BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vitiligo berasal dari periode Aushooryan (2200 sebelum masehi) dalam bahasa Iran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vitiligo berasal dari periode Aushooryan (2200 sebelum masehi) dalam bahasa Iran"

Transkripsi

1 BAB II 7 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vitiligo Sejarah dan definisi Vitiligo telah dikenal dari zaman dahulu kala. Tulisan pertama tentang vitiligo berasal dari periode Aushooryan (2200 sebelum masehi) dalam bahasa Iran klasik. Pada tahun 1550 sebelum masehi Ebers Papyrus menjabarkan dua jenis penyakit yang mempengaruhi warna kulit. Satu penyakit disertai dengan tumor, kemungkinan adalah kusta dan satu lagi hanya mengalami perubahan warna yang diduga vitiligo. Vitiligo berasal dari Bahasa latin vitium yang berarti cacat. Kata vitiligo pertama kali dijumpai pada buku De-Mediccina karya dokter Roma Celsus. 7 Vitiligo merupakan kelainan didapat dengan gambaran bercak depigmentasi asimtomatik pada kulit, membran mukosa atau rambut yang melibatkan faktor genetik dan non genetik dengan karakteristik berupa destruksi melanosit epidermis yang dimediasi oleh proses autoimun progresif. 3,6, Epidemiologi Angka persentase prevalensi vitiligo adalah 0,l%-8% dari penduduk dunia. 3 Prevalensi vitiligo terlihat konsisten di antara beberapa populasi yang berbeda, yaitu : 0,38% pada ras Kaukasia, 0,34% pada ras Afrokaribia, 0,46% pada ras India, dan walaupun jarang juga dijumpai pada suku Han Tiongkok berkisar 0,093%. 6 Prevalensi dan insidensi vitiligo sendiri belum banyak diteliti di Indonesia. Rizal menemukan angka insidensi vitiligo pada tahun di RSUP Dr. M. Djamil Padang yaitu 0,46%. 5 Pada Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan kunjungan pasien vitiligo juga dijumpai meningkat dibandingkan pasien dengan keluhan pigmentasi lainnya. Pada tahun proporsi terbesar kelainan pigmentasi di RSUP H. Adam Malik Medan adalah hipermelanosis dengan diagnosis terbanyak melasma, namun pada tahun 2015 terjadi perubahan dimana kelainan pigmentasi

2 8 terbanyak adalah hipomelanosis dengan diagnosis vitiligo. 4 Vitiligo dapat muncul pada berbagai usia, dengan usia rata-rata pada pasien kaukasia adalah 24 tahun. 5 Di RSUP Dr. M. Djamil Padang, vitiligo paling banyak dijumpai pada kelompok usia tahun. 4 Rahman et al menemukan bahwa rata-rata usia pasien vitiligo di Bangladesh adalah 23 tahun. 26 Vitiligo dapat terjadi baik pada pria maupun wanita. 3,6,11,26 Perbedaan insidensi di beberapa penelitian mungkin lebih disebabkan karena perempuan tampak lebih banyak mencari pengobatan. 3,6 Vitiligo dihubungkan dengan adanya riwayat keluarga pada lini pertama. 6 Biasanya vitiligo diwariskan bukan dengan pola Mendel namun merupakan suatu kelainan poligenik. Saudara kembar monozigot dari pasien vitiligo sekitar 23% akan mengalami hal yang sama Etiologi dan patogenesis Vitiligo adalah kelainan multifaktorial, poligenik dengan patogenesis kompleks yang belum dipahami dengan baik. Dari beberapa patogenesis penyakit, yang paling diterima adalah faktor genetik dan non genetik saling berinteraksi untuk mempengaruhi fungsi dan kelangsungan hidup melanosit, yang akhirnya menyebabkan destruksi melanosit. Beberapa penulis lain mengemukakan penjelasan-penjelasan termasuk di antaranya defek adhesi melanosit, kerusakan neurogenik, kerusakan biokimia, autositotoksisitas dan lainnya. 6,8, Hipotesis genetik Studi epidemiologis menunjukan bahwa kebanyakan kasus vitiligo terjadi secara sporadik, walaupun sekitar 15-25% pasien memiliki satu atau lebih keluarga lini pertama yang juga terkena. Sebagian besar kasus agregasi familial menunjukan pola non-mendelian yang memberi kesan adanya penurunan multifaktorial dan poligenik yang berperan penting dalam semua aspek patogenesis vitiligo. 6,11

3 9 Peranan faktor genetik cukup penting pada vitiligo. Hal ini telah dihubungkan sebagai bagian dari teori tentang pewarisan genetik, autoimun dan autoinflamasi. Tipe Human leukocyte antigen (HLA) terkait vitiligo meliputi A2, DR4, DR7 dan CW6 pada kelompok keluarga Kaukasia dengan vitiligo generalisata dan penyakit autoimun, disamping itu ditemukan pula hubungan dengan kromosom 1,7 dan 17. Selain itu HLA, PTPN22, NALPI dan CTLA4 jug dihubungkan dengan kerentanan proses autoimun pada penderita vitiligo. 6,28 Shaker & El-Tahlawi mengemukakan bahwa mutasi genetik padampasien vitiligo dapat menyebabkan gangguan metabolisme homosistein. Hal ini menyebabkan hiperhomosisteinemia yang diduga berhubungan dengan patogenesis vitiligo. 21 Polimorfisme gen methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) yang terletak pada kromosom 1p36.3 dan gen catalase (CAT) yaitu pada kromosom 11p13 dikaitkan dengan hiperhomosisteinemia Hipotesis autoimun Vitiligo khususnya tipe generalisata secara luas dianggap sebagai penyakit autoimun, dengan keterlibatan komponen humoral dan seluler dari sistem imun bawaan dan adaptif. 29 Hal ini didukung oleh hasil penelitian epidemiologi dan klinis. Kemampuan untuk dapat relaps dan remisi yang biasanya dijumpai pada penyakit autoimun, dapat membaik setelah terapi imunosupresif, adanya pola sitokin proinflamasi tipe T helper-1 (Th-1), dijumpainya infiltrat sel T pada daerah perilesi, dan terdapat sel T sitotoksik antimelanosit pada kulit dan sirkulasi serta antibodi antimelanosit dalam sirkulasi merupakan karakteristik yang mendukung hipotesis ini

4 10 Autoantibodi anti melanosit adalah autoantibodi yang dijumpai dengan target antigen sistem melanogenik. Beberapa antigen target yaitu tirosinase, tyrosinase-related protein-1, dopachrome tautomerase dan lainnya. 29 Autoantibodi ini toksik terhadap melanosit dan menghambat pembentukan melanin. 29,31 Sistem kekebalan seluler juga diduga memiliki peranan pada vitiligo. Hal ini dibuktikan dengan dijumpai infiltrat inflamasi yang terdiri dari limfosit T sitotoksik pada tepi lesi vitiligo yang aktif. Sel-sel ini mengekspresikan pola sitokin tipe 1 yang memiliki aktivitas sitolisis terhadap sisa melanosit yang ada, melalui jalur granzyme / perforin. 6 Homosistein sendiri diduga dapat mengaktivasi NF-ĸB dan memproduksi IL-6 pada sistem imunitas Hipotesis biokimia Kulit manusia berperan untuk menjadi melindungi tubuh dari lingkungan sekitar. Kulit senantiasa terpapar berbagai zat-zat fisik, kimiawi dan biologik yang dapat memproduksi ROS. ROS dapat mendenaturasi protein, mengubah jalur apoptosis, merusak nukleus dan mitokondria DNA dan memediasi pelepasan sitokin proinflamasi. 34 Beberapa penelitian menunjukan bukti adanya stress oksidatif di sepanjang epidermis pasien vitiligo yang disebabkan H2O2 dalam jumlah besar. 34 Peningkatan kadar hydrogen peroxide (H2O2) pada epidermis daerah yang

5 11 terkena, mungkin sebagian disebabkan oleh berkurangnya kapasitas antioksidan enzimatik pada keratinosit dan melanosit. Pertahanan antioksidan yang defektif membuat peningkatan kerentanan melanosit baik terhadap sitotoksitas imunologik dan terhadap 6,34-38 sitotoksitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS ). Ketidakseimbangan antara produksi ROS dan kemampuan sistem biologik untuk dapat mendetoksifikasi zat reaktif atau untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif. 34,35,37,39,40 Stres oksidatif diperkirakan merupakan awal peristiwa patogenik dalam terjadinya destruksi melanosit. Pada stres oksidatif, tidak adanya aktivitas antioksidan yang memadai menyebabkan terjadinya akumulasi berlebihan dari radikal bebas, yang akan merusak zat seluler seperti protein, karbohidrat, deoxyribonucleic acid (DNA) dan lipid. 40 ROS diproduksi sebagai produk sampingan proses melanogenesis di dalam melanosit dan dikendalikan oleh beberapa enzim antioksidan di epidermis seperti katalase dan glutation peroksidase. Pada vitiligo terjadi produksi berlebihan dari H2O2 yang bersifat sitotoksik terhadap melanosit melalui berbagai mekanisme. 33,37,40 Oksidasi homosistein dan abnormalitas biopterin berperan dalam pembentukan ROS. Hal ini akan mengakibatkan destruksi melanosit yang berdampak perubahan pigmentasi kulit. 21

6 Gambaran klinis Gambaran klinis utama vitiligo adalah dijumpainya makula berwarna putih susu dengan depigmentasi yang relatif homogen dan berbatas tegas. Berdasarkan gambaran klinis khas dan riwayat alamiah vitiligo dapat diklasiflkasikan menjadi tipe segmental dan nonsegmental. 6 Berdasarkan konsensus yang dibuat oleh Vitiligo European Taskforce (VETF) pada saat konferensi International Pigment Cell Conference tahun 2011, vitiligo nonsegmental memiliki karakteristik berupa makula depigmentasi dengan berbagai ukuran yang sering melibatkan kedua sisi tubuh dan cenderung simetris. 41 Vitiligo universalis, vulgaris, akrofasial, campuran, fokal, dan mukosal termasuk dalam kelompok ini. Sedangkan vitiligo segmental memiliki karakteristik berupa makula depigmentasi dengan distribusi dermatom unilateral yang tidak melewati garis tengah tubuh. 6 Umumnya vitiligo segmental sering mengenai anak-anak dan bercak depigmentasi menetap selama bertahun-tahun namun tetap terlokalisir. Selain itu pada vitiligo segmental sering melibatan sistem pigmentasi folikel rambut. 6,41 Perbedaan antara vitiligo segmental dan nonsegmental dapat mempengaruhi prognosis dalam hal resistensi untuk repigmentasi kembali. 6,8, Diagnosis banding Beberapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan vitiligo yaitu kelainan bawaan antara lain nevus depigmentosus, tuberous sclerosis, piebaldism, Vogt- Koyanagi s syndrome, Wardeenburg s syndrome dan Ziprkowski-Margolis s syndrome dan kelainan didapat seperti pityriasis versicolor, pityriasis alba, post-inflammatory hypopigmentation, lichen sclerosus et atrophicus, morphea, sarcoidosis dan leprosy. 6,,11

7 Diagnosis Pemeriksaan klinis yaitu berdasarkan temuan berupa lesi kulit akuisita, bercak berwarna putih berbatas tegas pada kulit dan tidak ada berhubungan dengan inflamasi serta umumnya meluas secara sentrifugal cukup untuk menegakkan diagnosis vitiligo. 3,6,11,41 Pemeriksaan lampu Wood juga dapat membantu dalam mendiagnosis yaitu tampak adanya aksentuasi lesi, khususnya pada pasien dengan tipe kulit Fitzpatrick I dan II untuk melihat area yang terlibat. Pada tipe kulit yang lebih gelap, lampu Wood dapat digunakan untuk melihat derajat depigmentasi pada masing-masing individu. 6, Histopatologi Dalam menegakkan vitiligo jarang membutuhkan biopsi kulit. 6 Gambaran hasil pemeriksaan histopatologi secara umum menunjukan pada lapisan epidermis lesi kulit tampak tidak memiliki. melanosit, dijumpai infiltrat limfosit perivaskular dan perifolikular pada batas lesi awal vitiligo dan lesi aktif yang konsisten dengan adanya proses imunitas seluler yang menghancurkan melanosit secara in situ. Beberapa laporan menyatakan bahwa melanosit mungkin tidak hilang sepenuhnya dari epidermis yang mengalami depigmentasi dan melanosit residual menjaga kemampuan untuk mengembalikan fungsi. 6, Sistem penilaian (skor) vitiligo Saat ini terdapat beberapa skala penilaian yang dapat dilakukan untuk menilai vitiligo misalnya VASI, VETFa, VIDA, dan PRI. 17,18,47,49 Skor ini dilakukan menilai luas daerah lesi, aktivitas penyakit, dan residu pigmentasi. 9,47-49

8 14 Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi et al dan merupakan metode yang telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan persentase dari depigmentasi dan repigmentasi. Skor VASI ini secara konseptual analog dengan skor psoriasis area severity index (PASI) yang digunakan pada psoriasis. 18 Menurut Alghamdi et al, skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine merupakan metode yang paling baik dan mudah dilakukan yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi dan mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam penelitian dan uji klinis. 17,49 VASI merupakan metode pengukuran semi-objektif yang membutuhkan keahlian dari klinisi untuk mengevaluasi hasil. Hal ini membutuhkan perhatian penuh dari klinisi untuk mengamati derajat pigmentasi dan luas lesi. Dengan menggunakan skor ini hasil pengobatan vitiligo dapat dievaluasi. 17 Dalam penghitungan skor VASI tubuh penderita dibagi menjadi enam bagian yaitu tangan, anggota gerak atas (tidak termasuk tangan), badan, tungkai (tidak termasuk kaki), kaki, leher dan kepala. Daerah lipatan ketiak dimasukkan dalam anggota gerak atas sedangkan daerah sela paha dan bokong dimasukan dalam tungkai. Satu hand unit, yang mencakup telapak tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1% dan digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap bagian. Derajat depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai dengan skor 0%,10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Pa d a derajat 100% depigmentasi berarti tidak ada pigmen yang tampak, pada derajat 90% berarti terdapat sedikit bercak pigmen yang tampak, pada derajat 75% berarti area pigmentasi masih tampak jelas namun area depigmentasi lebih luas, pada derajat 50% berarti area yang mengalami depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi adalah sama banyak, pada derajat 25% berarti area pigmentasi melebihi area depigmentasi, pada derajat 10% berarti hanya terdapat sedikit bercak depigmentasi, dan 0% tidak terdapat bercak depigmentasi. 17,49,50

9 15 Panduan penilaian gambaran depigemntasi/repigmentasi dapat dilihat pada gambar 2.1. Untuk setiap bagian tubuh skor VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam hand units dan derajat depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan skor minimal 0 sampai dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut.17,49,50 VASI = Ʃ Hands Unit x Depigmentasi Gambar 2.1 Derajat depigmentasi VASI. Panduan yang telah distandarisasi untuk memperkirakan derajat pigmentasi pada vitiligo (dikutip dari kepustakaan no.50)

10 Penatalaksanaan Prinsip dasar penanganan vitiligo adalah memfasilitasi agar melanosit aktif yang mampu bermigrasi dapat bertahan pada lesi depigmentasi untuk selanjutnya mensintesis melanin. Berbagai strategi penatalaksanaan telah dirancang untuk mengurangi terjadinya destruksi melanosit dan meningkatkan repopulasi melanosit. Mekanisme kerjanya dengan cara menstimulasi penyembuhan melanosit dan dengan mereaktivasi melanosit residual atau menstimulasi migrasi melanosit dari kulit atau folikel rambut yang berdekatan. Repigmentasi ini sendiri dapat terjadi secara spontan maupun oleh karena pengobatan. 6 Terapi vitiligo yang tersedia saat ini antara lain berupa pengobatan secara topikal, sistemik, terapi fisik dan pembedahan. Terapi lini pertama untuk vitiligo adalah kortikosteroid dan inhibitor kalsineurin topikal serta penyinaran baik dengan narrowband UVB atau sinar UVA yang dikombinasi dengan psoralen sistemik merupakan. Adapun terapi lini kedua dari vitiligo antara lain kalsipotriol topikal, kombinasi penyinaran UVA dengan psoralen topikal, penyinaran dengan laser excimer, kortikosteroid sistemik dan pembedahan dengan graft atau transplantasi melanosit. 6,11,42,51-54 Beberapa penelitian mencoba melihat manfaat pemberian suplementasi vitamin dalam penatalakasanaan vitiligo. Juhlin & Olsson melakukan penelitian dengan menggabungkan 1 mg vitamin Bl2 dan 5 mg asam folat yang diminum dua kali sehari ditambah edukasi untuk berjemur di sinar matahari dan mendapatkan hasil yang baik. 17 Penelitian lain oleh Don et al dengan broadband UVB dengan penambahan 500 mg vitamin C, 1 mg vitamin B12 dan 5 mg asam folat yang diberikan dua kali sehari juga tampak menjanjikan. 18 Perbaikan yang diperoleh dengan penambahan vitamin B12 dan asam folat pada vitiligo ini diduga berhubungan dengan peranan keduanya dalam

11 17 menurunkan kadar homosistein, dimana kadar homosistein yang berlebihan dikaitkan dengan etiopatogenesis vitiligo. 17,18, Homosistein Pada tahun 1932, Butz dan du Vigneaud pertama kali menjabarkan mengenai homosistein. Homosistein adalah asam amino bersulfur yang tidak membentuk protein. 13 Metabolisme homosistein berada di persimpangan antara dua jalur metabolik, yaitu: jalur remetilasi dan jalur transulfurasi Jalur remetilasi terlibat dalam siklus sintesis metionin. Metionin sendiri dapat diperoleh dari diet makanan atau dibentuk dari daur ulang homosistein. Pada jalur remetilasi, homosistein mendapat gugus metil dari N-5-methyltetrahydrofolate atau dari betaine untuk membentuk metionin. Reaksi dari N-5- methyltetrahydrofolate terjadi pada semua jaringan dan sangat bergantung pada vitamin B12, sedangkan reaksi dengan betaine yang terutama terjadi pada liver tidak bergantung pada vitamin B12. Sejumlah metionin yang terbentuk lalu diaktivasi oleh adenosine triphosphate untuk membentuk S-adenosylmethionine (SAM) SAM yang mengandung kelompok metil yang sangat reaktif kemudian ditransferkan ke berbagai substrat akseptor, termasuk asam nukleat DNA dan asam ribonukleat, protein, fosfolipid, myelin, polisakarida, choline, katekolamin dan sejumlah besar molekul-molekul kecil. Reaksi metilasi ini akan menghasilkan S-adenosyl-lhomocysteine (SAH) yang selanjutnya dihidrolisis dengan reaksi reversibel menjadi homosistein yang kemudian didaur ulang menjadi metionin dan SAM atau diarahkan ke jalur transulfur

12 18 Secara normal, sekitar 50% dari homosistein yang terbentuk akan diremetilasi. Sisa homosistein akan diubah melalui jalur transulfur menjadi sistein dalam dua reaksi yang membutuhkan vitamin B6 sebagai kofaktor. Jalur ini penting untuk sintesis glutation. Glutation melindungi banyak komponen seluler dari kerusakan oksidatif. 10,11 Pada jalur transulfurasi, homosistein berkondensasi dengan serine untuk membentuk sistationin melalui reaksi reversibel yang dikatalisis oleh enzim yang mengandung pyridoxal-50-phosphate (PLP), yaitu cystathionine synthase. Sistationin yang terbentuk lalu dihidrolisis oleh enzim sistationase untuk membentuk sistein dan ketobutirat. Sistein yang berlebihan lalu dioksidasi menjadi taurine atau menjadi sulfat inorganik atau diekskresikan melalui urin. Dengan demikian selain untuk membentuk sistein, jalur transulfurasi secara efektif mengkatabolisis homosistein berlebihan yang tidak dibutuhkan untuk transfer gugus metil. 10,11 Tiga enzim yang terlibat secara langsung dalam metabolisme homosistein ini, yaitu: methionin synthase (MS), betaine homocysteine methyltransferase dan cysthationine-β-synthase (CBS). Vitamin B12 adalah kofaktor MS sedangkan B6 merupakan kofaktor CBS. Methyltetrahydrofolate (methylthf) adalah substrat dalam reaksi yang diperantarai MS. Reaksi ini juga penting bagi pembentukan folat aktif yang dibutuhkan untuk sintesis purin dan timidin, maka dari itu penting juga bagi sintesis dan perbaikan. 10,11

13 19 Kebanyakan jaringan bergantung pada gugus metil yang diturunkan dari daur ulang homosistein yang diperantarai oleh MS. Reaksi ini secara tidak langsung diregulasi oleh aktivitas MTHFR dimana enzim ini memediasi pembentukan methylthf. Enzim ini memiliki pengaruh yang besar secara tidak langsung terhadap remetilasi homosistein. 10,11 Metabolisme homosistein secara skematis dijabarkan pada gambar 2.2. Gambar 2. 2 Metabolisme homosistein (dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan nomor 9) Nilai normal kadar homosistein adalah 5-15 µmol/l. 10 Kadarnya dapat dipengaruhi genetik, kadar vitamin dalam darah, jenis kelamin, usia, gaya hidup, obatobatan, penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal dan gagal jantung, serta diabetes mellitus. Pengaruh faktor-faktor tersebut dalam kelainan yang berhubungan dengan homosistein telah menjadi lahan penelitian yang sangat aktif. 10,11 Semakin banyaknya jumlah variasi gen yang meregulasi enzim yang terlibat dalam metabolisme telah diidentifikasikan baru-baru ini. Sekitar 200 penelitian diterbitkan mengenai satu di antara enzim tersebut, yaitu suatu polimorfisme

14 20 yang mengakibatkan bentuk thermolabile dari MTHFR menyebabkan berkurangnya aktivitas enzim. 10,23 Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar homosistein rata-rata sekitar 25%. 13 Seiring bertambahnya usia terjadi peningkatan kadar homosistein. Hal ini mungkin terjadi karena faktor gaya hidup ditambah dengan adanya malabsorpsi yang disebabkan gastritis, berkurangnya metabolisme, menurunnya fungsi ginjal dan keadaan fisiologis lainnya Kadar homosistein pada wanita lebih rendah dibandingkan pada pria. Perbedaan di antara jenis kelamin ini dapat dijelaskan oleh status hormonal, massa otot yang lebih besar pada laki-laki dan perbedaan gaya hidup di antara wanita dan pria. Setelah menopause, perbedaan ini tidak dijumpai, namun konsentrasi tetap lebih rendah pada wanita. Wanita hamil memiliki kadar homosistein yang lebih rendah dibandingkan wanita yang tidak hamil, diduga karena volume plasma yang lebih besar pada wanita hamil, peningkatan tingkat metabolisme, dan filtrasi glomerulus. 10 Merokok memiliki hubungan yang kuat dengan peningkatan kadar homosistein. Efek merokok pada kadar homosistein juga semakin diperkuat oleh adanya asupan alkohol yang tinggi, konsumsi kopi dan nutrisi yang tidak memadai. Olahraga yang kurang, obesitas dan bahkan stres berhubungan dengan peningkatan kadar homosistein. Maka dari itu faktor gaya hidup yang tidak seha t mungkin menjadi penjelasan utama terjadinya peningkatan homosistein. 10 Selain itu ada beberapa obat yang berinteraksi dengan metabolisme homosistein yang menyebabkan reduksi absorbsi kofaktor atau peningkatan tingkat katabolisme vitamin. 13

15 Hubungan Kadar Homosistein dengan Skor VASI Dikemukakan bahwa pasien vitiligo lebih cenderung rnengalami anemia pernisiosa dan defisiensi vitamin B12. Asam folat dan vitamin B12 merupakan kofaktor enzim homosistein metil transferase yang berfungsi dalam regenerasi metionin dari homosistein pada siklus remetilasi. Defisiensi kedua vitamin ini dapat menyebabkan keadaan hiperhomosisteinemia. 20,60 Zaki et al membandingkan kadar homosistein serum pada 30 subjek vitiligo dan kontrol dalam jumlahnya yang sama. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan antara kelompok vitiligo (11,35± 3,14 µmol/l) dan kontrol (10,49 ± 1,68 µmol/l) dan tidak ada hubungan antara kadar homosistein serum dengan durasi penyakit dan aktivitas penyakit. Namun dijumpai hubungan positif dengan usia pasien. 22 Singh et al melakukan penelitian pada 200 pasien vitiligo dan 75 kontrol. Homosistein serum pada pria (31,0±7,8 µmol/l) lebih tinggi dibandingkan pada wanita (22,0 ± 4,2 µmol/l) dengan kadar pada kelompok vitiligo aktif (30,2 ± 6,5µmol/L) lebih tinggi daripada kontrol (23,1 ± 1,9µmol/L). 20 Yasar et al meneliti 40 pasien vitiligo dan 40 kontrol dan tidak menemukan perbedaan signifikan kadar homosistein. Tidak dijumpai hubungan signifikan antara kadar homosistein dengan aktivitas penyakit dan polimorfisme gen MTHFR. 23 Sabry et al menemukan perbedaan signifikan antara kadar homosistein kelompok vitiligo (17,77 ± 7,72 µmol/l) dan kelompok kontrol (11,81 ± 3,41 µmol/l). Kadar homosistein pada lelaki (21,84 ± 10,76 µmol/l) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pada wanita (15,37±3,74 µmol/l). Studi ini

16 22 menemukan terdapat hubungan antara kadar homosistein dengan luas vitiligo (r=0,559), namun tidak dijumpai hubungan antara kadar homosistein dengan usia pasien, tipe klinis dan durasi penyakit. 19 Ghalamkarpour et al menemukan terdapat perbedaan signifikan antara kadar homosistein pasien vitiligo dengan kelompok kontrol. Pada pria (15-22 µmol/l) kadarnya dijumpai lebih tinggi dibandingkan pada wanita (10-16,5 µmol/l). Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan antara kadar homosistein dengan skor VASI (r=o,25 ; p=0,08), luas permukaan tubuh (r=0,22; p=0,12), dan durasi penyakit (r=0,08; p=0,56). 24 Hasil yang berbeda dijumpai oleh Agarwal et al. Penelitian ini membandingkan kadar homosistein serum pada 50 pasien vitiligo dengan 35 kontrol sehat. Pada studi ini ditemukan perbedaan signifikan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo (15,39 ± 7,2 µmol/l) dan kontrol (11,88 ± 4,81µmol/L), dan dijumpai adanya hubungan antara kadar homosistein serum dengan durasi penyakit (r=0,416; p=0,003), skor VASI (r=0,567; p=0,000) dan tipe vitiligo. Namun penelitian ini tidak menemukan adanya hubungan antara kadar homosistein dengan usia (r=0,020; p=0,893). 13 Hasil ini merupakan hal yang logis karena metabolism homosistein bergantung pada asam folat dan vitamin B12, dimana keduanya rendah pada pasien vitiligo. Kenaikan kadar homosistein dijumpai baik pada penyakit yang aktif maupun stabil namun tidak pada pasien yang regresif, yang menunjukan kemungkinan hubungan dengan vitiligo, setelah seluruh faktor yang mungkin memepengaruhi telah dieksklusikan ,25

17 23 Beberapa teori mungkin dapat menjelaskan kemungkinan pengaruh peningkatan homosistein terhadap melanosit pada pasien vitiligo. Peningkatan kadar homosistein menyebabkan produksi ROS yang terbentuk akibat oksidasi homosistein bersamaan dengan abnormalitas biokimia lainnya pada vitiligo seperti metabolisme biopterin. Hal ini mengakibatkan terjadinya stres oksidatif pada melanosit, akumulasi bahan melanositotoksik dan inhibisi proses detoksifikasi alamiah yang akhirnya berkontribusi dalam menghancurkan melanosit pada kulit vitiligo. Fakta bahwa asam folat memiliki efek antioksidan pada vitiligo mendukung hipotesis ini ,25 Homosistein juga dapat menghambat enzim histidase dan tirosinase kulit. Inhibisi ini terjadi kemungkinan melalui interaksi dengan tembaga pada lokasi aktif enzim. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang mungkin bahwa peningkatan homosistein lokal dapat mengganggu melanogenesis normal dan memiliki peranan dalam patogenesis vitiligo. 12,21,23,24,60 Terdapat kemungkinan hubungan antara gen yang meregulasi metabolisme homosistein plasma dengan kerentanan terjadinya vitiligo. Salah satu gen yang diduga berhubungan adalah gen CAT. Mutasi pada gen ini dapat menyebabkan aktivitas katalase yang rendah yang dapat terdeteksi pada pasien vitiligo. 39 Gen lainnya yang disebut berperan adalah gen MTHFR yaitu gen untuk enzim yang berperan dalam siklus remetilasi homosistein untuk menjadi metionin. Adanya polimorfisme pada gen ini menyebabkan kegagalan sintesis metionin yang mengakibatkan peningkatan kadar homosistein dalam darah. Penelitian lebih lanjut mengenai pola mutasi gen masih perlu dilakukan. 21,23

18 24 Efek yang berbahaya dari hiperhomosisteinemia juga mungkin dikarenakan akibat reaksi homosistein dengan protein membentuk disulfide. Hal ini mungkin karena konversi homosistein menjadi tiolakton yang sangat reaktif yang dapat bereaksi dengan protein membentuk suatu tambahan gugus nitro hydroxyl carbon monoxide, yang mempengaruhi protein dan enzim tubuh. 21 Homosistein dikatakan memperantarai destruksi melanosit melalui produksi IL-6 yang dapat meningkatkan ekspresi intercellular adhesion molecule-1 yang merangsang melekatnya melanosit ke leukosit, menginduksi aktivasi sel- B poliklonal, meningkatkan produksi autoantibodi. 61 Selain itu homosistein dapat merangsang aktivitas NF-KB yang diteliti dapat memodulasi ekspresi pro- appoptosis p53 pada lesi vitiligo. 62 Hal ini dapat menyebabkan kerusakan melanosit pada vitiligo. 61,62

19 Kerangka Teori Polimorfisme genetik - Gen MTHFR kromosom 1p Gen CAT kromosom 11p13 HOMOSISTEIN Usia, jenis kelamin,kadar vitamin dalam darah, gaya hidup, obat-obatan, penyakit-penyakit hiperproliferasi, gagal ginjal, gagal jantung, diabetes mellitus. Aktivasi NF-ĸB pro apoptosis p53 Produksi IL-6 Merangsang melekatnya melanosit ke leukosit, menginduksi aktivitas sel B poliklonal, produksi autoantibodi Stres oksidatif oksidasi Produksi ROS Akumulasi bahan melanositotoksik Inhibisi detoksifikasi alamiah Interaksi dengan tembaga pada lokasi aktif enzim tirosinase Inhibisi tirosinase Konversi menjadi tiolakton Bereaksi dengan protein Membentuk disulfide Destruksi melanosit Destruksi melanosit Mempengaruhi protein dan enzim tirosinase Hipotesis genetik Hipotesis autoimun Hipotesis biokimia Gambaran klinis: makula depigmentasi berbatas tegas Tipe klinis: segmental, nonsegmental VITILIGO Skor vitiligo: VASI, VETF, VETI, PRI, VIDA Gambar 2.2 Kerangka teori Epidemiologi Usia dewasa muda Pria=wanita Riwayat keluarga lini pertama

20 Kerangka Konsep Kelompok Vitiligo Kadar homosistein serum Vitiligo Area Scoring Index Jenis kelamin Usia Riwayat keluarga Lama mengalami Kelompok kontrol 2.6. Hipotesis Penelitian Hipotesis mayor Gambar 2.4. Kerangka konsep Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor Vitiligo Area Scoring Index Hipotesis minor 1. Terdapat perbedaan antara kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan kontrol sehat. 2. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin pada pasien vitiligo. 3. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan usia pada pasien vitiligo. 4. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan riwayat keluarga pada pasien vitiligo.

21 27 5. Terdapat hubungan antara kadar homosistein serum dengan lama mengalami vitiligo.

BAB II. Vitiligo pertama kali dikenal sejak lebih dari 3000 tahun yang lalu dari tulisantulisan

BAB II. Vitiligo pertama kali dikenal sejak lebih dari 3000 tahun yang lalu dari tulisantulisan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vitiligo 2.1.1. Sejarah dan definisi Vitiligo pertama kali dikenal sejak lebih dari 3000 tahun yang lalu dari tulisantulisan Mesir dan Vedic. Zaman dahulu kala kelainan vitiligo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit yang didapat, ditandai dengan adanya makula hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan

BAB I PENDAHULUAN. Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan secara kosmetik tapi juga dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan diri seseorang. Vitiligo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gangguan baik fisik maupun psikis. Salah satu bercak putih pada kulit adalah vitiligo,

BAB I PENDAHULUAN. gangguan baik fisik maupun psikis. Salah satu bercak putih pada kulit adalah vitiligo, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Munculnya bercak berwarna putih pada kulit seseorang sering menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis. Salah satu bercak putih pada kulit adalah vitiligo, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Vitiligo merupakan suatu gangguan pigmentasi, ditandai dengan adanya depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya fungsi melanosit epidermis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melasma merupakan kelainan yang ditandai lesi makula hiperpigmentasi pada kulit yang sering terpapar sinar matahari seperti wajah, leher, atau lengan. Melasma masih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Autisme adalah gangguan perkembangan yang biasanya didiagnosis awal pada masa kanak-kanak, yang mengakibatkan kelainan signifikan dan gangguan pada interaksi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan wrinkle/kerutan kulit, kulit yang kasar, kulit kering,

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan wrinkle/kerutan kulit, kulit yang kasar, kulit kering, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan dini (PD) adalah proses degeneratif yang melibatkan kulit dan sistem penyokong kulit, 1 berupa perubahan stuktural dan elastilitas kulit yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keguguran berulang adalah suatu kondisi yang berbeda dengan infertilitas yang didefinisikan sebagai dua atau lebih kegagalan kehamilan (ASRM, 2008). Dari semua kehamilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. contohnya wajah dan leher (Wolff et al., 2008). Lesi melasma ditandai oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. contohnya wajah dan leher (Wolff et al., 2008). Lesi melasma ditandai oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Melasma adalah kelainan pigmentasi didapat dengan gambaran klinis berupa makula cokelat muda hingga cokelat tua pada daerah terpajan matahari, contohnya wajah dan leher

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa

BAB I PENDAHULUAN. Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Melasma (juga dikenal sebagai chloasma atau topeng kehamilan) berasal dari bahasa Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan proliferasi berlebihan di epidermis. Normalnya seseorang mengalami pergantian kulit setiap 3-4

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema batas tegas ditutupi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. berlebihnya asupan nutrisi dibandingkan dengan kebutuhan tubuh sehingga BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah kondisi berlebihnya berat badan akibat banyaknya lemak pada tubuh, yang umumnya ditimbun dalam jaringan subkutan (bawah kulit), di sekitar organ tubuh,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berwarna coklat muda sampai coklat tua, dan mengenai daerah yang sering terpajan

BAB I PENDAHULUAN. berwarna coklat muda sampai coklat tua, dan mengenai daerah yang sering terpajan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Melasma adalah hipermelanosis didapat, berupa bercak yang tidak teratur, berwarna coklat muda sampai coklat tua, dan mengenai daerah yang sering terpajan sinar ultraviolet.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan, manusia amat tergantung kepada alam sekeliling. Yang paling mendasar manusia memerlukan oksigen, air serta sumber bahan makanan yang disediakan alam.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang diperantarai oleh sistem imun dan disebabkan oleh kombinasi dari predisposisi poligenik serta pemicu dari lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik residif yang ditandai dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran lesi yang khas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang hingga saat ini masih menimbulkan permasalahan yang bersifat kompleks baik bagi penderita maupun masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis dengan karakteristik proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama digunakan di dunia. Parasetamol merupakan obat yang efektif, sederhana dan dianggap paling aman sebagai

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung.

BAB V PEMBAHASAN. STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. BAB V PEMBAHASAN STZ merupakan bahan toksik yang dapat merusak sel ß pankreas secara langsung. Mekanisme diabetogenik STZ adalah alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitroourea yang mengakibatkan kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamatory bowel disease (IBD) mewakili suatu kondisi inflamasi kronik usus yang idiopatik. IBD terdiri atas dua jenis penyakit, yaitu Crohn's disease (CD)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum usia 20 minggu kehamilan atau berat janin kurang dari 500 gram (Cunningham et al., 2005). Abortus adalah komplikasi umum

Lebih terperinci

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan

yang tidak sehat, gangguan mental emosional (stres), serta perilaku yang berkaitan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global, kematian akibat Penyakit Tidak Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asam urat telah diidentifikasi lebih dari dua abad yang lalu akan tetapi beberapa aspek patofisiologi dari hiperurisemia tetap belum dipahami dengan baik. Asam urat

Lebih terperinci

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016

SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 SUHARTO WIJANARKO PERTEMUAN ILMIAH TAHUNAN (PIT) KE-21 TAHUN 2016 PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS BEDAH INDONESIA (IKABI) MEDAN, 12 AGUSTUS 2016 BSK sudah lama diketahui diderita manusia terbukti ditemukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes tipe 2 merupakan kelainan heterogen yang ditandai dengan menurunnya kerja insulin secara progresif (resistensi insulin), yang diikuti dengan ketidakmampuan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga 54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas

BAB I PENDAHULUAN. imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada permukaan bola mata. MK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Kadar glukosa darah pada penelitian ini, terjadi peningkatan pada masingmasing

BAB V PEMBAHASAN. Kadar glukosa darah pada penelitian ini, terjadi peningkatan pada masingmasing BAB V PEMBAHASAN Kadar glukosa darah pada penelitian ini, terjadi peningkatan pada masingmasing kelompok dapat dilihat pada tabel 11. Peningkatan kadar glukosa darah ini dikarenakan pemberian STZ yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemfigus merupakan kelompok penyakit bula autoimun yang menyerang kulit, membran mukosa maupun keduanya, secara histologi ditandai dengan terjadinya bula intraepidermal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan sinar. pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu. 2

BAB I PENDAHULUAN. muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan sinar. pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu. 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Melasma adalah hipermelanosis yang didapat yang umumnya simetris berupa makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat tua mengenai area yang terpajan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit. yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit. yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit yang selalu menjadi masalah bagi remaja dan dewasa muda (Purdy dan DeBerker, 2007). Prevalensi yang mencapai 90 %

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi yang semakin maju, terjadi pergeseran dan perubahan yang sangat signifikan, banyak sekali aktivitas lingkungan yang menghasilkan radikal bebas sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu proses proliferasi sel di dalam tubuh yang tidak terkendali. Di perkirakan setiap tahun 12 juta orang di seluruh dunia menderita kanker dan 7,6

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kista. Tempat predileksinya antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung.

BAB 1 PENDAHULUAN. kista. Tempat predileksinya antara lain pada daerah wajah, dada bagian atas, dan punggung. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit kulit akibat peradangan menahun dari unit pilosebasea yang ditandai dengan gambaran lesi yang bervariasi, seperti komedo, papul,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia suatu Negara. World Health Organization ( WHO )

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia suatu Negara. World Health Organization ( WHO ) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Angka kematian ibu ( AKI ) merupakan salah satu indikator yang menggambarkan indeks pembangunan manusia suatu Negara. World Health Organization ( WHO )

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi kronis berupa makroangiopati dan mikroangiopati yang paling sering kita jumpai diakibatkan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 1) DM tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) Adanya kerusakan sel β pancreas akibat autoimun yang umumnya BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah suatu kelompok berbagai macam kelainan yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah. 14 Gejala khasnya adalah poliuri, polifagi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan perhatian khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), terutama di negara-negara

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa, penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013 yang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa, penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2013) menunjukkan bahwa, penderita diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2013 yang terdiagnosis dokter mencapai 1,5%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nefrolitiasis adalah sebuah material solid yang terbentuk di ginjal ketika zat atau substasi normal di urin menjadi sangat tinggi konsentrasinya. 1 Penyakit ini bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit sehat merupakan idaman semua orang terutama bagi kaum perempuan oleh karena itu mayoritas masyarakat menggunakan produk kosmetik pemutih yang beredar di pasaran.

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut,

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, lxxiii BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, setelah dialokasikan secara acak 50 penderita masuk kedalam kelompok perlakuan dan 50 penderita lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak

I. PENDAHULUAN. Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Roundup adalah herbisida yang menggunakan bahan aktif glifosat yang banyak digunakan di dunia. Glifosat (N-phosphonomethyl-glycine) digunakan untuk mengontrol gulma

Lebih terperinci

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway).

Sintesis purin melibatkan dua jalur, yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway). I. Memahami dan menjelaskan gout arthritis 1.1.Memahami dan menjelaskan definisi gout arthritis Arthritis gout adalah suatu proses inflamasi yang terjadi karena deposisi Kristal asam urat pada jaringan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2).

BAB VI PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS. absolut (DM tipe 1) atau secara relatif (DM tipe 2). 53 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun salam terhadap kadar GDS Diabetes melitus (DM) merupakan gangguan metabolik kronik, progresif dengan hiperglikemia sebagai tanda utama karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang

BAB I PENDAHULUAN. kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar % dari semua. prevalensi masih bervariasi dari yang terendah 2-3% sampai yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Abortus merupakan kejadian yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Umumnya prevalensi abortus sekitar 10-15 % dari semua tanda klinis kehamilan yang dikenali,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus uremia (PU) masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Telah diketahui bahwa ketinggian menimbulkan stress pada berbagai sistem organ manusia. Tekanan atmosfer menurun pada ketinggian, sehingga terjadi penurunan tekanan

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan BAB 6 PEMBAHASAN 6.1. Karakteristik subyek penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata usia sampel penelitian 47,2 tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang hubungan antara kadar asam urat serum terhadap kejadian acute coronary syndrome (ACS) telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi

BAB I PENDAHULUAN. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anti nyamuk merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita. Umumnya anti nyamuk digunakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi gigitan nyamuk. Jenis formula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah banyak akan menimbulkan stres oksidatif yang dapat merusak sel yang pada

BAB I PENDAHULUAN. jumlah banyak akan menimbulkan stres oksidatif yang dapat merusak sel yang pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu penyebab penuaan dini adalah merokok. Dimana asap rokok mengandung komponen yang menyebabkan radikal bebas. Radikal bebas dalam jumlah banyak akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mayarakat secara umum harus lebih memberi perhatian dalam pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik karbohidrat, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik karbohidrat, yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik karbohidrat, yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat berkurangnya sekresi insulin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ulkus lambung merupakan masalah pencernaan yang sering ditemukan di masyarakat. Kejadian ulkus lambung berkisar antara 5% - 10% dari total populasi penduduk dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan RI, rerata prevalensi diabetes di Indonesia meningkat dari 1,1 pada tahun

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status kesehatan masyarakat ditunjukkan oleh angka kesakitan, angka kematian, membaiknya status gizi, dan Usia Harapan Hidup. (1) Penyakit degeneratif adalah salah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut

BAB 1 PENDAHULUAN. tetap terjadi perubahan dalam morfologi, biokimia, dan metabolik yang disebut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Packed red cell (PRC) adalah produk darah paling penting yang dapat disimpan sekitar 35-42 hari di bank darah dan merupakan terapi terbanyak yang diberikan di dunia.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng Minyak goreng merupakan salah satu bahan yang termasuk dalam lemak, baik yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun dari

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah World health organization ( WHO ) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes mellitus ( DM) akan meningkat di seluruh dunia pada millenium ketiga ini, termasuk

Lebih terperinci

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI

BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI BAB 2 DEFINISI, ETIOLOGI Hipoposphatasia merupakan penyakit herediter yang pertama kali ditemukan oleh Rathbun pada tahun 1948. 1,2,3 Penyakit ini dikarakteristikkan oleh gen autosomal resesif pada bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua

BAB I PENDAHULUAN. bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketuban Pecah Dini (KPD) masih merupakan masalah penting dalam bidang obstetri, karena merupakan penyulit 2% sampai 20% dari semua kelahiran dan mengakibatkan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker kolorektal adalah kanker ketiga tersering di dunia dan merupakan penyebab kematian akibat kanker kedua di Amerika Serikat, setelah kanker paru-paru. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam masyarakat latihan fisik dipahami sebagai olahraga. Olahraga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta berdampak pada kinerja fisik. Olahraga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti virus dan bakteri sangat perlu mendapat perhatian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Zat besi Besi (Fe) adalah salah satu mineral zat gizi mikro esensial dalam kehidupan manusia. Tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa, bersifat kronis residif dengan lesi yang khas berupa plak eritema berbatas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health

BAB 1 PENDAHULUAN. kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyebab kematian ketiga di dunia setelah penyakit kardiovaskular dan infeksi (Hauptman, et.al., 2013). Berdasarkan Global Health Estimates, WHO 2013

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.I Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis ditandai dengan adanya hiperkeratosis dan penebalan lapisan epidermis yang diikuti dengan peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi sel radang

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun. Salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif yang termasuk dalam sepuluh besar penyakit di Indonesia. Perkiraan terakhir menunjukkan ada 171 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati berupa hambatan aliran udara yang progresif, ditandai dengan inflamasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun lalu. Sekitar satu milyar penduduk dunia merupakan perokok aktif dan hampir 80% dari total tersebut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vitiligo 2.1.1 Definisi Kata vitiligo berasal dari bahasa latin, vitellus, yang memiliki arti 'veal' (pucat, merah jambu). Penyakit ini adalah penyakit yang depigmentasi terbatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fruktosa merupakan gula yang umumnya terdapat dalam sayur dan buah sehingga sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa fruktosa sepenuhnya aman untuk dikonsumsi.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. penambah rasa makanan dengan L-Glutamic Acid sebagai komponen asam

1. PENDAHULUAN. penambah rasa makanan dengan L-Glutamic Acid sebagai komponen asam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Monosodium Glutamat (MSG) sudah lama digunakan diseluruh dunia sebagai penambah rasa makanan dengan L-Glutamic Acid sebagai komponen asam amino (Geha et al., 2000), dikarenakan

Lebih terperinci