Analisis Struktur Utang Nasional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Analisis Struktur Utang Nasional"

Transkripsi

1 Case Study : Analisis Kebijakan Kesehatan Analisis Struktur Utang Nasional Drh. Wiku Adisasmito, M.Sc, Ph.D Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 28

2 Daftar Isi Kata Pengantar... i Problem Overview... 1 Policy Question... 1 BAB I PENDAHULUAN... 2 I.I Latar Belakang Masalah Tujuan Manfaat... 5 BAB II KAJIAN AKADEMIK I Pembiayaan Sektor Kesehatan Kondisi Perkembangan Utang Indonesia Terhadap Negara Maju Indikator Beban Utang Utang Luar Negeri Swasta Pemanfaatan Utang Luar Negeri Efektifitas Utang Luar Negeri Masalah Daya Serap Pasar Obligasi Internasional Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter BAB III PEMBAHASAN Pengaruh Perkembangan Lingkungan Strategis Pengaruh Perkembangan Global Pengaruh Perkembangan Regional KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA... 3

3 Kata Pengantar Assalamualaikum Wr. Wb. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dan memudahkan proses belajar mengajar di Universitas Indonesia, khususnya untuk Topik Kebijakan Kesehatan, penulis membuat Seri Studi Kasus tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan. Studi kasus ini dikembangkan dari kegiatan belajar mengajar berbagai Mata Ajaran di tingkat Pascasarjana dan Sarjana tentang Kebijakan Kesehatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Sebagai penanggung jawab Mata ajaran tentang Pembuatan Kebijakan Kesehatan di lingkungan FKM UI, penulis merasa perlu untuk menyusun Studi Kasus ini agar dapat merangsang kreativitas dan memberikan perspektif yang komprehensif dan luas sambil mengasah daya nalar yang kritis dari setiap mahasiswa dalam mempelajari berbagai aspek dalam pembuatan kebijakan publik di sektor kesehatan. Seluruh topik dan format, serta sebagian isi yang ada pada Seri Studi Kasus ini penulis susun sebagai penugasan pada mahasiswa untuk selanjutnya dielaborasi menjadi sebuah makalah ilmiah. Hasil dari penyusunan makalah ilmiah ini penulis sempurnakan menjadi Studi Kasus untuk dimanfaatkan dalam pembelajaran topik Pembuatan Kebijakan Kesehatan terutama di lingkungan Universitas Indonesia. Adanya kelengkapan struktur Studi Kasus yang meliputi: Naskah Akademik & Draft Pasal Peraturan Perundangan yang diusulkan. Naskah Akademik memuat substansi: Pendahuluan, Tinjauan Masalah, Landasan Hukum, Materi Muatan, Penutup, Daftar Pustaka. Struktur ini diharapkan dapat membantu mahasiswa menyusun sebuah kebijakan berdasarkan masalah kesehatan masyarakat (Public Health problem-based) yang dilengkapi dengan sintesis & analisis, dikemas berdasarkan teori dan perspektif ilmiah dalam sebuah Naskah Akademik, dan kemudian diuraikan dalam konstruksi sebuah Draft Peraturan Perundangan. Kepustakaan utama yang digunakan dalam penyusunan Studi Kasus ini adalah Sistem Kesehatan, Wiku Adisasmito (27), Making Health Policy, Kent Buse, et al (26), The Health Care Policy Process, Carol Barker (1996), Health Policy, An Introduction to Process and Power, Gill Walt (199), dan UU No 1/2 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. Dengan demikian diharapkan studi kasus ini dapat memberikan materi komplit yang diperlukan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar. Penulis ucapkan terima kasih kepada Sdr Nurbaiti, mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat, FKM UI Angkatan 26/27 yang telah membantu menyusun makalah yang kemudian makalah tersebut dimodivikasi oleh penulis sebagai studi kasus. Mohon maaf apabila ada kekurangan / kesalahan dalam penyusunan materi Studi Kasus ini. Kritik dan saran akan membantu penulis dalam upaya meningkatkan kualitas Studi Kasus ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan ridlo Illahi dalam menuntut ilmu agar bermanfaat. Amin. Wassalamu alaikum Wr. Wb. Depok, 27 Februari 28 Departemen Administrasi & Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia i

4 Analisis Struktur Utang Nasional Oleh: Wiku Adisasmito dan Nurbaiti Problem Overview: Untuk ukuran negara berkembang, jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia tergolong tinggi, sampai akhir tahun 23 jumlah pinjaman dari IMF telah mencapai US$ 1,6 milliar. Utang luar negeri yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian ternyata telah menyandera bangsa, membuat kita mendekati ajal, membuat kita beranggapan bahwa membayar utang sebagai rutinitis, tanpa pertanyaan mengapa hal itu harus dilakukan. Apa yang diperoleh negara dari keringat rakyat seolah hanya untuk membayar dan menambah utang. Untuk membangun dan menyejahterakan bangsa, hanya diperoleh dari sisa-sisa pembayaran utang. Policy Question: 1. Bagaimana kebijakan Pemerintah terkait dengan masalah utang di Indonesia? 2. Bagaimana content kebijakan tersebut dianalisis? 3. Apakah kebijakan tersebut sudah memenuhi aspek-aspek lingkungan strategis (IPOLEKSOSBUDHANKAM)? 1

5 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Sejak masa orde lama hingga saat ini Pemerintah Indonesia telah menggunakan pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan. Pada pertengahan tahun 196-an, Pemerintah Orde lama mewariskan utang luar negeri sejumlah US$ ,8 juta (per Juni 1966). Orde baru di awal pemerintahannya pernah menikmati kebijakan pemotongan utang luar negeri dari para kreditor karena pada saat itu belum memiliki sumber daya keuangan yang cukup untuk membayar utang. Pemerintah melakukan proses penjadwalan utang melalui Paris Club dan normalisasi hubungan yang sempat terputus dengan berbagai lembaga multilateral, terutama IMF (International Monetery Fund) dan Bank Dunia. Dengan kondisi keuangan negara yang hampir bangkrut, pinjaman luar negeri merupakan alternatif terbaik untuk meningkatkan perekonomian. Secara global kegiatan pembangunannya Indonesia mengandalkan utang. Untuk ukuran negara berkembang, jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia tergolong tinggi. Krisis moneter dan ekonomi yang menimpa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 memaksa Indonesia bekerja sama dengan badan ekonomi dunia IMF untuk secara bersamasama memperbaiki perekonomian. Kerja sama tersebut dalam bentuk pinjaman yang hanya bisa ditempatkan dalam cadangan devisa Bank Indonesia, bukan untuk menutupi kekurangan pembiayaan APBN. Pinjaman IMF ini dimaksudkan agar tercipta kepercayaan yang lebih besar kepada kemampuan negara untuk menghadapi berbagai kewajiban pembayaran ke luar negeri, termasuk untuk impor, dengan memunculkan angka yang lebih baik pada cadangan devisa negara peminjamnya. Pinjaman pertama IMF dikucurkan pada tanggal 5 November 1997 sekitar US$ 3 milliar. Sampai akhir tahun 23, jumlah pinjaman dari IMF telah mencapai US$ 1,6 milliar (lihat tabel 1.1). No Tanggal Pencairan Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Pinjaman Pemerintah Indonesia Kepada IMF Jenis Baru/Review Jumlah Pencairan Jumlah Kumulatif Pinja (Jt (Jt. USD) (Jt SDR) (Jt. USD) man SDR) Pinjaman baru 2.2, 3., 2.2, 3., Sebesar 7.338, miliar SDR (sekitar US$1,1 miliar) Stan d-by Arran geme nt Review pertama Review kedua Menaikan plafond pinjaman menjadi 8,3 miliar SDR (sekitar US$ 11., 733,8 989, 2.933,8.29, 73, 1., 3.667,8 5.29, 2

6 miliar) Exten Pinjaman baru 73, 1.,.1,8 6.29, ded Fund Faci lity Mengganti kan SBA sebesar,7 miliar SDR(US$ 6,2 Miliar) Review 68,3 9, 5.86, , pertama Review kedua 68,3 96, 5.77, 7.929, Review ketiga 68,3 957, 6.5, , Review 337, 6, 6.791,7 9.36, keempat Review kelima 337, 5, 7.128, , Review keenam 337, 6, 7.65, , Exten ded Pinjaman baru Sebesar 3,638 26, 39, 7.725,7 1.65, Fund Faci lity miliar SDR(sekitar US$ 5 miliar) Mengganti kan sisa pinjaman lama Review pertama 282, 372, 8.7, , Review kedua 39,65 398, , , Review ketiga 39,65 395, 8.627, , Review keempat 275,2 31, 8.92, , Review kelima 275,2 37, 9.177, , Review keenam 275,2 358, 9.52, , Review ketujuh 275,2 365, 9.727, , Review kedelapan 3, 69, 1.71, , Review 3, 86, 1.15, ,3 kesembilan Review kesepuluh (final) 3, 55, 1.759, ,3 Sumber: Bappenas, data diolah dari New Brief dan Press Relelease IMF November Desember 23 3

7 Ada beberapa catatan penting mengenai kerjasama dengan IMF yang berlangsung selama lebih dari 6 (enam) tahun: Pinjaman dari IMF baru dapat digunakan jika cadangan devisa telah habis. Dalam kenyataannya cadangan devisa Indonesia terus mengalami peningkatan sehingga sampai saat ini pinjaman dari IMF sama sekali tidak pernah digunakan. Dari pengalaman semasa krisis dapat ditarik pelajaran bahwa confidence investor tidak hanya terkait dengan cadangan devisa, nilai tukar dan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) tetap berfluktuasi walaupun cadangan devisa meningkat. IMF dinilai beberapa kalangan telah melakukan kesalahan fatal dalam menangani krisis di Indonesia yang justru mengakibatkan semakin parahnya keadaan, khususnya yang terkait dengan penutupan 16 bank pada tahun Persyaratan yang tertuang dalam LOI (Letter of Intent) terlalu banyak, tidak fokus dan tidak berkaitan dengan penyebab krisis. Selama 6(enam) tahun, Indonesia harus menyelesaikan tidak kurang 12 conditionality. Bila dilihat dari berbagai indikator, hingga tahun 23 jumlah utang luar negeri Indonesia belum mencapai taraf yang aman. Rasio pembayaran pinjaman terhadap ekspor (Debt Service Ratio/DSR), rasio stok utang terhadap PDB, dan rasio stok utang terhadap ekspor masih menunjukkan beban yang tinggi dan ketergantungan terhadap utang luar negeri yang besar. Selain indikator-indikator tersebut di atas, beban pemerintah juga semakin berat dalam hal pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri. Pembayaran tersebut sangat mempengaruhi komposisi APBN sehingga sebagian besar penerimaan pemerintah digunakan untuk pembayaran bunga dan pokok pinjaman. Untuk mengurangi beban APBN dalam pembayaran pinjaman, pemerintahan telah melaksanakan berbagai langkah restrukturisasi utang luar negeri, termasuk mengajukan penjadwalan kembali utang luar negeri melalui forum Paris Club. Pada Paris Club I, restrukturisasi senilai US$,67 miliar telah ditandatangani yang terdiri dari US$ 3,38 miliar yang merupakan kewajiban kepada 17 negara kreditor anggota Paris Club, dan senilai US$ 285,7 juta kewajiban kepada 3 (tiga) negara bukan anggota dan kewajiban pinjaman komersial. Pada Paris Club II, telah ditandatangani perjanjian restrukturisasi kewajiban luar negeri senilai US$ 5,8 miliar pokok utang. Paris Club III juga telah ditandatangani reschedulling senilai US$ 5, miliar pokok dan bunga utang. Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir tahun 23 sudah mencapai US$ 8,91 milyar dan jika digabungkan dengan utang swasta, maka total utang luar negeri mencapai 55% dari PDB atau 222% dari total ekspor. Angka rasio utang ini masih relatif diatas ambang batas aman bagi negara berkembang, dimana debt sevice ratio pun masih tergolong relatif tinggi, yaitu 31% dari total ekspor Pemerintah Indonesia tahun 23. Sumber Kompas tanggal 21 Februari 26 menyatakan bahwa hingga Mei 25, utang luar negeri Indonesia digabungkan dengan utang swasta dan pemerintah mencapai 137,518 miliar dollar AS, terdiri 78,81 miliar dolar AS utang fasilitas kredit ekspor, bank, dan non-bank. Pengalaman pada masa yang lalu, terutama pada masa krisis telah memberikan pelajaran yang sangat berharga, yakni: 1. Sesuai dengan amanat rakyat, pemerintah perlu secara terencana mengurangi dan mengakhiri ketergantungan pada utang luar negeri dengan jalan mengoptimalkan pemerintah melalui pajak. 2. Dari sisi APBN, memperbesar primary balance surplus melalui berbagai upaya meningkatkan pendapatan negara dan penghematan belanja negara sehingga surplus tersebut dapat digunakan untuk mengurangi pokok utang pemerintah.

8 3. Meningkatkan dan melakukan perbaikan pengelolaan dan pemanfaatan pinjaman dan hibah luar negeri baik dari aspek kebijakan, kelembagaan, dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatannya.. Mengadakan pengendalian terhadap utang luar negeri swasta agar pengelolaan neraca pembayaran dan stabilitas ekonomi makro lebih terkendali. Setelah Indonesia mengakhiri kontrak kerja sama dengan IMF pada akhir tahun 23, praktis tidak ada lagi forum penjadwalan utang (Paris Club) sehingga pemerintah harus secara mandiri menjaga tingkat utang secara berkesinambungan. Upaya untuk menjaga kesinambungan ini di masa depan akan menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan seperti: 1. Beban pembayaran utang luar negeri masih cukup tinggi; 2. Lambatnya pemulihan ekonomi; 3. Pengelolaan utang luar negeri yang belum terintegrasi;. Rendahnya kemampuan menggali penerimaan negara; 5. Belanja negara yang kurang optimal; 6. Belum berkembangnya pasar obligasi dalam negeri; 7. Adanya kebutuhan pemerintah terhadap pinjaman luar negeri. Dari berbagai tantangan tersebut, diperlukan pengelolaan utang luar negeri secara lebih komprehensif, terukur, efektif dan efisien, baik dalam lingkup operasional maupun strategis. 1.2 Tujuan Tujuan penulisan ilmiah ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan gambaran tentang struktur utang nasional. 2. Memberikan gambaran tentang utang nasional terkait dengan program kesehatan. 3. Memberikan gambaran bagaimana pentingnya utang-utang negara berkembang khususnya Indonesia terhadap utang luar negeri secara bertahap dapat dikurangi. 1.3 Manfaat 1. Sebagai sumbangan dan kontribusi pemikiran kepada pengambil keputusan dan institusi yang berwenang di dalam merencanakan dan merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan penyelesaian utang luar negeri Indonesia guna mendorong perkembangan ekonomi dalam rangka pembangunan nasional. 2. Bagi penulis akan menambah pengalaman dan pemahaman tentang kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan pinjaman dan dana luar negeri yang terkait dengan bidang kesehatan. 5

9 BAB II KAJIAN AKADEMIK 2.I Pembiayaan Sektor Kesehatan Undang-undang No.23 tahun 1992 menyatakan bahwa setiap masyarakat berhak atas kesehatan sekaligus berkewajiban memelihara kesehatan diri, masyarakat dan lingkungannya. Oleh karena itu, di masa datang diharapkan penduduk Indonesia hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara terus menerus, dalam tiga dekade terakhir ini telah cukup berhasil meningkatkan derajat kesehatan. Namun demikian derajat kesehatan di Indonesia masih terhitung rendah apabila dibandingkan dengan negara tetangga. Salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah terbatasnya sumber pembiayaan kesehatan dan belum optimalnya alokasi pembiayaan kesehatan. (Depkes, 25) Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya rata-rata 2,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau rata-rata antara US$ per kapita per tahun. Persentase ini masih jauh dari anjuran organisasi Kesehatan Sedunia, yakni paling sedikit 5% dari PDB pertahun.tiga puluh persen dari pembiayaan tersebut bersumber dari pemerintah dan sisanya sebesar 7% bersumber dari masyarakat termasuk swasta, yang sebagian besar masih digunakan untuk pelayanan kuratif. Pengalokasian dana bersumber pemerintah yang dikelola oleh sektor kesehatan sampai saat ini belum begitu efektif. Dana pemerintah lebih banyak dialokasikan pada upaya kuratif dan sementara itu besarnya dana yang dialokasikan untuk upaya promotif dan preventif sangat terbatas. Pembelanjaan dana pemerintah belum cukup adil untuk mengedepankan upaya kesehatan masyarakat dan bantuan untuk keluarga miskin. Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Ibu masih tinggi, yakni masing-masing 39/1 kelahiran hidup (Susenas 22) dan 373/1. kelahiran hidup (SKRT 1995), sedangkan umur harapan hidup masih rendah yakni rata-rata 68,7 tahun (Susenas 22). Kondisi ini berakibat pada masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia yang mendukung urutan ke 112 dari 175 negara. (UNDP, 23) Sementara itu, menurut sumber Biro Perencanaan Depkes distribusi anggaran belanja tahun 26 dari alokasi anggaran sebesar Rp lebih besar digunakan untuk pelayanan kesehatan yang bersifat preventif, yaitu sebesar 61,23%, pelayanan penunjang 29,18%, sisanya sebesar 19,69% digunakan untuk pelayanan kuratif. (lihat tabel 2.1) Tabel 2.1. Distribusi Anggaran Belanja Departemen Kesehatan Menurut Program dan Jenis Pelayanan Kesehatan Tahun 26 No Program Kuratif (Dalam Ribuan Rp) 1. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Preventif (Dalam Ribuan Rp) Penunjang (Dalam Ribuan Rp) Jumlah (Dalam Ribuan Rp) Lingkungan Sehat Upaya Kesehatan 6

10 Masyarakat. Upaya kesehatan Perorangan 5. Pencegahan dan pemberantasan penyakit 6. Perbaikan gizi masyarakat Sumber daya kesehatan 8. Obat dan perbekalan kesehatan 9. Kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan 1. Penelitian dan pengembangan kesehatan 11. Peningkatan pengawasan akuntabilitas aparatur negara 12. Pengelolaan sumber daya manusia aparatur 13. Penyelenggara pimp kenegaraan dan kepemerintahan ) 1. Pendidikan kedinasan Jumlah Prosentasi 19,59 51,23 29,18 1, Sumber: Biro Perencanaan Depkes Tahun 26. Anggaran Belanja Depkes di tahun 26 masih bersumber pada rupiah murni, Pinjaman Luar Negeri (PLN), dan hibah. Sebesar Rp yang dialokasikan 88,% bersumber dari rupiah murni; 7,6% dari PLN; dan sisanya dari hibah 3,92%. (lihat tabel 2.2) Tabel 2.2. Distribusi Anggaran Belanja Departemen Kesehatan Menurut Program dan Sumber Pembiayaan Tahun 26 No Program Rupiah Murni (Dalam Ribuan Rp) 1. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat PLN (Dalam Ribuan Rp) Hibah (Dalam Ribuan Rp) Jumlah (Dalam Ribuan Rp) Lingkungan Sehat Upaya Kesehatan Masyarakat. Upaya kesehatan Perorangan

11 5. Pencegahan dan pemberantasan penyakit 6. Perbaikan gizi masyarakat 7. Sumber daya kesehatan 8. Obat dan perbekalan kesehatan 9. Kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan 1. Penelitian dan pengembangan kesehatan 11. Peningkatan pengawasan akuntabilitas aparatur negara 12. Pengelolaan sumber daya manusia aparatur 13. Penyelenggara pimp kenegaraan dan kepemerintahan ) 1. Pendidikan kedinasan Jumlah Prosentasi 88, 7,6 3,92 1, Sumber: Biro Perencanaan Depkes Tahun Kondisi Perkembangan Utang Indonesia Terhadap Negara Maju. Defisit anggaran pemerintah timbul karena pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Defisit biasanya dibiayai melalui tiga cara, yaitu: (i) pencetakan uang; (ii) mengadakan utang; (iii) penjualan aset negara. Pada masa orde lama, pembiayaan devisit anggaran pemerintah dilakukan dengan pencetakan uang, yang mengakibatkan hyper inflation. Pengalaman ini kemudian menempatkan pinjaman luar negeri sebagai instrument pembiayaan defisit anggaran pemerintah. Hubungan linear antara defisit dan penarikan utang luar negeri terlihat jelas ploting penarikan utang luar negeri pemerintah terhadap defisit anggaran tahun Setidaknya ada empat alasan membiayai defisit dengan utang luar negeri pertama, pasar obligasi domestik belum berkembang. Kedua, pembiayaan melalui utang domestik dapat menyebabkan crowding out. Ketiga, utang luar negeri bersifat concessionary sehingga murah. Keempat, pembiayaan melalui utang luar negeri bersifat non-inflationary. Perkembangan posisi utang luar negeri pemerintah sebelum krisis terus mengalami peningkatan dari US$ 2.15 juta pada tahun 1966 hingga menjadi US$ juta pada tahun 1997, dengan peningkatan rata-rata selama 32 tahun sebesar 1,2% dan posisi utang rata-rata sebesar US$ juta per tahun. (lihat tabel 2.3) Pada pertengahan tahun 197- an, posisi utang luar negeri pemerintah mengalami lonjakan yang cukup signifkan, yaitu sebesar 36,28% karena adanya kenaikan ekspor migas sehingga meningkatkan credit worthiness Indonesia, dan peningkatan pinjaman yang dilakukan pertamina. (Harinowo,22) 8

12 Kondisi tersebut kembali pada pertengahan tahun 1986 dan 1987 yang pada masing-masing periode utang luar negeri pemerintah meningkat sebesar 2,9% dan 21,88%. Pada periode ini, lonjakan utang luar negeri didorong oleh faktor-faktor eksternal berupa penguatan mata uang Yen Jepang terhadap Dollar Amerika Serikat dan jatuhnya harga minyak di pasar dunia. Jatuhnya harga minyak di pasar dunia mengakibatkan pemerintahan harus menarik utang luar negeri yang lebih besar termasuk diantaranya utang dari IMF dalam bentuk compensatory financing facility disamping pinjaman Bank Dunia, ADB, dan pemerintah Jepang dalam bentuk fast disbursing loans. (Harinowo, 22) Tabel 2.3. Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah, Nilai Ekspor dan Nilai Tukar Tahun Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah (Juta US$) Ekspor (Juta US$) Kurs Rata-Rata (Rp/US$) , 679, 116, , 665, 19, , 731, 296, , 85, 326, , 1.18, 362, , 1.23, 391, , 1.777, 15, , 3.211, 15, , 7.26, 15, , 7.12, 15, , , , , , , , , , , , 25.16,5 631, , ,3 661, , 21.15,9 99, , ,8 1.25, , ,7 1.11, , 1.85, 1.282, , ,6 1.63, , , , , ,5 1.77, , ,2 1.82, , 29.12, 1.95, , ,9 2.29, , , 2.87, ,.55, 2.16, , 5.17, 2.28, , 9.81, 2.32, , 53.3,1 2.99, , 8.87,6 1.13, , 8.665, , , 62.12, 8.21,77 9

13 , 56.6,7 1.26, , , , , , 8.577,13 Sumber: Bappenas Tahun 23 Di awal tahun 199-an, utang luar negeri Pemerintah Indonesia terus meningkat (hingga tahun 199) dengan pertumbuhan sebesar 11,73% dibandingkan tahun sebelumnya. Kemudian tahun 1995, pertumbuhan utang luar negeri pemerintah dapat ditekan hingga 1,66% dan bahkan pada tahun 1996 dan 1997, utang luar negeri Pemerintah Indonesia mengalami penurunan, yaitu masing-masing sebesar 7,19% dan 2,9%. Namun sejak krisis nilai tukar mulai menghantam Indonesia pada pertengahan 1997, posisi utang luar negeri pemerintah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar 2,97% pada tahun Kemudian pada tahun 1999, utang luar negeri pemerintah kembali mengalami peningkatan, yaitu dari US$ juta pada tahun 1998 meningkat menjadi US$ juta pada tahun 1999 atau meningkat sebesar 12,9%. Tahun 22 dan 23, utang luar negeri pemerintah kembali meningkat masing-masing menjadi sebesar US$ 7,5 milliar dan US$ 85,8 miliar. Namun, pada tahun 2 Indonesia memasuki babak baru dengan menghentikan pinjaman dari IMF sebagai langkah untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri. Ditinjau dari masa sebelum dan sesudah krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997, perkembangan posisi utang luar negeri pemerintah adalah sebagai berikut: Pertama, utang bilateral. Posisi utang luar negeri bilateral pemerintah sebelum krisis hingga saat ini sebagian besar berasal dari Jepang, dengan porsi di atas 5% dari total pinjaman bilateral. (lihat tabel 2.) Tabel 2.. Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Bilateral Pemerintah (Per 31 Desember, dalam Persesn) No Negara * 1. Amerika 6,71 6,96 7,8 6,2 5,68 6,27 6,81 6,7 5,37 5,5 Serikat 2. Austria,, 1,8 1,22 2,92 3,26 3,5 3,31 3,39 3,29 3. Belanda,52,3 3,79 3,33 2,62 2,88 2,9 3,3 3,2 3,6. Belgia,8,9,1,5,1,,1,3,5,5 5. Brunei,1,3,5,39,33,33,36,3,25,2 Darussala m 6. Denmark,1,1,9,8,6,6,6,6,7,6 7. Finlandia,65,6,77 - -,2,3,3,3,3 8. Inggris ,57 1,39 1,38 1,5 1,37 1,23 1,25 9. Italia,77,85,9,78,65,68,73,66,61,59 1. Jepang 67,61 68,2 68,35 7,6,36 73,62 71,61 2,9, 72, 72, Jerman 5,67 5,56 5,13,86 3,56 3,9,1,16,,63, Kanada,7,78,79,63,57,58,6,53,56, Korea - - -,8,19,21,28,29,38, Selatan 1. Kuwait,2,23,21,18,16,17,18,17,1,1 15. Prancis 8,5 8,61 7,95 7,38 5,6,98 5,3, 5,28 5,5 5,37 1

14 Selandia,,,,,, Baru Saudi,25,22,2,23,17,18,2,18,16,16 Arabia Spanyol,8 1,1 1,3 1,26 1,13 1,27 1,62 1,6 1, 1,3 Swiss,15,1,1,13,1,1,11,1,1,1 Taiwan -,1,2,3,2,3,3,3,2,2 Lain-lain 2,1 2,6,92,,1,6, Jumlah 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, *) per 3 Juni Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2. Kedua, utang multilateral. Posisi utang luar negeri multilateral pemerintah pada periode sebelum krisis sebagian besar dari IBRD (World Bank) dan ADB yang jumlahnya lebih dari 5%. Namun pada saat krisis tahun 1997, porsi utang luar negeri dari IMF bertambah sebesar 15,95%. (lihat tabel 2.5) Tabel 2.5. Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Multilateral Pemerintah (Per 31 Desember, Dalam Persen) No Lembag * a 1. ADB 31,57 26,9 2, 21,86 2,81 5,63 2,73 28,5 28,63 29,7 2. IBRD 6,12 68,35 55,28 39,27 37,9 26,71 39,88 37,11 32,61 31,87 3. IDA 3,81,23 3,86 2,7 2,25 1,63 2,5 2,71 2,95 3,19. IFAD,39,38,31,32,2,15,2,22,26,27 5. EIB - -,2,3,3,2,3,2,37,38 6. IDB,11,1,15,12,17,9,63,7,51,5 7. MIGA ,3, NIB - - -,83,71,5,6,58,52,51 9. IMF ,95 3,87 33,85 2,92 31,37 3,33 3,15 33,5 Jumlah tanpa 1 1 8,5 65,13 66,15 75,8 68,63 69,67 65,85 66,5 IMF Jumlah dengan IMF *) per 3 Juni Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2. Catatan: Pinjaman IMF ditempatkan dalam cadangan devisa Bank Indonesia, bukan untuk menutupi kekurangan pembiayaan APBN. Ketiga, utang luar negeri pemerintah berdasarkan valuta asing. Pada periode sebelum krisis, utang luar negeri dalam Dollar AS dan Yen Jepang mendominasi utang luar negeri Pemerintah Indonesia. Sepanjang tahun , utang luar negeri pemerintah dalam Dolar AS mendominasi sekitar % dari total pinjaman sedangkan Yen Jepang mendominasi sekitar 3% total utang luar negeri pemerintah. Sementara itu utang luar negeri pemerintah pada periode krisis masih didominasi oleh Dollar AS dan Yen Jepang dengan porsi masing-masing berkisar 3-% terhadap total uang luar negeri pemerintah. (lihat tabel 2.6) 11

15 Tabel 2.6 Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah Menurut Jenis Valuta Asing (Per 31 Desember, dalam Persen) No Lembaga * 1. Swiss 1,31 1,5,9,78,59,6,6,69,68,67 Franc 2. European ,89 2,3 1,1 11,58 13,5 12,9 Cur. Unit 2 3. French 3,99,1 3,3 3, 2,31 1, Franc. UK,91 1,3 1,9 1,56 1,59 1,5 1,67 1,76 1,79 1,77 Poundsterli ng 5. Japanese,33-3,5 33,5 36,22 36,22 31,9 33,53 3,96 38,19 Yen 3 6. Netherland 3,25 3,13 2,82 2,37 1,83 1, Guilder 7. Special Drawing Right,3,16 5,67 13,65 13,67 1,87 13,3 8 12,22 13,17 12,1 8. US Dolar 1,1 3,52 2,82 37,63 37,5 39, 1,7 39,66 35,72 33, Lainnya 8,6 8,68 7,97 7,8 5,35,71,57,56,63,72 *) per 3 Juni Sumber: Bank Indonesia, Tahun 2. Dengan besarnya porsi utang luar negeri yang didominasi dalam Dollar AS dan Yen Jepang, perkembangan nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS dan Yen Jepang akan sangat berpengaruh terhadap posisi utang luar negeri pemerintah maupun beban pembayaran cicilan pokok berikut bunganya. Keempat, utang luar negeri pemerintah berdasarkan persyaratannya. Hingga akhir tahun 23, utang luar negeri Indonesia masih didominasi oleh pinjaman ODA (Official Development Assistance) dengan persyaratan yang tergolong lunak dengan rata-rata porsinya terhadap total utang luar negeri pemerintah antara tahun 1995 hingga 23 sebesar 62,61%. Kemudian berikutnya adalah pinjaman non-oda dengan persyaratan relatif setengah lunak porsi rata-ratanya terhadap total utang luar negeri pemerintah sepanjang sebesar 2,3%. Sedangkan utang luar negeri pemerintah yang berupa pinjaman komersial relatif lebih kecil dibandingkan pinjaman-pinjaman yang lain menurut persyaratan yang dengan rata-rata porsinya terhadap total utang luar negeri pemerintah sepanjang tahun sebesar 2,21%. (lihat tabel 2.7.) Tabel 2.7 Perkembangan Posisi Utang Luar Negeri Pemerintah Menurut Persyaratan (dalam Persen) Skema/Sumb er Multilateral (di luar IMF) a. Multilateral IGGI/CGI 33,55 33,51 31,7 31,66 29,1 29,5 25,2 2,83 26,6 26,11 27,1 26,85 28,71 28,16 27,23 26,81 2, 23,78 * 2, 2, 12

16 (ODA) b. Multilateral Non IGGI/CGI (Non ODA),,3,5,37,35,55,5,2,17 - Bilateral a. Bilateral IGGI/CGI (ODA) b. Bilateral Non IGGI/CGI (Non ODA) Kredit ekspor (Non ODA) a. Supplier s credit b. Buyer s 39,18 37,63 1,55 23,5 1,3 22,16 38,62 37,6 1,16 25,83 1,55 2,28 36,23 35,31,93 25,79 1,36 2,3 33,2 32,79,5 23,2 1,6 22,18 3,55 33,6,91 21,27,91 2,36 32,91 32,3,87 21,2,69 2,33 32,73 32,38,36 21,5,56 2,89 35, 3,66,3 22, ,93 36,83,1 22, ,83 36,7,1 22,1 credit Komersial 1,82 1,17,91 2,93 2,59 2,63 2,78 2,6 2,1 2,5 Leasing 1,95 1,96 1,71 1,3 1,2,8,63,9,37,33 Bond -,72,7,59,56,57,58,5,9 1,68 IMF/BoP - - 5,52 13,9 13,5 1,66 13,12 11,85 12,65 12,3 Support Total ODA 71,1 69,12 6,35 57,62 59,76 58,88 6,5 61,7 6,61 61,1 Non ODA 25,9 27,2 26,77 2,6 22,53 22,5 22,35 23, 23,1 22,11 *) per 3 Juni Sumber: Bank Indonesia, Tahun Indikator Beban Utang Akumulasi utang publik menimbulkan beban yang harus dibayar pada masa yang akan datang. Jika tanpa disertai dengan penciptaan pertumbuhan, utang merupakan transfer dari generasi yang akan datang kepada generasi sekarang. Sumber daya finansial yang seharusnya dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang ditarik lebih dahulu oleh generasi sekarang. Sebagai kompensasinya, utang seharusnya digunakan seefektif mungkin sehingga mampu menciptakan kapasitas perekonomian dalam skala yang lebih besar. Adakalanya, akumulasi utang berada di atas kemampuan bayaran suatu pemerintahan. Dalam situasi seperti ini beban pembayaran bisa berpengaruh negatif terhadap perumbuhan ekonomi. Pengukuran beban utang biasanya dilakukan melalui indikatorindikator stok dan arus (flow) pembayaran. Ada dua indikator stok yang digunakan, yaitu rasio utang terhadap PDB (Debt to GDP ratio, DTO) dan rasio utang terhadap ekspor (Debt to export ratio, DTX). Indikator arus (flow) yang digunakan adalah Net Resources Flow (NRF), Debt Service to export ratio (DSR) dan Debt service to Government Expenditure ratio (DSGE). Analisis stok berkaitan dengan isu solvency, sedangkan analisis arus berhubungan dengan masalah kemampuan bayaran jangka pendek (liquidity). 13

17 DTO atau rasio stok utang terhadap PDB menunjukan berapa persen PDB yang harus disisihkan untuk melunasi utang. Sebetulnya rasio ini lebih mencerminkan tingkat indebtedness sebuah negara, ketimbang beban utang. Semakin rendah suku bunga dan semakin panjang masa jatuh tempo, maka semakin kecil beban walaupun nilai DTO-nya sama. Artinya rasio ini hanya relevan jika tidak ada perubahan yang fundamental dari struktur utang. Pada tahun sebetulnya DTO indonesia sudah mengalami penurunan dan masih berada dalam ambang yang aman. Tetapi akibat terjadinya krisis, rasio ini meningkat tajam sampai diatas 1%. Selain akibat adanya peningkatan penarikan pinjaman, peningkatan dalam rasio ini lebih banyak disebabkan oleh depresiasi nilai tukar. Setelah tahun 21, rasio tersebut mengalami penurunan yang cukup signifikan. Ada dua faktor yang mengakibatkan penurunan tersebut, yaitu penguatan nilai tukar dan inflasi. Kapasitas suatu negara dalam melunasi utang luar negeri sangat begantung pada kemampuannya menghasilkan devisa. Sejak tahun 1986, rasio DTX sebenarnya sudah berada dalam ambang yang membahayakan(di atas 2%). Pada tahun menembus angka 3% yang diakibatkan oleh melemahnya kinerja ekspor dan bertambahnya stok utang. Sampai sekarang, walaupun sudah terjadi penurunan, DTX masih dalam ambang yang membahayakan. NRF merupakan selisih antara pembayaran pokok dan bunga utang dangan jumlah penarikan utang baru. Bila angka ini negatif, utang memberikan efek kontraktif terhadap perekonomian. Sejak awal dekade 199-an sampai sekarang, nilai NRF cenderung negatif kecuali pada tahun hal ini mengindikasikan bahwa akumulasi utang telah menimbulkan beban fiskal di masa sekarang dan yang akan datang. Beban fiskal yang akan ditimbulkan oleh utang bisa diukur dengan DSGE (debt service to goverment expenditure). DSGE menunjukkan opportunity cost pembayaran utang, yakni berapa besar anggaran harus dikorbankan agar pemerintah mampu membayar utang. Rasio ini meningkat sangat drastis pada periode krisis. Hal ini merupakan sebuah ironi karena pada saat krisis justru anggaran pemerintah harus dijadikan stimulus bagi perekonomian uang sedang lesu. Beban pembayaran utang yang terlalu besar telah menyebabkan kemampuan pemerintah dalam mempercepat pemulihan ekonomi berkurang. Ini mungkin salah satu penyebab mengapa pemulihan ekonomi di indonesia berjalan relatif lebih lambat dibandingkan negara-negara lainnya. Selain itu beban utang terhadap neraca transaksi berjalan tercermin dalam DSR. Sejak jauh sebelum krisis, DSR telah melebihi batas aman. Pada saat krisis rasio ini meningkat tajam akibat menurunnya kinerja ekspor dan mencapai puncaknya pada tahun 1999, yaitu sebesar 75%. Krisis capital account yang ditandai oleh capital flight menjadi semakin sulit untuk diatas manakala neraca pembayaran juga dibebani oleh pembayaran utang. Rasio-rasio beban utang di atas menunjukan bahwa masalah utang telah mengakibatkan manajemen ekonomi makro menjadi bertambah sulit ketika negara dilanda krisis. Karenanya, di masa yang akan datang harus dilakukan upaya-upaya yang diarahkan untuk mengurangi stok dan memparbaiki struktur utang. 2. Utang Luar Negeri Swasta Perkembangan utang luar negeri swasta juga tidak dapat dipisahkan terhadap utang luar negeri pemerintah. Dalam penulisan ini, tidak akan dibahas lebih jauh mengenai utang swasta untuk lebih memfokuskan kepada struktur utang nasional. Namun dengan mengulas perkembangan utang luar negeri swasta menjadi masalah tersendiri bagi perekonomian dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen. 1

18 Sejak tahun 1996, posisi utang luar negeri mulai mengalami peningkatan sehingga nilainya mendekati posisi utang luar negeri pemerintah, yaitu sebesar US$ juta. Tahun-tahun berikutnya posisi utang luar negeri swasta terus mengalami peningkatan hingga tahun sejak tahun 1999, posisi utang luar negeri swasta mulai menunjukan kecenderungan menurun. Perkembangan posisi utang luar negeri swasta mulai menunjukkan kecenderungan menurun. Perkembangan posisi utang negeri swasta ini menjadi gambaran bahwa peningkatan utang luar negeri indonesia pada periode tidak saja disebabkan oleh peningkatan utang luar negeri pemerintah tetapi juga utang luar negeri swasta. Peningkatan posisi utang luar negeri tidak terlepas dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sejak pertengahan tahun Selain itu, peningkatan utang luar negeri swasta disebabkan oleh tidak adanya pengendalian atau kontrol pemerintahan terhadap perkembang utang luar negeri swasta (Bank Indonesia,21) Peningkatan utang luar negeri swasta juga tidak terlepas dari tersedianya sejumlah instrumen pinjaman jangka pendek di pasar keuangan. Sementara itu, perbedaan suku bunga dalam negeri dan luar negeri juga menjadi faktor pendorong sektor swasta untuk memanfaatkan dana luar negeri. Tersedianya instrumen dana luar negeri dengan tingat bunga lebih rendah dari pada tingkat bunga dalam negeri ini menyebabkan sektor swasta kurang memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatan dana luar negeri. Hal ini tercermin dari: 1. pengunaan utang jangka pendek untuk membiayai investasi jangka panjang (maturity gap) 2. penggunaan utang untuk proyek yang tidak menghasilkan devisa (currency mistmach). 3. tidak dilakukannya lindung nilai(hedging) terhadap utang luar negeri. Peningkatan utang luar negeri swasta ini pada gilirannya mendorong peningkatan kewajiban pembayaran kembali. Sejalan dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, kewajiban pembayaran kembali utang luar negeri swasta juga mengalami peningkatan. Pada tahun 1996 kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah sebesar US$ 9.777,57 juta, sedangkan kewajiban pembayaran utang luar negeri swasta mencapai US$ ,3 juta. (lihat tabel 2.8) Tabel 2.8 Perkembangan Pembayaran Kembali Utang Luar Negeri dan Debt Service Ratio Tahu Pembayaran Utang Luar Negeri Ekspo DSR (%) n Pemerintah Swasta Total r (Juta Pemerinta Swast Total (Juta US$) % (Juta US$) % (Juta US$) US $) h a ,28 56, ,72 3,6 1.76, ,7 9,3 21, ,21 9, ,79 5, , ,77 1, ,75 65, ,25 3, , ,69 12,78 37, ,37 7, ,63 29,1 5 7., ,35 1,8 37, ,88 69, ,12 3, , ,3 13,18 3, ,66 67, ,3 32, , ,2 1,35, ,96 68, , 31, , ,58 12,2 38, ,5 56, ,55 3, , ,86 17,3 38, ,2 56,3 5.37,76 3, , ,73 16,6 36,7 15

19 ,5 57, ,6 2, 1.89, ,1 16,9 38, ,5 59, ,6, ,.5 21,1 1,8 35, ,85 55, ,15, , ,6 16,8 36, ,57 5, , 3 5, 21.59, ,63 23,5 3, ,3 2 2, 13.73,6 8 57, , ,96 25,72, ,56 2, , 75, , ,86 39,72 52, ,5 21, ,5 78, , ,6 59,1 75, ,2 23, ,8 76, , ,3 35,93 6, ,8 3, ,1 7 55, , ,83 22,31, ,1 2 53, ,88 6, , ,65 17,6 36, ,1 9 61, ,81 38, , ,96 11,76 3,7 2 Sumber: Bappenas Tahun 23. Peningkatan kewajiban pembayaran kembali utang luar negeri swasta ini kemudian semakin memberikan tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia. Dengan rasio DSR mencapai 59,1% ditahun 1999 saja, tampak bahwa kewajiban pembayaran kembali utang luar negeri swasta menjadi beban tersendiri bagi neraca pembayaran khususnya maupun perekonomian umumnya. Dari uraian di atas dapat dikatakan pengendalian utang luar negeri swasta merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam manajemen utang luar negeri. Pelajaran dari krisis menunjukkan bahwa tidak adanya pengendalian utang swasta menyebabkan membengkaknya utang luar negeri Indonesia. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah utang luar negeri swasta dan melakukan koordinasi agar pinjaman yang ada tidak melebihi kapasitas perekonomian. Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dibentuk pemerintah sebagai tindak lanjut kesepakatan pemerintah dalam pertemuan di Frankfurt dengan para kreditor utang luar negeri swasta hendaknya tetap menjadi suatu bagian yang terintegrasi dalam manajemen utang nasional. 2.5 Pemanfaatan Utang Luar Negeri Sebagian besar utang luar negeri pemerintah adalah berupa pinjaman proyek bahkan sejak tahun 1993 hingga 1997 tidak ada pembiayaan anggaran pemerintah berupa pinjaman program. Dari perkembang penarikan pembiyaan anggaran pemerintah sebelum krisis, dapat dikatakan bahwa utang luar negeri pemerintah banyak dimanfaatkan untuk belanja barang dan jasa atau pembiayaan proyek-proyek seperti jembatan, jalan, sekolah, dan lainnya. Sementara itu sejak tahun 1998, penarikan pinjaman program mengalami peningkatan. Peruntukkan pinjaman program ditentukan oleh pemerintah sendiri namun dalam pencairannya kreditor mensyaratkan berbagai program reformasi. 16

20 Perkembangan perkembangan stok utang luar negeri pemerintah menurut sektor dapat disimpulkan beberapa hal utamanya untuk menganalisis apakah alokasi sektoral utang luar negeri pemerintah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pengadaan utang luar negeri pemerintah. Kesimpulan dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut. (lihat tabel 2.9) Tabel 2.9. Perkembangan Proporsi Stok Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia Berdasarkan Sektor (dalam Persen) No Sektor * 1. Pertanian dan,53,13 3,73 2,95 2,69 2,59 2,5 2,3 2,8 2,15 Kehutanan 2. Pertambangan 9,7 8,32 7,53 6,2 5,7 5,2,82,56,39,3 dan Industri 3. Prasarana 2,3 3,2,79 35,5 33,16 29,95 28,67 27,8 25,6 25,13. Perdagangan 2,66 2,66 25,1 32,68 33,9 33,8 31,58 29,63 28,88 28,13 dan Jasa 5. Administrasi 1,72 2,19 2,73 2,23 2,17 1,1 1,2,99,83,82 negara dan pertahanan 6. Pelayanan 7,76 8,28 8,27 7,5 9,3 1,78 11,71 11,67 11,57 11,71 Sosial 7. Pendidikan -,15,19,8,6,86 1,22 1,19 1,3 - dan Kebudayaan 8. Lain-lain 13,3 13,18 11,55 13,35 13,35 16,5 19,56 23,3 26,58 27,75 Total Sumber: Bappenas Tahun 2 Pertama, alokasi utang luar negeri pemerintah pada sektor-sektor padat karya seperti sektor pertanian-kehutanan dan sektor pertambangan-industri relatif kecil dibandingkan alokasi pada sektor-sektor lainnya. Dari tahun , rata-rata stok utang pada kedua sektor masing-masing sebesar 3,5% dan 6,23%. Padahal kedua sektor ini merupakan sektor-sektor yang memiliki penyerapan tenaga kerja cukup besar. Kedua, alokasi utang pada sub sektor pendidikan dan kebudayaan walaupun secara umum mengalami peningkatan tiap tahunnya, dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya alokasinya dapat dikatakan rendah. Sepanjang tahun 1995 hingga 23, alokasi utang luar negeri pemerintah rata-rata pada sub sektor pendidikan dan kebudayaan adalah,67%. Ketiga, walaupun demikian alokasi utang luar negeri pemerintah pada sektor-sektor yang utama seperti sektor prasarana dan sektor perdagangan-jasa dapat dikatakan memenuhi keseuaian terutama dalam rangka menggerakkan perekonomian. Sepanjang tahun rata-rata stok utang luar negeri pemerintah pada kedua sector tersebut masingmasing sebesar 3,% dan 28,58%. 2.6 Efektifitas Utang Luar Negeri Secara teoritis utang luar negeri seharusnya digunakan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas kapasitas pertumbuhan yang normal. Namun, hasil studi di berbagai negara tidak ada kesimpulan yang jelas mengenai pengaruh utang terhadap pertumbuhan ekonomi. Boone (199 dan 1996) menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi 17

21 antara utang dan pertumbuhan. Di lain pihak, Burnside dan Dolar (1997) menunjukkan bahwa utang hanya efektif di negara-negara yang menerapkan kebijakan ekonomi yang baik. Untuk kasus Indonesia, Chowdury dan Sugema (21) menyimpulkan bahwa sangat sulit untuk memetakan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan utang. Pertama, utang luar negeri memiliki sifat dan kegunaan yang berbeda-beda pada masa-masa tertentu. Dalam keadaan normal, utang digunakan untuk memberikan stimulus melalui belanja investasi publik. Dalam masa sulit atau krisis, pinjaman program merupakan merupakan kantung penyelamat bagi anggaran terutama bila penerimaan dalam negeri menurun. Dalam kasus sepert ini, peningkatan penarikan pinjaman tidak ditujukan untuk menciptakan pertumbuhan. Kedua, efektifitas utang sangat tergantung pada perilaku fiskal pemerintah. Karena utang bersifat fungible, kenaikan pinjaman tidak selamanya digunakan untuk investasi publik. Sugema (23) menunjukkan bahwa kenaikan dalam pinjaman proyek maupun program ternyata lebih banyak digunakan untuk anggaran rutin. Selain itu, ketersediaan dana yang bersumber dari utang justru cenderung mengurangi effort pemerintah dalam menggali sumber penerimaan domestik. Dengan demikian pemerintah telah mengalami ketergantungan yang berlebihan terhadap utamg luar negeri. Ketiga, hubungan antara utang dan pertumbuhan bisa jadi mengikuti kurva laffer. (Rivera-Batiz dan Rivera-Batiz,1996) Pada level tertentu, penambahan jumlah utang justru dapat mengurangi pertumbuhan. Terdapat beberapa studi terkait jumlah utang terhadap pertumbuhan ekonomi. Hernatasa (2) menemukan bahwa utang dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan jika rasio utang terhadap PDB melebihi 55% dan rasio utang terhadap ekspor di atas 162%. Pattillo, Poirson, dan Ricci (21) yang meneliti 93 negara berkembang menemukan bahwa utang berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jika rasio utang terhadap PDB melebihi 35-% dan rasio utang terhadap ekspor di atas 16-17%. Sementara itu Feldstein (2) menyimpulkan bahwa di India dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 6%, PDB hanya tumbuh sebesar 3%. Feldstein (2) membandingkan kondisi di India dengan Amerika Serikat dimana dengan rasio utang terhadap PDB sebesar %, pertumbuhan PDB menurun 2% per tahun. Inti dari argumen di atas setidaknya mensyaratkan dua hal agar penggunaan utang bisa efektif, yaitu: (i) penggunaan utang harus diarahkan untuk membiayai investasi publik dan (ii) stok utang tidak boleh melebihi batas maksimum tetentu. Efektifitas penggunaan utang bisa juga dibahas secara mikro yang banyak tergantung pada kemampuan pelaksanaan proyek dalam mencapai sasarannya. 2.7 Masalah Daya Serap Dalam beberapa tahun terakhir ini, daya serap (absorption capacity) menjadi masalah besar dalam pengelolaan utang. Rendahnya daya serap, secara ekonomi sangat merugikan karena: Menyebabkan kenaikan dalam commitmen fee yang harus dibayar berdasarkan presentase atas pinjaman yang belum dicairkan. Meningkatkan biaya penyelenggaraan proyek secara keseluruhan. Penundaan proyek dapat mengakibatkan rendahnya kualitas pekerjaan dan bahkan proyek tersebut kemungkinan gagal diselesaikan. Kemungkinan manfaat sosial dari proyek menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Berdasarkan perkembangan pencairan pinjaman pemerintah, masalah daya serap terutama dihadapi dalam pencairan pinjaman program. Bahkan pada tahun 23, realisasi pencairan pinjaman program hanya 1,5% dari target sebesar US$ 5 juta. Ini merupakan rekor terendah dalam pencairan pinjaman. Sementara itu, daya serap pinjaman proyek 18

22 cenderung lebih tinggi dan stabil pada kisaran 6-8%. Walaupun demikian, angka daya serap ini masih terlalu rendah dan mengindikasikan rendahnya delivery dalam pelaksanaan proyek. Rendahnya realisasi pencairan pinjaman program mencerminkan beberapa kendala dan masalah yang dihadapi, yaitu: Pinjaman program sering dijadikan kantung pengaman APBN tanpa mempertimbangkan kemampuan institusi yang harus men-deliver syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian utang. Persyaratan atau conditionality dalam program loan pada umumnya terlalu banyak dan terlalu berat untuk dipenuhi. Bisa jadi hal ini mencerminkan lemahnya kemampuan menegosiasikan persyaratan. Rendahnya ownership dari instansi yang harus memenuhi persyaratan tersebut sementara manfaat langsung bagi instansi tersebut mungkin tidak ada. Lemahnya koordinasi antar instansi. Persetujuan DPR atas suatu undang-undang (yang sering menjadi persyaratan) berada di luar kendali pemerintah. Masalah rendahnya realisasi pencairan pinjaman proyek dapat disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan sampai komplikasi dalam administrasi. Masalah yang sering dihadapi sebagai berikut: a. Pada tahap persiapan seringkali eksekusi pinjaman terjadi pada saat proyek belum dipersiapkan secara matang (low quality of entry), terutama menyangkut: Kelengkapan dokumen proyek; Terhambatnya pembebasan tanah; Pengadaan barang dan jasa pada tahun pertama pelaksanaan proyek sering terhambat; Pembentukan pengelola proyek belum dilakukan secara matang; Dana pendamping rupiah sering tidak tersedia; Lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah dan antar sektor/departemen yang terlibat. 2. Pada tahap pelaksanaan sering terhambat terutama oleh masalah berikut ini: Karena rumitnya administrasi anggaran. Masa efektif pengerjaan proyek hanya sekitar 7-8 bulan saja dan bukan 12 bulan dalam setahun; Tidak ada jaminan yang penuh bahwa dana pendamping rupiah akan cair; Lambannya penunjukan pimpinan dan panitia proyek; Terjadinya back-log akibat kesulitan pencairan; Terjadinya mis-procurement; Kekurangpahaman pengelola proyek terhadap persyaratan yang ditetapkan oleh kreditor; Administrasi dan prosedur pencairan berbeda-beda antar kreditor (tidak standar). Untuk mengatasi masalah-masalah di atas perlu dilakukan langkah-langkah berikut: Pinjaman hanya dilakukan apabila persiapan telah dilakukan secara matang dan memenuhi berbagai persyaratan; Harus ada komitmen yang tinggi dari para pelaksana proyek; Pengelola proyek harus sudah ditetapkan; Komitmen penyediaan dana pendamping rupiah harus betul-betul terjaga; Manual pelaksanaan proyek harus disiapkan sebelum implementasi; Rencana pembebasan lahan harus sudah ada. 19

23 2.8 Pasar Obligasi Internasional Salah satu alternatif untuk mendapatkan dana selain melalui utang luar negeri juga dapat melalui penerbitan obligasi internacional (sovereign bond). Saat ini, Pemerintah Indonesia mulai mencari alternatif pinjaman selain melalui utang luar negeri lewat forum Consultative Group for Indonesia (CGI) dan utang dalam negeri. Untuk itu, obligasi internasional menjadi pilihan pengganti utang luar negeri. Pemerintah telah menerbitkan surat utang internasional dalam denominasi Dolar senilai US$ 1 miliar (dengan kurs APBN US$ 1 = Rp 8.6) senilai Rp32,5 triliun berjangka waktu 1 tahun dengan imbal hasil (yield) sebesar 6,85% dengan kupon 6,75%, yang terdaftar dalam emerging Market Bond index (EMBI) di New York. Sehingga pada tahun ini pemerintah telah mendapatkan dana penerbitan obligasi dalam negeri pada Febuari 2 sebesar Rp2,5 triliun dan obligasi internasional yang baru saja diterbitkan, yakni sedikit di bawah Rp8,6 triliun. Sebagaimana direncanakan, sisanya, yakni Rp21, triliun, akan diperoleh dari penerbitan secara reguler obligasi dalam negeri. Dibandingkan dengan utang kepada anggota CGI, penerbitan obligasi internasional mempunyai kelebihan, yakni tidak terikat oleh aturan pembeli atau pembeli obligasi, dan penerbit (issuer) memiliki posisi tawar yang cukup kuat. Metode yang dilakukan dalam rangka penerbitan bisa bervariasi. Kelemahan obligasi internasional dibandingkan dengan utang dari CGI adalah secara finansial bunganya mahal. Pinjaman luar negeri dalam bentuk Official Development Assistance (ODA) bisa diperoleh dengan bunga sekitar 3%. Namun dalam penggunaannya terdapat ikatan dengan kegiatan proyek tertentu, persyaratan pinjaman, dan jika tak ditarik sesuai jadwal terkena commitment fee. Jumlah penerbitan obligasi internasional biasanya tak terlalu besar dan karena diterbitkan dalam mata uang asing akan terpengaruh terhadap volatilitas kurs mata uang. Investor dalam pasar obligasi di emerging market menghadapi setidaknya 3 (tiga) risiko. Pertama, risiko tingkat bunga terutama dalam obligasi jangka panjang. Kedua, risiko mata uang negara yang menerbitkan obligasi tersebut sehingga sangat dibutuhkan manajemen risiko mata uang yang baik. Ketiga, risiko negara tersebut (country risk), setiap negara mempunyai country risk yang berbeda-beda tergantung dari situasi dan kondisi negara tersebut. Untuk itu stabilitas ekonomi dan keamanan sangat perlu dipelihara supaya country risk menjadi berkurang. Salah satu index yang paling sering digunakan adalah J.P Morgan Emerging Market Bond Index Global (EMBI Global) yang pada saat ini telah mencakup dua puluh tujuh pasar obligasi di negara emerging market. Dalam EMBI Global, digunakan denominasi Dolar Amerika dengan batas minimal penerbitan US$ 5 juta dan jangka waktu jatuh tempo minimal 2,5 tahun. Ada beberapa kriteria supaya negara bisa termasuk dalam EMBI Global. Pertama, negara tersebut termasuk dalam kategori emerging market. Syaratnya, negara tersebut termasuk dalam klasifikasi pendapatan perkapita yang rendah atau menengah (di bawah US$ per kapita) yang ditetapkan oleh Bank Dunia. Kedua, negara tersebut sudah merestrukturisasi utang dalam negerinya dalam 1 tahun terakhir. Berdasarkan kriteria tersebut didapatkan sekitar 15 negara, termasuk Indonesia yang bisa masuk ke dalam EMBI Global. Kriteria-kriteria di atas merupakan kriteria umum, ada kriteria-kriteria khusus di dalam EMBI Global. Pertama, jenis klasifikasi penerbitan obligasi, di dalam EMBI Global hanya dalam bentuk obligasi internasional (sovereign bond) dan kuasi obligasi internasional (quasisovereign bond). Penerbit diklasifikasikan sebagai kuasi obligasi internasional jika obligasi internasional (sovereign bond) tersebut secara eksplisit dijamin oleh penerbit obligasi. Kedua, mata uang yang digunakan dalam denominasi Dolar AS, tetapi pada masa yang akan datang dipertimbangkan untuk juga menggunakan mata uang Euro. Ketiga, jumlah nominal obligasi yang diterbitkan minimal bernilai US$ 5 juta. Jika jumlah yang diterbitkan di bawah batas 2

Referensi : Struktur Utang Indonesia 2013

Referensi : Struktur Utang Indonesia 2013 Referensi : Struktur Utang Indonesia 2013 Problem Overview : Untuk ukuran negara berkembang, jumlah utang luar negeri pemerintah Indonesia tergolong tinggi. Bila dilihat dari berbagai indikator, hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada

BAB I PENDAHULUAN. konsisten, perekonomian dibangun atas dasar prinsip lebih besar pasak dari pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Utang luar negeri yang selama ini menjadi beban utang yang menumpuk yang dalam waktu relatif singkat selama 2 tahun terakhir sejak terjadinya krisis adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutang luar negeri Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang.

BAB I PENDAHULUAN. Hutang luar negeri Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutang luar negeri Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang. Selama 30 tahun dimulai dari pemerintahan orde lama, Selama masa orde baru saja jumlah hutang luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kinerja ekonomi Indonesia yang mengesankan dalam 30 tahun terakhir sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan dan kerentanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar.

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi suatu negara di satu sisi memerlukan dana yang relatif besar. Sementara di sisi lain, usaha pengerahan dana untuk membiayai pembangunan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai program

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan

I. PENDAHULUAN. perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama tiga dekade terakhir, perekonomian Indonesia sudah mengalami perubahan yang menakjubkan ketika pemerintah mendesak maju dengan melakukan kebijakan deregulasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi pada arus modal eksternal, prospek pertumbuhan yang tidak pasti. Krisis

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi pada arus modal eksternal, prospek pertumbuhan yang tidak pasti. Krisis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selama beberapa dekade terakhir, banyak negara di dunia ini mengalami krisis yang didorong oleh sistem keuangan mereka yang kurang dikembangkan, votalitas kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara

I. PENDAHULUAN. yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata baik material/spiritual berdasarkan Pancasila di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Sejak pertengahan tahun 2006, kondisi ekonomi membaik dari ketidakstabilan ekonomi tahun 2005 dan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Surat Berharga Negara (SBN) dipandang oleh pemerintah sebagai instrumen pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan agreement). Kondisi APBN

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang sehingga perekonomian masih sangat bergantung pada negara lain. Teori David Ricardo menerangkan perdagangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode 1999-2005 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1999-2 2005 2. Arah Kebijakan 1999-2005 3 3. Langkah-Langkah Strategis 1999-2005

Lebih terperinci

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO

BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO BAB 34 KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang akan dicapai dalam tahun 2004 2009, berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan ekonomi suatu negara pada dewasa ini tidak dapat dipisahkan dari keadaan ekonomi negara lain. Suatu negara akan sangat tergantung dengan negara lain

Lebih terperinci

SUN SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN DEFISIT APBN

SUN SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN DEFISIT APBN SUN SEBAGAI INSTRUMEN PEMBIAYAAN DEFISIT APBN Salah satu upaya untuk mengatasi kemandegan perekonomian saat ini adalah stimulus fiskal yang dapat dilakukan diantaranya melalui defisit anggaran. SUN sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional tidak bisa lepas dari hal-hal yang sedang dan akan berlangsung di

BAB I PENDAHULUAN. internasional tidak bisa lepas dari hal-hal yang sedang dan akan berlangsung di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, keadaan dan perkembangan perdagangan luar negeri serta neraca pembayaran internasional tidak

Lebih terperinci

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1

PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH. Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PINJAMAN LUAR NEGERI DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH Oleh : Ikak G. Patriastomo 1 PENDAHULUAN Bantuan luar negeri dapat berupa pinjaman maupun hibah luar negeri. Pinjaman luar negeri lebih mendesak dibahas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, hal ini

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, hal ini ditunjukkan dengan hubungan multilateral dengan beberapa negara lain di dunia. Realisasi dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Produk Domestik Bruto Produk Domestik Bruto adalah perhitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri

ABSTRAK. Kata kunci: PDB, Kurs, Impor, Utang luar negeri Judul : Pengaruh Kurs dan Impor Terhadap Produk Domestik Bruto Melalui Utang Luar Negeri di Indonesia Tahun 1996-2015 Nama : Nur Hamimah Nim : 1306105143 ABSTRAK Pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada awal masa pembangunan Indonesia dimulai, perdagangan luar negeri Indonesia bertumpu kepada minyak bumi dan gas sebagai komoditi ekspor utama penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara sangat ditunjang oleh indikator tabungan dan investasi domestik yang digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF Pembiayaan APBNP 2017 masih didukung oleh peran utang Pemerintah Pusat. Penambahan utang neto selama bulan Agustus 2017 tercatat sejumlah Rp45,81 triliun, berasal dari penarikan pinjaman

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pasar modal memiliki peranan yang penting terhadap perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan.

Lebih terperinci

DPR TOLAK PEMBERIAN PINJAMAN KEPADA IMF

DPR TOLAK PEMBERIAN PINJAMAN KEPADA IMF DPR TOLAK PEMBERIAN PINJAMAN KEPADA IMF tribunnews.com Rencana pemerintah untuk membeli obligasi i yang dikeluarkan International Monetary Fund (IMF) ii seharga US$1 miliar ditentang Komisi XI DPR. Komisi

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF Utang Pemerintah Pusat berperan dalam mendukung pembiayaan APBNP 2017. Penambahan utang neto selama bulan September 2017 tercatat sejumlah Rp40,66 triliun, berasal dari penerbitan Surat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah

BAB I PENDAHULUAN. dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat, dimana kebutuhan ekonomi antar negara juga semakin saling terkait, telah meningkatkan arus perdagangan

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak

I. PENDAHULUAN. Hal ini dilakukan karena penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak tidak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah dalam menggunakan pinjaman baik dari dalam maupun dari luar negeri merupakan salah satu cara untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Hal ini dilakukan

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2011 Nomor. 30/AN/B.AN/2010 0 Bagian Analisa Pendapatan Negara dan Belanja Negara Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN SETJEN DPR-RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah)

I. PENDAHULUAN. B. Belanja Negara (triliun Rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang fokus terhadap pembangunan nasional. Menurut data Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. cepat dan terintegrasi dengan adanya teknologi canggih. Perkembangan teknologi

BAB 1 PENDAHULUAN. cepat dan terintegrasi dengan adanya teknologi canggih. Perkembangan teknologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan pesat pasar keuangan global di masa sekarang semakin cepat dan terintegrasi dengan adanya teknologi canggih. Perkembangan teknologi direspon oleh pelaku

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dengan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi untuk mengendalikan keseimbangan makroekonomi dan mengarahkan kondisi perekonomian ke arah yang lebih baik dengan

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. antar negara. Nilai tukar memainkan peran vital dalam tingkat perdagangan

I.PENDAHULUAN. antar negara. Nilai tukar memainkan peran vital dalam tingkat perdagangan I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nilai tukar atau kurs merupakan indikator ekonomi yang sangat penting karena pergerakan nilai tukar berpengaruh luas terhadap aspek perekonomian suatu negara. Saat

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) merupakan kunci dari kebijakan fiskal pemerintah. Pada dasarnya, kebijakan fiskal mempunyai keterkaitan yang erat dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Keterkaitan integrasi ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga,

BAB I PENDAHULUAN. iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap negara selalu berbeda bila ditinjau dari sumber daya alamnya, iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa pembaharuan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian, baik di dalam negeri maupun di tingkat dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk melakukan hedging kewajiban valuta asing beberapa bank. (lifestyle.okezone.com/suratutangnegara 28 Okt.2011).

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan untuk melakukan hedging kewajiban valuta asing beberapa bank. (lifestyle.okezone.com/suratutangnegara 28 Okt.2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa Orde Baru, pemerintah menerapkan kebijakan Anggaran Berimbang dalam penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang artinya

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum dalam perekonomian Indonesia terdapat ketidakseimbangan internal berupa gap yang negatif (defisit) di sektor swasta dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 memberikan dampak pada keuangan Indonesia. Berbagai peristiwa yang terjadi pada masa krisis mempengaruhi Anggaran Pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini dunia diperhadapkan pada masalah krisis ekonomi global yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika sehingga akan berdampak buruk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. seberapa besar kontribusi perdagangan internasional yang telah dilakukan bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian global yang terjadi saat ini sebenarnya merupakan perkembangan dari proses perdagangan internasional. Indonesia yang ikut serta dalam Perdagangan internasional

Lebih terperinci

Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl.

Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl. September 2014-1 Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Telepon

Lebih terperinci

Utang Indonesia Mengancam Diskresi Fiskal

Utang Indonesia Mengancam Diskresi Fiskal UTANG DAN KEBERLANJUTAN FISKAL Utang Indonesia Mengancam Diskresi Fiskal Utang menjadi cara membiayai kebutuhan pembangunan disebabkan rendahnya pemasukan negara dari pengelolaan sumber daya alam dan pajak.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri

I. PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang akan melaju secara lebih mandiri apabila pembangunan itu sebagian besar dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan dalam negeri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

SEBERAPA JAUH RUPIAH MELEMAH?

SEBERAPA JAUH RUPIAH MELEMAH? Edisi Maret 2015 Poin-poin Kunci Nilai tukar rupiah menembus level psikologis Rp13.000 per dollar AS, terendah sejak 3 Agustus 1998. Pelemahan lebih karena ke faktor internal seperti aksi hedging domestik

Lebih terperinci

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Analisis fundamental. Daftar isi. [sunting] Analisis fundamental perusahaan. Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Analisis fundamental Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Analisis fundamental adalah metode analisis yang didasarkan pada fundamental ekonomi suatu perusahaan. Teknis ini menitik beratkan

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN UTANG INDONESIA

PERKEMBANGAN UTANG INDONESIA PERKEMBANGAN UTANG INDONESIA Utang merupakan bagian dari kebijakan fiskal yang digunakan sebagai salah satu bentuk pembiayaan ketika APBN mengalami defisit dan untuk membayar kembali utang yang jatuh tempo

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, ketersediaan sumber daya, teknologi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang. dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

I. PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang. dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan

Lebih terperinci

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya PBI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta, 2000) Michael P Todaro, Ekonomi Untuk Negara Berkembang (Bumi Aksara:

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta, 2000) Michael P Todaro, Ekonomi Untuk Negara Berkembang (Bumi Aksara: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akumulasi utang luar negeri adalah suatu gejala umum negaranegara dunia ketiga pada tingkat perkembangan ekonomi dimana kesediaan tabungan dalam negeri adalah

Lebih terperinci

Prediksi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan 6,3%

Prediksi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan 6,3% 1 Prediksi Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan 6,3% Prediksi tingkat suku bunga SPN 3 Bulan tahun 2016 adalah sebesar 6,3% dengan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi internal maupun eksternal. Data yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tersedianya infrastruktur seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bendungan dan infrastruktur fisik lainnya menjadi pendorong bagi kegiatan ekonomi, peningkatan kualitas

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penanaman modal yang sering disebut juga investasi merupakan langkah

BAB I PENDAHULUAN. Penanaman modal yang sering disebut juga investasi merupakan langkah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penanaman modal yang sering disebut juga investasi merupakan langkah awal kegiatan produksi. Adanya modal dalam sebuah perusahaan menjamin berlangsungnya proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi dalam perkembangannya ditandai dengan adanya perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi dalam perkembangannya ditandai dengan adanya perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Era globalisasi dalam perkembangannya ditandai dengan adanya perdagangan bebas. Perdagangan bebas merupakan suatu kegiatan jual beli produk antar negara tanpa adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap lesunya perekonomian global, khususnya negara-negara dunia yang dilanda

BAB I PENDAHULUAN. terhadap lesunya perekonomian global, khususnya negara-negara dunia yang dilanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki pertengahan tahun 2015, dianggap sebagai periode yang cukup kelam bagi sebagian pelaku pasar yang merasakan dampaknya secara langsung terhadap lesunya

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015

PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA- SAUDI ARABIA BULAN : JUNI 2015 A. Perkembangan Perekonomian Saudi Arabia. 1. Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan pertumbuhan ekonomi di Saudi Arabia diatur melambat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai perekonomian terbuka kecil, perkembangan nilai tukar merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perekonomian secara umum. Pengaruh nilai tukar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA

KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA KRISIS EKONOMI DI INDONESIA MATA KULIAH PEREKONOMIAN INDONESIA Definisi Krisis ekonomi : Suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara mengalami penurunan akibat krisis keuangan Krisis keuangan/ moneter

Lebih terperinci

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA Siaran Pers No. 16/104 International Monetary Fund UNTUK SEGERA 700 19 th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C. 20431 USA Dewan Eksekutif IMF Menyimpulkan Konsultasi Pasal IV 2015 dengan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang fokus terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang fokus terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang fokus terhadap pembangunan nasional. Salah satu strategi pembangunan nasional indonesia yaitu melakukan pemerataan

Lebih terperinci

BABI PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara yang sedang berkembang, dimana pemerintah

BABI PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara yang sedang berkembang, dimana pemerintah BABI PENDAHULUAN I. I. Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang sedang berkembang, dimana pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan adalah merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau investor.kedua, pasar modal menjadi sarana bagi masyarakat untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau investor.kedua, pasar modal menjadi sarana bagi masyarakat untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pasar modal memiliki peran penting bagi perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi. Pertama sebagai sarana bagi pendanaan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat. Hal ini sangat mempengaruhi negara-negara lain karena 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang masalah Pada tahun 2008 terjadi krisis global dan berlanjut pada krisis nilai tukar. Krisis ekonomi 2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan

Lebih terperinci

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Boks I Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1 Gambaran Umum Perkembangan ekonomi Indonesia saat ini menghadapi risiko yang meningkat seiring masih berlangsungnya krisis

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN

PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN DAN KEMISKINAN Kinerja perekonomian Indonesia masih terus menunjukkan tren peningkatan dalam beberapa triwulan

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan sektor properti dan real estat yang ditandai dengan kenaikan harga tanah dan bangunan yang lebih tinggi dari laju inflasi setiap tahunnya menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang membutuhkan dana. Menurut Fahmi dan Hadi (2009:41), pasar modal

BAB I PENDAHULUAN. pihak yang membutuhkan dana. Menurut Fahmi dan Hadi (2009:41), pasar modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peran aktif lembaga pasar modal merupakan sarana untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi secara optimal dengan mempertemukan kepentingan investor selaku pihak

Lebih terperinci

UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL

UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL UTANG PEMERINTAH EKONOMI POLITIK KEBIJAKAN FISKAL Oleh: Anthony Budiawan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Disampaikan pada Seminar Nasional Menyikapi Polemik Utang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP DEPOSITO MUDHARABAH PERIODE

BAB IV ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP DEPOSITO MUDHARABAH PERIODE BAB IV ANALISIS FLUKTUASI NILAI TUKAR RUPIAH DAN PENGARUHNYA TERHADAP DEPOSITO MUDHARABAH PERIODE 2014-2015 A. Analisis Fundamental Nilai Tukar Rupiah 1. Faktor Ekonomi Faktor Ekonomi yaitu hal-hal yang

Lebih terperinci

Mengobati Penyakit Ekonomi Oleh: Mudrajad Kuncoro

Mengobati Penyakit Ekonomi Oleh: Mudrajad Kuncoro Mengobati Penyakit Ekonomi Oleh: Mudrajad Kuncoro Melemahnya nilai tukar rupiah dan merosotnya Indeks Harga Saham Gabungan membuat panik pelaku bisnis. Pengusaha tahu-tempe, barang elektronik, dan sejumlah

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 127 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi

Perekonomian Indonesia Pada Masa Reformasi Modul ke: 04Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi S1 MANAJEMEN Sejarah Perkembangan Perekonomian Indonesia Periode Revormasi Krisis ekonomi di Indonesia Fundamental ekonomi nasional pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebagai negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, seperti Indonesia serta dalam era globalisasi sekarang ini, suatu negara tidak terlepas dari kegiatan

Lebih terperinci