BAB I PENDAHULUAN. sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Agama adalah kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan keberadaan supranatural, kekuasaan, dan kekuatannya. Supranatural disini biasa disebut dengan nama dewa, Tuhan, atau yang gaib. Agama dapat dipandang sebagai suatu sistem kepercayaan yang terpadu, yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral (sacred things), yakni hal-hal yang terpisah dan terlarang. Agama muncul karena orang-orang berusaha untuk memahami keadaaan dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan mengacu pada pengalaman seharihari mereka. Mimpi waktu tidur pada masyarakat primitif dianggap mempunyai makna dan itu harus diterjemahkan. Usaha ke arah menjelaskan mimpi itu membuat mereka sadar bahwa ada diri yang lain dalam tubuh mereka. Diri yang lain itu hadir ketika orang sedang tidur. Ketika diri yang lain waktu tidur dan diri yang ada waktu sadar itu meninggalkan tubuh, maka orang yang bersangkutan meninggal dunia. Kepercayaan seperti ini yang melahirkan ide tentang animisme. Animisme adalah agama primitif yang kemudian bisa berkembang menjadi politeisme dan monoteisme. Agama menurut Keiichi Yanagawa (1992 : 7) didasarkan pada tiga unsur utama, yaitu: 1. Doktrin yang mengidentifikasi obyek dan sifat keagamaan. Ajaran sentral dari agama adalah percaya pada Tuhan atau dewa atau roh-roh yang keberadaannya tidak bisa dilihat manusia.

2 2. Perkumpulan yang dibentuk oleh orang-orang yang berkepercayaan sama. Perkumpulan ini bisa berbentuk organisasi agama, gereja, atau jemaah. 3. Ibadah keagamaan dan ajaran keagamaan. Oleh karena itu suatu agama terdiri atas doktrin, yang pengikutnya harus percaya; organisasi para penganut agama itu, dan kode ajaran yang memuat tingkah laku yang dikehendaki dari para pengikutnya. Salah satu agama yang berkembang di Jepang adalah Shinto. Kata Shinto terdiri atas dua huruf, yaitu Shin( 神 )yang bisa dibaca Kami, dan To( 道 ) yang bisa dibaca Michi. Jadi Shinto berarti Kami no Michi atau Jalan Kami. Istilah kami sebenarnya merujuk pada penghormatan untuk jiwa (roh) yang mulia, suci, yang memiliki implikasi pada makna memuja, kebajikan, dan otoritas mereka. Shinto adalah agama asli Jepang. Sejak jaman kuno, Shinto telah menjadi bagian dari pandangan hidup orang Jepang. Kepercayaan ini merupakan kombinasi dari animisme dan pemujaan alam dan berkembang seiring dengan perkembangan penganutnya. Semua benda hidup dan mati dipercaya memiliki roh atau jiwa yang memiliki kekuatan dan bisa memberi kehidupan atau aktivitas pada benda-benda tersebut. Shinto pada awalnya adalah kepercayaan rakyat yang tidak terlembaga, tetapi setelah kedatangan agama-agama yang terlembaga seperti Buddha dan Konfusionisme, maka lahirlah Shinto terlembaga, misalnya Shinto Negara (Kokka Shinto). Agama yang terlembaga maksudnya agama yang memiliki keistimewaan yaitu agama ini mempunyai nabi; mempunyai kitab suci; penganut-penganut yang resmi; dapat melampaui batas negara, tradisi kebudayaan, bahasa, dan tidak dibatasi oleh kerangka masyarakatnya sehingga dapat menyebar

3 ke seluruh dunia. Shinto berkembang seiiring dengan pertumbuhan masyarakat pertanian dan didasarkan atas pemujaan pada dewa padi dan roh nenek moyang. Sebagai agama, Shinto tidak memiliki pendiri, tidak punya kitab suci, dan tidak memiliki ajaran yang terorganisir. Agama ini mendasarkan diri pada mitologi, cerita-cerita kuno yang dianggap otoritatif dan memberi dasar sejarah dan spiritual. Istilah bahasa Jepang untuk mite adalah Shinwa yang berarti Kisah Mengenai Para Dewa. Bahan untuk menyusun mitologi Jepang pada umumnya bersumber dari Kojiki (712 M) dan Nihongi atau Nihon Shoki (720 M). Kedua buku ini dianggap sebagai dasar bagi agama Shinto. Menurut Kojiki, kepulauan Jepang diciptakan oleh Izanagi no Mikoto dan Izanami no Mikoto, bersamaan dengan penciptaan banyak kami, termasuk Amaterasu Omi Kami (dewa matahari). Selain Kojiki dan Nihon Shoki, juga dipergunakan sumber lain yaitu Koga Shui (807M); antropologi puisi dari abad ke-8 Manyoshu; dan Norito, atau liturgi keagamaan dari keraton, yang dikumpulkan pada akhir abad ke-19 di dalam buku Engi Shiki ( 延喜式 ) atau prosedur-prosedur dari era Engi (Danandjaja, 1997 : 70-71). James Danandjaja (1997 : 72-73) juga menjelaskan mite Jepang yang dikisahkan di dalam Kojiki dan Nihon Shoki dapat dibagi menjadi tiga siklus, salah satunya disini yaitu siklus Takamagahara. Diceritakan dalam siklus ini bahwa Izanami meninggal karena terbakar sewaktu melahirkan dewa api, lalu Izanami pergi ke Yomi no Kuni (dunia orang mati). Izanagi menyusul untuk memohon agar ia mau kembali ke dunia orang hidup. Disana dia dapatkan jenasah istrinya yang sudah penuh ulat. Izanagi kemudian lari, dan istrinya yang merasa dipermalukan menyatakan bahwa setiap hari ia akan mencekik seribu orang dari

4 dunia orang hidup, dan sang suami menjawab bahwa ia setiap hari akan mendirikan gubuk bagi orang melahirkan anak, sehingga dapat melahirkan bayi. Karena telah mengotori dirinya dalam perjalanan ke dunia orang mati, Izanagi menuju ke Tsukushi untuk menyucikan dirinya dengan mandi (misogi). Dari tindakan penyucian yang dilakukan Izanagi, kepercayaan Shinto juga melakukan ritual yang sama. Kepercayaan Shinto menurut Noma Seiroku (1967 : 13) berkaitan erat dengan keharmonisan pada alam dan dengan perlahan-lahan berkembang menjadi tradisi berdasarkan keindahan. Menurut agama Shinto, kebersihan atau kesucian adalah hal yang utama, hal-hal tanpa tipu daya adalah suci. Dalam buku Japan, Profile of a Nation (Aoki, 1994 : 204), pengertian akan kesucian dan kekotoran (Kegare) serta cara melaksanakan upacara penyucian (Harae/Misogi) di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh. Harae adalah istilah lama untuk banyak hal dari upacara penyucian Shinto atau penebusan dosa yang datang dari kata kerja harau ( 祓う atau 払う ) yang artinya membersihkan, menyucikan, atau mengusir roh jahat. Sekarang ini orang lebih banyak mengucapkan sebagai harai. Harae adalah salah satu upacara terpenting dalam Shinto dan berbagai bentuk telah berkembang, namun pada umumnya ada tiga metode dasar dari harae, yaitu: Yang pertama dan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki ( 榊 ) maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi. Yang kedua disebut

5 misogi ( 禊 ). Ini lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Penyucian ini dijalankan melalui aktivitas yang mendalam seperti latihan pernapasan, berdiri di bawah air terjun atau membenamkan tubuh di laut atau sungai. Yang ketiga imi ( 忌み ). Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik. Salah satu model penyucian yang menarik lainnya adalah Yakubarai ( 厄払い ). Kadang-kadang terjemahannya disalahartikan menjadi exorcism, dalam bahasa Indonesianya pengusiran roh jahat. Dalam agama Shinto, Yakubarai semata-mata menenangkan roh (kami) yang kesusahan (troublesome kami) akibat gangguan kecemaran. Picken dalam Shinto Japan s Spiritual Roots (1980 : 53) memberikan sebuah cerita: Di bulan Juni tahun 1978, penduduk Komplek Perumahan Takashima Daira di Tokyo prihatin akan jumlah orang yang bunuh diri dengan melompat dari atas bangunan di lingkungan mereka. Setelah berbagai bentuk cara penyuluhan dan pencegahan telah gagal, mereka lalu berkonsultasi dengan pendeta-pendeta Shinto. Para pers kemudian melaporkan ritual Yakubarai yang dilaksanakan para pendeta Shinto untuk menenangkan kami. Dilain kesempatan harae juga dilaksanakan pada waktu pernikahan, bisa untuk penyucian dan kesuksesan seorang kandidat di awal kampanye pemilihan, untuk keselamatan perjalanan, atau sukses di sebuah kontes. Harae tak hanya diselenggarakan bagi orang dan tempat, tapi juga kendaraan. Membersihkan

6 semua kekotoran yang ada di kendaraan berguna menjamin keselamatan yang lebih daripada kemungkinan yang bisa terjadi jika orang mengendarai di lingkungan yang kotor. Berdasarkan gambaran diatas, maka penulis bermaksud untuk meneliti dan menganalisa upacara penyucian tersebut. Dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk mengajukan suatu masalah dengan menguraikannya dalam bentuk skripsi yang berjudul Harae (Upacara Penyucian) Dalam Shinto Di Jepang 1.2 Perumusan Masalah Bangsa Jepang sebagian besar penduduknya menganut agama Shinto. Shinto adalah agama politheisme yang mempercayai lebih dari satu dewa. Prinsip dari agama Politheisme adalah segala hal yang memiliki pengaruh besar pada kehidupan manusia dapat dianggap sebagai Kami. Contohnya, yang berhubungan dengan alam, Dewa Hujan, Dewa Gunung, Dewa Laut, Dewa Halilintar adalah dewa alam yang mereka yakini. Dengan demikian setiap objek dibatasi pada objek-objek yang memiliki pengaruh besar dan hubungan yang erat dalam kehidupan manusia. Kusunoki Masahiro (dalam Situmorang, 2005 : 28) mengatakan konsep kepercayaan mereka, Tuhan atau dewa bersifat Functional God. Bersifat fungsional dalam hal ini dapat diartikan sebagai hubungan yang mendatangkan manfaat atau keuntungan bagi kedua belah pihak. Kebanyakan dewa memiliki karakteristik tidak menyukai pencemaran dari kematian, kotor, dan darah. Dalam Shinto, kebersihan fisik dan kesucian batin dihargai sebagai fondasi yang penting. Polusi, yang memiliki makna tubuh yang kotor seperti halnya moral

7 setan dianggap sangat menjijikan. Itulah alasannya mengapa upacara penyucian dilaksanakan. Masyarakat Jepang memandang penting melaksanakan penyucian di sepanjang hidupnya. Penyucian berarti tidak hanya membersihkan tubuh seseorang tetapi juga merupakan langkah yang baik yang diambil seseorang. Awalnya bermula dari membersihkan fisik atau bagian luar kemudian berlanjut dengan membersihkan mental yang berarti kesucian batin. Untuk itu penulis mengajukan masalah untuk dibahas sebagai berikut: 1) Seperti apa konsep Shinto terhadap upacara penyucian (Harae) 2) Seperti apa upacara-upacara penyucian yang dilaksanakan dalam Shinto. 1.3 Ruang Lingkup Pembahasan Besarnya hubungan antara upacara penyucian (harae/misogi) dengan agama Shinto membuat penulis termotivasi untuk mengetahui hubungan didalamnya. Namun untuk menghindari luasnya ruang lingkup permasalahan maka masalah yang akan penulis bahas di dalam penulisan ini difokuskan kepada Harae sebagai upacara penyucian dalam Shinto di Jepang dan diikuti dengan makna, tujuan, dan fungsinya. Untuk mendukung masalah tersebut di atas, akan dibahas juga tentang: pandangan umum Harae dan Shinto, yang didalamnya berisikan: asal mula Harae berdasarkan mitologi Jepang; sekte-sekte penyucian agama Shinto; unsur-unsur yang digunakan penyucian; berbagai upacara penyucian yang dilaksanakan di Jepang, dan pandangan Shinto terhadap kekotoran (kegare & tsumi).

8 1.4 Tinjauan Pustaka dan kerangka Teori Tinjauan Pustaka Menganalisa kebudayaan pada umumnya ataupun isi dari suatu kebudayaan masyarakat tertentu, sebaiknya kita mengetahui dulu unsur-unsur kebudayaan universal (cultural universal). Unsur-unsur yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia, baik yang kecil, bersahaja, dan terisolasi, maupun yang besar, kompleks, dengan suatu jaringan hubungan yang luas disebut kebudayaan universal. Menurut C. Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 1990 : ), unsur-unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan dunia ada tujuh unsur universal, yaitu: bahasa, sistem teknologi, mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Harae merupakan suatu bentuk kebudayaan dalam hal religi masyarakat Jepang. Pengertian akan kesucian dan kekotoran (kegare) serta cara melaksanakan upacara pensucian (harae/misogi) di Jepang memiliki pengaruh yang luar biasa dan telah menyebar sebagai suatu kebudayaan yang utuh (Aoki, 1994 : 204). Upacara tradisional di kuil Shinto (Jinja) seperti upacara mencuci tangan dan mulut sebagai simbolis akan kesucian sebelum masuk ke kuil dan melakukan komunikasi dengan kami. Sumber internet menyatakan kata bijak milik Kami Hachiman: Though I had nothing to eat but a red-hot ball of iron, I will never accept the most savory food offered by a person with an impure mind. Though I were sitting upon a blazing fire hot enough to melt copper, I will never go to visit the place of a person with a polluted mind. Terjemahannya:

9 Meskipun saya tidak memiliki apapun untuk dimakan kecuali bola api yang panas, saya tidak akan menerima makanan yang paling lezat yang ditawarkan oleh seseorang yang pikirannya tidak murni / kotor. Meskipun saya duduk diatas api berkobar yang cukup untuk melelehkan tembaga, saya tidak akan pernah pergi ke tempat seseorang yang pikirannya kotor. Dari pernyataan diatas dianalogikan bahwa tidak hanya kebersihan fisik tapi juga menekankan pikiran yang bersih pada waktu berkomunikasi / menyembah kami. Pelaksanaan harae sendiri tidak terlepas dari pemahaman yang benar masyarakat Jepang penganut Shinto tentang kegare (kekotoran) dan tsumi (dosa). Kegare atau dalam bahasa Indonesianya yaitu kekotoran atau kecemaran. Konsep tercemar (kegare) dalam kepercayaan rakyat Jepang tidak sama dengan kotor (dirty) dalam arti umum juga tidak sama dengan arti tercemar dari agama Hindu dan Buddha (Danandjaja, 1997 : 181) Dalam buku Telaah Pranata Masyarakat Jepang II (Situmorang, 2005 : 37) menyatakan bahwa: Dalam pandangan tradisional Jepang, pada umumnya mengenal dua macam kegare (kekotoran) yaitu akafuju (darah) dan kurofuju (kematian). Tetapi menurut Ikegami, di berbagai daerah seperti Okinawa dibedakan atas tiga jenis, yaitu shirofuju (kelahiran), akafuju (haid), dan kurofuju (kematian) (Ikegami 1959:75). Menurut Sasaki (1998:168), dalam kepercayaan tradisional Jepang yang kotor adalah mayat, kelahiran, dan pendarahan. Dari sumber internet dalam agama Shinto, kegare dipandang sebagai kesialan, sumber ketidakbahagiaan dan kejahatan, dan halangan atau kesukaran kepada upacara keagamaan. Kegare (pollution) dibersihkan dengan cara menghindari partisipasi dalam hal-hal

10 keagamaan dan di kehidupan sosial untuk beberapa waktu tertentu, dan dengan mengadakan upacara penyucian (harae). Konsep kekotoran tercakup dalam sebuah karya Shinto yang sangat terkenal pada era Tokugawa berjudul Warongo atau Bunga Rampai Jepang (Bellah, 1992 : 89) yang menyatakan: Bahwa Tuhan tidak menyukai yang kotor, sama dengan mengatakan bahwa seseorang yang hatinya tidak suci tidak menyenangkan Tuhan. Kebanyakan kami memiliki karakteristik tidak menyukai kecemaran dari kematian, kotor, dan darah. Para kami tidak menyukai darah, khususnya darah yang berasal dari dalam diri manusia seperti kelahiran, menstruasi wanita, dan kematian. Maka prinsip itu dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. Dalam buku JAPAN: An Illustrated Encyclopedia (1993 : 767) menyatakan: Konsep bersih dan tidak bersih, suci dan cemar, menjadi berarti dalam kebudayaan dan sosial di jepang dari jaman kuno sampai jaman sekarang. Satu karakter spesial dari konsep kegare di jaman kuno adalah keterkaitan yang erat dengan konsep tsumi (dosa). Arti Tsumi dicoba dijelaskan Stuart D. B. Picken dalam Essential of Shinto, An Analytical Guide (1994 : ) menyatakan: Tsumi memiliki arti yang sangat luas meliputi kecemaran, penyakit, dan bencana, sama dengan kesalahan. Tindakan tertentu, keadaan tertentu, atau situasi tak terduga pun dapat menyebabkan tsumi dan harus dihadapi dengan penghindaran (avoidance), atau dengan ritual penyucian (harai). Satu-satunya metode membersihkan tsumi adalah dengan penyucian, atau harai.

11 Konsep pemikiran kepada pentingnya upacara-upacara di jinja (kuil Shinto) adalah upacara penyucian. Sebagaimana kaisar Jepang mengadakan ōharae besar untuk seluruh negeri, begitu juga masing-masing pendeta Shinto menyelenggarakan upacara-upacara bagi anggota jemaahnya dan bagi siapa saja yang meminta untuk suatu tujuan khusus. Dari ritual atau upacara ini, kami (dewa) ditentramkan dan keadaan berbahaya akibat hal-hal kekotoran telah dibersihkan. Penyucian (harae) pada umumnya ada tiga metode dasar, yaitu: Yang pertama dan bentuk biasa yang paling umum diselenggarakan oleh seorang pendeta Shinto dengan cara mengibaskan tongkat penyucian (Haraigushi) di atas kepala dari kiri ke kanan dan kembali ke kiri. Kadang-kadang ranting kecil dari pohon sakral sakaki ( 榊 ) maupun onusa digunakan sebagai pengganti haraigushi. Tipe kedua dari penyucian adalah misogi, lebih umum dihubungkan kepada kessai, yang berarti penyucian dengan air. Setelah kunjungan Izanagi ke dunia orang mati (Yomi no Kuni), dia mandi di sebuah sungai Ahagihara, Propinsi Huga. Ketika membersihkan mata kirinya, dia melahirkan Amaterasu Omikami (Dewa Matahari). Ketika membersihkan mata kanannya, dia melahirkan Tsukiyomi no Mikoto (Dewa Bulan), dan ketika membersihkan hidung dia melahirkan Susano no Mikoto (Dewa Halilintar). Semua dewa tidak menyukai segala sesuatu yang kotor tetapi suka akan kebersihan, karena kotor berarti buruk, dan bersih berarti baik. Beberapa kuil Shinto di gunung memiliki fasilitas khusus seperti air terjun untuk misogi ketika kuil-kuil Shinto yang lainnya menggunakan laut terbuka untuk upacara penyucian dalam air garam. Para pendeta dan pemuja-pemuja di pagi sekali sama-sama berdiri dengan hampir telanjang dibawah air terjun yang

12 dingin mengalir ke bawah dari gunung, secara ritual menyucikan mereka dan menguatkan untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka dalam kehidupan. Bentuk yang ketiga adalah imi (avoidance). Ini kontras dengan kedua tipe penyucian yang telah disebutkan, yang mana memerlukan pembersihan dari kekotoran atau kenajisan dengan sebuah tindakan penyucian yang sebenarnya atau secara simbolik. Imi dijalankan khusus oleh pendeta-pendeta Shinto, yang diperintahkan untuk menghindari kontak dengan penyakit, kematian, atau perkabungan sebelum menyelenggarakan upacara keagamaan. Secara tradisional, wanita, karena kemungkinan kecemaran akibat menstruasi atau melahirkan anak, tidak diijinkan memasuki tempat-tempat suci. Setelah tahun 1868, sebagai contoh, wanita diijinkan mendaki gunung Fuji. Di jaman modern, bentuk imi berlanjut dalam sebuah cara yang terkemuka yang berhubungan kepada kematian. Ketika saat berkabung setelah pemakaman disebut imi, karena kekotoran itu sendiri. Seseorang yang baru kehilangan tidak akan menghadiri sebuah perayaan pernikahan. Dari ketiga tipe penyucian, imi sangat dekat hubungannya dengan tahkyul rakyat (Picken, 1980 : 56) Kerangka Teori Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (1976 : 11) berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dedukatif yang bergerak dari alam abstrak ke alam konkret. Suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta konkret yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat.

13 Untuk melihat Harae sebagai upacara penyucian dalam Shinto, penulis menggunakan konsep yang berhubungan dengan religi. Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974 : 127) yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewadewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib. Penulis juga melakukan penelitian dalam pendekatannya berorientasi pada upacara religi dimana W. Robertson Smith (Marsinambow, 1997 : 256) mengajukan tiga gagasan yakni: (1) disamping sistem keyakinan & doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi / agama yang memerlukan studi dan analisis yang khusus; (2) upacara religi / agama yang biasa dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat pemeluk religi / agama yang bersangkutan bersama-sama memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat; (3) fungsi upacara bersaji. Upacara tersebut dianggap sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan dewa atau para dewa. Dari konsep religi menurut Koentjaraningrat dan gagasan W. Robertson Smith tentang upacara religi diatas, membantu penulis meneliti konsep pemikiran yang diyakini agama Shinto kepada pentingnya upacara penyucian (harae). Upacara-upacara penyucian yang dilaksanakan masyarakat Jepang memiliki fungsi dan tujuan supaya terciptanya hubungan harmonis antara kami dengan manusia, serta tindakan atau aktivitas yang dilakukan manusia mendapatkan pertolongan dan berkat dari kami. Selain itu penulis juga akan menggunakan Teori Semiotika. Menurut Jan van Luxemburg (1992 : 46) : Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda,

14 lambang-lambang, dan proses perlambangan. Ilmu tentang semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial ataupun masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Berdasarkan teori semiotik diatas, penulis dapat menginterpretasikan kebudayaan atau kebiasaan masyarakat tersebut ke dalam tanda-tanda. Tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan masyarakat tersebut diinterpretasikan dan kemudian dipilih bagian mana yang akan mencerminkan upacara harae. 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui secara jelas harae dilihat dari segi latar belakang mitologinya 2) Untuk mengetahui konsep Shinto mengenai kekotoran dan penyucian 3) Untuk mengetahui sekte-sekte penyucian agama Shinto. 4) Untuk mengetahui berbagai upacara penyucian yang dilakukan di masyarakat Jepang Manfaat Penelitian 1) Dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi para pembaca yang tertarik mengetahui tentang topik yang diteliti penulis.

15 2) Dapat dipergunakan sebagai referensi oleh penulis lain dalam menulis skripsi yang berhubungan dengan topik seperti yang diteliti oleh penulis. 1.6 Metode Penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini menggunakan Metode Deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah penelitian yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data. Untuk mendapatkan data tertulis, penulis menggunakan teknik pengumpulan secara studi kepustakaan (Library Research), yakni suatu metode pengumpulan data-data untuk mengungkapkan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat, dan lain-lain, yang dapat ditemui dalam berbagai peninggalan tertulis, dengan cara membaca buku-buku atau reverensi yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini. Dalam hal ini penulis memanfaatkan Perpustakaan The Japan Foundation dan Konsulat Jenderal Jepang, Perpustakaan Universitas Indonesia, dan Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang. Dalam penelitian ini juga, penulis banyak mempergunakan buku-buku berbahasa asing, sehingga mempergunakan Metode Terjemahan Semantis.

16 Metode Terjemahan Semantis yaitu metode yang mempertimbangkan unsur estetika teks bahasa sumber dengan menyamakan makna, selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang bermakna budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah fungsional (Rochayah, 2000 : 52).

DAFTAR PUSTAKA. Anesaki, Masaharu History of Japanese Religion. Tokyo: Charles E

DAFTAR PUSTAKA. Anesaki, Masaharu History of Japanese Religion. Tokyo: Charles E DAFTAR PUSTAKA Anesaki, Masaharu. 1963. History of Japanese Religion. Tokyo: Charles E Tuttle Company Aoki, Eiichi. 1994. JAPAN, Profile of A Nation. Tokyo: Kodansha International Ltd Bellah, Robert N.

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan Skripsi. Kebudayaan merupakan bagian dari identitas diri suatu negara. Kata kebudayaan

Bab 5. Ringkasan Skripsi. Kebudayaan merupakan bagian dari identitas diri suatu negara. Kata kebudayaan Bab 5 Ringkasan Skripsi Kebudayaan merupakan bagian dari identitas diri suatu negara. Kata kebudayaan sendiri memiliki arti sebagai pedoman yang menyeluruh bagi kehidupan masyarakat yang memiliki budaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau (Kodansha, 1993: ). Barisan

BAB 1 PENDAHULUAN. negara yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau (Kodansha, 1993: ). Barisan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jepang yang oleh penduduknya sendiri disebut Nippon atau Nihon merupakan negara yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau (Kodansha, 1993: 649-658). Barisan pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bukan sekedar jumlah penduduk saja, melainkan sebagai suatu system yang

BAB I PENDAHULUAN. bukan sekedar jumlah penduduk saja, melainkan sebagai suatu system yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut pandangan yang popular, masyarakat dilihat sebagai kekuatan impersonal yang mempengaruhi, mengekang dan juga menentukan tingkah laku anggota-anggotanya.

Lebih terperinci

Harai: Telaah Konsep Religi Koentjaraningrat

Harai: Telaah Konsep Religi Koentjaraningrat Harai: Telaah Konsep Religi Koentjaraningrat Citra Ayu Pratiwi Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Jl. Dharmawangsa Dalam, Surabaya, 60286 Email: citra-a-p-11@fib.unair.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu olahraga. Dapat dibuktikan jika kita membaca komik dan juga

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu olahraga. Dapat dibuktikan jika kita membaca komik dan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Jepang terdapat bermacam-macam budaya, salah satunya adalah olahraga. Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap suatu olahraga.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mitos adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap suci oleh masyarakat tempat

BAB I PENDAHULUAN. Mitos adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap suci oleh masyarakat tempat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mitos adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap suci oleh masyarakat tempat mitos tersebut berasal. Tokoh-tokoh dalam mitos umumnya adalah para dewa atau makhluk setengah

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat. I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara kepulauan, yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang kaya akan kebudayaan serta adat istiadat, bahasa, kepercayaan, keyakinan dan kebiasaan

Lebih terperinci

Abstraksi. Kata kunci : Tagata Jinja Hounen matsuri, kami

Abstraksi. Kata kunci : Tagata Jinja Hounen matsuri, kami Abstraksi Salah satu kebudayaan yang terus dipertahankan di Jepang hingga sekarang adalah matsuri. Tagata Jinja Hounen matsuri yang menjadi topik pembahasan skripsi ini memiliki keunikan yang terletak

Lebih terperinci

Bab 3. Analisis Data. 3.1 Analisis Konsep Shinto Dalam Tujuan Diadakannya Tagata Jinja Hounen Matsuri

Bab 3. Analisis Data. 3.1 Analisis Konsep Shinto Dalam Tujuan Diadakannya Tagata Jinja Hounen Matsuri Bab 3 Analisis Data 3.1 Analisis Konsep Shinto Dalam Tujuan Diadakannya Tagata Jinja Hounen Matsuri Tagata Jinja Hounen matsuri merupakan sebuah festival yang diadakan di Tagata Jinja yang terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari segi sosialnya, Jepang merupakan negara yang maju dan. moderen. Walaupun demikian, negara tersebut memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Dari segi sosialnya, Jepang merupakan negara yang maju dan. moderen. Walaupun demikian, negara tersebut memiliki banyak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari segi sosialnya, Jepang merupakan negara yang maju dan moderen. Walaupun demikian, negara tersebut memiliki banyak keanekaragaman budaya tradisional termasuk

Lebih terperinci

Bab 3. Analisis Data. Dalam bab ini, saya akan menganalisis pengaruh konsep Shinto yang terdapat

Bab 3. Analisis Data. Dalam bab ini, saya akan menganalisis pengaruh konsep Shinto yang terdapat Bab 3 Analisis Data Dalam bab ini, saya akan menganalisis pengaruh konsep Shinto yang terdapat dalam Jidai matsuri, berdasarkan empat unsur penting dalam matsuri yang sesuai dengan konsep Shinto. Empat

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Agama-agama yang ada di Jepang mempunyai sejarah yang panjang. Shinto adalah

Bab 5. Ringkasan. Agama-agama yang ada di Jepang mempunyai sejarah yang panjang. Shinto adalah Bab 5 Ringkasan Agama-agama yang ada di Jepang mempunyai sejarah yang panjang. Shinto adalah agama asli Jepang. Agama Budha masuk ke Jepang pada abad ke-6 dan agama Kristen disebarkan oleh Francis Xavier.

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. menjadi pemimpin bagi negara-negara lain di sekitarnya dalam berbagai bidang

Bab 1. Pendahuluan. menjadi pemimpin bagi negara-negara lain di sekitarnya dalam berbagai bidang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Negara Jepang merupakan salah satu negara maju dan modern di kawasan Asia yang menjadi pemimpin bagi negara-negara lain di sekitarnya dalam berbagai bidang kehidupan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asia yang menjadi pemimpin bagi negara-negara lain disekitarnya dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Asia yang menjadi pemimpin bagi negara-negara lain disekitarnya dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Jepang merupakan salah satu negara maju dan modern di kawasan Asia yang menjadi pemimpin bagi negara-negara lain disekitarnya dalam berbagai bidang kehidupan.

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Karakteristik geografis suatu negara senantiasa mempunyai pengaruh terhadap

Bab 1. Pendahuluan. Karakteristik geografis suatu negara senantiasa mempunyai pengaruh terhadap Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Karakteristik geografis suatu negara senantiasa mempunyai pengaruh terhadap kehidupan bangsanya. Hal ini dapat dilihat pada sejarah, tabiat dan watak bangsa tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Arni Febriani, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang Masalah. Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang Masalah. Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Masalah Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada karena ada masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud kebudayaan adalah

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Negara Jepang adalah negara yang kaya akan kebudayaan dan banyak terdapat

Bab 5. Ringkasan. Negara Jepang adalah negara yang kaya akan kebudayaan dan banyak terdapat Bab 5 Ringkasan Negara Jepang adalah negara yang kaya akan kebudayaan dan banyak terdapat perayaan-perayaan ataupun festival yang diadakan setiap tahunnya. Pada dasarnya, perayaan-perayaan yang ada di

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI. Kajian pustaka berisi tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI. Kajian pustaka berisi tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukan 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, KERANGKA TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka berisi tentang penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Beberapa data yang telah berhasil dikumpulkan untuk

Lebih terperinci

Monoimi, Shinsen, Naorai dan Norito dalam Sanja matsuri, untuk dianalisis.

Monoimi, Shinsen, Naorai dan Norito dalam Sanja matsuri, untuk dianalisis. Bab 3 Analisis Data 3.1 Analisis unsur Shinto Oharai dalam Sanja Matsuri Saya akan membagi analisis Sanja Matsuri melalui empat unsur Shinto, yaitu Monoimi, Shinsen, Naorai dan Norito dalam Sanja matsuri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain untuk menjalin komunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain untuk menjalin komunikasi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia mengalami proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi dewasa, tua dan akhirnya meninggal. Dalam perjalanan hidupnya, manusia sebagai makhluk

Lebih terperinci

MAKNA PERAYAAN LIMBE DALAM MASYARAKAT DENGKA DULU DAN SEKARANG

MAKNA PERAYAAN LIMBE DALAM MASYARAKAT DENGKA DULU DAN SEKARANG MAKNA PERAYAAN LIMBE DALAM MASYARAKAT DENGKA DULU DAN SEKARANG [Sebuah Penjelajahan Sosio-Antropologi Terhadap Perayaan Limbe di Nusak Dengka, Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur] TESIS Diajukan kepada Program

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Konsep Agama dan Kepercayaan Masyarakat Jepang

Bab 2. Landasan Teori. 2.1 Konsep Agama dan Kepercayaan Masyarakat Jepang Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Agama dan Kepercayaan Masyarakat Jepang Setiap masyarakat dari berbagai negara di dunia memiliki kepercayaan terhadap agama, bahkan hal-hal mengenai agama diatur dalam undang-undang

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. kepercayaan asli masyarakat Jepang yang merupakan kelanjutan dari garis yang tak

Bab 5. Ringkasan. kepercayaan asli masyarakat Jepang yang merupakan kelanjutan dari garis yang tak Bab 5 Ringkasan Agama Shinto merupakan salah satu agama tertua dan dianggap sebagai kepercayaan asli masyarakat Jepang yang merupakan kelanjutan dari garis yang tak terputus dari zaman pra sejarah sampai

Lebih terperinci

Dongeng Jepang Cerita berasal dari Kojiki (Legenda Jepang)

Dongeng Jepang Cerita berasal dari Kojiki (Legenda Jepang) Dongeng Jepang Cerita berasal dari Kojiki (Legenda Jepang) Diterjemahkan oleh : Ani Anipah & Fauziah Maulida Ulfah DONGENG JEPANG Dongeng terdapat di berbagai Negara. Dongeng merupakan cerita dimulainya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna

BAB I PENDAHULUAN. di Bali, perlu dimengerti sumbernya. Terdapat prinsip Tri Hita Karana dan Tri Rna 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali telah terkenal dengan kebudayaannya yang unik, khas, dan tumbuh dari jiwa Agama Hindu, yang tidak dapat dipisahkan dari keseniannya dalam masyarakat yang berciri

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Menurut Kodansha (1993: ) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki luas wilayah

Bab 5. Ringkasan. Menurut Kodansha (1993: ) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki luas wilayah Bab 5 Ringkasan Menurut Kodansha (1993:649-658) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki luas wilayah 377.781km². Menurut Danandjaja (1997:1), kepulauan Jepang terbentang di sepanjang timur laut hingga

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM NEGARA JEPANG. Kepulauan Jepang yang terletak lepas pantai timur benua Asia,

BAB II GAMBARAN UMUM NEGARA JEPANG. Kepulauan Jepang yang terletak lepas pantai timur benua Asia, BAB II GAMBARAN UMUM NEGARA JEPANG 2.1. Letak Geografis Kepulauan Jepang yang terletak lepas pantai timur benua Asia, membentang seperti busur yang ramping sepanjang 3.800 KM. Luas totalnya adalah 377.815

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan bagian yang melingkupi kehidupan manusia. Kebudayaan yang diiringi dengan kemampuan berpikir secara metaforik atau perubahan berpikir dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia yang sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia yang sebagian besar masyarakatnya tidak memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu. Namun, bukan berarti kehidupan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS MITOLOGI YANG DIGAMBARKAN DALAM KOMIK NARUTO

BAB III ANALISIS MITOLOGI YANG DIGAMBARKAN DALAM KOMIK NARUTO BAB III ANALISIS MITOLOGI YANG DIGAMBARKAN DALAM KOMIK NARUTO 3.1 Mitologi-mitologi dalam komik Naruto Naruto adalah salah satu karya dari Masashi Kishimoto, yang menceritakan tentang seorang anak yang

Lebih terperinci

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut.

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut. BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT Bab ini merupakan pembahasan atas kerangka teoritis yang dapat menjadi referensi berpikir dalam melihat masalah penelitian yang dilakukan sekaligus menjadi

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Menurut Kodansha (1993: ) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki

Bab 1. Pendahuluan. Menurut Kodansha (1993: ) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki Bab 1 Pendahuluan 1. Latar Belakang Menurut Kodansha (1993:649-658) Jepang merupakan sebuah negara yang memiliki luas wilayah 377.781km². Menurut Danandjaja (1997:1), kepulauan Jepang terbentang di sepanjang

Lebih terperinci

RELIGI. Oleh : Firdaus

RELIGI. Oleh : Firdaus RELIGI Oleh : Firdaus Pertemuan ini akan Membahas : 1. Konsep Religi 2. Komponen sistem Religi 3. Teori Berorintasi Keyakinan Pertanyaan untuk Diskusi Awal: 1. Apa Konsep Religi 2. Apa Komponen Sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 32 ayat (1) dan

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Agama-agama yang ada di Jepang mempunyai sejarah yang panjang. Shinto sudah

Bab 1. Pendahuluan. Agama-agama yang ada di Jepang mempunyai sejarah yang panjang. Shinto sudah Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Agama-agama yang ada di Jepang mempunyai sejarah yang panjang. Shinto sudah ada sejak awal sejarah Jepang dan terus berlanjut hingga sekarang. Agama Budha masuk ke

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH

BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH 4.1.Ritual Masyarakat Trunyan Dalam kehidupan suatu masyarakat yang berbudaya menghadirkan suatu tradisi-tradisi

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 INFORMED CONSENT Lembar Pernyataan Persetujuan oleh Subjek Saya yang bertanda tangan dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kalimantan Selatan merupakan salah satu dari lima provinsi yang ada di Kalimantan, sebagaimana dengan wilayah Indonesia lainnya yang kaya akan keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV. BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP 4.1. PENDAHULUAN Bertolak dari uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang terdapat dalam Bab I, yang dilanjutkan dengan pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami

BAB I PENDAHULUAN. yang terdapat pada tujuh unsur kebudayaan universal. Salah satu hal yang dialami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberagaman suku bangsa di Indonesia telah melahirkan ragamnya adat - istiadat dan kepercayaan pada setiap suku bangsa. Tentunya dengan adanya adatistiadat tersebut,

Lebih terperinci

TRADISI-TRADISI DALAM SHINTOO SEBAGAI PAHAM POLITHEISTIS. Sri Oemiati Universitas Dian Nuswantoro

TRADISI-TRADISI DALAM SHINTOO SEBAGAI PAHAM POLITHEISTIS. Sri Oemiati Universitas Dian Nuswantoro TRADISI-TRADISI DALAM SHINTOO SEBAGAI PAHAM POLITHEISTIS Sri Oemiati Universitas Dian Nuswantoro Abstrak: Shintoo is a polytheistic thought with many gods and goddesses. Previously, Shintoo was an anonym

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, salah satu akibat dari kemajemukan tersebut adalah terdapat beraneka ragam ritual yang dilaksanakan dan dilestarikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti akan mengalami tahap-tahap kehidupan dimulai dari balita, anak-anak, remaja, dewasa, orang tua sampai ia meninggal. Biasanya pada usia

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. masyarakat Jepang yang pada perayaan shougatsu terdapat berbagai macam jenis

Bab 1. Pendahuluan. masyarakat Jepang yang pada perayaan shougatsu terdapat berbagai macam jenis Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Oshougatsu atau lebih dikenal dengan shougatsu adalah perayaan tahun baru masyarakat Jepang yang pada perayaan shougatsu terdapat berbagai macam jenis dekorasi-dekorasi

Lebih terperinci

APAKAH SAUDARA INGIN BERTUMBUH?

APAKAH SAUDARA INGIN BERTUMBUH? APAKAH SAUDARA INGIN BERTUMBUH? Dalam Pelajaran Ini Saudara Akan Mempelajari Setiap Hari Beri Makan Jiwa Saudara Bernaung Dalam Tuhan Hindari Penyakit: Jagalah Kebersihan Hindari Penyakit: Jangan Meracuni

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suku bangsa Sabu atau yang biasa disapa Do Hawu (orang Sabu), adalah sekelompok masyarakat yang meyakini diri mereka berasal dari satu leluhur bernama Kika Ga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kekompleksitasan Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis. Dari lingkungan geografis itulah membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang (Nippon/Nihon) secara harfiah memiliki arti asal-muasal matahari

BAB I PENDAHULUAN. Jepang (Nippon/Nihon) secara harfiah memiliki arti asal-muasal matahari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belaakang Masalah Jepang (Nippon/Nihon) secara harfiah memiliki arti asal-muasal matahari adalah sebuah negara di Asia Timur yang terletak di benua Asia di ujung barat Samudera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu Tujuan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam upaya ini pemerintah berupaya mencerdaskan anak bangsa melalui proses pendidikan di jalur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Kebudayaan Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi

Lebih terperinci

Modul 3 OBYEK DAN METODE PENELITIAN PSIKOLOGI AGAMA

Modul 3 OBYEK DAN METODE PENELITIAN PSIKOLOGI AGAMA Obyek dan Metode Penelitian Psikologi Agama Modul 3 OBYEK DAN METODE PENELITIAN PSIKOLOGI AGAMA PENDAHULUAN Psikologi Agama pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) disajikan untuk membantu mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. [Type text]

BAB I PENDAHULUAN. [Type text] BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tari adalah suatu pertunjukan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukungnya. Tari merupakan warisan budaya leluhur dari beberapa abad yang lampau. Tari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di tunda-tunda. Kesehatan memiliki peran penting dalam mempengaruhi derajat

BAB I PENDAHULUAN. di tunda-tunda. Kesehatan memiliki peran penting dalam mempengaruhi derajat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dan tidak dapat di tunda-tunda. Kesehatan memiliki peran penting dalam mempengaruhi derajat hidup seseorang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Kebudayaan Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tradisi Jepang ada satu tradisi yang dapat mengangkat pamor pariwisata negeri

BAB I PENDAHULUAN. tradisi Jepang ada satu tradisi yang dapat mengangkat pamor pariwisata negeri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Jepang merupakan salah satu negara maju di Asia dan kaya akan kebudayaan. Seiring dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat dan kemajuan media informasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan Latar Belakang Untuk dapat memahami makna dari suatu ukiyo-e (seni lukisan kuno Jepang) tidak

Bab 1. Pendahuluan Latar Belakang Untuk dapat memahami makna dari suatu ukiyo-e (seni lukisan kuno Jepang) tidak Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Untuk dapat memahami makna dari suatu ukiyo-e (seni lukisan kuno Jepang) tidak akan cukup dengan melihat gambar atau lukisannya saja, tetapi harus mengetahui pula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di segala aspek kehidupan. Keanekaragaman tersebut terlihat dari beragamnya kebudayaan

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA LIMBE BAGI MASYARAKAT DENGKA MASA KINI. masyarakat Nusak Dengka telah menganut agama Kristen, namun dalam

BAB IV MAKNA LIMBE BAGI MASYARAKAT DENGKA MASA KINI. masyarakat Nusak Dengka telah menganut agama Kristen, namun dalam BAB IV MAKNA LIMBE BAGI MASYARAKAT DENGKA MASA KINI IV.1 Pengantar Sebagaimana telah dipaparkan dalam Bab I bahwa meskipun sebagian besar masyarakat Nusak Dengka telah menganut agama Kristen, namun dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah

BAB I PENDAHULUAN. meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Kebudayaan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, kebudayaan meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Sesuai dengan

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. tinggi. Walaupun Jepang merupakan negara yang maju, tetapi masyarakatnya tetap

Bab 1. Pendahuluan. tinggi. Walaupun Jepang merupakan negara yang maju, tetapi masyarakatnya tetap Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Jepang dikenal sebagai negara yang kaya akan nilai-nilai kebudayaannya yang tinggi. Walaupun Jepang merupakan negara yang maju, tetapi masyarakatnya tetap berpegang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbentuk melengkung, terbentuk dari timur laut ke barat daya di lautan

BAB I PENDAHULUAN. berbentuk melengkung, terbentuk dari timur laut ke barat daya di lautan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jepang merupakan negara kepulauan yang wilayahnya terdiri dari pulaupulau berbentuk melengkung, terbentuk dari timur laut ke barat daya di lautan bagian timur benua

Lebih terperinci

Ota Rabu Malam. Musik Ritual. Disusun oleh Hanefi

Ota Rabu Malam. Musik Ritual. Disusun oleh Hanefi Ota Rabu Malam Musik Ritual Disusun oleh Hanefi MUSIK RITUAL Disusun oleh Hanefi Sistem Kepercayaan Pendekatan Sosiologis Tokoh: Emile Durkheim (1858-19170 Bentuk agama yang paling elementer dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Simon Kemoni yang dikutip oleh Esten (2001: 22) globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. Mengenai Agama dan Tradisi di Jepang dalam Buku Panduan Jepang (1996)

Bab 2. Landasan Teori. Mengenai Agama dan Tradisi di Jepang dalam Buku Panduan Jepang (1996) Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Agama Menurut Masyarakat Jepang Mengenai Agama dan Tradisi di Jepang dalam Buku Panduan Jepang (1996) disebutkan bahwa pada umumnya orang Jepang adalah penganut agama Shinto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang bangga akan kebudayaan yang mereka miliki. Permainan-permainan

BAB I PENDAHULUAN. Jepang bangga akan kebudayaan yang mereka miliki. Permainan-permainan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki beragam budaya, diantaranya keberagaman dalam bentuk tarian, makanan, budaya, olahraga, dan banyak hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Salah satu kebebasan yang paling utama dimiliki tiap manusia adalah kebebasan beragama. Melalui agama, manusia mengerti arti dan tujuan hidup yang sebenarnya. Agama

Lebih terperinci

Mengenai mayat Musa ini iblis sempat berdebat dengan malaikat Tuhan yang bernama Mikhael (Yudas 1 : 9).

Mengenai mayat Musa ini iblis sempat berdebat dengan malaikat Tuhan yang bernama Mikhael (Yudas 1 : 9). Berbahagialah Orang yang Mati dalam Tuhan (Wahyu 14 : 13) Alkitab mencatat Henokh adalah orang yang hidupnya bergaul dengan Tuhan selama ± 365 Tahun (Kejadian 5 : 23-24). Henokh tidak melalui proses kematian

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan dan Refleksi Upacara slametan sebagai salah satu tradisi yang dilaksanakan jemaat GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus sebagai juruslamat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #7 oleh Chris McCann

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #7 oleh Chris McCann Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #7 oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pembahasan Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini adalah pembahasan #7 tentang Wahyu, pasal

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. tertentu. Seperti halnya tanabata (festival bintang), hinamatsuri (festival anak

Bab 1. Pendahuluan. tertentu. Seperti halnya tanabata (festival bintang), hinamatsuri (festival anak Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Di Jepang banyak terdapat perayaan, festival, maupun ritual-ritual yang dilakukan setiap tahunnya. Biasanya setiap perayaan tersebut memiliki suatu makna tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap daerah pasti memiliki identitas-identisas masing-masing yang menggambarkan ciri khas daerah tersebut. Seperti halnya Indonesia yang banyak memiliki pulau,

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya

BAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA SIMBOLIS TRADISI LEMPAR AYAM DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

BAB IV MAKNA SIMBOLIS TRADISI LEMPAR AYAM DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR 69 BAB IV MAKNA SIMBOLIS TRADISI LEMPAR AYAM DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR A. Implementasi Simbol dalam Perespektif Hermeneutika Paul Ricoeur Lempar ayam merupakan prosesi atau cara yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG. Dalam kehidupan manusia kegiatan religi akan selalu dilaksanakan. Ada

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG. Dalam kehidupan manusia kegiatan religi akan selalu dilaksanakan. Ada BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI RELIGI DI JEPANG 2.1 Pengertian Religi Dalam kehidupan manusia kegiatan religi akan selalu dilaksanakan. Ada yang melakukan secara sungguh-sungguh, namun tidak orang yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa silam. Tidak heran bahwa setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. masa silam. Tidak heran bahwa setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah berkembang sejak masa silam. Tidak heran bahwa setiap daerah yang ada di Indonesia memiliki aliran kepercayaan lokal

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Karo memiliki berbagai upacara, tradisi, maupun beragam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masyarakat Karo memiliki berbagai upacara, tradisi, maupun beragam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Karo memiliki berbagai upacara, tradisi, maupun beragam ritual yang menjadi ciri khasnya. Masyarakat Karo pada masa dahulu percaya akan kekuatan mistis yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upacara tradisional merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan dan pada dasarnya upacara tradisional disebarkan secara lisan. Upacara

Lebih terperinci

Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika

Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika 1 Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika Kepada yang kekasih saudara-saudari saya seiman di Tesalonika yaitu kalian yang sudah bersatu dengan Allah Bapa dan Tuhan kita Kristus Yesus: Salam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi,

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Teori 1. Nilai Nilai adalah segala sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan sebuah negara yang dianggap telah maju oleh negaranegara

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan sebuah negara yang dianggap telah maju oleh negaranegara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jepang merupakan sebuah negara yang dianggap telah maju oleh negaranegara di dunia. Tidak heran jika dikatakan demikian, dalam bidang ekonomi Jepang terkenal memiliki

Lebih terperinci

HOME. Written by Sr. Maria Rufina, P.Karm Published Date. A. Pembentukan Intelektual dan Spiritual Para Imam

HOME. Written by Sr. Maria Rufina, P.Karm Published Date. A. Pembentukan Intelektual dan Spiritual Para Imam A. Pembentukan Intelektual dan Spiritual Para Imam Di masa sekarang ini banyak para novis dan seminaris yang mengabaikan satu atau lebih aspek dari latihan pembentukan mereka untuk menjadi imam. Beberapa

Lebih terperinci

Kerohanian Zakharia Luk 1:5 7, Ev. Andrew Kristanto

Kerohanian Zakharia Luk 1:5 7, Ev. Andrew Kristanto Kerohanian Zakharia Luk 1:5 7, 24 25 Ev. Andrew Kristanto Dalam Kitab Suci, Tuhan membangkitkan orang-orang untuk membuka jalan bagi Yesus Kristus. Salah satunya adalah Yohanes Pembaptis. Tuhan juga menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya

BAB I PENDAHULUAN. sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. 1 Dalam kaitannya dengan

Lebih terperinci

BAB IV. Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan. 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan

BAB IV. Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan. 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan BAB IV Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan Jika kita kembali melihat kehidupan jemaat GKJW Magetan tentang kebudayaan slametan mau tidak mau gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,

Lebih terperinci

Tradisi Undhuh-undhuh GKJW : Fungsi dan Relevansi Nilai Budaya terhadap Pengembangan Pendidikan Karakter

Tradisi Undhuh-undhuh GKJW : Fungsi dan Relevansi Nilai Budaya terhadap Pengembangan Pendidikan Karakter Tradisi Undhuh-undhuh GKJW : Fungsi dan Relevansi Nilai Budaya terhadap Pengembangan Pendidikan Karakter Primita Yanuar Prastika Putri Prodi Pendidikan Sejarah, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini memuat tentang hasil hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian yang

Lebih terperinci

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #34 oleh Chris McCann

Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #34 oleh Chris McCann Seri Kitab Wahyu Pasal 14, Pembahasan #34 oleh Chris McCann Selamat malam dan selamat datang di pembahasan Alkitab EBible Fellowship dalam Kitab Wahyu. Malam ini adalah pembahasan #34 tentang Wahyu, pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008

UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008 UJIAN NASIONAL TAHUN PELAJARAN 2007/2008 PANDUAN MATERI SMA DAN MA SEJARAH BUDAYA/ ANTROPOLOGI PROGRAM STUDI BAHASA PUSAT PENILAIAN PENDIDIKAN BALITBANG DEPDIKNAS KATA PENGANTAR Dalam rangka sosialisasi

Lebih terperinci