ANALISIS KONTRIBUSI PENDAPATAN DAERAH TERHADAP REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN NGAWI TAHUN 2013

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KONTRIBUSI PENDAPATAN DAERAH TERHADAP REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN NGAWI TAHUN 2013"

Transkripsi

1 36 ANALISIS KONTRIBUSI PENDAPATAN DAERAH TERHADAP REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN NGAWI TAHUN 2013 Oleh : Rachmawati Koesoemaningsih (Ketua) Sutawa (Anggota) A.R.Djoko Purwito (Anggota) Abstract This study aims to analyze the magnitude of contributing Local Revenue (PAD), the fund balance, and the Other Local Income of Legal to The Realization of Regional Receipt and Expenditure Budget (APBD)of Ngawi Regency fiscal year The data collection techniques using documentary study, while the analysis of data using the Joint contingency, namely the analysis of the cross-table models and methods of time series analysis with model Least Square method. The results of the study concluded that contribution local revenue (PAD) to the Realization of Regional Receipt and Expenditure Budget (APBD) of Ngawi Regency fiscal year 2013 was minimal in the amount of 7.12%; Contribution to the Realization of Regional Receipt and Expenditure Budget (APBD) of Ngawi Regency fiscal year 2013 is very large, reaching 74.12%; Contributions Other Local Income of Legal towards the Realization of Regional Receipt and Expenditure Budged (APBD) of Ngawi Regency fiscal year 2013, reaching 20.72%; Estimated contribution of the regional income to the Realization of Regional Receipt and Expenditure Budget (APBD) of Ngawi Regency fiscal year are: 2014 Rp. 1,559,163,506,000,- ; 2015 Rp.1,715,070,369,400,-; 2016 Rp.1,870,977,231,800,-; 2017 Rp.2,025,884,094,200,- ; and 2018 amounted to Rp. 2,182,790,956,600,- Keywords: Local Revenue (PAD), Fund Balance, Other Local Income of legal, Realization of Regional Receipt and Expenditure Budget (APBD) A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana telah diketahui bahwa sejak digulirkannya otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Konsekuensi dari kewenangan tersebut, pemerintah daerah harus memiliki kemampuan dalam penyediaan dana guna penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagai implementasi dari undang-undang tersebut, yang perlu dipersiapkan oleh daerah

2 37 diantaranya adalah menggali potensi daerah baik berupa sumber daya manusia, sumber daya alam maupun sumber daya yang lain terutama yang menjadi unggulan dan kekhasan daerah. Semua potensi daerah tersebut menjadi modal guna meningkatkan kegiatan ekonomi daerah. Atau dengan kata lain bahwa pemerintah daerah harus memiliki kemampuan memanfaatkan setiap peluang serta menggali sumber-sumber baru guna meningkatkan Penerimaan daerah atau sering disebut pendapatan daerah merupakan sumber pendanaan bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Adapun pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli daerah (PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Selain itu juga bersumber dari Dana Perimbangan yang terdiri dari bagi hasil pajak/bukan pajak, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Sumber pendapatan daerah yang lain adalah dari lain-lain pendapatan daerah yang sah, yaitu terdiri dari pendapatan hibah, bagi hasil pajak dari propinsi, dana penyesuaian dan otonomi khusus, bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya. Kekuatan finansial dari berbagai sumber tersebut harus benar-benar digali secara optimal sehingga pemerintah daerah kabupaten memiliki modal untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Meskipun dalam kenyataan sampai saat ini, sebagian besar pemerintah kabupaten / kota di Indonesia memiliki pendapatan daerah yang minim, sehingga belum mampu membiayai pengeluaran rutinnya dan masih mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU) yang berasal dari pemerintah pusat. Hal ini tercermin pada struktur keuangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dimana besaran DAU selalu dominan dibanding dengan sumber keuangan lainnya. Kondisi demikian jelas mencerminkan bahwa pemerintah daerah kabupaten belum memiliki kemampuan financial untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah. Padahal seharusnya sebagaimana dikemukakan Halim (2004: 348) bahwa otonomi daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai sistem keuangan yang efektif. Selain itu pemerintah daerah secara finansial harus bersifat independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali potensi daerah menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) atau pendapatan lain yang sah guna meningkatkan pendapatan daerah. Hal demikian juga terjadi pada Pemerintah Kabupaten Ngawi, dimana dari hasil studi menemukan data keuangan tahun anggaran 2012 yang menunjukkan bahwa realisasi pendapatan daearah (PAD) sebesar Rp ,- sementara untuk DAU sebesar Rp ,-. Demikian juga yang terjadi pada tahun

3 38 anggaran 2013 juga menunjukkan realisasi PAD sebesar Rp ,- sedangkan dari DAU sebesar Rp ,- Jadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kabupaten ngawi masih mangandalkan pembiayaan dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan (Dokumen Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Kab. Ngawi). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Berapakah kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Ngawi tahun anggaran 2013? 2. Berapakah kontribusi dana perimbangan terhadap realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Ngawi tahun anggaran 2013? 3. Berapakah kontribusi lain-lain pendapatan daerah yang sah terhadap realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Ngawi tahun anggaran 2013? 4. Berapakah perkiraan kontribusi pendapatan daerah terhadap realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Ngawi selama lima tahun ke depan ( )? C. Tujuan Penelitian Adapun sebagai tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui besarnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terhadap realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Ngawi tahun anggaran Untuk mengetahui besarnya kontribusi dana perimbangan terhadap realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Ngawi tahun anggaran Untuk mengetahui besarnya kontribusi lain-lain pendapatan daerah yang sah terhadap realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Ngawi tahun anggaran Untuk mengetahui perkembangan kontribusi komponen pendapatan daerah terhadap realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Kabupaten Ngawi tahun anggaran D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut : 1. Menambah khasanah kajian tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terutama dalam kaitannya dengan komponen Pendapatan Daerah. 2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi aparatur pemerintah

4 39 (khususnya aparatur Pemerintah Daerah Kabupaten Ngawi) untuk mencari terobosan baru guna mengoptimalkan upaya peningkatan pendapatan daerah. 3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan kajiannya dalam bidang yang relevan dengan perkembangan ilmu dan dengan menggunakan metode yang lebih kompleks. E. Kajian Teori 1. Kajian Tentang Pendapatan Daerah Pendapatan daerah adalah penambahan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus masuk atau peningkatan asset/aktiva, atau pengurangan utang / kewajiban yang mengakibatkan penambahan ekuitas dana yang berasal dari kontribusi peserta ekuitas dana (Halim, 2004:66). Manurut Barata (2004: 90) bahwa pendapatan daerah adalah semua penerimaan kas daerah yang menambah ekuitas dana dalam periode tahun anggaran bersangkutan. Sementara menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah disebutkan bahwa Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Senada dengan itu menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah disebutkan bahwa pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Jadi yang dimaksud pendapatan daerah dalam penelitian ini adalah seluruh penerimaan daerah dalam peningkatan aktiva pada tahun berjalan yang bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa sumbersumber pendapatan daerah terdiri dari: a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), adalah seluruh pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang meliputi: 1) Pajak daerah; 2) Retribusi daerah; 3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. b. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004). Adapun kelompok dana perimbangan meliputi (Soepriyanto, 2002:84): 1) Bagi hasil pajak seperti: Pajak Bumi dan Bangunan

5 40 (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), PPh 21. 2) Bagi hasil bukan pajak seperti: provisi sumber daya hutan, pemberian hak atas tanah Negara, Lendrent, penerimaan izin ekplorasi. 3) Dana alokasi umum (DAU), yaitu dana perimbangan dalam rangka untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah. 4) Dana alokasi khusus (DAK), yaitu dana perimbangan dalam rangka untuk membiayai kebutuhan tertentu. 5) Dana perimbangan dari provinsi adalah dana perimbangan dalam pemerintah kabupaten/kota yang berasal dari Pemerintah Provinsi. c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah, diantaranya bersumber dari : 1) Pendapatan hibah; 2) Bagi hasil pajak dari Provinsi dan pemerintah daerah lainnya; 3) Dana penyesuaian dan otonomi khusus; 4) Bantuan keuangan dari Provinsi atau pemerintah daerah lainnya; Jika dilihat dari komponen pendapatan daerah, maka pendapatan asli daerah menjadi komponen yang utama karena ini menjadi tolok ukur kemampuan daerah di bidang fiskal. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengingat begitu pentingnya peran PAD dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, maka sudah sewajarnya jika pemerintah daerah harus berupaya secara maksimal dan mencari terobosan baru yang kreatif dan inovatif guna meningkatkannya. Dengan begitu pemerintah daerah tidak perlu terlalu mengharapkan bantuan keuangan dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Perimbangan misalnya dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) ataupun dana alokasi khusus (DAK). Sehubungan dengan ini Pratiwi (2007) menulis bahwa proporsi Pendapatan Asli Daerah yang rendah, di lain pihak menyebabkan Pemerintah Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan, dibiayai dari dana perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum. Alternatif jangka pendek peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah adalah menggali dari Pendapatan Asli Daerah.

6 41 2. Kajian Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah suatu anggaran daerah yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut: rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci; adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya yang sehubungan dengan aktivitasaktivitas tersebut, dan adanya biayabiaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan; jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka; periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun (Halim, 2004:15). Sementara menurut UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan, bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Senada dengan itu menurut Undang-undang Keuangan Negara (2002) bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Di dalam APBD tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah (UU Keuangan Negara, 2002). Selanjutnya menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung 1 Januari sampai 31 Desember. Berdasarkan berbagai pengertian di atas, maka yang dimaksud Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam penelitian ini adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah dalam masa satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember pada tahun yang bersangkutan. Unsur-unsur APBD menurut Halim (2004: 15-16) meliputi: a. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara rinci. b. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaranpengeluaran yang akan dilaksanakan. c. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangan dalam bentuk angka. d. Periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun. Selain berbagai unsur tersebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) juga memiliki fungsi sebagai berikut : a. Fungsi otorisasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi

7 42 dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. b. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. c. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintah daerah. d. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah. e. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakankebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. f. Fungsi stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah (Wikipedia) Jika dilihat dari struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, bentuk dan susunan APBD sesuai pasal 22 ayat (1) terdiri atas 3 bagian, yaitu : pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah. Adapun bentuk susunan APBD Kabupaten Ngawi Tahun 2013 meliputi (DPPKA Kabupaten Ngawi): a. Pendapatan : 1) Pendapatan asli daerah; 2) Dana perimbangan; 3) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. b. Belanja Daerah : 1) Belanja tidak langsung: a) Belanja pegawai; b) Belanja hibah; c) Belanja bantuan sosial; d) Belanja bagi hasil kepada provinsi / kabupaten /kota dan Pemerintahan Desa; e) Belanja bantuan keuangan kepada provinsi / kabupaten /kota dan Pemerintahan Desa serta Partai politik; f) Belanja tidak terduga; 1) Belanja langsung : a) Belanja pegawai; b) Belanja barang dan jasa; c) Belanja modal; c. Pembiayaan: 1) Penerimaan pembiayaan; 2) Pengeluaran pembiayaan; 3) Pembiayaan neto lebih; F. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual biasanya dijadikan dasar untuk menyusun kerangka berpikir dalam suatu penelitian. Jadi pada prinsipnya kerangka konseptual dibangun untuk memahami

8 43 hubungan antar variabel untuk menjawab permasalahan penelitian. Sehubungan dengan ini, dari berbagai hasil studi dapat diketemukan berberapa kajian sejenis, diantaranya dilakukan oleh Thesaurianto (2007) yang menganalsis pengelolaan keuangan daerah terhadap kemandirian daerah menyimpulkan bahwa komponen pendapatan asli daerah yang meruipakan sumber pendapatan daerah memberi sumbangan nyata terhadap kemampuan keunagan daerah (APBD). Sementara hasil penelitian Prakoso (2004) disimpulkan bahwa komponen pendapatan daerah yaitu DPBD yaitu belanja daerah. Senada dengan itu secara empiris terbukti bahwa pendapatan mempengaruhi belanja, sedangkan yang lain menyatakan bahwa belanja mempengaruhi pendapatan (Chang dan Ho, 2002). Berdasar kajian teori tersebut, maka kerangka konseptual dapat melahirkan kerangka berpikir sebagaimana tertuang dalam bagan berikut : Bagan 1 Kerangka Konseptual Pendapatan Daerah (X) : 1. PAD 2. Dana Perimbangan 3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah APBD (Y) : 1. Pendapatan 2. Belanja Daerah 3. Pembiayaan G. Metodologi 1. Definisi Operasional Variabel a. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah Pendapatan Daerah Pendapatan daerah adalah seluruh penerimaan daerah dalam peningkatan aktiva pada tahun berjalan yang bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain - lain. Pendapatan daerah yang sah. Untuk mengukur variabel ini dihitung besarnya pendapatan daerah selama tahun 2013 dalam satuan rupiah. b. Pendapatan asli daerah (PAD), adalah seluruh pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang meliputi: Pajak daerah, Retribusi daerah, Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Untuk mengukur variabel ini dihitung besarnya pendapatan asli daerah selama tahun 2013 dalam satuan rupiah.

9 44 c. Dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Untuk mengukur variabel ini dihitung besarnya dana perimbangan selama tahun 2013 dalam satuan rupiah. d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah, yaitu sejumlah dana yang bersumber dari Pendapatan hibah, Bagi hasil pajak dari Provinsi dan pemerintah daerah lainnya, Dana penyesuaian dan otonomi khusus, dan Bantuan keuangan dari Provinsi atau pemerintah daerah lainnya; Untuk mengukur variabel ini dihitung besarnya lain-lain pendapatan daerah yang sah selama tahun 2013 dalam satuan rupiah. e. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD yaitu rencana keuangan tahunan pemerintah daerahyang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah dalam masa satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember pada tahun 2013.Untuk mengukur variabel ini dihitung besarnya realisasi APBD selama tahun 2013 dalam satuan rupiah. 2. Populasi dan Pengambilan Sampel Populasi sering diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2013: 49). Dari pengertian ini, maka populasi dalam penelitian ini adalah dokumen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBD) Pemerintah Kabupaten Ngawi. Metode sampling yang dipakai dalam penelitian ini adalah sampel non probabilita, yaitu penarikan sampel yang tidak memberikan kesempatan yang sama kepada unsur populasi. Adapun teknik sampling yang dipilih Convinience Samples, yaitu cara penarikan sampel non probabilitas tidak terbatas dan mudah dilakukan (Cooper & Emory, 2003: 113). Penggunaan teknik sampling ini didasarkan alasan bahwa data yang diperoleh masih mudah diperoleh. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini adalah metode dokumenter, yaitu cara mencari data yang berkaitan dengan variabel penelitian berupa

10 45 catatan tertulis (Arikunto, 2007: 236). Sehubungan dengan ini dokumen yang dibutuhkan adalah dokumen berkaitan dengan pendapatan daerah dan APBD tahun , dan dokumen lain yang berkatan dengan permsalahan penelitian. Metode lain yang mendukung adalah observasi dan wawancara. Wawancara lebih difokuskan untuk mengecek kebenaran dokumen yang berhasil dikumpulkan. 4. Teknik Analisis Data a. Analisis Joint Contingency, yaitu analisis dengan model tabel silang yang dapat menghasilkan asosiasi dimana asosiasi dapat menunjukkan hubungan sebab akibat (Bohrnstedt dalam Y.Slamet, 2003: 27). b. Analisis Time Series, yaitu model analisis yang pada prinsipnya melihat pengukuran dari waktu ke waktu tertentu. Pengukuran dapat dilihat dari berbagai cara dan yang paling sering adalah dengan cara frekuensi, persentase, atau dengan cara melihat pusat kecenderungan (central tendency) dari suatu gejala atau kejadian. Model yang dipakai dalam penelitian ini adalah Least Square Method (metode kuadrat terkecil). Adapun tujuan dari metode ini adalah untuk menemukan pola data secara historis dan mengekstrapolasikan pola tersebut untuk masa yang akan datang. H. Hasil dan Pembahasan 1. Kondisi Geografis Kabupaten Ngawi merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang secara geografis berada di bagian paling Barat yang berbatasan langsung dengan Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Ngawi merupakan jalur penghubung dengan Propinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Ngawi adalah 1.295,898 Km² atau ,51 Ha, yang secara administratif Pemerintahan terbagi dalam 19 Kecamatan, 4 Kelurahan, dan 213 desa. Secara astronomis terletak pada posisi Lintang Selatan dan Bujur Timur. Adapun Batas batas wilayah Kabupaten Ngawi adalah sebagai berikut : - Sebelah Utara : Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan Propinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur. - Sebelah Barat : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sragen Propinsi Jawa Tengah. - Sebelah Timur : Kabupaten Madiun

11 46 - Sebelah Selatan : Kabupaten Madiun dan Kabupaten Magetan. Sementara menurut penggunaan tanahnya dibagi menjadi lahan sawah Ha (38,95%), tegalan/ pekarangan Ha (10,83 %), perkebunan Ha (1,76 %), hutan Ha (32,26 %), Pemukiman/ Perumahan Ha (13,47 %), dan lain lain Ha (2,74 %). Dapat digambarkan sebagai berikut : - Persawahan, yang luas terdapat di Kecamatan Geneng, Paron, Karangjati, Kedunggalar dan Padas yang umumnya terletak pada ketinggian meter dari permukaan laut dengan kemiringan tanah 0 2%. - Tegalan, yang luas terdapat di Kecamatan Bringin, Kendal, Ngawi, Pitu Mantingan dan Widodaren yang umumnya terletak pada ketinggian Meter dari permukaan laut dengan kemiringan tanah 2 15%. - Pekarangan, yang luas terdapat di Kecamatan Geneng, Karangjati, Kedunggalar, Kendal, Paron, Ngawi dan Widodaren umumnya terletak pada ketinggian meter dari permukaan laut dengan kemiringan 0 2%. - Hutan sejenis dengan tanaman jati, terdapat di Kecamatan Bringin, Kendal, Mantingan, Widodaren, Karangjati dan Pitu. - Tanaman Pinus, terdapat di Kecamatan Jogorogo, Kendal, Ngrambe, dan Sine yang umumnya terletak pada ketinggian 100 lebih dari 1000 Meter dari permukaan laut dengan kemiringan tanah 2 15%. - Kebun Karet, terdapat di Kecamatan Widodaren, sedangkan kebun Teh terdapat di Kecamatan Sine, dan kebun Kelapa terdapat di Kec. Ngawi. Secara geografis Kabupaten Ngawi dialiri dua sungai besar : 1. Bengawan Solo yang membujur dari Barat ke Timur. 2. Sungai Madiun dari Selatan ke Utara. Kedua sungai tersebut bertemu di ujung Kota Ngawi dan mengalir menjadi satu ke Utara memasuki wilayah Kabupaten Bojonegoro. Disamping itu terdapat pula sungai sungai kecil yaitu Sungai Banger, Sidolaju, Alas Tuwo, Batu Bunder, Kenteng, Kasihan, Plampok, Ketonggo yang bermuara di sungai Bengawan Solo dan Sungai Kukur Ketonggo yang bermuara di Sungai Madiun (LKPJ: 2014).

12 47 2. Kondisi Demografis Dilihat dari kepadatan penduduk geografis menunjukan jumlah penduduk pada suatu daerah setiap kilometer persegi. Selain itu juga menunjukan penyebaran penduduk dan tingkat kepadatan penduduk di suatu daerah. Adapun jumlah penduduk Kabupaten Ngawi sampai dengan akhir Tahun 2013 mencapai Jiwa, terdiri dari laki laki jiwa dan perempuan jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk rata rata 0,16 % pertahun dan daerah hunian yang tersebar di 19 Kecamatan dengan tingkat penyebaran bervariasi antara jiwa. Kecamatan yang mempunyai penduduk paling banyak adalah Kecamatan Paron dengan jumlah penduduk sebesar Jiwa, sedangkan yang paling sedikit adalah Kecamatan Kasreman dengan jumlah penduduk sebesar Jiwa. Wilayah ini mempunyai luas wilayah yang kecil dan merupakan wilayah pemekaran dari Kecamatan Padas (LKPJ:2014). Kondisi penduduk di Kabupaten Ngawi berdasarkan usia sampai akhir Desember 2013 sebagimana dikemukakan dalam tabel berikut ini: Tabel 1 Jumlah Penduduk Kabupaten Ngawi Menurut Kelompok Usia (Sampai dengan Desember 2013) Usia Laki-Laki Perempuan Jumlah

13 48 Usia Laki-Laki Perempuan Jumlah Jumlah Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kab. Ngawi 2014 Dari tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk adalah kelompok usia produktif (usia 15 60) yang mencapai jiwa atau 70%, disusul kemudian kelompok anak anak (usia 0 15) mencapai jiwa atau 11,21% dan kelompok lanjut usia (usia 60 tahun keatas) mencapai jiwa atau 18,78%. Dari data jumlah penduduk berdasarkan usia, rasio ketergantungan total adalah 42,84 % artinya setiap 100 orang berusia produktif di Kabupaten Ngawi menanggung 42 orang yang belum produktif dan dianggap tidak produktif lagi. Rasio sebesar 42,84 % tersebut di seimbangkan oleh rasio ketergantungan penduduk muda sebesar 16,01 % dan rasio ketergantungan penduduk tua sebesar 26,83 %. Dari indikator ini terlihat bahwa pada tahun 2013 penduduk berusia kerja di Kabupaten Ngawi masih dibebani tanggung jawab akan penduduk usia tua yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan tanggung jawab terhadap penduduk usia tua. Dilihat dari jumlah Penduduk Kabupaten Ngawi sebagian besar tinggal di daerah pedesaan sehingga sesuai potensi daerah yang agraris maka mata pencaharian penduduk Kabupaten Ngawi sebagian besar adalah bekerja dibidang pertanian, baik sebagai buruh tani atau petani penggarap. Sedangkan sebagian lainnya bekerja sebagai Pegawai, pedagang, dan lain lain. 3. Kondisi Perekonomian Daerah Berdasar LKPJ tahun 2014 dapat diketahui tentang kondisi perekonomian daerah Kabupaten Ngawi. Adapun kondisi perekonomian suatu daerah dapat dicermati dari beberapa indikator makro, yaitu diantaranya adalah nilai tambah yang dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan dari setiap sektor produksi. Dalam hal ini sering disebut dengan istilah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB menurut lapangan usaha, atau menurut sektor produksi merupakan penjumlahan nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi yang beroperasi di daerah yang bersangkutan pada suatu periode waktu tertentu. Jadi PDRB merupakan nilai tambah yang dasar pengukurannya timbul akibat adanya berbagai aktivitas ekonomi

14 49 dalam suatu daerah. Data PDRB dapat mencerminkan suatu kemampuan daerah dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing masing daerah sangat bergantung pada potensi sumber daya alam dan factor produksinya. Selin itu PDRB juga dapat mencerminkan struktur perekonomian dan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Berbagai bidang yang dapat menjadi sumber perekonomian daerah adalah meliputi potensi unggulan daerah. Hal ini dapat dilihat pada struktur perekonomian suatu daerah, karena dalam struktur perekonomian suatu daerah ditunjukkan besarnya konstribusi masingmasing sektor ekonomi dalam kemampuan menciptakan nilai tambah, hal tersebut menggambarkan ketergantungan daerah terhadap kemampuan produksi dari masing masing sektor ekonominya, artinya semakin besar konstribusi suatu sektor terhadap struktur perekonomian daerah maka sektor tersebut merupakan sektor unggulan daerah. Dari sektor Pertanian, mencakup segala pengusahaan yang didapat dari alam dan merupakan barang biologis atau hidup, dimana hasilnya akan digunakan untuk kebutuhan sendiri maupun dijual kepada pihak lain (tidak termasuk kegiatan yang tujuannya untuk hobi saja). Sektor pertanian dibagi ke dalam 5 subsektor yaitu: Tanaman Bahan Makanan, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan. Sektor tanaman bahan makanan, mencakup komoditi tanaman bahan makanan seperti padi dan palawija, sayursayuran, buah buahan dan hasil hasil produk ikutannya. Termasuk dalam cakupan ini adalah hasil hasil dari pengolahan yang dilakukan secara sederhana seperti beras tumbuk, gaplek, sagu dan sejenisnya. Nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku diperoleh melalui pendekatan produksi, yaitu dengan mengalikan masingmasing kuantum produksi dengan harga dari setiap komoditi pada tahun bersangkutan yang selanjutnya dikurangi dengan biaya antara atas dasar harga berlaku (diperoleh dengan menggunakan rasio biaya antara terhadap output yang didapat dari hasil survei khusus). Nilai tambah atas dasar harga konstan dihitung dengan cara revaluasi, yaitu mengalikan masing masing kuantum produksi dengan harga dari setiap komoditi pada tahun dasar yang selanjutnya dikurangi

15 50 dengan biaya antara atas dasar harga konstan. Tanaman perkebunan rakyat, mencakup hasil tanaman perkebunan yang diusahakan oleh rakyat seperti jambu mete, kelapa, kopi, kapuk, kapas, tebu, tembakau dan cengkeh beserta produk ikutannya dan hasil hasil pengolahan sederhana seperti minyak kelapa, tembakau olahan dan kopi olahan. Nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku diperoleh melalui pendekatan produksi, sedangkan nilai tambah bruto atas dasar harga konstan dihitung dengan cara revaluasi. Tanaman perkebunan besar, mencakup kegiatan yang memproduksi komoditi perkebunan yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan besar seperti karet, teh, kopi, coklat, minyak sawit, tebu. Nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku diperoleh melalui pendekatan produksi, sedangkan nilai tambah bruto atas dasar harga konstan dihitung dengan cara revaluasi. Peternakan dan hasilhasilnya, meliputi produksi ternak besar (sapi, kerbau, kuda, babi, domba, dsb) ternak kecil (kelinci, marmut, dsb) dan unggas (ayam, itik, puyuh, dsb) maupun hasil hasil ternak seperti kulit, susu segar, telur, pupuk kandang. Produksi sub sector peternakan diperkirakan sama dengan jumlah ternak yang dipotong ditambah perubahan stok populasi ternak dan ekspor ternak netto (selisih antara jumlah yang diekspor dengan yang diimpor). Nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku diperoleh melalui pendekatan produksi, sedangkan nilai tambah bruto atas dasar harga konstan dihitung dengan cara revaluasi. Kehutanan, meliputi kegiatan penebangan kayu, pengambilan hasil hutan lainnya dan perburuan. Kegiatan penebangan kayu menghasilkan kayu gelondongan, kayu bakar, arang dan bambu, sedangkan hasil kegiatan pengambilan hasil hutan lainnya berupa damar, rotan, kulit kayu dan lain lain. Nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku diperoleh melalui pendekatan produksi, sedangkan nilai tambah bruto atas dasar harga konstan dihitung dengan cara evaluasi. Perikanan, meliputi semua hasil dari kegiatan perikanan laut, perairan umum, tambak, kolam, sawah (mina padi) dan keramba, serta pengolahan sederhana (pengeringan dan penggaraman ikan). Nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku diperoleh melalui pendekatan produksi, sedangkan nilai tambah bruto atas dasar

16 51 harga konstan dihitung dengan cara revaluasi. Selain sektor pertanian juga sektor pertambangan dan penggalian. Kegiatan pertambangan dan penggalian mencakup penggalian, pengeboran, penyaringan dan pengambilan pemanfaatan segala macam benda non biologis seperti barang tambang, mineral dan barang galian yang tersedia di alam. Sektor ini dibagi ke dalam 2 subsektor yaitu subsektor penggalian dan subsector pertambangan. Di Kabupaten Ngawi belum ada kegiatan di subsektor pertambangan, sehingga pada sektor ini hanya disumbang oleh subsektor penggalian. Nilai tambah bruto atas dasar harga berlaku diperoleh melalui pendekatan produksi, sedangkan nilai tambah bruto atas dasar harga konstan dihitung dengan cara revaluasi. Selanjutnya sektor industri pengolahan, yaitu kegiatan untuk mengubah bentuk baik secara mekanis maupun kimiawi dari bahan organik atau anorganik menjadi produk baru yang lebih tinggi mutunya. Dalam penghitungannya sektor ini terdiri dari duasubsektor yaitu: subsektor industri besar/ sedang dan subsektor industri kecil/ kerajinan rumah tangga. Pengelompokan tersebut berdasarkan jumlah tenaga kerja yang dilibatkan, dimana industri besar/ sedang adalah industri dengan jumlah tenaga kerja 20 atau lebih, sedangkan industri kecil/ kerajinan rumahtangga adalah industri dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang. Untuk kelompok industry besar dan sedang ruang lingkup dan metode penghitungan nilai tambah atas dasar harga berlaku berdasarkan hasil survei industri tahunan BPS Kabupaten Ngawi, sedangkan penghitungan nilai tambah atas dasar harga konstan melalui cara deflasi dengan Indeks Harga Perdagangan Besar masing masing kelompok industry digunakan sebagai deflator. Untuk output dan nilai tambah subsektor industri kecil/ kerajinan rumah tangga diperoleh dengan pendekatan produksi. Bila dalam penghitungan industri pengolahan dipisahkan antara industri besar/ sedang dan industri kecil/ kerajinan rumahtangga, dalam publickasinya sektor ini disajikan menurut klasifikasi lapangan usaha meliputi :1) Industri makanan, minuman dan tembakau; 2) Tekstil, barang dari kulit dan alas kaki; 3) Barang dari kayu dan hasil hutan lainnya; 4) Kertas dan barang cetakan; 5) Pupuk, barang kimia dan barang dari karet/plastic; 6) Semen dan barang galian bukan logam; 7) Logam dasar besi dan

17 52 baja; 8) Alat angkutan, mesin dan peralatannya; 9) Barang lainnya. Kemudian sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sektor ini terdiri dari tiga subsektor yaitu subsektor perdagangan, subsektor hotel dan subsektor restoran. Pada dasarnya kegiatan yang dicakup meliputi kegiatan perdagangan, penyediaan akomodasi/ hotel, serta penjualan makanan dan minuman seperti restauran, warung, kedai, pedagang keliling dan sejenisnya. Perdagangan Subsektor perdagangan mencakup kegiatan membeli dan menjual barang, baik baru maupun bekas, untuk tujuan penyaluran/ pendistribusian tanpa merubah bentuk barang tersebut. Subsektor perdagangan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu perdagangan besar dan perdagangan eceran. Perdagangan besar mencakup kegiatan pembelian dan penjualan kembali barang baru atau bekas oleh pedagang dari produsen atau importir ke pedagang besar lainnya, pedagang eceran, perusahaan dan lembaga yang tidak mencari untung. Sedangkan perdagangan eceran mencakup kegiatan pedagang yang umumnya melayani konsumen perorangan atau rumahtangga. Penghitungan nilai tambah subsektor perdagangan dilakukan dengan pendekatan arus barang (Commodity Flow), yaitu dengan menghitung besarnya nilai komoditi pertanian, pertambangan dan penggalian, Industri, serta komoditi impor yang diperdagangkan. Dari nilai komoditi yang diperdagangkan, diturunkan nilai margin perdagangan yang merupakan output perdagangan yang selanjutnya dipakai untuk menghitung nilai tambahnya. Rasio besarnya barang barang yang diperdagangkan, margin perdagangan dan persentase nilai tambah didasarkan pada data hasil penyusunan tabel Inputoutput serta survei khusus. Nilai produksi Bruto atas dasar harga konstan, dihitung dengan mengalikan rasio rasio di atas dengan output atas dasar harga konstan pada tahun dasar dari sektor sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri serta impor. Nilai tambah atas dasar harga berlaku dan konstan dihitung berdasarkan perkalian antara rasio nilai tambah dengan outputnya. Subsektor hotel mencakup kegiatan penyediaan akomodasi yang menggunakan sebagian atau seluruh bangunan sebagai tempat penginapan. Yang dimaksud akomodasi disini adalah hotel berbintang maupun tidak berbintang, serta tempat tinggal

18 53 lainnya yang digunakan untuk menginap seperti losmen, motel dan penginapan. Termasuk pula kegiatan penyediaan makanan dan minuman serta penyediaan fasilitas lainnya bagi para tamu yang menginap dimana kegiatan tersebut berada dalam satu kesatuan manajemen dengan penginapan yang datanya sulit dipisahkan. Penyediaan penginapan yang diusahakan oleh yayasan atau pemerintah juga dikelompokkan disini bila segala macam keterangan dan data mengenai kegiatan ini dapat dipisahkan dengan kegiatan utamanya. Output dihitung dengan cara mengalikan jumlah malam tamu dan tarif. Dalam hal ini malam tamu dianggap sebagai kuantum dari output. Sementara untuk sub sektor restoran meliputi usaha kegiatan penyediaan makanan dan minuman jadi yang pada umumnya dikonsumsi ditempat penjualan baik dengan tempat tetap maupun tidak tetap. Kegiatan subsektor ini antara lain rumah makan, warung nasi, warung kopi, katering, kantin, tukang bakso, tukang es. Penyediaan makanan dan minuman jadi serta usaha katering, pelayanan restoran kereta api dan kantin yang merupakan usaha sampingan, sejauh datanya dapat dipisahkan termasuk dalam subsektor restoran. Nilai tambah bruto restoran dapat diperoleh dengan pendekatan produksi. Indikator yang digunakan adalah jumlah tenaga kerja, jumlah restoran, atau jumlah pengunjung. Sedangkan indikator harga digunakan adalah rata rata output per tenaga kerja, rata rata output per restoran, atau rata rata output per pengunjung dari survei khusus. Output atas dasar harga berlaku diperoleh berdasarkan perkalian antara indicator produksi dengan indikator harga. Sedangkan output atas dasar harga konstan diperoleh menggunakan metode ekstrapolasi dengan indeks produksi (sesuai dengan indicator produksi yang dipakai) sebagai ekstrapolator. Selain sektor-sektor di atas, masih terdapat sektor yang lain yaitu sektor listrik, gas, air bersih, dan sector bangunan yang mencakup semua kegiatan pembangunan fisik konstruksi, baik berupa gedung, jalan, jembatan, terminal, pelabuhan, dam, irigasi, eksplorasi minyak bumi maupun jaringan listrik, gas, air minum, telepon, dan sebagainya. Tidak ketinggalan juga sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor ini dibagi menjadi dua subsektor yaitu angkutan dan komunikasi. Subsektor angkutan mencakup kegiatan pengangkutan umum

19 54 untuk barang dan penumpang, baik melalui darat, laut, sungai/ danau, dan udara serta jasa penunjangnya. Sedangkan subsektor komunikasi meliputi pos dan giro, telekomunikasi dan jasa penunjang komunikasi. 4. Kontribusi PAD Terhadap Realisasi APBD Tahun 2013 Berdasar dokumen yang telah berhasil dikumpulkan diperoleh data sebagaimana dikemukakan dalam tabel berikut: Tabel 2 Kontribusi PAD Terhadap Realisasi APBD Tahun 2013 No Komponen PAD Jumlah Realisasi APBD % 1 Hasil Pajak Daerah , Hasil Retribusi Daerah ,66 3 Lain2 Pendapatan Yang Sah ,75 Sumber : DPPKA Kabupaten Ngawi Total ,12 Dari tabel 2 di atas menunjukkan bahwa kontribusi pajak daerah terhadap realisasi APBD sebesar Rp ,- atau sebesar 1,71 %. Sementara kontrirbusi dari sektor retribusi terhadap realisasi APBD sebesar Rp ,- atau sebesar 2,66%. Selanjutnya dari sektor Lain-lain pendapatan yang sah kontribusinya terhadap realisasi APBD sebesar Rp ,- atau sebesar 2,75 %. Jadi total kontribusi dari seluruh komponen pendapatan asli daerah terhadap realisasi APBD Kabupaten Ngawi tahun anggaran 2013 sebesar Rp ,- atau 7,12 %. 5. Kontribusi Dana Perimbangan Terhadap Realisasi APBD Tahun 2013 Berdaskan dokumen yang tersimpan pada DPPKA Kabupaten Ngawi tahun 2013 diperoleh data tentang dana perimbangan sebagai berikut :

20 55 Tabel 3 Kontribusi Dana Perimbangan Terhadap Realisasi APBD Tahun 2013 Komponen Dana No Jumlah Realisasi APBD % Perimbangan 1 Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak ,21 2 Dana Alokasi Umum ,25 3 Dana Alokasi Khusus ,66 Total ,12 Sumber : DPPKA Kabupaten Ngawi Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa kontribusi dari semua komponen dana perimbangan terhadap realisasi APBD tahun 2013 adalah sebesar Rp ,- atau berkontribusi sebesar 74,12 %. Sementara jika dilihat dari masingmasing komponen, maka Dana Alokasi Umum (DAU) menjadi komponen yang berkontribusi dominan terhadap realisasi APBD Kabupaten Ngawi tahun 2013 jika dibandingkan dengan komponen lainnya, yaitu mencapai Rp ,- atau sebesar 69,25 %. Sementera untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) berkontribusi sebesar Rp ,- atau sebesar 4,66 %, sedangkan komponen Bagi hasil pajak/bukan pajak berkontribusi sebesar Rp ,- atau sebesar 0,21%. 6. Kontribusi Lain-lain Pendapatan Yang Sah Terhadap Realisasi APBD Tahun 2013 Lain-lain pendapatan yang sah terdiri dari bagi hasil pajak, dana penyesuaian otonomi daerah, dan bantuan keuangan provinsi atau kabupataten/kota lainnya. Adapun data yang berhasil dihimpun tersaji dalam tabel berikut ini: Tabel 4 Kontribusi Lain-lain Pendapatan Yang Sah Terhadap Realisasi APBD Tahun 2013 No Lain2 Pendapatan Yang Sah Jumlah Realisasi APBD % 1 Bagi Hasil Pajak ,11 2 Dana Penyesuaian ,30

21 56 No Lain2 Pendapatan Yang Sah Jumlah Realisasi APBD % Otonami 3 Bantuan Keuangan Provinsi ,31 Total ,72 Sumber : DPPKA Kabupaten Ngawi Dari tabel 4 di atas dapat dipahami bahwa komponen Dana Penyesuaian Otonomi berkontribusi dominan terhadap realiasasi APBD kabupaten Ngawi tahun 2013 yaitu sebesar Rp ,- atau sebesar 15,30 % jika dibandingkan dengan komponen lainnya. Sementara untuk komponen Bagi hasil pajak berkontribusi sebesar Rp ,- atau sebesar 4,11 %, sedangkan komponen Bantuan Keungan Provinsi atau Kabupaten/Kota lainnya mencapai Rp ,- atau sebesar 1,31 %. 7. Prediksi Kontribusi Pendapatan Daerah Terhadap Realisasi APBD Selama lima Tahun Terakhir ( ) Pendapatan Daerah Kabupaten Ngawi selama lima tahun terakhir yaitu tahun seperti terlihat dalam tabel berikut : Tabel 5 Pendapatan Daerah Kabupaten Ngawi Tahun No. Tahun Pendapatan Daerah (dalam ribuan) Sumber : DPPKA Kabupaten Ngawi Berdasarkan data pendapatan daerah selama lima tahun terakhir seperti terlihat pada tabel 5 di atas akan dicari kecenderungan trend kontribusi pendapatan daerah selama lima tahun ke depan yaitu tahun Adapun langkahlangkahnya adalah mencari persamaan pendapatan daerah sebagai berikut : Tabel 6 Perhitungan Persamaan Pendapatan Daerah Pendapatan Daerah Tahun (dalam ribuan) X XY X 2 Y

22 57 Tahun Pendapatan Daerah (dalam ribuan) X XY X 2 Y Jumlah Selanjutnya : Y a = = Y = = n 5 XY b = = = X 2 10 Sehingga diperoleh persamaan : Y = X Dengan ketentuan: Periode Dasar : tahun 2011 Unit X Unit Y : tahunan : rupiah / tahun Jadi Perkiraan kontribusi pendapatan daerah terhadap APBD Kabupaten Ngawi sebagai berikut: Tahun 2014 = (3) = Tahun 2015 = (4) = Tahun 2016 = (5) = Tahun 2017 = (6) =

23 58 Tahun 2018 = (7) = Dari anggka prediksi di atas dapat dijelaskan bahwa perkiraan kontribusi Pendapatan daerah terhadap Realisasi APBD Kabupaten Ngawi tahun 2014 sebesar Rp ,-. Pada tahun 2015 perkiraan kontribusi pendapatan daerah sebesar Rp ,-. Selajutnya pada tahun 2016 perkiraan kontribusi pendapatan daerah sebesar Rp ,- Sementara pada tahun 2017 kontribusi pendapatan daerah menjadi sebesar Rp ,- sedangkan pada tahun 2018 kontribusi pendapatan daerah terhadap realisasi APBD kabupaten Ngawi menjadi sebesar Rp ,- 8. Pembahasan Dari hasil analisis Joint Contingency, yaitu analisis dengan model tabel silang telah diketahui bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Realisasi APBD Kabupaten Ngawi tahun 2013 sebesar Rp ,- atau 7,12 %. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan karena seharusnya PAD harus memberikan sumbangan terbesar atau berkontribusi dominan terhadap relaisasi APBD. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Ngawi harus lebih kreatif mencari terobosan baru guna meningkatkan pendapatan asli daerahnya, karena PAD mencerminkan kemampuan keungan daerah. Hal ini sejalan pendapat Mukhlis (2010) bahwa PAD memiliki peran penting dalam rangka pembiayaan pembangunan di daerah. Berdasarkan pada potensi yang dimiliki masingmasing daerah, peningkatan dalam penerimaan PAD ini akan dapat meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Seiring dengan perkembangan perekonomian daerah yang semakin terintegrasi dengan perekonomian nasional dan internasional, maka kemampuan daerah dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber penerimaan PAD menjadi sangat penting. Sementara jika dilihat dari besarnya kontribusi dari masing-masing komponen ternyata untuk komponen pajak daerah dan retribusi daerah, masing-masing hanya berkontribusi sebesar 1,71 % dan 2,66%. Hal ini jelas masih sangat banyak peluang untuk meningkatkanya asalkan mau bekerja keras dan kreatif.

24 59 Jika dilihat dari stuktur Realisasi APBD Kabupaten Ngawi Tahun 2013, ternyata dana perimbangan tetap berkontribusi dominan terhadap realisasi APBD tahun 2013 yaitu mencapai Rp ,- atau berkontribusi sebesar 74,12 %. Dari kontribusi sebesar 74,12 % tersebut sumbangan terbesar dari komponen Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu mencapai Rp ,- atau sebesar 69,25 %. Ini memilki makna bahwa Pemerintah Kabupaten Ngawi pada tahun 2013 masih mengandalkan bantuan keungan dari pemerintah pusat guna membiayai penyelengaraan pemerintahan daerahnya. Sementara untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana sebagian masih menggantungkan bantuan keuangan dari pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu sebesar Rp ,- atau 4,66 %. Dari kenyataan ini wajar jika pembangunan sarana dan prasarana di wilayah Kabupaten Ngawi sampai dengan tahun 2013 tidak ada perkembangan yang berarti. Hal ini terbukti masih banyak jalan-jalan kabupaten yang rusak, pembangunan fisik juga tidak Nampak. Selanjutnya kontribusi Lainlain Pendapatan Yang Sah Terhadap Realisasi APBD Tahun 2013 mencapai Rp ,- atau berkontribusi sebesar 20,72 %. Jika dilihat dari masing-masing komponen maka dapt diketahui bahwa komponen Dana Penyesuaian Otonomi berkontribusi dominan terhadap realiasasi APBD kabupaten Ngawi tahun 2013 yaitu mencapai Rp ,- atau sebesar 15,30 %. Sementara untuk komponen Bagi hasil pajak berkontribusi sebesar Rp ,- 4,11 %, sedangkan komponen Bantuan Keungan Provinsi atau Kabupaten/Kota lainnya mencapai Rp ,- atau sebesar 1,31 %. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi daerah yang bersumber dari potensi daerah baik dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota juga masih sangat rendah, sehingga masih memungkinkan untuk digali lebih lanjut. Dari hasil perhitungan dengan Least Square Method telah diketahui bahwa angka prediksi kontribusi Pendapatan Daerah terhadap Realisasi APBD Kabupaten Ngawi selama lima tahun terakhir ( ) adalah sebagai berikut : pada tahun 2014

25 60 berkontribusi sebesar Rp ,-. Pada tahun 2015 perkiraan kontribusi pendapatan daerah sebesar Rp ,-. Selajutnya pada tahun 2016 perkiraan kontribusi pendapatan daerah sebesar Rp ,- Pada tahun 2017 kontribusi pendapatan daerah menjadi sebesar Rp ,- sedangkan pada tahun 2018 kontribusi pendapatan daerah terhadap realisasi APBD kabupaten Ngawi menjadi sebesar Rp ,- Dalam perkiraan ini, semua komponen Pendapatan Daerah masuk di dalamnya, yaitu Pandapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lainlain Pendapatan Yang Sah. Jika ternyata dari perkiraan lima tahun tersebut ( ), DAU juga mengalami peningkatan signifikan maka berarti kemandirian keuangan dari Pemerintah Kabupaten Ngawi sampai tahun 2018 juga belum berhasil, artinya bahwa Pemerintah Kabupaten Ngawi masih sangat tergantung bantuan keuangan dari pemerintah pusat guna pengelolaan pemerintahannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Prakosa (2004) yang menyatakan bahwa besarnya belanja daerah dipengaruhi oleh jumlah DAU yang diterima dari Pemerintah Pusat. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah Pusat masih tinggi. Jika hal ini masih berlangsung terus maka otonomi daerah kemungkinan besar akan sangat terhambat. Permasalahan yang perlu dipecahkan agar tidak terjadi flypaper effect yang tidak lain gambaran sikap ketergantungan Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah pusat, maka diperlukan langkah-langkah strategis dalam menggali potensi Pendapatan Asli Daerah menjadi sangat penting. I. Kesimpulan 1. Kontrtibusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ngawi tahun anggaran 2013 sangat minim yaitu sebesar 7,12 % atau sebesar Rp ,- dari realisasi APBD sebesar Rp ,- 2. Kontribusi Dana Perimbangan terhadap Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ngawi tahun anggaran 2013 sangat besar yaitu mencapai 74,12 % atau

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Kabupaten Ngawi menggunakan prinsip. kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Kabupaten Ngawi menggunakan prinsip. kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Pemerintah menggunakan prinsip otonomi yang seluas luasnya dalam arti Daerah memiliki kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya.

Lebih terperinci

BAB II URAIAN SEKTORAL. definisi dari masing-masing sektor dan sub sektor, sumber data, dan cara

BAB II URAIAN SEKTORAL. definisi dari masing-masing sektor dan sub sektor, sumber data, dan cara BAB II URAIAN SEKTORAL Uraian sektoral yang disajikan pada bab ini mencakup ruang lingkup dan definisi dari masing-masing sektor dan sub sektor, sumber data, dan cara penghitungan nilai tambah bruto atas

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku tahun 2013 ruang lingkup penghitungan meliputi 9 sektor ekonomi, meliputi: 1. Sektor Pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional

II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN. 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional II. RUANG LINGKUP DAN METODE PENGHITUNGAN 2.1 Ruang Lingkup Penghitungan Pendapatan Regional Dalam penerbitan buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Tegal Tahun 2012 ruang lingkup penghitungan meliputi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

D a f t a r I s i. iii DAFTAR ISI. 2.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.9 Sektor Jasa-Jasa 85

D a f t a r I s i. iii DAFTAR ISI. 2.8 Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 2.9 Sektor Jasa-Jasa 85 D a f t a r I s i Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Grafik Daftar Tabel DAFTAR ISI Daftar Tabel Pokok Produk Domestik Regional Bruto Kota Samarinda Tahun 2009-2011 BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Umum 1 1.2. Konsep

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Profil Kabupaten Ngawi 1. Tinjauan Grafis a. Letak Geografis Kabupaten Ngawi terletak di wilayah barat Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah.

Lebih terperinci

BAB III URAIAN SEKTORAL

BAB III URAIAN SEKTORAL BAB III URAIAN SEKTORAL alah satu kendala dalam memahami publikasi Produk Domestik Regional Bruto adalah masalah konsep dan definisi serta ruang lingkupnya yang memuat data dan informasi statistik. Disamping

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

BAB. III. URAIAN SEKTORAL

BAB. III. URAIAN SEKTORAL BAB. III. URAIAN SEKTORAL Salah satu cara untuk memahami publikasi Produk Domestik Regional Bruto adalah mengetahui masalah konsep dan definisi serta ruang lingkupnya yang memuat data dan informasi statistik.

Lebih terperinci

SEKTOR PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN

SEKTOR PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN SEKTOR PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN Sektor perdagangan dalam Penghitungan Regional Income adalah semua balas jasa yang diterima oleh pedagang besar, pedagang eceran, rumah makan dan sebagainya. Adapun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO PDRB KABUPATEN NGAWI TAHUN 2006-2010 KATA PENGANTAR Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ngawi naik dari 5,21 persen pada tahun 2006 setelah sempat turun pada tahun 2007 sebesar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12

Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 3. Undang-Undang Nomor 12 BAB I PENDAHULUAN Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis sebagai negara kesatuan

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menghitung BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah maupun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN SEKTORAL

BAB II URAIAN SEKTORAL BAB II URAIAN SEKTORAL Uraian sektoral yang disajikan dalam Bab II ini mencakup ruang lingkup dan definisi dari masing-masing sektor dan subsektor, cara-cara penghitungan nilai tambah, baik atas dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah yang menentukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan

Lebih terperinci

Statistik KATA PENGANTAR

Statistik KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan sumber

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

B U P A T I T E M A N G G U N G S A M B U T A N

B U P A T I T E M A N G G U N G S A M B U T A N B U P A T I T E M A N G G U N G S A M B U T A N Assalamu alaikum Wr. Wb. Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya menyambut gembira atas terbitnya buku Produk Domestik Regional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995 : 16), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

II.1. SEKTOR PERTANIAN

II.1. SEKTOR PERTANIAN PDRB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2012 II. URAIAN SEKTORAL Uraian sektoral yang disajikan dalam bab ini mencakup ruang lingkup, definisi, cara panghitungan nilai tambah atas dasar harga berlaku dan konstan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2014 No. 32/05/35/Th. XIV, 5 Mei 2014 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2014 (y-on-y) mencapai 6,40

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi

IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI. Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan dan Otonomi IV. GAMBARAN UMUM KOTA CIMAHI Cimahi berasal dari status Kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bandung sesuai dengan perkembangan dan kemajuannya berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Belanja Modal Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Ekonomi, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kemudian, akan menjabarkan penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

B U P A T I T E M A N G G U N G S A M B U T A N

B U P A T I T E M A N G G U N G S A M B U T A N B U P A T I T E M A N G G U N G S A M B U T A N Assalamu alaikum Wr. Wb. Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya menyambut gembira atas terbitnya buku Produk Domestik Regional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TAHUN

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TAHUN PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TAHUN 2002-2010 Katalog BPS : 9302008.7101 ISSN 0215 6432 Ukuran Buku : 16,5 Cm X 21,5 Cm Jumlah Halaman : ix + 115 Halaman Naskah : Badan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi Berdasarkan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

Lebih terperinci

B U P A T I T E M A N G G U N G S A M B U T A N

B U P A T I T E M A N G G U N G S A M B U T A N B U P A T I T E M A N G G U N G S A M B U T A N Assalamu alaikum Wr. Wb. Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya menyambut gembira atas terbitnya buku Produk Domestik Regional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Peraturan Menteri Dalam Negeri No 21 tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah mendefinisikan Keuangan Daerah sebagai semua hak dan kewajiban

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bandung, November 2013 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. K e p a l a,

KATA PENGANTAR. Bandung, November 2013 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. K e p a l a, KATA PENGANTAR Kondisi perekonomian makro memberikan gambaran mengenai daya saing dan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Gambaran ekonomi makro dapat dilihat dari nilai Produk Domestik Regional

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder periode tahun dari

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan data sekunder periode tahun dari 38 III. METODE PENELITIAN A. Data dan sumber data Penelitian ini menggunakan data sekunder periode tahun 2009 2013 dari instansi- instansi terkait yaitubadan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung, Badan

Lebih terperinci

Produk Domestik Bruto (PDB)

Produk Domestik Bruto (PDB) Produk Domestik Bruto (PDB) Gross Domestic Product (GDP) Jumlah nilai produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan oleh unitunit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satu tahun.

Lebih terperinci

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU Ahmad Soleh Fakultas Ekonomi Universitas Dehasen Bengkulu ABSTRAK Ahmad Soleh; Analisis Belanja Pemerintah Daerah Kota Bengkulu. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 32/05/35/Th. XI, 6 Mei 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN I-2013 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Triwulan I Tahun 2013 (y-on-y) mencapai 6,62

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BLORA

KINERJA DAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BLORA SEPA : Vol. 9 No. 2 Februari 2013 : 201-208 ISSN : 1829-9946 KINERJA DAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BLORA WIWIT RAHAYU Staf Pengajar Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agrobisnis

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik

M E T A D A T A INFORMASI DASAR. 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara. Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Produk Domestik Bruto (PDB) 2 Penyelenggara Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, : Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta

Lebih terperinci

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang 8 II. LANDASAN TEORI 2.1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, struktur APBD merupakan satu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tahun 2010

PENDAHULUAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tahun 2010 BAB 1 PENDAHULUAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tahun 2010 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya ditujukan agar tercipta kondisi sosial ekonomi masyarakat yang lebih baik.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 26/05/73/Th. VIII, 5 Mei 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014 PEREKONOMIAN SULAWESI SELATAN TRIWULAN I 2014 BERTUMBUH SEBESAR 8,03 PERSEN Perekonomian

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Pelaksanaan Otonomi Daerah secara luas, nyata dan bertanggungjawab yang diletakkan pada Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada 9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Definsi Pendapatan regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada wilayah analisis. Tingkat pendapatan dapat diukur dari total pendapatan wilayah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun

Statistik Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Tahun KATA PENGANTAR Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (U MKM) menjadi sangat strategis, karena potensinya yang besar dalam menggerakkan kegiatan ekonomi masyarakat, dan sekaligus menjadi tumpuan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Dalam upaya reformasi pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah menerbitkan paket peraturan perundang undangan bidang pengelolaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN

TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 TAHUN TABEL - IV.1 PERKEMBANGAN NILAI PRODUK DOMESTIK BRUTO (PDB) MENURUT SKALA USAHA ATAS DASAR HARGA KONSTAN 1993 SKALA USAHA 1 Usaha Kecil (UK) 184.845.034 194.426.046 9.581.012 5,18 2 Usaha Menengah (UM)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan dalam pembangunan nasional sangat didukung oleh pembiayaan yang berasal dari masyarakat, yaitu penerimaan pajak. Segala bentuk fasilitas umum seperti

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA JAYAPURA 2010/2011. Gross Regional Domestic Product Of Jayapura Municipality

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA JAYAPURA 2010/2011. Gross Regional Domestic Product Of Jayapura Municipality PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA JAYAPURA Gross Regional Domestic Product Of Jayapura Municipality 2010/2011 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA JAYAPURA Gross Regional Domestic Product of Jayapura

Lebih terperinci

SAMBUTAN. Assalamu alaikum Wr. Wb.

SAMBUTAN. Assalamu alaikum Wr. Wb. SAMBUTAN Assalamu alaikum Wr. Wb. Dengan Rahmat Allah SWT, kita bersyukur bahwa Publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Semarang Tahun 2010 bisa terbit. Produk Domestik Regional Bruto adalah merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB II METODOLOGI Dalam penyusunan publikasi Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lamandau dipakai konsep dan definisi yang selama ini digunakan oleh BPS di seluruh Indonesia. Konsep dan definisi tersebut

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 06/02/72/Th. XIV. 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah tahun 2010 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 72/11/35/Th. X, 5 November 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan III Tahun 2012 (y-on-y) mencapai 7,24 persen

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... SAMBUTAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR TABEL POKOK...

DAFTAR ISI... SAMBUTAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL... DAFTAR TABEL POKOK... DAFTAR ISI SAMBUTAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR TABEL POKOK... i ii iii v vi I. PENDAHULUAN 1.1. Umum... 1 1.2. Pengertian Pendapatan Regional... 1 1.2.1. Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2)

Kata Pengantar KATA PENGANTAR Nesparnas 2014 (Buku 2) Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional merupakan pembangunan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, oleh karena itu hasil pembangunan

Lebih terperinci

SAMBUTAN KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SEMARANG. Drs.HADI PURWONO Pembina Utama Muda NIP

SAMBUTAN KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA SEMARANG. Drs.HADI PURWONO Pembina Utama Muda NIP SAMBUTAN Assalamualaikum Wr. Wb. Dengan Rahmat Allah SWT, kita bersyukur bahwa Publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Semarang Tahun 2009 bisa terbit. Produk Domestik Regional Bruto adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut azaz otonomi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang menyebut antara

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar

KATA PENGANTAR. Kata Pengantar Kata Pengantar KATA PENGANTAR Buku 2 Neraca Satelit Pariwisata Nasional (Nesparnas) ini disusun untuk melengkapi buku 1 Nesparnas, terutama dalam hal penyajian data yang lebih lengkap dan terperinci. Tersedianya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik Indonesia disamping sektor migas dan ekspor barang-barang non migas. Sebagai salah satu sumber penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah. dalam hal pengelolaan keuangan daerah. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Paradigma pengelolaan keuangan daerah telah mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-undang No. 32 tahun 2004

Lebih terperinci