PEMIKIRAN SØREN KIERKEGAARD TENTANG HAKIKAT AGAMA: KONTRIBUSINYA BAGI DIALOG DAN KERUKUNAN HIDUP ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA RINGKASAN DISERTASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMIKIRAN SØREN KIERKEGAARD TENTANG HAKIKAT AGAMA: KONTRIBUSINYA BAGI DIALOG DAN KERUKUNAN HIDUP ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA RINGKASAN DISERTASI"

Transkripsi

1 PEMIKIRAN SØREN KIERKEGAARD TENTANG HAKIKAT AGAMA: KONTRIBUSINYA BAGI DIALOG DAN KERUKUNAN HIDUP ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA RINGKASAN DISERTASI Oleh: Hipolitus Kristoforus Kewuel 08/276185/SFI/142 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT FAKULTAS FILSAFAT UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

2 ABSTRACT

3 PEMIKIRAN SØREN KIERKEGAARD TENTANG HAKIKAT AGAMA: KONTRIBUSINYA BAGI DIALOG DAN KERUKUNAN HIDUP ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA Hipolitus K. Kewuel A. Latar Belakang Wacana Multikulturalisme baru muncul sekitar tahun 1970-an ketika banyak imigran dari benua Asia (Turki, Arab, India, Cina) berbondong-bondong masuk Eropa dan Amerika. Para imigran itu membawa latar belakang agama dan budaya masing-masing dan hidup berdampingan dengan agama dan budaya barat (Djoyodinoto, 1987: 10). Pertemuan Timur- Barat ini membawa dua dampak besar. Pertama, dunia barat sadar bahwa ternyata ada agama dan kebudayaan lain yang sedang berkembang pesat. Kedua, munculnya tuntutan dunia timur untuk diakui keberadaan dan kesetaraan hak-haknya. Menurut Parekh (2000: 63), tuntutan pengakuan identitas ini terus menerus bergerak menuju level yang lebih tinggi. Para imigran menuntut supaya penerimaan itu tidak hanya sekedar berhenti di level toleransi, tetapi terutama supaya mencapai tingkat penerimaan, penghormatan, dan akhirnya pengakuan publik atas perbedaan cara hidup. Eck (1987: 132) bahkan menegaskan bahwa lebih dari itu semua, penerimaan harus bisa mencapai tingkat kerjasama demi menghasilkan hidup bersama yang lebih berkembang dan bermutu. Pendapat ini tampaknya bergerak satu langkah lebih maju bila dibandingkan dengan pendapat Hans Kung (1991: 210) yang mengatakan bahwa toleransi yang sesungguhnya harus bisa menghasilkan ekumene di mana masing-masing orang yang berbeda agama bisa secara bebas tanpa beban bersatu memuji dan mengagungkan Sang Khalik dengan cara dan ritus yang berbeda-beda pula. Tuntutan-tuntutan semacam ini, tampaknya sedang terjadi juga di Indonesia dalam konteks perbedaan suku, agama, dan budaya. Fakta multikulturalisme dan pluralisme di

4 Indonesia semacam itu, di satu sisi perlu dilestarikan sebagai kekayaan bangsa sebagaimana hal ini nyata dalam prinsip Bhineka Tunggal Ika yang telah ikut menopang berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, tetapi di sisi lain, hal itu perlu terus menerus diolah supaya berbagai aspek di dalamnya berkembang dan terutama agar tidak menjadi bumerang dalam hidup bersama. Pluralisme agama adalah salah satu realitas sosial yang telah ikut mendorong lahirnya berbagai teori hidup bersama, seperti toleransi, kerukunan, dialog antar umat beragama, dan lain-lain. Hal-hal ini bahkan telah menjadi bahan permenungan filsafat berabad-abad. Aliran filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang tekun merenungkan bagaimana manusia mencapai kepenuhan kemanusiaannya, bagaimana manusia mencapai eksistensinya, bagaimana hidup manusia menjadi bermakna dan berdaya guna di dalam keberagaman hidup masyarakat. Bapak eksistensialisme, Søren Aabye Kierkegaard menemukan dalam permenungannya bahwa di dalam religiositas dan lebih konkret di dalam penghayatan hidup beragama, manusia berpeluang besar menemukan eksistensinya itu. Agama adalah salah satu tempat di mana manusia bergumul terus menerus untuk menemukan diri. Persoalannya, menurut Kierkegaard (1971: 34), untuk merealisasikan maksud luhur agama sebagai tempat kepenuhan kemanusiaan, pemahaman tentang hakikat agama yang benar menjadi hal yang penting dan berpengaruh besar. B. HASIL PENELITIAN 1. Hakikat Agama sebagai Wilayah Paradoks. Berhadapan dengan hidup sebagai sebuah misteri, manusia terus menerus bergulat memberi makna kepada hidup itu baik secara

5 bersama maupun secara sendiri-sendiri. Salah satu hal yang diandalkan manusia untuk berhadapan dengan misteri hidup itu adalah agama karena melalui agama, manusia berharap bisa dibantu mengatasi berbagai persoalan hidup yang tidak bisa diatasi oleh nalar. Kemampuan daya nalar manusia memang telah banyak membantu menyelesaikan berbagai problem, tetapi disadari bahwa peran itu hanya terbatas pada penanganan masalah-masalah teknis pendukung kehidupan. Nalar ternyata tidak cukup untuk diharapkan ikut menyelesaikan persoalan-persoalan essensial hidup (Bergson, 1977: 24). Agama diharapkan bisa membantu nalar dalam konteks ini, namun kenyataan menunjukkan bahwa peran itu belum terlalu ideal dimainkan oleh agama-agama. Atas dasar ini, permenungan menemukan hakikat agama secara terus menerus dan berkelanjutan menjadi hal yang penting dan serius untuk digumuli. Persoalannya, mengandalkan agama berarti ada tuntutan membuka diri untuk meloncat ke wilayah di luar rasio, yakni wilayah iman. Iman berarti komitmen pada halhal yang jauh dari ukuran kebenaran rasional dan hidup yang dijalani dalam konteks ini diharapkan mampu mendatangkan jawaban atas kerinduan-kerinduan eksistensial manusia sehingga manusia semakin berada dalam hidup yang bermutu dan berkualitas. Bagian ini secara khusus hendak menelusuri makna paradoks itu dalam paradigma berpikir Kierkegaard yang didasarkan pada latar belakang pengalaman hidup kekristenan Kierkegaard sendiri, dalam terang filsafat eksistensial. Tema-tema yang dibahas itu antara lain; paradoks absolut, paradoks dan kebenaran abadi, paradoks dan pengaruh dosa, serta paradoks dan cinta. 2. Hakikat Agama sebagai Wilayah Kebenaran Subjektif. Kierkegaard dalam bukunya Concluding Unscientific Postcript (1941: 30-60) memberikan berbagai kritik terhadap

6 cara-cara tradisional manusia dalam memahami kebenaran yang semuanya bersifat objektif. Kritik-kritik ini ditujukan Kierkegaard kepada orang-orang cerdik pandai yang menghabiskan waktu dengan belajar terus menerus dan kehilangan kontak dengan hal-hal yang sederhana. Menurut Kierkegaard, dalam hal ini orang-orang bijaksana kehilangan kontak dengan sifat iman dan gagal menangani masalah-masalah lain yang lebih penting, seperti; Apa artinya memiliki iman dan bagaimana hal itu mempengaruhi para orang bijaksana itu sebagai pribadi? Orang bijaksana sibuk dengan mempelajari pengetahuan tinggi, tetapi lupa menjalani kehidupan iman yang sederhana. Orang bijaksana menyibukkan dirinya dengan tugas-tugas duniawi lalu lupa bagaimana menjalani kehidupan dalam kesederhanaan. Pertanyaan-pertanyaan, seperti; Bagaimana setiap orang seharusnya menjalani kehidupan secara baik?, Apa artinya memiliki iman bagi setiap orang secara pribadi? menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terasa aneh dan tidak masuk akal. Kierkegaard, dalam konteks ini mau mengatakan bahwa sebagian besar para cerdik pandai adalah pembicara dan penulis hebat, tetapi sekaligus adalah orang-orang yang tidak mampu mengungkapkan hal yang penting dalam dan bagi kehidupan mereka sendiri (Kierkegaard, 1969: 234). Kierkegaard berpendapat bahwa para cerdik pandai seperti itu harus dinilai berdasarkan realitas bagaimana orang-orang itu menjalani kehidupan. Ungkapan terbaik dari apa yang diyakini benar harus dapat dilihat dalam kehidupan individua bersangkutan dan bukan berdasarkan kata-kata yang diucapkannya. Kierkegaard, dengan cara ini ingin menghentikan aktivitas orang-orang yang sibuk melarikan diri ke dalam bahasa dan ungkapan-ungkapan indah untuk menyadari eksistensinya dan siapa dirinya di hadapan Tuhan (Kierkegaard, 1941: 65).

7 Kierkegaard mengakui bahwa mungkin saja para cerdik pandai memiliki banyak pengetahuan dan refleksi mendalam dengan membaca banyak buku, tetapi hal-hal ini tidak serta merta membuat orang-orang itu menjadi orang beragama yang baik. Kierkegaard menegaskan bahwa kalau masalah kebenaran dilihat secara objektif, maka refleksi secara objektif itu akan diarahkan kepada kebenaran sebagai suatu objek yang berkaitan dengan subjek yang mengetahuinya. Hal ini mengindikasikan bahwa refleksi tidak difokuskan pada hubungan, tetapi pada pertanyaan apakah kebenaran tersebut merupakan kebenaran yang diketahui oleh subjek atau tidak. Contoh pengetahuan tentang Tuhan; secara objektif, refleksi diarahkan pada pertanyaan apakah objek ini adalah Tuhan yang sebenarnya atau tidak, sedangkan secara subjektif, refleksi diarahkan pada pertanyaan apakah masing-masing pribadi memiliki hubungan dengan Tuhan atau tidak (Kierkegaard, 1941: 178). Tema-tema yang direnungkan Kierkegaard antara lain; iman dan kehendak pribadi, iman dan hubungan dengan Tuhan, serta iman dan ketidakpastian objektif. C. REFLEKSI 1. Refleksi Kritis Konstruktif. a. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama sesungguhnya hanyalah merupakan deskripsi makna agama yang telah dijalani dan dihidupi umat manusia selama ini. Hakikat agama menurut Kierkegaard, dengan demikian lebih cocok dipahami sebagai reartikulasi makna agama pada umumnya, namun fungsi reartikulasi hakikat agama di zaman yang sangat menekankan dominasi rasio ini merupakan suatu sumbangan yang sangat berarti dan berdaya guna.

8 b. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama tampaknya lebih menekankan agama sebagai salah satu persoalan eksistensial hidup manusia. Hal ini menunjukkan bahwa bagi Kierkegaard, agama adalah salah satu wilayah subur tempat bertumbuh kembangnya kualitas hidup manusia. c. Pendekatan Kierkegaard dalam mengungkap hakikat agama adalah model pendekatan yang khas karena berbeda dari pendekatan-pendekatan pada umumnya yang berberbasis rasionalitas. Dominasi cara berpikir objektif di zaman itu diubah oleh Kierkegaard menjadi cara berpikir subjektif. d. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama yang sangat dilatarbelakangi oleh tradisi kekristenan, sesungguhnya adalah potret pergulatan essensial semua agama dalam situasi hidup yang multikultur dan pluralistis saat ini. e. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama bagaimana pun juga telah memberi sumbangan pemikiran yang sangat berarti dalam wacana filsafat agama. Kierkegaard, dengan pendekatan eksistensialnya telah menunjukkan rumitnya realitas keberagaman sekaligus jalan keluar dari kemelut keberagaman itu. f. Hakikat agama sebagaimana yang ditawarkan Kierkegaard adalah konsep yang dalam aplikasinya sangat terbuka untuk kemungkinan keberagaman pemahaman terhadap Tuhan. g. Pemikiran Kierkegaard ini sangat relevan dalam konteks pluralitas hidup beragama seperti di Indonesia. Himbauan semacam ini menjadi hal yang penting sebagai kontrol supaya pemeluk agama-agama tidak terjerumus dalam fanatisme agama yang berlebihan di tengah kecenderungan mengagungkan agama sendiri karena pengaruh egoisme modernitas.

9 h. Dalam konteks Indonesia, sumbangan pemikiran Kierkegaard ini beroperasi pada tataran pengolahan pluralitas agama guna ikut menyiapkan masyarakat Indonesia mewujudkan cita-cita bangsa ini menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia sebagaimana yang diharapkan dalam dasar negara Pancasila. 2. Refleksi Kritis Korektif. a. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama adalah sungguh pemikiran filsafat yang meskipun sederhana tetap membutuhkan refleksi mendalam untuk memahaminya. Ini berarti secara tidak disadari, pemikiran Kierkegaard menuntut umat beragama untuk memiliki tingkat refleksi yang tinggi guna memahami hakikat agama yang ditawarkannya. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama dengan demikian mengandaikan juga bahwa orang-orang beragama perlu memiliki tingkat intelektual tertentu karena tanpa itu apa yang dimaksudkan oleh Kierkegaard tentang hakikat agama akan sulit dipahami. Situasi nyata menunjukkan bahwa untuk realisasi pemahaman terhadap hakikat agama yang ditawarkan Kierkegaard masih memerlukan banyak waktu, sekurang-kurangnya waktu untuk penyesuaian dengan pola dan cara berpikir Kierkegaard yang khas filsafat eksistensial ini. b. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama adalah hasil refleksi atas teologi Kristen tentang ke-allah-an dan kemanusiaan Yesus. Di satu sisi, hal yang dilakukan Kierkegaard ini adalah sesuatu yang baik dan berguna karena bisa menjadi cermin bagi banyak orang dalam memandang kedalaman pemahaman tentang hakikat agama, namun di sisi lain, ada kesan inkonsistensi ide yang sedang dilakukan Kierkegaard. Kierkegaard, dengan cara ini mungkin tidak disadari-- telah melakukan perlawanan atas idenya sendiri tentang agama sebagai wilayah subjektif.

10 c. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama lahir dari permenungan atas ajaran iman Kristen, maka pemikiran ini tidak serta merta diperuntukkan bagi semua orang beragama. Gradasi peruntukan pemikiran ini dapat dibuat sebagai berikut; pertama tentu saja diperuntukan bagi para pemeluk agama Kristen sendiri; kedua dapat dilihat titik sentuhnya dengan agama Katolik; ketiga relevansinya dengan agama-agama abrahamik atau agama-agama wahyu; keempat hubungannya dengan agama-agama non wahyu. d. Pemikiran Kierkegaard tentang relasi pribadi dengan Tuhan mengandaikan bahwa para pemeluk agama-agama sudah melewati batas-batas pemahaman biasa dan hidup dalam kedalaman hubungan dengan Tuhan. Pemikiran Kierekegaard yang demikian ini juga memberi pengandaian terlalu tinggi soal taraf hubungan pribadi para pemeluk agama dengan Tuhan. e. Pemikiran Kierkegaard tentang agama dan paradoks, jika tidak dimengerti secara baik dan benar akan menjerumuskan umat beragama pada konsep pietisme yang dalam sejarah pernah diperangi oleh gereja katolik. Pietisme adalah paham yang memutlakkan bahwa persoalan agama dan Tuhan adalah murni persoalan non rasional yang tidak bisa didiskusikan sama sekali. f. Apabila konsep pluralisme yang ditawarkan Kierkegaard tidak diolah dan ditempatkan pada posisi yang baik dan benar, maka konsep pluralisme itu justru akan dinilai bertentangan dengan prinsip Pancasila sebagai dasar negara yang mencita-citakan terwujudnya prinsip kesatuan.

11 D. KONTRIBUSI 1. Kontribusi bagi pemahaman akan keragaman klaim kebenaran agama-agama di Indonesia. (a). Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama membangun kesadaran bahwa kebenaran agama-agama mesti dipahami dalam kaca mata eksistensialisme bahwa setiap klaim kebenaran dalam agama-agama adalah bentuk ungkapan kolektif pribadipribadi yang unik, yang perlu dihargai dan diberi ruang bergerak yang memadai. (b). Penghargaan terhadap perbedaan klaim kebenaran agama-agama menjadi pintu masuk guna memahami kebenaran agama-agama di luar agama sendiri. (c). Kerendahan hati dan kerelaan yang tulus untuk melihat perbedaan klaim kebenaran agama-agama menjadi jalan masuk ke dalam kesadaran bahwa keberagaman klaim kebenaran agama-agama sesungguhnya dibangun, tumbuh, dan berkembang di atas dasar-dasar yang sama, yakni bahwa agama-agama, sama-sama memiliki pemahaman dasar (central insight) dan konsep tentang realitas ilahi yang sama pula. 2. Kontribusi bagi dialog dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. (a). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa ketertiban hidup bernegara ikut ditentukan oleh kualitas pengolahan subjektivitas kebenaran agama. (b). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa penghayatan agama yang berkualitas menuntut pengakuan dan penerimaan akan realitas paradoks dan kebenaran agama. (c). kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa para pelaku dialog agama dituntut memiliki konsep-konsep dan menguasai unsur-unsur dasar kebenaran, serta paham akan teori-teori penuntun kebenaran. (d). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa fanatisme agama yang berlebihan bertentangan dengan hakikat agama. (e). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa dialog dan kerukunan hidup antar umat beragama menjadi bagian esensial dalam hidup agama-

12 agama. (f). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa pendidikan agama dalam dunia pendidikan formal harus mampu membawa peserta didik pada pengenalan akan kebenaran agama lain juga dan tidak hanya sibuk dengan kebenaran agamanya sendiri. (g). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa Penghayatan Agama yang Paradoks dan Subjektif Menuntut Distansi demi Refleksi dan Evaluasi Terus Menerus. E. KESIMPULAN 1. Salah satu puncak permenungan Søren Kierkegaard adalah bahwa agama dipandang sebagai salah satu bidang hidup yang bisa diandalkan sebagai medan yang paling memungkinkan bagi manusia untuk menemukan eksistensinya. Søren Kierkegaard berpendapat bahwa dalam kaca mata filsafat eksistensial, ada dua pemahaman dasar yang harus dimiliki ketika orang hendak berbicara tentang agama. (a), beragama berarti masuk dan hidup dalam wilayah paradoks yang menuntut orang beragama untuk percaya pada dua hal yang bertentangan pada saat yang bersamaan sekaligus mengamini kebenaran hal yang tidak bisa dijelaskan secara memadai itu. (b). Agama-agama sesungguhnya adalah medan subjektif dan oleh karena itu sekaligus menjadi alternatif kebenaran juga berhadapan dengan Realitas Ilahi. Pendapat Søren Kierkegaard ini mau menegaskan bahwa kebenaran Realitas Ilahi dalam sebuah agama bukan satu-satunya ukuran kebenaran akan Realitas Ilahi itu. 2. Søren Kierkegaard, dengan demikian telah memberikan beberapa sumbangan pemikiran yang segar demi pengembangan mutu hidup beragama. Pandangan Søren Kierkegaard tentang agama sebagai wadah perealisasian hubungan pribadi dengan Tuhan sebagai kekuatan dalam menjalani hidup di dunia ini menjadi suatu warning bagi semua orang

13 beriman bahwa beriman dan beragama itu demi kebaikan hidup di dunia ini dan bukan suatu perjuangan yang semata-mata demi kehidupan di alam surga. 3. Pandangan Søren Kierkegaard bahwa beragama berarti masuk dalam wilayah paradoks sesungguhnya merupakan suatu permenungan realistis bahwa hidup beragama tidak bisa dihayati sama dengan hidup profan pada umumnya. Hidup beragama berkaitan dengan wilayah lain yang perlu dijalani secara lain pula. Pandangan Søren Kierkegaard tentang agama sebagai wilayah subjektif dan oleh karena itu menjadi salah satu penawar alternatif kebenaran juga memberi sumbangan yang khas bagi umat beragama pada umumnya bahwa agama apa pun memiliki kebenarannya sendiri-sendiri yang tidak bisa digeneralisir dan dipaksakan untuk dianut oleh orang lain. 4. Pemikiran Søren Kierkegaard tentang hakikat agama ini, apabila dipahami secara baik dan benar akan membuat setiap orang beriman terhindar dari upaya pengaruh mempengaruhi dalam hal keyakinan. Setiap orang disadarkan bahwa kebenaran agamanya memang mengandung kebenaran yang khas, tetapi itu tidak bersifat mengikat bagi orang yang tidak menganut agama itu. Pemikiran-pemikiran Søren Kierkegaard ini dalam prakteknya disinyalir akan lebih berdaya guna apabila diakomodasi sebagai bekal bagi para pelaku dialog antar umat beragama dalam kegiatan-kegiatan konkret Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Sumbangan-sumbangan pemikiran Søren Kierkegaard ini disadari sangat membutuhkan kegiatan-kegiatan awal sebagai persiapan sebelum mengaplikasikan pemikiran-pemikiran itu secara maksimal. (a). Kegiatan atau aktivitas saling mengenal secara mendalam antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain. Pengenalan yang dimaksud di sini lebih berkaitan dengan pengenalan terhadap inti iman dan ajaran agama-agama lain sebagai persiapan mewujudkan sumbangan pemikiran Søren Kierkegaard yang pertama tentang paradoks. (b). Kegiatan atau aktivitas mengolah dan

14 mengenal lebih dalam keragaman pluralitas agama karena dengan kegiatan ini, para umat beragama diakrabkan dengan persoalan agama sebagai hal subjektif yang menjadi sumbangan khas Søren Kierkegaard juga. (c). Sebagai media pengolahan keberagaman klaim kebenaran agama-agama, para umat beragama semestinya akrab dengan para pemeluk agama lain dalam perjumpaan-perjumpaan dialog antar umat beragama.

15 DAFTAR PUSTAKA Bliss, Kathleen, 1972, The Future of Religion, Penguin Books: New York. Bretall, Robert, 1947, Kierkegaard Anthology, Princeton University Press: Princeton, New Jersey Chrites, Stephen, 1972, In the Twilight of Christendom: Hegel vs Kierkegaard on Faith and History, American Academy of Religion: Chambersburg. Djoyodinoto, Wahyudi (Penyunting), 1987, Arnold Toynbee dan Daisaku Ikeda: Perjuangkan Hidup: Sebuah Dialog, PT. Indira: Jakarta. Eck, Diana L., 1987, Speaking of Faith: Global Perspectives on Women, Religion, and Social Change, New Society Publication: Harvard Effendi, Johan, 1985, Kata Pengantar dalam Smith, Huston, Agama-agama Manusia (terj.), Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Elrod, John, W., 1981, Kierkegaard and Christendom, Princeton University Press: Princeton. Evans, Stephens, C., 1985, Philosophy of Religion: Thinking about Faith, Inter Varsity Press: Downers Grove, Illinois, USA. Hamilton, Kenneth, 1969, The Promise of Kierkegaard, Lippincot: New York. Kierkegaard, Soren, 1940, Stages On Life s (terj.), Princeton University Press: New Jerssey , 1941, Concluding Unscientific Postcript, trans by. David Swenson and Walter Lowrie, Princeton University Press: Princeton , 1959, Either/Or, trans by: Walter Lowrie and Howard Johnson, 2 vols, Princeton University Press: Princeton , 1962, Philosophical Fragments, trans by: David Swenson and Howard V. Hong, Princeton University Press: Princeton , 1987, Philosophical Fragments, (second edition), trans by: Howard V. Hong and Edna H. Hong, Princeton University Press: Princeton , 1995 Either/Or (1843), terjemahan David & Lillian Swenson, Priceton University Press: Princeton , 1983, Repetition (1843), terjemahan Walter Lowrie, Priceton University Press: Princeton.

16 , 1983, Kierkegaard s Writings, Vol. VI: Fear and Trembling and Repetition, ed. And trans by: Howard Hong and Edna Hong, Princeton University Press: Princeton , 1971, Works of Love, terjemahan Howard & Edna Hong, Priceton University Press: Princeton , 1972, Training In Christianity, terjemahan Walter Lowrie, Princeton University Press: Princeton. Parekh, Bhikhu, 2000, Rethinking Multiculturalism, Palgrave: New York. Toynbee, Arnold dan Daisaku Ikeda. 1987, Dialog Timur dan Barat dalam Djoyodinoto (ed.), Perjuangkan Hidup: Sebuah Dialog, PT. Indira: Jakarta, hal Vahiduddin, S., 1980, Religion at the Cross Road, Idarah Adabiyat-i: Delhi. Vardy, Peter, 1995, Kierkegaard (terj). Kanisius: Yogyakarta Vroom, Hendrik, M., 1989, Religions and the Truth: Philosophical Reflections and Perspectives, William B. Eerdmans Publishing Company: Amsterdam. Yandell, Keith E., 2002, Philosophy of Religion: A Contemporary Introduction, Routledge: London dan New Jersey

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, banyak manusia menghidupi kehidupan palsu. Kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, banyak manusia menghidupi kehidupan palsu. Kehidupan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dewasa ini, banyak manusia menghidupi kehidupan palsu. Kehidupan yang ditampilkan di luar tidak ditopang dengan penghayatan hidup yang dipilihnya. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Permasalahan The Meeting Place of World Religions. 1 Demikianlah predikat yang dikenakan pada Indonesia berkaitan dengan kemajemukan agama yang ada. Selain majemuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha

BAB I PENDAHULUAN. terjadi di dunia memungkinkan manusia untuk terarah pada kebenaran. Usahausaha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kebenaran selalu aktual di zaman yang dipengaruhi perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Berbagai perkembangan yang terjadi di dunia memungkinkan manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila dilihat dari sudut pandang spiritual, dunia ini terbagi ke dalam dua karakter kehidupan spiritual, yaitu: Bangsa-bangsa barat yang sekuler dalam arti memisahkan

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

Areté Volume 02 Nomor 02 September 2013 RESENSI BUKU 2. Simon Untara 1

Areté Volume 02 Nomor 02 September 2013 RESENSI BUKU 2. Simon Untara 1 199 RESENSI BUKU 2 Simon Untara 1 Judul Buku : Tema-tema Eksistensialisme, Pengantar Menuju Eksistensialisme Dewasa Ini Pengarang : Emanuel Prasetyono Penerbit : Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut: BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas

Lebih terperinci

PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA

PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA Disusun oleh: Nama Mahasiswa : Regina Sheilla Andinia Nomor Mahasiswa : 118114058 PRODI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah bumi dan di atasnya. Manusia ditempatkan ke dalam pusat dunia. 1 Pada masa itu budi

BAB I PENDAHULUAN. bawah bumi dan di atasnya. Manusia ditempatkan ke dalam pusat dunia. 1 Pada masa itu budi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Zaman modern adalah zaman dimana manusia dikembalikan kepada kemampuan dan keperkasaan dirinya sendiri. Manusia diletakkan didalam pusat seluruh tata kenyataan di bumi,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. tertentu. Untuk menjawab topik dari penelitian ini, yakni Etika Global menurut Hans Küng

BAB V PENUTUP. tertentu. Untuk menjawab topik dari penelitian ini, yakni Etika Global menurut Hans Küng BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pertama, sebuah konsep etika dibangun berdasarkan konteks atau realita pada masa tertentu. Untuk menjawab topik dari penelitian ini, yakni Etika Global menurut Hans Küng ditinjau

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini merupakan aktivitas refleksi kritis yang berada dalam

BAB III METODOLOGI. Penelitian ini merupakan aktivitas refleksi kritis yang berada dalam BAB III METODOLOGI A. Metode dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan aktivitas refleksi kritis yang berada dalam wilayah keilmuan filsafat. Oleh karenanya, metode yang digunakan untuk melakukan

Lebih terperinci

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA HUBUNGAN ANTAR AGAMA DI INDONESIA Dosen : Mohammad Idris.P, Drs, MM Nama : Dwi yuliani NIM : 11.12.5832 Kelompok : Nusa Jurusan : S1- SI 07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2 BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Eksistensi Soren Kierkegaard Eksistensialisme secara etimologi yakni berasal dari kata eksistensi, dari bahasa latin existere yang berarti muncul, ada, timbul, memilih keberadaan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP Manusia dalam kehidupannya adalah manusia yang hidup dalam sebuah institusi. Institusi yang merupakan wujud implementasi kehidupan sosial manusia. Di mana pun keberadaannya manusia tidak

Lebih terperinci

Kristologi Dalam Paham Pluralisme Agama Suatu Kajian Kristologi Alkitabiah Terhadap Pandangan Kristologi Dalam Pluralisme. Skripsi

Kristologi Dalam Paham Pluralisme Agama Suatu Kajian Kristologi Alkitabiah Terhadap Pandangan Kristologi Dalam Pluralisme. Skripsi Kristologi Dalam Paham Pluralisme Agama Suatu Kajian Kristologi Alkitabiah Terhadap Pandangan Kristologi Dalam Pluralisme Skripsi Diajukan kepada Fakultas Teologi Dalam Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan A.1. Latar Belakang Masalah Pekabaran Injil adalah tugas dan tanggung jawab gereja di tengah dunia. Gereja dipanggil untuk menjadi pekabar Injil (kabar sukacita, kabar

Lebih terperinci

UNISITAS DAN UNIVERSALITAS KESELAMATAN YESUS DALAM KONTEKS PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA. Fabianus Selatang 1

UNISITAS DAN UNIVERSALITAS KESELAMATAN YESUS DALAM KONTEKS PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA. Fabianus Selatang 1 UNISITAS DAN UNIVERSALITAS KESELAMATAN YESUS DALAM KONTEKS PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA Fabianus Selatang 1 Abstrak Konsep keselamatan dalam Katolik jelas berbeda dengan pengertian keselamatan dalam agama-agama

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN. a. Keharusan saling mengenal, b. Keberagamaan keyakinan, c. Keberagamaan etnis.

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN. a. Keharusan saling mengenal, b. Keberagamaan keyakinan, c. Keberagamaan etnis. BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN A. Keharusan Saling Mengenal Di sini akan dijelaskan tentang persamaan dan perbedaan pemikiran pluralisme agama dalam Islam dan pluralisme agama menurut Alwi Shihab, meliputi:

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1. Latar Belakang Masalah a) Gambaran GKP Dan Konteksnya Secara Umum Gereja Kristen Pasundan atau disingkat GKP melaksanakan panggilan dan pelayanannya di wilayah Jawa

Lebih terperinci

Oleh: H. Ismardi, M. Ag Dosen Fak. Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau/Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kota Pekanbaru.

Oleh: H. Ismardi, M. Ag Dosen Fak. Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau/Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kota Pekanbaru. PENDIRIAN RUMAH IBADAT MENURUT PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NO. 8 DAN 9 TAHUN 2006 TENTANG PENDIRIAN RUMAH IBADAT (Studi Kasus Kota Pekanbaru) Oleh: H. Ismardi, M. Ag Dosen

Lebih terperinci

KEPENUHAN HIDUP MANUSIA DALAM RELASI I AND THOU 1 (Antonius Hari Purnanto)

KEPENUHAN HIDUP MANUSIA DALAM RELASI I AND THOU 1 (Antonius Hari Purnanto) KEPENUHAN HIDUP MANUSIA DALAM RELASI I AND THOU 1 (Antonius Hari Purnanto) 1. Pengantar Manusia tidak bisa hidup seorang diri. Ia adalah Homo Socius. Ia hidup di dalam realitas yang saling berkaitan antara

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang 220 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa krisis spiritual manusia modern dalam perspektif filsafat Perennial Huston Smith dapat dilihat dalam tiga

Lebih terperinci

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim Jika Tuhan itu ada, Mahabaik, dan Mahakuasa, maka mengapa membiarkan datangnya kejahatan?

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ibadah merupakan sebuah bentuk perjumpaan manusia dengan Allah, pun juga dengan corak masing-masing sesuai dengan pengalaman iman dari setiap individu atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang khas dengan pluralitas agama dan budaya. Pluralitas sendiri dapat diterjemahkan sebagai kemajemukan yang lebih mengacu pada jumlah

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara di wilayah Asia secara geografis yang diwarnai oleh dua kenyataan, yaitu kemajemukan agama dan kebudayaan, serta situasi kemiskinan

Lebih terperinci

Pentingnya Toleransi Beragama dalam Menjaga Ketahanan dan Persatuan Bangsa 1. Prof. Dr. Musdah Mulia 2

Pentingnya Toleransi Beragama dalam Menjaga Ketahanan dan Persatuan Bangsa 1. Prof. Dr. Musdah Mulia 2 Pentingnya Toleransi Beragama dalam Menjaga Ketahanan dan Persatuan Bangsa 1 Prof. Dr. Musdah Mulia 2 Pendahuluan Wacana mengenai pentingnya toleransi beragama dan berkeyakinan dengan segala persoalan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA. Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria,

BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA. Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria, BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria, Saparua-Maluku, dalam bab I dan landasan teori pada bab II serta

Lebih terperinci

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS

ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS Achmad Jainuri, PhD IAIN Sunan Ampel, Surabaya Abstraksi Harold Coward menulis sebuah buku menarik, Pluralism Challenge to World Religions. Gagasan pluralisme dewasa

Lebih terperinci

PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL

PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL Lenda Dabora Sagala STT Simpson Ungaran Abstrak Menghadapi perubahan sosial, Pendidikan Agama Kristen berperan dengan meresponi perubahan

Lebih terperinci

ASAS DEMOKRASI LIBERAL DAN KEMAJUAN AMERIKA: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT PRAGMATISME AMERIKA (Charles Peirce, John Dewey dan William James)

ASAS DEMOKRASI LIBERAL DAN KEMAJUAN AMERIKA: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT PRAGMATISME AMERIKA (Charles Peirce, John Dewey dan William James) ASAS DEMOKRASI LIBERAL DAN KEMAJUAN AMERIKA: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT PRAGMATISME AMERIKA (Charles Peirce, John Dewey dan William James) Oleh: Muhammad Hasmi Yanuardi Dosen Jurusan Sejarah FIS UNJ Abstrak.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hidup sekarang merupakan sebuah rumah makan dengan jumlah pilihan tak terbatas.mau hobi, liburan, gaya hidup, pandangan-dunia atau agama, selalu ada sesuatu bagi setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad pencerahan (Aufklarung) telah membawa sikap kritis atas metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke- 19) di Jerman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan. Kemajemukan merupakan realitas yang menjadi salah satu ciri dari kondisi masa sekarang ini. Di era modern yang untuk sementara kalangan sudah berlalu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata

BAB V PENUTUP. budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akhir dari penelitian tentang teologi kontekstual berbasis budaya Jawa terhadap liturgi GKJ adalah ada kesulitan besar pada tata peribadahan GKJ di dalam menanamkan

Lebih terperinci

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA

PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA PLURALISME-MULTIKULTURALISME DI INDONESIA Diah Uswatun Nurhayati Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, suku, ras, agama, kebudayaan ataupun peradaban. Pemicu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai suatu negara multikultural merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang menganut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman modern sangat sulit untuk menemukan sebuah kehadiran dan relasi yang bermakna. Karena, perjumpaan

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE MUTHMAINNAH 131211132004 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA hmadib2011@gmail.com1 a. Judul Toleransi yang tak akan pernah pupus antar umat beragama di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal BAB I PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Pancasila yang dikenal menghargai keanekaragamaan budaya dan agama yang ada di dalamnya. Pancasila ini menjadi inti dari tindakan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan di Indonesia pluralitas agama merupakan realitas hidup yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Di negeri ini semua orang memiliki kebebasan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN, RELEVANSI, DAN TANGGAPAN KRITIS. yaitu; (1) individu sebagai eksistensi konkret, (2) individu yang menyadari bahwa

BAB IV KESIMPULAN, RELEVANSI, DAN TANGGAPAN KRITIS. yaitu; (1) individu sebagai eksistensi konkret, (2) individu yang menyadari bahwa BAB IV KESIMPULAN, RELEVANSI, DAN TANGGAPAN KRITIS 4.1. Kesimpulan Manusia dapat dikatakan sebagai individu, apabila memenuhi tiga syarat yaitu; (1) individu sebagai eksistensi konkret, (2) individu yang

Lebih terperinci

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN 84 BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN Keyakinan agama dewasa ini telah dipinggirkan dari kehidupan manusia, bahkan harus menghadapi kenyataan digantikan oleh ilmu pengetahuan. Manusia modern merasa tidak perlu

Lebih terperinci

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: Filsafat eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Eksistensialisme suatu protes terhadap

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Konsep dialektika eksistensi menekankan manusia sebagai makhluk individual, personal

BAB V PENUTUP. Konsep dialektika eksistensi menekankan manusia sebagai makhluk individual, personal BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Konsep dialektika eksistensi menekankan manusia sebagai makhluk individual, personal yang berada secara konkret. Beradanya manusia sebagai makluk individual, bukan berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut (Mudzhar 2010:34)

BAB I PENDAHULUAN. satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut (Mudzhar 2010:34) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bahkan Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Menurut (Mudzhar 2010:34) multikulturalitas bangsa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TOLERANSI ATAR UMAT BERAGAMA DI KALANGAN SISWA DI SMA NEGERI 3 PEKALONGAN

BAB IV ANALISIS TOLERANSI ATAR UMAT BERAGAMA DI KALANGAN SISWA DI SMA NEGERI 3 PEKALONGAN BAB IV ANALISIS TOLERANSI ATAR UMAT BERAGAMA DI KALANGAN SISWA DI SMA NEGERI 3 PEKALONGAN Setelah penulis mengumpulkan data penelitian di lapangan tentang toleransi antar umat beragama di kalanga siswa

Lebih terperinci

@UKDW BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG MASALAH

@UKDW BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN I.I LATAR BELAKANG MASALAH Berhadapan langsung dengan perkembangan ekonomi pasar global, tentunya masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang posisinya berada di luar lingkaran praktekpraktek

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman senantiasa memberikan perubahan yang cukup besar pada diri manusia. Perubahan yang cukup signifikan pada diri manusia adalah gaya hidup (lifestyle).

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas

Lebih terperinci

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA. New York, 23 September 2003

PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA. New York, 23 September 2003 PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA SIDANG MAJELIS UMUM KE-58 PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA New York, 23 September 2003 Yang Mulia Ketua Sidang Umum, Para Yang Mulia Ketua Perwakilan Negara-negara Anggota,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini ada sebuah gaya hidup tertentu yang berkembang di dalam masyarakat modern dan sangat digandrungi oleh masyarakat dalam ruang lingkup pemuda-remaja. Gaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aristoteles merupakan salah seorang filsuf klasik yang mengembangkan dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin bahwa politik

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Katekisasi merupakan salah satu bentuk pelayanan pendidikan kristiani yang dilakukan oleh gereja. Istilah katekisasi berasal dari kerja bahasa Yunani: katekhein yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Emily Pia & Thomas Diez, Conflict and Human Rights: A Theoretical Framework, SHUR Working Paper Series, 1/07, 2007, h. 1.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Emily Pia & Thomas Diez, Conflict and Human Rights: A Theoretical Framework, SHUR Working Paper Series, 1/07, 2007, h. 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Penulis mengarahkan fokus kepada fenomena yang selalu terjadi di sepanjang kehidupan manusia; konflik. Konflik pada umumnya kita pahami sebagai hasil

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI PEMBEBASAN PAULO FREIRE TERHADAP MODEL PENYULUHAN AGAMA KRISTEN

BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI PEMBEBASAN PAULO FREIRE TERHADAP MODEL PENYULUHAN AGAMA KRISTEN BAB IV TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF PEDAGOGI PEMBEBASAN PAULO FREIRE TERHADAP MODEL PENYULUHAN AGAMA KRISTEN Dalam bab ini, penulis akan melakukan tinjauan kritis terhadap model penyuluhan agama berdasarkan

Lebih terperinci

A. Dari segi metodologi:

A. Dari segi metodologi: Lampiran 1 UNSUR-UNSUR PEMBEDA ANTARA DENGAN SEBAGAI BAGIAN DARI RUMPUN ILMU HUMANIORA UNSUR Cakupan Ilmu dan Kurikulum Rumpun Ilmu Agama merupakan rumpun Ilmu Pengetahuan yang mengkaji keyakinan tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Secara umum masyarakat Karo menganggap bahwa agama Hindu-Karo adalah agama Pemena (Agama Pertama/Awal). Dalam agama Pemena, terdapat pencampuran konsep

Lebih terperinci

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions

Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of each Country in Building the Trust and Cooperation among Religions Delegasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Parliamentary Event on Interfaith Dialog 21-24 November 2012, Nusa Dua, Bali Plenary Session III : State and Religion-Learning from Best Practices of

Lebih terperinci

PENGERTIAN FILSAFAT (1)

PENGERTIAN FILSAFAT (1) PENGERTIAN FILSAFAT (1) Jujun S. Suriasumantri, orang yang sedang tengadah memandang bintang-bintang di langit, dia ingin mengetahui hakekat dirinya dalam kesemestaan galaksi; atau orang yang berdiri di

Lebih terperinci

PERAN PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA

PERAN PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA PERAN PANCASILA SEBAGAI ALAT PEMERSATU BANGSA Nama : Nurina jatiningsih NIM : 11.11.4728 Kelompok Jurusan Dosen : C : S1 Teknik Informatika : Drs. Tahajudin Sudibyo STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011/2012 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnyaberbagai macam suku, ras,

BAB I PENDAHULUAN. harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnyaberbagai macam suku, ras, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerukunan antar umat beragama merupakan satu unsur penting yang harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnyaberbagai macam suku, ras, aliran dan agama. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1 BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Nabeel Jabbour menepis pemahaman tentang gereja hanya sebatas bangunan, gedung dan persekutuan yang institusional. Berangkat dari pengalaman hidup Nabeel Jabbour selama

Lebih terperinci

BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM

BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM Landasan berfikir, zaman, dan tempat yang berbeda secara tidak langsung akan menimbulkan perbedaan, walaupun dalam pembahasan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBAGANGAN ILMU

PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBAGANGAN ILMU PANCASILA SEBAGAI DASAR NILAI PENGEMBAGANGAN ILMU Modul ke: 10 Udjiani Fakultas EKONOMI DAN BISNIS A. Nilai Ketuhanan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu B. Nilai Kemanusiaan Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini,

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini, BAB V PENUTUP Pada bab V penulis menyimpulkan keseluruhan pembahasan dalam skripsi. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan penulis ajukan dalam pembatasan masalah. Disamping itu penulis

Lebih terperinci

Pentingnya Kaderisasi Intelektual dalam Usaha Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Pentingnya Kaderisasi Intelektual dalam Usaha Islamisasi Ilmu Pengetahuan Pentingnya Kaderisasi Intelektual dalam Usaha Islamisasi Ilmu Pengetahuan Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat didorong oleh kualitas pendidikan manusia. Ilmu pengetahuan memang bersifat objektif

Lebih terperinci

Pemahaman Multikulturalisme untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Pemahaman Multikulturalisme untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Pemahaman Multikulturalisme untuk Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia Bahan Pembicara Untuk Dialog Kebangsaan Pada Acara Dies Natalis Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang bermartabat, manusia memiliki di dalam dirinya akal budi, rasa, hati dan kehendak. Manusia

Lebih terperinci

PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGAR

PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGAR PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGAR EMPAT PILAR Pancasila UUD 1945 NKRI Bhineka Tunggal Ika KARAKTER Unsur kunci: komitmen, kata2 dpt dipegang, keputusan demi kebaikan bersama Memperlakukan sesama dgn

Lebih terperinci

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia,

2.4 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, 2.4 Uraian Materi 2.4.1 Pengertian dan Hakikat dari Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Sebagai pendangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila berarti konsepsi dasar tentang kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi berbagai konflik sosial baik secara

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi berbagai konflik sosial baik secara 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Beberapa tahun terakhir ini telah terjadi berbagai konflik sosial baik secara intern maupun ekstern, oleh karena itu, telaah ulang dan reformasi pemahaman

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. sinodal) dan siding majelis jemaat (lingkup jemaat). 2. Hubungan yang dinamis antara majelis sinode dan majelis jemaat.

BAB IV ANALISA. sinodal) dan siding majelis jemaat (lingkup jemaat). 2. Hubungan yang dinamis antara majelis sinode dan majelis jemaat. BAB IV ANALISA GPIB adalah sebuah gereja yang berasaskan dengan sistem presbiterial sinodal. Cara penatalayanan dengan sistem presbiterial sinodal selalu menekankan: 1. Penetapan kebijakan oleh presbiter

Lebih terperinci

Keimanan pada Wujud Ilahi

Keimanan pada Wujud Ilahi Keimanan pada Wujud Ilahi Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifah ke empat dari Jemaat Islam Ahmadiyah selalu memberikan kesempatan dari waktu ke waktu kepada semua orang dari segala bangsa, agama dan keyakinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUGAS KULIAH PANCASILA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG TUGAS KULIAH PANCASILA BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagai bangsa Indonesia, kita tentu mengetahui dasar negara kita. Dan di dalam Pancasila ini terkandung banyak nilai di mana dari keseluruhan nilai tersebut terkandung

Lebih terperinci

Modul ke: FILSAFAT MANUSIA INTELEKTUAL (PENGETAHUAN) Ahmad Sabir, M. Phil. Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI.

Modul ke: FILSAFAT MANUSIA INTELEKTUAL (PENGETAHUAN) Ahmad Sabir, M. Phil. Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI. Modul ke: FILSAFAT MANUSIA INTELEKTUAL (PENGETAHUAN) Fakultas PSIKOLOGI Ahmad Sabir, M. Phil. Program Studi PSIKOLOGI www.mercubuana.ac.id Pengertian Intelektual (pengetahuan) Inteletual (Pengetahuan)

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Awal dari sebuah kehidupan adalah sebuah penciptaan. Tanpa adanya sebuah penciptaan maka kehidupan di muka bumi tidak akan pernah ada. Adanya Sang Pencipta yang akhirnya berkarya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan manusia menjadi penunjang keberlangsungan hidup manusia. Manusia dengan akal budinya

Lebih terperinci

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi Modul ke: 12 Shely Fakultas PSIKOLOGI Materi Penutup Cathrin, M.Phil Program Studi Psikologi Pokok Bahasan Abstract Rangkuman Perkuliahan Filsafat Manusia Kompetensi Mahasiswa dapat memahami mengenai manusia

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menemukan beberapa jawaban atas persoalan yang ditulis dalam rumusan masalah. Jawaban tersebut dapat disimpulkan dalam kalimat-kalimat sebagai

Lebih terperinci

Pertemuan6 Peradaban; Wujud kebudayaan danunsur-unsur kebudayaan MATA KULIAH ANTROPOLOGI BUDAYA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA

Pertemuan6 Peradaban; Wujud kebudayaan danunsur-unsur kebudayaan MATA KULIAH ANTROPOLOGI BUDAYA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA Pertemuan6 Peradaban; Wujud kebudayaan danunsur-unsur kebudayaan MATA KULIAH ANTROPOLOGI BUDAYA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MEDAN AREA Kebudayaandan Peradaban Peradaban adalah suatu bentuk masayarakat

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia selalu diperhadapkan dengan berbagai keragaman, baik itu agama, sosial, ekonomi dan budaya. Jika diruntut maka banyak sekali keragaman yang

Lebih terperinci

BE AMAZING TEACHERS. Lokakarya Yayasan Suaka Insan Suster SPC Jl. Danau Agung 13, Sunter, Jakarta, 22 Juli 2015 Paul Suparno, S.J.

BE AMAZING TEACHERS. Lokakarya Yayasan Suaka Insan Suster SPC Jl. Danau Agung 13, Sunter, Jakarta, 22 Juli 2015 Paul Suparno, S.J. 1 BE AMAZING TEACHERS Lokakarya Yayasan Suaka Insan Suster SPC Jl. Danau Agung 13, Sunter, Jakarta, 22 Juli 2015 Paul Suparno, S.J. PENGANTAR Be Amazing Teachers! Jadilah Guru yang menakjubkan! Berarti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama, keyakinan, ras, adat, nilai,

Lebih terperinci

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya.

maupun perbuatan- perbuatan-nya Nya. ILMU TAUHID / ILMU KALAM Ilmu Tauhid sering disebut juga dengan istilah Ilmu Kalam, Ilmu 'Aqaid, Ilmu Ushuluddin, dan Teologi Islam. Menurut bahasa (etimologis) kata "tauhid" merupakan bentuk masdar yang

Lebih terperinci

PANCASILA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

PANCASILA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT PANCASILA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT Oleh : Falihah Untay Rahmania Sulasmono KELOMPOK E NIM. 11.11.5273 11-S1TI-09 Dosen Pembimbing : Abidarin Rosidi, Dr, M.Ma STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 ABSTRAKSI Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir dan kemampuan dalam memecahkan masalah, terutama dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang demikian pesat telah membawa banyak perubahan budaya manusia. Dengan memanfaatkan perkembangan IPTEKS,

Lebih terperinci

DALAM AGAMA BUDDHA AGAMA DIKENAL DENGAN:

DALAM AGAMA BUDDHA AGAMA DIKENAL DENGAN: A. DEFINISI AGAMA 1. Mennurut KBBI : suatu sistem, prinsip kepercayaan kepada tuhan (dewa & sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiba-kewajiban yang bertalian dengan ajaran itu 2. Atau seperangkat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kebebasan merupakan hal yang menarik bagi hampir semua orang. Di Indonesia, kebebasan merupakan bagian dari hak setiap individu, oleh karena itu setiap

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS

BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS BAB III KERANGKA TEORI ANALISIS 3.1 Teori Kritis Jurgen Habermas Habermas berasumsi bahwa modernitas merupakan sebuah proyek yang belum selesai. Ini artinya masih ada yang perlu untuk dikerjakan kembali.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksiinteraksi keagamaan

Lebih terperinci

VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL

VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL RETHINKING & RESHAPING VISI DAN STRATEGI PENDIDIKAN KEBANGSAAN DI ERA GLOBAL OLEH : DR. MUHADJIR EFFENDY, M.AP. Disampaikan dalam Acara Tanwir Muhammadiyah 2009 di Bandar Lampung, 5 8 Maret 2009 1 Lingkup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia dituntut untuk mampu berinteraksi dengan individu lain

Lebih terperinci