Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Laporan Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Laporan Penelitian"

Transkripsi

1

2 Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Laporan Penelitian 1 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

3 Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia: Laporan Penelitian Penyusun: Tim PKMK FK UGM Chrysant Lily Kusumowardoyo Eviana Hapsari Dewi Ita Perwira Ika Harmawati Netty Sandra Devi Swasti Sempulur Zaenal Abidin Editor: Ignatius Praptoraharjo Disusun dengan dukungan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) kepada PKMK FK UGM. Laporan ini bisa dikutip, disalin dan digandakan dengan menyebutkan sumbernya dan dipergunakan untuk kepentingan pendidikan masyarakat, bukan untuk kepentingan komersial. Sitasi yang disarankan: PKMK Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia ii Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

4 Kata Pengantar Bagian penting dari Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) untuk pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS adalah kerjasama jangka panjang antara Pemerintah dengan Sektor Komunitas, yaitu organisasi masyarakat sipil, organisasi berbasis komunitas dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Sejak awal munculnya epidemi HIV dan AIDS di Indonesia dan di setiap langkah perjalanan penanggulangannya, sektor komunitas telah menjadi unsur penting terlebih khusus karena kemampuannya untuk menjangkau populasi kunci dan kelompok marjinal. Meskipun demikian, belum ada bentuk dokumentasi yang secara sistematis tentang kontribusi sektor komunitas di Indonesia dalam menyikapi permasalahan HIV dan AIDS. Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bekerja sama dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada melakukan kajian tentang Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang mencakup 12 provinsi di Indonesia. Hasil penelitian ini telah menegaskan tentang peran-peran strategis sektor komunitas dan kontribusinya terhadap efektivitas program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Peran utama yang dimainkan dalam kerangka penyediaan layanan penanggulangan AIDS mulai dari promosi dan pencegahan, perawatan, pengobatan dan dukungan. Demikian pula, dalam situasi yang lebih terbatas, sektor komunitas juga telah melaksanakan peran untuk mendorong terjadinya berbagai perubahan kebijakan dan dilaksanakannya pendidikan masyarakat. Penelitian ini pula telah mengungkapkan beberapa masalah strategis pula yang ditemukan dalam penelitian ini khususnya keberlanjutan upaya-upaya penanggulangan AIDS yang dilakukan oleh sektor komunitas. Hal ini terjadi karena sebagai besar kegiatan sektor komunitas merupakan kegiatan yang didukung oleh bantuan luar negeri yang dalam waktu dekat akan berkurang secara berarti. Pembelajaran tentang peran-peran yang telah dimainkan oleh sektor komunitas dan hambatanhambatan sektor komunitas dalam melaksanakan perannya ini menjadi bagian yang sangat penting untuk memberikan informasi bagi Kementerian dan Lembaga, Pemerintah Daerah, KPA Nasional, jaringan masyarakat sipil atau jaringan populasi kunci serta lembaga-lembaga donor dan penyedia bantuan teknis untuk mengembangkan kebijakan dan strategi penanggulangan AIDS yang lebih efektif baik secara teknis maupun secara kelembagaan. Kajian ini secara khusus bisa dimanfaatkan untuk memperkuat peran dan kapasitas masyarakat sipil (Civil Society Strengthening) dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Penguatan ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena penanggulangan AIDS di Indonesia semakin diharapkan untuk dapat mencapai lebih banyak hasil dengan sumber pendanaan yang lebih sedikit. Jakarta, September 2015 Dr. Kemal N. Siregar Sekretaris KPA Nasional iii Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

5 Daftar Isi Kata Pengantar... iii Daftar Isi... iv Daftar Singkatan... vii Ringkasan Eksekutif... ix Pendahuluan... 1 Pertanyaan Penelitian... 2 Tujuan Penelitian... 2 Kerangka Konseptual... 3 Metode Penelitian... 9 Lokasi Penelitian... 9 Desain dan Prosedur Penelitian... 9 Manajemen Data Analisis Data a. Analisis untuk Peran dan Konteks Peran Sektor Komunitas b. Analisis untuk Menilai Efektifitas Peran Sektor Komunitas c. Analisis untuk Studi Kasus di Tujuh Provinsi Penjaminan Kualitas Mutu Penelitian Garis Besar/Sistematika Laporan Peran Sektor Komunitas dalam Penanggulangan HIV dan AIDS A. Pengantar B. Situasi Epidemi dan Respon Penanggulangan AIDS C. Gambaran Sektor Komunitas Sejarah Pendirian, Visi, Misi dan Struktur Karakteristik Organisasional Sektor Komunitas Pengembangan Kapasitas sebagai Landasan Sektor Komunitas berperan dalam Penanggulangan AIDS D. Kegiatan Sektor Komunitas Promosi dan Pencegahan Pengobatan, Dukungan dan Perawatan (PDP) Mitigasi Dampak Membangun Lingkungan yang Mendukung E. Peran Sektor Komunitas dalam Penanggulangan AIDS iv Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

6 a. Penyediaan Layanan b. Pendidikan Komunitas c. Advokasi F. Efektifitas Peran Sektor Komunitas Penyediaan Layanan Pendidikan Komunitas Advokasi Penentu Efektifitas Peran Sektor Komunitas: Faktor Kontekstual dan Faktor Kelembagaan Pengantar Kesenjangan antara Perumusan dan Pelaksanaan Kebijakan Tingkat Konsistensi Pemangku Kepentingan dalam Mendukung Penanggulangan AIDS di Daerah Tingkat Dukungan dari Masyarakat terhadap Penanggulangan AIDS Fungsi Jaringan Komunitas sebagai Modal Sosial bagi Sektor Komunitas Ketergantungan terhadap Tokoh Lokal untuk Menggerakkan Kegiatan Komunitas dan Mobilisasi Pendanaan Lemahnya Tata Kelola Program dalam Jaringan Komunitas Ketersediaan Sumber Pendanaan Informasi Strategis: Siapa yang punya? Faktor Kelembagaan Sektor Komunitas Pembelajaran Sektor Komunitas di Daerah: Pengantar Bangka Belitung: Sektor Komunitas dalam Periode Awal Respon HIV dan AIDS Sulawesi Utara: Melemahnya Jaringan Komunitas Nusa Tenggara Barat: Perbedaan OMS/OBK Lebih Lama dengan Lebih Baru Sulawesi Selatan: Ditinggalkannya Sektor Komunitas oleh MPI dan Peran Tokoh Lokal Bali: Peran Sektor Komunitas yang Efektif Papua: Peran Organisasi Berbasis Agama dalam Penanggulangan HIV dan AIDS Papua Barat: Penyesuaian Program Pasca Pendanaan MPI Pembelajaran Pembahasan Keterbatasan Penelitian Kesimpulan dan Rekomendasi A. Kesimpulan v Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

7 B. Rekomendasi: Strategi ke Depan Daftar Pustaka Lampiran A. Data Penilaian Efektifitas Sektor Komunitas Cakupan Kegiatan Sektor Komunitas Pada Masing-Masing Kelompok Populasi Kunci Perubahan Perilaku Berisiko Melalui Pemakaian Kondom Lampiran B. Hasil web survey untuk pertanyaan terkait persepsi tentang kualitas layanan yang diterima oleh populasi kunci dan ODHA Lampiran C. Hasil web survey berdasarkan Kategori Responden Lampiran D. Daftar Informan Daftar Informan CSO/CBO Daerah Daftar Informan Pemangku Kepentingan Daerah Kategori dan Jumlah Informan Populasi Kunci Daftar Informan Stakeholder Nasional Lampiran E. Instrumen Penelitian Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO Wawancara Mendalam dengan Stakeholder tingkat Nasional vi Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

8 Daftar Singkatan AIDS ARV CSS Dinkes FBO FGD GF HCPI HIV IMS KDS KDPA KSPA Kemenkes Kemensos KP KPAN/P/K/K LBT LSL LSM MOU MPI NGO OBK OMS ODHA Penasun Pemda Perda PL PR PIKM Puskesmas SINU SIPKBI SKPD SRAN/D SR SSR STBP SDM WPA Acquired Immunodeficiency Syndrome Antiretroviral Community System Strengthening (Penguatan Sistem Komunitas) Dinas Kesehatan Faith-Based Organization (Organisasi Berbasis Keagamaan) Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terarah) Global Fund HIV Cooperation Program for Indonesia Human Immunodeficiency Virus Infeksi Menular Seksual Kelompok Dukungan Sebaya Kelompok Desa Peduli AIDS Kelompok Siswa Peduli AIDS Kementrian Kesehatan Kementrian Sosial Kelompok Penggagas Komisi Penanggulangan AIDS Nasional/Provinsi/Kota/Kabupaten Lelaki Beresiko Tinggi Lelaki Seks dengan Lelaki Lembaga Swadaya Masyarakat Memorandum of Understanding/Nota Kesepakatan Mitra Pembangunan Internasional Non-Governmental Organization (Organisasi Non-Pemerintah) Organisasi Berbasis Komunitas (Community Based Organization) Organisasi Masyarakat Sipil (Civil Society Organization) Orang dengan HIV dan AIDS Pengguna Napza (Narkoba) Suntik Pemerintah Daerah Peraturan Daerah Petugas Lapangan Principal Recipients Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat Pusat Kesehatan Masyarakat Sistem Informasi Nahdlatul Ulama Sistem Informasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Satuan Kerja Perangkat Daerah Strategi Rencana Aksi Nasional/Daerah Sub-Recipients Sub-Sub-Recipients Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku Sumber Daya Manusia Warga Peduli AIDS vii Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

9 WPSL WPSTL WHO UNAIDS UNDP Wanita Pekerja Seks Langsung Wanita Pekerja Seks Tidak Langsung World Health Organization Joint United Nations Programme on HIV/AIDS United Nations for Development Program viii Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

10 Ringkasan Eksekutif Ada konsensus umum bahwa organisasi masyarakat sipil (OMS), organisasi berbasis komunitas (OBK) serta organisasi berbasis agama memiliki peranan yang penting dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Berbagai literatur telah menunjukkan bahwa organisasi kemasyarakatan atau biasa disebut dengan sektor komunitas ini memiliki ragam kelebihan yang membuatnya strategis untuk mengatasi permasalahan HIV dan AIDS, antara lain kemampuannya untuk responsif terhadap kebutuhan kelompok masyarakat yang marjinal, fleksibilitasnya yang tinggi, serta SDMnya yang berkomitmen dan bersedia melakukan tugas-tugasnya secara sukarela. Dengan berbagai kekuatan ini, sektor komunitas bisa sangat berkontribusi dalam mempercepat pencapaian tujuan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Akan tetapi, sejumlah evaluasi juga menunjukkan adanya indikasi bahwa sektor komunitas belum bisa secara maksimal berperan karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, seperti kurangnya keterlibatan mereka dalam merancang pendekatan dalam intervensi yang harus mereka lakukan, akuntabilitasnya yang lebih kepada donor daripada kepada konstituennya, serta konflik prioritas karena harus melakukan berbagai proyek demi memastikan keberlangsungan organisasi mereka dari segi pendanaan. Di satu sisi, telah ada upaya-upaya untuk mengatasi masalah ini seperti didirikannya berbagai jaringan populasi kunci untuk pengembangan jejaring, serta berbagai kegiatan pengembangan kapasitas. Namun di sisi lain, meskipun upaya-upaya penguatan sektor komunitas ini telah dilakukan dan sudah ada keterlibatan dari berbagai pihak dalam penanggulangan HIV dan AIDS, jumlah kasus HIV di Indonesia masih terus bertambah. Masih sedikit bukti tentang peran-peran yang telah dilakukan oleh sektor komunitas dan seberapa efektif peran-peran itu dijalankannya, sehingga belum ada strategi yang komprehensif untuk memperkuat peran sektor komunitas agar bisa berkontribusi secara signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan secara sistematik tentang peran sektor komunitas serta efektifitas dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan, dan menghasilkan suatu rekomendasi strategis untuk memaksimalkan kontribusi sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan disain potong lintang (cross-sectional) dan telah melibatkan 48 OMS/OBK yang ada di 12 provinsi di Indonesia, yaitu di Sumatra Utara, Bangka Belitung, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Papua Barat dan Papua. Sebagai pembanding, informasi juga dikumpulkan dari 28 informan yang mewakili berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional serta melalui web survey (88 responden). Untuk mendapatkan gambaran sektor komunitas yang lebih mendalam, di 7 provinsi telah diadakan diskusi terarah dengan para pemangku kepentingan di tingkat daerah serta perwakilan populasi kunci sebagai penerima manfaat program. Secara total ada 65 pemangku kepentingan daerah dan 65 perwakilan populasi kunci yang telah dilibatkan di 7 daerah ini. Terakhir, semua data yang didapatkan divalidasi melalui diskusi terarah di tingkat nasional, melibatkan 24 informan sebagai perwakilan dari setiap provinsi yang menjadi lokasi penelitian. ix Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

11 Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, beberapa temuan kunci dari penelitian ini adalah: 1. Peran sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah peran penyediaan layanan, pendidikan komunitas, dan advokasi. Ketiga peran ini berjalan secara bersamaan namun peran penyediaan layananlah yang paling dominan, yaitu melalui kegiatan pencegahan serta pengobatan, dukungan dan perawatan khususnya pada populasi kunci. Peran advokasi dan pendidikan komunitas dilakukan lebih untuk menunjang peran penyediaan layanan. 2. Secara umum sektor komunitas belum menunjukkan kontribusi yang optimal dalam pencapaian hasil. Dalam peran layanan, keterpaparan program untuk beberapa populasi kunci di beberapa daerah sudah baik, namun tingkat perubahan perilaku dan kepatuhan terhadap pengobatan masih rendah. Peran advokasi belum secara efektif dimainkan karena tidak selalu merespon hambatan-hambatan yang ada dan biasanya hanya sebatas tingkat institusi sehingga terbatas pengaruhnya. Hasil peran pendidikan juga belum efektif karena masih belum berkontribusi optimal dalam peningkatan pengetahuan komprehensif. Ketidakmampuan sektor komunitas untuk menjalankan perannya secara optimal ini dipengaruhi oleh kapasitas institusi dan konteks dimana sektor komunitas bekerja. Ada pergeseran dari peran awal yang membuat mereka strategis untuk berkontribusi secara signifikan dalam penanggulangan HIV dan AIDS, sehingga perlu ada strategi untuk mengembalikan peran-peran ideal ini: 1. MPI, KPA dan stakeholder lain perlu mendorong sektor komunitas untuk melakukan peran secara komprehensif yaitu tidak terbatas pada penyediaan layanan tetapi juga melalui advokasi dan pendidikan komunitas. Ini bisa dilakukan melalui investasi yang berimbang baik dalam bentuk pengembangan kapasitas maupun pengalokasian dana. 2. MPI perlu memberikan kesempatan kepada sektor komunitas untuk melakukan desain dan pengembangan programnya sendiri sehingga sektor komunitas tetap bisa responsif terhadap kebutuhan konstituennya. Hal ini bisa dicapai melalui dialog yang bersifat setara antara MPI dan pemerintah dengan sektor komunitas. Selain itu, strategi untuk menyediakan dana awal (seed money) secara berkelanjutan merupakan cara untuk mendorong sektor komunitas untuk menghindari kepentingan pragmatis yang pada akhirnya mengabaikan kepentingan konsituennya. 3. Sektor komunitas perlu lebih inklusif dalam mewakili kepentingan kelompok marjinal dan bukan terbatas pada populasi tertentu saja. Ini bisa dilakukan dengan memperkuat ideologi pembelaan kepada kelompok marjinal. Pada saat yang sama, MPI perlu merubah pendekatannya dari yang mendorong sektor komunitas untuk fokus kepada populasi kunci tertentu menjadi fokus ke rentang layanan. Dengan demikian maka sektor komunitas bisa menjaga fleksibilitasnya sehingga tidak dibatasi target populasi dan peran yang ditentukan. 4. MPI perlu merubah desain implementasi programnya yang menciptakan adanya hirarki antar OMS/OBK. Dengan demikian relasi antar OMS/OBK bisa kembali menjadi setara dan sektor komunitas bisa lebih membangun situasi dimana mereka memiliki solidaritas dalam upaya untuk penanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya. 5. Pemerintah daerah perlu segera memikirkan mekanisme pendanaan bagi sektor komunitas, dimana salah satu mekanisme yang potensial adalah melalui skema contracting out. Di saat yang sama, sektor komunitas juga perlu memastikan kapasitas organisasionalnya agar dapat menangkap peluang ke depan serta menghasilkan layanan yang berkualitas kepada pemanfaatnya. x Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

12 xi Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

13 xii Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

14 1 Pendahuluan Keterlibatan organisasi masyarakat sipil (OMS), organisasi berbasis komunitas (OBK) atau organisasi berbasis agama dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS sudah berlangsung sejak penyakit itu muncul. Di berbagai tempat biasanya respon terhadap HIV dan AIDS datang dari individu, keluarga dan komunitas yang terdampak, yang bersama-sama memberikan perawatan bagi mereka yang membutuhkan (WHO, 2006). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai literatur (Alliance et al., 2007; Asthana and Oostvogels, 1996; Barnett et al., 2001; Birdsall et al., 2007; Campbell and Cornish, 2010; Cornman et al., 2005; Lee, 2010; Global Fund, 2014; WHO, 2001, Ulleberg, 2009; UNAIDS 2008), organisasi berbasis masyarakat memiliki ragam kelebihan yang membuatnya berada di posisi yang strategis untuk memberikan respon terhadap masalah HIV dan AIDS, seperti kemampuannya untuk: Memahami kebutuhan komunitas yang mereka layani karena mereka adalah bagian dari komunitas itu sendiri sehingga bisa menjembatani kebutuhan masyarakat dengan penyediaan layanan dari pemerintah, Menjangkau masyarakat yang terisolir baik secara geografis maupun sosial karena masalah stigma dan marjinalisasi yaitu bagian masyarakat yang biasanya sulit dijangkau secara efektif oleh sektor lain sehingga bisa mendekatkan layanan kepada masyarakat, Memiliki fleksibilitas yang tinggi karena tidak terikat birokrasi seperti halnya sektor pemerintah sehingga mampu menyesuaikan pendekatan sesuai yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal termasuk dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang inovatif, Efisien karena strukturnya yang jauh lebih ramping misalnya dibandingkan dengan sektor pemerintah. Selain itu, sektor komunitas juga dikenal efisien karena banyak kegiatannya didukung oleh sumber daya yang bersifat sukarela. Contohnya, ada banyak kegiatan pencegahan HIV maupun perawatan terhadap ODHA yang dilakukan oleh sektor komunitas khususnya di situasi dimana jumlah tenaga kesehatan sangat terbatas sementara beban penyakitnya tinggi. WHO (2007) menjadikannya sebagai strategi pengalihan tugas (task shifting) dari tenaga kesehatan ke sektor komunitas. Pentingnya peran berbagai organisasi kemasyarakatan atau biasa disebut dengan sektor komunitas tersebut ini telah menjadikannya sebagai salah satu pemain utama dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, khususnya dalam hal penyediaan layanan di tingkat kabupaten/kota (NAC, 2014). Populasi kunci juga telah terlibat dalam upaya memperkuat kegiatan-kegiatan pencegahan dengan memberikan pendidikan kepada komunitasnya, serta menjadi teladan sesuai dengan identitas kelompok mereka. Selain itu, Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) telah sangat berperan dalam mendampingi dan membantu meningkatkan mutu hidup ODHA. Bentuk-bentuk keterlibatan ini sesuai dengan tujuan yang ada di dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS tahun Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

15 2010 maupun , dimana sektor komunitas diposisikan sebagai pelaku utama dan sebagai mitra pemerintah dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Akan tetapi, sejumlah evaluasi juga menunjukkan adanya indikasi bahwa sektor komunitas belum bisa secara maksimal berperan karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, seperti kurangnya keterlibatan mereka dalam merancang pendekatan dalam intervensi yang harus mereka lakukan, akuntabilitasnya yang lebih kepada donor daripada kepada konstituennya dan terbatas pada isu pertanggungjawaban keuangan saja, serta konflik prioritas karena harus melakukan berbagai proyek yang seringkali berbeda pendekatan dan tujuan demi memastikan keberlangsungan organisasi mereka dari segi pendanaan (NAC, 2014; Clark, 1991; Cornman et al., 2005; de Berry, 1999; Salomon, 1994). Di satu sisi, telah ada upaya-upaya untuk mengatasi masalah ini seperti melalui pelibatan sektor komunitas dalam forum-forum diskusi, pengembangan jejaring lewat didirikannya berbagai jaringan populasi kunci, serta penguatan kapasitas teknis dan kelembagaan lewat berbagai kegiatan pengembangan kapasitas teknis maupun kelembagaan bagi sektor komunitas. Namun di sisi lain, meskipun upaya-upaya penguatan sektor komunitas ini telah dilakukan dan sudah ada keterlibatan dari berbagai pihak dalam penanggulangan HIV dan AIDS, jumlah kasus HIV di Indonesia masih terus bertambah. Masih sedikit bukti tentang peran-peran strategis yang telah dilakukan oleh sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS dan seberapa efektif peran-peran itu dijalankannya, sehingga belum ada strategi yang komprehensif untuk memperkuat peran sektor komunitas agar bisa berkontribusi secara signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan secara sistematik tentang peran sektor komunitas serta efektifitas dari kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan agar supaya bisa diperoleh suatu rekomendasi strategis untuk memaksimalkan kontribusi sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, berikut tiga pertanyaan utama yang hendak dijawab lewat penelitian ini: 1. Peran apa saja yang dilakukan oleh sektor komunitas di dalam penanggulangan HIV dan AIDS? 2. Seberapa jauh efektifitas peran sektor komunitas dalam meningkatkan akses, cakupan dan kualitas dari penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia? 3. Strategi-strategi apa saja yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS di masa depan? Tujuan Penelitian Sesuai dengan pertanyaan penelitian, tujuan utama yang hendak dicapai lewat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memetakan peran sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS, 2. Mengukur efektifitas peran sektor komunitas dalam meningkatkan akses, cakupan, kualitas dan efektifitas dari penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, dan 3. Mengidentifikasi strategi-strategi yang bisa digunakan dalam meningkatkan efektifitas peran sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS. 2 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

16 Kerangka Konseptual Istilah sektor komunitas memiliki cakupan yang luas yaitu beragam individu, kelompok, dan institusi termasuk berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, organisasi berbasis agama, dan jaringan atau komunitas yang terdampak HIV dan AIDS (Global Fund, 2014). Sektor ini bukan merupakan suatu entitas yang tunggal, melainkan merupakan kumpulan dari beragam kepentingan, posisi, kapasitas, sumber daya dan prioritas yang terlibat dalam aneka kegiatan mulai dari adokasi, pendidikan komunitas dan penyediaan layanan (Alliance et al., 2007). Mengacu pada dua definisi ini, penelitian ini mendefinisikan sektor komunitas sebagai setiap bagian dari komunitas yang mengambil tindakan untuk menyediakan layanan atau kegiatan berbasis komunitas dan mendorong terwujudnya kebijakan serta penerapannya yang lebih baik 1. Bagian dari komunitas yang dimaksud secara khusus mengacu pada: Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) seperti berbagai organisasi non-pemerintah baik tingkat lokal, nasional dan internasional yang bekerja dalam isu HIV dan AIDS, Lembaga akademik, bantuan hukum, atau lembaga profesi lainnya yang memberikan dukungan kepada populasi kunci lewat kegiatan pemberdayaan atau konsultasi, Organisasi Berbasis Komunitas (OBK) maupun organisasi berbasis agama, Jaringan ODHA atau kelompok sebaya, Berbagai komunitas dan jaringan populasi kunci. 2 Dalam konteks penanggulangan HIV dan AIDS, sektor komunitas merupakan faktor penentu dalam mempercepat pencapaian 3 zeroes zero infeksi baru, zero kematian terkait AIDS dan zero stigma dan diskriminasi. 3 Kesadaran inilah yang menjadi latar belakang lembaga-lembaga dalam inisiatif kesehatan global mengembangkan kegiatan penguatan sektor komunitas, seperti yang diringkaskan di tabel berikut ini. Kerangka Penguatan Kapasitas Strategic Investment Framework (SIF) Tabel 1: Kerangka Penguatan Kapasitas Sektor Komunitas Dikembangkan Komponen Penguatan Sektor Komunitas oleh UNAIDS SIF menggarisbawahi diperlukannya penguatan terhadap kegiatan-kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS yang berbasis komunitas (oleh SIF disebut critical enablers). SIF menekankan pentingnya faktor-faktor pendukung yaitu: (1) yang bersifat sosial (social enablers), termasuk komitmen politik dan advokasi, kebijakan dan praktekpraktek hukum, mobilisasi komunitas, pengurangan stigma, pelibatan media massa, dan respon lokal terhadap perubahan resiko. 1 Definisi ini mencerminkan adanya area dimana sektor komunitas tumpang tindih dengan sektor kesehatan, yaitu khususnya pada peran Puskesmas sebagai bagian dari sektor komunitas dan juga bagian dari sektor kesehatan. Namun karena penelitian ini fokus pada OMS/OBK sebagai bagian dari sektor komunitas, peran Puskesmas ada di luar cakupan penelitian ini. 2 Dalam konteks penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, sering kali istilah komunitas mengacu pada populasi kunci. Akan tetapi dalam penelitian ini, pengertian sektor komunitas yang digunakan tidak terbatas pada populasi kunci saja tetapi juga meliputi berbagai bagian dari komunitas seperti yang disebutkan di atas. 3 Tujuan umum penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia berdasarkan SRAN (KPAN, 2015). 3 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

17 Kerangka Penguatan Kapasitas Community System Strengthening (CSS) Expanded Readiness Assessment (ERA) Organizational Performance (OP) dan Technical Capacity (TC) Dikembangkan oleh Komponen Penguatan Sektor Komunitas (2) yang bersifat programatik (program enablers), antara lain perencanaan dan pelaksanaan program yang berbasis komunitas, komunikasi program, manajemen dan insentif, pengadaan dan distribusi, serta penelitian dan inovasi. Kedua kelompok faktor pendukung ini sangat penting demi terselenggaranya kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif (Schwartländer, 2011; UNAIDS, 2011). Global Fund Ada enam komponen yang dianggap penting untuk menghasilkan sistem komunitas yang kuat, yaitu: (1) pengembangan lingkungan yang mendukung yaitu pelibatan komunitas dan advokasi yang bertujuan untuk memperbaiki kebijakan, (2) penguatan koordinasi dan kerjasama dalam jaringan komunitas, (3) pengembangan kapasitas bagi SDM dalam hal teknis maupun kelembagaan serta peningkatan kapasitas pendanaan (termasuk pendanaan operasional lembaga), (4) kegiatan komunitas, yaitu perlunya layanan agar tersedia bagi siapa pun yang membutuhkan dan layanan tersebut dikembangkan berbasis bukti, (5) organisasi dan kepemimpinan, yaitu penguatan aspek akuntabilitas serta kepemimpinan dari lembaga maupun sistem komunitas, dan (6) monitoring dan evaluasi termasuk pentingnya perencanaan, sistem M&E, asesmen, dan penelitian. Kerangka ini meyakini bahwa saat semua komponen ini dikuatkan dan berfungsi dengan baik, sistem komunitas akan mampu meningkatkan efektifitas intervensi-intervensi kesehatan, pendidikan, dukungan sosial, dan intervensi lainnya (Global Fund, 2014). USAID Kerangka ini menekankan pada pengukuran kesiapan kapasitas sektor komunitas dalam memberikan respon terhadap masalah HIV dan AIDS (USAID, 2011a). Kesiapan ini dilihat dari 6 dimensi, yaitu: (1) pengetahuan komunitas tentang program HIV dan AIDS, (2) community climate atau tanggapan populasi kunci terhadap program-program penanggulangan HIV, (3) pengetahuan komunitas tentang upaya-upaya penanggulangan HIV di daerah, (4) kepempimpinan, yaitu seberapa mendukung para tokoh pemerintahan atau masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS, (5) sumber daya yang tersedia, dan (6) upaya komunitas, yaitu seberapa jauh program dan kebijakan tersedia untuk penanggulangan HIV dan AIDS. USAID (1) Kerangka OP berfokus pada kapasitas organisasional, yaitu kapasitas kepemimpinan dan manajemen lembaga, termasuk manajemen SDM, manajemen keuangan, manajemen untuk logistik dan aset, dan aspek tata kelola lainnya (USAID, 2011b). (2) Kerangka TC menekankan pada aspek kapasitas teknis, yaitu kemampuan lembaga mengelola program/proyek, 4 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

18 Kerangka Penguatan Kapasitas Institutional Development Framework (IDF) Discussion- Oriented Organizational Self Assessment (DOSA) Organizational Capacity Assessment Tool (OCAT) Dikembangkan oleh Management Systems International, dalam konteks HIV digunakan oleh USAID di Namibia (USAID, 2011c) dan oleh HCPI USAID PACT, Inc. Komponen Penguatan Sektor Komunitas keterampilan untuk melaksanakan program pencegahan dan perawatan HIV yang berkualitas, kemampuan untuk membangun kemitraan serta kemampuan untuk melakukan monitoring dan evaluasi (USAID, 2011a). Kerangka ini bertujuan membantu lembaga mengukur dimana posisinya berdasarkan penilaian terhadap empat komponen tata kelola organisasi, yaitu: (1) Pengelolaan/Visi (kepengurusan, misi, aspek kemandirian). (2) Manajemen sumber daya (gaya kepemimpinan, manajemen partisipasi, perencanaan, pelibatan komunitas, monitoring, evaluasi). (3) SDM (keterampilan staf, pengembangan staf, keberagaman) (4) Sumber daya keuangan (manajemen keuangan, kerentanan dalam aspek keuangan, kecukupan keuangan). Kerangka penguatan ini fokus pada enam area kapasitas: (1) Hubungan eksternal: dengan konstituen, penggalangan dana, komunikasi (2) Manajemen keuangan: penganggaran, perkiraan/forecasting, dan pengelolaan arus kas (3) Manajemen SDM: pelatihan staf, isu supervisi (4) Pembelajaran organisasi: kerja tim dan pertukaran informasi (5) Perencanaan strategis: perencanaan, tata kelola, kemitraan (6) Layanan: isu keberlanjutan dan kemampuan untuk melakukan kegiatan-kegiatan di lapangan. Tujuh area kapasitas: (1) Tata kelola (kepengurusan, misi/tujuan, keterlibatan konstituen, kepemimpinan, status pendirian) (2) Praktek manajemen (struktur, manajemen informasi, prosedur administrasi, kepegawaian, perencanaan, pengembangan program, pelaporan) (3) SDM (kejelasan tugas dan tanggung jawab staf, isu keberagaman, hubungan pelaporan, sistem penggajian) (4) Sumber daya keuangan (sistem akuntansi, penganggaran, sistem inventaris, pelaporan keuangan) (5) Layanan (keahlian sektoral, pelibatan konstituen, penilaian dampak) (6) Hubungan eksternal (hubungan dengan mitra dan penerima manfaat, kerjasama antar LSM, public relations, media) (7) Keberlanjutan (program, kelembagaan, pendanaan, sumber daya) Bila dilihat dari komponen-komponennya, berbagai konsep penguatan sektor komunitas ini samasama berfokus pada dua aspek utama, yaitu: 1. Penguatan kapasitas sektor komunitas secara individual organisasi dan jaringan antar organisasi komunitas dalam hal kapasitas pengorganisasian dan kapasitas teknis (programatik). Komponen ini berfokus pada pentingnya manajemen aspek internal dan eksternal organisasi agar sektor 5 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

19 komunitas bisa menjalankan perannya secara efektif. Manajemen internal disini termasuk kemampuan untuk membuat perencanaan strategis, penganggaran, pengelolaan staf, dan struktur lembaga. Sementara manajemen eksternal mengacu pada bagaimana lembaga dapat membangun hubungan dengan pemerintah, sektor swasta, LSM lainnya, dan dengan target penerima manfaat mereka (de Berry, 1999). Semua ini menuntut kapasitas tata kelola pengorganisasian maupun kapasitas teknis dari sektor komunitas. 2. Pengembangan lingkungan yang kondusif bagi sektor komunitas untuk bisa melaksanakan perannya. Komponen kedua ini menggarisbawahi diperlukannya berbagai intervensi di luar sektor komunitas sendiri yang mendukung peran sektor komunitas dan memiliki dampak yang positif bagi sektor komunitas untuk berperan dengan lebih bermakna (ICASO dan Alliance, 2013a Alliance, 2007; UNAIDS, 2008; USAID, 2011b). Lingkungan kondusif ini bisa bermacam-macam, antara lain adanya jaminan keamanan bagi sektor komunitas untuk dapat berpartisipasi (Cornman et al., 2005), serta ketersediaan dana yang memungkinkan sektor komunitas untuk dapat menjalankan perannya secara berkelanjutan (Birdsall, 2007; Ulleberg 2009). Menyadari bahwa komponen kapasitas lembaga dan lingkungan kondusif merupakan dua komponen yang saling melengkapi dalam menentukan sejauh mana efektifitas peran sektor komunitas, penelitian ini mengembangkan kerangka konseptual berdasarkan gabungan dari kedua asumsi ini (lihat Gambar 1). Pada dasarnya kerangka ini mengadaptasi kerangka CSS yang dikembangkan oleh Global Fund sebab komponen-komponennya telah mencakup dua komponen utama penguatan sektor komunitas, serta paling mewakili berbagai konsep penguatan peran sektor komunitas sebagaimana yang ditawarkan oleh sumber-sumber yang telah dijelaskan di atas. Gambar 1: Kerangka Konseptual Konteks Proses Output Outcome Lingkungan yang kondusif Jaringan komunitas Pengembangan kapasitas Kegiatan komunitas Organisasi dan kepemimpinan Peran sektor komunitas: Penyediaan layanan Advokasi kebijakan Pendidikan komunitas Akses/ cakupan Kualitas Menurunnya perilaku beresiko Meningkatnya pengetahuan komprehensif Meningkatnya jumlah ODHA on treatment Informasi strategis Kerangka konseptual di atas bermaksud untuk mencapai tujuan penelitian ini, yaitu menemukan peran apa saja yang dilakukan oleh sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS serta menggali seberapa jauh efektifitas peran yang dijalankan oleh sektor komunitas tersebut. 6 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

20 Kemampuan sektor komunitas dalam menjalankan peran dan mencapai efektifitas ini akan ditentukan oleh berbagai konteks, yaitu berbagai macam situasi sosial yang memungkinkan sektor komunitas untuk bisa berfungsi dan berkontribusi secara signifikan di dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Situasi sosial yang dimaksud meliputi: 1. Lingkungan yang kondusif, yaitu adanya dukungan hukum, kebijakan dan regulasi dari pemerintah pusat atau daerah, serta dukungan masyarakat bagi sektor komunitas untuk bisa melaksanakan perannya dalam penanggulangan HIV dan AIDS, 2. Jaringan komunitas, yaitu ruang sosial yang memungkinkan sektor komunitas untuk bekerjasama dan berkoordinasi. Ruang sosial yang dimaksudkan disini termasuk jaringan, hubungan, dan kemitraan serta koordinasi. 3. Pengembangan kapasitas, yaitu adanya akses bagi sektor komunitas untuk meningkatkan kemampuan personal, teknis, dan organisasional bagi sumber daya manusia yang ada di sektor komunitas. 4. Kegiatan komunitas, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh sektor komunitas untuk memastikan ketersediaan layanan yang dibutuhkan bagi mereka yang terdampak oleh HIV dan AIDS yang mencakup kegiatan-kegiatan dalam pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan, dan mitigasi dampak. 5. Organisasi dan kepemimpinan, yaitu terbangunnya kapasitas kepemimpinan, tata kelola dan manajemen sumber daya dalam sektor komunitas. 6. Informasi strategis, yaitu kegiatan untuk menghasilkan informasi strategis yang dibutuhkan guna membuat keputusan yang baik dalam perencanaan, pengelolaan, dan peningkatan kualitas program penanggulangan HIV dan AIDS, serta untuk memformulasikan pesan-pesan kebijakan dan advokasi. Jika konteks-konteks tersebut bisa terwujud, maka berbagai peran yang dilakukan oleh organisasiorganisasi yang menjadi komponen sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS dalam suatu wilayah bisa dilaksanakan dengan baik. Peran didefinisikan sebagai aspek dinamis dari suatu posisi atau status sosial yang tampak dalam pada serangkaian hak dan kewajiban yang dimiliki untuk memenuhi harapan (Setiadi, 2008; Kozier, 1995). Meski ada berbagai jenis peran sektor komunitas yang digambarkan oleh dokumen-dokumen yang dikembangkan oleh WHO, GF, UNAIDS, dll, tetapi secara umum peran dominan yang ditunjukkan oleh sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS adalah menyediakan layanan dan kegiatan berbasis komunitas, serta mendorong terwujudnya kebijakan dan penerapannya yang lebih baik. Untuk itu dalam penelitian ini peran sektor komunitas dikelompokkan ke dalam tiga peran yaitu peran advokasi kebijakan, peran pendidikan komunitas dan peran penyedia layanan. Peran penyediaan layanan merupakan peran untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan kelompok sasaran program untuk mencegah penularan HIV, memperoleh perawatan, pengobatan dan dukungan dan mengurangi dampak sosial ekonomi yang diakibatkan oleh AIDS. Peran pendidikan komunitas yaitu perannya untuk membangun kesadaran kritis masyarakat atas pemenuhan kebutuhan komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS, termasuk dalam memberikan informasi teknis; dan peran advokasi kebijakan yaitu aksi strategis dan sistematik yang dilakukan untuk mendorong tersusunnya kebijakan yang mempu memenuhi hak-hak warga negara dalam bidang kesehatan. 7 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

21 Seberapa jauh peran sektor komunitas efektif dilaksanakan bisa dilihat dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan selama ini terkait dengan penanggulangan AIDS dan hasil-hasilnya. Sebagai bagian dari sebuah program yang lebih besar, maka kinerja dari sektor komunitas ini bisa dilihat dari beberapa tingkat yaitu: a. Pada tingkat keluaran (output) yang berupa; Akses, yaitu seberapa jauh ketersediaan layanan kesehatan yang dibutuhkan oleh populasi tertentu, baik yang disediakan oleh sektor pemerintah dan nonpemerintah. Cakupan, yaitu jumlah kelompok sasaran program telah memanfaatkan layanan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang dimilikinya. Kualitas, yaitu standar pelayanan yang ditentukan untuk memastikan efektifitas layanan, keamanan pasien dan kesesuaiannya dengan kebutuhan pemanfaat program baik dari sisi biaya maupun waktu. b. Penilaian pada tingkat berikutnya adalah tingkat outcome (hasil), yaitu efek jangka pendek dan menengah yang dihasilkan dari output suatu intervensi, seperti perubahan dalam pengetahuan, perilaku, keyakinan dan sikap. Dalam penelitian ini, efektifitas peran sektor komunitas akan diukur dari kemampuannya untuk menghasilkan outcome berupa; penurunan perilaku beresiko, yaitu pemakaian kondom secara konsisten di setiap kali berhubungan seks beresiko dan penggunaan alat suntik steril setiap kali menggunakan napza. peningkatan pengetahuan komprehensif, yaitu mengetahui bahwa penggunaan kondom secara konsisten dan hanya memiliki satu pasangan setia dapat mengurangi kemungkinan penularan HIV, mengetahui bahwa orang yang terlihat sehat dapat memiliki HIV, dan menolak pemahaman yang umum terjadi di masyarakat tentang HIV di Indonesia; bahwa HIV dapat di tularkan melalui gigitan nyamuk dan HIV juga dapat ditularkan juga melalui berbagi makanan dengan orang yang terkena HIV. peningkatan jumlah ODHA on treatment, yaitu jumlah ODHA yang masih menerima ARV dari total ODHA yang memenuhi syarat untuk menerima ARV. 8 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

22 2 Metode Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di 12 provinsi di Indonesia yang dipilih berdasarkan beberapa kriteria, antara lain memiliki variasi tingkat epidemiologi HIV dan AIDS, memiliki variasi lamanya program penanggulangan HIV dan AIDS oleh sektor komunitas setempat, dan memiliki variasi respon dari sektor komunitas setempat. Ke-12 provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Papua dan Papua Barat. Desain dan Prosedur Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan disain potong lintang (cross-sectional) yaitu data yang dikumpulkan dan dianalisa untuk suatu waktu tertentu. Informasi yang dikumpulkan untuk menjawab pertanyaan penelitian adalah: (1) aspek kontekstual yang terdiri dari enam komponen konteks, yaitu lingkungan kondusif (meliputi pengaruh kebijakan, stakeholder dan masyarakat), jaringan komunitas (bentuk, tujuan dan manfaat jaringan), pengembangan kapasitas (penyelenggara dan aspek yang dilatih), kegiatan komunitas (dalam pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan, mitigasi dampak serta upaya-upaya menciptakan lingkungan kondusif), organisasi dan kepemimpinan (sistem kepemimpinan, tata kelola jaringan dan sumber pendanaan), dan informasi strategis (pengelolaan dan pemanfaatan data oleh sektor komunitas); (2) peran sektor komunitas meliputi karakteristik sektor komunitas dan perannya dalam penyediaan layanan, advokasi dan pendidikan komunitas; dan (3) kinerja sektor komunitas dalam hal akses dan cakupan, perubahan perilaku, peningkatan kepatuhan, peningkatan pengetahuan komprehensif. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer mencakup aspekaspek konteks dan peran sektor komunitas, dikumpulkan melalui wawancara telpon dan tatap muka dengan 48 OMS/OBK yang ada di lokasi penelitian. Informasi juga dikumpulkan dari 28 informan yang mewakili jaringan populasi kunci, Mitra Pembangunan Internasional (MPI) dan berbagai pemangku kepentingan di tingkat nasional. Sebagai pembanding digunakan juga data yang berhasil dikumpulkan melalui web survey (88 responden). Untuk mendapatkan gambaran sektor komunitas yang lebih mendalam dan untuk memvalidasi hasil yang didapatkan, di 7 provinsi telah diadakan diskusi terarah dengan para pemangku kepentingan di tingkat daerah serta perwakilan populasi kunci sebagai penerima manfaat program dari sektor komunitas. Secara total ada 65 pemangku kepentingan daerah dan 65 perwakilan populasi kunci yang telah dilibatkan di 7 daerah ini. 4 4 Daftar informan yang lebih detil bisa dilihat di Lampiran D. 9 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

23 Data sekunder mencakup aspek karakteristik dan kinerja sektor komunitas, dikumpulkan dari laporan dan dokumen lembaga dari masing-masing OMS/OBK yang terlibat, serta berbagai hasil survey tingkat populasi serta berbagai kebijakan tingkat daerah. Semua data baik yang didapatkan dari data primer dan sekunder divalidasi melalui diskusi terarah di tingkat nasional, melibatkan 24 informan sebagai perwakilan dari setiap provinsi yang menjadi lokasi penelitian. Manajemen Data Setiap peneliti yang mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam dan FGD merekam proses tersebut dengan alat perekam serta membuat resume hasil pengumpulan data untuk setiap wawancara/fgd sehingga didapatkan ringkasan poin-poin utama dari wawancara serta gambaran situasi yang berlangsung saat wawancara/fgd. Rekaman dan resume yang dihasilkan kemudian dikumpulkan kepada manajer data yang bertanggungjawab mengkoordinasikan hasil rekaman tersebut untuk proses transkrip dan analisa. Transkrip secara verbatim dilakukan untuk setiap rekaman hasil wawancara dan FGD, dimana kemudian hasil transkrip dikoding sesuai dengan panduan koding untuk menemukan tema-tema penting. Hasil koding ini kemudian dimasukan ke dalam bentuk ringkasan ke dalam matriks yang dipisahkan berdasarkan variabel sumber datanya, yaitu wawancara dengan OMS/OBK dan wawancara dengan stakeholder di tingkat nasional. Data sekunder juga dikumpulkan untuk setiap daerah penelitian, dimana jenis data dipisahkan berdasarkan tujuannya yaitu (1) data lembaga untuk memetakan peran sektor komunitas dan menentukan tingkat output, dan (2) data hasil survey populasi untuk mengukur tingkat outcome. Data hasil survey populasi di masing-masing daerah diringkaskan dalam bentuk matriks untuk memudahkan proses analisa. Analisis Data a. Analisis untuk Peran dan Konteks Peran Sektor Komunitas Untuk memetakan peran sektor komunitas dan menganalisa pengaruh konteks dalam menentukan kemampuan sektor komunitas untuk menjalankan peran-peran tersebut, berikut langkah-langkah yang telah dilakukan dalam proses analisa: 1. Menentukan variabel yang akan dianalisa, yaitu; (1) siapa sektor komunitas (visi dan misi, perencanaan, pengelolaan staf dan keuangan, struktur dan bentuk lembaga); (2) peran sektor komunitas (advokasi, penyediaan layanan, pendidikan komunitas); serta (3) enam komponen konteks (lingkungan kondusif, jaringan komunitas, pengembangan kapasitas, kegiatan komunitas, organisasi dan kepemimpinan, informasi strategis). 2. Mengklasifikasikan data primer yang telah dikoding berdasarkan komponen konteks dan peran sektor komunitas. Data sekunder digunakan untuk melakukan validasi terhadap data primer, khususnya untuk variabel peran dan siapa sektor komunitas. 3. Menganalisa tema-tema yang muncul untuk setiap variabel dan membuat kesimpulan tentang siapa sektor komunitas, seperti apa perannya, dan sejauh mana konteks mempengaruhi sektor komunitas dalam menjalankan peran-peran tersebut. b. Analisis untuk Menilai Efektifitas Peran Sektor Komunitas Untuk menganalisa efektifitas peran layanan sektor komunitas, langkah-langkah yang dilakukan adalah: 10 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

24 1. Mengumpulkan data sekunder untuk kegiatan penjangkauan di masing-masing populasi kunci di setiap provinsi dan perubahan perilaku berisiko melalui penggunaan kondom dan jarum suntik steril yang ada di lembaga, KPA, Dinas Kesehatan atau Kementrian Kesehatan. Diusahakan data yang dikumpulkan adalah data terbaru Mengumpulkan data capaian sebagai pembanding yang dalam hal ini menggunakan data estimasi target per populasi kunci yang telah dihitung Kementrian Kesehatan tahun 2012 dan data-data dari berbagai macam survei seperti STBP, SDKI, SCP dan survei-survei lain yang dilakukan oleh berbagai MPI yang tersedia. 3. Data yang diperoleh dari setiap provinsi dicek ulang kelengkapannya, dan bila diperoleh data dari banyak lembaga maka data tersebut digabung berdasarkan indikator masing-masing per-populasi kunci. Data tersebut digunakan untuk menghitung hasil kontribusi OMS/OBK (yang datanya tersedia) dengan cara membandingkan dengan data estimasi dari Kemenkes (2012). Hasil yang didapatkan (%) adalah capaian yang merupakan bagian kontribusi dari sektor komunitas (yang datanya tersedia) dalam rangka memenuhi target provinsi untuk penanggulangan HIV dan AIDS. 4. Hasil penghitungan diatas dibandingkan dengan data capaian berdasarkan data hasil survei yang ada. Contohnya, dari STBP dilihat ketersediaan data pada masing-masing provinsi dan tahun survei dilakukan. Kemudian dilihat apakah hasil capaian tersebut sudah memenuhi target yang ditetapkan oleh nasional melalui SRAN, yaitu 80% populasi kunci terjangkau dengan program yang efektif dan 60% populasi kunci berperilaku hidup sehat 5. Hasil perbandingan tersebut digunakan untuk menganalisa bagaimana efektifitas capaian sektor komunitas dalam memberikan kontribusi ke capaian provinsi. Langkah-langkah diatas dilakukan untuk setiap provinsi untuk menilai efektifitas sektor komunitas di masing-masing provinsi tersebut. Semua hasil analisa per provinsi kemudian disimpulkan dalam kesimpulan pembahasan bagian efektifitas yang menggambarkan efektifitas sektor komunitas secara keseluruhan di 12 provinsi. c. Analisis untuk Studi Kasus di Tujuh Provinsi Studi kasus bertujuan untuk melakukan pendalaman tentang sejauh mana konteks berpengaruh terhadap peran sektor komunitas. Untuk mencapai tujuan ini, analisa studi kasus dilakukan dengan menentukan variabel konteks yang hendak dianalisa dan memilah sumber data yang relevan untuk memungkinkan analisa terhadap variabel tersebut: Untuk mendapatkan gambaran tentang peran sektor komunitas, data yang digunakan adalah data primer dari wawancara dengan paling kurang empat OMS/OBK di tujuh daerah yang dijadikan studi kasus, serta data sekunder berupa profil lembaga, laporan program dan dokumen perencanaan lembaga. Untuk mendapatkan gambaran tentang pengaruh konteks terhadap peran sektor komunitas, analisa dilakukan terhadap data primer dari wawancara mendalam dengan OMS/OBK serta dari dua diskusi terarah yang diadakan di tujuh provinsi ini yaitu dengan para pemangku kepentingan daerah perwakilan dari populasi kunci. Data sekunder seperti dokumen Strategi Rencana Aksi Daerah dari KPAD juga dikumpulkan untuk mendapatkan gambaran tentang situasi dan respon penanggulangan HIV dan AIDS di daerah. 5 SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS tahun Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

25 Masing-masing data dikelompokkan berdasarkan variabel dan diringkaskan dalam bentuk matriks. Matriks ini kemudian dianalisa untuk melihat bagaimana peran sektor komunitas dilakukan di tujuh daerah studi kasus, serta komponen konteks apa yang paling mempengaruhi sektor komunitas dalam melakukan peran-peran yang dimainkan oleh sektor komunitas tersebut. Penjaminan Kualitas Mutu Penelitian Untuk menjamin kualitas hasil dari penelitian ini, maka serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk pengendalian kualitas telah dilakukan, termasuk: 1. Melaksanakan konsultasi dengan KPAN baik melalui pertemuan maupun diskusi, sejak pengembangan protokol dan instrumen penelitian, sesudah pengumpulan data/sebelum penulisan laporan, dan sesudah penulisan draft pertama laporan penelitian. Konsultasi dengan KPAN dan para pemangku kepentingan lainnya ini dilakukan untuk memastikan proses penelitian berjalan sesuai dengan yang diharapkan. 2. Mendapatkan persetujuan etik dari Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada untuk memastikan tidak adanya hak-hak dari informan yang dilanggar dan untuk menjamin kesejahteraan informan dalam proses penelitian ini. 3. Melakukan uji coba instrumen untuk masing-masing instrumen penelitian, yaitu instrumen untuk wawancara dengan pemangku kepentingan tingkat nasional, wawancara dengan lembaga-lembaga di daerah, dan web survey. Revisi telah dilakukan berdasarkan hasil yang didapatkan dari proses uji coba. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini bisa dilihat di Lampiran E. 4. Melakukan validasi data, baik dalam bentuk triangulasi antara data primer dan data sekunder serta dalam bentuk pertemuan validasi. Pertemuan validasi dilakukan dalam bentuk diskusi terarah di tujuh provinsi yang dikunjungi dan di tingkat nasional dengan melibatkan perwakilan dari setiap provinsi. 5. Melakukan peer review untuk laporan yang dihasilkan. Selain untuk mengurangi kemungkinan bias dari pemahaman peneliti sebelumnya tentang topik penelitian ini, peer review ini juga dimaksudkan untuk memastikan kualitas metodologi, analisis, intepretasi dan rekomendasi yang dihasilkan. Garis Besar/Sistematika Laporan Laporan ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama yaitu pendahuluan menjelaskan tentang latar belakang dan tujuan penelitian ini serta kerangka konseptual yang telah dikembangkan untuk mencapai tujuan penelitian tersebut. Metode penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisa data dijelaskan di bagian kedua, sementara bagian ketiga menjelaskan tentang hasil pengumpulan dan analisa data dalam bentuk temuan-temuan pokok yang didapatkan melalui penelitian ini. Temuan-temuan pokok yang disajikan merupakan hasil analisa terhadap gambaran tentang siapa sektor komunitas, peran-peran yang dilakukannya dan apa pengaruh konteks dalam menentukan kemampuan sektor komunitas untuk mendapatkan hasil seperti yang ditemukan. Seberapa jauh peran-peran tersebut mampu dilakukan secara optimal disajikan di bagian keempat. Untuk memberikan gambaran secara lebih rinci tentang situasi sektor komunitas di tingkat provinsi, laporan ini menyajikan tujuh studi kasus yang tentang peran sektor komunitas berdasarkan variasi besaran permasalahan HIV di daerah tersebut. Ketujuh studi kasus ini disajikan di bagian lima, 12 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

26 dengan menyoroti berbagai faktor baik kontekstual maupun kelembagaan sektor komunitas yang berpengaruh terhadap efektifitas peran sektor komunitas dalam penanggulangan AIDS di berbagai daerah penelitian. Bagian enam merupakan pembahasan menitikberatkan pada analisa tentang perbedaan antara gambaran peran sektor komunitas yang ideal dan yang membuatnya strategis untuk berkontribusi dalam penanggulangan HIV dan AIDS serta gambaran peran yang didapatkan dalam penelitian ini. Untuk mengatasi kesenjangan tersebut dan membuat peran sektor komunitas kembali strategis seperti yang seharusnya, laporan ini menyajikan beberapa butir rekomendasi di bagian akhir. 13 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

27 3 Peran Sektor Komunitas dalam Penanggulangan HIV dan AIDS A. Pengantar Peran adalah aspek dinamis dari suatu posisi atau status sosial, dimana seseorang yang memiliki posisi sosial tertentu diharapkan untuk memainkan aktivitas tertentu sesuai posisi sosialnya. Karena itu untuk melihat seperti apa peran yang dimainkan oleh sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS, terlebih dahulu perlu diperoleh gambaran yang jelas tentang siapa sektor komunitas itu. Seperti dijelaskan pada bagian Pendahuluan, yang dimaksud dengan sektor komunitas adalah setiap bagian dari komunitas yang mengambil tindakan untuk menyediakan layanan atau kegiatan berbasis komunitas dan mendorong terwujudnya kebijakan serta penerapannya yang lebih baik. Bagian dari komunitas yang dimaksud secara khusus mengacu pada Organisasi Masyarakat Sipil (OMS), Organisasi Berbasis Komunitas (OBK), Jaringan ODHA atau kelompok sebaya dan berbagai komunitas dan jaringan populasi kunci. Berangkat dari konsep peran tersebut maka pada bagian ini akan disajikan gambaran peran sektor komunitas dengan menjelaskan terlebih dahulu tentang situasi epidemi HIV di daerah sebagai landasan untuk terlibat dalam penanggulangan AIDS, perjalanan historis keterlibatan sektor komunitas dalam penanggulangan AIDS di Indonesia, karakteristik kelembagaan dan pengembangan kepasitas sektor komunitas, kegiatan-kegiatan yang saat ini dilakukan oleh sektor komunitas, deskripsi peran strategis sektor komunitas sebagai sebuah organisasi masyarakat sipil dan terakhir adalah efektifitas peran sektor komunitas dalam berkontribusi terhadap penanggulangan AIDS di Indonesia. B. Situasi Epidemi dan Respon Penanggulangan AIDS Situasi epidemi di 12 provinsi yang menjadi lokasi penelitian menunjukkan variasi yang berbeda dalam sebaran dan besaran kasus HIV dan AIDS (Gambar 2) dan variasi besaran populasi kunci (Gambar 3) yang diindikasikan sebagai besaran masalah HIV dan AIDS yang ada wilayah tersebut. Gambaran dari grafik di bawah sebenarnya mengasumsikan bahwa epidemi yang bersifat terkonsentrasi. Sementara hingga saat ini Papua dan Papua Barat dikategorikan memiliki epidemi pada populasi umum sehingga gambaran tentang sebaran populasi kunci di atas tidak bisa menggambarkan besaran masalah yang ada di kedua wilayah tersebut. Jika populasi umum dianggap sebagai kelompok yang rentan terhadap penularan HIV maka seharusnya seluruh jumlah penduduk di wilayah tersebut perlu menjadi sasaran dari program penanggulangan AIDS sehingga menunjukkan besarnya masalah yang ada di wilayah tersebut. Situasi epidemi seperti digambarkan di bawah seharusnya berimplikasi pada besarnya intervensi yang perlu dilakukan untuk menangani 14 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

28 permasalahan HIV di masing-masing wilayah. Terlebih dengan memilah berdasarkan pada jenis populasinya, maka prioritas intervensi besaran dan jenis populasi tersebut seharusnya berbedabeda. Gambar 2: Estimasi ODHA vs Besaran Kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan Gambar 3: Estimasi Populasi Kunci Meskipun demikian, gambaran tentang situasi epidemi dalam kenyataannya tidak secara langsung direfleksikan ke dalam prioritas program. Misalnya sebagian besar program yang dilakukan oleh sektor komunitas diarahkan untuk melakukan pencegahan pada perempuan pekerja seks dan waria, program untuk pelanggan WPS yang merupakan populasi yang paling besar dan merupakan populasi 15 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

29 yang menjadi jembatan ke populasi risiko rendah (pasangan seksual) kurang memperoleh fokus. Situasi kesejangan antara permasalahan dan respon bisa dilihat dari target kegiatan penjangkauan yang dilakukan oleh sektor komunitas di 12 provinsi seperti tampak dalam tabel berikut: Tabel 2: Distribusi Intervensi Pencegahan berdasarkan target populasi di 12 Provinsi Target Populasi Jumlah WPS 28 Waria 23 Gay/LSL 23 ODHA 21 Masyarakat umum 17 Penasun 14 LBT 12 Remaja umum 7 Pelanggan WPS 6 Warga binaan 6 Korban trafficking 3 Remaja marjinal 2 Anak 2 Remaja populasi kunci 1 Masyarakat desa 1 Perempuan 1 Sumber: data primer Kurang berimbangnya prioritas program seperti digambarkan dalam intervensi pencegahan seperti di atas dapat berimplikasi pada alokasi sumber daya yang kurang tepat baik dari segi dana maupun sumber daya manusia untuk kegiatan pencegahan. Demikian pula hal ini akan memungkinkan terabaikannya kelompok-kelompok rentan tertentu untuk tidak memperoleh perhatian dalam program misalnya kelompok remaja atau remaja marjinal/populasi kunci, pelanggan WPS dan masyarakat umum. Sebagian besar sumber daya akhirnya hanya diarahkan pada populasi WPS, waria, LSL, penasun atau ODHA. Tampaknya model intervensi berbasis populasi kunci ini perlu diperkuat dengan pengembangan intervensi yang berbasis pada masyarakat umum mengingat adanya kecenderungan perluasan penularan HIV ke populasi yang dinilai berisiko lebih rendah seperti yang diestimasikan dalam permodelan matematis pada SRAN C. Gambaran Sektor Komunitas 1. Sejarah Pendirian, Visi, Misi dan Struktur Dilihat dari tahun pendiriannya, OMS/OBK yang terlibat di dalam penelitian ini bisa dibagi menjadi empat kelompok; yang pertama adalah kelompok OMS yang berdiri sebelum kasus HIV ditemukan, kedua adalah OMS/OBK yang berdiri di periode inisiasi respon HIV dan AIDS saat penyebaran kasus masih rendah, ketiga adalah OMS/OBK yang berdiri pada respon awal HIV dan AIDS baik di tingkat nasional maupun daerah, dan keempat adalah OMS/OBK yang berdiri di periode sesudahnya, yaitu saat respon pemerintah sudah lebih gencar dan tersedia lebih banyak sumber pendanaan dari donor. 16 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

30 Periode sebelum kasus HIV ditemukan (sebelum tahun 1987) Di kategori ini adalah OMS yang sudah berdiri sebelum tahun 1987, dimana kasus HIV secara resmi dinyatakan pertama kali ditemukan di Indonesia. Pada periode sebelum tahun 1987, respon OMS terhadap permasalahan HIV dan AIDS belum terlihat. Awalnya OMS-OMS ini bergerak di bidang kesehatan umum, kesehatan reproduksi, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan bahkan lingkungan. Sebagian besar OMS/OBK ini baru mulai melakukan kegiatan-kegiatan terkait HIV dan AIDS setelah HIV dan AIDS menjadi permasalahan di daerahnya. Sesuai latar belakang pendiriannya, sampai saat ini OMS-OMS ini juga umumnya memiliki program-program di luar isu HIV dan pendekatan yang dipakai cenderung lebih inklusif dimana permasalahan HIV dan AIDS dilihat sebagai bagian dari isu pembangunan lainnya. Periode inisiasi respon HIV dan AIDS (tahun ) OMS/OBK yang berada di kelompok kedua didirikan di antara tahun Di periode ini, HIV dan AIDS sudah ditemukan di Bali namun tingkat penyebarannya masih rendah. Kelompok OMS/OBK ini termasuk perintis respon HIV di daerahnya masing-masing, seperti yang ditemukan di Bali, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di periode ini juga mulai terlihat pula respon yang muncul dari OMS-OMS yang sudah berdiri sejak periode sebelumnya, seperti di Jawa Barat dan Papua. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan umumnya pada sosialisasi informasi pencegahan dan kampanye melalui media. Umumnya OMS/OBK ini pada awalnya tidak memfokuskan kegiatannya pada salah satu kelompok populasi kunci saja, dengan pengecualian OBK yang ada di Sulawesi Selatan dan Bali yang sejak awal pendiriannya sudah fokus pada kelompok gay dan waria. Beberapa tahun setelahnya baru mulai ada beberapa OMS yang kemudian menarget populasi kunci tertentu seperti WPS dimana penanggulangan HIV dan AIDS menjadi bagian dari penanggulangan IMS. Bila dilihat per daerah, respon yang paling awal ditemukan di Jawa Timur pada tahun 1990 lewat kampanye peningkatan kesadaran melalui media yang dilakukan oleh salah satu OMS. Setahun sesudahnya, respon OMS mulai terlihat di Sulawesi Selatan dengan sosialisasi yang dilakukan oleh salah satu OMS disana. Di Bali gerakan pertama terlihat dari komunitas yang mendirikan sebuah OBK sebagai wadah berkegiatan bagi komunitas gay, waria dan LSL pada tahun Di tahun yang sama, di Jawa Barat mulai ada penguatan untuk kelompok pekerja seks dan sosialisasi pencegahan pada remaja. Sementara respon pertama terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di Papua muncul tahun 1995 yang berfokus pada ODHA. Walaupun secara umum semua OMS/OBK ini adalah perintis respon HIV di daerahnya, yang menarik adalah di Sulawesi Selatan inisiasi yang dilakukan oleh OMS termasuk sangat awal yaitu bahkan sebelum ditemukannya kasus HIV pertama di provinsi ini pada tahun Hal ini sejalan dengan pandangan bahwa seringkali sektor komunitaslah yang menangkap kebutuhan di lapangan dan bersifat responsif terhadap kebutuhan tersebut melalui inovasi yang dilakukannya. Respon pemerintah sendiri baru mulai terlihat pada tahun 1994 melalui pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) melalui Keputusan Presiden 36/1994, kemudian disusul dengan diluncurkannya Strategi Nasional Penanggulangan AIDS yang pertama (bulan Juni 1994). 17 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

31 Periode respon awal HIV dan AIDS (tahun ) Periode ini ditandai dengan semakin menyebarnya HIV dan AIDS ke banyak daerah dan mulai adanya pendanaan dari MPI untuk program penanggulangan HIV dan AIDS. Respon sektor komunitas juga terlihat di semakin banyak daerah: o Di Sulawesi Utara kasus HIV dilaporkan pada tahun 1997, dan ada OMS yang sudah melakukan program pencegahan HIV pada remaja mulai tahun 1998 dengan pendanaan dari donor asing. o Di Sumatra Utara, sejak tahun terdapat kampanye terhadap komunitas yang melibatkan beberapa universitas melalui program UNDP. o Di Papua, pada kurun waktu ini ada beberapa OMS yang sudah mulai melakukan program HIV dan AIDS dan ada pula beberapa OMS yang didirikan secara spesifik untuk penangulangan HIV dan AIDS. o Di Bangka Belitung, kasus HIV mulai dilaporkan pada tahun 2001 dan menurut salah satu informan sudah mulai ada respon terhadap isu HIV di daerah ini sejak tahun 2003 melalui penyebaran informasi pencegahan. Namun dengan tidak adanya pendanaan, belum terlihat respon yang cukup memadai di daerah ini sampai dekade berikutnya. Periode respon lanjutan HIV dan AIDS (setelah tahun 2003) Periode ini ditandai dengan semakin banyaknya pendanaan dari MPI, termasuk kerjasama pemerintah Indonesia dengan GF yang dimulai pada tahun Pada periode ini pula sejumlah OMS/OBK yang berada di 12 propinsi daerah penelitan mendapatkan pendanaan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dari Global Fund. Komitmen pemerintah terhadap penanggulangan HIV dan AIDS juga semakin terlihat, antara lain dengan dihasilkannya Komitmen Sentani 6 pada tahun 2004 yang menyepakati adanya pendekatan multisektoral untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Di periode sebelumnya sudah mulai ditemukan respon spesifik dari komunitas populasi kunci. Contohnya, sudah ada OBK yang fokus pada penasun di Bali (1999) dan di Sumatra Utara (2002), serta untuk ODHA di Bali (2001). Namun baru pada periode inilah semakin banyak OBK yang bermunculan. Mereka umumnya didirikan oleh komunitas populasi kunci tertentu dan memfokuskan kegiatan mereka untuk populasi kunci yang mereka wakili. Dari 24 OBK yang diwawancarai dalam penelitian ini, 15 diantaranya (63%) didirikan di antara OBK- OBK ini tersebar di sebagian besar daerah penelitian seperti di Jawa Timur, Sulawesi Utara, Yogyakarta, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan Bangka Belitung. Di periode ini respon HIV dan AIDS juga dimulai di beberapa daerah seperti di Nusa Tenggara Barat, Papua Barat dan Kalimantan Tengah. Respon sektor komunitas di Papua Barat sebenarnya sudah terlihat sejak periode sebelumnya saat beberapa OMS yang ada masih tergabung dalam provinsi Papua. Gambaran perjalanan keterlibatan sektor komunitas seperti digambarkan di atas secara singkat bisa dilihat pada Gambar 4. Sejarah perkembangan keterlibatan sektor komunitas menunjukkan bahwa 6 Komitmen Sentani adalah komitmen yang dibuat oleh stakeholder dari 6 provinsi (Bali, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua dan Riau) pada tanggal 19 Januari 2004 yang menghasilkan 6 kesepakatan prioritas penanggulangan HIV dan AIDS. 18 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

32 ada perbedaan respon sektor komunitas berdasarkan waktu pendirian. Ada OMS/OBK yang berdiri atau memulai program HIVnya lebih karena mereka menangkap kebutuhan pada saat belum ada upaya-upaya dari sektor pemerintah maupun kesempatan pendanaan dari donor, seperti OMS/OBK yang didirikan pada dua periode pertama. Sebaliknya, ada juga OMS/OBK yang didirikan karena sudah ada kesempatan ketersediaan dana untuk program HIV dan AIDS, seperti OMS/OBK yang didirikan pada periode terakhir. Gambar 4: Perkembangan Respon Sektor Komunitas Perbedaan ini tercermin dalam visi dan misi OMS/OBK. Visi dan misi OMS/OBK yang lebih dulu berdiri umumnya lebih luas dibanding OMS/OBK yang lebih baru berdiri, dimana HIV dan AIDS dijadikan sebagai program yang inklusif yaitu merupakan bagian dari program-program lain yang dilakukan oleh OMS/OBK tersebut. Sementara untuk OMS/OBK yang baru, misinya cenderung terbatas pada upaya mengatasi permasalahan HIV dan AIDS saja dan juga ada yang secara khusus terbatas pada populasi kunci tertentu saja. Terlepas dari perbedaan ini, alasan mengapa sektor komunitas memilih terlibat dalam penanggulangan HIV dan AIDS di daerahnya secara garis besar sama yaitu untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan dengan ketersediaan layanan. Variasi pemilihan pendekatan dan target populasi di atas juga terlihat apabila dihubungkan dengan inisiator pendirian OMS/OBK. Pendiri OMS/OBK bisa dikelompokkan menjadi pendiri yang berasal dari masyarakat sipil (termasuk akademisi, tokoh masyarakat lokal, tokoh agama ataupun bagian lain dari masyarakat umum), dan inisiator yang berasal dari populasi kunci dan ODHA. Kelompok yang pertama cenderung untuk menarget populasi umum seperti remaja atau pelajar dan apabila fokus kepada populasi kunci biasanya hanya pada populasi WPS saja. Sementara OMS/OBK yang pendirinya adalah populasi kunci cenderung untuk menarget populasi kunci saja. Dari sisi struktur organisasi, secara umum OMS/OBK memiliki struktur yang sederhana dan tidak birokratif, namun ada perbedaan yang ditemukan pada variasi kelengkapan struktur. Ada OMS/OBK 19 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

33 yang hanya memiliki struktur program saja, dimana umumnya OMS/OBK yang masuk di dalam kategori ini merupakan perwakilan jaringan di tingkat pusat. Ada juga OMS/OBK yang mempunyai struktur lengkap dimana ada pengawas, staf program dan staf keuangan yang terpisah. Contohnya terlihat di OMS/OBK yang berbentuk yayasan atau perkumpulan. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa ada 42 OMS/OBK yang berbentuk LSM (termasuk yayasan dan perkumpulan), 4 kelompok dukungan sebaya dan kelompok komunitas lainnya, serta 2 berbentuk jaringan populasi kunci. Sementara responden web survey sebagian besar juga berbentuk LSM (62), diikuti komunitas termasuk KDS dan komunitas lain (16), serta jaringan populasi kunci (8). Terlepas dari bentuk lembaga dan struktur, ditemukan bahwa di saat tidak ada pendanaan umumnya banyak staf OMS/OBK yang melakukan rangkap tugas termasuk antara struktur di program dan di keuangan, sehingga fungsi kontrol menjadi lemah. Dari segi dampaknya terhadap program, organisasi dengan struktur program saja cenderung bersifat cair, dimana staf-staf atau anggota-anggotanya bisa dengan mudah menjadi staf dari organisasi lain yang sedang mendapat pendanaan. Pola seperti ini terlihat di Sulawesi Utara, Bangka Belitung dan Nusa Tenggara Barat, dimana staf dari lembaga yang berbeda-beda bisa saling diperbantukan di satu lembaga yang sedang memiliki pendanaan. 2. Karakteristik Organisasional Sektor Komunitas Kemampuan OMS/OBK dalam mengembangkan dan merealisasikan perencanaan strategis lembaganya cukup beragam. Secara umum OMS/OBK memiliki perencanaan strategis yang bersifat jangka panjang dimana mereka menuangkan ide-ide dan aspirasi yang ingin dicapai, walaupun ada yang sifatnya komprehensif (tertulis dan mampu dielaborasikan dengan jelas) dan ada yang sifatnya sederhana. OMS/OBK yang memiliki perencanaan secara terstruktur umumnya adalah mereka merupakan cabang dari jaringan OMS/OBK nasional, sebab mereka biasanya mengikuti rencana jangka panjang dari jaringan induknya (berlaku selama 3 sampai 10 tahun). Akan tetapi tidak semua lembaga mampu menurunkan perencanaan strategis mereka menjadi perencanaan program tahunan yang bersifat jangka pendek, umumnya karena kendala pendanaan. Cukup banyak OMS/OBK yang mengalami hal ini, antara lain OMS/OBK di Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Papua dan Papua Barat. Akibatnya program tahunan yang banyak dilakukan adalah program yang didesain oleh donor sebab pendanaan untuk program tersebut tersedia, dan OMS/OBK cenderung menjadi pelaksana program saja: Itu aduh, itu... jadi memang kami belum profesional ya.. Jadi tidak ada perencanaan yang baku. Jadi ya hanya, ya apa yang kita hadapi, itu yang kami kerjakan. Kemudian nanti manajemen baru, mudah-mudahan manajemen baru nanti kami akan membuat program perencanaan yang mungkin, apa namanya... baku, kemudian apalagi... yang strategis. (Wawancara mendalam, PB4, Maret 2015). Terkait pengelolaan SDM, umumnya OMS/OBK memiliki tiga kategori staf yaitu staf lembaga, staf program, dan staf program yang sifatnya relawan. Sebagaimana organisasi lainnya, OMS/OBK memiliki staf dengan kompetensi yang variatif, namun terkait pengetahuan tentang situasi epidemi yang dihadapi di daerahnya sebagian besar OMS/OBK menunjukkan tingkat pemahaman yang baik. Dari 48 OMS/OBK yang diwawancarai, ada 25 diantaranya yang menguasai statistik, tren epidemi 20 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

34 dan prevalensi di berbagai populasi kunci di wilayahnya. Ada 20 yang hanya dapat menyebutkan situasi epidemi terkait populasi kunci yang dilayaninya, dan hanya 3 informan yang tidak dapat menjelaskan situasi epidemi di wilayahnya. Secara umum ditemukan bahwa jumlah SDM yang dimiliki oleh OMS/OBK sangat fluktuatif tergantung ketersediaan pendanaan; di saat tidak ada pendanaan ada OMS/OBK yang sepenuhnya mengandalkan relawan dan ada yang harus memberhentikan stafnya yang dikontrak sesuai periode pendanaan. Umumnya staf yang bersifat tetap (tidak tergantung siklus program) adalah para pendiri, dan mereka bisa melakukan pekerjaan mereka di posisi program baik sebagai relawan atau sebagai staf berbayar sesuai ketersediaan dana. Sementara jenis posisi yang paling sering terjadi pergantian adalah petugas lapangan. Masalah pergantian staf merupakan masalah yang banyak dikeluhkan oleh sektor komunitas. Umumnya hal ini terjadi karena terbatasnya kemampuan OMS/OBK untuk memberikan upah yang memadai ataupun karena siklus program. Di saat pendanaan dari satu donor untuk proyek tertentu berakhir, maka staf-stafnya tidak bisa dipertahankan. Sementara di Papua dan Papua Barat, pergantian staf biasanya terjadi karena ketertarikan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil yang dianggap lebih bisa memberikan kestabilan pekerjaan, dan ditemukan juga di Sulawesi Selatan dimana ada pergantian staf yang terjadi karena ketidakmampuan OMS/OBK untuk menawarkan jenjang karir, sehingga ada staf-staf yang keluar untuk bergabung di lembaga MPI. Beberapa OMS/OBK menganggap pola pergantian staf akibat ketidakmampuannya untuk memberikan upah yang memadai dan stabil serta jenjang karir ini sebagai sesuatu yang wajar dan tidak bisa dihindari. Akan tetapi OMS/OBK di beberapa daerah seperti Jawa Timur dan Papua mengeluhkan bahwa permasalahan seringnya pergantian staf ini berdampak pada efektifitas program: Nah itu yang jadi masalah di Papua, itu turnovernya sangat tinggi... kerjanya tidak lama bertahan, jadi keluar dan juga membuat turnover staf juga cukup tinggi. Itu yang menjadi kendala, artinya dengan pergantian staf itu otomatis kita mengeluarkan energi lagi untuk melatih staf-staf baru itu untuk mencapai apa yang kita inginkan ya. (Wawancara mendalam, P6, Maret 2015). Selain pergantian staf, dampak lain dari keterbatasan pendanaan adalah OMS/OBK cenderung berusaha untuk melakukan banyak proyek di saat yang sama demi dapat memenuhi kebutuhan pendanaannya. Di satu sisi tindakan ini memang bisa meningkatkan sumber pendanaan bagi lembaga, namun di sisi lain fokus dan tenaga staf menjadi terserap untuk melakukan berbagai proyek di saat yang sama atau sekedar melakukan pekerjaannya untuk memenuhi tuntutan target secara kuantitas: Terus terang aja ya kalau kita bicara target itu kemudian kita memaksakan petugas lapangan kita untuk harus mencapai target [mereka bilang] pak gaji kita ini tidak sesuai dengan UMR, tetapi luar biasa sekali targetnya ini. Tidak sesuai dengan kemampuan kita. Tapi saya katakan, He, tabu sekali kita bicarakan itu dengan donor karena donor sudah menetukan seperti itu. Makanya ya kita [biar] yang funding kecil-kecil aja kita [tetap] ambil itu, yang penting bisa nambah-nambahin uang transport dari teman-teman. (Wawancara mendalam, SU3, Maret 2015). 21 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

35 Sumber pendanaan sektor komunitas secara umum memang sangat terbatas, dimana sebagian besar bersumber dari donor. Tidak banyak OMS/OBK yang bisa memanfaatkan pendanaan dari sektor pemerintah dan swasta, dan hanya sedikit OMS/OBK yang mempunyai sumber pendanaan sendiri (lihat tabel). OMS/OBK yang bisa secara swadaya memiliki sumber pendanaan umumnya adalah OMS/OBK yang memiliki unit usaha, termasuk klinik kesehatan. Sumber Donor 35 KPA/KPAN 12 Jaringan nasional Tabel 3: Gambaran Sumber Pendanaan dari 48 lembaga Jumlah Organisasi 12 Swadaya 10 Wilayah Jawa Timur, Sulawesi Utara, Yogyakarta, Bali, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Papua, Papua Barat Sulawesi Utara, Bali, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Kalimantan Tengah Sulawesi Utara, Yogyakarta, Bali, Bangka Belitung, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Papua, Papua Barat Sumatra Utara, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Tengah CSR /Swasta 4 Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Papua, Sumatra Utara APBD 6 Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Papua, Yogyakarta APBN 3 Yogyakarta, Sumatra Utara Sumber: data primer Untuk manajemen keuangan, secara umum OMS/OBK telah memiliki sistem pencatatan keuangan mereka sendiri meskipun ada beberapa yang masih bersifat sangat sederhana yaitu sekedar untuk melihat pendapatan dan pengeluaran lembaga. Beberapa lembaga yang sudah cukup kuat dalam pengorganisasian memiliki sistem keuangan yang cukup baik. Selain itu, OMS/OBK yang sudah memiliki banyak pengalaman berinteraksi dengan MPI umumnya juga memiliki sistem keuangan yang lebih baik karena merupakan salah satu syarat yang dituntut oleh MPI. Hal serupa terjadi juga dengan sistem pelaporan lainnya seperti evaluasi dan monitoring, dan sistem informasi. Umumnya OMS/OBK menggunakan format dan sistem pelaporan yang dikembangkan oleh donor mereka, sehingga apabila mereka memiliki beberapa donor yang berbeda maka format pelaporan tersebut akan berbeda-beda pula. Selain masalah sistem pelaporan ini, masalah lain yang ditemukan adalah beragamnya kemampuan OMS/OBK dalam melakukan pencatatan dan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, dimana pelaporan dan pendokumentasian dampak program hanya berjalan pada lembaga yang mendapatkan pendanaan. Lembaga yang tidak memiliki donor dan staf-stafnya ikut melakukan program penjangkauan dari lembaga lain umumnya tidak memiliki dokumentasi pelaporan. 3. Pengembangan Kapasitas sebagai Landasan Sektor Komunitas berperan dalam Penanggulangan AIDS Secara umum ada empat sumber pengembangan kapasitas yang didapatkan oleh OMS/OBK di daerah, yaitu: 22 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

36 1. Dari jaringan tingkat nasional untuk anggota jaringannya di daerah, misalnya pengembangan kapasitas yang diberikan oleh jaringan GWL Ina, IPPI, Spiritia dan jaringan populasi kunci lainnya, atau dari jaringan OMS di tingkat pusat seperti PKBI dan NU 2. Dari jaringan tingkat daerah untuk anggota jaringan tersebut, 3. Dari stakeholder seperti dari pihak donor, KPA dan Dinas Kesehatan, serta 4. Dari lembaga sendiri. Sebagian besar kesempatan pengembangan kapasitas bagi sektor komunitas didapatkan dari stakeholder termasuk MPI (41%) dan dari jaringan nasional (35%). Jaringan daerah (baik dengan isu spesifik AIDS maupun non-aids, dengan bentuk formal ataupun informal) juga memberikan kegiatan pengembangan kapasitas namun sifatnya sporadis. Sementara sumber pengembangan kapasitas yang paling sedikit adalah dari lembaga sendiri (24%). Umumnya OMS/OBK yang bisa mengadakan pengembangan kapasitas untuk SDMnya adalah OMS/OBK yang sedang memiliki pendanaan dari donor, sementara OMS/OBK yang tidak memiliki pendanaan cenderung bergantung pada kesempatan dari jaringan nasional. Pola ini terlihat antara lain di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. OMS/OBK bisa mendapatkan pengembangan kapasitas dari beberapa sumber sekaligus. Artinya, OMS/OBK yang memiliki hubungan dengan jaringan tingkat nasional ataupun daerah dan lembaganya sedang memiliki donor akan cenderung memiliki lebih banyak kesempatan pengembangan kapasitas dibandingkan dengan yang tidak. Contoh seperti ini bisa ditemukan di Bali dan Sumatra Utara. Sementara di Kalimantan Tengah yang tidak memiliki jaringan daerah dan sumber pendanaannya terbatas, kesempatan pengembangan kapasitas didapatkan secara swadaya lewat upaya saling berbagi topik dan pengetahuan di antara OMS/OBK daerah yang memiliki isu yang berbeda-beda, sehingga bisa saling memperkaya satu dan yang lain. Dominasi MPI dan jaringan nasional sebagai sumber pengembangan kapasitas sektor komunitas di daerah ini relevan dengan informasi yang disampaikan oleh sebagian besar stakeholder di tingkat nasional yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Dari 26 informan stakeholder nasional, 60% diantaranya melakukan pengembangan kapasitas bagi mitra atau anggota OMS/OBKnya di daerah. Biasanya kan penguatannya itu berdasarkan hasil dari assesment organisasi. Mereka kurangnya apa, kalau kaitannya dengan strategic planning memang hampir semuanya dulu tidak punya kecuali organisasi-organisasi sudah buat. Nah itu kita membagi menjadi dua wilayah kegiatan, misalnya dengan isu yang sama kayak pelatihan pembuatan dokumen rencana strategis organisasi. Itu nanti kita bagi wilayah Sumatra, Kalimantan sendiri. (Wawancara mendalam, NAS9, April 2015). Dilihat dari segi topiknya, pengembangan kapasitas yang diterima oleh sektor komunitas bisa dibagi menjadi pengembangan kapasitas secara teknis programatik, kapasitas pengelolaan organisasi, dan kapasitas personal. Yang dimaksud dengan kapasitas teknis yaitu pelatihan yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas SDM dalam pelaksanaan program, misalnya pelatihan pengembangan dan manajemen program, pelatihan cara membuat pelaporan yang baik, pelatihan untuk menjadi konselor, dan seterusnya. Kapasitas pengelolaan organisasi adalah pelatihan yang bertujuan untuk menguatkan kelembagaan seperti pelatihan cara membuat rencana strategis, visi dan misi, serta manajemen keuangan lembaga. Sedangkan kapasitas personal yaitu pelatihan-pelatihan yang tujuannya untuk peningkatan kapasitas pribadi dari SDM yang ada dalam sektor komunitas, misalnya 23 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

37 keterampilan komunikasi dan kemampuan berbicara di depan umum, kepemimpinan, keterampilan komputer, mengatasi konflik, teknik melobi, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa aspek pengembangan kapasitas yang diterima oleh sektor komunitas lebih menekankan pada peningkatan kemampuan teknis untuk pelaksanaan program (43%), kemudian pengembangan kapasitas berkaitan dengan aspek organisasional (24%) dan aspek personal (24%). Tabel berikut menyajikan pengembangan kapasitas yang tersedia bagi sektor komunitas berdasarkan provinsi. Tabel 4: Aspek Pengembangan Kapasitas yang tersedia di Daerah No. Provinsi Aspek Pengembangan Kapasitas Teknis/Program Kelembagaan Personal 1. Sumatra Utara NA 2. Bangka Belitung NA 3. Jawa Barat NA 4. Yogyakarta 5. Jawa Timur 6. Bali 7. Kalimantan Tengah NA NA 8. Sulawesi Selatan 9. Sulawesi Utara NA 10. Nusa Tenggara Barat 11. Papua Barat NA 12. Papua NA Sumber: data primer Dilihat dari daerahnya, ada 5 daerah yang topik pengembangan kapasitasnya beragam, yaitu Jawa Timur, Bali, Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Jawa Timur dan Bali merupakan daerah yang diprioritaskan MPI untuk pendanaan sehingga kesempatan pengembangan kapasitasnya juga lebih banyak, selain itu OMS/OBK yang ada juga bisa menyelenggarakan pengembangan kapasitas mereka sendiri. Sementara Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat selain memiliki hubungan dengan jaringan nasional juga memiliki hubungan jaringan daerah yang tidak ekslusif pada isu HIV saja sehingga kesempatan pengembangan kapasitas bisa didapatkan dari kedua sumber ini. Kondisi sebaliknya ditemukan di Kalimantan Tengah, dimana topik pengembangan kapasitasnya paling terbatas. Tidak ada informan yang melaporkan mendapatkan pengembangan kapasitas dari stakeholder daerah seperti KPA dan Dinas Kesehatan. Pengembangan kapasitas yang didapatkan OMS/OBK di daerah ini lebih mengandalkan pengembangan kapasitas yang diadakan secara swadaya antar sektor komunitas. Sebagai daerah yang baru mulai melakukan program penanggulangan HIV dan AIDS, Bangka Belitung mendapatkan banyak pengembangan kapasitas dari pihak donor, KPA dan jaringan nasional namun topiknya lebih menekankan pada aspek program dan pengelolaan lembaga. Sementara Sumatra Utara sumber pengembangan kapasitasnya dari forum LSM, dari KPA dan Dinas Kesehatan. Tidak ada yang topiknya terkait kapasitas individu karena yang dianggap prioritas masih tentang teknis program dan kelembagaan seperti pembuatan prosedur tata kelola organisasi: 24 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

38 [kami] juga pernah difasilitasi oleh temen-temen forum untuk kegiatan pembuatan SOP administrasi. Disitu kita paham bagaimana melakukan eee prosedur-prosedur administrasi, baik itu perekrutan staf, penggajian staf, sampai kepada pemutusan hubungan kerja. Jadi kita paham. Selama ini kan [kami] modelnya masih apa ya, model-model yang sederhana, jadi ketika ada dibutuhkan, direkrut, tapi tidak ada eee... prosedur yang mengatur itu. (Wawancara mendalam, SUM4, Maret 2015) Kesimpulannya, kesempatan pengembangan kapasitas paling banyak didapatkan dari luar lembaga (dari stakeholder termasuk MPI dan dari jaringan nasional), dengan topik yang menitikberatkan pada aspek-aspek programatik. Akan tetapi walaupun kesempatannya tersedia, namun intensitas pengembangan kapasitas yang dilaksanakan masih tidak rutin sifatnya khususnya untuk kesempatan yang datang dari luar lembaga. Para informan melaporkan bahwa pengembangan kapasitas yang terencana adalah pengembangan kapasitas yang dilaksanakan atau diinisiasikan sendiri oleh OMS/OBK mereka, namun jumlahnya juga terbatas sesuai ketersediaan dana. Lebih jauh lagi, posisi mereka pasif dalam menentukan topik yang menjadi kebutuhan mereka karena jarang ada stakeholder (daerah dan nasional) maupun jaringan nasional yang melakukan pemetaan kebutuhan mereka, padahal tingkat kapasitas dan minat mereka cukup beragam. D. Kegiatan Sektor Komunitas Kegiatan komunitas adalah kegiatan yang dilakukan oleh sektor komunitas dalam penanggulangan HIV dan AIDS, meliputi promosi pencegahan, pengobatan, dukungan dan perawatan (PDP) serta mitigasi dampak. Kegiatan komunitas bisa dilakukan secara kelembagaan maupun lewat kerja sama antar sektor komunitas dalam kegiatan penanggulangan AIDS. Hasil wawancara menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan pada sektor komunitas dapat dikelompokkan menjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan promosi pencegahan, kegiatan PDP, dan kegiatan mitigasi dampak. Selain itu ada pula kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sektor komunitas untuk membuat lingkungannya lebih mendukung. Pembahasan dari masing-masing bagian ini adalah sebagai berikut: 1. Promosi dan Pencegahan Promosi pencegahan adalah upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengurangi terjadinya penularan penyakit. Kegiatan-kegiatan promosi dan pencegahan yang dilakukan oleh sektor komunitas meliputi kegiatan sosialisasi, penjangakuan dan pendampingan, distribusi peralatan pencegahan dan rujukan. Kegiatan promosi pencegahan yang dilakukan meliputi kegiatan pada populasi kunci maupun populasi marjinal di luar populasi kunci, seperti anak jalanan, korban trafficking (perdagangan manusia) dan remaja beresiko tinggi. Dari 48 OMS/OBK, mayoritas melakukan upaya pada area promosi dan pencegahan yang meliputi berbagai kegiatan seperti yang ditunjukkan di diagram berikut: 25 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

39 Diagram 1: Jumlah Kegiatan Sektor Komunitas pada Lingkup Pencegahan Konseling pasangan NA/AA Konseling adiksi Layanan rehab Rujukan rehab Layanan IMS Layanan VCT LASS Distribusi kondom Rujukan IMS Rujukan VCT Sosialisasi Penjangkauan *NA/AA = Narcotics Anonymous/Alcoholic Anonymous Sumber: data primer (n=48) Seperti yang terlihat dalam diagram di atas, hanya ada sedikit OMS/OBK yang berfungsi sebagai penyedia layanan IMS, VCT, ataupun rehabilitasi langsung. Sebagian besar OMS/OBK lebih melakukan berbagai fungsi rujukan baik rujukan VCT, IMS dan rujukan rehabilitasi ke penyedia layanan seperti puskesmas atau rumah sakit:...kalo memberikan layanan itu kita rujuk ke pihak layanan baik rumah sakit swasta, terus terang [kami] belum punya klinik... (Wawancara mendalam, KAL1, Maret 2015)....Pengobatan kita sistemnya rujukan karena memang kan [lembaga kami] bukan sebuah klinik. Jadi kami kalau di pengobatan hanya bermain pada dukungan psikososialnya karena kami yang menemukan ketika ada butuh pengobatan kami rujuk ke layanan. Setelah mendapatkan pengobatan kita pantau gitu, kita temani. Untuk memastikan obatnya berjalan dengan sesuai dengan, apa namanya, harapan. (Wawancara mendalam, BAL3, Maret 2015). Diagram di atas juga menunjukkan bahwa kegiatan penjangkauan merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan. Secara lebih rinci, WPS merupakan target populasi yang paling banyak dijangkau oleh seperti dilaporkan pada Tabel 1 dan hasil web survey dimana dari 90 responden, 61.4% diantaranya bekerja pada populasi WPS. Sementara itu hanya terdapat 6 OMS/OBK yang melakukan kegiatan pada pelanggan WPS. Pemetaan kegiatan penjangkauan yang dilakukan oleh OMS/OBK menunjukkan bahwa OMS/OBK lebih banyak melakukan kegiatan penjangkauan pada populasi kunci daripada ke populasi umum, mengingat bahwa populasi kunci merupakan kelompok marjinal yang sulit untuk mengakses layanan karena berbagai hambatan. Meski demikian, tetap ada kegiatan penjangkauan di luar populasi kunci meskipun belum menjadi kegiatan prioritas seperti di Sumatra Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Yogyakarta, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Papua dan Papua Barat:...bahwa masalah kesehatan tidak hanya cukup fisik saja tetapi juga juga eee aspek aspek lain itu sangat berpengaruh. Dan untuk ODHA sendiri juga saya pikir tidak hanya di jalankan di dalam rumah sakit tetapi juga di luar rumah sakit itu juga perlu itu ada pendidikan masyarakat biar ada 26 Laporan Penelitian: Tinjauan Respon Sektor Komunitas terhadap Penanggulangan HIV dan AIDS

Tinjauan Respon Sektor Komunitas dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia

Tinjauan Respon Sektor Komunitas dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Tinjauan Respon Sektor Komunitas dalam Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Kerjasama antara PKMK FK UGM dan KPAN Padang, 24 Agustus 2015 Latar Belakang Penelitian Jumlah kasus HIV dan AIDS masih terus

Lebih terperinci

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL

PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL POLICY BRIEF 03 PESAN POKOK LAYANAN HIV & AIDS YANG KOMPREHENSIF DAN BERKESINAMBUNG- AN (LKB): PERAN PEMERINTAH DAERAH DAN MASYARAKAT SIPIL Layanan HIV dan AIDS yang Komprehensif dan Berkesinambungan (LKB)

Lebih terperinci

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM

AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM AIDS dan Sistem Kesehatan: Sebuah Kajian Kebijakan PKMK FK UGM Latar Belakang Respon penanggulangan HIV dan AIDS yang ada saat ini belum cukup membantu pencapaian target untuk penanggulangan HIV dan AIDS

Lebih terperinci

Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO. I. Panduan untuk Peneliti

Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO. I. Panduan untuk Peneliti Panduan Wawancara Mendalam dengan CSO/CBO I. Panduan untuk Peneliti Persiapan: 1. Pastikan anda sudah mengkonfirmasi jadwal dan tempat diskusi dengan informan. 2. Pastikan anda sudah mempelajari CSO/CBO

Lebih terperinci

Penguatan Sektor Komunitas

Penguatan Sektor Komunitas Penguatan Sektor Komunitas Kursus Kebijakan Penanggulangan AIDS III, PKMK UGM 2016 Sistematika Pengertian Sektor Komunitas (CS) Siapa Sektor Komunitas? Beda SK, Civil Society, LSM Mengapa CS dibutuhkan/penting?

Lebih terperinci

komisi penanggulangan aids nasional

komisi penanggulangan aids nasional 1 komisi penanggulangan aids nasional Pendahuluan: Isi strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam RPJMN 2010-2014. Strategi dan

Lebih terperinci

Integrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional

Integrasi Upaya Penanggulangan. Kesehatan Nasional Integrasi Upaya Penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam Sistem Kesehatan Nasional Kerjasama Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Department of Foreign

Lebih terperinci

1 P a n d u a n W a w a n c a r a M e n d a l a m S t a k e h o l d e r N a s i o n a l

1 P a n d u a n W a w a n c a r a M e n d a l a m S t a k e h o l d e r N a s i o n a l Wawancara Mendalam dengan Pemerintah/Mitra Pembangunan Internasional/Jaringan Nasional I. Panduan untuk Peneliti Persiapan: 1. Pastikan anda sudah mengkonfirmasi jadwal dan tempat diskusi dengan informan.

Lebih terperinci

term of reference Kursus Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan Nasional

term of reference Kursus Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan Nasional term of reference Kursus Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan Nasional Angkatan ke 3 Periode Februari April Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM Department

Lebih terperinci

Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia

Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia Isu Strategis Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS, Indonesia Budi Utomo HIV Cooperation Program for Indonesia Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia Kupang 4-7 September 2013 Topik bahasan Memahami kebijakan

Lebih terperinci

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kerjasama: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM & Pemerintah Australia Latar Belakang Pro dan kontra tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

Revisi Pedoman Pelaporan dan Pencatatan. Pemutakhiran pedoman pencatatan Monev

Revisi Pedoman Pelaporan dan Pencatatan. Pemutakhiran pedoman pencatatan Monev www.aidsindonesia.or.id MARET 2014 L ayanan komprehensif Berkesinambungan (LKB) merupakan strategi penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 21 tahun

Lebih terperinci

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL Oleh GWL-INA FORUM NASIONAL IV JARINGAN KEBIJAKAN KESEHATAN Kupang, 6 September 2013 Apa itu GWL dan GWL-INA GWL adalah gay,

Lebih terperinci

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

PESAN POKOK AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA POLICY BRIEF

PESAN POKOK AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA POLICY BRIEF POLICY BRIEF 06 AGENDA PRIORITAS PENELITIAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI INDONESIA PESAN POKOK Kontribusi peneli an terhadap penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dilakukan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Satiti Retno Pudjiati Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Layanan HIV PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013

SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013 SITUASI PENDANAAN PROGRAM HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI Jakarta 2013 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan angka HIVdanAIDS

Lebih terperinci

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan Sutjipto PKMK FK UGM Disampaikan pada Kursus Kebijakan HIV-AIDS 1 April 216 1 Landasan teori 2 1 EPIDEMIOLOGY (Definisi ) 1.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

Call for Proposal SUB-RECIPIENT NASIONAL ADVOKASI & TECHNICAL ASISTANCE PROGRAM PADA WANITA PEKERJA SEKS (WPS)

Call for Proposal SUB-RECIPIENT NASIONAL ADVOKASI & TECHNICAL ASISTANCE PROGRAM PADA WANITA PEKERJA SEKS (WPS) Call for Proposal SUB-RECIPIENT NASIONAL ADVOKASI & TECHNICAL ASISTANCE PROGRAM PADA WANITA PEKERJA SEKS (WPS) A. LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan pada tahun 2012 di Indonesia

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan. Workshop Penyusunan Protokol Penelitian. Pemetaan Kebijakan AIDS dan Sistem Kesehatan di Tingkat Nasional dan Daerah

Laporan Kegiatan. Workshop Penyusunan Protokol Penelitian. Pemetaan Kebijakan AIDS dan Sistem Kesehatan di Tingkat Nasional dan Daerah Laporan Kegiatan Workshop Penyusunan Protokol Penelitian Pemetaan Kebijakan AIDS dan Sistem Kesehatan di Tingkat Nasional dan Daerah Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Kasus HIV/AIDS di Indonesia saat ini tergolong tinggi. Banyak ditemukan kasus-kasus baru yang muncul. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Catatan Kebijakan # 3 Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Stigma terhadap penggunaan narkoba di masyarakat selama ini telah membatasi para pengguna narkoba untuk memanfaatkan layananlayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

PESAN POKOK BAGAIMANA MENINGKATKAN PENDANAAN DAERAH UNTUK PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS?

PESAN POKOK BAGAIMANA MENINGKATKAN PENDANAAN DAERAH UNTUK PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS? POLICY BRIEF 01 PESAN POKOK BAGAIMANA MENINGKATKAN PENDANAAN DAERAH UNTUK PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS? Peningkatan pendanaan daerah untuk penanggulangan HIV dan AIDS menjadi sangat pen ng dengan berkurangnya

Lebih terperinci

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia Lecture Series Inisiasi Dini Terapi Antiretroviral untuk Pencegahan dan Pengobatan Oleh Pusat Penelitian HIV & AIDS Atma Jaya Jakarta, 25 Februari 2014 Pembicara: 1) Yudi (Kotex, perwakilan komunitas)

Lebih terperinci

Sambutan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional

Sambutan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional 0 Sambutan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional Assalamualaikum Warahmatullahi wabarokatuh, Salam Sejahtera bagi kita semua. Peningkatan mutu hidup Odha dan mitigasi dampak sosioekonomi pada

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada Millenium Development Goals (MDGs), memiliki 5 pondasi yaitu manusia,

Lebih terperinci

Perlindungan Sosial yang Sensitif

Perlindungan Sosial yang Sensitif Perlindungan Sosial yang Sensitif terhadap HIV : Masa Lalu, Sekarang dan Masa Depan Ignatius Praptoraharjo, PhD Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Situasi HIV

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Sedangkan AIDS adalah suatu penyakit yang ditandai dengan

Lebih terperinci

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Policy Brief Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Pesan Pokok Perluasan cakupan perawatan HIV hingga saat ini masih terbatas karena adanya berbagai hambatan baik dari

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG

Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG Call for Proposal A. SR NASIONAL ADVOKASI & TA PROGRAM WPS LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes), berdasarkan hasil pemodelan matematika AIDS Epidemic Modeling (AEM), memperkirakan pada tahun

Lebih terperinci

Call for Proposal SUB-RECIPIENT (SR) NASIONAL COMMUNITY SYSTEM STRENGTHENING (CSS) DAN REMOVING LEGAL BARIER (RLB)

Call for Proposal SUB-RECIPIENT (SR) NASIONAL COMMUNITY SYSTEM STRENGTHENING (CSS) DAN REMOVING LEGAL BARIER (RLB) Call for Proposal SUB-RECIPIENT (SR) NASIONAL COMMUNITY SYSTEM STRENGTHENING (CSS) DAN REMOVING LEGAL BARIER (RLB) A. LATAR BELAKANG Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan pada tahun 2012 di Indonesia

Lebih terperinci

MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS

MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS MONITORING DAN EVALUASI PROGRAM HIV & AIDS JUM AT, 8 APRIL 2016 DI JAVA TEA HOUSE, YOGYAKARTA KEBIJAKAN TERKAIT MONEV PROGRAM PENANGGULANGAN HIV&AIDS SECARA NASIONAL, MONEV PLAN PROGRAM PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES GORONTALO TAHUN 2013 DAFTAR ISI Daftar Isi... 2 Pendahuluan... 3 Kegiatan

Lebih terperinci

Lokakarya LSL dalam Pengembangan SRAN. Integrasi program LSL dalam SRAN

Lokakarya LSL dalam Pengembangan SRAN. Integrasi program LSL dalam SRAN www.aidsindonesia.or.id APRIL 2014 K ebijakan penanggulangan HIV dan AIDS 2015-2019 harus memperhatikan Post 2015 Development Agenda yang merupakan kelanjutan dari MDGs yang berakhir pada 2015 Dr. Hadiat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

g. Apakah saat ini ada mekanisme untuk memantau perkembangan kasus HIV dan AIDS di wilayah ini? Kalau iya, dalam bentuk apa pemantauan ini dilakukan?

g. Apakah saat ini ada mekanisme untuk memantau perkembangan kasus HIV dan AIDS di wilayah ini? Kalau iya, dalam bentuk apa pemantauan ini dilakukan? Panduan Kunjungan Lapangan Desk Review Riset Kebijakan dan Penyusunan Program HIV/AIDS Dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia PKMK FK UGM AusAID I. Panduan Wawancara Pertanyaan Umum: 1) Apakah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH

HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH Upaya Penyelamatan Perempuan & Anak dari Kematian Sia-Sia Karena HIV & AIDS Bahan masukan RPJMD Propinsi Jawa Tengah TAHUN 2013-2018

Lebih terperinci

PROFIL Kelompok Penggagas Kasih Plus Jaringan Orang Dengan HIV dan AIDS Kediri - Jawa Timur

PROFIL Kelompok Penggagas Kasih Plus Jaringan Orang Dengan HIV dan AIDS Kediri - Jawa Timur PROFIL Kelompok Penggagas Kasih Plus Jaringan Orang Dengan HIV dan AIDS Kediri - Jawa Timur Kasih Plus... Merupakan sebuah Jaringan Orang Dengan HIV dan AIDS yang menjadi Penggagas untuk Kelompok Dukungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan

Lebih terperinci

SEKRETARIAT KPA NASIONAL

SEKRETARIAT KPA NASIONAL LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN SEKRETARIAT KPA NASIONAL MAR E T 2010 S erangkaian kegiatan dilakukan Sekretariat KPA Nasional sesuai dengan tupoksi yang tertuang dalam Perpres No.75 Tahun 2006. Pengguliran

Lebih terperinci

1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya. Kondisi tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1994 lalu yang menurut WHO baru

1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya. Kondisi tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1994 lalu yang menurut WHO baru Artikel 1 DESEMBER HARI AIDS SE-DUNIA Stop AIDS: Akses untuk Semua! Mardiya Tidak dapat dipungkiri, epidemi HIV/AIDS telah berkembang begitu pesat di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kasus ini paling

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Workshop : Advokasi dan Berjejaring sebagai Bagian penting dalam Pengembangan Program Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia

Laporan Kegiatan Workshop : Advokasi dan Berjejaring sebagai Bagian penting dalam Pengembangan Program Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Laporan Kegiatan Workshop : Advokasi dan Berjejaring sebagai Bagian penting dalam Pengembangan Program Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Latar Belakang Sejak pertama kali kasus HIV ditemukan di Indonesia

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang: a. BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG, bahwa malaria merupakan penyakit

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Terimakasih telah bersedia berpartisipasi dalam survei Delphi terkait pengembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 1. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahun, dengan puncak peringatan pada tanggal 1 Desember. 2. Panitia peringatan Hari AIDS

Lebih terperinci

Memperkuat Peran Daerah

Memperkuat Peran Daerah Memperkuat Peran Daerah dalam Penanggulangan HIV/AIDS Dr. Kemal N. Siregar Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional September 2016 Pokok bahasan Input utama: Kebijakan dan dukungan nasional Penguatan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Kondisi sehat individu tidak bisa hanya dilihat dari kondisi fisik saja melainkan juga kondisi mental dan kondisi sosial. Dalam kasus anak-anak yang mengidap HIV/AIDS memperhatikan

Lebih terperinci

PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)?

PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)? POLICY BRIEF 02 PESAN POKOK APAKAH PEMERINTAH INDONESIA MAMPU MENGAKSELERASI PEMBIAYAAN OBAT-OBATAN STRATEGIC USE OF ANTIRETROVIRAL (SUFA)? Akselerasi Strategic Use of An retroviral (SUFA) selama ini telah

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik

BAB I PENDAHULUAN. Bali, respon reaktif dan proaktif telah banyak bermunculan dari berbagai pihak, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dua dasa warsa lebih sudah, sejak dilaporkannya kasus AIDS yang pertama di Indonesia tahun 1987 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar Bali, respon reaktif

Lebih terperinci

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,

Lebih terperinci

Perluasan Respon Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan

Perluasan Respon Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan Perluasan Respon Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Kerangka Sistem Kesehatan M.Suharni Kursus Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS dalam Sistem Kesehatan Angkatan III Yogyakarta 24 25 Februari 2016 PKMK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Virus ini menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit HIV/AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Menurut data WHO (World Health Organization) tahun 2012,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik yang sering dikaitkan dengan kesehatan reproduksi terutama

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh virus HIV (Human

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS, 2013) melaporkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS, 2013) melaporkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS, 2013) melaporkan bahwa terdapat negara dengan beban Human Immunodeficiency Virus (HIV) tertinggi dan kasus

Lebih terperinci

KAJIAN PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS)

KAJIAN PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) KAJIAN PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL (PMKS) Bappeda Kabupaten Temanggung bekerjasama dengan Pusat Kajian Kebijakan dan Studi Pembangunan (PK2SP) FISIP UNDIP Tahun 2013 RINGKASAN I. Pendahuluan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

BAB I PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1] BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh manusia.

Lebih terperinci

Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang

Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang Hasil Riset Operasional Implementasi Strategi Layanan Komprehensif (LKB) pada Prosedur Pengobatan HIV IMS di Kota Yogyakarta dan Semarang Kerjasama PKMK FK UGM dengan Kemenkes RI Forum Jaringan Kebijakan

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang

Lebih terperinci

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi Penasun dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Kesimpulan Rekomendasi Lampiran

Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi Penasun dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: Kesimpulan Rekomendasi Lampiran SCP Penasun 2010 1 Pokok Bahasan Latar Belakang Tujuan Peta Distribusi Penasun dan Lokasi SCP Metodologi Temuan: 1. Karakteristik Responden 2. Perilaku Akses ASS dan Perilaku Menyuntik 3. Perilaku Seksual

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG KOMISI PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang

Lebih terperinci

Undangan pengajuan usulan penelitian HIV

Undangan pengajuan usulan penelitian HIV Undangan pengajuan usulan penelitian HIV KPAN, 2010 Latar-belakang Sejak kasus AIDS dikonfirmasi pertama kali tahun 1987, pemerintah bersama masyarakat telah mengambil bebagai kebijakan dan tindakan penanggulangan.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 SITUASI DI INDONESIA Estimasi Jumlah ODHA 591.823 Jumlah Kasus Jumlah HIV dan AIDS

Lebih terperinci

DEKLARASI BANGKOK MENGENAI AKTIVITAS FISIK UNTUK KESEHATAN GLOBAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

DEKLARASI BANGKOK MENGENAI AKTIVITAS FISIK UNTUK KESEHATAN GLOBAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DEKLARASI BANGKOK MENGENAI AKTIVITAS FISIK UNTUK KESEHATAN GLOBAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KONGRES INTERNASIONAL KE-6 ISPAH (KONGRES KESEHATAN MASYARAKAT DAN AKTIVITAS FISIK Bangkok, Thailand 16-19

Lebih terperinci

SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Per 1 September 2015

SRAN Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Per 1 September 2015 SRAN 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia Per 1 September 2015 Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional Tahun 2015 Bab 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanggulangan HIV dan AIDS di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya

DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya DELPHI II Survei Delphi Pengembangan Model Pencegahan Melalui Transmisi Seksual di Tingkat Pelayanan Primer Puskesmas dan Jejaringnya Terimakasih telah bersedia berpartisipasi dalam survei Delphi terkait

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tabel 1. Jumlah Kasus HIV/AIDS Di Indonesia Yang Dilaporkan Menurut Tahun Sampai Dengan Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tabel 1. Jumlah Kasus HIV/AIDS Di Indonesia Yang Dilaporkan Menurut Tahun Sampai Dengan Tahun 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara global hingga pada pertengahan tahun 2015 terdapat 15,8 juta orang yang hidup dengan HIV dan 2,0 juta orang baru terinfeksi HIV, serta terdapat 1,2 juta

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG KOMISI PENANGGULANGAN ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) PROVINSI JAWA TENGAH DAN SEKRETARIAT KOMISI PENANGGULANGAN ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY

Lebih terperinci

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia

Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kebijakan dan Program HIV/AIDS dalam Kerangka Kerja Sistem Kesehatan di Indonesia Kerjasama: Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK UGM & Pemerintah Australia Latar Belakang Pro dan kontra tentang

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1238, 2015 KEMENKES. Pengguna Napza Suntik. Dampak. Pengurangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PENGURANGAN DAMPAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut merusak sistem

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1]

PENDAHULUAN. Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 [1] PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah gejala penyakit yang

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan menyerang sel darah putih CD4 yang berada pada permukaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1. Peran KPA dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Kota. Semarang adalah mengkoordinasikan segala kegiatan yang

BAB IV PENUTUP. 1. Peran KPA dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Kota. Semarang adalah mengkoordinasikan segala kegiatan yang BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Peran KPA dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Semarang. Peran KPA dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Semarang adalah mengkoordinasikan segala kegiatan yang

Lebih terperinci

TOR ASISTENSI TEKNIS TASY#06 CAPACITY BUILDING SUB RECIPIENT (SR) DIBAWAH PRINCIPAL RECIPIENT (PR) TB AISYIYAH

TOR ASISTENSI TEKNIS TASY#06 CAPACITY BUILDING SUB RECIPIENT (SR) DIBAWAH PRINCIPAL RECIPIENT (PR) TB AISYIYAH TOR ASISTENSI TEKNIS TASY#06 CAPACITY BUILDING SUB RECIPIENT (SR) DIBAWAH PRINCIPAL RECIPIENT (PR) TB AISYIYAH Oktober-Desember 2015 1. Latar Belakang 'Aisyiyah adalah organisasi otonom khusus Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

Pertemuan Evaluasi Program GWL. Untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi pengembangan program

Pertemuan Evaluasi Program GWL. Untuk mendapatkan masukan dan rekomendasi pengembangan program www.aidsindonesia.or.id AGUSTUS 2012 A gustus 2012 kali ini terasa special. Pertama karena pada tanggal 17 diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 67. Kedua, yaitu bersamaan dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai penanggulangannya, merupakan masalah yang sangat kompleks. Penularan HIV- AIDS saat ini tidak hanya terbatas

Lebih terperinci