KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROPINSI SUMATERA UTARA HEMAT SIRAIT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROPINSI SUMATERA UTARA HEMAT SIRAIT"

Transkripsi

1 KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROPINSI SUMATERA UTARA HEMAT SIRAIT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka bagian akhir tesis ini. Bogor, November 2009 Hemat Sirait NIM C

3 ABSTRACT HEMAT SIRAIT. Study of coral reef community of marine protected areas in Sitardas Waters Central Tapanuli District North Sumatra Province. Under direction of M. MUKHLIS KAMAL and NURLISA A. BUTET A coral reef ecosystem, as one of the main habitats on a coastal, physically serves to protect the beach from currents and waves. Ecologically, it serves as habitat for marine life and as a protected, feeding, spawning, and nursing ground (Nybakken 1992). The study aims to: (1) knowing the condition of coral reefs in the Sitardas Village water areas; (2) review the damage of coral reefs in Sitardas Village; (3) formulate recommendation of coral reef management strategy in developing marine protected areas. The method that used in the research is survey method with data types consist of primary and secondary data. Primary data include: aquatic biophysical conditions (physical-chemistry parameters of waters and coral coverage). Measurements of coral percent coverage conducted with Line Intercept Transect method (LIT), reef fish by Underwater fish Visual Census method (UVC) and megabenthos with Reef Check Benthos method (RCB); community socioeconomic data taken with purposively sampling by distribute the questionnaires and direct interviews. Secondary data include the aspects relating to management of coral reef ecosystem in Sitardas, obtained through searching of the literature and data from other relevant agencies. Analysis development of management strategies for coral reef ecosystems and marine protected areas (MPAs) using SWOT analysis. Based on field observations, the category of life form coral reefs was in sufficient and good category. But commonly coral reef ecosystem in Sitardas waters occur disturbed which caused by anthropogenic and sedimentation. Based on the research results can be concluded that conditions of coral reefs in the Sitardas waters damaged due fishing by using bombs and Pottasium and due to the use by the fishing ship's anchor. Key words: marine protected areas, line intercept transect, underwater fish visual cencus, reef check benthos, bomb, pottasium cyanide.

4 RINGKASAN HEMAT SIRAIT. Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh M. MUKHLIS KAMAL dan NURLISA A. BUTET. Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO 3 ), dihasilkan oleh karang hermatifik yang bersimbiosis dengan alga zooxantella (Nybakken, 1992). Secara ekologis terumbu karang merupakan tempat hidup biota laut sebagai tempat berlindung, mencari makan, bertelur dan daerah pembesaran. Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak hanya menyebabkan turunnya kualitas dan kuantitas terumbu karang tetapi juga menurunkan kualitas dan kuantitas biota yang berinteraksi terhadap terumbu karang, seperti halnya ikan dan hewan benthic lainnya. Adanya kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas mengakibatkan turunnya kualitas dan kuantitas terumbu karang serta turunnya hasil perikanan masyarakat nelayan Desa Sitardas. Oleh karena itu, maka penelitian ini dilakukan untuk memberikan saran dan rekomendasi bagi perbaikan upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas agar kerusakan yang lebih besar dapat dihindarkan. Penelitian ini bertujuan, untuk mengkaji kondisi terumbu karang yang ada di Perairan Sitardas, kemudian mengkaji kerusakan terumbu karang di Perairan Sitardas, selanjutnya memberikan rekomendasi strategi pengelolaan terumbu karang dalam upaya pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer meliputi parameter fisika kimia perairan dan tutupan karang. Pengukuran persentase tutupan karang dilakukan dengan metode (Line Intercept Transect=LIT), ikan karang dengan metode (Underwater fish Visual Cencus=UVC) dan benthic fauna yang berasosiasi dengan terumbu karang dengan metode (Reef Check Benthos=RCB). Data sosial ekonomi masyarakat diambil secara purposive sampling dengan penyebaran kuisioner dan wawancara langsung. Data sekunder meliputi aspek sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas, diperoleh melalui penelusuran berbagai pustaka dan data dari instansi terkait lainnya. Analisis data dilakukan secara deskriftif berdasarkan hasil pengolahan data primer dan sekunder. Analisa pengembangan untuk strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan Daerah Perlindungan Laut (DPL) menggunakan analisis SWOT. Berdasarkan data rerata persentase penutupan karang hasil penelitian tahun 2009 dengan data baseline 2004 terjadi penurunan, kemudian terjadi peningkatan dibandingkan dengan monitoring 2007 dan Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT 01 hard coral 43.03%, lumpur berpasir 18.70%, patahan karang 16.03%, alga 11.83% dan substrat lainnya 10.40%, stasiun SIT 02 hard coral 64.34%, patahan karang 13.67%, dead coral algae 9.90% dan substrat lainnya 12.10%, stasiun SIT 03 hard coral 52.24%, soft coral 17.10%, pasir 12.73%, dead coral algae 10.43%, patahan karang 4.33% dan substrat lainnya 3.16%, stasiun BKL 04 hard coral 27.06%, patahan karang 29.17%, pasir 20.23%, alga 12.50%, dead

5 coral algae 10.57% dan substrat lainnya 0.77%, stasiun UNG 05 hard coral 63.37%, patahan karang 18.80%, dead coral algae 12.60% dan substrat lainnya 5.24%. Sesuai dengan persentse tutupan biota dan substrat tersebut, maka kategori tutupan karang hidup hasil penelitian di Perairan Sitardas termasuk kategori sedang sampai baik sesuai dengan kategori Gomez dan Yap (1988) meskipun hal ini tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Kondisi objektif berdasarkan pengamatan di lapangan persentase tutupan substrat selain tutupan karang hidup juga cukup tinggi, banyaknya patahan karang, karang mati serta adanya endapan lumpur menjadi indikasi bahwa terjadi kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Secara umum kerusakan ekosistem terumbu karang yang ada di Perairan Sitardas diakibatkan aktifitas manusia dan sedimentasi. Penangkapan ikan dengan alat yang tidak ramah lingkungan (penggunaan bom dan pottasium) masih terjadi di wilayah Perairan Sitardas. Akibat sedimentasi melalui muara sungai yang mengalir dari Desa Sitardas menuju perairan laut, kemudian adanya penebangan hutan secara liar di sekitar perbukitan Desa Sitardas yang menyebabkan erosi tanah dan langsung menuju keperairan laut semakin memperburuk kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Kurangnya pengetahuan tentang terumbu karang dan manfaatnya, serta lemahnya pengawasan menjadi kendala utama dalam upaya pelestarian terumbu karang di wilayah ini. Berdasarkan hasil analisis SWOT diperoleh prioritas strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang yang kemudian diterjemahkan kedalam keputusan teknis sebagai rekomendasi dalam upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas yaitu, perlu adanya penzonasian ulang Daerah Perlindungan Laut Sitardas, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum, melakukan rehabilitasi ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut yang rusak. Penelitian kajian komunitas terumbu karang di Perairan Sitardas dapat disimpulkan bahwa terjadinya kerusakan terumbu karang akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan serta akibat penggunaan jangkar kapal. Peran serta dan partisipasi masyarakat dalam menjaga, mengawasi serta mengelola ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas belum terlihat dengan jelas. Kata kunci: daerah perlindungan laut, transek garis menyinggung, pengamatan ikan bawah air, pengamatan hewan dasar perairan, bom, pottasium.

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROPINSI SUMATERA UTARA HEMAT SIRAIT Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.

9 Judul Tesis : Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara Nama : Hemat Sirait NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. Ketua Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 10 November 2009 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga penelitian dan penulisan laporan penelitian ini dapat diselesaikan. Laporan penelitian dengan judul Kajian Komunitas Terumbu Karang Daerah perlindungan Laut Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera Utara disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. dan Ibu Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc. selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian serta penyusunan laporan penelitian ini. 2. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan dalam penulisan tesis ini. 3. Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku Ketua Departemen MSP. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi SPL. 5. Seluruh Dosen pengajar atas bimbingan yang telah diberikan dan seluruh staf karyawan dan staf sekretariat SPL atas bantuan selama masa studi penulis di SPL-IPB. 6. Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang (COREMAP II ADB) Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah membiayai pendidikan dan penelitian ini. 7. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tapanuli Tengah serta BAPPEDA Kabupaten Tapanuli Tengah atas segala bantuan dan koordinasi yang diberikan. 8. Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Indonesia (Pak Ricoh, Mas Bayu, Dimas dkk) atas bantuan dan kerjasama yang diberikan. 9. Ibunda Sakdiah Damanik atas segala do a dan bimbingan yang diberikan serta kakak, abang dan adik-adik (Evi, Mala, Bandi, Ana dan Iti) di Medan.

11 10. Istri tercinta Siti Bressy Mita Selly Rambe, S.Pi bersama ananda tercinta Diva Hessy Aurellya Sirait atas segala dorongan dan dukungan yang telah diberikan. 11. Ungkapan terima kasih kepada Ayah A. Bakar Rambe dan Ibu Deswita Jalil beserta seluruh adik-adik (Ucok, Betha, Dewi, Rika, Doni dan Anton). 12. Rekan-rekan SPL SANDWICH COREMAP II ADB (Ustad Ilham, Kiyai Dedy D, Brother Jojo dan Viddint, Coy Reza, Lida Aro, Cuy Amehr dan Dedy E, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu), terima kasih atas kebersamaan selama mengikuti masa study di Bogor dan Xiamen China. 13. Teman-teman yang membantu selama penelitian (Ivan, Pagar, Tanti, Bang Dolly dan Bang Adek) atas kerjasama selama di lapangan. Semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan wawasan bagi pembacanya. Bogor, November 2009 Hemat Sirait

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Raja Maligas, Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 02 September 1975 sebagai anak ke-empat dari 6 bersaudara dari pasangan Bapak Poniman Sirait (alm) dan Ibunda Sakdiah Damanik. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumbrdaya Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Riau, lulus pada tahun Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sumatera Utara. Kemudian tahun 2007 penulis mendapat beasiswa dari Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia untuk melanjutkan pendidikan di Sandwich Program Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang merupakan kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan Xiamen University Republik Rakyat China.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xv 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian DAFTAR PUSTAKA Ekosistem Terumbu Karang Faktor Pembatas Kerusakan Terumbu Karang Daerah Perlindungan Laut METODE PENELITIAN Tahapan Penelitian Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Pengumpulan Data Data Primer Parameter fisika dan kimia perairan Data terumbu karang Data ikan karang Data Benthic Fauna Data sosial ekonomi Data Sekunder Analisis Data Persentase tutupan karang Kelimpahan ikan Kelimpahan benthic fauna Faktor sosial ekonomi Analysis SWOT HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Daerah Penelitian Parameter Fisika dan Kimia Perairan Komunitas Terum bu Karang Karang Benthic fauna Ikan karang xi

14 4.4 Aspek Sosial Ekonomi Masyarakat Analisis Pengelolaan untuk Pengembangan KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii xii

15 DAFTAR TABEL xiii Halaman 1 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan pada lokasi penelitian di Desa Sitardas Rerata jumlah hewan benthic pertransek hasil pengamatan tahun 2004, 2007, 2008 dan Jumlah benthic fauna dengan metode RCB pada masing-masing stasiun penelitian Kelimpahan benthic fauna di stasiun penelitian dalam luasan transek Rerata jumlah individu ikan karang per transek berdasarkan kelompok dari hasil pengamatan tahun 2004, 2007, 2008 dan Sepuluh jenis ikan karang yang memiliki frekwensi kehadiran relatif tertinggi pada stasiun penelitian di Perairan Sitardas Jumlah ikan karang untuk masing-masing suku pada stasiun penelitian di Perairan Sitardas tahun Perbandingan jumlah individu ikan major, ikan target dan ikan indikator pada masing-masing stasiun penelitian Persentase kelompok ikan karang pada stasiun penelitian Kelimpahan ikan karang di stasiun penelitian dalam luasan transek Bobot unsur internal pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL Sitardas (faktor strategi internal/ifs) Bobot unsur eksternal pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL Sitardas (faktor strategi eksternal/efs) Bobot, rating dan skoring unsur internal pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPLSitardas (faktor strategi internal/ifs) Bobot, rating dan skoring unsur eksternal pengelolaan ekosistem terumbu karang DPL Sitardas (faktor strategi eksternal/efs) Matriks formulasi arahan strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL Sitardas Ranking prioritas strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL Sitardas... 87

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas Tahapan penelitian kajian kondisi ekosistem terumbu karang Daerah Perlindungan Laut Sitardas Lokasi penelitian di perairan laut Desa Sitardas tahun 2009 dan lokasi penelitian LIPI tahun 2004, 2007 dan Teknik Pengamatan Line Intercept Transect (LIT) Metode Underwater fish Visual Census (UVC) Metode Reef Check Benthos (RCB) Desa Sitardas : (a) Dusun I (Kampung Sawah), (b) Perairan Sitardas, (c) P. Ungge dan (d) P. Bakal yang menjadi lokasi penelitian Peta Daerah Perlindungan Laut Sitardas Photo bawah air kondisi stasiun penelitian; (a) SIT 01, (b) SIT 02, (c) SIT 03, (d) BKL 04 dan (e), (f) UNG 05 di Perairan Sitardas Persentase tutupan biota dan substrat masing-masing stasiun penelitian tahun Persentase tutupan karang hidup pada stasiun penelitian Peta persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Tapanuli Tengah Persentase jumlah benthic fauna per jenis pada stasiun penelitian Peta kondisi benthic fauna pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Persentase kehadiran relatif suku ikan karang pada stasiun penelitian Peta persentase kehadiran relatif ikan karang pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Struktur pemerintahan Desa Sitardas xiv

17 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Posisi stasiun pengamatan untuk karang, ikan dan benthic fauna di Perairan Desa Sitardas tahun Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun SIT Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun BKL Persentase tutupan biota dan substrat pada stasiun UNG Persentase jumlah jenis benthic fauna pada stasiun penelitian Jumlah kehadiran ikan karang per jenis hasil Underwater fish Visual Census pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Desa Sitardas xv

18 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO 3 ), dihasilkan oleh karang hermatifik yang bersimbiosis dengan alga zooxantella (Nybakken 1992). Terumbu karang mempunyai nilai penting antara lain fungsi biologis (tempat memijah, bersarang, mencari makan dan tempat pembesaran berbagai biota laut); fungsi kimiawi (sumber nuftah bahan obat-obatan); fungsi fisik (sebagai pelindung pantai dari abrasi); dan fungsi sosial (sumber mata pencaharian nelayan dan objek wisata bahari) (Supriharyono 2007). Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman jenis karang dan tempat asal-usul karang. Wilayah penyebarannya diperkirakan mencapai Km 2 atau sekitar 14% dari seluruh sebaran terumbu karang dunia (Dahuri 2003). Dinyatakan oleh (Suharsono 2008) bahwa jenis-jenis karang yang ditemukan di Indonesia diperkirakan sebanyak 590 jenis yang termasuk dalam 80 marga karang. Sebaran karang di Indonesia tidak merata mulai dari Sabang sampai Utara Jayapura, ada daerah tertentu dimana karang dapat tumbuh dengan baik dan ada daerah tertentu karang tidak dapat tumbuh dengan baik. Sebaran karang sebelah Barat Sumatera tersebar pada Pantai Barat Sumatera mulai dari Pulau Weh, Pulau-pulau Banyak, Pulau Simelue, Pulau Nias, Pulau-pulau Batu, Pulau Siberut, Pulau Pagai dan Sipora hingga Pulau Enggano. Menurut penelitian P3O LIPI (1996), kondisi terumbu karang Indonesia berada dalam kondisi rusak sekitar 39.5%, dalam kondisi sedang sekitar 33.5%, kondisi baik 21.7% dan hanya 5.3% dalam kondisi sangat baik. Hal ini disebabkan selain dampak dari perubahan alam seperti perubahan iklim, juga disebabkan oleh aktifitas manusia dalam praktek-praktek perikanan yang merusak (destruktive fishing) seperti eksploitasi berlebih, teknik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan atau merusak (penggunaan bom, dan racun sianida), pencemaran, sedimentasi, penambangan dan pembangunan konstruksi pantai.

19 2 Tingkat kerusakan terumbu karang di Sumatera Utara saat ini, sebesar 40% rusak, 30% sedang dan 30% baik. Sebagian besar tersebar di Kabupaten Tapanuli Tengah di sekitar P. Mursala dan tiga kecamatan di sekitarnya, yaitu Kecamatan Badiri, Kecamatan Jago-Jago dan Kecamatan Tapian Nauli yang secara keseluruhan sudah dalam keadaan rusak. Luasan terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah sebesar km 2, dengan persentase tutupan karang hidup 26.98% (COREMAP II 2004). Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara terletak di Pantai Barat pulau Sumatera yang menjadi lokasi pelaksanaan COREMAP II. Program COREMAP ini dilakukan dalam upaya rehabilitasi dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang di wilayah yang menjadi lokasi kegiatan tersebut. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Tengah terletak antara 1 o o Lintang Utara dan 98 o o 12 Bujur Timur dengan luas wilayah km 2 dan dengan ketinggian antara m di atas permukaan laut. Berdasarkan hasil pengamatan baseline ekologi Tapanuli Tengah tahun 2004 diperoleh persentase tutupan karang hidup bervariasi antara 19.90% 67.20% dengan nilai rerata sebesar 43.59%. Sedangkan hasil pengamatan monitoring evaluasi Tapanuli Tengah tahun 2007, hasil pengamatan karang dengan metode LIT di stasiun penelitian di Kabupaten Tapanuli Tengah dicatat persentase tutupan karang hidup bervariasi antara 9.0% 71.73% dengan nilai rerata sebesar 38.31%. Hasil pengamatan kondisi terumbu karang tahun 2008 di Kabupaten Tapanuli Tengah diperoleh tutupan karang hidup berkisar antara 12.73% 69.00% dengan rerata tutupan sebesar 42.48%. Dari ketiga time series data tersebut disimpulkan bahwa terjadi penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah dari tahun sebelumnya. Kerusakan ekosistem terumbu karang tidak hanya menyebabkan turunnya kualitas dan kuantitas terumbu karang tetapi juga menurunkan kualitas dan kuantitas biota yang berinteraksi terhadap terumbu karang, seperti halnya ikan dan hewan benthic lainnya. Secara lebih luas berpengaruh pula dengan kehidupan masyarakat nelayan sebagai pemanfaat dan pengguna sumberdaya tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pelestarian dan pengelolaan sumberdaya yang

20 3 ada perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penetapan kawasan konservasi melalui pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL) atau dikenal dengan marine sanctuary yang merupakan kawasan lindung skala kecil di tingkat desa. Daerah Perlindungan Laut secara prinsipnya adalah merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai zona lindung yang dilarang dimanfaatkan secara permanen dari berbagai kegiatan usaha perikanan, penambangan karang dan pemanfaatan sumberdaya serta dibentuk dan dikelola oleh masyarakat setempat. Namun dalam prosesnya pembentukannya DPL juga harus dapat mengakomodir aspirasi masyarakat, terutama dalam hal pemanfaatan sumber daya yang ada. Akibatnya pembentukan DPL seringkali menjadi polemik karena adanya pemahaman yang keliru dari sebagian masyarakat nelayan, yang khawatir akan mengurangi hasil tangkapannya apabila daerah penangkapan ikan mereka dibatasi. Padahal dengan adanya DPL adalah untuk menjaga kelestarian sumberdaya yang ada, sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil tangkapan nelayan secara berkelanjutan. Adanya permasalahan ini menjadikan konsep DPL berbeda-beda pada masing-masing wilayah. Pengelolaan DPL di Perairan Sitardas yang ditetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) Sitardas juga bersifat lebih akomodatif, demi kepentingan masyarakat. Zona DPL Sitardas dibagi menjadi zona inti yang merupakan zona lindung yang tidak diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan dan sumberdaya lainnya, kemudian zona penyangga yang merupakan suatu kawasan di sekeliling zona inti dimana beberapa kegiatan termasuk beberapa jenis kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan dapat diperbolehkan. Proses pembentukan DPL dapat berdasarkan keinginan masyarakat ataupun peranan pemerintah dalam upaya perlindungan sumberdaya yang ada. Proses pembentukan DPL Sitardas dimulai dari keinginan sebagian masyarakat untuk memberikan perlindungan terhadap sumberdaya yang ada, akibat isu tentang kerusakan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Kemudian isu permasalahan yang ada tersebut didiskusikan oleh masyarakat dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) melalui pertemuan-pertemuan formal dan informal di tingkat desa. Setelah adanya dukungan dari mayoritas masyarakat

21 4 dalam upaya pengelolaan terumbu karang di Desa Sitardas, maka di bentuklah DPL Sitardas yang tetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes) Sitardas yang ditandatangani oleh Kepala Desa atas Persetujuan Badan Permusyawaratan Desa melalui musyawarah desa. Perdes tersebut dikirim ke Bupati melalui Camat, yang kemudian dijadikan sebagai rencana pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas yang dituangkan sebagai rencana pembangunan desa. Penetapan kawasan DPL berdasarkan Pedoman Pembentukan Daerah Perlindungan Laut dari DIRJEN P3K DKP 2005, betujuan antara lain untuk : (1) Mengusahakan terwujudnya pelestarian sumberdaya alam hayati pesisir dan lautan serta ekosistemnya dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan di sekitar daerah perlindungan; (2) Menjaga, melindungi, menglola dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan lautan, seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan dan biota laut lainnya; (3) Dapat dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata; (4) Meningkatkan pendapatan/kesejahteraan masyarakat setempat; (5) Mendorong dan memperkuat masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang mereka miliki; (6) Mendidik masyarakat dalam hal perlindungan/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan kewajiban masyarakat untuk mengambil peran dalam menjaga dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari; (7) Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan lautan bagi masyarakat, sekolah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Berdasarkan konsep tentang pembentukan dan tujuan adanya Daerah Perlindungan Laut tersebut dapat dikatakan bahwa seharusnya kondisi ekosistem terumbu karang yang berada di dalamnya selayaknya berada dalam keadaan baik dan stabil. Untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan adanya monitoring dan evaluasi dari waktu kewaktu. Namun jika ternyata kondisinya juga berada dalam keadaan rusak, maka perlu adanya kajian secara spesifik agar diketahui faktor-faktor penyebabnya serta dapat disusun strategi pengelolaannya secara lebih baik. Daerah Perlindungan Laut merupakan salah satu upaya untuk pelestarian terumbu karang yang banyak dilakukan diseluruh dunia dan hasilnya sangat bermanfaat sehingga kajian tentang kondisi, efektifitas serta keterkaitannya dengan sosial ekonomi masyarakat pesisir adalah sangat menarik untuk dilakukan.

22 5 Pengamatan ekologi terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai baseline study telah dilaksanakan sejak tahun 2004, oleh tim dari CRITC COREMAP LIPI pada lokasi penelitian di Desa Sitardas, Desa Jago-Jago dan Desa Tapian Nauli, diperoleh hasil sebaran terumbu karang kurang lebih ha. Desa Sitardas terletak di Kecamatan Badiri berbatasan dengan Desa Jago-Jago di sebelah Utara, Kecamatan Sibangun di sebelah Selatan, Samudera Indonesia di sebelah Barat serta Kecamatan Pinangsori di sebelah Timur. Desa Sitardas berjarak + 14 km dari ibukota Kecamatan dan + 28 km dari ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah, Pandan. Perjalanan menuju ke kota kecamatan dari ibukota kabupaten dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor. Sulitnya akses jalan darat untuk menuju Desa Sitardas menyebabkan masyarakat umumnya dari kecamatan menggunakan kapal menuju ke Desa Sitardas. Wilayah Perairan Desa Sitardas mempunyai panjang garis pantai sekitar 6 km dan berhadapan dengan Samudera Indonesia. Tinggi gelombang laut berkisar antara m, tinggi pasang surut rata-rata 0.70 m, tipe pasut campuran condong ke harian ganda, kedalaman 1 10 m dan jenis substrat dasar pantai berpasir dan kerikil. Daratan pesisir terdiri dari kawasan perbukitan dan dataran rendah yang dilalui beberapa sungai, di sebelah Utara terdapat Sungai Aek Lobu, di sebelah Selatan terdapat Sungai Aek Tunggal dan Sungai Kualo Maros. Sepanjang pinggiran sungai banyak terdapat vegetasi mangrove yang di dominasi jenis Rhizopoda sp. Terumbu karang di Desa Sitardas dapat dijumpai di bagian Utara perairan pesisir pantainya hingga ke P. Ungge, P. Bakar dan Pulau Situngkus, tepatnya di depan Dusun Kampung Sawah. Di sekeliling perairan pulau sampai 80 m kearah laut merupakan habitat terumbu karang dengan jenis biota antara lain: Anthozoa, lamun, porifera, hydra, udang karang dan ikan hias. Berdasarkan informasi masyarakat setempat kondisi ekosistem terumbu karang di Desa Sitardas sudah dalam keadaan rusak. Umumnya kerusakan ekosistem terumbu karang yang terjadi di wilayah Perairan Desa Sitardas selama ini sebagian besar merupakan dampak dari kegiatan manusia yang miskin pengetahuan dan miskin kesadaran yang hanya memperhatikan keuntungan jangka pendek. Aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan penangkapan ikan hias karang dengan menggunakan potassium cyanide masih

23 6 terjadi, meskipun peraturan sudah dibuat tetapi penangkapan ikan hias secara sembunyi-sembunyi masih dilakukan. Bahkan ada kegiatan penangkapan yang dilakukan secara terang-terangan di backing oleh oknum tertentu, sehingga masyarakat tidak berani untuk melarang. Kerusakan terumbu karang juga banyak terjadi karena penggunaan jangkar besi yang digunakan oleh para nelayan. Akibat kerusakan yang diakibatkan oleh manusia masih dapat terlihat secara langsung pada kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah Perairan Sitardas sampai saat ini. Patahan karang (rubble) akibat penggunaan alat tangkap dan jangkar kapal, kemudian banyaknya karang mati, luasnya pecahan terumbu karang serta tingginya persentase tutupan substrat pasir akibat pemboman ikan berdasarkan pengamatan langsung terlihat di perairan ini. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap masalah konservasi sumberdaya laut berakibat rendahnya kesadaran dan peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang. Untuk menyelesaikan kompleksitas permasalahan terhadap kerusakan terumbu karang diperlukan adanya kajian yang tepat dalam perencanaan dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara baik. Berdasarkan pengalaman secara empiris, terbukti bahwa pendekatan dalam pembangunan dan perencanaan pembangunan wilayah pesisir yang dilakukan secara sektoral tidak membuahkan hasil untuk mencapai pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan (Dahuri 2003). Oleh karena itu, alternatif yang lebih baik adalah melalui pendekatan ekologi secara langsung terhadap kerusakan terumbu karang. Untuk mengkaji kerusakan ekosistem terumbu karang, maka dikaji kondisi ekologi serta interaksi dari proses-proses di dalamnya yang menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang. Kemudian bagaimana dampak dari upaya yang telah dilakukan dalam upaya rehabilitasi terumbu karang tersebut. Upaya yang dilakukan untuk mempertahankan keberadaan potensi terumbu karang adalah melalui konservasi, untuk memberikan perlindungan, pengawetan serta pemanfaatan sumberdaya alam yang ada secara lestari. Dalam upaya perlindungan dan pengamanan tersebut diperlukan keterpaduan gerak dari masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya. Penyuluhan dan penyadaran yang diberikan kepada masyarakat merupakan langkah penting untuk memacu peran

24 7 serta masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam di wilayah pesisir terutama terumbu karang. Peran serta masyarakat adalah merupakan keikutsertaan masyarakat baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan, sebagai akibat dari terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok masyarakat yang lain dalam pembangunan. Partisipasi masyarakat merupakan bentuk upaya yang dilakukan masyarakat untuk ikut terlibat langsung dalam suatu kegiatan dan hasilnya akan secara langsung atau tidak langsung dapat dinikmati oleh masyarakat tersebut (Wardoyo 1992). Penelitian kajian kondisi komunitas terumbu karang di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut Sitardas ini dilakukan untuk dapat memberikan arahan strategi upaya pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat, dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan serta pengawasan terhadap ekosistem terumbu karang, agar pemanfaatan sumberdaya pesisir secara lestari dan berkelanjutan. 1.2 Permasalahan Dari hasil pengamatan yang dilakukan CRITC COREMAP LIPI tahun 2008 kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah Perairan Desa Sitardas mengalami kerusakan dan cenderung menurun kualitas dan kuantitasnya dari tahun pengamatan sebelumnya. Informasi yang diperoleh dari Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang, Sitardas 2007 diketahui adanya kerusakan terumbu karang di Desa Sitardas sangat berkaitan dengan aktifitas manusia di sekitar wilayah Perairan Desa Sitardas. Secara umum ada lima faktor fisik akibat aktifitas manusia yang menyebakan kerusakan terumbu karang di desa Sitardas yaitu (i) penggunaan racun (pottasium); (ii) penggunaan bom; (iii) penambangan karang; (iv) pembuangan jangkar perahu; dan (v) sedimentasi. Adanya kerusakan terumbu karang di Perairan dan sekitar Daerah Perlindungan Laut Sitardas akibat aktifitas manusia, secara langsung telah mengakibatkan terpuruknya produksi perikanan di perairan tersebut. Permasalahan utama di Perairan Sitardas adalah kerusakan ekosistem terumbu karang baik di Perairan Sitardas maupun di kawasan DPL Sitardas. Kerusakan ini terjadi akibat kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat

25 8 tangkap yang merusak, (seperti bom dan racun sianida atau biasa disebut masyarakat dengan nama air mas). Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pelestarian dan pengelolaan sumberdaya terumbu karang, minimnya pengawasan dan koordinasi antara masyarakat dan pihak terkait lainnya serta lemahnya supremasi hukum terhadap peraturan yang telah ditetapkan dalam peraturan Desa Sitardas untuk pengelolaan DPL Sitardas mengakibatkan kerusakan terus terjadi dari waktu kewaktu hingga saat ini. Kemudian hal ini diperburuk lagi oleh adanya akitifitas di daratan yang menyebabkan terjadinya sedimentasi menuju perairan laut melalui muara-muara sungai yang ada di Desa Sitardas. Dengan adanya permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dan mengkaji kondisi kerusakan terumbu karang di wilayah ini. Penelitian ini belum memfokuskan bagaimana efektifitas pengelolaan ekosistem terumbu karang Daerah Perlindungan Laut Sitardas, karena bagaimanapun pembentukan DPL Sitardas baru dimulai pada Oktober 2008, yang berarti belum berjalan 1 (satu) tahun pada saat penelitian ini dilaksanakan, sehingga efektifitas pengelolaannya belum terlihat secara jelas dan nyata. Adanya kerusakan yang masih terjadi adalah merupakan dasar dalam melakukan kajian untuk memberikan saran dan rekomendasi bagi perbaikan upaya pengelolaan yang dapat dilakukan agar kerusakan yang lebih besar dapat dihindarkan. 1.3 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah adanya degradasi terumbu karang secara kuantitas dan kualitas di Perairan Desa Sitardas. Desa Sitardas memilki Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor: 1 Tahun 2008, pada tanggal 15 Oktober Kerusakan terumbu karang yang sudah terjadi sejak lama baik secara langsung ataupun tidak langsung mengakibatkan turunnya pendapatan masyarakat khususnya nelayan di Desa Sitardas. Pendekatan secara ekologis dan pendekatan sosial ekonomi perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana kerusakan ekosistem terumbu karang tersebut. Salah satu upaya pengelolaan terumbu karang yang dilakukan adalah dengan pembentukan Daerah Perlindungan Laut sebagai salah satu wujud dari konservasi sumberdaya. Oleh karena itu perlu adanya kajian untuk perbaikan dan pengelolaan dari waktu ke waktu untuk dapat

26 9 menentukan rencana strategi pengelolaan terumbu karang serta pengembangan Daerah Perlindungan Laut agar pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari dapat berjalan dengan baik. Diagram alir di bawah ini menggambarkan kerangka pikir pengelolaan terumbu karang di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah (Gambar 1). Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut Permasalahan: Adanya kerusakan terumbu karang di Desa Sitardas Terumbu Karang LIPI: 2004, 2007, 2008 Penelitian 2009 Pendekatan Sosial Ekonomi Analisis SWOT Pendekatan Ekologi Rencana Strategi Pengelolaan terumbu karang dan Pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sumberdaya Perikanan Lestari Gambar 1 Kerangka pemikiran pengelolaan ekosistem terumbu karang dan pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas. Pengelolaan sumberdaya terumbu karang akan berhasil apabila didukung oleh keterlibatan aktif masyarakat di sekitarnya dan dukungan dari pemerintah setempat Adanya pengawasan dan kontrol oleh masyarakat dinilai sangat efektif dalam upaya pengelolaan terumbu karang. Demikian juga halnya dukungan pemerintah sangat mempengaruhi keberhasilan dari suatu Daerah Perlindungan

27 10 Laut, karena hal ini akan memberikan pengakuan bagi keberadaan Daerah Perlindungan Laut. Pengembangan Daerah Perlindungan Laut yang sukses tentunya akan menjamin pemanfaatan sumberdaya laut secara lestari dan berkelanjutan. 1.4 Tujuan Penelitian Dalam penelitian ini akan mengkaji kondisi ekologi terumbu karang yaitu; persentase tutupan karang, kelimpahan ikan karang dan kelimpahan fauna benthic lainnya di Perairan Sitardas dan Daerah Perlindungan Laut Sitardas. Penelitian ini juga melihat bagaimana hasil penelitian kondisi ekologi terumbu karang pada tahun-tahun sebelumnya dari baseline ekologi Tapanuli Tengah 2004, monitoring ekologi Tapanuli Tengah 2007 dan 2008 yang telah dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kemudian juga mengakaji aspek sosial ekonomi yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang melalui Daerah Perlindungan Laut Sitardas sebagai data pendukung. Hasil penelitian data ekologi dan data sosial ekonomi akan dianalisa dalam merekomendasikan strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang ataupun pengembangan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Sitardas dimasa yang akan datang. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji kondisi terumbu karang yang ada di Perairan Desa Sitardas. 2. Mengkaji kerusakan terumbu karang di Perairan Desa Sitardas. 3. Menyusun rekomendasi strategi pengelolaan terumbu karang dalam upaya pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas.

28 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang merupakan kumpulan binatang-binatang karang (reef corals) yang hidup di dasar perairan yang mempunyai kemampuan cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut serta berasosiasi dengan algae dan organisme lain seperti, ikan, lobster juga penyu. Karang adalah hewan yang hidup dalam Filum Coelenterata terdiri atas polip-polip yang hidup berkoloni maupun soliter (Goreau et al. 1982). Jaringan hidup karang tumbuh membentuk bangunan kerangka kapur yang tersusun oleh kalsium karbonat dalam bentuk aragonite (kristal serat CaCO 3 ) dan kalsit (kristal CaCO 3 ). Pada jaringan polip karang hermatifik terdapat alga Klas Dinoflagellata yakni Symbiodium microadriaticum yang mengandung klorofil dan disebut zooxanthellae (Falkowski et al. 1984). Zooxanthellae umumnya jarang terdapat pada jaringan endoderm dan ektoderm ataupun mesoglia. Zooxanthellae ditemukan dalam jumlah besar dalam jaringan polip yang bersentuhan langsung dengan cahaya matahari seperti pada tentakel. Berkaitan dengan terumbu karang, maka dibedakan antara karang (reef corals) sebagai individu organisme dan terumbu karang (coral reefs) sebagai suatu ekosistem termasuk di dalamnya binatang-binatang karang (Dawes 1981). Kemudian berdasarkan geomorfologinya ekosistem terumbu karang dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu, karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef) dan karang cincin (atoll). Terumbu karang tepi ditemukan hampir di seluruh pantai daerah tropis dan tumbuh menuju permukaan laut kearah laut lepas. Terumbu karang khususnya terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan ombak yang cukup dan kedalaman tidak lebih 40 meter, sehingga berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) serta tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang (Supriharyono 2007).

29 12 Pertumbuhan karang dibedakan atas tipe massive (tumbuh sama besar kesemua arah), columnar (membentuk tiang), encrusting (merayap di substrat), branching (membentuk percabangan atau menjari), foliaceus/folious (menyerupai daun), laminar (menyerupai meja) dan free living. Pertumbuhan dari struktur karang ini sangat bervariasi, tergantung kepada jenis hewan yang berasosiasi dan kondisi lingkungannya (Vaughan dan Wells 1943 dalam van Woesik 2002). Menurut Richmond (1997) karang bereproduksi secara seksual dan di luar kelamin (aseksual). Reproduksi seksual melibatkan pembuahan telur karang oleh sperma untuk membentuk larva yang berenang bebas. Larva-larva tersebut dapat beradaptasi dengan baik untuk distribusi serta tergantung dari jenis dan kondisinya dapat menjadi bibit dimana mereka berasal, di dekat terumbu karang, atau terumbu karang yang ratusan kilometer jauhnya, namun distribusi ini membutuhkan arus laut yang tepat untuk membuahi karang di hilir dan penting untuk menjaga keragaman genetik antara populasi karang dan terumbu karang. Selain itu, cara reproduksi karang juga menentukan rentang di mana mereka dapat mengisi kembali karang lainnya, reproduksi karang secara aseksual dari patahan-patahan karang menyebarkan secara lokal, sementara reproduksi karang secara seksual dari larva dapat menyebar melalui jarak yang lebih jauh lebih (Nystrom dan Folke 2001). Faktor spasial penting bagi ketahanan terumbu karang adalah hubungan antar dan di dalam terumbu karang. Berdarkan keterkaitan biota yang ada pada ekosistem terumbu karang, maka populasi besar karang dan pembebasan larva menciptakan keragaman genetik yang tinggi yang sangat penting untuk pemulihan dari gangguan. Terumbu karang memiliki species yang amat beragam dan sebagian besar dari species tersebut bernilai ekonomis tinggi. Tingginya tingkat keanekaragaman tersebut disebabkan antara lain oleh besarnya variasi habitat yang terdapat di dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang memilki asosiasi yang kompleks dengan organisme lain, yaitu biota dan ikan yang hidup disekelingnya. Kemudian biota dan substrat tersebut berinteraksi dengan sejumlah tipe habitat yang berbeda-beda pada terumbu karang dan semuanya berada di satu sistem yang terjalin dalam hubungan fungsional yang harmonis dimana species yang paling banyak dijumpai adalah ikan.

30 13 Ikan karang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu ikan target yang merupakan ikan konsumsi, seperti famili Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Nemipteridae, Caesionidae, Siganidae, Haemulidae, Scaridae dan Acanthuridae. Kemudian kelompok ikan yang digunakan sebagai indikator bagi kondisi kesehatan terumbu karang di suatu perairan, seperti famili Chaetodontidae. Kelompok ketiga adalah ikan major sering disebut sebagai ikan hias yang berperan dalam rantai makanan, seperti famili Pomacentridae, Apogonidae, Labridae dan Blennidae (English et al. 1997). Goldman dan Talbot (1976) dalam Nybakken (1992) menyatakan bahwa banyak di antara karnivora yang hidup di habitat terumbu karang tidak mengkhususkan makanannya pada satu sumber makanan tertentu, sebaliknya memangsa apa saja yang berguna bagi mereka. Menurut Tamimi et al. (1993) distribusi spasial ikan-ikan karang ditentukan oleh karakteristik habitat dan interaksi ikan-ikan itu sendiri. Distribusi spasial beberapa jenis ikan secara nyata dapat dideterminasi oleh karakteristik habitat tertentu. Secara deskriptif terumbu karang merupakan kelompok kehidupan (komunitas) yang paling produktif dan paling beranekaragam di muka bumi dan banyak dijumpai di laut tropis yang hangat, jernih, dan dangkal. Melalui simbiosis dengan alga bersel tunggal (zooxantellae), karang menjadi sumber produktifitas primer dalam komunitas terumbu karang (Richmond 1988). Secara ekologis, terumbu karang juga dapat berfungsi melindungi komponen ekosistem pesisir lainnya (lahan pantai) dari gempuran gelombang dan badai. Menurut TERANGI (2005) ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan di laut, diantaranya: 1. Sebagai pelindung pantai; terumbu karang yang tumbuh di daerah pasang surut sangat berperan dalam mengurangi energi arus atau ombak yang datang ke pantai sehingga mencegah terjadinya erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir. 2. Menyediakan makanan, tempat tinggal untuk berkembang biak, tempat asuhan dan perlindungan bagi makhluk laut. Kemudian dalam Nybakken (1992), dikatakan bahwa terumbu karang memiliki fungsi ekologis sebagai pelindung pantai, menyediakan habitat untuk berlindung, memijah dan mendapatkan makanan bagi berbagai jenis biota.

31 14 Terumbu karang merupakan ekosistem perairan tropis yang unik dengan nilai estetika yang tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya, memiliki warna dan desain yang sangat indah serta kaya akan keanekaragaman jenis biota. Suharsono (2008) menyatakan bahwa karang tumbuh subur di perairan laut tropis, walaupun ada beberapa diantaranya yang juga di jumpai di perairan laut subtropis seperti karang yang termasuk dalam filum Cnidaria, yaitu organisme yang memiliki penyengat. Secara umum filum Cnidaria terbagi atas kelompok Hydrizoa dan Anthozoa. Hydrizoa terdiri dari Millepora (karang api) dan Stylasterina. Stylasterina biasanya kecil dan hidup di tempat yang tersembunyi di dinding gua dan bukan merupakan karang pembentuk terumbu. Anthozoa yang umumnya dikenal antara lain, Stolonifera contohnya karang suling (Tubipora musica); Coenothecalia contohnya karang biru (Heliopora cooeruela); Sclerectinia atau lebih di kenal sebagai karang keras yang meliputi jenis-jenis karang pembentuk terumbu karang utama. Kemudian Veron (2002), menyatakan bahwa hewan karang adalah hewan sesille renik, umumnya berada dalam ekosistem bersama hewan laut lain seperti soft coral, hydra, anemone laut dan lain-lain yang termasuk kedalam filum Cnidaria (Coelentrata). Sebaran karang sebelah Barat Sumatera merupakan terumbu karang dengan tipe terumbu karang lautan Hindia yang dicirikan dengan keanekaragaman yang relatif rendah. Karang tersebar mulai dari Pulau Weh di ujung Barat Pulau Sumatera, sepanjang pantai Barat Sumatera atau berada di pulau yang tersebar di sebelah Barat Sumatera memanjang sejar dengan Pulau Sumatera. Pulau-pulau di sebelah Barat Sumatera tidak seluruhnya dikelilingi oleh terumbu karang. Karang yang tumbuh umumnya berupa patches-patches pada lokasi-lokasi yang agak jauh dari pulau Sumatera (Suharsono 2008). Menurut Rosen (1971) dalam Supriharyono (2007) bahwa di dunia ini ada tiga daerah pengelompokan karang, yang pertama di Indonesia Barat, yang kedua berada di Caribbea (Atlantic), dan yang ketiga terletak di sebelah Selatan Samudra Hindia (Indo Pacific). Indonesia memiliki keanekaragaman terumbu karang yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang terdapat di Samudra Hindia. Secara umum species pembangun terumbu karang (reef building corals) yang tumbuh di Indo Pacific cenderung lebih banyak dibandingkan dengan di Atlantic.

32 15 Namun menurut Connel (1973), tingginya keanekaragaman jenis karang tersebut umumnya berada dalam kondisi yang tidak seimbang, yang mana apabila ada gangguan maka keanekaragamannya akan turun. Keanekaragaman jenis karang yang tumbuh pada suatu area sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan dan tekanan lingkungan serta faktor-faktor pembatas lainnya. 2.2 Faktor Pembatas Keanekaragaman, penyebaran dan pertumbuhan karang tergantung pada kondisi lingkungannya. Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan alam maupun aktivitas manusia. Gangguan dapat berupa faktor fisika atau kimia yang dapat mempengaruhi kehidupan atau laju pertumbuhan karang, antara lain adalah cahaya matahari, suhu, salinitas, dan sedimen. Sedangkan faktor biologis biasanya berupa predator atau pemangsanya. Mengingat binatang karang (hermatific atau reef building corals) hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxantella) yang melakukan proses fotosintesis, maka pengaruh cahaya adalah penting sekali. Proses fotosintesis bagi zooxanthellae tergantung dari penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam kolom air, maka kedalaman dan kejernihan air merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan terumbu dan koloni karang. Sedangkan kejernihan air terkait dengan kandungan sedimen alam perairan, dimana kandungan sedimen yang tinggi akan menghambat penetrasi cahaya matahari sehingga mengurangi jumlah cahaya yang diperlukan untuk proses fotosintesis, di sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang menyebabkan karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sedimen tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesis untuk menghasilkan energi juga terhambat. Hal itulah yang menyebabkan karang terhambat pertumbuhannya (Nybakken 1992). Suhu perairan juga merupakan faktor pembatas pertumbuhan karang. Hal ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan biota karang (polip karang dan zooxanthellae). Biota karang masih dapat mentoleransi suhu tahunan maksimum sampai kira-kira 36 o C 40 o C dan suhu minimun sebesar 18 o C (Nybakken 1992).

33 16 Menurut Supriharyono (2007), bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang sekitar antara 25 o C 29 o C. Tekanan hydrodinamis seperti arus dan gelombang akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dengan adanya kecenderungan semakin besar tekanan hydrodinamis, maka bentuk pertumbuhan karang lebih ke arah bentuk pertumbuhan mengerak (encrusting) (Supriharyono 2007). Selain itu arus dibutuhkan untuk mendatangkan makanan berupa plankton. Menurut Nybakken (1992), pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibandingkan dengan perairan tenang. Pada perairan yang selalu terkena ombak besar di dominasi oleh Pocillopora, Acropora atau Montastrea. Sedangkan yang yang mendominasi perairan yang tenang seperti goba, rataan terumbu dan lereng terumbu bagian bawah adalah Porites, Pavia, Montrastea atau Stylophora. Faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang adalah salinitas. Salinitas merupakan faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang. Kisaran salinitas pertumbuhan karang di Indonesia antara (Coles and Jokiel 1992). Karang hermatipik adalah organisme lautan sejati yang tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air luat yang normal (32 35 ). Meskipun skala yang lebih kecil di daerah tropik, pemasukan air tawar secara teratur dari alairan sungai dapat menyebabkan pertumbuhan terumbu karang menjadi terhenti (Nybakken 1992). 2.3 Kerusakan Terumbu Karang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan akibat kegiatan manusia dan pemulihannya memerlukan waktu yang lama. Di sisi lain karang dan terumbu karang juga adalah merupakan komunitas yang sangat peka, sedikit saja perubahan di lingkungan dapat menyebabkan pengaruh yang buruk terhadap kondisi kesehatan seluruh koloni karang. Perubahan ini bisa di sebabkan oleh gangguan alami dan gangguan akibat ulah manusia. Perubahan alami dapat menyebabkan perubahan yang drastis dalam komunitas karang, sedangkan gangguan yang disebabkan oleh kegiatan manusia umumnya menyebabkan turunnya luasan tutupan karang.

34 17 Salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan dengan pembangunan fisik yang mengubah bentangan alam, jumlah aliran permukaan air tawar terus meningkat dan membawa sedimen dalam jumlah besar, nutrient dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian atau sistem pembuangan, selain juga bahan pencemar lain seperti produk bahan bakar minyak dan insktisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu karang atau menyebabkan peningkatan kekeruhan karena penyuburan (eutrofikasi) yang dapat menurunkan jumlah cahaya yang mencapai karang serta dapat menyebabkan pemutihan (Brown 1987). Menurut Supriharyono (2007) unsur hara yang terikat pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga, terutama pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima sedimen yang cukup tinggi melalui sungai disekitarnya. Makro alga ini umumnya akan menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat, seperti Acropora sp. dan Montipora digitata. Bahkan turf algae Anotrichium tenue dan Corallophila huysmansii dapat tumbuh menutupi dan melukai jaringan karang Porites (Jompa and Mc Cook 2003). Hasil penelitian Lirman (2001) bahwa laju kelulus hidupan koloni karang dilaporkan rendah dengan adanya makroalga yang tumbuh didekatnya. Adanya hewan herbivora untuk memakan alga dibutuhkan oleh anakan karang, agar makroalga tersebut termakan oleh hewan herbivora dan tidak menghalangi anakan karang karang dari sinar matahari. Brown (1990) menyatakan bahwa adanya sedimentasi di perairan laut dapat memacu pertumbuhan macro alga sebagai kompetitor karang yang tumbuh dari tumpukan sedimen di dasar substrat. Kondisi ini juga diduga sebagai penyebab rendahnya keanekaragaman di daerah reef flat tersebut. Disamping jenis sedimen di atas ada pula sedimen yang lain, yang dikenal dengan carbonate sediment, yaitu sedimen yang berasal dari erosi karang-karang baik secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosion ini umumnya dilakukan oleh hewanhewan laut, seperti bulu babi, ikan, bintang laut dan sebagainya. Faktor lain akibat ulah manusia yang menyebabkan kerusakan terumbu karang terbesar adalah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan akibat penggunaan jangkar

35 18 kapal. Pada perairan Sitardas masih banyak dijumpai kerusakan karang terkait dengan aktifitas perahu yang membuang jangkar diatas karang, sehingga menyebabkan karang patah. van Woesik (1994), menyatakan karang di daerah sedimentasi tinggi, umumnya membentuk pertumbuhan yang kecil atau encrusting. Pada jenis tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya sehingga menghindari polipnya dari sedimen yang masuk. Selanjutnya Chappell (1980) dalam Supriharyono (2007) menyatakan terdapat kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau dapat beradaptasi pada perairan dengan sedimentasi tinggi bentuk pertumbuhannya akan mengarah kebentuk massif dan sub-massif. Sedangkan di perairan yang jernih atau sedimentasi yang rendah, akan lebih banyak ditemukan karang dalam bentuk bercabang atau tabulate. Seperti yang dinyatakan sebelumnya oleh Nybakken (1992) bahwa pada perairan yang selalu terkena ombak besar, terumbu karang akan didominasi oleh Pocillopora, Acropora atau Montastrea. Sedangkan yang mendominasi perairan tenang seperti goba, maka rataan terumbu dan lereng terumbu bagian bawah adalah Porites, Favia, Montestrea atau Stylopora. Ditambahkan Suharsono (1998) secara umum karang di daerah dangkal didominasi oleh Acropora spp, Montipora spp dan Porites spp, sedangkan di daerah yang lebih dalam didominasi oleh Echinopora spp, Mycedium spp, Oxyopora spp, dan Turbinaria spp. Menurut Westmacott et al. (2000) ekositem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terancam di dunia. Tekanan terhadap ekosistem terumbu karang akibat aktifitas manusia, seperti aktifitas penangkapan ikan yang bersifat destruktif serta adanya pencemaran lingkungan dianggap sebagai bahaya utama yang mengancam eksistensi terumbu karang. Kemudian diperparah lagi oleh adanya pemanasan global yang memicu peningkatan suhu permukaan air laut yang menyebabkan terjadinya pemutihan karang (coral bleaching). Penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan juga masih terjadi diperairan Sitardas (seperti bom dan racun cyanida/biasa disebut masyarakat Sitardas dengan nama air mas). Dampak penangkapan ikan secara destruktif ini telah mengakibatkan terjadinya kematian pada karang. Menurut Suharsono (1988), penyemprotan cyanida pada karang massive dapat berakibat karang

36 19 mengalami stress dengan mengeluarkan lendir. Dua bulan setelah percobaan itu pada karang yang berikan perlakuan yang sama akan mengalami kematian pada bulan ketiga. Sedangkan akibat pemboman, akan menyebabkan kerusakan karang pada areal yang sangat luas, hal ini dikarenakan adanya patahan karang yang terseret oleh gelombang dapat menghancurkan karang yang berada di sekitarnya akibat gaya gerak gelombang yang membawa patahan-patahan karang. Penelitian Fox et al. (2003) menjelaskan bahwa penangkapan ikan secara ilegal dengan menggunakan bahan peledak buatan sendiri atau dinamit masih sering dilakukan pada sebagian besar wilayah di Asia Tenggara dan telah mengakibatkan kerusakan terumbu karang di kawasan tersebut. Selain menyebabkan kematian ikan dan organisme lain, ledakan dinamit meninggalkan patahan karang yang berserakan di dasar membentuk serpihan karang mati. Serpihan karang ini dibawa oleh arus laut, selanjutnya menggeser atau menutupi karang-karang muda lain yang masih hidup, sehingga menghambat atau mencegah pemulihan karang. 2.4 Daerah Perlindungan Laut Daerah Perlindungan Laut (DPL) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat (Tulungen et al. 2002). Kegiatan perikanan dan pengambilan merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan DPL diatur atau sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk peraturan desa (Perdes). Daerah perlindungan laut dibentuk berdasarkan ekosistem yang ada yaitu terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan sebagainya. Keberadaannya dapat ditetapkan melalui peraturan desa atau kabupaten dan kota, dalam rangka melindungi dan memperbaiki sumberdaya pesisir dan perikanan di wilayah yang memiliki peranan penting secara ekologis. DPL merupakan salah satu metode efektif untuk mengatur kegiatan perikanan, melindungi tempat ikan bertelur, membesarkan larva, sebagai daerah asuhan juvenil (ikan kecil) serta melindungi

37 20 suatu wilayah dari kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan menjamin ketersediaan stok perikanan secara berkelanjutan (DIRJEN P3K DKP 2005). Dalam pengelolaannya DPL dilakukan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community Based Management (CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam seperti ekosistem terumbu karang dan sumberdaya perikanan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya (Nikijuluw 1994). Selain itu masyarakat lokal juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional yang akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah upaya memantau komponen yang berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati seperti jumlah individu spesies langka dan terancam punah (Feinsinger 2001). Metode yang digunakan untuk memantau komponen tersebut, misalnya memotret lokasi tertentu dari waktu ke waktu, maupun mengadakan wawancara dengan para pengguna kawasan (Danielsen et al. 2000). Dapat juga dilakukan pemantauan dengan membandingkan struktur dan kondisi komunitas dari waktu ke waktu dengan bantuan plot maupun transek permanen. Lebih lanjut menurut Nikijuluw (1994) bahwa pengelolaan berbasis masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat di mana masyarakat lokal terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi seperti perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Namun dalam prakteknya banyak ditemui bentuk-bentuk pengelolaan yang seperti ini banyak mengalami kepunahan. Seiring dengan pesatnya pembangunan di wilayah pesisir, maka semakin sulit bagi masyarakat lokal untuk mempertahankan bentuk-bentuk pengelolaan yang murni hanya berbasis pada masyarakat setempat. Sebagai suatu model, diketahui bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis masyarakat memiliki kelemahan dan kelebihan yang tentunya harus diperhatikan dalam mengembangkan sebuah model CBM sumberdaya perikanan dan kelautan. Beberapa kelebihan (nilai-nilai positif) dari model CBM ini adalah:

38 21 Mampu mendorong pemerataan (equity) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Mampu merefleksikan kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik. Mampu meningkatkan manfaat bagi seluruh anggota masyarakat yang ada. Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi. Rensponsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal. Masyarakat lokal termotivasi mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Sementara kelemahan (nilai-nilai negatif) dari pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan berbasis masyarakat antara lain adalah: Hanya dapat diterapkan dengan baik pada kondisi masyarakat yang strukturnya masih sederhana dengan skala dan wilayah kegiatan yang kecil. Masyarakat memiliki keterbatasan seperti tingkat pendidikan, kesadaran akan pentingnya lingkungan. Hanya efektif untuk kawasan pesisir dan laut dengan batas geografis yang jelas atau terbatas. Terjadinya ketimpangan dalam implementasinya karena tidak didukung oleh pemerintah. Rentan terhadap 'intervensi luar' atau permintaan sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan. Sementara itu Grafton (2005) mengemukakan enam langkah umum proses pengelolaan adaptif secara aktif di DPL untuk kepentingan perikanan yakni (1) menentukan tujuan spesifik, (2) penilaian sistem sosial-ekonomi-ekologi, (3) melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk menyeleksi kriteria sosio-ekonomi-ekologi yang akan digunakan dalam menetapkan variabel kunci keputusan, (4) menetapkan ukuran DPL, lokasi, jumlah dan durasi perlindungan, (5) menyiapkan suatu pertimbangan yang disusun oleh pemangku kepentingan dan kolega terhadap semua langkah sebelumnya dan harus diikuti, (6) melakukan pembelajaran aktif, percobaan dan evaluasi. Keberhasilan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berbasis masyarakat harus dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat, pengelola dan pemerintah dengan kesadaran dan komitmen untuk melakukan pengelolaan

39 22 secara mandiri dan berkelanjutan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan tersebut merupakan kunci keberhasilan dari pengelolaan berbasis masyarakat. Cohen dan Uphoff (1977) menyatakan bahwa partisipasi dibedakan berdasarkan tahapannya terbagi atas; (1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan, kebijakan dan perencanaan pembangunan. (2) Partisipasi dalam pelaksanaan program pembagunan. (3) Partisipasi dalam memanfaatakan atau menggunakan hasil-hasil pembangunan. (4) Partisipasi dalam mengevaluasi dan mengawasi pembangunan. Menurut Dahuri (2000) pembangunan kelautan perikanan haruslah bersifat aspiratif dimana keterlibatan masyarakat dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pemanfaatan dan evaluasi hasil pembangunan dilakukan melalui pendekatan community management. Kemudian menurut Madrie (1986) bahwa tingkat pendidikan, umur dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan merupakan faktor pribadi yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan kegiatan. Sedangkan menurut Soeryani (1987), tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam melaksanakan suatu kegiatan, termasuk dalam upaya pengelolaan sumberdaya alam. Faktor-faktor tersebut merupakan cerminan dari kondisi sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu keberhasilan suatu pengelolaan sumberdaya termasuk pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosial ekonomi masyarakat. Meskipun tidak ada jaminan bahwa semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat, semakin baik pengelolaannya terhadap sumberdaya yang ada. Namun demikian dapat digaris bawahi bahwa semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat akan memperdalam pemahaman masyarakat terhadap manfaat yang dapat mereka peroleh dari kelestarian sumberdaya alam.

40 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian ini diawali dengan persiapan yang mencakup penentuan aspek yang akan diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran berbagai informasi yang terkait dan diskusi intensif dengan pembimbing. Tahapan selanjutnya adalah mengidentifikasi dan merumuskan masalah yang akan dikaji dalam kegiatan penelitian. Penelitian dilanjutkan dengan perumusan dan penyusunan proposal yang juga diikuti dengan survey awal terhadap lokasi penelitian yang ditentukan. Di samping itu juga dilakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk administratif dan teknis dalam menunjang pelaksanaan penelitian di lapangan. Pada tahap selanjutnya dilakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan pengamatan, observasi ataupun dengan diskusi dan penggunaan kuisioner serta wawancara langsung. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan data tertulis serta pustaka pada instansi terkait dan stake holder yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang serta Daerah Perlindungan Laut di Desa Sitardas. Pengumpulan data di tingkat masyarakat difokuskan pada pendekatan melalui wawancara langsung, diskusi dengan pihak-pihak terkait (LPSTK) dan pengisian kuisioner. Hasil pengumpulan data baik data primer maupun data sekunder, dilakukan pengolahan data dan analisa data untuk mengetahui kondisi objektif pada lokasi penelitian serta merumuskan dan memberikan rekomendasi strategi untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang. Hasil pengolahan data, analisa data dan pembahasan yang dilakukan diharapkan dapat menjawab dan mencapai tujuan penelitian. Semua proses dalam penelitian dan hasil penelitian ini dituangkan dalam penulisan tesis yang kemudian akan diseminarkan. Secara skematik tahapan penelitian yang akan dilakukan disajikan pada (Gambar 2) di bawah ini.

41 24 Persiapan Penelitian Identifikasi Masalah dan Perumusan Konsep Survei Awal Perumusan dan Penyusunan Proposal Pengumpulan Data Kajian Pustaka Penyusunan Kuesioner Data Primer Instansi Pemerintah LSM Masyarakat Data Sekunder Pengolahan dan Analisa Data Penulisan Tesis Gambar 2 Tahapan penelitian kajian kondisi ekosistem terumbu karang Daerah Perlindungan Laut Sitardas. 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini pada bulan Juni sampai dengan Agustus Penelitian ini dilaksanakan di Daerah Perlindungan Laut Sitardas dan perairan sekitarnya pada P. Ungge dan P. Bakal, yang merupakan stasiun penelitian sebelumnya oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada baseline ekologi Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2004, monitoring ekologi Tapanuli Tengah Tahun 2007 dan monitoring terumbu karang Tapanuli Tengah Tahun 2008 (Gambar 3).

42 Gambar 3 Lokasi penelitian di perairan laut Desa Sitardas tahun 2009 dan lokasi penelitian LIPI tahun 2004, 2007 dan Sumber : Basemap terumbu karang Kabupaten Tapanuli Tengah. COREMAP LIPI 2009.

43 26 Peta lokasi penelitian menggambarkan 5 stasiun penelitian di perairan Desa Sitardas tahun 2009 (red flag) dan 13 stasiun penelitian LIPI pada baseline ekologi tahun 2004, monitoring ekologi tahun 2007 dan 2008 (blue flag). Berdasarkan baseline ekologi LIPI 2004 dari 13 transek permanen yang ada di Tapanuli Tengah (Sitardas, Mursala dan Sibolga) terdapat empat lokasi yang dijadikan transek permanen di perairan Sitardas yaitu; TPTL 04 di Pulau Ungge, TPTL 05 di Pulau Bakal, TPTL 06 di Ug. Buluaro dan TPTL 07 di Daerah Perlindungan Laut Sitardas. Stasiun penelitian 2009 pada awalnya akan dilakukan pada 4 transek permanen tersebut, namun karena kondisi cuaca buruk akhirnya stasiun penelitian diubah bergeser pada 3 transek permanen (TPTL 04=UNG 05), (TPTL 05=BKL 04), dan (TPTL 07=SIT 02) serta 2 TPTR yaitu TPTR 23 dan TPTR 24 dari baseline ekologi tahun Lokasi penelitian dilakukan di transek permanen yang sudah ada, hal ini dimaksudkan untuk dapat membandingkan kondisi terumbu karang pada waktu pengamatan sebelumnya dengan hasil pengamatan pada saat penelitian, sehingga dapat diketahui dampak dari Daerah Perlindungan Laut terhadap pengelolaan terumbu karang di wilayah tersebut. Untuk mengetahui masing-masing titik stasiun penelitian pada saat penelitian dilakukan input kembali titik koordinat yang telah ada dengan bantuan GPS (Global Positioning System), disamping itu dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait di lapangan. Adapun posisi titik stasiun penelitian adalah sebagai berikut: (1) Stasiun penelitian SIT 01 berada di perairan pesisir pantai Sitardas pada titik; BT dan LU. (2) Stasiun penelitian SIT 02 berada di bagian ujung pesisir perairan pantai Sitardas pada titik; BT dan LU. (3) Stasiun penelitian SIT 03 berada di bagian tengah pesisir perairan pantai Sitardas pada titik; BT dan LU. (4) Stasiun penelitian BKL 04 berada di sebelah Barat P. Bakal pada titik; BT dan LU. (5) Stasiun penelitian SIT 02 berada di sebelah Selatan P. Ungge pada titik; BT dan BT.

44 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah metode survei untuk mengumpulkan data primer dan data sekunder dengan penelusuran literatur (desk study) dan pengumpulan data dari instansi yang terkait. 3.4 Data Primer Data primer dikumpulkan dari kegiatan observasi, wawancara, diskusi, dan pengukuran di lapang. Pengumpulan data primer meliputi data sumber daya alam menyangkut kondisi terumbu karang yakni, persentase terumbu karang, kemudian ikan karang yakni, kelimpahan ikan karang serta benthic fauna lainnya yakni, kelimpahan benthic fauna. Data sosial ekonomi merupakan penjabaran kondisi masyarakat sebagai subjek dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada di Perairan Sitardas Parameter fisika dan kimia perairan Untuk mengetahui kondisi perairan secara umum dilakukan pengukuran beberapa parameter fisika dan kimia perairan antara lain; kecerahan (m) diukur dengan menggunakan secchi disk, suhu ( o C) menggunakan thermometer, salinitas ( 0 / 00 ) menggunakan refraktometer, dan kecepatan arus (cm/det) menggunakan floating droadge. Berdasarkan pemaparan literatur dalam tinjauan pustaka, diketahui bahwa parameter fisika dan kimia perairan ini adalah merupakan faktor-faktor penghambat pertumbuhan terumbu karang Data terumbu karang Metode yang digunakan untuk pengambilan data biota pengisi habitat dasar adalah metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect=LIT). Pengamatan dilakukan di titik transek stasiun penelitian yang dilakukan LIPI pada kedalaman antara 3 5 m. Teknik pengamatan yang dilakukan sama dengan yang telah dilaksanakan dengan kegiatan baseline dan monitoring ekologi oleh LIPI pada tahun 2004, 2007 dan 2008 untuk dapat membandingkan antara data sebelumnya dengan data hasil penelitian yang dilakukan, sehingga diketahui

45 28 bagaimana perubahan kondisi terumbu karang serta biota yang hidup di dalamnya. Panjang garis transek 10 m diulang sebanyak 3 kali pada garis pita (roll meter) sepanjang 70 m. Pengamatan LIT dilakukan pada garis transek roll meter 0 10 m, m dan m, jarak antara transek pada garis diberi interval 20 m. Pengamatan biota pengisi habitat dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan (lifeform) yang memiliki kode-kode tertentu (English et al. 1997). Kemudian semua biota karang dan substrat yang berada tepat di bawah transek tersebut diukur menggunakan roll meter dan dicatat hingga ketelitian centimeter. Gambar teknik pengamatan karang yang dilakukan disajikan dalam (Gambar 4) di bawah ini. Transek dipasang secara paralel terhadap garis pantai (70m) Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 10 m 10 m 10 m Tanda patok pertama yang berbeda dari yang lainnya Gambar 4 Teknik Pengamatan Line Intercept Transect (LIT) Data ikan karang Pengambilan data ikan karang menggunakan metode sensus pengamatan bawah air (Underwater fish Visual Cencus=UVC) berdasarkan manual monitoring kesehatan karang CRITC COREMAP LIPI (2006) yang diadopsi dari (English et al. 1997). Pengamatan ikan-ikan karang dilakukan pada setiap transek stasiun penelitian, dimana ikan-ikan yang dijumpai pada jarak 2.5 m di sebelah kiri dan 2.5 m di sebelah kanan garis transek sepanjang 70 m dicatat jenis dan jumlahnya. Luas bidang yang teramati pertranseknya yaitu (5 X 70 m) = 350 m 2. Interval waktu pengamatan antara jam 8.30 WIB sampai WIB untuk lebih memudahkan pengamatan dan identifikasi yang dilakukan, oleh karena itu data ikan yang diambil merupakan ikan yang bersifat diurnal.

46 29 Gambar metode pengamatan ikan karang dengan UVC dapat dilihat pada (Gambar 5) di bawah ini. Gambar 5 Metode Underwater fish Visual Census (UVC) Data benthic fauna Benthic fauna yang diamati adalah hewan dasar perairan yang berasosiasi dengan terumbu karang dan mempunyai ukuran yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Pengamatan benthic fauna dilakukan dengan metode Reef Check Benthos (RCB) berdasarkan manual monitoring kesehatan karang CRITC COREMAP LIPI (2006). Pengamatan dilakukan dengan meletakkan roll meter berukuran sepanjang 70 m pada kedalaman 3 5 m pada transek stasiun penelitian lokasi LIT, kemudian semua benthic fauna yang berada 1 meter disebelah kiri dan 1 meter di sebelah kanan roll meter pada area pengamatan seluas 140 m 2 dicatat semua jumlahnya. Pengamatan dengan metode RCB sama dengan metode UVC pengamatan ikan karang, hanya saja objek yang diamati dan luasan area pengamatan yang berbeda. Metode pengamatan benthic fauna dapat dilihat pada (Gambar 6) di bawah ini. Gambar 6 Metode Reef Check Benthos (RCB).

47 30 Berdasarkan manual monitoring kesehatan karang CRITC COREMAP LIPI (2006), pengamatan benthic fauna yang dilakukan terutama yang mempunyai nilai ekonomis penting dan bisa dijadikan sebagai indikator kesehatan terumbu karang. Benthic fauna yang dicatat jenis dan jumlah individunya sepanjang garis transek terdiri dari: - Lobster (udang karang) - Acanthaster planci (binatang bulu seribu) - Diadema setosum (bulu babi hitam) - Pencil sea urchin (bulu babi seperti pensil) - Large Holothurian (teripang ukuran besar) - Small Holothurian (teripang ukuran kecil) - Large Giant Clam (kima ukuran besar) - Smal Giant Clam (kima ukuran kecil) - Trochus niloticus (lola) - Drupella sp. (sejenis Gastropoda/keong yang hidup di atas atau di antara karang terutama karang bercabang) - Mushroom coral (karang jamur, Fungia spp.) Data sosial ekonomi Data sosial ekonomi yang dikumpulkan yaitu; kependudukan, pendidikan, mata pencaharian, pendapatan, kelembagaan, sikap, persepsi dan partisipasi terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Sitardas. Data sosial ekonomi dikumpulkan sebagai data pendukung dalam rekomendasi strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL Sitardas. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara langsung (interview) dan kuisioner serta berdasarkan data sekunder. 3.5 Data Sekunder Data sekunder dikumpulkan dari beberapa instansi terkait dan melalui penelusuran berbagai pustaka. Data sekunder merupakan data pendukung untuk melihat pengaruh beberapa aspek sosial ekonomi masyarakat terhadap kondisi ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian. Data ini kemudian dianalisis untuk memperoleh input berbagai faktor eksternal dan internal dalam analisis SWOT.

48 Analisis Data Analisa data yang dilakukan adalah analisa deskriftif berdasarkan hasil pengolahan data primer maupun sekunder. Data yang dikumpulkan berupa data kualitatif dan data kuantitatif dari data primer maupun data sekunder yang menggambarkan kondisi ekosistem terumbu karang di lokasi penelitian serta aspek-aspek yang mempengaruhi/yang berkaitan langsung dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang dan DPL di Desa Sitardas. Analisis yang dilakukan meliputi analisis data ekologis dan data sosial ekonomi Persentase tutupan karang Persentase tutupan karang berdasarkan pada kategori dan persentasi karang hidup (life form), semakin tinggi persentase penutupan karang hidup maka kondisi ekosistem terumbu karang semakin baik dan semakin penting pula untuk dilindungi. Data persentase tutupan karang hidup yang diperoleh dengan metode Line Intercept Tansect (English et al. 1997), dihitung dengan persamaan: Keterangan : Ni = persen penutupan karang jenis ke-i (%) li = panjang total life form / jenis ke-i (cm) L = panjang transek (70 m) Data kondisi tutupan karang yang diperoleh dari persamaan di atas kemudian dikategorikan berdasarkan Gomez dan Yap (1988) yaitu : a % : Sangat baik b % : Baik c % : Sedang d % : Rusak Kelimpahan ikan karang Analisis kelimpahan ikan karang yang terdapat pada stasiun penelitian di perairan dan Daearah Perlindungan Laut Sitardas dihitung berdasarkan manual monitoring kesehatan karang CRITC COREMAP LIPI (2006), yaitu :

49 32 Selain itu dihitung juga kelimpahan jenis ikan karang dalam satuan unit individu/luas transek. Kelompok ikan yang diamati dibagi atas 3 kelompok utama (English et al. 1997) yaitu: 1. Ikan-ikan target, merupakan ikan ekonomis penting yang biasa ditangkap untuk dikonsumsi. Ikan-ikan ini menjadikan terumbu karang sebagai tempat untuk pemijahan dan sebagai daerah asuhan. Ikan-ikan target ini terdiri dari suku Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua), dan Acanthuridae (ikan pakol). 2. Ikan-ikan indikator, merupakan ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator bagi kesehatan terumbu karang. Ikanikan indikator ini dari suku Chaetodontidae (ikan kepe-kepe). 3. Ikan-ikan major, merupakan ikan berukuran kecil berkisar antara 5 25 cm yang mempunyai karakteristik pewarnaan beragam sehingga dekenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah baik dalam individu maupun jenisnya serta cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, terdiri dari suku Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu) dan Blenniidae (ikan peniru) Kelimpahan benthic fauna Kelimpahan benthic fauna adalah merupakan jumlah benthic fauna yang ditemukan pada stasiun penelitian. Benthic fauna yang diamati merupakan hewan benthic yang memiliki nilai ekonomis penting serta yang berperan langsung di dalam ekosistem karena dapat dijadikan indikator kesehatan terumbu karang. Hasil penghitungan jumlah benthic fauna, kemudian dihitung kelimpahannya berdasarkan manual monitoring kesehatan karang CRITC COREMAP LIPI (2006), yaitu:

50 Faktor sosial ekonomi Data sosial ekonomi masyarakat diperoleh melalui data primer dengan pengamatan/observasi, pengisian kuisioner, serta wawancara secara langsung dilokasi penelitian serta berdasarkan data sekunder dari instansi terkait. Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik purposive sampling berjumlah minimal 30 orang yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, pengelola, dan juga Lembaga Swadaya Masyrakat (LSM) setempat yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut. Pertimbangan menggunakan metode purposive sampling karena metode pengambilan sampel ini dengan sengaja memilih responden berdasarkan kebutuhan data yang diinginkan, yaitu dengan ketentuan kondisi sosial ekonomi masyarakat, sikap, persepsi dan peran serta (partisipasi) masyarakat dalam kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang perairan Sitardas. Pertimbangan lain adalah kemudahan dalam melakukan wawancara dan kesediaan responden dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian. 3.7 Analisis SWOT Untuk strategi dan rekomendasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di perairan Sitardas dilakukan dengan analisis SWOT. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi (Rangkuti, 1997). Melalui analisis SWOT dilakukan identifikasi berbagai faktor internal dan eksternal secara sistematik dan kemudian merumuskannya. Selanjutnya membandingkan antara faktor eksternal, yakni peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal, yakni kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness). Dengan pendekatan matriks antara faktor eksternal dan internal dilakukan pembobotan dengan kisaran nilai Untuk unsur peluang dan ancaman nilai ranking 1 4, sedangkan pada unsur kekuatan dan kelemahan nilai ranking 4 hingga 1. Analisis ini didasarkan asumsi bahwa strategi yang efektif adalah memaksimalkan kekuatan dan kesempatan yang dimiliki serta meminimalkan kelemahan dan ancaman yang dihadapi. Langkah-langkah dalam melakukan melakukan analisis SWOT ini dijabarkan pada langkah-langkah dibawah ini.

51 34 Penentuan bobot setiap variabel Penentuan bobot dilakukan dengan jalan mengajukan identifikasi faktor strategis internal dan eksternal. Penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4 (David 2002), yaitu: 1 : Jika indikator horizontal kurang penting dari pada indikator vertikal 2 : Jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal 3 : Jika indikator horizontal lebih penting dari pada indikator vertikal 4 : Jika indikator horizontal sangat penting dibandingkan indikator vertikal Pembobotan faktor strategis internal dilakukan dengan pemberian nilai terhadap faktor-faktor yang ada, melalui perbandingan antara faktor secara horizontal dan vertikal. Kemudian hasil penilaian perbandingan faktor-faktor tersebut dilakukan pembobotan. Penentuan peringkat (rating) Penentuan peringkat merupakan pengukuran pengaruh masing-masing variabel. Penentuan peringkat menggunakan nilai dengan skala 1 4 terhadap masing-masing faktor strategis internal dan eksternal (Rangkuti 1997). Skala penilaian peringkat matriks Internal Factor Evaluation (IFE) untuk faktor strategis kekuatan, yaitu: 1 = Kekuatan yang kecil 3 = Kekuatan yang besar 2 = Kekuatan sedang 4 = Kekuatan yang sangat besar Skala penilaian peringkat matriks IFE untuk faktor strategis kelemahan, merupakan kebalikan dan faktor strategis kekuatan, yaitu: 1 = Kelemahan yang sangat berarti 3 = Kelemahan yang kurang berarti 2 = Kelemahan yang cukup berarti 4 = Kelemahan yang tidak berarti Pemberian nilai peringkat matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) untuk faktor peluang: 1 = Peluang rendah, respon kurang 3 = Peluang tinggi, respon diatas rata-rata 2 = Peluang sedang, respon rata-rata 4 = Peluang sangat tinggi, respon superior Pemberian nilai peringkat matriks EFE untuk faktor ancaman, merupakan kebalikan dan faktor peluang: 1 = Ancaman sangat besar 3 = Ancaman sedang 2 = Ancaman besar 4 = Ancaman kecil

52 35 Kemudian nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada setiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk memperoleh total skor pembobotan. Total skor pembobotan berkisar antara 1 sampai dengan 4 dengan rata-rata 2.5. Jika total skor pembobotan IFE dibawah 2.5 hal tersebut menyatakan bahwa kondisi internal lemah. Jika berada diatas 2.5 maka menunjukkan kondisi internal adalah kuat. Matriks EFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan eksternal dengan melakukan klasifikasi terhadap peluang dan ancaman. Total skor pembobotan EFE berkisar antara 1 sampai dengan 4 dengan rata-rata 2.5. Jika total skor pembobotan EFE dibawah 2.5 hal tersebut menyatakan bahwa kondisi eksternal lemah. Jika berada diatas 2.5 maka menunjukkan kondisi eksternal adalah kuat. Keterkaitan faktor internal dan eksternal tersebut digambarkan dalam bentuk matriks SWOT yang berisikan seluruh variable faktor strategis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. Matriks SWOT ini dapat disusun beberapa strategi dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang dan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman serta meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang dan meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman. Pembuatan tabel ranking alternatif strategi Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan menentukan rangking prioritas rekomendasi dan arahan strategi pengelolaan terumbu karang dalam pengembangan Daerah Perlindungan Laut Sitardas. Jumlah skor diperoleh dari penjumlahan skor dari setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Ranking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai yang terkecil. Strategi-strategi tersebut merupakan keputusan yang didesain untuk mencapai tujuan. Keputusan tersebut diterjemahkan lagi kedalam keputusan-keputusan teknis guna merealisasikan strategi-strategi yang dibuat untuk jangka panjang. Selanjutnya hasil keputusan taktis tersebut disusun kembali menjadi keputusan teknis operasional, yaitu keputusan yang berada pada tingkat terbawah yang dimaksudkan untuk mensukseskan keputusan taktis.

53 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Hampir semua lokasi penelitian di Tapanuli Tengah memiliki pantai yang sempit, terdiri dari pasir putih yang diselingi bongkahan batu cadas (batu gunung). Ke arah darat ditumbuhi oleh tumbuhan pantai yang terdiri dari semak belukar, pdanan laut, mangrove atau pun pohon kelapa. Beberapa lokasi tak jauh dari pantai, merupakan dataran tinggi sebagai bagian dari gugus bukit barisan di sebelah Barat Pulau Sumatera yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berukuran besar. Wilayah pesisir Desa Sitardas mempunyai panjang garis pantai sekitar 6 km dan berhadapan dengan Samudera Indonesia. Tinggi gelombang laut berkisar antara m, tinggi pasang surut (pasut) rata-rata 0.70 m, tipe pasut campuran condong ke harian gdana, kedalaman perairan pada sekitar pesisir berkisar antara 1 10 meter dengan jenis substrat dasar pantai berpasir dan batu kerikil. Perairan Desa Sitardas selain pesisir pantai juga memiliki Pulau Ungge (P. Ungge) dan Pulau Bakal (P. Bakal) yang masuk kedalam wilayah administrasi Desa Sitardas. Daratan Desa Sitardas mempunyai 3 (tiga) buah sungai yang memisahkan desa ini dengan desa lain di sekitarnya. Di sebelah Utara terdapat Sungai Aek Lobu merupakan perbatasan dengan Desa Jago-jago, di sebelah Selatan terdapat Sungai Aek Tunggal kemudian Sungai Kualo Maros yang melintasi Desa Sitardas yang bermuara di Dusun Kampung Sawah. Adanya sungai-sungai yang bermuara langsung ke Perairan Sitardas sangat berpengaruh terhadap kondisi biofisik perairan di sekitar Desa Sitardas. Berdasarkan dinamika perairan dimana massa air pesisir berinteraksi dengan massa air Sungai Aek Lobu, Sungai Aek Tunggal dan Sungai Kualo Maros, sehingga perairan dekat pantai mempunyai salinitas rata-rata 18 ppt, sedangkan di perairan lepas pantai (offshore) salinitas mencapai 30 ppt. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan pada tahun 2004, diketahui suhu permukaan air laut rata-rata 28 o C, kecerahan tinggi, Zat padat tersuspensi (TSS) 32 ppm, warna air laut biru hijau, kadar oksigen terlarut (DO) 7.6 ppm, BOD ppm, dan ph air 8.2 (CRITC COREMAP LIPI 2004). Data tersebut menjadi baseline untuk penelitian dan pemantauan kondisi biofisik di Perairan Sitardas

54 37 selanjutnya, dimana pada saat tersebut dapat dinyatakan bahwa perairan tersebut belum tercemar sehingga masih mendukung perkembangan sumberdaya hayati perairan pesisir seperti terumbu karang, padang lamun dan sumberdaya ikan. Hasil pengukuran di lapangan kondisi parameter fisika dan kimia di Perairan Sitardas pada lokasi penelitian yang dilakukan pada tahun 2009, ternyata hasilnya tidak jauh berbeda dengan pengukuran pada tahun 2004, suhu permukaan laut berkisar 28 o C 31 o C, kecerahan tinggi, salinitas berkisar kecuali perairan dekat pantai pada stasiun SIT 01 yang paling dekat kedaratan dan adanya muara sungai Kuala Maros mempunyai salinitas rata-rata 22.5, kecepatan arus berkisar 2 cm/detik 8 cm/detik. Pengukuran parameter fisika dan kimia perairan ini dilakukan di sekitar Perairan Sitardas, P. Ungge dan P. Bakal yang merupakan lokasi penelitian (Gambar 7). (a) (b) (c) Doc by: Hemat 2009 (d) Gambar 7 Desa Sitardas: (a) dusun I (Kampung Sawah), (b) Perairan Sitardas, (c) P. Ungge dan (d) P. Bakal yang menjadi lokasi penelitian Desa Sitardas mempunyai luas daratan ha dengan luas wilayah menurut jenis penggunaan tanah antara lain, tanah sawah 10 ha, tanah kering

55 ha, bangunan/pekarangan 48 ha, lainnya 150 ha. Desa ini merupakan desa yang paling jauh letaknya dari ibukota kecamatan dibandingkan dengan desa lainnya yaitu sekitar 14 km. (sumber : Kantor Camat Kecamatan Badiri 2009). Terdapat 5 dusun di Desa Sitardas dari Dusun I sampai dengan Dusun V, masing-masing dusun dipimpin seorang Kepala Dusun. Dusun I (Dusun Kampung Sawah) adalah wilayah yang paling dekat dengan Perairan Sitardas sehingga mayoritas penduduknya adalah nelayan. Desa Sitardas memilki Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang di tetapkan berdasarkan Peraturan Desa (Perdes) Nomor : 1 Tahun 2008, pada tanggal 15 Oktober Di dalam perdes tentang pelestarian terumbu karang di perairan laut desa ini diatur tentang kawasan DPL, pemanfaatannya, alat penangkapan yang diperbolehkan, larangan serta sanksi terhadap pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan. DPL Sitardas dinamakan dengan DPL Karang Malako Simuju, terletak di sebelah Barat Desa Sitardas dengan luas + 42 hektar. Lebar dari garis pantai adalah 100 meter yang memanjang sejauh 4200 meter sepanjang perairan pesisir Desa Sitardas. Kawasan perairan laut di sepanjang pesisir desa maupun perairan laut di sekeliling pulau-pulau yang terdapat di wilayah perairan desa sejauh 200 meter dari garis pantai surut terendah ditetapkan sebagai kawasan pemanfaatan terbatas. Kawasan perairan laut di kawasan Perairan Desa Sitardas sebelah Utara berbatasan dengan perairan laut Desa Jago-Jago, sebalah Barat berbatasan dengan perairan laut Desa Tapian Nauli I dan sebelah Selatan berbatasan dengan perairan laut Desa Lumut Maju Kecamatan Lumut yang ditetapkan sebagai kawasan pemanfaatan tradisional. Dalam kawasan DPL dapat dilakukan kegiatan penelitian dan wisata terbatas. Kemudian pada kawasan pemanfaatan terbatas dapat dilakukan kegiatan pengambilan hasil sumberdaya laut secara tradisional, budidaya oleh masyarakat, pengembangan fasilitas pendukung kegiatan perikanan, penelitian dan pariwisata. Selanjutnya pada kawasan pemanfaatan tradisional dapat dilakukan penangkapan ikan dan pengambilan biota laut lainnya secara tradisional oleh masyarakat Desa Sitardas maupun masyarakat desa lainnya yang berdasarkan asal-usulnya telah melakukan kegiatan penangkapan ikan dan pengambilan biota laut di kawasan ini.

56 39 Penentuan tata batas kawasan DPL yang mencakup kawasan pemanfaatan terbatas, kawasan pemanfaatan tradisional maupun kawasan pemanfaatan lainnya ditetapkan dalam keputusan Kepala Desa melalui musyawarah desa dengan melibatkan Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan masyarakat. Jenis alat tangkap yang diperbolehkan untuk mengambil ikan dan biota laut lainnya di kawasan pemanfaatan terbatas yang diatur dalam Perdes Sitardas adalah, pancing tangan (hand line), bubu, jaring insang tetap (set gill net) dan jala. Peta DPL Sitardas diperoleh dari LPPM Universitas Dharmawangsa Medan selaku pelaksana pekerjaan dalam pengelolaan Daerah Perlindungan Laut di Kabupaten Tapanuli Tengah dapat dilihat pada (Gambar 8). Gambar 8 Peta Daerah Perlindungan Laut Sitardas LPPM Universitas Dharmawangsa Medan Kondisi DPL Sitardas dapat dikatakan berjalan cukup baik, kesadaran masyarakat Desa Sitardas akan pelestarian terumbu karang sudah ada. Namun selama ini pengetahuan tentang terumbu karang, manfaat serta pengelolaannya masih sangat kurang. Sebagian masyarakat belum secara aktif berpartisipasi dalam pengelolaan terumbu karang di wilayah tersebut. Pengawasan terhadap ekosistem terumbu karang masih sangat minim sehingga terjadi kerusakan terhadap terumbu karang akibat penangkapan ikan yang merusak, seperti

57 40 penggunaan bom, pottasium dan alat tangkap lainnya yang tidak diperbolehkan serta akibat penggunaan jangkar kapal yang dilemparkan ke area terumbu karang di perairan secara sembarangan oleh nelayan. Kerusakan ini sebagian besar dilakukan oleh masyarakat nelayan dari luar Desa Sitardas, tetapi ada juga yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sitardas sendiri yang tidak mengetahui dan tidak menyadari pentingnya pelestarian dan pengelolaan terumbu karang. Pengelolaan ekosistem terumbu karang sudah berjalan sejak dibentuknya DPL Sitardas, tetapi belum optimal. Masih adanya penzonasian di dalam DPL membuka peluang terjadinya kerusakan akibat interaksi pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalam DPL. Sebagaimana diketahui bahwa DPL Sitardas di bagi atas zona inti dan zona penyangga. Zona inti DPL Sitardas merupakan kawasan dimana kegiatan penangkapan ikan dan aktifitas pemanfaatan sumberdaya lainnya sama sekali tidak diperbolehkan. Kemudian kegiatan yang dapat merusak terumbu karang seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar kapal, serta penarikan perahu di atas terumbu karang juga dilarang. Nyatanya berdasarkan pengamatan di lapangan terlihat bahwa kondisi terumbu karang pada zona inti juga mengalami kerusakan, akibat kurangnya kesadaran masyarakat yang tidak mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dengan melakukan aktifitas dan penangkapan ikan secara sembunyi-sembunyi. Zona penyangga DPL Sitardas yang disebut masyarakat sebagai zona pemanfaatan tradisional merupakan kawasan di sekeliling zona inti yang di dalamnya masih diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Berdasarkan pengamatan di lapangan disadari pula bahwa akibat adanya aktifitas penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pancing, panah, bubu, jaring insang dan jala yang tidak baik dan benar juga merupakan penyebab kerusakan terumbu karang. Selain itu akibat penangkapan ikan dengan alat tangkap yang tidak diperbolehkan secara sembunyi-sembunyi serta akibat jangkar kapal memperparah kerusakan terumbu karang pada zona penyangga tersebut. Belum optimalnya pengelolaan DPL Sitardas mengakibatkan kerusakan pada ekosistem terumbu karang. Peran serta masyarakat untuk membentuk DPL berbasis masyarakat belum terlihat dengan jelas. Pengawasan dan penegakan hukum juga belum berjalan secara optimal,

58 41 masih perlu adanya pembinaan dan peningkatan sumberdaya manusia untuk pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas. Berdasarkan hasil pengamatan pada stasiun penelitian kerusakan terumbu karang terbesar adalah akibat faktor manusia, terutama kegiatan penangkapan ikan. Semua stasiun penelitian memperlihatkan adanya patahan karang (rubble) dalam persentase yang cukup tinggi. Bahkan pada stasiun penelitian SIT 02 (TPTL 07) yang merupakan zona inti DPL Sitardas juga ditemukan adanya rubble. Stasiun penelitian SIT 01 yang merupakan zona pemanfaatan DPL Sitardas di temukan endapan lumpur yang cukup tinggi, sehingga kondisi terumbu karang pada stasiun ini kurang baik. Tingginya sedimentasi pada stasiun ini disebabkan oleh letaknya yang paling dekat dengan muara sungai Kuala Maros yang mengalir dari Desa Sitardas yang membawa sedimentasi dari daratan. Hal ini juga diperburuk dengan adanya kegiatan penebangan hutan di sekitar pinggang perbukitan daratan Sitardas yang letaknya berada di atas DPL Sitardas. Kondisi kerusakan terumbu karang paling buruk terjadi pada stasiun BKL 04 (TPTL 05) di P. Bakal dan UNG 05 (TPTL 04) di P. Ungge yang tidak merupakan wilayah DPL Sitardas. Aktifitas kegiatan penangkapan ikan di perairan kedua pulau ini cukup tinggi, bahkan kedua pulau ini selalu dijadikan tempat persinggahan atau tempat berlindung dari badai oleh nelayan. Penambatan jangkar kapal serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan diduga mengakibatkan kerusakan terumbu karang. Pada awalnya kedua pulau ini pernah akan dijadikan sebagai DPL, tetapi karena adanya pertentangan oleh masyarakat setempat akhirnya wilayah perairan kedua pulau ini tidak termasuk kedalam wilayah DPL Sitardas. Oleh karena itu dalam upaya pengelolaan ekosistem terumbu karang di Perairan Sitardas, maka dilakukan penelitian terhadap ekologi terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berdampak langsung terhadap terumbu karang, agar pelestarian ekosistem terumbu karang dapat terjaga dan berjalan dengan baik serta diharapkan juga mampu meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.

59 Parameter Fisika dan Kimia Perairan Pengukuran parameter kualitas perairan pada masing-masing stasiun penelitian dilakukan secara standar dengan alat yang sama dan kondisi yang sama. Parameter yang diukur dalam penelitian ini meliputi parameter fisika dan kimia perairan yang berkaitan secara langsung terhadap ekosistem terumbu karang sebagai faktor-faktor pembatas bagi terumbu karang, yaitu; suhu, kecerahan, salinitas dan kecepatan arus (Tabel 1). Tabel 1 Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan pada lokasi penelitian di Perairan Sitardas STASIUN PENELITIAN PARAMETER Satuan SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 Kedalaman m Suhu Perairan o C Kecerahan* s.d) m Tingkat Kecerahan (%) Salinitas ( ) Kecepatan Arus m/det Ket : * s.d) = secchi disk Menurut Kinsman (1964) terdapat beberapa faktor lingkungan yang membatasi kehidupan terumbu karang yaitu; (1) suhu, memiliki batas minimum o C dan maksimum sekitar 36 o C untuk mendukung pertumbuhan karang, (2) kedalaman, karang secara umum dapat tumbuh dengan baik pada kedalaman kurang dari 20 meter, (3) salinitas, hewan karang hidup subur pada kisaran salinitas ppm. Suhu perairan adalah faktor penting yang dapat menentukan kehidupan karang, karena suhu perairan merupakan faktor pembatas pertumbuhan karang. Hal ini terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan biota karang (polip karang dan zooxanthellae), dimana pada umumnya terumbu karang tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 25 o C 29 o C. Biota karang tertentu dari jenis karang hermatifik masih dapat mentoleransi suhu tahunan maksimum sampai kira-kira 36 o C 40 o C dan suhu minimun sebesar 18 o C dalam waktu yang singkat (Nybakken 1992). Kondisi suhu di sekitar Perairan Sitardas relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di sekitarnya pada perairan yang lebih terbuka di sebelah Barat seperti di

60 43 P. Ungge dan P. Bakal. Kisaran suhu di sekitar Perairan Sitardas berkisar antara 28 o C dan 31 o C dengan rerata 29.5 o C. Tingginya kisaran suhu disebabkan pada saat penelitian di buluan Mei terjadi peralihan antara musim Barat ke musim Timur dan pengukuran dilakukan pada saat siang hari. Namun secara umum kondisi suhu perairan di Perairan Sitardas berdasarkan hasil penelitian dinyatakan masih dapat mendukung pertumbuhan terumbu karang, terutama yang berada di P. Ungge dan P. Bakal. Kecerahan merupakan ukuran kedalaman penetrasi cahaya matahari yang dapat masuk ke perairan. Dari hasil pengukuran kecerahan perairan pada lokasi penelitian secara umum seluruh stasiun di Perairan Sitardas mempunyai kecerahan yang tinggi. Kecerahan perairan paling tinggi berada di stasiun penelitian SIT 02 dan UNG 05 dengan tingkat kecerahan 100% pada kedalaman transek 5 meter dan kedalaman dasar perairan 6 meter. Sedangkan kecerahan paling rendah adalah pada stasiun penelitian SIT 01 yang berada pada wilayah paling dekat dengan daratan Desa Sitardas serta Muara Sungai Kuala Maros, dengan tingkat kecerahan 88.57% pada pengukuran kecerahan 3.1 meter pada transek kedalaman 3.5 meter. Mengingat binatang karang (hermatific atau reef building corals) hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxantella) yang melakukan proses fotosintesis, maka pengaruh cahaya adalah penting sekali. Sedangkan penetrasi cahaya matahari yang masuk kedalam perairan terkait langsung dengan kejernihan air, kandungan sediment dalam perairan, dimana kandungan sediment yang tinggi akan menghambat penetrasi cahaya matahari, sehingga mengurangi jumlah cahaya yang diperlukan untuk proses fotosintesis. Di sisi lain endapan sediment di permukaan koloni karang menyebabkan karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari sediment tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses fotosintesis untuk menghasilkan energi juga terhambat, hal itulah yang menyebabkan karang menjadi terhambat pertumbuhannya (Nybakken 1992). Secara umum sedimentasi di sekitar Perairan Sitardas di sebabkan oleh curah hujan tinggi yang menyebabkan terjadinya turbulensi dan membawa lumpur-lumpur yang berasal dari darat melalui aliran-aliran sungai ke perairan laut, sehingga perairan laut menjadi keruh. Kantor MNLH menetapkan Nilai

61 44 Ambang Batas (NAB) kecerahan adalah > 3 m untuk perikanan, > 5 m untuk karang dan > 6 m untuk pariwisata (KMNLH 2004). Akibat sedimentasi tersebut pada stasiun penelitian SIT 01 ini kondisi perairannya keruh dan banyak dijumpai endapan lumpur, sehingga kondisi terumbu karangnya juga kurang baik. Sebagai pembanding dapat dilihat kecerahan air laut pada stasiun penelitian lainnya, dimana kecerahan perairan dapat dikatakan mencapai 100% sampai menembus dasar perairan untuk kedalaman 3 6 meter. Secara umum berdasarkan kecerahannya, kualitas perairan pada stasiun-stasiun penelitian ini masih termasuk kategori baik. Berdasarkan NTAC (1968) dijelaskan kecerahan berbanding terbalik dengan kekeruhan, makin cerah suatu perairan makin rendah tingkat kekeruhannya. Kekeruhan air adalah suatu ekspresi sifat optik air yang berkaitan dengan pembiasan dan penyerapan cahaya oleh bahan-bahan yang tersuspensi dalam air, sehingga transmisi cahaya tidak berada dalam garis lurus. Oleh karena itu kekeruhan, warna dan kecerahan air merupakan fenomena kualitas air yang saling berkaitan. Salinitas diketahui juga adalah merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut di daerah tropis rata-rata sekitar 35, binatang karang hidup pada kisaran salinitas tersebut. Menurut Coles dan Jokiel (1992) salinitas merupakan faktor lain yang membatasi perkembangan terumbu karang. Sebaliknya menurut Vaughn (1919), Wells (1932) dalam Supriharyono (2007) pengaruh salinitas terhadap hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan pengaruh alam seperti run off, badai dan hujan. Kondisi perairan dan pengaruh alam ini dapat mengakibatkan kisaran salinitas bisa berkisar antara Terumbu karang juga seringkali dapat hidup dan bertahan diluar kisaran normal rata-rata salinitas air laut 35. Meskipun pada beberapa jenis karang tidak mampu bertahan pada kisaran diluar salinitas tersebut. Karang hermatifik adalah organisme lautan sejati yang tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas air luat yang normal Disamping itu pengaruh air tawar adalah juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi organisme karang, karena meskipun pada skala yang kecil di daerah tropik, adanya pemasukan air tawar secara teratur dari sungai dapat menyebabkan pertumbuhan terumbu karang menjadi terhenti (Nybakken 1992).

62 45 Salinitas di Perairan Sitardas pada lokasi penelitian berdasarkan hasil pengukuran berkisar antara 22.5 dan Salinitas terendah ditemukan pada stasiun SIT 01, yang merupakan stasiun yang paling dekat dengan muara sungai Kuala Maros sehingga dipastikan adanya pengaruh percampuran air sungai dan air laut pada muara sungai menyebabkan pengaruh terhadap salinitas pada stasiun ini. Salinitas paling tinggi ditemukan pada stasiun SIT 02 di ujung pesisir Sitardas dan pada stasiun BKL 04 di P. Bakal. Berdasarkan kisaran tersebut salinitas pada stasiun penelitian ini masih dapat menunjang pertumbuhan terumbu karang. Lintasan arus dari Samudera Indonesia yang menuju Teluk Tapian Nauli hingga Perairan Sitardas ini menunjukkan vektor arus yang bergerak dari Barat condong ke Selatan. Akibat adanya arus ini menunjukkan bahwa pengaruh pasang surut tidak dominan di perairan ini. Arah arus menuju selatan baik dalam kondisi pasang bergerak surut maupun pada saat menuju pasang. Lintasan arus dari Samudera Indonesia ini mempunyai kecepatan arus antara 0.02 m/detik sampai 0.08 m/detik. Kecepatan arus tertinggi terjadi di stasiun SIT 02 yang merupakan wilayah paling ujung dari Perairan Sitardas. Kemudian pada stasiun UNG 05 dan BKL 04 yang merupakan wilayah terluar dari Perairan Sitardas. Sedangkan kecepatan arus pada stasiun SIT 01 dan stasiun SIT 03 lebih kecil, karena wilayah perairan stasiun ini lebih tertutup dan vektor arus juga berubah-ubah sesuai dengan lokasi perairan. Sesuai dengan hasil penelitian CRITC LIPI (2004) bahwa terdapat dua lintasan arus di perairan Tapanuli Tengah yaitu; lintasan I dari P. Mansalar ke Pelabuhan Sibolga dan Lintasan II dari Teluk Tapian Nauli Bagian Selatan ke P. Mansalar. Arah arus menuju ke Selatan baik saat pasang bergerak surut maupun saat menuju pasang. Tekanan hydrodinamis seperti arus dan gelombang akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dengan adanya kecenderungan semakin besar tekanan hydrodinamis, maka bentuk pertumbuhan karang lebih ke arah bentuk pertumbuhan mengerak (encrusting) (Supriharyono 2007). Selain itu arus berperan penting untuk mendatangkan makanan berupa plankton dan suplay oksigen serta mencegah terjadinya pengendapan sediment atau membersihkan karang dari endapan. Pada daerah terumbu karang siang hari oksigen banyak diperoleh dari hasil fotosintesis, sedangkan pada malam hari dibutuhkan adanya

63 46 arus yang sangat kuat untuk memasok oksigen yang cukup bagi fauna yang hidup di terumbu karang. Perairan yang berarus lebih kuat akan mempengaruhi terumbu karang menjadi lebih bervariasi dan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan perairan yang tenang/terlindungi. Seperti dijelaskan oleh Nybakken (1992), bahwa pertumbuhan karang pada daerah berarus akan lebih baik dibandingkan dengan perairan tenang. Dengan kondisi demikian kehidupan terumbu karang di Perairan Sitardas cukup ditunjang oleh adanya arus yang bergerak dari Samudera Indonesia menuju ke Teluk Tapian Nauli tersebut. 4.3 Komunitas Terumbu Karang Karang Terumbu karang di Desa Sitardas dapat dijumpai di bagian Utara perairan Pesisir Sitardas hingga ke P. Ungge, P. Bakar dan P. Situngkus, tepatnya di depan Dusun Kampung Sawah. Pulau tersebut dapat ditempuh dengan waktu 30 menit dari Desa Sitardas dengan menggunakan perahu motor. Di sekeliling perairan pulau sampai 80 m ke arah laut merupakan habitat terumbu karang dengan jenis biota antara lain : Anthozoa, lamun, Porifera, hydra, udang karang, dan ikan hias. Berdasarkan pengamatan rataan terumbu pada perairan Pesisir Sitardas kondisinya ditandai dengan pertumbuhan karang yang jarang dan mengelompok (patches). Dasar perairan berupa pasir dan pecahan karang yang di beberapa tempat juga ditumbuhi oleh lamun dari jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Karang dari marga Fungia, Acropora dan karang dengan bentuk pertumbuhan masif dan submasif seperti Porites dan Pocillopora dijumpai hingga kedalaman 7 m. Dijelaskan oleh Suharsono (2008), bahwa sebaran karang sebelah Barat Sumatera merupakan terumbu karang dengan tipe terumbu karang lautan Hindia dengan keanekaragaman yang relatif rendah. Karang yang tumbuh berupa patches-patches pada lokasi-lokasi yang agak jauh dari Pulau Sumatera. Kondisi pada P. Ungge dan P. Bakal dasar perairan terlihat di dominasi pasir dan patahan karang, sedangkan tumbuhan lamun jarang dijumpai. Karang didominasi oleh Acropora dan karang bentuk pertumbuhan masif dan submasif. Menurut Vaughan dan Wells (1943) dalam van Woesik (2002) bahwa pertumbuhan karang dibedakan atas tipe massive (tumbuh sama besar kesemua

64 47 arah), columnar (membentuk tiang), encrusting (merayap di substrat), branching (membentuk percabangan atau menjari), foliaceus/folious (menyerupai daun), laminar (menyerupai meja) dan free living. Pertumbuhan dari struktur karang ini sangat bervariasi tergantung kepada jenis hewan dan kondisi lingkungannya. Biota lain seperti teripang (Holothuria sp.) dan moluska (Tridacna squamosa) serta Gorgonian sedikit sekali dijumpai. Bulu babi (Diadema sp.) terlihat hidup secara berkelompok di antara karang. Pada kedalaman lebih dari 7m karang sudah jarang dijumpai, dimana pasir yang bercampur lumpur terlihat lebih mendominasi. Pengamatan tahun 2004 di Kabupaten Tapanuli Tengah hasil Rural Rapid Inventory (RRI), Line Intercept Transect (LIT) dan pengamatan bebas berhasil dijumpai 140 jenis karang batu yang termasuk dalam 16 suku. Secara umum berdasarkan hasil RRI yang dilakukan di tiga lokasi berbeda di Tapanuli Tengah (Sitardas, Mansalar dan Sibolga) terlihat bahwa persentase tutupan karang hidup di Perairan Desa Sitardas yang berada di Teluk Tapian Nauli bagian Selatan merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 52.02% (n=16 stasiun). Persentase tutupan karang hidup di Pulau Mansalar (P. Mansalar) sebesar 18.79% (n=25 stasiun) kemudian di Sibolga dan sekitarnya sebesar 7.42% (n=10 stasiun). Pengamatan terumbu karang dengan metode RRI dan LIT di Perairan Sitardas dari 5 stasiun penelitian pada tahun 2004 (disesuaikan dengan stasiun penelitian 2009) ditemukan persentase tutupan karang hidup antara 11.00% 67.00% dengan rerata persentase tutupan karang hidup 50.31% (n=5 stasiun). Persentase tutupan karang hidup tertinggi terdapat pada stasiun TPTL 04 sebesar 67.00% dan persentase tutupan karang hidup terendah terdapat pada stasiun TPTR 24 sebesar 11.00%. Hasil monitoring kesehatan terumbu karang tahun 2007 di Kabupaten Tapanuli Tengah dicatat karang batu sebanyak 16 suku dengan 109 jenis. Kondisi terumbu karang bervariasi, dengan persentase tutupan karang dari kategori rusak (<25%) sampai kategori baik (>50%). Persentase tutupan karang paling tinggi ditemukan pada stasiun TPTL 04 di P. Ungge sebesar 71.73%. Kategori benthic lainnya yang dicatat cukup tinggi persentase tutupannya adalah dead coral algae (DCA) sebesar 15.27% 35.23% di TPTL 05 (P. Bakal) dengan persentase tutupan karang hidup sebesar 21.70% (COREMAP II LIPI 2007). Hasil pengamatan ini menunjukkan penurunan dari tahun 2004.

65 48 Tahun 2008 dilakukan pemantauan kondisi terumbu karang pada stasiun penelitian di Kabupaten Tapanuli Tengah ditemukan 16 suku karang batu dengan 142 jenis. Hasil pengamatan diperoleh persentase tutupan karang batu berkisar antara 12.73% 69.00% dengan rerata tutupan sebesar 42.48% termasuk dalam kategori sedang. Pemantauan kesehatan terumbu karang di Perairan Sitardas pada tahun 2008 juga menunjukkan kondisi kesehatan terumbu karang yang bervariasi dengan kategori kurang (<25%) sampai kategori baik (>50%). Persentase tutupan karang tertinggi ditemukan pada TPTL 06 sebesar 69.00%, kemudian TPTL 04 di P. Ungge sebesar 67.13%. Kategori benthic lainnya yang dicatat cukup tinggi persentase tutupannya adalah DCA (14.30% 42.83%) ditemukan pada stasiun penelitian TPTL 05 di P. Bakal dengan persentase tutupan karang hidup pada stasiun ini sebesar % (COREMAP II LIPI 2008). Hasil pengamatan ini menunjukkan terjadi penurunan persentase di bandingkan tahun 2004, tetapi terjadi peningkatan persentase tutupan dibandingkan dengan tahun Hasil penelitian yang dilakukan pada 5 stasiun penelitian terumbu karang di Perairan Sitardas tahun 2009, diketahui bahwa kondisi terumbu karang di lokasi penelitian masuk kategori sedang dengan persentase tutupan karang hidup sebesar (25% 50%) dan kategori baik (50% 75%). Pada stasiun SIT 01 diketahui persentase tutupan karang hidup sebesar 43.03%, stasiun SIT 02 (TPTL 07) sebesar 64.34%, stasiun SIT 03 sebesar 52.24%, stasiun BKL 04 (TPTL 05) sebesar 27.06% dan pada stasiun UNG 05 (TPTL 04) sebesar 63.37%. Persentase tutupan karang hidup tertinggi terdapat pada stasiun SIT 02 (TPTL 07) sebesar 64.34% dan persentase tutupan karang hidup terendah terdapat pada stasiun BKL 04 (TPTL 05) sebesar 27.06%. Rerata persentase tutupan biota dan substrat paling tinggi adalah non Acropora sebesar 36.71%, dimana persentase tertinggi terdapat di stasiun UNG 05 sebesar 57.50%. Kategori benthic lainnya yang dicatat cukup tinggi persentase tutupannya adalah rublle berkisar antara 4.33% 29.17% dengan rerata persentase tutupan 16.40%. Persentase tertinggi ditemukan pada stasiun penelitian BKL 04 (TPTL 05) di P. Bakal dengan persentase tutupan rubble sebesar 29.17%. Hasil pengamatan ini menunjukkan perubahan tutupan kategori benthic dari DCA menjadi rublle, sehingga dapat diasumsikan bahwa terjadi peningkatan aktifitas manusia di stasiun penelitian ini dari tahun

66 49 sebelumnya. Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap persentase tutupan karang hidup di stasiun penelitian diketahui masih di bawah tahun 2004, tetapi meningkat dari tahun 2007 dan Pengamatan terumbu karang dengan metode LIT pada stasiun penelitian Perairan Sitardas 2009 menunjukkan bahwa terumbu karang yang masuk dalam kategori baik sebanyak 4 stasiun dan kategori sedang 1 stasiun. Sebaliknya secara umum hasil foto bawah air menunjukkan kondisi terumbu karang di Perairan Sitardas sudah dalam keadaan rusak. Meskipun persentase tutupan karang hidup berada dalam kategori baik dan sedang, tetapi untuk keseluruhan persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun penelitian juga ditemukan patahan karang, endapan lumpur, algae dan dead coral algae yang menjadi indikasi adanya kerusakan ekosistem terumbu karang pada perairan tersebut. Penyebab kerusakan ini adalah akibat dampak aktifitas manusia, baik secara langsung akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan maupun akibat sedimentasi dari daratan. Bahkan diperburuk lagi akibat adanya penebangan hutan pada bagian perbukitan Desa Sitardas yang berbatasan langsung dengan perairan pantai Pesisir Sitardas. Sebagaimana dijelaskan oleh Fox et al. (2003) bahwa penangkapan ikan secara ilegal dengan menggunakan bahan peledak buatan sendiri atau dinamit masih sering dilakukan pada sebagian besar wilayah di Asia Tenggara dan telah mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut. Kemudian Brown (1987) menyatakan salah satu ancaman terbesar bagi terumbu karang adalah peningkatan populasi manusia terutama di wilayah pesisir dan pembangunan fisik. Sejalan dengan pembangunan fisik yang mengubah bentangan alam yang mengakibatkan jumlah aliran permukaan air tawar terus meningkat dan membawa sediment dalam jumlah besar, nutrient dalam kadar yang tinggi yang berasal dari pertanian atau sistem pembuangan, selain juga bahan pencemar lain seperti produk bahan bakar minyak dan insktisida. Akibatnya sedimentasi ini dapat menutup terumbu karang atau menyebabkan peningkatan kekeruhan pada lingkungan perairan karena penyuburan (eutrofikasi) yang dapat menurunkan jumlah cahaya matahari yang mencapai karang serta dapat menyebabkan pemutihan dan kematian karang.

67 50 Hasil foto bawah air kondisi terumbu karang di Perairan Sitardas banyak ditemukan rubble, endapan lumpur dan substrat pasir serta DCA (Gambar 9). (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 9 Foto bawah air kondisi stasiun penelitian; (a) SIT 01, (b) SIT 02, (c) SIT 03, (d) BKL 04 dan (e),(f) UNG 05 di Perairan Sitardas 2009 Pada penelitian yang dilakukan di Desa Sitardas di 5 stasiun penelitian dapat diketahui bahwa hampir semua stasiun penelitian mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh aktifitas manusia yaitu penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, jangkar kapal serta sedimentasi akibat

68 51 penebangan hutan di daratan. Dijelaskan oleh Westmacott et al. (2000) ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terancam di dunia. Tekanan terhadap ekosistem terumbu karang akibat aktifitas manusia, seperti aktifitas penangkapan ikan yang bersifat merusak serta adanya pencemaran lingkungan dianggap sebagai bahaya utama yang mengancam eksistensi terumbu karang. Persentase tutupan biota dan substrat dari stasiun penelitian tahun 2009 untuk masing-masing kategori biota dan substrat yaitu, karang hidup (Acropora, non Acropora), karang mati (dead Scleractinia), karang mati yang ditumbuhi alga (dead Scleractinia with algae), karang lunak (soft coral), sponge, fleshy seaweed, other yaitu, ascidian, anemon, gorgonian dan biota benthic lainnya, pecahan karang (rubble), pasir (sand) dan lumpur (silt). Hasil lengkap persentase tutupan untuk kategori biota dan substrat berdasarkan jenis pada masing-masing stasiun penelitian dapat dilihat pada (Lampiran 2,3,4,5 dan 6). Perbedaan persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun penelitian tampak bervariasi. Kategori karang hidup dan substrat rubble cukup merata pada masing-masing stasiun penelitian. Persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun penelitian pada tahun 2009 dari hasil penelitian yang dilakukan ditampilkan histogram (Gambar 10). PERSENTASE (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 STASIUN Rock Silt Sand Rubble Other Algal Assemblage Sponge Soft Coral Dead Coral Algae Dead Coral Non Acropora Acrophora Gambar 10 Persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun penelitian tahun 2009

69 52 Persentase tutupan karang hidup pada stasiun penelitian ditunjukkan oleh persentase tutupan Acropora dan non Acropora. Persentase karang paling tinggi terdapat pada stasiun SIT 02 sebesar (64.34%) yang merupakan zona inti DPL Sitardas, sedangkan terendah pada stasiun BKL 04 sebesar (27.06%) yang merupakan daerah penangkapan ikan masyarakat Desa Sitardas. Kemudian persentase tutupan karang hidup pada stasiun SIT 01 sebesar (43.03%), stasiun SIT 03 sebesar (52.24%) dan stasiun UNG 05 sebesar (63.37%). Persentase tutupan karang hidup pada seluruh stasiun penelitian didominasi oleh non Acropora dengan rerata tutupan 36.71%. Berdasarkan persentase tutupan karang hidup ini, diketahui bahwa kondisi terumbu karang di perairan dan DPL Sitardas berada dalam kondisi sedang dan baik dengan persentase tutupan berkisar antara (27.06% 64.34%). Sesuai dengan kriteria persentase tutupan karang oleh Gomez dan Yap (1988) yang menyatakan bahwa karang dengan persentase tutupan (75% 100%) kategori sangat baik, persentase tutupan (50% 74.9%) kategori baik, persentase tutupan (25% 49.9%) kategori sedang dan persentase tutupan (0% 24.9%) kategori rusak. Perbandingan tutupan karang Acropora dan non Acropora pada stasiun penelitian dapat dilihat pada (Gambar 11). 100,00 80,00 PERSENTASE (%) 60,00 40,00 20,00 Acropora Non Acropora 0,00 SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 STASIUN Gambar 11 Persentase tutupan karang hidup pada stasiun penelitian Untuk memudahkan penyajian hasil pengamatan persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun penelitian ditampilkan pada peta (Gambar12).

70 Gambar 12 Peta persentase tutupan biota dan substrat pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Tapanuli Tengah Sumber: Basemap Terumbu Karang Kabupaten Tapanuli Tengah. COREMAP LIPI

71 54 Stasiun Penelitian SIT 01 Stasiun SIT 01 persentase tutupan biota yang tertinggi adalah non Acropora berkisar 43.03%. Persentase tutupan substrat tertinggi adalah lumpur (silt) sebanyak 18.70%. Tingginya persentase non Acropora (Submassive coral sebesar 12.47% dan Coral encrusting sebesar 10.47%) yang disajikan pada (Lampiran 2) adalah merupakan akibat tingginya sedimentasi pada perairan ini. Seperti dijelaskan oleh (van Woesik 2002) bahwa karang di daerah sedimentasi tinggi, umumnya membentuk pertumbuhan yang kecil atau encrusting. Pada jenis tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya sehingga menghindari polipnya dari sediment yang masuk. Selanjutnya Chappell (1980) dalam Supriharyono (2007) menyatakan terdapat kecendrungan bahwa karang yang tumbuh atau dapat beradaptasi pada perairan dengan sedimentasi tinggi bentuk pertumbuhannya akan mengarah kebentuk massif dan submassif. Persentase substrat lainnya yang cukup tinggi adalah patahan karang (rubble) sebesar 16.03%, kemudian persentase algal assemblage mencapai 11.83%. Tingginya persentase tutupan lumpur pada stasiun ini, dikarenakan stasiun ini merupakan stasiun yang paling dekat dengan daratan Desa Sitardas dan berhadapan dengan muara sungai Kuala Maros, sehingga pengaruh sediment dari daratan melalui sungai mencapai stasiun ini. Tingginya persentase lumpur kemudian memicu pertumbuhan alga, sehingga persentase alga juga menjadi tinggi di stasiun penelitian ini. Dalam Supriharyono (2007) dijelaskan bahwa unsur hara yang terikat pada sediment menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga, terutama pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima sediment yang cukup tinggi melalui sungai disekitarnya. Makro alga ini umumnya menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat, seperti Acropora sp. dan Montipora digitata. Selain itu sedimentasi juga dapat memacu pertumbuhan macro algae sebagai kompetitor karang yang tumbuh dari tumpukan sediment di dasar substrat (Brown 1990). Berdasarkan pengamatan di lapangan tingginya persentase tutupan patahan karang pada stasiun penelitian disebabkan oleh adanya aktifitas manusia, yaitu kegiatan penangkapan ikan di wilayah tersebut. Dalam Peraturan Desa Sitardas (Perdes) Nomor: 1 Tahun 2008, pada tanggal 15 Oktober 2008, ditetapkan bahwa

72 55 stasiun penelitian SIT 01 ini masuk kedalam daerah pemanfaatan yang diperbolehkan adanya kegiatan penangkapan ikan oleh masyarakat dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan, tetapi masih saja ada nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan cara yang merusak lingkungan sehingga mengakibatkan kerusakan terhadap terumbu karang. Oleh karena itu diperlukan adanya pengelolaan dan pengawasan yang lebih intensif terhadap DPL tersebut. Menurut Danielsen et al. (2000) metode yang digunakan untuk memantau kondisi kawasan konservasi dapat dilakukan dengan memotret lokasi tersebut dari waktu ke waktu, maupun mengadakan wawancara dengan para pengguna kawasan. Kemudian dapat juga dilakukan pemantauan dengan membandingkan struktur dan kondisi komunitas suatu ekosistem dari waktu ke waktu dengan bantuan plot maupun transek permanen. Stasiun Penelitian SIT 02 Hasil penelitian stasiun penelitian SIT 02 kondisinya cukup jauh berbeda dengan stasiun penelitian SIT 01. Stasiun ini mempunyai persentase tutupan biota tertinggi adalah hard coral (Acropora dan non Acropora) yang didominasi oleh Acropora branching sebesar 27.47% dan Coral encrusting sebesar 18.37% (Lampiran 3). Sedangkan untuk substrat masih didominasi oleh rubble dan sedikit pasir (sand), namun lumpur (silt) tidak ditemukan pada stasiun penelitian ini. Tingginya persentase Acropora branching didukung oleh kondisi perairan yang jernih dan jauh dari sedimentasi sehingga penetrasi cahaya matahari dapat menembus perairan sampai 100% pada kedalaman 3 5 m. Stasiun penelitian ini merupakan stasiun yang paling ujung dari pesisir Pantai Sitardas dan menghadap langsung ke Samudera Indonesia, sehingga perairannya lebih terbuka dan ombaknya cukup besar. Menurut Chappell (1980) dalam Supriharyono (2007) di perairan yang jernih atau sedimentasi yang rendah, akan lebih banyak ditemukan karang dalam bentuk bercabang dan tabulate. Nybakken (1992) menyatakan bahwa pada perairan yang selalu terkena ombak besar, terumbu karang akan didominasi oleh Pocillopora, Acropora atau Montastrea. Stasiun penelitian SIT 02 adalah merupakan zona inti DPL Sitardas, yang ditetapkan dalam (Perdes) Nomor: 1 Tahun 2008, pada tanggal 15 Oktober Stasiun SIT 02 ditetapkan sebagai zona inti karena merupakan kawasan yang

73 56 masih sangat baik kondisi lingkungan perairannya dan memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi serta berbagai biota laut yang perlu dilindungi. Namun kenyataannya kondisi terumbu karang di stasiun penelitian ini juga mengalami kerusakan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan diketahui rubble di stasiun ini mencapai 13.67%. Sungguh ironis sebenarnya sebab zona inti DPL sendiri juga mengalami kerusakan yang cukup parah, bisa dibayangkan bagaimana dengan daerah lain disekitarnya yang masih diperbolehkan adanya aktifitas penangkapan ikan, seperti pada zona penyangga dan zona pemanfaatan. Oleh karena itu untuk mencegah terjadinya kerusakan ekositem terumbu karang yang lebih luas lagi, maka masih dirasa perlu adanya pengelolaan yang lebih baik serta pengawasan terpadu yang lebih intensif terhadap DPL tersebut. Stasiun Penelitian SIT 03 Stasiun penelitian SIT 03 persentase tutupan biota masih didominasi oleh Acropora dan non Acropora. Persentase non Acropora mencapai 34.97% yang didominasi oleh jenis Meliopora sebesar 15.33% dan Foliose coral sebesar 10.97% dan beberapa non Acropora lainnya dalam jumlah kecil. Sedangkan Acropora sebesar 17.27% yang didominasi oleh Acropora branching sebesar 14.40% dan Acropora lainnya dalam jumlah yang kecil (Lampiran 4). Persentase tutupan selanjutnya yang cukup tinggi adalah soft coral sebesar 17.10% dan tutupan substrat pasir (sand) sebesar 12.73%. Lokasi perairan stasiun penelitian SIT 03 ini berada pada bagian tengah pesisir Pantai Sitardas, merupakan stasiun penelitian antara stasiun SIT 01 dan SIT 02. Pengaruh sedimentasi sangat kecil dan kondisi perairannya cukup jernih dan relatif tenang atau terlindung, sehingga pengaruh arus juga tidak begitu kuat. Kondisi ini masih memungkinkan untuk ditumbuhi oleh Acropora dan non Acropora dari jenis Acropora branching dan Meliopora serta Foliose coral. Nybakken (1992) menyatakan bahwa pada perairan yang tenang seperti goba, maka rataan terumbu dan lereng terumbu bagian bawah adalah Porites, Favia, Montestrea atau Stylopora. Stasiun penelitian SIT 03 termasuk kedalam zona penyangga DPL Sitardas. Berdasarkan (Perdes) Nomor: 1 Tahun 2008, pada tanggal 15 Oktober 2008, wilayah perairan ini dijadikan sebagai kawasan pemanfaatan terbatas, yang masih dapat dilakukan kegiatan pengambilan hasil laut secara tradisional,

74 57 budidaya oleh masyarakat, pengembangan fasilitas pendukung kegiatan perikanan, penelitian dan pariwisata. Konsekwensi dari ketetapan yang dibuat tersebut, akibat masih kurangnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang ada, masih terjadi kerusakan terumbu karang pada stasiun penelitian ini, dimana rublle masih ditemukan meskipun dalam jumlah yang kecil. Kemudian tutupan substrat pasir cukup tinggi meskipun tidak diketahui secara pasti apakah merupakan pecahan partikel-partikel rubble (patahan karang) dahulunya. Stasiun Penelitian BKL 04 Stasiun penelitian BKL 04 yang merupakan stasiun penelitian di luar wilayah DPL Sitardas, diperoleh persentase tutupan karang hidup sebesar 27.07% dengan kategori sedang (Lampiran 5). Persentase tutupan tertinggi adalah rubble sebesar 29.17%, kemudian non Acropora sebesar 22.03% dan pasir sebesar 20.23%. Besarnya persentase rubble pada stasiun penelitian ini bisa dibayangkan bagaimana kondisi terumbu karangnya yang rusak. Kerusakan ekosistem terumbu karang ini disebabkan oleh tingginya aktifitas penangkapan ikan. Disamping itu selain sebagai daerah penangkapan ikan P. Bakal digunakan oleh masyarakat nelayan setempat sebagai daerah persinggahan ataupun tempat berlindung dari badai, akibatnya secara langsung dampak penggunaan jangkar kapal telah merusak terumbu karangnya. Rendahnya kesadaran untuk menjaga kelestarian sumberdaya serta minimnya pengetahuan akan pengelolaan ekosistem terumbu karang menyebabkan kekurang perdulian masyarakat nelayan yang melakukan aktifitas penangkapan di pulau ini, sehingga berakibat terhadap rusaknya ekosistem terumbu karang. Westmacott et al. (2000) menjelaskan bahwa ekositem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terancam di dunia. Tekanan terhadap ekosistem terumbu karang akibat aktifitas manusia, seperti aktifitas penangkapan ikan yang bersifat destruktif serta adanya pencemaran lingkungan dianggap sebagai bahaya utama yang mengancam eksistensi terumbu karang. Soeryani (1987) menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan adalah merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam melaksanakan suatu kegiatan, termasuk dalam upaya pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam.

75 58 Rendahnya persentase tutupan karang pada stasiun penelitian BKL 04 merupakan dampak dari tingginya tingkat kerusakan terumbu karang yang terjadi. Persentase tutupan pasir juga cukup tinggi, dikarenakan tingginya patahan karang yang diduga menjadi partikel-partikel pasir dalam kurun waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, meskipun P. Bakal ini tidak termasuk kedalam zona Daerah Perlindungan Laut Sitardas, tetapi mengingat pentingnya ekosistem terumbu karang sebagai habitat ikan, maka perlu untuk dilestarikan dan dilindungi. Nybakken (1992) menjelaskan bahwa terumbu karang memiliki fungsi ekologis sebagai pelindung pantai, menyediakan habitat untuk berlindung, memijah dan mendapatkan makanan bagi berbagai jenis biota. Terumbu karang merupakan ekosistem perairan tropis yang unik dengan nilai estetika yang tinggi dibandingkan dengan ekosistem lainnya, memiliki warna dan desain yang sangat indah serta kaya akan keanekaragaman jenis biota. Oleh karena itu pelestarian ekosistem terumbu karang akan memberikan manfaat secara langsung atau tidak langsung terhadap masyarakat nelayan, terutama peningkatan produksi perikanan secara berkelanjutan. Stasiun Penelitian UNG 05 Stasiun penelitian UNG 05 berada di P. Ungge yang merupakan pulau yang paling dekat ke daratan Desa Sitardas. Stasiun penelitian ini juga berada di luar zona Daerah Perlindungan Laut Sitardas. Hasil pengamatan pada stasiun ini diperoleh persentase tutupan karang hidup sebesar 63.37% dengan kategori baik. Persentase tutupan karang hidup didominasi oleh non Acropora sebesar 57.50% dari jenis Coral encrusting sebesar 27.03%, Massive coral sebesar 16.90% dan Non Acropora lainnya dalam jumlah kecil (Lampiran 6). Tingginya persentase tutupan karang hidup dengan jenis Coral encrusting, Massive coral, dan Acropora branching dikarenakan kondisi perairan stasiun penelitian UNG 05 yang berada di P. Ungge ini cukup jernih dan terbuka serta mempunyai arus yang cukup kuat. Sesuai dengan Supriharyono (2007) tekanan hydrodinamis seperti arus dan gelombang akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang dengan adanya kecenderungan semakin besar tekanan hydrodinamis, maka bentuk pertumbuhan karang lebih ke arah bentuk pertumbuhan mengerak (encrusting).

76 59 Selain persentase tutupan karang hidup, persentase tutupan substrat pada stasiun penelitian UNG 05 juga cukup tinggi. Sangat disayangkan karena pada stasiun penelitian ini persentase tutupan rubble cukup besar, berkisar 18.80% yang diikuti oleh persentase tutupan Dead coral algae sebesar 12.60%. Dalam hal ini masih terlihat adanya kerusakan ekosistem terumbu karang pada stasiun penelitian di P. Ungge. Tingginya kerusakan terumbu karang disebabkan oleh tingginya aktifitas penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan di perairan P. Ungge. Disamping itu P. Ungge juga dijadikan sebagai tempat persinggahan atau sebagai tempat berlindung bagi nelayan dari badai seperti halnya P. Bakal, sehingga kerusakan ekosistem terumbu karang akibat penggunaan jangkar kapal dapat terlihat di stasiun penelitian ini. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat menyatakan bahwa P. Ungge adalah merupakan salah satu daerah penangkapan ikan hias oleh nelayan dari luar Desa Sitardas, bahkan kegiatan pemboman ikan marak dilakukan di wilayah perairan ini. Dampak dari kegiatan penangkapan ikan hias dengan menggunakan racun cyanida atau disebut masyarakat setempat dengan air mas serta pemboman ikan, masih tampak jelas dengan tingginya persentase Dead coral algae pada perairan ini. Dijelaskan oleh Suharsono (1988) bahwa penyemprotan cyanida pada karang massive dapat berakibat karang mengalami stress dengan mengeluarkan lendir. Dua bulan setelah percobaan yang pada karang yang berikan perlakuan yang sama dengan penyemprotan cyanida akan menyebabkan karang mengalami kematian pada bulan ketiga. Rendahnya kesadaran masyarakat akibat minimnya pengetahuan akan pelestraian dan pengelolaan terumbu karang serta kurangnya pengawasan masih menjadi faktor utama penyebab-penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang di Perairan Sitardas Benthic fauna Komposisi benthic fauna selain karang berdasarkan data yang diperoleh dari baseline ekologi Tapanuli Tengah tahun 2004, monitoring ekologi Tapanuli Tengah tahun 2007 dan monitoring terumbu karang Tapanuli Tengah tahun 2008 untuk 13 stasiun penelitian dibandingkan dengan hasil penelitian Reef Check Benthos (RCB) pada 5 stasiun penelitian Perairan Sitardas Tapanuli Tengah tahun 2009 disajikan dalam (Tabel 2).

77 60 Tabel 2 Rerata jumlah benthic fauna per transek hasil pengamatan tahun 2004, 2007, 2008 dan 2009 Kelompok Jumlah Individu/Transek Udang Bintang laut berduri Bulu babi Bulu babi pencil Teripang besar Teripang kecil Kima besar Kima kecil Lola Siput laut Karang jamur Sumber data: COREMAP LIPI tahun (n=13 stasiun pengamatan) Hasil penelitian 2009 (n=5 stasiun pengamatan) Jumlah rerata indivdu benthic fauna per transek stasiun penelitian tahun 2009, tidak jauh berbeda dengan pengamatan tahun-tahun sebelumnya. Hanya terjadi pergeseran jumlah dengan penurunan CMR dan large giant clam namun terjadi peningkatan small giant clam, terkait akibat terjadinya perubahan kondisi perairan terutama adanya peningkatan laju sedimentasi serta kerusakan ekosistem terumbu karang pada stasiun penelitian. Namun bagaimanapun juga sulit untuk mengukur dan menguji terjadinya peningkatan ataupun penurunan jumlah jenis benthic fauna bedasarkan hasil penelitian sebelumnya dengan hasil penelitian yang dilakukan, karena adanya perbedaan jumlah stasiun pengamatan. Perubahan yang diukur adalah berdasarkan rerata jumlah individu per transek, bukan jumlah individu dalam satu transek yang sama. Seperti yang diuraikan dalam metode penarikan sample dan analisa data, metode RCB yang dilakukan pada lokasi penelitian dalam penelitian ini mencatat hanya beberapa dari jenis benthic fauna yang bernilai ekonomis penting ataupun yang bisa dijadikan indikator dalam menilai kondisi kesehatan terumbu karang. Beberapa biota mungkin tidak dijumpai pada saat pengamatan berlangsung karena luas pengamatan yang dibatasi (luasan bidang pengamatan 140 m 2 /transek), sehingga tidak menutup kemungkinan akan dijumpai pada lokasi di luar transek.

78 61 Hasil RCB selengkapnya di masing-masing stasiun penelitian disajikan pada (Tabel 3). Tabel 3 Jumlah benthic fauna dengan metode RCB pada masing-masing stasiun penelitian Jenis Jumlah SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 Udang Bulu babi Kima besar Kima kecil Karang jamur Total Benthic fauna yang ditemukan pada lokasi penelitian untuk 5 stasiun penelitian adalah, kima yang berukuran kecil (small giant clam) panjang < 20 cm adalah yang paling banyak ditemukan yaitu 565 individu, Kima (Giant clam) dengan panjang >20 cm dijumpai sebanyak 17 individu, bulu babi (Diadema setosum) dijumpai sebanyak 263 individu, karang jamur (CMR=Coral Mushroom) dijumpai sebanyak 159 individu dan lobster sebanyak 2 individu. Sedangkan Acanthaster planci yang merupakan hewan pemakan polip karang tidak ditemukan pada seluruh transek stasiun penelitian, meskipun berdasarkan pengamatan tahun-tahun sebelumnya jenis ini ditemukan dalam jumlah yang kecil. Kemudian tripang (holothurian) berukuran besar dengan panjang >20 cm dan yang berukuran kecil dengan panjang < 20 cm, tidak dijumpai sama sekali selama pengamatan dilakukan. Rendahnya kualitas lingkungan akibat adanya kerusakan ekosistem terumbu karang pada stasiun penelitian, menyebabkan beberapa benthic fauna yang merupakan indikator kesehatan terumbu karang (kima besar dan jenis teripang) hanya ditemukan beberapa dan ada yang tidak ditemukan sama sekali selama penelitian dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Cappenberg dan Panggabean (2005), tingginya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya perairan pantai mengakibatkan degradasi pada rataan terumbu. Perubahan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi lingkungan dan kualitas ekosistem perairan sekitar seperti moluska pada rataan terumbu. Hal ini

79 62 terlihat dengan semakin menurunnya jenis-jenis moluska, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting seperti kima, yang semakin hari semakin sulit didapat. Dari hasil analisa data benthic fauna berdasarkan jumlah yang diperoleh melalui RCB diketahui kelimpahan benthic fauna pada masing-masing-masing transek. Kelimpahan benthic fauna menunjukkan kondisi benthic fauna berdasarkan jumlah individu yang ditemukan pada masing-masing stasiun penelitian. Kelimpahan benthic fauna per transek pada lokasi penelitian dapat dilihat pada (Tabel 4). Tabel 4 Kelimpahan rata-rata benthic fauna di stasiun penelitian dalam luasan transek Stasiun Jumlah bethic fauna Luas Transek Kelimpahan (individu) (m 2 ) (ind/100m 2 ) SIT SIT SIT BKL UNG Kelimpahan benthic fauna tertinggi terdapat pada stasiun SIT 01 sebesar 332 ind/140 m 2. Hal ini terkait erat dengan kondisi terumbu karang yang mengalami kerusakan di stasiun penelitian tersebut. Tingginya biota laut yamg merupakan benthic fauna ditemukan pada perairan ini sebagai indikasi bahwa kondisi kualitas perairan sudah mengalami penurunan. Implikasi lain dari akibat tingginya benthic fauna pada perairan ini adalah ditemukannya sedimentasi yang cukup tinggi pada beberapa stasiun serta kerusakan komunitas terumbu karang akibat interaksi dengan berbagai benthic fauna perairan termasuk bulu babi sebagai pemakan karang. Dijelaskan pula oleh Supriharyono (2007) bahwa binatang laut berduri, Acanthaster planci adalah predator karang yang cukup terkenal sebagai perusak karang di Indo-Pasifik. Selain Acanthaster planci, beberapa jenis hewan lainnya seperti, gastropoda Drupella rugosa, bulu babi (terutama Echinometra mathaei, Diadema setosum dan Tripneustes gratilla) dan beberapa jenis ikan karang diketahui juga merupakan predator yang sering merusak karang. Selanjutnya disebutkan bahwa pada perairan dapat ditemukan

80 63 adanya carbonate sediment, yaitu sediment yang berasal dari erosi karang-karang secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosion ini umumnya dilakukan oleh hewan-hewan laut, seperti bulu babi, ikan kakak tua (Scarrus spp), bintang laut dan sebagainya. Selain kelimpahan benthic fauna pada masing-masing stasiun penelitian, maka berdasarkan jumlah jenis yang ditemukan dapat ditentukan persentase jenis benthic fauna untuk masing-masing stasiun penelitian (Lampiran 7). Untuk melihat persentase benthic fauna perjenis yang ditemukan pada masing-masing stasiun penelitian sehingga dapat diketahui jenis benthic fauna yang mendominasi pada masing-masing stasiun penelitia, disajikan pada histogram (Gambar 13). PERSENTASE (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 STASIUN Lobster Sea urchin Large giant clam Small giant clam Mushroom coral Gambar 13 Persentase jumlah benthic fauna perjenis pada stasiun penelitian Dari hasil pengamatan diketahui bahwa masing-masing stasiun penelitian didominasi oleh kima ukuran kecil (small giant clam), kecuali pada stasiun SIT 03 persentase tertingi didominasi oleh bulu babi (sea urchin). Persentase small giant clam paling tinggi dijumpai pada stasiun penelitian UNG 05 sebesar 84.23%. Stasiun ini merupakan stasiun penelitian yang cukup jauh dari pemukiman penduduk dan muara sungai, sehingga jauh dari interaksi dan pencemaran limbah antropogenik yang ada. Kemudian persentase sea urchin paling tinggi dijumpai pada stasiun SIT 03) sebesar 54.01%. Stasiun ini mendapat dampak sedimentasi

81 64 yang cukup serius dari muara sungai Aek Kuala Maros dan erosi tanah akibat adanya penggunduluan hutan di pinggang perbukitan Pesisir Sitardas yang berbatasan langsung dengan perairan stasiun ini. Kima dijadikan sebagai indikator bahwa apabila jumlahnya cukup banyak dan ukurannya semakin besar dapat dikatakan kondisi lingkungan perairan masih cukup baik dan mendukung kesehatan terumbu karang demikian pula sebaliknya. Menurut Usher (1984) dalam Cappenberg dan Panggabean (2005) mengemukakan bahwa akibat terjadinya degradasi lingkungan menyebabkan jenis-jenis kima seperti Tridacna gigas dan Tridacna derasa di Perairan Indonesia Barat diduga telah punah dan jenis-jenis yang lain populasinya semakin terbatas. Sea urchin merupakan salah satu biota pengendali alga disamping ikan herbivora. Adanya sedimentasi pada stasiun penelitian SIT 03 menyebabkan kematian pada karang dan memacu pertumbuhan alga, sehingga DCA cukup tinggi pada stasiun ini diikuti oleh tingginya jumlah Diadema setossum yang mengindikasikan kondisi perairan kurang baik dan kesehatan karang juga kurang baik. Berdasarkan penelitian Jackson et al. (2001) kelimpahan Diadema antillarum tinggi di Jamaica akibat adanya penangkapan berlebihan ikan-ikan herbivora yang mengurangi kelimpahan populasi ikan herbivora tersebut sehingga perannya sebagai pemakan alga digantikan oleh Diadema antillarum. Hasil pengamatan diperoleh beberapa jenis benthic fauna mempunyai persentase jumlah jenis yang sangat rendah, bahkan ada yang tidak ditemukan sama sekali sehingga di dominasi oleh jenis-jenis tertentu saja. Untuk mengetahui kondisi benthic fauna pada masing-masing stasiun penelitian berdasarkan RCB disajikan pada peta (Gambar 14).

82 Gambar 14 Peta kondisi benthic fauna pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Sumber: Basemap Terumbu Karang Kabupaten Rapanuli Tengah. COREMAP LIPI

83 Ikan karang Berdasarkan kelompok ikan karang yang terdapat di Perairan Sitardas hasil UVC terbagi dalam kelompok ikan major dari suku, Apogonidae, Pomacentridae, Labridae, Pomacanthidae, Tetraodontidae dan Monacantidae. Kelompok ikan target dari suku, Caesionidae, Acanthuridae, Serranidae, Scaridae, Luthjanidae, Siganidae, Mullidae, Lethrinidae dan Haemullidae. Kemudian kelompok ikan indikator dari suku Chaetodontidae. Komposisi ikan karang berdasarkan kelompok dari data yang diperoleh dalam baseline ekologi Tapanuli Tengah tahun 2004, monitoring ekologi Tapanuli Tengah tahun 2007 dan 2008 untuk 13 stasiun penelitian dibandingkan dengan hasil penelitian Underwater fish Visual Cencus (UVC) pada 5 stasiun penelitian di Perairan Sitardas Tapanuli Tengah tahun 2009 disajikan dalam (Tabel 5). Tabel 5 Rerata jumlah individu ikan karang per transek berdasarkan kelompok dari hasil pengamatan tahun 2004, 2007, 2008 dan 2009 Kelompok Tahun Major Target Indikator Total Sumber data: COREMAP LIPI Hasil penelitian 2009 Kelompok ikan major merupakan yang paling banyak ditemukan selama penelitian. Jumlah frekwensi kehadiran relatif ikan karang pada tahun 2008 untuk 13 stasiun penelitian transek permanen meningkat jauh dari pada tahun-tahun sebelumnya. Hasil pengamatan tahun 2009 untuk 5 stasiun penelitian, jumlah frekwensi kehadiran relatif ikan karang tidak berbeda jauh dibandingkan dengan tahun 2004 dan 2007, kecuali dibandingkan dengan tahun Perbedaaan jumlah dan komposisi ikan pada tahun-tahun penelitian sebelumnya dengan tahun 2009 adalah merupakan interpretasi kondisi dari biota ikan karang yang terdapat pada masing-masing stasiun penelitian tersebut. Bagaimanapun juga untuk membandingkan jumlah dan jenisnya dari tahun ke tahun agar diketahui penurunan atau peningkatan jumlah dan komposisi ikan karang tersebut belum

84 67 dapat dilakukan secara konkrit dalam penelitian ini, karena adanya perbedaan stasiun dan data per stasiun yang dibutuhkan tidak tersedia. Jumlah jenis ikan berdasarkan kelompok ikan data tahun 2004, 2007 dan 2008 di Kabupaten Tapanuli Tengah adalah untuk 13 stasiun penelitian, sedangkan data tahun 2009 adalah untuk 5 stasiun penelitian. Frekwensi relatif kehadiran terbanyak dari sepuluh jenis ikan karang, hasil penelitian tahun 2009 dapat dilihat pada (Tabel 6). Tabel 6 Sepuluh jenis ikan karang yang memiliki frekwensi kehadiran relatif tertinggi pada stasiun penelitian di Perairan Sitardas 2009 Jenis Kelompok Jumlah Individu Apogon quinquilineatus Major 1385 Neopomacentrus azysron Major 480 Apogon sp. Major 415 Pomacentrus moluccensis Major 315 Amphiprion ocellaris Major 230 Chaetodon colare Indikator 143 Scarus ghoban Target 58 Bodianus axillaris Major 47 Centropyge eibli Major 35 Acanthurus nigricans Target 27 Secara keseluruhan untuk 5 stasiun penelitian di Perairan Sitardas tahun 2009, didominasi oleh ikan dari suku Apogonidae terutama jenis ikan Apogon quinquilineatus sebanyak 1385 individu dan jenis Apogon sp. sebanyak 415 individu. Kemudian diikuti oleh suku Pomacentridae dari jenis Neopomacentrus azysron sebanyak 480 individu, Pomacentrus muluccencis sebanyak 315 individu dan Amphiprion ocellaris sebanyak 230 individu. Kemudian juga ditemukan ikan indikator suku Chaetodontidae meskipun dalam jumlah yang relatif kecil tetapi hampir merata pada semua stasiun penelitian. Ikan indikator ini terbagi dari jenis Chaetodon colare sebanyak 143 individu, Chaetodon vagabundus sebanyak 15 individu, Chaetodon trifasciatus sebanyak 20 individu dan Heniochus monoceros sebanyak 20 individu untuk seluruh stasiun penelitian. Kemudian juga ditemukan jenis-jenis ikan dari suku lainnya dalam jumlah yang relatif kecil, selengkapnya dalam (Lampiran 8).

85 68 Dari hasil UVC yang dilakukan untuk ikan karang diketahui, jenis Apogon quinquilineatus adalah merupakan jenis yang paling sering dijumpai selama pengamatan, dimana jenis ini berhasil dijumpai di semua stasiun dengan frekuensi relatif kehadiran berdasarkan jumlah stasiun yang diamati 40.66%. Kemudian diikuti Neopomacentrus azysron dengan frekuensi relatif kehadiran 14.09%, Apogon sp. dengan frekuensi relatif kehadiran 12.18%. Sedangkan jenis-jenis ikan karang lainnya dijumpai kurang dari 10% untuk rerata perstasiun dari seluruh stasiun penelitian. Ikan karang dari suku Apogonidae diketahui mendominasi perairan pada stasiun penelitian SIT 01, SIT 02, SIT 03 dan UNG 04 dengan persentase jumlah jenis 45.30% sampai 68.51%, kemudian pada stasiun penelitian BKL 04 didominasi oleh ikan karang suku Pomacentridae sebesar 29.85%. Hasil pengamatan UVC untuk persentase jumlah individu ikan karang berdasarkan suku pada masing-masing stasiun penelitian di Perairan Sitardas tahun 2009 di sajikan pada (Tabel 7). Tabel 7 Jumlah ikan karang untuk masing-masing suku pada stasiun penelitian di Perairan Sitardas tahun 2009 Suku Jumlah Individu Jumlah SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 Individu Apogonidae Pomacentridae Labridae Chaetodontidae Chaesionidae Acanthuriidae Pomacanthidae Serranidae Scaridae Luthjanidae Siganidae Tetraodontidae Mullidae Lethrinidae Haemullidae Monacanthidae

86 69 Dari hasil pengamatan seluruh stasiun diketahui perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator untuk seluruh stasiun adalah 3022 : 276 : 108 atau sama dengan 28 : 3 : 1 (Tabel 8). Tabel 8 Perbandingan jumlah individu ikan major, ikan target dan ikan indikator pada masing-masing stasiun penelitian KELOMPOK Jumlah/Stasiun (ind) Jumlah SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 (ind) Major Target Indikator Sedangkan untuk persentase kehadiran kelompok ikan karang didominasi oleh kelompok ikan major dengan rerata persentase kehadiran 86.16%, kemudian ikan target sebesar 10.55% sedangkan ikan indikator yang merupakan indikator bagi kesehatan terumbu karang hanya 3.30%. Adanya perbedaan komposisi ikan karang berdasarkan kelompok pada masing-masing stasiun penelitian selama pengamatan adalah merupakan gambaran variasi kondisi lingkungan habitatnya. Menurut Tamimi et al. (1993) dari hasil pengamatan distribusi ikan karang di Perairan Pulau Sekapal dan Pantai Belebuh, Lampung Selatan diketahui bahwa distribusi spasial ikan-ikan karang ditentukan oleh karakteristik habitat dan interaksi ikan-ikan itu sendiri. Distribusi spasial beberapa jenis ikan secara nyata dapat dideterminasi oleh karakteristik habitat tertentu. Karakteristik yang paling berperan dalam distribusi ini secara berurutan adalah arus, kecerahan, suhu air dan kedalaman. Disamping itu, terlindung atau tidaknya habitat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pula distrbusi spasial. Persentase kehadiran relatif suku ikan karang pada stasiun penelitian disajikan dalam (Tabel 9). Tabel 9 Persentase kelompok ikan karang pada stasiun penelitian KELOMPOK Persentase (%) SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 Major Target Indikator

87 70 Persentase jumlah ikan major tertinggi ditemukan pada stasiun SIT 01 sebesar 93.28%, kemudian stasiun SIT 02 sebesar 91.30% dan stasiun penelitian SIT 03 sebesar 91.22%. Ketiga stasiun penelitian ini merupakan kawasan DPL, sehingga dapat disimpulkan adanya DPL berpengaruh positif terhadap kelimpahan ikan. Sementara itu pada stasiun penelitian BKL 04 diperoleh persentase jumlah ikan major sebesar 67.46% dan pada stasiun penelitian UNG 05 diperoleh 87.52%. Persentase jumlah ikan pada kedua stasiun ini lebih rendah dibandingkan dengan tiga stasiun lainnya, karena kedua stasiun ini tidak masuk kedalam zona DPL, dimana intensitas penangkapan ikan sangat tinggi. Untuk kelompok ikan target yang ditemukan komposisinya cukup bervariasi pada masing-masing stasiun penelitian. Persentase tertinggi terdapat pada stasiun penelitian BKL 04 sebesar 28.06%, Demikian pula halnya dengan kelompok ikan indikator, meskipun jumlahnya kecil tetapi menyebar hampir merata pada masing-masing stasiun penelitian, persentase tertinggi terdapat di stasiun BKL 04 sebesar 4.48%. Kondisi perairan yang lebih jernih dan tutupan karang yang masih baik menjadikan tempat ini sebagai habitat bagi ikan. Seperti hasil penelitian yang dipelajari oleh Choat dan Bellowed (1991), bahwa interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang sebagai habitat, terbagi atas tiga hubungan yang berbentuk umum yaitu; (a) interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda, (b) interaksi dalam mencari makan yang meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk algae, (c) interaksi tidak langsung sebagai akibat struktur karang, kondisi hidrologi dan sedimen. Sedangkan menurut Nybakken (1992) interakasi ikan karang yang terjadi dalam ekosistem terumbu karang meliputi; 1. Pemangsaan; dimana ada dua kelompok ikan karang yang secara aktif memakan koloni-koloni karang, yaitu species yang memakan polip-polip karang, antara lain (Tetraodontidae, Monacanthidae, Balistidae dan Chaetodontidae). Kemudian sekelompok ikan multivora (omnivora) yang memindahkan polip karang untuk mendapatkan alga di dalam kerangka karang atau berbagai invertebrata yang hidup dalam lubang karang, antara lain (Acanthuridae dan Scaridae).

88 71 2. Grazing; dilakukan oleh ikan-ikan famili Siganidae, Pomacentridae, Acanthuridae dan Scaridae. Hasil pengamatan pada stasiun penelitian umumnya ikan karang berinteraksi dengan terumbu karang sebagai habitat atau tempat berlindung, kebanyakan ikan ditemukan pada karang atau celah-celah karang. Jarang sekali ditemukan ikan melakukan aktifitas mencari makan ataupun memakan koloni karang dan alga. Persentase kehadiran relatif ikan karang berdasarkan suku pada masing-masing stasiun penelitian disajikan pada histogram (Gambar 15). PERSENTASE (%) 100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 SIT 01 SIT 02 SIT 03 BKL 04 UNG 05 STASIUN Apogonidae Pomacentridae Labridae Chaetodontidae Chaesionidae Acanthuriidae Pomacanthidae Serranidae Scaridae Luthjanidae Siganidae Tetraodontidae Mullidae Lethrinidae Haemullidae Monacanthidae Gambar 15 Persentase kehadiran relatif suku ikan karang pada stasiun penelitian Untuk mengetahui kondisi ikan karang hasil pengamatan metode UVC pada masing-masing stasiun penelitian berdasarkan frekwensi kehadiran relatif ikan persuku disajikan pada peta (Gambar 16).

89 Gambar 16 Peta persentase kehadiran relatif ikan karang pada stasiun penelitian di perairan Sitardas Kabupaten Tapanuli Tengah Sumber: Basemap Terumbu Karang Kabupaten Tapanuli Tengah. COREMAP LIPI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal yang banyak dijumpai di sepanjang garis pantai daerah tropis yang terbentuk dari endapan massif kalsium karbonat (CaCO

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Penelitian ini diawali dengan persiapan yang mencakup penentuan aspek yang akan diteliti. Kegiatan ini dilakukan melalui penelusuran berbagai informasi yang terkait

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di pulau pulau kecil atau pesisir di Indonesia hidupnya sangat tergantung oleh hasil laut, karena masyarakat tersebut tidak mempunyai penghasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA 1

KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA 1 KAJIAN KOMUNITAS TERUMBU KARANG DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PERAIRAN SITARDAS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA 1 (Study of Coral Reef Community of Marine Protected Area in Sitardas Waters,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Hampir semua lokasi penelitian di Tapanuli Tengah memiliki pantai yang sempit, terdiri dari pasir putih yang diselingi bongkahan batu cadas (batu

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; 5 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Pulau Kecil Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometerpersegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. Sumberdaya Pesisir dan

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU

KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU KAJIAN KESESUAIAN PEMANFAATAN KAWASAN TERUMBU KARANG PADA ZONA PEMANFAATAN WISATA TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU OLEH PERSADA AGUSSETIA SITEPU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SEMINAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO

KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO KAJIAN KESESUAIAN SUMBERDAYA TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI KELURAHAN PULAU ABANG KOTA BATAM BUDY HARTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Terumbu karang adalah bangunan ribuan hewan yang menjadi tempat hidup berbagai ikan dan makhluk laut lainnya. Terumbu karang yang sehat dengan luas 1 km 2 dapat menghasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reefs) tersebar hampir di seluruh perairan dunia dengan kondisi paling berkembang pada kawasan perairan tropis. Meski luas permukaan bumi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

B. Ekosistem Hutan Mangrove

B. Ekosistem Hutan Mangrove B. Ekosistem Hutan Mangrove 1. Deskripsi merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh di daerah pasang surut pantai berlumpur. umumnya tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah lautan yang luas tersebut

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO Mangrove REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO TERUMBU KARANG OLEH DANIEL D. PELASULA Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI pelasuladaniel@gmail.com PADANG LAMUN

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya *) Abstract The research of living coral reef

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PERMEN-KP/2016 TENTANG TATA CARA REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, S A L I N A N KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa terumbu karang merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan

Tantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan 5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem

Lebih terperinci

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR)

MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) MODUL TRANSPLANTASI KARANG SECARA SEDERHANA PELATIHAN EKOLOGI TERUMBU KARANG ( COREMAP FASE II KABUPATEN SELAYAR YAYASAN LANRA LINK MAKASSAR) Benteng, Selayar 22-24 Agustus 2006 TRANSPLANTASI KARANG Terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA 1 ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA PANTAI, SELAM DAN SNORKELING DI PULAU BERHALA KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : AMRULLAH ANGGA SYAHPUTRA 110302075 PROGRAM

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II ISBN : 978-62-97522--5 PROSEDING SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II Konstribusi Sains Untuk Pengembangan Pendidikan, Biodiversitas dan Metigasi Bencana Pada Daerah Kepulauan SCIENTIFIC COMMITTEE: Prof.

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi Oleh THOMAS F. PATTIASINA RANDOLPH HUTAURUK EDDY T. WAMBRAUW

Lebih terperinci

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi(

PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi( PENGENALAN EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (Biologi( Biologi) oleh : Yosephine Tuti Puslitbang Oseanologi - LIPI EKOSISTEM DI LAUT DANGKAL (BIOLOGI) I. EKOSISTEM TERUMBU KARANG / CORAL REEFS II. EKOSISTEM LAMUN

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA

PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA PELESTARIAN EKOSISTEM MANGROVE PADA DAERAH PERLINDUNGAN LAUT DESA BLONGKO KECAMATAN SINONSAYANG KABUPATEN MINAHASA SELATAN PROVINSI SULAWESI UTARA JOSHIAN NICOLAS WILLIAM SCHADUW SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci

PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM

PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang 9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (hermatifik) yang disebut

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ABSTRAK PENDAHULUAN. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ini tujuan untuk melindungi

ABSTRAK PENDAHULUAN. Penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) ini tujuan untuk melindungi Dampak Penetapan Daerah terhadap Eksistensi Hak Nelayan Tradisional di Kabupaten Kepulauan Selayar oleh Ryan Anshari (B11108 416), yang dibimbing oleh Farida Patittingi dan Sri Susyanti Nur. ABSTRAK Penetapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu adalah kawasan pelestarian alam bahari di Indonesia yang terletak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kepulauan Seribu terletak pada 106

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang mencapai 17.508 pulau dengan panjang pantai sekitar 81.000 km 2 dan luas laut mencapai 5,8

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci