang dibutuhkan adalah 407 milyar. Perubahan atribut lain yang diperkirakan mamp dilakukan oleh pemerintah adalah penurunan angka pertumbuha penduduk kota Makassar dari 1,63% menjadi 1% melalui Program Keluarga Berencana

113 138 Secara umum hasil simulasi untuk mengukur status keberlanjutan perikanan dan wisata yang diukur dari kemampuan perairan untuk mengasimilasi beban limbah pada skenario basis adalah bernilai negatif untuk semua jenis aliran beban limbah baik sungai maupun kanal. Hasil ini juga diperoleh untuk semua parameter yang dijadikan acuan yakni BOD 5, COD, NO 3 dan PO 4. Hasil yang negatif atau status berlanjut ini memang diharapkan dalam skenario optimis agar beban limbah dapat diatasi dan tetap dapat memelihara daya dukung lingkungan untuk perikanan dan wisata. Hasil simulasi status keberlanjutan dengan parameter acuan beban limbah BOD 5 pada skenario optimis, diperoleh hasil yang seragam untuk semua tipe aliran limbah akan tetapi berbeda jauh dalam jumlah beban dibandingkan skenario basis. Gambar 49 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah BOD 5 skenario optimis Hasil simulasi status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter COD pada skenario optimis memperlihatkan bahwa aliran beban limbah pada sungai Jenneberang dan Sungai Tallo mengalami perubahan status yang tadinya tidak memungkinkan pada skenario basis berubah menjadi memungkinkan atau berlanjut Untuk status perikanan dan wisata pada muara kanal-kanal dimakassar

114 139 berdasarkan loading beban COD kesemuanya masih memungkinkan karena nilai kapasitas asimilasi masih diatas beban limbah yang masuk ke perairan. Berdasarkan nilai pada simulasi, total beban COD yang berasal dari semua aliran terlihat nilai negative mulai awal simulasi sampai akhir periode 10 tahun kedepan Gambar 50 Status keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah COD skenario optimis Gambar 51 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah NO 3 skenario optimis

115 140 Berdasarkan hasil simulasi model optimis, status keberlanjutan perikanan dan wisata untuk parameter NO 3 juga mempelihatkan bahwa kegiatan perikanan dan wisata dapat dimungkinkan dilakukan di semua aliran beban limbah tanpa terkecuali. Demikian juga halnya status keberlanjutan dengan parameter PO 4 juga memperoleh hasil yang sama yakni dalam kondisi berlanjut dimana hasil simulasi memperoleh nilai negatif untuk semua aliran sungai dan kanal baik pada awal maupun akhir simulasi Gambar 52 Status keberlanjutan perikanan dan wisata berdasarkan beban limbah PO4 skenario optimis Pencemaran dan nilai Kompensasi Skenario Optimis Model skenario optmis jumlah penduduk sebagai sumber pencemar mengalami perubahan bila dalam skenario pesimis penduduk berubah mengalami peningkatan pada nilai pertumbuhan, pada skenario optimis pertumbuhan penduduk mengalami penurunan angka pertumbuhan dari 1,63% menjadi 1%. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah penduduk mengalami pertumbuhan yang relatif kecil, pada awal simulasi jumlah penduduk adalah jiwa meningkat tipis menjadi jiwa pada akhir simulasi untuk 10 tahun kedepan. Jumlah ini merupakan gabungan dari total sumber pencemar yang terdiri dari penduduk kota Makassar sendiri ditambah dengan jumlah penduduk tamu dari wisatawan yang menginap. Angka jumlah tamu diperoleh dari jumlah

116 141 kamar hotel yang ada di Makassar dengan rasio rata-rata tutupan kamar (okupansi). Semakin tinggi jumlah sumber pencemar maka semakin tinggi pula pencemaran berupa limbah yang dihasilkan begitu juga sebaliknya Nilai kompensasi pada skenario model optimis mengalami peningkatan relatif tinggi, hal ini terjadi karena peningkatan atribut kinerja IPAL dari basis 30% menjadi 90%. Hal ini dengan sendirinya akan memberikan beban biaya pada pengadaan dan operasionalisasi IPAL. Dalam skenario model pencemaran yang dibangun ini, IPAL dibiayai oleh penduduk sebagai sumber pencemar dengan prinsip setiap pencemar harus membayar atas setiap cemaran yang dihasilkan ke lingkungan agar tetap bersih (Polluters must pay principle). Prinsip ini coba diterapkan dalam model pengelolaan pencemaran pantai Kota Makassar secara sederhana, karena mestinya pembebanan insentif lingkungan ini tidak diterapkan secara merata pada semua penduduk kerena setiap indivisdu mempunyai kontribusi yang berbeda-beda dalam mencenari lingkungan selain itu ada unsur industry yang tidak diterapkan dalam model. Gambar 53 Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan wisata skenario optimis Pada negara yang telah menerapkan prinsip pajak insentif lingkungan terdapat perlakuan yang berbeda unuk setiap orang yang mencemari lingkungan, misalnya orangnya yang menggunakan mobil dengan sumber bahan bakar yang lebih ramah lingkungan akan dibebani pakak yang lebih ringan dibandingkan

117 142 dengan yang menggunakan mobil dengan emisi pencemaran yang lebih tinggi. Demikian juga untuk penggunaan barang-barang lainnya seperti air condition (ac), kantong plastik dan sebagainya yang mengakibatkan cemaran yang lebih tinggi akan dibebani pajak yang lebih tinggi pula. Selain itu dalam ekonomi lingkungan terdapat istilah eksternalitas, dimana aktivitas seseorang akan memberikan dampak kepada orang lain atau lingkungan. Dalam konsep perhitungan juga dikenal perhitungan dengan memasukkan unsure kerusakan lingkungan sebagai bagian dari kalkulasi kelayakan usaha contohnya adalah ECBA (extended cost benefit analysis). Unsur insentif dalam pengelolaan limbah yang dibebankan ke masyarakat mestinyanya dapat diterapkan, selain memberikan efek jera juga menimbulkan rasa keadilan antara yang mencemari lingkungan dengan yang tidak. Hasil simulasi model optimis dengan periode simulasi 10 tahun memperlihat hasil bahwa jumlah insentif dengan kinerja IPAL 90% memberikan beban yang cukup tinggi yakni Rp 2.395/org/bln. pada awal simulasi menjadi Rp 2.028,-/org/bln diakhir simulasi model. Jumlah insentif relatif lebih tinggi dari model basis maupun model skenario pesimis. Sementara hasil simulasi imbangan akan nilai insentif didapatkan nilai Rp 2.022/bln/org menjadi Rp Mengacu pada hasil simulasi tersebut, maka walaupun secara relatif lebih tinggi jumlah insentif yang dibayarkan masyarakat akan tetapi imbangan atas insentif tersebut diperoleh nilai imbangan yang sangat tinggi IPAL, Daya Dukung dan Keuntungan Ekonomi Skenario Optimis Dalam skenario model optimis, nilai kinerja IPAL dialokasikan sebesar 90%, juga dengan sendirinya kinerja IPAL juga meningkat dari 30% di model basis menjadi lebih tinggi Skenario ini merupakan kemungkinan maksimal dari kinerja IPAL. Peningkatan kinerja IPAL pada skenario model optimis akan memberikan dampak maksimal terhadap kinerja untuk dapat mengeliminir beban limbah yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar. Dengan pengurangan beban limbah yang maksimal oleh IPAL maka diharapkan daya dukung lingkungan perairan juga tetap terpelihara sesuai kinerja IPAL. Hasil simulasi model optimis dengan kinerja IPAL 90% menunjukkan bahwa biaya IPAL setiap

118 143 bulan adalah Rp ,-/bln. Biaya IPAL ini akan dibagi secara merata pada semua sumber pencemar dalam bentuk insentif. Gambar 54 Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan manfaat perikanan dan wisata skenario optimis Dampak peningkatan kinerja IPAL adalah peningkatan daya dukung lingkungan akan aktivitas wisata dan perikanan. Berdasarkan hasil simulasi model dengan skenario optimis memperlihatkan bahwa nilai keuntungan perikanan dan wisata mengalami peningkatan yakni Rp /bln diawal simulasi, kemudian terakumulasi menjadi sekitar 639 milyar rupiah diakhir simulasi 10 tahun ke depan. Jadi bila dikaji nilai investasi IPAL 407 milyar dan keuntungan IPAL dari aktivitas perikanan dan wisata terdapat selisih keuntungan yang cukup tinggi. Selain keuntungan dari aktivitas wisata dan perikanan, keuntungan lainnya masih dapat diperoleh dari lingkungan perairan pesisir yang lebih bersih yang tidak dimasukkan dalam model. Selain itu pemerintah daerah juga memperoleh pemasukkan dari pajak dan ritribusi berupa PAD yang dipungut dari kedua aktivitas tersebut. Jadi pada prinsipnya pengadaan IPAL memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk investasi dan operasionalsanya. Selain itu memberikan efek keberlanjutan bagi perikanan dan wisata di peraran pantai Kota Makassar

119 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pesisir Pantai Kota Makassar Mengacu pada analisis kebijakan pengelolaan pencemaran pesisir Kota Makassar dengan berbagai skenario model, maka diperlukan berbagai kebijakan untuk dapat diimplementasikan. Tujuan dari kebijakan-kebijkan ini adalah menciptakan kondisi pengelolaan pencemaran pesisir Kota Makassar yang optimum dan berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu kebijkankebijakan dan program yang menyeluruh pada semua aspek yang berkaitan dengan pengelolaan pencemaran dan pelestarian lingkungan untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan ekonomi. Kebijakan yang menyeluruh ini berdasarkan hasil simulasi pada berbagai model dimana intervensi pada berbagai atribut tertentu juga harus dilakukan pada atribut lainnya. Pendekatan kebijakan yang menyeluruh dalam pengelolaan pesisir juga dikemukakan oleh Orams (1999) dalam Laapo (2010) Kebijakan terpadu dimaksudkan sebagai suatu tindakan dapat dilakukan secara simultan bagi seluruh dimensi yang memiliki atribut penting (sensitif) guna keberlanjutan pengelolaan. Hasil simulasi pada berbagai skenario model memperlihatkan bahwa pencemaran yang ada di perairan pesisir bukan saja disebabkan oleh aktivitas yang ada di sekitarnya tetapi juga diakibatkan oleh aliran limbah yang masuk ke perairan pesisir dari sungai-sungai dan kanal-kanal. Hal ini juga memperlihatkan bahwa pendekatan pengelolaan pesisir, terutama masalah pencemaran bukan saja dilakukan oleh satu departemen atau satu wilayah daerah administrasi tertentu tetapi harus berkaitan dalam satu sistem kebijakan yang lintas sektoral dan wilayah admistratif serta harus menyeluruh dan terpadu. Kebijakan-kebijakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan pengelolaan pesisir kota Makassar. Kebijakan yang dibuat sebagai pegangan dalam pengelolaan pencemaran pesisir pantai Kota Makassar diharapkan dapat diimplementasikan dengan baik. Setiap kebijakan yang dibuat mengacu pada pengelolaan pesisir Makassar yang optimum dan dapat berkesinambungan serta memberikan manfaat yang besar bagi semua masyarakat. Kebijakan dan program pengelolaan pencemaran bagi keberlanjutan perikanan dan wisata dapat dilihat pada tabel 17

120 145 Tabel 17 Kebijkan dan program pengelolaan pencemaran pesisir Kota Makassar berdasarkan analisis model dinamik No. Dimensi /Aspek kebijakan Kebijakan /Program Maksud dan Tujuan kebijakan Institusi /Lembaga Pelaksana 1. Penduduk - Progam Keluarga berencana (KB) 2 Beban Limbah 3 Wisata dan hotel - Program kali atau sungai bersih - Peningkatan Pola hidup bersih - Perbaikan tata ruang untuk pemukiman - Pembuatan sistem pengolahan limbah Kota - penerapanan sanksi tegas bagi warga atau institusi yang merusak lingkungan - sistem pengolahan limbah hotel - Penggunaan produk ramah lingkungan - Perbaikan sarana dan prasarana wisata - Peningkatan kualitas dan keanekaragam an produk wisata - Agar tingkat petumbuhan penduduk dapat dikendalikan dan beban pencemaran dapat dikurangi,terutama untuk lokasi-lokasi di kecamatan yang mempunyai tingkat kelahiran tinggi dengan populasi yang besar - Agar sungai atau kanal yang ada bersih sehingga mengurangi dampak yang lebih besar pada perairan pesisir dimana sungai dan kanal tersebut bermuara - Memperbaiki kebiasaan masyarakat untuk mencintai dan menghargai lingkungan seperti tidak membuang sampah disungai atau kanal - Penentuan lokasi-lokasi pemukiman yang sesuai dengan daya dukung serta penyediaan sarana dan prasaran kebersihan serta sanitasi lingkungan yang memadai - Pembuatan sistem pengelaan air limbah melalui pipa-pipa dari sumber pencemaran ke instalasi pengolahan air limbah sehingga sumber pencemaran dapat dilokalisir serta diolah sebelum dibuang ke lingkungan perairan - Peningkatan kesadaran lingkungan bagi warga atau institusi yang mencemari lingkungan sehingga menimbulkan efek jera, dengan prinsip polluter must pay, dimana setiap orang harus bertanggung jawab pada lingkungan yang dicemarinya - Agar setiap hotel mempunyai sistem pengolahan limbah yang memadai sehingga tingkat pencemaran yang dihasilkan oleh buangan hotel dapat dikurangi - Agar setiap limbah yang dihasilkan dapat dikurangi baik kualitas maupun kuantitasnya seperti pengurangan zat-zat yang berbahaya seperti pestisida, deterjen dan plastik - Peningkatan kanyamanan pengunjung atau wisatawan agar dapat meningkatkan jumlah kunjungan - Memberikan pilihan wisata yang lebih banyak bagi pengunjung sehingga wisatawan dapat memperoleh kenyamanan sesuai dengan pilihan-pilahan wisata yang diinginkan - BKKBN, Pemda, LSM - Pemda, LSM - Dinas kebersihan, LSM - masyarakat Pemda, dinas tata - Pemda, KLH - Pemda, disbudpar, DKP, KLH, Institusi hukum - Disbudpar,Pemda - Disbudpar,Pemda -Disbudpar,Pemda - Disbudpar,Pemda, DKP

121 146 No. Dimensi /Aspek kebijakan Kebijakan /Program Maksud dan Tujuan kebijakan Institusi /Lembaga Pelaksana 4 Instalasi pengolahan air Limbah (IPAL) 5 Pendapatan perikanan dan wisata - Pengadaan IPAL - Pembiayaan IPAL secara maksimal - Operasionalisa si IPAL secara maksimal - Peningkatan pendapatan melalui wisata - Penciptaan iklim wisata yang kundusif - Alokasi konservasi - Pengadaan IPAL sebaiknya ditempatkan pada semua aliran limbah yang mengalir dan bermuara di pantai Kota Makassar - Pembiayaan IPAL dapat diterapkan dengan melakukan pungutan insentif bagi penduduk atau pencemar berdasarkan tingkat pencemaran yang ditumbulkan agar selain ringan untuk pembiayaan juga menimbulkan rasa adil - Operasionalisasi IPAL sebaiknya dilakukan maksimal agar limbah yang ada dapat diatasi secara maksimal sehingga daya dukung lingkungan tetap terpelihara dengan baik - Menciptakan berbagai peluang bagi masyarakat untuk memperoleh pendapatan melalui wisata antara penjualan cindera mata khas daerah dan menjadi guide atau pemandu wisata - membuat program visit Makassar, mengikuti dan membuat even wisata yang manarik wisatawan baik domestik maupun manca Negara - Peningkatan alokasi penerimaan daerah yag berasal dari wisata untuk konservasi lingkungan - Pemda -Pemda -Pemda - Pemda, Disbudpar, DKP - Pemda, Disbudpar, DKP - Pemda, Disbudpar, DKP

122 5. PENCEMARAN PANTAI KOTA MAKASSAR 5.1 Beban Pencemaran Perairan Pantai Kota Makassar Air merupakan sumberdaya alam yang mempunyai fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Dengan perannya yang sangat penting, air akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kondisi/komponen lainnya. Pencemaran air atau polusi air mempunyai pemahaman yang berbeda beda antara satu dengan lainnya mengingat begitu banyak pustaka acuan yang merumuskan definisi istilah tersebut, baik dalam kamus atau buku teks ilmiah. Pengertian pencemaran air juga didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah, sebagai turunan dari pengertian pencemaran lingkungan hidup yang didefinisikan dalam undangundang. Dalam praktek operasionalnya, pencemaran lingkungan hidup tidak pernah ditunjukkan secara utuh, melainkan sebagai pencemaraan dari komponenkomponen lingkungan hidup, seperti pencemaran air, pencemaran air laut, pencemaran air tanah dan pencemaran udara. Dalam PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, pencemaran air didefinisikan sebagai : pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiaan manusia sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Pasal 1, angka 2). Definisi pencemaran air tersebut dapat diuraikan sesuai makna pokoknya menjadi 3 (tga) aspek, yaitu aspek kejadian, aspek penyebab atau pelaku dan aspek akibat (Setiawan, 2001).. Berdasarkan definisi pencemaran air, penyebab terjadinya pencemaran dapat berupa masuknya mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam air sehingga menyebabkan kualitas air tercemar. Masukan tersebut sering disebut dengan istilah unsur pencemar, yang pada prakteknya masukan tersebut berupa buangan yang bersifat rutin, misalnya buangan limbah cair. Aspek pelaku/penyebab dapat yang disebabkan oleh alam, atau oleh manusia. Pencemaran yang disebabkan oleh alam tidak dapat berimplikasi hukum, tetapi Pemerintah tetap harus menanggulangi pencemaran tersebut. Sedangkan aspek akibat dapat dilihat berdasarkan penurunan kualitas air sampai ke tingkat tertentu.

123 76 Pengertian tingkat tertentu dalam definisi tersebut adalah tingkat kualitas air yang menjadi batas antara tingkat tak-cemar (tingkat kualitas air belum sampai batas) dan tingkat cemar (kualitas air yang telah sampai ke batas atau melewati batas) Adanya berbagai aktivitas di pantai Kota Makassar saat ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran dan kerusakan terumbu karang dan perubahan morfologi pantai. Penelitian mengenai pencemaran pantai Kota di juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya yang dilakukan di Teluk Jakarta dimana ditemukan perbedaan tingkat pencemaran berbeda dan yang menetukan perbedaan tersebut adalah industri (Rochyatun dan Rozak, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Monoarfa (2002), penyebab menurunnya kualitas perairan Kota Makassar diduga berasal dari tiga sumber yang dominan yaitu adanya pemusatan penduduk di Kota, kegiatan industri di sekitar Kota Makassar dan kegiatan pertanian di hulu sungai Jeneberang serta sungai Tallo. Terpusatnya penduduk kota menghasilkan limbah yang cukup besar, baik limbah padat maupun limbah cair. limbah tersebut masuk ke Wilayah perairan pantai Makassar dan mengakibatkan pendangkalan pantai serta perubahan parameter kualitas air seperti kandungan DO, nilai BOD, nilai COD dan munculnya senyawa-senyawa beracun dan eutrofikasi. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, sumber pencemar yang terjadi di pantai Kota Makassar bersumber pada aktivitas penduduk, industri, wisata dan perhotelan. Sumber-sumber pencemaran tersebut masuk melalui aliran sungai Tallo dan Jenneberang serta beberapa kanal yang ada seperti Kanal Panampu, Benteng, H Bau dan Jongaya. Bahan-bahan pencemar yang berasal dari aktivitas rumah tangga berupa air buangan rumah tangga serta padatan berupa sampah yang langsung dibuang ke sungai dan laut. Hal ini juga terjadi pada limbah bahan pencemar yang berasal dari aktivitas industri, wisata dan perhotelan dapat berupa limbah organik maupun anorganik. Perhitungan beban pencemaran ditujukan untuk mengetahui sumber pencemaran, jenis bahan pencemar dan besarnya beban pencemaran yang masuk ke dalam perairan pantai Kota Makassar. Namun sumber pencemaran tidak dibedakan apakah berasal dari non-point source atau point source. Sumber

124 77 pencemaran yang dimaksud adalah berasal dari aliran beban pencemara Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta kanal yang masuk ke perairan pantai Kota Makassar. Perhitungan beban pencemaran berupa limbah organik (BOD 5 dan COD) dan hara (nitrat dan fosfat) diperoleh dari perkalian bulanan debit sungai (m 3 /bulan) dengan konsentrasi parameter di sungai yang telah diukur. Perhitungan Beban Pencemaran Pantai yang berasal dari Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Beban pencemaran bulanan dari sungai dan kanal di pantai Kota Makassar Stasiun Konsentrasi Beban Limbah (ton/bln) BOD5 COD NO3 PO4 S Jenneberang , ,39 159, ,64 S Tallo 7.037, ,07 20,11 281,49 K Panampu 253, ,22 30,75 38,26 K Benteng 9,29 379,52 1,61 1,68 KHaji Bau 13,30 482,58 2,22 1,38 K Jongaya 155, ,62 13,18 42,83 Total , ,40 227, ,28 Sumber : Hasil olahan Data Primer dan Sekunder 2010 Beban limbah yang bermuara di pantai kota Makassar berasal dari berbagai sumber. Sumbangan terbesar dari limbah yang ada berasal dari aliran masuk Sungai Jenneberang dan Sungai Tallo, kemudian berbagai kanal yang ada yakni kanal Panampu, Jongaya, H Bau dan Benteng. Perbedaan loading beban limbah yang terjadi umumnya kerena pebedaan debit aliran. Gambar 7 komposisi beban limbah BOD 5 dan COD berdasarkan aliran sungai dan Kanal

125 78 Komposisi aliran beban limbah BOD pada total beban limbah terlihat bahwa, beban limbah pada aliran sungai Jennebarang memberikan kontribusi terbesar dengan 70,82%, kemudian Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal Panampu, Kanal Haji Bau serta Kanal Benteng dengan nilai kontribusi berturutturut 72,45%, 0,99%, 0,61%, 0,05% serta 0,04%. Adapun komposisi beban limbah COD adalah Sungai Jenneberang terbanyak dengan 65,7%, kemudian berturut adalah Sungai Tallo 15,8%, Kanal Panampu 10,7%, Kanal Jongaya 7,2%, serta Kanal Haji Bau dan dan Kanal Benteng 0,3%. Gambar 8 komposisi beban limbah NO 3 dan PO 4 berdasarkan aliran sungai dan kanal Total beban limbah NO3 yang bermuara di kawasan pesisir Kota makassar adalah ton/bln, dengan komposisi penyumbang terbesar dari aliran beban pada Sungai Jenneberang sebesar 70%, kemudian Kanal panampu dengan kontribusi 13%, sungai Tallo 9%, Kanal Jongaya 6%, serta Kanal Benteng dan Haji Bau masing-masing 1%. Ada sedikit perbedaan dalam kontribusi beban limbah untuk parameter NO 3, walaupun dengan debit aliran yang sedikit lebih kecil Kanal Panampu menyumbang beban limbah yang lebih besar dibandingkan dengan Sungai Tallo. Hasil perhitungan beban limbah PO 4 di perairan pesisisr Kota Makassar adalah 1.565,28 ton/bln. Penyumbang beban limbah terbesar adalah sungai Jenneberang, Sungai Tallo, Kanal Jongaya, Kanal Panampu, kanal Benteng serta Kanal Haji Bau dengan masing-masing nilai beban adalah 76,6%, 18,0%, 2, 7%, 2,4% serta 1%. Nilai PO 4 pada Sungai Jenneberang ralatif sangat tinggi dibandingkan dengan prosentase sumbangan limbah untuk parameter lainnya.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR)

STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) STUDI PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI (KASUS PANTAI TELENG RIA KABUPATEN PACITAN, JAWA TIMUR) ANI RAHMAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 0 untuk survey data awal dan pada bulan FebruariMaret 0 pengambilan data lapangan dan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS dan 105º10-105º22 BT, mempunyai berbagai permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik wilayah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu Negara kepulauan, yang memiliki potensi besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian besar bertempat

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam pengertian lingkungan hidup

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor. DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan memberikan sumbangan

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... iii Daftar Tabel... vi Daftar Gambar... ix Daftar Grafik... xi BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. LAHAN DAN HUTAN... Bab I 1 A.1. SUMBER

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa II. TINJAUAN PUSTAKA Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa penelitian dan kajian berkaitan dengan banjir pasang antara lain dilakukan oleh Arbriyakto dan Kardyanto (2002),

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu senggangnya (leisure time), dengan melakukan aktifitas wisata (Mulyaningrum, 2005). Lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan

METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Data yang Dikumpulkan 25 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Situ Sawangan-Bojongsari, Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat. Waktu penelitian adalah 5

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

NILAI KOMPENSASI EKONOMI TERHADAP PENCEMARAN PERAIRAN DI PANTAI KOTA MAKASSAR

NILAI KOMPENSASI EKONOMI TERHADAP PENCEMARAN PERAIRAN DI PANTAI KOTA MAKASSAR NILAI KOMPENSASI EKONOMI TERHADAP PENCEMARAN PERAIRAN DI PANTAI KOTA MAKASSAR Values of Economic Compensation to Pollution on City Beach of Makassar Hamzah 1*, Achmad Fahrudin 2, Heffni Efendi 2 dan Ismudi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG KAWASAN WISATA PANTAI LHOKNGA KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR SKRIPSI TAUFIQ HIDAYAT 100302084 Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. b. c. d. bahwa lingkungan laut beserta sumber

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 DAFTAR ISI A. SUMBER DAYA ALAM Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama... 1 Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1 Tabel SD-3 Luas Kawasan Lindung berdasarkan RTRW dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN

PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN PETUNJUK TEKNIS PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.59/DJ-PSDKP/2011 TENTANG PENGAWASAN PENCEMARAN PERAIRAN DIREKTORAT PENGAWASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL Nam dapibus, nisi sit amet pharetra consequat, enim leo tincidunt nisi, eget sagittis mi tortor quis ipsum. PENYUSUNAN BASELINE PULAU-PULAU

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 dan garis pantai sepanjang 95.18 km, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Lombok Barat-Propinsi Nusa Tenggara Barat, yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Sekotong bagian utara, tepatnya di Desa Sekotong

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH

KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH KERENTANAN TERUMBU KARANG AKIBAT AKTIVITAS MANUSIA MENGGUNAKAN CELL - BASED MODELLING DI PULAU KARIMUNJAWA DAN PULAU KEMUJAN, JEPARA, JAWA TENGAH oleh : WAHYUDIONO C 64102010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci