PERAN APOPTOSIS PADA KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERAN APOPTOSIS PADA KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI"

Transkripsi

1 PERAN APOPTOSIS PADA KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI dr. I G N Suryantha, Sp.OG BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR

2 BAB I PENDAHULUAN Selaput ketuban merupakan jaringan elastis avaskuler yang terdiri dari amnion dan korion. Amnion adalah bagian yang berhadapan langsung dengan kavitas amnion sedangkan korion merupakan lapisan yang lebih tebal dan melekat pada desidua maternal. Pada awalnya amnion dan korion adalah dua lapisan yang terpisah hingga akhirnya akan mengalami fusi di akhir minggu ke 14 kehamilan. 1 Pada perkembangan selanjutnya amnion dan korion akan dihubungkan oleh jaringan ikat yang kaya akan kolagen. Selaput ketuban berfungsi menahan cairan amnion, mensekresi substansi ke dua arah sekaligus yaitu ke dalam cairan amnion dan juga ke luar ke arah uterus, selain itu ia juga berfungsi melindungi janin dari infeksi asenden yang berasal dari saluran reproduksi bagian distal. Secara fisiologis sepanjang kehamilan terjadi proses remodelling jaringan, berupa perubahan tipe dan komposisi kolagen serta perubahan pada matriks interseluler. Remodelling ini penting untuk mengakomodasi perubahan tekanan dan volume selaput ketuban selama berkembangnya kehamilan. Namun perubahan ini juga sekaligus menyebabkan pelemahan struktur selaput ketuban, yang lebih tampak nyata pada daerah internal servikal os. 2 Secara normal selaput ketuban akan pecah pada saat persalinan berlangsung, yaitu pada saat adanya kontraksi yang bersifat reguler. Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan dimulai. 2

3 Pada usia kehamilan aterm, 8 hingga 10 persen ibu hamil datang dengan diagnosis ketuban pecah dini, dengan risiko yang tinggi untuk terjadi infeksi intrauterin. Sedangkan pecahnya selaput ketuban sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut sebagai ketuban pecah dini preterm (preterm premature rupture of membrane / PPROM). Ketuban pecah dini preterm didapatkan pada sekitar 1 persen dari keseluruhan kehamilan dan dikaitkan dengan 30 hingga 40 persen persalinan preterm dan komplikasi yang menyertainya (sindrom distres nafas, infeksi neonatus dan perdarahan intraventrikuler). 2 Meskipun saat ini perawatan perinatal sudah banyak mengalami kemajuan pesat, ketuban pecah dini preterm masih merupakan komplikasi obstetri yang penting. Dahulu, pandangan konvensional mengaitkan pecahnya selaput ketuban dengan adanya kekuatan mekanis berupa kontraksi selama persalinan yang melemahkan selaput ketuban. Namun, pandangan ini terbantahkan karena tidak mampu menjelaskan kejadian pecah ketuban sebelum munculnya kontraksi. Saat ini bukti dan penelitian terakhir menunjukkan pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan proses biokimia yang melibatkan kerusakan kolagen pada matriks ekstraseluler amnion dan korion, serta kematian sel terprogram (apoptosis) dari selsel yang terdapat pada selaput ketuban, dimana peristiwa-peristiwa tersebut terjadi sebelum kontraksi muncul. Apoptosis merupakan bagian yang normal dari perkembangan dan pemeliharaan dari suatu organisme multiseluler. Kematian sel ini merupakan respon terhadap berbagai stimulus, baik intrinsik maupun ekstrinsik, yang menyebabkan 3

4 perubahan histologi berupa fragmentasi kromatin inti sel, penonjolan sitoplasma yang membentuk apoptotic body dan pada akhirnya fagositosis oleh makrofag. 3 Apoptosis berbeda dengan nekrosis dimana terjadi kematian secara tidak terkontrol, pada kondisi ini sel yang menjelang kematian kromatin pada inti selnya akan mengalami penggumpalan, pembengkakan organela dan akhirnya kerusakan membran sel. Bukti penelitian mendukung dugaan bahwa proses apoptosis berperan pada kejadian ketuban pecah dini. Saglam dkk. menemukan bahwa caspase-3, suatu famili protein yang berperan dalam rangkaian proses apoptosis, kadarnya meningkat pada wanita hamil dengan ketuban pecah dini preterm. 4 Fortunato dkk melakukan pemeriksaan pada selaput ketuban pada kasus ketuban pecah dini yang dibandingkan dengan kontrol, hasilnya ditemukan adanya peningkatan ekspresi gen yang bersifat proapoptosis, yaitu p53 dan bax disertai penurunan ekspresi gen antiapoptosis bcl-2 pada kasus ketuban pecah dini, baik aterm maupun preterm. 5 Berbagai penelitian lain juga memberikan hasil yang konsisten bahwa selaput ketuban dari ibu hamil dengan ketuban pecah dini menunjukkan indeks apoptosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan selaput ketuban dari persalinan aterm maupun preterm dengan selaput ketuban yang masih utuh. 4

5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Ketuban Pecah Dini Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan dimulai. Sedangkan apabila pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan dimulai tersebut terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, disebut sebagai ketuban pecah dini preterm (preterm premature rupture of membrane / PPROM) Angka Insiden Ketuban Pecah Dini Pada usia kehamilan aterm, angka insiden ketuban pecah dini adalah 8 hingga 10 persen. Sedangkan ketuban pecah dini preterm didapatkan pada sekitar 1 persen dari keseluruhan kehamilan. Ketuban pecah dini preterm dikaitkan dengan 30-40% kelahiran prematur dan diidentifikasikan penyebab utama kelahiran prematur, dan terjadi pada sekitar kehamilan setiap tahun di Amerika Serikat. Ketika ketuban pecah dini preterm terjadi, risiko yang signifikan terjadi baik untuk janin dan ibu. 2 Korioamnionitis ditemukan pada 9% kehamilan dengan ketuban pecah dini aterm, dimana risikonya dapat meningkat hingga 24% apabila pecah ketuban terjadi lebih dari 24 jam. sedangkan pada kehamilan preterm angka insidennya jauh lebih besar yaitu antara 13 hingga 60%. Solusio plasenta terjadi pada 4 hingga 12 % 5

6 kehamilan dengan ketuban pecah dini. Maternal sepsis (0,8%) yang menyebabkan kematian (0,14%) merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Risiko pada janin utamanya berkaitan dengan infeksi intrauterin, penekanan tali pusat dan solusio plasenta. Kematian janin dilaporkan pada 3 hingga 22% kasus pecah ketuban dini preterm dengan usia kehamilan 16 hingga 28 minggu Komposisi Selaput Ketuban Selaput ketuban terdiri dari beberapa lapisan yang berbeda secara morfologi. Lapisan yang paling dekat dengan fetus terdiri dari sel epitel amnion yang tersusun di atas membran basal yang kaya kolagen IV dan glikoprotein non-kolagen. Dibawah membran basal terdapat lapisan kompakta tersusun atas kolagen tipe I, III dan V yang dihasilkan oleh sel mesenkim pada lapisan fibroblas. Lapisan berongga (spongy) terdapat dibawah lapisan fibroblas, terdiri dari proteoglikan dan glikoprotein serta kolagen tipe III. Lapisan ini memisahkan amnion dengan korion. Lapisan korion terdiri dari sitotrofoblas yang terbenam dalam matriks kolagen tipe IV dan V, melekat erat dengan jaringan desidua uterus. 6 Distribusi komponen matriks ekstraseluler, termasuk kolagen tipe I, III, IV, V dan VI pada selaput ketuban aterm telah dipelajari dengan menggunakan tehnik imunohistokimia. Kolagen tipe I dan III dapat ditemukan pada hampir semua lapisan selaput ketuban, kecuali pada lapisan trofoblas dari korion. Fibronectin, laminin, dan kolagen tipe I dan IV terdapat pada bagian dari matriks ekstraseluler yang menyelubungi sel-sel sitotrofoblas korion. Kolagen tipe V juga ditemukan pada 6

7 lapisan retikuler dan trofoblas. Kolagen tipe VI utamanya ditemukan pada amnion dan lapisan retikuler. Fibulin 1, 3 dan 5 ditemukan pada amnion, dan kepadatannya berkurang pada bagian amnion yang lemah. Sel mesenkim merupakan tempat sintesis kolagen pada amnion. Kadar subunit mrna prokolagen a1(i), a2(i) dan a1(iii), serta aktivitas enzim prolyl 4-hidroksilase dan lysil hidroksilase yang dibutuhkan dalam sintesis kolagen mencapai puncaknya pada amnion di awal kehamilan, mulai menurun setelah usia kehamilan minggu dan mencapai kadar terendahnya pada saat aterm. 7 Kepadatan sel mesenkim pada amnion menurun setelah trimester pertama kehamilan. Oleh karenanya peningkatan rasio antara sel epitel dan sel mesenkim merupakan suatu fungsi yang menggambarkan usia kehamilan. Perubahan pada komposisi matriks ekstraseluler dan selaput ketuban secara umum disebabkan oleh enzim yang mendegradasi matriks, yaitu utamanya kelompok enzim matriks metalloproteinase. Pemeliharaan terhadap kemampuan daya regang selaput ketuban membutuhkan keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen-komponen matriks ekstraseluler. Perubahan pada selaput ketuban termasuk menurunnya kadar kolagen, perubahan struktur kolagen, dan peningkatan aktivitas kolagenolisis dikaitkan dengan ketuban pecah dini. 2 7

8 Gambar 2.1 Skema Struktur Selaput Ketuban Aterm Patofisiologi Ketuban Pecah Dini Secara fisiologis sepanjang kehamilan terjadi proses remodelling jaringan, berupa perubahan tipe dan komposisi kolagen serta perubahan pada matriks interseluler. Remodelling ini penting untuk mengakomodasi perubahan tekanan dan volume selaput ketuban selama berkembangnya kehamilan. Namun perubahan ini juga sekaligus menyebabkan pelemahan struktur selaput ketuban, yang lebih tampak nyata pada daerah internal servikal os. 8

9 Kelemahan selaput ketuban dapat dipicu oleh paparan terhadap matrix metalloproteinase (MMP), penurunan kadar tissue inhibitors of matrix metalloproteinase (TIMP)serta peningkatan pemecahan poly (ADP-ribose) polymerase (PARP). Kontraksi uterus aterm atau preterm juga dapat menyebabkan pecahnya selaput ketuban akibat peningkatan tekanan secara mendadak yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraamniotik dan reflek mengedan. 1 Gambar 2.2 Diagram Berbagai Mekanisme yang Diduga Berperan pada Kejadian Ketuban Pecah Dini. 2 9

10 Pada ketuban pecah dini preterm terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kelemahan selaput terjadi lebih dini. Peningkatan sitokin lokal atau ketidakseimbangan antara MMP dan TIMP sebagai respon dari kolonisasi mikroba. 6 Terdapat bukti spesifik yang mengaitkan antara infeksi saluran urogenital dengan ketuban pecah dini preterm. Hasil kultur cairan amnion setelah pecah ketuban seringkali menunjukkan hasil yang positif (25 hingga 35%), dan evaluasi histologi menunjukkan adanya reaksi peradangan akut dan kontaminasi bakteri pada koriodesidua. Patogen saluran genitalia yang dikaitkan dengan ketuba pecah dini adalah Neisseria gonorrhoeae, Chlamydia trachomatis, Trichomonas vaginalis, dan group B β-hemolytic streptococcus. 1 Efek fisik yang berkaitan dengan kontraksi prematur dan prolaps selaput ketuban dengan adanya dilatasi servik prematur merupakan predisposisi terjadinya pecah ketuban, begitupula peningkatan tekanan intrauterin seperti yang dapat dijumpai pada polihidramnion. Kelainan jaringan ikat tertentu (misalnya pada sindrom Ehlers-Danlos) dapat menyebabkan kelemahan selaput ketuban secara intrinsik. Faktor lain yang berkaitan dengan ketuban pecah dini preterm meliputi status sosial ekonomi yang rendah, ibu dengan BMI yang rendah (<19,8 kg/m2), defisiensi nutrisi (misalnya tembaga, asam askorbat) dan riwayat konisasi serviks. Selama kehamilan, merokok, sirklase serviks, riwayat kontraksi prematur, dan overdistensi uterus seperti pada polihidramnion dan kehamilan ganda dikaitkan dengan ketuban pecah dini preterm. 1 Progesteron dan estradiol menekan proses remodeling matriks ektraseluler pada jaringan reproduktif. Kedua hormon ini dapat menurunkan konsentrasi MMP-1 dan MMP-3 serta meningkatkan konsentrasi 10

11 TIMP pada fibroblas serviks. Tingginya konsentrasi progesteron menyebabkan penurunan produksi kolagenase. Hormon relaxin diproduksi oleh sel desidua dan plasenta berfungsi mengatur pembentukan jaringan ikat, dan mempunyai aktivitas yang berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesteron dan estradiol dengan meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 pada selaput ketuban. Saat ini bukti dan penelitian terakhir menunjukkan pecahnya selaput ketuban tidak hanya berkaitan dengan faktor mekanis dan kimia namun di dalamnya berperan serta pula adanya proses kematian sel terprogram (apoptosis) dari sel-sel yang terdapat pada selaput ketuban, dimana peristiwa-peristiwa tersebut terjadi sebelum kontraksi muncul. Berbagai penelitian memberikan hasil yang konsisten bahwa selaput ketuban dari ibu hamil dengan ketuban pecah dini menunjukkan indeks apoptosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan selaput ketuban dari persalinan aterm maupun preterm dengan selaput ketuban yang masih utuh. 2.5 Apoptosis Apoptosis merupakan suatu mekanisme yang kompleks, melibatkan suatu kaskade pada tingkat molekuler. Apoptosis tidak memerlukan suatu proses transkripsi atau translasi. Molecular machine yang dibutuhkan untuk kematian sel dianggap hanya mengalami dormansi dan hanya diperlukan pengaktifan kembali yang cepat. Secara garis besar proses apoptosis dibagi menjadi 4 tahap, yaitu : 1. Adanya sinyal kematian (penginduksi apoptosis) 2. Tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen apoptosis 11

12 yang berhubungan) 3. Tahap pelaksanaan apoptosis (fragmentasi DNA, penguraian sel) 4. Fagositosis. Berbagai pemicu intrinsik dan ekstrinsik dapat menginduksi terjadinya apoptosis, diantaranya stimulus yang menyebabkan cedera sel seperti radiasi dan radikal bebas (yang menyebabkan kerusakan DNA dan aktivasi p53), aktivasi intrinsik (misalnya pada saat embriogenesis), withdrawal dari growth factor, ligasi reseptor (misalnya FAS dan TNF) atau pelepasan granzyme oleh sel-t sitotoksik. Selanjutnya sinyal kematian dihubungkan dengan pelaksanaan apoptosis oleh tahap integrasi atau pengaturan. Pada tahap ini terdapat molekul regulator positif atau negatif yang dapat menghambat, atau memicu apoptosis, sehingga menentukan apakah sel tetap hidup atau mengalami apoptosis. 8 Hingga saat ini para peneliti menemukan terdapat dua jalur / pathway utama apoptosis, yaitu jalur ekstrinsik (death receptor pathway) dan jalur intrinsik (mitochondrial pathway). Jalur ekstrinsik dipicu oleh pelepasan molekul signal yang disebut ligan oleh sel lain tetapi bukan berasal dari sel yang akan mengalami apoptosis. Ligan tersebut berikatan dengan death receptor yang terletak pada membran sel target yang kemudian menginduksi apoptosis. Sedangkan apoptosis jalur intrinsik diinduksi oleh stress mitokondria yang disebabkan oleh senyawa kimia atau withdrawal dari growth factor, sehingga menyebabkan gangguan pada mitokondria dan terjadi pelepasan sitokrom c. Bukti terakhir menyebutkan 12

13 sesungguhnya kedua jalur ini saling terkait dan molekul-molekul pada salah satu jalur dapat mempengaruhi jalur yang lain. Gambar 2.3 Skema yang Menggambarkan Rangkaian Proses pada Apoptosis. 8 Label (1) adalah berbagai rangsangan yang dapat memicu apoptosis. Sebagian rangsangan (misalnya sel-t sitotoksik) secara langsung mengaktivasi caspase pada jalur eksekusi. sementara yang lainnya bekerja melalui protein adapter atau pelepasan sitokrom C oleh mitokondria. (2) adalah proteinprotein regulator famili BCL-2 yang dapat mempromosikan maupun menghambat kematian sel. (3) adalah caspase eksekusi yang mengaktivasi endonuklease sitoplasma dan protease yang mengurai protein sitoskeletal dan nukleus. Hasil akhirnya adalah pembentukan apoptotic bodies yang mengandung organela intraseluler dan benda sitosol lainnya, apoptotic bodies ini mengekspresikan ligan baru (semisal fosfatidilserin) yang memperantarai pengikatan dan fagositosis oleh sel fagosit. Selain dua jalur utama tersebut, terdapat pula jalur tambahan yang melibatkan sitotoksisitas yang dimediasi oleh sel T (T-cell mediated cytotoxity) dan kematian sel 13

14 yang tergantung perforin-granzyme (perforin-granzyme-dependent killing of the cell). Jalur perforin-granzyme dapat menginduksi apoptosis melalui granzyme A atau granzyme B. Jalur ekstrinsik, intrinsik dan granzyme B akan bertemu di satu titik terminal yang sama, yaitu tahap eksekusi. Tahap eksekusi dimulai dengan pembelahan caspase-3 dan menyebabkan fragmentasi DNA, degradasi proteinprotein sitoskeletal dan inti sel, cross-linking protein, pembentukan apoptotic body, ekspresi ligan baru yang memicu pembentukan reseptor sel fagosit dan akhirnya terjadi fagositosis oleh sel-sel fagosit. Jalur granzyme A sendiri mengaktivasi suatu jalur berbeda, yang tidak bergantung pada caspase (caspase independent pathway) Jalur Ekstrinsik Sinyal ekstrinsik yang memicu apoptosis melibatkan interaksi transmembran yang diperantarai oleh reseptor. Diantaranya termasuk death receptor yang merupakan bagian dari superfamili gen reseptor tumor necrosis factor (TNF). Anggota dari famili reseptor TNF memiliki domain ekstraseluler serupa yang kaya akan sistein, serta memiliki domain sitoplasmik yang terdiri dari 80 asam amino yang disebut death domain. Death domain berperan untuk menyampaikan sinyal kematian dari permukaan sel ke dalam jalur intraseluler. Saat ini ligan dan reseptor kematiannya yang berhubungan adalah diantaranya FasL / FasR, TNF-α, Apo3L / DR3, Apo2L/ DR4 dan Apo2L/ DR5. 3 Setelah terjadi ikatan ligan, protein adapter pada sitoplasma yang memiliki death domain yang serupa dengan yang terdapat pada reseptornya direkrut. Ikatan 14

15 ligan Fas dengan reseptor Fas akan berlanjut dengan pengikatan protein adapter FADD sedangkan pengikatan ligan TNF dengan reseptor TNF akan mengakibatkan pengikatan protein adapter TRADD dan rekrutmen FADD dan RIP. FADD kemudian bergabung dengan procaspase-8 melalui dimerisasi domain death effector. Pada titik ini, terbentuk death-inducing signaling complex (DISC), mengakibatkan aktivasi autokatalitik procaspase-8. Setelah caspase-8 teraktivasi, fase eksekusi dari apoptosis akan dimulai. Apoptosis yang diperantarai oleh death receptor dapat dihambat oleh protein yang disebut c-flip yang akan berikatan dengan FADD dan caspase-8 sehingga keduanya menjadi inefektif Jalur Intrinsik Jalur intrinsik melibatkan beberapa proses yang berbeda yaitu adanya rangsangan yang menghasilkan sinyal intraseluler tanpa diperantarai reseptor, dan bekerja langsung pada target yang berada dalam sel dan juga proses yang dimulai dari dalam mitokondria. Rangsangan yang memicu jalur intrinsik menghasilkan sinyal intraseluler yang dapat bekerja secara positif maupun negatif. Sinyal negatif berupa penekanan beberapa growth factor, hormon dan sitokin yang berakibat pada kegagalan supresi program kematian, sehingga memicu apoptosis. Dengan kata lain, adanya withdrawal beberapa faktor, hilangnya supresi apoptosis dan aktivasi tahap apoptosis selanjutnya. Rangsangan lain yang bekerja secara positif termasuk diantaranya radiasi, toksin, hipoksia, hipertermia, infeksi virus dan radikal bebas. Kesemua rangsangan ini menyebabkan perubahan di dalam membran mitokondria 15

16 dengan efek berupa terbukanya pori mitochondrial permeability transition (MPT), hilangnya potensial transmembran mitokondria dan pelepasan dua kelompok utama protein pro-apoptosis dari ruang intermembran ke dalam sitosol. 3 Kelompok pertama terdiri dari sitokrom c, Smac / DIABLO, dan protease serine HtrA2 / Omi. Protein-protein ini akan mengaktivasi jalur mitokodria yang bersifat caspase-dependent. Sitokrom c berikatan dan mengaktivasi Apaf-1 dan juga procaspase-9, membentuk suatu apoptosome dan caspase-9 menjadi aktif. Smac/ DIABLO dan HtrA2/ Omi menyebabkan apoptosis dengan cara menghambat aktivitas IAP (inhibitors of apoptosis proteins). 3,5 Beberapa protein mitokondria juga telah diketahui dapat menghambat kerja IAP, namun dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengikatan IAP semata tidak akan menyebabkan protein mitokondria menjadi pro-apoptosis. Kelompok kedua protein pro-apoptosis adalah AIF, endonuklease G dan CAD, dilepaskan dari mitokondria selama apoptosis. Kerja AIF maupun endonuklease G bersifat caspase-independent. 3 AIF mengalami translokasi ke dalam nukleus dan menyebabkan fragmentasi DNA dan kondensasi kromatin. Terbentuknya kondensasi nukleus ini disebut sebagai kondensasi tingkat I. Endonuklease G juga mengalami translokasi ke dalam nukleus dimana ia akan menyebabkan pembelahan kromatin nukleus menghasilkan fragmen DNA oligonukleosomal. CAD kemudian dilepaskan dari mitokondria dan mengalami translokasi ke nukleus, dimana setelah sebelumnya dipecah oleh caspase-3, 16

17 menyebabkan kondensasi kromatin oligonukleosomal. Kondensasi kromatin ini disebut sebagai kondensasi tingkat II. 4 Pelepasan protein intermembran tersebut diatas diatur oleh protein-protein famili Bcl-2. Bukti terakhir menyebutkan bahwa protein yang bersifat proapoptosis dari famili ini menyebabkan peningkatan permeabilitas membran mitokondria tanpa menyebabkan kerusakan memran itu sendiri. Mekanise kerja lain protein famili Bcl-2 pada mitokondria adalah dengan mempengaruhi kadar Ca 2+ yang dapat dilepaskan oleh retikulum endoplasma sehingga kadar Ca2+ dilepaskan dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi mitokondria sehingga terjadi pecahnya membran mitokondria dan terlepasnya protein intermembran. 3, Tahap Eksekusi Baik jalur intrinsik dan ekstrinsik keduanya berakhir pada satu titik yang sama yaitu berupa tahap eksekusi, yang dianggap sebagai jalur akhir apoptosis. Aktivasi dari caspase eksekusi merupakan tahap yang memulai tahap ini. Caspase eksekusi mengaktifkan endonuklease sitoplasmik, yang akan mengurai material nukleus dan protease yang mengurai protein sitoskeletal dan nukleus. Caspase-3, caspase-6 dan caspase-7 berfungsi sebagai caspase eksekutor, membelah berbagai substrat termasuk sitokeratin, PARP, protein nuklear NuMA dan lain-lain, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia seperti yang biasadiamati pada sel yang mengalami apoptosis. 17

18 Caspase-3 disebut sebagai caspase eksekutor yang paling penting, diaktifkan oleh caspase inisiator (caspase-8, caspase-9, caspase-10). 5 Caspase-3 secara spesifik mengaktifkan endonuklease CAD. Pada sel yang sedang berproliferasi CAD membentuk kompleks dengan inhibitornya, ICAD. Pada sel yang mengalami apoptosis, caspase-3 yang telah teraktivasi membelah ICAD sehingga melepaskan CAD. CAD kemudian akan menguraikan kromosom DNA di dalam nukelus dan menyebabkan kondensasi kromatin, caspase-3 juga memicu reorganisasi sitoskeletal dan disintegrasi sel membentuk apoptotic bodies. Proses fagositosis merupakan tahap terakhir dari apoptosis. Asimetrisitas fosfolipid dan eksternalisasi fosfatidilserin pada permukaan sel yang mengalami apoptosis merupakan penanda fase ini. Adanya fosfatidilserin pada permukaan sel apoptotik memfasilitasi proses pengenalan fagositosis noninflamatorik dan berikutnya terjadi proses fagositosis oleh sel fagosit Jalur Perforin / Granzyme T-cell mediated cytotoxicity merupakan varian dari hipersensitivitas tipe IV dimana sel CD8+ membunuh sel-sel yang mengandung antigen. Limfosit T sitotoksik mampu membunuh sel target melalui jalur ekstrinsik dan interaksi FasL/ FasR merupakan metode yang utama pada proses apoptosis yang diperantarai oleh Limfosit T sitotoksik ini. Namun efek sitotoksik terhadap sel tumor dan sel yang terinfeksi virus juga dapat terjadi melalui jalur lain yang melibatkan sekresi molekul perforin transmembran yang bersifat pore forming dan selanjutnya pelepasan granul 18

19 sitoplasma melalui pori yang terbentuk, menuju ke target sel. Protease serin granzyme A dan granzyme B adalah komponen terpenting di dalam granul-granul tersebut. 3 Granzyme B akan memecah protein pada residu aspartat dan kemudian akan mengaktifkan pro caspase-10 yang akan memecah faktor-faktor seperti ICAD (Inhibitor of Caspase Activated DNAse). Laporan lain menyebutkan dapat menggunakan jalur mitokondrial untuk mengamplifikasi death signal dengan secara spesifik memecah Bid dan menginduksi pelepasan sitokrom c. Granzyme B dapat pula secara langsung mengaktivasi caspase-3. 3 Kerja granzyme B melalui jalur mitokondrial dan juga aktivasi langsung caspase-3 adalah hal penting dalam proses pembunuhan sel yang diinduksi oleh granzyme B. Granzyme A juga penting dalam proses apoptosis oleh sel T sitotoksik dan mengaktifkan jalur caspase independent. Di dalam sel granzyme A menyebabkan pemotongan DNA melalui DNAse NM23-H1, suatu produk dari gen tumor supresor. DNAse ini memiliki peranan penting dalam immune surveillance untuk mencegah kanker melalui induksi apoptosis pada sel tumor. Nukleosome yang menyusun protein SET secara fisiologis menghambat gen NM23-H1. Granzyme A protease memecah kompleks SET yang kemudian meyebabkan inhibisi NM23-H1, dengan hasil berupa degradasi DNA. Sebagai tambahan, selain menghambat MM23-H1, kompleks SET memiliki fungsi penting dalam struktur kromatin dan perbaikan DNA. 4,5 Protein-protein yang menyusun kompleks SET (SET, Ape1, pp32 dan HMG2) nampaknya bekerja bersama-sama untuk mempertahankan struktur kromatin dan 19

20 DNA. Sehingga inaktivasi kompleks ini oleh granzyme A akan berperan pada terjadinya apoptosis dengan menghambat usaha mempertahankan integritas struktur kromatin dan DNA. 3 Gambar 2.4 Jalur pada Apoptosis. 3 Dua jalur utama apoptosis adalah ekstrinsik dan intrinsik juga jalur perforin/ granzyme. Masingmasing membutuhkan sinyal pemicu yang spesifik untuk memulai kaskade. Masing-masing jalur akan mengaktivasi caspase inisiatornya dan pada akhirnya akan mengaktifkan caspase eksekutor yaitu caspase-3. Kecuali granzyme A yang bekerja dengan tidak bergantung pada caspase. Jalur eksekusi akan menyebabkan munculnya gambaran khas sitomorfologi sel apoptotik, berupa pengerutan sel, kondensasi kromatin, pembentukan cytoplasmic bleb dan apoptotic bodies, dan pada akhirnya fagositosis apoptotic bodies oleh sel parenkim yang berdekatan, sel neoplastik ataupun makrofag. 2.6 Mekanisme Terjadinya Pecah Ketuban Pecahnya selaput ketuban merupakan bagian integral dari onset dan perjalanan persalinan. Meskipun pecah ketuban biasanya terjadi akibat adanya kontraksi uterus, terdapat 10% kejadian pecah ketuban sebelum munculnya kontraksi uterus pada 20

21 kehamilan aterm dan 40% pada kehamilan preterm. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan kontraksi yang menyebabkan peregangan bukan merupakan faktor satusatunya penyebab pecahnya selaput ketuban. 2 Pecahnya selaput ketuban yang terjadi pada saat intrapartum disebabkan oleh penurunan kekuatan secara merata, pada seluruh bagian, akibat adanya kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Hal ini dibuktikan oleh percobaan Rangswamy dkk., yang menyimpulkan bahwa terdapat penurunan daya regang dari selaput ketuban yang sudah mengalami proses persalinan dibanding daya regang selaput ketuban yang belum mengalami proses persalinan. 9 Kemudian muncul pertanyaan, apakah yang menyebabkan selaput ketuban pecah sebelum adanya kekuatan kontraksi? Berbagai penelitian yang telah dilakukan menemukan bahwa pada selaput ketuban yang pecah sebelum inpartu (ketuban pecah dini) ditemukan adanya defek yang bersifat fokal. Area yang berdekatan dengan lokasi ruptur dideskripsikan sebagai restricted zone of extreme altered morphology yang ditandai oleh adanya pembengkakan dan kerusakan jaringan fibriler kolagen pada masing-masing lapisan kompak, fibroblas dan lapisan berongga Terbentuknya Paracervical Weak Zone pada Selaput Ketuban Aterm Model pada tikus percobaan menunjukkan bahwa amnion, sebagai komponen terkuat dari selaput ketuban, memiliki kekuatan 6-9 kali lebih kuat dibandingkan korion yang hanya berkontribusi sebesar persen dari kekuatan 21

22 selaput ketuban. 11 Penelitian oleh Lei dkk., menyimpulkan bahwa apoptosis dan degradasi matriks ekstraselluler pada selaput ketuban hewan coba tikus terjadi sebelum onset persalinan. Akibat dari kedua proses ini terjadi perubahan bentuk fisik amnion dari lembaran yang elastis menjadi jeli tidak berbentuk, sebelum onset persalinan akibat kematian sel epitel amnion dan juga lisis matriks kolagen di bawahnya. 12 Akhirnya selaput ketuban menjadi semakin lemah dan semakin rentan untuk pecah mendekati akhir masa kehamilan. Malak dan Bell pada tahun 1994 adalah yang pertamakali menemukan adanya sebuah area yang disebut dengan high morphological change pada selaput ketuban pada daerah di sekitar serviks. Daerah ini merupakan 2-10% dari keseluruhan permukaan selaput ketuban. Bell dan kawan-kawan kemudian lebih lanjut menemukan bahwa area ini ditandai dengan adanya peningkatan MMP-9, peningkatan apoptosis trofoblas, perbedaan ketebalan membran, dan peningkatan myofibroblas. 10 Penelitian lain oleh Rangaswamy dkk. mendukung konsep paracervical weak zone tersebut. Mereka menemukan bahwa selaput ketuban daerah paraservikal pecah dengan hanya 20-50% dari kekuatan yang dibutuhkan untuk menimbulkan robekan di area selaput ketuban lainnya. 9 Dengan menggunakan pemeriksaan histologi hematoksilin-eosin tampak gambaran perubahan yang sesuai dengan gambaran histologi khas apoptosis yang terutama terjadi pada daerah supraservikal. 13 Berbagai penelitian tersebut mendukung konsep adanya perbedaan zona pada selaput ketuban, khususnya zona di sekitar serviks yang secara signifikan lebih lemah dibandingkan dengan zona lainnya seiring dengan terjadinya perubahan 22

23 pada susunan biokimia dan histologi. Paracervical weak zone ini telah muncul sebelum terjadinya pecah selaput ketuban dan berperan sebagai initial breakpoint Peran Apoptosis Pada Terbentuknya Paracervical Weak Zone Proses apakah yang menyebabkan pemebentukan paracervical weak zone? Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, selain proses remodeling, ini berkaitan erat dengan proses apoptosis, dimana beberapa penelitian yang telah dilakukan mendukung teori ini. Penelitian oleh El Khwad menemukan adanya peningkatan MMP-9 dan cleaved PARP, serta penurunan TIMP-3 pada weak zone. 14 Penelitian lain oleh Reti dan kolega menunjukkan bahwa selaput ketuban di daerah supraservikal menunjukkan peningkatan aktivitas petanda apoptosis yaitu cleavedcaspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan Bcl-2. Metode lain untuk membuktikan adanya proses apoptosis dilakukan oleh Kataoka, dkk. dengan cara mengukur derajat fragmentasi DNA dengan densitometer. Didapatkan hasil laju apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari pasien dengan ketuban pecah dini dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah dini, dan laju apoptosis ditemukan paling tinggi pada daerah sekitar serviks dibandingkan dengan daerah fundus. 15 Baik jalur intrinsik maupun ekstrinsik keduanya dapat menginduksi aktivasi caspase, namun Reti dkk. berpendapat bahwa jalur intrinsik merupakan jalur yang dominan berperan pada proses apoptosis pada selaput ketuban aterm. Hal ini dibuktikan dengan temuan penelitian mereka yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan kadar yang signifikan pada Bcl-2, cleaved caspase-3, cleaved caspase-9 23

24 pada daerah supraservikal, dimana protein-protein tersebut merupakan protein yang berperan pada jalur intrinsik. Fas- dan ligannya, Fas-L menginisiasi apoptosis jalur ekstrinsik. Meskipun pada penelitian tersebut Fas dan Fas-L juga dapat ditemukan pada seluruh sampel selaput ketuban namun ekspresinya tidak berbeda bermakna antara daerah supraservikal dengan daerah distal. Karenanya diduga jalur ekstrinsik tidak berperan banyak pada remodelling selaput ketuban. 13 Meskipun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada ekspresi Bax, protein yang bersifat proapoptosis, namun protein antiapoptosis Bcl-2 ditemukan mengalami downregulation pada daerah paraservikal dibandingkan dengan daerah lainnya. Hasil lain yang mendukung bahwa jalur intrinsik berperan pada ketuban pecah dini didapatkan oleh Menon, dimana didapatkan peningkatan ekspresi gen proapoptosis, p53 dan penurunan ekspresi pada gen antiapoptosis Bcl-2 pada wanita dengan ketuban pecah dini. 16 Penelitian oleh Suhaimi, menemukan hal yang sama bahwa dengan pemeriksaan ELISA didapatkan kadar protein p53 yang lebih tinggi pada pasien dengan ketuban pecah dini dibandingkan dengan pasien dengan persalinan normal. 17 Perubahan ekspresi protein pro dan antiapoptosis pada daerah paraservikal menyebabkan kelemahan integritas struktur selaput ketuban dan meningkatkan risiko terjadinya pecah ketuban. Bersamaan dengan proses ini kemungkinan dapat juga terjadi proses inflamasi yang menyebabkan pelepasan sitokin dan aktivasi MMP. 24

25 2.6.3 Regulator Apoptosis Pada Selaput Ketuban Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya jalur intrinsik merupakan jalur yang dominan berperan pada proses apoptosis pada selaput ketuban aterm. Jalur intrinsik terpusat pada mitokondria, dengan regulator utamanya adalah famili protein Bcl Protein-protein famili Bcl-2 dapat bersifat pro-apoptosis ataupun antiapoptosis. Hingga saat ini dikenal 25 gen sebagai famili Bcl-2. Beberapa protein yang bersifat antiapoptosis termasuk Bcl-2, Bcl-x, Bcl-xL, Bcl-xS, Bcl-w, BAG, sedangkan yang bersifat proapoptosis termasuk Bcl-10, Bax, Bak, Bid, Bad, Bim, Bik dan Blk. Peran protein-protein ini sangat bermakna, karena dapat menentukan apakah sel ditujukan pada kematian atau dibatalkan prosesnya. Protein-protein yang termasuk dalama anggota famili Bcl-2 memiliki kesamaan pada satu atau lebih karakter domain yang disebut dengan domain Bcl-2 homology (BH) (disebut BH1, BH2, BH3 dan BH4). Domain BH amat penting dalam menjalankan fungsinya, misalnya delesi pada salah satu domain ini akan mempengaruhi laju apoptosis. Protein yang bersifat antiapoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-xL memiliki keempat domain BH. Perbedaan domain BH ini ini juga digunakan untuk membagi protein Bcl-2 yang bersifat proapoptosis menjadi protein yang mengandung beberapa domain BH (misalnya Bax dan Bak) atau yang hanya mengandung domain BH3 saja (misalnya Bim, Bid dan BAD). Tempat kerja utama protein-protein Bcl-2 ini adalah membran luar mitokondria. Dimana pada membran ini tersimpan faktor apoptogenik, yang apabila dilepaskan akan mengaktifkan eksekutor dari apoptosis, yaitu caspase. Protein apoptogenik yang dilepaskan ini 25

26 termasuk sitokrom c, Smac, Diablo, AIF dan endonuklease G. Smac, Diablo dan sitokrom C terlibat dalam aktivasi caspase. Sedangkan AIF dan endonukelase G berperan dalam menginduksi jalur apoptosis yang bersifat caspase-independent. Protein famili Bcl-2 yang bersifat antiapoptosis menghambat pelepasan faktor apoptogenik ini, sebaliknya anggota kelompok yang bersifat proapoptosis memicu pelepasan tersebut. 18 Bukti terakhir menyebutkan bahwa protein yang bersifat proapoptosis dari famili ini bekerja dengan cara menyebabkan peningkatan permeabilitas membran mitokondria tanpa menyebabkan kerusakan membran itu sendiri. Kerja ini diperankan oleh Bax dan Bak. Bax dan Bak yang diaktivasi oleh Bid atau Bim membentuk pori lipid berukuran besar pada membran mitokondria. Mekanise kerja lain protein famili Bcl-2 pada mitokondria adalah dengan mempengaruhi kadar Ca 2+ yang dapat dilepaskan oleh retikulum endoplasma sehingga kadar Ca2+ dilepaskan dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi mitokondria sehingga terjadi pecahnya membran mitokondria dan terlepasnya faktor apoptogenik. 19 Protein supresor tumor p53 memegang peranan penting dalam hal regulasi protein famili Bcl-2. p53 merupakan faktor transkripsi spesifik yang dapat diaktifkan oleh berbagai macam rangsangan stres seluler. Penemuan mengenai kemampuan p53 untuk dapat mempromosikan apoptosis terjadi 10 tahun sejak penemuan p53 pertamakali. Pada penelitian awal diperkirakan aktivitas proapoptosis p53 berkaitan dengan fungsinya sebagai faktor transkripsi. Satu dekade kemudian penelitian telah difokuskan untuk mengetahu target kerja p53 berkaitan dengan perannya pada 26

27 apoptosis. Saat ini telah diketahui bahwa fungsi utama p53 pada apoptosis adalah melalui regulasi aktivitas protein-protein famili Bcl-2, baik secara langsung maupun tidak langsung. 20 Dari berbagai penelitian dapat ditemukan bahwa terdapat beberapa mekanisme hubungan antara p53 dan protein-protein famili Bcl-2. Mekanisme pertama hubungan antara p53 dan famili Bcl-2 adalah melalui salah satu anggota proteinnya yang bersifat proapoptosis, yaitu Bax. p53 secara langsung dapat menginduksi transkripsi Bax. 21 Efek induksi Bax oleh p53 ini dapat menghambat efek antiapoptosis dari Bcl-2. Pada sel-sel yang sedikit mengandung Bax maka sel tersebut bersifat resisten terhadap apoptosis yang diperantarai oleh p Maka dapat dikatakan p53 dapat menentukan nasib sebuah sel dalam merespon suatu stres dengan cara mengatur rasio kadar protein Bax dibanding Bcl-2. p53 juga memiliki mekanisme lainnya dalam meregulasi Bcl-2, yaitu pada keadaan tertentu ia dapat menekan transkripsi Bcl-2. Selain itu p53 secara langsung dapat mempengaruhi aktivitas Bcl-2 dimana p53 sitoplasma sendiri akan berikatan dengan protein proaptosis dari famili Bcl-2 yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas mitokondria dan akhirnya terjadi apoptosis. 22 Jadi p53 dapat berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam mengatur famili protein Bcl-2. Variasi mekanisme p53 dalam mengatur famili protein Bcl-2 ini dibutuhkan untuk menjamin efektifitasnya dalam menjalankan mesin kematian sel. Dari literatur dan penelitian yang sudah dilakukan, sepengetahuan kami masih sangat terbatas penelitian yang memfokuskan bagaimana mekanisme pasti suatu agen atau stimulan dapat memicu apoptosis pada sel epitel amnion selaput 27

28 ketuban. Salah satu penelitian tersebut adalah yang dilakukan oleh Menon pada tahun Pada kesimpulan penelitiannya Menon menunjukkan bahwa merokok dapat menginduksi stres oksidatif dan apoptosis pada selaput ketuban, dan mekanisme pecah ketuban yang dipicu oleh merokok ini berbeda dengan mekanisme pecah ketuban dini yang disebabkan oleh infeksi. Gambar 2.5 Perbedaan Jalur Pecah Ketuban Dini Setelah Pemberian Stimulasi invitro Berupa Infeksi (LPS) dan Merokok

29 Pada percobaan ini Menon menggunakan bahan berupa selaput ketuban (amnion dan korion) yang didapat dari ibu hamil aterm paska seksio sesarea yang kemudian dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama diberikan ekstrak asap dari rokok, kelompok kedua diberikan lipopolisakarida (LPS) dari Escherichia coli dan kelompok ketiga diberikan keduanya. Setelah pemberian stimulasi tersebut 24 jam kemudian dilakukan pemeriksaan petanda infeksi yaitu sitokin, TNF dan pemeriksaan MMP, serta pemeriksaan petanda apoptosis yaitu p53, caspase-3 dan cparp-1. Disimpulkan bahwa infeksi (dalam hal ini diperankan oleh LPS) memperantarai pembentukan toll like receptor (TLR) dan tissue receptor of myeloid cells (TREM) yang kemudian memicu proses inflamasi (peningkatan sitokin / MMP) yang menyebabkan degradasi matriks ekstraseluler dan pecahnya selaput ketuban. Berikutnya persalinan preterm terjadi akibat perantara prostaglandin. Sedangkan pada asap rokok akan menyebabkan kerusakan DNA, stress oksidatif dan apoptosis yang menyebabkan pelemahan matriks ekstraseluler dan akhirnya pecah ketuban. Respon inflamasi dalam hal ini dihambat oleh pembelahan PARP-1 dan efek inhibisi langsung apoptosis terhadap NF-KB. Selanjutnya insisiasi persalinan preterm terjadi dengan diperantarai isoprostan Interrelasi Apoptosis dan Aktivasi MMP pada Kejadian KPD Perubahan morfologi pada daerah supraservikal yang telah dijelaskan sebelumnya sangat berkaitan dengan peningkatan aktivitas MMP dan apoptosis. Kekuatan dari selaput ketuban dan korion sebagian besar diperankan oleh kolagen. Kolagen I, III, 29

30 IV, V dan VI ditemukan pada berbagai lapisan amniokorion. Degradasi kolagen dikendalikan oleh matrix metalloproteinase yang memiliki spesifisitas berbeda untuk tiap tipe kolagen, matrix metallproteinase sendiri dapat dimodulasi oleh tissue inhibitor of matrix metalloproteinases (TIMPs). Rasio MMP / TIMP pada kolagen menentukan apakah kolagen tersebut akan mengalami degradasi atau tidak. Degradasi, yang diikuti dengan deposisi kolagen baru berupa fibroblas, menentukan hasil akhir kekuatan sebuah jaringan. MMP-1, MMP-2, MMP-3, MMP-8 dan MMP- 9 telah ditemukan pada amniokorion. MMP-1 adalah MMP yang dominan sebelum dimulainya kontraksi. MMP-2 kadarnya menetap dan tidak berespon terhadap sitokin atau perubahan yang berkaitan dengan ketuban pecah dini preterm atau persalinan. Sedangkan bentuk aktif dan laten MMP-9 menunjukkan peningkatan kadar pada cairan ketuban pasien dengan ketuban pecah dini preterm dan persalinan yang diinduksi dengan sitokin. MMP-9 pada selaput ketuban juga dapat diinduksi oleh PGE2, PGF2α, TNF-α dan reactive oxygen species (ROS). TIMP-1 yang mengontrol aktivitas MMP-9 telah secara luas dipelajari pada selaput ketuban, dimana ditemukan kadarnya menurun pada ketuban pecah dini dan pada saat persalinan. Oleh karenanya disimpulkan bahwa MMP-9 memainkan peranan yang penting pada proses remodelling, pelemahan dan pecahnya selaput ketuban. Kadar MMP-9 merupakan petanda kekuatan selaput ketuban yang sangat baik. 24 Aktivasi MMP dan apoptosis seringkali bersifat interrelasi / saling mempengaruhi. Matriks ekstraseluler berperan utama sebagai faktor penyeimbang pada banyak sistem jaringan. Stabilitas ini menjadi terganggu apabila aktivasi MMP 30

31 mengakibatkan kerusakan matriks ekstraseluler dan menyebabkan apoptosis. MMP juga dapat menginduksi terjadinya apoptosis melalui pemecahan sitokin yang terikat membran, termasuk TNF-α dan FasL. Apoptosis dapat juga menginduksi aktivasi MMP, sebagai tambahan, agen yang dapat menyebabkan apoptosis pada jaringan selaput ketuban juga dapat mengaktivasi dan meningkatkan transkripsi MMP, khususnya MMP-1, MMP-9. Dilaporkan pula bahwa terjadinya peningkatan prostaglandin dengan induksi apoptosis pada epitel amnion dan mesenkim oleh agen apoptosis non-fisiologis (actinomycin D, cycloheximide, staurosporin) dan fisiologis (ceramide, lactosylceramide, metabolit PGJ2). Prostaglandin juga menginduksi transkripsi dan mengaktivasi MMP pada kebanyakan jaringan. Proses apoptosis berpotensi melemahkan selaput ketuban dengan mengeliminasi sel fibroblast, yang berfungsi menyusun kolagen baru, dan secara simultan mengaktivasi sistem enzim yang mengurai kolagen yang ada. Aktivasi MMP selanjutnya akan meningkatkan apoptosis, yang secara simultan memberikan umpan balik berupa peningkatan lebih banyak lagi aktivasi MMP. Aktivasi MMP dan apoptosis telah menunjukkan kerja yang bersifat sinergis untuk menyebabkan terjadinya pecah ketuban. Mekanisme fisiologis yang menginisiasi aktivasi MMP dan apoptosis pada selaput ketuban masih belum banyak diketahui. Banyak zat yang terkandung dalam cairan ketuban yang jumlahnya semakin meningkat seiring dengan bertambanya usia kehamilan, atau akibat infeksi, atau karena pecah ketuban (TNF-α, IL-1ß, lactosylceramide, dan lain-lain) menyebabkan apoptosis pada sel yang didapatkan 31

32 dari selaput ketuban yang masih intak. Sebagian besar agen apoptosis ini juga menyebabkan peningkatan atau aktivasi MMP, khususnya MMP Pencegahan Pelemahan dan Pecahnya Selaput Ketuban Terdapat optimisme pada para peneliti bahwa pelemahan prematur pada selaput ketuban dapat dicegah. Untuk dapat diterima secara medis dan etika semua penelitian yang dilakukan wanita hamil untuk mencegah pelemahan selaput ketuban harus benar-benar tidak berbahaya dan dilakukan pada wanita yang benar-benar memiliki risiko untuk terjadinya pecah ketuban dini preterm. Untuk itu kelompok wanita berisiko itu harus dapat diidentifikasi terlebih dahulu. Kelahiran preterm spontan akibat persalinan preterm atau pecah ketuban dini berkaitan dengan berbagai macam kondisi klinis dan juga temuan abnormal pada pemeriksaan penunjang (misalnya panjang serviks yang pendek pada pemeriksaan sonografi transvaginal, hasil positif pada penapisan fetal fibronectin servikovaginal). Namun seringkali pemeriksaan ini memiliki sensitifitas dan spesifitas yang kurang baik apabila diterapkan pada wanita yang asimtomatik. 25 Sehingga masih sulit untuk mengidentifikasi wanita mana yang akan mengalami pecah ketuban dini sebelum hal itu terjadi. Penelitian lain menunjukkan bahwa kelompok ras afrika amerika, kelompok dengan insiden yang tinggi untuk terjadinya ketuban pecah dini, memiliki insiden yang lebih tinggi adanya polimorfisme berupa MMP dan sitokin proinflamasi yang lebih aktif. 26 Sehingga sangat dimungkinkan dan dibenarkan untuk melakukan penelitian pada kelompok wanita ini yang telah membawa risiko secara genetika. 32

33 Tanpa adanya faktor risiko atau risiko minimal, pemberian vitamin C atau kombinasi dengan vitamin E telah disarankan untuk dapat mencegah ketuban pecah dini preterm, hal ini berkaitan dengan efek keduanya sebagai antioksidan. 27 Namun terdapat keraguan mengenai apakah vitamin C dapat meningkatkan atau menurunan apoptosis bergantung pada sistem sel, dosis dan adanya ko-efektor. Dapat ditunjukkan bahwa vitamin C tidak menghambat apoptosis dan mungkin justru mengeksaserbasi apoptosis yang diinduksi H2O2 pada kultur sel amnion. Terdapat tiga penelitan besar yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kejadian ketuban pecah dini baik pada aterm ataupun preterm pada kelompok yang diberikan suplementasi vitamin. 28,29,30 Peringatan khusus telah disertakan pada penelitianpenelitian tersebut mengenai penggunaan vitamin C/ E setidaknya mengenai dosis yang digunakan. Berdasarkan penelitian oleh Rangaswamy dkk, pada percobaan in vitro vitamin C tidak mencegah pelemahan selaput ketuban yang diperantarai oleh TNF-α, bahkan vitamin C dosis tinggi dapat secara nyata meningkatkan aktivitas MMP-9 dan melemahkan selaput ketuban. 9 Dari peneliti yang sama sebaliknya ditemukan bahwa asam lipoat (lipoic acid) dengan kemampuan antioksidan dan inhibisi NFkB yang dimilikinya dapat mencegah pelemahan selaput ketuban yang diperantarai oleh TNF-α, serta sekaligus mencegah peningkatan MMP-9 dan PGE2. 9 Asam lipoat merupakan kandidat yang menjanjikan untuk digunakan secara klinis dalam pencegahan pecah ketuban dini preterm. Berbagai uji klinik tengah dijalani oleh asam lipoat dengan tanpa adanya efek samping buruk yang dilaporkan, meskipun uji klinik ini belum dilakukan pada wanita hamil. Namun uji toksisitas 33

34 pada hewan mencit hamil memberikan hasil yang menggembirakan. Penggunaan asam lipoat pada ibu hamil masih memerlukan berbagai ujicoba termasuk untuk memastikan bagaimana mekanisme pasti asam lipoat dalam pencegahan pelemahan selaput ketuban. 34

35 BAB III RINGKASAN Ketuban pecah dini didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan dimulai. Sedangkan pecahnya selaput ketuban sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut sebagai ketuban pecah dini preterm (preterm premature rupture of membrane / PPROM). Meskipun pecah ketuban biasanya terjadi akibat adanya kontraksi uterus, terdapat 10% kejadian pecah ketuban sebelum munculnya kontraksi uterus pada kehamilan aterm dan 1% pada kehamilan preterm. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan kontraksi yang menyebabkan peregangan bukan merupakan faktor satu-satunya penyebab pecahnya selaput ketuban. Terdapat perubahan yang menyebabkan pelemahan struktur selaput ketuban yang nyata diluar remodelling yang fisiologi. Pada selaput ketuban yang pecah sebelum inpartu (ketuban pecah dini) defek yang ditemukan lebih bersifat fokal dan dideskripsikan sebagai restricted zone of extreme altered morphology. Zona ini secara histologi ditandai oleh adanya pembengkakan dan kerusakan jaringan fibriler kolagen pada masing-masing lapisan kompak, fibroblas dan lapisan berongga. Zona ini ditemukan pada daerah selaput ketuban supraservikal yang muncul sebelum terjadinya pecah selaput ketuban. Secara fisika selaput ketuban pada daerah ini memiliki kekuatan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan area lainnya dan berperan sebagai initial breakpoint. 35

36 Perubahan morfologi pada daerah supraservikal ini sangat berkaitan dengan peningkatan aktivitas MMP dan apoptosis. Apoptosis merupakan bagian yang normal dari perkembangan dan pemeliharaan dari suatu organisme multiseluler. Kematian sel ini merupakan respon terhadap berbagai stimulus, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Apoptosis terjadi melalui dua jalur utama, yaitu jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik merupakan jalur yang dominan berperan pada proses apoptosis pada selaput ketuban aterm. Jalur intrinsik terpusat pada mitokondria, dengan regulator utamanya adalah famili protein Bcl-2. Protein-protein famili Bcl-2 dapat bersifat pro-apoptosis ataupun anti-apoptosis. Tempat kerja utama proteinprotein Bcl-2 ini adalah membran luar mitokondria. Dimana pada membran ini tersimpan faktor apoptogenik (sitokrom c, Smac, Diablo, AIF dan endonuklease G), yang apabila dilepaskan akan mengaktifkan eksekutor dari apoptosis, yaitu caspase. Protein famili Bcl-2 yang bersifat antiapoptosis menghambat pelepasan faktor apoptogenik ini, sebaliknya anggota kelompok yang bersifat proapoptosis memicu pelepasan tersebut. Apoptosis dan degradasi matriks ekstraselluler pada selaput ketuban menyebabkan perubahan bentuk fisik amnion dari lembaran yang elastis menjadi jeli tidak berbentuk, sebelum onset persalinan. Akhirnya selaput ketuban menjadi semakin lemah dan semakin rentan untuk pecah. 36

37 DAFTAR PUSTAKA 1. Mercer BM. Premature Rupture of Membrane. In : (Creasy RK, Resnik R, Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR) Creasy & Resnik s Maternal-Fetal Medicine, 6 th edition, Saunders Elsevier ; 2009: Parry S, Strauss JF. Premature Rupture of Membrane. The New England Journal of Medical 2006; 338 (10) : Elmore S. Apoptosis : A Review of Programmed Cell Death. Toxicologic Pathology 2007: 35: Saglam A, Ozgur C, Derwig E, et al. The Role of Apoptosis in Preterm Premature Rupture of the Human Fetal Membranes. Arch Gynecol Obstet 2013; 288 (3) : Fortunato SJ, Menon R, Bryant C. Programmed Cell Death (Apoptosis) as a Possible Pathway to Metalloproteinase Activation and Fetal Membrane Degradation in Premature Rupture of Membranes. Am J Obstet Gynecol 2000 ; 182 (6) : Menon R, Fortunato SJ. The Role of Matrix Degrading Enzymes and Apoptosis in Rupture of Membrane. J Soc Gynecol Investig 2004 ; 11(7): Strauss JF. Extracellular Matrix Dynamics and Fetal Membrane Rupture. Reproductive Sciences 2003 ; 20(2) Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Neoplasia. In : Robbins and Cotran Pathology Basis of Disease, 7th edition. Saunders Elsevier ; 2005 : Rangaswamy N, Kumar D, Moore RM, et al. Weakening and Rupture of Human Fetal Membranes Biochemistry and Biomechanics. In : (Morrison J, ed) Preterm Birth Mother and Child, Intech : 2012;

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya air ketuban (cairan amnion) sebelum

BAB I PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya air ketuban (cairan amnion) sebelum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketuban pecah dini (KPD) adalah keluarnya air ketuban (cairan amnion) sebelum terjadinya persalinan. KPD merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang diawali terjadinya ketuban pecah dini. Akan tetapi sulit menentukan

BAB I PENDAHULUAN. yang diawali terjadinya ketuban pecah dini. Akan tetapi sulit menentukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini mortalitas dan morbiditas neonatus pada bayi preterm / prematur masih sangat tinggi. Hal ini berkaitan dengan maturitas organ pada bayi lahir seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persalinan kurang bulan merupakan masalah di bidang obstetrik dan perinatologi karena berhubungan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas bayi. Tujuh puluh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk mengukur status kesehatan ibu disuatu negara. Dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Dasar Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Insidensi di negara berkembang sekitar 5-9 % (Goldenberg, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Insidensi di negara berkembang sekitar 5-9 % (Goldenberg, 2008). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persalinan preterm adalah kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu. Angka kejadian persalinan preterm secara global sekitar 9,6%. Insidensi di negara berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus juga meningkatkan resiko persalinan prematur. KPD yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus juga meningkatkan resiko persalinan prematur. KPD yang terjadi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehamilan dengan ketuban Pecah Dini (KPD) masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri, karena berkaitan dengan penyulit atau komplikasi yang dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada umur. kehamilan 20 <37 minggu. Bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan

BAB I PENDAHULUAN. Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada umur. kehamilan 20 <37 minggu. Bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada umur kehamilan 20

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. lengkap baik dari segi farmakologi maupun fitokimia. Pemanfaatan Phaleria macrocarpa ini

BAB 6 PEMBAHASAN. lengkap baik dari segi farmakologi maupun fitokimia. Pemanfaatan Phaleria macrocarpa ini BAB 6 PEMBAHASAN Phaleria macrocarpa merupakan salah satu tanaman obat tradisional Indonesia yang mempunyai efek anti kanker, namun masih belum memiliki acuan ilmiah yang cukup lengkap baik dari segi farmakologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persalinan. Ketuban pecah dini preterm (KPDP) adalah pecahnya ketuban

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persalinan. Ketuban pecah dini preterm (KPDP) adalah pecahnya ketuban BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ketuban pecah dini (KPD) merujuk pada pasien dengan usia kehamilan diatas 37 minggu dan mengalami pecah ketuban sebelum dimulainya proses persalinan. Ketuban pecah dini preterm

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketuban Pecah Dini (KPD) masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua kelahiran dan mengakibatkan peningkatan

Lebih terperinci

Tugas Biologi Reproduksi

Tugas Biologi Reproduksi Tugas Biologi Reproduksi Nama :Anggun Citra Jayanti Nim :09004 Soal : No.01 Mengkritisi tugas dari: Nama :Marina Nim :09035 Soal: No.05 factor yang memepengaruhi pematangan serviks Sebelum persalinan dimulai

Lebih terperinci

APOPTOSIS. OLEH: Dr.FITRIANI LUMONGGA DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008

APOPTOSIS. OLEH: Dr.FITRIANI LUMONGGA DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 APOPTOSIS OLEH: Dr.FITRIANI LUMONGGA DEPARTEMEN PATOLOGI ANATOMI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Pendahuluan Setiap organisme yang hidup terdiri dari ratusan tipe sel, yang semuanya

Lebih terperinci

APOPTOSIS ERYATI DARWIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

APOPTOSIS ERYATI DARWIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS APOPTOSIS ERYATI DARWIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PENDAHULUAN Kematian sel krn trauma - mekanik - kimia/toksik Kematian sel krn apoptosis - Sinyal Internal - Sinyal external PROSES KEMATIAN

Lebih terperinci

Penuaan dan Kematian Sel

Penuaan dan Kematian Sel Penuaan dan Kematian Sel ASHFAR KURNIA Departemen Biokimia FKUI Penuaan Sel -Karena aktifitas sel menurun -Stress oksidatif di dalam sel merupakan penyebab proses aging -Mitokondria yang menghasilkan ROS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. adanya hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu kehamilan. Hal ini. dapat dijumpai 5-8 % dari semua wanita hamil diseluruh dunia dan

PENDAHULUAN. adanya hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu kehamilan. Hal ini. dapat dijumpai 5-8 % dari semua wanita hamil diseluruh dunia dan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Preeklampsia adalah penyakit spesifik pada kehamilan didefinisikan adanya hipertensi dan proteinuria setelah 20 minggu kehamilan. Hal ini dapat dijumpai 5-8

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. minggu kehamilan pada wanita hamil yang sebelumnya. preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. minggu kehamilan pada wanita hamil yang sebelumnya. preeklampsia merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Preeklampsia Preeklampsia merupakan gangguan multisistem dalam kehamilan. Ditandai dengan kenaikan tekanan darah dan proteinuria diatas 20 minggu kehamilan pada wanita hamil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka angka kematian bayi (AKB) pada saat ini masih menjadi persoalan di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam)

BAB V PEMBAHASAN. fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) BAB V PEMBAHASAN 1. Kemampuan fagositosis makrofag Kemampuan fagositosis makrofag yang dinyatakan dalam indeks fagositosis makrofag pada kelompok perlakuan (diberi ekstrak daun salam) lebih tinggi dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Ketuban pecah dini (KPD) terjadi pada sekitar sepertiga dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Ketuban pecah dini (KPD) terjadi pada sekitar sepertiga dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Ketuban pecah dini (KPD) terjadi pada sekitar sepertiga dari kelahiran prematur dan dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas perinatal yang signifikan.

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum dimulainya

BAB I PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum dimulainya BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum dimulainya tanda tanda persalinan, yang ditandai dengan pembukaan serviks 3 cm pada primipara atau 5 cm pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tumor odontogenik adalah tumor yang berasal dari jaringan pembentuk gigi (Sherlin, 2013). Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling sering ditemukan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS MN / PMN LPS. NLRP3 ASC Adaptor protein OLIGOMERASI INFLAMMASOME. IL-1β SEPSIS SURVIVAL

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS MN / PMN LPS. NLRP3 ASC Adaptor protein OLIGOMERASI INFLAMMASOME. IL-1β SEPSIS SURVIVAL BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Konseptual dan Hipotesis LPS CD14 TLR 4 TRAF poliubikuitinisa IKK MN / PMN LPS EKSTRA SEL SITOSOL Degradasi IKB NFƙB aktif Migrasi ke dalam nukleus NLRP3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ketuban Pecah Dini 2.1.1 Definisi ketuban pecah dini preterm Ketuban Pecah Dini Preterm adalah pecahnya ketuban secara spontan sebelum saatnya persalinan dan terjadi saat usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berat badan lahir merupakan berat bayi baru lahir yang diukur dalam satu jam pertama kehidupan. Bayi baru lahir normal adalah bayi baru lahir dari kehamilan yang aterm

Lebih terperinci

Bab 1 PENDAHULUAN. Preeklampsia-eklampsia sampai saat ini masih merupakan the disease of

Bab 1 PENDAHULUAN. Preeklampsia-eklampsia sampai saat ini masih merupakan the disease of Bab 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklampsia-eklampsia sampai saat ini masih merupakan the disease of theories, penelitian telah begitu banyak dilakukan namun angka kejadian Preeklampsia-eklampsia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. periodontal dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya kelahiran bayi prematur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. periodontal dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya kelahiran bayi prematur BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kelahiran bayi prematur BBLR merupakan salah satu masalah kesehatan utama dalam masyarakat dan merupakan penyebab utama kematian neonatal serta gangguan perkembangan saraf dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan jaringan. 27

BAB 6 PEMBAHASAN. pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan jaringan. 27 64 BAB 6 PEMBAHASAN Fibroblas merupakan elemen utama pada proses perbaikan untuk pembentukan protein struktural yang berperan dalam pembentukan jaringan. 27 Hasil uji Kruskal-Wallis pada jumlah fibroblas

Lebih terperinci

Indonesia dan dapat mengancam keselamatan ibu dan janin. Kondisi. tersebut jelas berperan dalam tingginya AKI dan AKB di Indonesia.

Indonesia dan dapat mengancam keselamatan ibu dan janin. Kondisi. tersebut jelas berperan dalam tingginya AKI dan AKB di Indonesia. 2.1. Preeklampsia Preeklampsia dilaporkan masih menjadi masalah utama ibu hamil di Indonesia dan dapat mengancam keselamatan ibu dan janin. Kondisi tersebut jelas berperan dalam tingginya AKI dan AKB di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. Hasil analisis normalitas sebaran data persentase kematian sel Raji... 49

DAFTAR TABEL. Hasil analisis normalitas sebaran data persentase kematian sel Raji... 49 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN KEASLIAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi DAFTAR SINGKATAN...

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit periodontal adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit periodontal adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Penyakit periodontal adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif, anaerob dan mikroaerofilik yang berkolonisasi di area subgingiva. Jaringan periodontal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak dilakukan oleh kelompok umur lansia (Supardi dan Susyanty, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak dilakukan oleh kelompok umur lansia (Supardi dan Susyanty, 2010). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini masyarakat tertarik pada usaha untuk mengobati diri sendiri ketika merasa mengalami keluhan kesehatan yang bersifat ringan. Dalam kurun waktu tahun 2000 hingga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang mempunyai plak, kalkulus dan peradangan gingiva. Penyakit periodontal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang mempunyai plak, kalkulus dan peradangan gingiva. Penyakit periodontal BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Periodontitis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri anaerob gram negatif pada rongga mulut yang mengakibatkan kerusakan pada jaringan pendukung gigi. 4,7,18 Penyakit periodontal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh persalinan prematur, sedangkan kematian perinatal sendiri

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh persalinan prematur, sedangkan kematian perinatal sendiri 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persalinan prematur diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran serviks yang diikuti turunnya bayi pada usia kehamilan kurang dari

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga 54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon

Lebih terperinci

MEKANISME DAN REGULASI APOPTOSIS

MEKANISME DAN REGULASI APOPTOSIS MEKANISME DAN REGULASI APOPTOSIS Pengertian apoptosis Apoptosis adalah mekanisme kematian sel yang terprogram yang penting dalam berbagai proses biologi. Berbeda dengan nekrosis, yang merupakan bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah kematian ibu dan angka kematian perinatal. Di dunia, setiap menit

BAB I PENDAHULUAN. adalah kematian ibu dan angka kematian perinatal. Di dunia, setiap menit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator untuk mengukur derajat kesehatan suatu negara adalah kematian ibu dan angka kematian perinatal. Di dunia, setiap menit seorang perempuan meninggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Preeklampsia masih merupakan penyebab kematian maternal dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Preeklampsia masih merupakan penyebab kematian maternal dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Preeklampsia masih merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal yang utama. Dalam prakteknya preeklamsia dapat kita diagnosis dengan adanya hipertensi dan proteinuria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 200 tahun. Kenyataannya, Biro Kependudukan Amerika Serikat meramalkan pada

BAB I PENDAHULUAN. 200 tahun. Kenyataannya, Biro Kependudukan Amerika Serikat meramalkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan adalah suatu proses yang dialami oleh setiap manusia di dunia, tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi proses penuaan dapat diperlambat. Usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak terkendali. Di perkirakan setiap tahun 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6

Lebih terperinci

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka konseptual VIRUS SEL KUFFER SIMVASTATIN NFkβ IL 6 TNF α IL 1β TGF β1 HEPATOSIT CRP FIBROSIS ECM D I S F U N G S I E N D O T E L KOLAGEN E SELEKTIN inos

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker endometrium adalah kanker paling sering pada saluran genitalia wanita dan merupakan kanker kelima paling sering pada wanita di seluruh dunia setelah payudara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memindahkan kekuatan dari otot ke tulang sehingga dapat. menghasilkan gerakan pada sendi. Tendon memiliki kekuatan yang lebih besar

BAB I PENDAHULUAN. memindahkan kekuatan dari otot ke tulang sehingga dapat. menghasilkan gerakan pada sendi. Tendon memiliki kekuatan yang lebih besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tendon merupakan salah satu bagian dari sistem muskulotendinous yang memiliki fungsi utama memindahkan kekuatan dari otot ke tulang sehingga dapat menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering ditemukan pada wanita dengan insiden lebih dari 22% (Ellis et al, 2003) dan angka mortalitas sebanyak 13,7% (Ferlay

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum usia 20 minggu kehamilan atau berat janin kurang dari 500 gram (Cunningham et al., 2005). Abortus adalah komplikasi umum

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi kronik memiliki peranan penting dalam patogenesis terjadinya kanker. Salah satu penyakit inflamasi kronik adalah Inflammatory Bowel Disease (IBD) yang dipicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher

BAB I PENDAHULUAN. Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Kanker payudara menempati urutan pertama pada wanita setelah kanker leher rahim. Di Indonesia 96% tumor payudara justru dikenali oleh penderita itu sendiri sehingga

Lebih terperinci

Patofisiologi. ascending infection. Infeksi FAKTOR LAIN. infeksi intraamnion. Pembesaran uterus kontraksi uterus dan peregangan berulang

Patofisiologi. ascending infection. Infeksi FAKTOR LAIN. infeksi intraamnion. Pembesaran uterus kontraksi uterus dan peregangan berulang KETUBAN PECAH DINI Pengertian Ketuban pecah dini atau yang sering disebut dengan KPD adalah ketuban pecah spontan tanpa diikuti tanda-tanda persalinan, ketuban pecah sebelum pembukaan 3 cm (primigravida)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Organization (WHO), salah satunya diukur dari besarnya angka kematian

BAB I PENDAHULUAN. Organization (WHO), salah satunya diukur dari besarnya angka kematian BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indikator kesejahteraan suatu bangsa menurut World Health Organization (WHO), salah satunya diukur dari besarnya angka kematian saat persalinan. Pada tahun 2006 WHO

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Rokok a. Pengertian Rokok merupakan produk utama dari hasil pengolahan tembakau yang diramu secara khusus dari berbagai macam jenis dan mutu tembakau (Titisari,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini viabilitas sel diperoleh dari rerata optical density (OD) MTT assay dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Viabilitas sel (%) = (OD perlakuan / OD kontrol)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri

BAB 1 PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah

BAB I PENDAHULUAN. Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama tiga dasawarsa terakhir, kanker ovarium masih merupakan masalah kesehatan perempuan di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini terkait dengan tingginya

Lebih terperinci

PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA

PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA Secretory Leukocyte Protease Inhibitor (SLPI) MENURUNKAN ESKPRESI IL-1β MELALUI PENGHAMBATAN EKSPRESI SELULER NF-Kβ PADA PADA SEL MAKROFAG JARINGAN LUKA PASCA PENCABUTAN GIGI PADA Rattus Novergicus ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,

Lebih terperinci

Makalah Biokimia Komponen Penyusun Sel Tumbuhan NUKLEUS. Oleh :

Makalah Biokimia Komponen Penyusun Sel Tumbuhan NUKLEUS. Oleh : Makalah Biokimia Komponen Penyusun Sel Tumbuhan NUKLEUS Oleh : Nama : Sherly Febrianty Surya Nim : G111 16 016 Kelas : Biokimia Tanaman C Dosen Pembimbing : DR. Ir. Muh. Riadi, MP. PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. jenis kanker yang mempunyai tingkat insidensi yang tinggi di dunia, dan kanker kolorektal) (Ancuceanu and Victoria, 2004). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Insiden penyakit kanker di dunia mencapai 12 juta penduduk dengan PMR 13%. Diperkirakan angka kematian akibat kanker adalah sekitar 7,6 juta pada tahun 2008. Di negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia, penyakit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI 8 BAB II TINJAUAN TEORI A. Tinjauan Teori 1. Pengertian Prematur Persalinan merupakan suatu diagnosis klinis yang terdiri dari dua unsur, yaitu kontraksi uterus yang frekuensi dan intensitasnya semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persalinan preterm sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius

BAB I PENDAHULUAN. Persalinan preterm sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persalinan preterm sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius di bidang obstetri dan perinatologi. Hal ini karena kelahiran bayi preterm merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Disfungsi dasar panggul merupakan salah satu penyebab morbiditas yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Disfungsi dasar panggul merupakan salah satu penyebab morbiditas yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Disfungsi dasar panggul merupakan salah satu penyebab morbiditas yang dapat menurunkan kualitas hidup wanita. Disfungsi dasar panggul memiliki prevalensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteriuria 2.1.1 Definisi Infeksi saluran kemih adalah keadaan yang ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam kultur/biakan urin dengan jumlah >10 5 /ml. 3 Terdapat 2 keadaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nitric oxide (NO) adalah molekul radikal yang sangat reaktif, memainkan peranan penting dalam beberapa sistem biologis manusia. Diketahui bahwa endothelium-derived

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung.

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. BAB V PEMBAHASAN STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. Mekanisme diabetogenik STZ adalah alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitroourea yang mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

KADAR INTERLEUKIN-8 SERUM IBU PADA KEHAMILAN PRETERM DENGAN KETUBAN PECAH SPONTAN DAN KETUBAN TIDAK PECAH

KADAR INTERLEUKIN-8 SERUM IBU PADA KEHAMILAN PRETERM DENGAN KETUBAN PECAH SPONTAN DAN KETUBAN TIDAK PECAH KADAR INTERLEUKIN-8 SERUM IBU PADA KEHAMILAN PRETERM DENGAN KETUBAN PECAH SPONTAN DAN KETUBAN TIDAK PECAH Dr. dr. I B G Fajar Manuaba, SpOG, MARS BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Asam urat merupakan produk akhir dari degradasi purin. Pada monyet asam urat akan didegradasi menjadi alantoin oleh urikase. Kadar serum asam urat diatur melalui sintesis

Lebih terperinci

ABSTRAK DASAR MEKANISME APOPTOSIS

ABSTRAK DASAR MEKANISME APOPTOSIS ABSTRAK DASAR MEKANISME APOPTOSIS Arief Ismail Khalik, 2004, Pembimbing : Hanna Ratnawati. dr., M.Kes. Apoptosis merupakan komponen penting dalam perkembangan dan homeostasis dari organisme eukariotik

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan

BAB 6 PEMBAHASAN. ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh pemberian ekstrak Phaleria macrocarpa terhadap penurunan indek mitosis dan menurunnya atau penghambatan pertumbuhan karsinoma epidermoid

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium 49 BAB 5 PEMBAHASAN Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium Biokimia Universitas Muhammdiyah Jogjakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24 ekor, di mana tiap kelompok

Lebih terperinci

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di

ketebalan yang berbeda-beda dan kadang sangat sulit ditemukan dengan mikroskop. Namun, ada bukti secara kimiawi bahwa lamina inti benar-benar ada di Membran Inti Inti sel atau nukleus sel adalah organel yang ditemukan pada sel eukariotik. Organel ini mengandung sebagian besar materi genetik sel dengan bentuk molekul DNA linear panjang yang membentuk

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2).

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2). 53 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik kronik, progresif dengan hiperglikemia sebagai tanda utama karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... PRAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR SINGKATAN... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... PRAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR SINGKATAN... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... LEMBAR PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... PRAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR SINGKATAN... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... INTISARI... i ii iii iv vi x xii xiii

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA KADAR VITAMIN C PLASMA DARAH HAMIL ATERM PADA KETUBAN PECAH DINI DENGAN HAMIL ATERM TANPA KETUBAN PECAH DINI

PERBANDINGAN ANTARA KADAR VITAMIN C PLASMA DARAH HAMIL ATERM PADA KETUBAN PECAH DINI DENGAN HAMIL ATERM TANPA KETUBAN PECAH DINI Laporan Penelitian PERBANDINGAN ANTARA KADAR VITAMIN C PLASMA DARAH HAMIL ATERM PADA KETUBAN PECAH DINI DENGAN HAMIL ATERM TANPA KETUBAN PECAH DINI Differences In Blood Plasma Levels Of Vitamin C In Term

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manggis merupakan tumbuhan fungsional karena sebagian besar tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obat. Akan tetapi, masih belum diketahui efek sampingnya (Pasaribu

Lebih terperinci

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran

Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran yang menonjol ke luar sel Melalui permukaan sel ini,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai indikasi, yaitu sebagai analgesik, antipiretik, anti-inflamasi dan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai indikasi, yaitu sebagai analgesik, antipiretik, anti-inflamasi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acetylsalicylic acid (ASA)/aspirin adalah obat yang banyak digunakan untuk berbagai indikasi, yaitu sebagai analgesik, antipiretik, anti-inflamasi dan antitrombotik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Abortus merupakan kejadian yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar 10-15 % dari semua tanda klinis kehamilan yang dikenali,

Lebih terperinci