BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum Setiap kegiatan industri akan menghasilkan limbah sebagai sisa hasil proses produksi, baik limbah padat, cair, maupun gas. Limbah dari kegiatan industri mempunyai potensi cukup besar pada pencemaran lingkungan, salah satu diantaranya adalah limbah cair. Limbah cair dihasilkan dari air bersih yang telah digunakan untuk berbagai keperluan. Penggunaan air untuk berbagai kegiatan menghasilkan limbah cair karena tidak semua air yang digunakan terikut sebagai bagian dari barang atau bahan yang diproduksi. Dalam limbah cair terdapat bahan kimia yang sukar untuk dihilangkan dan berbahaya. Jika air limbah tidak terolah terakumulasi, akan terjadi dekomposisi material organik yang terkandung dalam limbah tersebut dan akan menyebabkan air bersifat septik dan bau. Air limbah tidak terolah biasanya mengandung berbagai jenis mikroorganisme patogen dan bahan-bahan kimia yang dapat memberi kehidupan bagi kuman-kuman penyebab penyakit. Industri Tahu dan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan industri bahan makanan yang banyak ditemui di Indonesia. Kedua jenis industri bahan makanan tersebut merupakan penghasil limbah cair yang memiliki kandungan zat organik sangat tinggi. Apabila langsung dibuang ke badan air tanpa dilakukan pengolahan maka dapat menyebabkan pencemaran air dan penurunan kualitas lingkungan. Constructed wetland diharapkan dapat mengatasi masalah limbah cair yang berasal dari RPH dan Industri Tahu. 2.2 Air Limbah RPH Rumah potong hewan (RPH) merupakan salah satu fasilitas perkotaan yang menyediakan kebutuhan pangan masyarakat, khususnya kebutuhan akan daging. Di kota Bandung terdapat ± 7 RPH yang mengolah ternak potong rata-rata II-1

2 sejumlah ekor setiap tahunnya, baik ternak besar maupun ternak kecil (Nuraini, 2002). RPH yang ada, pada umumnya tidak memiliki sarana pengolahan limbah yang memadai. Hal ini bisa berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan. Limbah yang dihasilikan RPH dapat mencemari lingkungan karena industri ini menghasilkan air buangan dengan konsentrasi parameter-parameter tertentu yang lebih tinggi dibandingkan dengan air buangan domestik. Oleh karena itu, pengolahannya tidak dapat disatukan dengan air buangan domestik. Sebagai upaya untuk menghindari pencemaran air dibutuhkan suatu standar untuk buangan industri yang akan bervariasi tergantung pada tempat pembuangan efluen, tingkat pengenceran dalam badan air penerima, dan ketersediaan fasilitas kota untuk penampungan dan penanganan air buangan tersebut. Apabila tidak tersedia fasilitas pengolahan limbah kota, maka RPH tersebut harus menyediakan sendiri sistem penanganan dan pembuangan limbahnya. Air buangan dari RPH biasanya mengandung zat organik tinggi, senyawa nitrogen relatif tinggi, serta mengandung zat padat dan lemak (Azad, 1976). Kandungan bahan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini dapat mereduksi kandungan O 2 terlarut dalam air. Bila O 2 terlarut dalam air habis sama sekali karena kadar bahan organik yang tinggi, maka akan timbul bau busuk dan warna air menjadi gelap. Bila protein yang terdapat dalam air mengandung sulfur atau kandungan sulfat alamiah dalam air tinggi, maka akan dihasilkan gas H 2 S yang menimbulkan bau. Indikator polutan lain yang terlihat dari limbah RPH adalah warnanya yang merah dan coklat gelap. Hal ini dapat menyebakan protes masyarakat sekitar karena mengganggu pemandangan dan nilai estetika bagi pihak yang ingin memanfaatkan badan air tersebut. Kegiatan RPH yang dapat memberikan dampak terhadap kualitas lingkungan sekitarnya dapat dilihat pada Tabel 2.1. II-2

3 Tabel 2.1 Sumber Dampak Kegiatan RPH terhadap Lingkungan SUMBER LIMBAH ASAL BENTUK FISIK Limbah Padat - Kotoran/tinja - Kotoran perut Kandang hewan Pembersihan isi perut Gumpalan - Sisa daging, lemak, dan lainlain Pembersihan daging Limbah Cair - Pemotongan hewan - Pembersihan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Darah Darah campur air Pencemaran Udara - Bau Kandang hewan Gas Sumber : Rumah Pemotongan Hewan Dago Bengkok, Bandung Proses Terbentuknya Limbah RPH Sumber utama air limbah RPH adalah kandang hewan dan ruang pemotongan hewan. Sumber air limbah yang pertama yaitu kandang hewan. Di RPH Dago Bengkok kandang hewan berupa kandang terbuka berlantai tanah kotor, ada juga yang sudah tertutup dan berlantai beton. Bagian dari kandang ini terdiri dari kotoran cair dan padat yang dibuang dari kandang pada waktu pembersihan atau pada saat hujan turun (pada kandang terbuka). Volume dan kadar buangan ini bervariasi tergantung frekuensi pembersihan dan intensitas hujan. Sumber air limbah yang kedua yaitu ruang pemotongan hewan. Buangan utama yang dihasilkan dari ruang pemotongan ini berasal dari pemotongan, pembersihan bulu hewan dan bagian dalam, pemotongan daging, dan pencucian. Dari proses-proses ini, ruang pemotongan biasanya menghasilkan buangan terbanyak sebagian besar terdiri dari darah. Kotoran perut dan cairannya dibuang atau digunakan sebagai pupuk, sedangkan darah dan air pencuci masuk ke saluran pembuangan. Sesuai ruang lingkup pemeriksaan, maka inventarisasi limbah yang dilakukan hanya pada proses pemotongan ayam. Limbah yang dihasilkan dari proses pemotongan ayam antara lain : II-3

4 Limbah darah dari proses pemotongan ayam Limbah dari sisa bak air panas Limbah darah dan kotoran dari bak pencucian Proses kerja pada RPH ayam Dago Bengkok ditunjukkan pada Gambar 2.1. Pemotongan ayam Darah dan air pencucian Dimasukkan ke dalam air panas Air panas bercampur darah dan bulu ayam Pembersihan bulu dan bagian dalam Bulu, kotoran perut dan air pencucian Pencucian Sisa air pencucian akhir Ayam yang telah bersih Siap dipasarkan Gambar 2.1 Skematik proses kerja pada RPH ayam Dago Bengkok (sonie, 2007) Karakteristik Air Limbah RPH Air limbah RPH berwarna merah-kecoklatan, limbah tersebut mengandung darah, lemak, padatan organik dan anorganik, campuran bulu dan kotoran hewan. Kandungan COD dan konsentrasi padatan dalam efluen RPH akan tergantung pada pengawasan terhadap air yang digunakan, pemisahan limbah, dan manajemen RPH dalam mengelola limbahnya. Efluen dari RPH mengandung air limbah dengan konsentrasi sedang sampai tinggi. Efluen ini mengandung organik terlarut (45%) dan tersuspensi (55%). Kebanyakan organik dihasilkan dari darah dan kotoran. Komposisi dan besarnya aliran umumnya tergantung dari jumlah hewan yang dipotong. (Manjunath et.al, diambil dari TA Sonie, 2007). Karakteristik air buangan RPH dapat dilihat pada Tabel 2.2. II-4

5 Parameter Tabel 2.2 Karakteristik Limbah RPH Manjunath, 2000 (*) RPH Ciroyom (*) Konsentrasi RPH Mis Chicken (*) RPH Dago Bengkok (**) Suhu o C 25.2 o C C ph ,64 7,9 TSS mg/l 1244 mg/l mg/l mg/l BOD mg/l 1100 mg/l mg/l mg/l Lemak mg/l 1.4 mg/l - 29,4 41 mg/l NTK mg/l ,2 214,36 mg/l Fosfat 8-15 mg/l mg/l 19,72-27,231 mg/l COD mg/l 2460 mg/l 3205 mg/l mg/l Sumber: (*) Danielaini, 2002 dan Elyzabeth, 2002 (**) Sonie, Air Limbah Industri Tahu Industri Tahu merupakan industri kecil yang termasuk kelompok industri pangan. Di Jawa Barat, industri kecil berkembang pesat dengan tingkat perkembangan 4,78 % per tahun dengan 24,12 % merupakan kelompok industri pangan, termasuk Industri Tahu (Departemen Perindustrian, 1994). Perkembangan Industri Tahu ini membawa dampak positif bagi masyarakat yaitu mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Namun di sisi lain, Industri Tahu ini pun memberikan dampak negatif bagi lingkungan yaitu meningkatnya air buangan dari pembuatan tahu. Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu maupun pada saat pencucian kedelai. Limbah tahu keruh dan berwarna kuning muda keabu-abuan, bila dibiarkan akan berwarna hitam dan berbau busuk. Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan cair. Limbah padat belum dirasakan dampaknya terhadap lingkungan karena dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak, tetapi limbah cair dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan karena pada umumnya limbah tersebut memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Potensi pencemaran badan air akibat tercemar air buangan cukup besar karena dalam pembuatan tahu diperlukan air sekitar liter untuk tiap kg II-5

6 kedelai dan sebagian besar air ini dibuang. Air yang digunakan kembali hanya air bekas fermentasi yang digunakan sebagai bibit untuk pembutan tahu berikutnya sekitar liter. Pada umumnya pembuat tahu membuang air buangannya langsung ke badan air penerima karena ketidaktahuan atau ketidakmampuan untuk mengolah limbah tersebut Proses Terbentuknya Limbah Tahu Limbah cair pada Industri Tahu ini berasal dari proses-proses yang terlibat dalam pembuatan tahu, mulai dari proses awal yaitu pencucian kedelai, sampai tahu yang telah jadi. Gambar 2.2 memperlihatkan proses pembuatan tahu. Kacang Kedelai Pembersihan Air sisa perendaman Perendaman Air dingin Air sisa pencucian Pencucian Air dingin Penggilingan Air dingin Perebusan Air hangat Penyaringan Air hangat Air sisa pencetakan Pencetakan Air sisa pewarnaan Pewarnaan Tahu Tahu Gambar 2.2 Proses pembuatan tahu secara konvensional (Royanti, 2001) Secara sistematis, proses-proses yang terdapat dalam pembuatan tahu dapat dilihat pada Gambar 2.3. II-6

7 Gambar 2.3 Skema proses pembuatan tahu Dari berbagai tahapan proses pembuatan tahu tersebut dihasilkan limbah yang berpotensi mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan. Limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu antara lain : Air dari proses perendaman dan pencucian kedelai. Sisa air tahu yang tidak menggumpal. Potongan tahu yang hancur pada saat proses karena kurang sempurnanya proses penggumpalan. Air sisa perebusan tahu dengan kunyit dan garam (apabila diproduksi juga tahu kuning) Karakteristik Air Limbah Tahu Air limbah tahu mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut yang akan mengalami perubahan secara fisika, kimia, dan hayati menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya kuman penyakit yang II-7

8 merugikan baik pada tahu sendiri maupun tubuh manusia. Air limbah akan berubah warnanya menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk. Bau busuk ini akan mengakibatkan sakit pernapasan. Apabila air limbah ini merembes ke dalam tanah yang dekat dengan sumur, maka air sumur itu tidak dapat dimanfaatkan lagi. Apabila limbah ini dialirkan ke sungai maka akan mencemari sungai dan bila masih digunakan akan menimbulkan penyakit gatal, diare, dan penyakit lainnya. Hasil pemeriksaan air buangan dari Industri Tahu dengan mengambil sampel Industri Tahu dari dua tempat, yaitu Industri Tahu Tauhid Lembang pada tahun 2001, dan Industri Tahu Cibuntu pada tahun 2000 dan 2001 dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Hasil Pemeriksaan Air Buangan Industri Tahu Parameter Satuan Kualitas Air Buangan Industri Tahu Dago Bengkok Gol. Baku Tauhid Cibuntu (*) Mutu tahun '01 tahun '00 tahun ' III ph ,1 5, Temperatur ºC Daya Hantar Listrik µmhos > Oksigen Terlarut (DO) mg/l Warna Pt-Co TSS mg/l TDS mg/l Kekeruhan NTU COD mg/l ,4 8409,6 50 BOD mg/l , NTK mg/l ,6 202,48 - N Ammonium mg/l N Organik mg/l Nitrat mg/l Nitrit mg/l Zat Organik mg/l KmnO Total fosfat mg/l , Lemak mg/l , Sumber : Katharina Oginawati, Bahan Kuliah Teknologi Bersih, 2006 (*)Sonie, Dari Tabel 2.3 diketahui bahwa parameter-parameter air buangan Industri Tahu yang melewati baku mutu PP No.82 tahun 2001 untuk golongan III adalah : ph, TSS, TDS, COD, BOD, Nitrit, total fosfat. Dengan demikian, jika air buangan tahu ini langsung dibuang ke badan air dapat mengganggu keseimbangan ekosistem air. Jika kandungan nitrogen atau fosfor dalam air tinggi maka akan II-8

9 mengakibatkan tertutupnya perairan oleh tanaman air. Jika keadaan ini dibiarkan perairan dapat menjadi anaerob. Kondisi anaerob ini dapat mengganggu kehidupan pada ekosistem air terutama bagi satwa air. 2.4 Wetland Wetland atau lahan basah merupakan zona transisi antara tanah kening (terrestrial) dan sistem perairan. Wetland mempunyai ciri khusus dengan adanya air yang menggenangi daerah tersebut, dan memiliki tanah yang berbeda dibanding daratan kening yang berdekatan dengan air, serta mendukung vegetasi yang dapat beradaptasi pada kondisi basah dan tergenang. Menurut Hammer (1992) wetland didefenisikan sebaagai sistem pengolahan air limbah yang memenuhi tiga faktor: a. Area yang tergenang air dan mendukung hidupnya tumbuhan air. b. Media tempat tumbuh tumbuhan air, berupa tanah yang selalu digenangi air. c. Media tumbuh tumbuhan air, bisa juga bukan tanah, tetapi media yang jenuh dengan air. Secara garis besar wetland dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Natural Wetland Natural wetland merupakan pengolahan air yang terjadi secara alami, seperti yang terjadi di rawa-rawa dekat pesisir pantai, ataupun sepanjang aliran sungai yang lambat. Tumbuhan airnya tidak diperlakukan secara terencana, debit air limbah yang mengalir tidak direncanakan, dan kehidupan biota sangat beraneka ragam. Natural wetland, terutama pada daerah tropis, memiliki perubahan level muka air yang cukup tinggi dan sering sehingga vegetasi harus beradaptasi dengan keadaan hidrologi tersebut. Natural wetland memiliki karakteristik yang spesifik terhadap komponen fungsionalnya. Hasil pengolahan limbah yang diperoleh dari suatu tipe natural wetland pada suatu daerah belum tentu memberikan hasil yang sama pada daerah yang berbeda meskipun jenis limbahnya sama. Meskipun dapat diamati peningkatan kualitas limbah cair yang telah melewati suatu natural wetland, tidak II-9

10 mungkin untuk memperoleh hitungan yang tepat terhadap kemampuan penguraian dari natural wetland tersebut. Sebagai bahan pertimbangan dalam sistem natural wetland, yang harus diperhatikan yaitu: a. Pengolahan air Iimbah terbatas hanya untuk pengolahan lanjutan. b. Tidak diketahui secara jelas bagaimana kondisi area untuk natural wetland ini. Pada umumnya daerah tersebut sudah menerima beban air limbah dalam waktu yang cukup lama, sehingga kondisinya sudah jenuh dan tidak dapat menerima tambahan beban lagi. c. Adanya eutrofikasi karena pembuangan air limbah domestik maupun industri meningkatkan konsentrasi nutrien dalam area natural wetlan sehingga menimbulkan peningkatan pertumbuhan tumbuhan air dalam area tersebut. 2. Constructed Wetland Pada prinsipnya hampir sama dengan natural wetland, namun sistem pengolahannya memilik struktur yang direncanakan seperti : a. Debit aliran b. Beban organik tertentu c. Kedalaman media tanah maupun air < 0,6 m d. Dilakukan pemeliharaan terhadap tumbuhah air selama proses pengolahan berlangsung. Pada constructed wetland level muka air sepanjang tahun hampir seragam, tidak mengalami perubahan yang signifikan, kecuali pengaruh dari ketersediaan limbah cair yang akan diolah. Constructed wetland memiliki susunan media yang jauh berbeda dengan natural wetland karena telah didesain seoptimal mungkin untuk memudahkan pergerakan air. Sistem ini memakai berbagai konfigurasi yang berbeda seperti jenis media dan jenis tumbuhan air. Perbedaan yang paling jelas yaitu pada keanekaragaman hayati. Natural wetland memiliki tingkat keanekaragaman dan kerapatan vegetasi yang tinggi dibandingkan constructed wetland karena vegetasi yang ada telah terbentuk dan II-10

11 dibiarkan tumbuh secara alami. Sedangkan untuk constructed wetland biasanya didesain hanya memiliki satu jenis vegetasi. Meskipun tiap tahun kerapatannya semakin bertambah, kerapatan pada constructed wetland tetap rendah karena dilakukan pembersihan (panen) untuk mengurangi kepadatan pada constructed wetland. Pada pertengahan tahun 1970-an, sudah banyak dilakukan penelitian, pemanfaatan, perencanaan, dan pengontrolan kapasitas kemampuan penguraian dari beberapa natural wetland untuk mengetahui kualitas air yang tepat. Penelitian ini telah menghasilkan desain rekonstruksi atau ciptaan lahan basah untuk mengolah limbah cair. Kenyataannya, cenderung untuk mempertahankan natural wetland yang sudah ada dan untuk merancang constructed wetland yang sesuai untuk purifikasi. Constructed wetland memiliki kemampuan efisiensi yang lebih tinggi, jika dimanfaatkan untuk pengolahan air limbah. Hal ini disebabkan karena constructed wetland lebih mudah dikontrol dan konstruksinya dapat didesain sesuai dengan fasilitas yang dikehendaki seperti komposisi substrat, jenis vegetasi, kecepatan aliran, dan debit aliran. 2.5 Constructed Wetland Constructed wetland merupakan sistem pengolahan terencana atau terkontrol yang telah didesain dan dibangun dengan menggunakan proses alami yang melibatkan vegetasi wetland, media, dan mikroorganisme untuk mengolah air limbah. Aplikasi wetland saat ini sudah banyak digunakan di berbagai negara untuk pengolahan limbah cair, baik domestik maupun non-domestik. Umumnya constructed wetland digunakan sebagai kolam penyimpanan sebelum air limbah dibuang ke lingkungan atau badan air sehingga diperlukan pengolahan awal sebelum dialirkan ke dalam constructed wetland. Constructed wetland sangat cocok diaplikasikan di negara-negara berkembang karena sangat fleksibel dalam ukuran maupun fungsi yang diperlukan. Sistem ini cocok diterapkan di Indonesia, karena selain lahan yang dibutuhkan masih tersedia, juga iklim tropis yang sangat mendukung, II-11

12 menyediakan lingkungan yang sangat baik untuk lahan basah buatan karena temperatur yang lebih hangat dapat meningkatkan aktivitas biologis dan efisiensi penyisihan. Keunggulan constructed wetland dibandingkan dengan fasilitas pengolahan limbah konvensional adalah : 1. Biaya investasi, operasi, dan pemeliharaan yang lebih murah. 2. Pengoperasian dan perawatan lebih mudah sehingga dapat dilakukan oleh tenaga lokal. 3. Mempunyai efisiensi yang cukup tinggi. 4. Relatif toleran terhadap berbagai tingkat konsentrasi bahan pencemar sebagai akibat fluktuasi hidrolis. 5. Bahan pencemar di dalam air limbah dapat didaur ulang untuk menjadi biomassa yang bernilai ekonomis. 6. Cocok dikembangkan di pemukiman kecil, daerah pertanian, dan daerah pertambangan yang mampunyai lahan cukup luas. 7. Memberikan keuntungan yang tidak langsung seperti pemanfaatan tanaman yang digunakan pada constructed wetland (bahan dasar untuk pakan ternak, kosmetik, obat-obatan, kertas, pupuk, tanaman hias), mendukung fungsi ekologis, kawasan hijau, habitat satwa, dan juga untuk pendidikan dan kawasan rekreasi. Walaupun memiliki sejumlah keunggulan, teknologi constructed wetland seperti teknologi pengolah air limbah lainnya juga mempunyai keterbatasan (Hammer, 1989). Beberapa keterbatasan constructed wetland dibandingkan dengan fasilitas pengolahan limbah konvensional adalah : 1. Memerlukan lahan yang luas. 2. Kriteria desain dan operasi masih belum jelas. 3. Kompleksitas biologis dan hidrologis belum dipahami dengan baik. 4. Kemungkinan berkembangnya vektor penyakit dalam sistem constructed wetland seperti nyamuk. II-12

13 2.5.1 Tipe Constructed Wetland Pada dasarnya aliran air dalam sistem constructed wetland terdiri dari dua aliran (EPA, 1988), yaitu aliran permukaan (Free Water Surface) dan aliran bawah permukaan (Subsurface Flow System). Pada subsurface flow system ada dua macam pola aliran yaitu aliran horizontal (Horizontal subsurface flow, HSF), dan aliran vertikal (vertical flow system, VFS) Free Water Surface (FWS) Pada sistem ini air mengalir dari satu kolam ke kolam lain dengan permukaan air yang terbuka. Pada bagian dasar tanah telah dilapisi dengan bahan yang kedap air, misalnya lapisan tanah liat, dan plastik. Pengolahan awal biasanya digunakan terlebih dahulu dan selanjutnya terjadi pengolahan dimana air limbah mengalir pelan melewati batang dan akar tanaman yang ditanam di atas kolam. Proses pengendapan merupakan mekanisme pengolahan utama pada tipe ini. Kolam berisi tanaman terapung, lapisan tanah di dasar kolam berfungsi sebagai media akar. Kedalaman air berkisar dari 0,3 m sampai 0,8 m, tergantung dari tujuan dibangunnya lahan basah buatan ini. dengan debit air limbah cair berkisar m 3 /detik. Bentuk penampang dan pola aliran pada sistem ini dapat dilihat pada Gambar 2.4. Gambar 2.4 Pola aliran pada FWS Sumber: Pada prakteknya, free water system jarang digunakan karena sistem ini dapat menjadi sarang bagi vektor penyakit (seperti nyamuk) serta menimbulkan bau. Jenis constructed wetland yang sering digunakan yaitu HSF dan VSF. II-13

14 Vertical Flow System (VFS) Pada dasarnya tipe ini hampir sama dengan tipe HSF, hanya berbeda pada arah aliran air. Sistem pengalirannya tidak dilakukan secara kontinu tetapi dengan batch. Air limbah cair yang masuk dari atas akan mengalir ke bawah dengan melewati zona akar dengan gaya gravitasi akhirnya keluar dari dasar media. Tipe vertical flow system dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Pola aliran pada VFS Sumber: VFS baik digunakan untuk proses nitrifikasi karena kemampuan transfer oksigen yang tinggi, serta penyisihan BOD dan COD. VFS kurang bagus untuk penyisihan partikel tersuspensi dan dapat mengakibatkan clogging jika pemilihan pasir tidak tepat Horizontal Subsurface Flow (HSF) Horizontal subsurface flow (HSF) berupa kolam atau reservoir yang berisi material dasar yang dipilih secara granulometry dengan tujuan untuk memastikan hydraulic conductivity (media yang digunakan umumnya pasir dan kerikil). Fungsi dari material dasar tersebut untuk mendukung pertumbuhan akar. Dasar kolam harus kedap air dengan tujuan untuk mencegah terjadinya presipitasi ke dalam tanah sebelum sempat diolah pada constructed wetland, biasanya dilapisi dengan tanah liat atau membran sintetis (HDPE atau LDPE 2 mm). Dasar constructed wetland biasanya diberi slope (sekiatr 1%) untuk memastikan pada constructed wetland terjadi aliran dari inlet ke outlet. Tipe horizontal subsurface flow dapat dilihat pada Gambar 2.6. II-14

15 Gambar 2.6 Pola aliran pada HSF Sumber: Kedalaman media berkisar antara 0,3-0,6 m. Tinggi permukaan air dipertahankan selalu berada sekitar 15 cm di bawah permukaan media dengan mengatur ketinggian outlet agar berada di bawah permukaan media. Tanah atau media dalam HSF akan menjadi anaerob karena penggenangan yang terus menerus. Vegetasi dari HSF ini ditanam di media lapisan paling atas. Tanaman yang berada di atas media memilki kemampuan dalam mengadsorbsi oksigen dengan menggunakan daun dan batang yang berada diatas permukaan media. Oksigen ditransfer ke akar sehingga keadaan di sekitar akar dapat menjadi aerob. Tanaman dapat mentransfer oksigen sekitar 5-45 g oksigen per hari per meter persegi luas permukaan constructed wetland, tergantung pada kepadatan tanaman dan oxygen stress levels pada zona akar. Sebagian dari oksigen yang berada di dalam akar dapat mencapai permukaan akar atau rhizome sehingga membentuk aerobic microsites. Aerobic microsites dapat membantu proses aerobik yang terjadi pada mikroorganisme, seperti proses nitrifikasi. Untuk meningkatkan efisiensi HSF sangat penting untuk memperluas penetrasi akar ke dalam media sehingga menciptakan kontak yang lebih besar antara akar dan limbah. Keuntungan dari tipe HSF ini adalah tidak adanya genangan air yang dapat menimbulkan bau dan menjadi tempat nyamuk berkembang biak. HSF baik digunakan untuk penyisihan partikel tersuspensi karena kemampuannya untuk menyaring, penyisihan BOD, dan denitrifikasi (selama masih tersedia oksigen dalam bentuk nitrat). Bila didesain dan dibuat konstruksi yang baik operasinya II-15

16 akan mudah dan proses pengolahannya berjalan secara alamiah dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu tahun. Kekurangan dari HSF yaitu tidak bagus untuk proses nitrifikasi karena keterbatasan kemampuan transfer oksigen. Selain itu bakteri menghasilkan biofilm yang dapat menyumbat pori-pori media sehingga menyebabkan clogging. Sering terjadi aliran pendek yang menyebabkan menurunnya efisiensi pengolahan. HSF tidak cocok digunakan untuk pengolahan air limbah yang mempunyai beban suspended solid sangat tinggi. Oleh karena itu dianjurkan adanya unit pengolahan pendahuluan seperi bak sedimentasi, tangki septik, tangki imhoff, dll. Biaya konstruksi yang dibutuhkan untuk tipe ini juga jauh lebih tinggi dari tipe free water surface. Untuk mendesain wetland horizontal subsurface flow ada beberapa kriteria desain yang telah ditetapkan melalui beberapa percobaan. Pada Tabel 2.4 dapat dilihat kriteria desain yang dapat digunakan pada susbsurface wetland. Tabel 2.4 Kriteria Desain Pada Horizontal Subsurface Flow Parameter Desain Waktu detensi hidrolis Satuan Metcalf Eddy, 1991 Hari 4-15 Crites & Tchobanouglous, (BOD) 6-10 (N) Tinggi muka air Cm Beban BOD g/m2.h <6,65 <11,2 Beban hidrolis m3/m2.h 0,014-0,047 - Berdasarkan US-EPA (1993) langkah pertama yang perlu diketahui untuk mendesain constructed wetland yaitu menghitung nilai K T yang berguna untuk menentukan luas permukaan constructed wetland. K T merupakan konstanta temperatur yang diperoleh dari konversi konstanta pada saat suhu 20 o C dengan faktor koreksi 1,1. Persamaan untuk menghitung nilai K T dapat dilihat pada persamaan 2-1. Suhu yang digunakan untuk menghitung nilai K T yaitu suhu terendah yang dimiliki oleh limbah cair pada saat musim dingin. Hal ini dilakukan karena pada saat musim dingin, aktivitas penguraian zat organik oleh II-16

17 mikroorganisme berjalan lambat Sehingga akan dibutuhkan waktu detensi lebih lama untuk menghasilkan efluen yang diinginkan. K T = K 20 (1,06) (T-20) (2-1) (USEPA, 1993) K T = konstanta temperatur (/hari) K 20 = 1,104/hari T = suhu air ( o C) Nilai K T yang diperoleh dapat digunakan untuk menghitung waktu detensi (t) untuk penyisihan BOD serta luas permukaan dengan menggunakan rumus 2-2 dan 2-3. Ada beberapa literatur yang langsung memberikan nilai K T sehingga persamaan 2-4 langsung dapat digunakan. Menurut (Arceivala,1998), nilai K T untuk daerah yang hangat seperti India memiliki nilai K T berkisar 0,18-0,2/hari. Namun, data ini masih harus diteliti lebih lanjut. t = ln( C / C ) e o (2-2) K T Qt A S = dn (2-3) Persamaan 2-2 dan 2-3 dapat ditulis menjadi persamaan 2-4. Untuk nilai n dapat dilihat pada Tabel 2.4. A S = Q(ln Co ln Ce ) K dn A S = luas permukaan constructed wetland (m 2 ) Q = debit (m 3 /hari) C e = efluen BOD (mg/l) C o = influen BOD (mg/l) K T = konstanta temperatur (/hari) d = kedalaman media (m) n = porositas media T (2-4) Untuk penampang melintang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2-5. Nilai K s dapat dilihat pada Tabel 2.5. II-17

18 A c = Q K S s (2-5) A C = luas penampang constructed wetland (m 2 ) Q = debit (m 3 /hari) K S = Hydraulic konductivity (m 3 /m 2 /hari) S = Slope Setelah memperoleh nilai A c dapat dihitung lebar constructed wetland (W) dengan menggunakan persamaan 2-6. Serta juga dapat diperoleh panjang constructed wetland (L) dengan menggunakan persamaan 2-7. W = A C / d (2-6) L = A S / W (2-7) Setelah dimensi constructed wetland dan debit diketahui maka dapat dihitung waktu detensi (t) yang digunakan pada constructed wetland dengan menggunakan persamaan 2-8. t LWdn (2-8) Q Tabel 2.5 Karakteristik Media pada Subsurface Flow System Tipe media Max 10% Ukuran butiran (mm) Porositas (n) (%) K s (m 3 /m 2 /hari) Coarse Sand Gravelly Sand Fine Gravel Medium Gravel Coarse Rock 128 Sumber: USEPA, Komponen-komponen Constructed wetland Agar pengolahan air limbah efektif maka constructed wetland membutuhkan beberapa komponen penting (Hammer, 1989), yaitu: 1. Substrat/ media (tanah, pasir, kerikil, dll) dengan berbagai tingkat konduktivitas hidrologis. II-18

19 2. Tumbuhan akuatik, baik yang tumbuh melekat pada substrat maupun yang mengapung dalam air. 3. Genangan air baik yang mengalir di atas atau di bawah permukaan tanah. 4. Mikroorganisme aerob dan anaerob. 5. Hewan yang bertulang belakang dan tidak bertulang belakang. Komponen biotik dan abiotik pada constructed wetland saling berinteraksi membentuk keseimbangan jaring-jaring makanan dan perpindahan energi. Ketika air limbah masuk ke dalam sistem tersebut, bahan pencemar yang terkandung di dalamnya akan menjadi salah satu bahan baku dalam mata rantai makanan yang akan didegradasi oleh mikroorganisme dan diserap oleh tanaman Substrat/Media Substrat/media yang sering digunakan dalam constructed wetland adalah tanah, pasir, kerikil. Media ini mempunyai nilai konduktivitas tertentu yang akan mempengaruhi waktu detensi sistem. Konduktivitas hidrolis merupakan kemampuan media untuk menghantarkan atau melewatkan cairan. Semakin besar nilai konduktivitas maka nilai waktu detensi semakin kecil. Pemilihan media yang akan digunakan tergantung pada karakteristik air limbah, tujuan utama pengolahan yang diinginkan, dan karakteristik desain yang akan digunakan. Masing-masing media memiliki kelebihan dan kekurangan tertentu sehingga pada prakteknya seringkali digunakan kombinasi dari beberapa media. Tanah baik untuk pertumbuhan tanaman, menyediakan dukungan fisik yang diperlukan bagi sistem perakaran dan juga berfungsi sebagai reservoir udara, air, dan nutrien yang juga penting bagi tanaman. Tanah juga dapat menyerap senyawa- senyawa organik dan nutrien yang terdapat pada air buangan (tanah liat sering digunakan sebagai media untuk penyisihan fosfor). Pasir baik untuk pertumbuhan tanaman, penetrasi akar tanaman dapat menjadi lebih dalam. Media pasir akan cepat mengalami clogging jika beban suspended solid pada air buangan cukup tinggi. Kerikil dapat mengatasi masalah clogging, akan tetapi kurang baik untuk aktivitas dan perkembangbiakan bakteri dibandingkan tanah dan pasir. II-19

20 Vegetasi dalam Constructed Wetland Tanaman adalah komponen penting dalam constructed wetland yaitu mentransfer oksigen melalui akar dan sistem rhizome menuju bagian dasar media dan meyediakan suatu media di bawah air untuk tempat melekatnya mikroorganisme. Selain itu tanaman air juga menyerap bahan pencemar dari air limbah untuk menjadi biomassa yang dapat bernilai ekonomis tergantung jenis tanamannya. Beberapa tanaman air dapat menyerap zat-zat organik dan beberapa komponen organik dalam air. Tanaman akan melahirkan suatu micro ecosystem yang menghasilkan sinergi yang positif terhadap proses pengolahan limbah. Tanaman tersebut mengarsorbsi dan meleburkan material-material terlarut tersebut ke dalam struktur metabolisme mereka sendiri. Kadar unsur hara anorganik ideal yang dibutuhkan oleh tanaman ditunjukkan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 Kadar Unsur Hara Anorganik Ideal yang Dibutuhkan Tanaman Unsur hara anorganik Nitrat (sebagai N) Ammonia nitrogen (sebagai N) Fosfor (sebagai P) Kalium Kalsium Magnesium Besi Mangan Natrium Klor Sumber : Wheatley, 1987 Komposisi ideal bagi tanaman (mg/l) , Fungsi tanaman air dalam pengolahan air limbah dengan constructed wetland adalah sebagai berikut : 1. Akar atau batang yang terendam dalam air : sebagai tempat tumbuhnya bakteri sebagai media absorbsi dan filtrasi dari solid 2. Batang atau daun pada atau di atas permukaan air : mengurangi sinar matahari sehingga dapat mencegah pertumbuhan alga II-20

21 mengurangi efek angin dari air meningkatkan transfer oksigen ke akar Tujuan utama pemanfaatan tanaman ini adalah untuk menjaga kondisi konduktivitas hidrolis dari bidang pengolahan dan menyediakan sarana transfer oksigen dari udara ke akar. Tanaman mengkonversi energi sinar matahari menjadi energi kimia dan membawa oksigen dari permukaan daun dan batang untuk dilepaskan di akar, sehingga dapat memungkinkan terjadinya degradasi senyawa organik dan anorganik. Zona akar tanaman pada constructed wetland dapat dilahat pada Gambar 2.7. Gambar 2.7 Zona akar tanaman pada wetland (Sumber : wetland /wastewater treatment system.com) Pada daerah akar terjadi degradasi materi organik secara aerob dan anaerob. Selama limbah cair melewati rizosfer dari tanaman, materi organik akan terdekomposisi akibat aktivitas mikroba, nitrogen terdenitrifikasi, jika tersedia materi organik yang cukup, phosphor dan logam berat akan teradsorpsi oleh media. Vegetasi berperan sebagai tempat terjadinya proses penguraian dengan pengembangan mikroba aerobik pada rizosfer dan transfer oksigen dari atmosfer ke bagian akar serta mengisi pori-pori tanah dengan oksigen mengakibatkan terjadinya proses oksidasi yang baik pada limbah cair. II-21

22 Mikroorganisme Beberapa jenis mikroorganisme yang terdapat dalam construced wetland antara lain bakteri aerob dan anaerob, actinomycetes, jamur, dan alga. Distribusi mikroorganisme pada profil memanjang tanah dapat dilihat pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Distribusi Mikroorganisme pada Profil Memanjang Tanah Kedalaman Bakteri (cm) Aerob Sumber : Alexander, 1961 Organisme / gr tanah *10 3 Bakteri Anaerob Actinomycetes Jamur Alga , ,1 0,4-3 - Bakteri Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme dalam tanah yang paling dominan dan lebih setengah dari biomassa mikroba dalam tanah. Bakteri terdapat dalam segala tipe tanah tetapi populasinya menurun dengan bertambahnya kedalaman. Dalam kondisi anaerob, bakteri mendominasi tempat dan melaksanakan kegiatan mikrobiologi dalam tanah karena jamur dan actinomycetes tidak dapat tumbuh baik tanpa adanya oksigen. Ketika bahan pencemar memasuki sistem constructed wetland, bakteri yang ingin memperoleh energi akan menguraikan bahan pencemar yang kompleks seperti senyawa organik untuk menjadi senyawa yang lebih sederhana dan dapat diserap oleh tumbuhan. Bakteri aerob menguraikan bahan organik dengan menggunakan oksigen dan menghasilkan air, karbondioksida, dan energi. Bakteri anaerob menggunakan ion nitrat dan sulfat untuk menguraikan bahan organik dan hasil yang diperoleh adalah karbondioksida, energi, gas nitrogen bagi bakteri yang menggunakan ion nitrat, atau gas asam sulfida bagi bakteri yang menggunakan ion sulfat. Bakteri fakultatif dapat mencerna bahan organik baik dalam keadaan ada oksigen maupun tidak ada oksigen. Bakteri fakultatif bersama dengan bakteri anaerob menguraikan senyawa-senyawa organik menjadi gas metana, karbondioksida, dan energi. II-22

23 Jamur Jamur memiliki kemampuan menguraikan bahan organik sisa-sisa makhluk hidup dengan cara menggunakan enzim untuk menjadi senyawa yang lebih sederhana dan menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Bersama-sama dengan bakteri, jamur merupakan organisme yang berperan mengembalikan bahan yang terbentuk dari sintesa oleh tumbuhan dan hewan tingkat tinggi untuk kembali menjadi senyawa yang sederhana. Dalam lingkungan air, jamur hifomisetes mampu menguraikan sisa-sisa tumbuhan yang mengandung lignin untuk menjadi senyawa yang lebih sederhana yang memudahkan mikroorganisme untuk mengkonsumsinya. Tanpa organisme pengurai ini bahan organik tersebut akan bertahan lama di lingkungan. Actinomycetes Actinomycetes adalah organisme tanah yang memiliki sifat-sifat mirip bakteri dan jamur, tetapi juga mempunyai ciri khas cukup berbeda yang menjadikannya menjadi satu kelompok yang berbeda. Kelompok ini memiliki kemiripan dengan jamur tidak sempurna, dalam hal medium aerialnya yang membentuk spora sebanyak-banyaknya dan dalam hal pembentukan suatu gumpalan atau butiran yang jelas dalam kultur cair. Actinomycetes berbeda dari jamur dalam hal komposisi dinding selnya. Actinomycetes tidak memiliki kitin dan selulosa yang umum dijumpai dalam dinding sel jamur. Actinomycetes hadir secara luas dalam tanah maupun air dan hampir semuanya aerobik. Jumlah actinomycetes meningkat dengan adanya bahan organik yang mengalami dekomposisi. Biasanya actinomycetes tidak toleran terhadap asam dan jumlahnya menurun pada ph 5,0. Rentang ph yang optimum adalah antara 6,5-8,0. Algae Pada umumnya alga bersel banyak dan hanya beberapa diantaranya yang bersel tunggal. Kebanyakan organisme ini hidup dalam air dan merupakan produsen zat organik terbesar dalam lingkungan akuatik. Zat-zat anorganik seperti karbondioksida, ammonia, nitrat, dan fosfat merupakan sumber makanan baku bagi algae untuk membentuk sel-sel baru dan memproduksi oksigen. Alga dapat berupa sel tunggal yang mungkin bergerak (motile) dengan bantuan flagellata atau II-23

24 diam (non motile), atau dapat juga berupa jaringan sel banyak. Alga dan bakteri yang hidup dalam lingkungan yang sama tidak akan berkompetisi dalam hal memperoleh makanan, bahkan mereka mempunyai simbiose, yaitu alga memanfaatkan end-product dari dekomposisi zat organik yang dilakukan oleh bakteri dan alga menghasilkan oksigen untuk menjaga kondisi aerobik yang diperlukan oleh bakteri Kehidupan hewan Sistem constructed wetland sangat mendukung kehidupan hewan, baik hewan bersel tunggal maupun bersel jamak. Hewan-hewan besel tunggal seperti protozoa dan flagellate mengkonsumsi bakteri, alga, protozoa lain yang lebih kecil, dan partikel organik padat yang tesuspensi dalam air. Karena itu, organisme bersel tunggal juga berperan serta dalam pengolahan air limbah pada sistem constructed wetland Mekanisme Penyisihan Parameter Pencemar Prinsip utama pengolahan dalam constructed wetland adalah memanfaatkan mikroorganisme dan tanaman dalam menguraikan limbah. Air limbah yang dialirkan ke media constructed wetland, akan diserap dan dicerna oleh mikroorganisme dan tanaman air yang hidup dalam constructed wetland. Tumbuhan yang hidup di constructed wetland membutuhkan unsur hara yang terkandung dalam air. Selain itu rapatnya tumbuhan akuatik memperlambat aliran air yang masuk ke perairan sehingga membantu proses pengendapan partikel tersuspensi dalam air buangan. Secara tidak langsung tanaman berperan penting dalam mendukung kehidupan mokroorganisme pengurai limbah seperti bakteri, jamur, alga, dan protozoa. Batang, cabang, daun, dan akar tanaman akuatik menyediakan kebutuhan oksigen untuk mikroorganisme dan habitat bagi tempat hidup dan berkembangnya mikroorganisme. Akar tanaman akuatik di dalam media tanah akan mengeluarkan oksigen sehingga akan terbentuk zona rhizosfer yang kaya oksigen. Zona rhizosfer ini II-24

25 akan terbentuk di seluruh permukaan rambut akar, sehingga semakin besar luas permukaan akar maka zona rhizosfer yang terbentuk akan semakin besar. Oksigen akan mengalir ke akar melalui batang setelah berdifusi dari atmosfer melalui poripori daun (Brix, 1987). Diperkirakan oksigen yang dilepas oleh akar tumbuan akuatik berkisar antara 5-45 mg tiap satu meter persegi luas permukaan akar (Reed, et, al, 1995). Tumbuhan akuatik mampu memasok oksigen ke dalam tanah di bawah permukaan air sebanyak 0,2-10 cm 3 oksigen per batang per menit (Brix, et al, 1992) Dalam constructed wetland terdapat suatu saling ketergantungan yang erat antara tanaman dan mikroorgansime. Tanaman menyediakan tempat hidup dan memasok oksigen ke dalam media sehingga membantu mikroorganisme dalam mendegradasai bahan pencemar. Sebaliknya tumbuhan membutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan pencemar menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Ditinjau secara fisik kimiawi, dan biologis, mekanisme penyisihan bahan pencemar dari air buangan dapat terjadi melalui proses-proses berikut (Wildeman dan Laudon, 1989) : 1. Filtrasi suspended solid dan koloidal yang terdapat dalam air. 2. Asimilasi bahan pencemar ke dalam jaringan akar dan daun tanaman. 3. Pengikatan bahan pencemar dengan substrat seperti tanah dan pasir. 4. Presipitasi dan netralisasi melalui pembentukan NH 3 dan HCO - 3 (bikarbonat) dari penguraian bahan biologis oleh aktivitas bakteri. 5. Presipitasi logam dengan oksidasi dan reduksi yang dikatalisir oleh aktivitas bakteri. Proses di atas dapat terjadi secara simultan, atau didominasi oleh salah satu diantaranya tergantung dari keadaan fisik, kimia, dan biologis yang terdapat di lingkungan constructed wetland.beberapa mekanisme penghilangan bahan pencemar dan bahan pencemar yang diolah ditunjukkan pada Tabel 2.8 II-25

26 Tabel 2.8 Mekanisme Penghilangan Bahan Pencemar dalam Wetland Mekanisme Bahan Pencemar (a) Keterangan Fisika: * Sedimentasi P -Partikel padat yang dapat mengendap Pengaruh gravitasi bumi S -Koloida partikel padat I -BOD, nitrogen, fosfor, logam berat, bahan organic yang sukar terurai, bakteri dan virus * Penyaringan S -Partikel padat yang dapat mengendap Partikel tersaring secara mekanis ketika air melewati substrat/media, massa akar, atau fauna air. Mekanisme Bahan Pencemar (a) Keterangan Kimiawi : * Presipitasi P -Fosfor, logam berat Pembentukan partikel padat dalam bentuk yang tidak terlarut atau bersama-sama dengan bahan lain (ko-presipitasi) * Adsorbsi P -Fosfor, logam berat Adsorpsi pada permukaan S -Bahan organik yang sukar terurai substrat/media atau tanaman * Penguraian P -Bahan organik yang sukar terurai Proses penguraian senyawa yang kurang stabil karena pengaruh sinar matahari, oksidasi, dan reduksi Biologi: Penghilangan koloida partikel padat oleh bentos yang P -Koloida partikel padat, BOD, nitrogen, tersuspensi dalam air. Degradasi * Metabolisme bahan organik yang sukar terurai, logam senyawa organic oleh mikroba. mikroba berat. Nitrifikasi dan denitrifikasi oleh bakteri. Oksidasi logam yang diperantarai oleh mikroba. * Metabolisme tanaman (b) * Absorbsi oleh tanaman S -Bahan organik yang sukar terurai, bakteri, dan virus S -Nitrogen, fosfor, logam berat, bahan organik yang sukar terurai * Kematian alami P -Bakteri dan virus Sumber : Stowell, et al., 1980 Pengangkatan dan metabolisme bahan organik oleh tanaman. Sejumlah eskskresi oleh akar bersifat toksik bagi organisme yang berasal dari usus manusia/ Dalam keadaan yang sesuai, bahan-bahan pencemar tersebut akan diserap oleh tanaman dalam jumlah yang signifikan. Dalam lingkungan yang tidak mendukung, organisme tersebut akan mengalami kematian. Keterangan : (a) P: efek primer, S: efek sekunder, I: efek tambahan (efek sampingan yang terjadi bersamaan dengan proses penghilangan bahan pencemar lain) (b) Metabolisme termasuk reaksi biosintesis dan katabolisme II-26

27 Constructed wetland memiliki kemampuan untuk mengolah berbagai air limbah domestik dan non domestik (pertanian dan peternakan, tambak, pertambangan, leachate landfill, air limbah rumah sakit, dan lain-lain). Kemampuan constructed wetland dipengaruhi oleh iklim dan temperatur. Perbandingan kemampuan constructed wetland dalam menyisihkan beberapa parameter pencemar di daerah empat musim dan daerah tropis dapat dilihat pada Tabel 2.9. Tabel 2.9 Kemampuan Constructed Wetland dalam Menyisihkan Parameter Pencemar Parameter BOD COD T-N T-P Coliform Sumber: Meutia, 2002 Efisiensi Penyisihan (%) Daerah empat musim Daerah tropis Kemampuan constructed wetland di daerah tropis lebih baik karena tidak adanya musim dingin yang menurunkan aktivitas mikroorganisme dan tanaman. Khususnya untuk penyisihan senyawa nitrogen dan fosfor, constructed wetland di daerah tropis mempunyai kemampuan lebih tinggi daripada yang berada di daerah empat musim (Meutia, diambil dari TA Sonie, 2007) Penyisihan Suspended Solid Penyisihan suspended solid terjadi melalui proses sedimentasi dan filtrasi. Pengendapan partikulat yang diakibatkan oleh gaya gravitasi dikategorikan sebagai pengendapan diskrit atau pengendapan flokulan. Pemisahan ini tergantung pada ukuran partikel, massa jenis, bentuk, massa jenis fluida, dan viskositas. Pengendapan diskrit tidak dipengaruhi oleh partikel lain, perubahan ukuran atau densitas. Sedimentasi pada sistem constructed wetland aliran horiozontal menjadi lebih efektif karena kecepatan aliran yang rendah, luas permukaan yang besar, adsorbsi pada biofilm yang melekat pada media dan sistem akar. II-27

28 Mekanisme filtrasi pada sistem constructed wetland tergantung pada ukuran solid dan media yang digunakan pada constructed wetland. Jika ukuran media yng digunakan semakin kecil maka efisiensi filtrasi semakin besar. Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan total solid dapat dilihat pada Tabel Tabel 2.10 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihkan Total Solid Reaktor COD Influen ABR (mg/l) HRT (hari) Influen (mg/l) Effluent (mg/l) Efisiensi (%) HSF bersekat Sagittaria lancifolia HSF bersekat Sagittaria lancifolia HSF tanpa sekat Sagittaria lancifolia , , , , , ,41 HSF tanpa sekat 600 Sagittaria lancifolia Sumber : Sonie, , , Penyisihan Senyawa Organik Konversi biokimia merupakan mekanisme yang sangat penting dalam degradasi senyawa organik dalam constructed wetland. Penyisihan senyawa organik dapat melalui mineralisasi dan pembentukan biomassa yang baru. Mikroorganisme akan mengkonsumsi senyawa organik untuk bertahan hidup dan reproduksi. Senyawa organik menjadi sumber energi untuk sintesa biomassa. Metabolisme dapat terjadi secara aerobik dan anaerobik tergantung pada tersedianya oksigen. Metabolisme aerobik merupakan konversi yang lebih efisien. Reaksi anoxic (respirasi anaerobik) menggunakan nitrat, karbonat, dan sulfat sebagai akseptor elektron (seperti fungsi oksigen pada reaksi aerob). II-28

29 Senyawa organik dapat ditetapkan dengan COD (Chemical Oksygen Demand) yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa organik secara kimia dan BOD (Biochemical Oxygen Demand) yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri selama penguraian senyawa organik pada kondisi aerob. Pada oksidasi materi organik secara aerob, karbon merupakan sumber energi bagi bakteri yang akan direspirasikan dalam bentuk karbondioksida. Bakteri tersebut menggunakan sisa karbon bersama dengan fosfor dan nitrogen membentuk sel-sel baru dan sebagian menjadi energi. Oksigen berfungsi sebagai akseptor elektron selama oksidasi zat organik berlangsung dan reaksi akan terhenti jika oksigen tidak tersedia. Meknisme dekomposisi anaerob merupakan mekanisme yang sangat kompleks. Proses yang terjadi terdiri dari 2 tahap. Pada tahap pertama yang dikenal sebagai tahap fermentasi asam, zat organik kompleks akan didegradasi menjadi asam berantai lebih pendek, alkohol, aldehid, dan lain-lain. Kemudian pada tahap kedua yang dikenal sebagai fermentasi metan, materi pada tahap pertama dikonversikan menjadi gas metan (CH 4 ), ammonia (NH 3 ), karbondioksida (CO 2 ), dan hidrogen (H 2 ). Seperti halnya proses aerob, proses anaerob mengkonversi karbon, nitrogen, fosfor, dan nutrien lainnya menjadi selsel baru. Kemampuan constructed wetland yang sudah diterapkan di berbagai tempat baik skala lapangan, pilot project, maupun skala laboratorium untuk penyisihan COD dapat dilihat pada Tabel Pada Tabel dapat dilihat bahwa penyisihan COD cukup tinggi baik untuk constructed wetland skala lapangan maupun skala pilot project. Tabel 2.11 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan COD Jenis Air Sistem Konsentrasi Penyisihan Keterangan Limbah Pengolahan Awal (mg/l) Domestik Vertikal 467 mg/l 92 % CW Hof Mohr, Jerman Horizontal, dgn 98 % CW Germerswang, Domestik 393 Phragmites Jerman Industri Kombinasi, dgn Skala pilot project, % Kentang Typha, Scirpus stage, USA Leachate Horizontal, dgn Skala pilot project, % Landfill Phragmites stage, Slovenia II-29

30 Jenis Air Limbah Limbah Pertanian Domestik Limbah Rumah Sakit *Limbah Domestik ** Limbah RPH, Tahu Sistem Pengolahan Kombinasi, dgn Phragmites Horizontal, dgn Typha Kombinasi, dgn Phragmites Horizontal, dgn Typha, kangkung HSF bersekat (td=5 hari), dgn Sagittari lancifolia Konsentrasi Awal (mg/l) Penyi sihan ,6 % ,5 % Keterangan CW Rugeley, 4 satge, UK. 1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya % 2 stage, Nepal % ,82-84,38% Sumber: Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, stage&kolam ikan, Pesantren Arafah. Kab Bandung Skala lab, 2 stage, Dago Bengkok Bandung Kemampuan constructed wetland untuk menyisihkan BOD dapat dilihat pada Tabel Kemampuan constructed wetland dalam penyisihan BOD cukup tinggi. Jenis Air Limbah Domestik Leachate Landfill Limbah Pertanian Domestik Limbah Rumah Sakit *Limbah Lab. Kimia *Limbah Lab. Kimia *Limbah Domestik ** Limbah RPH, Tahu Tabel 2.12 Kemampuan Constructed Wetland Menyisihan BOD Sistem Pengolahan Horizontal, dgn Phragmites Horizontal, dgn Phragmites Kombinasi, dgn Phragmites Horizontal, dgn Typha Kombinasi, dgn Phragmites Horizontal bawah permukaan Horizontal permukaan (FWS) Horizontal, dgn Typha, kangkung HSF bersekat (td=5 hari), dgn Sagittari lancifolia Konsentrasi Awal (mg/l) Penyisihan Keterangan % CW Germerswang, Jerman % Skala pilot project, 2 satage, Slovenia ,3 % CW Rugeley, 4 satge, UK ,4 % 1 stage & 3 kolam stabilisasi, Kenya % 2 stage, Nepal 50 95% 50 94% % Skala lab, 2 stage, LIPI Cibinong Skala lab, 2 stage, LIPI Cibinong 2 stage, kolam ikan, Pesantren Arafah. Kab Bandung 58,5 85,14% Skala lab, 2 stage, Dago Bengkok Bandung Sumber: Haberl, R. (1997) & Cooper, P (1998) * Meutia, 2002 ** Sonie, 2007 II-30

31 Penyisihan Nitrogen Secara umum tanaman menyerap nitrogen, tetapi peran tanaman pada constructed wetland secara langsung dalam penghilangan senyawa nitrogen relatif kecil. Penyerapan nitrogen oleh tanaman yang tumbuh di constructed wetland hanya berkisar sekitar % dari senyawa nitrogen yang terlarut di dalam air (Gersbeg, 1983). Sebagian besar penghilangan senyawa nitrogen dilakukan oleh bakteri melalui proses amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi. Tanaman akuatik mempunyai peran yang tidak langsung tetapi sangat penting dalam proses tersebut yaitu sebagai tempat pelengketan mikroorganisme dan menyuplai oksigen melalui akar sehingga mendukung pertumbuhan bakteri aerob. Sisa-sisa bagian tanaman yang mati menjadi sumber karbon organik yang diperlukan oleh bakteri sebagai sumber energi dalam proses denitrifikasi, yaitu perubahan nitrat menjadi gas N 2. Selain proses biologis, proses penghilanagn senyawa nitrogen dalam constructed wetland juga terjadi melalui volatisasi ion ammonium (NH + 4 ) menjadi gas NH 3 bila ph lebih besar dari 8; sedimentasi dan penyaringan partikel padat yang mengandung nitrogen; serta proses adsorbsi ion ammonium ke dalam sedimen organik dan anorganik melalui pertukaran ion (Liehr, et al., 2000) Nitrifikasi Nitrifikasi merupakan bio-oksidasi ammonia menjadi nitrat, konversi tersebut merupakan suatu proses dua tahap yang dilakukan oleh dua kelompok bakteri yang sejenis yang memperoleh karbon dari karbondioksida dan energinya dari oksidasi senyawa anorganik (dalam hal ini ammonia dan nitrat). Bakteri tersebut adalah Nitrosomonas yang mengoksidasi ammonia menjadi nitrit, dan Nitrobakter yang mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Reaksi berlangsung pada kondisi aerobik. Nitrat merupakan senyawa stabil dan dapat berada pada air dan juga pada endapan. Nitrat tersebut diabsorbsi oleh tanaman atau mikroba pada proses reduksi nitrat. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut: Nitrosomonas 55 NH O 2 + 5CO 2 C 5 H 7 NO NO H 2 O H + Sel Bakteri II-31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Diagram alir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Studi Literatur. Pembuatan Reaktor.

BAB III METODOLOGI. Diagram alir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Studi Literatur. Pembuatan Reaktor. BAB III METODOLOGI 3.1 Tahapan Penelitian Diagram alir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. Studi Literatur Penyiapan Alat dan Bahan Penelitian Pemilihan Tanaman Pembuatan Reaktor Tahap Penjenuhan

Lebih terperinci

APLIKASI WETLAND. Prayatni Soewondo PRODI TEKNIK LINGKUNGAN, FTSL, ITB

APLIKASI WETLAND. Prayatni Soewondo PRODI TEKNIK LINGKUNGAN, FTSL, ITB APLIKASI WETLAND Prayatni Soewondo PRODI TEKNIK LINGKUNGAN, FTSL, ITB PEMBAHASAN: Teori: - Difinisi Wetland - Type-Type Wetland - Konstruksi Wetland Penerapan Wetland: - Skala lab - Skala Lapangan WETLAND

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA. A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan

BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA. A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan BAB III PENCEMARAN SUNGAI YANG DIAKIBATKAN OLEH LIMBAH INDUSTRI RUMAH TANGGA A. Penyebab dan Akibat Terjadinya Pencemaran Sungai yang diakibatkan Industri Tahu 1. Faktor Penyebab Terjadinya Pencemaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri pembuatan tahu dalam setiap tahapan prosesnya menggunakan air dengan jumlah yang relatif banyak. Artinya proses akhir dari pembuatan tahu selain memproduksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor seperti pariwisata, industri, kegiatan rumah tangga (domestik) dan sebagainya akan meningkatkan

Lebih terperinci

MODIFIKASI SUBSURFACE WETLAND PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR RPH DAN INDUSTRI TAHU

MODIFIKASI SUBSURFACE WETLAND PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR RPH DAN INDUSTRI TAHU Modifikasi Subsurface Wetland (Rakhmi Sonie) MODIFIKASI SUBSURFACE WETLAND PADA PENGOLAHAN LIMBAH CAIR RPH DAN INDUSTRI TAHU MODIFICATION OF SUBSURFACE WETLAND FOR SLAUGHTER HOUSE S AND TOFU INDUSTRY S

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Limbah merupakan sisa suatu kegiatan atau proses produksi yang antara lain dihasilkan dari kegiatan rumah tangga, industri, pertambangan dan rumah sakit. Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN

Buku Panduan Operasional IPAL Gedung Sophie Paris Indonesia I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi jasa di DKI Jakarta, kualitas lingkungan hidup juga menurun akibat pencemaran. Pemukiman yang padat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian Penelitian biofiltrasi ini targetnya adalah dapat meningkatkan kualitas air baku IPA Taman Kota Sehingga masuk baku mutu Pergub 582 tahun 1995 golongan B yakni

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir-hampir 0,1% dari padanya berupa benda-benda

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

: Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya

: Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya Topik : Limbah Cair dan Cara Pengelolaannya Tujuan : 1. Mahasiswa memahami sumber-sumber dan macam-macam limbah cair 2. Mahasiswa memahami karakteristik limbah cair 3. Mahasiswa memahami teknologi pengolahan

Lebih terperinci

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI TEPUNG BERAS 13.1. Pendahuluan Tepung beras merupakan bahan baku makanan yang sangat luas sekali penggunaannya. Tepung beras dipakai sebagai bahan pembuat roti, mie dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air limbah merupakan air sisa dari suatu kegiatan dan biasanya air limbah dibuang ke sungai, sedangkan air sungai menjadi salah satu sumber air bagi kehidupan mahluk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakaian. Penyebab maraknya usaha laundry yaitu kesibukan akan aktifitas sehari-hari

BAB 1 PENDAHULUAN. pakaian. Penyebab maraknya usaha laundry yaitu kesibukan akan aktifitas sehari-hari BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laundry adalah salah satu penyedia jasa layanan dalam hal cuci mencuci pakaian. Penyebab maraknya usaha laundry yaitu kesibukan akan aktifitas sehari-hari yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Limbah berbahaya adalah limbah yang mempunyai sifat-sifat antara lain

I. PENDAHULUAN. Limbah berbahaya adalah limbah yang mempunyai sifat-sifat antara lain I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aktivitas manusia yang semakin beragam di berbagai sektor sekarang ini sehingga menimbulkan dampak positif dan dampak negatif, salah satu dampak negatif dari aktivitas

Lebih terperinci

BAB V ANALISA AIR LIMBAH

BAB V ANALISA AIR LIMBAH BAB V ANALISA AIR LIMBAH Analisa air limbah merupakan cara untuk mengetahui karakteristik dari air limbah yang dihasilkan serta mengetahui cara pengujian dari air limbah yang akan diuji sebagai karakteristik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagai negara yang sedang berkembang, sektor perekonomian di Indonesia tumbuh dengan pesat. Pola perekonomian yang ada di Indonesia juga berubah, dari yang

Lebih terperinci

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang OP-18 REKAYASA BAK INTERCEPTOR DENGAN SISTEM TOP AND BOTTOM UNTUK PEMISAHAN MINYAK/LEMAK DALAM AIR LIMBAH KEGIATAN KATERING Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri tahu mempunyai dampak positif yaitu sebagai sumber pendapatan, juga memiliki sisi negatif yaitu berupa limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan oleh semua makhluk hidup. Maka, sumber daya air harus dilindungi agar tetap dapat dimanfaatkan dengan baik oleh

Lebih terperinci

II. PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK GEDUNG SOPHIE PARIS INDONESIA

II. PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK GEDUNG SOPHIE PARIS INDONESIA II. PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK GEDUNG SOPHIE PARIS INDONESIA 2. 1 Pengumpulan Air Limbah Air limbah gedung PT. Sophie Paris Indonesia adalah air limbah domestik karyawan yang berasal dari toilet,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain

I. PENDAHULUAN. kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahu merupakan salah satu jenis makanan sumber protein dengan bahan dasar kacang kedelai yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia. Selain mengandung gizi yang baik,

Lebih terperinci

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL 34 3.1. Uraian Proses Pengolahan Air limbah dari masing-masing unit produksi mula-mula dialirkan ke dalam bak kontrol yang dilengkapi saringan kasar (bar screen) untuk menyaring

Lebih terperinci

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG PERANCANGAN PABRIK PENGOLAHAN LIMBAH Oleh: KELOMPOK 2 M. Husain Kamaluddin 105100200111013 Rezal Dwi Permana Putra 105100201111015 Tri Priyo Utomo 105100201111005 Defanty Nurillamadhan 105100200111010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point

BAB I PENDAHULUAN. pencemaran yang melampui daya dukungnya. Pencemaran yang. mengakibatkan penurunan kualitas air berasal dari limbah terpusat (point BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah yang timbul akibat meningkatnya kegiatan manusia adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampui daya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 85 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa Karakteristik Limbah Pemeriksaan karakteristik limbah cair dilakukan untuk mengetahui parameter apa saja yang terdapat dalam sampel dan menentukan pengaruhnya

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah merupakan konsep buatan dan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia. Di

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberadaan industri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun juga tidak jarang merugikan masyarakat, yaitu berupa timbulnya pencemaran lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 34 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA 4.1 Analisa Kualitas Air Seperti yang di jelaskan di bab bab sebelumnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran penuruan kadar yang terkandung

Lebih terperinci

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan Bab IV Data dan Hasil Pembahasan IV.1. Seeding dan Aklimatisasi Pada tahap awal penelitian, dilakukan seeding mikroorganisme mix culture dengan tujuan untuk memperbanyak jumlahnya dan mengadaptasikan mikroorganisme

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH MAKAN (RESTORAN) DENGAN UNIT AERASI, SEDIMENTASI DAN BIOSAND FILTER

PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH MAKAN (RESTORAN) DENGAN UNIT AERASI, SEDIMENTASI DAN BIOSAND FILTER PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH MAKAN (RESTORAN) DENGAN UNIT AERASI, SEDIMENTASI DAN BIOSAND FILTER Afry Rakhmadany 1, *) dan Nieke Karnaningroem 2) 1)Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air

BAB I PENDAHULUAN. masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya kegiatan manusia akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya adalah tercemarnya air pada sumber-sumber air karena menerima beban pencemaran yang melampaui

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA II.

TINJAUAN PUSTAKA II. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang dari aktifitas manusia maupun proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DENGAN KANDUNGAN AMONIAK TINGGI SECARA BIOLOGI MENGGUNAKAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DENGAN KANDUNGAN AMONIAK TINGGI SECARA BIOLOGI MENGGUNAKAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR) PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DENGAN KANDUNGAN AMONIAK TINGGI SECARA BIOLOGI MENGGUNAKAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR) Marry Fusfita (2309105001), Umi Rofiqah (2309105012) Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, M.Eng

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya sektor industri pertanian meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak

Lebih terperinci

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)  HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri 11 didinginkan. absorbansi diukur pada panjang gelombang 410 nm. Setelah kalibrasi sampel disaring dengan milipore dan ditambahkan 1 ml natrium arsenit. Selanjutnya 5 ml sampel dipipet ke dalam tabung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan. Limbah Cair Industri Tahu COD. Digester Anaerobik 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Kerangka Teori Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu sebagai Energi Terbarukan Limbah Cair Industri Tahu Bahan Organik C/N COD BOD Digester Anaerobik

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand)

Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) BOD (Biochemical Oxygen Demand) Analisa BOD dan COD ANALISA BOD DAN COD (BOD AND COD ANALYSIST) COD (Chemical Oxygen Demand) COD atau kebutuhan oksigen kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi

BAB I PENDAHULUAN. sejauh mana tingkat industrialisasi telah dicapai oleh satu negara. Bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan industri adalah salah satu kegiatan sektor ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi sektor industri terhadap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Sektor perikanan memang unik beberapa karakter yang melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Beberapa tahun terakhir, energi menjadi persoalan yang krusial di dunia, dimana peningkatan permintaan akan energi yang berbanding lurus dengan pertumbuhan populasi

Lebih terperinci

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN

BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN BAB VIII PROSES FOTOSINTESIS, RESPIRASI DAN FIKSASI NITROGEN OLEH TANAMAN 8.1. Fotosintesis Fotosintesis atau fotosintesa merupakan proses pembuatan makanan yang terjadi pada tumbuhan hijau dengan bantuan

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

penelitian ini reaktor yang digunakan adalah reaktor kedua dan ketiga. Adapun

penelitian ini reaktor yang digunakan adalah reaktor kedua dan ketiga. Adapun BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Aerobik Horizontal Roughing Filter dengan menggunakan krikil yang berukuran 10-5 mm untuk menumnkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kandungan nilai gizi yang cukup tinggi. Bahan baku pembuatan tahu adalah

I. PENDAHULUAN. kandungan nilai gizi yang cukup tinggi. Bahan baku pembuatan tahu adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia. Pada tahun 2010 usaha tahu di Indonesia mencapai angka 84.000 unit usaha. Unit

Lebih terperinci

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI SECARA AEROBIC DAN ANOXIC DENGAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI SECARA AEROBIC DAN ANOXIC DENGAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR) PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI SECARA AEROBIC DAN ANOXIC DENGAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR) Beauty S. D. Dewanti (239113) Pembimbing: Dr. Ir. Tontowi Ismail, MS dan Prof. Dr. Ir. Tri Widjaja, M.Eng Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA Tambak udang vannamei masyarakat Desa Poncosari, Srandakan, Bantul merupakan tambak udang milik masyarakat yang berasaskan koperasi dari kelompok tambak yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. peternakan semakin pesat. Daging yang merupakan salah satu produk

BAB I PENDAHULUAN UKDW. peternakan semakin pesat. Daging yang merupakan salah satu produk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dekade terakhir ini kebutuhan masyarakat terhadap produk-produk peternakan semakin pesat. Daging yang merupakan salah satu produk peternakan dihasilkan dari usaha

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan zaman, membuat masyarakat terpacu memberikan kontribusi untuk membangun. Pembangunan yang terjadi tidak hanya dari satu sektor, tetapi banyak

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencuci, air untuk pengairan pertanian, air untuk kolam perikanan, air untuk

BAB I PENDAHULUAN. mencuci, air untuk pengairan pertanian, air untuk kolam perikanan, air untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia di bumi ini. Sesuai dengan kegunaannya, air dipakai sebagai air minum, air untuk mandi dan mencuci, air untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PT. Phapros Tbk, merupakan industri farmasi yang berada di Simongan 131, Semarang. Kegiatan dari industri adalah memproduksi obatobatan. Selain menghasilkan produk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. permintaan pasar akan kebutuhan pangan yang semakin besar. Kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di tengah era globalisasi ini industri pangan mulai berkembang dengan pesat. Perkembangan industri pangan tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN digilib.uns.ac.id BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi Penelitian dan Kondisi Umum Kualitas Air Limbah Penelitian ini terletak di Perumahan Mutihan RT 03/ RW X, Sondakan, Laweyan, Surakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SIRUP, KECAP DAN SAOS

BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SIRUP, KECAP DAN SAOS BAB PENGOLAHAN AIR LIMBAH INDUSTRI SIRUP, KECAP DAN SAOS 12.1. Pendahuluan Seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pesatnya proses industrialisasi, kwalitas lingkungan hidup juga menurun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biogas Biogas menjadi salah satu alternatif dalam pengolahan limbah, khususnya pada bidang peternakan yang setiap hari menyumbangkan limbah. Limbah peternakan tidak akan

Lebih terperinci

BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL

BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL 5.1 Masalah Air Limbah Layanan Kesehatan Air limbah yang berasal dari unit layanan kesehatan misalnya air limbah rumah sakit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Biogas merupakan salah satu energi berupa gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biogas merupakan salah satu energi terbarukan. Bahanbahan yang dapat

Lebih terperinci

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS 6.1 Pre Eksperimen BAB VI HASIL Sebelum dilakukan eksperimen tentang pengolahan limbah cair, peneliti melakukan pre eksperimen untuk mengetahui lama waktu aerasi yang efektif menurunkan kadar kandungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Air 1. Pengertian air a. Pengertian air minum Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. 8) b. Pengertian air bersih Air bersih

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Batang Toru Sungai Batang Toru merupakan salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Dari sisi hidrologi, pola aliran sungai di ekosistem Sungai Batang

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat tertentu tidak dikehendaki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung

BAB I PENDAHULUAN. tempe gembus, kerupuk ampas tahu, pakan ternak, dan diolah menjadi tepung 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah, baik limbah padat maupun cair. Limbah padat dihasilkan dari proses penyaringan dan penggumpalan. Limbah

Lebih terperinci