UPAYA KHUSUS PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "UPAYA KHUSUS PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN"

Transkripsi

1 41

2 UPAYA KHUSUS PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN PANDUAN PENARGETAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS WILAYAH Disusun oleh: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Tulisan dan data dalam publikasi ini dapat direproduksi selama mencantumkan sumber yang dikutip. Dilarang mereproduksi untuk tujuan komersial. Saran untuk mengutip: TNP2K, (2014), Upaya Khusus Penurunan Tingkat Kemiskinan: Panduan Penargetan Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Wilayah, Jakarta: TNP2K. i

3 Cetakan Kedua, April 2014 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 2014 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan ii Foto Cover: TNP2K

4 KATA PENGANTAR Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga yang tercermin dari naiknya tingkat pendapatan masyarakat. Pada saat yang sama, fenomena tingginya inflasi yang tercermin dari tingginya tingkat harga komoditas sebagai representasi pengeluaran rumah tangga akan semakin menambah beban hidup rumah tangga. Kombinasi diantara keduanya sangat mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat. Pemerintah perlu memastikan seluruh program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan efektif sehingga mampu mempertahankan kemampuan daya beli masyarakat agar tidak jatuh dalam kemiskinan. Oleh karena itu, program penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan dengan tepat sasaran. Ketepatan sasaran program penanggulangan kemiskinan dapat ditempuh dengan melaksanakan dua prinsip dasar yaitu tepat individu dan tepat wilayah. Tepat individu berarti pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan diberikan kepada penduduk miskin yang benar-benar membutuhkan dan sesuai dengan cakupan program. Sementara tepat wilayah artinya pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan seyogyanya juga memperhatikan aspek kesejahteraan wilayah yang tercermin dalam dimensi kemiskinan konsumsi dan non-konsumsi rumah tangga. Buku ini merupakan panduan identifikasi wilayah prioritas (geographic targeting) atau kantong kemiskinan, yang dapat digunakan untuk menentukan basis wilayah prioritas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Di wilayah prioritas ini, seluruh program penanggulangan kemiskinan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah seharusnya dipastikan berjalan efektif. Pemanfaatan Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) ini seyogyanya juga tidak hanya untuk program penanggulangan kemiskinan, namun juga dapat digunakan oleh semua program dan kegiatan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Target RPJMN angka kemiskinan 8-10 persen bukan mustahil untuk dicapai apabila tercipta sinergi dalam penargetan individu maupun penargetan wilayah, di kantong-kantong kemiskinan ini. Jakarta, Desember 2013 Deputi Seswapres Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Penanggulangan Kemiskinan/Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan iii

5 DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Bagian 1. Perkembangan Indikator Perekonomian 1.1. Pertumbuhan Ekonomi 1.2. Inflasi 1.3. Kemiskinan Bagian 2. Upaya Pemerintah 2.1. Target Pengurangan Tingkat Kemiskinan 2.2. Penargetan Individu Basis Data Terpadu Kartu Perlindungan Sosial Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial Bagian 3. Upaya Penajaman Penanggulangan Kemiskinan 3.1. Penargetan Wilayah Prioritas 3.2. Basis Wilayah Prioritas Kerangka Pemikiran Variabel, Indikator dan Faktor Komposit IKW 3.3. Pemilihan Wilayah Prioritas Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Perbandingan Pilihan Skenario Wilayah Prioritas Program Penanggulangan Kemiskinan Pada Wilayah Prioritas 3.4. Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW iii iv v vi iv

6 DAFTAR TABEL Tabel 1. Target Jumlah dan Pengurangan Penduduk Miskin, Maret 2014 dan September 2014 Tabel 2. Distribusi Program Menurut Jenjang Administrasi Wilayah Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Rumah Tangga dan Individu, 2013 Tabel 4. Jumlah Desa dan Kecamatan Menurut Jumlah Program Penanggulangan Kemiskinan yang Diterima, 2013 Tabel 5. Skenario Penargetan Wilayah Prioritas Tabel 6. Faktor, Variabel dan Indikator Kesejahteraan Wilayah Tabel 7. Perbandingan Indikator Kemiskinan di 100 Kabupaten Wilayah Prioritas Tabel 8. Perbandingan Distribusi Wilayah dengan Berbagai Skenario Tabel 9. Kabupaten dan Kota Prioritas Berdasarkan Indeks Kesejahteraan Wilayah v

7 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, Gambar 2. Pertumbuhan pengeluaran tahunan menurut 100 kelompok penduduk Gambar 3. Kontribusi Sektoral Terhadap Pertumbuhan PDB (y-o-y) September 2010 September 2013 Gambar 4. Perkembangan Inflasi, Januari 2003-Desember 2013 (persen, y-o-y) Gambar 5. Perbandingan Inflasi menurut Kelompok Barang, Desember 2009 dan Desember 2013 Gambar 6. Perkembangan Harga Harian Beberapa Komoditas Bahan Pangan Utama, Januari Desember 2013 (dalam Rupiah per Kg) Gambar 7. Inflasi Umum (IHK) dan Inflasi Garis Kemiskinan, (y-o-y) Gambar 8. Pergerakan inflasi Umum dan Inflasi Garis Kemiskinan, Gambar 9. Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan, Gambar 10. Tingkat Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Tingkat Keparahan Kemiskinan (P2), Gambar 11. Contoh Kartu Perlindungan Sosial Gambar 12. Kerangka Pemikiran Penyusunan IKW Gambar 13. Faktor Komposit IKW Gambar 14. Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW Gambar 15. Perbandingan Tingkat Kemiskinan (P0) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas Gambar 16. Perbandingan Kedalaman Kemiskinan (P1) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas Gambar 17. Perbandingan Keparahan Kemiskinan (P2) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas Gambar 18. Sebaran Wilayah Prioritas Gambar 19. Perbandingan Cakupan Program Nasional dan Wilayah Prioritas vi

8 Bagian 1. Perkembangan Indikator Perekonomian BAGIAN 1 PERKEMBANGAN INDIKATOR PEREKONOMIAN Perlambatan pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya harga bahan kebutuhan pokok berpotensi mengurangi efektivitas penanggulangan kemiskinan 1

9 Dalam upaya terus menerus untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia, sangat penting untuk secara teratur memperhatikan perkembangan indikator kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu situasi di mana pengeluaran rumah tangga berada di bawah garis minimal yang disebut garis kemiskinan. Karena itu tingkat kemiskinan sangat dipengaruhi oleh dua hal. Pertama adalah tingkat kesejahteraan yang menentukan besarnya pengeluaran rumah tangga. Kedua adalah beban hidup rumah tangga yang dicerminkan oleh tingkat harga komoditas yang menjadi pengeluaran rumah tangga. Dalam perkembangan antarwaktu, tingkat kesejahteraan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, sementara beban hidup rumah tangga dapat terlihat dalam perkembangan inflasi. Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan daya beli, sementara inflasi akan menurunkan daya beli. Perkembangan dua indikator ini diuraikan di bagian berikut. 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Sejak 2004 hingga 2013, perekonomian Indonesia tumbuh di atas 5 persen, kecuali pada tahun 2009 akibat krisis keuangan global. Sejalan dengan membaiknya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga membaik dan mencapai angka 6,49 persen di tahun Setelah itu terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi, meskipun masih cukup tinggi di tingkat sekitar 6 persen (lihat Gambar 1). Tingkat pertumbuhan sebesar ini telah pula memberikan dampak kepada seluruh kelompok ekonomi. Kelompok miskin maupun kaya secara nyata menikmati peningkatan pengeluaran. Namun demikian harus diakui bahwa peningkatan pengeluaran selama tidak merata untuk seluruh kelompok masyarakat. Sekitar 40 persen kelompok penduduk dengan kondisi sosial-ekonomi terendah hanya mengalami pertumbuhan pengeluaran riil sebesar 2 persen per tahun, sementara rata-rata Indonesia selama periode tersebut adalah 4,87 persen per tahun (lihat Gambar 2). Hanya sekitar 20% kelompok masyarakat terkaya mengalami pertumbuhan pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Hal ini telah menyebabkan ketimpangan meningkat di perekonomian. 2

10 Annual growth rate % Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, Gambar 2. Pertumbuhan Pengeluaran Tahunan menurut 100 Kelompok Penduduk ,03 5,69 5,5 6,35 6,01 4,63 6,22 6,49 6,23 5, Sumber: Badan Pusat Statistik Percentiles Sumber: Susenas, diolah oleh TNP2K Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,78 persen, lebih rendah dibandingkan dengan target APBN-P 2013 sebesar 6,13 persen. Perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 disebabkan karena perlambatan pertumbuhan sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan rumah makan. Pertumbuhan sektor konstruksi melambat sesuai dengan perlambatan pertumbuhan investasi di sektor bangunan. Sementara itu, pertumbuhan sektor jasa tetap kuat, tetapi sub-sektor terbesar yaitu perdagangan, hotel dan rumah makan mengalami perlambatan (lihat Gambar 3). Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu kondisi keuangan internasional yang lebih ketat, akibat rencana tapering di Amerika Serikat, dan melambatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang seperti Cina dan India. Harga komoditas dunia mengalami tekanan, dan pada gilirannya mempengaruhi ekspor Indonesia. Indonesia mengalami peningkatan suku bunga domestik serta depresiasi Rupiah, dan keseluruhannya menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di

11 Persentase Gambar 3. Kontribusi Sektoral Terhadap Pertumbuhan PDB (y-o-y) September 2010 September Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Pengangkutan dan Komunikasi Perdagangan, Hotel dan Restoran Konstruksi Jasa lainnya PDB Sep-10 Dec-10 Mar-11 Jun-11 Sep-11 Dec-11 Mar-12 Jun-12 Sep-12 Dec-12 Mar-13 Jun-13 Sep-13-1 Secara umum, pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang diuraikan di atas telah meningkatkan pengeluaran seluruh kelompok penduduk, termasuk di dalamnya kelompok miskin. Namun demikian, peningkatan daya beli tersebut harus berhadapan dengan peningkatan harga komoditas, dan secara khusus harga komoditas yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat miskin. Bagian berikut akan menguraikan hal tersebut. 1.2 Inflasi Peningkatan harga dapat ditunjukkan oleh indikator inflasi. Gambar 4 menunjukkan perkembangan inflasi yang fluktuatif dan cenderung tidak stabil selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pada Desember 2013 inflasi tahunan (y-o-y) mencapai 8,38 persen. Angka inflasi tahunan tertinggi setelah periode September 2008 adalah pada Agustus 2013 yang mencapai angka sebesar 8,79 persen. Hal ini terjadi setelah 4

12 Jan-03 Sep-03 Mei-04 Jan-05 Sep-05 Mei-06 Jan-07 Sep-07 Mei-08 Jan-09 Sep-09 Mei-10 Jan-11 Sep-11 Mei-12 Jan-13 Sep-13 Bahan Makanan Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan bakar Sandang Kesehatan Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan peningkatan harga BBM yang berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri 2013 di sekitar Juni-Juli Gambar 4. Perkembangan Inflasi, Januari 2003-Desember 2013 (persen, y-o-y) Gambar 5. Perbandingan Inflasi menurut Kelompok Barang, Desember 2009 dan Desember ,38 11, ,36 8,74 12,14 6,84 8,79 3,88 7,817,45 1,83 6,22 6,00 0,52 3,91 3,893,7 3,89-3,67 8,38 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013 Pada tahun 2013, inflasi tahunan (y-o-y) teratas untuk kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yaitu sebesar 15,36 persen. Sedangkan kelompok inflasi tertinggi kedua adalah bahan makanan sebesar 11,35 persen. Di sisi lain, inflasi terendah terdapat pada kelompok sandang, dengan inflasi yang hanya sekitar 0,52 persen (y-o-y). Berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS, pada Desember 2013 terjadi inflasi bulanan sebesar 0,55 persen. Dari 66 kota IHK, tercatat 61 kota mengalami inflasi dan 5 kota lainnya mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Manado 2,69 persen dan inflasi terendah terjadi di Palembang dan Tangerang masing-masaing 0,04 persen. Di sisi lain, deflasi tertinggi terjadi di Padang Sidempuan 0,44 persen dan terendah terjadi di Kendari 0,05 persen. Kelompok masyarakat miskin memiliki komposisi konsumsi yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lebih tinggi status ekonominya. Konsumsi kelompok masyarakat miskin terkonsentrasi pada jenis komoditas pangan. Sementara itu, komoditas pangan pada umumnya memiliki harga yang lebih fluktuatif (karena produksi yang sifatnya musiman) dan inflasi yang lebih tinggi. Beberapa komoditi pangan utama seperti beras, kedelai, bawang 5

13 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember merah, maupun daging sapi, mengalami pergerakan inflasi yang cukup signifikan di tahun 2013 (lihat Gambar 6). Gambar 6. Perkembangan Harga Harian Beberapa Komoditas Bahan Pangan Utama, Januari Desember 2013 (dalam Rupiah per Kg) Daging Sapi Beras Medium Bawang Merah Kedelai Kedelai Impor Kedelai lokal Sumber: Kementerian Perdagangan, 2014 Komposisi pengeluaran kelompok miskin yang lebih terkonsentrasi kepada komoditas pangan menjadikan kelompok miskin menghadapi inflasi yang berbeda dibandingkan inflasi umum (lihat Gambar 7 dan 8). Gambar 7 menunjukkan bahwa inflasi umum yang diwakili oleh Indeks Harga Konsumen (IHK) dan inflasi garis kemiskinan memiliki tren pergerakan yang mirip, namun inflasi garis kemiskinan selalu lebih tinggi dibandingkan inflasi umum. Artinya, 6

14 Annual Inflation (March YoY) % Index (2005=100) kelompok masyarakat miskin menghadapi peningkatan harga yang lebih tinggi dibandingkan inflasi yang dihadapi masyarakat umum. Pada 2012, inflasi garis kemiskinan berada 3,29 titik persen (percentage points) lebih tinggi dibandingkan inflasi secara umum. Demikian pula pada 2013, inflasi garis kemiskinan berada 1,06 titik persen (percentage points) lebih tinggi di atas inflasi IHK. Gambar 8 lebih lanjut menunjukkan bahwa perbedaan antara inflasi umum dan inflasi garis kemiskinan ternyata makin melebar dari waktu ke waktu. Gambar 7. Inflasi Umum (IHK) dan Inflasi Garis Kemiskinan, (y-o-y) Gambar 8. Pergerakan inflasi Umum dan Inflasi Garis Kemiskinan, Poverty Basket CPI Poverty Basket CPI Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan Susenas Berdasarkan inflasi tahun 2013 yang cukup tinggi, garis kemiskinan pada 2014 diperkirakan akan semakin meningkat. Hal ini berarti beban biaya hidup yang lebih tinggi bagi kelompok masyarakat miskin. Jika tidak diimbangi dengan intervensi untuk meningkatkan daya beli, maka upaya penanggulangan kemiskinan melalui program penanggulangan kemiskinan tidak akan optimal. 7

15 Mar-12 Sep-12 Mar-13 Sep Mar-11 Sep-11 Mar-12 Sep-12 Mar-13 Sep Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi dan pergerakan tingkat harga akan mempengaruhi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Selama periode , terlihat adanya tren penurunan jumlah orang miskin maupun angka kemiskinan. Pada September 2013, terdapat 28,55 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan yang berarti angka kemiskinan sebesar 11,47 persen. Gambar 9. Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan, Gambar 10. Tingkat Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Tingkat Keparahan Kemiskinan (P2), Populasi Penduduk Miskin (Juta Jiwa) Persentase Penduduk Miskin (%) Kedalaman Kemiskinan keparahan Kemiskinan 3,43 39,05 37,17 36,15 35,10 34,97 32,53 31,02 30,02 29,13 28,60 28,07 28,55 2,89 2,78 2,99 2,77 2,50 17,75 16,66 15,97 16,58 15,42 14,15 13,33 12,49 11,96 11,66 11,37 11,47 2,21 2,08 2,05 1,88 1,90 1,89 1,75 1,00 0,78 0,84 0,76 0,76 0,68 0,58 0,55 0,53 0,47 0,49 0,43 0,48 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014 Selama periode , tingkat kemiskinan turun lebih dari 1 titik persen (percentage points) setiap tahunnya. Namun dalam periode terjadi perlambatan penurunan tingkat kemiskinan. Pengumuman jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan di September 2013 menunjukkan perlambatan yang sangat mengkhawatirkan. Antara Maret 2012-Maret 2013, masih terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 1,06 juta jiwa. Namun dalam periode September 2012-September 2013 penurunan jumlah penduduk miskin tersebut hanyalah sejumlah 50 ribu jiwa. Perlambatan yang sama juga terjadi dalam hal 8

16 perubahan angka kemiskinan. Antara Maret 2012-Maret 2013, terjadi penurunan angka kemiskinan sebesar 0,58 titik persen (percentage point). Namun dalam periode September 2012-September 2013 penurunan angka kemiskinan tersebut hanyalah 0,19 titik persen (percentage point). Indikator kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) juga mengalami tren penurunan dalam periode Tren penurunan indikator kedalaman kemiskinan (P1) menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin semakin mendekati garis kemiskinan. Sementara itu, tren penurunan indikator keparahan kemiskinan (P2) berarti kesenjangan pengeluaran antarpenduduk miskin makin mengecil. Namun demikian, tren perlambatan penurunan juga terlihat sangat jelas untuk kedua indikator ini. Perlambatan tren penurunan indikator kemiskinan ini akan mempengaruhi pencapaian target angka kemiskinan sebesar 8-10 persen pada tahun Diperlukan penguatan berbagai upaya yang telah berjalan selama ini, dan lebih dari itu diperlukan upaya khusus untuk menurunkan angka kemiskinan ini. Oleh karena itu, secara progresif pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah sangat perlu mengoptimalkan dan mensinergikan berbagai progam penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan melaksanakan sistem pemantauan terpadu terhadap berbagai program tersebut dengan target pencapaian output yang terukur dan tepat waktu, tepat jumlah serta tepat sasaran dalam implementasi program. 9

17 10

18 BAGIAN 2 UPAYA PEMERINTAH Upaya penurunan tingkat kemiskinan dilakukan dengan meningkatkan penargetan individu bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan 11

19 2.1 Target Pengurangan Tingkat Kemiskinan Berdasarkan RPJMN pemerintah menetapkan target penurunan tingkat kemiskinan secara bertahap dari 14,15 persen pada 2009 menjadi 8 persen (target bawah) atau 10 persen (target atas) pada Pada bulan September 2013, angka kemiskinan adalah persen dengan sekitar 28,55 juta penduduk miskin. Proyeksi Penduduk Indonesia yang telah dikeluarkan oleh Bappenas memperkirakan bahwa penduduk Indonesia pada pertengahan tahun 2014 adalah sebesar 252,165 juta jiwa. Dengan demikian dapat diperkirakan jumlah penduduk pada bulan Maret dan September Untuk mendapatkan target atas angka kemiskinan 10% pada bulan September 2014, maka diperlukan pengurangan jumlah penduduk miskin sebesar 3,27 juta jiwa antara September 2013 sampai dengan September Tabel 1. Target Jumlah dan Pengurangan Penduduk Miskin, Maret 2014 dan September 2014 Target Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) Target Bawah 8% Target Atas 10% Target Pengurangan Jumlah Penduduk Miskin Sejak Sept 2013 (Juta jiwa) Target Bawah 8% Target Atas 10% Maret ,08 25, September Catatan: Asumsi jumlah penduduk: 251,05 juta (Maret 2014) dan 252,78 juta (Sept 2014) Target di atas tidak mudah untuk selesaikan, terutama jika melihat perlambatan penurunan jumlah penduduk miskin maupun perlambatan penurunan angka kemiskinan seperti yang diuraikan di Bagian 1. Karena itu dalam waktu 6 bulan ke depan Pemerintah perlu lebih meningkatkan sinergi melalui penargetan program-program penanggulangan kemiskinan secara tepat. Dua dimensi penargetan harus mendapat perhatian penuh, yaitu ketepatan penargetan individu dan juga ketepatan penargetan secara wilayah. 12

20 Ketepatan penargetan individu dilakukan dengan pemanfaatan Basis Data Terpadu, pelaksanaan Program Percepatan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) dengan Kartu Pelindungan Sosial (KPS). Diperlukan instrumen pemantauan yang ketat terhadap implementasi program penanggulangan kemiskinan di lapangan untuk memastikan ketepatan sasaran, ketepatan jumlah dan ketepatan waktu pelaksanaan progam. Hal ini akan diuraikan pada Bagian 2 ini. Sementara itu, ketepatan penargetan secara wilayah akan diuraikan lebih lanjut di Bagian 3 setelah ini. 2.2 Penargetan Individu Sejak awal pemerintahan SBY-Boediono, Pemerintah telah meletakkan dasar bagi peningkatan efektivitas penargetan individu bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan. Satu hal yang telah dilakukan adalah pembentukan Basis Data Terpadu (BDT) hasil Program Pendataan Perlindungan Sosia (PPLS) 2011 yang kemudian dikelola sebagai sumber data penerima bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan Pemerintah yang memiliki target individu dan rumah tangga. Pada tahun 2013, Pemerintah meluncurkan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) disertai penggunaan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai upaya untuk meningkatkan ketepatan individu dan rumah tangga penerima program Basis Data Terpadu Basis Data Terpadu (BDT) yang saat ini dikelola oleh Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berisikan nama dan alamat individu yang termasuk dalam 40 persen rumah tangga dengan status sosial-ekonomi terendah. BDT merupakan hasil PPLS 2011 yang telah mengalami perbaikan metodologi pendataan (dibandingkan dengan pendataan PSE 2005 maupun PPLS 2008). Berbagai kegiatan verifikasi data yang telah dilakukan (melalui spot-checks maupun penggunaan data bagi program) yang telah dilakukan menunjukkan bahwa BDT memiliki tingkat akurasi yang tinggi. BDT dikelola sebagai basis data yang dapat dipergunakan oleh program Pemerintah Pusat maupun Daerah baik untuk kegiatan penargetan maupun untuk kegiatan perencanaan program. Sekretariat TNP2K menyediakan bantuan teknis untuk penggunaan BDT tersebut. Akses data untuk kegiatan perencanaan dapat dilakukan secara on-line melalui Di samping itu, data nama dan alamat dapat dipergunakan oleh Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang memiliki target sasaran individu maupun rumah tangga. 13

21 Kartu Perlindungan Sosial Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah kartu yang diterbitkan pemerintah dalam rangka pelaksanaan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S). KPS memuat informasi Nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pasangan Kepala Rumah Tangga, Nama Anggota Rumah Tangga Lain, Alamat Rumah Tangga, Nomor Kartu Keluarga, dilengkapi dengan kode batang (barcode) beserta nomor identitas KPS yang unik. Bagian depan bertuliskan Kartu Perlindungan Sosial dengan logo Garuda, dan masa berlaku kartu sampai dengan tahun Gambar 11. Contoh Kartu Perlindungan Sosial Sumber: TNP2K Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT), diputuskan bahwa KPS diberikan kepada 25 persen Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Mengingat jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan September 2012 adalah 11,66 persen, berarti pemberian KPS tidak hanya mencakup mereka yang miskin namun juga mereka yang berada diatas garis kemiskinan/rentan. Melalui KPS, rumah tangga bersangkutan dapat mengakses seluruh manfaat Program P4S. Syarat dan ketentuan dari penggunaan KPS adalah sebagai berikut: Kepala Rumah Tangga pemegang KPS beserta seluruh Anggota Rumah Tangganya berhak menerima Program Perlindungan Sosial. 2. Kartu ini ditunjukkan pada saat pengambilan manfaat Program Perlindungan Sosial. Ketidaksesuaian nomor Kartu Keluarga asli dengan nomor Kartu Keluarga yang ada di KPS, tidak menghapus hak Rumah Tangga atas manfaat program.

22 3. Kartu ini tidak dapat dipindahtangankan. 4. KPS harus disimpan dengan baik, kehilangan atau kerusakan kartu menjadi tanggung jawab pemegang kartu. Mekanisme penyaluran kartu dirumuskan oleh TNP2K berkoordinasi dengan Kementerian dan Lembaga terkait dan dilaksanakan sepenuhnya oleh PT. Pos Indonesia. Tugas utama PT. Pos Indonesia adalah mendistribusikan KPS ke RTS tanpa dikenai biaya apapun, didampingi oleh aparat desa/kelurahan, dan TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan). Selain itu, PT. Pos Indonesia juga berkewajiban mendata KPS yang kembali (retur) dikarenakan berbagai alasan, seperti Rumah Tangga tercatat ganda; Rumah Tangga pindah; Rumah Tangga tidak ditemukan; dan Rumah Tangga yang seluruh anggotanya telah meninggal. Selama proses distribusi kartu, TKSK memfasilitasi pencatatan jumlah KPS yang kembali per Desa/Kelurahan, selanjutnya direkapitulasi di tingkat kecamatan yang menjadi wilayah kerjanya. TKSK menginformasikan jumlah kartu yang kembali pada masing-masing desa/kelurahan sebagai bahan pelaksanaan Musyawarah Desa atau Kelurahan untuk menentukan rumahtangga pengganti Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial Pemerintah meluncurkan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) pada pertengahan tahun 2013 dalam rangka pengalihan subsidi BBM yang sebagian besar dinikmati oleh 20 persen kelompok terkaya di Indonesia menjadi program bantuan sosial berbasis rumah tangga. Program ini juga bertujuan untuk mempertahankan daya beli kelompok rumah tangga miskin dan rentan. P4S menjangkau 15,5 juta rumah tangga atau kurang lebih 62 juta jiwa. Cakupan P4S ini adalah 25 persen rumah tangga dengan kondisi sosial-ekonomi terendah, yang ditandai dengan penyaluran KPS. Dalam pendistribusian program bantuan sosial, pemerintah tidak mengalokasikannya secara spesifik di daerah tertentu. Program didistribusikan berdasarkan anggaran yang tersedia dan tingkat kemiskinan suatu wilayah. Semakin tinggi tingkat kemiskinan suatu wilayah, semakin banyak program bantuan sosial yang dilaksanakan di wilayah tersebut. P4S sendiri merupakan pengintegrasian berbagai program bantuan sosial yang sudah lama dilaksanakan, seperti Raskin, Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Jamkesmas dan Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan Air Bersih, serta Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). BLSM hanya dilakukan dalam empat bulan, yaitu pada bulan Juli-Oktober 2013 dengan dua kali pembayaran di bulan Juli dan September. 15

23 P4S merupakan salah satu program pemerintah yang didesain secara terintegrasi bagi rumah tangga sasaran penerima program perlindungan sosial. Desain terintegrasi yang dimaksud adalah menggunakan satu KPS yang dapat digunakan untuk pengambilan manfaat dari beberapa program bantuan sosial. Dengan desain terintegrasi diharapkan dapat lebih mempercepat penurunan kemiskinan selain upaya mengefektifkan program penanggulangan kemiskinan lainnya yang telah berjalan. Tabel 2 menyajikan cakupan program-program tersebut secara nasional menurut jenjang administrasi wilayah. Program Raskin dan BSM merupakan program yang telah menjangkau seluruh desa. Cakupan Raskin mencapai 15,15 juta rumah tangga, atau 24,7 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, cakupan BSM sekitar 10 persen penduduk, khususnya untuk anggota rumah tangga pemegang KPS pada usia sekolah. Kuota program ini sekitar 16,6 juta siswa yang terdiri dari jenjang pendidikan SD/MI sekitar 10,2 juta siswa, SMP/MTs sekitar 4,1 juta siswa dan jenjang SMA/SMK/MA sekitar 2,3 juta siswa. Cakupan Program Jamkesmas juga sangat besar, mencapai lebih dari 90% dari total desa, dengan total penerima manfaat sebesar 21 juta rumah tangga atau 86,4 juta penduduk. Tabel 2. Distribusi Program Menurut Jenjang Administrasi Wilayah PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN DESA NAMA PROGRAM Jumlah ,024 Program Jamkesmas* Jumlah ,186 71,238 % Program RASKIN Jumlah ,727 78,024 Program Bantuan Siswa Miskin (BSM) Program Keluarga Harapan (PKH) Sumber: Basis Data Terpadu, TNP2K, 2013 Keterangan: Persen terhadap total unit wilayah administrasi. * Tidak termasuk Provinsi Papua dan Papua Barat. % Jumlah ,727 78,024 % Jumlah ,459 16,897 % Program yang cakupan wilayahnya masih relatif kecil adalah PKH, yakni baru menjangkau 22 persen desa dan kecamatan yang tersebar di 120 kabupaten/kota dan 25 provinsi, dan menyasar sekitar 7 persen jumlah rumah tangga. Sampai dengan pembayaran tahap ke empat 16

24 tahun 2013, jumlah penerima manfaat program PKH adalah 2,32 juta rumah tangga atau setara dengan 10,06 juta jiwa. Dalam konteks penargetan, diharapkan bahwa rumah tangga yang paling miskin mendapatkan seluruh program penanggulangan kemiskinan dan P4S yang diluncurkan oleh Pemerintah. Karena PKH adalah program dengan cakupan kepesertaan yang paling sedikit, maka seluruh peserta PKH seyogyanya mendapatkan BSM (untuk anak yang bersekolah), Raskin (untuk rumah tangga), dan menjadi penerima bantuan iuran program Jaminan Kesehatan (untuk seluruh anggota rumah tangga). Dengan bantuan program yang komprehensif tersebut maka diharapkan RT yang paling miskin dapat memperbaiki kondisi hidupnya. Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Rumah Tangga dan Individu, 2013 Cakupan Penerima Program RASKIN Program Keluarga Harapan Program BSM Program Jamkesmas* Rumah tangga (juta) 15,5 1,9 15,5 21,8 Individu anggota RT (juta) 10,9 16,6 86,4 Sumber: TNP2K Keseluruhan program tersebut secara kumulatif seharusnya mempunyai dampak yang nyata terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Namun, seperti dikemukakan sebelumnya, laju penurunan tingkat penduduk miskin secara aktual masih belum mampu mencapai target tingkat kemiskinan yang ditetapkan RPJMN Distribusi cakupan wilayah yang luas dan jumlah rumah tangga penerima manfaat program yang besar merupakan modal dasar bagi pemerintah untuk mencapai target tingkat kemiskinan sesuai dengan rencana. Namun demikian, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang terjadi belum sesuai dengan target yang ditentukan. Oleh karena itu, efektivitas pelaksanaan berbagai program terurai di atas perlu dipertajam. 17

25 Tabel 4. Jumlah Desa dan Kecamatan Menurut Jumlah Program Penanggulangan Kemiskinan yang Diterima, 2013 Jumlah Jumlah program (% terhadap total Nasional) DESA KECAMATAN 1 Program 7, Program 20, Program 40,073 4, Program 12,503 1, Total 80,336 6,854 Sumber: TNP2K Keterangan: [1] Wilayah yang hanya menerima salah satu dari program Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH [2] Wilayah yang menerima 2 program yang terdiri dari kombinasi antara Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH [3] Wilayah yang menerima 3 program yang terdiri dari kombinasi antara Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH [4] Wilayah yang menerima 4 program dan terdiri dari Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH Dimensi lain dari distribusi program penanggulangan kemiskinan tersebut adalah dengan melihatnya menurut desa dan kecamata. Data menunjukkan bahwa sebagian besar kecamatan dan desa menerima lebih dari satu program. Jumlah kecamatan dan desa yang hanya menerima satu jenis program masing-masing persentasenya hanya 8 persen dan 9 persen. Jumlah kecamatan dan desa yang menerima sekaligus 3 program, masing-masing mencapai 49 persen dan 69 persen. Penajaman penargetan wilayah ini akan diuraikan di Bagian 3 berikut. 18

26 BAGIAN 3 UPAYA PENAJAMAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN Diperlukan penajaman fokus dengan penargetan berbasis wilayah untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan 19

27 3.1 Penargetan Wilayah Prioritas Pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pemantauan terhadap efektivitas pelaksanaan seluruh program penanggulangan kemiskinan, terutama bagi program-program berbasis individu dan rumah tangga, di wilayah-wilayah prioritas kantong kemiskinan. Upaya ini dirasa cukup realistis untuk dilakukan, karena dapat dilakukan berbasiskan program-program yang sudah ada, dan Pemerintah tidak perlu menciptakan program penanggulangan kemiskinan baru. Penargetan wilayah prioritas kantong kemiskinan sebenarnya bukanlah merupakan hal baru dalam program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Di masa lalu, program Inpres Desa Tertinggal (IDT) misalnya, merupakan program pemerintah yang telah menggunakan pendekatan target kewilayahan atau geographical targeting. Pada batasan tertentu, pelaksanaan program PNPM Mandiri, juga telah mengadopsi pendekatan ini. Upaya penajaman penanggulangan kemiskinan melalui penargetan wilayah prioritas kantong kemiskinan disusun berdasarkan berbagai pertimbangan: pertama, masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) tersisa kurang dari satu tahun. Kedua, efisiensi pemanfaatan sumberdaya dengan memfokuskannya pada wilayah prioritas. Ketiga, fokus pemantauan terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dapat lebih efektif. Keempat, pengukuran target pencapaian dapat lebih terkontrol. Dan kelima, dapat dijadikan sebagai dasar perluasan pada program-program terkait lainnya (scaling-up prototype). Pelaksanaan program percepatan penurunan tingkat kemiskinan berdasarkan penargetan wilayah ini menuntut adanya koordinasi dan sinergi yang kuat antar-kementerian/lembaga maupun antar-tingkatan pemerintahan, serta dukungan berbagai kekuatan sosial. Pada saat yang sama, penajaman penargetan wilayah yang dilaksanakan berbarengan dengan mekanisme sistem pemantauan yang terkontrol hingga tingkat desa/kelurahan, akan mampu menjamin efektivitas pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang pada akhirnya diharapkan akan berdampak besar terhadap percepatan penurunan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan. 20

28 3.2 Basis Wilayah Prioritas Kerangka Pemikiran Upaya dan program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan masih memerlukan penguatan, yang dilakukan dengan cara memberikan perhatian lebih berupa pemantauan terhadap pelaksanan program penanggulangan kemiskinan di wilayah prioritas kantong kemiskinan. Paling tidak terdapat empat skenario yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam menentukan basis wilayah prioritas. Keempat skenario tersebut adalah berdasarkan: (i) jumlah penduduk miskin, (ii) jumlah penduduk yang termasuk 10 persen terendah (desil 1 di Basis Data Terpadu), (iii) jumlah rumah tangga penerima KPS, dan (iv) pemanfaatan Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) berbasis kemiskinan multidimensi. Tabel 5. Skenario Penargetan Wilayah Prioritas Skenario Dasar Penentuan 1 Jumlah Penduduk Miskin 2 Jumlah Penduduk di Desil 1 BDT 3 Jumlah Penerima KPS 4 IKW berbasis kemiskinan multidimensi Identifikasi pemilihan 100 wilayah prioritas Wilayah dengan jumlah penduduk miskin tertinggi adalah wilayah prioritas Wilayah dengan penduduk desil 1 tertinggi adalah wilayah prioritas. Wilayah dengan jumlah rumah tangga penerima KPS tertinggi merupakan wilayah prioritas. Berdasarkan komposit indeks multi-dimensi yang terkait langsung atau tidak langsung dalam menentukan tingkat kesejahteraan. Wilayah dengan indeks kesejahteraan wilayah terendah merupakan wilayah prioritas. Sumber Data Badan Pusat Statistik, Publikasi Kemiskinan Basis Data Terpadu, TNP2K Basis Data Terpadu dan Kartu Perlindungan Sosial, TNP2K Berbagai sumber dengan melakukan estimasi dan dekomposisi Tiga dasar penentuan yang pertama adalah indikator-indikator terkait erat dengan tingkat kemiskinan dan pelaksanaan program. Ketiga indikator tersebut pada dasarnya merupakan varian dari indikator kemiskinan berbasiskan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Jumlah penduduk miskin ditentukan oleh tingginya garis kemiskinan yang direpresentasikan oleh sejumlah pengeluaran minimum yang diperlukan rumah tangga untuk memenuhi 21

29 pengeluaran makanan dan non-makanan minimum. Jumlah penduduk di Desil 1 BDT didapatkan dari pemeringkatan kondisi sosial-ekonomi rumah tangga, berbasiskan model proxy-means testing yang juga dibangun berdasarkan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Jumlah penerima KPS pada prinsipnya juga ditentukan oleh hasil pemeringkatan rumah tangga, namun pada jumlah cakupan yang lebih tinggi dibandingkan indikator kedua. Jika Desil 1 menggunakan batasan (cut-off) 10 persen peringkat terendah, maka cakupan KPS menggunakan batasan (cut-off) sebesar 25 persen peringkat terendah. Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) dibangun dengan memasukkan berbagai dimensi nonkonsumsi, terutama variabel-variabel yang dapat lebih mencerminkan kondisi kemiskinan di wilayah yang bersangkutan. Perumusan IKW didasari oleh kenyataan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya tercermin dari rendahnya tingkat konsumsi masyarakat, melainkan juga terkait dengan permasalahan infrastruktur wilayah, pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenagakerjaan dan dimensi lainnya. Penggunaan IKW untuk memilih dan menentukan wilayah prioritas yang menjadi kantong kemiskinan, dapat digunakan baik dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat desa/kelurahan. Beberapa faktor yang diduga berperan kuat sebagai pendorong maupun penghambat terhadap kemajuan atau ketertinggalan suatu wilayah, antara lain 1) Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, 2) Kondisi kesehatan masyarakat, 3) Kondisi pendidikan masyarakat, 4) Kondisi infrastruktur masyarakat, 5) Kondisi perumahan masyarakat, dan 6) Kondisi ketenagakerjaan masyarakat. Keseluruhan variabel, indikator dan metode pembentukan indeks akan diuraikan di bawah ini Variabel, Indikator dan Faktor Komposit IKW Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) yang mencerminkan tingkat kemiskinan (dan juga tingkat kesejahteraan) suatu wilayah dibentuk dari dua faktor komposit (lihat Gambar 12). Faktor komposit pertama adalah komponen non-konsumsi rumah tangga yang merupakan gabungan dari berbagai variabel sumberdaya dan infrastruktur masing-masing wilayah di dalamnya. Faktor komposit non-konsumsi menggambarkan kondisi kesejahteraan suatu wilayah, dengan tanpa memperhatikan tingkat kemiskinan penduduknya. Wilayah dengan sumberdaya dan infrastruktur yang terbatas dapat dikategorikan sebagai wilayah kurang sejahtera. Enam variabel utama pembentuk faktor komposit komponen non-kemiskinan terdiri dari variabel ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, perumahan dan ketenagakerjaan, di mana masing-masing variabel dibentuk dari beberapa indikator penjelas lainnya. Tabel 6 menguraikan seluruh indikator penjelas yang digunakan dalam faktor komposit non-konsumsi. Faktor komposit kedua adalah komponen kemiskinan konsumsi rumah tangga yang merupakan komposit dari indikator kemiskinan di setiap wilayah. Komponen kemiskinan 22

30 rumah tangga identik dengan kemiskinan pada level individu dan rumah tangga. Beberapa komponen variabel atau indikator yang termasuk dalam komponen kemiskinan adalah jumlah penduduk miskin, tingkat kemiskinan (P0), kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2). Gambar 12. Kerangka Pemikiran Penyusunan IKW 23

31 Tabel 6. Faktor, Variabel dan Indikator Kesejahteraan Wilayah FAKTOR 1 Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat FAKTOR 3 Kondisi Kesehatan Masyarakat FAKTOR 5 Kondisi Perumahan Masyarakat Kondisi Kemiskinan Masyarakat KOMPONEN NON-KONSUMSI 1. Produk Domestik Regional FAKTOR 2 Bruto (PDRB) Perkapita Harga Konstan; Kondisi 2. Pendapatan Asli Daerah Pendidikan (PAD); Masyarakat 3. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK); 1. Jumlah Sarana Sekolah Dasar (SD/MI); 2. Jumlah Sarana Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs); 3. Jumlah Sarana Sekolah Menengah Atas (SMA/MA/MTs); 4. Indeks Kapasitas Fiskal (IKF); 4. Rasio Guru/Murid (Per-100 siswa); 5. Jumlah Koperasi; 5. Angka Partisipasi Sekolah; 6. Bank Umum dan Kredit 6. Angka Melek Huruf FAKTOR 4 1. Jumlah Dokter/1000 Penduduk; 1. Penerangan Utama di Jalan; 2. Tingkat Kesakitan (Morbidity Kondisi 2. Telepon Desa Rate); Infrastruktur 3. Jumlah Rumah Sakit; Wilayah 3. Wartel/Warnet; 4. Jumlah Posyandu; 4. Kantor Pos/Poskel; 5. Jumlah Praktek Kesehatan 5. Permukaan Jalan Utama Aspal/Beton/Kerikil; 6. Permukaan Jalan Terluas Aspal/Beton/Kerikil 1. Rasio Elektrifikasi; FAKTOR 6 2. Persentase Rumah Tangga dengan Air Minum Layak; 3. Persentase Rumah Tangga dengan Lantai Keramik, Semen, Ubin; 4. Persentase Rumah Tangga dengan Sanitasi Layak; 5. Persentase Rumah Tangga dengan Bahan Bakar Listrik, Minyak Tanah dan Gas; 6. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Aset Berharga; 7. Persentase desa dengan Permukiman Kumuh; Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat KOMPONEN KONSUMSI 1. Jumlah Penduduk Miskin; 2. Tingkat kemiskinan (P 0); 3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P 1); 4. Indeks Keparahan Kemiskinan (P 2) 1. Tingkat Pengangguran Terbuka; 2. Persentase Pekerja yang Bekerja Selama Kurang dari 14 Jam Seminggu; 3. Persentase Pekerja yang Bekerja Selama Kurang dari 35 Jam Seminggu; 4. Persentase Keluarga Sektor Pertanian; 5. Persentase Keluarga Buruh Pertanian 24

32 Model yang digunakan dalam pembentukan faktor komposit IKW adalah discriminant analysis dengan memanfaatkan tools statistik faktor atau PCA Principal Component Analysis. Pendekatan yang digunakan adalah dengan membuat komposisi pembobotan (weighting) yang setara antara dimensi kemiskinan non-konsumsi dan dimensi kemiskinan konsumsi yang dilakukan dengan cara membuat scoring pada masing-masing faktor dimensi. Gambar 13. Faktor Komposit IKW Faktor Komposit Dimensi Non-Konsumsi Faktor Ekonomi Faktor Pendidikan Faktor Kesehatan Faktor Infrastruktur Faktor Perumahan Faktor Tenaga Kerja Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) Jumlah Penduduk Miskin Tingkat Kemiskinan Indeks Kedalaman Kemiskinan Indeks Keparahan Kemiskinan Faktor Dimensi Konsumsi Pada saat yang sama, setiap komponen faktor pembentuk IKW diberi bobot yang sama, dengan asumsi tidak ada satupun komponen faktor yang dianggap lebih memiliki kemampuan (prioritas) dalam mempengaruhi tingkat kesejahteraan suatu wilayah. Gambar 13 menjelaskan bahwa faktor-faktor di bawah dimensi kemiskinan non-konsumsi mempunyai kesetaraan bobot yang saling terkait satu-sama lain. Pada sisi lain, dimensi kemiskinan konsumsi hanya mempunyai komponen pembentuk faktor. 25

33 3.3 Pemilihan Wilayah Prioritas Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Peringkat kesejahteraan wilayah disajikan dengan pola urutan nilai IKW dari nilai indeks terendah sampai tertinggi (0-100). Suatu wilayah dengan nilai komposit indeks mendekati 0 (nol) merupakan wilayah yang perlu mendapatkan prioritas dalam pemantauan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Sebaliknya, wilayah dengan nilai komposit indeks mendekati 100 merupakan wilayah yang lebih sejahtera. Langkah awal penentuan wilayah prioritas dilakukan dengan cara mengurutkan nilai IKW seluruh kabupaten/kota yang diperoleh dari normalisasi scoring faktor, yang terbentuk dari faktor komposit dimensi non-konsumsi dan konsumsi, dari nilai terkecil sampai terbesar. Berdasarkan nilai IKW yang sudah diurutkan tersebut, kemudian dipilih 100 kabupaten/kota yang terendah sebagai basis wilayah prioritas. Pemilihan wilayah prioritas dilakukan atas dasar ketersediaan biaya dan target yang akan dicapai. Saat ini, jumlah wilayah prioritas untuk tingkat nasional hanya dipilih sebanyak 100 kabupaten/kota tertinggal. Jumlah kabupaten/kota terpilih yang terbatas tersebut didasari oleh beberapa alasan, yaitu: 1. Jangka waktu pemantauan yang pendek (±6 bulan). 2. Efisiensi biaya dan sumberdaya. 3. Lebih fokus dalam implementasi dan efektifitas pemantauan program penanggulangan kemiskinan. 4. Pengukuran target pencapaian yang lebih terkontrol. 5. Dapat dijadikan sebagai dasar perluasan (Scaling-Up Protoype). Pendekatan yang sama juga dapat dilakukan ketika akan memilih wilayah prioritas untuk tingkat kecamatan dan desa. Kecamatan prioritas diidentifikasi di dalam wilayah prioritas kabupaten/kota. Dengan menggunakan pendekatan yang sama, desa/kelurahan yang terpilih haruslah merupakan desa/kelurahan yang berada di wilayah prioritas kecamatan. Secara teknis, penentuan wilayah kabupaten/kota prioritas didasarkan pada IKW di tingkat nasional. Data yang digunakan untuk menyusun indeks komposit IKW adalah data outcome yang mewakili supply dan demand side pada masing-masing kelompok indikator. 26

34 Gambar 14. Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW 39 Variabel KOMPOSIT INDEKS KABUPATEN KOTA Thresholds 100 Wilayah 100 KABUPATEN/KOTA PRIORITAS Proxy Variabel 49 Variabel KOMPOSIT INDEKS KECAMATAN 40% Wilayah KECAMATAN PRIORITAS Agregasi 47 Variabel KOMPOSIT INDEKS DESA Mean + StdDev DESA PRIORITAS Penentuan target IKW tingkat kecamatan dan desa dilakukan di tingkat kabupaten/kota terpilih. Untuk tingkat kecamatan dan desa, indikator yang digunakan adalah proxy dari indikator yang dipakai pada tingkat kabupaten/kota, dengan beberapa tambahan indikator yang mencerminkan ketertinggalan wilayah. Oleh karena itu, sebagian besar data yang digunakan pada tingkat kecamatan dan desa adalah data Potensi Desa (Podes) tahun 2011 yang telah memasukkan dimensi kualitas dan beberapa indikator lain yang bersumber dari Sensus Penduduk Tahun Perbandingan Pilihan Skenario Wilayah Prioritas Upaya penajaman penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah melalui pemantauan terhadap pelaksanaan seluruh program penanggulangan kemiskinan di 100 kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah prioritas, yang idealnya juga harus mengikutsertakan kegiatan pemantauan dan evaluasi yang telah dilakukan oleh masingmasing program penanggulangan kemiskinan (bantuan sosial) yang sudah ada demi tercapainya tujuan dari setiap program. Untuk menjaga agar program penanggulangan kemiskinan berjalan sesuai dengan rencana, serta mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap percepatan penurunan tingkat kemiskinan di tingkat nasional, perlu dilakukan evaluasi (perbandingan) terhadap basis wilayah prioritas berdasarkan keempat skenario pemilihan wilayah prioritas yang sudah ditentukan. Hasil evaluasi akan memberi konfirmasi awal berupa seberapa robust (mampu 27

35 memberi dampak yang signifikan) basis wilayah prioritas yang dihasilkan berdasarkan pendekatan IKW dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Evaluasi akan dilakukan terhadap indikator-indikator kemiskinan, antara lain tingkat kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan, serta jumlah orang miskin. Tingkat Kemiskinan Dengan menggunakan referensi tingkat kemiskinan nasional sekitar 11,66 persen (September 2012), Skenario 1 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada wilayah prioritas adalah sebesar 16,41 persen, sedangkan pada wilayah non-prioritas sebesar 7,56 persen. Sementara dengan menggunakan Skenario 2, tingkat kemiskinan di wilayah prioritas adalah sebesar 12,20 persen, dan 9,08 persen pada wilayah non-prioritas. Gambar 15. Perbandingan Tingkat Kemiskinan (P0) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas 16,41 20,40 11,66 7,56 9,08 12,20 11,29 11,73 9,83 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Non-Prioritas Prioritas Angka Nasional Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012 Hasil evaluasi Skenario 3 terhadap wilayah prioritas kantong kemiskinan menunjukkan jika tingkat kemiskinan di wilayah prioritas adalah sebesar 11,29 persen, sedangkan wilayah nonprioritas sebesar 11,73 persen. Sementara penerapan Skenario 4 menghasilkan gambaran tentang tingkat kemiskinan pada wilayah prioritas jauh lebih tinggi, yaitu 20,4 persen, sedangkan pada wilayah non-prioritas adalah sebesar 9,83 persen. 28

36 Dari keseluruhan hasil evaluasi pemilihan skenario wilayah prioritas berdasarkan tingkat kemiskinan, dapat ditunjukkan jika wilayah prioritas pada Skenario 4 memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lain. Dengan kata lain, pemantauan terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang efektif di wilayah prioritas berdasar Skenario 4 diharapkan akan mampu memberi dampak yang besar terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan (P1 dan P2) Dengan menggunakan referensi tingkat kedalaman kemiskinan nasional pada bulan September 2012 sebesar 1,90 persen, Skenario 1 menunjukkan bahwa tingkat kedalaman kemiskinan di di wilayah prioritas jauh lebih tinggi 2 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata nasional maupun wilayah non-prioritas. Sementara dengan menggunakan Skenario 2, tingkat kedalaman kemiskinan pada wilayah prioritas lebih besar dibandingkan dengan wilayah nonprioritas, dan lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nasional. Gambar 16. Perbandingan Kedalaman Kemiskinan (P1) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas 3,61 2,74 1,90 1,18 1,46 1,99 1,94 1,90 1,55 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Non-Prioritas Prioritas Angka Nasional Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012 Hasil evaluasi Skenario 3 menunjukkan tingkat kedalaman kemiskinan di wilayah prioritas dan non-prioritas relatif sama, bahkan lebih tinggi tingkat kedalaman kemiskinan pada wilayah 29

37 non-prioritas. Sementara itu, Skenario 4 memberi gambaran jika kedalaman kemiskinan pada wilayah prioritas lebih dari 2 kali wilayah non-prioritas. Angka-angka ini menunjukkan bahwa wilayah prioritas berdasarkan pendekatan IKW merupakan wilayah dengan rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga cukup jauh dari garis kemiskinan. Artinya Pemerintah perlu untuk memberikan perhatian lebih kepada wilayah prioritas yang terpilih berdasarkan penerapan Skenario 4 mengingat wilayah-wilayah tersebut terbukti lebih miskin dibanding wilayah lainnya. Dalam konteks keparahan kemiskinan, angka nasional yang digunakan sebagai referensi adalah sebesar 0,49 persen (September 2012). Hasil pendekatan Skenario 1 menunjukkan jika tingkat keparahan kemiskinan wilayah prioritas ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah non-prioritas, dan masih lebih tinggi dibanding angka nasional. Dengan menggunakan Skenario 2, wilayah prioritas memiliki tingkat keparahan kemiskinan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah non-prioritas, yaitu 0,51 berbanding 0,39. Gambar 17. Perbandingan Keparahan Kemiskinan (P2) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas 1,20 0,98 0,90 0,70 0,60 0,30 0,49 0,30 0,39 0,51 0,53 0,48 0,38 0,00 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Non-Prioritas Prioritas Angka Nasional Sumber: Hasil Estimasi Susenas September

38 Penggunaan Skenario 3 menunjukkan tingkat keparahan wilayah non-prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah prioritas, yaitu 0,53 dibanding 0,48. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang menjadi prioritas merupakan wilayah dengan ketimpangan per kapita rumah tangga lebih rendah terhadap garis kemiskinan dibandingkan dengan wilayah nonprioritas. Sementara, hasil penerapan Skenario 4 menunjukkan hal yang lebih kontras, dimana tingkat keparahan kemiskinan di wilayah prioritas hampir 3 kali lipat lebih besar dibanding wilayah non-prioritas, dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tiga skenario sebelumnya. Dengan kata lain, wilayah prioritas yang dihasilkan oleh pendekatan IKW merupakan wilayah dengan ketimpangan pendapatan per kapita rumah tangga terhadap garis kemiskinan yang paling tinggi. Sehingga upaya khusus Pemerintah yang dilakukan di wilayah-wilayah terpilih berdasarkan penerapan Skenario 4 diharapkan akan mampu memperkecil ketimpangan pendapatan per kapita antar rumah tangga. Jumlah Penduduk Miskin Dengan menggunakan referensi jumlah penduduk miskin pada September 2012 sekitar 28,6 juta, ternyata wilayah-wilayah prioritas pada Skenario 4 memiliki jumlah penduduk miskin sebanyak 8,67 juta yang jauh lebih kecil dibanding dengan tiga skenario lainnya. Hal ini dapat dipahami mengingat pendekatan IKW tidak mendasarkan pilihan wilayah prioritas hanya dengan menggunakan dimensi kemiskinan konsumsi (ekonomi) saja, tetapi juga mengikutsertakan dimensi kemiskinan non-konsumsi (sosial, infrastruktur, dan lain sebagainya). Artinya, wilayah-wilayah yang terpilih berdasarkan Skenario 4 merupakan wilayah yang memiliki tingkat kompleksitas permasalahan kemiskinan (ekonomi dan nonekonomi) yang lebih besar dibanding wilayah lain. Kecilnya jumlah penduduk miskin di wilayah-wilayah yang terpilih berdasarkan Skenario 4, sedikit banyak juga mengkonfirmasi ketaatan penerapan prinsip penargetan individu (tepat sasaran) seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Selain karena jumlah penduduk miskin tidak merepresentasikan relatif kemiskinan di suatu wilayah karena sangat tergantung pada banyaknya jumlah penduduk yang ada di wilayah tersebut. Dengan kata lain, program penanggulangan kemiskinan selain tepat menyasar wilayah-wilayah dengan tingkat kesejahteraan terendah, juga hanya akan diberikan kepada penduduk miskin tertentu yang benar-benar membutuhkan, sehingga program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan efektif. Dari keseluruhan hasil evaluasi (perbandingan) pilihan skenario penargetan wilayah, pemanfaatan IKW (Skenario 4) terbukti lebih unggul dalam mengidentifikasi wilayah prioritas 31

39 kantong kemiskinan. Pendekatan IKW dikatakan lebih unggul mengingat wilayah-wilayah prioritas yang terpilih berdasarkan pendekatan IKW terbukti memiliki karakteristik (i) tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, (ii) perbedaan jarak pendapatan rumah tangga terhadap garis kemiskinan yang lebih besar dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, (iii) ketimpangan pendapatan rumah tangga yang lebih besar dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, serta (iv) jumlah penduduk miskin yang lebih sedikit dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain. Tabel 7. Perbandingan Indikator Kemiskinan di 100 Kabupaten Wilayah Prioritas 1 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Jumlah Penduduk Deskripsi Nasional Miskin Desil 1 PPLS 2011 KPS 2013 IKW Non- Non- Non- Non- Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas Prioritas Jumlah Provinsi Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Perkotaan (Juta) Perdesaan (Juta) Tingkat Kemiskinan Perkotaan (%) Perdesaan (%) Kedalaman Kemiskinan Perkotaan Perdesaan Keparahan Kemiskinan Perkotaan Perdesaan Distribusi Penduduk Miskin (%) Perkotaan (%) Perdesaan (%) Sumber: Hasil Estimasi Susenas September IKW berangkat dari kabupaten/kota; contoh: jika 1 provinsi terdiri atas 5 kabupaten/kota dimana 2 termasuk daerah IKW, maka provinsi tersebut disebut provinsi prioritas (2 kabupaten/kota) dan juga non prioritas (3 kabupaten/kota). Jika suatu provinsi tidak memiliki daerah yang masuk dalam kategori IKW, maka bisa dikatakan daerah tersebut sebagai provinsi non-prioritas. 32

40 Cakupan dan Distribusi Wilayah Prioritas Hasil perbandingan wilayah prioritas berdasarkan keempat skenario menunjukkan adanya perbedaan sebaran persentase dan jumlah daerah (provinsi) untuk setiap skenario, seperti tersaji dalam mapping sebaran wilayah prioritas pada Gambar 18. Dengan menggunakan Skenario 1, diperoleh gambaran bahwa distribusi wilayah prioritas secara nasional hanya terdapat di 12 provinsi dan terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat sebagai prioritas utama. Dari 100 wilayah (kabupaten/kota) yang diprioritaskan, 82 kabupaten/kota prioritas berada di Pulau Jawa dan 13 kabupaten/kota prioritas berada di Pulau Sumatera, sedangkan 5 kabupaten/kota prioritas sisanya berada di luar kedua pulau tersebut. Besarnya jumlah penduduk di kedua pulau tersebut telah menyebabkan terjadinya konsentrasi wilayah prioritas pada kedua pulau ini. Dengan menggunakan Skenario 2 atau pendekatan jumlah penduduk yang berada pada desil 1, diperoleh gambaran sebaran wilayah prioritas yang relatif sama dengan Skenario 1, dimana wilayah prioritas hanya mencakup 13 provinsi. Dari 100 wilayah yang dijadikan prioritas, 80 kabupaten/kota diantaranya berada di Pulau Jawa dan 13 kabupaten/kota lainnya berada di Pulau Sumatera. Hal ini mengindikasikan jumlah penduduk miskin pada kedua pulau tersebut ternyata proporsional terhadap jumlah penduduk yang termasuk dalam kelompok desil 1 atau 10 persen kelompok terbawah. Skenario 3 atau pemilihan wilayah berdasarkan sebaran rumah tangga penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan dua skenario sebelumnya. Sekali lagi, distribusi wilayah prioritas masih cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera dan hanya tersebar di 13 provinsi. Gambaran tentang sebaran wilayah prioritas yang hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagaia Pulau Sumatera berdasarkan Skenario 1 sampai dengan 3, tidak ditemui lagi jika penentuan wilayah prioritas menggunakan pendekatan IKW. Dengan menggunakan Skenario 4, wilayah prioritas tersebar hampir di seluruh provinsi. Provinsi Papua, Papua Barat, Aceh, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi-provinsi dengan jumlah kabupaten/kota prioritas pemantauan terbanyak. Dengan demikian, upaya khusus penanggulangan kemiskinan berbasis wilayah dengan menggunakan pendekatan IKW akan meningkatkan pengurangan tingkat kemiskinan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Distribusi detail wilayah prioritas pada tingkat kabupaten/kota berdasarkan keempat skenario tersaji secara lengkap pada Tabel 8 berikut. 33

41 Gambar 18. Sebaran Wilayah Prioritas Skenario 1: Jumlah Penduduk Miskin Wilayah Prioritas Wilayah Non-Prioritas Wilayah Prioritas Wilayah Non-Prioritas Wilayah Prioritas Wilayah Non-Prioritas Skenario 2: Jumlah Penduduk Desil 1 Skenario 3: Jumlah Penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) Skenario 4: Indeks Kesejahteraan Wilayah 34

42 Tabel 8. Perbandingan Distribusi Wilayah dengan Berbagai Skenario Prioritas Skenario Provinsi Jumlah Kabupaten /Kota Jumlah Penduduk Miskin Jumlah Penduduk Desil 1 Jumlah Rumah Tangga KPS Indeks Kesejahteraan Wilayah Daerah % Daerah % Daerah % Daerah % Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Total Nasional

43 Program Penanggulangan Kemiskinan pada Wilayah Prioritas Wilayah terpilih merupakan wilayah (kabupaten/kota) prioritas yang akan dijadikan target pemantauan secara intensif dan lebih terukur dalam mencapai tujuan pemantauan. Kegiatan utama yang dilakukan di wilayah prioritas pemantauan hanya memanfaatkan program yang sudah ada dan sedang berjalan. Demikian pula halnya dengan instrumen dan petugas yang akan bekerja di lapangan adalah dengan mengunakan (mamaksimalkan) perangkat yang sudah ada. Dengan kata lain, tidak ada program baru yang akan dilaksanakan di wilayah prioritas. Hal baru yang mungkin dilakukan di wilayah prioritas pemantauan adalah adanya koordinasi yang solid antar penyelenggara program penanggulangan kemiskinan. Koordinasi harus dilakukan dengan lebih baik serta di bawah kendali suatu unit lembaga yang mempunyai pengalaman, tugas dan tanggung jawab dalam pengawasan dan penilaian kinerja kementerian/lembaga. Hal ini menjadi sangat penting mengingat besar kemungkinan satu wilayah prioritas memiliki (dilaksanakan) lebih dari satu program penanggulangan kemiskinan. Gambar 19. Perbandingan Cakupan Program Nasional dan Wilayah Prioritas Sumber: Hasil Analisis Podes 2011 Dalam konteks bantuan sosial, kombinasi program Raskin, BSM, PKH, dan Jamkesmas, sebagian besar desa di 100 kabupaten/kota prioritas telah menerima sedikitnya 3 (tiga) program atau sebanyak desa dari total desa (66,4 persen). Hanya sekitar 32 persen (2.456 dari 7.624) wilayah prioritas yang menerima 1 (satu) program, dan sekitar 24 persen (4.905 dari ) wilayah prioritas yang menerima sedikitnya 2 (dua) program. Ratarata tertimbang dari keempat kombinasi program sekitar 27 persen dari keseluruhan program bantuan sosial yang menjadi target pemantauan terutama untuk program Raskin, BSM, PKH dan Jamkesmas. 36

KINERJA PENANGGULANGAN KEMISKINAN NASIONAL DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH

KINERJA PENANGGULANGAN KEMISKINAN NASIONAL DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH KINERJA PENANGGULANGAN KEMISKINAN NASIONAL DAN PENARGETAN BERBASIS WILAYAH SUDARNO SUMARTO Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan JAKARTA, 13 MEI 2014 TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

MENETAPKAN SASARAN BERBASIS WILAYAH DAN RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN DATA BDT, PODES, DAN SUSENAS

MENETAPKAN SASARAN BERBASIS WILAYAH DAN RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN DATA BDT, PODES, DAN SUSENAS MENETAPKAN SASARAN BERBASIS WILAYAH DAN RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN DATA BDT, PODES, DAN SUSENAS Elan Satriawan Ketua Pokja, TNP2K 1 LATAR BELAKANG Berbagai indikator kemiskinan seperti P0, P1, ataupun P2

Lebih terperinci

MENETAPKAN SASARAN BERBASIS WILAYAH DAN RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN DATA BDT, PODES, DAN SUSENAS

MENETAPKAN SASARAN BERBASIS WILAYAH DAN RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN DATA BDT, PODES, DAN SUSENAS MENETAPKAN SASARAN BERBASIS WILAYAH DAN RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN DATA BDT, PODES, DAN SUSENAS Elan Satriawan Ketua Pokja, TNP2K 1 LATAR BELAKANG Berbagai indikator kemiskinan seperti P0, P1, ataupun P2

Lebih terperinci

PENSASARAN PROGRAM BERDASARKAN RUMAH TANGGA DAN WILAYAH

PENSASARAN PROGRAM BERDASARKAN RUMAH TANGGA DAN WILAYAH PENSASARAN PROGRAM BERDASARKAN RUMAH TANGGA DAN WILAYAH Elan Satriawan Ketua Pokja, TNP2K 1 KERANGKA MATERI 1.Situasi dan Tantangan Pembagunan Sosial di Indonesia 2.Pensasaran Rumah Tangga/Keluarga Prioritas

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA UNTUK PENAJAMAN INTERVENSI KEBIJAKAN

PEMANFAATAN DATA UNTUK PENAJAMAN INTERVENSI KEBIJAKAN PEMANFAATAN DATA UNTUK PENAJAMAN INTERVENSI KEBIJAKAN DATA MAKRO DAN DATA MIKRO ANALISIS DETERMINAN MASALAH BERBASIS DATA PENGGUNAAN DATA SEBARAN (AGREGAT) DALAM PENSASARAN WILAYAH Pemalang, 4 Oktober

Lebih terperinci

Program Kompensasi Penyesuaian Subsidi Bahan Bakar Minyak 2013

Program Kompensasi Penyesuaian Subsidi Bahan Bakar Minyak 2013 Program Kompensasi Penyesuaian Subsidi Bahan Bakar Minyak 2013 Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 semula masih memberikan alokasi yang cukup besar terhadap subsidi energi, termasuk

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA BAB I GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN KABUPATEN MAJALENGKA 1.1. Pertumbuhan Ekonomi PDRB Kabupaten Majalengka pada tahun 2010 atas dasar harga berlaku mencapai angka Rp 10,157 triliun, sementara pada tahun

Lebih terperinci

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 4.A TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PROGRAM BERAS UNTUK RUMAH TANGGA

Lebih terperinci

Aplikasi Pemanfaatan Basis Data Terpadu Untuk Program Perlindungan Sosial

Aplikasi Pemanfaatan Basis Data Terpadu Untuk Program Perlindungan Sosial Aplikasi Pemanfaatan Basis Data Terpadu Untuk Program Perlindungan Sosial SEKRETARIAT TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (TNP2K) 10 FEBRUARI 2015 Struktur Organisasi TNP2K Peraturan Presiden

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

1. Apa yang dimaksud dengan Basis Data Terpadu? 2. Apa Kegunaan Basis Data Terpadu?

1. Apa yang dimaksud dengan Basis Data Terpadu? 2. Apa Kegunaan Basis Data Terpadu? 1. Apa yang dimaksud dengan Basis Data Terpadu? Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial yang dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) adalah sebuah sistem yang

Lebih terperinci

BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL

BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL KANTOR WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL Dr. Bambang Widianto Deputi Bidang

Lebih terperinci

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah BADAN PUSAT STATISTIK Kabupaten Bandung Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Soreang, 1 Oktober 2015 Ir. R. Basworo Wahyu Utomo Kepala BPS Kabupaten Bandung Data adalah informasi

Lebih terperinci

Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian Indonesia KAMAR DAGANG DAN INDUSTRI INDONESIA Kondisi Perekonomian Indonesia Tim Ekonomi Kadin Indonesia 1. Kondisi perekonomian dunia dikhawatirkan akan benar-benar menuju jurang resesi jika tidak segera dilakukan

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012

Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Triwulan I-2012 Asesmen Ekonomi Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pada triwulan II 2012 tercatat sebesar 7,25%, mengalami perlambatan dibandingkan

Lebih terperinci

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data

Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Mengurangi Kemiskinan Melalui Keterbukaan dan Kerjasama Penyediaan Data Disampaikan oleh: DeputiMenteri PPN/Kepala Bappenas Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan pada Peluncuran Peta Kemiskinan dan Penghidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian suatu negara dapat ditinjau dari variabelvariabel makroekonomi yang mampu melihat perekonomian dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Variabelvariabel

Lebih terperinci

UNIFIKASI SISTEM PENETAPAN SASARAN NASIONAL

UNIFIKASI SISTEM PENETAPAN SASARAN NASIONAL UNIFIKASI SISTEM PENETAPAN SASARAN NASIONAL Bambang Widianto Deputi Setwapres Bidang Kesra dan Penanggulangan Kemiskinan/ Sekretaris Eksekutif TNP2K JAKARTA, 31 JANUARI 2013 TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDIKATOR SEKTOR RIIL TERPILIH

PERKEMBANGAN INDIKATOR SEKTOR RIIL TERPILIH Mei 2015 PERKEMBANGAN INDIKATOR SEKTOR RIIL TERPILIH Survei Konsumen Mei 2015 (hal. 1) Survei Penjualan Eceran April 2015 (hal. 13) PERKEMBANGAN INDIKATOR SEKTOR RIIL TERPILIH Mei 2015 Alamat Redaksi :

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG

BPS PROVINSI LAMPUNG BPS PROVINSI LAMPUNG No. 07/01/18/TH.VII, 2 Januari 2015 ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2014 Angka kemiskinan Lampung pada September 2014 sedikit mengalami penurunan dibanding Maret 2014 yakni dari

Lebih terperinci

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen)

Grafik 1 Laju dan Sumber Pertumbuhan PDRB Jawa Timur q-to-q Triwulan IV (persen) BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th. XII, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR I. PERTUMBUHAN DAN STRUKTUR EKONOMI MENURUT LAPANGAN USAHA Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penanganan yang tepat agar dapat segera teratasi. Indonesia merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. penanganan yang tepat agar dapat segera teratasi. Indonesia merupakan salah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kemiskinan menjadi permasalahan sosial yang sangat komplek, dimana kemiskinan sering menjadi isu Global maupun Nasional yang menimbulkan keprihatinan oleh banyak pihak,

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PROGRAM PERCEPATAN DAN PERLUASAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (P4S)

OPTIMALISASI PROGRAM PERCEPATAN DAN PERLUASAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (P4S) OPTIMALISASI PROGRAM PERCEPATAN DAN PERLUASAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (P4S) LATAR BELAKANG Target angka kemiskinan RPJM Nasional 2009-2014 adalah 8-10% pada tahun 2014. Masa kerja KIB II tinggal + 18

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011 No. 05/01/33/Th. VI, 2 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Provinsi Jawa Tengah

Lebih terperinci

Kata pengantar. Publikasi Data Strategis Kepulauan Riau Tahun merupakan publikasi perdana yang disusun dalam rangka

Kata pengantar. Publikasi Data Strategis Kepulauan Riau Tahun merupakan publikasi perdana yang disusun dalam rangka Kata pengantar Publikasi Data Strategis Kepulauan Riau Tahun 2012 merupakan publikasi perdana yang disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen data terhadap data-data yang sifatnya strategis, dalam

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR No. 13/02/35/Th.XI, 5 Februari 2013 Ekonomi Jawa Timur Tahun 2012 Mencapai 7,27 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014 No. 06/01/51/Th. IX, 2 Januari 2015 PROFIL KEMISKINAN DI BALI SEPTEMBER 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2014 MENCAPAI 195,95 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 11/02/73/Th. VIII, 5 Februari 2014 EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN IV 2013 BERKONTRAKSI SEBESAR 3,99 PERSEN Kinerja perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan IV tahun

Lebih terperinci

BASIS DATA TERPADU 1

BASIS DATA TERPADU 1 BASIS DATA TERPADU 1 TANYA-JAWAB Tanya Jawab KUMPULAN TANYA JAWAB UMUM BASIS DATA TERPADU (BDT) 2 BASIS DATA TERPADU Pendahuluan Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial yang dikelola oleh

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 3205011.32 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA BARAT PERKEMBANGAN TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2016 Katalog BPS : 3205011.32 No. Publikasi : 32520.1701 Ukuran Buku : 18,2 cm

Lebih terperinci

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA Abstrak Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah menjadi prioritas di setiap era pemerintahan dengan berbagai program yang digulirkan. Pengalokasian anggaran

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 72/11/35/Th. X, 5 November 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TIMUR TRIWULAN III-2012 Ekonomi Jawa Timur Triwulan III Tahun 2012 (y-on-y) mencapai 7,24 persen

Lebih terperinci

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012 I. Pendahuluan Setelah melalui perdebatan, pemerintah dan Komisi XI DPR RI akhirnya menyetujui asumsi makro dalam RAPBN 2012 yang terkait

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

Aplikasi Pemanfaatan Basis Data Terpadu Untuk Program Perlindungan Sosial

Aplikasi Pemanfaatan Basis Data Terpadu Untuk Program Perlindungan Sosial Aplikasi Pemanfaatan Basis Data Terpadu Untuk Program Perlindungan Sosial SEKRETARIAT TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (TNP2K) 10 FEBRUARI 2015 Struktur Organisasi TNP2K Peraturan Presiden

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

PERAN DAERAH DALAM PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI WILAYAH PRIORITAS

PERAN DAERAH DALAM PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI WILAYAH PRIORITAS PERAN DAERAH DALAM PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI WILAYAH PRIORITAS RAPAT KOORDINASI NASIONAL TKPK 2014 JAKARTA, 13 MEI 2014 BAMBANG WIDIANTO Depu% Seswapres Bidang Kesra dan Penanggulangan Kemiskinan/

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan

Lebih terperinci

SURVEI KONSUMEN. Juli Indeks optimis pesimis periode krisis ekonomi global 0.00

SURVEI KONSUMEN. Juli Indeks optimis pesimis periode krisis ekonomi global 0.00 SURVEI KONSUMEN Juli - 2010 Indeks 150.00 125.00 100.00 75.00 optimis pesimis 50.00 25.00 0.00 periode krisis ekonomi global 3 6 9 12 3 6 9 12 3 6 9 12 1 2 3 4 5 6 7 2007 2008 2009 2010 Indeks Keyakinan

Lebih terperinci

SAMBUTAN PADA ACARA RAPAT KOORDINASI PELAKSANAAN PENYALURAN RASKIN MENGGUNAKAN KARTU. Jakarta, 17 Juli 2012

SAMBUTAN PADA ACARA RAPAT KOORDINASI PELAKSANAAN PENYALURAN RASKIN MENGGUNAKAN KARTU. Jakarta, 17 Juli 2012 MENTERI KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN PADA ACARA RAPAT KOORDINASI PELAKSANAAN PENYALURAN RASKIN MENGGUNAKAN KARTU Jakarta, 17 Juli 2012 Bismillahir rahmaanir rahim,

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 No. 06/02/62/Th. VI, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN IV/2011 DAN TAHUN 2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah tahun 2011 (kumulatif tw I s/d IV) sebesar 6,74 persen.

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012 No.11/02/63/Th XVII, 5 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2012 Perekonomian Kalimantan Selatan tahun 2012 tumbuh sebesar 5,73 persen, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor konstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan juga didefinisikan

Lebih terperinci

BDT. Pendahuluan BASIS DATA TERPADU

BDT. Pendahuluan BASIS DATA TERPADU BASIS DATA TERPADU TANYA-JAWAB 2013 Pendahuluan BASIS DATA TERPADU BDT Basis Data Terpadu (BDT) untuk Program Perlindungan Sosial adalah sistem data elektronik yang memuat informasi sosial, ekonomi, dan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 No. 31/07/36/Th. VIII, 1 Juli 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2014 MENCAPAI 622,84 RIBU ORANG Pada bulan Maret 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

USULAN KOMPENSASI KENAIKAN HARGA BBM: PROGRAM BANTUAN SOSIAL TERPADU

USULAN KOMPENSASI KENAIKAN HARGA BBM: PROGRAM BANTUAN SOSIAL TERPADU SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIIK INDONESIA USULAN KOMPENSASI KENAIKAN HARGA BBM: PROGRAM BANTUAN SOSIAL TERPADU BAMBANG WIDIANTO SEKRETARIS EKSEKUTIF TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 01/11/Th.I, 21 November 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2015

Lebih terperinci

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN

MENINGKATKAN EFEKTIFITAS STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN MENINGKATKAN EFEKTIFITAS STRATEGI, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGENTASAN KEMISKINAN Hendri Saparini, Ph.D saparini@coreindonesia.org Diskusi Biro Analisa Anggaran - Setjen DPR RI Jakarta, 10 Juli 2014 Pengentasan

Lebih terperinci

Bab. I Pendahuluan INDEKS HARGA KONSUMEN DAN LAJU INFLASI TAHUN 2013

Bab. I Pendahuluan INDEKS HARGA KONSUMEN DAN LAJU INFLASI TAHUN 2013 INDEKS HARGA KONSUMEN DAN LAJU INFLASI TAHUN 2013 Aktivitas perekonomian Kota Purbalingga pada tahun 2013 apabila ditinjau dari perkembangan Indeks Harga Konsumen (IHK) secara umum, terlihat lebih fluktuatif

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 08/02/34/Th. XI, 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif: Mengatasi tantangan saat ini dan ke depan

Ringkasan Eksekutif: Mengatasi tantangan saat ini dan ke depan Ringkasan Eksekutif: Mengatasi tantangan saat ini dan ke depan Prospek pertumbuhan global masih tetap lemah dan pasar keuangan tetap bergejolak Akan tetapi, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga

Lebih terperinci

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan,

CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP Grafik 1. Tingkat Kemiskinan, CATATAN ATAS PRIORITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM RKP 2013 A. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2011 sebesar 29,89 juta orang (12,36 persen).

Lebih terperinci

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2015 Asumsi Dasar Ekonomi Makro Tahun 2015 Indikator a. Pertumbuhan ekonomi (%, yoy) 5,7 4,7 *) b. Inflasi (%, yoy) 5,0 3,35

Lebih terperinci

Regulasi Kebijakan Umum

Regulasi Kebijakan Umum BBM Regulasi Kebijakan Umum Undang Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013 Peraturan Presiden RI No.15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran Dan Konsumen Pengguna

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK No. 47/07/52/TH.X, 18 JULI 2016 PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT MARET 2016 JUMLAH PENDUDUK MISKIN MARET 2016 MENCAPAI 804,44 RIBU ORANG Jumlah penduduk miskin di Nusa Tenggara

Lebih terperinci

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015 No. 05/01/17/Th. X, 4 Januari 2016 TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2015 - JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2015 MENCAPAI 322,83 RIBU ORANG (17,16 PERSEN) - TREN KEMISKINAN SEPTEMBER 2015

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 BPS PROVINSI SULAWESI BARAT No. 05/01/76/Th.VIII, 2 Januari 2014 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013 JUMLAH PENDUDUK MISKIN SEPTEMBER 2013 SEBANYAK 154,20 RIBU JIWA Persentase penduduk

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah

Lebih terperinci

Dari sisi permintaan (demmand side), perekonomian Kalimantan Selatan didorong permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga.

Dari sisi permintaan (demmand side), perekonomian Kalimantan Selatan didorong permintaan domestik terutama konsumsi rumah tangga. No. 064/11/63/Th.XVIII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN III-2014 Perekonomian Kalimantan Selatan pada triwulan III-2014 tumbuh sebesar 6,19 persen, lebih lambat dibandingkan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2017 No. 34/07/91 Th. XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2017 Jumlah penduduk miskin (Penduduk yang berada di bawah ) di Papua Barat kondisi September 2016 sebesar 223,60 ribu

Lebih terperinci

INFLASI KOTA TARAKAN BULAN AGUSTUS 2015

INFLASI KOTA TARAKAN BULAN AGUSTUS 2015 BPS KOTA TARAKAN No. 09/09/6571/Th.IX, 01 September 2015 INFLASI KOTA TARAKAN BULAN AGUSTUS 2015 Mulai bulan Januari 2014 tahun dasar penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) menggunakan 2012 = 100 (sebelumnya

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TIMUR

BPS PROVINSI JAWA TIMUR BPS PROVINSI JAWA TIMUR No. 06/01/35/Th.X,02 Januari 2012 PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TIMUR SEPTEMBER 2011 RINGKASAN Penduduk miskin Jawa Timur pada bulan September 2011 sebanyak 5,227 juta (13,85 persen)

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014

GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 GAMBARAN SOSIAL - EKONOMI KOTA PALOPO TAHUN 2013 Disampaikan oleh : Badan Pusat Statistik Kota Palopo Palopo, 23 Oktober 2014 Statistik Dasar UU NO. 16 TAHUN 1997 (TENTANG STATISTIK) Statistik yang pemanfaatannya

Lebih terperinci

INFLASI KOTA TARAKAN BULAN JUNI 2015

INFLASI KOTA TARAKAN BULAN JUNI 2015 BPS KOTA TARAKAN No. 07/07/6571/Th.IX, 01 Juli 2015 INFLASI KOTA TARAKAN BULAN JUNI 2015 Mulai bulan Januari 2014 tahun dasar penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) menggunakan 2012 = 100 (sebelumnya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH No.12/02/33/Th.VII, 5 Februari 2013 PERTUMBUHAN PDRB JAWA TENGAH TAHUN 2012 MENCAPAI 6,3 PERSEN Besaran PDRB Jawa Tengah pada tahun 2012 atas dasar harga berlaku mencapai

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Tahun 2016 Perkembangan Indikator Ekonomi Makro tahun 2016 sebagaimana yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Kaltim, sebelumnya

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016

KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 05/01/12/Th. XX, 03 Januari 2017 KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER PENDUDUK MISKIN SUMATERA UTARA SEPTEMBER SEBANYAK 1.452.550 ORANG (10,27%) Jumlah penduduk miskin di

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

BAGAIMANA CARANYA AGAR PROGRAM BANTUAN SOSIAL DI INDONESIA LEBIH RAMAH ANAK?

BAGAIMANA CARANYA AGAR PROGRAM BANTUAN SOSIAL DI INDONESIA LEBIH RAMAH ANAK? BAGAIMANA CARANYA AGAR PROGRAM BANTUAN SOSIAL DI INDONESIA LEBIH RAMAH ANAK? Bambang Widianto Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Penanggulangan Kemiskinan/Sekretaris Eksekutif

Lebih terperinci

PENETAPAN SASARAN BSM BERBASIS RUMAH TANGGA UNTUK MELENGKAPI PENETAPAN SASARAN BERBASIS SEKOLAH

PENETAPAN SASARAN BSM BERBASIS RUMAH TANGGA UNTUK MELENGKAPI PENETAPAN SASARAN BERBASIS SEKOLAH SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN REPUBLIIK INDONESIA PENETAPAN SASARAN BSM BERBASIS RUMAH TANGGA UNTUK MELENGKAPI PENETAPAN SASARAN BERBASIS SEKOLAH BAMBANG WIDIANTO SEKRETARIS EKSEKUTIF TIM NASIONAL PERCEPATAN

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang sangat fluktuatif (Gambar 4.1).

BAB IV GAMBARAN UMUM Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang sangat fluktuatif (Gambar 4.1). BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) Nilai proyek Penanaman Modal Asing (PMA) di Provinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang sangat fluktuatif (Gambar

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Kemiskinan Termasuk bagian penting dari aspek analisis ketenagakerjaan adalah melihat kondisi taraf kehidupan penduduk, yang diyakini merupakan dampak langsung dari dinamika ketenagakerjaan. Kemiskinan

Lebih terperinci

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014

No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014 No.11/02/63/Th XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2013 Secara triwulanan, PDRB Kalimantan Selatan triwulan IV-2013 menurun dibandingkan dengan triwulan III-2013 (q-to-q)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan yang mencolok masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan yang siginifikan selama lebih

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN

BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 63/11/73/Th. VIII, 5 November 2014 EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN III TUMBUH SEBESAR 6,06 PERSEN Perekonomian Sulawesi Selatan pada triwulan III tahun 2014 yang diukur

Lebih terperinci

PROGRAM RASKIN 2013 SUBSIDI BERAS BAGI RUMAH TANGGA BERPENDAPATAN RENDAH

PROGRAM RASKIN 2013 SUBSIDI BERAS BAGI RUMAH TANGGA BERPENDAPATAN RENDAH PROGRAM RASKIN 2013 SUBSIDI BERAS BAGI RUMAH TANGGA BERPENDAPATAN RENDAH BAMBANG WIDIANTO SEKRETARIS EKSEKUTIF (TNP2K) JAKARTA, 29 JANUARI 2013 TUJUAN DAN PRINSIP UTAMA PROGRAM RASKIN Mengurangi beban

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015 BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No. 04/01/34/Th.XVIII, 4 Januari 2016 PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2015 RINGKASAN Garis kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada sebesar

Lebih terperinci

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH. BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER 2016 No. 08/07/18/TH.IX, 3 Januari 2017 Angka kemiskinan Lampung dari penghitungan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2016

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Penurunan momentum pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau di periode ini telah diperkirakan sebelumnya setelah mengalami tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2009 SEBESAR 3,88 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2009 SEBESAR 3,88 PERSEN BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 19/05/34/Th.XI, 15 Mei 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2009 SEBESAR 3,88 PERSEN Pertumbuhan ekonomi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI KOTA KEBUMEN BULAN MARET 2015 INFLASI 0,03 PERSEN

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI KOTA KEBUMEN BULAN MARET 2015 INFLASI 0,03 PERSEN BPS KABUPATEN KEBUMEN No. 06/06/33/05/Th. VI, 01 April 2015 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI KOTA KEBUMEN BULAN MARET 2015 INFLASI 0,03 PERSEN Pada Bulan Maret 2015 di Kota Kebumen terjadi

Lebih terperinci

Kajian Ekonomi Regional Banten

Kajian Ekonomi Regional Banten Kajian Ekonomi Regional Banten Triwulan I - 2009 i Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan segala rahmat-nya sehingga penyusunan buku Kajian Ekonomi Regional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci