BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hutan Tesso Nilo Habitat Gajah Sumatera Kawasan Hutan Tesso Nilo berada di empat wilayah administrasi pemerintahan, yaitu Kabupaten Indragiri Hulu, Kampar, Kuantan Singingi dan Pelalawan. Luas Hutan Tesso Nilo secara keseluruhan adalah hektar. Hutan Tesso Nilo merupakan blok hutan hujan dataran rendah tersisa yang masih memenuhi syarat sebagai habitat dan wilayah jelajah (home range) bagi Gajah sumatera. Kondisi ini menjadikan Hutan Tesso Nilo sebagai solusi dalam menangani konflik manusia dan gajah di Riau selain blok Hutan Bukit Tigapuluh. Kesesuaian Hutan Tesso Nilo sebagai habitat dan wilayah jelajah (home range) Gajah sumatera dibandingkan blok hutan lain yang menjadi habitat gajah didasarkan pada beberapa faktor habitat. Faktor habitat tersebut antara lain luasan habitat yang tersedia > hektar, ketersediaan tanah mineral seperti Kalium (K) yang terkandung dalam jenis tanah Haplohemist dan topografi kawasan yang relatif landai (Tabel 10). Tabel 10 Blok hutan di Provinsi Riau yang menjadi habitat Gajah sumatera berdasarkan tipe hutan dan ketersediaan faktor habitat No. Blok Hutan Tipe Hutan 1. Libo Hutan hujan dataran rendah dan rawa gambut 2. Giam Siak Kecil Hutan rawa gambut 3. Kerumutan Hutan rawa gambut 4. Tesso Nilo Hutan hujan dataran rendah 5. Rimbang Baling Hutan hujan dataran rendah 6. Bukit Tigapuluh Hutan hujan dataran rendah Ketersediaan Faktor Habitat Luas > ha* Tanah Mineral Kelerengan < 45 % - Terbatas - - Terbatas - - Terbatas - Terbatas Sumber : WWF Indonesia-Riau Programm (2009) Keterangan : *) Hasil analisis wilayah jelajah sub spesies Gajah asia lainnya. Hasil analisis tutupan lahan dan tata ruang Provinsi Riau melalui Sistem Informasi Geografi oleh WWF Indonesia, menunjukkan ± hektar dari

2 40 luas Hutan Tesso Nilo merupakan areal yang sesuai untuk habitat gajah. Kesesuaian ini meliputi luasan Hutan Tesso Nilo yang kompak dan memadai, tutupan lahan relatif baik, ketersediaan air, topografi cenderung landai, tidak terdapat rawa gambut dan status lahan bukan kawasan budidaya seperti perkebunan atau Hutan Tanaman Industri (Foead 2001). Menindaklanjuti hasil analisis tutupan lahan dan tata ruang Provinsi Riau dan untuk menjamin perlindungan dan kelestarian kawasan Hutan Tesso Nilo, pemerintah melalui SK Menhut No.255 Tahun 2004 menetapkan kawasan yang berada dalam wilayah Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu seluas hektar berubah status dari hutan produksi terbatas menjadi taman nasional. Kondisi Hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dijelaskan sebagai berikut : 1) Hutan alam sekunder dengan kerapatan > 70 % seluas ,65 ha. 2) Hutan alam sekunder dengn kerapatan 40 % - 70 % seluas ,1ha. 3) Semak belukar dengan kerapatan 20 % - 40 % seluas 4.563,22 ha. 4) Lahan terbuka seluas 2.521,61 ha (BKSDA Riau 2006a). Sebesar 70,19 % dari kawasan TNTN berpotensi sebagai habitat gajah karena memiliki kelerengan < 45 % (Tabel 11). Tabel 11 Luas lahan di Taman Nasional Tesso Nilo berdasarkan kelerengan No. Kemiringan Lereng Luas (hektar) Proporsi (%) 1. 0 % - 8 % (datar) ,43 51, % - 15 % (landai) 2.467,05 6, % - 25 % (bergelombang) 4.854,19 12, % - 45 % (curam) 3.869,28 10,12 5. > 45 % (sangat curam) 7.526,98 19,69 Total ,98 100,00 Sumber : BKSDA Riau (2006a) Ketersediaan pakan gajah di TNTN cukup bervariasi, diantaranya Nangka (Artocarpus heterophyllus), Cempedak air (Artocarpus kemando), Bendo (Artocarpus elasticus), Artocarpus scortechinii, Artocarpus integer, Rambai/Menteng (Baccaurea spp.), Calamus spp., Apun (Durio excelsus), Ficus grossularioides, Dampingisi (Garcinia parviflora), Garcinia maingayi, Mangifera longipetiolaris, Mangifera macrophylla, Musa sp., Musa acuminata, Licuala vallida, Ketuma (Nephelium cuspidatum), Nibung (Oncosperma tigilarium) dan Tempinis (Sloetia elongata) (LIPI 2003).

3 Kondisi Habitat Kegiatan konversi hutan di Tesso Nilo menyisakan tutupan hutan yang masih bersambungan ± hektar. Perubahan kawasan alam sebagian besar diperuntukkan menjadi lahan pemukiman, pertanian dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Kajian lanskap Tesso Nilo Bukit Tigapuluh Kampar, menunjukkan 90 % dari total deforestasi disebabkan oleh pembukaan kawasan hutan alam (96 % hutan tanaman akasia dan 85 % perkebunan sawit) (WWF Indonesia 2008). Konversi hutan telah mengakibatkan terjadinya fragmentasi di Tesso Nilo. Fragmentasi diawali ketika adanya pembagian sejumlah konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Kegagalan pengelola dan penebangan yang berlebihan mengakibatkan terjadinya alih fungsi ijin konsesi HPH menjadi perkebunan kelapa sawit dan HTI. Pada Tahun 2003 kegiatan pembukaan lahan untuk diokupasi muncul sebagai akibat tidak beroperasinya pemegang konsesi HPH dan tidak adanya perlindungan terhadap areal konsesinya. Lahan yang diokupasi digunakan untuk pemukiman dan perkebunan kelapa sawit oleh masyarakat. Konversi hutan turut memicu terjadinya perambahan, kebakaran dan illegal loging di Tesso Nilo. Pemanfaatan kawasan di TNTN dan usulan perluasannya Tahun 2007 yaitu hektar (Tabel 12). Tabel 12 Pemanfaatan kawasan oleh perambah di Taman Nasional Tesso Nilo dan usulan perluasannya Tahun 2007 No. Area/Konsesi Sawit (ha) Karet (ha) Pemanfaatan Kawasan oleh Perambah Tanaman Pangan dan Lainnya (ha) Belum Ditanami/ Belukar/ Terlantar (ha) Jumlah (ha) 1. Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) SK Menhut 255/ Usulan perluasan TNTN (rekomendasi Gubernur Riau Tahun 2007) a. PT. Nanjak Makmur b. PT. Hutani Sola Lestari c. PT. Siak Raya Timber Total Sumber : BTNTN (2009) Pembukaan lahan oleh perusahaan atau masyarakat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran yang terjadi di areal pertanian umumnya disebabkan

4 42 oleh pembakaran saat proses pembersihan lahan. Sementara itu, kebakaran yang terjadi di areal konsesi HPH/HTI disebabkan oleh perambahan kawasan HPH/HTI yang ditelantarkan. Luas lahan dan hutan terbakar akibat proses pembukaan lahan di Hutan Tesso Nilo bulan Juli - Agustus 2006 yaitu hektar (BTNTN 2009). Berkurangnya luasan hutan, terjadinya fragmentasi dan degradasi hutan akibat kegiatan konversi merupakan ancaman bagi kehidupan gajah dan ekosistemnya. Konversi hutan telah mengubah tutupan hutan produksi dan hutan lindung menjadi lahan pertanian, pemukiman dan HTI yang mengakibatkan terganggunya habitat gajah. Tutupan hutan alam yang kondisinya baik di TNTN dan usulan perluasannya yaitu hektar (BTNTN 2009). Konversi hutan telah mengakibatkan habitat gajah terfragmentasi menjadi luasan yang kecil. Satwaliar seperti gajah menggunakan habitat dan areal jelajah yang luas sehingga terjadinya fragmentasi habitat menyebabkan menyempitnya ruang gerak gajah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kondisi habitat yang terfragmentasi kurang mampu dalam menyediakan variasi pakan baik kuantitas maupun kualitasnya. Gajah sebagai satwa megaherbivor membutuhkan jumlah pakan harian (daily intake) yang banyak. Ketersediaan pakan yang tidak mencukupi kebutuhan gajah mengakibatkan gajah bergerak mencari pakan di sekitar habitatnya. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik di lokasi sekitar habitat. Degradasi habitat akibat kebakaran hutan, pembuatan jalan koridor dan pembangunan kanal drainase untuk HTI dan perkebunan kelapa sawit mengakibatkan berkurangnya sumber air. Konversi hutan juga mengakibatkan terpotongnya jalur wilayah jelajah gajah yang mengakibatkan masuknya gajah ke lahan pemukiman, pertanian dan kawasan HTI yang telah menggantikan jalur jelajah gajah tersebut. Pembukaan hutan untuk kepentingan pembangunan dalam meningkatkan kehidupan manusia merupakan faktor utama berkurangnya habitat gajah. Dampak dari situasi ini adalah menurunnya populasi gajah dan meningkatnya konflik antara manusia dan gajah karena terjadinya persaingan ruang dalam memanfaatkan lahan hutan yang tersisa.

5 Populasi Gajah Sumatera di Hutan Tesso Nilo Gajah di Hutan Tesso Nilo tersebar di dua wilayah, yaitu di bagian utara dan selatan yang dibatasi oleh konsesi HPH PT. Nanjak Makmur dan eks konsesi PT. Inhutani IV (Lampiran 3). Populasi gajah berdasarkan jejak dan bolus (kotoran) yang ditemukan di lapangan serta informasi dari masyarakat diperkirakan ± ekor di bagian utara dan ± ekor di bagian selatan (WWF Indonesia-Program Riau 2003). Daerah pergerakan gajah di Hutan Tesso Nilo dapat dilihat berdasarkan pergerakan dari kelompok gajah yang berada di bagian utara usulan kawasan TNTN, tenggara Hutan Tesso Nilo dan barat daya Hutan Tesso Nilo (Tabel 13). Tabel 13 Pergerakan kelompok gajah di Hutan Tesso Nilo No. Kelompok Gajah Daerah Pergerakan 1. Kelompok gajah utara (bagian utara dari usulan kawasan TNTN Kebun akasia PT. Arara Abadi di timur laut sampai ke arah barat daya kebun kelapa sawit PT. Citra Riau Sarana atau konsesi HPH PT. Siak Raya, PT. Hutani Sola Lestari dan sebagian konsesi HPH PT. Nanjak Makmur bagian utara. 2. Kelompok gajah tenggara Kebun akasia PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Sektor Baserah di barat daya sampai perbatasan kebun akasia PT. Arara Abadi dengan PT. RAPP Sektor Ukui di timur laut, kemudian ke arah tenggara atau berada di sebagian konsesi HPH PT. Nanjak Makmur bagian tenggara dan bekas konsesi HPH PT. Inhutani IV. 3. Kelompok gajah barat daya Bagian barat daerah hulu Sungai Tesso sampai hutan akasia PT. RAPP Sektor Tesso Barat. Sumber : WWF Indonesia-Program Riau ( 2003) Kelompok gajah yang pergerakannya melewati Desa Lubuk Kembang Bunga adalah kelompok gajah yang tersebar di wilayah Selatan Hutan Tesso Nilo. Kelompok gajah ini terdiri atas gajah tunggal dan gajah grup. Jumlah kelompok dari gajah tunggal yaitu 1-2 ekor umumnya satu ekor dan gajah grup yaitu 2-15 ekor (Lampiran 4). Gajah tunggal adalah gajah jantan muda atau dewasa atau tua. Gajah tunggal dengan jumlah kelompok dua ekor terdiri dari gajah jantan muda yang bergabung dalam waktu tidak tetap (sifatnya tidak permanen). Gajah grup adalah sekelompok gajah betina yang terdiri dari betina tua, dewasa, muda dan anak-anak. Dalam kelompok gajah grup kemungkinan terdapat gajah jantan baik gajah jantan muda maupun dewasa. Gajah jantan muda merupakan gajah jantan yang belum siap berkelana sehingga masih bergabung dengan induknya. Gajah

6 44 jantan dewasa merupakan gajah jantan yang sedang memasuki masa kawin sehingga gajah jantan tersebut akan mengikuti pergerakan gajah betina dewasa. Kondisi alam Hutan Tesso Nilo yang sudah diubah menjadi lahan pemukiman, pertanian dan HTI mengakibatkan habitat gajah terpecah-pecah dan menciptakan isolasi-isolasi wilayah kecil yang mengakibatkan keterbatasan migrasi gajah. Akibat lainnya adalah kelompok gajah yang awalnya besar akan terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil dan mendiami habitat sisa tersebut. Beberapa diantara individu gajah terperangkap dalam perkebunan sawit dan HTI. Monitoring populasi gajah di Tesso Nilo perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi populasi dan daya dukung Hutan Tesso Nilo dalam memenuhi kebutuhan gajah. Hasil monitoring dapat digunakan untuk pengaturan populasi dan pengelolaan habitat gajah di Tesso Nilo sehingga dapat mengatasi konflik manusia dan gajah yang terjadi di sekitar Hutan Tesso Nilo Konflik Manusia dan Gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Lokasi Gangguan Terdapat enam lokasi di Desa Lubuk Kembang Bunga (LKB) yang didatangi gajah pada Tahun Lokasi-lokasi tersebut yaitu AM Tengah, Kampung Baru, Perbekalan, Simpang Jengkol, Jalan RAPP/Elang Mas dan Jalan Pemda. Keenam lokasi merupakan jalur pergerakan wilayah jelajah yang tersebar di bagian Selatan Hutan Tesso Nilo sehingga setiap tahunnya lokasilokasi ini akan di datangi gajah. Terdapat tujuh lokasi kedatangan gajah pada Tahun dan 6 lokasi di antaranya merupakan lokasi yang sama pada Tahun (Tabel 14). Tabel 14 Lokasi kedatangan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun No. Lokasi Kedatangan Gajah Tahun AM Tengah 2. Kampung Baru 3. Perbekalan 4. Simpang Jengkol - 5. Jalan RAPP/Elang Mas - 6. Jalan Pemda 7. Jalan PU - - Sumber : Laporan patroli Tim Flying Squad

7 45 Kawasan di Jalan PU tidak di datangi gajah sejak Tahun 2007 hingga sekarang karena kawasan Jalan PU telah dikelilingi lahan perkebunan masyarakat dan HTI milik PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Kondisi seperti ini mengakibatkan jarak hutan dengan kawasan Jalan PU lebih jauh dan gajah akan terusir terlebih dahulu oleh masyarakat yang lahannya lebih dekat dengan hutan. Pintu keluar gajah di LKB yaitu Sungai Tapa, AM Tengah, Sungai Perbekalan dan Elang Mas. Gajah yang keluar dari S. Tapa dan AM Tengah memasuki kawasan Perbekalan, Kampung Baru dan Simpang Jengkol. Gajah yang keluar dari S. Perbekalan memasuki kawasan Perbekalan, Kampung Baru, Jalan Pemda dan Air Hitam. Gajah yang keluar dari Elang Mas memasuki kawasan Elang Mas/Jalan RAPP dan Jalan PU. Enam lokasi di LKB yang didatangi gajah keculi AM Tengah terdapat lahan pertanian milik masyarakat (lahan kelapa sawit dan karet). Lahan pertanian ini sering didatangi gajah karena letaknya berdekatan dengan hutan (TNTN), pintu keluar gajah dan sungai serta komoditas yang ditanam merupakan jenis tanaman yang disukai gajah. Masuknya gajah ke lahan pertanian masyarakat menimbulkan kerusakan pada komoditas pertanian dan fasilitas lahan pertanian. Hasil pengamatan lapangan didapatkan luas lahan pertanian terganggu Tahun seluas 58,5 hektar yang terdiri dari 50 hektar kelapa sawit dan 8,5 hektar karet (Gambar 6). Luas (ha) Kelapa sawit Karet Kampung Baru Perbekalan Simpang Jengkol Jalan Jalan Pemda RAPP/Elang Mas Lokasi Gambar 6 Luas lahan pertanian terganggu berdasarkan lokasi di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun

8 Waktu Gangguan Gajah memasuki lahan pertanian masyarakat pada waktu malam hari yaitu pada waktu aktif untuk mecari makan. Waktu aktif makan Gajah sumatera terjadi pada pagi hari (pukul WIB) dan sore hari (pukul WIB) (Abdullah 2008). Keberadaan gajah di lahan pertanian umumnya terjadi pada sore hari (pukul WIB) hingga pagi hari ( WIB). Lamanya keberadaan gajah di lahan pertanian dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya pakan (jenis dan jumlah) serta kondisi lingkungan (suhu dan gangguan). Gajah lebih menyukai umbut sawit daripada karet dan menyukai kondisi lingkungan yang sejuk dan sunyi. Gajah cenderung akan menghindar dari kondisi lingkungan yang ramai/bising. Kedatangan gajah meningkat pada musim penghujan yaitu bulan November - April (Gambar 7). Hal ini berhubungan dengan strategi penggunaan sumberdaya dan faktor habitat oleh gajah yang meliputi strategi penggunaan ruang dan waktu (musim hujan - kemarau). Pada waktu musim hujan secara naluriah gajah akan berpindah ke hutan primer karena keadaan pakan di hutan primer saat musim hujan mencukupi keperluan gajah. Peningkatan kedatangan gajah pada musim penghujan ke Desa Lubuk Kembang Bunga diperkirakan disebabkan oleh perjalanan gajah untuk berpindah ke dalam hutan primer atau terbatasnya pakan yang tersedia di hutan pada saat musim penghujan. Frekuensi Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Bulan Sumber: Laporan patroli Tim Flying Squad Gambar 7 Grafik intensitas kedatangan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun

9 Tingkat Gangguan Tingkat gangguan gajah dapat dilihat berdasarkan lokasi lahan pertanian masyarakat (Gambar 8). Lokasi lahan pertanian yang berdekatan dengan hutan, pintu keluar gajah dan sungai memiliki tingkat gangguan yang lebih tinggi. Kawasan Perbekalan menjadi lokasi yang sering didatangi gajah karena lokasi ini merupakan daerah yang dilalui untuk menuju wilayah lain dan terdapat akses jalan yang memudahkan pergerakan gajah serta terdapat ruang yang digunakan gajah untuk memenuhi kebutuhannya Frekuensi AM Tengah Kampung Baru Perbekalan Simpang Jengkol Lokasi RAPP Jalan Pemda Sumber: Laporan patroli Tim Flying Squad Gambar 8 Diagram intensitas kedatangan gajah berdasarkan lokasi di Desa Lubuk Kembang Bunga tahun Jenis dan Jumlah Kerusakan Jenis Kerusakan Keberadaan gajah di dalam lahan pertanian menimbulkan kerusakan tanaman dan fasilitas lahan pertanian berupa pondok jaga, pancing/strom gajah dan parit. Kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh gajah dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu kerusakan tanaman yang terjadi karena gajah kebetulan menemukan lahan pertanian yang berada di dalam atau berdekatan dengan daerah jelajahnya (opportunistic raiding) dan kerusakan tanaman yang terjadi karena gajah keluar dari habitatnya (obligate raiding). Kerusakan pada tanaman umumnya karena dimakan oleh gajah. Jenis tanaman yang dimakan oleh gajah yaitu kelapa sawit, karet, ubi kayu dan pisang. Bagian tanaman yang dimakan yaitu pelepah, umbut, akar, kulit kayu, batang, buah dan daun. Kerusakan tanaman

10 48 juga diakibatkan oleh terinjaknya atau terenggutnya tanaman ketika gajah melakukan pergerakan dan memakan tanaman utamanya. Banyak bagian tanaman yang direnggut oleh gajah tidak ikut dimasukkan ke mulut tetapi hanya ditebarkan ke tempat lain atau ditaburkan ke punggungnya sendiri. Oleh karena itu, daerah tempat makan cenderung mengalami kerusakan habitat (Gambar 9). (a) (b) (c) Gambar 9 Kerusakan akibat dimakan (a), direnggut (b) dan diinjak (c) gajah. Kerusakan pondok jaga diakibatkan oleh gajah yang mendorong hingga rubuh atau rusak pada beberapa bagian. Faktor-faktor yang mempengaruhi gajah merusak pondok jaga antara lain pondok jaga menghalangi pergerakan gajah, atap pondok jaga berupa pelepah sawit serta tersedianya pakan kesukaan gajah seperti garam dan padi di dalam pondok jaga. Kerusakan pondok jaga dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori, yaitu rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan (Gambar 10).

11 49 Foto: Roji (2003) (a) (b) (c) Gambar 10 Pondok jaga rusak berat (a), rusak sedang (b) dan rusak ringan (c). Kerusakan pada sarana pencegahan konfilk diakibatkan karena gajah berusaha masuk ke lahan pertanian. Perusakan parit dilakukan gajah dengan menggemburkan dinding parit sehingga menjadi dangkal. Perusakan pancing/strom gajah dilakukan dengan merobohkan kayu yang menjadi tiang kawat listrik sehingga gajah dapat melewatinya Jumlah Kerusakan Luas lahan pertanian (kelapa sawit dan karet) terganggu yang dimiliki 14 KK berkonflik Tahun adalah 58,5 hektar dengan luas kerusakan 3,24 hektar. Jumlah kerusakan akibat konflik Tahun terdii atas batang tanaman perkebunan (858 batang kelapa sawit dan 387 karet), 18 batang tanaman pangan (8 batang pisang dan 10 batang ubi kayu) dan 9 unit pondok jaga. Fakto-faktor yang mempegaruhi jumlah kerusakan, yaitu : 1) Jumlah gajah. 2) Kondisi lahan (jarak dengan hutan, kebersihan lahan dan jumlah lahan masyarakat yang berada disekitarnya). 3) Upaya pengendalian yang dilakukan oleh pemilik lahan.

12 Pola Usahatani Terhadap Gangguan Gajah Berdirinya perkebunan kelapa sawit PT. Inti Indosawit Subur dan PT. Musi Mas Tahun mengakibatkan berubahnyan mata pencaharian masyarakat dari petani karet dan pencari ikan menjadi petani kelapa sawit. Sistem KKPA (Koperasi Kredit Primer Anggota) yang berinduk pada PT. Inti Indosawit Subur meningkatkan perluasan lahan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan. Kondisi ini memicu terjadinya gangguan gajah pada areal perkebunan kelapa sawit milik perusahaan. Tahun 1993 HPHTI PT. RAPP Sektor Ukui dibangun dan mengakibatkan berpindahnya pemukiman masyarakat LKB ke kanan dan kiri jalan poros RAPP. Pada masa ini masyarakat mulai membudidayakan kelapa sawit dan membuka kawasan hutan untuk dijadikan lahan kelapa sawit. Masyarakat juga mengganti jenis komoditas tanaman pertanian menjadi kelapa sawit yang pada awalnya berupa tanaman pangan dan karet. Kondisi ini menyebabkan gangguan gajah semakin terbuka dan memasuki areal pertanian dan pemukiman masyarakat. Pada Tahun 2003 ketika pemegang konsesi HPH menelantarkan areal konsesinya, aktivitas perambahan meningkat dan masyarakat melakukan kegiatan perladangan berpindah. Perladangan berpindah dilakukan masyarakat untuk menanam tanaman pangan yang mereka butuhkan seperti padi dan ubi kayu. Penetapan sebagian dari kawasan Hutan Tesso Nilo sebagai taman nasional menghentikan aktivitas perladangan berpindah dan masyarakat mulai bertani secara menetap dengan komoditas utamanya kelapa sawit. Perubahan pola usahatani masyarakat merupakan salah satu pemicu terjadinya konflik manusia dan gajah di Lubuk Kembang Bunga. Masyarakat yang memiliki lahan pertanian dekat dengan hutan dan menempati jalur pergerakan wilayah jelajah gajah menderita kerugian akibat keberadaan gajah di lahan pertaniannya (Tabel 15). Tabel 15 Kerugian masyarakat Desa Lubuk Kembang Bunga akibat konflik dengan gajah Tahun Periode (Tahun) Kerugian Masyarakat (Rp) Juli Januari Juli Juli Juli Sumber : WWF Indonesia-Program Riau

13 Respon Masyarakat Terhadap Gangguan Gajah Terdapat dua respon yang terjadi di masyarakat dalam menghadapi konflik manusia dan gajah (KMG). Pertama, masyarakat yang menganggap gangguan gajah merupakan persoalan yang biasa mereka hadapi dari tahun ke tahun. Sebagian besar masyarakat yang seperti ini merupakan masyarakat asli yang sudah lama hidup berdampingan dengan gajah. Masyarakat melakukan penanggulangan secara berkelompok, melakukan patroli malam, membuat api unggun dan apabila gajah datang mereka melakukan pengusiran secara bersama dengan membuat bunyi-bunyian dan membawa obor. Kedua, masyarakat yang reaktif terhadap gangguan gajah. Respon masyarakat pada kelompok ini yaitu gajah harus disingkirkan dengan cara apapun sehingga menyebabkan terjadinya kematian gajah baik disengaja atau tidak. Masyarakat memagari tanaman dengan kawat berduri dan melapisinya dengan racun sehingga dapat mengancam kehidupan gajah (Gambar 11). Foto : Syamsuardi Foto : Syamsuardi (a) (b) Gambar 11 Tanaman kelapa sawit dipagari kawat berduri (a) dan diolesi racun (b). Konflik manusia dan gajah di Provinsi Riau telah mengakibatkan penurunan populasi gajah di habitatnya. Gajah yang tidak dapat ditangani akan di tangkap dan dipindahkan ke lokasi lain seperti PLG (Pusat Latihan Gajah). Tabel 16 Jumlah kematian manusia dan gajah akibat konflik manusia dan gajah di Provinsi Riau Tahun Tahun Kematian Manusia Kematian Gajah Gajah Ditangkap Jumlah Sumber : WWF Indoensia-Program Riau (2009).

14 Nilai Ekonomi Kerusakan Pertanian dan Bangunan Nilai ekonomi kerusakan pertanian dan bangunan akibat konflik manusia dan gajah Tahun diperoleh nilai masing-masing yaitu Rp dan Rp (Gambar 12). Nilai ekonomi kerusakan pertanian merupakan nilai hasil produksi yang hilang ditambah biaya produksi yang dikeluarkan masyarakat sampai umur tanaman terjadi kerusakan. Nilai ekonomi kerusakan banguan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan bangunan Pertanian Bangunan Gambar 12 Diagram nilai ekonomi kerusakan pertanian dan bangunan di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun Upaya Pegendalian Konflik Pencegahan Konflik Upaya pencegahan konflik dilakukan untuk mencegah masuknya gajah ke lahan pertanian dan mengantisipasi kedatangan gajah sehingga upaya penanggulangan dapat segera dilakukan. Bentuk dari upaya pencegahan konflik yang dilakukan oleh masyarakat dan Tim Flying Squad berupa penjagaan lahan, pengontrolan lahan, pemasangan penghalang disekitar lahan dan patroli kawasan. 1) Penjagaan dan pengontrolan lahan Penjagaan lahan dilaksanakan pukul WIB. Beberapa diantara masyarakat menjaga dengan bermukim di lahan pertaniannya. Pengontrolan kebun umumnya dilaksanakan pada sore hari (pukul WIB) atau malam hari (pukul WIB). Tujuan pengontrolan kebun yaitu untuk memeriksa keberadaan gajah di sekitar atau di lahan pertanian. Masyarakat akan

15 53 melakukan penjagaan dan pengontrolan lahan secara intensif apabila mendapatkan informasi adanya keberadaan gajah di sekitar lahan miliknya. Informasi ini berasal dari Tim Flying Squad dan atau masyarakat yang bermukim di lahan pertanian serta masyarakat lainnya.. Keberadaan gajah di lahan pertanian atau di daerah sekitarnya dapat terdeteksi dengan adanya jejak, bolus (kotoran), suara, sisa makanan dan kerusakan di dalam lahan maupun di sekitar lahan (Gambar 13). Kerusakan ini meliputi kerusakan penghalang (pagar atau parit) dan tanaman. Apabila terdapat ciri-ciri keberadaan gajah maka pemilik lahan segera melakukan penyusuran untuk mengetahui lokasi keberadaan gajah. (a) (b) (c) Gambar 13 Ciri-ciri keberadaan gajah: jejak (a), bolus/kotoran (b) dan kerusakan tanaman (c). 2) Penghalang a. Pagar kayu Pagar kayu digunakan disekeliling lahan dengan tinggi 1-2 meter (Gambar 14). Tujuannya yaitu untuk mencegah masuknya gajah dan satwa lain seperti babi dan monyet. Penggunaan pagar kayu ini kurang efektif dalam menghalangi gajah karena bahan kayu mudah lapuk, terserang rayap dan mudah dirusak oleh gajah. Pagar kayu ini lebih tepat untuk mencegah masuknya satwa lain seperti babi.

16 54 Gambar 14 Pagar kayu pada lahan kelapa sawit. b. Pagar pisang Pemagaran lahan dengan pisang digunakan di bagian tempat masuknya gajah ke lahan pertanian. Tujuannya yaitu untuk mendetekasi keberadaan gajah secara cepat berdasarkan suaranya. Gajah yang memakan batang pisang akan mengeluarkan suara dari kunyahannya ataupun dari patahannya. Pemilik lahan mengharapkan gajah hanya akan memakan pisangnya saja tanpa memakan kelapa sawitnya. Penggunaan pagar pisang ini tidaf efesien dalam upaya pencegahan konflik. c. Pagar kaleng Pemagaran lahan dengan kaleng cukup membantu dalam mendeteksi kedatangan gajah. Tujuan dari pemasangan pagar kaleng ini bukan untuk mencegah masuknya gajah tetapi untuk mengetahui secara cepat masuknya gajah kedalam lahan pertanian. Kedatangan gajah dapat terdeteksi dengan bunyi-bunyi kaleng yang bergerak akibat ditabrak gajah. Penggunaan pagar kaleng dilakukan dengan memanfaatkan kaleng bekas yang dikaitkan pada tali yang memagari lahan. Kaleng-kaleng tersebut diisi batu/kerikil agar menghasilkan bunyi. d. Pagar listrik (Pancing/Strom gajah) Pagar listrik memiliki daya listrik yang menimbulkan daya kejut apabila tersentuh oleh gajah. Pemilik lahan mengharapkan ketika gajah terkejut gajah akan jera untuk memasuki lahan pertanian miliknya. Alat-alat yang digunakan untuk pagar listrik/strom gajah terdiri dari kawat, kayu untuk tiang, calcium battery untuk menyimpan energi matahari, Accu kering 150 Watt (mabruk tenaga surya) untuk mengkonversi energi matahari menjadi arus listrik dan batttery fencer 12 V ma untuk menghasilkan tegangan listrik (Gambar 15). Pemakaian pagar listik/strom gajah ini memerlukan biaya yang sangat mahal

17 55 sehingga penggunanya adalah pihak perkebunan skala besar dan masyarakat yang bermodal besar. (a) (b) (c) Gambar 15 Perangkat pagar listrik/strom gajah : battery fencer (a), accu kering 150 watt (b) dan calcium battery (c). c. Parit Pembuatan parit bertujuan untuk merintangi gajah ke lahan pertanian (Gambar 16). Parit dibuat di sekeliling tepi lahan atau bagian dimana gajah biasanya memasuki lahan pertanian. Parit memiliki kedalaman 2 meter dan lebar 1 meter. Keawetan parit dipengaruhi oleh faktor iklim seperti curah hujan, jenis tanah, bentuk parit, kontruksi parit dan pemeliharaanya. Pengerukan tanah untuk parit membutuhkan biaya yang mahal karena menggunakan alat berat yang disewa. Pembuatan parit ini umumnya digunakan oleh pihak perkebunan dan masyarakat yang bermodal besar.

18 56 Gambar 16 Parit gajah. 3) Patroli kawasan a. Patroli kendaraan Pelaksanaan patroli kawasan dilakukan oleh Tim Flying Squad dengan menggunakan kendaraan bermotor atau mobil. Patroli bertujuan untuk mengidentifikasi tanda-tanda keberadaan gajah. Patroli kendaraan dilakukan 5 hari dalam 1 minggu. Patroli dilakukan pada sore hari (pukul WIB, malam hari (pukul WIB) dan pagi hari ( pukul WIB) oleh 2 orang mahot (pelatih gajah). Kegiatan patroli kendaraan meliputi pemeriksaan di pintu keluar gajah dan lahan masyarakat. Apabila hasil patroli mengindikasikan adanya gajah yang keluar dari hutan maka akan dilakukan penelusuran jejak (kaki dan bolus/kotoran) dan dilanjutkan dengan pengusiran serta pemberian informasi kepada masyarakat. b. Patroli gajah Pelaksanaan patroli dilakukan dengan menggunakan gajah. Patroli gajah bertujuan untuk mengidentifikasi tanda-tanda keberadaan gajah sehingga upaya pengusiran dapat dilakukan lebih awal. Kegiatan patroli gajah meliputi pemeriksaan di pintu keluarnya gajah. Patroli gajah dilakukan 2 hari dalam 1 minggu dimulai pada pukul WIB. Patroli gajah dilaksanakan oleh 8 orang mahot (pelatih gajah) beserta 4 gajah terlatih. Penggunaan teknologi seperti pagar listrik/strom dan parit gajah cukup efektif dalam mencegah masuknya gajah ke lahan pertanian. Namun, material dan konstruksi yang kurang memadai dari kedua alat tersebut mengakibatkan gajah bisa memasuki lahan perkebunan dalam kedatangan berikutnya. Bahan yang digunakan masyarakat untuk tiang pengikat kawat berupa kayu. Penggunaan kayu

19 57 ini kurang cocok karena kayu mudah lapuk, terserang rayap dan mudah dirobohkan gajah. Sebaiknya tiang menggunakan bahan besi atau bahan yang tidak mudah dirobohkan gajah. Konstruksi parit yang dibuat masyarakat sangat sederhana, parit dibuat dengan kedalaman dan lebar yang jaraknya dipertimbangkan berdasarkan perkiraan terhadap kemampuan jangkauan kaki gajah untuk menyembrang. Namun dengan lebar 1 m dan kedalaman 2 m parit masih bisa dilewati oleh gajah. Selain faktor kedalaman dan lebar parit, jenis tanah liat berpasir sangat mudah untuk digemburkan gajah dan runtuh apabila musim hujan. Belum terdapat angka yang pasti untuk penggunaan ukuran lebar dan kedalaman parit yang efesien untuk merintangi gajah. Namun, di Malaya Barat dan Afrika parit untuk merintangi gajah memiliki lebar 3 m dan kedalaman 2 m. Berikut adalah contoh bentuk parit yang disesuaikan dengan daerah rawa, dataran rendah dan daerah yang bertopografi tinggi (Gambar 17) Sumber : West dan Soekarno diacu dalam Alikodra (1990) Gambar 17 Parit yang sesuai dengan daerah rawa, daerah dataran rendah dan daerah bertopografi tinggi.

20 58 Penggunaan teknologi dalam upaya mencegah masuknya gajah ke lahan pertanian perlu mempertimbangkan banyak hal. Tidak hanya mempertimbangkan efesiensi waktu dan biaya saja namun keselamatan dari gajah juga perlu dipertimbangkan. Upaya-upaya pencegahan ini akan lebih efektif dan efesien apabila upaya-upaya yang telah dilakukan diselaraskan dengan pengetahuanpengetahuan mengenai perilaku gajah. Selain itu, masyarakat harus tetap menjaga dan mengontrol lahan pertaniannya serta menjalin koordinasi yang baik dengan Tim Flying Squad sehingga saat gajah memasuki lahan pertanian dapat dilakukan penanggulangan secara cepat Penanggulangan Konflik Upaya penanggulangan konflik dilakukan untuk mengusir gajah yang keluar dari habitatnya dan memasuki lahan pertanian masyarakat serta untuk meminimalisir kerusakan yang terjadi akibat kedatangan gajah. Upaya penanggulangan konflik berupa pengusiran gajah dari kawasan sekitar dan yang berada dalam lahan pertanian masyarakat agar kembali ke habitatnya (TNTN). Pengusiran dilakukan oleh masyarakat dan Tim Flying Squad. Kegiatan pengusiran dilakukan setelah terdeteksinya keberadaan gajah saat patroli atau berdasarkan informasi masyarakat. Pengusiran yang dilakukan oleh masyarakat masih bersifat tradisional. Sementara itu, pengusiran yang dilakukan oleh Tim Flying Squad bersifat tradisional dan modern. Pengusiran secara tradisional dilakukan dengan media obor, kentongan, meriam karbit dan suara teriakan (Gambar 18). Penggunaan media ini bertujuan untuk membuat kondisi tidak nyaman bagi gajah yang berada di sekitar atau di dalam lahan pertanian. (a) (b) Gambar 18 Alat pengusiran : meriam karbit (a) dan obor (b).

21 59 Penggiringan merupakan proses pengusiran gajah liar secara modern, yaitu dengan bantuan gajah-gajah terlatih untuk menggiring gajah liar keluar dari lahan pertanian masyarakat dan kembali ke habitatnya. Penggiringan dilakukan apabila gajah tetap berada di lahan tersebut dalam waktu yang cukup lama Foto: WWF Indonesia-Program Riau Gambar 19 Tim Flying Squad (pengusir gajah). Kegiatan pengusiran dilakukan siang atau malam hari sesuai dengan waktu keberadaan gajah. Lamanya pengusiran tergantung dari jumlah gajah yang memasuki lahan pertanian. Gajah kelompok lebih mudah diusir dibandingkan pengusiran terhadap gajah tunggal. Penggiringan dengan gajah terlatih dilakukan pada siang hari hal ini dilakukan untuk memudahkan penggiringan dan keselamatan bagi Tim Flying Squad. Keterlibatan Tim Flying Squad dalam penanggulangan konflik di Desa Lubuk Kembang Bunga sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari persentase pengusiran gajah baik dilakukan disekitar lahan pertanian masyarakat ataupun setelah kedatangan gajah ke lahan pertanian masyarakat diperoleh persentase sebesar 90 % pada Tahun 2007 dan 95 % pada Tahun Nilai Ekonomi Upaya Pengendalian Konflik Nilai ekonomi upaya pengendalian konflik merupakan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dan Tim Flying Squad dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan konflik (Tabel 17 dan Tabel 18).

22 60 Tabel 17 Komponen biaya upaya pengendalian konflik oleh masyarakat No. Upaya Pengendalian Komponen Biaya Pencegahan 1. Penjagaan kebun Biaya transportasi Upah tenaga kerja 2. Pengontrolan kebun Biaya transportasi 3. Pembuatan pagar kayu, pagar listrik dan parit Biaya alat Upah tenaga kerja Penanggulangan 4. Pengusiran Biaya alat : minyak dan karbit Tabel 18 Komponen biaya upaya pengendalian konflik oleh Tim Flying Squad No. Upaya Pengendalian Komponen Biaya Pencegahan 1. Patroli kendaraan Biaya transportasi Biaya alat : karbit 2. Patroli gajah Biaya tenaga kerja Biaya alat: karbit Penanggulangan 3. Pengusiran Biaya transportasi Biaya alat: karbit Hasil perhitungan terhadap biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat dan Tim Flying Squad dalam upaya pengendalian konflik masing-masing diperoleh nilai sebesar Rp dan Rp (Tabel 19 dan Tabel 20). Tabel 19 Biaya operasional upaya pengendalian konflik oleh masyarakat Tahun No. Upaya Penanggulangan Biaya (Rp) Tahun 2007 Tahun Pencegahan Penjagaan kebun Pengontrolan kebun Pemebuatan dan pemeliharaan Pagar kayu Parit Pengusiran Jumlah (Rp) Biaya total tahun Tabel 20 Biaya operasional upaya pengendalian konflik oleh Tim Flying Squad Tahun No. Upaya Pengendalian Biaya (Rp) Tahun 2007 Tahun Biaya tetap Patroli Kendaraan 2.a Patroli kendaraan tanpa pengusiran b Patroli kendaraan dengan pengusiran

23 61 Tabel 20 (Lanjutan) No. Upaya Pengendalian Biaya (Rp) Tahun 2007 Tahun Patroli gajah 3.a Patroli gajah tanpa pengusiran b Patroli gajah dengan pengusiran Jumlah (Rp) Biaya total Tahun Upaya pengendalian konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga kurang efektif dalam mengurangi kerugian pada masyarakat. Apabila tidak dilakukan upaya pengendalian kerugian masyarakat diperkirakan sebesar Rp ,73 (asumsi rata-rata satu kali kedatangan gajah menimbulkan kerugian sebesar Rp ,66) dan apabila dilakukan pengendalian kerugian masyarakat sebesar Rp ,64. Upaya pengendalian konflik hanya mampu mengurangi kerugian sebesar Rp ,09. Nilai ini tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengendalikan konflik yaitu sebesar Rp Kondisi seperti ini perlu dituntaskan dengan menyelesaikan konflik berdasarkan sumber penyebab konflik, yaitu dengan mengelola habitat dan populasi gajah di Hutan Tesso Nilo Nilai Ekonomi Konflik Manusia dan Gajah Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah merupakan nilai kerugian langsung dan tidak langsung pada manusia akibat konflik dalam satuan rupiah. Hasil perhitungan komponen-komponen kerugian pada masyarakat Tahun diperoleh nilai sebesar Rp ,64 (Tabel 21). Tabel 21 Nilai ekonomi konflik manusia dan gajah di Desa Lubuk Kembang Bunga Tahun No. Komponen Kerugian Jumlah (Rp) Tahun 2007 Tahun Pendapatan yang hilang (cost of time) Kerusakan fisik tubuh Kerusakan bangunan Biaya mengungsi Kerusakan tanaman ,64 6. Biaya pengendalian Jumlah (Rp) ,64 Total Tahun ,64 Konflik di Desa Lubuk Kembang Bunga tidak mengakibatkan kehilangan pendapatan masyarakat karena gangguan gajah terjadi pada waktu masyarakat

24 62 tidak bekerja. Konflik juga tidak menimbulkan keresahan yang mengakibatkan masyarakat mengungsi karena gajah tidak memasuki pemukiman masyarakat. Terjadinya konflik manusia dan gajah pada Tahun tidak menimbulkan kecelakaan dan kematian pada manusia karena upaya pengendalian konflik sebagai reaksi masyarakat terhadap gangguan gajah tidak menyebabkan penyerangan gajah pada manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan

IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo Sejarah Kawasan 18 IV. KONDISI UMUM 4.1. Taman Nasional Tesso Nilo 4.1.1. Sejarah Kawasan Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo mulanya dikenal sebagai kawasan hutan langgam yang difungsikan sebagai Hutan Produksi terbatas

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Konflik di Provinsi Riau meningkat seiring dengan keluarnya beberapa izin perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 183 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan di bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik konversi hutan lindung menjadi kegiatan budidaya

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU

DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU DAS SUNGAI SIAK PROVINSI RIAU Oleh NUR ANITA SETYAWATI, 0706265705 Gambaran Umum DAS SIAK Sungai Siak adalah sungai yang paling dalam di Indonesia, yaitu dengan kedalaman sekitar 20-30 meter. Dengan Panjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN

BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN BAB V PROFIL KAWASAN PENELITIAN 5.1. LATAR BELAKANG DESA KESUMA Kawasan penelitian yang ditetapkan ialah Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Desa ini berada pada

Lebih terperinci

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 37 IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang Kawasan Hutan Produksi Terusan Sialang merupakan kawasan hutan produksi yang telah ditetapkan sejak tahun

Lebih terperinci

Pengecekan lapangan lokasi kebakaran foto dirilis di database online EoF

Pengecekan lapangan lokasi kebakaran foto dirilis di database online EoF 10 Juli 2013 Pengecekan lapangan lokasi kebakaran foto dirilis di database online EoF Warta EoF (PEKANBARU) Eyes on the hari ini menerbitkan foto-foto perjalanan verifikasi lapangan yang dilakukan pada

Lebih terperinci

ber Laporan investigatif dan analisa pengindraan jarak jauh di 29 konsesi HTI Riau Laporan Investigatif Eyes on the Forest Diterbitkan April 2018

ber Laporan investigatif dan analisa pengindraan jarak jauh di 29 konsesi HTI Riau Laporan Investigatif Eyes on the Forest Diterbitkan April 2018 ber Perusahaan HTI beroperasi dalam kawasan hutan melalui legalisasi perubahan fungsi kawasan hutan Mengkaji dampak Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan

Lebih terperinci

ARAHAN PENGENDALIAN KONVERSI HUTAN LINDUNG MENJADI KEGIATAN BUDIDAYA DI KAWASAN TAMAN NASIONAL TESSO NILO KABUPATEN PELALAWAN-RIAU

ARAHAN PENGENDALIAN KONVERSI HUTAN LINDUNG MENJADI KEGIATAN BUDIDAYA DI KAWASAN TAMAN NASIONAL TESSO NILO KABUPATEN PELALAWAN-RIAU TUGAS AKHIR PW09-1333 ARAHAN PENGENDALIAN KONVERSI HUTAN LINDUNG MENJADI KEGIATAN BUDIDAYA DI KAWASAN TAMAN NASIONAL TESSO NILO KABUPATEN PELALAWAN-RIAU NASRUDDIN NRP 3606 100 024 PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN dengan pusat pemerintahan di Gedong Tataan. Berdasarkan 66 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Kabupaten Pesawaran 1. Keadaan Geografis Pemerintah Daerah Kabupaten Pesawaran dibentuk berdasarkan Undangundang Nomor 33 Tahun 2007 dan diresmikan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan

TINJAUAN PUSTAKA. tinggi yang tersebar di ekosistem hutan dataran rendah Dipterocarpaceae sampai hutan TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Gunung Leuser Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ditetapkan sebagai kawasan strategis karena kawasan penyangga ini memiliki peranan yang sangat besar dalam melindungi dan

Lebih terperinci

BAB V KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN DI KAWASAN TESSO NILO. 5.1 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Kawasan TNTN

BAB V KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN DI KAWASAN TESSO NILO. 5.1 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Kawasan TNTN BAB V KONFLIK ANTAR PEMANGKU KEPENTINGAN DI KAWASAN TESSO NILO 5.1 Analisis Pemangku Kepentingan (Stakeholders) Kawasan TNTN Analisis pemangku kepentingan untuk menelaah dan memecahkan konflik di kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK

OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA. Hendra Kurniawan 1 ABSTRAK OPTIMALISASI PENGGUNAAN AIR IRIGASI DI DAERAH IRIGASI RENTANG KABUPATEN MAJALENGKA Hendra Kurniawan 1 1 Program Studi Magister Teknik Sipil, Universitas Trisakti, Jl. Kyai Tapa No. 1 Jakarta ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Pemupukan (4T) BPE Jenis Pupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Pemupukan (4T) BPE Jenis Pupuk 62 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsep Pemupukan (4T) BPE Pemupukan bertujuan untuk meningkatkan kandungan dan menjaga keseimbangan hara di dalam tanah. Upaya peningkatan efisiensi pemupukan dapat dilakukan dengan

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LUDY K. KRISTIANTO, MASTUR dan RINA SINTAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian ABSTRAK Kerbau bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa awal orde baru situasi dan keadaan ketersediaan pangan Indonesia sangat memprihatinkan, tidak ada pembangunan bidang pengairan yang berarti pada masa sebelumnya.

Lebih terperinci

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 217 ISBN: 978 62 361 72-3 PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA Esa Bagus Nugrahanto Balai Penelitian dan

Lebih terperinci

LAPORAN PELATIHAN MITIGASI KONFLIK GAJAH-MANUSIA DI BENER MERIAH & BIREUEN

LAPORAN PELATIHAN MITIGASI KONFLIK GAJAH-MANUSIA DI BENER MERIAH & BIREUEN DESA MUSARAPAKAT, KECAMATAN PINTU RIME GAYO, KABUPATEN BENER MERIAH 28-29 NOV 2015 HOTEL MEULIGO DAN DESA ALUE LIMENG, KECAMATAN JULI, KABUPATEN BIREUEN 1-2 DES 2015 LAPORAN PELATIHAN MITIGASI KONFLIK

Lebih terperinci

PROTOKOL PENGURANGAN KONFLIK GAJAH SUMATERA DI RIAU

PROTOKOL PENGURANGAN KONFLIK GAJAH SUMATERA DI RIAU PROTOKOL PENGURANGAN KONFLIK GAJAH SUMATERA DI RIAU Kerjasama BALAI KSDA PROVINSI RIAU YAYASAN WWF-INDONESIA MARET 2006 1 DAFTAR SINGKATAN BKSDA : Balai Konservasi Sumber Daya Alam Ca. : Cagar Alam Ditjen

Lebih terperinci

9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan?

9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan? 9/1/2014 Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan? Satu Pelanggaran yang dirancang sebelum Forest Conservation Policy APP/SMG diluncurkan ke Publik SENARAI Pada 5 Februari 2013, Sinar Mas

Lebih terperinci

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase 1 2 Latar Belakang Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. Banyak lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan telah terbakar dalam beberapa tahun terakhir ini. Kebakaran gambut sangat mudah menyebar di areaarea

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU

IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN LINDUNG TAMAN NASIONAL TESSO NILO DI KABUPATEN PELALAWAN, PROVINSI RIAU Regi pernandes, Indarti Komala Dewi *), Woro Indriyati Rachmani

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

memuat hal yang mendasari kegiatan penelitian. Rumusan masalah permasalahan yang diteliti dan pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian berisikan

memuat hal yang mendasari kegiatan penelitian. Rumusan masalah permasalahan yang diteliti dan pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian berisikan BAB I. PENDAHU LUAN BAB I. PENDAHULUAN Hal pokok yang disajikan dalam bagian ini yaitu : (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan peneltian, dan (4) manfaat penelitian. Latar belakang memuat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

Lahan Gambut Indonesia

Lahan Gambut Indonesia KARAKTERISTIK DAN KELAYAKAN EKONOMI EKOSISTEM GAMBUT UNTUK MENDUKUNG FUNGSI BUDIDAYA DAN LINDUNG Guru Besar Ekonomi Pedesaan http://almasdi.staff.unri.ac.id LPPM Universitas Riau Lahan Gambut Indonesia

Lebih terperinci

KONDISI FISIK BAB I 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH

KONDISI FISIK BAB I 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH BAB I KONDISI FISIK 1.1. LUAS WILAYAH DAN BATAS WILAYAH Sebelum dilakukan pemekaran wilayah, Kabupaten Kampar merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki wilayah terluas di Provinsi Riau dengan luas mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL...

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Isi Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... xiv I. PENDAHULUAN......1 1.1. Latar Belakang......1 1.2. Maksud dan Tujuan Studi......8 1.2.1. Maksud......8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI

DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI Hasil Pemetaan Masyarakat Desa bersama Yayasan Mitra Insani (YMI) Pekanbaru 2008 1. Pendahuluan Semenanjung Kampar merupakan kawasan hutan rawa gambut yang memiliki kekayaan

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM I Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami pengertian mitigasi. 2. Memahami adaptasi

Lebih terperinci

Manusia-Satwa Liar Terus Berkonflik di Riau

Manusia-Satwa Liar Terus Berkonflik di Riau LAPORAN UTAMA DARI REDAKSI Pembaca yang budiman, SELAMAT BERTEMU DI AWAL TAHUN 2010, tahun yang menurut penanggalan Cina merupakan tahun harimau. Di tahun ini akan digelar rangkaian pertemuan tingkat dunia

Lebih terperinci

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG

STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG STUDI JENIS TUMBUHAN PAKAN KELASI (Presbitis rubicunda) PADA KAWASAN HUTAN WISATA BANING KABUPATEN SINTANG Sri Sumarni Fakultas Pertanian Universitas Kapuas Sintang e-mail : sri_nanisumarni@yahoo.co.id

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Lembaga konservasi dunia yaitu IUCN (International

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SINTESIS

ANALISIS DAN SINTESIS 55 ANALISIS DAN SINTESIS Lokasi Lokasi PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills yang terlalu dekat dengan pemukiman penduduk dikhawatirkan dapat berakibat buruk bagi masyarakat di sekitar kawasan industri PT

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Pulosari Hasil analisis yang dilakukan terhadap citra Landsat 7 liputan tahun, kondisi tutupan lahan Gunung Pulosari terdiri dari

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI

BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI BAB III GAMBARAN LOKASI STUDI 3.1. Umum Danau Cisanti atau Situ Cisanti atau Waduk Cisanti terletak di kaki Gunung Wayang, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung. Secara geografis Waduk

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Kabupaten Banyuasin Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I. bertujuan. untuk. mengidentifikasi. lokal asli di. penyebab. di Provinsi. Riau, dengan. konflik yang 93,764 45,849 27,450 3,907 29,280 14,000

BAB I. bertujuan. untuk. mengidentifikasi. lokal asli di. penyebab. di Provinsi. Riau, dengan. konflik yang 93,764 45,849 27,450 3,907 29,280 14,000 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab tidak terselesaikannya konflikk antara perusahaan hutan tanamann industri dan masyarakat lokal asli di Provinsi

Lebih terperinci

TEKNIK-TEKNIK MITIGASI KONFLIK GAJAH MANUSIA DI PROVINSI RIAU. Defri Yoza 1,2. ABSTRAK

TEKNIK-TEKNIK MITIGASI KONFLIK GAJAH MANUSIA DI PROVINSI RIAU. Defri Yoza 1,2. ABSTRAK TEKNIK-TEKNIK MITIGASI KONFLIK GAJAH MANUSIA DI PROVINSI RIAU Defri Yoza 1,2 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Riau 2 Dosen Fakultas pertanian Universitas Riau

Lebih terperinci

Laporan Investigasi Jikalahari KEPALA BRG DIHADANG, PT RAPP LANJUT MERUSAK HUTAN ALAM DAN GAMBUT

Laporan Investigasi Jikalahari KEPALA BRG DIHADANG, PT RAPP LANJUT MERUSAK HUTAN ALAM DAN GAMBUT I. PENDAHULUAN Laporan Investigasi Jikalahari KEPALA BRG DIHADANG, PT RAPP LANJUT MERUSAK HUTAN ALAM DAN GAMBUT Empat bulan lebih pasca Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) dihadang dan diusir

Lebih terperinci

PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH

PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH LAMPIRAN 7 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.1/Menhut-II/2009 Tanggal : 6 Januari 2009 PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH A. Identifikasi dan Deskripsi Calon Sumber Benih 1. Pemilik sumber benih mengajukan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan (wildfire/forest fire) merupakan kondisi dimana keadaan api menjadi tidak terkontrol dalam vegetasi yang mudah terbakar di daerah pedesaan atau daerah

Lebih terperinci

Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua

Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua Karakteristik Daerah Aliran Sungai Mamberamo Papua Disusun Oleh : Ridha Chairunissa 0606071733 Departemen Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Daerah Aliran Sungai

Lebih terperinci

Pelaku Pembunuhan Harimau Sumatera Hanya Divonis Ringan

Pelaku Pembunuhan Harimau Sumatera Hanya Divonis Ringan LAPORAN UTAMA DARI REDAKSI Pembaca yang budiman, SELAMAT BERJUMPA KEMBALI dengan buletin Suara Tesso Nilo. Kami menyampaikan Selamat Tahun Baru 2010 semoga tahun ini membawa kesuksesan bagi kita semua

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain

KARAKTERISTIK WILAYAH. A. Kondisi Geofisik. aksesibilitas baik, mudah dijangkau dan terhubung dengan daerah-daerah lain III. KARAKTERISTIK WILAYAH A. Kondisi Geofisik 1. Letak Geografis Desa Kepuharjo yang berada sekitar 7 Km arah Utara Kecamatan Cangkringan dan 27 Km arah timur laut ibukota Sleman memiliki aksesibilitas

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

LAPORAN PERKEMBANGAN BROP KEBUN ENERGI

LAPORAN PERKEMBANGAN BROP KEBUN ENERGI LAPORAN PERKEMBANGAN BROP KEBUN ENERGI Istiyarto Ismu Manager Kampanye Bali Barat Pengantar Strategi penyingkir halangan yang diterapkan oleh Yayasan Seka dalam rangka penyelamatan habitat Jalak Bali (Leucopsar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hartini Susanti, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hartini Susanti, 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan mineral, seperti batubara, timah, minyak bumi, nikel, dan lainnya. Peraturan Presiden

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Gajah Sumatera 2.1.1. Taksonomi dan Status Konservasi Gajah Sumatera Gajah sumatera merupakan sub spesies dari Gajah asia (Elephas maximus) yang diperkenalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak dampak negatif

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak dampak negatif BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana tentang perubahan iklim merupakan isu global yang dianggap penting untuk dikaji. Kemajuan pesat pembangunan ekonomi memberi dampak yang serius terhadap iklim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 19 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pemahaman Masyarakat Sekitar Hutan Mengenai Perubahan Iklim Perubahan iklim dirasakan oleh setiap responden, meskipun sebagian besar responden belum mengerti istilah perubahan

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi CV. Jayabaya Batu Persada secara administratif terletak pada koordinat 106 O 0 51,73 BT dan -6 O 45 57,74 LS di Desa Sukatani Malingping Utara

Lebih terperinci

Key word : mitigasi, konflik gajah-manusia, agroforestri

Key word : mitigasi, konflik gajah-manusia, agroforestri MITIGASI KONFLIK GAJAH-MANUSIA MENGGUNAKAN SISTEM AGROFORESTRI SAWIT-HUTAN DI KABUPATEN BENGKALIS Defri Yoza 1, Rudianda Sulaeman 1 dan Kausar 1 1 Staf Pengajar Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

KAJIAN UMUM WILAYAH Wilayah Administrasi, Letak Geografis dan Aksesbilitas

KAJIAN UMUM WILAYAH Wilayah Administrasi, Letak Geografis dan Aksesbilitas KAJIAN UMUM WILAYAH Pengembangan Kota Terpadu Mandiri (KTM) di Kawasan Transmigrasi dirancang dengan kegiatan utamanya pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG KRITERIA KERUSAKAN LAHAN PENAMBANGAN SISTEM TAMBANG TERBUKA DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH Oleh : Sri Harjanti W, 0606071834 PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu kesatuan wilayah tata air dan ekosistem yang di dalamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci