BAB I PENDAHULUAN. Isu-isu kemanusiaan dewasa ini semakin meluas baik dari segi aktor-aktor

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Isu-isu kemanusiaan dewasa ini semakin meluas baik dari segi aktor-aktor"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu-isu kemanusiaan dewasa ini semakin meluas baik dari segi aktor-aktor kemanusiaan yang meluas maupun permasalahan yang semakin beragam dan menjadi perhatian. Tidak hanya Negara dan pemerintah, namun juga NGO, FBO (Faith Based Organization), kelompok-kelompok masyarakat, maupun individu yang semakin menaruh perhatian terhadap isu-isu kemanusiaan dalam konflik maupun bencana. Konflik-konflik yang terjadi di beberapa propinsi di Indonesia memiliki ciri tersendiri dan pada umumnya, isu yang menjadi konflik tersebut terkait dengan benturan antarkebijakan dan implementasi kebijakan yang dinilai kurang adil, baik dalam hal kepemilikan tanah dan batas-batas wilayah, maupun tentang kebijakan public dalam bidang sumber daya alam dan ekonomi. 1 Dalam beberapa kasus, tidak jarang juga terdapat pihak-pihak dari luar Negara yang turut berkontribusi dalam mengintervensi masalah kemanusiaan maupun turut memberikan bantuan. Indonesia juga menjadi salah satu Negara yang menjadi perhatian masyarakat global dan simpatisan dari Negara lain pada kasus isu separatisme dan konflik mengenai pelanggaran HAM di Papua yang telah terjadi sejak Papua (dulu Irian Jaya) dialihkan dari Pemerintahan Belanda ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dan perjanjian 1 Tim LIPI, Kerangka Kerja Pencegahan Konflik Sosial di Indonesia: Strategi dan Tindakan Penanganan Isu Konflik. Dokumen DIseminasi Jakarta: LIPI. 1

2 New York (New York Agreement) tahun Menurut pernyataan para wartawan yang menjadi saksi Perjanjian New York, terdapat pelanggaran yang serius terhadap perjanjian tersebut. Ada 15 negara yang menyatakan tidak setuju terhadap perjanjian tersebut dan 1026 perwakilan Papua yang bukan merupakan reprentasi masyarakat asli Papua yang dinilai primitif dalam mengambil keputusan terhadap pilihan bergabung dengan Indonesia atau referendum. 3 Hal ini menjadi salah satu bukti penting yang menunjukkan adanya penyimpangan yang dilakukan terhadap perjanjian tersebut dan pengingkaran janji yang telah dilakukan pemerintah Indonesia pada masa penentutan status kenegaraan. Indonesia pada saat ini memiliki banyak wacana mengenai pembangunan nasional, pemerataan pembagunan antar daerah dan integrasi nasional, tetapi semua hasil yang dikelola dibawa secara penuh ke Jakarta. 4 Era orde baru ini menunjukkan pemerintahan yang tersentralisir dan masih kuatnya pemerintahan yang represif dan diwarnai dengan kekerasan militeristik oleh ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) pada era pemerintahan Presiden Soeharto yang mengakibatkan Aceh dan Papua menginginkan kemerdekaannya dari Indonesia dengan membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pada saat melakukan perlawanan, masyarakat Aceh dan Papua telah diberikan keistimewaan melalui Undang-undang No.25 tahun 1999 yang berisi kebijakan Bagi Hasil Sumberdaya Alam dan perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, tetapi masyarakat menganggap bahwa tidak ada kesitimewaan Diakses tanggal 4 Februari Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken dengan pengantar Anies Baswedan, Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV Press. Hlm CSPS book, Universitas Gadjah Mada. Hlm

3 maupun manfaat yang dirasakan dalam berbagai aspek oleh masyarakat, oleh karena itu, masih pada masa Pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), DPR dan Presiden menetapkan UU No.18/2001 tentang pemberian otonomi khusus untuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan UU No.21/2001 yang memberikan otonomi khusus untuk Provinsi Papua. Otonomi khusus ini semestinya membukakan jalan bagi keadilan terhadap pembagian hasil bumi dan kemerataan terhadap hak sosio-kultural yang terkandung dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) atau Kovenan mengenai hak sosial, ekonomi, dan budaya yang disahkan dalam UU nomor 11 tahun 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, akan tetapi masyarakat lokal Papua masih belum merasakan manfaat dari implementasi Otsus yang telah berjalan belasan tahun lamanya. Masih banyak terdapat ketidakmerataan ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah, serta hak-hak substantif dalam ICESCR yang belum terpenuhi melalui kebijakan pemerintah melalui Otsus yang pertama kali diinisiasi oleh Presiden Megawati pada saat menjabat. Selama ini, media-media banyak memberitakan mengenai wacana pembangunan Papua dari segi ekonomi yang perlu ditingkatkan, pemerintahan yang independen, pendidikan yang perlu dimajukan, serta keamanan dari militermiliter Indonesia yang kehadirannya masih sangat berpengaruh di tanah Papua. Namun, wacana-wacana tersebut yang terangkum dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua belum dapat membuat masyarakat lokal yang terdiri dari berbagai suku dari kalangan akar rumput merasakan manfaatnya dengan bergabung dengan RI. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan oleh LIPI 3

4 (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan lembaga-lembaga advokasi maupun fasilitator perdamaian lainnya juga menunjukkan bahwa Otsus Papua masih perlu dikaji dan dipertanyakan manfaatnya nyatanya, melihat bahwa fakta di lapangan menunjukkan hal yang masih berlawanan. Pendekatan seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan aparat-aparat Negara lainnya dalam mengatasi kesenjangan yang kian menjadi konflik ini? Ketika pendekatan represif, militer, dan pembangunan ekonomi tidak dapat menunjukkan hasil yang mengarah kepada perbaikan, pendekatan kemanusiaan dan dialog yang bersifat grass root (dari akar rumput) oleh masyarakat lokal patut menjadi hal yang menjadi pendekatan utama dalam memahami dan mengerti apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan masyarakat di samping keinginan untuk memisahkan diri dari RI karena selama ini, pendekatan elitis (top down) yang hanya melibatkan tokoh-tokoh elit dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat dengan berbagai elemen yang ada, dan proses rekonsiliasi dalam waktu 3 hari hanya akan menelurkan solusi parsial dan sesaat saja. Konsensus perdamaian hanya terjadi pada level atas dan tidak menyentuh level akar rumput. 5 Masyarakat harus turut berpartisipasi aktif dalam menciptakan dan membangun perdamaian. Jika hal tersebut belum dilakukan secara maksimal, dapat terlihat hasilnya dalam kasus di Papua ini yang hanya menghasilkan solusi politik dengan pemberian Otonomi Khusus Papua tahun Dalam upaya memajukan pembangunan di berbagai aspek karena pasca implementasi otonomi khusus Papua, masih terdapat banyak pemberitaan di 5 Abubakar Riry, Dany Yuda Saputra, et al, Cerita Sukses Pembangunan Perdamaian di Indonesia. Jakarta: Institut Titian Perdamaian. 4

5 media mengenai isu-isu separatisme akibat hak asasi manusia yang tidak terpenuhi, pembagian sumber daya yang tidak merata, serta pengaruh asing dalam usahanya untuk mendukung kemerdekaan Papua dari NKRI. Hal paling nyata yang dapat dilihat adalah realitas kehidupan penduduk asli Papua yang masih jauh dari kata sejahtera meskipun tidak dapat dipungkiri juga bahwa terdapat beberapa kemajuan di wilayah perkotaan pada masa implementasi otonomi khusus Papua. Otsus sendiri berjalan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai dewan yang terdiri dari masyarakat asli Papua untuk menjalankan kebijakan Otsus, akan tetapi Pemerintah Pusat masih belum memberikan tindak lanjut dengan membuat peraturan pemerintah mengenai pembentukan MRP. Penundaan ini berakibat pada proses politik dan hukum yang terpisah antara MRP dengan Otsus. 6 Pemerintah dinilai belum menaruh perhatian lebih terhadap permasalahan yang berujung pada keresahan masyarakat lokal yang menuntut referendum. Pemberlakuan Otsus belum dapat memberikan jawaban atas tuntutan yang dilayangkan masyarakat akan keadilan dan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat terutama yang tinggal di pedalaman dan dataran tinggi. 7 Penyebab dari kegagalan solusi Otsus yang diberikan oleh pemerintah berasal dari tiga hal.yang pertama adalah kurangnya persepsi umum dari masyarakat, pemerintah lokal, dan pemerintah pusat mengenai otonomi khusus. Hal kedua adalah kurangnya kehendak dan keseriusan dari pemerintah pusat dalam memberikan kepercayaan kepada pemerintah propinsi untuk mengimplementasikan otonomi khusus. Hal ketiga ialah ketiadaan peraturan yang 6 Hlm 40. Diakses tanggal 4 Februari europarl.europa.eu. Hlm 6.Diakses tanggal 25 Januari

6 dibutuhkan untuk implementasi aturan-aturan dan hukum dari otonomi khusus (Perdasi dan Perdasus). 8 Kegagalan Otonomi Khusus dan pendekatan-pendekatan lain yang telah dilakukan oleh pemerintah secara umum mengalami hambatan pada level pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa temuan kasus korupsi dan dugaan-dugaan korupsi yang terjadi pada level pemerintah daerah. Selain itu, ketidakhadiran pemerintah daerah dalam menjalankan tugas kepemimpinannya juga menjadi suatu hambatan yang dirasakan oleh masyarakat sipil Papua ketika terjadi suatu hal di luar kewajaran seperti konflik dan lainnya. Kehadiran pemerintah daerah terutama gubernur karena seringkali ketidakhadiran gubernur atau pejabat daerah lainnya membuat konflik-konflik kecil yang terjadi di Papua semakin membesar karena kurangnya penanganan dan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut. Semenjak beralihnya Papua dari pemerintahan Belanda kepada Indonesia, masyarakat di propinsi Papua dan Papua Barat telah mengalami kekerasan baik secara langsung (fisik), struktural, maupun kultural yang telah turun menurum meejadi ketakutan masyarakat asli Papua yang merupakan akibat dari pecahnya keloompok masyasrakat yang pro Indonesia dan pro Belanda pasca perjanjian New York Kekerasan fisik marak terjadi di Papua dan terjadi kejahatan kemanusiaan semenjak tahun 1960an, tetapi belum mengarah kepada genosida atau pemusnahan massal. 10 Tidak hanya kekerasan langsung, kekerasan struktural seperti kebijakan pemerintah yang kurang mempertimbangkan aspek-aspek masyarakat, kemiskinan, wabah penyakit, tingkat pendidikan yang rendah, 8 Ibid, hlm 7. 9 Dodhie Mulya Riadhie, Diakses dari repository.upi.edu/125/ pada 6 Januari Rizky Amelia, 24 Oktober 201. Diakses dari beritasatu.com tanggal 16 November

7 ketertinggalan pembangunan dalam berbagai aspek serta infrastruktur.kekerasan kultural juga kerap terjadi seperti stereotyping bahwa Papua merupakan propinsi terpinggir yang penuh dengan konflik yang berasal dari pihak luar masyarakat Papua juga seringkali terjadi dan dialami oleh masyarakat Papua baik yang tinggal di Papua maupun yang merantau ke luar Papua. Hal ini menunjukkan bahwa Negara terutama pemerintah pusat perlu menunjukkan pertanggungjawaban atas solusi yang dapat memberikan rasa aman dan damai bagi Papua dan Papua Barat dengan bergabung dengan RI. Jika hal ini tidak segera ditindaklanjuti dengan mempertimbangkan akar-akar konflik dan upaya penyelesaian yang menguntungkan kedua belah pihak, pemberitaan di media akan semakin menguat mengenai isu separatisme hingga menjadi isu internasional yang menjadi perhatian global. Pada masa desentralisasi Papua yang ditandai dengan pemberian Otonomi khusus, masyarakat Papua masih menunggu tidak lanjut dan pengawasan dari pemerintah terhadap konflik-konflik yang berhubungan dengan usaha untuk menegakkan keadilan, memperoleh perlindungan HAM, dan pemerataan pembangunan bagi masyarakat Papua. Keadilan dan pemerataan yang dimaksud adalah bebasnya masyarakat asli Papua dari ketertinggalan pembangunan, pendidikan, dan hak-hak substantif yang terkadung dalam ICESCR (Kovenan mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya), serta pengawasan implementasi Otonomi Khusus yang diwakilkan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) yang hingga tahun 2014, pembentukan dewan terebut masih belum diresmikan oleh Pemerintah Pusat.Hal ini memiliki pengaruh signifikan terhadap pengaturan 7

8 keuangan dan alokasinya yang diberikan oleh pemerintah pusat setiap tahunnya.untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi sejak Papua bergabung dengan Indonesia hingga saat ini, perlu adanya dialog kembali antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta maesyarakat asli untuk bersama-sama membahas hal-hal yang menjadi keinginan dan tuntutan masyarakat terhadap pemerintah pusat dan bentuk tanggung jawab seperti apa yang diberikan pemerintah melalui pendekatan-pendekatan yang direkomendasikan oleh beberapa pihak seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Humanitarian Dialogue Center (HD Center) Australia, dan OPM sendiri yang menuntut dialog Jakarta-Papua untuk menangani berbagai kekerasan baik struktural maupun kultural yang telah turun temurun dialami masyarakat asli Papua. Dalam dialog tersebut, ada suatu hal baru yang perlu dilakukan dan diperbaharui oleh pemerintah pusat, yaitu pendekatan kemanusiaan terhadap masyarakat yang selama ini belum banyak diberi perhatian lebih. Selain itu, masyarakat lokal perlu diberikan jaminan mengenai rasa aman dan damai dengan penarikan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terutama di daerah dataran tinggi. Baik pemerintah pusat maupun daerah perlu bersama-sama untuk memberlakukan pendekatan kemanusiaan atau humanitarian approach terhadap masyarakat asli Papua agar unsur-unsur kemanusiaan dalam hal keselamatan, martabat, dan penderitaan yang dialami masyarakat Papua dapat berkurang dengan adanya perubahan pendekatan ke arah kemanusiaan. Dengan komunikasi yang baik antara pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan dan pemerintah daerah sebagai perwakilan masyarakat asli Papua, implementasi kebijakan-kebijakan yang mengarah pada kesejahteraan 8

9 masyarakat dan pemenuhan hak-hak dasar semestinya dapat berjalan dengan baik. Pengawasan dalam hal implementasi juga menjadi hal penting yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk mendukung keberhasilan kebijakankebijakan yang telah disusun. Untuk itu, pendekatan kemanusiaan perlu dimiliki dan diberlakukan oleh setiap aktor yang berkepentingan dalam menjalankan roda kehidupan di Papua agar berjalan dengan damai tanpa tuntutan kemerdekaan yang selama ini terjadi karena kurangnya komunikasi yang baik dari semua pihak. Pendekatan kemanusiaan yang perlu dimiliki pemerintah dan aparat-aparat Negara yang turut menjaga stabilitas politik dan sektor lainnya di Papua perlu memiliki informasi akurat mengenai fraksi-fraksi yang memiliki pengaruh kuat di Papua dan Papua Barat, aktor-aktor mana yang mau bernegosiasi, apa yang menjadi tujuan mereka, posisi, hal-hal yang mendasari dan kepentingannya. Hal ini akan sangat berkontribusi terhadap pihak yang akan melakukan pendekatan kemanusiaan untuk mempertimbangkan taktik dan strategi dalam mencari solusi bersama. Hal yang tidak kalah penting dalam usaha melakukan pendekatan kemanusiaan dalam melihat suatu konflik yang memiki kompleksitas tinggi adalah dengan menganalisis sistem politik lokal, konfigurasi politik dan militer setempat, pengetahuan mengenai budaya setempat yang seringkali menjadi faktor yang diabaikan dalam melakukan pendekatan, kemampuan bahasa dan sensitivitas lokal, data mengenai sumber daya kemanusiaan, dan informasi mengenai dampak 9

10 dari bantuan yang diberikan kepada pihak masyarakat lokal untuk menangani konflik dan kompleksitasnya. 11 Pendekatan kemanusiaan dalam menangani konflik-konflik yang mengarah pada separatisme di Papua melalui dialog merupakan jalan keluar yang damai bagi masyarakat asli Papua yang mewakili masing-masing komunitasnya dan perwakilan dari pemerintah Indonesia. Dialog antara pemerintah pusat dan daerah serta pendekatan kemanusiaan yang lebih intensif sangat diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat lokal dengan pemerintah pusat dan sebaliknya yang menjadi harapan masyarakat Papua dan untuk mencegah timbulnya pemikiran lebih jauh oleh masyarakat yang merasa bahwa mereka terjajah di tanah milik mereka sendiri. Keinginan untuk melepaskan diri dari Indonesia juga tidak akan ada jika pemerintah pusat telah melakukan pendekatan baru yang akan lebih mempertimbangkan faktor manusia itu sendiri dan pemenuhan hak-haknya untuk mendapatkan pendampingan secara humanis dan dua arah, bukan hanya kebijakan-kebijakan searah yang dibuat tanpa mempertimbangkan hakikat dasar manusia dan aspirasi masyarakat asli maupun pendatang. Selain dialog antara Pemerintah Pusat dan masyarakat asli Papua, sifatsifat dasar pemberian bantuan kemanusiaan yang imparsial dan netral dari Pemerintah pusat maupun pihak ke-3 yang menjadi mediator dialog perlu diberi perhatian penting agar mewakili kepentingan seluruh masyarakat lokal (tidak hanya yang menduduki pemerintahan daerah)dan mengatasi permasalahan hingga 11 Peter J. Hoffman and Thomas G. Weiss, Sword and Salve: Confronting New Wars and Humanitarian Crises, p.204 dalam Diakses tanggal 14 Januari

11 ke akar-akarnya. Namun, dialog yang menjadi pintu gerbang dari pembicaraan dari pihak Pemerintah pusat, pemerintah daerah Papua, serta masyarakat asli yang terlibat dalam konflik-konflik yang mengarah ke separatismemaupun masyarakat asli yang terpinggirkan belum juga terlaksana sementara rekomendasi berbagai pihak yang berasal dari para pengamat maupun pihak luar pemerintah pusat dan Papua sudah banyak dipublikasikan. Kepastian jawaban dari pemerintah pusat telah lama dinantikan oleh masyarakat yang terus menunggu jawaban atas keinginan referendum masyarakat asli Papua. Presiden sebagai ujung tombak Negara memegang peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi konflikkonflik di Papua dan memberikan rasa damai bagi seluruh elemen masyarakat sipil asli, aparat keamanan, maupun pendatang yang menempati tanah Papua dan Papua Barat. B. Pertanyaan Penelitian Untuk melihat seberapa jauh upaya-upaya pendekatan kemanusiaandan dialog yang telah diberlakukan bagi masyarakat asli Papua yang menuntut kemerdekaan akibat kurangnya pemenuhan hak-hak yang terkandung dalam kovenan mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya serta ketidakpercayaan yang muncul dari masyarakat asli Papua akibat kurangnya pemenuhan dan penghormatan terhadap hak-hak tersebut, makapertanyaan penelitian dirumuskan menjadi: Bagaimana pendekatan kemanusiaan yang diterapkan oleh berbagai pihak untuk mengatasi konflik-konflik yang mengarah pada separatism di Papua? 11

12 C. Tinjauan Pustaka Dalam penulisan tesis ini, yang menjadi fokus penelitian adalah upaya pendekatan kemanusiaan dalam pemenuhan pembangunan berbagai bidang dan hak-hak substantif yang masih belum dirasakan masyarakat dalam ICESCR yang diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 pasca implementasi otonomi khusus 2001, serta komitmen pemerintah dan berbagai stakeholders untuk menjembatani keinginan dan kebutuhan masyarakat asli Papua yang belum tercapai hingga saat ini untuk menghindari kelompok-kelompok masyarakat yang menginginkan kemerdekaan atau memisahkan diri dari Republik Indonesia. Penelitian terdahulu yang berjudul Otonomi Khusus Sebagai Sarana Resolusi Konflik di Papua oleh Hendrikus Paulus Kaunang pada tahun 2001 akan ditinjau lebih lanjut dalam penelitian ini. Penelitian tersebut bersifat kualitatif dengan data primer berupa studi literatur.dalam penelitian terdahulu, Hendrikus Paulus Kaunang meneliti tentang implementasi otonomi khusus di Papua dan dampaknya terhadap proses resolusi konflik. Pada penelitian sebelumnya pula, otsus Papua telah beberapa kali menjadi topik penelitian yang dikaji mengenai alokasi dana, keikutsertaan orang asli Papua sebagai syarat menjadi kepala daerah dalam perspektif otsus, serta komitmen kebijakan alokasi dana pendidikan dalam APBD era Otsus. Pada tesis tersebut, Otonomi Khusus Papua diharapkan menjadi sarana untuk meresolusi konflik di Papua, namun pada kenyataannya, implementasi kebijakan tersebut belum dapat menyelesaikan berbagai konflik di Papua. Posisi penulis dalam penelitian ini adalah mengulang dan menyempurnakan implementasi kebijakan yang direkomendasikan dengan 12

13 pendekatan yang berbeda yakni dengan humanitarian approach yang berfokus pada manusia dan aspek-aspek kemanusiaan. Selain dari hasil penelitian yang berbentuk tesis mengenai otonomi khusus Papua sebagai sarana resolusi konflik, hasil penelitian yang telah dilakukan oleh tim kerja LIPI, Current Asia, dan the Centre for Humanitarian Dialogue (dulu Henry Dunant Centre) yang dibukukan dengan judul Pengelolaan Konflik di Indonesia- Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua, dan Poso. Hasil temuan dari penelitian ini merekomendasikan pendekatan kemanusiaan yang dapat dilakukan untuk meredam konflik-konflik yang memanas di Papua dengan jalan dialog. Sebelumnya, jalan keluar berupa dialog ini juga menjadi rekomendasi dari Pastor Neles Tebay, salah seorang tokoh pemuka masyarakat sipil yang mempromosikan dialog antara komunitas-komunitas di Papua dan Pemerintah di Jakarta. Tidak hanya dari pihak lembaga-lembaga pemerintah saja yang turut merekomendasikan pendekatan kemanusiaan yang diharapkan menjadi instrumen untuk membantu penyelesaian konflik. Seorang sipil yang menjadi Pastor di Papua, Neles Tebay, menjadi perintis yang mengemukakan dialog Jakarta-Papua sebagai instrument yang dapat membantu menyelesaikan konflik antara Jakarta dan Papua yang terjadi sejak lama. Pada tahun 2009, Pastor Neles Tebay meluncurkan inisiatif untuk mempromosikan dialog antara komunitas-komunitas di Papua dengan pemerintah Indonesia. Menurut beliau, kekerasan tidak akan mengakhiri konflik, otonomi khusus telah gagal dan pemerintah kehilangan dukungan dari Papua maupun komunitas internasional. Dialog yang menjadi 13

14 inisiatiaf dari pihak Papua ini diharapkan menjadi dialog damai untuk membangun kepercayaan untuk membangun solusi yang damai bagi kedua belah pihak. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan untuk meninjau lebih jauh mengenai permasalah Papua telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak baik dari lembaga-lembaga pemerintahan, non pemerintah, maupun penelitian yang dilakukan oleh individu.hal ini menunjukkan bahwa permasalahan Papua merupakan isu yang menarik untuk dikaji sekaligus menarik simpati banyak pihak untuk berkontribusi dalam membantu menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi di tanah Papua. D. Landasan Teoritis 1. Humanitarian Approach Humanitarianisme saat ini menjadi ranah baru yang banyak dipakai menjadi pertimbangan dalam menangani situasi konflik maupun bencana. Humanitarianisme pada konteks masa lalu, hanya berfokus pada pemberian bantuan kemanusiaan kepada pihak-pihak yang membutuhkan bantuan. Era new humanitarism atau humanitarianisme baru, hak asasi manusia menjadi pertimbangan penitng bagi pihak-pihak pemberi bantuan agar bantuan kemanusiaan yang diberikan pada masa konflik atau bencana dapat sampai kepada penerima, tepat guna, serta tidak menimbulkan konflik sekunder yang terjadi akibat pemberian bantuan yang kurang terorganisir. 14

15 Aksi humaniter atau kemanusiaan pada era ini sangat erat kaitannya dengan pemberian bantuan kemanusiaan baik dalam konteks bencana maupun konflik. Aksi kemanusiaan atau humanitarian action didefinisikan oleh organisasi Palang International dalam ICRC (International Committee of Red Cross) sebagai suatu aktivitas yang dilakukan dalam situasi dimana aspek kemanusiaan terancam, seperti bencana alam dan bencana yang diakibatkan oleh manusia sendiri (perang atau konflik) dan memiliki tujuan untuk menyelamatkan hidup, mengurangi penderitaan, dan menjaga harkat kehidupan manusia. 12 Humanitarianisme sendiri dapat didefinisikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang, meringankan penderitaan, dan menjaga martabat manusia. 13 Dalam memberikan bantuan kemanusiaan, prinsip-prinsip kemanusiaan (melindungi nyawa, kesehatan, penghormatan hak-hak), netralitas (tidak memihak), imparsialitas (tidak membeda-bedakan, independen (tidak terikat badan-badan politik, ekonomi, militer,dll), maupun kemanusiaan menjadi prinsip pengantar yang harus dijalankan dalam setiap aksi kemanusiaan. Dalam menangani situasi konflik, dibutuhkan pendekatan yang berbasis perdamaian yang dapat memberikan rasa aman dan damai bagi pihak-pihak yang berkonflik. Pendekatan tersebut diharapkan dapat melihat pihak-pihak yang berkonflik sebagai subjek yang dimanusiakan. Humanitarian approach atau pendekatan kemanusiaan dalam studi ini didefinisikan sebagai pendekatan yang berfokus pada manusia dalam upaya-upaya untuk menciptakan perdamaian pdf&ftyp=potongan&tahun=2013&potongan=S chapter1.pdf. Diakses tanggal 10 Maret Pat Gibbons and Brigitte Piquard, Working in Conflict: Humanitarian Dillemas and Challenges.Bilbao: University of Deusto. PDF. Hlm

16 melalui cara-cara nirkekerasan guna mengurangi derajat penderitaan manusia atas dasar goodwill (itikad baik) yang ada dalam diri manusia. Pendekatan kemanusiaan ini dapat dilakukan oleh berbagai aktor dengan latar belakang yang beragam baik dari Negara (pemerintah), lembaga non pemerintah (lokal maupun internasional), maupun individu. Pendekatan kemanusiaan atau humanitarian approach menjadi basis yang sangat penting bagi aktor-aktor yang terlibat dalam upaya penyelesaian konflik dan untuk menekan derajat penderitaan orang-orang yang terlibat dalam konflik tersebut. Ketika pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan oleh aktor-aktor baik pemerintah maupun non pemerintah berupa pendekatan keamanan maupun pendekatan kesejahteraan belum dapat memadai untuk meredam konflik-konflik yang terjadi, upaya kemanusiaan yang sekaligus nirkekerasan menjadi solusi terbaik yang harus diupayakan oleh semua pihak untuk mencapai perdamaian. 2. Dialog Aksi-aksi kemanusiaan yang diiringi dengan pendekatan kemanusiaan tidak dapat berjalan dengan baik apabila tidak disertai dengan upaya awal berupa dialog. Dialog adalah suatu proses penyelesaian masalah yang digunakan untuk menyelesaikan isu-isu sosial politik dan ekonomi yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh satu atau dua instusi pemerintah yang bersangkutan. 14 Secara umum, dialog dipahami sebagai pertukaran dan diskusi mengenai ide-ide yang disampaikan secara jujur dan terbuka sebagai pranata untuk menuju hubungan 14 AAN_Mengurai_Kemungkinan_Pelajaran_Damai_Aceh_untuk_Papua. Diakses tanggal 19 Maret

17 yang harmonis dan saling memahami. Mark Gerzon menspesifikasikan pengertian dialog ini pada pihak-pihak di dalam dialog untuk datang bersama di suatu tempat yang aman untuk saling memahami sudut pandang para pihak satu sama lain dengan maksud untuk mengembangkan pilihan-pilihan penyelesaian masalah yang sudah diidentifikasi secara bersama-sama. 15 Dialog dan perundingan damai merupakan dua hal yang memiliki beberapa persamaan, namun tetap berbeda pada hasil yang dicapai dan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Keduanya sama-sama bertujuan untuk menghasilkan kesepakatan yang disetujui oleh kedua belah pihak, harus memiliki posisi yang setara, sertadapat dengan leluasa mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Menurut William Isaacs, terdapat empat kapasitas yang harus dikembangkan sebagai landasan berperilaku dalam sebuah dialog, antara lain: 1. Menyampaikan (voicing), berkenaan dengan berbicara kebenaran sesuai dengan otoritas seseorang. 2. Mendengarkan (listening), dalam penegertian semua harus mendengarkan tanpa melakukan bantahan atas apa yang dikatakan oleh pihak lain atau menginterupsi. 3. Menghormati (respecting), berkenaan dengan kesadaran dan pengenalan dari integritas posisis orang lain yang sangat sulit untuk dipahami secara menyeluruh. 15 Lihat Bettye Pruitt and Philip Thomas, Democratic Dialogue and book for Practitioners (Canada IDEA-UNDP-OAS0, 2007.Hlm 19 dari Ibid. 17

18 4. Suspending, mengacu pada menempatkan atau memegang asusmsi kita, keputusan dan ketentuan. Kemampuan ini sangat penting untuk menyimak kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Jay Rothman merumuskan tahapan dialog dalam meretas jalan perdamaian di wilayah konflik. Tahapan-tahapan tersebut meliputi: 1. Positional dialogue. Para pihak yang terlibat konflik mengartikulasikan pandangan dan pendapat. Dalam literatur studi konflik, tahapan ini sering disebut sebagai pelacakan atau conflict tracking, yaitu fase formulasi dari pandangan dan pendapat yang berbeda dari beragam pihak, melindungi kesalingpemahaman terhadap segala perbedaan, dan akan dijadikan substansi identifikasi dari konflik. 2. Human relations dialogue. Para pihak yang berkonflik harus melepas segala bentuk prasangka, mulai menyelami bahwa orang lain adalah bagian darinya, bahkan menempatkan orang lain sebagai sahabat dan mulai membangun rasa kepercayaan dan pemahaman terhadap orang yang terlibat dalam proses, meskipun mereka masih memiliki ketidaksepakatan mengenai isu utama dalam konflik. 3. Activist dialogue. Para pihak yang berkonflik menentukan langkah ke depan. Subjek dari isu sudah diseleksi dan dianalisis untuk menjadi dasar titik temu dan pijakan nbagi para pihak yang berkonflik agar mau mengubah pertentangan mereka menjadi aksi bersama. Tujuan utama dialog tahap ini adalah tidak hanya pembicaraan dan 18

19 pemahaman, tetapi sudah mencapai tingkatan kerjasama dan bagaimana memberikan bantuan. 4. Problem solving dialogue atau problem solving workshop. Para pihak yang berkonflik mengorganisasi komunikasi mereka sedemikian rupa sehingga bisa menuju pada substansi dari kata konflik. Dalam tahap ini, dialog menyertakan semua pihak yang terlibat dalam konflik untuk mengeksplorasi perasaan mereka mengenai konflik dan pandangan mereka terhadap pihak lainnya. Tahapan ini sekaligus memerlukan usaha intensif untuk menciptakan kerangka penyelesaian konflik secara bersama-sama dengan meperhatikan kebutuhan utama sehingga menyelesaikan sebuah formulasi penyelesaian konflik. Sebuah dialog dapat dikatakan berhasil menurut Chris Mitchel jika telah menempuh tiga tahapan, yakni: 1. Perubahan persepsi mengenai konflik yang dialami 2. Peningkatan saling memahami 3. Adanya kesepakatan untuk tindakan pada masa yang akan datang. Keberhasilan suatu dialog dalam upaya menyelesaikan konflik bergantung pada perbandingan situasi sebelum dan sesudah dilakukannya dialog tersebut. Sebuah dialog dalam upaya penyelesaian konflik dapat mentransformasi konflik dari yang awalnya bersifat destruktif menjadi konstruktif jika: 1. Ada kejelasan dan definisi dari persoalan yang dihadapi 2. Tidak lagi menutupi apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan 3. Menemukan dan memprioritaskan pilihan 4. Menuju pada pelaksanaan cara-cara damai 19

20 5. Meningkatkan saling pemahaman Konflik Separatisme Separatisme merupakan salah satu permasalahan yang dialami beberapa Negara di dunia, termasuk Indonesia. Pada tahun 2002, Indonesia kehilangan Timor Timur sebagai salah satu propinsinya dan membentuk Negara baru. Aceh dan Papua juga menuntut hal yang sama akibat tuntutan-tuntutan yang tidak terpenuhi,banyaknya ketimpangan yang terjadi antara propinsi-propinsi di Jawa dan luar Jawa, serta maraknya kekerasan baik militer maupun sipil yang mewarnai kedua propinsi tersebut. Konflik separatisme di Aceh berhasil ditangani oleh berbagai aktor domestik maupun organisasi internasional sebagai mediator perdamaian, namun konflik-konflik yang mengarah ke separatism di Papua ini masih terus terjadi hingga saat ini meskipun telah banyak solusi dari pemerintah berupa pendekatan kemanan hingga pendekatan kesejahteraan yang kesemuanya belum berhasil menyelesaikan konflik. Menurut Metta Spencer, ada tujuh faktor utama yang secara teoritis merupakan sumber separatisme secara politik-nasionalis di dunia. Ketujuh sumber tersebut antara lain: 1. Kebencian emosional (emotional resentment) Secara psikologis-sosial, nasionalisme tidak jarang berakar pada sentiment emosional, termasuk kecemburuan yang sangat dalam terhadap masyarakat pesaing 2. Resistensi para korban (the justified resistance of victims) Kaum nasionalis, yang menderita dalam waktu yang lama akibat HAM mereka dilanggar, termasuk pelanggaran kaann hak-hak kebudayaan, sosial, ekonomi, dan agama, dan akhirnya memilih berpisah dari negara. 16 Tim penyusun, Forum Akademisi Untuk Papua Damai, Negosiasi: Noken Dialog untuk Papua Damai. Jakarta: Imparsial, hlm

21 3. Propaganda yang direkayasa untuk keuntungan politik (propaganda orchestrated for political gain) Seringkali apa yang disebut sebagai keinginan bersama untuk memisahkan diri itu tidak lebih dari upaya para pemimpin-pemimpin politik yang mengobarkan rasa kebencian rakyat terhadap ideologi/kekuasaan tertentu. 4. Kekuasaan kelompok etnik dominan (power of a dominant ethnic group) Dominasi kelompok etnik tertentu dalam suatu Negara multicultural, dan kecenderungannya untuk tidak membagi kekuasaan, sering menjadi sebab timbulnya aspirai separatis. 5. Motivasi ekonomi (economic motivations) Sering kaum separatis digambarkan sebagai kelompok yang dirugikan secara ekonomis dan dieksploitasi oleh mereka yang lebih kaya/lebih beruntung. Karena keadaan itu mereka menuntut untuk berpisah dan mengatur diri sendiri. 6. Perlindungan kebudayaan yang terancam punah (preservation of a threatened culture) Tidak jarang gerakan separatis juga dilatarbelakangi pemahaman bahwa kemerdekaan harus dicapai sebagai satu-satunya cara untuk melindungi kebudayaan, agama, bahasa, dan tradisi lain yang terancam punah akibat dominasi kebudayaan nasional. 7. Komitmen terhadap modernisasi (commitment to modernization) Sejarah menunjukkan bahwa pecahnya suatu Negara juga dapat diakibatkan oleh adanya keinginan revolusioner kelompok tertentu untuk mendirikan suatu rezim universal yang memayungi semua komunitas etnis dan agama di bawah sistem hukum yang sama dan seragam. 17 Menurut Sujatmiko, ada dua variabel dominan yang sangat mempengaruhi keberhasilan gerakan separatisme, yang pertama kekuasaan baik di dalam maupun luar negeri, dan yang kedua dukungan internasional. 18 Dari kedua variabel tersebut, ditentukan empat kuadran yang mencirikan gerakan separatisme, yakni: 1. Gerakan separatisme yang tidak mendapat dukungan dari pemerintah 2. Kombinasi antara pemerintah pusat yang memberikan pilihan bagi suatu daerah untuk melepaskan diri tapi pilihan ini ditolak oleh lingkungan internasional 17 Metta Spencer, 1998 dalam Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI. Jakarta: Pustaka SInar Harapan. 18 Sujatmiko 2001 dalam hlm

22 3. Pemerintah menolak gerakan separatisme tetapi lingkungan internasional tetap mendukung gerakan separatisme di daerah tersebut. 4. Kombinasi antara pemerintah yang memberikan izin munculnya gerakan separatisme atau karena pemerintah tidak mampu mencegahnya dan juga karena gerakan separatism itu didukung oleh lingkungan internasional atau kalangan internasional tetap netral. Gerakan separatisme di Papua ditandai dengan kemunculan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada tahun 1963 sesaat setelah Papua bergabung dengan Indonesia. Selain itu, di Papua sendiri terdapat beberapa kelompok perlawanan yang mengangkat senjata untuk memperjuangkan Papua merdeka, antara lain Goliath Tabuni di Pegunungan Tengah, Tadius Yogi di Paniay, Lambert Pekikir di Keerom. 19 E. Hipotesis Konsep kemerdekaan yang berasal dari masyarakat asli Papua telah mengalami pergeseran dibandingkan dengan yang terjadi dahulu.saat ini, gagasan mengenai kemerdekaan yang dimaksudkan masyarakat asli Papua berupa penghormatan terhadap martabat, hak-hak dasar, dan kedaulatan masyarakat Papua untuk dapat mengatur pemerintahannya (self-government) dengan damai. UU Otonomi Khusus diberlakukan dengan maksud awal untuk membina perdamaian dan pemenuhan hak ICESCR bagi masyarakat, tetapi situasi yang terjadi di lapangan memperlihatkan bahwa UU Otsus yang 19 Poengky Indarti dalam 100 Orang Indonesia Angkat Pena Demi Dialog Papua Yogyakarta: Interfidei. Hlm

23 diimplementasikan hanya mencapai tingkat elit-elit politik saja tanpa menyentuh seluruh masyarakat lokal terutama di pegunungan yang hidunya lebih terisolasi di tingkat akar rumput (grass root). Untuk itu, pendekatan-pendekatan kemanusiaan yang dilakukan dalam bentuk dialog antar komunitas, pemerintah daerah, dan pemerintah Pusat akan lebih mengutamakan keamanan dan rasa damai bagi masyarakat lokal sendiri sangat diperlukan untuk meredam dan mentransformasi konflik-konflik yang mengarah ke separatisme di Papua menuju perdamaian yang berkelanjutan. Pemerintah pusat perlu mengkaji dan menerapkan cara pendekatan baru ini untuk melihat konflik dari kedua sisi dan mengatasi akar-akar konfliknya. Realisasi dari rekomendasi-rekomendasi yang telah diberikan dari para pengamat dan lembaga-lembaga pemerintah serta nonpemerintah harus dilakukan oleh presiden sebagai ujung tombak Negara untuk menciptakan perdamaian bagi setiap suku dan individu di Papua serta seluruh pendatang yang menempati tanah Papua. F. Metode Penelitian (Teknik Pengumpulan Data, Tipe) Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melalui studi pustaka dan penelitian lapangan.data yang dipakai berupa data primer. Data primer didapat melalui hasil observasi di tempat magang yang berlokasi di Institut Titian Perdamaian di Jakarta. Tipe penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang menekankan pada analisa data non angka. Artikel-artikel pemberitaan di media dan in depth interview dengan Expert di bidang Papua akan menjadi tambahan data dalam mendukung penelitian ini. 23

24 G. Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi 4 bagian yang terdiri dari: a. Bab I: pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tinjauan pustaka, kerangka analisis, hipotesis, serta sistematika penulisan b. Bab II: bagian ini akan membahas latar belakang berbagai konflik dan akarakarnya serta upaya separatisme dan stigma mengenai kemerdekaan yang dipercayai oleh masyarakat lokal semenjak bergabung dengan RI serta pemberlakuan otonomi khusus sebagai jawaban dari keinginan masyarakat asli Papua c. Bab III: bagian ini akan berfokus pada aktor-aktor atau berbagai pihak yang memfasilitasi perdamaian dan mengaplikasikan pendekatan kemanusiaan, sikap pemerintah terhadap dialog, dan pihak-pihak lain yang berkontribusi terhadap pendekatan kemanusiaan yang diimplementasikan terhadap konflik Papua. Perbandingan upaya membangun perdamaian di Aceh dan Papua melalui dialog. d. Bab IV: bab penutup yang berisi kesimpulan dari pendekatan kemanusiaan yang telah dilakukan dan perlu dilakukan di Papua terhadap kondisi masyarakat secara keseluruhan untuk membangun masyarakat dan meredam kompleksitas konflik separatisme serta akar-akar konflik dari perspektif kemanusiaan dengan meningkatkan fungsi aparat pemerintahan daerah yang 24

25 lebih menggunakan pendekatan kemanusiaan untuk menjalankan pemerintahan daerah dengan adil dan bersih. 25

BAB IV KESIMPULAN. masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang diperlukan

BAB IV KESIMPULAN. masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang diperlukan BAB IV KESIMPULAN Pada dasarnya, persoalan konflik di Papua yang paling substansial adalah masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan yang diperlukan untuk menangani konflik dan mentransformasi

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA. 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik)

BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA. 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik) BAB IV PEMODELAN DAN REKOMENDASI PENYELESAIAN KONFLIK PAPUA 4.1 Pemodelan Konflik Papua (Matrik Payoff Konflik) Dilihat dari gambaran umum dan penyebab konflik, maka dapat diciptakan sebuah model 2x2 matriks

Lebih terperinci

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at Latar Belakang dan Tujuan Otonomi Khusus Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era reformasi. Sebelumnya, hanya

Lebih terperinci

Refleksi Akhir Tahun Papua 2010: Meretas Jalan Damai Papua

Refleksi Akhir Tahun Papua 2010: Meretas Jalan Damai Papua Refleksi Akhir Tahun Papua 2010: Meretas Jalan Damai Papua Oleh Dr. Muridan S. Widjojo (Koordinator Tim Kajian Papua LIPI) Ballroom B Hotel Aryaduta Jakarta, Senin,13 Desember 2010 Refleksi: 1. catatan

Lebih terperinci

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME A. KONDISI UMUM Kasus separatisme di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mengancam integritas Negara Kesatuan

Lebih terperinci

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Dalam UUD 1945, pengaturan tentang pemerintah daerah diatur dalam Bab VI pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pada tahun 2003, telah diterbitkan sebuah komisi independen untuk Indonesia yang dinamakan Indonesian Commission dan merupakan bagian dari Pusat Tindak Pencegahan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER 145 BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan kesimpulan dari penulisan skripsi yang berjudul MILITER DAN POLITIK DI INDONESIA (Studi Tentang Kebijakan Dwifungsi ABRI Terhadap Peran-peran Militer di Bidang Sosial-Politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam.

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejarah peradaban Aceh begitu panjang, penuh liku dan timbul tenggelam. Sejarah pernah mencatat bagaimana kegemilangan kerajaan Aceh pada masa pemerintahan

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Gerakan separatisme masih menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam menghadapi ancaman gerakan separatisme ini, pemerintahan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan

BAB I PENDAHULUAN. Keempat daerah khusus tersebut terdapat masing-masing. kekhususan/keistimewaannya berdasarkan payung hukum sebagai landasan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia terdapat empat provinsi yang diberikan dan diakui statusnya sebagai daerah otonomi khusus atau keistimewaan yang berbeda dengan Provinsi lainnya,

Lebih terperinci

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI

CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI CATATAN PENUTUP REFLEKSI AKHIR TAHUN PAPUA 2010 : MERETAS JALAN DAMAI PAPUA OLEH: LAKSAMANA MADYA TNI (PURN) FREDDY NUMBERI KERJASAMA TIM KAJIAN PAPUA P2P LIPI DAN TIM PEMANTAU OTSUS KOMISI I DPR-RI SENIN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Tuhana Andrianto, Mengapa Papua Bergolak, (Yogyakarta: Gama Global Media, 2001), Hlm

BAB I PENDAHULUAN. 1 Tuhana Andrianto, Mengapa Papua Bergolak, (Yogyakarta: Gama Global Media, 2001), Hlm BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia mempunyai beberapa konflik yang mewujud ke dalam bentuk separatisme. Salah satunya adalah gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di tanah Papua. Tulisan

Lebih terperinci

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME A. KONDISI UMUM Gerakan pemisahan diri (separatisme) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di wilayah Aceh, Papua, dan Maluku merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia.kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa berkepentingan

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia.kemiskinan telah menjadi isu global dimana setiap negara merasa berkepentingan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah sosial yang bersifat global dan menjadi perhatian banyak orang karena kemiskinan adalah hal yang dapat dijumpai dimana pun, bahkan hampir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang hampir sama tuanya dengan peradaban kehidupan manusia. Perang merupakan suatu keadaan dimana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. merupakan bentuk kekecewaan terhadap tidak terpenuhinya janji-janji Soekarno

BAB V KESIMPULAN. merupakan bentuk kekecewaan terhadap tidak terpenuhinya janji-janji Soekarno BAB V KESIMPULAN Konflik Aceh dengan Pemerintah Indonesia yang diawali pada tahun 1953 merupakan bentuk kekecewaan terhadap tidak terpenuhinya janji-janji Soekarno sebagai Presiden Pertama Indonesia. Secara

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH I. UMUM Salah satu kewenangan Pemerintah Aceh yang diamanatkan dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah

Lebih terperinci

PENYELESAIAN MASALAH PAPUA: PERLUNYA PENDEKATAN KOMPREHENSIF

PENYELESAIAN MASALAH PAPUA: PERLUNYA PENDEKATAN KOMPREHENSIF Published: March 2016 ISSN: 2502 8634 Volume 1, Number 2 LSC INSIGHTS The Contemporary Policy Issues in Indonesia PENYELESAIAN MASALAH PAPUA: PERLUNYA PENDEKATAN KOMPREHENSIF Bustanul Arifin Department

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2 PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN 2010 2014 1 Ignatius Mulyono 2 1. Misi mewujudkan Indonesia Aman dan Damai didasarkan pada permasalahan bahwa Indonesia masih rawan dengan konflik.

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DIALOG JAKARTA JAYAPURA 1

FAKTOR-FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DIALOG JAKARTA JAYAPURA 1 FAKTOR-FAKTOR KUNCI KEBERHASILAN DIALOG JAKARTA JAYAPURA 1 Oleh: Sostenes Sumihe 2 1. Mencermati kondisi sosial kemasyarakatan Papau akhir-akhir ini, maka Papua lebih merupakan sebuah tanah konflik daripada

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1 Oleh Herry Darwanto 2 I. PERMASALAHAN Sebagai negara yang masyarakatnya heterogen, potensi konflik di Indonesia cenderung akan tetap

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Sebagai bagian dari agenda untuk mewujudkan kondisi aman dan damai, upaya secara komprehensif mengatasi dan menyelesaikan permasalahan separatisme yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

Society ISSN :

Society ISSN : Pembangunan Demokrasi Pasca Konflik di Aceh Oleh Alfon Kimbal 1 Abstract Tulisan ini akan mengulas tentang pembangunan di Aceh pasca Konflik antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sangat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

MAKNA INTEGRASI DENGAN INDONESIA MENURUT ORANG PAPUA

MAKNA INTEGRASI DENGAN INDONESIA MENURUT ORANG PAPUA MAKNA INTEGRASI DENGAN INDONESIA MENURUT ORANG PAPUA Sebuah Perspektif Antropologi Kebudayaan OLEH: NELES TEBAY (Koordinator Jaringan Damai Papua - JDP) Seminar Akhir Tahun INTEGRASI SOSIAL EKONOMI, SOSIAL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Thailand dan Kamboja merupakan dua negara yang memiliki letak geografis berdekatan dan terletak dalam satu kawasan yakni di kawasan Asia Tenggara. Kedua negara ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintahan sentralistis yang dijalankan sebelum masa reformasi telah melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang berlimpah di daerah banyak

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG LAMBANG PALANG MERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Surat Terbuka Untuk Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla

Surat Terbuka Untuk Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla Surat Terbuka Untuk Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Bapak Presiden dan Wakil Presiden yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian, negara ini tidak luput dari permasalahan konflik dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah memproklamasikan Kosovo sebagai Negara merdeka, lepas dari Serbia. Sebelumnya Kosovo adalah

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.324, 2013 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Hukum. Humaniter. Hak Asasi Manusia. Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Penerapan. PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

POKOK PIKIRAN TANWIR MUHAMMADIYAH 2012

POKOK PIKIRAN TANWIR MUHAMMADIYAH 2012 POKOK PIKIRAN TANWIR MUHAMMADIYAH 2012 UNTUK PENCERAHAN DAN SOLUSI PERMASALAHAN BANGSA Muhammadiyah merupakan bagian tak terpisahkan dari komponen bangsa. Oleh karena itu, Muhammadiyah sangat peduli atas

Lebih terperinci

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI FOCUS GROUP DISCUSSION DAN WORKSHOP PEMBUATAN MODUL MATERI HAM UNTUK SPN DAN PUSDIK POLRI Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 17 18 Maret 2015 MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang dikaji. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan

Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan HAK SIPIL DAN POLITIK (Civil and Political Rights) Oleh: Suparman Marzuki Disampaikan pada PERJAMUAN ILMIAH Tentang Membangun Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan

Lebih terperinci

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini.

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini. BAB V KESIMPULAN Melalui perjalanan panjang bertahun-tahun, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty/ATT), perjanjian internasional pertama yang menetapkan

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan kerangka utama yang mendasari pembentukan bangsa dan negara Republik Indonesia. Upaya kelompok atau golongan

Lebih terperinci

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL KONFLIK BERSENJATA NON-INTERNASIONAL Malahayati Kapita Selekta Hukum Internasional October 10, 2015 Kata Pengantar Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 47 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA DAN AUSTRALIA TENTANG KERANGKA KERJA SAMA KEAMANAN (AGREEMENT BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON THE FRAMEWORK FOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah:

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam usahanya menegakkan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam usahanya menegakkan BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa International Committee of the Red Cross (ICRC) dalam usahanya menegakkan Hukum Humaniter

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM Sebelum PD I studi Hubungan Internasional lebih banyak berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional Setelah PD I mulai ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diyakini oleh banyak pihak telah menimbulkan banyak masalah, khususnya

BAB I PENDAHULUAN. diyakini oleh banyak pihak telah menimbulkan banyak masalah, khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kewenangan sentralisasi yang awalnya dianut oleh pemerintah Indonesia diyakini oleh banyak pihak telah menimbulkan banyak masalah, khususnya masalah di daerah, contohnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks

BAB I PENDAHULUAN. Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG Membangun Nasionalisme kebangsaan tidak bisa dilepas pisaahkan dari konteks wawasan kebangsaan yang merupakan pandangan seorang warga negera tentang negaranya, dan pembentukan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA Disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 9 Desember 1998 M U K A D I M A H MAJELIS Umum, Menegaskan kembalimakna penting dari ketaatan terhadap

Lebih terperinci

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang

2012, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.116, 2012 SOSIAL. Stabilitas Nasional. Konflik. Penanganan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5315) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokaatuh Salam sejahtera bagi kita semua;

Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokaatuh Salam sejahtera bagi kita semua; OPENING REMARKS by: H.E. Dr. Marzuki Alie Speaker of the Indonesian House of Representatives Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokaatuh Salam sejahtera bagi kita semua; Yang kami hormati, Para Delegasi

Lebih terperinci

Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang

Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang Bab I U M U M 1.1 Latar Belakang Momentum reformasi pada pertengahan tahun 1997 telah mendorong terjadinya perubahan sosial, politik dan ekonomi yang cukup mendasar di Indonesia pada tahun 1998. Hal ini

Lebih terperinci

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA KANTOR UTUSAN KHUSUS PRESIDEN UNTUK DIALOG DAN KERJA SAMA ANTAR AGAMA DAN PERADABAN KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA HASIL MUSYAWARAH BESAR PEMUKA AGAMA UNTUK KERUKUNAN BANGSA Jakarta 8-10 Februari 2018

Lebih terperinci

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME

BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME BAB 5 PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN SEPARATISME Gerakan pemisahan diri (separatisme) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di wilayah Aceh, Papua, dan Maluku merupakan masalah bersama bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan pertanyaan penelitian pada Bab I penelitian ini dan dihubungkan dengan kerangka pemikiran yang ada, maka kesimpulan yang diambil dari penelitian ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rasisme dan diskriminasi rasial merupakan salah satu masalah besar yang sedang dihadapi oleh masyarakat dunia pada saat ini dalam skala yang begitu besar. Isu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan berapapun bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang, pasti habis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paradigma good governance muncul sekitar tahun 1990 atau akhir 1980-an. Paradigma tersebut muncul karena adanya anggapan dari Bank Dunia bahwa apapun dan berapapun bantuan

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PRUSEDUR PENCEGAHAN KONFLIK, PENGHENTIAN KONFLIK DAN PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

MENGATASI KONFLIK, NEGOSIASI, PENDEKATAN KEAMANAN BERPERSPEKTIF HAM

MENGATASI KONFLIK, NEGOSIASI, PENDEKATAN KEAMANAN BERPERSPEKTIF HAM SEMINAR DAN WORKSHOP Proses Penanganan Kasus Perkara dengan Perspektif dan Prinsip Nilai HAM untuk Tenaga Pelatih Akademi Kepolisian Semarang Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 7-9 Desember 2016 MAKALAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengakui dan menghormati satu-kesatuan pemerintahan daerah

Lebih terperinci

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016 Bapak Presiden SMU PBB, Saya ingin menyampaikan ucapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Niar Riska Agustriani, 2014 Peranan komisi nasional hak asasi manusia Tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Niar Riska Agustriani, 2014 Peranan komisi nasional hak asasi manusia Tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hak Asasi Manusia (HAM) menurut pasal 1 ayat 1 UU. No. 39 tahun 1999 yaitu seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dengan keberadaan manusia sebagai

Lebih terperinci

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL

LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL LAPORAN ANALISIS PERDAMAIAN-PEMBANGUNAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR: PROMOSI PERDAMAIAN BERKESINAMBUNGAN DAN PEMBANGUNAN MANUSIA SECARA ADIL Studi ini bertujuan meneliti penyebab dan dampak konflik antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam dan memiliki banyak suku yang berada diseluruh kepulauan Indonesia, mulai dari Aceh sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak masa orde lama, orde baru hingga era reformasi sekarang ini, pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna meningkatkan taraf hidup

Lebih terperinci

PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi

PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi PEMDA DAN RUU KAMNAS Oleh: Muradi I. Pendahuluan Kontroversi dan pro kontra berkaitan dengan pembahasan Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) memasuki babak baru. Tarik menarik dan penolakan

Lebih terperinci

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia

Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Dipresentasikan pada The Indonesian Forum seri 3 The Indonesian Institute. Kamis, 3 Maret 2011 Bercumbu Dengan Konflik RUU Penanganan Konflik Sosial Sebagai Solusi Penanggulangan Konflik di Indonesia Ir.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan undang-undang No.22 tahun 1999, oleh undang-undang No 32 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Konsep yang dianut adalah konsep negara

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL SAMBUTAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS Pada Acara Dialog Ilmiah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sangatlah unik dikaji, terutama pada Pada masa ini hubungan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. sangatlah unik dikaji, terutama pada Pada masa ini hubungan 188 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1. Kesimpulan Dinamika hubungan pemerintahan pusat dan pemerintahan Aceh sangatlah unik dikaji, terutama pada 1999-2006. Pada masa ini hubungan pemerintahan pusat

Lebih terperinci

KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY 1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO. Oleh : Any Rizky Setya P.

KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY 1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO. Oleh : Any Rizky Setya P. KOMPARASI PENDEKATAN ETNIS DAN AGAMA PERPEKTIF CLEM McCARTNEY 1 DENGAN PERSPEKTIF FRANZ MAGNIS SUSENO Oleh : Any Rizky Setya P. Latar Belakang Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia yang

Lebih terperinci

2012, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Ta

2012, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Ta BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.985, 2012 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA. Mediasi Penyelenggaraan. Pedoman. Draft terbarmperaturan KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA NOMOR 59 A/KOMNAS HAM/X/2008

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PAPUA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERADILAN ADAT DI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI PAPUA, Menimbang : a. bahwa pemberian Otonomi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sejak awal integrasi ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1976, Timor Timur selalu berhadapan dengan konflik, baik vertikal maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. suku, bahasa, dan adat istiadat yang beragam. Mengingat akan keragaman tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara plural dengan segenap masyarakat heterogen yang dilatar belakangi oleh banyaknya pulau, agama, suku, bahasa,

Lebih terperinci

RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA RUU ACEH PRESENT UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA PEMERINTAHAN ACEH PASCA KESEPAKATAN HELSINKI Gerakan Aceh Merdeka (GAM) : Dibentuk pada tahun 1975, merupakan gerakan yang didirikan sebagai bentuk perlawanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya,

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya, agama, serta aliran kepercayaan menempatkan Indonesia sebagai negara besar di dunia dengan

Lebih terperinci

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1

Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 2 Kerangka Kerja Pengembangan Masyarakat (Community Development) 1 Program Pengembangan Masyarakat (Community Development), seharusnya disesuaikan dengan persoalan yang terjadi secara spesifik pada suatu

Lebih terperinci

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Oleh : Butje Tampi, SH., MH. ABSTRAK Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KERJA SAMA PEMERINTAH ACEH DENGAN LEMBAGA ATAU BADAN DI LUAR NEGERI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KERJA SAMA PEMERINTAH ACEH DENGAN LEMBAGA ATAU BADAN DI LUAR NEGERI PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG KERJA SAMA PEMERINTAH ACEH DENGAN LEMBAGA ATAU BADAN DI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA Pada bab ini penulis akan bercerita tentang bagaimana sejarah konflik antara Palestina dan Israel dan dampak yang terjadi pada warga Palestina akibat dari

Lebih terperinci

INTISARI. Kata kunci : Organisasi, Kelembagaan, Kapasitas Kelembagaan, Perlindungan Perempuan dan Anak.

INTISARI. Kata kunci : Organisasi, Kelembagaan, Kapasitas Kelembagaan, Perlindungan Perempuan dan Anak. INTISARI Sebagai respon terhadap tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mendirikan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Rekso

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)

Lebih terperinci

ALASAN-ALASAN DIBALIK DIBATALKANNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA

ALASAN-ALASAN DIBALIK DIBATALKANNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA ALASAN-ALASAN DIBALIK DIBATALKANNYA UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI INDONESIA Kasus Posisi Mochammad Tanzil Multazam Universitas Muhammadiyah Sidoarjo Wacana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan daerah lain di pulau Jawa yang merupakan pusat dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perjalanan sistem kepemerintahannya, Indonesia sempat mengalami masa-masa dimana sistem pemerintahan yang sentralistik pernah diterapkan. Di bawah rezim

Lebih terperinci

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS

EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH YANG MEMILIKI OTONOMI KHUSUS Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, tercatat beberapa daerah yang memiliki otonomi khusus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai

Lebih terperinci