PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN Oleh: Citra Dea Gemala NIM

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN Oleh: Citra Dea Gemala NIM"

Transkripsi

1 PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Citra Dea Gemala NIM PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

2 PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME Skripsi yang berjudul : PERAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE BUILDING DI ACEH PADA TAHUN Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 8 Desember 2013 Citra Dea Gemala ii

3 PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Utnuk Memenuthi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: CITRA DEA GEMALA NIM Dosen Pembimbing Teguh Santosa MA, PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 iii

4 PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI PERANAN ACEH MONITORING MISSION DALAM UPAYA PEACE BUILDING DI ACEH TAHUN Oleh CITRA DEA GEMALA NIM Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Januari Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional. Ketua, Sekretaris, Agus Nilmada Azmi, M.Si NIP Agus Nilmada Azmi, M.Si NIP Penguji I, Penguji II, Drs. Aiyub Mochsin, MA, Agus Nilmada Azmi, M.Si NIP Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 16 Januari Ketua Pogram Studi Hubungan Internasional Kiky Rizky, M.Si NIP iv

5 ABSTRAK Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinski, Finlandia, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman Untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun di Aceh. Perjanjian ini juga menjadi dasar bagi Uni Eropa dan ASEAN untuk membentuk sebuah lembaga pemantau untuk mengawasi implementasi Nota Kesepahaman di Aceh. Aceh Monitoring Mission (AMM) menjalankan misi di Aceh selama 15 bulan. AMM memainkan peran yang sangat penting bagi proses implementasi damai di Aceh. Diantara beberapa keberhasilan peran dan tugas AMM, juga terdapat berbagai kelemahan atau kegagalan. Kunci keberhasilan AMM sendiri adalah komposisi anggota-anggotanya yang merupakan representasi dari dua organisasi regional yang sangat kredibel dan berpengaruh, baik bagi GAM dan Pemerintah RI, yaitu Uni Eropa dan ASEAN. Skripsi ini menganalisa tentang peran yang dilakukan Aceh Monitoring Mission dalam upaya peacebuilding di Aceh pada periode tahun , melalui usaha-usahanya sebagai mediator dan tim pemantau pelaksanaan MoU Helsinki dengan menggunakan beberapa konsep yakni peranan, peace building, organisasi internasional dan teori resolusi konflik. Dari hasil analisa yang menggunakan beberapa teori dan konsep dapat disimpulkan bahwa lembaga pemantau dalam proses implementasi perjanjian perdamaian memang diperlukan untuk menjaga kestabilan sistem pasca konflik. v

6 KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim Puji syukur kehadirat Allah SWT, Sang Pencipta, atas segala bimbingan-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul "Peranan Aceh Monitoring Mission dalam Upaya Peace Building di Aceh tahun ". Pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) utnuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berlangsung selama 30 tahun di Aceh. MoU ini juga menjadi dasar bagi Uni Eropa dan ASEAN utnuk membentuk lembaga pemantau untuk mengawasi implementasi MoU di Aceh. Aceh Monitoring Mission menjalanan misi di Aceh selama 15 bulan, banyak kalangan mulai dari sipil hingga pengamat politik menilai bahwa AMM berhasil membawa kedua belah pihak unt mengimplementasikan dengan baik MoU Helsinki. Namun, tidak sedikit juga yang menilai bahwa faktor-faktor yang dapat menggangu jalannya perdamaian ini belum seluruhnya dapat dihilangkan dan memiliki kemungkinan untuk muncul kembali pasca kepergian AMM. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama Kepada bapak Teguh Santosa MA selaku pembimbing, yang sangat sabar meluangkan waktunya untuk berbagi pengetahuan dan juga saran serta koreksi kepada penulis; kepada seluruh staf pengajar program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; dan juga kepada dosen penguji skripsi bapak Agus Nilmada Azmi Msi dan bapak Drs. Aiyub Mochsin MA yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan masukan pada skrips ini. vi

7 Secara khusus penulis ingin mempersembahkan skripsi ini kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, M. Taufik Mandja SE dan Nurfauzi terimakasih atas cinta kasih, kesabaran, dan dukungannya baik secara moril maupun materiil, yang telah diberikan selama ini. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Satria Perwira & dr. Erdiana beserta onah, Sandi Banta Hidayat S.Kom dan Nabilla Intan Medina atas dukungan, canda tawanya. Kepada calon anakku dan suami terimakasih atas cinta kasih, kesabaran, dukungan, dan pengertiannya selama penyelesaian skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada teman-teman seperjuangan di program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ; HI2008c, HMI KomFISIP serta seluruh rekan-rekan mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu per satu, pada program studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 14 Januari 2014 CITRA DEA GEMALA vii

8 DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii LEMBAR PENGESAHAN... iv ABSTRAK... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix BAB I Pendahuluan... 1 A. Latar belakang masalah... 1 B. Pertanyaan penelitian... 7 C. Kerangka pemikiran... 7 D. Metode penelitian E. Sistematika penulisan BAB II Konflik Aceh A. Identitas keacehan B. Latar belakang konflik C. Perlawanan kaum nasionalis Aceh Pemberontakan Daud Beureureh Pemberontakan Hasan Tiro dan lahirnya GAM D. Resolusi konflik oleh pemerintah RI E. Upaya perdamaian dari Crisis Management Initiative vii

9 BAB III Aceh Monitoring Mission A. Profil Aceh Monitoring Mission B. Struktur dan mekanisme kerja Aceh Monitoring Mission C. Tugas dan mandat Aceh Monitoring Mission BAB IV Analisa peran Aceh Monitoring Mission dalam Peace Building Process di Aceh A. Demobilisasi dan Decommissioning persenjataan GAM B. Redeployment TNI dan Polri C. Amnesti D. Reintegrasi GAM E. Undang-undang Pemerintahan Aceh F. Pengaturan keamanan dan hak asasi manusia G. Hambatan dan tantangan AMM BAB V Kesimpulan dan saran A.Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA... x LAMPIRAN-LAMPIRAN viii

10 DAFTAR TABEL Tabel III.B.1 Personel Internasional di AMM Tabel IV.A.1 Statistik perlucutan senjata GAM Tabel IV.B.1 Statistik penarikan Pasukan Non-organik TNI/POLRI Tabel IV.E.1 Perbandingan UUPA dan Nota Kesepahaman Tabel IV.F.1 Rekapitulasi tabel kekerasan satu tahun perjanjian damai RI dan GAM 15 Agustus Agustus ix

11 BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Sejak berakhirnya perang dingin pada tahun 1990-an, isu keamanan nontradisional menjadi fokus utama dalam sistem perpolitikan internasional. Menurut data yang ada, peperangan yang terjadi pasca Perang Dunia II tercatat dari awal tahun 1949 hingga 2001 terdapat sekitar 143 negara dunia diguncang 761 konflik di mana diantaranya terdapat 457 kasus konflik yang melibatkan kekerasan. Dari 457 kasus tersebut, 73.5% merupakan konflik internal yang sebagian besar terjadi di negaranegara berkembang (the Post-Conflict Fund, 2003). Isu-isu keamanan tradisional memang masih menyisakan masalah hingga kini (Steans & Pettiford, 2009:436). meskipun isu keamanan non-tradisional seperti masalah lingkungan, kemiskinan, populasi, migrasi, terorisme, intervensi kemanusiaan, kejahatan yang terorganisir dan konflik separatis dapat mempengaruhi keamanan suatu negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini pula yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Beragam konflik internal (intrastate conflict) yang terjadi di negeri ini banyak dilatarbelakangi oleh isu-isu etnis, agama ataupun gerakan separatisme (Abdullah, 2011:87). Hal ini juga menjadi isu yang menimbulkan konflik Aceh dengan pemerintah Indonesia hingga memunculkan pada gerakan separatisme Aceh yang bernama GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Jika dirunut ke belakang, sebetulnya gerakan separatisme Aceh telah berlangsung sejak awal kemerdekaan RI dengan dimulainya pemberontakan rakyat 1

12 Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun Pemberontakan ini didasari oleh rasa kekecewaan rakyat Aceh atas sikap sentralisasi pemerintah pusat dengan menghapus provinsi Aceh dan memasukkan Aceh menjadi bagian dari provinsi Sumatera Utara. Hal tersebut bertolak belakang dengan janji Presiden Soekarno pasca perang kemerdekaan akan menjadikan Aceh menjadi daerah otonomi khusus. Namun sebelum hal itu terjadi, pergolakan serta pemberontakan terhadap gerakan separatis kembali mencuat. Gejolak yang kian memanas antara pemerintah pusat dengan Aceh, maka cara praktis untuk melunakkan hati rakyat Aceh, pemerintah pusat kemudian memberikan Aceh dengan status Daerah Istimewa pada 26 Mei 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi/1959 (Kawilarang, 2010:159). Pemberontakan Daud Beureureh berakhir pada 9 Mei 1962, ketika Kolonel M. Jasin Panglima Kodam Iskandar Muda berhasil membujuk Daud Beureureh untuk turun gunung. Pada tahun 1976 rakyat Aceh kembali bergolak dengan diproklamirkannya kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember oleh Hasan Di Tiro. Gerakan serta perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan yang disebut dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini muncul akibat akumulasi ketidakpuasan Aceh terhadap pemerintah pusat yang dianggap telah berlaku tidak adil disetiap sektor kehidupan pada masyarakat Aceh, terutama dalam sektor ekonomi (Fahri Ali dkk, 2008:112). Pemberontakan GAM ini juga dibangun dengan landasan ideologi keacehan oleh Hasan Tiro. Ideologi keacehan ini adalah hasil dari pertautan antara fakta sejarah Aceh yang melihat wilayahnya sebagai Serambi Mekkah yakni daerah penyebaran 2

13 agama Islam pertama di Asia Tenggara. Keyakinan Hasan Tiro dengan sejarah kejayaan Aceh di masa lampau untuk berdiri sendiri dan didukung oleh melimpahnya sumber daya alam tanpa harus tergantung pada pemerintah pusat. Dari awal berdirinya, GAM telah mengalami tekanan dari pemerintah Orde Baru dengan dilakukannya Daerah Operasi Militer (DOM), keadaan ini membuat perjuangan serta kekuatan GAM melemah. Sekitar tahun 1980-an GAM mulai kembali menemukan kekuatannya. Hal ini disebabkan sepanjang tahun 1986 hingga 1989 sebanyak 5000 personil GAM telah mendapat latihan militer di Libya. Aksi-aksi militer anggota GAM dari alumni Libya ternyata lebih kuat dan lebih variatif (Fahri Ali dkk, 2008:163). Keadaan ini membuat pemerintah pusat melancaran operasi militer yang lebih keras dan ofensif, yang dikenal sebagai Operasi Jaring Merah dan memjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer. Seiring berjalannya waktu, penanganan konflik yang mengedepankan pendekatan militer telah menyisakan pelanggaran HAM dalam skala besar, hal demikian pula perlawanan GAM yang semain ofensif terhadap pemerintah pusat. Pada akhirnya Pemerintah RI berinisiatif melakukan usaha untuk mewujudkan perdamaian yakni dengan cara melakukan perudingan. Perundingan yang ditempuh oleh RI dan GAM tergolong sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Aceh. Upaya menghadirkan pihak ketiga dalam bentuk perundingan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh pemerintah. Upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah RI dan GAM pun kemudian diprakarsai oleh Presiden Abdurrahman 3

14 Wahid ( ) dan diteruskan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri ( ). Dari upaya keseriusan tersebut hadirlah NGO Hendry Dunant Centre (HDC) sebagai pihak ketiga dan mediator. Hasil dari perundingan ini adalah Jeda Kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh). Jeda kemanusiaan ini adalah usaha untuk mencapai perdamaian dengan rentang waktu penghentian konflik fisik. Dalam hal ini, Jeda Kemanusiaan I dimulai pada 2 Juni hingga September 2000, namun dapat diperpanjang hingga 27 September Asumsinya adalah bahwa rentang waktu itu cukup untuk mengambil langkah yang lebih konstruktif dalam perdamaian. Ini dibuktikan dengan munculnya pelaksanaan Jeda Kemanusiaan II yang berlangsung dari 16 September 2000 hingga 15 Januari (Hamid, 2008:61-64) Setelah Jeda Kemanusiaan berlangsung kemudian diteruskan oleh Perjanjian Penghentian Permusuhan atau yang dikenal sebagai Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani pada 9 Desember Akan tetapi, perjanjian ini tidak berlangsung lama dikarenakan selama proses perjanjian diterapkan berbagai kekerasan dan bentrokan antara Tentara RI dan GAM tidak mengalami penurunan (Hamid; 141). Maka, melalui Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 2003 yang ditandatangani pada 19 Mei, Presiden Megawati memberlakukan Darurat Militer di Aceh dengan mengirimkan pasukan Tentara Nasional Indonesia dan personel Polisi (Kawilarang, 2008;169) Sejak berlangsungnya pernyataan Keadaan Bahaya oleh Megawati, pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi bencana gempa dan Tsunami di Aceh yang 4

15 menggemparkan dunia internasional yang menyebabkan sekitar jiwa meninggal dunia, jiwa hilang, dan jiwa tinggal di tenda pengungsian. Sekitar rumah hancur, 800 km jalan dan 260 jembatan rusak, 639 fasilitas kesehatan hancur serta sekolah hancur. Sejak peristiwa itu pula organisasiorganisasi international mulai masuk ke Aceh untuk memberikan bantuan kepada korban Tsunami. Walaupun pada awalnya perhatian dunia internasional lebih tertuju kepada bantuan kemanusiaan, akan tetapi lama kelamaan bantuan secara politik juga menjadi sorotan dunia internasional, yaitu mengusahakan perdamaian antara RI dan GAM yang berkonflik selama kurang lebih 30 tahun (Kawilarang, 2010:177). Adapun salah satu organisasi internasional yang turut memberikan bantuan baik sosial ataupun politik di Aceh adalah Uni Eropa. Kontribusi Uni Eropa terhadap proses perdamaian Aceh, telah dimulai sejak terjadinya bencana Tsunami. Program bantuan kemanusiaan ini dilanjutkan dengan komitmen Komisi Eropa dan negara anggota Uni Eropa untuk mendukung terciptanya perdamaian dan pembangunan Aceh setelah konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun yaitu dengan menghadirkan Crisis Management Initiative (CMI) sebagai mediator antara pemerintah RI dan GAM untuk mencapai kesepakatan damai. Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, pada 15 Agustus ditandatanganilah Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di Helsinski yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut ; a) Penyelenggaraan Pemerintahan Khusus di Aceh, b) Menyelenggarakan Hak Azasi Manusia, C) 5

16 Amnesti dan Reintegrasi Mantan Kombatan ke dalam Masyarakat, d) Pengaturan Keamanan, e) Pembentukan Misi Monitoring Aceh, f) Penyelesaian Perselisihan. Salah satu langkah mendesak yang dilaksanakan seusai ditandatanganinya MoU Helsinski adalah pembentuan Aceh Monitoring Mission (AMM) atau Misi Pemantau Aceh. AMM mendapat mandat untuk memantau pelaksanaan komitmen para pihak yang bersepakat dalam MoU Helsinski. Dalam MoU Helsinski pasal 5 ayat 1 disebutkan : Misi Pemantau Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan Negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.. Ada beberapa Mandat yang harus dijalankan oleh AMM sesuai dengan Nota Kesepahaman yaitu memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan daerah Aceh, reintegrasi mantan kombatan GAM, mengadakan pemilu daerah di Aceh, penarikan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan POLRI, memberikan bantuan dalam penangananhak asasi manusia, memutuskan kasus amnesty yang disengketakan dan membentuk serta memelihara hubungan baik dengan pihak yang bertikai. Untuk lebih jauh dalam menganalisis beberapa peran AMM lainnya, maka diperlukan analisis komprehensif terhadap peran AMM. Yaitu dengan menganalisa mandatnya sesuai yang dituangkan dalam Nota kesepahaman (Mou) Helsinki. Di lain pihak juga penelitian ini bertujuan untuk mengalisa peran AMM selama melakukan tugasnya di Aceh dan juga faktor-faktor apa saja yang membuatnya berhasil 6

17 menjadikan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mematuhi Nota Nesepahaman Helsinski. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat ditarik sebuah pokok permasalahan yaitu : Bagaimana peranan yang dilakukan Aceh Monitoring Mission (AMM) dalam upaya Peace building di Aceh pada tahun ? C. Kerangka pemikiran Pada penelitian ini, analisa mengenai peran Aceh Monitoring Mission dalam upaya peace building di Aceh tahun akan menggunakan dua teori dan dua konsep. Teori yang akan menjadi dasar penelitian ini adalah resolusi konflik dan organisasi internasional. Sedangkan dua konsep yang akan menjadi pisau analisis dalam penelitian ini adalah peranan dan peace building. Konflik adalah situasi dan kondisi dimana terjadi pertentangan dan kekerasan dalam menyelesaikan masalah antara sesama anggota masyarakat, antara masyarakat dengan pemerintah maupun antara masyarakat dengan organisasi etnis di suatu wilayah. Berakhirnya Perang Dingin, telah mengakibatkan perubahan dalam peta konflik dunia, dimana konflik lebih banyak terjadi dalam negara (intrastate) daripada antar negara (interstate). Tipologi konflik di Indonesia dapat dilihat dalam realitas konflik yang cukup menonjol selama ini terjadi di Indonesia yaitu : 7

18 a) Konflik Horisontal, merupakan konflik yang terjadi antar kelompok agama, kelompok pendatang dengan penduduk asli, kelompok etnis atau suku dan organisasi bisnis yang berada di lokasi setempat. b) Konflik Vertikal, merupakan konflik yang terjadi antara pemerintah dan kelompok-kelompok sosial masyarakat tertentu. Asumsinya, konflik terjadi karena merupakan akibat dari proses pembuatan kebijakan (policy) pemerintah yang tidak partisipatif dan pada tahap berikutnya memunculkan perbedaan pendapat, pertentangan, kekerasan serta separatisme (Hadi dkk 2005). Dalam rangka mencari penyelesaian yang efektif dari sebuah konflik internal maka perlu mengidentifikasikan sebab-sebab fundamental suatu konflik. Levy (Hadi dkk 2007:24) berupaya menemukan variabel independen dari suatu konflik dengan mengkaji sumber-sumber konflik dari empat level analisa yaitu level sistemik, sosial kemasyarakatan, organisasi birokrasi dan individual. Penyelesaian konflik dapat tercapai apabila sumber-sumber konflik disetiap level analisa yang berbeda dapat ditangani secara optimal. Di pihak lain Burton melihat bahwa sumber-sumber utama konflik berhubungan dengan keterkaitan yang berkesinambungan antara struktur sosial, institusi sosial dan pemenuhan kebutuhan dasarmanusia. Identifikasi dari kepentingan-kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat konflik adalah hal yang sangat penting. Berbagai macam sebab terjadinya konflik internal termasuk gerakan separatisme, seperti perbedaan etnis, faktor historis, perbedaan agama dan kebudayaan serta ketidak-adilan politik dan ekonomi. 8

19 Resolusi konflik merupakan suatu proses penyelesaian masalah dalam konflik. Pengambilan keputusan adalah bagian yang penting dalam resolusi konflik. Sebelum meyimpulkan analisis pengambilan keputusan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, seperti mengenai perbedaan persepsi pihak yang bertikai, perselisihan yang dinegosiasikan, isu-isu yang krusial untuk mencari penyelesaian. Resolusi konflik sebagai alternatif untuk menyelesaikan permasalahan dalam konflik dengan tidak adanya pemaksaan dan kekerasan dalam mengkontrol konflik (Bavly, 2002:6) Tujuan paling mendasar dari resolusi konflik (Sukma, 2009) adalah tercapainya perdamaian yang bukan hanya menyangkut masalah militer, politik dan ekonomi saja, tetapi juga harus menyangkut pemenuhan dari berbagai kebutuhan ekonomi, aspirasi dan hak dari pihak-pihak yang bertikai. Usaha menciptakan perdamaian berarti usaha mengurangi tingkat permusuhan dan kekerasan, memanusiakan pihak lain, membangun rasa saling percaya dan merespon kebutuhan dan kepentingan dari pihak-pihak yang bertikai. J.Galtung menyatakan bahwa usaha perdamaian terdiri dari, membuat perdamaian (peace making), memelihara perdamaian (peacekeeping) dan membangun perdamaian (peacebuilding) (Bavly, 2002) Peace building adalah kegiatan menciptakan perdamaian mulai dari bawah sampai ketingkat para pemimpin (bottom up). Menurut Fisher, Peace Building menyangkut usaha-usaha meningkatkan hubungan dari pihak-pihak yang bertikai sampai tercapainya rasa saling percaya dan kerja sama yang lebih tinggi, membangun 9

20 persepsi yanglebih akurat, menciptakan iklim yang lebih positif dan menciptakan keinginan politik yang tidak bertahan lama karena perdamaian yang lebih kuat untuk dapat melakukan perundingan-perundingan yang konstruktif ditengah adanya perbedaan-perbedaan (Bavly 2002:8). Peace Making adalah usaha-usaha yang dilakukan oleh negara-negara atau perwakilan-perwakilan resmi melalui kegiatan diplomasi untukmencapai suatu penyelesaian dari pihak-pihak yang bertikai. Sedangkan Peace Keeping adalah kegiatan intervensi dari pihak ketiga untuk memisahkan pihak-pihakyang berperang dan menjaga agar tidak terjadi tindakan kekerasan. Konsep peace building mulai banyak digunakan setelah Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali (1992: 11) mengeluarkan laporannya, An Agenda for Peace, pada tahun Dalam laporan tersebut, peace building dipahami sebagai serangkaian aktivitas yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan dan mendukung berbagai struktur yang bertujuan untuk memperkuat dan mempersolid perdamaian sehingga dapat mencegah terulangnya kembali konflik. Namun, dalam perkembangannya, definisi peace building yang dikembangkan Boutros-Ghali kemudian mencakup juga berbagai upaya untuk menanggulangi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh konflik, menghilangkan akar penyebab konflik (root causes of conflict), dan membuat negative peace atau ketiadaan kekerasan berubah menjadi positive peace dimana masyarakat merasakan keadilan social, kesejahteraan ekonomi dan keterwakilan politik yang efektif (Galtung: 1975). 10

21 Upaya penyelesaian suatu konflik dapat dapat dilihat dalam kerangka studi mengenai resolusi konflik yang bertujuan untuk menelaah berbagai macam situasi, pemerintahan atau kegiatan organisasi internasional yang dapat mencegah krisis menjadi perang, atau jika perang sudah terjadi akan berupaya mengakhiri perang dan melakukan upaya perdamaian hingga keakarnya. Secara sederhana, Organisasi internasional adalah pihak yang berada di luar konflik antara dua pihak atau lebih yang bertikai mencoba untuk membantu mereka mencapai penyelesaian masalah melalui berbagai kesepakatan (Pruit dan Rubin, 2004:374). Tujuan masuknya organisasi internasional adalah merubah situasi konflik destruktif dan menurunkan tingkat eskalasinya, mengalihkan para pelaku onflik menuju ke arah penyelesaian konflik dan mendamaikannya. Hal utama yang dituntut dari keterlibatan organisasi internasional adalah sikap nertal untuk tidak memihak salah satu pihak yang bertikai. Pada awalnya, netralitas atau impartial ini menjadi syarat mutlak keberhasilan resolusi konflik. Dalam perjalanannnya kemudian, hal tersebut justru melahirkan dilema dan berjalan serba salah. Di satu sisi diperlukan demi terlaksananya program secara fair, tetapi di sisi lain tidak jarang netralitas itu sendiri justru membantu agresor atau pihak yang kuat dalam memerangi pihak yang lemah. Netralitas organisasi internasional dituntut dalam persoalan identitasi saja (Stedman, 1996:363). Keberpihakan terhadap kelompok lemah dituntut dalam segala atifitas resolusi konflik, baik sejak pencegahan sampai pada postconflict building, tidak hanya pada aktifitas militer tetapi juga aktifitas politik dan kemanusiaan. 11

22 Titik paling krusial dalam menjalankan perdamaian yang berkelanjutan tahap implementasi dari kesepakatan damai. Dari sekian banyak perjanjian damai yang berhasil dilaksanakan, sebagian besar juga gagal dalam tahap ini. Ini menunjukkan bahwa tahap implementasi jauh lebih sulit daripada menghasilkan sebuah kesepakatan. Keberhasilan implementasi menjadi suatu keharusan dari suksesnya sebuah resolusi konflik yang bertujuan untuk menyelesaikan semua penyebab konflik dan juga sangat tergantung dari kemampuan institusi-institusi yang ada dalam negara dalam menjaga kestabilan sistem pasca konflik (Rasmussen, 1997:40). Institusi tersebut adalah lembaga yang terlibat langsung dalam pelaksanaan dan monitoring perdamaian yang dilakukan secara bersama oleh pihak-pihak yang terlibat konflik atau melibatkan organisasi internasional. Menurut Kriesberg (1998), implementasi akan berhasil manakala ada sebuah organisasi internasional kuat yang bertugas mengontrol jalannya kesepakatan damai dengan mengkombinasikan berbagai metode baik kekuatan militer maupun ekonomi dan politik (h. 99). Dengan catatan, metode kekerasan atau penggunaan kekuatan militer harus dibatasi dan tidak bersifat berpihak kepada salah satu pihak yang terlibat konflik (Kriesberg, 1998:100). Hal ini menjelaskan bahwa sebelum perdamaian benar-benar tercipta dengan baik dan stabil perlu ada lembaga monitor di area konflik. Dalam kaitanya dengan proses perdamaian yang terjadi di Aceh, NGO seperti Aceh Monitoring Mission (AMM) merupakan sebuah organisasi internasional yang berperan dalam Peace building process Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Nanggroe 12

23 Aceh Darussalam. Peranan AMM dalam penyelesaian konflik tersebut merupakan perilaku politik yang diharapakan dari pihak lain. Peran AMM dalam proses perdamaian di Aceh merupakan peran yang di dapat karena permintaan dari kedua belah pihak, yaitu GAM-RI. Dengan kata lain peran didapat karena diundang oleh pihak lain bukan inisiatif sendiri. Peranan merupakan aspek dinamis. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannnya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dari konsep peranan tersebut muncullah istilah peran. Peran adalah seperangkat tingkat yang di harapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berbeda dengan peranan yang sifatnya mengkristal, peran bersifat insidental (Perwita dan Yani, 2005:29). Peranan (role) dapat didefinisikan sebagai berikut: Perilaku yang di harapkan dari seseorang yang mempunyai status (Horton dan Hunt, 1987:132). Peranan dapat dilihat sebagai tugas atau kewajiban atas suatu posisi sekaligus juga hak atas suatu posisi. Peranan memiliki sifat saling tergantung dan berhubungan dengan harapan. Harapan-harapan ini tidak terbatas hanya pada aksi (action), tetapi juga termasuk harapan mengenai motivasi (motivation), kepercayaan (beliefs), perasaan (feelings), sikap (attitudes) dan nilai-nilai (values) (Perwita dan Yani, 2005:30). Teori peranan menegaskan bahwa perilaku politik adalah perilaku dalam menjalankan peranan politik. Teori ini berasumsi bahwa sebagian besar perilaku politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap peran yang kebetulan dipegang oleh aktor politik. Seseorang yang menduduki posisi tertentu di harapkan 13

24 akan berperilaku tertentu pula. Harapan itulah yang membentuk peranan (Mas oed, 1989:45). Mengenai sumber munculnya harapan tersebut dapat berasal dari dua sumber, yaitu: 1. Harapan yang dimiliki orang lain terhadap aktor politik. 2. Harapan juga bisa muncul dari cara si pemegang peran menafsirkan peranan yang dipegangnya, yaitu harapannya sendiri tentang apa yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan, tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan (Mas oed, 1989:46-47). Jadi, peranan dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari fungsi oleh strukturstruktur tertentu. Peranan ini tergantung juga pada posisi atau kedudukan struktur itu dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tadi. Peranan juga di pengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran. D. Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah kajian pustaka berupa studi literatur dengan memilih data yang relevan untuk mendukung penelitian yang diambil dari buku referensi, artikel, jurnal, buku-buku ilmiah, internet, media massa dan majalah. Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif.cara pengumpulan data dilakukan melalui teknik pengumpulan data sekunder atau library research. Dalam hal ini, data yang diperlukan akan dihimpun dari berbagai buku bacaaan/literatur, arsip-arsip dan laporan tahunan dari Aceh Monitoring Mission, jurnal-jurnal dari 14

25 lembaga penelitian bidang konflik, artikel media baik dari surat kabar maupun majalah dan dari laman internet. Dalam menganalisa data, penulis akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : pertama, menghimpun literatur dan dokumen-dokumen yang relevan sebagai sumber data dan informasi yang diperlukan. Kedua, memilah atau mengklasifikasikan data atau informasi secara sistematis. Ketiga, mengadakan analisis dengan metode dan teknik pengumpulan data yang tepat untuk dikaji berdasarkan kerangka dasar teori. Keempat, pencapaian kesimpulan dari penelitian. E. Sistematika Penulisan Guna mempermudah penulisan, skripsi ini membagi pembahasan menjadi beberapa BAB, Sub Bab, dan Sub-sub Bab yang diuraikan secara singkat dalam sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Kerangka Teori D. Metode Penelitian E. Sistematika Penulisan Bab II Konflik Aceh A. Identitas Keacehan B. Latar Belakang Konflik Aceh C. Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh 15

26 1) Pemberontakan Daud Beureureh 2) Pemberontakan Hasan Tiro dan Lahirnya GAM D. Resolusi Konflik Aceh Oleh Pemerintah RI E. Upaya Perdamaian Dari Crisis Management Initiative Bab III Profil Aceh Monitoring Mission A. Profil AMM B. Struktur dan Mekanisme kerja AMM C. Tugas dan Mandat AMM Bab IV Analis Peran Aceh Monitoring Mission dalam Peace Building Process di Aceh A. Demobilisasi dan Decommisioning persenjataan GAM B. Redeployment TNI dan POLRI C. Amnesti D. Reintegrasi GAM E. Undang-Undang Pemerintahan Aceh F. Pengaturan keamanan dan Hak Asasi Manusia G. Hambatan dan Tantangan AMM Bab V Penutup A. Kesimpulan B. Saran Daftar Pustaka Lampiran-lampiran 16

27 BAB II KONFLIK ACEH Sebelum membahas lebih jauh mengenai konflik Aceh sangatlah penting dipaparkan terlebih mengenai identitas keacehan, guna mendapatkan pemahaman menyeluruh (holistic) dari apa yang melatar-belakangi terjadinya konflik Aceh. Untuk itu penting menelusuri identitas keacehan sebagai variable penelusuran guna mengetahui Latar Belakang Konfilk Aceh. Setelah itu barulah menjelaskan perlawanan Kaum Nasionalis Aceh serta upaya Pemerintah dalam Resolusi Konflik dalam konflik Aceh yang menghasilkan Nota Kesepahaman Helsinski sebagai landasan terbentuknya Aceh Monitoring Mission dalam membangun perdamaian di Aceh. A. Identitas Keacehan Aceh merupakan sebuah provinsi di Indonesia, lebih tepatnya Aceh terletak di ujung utara pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. 17

28 Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang sangat menjunjung tinggi nilai agama (Time Magazine, 15 Februari 2007). Persentase penduduk Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai syariah Islam (Islamic studies: 2013). Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane diaceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara. Identitas daerah yang tersebar di Indonesia mempunyai ciri dan khas tersendiri di setiap wilayahnya, salah satunya yaitu Aceh. Aceh merupakan suku bangsa Indonesia yang dikenal memiliki identitas dan sejarah yang khas. Sebutan sebagai Serambi Mekah bagi Aceh tidak hanya berarti sebagai pintu masuk pertama penyebaran agama Islam di Indonesia, tetapi juga mempunyai konotasi tentang tingginya pengaruh nilai-nilai Islam dalam adat istiadat dan semangat juang masyarakat Aceh. Terkait dengan julukan Serambi Mekkah ini, ada dua pandangan 18

29 dalam memaknai istilah Serambi Mekkah (Reid, 2006: 38-39). Pertama, pengertian tersebut terindikasi pada naskah kuno karya Ar-Raniri, terminologi Serambi Mekkah yang pertama ini merujuk dengan pengertian Aceh merupakan Mekkah-nya kawasan Timur (Mecca of the East). Kedua, pengertian ini yang merujuk pada pandangan Snouck Hurgronje (ICG 2001:17), yang mengartikan istilah Serambi Mekkah Sebagai gerbang ke Tanah Suci (The Gate to the Holy Land). Penyebutan ini disebaban terdapatnya fakta bahwa daerah Aceh sering digunakan oleh para calon jemaah haji dari kepulauan di Timur sebagai tempat persinggahan sebelum mereka melanjutkan perjalanannya ke Mekkah. Dari pengertian di atas, terdapat pemahaman yang sangat khas antara pengertian Aceh dengan Serambi Mekkah yaitu identitas keislaman (Islamic Identity). Pada akhirnya ketika kita mengucapkan istilah Aceh dengan Serambi Mekkah maka timbul pula pemahaman bahwa Aceh merupakan kawasan Islam di wilayah timur. Di lain pihak, julukan Serambi Mekkah yang melekat pada wilayah Aceh dengan mudah pula diasosiasikan dengan identitas keislaman Aceh. Identitas Islam yang sudah melekat jauh sebelum Indonesia merdeka inilah dalam perjalanannya ternyata menjadi pemicu konflik antara Aceh dan Republik Indonesia. Identitas keislaman Aceh tidak hanya digunakan oleh para elit politik aceh untuk membangun sentimen kolektif masyarakat ketika berhadapan dengan kelompok lain, tetapi juga dimanfaatkan pemerintah pusat sebagai pilihan bagi Aceh dalam kerangka kebijakan desentralisasi dan pemberian otonomi khusus. 19

30 B. Latar Belakang Konflk Aceh Sejak berlangsungnya konflik Aceh melalui pemberontakan yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1957 (Kawilarang, 2010:159), beragam dampak yang ditimbulkan amatlah parah pada masyarakat sipil Aceh. Ribuan rakyat sipil tak berdosa telah gugur, mengalami penyiksaan dan cacat, menjadi janda dan anak yatim. Ribuan orang telah kehilangan tempat tinggal dan ribuan lainnya kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Ratusan sekolah terbakar, sehingga mengganggu proses pendidikan. Lebih jauh dari itu, masyarakat sipil hampir tidak memiliki akses terhadap hukum, sementara sebagian besar lembaga pengadilan tidak berfungsi lagi. Kekecewaan masyarakat Aceh diawali ketika Teungku Daud Beureuh masuk dalam Daftar Hitam yang ingin disingkirkan oleh Pemerintah Pusat. Seperti kita ketahui Teungku Daud merupakan salah satu tokoh rakyat Aceh dalam mengusir penjajah dengan ikut sertanya Teungku Daud bersama Republik dengan cara mengumpulkan dana untuk melawan penjajah. Janji dari Presiden Soekarno untuk memberikan kebebasan rakyat Aceh menerapkan syariat Islam tidak ditepati, semakin membuat pedih rakyat Aceh. Kekecewaan rakyat Aceh yang tidak terbendung akhirnya menimbulkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pada tahun pemberontakan ini dapat ditumpas pada tanggal 26 Mei 1959 ketika Aceh diberikan otonomi luas, terutama dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Konflik yang terjadi di Aceh khususnya Gerakan Separatisme Aceh berlatar belakang tentang perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Aceh pada tahun 1819 dan Perjanjian Anglo Dutch yang menyatakan bahwa Aceh merupakan Negara yang 20

31 merdeka, hal inilah yang membuat GAM berusaha mengembalikan kedaulatan tersebut kepada Kesultanan Aceh. Aceh yang kita ketahui merupakan provinsi yang mempunyai ciri khas yakni rakyat Aceh mempunyai identitas social-kultural dan religi yang kuat. Salah satu alasan terjadinya pemberontakan Teungku Daud adalah keinginan Teungku Daud untuk menerapkan syariat Islam di Aceh, yang pada saat itu disetujui oleh pemerintah pada saat penumpasan pemberontakan DI/TII. Namun rezim Orde Baru membuat sebuah keputusan yang lagi-lagi membuat kekecewaan di hati rakyat Aceh (Reid: 2006, 23). Keputusan yang diambil oleh Rezim Orde Baru dengan model politik sentralisme adalah melalui UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Desa, Orde membuat penyeragaman di semua daerah tanpa memperhatikan nilai-nilai lokal (Tim Peneliti LIPI, 2007, 54-55). Akibat kedua UU tersebut, secara otomatis keistemewaan Aceh akan tereliminasi. Syariat Islam yang sudah menjadi ciri khas dari rakyat Aceh menjadi hilang karena lembaga-lembaga adapt yang ada sejak lama di Aceh harus digantikan oleh struktur pemerintahan modern yang diinginkan oleh pemerintahan Orde Baru. Hal inilah yang membuat kekcewaan rakyat Aceh terhadap pemerintahan pusat semakin besar. Faktor ekonomi juga turut serta menjadi penyebab terjadinya konflik yang dilakukan oleh gerakan separatisme di Aceh (GAM). Pada masa Orde Baru kebijakan 21

32 Pemerintah ditekankan pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Aset sumber daya alam di Aceh dieksploitasi dalam konteks pembangunan ini. Pabrik LNG dan pupuk Iskandar Muda yang dibangun di Aceh maju pesat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu eksportir LNG terbesar dan 90% dari produksi pupuk ditujukan bagi ekspor. Namun, berdasarkan kebijakan yang diambil pada masa rezim Orde Baru yang sentralisasi, ekonomi Aceh terkonsentrasi oleh power dan otoritas yang berpusat di Jakarta, maka pembangunan di Aceh tidak mengalami kemajuan yang signifikan bila dibandingkan keuntungan pusat yang diperoleh dari wilayah Aceh. Akibat dari pembangunan yang terlalu banyak di Jakarta adalah rakyat Aceh mengalami kesengsaraan dan kesusahan dimana di wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur tercatat desa miskin pada tahun 1993 (Hadi 2007:50-51). Hal itu semua membuat rakyat Aceh sadar bahwa yang seharusnya menikmati hasil dari sumber daya alam adalah masyarakat Aceh sendiri bukan pusat. Hal inilah yang membuat rakyat Aceh semakin kecewa dengan pemerintah pusat. Kesadaran rakyat Aceh tentang ketidakadilan pusat terhadap Aceh dimanfaatkan oleh GAM, dimana GAM memperoleh kekuatan setelah industri gas dan minyak di Aceh Utara berdiri pada tahun C. Perlawanan Kaum Nasionalis Aceh Perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Aceh telah tercatat sebanyak dua kali kepada Pemerintah Pusat. Pertama, pemberontakan yang dipimpin oleh Teuku M. Daud Beureueh pada 1953 dan yang kedua oleh Hasan Tiro pada Daud 22

33 Beureueh merupakan tokoh ulama terkemuka di Aceh yang mendirikan dan menjadi ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) pada tahun 1939 (Reid, 2005:275). Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, PUSA berhadapan dengan kelompok Uleebalang dalam upaya mereka menguasai setiap sektor kekuasaan dan pemerintahan di Aceh. Pertentangan kaum ulama dengan kaum Uleebalang tersebut menimbulkan konflik yang belangsung dari 22 Desember 1945 sampai dengan 13 Januari 1946 yang dikenal dengan insiden Cumbok. 1. Pemberontakan Daud Beureueh Setidaknya ada tiga alasan utama pemberontakan yang dipimpin oleh Daud Beureueh ini. Pertama, terkait dengan konsep dasar kenegaraan, terutama yang berhubungan dengan dasar dan bentuk negara, sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945, wacana politik yang berkembang di kalangan para tokoh pejuang kemerdekaan saat itu adalah mengenai dasar negara yang akan didirikan (Latif, 2011:65). Para tokoh yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang juga diwakili oleh kelompok Islam, pada 18 Agustus 1945 akhirnya menyetujui Pancasila sebagai Dasar Negara (Latif, 2011: 67-95). Dengan ditetapkannya Undang-undang Dasar 1945 yang dalam Mukadimah tidak memuat tujuh kata dalam sila pertama seperti yang terdapat pada Piagam Jakarta, yaitu dengan kewajiban menjalanan syariat Islam bagi pemeluknya pada 18 Agustus 1945, kelompok Islam merasa aspirasi mereka tidak terakomodasi dengan 23

34 baik dalam hal yang sangat prinsipil, yaitu dasar negara. Hal inilah yang menjadi awal mula kekecewaan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dari kelompok Islam. Daud Beureueh sendiri pada mulanya dapat menerima realitas politik bahwa Indonesia yang baru didirikan berdasarkan Pancasila. Sekalipun rakyat Aceh menginginkan Negara yang berdasarkan Islam, para pemimpin Aceh mampu meyakinkan rakyatnya bahwa untuk saat itu, ketika Indonesia yang baru lahir masih menghadapi perjuangan fisik melawan Belanda, sebaiknya untuk sementara menerima dahulu dan mendukung Indonesia yang berdasarkan Pancasila sampai nanti diadakan pemilihan umum (Ibrahimy, 2001: 43). Selain itu, kesediaan Daud Beureueh menerima konsep Negara Indonesia yang berasaskan Pancasila lebih disebabkan oleh janji Presiden Soekarno yang diucapkan pada kunjungannya yang pertamakali ke Aceh yakni memberikan kebebasan kepada Aceh dalam menjalankan syariat Islam dan otonomi khusus sesuai dengan syariat Islam (Santosa, 2006:142). Untuk menindaklanjuti janji Presiden Soekarno tersebut, pada 1949 beberapa tokoh Aceh menghadap Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara, yang saat itu juga menjadi Kepala Pemerintahan Darurat Republik Indonesia/PDRI guna mendesak Pemerintah Pusat guna membentuk Provinsi Aceh yang otonom dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Akhirnya permintaan ini dikabulkan dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 8/Des/WKPM 17 Desember 1949 yang menyataan Aceh sebagai Provinsi dan Daud Beureueh sebagai Gubernur (Kawilarang, 2010:154). 24

35 Keadaan berubah setelah Hindia Belanda resmi membubarkan diri pada 27 Desember 1945 dan RI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam pertemuan Dewan Menteri RIS pada 8 Agustus 1950 disepakati Indonesia terdiri dari 10 Provinsi hal ini menjadikan Aceh dan Sumatera Utara dijadikan 1 Provinsi. Pada akhir tahun 1950, Mohammad Natsir yang pada saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri mengumumkan Provinsi Aceh dilebur menjadi satu dengan Provinsi Sumatera Utara, sedangkan Daud Beureueh diangkat menjadi pejabat tinggi di Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Keputusan ini sangat mengecewakan masyarakat Aceh karena pusat pemerintahan daerah Aceh berubah bahkan peralatan kantor dan mobil-mobil dinas pemerintahan yang berada di Banda Aceh dibawa ke Medan. Padahal semua inventaris tersebut dibeli secara swadaya oleh masyarakat Aceh. Kekecewaan Daud Beureueh terhadap Pemerintah Pusat mencapai puncaknya ketika Presiden Soekarno pada 27 Januari 1953 berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mungkin menggunakan Islam sebagai dasar Negara. Pernyataan ini sekaligus menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila, bukan Islam. Dengan pernyataan Soekarno ini semakin jelas bagi para tokoh Aceh bahwa Indonesia tidak memberikan peluang bagi Negara untuk menggunakan Islam sebagai dasar Negara dan pupus juga harapan rakyat Aceh utnuk menerapkan syariat Islam di Aceh. Hal ini telah membuat Daud Beureueh kecewa, sehingga pada 21 September 1953 Daud Beureueh menyatakan Aceh memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia 25

36 (NII) mengikuti Kartosoewirjo lalu membubarkan Divisi X TNI yang berada di Aceh. Pernyataan ini terjadi setelah kongres ulama di Titeue Pidie. Setelah membubarkan Divisi X TNI, sejumlah pasukan TNI bergabung menjadi tentara Islam di bawah komando Daud Beureueh. Kedua, terkait dengan politik sentralisasi yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat pada masa-masa awal Republik berdiri. Kebijakan setralisasi yang membawa kembali Indonesia menjadi negara kesatuan ini dapat dipahami dalam konteks situasi politik nasional saat itu, yaitu selama periode 1949 sampai Pada saat itu Indonesia sedang menghadapi masa perjuangan fisik dalam mempertahankan kemerdekaan. Dalam upaya mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, Belanda menjalankan politik pecah belah dengan membentuk negara-negara yang berdiri sendiri dan tidak tergabung dalam federasi yaitu, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Federasi Kalimantan Tenggara, Negara Kalimantan Timur, Bangka, Belitung, dan Riau (Awaludin 2009). Di tengah situasi politik yang masih labil dan eksistensi RI yang sangat rapuh itu menjadikan RI lebih mementingkan upaya konsolidasi nasional dan memperkuat kesatuan wilayah RI ke dalam sistem kenegaraan yang solid. Di tengah situasi yang penuh dengan semangat perjuangan mempertahanan kemerdekaan dan ditambah dengan dominasi kaum nasionalis dalam percaturan politik saat itu, maka muncul desakan membubaran Negara federasi dan membentuk Negara kesatuan. Namun, dalam perspektif rakyat Aceh, justru semangat kesatuan dan persatuan pada saat itu 26

37 harus dibayar mahal dengan hilangnya Provinsi Aceh yang dinilai sebagai representatif identitas keislaman. Alasan ketiga yang mendorong pemberontakan Daud Beureueh adalah tidak terakomodasinya nilai Islam dalam pemerintahan di Aceh. Nilai-nilai Islam memang telah lama berakar dalam kehidupan rayat Aceh dan mereka tetap mengharapkan bahwa suatu saat Islam dapat kembali menjadi dasar dalam hidup berpemerintahan di Aceh. Aspirasi dan identitas Islam yang begitu mengakar di kalangan rakyat sejak ratusan tahun, dan mencapai masa kejayaannya pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda ( ), menemukan momentum baru untuk dimanifestasikan kembali dalam tatanan kehidupan masyaraat Aceh ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 (Ibrahimy, 2001:43). Namun, ketika Soekarno menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara nasional yang berasaskan Pancasila bukan Islam, Daud Beureueh semakin yain bahwa pemimpin pusat telah menyimpang dari jalan yang benar. Republik Indonesia tidak berkembang menjadi Negara yang berdasarkan Islam, satu-satunya kemungkinan yang terkandung dalam prinsip Ketuhanan Yang Masa Esa, sila pertama Pancasila (Santosa, 2006:152). Pandangan seperti ini menunjukkan bahwa ide Islam yang diyakini oleh Daud Beureueh tidak hanya pas dalam lingkup Aceh, namun lebih jauh dari itu. Daud Beureueh menilai bahwa Indonesia pun secara keseluruhan mestinya berdasarkan Islam. Pada titik inilah Daud Beureueh membentur kenyataan politik bahwa aspirasi Negara nasional lebih dominan saat itu, sehingga menyadarkan dirinya bahwa 27

38 Indonesia tidak mungkin akan mengakomodasi aspirasi Islam yang selama ini menjadi identitas Aceh. Dengan adanya kepastian bahwa Indonesia tidak akan menolerir bentuk pemerintahan daerah yang berlandaskan Islam, pemimpin Aceh sudah dapat memperkirakan bahwa pemerintah pusat akan menekan Aceh, baik dalam urusan syariat Islam maupun dalam hal kepemerintahan. Kekhawatiran itulah yang akhirnya memaksa banyak tokoh Islam di Aceh ikut mendukung pemberontakan Daud Beureueh (Aguswandi & Large, 2009:3). Pemberontakan Daud Beureueh tidak berhenti meski Pemerintah Pusat akhirnya mengembalikan Aceh sebagai tersendiri yang terpisah dari Provinsi Sumatera Utara dengan Undang-undang No. 24/1956. Undang-undang tersebut sama sekali tidak menyebut pemberian otonomi Aceh dalam pemberlakuan syariat Islam (Syukriy, 2009:3). Seiring berjalannya waktu, tiga tahun setelah itu barulah perubahan status mulai diberikan. Status Daerah Istimewa baru diberikan untuk Aceh pada 26 Mei 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri RI No.1/Missi/1959, yang isinya antara lain Daerah Istimewa Aceh dapat melaksakan otonomi daerah yang seluas-luasnya terutama dalam bidang agama, pendidikan, dan peribadatan (Nurrohman, 2006:4). Pemberontakan Daud Beureueh baru berakhir pada 9 Mei 1962, ketika Kolonel M. Jasin, Panglima Kodam Iskandar Muda berhasil membujuk Daud Beureuh untuk turun gunung. 28

39 2. Pemberontakan Hasan Tiro dan Lahirnya GAM Perbedaan kedua terkait tujuan pemberontakan. Berbeda dengan pemberontakan Daud Beureueh yang mulanya hanya menginginkan otonomi di bidang pendidikan dan penerapan syariat Islam tetapi masih dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemberontakan Hasan Tiro sejak awal memang bertujuan untuk membentukan Negara Aceh yang merdeka dan terpisahkan Republik Indonesia (Schulze, 2004:1). Dalam ungkapan Sukma (2003:149), tujuan pemberontakan Daud Beureueh sama dengan pemberontakan Darul Islam Aceh yang menginginkan Indonesia menjadi Negara Islam dan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam. Sedangkan pemberontakan Hasan Tiro bertujuan untuk memisahkan diri secara utuh dari Indonesia. Aspirasi untuk merdeka yang memotivasi pemberontakan Hasan Tiro ini diperkuat juga oleh adanya sentimen nasionalisme Aceh, terkait dengan konstruksi identitas Aceh yang berdasarkan pada etnik, bahasa, kultur, sejarah dan geografi (Miller, 2008:12). Pemberontakan Hasan Tiro ini dipicu oleh ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat Aceh dalam hal pengelolaan sumber daya alam Aceh oleh Pemerintah Pusat, di samping didorong pula oleh sentimen nasionalisme etnik (ethno nasionalism) yang bertumpu pada kekhasan Aceh dalam hal sejarah, etnisitas, kultur, dan geografi. Sentiment nasionalisme etnik ini tercermin dari bagaimana Hasan Tiro menarik garis perbedaan tegas antara Indonesia dan Aceh dengan cara menyebut rakyat Aceh sebagai bangsa Aceh. Dengan frasa bangsa Aceh ini Hasan Tiro bermaksud 29

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suku Bangsa Gayo menurut daerah kediaman dan tempat tinggalnya dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut Tawar, Gayo Linge yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam.

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam. Sejarah pernah mencatat bagaimana kegemilangan kerajaan Aceh pada masa pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utara di sebelah Tenggara dan Selatan. (Adan 2006: 3)

BAB I PENDAHULUAN. Utara di sebelah Tenggara dan Selatan. (Adan 2006: 3) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Aceh yang dahulu pernah menjadi sebuah negara tangguh di dunia kini menjadi sebuah provinsi dalam wilayah Republik Indonesia. Ia berkedudukan di ujung barat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah dalam proses perjalanan kehidupan bernegara diarahkan pada upaya mewujudkan tujuan dari dibentuknya suatu negara. Di Indonesia

Lebih terperinci

Nota Kesepahaman. antara Pemerintah Republik Indonesia Dan. Gerakan Aceh Merdeka

Nota Kesepahaman. antara Pemerintah Republik Indonesia Dan. Gerakan Aceh Merdeka Lampiran Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Aceh Merdeka Pemerintah Republik

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing.

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang diucapkan oleh Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan tonggak sejarah berdirinya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Skripsi ini meneliti mengenai peran Aceh Monitoring Mission (AMM)

BAB V PENUTUP. Skripsi ini meneliti mengenai peran Aceh Monitoring Mission (AMM) BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Skripsi ini meneliti mengenai peran Aceh Monitoring Mission (AMM) dalam proses peacebuilding di Aceh paska konflik GAM dengan Pemerintah Indonesia. Paska konflik GAM dengan

Lebih terperinci

Society ISSN :

Society ISSN : Pembangunan Demokrasi Pasca Konflik di Aceh Oleh Alfon Kimbal 1 Abstract Tulisan ini akan mengulas tentang pembangunan di Aceh pasca Konflik antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sangat

Lebih terperinci

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA Oleh: NAMA : AGUNG CHRISNA NUGROHO NIM : 11.02.7990 KELOMPOK :A PROGRAM STUDI : DIPLOMA 3 JURUSAN DOSEN : MANAJEMEN INFORMATIKA : Drs.

Lebih terperinci

negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk

negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk BAB IV KESIMPULAN Sejak berakhirnya Perang Dingin isu-isu keamanan non-tradisional telah menjadi masalah utama dalam sistem politik internasional. Isu-isu keamanan tradisional memang masih menjadi masalah

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan. Mediasi yang..., Henny Lusia, FISIP UI, 2010.

BAB 1 Pendahuluan. Mediasi yang..., Henny Lusia, FISIP UI, 2010. BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia telah mengalami beberapa konflik internal, beberapa konflik horisontal dan ada juga konflik vertikal salah satu konflik yang terjadi di Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 1999 TENTANG PENYELENGGARAAN KEISTIMEWAAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gerakan Aceh Merdeka atau sering kita dengar dalam penyebutan GAM ataupun AGAM adalah organisasi yang dianggap separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan rangkaian ribuan pulau di sekitar khatulistiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan rangkaian ribuan pulau di sekitar khatulistiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan rangkaian ribuan pulau di sekitar khatulistiwa yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Itulah sebabnya Indonesia dijuluki sebagai

Lebih terperinci

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Bapak Presiden SMU PBB, Saya ingin menyampaikan ucapan

Lebih terperinci

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME A. KONDISI UMUM Kasus separatisme di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mengancam integritas Negara Kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang etnis menurut Paul R. Kimmel dipandang lebih berbahaya dibandingkan perang antar negara karena terdapat sentimen primordial yang dirasakan oleh pihak yang bertikai

Lebih terperinci

RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA PEMERINTAHAN ACEH PASCA KESEPAKATAN HELSINKI Gerakan Aceh Merdeka (GAM) : Dibentuk pada tahun 1975, merupakan gerakan yang didirikan sebagai bentuk perlawanan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. merupakan bentuk kekecewaan terhadap tidak terpenuhinya janji-janji Soekarno

BAB V KESIMPULAN. merupakan bentuk kekecewaan terhadap tidak terpenuhinya janji-janji Soekarno BAB V KESIMPULAN Konflik Aceh dengan Pemerintah Indonesia yang diawali pada tahun 1953 merupakan bentuk kekecewaan terhadap tidak terpenuhinya janji-janji Soekarno sebagai Presiden Pertama Indonesia. Secara

Lebih terperinci

Position Paper Yayasan LBH Indonesia Tentang Nota Kesepahaman (MoU) Pemerintah RI GAM

Position Paper Yayasan LBH Indonesia Tentang Nota Kesepahaman (MoU) Pemerintah RI GAM Position Paper Yayasan LBH Indonesia Tentang Nota Kesepahaman (MoU) Pemerintah RI GAM Konteks Historis Konflik Aceh sebagai Pijakan dalam Melihat MoU Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Gerakan Aceh Merdeka atau sering kita dengar dalam penyebutan GAM ataupun AGAM adalah organisasi yang dianggap separatis yang memiliki tujuan supaya Aceh lepas

Lebih terperinci

UNIVERSITAS INDONESIA IMPLEMENTASI NOTA KESEPAHAMAN (MOU) HELSINKI DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2005 SAMPAI 2008 TESIS

UNIVERSITAS INDONESIA IMPLEMENTASI NOTA KESEPAHAMAN (MOU) HELSINKI DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2005 SAMPAI 2008 TESIS UNIVERSITAS INDONESIA IMPLEMENTASI NOTA KESEPAHAMAN (MOU) HELSINKI DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2005 SAMPAI 2008 TESIS Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Subur Wahono

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH FILIPINA DALAM MENANGANI GERAKAN SEPARATIS MORO DI MINDANAO RESUME SKRIPSI

KEBIJAKAN PEMERINTAH FILIPINA DALAM MENANGANI GERAKAN SEPARATIS MORO DI MINDANAO RESUME SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH FILIPINA DALAM MENANGANI GERAKAN SEPARATIS MORO DI MINDANAO RESUME SKRIPSI Disusun Oleh: TRI SARWINI 151070012 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah diterapkan. Di bawah rezim

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. partai politik lokal. partai politik lokal telah menjadi instrumen utama rakyat

BAB I PENDAHULUAN. partai politik lokal. partai politik lokal telah menjadi instrumen utama rakyat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi di Indonesia khususnya daerah Aceh terwujud dari adanya partai politik lokal. partai politik lokal telah menjadi instrumen utama rakyat untuk berkompetensi

Lebih terperinci

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Dalam UUD 1945, pengaturan tentang pemerintah daerah diatur dalam Bab VI pasal

Lebih terperinci

Nota Kesepahaman. antara. Pemerintah Republik Indonesia. dan. Gerakan Aceh Merdeka

Nota Kesepahaman. antara. Pemerintah Republik Indonesia. dan. Gerakan Aceh Merdeka Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH PAPUA: PERLUNYA PENDEKATAN KOMPREHENSIF

PENYELESAIAN MASALAH PAPUA: PERLUNYA PENDEKATAN KOMPREHENSIF Published: March 2016 ISSN: 2502 8634 Volume 1, Number 2 LSC INSIGHTS The Contemporary Policy Issues in Indonesia PENYELESAIAN MASALAH PAPUA: PERLUNYA PENDEKATAN KOMPREHENSIF Bustanul Arifin Department

Lebih terperinci

2016, No Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439); 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementeria

2016, No Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4439); 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementeria BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.398, 2016 KEMHAN. Pasukan. Misi Perdamaian Dunia. Pengiriman. Kebijakan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG KEBIJAKAN PENGIRIMAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintah RI yang terjadi di daerah Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Para pelaku

I. PENDAHULUAN. pemerintah RI yang terjadi di daerah Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Para pelaku I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang perjalanan sejarah RI pernah meletus suatu perlawanan rakyat terhadap pemerintah RI yang terjadi di daerah Sulawesi tepatnya Sulawesi Selatan. Para pelaku

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA. New York, 23 September 2003

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA. New York, 23 September 2003 PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA New York, 23 September 2003 Yang Mulia Ketua Sidang Umum, Para Yang Mulia Ketua Perwakilan Negara-negara Anggota,

Lebih terperinci

BAB 2 SEJARAH BERDIRINYA GAM HINGGA MENJADI PARTAI ACEH

BAB 2 SEJARAH BERDIRINYA GAM HINGGA MENJADI PARTAI ACEH 19 BAB 2 SEJARAH BERDIRINYA GAM HINGGA MENJADI PARTAI ACEH 2.1. Sejarah Berdirinya GAM. Dalam catatan sejarah, Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang tidak pernah lepas dari konflik. Pasca kemerdekaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan suatu negara untuk menjadi lebih baik dari aspek kehidupan merupakan cita-cita dan sekaligus harapan bagi seluruh rakyat yang bernaung di dalamnya.

Lebih terperinci

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH -1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Sebagai bagian dari agenda untuk mewujudkan kondisi aman dan damai, upaya secara komprehensif mengatasi dan menyelesaikan permasalahan separatisme yang telah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Modul ke: Fakultas FAKULTAS TEKNIK PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA ERA KEMERDEKAAN BAHAN TAYANG MODUL 3B SEMESTER GASAL 2016 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Periode perjuangan tahun sering disebut dengan masa

BAB I PENDAHULUAN. Periode perjuangan tahun sering disebut dengan masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Periode perjuangan tahun 1945-1949 sering disebut dengan masa perjuangan revolusi fisik atau periode perang mempertahankan kemerdekaan. Periode tersebut merupakan

Lebih terperinci

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut bebas di antara pulau-pulau di Indonesia. Laut bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, separatisme, teroris, dan revolusi.

BAB I PENDAHULUAN. dikaitkan dengan kekerasan, seperti kerusuhan, separatisme, teroris, dan revolusi. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Masalah Konflik antara Aceh dengan Pemerintah Pusat pertama kali terjadi pada saat diproklamirkannya Darul Islam (DI/TII) dibawah pimpinan Teungku Daud Beureueh.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

Kontroversi Agama dan Pancasila

Kontroversi Agama dan Pancasila Kontroversi Agama dan Pancasila Tugas Akhir Pancasila STMIK Amikom Yogyakarta Disusun Oleh : Dosen : : M Khalis Purwanto, Drs, MM Nama : HANANDA RISZKY PRATAMA Nim : 11.02.7959 ABSTRAK Agama mampu membangun

Lebih terperinci

MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN

MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN I. Pengantar 1. Sebuah capaian signifikan dalam mengahiri konflik sipil berkepanjangan di Indonesia

Lebih terperinci

PERMASALAHAN HUKUM TERHADAP ISI BUTIR-BUTIR PERJANJIAN RI-GAM DALAM HAL KEWARGANEGARAAN

PERMASALAHAN HUKUM TERHADAP ISI BUTIR-BUTIR PERJANJIAN RI-GAM DALAM HAL KEWARGANEGARAAN MAKALAH PERMASALAHAN HUKUM TERHADAP ISI BUTIR-BUTIR PERJANJIAN RI-GAM DALAM HAL KEWARGANEGARAAN Disusun oleh MAHATMA HADHI RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA Jakarta, ABSTRAK Dengan dimulai

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008. BAB 5 KESIMPULAN Kecurigaan utama negara-negara Barat terutama Amerika Serikat adalah bahwa program nuklir sipil merupakan kedok untuk menutupi pengembangan senjata nuklir. Persepsi negara-negara Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki nilai tawar kekuatan untuk menentukan suatu pemerintahan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Kepemilikan senjata nuklir oleh suatu negara memang menjadikan perubahan konteks politik internasional menjadi rawan konflik mengingat senjata tersebut memiliki

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sangatlah unik dikaji, terutama pada Pada masa ini hubungan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sangatlah unik dikaji, terutama pada Pada masa ini hubungan 188 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Dinamika hubungan pemerintahan pusat dan pemerintahan Aceh sangatlah unik dikaji, terutama pada 1999-2006. Pada masa ini hubungan pemerintahan pusat

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kerangka utama yang mendasari pembentukan bangsa dan negara Republik Indonesia. Upaya kelompok atau golongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia di jajah oleh bangsa Eropa kurang lebih 350 tahun atau 3.5 abad, hal ini di hitung dari awal masuk sampai berakhir kekuasaannya pada tahun 1942. Negara eropa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Bandung merupakan sebuah kota yang terletak di Propinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu bagian wilayah di Negara Indonesia. Kota ini dalam sejarahnya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan kajian yang penulis lakukan mengenai Politik Luar Negeri

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan kajian yang penulis lakukan mengenai Politik Luar Negeri BAB V KESIMPULAN Berdasarkan kajian yang penulis lakukan mengenai Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Pembentukan Negara Federasi Malaysia dan Dampaknya bagi Hubungan Indonesia-Amerika Serikat Tahun

Lebih terperinci

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM

Lebih terperinci

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan

yang berperan sebagai milisi dan non-milisi. Hal inilah yang menyebabkan skala kekerasan terus meningkat karena serangan-serangaan yang dilakukan Bab V Kesimpulan Hal yang bermula sebagai sebuah perjuangan untuk memperoleh persamaan hak dalam politik dan ekonomi telah berkembang menjadi sebuah konflik kekerasan yang berbasis agama di antara grup-grup

Lebih terperinci

PERANAN TNI-AD DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN SKRIPSI

PERANAN TNI-AD DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN SKRIPSI PERANAN TNI-AD DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-1950 SKRIPSI Oleh Aprilia Nur Hasanah NIM 070210302089 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

SEJARAH PANITIA SEMBILAN DAN SEJARAH PIAGAM JAKARTA

SEJARAH PANITIA SEMBILAN DAN SEJARAH PIAGAM JAKARTA SEJARAH PANITIA SEMBILAN DAN SEJARAH PIAGAM JAKARTA Nama : Chikita Putri M. Kelas : 8A Panitia Sembilan Panitia Sembilan dibentuk pada 1 Juni 1945. Panitia Sembilan ini adalah panitia yang beranggotakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negarawan merupakan karakter yang sangat penting bagi kepemimpinan nasional Indonesia. Kepemimpinan negarawan diharapkan dapat dikembangkan pada pemimpin pemuda Indonesia

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013

Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013 Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA ACARA PRASETYA PERWIRA TENTARA NASIONAL INDONESIA

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Acara Dialog Ilmiah

Lebih terperinci

QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT ACEH

QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT ACEH -1- QANUN ACEH NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu isu utama dalam hubungan internasional. Persoalan ini menjadi sangat

BAB I PENDAHULUAN. salah satu isu utama dalam hubungan internasional. Persoalan ini menjadi sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persoalan peace building atau pembangunan damai pasca konflik menjadi salah satu isu utama dalam hubungan internasional. Persoalan ini menjadi sangat signifikan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEAMANAN NASIONAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEAMANAN NASIONAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEAMANAN NASIONAL Jakarta, 16 Oktober 2012 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KEAMANAN NASIONAL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Islam, telah membawa pengaruh dala etnis dan agama yang dianut.

BAB V KESIMPULAN. Islam, telah membawa pengaruh dala etnis dan agama yang dianut. BAB V KESIMPULAN Yugoslavia merupakan sebuah negara yang pernah ada di daerah Balkan, di sebelah tenggara Eropa. Yugoslavia telah menoreh sejarah panjang yang telah menjadi tempat perebutan pengaruh antara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Pada bagian ini merupakan kesimpulan terhadap semua hasil penelitian yang telah diperoleh setelah melakukan pengkajian dan sekaligus memberikan analisis

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah memproklamasikan Kosovo sebagai Negara merdeka, lepas dari Serbia. Sebelumnya Kosovo adalah

Lebih terperinci

PERJUANGAN DIPLOMASI MEMPERTAHANKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN SKRIPSI. Oleh MAYA AZMI SUNDARI NIM

PERJUANGAN DIPLOMASI MEMPERTAHANKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN SKRIPSI. Oleh MAYA AZMI SUNDARI NIM PERJUANGAN DIPLOMASI MEMPERTAHANKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945-1950 SKRIPSI Oleh MAYA AZMI SUNDARI NIM 080210302030 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF THE FINANCING OF TERRORISM, 1999 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENDANAAN TERORISME,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH DAN GERAKAN ACEH MERDEKA PRESIDEN, Dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMBERONTAKAN DAUD BEUREUEH (DI/TII ACEH) TAHUN

PEMBERONTAKAN DAUD BEUREUEH (DI/TII ACEH) TAHUN PEMBERONTAKAN DAUD BEUREUEH (DI/TII ACEH) TAHUN 1953-1962 SKRIPSI Oleh Harry Adi Darmanto NIM 030210302295 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengacu pada tulisan-tulisan yang berkaitan dengan peran organisasi internasional dalam peacebuilding.

Lebih terperinci

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME A. KONDISI UMUM Gerakan pemisahan diri (separatisme) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di wilayah Aceh, Papua, dan Maluku merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, agama dan budaya, ada sekitar 1.340 suku bangsa di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH I. UMUM Salah satu kewenangan Pemerintah Aceh yang diamanatkan dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA. 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik)

BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA. 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik) BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik) Dilihat dari gambaran umum dan penyebab konflik, maka dapat diciptakan sebuah model 2x2 matriks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB VI. 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al-

BAB VI. 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al- 166 BAB VI 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al- Assad berkaitan dengan dasar ideologi Partai Ba ath yang menjunjung persatuan, kebebasan, dan sosialisme

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, tercatat beberapa daerah yang memiliki otonomi khusus

Lebih terperinci

PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI

PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI www.bimbinganalumniui.com 1. Setelah kabinet Amir Syarifuddin jatuh, atas persetujuan presiden KNIP memilih Hatta sebagai Perdana Menteri. Jatuhnya Amir Syarifuddin membuat kelompok kiri kehilangan basis

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Benturan intervensi..., Rina Dewi Ratih, FISIP UI, 2008.

BAB V KESIMPULAN. Benturan intervensi..., Rina Dewi Ratih, FISIP UI, 2008. BAB V KESIMPULAN Krisis kemanusiaan yang terjadi di Darfur, Sudan telah menarik perhatian masyarakat internasional untuk berpartisipasi. Bentuk partisipasi tersebut dilakukan dengan pemberian bantuan kemanusiaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari daerah paling barat Indonesia inilah pertama kali denyut dukungan

BAB I PENDAHULUAN. Dari daerah paling barat Indonesia inilah pertama kali denyut dukungan BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Aceh adalah jantung dalam anatomi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari daerah paling barat Indonesia inilah pertama kali denyut dukungan kemerdekaan Indonesia

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 105 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai kesimpulan dan saran dari skripsi dengan judul GEJOLAK PATANI DALAM PEMERINTAHAN THAILAND (Kajian Historis Proses Integrasi Rakyat Patani

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN 1. Umum. Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan yang bulat dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan yang bulat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dinamika sejarah terletak pada kemampuan untuk memandang dimensi waktu sekaligus, yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang dalam satu kesatuan

Lebih terperinci

Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing.

Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing. Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing. Balas campur tangan militer Kenya di Somalia, kelompok al Shabab menyerang sebuah mal di Nairobi,

Lebih terperinci

Dari pernyataan di atas, pernyataan yang merupakan hasil dari siding PPKI adalah.

Dari pernyataan di atas, pernyataan yang merupakan hasil dari siding PPKI adalah. Nama kelompok : Achmad Rafli Achmad Tegar Alfian Pratama Lulu Fajar F Nurul Vita C Kelas : XII TP2 1. Perhatikan penyataan-pernyataan berikut. 1. Mengesahkan dan menetapkan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Pertama, mengenai tingkat kehidupan manusia dari masa pra sejarah sampai

BAB V KESIMPULAN. Pertama, mengenai tingkat kehidupan manusia dari masa pra sejarah sampai BAB V KESIMPULAN Pertama, mengenai tingkat kehidupan manusia dari masa pra sejarah sampai masa penjajahan Belanda merupakan hal yang sangat kompleks. Tan Malaka sedikit memberikan gambaran mengenai kondisi

Lebih terperinci

Urgensi Memahami Kembali Pancasila Oleh : Bambang Trisutrisno Ketua Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI KERIS

Urgensi Memahami Kembali Pancasila Oleh : Bambang Trisutrisno Ketua Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI KERIS Urgensi Memahami Kembali Pancasila Oleh : Bambang Trisutrisno Ketua Lembaga Kajian Pertahanan untuk Kedaulatan NKRI KERIS www.lembagakeris.net Sebagai Bangsa yang dihuni oleh berbagai suku bangsa, etnis,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan pasca- perang dingin ini juga mempunyai implikasi strategis baik BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Internasional Runtuhnya Uni Soviet sebagai negara komunis utama pada tahun 1990-an memunculkan corak perkembangan Hubungan Internasional yang khas. Perkembangan pasca-

Lebih terperinci