POLA ALIRAN SUNGAI DAN KONDISI AIRTANAH DI DAERAH WADO DAN SEKITARNYA: UNTUK PERENCANAAN KAWASAN RELOKASI BARU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POLA ALIRAN SUNGAI DAN KONDISI AIRTANAH DI DAERAH WADO DAN SEKITARNYA: UNTUK PERENCANAAN KAWASAN RELOKASI BARU"

Transkripsi

1 POLA ALIRAN SUNGAI DAN KONDISI AIRTANAH DI DAERAH WADO DAN SEKITARNYA: UNTUK PERENCANAAN KAWASAN RELOKASI BARU RIVER DRAINAGE PATTERN AND GROUNDWATER CONDITION IN WADO AND SURROUNDING AREA: IMPLICATION FOR NEW RELOCATION AREA PLANNING Nandian Mareta 1 1 Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karang Sambung http// nandianthea@gmail.com, nand015@lipi.go.id ABSTRAK Pola aliran sungai adalah kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap mengalir. Biasanya pola pengaliran yang demikian disebut sebagai pola pengaliran permanen (tetap). Dari pola pengaliran sungai bisa diketahui karakter geologi daerah tersebut terutama jika adanya struktur geologi yang berkembang seperti lipatan ataupun sesar. Setiap daerah mempunyai pola aliran yang khas dan berbeda dengan daerah lainnya. Daerah Wado, Kabupaten Sumedang merupakan daerah yang sebagian wilayahnya akan terendam oleh Bendungan Jatigede. Perlu diketahui ketersediaan air tanah yang ada di daerah tersebut karena akan dijadikan sebagai kawasan hunian baru saat masyarakat yang tanahnya terendam genangan waduk Jatigede berpindah. Berdasarkan penelitian dengan metoda pemetaan maka pola aliran yang berkembang di daerah Wado ada lima yaitu dendrito-paralel, dendritik, anastomotik, radial dan dendrito-rektangular. Dendrito-paralel menempati luas paling besar sedangkan dendrito-rektangular menempati luas paling kecil. Sedangkan berdasarkan inventaris data sekunder meliputi kondisi airtanah yang ada di daerah penelitian, maka terdapat lima kondisi yaitu; akuifer produktif sedang dengan penyebaran luas, akuifer produktif sedang setempat, akuifer produktif setempat, akuifer produktif kecil setempat berarti dan daerah airtanah langka/tidak berarti. Kata kunci: Pola aliran sungai, kondisi airtanah, Wado, akuifer ABSTRACT The drainage pattern of the river is a collection of a drainage network in an area that is affected or not affected by rainfall, drainage grooves keep flowing. The drainage pattern usually referred as the drainage pattern of permanent (fixed). From the pattern of stream flow can be see to and geological character of the area, (particularly if the developing geological structures such as faults or folds). Each area has a drainage pattern that is unique and different from other regions. Wado area, Sumedang District is an area that most of the area to be submerged by the dam Jatigede. Need to know how availability of groundwater in the area because it will serve as a new residential area as people whose land is submerged dam of Jatigede moved. Based on research by the method of mapping the flow pattern that developed in the area Wado, there had five pattern that; dendrite-parallel, dendritic, anastomotic, radial and dendrite-rectangular. Dendrite-parallel keep most large broad, dendrite-rectangular occupies a total area whereas the least. While based on an inventory of secondary data include groundwater conditions in the study area, then there are five conditions that; moderately productive aquifer widespread distribution, being productive local aquifers, local productive aquifers, aquifer productive means of small local and regional groundwater scarce / insignificant. Keywords: drainage pattern of river, groundwater conditions, Wado, aquifers Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 101

2 PENDAHULUAN Daerah Wado, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat merupakan daerah yang cukup terkenal terutama setelah dicanangkannya pembangunan Waduk Jatigede yang merupakan waduk terbesar kedua di Jawa Barat setelah Waduk Jatiluhur. Luas lahan yang akan digenangi Waduk Jatigede sekitar 4983 hektare dengan biaya yang akan dikeluarkan sebesar Rp. 1,15 triliun. Kemampuan menghasilkan daya listrik menurut PLN ada pada kisaran 110 megawat dengan kemampuan mengairi sawah irigisi dihilirnya sebesar hektare. Merupakan mega proyek yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan belum ada kejelasan tentang kelanjutan jadi tidaknya. ( diakses 28 Mei 2015). Bendungan Jatigede diperkirakan akan menenggelamkan 28 desa di lima Kecamatan, yaitu Kecamatan Jatigede, Jatinunggal, Darmaraja, Cisitu dan Wado, dimana penduduk yang mendiami desa-desa tersebut akan di relokasi ke tempat-tempat lain di luar daerah genangan. Relokasi penduduk yang besar-besaran ini memerlukan lahan baru yang perlu dikaji terutama ketersediaan sumber daya airnya. Sumber daya air suatu daerah terdiri dari air permukaan dan air bawah permukaan (air tanah). Air permukaan terdapat di sungai-sungai, situ, danau, bendungan atau tempat-tempat terbuka lainnya yang diisi oleh air. Sumber utama dari air permukaan adalah air hujan yang turun di tempat tersebut. Air tanah adalah air yang terdapat dibawah permukaan pada zona jenuh air, dengan tekanan hidrostatis sama atau lebih besar dibandingkan tekanan udara. Sebaran air tanah di suatu daerah tidak sama. Ada daerah yang mempunyai potensi air tanah tinggi dan ada daerah yang mempunya potensi air tanah rendah. Potensi keberadaan air tanah sangat bergantung pada berbagai hal diantaranya curah hujan, jumlah vegetasi, kemiringan lereng dan litologinya. Secara umum air tanah akan mengalir melalui rekahan (celah) dan atau melalui butiran antar butir. Lapisan yang mudah membawa atau menghantarkan air disebut akuifer atau lapisan pembawa air. Akuifer yang baik biasanya adalah lapisan pasir atau lapisan kerikil-kerakal atau di daerah tertentu berupa batugamping. Airtanah akan bergerak dari tekanan yang tinggi menuju ke tekanan yang rendah. Perbedaan ini secara umum diakibatkan perbedaan gravitasi (perbedaan ketinggian antara daerah pegunungan dengan permukaan laut), adanya lapisan penutup yang bersifat impermeable, gaya lainnya yang diakibatkan oleh pola struktur batuan atau fenomena lainnya yang ada dibawah permukaan tanah. Secara umum pergerakan ini disebut gradient aliran airtanah (potentiometrik). Pola gradien aliran airtanah ini bisa ditentukan dengan menarik kesamaan muka air tanah yang berada dalam satu sistem aliran air tanah yang sama. Lapisan permeable adalah lapisan tanah yang didalamnya memungkinan bagi air bergerak leluasa baik itu bergerak secara vertikal dari atas ke bawah pada saat meresap atau bergerak secara horizontal. Klasifikasi yang berlainan dimungkinkan menurut pemberian air tanah ke dasar sungai, yaitu sungai efluen, sungai yang menerima air dari airtanah dan sungai influen, sungai yang mengeluarkan air ke air tanah. (Seyhan, E, 1977). Air sendiri merupakan salah satu sumber kebutuhan untuk hidup bagi manusia. Manusia akan mempertimbangkan tempat tinggalnya berdasarkan dari ketersediaan air ini. Jika ketersediaan sumber daya airnya langka atau kurang, maka akan mempengaruhi keterpilihan tempat tersebut untuk dihuni oleh manusia. Salah satu fungsi dari dibangunnya Bendungan Jatigede sendiri adalah untuk menampung air permukaan yang berasal dari Sungai Cimanuk, yang berhulu di Kabupaten Garut dan bermuara di Kabupaten Indramayu dengan panjang sungai sekitar 337,67 km melewati Garut, Sumedang, Majalengka, dan Indramayu (Balai Data dan Informasi SDA, PSDA, Jawa Barat, 2005). Bendungan Jatigede dirancang untuk mempunyai empat fungsi, yakni sumber air irigasi yang mengairi ribuan hektar sawah dihilirnya, pemasok air baku dengan debit liter/detik, pembangkit listrik berkapasitas 110 Mw, serta pengendalian daerah banjir seluas 14 ribu hektare. LOKASI PENELITIAN Daerah Wado yang merupakan daerah penelitian kegiatan ini terletak pada koordinat 108º º07 30 Bujur Timur dan 6º º57 30 Lintang Selatan, termasuk lembar peta topografi seri AMS No III, skala 1:50.000, dengan luas daerah penelitian 100 km 2. Secara administratif termasuk kedalam Kecamatan Wado, Jatinunggal dan Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. II Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015

3 Gambar 1. Peta lokasi daerah Penelitian Wado dan sekitarnya (Sumber: google.map. Wado. Sumedang. Jawa Barat, diakses pada 28 Mei 2015) Gambar 2. Fisiografi Regional Jawa Bagian Barat menurut Van Bemmelen, 1949 Fisiografi Daerah Wado dan sekitarnya termasuk kedalam Zona Bogor, yaitu suatu daerah antiklinorium yang rumit dan cembung kearah Utara yang memanjang dari Rangkasbitung di Barat sampai ke Majenang (Bumiayu) di Timur (Van Bemmelen, 1949). Zona ini ditempati oleh pegunungan dan perbukitan dengan lebar kurang lebih 40 km. Endapannya terdiri oleh akumulasi endapan Neogen yang tebal dengan dicirikan oleh endapan laut dalam. Umumnya terdiri dari batulempung dan breksi yang merupakan endapan turbidit, disertai intrusi hipabisal. TUJUAN PENELITIAN Penelitian pola aliran sungai dan kondisi air tanah di daerah Wado dan sekitarnya ini bertujuan untuk mengetahui pola aliran sungai yang berkembang sehingga diketahui potensi air permukaan di daerah tersebut. Sedangkan potensi air bawah permukaan (air tanah) didapatkan dari data sekunder berupa Peta Hidrogeologi Kabupaten Sumedang. Dengan diketahuinya potensi sumber daya air (permukaan dan air tanah) diharapkan menjadi acuan bagi penduduk sekitar yang akan direlokasi pemukimannya disebabkan oleh pembangunan Waduk Jatigede. Lokasi Waduk Jatigede sendiri berada di sebelah Utara daerah penelitian ini. Bahkan sebagian dari daerah penelitian ini termasuk wilayah genangan air waduk tersebut. Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 103

4 Gambar 3. Peta Topografi Daerah Wado dan sekitarnya METODE Metode dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan yaitu pendekatan lapangan dan studi literatur. Pendekatan lapangan dengan melakukan pemetaan geologi lingkungan daerah Wado dan sekitarnya meliputi kondisi geologi secara umum antara lain: kondisi litologi, struktur geologi, dan morfologi. Sedangkan studi literatur meliputi kondisi air tanah diambil dari data sekunder terutama dari Peta Hidrogeologi Kabupaten Sumedang, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, ESDM. Pemetaan Geologi Lingkungan yang penulis lakukan merupakan bagian dari tugas akhir (skripsi) tahun Peralatan yang digunakan berupa kompas geologi, palu geologi, lup, rollmeter, kamera dan HCL 0,1N. Semua data diolah menggunakan software Map Info 12.5 untuk digitasi berbagai peta tematik. Menurut Howard, 1967 dalam van Zuidam (1983), pola pengaliran adalah kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap mengalir. Pola pengairan yang demikian disebut sebagai pola pengaliran permanen (tetap). Pola-pola tersebut dapat dipisahkan dari pola-pola lainnya sebagai pola dasar. Sedangkan pola modifikasi merupakan perubahan atas pola dasar sebagai kekhasan setempat. Gambar 4. Bagan alir penelitian II Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015

5 Bentuk-bentuk pola dasar adalah: Dendritik, Paralel, Trelis, Rektangular, Radial, Multibasinal dan Kontorted. Sedangkan pola modifikasi antara lain adalah : Subdendritik, Pinnate, Anastomotik, Dikhotomik, Angulate, Kolinier dan lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Sungai utama yang mengalir di daerah Wado dan sekitarnya yaitu Sungai Cimanuk yang mengalir relatif dari Selatan kearah Utara. Di Utara, sekitar daerah Jatigede, sungai ini dibendung menjadi sebuah waduk yang bernama Waduk Jatigede. Sungai-sungai besar lainnya yaitu di sebelah Barat Atas mengalir Sungai Citembang yang alirannya relatif Barat-Timur dan bermuara di Sungai Cimanuk. Di sebelah Barat Tengah mengalir Sungai Cijarang yang bermuara ke Sungai Cihonje yang alirannya relatif Barat-Timur dan bermuara lagi ke Sungai Cimanuk. Di Barat Bawah, mengalir Sungai Cikuya yang bermuara ke Sungai Cimuja yang alirannya relatif Barat-Timur dan bermuara di Sungai Cimanuk. Paling Barat Bawah mengalir Sungai Cijuti yang alirannya relatif Barat-Timur dan bermuara di Sungai Cimanuk dan terakhir Sungai Cipamoyanan yang alirannya relatif Barat- Timur dan bermuara di sebelah Selatan Sungai Cimanuk di luar daerah penelitian. Sungai-sungai besar yang berada di sebelah Timur, alirannya lebih kompleks yaitu ada yang mengalir Timur- Barat dan ada yang mengalir Selatan-Utara. Sungai-sungai itu adalah: Sungai Cinagari yang alirannya Selatan- Utara dan bermuara di Sungai Cinambo hampir tegak lurus. Sungai Cinambo alirannya relatif Timur-Barat dan bermuara di Sungai Cimanuk sebelah Utara (hilir) di luar daerah penelitian. Di bagian Timur Tengah, Sungai Cicacaban mengalir Timur-Utara dan bermuara di Sungai Cimanuk. Di bagian Timur Bawah, Sungai Cigelong mengalir dari Selatan-Utara dan bermuara hampir tegak lurus terhadap aliran Sungai Cialing yang mengalir Timur-Barat dan bermuara di Sungai Cimanuk. Di Timur paling bawah, Sungai Cikara mengalir Timur-Barat dan bermuara ke Sungai Cigelong hampir tegak lurus yang mana aliran Sungai Cigelong, Selatan-Utara. Sungaisungai lain merupakan anak-anak sungai dari sungai-sungai besar tersebut dan tipe sungainya umumnya sungai intermitten, yaitu sungai yang hanya berair pada musim hujan saja. Dalam mengelompokkan pola pengaliran sungai di daerah penelitian, penulis memakai acuan pembagian pola pengaliran sungai menurut Howard, 1967 dalam van Zuidam (1983). Dengan mengamati sifat fisik batuan, keadaan tofografi, struktur geologi yang berkembang dan disesuaikan dengan pembagian pola pengaliran, maka penulis membagi pola pengaliran di daerah penelitian menjadi: A. Pola pengaliran Anastomotik. B. Pola pengaliran Radial. C. Pola pengaliran Dendritik. D. Pola pengaliran Dendrito-Paralel. E. Pola pengaliran Dendrito-Rektangular. Pola pengaliran anastomotik, pola pengaliran ini terbentuk di daerah penelitian yang memiliki keadaan tofografi landai dengan sifat fisik batuan yang homogen. Pola aliran anastomotik ini merupakan pola aliran modifikasi. Litologi yang ada pada pola pengaliran ini adalah alluvium. Sungai yang membentuk pola ini adalah sungai dewasa yang dicirikan oleh endapan-endapan bar serta aluvial yang luas. Bentuk sungai berkelok (meandering) dan sungai tersebut mengalir sepanjang tahun. Erosi secara lateral yang berlangsung karena kemiringan lereng yang landai menyebabkan terbentuknya lembah sungai berbentuk U, menandakan erosi sungai pada stadium dewasa sampai tua. Sungai yang membentuk pola pengaliran anastomotik ini adalah Sungai Cimanuk. Dari segi stabilitas aliran airnya, Sungai Cimanuk ini termasuk kedalam sungai periodik, yaitu sungai yang mengalir sepanjang tahun tapi pada musim kemarau debit airnya mengecil. Luas penyebarannya 15% dari keseluruhan luas peta. Pola pengaliran radial, pola pengaliran sungai ini umumnya terbentuk pada daerah perbukitan baik vulkanik maupun sedimen dengan bentuk pola pengaliran sungai yang menyebar dari satu pusat. Litologi yang ada pada pola pengaliran ini adalah batupasir dan breksi vulkanik. Pola pengaliran sungai ini terdapat di sebelah Timurlaut, Timur dan Tengah daerah penelitian. Sungai-sungai yang membentuk pola pengaliran ini adalah anak-anak Sungai Cinagari, anak-anak Sungai Cicacaban dan anak-anak Sungai Cialing. Lembah sungai berbentuk V dan di beberapa tempat berbentuk hampir U. Hal ini menunjukkan bahwa erosi vertikal lebih besar dari erosi lateralnya. Sistem penyebarannya sentrifugal yaitu arah penyebarannya keluar dari pusat dengan puncak-puncak bukitnya yang berbentuk kerucut. Luas penyebarannya 15% dari keseluruhan luas peta. Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 105

6 Di sebelah Barat daerah penelitian ditemukan pola pengaliran sungai yang bercabang-cabang seperti daun. Pola aliran ini menunjukan bahwa kekerasan batuan yang ada di daerah itu relatif sama. Litologi yang ada pada pola aliran ini adalah breksi vulkanik. Tidak ditemukan adanya struktur geologi. Penulis mengklasifikasikan pola aliran ini dengan nama pola pengaliran dendritik. Sungai-sungai yang membentuk pola pengaliran ini yaitu; Sungai Cijuti, Sungai Cipamoyanan, Sungai Cikuya dan Sungai Cimuja dengan anak-anak sungainya. Morfologi yang ditempati pola pengaliran ini yaitu perbukitan agak curam dan curam dengan memiliki lembah berbentuk V di bagian hulunya. Luas penyebarannya 20% dari keseluruhan luas peta. Pola pengaliran Dendrito-Paralel adalah pola pengaliran sungai yang dominan di daerah penelitian. Keberadaannya ada di sebelah Barat maupun Timur. Dendrito-Paralel adalah pola pengaliran modifikasi yang penulis namakan untuk sebuah pola pengaliran yang masih memperlihatkan percabangan yang cukup banyak (Dendrito) yang umumnya dibentuk oleh anak-anak sungainya dengan induk sungainya yang cenderung berbentuk sejajar. Litologi yang ada pada pola pengaliran ini adalah batulempung, batupasir dan breksi vulkanik. Pola pengaliran ini berkembang dari morfologi perbukitan landai sampai curam dengan bentuk lembah V sampai hampir U. Hal ini menunjukan bahwa erosi vertikal lebih dominan dari erosi lateral, sehingga sungainya masih dalam tahap muda. Karena adanya paralel dalam pola pengaliran sungai ini, maka kemungkinan besar dipengaruhi oleh struktur geologi baik perlipatan maupun sesar. Sungai-sungai yang membentuk pola pengaliran Dendrito-Paralel ini yaitu; Sungai Cihonje dengan anak-anak sungainya, Sungai Citembang dengan anak-anak sungainya, Sungai Cikuya dengan anak-anak sungainya yang terdapat di sebelah Barat dan Sungai Cialing dengan anak-anak sungainya, Sungai Cigelong dengan anak-anak sungainya, Sungai Cibobo dengan anak-anak sungainya, Sungai Cijeruk dengan anak-anak sungainya dan Sungai Cicacaban dengan anak-anak sungainya yang terdapat di bagian Tengah, lalu di sebelah Timur, Sungai Cinambo dengan anak-anak sungainya dan Sungai Cinagari dengan anak-anak sungainya. Luas penyebarannya 40% dari keseluruhan luas peta. Dendrito-Rektangular juga merupakan pola pengaliran sungai modifikasi yang penulis namakan untuk sebuah pola pengaliran yang masih memperlihatkan percabangan yang banyak (dibentuk oleh anak-anak sungainya) dengan induk sungainya yang memperlihatkan arah lengkungan menganan dan sejajar dengan arah perlapisan batuan. Litologi yang ada pada pola pengaliran ini adalah batulempung dan breksi vulkanik. Pola aliran Rektangular menunjukan adanya struktur geologi yang berkembang seperti lipatan atau sesar. Pola pengaliran ini terdapat di sebelah Tenggara daerah penelitian dengan sungai-sungai yang membentuknya yaitu; Sungai Cialing dengan anak-anak sungainya dan Sungai Cikara dengan anak-anak sungainya. Morfologi yang ditempati pola pengaliran ini perbukitan agak curam sampai curam dengan bentuk lembah V sampai hampir U. Hal ini menunjukan bahwa erosi vertikal lebih dominan dari erosi lateral sehingga sungainya masih dalam tahap muda. Luas penyebarannya 10% dari keseluruhan luas peta. Elevasi Daerah Wado dan sekitarnya antara 200 mdpl sampai lebih dari 400 mdpl. Morfologinya sendiri terbagi atas tiga satuan yaitu; Pedataran dengan luas paling besar mencapai 50% dari luas keseluruhan, simbol warna hijau pada peta geomorfologi dengan kemiringan lereng 0-2%, bentuk lembah U, elevasi mdpl, kerapatan kontur yang sangat renggang, pola aliran yang berkembang dendrite-paralel dan anastomotik. Perbukitan Agak Curam, simbol warna kuning pada peta geomorfologi dengan kemiringan lereng 14-20%, bentuk lembah U-V, elevasi mdpl, kerapatan kontur agak rapat, luas 20%, pola aliran sungai yang berkembang dendritik dan dendrite-rektangular. Perbukitan Curam, simbol warna merah pada peta geomorfologi dengan kemiringan lereng 21-55%, elevasi 225 sampai lebih dari 400 mdpl, kerapatan kontur rapat, luas 30%, pola aliran sungai yang berkembang radial, dendritik dan dendrite-rektangular. Rencana elevasi dasar Bendungan Jatigede menurut informasi dari berita di Republika ( diakses pada 12 Januari 2015), sekitar 164 mdpl, sedangkan ketinggian airnya sekitar 96 meter diperkirakan pada elevasi 260 mdpl. Melihat elevasi puncak yang akan tergenang maka tempat-tempat di sebelah Utara Daerah Wado dan sekitarnya yang elevasinya kurang dari 260 mdpl dipastikan akan tergenang. Adapun jumlah desa yang akan tergenang sebanyak 28 desa yang terbagi dalam 5 kecamatan yaitu; Jatigede (5 desa), Jatinunggal (2 desa), Wado (4 desa), Darmaraja (13 desa) dan Cisitu (4 desa). Kecamatan Darmaraja merupakan kecamatan yang paling banyak tergenang air Waduk Jatigede. II Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015

7 Tabel 1. Daftar Kecamatan dan Desa yang akan tergenang Bendungan Jatigede No. Kecamatan Nama Desa yg tergenang No. Kecamatan Nama Desa yg tergenang 1. Jatigede 1. Jemah 4. Jatinunggal 1. Sirnasari 2. Ciranggem 2. Pawenang 3. Mekarasih 5. Darmaraja 1. Cipaku 4. Sukakersa 2. Pakualam 5. Cijeungjing 3. Karangpakuan 2. Wado 1. Wado 4. Jatibungur 2 Padajaya 5. Sarimekar 3 Cisurat 6. Sukamenak 4 Sukapura 7. Leuwihideung 8. Cibogo 9. Sukaratu 3. Cisitu 1 Pajagan 10. Tarunajaya 2 Cigintung 11. Ranggon 3 Cisitu 12. Neglasari 13. Darmaraja Data diolah dari sumber: diakses 12 Januari 2015 Kondisi air tanah daerah Wado dan sekitarnya berdasarkan Peta Hidrogeologi Kabupaten Sumedang yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Kementerian ESDM ada lima. Kelima jenis akuifer itu adalah: 1. Akuifer produktif sedang dengan penyebaran luas yang menempati hampir 30% daerah penelitian. Terdapat di sebelah Barat, Utara dan di sekitar Sungai Cimanuk. Menempati litologi batupasir dan batulempung. 2. Akuifer produktif sedang setempat yang menempati hampir 40% daerah penelitian. Terdapat menyebar dari Timur, Selatan dan Barat, menempati litologi breksi vulkanik. 3. Akuifer produktif setempat dengan penyebaran hampir 15% daerah penelitian terdapat di sebelat Utara dan Timur menempati litologi batulempung dan breksi vulkanik. 4. Akuifer produktif kecil setempat berarti dengan penyebaran sekitar 10% daerah penelitian terdapat di sebelah Tengah dan Timur menempati litologi batupasir. 5. Daerah airtanah langka/tidak berarti dengan penyebaran sekitar 5% dari daerah penelitian menempati litologi batulempung. Lokasi-lokasi yang disarankan untuk relokasi penduduk yang terdampak genangan berdasarkan potensi ketersediaan air dan elevasi puncak genangan air Waduk Jatigede yaitu 260 mdpl, maka lokasi-lokasi tersebut antara lain di Kecamatan Darmaraja adalah Cieunteung, Kametang, Cibarengkok, Cikoja, Cibuah, Cigembor, Kapudunan, Cinaglang, Cibudah, Cinangsi, Pakapuran, Nyalindung, Lamunseuri. Kecamatan Wado meliputi lokasi-lokasi Wado Girang, Cimalela, Panamur, Cijeungang. Kecamatan Jatinunggal meliputi lokasi-lokasi Tarikolot, Sadakembang, Bojongjati, Culangok. Kecamatan Jatigede meliputi lokasi-lokasi Cikandang, sekitar Pasir Cigintung, sekitar Pasir Pangkerudan, sekitar Pasir Nagasari. KESIMPULAN DAN SARAN Ada 5 pola pengaliran yang berkembang di daerah Wado dan sekitarnya, yaitu; Anastomotik, Dendrito- Rektangular, Dendrito-Paralel, Dendritik dan Radial. Anastomotik, Dendrito-Paralel dan Dendrito Rektangular merupakan pola modifikasi dari pola aliran sungai dimana sungai-sungai utamanya membentuk pola Paralel (sejajar) dan Rektangular dengan anak-anak sungainya yang menunjukan pola dendritik. Pola pengaliran yang paling banyak penyebarannya adalah Dendrito-Paralel (40%), Dendritik (20%), Anastomotik (15%), Radial (15%) dan Dendrito-Rektangular (10%). Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 107

8 Morfologi yang berkembang di Daerah Wado dan sekitarnya didominasi oleh pedataran dengan kemiringan lereng 0-2% dengan luas 50%. Satuan Morfologi Pedataran mempunyai elevasi antara mdpl, dan kemungkinan besar akan tergenang oleh air Bendungan Jatigede. Satuan Perbukitan Agak Curam mempunyai kemiringan lereng 14-20% dengan luas 20%. Satuan Morfologi Perbukitan Curam mempunyai elevasi antara mdpl. Sebagian kecil dari satuan ini akan tergenang terutama yang elevasinya kurang dari 260 mdpl. Lokasi-lokasi di satuan ini yang tidak tergenang berada pada elevasi lebih dari 260 mdpl dan merupakan dataran antar perbukitan sehingga bisa digunakan sebagai tempat relokasi penduduk yang tergenang. Satuan Morfologi Curam mempunya kemiringan lereng 21-55%, dengan luas 30%. Satuan Morfologi Perbukitan Curam mempunyai elevasi antara 225 sampai lebih dari 400 mdpl. Elevasi yang sama atau kurang dari 260 mdpl kemungkinan akan tergenang oleh air Bendungan Jatigede. Lokasi-lokasi lain yang elevasinya lebih dari 260 mdpl dengan kondisi air tanah yang baik (Akuifer Produktif Sedang Setempat, Akuifer Produktif Setempat) bisa dijadikan sebagai pertimbangan untuk relokasi penduduk. Ada 5 kondisi airtanah (akuifer) di daerah Wado dan sekitarnya, yaitu; Akuifer Produktif Sedang dengan penyebaran yang luas, simbol warna biru muda dengan luas 30%, sebagian lokasi satuan akuifer produktif sedang dengan penyebaran luas ini merupakan daerah bermorfologi pedataran dan kemungkingan besar akan tergenang air Bendungan Jatigede, sehingga tidak bisa digunakan sebagai tempat relokasi. Akuifer Produktif Sedang Setempat, simbol ungu tua dengan luas 40%, merupakan tempat-tempat yang umumnya bermorfologi Perbukitan Agak Curam dan Perbukitan Curam, beberapa lokasi yang berelevasi kurang dari 260 mdpl kemungkinan akan tergenang air bendungan. Akuifer Produktif Setempat, simbol hijau muda dengan luas 15%, umumnya menempati morfologi pedataran dengan elevasi yang kurang dari 260 mdpl. Tempat-tempat di satuan Akuifer Produktif Setempat ini kemungkinan besar akan tergenang oleh air bendungan. Akuifer Produktif Setempat berarti, simbol coklat muda dengan luas 10%, umumnya satuan ini bermorfologi pedataran dengan elevasi yang kurang atau sama dengan 260 mdpl, kemungkinan besar tempat-tempat di satuan ini akan tergenang air bendungan. Daerah Airtanah langka/tidak berarti, simbol ungu muda dengan luas 5%, umumnya menempati morfologi perbukitan agak curam dengan elevasi yang lebih besar dari 260 mdpl. Satuan Akuifer langka/tidak berarti ini tidak disarankan untuk dijadikan tempat relokasi penduduk walaupun daerahnya aman dari genangan air bendungan. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih untuk rekan-rekan peneliti di UPT. BIKK Karangsambung-LIPI yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan, terutama untuk Bapak Edi Hidayat, ST., MT dan Bapak Defri Hastria, ST atas bimbingan dan masukan-masukannya sehingga tulisan ini mendekati kesempurnaan. Semoga segala kebaikannya dibalas pahala oleh Tuhan Yang Maha Esa. Terimakasih juga penulis sampaikan bagi berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam kelancaran penulisan ini.. II Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015

9 Gambar 5. Pola Pengaliran Sungai di daerah Wado dan sekitarnya menurut klasifikasi Howard, 1967 dalam van Zuidam (1983) Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 109

10 Gambar 6. Peta Geomorfologi Daerah Wado dan sekitarnya II Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015

11 Gambar 7. Peta Kondisi Air Tanah (Air bawah permukaan) Daerah Wado dan sekitarnya Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015 II - 111

12 DAFTAR PUSTAKA Balai Data dan Informasi SDA, PSDA, Jawa Barat, 2005 Bemmelen, R.W. van The Geology of Indonesia, Vol. IA, General Geology of Indonesia and Adjecnet Archipelagoes, The Haque Martineus Nijhoff, Netherland. Djuri, 1995, Peta Geologi Regional Lembar Arjawinangun Jawa Barat, Skala 1: : Direktorat Geologi, Bandung. Direktorat Geologi Tata Lingkungan (GTL), Peta Kondisi Air Tanah dan Curah Hujan Daerah Sumedang Google.map. Wado. Sumedang. Jawa Barat, diakses pada 28 Mei Howard, A.D. and Remson Geology in Environmental Planning. Mc Graw-Hill Inc, San Fransisco. diakses 28 Mei diakses 12 Januari juta-kubik, diakses pada 12 Januari Martodjojo, S Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat. Disertasi Doktor Geologi, ITB, Bandung, tidak dipublikasikan. Peta topografi seri AMS No III, skala 1 : Seyhan, E., Fundamentals of Hydrology. Geografish Institute der Rijksunivirsitie. Utrech Suganda, A.H Pertimbangan Aspek Dasar Dalam Perencanaan Kota. Thesis S-2 Fakultas Pasca Sarjana ITB. Bandung tidak dipublikasikan. II Pemaparan Hasil Penelitian Geoteknologi 2015

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PENGEMBANGAN PEMUKIMAN (STUDI KASUS DAERAH WADO DAN SEKITARNYA) Nandian Mareta 1 dan Puguh Dwi Raharjo 1 1 UPT. Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Jalan Kebumen-Karangsambung

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENANGANAN DAMPAK SOSIAL KEMASYARAKATAN PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENANGANAN DAMPAK SOSIAL KEMASYARAKATAN PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENANGANAN DAMPAK SOSIAL KEMASYARAKATAN PEMBANGUNAN WADUK JATIGEDE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN 4.1 Geomorfologi Pada bab sebelumnya telah dijelaskan secara singkat mengenai geomorfologi umum daerah penelitian, dan pada bab ini akan dijelaskan secara lebih

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses endogen adalah

Lebih terperinci

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta,

BAB II Geomorfologi. 1. Zona Dataran Pantai Jakarta, BAB II Geomorfologi II.1 Fisiografi Fisiografi Jawa Barat telah dilakukan penelitian oleh Van Bemmelen sehingga dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barat-timur (van Bemmelen, 1949 op.cit Martodjojo,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah

BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah BAB II GEOMORFOLOGI 2. 1 Fisiografi Regional Jawa Tengah Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Tengah menjadi beberapa zona fisiografi (Gambar 2.1), yaitu: 1. Dataran Aluvial Jawa bagian utara. 2. Antiklinorium

Lebih terperinci

GEOLOGI DAERAH KLABANG

GEOLOGI DAERAH KLABANG GEOLOGI DAERAH KLABANG Geologi daerah Klabang mencakup aspek-aspek geologi daerah penelitian yang berupa: geomorfologi, stratigrafi, serta struktur geologi Daerah Klabang (daerah penelitian). 3. 1. Geomorfologi

Lebih terperinci

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya

5.1 Peta Topografi. 5.2 Garis kontur & karakteristiknya 5. Peta Topografi 5.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini, disamping tinggi rendahnya permukaan dari pandangan

Lebih terperinci

ACARA IV POLA PENGALIRAN

ACARA IV POLA PENGALIRAN ACARA IV POLA PENGALIRAN 4.1 Maksud dan Tujuan Maksud acara pola pengaliran adalah: 1. Mengenalkan macam-macam jenis pola pengaliran dasar dan ubahannya. 2. Mengenalkan cara analisis pola pengaliran pada

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Bentuk dan Pola Umum Morfologi Daerah Penelitian Bentuk bentang alam daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal tekstur berupa perbedaan tinggi dan relief yang

Lebih terperinci

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA

5.1 PETA TOPOGRAFI. 5.2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA .1 PETA TOPOGRAFI..2 GARIS KONTUR & KARAKTERISTIKNYA . Peta Topografi.1 Peta Topografi Peta topografi adalah peta yang menggambarkan bentuk permukaan bumi melalui garis garis ketinggian. Gambaran ini,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi. sungai; kerapatan pengaliran; dan pola pengaliran.

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi. sungai; kerapatan pengaliran; dan pola pengaliran. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Dalam kegiatan penelitian ini, objek yang diteliti dan dikaji adalah sebagai berikut. 1. Karakteristik morfometri DAS Bulano dan DAS Paleleh yang meliputi

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan intepretasi peta topografi, yang kemudian dilakukan pengamatan secara langsung di

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian banjir, air baku 300 liter/ detik dan energi listrik 535 KWH (Wicaksono,

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian banjir, air baku 300 liter/ detik dan energi listrik 535 KWH (Wicaksono, BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bendungan Kuningan merupakan bendungan tipe urugan yang mampu menampung air sebesar 25,955 juta m 3. Air dari bendungan ini akan menjadi sumber air bagi Daerah Irigasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG

BAB 3 GEOLOGI SEMARANG BAB 3 GEOLOGI SEMARANG 3.1 Geomorfologi Daerah Semarang bagian utara, dekat pantai, didominasi oleh dataran aluvial pantai yang tersebar dengan arah barat timur dengan ketinggian antara 1 hingga 5 meter.

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R.

Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Geologi Daerah Tajur dan Sekitarnya, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat Tantowi Eko Prayogi #1, Bombom R. Suganda #2 # Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Jalan Bandung-Sumedang

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH NGAMPEL DAN SEKITARNYA Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian yaitu geologi daerah Ngampel dan sekitarnya. Pembahasan meliputi kondisi geomorfologi, urutan stratigrafi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

ASPEK GEOMORFOLOGI SEBAGAI DATA AWAL PENGEMBANGAN WILAYAH DAERAH CINIRU DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KUNINGAN, JAWA BARAT

ASPEK GEOMORFOLOGI SEBAGAI DATA AWAL PENGEMBANGAN WILAYAH DAERAH CINIRU DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KUNINGAN, JAWA BARAT ASPEK GEOMORFOLOGI SEBAGAI DATA AWAL PENGEMBANGAN WILAYAH DAERAH CINIRU DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KUNINGAN, JAWA BARAT Faizal Muhamadsyah, M. Nursiyam Barkah, Bombom Rachmat Suganda, Nanda Natasia. Abstrak

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

Geomorfologi Daerah Maja dan Sekitarnya, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. *Corresponding Author:

Geomorfologi Daerah Maja dan Sekitarnya, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. *Corresponding Author: Geomorfologi Daerah Maja dan Sekitarnya, Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat *Anggia Ebony Permata Mirza 1, Ismawan 1, Abdurrokhim 1 1 Universitas Padjadjaran *Corresponding Author:

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Kondisi Geomorfologi Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan proses

Lebih terperinci

MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK SUNGAI SEBAGAI PENDUKUNG PANAS BUMI DI DAERAH LERENG SELATAN GUNUNG API UNGARAN

MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK SUNGAI SEBAGAI PENDUKUNG PANAS BUMI DI DAERAH LERENG SELATAN GUNUNG API UNGARAN MORFOLOGI DAN KARAKTERISTIK SUNGAI SEBAGAI PENDUKUNG PANAS BUMI DI DAERAH LERENG SELATAN GUNUNG API UNGARAN Ev. Budiadi 1 & T. Listyani R.A 1* Teknik Geologi, STTNAS Yogyakarta Jl. Babarsari, Caturtunggal,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

HIDROSFER II. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER II. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami aktivitas aliran sungai. 2. Memahami jenis

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR

PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR PENYELIDIKAN HIDROGEOLOGI CEKUNGAN AIRTANAH BALIKPAPAN, KALIMANTAN TIMUR S A R I Oleh : Sjaiful Ruchiyat, Arismunandar, Wahyudin Direktorat Geologi Tata Lingkungan Daerah penyelidikan hidrogeologi Cekungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

DAMPAK AKTIVITAS PENAMBANGAN PASIR DI SUNGAI LUKULO TERHADAP AIRTANAH DANGKAL DI PESANGGRAHAN KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

DAMPAK AKTIVITAS PENAMBANGAN PASIR DI SUNGAI LUKULO TERHADAP AIRTANAH DANGKAL DI PESANGGRAHAN KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH DAMPAK AKTIVITAS PENAMBANGAN PASIR DI SUNGAI LUKULO TERHADAP AIRTANAH DANGKAL DI PESANGGRAHAN KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Kristiawan Widiyanto 1, Eko Puswanto 1, Puguh Dwi Raharjo 1, Sueno Winduhutomo

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi daerah penelitian diamati dengan melakukan interpretasi pada peta topografi, citra

Lebih terperinci

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL

BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL BAB II TATANAN GEOLOGI DAN HIDROGEOLOGI REGIONAL II.1 Tektonik Regional Daerah penelitian terletak di Pulau Jawa yang merupakan bagian dari sistem busur kepulauan Sunda. Sistem busur kepulauan ini merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL 1 BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Subang, Jawa Barat, untuk peta lokasi daerah penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Peta Lokasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan bentuk topografi dan morfologi daerah penelitian maka diperlukan analisa geomorfologi sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lokasi Daerah Penelitian Secara administratif, daerah penelitian termasuk dalam wilayah Jawa Barat. Secara geografis, daerah penelitian terletak dalam selang koordinat: 6.26-6.81

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Bendung Kaligending terletak melintang di Sungai Luk Ulo, dimana sungai ini merupakan salah satu sungai yang cukup besar potensinya dan perlu dikembangkan untuk dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi.

BAB BENTUK MUKA BUMI. Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan bumi. Bab 8 Peta Tentang Pola dan Bentuk Muka Bumi 149 BAB 8 PETA TENTANG POLA DAN BENTUK MUKA BUMI Sumber: Encarta Encyclopedia, 2006 Gambar 8.1 Salah satu contoh peta topografi untuk penggambaran relief permukaan

Lebih terperinci

Karakteristik Geologi dan Analisis Resiko di Kelurahan Babakan Jawa Kecamatan Majalengka dan Sekitarnya Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Longsor

Karakteristik Geologi dan Analisis Resiko di Kelurahan Babakan Jawa Kecamatan Majalengka dan Sekitarnya Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Longsor Karakteristik Geologi dan Analisis Resiko di Kelurahan Babakan Jawa Kecamatan Majalengka dan Sekitarnya Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Longsor Alvian Budiman 1, Adi Dimas Pramono 1, Dicky Muslim 1 1 Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949) pada dasarnya dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium BALAI BESAR KERAMIK Jalan Jendral A. Yani 392 Bandung. Conto yang digunakan adalah tanah liat (lempung) yang berasal dari Desa Siluman

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.2 Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi 4 zona (Gambar 2.1), pembagian zona tersebut berdasarkan sifat-sifat morfologi dan tektoniknya (van

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang.

Gambar 2. Lokasi Penelitian Bekas TPA Pasir Impun Secara Administratif (http://www.asiamaya.com/peta/bandung/suka_miskin/karang_pamulang. BAB II KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Geografis dan Administrasi Secara geografis daerah penelitian bekas TPA Pasir Impun terletak di sebelah timur pusat kota bandung tepatnya pada koordinat 9236241

Lebih terperinci

Kesesuaian Lahan untuk Arahan Pengembangan Pemukiman Daerah Sarimukti dan Sekitarnya

Kesesuaian Lahan untuk Arahan Pengembangan Pemukiman Daerah Sarimukti dan Sekitarnya 150 NATURAL B, Vol. 3, No. 2, Oktober 2015 Kesesuaian Lahan untuk Arahan Pengembangan Pemukiman Daerah Sarimukti dan Sekitarnya Nandian Mareta 1)*, Andrie Al Kautsar 2) 1) UPT. BIKK Karangsambung Kebumen,

Lebih terperinci

Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya

Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya Zonasi Tingkatan Kerentanan Lahan Berdasarkan Analisis Kemiringan Lereng dan Analisis Kelurusan Sungai di Daerah Salopa, Kabupaten Tasikmalaya Putra Perdana Kendilo 1, Iyan Haryanto 2, Emi Sukiyah 3, dan

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Geomorfologi Daerah Penelitian III.1.1 Morfologi dan Kondisi Umum Daerah Penelitian Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi 6 zona yang berarah barattimur (van Bemmelen, 1949 dalam Martodjojo, 1984). Zona-zona ini dari utara ke

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan bentang alam yang ada di permukaan bumi dipengaruhi oleh proses geomorfik. Proses geomorfik merupakan semua perubahan baik fisik maupun

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi dan Morfologi Van Bemmelen (1949), membagi fisiografi Jawa Barat menjadi empat zona, yaitu Pegunungan selatan Jawa Barat (Southern Mountain), Zona Bandung (Central

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kawasan Bandung Utara terbentuk oleh proses vulkanik Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Perahu pada kala Plistosen-Holosen. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini tersusun

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Daerah penelitian berada di Pulau Jawa bagian barat yang secara fisiografi menurut hasil penelitian van Bemmelen (1949), dibagi menjadi enam zona fisiografi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah dirancang dan dibangun sebelumnya. Sumberdaya Air oleh PT. Indra Karya Consulting Engineer pada tahun 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang telah dirancang dan dibangun sebelumnya. Sumberdaya Air oleh PT. Indra Karya Consulting Engineer pada tahun 2013 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Alam merupakan suatu siklus yang berproses, pada suatu kondisi tertentu sangat sulit untuk memperkirakan suatu peristiwa geologi terjadi, namun di sisi lain gejala

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan

Lebih terperinci

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATAGUNA LAHAN PERKEBUNAN 4.1 Geomorfologi Telah sedikit dijelaskan pada bab sebelumnya, morfologi daerah penelitian memiliki beberapa bentukan khas yang di kontrol oleh litologi,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27 Lintang Selatan dan 110º12'34 - 110º31'08 Bujur Timur. Di IV. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai lima Kabupaten dan satu Kotamadya, salah satu kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bantul. Secara geografis,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA

BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA BAB III GEOLOGI DAERAH CILEUNGSI DAN SEKITARNYA 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Analisis Kondisi Geomorfologi Analisis Kondisi Geomorfologi yang dilakukan adalah berupa analisis pada peta topografi maupun pengamatan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Regional Fisiografi Jawa Barat dibagi menjadi empat bagian besar (van Bemmelen, 1949): Dataran Pantai Jakarta (Coastal Plain of Batavia), Zona Bogor (Bogor Zone),

Lebih terperinci

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

Gambar 9. Peta Batas Administrasi IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Letak Geografis Wilayah Kabupaten Garut terletak di Provinsi Jawa Barat bagian Selatan pada koordinat 6 56'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 107 25'8'' - 108 7'30'' Bujur

Lebih terperinci

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo

Konsentrasi Sistem Informasi Geografis,Teknik Informatika, Fakultas Teknik Komputer Universitas Cokroaminoto Palopo DATA DEM DALAM ANALISIS MORFOMETRI (Aryadi Nurfalaq, S.Si., M.T) 3.1 Morfometri Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan, sebagai aspek pendukung morfografi dan morfogenetik, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Di Indonesia banyak sekali terdapat gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Gunung berapi teraktif di Indonesia sekarang ini adalah Gunung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Raden Ario Wicaksono/

BAB I PENDAHULUAN. Raden Ario Wicaksono/ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latar belakang disusunnya tugas akhir karena ketertarikan terhadap endapan turbidit kipas laut dalam (submarine fan turbidite deposit) baik itu pencirinya, fasies dan

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... i ii iii v ix x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 2 1.3

Lebih terperinci

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI II-1 BAB II 2.1 Kondisi Alam 2.1.1 Topografi Morfologi Daerah Aliran Sungai (DAS) Pemali secara umum di bagian hulu adalah daerah pegunungan dengan topografi bergelombang dan membentuk cekungan dibeberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Embung Logung Dusun Slalang, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Embung Logung Dusun Slalang, Kelurahan Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus BAB I PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat dan peningkatan sektor pertanian yang menjadi roda penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah berupaya melaksanakan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Jawa Barat Fisiografi Jawa Barat (Gambar 2.1), berdasarkan sifat morfologi dan tektoniknya dibagi menjadi empat bagian (Van Bemmelen, 1949 op. cit. Martodjojo, 1984),

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE PERANCANGAN SISTEM DRAINASE Perencanaan saluran pembuang harus memberikan pemecahan dengan biaya pelak-sanaan dan pemeliharaan yang minimum. Ruas-ruas saluran harus stabil terhadap erosi dan sedimentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut PT. Mettana (2015), Bendungan Jatigede mulai dibangun pada

BAB I PENDAHULUAN. Menurut PT. Mettana (2015), Bendungan Jatigede mulai dibangun pada BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut PT. Mettana (2015), Bendungan Jatigede mulai dibangun pada tahun 2008. Bendungan jenis urugan batu (rockfill) ini memiliki tinggi 110 m dan kapasitas tampung

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian Morfologi muka bumi yang tampak pada saat ini merupakan hasil dari proses-proses geomorfik yang berlangsung. Proses geomorfik menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Profil Perusahaan PT. Cipta Kridatama didirikan 8 April 1997 sebagai pengembangan dari jasa penyewaan dan penggunaan alat berat PT. Trakindo Utama. Industri tambang Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Jawa barat dibagi atas beberapa zona fisiografi yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan aspek geologi dan struktur geologinya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan nasional dan meminimalkan perbedaan distribusi pengembangan sumber daya air di daerahdaerah, maka Pemerintah Indonesia telah

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

KONDISI GEOGRAFIS. Luas Wilayah (Ha)

KONDISI GEOGRAFIS. Luas Wilayah (Ha) B A B KONDISI GEOGRAFIS 3.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah Kabupaten Sumedang terletak antara 6º44 70º83 Lintang Selatan dan 107º21 108º21 Bujur Timur, dengan Luas Wilayah 152.220 Ha yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI DAERAH PENELITIAN Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen dan proses endogen (Thornbury, 1989). Proses eksogen merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA...

BAB 2 METODOLOGI DAN KAJIAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv KATA PENGANTAR... v SARI... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR

Lebih terperinci

PETA (Dasar Teori dan Geologi Regional Kuliah Lapangan)

PETA (Dasar Teori dan Geologi Regional Kuliah Lapangan) PETA (Dasar Teori dan Geologi Regional Kuliah Lapangan) Geologi Regional Kuliah lapangan Geologi dilakukan pada hari Sabtu, 24 November 2012 di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, yang terletak ±20 km di

Lebih terperinci

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA

BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA BAB III KONDISI EKSISTING DKI JAKARTA Sejalan dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk kota Jakarta, hal ini berdampak langsung terhadap meningkatnya kebutuhan air bersih. Dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi mum Daerah Penelitian ecara umum morfologi daerah penelitian merupakan dataran dengan punggungan di bagian tengah daerah

Lebih terperinci

ANALISIS GEOLOGI WILAYAH SUNGAI CINAMBO MENDUKUNG KESINAMBUNGAN KEMANFAATAN WADUK JATIGEDE, JAWA BARAT

ANALISIS GEOLOGI WILAYAH SUNGAI CINAMBO MENDUKUNG KESINAMBUNGAN KEMANFAATAN WADUK JATIGEDE, JAWA BARAT ANALISIS GEOLOGI WILAYAH SUNGAI CINAMBO MENDUKUNG KESINAMBUNGAN KEMANFAATAN WADUK JATIGEDE, JAWA BARAT Sofyan Rachman 1), Harry Pramudito 2) 1) Dosen Jurusan Teknik Geologi Universitas Trisakti dan Mahasiswa

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Provinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari Kota Bandung dan 119 km

Lebih terperinci

07. Bentangalam Fluvial

07. Bentangalam Fluvial TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi 07. Bentangalam Fluvial Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2010 Pendahuluan Diantara planet-planet sekitarnya, Bumi

Lebih terperinci

03. Bentangalam Struktural

03. Bentangalam Struktural TKG 123 Geomorfologi untuk Teknik Geologi 03. Bentangalam Struktural Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2010 Pendahuluan Bentangalam struktural adalah bentang

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Jawa Barat menjadi 4 bagian besar zona fisiografi (Gambar II.1) yaitu: Zona Bogor, Zona Bandung, Dataran Pantai Jakarta dan

Lebih terperinci

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh

2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7 Analisis Data Penginderaan Jauh 2.3.7.1.Analisis Visual Analisis visual dilakukan untuk mendapatkan algoritma terbaik untuk menggabungkan data Landsat ETM+. Analisis visual dilakukan dengan menguji

Lebih terperinci

KONDISI GEOLOGI DAERAH HAMBALANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN CITEUREUP DAN CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT

KONDISI GEOLOGI DAERAH HAMBALANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN CITEUREUP DAN CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT KONDISI GEOLOGI DAERAH HAMBALANG DAN SEKITARNYA KECAMATAN CITEUREUP DAN CILEUNGSI KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT Kholqi Dianardi #1, Bombom R. Suganda #2, #Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB 5: GEOGRAFI DINAMIKA HIDROSFER

BAB 5: GEOGRAFI DINAMIKA HIDROSFER www.bimbinganalumniui.com 1. Proses penguapan air yang ada di permukaan bumi secara langsung melalui proses pemanasan muka bumi disebut a. Transpirasi b. Transformasi c. Evaporasi d. Evapotranspirasi e.

Lebih terperinci

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran KTSP & K-13 Kelas X Geografi HIDROSFER I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian hidrosfer dan siklus hidrologi.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

KONDISI UMUM BANJARMASIN

KONDISI UMUM BANJARMASIN KONDISI UMUM BANJARMASIN Fisik Geografis Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota dari 11 kota dan kabupaten yang berada dalam wilayah propinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin secara astronomis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun 1621, 1654 dan 1918, kemudian pada tahun 1976, 1997, 2002 dan 2007. Banjir di Jakarta yang terjadi

Lebih terperinci