Abstrak. Kata Kunci : Politik Hukum, TAP MPR, Hirarki Peraturan Perundangundangan.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Abstrak. Kata Kunci : Politik Hukum, TAP MPR, Hirarki Peraturan Perundangundangan."

Transkripsi

1 0

2 Abstrak MUNAWIR IDRIS, NIM , POLITIK HUKUM KETETAPAN MPR DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP MEKANISME PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA, Oleh Pembimbing : (1) Prof. Dr. Johan Jasin, S.H., M.Hum., (2) Zamroni Abdussamad, S.H.,M.H Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengujian norma peraturan perundang-undangan di Indonesia serta untuk mengetahui dan menganalisis politik hukum ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundangundangan terhadap mekaanisme pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian normatif, dengan pendekatan statuta approach (pendekatan Peraturan perundang-undangan), dan historical approach (pendekatan sejarah). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian adalah bahan hukum primer atau autoritatif dan bahan hukum sekunder. Serta analisis data digunakan teknik analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian penulis memperoleh bahwa re-eksistensi TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan merupakan kepentingan politik MPR yang pada saat proses pembentukan UU No. 12 Tahun 2011, TAP MPR tidak direkomendasikan dalam kajian akademis yang tertuaang dalam Naskah Akademik UU No. 12 Tahun Di samping itu, tidak diaturnya kewenangan pengujian TAP MPR secara hukum melalui Mahkamah Konstitusi mencerminkan bahwa pengujian TAP MPR secara politik yang dilakukan senddiri oleh MPR tidaklah mencerminkan konsep dan prinsip chek and balances. Oleh karena itu, jika TAP MPR tetap dipertahankan masuk dalam hirarki peraturan perundangundangan, maka sebaiknya mekanisme pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, sebab disamping meencerminkan prinsip chek and balances juga MK merupakan the guardian of constitution atau pelindung nilai-nilai konstitusi. Kata Kunci : Politik Hukum, TAP MPR, Hirarki Peraturan Perundangundangan. 1

3 A. Pendahuluan Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI Hal itu mengandung konsekuensi bahwa setiap penyelenggaraan kehidupan bernegara haruslah didasarkan atas hukum yang berlaku. Hal ini menjadi sangat penting agar terwujudnya sebuah kehidupan bernegara yang berkepastian hukum. Oleh karenanya, keberadaan hirarki norma merupakan salah satu implementasi dari tatanan kehidupan bernegara berdasarkan hukum. Ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan telah menjadi salah satu norma hukum dalam UU No. 12 Tahun Dalam Pasal 7 tersebut menyatakan secara eksplisit bahwa hirarki norma di Indonesia sebagai berikut : (1) UUD 1945; (2) Ketetapan MPR; (3) UU/Perpu; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Peraturan Presiden; (6) Peraturan Daerah Provinsi; (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Tentang hirarki peraturan perundang-undangan tersebut di atas, sudah sangat jelas mekanisme pengujiannya, terkecuali adalah ketetapan MPR yang itu telah menjadi redaksi norma hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan, namun belum ada kejelasan tentang mekanisme pengujiannya. Padahal sebagaimana yang diketahui bahwa tidak ada norma hukum yang tidak dapat diuji. Jika produk hukum di bawah UU dapat diuji terhadap UU maka pengujiannya merupakan kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia, sedangkan pengujian UU dapat dilakukan terhadap UUD 1945, pengujiannya merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka tidak demikian dengan ketetapan MPR. Belum ada peraturan yang mengatur tentang mekanisme pengujiannya dan lembaga manakah yang berwenang untuk mengujinya. Dari uraian di atas, dapat dilakukan penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut : (1) Bagaimana politik hukum kedudukan TAP MPR dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia? (2) Sejauh mana political 1 Selanjutnya akan disingkat dengan UUD

4 riview ketetapan MPR dan Pengujian Peraturan peraturan perundang-undangan di Indonesia? B. Metode Penelitian Sesuai dengan judul penelitian ini, maka objek penelitian difokuskan pada menemukan, menunjukan dan menguraikan mekanisme pengujian norma peraturan perundang-undangan dan politik hukum Ketetapan MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini diarahkan untuk menghasilkan argumentasi, dasardasar teori atau konsep baru dalam menyelesaikan masalah politik hukum ketetapan MPR dalam hirarki peraturam perundang-undangan dan mekanisme pengujian norma peraturan perundang-undangannya di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan statuta, yaitu dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu atau masalah hukum yang sedang dihadapi dan dikaji. 2 Jadi, penelitian ini nanti akan mengkaji UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur tentang kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, juga akan mengkaji Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang undangan yang salah satu materinya adalah hirarki peraturan perundang-undangan, dimana menempatkan ketetapan MPR menjadi salah satu hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, pendekatan yang juga digunakan dalam peneltian ini adalah pendekatan Historical approach atau pendekatan histori (sejarah hukum). Pendekatan histori dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengetahuan mengenai isu yang dihadapi. penelitian ini menggunakan pendekatan sejarah karena akan mengkaji sejarah politik hukum hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang salahsatunya memasukan ketetapan MPR dalam hirarki tersebut, dan juga mengkaji bagaimana mekanisme pengujiannya. Penelitian ini menggunakan sumber hukum yang diperoleh dari dokumen resmi (otoritas) seperti UUD 1945, peraturan perundang-undangan, seperti UU Nomor 10 Tahun 2004 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 2 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, hlm. 93 3

5 Peraturan Perundang-undangan. Selain itu, sumber penelitian ini juga diperoleh dari bahan sekunder yang berupa buku-buku, jurnal, yang berkaitan dengan kedudukan Tap MPR, Hirarki peraturan perundang-undangan, dan mekanisme pengujian peraturan. Analisis hukum yang digunakan didasarkan kepada ilmu hukum khususnya ilmu hukum ketatanegaraan yang mencakup hukum yang sedang berlaku (ius constitutum) maupun yang seharusnya (das sollen) berlaku di masa yang akan datang (ius contituendum) 3. Analisis bahan merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa memberikan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. 4 Untuk menganalisis digunakan teknik kaulitatif, dimana proses pengolahan dilakukan secara deduktif, yakni di mulai dari dasar-dasar pengetahuan yang umum, kemudian hal-hal yang bersifat khusus sehingga proses analisis ini kemudian di tarik suatu kesimpulan. C. Pembahasan 1. Kedudukan TAP MPR Dalam Hirarki Peraturan Perundang- Undangan 1.1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sebelum Perubahan UUD 1945 Salah satu pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 adalah negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. 5 Pokok pikiran tersebut diejawantahkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. 6 3 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung; Alumni, 1994), hlm Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2010), hlm RM. AB. Kusuma, Lahirnya UUD 1945, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm Ibid., hlm Dalam kesempatan ini Soepomo juga mengemukakan bahwa Kedaulatan ada di tangan rakyat, yang menjelma dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan lain perkataan, Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara yang tertinggi. Disamping itu, Karena Majelis memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas. 4

6 Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut: Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungs organ des Willens des Staatsvolkes). Majelis Ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan negara, Majelis ini mengangkat dan memberhentikan Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah mandataris dari Majelis. Ia wajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak neben tetapi untergeordnet kepada Majelis. Berdasarkan penjelasan Pasal 1 ayat (2) tersebut, MPR merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Berkaitan dengan kedudukan MPR tersebut, Ismail Suny mengemukakan pendapat bahwa MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan lembaga negara yang mempunyai supremasi, dan supremasi MPR mengandung dua prinsip, yaitu: 7 MPR mempunyai legal power; dan no rival authority. 1.2 Majelis Permusyawaratan Rakyat Setelah Perubahan UUD 1945 Dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan kedudukan MPR sebagai badan/lembaga perwakilan rakyat adalah UUD 1945 sebelum perubahan membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal seperti ini berakibat tidak terjadinya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances system) pada institusi-institusi ketatanegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada MPR merupakan kunci 7 ibid. 5

7 yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat. 8 Selain itu, kelemahan paling mendasar adalah masalah jumlah anggota MPR yang terlalu banyak pada masa Orde Baru. Kondisi ini menjadi sebab MPR tidak dapat secara aktif menyelenggarakan sidang-sidang untuk menjalankan tugasnya. Dengan hambatan seperti ini, pada akhirnya MPR tidak melaksanakan tugasnya sebagai lembaga yang dapat menilai accountability pemerintah, yang merupakan syarat mutlak perwujudan dari konsep kedaulatan rakyat. 9 Gagasan meniadakan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara secara konseptual ingin menegaskan bahwa MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Setiap lembaga yang mengemban tugas politik negara dan pemerintahan (tidak termasuk kekuasaan kehakiman) adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggung kepada rakyat. 10 Tuntutan perubahan pada tingkat hukum dasar (konstitusi) dari lembaga perwakilan rakyat tersebut diharapkan akan mampu memperbaiki kualitas kerja dan hasil kerja parlemen Indonesia untuk memajukan rakyat Indonesia. 11 Proses perubahan kedudukan MPR tersebut dilakukan dengan cara mengubah ketentuan pasal-pasal yang berkaitan dengan MPR itu sendiri, yaitu Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan: Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi berbunyi Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (hasil perubahan ketiga) dan perubahan komposisi keanggotaan MPR sebagaimana tersebut pada Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan 8 Majelis Permusyawaratan Rakya, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD RI Tahun 1945, (Jakarta; Sekretariat MPR, 2002), hlm. 6 9 Endah Widyaningsih, Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Pengaruhnya Terhadap Struktur Parlemen dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, dikutip dalam Makalah Novendri M. Nggilu, Tinjauan Yuridis atas dimunculkannya kembali TAP MPR RI dalam Hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia, hlm Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, (Yogyakarta; Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press, 2003), hlm TA. Legowo, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, (Jakarta; Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, 2005), hlm. 3 6

8 yang ditetapkan dengan undang-undang menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui Pemilihan Umum dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang (hasil perubahan keempat). Dengan diubahnya ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 kedudukan MPR menjadi tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara. 12 melainkan kedudukannya sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 jo Pasal 8 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 perubahan ketiga dan keempat, kewenangan MPR adalah: 13 a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar; b. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden; c. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar; dan Memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan dalam jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 2. Mekanisme Pengujian norma peraturan perundang-undangan di MPR Eksistensi TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan telah menjadi kondisi hukum yang harus diterima, meskipun memunculkan sebuah kerancuan. Penerimaan tersebut dimaklumi dengan masih adanya ketetapan MPR yang masih berlaku, dan perlu dipertimbangkan mekanisme penngujiannya. Hasil perubahan UU No. 10 Tahun 2010 yang direvisi dengan UU No 12 Tahun 2011 memang tidak mengatur bagaimana mekanisme pengujian norma ketetapan MPR yang dimunculkan dalam hirarki peraturan perundang-undangan. 12 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi kedua cetakan kedua, (Jakarta; Sinar Grafika, 2011), hlm Ada tiga faktor penting yang mempengaruhi kedudukan MPR tersebut, yaitu : a. Pemisahan kekuasaan secara tegas dari cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif; b. Pemilihan presiden secara langsung yang berkaitan dengan dengan konsep pertanggungjawaban Presiden langsung kepada rakyat; c. Restrukturisasi parlemen menjadi dua kamar dalam menampung aspirasi daerah-daerah yang terus berkembang makin otonom di masa mendatang. 13 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta; Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm

9 Jika ditelisik juga pada tata tertib MPR, tidak adanya ketentuan yang mengatur secara khusus tentang mekanisme pengujian norm khususnya tentang ketetapaan MPR. Namun meski demikian, terdapat sebuah ketentuan yang secara umum yang digunakan oleh MPR dalam melakukan pengujian norma. Mekanisme pengujian norma dapat dilakukan dengan dua cara; yaittu dari internal MPR itu sendiri, misalnya usul yang disampaikan oleh Fraksi, Kelompok DPD yang didasarkan pada evaluasi ketetapan MPR yang ada, 14 Kedua, dapat dilakukan dengan cara usul yang diajukan oleh lembaga pengkajian yang didalamnya diisi pakar ketatanegaraan, anggota MPR yang pernah terlibat langsung dalam perubahan UUD NRI 1945 dan sosialisasi empat pilar MPR RI, hasil kajian lembaga tersebut dapat juga tentang norma atau ketetapan MPR. 15 Tugas dari lembaga kajian ini sebagai berikut : Memberikan masukan/pertimbangan/saran/usulan yang berkaitan dengan pengkajian sistem ketatanegaraan; 2. Mengkaji dan merumuskan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan dinamika masyarakat tentang tentang pemasyarakatan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. 3. Menyerap dinamika aspirasi masyarakat dalam rangka penyusunan pokok-pokok pikiran haluan negara; 4. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas dalam rapat gabungan. Dalam kaitannya dengan adanya usul baik dari Fraksi, Kelompok DPD, atau lembaga pengkajian yang didasarkan atas aspirasi masyarakat, maka usul itu akan dibahas pada rapat yang dilakukan oleh MPR. Rapat MPR dalam pengambilan keputusan MPR dilakukan dalam 3 tahap, yaitu : 1. Tingkat 1 Pembahasan oleh sidang Paripurna MPR yang didahului oleh penjelasan Pimpinan MPR dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD; 2. Tingkat II 14 Pasal 16 dan 17 Peraturan MPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib MPR RI, hlm Pasal 60, ibid., hlm Pasal 65. Ibbid., hlm. 17 8

10 Pembahasan oleh Panitia Ad hock terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan hasil pembahasan pada Tingkat II ini merupakan rancangan keputusan atau ketetapan MPR; 3. Tingkat III Pengambilan keputusan oleh sidang Paripurna MPR setelah mendengar laporan dari Pimpinan Panitia ad hock dan bilamana prlu dengan kata akhir dari Fraksi dan Kelompok DPD. Namun sebelum dilakukan pembicaraan tingkat I, tingkat II, da tingkat III sebagaimana disebutkan di atas dapat didahului dengan Rapat Gabungan. Mekanisme yang disebutkan di atas juga dilakukan pada saat MPR melakukan peninjauan terhadap materi ketetapan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun Hasil peninjauan itulah yang kemudian dituangkan kedalam ketetapan MPR No. 1 Tahhun Perbedaan Pengujian Norma Ketetapan MPR dengan Pengujian Norma Hukum Lainnya. Dalam teori pengujian sebuah norma atau yang juga dikenal dengan 3 norm control mecanisme menyebutkan bahwa ada tiga cara pengujiaan norma. Pertama, pengujian peraturan (regeling) yang biasa dikenal dengan pengujian konstitusionalitas UU (mekanisme ke MK) dan pengujian legalitas norma (mekanisme MA : menguji legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU), kedua, pengujian keputusan (beschiking) atau pengujian terhadap surat keputusan yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara dan alur pengujiannya ke PTUN, dan ketiga pengujian vonnis atau pengujian putusan peradilan yang melalui mekanisme banding, kasasi dan bahkan PK. Dalam konsepsi pengujian yang dikemukakan di atas, menunjukan bahwa tidak ada satu norma atau produk hukum yang tidak dapat diuji, atau dengan kata lain semua produk hukum dapat diuji, hanya mekanisme pengujiannya yang berbeda. Dalam konteks ketetapan MPR, memang menunjukan bahwa mekanisme pengujiannya melalui political riview yang dilakukan oleh lembaga yang mengeluarkan ketetapan tersebut. Hal ini sebetulnya menimbulkan kerancuan 9

11 tersendiri, sebab ketetapan MPR telah masuk dalam hirarki peraturan perundangundangan, maka semestinya mekanisme pengujiannya pun dilakukan melalui mekanisme yudisial bukan melalui mekanisme politik, sebab ketetapan MPR telah masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan dan dengan demikian menjadi sumber hukum bagi sistem hukum nasional dan berdampak secara luas. Jika dilihat mekanisme pengujian TAP MPR dengan produk hukum lainnya yang terdapat dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, dan sebagaimana telah diurai di atas tentang mekanisme pengujian TAP MPR, maka terlihat perbedaan mekanisme. Jika pengujian terhadap produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan dalam hal ini UU, PP, PerPres, Perda, maka terdapat dua metode pengujian, yakni pengujian secara formil yang dilakukan menguji apakah peraturan tersebut dibuat sesuai dengan tahapan dan proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dan kedua pengujian secara materil atau isi daripada peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini berbeda dengan pengujian TAP MPR yang hanya memiliki satu metode saja, yakni metode pengujian secara materil atau substansi dan isi daripada ketetapan MPR tersebut. Hal ini sebagaimana yang dilakukan terhadap peninjauan terhadap materi ketetapan MPR No 1 Tahun Sebuah ketetapan MPR tidak akan memiliki kekuatan hukum mengikat lagi jika ketetapan MPR terssebut telah dicabut oleh MPR dan/atau digantikan dengan ketatapan MPR yang terbaru. 4. Politik Hukum TAP MPR Dalam kaitannya dengan TAP MPR sebagai sebuah produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, memang sangat memunculkan masalah, sebab semagat reformasi sebetulnya telah meletakkan dasar konsepsi check and balanches atau saling kontrol dan mengimbangi dalam sistem ketetanegaraan dan hukum nasional. Hal itu terlihat pada sistem presidential yang dapat dikontrol oleh DPR, DPR dalam pelaksanaan tugasnya saling kontrol dan mengimbangi dengan sebuah lembaga yang baru dibentuk yakni DPD. Dalam konteks produk hukum 10

12 yang kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR bersama Presiden dan DPD, dapat diuji nilai konstitutionalismenya oleh Mahkamah Konstitusi (lembaga yang baru pula) melalui mekanisme pengajuan permohonan pengujian UU terhadap UUD, Komisi Yudisial yang memiliki tugas untuk menjaga marwah dan kode etik hakim dengan cara mengawasi Mahkamah Agung. Dengan kata lain reformasi konstitusi meletakan dasar tentang check and balanches dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal itupula yang menjadi dasar pada UU No. 10 Tahun 2004 bahwa ketetapan MPR tidak lagi dimasukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Akan tetapi hal itu muncul kembali pada saat UU No. 12 Tahun 2011 dibentuk. Hal yang menarik dalam proses pembentukan UU 12 Tahun 2011 yang merupakan hak inisiatif DPR. Dalam Naskah Akademik pembentukan UU ini, tidak tercantum TAP MPR sebagai produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan, hal yang sama juga terlihat pada saat pemerintah menyampaikan pandangannya dalam proses pembentukan UU yang juga tidak memasukan TAP MPR sebagai produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan. Hal ini justru muncul karena adanya kepentingan PDIP dan Golkar dikarenakan adanya TAP MPR yang penting dan dilahirkan pada rezim Soekarno dan Soeharto. 17 Jika mekanisme TAP MPR muncul kembali dalam hirarki peraturan perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya dilakukan oleh MPR, maka hal ini tidak sesuai dengan sistem dan mekanisme check and balanches yang diletakkan oleh MPR pada reformasi konstitusi di tahun 1999, 2000, 2001, Sebab dalam konsep check and balanches harus ada lembaga yang mengimbangi dan mengontrol, khususnya dalam konteks TAP MPR, maka ada baiknya mekanisme pengujiannya dilakukan oleh lembaga yudisial, apalagi TAP MPR telah dimasukan kembali pada hirarki peraturan perundang-undangan. Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kerancuan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan, 17 Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie pada Kuliah Umum di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara kerja sama dengn MK dan ditayangkan dalam video Confrence, dan ditayangkan pula pada gedung video confrence Fakultas hukum UNG. 11

13 1. TAP MPR tetap menjadi hirarki peraturan perundang-undangan jika memang dianggap bahwa TAP MPR yang masih berlaku masih sangat penting dan norma yang tertuang dalam TAP MPR tersebut tidak dapat dipindahkan kedalam UU, maka perlu diatur tentang mekanisme pengujian TAP MPR lewat lembaga yudisial. Hal ini didasarkan karena ; pertama, sebagai konsekuensi ketatanegaraan yang mengharuskan adanya prinsip check and balanches dalam sistem ketatanegaraan dan hukum nasional, sebab jika pengujiannya masih tetap dilakukan oleh MPR, maka pengujiannya akan sangat kental sis subjektifitasnya. Kedua, kewenangan pengujian TAP MPR harus diberikan pada lembaga Mahkamah Konstitusi, sebab mahkamah konstitusi memiliki tugas untuk menjaga dan mengawal nilai-nilai konstitusional daripada UUD NRI Tahun 1945 (the guardian of constitution and democracy) 2. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan harus direvisi khususnya terkait dengan Pasal 7 Ayat 1 yang menyatakan bahwa TAP MPR merupakan produk hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang tingkatannya berada di bawah UUD dan di atas UU. Hal ini didasarkan pada pertimbangan : pertama, dimasukannya kembali TAP MPR dalam hirarki peraturan perundangundagan tidak sesuai dengan semangat reformasi yang terlihat pada kewenangan MK sebagaimana di atur dalam Pasal 24 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD NRI Jikalau memang politik hukum konstitusi ketika itu menganggap bahwa TAP MPR merupakan produk hukum yang harus dimasukan hirarki peraturan perundang, maka pasti akan adanya tambahan frasa pada kewenangan MK yang akan menyatakan bahwa MK berwenang menguji UU dan TAP MPR terhadap UUD, yang hal itu juga mencerminkan prinsip check and balanches dimana MPR dapat dikontrol dan diimbangi oleh MK, namun nyatanya tidak demikian, oleh sebab itu dimasukannya TAP MPR dalam Hirarki peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan semangat reformasi konstitusi. Kedua, lembaga MPR bukanlah 12

14 lagi merupakan lembaga tertinggi negara yang mengandung konsekuensi bahwa MPR tidak lagi memiliki legal power absolut (kekuasaan mutlak membentuk hukum) dan no rival authority (tidak adanya lembaga yang setara kedudukannya dengan MPR). Hal tersebut di atas dapat menjadi politik hukum hirarki peraturan perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya kedepan, sehingga dengan demikian, akan terdapat kesesuaian antara politik hukum hirarki peraturan perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya dengan konsep check and balances yang dianut di dalam UUD 1945, karena politik hukum pada dasarnya merupakan kebijakan negara dalam menentukan arah, bentuk, dan isi daripada hukum yang dicita-citakan. D. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan a. Kedudukan ketetatapn MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan menimbulkan implikasi yang sangat besar, sebab dari segi penamaan, ketetapan berarti sifatnya konkrit individual, oleh sebab itu tidak cocok dimasukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, disamping itu, kedudukan TAP MPR tidaklah sesuai dengan semangat reformasi. Jikalau ada norma TAP MPR yang masih dianggap perlu, maka sebaiknya diakomodir dalam UU khusus misalnya UU tentang larangan ajaran Komunis dst. b. Political riview terhadap TAP MPR pernah dilakukan oleh MPR di tahun 2003, akan tetapi yang dilakukan pada saat itu adalah peninjauan bukanlah pengujian. Hal ini tentu berbeda, jika pengujian, maka proses yang dilakukan adalah menguji norma hukum dengan batu uji produk hukum yang lebih tinggi, sementara peninjauan berarti proses yang dilakukan dengan menggunakan batu uji politik. Hal itu yang dilakukan pada tahun 2003, bahwa political riview yang dilakukan oleh MPR adalah melakukan peninjaun TAP MPR yang sudah tidak diberlakukan lagi karena sifatnya yang einmalig (hanya berlaku sekali), dan TAP MPR mana yang masih terus diberlakukan. Selain itu, jika Indonesia ingin konsisten dengan 13

15 konsep check and balances sebagai sebuah konsep yang diletakkan sebagai dasar pada substansi perubahan UUD 1945 di tahun , maka seharusnya pengujian norma TAP MPR diserahkan dan dilakukan oleh lembaga yudisial yaitu Mahkamah Konstitusi, sebab, Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution (pelindung UUD). 2. Saran a. Pemerintah perlu melakukan kajian lebih mendalam tentang eksistensi Pasal 7 Ayat 1 yang memasukan kembali TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan, sebab memiliki implikasi hukum bahwa terdapat kekosongan hukum tentang lembaga mana yang memiliki kewenangan hukum tentang pengujian TAP MPR. Implikasi lainnya adalah tentang kedudukan TAP MPR yang letaknya berada di bawah UUD dan di atas UU, hal ini dapat menjadikan bahwa TAP MPR akan menjadi acuan bagi pembentukan peraturan di bawahnya. b. Pemerintah perlu merevisi kembali UU No. 12 Tahun 2011 dan mengembalikan kembali tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang di atur dalam Pasal 7 Ayat 1 UU No. 10 Tahun 2004 yang tidak memasukan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundangundangan. Kalaupun masih terdapat ketetapan MPR yang berlaku seperti Ketetapan MPR tentang larangan ajaran komunisme, maka norma yang terdapat dalam ketetapan MPR tersebut diatur kedalam UU, sehingga TAP MPR tidak perlu lagi dijadikan sebagai salah satu produk hukum yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan. 14

16 DAFTAR PUSTAKA Bagir Manan, 2003, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta; Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press. Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta; Raja Grafindo. Jimly Asshiddiqie, 2011, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi kedua cetakan kedua, Jakarta; Sinar Grafika , 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta; Sekretariat dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Syafa at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cetakan pertama, Jakarta, KONpress. Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2002, Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan UUD RI Tahun 1945, Jakarta; Sekretariat MPR. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. RM. AB. Kusuma, 2004, Lahirnya UUD 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Pada Akhir Abad ke-20, Bandung; Alumni. TA. Legowo, 2005, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Jakarta; Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. I Jakarta; Balai Pustaka. 15

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang mendaulat diri sebagai negara hukum sebagaimana dituangkan secara eksplisit dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 1945 1. Hal

Lebih terperinci

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan

Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Tugas dan Fungsi MPR Serta Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Oleh: Dr. (HC) AM. Fatwa Wakil Ketua MPR RI Kekuasaan Penyelenggaraan Negara Dalam rangka pembahasan tentang organisisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut

I. PENDAHULUAN. praktik ketatanegaraan Indonesia. Setiap gagasan akan perubahan tersebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bergulirnya reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 membawa dampak banyak perubahan di negeri ini, tidak terkecuali terhadap sistem dan praktik ketatanegaraan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUDNRI 1945) pada Pasal 1 Ayat (2) mengamanatkan bahwa kedaulatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah pada tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membuat UU. Sehubungan dengan judicial review, Maruarar Siahaan (2011: 34 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Judicial Review Kewenangan Judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat UU. Sehubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di zaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. Seperti dapat diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950,

Lebih terperinci

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1

MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 MENGGAPAI KEDAULATAN RAKYAT YANG MENYEJAHTERAKAN RAKYAT 1 Oleh: Siti Awaliyah, S.Pd, S.H, M.Hum Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang A. Pengantar Kedaulatan merupakan salahsatu

Lebih terperinci

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai

PENUTUP. partai politik, sedangkan Dewan Perwakilan Daerah dipandang sebagai 105 BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin bangsa, negarawan pendiri NKRI dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah berhasil merumuskan konstitusi Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama

BAB I PENDAHULUAN. dapat diubah oleh MPR sekalipun, pada tanggal 19 Oktober 1999 untuk pertama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setelah pemerintah orde baru mengakhiri masa pemerintahannya pada tanggal 20 Mei 1998 melalui suatu gerakan reformasi, disusul dengan percepatan pemilu di tahun 1999,

Lebih terperinci

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN

BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN BAB II KOMISI YUDISIAL, MAHKAMAH KONSTITUSI, PENGAWASAN A. Komisi Yudisial Komisi Yudisial merupakan lembaga tinggi negara yang bersifat independen. Lembaga ini banyak berkaitan dengan struktur yudikatif

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman.

SKRIPSI. Diajukan Guna Memenuhi Sebagai Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : Nama : Adri Suwirman. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 006/PUU-IV TAHUN 2006 TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum, yang kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. atas hukum, yang kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik, berdasarkan atas hukum, yang kekuasaan tertinggi dalam negara berada di tangan rakyat. Kedaulatan

Lebih terperinci

BAB SATU PENDAHULUAN

BAB SATU PENDAHULUAN 1 BAB SATU PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam negara hukum, pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian penting yang mendapat perhatian serius. Undang-undang dalam negara hukum berfungsi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum (pemilu) untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. 1 Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Konsep yang dianut adalah konsep negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan

BAB I PENDAHULUAN. susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara senantiasa memiliki seperangkat kaidah yang mengatur susunan organisasi negara yang terdiri dari organ-organ atau jabatan-jabatan kenegaraan untuk menjalankan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MATERI AUDIENSI DAN DIALOG DENGAN FINALIS CERDAS CERMAT PANCASILA, UUD NEGARA RI TAHUN 1945, NKRI, BHINNEKA TUNGGAL IKA, DAN KETETAPAN MPR Dr. H. Marzuki Alie

Lebih terperinci

IMPEACHMENT WAKIL PRESIDEN. Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum.

IMPEACHMENT WAKIL PRESIDEN. Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum. IMPEACHMENT WAKIL PRESIDEN Oleh : Dr. H. Nandang Alamsah Deliarnoor, S.H., M.Hum. Sungguh mengejutkan pernyataan Ekonom Faisal Basri yang menyatakan bahwa : Sayangnya wapres tak bisa di-impeach, tapi mungkin

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan

BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA. A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan BAB II PENGATURAN TUGAS DAN WEWENANG DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA A. Kewenangan Memberi Pertimbangan dan Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah DPD sebagai Lembaga Negara mengemban fungsi dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana penegasannya dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diberitakan kemungkinan bakal menjadi calon tunggal dalam pemilihan presiden tahun 2009. Kemungkinan calon tunggal dalam pilpres

Lebih terperinci

KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR LAPORAN PENELITIAN MANDIRI KEWENANGAN MPR UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR Oleh : COKORDA ISTRI ANOM PEMAYUN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 PENDAHULUAN Menurut Montesque

Lebih terperinci

12 Media Bina Ilmiah ISSN No

12 Media Bina Ilmiah ISSN No 12 Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787 KEWENANGAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN RI MENURUT UUD 1945 Oleh : Jaini Bidaya Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram Abstrak: Penelitian ini berjudul Kewenangan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah

BAB I Pendahuluan. A. Latar belakang Masalah BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 yang menyatakan,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN

PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN 1 PENGGUNAAN HAK RECALL ANGGOTA DPR MENURUT PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (MD3) FITRI LAMEO JOHAN JASIN NUR MOH. KASIM JURUSAN ILMU HUKUM ABSTRAK Fitri Lameo.

Lebih terperinci

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P

2018, No Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang P No.29, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6187) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi di Tahun 1998, melahirkan sejarah baru dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia hal tersebut dibuktikan dengan adanya amandamen konstitusi negara yang terjadi

Lebih terperinci

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara

keberadaan MK pd awalnya adalah untuk menjalankan judicial review itu sendiri dapat dipahami sebagai and balances antar cabang kekuasaan negara Gagasan Judicial Review Pembentukan MK tidak dapat dilepaskan dari perkembangan hukum & keratanegaraan tentang pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan atau judicial review. keberadaan MK pd awalnya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA ------- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

Lebih terperinci

KEWENANGAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

KEWENANGAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI KEWENANGAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh : Ni Kadek Riza Sartika Setiawati Nyoman Mas Aryani Bagian Penyelenggaraan Negara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945

KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 KEWEWENANGAN PRESIDEN DALAM BIDANG KEHAKIMAN SETELAH AMANDEMEN UUD 1945 Oleh : Masriyani ABSTRAK Sebelum amandemen UUD 1945 kewenangan Presiden selaku kepala Negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. sesuai yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. sesuai yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik sesuai yang diamanatkan pada Pasal 1 ayat (1) UUD RI 1945. Guna mewujudkan Negara Kesatuan

Lebih terperinci

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara Bagan Lembaga Negara Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tugas dan Wewenang MPR Berikut tugas dan wewenang dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 50 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Definisi tentang peran bisa diperoleh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1051) yang mengartikannya sebagai perangkat tingkah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintah

Lebih terperinci

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PANCASILA DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM 1. Penegakan Hukum Penegakan hukum mengandung makna formil sebagai prosedur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala

BAB I PENDAHULUAN. pelaku sepenuhnya dari kedaulatan rakyat Indonesia, Presiden sebagai kepala 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu perubahan mendasar dari UUD 1945 pasca amandemen adalah kedudukan Presiden yang bukan lagi sebagai mandataris dari MPR. Sebelum amandemen, MPR merupakan

Lebih terperinci

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam

Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam TUGAS AKHIR SEMESTER Mata Kuliah: Hukum tentang Lembaga Negara Dosen: Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M Mengenal Mahkamah Agung Lebih Dalam Oleh: Nurul Hapsari Lubis 110110130307 Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 8 No. 2, April-Juni 2014 ISSN 1978-5186 DINAMIKA KEDUDUKAN TAP MPR DI DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Fakultas Hukum, Universitas Lampung Email: Martha.rianand@fh.unila.ac.id

Lebih terperinci

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI Lembaga negara merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi, tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk

BAB I PENDAHULUAN. adanya pemerintah yang berdaulat dan terakhir yang juga merupakan unsur untuk BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Negara adalah suatu organisasi yang terdiri dari masyarakat yang mempunyai sifat-sifat khusus antara lain sifat memaksa, dan sifat monopoli untuk mencapai tujuannya.

Lebih terperinci

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan)

MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) JURNAL MAJELIS MPR Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (Kedudukan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan) Oleh: Dr. BRA. Mooryati Sudibyo Wakil Ketua MPR RI n Vol. 1 No.1. Agustus 2009 Pengantar Tepat pada ulang

Lebih terperinci

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016 Dinamika perkembangan ketatanegaraan di Indonesia terusterjadi. Hal yang kembali mencuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional

AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional Dewi Triwahyuni AMANDEMEN (amendment) artinya perubahan atau mengubah. to change the constitution Contitutional amendment To revise the constitution Constitutional revision To alter the constitution Constitutional

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida

Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Rudy, dan Reisa Malida Pemetaan Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Mahkamah Konstitusi Rudy, dan Reisa Malida Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Unila Mahasiswa Bagian HTN angkatan 2009 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk

Lebih terperinci

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif.

BAB I PENDAHULUAN. yang ditetapkan oleh lembaga legislatif. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semenjak demokrasi menjadi atribut utama Negara modern, maka lembaga perwakilan merupakan mekanisme utama untuk merealisasi gagasan normatif bahwa pemerintahan

Lebih terperinci

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana

CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA. Montisa Mariana CHECK AND BALANCES ANTAR LEMBAGA NEGARA DI DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA Montisa Mariana Fakultas Hukum, Universitas Swadaya Gunung Jati E-mail korespondensi: montisa.mariana@gmail.com Abstrak Sistem

Lebih terperinci

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 FUNGSI LEGISLASI DPD-RI BERDASARKAN PASAL 22D UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 Oleh: I Putu Hendra Wijaya I Made Subawa Ni Made Ari Yuliartini Griadhi Program Kekhususan Hukum Ketatanegaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem norma hukum di Indonesia, norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, sekaligus berkelompok-kelompok,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). 1 Di dalam sebuah Negara Hukum yang demokratis, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan dasar mengenai ketatanegaraan. 1 Berdirinya sebuah negara tidak lepas dari adanya konstitusi yang mendasarinya. Konstitusi

Lebih terperinci

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945

BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA. A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 33 BAB II MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI BAGIAN DARI KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA A. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebelum Perubahan UUD 1945 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan, kekuasaan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.182, 2014 LEGISLATIF. MPR. DPR. DPD. DPRD. Kedudukan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945.

Cita hukum Pancasila harus mencerminkan tujuan menegara dan seperangkat nilai dasar yang tercantum baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh UUD 1945. Disampaikan dalam acara Sosialisasi Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara Bagi Pengurus dan Kader Penggerak Masyarakat Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang diselenggarakan oleh Mahkamah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara 187 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Ada peluang yuridis perubahan non-formal konstitusi dalam hal bentuk negara bentuk negara kesatuan Indonesia. Ditemukan 7 peluang yuridis terjadinya perubahan non-formal

Lebih terperinci

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at

KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at KEDUDUKAN KETETAPAN MPR DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA Oleh: Muchamad Ali Safa at MPR DAN PERUBAHAN STRUKTUR KETATANEGARAAN Salah satu perubahan mendasar dalam UUD 1945 adalah perubahan

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H.

REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA. Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 REKONSTRUKSI KEDUDUKAN DAN HUBUNGAN ANTARA MAHKAMAH AGUNG, MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KOMISI YUDISIAL DI INDONESIA Oleh: Antikowati, S.H.,M.H. 1 ABSTRAK Undang-Undang Dasar 1945 (pasca amandemen) tidak

Lebih terperinci

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) 1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang pada masa ini hampir secara global dianut adalah asas demokrasi. Pada

BAB I PENDAHULUAN. yang pada masa ini hampir secara global dianut adalah asas demokrasi. Pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu asas fundamental sekaligus landasan utama kehidupan bernegara yang pada masa ini hampir secara global dianut adalah asas demokrasi. Pada dasarnya demokrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya

I. PENDAHULUAN. Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya I. PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Perubahan Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD tahun 1945) tidak hanya didasari oleh keinginan untuk hidup berbangsa dan bernegara secara demokratis. Terdapat alasan lain

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Modul ke: 07 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law Fakultas PSIKOLOGI Program Studi PSIKOLOGI Rizky Dwi Pradana, M.Si Sub Bahasan 1. Pengertian dan Definisi Konstitusi 2. Hakikat dan Fungsi

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review

PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial Review MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HUKUM ACARA PERADILAN KONSTITUSI PERTANYAAN Bagaimanakan kasus Marbury vs Madison Apa alasan John Marshall membatalkan Judiciary Act. Bagaimana pemikiran Yamin tentang Yudisial

Lebih terperinci

KONSTITUSI DAN RULE OF LAW

KONSTITUSI DAN RULE OF LAW KONSTITUSI DAN RULE OF LAW Modul ke: 07 Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Program Studi Akuntansi Manajemen A. Pengertian dan Definisi Konstitusi B. Hakikat dan fungsi Konstitusi (UUD) C. Dinamika Pelaksanaan

Lebih terperinci

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI BIDANG LEGISLASI ABSTRACT: Oleh : I Nyoman Wahyu Sukma Suriyawan I Wayan Novy Purwanto Bagian Hukum Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Udayana Authority to legislate

Lebih terperinci

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun Dalam rangka penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan merata berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BAB II KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Ketatanegaraan Indonesia 1. Pengertian Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada

BAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara

Lebih terperinci

Kewenangan MPR Dalam Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden

Kewenangan MPR Dalam Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden Makalah HTLN Kewenangan MPR Dalam Pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden Putri Sion Haholongan 110110130337 Latar Belakang Sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, MPR memiliki sebagai lembaga

Lebih terperinci

MPR sebelum amandemen :

MPR sebelum amandemen : Dalam UUD 1945, tidak dirinci secara tegas bagai mana pembentukan awal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Penelusuran sejarah mengenai cikal-bakal terbentuknya majelis menjadi sangat penting dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law)

BAB I PENDAHULUAN. disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat UUD RI Tahun 1945, adalah hukum dasar tertulis (basic law) dan merupakan konstitusi bagi pemerintahan

Lebih terperinci

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. KOMISI YUDISIAL BARU DAN PENATAAN SISTEM INFRA-STRUKTUR ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1. A. PERKEMBANGAN KONTEMPORER SISTEM ETIKA PUBLIK Dewasa ini, sistem etika memperoleh

Lebih terperinci

PENGENALAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENDIDIKAN KESADARAN BERKONSTITUSI 1 Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2

PENGENALAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENDIDIKAN KESADARAN BERKONSTITUSI 1 Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2 PENGENALAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENDIDIKAN KESADARAN BERKONSTITUSI 1 Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. 2 Selama 4 kali berturut-turut bangsa kita telah menyelesaikan agenda perubahan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal

BAB V PENUTUP. 1. Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal 165 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal frame work), mempunyai peranan penting. Politik hukum sebagai upaya mewujudkan ius contituendum (hukum

Lebih terperinci

Kewenangan pembatalan peraturan daerah

Kewenangan pembatalan peraturan daerah Kewenangan pembatalan peraturan daerah Oleh : Dadang Gandhi, SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang Email: dadanggandhi@yahoo.co.id Abstrak Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN

Lebih terperinci

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I

Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara. Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I Urgensi Menata Ulang Kelembagaan Negara Maryam Nur Hidayat i-p enelit i P usat St udi Fakult as Hukum UI I Prolog Lembaga negara (staatsorgaan/political institution) merupakan suatu organisasi yang tugas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi kesinambungan dibandingkan dengan

Lebih terperinci

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan

Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP Widyaiswara LPMP Sulawesi Selatan TRIAS POLITICA DI INDONESIA, ANTARA SEPARATION OF POWER DENGAN DISTRIBUTION OF POWER, MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945. Faridah T, S.Pd., M.Pd. NIP.19651216 198903

Lebih terperinci

DASAR PERTIMBANGAN MASUKNYA KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Oleh : Masriyani, S.H., M.H. Abstract

DASAR PERTIMBANGAN MASUKNYA KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Oleh : Masriyani, S.H., M.H. Abstract DASAR PERTIMBANGAN MASUKNYA KETETAPAN MPR DALAM HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh : Masriyani, S.H., M.H. Abstract Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Lebih terperinci

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA

EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA EKSISTENSI KETETAPAN MPR RI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DI INDONESIA Ismail Marzuki Dosen Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Mataram e-mail:mailmarzuki78@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH 2.1. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi 2.1.1. Pengertian Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila

Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya. Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Implementasi Kewenangan Kepala Daerah Dalam Pembuatan Perda Dan Peraturan Lainnya Yusdiyanto Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unila Abstrak Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, mengatakan pemerintah

Lebih terperinci

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1361, 2016 DPR. Prolegnas. Penyusunan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang (UU) tehadap Undang-Undang Dasar (UUD). Kewenangan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ada satu peristiwa penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1999 yang

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM. Abstrak ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRODUK HUKUM KETETAPAN MPR SETELAH PERUBAHAN UUD 1945 Drs Munif Rochmawanto, SH,MH,MM Abstrak Salah salah satu berkah reformasi adalah perubahan Undang Undang Dasar 1945 dimana

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci