VIII. KASUS-KASUS PENYAKIT DAN CEMARAN TERKAIT KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII. KASUS-KASUS PENYAKIT DAN CEMARAN TERKAIT KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA"

Transkripsi

1 VIII. KASUS-KASUS PENYAKIT DAN CEMARAN TERKAIT KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA Sebagaimana telah diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa cemaran pada pangan asal ternak dapat berasal dari cemaran mikobiologis, cemaran toksin alami, cemaran obat dan cemaran bahan kimia lainnya. Pada kesempatan ini dilaporkan beberapa kasus penyakit dan cemaran pangan asal ternak yang terjadi di Indonesia. A. Cemaran Mikrobiologis/Kasus Penyakit Hewan Menular 1. Penyakit Antraks Tercemarnya daging oleh kuman antraks di Indonesia terjadi akibat ternak terserang penyakit antraks pada proses praproduksi di tingkat peternak. Umumnya manusia terkena antraks oleh karena mengonsumsi produk ternak yang tertular antraks maupun akibat berhubungan (kontak langsung) dengan agen penyakitnya pada saat ternak terkena Antraks. Kasus Antraks pada ternak di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 1885 (Soemanegara 1958; Mansjoer 1961), dan terbaru pada bulan September 2013 di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan (Anonimus 2013). Sedangkan Beberapa kasus Antraks pada manusia di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 1922 (Soeparwi 1922), dan yang terbaru pada tahun 2010 di Jawa Tengah (Djoko 2011). Dalam buku ini akan disajikan kasus-kasus kejadian Antraks pada manusia di Indonesia sejak tahun 1922 dengan tujuan agar masyarakat dapat mengetahui bahwa penyakit ini selalu terjadi dari tahun ke tahun terutama pada daerah-daerah endemis seperti yang terlihat pada Tabel 7. Sebenarnya apabila masyarakat dan petugas dari dinas terkait menjalankan ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti tidak menyembelih 90

2 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan hewan yang sakit apalagi pada daerah endemis Antraks dan hewan tersebut memperlihatkan tanda-tanda sesuai dengan gejala penyakit Antraks. Dalam beberapa kasus kejadian mengonsumsi daging ternak yang diduga terkena Antraks masih terjadi dengan berbagai alasan. Data pada Tabel 7 ini merupakan data yang sempat penulis kompilasi dari berbagai dokumentasi yang bisa ditemukan dari berbagai sumber. Oleh karena itu, data ini tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Dari data pada Tabel 7 ini terlihat bahwa kejadian penyakit Antraks pada manusia di Sulawesi Tenggara selalu terulang, mulai tahun 1932, kemudian tahun 1969, 1973 dan Kemungkinan masih banyak kasus lainnya yang tidak sempat terdokumentasi. Hal serupa juga dapat dilihat pada kejadian Antraks di Purwakarta yang dalam Tabel ini kejadiannya terjadi pada 30 orang antara tahun , dan terjadi lagi pada tahun dengan penderita sebanyak lebih dari 20 orang akibat mengonsumsi daging burung unta yang terinfeksi Antraks. Keadaan ini menggambarkan bahwa untuk daerah endemis Antraks ada kecenderungan untuk terjadi secara berulang. Hal ini sesuai teori bahwa bakteri Antraks apabila diluar tubuh induk semangnya akan segera membentuk spora yang tahan hidup bertahun-tahun pada tanah atau lingkungan setempat. Data pada Tabel 7 ini juga memperlihatkan bahwa wilayah Purwakarta, Kerawang, Bekasi merupakan daerah endemis yang letak geografisnya berdekatan. Sebenarnya daerah Bogor khususnya di Babakan Madang, Hambalang Kabupaten Bogor juga merupakan daerah endemis Antraks yang sempat ramai dibicarakan antara tahun karena kejadiannya hampir terus berulang setiap tahunnya, sehingga sempat dilakukan penutupan untuk pemasaran hewan ternak dari Bogor ke Jakarta (Noor et al. 2001). kemungkinan penyebaran Antraks di empat Kabupaten tersebut (Purwakarta, Karawang, Bekasi dan 91

3 Keamanan Pangan Asal Ternak Bogor) ada keterkaitannya dengan mutasi atau pemasaran ternak yang terjadi antara keempat daerah tersebut. Tabel 7. Kasus kejadian Antraks pada manusia di Indonesia Tahun kejadian Daerah/lokasi (jumlah kasus) Sumber pustaka 1992 Purwakarta, Jabar (*) Soeparwi (1922) 1922 P. Rote, NTT (*) Soeparwi (1922) 1932 Kolaka, Kendari Sultra (*) Mansjoer (1961) 1969 Kendari, Sultra (80 orang) 1973 Kendari, Sultra (7 orang) Soeparwi (1922) Supartua (1984) Soeparwi (1922); Supartua (1984) 1977 Kendari, Sultra (240 orang) Supartua (1984) Purwakarta, Jabar (30 orang) Martindah et al. (1995) Karawang, Jabar (36 orang) Idem Bekasi, Jabar (47 orang) Idem Semarang, Jateng (71 orang) Idem Boyolali, Jateng (54 orang) Idem 1994 Kudus, Jateng (1 orang) Idem 1996 Kabupaten Ngada, NTT (24 orang) Poerwadikarta et al. (1996) Purwakarta, Jabar (>20 orang) Widarso et al. (2000) *) Jumlah kasus tidak tercatat **) Antara tahun terjadi beberapa kasus Antraks pada ternak dan manusia di Babakan Madang, Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 2. Penyakit Salmonellosis Hasil pengamatan selama tujuh tahun ( ) terhadap cemaran berbagai serotipe kuman Salmonella pada produkproduk asal ternak di Indonesia cukup memprihatinkan karena jumlah kuman Salmonella yang dapat di isolasi cukup banyak, yaitu 828 kasus pada ayam, 233 kasus pada itik, 219 kasus 92

4 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan pada telur, 95 kasus pada babi, dan 59 kasus pada sapi (Sri- Poernomo dan Bahri 1998). Data ini menunjukkan bahwa sanitasi di tingkat produsen dan pengolah produk asal ternak belum memadai dan perlu ditingkatkan agar produk tersebut mempunyai daya saing yang tinggi. Selanjutnya data cemaran kuman Salmonella tersebut disajikan dalam Tabel 8. Jumlah bakteri Salmonella yang paling banyak diketemukan adalah S. hadar, S. typhimurium, S. ouakam, S. blackley, S. amsterdam, S. virchow, S. enteritidis, S. senftenberg, S. livingstone dan S. derby. Salmonellosis pada manusia biasanya dikenal sebagai penyakit demam typhoid atau typhoid fever yang kejadiannya banyak dijumpai pada negara berkembang, sedangkan Salmonellosis yang bukan typhoid terutama yang disebabkan oleh S. enteritidis umumnya terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Tiga puluh empat (34) isolat Salmonella dari 51 yang diisolasi pada manusia adalah S. typhi Group D1, dimana kasus ini serupa dengan kejadian typhoid fever yang dijumpai pada negara berkembang lain. Keadaan ini belum menggambarkan situasi yang sebenarnya di Indonesia karena spesimen tersebut baru yang berasal dari Universitas Indonesia saja (Sri-Poernomo dan Bahri 1998). Perlu diketahui bahwa kuman Salmonella spp. ini merupakan kuman yang secara normal sering dijumpai pada saluran pencernaan hewan, dan umumnya tidak menyebabkan gangguan kesehatan pada hewan tersebut. Namun pada proses pemotongan hewan dan prosesing untuk memanen daging atau produk ternak tersebut seringkali terjadi kontaminasi kuman tersebut karena prosesnya tidak higienis dan pemisahan antara bagian yang kotor dengan yang bersih seringkali tidak diindahkan oleh petugas, sehingga daging atau produk ternak tersebut terkontaminasi oleh Salmonella spp. 93

5 Keamanan pangan asal ternak 94 Tabel 8. Cemaran kuman Salmonella spp. pada sampel dari berbagai komoditas ternak dan manusia di Indonesia dari tahun Komoditas Jumlah kasus 89/ 90 90/ 91 91/ 92 92/ 93 93/ 94 94/ 95 95/ 96 Total Ayam Itik Telur Sapi Babi Manusia Sumber: Sri-Poernomo dan Bahri (1998) 94

6 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan Pada telur ayam maupun telur itik juga seringkali terkontaminasi kuman Salmonella melalui kotorannya yang menempel pada kulit telur. Oleh karena itu, seyogyanya telur ayam maupun telur itik yang dipasarkan untuk konsumsi sudah dalam keadaan bersih. Manusia dapat tertular kuman Salmonella spp. tersebut melalui produk ternak yang dimakan dalam keadaan mentah atau tidak matang, atau dapat juga manusia tercemar kuman Salmonella spp. melalui tangan yang tercemar dan tidak dicuci. Salmonella spp. sendiri dalam tubuh manusia dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa gangguan saluran pencernaan, diare, dan lain sebagainya. 3. Penyakit Cysticercosis Penyakit Cysticercosis pada sapi disebabkan oleh Cysticercus bovis yang merupakan cyste dari cacing dewasa Taenia saginata yang hidup di usus. Cysticercosis ini terletak di otot sekitar bagian rahang, jantung, diaphragma dan otot-otot lainnya. Di dalam otot Sistiserkosis ini dibungkus oleh capsula berupa jaringan ikat sehingga dapat hidup sampai lebih dari lima tahun. Bila infestasi sistesirkosis ini bersifat ringan (tidak banyak), maka bagian-bagian organ terkena saja yang dibuang, sedangkan bagian lainnya dapat dikonsumsi. Bila parasit terlalu banyak sebaiknya karkas tidak dikonsumsi atau dilakukan perebusan dahulu. Kasus Cysticercosis pada manusia biasanya banyak terjadi pada daerah-daerah dimana masyarakatnya sering mengonsumsi daging yang kurang matang dan kehidupan sosial budayanya masih tradisional serta tidak higienis seperti di daerah pedalaman Papua. Oleh karena itu, kasus ini sering terjadi pada penduduk asli Papua seperti yang terjadi di Lembah Baliem pada tahun 1988 dengan ditandainya gejala Encephalitis karena parasit tersebut telah menyerang otak (Bahri dan Ginting 1991). Kasus penyakit ini juga pernah dilaporkan terjadi enam 95

7 Keamanan Pangan Asal Ternak kasus di Bali dimana dua kasus diantaranya terjadi di Denpasar (Sutisna 1994). Sedangkan kejadian prevalensi Taeniasis di Padang Sambian Sulawesi Utara sekitar 3,2% (Rosidi et al. 1981). 4. Residu atau Cemaran Obat Hewan Kasus cemaran atau residu senyawa obat hewan pada berbagai produk ternak di Indonesia telah banyak diungkapkan oleh berbagai peneliti. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Balai Besar Penelitian Veteriner juga sudah banyak diungkapkan. Pada kesempatan ini disajikan kasuskasus cemaran atau residu obat hewan pada berbagai produk ternak di Indonesia seperti yang terlihat pada Tabel 9. Data pada Tabel 9 memperlihatkan bahwa kasus residu obat hewan pada susu segar maupun susu pasteurisasi di Jawa Timur, jawa Tengah maupun Jawa Barat cukup tinggi kejadiannya. Pada tahun 1990-an Sudarwanto (1990) menemukan kandungan antibiotika baik pada susu individu, susu kandang maupun susu pasteurisasi asal Jawa Barat dengan persentase kejadiannya lebih tinggi pada susu individu (80%), sedangkan susu kandang persentase kejadiannya cukup rendah (24%) karena kemungkinan akibat pencampuran antara susu individu yang positif dengan susu individu yang negatif antibiotika sehingga kandungan antibiotikanya menjadi rendah dan tidak terdeteksi. Kasus yang cukup menarik adalah pada susu pasteurisasi masih dapat ditemukan keberadaan antibiotika (41%). Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan antibiotika pada susu yang dipanaskan sekitar 70 C tidak mengalami kerusakan, sehingga masih dapat memberikan dampak negatif bagi konsumen yang mengonsumsi susu tersebut. Kemudian pada tahun 1992, Sudarwanto et al. (1992) meneliti susu pasteurisasi di Jawa Barat dan menemukan kandungan antibiotika golongan Penicillin dengan persentase sekitar 35%. 96

8 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan PAngan 97 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan Tabel 9. Residu obat hewan pada berbagai produk asal ternak di Indonesia Produk ternak Jumlah sampel Macam antibiotika Kadar rata-rata/ persen positif (%) Sumber pustaka Susu individu (Jabar) 166 Antibiotika 80,0 Sudarwanto (1990) Susu kandang (Jabar) 416 Antibiotika 24,0 Idem Susu pasteurisasi (Jabar) 31 Antibiotika 41,0 Idem Susu segar (Jateng) 91 Tetrasiklin 5,5 Bahri et al. (1992a) Idem 91 Klortetrasiklin 63,7 Idem Idem 91 Oksitetrasiklin 70,3 Idem Susu segar (Jatim) 52 Tetrasiklin 28,8 Bahri et al. (1992b) Idem 52 Oksitetrasiklin 71,2 Idem Susu pasteurisasi 206 Golongan Penisilin 32,5 Sudarwanto et al. (1992) Daging ayam (Jatim) 60 Antiobiotika 13,2 Hartati et al. 1993) Hati ayam (Jatim) 40 Antibiotika 82,5 Idem Hati ayam (Jatim) 30 Oksitetrasiklin 83,3 Darsono (1996) Telur ayam (Bali) 50 Golongan Sulfa 38,0 Dewi et al. (1997) Daging ayam (Jabar) 93 Oksitetrasiklin 70,0 Murdiati et al. (1998) Idem 93 Klortetrasiklin 30,0 Idem Daging sapi (Jakarta) 49 Penisilin-G 16,3 Yuningsih et al. (2000) Susu sapi (Jabar) 29 Kloramfenikol 20,7 Murdiati dan Widiastuti (2003) 97

9 Keamanan pangan asal ternak 98 Keamanan Pangan Asal Ternak Produk ternak Jumlah sampel Macam antibiotika Kadar rata-rata/ persen positif (%) Sumber pustaka Daging ayam (Jabar) 25 Siprofloksasin 8,0 Widiastuti et al. (2004b) Daging ayam (Jabar) 25 Enrofloksasin 28,0 Widiastuti et al. (2004b) Hati ayam (Jabar) 10 Siprofloksasin 10,0 Widiastuti et al. (2004b) Hati ayam (Jabar) 10 Enrofloksasin 20,0 Widiastuti et al. (2004b) 98

10 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan Selanjutnya Bahri et al. (1992a) juga meneliti residu antibiotika pada susu segar asal Jawa Tengah, dan ditemukan kandungan antibiotika golongan tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin pada sampel yang sama dengan persentase kejadian masingmasing 5,5; 63 dan 70%. Keadaan ini kemungkinan pada individu yang sama mendapat pengobatan dengan antibiotika golongan tetra karena pada waktu itu penggunaan antibiotika golongan tetra banyak dipergunakan baik untuk pengobatan terhadap penyakit Mastitis maupun penyakit infeksi lainnya. Susu segar asal Jawa Timur juga mengandung antibiotika golongan Tetrasiklin (28,8%) dan Oksitetrasiklin (71%). Tampaknya kandungan oksitetrasiklin lebih banyak digunakan daripada tetrasiklin. Murdiati dan Widiastuti pada tahun 2003 juga telah mengungkapkan keberadaan residu antibiotika golongan kloramfenikol dengan persentase kejadian sebesar 20,7% dari 29 sampel susu sapi asal Jawa Barat. Sebagai catatan perlu diketahui bahwa seluruh susu sapi yang dikoleksi untuk diteliti dan diperiksa terhadap keberadaan residu antibiotika ini merupakan susu yang dipersiapkan untuk dikonsumsi masyarakat. Keberadaan berbagai senyawa antibiotika pada susu segar sapi di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur ini menggambarkan bahwa penggunaan antibiotika pada sapi perah sudah tidak mengikuti ketentuan yang ada dimana seharusnya sapi yang sedang dalam pengobatan/pemakaian obat antibiotika tidak diperkenankan diambil susunya untuk dikonsumsi atau diperdagangkan. Kemungkinan besar penggunaan antibiotika ini dimaksudkan untuk mengatasi penyakit mastitis subklinis yang banyak menyerang sapi perah di Indonesia, disamping untuk mengobati penyakit lain. Keberadaan residu antibiotika kloramfenikol cukup memprihatinkan karena antibiotika ini termasuk golongan yang keras sehingga harus berhati-hati penggunaannya dan produk ternak yang mengandung antibiotika tersebut tidak boleh dikonsumsi karena dapat menimbulkan permasalahan resistensi. 99

11 Keamanan Pangan Asal Ternak Residu antibiotika pada daging dan hati ayam di Jawa Timur juga telah diungkapkan oleh Hartati pada tahun 1993 dengan persentase kejadian masing-masing 13,2 dan 82,5%. Sedangkan Darsono pada tahun 1996 juga telah mengungkapkan keberadaan residu antibiotika golongan oksitetrasiklin pada hati ayam sebesar 83,3%. Pada data ini tampak bahwa persentase kejadian residu antibiotika pada hati ayam jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pada daging. Hal ini dapat dimengerti karena dalam sistem metabolisme obat di dalam tubuh hewan akan terjadi proses biotransformasi atau detoksifikasi senyawa obat pada organ utama berupa hati dan ginjal. Walaupun senyawa obat dan metabolitnya terdistribusi ke berbagai organ tubuh tetapi konsentrasi senyawa tersebut akan banyak dijumpai pada organ hati, sedangkan pada jaringan lain termasuk otot atau daging ditemui dalam jumlah yang lebih rendah (Setiawati 1987). Data residu obat hewan lainnya adalah golongan sulfa yang terdeteksi pada telur ayam di Bali dengan persentase sebesar 38% (Dewi et al. 1997a). Sedangkan Murdiati mengungkapkan keberadaan oksitetrasilin (70%) dan klortetrasiklin (30%) pada daging ayam asal Jawa Barat pada tahun Senyawa antibiotika lain berupa siprofloksasin (8%) dan enrofloksasin (28%) pada daging ayam di Jawa Barat juga diungkapkan oleh Widiastuti pada tahun Demikian juga pada organ hati ayam di Jabar dapat ditemukan residu antibiotika golongan siprofloksasin (10%) dan enrofloksasin (20%). Keberadaan antibiotika pada daging, hati dan telur ayam ini diduga karena ayam-ayam tersebut mendapatkan senyawa antibiotika yang diberikan dalam pakannya. Hal ini didukung oleh pengamatan Bahri et al. (2005) yang mengungkapkan bahwa pakan komersial yang diproduksi oleh pabrik pakan komersial memang ditambahkan senyawa antibiotika sebagai growth promoter. Oleh karena itu, wajar apabila produk ayam yang dihasilkan berupa telur, daging dan hati ayam cukup banyak yang mengandung residu antibiotika. Keadaan demikian perlu 100

12 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan mendapat perhatian dari pemerintah yang mengatur penggunaan obat hewan pada pakan maupun pada ternak, agar menertibkan penggunaan dan peredaran obat hewan yang tidak tepat, karena dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsi produk tercemar residu obat tersebut. B. Cemaran Pestisida Kasus cemaran pestisida pada bahan pangan asal ternak di Indonesia telah dilaporkan oleh berbagai peneliti seperti yang disajikan pada Tabel 10. Murdiati et al. (1998) telah mengungkapkan keberadaan residu senyawa pestisida pada daging ayam yang berasal dari Jawa Barat. Dalam hal ini dari 61 sampel yang diperiksa, ditemukan 62% mengandung Lindan, 33% DDT, 29% Aldrin, 25% Endosulfan, 10% Dursban, dan 5% Diazinon. Keadaan ini cukup memprihatinkan karena tidak seharusnya senyawa berbagai macam pestisida tersebut dijumpai pada daging ayam. Terjadinya cemaran ini kemungkinan berasal dari pakan atau bahan pakan yang telah terkontaminasi dengan pestisida tersebut, karena memang dalam budidaya tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai maupun tanaman hortikultura selalu menggunakan pestisida untuk mengontrol atau membunuh hama penyakit yang mengganggu tanaman tersebut. Cemaran pestisida dapat dijumpai pada produk tanaman pangan atau hortikultura tersebut apabila pemanenan produk senyawa pestisida masih belum terurai. Pencemaran dapat juga terjadi melalui air atau bahan lain yang dipergunakan dalam proses pembuatan pakan atau dalam proses budidaya ternak. 101

13 Keamanan Pangan Asal Ternak 102 Tabel 10. Residu atau cemaran senyawa pestisida pada berbagai produk asal ternak di Indonesia Produk ternak Jumlah sampel Macam pestisida Kadar rata-rata/ persen positif Sumber pustaka Daging ayam (Jabar) 61 Lindane 38 ppb (62%) Murdiati et al. (1998) Idem 61 Aldrin 18 ppb (29%) Idem Idem 61 Endosulfan 15 ppb (25%) Idem Idem 61 DDT 20 ppb (33%) Idem Idem 61 Dursban 6 ppb (10%) Idem Idem 61 Diazinon 3 ppb (5%) Idem Idem 61 Heptachlor 37 ppb (61%) Idem Susu sapi (Jabar) 25 Daging sapi (Jabar) 44 Hati sapi (Jabar) 44 Lemak sapi (Jabar) 44 Otak sapi perah (Jabar) 25 OC OP OC OP OC 20,5 ppb 50,10 ppb 19,6 ppb 219,9 ppb 23,6 ppb OP 452,9 OC OP 0,7 ppb 619,9 ppb OC 5,1 ppb (68%) OP 22,7 ppb (36%) Indraningsih dan Sani (2004) Indraningsih dan Sani (2004) Indraningsih dan Sani (2004) Indraningsih dan Sani (2004) Sani dan Indraningsih (2007)

14 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan 103 Daging (Blora Jateng) 6 Lindan Diazinon 1,46 ppb 3,08 ppb Indraningsih et al. (2006) Lemak (Blora Jateng) 6 Lindan 5,51 ppb Indraningsih et al. (2006) Daging (Wonogiri Jateng) Susu segar (Jabar) 12 Lindan 0,53 ppb Indraningsih et al. (2006) 20 OC 1,22 ppb (100%) OP 1,09 ppb (30%) Indraningsih (2008) OC: Organochlorine; OP: Organophosphate

15 Keamanan Pangan Asal Ternak Residu pestisida golongan Organochlorine maupun Organophosphate juga ditemukan pada sampel susu asal Jawa Barat pada tahun 2004 (Indraningsih dan Sani, 2004). Selanjutnya pada tahun 2008, Indraningsih juga mengungkapkan keberadaan pestisida golongan Organochlorine pada 20 sampel susu segar asal Jabar, sedangkan residu Organophosphate hanya terdeteksi 30% dari 20 sampel yang sama. Keadaan ini dapat terjadi karena sapi-sapi tersebut kemungkinan mendapat pakan berupa sisa-sisa tanaman hortikultura terutama limbah tanaman sayur-sayuran yang dalam proses budidayanya selalu dilakukan penyemprotan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman tersebut. Pemeriksaan pada masing-masing 44 sampel daging, hati dan lemak sapi yang berasal dari Jawa Barat positif mengandung residu Organophosphate dengan kadar rata-rata 219,9 ppb (pada daging), 452,8 ppb (pada hati) dan 619,9 ppb (pada lemak). Keadaan ini menggambarkan bahwa senyawa Organophosphate cenderung akan lebih tinggi terakumulasi pada jaringan lemak. Hal lain yang penting dari informasi ini adalah bahwa organ hati memang menjadi organ tempat terkonsentrasinya senyawa toksik sesuai dengan fungsinya bahwa hati merupakan tempat terjadinya proses metabolisme atau detoksifikasi senyawa toksik. Oleh karena itu, walupun organ hati memiliki kandungan zat gizi yang cukup baik seperti beberapa vitamin dan zat besi, juga mengandung senyawa toksik yang relatif cukup tinggi dibandingkan dengan organ lainnya. Oleh karena itu, kebiasaan untuk memberikan hati sebagai makanan bergizi untuk bayi di Indonesia perlu ditinjau ulang mengingat banyaknya ditemukan berbagai residu senyawa toksik pada organ hati. Keadaan saat ini memang sudah sangat berbeda dengan keadaan pada zaman dahulu sebelum penggunaan pestisida maupun senyawa kimia pertanian (agrochemical) banyak digunakan, sehingga wajar apabila nenek moyang kita sejak zaman dahulu secara turun-temurun sudah menjadi 104

16 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan kebiasaan memberi makan hati kepada bayi sebagai makanan bergizi yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi karena ternak pada waktu itu masih mendapat pakan yang alami (yang sekarang kita sebut sebagai pakan organik). Namun dengan situasi yang sudah berubah, juga wajar apabila kebiasaan tersebut ditinjau ulang. Dengan banyaknya kasus ditemukannya residu berbagai senyawa pestisida dan turunannya pada berbagai produk ternak (seperti susu, daging, hati), maka masalah keamanan pangan asal ternak di Indonesia cukup memprihatinkan. Oleh karena itu, sudah waktunya untuk dilakukan tindakan nyata dari pemerintah dalam menjalankan peraturan yang sudah ada termasuk sanksi administratif maupun pidananya. Selain itu juga melengkapi berbagai peraturan yang belum ada agar permasalahan keamanan pangan asal ternak dapat melindungi konsumen rakyat Indonesia dari bahaya cemaran dan atau penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Pemerintah harus secara tegas dan konsekuen menuntaskan semua peraturan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. C. Cemaran Mikotoksin Kasus-kasus cemaran atau residu mikotoksin pada produk ternak di Indonesia juga telah dilaporkan oleh berbagai peneliti seperti disajikan pada Tabel 11. Dari data pada Tabel 11 ternyata baru senyawa aflatoksin dan turunannya yang dapat diungkapkan keberadaannya dalam berbagai produk ternak seperti susu, telur, daging dan hati. Sementara itu, senyawa mikotoksin lainnya belum diungkapkan. Pada Tabel 11 tersebut terlihat bahwa Aflatoksin M1 (AFM1) sering ditemukan pada susu segar yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Beberapa sampel seperti yang berasal dari Boyolali, Ungaran dan Solo memiliki kandungan rata-rata di atas batas maksimum residu (BMR) yang 105

17 Keamanan Pangan Asal Ternak diperbolehkan untuk dikonsumsi manusia (0,5 ppb). Sedangkan susu yang berasal dari Jawa Barat pada sampel yang diuji ini masih berada di bawah BMR. Hal ini kemungkinan karena sapi perah yang dipelihara di Jawa Barat umumnya berada pada dataran tinggi dengan suhu sekitar relatif rendah (dingin) sehingga bahan pakan yang berasal dari sekitar tidak banyak tercemar mikotoksin, sebagaimana diketahui bahwa kapang penghasil mikotoksin umumnya tumbuh dan berbiak pada berbagai komoditas pertanian pada suhu sekitar C. Sebaliknya di daerah Jawa Tengah seperti Solo, Ungaran dan Boyolali memiliki suhu sekitar yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Jawa barat seperti Pangalengan dan Lembang, sehingga peluang kapang penghasil mikotoksin termasuk Aflatoksin untuk tumbuh dan berkembangbiak pada berbagai komoditas pertanian termasuk bahan pakan dan pakan sapi perah lebih tinggi. Oleh karena itu, wajar apabila susu segar asal ketiga daerah di Jawa Tengah tersebut memiliki kandungan AFM1 yang lebih tinggi daripada susu asal Jawa Barat. Pendapat ini didukung oleh hasil pengamatan penulis yang memeriksa bahan pakan dan pakan sapi perah di Boyolali pada tahun Pakan yang mengandung senyawa aflatoksin tersebut di dalam tubuh sapi akan mengalami proses detoksifikasi atau metabolisme setelah diserap usus dan melalui aliran darah portal kemudian sampai di organ hati. Di organ hati ini sebagian besar senyawa aflatoksin mengalami perubahan sebagai hasil detoksifikasi tersebut menjadi senyawa AFM1 dan sebagian lagi menjadi senyawa aflatoksikol (Ro) yang toksisitasnya jauh berkurang dibandingkan dengan senyawa induknya. 106

18 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan Tabel 11. Residu atau cemaran senyawa aflatoksin pada berbagai produk asal ternak di Indonesia Produk ternak Jumlah sampel Macam mikotoksin Kadar rata-rata/ persen positif Sumber pustaka Susu segar (Jabar) 97 AFM1 0,4 ppb Bahri et al. (1991) Susu segar (Boyolali) 25 AFM1 1,69 ppb Maryam et al. (1993) Susu segar (Ungaran) 24 AFM1 0,99 ppb Idem Susu segar (Solo) 24 AFM1 1,09 ppb Idem Susu segar (Bogor) 12 AFM1 0,04-0,17 ppb Bahri et al. (1994)b Telur ayam buras (Blitar) 20 Ro 1,04 ppb Maryam et al. (1994) Telur ayam ras (Blitar) 40 AFB1 0,2 ppb Idem Idem 40 Ro 2,36 ppb idem Telur itik (Blitar) 10 AFB1 0,37 ppb Idem Idem 10 Ro 1,5 ppb Idem Hati ayam broiler (Jabar) 31 AFM1 12,07 ppb Maryam (1996) Idem 31 Ro 1,54 ppb Idem Telur ayam ras (Bandung) Daging ayam broiler (Jabar) 20 AFM1 O,123 ppb Maryam et al. (1995) 31 AFM1 7,36 ppb Maryam (1996) Daging sapi (Jabar) 30 AFB1 0,45-1,14 ppb Widiastuti (2000) 107

19 Keamanan Pangan Asal Ternak Produk ternak Produk ternak Jumlah sampel Jumlah sampel Macam mikotoksin Macam mikotoksin AFM1: Aflatoksin M1; AFB1: Aflatoksin B1; Ro: Aflatoksikol Kadar rata-rata/ persen positif Kadar rata-rata/ persen positif Sumber pustaka Sumber pustaka Idem 30 AFM1 < 0,1 ppb Idem Hati sapi (Jabar) 20 AFB1 0,33-1,44 ppb Idem Idem 20 AFM1 < 0,1 ppb Idem Susu sapi (Jabar) 37 AFM1 0,13 ppb Widiastuti et al. (2004a) 108

20 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan Residu aflatoksin juga dapat dijumpai pada telur ayam ras, ayam buras maupun telur itik, baik dalam bentuk AFB1, AFM1 maupun aflatoksikol (Ro). Serupa dengan yang diuraikan dalam proses metabolisme/detoksifikasi senyawa aflatoksin menjadi AFM1 dan Ro pada sapi perah, maka proses yang terjadi pada unggaspun tidak jauh berbeda. Apabila pada sapi perah, senyawa metabolit tersebut didalam tubuh diekreasikan keluar tubuh melalui air susu, maka pada unggas senyawa tersebut dieksresikan ke dalam telur pada waktu proses pembentukan telur. Selain itu senyawa metabilit aflatoksin lainnya akan dikeluarkan melalui saluran empedu masuk ke saluran pencernaan dan akhirnya keluar bersama feses, sebagian lagi akan dieksresikan melalui ginjal ke dalam air seni. Sumber utama pencemaran mikotoksin atau aflatoksin ke dalam produk unggas adalah melalui pakan dan bahan pakan yang dikonsumsinya. Sebagaimana diketahui bahwa sekitar 50% pakan terdiri dari jagung, lainnya berupa bungkil kedelai, dan berbagai komoditas pertanian lainnya selain tepung ikan, MBM, dan lain sebagainya. Jagung yang kontribusinya paling besar dalam pakan merupakan sumber utama pencemar aflatoksin pada unggas komersial. Hal ini telah dibuktikan berdasarkan data dari Ginting et al (1984a; b) dan Widiastuti et al. (1988a; b). Hasil penelitian Widiastuti et al (1988a) menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin dalam pakan dari suatu pabrik pakan ternak komersial mempunyai korelasi yang erat dengan kandungan aflatoksin pada jagung yang dipergunakan sebagai bahan baku pakan komersial tersebut. Dalam hal ini apabila kandungan aflatoksin dalam jagung tinggi,maka kandungan aflatoksin dalam pakan yang dihasilkan pada bulan yang sama juga akan tinggi. Sebaliknya apabila kandungan aflatoksin jagungnya rendah, maka kandungan aflatoksin dalam pakannya juga akan rendah. Bahkan dalam penelitian tersebut juga diungkapkan bahwa dalam pengamatan selama satu tahun terhadap kandungan aflatoksin pada jagung yang masuk ke pabrik pakan memperlihatkan bahwa 109

21 Keamanan Pangan Asal Ternak kandungan aflatoksin relatif lebih tinggi pada bulan-bulan basah dimana banyak hujan turun, sedangkan sebaliknya pada bulanbulan musim kemarau kandungan aflatoksinnya relatif rendah. Residu aflatoksin juga ditemukan pada daging dan hati ayam dengan kadar rata-rata 7,3 ppb AFM1 pada daging ayam dan 12,07 ppb AFM1 pada organ hati ayam. Keadaan ini menunjukkan bahwa kandungan residu aflatoksin pada hati jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pada daging, apalagi dibandingkan pada telur. Hal ini sesuai dengan teori bahwa selain organ hati merupakan tempat utama terjadinya proses detoksifikasi atau biotransformasi berbagai senyawa toksik, juga tempat dimana berbagai senyawa toksik baik senyawa induknya maupun metabolitnya terakumulasi. Oleh karena itu, wajar apabila banyak negara maju tidak mengonsumsi organ hati sebagai makanan untuk manusia. Mungkin sudah waktunya juga agar pemerintah Indonesia mengkaji kembali kebijakan untuk mengonsumsi organ hati untuk manusia, apalagi untuk anak balita. D. Residu Hormon Meningkatnya impor daging sapi maupun sapi bakalan dari Australia menimbulkan berbagai kontroversi dari sebagian masyarakat yang merasa khawatir terhadap kemungkinan daging sapi asal Australia tersebut mengandung residu hormon pertumbuhan seperti Trenbolon asetat (TBA). Kekhawatiran ini didasarkan adanya informasi bahwa Australia termasuk negara yang membolehkan penggunaan hormon untuk merangsang/ mempercepat pertumbuhan ternak sapi apabila diberikan pada sapi-sapi bakalan yang sedang tumbuh. Atas dasar kecurigaan tersebut Widiastuti et al. (2000) melakukan serangkaian penelitian dengan mengambil sampel berupa daging sapi impor yang diperdagangkan di pasar swalayan DKI Jakarta. Selain daging sapi, juga diambil sampel berupa organ hati sapi yang sama-sama diimpor dari Australia. 110

22 Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa dari 34 sampel daging sapi yang diperiksa, memperlihatkan bahwa lebih dari separuhnya, yaitu 19 sampel atau 58,8 % positif mengandung hormon 17-B Trenbolon. Sedangkan dari 16 sampel organ hati impor yang diperiksa, memperlihatkan positif mengandung hormon 17-B Trenbolon sebesar 37,5 %. Hasil yang serupa juga dikemukakan oleh Rasyid (komunikasi pribadi 2010) yang melakukan penelitian kandungan residu hormon pada daging sapi impor. 111

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA

IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA IX. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA Indonesia sebagai negara tropis dengan curah hujan dan kelembaban udara yang tinggi merupakan lingkungan yang cocok untuk berkembangbiaknya berbagai

Lebih terperinci

INDEKS SUBJEK. Bacillus anthracis 37 Bagan proses farmakokinetik obat 59 Bagan rantai pangan asal ternak 57

INDEKS SUBJEK. Bacillus anthracis 37 Bagan proses farmakokinetik obat 59 Bagan rantai pangan asal ternak 57 INDEKS SUBJEK A Absorbsi obat 58 Acceptable daily intake (ADI) 117 AFB1 68; 109; 110; 111 Aflatoksikol 110; 111 Aflatoksin 43; 45; 68; 70; 90; 108; 109; 110; 111; 112 Aflatoksin B1; 68; 110 AFM1 68; 108;

Lebih terperinci

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK

IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK IV. MACAM DAN SUMBER PANGAN ASAL TERNAK Pada umumnya sumber pangan asal ternak dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu berupa daging (terdiri dari berbagai spesies hewan yang lazim dimanfaatkan

Lebih terperinci

Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu

Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu Keamanan Pangan Asal Ternak: Situasi, Permasalahan dan Prioritas Penanganannya di Tingkat Hulu Penyusun:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi,

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Daging merupakan salah satu sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sumber protein tersebut dapat berasal dari daging sapi, kerbau, kuda, domba, kambing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pangan asal hewan sangat dibutuhkan untuk kesehatan manusia sebagai sumber protein fungsional maupun pertumbuhan, terutama pada anak-anak usia dini yang karena laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau

BAB I PENDAHULUAN. 2012). Sapi berasal dari famili Bovida, seperti halnya bison, banteng, kerbau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi merupakan hewan ternak yang menghasilkan daging, susu, tenaga kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging Sampel daging sapi dan ayam diperoleh dari pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sebagian besar pedagang daging sapi (54.2%)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Derajat kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator harapan hidup manusia yang harus dicapai, untuk itu diperlukan upaya-upaya dalam mengatasi masalah kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

BAB I PENDAHULUAN. media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. alami Salmonella sp adalah di usus manusia dan hewan, sedangkan air dan

BAB I PENGANTAR. alami Salmonella sp adalah di usus manusia dan hewan, sedangkan air dan BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia pathogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai Salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN xxix HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel daging ayam beku yang diambil sebagai bahan penelitian berasal dari daerah DKI Jakarta sebanyak 16 sampel, 11 sampel dari Bekasi, 8 sampel dari Bogor, dan 18 sampel dari

Lebih terperinci

KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK: SUATU TUNTUTAN DI ERA PERDAGANGAN BEBAS

KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK: SUATU TUNTUTAN DI ERA PERDAGANGAN BEBAS WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002 KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK: SUATU TUNTUTAN DI ERA PERDAGANGAN BEBAS SJAMSUL BAHRI, INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI, T.B. MURDIATI, dan R. MARYAM Balai Penelitian Veteriner,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

VI. RANTAI PANGAN ASAL TERNAK. A. Rantai Pangan dalam Perspektif Keamanan Pangan

VI. RANTAI PANGAN ASAL TERNAK. A. Rantai Pangan dalam Perspektif Keamanan Pangan VI. RANTAI PANGAN ASAL TERNAK A. Rantai Pangan dalam Perspektif Keamanan Pangan Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa keamanan pangan asal ternak merupakan suatu keharusan karena menyangkut kesehatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat

I. PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bakteri Salmonella sp merupakan mikrobia patogen penyebab sakit perut yang dapat menyebabkan kematian, yang disebut sebagai salmonellosis. Habitat alami Salmonella sp adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salmonella merupakan salah satu anggota dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan penyakit yang disebut

Lebih terperinci

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil)

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit antraks merupakan salah satu penyakit zoonosa yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, yaitu bakteri berbentuk batang (basil) dengan ujung siku-siku bersifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau

I. PENDAHULUAN. mengandung sejumlah mikroba yang bermanfaat, serta memiliki rasa dan bau I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu yang baru keluar dari kelenjar mamae melalui proses pemerahan merupakan suatu sumber bahan pangan yang murni, segar, higienis, bergizi, serta mengandung sejumlah

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

I. PENDAHULUAN. Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Infeksi dan kontaminasi yang disebabkan oleh Salmonella sp. ditemukan hampir di seluruh belahan dunia. Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Antibiotika di Peternakan Antibiotika adalah senyawa dengan berat molekul rendah yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2011), dalam survey yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2011), dalam survey yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan asal hewan dibutuhkan manusia sebagai sumber protein hewani yang didapat dari susu, daging dan telur. Protein hewani merupakan zat yang penting bagi tubuh manusia

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR LAMPIRAN...v DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii PENDAHULUAN...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR LAMPIRAN...v DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii PENDAHULUAN... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR LAMPIRAN...v DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii PENDAHULUAN...1 BAB I TINJAUAN PUSTAKA...4 1.1 Tinjauan Antibiotik...4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ayam broiler sangat dipengaruhi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ayam broiler sangat dipengaruhi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan ayam broiler sangat dipengaruhi oleh kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan. Pakan merupakan campuran berbagai macam bahan organik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656]

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1996 TENTANG PANGAN [LN 1996/99, TLN 3656] BAB X KETENTUAN PIDANA Pasal 55 Barangsiapa dengan sengaja: a. menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan ternak lain, yaitu laju pertumbuhan yang cepat, mudah dikembangbiakkan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler

PENDAHULUAN. amino esensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik. Daging broiler PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Daging broiler merupakan komoditas yang banyak diperdagangkan dan sangat diminati oleh konsumen karena merupakan sumber protein hewani yang memiliki kandungan

Lebih terperinci

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING

BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING BAB III VIRUS TOKSO PADA KUCING 3.1. Virus Tokso Pada Kucing Toksoplasmosis gondii atau yang lebih sering disebut dengan tokso adalah suatu gejala penyakit yang disebabkan oleh protozoa toksoplasmosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan minuman yang cukup, kehidupan manusia akan terganggu sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan dan minuman merupakan bahan pokok yang penting dalam kehidupan manusia. Sebagai salah satu kebutuhan pokok, makanan dan minuman dibutuhkan manusia untuk hidup,

Lebih terperinci

Analisa Mikroorganisme

Analisa Mikroorganisme 19 Analisa Mikroorganisme Pemeriksaan awal terhadap 36 sampel daging ayam dan 24 sampel daging sapi adalah pemeriksaan jumlah mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging

Lebih terperinci

SAFETY FOOD (Keamanan Pangan) A. Prinsip Safety Food

SAFETY FOOD (Keamanan Pangan) A. Prinsip Safety Food SAFETY FOOD (Keamanan Pangan) A. Prinsip Safety Food Safety Food (keamanan pangan) diartikan sebagai kondisi pangan aman untuk dikonsumsi. Safety Food secara garis besar digolongkan menjadi 2 yaitu aman

Lebih terperinci

KONTAMINASI SALMONELLA, ASPERGILLUS DAN AFLATOKSIN PADA PRODUK TERNAK ITIK ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN

KONTAMINASI SALMONELLA, ASPERGILLUS DAN AFLATOKSIN PADA PRODUK TERNAK ITIK ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN KONTAMINASI SALMONELLA, ASPERGILLUS DAN AFLATOKSIN PADA PRODUK TERNAK ITIK ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI dan SURYANA BPTP Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN RUMINANSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino

BAB I PENDAHULUAN. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan asal ternak sangat dibutuhkan manusia sebagai sumber protein. Protein hewani menjadi sangat penting karena mengandung asam-asam amino yang dibutuhkan manusia

Lebih terperinci

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup

Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan. Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup Marselinus Laga Nur Faktor yang mempengaruhi keracunan makanan Kontaminasi Pertumbuhan Daya hidup Bacilus cereus Gram-positif Aerobik membentuk endospora Tahan terhadap panas kering dan disinfektan kimia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latarbelakang aflatoksikosis

PENDAHULUAN Latarbelakang aflatoksikosis 1 PENDAHULUAN Latarbelakang Indonesia yang beriklim tropis memberikan kondisi yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan berbagai cendawan. Salah satu diantara cendawan tersebut adalah Aspergillus.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan unggas di Indonesia saat ini sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Populasi ayam pedaging meningkat dari 1,24 milyar ekor pada tahun 2012 menjadi

Lebih terperinci

SJAMSUL BAHRI el al. : Beberapa Faklor yang Mempengaruhi Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia Peranan pangan asal ternak Pangan asal ternak sangat

SJAMSUL BAHRI el al. : Beberapa Faklor yang Mempengaruhi Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia Peranan pangan asal ternak Pangan asal ternak sangat BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA SJAMSUL BAHRI, YULVIAN SANI dan INDRANINGSIH Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata 30, Bogor 16114 ABSTRAK Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semakin berkurangnya lahan sebagai tempat merumputnya sapi, maka banyak peternak mencari alternatif lain termasuk melepas ternak sapinya di tempat pembuangan sampah

Lebih terperinci

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cukup sempurna karena mengandung zat zat gizi yang lengkap dan mudah

I. PENDAHULUAN. cukup sempurna karena mengandung zat zat gizi yang lengkap dan mudah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Telur merupakan produk peternakan yang memberikan sumbangan terbesar bagi tercapainya kecukupan gizi masyarakat. Dari sebutir telur didapatkan gizi yang cukup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang

I. PENDAHULUAN. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang secara normal ada dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas. E. coli termasuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik

HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan Residu Antibiotik Pengujian residu antibiotik pada daging ayam dan sapi dalam penelitian ini dilakukan dengan metode uji tapis (screening test) secara bioassay, sesuai dengan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA... 70 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel 2.1. komposisi Kimia Daging Tanpa Lemak (%)... 12 Tabel 2.2. Masa Simpan Daging Dalam Freezer... 13 Tabel 2.3. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Pada Pangan...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. untuk memenuhi hampir semua keperluan zat-zat gizi manusia. Kandungan yang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Susu dan produk olahannya merupakan pangan asal hewan yang kaya akan zat gizi, seperti protein, lemak, laktosa, mineral dan vitamin yang dibutuhkan untuk memenuhi hampir

Lebih terperinci

V. BAHAYA ATAU HAZARD DALAM KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK

V. BAHAYA ATAU HAZARD DALAM KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK V. BAHAYA ATAU HAZARD DALAM KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK Keamanan pangan asal ternak ini menjadi penting karena bahan pangan atau pangan yang tidak aman untuk dikonsumsi manusia dapat membahayakan kesehatan

Lebih terperinci

Bab 4 P E T E R N A K A N

Bab 4 P E T E R N A K A N Bab 4 P E T E R N A K A N Ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Perkembangan populasi ternak utama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak

I. PENDAHULUAN. dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging adalah semua jaringan hewan, baik yang berupa daging dari karkas, organ, dan semua produk hasil pengolahan jaringan yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Susu merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi pemenuhan

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Susu merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi pemenuhan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Susu sangat berperan sebagai asupan untuk kesehatan, kecerdasan dan pertumbuhan manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Taeniasis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada manusia karena menelan stadium infektif yaitu daging yang mengandung larva sistiserkus. Penyebab taeniasis yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang

BAB I PENDAHULUAN. mengandung protein dan zat-zat lainnya seperti lemak, mineral, vitamin yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu daging yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, karena banyak mengandung protein dan zat-zat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan dalam pembangunan perekonomian di Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh petumbuhan di sektor industri dan sektor pertanian. Sektor industri dan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau

I. PENDAHULUAN. diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne

BAB 1 PENDAHULUAN. bila dikonsumsi akan menyebabkan penyakit bawaan makanan atau foodborne BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebersihan makanan dan minuman sangatlah penting karena berkaitan dengan kondisi tubuh manusia. Apabila makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak terjaga kebersihannya

Lebih terperinci

KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA

KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA KAJIAN HASIL MONITORING DAN SURVEILANS CEMARAN MIKROBA DAN RESIDU OBAT HEWAN PADA PRODUK PANGAN ASAL HEWAN DI INDONESIA YOKI YOGASWARA dan LOKA SETIA Subdit Residu, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner

Lebih terperinci

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea. Langkah 3 Penggunaan formalin: Pembunuh kuman sehingga dimanfaatkan untuk pembersih: lantai, kapal, gudang, pakaian. Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain. Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian dari pertumbuhan industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam memenuhi kebutuhan pangan yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam Bangkok merupakan jenis ayam lokal yang berasal dari Thailand dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) merupakan

I. PENDAHULUAN. Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne disease) merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang banyak dijumpai dan penyebab signifikan menurunnya produktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi hewani membuat

BAB I PENDAHULUAN. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi hewani membuat BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan gizi hewani membuat tingginya permintaan kebutuhan daging ayam broiler. Permintaan pasar yang tinggi terhadap daging ayam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam merupakan penyedia protein hewani yang cukup tinggi sehingga banyak orang menjadikan sebagai usaha komersial yang terus dikembangkan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL )

DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL ) DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN GROBOGAN MEMILIH DAGING ASUH ( AMAN, SEHAT, UTUH, HALAL ) Diterbitkan : Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Grobogan Jl. A. Yani No.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG ALAT DAN MESIN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG ALAT DAN MESIN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG ALAT DAN MESIN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas

Lebih terperinci

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN. A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 II. KETENTUAN HUKUM TERKAIT KEAMANAN PANGAN A. UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam BAB XA mengenai Hak Asasi Manusia pada pasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta (BBKPSH) merupakan unit pelaksana teknis (UPT) lingkup Badan Karantina Pertanian yang berkedudukan di Bandara Udara Internasional

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Kuisioner Penyediaan telur yang aman dan berkualitas sangat diperlukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Penanganan telur mulai dari sesaat setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar

BAB I PENDAHULUAN. dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Susu merupakan minuman dengan kandungan protein, karbohidrat, lemak dan mineral yang tinggi dan sangat penting bagi manusia, baik dalam bentuk segar maupun yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Escherichia coli O157:H7 merupakan salah satu enterohaemorrhagic Escherichia coli atau disebut EHEC yang dapat menyebabkan kematian pada manusia (Andriani, 2005; Todar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ternak ayam broiler merupakan komoditi ternak yang mempunyai prospek

BAB I PENDAHULUAN. Ternak ayam broiler merupakan komoditi ternak yang mempunyai prospek BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak ayam broiler merupakan komoditi ternak yang mempunyai prospek sangat menjanjikan untuk dikembangkan di Indonesia, salah satunya di daerah Sumatera Barat. Apabila

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan sampel berdasarkan jumlah susu pasteurisasi yang diimpor dari Australia pada tahun 2011 yaitu 39 570.90 kg, sehingga jumlah sampel yang diuji dalam penelitian ini sebanyak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging

BAB I PENDAHULUAN. komoditas ternak yang memiliki potensi cukup besar sebagai penghasil daging BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi merupakan hewan berdarah panas yang berasal dari famili Bovidae. Sapi banyak dipelihara sebagai hewan ternak. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan kepada manusia melalui makanan (Suardana dan Swacita, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Foodborne disease adalah penyakit yang ditularkan lewat makanan, dengan ciri berupa gangguan pada saluran pencernaan dengan gejala umum sakit perut, diare dan atau

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikonsumsi masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan masyarakat tersebut. (1) Selain

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikonsumsi masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan masyarakat tersebut. (1) Selain BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Air dan kesehatan merupakan dua hal yang saling berhubungan. Kualitas air yang dikonsumsi masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan masyarakat tersebut. (1) Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi bagi kesehatan. Salah satu

Lebih terperinci

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN

DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN DASAR KOMPETENSI KEJURUAN DAN KOMPETENSI KEJURUAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN BIDANG STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS DAN AGROTEKNOLOGI PROGRAM STUDI KEAHLIAN : AGRIBISNIS PRODUKSI TERNAK KOMPETENSI KEAHLIAN

Lebih terperinci

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan Teknologi Pangan Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan tujuan industri untuk memenuhi permintaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, \ PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39/PERMEN-KP/2015 TENTANG PENGENDALIAN RESIDU OBAT IKAN, BAHAN KIMIA, DAN KONTAMINAN PADA KEGIATAN PEMBUDIDAYAAN IKAN KONSUMSI DENGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk pangan asal hewan merupakan sumber zat gizi, termasuk protein yang banyak mengandung asam amino, lemak, kalsium, magnesium dan fosfor sehingga bermanfaat bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak

BAB I PENDAHULUAN. terkait meningkatnya konsumsi masyarakat akan daging babi. Khusus di Bali, ternak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak babi merupakan salah satu bagian penting dalam menunjang perekonomian banyak negara. Populasi babi terus meningkat dari tahun ke tahun terkait meningkatnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Peningkatan kebutuhan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Peningkatan kebutuhan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan akan daging dan susu semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan daging dan susu memberikan dampak positif pada

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR SULAWESI TENGAH GUBERNUR SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PENGAWASAN KEAMANAN PANGAN SEGAR TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional.

BAB I PENDAHULUAN. kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional. BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Sebagian besar peternak sapi perah di Indonesia masih merupakan peternak kecil. Pengelolaan sapi perah rakyat pada kenyataannya masih bersifat tradisional. Cara beternak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Produk 2.1.1 Susu Kita mengenal beberapa bahan makanan yang mengandung sedikit atau tidak sama sekali bagian-bagian yang sangat diperlukan (vital) untuk tubuh kita. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari berbagai macam segi kehidupan, kesehatan merupakan harta terindah bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari berbagai macam segi kehidupan, kesehatan merupakan harta terindah bagi setiap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dilihat dari berbagai macam segi kehidupan, kesehatan merupakan harta terindah bagi setiap manusia. Sering kali manusia tidak mengindahkan kesehatan, walaupun hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ayam broiler. Ayam broiler merupakan jenis unggas yang berkarakteristik diantara

I. PENDAHULUAN. ayam broiler. Ayam broiler merupakan jenis unggas yang berkarakteristik diantara I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sub-sektor peternakan merupakan salah satu pemasok bahan pangan protein hewani yang sangat penting bagi masyarakat. Salah satu sumber gizi asal ternak yang sangat potensial

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PETERNAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kepastian berusaha

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu sub sektor pertanian yang mempunyai potensi yang sangat baik untuk menopang pembangunan pertanian di Indonesia adalah subsektor peternakan. Di Indonesia kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging juga dapat menimbulkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh logam berat sudah sangat

PENDAHULUAN. Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh logam berat sudah sangat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh logam berat sudah sangat memprihatinkan. Pencemaran lingkungan oleh logam berat merupakan suatu proses yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dan sedang berusaha mencapai pembangunan sesuai dengan yang telah digariskan dalam propenas. Pembangunan yang dilaksakan pada hakekatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu bahan alami yang mempunyai nilai gizi tinggi dan telah lama dimanfaatkan sebagai sumber protein yang cukup penting bagi manusia. Pada umumnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli

BAB I PENDAHULUAN. Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu bangsa sapi asli Indonesia dan keturunan asli banteng dan telah mengalami proses domestikasi. Sapi bali telah tersebar di seluruh wilayah

Lebih terperinci