IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISTIK BAHAN Limbah padat industri gula merupakan hasil buangan berupa zat-zat padat yang tidak digunakan dalam proses pembuatan gula. Di antaranya adalah bagas dan abu ketel. Bagas merupakan hasil sisa penggilingan dan pemerahan tebu di stasiun penggilingan (Hutasoit 1994). Sedangkan abu ketel merupakan hasil pembakaran ampas tebu sebagai bahan bakar ketel uap pabrik gula. Berikut adalah hasil analisis kandungan dari bagas dan abu ketel yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan bagas dan abu ketel Parameter Bagas (%) Abu ketel (%) Bahan organik Nitrogen Karbon C/N ratio Fosfor Kalium Kalsium Besi Aluminium Mangan < Magnesium Kadar air Hasil pengujian menunjukan bahwa kandungan karbon bagas dan abu ketel adalah 38.62% dan 7.525%. Bahan organik dan karbon abu ketel memiliki kandungan lebih sedikit dibandingkan dengan bagas. Hal ini disebabkan karena pada abu ketel telah mengalami pembakaran di boiler sehingga bahan organik telah terkonversi menjadi energi dan bagas masih memiliki selulosa yang tinggi%. Pada kadar nitrogen bagas memiliki kandungan lebih banyak dibandingkan dengan abu ketel. Kandungan nitrogen bagas dan abu ketel adalah 0.21% dan 0.12%, kandungan nitrogen yang masih cukup pada bagas berasal dari bahan tebu tersebut. Kandungan lain yang ada pada bagas dan abu ketel adalah fosfat dan kalium. Kandungan fosfat pada bagas adalah 1.755% sedangkan pada abu ketel sebesar 0.257%. Menurut Rao (1994), material organik memiliki kandungan fosfor yang tinggi sehingga bagas memiliki kandungan fosfor yang lebih tinggi dibandingkan abu ketel. Kotoran sapi merupakan limbah pembuangan dari metabolisme sapi yang tidak berguna untuk tubuh. Kotoran sapi sangat potensial dalam pembuatan pupuk karena memiliki kandungan nitrogen yang tinggi sehingga baik dalam proses pengomposan (Abdulgani 1988). Berikut adalah hasil analisis dari kotoran sapi terdapat pada Tabel 7. 20

2 Tabel 7. Karakteristik kimia kotoran sapi No Parameter Hasil (%) 1. Kadar Karbon (%) Kadar Nitrogen (%) C/N Berdasarkan hasil analisis kotoran sapi yang didapat adalah nilai kadar karbon sebesar 15.25%, kadar nitrogen sebesar 0.99 % sehingga C/N yang didapatkannya rendah yaitu Menurut Abdulgani (1988), Kotoran sapi dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kompos. Hal ini disebabkan karena nilai C/N yang mencapai sehingga kotoran sapi dapat dimanfaatkan untuk pembuatan co-composting limbah pada pabrik gula. 4.2 FORMULASI BAHAN Formulasi pencampuran bahan baku sebagai salah satu cara untuk mendapatkan komposisi terbaik antara bahan utama yaitu bagas dan abu ketel menjadi co-composting. Perlakuan formulasi yang digunakan berdasarkan nilai C/N bahan pengompos agar mendapatkan nilai yang mendekati nilai C/N yang baik dan mendapatkan proses pengomposan yang berkualitas. Selain itu, karakteristik bahan yang harus diperhatikan dalam pencampuran bahan baku adalah nilai perbandingan jumlah karbon (C) dengan nitrogen. Perbandingan bobot dari bagas dan abu ketel adalah sama. Dengan pengomposan menggunakan 5 kg bahan, didapatkan hasil komposisi dan berat yang dibutuhkan untuk penelitian. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi bagas, abu ketel, kotoran sapi No C/N awal Bagas (Kg) Abu Ketel (Kg) Kotoran Sapi (Kg) , Berdasarkan dari tabel diatas, dapat dikatakan semakin besarnya nilai C/N awal yaitu 50 maka semakin besar juga abu ketel dan bagas yang dicampur. Sedangkan untuk kotoran sapi semakin sedikit komposisinya. Perhitungan formulasi bahan kompos dapat dilihat pada Lampiran 2. 21

3 4.3 PENGAMATAN SELAMA PENGOMPOSAN Kondisi Suhu Proses Suhu dapat menjadi indikator adanya proses dekomposisi pada co-composting bahan organik. Adanya aktivitas mikroorganisme yang mendegradasi polimer bahan organik seperti polisakarida, N-organik, P-organik, dan S-organik menjadi unsur humus dapat mempengaruhi suhu bahan organik (Epstein 1997). Peningkatan suhu menunjukkan terjadi degradasi bahan organik menjadi gas CO, air, dan panas (Isroi 2008). Perubahan suhu campuran selama proses pengomposan dengan perlakuan aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan, dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7. Gambar 6. Perubahan suhu pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan Gambar 7. Perubahan suhu pada aerasi 1.2 l/menit kg bahan 22

4 Berdasarkan pengamatan, terdapat kecenderungan yang hampir sama baik untuk proses yang menggunakan aerasi 0.8 maupun 1.2 l/menit kg bahan. Pada awal proses mengalami kenaikan suhu hingga hari ke- 3, kemudian terjadi penurunan hingga mencapai suhu kamar. Pengamatan dengan nilai C/N awal 30, 40, dan 50 baik pada aerasi 0.8 maupun 1.2 l/menit kg bahan yang dilakukan pengamatan selama 42 hari. Pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan, C/N awal 30 kenaikan suhu paling tinggi yaitu 36 C dibandingkan dengan C/N awal 40 maupun C/N awal 50 sebesar 33 C dan 31 C. Hal ini dapat dimungkinkan karena komposisi dari bahan berupa kotoran sapi paling banyak diberikan dibandingkan bahan bagas dan abu ketel menyebabkan terdapat banyaknya mikroorganisme yang banyak dan mampu mendegradasi kompos dengan cepat dikarenakan peningkatan panas terjadi akibat adanya aktivitas mikroorganisme. Pada nilai C/N awal 30, 40, dan 50 terjadi peningkatan suhu hingga hari ke- 3, baik dari aerasi 0.8 maupun 1.2 l/menit kg. Pada hari 0 sampai hari ke 3 mikroorganisme bekerja untuk mendekomposisi kompos sehingga timbul panas. Selanjutnya suhu mulai menurun perlahan hingga pengamatan hari ke 15 pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan dan pengamatan hari ke 11 pada aerasi 1.2 l/menit kg. Pada saat ini aktifitas mikroorganisme mulai berkurang sehingga panas yang ditimbulkannya mulai berkurang dan pada hari ke 15 sampai hari ke 42 suhu kompos stabil menyerupai suhu ruang sekitar C. Berdasarkan suhu kondisi mikroorganisme yang tumbuh pada fase tersebut adalah mesofil (25-45 C). Pencapaian suhu proses sekitar C menunjukkan bahwa proses berada dalam fase mesofilik (10-45 C) belum mencapai fase termofilik (45-65 C). Menurut Indrasti dan Wimbanu (2006) bahwa suhu kompos yang tidak mencapai suhu termofilik disebabkan dimensi gundukan yang terlalu rendah, sehingga panas yang dihasilkan dari degradasi tidak tertahan dalam bahan dan ikut terbawa bersama udara. Tumpukan kompos dapat menjaga energi panas yang dihasilkan dari degradasi bahan organik, sehingga panas tersebut dapat terpusat dalam tumpukan kompos yang dapat membunuh mikroba patogen. Pengamatan pada perlakuan aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan tidak berpengaruh terhadap perubahan suhu selama pengomposan berlangsung. Hal ini terlihat pada gambar perubahan suhu antara aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan cenderung memiliki kesamaan grafik. Pemberian aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan meningkat dari hari ke- 1 dan mencapai suhu optimal pada hari ke- 3. Pada gambar terlihat, suhu dengan perlakuan aerasi 1.2 l/menit kg bahan hanya menunjukkan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian aerasi 0.8 l/menit kg bahan, namun menunjukkan perubahan nilai suhu yang tidak berbeda signifikan, sehingga pemberian aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan tidak ada perbedaan pada perubahan suhu selama proses pengomposan berlangsung. Pengomposan terhadap perlakuan tanpa aerasi menunjukkan kecenderungan yang sedikit berbeda dengan penambahan aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan. Hal ini menunjukkan ada pengaruh penambahan aerasi dengan suhu selama pengomposan berlangsung. Grafik perubahan suhu tanpa penambahan aerasi ditunjukkan pada Gambar

5 Gambar 8. Perubahan suhu pada aerasi pasif Berdasarkan pengamatan grafik diatas pada aerasi pasif, perubahan suhu terjadi dari hari 0 sampai dengan hari ke- 3 dan selanjutnya terjadi penurunan sampai hari ke 13 dan suhu stabil dari hari ke- 14 sampai hari ke- 42. Namun, pada grafik terdapat perbedaan yang cukup tinggi pada C/N awal 30. C/N awal 30 suhunya sangat tinggi hampir mencapai 40 C. namun, setelah melewati hari ke-3 terjadi penurunan yang sangat drastis hingga suhu menjadi sama dengan suhu ruang yaitu 27 C. Berbeda dengan C/N awal 40 dan C/N awal 50 yang terjadi penurunan yang tidak terlalu drastis dan cenderung stabil hingga hari ke- 42 yaitu suhu C. Berdasarkan pengamatan gambar aerasi aktif dan aerasi pasif terlihat berbeda pada C/N 40 dan C/N awal 50. Kenaikan suhu pada C/N 50 tidak terlalu tinggi dan jika dibandingkan dengan adanya aerasi aktif, pencapaian suhu sangat jauh berbeda. Sehingga dapat disimpulkan untuk C/N yang besar diperlukan aerasi aktif untuk mempercepat degradasi yang diperlukan ph Perubahan ph dalam pengomposan menunjukkan aktifitas mikroorganisme dalam mendegradasi. Derajat keasaman yang ideal adalah (CPIS, 1992). Pengamatan terhadap perubahan ph dapat dilihat dari Gambar 9 dan 10, dibawah ini : 24

6 Gambar 9. Perubahan ph pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan Gambar 10. Perubahan ph pada aerasi 1.2 l/menit kg bahan Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis ph aerasi 0.8 l/menit kg, C/N awal 30, C/N awal 40, dan C/N awal 50, terdapat perubahan ph yang kecenderungan yang hampir sama. Pengamatan setelah hari ke- 7 menunjukan nilai ph yang meningkat, dan ini terus terjadi sampai hari ke-14. Selanjutnya nilai ph cenderung stabil hingga hari ke-42. Pada hari ke- 7 terjadi kenaikan sampai hari ke- 14 yaitu dari ph Selanjutnya pada C/N 40 stabil hingga hari ke- 42 yaitu 7.8. Sedangkan pada C/N awal 40 dan C/N awal 50 terjadi penurunan pada hari ke- 25

7 21 yaitu sekitar ph Pada hari ke- 28 sampai hari ke- 42 pada C/N awal 40 naik perlahan dan kemudian turun dengan perlahan sedangkan pada C/N 50 turun secara perlahan hingga ph terakhir sebesar 7.5. Kenaikan ph disebabkan oleh adanya Senyawa N yang berubah menjadi amoniak, setelah sebelumnya mengalami degradasi karbon menjadi asam organik. Hal ini digambarkan pada perubahan ph awal yang tinggi pada hari ke-3 kemudian mengalami penurunan, yang mengidentifikasikan adanya perubahan senyawa N pada bahan kompos. Pada hasil pengamatan dan analisis ph aerasi 1.2 l/menit kg bahan, C/N awal 40, dan C/N awal 50, terdapat perubahan ph yang kecenderungan yang hampir sama dengan ph aerasi 0.8 l/menit. Sedangkan pada C/N awal 30 kenaikan tidak telalu besar dibandingkan dengan C/N awal 40 dan 50. Pada C/N awal 30 tidak mengalami penurunan tetapi terjadi kenaikkan yang tidak terlalu berbeda. ph berkisar dari Pada C/N awal 40 dan 50 mengalami perubahan yang cenderung sama namun, untuk nilai ph C/N 40 lebih besar yaitu Pada hari ke- 0 sampai ke- 14 terjadi kenaikkan ph yang yaitu dari Kemudian dari hari ke- 14 sampai hari ke- 28 turun secara perlahan. Kemudian terjadi kenaikkan selama seminggu dan di minggu terakhir terjadi penurunan kembali kisaran ph mencapai Menurut CPIS (1992), ph yang mengalami kenaikan disebabkan unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak menyebabkan ph menjadi naik (basa). Peningkatan nilai ph C/N awal 30 yang memiliki komposisi kotoran sapi lebih banyak lebih banyak dibandingkan abu ketel dan bagas dimana kandungan N campuran akan lebih tinggi sehingga menghasilkan ph yang meningkat. Dengan nilai N yang tinggi maka perubahan pada amoniak akan semakin besar. Gambar 11. Perubahan ph pada aerasi pasif Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis ph aerasi pasif, C/N awal 30, C/N awal 40, dan C/N awal 50, terdapat perubahan ph yang berbeda. Pada C/N awal 30 tidak terjadi perubahan yang signifikan dan cenderung stabil. Dari mulai hari ke- 0 sampai minggu terakhir nilai ph berkisar pada 7-8, sehingga pada aktifitas mikroorganisme berjalan dengan baik dengan suhu optimun. Pada C/N awal 40 hari ke- 1 memiliki nilai ph yang netral yaitu

8 Selanjutnya C/N 40 terjadi kenaikan ph pada hari ke- 1 dan 2. Kemudian ph kembali naik diminggu ke 4 dan 5 serta turun kembali di minggu terakhir. Pada C/N awal 40 dari hari ke-0 sampai minggu ke 6 terjadi kenaikan ph yang stabil. Secara umum, terlihat tidak ada perbedaan antara perlakuan aerasi 0.8 maupun1.2 l/menit kg bahan.pada pengukuran ph tanpa aerasi menujukkan kecenderungan yang memiliki kesamaan dengan aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan. Hal ini menunjukkan pada pengukuran ph tidak ada pengaruh nyata antara pemberian aerasi aktif dengan tanpa pemberian aerasi (pasif). Namun, C/N awal 30, 40 maupun 50 terdapat kesamaan yang sama yaitu semua aktifitas atau perubahan ph beranjak dari ph Hal ini membuktikan bahwa aktifitas mikroorganisme pada seluruh pengamatan proses pengomposan berjalan pada kondisi yang ideal Kadar Air Kadar air merupakan salah satu parameter yang berpengaruh pada proses pengomposan. Kadar air yang umum digunakan pada pengomposan aerobik adalah % (Murbandono 1983). Kelebihan kandungan air dalam bahan akan menutupi rongga udara yang mengakibatkan aliran oksigen berkurang sehingga pertumbuhan mikroorganisme aerob menjadi terhambat. Terhambatnya udara dalam bahan pengomposan dapat menyebabkan proses anaerob yang terbentuk yaitu CH 4, CO 2, dan H 2 S. Gambar 12. Perubahan kadar air pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan 27

9 Gambar 13. Perubahan kadar air pada aerasi 1.2 l/menit kg bahan Pada proses co-composting ini kadar air salah satu faktor penentu proses co-composting. Pengamatan kadar air dengan aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan menunjukkan kondisi kadar air yang mendukung proses co-composting berlangsung. Pada grafik terlihat bahwa kadar air pada tiap perlakuan stabil dalam kisaran Menurut Metcalf dan Eddy (1991), Kadar air yang ideal untuk proses pengomposan dengan bahan baku limbah basah adalah 50-75%. Oleh karena itu kadar air dalam campuran bahan haruslah selalu dijaga agar selalu dalam kadar 50-75% untuk menjaga agar proses pengomposan dapat efektif. Sama halnya pada gambar kadar air pada kontrol pada Gambar 14 berikut : Gambar 14. Perubahan kadar air pada aerasi pasif 28

10 4.3.4 Kadar Nitrat Menurut Rao (1994) nitrat yang terdapat dalam kompos dihasilkan dari proses nitrifikasi yang merupakan oksidasi enzimatis yang dilakukan oleh mikroorganisme. Faktor-faktor yang mempengaruhi nitrifikasi adalah aerasi, suhu, kelembaban, dan nilai C/N (Griffiths 1989). Derajat keasaman (ph) ideal dalam proses nitrifikasi berjalan dengan baik adalah 6-7 dengan temperatur optimal 40 o C. Grafik kadar nitrat pada aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan, dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Gambar 15. Perubahan kadar nitrat pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan Gambar 16. Perubahan kadar nitrat pada aerasi 1.2 l/menit kg bahan 29

11 Pada aerasi aktif 0.8 l/menit kg bahan kadar nitrat cenderung terlihat mengalami peningkatan. Pada C/N awal 30, 40 maupun 50 terjadi kenaikan nilai kadar nitrat. Pada C/N awal 30 memiliki kenaikan nilai nitrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan C/N awal 40 maupun 50 yaitu mencapai 8 mg/l. Hal ini disebabkan pada C/N awal 30 terdapat komposisi kotoran sapi yang lebih banyak dari C/N awal yang lainnya sehingga pembentukan senyawa nitrat pada campuran lebih banyak. Nitrifikasi adalah proses yang terjadi secara alami, yaitu pengembalian kekondisi semula (normal) karena aktivitas bakteri yang mengoksidasi dan mentransformasi senyawa ammoniak yang potensial beracun menjadi senyawa nitrat yang tak beracun (Griffiths 1989). Pada aerasi aktif 1.2 l/menit kg bahan, kadar nitrat tidak berbeda nyata dengan kadar nitrogen dari aerasi 0.8 l/menit kg bahan. Pada aerasi aktif 1.2 l/menit kg bahan dengan C/N awal 30, 40 maupun 50 terjadi kenaikan nilai kadar nitrat dari hari ke-0 sampai hari ke-28 yaitu berkisar 3-5 mg/l. Namun, pada hari ke-35 terjadi penurunan nilai nitrat sebesar 1 mg/l dan kembali meningkat pada hari ke-42 sebesar 2-3 mg/l. Dari perbandingan aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg terhadap perubahan nitrat selama co-composting tidak ada perbedaan. Peningkatan kadar nitrat pada perlakuan aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan, terjadi ketika suhu mengalami penurunan atau dibawah fase termofilik (<65 o C) yang akan meningkatkan aktivitas degradasi dan bakteri nitrifikasi (Morisaki et al., 1989). Kadar nitrat terjadi kenaikkan terus sampai pengamatan hari ke-42 yakni mencapai 12 mg/l. Kenaikan nitrat terjadi disebabkan karena senyawa nitrogen pada kompos mengalami proses nitrifikasi terutama setelah proses degradasi C selesai. Menurut Rao (1994), kadar nitrat kompos yang baik dapat mencapai mg/l. Sehingga kenaikan kadar nitrat akan terus bertambah hingga memenuhi kadar kematangan kompos sekitar mg/l Nilai C/N Nilai C/N merupakan perbandingan antara kadar karbon dan kadar nitrogen yang terdapat didalam bahan. Kadar karbon merupakan komponen penting atau kandungan yang penting dalam proses pengomposan. proses pembentukan kompos terjadi pendegradasian karbon organik dengan ditandai penurunan nilai kadar karbon yang terkandung dalam kompos disetiap minggunya. Sedangkan Nitrogen juga merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam pengomposan limbah pabrik gula karena kadar nitrogen berfungsi sebagai zat pembangun untuk sel mikroorganisme. Selain mikroba membutuhkan makanan dari senyawa karbon dan membutuhkan nitrogen untuk berkembangbiak. Perbandingan karbon nitrogen (C/N) yang ideal adalah sekitar (CPIS 1992). Grafik C/N pada aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan, dapat dilihat pada Gambar 17 dan

12 Gambar 17. Perubahan nilai C/N pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan Gambar 18. Perubahan nilai C/N pada aerasi 1.2 l/menit kg bahan Pada aerasi 0.8 L/kg menit, nilai C/N 30 terjadi penurunan yang perlahan-lahan hingga minggu terakhir yaitu dari Sedangkan pada C/N awal 40 penurunan cukup signifikan hingga minggu ke 4 yaitu dari Selanjutnya terjadi penurunan mulai stabil hingga minggu terakhir yaitu Tetapi, pada C/N 50 penurunan nilai C/N cukup cepat hingga minggu ke 4 yaitu dari Selanjutnya terjadi penurunan C/N stabil hingga minggu terakhir Penurunan nilai C/N terjadi akibat perubahan dari kadar karbon dan kadar nitrogen. Pada kadar nitrogen terjadi peningkatan nilai secara stabil. Peningkatan nilai kadar nitrogen disebabkan terjadinya pendegradasian bahan organik dan pembentukan sel pertumbuhan oleh zat yang terkandung dalam nitrogen, sehingga jumlah pendegradasi meningkat. Pengukuran kadar N yang fluktuatif sama dengan pengukuran pada penelitian (Goyal sneh et al., 2004). Sneh et al 31

13 (2004) menggambarkan perubahan senyawa N selama proses pengomposan semakin meningkat. Selain itu, penurunan nilai C/N dipengaruhi oleh penurunan kadar karbon. Pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan dengan C/N awal 30, C/N awal 40, C/N awal 50 kecenderungan terjadi penurunan. Penurunan kadar karbon disebabkan oleh aktivitas degradasi yang membutuhkan bahan organik sebagai nutrisi yang menunjang berlangsungnya pendegradasian. Semakin tinggi jumlah aktivitas degradasi, maka akan mempercepat proses pendegradasian bahan organik dan menambah kualitas pada kompos (Atkinson et al., 1996). Pada aerasi aktif 1.2 l/menit kg bahan, nilai C/N tidak berbeda nyata dengan C/N dari aerasi 0.8 l/menit kg bahan dan aerasi 1.2 l/menit kg bahan. Nilai C/N cenderung turun. Pada C/N awal 30, 40 maupun 50 terjadi penurunan nilai C/N dari hari ke- 0 sampai hari ke- 21. Namun, pada C/N awal 40 dan C/N awal 50 terjadi kenaikan dihari ke- 28 dan kembali turun pada hari ke- 42. Sedangkan pada C/N awal 30 secara perlahan nilai C/N turun hingga di hari ke- 42 yaitu dari Penurunan nilai C/N berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan yaitu nilai karbon organik selama pengomposan mengalami penurunan. Penurunan nilai C/N dikarenakan terjadinya biodegradasi bahan menjadi CO 2 dan H 2 O (Isroi 2008). Penurunan nilai C/N selama pengomposan selaras dengan pendegradasian bahan organik. Menurut Indrasti dan Elia (2004), proses aerasi membantu pendegradasi yang membutuhkan oksigen dalam mendekomposisi bahan organik, sehingga kecepatan dekomposisi bahan organik berlangsung lebih optimum. Aktivitas pendegradasi dalam mendegradasi bahan organik semakin meningkat sehingga nilai C/N, unsur hara, humus, dan energi bahan co-composting semakin mendekati proses pengomposan yang diharapkan menghasilkan kompos berkualitas. Pada pengamatan nilai perubahan nilai C/N pada aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan dengan C/N awal perhitungan 30, 40, dan 50 tidak tepat sesuai dengan perhitungan tetapi nilai hampir mendekati. Hal ini terjadi dikarenakan kurang terhomogenisasi bahan pengomposan secara sempurna. Selain itu, pengambilan sampel belum mewakili pada seluruh tempat sehingga masih terdapat perbedaan pada nilai C/N yang sudah diformulasikan. Pada hasil pengomposan selama 42 hari, pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan dengan nilai C/N akhir sesuai dengan C/N SNI kematangan kompos yaitu C/N awal 30 sebesar 14, C/N awal 40 sebesar 19, dan C/N awal 50 sebesar 19. Penurunan yang signifikan pada aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan terjadi pada 21 hari pertama, selanjutnya penurunan nilai C/N cenderung stabil mendekati SNI kematangan kompos. Hal ini membuktikan bahwa kompos sudah matang pada hari ke-21 dan sudah dapat diterima tanah. Berdasarkan pengaruh aerasi pada penurunan nilai C/N tidak memberikan pengaruh yang berbeda antara aerasi 0.8 maupun 1.2 l/menit kg bahan. Dimana nilai C/N awal pada masing-masing aerasi memberikan kecenderungan penurunan yang hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa teknik perlakuan aerasi dua taraf, belum memberikan pengaruh yang cukup berbeda terhadap perubahan nilai C/N co-composting. Hal ini diperkuat dengan hasil pengukuran nilai C/N tanpa pemberian aerasi (pasif) Penurunan nilai C/N ditunjukkan pada Gambar

14 Gambar 19. Perubahan nilai C/N pada aerasi pasif Pada C/N awal 30, 40,dan 50 dengan perlakuan aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit.kg bahan dilakukan uji statistik untuk melihat apakah ada perbedaan nyata atau tidak dari perbedaan perlakuan tersebut. Dilakukan pembuktian dengan menggunakan analisis varian (sidik ragam) melalui software SAS (Statistical Analysis System), menggunakan tiga taraf formulasi berdasarkan nilai C/N awal (30, 40, dan 50) dan dua taraf perlakuan aerasi yaitu aerasi 0.8 dan 1.2 l/menit kg bahan. Berdasarkan perhitungan statistik sidik ragam, dengan taraf kepercayaan 95% menunjukkan bahwa pembedaan perlakuan antara nilai C/N awal dengan pemberian aerasi yang berbeda pada pengomposan tidak berbeda nyata terhadap penurunan nilai C/N. Hal ini dilihat dari nilai F hitung lebih besar dari 0.05 serta di dukung oleh beberapa hasil analisis seperti suhu, ph, nitrat serta nilai C/N. Hasil analisis varian menggunakan software SAS dapat dilihat pada Lampiran 4. Kemudian dilakukan uji beda untuk membandingkan antara aerasi pasif dengan aerasi aktif. Untuk nilai C/N awal 30 dan 50 terdapat perbedaan yang nyata antara kompos aerasi pasif dengan kompos aerasi aktif. Sedangkan nilai C/N awal 40 tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kompos aerasi pasif dengan kompos aerasi aktif. Hasil uji beda dapat dilihat pada Lampiran MUTU HASIL CO-COMPOSTING Co-composting yang di amati selama 42 hari dapat dilihat dari struktur fisik dan analisis mutu kompos di Laboratorium TIN. Struktur fisik kompos dapat diketahui dari keadaan fisik kompos pada awal, hingga terbentuknya kompos. Sedangkan, karakteristik kompos terlihat dari nilai parameter akhir kompos, antara lain nilai ph dan nilai C/N. Indrasti (2004) menambahkan bahwa kompos yang bermutu adalah kompos yang telah terdekomposisi dengan sempurna serta tidak menimbulkan efekefek merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penggunaan kompos yang belum matang akan menyebabkan terjadinya persaingan bahan nutrien antara tanaman dengan mikroorganisme tanah yang 33

15 mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Mutu kompos dapat dikontrol dengan menjaga kondisi ideal selama proses pengomposan dilakukan Struktur Fisik Struktur Fisik pada co-composting bagas, abu ketel dan kotoran sapi secara umum sudah mendekati sifat fisik bahan. Hal ini ditunjukkan dengan penampakan warna bahan coklat kehitaman dan bau mendekati bau tanah. Cahaya dan Nugraha (2008) menambahkan kompos yang telah matang berbau seperti tanah, karena materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah dan berwarna coklat kehitam-hitaman yang terbentuk akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil, sedangkan bentuk akhir sudah tidak menyerupai bentuk aslinya karena sudah hancur akibat penguraian alami oleh mikroorganisme yang hidup di dalam kompos. Hasil pengamatan struktur fisik hasil co-composting dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Penampakan fisik dari kompos hasil Parameter Kompos Hasil SNI Warna Coklat Kehitaman Kehitaman Bau Tanah Tanah Tekstur Kurang Halus Halus Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa kompos tersebut hampir telah matang. Secara fisik, kompos tersebut sudah terurai dan bentuk dari kompos sudah tidak berbentuk lagi, tetapi komponen bagas masih belum halus Nilai C/N Pada pengomposan yang diamati selama 42 hari didapatkan nilai C/N yang sudah cukup rendah. Hasil nilai C/N dapat dilihat pada Gambar 20. Batas Maksimum SNI Batas Minimum SNI Gambar 20. Nilai C/N kompos akhir 34

16 Nilai C/N akhir pada setiap perlakuan menunjukkan bahwa kompos telah matang, namun pada perlakuan aerasi 0.8 l/menit kg bahan dengan nilai C/N awal 30, 40, dan 50 memiliki nilai C/N akhir 20.28, 28.01, belum sesuai dengan standar kematangan kompos menurut SNI yaitu Pada perlakuan lainnya, kompos dapat langsung diaplikasi atau digunakan sebagai penambah hara.apabila dilihat dari diagram, pada aerasi 1.2 l/menit kg bahan, C/N yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan aerasi 0.8 l/menit kg bahan. Rendahnya nilai C/N pada aerasi 0.8 l/menit kg bahan adalah karena pembentukan ammonium akibat pengikatan NH 4 + dengan air menjadikan kadar nitrogen bahan menjadi naik Hasil Mutu Kompos Hasil analisa mutu kompos akhir dibandingkan dengan SNI dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Perbandingan Mutu Kompos Akhir Dengan SNI No Parameter Satuan Min Standar Baku Mutu Maks Hasil Pemeriksaan 1 Kadar Air % Warna - - Kehitaman Kehitaman 3 Bau - - Berbau Tanah Berbau Tanah 4 Ukuran Partikel Mm Kemampuan Ikat Air % ph Bahan Asing % <0.1 8 Arsen mg/kg - 13 < Kadmium mg/kg Kobalt mg/kg Kromium mg/kg < Tembaga mg/kg < Merkuri mg/kg < Nikel mg/kg - 62 < Timbal mg/kg < Selenium mg/kg - 2 < Seng mg/kg Unsur Lain 18 Kalsium % Magnesium % Besi % Alumunium % Mangan % Bakteri 23 Fecal Coli MPN/gr Salmonella MPN/4 gr

17 Berdasarkan hasil analisis laboratorium menunjukkan hampir semua parameter yang sudah memenuhi standar SNI. Jumlah bahan organik berpengaruh terhadap kemampuan ikat air, semakin kecil bahan organiknya maka jumlah air/nutrisi yang dapat diserap atau ditahan oleh tanah semakin kecil. Pada hasil analisis, ph mendekati netral, ukuran bahan tidak terlalu besar atau kecil, kandungan hara cukup untuk tanaman, serta kandungan bahan berbahaya yang sangat sedikit. Secara keseluruhan kompos hasil co-composting sudah dapat dimanfaatkan untuk tanaman. 36

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Kandungan Limbah Lumpur (Sludge) Tahap awal penelitian adalah melakukan analisi kandungan lumpur. Berdasarkan hasil analisa oleh Laboratorium Pengujian, Departemen

Lebih terperinci

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g) LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Prosedur Analisis mutu kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC, 1984) Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada suhu 100 o C.Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG )

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT ORGANIK YANG TIDAK TERPAKAI ( LIMBAH SAYURAN KANGKUNG, KOL, DAN KULIT PISANG ) Antonius Hermawan Permana dan Rizki Satria Hirasmawan Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik,

Lebih terperinci

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan

Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan Volume 2, Nomor 1, Januari 2010, Halaman 43 54 ISSN: 2085 1227 Pengaruh Variasi Bobot Bulking Agent Terhadap Waktu Pengomposan Sampah Organik Rumah Makan Teknik Lingkungan,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan selama dua bulan pada bulan Maret 2011 sampai dengan April 2011 di Laboratorium Pengelolaan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Tahap 1. Pengomposan Awal. Pengomposan awal diamati setiap tiga hari sekali selama dua minggu. Suhu o C IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahap 1. Pengomposan Awal Pengomposan awal bertujuan untuk melayukan tongkol jagung, ampas tebu dan sabut kelapa. Selain itu pengomposan awal bertujuan agar larva kumbang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman.

I PENDAHULUAN. Hal tersebut menjadi masalah yang perlu diupayakan melalui. terurai menjadi bahan anorganik yang siap diserap oleh tanaman. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Salah satu limbah peternakan ayam broiler yaitu litter bekas pakai pada masa pemeliharaan yang berupa bahan alas kandang yang sudah tercampur feses dan urine (litter broiler).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo selama 3.minggu dan tahap analisis

Lebih terperinci

II. TI JAUA PUSTAKA NH 2. Gambar 1. Reaksi kimia selama pengomposan

II. TI JAUA PUSTAKA NH 2. Gambar 1. Reaksi kimia selama pengomposan II. TI JAUA PUSTAKA A. Pengomposan Pengomposan merupakan penguraian bahan organik secara biologis dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan komplek (Haug 1980). Proses pengomposan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Unsur Hara Makro pada Serasah Daun Bambu. Unsur Hara Makro C N-total P 2 O 5 K 2 O Organik digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Unsur Hara Makro Serasah Daun Bambu Analisis unsur hara makro pada kedua sampel menunjukkan bahwa rasio C/N pada serasah daun bambu cukup tinggi yaitu mencapai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Bedding kuda didapat dan dibawa langsung dari peternakan kuda Nusantara Polo Club Cibinong lalu dilakukan pembuatan kompos di Labolatorium Pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Penelitian. pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman sawi 31 IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Penelitian yang telah dilakukan terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap pengomposan daun jati dan tahap aplikasi hasil pengomposan pada tanaman

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC

PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC 1 PEMBUATAN KOMPOS DARI AMPAS TAHU DENGAN ACTIVATOR STARDEC Farida Ali, Muhammad Edwar, Aga Karisma Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya Indonesia ABSTRAK Ampas tahu selama ini tidak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik

PENDAHULUAN. padat (feses) dan limbah cair (urine). Feses sebagian besar terdiri atas bahan organik I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan sapi perah selain menghasilkan air susu juga menghasilkan limbah. Limbah tersebut sebagian besar terdiri atas limbah ternak berupa limbah padat (feses) dan limbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA II.

TINJAUAN PUSTAKA II. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Lumpur Water Treatment Plant Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang dari aktifitas manusia maupun proses alam yang tidak atau belum mempunyai nilai ekonomis.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Perubahan Fisik. mengetahui bagaimana proses dekomposisi berjalan. Temperatur juga sangat IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Perubahan Fisik 1. Suhu Kompos Temperatur merupakan penentu dalam aktivitas dekomposisi. Pengamatan dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Sifat fisik. mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai VI. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat fisik 1. Suhu kompos Pengamatan suhu dilakukan untuk mengetahui perubahan aktivitas mikroorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam mengurai bahan organik.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengujian fisik IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengujian fisik 1. Temperature /Suhu Suhu adalah salah satu indikator keberhasilan dalam pembuatan kompos karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Pengamatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi tanah pada lahan pertanian saat sekarang ini untuk mencukupi kebutuhan akan haranya sudah banyak tergantung dengan bahan-bahan kimia, mulai dari pupuk hingga

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen melalui beberapa variasi. Untuk lebih jelasnya berikut adalah gambar diagram alir penelitian. Gambar 3.1.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perubahan Fisik. dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping itu juga untuk

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Perubahan Fisik. dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping itu juga untuk IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perubahan Fisik 1. Suhu Kompos Temperatur merupakan penentu dalam aktivitas dekomposisi. Pengamatan dapat digunakan sebagai tolak ukur kinerja dekomposisi, disamping itu juga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai. Bahan dan Alat Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Maret sampai Mei 2008. Bahan dan Alat

Lebih terperinci

LAMPIRAN LAMPIRAN P2.U3 P4.U2 P5.U2 P2.U2 P1.U1 P4.U3 P5.U1 P1.U2 P3.U3 P1.U3 P4.U1 P3.U1 P3.U2 P2.U1 P5.3

LAMPIRAN LAMPIRAN P2.U3 P4.U2 P5.U2 P2.U2 P1.U1 P4.U3 P5.U1 P1.U2 P3.U3 P1.U3 P4.U1 P3.U1 P3.U2 P2.U1 P5.3 Lampiran 1. Lay out Penelitian LAMPIRAN LAMPIRAN P2.U3 P4.U2 P5.U2 P2.U2 P1.U1 P4.U3 P5.U1 P1.U2 P3.U3 P1.U3 P4.U1 P3.U1 P3.U2 P2.U1 P5.3 Keterangan : P1 : 100% N-Urea P2 : 75% N-Urea + 25% N-Pupuk Granul

Lebih terperinci

Lampiran 1. Standar Kualitas Kompos Menurut Standar Nasional Indonesia

Lampiran 1. Standar Kualitas Kompos Menurut Standar Nasional Indonesia Lampiran 1. Standar Kualitas Kompos Menurut Standar Nasional Indonesia No Parameter Satuan Minimum Maksimum 1 Kadar air % - 50 2 Temperatur O C - Suhu air tanah 3 Warna - - Kehitaman 4 Bau - - Berbau tanah

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK

PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK Program Studi MMT-ITS, Surabaya 4 Pebruari 26 PENGARUH PENAMBAHAN KOTORAN AYAM DAN MIKROORGANISME M-16 PADA PROSES PENGOMPOSAN SAMPAH KOTA SECARA AEROBIK Riskha Septianingrum dan Ipung Fitri Purwanti purwanti@enviro.its.ac.id

Lebih terperinci

Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik

Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik Standar Nasional Indonesia Spesifikasi kompos dari sampah organik domestik ICS 13.030.40 Badan Standardisasi Nasional Daftar Isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB

PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB Jurnal Teknik Mesin (JTM): Vol. 06, Edisi Spesial 2017 114 PENGARUH KADAR AIR TERHADAP HASIL PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK DENGAN METODE COMPOSTER TUB Sindi Martina Hastuti 1, Ganjar Samudro 2, Sri Sumiyati

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK

PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK PENGARUH WAKTU FERMENTASI DAN PENAMBAHAN AKTIVATOR BMF BIOFAD TERHADAP KUALITAS PUPUK ORGANIK Hargono dan C. Sri Budiyati Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Jl. Prof. H. Soedharto,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 2.1.1 Karakteristik Bagas Ampas tebu atau disebut dengan bagas (Gambar 1) merupakan hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) tebu di stasiun pengilingan.

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto,

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. tersebut serta tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Sudiarto, 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Limbah Ternak 2.1.1. Deksripsi Limbah Ternak Limbah didefinisikan sebagai bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses atau kegiatan manusia dan tidak digunakan lagi pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Hasil Analisis Kandungan Karbohidrat Kulit Talas Kimpul

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Hasil Analisis Kandungan Karbohidrat Kulit Talas Kimpul BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Kimia Pupuk 1. Hasil Analisis Kandungan Karbohidrat Kulit Talas Kimpul Analisis pupuk dilakukan untuk mengetahui kandungan C organik, N, P, K dan C/N ratio

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Penelitian Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu blotong dan sludge industri gula yang berasal dari limbah padat Pabrik Gula PT. Rajawali

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Bagan Penelitian. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Lampiran 1. Bagan Penelitian. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Bagan Penelitian K5 K7 K0 B T K2 K5 K1 K7 K4 K6 K6 K2 K4 K4 K0 K7 K1 K6 K2 K0 K1 K5 Lampiran 2. Formula Media NA Cair (Rao, 1982). Nama Bahan Jumlah Pepton 5 g Beef Ekstrak 3 g NaCl

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA CO-COMPOSTING BAGAS DENGAN BLOTONG PADA KAPASITAS PROSES YANG DITINGKATKAN MOH SUBIYANTORO

EVALUASI KINERJA CO-COMPOSTING BAGAS DENGAN BLOTONG PADA KAPASITAS PROSES YANG DITINGKATKAN MOH SUBIYANTORO EVALUASI KINERJA CO-COMPOSTING BAGAS DENGAN BLOTONG PADA KAPASITAS PROSES YANG DITINGKATKAN MOH SUBIYANTORO DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Ampas Aren. tanaman jagung manis. Analisis kompos ampas aren yang diamati yakni ph,

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kompos Ampas Aren. tanaman jagung manis. Analisis kompos ampas aren yang diamati yakni ph, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kompos Ampas Aren Analisis kompos merupakan salah satu metode yang perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan hasil pengomposan ampas aren dengan menggunakan berbagai konsentrasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Tebu Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil gula dan lebih dari setengah produksi gula berasal dari tanaman tebu (Sartono, 1995).

Lebih terperinci

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah Sampah sering menimbulkan banyak masalah, terutama masalah lingkungan yang akhirnya menimbulkan masalah pada kesehatan manusia. Berdasarkan definisinya, sampah adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Dinamika Populasi Jumlah Bakteri Total Pada Proses Dekomposisi Awal Terhadap Berbagai Nisbah C/N Campuran Feses Ayam Petelur dan Serbuk Gergaji Jumlah bakteri total pada proses

Lebih terperinci

LABORATORIUM PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI KIMIA JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

LABORATORIUM PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI KIMIA JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER Pengaruh Penambahan Aktivator Effektive Mikroorganism EM-4 pada pembuatan pupuk organik dari komposting Tandan Kosong Kelapa Sawit Sisa Media Jamur Merang (Volvariella Volvacea) Disusun Oleh : Rendra Graha

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PE ELITIA

III. METODOLOGI PE ELITIA III. METODOLOGI PE ELITIA A. Bahan dan Alat Bahan baku utama pengomposan yang digunakan dalam penelitian adalah abu ketel dari mesin boiler dan sludge yang berasal dari pengolahan air limbah pabrik gula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pupuk Bokasi adalah pupuk kompos yang diberi aktivator. Aktivator yang digunakan adalah Effective Microorganism 4. EM 4 yang dikembangkan Indonesia pada umumnya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Bahan Baku Karekteristik bahan baku merupakan salah satu informasi yang sangat diperlukan pada awal suatu proses pengolahan, termasuk pembuatan pupuk. Bahan

Lebih terperinci

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O

Elysa Dwi Oktaviana Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, MT L/O/G/O PERAN MIKROORGANISME AZOTOBACTER CHROOCOCCUM, PSEUDOMONAS FLUORESCENS, DAN ASPERGILLUS NIGER PADA PEMBUATAN KOMPOS LIMBAH SLUDGE INDUSTRI PENGOLAHAN SUSU Hita Hamastuti 2308 100 023 Elysa Dwi Oktaviana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot. Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot. Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Berat Total Limbah Kandang Ternak Marmot pada Tabel 3. Data hasil pengamatan berat total limbah kandang ternak marmot disajikan Tabel 3. Pengamatan berat total limbah kandang

Lebih terperinci

PENGOMPOSAN K1UDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT

PENGOMPOSAN K1UDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT PENGOMPOSAN K1UDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT. INDOFOOD CBP DENGAN PENAMBAHAN LUMPUR AKTIF DAN EM4 DENGAN VARIASI SAMPAH DOMESTIK DAN KULIT BAWANG Bening Laksa Intan, Syafrudin, Winardi Dwi Nugraha

Lebih terperinci

Niken Wijayanti, Winardi Dwi Nugraha, Syafrudin Jurusan Teknik Lingkungan,Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro

Niken Wijayanti, Winardi Dwi Nugraha, Syafrudin Jurusan Teknik Lingkungan,Fakultas Teknik,Universitas Diponegoro PENGOMPOSAN SLUDGE HASIL PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PT. INDOFOOD CBP DENGAN PENAMBAHAN LUMPUR AKTIF DAN EM4 DENGAN VARIASI KULIT BAWANG DAN BAWANG GORENG (Utilization of sludge wastewater treatment plant PT.Indofood

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan tidak akan jadi masalah jika jumlah yang dihasilkan sedikit. Bahaya 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biogas Biogas menjadi salah satu alternatif dalam pengolahan limbah, khususnya pada bidang peternakan yang setiap hari menyumbangkan limbah. Limbah peternakan tidak akan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan

Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan TEMU ILMIAH IPLBI 26 Pemanfaatan Lindi sebagai Bahan EM4 dalam Proses Pengomposan Evelin Novitasari (), Edelbertha Dalores Da Cunha (2), Candra Dwiratna Wulandari (3) () Program Kreativitas Mahasiswa,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas. banyak populasi jasad mikro (fungi) dalam tanah (Lubis, 2008).

I. PENDAHULUAN. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas. banyak populasi jasad mikro (fungi) dalam tanah (Lubis, 2008). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas mikroorganisme. Bahan organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme yang hidup

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. diduga tidak memiliki atau sedikit sekali nilai ekonominya (Merkel, 1981). Limbah II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Limbah 2.1.1 Limbah Ternak Limbah adalah bahan buangan yang dihasilkan dari suatu aktivitas atau proses produksi yang sudah tidak digunakan lagi pada kegiatan/proses tersebut

Lebih terperinci

Macam macam mikroba pada biogas

Macam macam mikroba pada biogas Pembuatan Biogas F I T R I A M I L A N D A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 6 ) A N J U RORO N A I S Y A ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 7 ) D I N D A F E N I D W I P U T R I F E R I ( 1 5 0 0 0 2 0 0 3 9 ) S A L S A B I L L A

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. apabila diterapkan akan meningkatkan kesuburan tanah, hasil panen yang baik, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Pengomposan Pengomposan adalah dekomposisi biologis yang dikontrol agar bahan organik menjadi stabil. Proses pengomposan sama seperti dekomposisi alami kecuali ditingkatkan dan

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT (SLUDGE) PABRIK PULP DAN PAPER

PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT (SLUDGE) PABRIK PULP DAN PAPER PEMBUATAN KOMPOS DARI LIMBAH PADAT (SLUDGE) PABRIK PULP DAN PAPER Maria Peratenta Sembiring dan Rozanna Sri Irianty Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Riau Kampus Binawidya Jl. HR. Subrantas

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN KAPASITAS PROSES CO- COMPOSTING ABU KETEL DAN BLOTONG ELVA SURYA AL GHIFARY

KAJIAN PENINGKATAN KAPASITAS PROSES CO- COMPOSTING ABU KETEL DAN BLOTONG ELVA SURYA AL GHIFARY 11 KAJIAN PENINGKATAN KAPASITAS PROSES CO- COMPOSTING ABU KETEL DAN BLOTONG ELVA SURYA AL GHIFARY DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Lebih terperinci

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.

LIMBAH. Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4. LIMBAH Pengertian Baku Mutu Lingkungan Contoh Baku Mutu Pengelompokkan Limbah Berdasarkan: 1. Jenis Senyawa 2. Wujud 3. Sumber 4.B3 PENGERTIAN Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/1999 Jo.PP 85/1999

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. perah dan limbah kubis (Brassica oleracea) pada pembuatan pupuk organik cair

HASIL DAN PEMBAHASAN. perah dan limbah kubis (Brassica oleracea) pada pembuatan pupuk organik cair 36 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan N Data hasil pengamatan pengaruh perbandingan limbah peternakan sapi perah dan limbah kubis (Brassica oleracea) pada pembuatan pupuk

Lebih terperinci

PROSES CO-COMPOSTING ABU KETEL DENGAN BAGAS MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI DENGAN PERLAKUAN LAJU AERASI DAN NILAI C/N AWAL SKRIPSI

PROSES CO-COMPOSTING ABU KETEL DENGAN BAGAS MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI DENGAN PERLAKUAN LAJU AERASI DAN NILAI C/N AWAL SKRIPSI PROSES CO-COMPOSTING ABU KETEL DENGAN BAGAS MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI DENGAN PERLAKUAN LAJU AERASI DAN NILAI C/N AWAL SKRIPSI IRVAN NOVA SAGITA F34080108 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Potensi Pencemaran Lingkungan dari Pengolahan Sampah di Rumah Kompos Kota Surabaya Bagian Barat dan Pusat

Potensi Pencemaran Lingkungan dari Pengolahan Sampah di Rumah Kompos Kota Surabaya Bagian Barat dan Pusat Potensi Pencemaran Lingkungan dari Pengolahan Sampah di Rumah Kompos Kota Surabaya Bagian Barat dan Pusat Oleh: Thia Zakiyah Oktiviarni (3308100026) Dosen Pembimbing IDAA Warmadewanthi, ST., MT., PhD Latar

Lebih terperinci

STUDI OPTIMASI TAKAKURA DENGAN PENAMBAHAN SEKAM DAN BEKATUL

STUDI OPTIMASI TAKAKURA DENGAN PENAMBAHAN SEKAM DAN BEKATUL STUDI OPTIMASI TAKAKURA DENGAN PENAMBAHAN SEKAM DAN BEKATUL Arya Rezagama*, Ganjar Samudro Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Prof Soedharto No 1, Tembalang, Semarang.

Lebih terperinci

CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO

CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO CARA MEMBUAT KOMPOS OLEH: SUPRAYITNO THL-TBPP BP3K KECAMATAN WONOTIRTO Kompos merupakan pupuk yang dibuat dari sisa-sisa mahluk hidup baik hewan maupun tumbuhan yang dibusukkan oleh organisme pengurai.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 39 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Rata-Rata Jumlah Bakteri yang Terdapat pada Feses Sapi Potong Sebelum (inlet) dan Sesudah (outlet) Proses Pembentukan Biogas dalam Reaktor Tipe Fixed-Dome Hasil perhitungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil

TINJAUAN PUSTAKA. Kompos. sampah dapur, sampah kota dan lain-lain dan pada umumnya mempunyai hasil TINJAUAN PUSTAKA Kompos Kompos adalah zat akhir suatu proses fermentasi tumpukan sampah/serasah tanaman dan adakalanya pula termasuk bangkai binatang. Sesuai dengan humifikasi fermentasi suatu pemupukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator

II. TINJAUAN PUSTAKA. digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioaktivator Menurut Wahyono (2010), bioaktivator adalah bahan aktif biologi yang digunakan untuk meningkatkan aktivitas proses komposting. Bioaktivator bukanlah pupuk, melainkan

Lebih terperinci

Kompos Cacing Tanah (CASTING)

Kompos Cacing Tanah (CASTING) Kompos Cacing Tanah (CASTING) Oleh : Warsana, SP.M.Si Ada kecenderungan, selama ini petani hanya bergantung pada pupuk anorganik atau pupuk kimia untuk mendukung usahataninya. Ketergantungan ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar mata

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar mata BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar mata pencaharian warga berada di bidang pertanian. Melihat kenyataan tersebut, kebutuhan akan pupuk untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhan unsur hara tanaman. Dibanding pupuk organik, pupuk kimia pada

I. PENDAHULUAN. kebutuhan unsur hara tanaman. Dibanding pupuk organik, pupuk kimia pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pupuk kimia merupakan bahan kimia yang sengaja diberikan untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Dibanding pupuk organik, pupuk kimia pada umumnya mengandung

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN BAKU KOMPOS (SAMPAH ORGANIK PASAR, AMPAS TAHU, DAN RUMEN SAPI) TERHADAP KUALITAS DAN KUANTITAS KOMPOS

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN BAKU KOMPOS (SAMPAH ORGANIK PASAR, AMPAS TAHU, DAN RUMEN SAPI) TERHADAP KUALITAS DAN KUANTITAS KOMPOS PENGARUH KOMPOSISI BAHAN BAKU KOMPOS (SAMPAH ORGANIK PASAR, AMPAS TAHU, DAN RUMEN SAPI) TERHADAP KUALITAS DAN KUANTITAS KOMPOS EFFECT OF COMPOST COMPOSITION OF RAW MATERIALS (WASTE ORGANIC MARKET, SOYBEAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

Karakteristik Limbah Padat

Karakteristik Limbah Padat Karakteristik Limbah Padat Nur Hidayat http://lsihub.lecture.ub.ac.id Tek. dan Pengelolaan Limbah Karakteristik Limbah Padat Sifat fisik limbah Sifat kimia limbah Sifat biologi limbah 1 Sifat-sifat Fisik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

Energi Alternatif. Digester anaerob. Penambahan Bahan Aditif. Tetes Tebu

Energi Alternatif. Digester anaerob. Penambahan Bahan Aditif. Tetes Tebu PERANAN TETES TEBU DALAM PRODUKSI BIOGAS Pembimbing : Dr. rer.nat.triwikantoro, M.Sc Dr. Melania Suweni M, M.T Oleh : Amaliyah Rohsari Indah Utami (1108201007) Latar Belakang Krisis Bahan bakar Protokol

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pupuk Organik Menurut Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya

Lebih terperinci

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos.

Kata kunci: jerami padi, kotoran ayam, pengomposan, kualitas kompos. I Ketut Merta Atmaja. 1211305001. 2017. Pengaruh Perbandingan Komposisi Jerami dan Kotoran Ayam terhadap Kualitas Pupuk Kompos. Dibawah bimbingan Ir. I Wayan Tika, MP sebagai Pembimbing I dan Prof. Ir.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR (SLUDGE) WASTEWATER TREATMENT PLANT PT.X SEBAGAI BAHAN BAKU KOMPOS

PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR (SLUDGE) WASTEWATER TREATMENT PLANT PT.X SEBAGAI BAHAN BAKU KOMPOS 31 JTM Vol. 05, No. 1, Juni 2016 PEMANFAATAN LIMBAH LUMPUR (SLUDGE) WASTEWATER TREATMENT PLANT PT.X SEBAGAI BAHAN BAKU KOMPOS Dicky Cahyadhi Progam Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Mercu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah jerami yang diambil dari persawahan di Desa Cikarawang, belakang Kampus IPB Darmaga. Jerami telah didiamkan

Lebih terperinci

KAJIAN RASIO KARBON TERHADAP NITROGEN (C/N) PADA PROSES PENGOMPOSAN DENGAN PERLAKUAN AERASI DALAM PEMANFAATAN ABU KETEL DAN SLUDGE INDUSTRI GULA

KAJIAN RASIO KARBON TERHADAP NITROGEN (C/N) PADA PROSES PENGOMPOSAN DENGAN PERLAKUAN AERASI DALAM PEMANFAATAN ABU KETEL DAN SLUDGE INDUSTRI GULA KAJIAN RASIO KARBON TERHADAP NITROGEN (C/N) PADA PROSES PENGOMPOSAN DENGAN PERLAKUAN AERASI DALAM PEMANFAATAN ABU KETEL DAN SLUDGE INDUSTRI GULA SKRIPSI ESSIYANA DWIYANTY F34070091 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 23 HASIL DAN PEMBAHASAN KarakteristikBahan Kompos Karakteristik kompos yang dihasilkan tergantung kepada jenis dan komposisi bahan organik yang dikomposkan, proses pengomposan dan tingkat kematangan kompos.bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan instalasi pengolahan limbah dan operasionalnya. Adanya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik tahu merupakan industri kecil (rumah tangga) yang jarang memiliki instalasi pengolahan limbah dengan pertimbangan biaya yang sangat besar dalam pembangunan

Lebih terperinci

Oleh: Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, M. T.

Oleh: Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Sri Rachmania Juliastuti, M. Eng. Ir. Nuniek Hendrianie, M. T. SIDANG SKRIPSI Peran Mikroorganisme Azotobacter chroococcum, Pseudomonas putida, dan Aspergillus niger pada Pembuatan Pupuk Cair dari Limbah Cair Industri Pengolahan Susu Oleh: Fitrilia Hajar Pambudi Khalimatus

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing :

SKRIPSI. Disusun Oleh: Angga Wisnu H Endy Wisaksono P Dosen Pembimbing : SKRIPSI Pengaruh Mikroorganisme Azotobacter chrococcum dan Bacillus megaterium Terhadap Pembuatan Kompos Limbah Padat Digester Biogas dari Enceng Gondok (Eichornia Crassipes) Disusun Oleh: Angga Wisnu

Lebih terperinci

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS

SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS SEMINAR TUGAS AKHIR KAJIAN PEMAKAIAN SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA UNTUK MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOGAS Oleh : Selly Meidiansari 3308.100.076 Dosen Pembimbing : Ir.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahu, parameter yang berperan dalam komposting yang meliputi rasio C/N. ph. dan suhu selama komposting berlangsung.

BAB III METODE PENELITIAN. mengetahu, parameter yang berperan dalam komposting yang meliputi rasio C/N. ph. dan suhu selama komposting berlangsung. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Umum Pada penelitian ini dilakukan penelitian pendahuluan, yaitu penelitian yang dilakukan untuk menguji bahan masing-masing reaktor sesudah diadakannya peneampuran bahan

Lebih terperinci

S U N A R D I A

S U N A R D I A EFEKTIVITAS PEMBERIAN STARBIO TERHADAP PERTUMBUHAN Anthurium Gelombang Cinta (Anthurium plowmanii) Giant PADA MEDIA TANAM CAMPURAN AKAR PAKIS DAN SEKAM BAKAR SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini diperlukan alur penelitian agar pelaksanaannya terarah. Berikut merupakan diagram alir penelitian Studi Literatur

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

PEMBUATAN PUPUK ORGANIK PELATIHAN TEKNIS BUDIDAYA KEDELAI BAGI PENYULUH PERTANIAN DAN BABINSA PEMBUATAN PUPUK ORGANIK BADAN PENYULUHAN DAN PENGEMBANGAN SDM PERTANIAN PUSAT PELATIHAN PERTANIAN 2015 Sesi : PEMBUATAN PUPUK ORGANIK

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Kompos Pelepah Daun Salak. (terkontrol) dengan hasil akhir berupa humus dan kompos (Simamora dan Salundik,

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pengamatan Kompos Pelepah Daun Salak. (terkontrol) dengan hasil akhir berupa humus dan kompos (Simamora dan Salundik, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengamatan Kompos Pelepah Daun Salak Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) dan stabilisasi bahan organik oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkendali

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Populasi Bakteri Penambat N 2 Populasi Azotobacter pada perakaran tebu transgenik IPB 1 menunjukkan jumlah populasi tertinggi pada perakaran IPB1-51 sebesar 87,8 x 10 4 CFU/gram

Lebih terperinci

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu:

Metode Penelitian Kerangka penelitian penelitian secara bagan disajikan dalam Gambar 4. Penelitian ini dipilah menjadi tiga tahapan kerja, yaitu: 15 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di lapang pada bulan Februari hingga Desember 2006 di Desa Senyawan, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Gambar 3). Analisis

Lebih terperinci

pengamatan minggu ke

pengamatan minggu ke Lampiran 1. Perubahan Warna Kompos Selama Proses Dekomposisi Perlakuan pengamatan minggu ke- 1 2 3 4 5 6 7 A1 7,5 YR 3/3 7,5 YR 3/1 7,5 YR 2,5/3 7,5 YR 2,5/1 5 YR 3/3 5 YR 2,5/2 5 YR 2,5/2 A2 7,5 YR 3/3

Lebih terperinci

ANALISIS PERAN LIMBAH CAIR TAHU DALAM PRODUKSI BIOGAS

ANALISIS PERAN LIMBAH CAIR TAHU DALAM PRODUKSI BIOGAS 16-159 ANALISIS PERAN LIMBAH CAIR TAHU DALAM PRODUKSI BIOGAS Amaliyah Rohsari Indah Utami, Triwikantoro, Melania Suweni Muntini IT TELKOM Bandung, ITS Surabaya, ITS Surabaya E-mail : amaliyahriu@gmail.com

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci