Abstract. Keywords: informal sector, vendors, economic crisis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Abstract. Keywords: informal sector, vendors, economic crisis"

Transkripsi

1 ANALISIS SOSIO EKONOMI TERHADAP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN : KASUS PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SOLO, JAWA TENGAH Oleh: Agus Muqorrobin, M. Nasir, dan Sri Murwanti Abstract The findings of the research indicated that from the kinds of businesses including meal, non-meal and beverage, the group of non-meal is a kind of most businesses of PKLs beverage in Solo. From the demographic aspect, the amount of the year-old vendors is 52 people (35%); 49 (33%) vendors are a graduate of Senior High School; the majority of the vendors sex is male (90 people or 60%); they are migrants (61 people or 41%) and the rest are natives (89 people or 59%); they are married (94 people or 63%); and their children average one child (43 people or 29%). The high group of productive age amounts 70 people (35%). It indicated that the interest in the formal sector is very limited and therefore, the labor force of productive age is not included in it. The finding indicated that the graduates of Higher Education to be a vendor amount 31 people (21%). It stated that the ethos of businessman not only include primary school but also Higher Education. The ownerships of business places mostly belong to PKLs themselves (109 places or 55%). It indicated that they have utilized their land optimally, particularly being on the urban transportation line. Most of their jobs in hometown are a farmer (61 people or 41%) and temporary labourer (27 people or 23%). This indicated that the agricultural sector no longer guarantee the people s welfare, therefore it is reasonable that if many farmers change their profession in being an informal sector worker and vendor in the urban area. It is an interesting issue that being a vendor could change their social status. It seems from the aspect of land and field ownership after and before being a vendor. Referring to the data of before and after being a vendor, the land and field ownership amount 99 (66%) and 121 (81%), respectively. Keywords: informal sector, vendors, economic crisis A. Pendahuluan Sektor informal terus berkembang. Versi Hidayat (1983) definisi umum dari sektor informal yaitu bagian dari sistem ekonomi kota-desa yang belum mendapat bantuan ekonomi pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang disediakan dan atau sudah menerima bantuan tapi belum berdikari. Dari definisi ini dapat dibedakan sektor informal di perdesaan (sektor informal tradisional di bidang pertanian) dan sektor informal di perkotaan yang sebagian besar adalah pedagang kaki lima - PKL. PKL didefinisikan sebagai usaha yang memerlukan modal kecil, berusaha di bidang produksi dan penjualan untuk memenuhi kebutuhan konsumen tertentu (Soeratno, 2000). Sektor usaha PKL seringkali menjadi rujukan bagi masyarakat dan pendatang baru untuk membuka usaha di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena adanya ciri khas dan relatif mudahnya membuka usaha (tidak memerlukan modal besar) di sektor tersebut (Suryahadi, dkk, 2003, Santoso, 2006 dan Tambunan 2006). 1

2 B. Perumusan Masalah Permasalahan penelitian ini: (1) Bagaimanakah identifikasi sektor informal PKL di Solo?, (2) Bagaimana keterlibatan kaum perempuan pada sektor informal PKL dan kontribusinya terhadap eksistensi sektor informal, baik dari sisi ekonomi atau non-ekonomi?, (3) Bagaimana komitmen pemberdayaan perempuan pekerja sektor informal dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarga dan kesejahteraan sosial. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini: (1) Untuk mengetahui identifikasi sektor informal PKL di Solo?, (2) Untuk mengetahui keterlibatan kaum perempuan pada sektor informal PKL dan kontribusinya terhadap eksistensi sektor informal, baik dari sisi ekonomi ataupun non-ekonomi?, (3) Untuk mengetahui komitmen pemberdayaan perempuan pekerja sektor informal dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sosial. Manfaat penelitian ini: (1) Memberikan sumbangan bagi ilmu ekonomi terutama masalah pengangguran - penanganan sektor informal, (2) Memberikan sumbangan bagi ilmu kependudukan khususnya menangani masalah pengangguran dan sektor informal, dan (3) Memberikan sumbangan bagi pengambil kebijakan terutama pemerintah daerah dalam menangani sektor informal. D. Tinjauan Pustaka Solo sebagai salah satu potret perkembangan perkotaan tak bisa lepas dari problem kependudukan, urbanisasi, kesenjangan sosial, dan kasus PKL. Ini diperparah oleh industrialisasi dan urbanisasi yang memicu kemiskinan perkotaan (Nugroho, 1995). Keberadaan PKL seolah menjadi bagian dari problem perkotaan (Suharto, 2003 dan Becker, 2004). Kasus ini harus dicari titik temu agar persepsi atas PKL tidak hanya dilihat dari satu sisi saja (Haryono, 1989). Solusinya tentu bukanlah program sosial (seperti welfare system) tapi justru individual self-care (Braudel, 1992). Selain persoalan klasik PKL, ancaman lain yang memicu kerawanan pembangunan perkotaan adalah migrasi dan kekumuhan (Arango, 2000). Ini secara tidak langsung membenarkan asumsi bahwa kasus PKL identik dengan migrasi (Greenwood, 1997). Migrasi telah menjadi persoalan klasik di semua negara, terutama terkait mobilisasi kependudukan dan ketenagakerjaan (Massey., et.al., 1993 dan Lucas,1997). Di Solo, jumlah sektor informal dan PKL secara pasti tak diketahui. Secara eksplisit, ini bisa terlihat dari aktivitas sektor informal di sejumlah daerah serta rumah tangga dan sentra-sentra PKL yang ada di Solo. Pada tahun 2003 tercatat PKL, hasil pendataan pada akhir tahun 2005 meningkat 51,7 persen menjadi PKL. Pelaku sektor informal-pkl di Solo tidak hanya masyarakat kecil golongan ekonomi lemah tapi banyak juga mahasiswa lulusan sarjana (Kompas, ). Persoalan sektor informal PKL harus diselesaikan. Secara eksplisit ada 2 yaitu pertama: kebijakan secara proaktif. Cara ini lebih mengedepankan aspek manusiawi dengan meminimalisasi terjadinya penumpukan PKL di daerah tertentu dengan cara memantau setiap ada indikasi pemunculan PKL. Bibit-bibit PKL bisa dilihat dari pendirian kios semi permanen. Cara ini sebenarnya bisa lebih bijak. Selain itu, hal ini juga lebih mengarah pada aspek penertiban PKL dalam arti yang sebenarnya. 2

3 Kedua: kebijakan reaktif. Format kebijakan ini memang dirasa lebih ekstrim karena dilakukan saat PKL kian menjamur. Sebenarnya, kesalahan atas pemanfaatan format kebijakan ini yaitu karena pemkot enggan melakukan cara pertama. Oleh karena itu, beralasan jika kebijakan kedua lebih mengarah penggusuran daripada penertiban. Di satu sisi, hal ini justru memicu sentimen negatif bagi pemkot karena dianggap tidak peduli kepada rakyat kecil (komunitas miskin perkotaan) dan di sisi lain kebijakan ini memicu konfrontasi yang akibatnya dirasakan oleh rakyat miskin PKL. Memang tak mudah menangani persoalan PKL, meski di sisi lain sektor informal - PKL juga memberikan nilai kemanfaatan. Oleh karena itu, sangat bijak jika pemkot melihat ini secara arif dengan mengedepankan sisi manusiawi demi kepentingan bersama, bukan hanya pembersihan yang justru terkesan negatif terutama mengacu fakta kasus kemiskinan perkotaan yang meningkat setiap tahun (Ibnusalam, 2002). E. Metode Penelitian 1. Bidang dan Bentuk Penelitian Bidang penelitian ini lebih terfokus persoalan analisis sosio - ekonomi terhadap pemberdayaan perempuan pekerja sektor informal di Solo untuk meningkatkan pendapatan keluarga dan kesejahteraan sosial. Penelitian ini deskriptif dengan penekanan pada analisis kualitatif. Mengacu urgensi pendalaman persoalan yang diangkat penelitian ini, maka aspek inti yang tidak bisa terlepas dari penelitian kualitatif yaitu pendekatan eksploratif atas semua persoalan yang berkembang terkait dengan tujuan pencapaian hasil yang optimal. 2. Obyek dan Lokasi Penelitian Penekanan penelitian ini yaitu analisis sosio - ekonomi terhadap pemberdayaan perempuan pekerja sektor informal di Solo untuk meningkatkan nilai pendapatan keluarga dan juga sisi kesejahteraan sosial masyarakat. Adapun lokasi penelitian ini yaitu di Solo, Jawa Tengah. 3. Data dan Identifikasi Variabel Identifikasi variabel penelitian penekanannya lebih terfokus di persoalan tentang pemberdayaan perempuan, kondisi makro perekonomian terkait peluang-potensi membangun kemandirian, kesempatan untuk berkiprah, keterbatasan lapangan kerja, minimnya investasi, fenomena dampak berlanjut krisis, dukungan sektor perbankan terhadap permodalan bagi UKM sektor informal yang kian minim, dan kepedulian - komitmen semua pihak terhadap pemberdayaan perempuan. 4. Analisis Data Analisis data dilakukan di lapangan dan bersamaan dengan proses pengumpulan datanya. Reduksi data dan sajian data merupakan dua komponen dalam analisis data. Penarikan kesimpulan dilakukan jika pengumpulan data dianggap cukup memadai dan dianggap selesai. Jika terjadi kesimpulan yang dianggap kurang memadai, diperlukan aktifitas verifikasi dengan sasaran yang lebih terfokus. Ketiga komponen aktifitas tersebut saling berinteraksi sampai diperoleh hasil kesimpulan yang mantap. 3

4 F. Hasil dan Pembahasan Sektor informal - PKL di riset ini digolongkan 16 kelompok. Pengelompokan ini sesuai dengan penelitian C. Supartomo dan Edi Rusdiyanto (2003) yang membahas eksistensi PKL di Tangerang yaitu: 1) buah-buahan, 2) makanan pokok, 3) makanan suplemen, 4) minuman - jamu, 5) tanaman hias, 6) burung, 7) rokok, 8) surat kabar - majalah, 9) mainan anak 10) bensin, 11) makanan hewan, 12) peralatan kendaraan bermotor, 13) bambu, 14) makanan ikan/alat-alat pancing, 15) tambal ban, dan 16) reparasi kunci dan jam. Dari 16 kelompok PKL, lalu dikelompokkan menjadi 4 jenis perdagangan yaitu: (1) Jasa (tambal ban, reparasi kunci dan jam), (2) Makanan dan minuman (makanan pokok, makanan suplemen, minuman dan jamu), (3) Nonmakanan (tanaman hias, burung, rokok, surat kabar dan majalah, mainan anak-anak, bensin, makanan hewan, peralatan kendaraan bermotor, bambu, makanan ikan/alat pancing), dan (4) Buah-buahan. Cakupan wilayah Solo yang terdiri 5 kecamatan dan upaya untuk menjawab problem riil dari sektor informal PKL, maka obyek penelitian terdiri dari 2 area yaitu: 1. PKL yang tertata oleh kebijakan pemkot Solo dan dipilih sektor informal PKL di Galabo (Gladag Langen Bogan) dan di kawasan Manahan sisi sebelah barat. Untuk kawasan Manahan dipilih 4 untuk obyek dan di Galabo yang dikhususkan untuk kawasan kuliner maka obyeknya hanya fokus PKL menjual makanan. 2. PKL yang tidak tertata oleh pemkot Solo. Dari setiap kecamatan, setelah dipilih area kawasannya, lalu dipilih 4 PKL yang mencerminkan klasifikasi PKL yaitu: (1) Kecamatan Banjarsari: kawasan kota barat, (2) Kecamatan Jebres: kawasan seputar kampus UNS, (3) Kecamatan Laweyan: kawasan seputar jalan Dr Rajiman, (4) Kecamatan Serengan: kawasan seputar barat Stadion R Maladi (Sriwedari), dan (5) Kecamatan Pasar Kliwon: kawasan seputar Semanggi Alasan utama pemilihan obyek di daerah yang dipilih ini karena dari pengamatan memang diketahui bahwa daerah tersebut kian marak keberadaan PKL. Terlepas dari klasifikasi kawasan yang dipilih, bahwa secara umum ada 2 klasifikasi PKL dalam menjalankan usahanya, yaitu: 1. PKL Mandiri yaitu PKL di tempat usaha yang mandiri sehingga mereka tak tergantung pemilik lahan dimana PKL mendirikan tempat usahanya. Hal ini bisa dalam bentuk mengontrak tempat atau memang lahan itu milik sendiri. Yang dimaksud lahan adalah tanah atau rumah yang ditempati dan sekaligus tempat usaha. Mereka yang mengontrak mayoritas adalah pendatang, meski ada juga beberapa warga sekitar yang mengontrak untuk usaha menjadi PKL dan yang mempunyai rumah sekaligus dipakai untuk kios PKL mayoritas adalah warga asli sekitar kawasan tersebut. Mereka yang termasuk kelompok ini biasanya membuka usaha PKL dari pagi sampai malam karena memang tidak ada tanggungan dengan pemilik areal. 4

5 2. PKL Non-Mandiri yaitu yang tergantung pemilik lahan. Biasanya pemilik lahan membuka usaha yang membuka usahanya dari pagi sampai sore hari. Oleh karena itu, PKL yang termasuk kelompok ini biasanya membuka usaha setelah si pemilik lahan tutup usaha. Mayoritas PKL yang termasuk pada kelompok ini yaitu PKL yang bergerak di usaha makanan - minuman, baik berbentuk warung lesehan, juga angkringan HIK. Meskipun demikian ada juga dari mereka yang berjualan VCD dan burjo. Klasifikasi terhadap jenis PKL pada dasarnya bisa dibedakan menurut jenis usaha. Identifikasi jenis usaha PKL yaitu makanan-minuman, VCD, potong rambut, kios rokok - koran, tanaman hias, atribut otomotif (plat nomer, tambal ban, strom accu, bengkel dan kios oli), sepeda onthel, peralatan rumah tangga, mainan anak-anak, serta sayuran dan buah-buahan, dll. Klasifikasi 16 jenis usaha PKL ini tidak bisa digeneralisasi karena beberapa penelitian mengakomodasi klasifikasi PKL berbeda (Purwanugraha dan Harsiwi, 2003). Mengacu klasifikasi dari C. Supartomo dan Edi Rusdiyanto (2003) terdapat 4 kelompok perdagangan PKL yaitu: jasa, makanan dan minuman, non-makanan dan buah-buahan. Temuan penelitian ini terlihat di tabel 1: Tabel 1 Klasifikasi jenis PKL di Solo Tidak Tertata Banjarsari Jebres Mandiri Laweyan Serengan Ps Kliwon Sub Jumlah JASA MAKANAN NON- BUAH- JUMLAH JENIS FORMAT LETAK -MINUMAN MAKANAN BUAHAN L P L P L P L P L P Manahan Tertata Mandiri (Pagi-Malam) Galabo (Sore-Malam) Jumlah Non- Mandiri Banjarsari Jebres Laweyan Serengan Ps Kliwon Sub Jumlah Jumlah Ket: L = pelaku usaha yang utama adalah laki-laki dan ada keterlibatan dari peran perempuan P = pelaku usaha yang utama adalah perempuan dan ada keterlibatan dari peran laki-laki Sumber: Data Primer (2009) Obyek yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini berjumlah 150 sektor informal PKL yaitu terbagi menjadi dua, yaitu: 1. PKL yang termasuk jenis tertata. Pemkot Solo telah melakukan penataan sektor informal - PKL pada 3 kelompok yaitu shelter di kawasan Manahan 5

6 yang terdiri di sebelah barat dan utara, pasar klitikan di Semanggi dan kawasan kuliner di depan Pusat Grosir Solo (PGS) yang kemudian dikenal sebagai Galabo (Gladag Langen Bogan). Obyek yang diteliti dalam jenis PKL ini mencapai 50 obyek yaitu di kawasan Manahan dan Galabo. 2. PKL yang termasuk jenis tidak tertata. Jenis PKL ini diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu PKL mandiri mencapai 50 obyek dan juga non-mandiri mencapai 50 obyek. Kelompok PKL yang berjualan makanan-minuman memang paling dominan dan kasus ini tidak hanya terjadi di Solo tapi juga banyak terjadi di sejumlah daerah. Alasan riil dari temuan ini karena usaha makanan-minuman relatif lebih mudah dilakukan dan modal awal usaha tak terlalu besar, serta tidak banyak membutuhkan alokasi tempat bagi usahanya, dan juga fleksibel dilakukan jam usahanya. Jenis PKL tertata yang termasuk kategori mandiri dengan pelaku usaha perempuan di kawasan Manahan ternyata dilakukan 19 orang (38%) sedangkan yang dilakukan pria ada 11 orang (22%). Kasus yang sama untuk PKL di kawasan Galabo ternyata yang dilakukan perempuan mencapai 16 orang (32%) dan yang dilakukan pria ada 4 orang (8%). Dari temuan ini, secara keseluruhan kaum perempuan masih menjadi pelaku utama di usaha sektor informal - PKL dari kasus PKL tertata dan mandiri di Solo mencapai 35 orang (70%) dibanding kaum pria yang hanya 15 orang (30%). Pada kasus jenis PKL yang tidak tertata yang mandiri ternyata pelaku usaha perempuan mencapai 26 orang (52%) sedangkan yang dilakukan oleh pria yaitu 24 orang (48%). Hal ini juga terjadi pada PKL tidak tertata yang non-mandiri dimana pelaku usaha dari kaum perempuan mencapai 29 orang (58%) sedangkan yang dilakukan oleh pria yaitu mencapai 21 orang (42%). Aspek lain yang juga menarik untuk dipaparkan dari sampel yaitu aspek demografis, misal tentang umur yaitu didominasi oleh usia antara tahun yang mencapai 52 orang (35%), status pendidikan formal PKL terbanyak yaitu lulusan SMU mencapai 49 orang (33%), mayoritas jenis kelamin adalah perempuan 90 orang (60%), status daerah asal para PKL mayoritas adalah warga asli 89 orang (59%) dan status perkawinan juga didominasi PKL yang berstatus sudah menikah yaitu 94 orang (63%) sedangkan yang belum menikah mencapai 56 orang atau 37% (lihat tabel 2). Tabel 2 Karakteristik PKL di Solo UMUR PENDIDIKAN JENIS KELAMIN STATUS DAERAH ASAL 20 th = th = th = th = th = th = 9 Sumber: data primer (2009) Tak lulus SD = 7 Lulus SD = 21 Lulus SMP = 42 Lulus SMU = 49 Lulus PT = 31 Pria = 60 Perempuan = 90 Menikah = 94 Belum Menikah = 56 Warga Asli = 89 Pendatang = 61 Hasil penelitian yang menunjukan bahwa jenjang pendidikan yang bekerja sebagai PKL di Solo adalah lulusan SMU secara eksplisit menunjukan bahwa ancaman 6

7 serius dari krisis adalah kemampuan para orang tua untuk memacu pendidikan anakanaknya. Di sisi lain, sempitnya lapangan kerja di sektor formal juga menjadi faktor dominan dibalik tingginya anak lulusan SMU yang berprofesi menjadi PKL. Hal ini juga didukung oleh dominasi PKL yang berstatus sebagai warga asli, bukan pendatang dan tempat usahanya adalah milik pribadi, bukan kontrakan. Tingginya klasifikasi usia produktif yang terjun menjadi PKL menunjukan bahwa daya serap pada sektor formal memang sangat terbatas sehingga tidak semua angkatan kerja produktif tertampung di sektor formal. Di satu sisi, ini memang memicu dampak positif dalam bentuk berkembangnya sektor informal perkotaan, termasuk juga menjadi PKL. Di sisi lain, jika sektor informal ini terus di gusur dan dikerdilkan eksistensinya, maka justru memicu ancaman yang lebih serius yaitu kerawanan di perkotaan. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkompeten dengan hal ini haruslah lebih peduli dan mengutamakan pendekatan yang lebih manusiawi agar sektor informal, terutama yaitu PKL tidak selalu dikucilkan atau digusur dengan dalih keindahan dan ketertiban kota. Temuan bahwa sejumlah alumi perguruan tinggi yang mau terjun menjadi PKL yaitu mencapai 31 orang (21%) justru menunjukan bahwa semangat kewirausahaan memang harus dipupuk, tidak saja dari pendidikan dasar tetapi juga di pendidikan tinggi. Hal ini penting terutama untuk melihat realita bahwa sektor formal sangatlah terbatas daya serapnya sehingga para alumni perguruan tinggi tidak perlu merasakan risi ketika harus terjun berwirausaha, termasuk juga untuk menjadi PKL. Bahkan ini bisa menjadi suatu cambuk untuk memacu daya serap sektor informal agar lapangan kerja yang ada bisa terakumulasi secara penuh dan meminimalisasi pengangguran. Pada tabel 3 terlihat bahwa status pekerjaan yaitu menjadi PKL atau bekerja di sektor informal ternyata mayoritas adalah sebagai pekerjaan utama yaitu 105 orang (70%) dan yang melakukan sebagai pekerjaan sambilan hanya 45 orang (30%). Identifikasi lainnya yang juga menarik ternyata mayoritas mempunyai jumlah tanggungan keluarga hanya 1 orang yaitu mencapai 43 orang (29%), dan kemudian tanggungan 2 orang mencapai 37 orang (25%). Akumulasi rata-rata pendapatan per bulan bersih dari sektor informal atau PKL di Solo ternyata berbeda yaitu untuk jenis PKL tertata mandiri memiliki tingkat pendapatan rata-rata Rp , PKL tidak tertata mandiri lebih kecil yaitu mencapai Rp dan PKL tidak tertata non-mandiri hanya mencapai Rp per bulan karena harus dikurangi biaya sewa tempat dan biaya listrik kepada pemilik lahan. Tabel 3 Karakteristik PKL di Solo STATUS PEKERJAAN MENJADI PKL Utama = 105 Sambilan = 45 JUMLAH TANGGUNGAN KELUARGA 0 = 4 1 = 43 2 = 37 3 = 29 RATA-RATA PENDAPATAN BERSIH TERTATA MANDIRI TIDAK TERTATA MANDIRI TIDAK TERTATA NON- MANDIRI Rp Rp Rp

8 4 = 25 > 5 = 12 Sumber: data primer (2009) Temuan yang menunjukan bahwa status tempat usaha mayoritas adalah milik pribadi menunjukan bahwa masyarakat telah mampu memanfaatkan lahan yang dimiliki secara optimal, terutama mereka yang berada di jalur utama transportasi di perkotaan atau jalur strategis. Dengan memanfaatkan lahan menjadi tempat usaha, maka secara tak langsung ini mempengaruhi pendapatan keluarga. Artinya mereka yang memiliki pekerjaan tetap justru bisa mendapatkan penghasilan ekstra, sedangkan mereka yang belum mempunyai penghasilan tetap maka bisa mendapatkan penghasilan utama melalui tempat usaha yang didirikannya tersebut. Tabel 4 Karakteristik PKL di Solo PEKERJAAN ASAL DI DAERAH ASAL PEMILIKAN TANAH/SAWAH SEBELUM MIGRASI PEMILIKAN TANAH/SAWAH SETELAH MIGRASI PEKERJAAN SEBELUM MENJADI PKL Petani = 31 Buruh = 27 Lainnya = 3 Sumber : Data Primer (2009) Milik sendiri = 99 Tak memiliki = 51 Milik sendiri = 121 Tak memiliki = 29 Petani = 61 Buruh = 35 Bengkel = 11 Pembantu = 29 Calo makelar = 10 Lainnya = 4 Dari tabel 4 terlihat bahwa mayoritas pekerjaan di daerah asal para PKL yaitu sebagai petani yang mencapai 61 orang (41%) dan buruh yaitu 35 orang (23%). Hal ini secara tidak langsung justru menunjukan bahwa sektor pertanian saat ini memang tidak lagi menjanjikan terhadap kesejahteraan sehingga sangat beralasan jika petani banyak yang bermigrasi beralih profesi menjadi pekerja sektor informal di perkotaan termasuk juga menjadi PKL. Bahkan, fenomena ini makin menguatkan hipotesis bahwa industrialisasi dengan berbagai atribut kapitalisnya makin kuat mengecoh sektor pertanian dan sektor primer lainnya untuk kemudian terkucilkan oleh kuatnya sektor industri perdagangan dan jasa yang memang berkembang lebih pesat. Yang justru menarik, ternyata mejadi PKL bisa merubah status sosial dan hal ini terlihat dari status kepemilikan tanah - sawah sebelum dan setelah menjadi PKL. Data sebelum menjadi PKL ternyata status kepemilikan tanah - sawah mencapai 99 yang milik sendiri (66%), dan setelah berprofesi menjadi PKL ternyata status kepemilikan tanah - sawah meningkat menjadi 121 orang yang memiliki hak pribadi (81%). Peningkatan ini tidak terdeteksi yaitu setelah berapa lama hal ini bisa terjadi. Artinya, apakah mereka setelah 5 tahun menjadi PKL atau justru lebih dari 10 tahun menjadi PKL baru bisa merubah status kepemilikan tanah - sawah itu. 8

9 Temuan lain yang juga menarik bahwa sebelum menjadi PKL ternyata banyak yang berstatus sebagai pekerja di sejumlah tempat usaha, baik yang berskala besar atau kecil dan juga industri rumahan. Jumlah mereka yang menjadi buruh ini mencapai 35 orang (23%), kemudian disusul profesi sebagai pembantu rumah tangga yaitu 29 orang (20%). Perubahan status dari pekerjaan ini secara tidak langsung menunjukan bahwa profesi sebagai PKL juga menjanjikan. Tabel 5 Karakteristik PKL di Solo JUMLAH HARI KERJA PER MINGGU 7 hari = 103 < 7 hari = 47 JAM KERJA PER HARI < 12 jam = 59 > 12 jam = 91 Sumber : Data Primer (2009) MASA KERJA DAN ATAU PENGALAMAN MENJADI PKL < 5 tahun = 58 > 5 tahun = 87 > 10 tahun = 5 ASPEK PERMODALAN Sendiri = 93 Pinjaman = 31 Patungan = 26 Hasil riset menunjukan bahwa peralihan profesi dari pekerjaan sebelum menjadi PKL dan kemudian menjadi PKL ternyata diikuti keyakinan bahwa menjadi PKL adalah hal utama mencapai 105 orang (70%) dan yang mengaku sebagai pekerjaan sambilan hanya 45 orang (30%). Konsekuensi dari pengakuan sebagai pekerjaan utama maka jumlah hari kerja mereka juga 7 hari per minggu (103 orang = 69%) dan lebih dari 12 jam per hari (91 orang = 61%). Yang juga menggembirakan, mayoritas PKL adalah bermodal sendiri yaitu mencapai 93 orang (62%) dan sisanya bermodal pinjaman, baik dari saudara ataupun perbankan yaitu mencapai 31 orang (21%) dan usaha patungan (26 orang = 17%). Secara umum, rata-rata dari mereka telah bekerja menjadi PKL lebih dari 5 tahun yaitu ada 87 orang (58%) dan yang lebih dari 10 tahun menjadi PKL hanya 5 orang (3%). Meskipun ada beberapa dampak positif atas eksistensi sektor informal - PKL di Solo, namun rumor atas penertiban PKL tetap saja ada dan ini secara tidak langsung memicu kecemasan publik, terutama bagi kelangsungan hidup para PKL. Di satu sisi, pemkot Solo juga terkesan mendua sebab kebijakan penertiban atau penataan PKL dilaksanakan setengah hati, sedang di sisi lain, dengan ketiadaan kepastian berusaha bagi PKL juga berimbas pada proses kelangsungan usaha PKL. Oleh karena itu, seharusnya pemkot Solo bisa lebih memacu peran sektor informal - PKL secara umum demi pemberdayaan ekonomi kerakyatan. G. Kesimpulan, Saran dan Keterbatasan 1. Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil penelitian ini yaitu: (1) Peran kaum perempuan di sektor informal, terutama PKL cenderung penting dan ada diantaranya yang dominan, (2) Keterlibatan kaum perempuan di sektor informal ada yang bersifat langsung, tapi ada juga yang tidak secara langsung, dan (3) Implikasi sosial ekonomi dari keterlibatan kaum perempuan di sektor informal perlu dipertimbangkan sebagai basis kekuatan untuk meningkatkan bargaining power kaum perempuan secara lebih luas lagi. 9

10 2. Saran Beberapa aspek perlu diperhatikan dan menjadi saran yang harus ditindaklanjuti: (1) Pemerintah dan pihak terkait perlu memberikan perhatian lebih kepada kaum perempuan, terutama yang berhasil melakukan kegiatan atau peran ganda sebab ini juga berdampak positif bagi pemerintah - keluarga, (2) Perlu ada pendekatan makro untuk bisa lebih memberdayakan kaum perempuan sehingga keterlibatan mereka tidak lagi dianggap remeh, dan (3) Bias jender perlu diminimalisasikan agar perempuan dalam kapasistasnnya bagi kegiatan produktif bisa lebih dipacu. 3. Keterbatasan Keterbatasan dari penelitian ini: (1) Untuk kasus PKL yang tertata oleh pemkot semestinya tak hanya terfokus pada bidang usaha makanan sebab untuk kasus PKL yang tertata juga bisa melibatkan kasus di pasar klitikan di Semanggi, namun dalam penelitian ini tidak dilakukan, dan (2) Perlu dilakukan pendekatan yang berbeda untuk keterlibatan kaum perempuan pada kasus PKL yang tertata dan yang tidak tertata, termasuk juga untuk kasus PKL mandiri dan non-mandiri. H. Daftar Pustaka Arango, J. (2000), Explaining migration: A critical view. International Social Science Journal, 165: Braudel, Fernand (1992), Civilization and Capitalism 15 th 18 th Century, Vol.II: The Wheels of Commerce, Barkeley and Los Angeles: University of California Press. Greenwood, M.J. (1997), Internal migration in developed countries. In: Rosenzweig, M.R. dan Stark, O. (eds). Handbook of population and family economics. Volume 1B. Amsterdam: Elsevier, pp Haryono, Tulus, (1989), Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Pedagang Kaki Lima: Studi Kasus di Kodya Surakarta, Tesis, Fakultas Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Hidayat (1983), Pengembangan Sektor Informal dalam Pembangunan Nasional: Masalah dan Prospek. Pusat Penelitian Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi. Bandung: Universitas Pedjajaran. Ibnusalam (2002), Analisa faktor-faktor penyebab kemiskinan masyarakat desa: Suatu studi pada Desa Bulucina, Tarutung Sihoda-Hoda dan Desa Gontong Jae Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Tapanuli Selatan, Tesis Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Lucas, R.E.B. (1997), Internal migration in developing countries. In: Rosenzweig, M.R. dan Stark, O. (eds). Handbook of population and family economics. Volume 1B. Amsterdam: Elsevier, pp Massey, D.S., Arango, J., Hugo, G., Kouaouci, A., Pellegrino, A. dan Taylor, J.E. (1993), Theories of international migration: A review, Population and Development Review, 19(3): Nugroho, Heru (1995), Kemiskinan, ketimpangan dan kebijakan dalam kemiskinan dan kesenjangan di Indonesia, Adity Mulia, Yogyakarta. Santoso, Slamet (2006), Kemampuan bertahan pedagang warung Hik di Kota Ponorogo, Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 7, No. 2, 2006:

11 Soeratno (2000), Analisa Sektor Informal : Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta, Jurnal OPTIMUM. Volume 1, Nomor 1 September, Yogyakarta. Suharto, E Accomodating the Urban Informal Sector in the Public Policy Process: A Case Study of Street Enterprises in Bandung Metropolitan Region (BMR), Indonesia. Policy Paper International Policy Fellow. ( Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira, S. Sumarto, (2003), mminimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector, Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol 39 No 1, hal Tambunan, Tulus (2006), Keadilan dalam ekonomi, Makalah Kadin Indonesia Jetro, Jakarta. 11

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN WANITA

LAPORAN PENELITIAN KAJIAN WANITA LAPORAN PENELITIAN KAJIAN WANITA ANALISIS SOSIO EKONOMI TERHADAP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN : KASUS PEKERJA SEKTOR INFORMAL DI KOTA SOLO, JAWA TENGAH Oleh: M. Nasir, SE, MM Sri Murwanti, SE, MM DIBIAYAI PROYEK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. perhatian perencanaan pembangunan, terutama di negara sedang berkembang, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang tidak bisa lepas dari sektor informal. Keberadaan sektor informal di Indonesia tidak terlepas dari proses pembangunan yang sedang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja. Sehingga lebih memilih bekerja di sektor informal.

BAB I PENDAHULUAN. kerja. Sehingga lebih memilih bekerja di sektor informal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Negara yang sedang berkambang dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi taraf hidup rakatnya yang bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR Oleh: SULISTIANTO L2D 306 023 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008

Lebih terperinci

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR Oleh: HAPSARI NUGRAHESTI L2D 098 433 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan pedagang. makanan dan minuman di Gladag Langen Bogan Surakarta

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan pedagang. makanan dan minuman di Gladag Langen Bogan Surakarta Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan pedagang makanan dan minuman di Gladag Langen Bogan Surakarta UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh : Kris Ciptawan NIM. F0104071 BAB I PENDAHULUAN A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kewirausahaan: Edukasi dan Proses Edukasi tentang kewirausahaan memang haruslah dilakukan sedari dini dimulai dari level pendidikan yang terendah. Hal ini dilakukan untuk membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat urbanisasi tertinggi di Asia Timur, dan 32 persen dari orang miskin tinggal di wilayah perkotaan. Sebagian

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA

HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA HUBUNGAN KARAKTER AKTIVITAS DAN KARAKTER BERLOKASI PKL DI KOTA SURAKARTA MURTANTI JANI R, S.T., M.T. PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET, SURAKARTA RINA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR O l e h : R.B. HELLYANTO L 2D 399 247 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya

V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN. Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya V. GAMBARAN UMUM PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kelurahan Penjaringan terletak di Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Kelurahan Penjaringan memiliki lahan seluas 395.43 ha yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Migrasi merupakan perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan dengan kedua daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang disertai terjadinya perubahan struktur ekonomi. Menurut Todaro

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi yang disertai terjadinya perubahan struktur ekonomi. Menurut Todaro BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam proses pembangunan salah satu indikator keberhasilan pembangunan Negara berkembang ditunjukkan oleh terjadinya pertumbuhan ekonomi yang disertai terjadinya perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung secara sadar, terencana dan berkelanjutan dengan sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi dan moneter mengakibatkan terjadinya kelumpuhan ekonomi nasional terutama di sektor riil yang berakibat terjadinya pemutusan hubungan kerja besar-besaran

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 74/11/35/Th. XIV, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,21 PERSEN Jumlah angkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pemerintah. Titik sentral pada faktor ekonomi didukung oleh

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pemerintah. Titik sentral pada faktor ekonomi didukung oleh BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada era Orde Baru, ekonomi merupakan tujuan utama mekanisme kebijakan pemerintah. Titik sentral pada faktor ekonomi didukung oleh perkembangan sektor formal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota tersebut. Namun sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. kota tersebut. Namun sebagian besar kota-kota di Indonesia tidak dapat memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan suatu daerah tidak terlepas dari kebutuhan akan ruang terbuka yang berfungsi penting bagi ekologis, sosial ekonomi, dan evakuasi. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola perekonomian yang cenderung memperkuat terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang bermuara kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. angka pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi, utamanya terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. angka pertumbuhan penduduk kota yang sangat tinggi, utamanya terjadi pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk dan proses mobilitas penduduk menuju daerah perkotaan di Indonesia semakin meningkat dengan pesat, ditunjukkan oleh angka pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia dewasa ini kondisinya dirasakan sangat

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia dewasa ini kondisinya dirasakan sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perekonomian Indonesia dewasa ini kondisinya dirasakan sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat pada sektor industrialisai dan urbanisasi di daerah perkotaan

Lebih terperinci

Perluasan Lapangan Kerja

Perluasan Lapangan Kerja VII Perluasan Lapangan Kerja Perluasan lapangan kerja untuk menciptakan lapangan kerja dalam jumlah dan mutu yang makin meningkat, merupakan sebuah keniscayaan untuk menyerap angkatan kerja baru yang terus

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Badan Pusat Statistik ( BPS ). Data Indikator Ketenagakerjaan. November

BAB 1 PENDAHULUAN. Badan Pusat Statistik ( BPS ). Data Indikator Ketenagakerjaan. November BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Permasalahan Sektor Informal di Perkotaan Indonesia Fenomena sektor informal merupakan fenomena yang sangat umum terjadi di negara - negara berkembang. Di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah tenaga kerja yang tidak seimbang dengan sempitnya lapangan pekerjaan formal mengakibatkan bertambah besarnya angka pengangguran. Hal ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 31/05/32/Th. XVII, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,40 PERSEN Berdasarkan hasil Sakernas bulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informal ini menunjukan bukti adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara

BAB I PENDAHULUAN. informal ini menunjukan bukti adanya keterpisahan secara sistemis-empiris antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Integritas Bangsa Indonesia sedang menghadapi tantangan era globalisasi. Berbagai macam budaya global yang masuk melalui beragam media komunikasi dan informasi. Dengan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 78//35/Th. XIII, 5 November 05 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 05 AGUSTUS 05: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA JAWA TIMUR SEBESAR 4,47 PERSEN Jumlah angkatan kerja di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fungsional dalam proses produksi yang bertindak sebagai faktor produksi. Sisi

BAB I PENDAHULUAN. fungsional dalam proses produksi yang bertindak sebagai faktor produksi. Sisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara-negara berkembang, Indonesia masih menghadapi pertumbuhan penduduk yang tinggi. Laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi membawa konsekwensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PKL muncul sebagai salah satu bentuk sektor informal perkotaan. Rachbini dan Hamid (1994) menyebutkan bahwa sektor informal secara struktural menyokong sektor formal.

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, FEBRUARI 2017 No. 27/05/82/Th. XI, 06 Mei 2014 30/05/82/Th XVI, 05 Mei KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU UTARA, FEBRUARI Jumlah angkatan kerja di Maluku Utara pada mencapai 557,1 ribu orang bertambah 32,6 ribu orang dibanding

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 No. 08/05/Th. XI, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,14 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Sulawesi Tenggara pada Februari 2017 mencapai

Lebih terperinci

PENDUDUK DAN KETENAGAKERJAAN PIRAMIDA PENDUDUK KAB. KLUNGKUNG,

PENDUDUK DAN KETENAGAKERJAAN PIRAMIDA PENDUDUK KAB. KLUNGKUNG, BAB III PENDUDUK DAN KETENAGAKERJAAN 8000 7000 6000 0 PIRAMIDA PENDUDUK KAB. KLUNGKUNG, 2014 5000 4000 3000 2000 1000 0 PENDUDUK USIA 15+ YANG BEKERJA MENURUT LAP. USAHA, 2014 1000 2000 SEKTOR SEKUNDER

Lebih terperinci

DAMPAK SOSIAL EKONOMI KEBIJAKAN RELOKASI PASAR (Studi Kasus Relokasi Pasar Dinoyo Malang)

DAMPAK SOSIAL EKONOMI KEBIJAKAN RELOKASI PASAR (Studi Kasus Relokasi Pasar Dinoyo Malang) DAMPAK SOSIAL EKONOMI KEBIJAKAN RELOKASI PASAR (Studi Kasus Relokasi Pasar Dinoyo Malang) Aldinur Armi, Saleh Soeaidy, Ainul Hayat Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya,

Lebih terperinci

MIGRAN DI KOTA NEGARA DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (KAJIAN GEOGRAFI PENDUDUK) Oleh

MIGRAN DI KOTA NEGARA DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (KAJIAN GEOGRAFI PENDUDUK) Oleh MIGRAN DI KOTA NEGARA DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (KAJIAN GEOGRAFI PENDUDUK) Oleh K. Yunitha Aprillia Ida Bagus Made Astawa, I Gede Astra Wesnawa *) Jurusan Pendidikan Geografi,Undiksha Singaraja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: DIAN HERYANI L2D 002 393 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2016

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2016 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 40/05/21/Th. XI, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 9,03 PERSEN

Lebih terperinci

Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah Skala Kecil Di Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Kota Padang. B.

Struktur Pendapatan Rumah Tangga Petani Padi Sawah Skala Kecil Di Kelurahan Binuang Kampung Dalam Kecamatan Pauh Kota Padang. B. A. PENDAHULUAN Beberapa tahun belakangan ini Indonesia menghadapi masalah pangan yang serius. Kondisi ini diperkirakan masih akan kita hadapi beberapa tahun ke depan. Stok pangan masih terbatas dan sangat

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) PADA KAWASAN PERDAGANGAN JALAN KARTINI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : OKTARINA DWIJAYANTI L2D 002 424 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang pada gilirannya merupakan penawaran tenaga kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang pada gilirannya merupakan penawaran tenaga kerja yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS No. 69/11/76/Th.X, 7 November AGUSTUS : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SULAWESI BARAT SEBESAR 3,33 PERSEN Penduduk usia kerja di Sulawesi Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sebagai Kota yang telah berusia 379 tahun, Tanjungbalai memiliki struktur

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sebagai Kota yang telah berusia 379 tahun, Tanjungbalai memiliki struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai Kota yang telah berusia 379 tahun, Tanjungbalai memiliki struktur dan karakter ekonomi yang didominasi oleh pelaku usaha tergolong kategori usaha kecil dan

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Kawasan Pertanian Industrial unggul berkelanjutan Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember www.adamjulian.net Pengembangan Kawasan Pertanian Industrial

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI LAMPUNG KEADAAN KETENAGAKERJAAN PROVINSI LAMPUNG AGUSTUS 2017 AGUSTUS 2017 TINGKAT PENGANGGUR- AN TERBUKA SEBESAR 4,33 PERSEN Penduduk yang bekerja pada Agustus 2017 berkurang

Lebih terperinci

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar

Indikator Ketenagakerjaan KABUPATEN WAROPEN TAHUN Oleh : Muhammad Fajar KABUPATEN WAROPEN TAHUN 2014 Oleh : Muhammad Fajar KATA PENGANTAR Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik mengamanatkan Badan Pusat Statistik (BPS) bertanggung jawab atas perstatistikan di

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI No. xxx/05/21/th. V, 10 Mei 2010 KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU SAMPAI DENGAN FEBRUARI 2010 TINGKAT PENGANGGURAN KEPRI TERENDAH DALAM EMPAT TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Astri Nuraeni Kusumawardani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Astri Nuraeni Kusumawardani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi problema bagi para pedagang, di satu sisi mereka akan mendapatkan keuntungan yang lebih karena adanya kenaikan harga, tapi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertengahan tahun 1997 kondisi perekonomian Negara mengalami krisis

BAB I PENDAHULUAN. Pertengahan tahun 1997 kondisi perekonomian Negara mengalami krisis BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pertengahan tahun 1997 kondisi perekonomian Negara mengalami krisis moneter yang berkepanjangan, memberi dampak besar terhadap banyak bidang kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, pembangunan merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Seperti diketahui, negara Indonesia dalam melakukan pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

BAB IV PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT 50 BAB IV PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT A. Dampak Bidang Sosial Adanya pabrik teh hitam Kaligua telah membawa dampak pada mata pencaharian masyarakat Pandansari dan sekitarnya, baik dampak langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak positif juga memberi dampak negatif terutama ditunjukkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. dampak positif juga memberi dampak negatif terutama ditunjukkan oleh digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pembangunan merupakan salah satu cara untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang cukup serius dihadapi Indonesia dewasa ini adalah masalah pengangguran. Pengangguran merupakan masalah ketenagakerjaan yang saat ini

Lebih terperinci

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY Rike Anggun Mahasiswa Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada rikeanggunartisa@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berdasarkan pada jenis kelamin tentunya terdiri atas laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berdasarkan pada jenis kelamin tentunya terdiri atas laki-laki dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penduduk suatu negara merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi atau peranan yang cukup besar dalam pembangunan ekonomi. Penduduk tersebut berdasarkan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perhatian terhadap perlindungan sosial bagi para pekerja di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perhatian terhadap perlindungan sosial bagi para pekerja di negara-negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di negara maju, munculnya perhatian pada perlindungan sosial terutama bagi pekerja telah ada sejak tumbuhnya sistem ekonomi pasar pada abad ke-19. Perhatian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011) PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian mempunyai peranan yang strategis dalam penyerapan tenaga kerja yang ada di Indonesia, yaitu dengan tingginya penyerapan tenaga kerja sekitar 44 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan kota-kota besar di Indonesia memacu pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan kota-kota besar di Indonesia memacu pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan kota-kota besar di Indonesia memacu pertumbuhan ekonomi sehingga menjadi magnet bagi penduduk perdesaan untuk berdatangan mencari pekerjaan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu permasalahan pembangunan yang dihadapi Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu permasalahan pembangunan yang dihadapi Negara Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu permasalahan pembangunan yang dihadapi Negara Indonesia adalah masalah kependudukan, Indonesia memiliki penduduk yang begitu besar dari tahun ke tahun, begitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk berpengaruh positif apabila perekonomian dapat menyerap tambahan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk berpengaruh positif apabila perekonomian dapat menyerap tambahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja adalah dua hal yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penduduk menjadi potensi terjaminnya ketersediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lapangan Usaha * 2011** Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan

I. PENDAHULUAN. Lapangan Usaha * 2011** Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor yang berperan penting sebagai penggerak dalam pembangunan ekonomi nasional (Hartati, 2006). Tabel 1 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 No. / / /Th., 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 3,67 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi Jambi pada Februari 2017 mencapai 1.792

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 No. 06/05/53/Th. XVI, 4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,59% Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) NTT Februari 2016 mencapai 3,59

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2016

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2016 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 28/05/32/Th. XVIII,4 Mei 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2016 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,57 PERSEN Berdasarkan hasil Sakernas bulan

Lebih terperinci

KAJIAN PERKEMBANGAN SEKTOR JASA dan SERAPAN TENAGA KERJA di DKI JAKARTA

KAJIAN PERKEMBANGAN SEKTOR JASA dan SERAPAN TENAGA KERJA di DKI JAKARTA KAJIAN PERKEMBANGAN SEKTOR JASA dan SERAPAN TENAGA KERJA di DKI JAKARTA KAJIAN PERKEMBANGAN SEKTOR JASA dan SERAPAN TENAGA KERJA di DKI JAKARTA Oleh : Novita Delima Putri 1 Fadillah Hisyam 2 Dosen Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia

I. PENDAHULUAN. permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan ketidakseimbangan antara permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja di Indonesia. Indonesia merupakan negara berkembang

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 4,31 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 4,31 PERSEN BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 66/11/16/Th. XVIII, 7 November 2016 KEADAAN KETENAGAKERJAAN AGUSTUS 2016 AGUSTUS 2016: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 4,31 PERSEN Jumlah angkatan kerja di

Lebih terperinci

No. 03/05/81/Th.XVIII, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN MALUKU 2017 Jumlah Angkatan Kerja di Provinsi Maluku pada Februari 2017 mencapai 769.108 orang, bertambah sebanyak 35.771 orang dibanding angkatan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi pilihan yang termudah untuk bertahan hidup.

I.PENDAHULUAN. Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi pilihan yang termudah untuk bertahan hidup. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sektor informal yang menjadi fenomena di perkotaan adalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Dengan adanya keterbatasan lapangan kerja di sektor formal, Pedagang Kaki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor ini memegang peranan yang

BAB I PENDAHULUAN. adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor ini memegang peranan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai sektor. Sektorsektor ekonomi di Indonesia terbagi atas sembilan sektor, salah satu diantaranya adalah sektor perdagangan,

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52

Lebih terperinci

Abstrak. Kata Kunci :Curahan Jam Kerja, Umur, Pendidikan, Pendapatan Suami, Jumlah Tanggungan.

Abstrak. Kata Kunci :Curahan Jam Kerja, Umur, Pendidikan, Pendapatan Suami, Jumlah Tanggungan. Judul Nama : Pengaruh Umur, Tingkat Pendidikan, Pendapatan Suami, dan Jumlah Tanggungan Keluarga Terhadap Curahan Jam Kerja Pedagang Wanita di Pasar Kumbasari : Made Puspita Mega Swari NIM : 1306105063

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan topik Sektor Informal Yogyakarta, pada hari Selasa 7 Maret 2005, diakses pada tanggal 9 Oktober 2009

BAB I PENDAHULUAN. dengan topik Sektor Informal Yogyakarta, pada hari Selasa 7 Maret 2005,  diakses pada tanggal 9 Oktober 2009 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peluang bekerja dan berusaha bagi sejumlah penduduk yang semakin bertambah masih perlu diatasi dengan sungguh-sungguh. Menurut Badan Pusat Statistik (2009) jumlah

Lebih terperinci

Budi Sutrisno, Joko Suwandi, dan Sundari Universitas Muhammadiyah Surakarta Jalan A. Yani Tromol Pos I Surakarta Telp psw 327

Budi Sutrisno, Joko Suwandi, dan Sundari Universitas Muhammadiyah Surakarta Jalan A. Yani Tromol Pos I Surakarta Telp psw 327 POLA PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KOTA SURAKARTA BERDASAR PADUAN KEPENTINGAN PKL, WARGA MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH KOTA STREET VENDOR MANAGEMENT IN SURAKARTA BASED ON NEED COMBINATION OF STREET

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015 No. 06/05/53/Th. XV, 5 Mei 2015 KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015 FEBRUARI 2015: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA NTT SEBESAR 3,12% Angkatan kerja NTT pada Februari 2015 mencapai 2.405.644 orang, bertambah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

PENDUDUK DAN TENAGA KERJA. Population and Worker

PENDUDUK DAN TENAGA KERJA. Population and Worker PENDUDUK DAN TENAGA KERJA Population and Worker POPULATION AND WORKER III PENDUDUK DAN KETENAGAKERJAAN III POPULATION AND EMPLOYMENT III.1 PENDUDUK a. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap keberadaan dan jumlah seorang wirausahawan di negara tersebut pasalnya banyak

BAB I PENDAHULUAN. terhadap keberadaan dan jumlah seorang wirausahawan di negara tersebut pasalnya banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hubungan antara kewirausahaan dan perkembangan suatu negara baik dari aspek makro dan mikro selalu menarik untuk diperbincangkan dewasa ini. Beberapa dekade

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di kota Medan. Kecamatan Medan Marelan merupakan satu-satunya

BAB I PENDAHULUAN. terletak di kota Medan. Kecamatan Medan Marelan merupakan satu-satunya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kecamatan medan marelan merupakan salah satu dari 21 kecamatan yang terletak di kota Medan. Kecamatan Medan Marelan merupakan satu-satunya Kecamatan yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Bandung, merupakan sebuah kota metropolitan dimana didalamnya terdapat beragam aktivitas kehidupan masyarakat. Perkembangan kota Bandung sebagai kota metropolitan

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU FEBRUARI 2013

KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU FEBRUARI 2013 No. 26/05/14/Th. XIV, 6 Mei 2013 KEADAAN KETENAGAKERJAAN RIAU FEBRUARI 2013 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Riau pada Februari 2013 sebesar 4,13 persen Jumlah angkatan kerja di Riau pada Februari 2013

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 3,80 PERSEN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 3,80 PERSEN BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 28/05/16/Th. XIX, 5 Mei 2017 KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2017 FEBRUARI 2017: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT) SEBESAR 3,80 PERSEN Jumlah angkatan kerja di Provinsi

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat Keadaan Ketenagakerjaan No. 69/11/76/Th. XI, 6 November BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SULAWESI BARAT Keadaan Ketenagakerjaan Di Provinsi Sulawesi Barat : Tingkat Pengangguran Terbuka di Sulawesi Barat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dapat menjadi masalah yang cukup serius bagi kita apabila pemerintah tidak dapat mengatur

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jambi Agustus 2017

Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jambi Agustus 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAMBI Keadaan Ketenagakerjaan Provinsi Jambi Agustus 2017 Agustus 2017: Tingkat Pengangguran Terbuka Sebesar 3,87 Persen Jumlah angkatan kerja di Provinsi Jambi pada Agustus

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI PEDAGANG SERTA PENGARUHNYA DALAM PENATAAN RUANG AKTIVITAS PKL (Studi Kasus : PKL Malioboro)

STUDI IDENTIFIKASI BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI PEDAGANG SERTA PENGARUHNYA DALAM PENATAAN RUANG AKTIVITAS PKL (Studi Kasus : PKL Malioboro) STUDI IDENTIFIKASI BENTUK DAN TINGKAT PARTISIPASI PEDAGANG SERTA PENGARUHNYA DALAM PENATAAN RUANG AKTIVITAS PKL (Studi Kasus : PKL Malioboro) TUGAS AKHIR Oleh : RINA NAZLA ULFAH L2D 098 461 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

ABSTRACT The Analysis of Rate of Return to Education in Nanggroe Aceh Darussalam Province

ABSTRACT The Analysis of Rate of Return to Education in Nanggroe Aceh Darussalam Province ABSTRACT NENDEN BUDIARTI. The Analysis of Rate of Return to Education in Nanggroe Aceh Darussalam Province. Under supervision of RINA OKTAVIANI and RATNA WINANDI. 2Education is one of human capital investment,

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. menjadi fokus utama di abad ke-21 ini. Saat kota-kota di dunia tumbuh, penduduk

BAB I. Pendahuluan. menjadi fokus utama di abad ke-21 ini. Saat kota-kota di dunia tumbuh, penduduk BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Beralihnya piramida penduduk dunia dari piramida penduduk muda menjadi piramida penduduk tua dan urbanisasi merupakan dua tren global yang menjadi fokus utama di abad

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Wilayah Kota Bogor Kota Bogor terletak diantara 16 48 BT dan 6 26 LS serta mempunyai ketinggian minimal rata-rata 19 meter, maksimal 35 meter dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya

Lebih terperinci

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2014

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2014 BPS PROVINSI JAWA BARAT No. 25/05/32/Th. XVI, 5 Mei 2014 KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA BARAT FEBRUARI 2014 FEBRUARI 2014: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 8,66 PERSEN Tingkat partisipasi angkatan kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau

Lebih terperinci