PERMASALAHAN HUKUM TERHADAP ISI BUTIR-BUTIR PERJANJIAN RI-GAM DALAM HAL KEWARGANEGARAAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERMASALAHAN HUKUM TERHADAP ISI BUTIR-BUTIR PERJANJIAN RI-GAM DALAM HAL KEWARGANEGARAAN"

Transkripsi

1 MAKALAH PERMASALAHAN HUKUM TERHADAP ISI BUTIR-BUTIR PERJANJIAN RI-GAM DALAM HAL KEWARGANEGARAAN Disusun oleh MAHATMA HADHI RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA Jakarta,

2 ABSTRAK Dengan dimulai melalui proklamasi 4 Desember 1976 di Desa Tiro, Kabupaten Pidie, GAM telah menyatakan berpisah dari induk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi tersebut memberikan implikasi banyaknya rakyat Aceh yang tergabung dalam GAM menyatakan untuk melepaskan status kewarganegaraan Indonesianya untuk mengikuti jejak para elit/pimpinan GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya terlebih dahulu dan berpindah menjadi warga negara asing. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan hukum karena melepaskan status kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan karena akan menimbulkan berbagai akibat hukum bagi dirinya. Dalam melepaskan kewarganegaraan ada banyak hal yang perlu diperhatikan karena kewarganegaraan Indonesia secara yuridis hendak mendekatkan pada paham kewarganegaraan secara sosiologis, yaitu ke arah satu bangsa Indonesia nasional hegemoni. Rakyat Indonesia terutama rakyat Aceh telah dibingungkan mengenai untuk siapakah pemerintah berunding dan untuk siapakah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang. Karena selama ini pemerintah Indonesia dirasakan kurang peduli terhadap nasib rakyat Aceh yang selama puluhan tahun telah diabaikan hak-hak asasinya sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Sebagai obat dari sakit hati rakyat Aceh kepada pemerintah Indonesia maka melalui nota kesepahaman RI-GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah memasukkan beberapa pasal yang memberikan perlakuan istimewa terhadap para pemberontak eks-gam yang sebagian telah meninggalkan status kewarganegaraan Indonesianya. Didapatnya perlakuan khusus tersebut perlu mendapat perhatian lebih dari masyarakat karena jangan sampai muncul perasaan ketidakadilan oleh masyarakat karena eks- GAM secara sosiologis juga sama-sama Warga Negara Indonesia walaupun pernah mengkhianati mendapat perlakuan istimewa sedangkan Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri yang setia terhadap negaranya tidak mendapat perlakuan istimewa. Memberikan kembali status kewarganegaraan sebenarnya bukanlah solusi yang terbaik mengingat sesungguhnya Pemerintah RI juga memiliki posisi tawar yang baik dengan mempergunakan argumen yang seperti disebutkan di atas. Akan tetapi, memang permasalahan separatisme ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Sehingga solusi dianggap lebih baik dibandingkan apabila harus menempuh cara-cara kekerasan. (Mahatma Hadhi, Rizky Argama) 1

3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, kewarganegaraan seseorang merupakan suatu hal yang penting. Kewarganegaraan ini memegang peranan pula di lapangan lain, yaitu lapangan hukum publik. Dalam hubungan antara negara dan perseorangan lebih nyata pentingnya status kewarganegaraan seseorang. Apakah seseorang termasuk warga negara atau orang asing besar sekali konsekuensinya dalam kehidupan publik ini. Lebih-lebih dalam suasana hubungan perseorangan, maka dalam bidang publik ini terasa betapa pentingnya status kewarganegaraan. Hal ini adalah logis, mengingat bahwa sebenarnya kewarganegaraan itu tidak lain artinya dari keanggotaan dari sesuatu negara. Secara sederhana kita dapat mengadakan perumpamaan dengan mengambil organisasi atau perkumpulan sebagai contoh. Negara pun sama halnya dengan organisasi. Suatu organisasi tentunya memerlukan pula orang-orang yang dapat merupakan inti darinya. Demikian pula dengan para anggota dari suatu negara yang lazim disebut dengan istilah warga negara. Suatu organisasi tanpa anggota tidak akan ada, begitu pula dengan negara. Negara 2

4 membutuhkan warganegara untuk dapat menunjukkan bahwa negara tersebut ada 1. Beberapa tahun belakangan ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mendapat sorotan dunia internasional dalam menangani konflik separatisme yang terjadi di dalam negerinya. Konflik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah keberadaan Gerakan Aceh Merdeka dalam wilayah NKRI. Kelompok yang mengatasnamakan rakyat Aceh tersebut terbentuk dari berbagai macam kekecewaan rakyat Aceh akan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Telah banyak darah mengucur akibat konflik kepantingan pusat dan para tokoh politik Aceh sendiri. Rakyat Indonesia terutama rakyat Aceh telah dibingungkan mengenai untuk siapakah pemerintah berunding dan untuk siapakah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang. Karena selama ini pemerintah Indonesia dirasakan kurang peduli terhadap nasib rakyat Aceh yang selama puluhan tahun telah diabaikan hak-hak asasinya sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Sebagai obat dari sakit hati rakyat Aceh kepada pemerintah Indonesia maka melalui nota kesepahaman RI-GAM yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah memasukkan beberapa pasal yang memberikan perlakuan istimewa terhadap para pemberontak eks-gam yang sebagian telah meninggalkan status 1 Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, (Bandung: Alumni, 1992). 3

5 kewarganegaraan Indonesianya. Didapatnya perlakuan khusus tersebut perlu mendapat perhatian lebih dari masyarakat karena jangan sampai muncul perasaan ketidakadilan oleh masyarakat karena eks-gam secara sosiologis juga samasama Warga Negara Indonesia walupun pernah mengkhianati mendapat perlakuan istimewa sedangkan Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri yang setia terhadap negaranya tidak mendapat perlakuan istimewa. Dengan dimulai melalui proklamasi 4 Desember 1976 di Desa Tiro, Kabupaten Pidie, GAM telah menyatakan berpisah dari induk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi tersebut memberikan implikasi banyaknya rakyat Aceh yang tergabung dalam GAM menyatakan untuk melepaskan status kewarganegaraan Indonesianya untuk mengikuti jejak para elit/pimpinan GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya terlebih dahulu dan berpindah menjadi warga negara asing. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan hukum karena melepaskan status kewarganegaraan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan karena akan menimbulkan berbagai akibat hukum bagi dirinya. Dalam melepaskan kewarganegaraan ada banyak hal yang perlu diperhatikan karena kewarganegaraan Indonesia secara yuridis hendak mendekatkan pada paham kewarganegaraan secara sosiologis, yaitu ke arah satu bangsa Indonesia nasional hegemoni. Paham ini didasari untuk mencegah didapatnya kewarganegaraan bipatride bagi seluruh rakyat Indonesia. 4

6 1.2 Pokok Permasalahan Oleh karena nota kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM memiliki pengaruh yang besar terhadap ketatanegaraan khususnya masalah kewarganegaraan, maka diperlukanlah analisis yang mendalam dalam mencermati pasal-pasal mengenai pemberian kembali status kewarganegaraan eks-gam beserta hak-hak istimewa yang didapatkannya. Mendasarkan hal tersebut di atas, masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah: 1. Apakah status GAM dalam hukum internasional? 2. Bagaimana implikasi hukum terhadap para anggota GAM yang telah melepaskan status kewarganegaraan Indonesianya? 3. Akibat-akibat apa saja yang akan terjadi dengan memberikan kembali status kewarganegaraan terhadap eks-gam terutama pada tokoh politik GAM? 1.3 Metodologi Penulisan Dalam menyusun makalah ini, penulis mendapatkan data dengan mengambil referensi dari buku-buku mengenai kewarganegaraan. Penulis juga mencari referensi dari media surat kabar untuk mengikuti perkembangan terkini. Selain itu, dengan kemajuan teknologi informasi penulis juga mendapatkan data-data berkaitan dengan naskah nota kesepahaman Helsinki 15 Agustus

7 BAB II GAM: ANTARA INTERNASIONALISASI DAN STATUS SEBAGAI BELLIGERENT 2.1 Status GAM dalam Hukum Internasional Sebelum membahas lebih jauh mengenai Nota Kesepahaman antara RI GAM, perlu diketahui dahulu status GAM di dalam hukum internasional. GAM dalam hukum internasional belumlah menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan kesepakatan dengan subyek hukum internasional lain dalam hal ini adalah Negara Kesaturan Republik Indonesia. Melalui konvensi-konvensi internasional subyek hukum yang diklasifikasikan sebagai subyek hukum internasional antara lain adalah negara, Tahta suci, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang perorangan/individu (dalam arti yang terbatas) dan pemberontak dalam sengketa 2. Di antara subyek-subyek hukum tersebut, negara merupakan subyek hukum yang utama dikarenakan negara memiliki kedaulatan. Dengan kedaulatan tersebut, negara memiliki hak-hak khusus terhadap negaranya yang tidak dapat diganggu gugat oleh negara lain. Dengan melihat dari sudut ilmu ketatanegaraan, yang dapat memberikan status warga negara hanyalah negara. 2 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Alumni, 2003). 6

8 Karena itu, apabila ada penduduk Aceh yang tergabung dalam GAM menyatakan melepaskan status kewarganegaraannya tentunya selanjutnya dipertanyakan warga negara manakah yang ia anut ataukah dia tidak memiliki kewarganegaraan (apatride)? 2.2 Unsur-unsur Negara pada GAM GAM agar dapat menjadi sebuah negara yang dapat memberikan status kewarganegaraan terhadap penduduk Aceh haruslah memenuhi unsur-unsur yang terbagi menjadi dua jenis yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur obyektif ada tiga, yang pertama adalah wilayah. Wilayah merupakan batas/yuridiksi/wilayah hukum kewenangan suatu negara. Dalam kasus Aceh, wilayah yang diklaim oleh GAM adalah wilayah Aceh berdasarkan perjanjian Sumatera 1 Juli 1956 antara pemimpin Aceh pada masa itu dengan kolonial Belanda pada abad ke-17. Kedua adalah penduduk, yang dianggap sebagai penduduk yang sah adalah sekelompok manusia yang memiliki kesamaan (keturunan, ciri, ataupun tempat) yang menyatakan bahwa mereka merupakan suatu negara. Ada beberapa kriteria tidak tertulis yang harus dipenuhi dalam menilai unsur penduduk. Kriterianya adalah sebagai berikut. 1. Proporsionalitas jumlah penduduk dengan luas wilayahnya. 7

9 2. Kemampuan negara tersebut dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang dibebankan dunia internasional. 3. Ditujukan terhadap penduduk yang berdomisili tetap dalam wilayah tersebut. Dalam konteks kekinian dengan melihat perkembangan yang terjadi di Aceh kebanyakan dari penduduk Aceh telah banyak terjadi pencampuran ras. Selain itu, dengan semakin mudahnya transportasi antarprovinsi dan banyaknya industri di Aceh menjadikan sebagian dari penduduk Aceh bukanlah merupakan penduduk asli Aceh. Akan tetapi, mereka telah terikat secara kultural secara bertahuntahun dengan Aceh sehingga sulit untuk dibedakan dengan penduduk asli Aceh. Ketiga adalah pemerintahan yang mendapat legitimasi dari rakyatnya, dengan melihat sepak terjang GAM dalam melakukan aksinya tidaklah dapat dikatakan GAM mendapat legitimasi oleh rakyat Aceh. Belum jelas siapakah yang diperjuangkan oleh GAM karena selama ini banyak pula tindakan dari GAM yang sewenang-wenang terhadap rakyat Aceh sendiri. Rakyat Aceh masih memberikan legitimasinya terhadap Republik Indonesia. Selain syarat obyektif tersebut masih diperlukan syarat subyektif untuk dapat dikategorikan menjadi negara. Unsur subyektif tersebut adalah pengakuan dari negara lain. Unsur inilah yang diperjuangkan oleh Hasan 8

10 Tiro dan elit GAM lainnya dari negara lain. Dalam kehidupan politik internasional pengakuan dari negara lain memiliki pengaruh yang kuat dalam terbentuknya suatu negara. Dengan mendapat dukungan dari negara ketiga maka tahapan untuk menjadi negara telah ditempuh. Minimal, walaupun tidak diakui sebagai negara, akan tetapi dapat berkedudukan sebagai subyek hukum internasional lainnya yaitu pihak dalam sengketa (belligerent). 2.3 GAM sebagai Pihak dalam Sengketa (Belligerent) Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam keadaan tertentu. Contoh yang paling mudah adalah Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Untuk mendapatkan status subyek hukum internasional tersebut, GAM haruslah mendapat pengakuan dari negara lain bahwa eksistensinya dapat dibenarkan berdasarkan alasan-alasan yang rasional 3. Dalam menilai siapa saja yang dapat dimasukkan ke pihak dalam sengketa, negara-negara yang hendak memberikan pengakuan dituntut untuk berhati-hati karena pengertian ini sudah berbeda konteks. Konteks yang dimaksud oleh konvensi-konvensi internasional terdahulu adalah mereka yang merupakan suatu bagian terjajah berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan. Sedangkan pada 3 Ibid. 9

11 masa kini penjajahan dalam arti menyerang kedaulatan negara lain sudah tidak tampak lagi. Bila tidak hati-hati maka dapat dipastikan akan banyak pihak-pihak yang berusaha melepaskan diri dari negara lain, sehingga dapat membahayakan kedaulatan dari tiap-tiap negara. GAM belumlah dapat dianggap sebagai pihak yang bersengketa karena belum adanya negara lain yang mengakui secara tegas eksistensi GAM dalam memperjuangkan pencapaiannya. Adapun negara yang memberikan bantuan terhadap secara tidak langsung terhadap GAM adalah Negara Finlandia. Kedekatan Hasan Tiro dengan Pemerintahan Finlandia telah menimbulkan pertanyaan apakah benar Finlandia telah mengakui eksistensi GAM. Walaupun negara ini telah memberikan bantuan-bantuan berupa kewarganegaraan bagi Hasan Tiro dan sebagai fasilitator perundingan bagi GAM dan Indonesia, negara ini belum pernah memberikan pernyataan secara tegas akan eksistensi GAM. Dengan belum diakuinya GAM sebagai subyek hukum internasional maka kewarganegaraan GAM tentulah tidak dapat diakui karena yang berhak untuk memberikan kewarganegaraan bagi rakyatnya hanyalah negara. Untuk itu perlu disadari penolakan kewarganegaraan Indonesia oleh mereka dapat menyebabkan hilangnya hak-hak dasar mereka sebagai Warga Negara Indonesia. 10

12 BAB III Mahatma Hadhi dan Rizky Argama MOU RI-GAM DAN PERMASALAHAN KEWARGANEGARAAN DI DALAMNYA 3.1 Permasalahan Kewarganegaraan dalam Memorandum of Understanding (MoU) RI-GAM Semenjak diproklamasikannya Aceh merdeka, para pihak yang tergabung dalam GAM mulai melepaskan status kewarganegaraanya. Ada yang berpindah menjadi warganegara lain dan adapula yang tidak mengakui kewarganegaraan Indonesiannya. Kedua hal tersebut memberikan pengertian yang berbeda. Bagi yang berpindah menjadi warganegara lain maka secara otomatis dia kehilangan status kewarganegaraan Indonesianya. Hal tersebut disebabkan oleh stelsel kewarganegaraan Indonesia menghindarkan kewarganegaraan ganda (bipatride). Ditambah dengan berpindahnya kewarganegaraan tersebut ia tentunya sudah menggunakan haknya di negara lain, contohnya adalah dengan mengikuti pemilu di negara lain. Jadi, dengan berpindah kewarganegaraan tentunya ia telah kehilangan kewarganegaraan RI. Berbeda halnya dengan tidak mengakui kewarganegaraan Indonesia. Mengingat kewarganegaraan lebih merupakan hak bagi penduduk suatu negara maka dengan tidak mengakui kewarganegaraan Indonesia tersebut tidak berarti dia akan kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Akan tetapi bagi 11

13 para anggota GAM yang telah ikut latihan militer di Liberia berdasarkan Undang-undang 62 Tahun 1958, dia kehilangan warga negaranya Indonesianya. Mengikuti latihan militer di negara lain berarti dia telah mengikuti dinas militer yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang. Perlu untuk diingat, hilangnya kewarganegaaraan tersebut bukan berarti segala tindakan melawan hukum yang dilakukannya akan lepas dari jeratan hukum Indonesia. Atas dasar melepaskan hak bukan berarti menghapuskan kewajiban untuk patuh terhadap hukum 4. Perundingan Helsinki diharapkan menjadi perundingan yang terakhir antara RI dengan GAM. Dalam perundingan ini, RI memberikan maaf kepada para pihak yang tergabung dalam GAM. Salah satu bentuk pemberian maaf tersebut adalah dengan memberikan hak opsi kepada para anggota GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya. Hak opsi tersebut memiliki syarat bahwa dengan memilih kewarganegaraan Indonesia, maka bila dia masih memiliki kewarganegaraan lain ia diwajibkan untuk melepaskan kewarganegaraan lainnya itu. Pemberian kembali kewarganegaraan RI tersebut memberikan implikasi bahwa mantan pemberontak yang telah mengkhianati tanah airnya mendapatkan kembali hak-haknya sebagai warga negara. Hakhak yang diperolehnya antara lain hak untuk mendapat 4 Abdul Bari Azed, Intisari Kuliah Kewarganegaraan, (Jakarta: Indo Hill Co., 1995). 12

14 lapangan pekerjaan, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk memilih agama, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk mendapat perlindungan hukum di negara lain, serta hak-hak lainnya yang terdapat dalam Pasal 28 UUD Kesepakatan mengenai penyelesaian permasalahan kewarganegaraan terdapat dalam bab selanjutnya mengenai amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat bagi para eks-gam. Dalam pasal-pasalnya dijelaskan bahwa paling lambat 15 hari setelah penandatanganan MoU, berdasarkan prosedur UUD 1945, Pemerintah RI akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah ikut serta dalam aktivitas GAM. Tahanan dan tawanan politik yang terkait dengan itu segera dibebaskan tanpa syarat. Penggunaan senjata oleh anggota GAM setelah penandatanganan MoU dianggap sebagai pelanggaran, dan orang tersebut akan didiskualifikasikan dari amnesti. Disepakati, semua pihak yang telah mendapat amnesti, atau yang telah dibebaskan dari penjara mendapat semua hak politik, ekonomi dan sosial, serta bebas berpartisipasi dalam proses politik baik di Aceh maupun tingkat nasional. Bahkan orang-orang yang selama konflik telah melepaskan kewarganegaraan RI, mereka memiliki hak untuk memperoleh kewarganegaraan tersebut. Pemerintah RI dan penguasa-penguasa di Aceh akan membantu mempermudah mantan anggota GAM dalam berintegrasi dan berbaur kembali dengan masyarakat sipil. 13

15 Hak politik merupakan hal yang klasik melekat pada status warganegara. Hak politis disini adalah hak untuk turut serta dalam pemerintahan dan badan-badan perwakilan rakyat dengan mempergunakan hak untuk dipilih dan memilih. Bahwa orang yang bukan termasuk dalam warganegara tak diperkenankan turut serta dalam pemilihan umum adalah logis. Undang-undang tentang pemilihan umum juga menegaskan dalam pasal pertamanya bahwa hak untuk dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat disediakan bagi warga negara. Ketentuan yang serupa dapat kita ketemukan dalam peraturan-peraturan mengenai pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yaitu dalam Pasal 18 dan 25 jo Pasal 2 ayat (1) UUD Ketentuan-ketentuan ini merupakan pelaksanaan daripada apa yang ditentukan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1). Selain itu, untuk dapat dipilih menjadi Presiden RI menurut UUD 1945 haruslah orang Indonesia asli. Sedangkan dalam UUD Sementara 1950 yang kini tidak berlaku lagi haruslah Warga Negara Indonesia. Proses reintegrasi itu mencakup juga fasilitas ekonomi, dan berlaku tidak hanya bagi mantan aktivis dan pejuang GAM terdahulu, tetapi juga termaktub bagi bekas tahanan politik bahkan orang sipil yang terkena dampak. Dalam hubungan itu RI akan mengalokasikan dana untuk rehabilitasi bangunan publik dan pribadi yang hancur 14

16 akibat konflik, dana tersebut akan dikelola oleh penguasa di Aceh. Selain itu, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan juga dana kepada penguasa Aceh yang akan dialokasikan kepada semua pejuang GAM terdahulu. Mereka akan menerima tanah pertanian yang sesuai, pemberian kerja, dan jika tidak mampu bekerja akan diberikan jaminan sosial yang memadai dari pihak berwenang di Aceh. Hal itu juga berlaku bagi bekas tahanan politik yang telah mendapat amnesti, termasuk orang sipil yang terkena dampak. Dengan semua hak istimewa tersebut diharapkan para pejuang GAM yang telah menaruh senjatanya diharapkan dapat segera berbaur dengan rakyat Aceh yang lain tanpa harus merasa terasing. Maksud pemerintah RI tersebut memang baik tetapi hal tersebut tentu saja akan menimbulkan kecemburuan sosial di antara rakyat Aceh sendiri dan mungkin saja bagi rakyat provinsi lain bisa juga melakukan hal yang sama seperti usaha-usaha yang dilakukan oleh GAM. Dengan didapatnya kembali status kewarganegaraan Indonesia maka para mantan anggota GAM mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih untuk duduk dalam pemerintahan. Hal tersebut terbuka lebar mengingat dalam pasal-pasal nota kesepahaman antara pemerintah RI-GAM terdapat pengaturan mengenai partisipasi partai politik lokal 15

17 dalam pemilu. Partai politik lokal tersebut tentunya menjadi tunggangan yang empuk bagi para elit atau tokoh politik GAM untuk kembali memperoleh pengaruhnya dalam pemerintahan Aceh. Bukan tak mungkin partai politik lokal tersebut tak lain merupakan dari perubahan nama GAM saja. Melalui jangka panjang bukan tak mungkin bila konflik Aceh kembali timbul ke permukaan manakala partai politik tersebut merasa tidak puas dengan pemerintahan pusat. Karena bila kita bicara politik kepentingan pribadi dan golonganlah yang bermain di dalamnya. 3.2 Penerimaan Kembali Anggota GAM sebagai WNI Hasil kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM memungkinkan diterimanya kembali para mantan anggota GAM, termasuk pemimpin dan tokohnya, menjadi WNI. Namun, dalam wawancara dan pernyataan para petinggi GAM, terlihat bahwa mereka terkesan menghindari penggunaan istilah bahasa Indonesia, baik untuk merujuk masyarakat maupun negara. Naskah MoU pun tidak menyebut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sekalipun. Istilah yang digunakan dalam naskah tersebut adalah Konstitusi. 5 Sikap dan perilaku yang ditunjukkan para petinggi GAM tersebut mengakibatkan berbagai pihak mengusulkan 5 Hikmahanto Juwana, Perspektif Hukum atas Memorandum of Understanding Helsinki, Jurnal Konstitusi (September 2005):

18 diadakannya sebuah pengujian terhadap kesetiaan para ekstokoh GAM kepada NKRI. Pendapat itu menyatakan bahwa seharusnya pemberian amnesti kepada pimpinan dan anggota GAM yang berada di lembaga pemasyarakatan dilakukan dengan syarat pengucapan janji setia. 6 Guru Besar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. merekomendasikan pemerintah untuk menjalankan MoU berdasarkan tafsiran-tafsiran MoU yang telah mereka sampaikan pada masyarakat. Seluruh tafsiran yang disampaikan dalam menyikapi pasal-pasal kontroversial selalu berbasis pada peraturan perundangundangan Indonesia. Beliau juga berpendapat, seruan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar pimpinan dan anggota GAM berikrar setia pada NKRI setelah mendapatkan amnestiatau abolisi perlu diperhatikan oleh pemerintah. Kewajiban ikrar ini merupakan tafsiran yang didasarkan pada bingkai NKRI karena MoU tidak mengaturnya. Ikrar menjadi penting karena pemerintah harus menghindari situasi di mana anggota dan pimpinan GAM menerima abolisi atau amnesti tetapi tidak mengakui NKRI. 7 6 Ibid. 7 Ibid., hlm

19 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut. a. GAM dalam hukum internasional belumlah menjadi subyek hukum yang dapat mengadakan kesepakatan dengan subyek hukum internasional lain dalam hal ini adalah Negara Kesaturan Republik Indonesia. b. Kewarganegaraan GAM tidak dapat diakui karena yang berhak untuk memberikan kewarganegaraan bagi rakyatnya hanyalah negara. Dengan demikian, penolakan kewarganegaraan Indonesia oleh para anggota GAM dapat menyebabkan hilangnya hak-hak dasar mereka sebagai Warga Negara Indonesia. c. Dengan didapatnya kembali status kewarganegaraan Indonesia maka para mantan anggota GAM mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih untuk duduk dalam pemerintahan. 4.2 Saran Adalah hal yang amat penting bagi Pemerintah RI untuk menjalankan MoU berdasarkan tafsiran-tafsiran dengan berdasar pada bingkai RI, yaitu yang telah 18

20 disampaikan kepada publik di Indonesia. Namun demikian, perlu disadari bahwa tafsiran ini belum tentu sejalan dengan tafsiran dari GAM. Kemungkinan yang ada adalah GAM menafsirkan dengan berdasar pada keinginan mereka untuk merdeka. Dalam situasi seperti telah dijelaskan di atas, peran lembaga negara seperti DPR serta masyarakat sangat penting untuk memberikan tekanan pada pemerintah agar implementasi MoU selalu mengacu pada peraturan perundangundangan Indonesia. 19

21 DAFTAR PUSTAKA Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Bari Azed, Abdul. Intisari Kuliah Kewarganegaraan. Jakarta: Indo Hill-Co Gautama, Sudargo. Warga Negara dan Orang Asing. Bandung: Alumni Juwana, Hikmahanto. Perspektif Hukum atas Memorandum of Understanding Helsinki, Jurnal Konstitusi (September 2005). Kansil, C.S.T. Hukum Kewarganegaraan RI Dtinjau dari UUD Jakarta: Sinar Grafika Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni Paulus, B. P. Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD Jakarta: Pradnya Pramita

RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA PEMERINTAHAN ACEH PASCA KESEPAKATAN HELSINKI Gerakan Aceh Merdeka (GAM) : Dibentuk pada tahun 1975, merupakan gerakan yang didirikan sebagai bentuk perlawanan

Lebih terperinci

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA

TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA TERBENTUKNYA GAM DAN RMS SEBAGAI BUKTI LEMAHNYA PENERAPAN PANCASILA Oleh: NAMA : AGUNG CHRISNA NUGROHO NIM : 11.02.7990 KELOMPOK :A PROGRAM STUDI : DIPLOMA 3 JURUSAN DOSEN : MANAJEMEN INFORMATIKA : Drs.

Lebih terperinci

Nota Kesepahaman. antara Pemerintah Republik Indonesia Dan. Gerakan Aceh Merdeka

Nota Kesepahaman. antara Pemerintah Republik Indonesia Dan. Gerakan Aceh Merdeka Lampiran Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Gerakan Aceh Merdeka Pemerintah Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. partai politik lokal. partai politik lokal telah menjadi instrumen utama rakyat

BAB I PENDAHULUAN. partai politik lokal. partai politik lokal telah menjadi instrumen utama rakyat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi di Indonesia khususnya daerah Aceh terwujud dari adanya partai politik lokal. partai politik lokal telah menjadi instrumen utama rakyat untuk berkompetensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan

I. PENDAHULUAN. pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah dalam proses perjalanan kehidupan bernegara diarahkan pada upaya mewujudkan tujuan dari dibentuknya suatu negara. Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA A. PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN. Defenisi kewarganegaraan secara umum yaitu hak dimana manusia tinggal dan menetap di suatu kawasan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK MAKALAH PENGANGKATAN ANAK SEBAGAI USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK Disusun oleh RIZKY ARGAMA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, NOVEMBER 2006 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghargaan, penghormatan,

Lebih terperinci

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan

PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan PERBAIKAN RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 26/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilihan Presiden & Wakil Presiden Calon Presiden Perseorangan I. PEMOHON Sri Sudarjo, S.Pd, SH, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut

BAB I PENDAHULUAN. dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Suku Bangsa Gayo menurut daerah kediaman dan tempat tinggalnya dapat dibagi dalam 4 daerah, yaitu Gayo Laut yang mendiami sekitar danau Laut Tawar, Gayo Linge yang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH DAN GERAKAN ACEH MERDEKA PRESIDEN, Dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2005 TENTANG PELAKSANAAN NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN GERAKAN ACEH MERDEKA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka pelaksanaan

Lebih terperinci

MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN

MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN MENGHADIRKAN KOMISI KEBENARAN DI ACEH: SEBUAH TANTANGAN INDONESIA UNTUK BERPIHAK PADA KEBENARAN DAN KEADILAN I. Pengantar 1. Sebuah capaian signifikan dalam mengahiri konflik sipil berkepanjangan di Indonesia

Lebih terperinci

RechtsVinding Online. Aktor Non-Negara

RechtsVinding Online. Aktor Non-Negara PENYEMPURNAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI SEBAGAI UPAYA OPTIMALISASI PENYELENGGARAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI INDONESIA Oleh: Yeni Handayani Sebagai negara kesatuan yang

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional Bahasa nasional atau bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bendera negara yaitu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di KETERANGAN PENGUSUL ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN I. UMUM 1. Dasar Pemikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

Nota Kesepahaman. antara. Pemerintah Republik Indonesia. dan. Gerakan Aceh Merdeka

Nota Kesepahaman. antara. Pemerintah Republik Indonesia. dan. Gerakan Aceh Merdeka Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara

Lebih terperinci

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak

MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN. Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1. Abstrak MASALAH KEWARGANEGARAAN DAN TIDAK BERKEWARGANEGARAAN Oleh : Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.H. 1 Abstrak Masalah kewarganegaraan dan tak berkewarganegaraan merupakan masalah yang asasi, dan menyangkut perlindungan

Lebih terperinci

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015

Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 Volume 12 Nomor 1 Maret 2015 ISSN 0216-8537 9 77 0 21 6 8 5 3 7 21 12 1 Hal. 1-86 Tabanan Maret 2015 Kampus : Jl. Wagimin No.8 Kediri - Tabanan - Bali 82171 Telp./Fax. : (0361) 9311605 KEWENANGAN PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan rangkaian ribuan pulau di sekitar khatulistiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan rangkaian ribuan pulau di sekitar khatulistiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan rangkaian ribuan pulau di sekitar khatulistiwa yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke. Itulah sebabnya Indonesia dijuluki sebagai

Lebih terperinci

-1- QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG

-1- QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG -1- QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang

Lebih terperinci

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH

-1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH -1- RANCANGAN QANUN ACEH NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BADAN REINTEGRASI ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kerangka utama yang mendasari pembentukan bangsa dan negara Republik Indonesia. Upaya kelompok atau golongan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Warga negara merupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam

BAB I PENDAHULUAN. Warga negara merupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Warga negara merupakan salah satu hal yang bersifat prinsipal dalam kehidupan bernegara. Setiap negara mempunyai hak untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam.

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam. Sejarah pernah mencatat bagaimana kegemilangan kerajaan Aceh pada masa pemerintahan

Lebih terperinci

(Negara dan Kedaulatan)

(Negara dan Kedaulatan) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Materi Kuliah HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA (Negara dan Kedaulatan) Modul 10 Oleh : Rohdearni Tetty Yulietty Munthe, SH/08124446335 77 1. Tujuan Pembelajaran Umum Setelah proses

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA MENURUT UUD 1945 Disusun Oleh : Nama : Ahmad Indra Fatuki NPM : 10210390 Kelas : 2EA13 Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma HAK DAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing.

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang diucapkan oleh Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan tonggak sejarah berdirinya

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Pemerintahan Indonesia Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, bentuk republik telah dipilih sebagai bentuk pemerintahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehadiran Partai Politik Lokal di Aceh merupakan suatu bukti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kehadiran Partai Politik Lokal di Aceh merupakan suatu bukti 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehadiran Partai Politik Lokal di Aceh merupakan suatu bukti perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan hadirnya Partai Politik Lokal merupakan tambahan sarana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Sebagai bagian dari agenda untuk mewujudkan kondisi aman dan damai, upaya secara komprehensif mengatasi dan menyelesaikan permasalahan separatisme yang telah

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN I. UMUM Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Lebih terperinci

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia

Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia Oleh: R. Herlambang Perdana Wiratraman Dosen Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Airlangga Email: herlambang@unair.ac.id atau HP. 081332809123

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) menempati tingkatan

BAB I PENDAHULUAN. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) menempati tingkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) menempati tingkatan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan suatu negara serta merupakan hukum tertinggi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA Fakultas TEKNIK Martolis, MT Program Studi Teknik Mesin NEGARA = State (Inggris), Staat (Belanda),Etat (Perancis) Organisasi tertinggi

Lebih terperinci

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA MENJAGA KESEIMBANGAN ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA ( WNI )

MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA MENJAGA KESEIMBANGAN ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA ( WNI ) MAKALAH PENDIDIKAN PANCASILA MENJAGA KESEIMBANGAN ANTARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA ( WNI ) Disusun Oleh DHANI RATIKA 133184006 PENDIDIKAN FISIKA FISIKA 2013 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA BAB

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL

KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL KEWARGANEGARAAN IDENTITAS NASIONAL Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas-identitas yang sifatnya nasional Bahasa nasional atau bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bendera negara yaitu

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan

I.PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menyatakan I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang menganut paham demokrasi. Dalam paham ini, rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting, sebab kedaulatan berada di tangan rakyat. Pasal 1

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan suatu negara untuk menjadi lebih baik dari aspek kehidupan merupakan cita-cita dan sekaligus harapan bagi seluruh rakyat yang bernaung di dalamnya.

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI III DPR RI DENGAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG POLITIK, HUKUM DAN KEAMANAN (MENKOPOLHUKKAM) --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XVI/2018 Masa Jabatan Pimpinan MPR dan Kewajiban Badan Anggaran DPR Untuk Mengonsultasikan dan Melaporkan Hasil Pembahasan Rancangan UU APBN Kepada Pimpinan DPR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN NOTA KESEPAHAMAN (MOU) ANTARA KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK FEDERASI JERMAN MENGENAI

Lebih terperinci

d. Mendeskripsikan perkembangan politik sejak proklamasi kemerdekaan.

d. Mendeskripsikan perkembangan politik sejak proklamasi kemerdekaan. Kedaulatan Rakyat dan Sistem Untuk Kelas VII Kompetensi Kompetensi Dasar : Kemampuan menganalisis kedaulatan rakyat dan sistem politik Indikator : a. Menjelaskan makna kedaulatan rakyat b. Menguraikan

Lebih terperinci

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004 RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 063/PUU-II/2004 I. PEMOHON Suta Widhya KUASA HUKUM JJ. Amstrong Sembiring, SH. II. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air: Prosedur

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA Modul ke: 06 Fakultas EKONOMI DAN BISNIS A. Pengertian Hak dan Kewajiban Warga Negara B. Asas Kewarganegaraan. C. Masalah Status Kewarganegaraan. D. Syarat dan Tata Cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi tahun 1998 membawa perubahan mendasar terhadap konstitusi Republik Indonesia. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002) berdampak pada perubahan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018 Wewenang DPR Memanggil Paksa Setiap Orang Menggunakan Kepolisian Negara Dalam Rapat DPR Dalam Hal Pihak Tersebut Tidak Hadir Meskipun Telah Dipanggil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah sebuah hak yang bisa

Lebih terperinci

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

MENGAPA TAPOL DI PAPUA TOLAK RENCANA PEMBERIAN GRASI?

MENGAPA TAPOL DI PAPUA TOLAK RENCANA PEMBERIAN GRASI? MENGAPA TAPOL DI PAPUA TOLAK RENCANA PEMBERIAN GRASI? "Kami tidak butuh dibebaskan dari Penjara, tetapi butuh dan tuntut BEBASKAN Bangsa Papua dari Penjajahan Negara Kolonial Republik Indonesia", demikianlah

Lebih terperinci

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan

SMP. 1. Jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara 2. Susunan ketatanegaraan suatu negara 3. Pembagian & pembatasan tugas ketatanegaraan JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN SMP VIII (DELAPAN) PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU A. Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia Konstitusi (Constitution) diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aceh memiliki kedudukan yang sangat strategis sebagai pusat perdagangan. Aceh banyak menghasilkan lada dan tambang serta hasil hutan. Oleh karena itu, Belanda

Lebih terperinci

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA TINJAUAN ATAS PENGADILAN PAJAK SEBAGAI LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA oleh Susi Zulvina email Susi_Sadeq @yahoo.com Widyaiswara STAN editor Ali Tafriji Biswan email al_tafz@stan.ac.id A b s t r a k Pemikiran/konsepsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, manusia selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, manusia selalu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain. Kehidupan bersama itu menyebabkan adanya interaksi atau hubungan satu sama lain.

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 75/PUU-XV/2017 Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh I. PEMOHON 1. Hendra Fauzi (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I); 2. Robby Syahputra (selanjutnya disebut sebagai

Lebih terperinci

KASUS KASUS KEWARGANEGARAAN

KASUS KASUS KEWARGANEGARAAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: KASUS KASUS KEWARGANEGARAAN by Fakultas FEB Syahlan A. Sume Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id Kasus Kasus Kewarganegaraan Warga Negara Setiap negara memiliki warga

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN NOTA KESEPAHAMAN (MOU) ANTARA KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN PERTAHANAN REPUBLIK FEDERASI JERMAN MENGENAI

Lebih terperinci

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 114/PUU-XII/2014 Syarat Peserta Pemilu I. PEMOHON 1. Song Sip, S.H., S.Pd., M.H., sebagai Pemohon I; 2. Sukarwanto, S.H., M.H., sebagai Pemohon II; 3. Mega Chandra Sera,

Lebih terperinci

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R U J U K A N UNDANG UNDANG DASAR 1945 DALAM PUTUSAN-PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Singkatan dalam Rujukan: PUTMK: Putusan Mahkamah Konstitusi HPMKRI 1A: Himpunan Putusan Mahkamah Konstitusi RI Jilid 1A

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan menjamin hak asasi manusia dalam proses penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara serta memberikan

Lebih terperinci

Oleh : Gea Tri Gusti* ABSTRAK

Oleh : Gea Tri Gusti* ABSTRAK SYARAT PASANGAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PASAL 6A AYAT (2) UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 DI TINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA Oleh : Gea Tri Gusti* ABSTRAK Salah satu bentuk

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan

BAB I PENDAHULUAN. 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara pimpinan. Maka hal ini yang membuat para pimpinan tidak memberikan celah untuk para mantan panglima wilayah melakukan hal-hal yang diluar keinginannya, bahkan pasca rapat tersebut para pimpinan tidak pernah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem Demokrasi, kata tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem Demokrasi, kata tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara yang menganut sistem Demokrasi, kata tersebut berasal dari bahasa Yunani yang terbentuk dari (demos) "rakyat" dan (kratos) "kekuatan"

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN.. TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa warga negara merupakan

Lebih terperinci

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9 RINGKASAN PUTUSAN Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51,52,59/PUU-VI/2009 tanggal 18 Februari 2009 atas Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, dengan hormat dilaporkan

Lebih terperinci

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 45 BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Sejarah Perkembangan Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia Permasalahan hak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 53/PUU-XV/2017 Verifikasi Partai Peserta Pemilu serta Syarat Pengusulan Presiden dan Wakil Presiden I. PEMOHON Partai Islam Damai Aman (Partai IDAMAN) Ramdansyah diwakili

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR I. PEMOHON Nining Elitos...(Pemohon 1) Sunarno...(Pemohon 2) Eduard

Lebih terperinci