Permasalahan dan prinsip-prinsip konservasi kawasan pusaka 1. Permasalahan konservasi/pelestarian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Permasalahan dan prinsip-prinsip konservasi kawasan pusaka 1. Permasalahan konservasi/pelestarian"

Transkripsi

1 Minggu 2 Topik: Permasalahan dan prinsip-prinsip konservasi kawasan pusaka 1. Permasalahan konservasi/pelestarian 1.1.Konsep Kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan merupakan konsep utama pelestarian, suatu pengertian yang berbeda dengan preservasi. Upaya pelestarian bukanlah isu keindahan (beautification) namun penyelesaian persoalan yang holistik, komprehensif dan berkelanjutan. Pelestarian menitik beratkan pada upaya menciptakan pemanfaatan yang kreatif, menghasilkan heritage products yang bar', pelaksanaan program-program partisipasi, analisis ekonomi, serta kegiatan ekonomi dan budaya di kawasan pelestarian. 1.2.Tujuan: Pelestarian bukanlah romantisme masalalu atau upaya untuk mengawetkan kawasan bersejarah, namun bertujuan untuk: Berdasar kekuatan aset lama, memberikan kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik, menghasilkan keuntungan dan peningkatan pendapatan, serta lingkungan yang ramah Menjadi alat dalam mengolah transformasi dan revitalisasi kawasan bersejarah tersebut, serta menciptakan pusaka budaya masa mendatang (future heritage) Tetap memelihara indentitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik (the total system of heritage conservation). Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun perubahan secara alami dan terseleksi (Adishakti, 1997) Pelestarian berarti pula "preserving purposefully: giving not merely continued existence but continued useful existence" (Burke, 1976). Jadi, fungsi seperti juga bentuk menjadi pertimbangan utama dan tujuannya bukan untuk mempertahankan pertumbuhan perkotaan, namun manajemen perubahan (Asworth, 1991). 1.3.Obyek Dalam pelestarian obyek yang dikelola tidak lagi hanya bangunan individual atau kelompok bangunan namun area atau kota secara keseluruhan. Dengan kata lain lingkup pelestarian merupakan sebuah seting yang terdiri dari beragam pusaka budaya (kota, desa, arsitektur, seni rupa dan pertunjukan, dll) dan alam lokal (abiotik, Universitas Gadjah Mada 1

2 flora, fauna), baik yang terlihat (tangible) ataupun tidak terlihat (intangible) seperti kemampuan mengukir, membangun konstruksi kayu secara tradisional, dll. 1.4.Bentuk Kegiatan Kegiatan pelestarian yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan dalam bentuk: Preservasi dan dalam saat yang sama melakukan pembangunan atau pengembangan, restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu Melakukan pencangkokan program-program yang menarik dan kreatif, berkelanjutan, dan merencanakan program partisipasi dengan memperhitungkan estimasi ekonomi. 1.5.Pihak-pihak yang terlibat Multipihak, dari sektor budaya, industri dan perdagangan, pendidikan, pekerjaan umum, perumahan dan pembangunan hingga pariwisata, sektor swasta, serta masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut, termasuk keterlibatan total masyarakat untuk mengelola sendiri (people centered management). 2. Prinsip-prinsip konservasi Perkembangan global dalam upaya melestarian kota-kota bersejarah di dunia menunjukkan ada 8 prinsip utama pelestarian urban sebagaimana tercantum dalam Pedoman Pengelolaan Kota-kota Bersejarah Dunia (2003): a. Perlu identifikasi kualitas tertentu yang menyebabkan suatu situs bersejarah perkotaan dianggap penting; b. Perlu proses yang sistematik yang digunakan untuk inventarisasi, penelitian, dan penilaian suatu aset pelestarian; c. Perlu menggunakan hasil evaluasi situs dalam suatu perencanaan pelestarian yang mengidentifikasi aras proteksi yang disyaratkan oleh suatu situs tertentu; d. Perlu, dalam perencanaan pelestarian, tujuan pelestarian yang terpadu dengan tujuan-tujuan pembangunan sosial dan ekonomi yang telah ditetapkan; e. Perlu melibatkan masyarakat dalam perencanaan pelestarian; f. Perlu meyakinkan bahwa penilaian keuangan atas suatu pembangunan baru tidak merusak situs perkotaan bersejarah; g. Perlu mendorong pemerintah pusat dan daerah menggunakan kewenangannya dalam menata dan menggunakan peraturan dan pendanaan yang tepat; h. Perlu memahami bahwa setiap persoalan pelestarian adalah unik. Universitas Gadjah Mada 2

3 Nilai dan keragaman pusaka saujana Indonesia yang merupakan kekayaan dan pusaka bangsa mendesak untuk dikendalikan pengelolaannya. Untuk itu perlu ditekankan adanya kesatuan langkah yang mempertimbangkan aspek-aspek yang satu dengan tidak bisa dipisahkan dalam meningkatkan proses pelestarian pusaka. Karena melakukan upaya pelestarian merupakan suatu usaha pembangungan yang berbasis budaya-ekologimasyarakat secara menyeluruh, komprehensif dan berkelanjutan. Aspek-aspek tersebut adalah (Adishakti, 2003): Masyarakat sebagai pusat pengelolaan (people-centered management), Penting kerjasama/kolaborasi antar disiplin ilmu maupun sektor, Tercipta mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi apresiasi dan aksi masyarakat Perlu dukungan dan penegakan aspek legal, dan Perlu diwujudkannya pasar pelestarian untuk menunjang kesinambungan pengelolaan a. Masyarakat sebagai pusat pengelolaan ("people- centered management") Dalam keragaman pusaka di Indonesia, banyak materi yang cepat lapuk, seperti aset yang terbuat dari kayu dan bambu. Kondisi seperti ini membutuhkan tingkat proteksi yang sangat tinggi, termasuk keberadaan/produksi material itu sendiri. Dengan kata lain, eco system yang melingkupi keberadaan pusaka itu perlu proteksi pula. Permasalahan yang muncul adalah selain masih kesulitan memproteksi beragam high culture heritage, upaya proteksi di Indonesia belum menyentuh kepada ordinary heritage semacam bangunan bambu tersebut. Demikian juga pada intangible heritage, misalnya meneruskan kemampuan membangun bangunan tradisional. Demikian juga proteksi untuk kawasan atau desa/kota bersejarah yang memiliki dinamika kehidupan yang progresif. Dengan mementingkan pembangunan fisik menjadi program yang umumnya hams dilakukan, justru yang sering terjadi adalah hilangnya akar-akar budaya dan ekologi serta jiwanya yang khas. Dan menjadi bagian kota yang berwajah sama. Namun, setiap kota bersejarah perlu menunjukkan identitas masing-masing. Identitas tersebut secara visual akan tercermin melalui wajah kota yang merefleksikan bentuk akhir dari sebuah pengelolaan kota dan kehidupan masyarakatnya. Kegiatan pelestarian diyakini merupakan salah satu alat untuk mengelola wajah kota yang tetap menunjukkan kesinambungan dengan sejarah namun mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi kehidupannya yang selalu berkembang. Termasuk dengan upaya revitalisasi, yang tidak hanya sekedar mempercantik ruang namun justru mengembalikan vitalitas manusia dan lingkungannya. Universitas Gadjah Mada 3

4 Pada lingkup inilah yang belum banyak digarap di Indonesia, selama ini berbagai pihak sibuk berbicara tentang suatu obyek pusaka itu sendiri, apakah tentang sejarahnya, keindahannya, ciri arsitektur atau teknik-teknik pelestariannya. Perlu diciptakan "pasar" yang mampu memberikan apresiasi terhadap obyek pusaka tersebut, untuk kemudian secara mandiri mampu memelihara, mengembangkan dan memanfaatkannya. Secara lebih spesifik dapat dikatakan masyarakat perlu menghidupkan pusaka-pusaka tersebut untuk kemudian pusaka tersebut mampu menghidupi masyarakat lahir dan batin. Artinya manusia perlu ada rasa memiliki dengan cara menggunakan apa yang dimiliki/dihasilkan, membuatnya, mengembangkan secara inovatif agar memberikan hasil material maupun non material. Semua ini adalah sebuah proses pelestarian secara mandiri. Proteksi dan pengelolaan ini sudah saatnya pula menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya. Seperti tulisan Prof. Otto Sumarwoto (2001) dalam bukunya tentang pengelolaan lingkungan "Atur Diri Sendiri". Sudah bukan eranya lagi untuk Atur" dan Awasi". Sebagai contoh, masyarakat Minangkabau sejak tahun 2001 berangsur-angsur kembali ke sistem Nagari. Tahun Pusaka Indonesia 2003 merupakan salah satu cam untuk mengatasai berbagai masalah tersebut. Melalui upaya ini diharapkan banyak komunitas untuk berfikir tentang apa aset budaya yang dimiliki, bagaimana mengundang kepedulian, bagaimana memanfaatkan bagi masyarakat sendiri hingga orang lain, dan bagaimana pula untuk melestarikannya. h. Penting kerjasama/kolaborasi antar disiplin ilmu, sektor, dan daerah Pada dasamya upaya pelestarian di Indonesia dikelola oleh beberapa sektor (Kementrian dan Badan Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Dalam Negeri, Departemen Lingkungan Hidup, dll), dan menjadi inti persoalan dalam beberapa bidang keilmuan (Arkeologi, Antropologi, Arsitektur, Perencanaan. Kota, Sejarah, Kehutanan, Pertanian, Seni Rupa, dll). Obyek pelestarian sendiri beragam, dari abiotik (alam dan buatan), biotik (flora dan fauna), sosial-budayaekonomi; dari terlihat dan tidak terlihat. Permasalahan yang dihadapi dalam praktek pelestarian, di antaranya: - ketika bersama-sama menangani suatu ruang bersejarah, tidak sedikit dasar pijakan, terminologi, dan pendekatan proses pelestarian yang saling bertentangan, atau tidak ada kesepakatan antar sektor atau disiplin illmu - lebih parahnya justru dilakukan penanganan sendiri-sendiri oleh masing-masing sektor atau disiplin ilmu tanpa ada sinergi dan kerja kolaborasi, contoh konkrit pada saat ini adalah Proyek-proyek Revitalisasi di kota-kota bersejarah di berbagai tempat di Indonesia. Denyut kegiatan dalam Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia yang memang beorientasi untuk lintas ilmu dan sektor, mengindikasikan pula perlunya pemahaman multi dimensi dan pihak dalam upaya pelestarian ini. Pelestarian memang perlu dijalankan secara professional Universitas Gadjah Mada 4

5 dan tajam oleh masing-masing bidang ilmu maupun sektor. Namun pada saat bersamaan harus mampu pula memberikan tonggak-tonggak kesempatan berkolaborasi untuk memecahkan persoalan pelestarian yang menyeluruh, komprehensif, dan berkelanjutan, seperti kasus pelestarian lingkungan bersejarah. Untuk itu perlu platform pengelolaan pelestarian yang baku yang mengakomodasi berbagai ilmu dan sektor yang terkait. Dan didukung dengan mekanisme kelembagaan yang jelas dan aspek legal yang melingkupi persoalan lingkungan bersejarah. Melihat permasalahan di atas, Panitia Tahun Pusaka Indonesia 2003 menetapkan salah satu programnya yaitu menyusun Piagam/Charta pelestarian khusus untuk Indonesia. Tujuan penyusunan Piagam yang melibatkan banyak pihak dengan berbagai latar belakang adalah agar mampu mengakomodasi kekayaan peninggalan alam dan budaya Indonesia, persoalan pelestarian pusaka secara holistik dan menjadi acuan praktek pelestarian di Indonesia seiring dengan perkembangan jaman, serta memberikan kontribusi bagi perkembangan pelestarian di Asia khususnya dan dunia pada umumnya. Ruang lingkup piagam adalah nasional dan kontribusi untuk global, serta dan komprehensif dari berbagai bidang keilmuan dan sektor (Draft Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia terlampir) c. Tercipta mekanisme kelembagaan yang mampu mengakomodasi apresiasi dan aksi masyarakat Mekanisme kelembagaan dalam mengelola pelestarian budaya di Indonesia masih sangat lemah, sebagaimana tercermin pula dalam permasalahan pada butir-butir di atas. Indikasi lainnya adalah dapat dicermati pada struktur organisasi pemerintah kota atau kabupaten: - Adakah instansi pemerintah yang mengelola lingkungan bersejarah secara komprehensif, termasuk dalam proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan? - Terdapatkah institusi di dalamnya yang berperan sebagai komisi yang mampu memberikan telaah dan masukan tentang praktek-praktek pelestarian? Dan bila ada, mampukah lembaga-lembaga tersebut mengakomodasi bila kemampuan apresiasi dan aksi masyarakat meningkat dan menjadi kreatif serta inovatif? - Seberapa banyak pula instansi pemerintah yang memiliki peraturan daerah untuk melindungi pusaka-pusaka kota maupun kabupaten? - Sudahkah kota/kabupaten memiliki daftar pusaka yang dilindungi beserta data pusaka dan perubahannya dari waktu ke waktu? - Sementara itu pula peran legislatif masih sangat kecil baik ditingkat pusat maupun daerah. Sedangkan dalam kelembagaan non pemerintah, Indonesia belum memiliki National Trust (Badan Nasional Pelestarian Pusaka). Universitas Gadjah Mada 5

6 Pada dasamya sudah sangat mendesak tiap-tiap kota dan kabupaten mempertimbangkan persoalan pelestarian pusaka sebagai sebuah komponen yang menjadi satu bagian dalam pengelolaannya. d. Dukungan dan penegakan aspek legal Salah satu aspek legal yang terkait dengan persoalan pelestarian pusaka adalah Undangundang No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (yang sedang direvisi), didukung oleh beberapa peraturan yang terkait dengan lingkungan hidup dan tata ruang. Sementara di beberapa kota telah memiliki Surat Keputusan Gubemur/Walikota/Bupati tentang proteksi kawasan maupun bangunan bersejarah. Juga ada yang telah dilengkapi dengan Peraturan Daerah tentang Bangunan Bersejarah. Akan tetapi dalam praktek di lapangan aspek legal yang telah ada belum mampu untuk mengendalikan pemeliharaan dan pengelolaan pusakapusaka, terlebih yang berada di lingkungan dengan tekanan komersial yang sangat tinggi. Kenyataan di lapangan menunjukkan pula bahwa aspek legal yang ada di Indonesia belum mampu menjangkau berbagai persoalan pelestarian terutama yang berkaitan dengan lingkungan bersejarah yang mengandung beragam pusaka dengan kondisi masing-masing misalnya high culture-proletar, milik pribadi-publik, cepat lapuk-tahan lama, tangibleintagihle, atau anyaman alam dan budaya. Persoalan yang lain adalah tentang insentif bagi mereka yang memenuhi aturan yang digariskan dalam undang-undang. Persoalan pelestarian peninggalan lama sering terbentur dengan persoalan ekonomi, apalagi dari segi pemeliharaan yang sangat tinggi sementara pendanaan sangat terbatas. Dalam mekanisme pemerintah belum diterapkan tax incentives bagi yang melestarikan pusaka, baik bagi pemilik maupun pengembang. Demikian pula, tidak terdapat lax deduction system yang dapat menjadi sumber pembiayaan berbagai lembaga-lembaga non profit dan masyarakat lokal yang bergerak di bidang pelestarian. Mekanisme insentif dan disinsentif perlu segera dipersiapkan oleh pemerintah kota dan kabupaten. e. Perim diwujudkannya pasar pelestarian untuk menunjang kesinambungan pengelolaan Pasar pelestarian di Indonsia boleh dikatakan belum ada. Indikatomya adalah jumlah organisasi pelestarian di Indonesia serta pihak swasta, pengembang, industri, investor yang bergerak di bidang pelestarian masih terbatas sekali. Kembali kepedulian tentang pelestarian pusaka untuk semua pihak perlu dibangun. Dari yang paling sederhana seperti melakukan kunjungan dan mempelajari berbagai pusaka yang ada (seperti kegiatan jelajah pusaka), hingga melaksanakan teknis fisik pelestarian yang menyerap dana yang besar. Dalam pelaksanaan pelestarian teknik fisik, perlu ada perubahan mekanisme proyek pemerintah. Karena yang ada masih menggunakan sistem yang sama dengan suatu perencanaan dan pembangunan konstruksi pada umumnya sehingga sering kali meninggalkan kaidah-kaidah Universitas Gadjah Mada 6

7 pelestarian. Sekaligus perlu ada pengetahuan yang khusus tentang pelestarian baik bagi perencana maupun pelaksana, sehingga dari berbagai pengalaman yang ada mampu menangani berbagai upaya pelestarian secara professional. Pada saat ini belum banyak pihak swasta yang terjun dalam usaha pelestarian. Termasuk memanfatkan bangunan-bangunan lama untuk kegiatan baru serta mengemasnya. Sebenarnya banyak peluang yang dapat dilakukan dari segi industri pelestarian. Dalam mewujudkan pasar pelestarian ini memang diperlukan kerja kreatif dan inovatif agar mengundang banyak pihak untuk terlibat, meskipun tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian serta keseimbangan eko-budaya. 3. Pengelolaan konservasi di Indonesia 3.1. Pelestarian dalam peta keilmuan dan sektoral di Indonesia Pada dasamya upaya pelestarian di Indonesia dikelola oleh beberapa sektor (Kebudayaan dan Pariwisata, Kehutanan, Pertanian, Dalam Negeri, Lingkungan Hidup, Kelautan, (1ll), dan menjadi inti persoalan dalam beberapa bidang keilmuan (Arkeologi, Antropologi, Arsitektur, Perencanaan Kota, Sejarah, Kehutanan, Pertanian, Seni Rupa, dll). Obyek pelestarian sendiri beragam, dari abiotik (alam dan buatan), biotik (flora dan fauna), sosialbudaya-ekonomi. Permasalahan yang dihadapi, khususnya ketika bersama-sama menangani suatu ruang bersejarah, tidak sedikit dasar pijakan, terminologi, dan pendekatan proses pelestarian yang saling bertentangan, atau tidak ada kesepakatan. Denyut dalam Jaringan Pelestarian Pusaka Indonsia, mengindikasikan pula perlunya pemahaman lintas sektor dan keilmuan dalam upaya pelestarian ini. Di samping pada kenyataannya dibutuhkan kolaborasi program multipihak. Pelestarian memang perlu dijalankan secara professional dan tajam oleh masing-masing bidang ilmu maupun sektor. Namun pada saat bersamaan harus mampu pula memberikan tonggak-tonggak kesempatan berkolaborasi untuk memecahkan persoalan pelestarian yang menyeluruh, seperti kasus pelestarian kawasan bersejarah. Untuk itu perlu platform pengelolaan pelestarian yang baku yang mengakomodasi berbagai ilmu dan sektor yang terkait. Dan didukung dengan mekanisme kelembagaan yang jelas dan aspek legal yang melingkupi Universitas Gadjah Mada 7

8 persoalan kawasan, tidak hanya bangunan saja Dukungan aspek kelembagaan dan legal dalam pelestarian di Indonesia Dua buah diagram di bawah ini merupakan gambaran ringkas yang membandingkan antara pengelolaan pelestarian pusaka di Indonesia dan Amerika Serikat. Gambaran ini diperoleh ketika menyusun keterkaitan berbagai instansi yang bergerak di bidang pelestarian, mencermati proses dan mekanisme pelestarian, dan mengurai berbagai dukungan yang didapatkan bagi berbagai institusi yang bergerak di bidang pelestarian dan dukungannya terhadap suatu kawasan bersejarah (Adishakti, 2002). Kemudian melalui diagram yang dihasilkan ini ditelusuri apa yang sudah dimiliki dan dilakukan oleh Indonesia. Kesimpulan awal adalah: a. Mekanisme kelembagaan belum mendukung upaya pelestarian di Indonesia, sbb.: peran legislatif masih sangat kecil baik ditingkat pusat maupun daerah lingkup pelestarian diakomodasi oleh lembaga yang didukung legislative terbatas tidak memiliki "National Trust" Universitas Gadjah Mada 8

9 b. Aspek legal yang ada di Indonesia belum mampu menjangkau berbagai persoalan pelestarian terutama yang berkaitan dengan kawasan bersejarah c. Pasar pelestarian masih terbatas. Bila dicermati jumlah organisasi pelestarian di Indonesia serta pihak swasta, pengembang, industri, investor yang bergerak di bidang pelestarian masih terbatas sekali. d. Sistem pendanaan yang sangat terbatas. Tidak terdapat tax incentives bagi yang melestarikan pusaka, baik bagi pemilik maupun pengembang. Demikian pula, tidak terdapat tax deduction system yang di Amerika Serikat menjadi sumber utama pembiayaan berbagai lembaga-lembaga non profit dan masyarakat lokal yang bergerak di bidang pelestarian Nafas Kawasan bersejarah di Indonesia yang masih timbul tenggelam: Kembali bila kita telusuri dari Sabang sampai Merauke, dapatkah kita tunjuk mana kawasan bersejarah yang telah "mampu mengatur diri sendiri" dan menunjukkan kualitas pusaka yang lestari dan bermanfaat bagi banyak pihak baik secara? Adakah Universitas Gadjah Mada 9

10 pula kawasan bersejarah yang dapat kita tunjuk yang telah memiliki karya-karya arsitek abad ini yang diprediksi mampu menjadi "pusaka masa mendatang"? Kenyataan menunjukkan belum ada, dan banyak potensi yang belum digarap secara tepat dan bertanggung jawab, sehingga tidak mampu pula menggugah apresiasi.walau banyak tantangan, sebenamya tidak sedikit peluang yang dapat dilakukan Solusi melalui kolaborasi Berikut ini ditawarkan Konsep Program Pelestarian (PP) "Kawasan Pusaka" untuk menjadi salah satu solusi persoalan pelestarian kawasan bersejarah di Indonesia yang yang bertumpu pada kemandirian masyarakat lokal, menggugah apresiasi, dan kolaborasi dengan banyak pihak. Di sisi lain diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan baru bagi para arsitek atau perencana urban untuk pro-aktif membentuk organisasi "Kawasan Pusaka" secara profesional dan menawarkan kepada masyarakat lokal di berbagai kawasan bersejarah di seluruh Indonesia. Saat ini, PP "Kawasan Pusaka" diterapkan oleh Pusat Pelestarian Pusaka Arsitektur, Jurusan Arsitektur FT UGM bekerjasama Jogja Heritage Society sebagai uji coba upaya pelestarian di Kawasan njeron Beteng, Kraton, Yogyakarta (kegiatan sejak tahun 1999 hingga sekarang). Program ini merupakan garapan lanjut setelah pembelajaran melaksanakan partisipasi masyarakat dalam pelestarian di Kawasan Kotagede, Yogyakarta ( ), Kawasan Nanggala, Toraja, Sulawesi Selatan ( ), eksplorasi pelestarian di kawasan urban dan rural di Sumatera Barat ( ), studi banding di Area Kansai, Jepang (1999) dan Main Street Program di Amerika Serikat (2002). Gambaran ringkas Konsep Program Pelestarian Kawasan Pusaka", sebagai berikut: A. Rasionalisasi 1. Pada saat ini kota-kota di Indonesia mengalami proses transformasi dan perkembangan yang sangat pesat. Tidak saja karena proses globalisasi dan pasar bebas yang memberikan tekanan langsung pada kota-kota di Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah berimplikasi pada keharusan pemerintah kota untuk meningkatkan ekonomi dan pendapatan warga kota. Tekanan tersebut berwujud pada meningkatnya kebutuhan warga kota untuk kegiatan-kegiatan baru terutama yang bersifat komersial. Khusus menyangkut kota-kota yang mempunyai nilai sejarah dan budaya proses pertumbuhan kota perlu diwaspadai oleh karena apabila dilakukan tanpa perencanaan dan pengelolaan yang matang akan memberikan tekanan pada kawasan-kawasan yang memiliki nilai historis dan bersejarah. Dikhawatirkan kawasan-kawasan tersebut akan hilang keunikannya dan secara keseluruhan akan mengurangi identitas lokal dari kota Universitas Gadjah Mada 10

11 yang bersangkutan. Diperlukan kebijakan dan upaya-upaya yang strategis untuk mengembangkan kawasan-kawasan tersebut agar di satu sisi nilai historisnya bertahan dan sisi lain nilai ekonomisnya berkembang. 2. Bila di banyak negara menunjukkan bahwa kawasan-kawasan bersejarah yang belum terkelola merupakan suatu kawasan yang vitalitas kegiatannya sangat lemah, di Indonesia kondisinya sangat beragam. Di satu pihak, ada yang membutuhkan upaya revitalisasi agar kegiatan kawasan menjadi tumbuh kembali dan infrastruktur serta sarananya mampu mengakomodasinya dengan baik. Di pihak lain, ada pula yang perlu devitalisasi, karena kawasan-kawasan bersejarah tersebut justru kelebihan daya tampung yang mengakibatkan semakin menurunnya kualitas lingkungan kawasan itu sendiri, serta tumbuhnya berbagai persoalan sosial, budaya dan ekonomi. 3. Banyak upaya pelestarian khususnya di kawasan-kawasan bersejarah kota telah dilakukan oleh beberapa sektor dari pemerintah pusat maupun daerah. Investasi yang dilakukan cukup besar. Namun, banyak pihak menilai, pertama, hasil upaya tersebut masih terkotak-kotak dalam wewenang dan kewenangan sektoral yang justru memicu permasalahan baru di kawasan-kawasan tersebut. Kedua, kesinambungan kegiatan sangat lemah, karena pada umumnya bila proyek pelestarian berakhir, berakhir pula denyut kegiatan pelestarian pada kawasan tersebut. Sementara itu, masyarakat lokal yang berpotensi untuk menjaga dan mengelola keberlanjutan upaya pelestarian belum banyak dilibatkan secara sistematik. Diperlukan suatu program yang merangkul banyak pihak dan menyangkut banyak dimensi serta dalam dilakukan secara berkelanjutan. 4. Konsep Program Pelestarian (PP) "Kawasan Pusaka" ini ditawarkan sebagai salah satu solusi persoalan pelestarian lingkungan dan bangunan bersejarah di Indonesia yang bertumpu pada kemandirian masyarakat lokal, menggugah apresiasi, dan kolaborasi dengan banyak pihak. Di sisi lain membuka lapangan pekerjaan baru bagi para arsitek, perencana atau profesi lainnya yang terkait untuk pro-aktif membentuk organisasi "Kawasan Pusaka" secara profesional dan menawarkan kepada masyarakat lokal di berbagai kawasan bersejarah di seluruh Indonesia. B. Tujuan 1. Membangun kepedulian banyak pihak dalam pelestarian pusaka 2. Menjadi acuan perencanaan dan pengelolaan pelestarian secara berkesinambungan dan menyeluruh 3. Mendorong kemandirian bagi masyarakat untuk mampu mengelola kawasan bersejarahnya 4. Menjembatani kolaborasi lintas sektor, bidang ilmu dan keahlian yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan pelestarian Universitas Gadjah Mada 11

12 5. Meningkatkan kualitas lingkungan kawasan bersejarah dan pendapatan masyarakat C. Sasaran 1. Terwujud organisasi "Kawasan Pusaka" lokal di berbagai kawasan-kawasan bersejarah yang menumbuhkan kemandirian dalam merencanakan dan mengelola pelestarian kawasannya secara berkelanjutan 2. Terakomodasi potensi masyarakat, di antaranya budaya gotong royong masyarakat, dalam mengolah dan menjaga kawasannya sendiri 3. Terwujud jaringan antar organisasi "Kawasan Pusaka" yang mampu menjadi media komunikasi antar kawasan bersejarah di Indonesia 4. Menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi para arsitek, perencana, ahli arkeologi, ahli ekonomi, ahli manajemen seni, dan berbagai bidang ilmu yang terkait yang diperlukan dalam organisasi "Kawasan Pusaka". D. Sepuluh Prinsip Program Pelestarian (PP) "Kawasan Pusaka" 1. Menyeluruh: PP "Kawasan Pusaka" merupakan suatu program yang mensyaratkan dialog tiada henti, dan menyangkut banyak dimensi, sehingga tidak mungkin diselesaikan melalui suatu proyek tunggal. 2. Kemandirian: Pengelola PP "Kawasan Pusaka" lokal hams memiliki inisiatif yang kuat dan kemandirian dalam melaksanakan dan mengelola pelestarian, serta mencari dana. Berbagai pihak yang terlibat seperti pemerintah daerah, departemendepartemen, perguruan tinggi, ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan pendukung, penasehat ataupun penyandang dana dalam waktu terbatas. Kesinambungan kegiatan tergantung sepenuhnya pada pengelola PPKB lokal, dengan kata lain pengelolaan berpusat pada masyarakat lokal (people centered management). 3. Proses bola sa ju dan berkelanjutan: PP "Kawasan Pusaka" dimulai dari program kecil dan kegiatan sederhana menuju program dan kegiatan yang lebih besar dan kompleks serta lebih membutuhkan sumber daya yang mumpuni. Kegiatan ini membutuhkan waktu yang panjang. 4. Mengakar: PP "Kawasan Pusaka" mengupayakan terbentuknya akar kepedulian pelestarian dan menumbuhkan kecintaan dan kebanggaan terhadap pusaka-pusaka kawasan yang kuat dihati masyarakat lokal. Program dimulai dari penyelesaian isu sosial-budaya-ekonomi menuju ke permasalahan lingkungan fisik. 5. Berorientasi pada kegiatan aksi, partisipatori, promosi dan kolaborasi: PP Universitas Gadjah Mada 12

13 "Kawasan Pusaka" mempersiapkan program-program yang langsung dapat dilaksanakan, mengundang partisipasi warga masyarakat, dan melakukan promosi untuk mengundang kolaborasi banyak pihak 6. Inovatif mengolah aset: PP "Kawasan Pusaka" mengangkat aset yang dimiliki kawasan melalui olahan disain dan rasa yang inovatif, kreatif dan bertanggung jawab, sehingga keunikan jiwa kawasan yang dimiliki terjaga dan bahkan semakin kuat. 7. Bertumpu pada ekonomi lingkungan: PP "Kawasan Pusaka" bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan ekonomi masyarakat dan kawasan secara berkelanjutan hingga generasi-generasi mendatang. 8. Mengelola perubahan: PP "Kawasan Pusaka" menjadi media untuk mengelola perubahan yang dituntut oleh dinamika kehidupan dan jaman, tanpa merusak tatanan pusaka yang dimiliki. 9. Mementingkan kualitas: PP "Kawasan Pusaka" mementingkan kualitas hasil dalam menyelesaikan program-program yang dilaksanakan, mulai dari pengelolaan organisasi, disain grafis maupun produk yang dihasilkan hingga kualitas fisik kawasan maupun kehidupan sosial-budayanya. 10. Kemitraan publik dan privat: PP "Kawasan Pusaka" mengundang kemitraan publik & privat dalam mengolah pelestarian kawasan bersejarah, dan mengelola keseimbangan kemitraan tersebut, sehingga tidak terjadi kerusakan tatanan lingkungan alam, budaya maupun kehidupan keseharian masyarakat. Universitas Gadjah Mada 13

14 E. Enam Pendekatan Program Pelestarian "Kawasan Pusaka" Program Pelestarian "Kawasan Pusaka" memiliki 6 pendekatan persoalan yang dilaksanakan secara paralel maupun bergantian dalam rentang waktu yang relatif panjang untuk menyelesaikan keseluruhan persoalan secara berkesinambungan dan tuntas. Ke enam program pendekatan tersebut adalah: Organ isasi & Pengelolaan Dokumentasi & Presentasi Promosi Perencanaan Kegiatan Disain Restrukturisasi Ekonomi Universitas Gadjah Mada 14

Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Oleh: Catrini Pratihari Kubontubuh Direktur Eksekutif BPPI

Lebih terperinci

PRESERVASI DAN KONSERVASI (Pelestarian Bangunan dan Lingkungan) Oleh: Jonny Wongso, ST, MT

PRESERVASI DAN KONSERVASI (Pelestarian Bangunan dan Lingkungan) Oleh: Jonny Wongso, ST, MT Mata Kuliah MKKK-5111225213 PRESERVASI DAN KONSERVASI (Pelestarian Bangunan dan Lingkungan) Oleh: Jonny Wongso, ST, MT M-2: PUSAKA (Heritage): Terminologi, kriteria, signifikansi dan keragamannya Cagar

Lebih terperinci

1. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. TUJUAN PEMBELAJARAN Matakuliah Pilihan: Teknik Konservasi Kawasan Pusaka Kode TKA471 K (2 SKS) Semester Ganj it (Hingga tahun 2008 studi lapangan dalam mata kuliah ini terus dilakukan di Kawasan njeron Beteng, Kraton Yogyakarta)

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB 2 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN NILAI-NILAI LUHUR

BAB 2 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN NILAI-NILAI LUHUR BAB 2 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN NILAI-NILAI LUHUR A. KONDISI UMUM bangsa yang dilandasi nilai luhur berdasarkan Pancasila dan bercirikan Bhinneka Tunggal Ika diupayakan agar senantiasa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

BAB 2 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN NILAI-NILAI LUHUR

BAB 2 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN NILAI-NILAI LUHUR BAB 2 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN NILAI-NILAI LUHUR BAB 2 PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN YANG BERLANDASKAN NILAI-NILAI LUHUR A. KONDISI UMUM bangsa yang dilandasi nilai luhur berdasarkan Pancasila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari / BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Proyek yang diusulkan dalam penulisan Tugas Akhir ini berjudul Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta. Era globalisasi yang begitu cepat berkembang

Lebih terperinci

AGENDA AKSI DEKADE KETIGA GERAKAN PUSAKA INDONESIA DASA WARSA Tema "Pusaka untuk Kesejahteraan Rakyat"

AGENDA AKSI DEKADE KETIGA GERAKAN PUSAKA INDONESIA DASA WARSA Tema Pusaka untuk Kesejahteraan Rakyat AGENDA AKSI DEKADE KETIGA GERAKAN PUSAKA INDONESIA DASA WARSA 2014-2023 Tema "Pusaka untuk Kesejahteraan Rakyat" 1 AGENDA AKSI DEKADE KETIGA GERAKAN PUSAKA INDONESIA DASA WARSA 2014-2023 Tema "Pusaka untuk

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BUDAYA

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BUDAYA KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BUDAYA 1. Latar Belakang Program pelestarian dan pengembangan kebudayaan pada dasarnya dilaksanakan untuk mengetengahkan nilai-nilai kebudayaan guna memperkokoh ketahanan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PROGRAM JANGKA PENDEK: - Peningkatan kapasitas P3KP - Pengelolaan secara internal

PROGRAM JANGKA PENDEK: - Peningkatan kapasitas P3KP - Pengelolaan secara internal @SITA Pendirian Jaringan Kota Pusaka Indonesia/JKPI), declared by Minister Culture and Tourism, in Solo, October 25, 2008 Assisted by Indonesian Heritage Trust PROGRAM JANGKA PENDEK: - Peningkatan kapasitas

Lebih terperinci

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR Oleh: NDARU RISDANTI L2D 005 384 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau

Lebih terperinci

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya BAB V A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya ilmiah ini, diperoleh beberapa kesimpulan yang dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan penelitian, akan diuraikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri pada akhir dekade pertama abad ke-19, diresmikan tanggal 25 September 1810. Bangunan

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara yang menerima kedatangan wisatawan (tourist receiving BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke-21 perhatian terhadap pariwisata sudah sangat meluas, hal ini terjadi karena pariwisata mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi negara-negara

Lebih terperinci

8.12.(2) Proyek Percontohan Kawasan Budaya Kotagede: Konservasi Seni pertunjukan Kampung dan Lingkungannya di Yogyakarta.

8.12.(2) Proyek Percontohan Kawasan Budaya Kotagede: Konservasi Seni pertunjukan Kampung dan Lingkungannya di Yogyakarta. 8.12.(2) Proyek Percontohan Kawasan Budaya Kotagede: Konservasi Seni pertunjukan Kampung dan Lingkungannya di Yogyakarta Yogyakarta Tipe kegiatan: Konservasi kawasan warisan budaya kota Inisiatip dalam

Lebih terperinci

PEDOMAN REVITALISASI KAWASAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 18/PRT/M/2011

PEDOMAN REVITALISASI KAWASAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 18/PRT/M/2011 SOSIALISASI MAKASSAR, 10-12 MEI 2011 PEDOMAN REVITALISASI KAWASAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 18/PRT/M/2011 1. Landasan Hukum dan Teori 2. Peraturan Menteri PU 3. Kegiatan Revitalisasi Kawasan

Lebih terperinci

KEBUDAYAAN. Budaya Benda (Tangible) Budaya Takbenda (Intangible)

KEBUDAYAAN. Budaya Benda (Tangible) Budaya Takbenda (Intangible) KEBUDAYAAN Budaya Benda (Tangible) Warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH Penyelenggaraan otonomi daerah sebagai wujud implementasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memunculkan berbagai konsekuensi berupa peluang,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II KAJIAN LITERATUR BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Pengertian Pelestarian Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti penting

Lebih terperinci

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur

2017, No Pemajuan Kebudayaan Nasional Indonesia secara menyeluruh dan terpadu; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hur No.104, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DIKBUD. Kebudayaan. Pemajuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6055) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2017

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah remaja di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam. usia produktif sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah,

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah remaja di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam. usia produktif sangat mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah, BAB I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Jumlah remaja di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam membangun sumber daya diberbagai bidang pembangunan. Peran remaja pada usia produktif sangat mempengaruhi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui efektivitas dampak kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui efektivitas dampak kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Penelitian ini diarahkan untuk mengetahui efektivitas dampak kesejahteraan investasi yang dilakukan pemerintah daerah dengan mengeluarkan kebijakan pembangunan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KOTA PUSAKA INDONESIA

PENGELOLAAN KOTA PUSAKA INDONESIA Pendawa Lima PENGELOLAAN KOTA PUSAKA INDONESIA Laretna T. Adishakti -- Center for Heritage Conservation, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM -- Jogja Heritage Society PERUBAHAN PARADIGMA APA ITU PEMBANGUNAN?

Lebih terperinci

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH BAB 7 KEBIJAKAN UMUM DAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH 7.1 Kebijakan Umum Perumusan arah kebijakan dan program pembangunan daerah bertujuan untuk menggambarkan keterkaitan antara bidang urusan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH A. VISI DAN MISI Kebijakan Pemerintahan Daerah telah termuat dalam Peraturan Daerah Nomor 015 Tahun 2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan

BAB V KESIMPULAN. transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan BAB V KESIMPULAN Mencermati perkembangan global dengan kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi telah membuat fenomena yang sangat menarik dimana terjadi peningkatan arus perjalanan manusia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

Sulawesi Selatan sebagai Tujuan Wisata Utama di Indonesia pada tahun 2018

Sulawesi Selatan sebagai Tujuan Wisata Utama di Indonesia pada tahun 2018 BAB IV. VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Visi merupakan cara pandang jauh ke depan mengenai gambaran keberhasilan yang ingin dicapai pada kurun waktu tertentu. Visi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan

BAB I PENDAHULUAN. Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Upaya pemerintah Indonesia dalam pengembangan kepariwisataan diwujudkan dalam program Visit Indonesia yang telah dicanangkannya sejak tahun 2007. Indonesia sebagai

Lebih terperinci

CMS CAREER MAPPING SYSTEM. Pendahuluan

CMS CAREER MAPPING SYSTEM. Pendahuluan CMS CAREER MAPPING SYSTEM Pendahuluan Pemerintah menyadari bahwa sistem perencanaan tenaga kerja dan strategi pengembangan karir bagi manajer perkotaan yang ada saat ini sudah tidak memadai. Keadaan ini

Lebih terperinci

BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan

BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan BAB 6 PENUTUP Pada bab ini disampaikan kesimpulan hasil studi pengembangan konsep revitalisasi tata lingkungan tradisional Baluwarti, saran untuk kepentingan program revitalisasi kawasan Baluwarti, dan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. Arkeologi bawah laut merupakan sebagian tapak tinggalan dari kegiatan

BAB IV PENUTUP. Arkeologi bawah laut merupakan sebagian tapak tinggalan dari kegiatan BAB IV PENUTUP Arkeologi bawah laut merupakan sebagian tapak tinggalan dari kegiatan perdagangan lokal dan global masa lalu. Adanya kapal karam dengan muatannya (BMKT) yang ditemukan di wilayah perairan

Lebih terperinci

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan

memberikan kepada peradaban manusia hidup berdampingan dengan INDONESIA VISI 2050 Latar belakang Anggota Dewan Bisnis Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan (IBCSD) dan Indonesia Kamar Dagang dan Industri (KADIN Indonesia) mengorganisir Indonesia Visi 2050 proyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada abad ini gerak perubahan zaman terasa semakin cepat sekaligus semakin padat. Perubahan demi perubahan terus-menerus terjadi seiring gejolak globalisasi yang kian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ashriany Widhiastuty, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ashriany Widhiastuty, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang terbentang dari sabang hingga merauke. Oleh karena itu Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya serta

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya.

pengembangan pariwisata di kampung Sawinggrai bisa dijadikan sebagai buktinya. Bab Enam Kesimpulan Masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di suatu kawasan atau daerah tujuan wisata (DTW), seringkali diabaikan dan kurang diberikan peran dan tanggung jawab dalam mendukung aktivitas

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH I. UMUM Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi mengakibatkan bertambahnya

Lebih terperinci

I. UMUM. Sejalan...

I. UMUM. Sejalan... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM I. UMUM Kekayaan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

BELAJAR DI ERA DIGITAL: BAHASA INGGRIS BERBASIS LOKALITAS MELALUI MEDIA SOSIAL SEBAGAI LANGKAH ANTISIPATIF MENYONGSONG 0 KM JAWA

BELAJAR DI ERA DIGITAL: BAHASA INGGRIS BERBASIS LOKALITAS MELALUI MEDIA SOSIAL SEBAGAI LANGKAH ANTISIPATIF MENYONGSONG 0 KM JAWA BELAJAR DI ERA DIGITAL: BAHASA INGGRIS BERBASIS LOKALITAS MELALUI MEDIA SOSIAL SEBAGAI LANGKAH ANTISIPATIF MENYONGSONG 0 KM JAWA Winda Candra Hantari, Ali Imron Abstrak Perubahan kecil dalam sebuah konteks

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEPARIWISATAAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEPARIWISATAAN 1 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEPARIWISATAAN I. UMUM Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahi bangsa Indonesia kekayaan berupa sumber daya yang

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1490, 2014 KEMENPERA. Perumahan. Kawasan Pemukiman. Daerah. Pembangunan. Pengembangan. Rencana. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya Indonesia memiliki kekayaan budaya yang berlimpah dan beragam. Namun dengan kekayaan budaya yang Indonesia miliki ternyata tidak memberikan bukti nyata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan. bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

Abito Bamban Yuuwono. Abstrak

Abito Bamban Yuuwono. Abstrak PERAN PENDAMPINGAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN PADA KAWASAN KRATON YOGYAKARTA SEBAGAI BAGIAN DARI UPAYA MEMINIMALISIR DEGRADASI KUALITAS KAWASAN CAGAR BUDAYA Abito Bamban

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA BAB II PERENCANAAN KINERJA 2.1.Perencanaan Kinerja Kota Padang menempati posisi strategis terutama di bidang kepariwisataan. Kekayaaan akan sumber daya alam dan sumber daya lainnya telah memberikan daya

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum Kabupaten Kebumen sebagai hasil pembangunan jangka menengah 5 (lima) tahun periode yang lalu. Dari kondisi yang telah

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 0 BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI

Lebih terperinci

D. Antropologi Materi Pembelajaran. Alokasi Waktu. Kegiatan Pembelajaran. Sumber Belajar

D. Antropologi Materi Pembelajaran. Alokasi Waktu. Kegiatan Pembelajaran. Sumber Belajar D. Antropologi Satuan Pendidikan : SMA/MA Kelas : X (sepuluh) Kompetensi Inti KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. KI 2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beribu pulau yang terletak di antara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta dua samudera,

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

FILOSOFI KULIAH KERJA NYATA Oleh Prof. Dr. H. Deden Mulyana, SE., MSi. Disampaikan Pada: DIKLAT KULIAH KERJA NYATA UNIVERSITAS SILIWANGI 12 JULI 2017

FILOSOFI KULIAH KERJA NYATA Oleh Prof. Dr. H. Deden Mulyana, SE., MSi. Disampaikan Pada: DIKLAT KULIAH KERJA NYATA UNIVERSITAS SILIWANGI 12 JULI 2017 FILOSOFI KULIAH KERJA NYATA Oleh Prof. Dr. H. Deden Mulyana, SE., MSi. Disampaikan Pada: DIKLAT KULIAH KERJA NYATA UNIVERSITAS SILIWANGI 12 JULI 2017 FILOSOFI KULIAH KERJA NYATA Bagian integral dari proses

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan pembangunan karena investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Era

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN. Batang Hari. Candi ini merupakan peninggalan abad ke-11, di mana Kerajaan

BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN. Batang Hari. Candi ini merupakan peninggalan abad ke-11, di mana Kerajaan BAB II DESKRIPSI LOKASI OBJEK PENELITIAN A. Deskripsi Objek Wisata Candi Muaro Jambi Candi Muaro Jambi terletak di Kabupaten Muaro Jambi, tepatnya di Kecamatan Muaro Sebo, Provinsi Jambi. Lokasi candi

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif,

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN 2017-2027 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D 003 381 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 7. PENCAPAIAN PELAKSANAAN AKSI HINGGA TAHUN

BAB 7. PENCAPAIAN PELAKSANAAN AKSI HINGGA TAHUN BAB 7. PENCAPAIAN PELAKSANAAN AKSI HINGGA TAHUN 7.1. Manajemen Kota Pusaka Dalam melaksanakan pengelolaan kota pusaka, saat ini dilakukan secara sinergis dan bekerjasama antara berbagai stakeholder, baik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

Dalam konteks branding desa yang baru pada tahap awal, protokol branding dapat dimanfaatkan sedini mungkin :

Dalam konteks branding desa yang baru pada tahap awal, protokol branding dapat dimanfaatkan sedini mungkin : Pemanfaatan perangkat branding untuk membangun citra positif brand tempat telah dipilih menjadi strategi pembangunan lokal mengatasi hambatan pemasaran produk dan jasa Program OVOP yang diinisiasi pedesaan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN PROVINSI LAMPUNG

PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2017 PENGEMBANGAN KEPARIWISATAAN PROVINSI LAMPUNG Presentation by : Drs. BUDIHARTO HN. DASAR HUKUM KEPARIWISATAAN Berbagai macam kegiatan yang didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi sekarang ini terlihat sangat pesat. Perkembangan ini tidak hanya melahirkan era informasi global tetapi

Lebih terperinci

PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH

PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH PROFIL DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA ACEH Nama Instansi : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Alamat : Jalan Tgk. Chik Kuta Karang No.03 Banda Aceh Kode Pos 23121 Telp : (+62 651) 26206, 23692, Fax

Lebih terperinci

BAB III Visi dan Misi

BAB III Visi dan Misi BAB III Visi dan Misi 3.1 Visi Pembangunan daerah di Kabupaten Bandung Barat, pada tahap lima tahun ke II Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) atau dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA I. UMUM Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa negara memajukan

Lebih terperinci

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi sumber daya alam hutan serta perairannya berupa flora, fauna dan ekosistem termasuk di dalamnya gejala alam dengan keindahan alam yang dimiliki oleh bangsa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu kasus yang terjadi yakni penolakan Rancangan

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

RINGKASAN. vii. Ringkasan

RINGKASAN. vii. Ringkasan RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan BAB I PENDAHULUAN Sejarah perkembangan ekowisata yang tidak lepas dari pemanfaatan kawasan yang dilindungi (protected area) sebagai tujuan wisata melahirkan definisi ekowisata sebagai perjalanan ke wilayah-wilayah

Lebih terperinci

Makalah Kunci. Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder.

Makalah Kunci. Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder. Makalah Kunci Peningkatan Kesetaraan Pembangunan Antara Kawasan Perdesaan dan Perkotaan Melalui Pembangunan Kota-Kota Sekunder Disampaikan oleh: Soenarno Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Acara

Lebih terperinci