BAB I PENDAHULUAN. kalangan umat Islam, tetapi juga di antara non-muslim. Poligami telah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. kalangan umat Islam, tetapi juga di antara non-muslim. Poligami telah"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Poligami merupakan isu yang sangat kontroversial, tidak hanya di kalangan umat Islam, tetapi juga di antara non-muslim. Poligami telah dilarang secara hukum di negara-negara barat, termasuk Amerika Serikat. Ini tidak berarti, bahwa mereka tidak melakukan poligami di negara tersebut. Beberapa pria secara hukum hanya memiliki satu istri, tetapi mereka mungkin memiliki hubungan di luar nikah atau menyimpan satu atau lebih selir di tempat yang berbeda (fakta poligami) (Nurmila, 2009: 21). Di Indonesia sendiri, poligami merupakan praktik pernikahan yang dilegalkan. Meskipun ada batasan-batasan mengenai poligami, namun secara tertulis poligami telah diperbolehkan di negara Indonesia. Hal ini terlihat dari peraturan tentang poligami yang tercantum dalam undangundang pernikahan. Ada beberapa aturan atau undang-undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami, antara lain tercantum dalam undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 3 tentang perkawinan, berbunyi: Pasal 3 ayat (1), pada azaznya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ayat (2), pengadilan, dapat memberi izin kepada 1

2 2 seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Undang-undang Republik Indonesia tentang perkawinan, 1979: 30) Kendati begitu poligami tetap menjadi hal yang sulit diterima di masyarakat. Poligami merupakan isu di masyarakat yang sudah terjadi sejak lama namun masih menjadi polemik. Baik dari sudut pandang agama, sosial dan perundang-undangan. Dalam pengertian umum di masyarakat, poligami diartikan sebagai seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita. (Suprapto, 1990: 71). Dalam kitab suci juga telah dijelaskan secara gamblang mengenai hukum poligami ini. Dari prespektif itulah maka poligami telah terjadi beberapa tahun lalu. Dalam kitab suci agama Islam, Al-Qur an menerangkan mengenai hukum poligami. Seperti yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur an surat An-Nissa ayat 3. Berbunyi: Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang

3 3 demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Dari potongan ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Islam tidak melarang adanya poligami, tetapi juga tidak mewajibkan. Jika seorang laki-laki tidak mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, maka lebih baik menikahi satu perempuan saja agar tidak menyakiti. Dari penjelasan ini, tampak bahwa Islam juga memikirkan posisi perempuan yang di poligami, meskipun dalam agama Islam sendiri tidak melarang seorang laki-laki untuk berpoligami. Penjelasan mengenai potongan ayat ini dijalaskan Asy-Syafi y dalam Tafsir Ibnu Qayyim, agar keluarga yang menjadi tanggungan kalian tidak banyak. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga yang sedikit lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Qayyim, 2000: 254) Tidak hanya dalam agama Islam, hukum mengenai poligami ini juga dijelaskan secara gamblang dalam ajaran agama Kristen. Dalam hukum mengenai poligami ini di jelaskan dalam Injil Matius pasal 19, ayat 4 sampai 6 yang berbunyi : Apakah kalian belum membaca, bahwa Tuhan yang menciptakan makhluk pada permulaannya, telah menciptakan mereka dua orang, satu laki-laki dan satu wanita. Oleh sebab itu, laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya, dan melekatkan dirinya dengan isterinya dan mereka berdua menjadi satu tubuh. Kalau begitu, mereka kemudian bukan lagi dua tubuh, tetapi satu tubuh; karena tubuh yang dihimpunkan oleh Allah, tidak akan dipisahkan oleh manusia.

4 4 Pendeta-pendeta Kristen menjadikan ayat-ayat ini sebagai bukti bahwa poligami itu diharamkan. Dengan landasan bahwa perkawinan itu menjadikan kedua suami istri menjadi satu tubuh, laki-laki merupakan kepala dan wanita merupakan badan. Sehingga tidak mungkin ada seorang laki-laki sebagai kepala dan ada beberapa orang wanita sebagai tubuhnya, karena biasanya satu kepala mempunyai satu badan dan juga satu badan mempunyai satu kepala (Atthar, 1976: 86). Perdebatan mengenai poligami juga dilansir dalam portal berita BBC.com (2006), dengan judul Kontroversi Poligami di Indonesia. Isi berita tersebut menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia akan merevisi peraturan larangan beristri lebih dari satu yang sekarang hanya berlaku bagi pegawai negeri sipil. Namun rencana pemerintah ini ternyata menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Berbagai alasan muncul dari masyarakat. Ada yang menolak dengan menganggap rencana pemerintah tersebut melanggar kebebasan individu dan ada yang memberi tanggapan netral bahkan ada yang menerima dengan alasan perempuan mana yang mau dimadu dan menjadi istri kedua. Pandangan masyarakat mengenai rencana pemerintah tersebut bisa menjadi gambaran perdebatan mengenai poligami di Indonesia. Poligami di Indonesia mulai mencuat ke media pada tahun 2002 setelah pengakuan dari seorang pengusaha Ayam Bakar Wong Solo, yaitu Puspo Wardoyo. Puspo Wardoyo memaparkan bahwa memiliki istri empat merupakan hal untuk menghindari perselingkuhan dan Zina. Untuk

5 5 mengkampanyekan Poligami, Ia juga telah menyelenggarakan Poligami Award pada tahun 2003 di Jakarta. Menurut Puspo, praktik poligami yang dilakukannya dinamakan Poligami Islami. Hal ini untuk membedakan berpoligami yang melulu berdasarkan nafsu dengan yang berlandaskan agama Islam. (Fathurohman, 2007:54). Selain praktik Poligami Puspo Wardoyo beberapa praktik poligami kembali santer di media pada tahun 2006, yaitu dilakukan oleh KH Abdullah Gymnastiar atau lebih dikenal dengan nama Aa Gym. DAI kondang ini melakukan praktik poligami dengan memiliki dua orang isteri yang kemudian menjadi perdebatan hangat di masyarakat pada tahun itu. Pada perkembangannya, kembali mencuat nama dari beberapa tokoh masyarakat yang melakukan hal serupa. Seperti poligami yang dilakukan oleh syekh Puji yang menikahi lima isteri. Dari beberapa realitas yang terjadi mengenai praktik poligami, pro dan kontra mengiringi dan menjadi perdebatan hangat di berbagai kalangan masyarakat. Poligami seakan memiliki daya tarik tersendiri untuk terus di perdebatkan, karena di belakang itu semua latar belakang agama, hukum, dan HAM tumpang tindih di dalamnya. Berawal dari sinilah, beberapa sineas Indonesia memandang fenomena poligami menarik untuk diangkat ke dalam sebuah karya film. Sehingga berdasarkan fenomena poligami yang dilakukan oleh Puspo Wardoyo dan beberapa publik figur lainnya, oleh beberapa sineas

6 6 dipandang sebagai fenomena yang menarik untuk diangkat dalam sebuah karya film. Fenomena yang menjadi perdebatan mulai tahun 2003 tersebut mulai diangkat dalam film Berbagi Suami (2006) dan mampu meraih sukses. Perdebatan mengenai poligami ini tidak hanya dituangkan dalam film Berbagi Suami (2006) saja. Akan tetapi masih ada beberapa film yang juga melirik isu ini sebagai sebuah fenomena yang menarik untuk dituangkan sebagai ide cerita di dalam film. Diantaranya film Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009). Meskipun kedua film ini tidak secara gamblang menceritakan kisah kehidupan berpoligami seperti halnya alur cerita dalam film Berbagi Suami (2006), akan tetapi di dalam film ini juga menyisipkan pesan dan gambaran akan kehidupan berpoligami seperti yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kedua film yang juga mengangkat isu poligami ini pun mampu meraih sukses seperti halnya film Berbagi Suami (2006). Dari ketiga film Indonesia yang mengangkat isu poligami tersebut, sedikit banyak mampu merefleksikan kehidupan berpoligami yang terjadi di masyarakat. Film merupakan salah satu media massa yang merepresentasikan realitas kehidupan. Ide yang dituangkan dalam film terkadang merujuk pada kehidupan di masyarakat. Film baik fiksi maupun non-fiksi di latar belakangi kenyataan, mampu mempengaruhi pola pikir khalayaknya.

7 7 Pesan yang disampaikan dalam film pun bervariasi dan memiliki maksud atau makna tertentu. Kelebihan lain dari film adalah memiliki audio-visual yang menjadi kekuatan film sebagai bagian dari media komunikasi. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. (Sobur, 2004: 127) Perkembangan film yang pesat membuat film menjadi salah satu media komunikasi yang disukai dan diterima di masyarakat. Oleh karena itu, penyampaian pesan melalui media film dinilai efektif. Tidak hanya sebagai media hiburan belaka, film juga sarat akan pesan moral, ekonomi, politik, sosial, budaya dan agama yang mampu mengedukasi masyarakat. Melalui film masyarakat juga bisa mendapatkan informasi. Cerita yang di angkat dalam film sendiri bervariasi. Tema yang pada umumnya kerap diangkat antara lain romantisme, budaya, gender, potret kehidupan serta agama. Dari beberapa tema cerita tersebut, potret kehidupan menjadi salah satu topik yang menarik. Potret kehidupan yang di kemas secara apik di dalam film mampu menarik perhatian khalayak. Dengan mengangkat suatu fenomena di masyarakat, para sineas bisa membangun kedekatan dengan khalayaknya. Irawanto (Sobur, 2004: 127) menjelaskan bahwa film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan

8 8 (message) dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2004: 127). Adanya respon dari masyarakat terkait berita yang dilansir oleh BBC.com (2006) menjelaskan bahwa ada sebagian yang menerima poligami, namun tidak sedikit juga yang menolak. Sebagaimana yang digambarkan dalam film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009), poligami yang terjadi di masyarakat di latar belakangi oleh berbagai alasan. Baik itu karena faktor ekonomi, ketaatan terhadap agama hingga rasa empati. Perbedaan faktor pendorong terjadinya poligami yang ditampilkan dalam film ini diharapkan bisa dinilai dan dimaknai oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat sebagai penonton bukanlah khalayak pasif yang menerima pesan dari media secara mentah. Sehingga penelitian ini bertujuan ingin melihat bagaimana pemaknaan khalayak terhadap alasan poligami dalam film Indonesia. Apakah poligami bisa di maklumi dan dianggap wajar jika di latar belakangi oleh berbagai alasan yang di gambarkan dalam film tersebut. Mengingat tidak hanya masyarakat awam yang melakukannya, tetapi juga politikus, publik figur bahkan pemuka agama.

9 9 Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian bagaimana pemaknaan khalayak terhadap alasan poligami dalam film Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi polemik. Selain itu ketertarikan peneliti terhadap film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009) dikarenakan ketiga film ini berhasil meraih penghargaan. Film Berbagi Suami (2006) garapan sutradara Nia Dinata berhasil meraih kategori film terbaik dalam Penghargaan Festival Film Jakarta. (filmindonesia.or.id, 2006) Meskipun diwarnai kontroversi, film Perempuan Berkalung Sorban (2009) karya sutradara Hanung Bramantyo berhasil meraih kategori film terbaik dalam Penghargaan Piala Citra. (filmindonesia.or.id, 2009) Berbeda dengan Perempuan Berkalung Sorban yang penuh kontroversi, film Ayat-Ayat Cinta (2008) yang juga merupakan karya Hanung Bramantyo berhasil merebut perhatian penonton dan menyabet 5 piala terpuji dalam Festival Film Bandung. (detik.com, 2008) Sesuai penelitian yang dilakukan, peneliti menggunakan metode analisis resepsi. Metode analisis resepsi merupakan metode yang biasa digunakan untuk melihat pemaknaan khalayak terhadap suatu teks media. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan khalayak mengenai alasan poligami dalam film Indonesia. Informan akan dipilih berdasarkan latar belakang yang berbeda-beda. Hal ini diharapkan agar mendapatkan data yang beragam dari pemaknaan khalayak mengenai alasan poligami dalam film Indonesia tersebut.

10 10 Metode analisis resepsi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis resepsi Stuart Hall. Analisis resepsi atau studi penerimaan Stuart Hall berfokus pada isi teks media. Beberapa teks dapat ditafsirkan dalam cara-cara yang berbeda yang disebut sebagai polisemi. Hall berpendapat bahwa walaupun sebagian besar teks bersifat polisemi, komunikator secara umum menginginkan beberapa posisi pemaknaan yaitu pemaknaan yang dominan, makna negosiasi dan penafsiran yang berlawanan (Baran dan Davis, 2010: 304). Sampel dalam penelitian ini adalah penonton dengan menggunakan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel dengan cara peneliti memilih informan sesuai dengan kebijakan peneliti. Adapun pendekatan yang dilakukan peneliti dalam menentukan informan yaitu dengan menggunakan teori feminisme post-modern. Feminisme post-modern merupakan bahasa semu laki-laki yang berpengaruh pada hubungan jenis kelamin, cara dominasi laki-laki telah membatasi komunikasi wanita, dan cara wanita melengkapi dan menolak pola tutur dan bahasa laki-laki. (Littlejohn, 2009: 479). Dari penjelasan mengenai feminisme post-modern tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki bahasa sendiri dalam melihat dunia. Hal ini dipengaruhi oleh nilai, norma yang ada di sekitar mereka dan pengalaman yang mereka dapat. Teori ini

11 11 digunakan untuk menjelaskan posisi informan dalam menyikapi alasan poligami di film Indonesia tahun Sehingga berdasarkan teori ini, peneliti bisa menentukan informan yang cocok untuk menjadi subjek penelitian. Adapun penelitian terdahulu milik Novy Khusnul Khotimah (Universitas Diponegoro, 2009) yang berjudul Representasi Poligami dalam Film Berbagi Suami. Penelitian ini menggunakan metode semiotika yang bertujuan untuk meneliti tanda-tanda dalam film baik audio maupun visual atau tanda-tanda lain yang digambarkan berdasarkan pada penanda dan petanda yang kemudian diidentifikasi dalam bentuk makna denotatif maupun konotatif yang berdasarkan pada teori. Hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa dalam pernikahan poligami penuh dengan konflik dan ternyata memberikan dampak negatif yang lebih besar daripada nilai positif bagi individu pada khususnya, maupun masyarakat yang bersangkutan pada umumnya. Selanjutnya penelitian milik Dona Devianti (Universitas Diponegoro, 2011) dalam penelitiannya yang berjudul Penafsiran Khalayak Terhadap Poligami Dalam Sinetron Religi. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya tayangan sinetron religi saat memasuki bulan ramadhan yang salah satunya mengangkat isu poligami. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis penerimaan khalayak yang berfokus pada teks media dan pembacaan khalayak. Penelitian ini mejelaskan bahwa ada tiga posisi pembaca yaitu dominant-

12 12 hegeminic, negotiated reading dan oppositional reading. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa interpretasi khalayak terhadap poligami tidak berubah setelah menyaksikan Ketika Cinta Bertasbih. Berikutnya penelitian milik Ahmad Fauzan (UMS, 2013) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Penerimaan Mahasiswa UMS Terhadap Nilai-Nilai Toleransi Antar Umat Beragama dan Pluralisme Dalam Film? (Tanda Tanya). Dalam penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui penerimaan khalayak tentang sikap toleransi antar umat beragama dan nilai unsur pluralisme di dalam film. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Reception Analisys Encoding- Decoding Stuart Hall dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Hasil penelitiannya adalah dari setiap informan memiliki penerimaan yang berbeda yaitu oppositional ( counter hegemonic ) reading, dominant ( hegemonic ) reading dan Negotiated reading. Sehingga melalui hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerimaan mahasiswa UMS terdapat nila-nilai toleransi antara umat beragama dan pluralisme dalam film? (Tanda Tanya) menunjukkan Pro dan Kontra terhadap pesan yang disampaikan. Dibandingkan dengan ketiga penelitian terdahulu diatas, penelitian yang dilakukan peneliti memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada metode penelitian yang digunakan. Penelitian ini menggunakan metode analisis resepsi seperti penelitian milik Fauzan Ahmad dan Dona Devianti. Penelitian ini juga melihat poligami dalam

13 13 film seperti penelitian milik Novy Khusnul Khotimah dan Dona Devianti. Penelitian ini juga memiliki kesamaan objek dengan penelitian milik Novy Khusnul Khotimah. Akan tetapi penelitian ini menggunakan metode yang berbeda dengan penelitian milik Novy Khusnul Khotimah. Penelitian ini lebih berfokus pada penerimaan khalayak terhadap alasan poligami dalam film Indonesia yaitu dalam film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009), Sedangkan perbedaannya dengan penelitian milik Fauzan Ahmad yaitu terletak pada objek penelitiannya. B. RUMUSAN MASALAH Bagaimana resepsi audience terhadap alasan poligami dalam film Indonesia tahun ? C. TUJUAN 1. Untuk mengetahui encoding alasan poligami dalam film Indonesia tahun Untuk mengetahui decoding alasan poligami dalam film Indonesia tahun Untuk mengetahui resepsi audience terhadap alasan poligami dalam film Indonesia Tahun D. MANFAAT PENELITIAN Berdasarkan tujuan penelitian yang dipaparkan diatas, maka diharapkan ada manfaat teoritis maupun praktis yang diperoleh dari penelitian ini. Manfaat tersebut meliputi :

14 14 1. Manfaat teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman khususnya dalam bidang ilmu komunikasi terhadap penerimaan masyarakat dalam kajian teks media. b. Memberikan kontribusi pengetahuan bagi peneliti dan masyarakat umum mengenai penerimaan masyarakat terhadap teks media. 2. Manfaat Praktis Membantu mahasiswa dalam memahami bagaimana masyarakat memaknai dan menerima suatu pesan media, khususnya film. E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Komunikasi Massa Dalam kesehariannya manusia tidak terlepas dari proses komunikasi. Komunikasi sudah menjadi bagian yang penting dari manusia itu sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, proses komunikasi merupakan bagian yang digunakan untuk berinteraksi. Sehingga komunikasi dan manusia memiliki kaitan yang erat. Komunikasi adalah salah satu dari kegiatan sehari-hari yang benarbenar terhubung dengan semua kehidupan kemanusiaan, sehingga kadangkadang kita mengabaikan penyebaran, kepentingan dan kerumitannya. Setiap aspek kehidupan kita dipengaruhi oleh komunikasi kita dengan orang lain, seperti pesan-pesan dari orang-orang yang tidak kita kenal, orang-orang dari jauh dan dekat, hidup dan mati (Littlejohn, 2009: 3).

15 15 Dalam prosesnya, komunikasi memiliki lima unsur penting. Sehingga pada akhirnya bisa disimpulkan sebagai proses komunikasi. Seperti yang dijelaskan Harold Lasswell dalam Mulyana (2010: 69), ia menggambarkan komunikasi dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut : who, says what, to whom, in with channel, with what effect (siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dengan pengaruh bagaimana). (Mulyana, 2010: 69). Berdasarkan definisi Lasswell dapat diturunkan lima unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain yaitu, sumber (source, sender,communicator), pesan, penerima (receiver,communicatee,audience), dan efek. Jadi menurut paradigma Lasswell, komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komuikator kepada komunikan melalui media dan menimbulkan efek tertentu. (Mulyana, 2010: 69-71). Cangara dalam pengantar ilmu komunikasi (2002) membagi level komunikasi kedalam 5 macam, diantaranya komunikasi Antar Pribadi (Interpersonal Communication), Komunikasi Kelompok Kecil (Small Group Communication), Komunikasi Organisasi (Organizational Communication), Komunikasi Massa (Mass Communication) dan Komunikasi Publik (Public Commmunication). (Cangara, 2002: 29) Dalam studi ilmu komunikasi, objek yang akan diteliti termasuk dalam level komunikasi massa. Di ikuti kata massa dibelakangnya, level komunikasi ini jelas memiliki khalayak yang luas. Sehingga membutuhkan media sebagai alat penyampaian pesan. Baran (2012) berpendapat, komunikasi massa adalah proses penciptaan makna bersama antara media

16 16 massa dan khalayaknya. Menurut model Osgood-Schramm memiliki banyak kesamaan-interpreter, encode, decode, dan pesan. Tetapi perbedaannya memberikan kita pemahaman tentang perbedaan komunikasi massa dengan bentuk komunikasi lainnya. (Baran, 2012: 7-8) Tidak hanya Baran, Joseph A. Devito dalam buku Communicology: An Introduction to the Study of communication, juga memaparkan definisi yang lebih tegas mengenai komunikasi massa, ia mengatakan bahwa: Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang membaca atau menonton televisi ini berarti bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk disefinisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancarpemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila di definisikan menurut bentuknya: televisi,radio, surat kabar majalah, film, buku, dan pita. (Effendy, 1992: 21) Dennis McQuail (1972) membagi fungsi komunikasi massa bagi masyarakat dalam 4 fungsi yang terdiri dari informasi, identitas pribadi, integrasi dan interaksi sosial serta hiburan (Rosmawaty, 2010: ). Selain itu komunikasi massa juga memiliki elemen-elemen yang terdapat dalam komunikasi secara umum. Nurudin menyebutkan beberapa elemen dalam komunikasi massa antara lain komunikator, isi, audience, umpan balik, gangguan (saluran dan semantik), gatekeeper, pengatur, filter, dan efek (Nurudin, 2013: 95).

17 17 Dalam komunikasi massa, media massa berperan sebagai komunikator. Media massa digunakan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas yang beragam. Dalam komunikasi massa, media massa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan film merupakan alat yang utama dalam menyampaikan pesan. Sehingga dalam proses komunikasi massa, media menjadi sumber dominan bagi khalayaknya. 2. Film Sebagai Komunikasi Massa Komunikasi massa merupakan komunikasi yang dilakukan terhadap khalayak luas yang heterogen. Komunikasi massa dalam prosesnya menggunakan media massa (cetak maupu elektronik) sebagai alat untuk penyampaian pesan atau informasi. Dalam kajian ilmu komunikasi, film merupakan bagian dari komunikasi massa. Bisa dikatakan sebagai komunikasi massa sebab film merupakan salah satu bentuk komunikasi kepada orang banyak dengan melalui perantara media. Dalam film, pembuat film menyampaikan pesan kepada khalayak luas melalui media. Film tentu tidak mengalami perkembangan yang cepat dalam penemuannya. Sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk membuat film dikenal dan diterima di masyarakat. Tamburaka (2013) menyebutkan bahwa sejarah penemuan film berlangsung cukup panjang, ini disebabkan melibatkan masalah-masalah teknik yang cukup rumit seperti masalah optik, lensa, kimia, proyektor, camera, roll film bahkan masalah psikologi (Tamburaka, 2013: 60).

18 18 Sejalan dengan penjelasan Tamburaka (2013) mengenai film, McQuail mengatakan bahwa saat ini film telah berubah menjadi alat presentasi dan distribusi dari tradisi hiburan yang lebih tua, menawarkan cerita, panggung, musik, drama, humor, dan trik teknis bagi konsumsi populer. Film juga hampir menjadi media massa yang sesungguhnya dalam artian bahwa film mampu menjangkau populasi dalam jumlah besar dengan cepat, bahkan di wilayah pedesaan (McQuail, 2011: 35). Film merupakan suatu industri yang mampu menghadirkan perubahan dalam masyarakat. Realitas sosial yang dihadirkan dalam sebuah cerita film bisa merubah perspektif masyarakat dalam melihat suatu fenomena. Tidak hanya itu, melalui audio visualnya film bisa memberikan keuntungan yang cukup besar bagi para pelaku media. Oleh karena itu, saat ini industri perfilman semakin berkembang pesat, termasuk di Indonesia. Dominick (2000) memberikan penjelasan mengenai industri film. Ia menjelaskan bahwa industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adalah bisnis yang memberikan keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang yang sering kali, demi uang, keluar dari kaidah artistik film itu sendiri (Ardianto dan Erdinaya, 2005: 134).

19 19 Di era ini film digemari hampir di setiap lapisan masyarakat. Film sebagai budaya popular memiliki kekuatan audio-visual yang menjadi daya tarik bagi khalayak. Hal ini membuat film menjadi tontonan yang menarik. Selain itu khalayak lebih mudah menerima pesan dari film dibandingkan berita maupun informasi lainnya. Hal ini disebabkan karena film dikemas dengan cerita-cerita yang menarik. Ardianto dan Erdinaya menyebutkan bahwa seperti halnya siaran televisi, tujuan utama khalayak menonton film adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang (Ardianto dan Erdinaya, 2005: 136). Film yang mengangkat fenomena di masyarakat relatif lebih menarik perhatian khalayak. Hal itu terjadi karena khalayak merasa mereka memiliki kedekatan dengan peristiwa yang ditampilkan dalam film tersebut. Seperti yang dijelaskan Irwanto (1999: 3) dalam Sobur (2004), film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2004: 127). Sebagai media massa, film diposisikan sebagai komunikator dan khalayak sebagai komunikan. Sehingga film sebagai media massa

20 20 bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada khalayak luas. Pesan yang disampaikan melalui film sebagaian besar merefleksikan realitas sosial yang di produksi kembali melalui media massa film. 3. Poligami Dalam hakikatnya poligami memiliki kaitan dengan sebuah pernikahan. Sehingga sebelum mengkaji mengenai poligami, ada baiknya memahami pernikahan terlebih dahulu. Perkawinan dengan pernikahan sebenarnya mempunyai maksud sama yaitu seuatu perjanjian atau akad antara kemanten laki-laki dengan wali dari kemanten wanita yang berisi keabsahan ikatan lahir batin antara kedua kemanten itu berdasarkan syarat rukun yang ditetapkan oleh hukum (Suprapto, 1990:35). Dalam pernikahan sendiri, dikenal dengan adanya praktik poligami. Dalam pengertian bahasa poligami diartikan sebagai kawin banyak. Baik laki-laki kawin dengan banyak perempuan, atau seorang perempuan kawin dengan banyak laki-laki. Sedangkan dalam pengertian umum yang berlaku di masyarakat, poligami diartikan seorang laki-laki yang kawin dengan banyak wanita (Suprapto, 1990: 71). Akan tetapi pemahaman yang berkembang di masyarakat, mengalami kekeliruan dalam memaknai istilah poligami. Poligami di masyarakat diartikan sebagai poligini yang berarti pria menikah dengan lebih dari satu wanita. Sedangkan pada hakikatnya poligami sendiri mempunyai dua macam jenis perkawinan, yaitu poliyandri dan poligini.

21 21 Dua macam perkawinan tersebut dipaparkan oleh Suprapto (1993: 71). Ia menjabarkan poligami dalam 2 macam, diantaranya: a. Polyandri merupakan perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki. b. Poligini merupakan perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa perempuan. Muthahari menyebutkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, problem mengenai poligini lebih banyak ditemui daripada poliyandri. Ini dikarenakan poligini lebih lumrah dan relatif lebih dapat diterima dibandingkan dengan poliyandri (Muthahari, 2007: 17). Hal ini juga disebabkan adanya aturan dan toleransi terhadap poligami, baik itu dari perspektif agama maupun secara yuridis. Poligami selalu bertentangan dengan feminisme. Secara umum poligami biasanya menjadikan perempuan sebagai objek yang tertindas. Meskipun poligami tidak terlihat sebagai kekerasan fisik yang kasat mata, namun dalam kondisi ini perempuan merasa tersakiti secara mental. Akan tetapi setelah melihat alasan poligami yang ditampilkan dalam film, ternyata poligami terjadi tidak semata-mata menjadikan perempuan sebagai objek tertindas. Namun beberapa alasan yang melatarbelakangi poligami dalam film tersebut menunjukkan adanya peran perempuan maupun laki-laki terhadap pengambilan keputusan dalam poligami.

22 22 Littlejohn berpendapat bahwa laki-laki dan perempuan memiliki bahasa masing-masing dalam melihat dunia. Hal ini dipengaruhi oleh nilai, norma yang ada di sekitar mereka dan pengalaman yang mereka dapat (Littlejohn, 2009: 479). Teori ini disebut sebagai feminisme post-modern. Berdasarkan penjelasan Littlejohn, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya poligami sesuai dengan cara berfikir laki-laki dan perempuan. Poligami bisa dialami oleh siapa saja dan dari kalangan mana saja, baik itu kalangan menengah keatas maupun kelas sosial yang lebih rendah. Hal ini ditampilkan dalam adegan alasan poligami di film Indonesia Praktik poligami dalam penelitian ini melihat pada alasan poligami di film Indonesia tahun dengan judul Berbagi Suami (2006), Ayat-ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009). Dalam film tersebut ditampilkan bahwa poligami bisa dilakukan oleh berbagai kalangan dengan alasan yang beragam. Dari adegan ketiga film Indonesia tersebut, alasan orang berpoligami meliputi aspek agama, sosial, ekonomi, dan seksual. Istibsyaroh (2004) dalam (Yuliantini, dkk. 2008) mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang memungkinkan bagi perempuan bersedia untuk dipoligami, diantaranya adalah kekayaan laki-laki, pertimbangan keturunan atau status sosial, pertimbangan ketampanan dan keagamaan. Ia juga menambahkan bahwa kesediaan perempuan untuk dipoligami bergantung pada latar belakang dari kondisi pribadinya masing-masing.

23 23 Salah satunya adalah karena alasan agama, hal ini meliputi pemahaman mereka mengenai poligami sebagai bagian dari syari at Allah dan Rasul- Nya, sehingga mereka bersedia hidup dalam pernikahan poligami (Yuliantini, dkk. 2008: 6). Sejalan dengan penjabaran Istibsyaroh, Setiati (2007) dalam (Pramita,dkk. 2008) menambahkan bahwa salah satu alasan perempuan bertahan dalam kehidupan poligami adalah selama perkawinan sudah ketergantungan secara ekonomi kepada suami (Pramita,dkk. 2008: 8). Sehingga jika terjadi perpisahan, ada ketakutan kekurangan dalam hal materi. Sedangkan dari sudut pandang agama, laki-laki boleh melakukan poligami dengan alasan-alasan tertentu. Seperti yang dijelaskan Suprapto (1990: 98), yaitu: 1. Adanya menstruasi (haid) dan nifas bagi wanita. Dengan adanya menstruasi atau nifas tersebut otomatis senggama harus berhenti dahulu, bagi laki-laki yang hipo seks mungkin tidak menjadi masalah. Lain hal dengan laki-laki yang hiper seks. Sehingga bagi laki-laki yang hiper seks merupakan salah satu alasan mengapa poligami di perbolehkan. Ini bertujuan agar laki-laki hiper seks bisa menyalurkan kebutuhan seksnya tanpa melanggar syari at Islam. Hal ini juga bertujuan untuk menghindari perbuatan zina.

24 24 2. Istri mandul. Apabila seorang istri mandul, maka suami yang berusaha mendapatkan keturunan tidak akan kesampaian, sedangkan mengadopsi anak dikhawatirkan menimbulkan permasalahan. Dalam hal ini poligami merupakan jalan keluar bagi laki-laki yang istrinya mandul. 3. Jumlah wanita lebih banyak dari laki-laki. Dalam keadaan darurat terutama keadaan perang yang mengakibatkan banyak pejuang yang gugur di medan perang. Poligami di perbolehkan untuk menyelamatkan janda-janda dan anak-anak. Pandangan masyarakat terhadap poligami memang bermacammacam, ada yang pro dan ada pula yang kontra, ada yang pro tetapi tidak mau melaksanakan atau tidak berani melaksanakan karena pertimbangan tertentu, ada pula yang kontra memang benar-benar tidak setuju. Namun ada juga yang di muka umum tampak menentang, tetapi diam-diam melaksanakannya. Bahkan ada yang tidak setuju, akan tetapi masih bisa bersikap toleran (Suprapto, 1990: 98). 4. Khalayak Sebutan khalayak biasanya akrab dengan media massa. Khalayak merupakan sekelompok orang yang menjadi sasaran komunikasi dari sebuah pesan media. Cangara menyebutkan khalayak biasa disebut dengan istilah penerima, sasaran, pembaca, pendengar, pemirsa, audience, decoder atau komunikan. Khalayak adalah salah satu aktor dari proses komunikasi.

25 25 Karena itu unsur khalayak tidak boleh diabaikan, sebab berhasil tidaknya suatu proses komunikasi sangat ditentukan oleh khalayak. (Cangara, 2002: 151) Khalayak pada hakikatnya memiliki jumlah yang banyak dan beragam, serta tersebar. Sehingga sedikit kemungkinan khalayak media untuk saling mengenal antara satu dan lainnya. Sehingga perspektif masing-masing khalayak terhadap pesan media pun berbeda-beda. Seperti yang dikatakan oleh McQuail, khalayak massa adalah besar, heterogen, dan sangat tersebar, dan anggotanya tidak saling mengenal dan tidak dapat mengenal satu sama lain. (McQuail, 2011: 147). Penjelasan dari McQuail tersebut dilengkapi oleh Nurudin. Ia menjelaskan bahwa Audience atau khalayak yang dimaksud dalam komunikasi massa (cetak maupun elektronik) sangat beragam. Masingmasing audience berbeda satu sama lain diantaranya dalam hal berpakaian, berpikir, menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman dan orientasi hidupnya. Akan tetapi, masing-masing individu bisa saling mereaksi pesan yang diterimanya (Nurudin, 2013: ). Dalam studi komunikasi khalayak bisa berupa individu, kelompok dan masyarakat. Sudah menjadi tugas seorang komunikator untuk mengetahui siapa yang akan menjadi khalayaknya sebelum proses komunikasi berlangsung (Cangara, 2002: 151).

26 26 McQuail (2011) menjelaskan bahwa khalayak massa memiliki beberapa ciri utama yaitu jumlah penonton atau pembaca yang besar, tersebar, non-interaktif dan hubungan anonim bagi satu sama lain. Khalayak massa tersusun secara heterogen, tidak teratur, dan objek pengaturan atau manipulasi media. (McQuail,2011: 64) Khalayak menjadi salah satu unsur penting dalam proses komunikasi yang dijalankan oleh media massa. Seiring dengan berkembangnya studi mengenai media, khalayak yang semula pasif berubah menjadi khalayak aktif. Pandangan tentang khalayak tersebut dijelaskan oleh Hadi (2008: 2). Ia membagi khalayak komunikasi massa dalam dua pandangan arus besar (mainstream), di antaranya: a. Khalayak Pasif Sebagai audience yang pasif, khalayak hanya bereaksi pada apa yang mereka lihat dan dengar dalam media. Khalayak tidak ambil bagian dalam diskusi-diskusi publik. Dalam artian khalayak tidak akan mengolah dan mendiskusikan kembali pesan media yang mereka terima untuk mendapatkan makna lainnya. Khalayak merupakan sasaran media massa. Dalam tradisi penelitian komunikasi, khalayak pasif hanya menerima pesan media yang mereka lihat dan dengar secara mentah tanpa berusaha mengolahnya kembali. Sehingga dalam khalayak pasif, media memiliki power penuh dalam menyimpulkan pesan.

27 27 b. Khalayak Aktif Dalam pandangan ini, khalayak dianggap sebagai partisipan yang aktif. Khalayak merupakan sekelompok orang yang terbentuk atas isu tertentu dan aktif mengambil bagian dalam diskusi atas isu-isu yang mengemuka. Dalam hal ini, khalayak memiliki andil dalam menyimpulkan makna. Sehingga pesan media tidak diterima secara mentah, namun khalayak akan berusaha mengolah pesan dan menghasilkan makna lainnya. Dalam pandangan khalayak aktif, pengaruh media terhadap khalayak menjadi terbatas. Penelitian ini berfokus pada khalayak aktif. Dalam proses komunikasi melalui media massa, khalayak dianggap aktif dalam memproduksi makna. Khalayak memiliki cara yang beragam dalam hal memproduksi makna dari teks media. Sehingga khalayak menjadi penting dan tidak boleh diabaikan. Adapun cara untuk mengukur khalayak yaitu dengan melakukan audience research atau riset audience. audience research adalah upaya untuk mencari data tentang khalayak (sebagai pengguna media massa). Khalayak massa dicirikan berdasarkan latar belakang yang berbeda-beda seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pendapatan, kedudukan/jabatan serta kepemilikan media. (Sari, 1993: 28-29).

28 28 5. Encoding-Decoding Film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009) memberikan pemaknaan yang berbeda-beda terhadap khalayaknya. Latar belakang yang berbeda-beda mempengaruhi informan dalam memaknai isi pesan media. Faktor ini membuat informan memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap apa yang mereka lihat dan mereka dengar melalui media massa. Hal ini disebabkan oleh adanya encoding dari profesional media yang tidak selalu sama dengan decoding dari khalayak. Encoding adalah suatu kegiatan internal seseorang untuk memilih dan merancang perilaku verbal dan non verbalnya yang sesuai dengan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis guna menciptakan suatu pesan. Hasil dari perilaku penyandi (encoding) adalah suatu pesan (message). Decoding adalah proses internal penerima dan pemberian makna kepada perilaku sumber yang mewakili perasaan dan pikiran sumber (Mulyana dan Rakhmat, 2009: 14-15). berikut: Model encoding-decoding ini digambarkan oleh Stuart Hall sebagai

29 29 Gambar 1.1 Dalam Storey (2010) model encoding-decoding Stuart Hall dijelaskan sebagai sirkulasi makna televisual yang melewati tiga momen berbeda dan masing-masing memiliki kondisi eksistensi dan modalitas yang spesifik. Pertama, profesional media memaknai wacana televisual dengan pemahaman mereka tentang sebuah peristiwa sosial yang mentah. Dimana didalamnya terdapat serangkaian cara melihat dunia (ideologi-ideologi) yang berada dalam kekuasaan. Dengan demikian, profesional media yang terlibat didalamnya menentukan bagaimana peristiwa sosial mentah di-encoding dalam wacana (Storey, 2010: 11-12). Kedua, setelah makna dan pesan di-encoding kedalam sebuah wacana televisual, bahasa dan wacana tersebut bebas dikendalikan. Sehingga suatu pesan kini menjadi terbuka dan memiliki makna lebih dari satu (polisemi) (Storey, 2010: 13).

30 30 Ketiga, khalayak bisa dengan bebas melakukan decoding dalam melihat dunia ( ideologi ). Khalayak tidak dihadapkan dengan peristiwa sosial yang mentah melainkan dengan terjemahan diskursif dari suatu peristiwa. Jika suatu peristiwa bermakna bagi khalayak, maka akan menyertakan interpretasi dan pemahaman terhadap peristiwa dari wacana tersebut (Storey, 2010: 13). Film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009) merupakan realitas sosial yang di-encoding kedalam sebuah wacana. Dari maraknya poligami di masyarakat, profesional media men-encoding pesan mentah kedalam sebuah media massa film. Di momen pertama ini, profesional media memiliki power dalam menerjemahkan pesan yang akan disampaikan kepada khalayak. Pada momen kedua, khalayak bebas menerjemahkan pesan yang telah di-encoding dalam film. Dengan cara yang berbeda dan menghasilkan makna yang polisemi. Dan di momen ketiga, khalayak secara bebas melakukan decoding terhadap teks media. Pada momen ini khalayak tidak lagi dihadapkan dengan peristiwa yang mentah melainkan peristiwa tersebut sudah diolah dalam sebuah cerita film yang menarik. Storey (2010) menjelaskan bahwa suatu decoding bisa terjadi jika suatu teks media bermakna bagi khalayak. Jika tidak ada makna, maka bisa jadi tidak muncul interpretasi terhadap teks media tersebut. Sehingga tidak ada efek yang ditimbulkan. Khalayak menerjemahkan makna melalui

31 31 sirkulasi wacana produksi menjadi reproduksi untuk menjadi produksi lagi (Storey, 2010: 13). Dalam penelitian ini encoding dilakukan oleh sutradara yang mengangkat fenomena poligami kedalam sebuah film. Sutradara membuat makna terhadap alasan poligami dalam film Berbagi Suami (2006), Ayat- Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009). Sutradara men-encoding makna alasan poligami dalam sebuah wacana yang bermakna. Kemudian khalayak melakukan decoding terhadap pesan media tersebut. Ini berarti pesan media tersebut di produksi oleh sutradara, kemudian direproduksi kembali oleh khalayak dengan cara mengolah pesan itu kembali. Storey (2010) mengatakan pada dasarnya profesional media mengharapkan adanya pemaknaan yang sama dari decoding. Namun dalam prosesnya, encoding dan decoding tidak selalu sejalan. Hal ini bisa disebabkan oleh kondisi eksistensi khalayak yang berbeda. Oleh karena itu ada kemungkinan kesalahpahaman dalam memaknai pesan dari encoding kepada decoding (Storey, 2010: 14). Dalam men-decoding sebuah pesan media, khalayak memilih wacana media yang mereka sukai. Jika ada ketertarikan terhadap wacana yang ditampilkan, maka akan muncul interpretasi atau pemaknaan dari khalayak yang dikategorikan dalam tiga kategori pemaknaan. Pemaknaan tersebut adalah dominan, negotiated dan oppositional.

32 32 Hall dalam Baran dan Davis (2010: ) menjelaskan tiga posisi mengenai pemaknaan tersebut, yaitu: 1. Pemahaman yang disukai (Dominan). Makna yang dimaksudkan dari pembuat pesan dari konten tersebut; diasumsikan untuk mendukung status quo. 2. Makna Negosiasi (Negotiated). Pemaknaan ini terjadi ketika khalayak membentuk sebuah penafsiran sendiri terhadap sebuah konten, namun sebagian inti pentingnya berbeda dengan makna dominan. 3. Penafsiran Berlawanan (Oppositional). Pemaknaan ini terjadi ketika khalayak membangun penafsiran yang berbeda dari pemaknaan dominan. Sejalan dengan yang dijelaskan oleh Hall, Morley dalam Storey (2010) juga memberikan pemahamannya terhadap encoding-decoding Stuart Hall, sebagai berikut: 1. Produksi pesan penuh makna dalam wacana televisi menunjukkan bahwa peristiwa yang sama bisa di-encoding melalui lebih dari satu cara. Kajian disini berkenaan dengan bagaimana dan mengapa struktur dan praktik produksi tertentu cenderung menghasilkan pesan tertentu dan mewujudkan maknanya dalam bentuk-bentuk tertentu secara berulang. 2. Pesan senantiasa memuat lebih dari satu pembacaan potensial. Pesan menawarkan dan menganjurkan pembacaan tertentu atas pembacaan

33 33 lainnya, namun pesan tidak pernah bisa menjadi sama sekali tertutup di sekitar satu pembacaan, karena pesan bersifat polisemik. 3. Aktivitas memetik makna dari pesan meupakan sebuah praktik yang problematis. Pesan meng-encoding satu cara bisa senantiasa dibaca dengan cara yang berbeda. (Storey, 2010: 17) Paradigma penerimaan yang dikemukakan oleh Hall menjelaskan bahwa sebuah pesan tidak lagi dipahami sebagai semacam paket atau bola yang dilempar pengirim ke penerima. Tetapi sebaliknya pesan yang dikodekan oleh produser dan kemudian diterima oleh khalayak tidak selalu identik. Khalayak yang berbeda bisa mengkodekan pesan yang berbeda pula (Alasuutari, 1999: 2). 6. Analisis Resepsi Dalam tradisi studi mengenai khalayak, ada beberapa varian yang berkembang diantaranya effect research, uses and gratification research, literacy criticism, culture studies, dan reception analysis. reception analysis bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan sosial dari teori komunikasi (Adi, 2012: 26). Perrti Alasuutari dalam Baran dan Davis (2010) menjelaskan bahwa penelitian penerimaan telah memasuki tahapan ketiga. Tahap pertama berkutat pada pengodean penafsiran milik Stuart Hall. Tahap kedua didominasi oleh studi etnografi yang dipelopori oleh Morley. Alasuutari menjelaskan bahwa:

34 34 Generasi ketiga memunculkan sebuah kerangka yang luas dimana orang membentuk media dan penggunanya. Fokus utamanya tidak terbatas hanya mencari tahu mengenai penerimaan atau pemaknaan dari sebuah program oleh khalayak tertentu. Melainkan untuk memahami budaya media kontemporer, terutama yang terlihat dalam peranan media sehari-hari, baik sebagai topik dan aktivitas yang dibentuk dan membentuk wacana. (Baran dan Davis, 2010: ) Analisis resepsi merupakan suatu metode penelitian yang mengkaji tentang khalayak. Metode ini memposisikan khalayak sebagai subjek yang aktif dalam menghasilkan makna. Analisis resepsi berfokus pada isi pesan media dan khalayak. Bagaimana khalayak memaknai media berdasarkan latar belakang budayanya. Hadi (2008) berpendapat teori reception mempunyai argumen bahwa faktor kontekstual mempengaruhi cara khalayak membaca media, misalnya film atau program televisi. Faktor kontekstual merupakan elemen identitas khalayak, resepsi penonton atas film atau genre program produksi televisi, bahkan termasuk latar belakang sosial, sejarah dan isu politik. Singkatnya, teori reception menempatkan penonton atau pembaca dalam konteks berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi bagaimana menonton atau membaca serta menciptakan makna dari teks (Hadi, 2008: 2). Menurut Baran dan Davis, Reception analysis juga sering disebut penerimaan khalayak atau studi penerimaan. Baran dan Davis dalam buku Teori Komunikasi Massa menjelaskan studi penerimaan sebagai teori

35 35 berbasis khalayak yang berfokus pada bagaimana beragam jenis anggota khalayak memaknai bentuk konten tertentu. (Baran dan Davis, 2010: 302). Reception analysis memfokuskan perhatian pada konten atau isi teks media. Dalam memaknai pesan media, khalayak bisa saja menafsirkan isi media dengan cara yang berbeda-beda atau biasa disebut sebagai polisemi. Khalayak sebagai penonton yang aktif tidak hanya menafsirkan kata-kata, tetapi juga menafsirkannya dalam sebuah struktur keseluruhan sehingga dapat memaknainya dengan utuh (Baran dan Davis, 2010: 304). Pemanfaatan teori reception analysis sebagai pendukung dalam kajian terhadap khalayak sesungguhnya hendak menempatkan khalayak tidak semata pasif namun dilihat sebagai agen kultural (cultural agen) yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari berbagai wacana yang ditawarkan media (Adi, 2012: 26). Reception analysis memposisikan khalayak sebagai pihak yang paling produktif dalam menginterpretasikan makna dari pesan media. Sebaliknya, media dianggap tidak memiliki pengaruh secara penuh untuk mempengaruhi khalayak melalui pesan yang disampaikannya. Sehingga dalam kajian Reception analysis khalayak dipandang sebagai pihak yang aktif. Dalam penelitian ini analisis resepsi dilakukan untuk melihat pemaknaan khalayak terhadap alasan poligami dalam film Indonesia tahun Bagaimana khalayak memaknai encoding yang dibuat oleh

36 36 sutradara film tersebut. Apakah setelah melihat alasan poligami dalam film tersebut akan merubah perspektif khalayak terhadap poligami atau sebaliknya. Hal ini mengingat bahwa khalayak bersifat heterogen dan memiliki budaya berbeda yang mempengaruhi mereka dalam melihat suatu objek. Seperti yang dikatakan oleh Jensen dalam Adi (2012), ia menjelaskan bahwa analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana prosesproses aktual melalui mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik kultural audiensnya (Adi, 2012: 26). Khalayak yang aktif tidak hanya menelan mentah-mentah pesan media yang ditampilkan. Melainkan mereka akan mengolahnya kembali untuk menghasilkan makna baru. Lingkungan dan pengetahuan yang dimiliki khalayak sangat berpengaruh dalam proses menginterpretasikan makna.

37 37 F. KERANGKA PEMIKIRAN Fenomena Poligami di Indonesia Alasan Poligami dalam Film Indonesia Metode Analisis Resepsi Audience Analisis Resepsi Audience Terhadap Alasan Poligami dalam Film Indonesia Tahun Dominant Hegemonic Negotiated Oppositional

38 38 G. METODOLOGI 1. Jenis Penelitian Penelitian tentang khalayak dengan menggunakan metode analisis resepsi ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah riset yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalamdalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau samplingnya sangat terbatas (Kriyantono, 2010: 56). Penelitian kualitatif bersifat subjektif. Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa pengetahuan tidak mempunyai sifat yang objektif dan sifat yang tetap, melainkan bersifat interpretatif (Mulyana, 2008:33). Subjektivitas dalam penelitian kualitatif mengacu pada persepsi dan perasaan yang ada dalam diri manusia. Dalam kualitatif, peneliti menjadi instrumen utama. Peneliti akan paham apabila langsung terjun pada subjek yang akan diteliti. Metode kualitatif tidak tergantung pada analisis statistik untuk mendukung sebuah interpretasi tetapi lebih mengarahkan peneliti untuk membuat sebuah pernyataan retoris atau ergumen yang masuk akal mengenai temuannya (West dan Turner, 2008: 77). Resepsi Audiens merupakan teori berbasis khalayak yang berfokus pada bagaimana beragam jenis anggota khalayak memaknai bentuk konten

39 39 tertentu (kadang-kadang disebut analisis penerimaan) (Baran dan Davis, 2010: 302). Penelitian dengan metode analisis resepsi, digunakan untuk mengetahui bagaimana resepsi audience terhadap alasan poligami dalam film Indonesia tahun di dasari latar belakang yang berbedabeda. 2. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah penonton film Berbagi Suami (2006), Ayat-Ayat Cinta (2008) dan Perempuan Berkalung Sorban (2009). Masing-masing informan dipilih dengan kriteria yang dianggap sesuai dengan alasan poligami di dalam film Indonesia tahun Adapun teknik pengambilan informan, peneliti menggunakan purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik yang mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan riset (Kriyantono, 2010: 158). Peneliti akan memilih informan yang dianggap mampu memaknai alasan poligami dalam film. Jumlah informan yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah 6 orang. Terdiri dari 2 orang perempuan dan 1 orang laki-laki beragama Islam. 1 perempuan dan 1 laki-laki beragama Islam tersebut bekerja, sudah menikah dan memiliki status pendidikan sarjana. Kemudian 1 orang perempuan beragama Islam merupakan ibu rumah tangga, menikah dan memiliki status pendidikan maksimal SMA.

POLIGAMI DALAM FILM (Analisis Resepsi Audience Terhadap Alasan Poligami Dalam Film Indonesia Tahun )

POLIGAMI DALAM FILM (Analisis Resepsi Audience Terhadap Alasan Poligami Dalam Film Indonesia Tahun ) POLIGAMI DALAM FILM (Analisis Resepsi Audience Terhadap Alasan Poligami Dalam Film Indonesia Tahun 2006-2009) NASKAH PUBLIKASI Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Gelar S-1 Ilmu Komunikasi Oleh :

Lebih terperinci

POLIGAMI DALAM FILM (ANALISIS RESEPSI AUDIENS TERHADAP ALASAN POLIGAMI DALAM FILM INDONESIA TAHUN )

POLIGAMI DALAM FILM (ANALISIS RESEPSI AUDIENS TERHADAP ALASAN POLIGAMI DALAM FILM INDONESIA TAHUN ) Poligami Dalam Film 37 ABSTRAK POLIGAMI DALAM FILM (ANALISIS RESEPSI AUDIENS TERHADAP ALASAN POLIGAMI DALAM FILM INDONESIA TAHUN 2006-2009) Rahmalia Dhamayanti Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian analisis resepsi menekankan poin penting terhadap khalayak yang dapat memaknai sendiri teks yang dibacanya dan tidak selalu sejalan dengan apa yang menjadi ideologi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setiap media, didalamnya mengandung sebuah pesan akan makna tertentu. Pesan tersebut digambarkan melalui isi dari media tersebut, bisa berupa lirik (lagu), alur cerita (film),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dewasa ini penyimpangan sosial di Indonesia marak terjadi dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Dewasa ini penyimpangan sosial di Indonesia marak terjadi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini penyimpangan sosial di Indonesia marak terjadi dengan munculnya berbagai konflik yang berujung kekerasan karena berbagai aspek seperti politik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Film merupakan salah satu media yang berfungsi menghibur penonton

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Film merupakan salah satu media yang berfungsi menghibur penonton BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Film merupakan salah satu media yang berfungsi menghibur penonton atau pemirsanya. Namun fungsi film tidak hanya itu. Film juga merupakan salah satu media untuk berkomunikasi.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Saat ini perkembangan teknologi tanpa disadari telah mempengaruhi hidup kita.

BAB I. PENDAHULUAN. Saat ini perkembangan teknologi tanpa disadari telah mempengaruhi hidup kita. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini perkembangan teknologi tanpa disadari telah mempengaruhi hidup kita. Perkembangan jaman dan teknologi ini juga berimbas kepada proses berkembangnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Film bermula pada akhir abad ke-19 sebagai teknologi baru, tetapi konten dan fungsi yang ditawarkan masih sangat jarang. Kemudian, film mengalami perubahan

Lebih terperinci

dapat dilihat bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam

dapat dilihat bahwa media massa memiliki pengaruh yang besar dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang- Undang No 33 tahun 2009 dalam pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Dalam penelitian ini, peneliti meneliti mengenai pemaknaan pasangan suami-istri di Surabaya terkait peran gender dalam film Erin Brockovich. Gender sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang telah dikenal oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Pada era digital seperti sekarang, film dapat disaksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Komunikasi bukan hanya sebuah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

PERANAN SURAT KABAR DALAM MENUMBUHKAN MINAT BACA REMAJA DI KECAMATAN SINGKIL KOTA MANADO

PERANAN SURAT KABAR DALAM MENUMBUHKAN MINAT BACA REMAJA DI KECAMATAN SINGKIL KOTA MANADO PERANAN SURAT KABAR DALAM MENUMBUHKAN MINAT BACA REMAJA DI KECAMATAN SINGKIL KOTA MANADO Oleh Kristevel Mokoagow e-mail: kristevelmokoagow@yahoo.co.id Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Film merupakan suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa. setiap pagi jutaan masyarakat mengakses media massa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi massa merupakan suatu bentuk komunikasi dengan melibatkan khalayak luas yang biasanya menggunakan teknologi media massa seperti surat kabar, majalah,

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH ANALISIS PENERIMAAN MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA TERHADAP NILAI-NILAI TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA DAN PLURALISME DALAM FILM? (TANDA TANYA) NASKAH PUBLIKASI ILMIAH Disusun Oleh : AHMAD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setiap teks mengandung makna yang sengaja disisipkan oleh pembuat teks, termasuk teks dalam karya sastra. Meski sebagian besar karya sastra berfungsi sebagai media rekreatif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini film dan kebudayaan telah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Film pada dasarnya dapat mewakili kehidupan sosial dan budaya masyarakat tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tengok saja majalah, koran, radio, acara televisi, sampai media online

BAB I PENDAHULUAN. Tengok saja majalah, koran, radio, acara televisi, sampai media online BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa di zaman ini telah menjadi bagian wajib dari kehidupan manusia. Sadar atau tidak, media massa telah menempati posisi penting untuk memuaskan kebutuhan manusia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode reception analysis. Penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode reception analysis. Penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode reception analysis. Penelitian ini dilakukan untuk memfokuskan peneliti pada produksi tentang pemaknaan teks dan proses negosiasi makna khalayak.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Menurut Harmon dalam buku yang ditulis oleh Moleong 22, paradigma

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Menurut Harmon dalam buku yang ditulis oleh Moleong 22, paradigma BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Menurut Harmon dalam buku yang ditulis oleh Moleong 22, paradigma adalah cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai budaya terdapat di Indonesia sehingga menjadikannya sebagai negara yang berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilainya. Budaya tersebut memiliki fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan umat

BAB I PENDAHULUAN. yang penting yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan umat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi adalah penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Komunikasi merupakan bagian yang penting yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Disadur dari

BAB I PENDAHULUAN. 1 Disadur dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi digital membawa dampak pada industri perfilman secara luas. Film tidak hanya dibuat sebagai media hiburan, tetapi juga sebagai bentuk komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

RESEPSI KHALAYAK PEREMPUAN YANG SUDAH MENIKAH TERHADAP POLIGAMI DALAM FILM KEHORMATAN DI BALIK KERUDUNG NASKAH PUBLIKASI

RESEPSI KHALAYAK PEREMPUAN YANG SUDAH MENIKAH TERHADAP POLIGAMI DALAM FILM KEHORMATAN DI BALIK KERUDUNG NASKAH PUBLIKASI RESEPSI KHALAYAK PEREMPUAN YANG SUDAH MENIKAH TERHADAP POLIGAMI DALAM FILM KEHORMATAN DI BALIK KERUDUNG NASKAH PUBLIKASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana S-1 Ilmu Komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam adalah agama yang mensyari atkan pernikahan bagi umatnya. Menikah dalam Islam adalah salah satu sarana untuk menggapai separuh kesempurnaan dalam beragama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Kota berasal dari kata urban yang mengandung pengertian kekotaan dan perkotaan. Kekotaan menyangkut sifat-sifat yang melekat pada kota dalam artian fisikal, sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion,

BAB I PENDAHULUAN. harus dipenuhi, seperti kebutuhan untuk mengetahui berita tentang dunia fashion, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Media telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan kita tidak akan pernah terlepas dari media. Seiring dengan perkembangan peradaban

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan seharihari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Film merupakan media komunikasi yang bersifat audio visual, dimana film diproduksi untuk menyampaikan suatu pesan. Pesan yang disampaikan berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana komunikasi yang paling efektif, karena film dalam menyampaikan pesannya yang begitu kuat sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berlainan jenis seks dengan persetujuan masyarakat. Seperti dikatakan Horton

BAB I PENDAHULUAN. yang berlainan jenis seks dengan persetujuan masyarakat. Seperti dikatakan Horton BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan cara paling mulia yang dipilih Pencipta alam semesta untuk mempertahankan proses regenerasi pengembangbiakan, dan keberlangsungan dinamika kehidupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Konteks Masalah 12 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Konteks Masalah Film merupakan salah satu media komunikasi massa, dikatakan begitu karena sebagai media komunikasi massa merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya di takdirkan untuk menjadi seorang pemimpin atau leader, terutama

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya di takdirkan untuk menjadi seorang pemimpin atau leader, terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pemimpin atau seorang Leader tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat pada umumnya, hal ini disebabkan karena setiap manusia yang diciptakan didunia ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang memperlihatkan pihak Amerika sebagai penyelamat bagi negara-negara lain.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang memperlihatkan pihak Amerika sebagai penyelamat bagi negara-negara lain. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Film merupakan bagian dari penyebaran budaya dan salah satu dari media komunikasi massa. Film mempunyai peranan yang sangat penting tidak hanya sebagai media

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan teknologi telah mempengaruhi kehidupan kita tanpa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan teknologi telah mempengaruhi kehidupan kita tanpa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi telah mempengaruhi kehidupan kita tanpa disadari. Teknologi yang semakin canggih membuat media komunikasi juga berkembang dengan pesatnya, baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana film mengirimkan pesan atau isyarat yang disebut symbol, komunikasi symbol dapat berupa gambar yang ada

Lebih terperinci

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis

Lebih terperinci

2016 PERSEPSI PEMIRSA TENTANG OBJEKTIVITAS BERITA DI KOMPAS TV

2016 PERSEPSI PEMIRSA TENTANG OBJEKTIVITAS BERITA DI KOMPAS TV BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu karakteristik komunikasi massa adalah feedback yang tertunda atau delayed, sehingga komunikator membutuhkan waktu untuk mengetahui tanggapan atau

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. Relevansi Dalam perkuliahan ini mahasiswa diharapkan sudah punya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan kemajuan zaman. Masyrakat modern kini menjadikan informasi sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan kemajuan zaman. Masyrakat modern kini menjadikan informasi sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman. Masyrakat modern kini menjadikan informasi sebagai kebutuhan pokok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun 2014 lalu merupakan tahun yang cukup penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada tahun tersebut bertepatan dengan dilaksanakan pemilihan umum yang biasanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. editing, dan skenario yang ada sehingga membuat penonton terpesona. 1

BAB I PENDAHULUAN. editing, dan skenario yang ada sehingga membuat penonton terpesona. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia perfilman Indonesia pada saat ini adalah kelanjutan dari tradisi tontonan rakyat sejak masa trandisional, dan masa penjajahan sampai masa kemerdekaan.film adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembanganmasyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya

BAB I PENDAHULUAN. perkembanganmasyarakat perkotaan dan industri, sebagai bagian dari budaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Film merupakan salah satu media komunikasi massa (mass communication) yaitu komunikasi melalui media massa modern. Film hadir sebagian kebudayaan massa yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi adalah suatu pernyataan antar manusia, baik secara perorangan maupun berkelompok, yang bersifat umum dengan menggunakan lambang-lambang yang berarti, maka akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya cipta dari beberapa cabang seni sekaligus. 1 Gambar bergerak adalah bentuk

BAB I PENDAHULUAN. daya cipta dari beberapa cabang seni sekaligus. 1 Gambar bergerak adalah bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Film merupakan media komunikasi massa pandang dengar dimana film mengirimkan pesan atau isyarat yang disebut simbol, komunikasi simbol dapat berupa gambar yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA A. TEMUAN PENELITIAN Dengan proses representasi yang di gunakan oleh peneliti bahwa proses representasi diartikan sebagai hasil dari suatu proses penyeleksian yang menggaris bawahi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi mempunyai definisi yaitu sebuah transmisi sebuah pesan dari sumber kepada penerima, lebih dari 50 tahun konsep komunikasi dikemukakan olehn Harold Lasswell,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang sangat membutuhkan informasi, untuk mendapatkan informasi itu maka dilakukan dengan cara berkomunikasi baik secara verbal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, komunikasi berkembang semakin pesat dan menjadi sedemikian penting. Hal tersebut mendorong terciptanya media media yang menjadi alat

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pada hakikatnya manusia diciptakan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan untuk dapat melanjutkan generasi manusia secara turun-temurun. Untuk itu, antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada peraturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. kepada peraturan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan selalu ingin berkomunikasi dengan manusia lain untuk mencapai tujuannya. Sebagai makhluk sosial, manusia harus taat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan film terhadap masyarakat, hubungan antara televisi, film dan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dan film terhadap masyarakat, hubungan antara televisi, film dan masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media massa seperti halnya televisi dan film mempunyai dampak tertentu bagi para penontonnya. Dalam banyak penelitian tentang dampak serial televisi dan film

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi diartikan sebagai sebuah proses penyampaian pesan

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi diartikan sebagai sebuah proses penyampaian pesan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi diartikan sebagai sebuah proses penyampaian pesan (message) dari seorang komunikator kepada komunikan. Pesan-pesan dalam komunikasi dianggap sebagai suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku

BAB I PENDAHULUAN. kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi bisa terjadi ketika suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Harold

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Media massa menjadi entertainer (penghibur) yang hebat karena bisa mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Media massa menjadi entertainer (penghibur) yang hebat karena bisa mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini media massa mengalami perkembangan yang sangat pesat, dimana kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari peranan media. Media massa menjadi sangat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siaran televisi saat ini telah menjadi suatu kekuatan yang sudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Televisi sebagai media massa memiliki karakteristik tersendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tingkat kesukaan atau afektif merupakan salah satu komponen proses komunikasi massa yaitu efek. Efek adalah hasil yang dicapai dari usaha penyampaian pernyataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat setiap orang melakukan berbagai bentuk komunikasi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. membuat setiap orang melakukan berbagai bentuk komunikasi, seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setiap individu berusaha untuk mengenal dan mencari jati dirinya, mengetahui tentang orang lain, dan mengenal dunia luar atau selalu mencari tahu mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Film merupakan media komunikasi massa yang kini banyak dipilih untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Film merupakan media komunikasi massa yang kini banyak dipilih untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Film merupakan media komunikasi massa yang kini banyak dipilih untuk menyampaikan berbagai pesan. Film mempunyai kekuatan mendalam untuk memberikan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Media massa cetak dan elektronik merupakan salah satu unsur penting dalam proses komunikasi. Setiap media mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kekurangan surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam hidup manusia, pendidikan dapat dilakukan secara formal maupun non formal. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan informasi semakin besar. Dan informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan informasi semakin besar. Dan informasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan berkembangnya teknologi dan komunikasi saat ini mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan informasi semakin besar. Dan informasi tersebut dapat dengan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini berusaha melihat bagaimana konstruksi dalam film Samin VS Semen dan film Sikep Samin Semen bekerja. Konstruksi ini dilihat melalui konsep yang ada di dalam film

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia yang mengglobal ini, media massa telah menjadi alat

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dunia yang mengglobal ini, media massa telah menjadi alat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia yang mengglobal ini, media massa telah menjadi alat perpanjangan alat indra. Melalui media massa, dapat diperoleh informasi tentang orang, benda atau tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis kelamin, pendidikan, maupun status sosial seseorang. Untuk mendukung

BAB I PENDAHULUAN. jenis kelamin, pendidikan, maupun status sosial seseorang. Untuk mendukung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia, siaran televisi dipandang sebagai salah satu media informasi dan hiburan yang memiliki banyak sekali penonton, tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting. Komunikasi dibutuhkan untuk memperoleh atau member informasi dari atau kepada orang lain. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang memuat banyak sekali tanda dan makna yang menggambarkan suatu paham tertentu. Selain itu, film juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjawab pertanyaan berikut: Who Say What In Which Channel To Whom With

BAB I PENDAHULUAN. menjawab pertanyaan berikut: Who Say What In Which Channel To Whom With 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Harold D. Lasswell menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan berikut: Who Say What In Which Channel To Whom With What Effect? (siapa mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan majunya teknologi komunikasi dan informasi yang ditandai. mungkin hingga mampu menembus ruang dan waktu.

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan majunya teknologi komunikasi dan informasi yang ditandai. mungkin hingga mampu menembus ruang dan waktu. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi massa di era globalisasi saat ini semakin berkembang cepat seiring dengan majunya teknologi komunikasi dan informasi yang ditandai dengan adanya penemuan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Di negara-negara yang banyak mengalami pergulatan politik, novel menjadi salah satu media penyampai kritik. Di Indonesia, istilah jurnalisme dibungkam sastra melawan yang dilontarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efektif dan efisien untuk berkomunikasi dengan konsumen sasaran.

BAB I PENDAHULUAN. efektif dan efisien untuk berkomunikasi dengan konsumen sasaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri periklanan belakangan ini menunjukan perubahan orientasi yang sangat signifikan dari sifatnya yang hanya sekedar menempatkan iklan berbayar di media massa menjadi

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. Sehingga aktivitas produk rokok untuk beriklan dibatasi dengan tidak. pembatasan yang telah ditentukan.

BAB I. Pendahuluan. Sehingga aktivitas produk rokok untuk beriklan dibatasi dengan tidak. pembatasan yang telah ditentukan. BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Rokok merupakan produk familier di kalangan masyarakat. Saat ini keberadaan rokok dinilai membawa dampak buruk bagi kesehatan. Sehingga aktivitas produk rokok untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sebuah kemungkinan bahwa ada proses penerimaan makna yang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sebuah kemungkinan bahwa ada proses penerimaan makna yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film sebagai bagian dari media massa dalam kajian komunikasi massa modern dinilai memiliki pengaruh pada penonton khalayak. Pengaruh tersebut menjadi sebuah kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komunikasi visual memiliki peran penting dalam berbagai bidang, salah satunya adalah film. Film memiliki makna dan pesan di dalamnya khususnya dari sudut pandang visual.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan khidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi dan khidupan manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dunia periklanan memang telah menjadi sejarah panjang dalam peradaban manusia. Sekarang ini periklanan semakin berkembang dengan pesat dan dinamis, berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komunikasi merupakan bagian yang penting yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan umat manusia. Oleh karena itulah, ilmu komunikasi saat ini telah berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain

BAB I PENDAHULUAN. pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar belakang masalah Proses komunikasi pada hakekatnya adalah suatu proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Secara umum,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologi kita. 1. tersebar banyak tempat, anonym dan heterogen.

BAB I PENDAHULUAN. adalah untuk mengendalikan lingkungan fisik dan psikologi kita. 1. tersebar banyak tempat, anonym dan heterogen. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain lain (menurut Barelson and Stainer, 1964). Menurut Thomas M. Scheidel mengemukakan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Praktik poligami dalam bentuk tindakan-tindakan seksual pada perempuan dan keluarga dekatnya telah lama terjadi dan menjadi tradisi masyarakat tertentu di belahan

Lebih terperinci

PEMAKNAAN KHALAYAK TERHADAP INFORMASI KASUS PENODAAN AGAMA OLEH BASUKI TJAHAJA PURNAMA DI MEDIA SOSIAL YOUTUBE

PEMAKNAAN KHALAYAK TERHADAP INFORMASI KASUS PENODAAN AGAMA OLEH BASUKI TJAHAJA PURNAMA DI MEDIA SOSIAL YOUTUBE PEMAKNAAN KHALAYAK TERHADAP INFORMASI KASUS PENODAAN AGAMA OLEH BASUKI TJAHAJA PURNAMA DI MEDIA SOSIAL YOUTUBE SUMMARY SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1 Departemen

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian Burhan Bungin (2003:63) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif mengacu pada prosedur penelitian yang menghasilkan data secara

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II URAIAN TEORITIS BAB II URAIAN TEORITIS 2.1. Komunikasi. Istilah komunikasi berasal dari bahasa latin, communication, yang artinya sama-sama di sini maksudnya sama maknanya (Effendi, 1993:9). Laswell menerangkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi dan berlandaskan pada bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek makna tertentu guna mencapai efek estetik. Sebuah

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. diskriminasi Islam dalam film Fitna karya Geert Wilders. Dari konsep penerimaan

BAB IV PENUTUP. diskriminasi Islam dalam film Fitna karya Geert Wilders. Dari konsep penerimaan BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Pada bab ini peneliti akan menyimpulkan penerimaan penonton tentang diskriminasi Islam dalam film Fitna karya Geert Wilders. Dari konsep penerimaan penonton ini peneliti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. budaya yang melatar belakanginya. Termasuk pemakaian bahasa yang tampak pada dialog

BAB 1 PENDAHULUAN. budaya yang melatar belakanginya. Termasuk pemakaian bahasa yang tampak pada dialog BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam penyampaian pesan dan komunikasi, di zaman sekarang manusia tidak lagi harus bersusah payah untuk bertemu atau menggunakan alat komunikasi telegram.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kasus kekerasan seksual, free sex,dan semacamnya. Dengan semakin

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kasus kekerasan seksual, free sex,dan semacamnya. Dengan semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Media saat ini baik elektronik maupun cetak banyak disorot oleh banyak kalangan sebagai salah satu penyebab utama hancurnya moral umat manusia termasuk golongan remaja.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu komunikasi saat ini berkembang pesat jika dibandingkan dengan masa lampau, hal

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu komunikasi saat ini berkembang pesat jika dibandingkan dengan masa lampau, hal BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Ilmu komunikasi saat ini berkembang pesat jika dibandingkan dengan masa lampau, hal ini membuat komunikasi pada saat ini dapat dilakukan, dimanapun, kapanpun,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan industri pertelevisian dewasa ini, membuat

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya perkembangan industri pertelevisian dewasa ini, membuat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan industri pertelevisian dewasa ini, membuat persaingan antara media massa televisi tidak terelakkan lagi. Sebagai media audio visual, televisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bentuk realita dari hasil imajinasi dan pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana ekspresi pengarang saja,

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. penonton Tuli (DAC Jogja) dan komunitas penonton non-tuli (MM Kine

BAB IV PENUTUP. penonton Tuli (DAC Jogja) dan komunitas penonton non-tuli (MM Kine BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Pada bagian ini peneliti akan menyimpulkan penerimaan penonton terhadap diskriminasi Tuli dalam Film Silenced, terhadap dua komunitas penonton Tuli (DAC Jogja) dan komunitas

Lebih terperinci

Interpretasi Pembaca Terhadap Materi Pornografi dalam. Komik Hentai Virgin Na Kankei

Interpretasi Pembaca Terhadap Materi Pornografi dalam. Komik Hentai Virgin Na Kankei Interpretasi Pembaca Terhadap Materi Pornografi dalam Komik Hentai Virgin Na Kankei SKRIPSI Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan pendidikan Strata I Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967) Mass communication is

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967) Mass communication is BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner (rakhmat,2003:188), yakni: komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui

Lebih terperinci