BAB II PENDEKATAN TEORITIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Transkripsi

1 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Pembangunan dalam Rahardjo (1999) mempunyai makna perubahan yang disengaja atau direncanakan, dimana bertujuan untuk mengubah keadaan yang tidak dikehendaki kearah yang dikehendaki. Pembangunan berkelanjutan menurut Agus Pakpahan (2006) adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan daya dukung sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan generasi berikutnya. Dikatakan demikian, agar istilah pembangunan tidak bias dengan pengertian pertumbuhan. Pembangunan berkelanjutan melibatkan berbagai sifat sumberdaya, seperti eksternalitas, indivisibility, public goods, property right, dan masalah-masalah kelangkaan spasial. Dengan demikian, aspek keadilan (keseimbangan) dalam segala kegiatan ekonomi pertanian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Gips (nd) yang dikutip oleh Jarnanto (2010), suatu sistem pertanian itu bisa disebut berkelanjutan jika memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Mampertahankan fungsi ekologis, artinya tidak merusak ekologi pertanian itu sendiri 2. Berlanjut secara ekonomis artinya mampu memberikan nilai yang layak bagi pelaksana pertanian itu dan tidak ada pihak yang dieksploitasi. Masing-masing pihak mendapatkan hak sesuai dengan partisipasinya 3. Adil berarti setiap pelaku pelaksanan pertanian mendapatkan hak-haknya tanpa dibatasi dan dibelunggu dan tidak melanggar hal yang lain 4. Manusiawi artinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dimana harkat dan martabat manusia dijunjung tinggi termasuk budaya yang telah ada 5. Luwes yang berarti mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) sendiri dipandang sebagai suatu bentuk pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources), yang mana dalam proses produksi pertanian menekankan dampak negatif terhadap

2 6 lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi: penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan. Hal tersebut telah memunculkan suatu pemikiran bahwa pembangunan pertanian lebih banyak bertumpu pada kemampuan sumber daya alam lokal, selanjutnya secara terus menerus mengembangkannya untuk menghadapi kebutuhan pangan yang terus meningkat dalam ketersediaan sumberdaya pertanian yang terbatas (Jarnanto, 2010). Kegiatan pertanian berada diwilayah perdesaan. Desa selalu diidentikkan dengan pertanian. Mosher (1974), dan Bertrand (1958), yang dikutip oleh Rahardjo (1999) juga mengungkap bahawa pembangunan pertanian juga merupakan pembangunan perdesaaan, Dengan demikian, perlu memperhatikan aspek pembangunan ekonomi desa melalui basis pertanian. Desa harus dipandang sebagai wadah dan basis potensial kegiatan ekonomi melalui investasi prasarana dan sarana penunjang pertanian serta mengarahkannya lebih terpadu. Dengan demikian, sektor pertanian harus menjadi fondasi utama pembangunan ekonomi nasional dan masyarakat petani berperan sebagai subjek bukan objek pembangunan pertanian. Indriana (2010) menyebutkan bahwa pembangunan pertanian berkelanjutan membutuhkan dukungan dari kelembagaan pertanian yang sesuai diantara rumah tangga individu, perusahaan swasta, dan organisasi publik seperti organisasi pemerintahan. Dukungan dari kelembagaan dititikberatkan pada mekanisme dan pengaturan (rule of the game) baik dari dimensi yang bersifat regulatif (peraturan perundang-undangan) dan yang bersifat normatif (kesepakatan-kesepakatan), maupun pengetahuan budaya lokal masyarakat. Dengan demikian, upaya perwujudan pembangunan pertanian yang berkelanjutan memerlukan adanya keberlanjutan kelembagaan. Kondisi keberlanjutan kelembagaan tersebut dapat dicapai dengan adanya pengorganisasian sosial dan teknik sosial yang kemudian hal tersebut tidak terlepas dari peran faktor internal dan eksternal dari suatu sistem sosial pertanian tersebut. Menurut Anwar (1992) upaya untuk mewujudkan pembangunan pertanian berkelajutan di Indonesia selain dapat dimulai dari inisiatif pemerintah dan tekanan

3 7 kelembagaan yang dilakukan oleh masyarakat luas itu sendiri, juga perlu adanya pengembangan sumberdaya manusia seutuhnya. Hal tersebut, dapat mewujudkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat, sehingga dapat terwujudnya suatu kemandirian bangsa secara keseluruhan. Prioritas pembangunan pertanian itu sendiri diantaranya adalah: 1) meningkatkan produktivitas pertanian dengan melalui pengembangan industri hulu dan hilir. 2) membangun agroindustri dengan mempererat keterkaitan sektor pertanian dengan industri jasa, serta mempercepat pembangunan perdesaan, 3) memperkokoh ketahanan pangan dalam negeri yang dapat mengentaskan kemiskinan (JAJAKI, 2005). Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan menghadapi banyak tantangan. Tantangan yang dimaksud adalah menemukan cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan dengan menggunakan sumberdaya alam secara lebih bijaksana. Dengan demikian, pembangunan pertanian dilakukan melalui pengelolaan sumberdaya desa dalam satu pola yang menjamin kelestarian ekologi, dan memperbaiki kualitas sumberdaya alam sehingga dapat terus diberdayakan, serta menerapkan model pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya yang lebih efisien (JAJAKI, 2005). Hal ini menjadi dasar pemahaman bahwa program pembangunan pertanian yang berkelanjutan adalah suatu sistem pertanian yang memaksimalkan potensi lokal dan pengetahuan lokal yang ada dalam wilayah setempat tanpa mengkesampingkan teknologi yang ramah lingkungan. Pembangunan pertanian dapat berlanjut jika dapat dipraktekkan 3 oleh masyarakat dan mampu mensejahterakan masyarakat, tidak hanya memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat tetapi juga kebutuhan sosial, lingkungan dan integritas masyarakat petani sendiri. Dengan demikian, untuk mewujudkan pembangunan pertanian yang 3 Pokok dalam pembangunan pertanian adalah cara bertani yang dapat dipraktekkan dengan efektif oleh petani walaupun petani tersebut mempunyai kemampuan yang sedang-sedang saja, cara penggunaan tanah yang dan usaha produktivitas yang sedang secara lebih produktif,sejalan dengan cara-cara yang praktis yang dapat meningkatkan kesuburan tanah, dan juga menyediakan sumbersumber pendidikan, perlengkapan usaha tani, kredit dan saluran pemasaran, sehingga petani tidak merasakan kesukaran dalam melakukan program pembangunan pertanian tersebut. (AT. Mosher,1977).

4 8 berkelanjutan, diperlukan suatu sistem yang mampu memandirikan petani terutama dalam aspek kelembagaan pertanian. Selain itu, pembangunan pertanian ini dapat menjaga kelestarian sumberdaya alam, kesinambungan kegiatan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani Pertanian Organik Tinjauan Konsep Pertanian Organik Pertanian organik dipandang sebagai jawaban dari kegagalan dari sistem pertanian konvensional, dimana sistem pertanian konvensional hanya mengutamakan kegiatan peningkatan produksi pertanian dengan menggunakan teknologi yang tidak ramah lingkungan sehingga dalam pelaksanaannya mengabaikan prinsip ekologi dan kearifan lokal. Berbeda halnya dengan Pertanian organik yang dipandang sebagai suatu sistem pertanaman yang berasaskan daur ulang unsur hara secara hayati (Sutanto, 2002). Sistem pertanian organik merupakan suatu sistem yang berusaha mengembalikan semua jenis bahan organik kedalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun limbah ternak yang bertujuan memberi makan pada tanaman secara tradisional dan pengetahuan lokal. Filosofi pertanian organik adalah memberi makan pada tanah, yang kemudian secara tidak langsung tanah menyediakan unsur hara yang cukup dan dibutuhkan oleh tanaman, sehingga sistem pertanian organik merupakan suatu strategi membangun kesuburan tanah Sutanto,2002). Begitupun dengan yang diungkap oleh Rienjtes (1992) yang dikutip oleh Indriana (2010) bahwa sistem pertanian organik meliputi cara produksi, dilandasi oleh aturan nilai, hubungan-hubungan sosial yang terbentuk sebagai upaya pengelolaan sumber daya lahan pertanian yang menjamin keberlanjutan lingkungan. Salikin (2003) yamg dikutip oleh Indriana (2010) mengemukakan tujuh keunggulan dan keutamaan sistem pertanian organik, sebagai berikut: Orisinal, rasional, global, aman, netral, internal, kontinuitas Prinsip-prinsip Pertanian Organik Dasar pertanian organik yang menjadi prinsip dalam penerapan sistem pertanian organik menurut IFOAM (2008) adalah: (1) The principle of health, (2) The principle of ecology, (3) The principle of fairness, dan (4) The principle of

5 9 care. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pelaksanaan sistem pertanian organik menghindari penggunaan pupuk, pestisida, dan obat-obatan serta zat-zat berbahaya yang berdampak negatif bagi kesehatan. Dengan demikian, manfaat yang dapat diambil dari sistem pertanian organik menurut Landong (2004) yang dikutip oleh Indriana (2010) sebagai berikut: Pertama, adanya manfaat secara ekologis, dimana pertanian organik menjamin kegemburan dan kesuburan tanah dan terhindar dari polusi, sehingga sangat ramah lingkungan dan dapat menjamin keseimbangan ekosistem. Kedua, memiliki manfaat secara ekonomis, dimana unsur hara yang dibutuhkan tanaman tidak memerlukan biaya yang mahal. Dalam sistem pertanian organik, petani dapat membuat benih sendiri dan mengolah lahan pertanian secara alami sesuai dengan pengetahuan lokal mereka. Ketiga, manfaat sosial budaya, dalam hal ini, pertanian organik menjadi faktor pengintegrasi antara pengetahuan lokal petani dengan karakteristik tanahnya juga dalam menumbuhkan rasa saling percaya dan saling membutuhkan diantara para petani dalam menerapkan sistem pertanian organik tersebut. Keempat, memiliki manfaat politis. Hal ini karena pertanian organik dikembangkan berdasarkan inisiatif dan kreativitas rakyat sendiri. Dengan kata lain, pertanian organik merupakan sistem pertanian yang dapat menciptakan masyarakat yang mandiri, otonom, dan maju. Kelima, memiliki manfaat yang berspektif gender, dimana dalam pelaksanaan pertanian organik menggunakan peran perempuan sebagai pembuat benih utama. Sistem pertanian organik merupakan sebuah teknis usahatani alternatif, melalui pemanfaatan sumberdaya lokal secara intensif dengan sedikit atau tidak menggunakan input luar (low external input and sustainable agricultural) atau yang dikenal dengan LEISA. Sistem pertanian organik itu sendiri adalah sistem pertanian yang mendukung kegiatan peningkatan fungsi dan pelestarian ekologis dan dapat memperkaya keanekaragaman hayati, selain itu merupakan suatu sistem pertanian modern yang ramah lingkungan, dimana memadukan konsep pertanian lokal, yang menggunakan teknologi dan inovasi pertanian. Secara umum terdapat perbedaan yang mencolok antara sistem pertanian organik dan sistem pertanian konvensional, baik secara ekonomi, sosial maupun kesehatan.

6 10 Tabel 1. Perbandingan secara ekonomi, sosial, dan kesehatan tentang konsep pertanian organik dan konvensional Faktor Pembeda Perlakuan Pra produksi sampai Pasca produksi Bibit Pengairan Bentuk fisik tanaman Sistem Pertanian Organik Dilakukan secara tradisional dan alami atau semi alami tanpa menggunakan alat-alat mekanisasi yang dapat merusak kesuburan tanah Berasal dari varietas bibit-bibit lokal Sederhana, dan berkelanjutan Kokoh, tidak mengandung banyak air Sistem Pertanian konvensional Menggunakan alat-alat semi sampai full mekanis dalam setiap tahap pekerjaan Berasal dari bibit unggul, hibrida, dan transgenik (transformasi gen) Mekanis, sehingga mempercepat pengurasan air yang tersedia dalam tanah Lemah, mengandung banyak air, sehingga mudah diserang Hama dan Penyakit Rasa Enak (aromatik) Tawar, kurang enak Umur tanaman Panjang Pendek Pendekatan pola produksi Menggunakan pendekatan alternatif dan keseimbangan Menggunakan pestisida kimia sintetis (beracun) Pertumbuhan Pilihan konsumen Jumlah ekologis Agak lambat, karena tumbuh Cepat, tumbuh secara alami Disukai konsumen Kurang disukai, karena kurang enak Seimbang, (sedikit dalam masa produksi yang panjang) Tidak menentu (banyak dalam masa produksi yang singkat) Sumber input Lokalism, dan orisinal Input dari luar Resistensi hama penyakit Tahan hama dan penyakit Mudah diserang hama dan penyakit Pola tanam Ditanam secara tumpangsari, pergiliran tanaman, dsb (mix cropping) Monokultur (satu jenis tanaman pada satu hampar lahan) Pemupukan Hasil/kualitas produksi Menggunakan bahan-bahan kimia organis (asli dan mudah terurai secara alami) Beraneka ragam, berkualitas tinggi, bebas residu kimia Kimia non-organis (sintetis, sehingga sulit terurai dan menimbulkan timbunan senyawa baru yang merusak keseimbangan biokhemis tanah) Sejenis, kurang berkualitas, mengandung residu kimia

7 11 beracun, mengandung gizi yang seimbang, tahan disimpan lama, dsb berbahaya, kandungan gizi tidak berimbang, dan tidak tahan untuk disimpan lama Harga Standar harga pasar Relatif, tergantung pedagang dan distribusi yang bertingkat-tingkat Resiko kegagalan usaha tani Sedikit, karena ada Tumpang sari, rotasi, dan sudah terbiasa dilakukan petani Lebih besar pada tahap awal dengan peningkatan input serta wabah hama/penyakit Biaya produksi Biaya produksi lebih rendah Biaya produksi lebih tinggi Kemudahan Lebih membutuhkan ekstra Lebih sederhana dilakukan perhatian Resiko sosial Terbebas dari ketergantungan Menciptakan ketergantungan pada petani dan lahan, dan adanya monopolis kapitalis, degradasi nilai-nilai sosial Lapangan Kerja Resiko budaya Resiko kesehatan Menciptakan kesempatan kerja dan membuka lapangan kerja baru bagi perempuan Kreatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan kekuatan alam Tidak ada, karena bersifat alami dan mengandung nutrisi lebih banyak yang dibutuhkan tubuh Sumber : Disarikan dari berbagai sumber 4 Mekanisme menyebabkan marginalisasi tenaga kerja perempuan dan laki-laki Efisien, menimbulkan degradasi budaya Adanya keracunan secara akut atau kronis untuk waktu jangka panjang, karena mengandung bahan karsinogenik Selain itu, bertani secara organik juga menghemat biaya karen dapat menghemat pemakaian gas, karena dengan sistem pertanian organik, pengolahan dan sistem penanaman menggunakan bahan-bahan organik, atau tidak bergantung dengan pupuk kimia dibanding pemakaian pupuk kimia yang pembuatannya membutuhkan suplay gas cukup besar (Musirawa, 2010) Kelembagaan Pertanian (Indriana, 2010) dan Diakses tanggal 26 April 2011 pukul WIB. Diakses tanggal 26 April 2011 pukul WIB

8 Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat (Setiana, 2005). Selain itu, Setiana (2005) juga menyebutkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya selalu dihubungkan dengan karakteristik sasaran sebagai suatu komunitas yang mempunyai ciri, latar belakang, dan budaya tertentu. Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan (Suharto, 2005). Sebagai proses, pemberdayaan merupakan kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Ife (2008) mengatakan bahwa partisipasi merupakan unsur pokok pemberdayaan. Pengertian pemberdayaan sendiri menurut Suharma (2005) adalah mengembangkan peranan dan fungsi suatu komunitas dalam suatu usaha ekonomi produktif, sehingga dapat memberikan kegiatan yang bermanfaat sebagai proses pembelajaran dalam kegiatan keberlanjutan usaha komunitas. Widianto (2008) menyebutkan bahwa proses pemberdayaan komunitas dapat disebabkan oleh adanya multy player effect yang bekerja didalam komunitas. Multy Player effect itu sendiri dapat berupa modal sosial yang membantu masyarakat memperoleh informasi. Selain itu, Widianto (2008) menyatakan bahwa, program-program berupa kemitraan dapat memberdayakan dan memandirikan petani, karena dapat menjadi sarana dalam pengembangan komunitas petani. Elizabeth (2007) menyebutkan bahwa pemberdayaan (empowerment) merupakan strategi/upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap suatu sumberdaya ataupun program melalui penciptaan peluang seluas-luasnya agar masyarakat lapisan bawah mampu berpartisipasi.

9 13 Azis (2005) menyebutkan tahapan-tahapan dalam proses pemberdayaan, diantaranya: 1. Membantu masyarakat dalam menentukan masalahnya 2. Melakukan analisa atau kajian terhadap permasalahan tersebut secara mandiri (partisipatif) 3. Menentukan skala prioritas masalah 4. Mencari cara penyelesaian masalah yang sedang dihadapi, antara lain dengan pendekatan sosio kultural yang terdapat dalam masyarakat 5. Melaksanakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi 6. Mengevaluasi seluruh rangkaian dan proses pemberdayaan tersebut untuk menilai sejauhmana keberhasilan dan kegagalannya. Pada hakikatnya, makna pemberdayaan mencakup tiga aspek, yaitu: 1) menciptakan iklim kondusif yang mampu mengembangkan potensi masyarakat setempat, 2) memperkuat potensi/modal sosial masyarakat demi meningkatkan mutu kehidupannya, 3) melindungi dan mencegah semakin melemahnya tingkat kehidupan masyarakat (Azis 2005). Berdasarkan definisi pemberdayaan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya peningkatan kemampuan masyarakat agar tanggap dan kritis terhadap berbagai perubahan, serta mampu mengakses proses pembangunan untuk mendorong kemandirian yang berkelanjutan. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri. Adapun upaya untuk memberdayakan komunitas terutama petani menurut Widianto (2008) adalah melalui kegiatan peningkatan usaha pertanian dengan basis pada program-program kemitraan yang dapat memandirikan petani. Upaya memberdayakan masyarakat ini membutuhkan tanggung jawab dan partisipasi dari berbagai pihak. Dalam hal ini, peran stakeholder terkait mejadi sangat penting dalam mensinergikan antara kebutuhan masyarakat dengan program-program pemberdayaan. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat ini menjadikan masyarakat sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan program pembangunan. Strategi pemberdayaan menurut Suharto (2005) dapat dilakukan melalui tiga aras pemberdayaan yaitu; 1) aras mikro atau disebut pendekatan berpusat pada tugas, dimana pemberdayaan dilakukan secara individu melalui kegiatan

10 14 bimbingan, konseling, stress, management, crisis intervention. 2) Aras mezzo atau disebut strategi meningkatkan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan, dimana pemberdayaan dilakukan menggunakan kelompok sebagai media intervensi, melalui kegiaan pendidikan, pelatihan, dan dinamika kelompok. 3) Aras makro atau disebut strategi sistem besar, sasaran perubahan diarahkan pada lingkungan yang lebih luas Partisipasi Partisipasi menurut Apriyanto (2008) merupakan keterlibatan seseorang secara aktif dalam mengikuti kegiatan. Adapun yang menjadi indikator partisipasi masyarakat terhadap suatu kegiatan menurut Apriyanto (2008) meliputi sikap dan peranannya dalam tahapan partisipasi yaitu berupa pengambilan keputusan, pelaksanaan kegiatan, penikmat hasil, dan evaluasi kegiatan. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari internal warganya ataupun dari pelaksanaan program itu sendiri. Adapun menurut Makmur (2008), partisipasi merupakan suatu proses pemberdayaan secara individu sebagai anggota kelompok tertentu, dalam mengidentifikasi dan membentuk modal masyarakat. Elizabeth (2007) juga mengungkap konsep partisipasi sebagai : 1) tindakan pemekaan terhadap pihak petani miskin untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi program pembangunan pertanian di pedesaan, 2) kontribusi sukarela dan keterlibatan aktif petani miskin dalam program pembangunan pertanian tanpa ikut pengambilan kepentingan, 3) merupakan suatu proses yang aktif, dimana petani miskin atau orang terkait dapat mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk menggunakan hal tersebut, 4) pemantapan komunikasi (dialog) antara pihak terkait dalam proses pembangunan agar memperoleh informasi semaksimal mungkin mengenai konteks lokal dan dampak sosial, 5) kerjasama yang erat antar pihak yang terkait, baik pemerintah atau masyarakat dalam merencanakan, melestarikan, dan memanfaatkan hasil pembangunan yang dicapai. Arnstein (1969) yang dikutip oleh Indriana (2010) manyatakan partisipasi sebagai suatu proses bertingkat dari pendistribusian kekuasaan pada komunitas, sehingga mereka memperoleh kontrol lebih besar pada hidup mereka sendiri.

11 15 Arnstein (1969) yang dikutip oleh Ife (2008), juga menyebutkan 8 tipologi yang menunjukkan tipe partisipasi dan non partisipasi komunitas (Gambar 1). Demokrasi Partisipatif Deliberatif Demokrasi Representatif Eksploitatif 8 Citizen control 7 Delegated Power 6 Partnership 5 Placation 4 Consultation 3 Information 2 Therapy 1 Manipulatif Citizen Power Tokenisme Non partisipation Gambar 1 Jenjang partisipasi komunitas Arnstein (1969) Dari tipologi tersebut, menjelaskan bahwa yang dapat dikatakan sebagai partisipasi berkisar pada manipulasi oleh pemegang kekuasaan hingga komunitas sendiri yang memilki kontrol terhadap keputusan-keputusan bagi kehidupan mereka. Hal tersebut bervariasi menurut tingkat kontrol. Jenjang partisipasi Arnstein tersebut identik dengan kekuasaan masyarakat, yang terdiri dari: 1. Jenjang non partisipasi Pasif/manipulatif adalah suatu bentuk partisipasi yang tidak memerlukan respon partisipan untuk terlibat banyak. Suatu Institusi pengelola program akan menggunakan perwakilan dari anggota komunitas untuk mengumpulkan tanda tangan warga sebagai bentuk dukungan dan kesediaan warga terhadap suatu program yang direncanakan institusi pengelola program. Pada tingkat partisipasi ini, masyarakat tidak memiliki peran dalam setiap tahapan penerapan program. Terapi adalah suatu bentuk partisipasi yang melibatkan anggota komunitas namun hanya sebatas dialog antara institusi dengan anggota komunitas lokal yang mana anggota komunitas lokal diminta member suatu jawaban dan tanggapan atas suatu isu untuk membentuk suatu program. Namun, jawaban tersebut tidak mempengaruhi kebijakan dan keputusan dalam pembuatan program.

12 16 2. Jenjang tokenisme Informasi adalah suatu bentuk kegiatan yang dilakukan suatu institusi pengelola program untuk memberi sosialisasi kepada anggota komunitas lokal tentang suatu program. Meskipun terjadi komunikasi antara anggota komunitas dengan institusi namun sifatnya masih searah. Konsultasi merupakan suatu jenjang partisipasi dimana anggota komunitas diberikan pendampingan dalam pelaksanaan suatu program oleh institusi. Dalam tahap ini komunikasi dua arah telah terjadi yang mana anggota komunitas yang terlibat untuk menyampaikan pendapatnya, namun dalam pelaksanaannya telah terjadi penjaringan aspirasi, karena suatu bentuk usulan yang disetujui telah disusun sebelumnya, atau masyarakat diarahkan untuk menyetujui suat isu tersebut. Penenangan, merupakan jenjang partisipasi yang mana komunikasi telah berjalan baik dan sudah terdapat dialog antara masyarakat dengan istitusi pengelola program. Namun, kewenangan dan keputusan untuk penerimaan usulan tersebut masih menjadi milik institusi, mereka yang menilai kelayakan usulan dari anggota komunitas apakah telah layak untuk dilaksanakan atau tidak. Dalam pelaksanaan program, partisipasi anggota komunitas hanya bersifat materi, artinya ada pemberian insentif bagi anggota yang melaksanakan program. 3. Jenjang Kekuatan Warga Negara Kerjasama, merupakan suatu jenjang partisipasi yang fungsional. Semua pihak dalam pelaksanaan program bersama-sama membuat dan merancang suatu program. Satu sama lain saling duduk berdampingan. Pendelegasian wewenang, merupakan suatubentuk partisiasi aktif yang mana anggota komunitas lokal telah benar-benar terlibat dalam setiap tahapan keputusan. Mereka diberikan kekuasaan untuk melaksanakan suatu program. Pengawasan oleh komunitas, merupakan suatu bentuk partisipasi yang mana anggota komunitas telah memiliki kewenangan untuk mengawasi dan mengontrol kebijakan dari institusi tentang suatu program. Dalam pelaksanaanya, anggota komunitas yang mengelola kegiatan untuk

13 17 kepentingannya sendiri tanpa campur tangan dari institusi Arnstein (1969) dalam Wicaksono (2010). Ife (2008) juga menyebutkan bahwa partisipasi dapat diwujudkan dengan cara mewujudkan HAM. Kondisi-kondisi yang dapat mendorong terbentuknya partisipasi menurut Ife (2008) adalah sebagai beirkut: 1. Masyarakat dapat berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa isu atau aktivitas tersebut penting 2. Masyarakat juga harus merasa bahwa aksi mereka akan membuat perubahan 3. Berbagai bentuk partisipasi masyarakat harus diakui dan dihargai 4. Masyarakat harus dapat berpartisipasi, dan didukung dalam partisipasinya 5. Struktur dan proses tidak boleh mengucilkan Berdasarkan kondisi yang tersebut, dapat dikatakan bahwa partisipasi harus berbasis masyarakat, dimana institusi atau organisasi juga turut mendukung pelaksanaan partisipasi tersebut. Partisipasi masyarakat menurut Ife (2008) dapat diukur menggunakan jenisjenis indikator. Cara pengukuran partisipasi dibedakan berdasarkan jenis indikator, yaitu indikator jenis kuantitatif dan kualitatif. Indikator secara kuantitatif diantaranya adalah adanya perubahan-perubahan positif dalam layanan-layanan lokal, terdapat jumlah pertemuan dan jumlah peserta, terdapat proporsi berbagai bagian dari kehadiran masyarakat, adanya sejumlah orang yang dipengaruhi oleh isu yang diangkat, adanya sejumlah pemimpin lokal yang memegang peranan, adanya sejumlah warga lokal yang memegang peranan dalam proyek, adanya sejumlah warga lokal dalam berbagai aspek proyek dan pada waktu yang berbedabeda. Indikator secara kualitatif menurut Ife (2008) diantaranya adalah adanya suatu kapasitas yang tumbuh untuk mengorganisasi aksi, terdapat terdapat dukungan yang tumbuh dalam masyarakat tentang hal seperti keuangan dan manajemen proyek, adanya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pembuatan proyek, serta adanya peningkatan kemampuan dari mereka yang berpartisipasi dalam mengubah keputusan menjadi aksi, meningkatnya jangkauan partisipan melebihi proyek untuk mewakilinya dalam organisasi-organisasi lain, munculnya pemimpin-pemimpin dari masyarakat, serta meningkatnya jaringan dengan proyek-

14 18 proyek, masyarakat dan organisasi lainnya, dan hal tersebut mulai mempengaruhi kebijakan. Partisipasi dapat dikatakan sebagai suatu langkah memberdayakan masyarakat, dimana dalam pelaksanaan programnya menjadikan masyarakat sebagai aktor utama. Pelaksanaan partisipasi ini perlu menyentuh ranah kebutuhan masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar pentingnya program pembangunan tersebut tidak hanya dapat menyentuh aspek kognitif masyarakat saja tetapi juga aspek rasa, kemampuan, dan kesempatan masyarakat, sehingga program pembangunan tersebut dapat menggugah masyarakat untuk bersikap mendukung, mau dan mampu melaksanakan serangkaian program pembangunan tersebut. Disamping itu, untuk menjadikan masyarakat mau dan mampu berpartisipasi dalam program pembangunan, sangat perlu kiranya mengidentifikasi faktor-faktor yang melatarbelakanginya diantaranya adalah faktor eksternal dan internal dari masyarakatnya baik dari karakteristik masyarakatnya juga karakteristik institusi yang menginisiasi program Hubungan Pemberdayaan dan Partisipasi Pemberdayaan dan partisipasi petani merupakan aspek penting dalam program pembangunan pertanian. Kedua konsep ini saling mendukung, dimana pemberdayaan petani merupakan target yang hendak dicapai dalam program pembangunan pertanian, sedangkan partisipasi sebagai alat untuk pencapaian tujuan pembangunan tersebut. Salah satu prinsip pemberdayaan menurut perspektif pekerjaan sosial Suharto (2005) adalah masyarakat harus berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau program pemberdayaan. Suharto (2005) juga menyebutkan bahwa masyarakat harus dapat berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri: tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri. Dengan demikian, dalam penelitian ini, aspek ukuran keberhasilan pemberdayaan petani dalam penerapan sistem pertanian organik ini adalah dilihat dari partisipasi komunitasnya dalam pelaksanaan dan penerapan program pertanian organik. Namun demikian, perwujudan partisipasi masyarakat membutuhkan kesadaran dan pemahaman dari berbagai pihak dalam merencanakan dan melaksanakan suatu program yang harus lahir dan tumbuh dari masyarakat. Tingkat

15 19 kesadaran menjadi sebuah kunci dalam keberhasilan pemberdayaan, karena pengetahuan dapat meningkatkan mobilisasi tindakan bagi perubahan (Suharto,2005) Partisipasi dalam Penyuluhan Pertanian Partisipasi dalam menerapkan sutau program pemberdayaan petani pada kerangka penyuluhan pertanian sering diistilahkan sebagai bentuk adopsi, dimana suatu komunitas atau seseorang dapat menerima suatu ide-ide baru sampai memutuskan menerima atau menolak ide-ide tersebut (Setiana, 2005). Tahapan proses seseorang dapat berpartisipasi dalam suatu program pemberdayaan tidak jauh berbeda dengan tahapan dalam proses adopsi inovasi. Wiriaatmaja (1971) yang dikutip oleh Setiana (2005) menyebutkan tahapan proses adopsi adalah sebagai berikut: 1) tahap sadar, dimana seseorang sudah mengetahui sesuatu yag baru karena hasil dari berkomunikasi dengan pihak lain, 2) tahap minat, tahap dimana seseorang mulai memiliki keinginan mengetahui lebih banyak tentang isu tersebut, 3) tahap menilai, dimana seseorang mulai menilai atau menimbangnimbang serta menghubungkan dengan keadaan atau kemampuan dirinya, 4) tahap mencoba, dimana seorang mulai menerapkan aau mencoba dalam skala lebih kecil sebagai upaya untuk meyakinkan apakah dapat dilanjutkan, 5) tahap penerapan atau disebut adopsi, pada tahap ini seseorang sudah yakin akan isu atau hal baru tersebut dan mulai konsisten menerapkan. Dalam kerangka ilmu penyuluhan pertanian, Kartasapoetra (1987) menyebutkan bahwa perilaku petani sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, kecakapan, dan sikap mental petani itu sendiri. Van den Ban dan Hawkins (2005) menyebutkan bahwa tujuan perilaku selain dipengaruhi oleh sikap, juga dipengaruhi oleh harapan lingkungan sosialnya, norma-norma subjektif, dan penilaian perilaku sendiri. Sikap itu sendiri menurut Van den Ban dan Hawkins (2005) adalah perasaaan, pikiran, kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Selanjutnya, Van den Ban dan Hawkins (2005) juga menyebutkan komponen sikap itu sendiri adalah pengetahuan, perasaan-perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak atau kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang

16 20 memiliki konsekuensi. Pemahaman masyarakat terhadap suatu program merupakan bentuk pandangan yang dapat membentuk sebuah penilaian dan dapat mengarahkan pada sebuah tindakan untuk kebaikan dirinya. Adapun tingkat penilaian petani merupakan ukuran baik dan tidak baiknya atau positif dan negatifnya suatu program yang dapat membentuk sikap penerimaan atau penolakan terhadap suatu program, seperti yang diungkap oleh Baron dan Byrne (2003) yang dikutip oleh Lokita (2011) ketika individu memiliki sikap yang kuat terhadap isu-isu tertentu, maka mereka seringkali bertingkah laku konsisten dengan pandangan tersebut. Penilaian yang positif terhadap suatu program akan mendorong responden untuk terlibat dalam rangkaian kegiatan program pertanian organik. Dapat diambil kesimpulan mengenai makna tersebut bahwa pengetahuan dan kesadaran tentang suatu isu tertentu merupakan suatu bentuk penilaian yang menentukan sikap seseorang negatif atau positif terhadap isu ataupun program tertentu dan hal ini turut mempengaruhi perilaku seseorang untuk menolak atau menerima isu atau program tersebut. Hal demikian serupa dengan tahap partisipasi, dimana seseorang yang secara sadar akan adanya suatu ide baru atau suatu program, yang kemudian mencari informasi tambahan seputar program yang menunjukkan minat terhadap program dan kemudian menilai, lalu mencoba menerapkan dan secara konsisten menerapkan program merupakan suatu bentuk proses pemberdayaan, dimana dalam penelitian ini dijadikan sebagai proses dan ukuran keberhasilan program pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan sistem pertanian organik. Perubahan perilaku dalam penyuluhan pertanian umumnya berjalan lambat, karena tidak setiap orang mengadopsi inovasi atau isu tertentu pada tingkat yang sama. Setiana (2005) menyebutkan bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh faktor sifat inovasi, sifat sasaran, faktor individu atau pribadi, luas usaha tani, tingkat pendapatan, keberanian mengambil resiko, umur, tingkat partisipasi dalam kelompok atau organisasi luar, dan berbagai sumber informasi yang dapat di manfaatkan. Sifat sasaran atau pengadopsi (Rogers 1983) yang dikutip oleh Van den Ban dan Hawkins (2005) dibedakan menjadi kategori, yaitu inovator (kelompok perintis), early adopter (kelompok pelopor atau penerap lebih dini), early mayority (penerap inovasi awal), late mayority (penerap inovasi lambat), dan

17 21 laggard (penolak inovasi). Selanjutnya Rogers (1983) dalam Van den Ban dan Hawkins (2005) juga mengatakan bahwa variabel yang mempengaruhi tingkat kecepatan adopsi tersebut diantaranya adalah pendidikan, keterampilan baca tulis, status sosial ekonomi yang tinggi, unit ukuran yang lebih besar, orientasi ekonomi komersial, sikap tentang kredit, sikap tentang perubahan dan pendidikan, partisipasi sosial, intelegensi, kosmopolitan (keterbukaan), kontak dengan agen perubahan. Kaitan kecepatan adopsi dengan keberhasilan program pemberdayaan dalam penerapan sistem pertanian organik disini, dilihat dari tingkat penerapan petani dalam pelaksanaan program pertanian organik, artinya proses pemberdayaan masih berlangsung dengan adanya perbedaan tingkat penerapan program dari masingmasing individu petani Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Komunitas dalam Penerapan Sistem Pertanian Organik Suatu proses pembangunan, memerlukan upaya pemberdayaan dan partisipasi komunitas. Pembangunan pertanian pun dapat berkelanjutan jika didukung oleh faktor keberlanjutan kelembagaan dalam masyarakat. Indriana (2010) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi keberlanjutan kelembagaan dalam sistem pertanian organik adalah faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal sangat mempengaruhi tata kelola baik dalam sistem pemerintahan, jejaring kerjasama dan sarana umum, sedangkan faktor internal seperti kepemimpinan, dan adanya aturan tertulis dan tidak tertulis, serta proses pendirian kelembagaan dan partisipasi komunitas. Partisipasi menurut Mubyarto (1985) yang dikutip oleh makmur (2007), adalah suatu kesadaran masyarakat untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan diri sendiri. Adapun dalam hubungannya dengan pembangunan, partisipasi harus memiliki tiga syarat yaitu: adanya kesempatan, kemauan, dan dan kemampuan masyarakatnya untuk berpartisipasi. Apriyanto (2008) menyebutkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari internal warganya ataupun dari pelaksanaan programnya. Faktor dari internal warganya seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, beban keluarga, pengalaman berkelompok, dan lama tinggal. Sedangkan dari pelaksanaan programnya seperti metode kegiatannya,

18 22 dan pelayanan kegiatan programnya. Selain faktor eksternal dan internal tersebut, pemberdayaan dan partisipasi sangat ditentukan oleh keberlanjutan kelembagaan ekonomi yang terbentuk dalam masyarakat, dimana hal tersebut sangat didukung oleh pola kemitraan antara masyarakat dengan pihak swasta dan masyarakat dengan good governance. Pada umumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari faktor internal dan eksternal dari masyarakat itu sendiri. Faktor internal masyarakat itu sendiri diantaranya adalah faktor kebutuhan, dan kemampuan masyarakat yang dapat mendorong motivasi masyarakat terhadap program, sedangkan faktor eksternal seperti lingkungan masyarakat dimana masyarakat itu tinggal, meliputi aturan dalam masyarakat (rule of the game) baik tertulis ataupun tidak tertulis, keadaan sumberdaya alamnya, modal sosial masyarakatnya, kebijakan pemerintah, sarana dan prasarana yang mendukung partisipasi seperti informasi dan jejaring kerjasama antara masyarakat dengan stakeholder terkait lainnnya. Dalam penelitian ini faktor-faktor internal individu petani menjadi faktor yang mempengaruhi partisipasi petani dalam pelaksanaan program, seperti yang disebutkan oleh Van den Ban dan Hawkins (2005) luas usaha tani, dan keberanian mengambil resiko, serta sumber informasi yang dapat dijangkau dan dimanfaatkan didaerah tersebut, dan tingkat partisipasi dalam kelompok. Selain itu, Rogers (1983) yan dikutip oleh Van den Ban Hawkins (2005) menyebutkan bahwa variabel umur, keterbukaan dengan media massa, status sosial yang tinggi, dan tingkat pendidikan juga mempengaruhi tingkat adopsi petani terhadap program. Dengan demikian, penelitian ini, membatasi faktor internal tersebut hanya pada golongan umur, tingkat pengalaman bertani, tingkat kepemilikan lahan, dan tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan pertanian. 2.2 Kerangka Pemikiran Adanya asumsi bahwa dalam proses penerapan pertanian organik terhadap komunitas petani mengalami benturan budaya pertanian, dalam hal ini adalah benturan antara budaya bertani konvensional yang telah lama diterapkan oleh masyarakat atau dikenal sebagai revolusi hijau dengan budaya bertani organik. Kondisi pertanian masyarakat sebelumnya diasumsikan mengembangkan sistem pertanian konvensional yang telah melembaga dalam aktivitas pertaniannya.

19 23 Kemudian, pemerintah atau institusi menerapkan suatu konsep pertanian organik. Pergeseran dan perubahan aktivitas dan budaya pertanian dari sistem pertanian konvensional menjadi sistem pertanian organik disebabkan oleh adanya proses pemberdayaan masyarakat terhadap pertanian organik. Proses pemberdayaan dilakukan melalui aktivitas penyadaran atau pengenalan komunitas (sosialisasi) program, dan aktivitas penerapan program bertani organik. Aktivitas penerapan program meliputi pelatihan, aplikasi program, evaluasi bersama terhadap pelaksanaan program. Meskipun demikian, dalam proses penyadaran dan penerapan program terhadap komunitas, perlu memperhatikan karakteristik individu petani dan karakteristik inisiator program (institusi) agar petani mau dan mampu berpartisipasi. Karakteristik individu petani dan karakteristik institusi menjadi faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan komunitas dalam pelaksanaan program. Karakteristik individu petani dilihat dari faktor internal dan eksternal dari diri mereka. Faktor internal individu petani yang dapat diukur dan dapat mempengaruhi tingkat partisipasi responden dalam pelaksanaan program pemberdayaan komunitas dalam penerapan Sistem Pertanian Organik meliputi umur, tingkat pendidikan, kepemilikan dan luas lahan pertanian (tingkat stratum rumah tangga pertanian), serta tingkat pengalaman dalam bertani, dan tingkat keterdedahan terhadap informasi penyuluhan pertanian. Adapun faktor eksternal yang terdapat dalam diri mereka yang tidak diteliti namun dapat mempengaruhi keberhasilan program pemberdayaan komunitas meliputi ketersediaan sumberdaya alam, modal sosial, aturan tertulis dan tidak tertulis, dan peran kepemimpinan, serta kelembagaan pertanian yang telah terbentuk. Karakteristik institusi atau inisiator program merupakan variabel lain yang turut mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan petani meliputi kepentingan institusi atas program, kebutuhan pangan nasional, kebijakan pemerintah terhadap pertanian, ketersediaan sarana dan prasarana pertanian, serta jejaring kerjasama yang akan dan atau telah terbentuk.

20 24 Inovasi Pertanian Organik Proses Benturan Budaya Pertanian Pertanian Konvensional (Revolusi Hijau) Batasan Penelitian Proses Pemberdayaan : Karakteristik Individu Petani Karakteristik Institusi Kepentingan institusi Kebutuhan pangan nasional Kebijakan Pemerintah terhadap pertanian Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pertanian Jejaring kerjasama Tingkat Kesiapan Institusi: Instrumen & Pelaksanaan dilapangan Tingkat Penilaian Proses Penyadaran : Aktivitas Inisiasi program Aktivitas Sosialisasi program Tingkat Penerimaan Proses Penerapan: Pelatihan Aplikasi Program Evaluasi Proses Bersama Tingkat Partisipasi Petani Internal : Umur Tingkat Kepemilikan lahan pertanian Tingkat Pengalaman Bertani Tingkat Keterjangkauan terhadap informasi Penyuluhan Eksternal : Ketersediaan sumberdaya alam Modal Sosial Aturan tertulis dan tidak tertulis Peran kepemimpinan Kelembagaan pertanian Tingkat Keberhasilan Pemberdayaan Komunitas Tani dalam Penerapan Pertanian Organik: Kelanjutan Penerapan Sistem Bertani Organik oleh Petani (pengulangan kegiatan bertani organik) Tingkat Pendapatan hasil pertanian Keterangan : Menyebabkan : Mempengaruhi : Mencakup : 24

21 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran, dapat disusun hipotesis sebagai berikut: 1. Karakteristik internal individu petani seperti umur, tingkt kepemilikaan lahan bertani, tingkat pengalaman bertani, dan tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan pertanian mempengaruhi tingkat partisipasi petani dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan komunitas. 2. Tingkat kesiapan institusi dalam sosialisasi program, mempengaruhi tingkat keberhasilan pemberdayaan petani. 3. Tingkat partisipasi petani dalam pelaksanaan kegiatan pemberdayaan pertanian organik mempengaruhi tingkat keberhasilan pemberdayaan komunitas tani dalam penerapan pertanian organik. 2.4 Definisi Konseptual Penelitian ini menggunakan beberapa istilah konseptual yang digunakan sebagai pengertian awal beberapa variabel dari penelitian ini. Definisi dari berbagai variabel yang ada diperoleh melalui pemahaman atas berbagai definisi dan teori yang terkait dengan variabel tersebut. Istilah-istilah konseptual tersebut yaitu: 1. Pertanian konvensional adalah sistem pertanian yang menggunakan input luar yang tinggi, dimana bertujuan untuk memaksimalkan produktivitas tanpa memperhatikan fungsi ekologi dan keanekaragaman hayati. 2. Sistem pertanian organik adalah sistem pertanian yang mendukung kegiatan peningkatan fungsi dan pelestarian ekologis dan dapat memperkaya keanekaragaman hayati. Selain itu, merupakan suatu sistem pertanian modern yang ramah lingkungan. 3. Pemberdayaan adalah upaya peningkatan kemampuan masyarakat agar tanggap dan kritis terhadap berbagai perubahan, serta mampu mengakses proses pembangunan untuk mendorong kemandirian yang berkelanjutan. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat mampu berperan aktif dalam menentukan nasibnya sendiri. 4. Petani adalah pelaku dalam kegiatan pertanian yang menjadi pelaksana kegiatan pemberdayaan.

22 26 5. Institusi program merupakan institusi penginisiasi dan pendukung program pertanian organik meliputi institusi pemerintah daerah, pemerintah pusat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Pendidikan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 6. Karakteristik institusi merupakan karakteristik yang dimiliki institusi yang turut mempengaruhi proses pemberdayaan masyarakat. Karakteristik tersebut meliputi kepentingan institusi, kebutuhan pangan nasional. kebijakan pemerintah terhadap pertanian, ketersediaan sarana dan prasarana pertanian, jejaring kerjasama. 7. Kegiatan Pemberdayaan Kegiatan pemberdayaan merupakan rangkaian tahapan proses penyuluhan dalam memberdayakan komuntas tani dalam penerapan sistem pertanian organik, tahapan dalam proses tersebut meliputi aktivitas penyadaran (sosialisasi program) dan proses penerapan pertanian organik oleh komunitas tani. 1. Aktivitas penyadaran (Sosialisasi Program) merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk menyadarkan, memberi informasi, memberi pengetahuan terhadap masyarakat tentang pertanian organik agar petani dapat menilai dan menerima sistem pertanian organik dalam aktivitas bertaninya, meliputi kegiatan inisiasi, dan sosialisasi program. Aktivitas penyadaran secara umum bertujuan untuk membentuk sikap petani terhadap sistem pertanian organik. 2. Kegiatan penerapan merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk membuat masyarakat mau mencoba dan mengaplikasikan pertanian organik pada aktivitas pertaniannya. Kegiatan penerapan tersebut diantaranya meliputi: i. Pelatihan pelaksanaan program merupakan kegiatan berupa pelatihan baik berupa metode ataupun teknik bertani organik yang dilakukan oleh institusi kepada masyarakat. ii. Aplikasi program merupakan kegiatan dimana masyarakat mulai mencoba bertani organik.

23 27 iii. Evaluasi proses bersama merupakan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan institusi dalam seluruh tahapan program dari mulai tahap persiapan dan pelaksanaan program, hingga evaluasi terhadap hasil yang dicapai program. b) Karakteristik eksternal individu petani meliputi ketersediaan sumber daya alam, modal sosial masyarakat seperti trust, norm, network, selain itu aturan tertulis dan tidak tertulis, peran kepemimpinan dan peran kelembagaan pertanian. (i) Ketersediaan sumberdaya alam merupakan suatu keadaan dimana alam memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan masyarakat dalam aktivitas pertaniannya. (ii) Modal sosial masyarakat merupakan potensi yang dimiliki masyarakat yang secara luas menjadi pengikat dan penguat hubungan antar anggota masyarakat. (iii) Aturan tertulis dan tidak tertulis merupakan aturan main (rule of the game) yang dibuat dan disepakati oleh masyarakat yang menjadi dasar hubungan sosial antar anggota masyarakatnya. (iv) Peran kepemimpinan merupakan peran suatu tokoh yang dianggap mumpuni dan dipercaya masyarakat dalam mengambil keputusan inovasi. (v) Peran kelembagaan pertanian merupakan peran suatu institusi masyarakat dalam proses penerimaan dan pengambilan keputusan inovasi. 2.5 Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur berbagai variabel. Masing-masing variabel terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut yaitu: Sikap petani tehadap pelaksanaan program merupakan suatu bentuk pemahaman dan penilaian terhadap suatu program yang membentuk suatu tindakan bagi kebaikan dirinya. Ukuran sikap tersebut berdasarkan tingkat pemahaman dan pengetahuan petani tentang pertanian organik baik manfaat

24 28 ataupun praktek, yang diungkapkan dengan pemahaman setuju atau tidak setuju tentang pemahaman suatu program, dengan nilai sangat setuju = 5, setuju = 4, kurang setuju = 3, tidak setuju = 2, dan sangat tidak setuju = 1. Terdapat tiga kategori ukuran penilaian masyarakat hingga masyarakat menilai positif pertanian organik dalam aktivitas pertaniannya, yaitu: 1. Positif, jika petani mengetahui dan memahami pentingnya praktek bertani organik dibanding praktek bertani konvensional dengan total skor (44-65) 2. Kurang Positif, jika petani memiliki pemahaman dan pengetahuan yang kurang tentang manfaat dan praktek bertani organik dibanding pertanian konvensional dengan total skor (22-43) 3. Tidak Positif (negatif), jika petani tidak tahu dan tidak memahami pentingnya bertani organik dibanding bertani konvensional, dengan memiliki jawaban yang cenderung memihak praktek bertani konvensional dengan total skor (13-21) Tingkat Penerimaan petani terhadap pertanian organik merupakan ukuran diterima atau tidak diterimanya suatu program oleh masyarakat. Penerimaan tersebut diukur berdasarkan kecenderungan keinginan menerapkan praktek bertani organik, dengan nilai Ya = 3, dan tidak tahu =2, 1=tidak. Terdapat tiga kategori ukuran penerimaan petani hingga petani mau melaksanakan dan menerapkan pertanian organik dalam aktivitas pertaniannya, yaitu: 1. Menerima, jika petani cenderung berkeinginan menerapkan pertanian organik dengan skor (9-12) 2. Kurang Menerima, jika petani cenderung kurang berkeinginan (ragu-ragu) menerapkan pertanian organik dengan skor (5-8) 3. Tidak Menerima, jika petani cenderung tidak berkeinginan menerapkan pertanian organik dengan skor (1-4) Petani Karakteristik individu petani dapat dilihat berdasarkan karakterisitk internal dan karakteristik eksternal individu petani.

25 29 Karakteristik internal individu petani meliputi tingkat umur, tingkat kepemilikan dan atau penguasaan luas lahan, tingkat pengalaman bertani, dan tingkat keterjangkauan terhadap informasi penyuluhan. (i) Tingkat Umur petani merupakan ukuran lama hidup responden, dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: 1) Muda, jika umur petani rata-rata (< 30) tahun. 2) Dewasa, jika umur petani rata rata sekitar (30-50) tahun. 3) Tua, jika umur petani (> 50) tahun. (ii) Tingkat pengalaman dalam kegiatan pertanian merupakan lama responden telah melakukan kegiatan bertani organik sebagai mata pencahariannya, dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 1) Rendah, jika telah melakukan kegiatan bertani (< 10) tahun. 2) Sedang, jika telah melakukan kegiatan bertani (10-30) tahun. 3) Tinggi, jika telah melakukan kegiatan bertani (> 30) tahun. (iii) Tingkat stratum rumah tangga petani ( kepemilikan, dan atau penguasaan luas lahan) merupakan ukuran banyaknya luas lahan yang dimiliki atau dikuasai oleh responden yang digunakan untuk kegiatan bertani, dibedakan menjadi tiga kategori yaitu: 1) Rendah, jika petani organik hanya menguasai atau memiliki lahan bertani (< 0,25 Ha). 2) Sedang, jika petani organik menguasai atau meimiliki lahan bertani ( ) Ha. 3) Tinggi, jika petani menguasai atau memiliki lahan bertani (> 0.5 Ha). (iv) Tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan adalah tingkat akses dan keterdedahan petani terhadap informasi penyuluhan, Ukuran tingkat keterjangkauan informasi penyuluhan ini dikategorikan menjadi tiga, diantaranya: 1) Rendah, jika petani tidak memperoleh informasi penyuluhan pertanian organik, sehingga tidak melaksanakan program. 2) Sedang, Jika petani menerima informasi penyuluhan hanya dari kelompok tani atau petani lain yang menerapkan program.

BAB IX FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DALAM PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK

BAB IX FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DALAM PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK 68 BAB IX FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DALAM PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK 9.1 Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Program Pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat

Lebih terperinci

BAB VII PARTISIPASI KOMUNITAS TANI DAN KESIAPAN INSTITUSI DALAM PELAKSANAAN PROSES PEMBERDAYAAN

BAB VII PARTISIPASI KOMUNITAS TANI DAN KESIAPAN INSTITUSI DALAM PELAKSANAAN PROSES PEMBERDAYAAN 55 BAB VII PARTISIPASI KOMUNITAS TANI DAN KESIAPAN INSTITUSI DALAM PELAKSANAAN PROSES PEMBERDAYAAN 7.1 Partisipasi sebagai Kunci Pemberdayaan Partisipasi menurut Apriyanto (2008) merupakan keterlibatan

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS TANI DALAM PENERAPAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK (Studi Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Kabupaten Bogor)

PEMBERDAYAAN KOMUNITAS TANI DALAM PENERAPAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK (Studi Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Kabupaten Bogor) i PEMBERDAYAAN KOMUNITAS TANI DALAM PENERAPAN SISTEM PERTANIAN ORGANIK (Studi Tiga Desa Binaan BP3K UPTD Dramaga Kabupaten Bogor) Oleh Maslichah Azzuhro I34070102 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB VIII HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI

BAB VIII HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI 62 BAB VIII HUBUNGAN PARTISIPASI DENGAN SIKAP DAN KARAKTERISTIK INTERNAL INDIVIDU PETANI 8.1 Hubungan Partisipasi dengan Sikap Petani terhadap Sistem Pertanian Organik Sikap seringkali mempengaruhi tingkah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya TINJAUAN PUSTAKA Peranan Penyuluh Pertanian Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat sehingga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peran pertanian antara lain adalah (1) sektor pertanian menyumbang sekitar 22,3 % dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian

TINJAUAN PUSTAKA. definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian 5 TINJAUAN PUSTAKA Pertanian organik Pertanian organik meliputi dua definisi, yaitu pertanian organik dalam definisi sempit dan pertanian organik dalam definisi luas. Dalam pengertian sempit, pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 16 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Definisi pembangunan masyarakat yang telah diterima secara luas adalah definisi yang telah ditetapkan oleh Peserikatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori Teori Adopsi dan Difusi Inovasi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dasar Teori 2.1.1 Teori Adopsi dan Difusi Inovasi Inovasi menurut Rogers (1983) merupakan suatu ide, praktek atau obyek yang dianggap baru oleh individu atau kelompok pengadopsi.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Badan Keswadayaan Masyarakat ( BKM) dan fungsi BKM Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan suatu institusi/ lembaga masyarakat yang berbentuk paguyuban, dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Tugas pokok penyuluh pertanian adalah melakukan kegiatan penyuluhan pertanian untuk mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekonomi Padi Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Kasryno dan Pasandaran (2004), beras serta tanaman pangan umumnya berperan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran 283 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kumpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian organik masih terus berkembang dan bertahan hingga saat ini di tengah gempuran modernisasi pertanian melalui revolusi hijau. Merujuk sejarah perkembangannya,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita

PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita PENGEMBANGAN KAWASAN RUMAH PANGAN LESTARI (KRPL) Bunaiyah Honorita Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian Km. 6,5 Bengkulu 38119 PENDAHULUAN Hingga saat ini, upaya mewujudkan ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Masalah utama dalam upaya mempertahankan dan mengembangkan lahan pertanian adalah penurunan kualitas lahan dan air. Lahan dan air merupakan sumber daya pertanian yang memiliki peran

Lebih terperinci

Moch Taufiq Ismail_ _Agroekoteknologi_2013

Moch Taufiq Ismail_ _Agroekoteknologi_2013 Tentang Sistem Pertanian Konvensional Sistem pertanian konvensional adalah sistem pertanian yang pengolahan tanahnya secara mekanik (mesin). Sistem pertanian konvensional memiliki tujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN. Makna Pemberdayaan 5/24/2017. Penyebab Ketidakberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) Power/daya.

Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN. Makna Pemberdayaan 5/24/2017. Penyebab Ketidakberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) Power/daya. Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN Minggu ke 12 Pemberdayaan (empowerment) Power/daya Mampu Mempunyai kuasa membuat orang lain melakukan segala sesuatu yang diinginkan pemilik kekuasaan Makna Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa pakar percaya penyuluhan merupakan ujung tombak pembangunan pertanian dengan membantu petani dan masyarakat disekitarnya dalam meningkatkan sumberdaya manusia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983),

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian. Menurut Rogers (1983), II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Landasan Teori 1. Penerapan Inovasi pertanian Inovasi merupakan istilah yang sering digunakan di berbagai bidang, seperti industri, jasa, pemasaran termasuk pertanian.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 1. TinjauanPustaka PNPM Mandiri PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka Program adalah pernyataan tertulis tentang keadaan, masalah, tujuan dan cara mencapai tujuan yang disusun dalam bentuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta TINJAUAN PUSTAKA Monokultur Pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Cara budidaya ini meluas praktiknya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012

BAB I PENDAHULUAN. dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan (food security) telah menjadi isu global selama dua dekade ini termasuk di Indonesia. Berdasar Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan disebutkan

Lebih terperinci

TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT)

TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) TINGKAT PARTISIPASI PETANI DALAM KELOMPOK TANI PADI SAWAH TERHADAP PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) (Studi Kasus pada Campaka Kecamatan Cigugur Kabupaten Pangandaran) Oleh: 1

Lebih terperinci

Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN

Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN Sistem Produksi Pertanian/ Peternakan Penataan Wilayah Pengembangan FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Tradisi pertanian masyarakat Indonesia ------ integrasi tanaman dan ternak pertanian campuran

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) mulai tahun Konsepsi Pemberdayaan

Lebih terperinci

Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN

Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN Sistem Produksi Pertanian/ Peternakan Konsep Usahatani Terpadu : Tanaman Pangan dan Ternak FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN Pembangunan peternakan rakyat (small farmers) di negara yang sedang

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanian modern atau pertanian anorganik merupakan pertanian yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanian modern atau pertanian anorganik merupakan pertanian yang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Anorganik Pertanian modern atau pertanian anorganik merupakan pertanian yang menggunakan varietas unggul untuk berproduksi tinggi, pestisida kimia, pupuk kimia, dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 53 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Alur Pikir Proses Penelitian Kerangka berpikir dan proses penelitian ini, dimulai dengan tinjauan terhadap kebijakan pembangunan pertanian berkelanjutan termasuk pembangunan

Lebih terperinci

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

SEBAGAI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN

SEBAGAI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN 1) PEMASYARAKATAN PERTANIAN ORGANIK SEBAGAI UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DALAM PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN 2) Suhartini Abstrak Dewasa ini masyarakat dunia mulai memperhatikan persoalan lingkungan dan ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian bangsa. Sektor pertanian telah berperan dalam pembentukan PDB, perolehan

Lebih terperinci

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional I. LATAR BELAKANG Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tantangan utama pembangunan peternakan sapi potong dewasa ini adalah permintaan kebutuhan daging terus meningkat sebagai akibat dari tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio). III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini meliputi konsep usahatani, biaya usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C

Lebih terperinci

ACARA 3. KELEMBAGAAN !! Instruksi Kerja : A. Aspek Kelembagaan

ACARA 3. KELEMBAGAAN !! Instruksi Kerja : A. Aspek Kelembagaan ACARA 3. KELEMBAGAAN!! Instruksi Kerja : a. Setiap praktikan mengidentifikasi kelembagaan pertanian yang ada di wilayah praktek lapang yang telah ditentukan. b. Praktikan mencari jurnal mengenai kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian berwawasan lingkungan merupakan implementasi dari konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang bertujuan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Pertanian organik merupakan bagian dari pertanian alami yang dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Pertanian organik merupakan bagian dari pertanian alami yang dalam II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Pertanian organik merupakan bagian dari pertanian alami yang dalam pelaksanaanya berusaha menghindarkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN 8.1. Rekomendasi Kebijakan Umum Rekomendasi kebijakan dalam rangka memperkuat pembangunan perdesaan di Kabupaten Bogor adalah: 1. Pengembangan Usaha Ekonomi Masyarakat, adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea

TINJAUAN PUSTAKA. meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea TINJAUAN PUSTAKA Pupuk Anorganik Pupuk anorganik adalah pupuk yang dibuat oleh pabrik-pabrik pupuk dengan meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea berkadar N 45-46

Lebih terperinci

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Beberapa hal yang mendasari perlunya pembaruan kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. penelitian, sedangkan pada bagian implikasi penelitian disajikan beberapa saran BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN Bagian ini menyajikan uraian kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan yang disajikan merupakan hasil kajian terhadap permasalahan penelitian, sedangkan

Lebih terperinci

BUDIDAYA PEPAYA BERBASIS RAMAH LINGKUNGAN DENGAN TEKNOLOGI KOMPOS AKTIF. (Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi) 2

BUDIDAYA PEPAYA BERBASIS RAMAH LINGKUNGAN DENGAN TEKNOLOGI KOMPOS AKTIF. (Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi) 2 BUDIDAYA PEPAYA BERBASIS RAMAH LINGKUNGAN DENGAN TEKNOLOGI KOMPOS AKTIF 1 M. Syarif, 2 Wiwaha Anas Sumadja dan 1 H. Nasution 1 (Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi) 2 (Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat - 1 - Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Menimbang PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALI KOTA TASIKMALAYA, : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN. Materi ke 2

PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN. Materi ke 2 PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Materi ke 2 Program pascasarjana ITATS PRINSIP DASAR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Pertama, pemerataan dan keadilan sosial. Harus menjamin adanya pemerataan untuk generasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian harus dilakukan dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan dimensi yang lebih luas dan dilakukan secara holistik, antara

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM

BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM BAB IV LANDASAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN UMKM Pancasila dan Undang-undang Dasar Tahun 1945 merupakan landasan ideologi dan konstitusional pembangunan nasional termasuk pemberdayaan koperasi dan usaha

Lebih terperinci

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya

5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya 5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyuluh Pertanian Dalam UU RI No. 16 Tahun 2006 menyatakan bahwa penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugasnya memiliki beberapa fungsi sistem penyuluhan yaitu: 1. Memfasilitasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Konvensional Pertanian Konvensional adalah sistem pertanian tradisional yang mengalami perkembangan dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga bisa dikatakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 27 PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma baru pembangunan Indonesia lebih diorientasikan pada sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas lokal. Salah satu fokus

Lebih terperinci

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air BAB VI PENUTUP Air dan lahan merupakan dua elemen ekosistem yang tidak terpisahkan satu-sama lain. Setiap perubahan yang terjadi pada lahan akan berdampak pada air, baik terhadap kuantitas, kualitas,

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Landasan berpikir penelitian ini dimulai dari pemikiran bahwa setiap insan manusia termasuk petani memiliki kemampuan dalam melaksanakan suatu tindakan/perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ragnar Oktavianus Sitorus, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ragnar Oktavianus Sitorus, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan bisnis dan persaingan antar organisasi dewasa ini bergerak dengan cepat dan dinamis. Program pelatihan dan pengembangan (training and development)

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN strategi dan arah kebijakan merupakan rumusan perencanaan komprehensif tentang bagaiman pemerintah mencapai tujuan dan sasaran RPJMD dengan efektif dan efisien. Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sawah irigasi sebagai basis usahatani merupakan lahan yang sangat potensial serta menguntungkan untuk kegiatan usaha tani. Dalam satu tahun setidaknya sawah irigasi dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu masalah global yang dihadapi oleh sebagian besar negara-negara dunia ketiga pada saat ini adalah krisis pangan. Terkait dengan hal tersebut strategi ketahanan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan sistem usahatani yang selama ini dilakukan pada umumnya belum sepenuhnya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya produktivitas

Lebih terperinci

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. 1. Pengertian padi organik dan padi konvensional

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. 1. Pengertian padi organik dan padi konvensional II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian padi organik dan padi konvensional Pada pengertian sebenarnya organik tidak hanya tertuju pada produk atau kandungan bahan-bahan di dalamnya,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara agraris karena dari 186 juta hektar luas daratan Indonesia sekitar 70 persennya lahan tersebut digunakan untuk usaha pertanian. Selain daratan,

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KOMPOS AKTIF DALAM BUDIDAYA PEPAYA ORGANIK DI DESA KASANG PUDAK

PEMANFAATAN KOMPOS AKTIF DALAM BUDIDAYA PEPAYA ORGANIK DI DESA KASANG PUDAK PEMANFAATAN KOMPOS AKTIF DALAM BUDIDAYA PEPAYA ORGANIK DI DESA KASANG PUDAK Margarettha, Hasriati Nasution, dan Muhammad. Syarif Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi Abstrak Masyarakat kota

Lebih terperinci

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN Visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Tapin tahun 2013-2017 selaras dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pemberdayaan Masyarakat Konsep Perhutanan Sosial secara keseluruhan menempatkan posisi masyarakat sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertambahan penduduk yang melaju dengan cepat perlu diimbangi dengan kualitas dan kuantitas makanan sebagai bahan pokok, paling tidak sama dengan laju pertumbuhan penduduk.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada abad 21 ini masyarakat mulai menyadari adanya bahaya penggunaan bahan kimia sintetis dalam bidang pertanian. Penggunaan bahan kimia sintesis tersebut telah menyebabkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian subsektor perkebunan mempunyai arti penting dan strategis terutama di negara yang sedang berkembang, yang selalu berupaya: (1) memanfaatkan kekayaan

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. petani cukup tinggi, dimana sebagian besar alokasi pengeluaran. dipergunakan untuk membiayai konsumsi pangan. IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Penggunaan tenaga kerja bagi suami dialokasikan utamanya pada kegiatan usahatani, sedangkan istri dan anak lebih banyak bekerja pada usaha di luar usahataninya

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

POPT Dan Pengendalian Hama Terpadu

POPT Dan Pengendalian Hama Terpadu POPT Dan Pengendalian Hama Terpadu Oleh : Amaliah Najamuddin, SP A. Pendahuluan Paradigma pembangunan manusia kini menjadi salah satu tema sentral dalam wacana perdebatan pemikiran mengenai isu-isu pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN GUBERNUR GORONTALO PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR GORONTALO, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PROGRAM INTENSIFIKASI PEMBUDIDAYAAN IKAN (INBUDKAN) DI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : bahwa

Lebih terperinci

INDIKATOR KAWASAN PETERNAKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP FAKULTAS PETERNAKAN

INDIKATOR KAWASAN PETERNAKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP FAKULTAS PETERNAKAN INDIKATOR KAWASAN PETERNAKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN INDIKATOR KAWASAN PETERNAKAN BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP Pengembangan Kawasan Peternakan dalam dimensi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1997 TENTANG KEMITRAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk lebih mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN DAERAH

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN DAERAH BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN DAERAH 5.1 VISI DAN MISI KOTA CIMAHI. Sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,

Lebih terperinci