Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga"

Transkripsi

1 Bab Empat Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Pengantar Di tengah tantangan untuk mewujudkan ketahanan pangan di tingkat nasional yang semakin besar, ternyata organisasi subak di Bali termasuk di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan memiliki keyakinan bahwa ketahanan pangan akan tetap mampu dicapai dan dipertahankan melalui eksistensi subak. Keyakinan tersebut sangat besar karena di Bali pada kenyataannya organisasi ini masih tetap bisa eksis dalam jangka waktu hampir se abad lalu, 1 dan bertahan sampai sekarang. Melalui kajian yang terus-menerus terhadap subak baik terhadap aspek kekuatan dan kelemahan subak maka diharapkan subak sebagai salah satu kearifan lokal dan kekayaan budaya Indonesia mampu dilestarikan dan lebih diberdayakan dalam rangka mendukung pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati (Sutawan, 2003 dan Windia, 2010). Pelestarian subak tentu saja bukan hanya mempertahankan nilai-nilai tradisional, tetapi sekaligus membina dan mengembangkan unsur-unsur subak termasuk anggota subak untuk menyesuaikan praktik-praktik yang selama ini dilakukan oleh subak agar sesuai dengan kebutuhan dan kemajuan teknologi pada zaman globalisasi saat ini. Berkaitan dengan usaha pelestarian subak sebagai salah satu 1 Subak dikenal mulai tahun 1900an (aband IX) 53

2 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga organisasi penyangga ketahanan pangan dan hayati di Kabupaten Tabanan maka bab ini akan memuat tentang salah satu kawasan yang saat ini sedang diusulkan menjadi kawasan budaya dunia yang diberikan oleh UNESCO yaitu Kawasan Catur Angga. Kawasan Catur Angga berlokasi di Kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Kawasan ini merupakan rangkaian areal pertanian yang meliputi 15 subak yang terletak pada kawasan suci di antara lima buah Pura besar di Kabupaten Tabanan. Di samping dianggap sebagai kawasan suci, ternyata kawasan ini juga merupakan kawasan sumber air bagi Kabupaten Tabanan. Subak Wongaya Betan yang terletak di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan merupakan salah satu dari subak yang terletak di Kawasan Catur Angga, dan subak ini akan menjadi daerah penelitian untuk pengambilan data dari disertasi ini. Subak di Bali menurut Windia (2010) memiliki empat elemen dasar yaitu: (1) lahan pertanian (sawah); (2) sumber air; (3) anggota subak dan (4) pura subak (Water Temple). Demikian juga halnya dengan Subak Wongaya Betan yang terletak di Banjar Dinas Wongaya Betan memiliki ke empat elemen subak tersebut. Pertama adalah Luas lahan garapan, dimana Subak Wongaya Betan memiliki sekitar 76 hektar. Lahan ini hampir keseluruhannya merupakan areal persawahan setengah teknis. Rata-rata kepemilikan lahan anggotanya adalah 0,35 hektar 0,80 hektar. Kedua adalah anggota subak yang pada awalnya (tahun 1993) berjumlah 106 petani, akan tetapi 10 dari anggotanya tersebut mengalih profesi ke bidang di luar pertanian sehingga saat ini anggota Subak Wongaya Betan adalah 96 orang. Anggota yang berjumlah 96 orang ini adalah kepala keluarga (laki-laki) yang memiliki lahan sawah di wilayah Subak Wongaya Betan biasanya disebut krama lanang, sedangkan istri dari anggota subak otomatis juga menjadi bagian dari anggota subak dan disebut krama istri. Pada kegiatan-kegiatan tertentu (seperti dalam persiapan sesajen dan pelaksanaan ritual) maka krama istri akan ikut terlibat aktif. Elemen ketiga adalah sumber air. Subak Wongaya Betan memiliki sumber air yang berasal dari DAS (Daerah Aliran Sungai) Yeh Ho. Yeh Ho (sungai Ho) merupakan sumber utama bagi ribuan hektar sawah di Kota Tabanan. 54

3 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Oleh karena lokasi Subak Wongaya Betan berada di bagian hulu (up stream) dari ekosistem subak di Kabupaten Tabanan, maka kelestarian sumber air di Subak ini akan sangat berperan penting dalam pelestarian pertanian di bagian hilir ekosistem subak di Kabupaten Tabanan. Elemen yang keempat adalah Pura Subak (Water Temple), dimana Subak Wongaya Betan memiliki pura untuk pemujaan Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Adapun Pura yang dimiliki oleh Subak Wongaya Betan adalah Pura Ulun Suwi yang terletak di bagian hulu areal subak (bagian munduk Juukan), Pura Bedugul yang terletak di bagian tengah areal subak (bagian munduk desa), dan Pura Penaringan yang terletak di bagian hilir areal Subak Wongaya Betan. Pada masing-masing pura ini anggota subak memiliki kewajiban untuk melaksanakan ritual untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan kehidupan bagi anggota subak serta mohon keberhasilan pertanaman mereka di lahan masing-masing. Lansing (1987) melakukan kajian tentang keterkaitan antara pura subak dengan sistem pengorganisasian air pada beberapa subak di Bali. Dari hasil penelitiannya Lansing menemukan bahwa sistem irigasi di Bali selain diorganisir oleh pemerintah dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum (PU) ternyata juga diatur oleh keberadaan Pura Subak (water temple). Mencermati beberapa bahasan sebelumnya maka bab ini akan memuat tentang Kawasan Catur Angga dan Subak Wongaya Betan (SWB), dimana kawasan ini merupakan suatu kawasan di Kabupaten Tabanan yang memiliki posisi yang sangat penting bagi keberhasilan ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan di wilayah ini dan juga Bali pada umumnya. Perkembangan Subak Terasa tidak lengkap berbicara tentang subak apabila tidak mengetahui mengenai perubahan-perubahan yang dialami subak sejak diduga berdiri pada abad IX. Untuk melengkapi perkem-bangan subak maka pada pembahasan ini akan memuat perkembangan subak pada masa Kerajaan, masa Kolonial, masa Orde Lama, masa Orde Baru dan masa Reformasi. Karena penulis kesulitan untuk menemui orang-orang yang langsung mengalami perkembangan pada beberapa masa tersebut, 55

4 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga maka pemaparan akan bersumber dari data sekunder 2 yang menjadi acuan dalam pemaparan perkembangan subak pada bagian ini. Pemaparan tentang perkembangan subak pada bagian ini memuat perkembangan subak dari masa ke masa secara umum (general), sehingga tidak membahas perkembangan elemen-elemen subak secara khusus. Subak Pada Masa Kerajaan-Kerajaan Tidak banyak yang tahu kapan sesungguhnya subak awalnya terbentuk. Akan tetapi berdasarkan beberapa prasasti (di antaranya Prasasti Pandak Bandung) di ungkapkan subak mulai dikenal pada abad IX. Pada masa itu subak hanya dikenal sebagai kumpulan masyarakat petani yang memiliki aturan pembagian air secara tradisional terutama pada lahan sawah. Tidak dijelaskan dengan pasti seberapa besar peran penguasa (Raja) pada masa ini. Tetapi ada dugaan kalau Raja tidak terlibat langsung dalam pembangunan sistem pembagian air. Rakyat (masyarakat) membangun, memelihara dan mengelola secara mandiri empelan (sumber air) dan terowongan dengan segala fasilitasnya. Jadi peran Raja hanya pada pemberian izin dalam pembukaan hutan untuk lahan persawahan dan pemanfaatan sungai sebagai sumber air. Peran Raja dalam urusan pemberian ijin ini dikuasakan kepada pejabat istana yang juga berfungsi sebagai bendahara kerajaan. 2 Adapun yang menjadi acuan dalam menggambarkan perkembangan subak di Bali adalah beberapa pustaka sebagai berikut: Budiastra, P dan W. Suanda (1986). Museum Subak, Proyek Pengembangan Permuseuman Bali, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Geriya, I. W. (1985). Pola Kehidupan Petani Subak Rejasa di Tabanan. Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI, (2010). Nominasi untuk Warisan Budaya Dunia UNESCO. Cultural Landscape of Bali Province Lansing, J.S. (1991). Priest and programmers, Princeton Univ.Press, Princeton, USA. Sirtha, N. (2008). Subak Konsep Pertanian Religius Perspektif Hukum. Budaya dan Agama Hindu. Paramita Surabaya. Suadnya, I Gst. Made (1990). Mengenal Subak. Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Dati I Bali, Sub Dinas Pengairan Sutawan, I. N. (2008). Organisasi dan Manajemen Subak di Bali. PT BaliPost, Denpasar Wardha, I W (1989). Subak Dari Sisi Perkumpulan. Analisis Hasil Penelitian Arkeologi. Denpasar. 56

5 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Walaupun terbentuk secara tradisional, ternyata pada masa kerajaan ini subak sudah memiliki kepengurusan yang bervariasi sesuai dengan luas areal persawahan dan jumlah anggota yang terlibat. Secara umum susunan pengurus subak terdiri dari Pekaseh (ketua subak); Penyarikan (sekretaris); Kesinoman (juru arah). Pada zaman Kerajaan Majapahit (tahun 1343 Masehi), Raja mengangkat seorang sedahan yang bertugas mengkoordinasikan beberapa wilayah subak guna melancarkan pemungutan pajak yang harus dibayar oleh warga subak. Jadi sejak zaman kerajaan subak sudah diharuskan membayar pajak kepada Raja sesuai dengan luasan lahan yang dimiliki melalui Sedahan. Sistem perpajakan yang diberlakukan pada masa kerajaan ini adalah suwinih. Yang menarik adalah suwinih yang dipungut oleh sedahan seringkali tidak dimasukkan ke dalam kas kerajaan, akan tetapi kembali dimanfaatkan untuk pembiayaan pelaksanaan upacara (ritual) di pura subak. Subak Pada Masa Kolonial Ketika Kolonial mulai berkuasa di Bali, maka sistem pembagian air yang dilakukan secara tradisional oleh subak, mulai mendapat perhatian dengan pembangunan beberapa dam (bendungan) dan sistem pembagian airnya disebut irigasi. Diawali pada tahun 1914, pemerintah Hindia-Belanda membangun dam di Pejeng (Kabupaten Gianyar), kemudian dam Mambal (Kabupaten Badung), berikutnya dam Oongan (Kota Denpasar) dan dam Apuan (Kabupaten Tabanan). Hampir sejalan dengan arah kebijakan pada masa kerajaan di mana subak dilihat prospektif sebagai penyetor pajak, maka pada masa kolonial ini subak juga dilihat sebagai sebuah lembaga yang sangat efektif untuk difungsikan sebagai pemungutan pajak pertanian (landrente). Sehingga pada tahun 1925 pemerintah Hindia-Belanda melakukan pengukuran ulang tanah-tanah sawah secara lebih pasti. Gerakan pengukuran ulang ini pada masa itu dikenal dengan istilah klasier. Dengan adanya klasier ini maka berdampak pada struktur organisasi subak, yang pada masa kerajaan hanya dikoordinasikan oleh sedahan, maka pada masa kolonial diangkat lagi sedahan agung yang memiliki tugas mengkoordinasikan sedahan. Selain itu tugas seorang sedahan agung adalah melakukan pengawasan empelan (dam) dan saluran irigasi serta mengatur distribusi serta alokasi air irgasi. 57

6 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Subak Pada Masa Orde Lama Subak pada masa Orde Lama sepertinya tidak terlalu mengalami perkembangan. Hal ini diduga karena pada masa itu pemerintah dan masyarakat Indonesia masih disibukkan dengan urusan kemerdekaan Indonesia. Sehingga pada masa ini hanya beberapa hal yang sempat dilakukan pemerintah terhadap subak, yaitu mulai adanya bantuan pemerintah kepada petani yang tergabung dalam subak. Bantuan tersebut sebagian besar berupa sarana peningkatan atau perbaikan empelan (sumber air) dan saluran primer. Tercatat pada masa pemerintahan Orde Lama diperkirakan baru hektar sawah di Bali yang mendapatkan air dari jaringan irigasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Sampai pada awal Repelita I jaringan irigasi baru bisa mengairi hektar sawah, dan sudah mulai dilakukan perbaikan jaringan sekunder. Pada masa ini fungsi sedahan agung tetap dipertahankan seperti pada masa kolonial dan malahan sejak tahun 1955 sedahan agung diangkat menjadi pegawai pemerintah (PNS). Jadi pada masa Orde Lama sedahan agung memiliki otoritas dalam melaksanakan fungsinya sebagai pembina subak. Subak Pada Masa Orde Baru Pada masa pemerintahan Orde Baru, subak mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di samping karena pemerintah pada masa ini sangat memperhatikan pertanian, juga karena adanya desakan akan pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat Indonesia. Maka sejak tahun 1979 pemerintah mulai mencanangkan proyek-proyek peningkatan jaringan irigasi tersier bagi subak. Pada masa ini, keterlibatan pemerintah dalam bidang irigasi menyebabkan pengambil alihan pula pada tanggung jawab operasi dan pemeliharaan jaringan utama (mulai dari bendungan, jaringan primer dan sekunder). Tanggung jawab subak pada masa ini hanya pada operasi dan pemeliharaan saluran tersier. Pada masa Orde Baru ini proyek-proyek peningkatan jaringan irigasi yang dilakukan pemerintah terutama di Bali akhirnya menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif tentu saja dengan adanya perbaikan irigasi dari setengah permanen ke permanen menyebabkan intensitas tanam semakin meningkat yang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan produksi per satuan luas. Apalagi 58

7 Perempuan Bali dalam Ritual Subak diikuti dengan adanya teknologi moderen (revolusi hijau) yang memperkenalkan varietas padi unggul yang sangat responsif terhadap pemupukan. Teknologi ini akhirnya memberikan pengaruh menyeluruh (multiflier effect) terhadap penggunaan pupuk anorganik, penggunaan obat-obatan kimia secara intensif untuk pemberantasan hama dan penyakit tanaman (HPT). Dampak inilah yang nantinya sangat mempengaruhi beberapa elemen subak seperti yang telah dijelaskan pada bab lima. Dampak lainnya yang sebelumnya tidak diantisipasi oleh pemerintah adalah adanya konflik antar anggota subak maupun antar subak yang berkaitan dengan pembagian air irigasi. Dimana konflik seperti ini sebelumnya tidak pernah terjadi pada masa irigasi masih dikelola secara mandiri oleh subak. Beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa pendekatan pemerintah pada masa Orde Baru tidak partisipatoris sehingga kebijakan yang diambil cenderung bersifat top down. Akan tetapi karena ambisi pemerintah dengan program revolusi hijaunya, maka subak pada masa ini seolah menjadi tim sukses pemerintah tanpa memperhatikan keberlanjutan aspek-aspek kelembagaan yang selama ini sudah mengakar pada organisasi ini. Kalau boleh digambarkan maka masa Orde Baru menjadikan subak sebagai suatu sistem irigasi yang rawan konflik. Fungsi sedahan agung yang pada masa Orde Lama memiliki otoritas dalam pembinaan subak yang kemudian diperkuat melalui Perda Provinsi Bali No. 02/PD/DPRD/ 1972, mulai tahun 1976 mengalami pengurangan peran dengan penggabungan lembaga ini ke dalam lembaga Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah). Apalagi ketika jabatan sebagai kepala sedahan agung mulai dirangkap oleh kepala Dispenda, maka fungsi sedahan agung justru lebih fokus kepada pemungutan pajak. Sehingga peran pembinaan kepada subak lebih sering terabaikan. Pada masa Orde Baru memang perhatian pemerintah sangat intensif terhadap kemajuan subak, misalnya dengan melaksanakan lomba subak tingkat kabupaten sampai provinsi secara regular tiap tahun. Kemudian pada tahun 1988 Gubernur Bali meresmikan pusat pendidikan dan latihan informasi dan dokumentasi subak yang disebut Mandala Mantika Subak (sekarang lebih dikenal dengan Museum Subak) yang terletak di Kabupaten Tabanan. Akan tetapi tetap harus diakui bahwa belum banyak manfaat dan dampak yang dapat dilihat 59

8 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga terhadap kinerja dan kemajuan subak yang mendapat pembinaan dari pemerintah. Subak Pada Masa Reformasi Komitmen Bupati Tabanan untuk mengembangkan dan menjaga kelestarian subak dibuktikan dengan pembentukan tim pengembangan objek wisata museum subak melalui Surat Keputusan Bupati No. 353 tahun Dan dengan adanya otonomi daerah maka Pemda Tabanan mengambil alih pengelolaan museum subak, karena lokasi museum memang berada pada wilayah Kabupaten Tabanan. Akan tetapi karena masih adanya ketidakpastian instansi yang diberikan tanggung jawab dalam pengelolaam museum tersebut maka sampai saat ini perkembangan museum masih jalan ditempat. Hal yang sama juga dialami oleh lembaga sedahan agung yang notabene memiliki fungsi untuk membina subak, secara lambat laun dihapuskan sejak tahun Sehingga subak sering merasa kebingungan pada saat mereka memerlukan konsultasi tentang masalahmasalah yang dialami oleh subak. Dari situasi ini maka banyak usulan untuk mengaktifkan kembali lembaga sedahan agung, dan sebaiknya kedudukannya dipisahkan dengan Dispenda. Fungsi sedahan agung agar tidak dicampur-baurkan dengan pemungutan pajak, sehingga sedahan agung dapat fokus pada pembinaan subak dan penyelesaian masalah-masalah di subak. Sejak tahun 2010 ketika ada wacana untuk menjadikan beberapa wilayah di Bali sebagai kawasan budaya dunia (culture heritage), maka kawasan Catur Angga Batukaru merupakan salah satu nominasinya. Sejak saat itu maka subak di kawasan ini mendapat perhatian lebih banyak apalagi dengan kesuksesan beberapa subak di kawasan ini memperoleh sertifikasi organik pada produksi padi mereka. Kawasan Catur Angga Kawasan Jatiluwih terletak dilokasi Gunung Batukaru pada hamparan di antara dua danau, yaitu Danau Tamblingan dan Danau Buyan. Di samping itu kawasan ini juga terletak pada daerah penyangga kawasan suci yang terdiri dari beberapa pura yaitu Pura Luhur Batukaru, Pura Petali, Pura Besi Kalung, Pura Muncak Sari, dan Pura 60

9 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Tamba Waras. Ke lima pura tersebut dipercaya menjadi penyangga Kabupaten Tabanan yang dikenal dengan Kawasan Catur Angga Batukaru. Kawasan ini merupakan area suci yang menjadi dasar wilayah pertanian di sekitarnya untuk tetap menjunjung kesucian area tersebut dengan menjaga kelestarian lingkungan dan melakukan ritual secara berkelanjutan. Masyarakat Tabanan khususnya dan Bali umumnya mempercayai bahwa kawasan ini merupakan kawasan hulu yang berfungsi sebagai penyangga kawasan-kawasan di bawahnya dalam hal menjaga kelestarian sumber daya air. Masyarakat di wilayah Kabupaten Tabanan mempercayai bahwa Gunung Batukaru, Danau Tamblingan, Danau Buyan dan kawasan Hulu Jatiluwih merupakan kawasan yang harus dipertahankan kelestariannya, karena selain sebagai sumber air bagi sebagian besar wilayah pertanian di Tabanan juga karena wilayah ini memiliki pemandangan alam yang asri yang masih tetap mampu dilestarikan oleh masyarakat sekitar. Pemandangan alam di kawasan ini malahan sudah dikelola oleh masyarakat Jatiluwih sebagai objek wisata pemandangan sawah bertingkat, dan sampai saat ini merupakan salah satu daerah kunjungan wisata yang menarik di Kabupaten Tabanan. Hal ini merupakan aset Pemerintah yang harus mendapat perhatian dan pelestarian dari pemerintah maupun masyarakat sekitarnya. Kawasan Jatiluwih sebagai salah satu kawasan budaya dunia Subak landscape of Catur Angga Batukaru: terdiri dari beberapa Subak (Tabel 2). 61

10 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Gambar 3 Gambar Pulau Bali Sumber: Ke 15 subak tersebut pada Tabel 2 terletak di lereng Gunung Batukaru dengan perbatasan Timur : Sungai Yeh Ho Selatan : Persawahan Barat : Sungai Ngigih Utara : Hutan Gunung Batukaru Kawasan Catur Angga kalau dilihat bentangannya dari Utara ke Selatan sebenarnya termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dan Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. 62

11 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Tabel 2 Subak yang termasuk ke dalam wilayah Catur Angga Batukaru No Nama Subak Lokasi Desa Kecamatan/Kabupaten 1 Subak Bedugul Desa Gunung Sari Penebel /Tabanan 2 Subak Jatiluwih Desa Jatiluwih Penebel/Tabanan 3 Subak Kedampal Desa Kedampal Penebel/Tabanan 4 Subak Keloncing Desa Kedampal Penebel/Tabanan 5 Subak Penatahan Desa Penatahan Penebel/Tabanan 6 Subak Pesagi Desa Pesagi Penebel/Tabanan 7 Subak Piak Desa Piak Penebel/Tabanan 8 Subak Piling Desa Piling Penebel/Tabanan 9 Subak Puakan Desa Piling Penebel/Tabanan 10 Subak Rejasa Desa Rejasa Penebel/Tabanan 11 Subak Sangketan Desa Sangketan Penebel/Tabanan 12 Subak Soka Desa Soka Penebel/Tabanan 13 Subak Tegallinggah Desa Tegallinggah Penebel/Tabanan 14 Subak Tengkudak Desa Tengkudak Penebel/Tabanan 15 Subak Wongaya Betan Desa Mengesta Penebel/Tabanan Kawasan Budaya Dunia Gambar 4 Peta Lokasi Nominasi Kawasan Budaya Dunia (Sumber: Cultural Landscape of Bali Province) 63

12 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Subak Wongaya Betan Gambar 5 Posisi ke Lima Pura yang Dikenal dengan Kawasan Catur Angga Sumber: Cultural Landscape of Bali Province 64

13 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Subak Wongaya Betan Gambar 6 Lokasi Subak Wongaya Betan (SWB) (Sumber: Cultural Heritage of Bali Province) 65

14 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Dari Gambar 4 dapat dilihat bentangan dari kawasan Catur Angga Batukaru yang seolah-olah dikelilingi oleh lima pura yang menjadi sungsungan seluruh masyarakat Hindu di Bali. Kelima pura tersebut berjejer dari Utara ke Selatan di sisi Barat yaitu Pura Luhur Pucak Petali, Pura Luhur Batu Karu, Pura Luhur Muncak Sari, dan Pura Luhur Tamba Waras, dan Pura Luhur Besi Kalung di sisi Timur. Sebelum adanya program pemerintah yang dikenal dengan revolusi hijau pada tahu 1970-an, semua wilayah subak-subak ini melaksanakan pertanian secara tradisional misalnya seperti menggunakan sapi untuk membajak, padi yang ditanam adalah padi lokal (padi del) yang berumur 200 hari, pemupukan dilakukan dengan memanfaatkan limbah-limbah organik, panen masih menggunakan ani-ani, demikian juga dengan pemberantasan hama dan penyakit masih dilakukan dengan produk-produk organik seperti daun bawang, daun nimba (intaran). Khusus untuk pemberantasan tikus dan belalang masih dilakukan dengan cara-cara manual. Semua praktik-praktik tradisional ini sempat ditinggalkan petani di kawasan ini karena adanya anjuran penyeragaman teknologi yang pada saat itu diharapkan untuk meningkatkan produksi pangan terutama beras di seluruh Indonesia. Walaupun pada saat itu beberapa subak di kawasan ini termasuk Subak Wongaya Betan tidak setuju dengan anjuran penggunaan pupuk anorganik dan varietas unggul, tetapi karena pendekatan pemerintah melalui pekaseh (pimpinan) subak, maka anggota pun tidak bisa menolak program tersebut. Hal ini disebabkan karena subak memiliki awig-awig yang sangat mengikat setiap anggotanya. Era ini dikenal dengan era transformasi teknologi subak dari tradisional menuju ke teknologi moderen. Mulai saat itu maka seluruh subak di kawasan Catur Angga ini termasuk Subak Wongaya Betan menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia dalam kegiatan pertaniannya. Musim tanam yang biasanya hanya 2 kali tanam, dengan adanya benih varietas unggul maka dalam setahun petani menanam sebanyak 3 kali. Pun penanaman satu kali padi lokal (umur 6 bulan) dalam setiap musim tidak dilakukan lagi, karena petani cenderung menanam padi unggul yang berumur 3-4 bulan. Petani di kawasan ini 66

15 Perempuan Bali dalam Ritual Subak juga akhirnya tidak mengenal masa bera 3. Pertanian dengan teknologi moderen ini yang dikenal juga dengan revolusi hijau akhirnya demikian meluas, sehingga masyarakat petani tidak menyadari bahwa praktiek pertanian moderen ini memiliki beberapa sisi negatif yang merugikan petani maupun kelestarian lingkungan sekitarnya. Hal ini disebabkan karena tanah seolah-olah dieksploitasi secara terus-menerus, sehingga secara teoritis hal ini akan menyebabkan kerusakan tanah dan sumber daya alam lainnya. Masalah ini akan lebih banyak di ulas pada bab berikut yaitu sisi negatif revolusi hijau. Mengacu penelitian Sutawan (2008) tentang karakteristik subak di Bali yang dilakukan berdasarkan klasifikasi air irigasi maka subak di wilayah Tabanan merupakan subak dengan irigasi tradisional terluas yaitu seluas 3,066 hektar. Di samping itu subak dengan irigasi teknis seluas 17,007 hektar, maka Tabanan memiliki luasan hampir 75,5% dari seluruh luasan subak dengan irigasi tradisional di Bali. Hal ini berakibat perkembangan penggunaan teknologi moderen dengan asupan kimiawi di wilayah hulu (Kawasan Catur Angga) sangat mengkhawatirkan wilayah-wilayah hilir di Tabanan, karena kontaminasi limbah kimia dari hulu akan berpengaruh pada sumber daya air di hilir. Kekhawatiran ini ternyata menjadi perhatian beberapa anggota Subak Wongaya Betan yang dipelopori Pak Nengah Suarsana, SH. Pak Nengah dan 3 (tiga) orang teman sesama petani yang merasa peduli dengan dampak negatif penggunaan asupan kimiawi mulai memikirkan cara untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan asupan kimiawi tersebut. Dengan latar belakang pengetahuan dan ekonomi yang cukup maka Pak Nengah mulai mempelajari cara-cara untuk kembali ke pertanian organik, dengan tujuan untuk mengembalikan lingkungan di Subak Wongaya Betan seperti sebelum revolusi hijau dipraktikkan. Berbekal pengetahuan dari surat kabar, Televisi dan juga kunjungan langsung ke Solo, maka sejak tahun 2004 mereka mulai melakukan terobosan dengan kembali menggunakan pupuk dan 3 Bera: tanah tidak ditanami selama lebih kurang dua minggu sampai satu bulan. Hal ini untuk mengembalikan kemampuan tanah dalam menyediakan oksigen dan memutus siklus hama dan penyakit. 67

16 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga pestisida alami. Pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi dan urine sapi mereka olah sendiri menjadi pestisida alami (bio- urine). Walaupun pada mulanya ide kembali ke pertanian organik dianggap ide yang tidak berarti oleh pemerintahan Provinsi Bali, akan tetapi dengan tekad dan ketekunan Pak Nengah yang pada akhirnya berhasil mengajak 30 orang anggota Subak Wongaya Betan untuk melakukan pertanian organik, maka akhirnya pertanian organik ini berkembang dengan baik. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya sertifikasi organik bagi produk beras Subak Wongaya Betan. Sertifikasi beras organik ini diberikan oleh Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (LeSoS) No. LSPO-005-IDN-010 pada tanggal 3 Nopember LeSoS ini adalah lembaga sertifikasi di bawah naungan Komite Akreditasi Nasional (KAN) Organik Indonesia. Kriteria yang dinilai adalah keamanan pangan yang dilihat dari bebasnya pangan tersebut dari bahanbahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Jadi kebangkitan pertanian organik di kawasan ini bisa dikatakan dimulai dari Subak Wongaya Betan. Hal ini ternyata berdampak positif bagi subak di sekitarnya terutama subak Jatiluwih, dibuktikan dengan bergabungnya beberapa anggota petani subak Jatiluwih dalam kelompok petani organik Wongaya Betan. Subak Wongaya Betan (SWB) Sebagai salah satu subak yang terletak dalam wilayah Kawasan Catur Angga Batukaru yang sedang diusulkan menjadi salah satu kawasan budaya dunia (World Heritage), maka subak ini sangat strategis untuk diteliti. Subak Wongaya Betan berlokasi di Desa Mengesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, dimana wilayah subak ini terletak di bagian hulu kawasan Catur Angga, berdekatan dengan subak Jatiluwih yang terletak di Desa Jatiluwih. Kalau subak ini ditempuh dari Kota Kabupaten Tabanan, maka lokasinya adalah sekitar 3 km arah Barat Daya Kecamatan Penebel yang berjarak sekitar 15 km dari Kota Kabupaten Tabanan (Gambar 2). Subak Wongaya Betan memiliki areal pertanian garapan seluas 76 hektar, sebagian besar merupakan lahan sawah beririgasi setengah teknis. 68

17 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Secara geografis Subak Wongaya Betan terletak pada ketinggian 617 meter di atas permukaan laut (dpl) 4 dengan topografi wilayah sebagian besar berbukit, sehingga banyak lahan sawah terletak pada area miring. Topografi ini akan sangat menentukan sistem pengembangan pertanian di wilayah subak ini, yang sebagian besar sudah menggunakan sistem terasering 5, dimana sistem terasering inilah yang nantinya menjadi unggulan dalam menarik wisatawan ke daerah ini untuk melihat keindahan terasering sawah. Dengan curah hujan yang cukup serta kepemilikan sumber air sendiri, maka hampir tidak pernah ada persoalan air di wilayah subak ini. Malahan Subak Wongaya Betan merupakan salah satu subak yang berada di hulu (Up Stream) kota Tabanan. Hal ini yang menjadi salah satu faktor yang sangat mendukung pengembangan lahan sawah di Subak Wongaya Betan tetap eksis sampai saat ini. Di samping itu juga karena adanya kesadaran dan kewajiban tetap menjaga kelestaraian lahan terutama sawah yang selalu dikaitkan dengan kawasan Catur Angga Batukaru yang sangat disucikan baik oleh masyarakat setempat maupun masyarakat Bali umumnya. 4 Dpl adalah singkatan dari di atas permukaan laut. Satuan ini menunjukkan ketinggian suatu tempat dan sangat bermanfaat untuk penentuan tanaman yang sesuai untuk di tanam dalam bidang pertanian. 5 Terasering; lahan sengaja dibuat bertingkat untuk mencegah terjadinya longsor pada saat turun hujan yang berlebihan. 69

18 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Gambar 7 Hamparan Sawah Garapan Subak Wongaya Betan (Sumber: Martiningsih, 2010) Menurut Sutawan (2008: 11-14) asal-usul subak sebenarnya adalah diawali dengan kesepakatan beberapa orang yang menjadi pelopor atau pencetus ide untuk mengangkat air dari sumber air karena terdorong oleh kesamaan kebutuhan akan air. Proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan melakukan pertemuan berkelanjutan dengan sekelompok anggota masyarakat yang menyetujui dan mendukung gagasan tersebut, sampai akhirnya terbentuk panitia kecil yang bertugas membuat aturan pembagian air dan pekerjaan. Proses ini berlanjut sampai akhirnya terbentuk sebuah organisasi yang mempunyai anggota tetap, yang kemudian berkembang semakin banyak sampai terbentuklah sebuah organisasi pembagian air yang disebut subak. Bertitik tolak dari proses pembentukan organisasi subak yang dikemu- 70

19 Perempuan Bali dalam Ritual Subak kakan oleh Sutawan (2008) maka awal mula terbentuknya Subak Wongaya Betan sebenarnya tidak jauh dari alur proses pembentukan subak yang tersebut di atas (Monografi Subak Wongaya Betan, 1993: 4). Pada saat wilayah Bali masih dipimpin oleh Raja, maka di desa-desa di Bali belum dikenal kelompok banjar, termasuk di Desa Mengesta tempat Subak Wongaya Betan ini terbentuk. Diawali dengan menyatunya beberapa orang untuk membangun saluran air di sekitar Sungai Yeh Baas, yang berada di wilayah Kesambahan Jatiluwih. Persatuan orang-orang tersebut kemudian diikuti dengan pembangunan Pura Ulun Suwi di masing-masing lahan warga. Pura Ulun Suwi ini merupakan tempat warga memohon kesejahteraan yang berkaitan dengan kesuksesan pelaksanaan pertanaman di lahan pertanian warga. Setelah membanguan Pura Ulun Suwi akhirnya warga membangun pura yang lebih besar yaitu Pura Bedugul. Pura Bedugul ini biasanya terletak di munduk Desa (ujung desa) yang disungsung (disembahyangi) oleh kelompok yang lebih besar. Hal ini menunjukkan bersatunya beberapa warga dari seluruh kelompok dalam ikatan Pura Ulun Suwi yang secara bersama-sama memelihara dan melakukan persembahyangan di Pura Bedugul yang dibentuk. Setelah Pura Bedugul ini terbentuk maka pertemuan dan interaksi antara warga semakin sering terjadi, kelompok warga semakin merasa terikat satu dengan yang lainnya, hal ini akhirnya mencetuskan terbentuknya organisasi tradisional yaitu Banjar Wongaya Betan dan kelompok petani yang disebut Subak Wongaya Betan (berdasarkan cerita kelian Adat Wongaya Betan, Wawancara September 2010). Dari cerita tersebut memang tidak diketahui secara pasti kapan sebenarnya Subak Wongaya Betan terbentuk, karena tidak ada catatan yang jelas mengenai terbentuknya subak ini. Sejak Pemerintah Kabupaten Tabanan mewacanakan program lomba subak pada tahun 1993, dimana program ini mengharuskan setiap subak di wilayah Kabupten Tabanan memiliki awig-awig, ilekita, struktur organisasi, dan monografi subak, maka sejak saat itu pula Subak Wongaya Betan mulai merancang dan membuat awig-awig maupun aturan lain secara tertulis. 71

20 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Gambar 8 Pura Bedugul Subak Tempat Pelaksanaan Ritual Ngusaba Nini (Sumber: Martiningsih, 2011) Dari data monografi Subak Wongaya Betan tahun 1993, jumlah anggota subak pada saat itu adalah 106 orang, dengan tingkat kepemilikan lahan antara 0,35 0,80 hektar. Dari 106 anggota tersebut, untuk saat ini yang masih aktif adalah 96 anggota yang terdiri dari petani pemilik dan petani penggarap yang masuk keanggotaan dalam bentuk anggota serikat yaitu anggota yang bukan warga banjar dinas Wongaya Betan, tetapi memiliki tanah di wilayah Subak Wongaya Betan. Seperti apa yang dikemukakan oleh Pekaseh dan Klian Subak Wongaya Betan, bahwa saat ini anggota subaknya berasal dari beberapa desa di luar banjar dinas Wongaya Betan yaitu 15 orang berasal dari Desa Babahan, 17 orang berasal dari banjar Dinas Belulang Desa Mengesta, dari Desa Jatiluwih sebanyak 4 orang dan sisanya sebanyak 60 orang berasal dari desa Wongaya Betan. 72

21 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Kalau dilihat posisi secara kelembagaan antara Desa Dinas Mengesta, Desa Adat (Pekraman) Mengesta, banjar Dinas Wongaya Betan, banjar Adat Wongaya Betan, dan Subak Wongaya Betan memang ada struktur yang sangat unik seperti dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar ini menunjukkan kedudukan dari anggota masyarakat di sebuah desa (dalam hal ini Desa Mengesta). Kedudukan (posisi) ini akan sangat menentukan hak dan kewajiban bagi masyarakat yang berada dalam struktur kelembagaan-kelembagaan tradisional tersebut. Kalau dicermati anggota subak berada dalam posisi yang sangat kompleks yaitu selain sebagai anggota Subak Wongaya Betan yang memiliki kewajiban sebagai anggota subak, mereka juga memiliki kewajiban sebagai anggota banjar Wongaya Betan, sebagai bagian dari desa Adat dan desa Dinas Mengesta. Posisi ini yang akan mengharuskan anggota Subak Wongaya Betan selalu berkompromi dengan kepentingan-kepentingan kewajiban pada masing-masing kelembagaan tersebut. Dari struktur ini terlihat bagaimana keluwesan antara masingmasing peran yang harus dilakoni oleh masyarakat desa Mengesta. Sehingga dapat dikatakan dalam kelembagaan desa Mengesta telah terbentuk harmonisasi antara kepentingan subak dan adat yang memberikan nilai positif bagi pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk mempercepat pemerataan pembangunan. Yang menarik untuk disimak dari Gambar 7 adalah di dalam anggota Subak Wongaya Betan ada beberapa kelompok kecil yang disebut sekeha biasanya bersifat sosial. Sekeha ini terbentuk berdasarkan kepentingan yang sama dari beberapa anggota subak. Di Wongaya Betan sekeha-sekeha ini terdiri dari sekeha numbeg (kelompok pembajak), sekeha nandur (kelompok menanam), sekeha mejukut (kelompok menyiang), sekeha manyi (kelompok memanen), sekeha nebuk (kelompok pemisah gabah dari tangkai padi). Oleh karena sekeha-sekeha ini bersifat sosial, maka dalam melaksanakan kegiatannya mereka tetap mengutamakan nilai-nilai gotong royong. Sekeha-sekeha ini berkembang baik saat sebelum revolusi hijau diperkenalkan dan malahan sekeha-sekeha ini dianggap sebagai pekerjaan sampingan yang mampu menambah pendapatan keluarga, walaupun sisi sosialnya yang kental tidak dapat dipisahkan. 73

22 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Ketika revolusi hijau mulai diterapkan masyarakat petani, maka perlahan-lahan sekeha-sekeha ini mengalami kemunduran baik dalam hal aktivitas maupun ikatan antara anggotanya dan seolah mati suri untuk beberapa saat. Hal ini diceritakan oleh Pak Eka dan Bu Rama bahwa dengan penanaman padi unggul maka sekeha manyi tidak memiliki pekerjaan, karena pemanenan tidak menggunakan ani-ani lagi. Demikian juga halnya dengan sekeha nebuk, karena padi unggul dapat langsung dirontokkan dengan huller (perontok padi). Padahal kalau petani masih menanam padi lokal maka tangkai padi harus dipisahkan dulu secara manual, sebelum di proses menjadi gabah. Pekerjaan ini yang biasanya dilakukan oleh sekeha nebuk yang anggotanya berasal dari perempuan-perempuan istri anggota subak. Ketika pertanian organik kembali diterapkan petani dan juga anggota Subak Wongaya Betan beberapa sekeha ini kembali menggeliat dan eksis sampai saat ini. Malahan ada beberapa sekeha yang lebih besar dan memiliki organisasi yan lebih baik dan formal akhirnya terbentuk yang memiliki fungsi lebih komplek dibandingkan dengan kelompokkelompok tradisional (sekeha) sebelumnya. Misalnya saja Kelompok Tani dan Ternak Utama Sari, P4S Somya Pertiwi, dan Kelompok Wanita Tani Kuntum Mekar. 74

23 Perempuan Bali dalam Ritual Subak Sekeha Subak Wangaya Betan Banjar Wangaya Betan Desa Adat (pekraman) Mengesta Desa Dinas Mengesta Gambar 9 Posisi Anggota Subak Wongaya Betan dalam Struktur Kelembagaan Desa Mengesta Berdasarkan data monografi subak tahun 2003, ada beberapa kelompok tani yang terbentuk dan masih aktif melaksanakan kegiatannya yaitu: (1) Kelompok Tani dan Ternak Utama Sari, (2) Kelompok Ternak Apti Rahayu, dan (3) Kelompok Wanita Tani Kuntum Sari. Kelompok Tani dan Ternak Utama Sari bergerak dibidang peternakan sapi dan ayam, pengolahan makanan ternak organik dan pengolahan limbah organik menjadi pupuk organik. Pada saat wawancara dengan Pak Nengah (ketua kelompok P4S) tanggal 10 Maret 2011 ternyata Kelompok Ternak Apti Rahayu yang dulunya bergerak di bidang peternakan sapi dan ayam tidak berkembang dengan baik. Hal ini diduga oleh Pak Nengah akibat manajemen yang kurang baik dan juga karena masalah pemasaran produk yang kurang lancar. Beberapa aset dari kelompok ini akhirnya terbengkalai tidak terurus. Kelompok Wanita Tani Kumtum Sari yang beranggotakan ibu-ibu rumah tangga yang memiliki kegiatan dalam pengolahan teh beras merah organik 75

24 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga dan kopi beras merah organik dengan merk dagang Kuntum Sari. Walaupun masing-masing kelompok memiliki aturan di dalam kelompok, akan tetapi mereka akan tetap tunduk pada awig-awig (aturan) yang berlaku di Subak Wongaya Betan. Karena pada dasarnya kelompok-kelompok ini anggotanya adalah anggota subak dan terbentuk dibawah naungan organisasi subak. Penelitian yang dilakukan Sutawan (2008, Wiguna dan Surata 2008) mencatat bahwa struktur keanggotaan subak sangat ditentukan oleh kesepakatan di wilayah subak tersebut berada. Akan tetapi secara umum keanggotaan subak secara legal formal adalah para pemilik lahan yang mempunyai sertifikat tanah. Hal ini disebabkan karena pihak petani penggarap sering berganti, sehingga penentuan siapa yang akan melaksanakan kewajiban sebagai anggota subak akan tergantung dari kesepakatan antara petani penggarap dengan pemilik lahan. Lebih lanjut dinyatakan Sutawan (2008) bahwa kewajiban-kewajiban di subak biasanya dapat berupa kontribusi tenaga kerja (ayahan) yang dilakukan pada saat gotong royong dalam perbaikan jaringan irigasi maupun dalam persiapan dan pelaksanaan ritual. Kontribusi lainnya dapat juga dalam bentuk tunai seperti bahan-bahan pembangunan prasarana fisik seperti empelan 6, untuk pembangunan pura subak, dan alat-alat perlengkapan beserta biaya penyelenggaraan upacara ritual. Semua aturan yang tersebut di atas, juga dilaksanakan oleh Subak Wongaya Betan yang tertuang dalam awig-awig subaknya. Walaupun memang besaran kontribusi dan sanksi yang diberlakukan dalam tiaptiap subak berbeda-beda. Sesuai dengan filosofi yang dianut seluruh umat Hindu di Bali yaitu Tri Hita Karana (THK), maka awig-awig Subak Wongaya Betan pun disusun berkaitan dengan implementasi filosofi THK tersebut. Berkaitan dengan hal itu maka di Bali termasuk Subak Wongaya Betan menyusun Awig-awig yang berlandaskan tiga landasan utama yaitu: (1) Awig yang berlandaskan hubungan anggota subak dengan Tuhan Yang Maha Esa (parhyangan), (2) Awig yang berlandaskan hubungan 6 Empelan: bangunan pengambilan air di sungai yang dikelola oleh petani secara swadaya 76

25 Perempuan Bali dalam Ritual Subak antara anggota subak dengan sesama anggota (pawongan), dan (3) Awig yang berlandaskan hubungan antara anggota subak dengan sawah (alam) yang dikelolanya (palemahan). Awig-awig yang berlandaskan Parhyangan Sesuai dengan landasan parhyangan yaitu hubungan anggota subak dengan Sang Pencipta, maka Subak Wongaya Betan memiliki beberapa aturan yang harus dilaksanakan anggotanya yaitu melakukan upacara (ritual) sebagai wujud bhakti dan syukur anggota subak ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Beberapa ritual yang harus dilakukan adalah: (1) mapag toya (menjemput air), (2) ngendagin (memulai pengolahan lahan), (3) ngurit dan mawiwit pantun (menyemai padi), (4) ngerasakin (memulai persiapan menanam), (5) nandur (saat menanam), (6) tutug kambuhan (ritual ketika padi berumur 42 hst 7 ), (7) nyungsung (ritual saat padi berumur 2 bulan), (8) mabiukungkung (ritual ketika padi berumur 82 hst, (9) maikuh lasan (pada saat padi mulai berbuah), 10) mesaba (ritual pada saat mau panen), (11) niki kaki dan niki manuh (pada saat panen dan sudah panen), (12) mantenin (ritual saat padi sudah di lumbung), (13) mrelina dewa nini (melebur dewa nini), (14) nyepi (tidak melakukan aktivitas apapun). Semua jenis upacara-upacara (ritual) tersebut harus dilakukan anggota subak baik secara kolektif maupun oleh masing-masing anggota subak secara mandiri (penjelasan mendalam dari masing-masing ritual yang dilakukan akan disajikan khusus pada Bab Peran Perempuan dalam Ritual). Awig-awig berlandaskan Pawongan Subak merupakan sebuah organisasi tradisional yang bersifat sosio-religius, sehingga akan selalu terjadi interaksi di dalam organisasi subak. Seperti hal nya di Subak Wongaya Betan dimana organisasi ini terdiri dari pengurus dan anggota, yang akan selalu melakukan interaksi dan komunikasi baik melalui rapat (sangkep) subak, maupun kegiatan gotong royong dan kegiatan bersama dalam melakukan kegiatan ritual subak. Maka berkaitan dengan hal tersebut Subak Wongaya 7 Hst adalah hari setelah tanam atau umur tanaman di lapangan. 77

26 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Betan memiliki awig-awig yang disesuaikan untuk masing-masing hierarki dalam kepengurusan subak. Misalnya ada awig untuk Pekaseh (ketua subak), awig untuk kelian subak (pembantu pekaseh di area tempek/munduk), awig untuk pengurus lainnya yaitu bendahara, sekretaris dan seksi upacara). Di samping itu awig yang berkaitan dengan landasan pawongan juga berlaku untuk anggota subak (krama subak). Struktur kepengurusan Subak Wongaya Betan dapat dilihat pada Gambar 8. Pekaseh subak Kelian subak Bendahara Sekretaris Seksi Upacara/ritual Gambar 10 Struktur Organisasi Subak Wongaya Betan (Sumber: wawancara dengan Alit, September 2009) Awig-awig berlandaskan Palemahan Awig-awig berlandaskan palemahan di Subak Wongaya Betan dibuat untuk mengatur penggunaan sumber daya alam dan tata kelola lahan pertanian masing-masing anggota subak. Awig yang termasuk dalam landasan palemahan adalah: (1) pengaturan air irigasi meliputi pengalokasian dan pendistribusian, (2) pengaturan waktu tanam, (3) pengaturan pola tanam, (4) pengaturan mengenai sarana produksi yang digunakan. Konsep awig ini mengatur anggota subak agar menggunakan sumber daya alam dan air dengan baik, agar tetap terjaga kelestarian- 78

27 Perempuan Bali dalam Ritual Subak nya. Awig ini juga memberikan dorongan kepada setiap anggota subak untuk memanfaatkan keterbatasan yang ada (baik keterbatasan sumber daya alam maupun sumber air) agar menghasilkan secara optimal sehingga dapat mensejahterakan keluarga dan masyarakat pada umumnya. Seperti tersirat dari wawancara dengan salah satu anggota subak Pak Nyoman Alit (Pak Rama) yang menyatakan bahwa banyak investor yang gagal membangun tempat wisata di daerah hulu Wongaya Betan, karena dianggap akan mencemari dan merusak sumber air bagi lahan sawah di Wongaya Betan. Sistem Pertanian di Subak Wongaya Betan Sistem pertanian yang dimaksud adalah tata kelola pertanian yang dilakukan pada satu musim tanam. Tata kelola pertanian meliputi pola tanam yang digunakan dan teknologi pertanian yang diterapkan serta usaha sampingan milik petani yang terkait dengan pertanian. Secara umum Subak Wongaya Betan melakukan pola tanam serempak (kerta masa). Kerta masa selain bertanam secara serempak, juga mengatur tentang jenis tanaman dan varietas tanaman yang akan ditanam. Sejak Subak Wongaya Betan kembali ke pertanian organik, jenis padi yang di tanampun kembali ke padi lokal (padi del), sehingga dalam 1 (satu) tahun hanya dilakukan penanaman padi dua kali tanam. Persiapan benih padi ini biasanya dilakukan secara tradisional oleh petani yang sudah memiliki keterampilan khusus untuk menyeleksi benih untuk musim tanam berikutnya. Areal tempat menyediakan benih untuk musim berikutnya ini biasanya ditempatkan dekat sumber air irigasi yang disebut area pengalapan. Jadi penggunaan benih lokal yang secara teori tidak banyak mengalami perubahan genetis berdampak pada tidak tergantungnya petani dari perusahaan multinasional yang menjual benih. Petani mampu mandiri dalam menyediakan benih untuk lahan pertaniannya. Menurut hasil penelitian Sirtha (2008), petani di Bali secara umum mempercayai bahwa pola tanam serempak (kerta masa) memberikan pengaruh positif bagi pertanian mereka karena petani percaya pola tanam ini juga dapat memutus siklus hidup hama dan penyakit 79

28 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga yang menyerang tanaman padi. Di samping itu dengan penanaman serempak proses-proses budidaya lainnyapun dapat dilakukan secara bersamaan seperti pengolahan lahan, pemupukan, penyiangan sampai pada pelaksanaan panen. Pada waktu revolusi hijau belum diperkenalkan oleh pemerintahan Orde Baru, di wilayah ini sangat banyak ada sekeha (kelompok sosial) yang bertujuan untuk kegiatan sosial tertentu. Salah satu contoh sekeha yang sangat populer adalah sekeha manyi (kelompok memanen). Sekeha manyi ini biasanya terdiri dari ibu-ibu petani yang bertugas dalam rangka panen. Mereka akan bekerja secara gotong royong dan bersifat sosial (tanpa upah dalam bentuk uang). Setelah panen selesai, maka kegiatan sekeha ini biasanya langsung dilanjutkan pada kegiatan nebuk (memisahkan gabah dari tangkai padi). Alat yang digunakan untuk nebuk ini diberi nama luu 8. Di samping mengusahakan tanaman pokok yaitu padi, para petani anggota subak juga sering menanami telajakan atau pematang sawahnya dengan aneka sayuran seperti kacang panjang, kacang polong, kacang koro ataupun makanan ternak. Hal ini dilakukan untuk memanfaatkan areal yang kosong agar mendapatkan hasil tambahan. Hasil penanaman di pematang dan telajakan ini kadang kala dijual, tetapi lebih sering dimanfaatkan sendiri untuk kebutuhan pangan keluarga. Selain mengusahakan tanaman sela, setiap petani anggota Subak Wongaya Betan juga memiliki sapi. Dari observasi di lapang dan hasil wawancara dengan Pekaseh subak maka setiap petani minimal memelihara 2(dua) ekor sapi. Sapi-sapi ini akan digunakan sebagai alat untuk membajak sawah. Sedangkan kotoran sapi dan urinenya akan diolah secara sederhana oleh masing-masing petani menjadi pupuk organik, yang kemudian dimanfaatkan untuk memupuk lahan sawah masing-masing. 8 Luu; alat menumbuk padi yang biasanya terbuat dari kayu dengan panjang sekitar 1,5 meter 80

29 Perempuan Bali dalam Ritual Subak (a) (b) Gambar 11 (a) Padi lokal merah (b) Memanen dengan ani-ani Sumber: Martiningsih, 2011 Fenomena kembalinya petani ke cara-cara bertani secara organik membuat petani lebih bergairah memelihara sapi. Hal ini tentu saja memberikan dampak positif pada peningkatan pendapatan keluarga petani dan peningkatan kesejahteraan petani, karena dengan memelihara sapi maka petani tidak harus mengeluarkan biaya menyewa traktor untuk pengolahan lahannya, di samping juga sapi akan bisa digemukkan dan kemudian dijual. 81

30 Subak Wongaya Betan di Kawasan Catur Angga Bagi kaum perempuan penanaman serempak juga akan meringankan pekerjaan pada persiapan dan pelaksanaan ritual yang menyertai tata kelola pertanian dalam subak. Persiapan pembuatan ritual yang berkaitan dengan pengelolaan tanaman di lahan dapat dilaksanakan dengan serempak pula. Hal ini tentu saja akan menghemat waktu dan biaya karena dilaksanakan secara bersama-sama sehingga akan menguntungkan secara ekonomi. Sistem Budaya dan Agama di Subak Wongaya Betan Bagi masyarakat Bali, budaya dan agama adalah saling terkait dan tidak terpisahkan. Budaya Bali dan Agama Hindu di Bali saling terikat satu sama lainnya, sehingga akan sangat sulit untuk mengidentifikasi antara kegiatan budaya dan agama pada masyarakat Bali. Misalnya pada acara petoyan (persembahyangan) di Pura Kahyangan Tiga di Desa Mengesta. Petoyan ini memang sudah terjadwal setiap 6 (enam) bulan sekali harus dilaksanakan seluruh masyarakat Desa Mengesta termasuk anggota Subak Wongaya Betan yang merupakan bagian dari anggota masyarakat Desa Mengesta. Pelaksanaan petoyan ini adalah melaksanakan ritual di Pura Kahyangan Tiga, yang dilaksanakan masyarakat Desa baik sebagai anggota adat dan sebagai pemeluk agama Hindu. Pada saat pelaksanaan petoyan ini seluruh masyarakat desa Mengesta baik laki maupun perempuan akan memiliki kewajiban ngayah (membantu) pada pelaksanaan petoyan tersebut. Pada saat warga masyarakat melaksanakan kewajiban ngayah maka warga anggota Subak Wongaya Betan berfungsi sebagai warga Adat Desa Mengesta. Di sisi lain pada saat yang bersamaan dari jadwal kegiatan subak ternyata ada jadwal kegiatan melaksanakan ritual ngusaba (ritual yang dilakukan pada saat akan panen). Anggota subak sebagai bagian dari warga Adat Desa Mengesta dihadapkan pada dilema untuk menentukan kegiatan mana yang akan dilaksanakan. Ke dua kewajiban ini merupakan hal yang bermakna sama bagi warga. Pada situasi seperti ini biasanya pekaseh akan mengadakan sangkep (rapat) untuk menentukan bagaimana pengaturan kegiatan di 2 (dua) tatanan kelembagaan tradisional. Kalau hasil sangkep memutuskan mendahu- 82

31 Perempuan Bali dalam Ritual Subak lukan kepentingan ngayah di Pura Kahyangan Tiga maka biasanya kegiatan ritual subak ditunda. Walaupun penundaan ini hanya berkisar sehari sampai dua hari. Atau alternatif lainnya adalah anggoa subak akan dibagi dengan cara sebagian anggota melakukan kegiatan di subak dan sebagian anggota akan tetap melaksanakan kewajiban adat mereka. Hal ini sudah sering terjadi di Subak Wongaya Betan dan sampai saat ini belum pernah terjadi konflik antara dua kewajiban tersebut. Apalagi kebetulan anggota Subak Wongaya Betan ini ada yang berasal dari desa lain (Jatiluwih) sehingga dilema ini mudah diatasi dengan melakukan pembagian tugas di aras organisasi subak. Hasil wawancara dengan Pak Nyoman Alit, Bu Rama dan Bu Wayan pada Maret 2010 menyiratkan bahwa masyarakat Desa Mengesta termasuk anggota Subak Wongaya Betan selalu bisa mengkompromikan antara jadwal kegiatan adat, agama dan subak. Sehingga subak dikatakan merupakan organisasi yang bersifat sosial-religius adalah sangat tepat. Karena di dalam subak akan selalu terikat nilai budaya, sosial, dan agama. Di samping itu di dalam organisasi subak sendiri ada beberapa pura yang harus disungsung (anggota subak berkewajiban untuk melakukan persembahyangan di pura-pura tersebut) sebagai anggota subak. Misalnya seperti Pura Ulun Suwi, Pura Bedugul, dan Pura Penaringan. Sehingga kegiatan yang berkaitan dengan agama (berupa ritual), kegiatan adat (gotong royong sebagai bagian dari anggota adat) akan selalu menjadi rutinitas anggota subak. Kesimpulan Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan kepedulian rakyat terhadap kepentingan dirinya sendiri, bangsa dan negaranya. Dengan kondisi negara yang multiculturals dan juga multietnichs maka pendekatan pemberdayaan kearifan lokal merupakan salah satu strategi yang perlu mendapat perhatian. Bali sebagai salah satu bagian dari Negara Republik Indonesia yang memiliki keunikan budaya, dimana salah satunya adalah budaya bertani dengan organisasi pengelolaan airnya yang disebut subak. Di samping itu budaya dan kepercayaan Agama Hindu penduduknya menempat- 83

Pendahuluan. Bab Satu

Pendahuluan. Bab Satu Bab Satu Pendahuluan Pagi menjelang siang hari itu, di satu petak sawah di sebuah desa di kawasan Jatiluwih, Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan-Bali beberapa wisatawan asing bergegas turun dari mobil

Lebih terperinci

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN

LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN LAPORAN HIBAH PENELITIAN KETEKNIKSIPILAN AKTIVITAS ASPEK TRADISIONAL RELIGIUS PADA IRIGASI SUBAK: STUDI KASUS PADA SUBAK PILING, DESA BIAUNG, KECAMATAN PENEBEL, KABUPATEN TABANAN I Nyoman Norken I Ketut

Lebih terperinci

Awig-Awig Forum Pekaseh Catur Angga Batukau Tabanan, 2014

Awig-Awig Forum Pekaseh Catur Angga Batukau Tabanan, 2014 Awig-Awig Forum Pekaseh Catur Angga Batukau Tabanan, 2014 PEMBUKAAN Om Swastyastu, Forum Pekaseh Catur Angga Batukau terbentuk atas dasar kebutuhan 20 subak yang termasuk dalam situs warisan budaya dunia

Lebih terperinci

Kesimpulan. Bab Sembilan. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig)

Kesimpulan. Bab Sembilan. Subak sebagai organisasi tradisional yang memiliki aturan (awigawig) Bab Sembilan Kesimpulan Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian di Indonesia hingga saat ini masih berperan penting dalam penyediaan dan pemenuhan pangan bagi masyarakatnya. Dengan adanya eksplositas

Lebih terperinci

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati di Subak Wongaya Betan

Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati di Subak Wongaya Betan Bab Tujuh Kearifan Lokal Modal Pelestarian Ketahanan Pangan dan Hayati di Subak Wongaya Betan Pengantar Ada tantangan yang dihadapi subak saat ini dan masa yang akan datang yaitu dalam menghadapi globalisasi

Lebih terperinci

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB) Desa Mangesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan

Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB) Desa Mangesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan Bab Lima Petani dan Ketahanan Pangan di Subak Wongaya Betan (SWB) Desa Mangesta, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan Pengantar Di tengah pilihan serba sulit antara mempertahankan lahan pertanian atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh

BAB I PENDAHULUAN. Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui The United Nations Educational and Cultural Organization (UNESCO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di Indonesia terdapat dua buah sistem irigasi yakni sistem irigasi yang dibangun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di Indonesia terdapat dua buah sistem irigasi yakni sistem irigasi yang dibangun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Indonesia terdapat dua buah sistem irigasi yakni sistem irigasi yang dibangun oleh pemerintah dan sistem irigasi yang dibangun atas swadaya masyarakat itu sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 275 juta orang pada tahun Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari

BAB I PENDAHULUAN. 275 juta orang pada tahun Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia (Syarief, 2011). Jumlah penduduk Indonesia diprediksi akan menjadi 275 juta orang pada tahun

Lebih terperinci

Bab Tiga Metode Penelitian

Bab Tiga Metode Penelitian Bab Tiga Metode Penelitian Seperti Menatap Cermin Ketertarikan saya dengan bidang pertanian berawal ketika pada masa kanak-kanak sampai remaja (masa Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas) sering menemani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Subak merupakan lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosioreligius terutama bergerak dalam pengolahan air untuk produksi tanaman setahun khususnya padi berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP. khususnya dalam pengelolaan sumberdaya air irigasi. Pengelolaan sumberdaya

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP. khususnya dalam pengelolaan sumberdaya air irigasi. Pengelolaan sumberdaya BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP 3.1 Kerangka Berpikir Subak sangat berperan dalam pembangunan pertanian beririgasi, khususnya dalam pengelolaan sumberdaya air irigasi. Pengelolaan sumberdaya air irigasi

Lebih terperinci

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak

Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak Bab Delapan Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak Pengantar Dari bahasan bab-bab empiris sebelumnya, pada bab sintesa ini saya membahas tentang bagaimana perempuan memiliki peran yang sentral dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem irigasi subak merupakan warisan budaya masyarakat Bali. Organisasi petani tersebut berwatak sosio agraris religius. Subak sebagai lembaga sosial dapat dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHLUAN. Pulau Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia yang memiliki

BAB I PENDAHLUAN. Pulau Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia yang memiliki BAB I PENDAHLUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia yang memiliki keunikan tersendiri berupa keindahan panorama alam dan budayanya, sehingga menarik perhatian wisatawan.

Lebih terperinci

Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi

Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi Peranan Subak Dalam Pengembangan Agribisnis Padi I. Pendahuluan Visi pembangunan pertanian di Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang sejahtra khususnya petani melalui pembangunan sistem agribisnis

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki julukan lumbung beras Provinsi Bali, memiliki luas 839,33

I. PENDAHULUAN. memiliki julukan lumbung beras Provinsi Bali, memiliki luas 839,33 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tabanan merupakan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki peran sentral dalam pertanian. Kabupaten Tabanan yang memiliki julukan lumbung beras Provinsi Bali,

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Simantri, Subak Renon, Dampak.

ABSTRAK. Kata kunci : Simantri, Subak Renon, Dampak. ABSTRAK Ahmad Surya Jaya. NIM 1205315020. Dampak Program Simantri 245 Banteng Rene Terhadap Subak Renon di Kecamatan Denpasar Selatan, Denpasar. Dibimbing oleh: Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, SU dan Ir.

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Subak, irigasi, aspek fisik, aspek operasional & pemeliharaan, logika fuzzy

ABSTRAK. Kata kunci: Subak, irigasi, aspek fisik, aspek operasional & pemeliharaan, logika fuzzy Ni Made Ayu Adi Suartiani. 1211305025. 2017. Penilaian Kinerja Jaringan Irigasi pada Sistem Subak di Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukau. Dibawah bimbingan Dr. Sumiyati, S.TP.MP sebagai pembimbing

Lebih terperinci

PELESTARIAN SUBAK DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL MENUJU KETAHANAN PANGAN DAN HAYATI

PELESTARIAN SUBAK DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL MENUJU KETAHANAN PANGAN DAN HAYATI PELESTARIAN SUBAK DALAM UPAYA PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL MENUJU KETAHANAN PANGAN DAN HAYATI Ni Gst.Ag.Gde Eka Martiningsih Universitas Mahasaraswati, Denpasar Abstract This paper present in accordance

Lebih terperinci

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK 1 KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK oleh Ni Putu Ika Nopitasari Suatra Putrawan Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Tri Hita Karana is a basic concept that have been

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. instruksi, mengolah data sesuai dengan instruksi dan mengeluarkan hasilnya

I. PENDAHULUAN. instruksi, mengolah data sesuai dengan instruksi dan mengeluarkan hasilnya I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sistem informasi adalah suatu sistem yang menerima input data dan instruksi, mengolah data sesuai dengan instruksi dan mengeluarkan hasilnya (Davis, 1991). Dalam era globalisasi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak

Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak Bab Enam Aktivitas Perempuan dalam Ritual Subak Pengantar Di tengah melebarnya filosofi Agama Hindu di Bali, ada perbedaan pemahaman keagamaan antara generasi muda dengan generasi tua. Dimana telah terjadi

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI (PENGUMUMAN RESMI DAERAH PROPINSI BALI) No. 25 Tahun 1974 23 Februari 1974 No. 02/PD./DPRD/1972. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI BALI Menetapkan Peraturan Daerah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang 1 BAB I PENDAHULUAN Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang sangat sering dihadapi dalam perencanaan keruangan di daerah pada saat ini, yaitu konversi kawasan lindung menjadi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. melestarikan nilai-nilai kearifan lokalnya yaitu Peraturan Pemerintah

BAB V PENUTUP. melestarikan nilai-nilai kearifan lokalnya yaitu Peraturan Pemerintah 109 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengelolaan Subak sebagai Warisan Dunia oleh Pemerintah Provinsi Bali dapat dikatakan belum maksimal, karena sampai saat ini belum ada kebijakan khusus terkait pengelolaan

Lebih terperinci

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI Oleh : Agus Purbathin Hadi Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA) Kelembagaan Desa di Bali Bentuk Desa di Bali terutama

Lebih terperinci

KID Jenggik Utara: Memenuhi Kebutuhan Air Masyarakat Tani di Desa

KID Jenggik Utara: Memenuhi Kebutuhan Air Masyarakat Tani di Desa KID Jenggik Utara: Memenuhi Kebutuhan Air Masyarakat Tani di Desa Masyarakat Desa Jenggik Utara sudah lama mendambakan bendung/embung untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan air baik untuk keperluan pertanian

Lebih terperinci

I. DESKRIPSI KEGIATAN

I. DESKRIPSI KEGIATAN I. DESKRIPSI KEGIATAN 1.1 JUDUL KKN PPM Manggis. 1.2 TEMA Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Produksi Buah Manggis Sebagai Komoditas Ekspor Unggulan 1.3 LOKASI Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air adalah kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi, yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Air adalah kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi, yang berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air adalah kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi, yang berarti tidak akan ada kehidupan di bumi ini jika tidak ada air. Air merupakan komponen lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai

BAB I PENDAHULUAN. segala potensi yang dimiliki. Pembangunan pariwisata telah diyakini sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan dalam menghasilkan devisa suatu negara. Berbagai negara terus berupaya mengembangkan pembangunan sektor

Lebih terperinci

PANGAN SARI KELOMPOK RUMAH PANGAN LESTARI YANG MENJADI INSPIRASI GUBERNUR BALI

PANGAN SARI KELOMPOK RUMAH PANGAN LESTARI YANG MENJADI INSPIRASI GUBERNUR BALI PANGAN SARI KELOMPOK RUMAH PANGAN LESTARI YANG MENJADI INSPIRASI GUBERNUR BALI KWT Pangan Sari Nyoman Suyasa dan Budiari Penanggung Jawab MKRPL Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Kelompok

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PARIWISATA BERKELANJUTAN BERBASIS SUBAK SEBAGAI BAGIAN WARISAN BUDAYA DUNIA UNESCO DI DESA MENGESTA KABUPATEN TABANAN

PENGEMBANGAN PARIWISATA BERKELANJUTAN BERBASIS SUBAK SEBAGAI BAGIAN WARISAN BUDAYA DUNIA UNESCO DI DESA MENGESTA KABUPATEN TABANAN JUMPA 2 [1] : 79-103 ISSN 2406-9116 PENGEMBANGAN PARIWISATA BERKELANJUTAN BERBASIS SUBAK SEBAGAI BAGIAN WARISAN BUDAYA DUNIA UNESCO DI DESA MENGESTA KABUPATEN TABANAN Niluh Herawati Email: hera.nehh11@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengertian dari irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air

BAB I PENDAHULUAN. pengertian dari irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 2006 disebutkan bahwa pengertian dari irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK

PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK PEREMPUAN BALI DALAM RITUAL SUBAK Katalog Dalam Terbitan (KDT) 338.195986 Nig Ni Gst. Ag. Gde Eka Martiningsih P Perempuan Bali dalam Ritual Subak / Ni Gst. Ag. Gde Eka

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangkitnya era otonomi daerah semakin memberikan peluang kepada setiap

BAB I PENDAHULUAN. Bangkitnya era otonomi daerah semakin memberikan peluang kepada setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangkitnya era otonomi daerah semakin memberikan peluang kepada setiap daerah untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki. Pemerintah daerah memiliki kuasa penuh

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Restu Rahayu Secara administratif Desa Restu Rahayu berada dalam wilayah Kecamatan Raman Utara, Kabupaten Lampung Timur. Wilayah Kecamatan Raman Utara memiliki

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN WARISAN BUDAYA DUNIA JATILUWIH. Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn

TINJAUAN YURIDIS RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN WARISAN BUDAYA DUNIA JATILUWIH. Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn TINJAUAN YURIDIS RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN WARISAN BUDAYA DUNIA JATILUWIH Dr. Made Gde Subha Karma Resen, SH., M.Kn PENDAHULUAN SITUASI PARADOKS TERJADI DI JATILUWIH JATILUWIH DIKUKUHKAN UNESCO

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Hita Karana

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tri Hita Karana BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Organisasi tradisional petani yang mengelola air irigasi dapat ditemui di berbagai belahan dunia, salah satunya adalah sistem irigasi subak di Bali. Subak merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pokok akan dapat menggoyahkan. masa yang akan datang IPB, 1998 (dalam Wuryaningsih, 2001).

I PENDAHULUAN. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pokok akan dapat menggoyahkan. masa yang akan datang IPB, 1998 (dalam Wuryaningsih, 2001). I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian pangan khususnya beras, dalam struktur perekonomian di Indonesia memegang peranan penting sebagai bahan makanan pokok penduduk dan sumber pendapatan sebagian

Lebih terperinci

JARINGAN KOMUNIKASI TRADISIONAL KASUS SISTEM PENGAIRAN TRADISIONAL SUBAK DI PROPINSI BALI. Oleh: DAVID RIZAR NUGROHO & RETNO DEWI

JARINGAN KOMUNIKASI TRADISIONAL KASUS SISTEM PENGAIRAN TRADISIONAL SUBAK DI PROPINSI BALI. Oleh: DAVID RIZAR NUGROHO & RETNO DEWI JARINGAN KOMUNIKASI TRADISIONAL KASUS SISTEM PENGAIRAN TRADISIONAL SUBAK DI PROPINSI BALI Oleh: DAVID RIZAR NUGROHO & RETNO DEWI Komunikasi 1. Komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian masih sangat penting bagi perekonomian nasional. Hal tersebut dikarenakan potensi dari sektor pertanian di Indonesia didukung oleh ketersediaan sumber

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian dalam arti luas mencakup perkebunan, kehutanan, peternakan dan

I. PENDAHULUAN. pertanian dalam arti luas mencakup perkebunan, kehutanan, peternakan dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah dunia pertanian mengalami lompatan yang sangat berarti, dari pertanian tradisional menuju pertanian modern. Menurut Trisno (1994), ada dua pertanian yaitu pertanian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perubahan sistem pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa potensi pembudidayaan perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara

BAB I PENDAHULUAN. Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali memiliki sumberdaya air yang dapat dikembangkan dan dikelola secara menyeluruh, terpadu, berwawasan lingkungan dan berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 616 TAHUN : 2003 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar pekerjaan utama

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar pekerjaan utama I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar pekerjaan utama penduduknya sebagai petani. Bertani adalah salah satu profesi yang ditekuni oleh banyak penduduk

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA

VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA VI KAJIAN KEMITRAAN PETANI PADI SEHAT DESA CIBURUY DENGAN LEMBAGA PERTANIAN SEHAT DOMPET DHUAFA REPLUBIKA 6.1 Motif Dasar Kemitraan dan Peran Pelaku Kemitraan Lembaga Petanian Sehat Dompet Dhuafa Replubika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di Indonesia telah

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di Indonesia telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali sebagai pusat pengembangan kepariwisataan di Indonesia telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Hal tersebut

Lebih terperinci

Pengetahuan dan Penerapan Tri Hita Karana dalam Subak untuk Menunjang Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan

Pengetahuan dan Penerapan Tri Hita Karana dalam Subak untuk Menunjang Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan Pengetahuan dan Penerapan Tri Hita Karana dalam Subak untuk Menunjang Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan (Kasus Subak Mungkagan, Desa Sembung, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung) I PUTU TESSA ANDIKA,

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG DAFTAR KEWENANGAN DESA BERDASARKAN HAK ASAL USUL DAN KEWENANGAN LOKAL BERSKALA DESA DI KABUPATEN SIDOARJO DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG LAMBANG DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa nilai sosial

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awal masa orde baru tahun 1960-an produktivitas padi di Indonesia hanya 1-1,5 ton/ha, sementara jumlah penduduk pada masa itu sekitar 90 jutaan sehingga produksi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI NOMOR 1,2,3,4 dan 5 TAHUN 2015 DALAM RANGKA IMPLEMENTASI UU DESA

PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI NOMOR 1,2,3,4 dan 5 TAHUN 2015 DALAM RANGKA IMPLEMENTASI UU DESA KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI NOMOR 1,2,3,4 dan 5 TAHUN 2015 DALAM RANGKA IMPLEMENTASI

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakteristik responden dalam penelitian ini difokuskan pada umur, pengalaman

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. karakteristik responden dalam penelitian ini difokuskan pada umur, pengalaman BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Karakteristik responden Unit analisis dalam penelitian ini adalah subak. Oleh karena itu, karakteristik responden dalam penelitian ini difokuskan pada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 143, 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. transportasi, Wisata air, olah raga dan perdagangan. Karena kondisi lahan dengan 252 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Perairan Sagara Anakan memiliki potensi yang besar untuk dikelola, karena berfungsi sebagai tempat pemijahan biota laut, lapangan kerja, transportasi,

Lebih terperinci

BAB I DESKRIPSI KEGIATAN. 1.1 Judul Mewujudkan Masyarakat Mandiri Melalui Gerakan Indonesia Melayani, Bersih dan Tertib di Desa Sudaji

BAB I DESKRIPSI KEGIATAN. 1.1 Judul Mewujudkan Masyarakat Mandiri Melalui Gerakan Indonesia Melayani, Bersih dan Tertib di Desa Sudaji BAB I DESKRIPSI KEGIATAN 1.1 Judul Mewujudkan Masyarakat Mandiri Melalui Gerakan Indonesia Melayani, Bersih dan Tertib di Desa Sudaji 1.2 Lokasi KKN RM XIII berlokasi di Desa Sudaji, Kecamatan Sawan, Kabupaten

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. isu utama dalam perubahan lingkungan global. Untuk mengurangi pengaruh emisi

BAB I PENDAHULUAN. isu utama dalam perubahan lingkungan global. Untuk mengurangi pengaruh emisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pemanasan global (global warming) disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca termasuk CO 2 dari pembakaran minyak bumi (fosil) merupakan isu utama dalam perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang sangat terkenal di

BAB I PENDAHULUAN. Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang sangat terkenal di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang sangat terkenal di Indonesia, bahkan di dunia. Daya tarik Bali sebagai daerah tujuan wisata adalah karena faktor keindahan

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012

BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya alih fungsi ruang hijau menjadi ruang terbangun, merupakan sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua Kabupaten Kota di Indonesia.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA LAINNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. revolusi hijau. Hasilnya pada tahun 1984 Indonesia dapat mencapai swasembada

I. PENDAHULUAN. revolusi hijau. Hasilnya pada tahun 1984 Indonesia dapat mencapai swasembada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain berperan sebagai makanan pokok, beras juga merupakan sumber perekonomian sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Hutan lindung sesuai fungsinya ditujukan untuk perlindungan sistem

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Hutan lindung sesuai fungsinya ditujukan untuk perlindungan sistem BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan lindung sesuai fungsinya ditujukan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015) No. 74/11/51/Th. IX, 2 November 2015 PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015) PRODUKSI PADI TAHUN 2015 (ARAM II) DIPERKIRAKAN TURUN 0,81 PERSEN DIBANDINGKAN PRODUKSI TAHUN 2014

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Geografis Kecamatan Cigombong Kecamatan Cigombong adalah salah satu daerah di wilayah Kabupaten Bogor yang berjarak 30 km dari Ibu Kota Kabupaten, 120 km

Lebih terperinci

BUPATI KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN BUPATI KUPANG NOMOR : 4 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN BUPATI KUPANG NOMOR : 4 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN BUPATI KUPANG NOMOR : 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PEMBAGIAN DAN PENETAPAN RINCIAN DANA DESA SETIAP DESA DI KABUPATEN KUPANG TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG 1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERANAN SUBAK AGUNG YEH HO DALAM MANAJEMEN IRIGASI DI DAERAH ALIRAN INDUK SUNGAI HO KABUPATEN TABANAN

PERANAN SUBAK AGUNG YEH HO DALAM MANAJEMEN IRIGASI DI DAERAH ALIRAN INDUK SUNGAI HO KABUPATEN TABANAN ABSTRAKSI GaneÇ Swara Vol. 6 No.2 September 2012 PERANAN SUBAK AGUNG YEH HO DALAM MANAJEMEN IRIGASI DI DAERAH ALIRAN INDUK SUNGAI HO KABUPATEN TABANAN KETUT MUDITA Universitas Dwijendra Denpasar Penelitian

Lebih terperinci

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 2.1 Sejarah Kelurahan Ubud Ubud merupakan salah satu destinasi utama pariwisata di Privinsi Bali. Nama Ubud sendiri berasal dari kata Ubad yang memilki arti sebagai obat.

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR : 30 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN DANA PENGUATAN MODAL USAHA SUBAK ABIAN

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR : 30 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN DANA PENGUATAN MODAL USAHA SUBAK ABIAN GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR : 30 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN DANA PENGUATAN MODAL USAHA SUBAK ABIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI Menimbang : a. bahwa subak abian merupakan

Lebih terperinci