POLA SPASIAL TRANSFORMASI WILAYAH DI KORIDOR YOGYAKARTA-SURAKARTA Spatial Pattern of Regional Transformation In Yogyakarta-Surakarta Corridor

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POLA SPASIAL TRANSFORMASI WILAYAH DI KORIDOR YOGYAKARTA-SURAKARTA Spatial Pattern of Regional Transformation In Yogyakarta-Surakarta Corridor"

Transkripsi

1 POLA SPASIAL TRANSFORMASI WILAYAH DI KORIDOR YOGYAKARTA-SURAKARTA Spatial Pattern of Regional Transformation In Yogyakarta-Surakarta Corridor Sri Rum Giyarsih Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada rum_ugm@yahoo.co.uk ABSTRACT This research is conducted in Yogyakarta-Surakarta Corridor which become an intercity corridor that has been experiencing regional transformation. The aim of this research is to analyze the pattern of regional transformation using secondary data. The research covers all of villages along Yogyakarta-Surakarta Corridor (206 villages). The data processing employs SPSS program to apply quantitative and qualitative analysis method. The result show that the higher the physical accessibility, the higher is the degree of regional transformation. This research also reveals that high regional transformation patterns which are drawn by five variables, scattered in the villages which have high physical accessibility degrees and that the villages which have low physical accessibility degrees confirm the reverse level. Key words : regional transformation, spatial pattern, accessibility, corridor PENDAHULUAN Pada dua dekade akhir abad 20 dan memasuki millenium ke-3 wacana pembangunan wilayah di Indonesia ditandai dengan membesarnya fenomena metropolitanisasi (Dharmapatni, 1993; Firman, 1994). Salah satu isu yang mengiringi menguatnya metropolitanisasi dan perlu mendapat perhatian adalah perkembangan koridor antarkota. Dari fakta empiris dapat dipostulasikan bahwa Koridor Yogyakarta- Surakarta juga mengalami pertumbuhan yang pesat dalam hal transformasi wilayah. Fenomena perubahan sifat kedesaan menjadi sifat kekotaan dalam berbagai matra di Koridor Yogyakarta-Surakarta mempunyai pola tertentu. Masing-masing bagian wilayah di Koridor Yogyakarta mempunyai pola yang tidak sama antar bagian wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pola transformasi wilayah di daerah penelitian. Hipotesis yang dirumuskan dan selanjutnya akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah : Terdapat perbedaan tingkat transformasi wilayah yang disebabkan oleh perbedaan derajat aksesibilitas fisik wilayah. Pola transformasi wilayah merupakan kekhasan distribusi unsur-unsur pembentuk perubahan sifat kedesaan ke sifat kekotaan. Beberapa penelitian tentang pola transformasi wilayah ini telah dilakukan 28

2 oleh beberapa pakar. Salah satunya adalah Sinha (1982) dalam penelitiannya di pinggiran Kota Patna India yang menemukan adanya enam aspek lingkungan kehidupan penduduk di daerah pinggiran kota yang berkorelasi sangat nyata terhadap lokasinya terhadap kota terdekat. Keenam aspek lingkungan yang diteliti adalah : (1) intensitas pemanfaatan lahan, (2) fragmentasi pemilikan lahan, (3) harga lahan, (4) kepadatan penduduk, (5) komposisi mata pencaharian, dan (6) kecenderungan perubahan pemanfatan lahan. Dalam kaitannya dengan kepadatan penduduk pakar tersebut menemukan bahwa semakin dekat dengan kota, makin padat penduduknya. Hal ini sangat terkait dengan preferensi pemukiman yang ditentukan oleh kedekatan dengan tempat kerja. Kota sebagai pusat kegiatan berbagai aspek kehidupan manusia juga berfungsi sebagai konsentrasi tempat kerja. Hal inilah yang mendasari preferensi pemukiman suatu tempat. Kecenderungan untuk memperoleh kemudahan mobilitas dari dan ke tempat kerja di daerah pinggiran Kota Patna diikuti oleh makin padatnya penduduk ke arah kota. Dalam kaitannya dengan komposisi mata pencaharian, pakar ini mengemukakan bahwa berkurangnya jumlah penduduk petani sejalan dengan makin dekatnya dengan Kota Patna. Gejala ini tidak berdiri sendiri, namun selalu terkait dengan makin berkurangnya lahan pertanian sebagai ajang mencari nafkah penduduk petani. Di samping itu, masing-masing distrik juga dipengaruhi oleh makin banyaknya pendatang baru yang bukan petani. Yunus (2001) dalam penelitiannya di daerah pinggiran Kota Yogyakarta juga mendukung temuan Sinha tersebut. Peneliti lain yaitu Muta ali (1998) menemukan bahwa pola keruangan perkembangan Pola Spasial Transformasi... (Giyarsih) penduduk perkotaan di Jawa memperlihatkan kecenderungan perkembangan pada koridor perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar, seperti koridor Serang-Jakarta-Kerawang, Jakarta-Bandung, Cirebon-Semarang, Semarang-Yogyakarta- Surakarta, Surabaya-Malang. Peneliti lain yaitu Giyarsih, Muta ali, dan Widodo (2003) menemukan bahwa pola transformasi wilayah yang lebih tinggi terdapat di wilayah yang mempunyai tingkat aksesibilitas fisik wilayah tinggi. Dalam analisis mikro ditemukan bahwa aksesibilitas tinggi terdapat di desa industri dan aksesibilitas rendah terdapat di desa pertanian. Dengan kata lain terdapat perbedaan yang signifikan tingkat transformasi wilayah antara desa industri yang memiliki aksesibilitas tinggi dan desa pertanian yang memiliki aksesibilitas rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Firman (1996) dan Adika (2003) juga menunjukkan temuan yang sama. Pakar lain yaitu Babcock (1933) dalam teori poros menyatakan bahwa keberadaan poros transportasi akan mengakibatkan pertumbuhan daerah kekotaan karena di sepanjang jalur ini berasosiasi dengan mobilitas yang tinggi. Asumsi tersebut berimplikasi perkembangan zona-zona yang ada di daerah sepanjang poros transportasi akan lebih besar dari zona yang lain. Pernyataan serupa juga pernah dikemukakan oleh Yunus (2008). Sargent (1976) yang mengemukakan teori pemekaran kota menyatakan bahwa salah satu dari lima kekuatan yang menyebabkan terjadinya pemekaran kota secara fisikal yaitu peningkatan jumlah penduduk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Baiquni (1998) juga sejalan dengan temuan Sargent ini. Pakar lain yaitu Lee (1979) mengemukakan teori perubahan pemanfaatan lahan dan menemukan ada enam faktor penting yang mempengaruhi proses perubahan 29

3 pemanfaatan lahan di daerah pinggiran kota di antaranya adalah banyak sedikitnya utilitas umum dan derajat aksesibilitas lahan. Yunus (2001) dalam penelitiannya juga menemukan fenomena yang senada. Pakar lain yaitu Prakosa dan Kurniawan (2006) juga mengemukakan hal yang serupa. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan basis data sekunder. Penelitian ini dilakukan di 206 desa yang diidentifikasi merupakan desadesa di Koridor Yogyakarta-Surakarta. Beberapa pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan Koridor Yogyakarta- Surakarta ini adalah pertama, desa-desa tersebut merupakan bagian dari Koridor Yogyakarta-Surakarta yang kesemuanya ditandai oleh adanya percampuran sifat lahan kekotaan dan sifat kedesaan. Percampuran tersebut merupakan ciri pokok koridor antarkota seperti yang dikemukakan oleh Firman (1993), McGee (1997), dan Firman (1998), (2) Desa-desa tersebut ditengarai oleh adanya perubahan sifat kedesaan ke sifat kekotaan yang merupakan ciri bahwa tahapan-tahapan transformasi wilayah sedang berlangsung di wilayah tersebut. Kedua, pendekatan administrastif digunakan karena pertimbangan kemudahan untuk pengumpulan data sekunder, koordinasi penelitian, maupun pengurusan ijin penelitian. Ketiga, dengan meneliti desa-desa yang mempunyai tipe desa yang berbeda yang berdasarkan lokasinya terhadap jalan Yogyakarta- Surakarta, maka seluruh variasi spasial dari transformasi wilayah yang ada di daerah penelitian akan dapat terwakili. Dari 206 desa tersebut selanjutnya dibedakan menjadi 4 tipe desa yang mewakili derajat aksesibilitas yang berbeda yaitu : tipe desa 1 (desa yang terbelah sama luasnya atau hampir sama luasnya oleh Jalan Yogyakarta-Surakarta (jalan arteri primer) dengan derajat aksesibilitas sangat tinggi, desa tipe 2 (desa yang terbelah sebagian oleh Jalan Yogyakarta-Surakarta (jalan arteri primer) atau desa yang salah satu sisinya berbatasan langsung dengan Jalan Yogyakarta-Surakarta (jalan arteri primer) dengan derajat aksesibilitas tinggi), tipe 3 (desa terbelah atau berbatasan langsung dengan Subjalan Yogyakarta-Surakarta (jalan kolektor) dengan derajat aksesibilitas sedang), dan desa tipe 4 (desa yang berlokasi tepat di belakang desa tipe 1 dan desa tipe 2 dan tidak berbatasan dengan jalan maupun Subjalan Yogyakarta-Surakarta (jalan kolektor) dengan derajat aksesibilitas rendah seperti terlihat pada Gambar 1. Langkah berikutnya adalah melakukan analisis faktor untuk memahami pola transformasi wilayah berdasarkan lima variabel (kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, persentase KK non petani, persentase lahan terbangun, dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi) secara bersama-sama. Hasil analisis faktor ini kemudian divisualisasikan ke dalam peta dengan program GIS untuk memperoleh gambaran spasial dari pola transformasi wilayah. Untuk membuktikan hipotesis Terdapat perbedaan tingkat transformasi wilayah antartipe desa disebabkan oleh perbedaan derajat aksesibilitas selanjutnya dilakukan analisis diskriminan. Adapun yang dimaksud dengan transformasi wilayah dalam penelitian ini adalah proses perubahan sifat atribut wilayah dari sifat kedesaan ke sifat kekotaan yang diukur dari lima variabel yaitu kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, jumlah penduduk non petani, luas lahan terbangun, dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi. Sementara itu 30

4 yang dimaksud dengan aksesibilitas fisik wilayah adalah tingkat kemudahan suatu wilayah dijangkau dari wilayah lain yang diukur berdasarkan jarak wilayah tersebut terhadap jaringan jalan (Koridor Yogyakarta-Surakarta). Koridor Yogyakarta- Surakarta dalam penelitian ini dimaknai sebagai kawasan yang terletak di kanan kiri jalan raya yang menghubungkan Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta dengan batas panjang mulai dari batas administrasi Kabupaten Sleman sampai Kabupaten Sukoharjo. Adapun batas lebar di kanan kiri jalan dibatasi pada desa-desa di jalur transportasi tersebut yang dibedakan menjadi 4 tipe desa seperti telah dijelaskan sebelumnya. Argumentasi dari pembagian tipe desa yang berdasarkan jarak ini adalah berdasarkan pada asumsi bahwa semakin jauh jarak desa terhadap jaringan jalan maka pengaruh jaringan jalan tersebut semakin mengecil (Distance Decay Principle). HASIL DAN PEMBAHASAN Dari sisi metode, penelitian ini menemukan bahwa delineasi daerah penelitian dengan menggunakan pendekatan administratif mempunyai kelemahan. Koridor antarkota dikonseptualisasikan sebagai daerah yang terdapat jaringan jalan yang menghubungkan antara dua kota utama yang ditandai dengan percampuran antara sifat kekotaan dan sifat kedesaan. Mengacu pada definisi operasional tentang koridor antarkota tersebut, maka diragukan lagi bahwa koridor antarkota tersebut sangat luas cakupannya. Di samping itu batas-batas yang ditampilkan antara sifat-sifat kekotaan di satu sisi dan sifat-sifat kedesaan di sisi lain sangat tidak kentara karena peralihannya bersifat gradual dan meliputi matra yang luas yaitu fisikal, sosial, ekonomi, kultural, dan teknologi. Mendasarkan pada kenyataan ini maka penelitian ini tidak bertujuan untuk mencari Sumber: hasil analisis Gambar 1. Tipe Desa di Koridor Yogyakarta - Surakarta Pola Spasial Transformasi... (Giyarsih) 31

5 batas-batas koridor atau menelusuri di mana batas-batas koridor antar kota itu dimulai dan berakhir. Penelitian ini lebih menekankan pada penelitian sebagian dari koridor antarkota yang jelas merupakan bagiannya karena secara jelas terdapat percampuran antara sifat kekotaan dan sifat kedesaan. Dengan kata lain penelitian ini tidak akan bersifat region hunting. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan ide core region sesuai dengan ide yang dikemukakan oleh Alexander (1963) yang menyatakan bahwa tujuan identifikasi wilayah bukan dimaksudkan untuk mencari batas-batas di mana wilayah tersebut dimulai dan berakhir tapi lebih ditujukan untuk mengenali karakteristik yang melekat pada wilayah tersebut. Karakteristik tersebut dapat dikenali pada bagian wilayah yang disebut core region tersebut. Berdasarkan pertimbangan bahwa sejauh ini belum ada teori yang memberi penjelasan yang tegas tentang batasan koridor. Oleh karena itu batasan administrasi desa yang dipilih untuk mendelineasi koridor dalam penelitian ini. Namun demikian, dalam penelitian ini disadari bahwa delineasi koridor dengan batas yuridis administrasi ini mempunyai kelemahan yaitu morfologi desa yang tidak seragam. Morfologi desa yang tidak seragam menyebabkan kesulitan dalam mengklasifikasikan suatu desa apakah termasuk tipe 1, tipe 2, atau tipe 4 berdasarkan posisi (letak) suatu desa terhadap Jalan Yogyakarta-Surakarta. Hal ini disebabkan pada kenyataannya terdapat sebagian desa yang termasuk tipe desa 1 atau tipe 2 karena letaknya berbatasan langsung dengan Jalan Yogyakarta-Surakarta, namun sebagian wilayah desa tersebut mempunyai jarak yang sama dengan desa tipe 4 terhadap Jalan Yogyakarta-Surakarta. Mendasarkan pada kenyataan ini dapat posulasikan bahwa batasan paling ideal untuk mendelineasi wilayah koridor antarkota bukan berdasarkan batasan administratif namun berdasarkan batasan fisik morfologi. Hal ini disebabkan wilayah yang disebut koridor antarkota pada kenyataannya tidak mengenal batasan administratif tapi merupakan wilayah fungsional. Wilayah fungsional merupakan suatu wilayah tertentu yang eksistensinya didasarkan pada ide-ide heterogenitas dan karakteristik yang melekat pada wilayah tersebut dibentuk oleh keanekaragaman. Disebut wilayah fungsional karena terdiri dari berbagai subwilayah yang beraneka ragam dan karena beraneka ragam dapat membentuk jaringan kegiatan dan terdapat hubungan fungsional antar berbagai sub wilayah yang berbeda. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan transformasi wilayah adalah perubahan sifat kedesaan ke sifat kekotaan. Perubahan sifat kedesaan ke sifat kekotaan tersebut diukur dari berbagai variabel yaitu jumlah penduduk, kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, ketersediaan fasilitas sosial ekonomi, struktur mata pencaharian, perkembangan infrastruktur dan jaringan jalan, serta peningkatan lahan terbangun. Dalam kaitannya dengan penelitian ini telah dipilih lima variabel yang digunakan untuk mengukur secara operasional dari transformasi wilayah yaitu kepadatan penduduk, pertumbuhan penduduk, persentase penduduk non petani, persentase luas lahan terbangun, dan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi. Setelah memahami makna transformasi wilayah tersebut, untuk selanjutnya disintesakan tentang pola transformasi wilayah. Pola transformasi wilayah dimaknai sebagai kekhasan penyebaran unsur-unsur penentu tingkat transformasi wilayah (lima variabel dalam Podes) dalam pengertian memusat dan atau meratanya tingkat transformasi wilayah serta kemungkinan bentuk penyebaran keruangannya. 32

6 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari ekstraksi lima variabel sebagai penyusun transformasi wilayah, terdapat dua faktor terpenting yang dapat memberikan informasi sebesar 76 % dari total informasi dalam lima variabel. Dua faktor ini dianggap mewakili untuk melihat pola transformasi wilayah desa-desa di Koridor Yogyakarta- Surakarta. Faktor pertama yang memberikan sumbangan tertinggi, yaitu sebesar 52,56 %, kemudian faktor kedua memberikan sumbangan sebesar 23,52 % (Tabel 1). Untuk memudahkan analisis, maka faktorfaktor ini diberi nama sesuai dengan kelompok indikator yang diwakilinya. Indikator yang memiliki nilai lebih besar dari 0,5 dianggap indikator yang menentukan dalam faktor tersebut. Atas dasar inilah dibuat pengelompokan faktor sebagai berikut: (1) faktor I memberikan sumbangan sebesar 52,564 % terdiri dari indikator kepadatan penduduk (0,887), luas lahan terbangun (0,908), jumlah penduduk non petani (0,826) dan fasilitas sosial ekonomi (0,510) yang disebut faktor sosial ekonomi; (2) faktor II memberikan sumbangan sebesar 23,522 persen terdiri dari satu indikator dominan yaitu pertumbuhan penduduk (0,905) yang disebut faktor kependudukan. Untuk memahami pola spasial dari transformasi wilayah berdasarkan faktor total dapat dicermati pada Gambar 2. Setelah melalui lima tahap dengan menggunakan derajat kebebasan yang berbedabeda yaitu 1,403; 2,704; 3,703; 4,705; dan 5,706 menunjukkan terjadi perbedaan yang nyata (signifikan) tingkat transformasi wilayah antar tipe desa. Dari Tabel 2 nampak bahdengan menggunakan angka F sebesar yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan tingkat transformasi wilayah antartipe desa di Koridor Yogyakarta-Surakarta. Apabila ditinjau dari letak desa terhadap jalan (jalan arteri primer) dan sub-jalan (jalan kolektor) yang berasosiasi dengan tingkat aksesibilitas fisik wilayah, dapat dicermati bahwa terjadi perbedaan yang nyata tingkat transformasi wilayah di desa tipe 1, desa Tabel 1. Hasil Analisis Faktor Extraction Sums of Squared Initial Eigenvalues Loadings Komponen Kumulatif Varian Kumulatif Total Varian (%) Total (%) (%) (%) 1 2,628 52,564 52,564 2,628 52,564 52, ,176 23,522 76,086 1,176 23,522 76, ,558 11,162 87, ,421 8,422 95, ,217 4, ,000 Sumber: analisis data sekunder 2008 Keterangan: Total varian dari masing-masing komponen (faktor) menunjukkan sumbangan masing-masing faktor Pola Spasial Transformasi... (Giyarsih) 33

7 Sumber: hasil analisis Gambar 2. Pola Spasial Transformasi Wilayah di Koridor Yogyakarta-Surakarta 34

8 tipe 2, desa tipe 3, dan desa tipe 4 (Tabel 2). Letak desa terhadap jalan dan sub jalan yang berasosiasi dengan derajat aksesibilitas mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat transformasi wilayah. Berdasarkan Tabel 2 selanjutnya dapat disintesakan bahwa pola transformasi wilayah ini berasosiasi dengan derajat aksesibilitas. Tingkat transformasi wilayah yang tinggi ternyata mengelompok di wilayah yang memiliki derajat aksesibilitas yang tinggi pula, demikian pula sebaiknya. Hal ini sekaligus dapat dipostulasikan bahwa mekanisme bekerjanya variabelvariabel penyusun transformasi wilayah tersebut juga tidak sama untuk wilayahwilayah dengan derajat aksesibilitas yang juga tidak sama. Sebagai contoh di wilayah dengan aksesibilitas tinggi akan mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang juga lebih tinggi dari pada di wilayah dengan derajat aksesibilitas rendah. Hal ini disebabkan oleh adanya daya tarik wilayah dengan derajat aksesibilitas tinggi untuk bermukim misal karena kemudahan dalam membangun permukiman dan kemudahan dalam mem- peroleh pelayanan transportasi. Dengan alasan yang sama dipostulasikan pula bahwa di wilayah dengan derajat aksesibilitas yang tinggi juga mempunyai pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dari variabel persentase rumah tangga non petani dipahami bahwa di wilayah dengan derajat aksesibilitas yang tinggi cenderung memiliki persentase rumah tangga non petani yang lebih rendah. Hal ini disebabkan penduduk di wilayah dengan derajat aksesibilitas yang tinggi lebih mempunyai kesempatan untuk beraktivitas ekonomi di luar sektor pertanian misal di bidang perdagangan dan jasa. Sebagai contoh penduduk yang tinggal di wilayah dekat dengan jalan lebih mempunyai kesempatan untuk melakukan kegiatan diversifikasi ekonomi di luar sektor pertanian disebabkan oleh adanya kesempatan untuk mengorientasikan penggunaan rumahnya tidak hanya untuk tempat tinggal saja tapi juga sebagai tempat usaha. Dari variabel persentase lahan terbangun dapat dipahami bahwa di wilayah dengan derajat aksesibilitas yang tinggi ditemukan lebih banyak lahan terbangun dari pada Tabel 2. Hasil Analisis Faktor Pairwise Group Comparisons Step Tipe Desa Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 1 Tipe 1 F Sig Tipe 2 F Sig Tipe 3 F Sig Tipe 4 F Sig Sumber: analisis data sekunder 2008 Pola Spasial Transformasi... (Giyarsih) 35

9 wilayah yang mempunyai derajat aksesibilitas rendah. Hal ini mudah dipahami karena wilayah dengan derajat aksesibilitas yang tinggi tersebut lebih memberi kemudahan bagi penduduk untuk membangun tempat bermukim maupun bangunan fungsi-fungsi kekotaan lainnya. Ketersediaan fasilitas sosial ekonomi juga merupakan salah satu variabel yang dapat mencerminkan sifat kekotaan di suatu wilayah. Dalam kaitannya dengan aksesibilitas maka dipahami bahwa di wilayah dengan derajat aksesibilitas yang tinggi maka akan lebih banyak ditemukan fasilitas sosial ekonomi dibandingkan dengan wilayah dengan derajat aksesibilitas yang rendah. Sama halnya dengan preferensi penduduk untuk bermukim di lokasi dengan derajat aksesibilitas yang tinggi, maka fasilitas sosial ekonomi yang merupakan bagian dari fungsi-fungsi kekotaan ini juga memiliki preferensi untuk menempati lokasi-lokasi dengan derajat aksesibilitas yang tinggi. Untuk selanjutnya dalam penelitian ini telah pula dibuktikan apakah terdapat asosiasi antara transformasi wilayah dengan derajat aksesibilitas atau dengan kata lain apakah tingkat transformasi wilayah yang tinggi mengelompok di wilayah yang memiliki derajat aksesibilitas yang juga tinggi. Berdasar hasil penelitian dapat dibuktikan bahwa semakin tinggi aksesibilitas suatu desa maka semakin tinggi pula tingkat transformasi wilayahnya. Dari hasil penelitian ini dapat pula dicermati bahwa pola transformasi wilayah yang tinggi mengelompok di desa-desa dengan tingkat aksesibilitas wilayah yang tinggi dan berangsur-angsur berkurang di desa-desa dengan tingkat aksesibilitas wilayah yang rendah, atau dengan kata lain terdapat perbedaan tingkat transformasi wilayah antartipe desa. Dengan demikian hipotesis yang berbunyi : Terdapat perbedaan tingkat transformasi wilayah antartipe desa disebabkan oleh perbedaan derajat aksesibilitas dapat dibuktikan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini antara lain: (1) penelitian ini menemukan bahwa delineasi daerah penelitian dengan menggunakan pendekatan administratif mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut disebabkan oleh morfologi desa yang tidak seragam. Morfologi desa yang tidak seragam menyebabkan kesulitan dalam mengklasifikasikan suatu desa apakah termasuk tipe 1, tipe 2, atau tipe 4 berdasarkan posisi (letak) suatu desa terhadap Jalan Yogyakarta- Surakarta; (2) pola spasial transformasi wilayah yang tinggi mengelompok di desadesa dengan tingkat aksesibilitas wilayah yang tinggi dan berangsur-angsur berkurang di desa-desa dengan tingkat aksesibilitas wilayah yang semakin rendah. Pola spasial transformasi wilayah berasosiasi dengan derajat aksesibilitas fisik wilayah. Penelitian ini juga telah menemukan adanya variasi spasial (berdasarkan 4 tipe desa yang menggambarkan derajat aksesibilitas yang berbeda) dari pola transformasi wilayah. Berdasarkan temuan tersebut, dapat disimpulkan: (1) penelitian ini telah menemukan adanya kelemahan dalam penggunaan batasan administratif untuk mendelineasi koridor antarkota. Oleh karena itu untuk penelitian sejenis disarankan menggunakan batasan fisik morfologi. Hal ini disebabkan wilayah yang disebut koridor antarkota pada kenyataanya tidak mengenal batasan administratif tapi merupakan wilayah fungsional; (2) transformasi wilayah yang tinggi mengelompok di desa-desa yang dekat dengan jaringan jalan mengindikasikan bahwa tingkat perkembangan wilayah di desa-desa yang jauh 36

10 dari jaringan jalan relatif lebih rendah. Agar perkembangan wilayah dapat dirasakan pula oleh desa-desa yang jauh dari jaringan jalan maka disarankan untuk membangun pusatpusat pertumbuhan baru di desa-desa yang jauh dari jaringan jalan. UCAPAN TERIMA KASIH Tulisan ini merupakan bagian dari penelitian disertasi penulis. Oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Prof. Dr. A.J. Suhardjo, MA., Dr.Ir. Sudaryono, M.Eng, dan Prof. Dr. H. Hadi Sabari Yunus, MA.,DRS., yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tulisan ini. Di samping itu, rasa terima kasih yang tulus juga ingin penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. R. Sutanto, Prof. Dr. H. Suratman, M.Sc., Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc., Prof. Dr. Hartono, DESS., DEA., dan Prof. Dr. Enok Maryani, M.Si.,yang telah memberi koreksi dan masukan yang sangat berarti demi sempurnanya tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Adika, I. N. (2003) Perkembangan Wilayah Pinggiran Kota Metropolitan Surabaya dan Mobilitas Tenaga Kerja, Kasus Kabupaten Sidoarjo. Executive Summary Disertasi. Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan). Alexander, J.W. (1963) Economic Geography. Prentice Hall Inc. New Jersey. Baiquni (1998) Transformasi Wilayah di Era Globalisasi, Model-Model Kerjasama Segitiga Pertumbuhan. Paper dipersiapkan dalam rangka Reorientasi Baru Riset Geografi di Segitiga Pertumbuhan Joglosemar di Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta (Tidak dipublikasikan). Dharmapatni, I.A.I. (1993) Fenomena Mega Urban dan Tantangan Pengelolaannya. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. no. 26, Februari. Firman, T. (1994) Urban Restructuring in Jakarta Metropolitan Region : an Integration into a System of Global Cities. Proceeding of the Conference on Cities and the New Global Economy, the Government of Australia and OECD, Melbourne November (1996) Urban Development in Bandung Metropolitan Region A Transformation to A Desa-Kota Region. Majalah TWPR. vol.18, no.1. Giyarsih, S.R., Muta ali, L., Pramono, R.W.D. (2003) Peran Koridor Perkotaan dalam Pembangunan Wilayah Perdesaan di Koridor Segitiga Pertumbuhan Joglosemar. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XI. Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional UGM. Yogyakarta (Tidak dipublikasikan) Lee, L. (1979) Factors Affecting Land Use Change at the Rural Urban Fringe. Growth and Change : A journal of Regional Development. vol. X, Oktober Pola Spasial Transformasi... (Giyarsih) 37

11 Muta ali, L. (1998) Transformasi Spasial Perkotaan dan Segitiga Pertumbuhan Ekonomi. Paper disampaikan dalam Diskusi Insidentil tentang Transformasi wilayah di Fakultas Geografi UGM Yogyakarta 14 Maret 1998 Prakosa, B.S.E., Kurniawan, A. (2006) Pengaruh Urbanisasi Spasial Terhadap Transformasi Wilayah Pinggiran Kota Yogyakarta Indonesia. Laporan Penelitian Hibah Pekerti. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM. Sinha, M.M.P. (1980) The Impacts of Urbanisation on Land Use in the Rural Urban Fringe. New Delhi: Concept Publishing Company. Yunus, H.S. (2001) Perubahan Pemanfaatan Lahan di Pinggiran Kota, Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta. Disertasi. Yogyakarta. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Tidak dipublikasikan). (2008) Dinamika Wilayah Peri Urban, Determinan Masa Depan Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 38

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural,

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan spasial kota yang tidak terkendali diyakini akan menjadi pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural, ekonomi pada masa yang

Lebih terperinci

Sri Rum Giyarsih Program Studi Geografi dan Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada

Sri Rum Giyarsih Program Studi Geografi dan Ilmu Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada DAMPAK TRANSFORMASI WILAYAH TERHADAP KONDISI KULTURAL PENDUDUK (TINJAUAN PERSPEKTIF GEOGRAFIS) The Impact of Regional Transformation on The Cultural Condition of The Citizen (A Review of Geographic Perspective)

Lebih terperinci

Transformasi Wilayah Di Koridor Purwokerto-Purbalingga Dalam Perspektif Geospatial

Transformasi Wilayah Di Koridor Purwokerto-Purbalingga Dalam Perspektif Geospatial Transformasi Wilayah Di Koridor Purwokerto-Purbalingga Dalam Perspektif Geospatial Sutomo 1, Sakinah Fathrunnadi Shalihati 2 1,2 Program Studi Pendidikan Geografi FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Lebih terperinci

TRANSFORMASI WILAYAH PERI URBAN. KASUS DI KABUPATEN SEMARANG. Abstrak

TRANSFORMASI WILAYAH PERI URBAN. KASUS DI KABUPATEN SEMARANG. Abstrak TRANSFORMASI WILAYAH PERI URBAN. KASUS DI KABUPATEN SEMARANG Puji Hardati Jurusan Geografi - FIS Unnes Abstrak Artikel ini menyajikan tentang transformasi wilayah peri urban, studi kasus di Kabupaten Semarang.

Lebih terperinci

Indah Octavia Koeswandari Noorhadi Rahardjo

Indah Octavia Koeswandari Noorhadi Rahardjo PENGGUNAAN PETA UNTUK MENGETAHUI HUBUNGAN ANTARA ARAH PERKEMBANGAN WILAYAH DENGAN KONEKTIVITAS JALAN DAN POLA PERSEBARAN FASILITAS UMUM DI PERKOTAAN KLATEN Indah Octavia Koeswandari indahoctaviakoeswandari@gmail.com

Lebih terperinci

TATALOKA VOLUME 14; NOMOR 2; MEI 2012, BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP

TATALOKA VOLUME 14; NOMOR 2; MEI 2012, BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP TATALOKA VOLUME 14; NOMOR 2; MEI 2012, 90-97 2012 BIRO PENERBIT PLANOLOGI UNDIP T A T A L O K A Koridor Antar Kota Sebagai Penentu Sinergisme Spasial: Kajian Geografi Yang Semakin Penting Inter-City Corridors

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Perkembangan fisik kota merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah

BAB I PENGANTAR. Perkembangan fisik kota merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah 1 BAB I PENGANTAR I.1 Latar Belakang Perkembangan fisik kota merupakan konsekuensi dari peningkatan jumlah penduduk dan segala aktivitasnya di suatu wilayah kota. Peningkatan jumlah penduduk tersebut dapat

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN Publikasi Ilmiah. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN Publikasi Ilmiah. Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN MIJEN KOTA SEMARANG TAHUN 2010-2014 Publikasi Ilmiah Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Geografi Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota senantiasa mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Pada perkembangannya, kota dapat mengalami perubahan baik dalam segi fungsi maupun spasial. Transformasi

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR Yuniar Irkham Fadlli, Soedwiwahjono, Ana Hardiana Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

Kualitas Lingkungan Permukiman Masyarakat Suku Bajo di Daerah yang Berkarakter Pinggiran Kota dan Daerah Berkarakter Pedesaan di Kabupaten Muna

Kualitas Lingkungan Permukiman Masyarakat Suku Bajo di Daerah yang Berkarakter Pinggiran Kota dan Daerah Berkarakter Pedesaan di Kabupaten Muna 2012 Biro Penerbit Planologi Undip Volume 8 (2): 118 125 Juni 2012 Kualitas Lingkungan Permukiman Masyarakat Suku Bajo di Daerah yang Berkarakter Pinggiran Kota dan Daerah Berkarakter Pedesaan di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pola pertumbuhan kota dan tingkat urbanisasi yang terjadi di Indonesia sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan suatu kota yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk, pembangunan infrastruktur, dan aktivitas ekonomi yang terus meningkat menyebabkan

Lebih terperinci

FENOMENA PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN PERTUMBUHAN AKTIVITAS PERKOTAAN (Kasus Koridor Ruas Jalan Hertasning - Samata di Makassar - Gowa)

FENOMENA PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN PERTUMBUHAN AKTIVITAS PERKOTAAN (Kasus Koridor Ruas Jalan Hertasning - Samata di Makassar - Gowa) PLANO MADANI VOLUME 5 NOMOR 2, OKTOBER 2016, 171-179 2016 P ISSN 2301-878X - E ISSN 2541-2973 FENOMENA PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN PERTUMBUHAN AKTIVITAS PERKOTAAN (Kasus Koridor Ruas Jalan Hertasning

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. heterogen dan materialistis di bandingkan dengan daerah belakangnya.

BAB I PENDAHULUAN. heterogen dan materialistis di bandingkan dengan daerah belakangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi,sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Proses pembangunan di Indonesia terus bergulir dan ekspansi pemanfaatan ruang terus berlanjut. Sejalan dengan ini maka pengembangan lahan terus terjadi dan akan berhadapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar kota di Negara Indonesia tumbuh dan berkembang pada kawasan pesisir. Setiap fenomena kekotaan yang berkembang pada kawasan ini memiliki karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL TEKANAN PENDUDUK TERHADAP LAHAN SAWAH DI PINGGIRAN KOTA SURAKARTA. Desta Fauzan Arif

KAJIAN SPASIAL TEKANAN PENDUDUK TERHADAP LAHAN SAWAH DI PINGGIRAN KOTA SURAKARTA. Desta Fauzan Arif KAJIAN SPASIAL TEKANAN PENDUDUK TERHADAP LAHAN SAWAH DI PINGGIRAN KOTA SURAKARTA Desta Fauzan Arif fauzanarif09@gmail.com Rika Harini harini_rika@yahoo.co.id Abstract The development in suburban of Surakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran pertumbuhan kawasan perkotaan sangat besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Keberadaan berbagai kegiatan ekonomi sekunder dan tersier di bagian wilayah

Lebih terperinci

KAJIAN TRANSFORMASI SPASIAL DI PERI URBAN KORIDOR KARTASURA-BOYOLALI

KAJIAN TRANSFORMASI SPASIAL DI PERI URBAN KORIDOR KARTASURA-BOYOLALI KAJIAN TRANSFORMASI SPASIAL DI PERI URBAN KORIDOR KARTASURA-BOYOLALI (Untuk Memperkuat Substansi Pembelajaran Geografi Kd Menganalisis Pola Persebaran dan Interaksi Spasial Antara Desa dan Kota Kelas XII)

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

KOEKSISTENSI DUALISME EKONOMI DI KAWASAN METROPOLITAN MAMMINASATA

KOEKSISTENSI DUALISME EKONOMI DI KAWASAN METROPOLITAN MAMMINASATA PLANO MADANI VOLUME 6 NOMOR 1, APRIL 2017, 97-107 2017 P ISSN 2301-878X - E ISSN 2541-2973 KOEKSISTENSI DUALISME EKONOMI DI KAWASAN METROPOLITAN MAMMINASATA Yan Radhinal 1, Ariyanto 2 ¹ Perencanaan Pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangan yang dimaksud terlihat pada aspek ekonomi dan sosial

Lebih terperinci

KAJIAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN WILAYAH PERI URBAN DI SEBAGIAN WILAYAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN

KAJIAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN WILAYAH PERI URBAN DI SEBAGIAN WILAYAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN KAJIAN PERKEMBANGAN PERMUKIMAN WILAYAH PERI URBAN DI SEBAGIAN WILAYAH KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2001-2007 Virta Ihsanul Mustika Jati virta.ihsanul@hotmail.com Joko Christanto joko_yogya@yahoo.com Abstract

Lebih terperinci

ANALISIS HARGA DAN NILAI LAHAN DI KECAMATAN SEWON DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS.

ANALISIS HARGA DAN NILAI LAHAN DI KECAMATAN SEWON DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. ANALISIS HARGA DAN NILAI LAHAN DI KECAMATAN SEWON DENGAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. ANALYSIS PRICE AND VALUE OF LAND IN SEWON DISTRICT, USING REMOTE SENSING AND GEOGRAPHIC

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DI DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DI DKI JAKARTA PERKEMBANGAN PERMUKIMAN DI DKI JAKARTA M.H. Dewi Susilowati Laboratorium Sosial Ekonomi Jurusan Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia E-Mail : ppgtui@indosat.net.id

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah terkait dengan interaksi yang terjadi dengan daerah-daerah sekitarnya. Interaksi tersebut membentuk tatanan yang utuh dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya.

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kawasan (wilayah) akan selalu bertumbuh dan berkembang dinamis seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. Perubahan(evolusi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Kawasan perkotaan cenderung mengalami pertumbuhan yang dinamis (Muta ali, 2011). Pertumbuhan populasi selalu diikuti dengan pertumbuhan lahan terbangun sebagai tempat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK POLA PERJALANAN DI KOTA YOGYAKARTA

KARAKTERISTIK POLA PERJALANAN DI KOTA YOGYAKARTA KARAKTERISTIK POLA PERJALANAN DI KOTA YOGYAKARTA J. Dwijoko Ansusanto Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No. 2, Yogyakarta dwiyoko@mail.uajy.ac.id Sigit Priyanto Universitas Gadjah Mada Jl. Grafika No.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian awal dari penelitian. Pendahuluan adalah awal suatu cara untuk mengetahui suatu masalah dengan cara mengumpulkan

Lebih terperinci

Oleh : CUCU HAYATI NRP Dosen Pembimbing Ir. Putu Rudy Setiawan, MSc

Oleh : CUCU HAYATI NRP Dosen Pembimbing Ir. Putu Rudy Setiawan, MSc Oleh : CUCU HAYATI NRP. 3606 100 018 Dosen Pembimbing Ir. Putu Rudy Setiawan, MSc PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PENGARUH PERKEMBANGAN BANDARA INTERNASIONAL ADI SOEMARMO TERHADAP PERUBAHAN GUNA LAHAN PERDAGANGAN DAN JASA PADA KORIDOR JALAN ADI SUCIPTO

TUGAS AKHIR PENGARUH PERKEMBANGAN BANDARA INTERNASIONAL ADI SOEMARMO TERHADAP PERUBAHAN GUNA LAHAN PERDAGANGAN DAN JASA PADA KORIDOR JALAN ADI SUCIPTO TUGAS AKHIR PENGARUH PERKEMBANGAN BANDARA INTERNASIONAL ADI SOEMARMO TERHADAP PERUBAHAN GUNA LAHAN PERDAGANGAN DAN JASA PADA KORIDOR JALAN ADI SUCIPTO Diajukan Sebagai Syarat untuk Mencapai Jenjang Strata-1

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG TAHUN 2004 DAN TAHUN 2011

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG TAHUN 2004 DAN TAHUN 2011 ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG TAHUN 2004 DAN TAHUN 2011 HALAMAN JUDUL NASKAH PUBLIKASI DiajukanUntukMemenuhi Salah SatuPersyaratan MencapaiGelarSarjana S1 Program

Lebih terperinci

TRANSFORMASI SPASIAL PERMUKIMAN PERDESAAN DI PINGGIRAN KOTA SURAKARTA DALAM FENOMENA URBANISASI IN SITU STUDI KASUS DESA GENTAN KABUPATEN SUKOHARJO

TRANSFORMASI SPASIAL PERMUKIMAN PERDESAAN DI PINGGIRAN KOTA SURAKARTA DALAM FENOMENA URBANISASI IN SITU STUDI KASUS DESA GENTAN KABUPATEN SUKOHARJO TUGAS AKHIR TRANSFORMASI SPASIAL PERMUKIMAN PERDESAAN DI PINGGIRAN KOTA SURAKARTA DALAM FENOMENA URBANISASI IN SITU STUDI KASUS DESA GENTAN KABUPATEN SUKOHARJO Diajukan Sebagai Syarat untuk Mencapai Jenjang

Lebih terperinci

KAJIAN PERKEMBANGAN KAWASAN PINGGIRAN KOTA (URBAN FRINGE) BANDA ACEH (Studi Kasus : Kecamatan Banda Raya, Lueng Bata Dan Ulee Kareng)

KAJIAN PERKEMBANGAN KAWASAN PINGGIRAN KOTA (URBAN FRINGE) BANDA ACEH (Studi Kasus : Kecamatan Banda Raya, Lueng Bata Dan Ulee Kareng) ISSN 2302-0253 15 Pages pp. 148-162 KAJIAN PERKEMBANGAN KAWASAN PINGGIRAN KOTA (URBAN FRINGE) BANDA ACEH (Studi Kasus : Kecamatan Banda Raya, Lueng Bata Dan Ulee Kareng) Maya Sari 1, Mirza Irwansyah 2,

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG LOKASI DAN FUNGSI PUSAT KOTA PADA KOTA PINGGIRAN METROPOLITAN ( STUDI KASUS : KOTA MRANGGEN) TUGAS AKHIR

EVALUASI KESESUAIAN FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG LOKASI DAN FUNGSI PUSAT KOTA PADA KOTA PINGGIRAN METROPOLITAN ( STUDI KASUS : KOTA MRANGGEN) TUGAS AKHIR EVALUASI KESESUAIAN FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG LOKASI DAN FUNGSI PUSAT KOTA PADA KOTA PINGGIRAN METROPOLITAN ( STUDI KASUS : KOTA MRANGGEN) TUGAS AKHIR Oleh: SENO HARYO WIBOWO L2D 098 464 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di suatu wilayah mengalami peningkatan setiap tahunnya yang dipengaruhi oleh banyak faktor, mulai dari kelahiran-kematian, migrasi dan urbanisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2015 dan Perda No 2 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Oleh: MAS AD DEPARTEMEN STATISTIKA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016

SKRIPSI. Disusun Oleh: MAS AD DEPARTEMEN STATISTIKA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2016 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSENTASE PENDUDUK MISKIN DI JAWA TENGAH DENGAN METODE GEOGRAPHICALLY WEIGHTED PRINCIPAL COMPONENTS ANALYSIS (GWPCA) ADAPTIVE BANDWIDTH SKRIPSI Disusun Oleh: MAS

Lebih terperinci

MODEL RUTE ANGKUTAN UMUM PENUMPANG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR

MODEL RUTE ANGKUTAN UMUM PENUMPANG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR MODEL RUTE ANGKUTAN UMUM PENUMPANG DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (Studi Kasus: Kota Semarang) TUGAS AKHIR Oleh : NUGROHO HARIMURTI L2D 003 364 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

POLA DAN FAKTOR PENENTU NILAI LAHAN PERKOTAAN DI KOTA SURAKARTA TUGAS AKHIR

POLA DAN FAKTOR PENENTU NILAI LAHAN PERKOTAAN DI KOTA SURAKARTA TUGAS AKHIR POLA DAN FAKTOR PENENTU NILAI LAHAN PERKOTAAN DI KOTA SURAKARTA TUGAS AKHIR Oleh: MENIK WAHYUNINGSIH L2D 001 443 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

Lebih terperinci

Identifikasi Perkembangan Perkotaaan Metropolitan Cirebon Raya

Identifikasi Perkembangan Perkotaaan Metropolitan Cirebon Raya Identifikasi Perkembangan Perkotaaan Metropolitan Cirebon Raya Rizki Ayu Lestari 1), Endrawati Fatimah 2), Lita Sari Barus 3) Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Trisakti Jalan Kyai

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Penelitian Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah di analisa maka disampaikan hal-hal sebagai berikut : 1. Faktor sangat yang kuat mempengaruhi sebaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan, bahwa penduduk perkotaan dari waktu ke waktu cenderung meningkat jumlah dan proporsinya. Hal

Lebih terperinci

Klasifikasi Tipologi Zona Perwilayahan Wilayah Peri-Urban di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo

Klasifikasi Tipologi Zona Perwilayahan Wilayah Peri-Urban di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo JURNAL WILAYAH DAN LINGKUNGAN Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, 251-264 Klasifikasi Tipologi Zona Perwilayahan Wilayah Peri-Urban di Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo Nela Agustin Kurnianingsih 1

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN INSENTIF REGULER KOMPETITIF

LAPORAN PENELITIAN INSENTIF REGULER KOMPETITIF LAPORAN PENELITIAN INSENTIF REGULER KOMPETITIF ANALISIS FAKTOR FISIK SOSIAL-EKONOMI DAN KEPENDUDUKAN DENGAN POLA PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH Oleh : Drs. Agus Dwi Martono,

Lebih terperinci

GEJALA URBAN SPRAWL SEBAGAI PEMICU PROSES DENSIFIKASI PERMUKIMAN DI DAERAH PINGGIRAN KOTA (URBAN FRINGE AREA) Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta

GEJALA URBAN SPRAWL SEBAGAI PEMICU PROSES DENSIFIKASI PERMUKIMAN DI DAERAH PINGGIRAN KOTA (URBAN FRINGE AREA) Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta GEJALA URBAN SPRAWL SEBAGAI PEMICU PROSES DENSIFIKASI PERMUKIMAN DI DAERAH PINGGIRAN KOTA (URBAN FRINGE AREA) Kasus Pinggiran Kota Yogyakarta Sri Rum Giyarsih 1 ABSTRACT The result that is caused by urban

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 163 BAB VIII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1 Kesimpulan 8.1.1 Menjawab Pertanyaan Penelitian dan Sasaran Penelitian Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini dihasilkan pengetahuan yang dapat menjawab

Lebih terperinci

PERUBAHAN FUNGSI PEMANFAATAN RUANG DI KELURAHAN MOGOLAING KOTA KOTAMOBAGU

PERUBAHAN FUNGSI PEMANFAATAN RUANG DI KELURAHAN MOGOLAING KOTA KOTAMOBAGU PERUBAHAN FUNGSI PEMANFAATAN RUANG DI KELURAHAN MOGOLAING KOTA KOTAMOBAGU Feki Pebrianto Umar 1, Rieneke L. E. Sela, ST, MT², & Raymond Ch. Tarore, ST, MT 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Perencanaan Wilayah

Lebih terperinci

DINAMIKA KEBERADAAN SAWAH di KECAMATAN TEMBALANG SEMARANG TAHUN

DINAMIKA KEBERADAAN SAWAH di KECAMATAN TEMBALANG SEMARANG TAHUN Dinamika Keberadaan Sawah di Kecamatan Tembalang Semarang (Yuniarti dkk.) DINAMIKA KEBERADAAN SAWAH di KECAMATAN TEMBALANG SEMARANG TAHUN 1972 2014 Yuniarti 1*, Tri Retnaningsih Suprobowati 2, dan Jumari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kota pada mulanya berawal dari suatu pemukiman kecil, yang secara spasial mempunyai lokasi strategis bagi kegiatan perdagangan (Sandy,1978). Seiring dengan perjalanan

Lebih terperinci

URBANISASI, INDUSTRIALISASI, PENDAPATAN, DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA Oleh : Al Muizzuddin Fazaalloh 1

URBANISASI, INDUSTRIALISASI, PENDAPATAN, DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA Oleh : Al Muizzuddin Fazaalloh 1 URBANISASI, INDUSTRIALISASI, PENDAPATAN, DAN PENDIDIKAN DI INDONESIA Oleh : Al Muizzuddin Fazaalloh 1 Abstrak Paper ini meneliti tentang dampak industrialiasi, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Geografi Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi sehingga banyak masyarakat menyebutnya sebagai ilmu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Data Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Data Bank Indonesia menunjukkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami dinamika. Dinamika pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 2011 hingga 2016 cenderung

Lebih terperinci

FENOMENA PENGELOLAAN PRASARANA DI KAWASAN PERBATASAN

FENOMENA PENGELOLAAN PRASARANA DI KAWASAN PERBATASAN FENOMENA PENGELOLAAN PRASARANA DI KAWASAN PERBATASAN (Studi Kasus: Pengelolaan Persampahan di Perumnas Pucang Gading, Perbatasan Kota Semarang-Kabupaten Demak) TUGAS AKHIR Oleh: L. VENARIO AGIASTO L2D

Lebih terperinci

Geo Image 6 (1) (2017) Geo Image.

Geo Image 6 (1) (2017) Geo Image. Geo Image 6 (1) (2017) Geo Image http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/geoimage FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PREFERENSI PEMUKIMAN DALAM MENENTUKAN LOKASI PERUMAHAN DI PERUMAHAN BUKIT SUKOREJO DAN PERUMAHAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: NUR ASTITI FAHMI HIDAYATI L2D 303 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA TUGAS AKHIR KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : AHMAD NURCHOLIS L2D 003 325 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN MADYA

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN MADYA LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN MADYA ANALISIS DINAMIKA SISTEM PERKOTAAN DAN TRANSFORMASI WILAYAH UNTUK PENENTUAN MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH SOLO RAYA Tahun ke I dari rencana 2 tahun Ketua/Anggota Tim Rita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ria Fitriana, 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ria Fitriana, 2016 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan wilayah pada umumnya selalu dihadapkan pada berbagai tuntutan sekaligus implikasi yang menyertai berkembangnya keragaman dari intensitas kegiatan. Hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.-1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.-1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.-1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang pesat selama ini biasanya dianggap sebagai indikator pembangunan yang utama. Namun, sebenarnya ada ketidakpuasan dengan penggunaan pertumbuhan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR L2D

STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR L2D STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: RICI SUSANTO L2D 099 447 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia

Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia Daya Saing Kota-Kota Besar di Indonesia Eko Budi Santoso 1 * Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP Institut Teknologi Sepuluh Nopember, * Email : eko_budi@urplan.its.ac.id Abstrak Kota-kota besar di

Lebih terperinci

ANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA

ANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA ANALISIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STATISTIK LOGISTIK BINER DALAM UPAYA PENGENDALIAN EKSPANSI LAHAN TERBANGUN KOTA YOGYAKARTA Robiatul Udkhiyah 1), Gerry Kristian 2), Chaidir Arsyan Adlan 3) 1,2,3) Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 jumlah penduduk

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR Oleh: NOVI SATRIADI L2D 098 454 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan

BAB I PENDAHULUAN. Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ruang sebagai wadah dimana manusia, hewan dan tumbuhan bertahan hidup, memenuhi segala kebutuhannya serta berinteraksi dengan sesama menjadikan ruang sebagai suatu

Lebih terperinci

PENGARUH KEBERADAAN PERUMAHAN TERHADAP PERUBAHAN HARGA LAHAN DI KECAMATAN CILEDUG TUGAS AKHIR. Oleh : Lisa Masitoh L2D

PENGARUH KEBERADAAN PERUMAHAN TERHADAP PERUBAHAN HARGA LAHAN DI KECAMATAN CILEDUG TUGAS AKHIR. Oleh : Lisa Masitoh L2D PENGARUH KEBERADAAN PERUMAHAN TERHADAP PERUBAHAN HARGA LAHAN DI KECAMATAN CILEDUG TUGAS AKHIR Oleh : Lisa Masitoh L2D 097 452 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN KOTA DI AKSES UTAMA KAWASAN INDUSTRI: Studi kasus SIER, Surabaya. Rully Damayanti Universitas Kristen Petra, Surabaya

PERTUMBUHAN KOTA DI AKSES UTAMA KAWASAN INDUSTRI: Studi kasus SIER, Surabaya. Rully Damayanti Universitas Kristen Petra, Surabaya PERTUMBUHAN KOTA DI AKSES UTAMA KAWASAN INDUSTRI: Studi kasus SIER, Surabaya Rully Damayanti Universitas Kristen Petra, Surabaya rully@petra.ac.id Abstrak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Setelah lebih dari

Lebih terperinci

Perkembangan Urbanisasi di Wilayah Metropolitan Gerbang Kerto Susila (GKS)

Perkembangan Urbanisasi di Wilayah Metropolitan Gerbang Kerto Susila (GKS) TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Perkembangan Urbanisasi di Wilayah Metropolitan Gerbang Kerto Susila (GKS) Eko Budi Santoso (1), Kelik Eko Susanto (2) (1) Pusat Penelitian dan Kajian Pembangunan, Lembaga Pengkajian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Konversi Lahan Pengertian konversi lahan menurut beberapa ahli dan peneliti sebelumnya diantaranya Sanggono (1993) berpendapat bahwa Konversi lahan adalah perubahan

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : YUSUP SETIADI L2D 002 447 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

Achilleus Lintang Lasuardi Lutfi Muta ali

Achilleus Lintang Lasuardi Lutfi Muta ali DINAMIKA SPASIAL PROSES URBANISASI PERKOTAAN YOGYAKARTA TAHUN 2000-2010 Achilleus Lintang Lasuardi ge253897@yahoo.com Lutfi Muta ali luthfi.mutaali@gmail.com Abstract Urbanization of Yogyakarta Urban Area

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk Kabupaten Sukoharjo tahun 2005 tercatat sebanyak 821.213 jiwa yang terdiri dari 405.831 laki-laki (49,4%) dan 415.382 perempuan (50,6%). Kecamatan

Lebih terperinci

PLANO MADANI VOLUME 5 NOMOR 2, OKTOBER 2016, P ISSN X - E ISSN

PLANO MADANI VOLUME 5 NOMOR 2, OKTOBER 2016, P ISSN X - E ISSN PLANO MADANI VOLUME 5 NOMOR 2, OKTOBER 2016, 136-142 2016 P ISSN 2301-878X - E ISSN 2541-2973 KETIMPANGAN SPASIAL PERKOTAAN TANAH GROGOT KABUPATEN PASER Ratih Yuliandhari 1, Agam Marsoyo 2, M Sani Royschansyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Laut Dendang merupakan salah satu daerah pinggiran Kota Medan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Desa Laut Dendang merupakan salah satu daerah pinggiran Kota Medan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di Indonesia mengalami dinamika perkembangan pada setiap wilayahnya, diantaranya adalah perkembangan wilayah desa-kota. Perkembangan kota di Indonesia

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari berbagai uraian dan hasil analisis serta pembahasan yang terkait dengan imlementasi kebijakan sistem kotakota dalam pengembangan wilayah di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan

Lebih terperinci

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR Oleh: ANGGA NURSITA SARI L2D 004 298 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

DETERMINAN PEMBANGUNAN KAWASAN KOTA BARU MONCONGLOE-PATTALLASSANG METROPOLITAN MAMMINASATA

DETERMINAN PEMBANGUNAN KAWASAN KOTA BARU MONCONGLOE-PATTALLASSANG METROPOLITAN MAMMINASATA PLANO MADANI VOLUME 6 NOMOR 1, APRIL 2017, 73-84 2017 P ISSN 2301-878X - E ISSN 2541-2973 DETERMINAN PEMBANGUNAN KAWASAN KOTA BARU MONCONGLOE-PATTALLASSANG METROPOLITAN MAMMINASATA Ariyanto Perencanaan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

Diterima: 8 April 2013 Disetujui: 21 Juni Abstrak

Diterima: 8 April 2013 Disetujui: 21 Juni Abstrak 184 J. J. MANUSIA MANUSIA DAN DAN LINGKUNGAN, LINGKUNGAN Vol. 20, No. 2, Juli. 2013: Vol. 20, 184 No. - 189 2 PERAN REMITAN TKI TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PERMUKIMAN DI DESA JANGKARAN KECAMATAN TEMON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalur Pantai Utara (Pantura) merupakan urat nadi pergerakan transportasi di Pulau Jawa. Jalur Pantura memiliki peran dalam pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa, salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sudah jadi karena sering terjadi kota yang dibangun tanpa mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. sudah jadi karena sering terjadi kota yang dibangun tanpa mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menata kota yang baru lebih mudah dari pada membentuk kota yang sudah jadi karena sering terjadi kota yang dibangun tanpa mempersiapkan sarana dan prasarana yang dibutuhkan

Lebih terperinci

ANALISIS POLA PERKEMBANGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 DAN 2016

ANALISIS POLA PERKEMBANGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 DAN 2016 ANALISIS POLA PERKEMBANGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 DAN 2016 Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Program Studi Strata 1 Pada Jurusan Geografi

Lebih terperinci

ANALISIS POLA PERKEMBANGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 DAN 2016

ANALISIS POLA PERKEMBANGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 DAN 2016 ANALISIS POLA PERKEMBANGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI KECAMATAN BAKI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2009 DAN 2016 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program

Lebih terperinci

Transformasi Spasial di Kawasan Peri Urban Kota Malang

Transformasi Spasial di Kawasan Peri Urban Kota Malang 2016 Biro Penerbit Planologi Undip Volume 12 (1): 112 126Maret 2016 Transformasi Spasial di Kawasan Peri Urban Kota Malang Yusril Ihza Mahendra 1, Wisnu Pradoto 2 Diterima : 30 Desember 2015 Disetujui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan penutup lahan adalah suatu fenomena yang sangat kompleks berdasarkan pada, pertama karena hubungan yang kompleks, interaksi antara kelas penutup lahan yang

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 2. Penelitian GeografiLatihan Soal 2.1. Lanskap fisik. Kependudukan

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 2. Penelitian GeografiLatihan Soal 2.1. Lanskap fisik. Kependudukan 1. Geografi manusia mempelajari tentang... SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 2. Penelitian GeografiLatihan Soal 2.1 Dinamika budaya Lanskap fisik Lanskap lingkungan Kependudukan Lanskap lingkungan

Lebih terperinci

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh: YUSUF SYARIFUDIN L2D 002 446 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007

Lebih terperinci

POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL

POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL POLA SPASIAL DISTRIBUSI MINIMARKET DI KOTA KOTA KECIL TUGAS INDIVIDU Oleh: MUHAMMAD HANIF IMAADUDDIN (3613100050) JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan wilayah memiliki konsep yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan masyarakat dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, pendidikan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK URBAN SPRAWL DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK URBAN SPRAWL DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK URBAN SPRAWL DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : ROSITA VITRI ARYANI L2D 099 449 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2005 ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. fungsi yang sangat penting bagi kegiatan pembangunan, demi tercapainya

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. fungsi yang sangat penting bagi kegiatan pembangunan, demi tercapainya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia merupakan salah satu modal pembangunan yang mempunyai nilai strategis dan fungsi yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketersediaan infrastruktur diyakini sebagai salah satu faktor kunci dalam pengembangan perekonomian suatu wilayah. Di antara infrastruktur kunci tersebut, bahwa jalan

Lebih terperinci