KATA PENGANTAR. Bogor, September Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KATA PENGANTAR. Bogor, September Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP"

Transkripsi

1

2 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas berkah dan karunia- Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Revisi Rencana Penelitan Integratif (RPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) Tahun Revisi RPI P3KR Tahun , merupakan penajaman RPI sebelumnya yang disesuaikan dengan Tupoksi P3KR yakni fokus pada penelitian konservasi dan rehabilitasi sumber daya hutan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.40/Menhut-II/2010. Pada tahun 2010, P3KR memiliki 7 RPI di mana salah satunya RPI Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lahan Kering (RPI 3) yang context dan content-nya hutan poduksi, setelah dievaluasi tidak sesuai lagi dengan Tupoksi P3KR. RPI tersebut dialihkan ke Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan dan selanjutnya dibuat RPI baru, yakni Pengelolaan Hutan Lahan Kering yang fokus pada penelitian aspek restorasi dan rehabilitasi hutan. RPI lain yang mengalami perubahan ruang lingkup adalah RPI Pengelolaan Hutan Mangrove yang diperluas menjadi RPI Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai (RPI 4). Lima RPI lainnya yakni Pengelolaan Hutan Gambut (RPI 5), Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme (RPI 12), Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem (RPI 13), Sistem Pengelolaan DAS Hulu, Lintas Kabupaten, Lintas Provinsi (RPI 14) dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS (RPI 15), tidak mengalami perubahan judul, ruang lingkup, tujuan dan sasaran, tetapi kegiatan penelitiannya direvisi sesuai dengan tujuan dan sasaran RPI dan kemampuan sumber daya penelitian yang ada sehngga pada akhir tahun 2014 diharapkan dapat disintesa secara utuh untuk menghasilkan paket iptek yang berkualitas. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam mendukung dan membantu penyusunan revisi RPI Tahun lingkup Puslitbang Konservas dan Rehabilitasi ini. Semoga dokumen ini dapat menjadi acuan untuk pelaksanaan kegiatan dan pencapaian kinerja sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan serta bermanfaat bagi pihak yang menangani kegiatan penelitian dan pengembangan lingkup Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor, September 2011 Kepala Pusat, Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP

3 KODEFIKASI RPI 3 REVISI RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN PENGELOLAAN HUTAN LAHAN KERING Koordinator: Dr. Haruni Krisnawati BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN Jakarta, September 2011

4 KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) (REVISI) PENGELOLAAN HUTAN LAHAN KERING Menyetujui, Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor, September 2011 Koordinator, Ir. Adi Susmianto, M.Sc NIP Dr. Haruni Krisnawati NIP Mengesahkan : Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc NIP

5 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ABSTRAK... 3 I. LATAR BELAKANG II. PERUMUSAN MASALAH III. HIPOTHESIS... 5 IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN... 5 V. LUARAN/OUTPUT 5 VI. RUANG LINGKUP PENELITIAN VII. KOMPONEN PENELITIAN... 6 VIII. METODOLOGI PENELITIAN... 7 I. RENCANA TATA WAKTU RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT I. RENCANA BIAYA PENELITIAN II. ORGANISASI PENELITIAN III. DAFTAR PUSTAKA IV. KERANGKA KERJA LOGIS (KKL)

6 DAFTAR TABEL Tabel 1. Garis Besar Metodologi Penelitian untuk Menghasilkan Luaran... Tabel 2. Tata Waktu Kegiatan Penelitian RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering Tahun Tabel 3. Rencana Lokasi untuk Setiap Luaran/Output Penelitian. Tabel 4. Biaya Kegiatan Penelitian Per Tahun Selama Tahun Tabel 5. Rencana Kebutuhan Biaya untuk Setiap Luaran/Output Penelitian 3 Tahun... Tabel 6. Institusi dan Kedudukannya dalam Rencana Penelitian Integratif Pengelolaan Hutan Lahan kering

7 ABSTRAK Upaya mengkonservasi dan merehabilitasi hutan lahan kering menjadi kompleks karena nilai manfaat jasa lingkungan hutan dan integritas ekosistem hutan belum terinternalisasi dalam sistem pembangunan. Assesibilitas kawasan yang sangat tinggi dan tekanan yang tinggi terhadap lahan hutan oleh sektor non kehutanan mempercepat kerusakan hutan lahan kering. Mengedepankan fungsi ekologi dan sosial kawasan hutan produksi dalam bentuk IUPHHK-Restorasi Ekosistem, High Conservation Value Forest (kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi) dan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah hutan produksi,kawasan lindung yang bukan kawasan hutan dan hutan lindung menjadi tema sentral RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering tahun Enam kajian dan penelitian integrasi yang akan dilakukan oleh Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi dan 6 UPT Badan Litbang Kehutanan diarahkan untuk menghasilkan preskripsi manajemen ekosistem hutan lahan kering di luar kawasan konservasi, yang mencakup perbaikan sistem pengelolaan, efektivitas kelembagaan dan organisasi serta penyediaan teknologi restorasi, konservasi dan rehabilitasi hutan sesuai dengan tipe hutan dan tingkat degradasi vegetasi hutan. Kata Kunci: hutan lahan kering, restorasi hutan, konservasi hutan, rehabilitasi hutan, kelembagaan, HCVF I. LATAR BELAKANG Ekosistem hutan lahan kering (dryland forest ecosystem) di Indonesia mempunyai peranan sangat strategis bagi pemenuhan fungsi-fungsi lindung, konservasi dan sosial budaya masyarakat, disamping fungsi ekonomi. Keberadaan dan terpeliharanya ekosistem hutan tersebut telah terbukti berkontribusi dan berdampak positif bagi peningkatan kualitas lingkungan hidup dan kualitas hidup masyarakat. Pemenuhan fungsi-fungsi tersebut secara berkelanjutan sangat ditentukan oleh penerapan sistem pengelolaan hutan yang memperhatikan daya dukung, daya lenting dan daya pulih ekosistem tersebut. Namun kenyataannya, kerusakan ekosistem hutan lahan kering sangat cepat dan mengkhawatirkan. Hal ini terjadi karena tekanan masyarakat yang tinggi untuk pemenuhan kebutuhan kayu dan lahan pertanian serta kebutuhan di luar sektor kehutanan. Hutan relatif mudah dijangkau oleh masyarakat yang mendiami sekitar hutan, khususnya lahan hutan dataran rendah (lowland forest) dan fleksibilitas penggunaan lahan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan. Lebih lanjut lagi, kesalahan dalam pengelolaan (mismanagement) HPH (sekarang IUPHHK-HA) yang mengabaikan sistem TPTI dan pengawasan (Tampubolon, 1993), euforia reformasi yang mempercepat fragmentasi hutan, ketidakhadiran peran Pemerintah Daerah dalam pengelolaan hutan lindung di era otonomi daerah dan ekspansi perkebunan dan pertambangan semakin memperparah degradasi hutan dan deforestasi. Tuntutan penerapan pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management) yang digagas, utamanya oleh ITTO melalui ITTO Guidelines for Sustainable Management of Natural Tropical Forest (ITTO, 1990), pencadangan High Coservation Value Forest (HCVF) pada hutan produksi (The Consortium for Revision of the HCV Tool kit Indonesia, Guidelines for the Identification HCV 3

8 Toolkit Indonesia), penerapan REDD+ di Indonesia dan komitmen penerapan tata kelola pengurusan hutan yang baik, berimplikasi pada pentingnya upaya-upaya restorasi hutan, rehabilitasi hutan dan konservasi hutan, khususnya pada ekosistem hutan lahan kering. Berbagai inisiatif secara global telah dilakukan seperti penerbitan ITTO Guidelines for the Restoration, Management and Rehabilitation of Degraded and Secondary Forest (ITTO, 2002) dan pilihan-pilihan teknik rehabilitasi dan restorasi hutan (Kobayashi et al., 1999; Lamb dan Gilmore (2003)). Namun demikian, dalam tatanan nasional dan lokal, preskripsi managemen dan teknologi restorasi, rehabilitasi dan konservasi hutan belum diformulasikan secara terstruktur. Penghimpunan serpihan ilmu pengetahuan dan hasil riset yang sudah ada (pool of knowledge) dan dilanjutkan dengan pelaksanaan riset tahun jamak (multiyears) akan menjawab pemenuhan sistem pengelolaan dan teknik pemulihan hutan lahan kering yang telah terlanjur rusak. II. RUMUSAN MASALAH Permasalahan degradasi ekosistem hutan lahan kering tidak semata-mata permasalahan teknis, tetapi banyak ditentukan oleh masalah-masalah tata kelola kehutanan yang baik (good forestry governance), perbenturan kepentingan dan lemahnya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan lahan kehutanan, ketidakmantapan kebijakan tata ruang Provinsi dan kabupaten/kota yang lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi jangka pendek dan yang tidak berkelanjutan, kurang sinkronnya peran pemerintah pusat dan daerah dalam pengurusan hutan di era otonomi daerah dan masih rendahnya apresiasi publik terhadap pentingnya nilai manfaat tidak langsung (intangible benefits) dari keutuhan ekosistem hutan. Masalah yang satu dengan yang lain saling terkait dan penyelesaiannya juga mmerlukan pendekatan holistik. Pada RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering yang pelaksanaannya hanya 3 tahun ( ), penelitian hanya difokuskan pada aspek identifikasi tipologi dan potensi biomassa hutan lahan kering, teknologi restorasi, rehabilitasi dan konservasi, sistem pengelolaan dan kelembagaan. Tahapan pertama dalam perumusan masalah teknis ini adalah mengenali atau mengidentifikasi tipologi dan potensi biomassa hutan lahan kering baik yang masih utuh (primary forest, intact forest) maupun hutan yang sudah terdegradasi mulai dari yang terganggu sampai rusak berat berupa hutan sekunder (secondary forest). Gradasi dan klasifikasi hutan tersebut dapat diacu pada Whitmore (1975), Emrich et al. (2000), dan ITTO (2002). Kerusakan ekosistem hutan lahan kering dapat berbeda tingkatannya, baik pada hutan alam produksi, hutan lindung maupun kawasan lindung yang bukan kawasan hutan. Pemulihan ekosistem hutan ini pada dasarnya dilakukan dengan cara menetapkan teknik silvikultur untuk tujuan rehabilitasi secara tepat sesuai dengan tujuan pengelolaan (management objective) yang ditetapkan, yakni pemenuhan fungsi lindung dan konservasi. Pilihan-pilihan strategi dan teknik pemulihan hutan tersebut dapat berupa restorasi hutan, rehabilitasi hutan dan konservasi hutan (ITTO, 2002; Indrawan et al., 2007; Supriatna, 2008). 4

9 III. HIPOTHESIS Sistem pengelolaan hutan lahan kering berkelanjutan sangat ditentukan oleh pengelolaan bentang alam (landscape) hutan yang didasarkan pada tipologi (struktur, komposisi, persebaran) hutan, kondisi biofisik dan potensi hutan; upaya perbaikan/pemulihan hutan yang rusak melalui tindakan restorasi, konservasi dan rehabilitasi hutan sesuai dengan derajat kerusakan habitat dan perbaikan tata kelola dan kelembagaan pengelolaan hutan. IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN Tujuan penelitian integratif pengelolaan hutan lahan kering yang ingin dicapai adalah tersedianya preskripsi manajemen ekosistem hutan lahan kering di luar kawasan konservasi baik yang utuh maupun terdegradasi untuk menjamin pemulihan dan keberlangsungan nilai manfaat ekonomi, ekologi dan sosial. Sasaran yang hendak diwujudkan dalam kegiatan penelitian ini adalah untuk menghasilkan Iptek sistem pengelolaan dalam rangka restorasi, konservasi dan rehabilitasi hutan lahan kering di luar kawasan konservasi mencakup IUPHHK- Restorasi Ekosistem, HCVF dan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) Hutan Produksi, Kawasan Lindung yang bukan kawasan hutan dan hutan lindung berdasarkan potensi, tipologi hutan, atribut sosial dan kelembagaan yang ada. V. LUARAN/OUTPUT Luaran/output yang diharapkan dapat diperoleh dari keseluruhan kegiatan kajian/penelitian pada penelitian integratif "Pengelolaan Hutan Lahan Kering" adalah: 1. Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan lahan kering; yang memuat peta klasifikasi vegetasi hutan lahan kering berdasarkan gradasi kerusakan vegetasinya, dari mulai hutan utuh (primary forest) sampai lahan alangalang/semak belukar dari tiap fungsi/tipe ekosistem hutan lahan kering terpilih (IUPHHK-RE, HCVF dan KPPN hutan produksi, kawasan lindung yang bukan kawasan hutan dan hutan lindung). 2. Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi; yang memuat preskripsi sistem pengelolaan dan teknik rehabilitasi vegetasi berdasarkan input hasil penelitian klasifikasi tipologi dan potensi biomassa hutan lahan kering. Sistem pengelolaan hutan lebih difokuskan pada pengaturan ruang (landscape) berdasarkan kondisi biofisik dan sosial budaya masyarakat setempat, organisasi dan tatalaksana pengurusan hutan dan tujuan-tujuan pengelolaan (management objectives). Sedangkan teknik rehabilitasi lebih difokuskan pada pilihan perlakuan atau teknik revegetasi yang tepat sesuai dengan tingkat degradasi hutan, mulai dari yang ringan (disturbed primary forest) sampai yang rusak (hutan sekunder dan degraded forest land berupa areal alang-alang) dengan intervensi teknik rehabilitasi lahan hutan (lihat ITTO, 2002). 3. Valuasi hutan lindung; yang memuat informasi teknis nilai manfaat total keberadaan hutan lindung baik nilai manfaat langsung (tangible) maupun tidak 5

10 langsung (intangible). Luaran ini juga mendeskripsikan status pengelolaan hutan lindung pada era desentralisasi kehutanan. 4. Kelembagaan pengelolaan hutan lindung; yang memuat preskripsi manajemen terkait efektivitas kelembagaan dan sistem pengelolaan hutan lindung dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL). VI. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering adalah untuk melakukan serangkaian penelitian sistem pengelolaan dan teknik rehabilitasi vegetasi hutan lahan kering terdegrdasi di luar KSA (Kawasan Suaka Alam; Cagar Alam dan Suaka Margasatwa) dan KPA (Kawasan Pelestarian Alam; Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam, Taman Buru). Dengan demikian, penelitian ini dibatasi pada penelitian konservasi dan rehabilitasi pada kawasan hutan produksi, hutan lindung dan kawasan lindung yang bukan kawasan konservasi. VII. KOMPONEN PENELITIAN Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini difokuskan pada penyediaan Iptek sistem pengelolaan hutan lahan kering pada berbagai fungsi hutan dan kondisi vegetasi sehingga akan dapat memulihkan fungsi ekologi dan penyediaan jasa lingkungan hutan bagi masyarakat, maka penelitian akan diarahkan pada penelitian Sistem Informasi Geografis (SIG) dan perpetaan, biometrika hutan, khususnya untuk pendugaan potensi biomassa hutan, teknikteknik silvikultur untuk tujuan rehabilitasi dan perlindungan (protective afforestation and reforestation). Khusus untuk hutan lindung, penelitian diarahkan pada aspek tata kelola (governance), penilaian manfaat sumberdaya hutan dan lingkungan, kelembagaan dan efektifitas pengelolaan. Adapun rincian kegiatan penelitian setiap luaran yang akan dilakukan untuk 3 (tiga) tahun mendatang (tahun ) adalah sebagai berikut : Luaran 1 : Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan lahan kering Kegiatan penelitian : 1.1. Klasifikasi tipologi dan potensi biomassa hutan lahan kering Luaran 2 : Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Kegiatan penelitian: 2.1. Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi IUPHHK restorasi ekosistem 2.2. Kajian HCVF dan rehabilitasi penggunaan kawasan hutan untuk non kehutanan 2.3. Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi hutan lindung dan kawasan lindung yang bukan kawasan hutan 6

11 Luaran 3 : Valuasi hutan lindung Kegiatan penelitian: 3.1. Kajian status, potensi dan nilai manfaat hutan lindung Luaran 4 : Kelembagaan pengelolaan hutan lindung Kegiatan penelitian: 4.1. Kajian efektivitas kelembagaan dan sistem pengelolaan hutan lindung VIII. METODOLOGI PENELITIAN Kegiatan penelitian yang tercakup dalam RPI ini perlu dirancang dengan metodologi penelitian yang tepat sehingga tujuan dan sasaran masing-masing penelitian dapat dicapai dan untuk selanjutnya dapat disintesa untuk mencapai tujuan dan sasaran RPI. Dengan metodologi penelitian yang tepat, baik teknik sampling, rancangan percobaan (experimental design), plot-plot penelitian permanen, teknik survei untuk penelitian sosial, maka kualitas data primer dan sekunder yang dikumpulkan akan terjamin. Khusus untuk penelitian yang dirancang dalam penelitian plot permanen (ujicoba penanaman, lokasi plot penelitian sebaiknya mudah diakses, aman dari ganggunan dan diberi tanda yang jelas dan awet agar dapat dilakukan pengamatan dan pengukuran ulang dalam waktu yang cukup lama. Begitu juga dengan kegiatan pengukuran yang berulang (time series), perlu dilakukan pada titik pengukuran (point of measurement) yang tetap. Secara garis besar metode penelitian yang perlu dibuat dalam pelaksanaan kegiatan penelitian yang tercakup dalam RPI ini adalah sebagai berikut : 1. Pembuatan rancangan penelitian 2. Tatacara pengumpulan data 3. Tatacara pengolahan dan analisis data 4. Pelaporan hasil dan rekomendasi Adapun bentuk dan metodologi penelitian untuk setiap luaran/output secara garis besar disajikan pada Tabel 1. 7

12 Tabel 1. Garis Besar Metodologi Penelitian untuk menghasilkan Luaran Luaran Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan lahan kering Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Metode Penelitian - Pembuatan rancangan penelitian. - Analisis citra satelit. - Pembuatan plot untuk pengumpulan dan validasi data lapangan dengan teknik sampling yang sesuai dengan karakter (ground check/terrestrial sampling) (Gomez dan Gomez, 1984) dan sampling biomassa hutan (Madjwick, 1986). - Klasifikasi tipologi dan sebaran. - Pemodelan klasifikasi tipologi. - Pembuatan peta tipologi dan sebaran. - Studi pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. - Menyusun hasil penelitian dan rekomendasi teknik pengklasifikasian tipologi dan sebaran hutan lahan kering. - Pembuatan rancangan penelitian rehabilitasi hutan sesuai dengan perlakuan yang digunakan (Steel dan Torrie, 1981) dan rancangan penelitian untuk identifikasi sistem pengelolaan hutan. - Pembuatan plot ujicoba atau pengumpulan data yang representatif baik respon perlakuan teknik rehabilitasi maupun sistem pengelolaan hutan. - Analisis data hasil penelitian di lapangan untuk teknik rehabilitasi dan metode statistik (Steel dan Torrie, 1981). - Studi pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. - Menyusun hasil penelitian dan rekomendasi teknik rehabilitasi hutan terdegradasi dan sistem pengelolaan hutan. 8

13 Luaran Valuasi hutan lindung Kelembagaan pengelolaan hutan lindung Metode Penelitian - Pembuatan rancangan penelitian untuk kajian nilai manfaat total hutan lindung, status dan potensi hutan lindung sesuai dengan pengamatan/kajian/perlakuan yang digunakan. - Pembuatan plot pengamatan yang representatif dan penentuan sampel status dan potensi hutan lindung. - Analisis data baik secara kualitatif maupun deskriptif. - Studi pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan - Menyusun hasil penelitian dan rekomendasi valuasi hutan lindung. - Pembuatan rancangan studi kebijakan, kelembagaan dan pengelolaan hutan lindung. - Penetapan sampel KPHL. - Pengumpulan data primer dan sekunder, mencakup data biofisik, demografi, organisasi dan tata kelola hutan lindung. - Studi pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan. - Menyusun hasil penelitian dan rekomendasi teknik efektifitas pengelolaan hutan lindung. I. RENCANA TATA WAKTU RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering merupakan RPI baru yang mulai berlaku efektif mulai tahun 2012 sampai dengan 2014, sesuai dengan perkembangan organisasi Badan Litbang Kehutanan sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.40/Menhut-II/2010. Reorganisasi Badan Litbang Kehutanan tersebut berimplikasi pada fokus kegiatan penelitian, dalam hal ini Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi akan fokus pada penelitian konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan. Rencana tata waktu pelaksanaan dan hasil penelitian setiap luaran/output selama jangka waktu penelitian disusun sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Tata Waktu Kegiatan Penelitian RPI Pengelolaan Hutan Lahan Kering Tahun Kode Luaran / Kegiatan Tahun Pelaksanaan Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan lahan kering Klasifikasi tipologi dan potensi biomassa x x x hutan lahan kering x x x 9

14 Kode Luaran / Kegiatan Tahun Pelaksanaan Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi x x x IUPHHK restorasi ekosistem - x x x x x Kajian HCVF dan rehabilitasi penggunaan - x x kawasan hutan untuk non kehutanan x x x Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi - x x hutan lindung dan kawasan lindung yang bukan kawasan hutan x x x x x x 3.3. Valuasi hutan lindung Kajian status, potensi dan nilai manfaat x x x hutan lindung x x x x x x 3.4. Kelembagaan pengelolaan hutan lindung Kajian efektivitas kelembagaan dan sistem x x x pengelolaan Hutan Lindung x - -. RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT Penelitian ini akan dilakukan pada representasi areal IUPHHK-Restorasi Ekosistem, HCVF dan KPPN Hutan Produksi, kawasan lindung yang bukan kawasan hutan dan hutan lindung. Adapun rencana lokasi dan Satuan Kerja (P3KR dan Badan Litbang Kehutanan) yang terlibat disajikan pada Tabel 3. berikut : Tabel 3. Rencana lokasi untuk setiap luaran/output penelitian Luaran Rencana Lokasi Penelitian Instansi 1 Sumatera, Kalimantan P3KR, BPK Banjarbaru 2 Sumatera, Kalimantan dan NTT P3KR, BPK Palembang, BPT KSDA Samboja, BPK Aek Nauli, BPT HHBK Mataram 3 Sumatera, Kalimantan dan NTT P3KR, BPK Kupang 4 Sumatera, Kalimantan dan NTB P3KR, BPK Banjarbaru 10

15 I. RENCANA BIAYA PENELITIAN Besarnya biaya yang diperlukan selama kurun waktu 3 tahun adalah sebesar Rp ,- (tujuh milyar sembilan ratus dua puluh lima juta rupiah). Secara terinci kebutuhan biaya tahunan dan total biaya selama 3 tahun untuk setiap luaran/output/kegiatan penelitian disajikan pada Tabel 4 dan 5 berikut: Tabel 4. Biaya Kegiatan Penelitian Per Tahun Selama Tahun Biaya Kode Luaran / Kegiatan (x Rp ) Total Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan lahan kering Klasifikasi tipologi dan potensi biomassa hutan lahan kering Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi IUPHHK restorasi ekosistem Kajian HCVF dan rehabilitasi penggunaan kawasan hutan untuk non kehutanan Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi hutan lindung dan kawasan lindung yang bukan kawasan hutan Valuasi hutan lindung Kajian status, potensi dan nilai manfaat hutan lindung Kelembagaan pengelolaan hutan lindung Kajian efektivitas kelembagaan dan sistem pengelolaan Hutan Lindung JUMLAH

16 Tabel 5. Rencana Kebutuhan Biaya untuk Setiap Luaran Penelitian 3 Tahun Luaran Rencana Lokasi Penelitian Sumatera dan Kalimantan Sumatera, Kalimantan dan NTT Sumatera, Kalimantan dan NTT Sumatera, Kalimantan dan NTB Biaya (x Rp. 1000) Total II. ORGANISASI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan secara terpadu yang melibatkan institusi penelitian di lingkup Badan Litbang Kehutanan, khususnya Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, dan UPT dibawah tanggung jawab dan binaan Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Terdapat 7 institusi yang akan terlibat dalam penelitian terpadu ini. Adapun ketujuh institusi litbang beserta tugasnya dalam melaksanakan luaran penelitian disajikan pada Tabel 6 berikut : Tabel 6. Institusi dan Kedudukannya dalam Rencana Penelitian Integratif Pengelolaan Hutan Lahan Kering No. Institusi Status & Pelaksana Luaran P3KR BPK Aek Nauli BPK Palembang BPT HHBK Mataram BPK Kupang BPK Banjarbaru BPT KSDA Samboja Pelaksana luaran No: 1,2, 3, dan 4 Pelaksana luaran No: 2 Pelaksana luaran No: 2 Pelaksana luaran No. 2 Pelaksana luaran No. 3 Pelaksana luaran No: 1 dan 4 Pelaksana luaran No. 2 dan 3 Adapun tugas Koordinator & Pelaksana secara garis besar adalah sebagai berikut: Koordinator : 1. Menyusun proposal Rencana Penelitian Integratif lintas unit kerja 2. Memberikan asistensi teknis kepada para pelaksana judul 3. Menyusun sintesa hasil penelitian koordinasi Pelaksana : 1. Menyusun RPTP sesuai proposal koordinator 2. Melaksanakan penelitian di lapangan sesuai proposal 3. Menyusun laporan penelitian yang menjadi tanggung jawabnya 4. Mengirimkan laporan tahunan dan sintesa kepada koordinator 5. Menyimpan data dan mengirimkannya kepada koordinator untuk database 12

17 III. DAFTAR PUSTAKA Emrich, A., B. Pokorny and C. Stepp The Significance of Secondary Forest Management for Development Policy GTZ. Eschburn. Gomez, K.A. and A.A. Gomez Statistical Procedure for Agricultural Research. 2 nd ed. John Wiley and Sons. New York. Indrawan, M., R.B. Primach and J. Supriatna Biologi Konservasi. Edisi Revisi Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. ITTO ITTO Guidelines for Sustainable Management of Natrural Tropical Forest. ITTO, Yokohama, Japan. ITTO ITTO Guidlines for the Restoration, Management and Rehabilitation of Degraded and Secondary Forest. ITTO Policy Development Series No. 13. Yokohama, Japan. Kobayashi, S. J. Turnball, T. Toma, T. Mori and N. Majid (eds.) Rehabilitation of Drgraded Forest Issues in Forest Conservation. IUCN. Switzerland. Supriatna, J Melestarikan Alam Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Tampubolon, A.P Restoring Degraded Protected Areas With Original Species. Rimba Indonesia Vol (3): Tampubolon, A.P. and N. Supriana The Environmental Aspects of TPTI. UN Space Technology Conference. Bandung. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie Principle and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. 2 nd ed. McGraw Hill. Tokyo, Japan. Whitmore, T.C Tropical Rain Forest of The Far East. Clarendon. Press. Oxford. 13

18 IV. KERANGKA KERJA LOGIS (KKL) NARASI Tujuan: Menyediakan preskripsi manajemen ekosistem hutan lahan kering di luar kawasan konservasi baik yang utuh maupun terdegradasi untuk menjamin pemulihan dan keberlangsungan nilai manfaat ekonomi, ekologi dan sosial Sasaran: Tersedianya iptek sistem pengelolaan dalam rangka restorasi, konservasi dan rehabilitasi hutan lahan kering di luar kawasan konservasi mencakup IUPHHK Restorasi ekosistem, HCVF dan Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) Hutan Produksi, Kawasan Lindung yang bukan kawasan hutan dan hutan lindung berdasarkan potensi, tipologi hutan, atribut sosial dan kelembagaan yang ada Luaran: 1. Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan lahan kering INDIKATOR Diperolehnya apresiasi dari Ditjen BUK dan Ditjen PHKA atas preskripsi manajemen IUPHHK Restorasi, HCVF dan KPPN hutan produksi dan hutan lindung Diperolehnya iptek sistem pengelolaan dan rehabilitasi hutan lahan kering untuk tujuan peningkatan fungsi sosial dan ekologi CARA VERIFIKASI Konsep preskripsi manajemen, draft kebijakan di Ditjen BUK dan PHKA, sintesa hasil penelitian Konsep preskripsi manajemen,draft kebijakan di Ditjen BUK dan PHKA, sintesa hasil penelitian ASUMSI Komitmen dan support Ditjen BUK dan PHKA, Pemda tinggi, kontinyuitas dana, diseminasi hasil penelitian lancar Komitmen dan support Ditjen BUK dan PHKA, Pemda tinggi, kontinyuitas dana, diseminasi hasil penelitian lancar Kegiatan: 1.1. Klasifikasi tipologi dan potensi biomassa hutan lahan kering Tersedianya informasi tipe dan potensi biomassa representasi hutan lahan kering Publikasi ilmiah, LHP, Laporan Tahunan, PPTP, RPTP, DIPA-RKA-KL, Anggaran tersedia, SDM peneliti mencukupi, support Pemda tinggi Luaran: 2. Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Tersedianya informasi dan Publikasi ilmiah, LHP, Anggaran tersedia, 14

19 Kegiatan: NARASI 2.1.Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi IUPHHK Restorasi untuk perbaikan biodiversity INDIKATOR teknologi rehabilitasi IUPHHK-R, HCVF, hutan lindung dan kawasan lindung yang bukan kawasan hutan CARA VERIFIKASI Laporan Tahunan, PPTP, RPTP, DIPA- RKA-KL ASUMSI SDM peneliti mencukupi, support Pemda tinggi 2.2.Kajian rehabilitasi HCVF dan penggunaan kawasan hutan untuk non kehutanan 2.3.Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi hutan lindung dan kawasan lindung yang bukan kawasan hutan Tersedianya informasi status pengelolaan, potensi dan manfaat hutan lindung Publikasi ilmiah, LHP, Laporan Tahunan, PPTP, RPTP, DIPA- RKA-KL Anggaran tersedia, SDM peneliti mencukupi, support Pemda tinggi Luaran: 3. Valuasi hutan lindung Kegiatan: 3.1.Kajian status, potensi dan nilai manfaat hutan lindung Tersedianya informasi bentuk kelembagaan dan sistem pengeloaan hutan lindung yang tepat Publikasi ilmiah, LHP, Laporan Tahunan, PPTP, RPTP Anggaran tersedia, SDM peneliti mencukupi, support Pemda tinggi, Luaran: 4. Kelembagaan pengelolaan hutan lindung Kegiatan: 4.1.Kajian efektivitas kelembagaan dan sistem pengelolaan hutan lindung 15

20 REVISI RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN KODEFIKASI RPI 4 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI Koordinator: Ir. Endro Subiandono BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN Jakarta, September 2011

21 KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILTASI LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) (REVISI) PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI Menyetujui, Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor, September 2011 Koordinator, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP Ir. Endro Subiandono NIP Mengesahkan : Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr.Ir.Tachrir Fathoni M.Sc NIP

22 DAFTAR ISI DAFTAR ISI ABSTRAK I. LATAR BELAKANG II. PERUMUSAN MASALAH III. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN IV. RUANG LINGKUP V. KOMPONEN PENELITIAN VI. METODOLOGI VII. RENCANA TATA WAKTU DAN INSTITUSI PELAKSANA VIII. RENCANA BIAYA I. ORGANISASI DAFTAR PUSTAKA I. KERANGKA KERJA LOGIS

23 ABSTRAK Ekosistem mangrove dan pantai cenderung mendapat tekanan besar, dan hal ini dapat menimbulkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kelestarian lingkungan karena rusaknya hutan pantai dan hutan mangrove. Sebagai gambaran, tahun 2001 di kawasan pantai Bali menunjukkan bahwa 20% dari 430 km panjang pantai yang ada di Bali mengalami kerusakan. Di kawasan Pontianak, Bengkayang dan Sambas kerusakan pantai telah mencapai 14 km; sementara perbaikan baru dilakukan sepanjang 5,1 km. Kerusakan ini belum termasuk yang terjadi di beberapa kawasan pantai di Jawa antara lain di Teluk Jakarta, pantai selatan Pulau Jawa, pantai Eretan, pantai Mauk dan beberapa kawasan di Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi. Penurunan luasan secara drastis terjadi pada kawasan hutan mangrove; dari seluas 4,25 juta ha menjadi 3,7 juta ha, dan bahkan hanya sekitar 2,1 juta ha yang dalam keadaan utuh. Di luar kawasan diperkirakan terdapat 5,5 juta ha mangrove, yang sebanyak 4.8 juta ha diantaranya dalam keadaan rusak parah. Kerusakan ini lebih banyak disebabkan oleh ulah manusia yang kurang bijak dalam mengelolanya. Upaya penanggulangannya sudah dilakukan sejak Pelita V dan perlu lebih ditingkatkan lagi. Banyak pihak telah menyadari bahwa ekosistem mangrove dan pantai berperan sangat penting dalam melindungi wilayah pantai dan daerah dibelakangnya. Mengingat pentingnya fungsi jalur hijau dalam menjaga keseimbangan pantai, maka upaya untuk melindunginya sangat diperlukan. Kegiatan pengkajian dan penelitian untuk mendukung keberhasilan upaya tersebut juga sangat diperlukan. Terdapat tiga hal pokok yang hendaknya diperhatikan dan disiapkan dalam rangka mengkreasi petunjuk teknis pengelolaan ekosistem mangrove dan pantai, yakni : (a) teknologi penanaman dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai berikut kelembagaannya; (b) informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai, serta (c) model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai dalam koridor kelestarian ekosistem tersebut. Kata kunci : ekosistem mangrove dan pantai, biodiversitas, rehabilitasi, pemanfaatan, kelembagaan. I. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki lebih dari pulau yang tersebar dari barat hingga timur dengan garis pantai sepanjang kurang lebih km. Setiap pulau memiliki perbedaan yang dipengaruhi oleh kondisi geologi, geomorfologi dan hidrologi. Dengan kondisi tersebut maka di sepanjang garis pantai (pesisir) terbentuk berbagai tipe ekosistem, yang salah satunya adalah ekosistem pantai (Dwi, 2010). Ekosistem pantai merupakan ekosistem yang letaknya berbatasan dengan ekosistem darat dan laut. Ekosistem ini dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut air laut. Komunitas tumbuhannya berturut-turut dari daerah pasang surut ke arah darat dapat dibedakan menjadi : (a) formasi pescaprae dengan ciri adanya tumbuhan Ipomoea pescaprae, Spinifex littorius, Euphorbia atoto, Crinum asiaticum dan Pandanus tectorius; serta (b) formasi baringtonia dengan ciri adanya tumbuhan Baringtonia asiatica, Terminalia catapa, Callophylum inophylum dan Hibiscus tiliaceus. Bila tanah di daerah pasang surut berlumpur, maka kawasan ini ditumbuhi mangrove dengan tumbuhan dari jenis Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Nypa serta ylocarpus, Lumnitzera, Aegiceras dan Heritiera. 17

24 Karena letaknya di wilayah interaksi/peralihan antara ekosistem darat dan laut, maka ekosistem mangrove dan pantai memiliki sifat dan ciri yang unik serta mengandung produksi biologi dan jasa lingkungan lainnya yang besar. Terutama ekosistem mangrove, selain mempunyai fungsi ekonomis sebagai penyedia kayu, obat-obatan, bahan pangan dan media lahan pengembangan tambak/silvofishery; juga mempunyai fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan ikan-ikan di perairan, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah burung migran dan sebagai habitat satwaliar serta penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya hutan pantai dan hutan mangrove bagi perlindungan pantai. Dilaporkan bahwa pada wilayah yang memiliki hutan pantai dan hutan mangrove relatif baik, cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut. Wilayah pantai umumnya datar, berbatasan dengan laut, banyak sungai, air tanah relatif dangkal, pemandangannya indah dan mempunyai terumbu karang sangat menarik, serta terkadang mengandung mineral ekonomis. Kondisi wilayah pantai yang demikian menjadikan wilayah tersebut sering menjadi titik permulaan pengembangan wilayah. Banyak kota-kota tua di dunia dan di Nusantara berkembangnya berawal dari wilayah pantai ini. Di wilayah pantai ini juga berkembang kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan wisata, kegiatan perikanan, pertanian, olah raga air dan kegiatan reklamasi dan pengerukan dasar perairan untuk tujuan komersial, bahkan karena kondisi geologi tertentu menjadi kawasan pertambangan (Sampurno, 2010). Faktor alam yang berpengaruh tehadap kondisi wilayah pantai antara lain timbulnya gelombang dan arus, terjadinya pasang surut, sedimentasi dan abrasi yang berpengaruh pada berubahnya garis pantai serta kondisi sungai yang bermuara di perairan tersebut. Akibatnya ekosistem pantai cenderung mendapat tekanan besar, dan hal ini dapat menimbulkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi kelestarian lingkungan karena rusaknya hutan pantai dan hutan mangrove. Kerusakan hutan pantai di Indonesia sudah banyak terjadi. Kurdi (2010) menyatakan bahwa dengan asumsi kemunduran garis pantai sekitar 50 meter maka Indonesia akan kehilangan lahan seluas Ha. Diperkirakan bahwa sekitar 50-60% penduduk Indonesia tinggal di kawasan pantai. Fenomena ini menunjukkan besarnya kawasan yang hilang akibat mundurnya garis pantai yang cukup besar dan besarnya jumlah masyarakat yang dirugikan terutama mereka yang menggantungkan hidup dari aktivitas pantai. Pengamatan pada tahun 2001 di kawasan pantai Bali menunjukkan bahwa 20% dari 430 km panjang pantai yang ada di Bali mengalami kerusakan. Di kawasan Pontianak, Bengkayang dan Sambas kerusakan pantai telah mencapai 14 km; sementara perbaikan baru dilakukan sepanjang 5,1 km. Kerusakan ini belum termasuk yang terjadi di beberapa kawasan pantai di Jawa antara lain di Teluk Jakarta, pantai Eretan, pantai Mauk dan beberapa kawasan di Sumatera dan Sulawesi. Priyambodo (2011) mengungkapkan bahwa di sepanjang pantai selatan Pulau jawa hampir seluruh gumuk-gumuk pasir telah mengalami kerusakan akibat aktivitas penambangan pasir yang berlebihan. Kerusakan areal gumuk pasir serta vegetasi penutupnya dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi dan kapasitas ekosistem pantai. Jika kerusakan tersebut terus berlanjut dikhawatirkan dalam jangka panjang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan intrusi air laut 18

25 ke areal pertanian dan permukiman serta meningkatkan pula kerentanan areal permukiman terhadap kemungkinan bahaya tsunami. Apalagi jika mengingat bahwa kondisi wilayah pantai yang terdiri atas endapan pasir dengan bentuk lahan yang selalu berubah menyebabkan proses penutupan vegetasi secara alami berlangsung sangat lambat. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa hamparan gumuk pasir dan areal endapan pasir dibelakangnya mempunyai tutupan vegetasi yang sangat minimal. Upaya untuk merehabilitasi wilayah pantai (hutan pantai) memang telah diujicobakan. Melalui dukungan dana program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) tahun 2007 kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Kebumen dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dapat menghijaukan kawasan Pantai Petanahan seluas 360 ha dengan tanaman cemara udang. Cemara udang tersebut melalui teknologi block press, yakni memasukkan bibit cemara ke dalam tanah liat yang sudah dicampur dengan pupuk organik yang dipres kemudian baru ditanam di tanah berpasir, bisa tumbuh di pasir pantai yang panasnya mencapai 70 derajat celcius. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan bahwa pengembangan hutan Pantai Petanahan di Kabupaten Kebumen tersebut akan dijadikan contoh penghijauan kawasan pantai secara nasional, antara lain di Sumatera, Kalimantan dan daerah lainnya (Priyambodo, 2011). Kerusakan serupa terjadi pula pada ekosistem mangrove, bahkan di Indonesia saat ini keberadaan mangrove benar-benar telah pada posisi yang sangat mengkhawatirkan. Kehidupan modern dan kemudahan aksesibilitas pemasaran hasil produksi dari ekosistem mangrove ke pasaran serta pemanfaatan yang berlebihan tanpa memperhatikan kaedah konservasi telah mengakibatkan penurunan baik kualitas maupun kuantitasnya. Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia diyakini masih memiliki kawasan hutan mangrove seluas 4,25 juta ha, kemudian berdasar hasil interpretasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Martodiwirjo 1994). Bahkan berdasar data Ditjen RRL (1999), luas mangrove Indonesia dalam kawasan hutan hanya 3,7 juta ha, itupun sekitar seluas 1,6 juta ha (43,2%) nya dalam kondisi rusak parah. Di luar kawasan, Indonesia diperkirakan memiliki mangrove seluas 5,5 juta ha, yang sebanyak 4,8 juta ha (87,3%) dalam keadaan rusak parah. Kecepatan kerusakan kawasan mangrove selama 16 tahun, dengan demikian, mencapai lebih dari ha/th. Untuk pengamanan potensi dan fungsi pesisir, sebenarnya di beberapa daerah telah menetapkan kawasan laut, hutan mangrove atau hutan pantai sebagai zona penyangga yang dikelola secara terpadu untuk peningkatan ekonomi masyarakat pantai. Namun di pihak lain, masih banyak dijumpai sempadan pantai yang tidak memiliki jalur hijau (green belt) mangrove sebagaimana yang telah ditetapkan pada Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yaitu 130 x rata-rata tunggang air pasang purnama (tidal range). Namun pada kenyataannya, ketentuan ini sangat terabaikan pada hampir di seluruh hutan mangrove yang ada. Padahal untuk lebih dapat ditegakkannya supermasi hukum tersebut, dapat dikemukakan beberapa hasil pengamatan pada ekosistem mangrove yang antara lain bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan 19

26 kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Bahkan Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Direktorat Bina Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan (2004) menggambarkan hubungan hasil ikan tangkapan (Y) dan luas hutan mangrove () sebagai Y = 0,06 + 0,15. Sukresno dan Anwar (1999) menunjukkan adanya kecenderungan menurunnya salinitas tanah dengan jauhnya jarak dari garis pantai, yaitu dari 50 mhs di garis pantai dan 2-10 mhs pada jarak 0,1 km hingga < 0,2 mhs pada jarak > 1 km, kecuali pada wilayah yang mangrovenya rusak dapat mencapai > 2 mhs pada jarak > 1 km. Kondisi air sumur pada jarak 1 km masih tergolong baik untuk wilayah dengan kondisi mangrovenya yang relatif baik, sementara pada wilayah dengan mangrove yang tipis sudah terintrusi pada jarak 1 km. Jumlah/liter phytoplankton dan zooplankton sebagai sumber pakan ikan cenderung meningkat dengan makin luas dan makin bertambahnya usia tanaman mangrove (Marsono et al. 1995; Anwar dan Sumarna 1987). Bahkan hasil penelitian Gunawan et al. (2007) menunjukkan bahwa kandungan logam berat berbahaya berupa Merkuri (Hg) pada tanah di tambak terbuka adalah sebanyak 16 kali jika dibandingkan pada tanah hutan mangrove, dan sebanyak 14 kali dibandingkan dengan tambak yang bermangrove. Di samping itu, kandungan Hg dalam ikan/udang pada tambak tanpa mangrove cenderung lebih tinggi daripada tambak yang bermangrove (Gunawan dan Anwar, 2008). Upaya merehabilitasi daerah pesisir pantai dengan penanaman jenis mangrove sebenarnya sudah dimulai sejak tahun sembilan-puluhan. Data penanaman mangrove oleh Departemen Kehutanan sejak tahun 1995 hingga 2003 baru terealisasi seluas ha (Departemen Kehutanan, 2004) dan dari 2003 hingga 2007 telah mencapai ha (Departemen Kehutanan, 2008), namun tingkat keberhasilannya sangat umumnya rendah. Di samping itu, masyarakat juga tidak sepenuhnya terlibat dalam upaya rehabilitasi mangrove, bahkan dilaporkan adanya kecenderungan gangguan terhadap tanaman mengingat perbedaan kepentingan. Beberapa hasil penelitian pendukung rehabilitasi mangrove dalam teknik rehabilitasi hutan mangrove berupa teknik pesemaian, teknik penanaman dan kajian silvofishery telah dikemukakan dalam sintesis hasil penelitian teknologi dan kelembagaan rehabilitasi hutan mangrove (Anwar, 2007). Mengingat pentingnya fungsi jalur hijau hutan mangrove dan hutan pantai dalam menjaga keseimbangan ekosistem pantai, maka sangat diperlukan upaya-upaya untuk melindungi dan melestarikan. Guna mempertahankan kelestarian hutan mangrove dan hutan pantai tersebut, suatu sistem pengelolaan yang memperhatikan prinsip kesinambungan fungsi, terpeliharanya jaringan-jaringan kehidupan dan kesadaran serta kesamaan persepsi berbagai pihak atas pentingnya keberadaan ekosistem mangrove dan pantai, perlu dikaji dan diterapkan. Salah satu program penelitian dan pengembangan pada Pusat Litbang Konservasi dan rehabilitasi adalah Program Pengelolaan Hutan Alam, yang salah satu Rencana Penelitian Integratif (RPI) nya adalah menggarap topik Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai, yang bertujuan untuk memperoleh teknologi dan model konservasi dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai dalam rangka pemulihan serta optimalisasi fungsi dan manfaatnya. 20

27 II. RUMUSAN MASALAH Pesatnya laju degradasi ekosistem mangrove dan pantai di Indonesia saat ini dan berkembangnya pemanfaatan sumberdaya alam tersebut, memerlukan adanya peningkatan pengelolaannya secara lebih serius. Petunjuk Teknis bagi upaya konservasi dan rehabilitasinya yang lebih detail dan komprehensip serta kebijakan yang dapat meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi perlu dikreasi lebih lanjut. Kebijakan penggunaan mangrove, lahan mangrove dan pantai serta kebijakan perubahannya seyogyanya memperhatikan dampak yang mungkin timbul akibat penerapan yang tidak tepat. Terdapat tiga hal pokok yang perlu diperhatikan dan disiapkan dalam mengkreasi petunjuk teknis pengelolaan ekosistem mangrove dan pantai, yakni : (a) teknologi rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai berikut kelembagaannya; (b) informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai, serta (c) model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai dalam koridor kelestarian ekosistem tersebut. Pengalaman selama ini terutama dalam rehabilitasi mangrove, selain menunjukkan masih rendahnya persentase keberhasilannya, juga teknik penanamannya di tapak-tapak khusus masih memerlukan penyempurnaan. Keterlibatan masyarakat dalam konservasi dan rehabilitasi juga sangat minim mengingat belum meratanya pengetahuan mereka akan fungsi dan manfaat ekosistem mangrove dan pantai bagi lingkungan serta peningkatan kehidupannya. Belum jelasnya hak penggunaan lahan bagi penggarap juga diduga merupakan andil kurang gayutnya masyarakat secara langsung dalam rehabilitasi dan pengelolaan. Penurunan salinitas air tanah daratan, proses siklus hara, pertumbuhan, serta peningkatan biodiversitas atas kehadiran ekosistem mangrove dan pantai merupakan aspekaspek bioekologi yang juga perlu digali. Potensi peningkatan produksi perikanan, jasa lingkungan, dan pendapatan masyarakat baik dari kayu maupun non kayu, serta motivasi keterlibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove dan hutan pantai merupakan aspek-aspek sosial ekonomi yang juga perlu digali. Tanah timbul di sekitar mangrove yang acapkali menimbulkan permasalahan sosial dan hukum dikemudian hari juga merupakan aspek penting lainnya dalam penetapan kebijakan konservasi wilayah pantai. III. TUJUAN DAN SASARAN Penelitian bertujuan untuk menyediakan teknologi dan model konservasi dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai dalam rangka pemulihan serta optimalisasi fungsi dan manfaatnya. Adapun sasaran penelitian ini adalah : a) Tersedianya teknologi penanaman dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai. b) Tersedianya informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai. c) Tersedianya model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. Untuk mencapai tujuan dan sasaran di atas, maka luaran atau output penelitian untuk setiap sasaran adalah sebagai berikut : 21

28 Sasaran Pertama, luarannya : a) Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus, yang akan diperoleh melalui kegiatan : a.1. Teknik penanaman pada delta terdegradasi. a.2. Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil. b) Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai, yang akan diperoleh melalui kegiatan : b.1. Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. Sasaran Kedua, luarannya : a) Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan, yang akan diperoleh melalui kegiatan : a.1. Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove. a.2. Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut. a.3. Kajian keragaman satwa dan mikroorganisme hutan mangrove dan ekosistem pantai. Sasaran Ketiga, luarannya : a) Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai, yang akan diperoleh melalui kegiatan : a.1. Kajian potensi sumber pangan jenis-jenis mangrove. a.2. Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai. a.3. Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove. b) Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai, yang akan diperoleh melalui kegiatan : b.1. Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. b.2. Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove. IV. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian mencakup kajian, valuasi dan ujicoba yang berkaitan dengan ekosistem mangrove dan pantai. Penelitian diarahkan pada aspek penanaman dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai berikut kelembagaannya, proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai, serta pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. 22

29 V. KOMPONEN PENELITIAN Penelitian Pengelolaan Hutan Mangrove dan Ekosistem Pantai merupakan salah satu RPI di Badan Litbang Kehutanan, maka komponen-komponen penelitiannya perlu dikodefikasi dengan membubuhkan angka empat (4), yakni sebagai nomor urut RPI. Dengan demikian, komponen penelitian yang diperlukan untuk mencapai luaran (output) pada RPI ini dikodefikasi sebagai berikut : Kodefikasi Luaran 4.1. Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. Kodefikasi Kegiatan Teknik penanaman pada delta terdegradasi Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut Kajian keragaman satwa dan mikroorganisme hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian potensi sumber pangan jenisjenis mangrove Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove. 23

30 VI. METODOLOGI Untuk menghasilkan luaran yang telah diidentifikasi di atas, akan dilakukan kegiatan-kegiatan dengan pendekatan dan metode tertentu sebagaimana disebutkan di bawah ini Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknik penanaman pada delta terdegradasi Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Percobaan penanaman beberapa jenis mangrove pada berbagai jarak tanam dan jalur tanam. b) Pengamatan pertumbuhan anakan mangrove pada berbagai perlakuan. c) Pengamatan perubahan kualitas perairan dan substrat tanah setelah empat tahun penanaman Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil Untuk memperoleh teknik penanaman pada areal terabrasi akan dilakukan kegiatan berikut : a) Percobaan penanaman beberapa jenis mangrove dan atau tumbuhan pantai pada berbagai jenis pemecah dan atau peredam ombak. b) Percobaan pemberian perlakuan perbedaan fisik pelindung ombak terhadap keberhasilan pengurangan tingkat abrasi. c) Pengamatan keberhasilan tanaman mangrove yang ditanam di sebelah dalam pelindung ombak. d) Pengamatan perubahan kualitas perairan dan substrat tanah setelah empat tahun penanaman. Untuk memperoleh teknik penanaman pada pulau kecil akan dilakukan kegiatan berikut : a) Percobaan penanaman beberapa jenis mangrove dan atau tumbuhan pantai dengan berbagai jarak tanam (salah satu perlakuan dengan jarak rapat) dan jalur tanam. b) Pengamatan keberhasilan tanaman. c) Pengamatan perubahan kualitas perairan dan substrat tanah setelah empat tahun penanaman Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Kajian profil dan motivasi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya terkait dengan ekosistem mangrove dan pantai. 24

31 b) Kajian tingkat pengaruh dan kepentingan para pihak dalam program konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. c) Kajian peran dan mekanisme koordinasi lembaga konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Penetapan plot pengamatan berupa tambak atau empang pada berbagai perbedaan tutupan mangrovenya serta pada hutan mangrove. b) Analisis kandungan polutan perairan pada substrat, perairan, ikan, udang, terumbu karang dan pada bagian tanaman mangrove yang diambil dari tambak yang berbeda jenis mangrovenya. c) Analisis kandungan polutan yang terjerap oleh bagian tanaman berbagai jenis mangrove Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Penanaman anakan Avicennia spp., Sonneratia spp. dan Rhizophora spp. dalam dua macam jarak tanam (di Segoro Anakan Kabupaten Cilacap, Delta Welahan Kabupaten Demak, dan Delta Comal di Kabupaten Pemalang, Propinsi Jawa Tengah). b) Analisis laju sedimen terlarut yang dijerat oleh masing-masing jenis tanaman dan pada berbagai jarak tanam Kajian keragaman satwa dan mikroorganisme hutan mangrove dan ekosistem pantai Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Penetapan lokasi kawasan/hutan mangrove dan hutan pantai konservasi. b) Pengamatan keragaman satwa dan mikroorganisme di masingmasing lokasi. c) Deliniasi lokasi yang menjadi tempat singgahan burung migran Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai Kajian potensi sumber pangan jenis-jenis mangrove Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Pengambilan bagian tanaman (buah, bunga, kulit) dari jenis Bruguiera spp., Sonneratia spp., dan Avicennia spp. b) Analisis kandungan kimia dan kadar gizi bahan makanan. c) Penyajian resep makanan dari bahan dasar mangrove. 25

32 Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Penetapan lokasi hutan konservasi mangrove dan pantai sebagai calon hutan wisata. b) Kajian sumberdaya hutan mangrove dan hutan pantai, infra struktur dan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. c) Analisis potensi hutan mangrove dan hutan pantai pada areal konservasi untuk pengembangan wisata alam Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Kajian distribusi mangrove menggunakan pendekatan penginderaan jauh dengan data berupa citra dari satelit landsat dan citra resolusi sangat tinggi dari google earth. b) Analisis digital citra landsat menggunakan software pengolah data penginderaan jauh, serta pemodelan diantaranya pemodelan indeks vegetasi. c) Kegiatan pengecekan di lapangan untuk mengetahuhi jenis dan famili mangrove yang ada, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kegiatan pembangunan sektor. d) Analisis perubahan penutupan mangrove dengan melakukan analisis multi temporal terhadap data penginderaan jauh landsat TM (direncanakan citra landsat tahun 1990, 2000 & tahun 2010) Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Pengamatan sumberdaya hutan mangrove dan atau hutan pantai yang akan divaluasi. b) Analisis persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove dan atau hutan pantai. c) Analisis valuasi ekonomi dari manfaat langsung hutan mangrove (kayu, buah, daun, dan kulit) dan atau hutan pantai. d) Analisis valuasi ekonomi dari manfaat tidak langsung hutan pantai dan atau hutan mangrove (ikan, feeding ground, nursery ground, habitat satwaliar, pencegah abrasi, intrusi, serta manfaat lainnya) Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove Akan dilakukan kegiatan berikut : a) Analisis persepsi masyarakat atas sistem silvofishery pola kemitraan. b) Analisis biaya dan finansial, serta analisis sosial sistem silvofishery yang diterapkan. c) Analisis kecenderungan hasil produk tambak per tahun. 26

33 VII. RENCANA TATA WAKTU DAN INSTITUSI PELAKSANA Luaran Kode Keg. dan Institusi Kegiatan Litbang Tahun Usulan Teknik penanaman pada delta terdegradasi. x x x x x 4.1.Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus x x x x x Teknik penanaman pada areal x x terabrasi dan pulau-pulau kecil. - - x x x x x x x x 4.2.Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove. - - x x x x x Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan. 4.4.Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut. - x x x x Kajian keragaman satwa dan x x x mikroorganisme hutan mangrove dan ekosistem pantai. - - x x x Kajian potensi sumber pangan jenisjenis mangrove. x x x x Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai. - - x x x x x x x - 27

34 Luaran Kode Keg. dan Institusi Kegiatan Litbang Tahun Usulan Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove. - - x x x 4.5.Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian valuasi ekonomi konservasi x x hutan mangrove dan ekosistem pantai. x x x Kajian model kemitraan pemanfaatan x x x x x hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove. x x x x x Keterangan: Digit terakhir 1: Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi; 7: Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli; 9: BPK Palembang; 12: BPK Solo; 14: BPK Kupang; 16: BPK Samboja; 17: BPK Manado; 18: BPK Makassar; dan 19: BPK Manokwari. 28

35 VIII. RENCANA ANGGARAN Total anggaran untuk penyelenggaraan penelitian yang melibatkan delapan unit kerja selama lima tahun ( ) mencapai Rp ,- (delapan milyar tujuh ratus dua puluh lima juta rupiah). Luaran Kode Keg.dan Institusi Kegiatan Litbang Anggaran (x Rp ) Jumlah Teknik penanaman pada delta terdegradasi Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut Kajian keragaman satwa dan mikroorganisme hutan mangrove dan ekosistem pantai Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai Kajian potensi sumber pangan jenisjenis mangrove

36 Luaran Kode Keg.dan Institusi Kegiatan Litbang Anggaran (x Rp ) Jumlah Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian distribusi dan perubahan tutupan mangrove Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenis-jenis tumbuhan mangrove TOTAL

37 I. ORGANISASI Penelitian dikoordinasikan oleh seorang Koordinator, dibantu oleh Tim Pembantu Teknis Koordinator dan Tim Sekretariat, yang semuanya berada di Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor, serta beberapa Peneliti sebagai Pelaksana kegiatan penelitian baik dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi maupun dari beberapa (tujuh) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan, yakni dari Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli, BPK Solo, BPK Kupang, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari.. DAFTAR PUSTAKA Anwar, C. dan Y. Sumarna Populasi phitoplankton pada beberapa perairan hutan mangrove Cilacap. Bulletin Penelitian Hutan, No. 492: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan, Bogor. Anwar, C Sinthesis Hasil Penelitian Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Hutan Mangrove. Draft awal. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor (tidak diterbitkan). Departemen Kehutanan Statistik Kehutanan Indonesia, Forestry Statistics of Indonesia Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan Statistik Kehutanan Indonesia, Forestry Statistics of Indonesia Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta. Dwi, I Ekosistem pesisir pantai. Diunduh tanggal 03 Juli Direktorat Bina Pesisir Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, DKP. Jakarta. Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. PT. Insan Mandiri Konsultan. Jakarta (tidak diterbitkan). Gunawan, H., C. Anwar, R. Sawitri dan E. Karlina Status Ekologis Silvofishery Pola Empang Parit di Bagian Pemangkuan Hutan Ciasem- Pamanukan, Kesatuan Pemangkuan Hutan Purwakarta. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. IV No. 4 ( ): Gunawan, H. dan C. Anwar Kualitas perairan dan kandungan Merkuri (Hg) dalam ikan pada tambak empang parit di BKPH Ciasem-Pamanukan, KPH Purwakarta, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol. V No. 1(1-10): Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kurdi, S.Z Identifikasi kerugian kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut. Puslitbang Permukiman. Diunduh tanggal 03 Juli Martodiwirjo, S Kebijaksanaan Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove dalam Pelita VI. Bahan Diskusi Panel Pengelolaan Hutan 31

38 Mangrove, Mangrove Center, Denpasar, Oktober 1994 (tidak diterbitkan). Marsono, D., E.P. Rahayu dan Udiono Peran rehabilitasi mangrove terhadap keanekaragaman biota (Studi kasus di pantai Pemalang). Priyambodo Hutan Pantai Petanahan Jadi Contoh Penghijauan. Diunduh tanggal 16 April Sampurno Pengembangan kawasan pantai kaitannya dengan geomorfologi. Departemen Geologi ITB. Diunduh tanggal 29 Juni Turner, R.E Intertidal vegetation and commercial yields of penaeid shrimp. Trans. Am. Fish. Soc. 106:

39 I. KERANGKA KERJA LOGIS No Narasi Indikator Cara Verifikasi Asumsi 1 Tujuan: Penelitian bertujuan untuk menyediakan teknologi dan model konservasi dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai dalam rangka pemulihan serta optimalisasi fungsi dan manfaatnya. 2 Sasaran: 1) Tersedianya teknologi penanaman dan rehabilitasi mangrove dan ekosistem pantai. 2) Tersedianya informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai. 3) Tersedianya model pemanfaatan biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. 3 Luaran: 1) Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus. 2) Model kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. 3) Informasi peran mangrove dan ekosistem pantai dalam pemeliharaan kualitas lingkungan. 4) Status potensi dan nilai manfaat mangrove dan ekosistem pantai. 5) Manfaat sosial ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. Pemanfaatan informasi dan teknologi pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai yang berkesinambungan oleh Pengguna. Pemanfaatan teknik penanaman dan rehabilitasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. Pemanfaatan informasi proses ekologis di hutan mangrove dan ekosistem pantai. Pemanfaatan informasi nilai ekologis biodivesitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. Tersedianya teknik penanaman mangrove pada delta terdegradasi. Tersedianya teknik penanaman mangrove dan atau tumbuhan pantai pada areal terabrasi dan pulau kecil. Tersedianya sistem kelembagaan dalam konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. Bertambahnya data base penjerapan polutan oleh jenisjenis mangrove. Bertambahnya data base penjeratan sedimen terlarut oleh jenis-jenis mangrove. Bertambahnya data base keragaman satwa dan mikroorganisme di hutan mangrove dan ekosistem pantai. Bertambahnya database potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai. Bertambahnya data base nilai ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. Pedoman teknis pengelolaan hutan mangrove dan ekosistem pantai. Pedoman teknis konservasi dan rehabilitasi. Pedoman teknis pengembangan kemitraan. Informasi kemanfaatan ekologis biodiversitas hutan mangrove dan ekosistem pantai. Laporan hasil penelitian. Ada kemauan kuat dari Pemerintah dan Pihak terkait Fasilitas mendukung. Ada dukungan Pemerintah Pusat dan Daerah. Diseminasi hasil litbang tepat sasaran. Kebijakan, program dan anggaran mendukung. 33

40 No Narasi Indikator Cara Verifikasi Asumsi 4 Kegiatan: 1) Teknik penanaman pada delta terdegradasi. 2) Teknik penanaman pada areal terabrasi dan pulau-pulau kecil. 3) Kajian sistem kelembagaan konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove dan pantai. Tersedianya model kemitraan dalam pemanfaatan mangrove. Tersedianya rencana penelitian integratif. Tersedianya pelaksana penelitian. Tersedianya rencana operasional penelitian. Tersedianya lokasi penelitian. Tersedianya satuan percobaan. PPTP RPTP Rencana Kerja, RKA-KL/ DIPA Ada dukungan anggaran. Tersedia Peneliti dan Teknisi. 4) Kajian penjerapan polutan perairan oleh jenis-jenis mangrove. 5) Kajian peran jenis-jenis mangrove dalam penjeratan sedimen terlarut. 6) Kajian keragaman satwa dan mikroorganisme hutan mangrove dan ekosistem pantai. 7) Kajian potensi sumber pangan jenis-jenis mangrove. 8) Kajian potensi jasa lingkungan hutan mangrove dan ekosistem pantai. 9) Kajian valuasi ekonomi konservasi hutan mangrove dan ekosistem pantai. 10) Kajian model kemitraan pemanfaatan hutan dan jenisjenis tumbuhan mangrove. 34

41 REVISI RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN KODEFIKASI RPI 5 PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT Koordinator: Dr. Herman Daryono, MS BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN Jakarta, September 2011

42 KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILTASI LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) (REVISI) PENGELOLAAN HUTAN RAWA GAMBUT Menyetujui, Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor, September 2011 Koordinator, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP Dr. Herman Daryono, MS NIP Mengesahkan : Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr.Ir.Tachrir Fathoni M.Sc NIP

43 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ABSTRAK I. LATAR BELAKANG II. PERUMUSAN MASALAH III. HIPOTHESIS.. 39 IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN 39 V. LUARAN. 39 VI. RUANG LINGKUP VII. KOMPONEN PENELITIAN. 41 VIII. METODOLOGI I. PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA RENCANA TATA WAKTU I. RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT. 47 II. RENCANA BIAYA III. ORGANISASI IV. DAFTAR PUSTAKA V. KERANGKA KERJA LOGIS

44 DAFTAR TABEL Tabel 1. Cakupan dan kegiatan penelitian integratif pengelolaan hutan alam rawa gambut... Tabel 2. Rencana anggaran, waktu dan unit pelaksana penelitian integratif tahun Tabel 3. Matrik kodefikasi pelaksana kegiatan RPI

45 ABSTRAK Lahan gambut di Indonesia mencakup areal seluas 26,5 juta ha namun mengalami degradasi hutan sangat parah. Lahan gambut merupakan suatu ekosistem unik dan rapuh (fragile), yang dicirikan oleh sifat subsidensi, irreversible drying, miskin hara, kemasaman yang tinggi, mudah terbakar dalam keadaan kering, kedalaman bervariasi mulai dari 25 cm hingga lebih dari 15 m, mempunyai kekayaan flora dan fauna yang khas dan bernilai ekonomi tinggi. Lahan gambut mempunyai peran penting dalam menjaga dan memelihara keseimbangan lingkungan hidup baik sebagai reservoir air, rosot dan penyimpan karbon, pencegah perubahan iklim serta mempertahankan keanekaragaman hayati dimana eksistensinya semakin terancam saat ini. Oleh karena itu, pegelolaan secara bijaksana harus dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, sosial, budaya dan ekonomi sehingga kelestarian hutan rawa gambut dapat terjamin. Penguasaan informasi fenologi, tipologi dan sebaran hutan rawa gambut sangat diperlukan untuk memperoleh teknik rehabilitasi hutan gambut terdegradasi yang tepat. Fokus pada teknik rehabilitasi hutan rawa gambut dilakukan untuk memperbaiki biodiversitas, nilai konservasi, fungsi rosot karbon dan perbaikan fungsi hidrologi. Pemilihan jenis pohon yang tepat, teknologi dan kelembagaan rehabilitasi perlu dikaji dan diketahui sehingga kegagalan dalam melakukan rehabilitasi dapat dihindari. Kata kunci : Hutan rawa gambut, tipologi hutan, fenologi pohon, teknologi rehabilitasi hutan, pengelolaan hutan partisipatif. I. LATAR BELAKANG Lahan rawa gambut di daerah tropis mencakup areal seluas 38 juta ha dari total seluas 200 juta ha yang terdapat di seluruh dunia. Luas lahan gambut di Indonesia, menurut beberapa sumber bervariasi antara 13,5 26,5 juta ha. Menurut Driessen (1976), Indonesia memiliki lahan gambut seluas 16,1 juta ha yang terbentang mulai dari pantai timur Sumatera Timur seluas 9,7 juta ha yang meliputi Propinsi Riau, Jambi dan Sumatera Selatan, Kalimantan seluas 6,3 juta ha meliputi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dan Papua seluas 0,1 juta ha. Puslittanak (1981) dalam Najiyati et al (2005) mengemukakan luas lahan gambut di Indonesia adalah 26,5 juta ha dengan perincian di Sumatera seluas 8,9 juta ha, Kalimantan seluas 6,5 juta ha, Papua seluas 10,5 juta ha dan lainnya 0,2 juta ha. Wetland International (1996) menunjukkan bahwa luas seluruh lahan gambut yang ada di Indonesia adalah seluas ha dengan perincian di Sumatera 7,21 juta ha dan di Kalimantan 5,79 juta ha dan Wahyunto et al (2005) memperkirakan luas lahan gambut di Indonesia seluruhnya 21 juta ha. Variasi data luas hutan rawa gambut juga dikemukakan oleh Euroconsult (1984); Soekardi dan Hidayat (1988); Deptrans (1988 dan 1990) dalam Najiyati et al (2005); Subagyo et al (1990); Nugroho et al (1992); Rajagukguk (1993); Dwiyono dan Rachman (1996) dalam Najiyati et al (2005). Laju kerusakan hutan di Indonesia dilaporkan terus meningkat, dimana pada tahun 1991 telah mencapai ha/ tahun. Masih di tahun yang sama, laporan lain menunjukkan laju 1,3 juta ha/tahun (Anonim, 1991). Data 36

46 pengamatan terakhir dari Badan Planologi Kehutanan (2005) diperoleh bahwa laju deforestasi baik pada kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan pada periode antara tahun 1997 sampai tahun 2000 di Indonesia sekitar 2,83 juta ha termasuk di dalamnya kerusakan hutan rawa gambut. Pada akhir tahun 2008, tingkat degradasi hutan dilaporkan menurun menjadi sekitar satu juta ha. Hutan rawa gambut adalah salah satu tipe hutan rawa yang merupakan ekosistem yang spesifik dan rapuh (Daryono, 1994; Mulyanto, 2000), baik dilihat dari segi habitat lahannya berupa gambut dengan kandungan bahan organik yang tinggi dengan ketebalan mulai kurang dari 0,5 meter sampai dengan kedalaman lebih dari 20 m. Jenis tanahnya tergolong organosol, podsol maupun glei humus. Karakteristik umum lahan gambut adalah dicirikan dengan kandungan bahan organik yang tinggi, ph yang rendah, Nilai KTK (Kapasitas Tukar Kation) yang tinggi dan nilai KB (Kejenuhan Basa) yang rendah (Page dan Rieley, 1998). Hal ini berakibat pada status hara yang rendah. Untuk kegiatan rehabilitasi di hutan rawa gambut, variasi ketebalan gambut, kondisi dan tingkat pelapukan gambut serta penggenangan air akan memberikan perlakuan yang bermacam-macam dalam pemilihan jenis pohon, teknik penyiapan lahan serta teknik penanaman maupun pemeliharaannya (Daryono, 2000). Lahan gambut merupakan lahan yang mempunyai berbagai fungsi penting guna menjaga dan mengatur proses berlangsungnya lingkungan hidup seperti reservoir air, rosot dan simpanan karbon, keanekaragaman hayati dan lain-lain kebutuhan untuk kesejahteraan manusia. Kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan rawa gambut masih relatif sedikit dilakukan dibanding hutan lahan kering. Hal ini disebabkan beberapa hal, diantaranya pemilihan jenis pohon untuk ditanam, pengetahuan teknik silvikultur jenis yang spesifik di hutan rawa gambut yang masih sangat terbatas, habitat rawa gambut yang kurang subur (miskin hara) dan sifat kemasaman tanah dan air yang tinggi sehingga pada umumnya tanaman mempunyai pertumbuhan yang lambat (Daryono, 2000). Selain hal itu, penanaman di habitat rawa relatif sulit sehingga perlu dicari metode penanaman yang tepat. Oleh karena itu, sampai saat ini dirasakan rehabilitasi pada hutan rawa gambut terdegradasi sangat lambat dan kurang terperhatikan. Proyek lahan gambut sejuta hektar, berdasarkan Kepres No.93 tahun 1992, dan pelaksanaannya berdasarkan Keppres No. 82 tahun 1995, merupakan salah satu contoh pengalaman pahit suatu kegagalan (Mulyanto, 2000). Pada awalnya bertujuan dalam rangka pengamanan pangan nasional, tetapi dalam pelaksanaannya dinilai gagal karena menimbulkan berbagai permasalahan baik teknis, sosial, ekonomi, dan budaya maupun ekologis. Selain itu, dilaporkan pula telah terjadi penebangan liar dan perambahan hutan secara besar-besaran pada areal hutan yang belum digarap, sehingga terjadi kerusakan hutan beserta isinya termasuk habitat satwa liar yang terjadi dengan sangat cepat. Selain itu, hutan rawa gambut yang rusak mengalami penurunan permukaan air sebagai akibat pembangunan saluran-saluran drainase yang kurang diperhitungkan dengan cermat mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Sebaliknya di musim penghujan terjadi kebanjiran. Mengingat gambut memiliki sifat kering yang tidak dapat balik (irreversible) maka gambut mempunyai potensi yang tinggi untuk kebakaran seperti yang telah terjadi belakangan ini. 37

47 Terbitnya Inpres No.2 tahun 2007 tentang percepatan rehabilitasi dan revitalisasi kawasan lahan gambut eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut Kalimantan Tengah, merupakan langkah dan tindak lanjut pemulihan kerusakan dan pengembalian fungsi ekologis, lingkungan dan sosial, ekonomi dan budaya pada kawasan lahan gambut tersebut. Pengelolaan hutan dan lahan gambut perlu dilakukan secara bijaksana dan hatihati. Hal ini disebabkan karena hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang sangat rapuh sehingga kalau pengelolaan tidak dilakukan secara benar, hutan tersebut tidak akan lestari. Jenis pohon yang tumbuh di areal rawa gambut sangat spesifik dan sebagian mempunyai nilai ekonomi yang tinggi baik dari hasil kayunya maupun hasil non kayu seperti getah-getahan, rotan, obat-obatan, dan lain-lain. Beberapa jenis kayu komersil tinggi adalah ramin (Gonystylus bancanus), meranti rawa (Shorea pauciflora, Shorea teysmanniana, S.uliginosa), jelutung rawa (Dyera lowii), nyatoh (Palaquium spp.), bintangur (Calophyllum spp.), dan kapur naga (Calophyllum macrocarpum) (Daryono, 1994). Hutan rawa gambut yang mengalami degradasi baik sebagai akibat penebangan liar, penjarahan dan kebakaran hutan ini harus segera direhabilitasi untuk mengembalikan fungsi ekologis maupun meningkatkan produktivitasnya sehingga fungsi ekosistem itu dapat segera pulih kembali. Rencana Penelitian Integratif ini dimaksudkan untuk dapat menjadi pedoman kegiatan penelitian dalam rangka mendapatkan atau menemukan IPTEK yang dapat digunakan dalam pengelolaan hutan rawa gambut secara bijaksana dan lestari, dengan pembelajaran (lesson learned) kerusakan PLG sejuta hektar di Kalimantan Tengah, jangan sampai terjadi lagi di wilayah lain. Diharapkan, pada waktu mendatang pelaksanaan pengembangan lahan gambut di tempat lain dapat berhasil dengan baik, efektif dan efisien. II. RUMUSAN MASALAH Kerusakan hutan alam rawa gambut di Indonesia umumnya disebabkan beberapa hal yakni penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan dan lahan gambut, pembuatan saluran atau drainase di lahan gambut yang tidak diperhitungkan dengan baik, lemah dan kurangnya kesadaran masyarakat akan fungsi dan manfaat hutan rawa gambut, masih lemahnya penegakan hukum (law enforcement) serta masih lemahnya policy dan pengelolaan hutan rawa gambut. Selain itu, sifat karakteristik hutan rawa gambut seperti adanya subsidensi lahan gambut, sifat irreversible drying, dan lain-lain menyebabkan pengelolaan air (water level management) merupakan hal yang sulit dilakukan. Oleh karena itu, kegiatan penelitian integratif aspek-aspek tersebut perlu dilakukan untuk mewujudkan pengelolaan hutan dan lahan gambut secara lestari III. HIPOTHESIS Pengelolaan yang bijaksana dengan mempertimbangkan keseimbangan fungsi ekologis, sosial budaya dan ekonomi akan diperoleh hutan rawa gambut yang lestari. 38

48 IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN Penelitian integratif pengelolaan hutan alam rawa gambut ini bertujuan mendapatkan IPTEK pengelolaan hutan rawa gambut secara bijaksana dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Adapun sasaran dalam penelitian integratif ini adalah meliputi : a. Tersedianya data dan informasi mengenai tipe dan sebaran hutan rawa gambut terdegradasi; b. Tersedianya data dan informasi mengenai klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut berdasarkan kondisi biofisik hutan; c. Tersedianya data dan informasi serta paket teknologi rehabilitasi hutan alam rawa gambut; d. Tersedianya data dan informasi pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan rawa gambut; e. Tersedianya data dan informasi mengenai pola perbungaan dan pembuahan jenis-jenis pohon di hutan rawa gambut; f. Tersedianya data dan informasi mengenai kelembagaan pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif; g. Tersedianya data dan informasi dampak deforestasi terhadap emisi GRK. V. LUARAN RPI Pengelolaan hutan rawa gambut mencakup lima luaran, yaitu sebagai berikut : a. Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut : Review tipe dan sebaran hutan rawa gambut terdegradasi. Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut berdasarkan kondisi biofisik hutan. b. Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi : Ujicoba teknik bioremediasi dan phytoremediasi hutan rawa gambut terdegradasi. Kajian rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar. c. Informasi adaptasi fenologi jenis-jenis pohon hutan rawa gambut Kajian fenologi beberapa jenis pohon hutan rawa gambut. d. Alternatif pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipasif Kajian kelembagaan pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif. 39

49 e. Informasi dampak deforestasi hutan rawa gambut terhadap emisi GRK Kajian dampak deforestasi hutan rawa gambut dalam upaya realisasi target penurunan emisi 26%. VI. RUANG LINGKUP Kegiatan penelitian untuk mencapai luaran tersebut dilakukan di areal lahan gambut wilayah Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (areal Eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar). Secara terintegrasi, kegiatan penelitian dilakukan oleh BPK (Balai Penelitian Kehutanan) Manokwari, Papua Barat; BPK Palembang; BPT KSDA Samboja, Kaltim; BPK. Banjarabaru, Kalsel; BPK. Pematang Siantar, Sumut; Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor sebagai Koordinator. Kegiatan penelitian Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Gambut ini meliputi beberapa aspek, yaitu : Aspek Teknik Silvikultur : 1. Teknologi pengadaan bibit dan uji coba penanaman jenis-jenis pohon di lahan rawa gambut yang sampai saat ini belum diketahui cara pengembangan dan teknik silvikulturnya melalui uji jenis dan uji provenance. 2. Teknologi pengembangan jenis pohon lokal (indigenous tree species) maupun eksotik yang tepat guna yang dapat dikembangkan untuk rehabilitasi hutan rawa gambut eks PPLG Kalimantan Tengah maupun fungsi hidroorologis, melalui teknologi pengembangan bibit secara generatif dan vegetatif (stem cutting), dan penerapan teknologi mikrobiologi (Michorriza) untuk memperoleh peningkatan pertumbuhan (riap), kesehatan dan adaptasi bibit serta kualitas bibit yang dihasilkan. 3. Teknologi penyiapan lahan dan pengaturan aras air tanah di beberapa tipologi lahan (gambut dangkal, gambut sedang, gambut dalam, gambut sangat dalam, Sulfat Masam Potensial, dll) di hutan rawa gambut eks PPLG Kalimantan Tengah atau di areal lahan rawa gambut di provinsi lain. Aspek sosial, Ekonomi, Budaya dan Kelembagaan : 1. Informasi keterlibatan secara partisipatif masyarakat dalam komunitasnya dalam kelembagaan adat lokal menunjang kegiatan pengelolaan hutan di lahan rawa gambut. 2. Informasi penemuan teknologi partisipatif dan teknologi berbasis produksi dan konservasi di sekitar hutan rawa gambut, kearifan lokal dalam menunjang keberhasilan pengelolaan hutan rawa gambut. 3. Informasi sosekbud dan kelembagaan pengelolaan hutan rawa gambut dengan partisipasi masyarakat. 40

50 VII. KOMPONEN PENELITIAN Komponen (cakupan) penelitian dalam RPI Pengelolaan Hutan Alam Rawa Gambut terdiri dari 5 (lima) cakupan yakni (1) Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut; (2) Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi; (3) Informasi adaptasi fenologi jenis-jenis pohon hutan rawa gambut; (4) Alternatif pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif; (5) Informasi dampak deforestasi hutan rawa gambut terhadap emisi GRK. Masing-masing cakupan terdiri dari satu atau beberapa aktivitas. Untuk lebih jelasnya cakupan dan aktifitas penelitian, dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini : Tabel 1. Cakupan dan Kegiatan Penelitian Integratif Pengelolaan Hutan Alam Rawa Gambut NO KODE DAN CAKUPAN KEGIATAN Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Informasi adaptasi fenologi jenis-jenis pohon hutan rawa gambut Alternatif pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif Informasi dampak deforestasi hutan rawa gambut terhadap emisi GRK Review tipe dan sebaran hutan rawa gambut terdegradasi Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut berdasarkan kondisi biofisik hutan Ujicoba teknik bioremediasi dan phytoremediasi hutan rawa gambut terdegradasi Kajian rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar Kajian phenologi beberapa jenis pohon hutan rawa gambut Kajian kelembagaan pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif Kajian dampak deforestasi hutan rawa gambut dalam upaya realisasi target penurunan emisi 26% 41

51 VIII. METODOLOGI A. Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut Sampai saat ini kondisi penutupan lahan gambut belum seluruhnya diketahui, bahkan luas hutan dan lahan gambut masih bervariasi cukup besar di Indonesia mulai 13,5 juta 26,5 juta Ha. Sebagai contoh, luas lahan gambut di Papua dilaporkan seluas 10,5 juta Ha (Puslittanak, 1981 dalam Najiyati et al 2005), sumber lain menyebutkan 0,1 juta ha (Driessen, 1976), dan 8 juta Ha (Wetland International, 2005). Salah satu kegiatan yang dilakukan yaitu mereview tipe dan sebaran hutan rawa gambut terdegradasi yang dilakukan di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Kajian dilakukan dengan mempelajari peta landsat, dan mengindentifikasi di lapangan tipe dan sebaran hutan rawa gambut terdegradasi. Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut berdasarkan sifat biofisik hutan (Daryono, 1994). Kajian dilakukan dengan mempelajari peta landsat dan mengidentifikasi tipologi berdasarkan kharakteristik biofisik di lapangan. B. Ujicoba teknik bioremediasi dan phytoremediasi berbagai kondisi hutan rawa gambut (penyiapan lahan, ujicoba jenis, pola penanaman, penggunaan mikroba, pemilihan jenis pohon asli stempat, pengayaan, hidrologi, dll) Salah satu komponen penelitian pengelolaan hutan yaitu untuk mendapatkan teknologi rehabilitasi yang tepat guna dan kajian kelembagaan dalam rangka mewujudkan keberhasilan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi. Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan ujicoba teknik bioremediasi dan phytoremediasi berbagai kondisi hutan alam rawa gambut terdegradasi (penyiapan lahan, uji coba jenis, pola penanaman, penggunaan mikroba, pemilihan jenis pohon asli setempat, pengayaan, hidrologi, dan lain-lain). Penelitian dilakukan pada hutan rawa gambut yang telah terdegradasi, baik dilihat dari vegetasinya, kondisi hidrologi maupun kondisi gambutnya yang telah mengalami kebakaran. Penelitian bioremediasidan phytoremediasi dilakukan dalam upaya mencari teknik remediasi dengan penanaman jenis-jenis pohon yang tepat dengan penyiapan lahan, pengaturan drainase dan aplikasi biofertilizer untuk memperbaiki kondisi tanah untuk pertumbuhan tanaman. Jenis pohon yang digunakan adalah jenis pohon asli rawa gambut yang mempunyai pertumbuhan relatif cepat atau jenis pohon andalan setempat dan kondisinya terancam punah (daftar merah IUCN flora rawa gambut). B.1. Teknik Agroforestry Rehabilitasi hutan dan lahan rawa gambut yang terdegradasi dilakukan melalui teknik agroforestry yaitu pembangunan hutan melalui pola campuran tanaman pokok kehutananan dan tanaman semusim yang 42

52 dilakukan pada lahan rawa gambut milik masyarakat, kawasan hutan produksi ataupun hutan kawasan lindung yang telah diijinkan. Jenis tanaman pokoknya dapat dipililih jenis MPTS (Multiple Purpose Tree Species) seperti Sengon (Paraserianthes falcataria), Jelutung rawa (Dyera lowii), Pulai (Alstonia pnematophora), Sukun (Artocarpus sp.) atau tanaman kehutanan yang lain, dengan tanaman semusim pertanian yang cocok untuk lahan gambut atau tanaman obat seperti Zingiberaceae, lidah buaya (Aloefera), dan lain-lain yang diterapkan pada pola perhutanan sosial (hutan kemasyarakatan, hutan rakyat), pada pola pembangunan hutan tanaman hasil hutan bukan kayu atau pada pola pembangunan hutan tanaman kayu jenis industri. B.2. Pola Perhutanan Sosial Pola perhutanan sosial diterapkan pada areal hutan rawa gambut yang terdegradasi baik pada hutan produksi maupun hutan kawasan lindung yang telah diijinkan. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan teknologi rehabilitasi melalui uji coba rehabilitasi dengan menggunakan jenis pohon asli setempat yang sesuai kondisi ekologis setempat, atau menggunakan jenis MPTS (pohon asli dan eksotik) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tanpa mengganggu fungsi ekologis hutan. Pada penelitian rehabilitasi hutan dengan pola perhutanan sosial juga dikembangkan jenis-jenis pohon komersial, antara lain ramin (Gonystylus bancanus), meranti rawa (Shorea spp.), balangeran (Shorea balangeran), kapur naga (Calophyllum macrosarpum), nyatoh (Palaquium spp.), alau (Dacrydium elatum), damar (Agathis boornensis), prupuk (Lopopethalum multinervium), punak (Tetramerista glabra), pulai (Alstonia pneumatophora) dan jelutung rawa (Dyera lowii). B.3. Pola Pembangunan Hutan Tanaman Penghasil HHBK: Pola ini dapat diterapkan untuk rehabilitasi hutan rawa gambut yang terdegradasi. Penelitian ini dilakukan dengan uji coba penanaman jenis pohon asli hutan rawa gambut penghasil hutan bukan kayu seperti getah (latek) pada jenis jelutung (Dyera lowii), getah hangkang pada jenis nyatoh (Palaquium leicocarpum), getah jernang pada getah biji rotan. Selain itu, akan dilakukan ujicoba jenis gemor (Alseodhapne helophylla) kulit kayunya sebagai bahan insektisida (obat nyamuk), jarak pagar (Jatropha sp.) ataupun jenis nyamplung (Calophyllum innophyllum) diambil bijinya sebagai bahan minyak diesel, pinang (Arenga catechu) diambil bijinya sebagai bahan obat-obatan. Rotan (Calamus spp.) dan lain-lain. Penanaman rotan dapat dilakukan dengan menggunakan jenis pohon pemanjat asli setempat seperti gelam (Melaleuca leucadendron) atau tanah-tanah (Combretocarpus rotundatus), dan lain-lain. B.4. Pemilihan jenis pohon Pemilihan jenis pohon yang digunakan dalam penelitian atau uji coba rehabilitasi disesuaikan dengan masing-masing pola yang dipilih, yaitu dengan jenis MPTS dan jenis pohon Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang disesuaikan dengan habitat dan sifat ekologi setempat. Jenis pohon yang 43

53 dipilih jenis pohon asli atau eksot, baik sebagai tanaman pokoknya maupun tanaman pencampur. B.5. Pengadaan bibit tanaman Penelitian teknologi pengadaan bibit dari jenis-jenis yang digunakan dalam teknik agroforestri, pola perhutanan sosial dan pola pembangunan hutan tanaman penghasil HHBK dapat dilakukan baik secara generatif (melalui biji) maupun melalui stek baik batang (stem), pucuk (shoot) maupun akar (root). Penelitian dapat dimulai pada penyiapan bibit dengan media yang mengimplementasikan cendawan mikoriza baik endomikoriza (VAM) maupun ektomikoriza serta penggunaan Rhizobium ataupun bioteknologi yang lain. Penelitian dilakukan di persemaian maupun di labolatorium. Beberapa jenis bibit pohon rawa gambut telah berhasil diperbanyak melalui propagasi vegetatif antara lain meranti batu (Shorea uliginosa), meranti bunga (S. teysmanniana), punak (Tetramerista glabra), ramin (Gonystylus bancanus), para-para (Aglaia rubiginosa), prupuk (Lophopethalum multinervium), jelutung rawa (Dyera lowii). B.6. Teknik penyiapan lahan dan penanaman Teknologi penyiapan lahan dan penanaman merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan kegiatan rehabilitasi di lahan rawa gambut. Teknologi penyiapan lahan dilakukan dengan pengaturan drainase (water level management), (Takashi et al, 2002) dengan pembuatan parit-parit irigasi untuk menjaga lokasi tanaman tidak tergenang air perlu diperhitungkan dengan seksama karena sifat subsidensi dan irreversible drying (kering tidak balik) tanah gambut. Jika tanah gambut terlalu kering akan mudah terbakar yang pada akhirnya meningkatkan emisi gas rumah kaca. Teknik lain adalah dengan cara pembuatan gundukan-gundukan (mounding). Untuk memperoleh keberhasilan penanaman di lahan rawa gambut, tingkat pelapukan (dekomposisi) gambut sebagai media tanam merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan karena menentukan tingkat kesuburan gambut tersebut dan menentukan teknik penanaman. Oleh karena itu, perlakuan-perlakuan pada gambut sebagai media tanam perlu dilakukan tergantung pada tingkat pelapukan (fibrik, humik maupun saprik) gambut tersebut. Pencampuran gambut dengan bahan organik lain untuk memperbaiki kondisi tanah (ameliorasi) dapat dikombinasikan dengan penambahan mikroriza, baik endomikoriza (VAM) maupun ektomikoriza, untuk meningkatkan kesuburan dan pertumbuhan tanaman. B.7. Teknik pemeliharaan tanaman Uji coba perlakuan pemeliharaan tanaman dalam pelaksanaan rehabilitasi melalui revegetasi di hutan rawa gambut meliputi teknik pemupukan, pengapuran dengan berbagai dosis baik pada waktu pengadaan bibit ataupun dalam tahap penanaman di lapangan perlu dilakukan. Tumbuhnya gulma (weeds) perlu dikendalikan dengan penyiangan dan pendangiran baik secara jalur maupun piringan untuk memberikan pertumbuhan yang baik bagi tanaman. Pencegahan dan pengendalian 44

54 hama dan penyakit tanaman juga perlu dilakukan terhadap tanaman jenis pohon di lahan rawa gambut yang saat ini masih sangat terbatas. Resiko sistem kelembagaan dan teknik pengendalian kebakaran, merupakan faktor-faktor yang sangat penting untuk dikaji. C. Kajian phenologi beberapa jenis pohon hutan rawa gambut Lima tahun terakhir ini, pohon ramin dan beberapa jenis pohon hutan rawa gambut lainnya di berbagai lokasi, baik di Kaimantan maupun Sumatera, jarang berbuah bahkan ada indikasi terjadi perubahan masa berbunga dan berbuah. Dapat dikatakan musim berbunga dan berbuahnya tidak menentu. Penelitian fenologi dalam rangka upaya untuk mengetahui kembali musim berbunga dan berbuah perlu dilakukan. Penelitian yang terkait dengan fenologi adalah perlakuan menstimulir jenis pohon ramin dan jenis pakan penting lainnya untuk dapat berbunga dan berbuah dengan pemberian hormon. Penelitian dilakukan dengan menentukan beberapa pohon ramin dan beberapa jenis pohon lain di hutan sebagai sampel untuk diamati dan diberikan perlakuan dengan pemberian hormon untuk menstimulir pembungaan dan pembuahan. Hormon yang diberikan adalah Giberellin dan Paclo butrazol atau yang lain. Pemberian hormon dilakukan melalui perakaran, batang atau kedua-duanya. Dosis hormon Paclo butrazol dan giberellin yang diberikan bervariasi. Diharapkan stimulasi ini dapat membuat pohon ramin dan jenis pohon rawa gambut lainny dapat berbunga dan berbuah lagi. D. Alternatif pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif Suatu kajian kelembagaan pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipasi dilakukan dengan metode kajian sosial, ekonomi budaya dan kelembagaan yang dilakukan dengan pendekatan PRA (Participatory Rural Apprasial) atau metode lain yang sesuai pada masyarakat sekitar dan para pihak (stakeholders) yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan rawa gambut. Hasil kajian sosek dan kelembagaan di kawasan eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut, Kalteng atau pada areal lahan gambut lainnya oleh peneliti lain baik dari luar negeri maupun dalam negeri perlu dipelajari dan diacu sebagai referensi. Dengan demikian, mekanisme dan sistem kelembagaan yang tepat dapat diformulasikan untuk keberhasilan rehabilitasi hutan rawa gambut di Indonesia pada umumnya dan eks PPLG sejuta hektar pada khususnya. E. Kajian dampak deforestasi hutan rawa gambut dalam upaya realisasi target penurunan emisi 26% Kajian ini bertujuan mendapatkan data dan informasi dampak deforestasi (dari hutan alam ke kelapa sawit) terhadap aspek lingkungan, serta upaya target penurunan emisi 26 % (Diemont et al 1997; Jaya et al 2004). Penelitian dilakukan pada kawasan hutan rawa gambut yang telah dikonversi menjadi kebun kelapa sawit atau hutan sekunder rawa gambut yang dikonversi menjadi tanaman pulp (Acacia crassicarpa, A. 45

55 mangium). Kajian dilakukan dengan pengamatan besarnya emisi, ketinggian air tanah dan tingkat subsidensi pada lahan gambut yang telah dikonversi. Konversi hutan sekunder atau belukar rawa gambut menjadi hutan tanaman Acacia spp., dilakukan dengan sistem mengelola air menggunakan drainase (water level management). Perkebunan kelapa sawit agar supaya berproduksi harus menurunkan tinggi muka air tanah menjadi cm. Demikian juga pada tanaman kayu pulp, tinggi muka air tanah diturunkan menjadi cm. Kondisi ini dalam jangka waktu yang relatif lama akan berakibat subsidensi permukaan gambut, rawan terhadap kebakaran sekaligus meningkatkan emisi. Upaya yang dilakukan dalam penurunan emisi adalah dengan penerapan Best Management Practices (BMP) (eraturan Menteri Pertanian No.14/2009) yang meliputi penyiapan lahan gambut dengan teknik zero burning, water level management dan integrated pest management dengan harapan bisa diaplikasikan dengan baik dan terus berupaya mengembangkan teknologi yang lebih baik. I. PENGUMPULAN DAN ANALISIS DATA Data yang diperoleh dari setiap aspek penelitian dari masing-masing RPTP (Rencana Penelitian Tim Penelitian) dari masing-masing pelaksana dikumpulkan dan dianalisis sesuai dengan parameter yang diamati dan dibuat laporan hasil penelitiannya dari masing-masing aspek. Dari hasil pengamatan setiap RPTP, data pengamatan akan dianalisis sesuai dengan model penelitiannya, baik analisis varian dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), Rancangan Faktorial, rancangan split plot, dan lain-lain, serta untuk mengetahui pengaruh perlakuan dapat diuji dengan Uji Beda Jujur Turkey atau yang lainnya (Gomez dan Gomez, 1984). Kajian kelembagaan dan pengelolaan hutan rawa gambut serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan metode deskriptif serta pengelolaan data secara tabulasi. Sedangkan penelitian inventarisasi GRK dilakukan dengan metode yang dikembangkan IPCC dan atau destruktif. Dari hasil setiap aspek penelitian teknologi dan kelembagaan rehabilitasi lahan rawa gambut dari Balai dan unit kerja yang terlibat dalam kegiatan penelitian ini, akan dilakukan sintesa yang merupakan hasil penelitian secara lengkap dari judul kegiatan tersebut setiap tahunnya.. RENCANA TATA WAKTU Penelitian dilakukan mulai tahun 2010 sampai dengan tahun Jenis kegiatan setiap tahunnya selama penelitian dan terkait rencana anggaran biaya daripusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dan UPT yang terlibat dapat dilihat pada Tabel 2. 46

56 I. RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT Penelitian akan dilakukan di areal hutan rawa gambut di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Papua. Satu-satunya pemegang IUPHHK yang mengelola hutan alam rawa gambut yang masih aktif adalah PT.DRT (Diamond Raya Timber) di Provinsi Riau juga digunakan sebagai tempat penelitian. Selain itu, IUPHHK-HT PT. RAPP dan PT. Sinar Mas yang mengelola hutan tanaman di rawa gambut juga menjadi lokasi penelitian pengelolaan air. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan yang terlibat dalam penelitian integratif pengelolaan hutan alam rawa gambut adalah BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPT KSDA Samboja, BPK Banjarbaru dan BPK Manokwari. II. RENCANA BIAYA Penentuan biaya keseluruhan untuk kegiatan penelitian di 6 unit kerja (Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPT KSDA Samboja, BPK Banjarbaru dan BPK Manokwari). Rencana Anggaran Biaya dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan kodefikasi pelaksana RPI. Tabel 2. Rencana Anggaran, Waktu dan Unit Pelaksana Penelitian Integratif Tahun No Kode Kegiatan Biaya ( Rp ) Jmlh I. 5.1 Klasifikasi Tipologi dan Sebaran Hutan Rawa Gambut Review tipe dan sebaran hutan rawa gambut terdegradasi Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut berdasarkan kondisi biofisik hutan II 5.2 Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi Ujicoba teknik bioremediasi dan phytoremediasi berbagai kondisi hutan alam rawa gambut Kajian rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar

57 No Kode Kegiatan Biaya ( Rp ) Jmlh III 5.3. Informasi adaptasi fenologi jenis-jenis pohon hutan rawa gambut Kajian phenologi beberapa jenis pohon hutan rawa gambut IV 5.4 Alternatif pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif Kajian kelembagaan pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif V 5.5. Informasi dampak deforestasi hutan rawa gambut terhadap emisi GRK Kajian deforestasi hutan rawa gambut dalam upaya realisasi target penurunan emisi 26% Total Tabel 3. Matrik Kodefiikasi Pelaksanaan Kegiatan RPI Pengelolaan Hutan Rawa Gambut NO KODEFIKASI PELAKSANA RPI 1 1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) 2 7 Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli 3 9 Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Palembang 4 15 Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru 5 16 Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam (BPT KSDA) Samboja 6 19 Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari 48

58 III. ORGANISASI Kegiatan penelitian integratif dikoordinasikan oleh seorang Koordinator dibantu oleh satu orang Pembantu Koordinator yang semuanya berada di Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi serta beberapa peneliti sebagai pelaksana kegiatan penelitian, baik di Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi dan di beberapa UT Badan Litbang Kehutanan, yakni BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Banjarbaru, BPTKSDA Samboja; dan BPK Manokwari. IV. DAFTAR PUSTAKA Anonim Indonesian Tropical Forestry Action Programme. Country Brief. Ministry of Forestry. Government of Indonesia. FAO. Jakarta. Badan Planologi Kehutanan Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun Departemen Kehutanan R.I Jakarta. Daryono, H Impact Logging on Peat Swamp Forest in Central Kalimantan, Indonesia. PhD Thesis UPLB. Los Banos. The Philippines. 279 p. Daryono, H Kondisi Setelah Penebangan dan Pemilihan Jenis Pohon yang Sesuai Untuk Rehabilitasi dan Pengembangan Hutan Tanaman di Lahan Rawa Rambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah. BTR.Banjarbaru. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor pp. Driessen, P.M Peat soils. p In IRRI. Soils and Rice. Los Banos, Philippines. Diemont, W.H., Nabuurs, G.J., Rieley, J.O., and Rijksen, H.D Climate Change and Managemnet of Tropical Peatlands as a Carbon Reservoir.In Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands.(Eds J.O Rieley and S.E. Page) Samara Publishing. Cardigan,UK. Pp Dwiyono, A. and Rachman, S Management and Conservationof the tropical peat forest of Indonesia. In : Maltby, E., lmmirzi, C.P and Safford, R.J. (eds).tropicallowaland peatlands of Southeast Asia, Poceedings of a workshop on integrated planning and managementof tropical lowland peatlands at Cisarua,Indonesia, 3 8 Jul IUCN,Gland, Switzerland. Euroconsult Nationwide study of coastal and near coastal swampland in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Vol. I and II, Arnhem. Gomez, K.A, and A.A. Gomez Statistical Prosedure For Agricultural Research. 2nd ed. John Wiley and Sons. New York. 680p. Jaya, A., B. Setiadi dan J.O. Rieley Hidrologi dan Simpanan Karbon Pada Lahan Gambut Kalimantan Tengah : Dampak Proyek PLG dan Kemungkinan Restorasi. Jurnal Air, Lahan dan Mitigasi Bencana. Alami Vol.9 1:27-34 Mulyanto, B Pendekatan dan Strategi Pemanfaatan Hutan rawa Gambut.Eks PLG Sejuta Hektar. Di dalam prosiding Semi Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah. BTR, Banjarbaru. Puslitbang Hutan dankonservasi Alam. Bogor. 49

59 Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Hlm.2 Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H. Subagjo, dan IP.G. Widjaja-Adhi Peta areal potensial untuk pengembangan pertanian lahan pasang surut, rawa dan pantai. Proyek Pendayagunaan Sumberdaya Lahan, Puslittanak. Page SE, and J.O. Rieley Tropical Peatlands : a Rieview of Their Natural Resources Functions with Particular Reference to Southeast Asia. International Peat Jurnal 8: Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 14/Permentan/PL.110/2/2009. Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit Soekardi M., and A. Hidayat Extent and distribution of peatsoils of Indonesia. Third meeting cooperative resarch on problem soils. CRIFC. Bogor. Subagyo, H., M. Sudjadi, E. Suryatna, and J. Dai Wet soils of Indonesia. In : Kimble, J.M (ed.). Proc. Eighth Int. Soil Correl. Meeting (VIII ISCOM): Characterization, Classification, and Utilization of Wet Soils. P Takashi, H., S. Shimada, B.F. Ibie, A.Usup, Yudha and S.H. Limin Annual changes of Water balance and a Drought Index in a Tropical Peat swamp Forest of Central Kalimantan. Indonesia. Proceeding of Jakarta Symposium on Peatlands for People. BPPT and Indonesian Association. Wahyunto, S. Ritung, Suparto dan H. Subagyo Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indoesia. Wetllands International- Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada.Bogor. Wetland International Pelingkupan Amdal Di Lahan Basah (Disampaikan Oleh I.N.N Suryadipura). Seminar Regional Aplikasi Amdal Pada lahan Reklamasi Rawa. Pusat Penelitian Lingkungan. Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. 12 pp. 50

60 V. KERANGKA KERJA LOGIS No. Narasi Indikator Cara Verifikasi Asumsi 1. Tujuan : Mendapatkan Iptek pengelolaan Hutan Rawa Gambut (HRG) secara bijaksana dengan mempertimbangkan fungsi ekologi, sosial budaya dan ekonomi 2. Sasaran : Tersedianya Iptek tipologi dan sebaran hutan rawa gambut (HRG), rehabilitasi HRG, fenologi pohon HRG terpilih, pengelolaan HRG partisipatif dan dampak deforestasi HRG terhadap emisi GRK 3. Luaran : a. Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut b. Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Diperolehnya apresiasi dari Ditjen BDAS PS dan PHKA serta non pemerintah atas Iptek dan bahan kebijakan yang dihasilkan Diperolehnya Iptek tipologi, fenologi persebaran HRG dan potensi GRK bentang alam HRG serta teknik rehabilitasi dan manajemen partisipatif HRG untuk tujuan peningkatan fungsi sosial dan ekologi. Tersedianya informasi tipe dan persebaran HRG Tersedianya teknik pemulihan HRG terdegradasi dan preskripsi pengendalian kebakaran HRG - Sintesa RI - Publikasi ilmiah dan teknis - Draft kebijakan - Publikasi ilmiah dan teknis - Pedoman, kriteria dan indikator pengelolaan HRG - Draft kebijakan Publikasi ilmiah, LHP, laporan tahunan - Komitmen dan support pemerintah dan non pemerintah terkait, sumberdaya penelitian lancar - Diseminasi hasil litbang lancar - Komitmen dan support Ditjen teknis, Pemda dan BUMS kehuatanan - Ketersediaan sumberdaya penelitian - SDM penelitian tersedia - Support Pemda tinggi 51

61 No. Narasi Indikator Cara Verifikasi Asumsi c. Informasi adaptasi fenologi jenis-jenis pohon hutan rawa gambut d. Alternatif pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipasif e. Informasi dampak deforestasi hutan rawa gambut terhadap emisi GRK 4. Kegiatan : 1.1. Review tipe dan sebaran hutan rawa gambut terdegradasi Klasifikasi tipologi dan sebaran hutan rawa gambut berdasarkan kondisi biofisik hutan. 2.1.Ujicoba teknik bioremediasi dan phytoremediasi hutan rawa gambut terdegradasi Kajian rehabilitasi lahan gambut bekas terbakar. Tersedianya informasi fenologi dan teknik stimulasi pembungaan pohon HRG Tersedianya model dan preskripsi manajemen HRG partisipatif Tersedinya informasi emisi GRK pada berbagai tipe dan gradasi kerusakan HRG Tersedia RPI, data sekunder, peta dan pelaksana penelitian Tersedianya RPI, lokasi, bahan dan pelaksana penelitian Tersedianya RI, data sekunder dan pelaksana penelitian - PPTP, RPTP - DIPA, RKA-KL Sumberdaya penelitian tersedia dan lancar 3.1. Kajian fenologi beberapa jenis pohon hutan rawa gambut. Teredianya RPI, lokasi, pohon, bahan stimulan dan pelaksana penelitian 52

62 No. Narasi Indikator Cara Verifikasi Asumsi 4.1. Kajian kelembagaan pengelolaan hutan rawa gambut dengan pola partisipatif. Tersedianya data sekunder, lokasi, responden dan pelaksana penelitian 5.1. Kajian dampak deforestasi hutan rawa gambut dalam upaya realisasi target penurunan emisi 26%. Tersedianya data sekunder, lokasi, peralatan penelitian 53

63 REVISI RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN KODEFIKASI RPI 12 KONSERVASI FLORA, FAUNA DAN MIGROORGANISME Koordinator: Dr. Ir. Titiek Setyawati, M.Sc. BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN Jakarta, September 2011 i

64 KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILTASI LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) (REVISI) KONSERVASI FLORA, FAUNA DAN MIKROORGANISME Menyetujui, Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor, September 2011 Koordinator, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP Dr. Ir. Titiek Setyawati, M.Sc. NIP Mengesahkan : Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr.Ir.Tachrir Fathoni M.Sc NIP ii

65 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR ABSTRAK... I. LATAR BELAKANG II. PERUMUSAN MASALAH 61 III. HIPOTESIS. 67 IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITAN. 67 V. LUARAN 67 VI. RUANG LINGKUP 68 VII. KOMPONEN PENELITIAN.. 68 VIII. METODOLOGI I. RENCANA TATA WAKTU RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT I. RENCANA BIAYA II. ORGANISASI III. IV. DAFTAR PUSTAKA.. KERANGKA KERJA LOGIS

66 DAFTAR TABEL Tabel 1. Rencana Tata Waktu... Tabel 2. Pelaksana Kegiatan RPI Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme Tahun Tabel 3. Rencana Anggaran, Waktu dan Unit Pelaksana Penelitian Integratif Tahun

67 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Ki Beusi (A) dan Kempis (B) jenis potensial dataran rendah yang semakin Langka..... Gambar 2. Tiga jenis Dipterokarpa: Anisoptera costata (A), Dipteracarpus hasseltii (B) dan Dipterocarpus retusus (C) yang semakin langka akibat degradasi hutan... Gambar 3. Owa Jawa (Hylobates molloch) yang umum ditemukan di TN Gunung Halimun (kiri) dan katak tutul (Leptobrachium hasseltii) yang mulai sulit ditemukan di TN Cibodas, Jawa Barat

68 ABSTRAK Saat ini laju kepunahan spesies flora, fauna dan mikroorganisme semakin meningkat sedangkan belum semua spesies telah terungkap keberadaanya. Saat ini, Indonesia mendapat sorotan dunia akibat laju deforestasi dan degradasi hutannya yang cukup cepat yang juga berakibat pada tingginya laju kehilangan jenis, baik flora, fauna dan mikroorganisme. Beberapa jenis flora dan fauna komersial bahkan sudah masuk dalam daftar Appendix CITES namun sayangnya program kegiatan penyelamatan flora dan fauna yang terancam punah terkendala oleh berbagai faktor di antaranya adalah belum efektifnya kebijakan yang ada saat ini dan pelaksanaan program konservasi di lapangan yang belum sesuai dengan harapan. Beberapa aktifitas dalam rangka menyelamatkan dan mengkonservasi flora, fauna dan ditambah dengan kekayaan mikroorganisme telah dilakukan oleh Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Jenis-jenis fauna target penelitian konservasi biodiversitas, antara lain orang utan, tarsius, owa jawa, elang jawa, banteng, anoa dan rusa. Untuk sementara upaya penangkaran baru dilakukan untuk orang utan dan rusa. Sedangkan jenis flora target konservasi adalah cendana, ramin, ulin, eboni, ki beusi dan kempis. Mikroorganisme masih dalam tahap eksplorasi dan melihat prospek pengembangannya. Berbagai macam metoda pengumpulan data lapangan digunakan sesuai dengan takson dari flora dan fauna yang menjadi target. Untuk mikroorganisme, pengambilan sampel dilakukan di tanah secara acak dan sistematik tergantung desain riset, kemudian isolasi dan perbanyakan serta proses identifikasi dan skrining serta tahap akhir uji multilokasi dan pemanfaatan secara massal. Dari beberapa program kegiatan yang ada di bawah RPI: Konservasi flora, fauna, dan mikroorganisme hutan konservasi dan hutan produksi, terdapat lima luaran, antara lain: Informasi biofisik habitat, dinamika populasi dan keragaman genetik jenis-jenis terancam punah, teknik pelestarian jenis flora dan fauna, teknik reproduksi jenis-jenis flora dan fauna terancam punah, teknik pemanfaatan mikroorganisme dan informasi bahan baku obat antidiabetes, antikolesterol dan antikanker yang diperoleh dari tumbuhan hutan. Sedangkan untuk mendukung luaran tersebut ada 16 tentatif kegiatan pendukung yang akan dilaksanakan oleh pusat dan tujuh (7) UPT terkait langsung dengan beberapa luaran dan kegiatan dan satu UPT penugasan. Kata Kunci: Konservasi jenis, teknologi, konservasi, keragaman genetic, alien invasive species, tekologi penangkaran I. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna serta hidupan liar lainnya yang mengundang perhatian dan kekaguman berbagai pihak baik di dalam maupun di luar negeri. Tercatat tidak kurang dari 515 spesies mamalia (terbanyak di dunia), spesies burung (keempat terbanyak), 270 spesies amfibia (kelima terbanyak), 600 spesies reptilia (ketiga terbanyak), 121 spesies kupu-kupu (terbanyak) dan spesies tumbuhan berbunga (ketujuh terbanyak) menghuni habitat-habitat daratan dan lautan di kepulauan (KLH, 1993). Namun demikian banyak hal-hal yang tidak tertangani dalam hal tentunya menjaga keberadaan dan integritas dari kawasan hutan itu sendiri. Kenyataannya, yang seringkali terjadi adalah kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak mengindahkan kelestarian. 57

69 Dan yang lebih parah adalah terjadinya kerusakan hutan dalam skala besar di banyak tempat akibat kegiatan yang dilakukan oleh manusia (anthropogenic). Dalam tiga dekade terakhir, semakin banyak satwa Indonesia yang masuk ke dalam daftar terancam punah dari IUCN (The World Conservation Union)(IUCN?SSC, 1994, IUCN 2002). Selain itu, banyak pula flora yang dimasukkan ke dalam daftar Apendix CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) akibat eksploitasi yang berlebihan dan mengakibatkan jenis-jenis tersebut menjadi terancam kepunahan. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa kekayaan hayati terbesar banyak ditemukan di hutan-hutan di daerah tropis, meskipun daerah ini hanya mencakup 7% dari luas bumi namun lebih dari setengah dari jumlah spesies di dunia dapat ditemukan di hutan tropis (Whitmore, 1990). Menjaga biodiversitas serta kesehatan lingkungan sekitar kita berarti menjaga seluruh komponen baik ekosistem, habitat, populasi, spesies dan variasi genetik. Penyebab utama hilangnya biodiversitas sebagian besar akibat dari rusaknya lingkungan dan habitat oleh ulah manusia dalam mengeksploitasi sumber daya tanpa mengindahkan kelestarian serta laju pertambahan populasi manusia (Indrawan et al. 2007). Sebagian besar kerusakan habitat, terutama habitat asli di berbagai wilayah di penjuru dunia, berada di lokasi yang memiliki kepadatan populasi manusia yang tinggi (WRI, 2003). Faktor yang menjadi ancaman utama keberadaan spesies flora dan fauna adalah pertanian, pembangunan untuk kepentingan komersial, proyek air, rekresasi alam, pengembalaan ternak, polusi, infrastruktur dan jalan, kebakaran alami, dan penebangan pohon (Stein et al. 2000). Perubahan tata guna lahan yang berjalan secara terus menerus dan sangat cepat juga menjadi faktor utama yang berpengaruh terhadap kondisi biodiversitas yang sebagian besar berada di ekosistem daratan. Isu paling akhir pada abad 21 ini adalah pemanasan global atau perubahan iklim dan masuknya jenis-jenis alien yang bersifat invasif (invasive species) (Sala et al. 2000). Pada dasarnya pemerintah Indonesia, bahkan sejak jaman pemerintahan Belanda, telah menyadari bahwa beberapa jenis satwa dikhawatirkan akan punah dan memberikan status perlindungan kepada jenis-jenis satwa tertentu. Untuk mengantisipasi ancaman kerusakan terhadap sumber daya alam dan eksosistemnya, pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagai peraturan yang berisi tata cara pengaturan dan pemanfaatan sumber daya sedemikian rupa tetap memelihara keseimbangan ekologis lingkungan. Beberapa peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia antara lain: Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati beserta Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Sekitar 65 jenis flora yang dilindungi dalam undang-undang sebagian besar didalamnya merupakan flora langka di Indonesia. Didalam peraturan yang bersangkutan juga tercantum program konservasi in-situ dan eks-situ khusus untuk jenis terancam punah dan langka. Beberapa jenis meranti (Shorea spp.) penghasil tengkawang secara mutlak dilindungi oleh SK Menteri Kehutanan No. 261/Kpts-IV/1990. Dalam Lampiran SK Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/1972 disebutkan perihal Pohon-pohon Di Dalam Kawasan Hutan Yang Dilindungi antara lain jenis pohon penghasil getah, damar, kopal, buah, kulit kayu, pewarna, dan obat-obatan. Selanjutnya untuk jenis non- 58

70 pohon, cuplikan SK Menteri Pertanian No. 37/5/1968 khusus mengatur peredaran Tanaman Anggrek (Orchidaceae) baik di dan dari Wilayah Republik Indonesia. Akhir-akhir ini Indonesia menjadi sorotan dunia akibat cepatnya laju kerusakan hutan serta semakin tingginya tingkat keterancaman jenis-jenis hidupan liar atau flora dan fauna terhadap ancaman kepunahan (WRI, 1992). Kekayaan jenis flora di Indonesia yang dapat dikatakan sangat melimpah juga mengalami tekanan akibat laju kerusakan hutan. Produk flora pohon, contohnya, merupakan salah satu komoditi andalan untuk ekspor kayu di era tahun 70-an yang menyumbangkan sebagian besar pendapatan negara, devisa dan juga berkembangnya bisnis industri perkayuan yang membuka kesempatan kerja bagi sebagian besar masyarakat Indonesia (Kartodihardjo, 1999). Jenis hasil hutan kayu yang diperdagangkan sebagian besar adalah jenis-jenis yang masuk dalam keluarga Dipterocarpaceae, seperti meranti (Shorea spp.), keruing (Dipterocarpus spp.), kapur (Dryobalanops sp.), mersawa (Anisoptera spp.), dan lain-lain (Appanal, 1998). Sedangkan dari kelompok non- Dipterocarpaceae antara lain ulin (Eusyderoxylon zwageri), agathis (Agathis spp.), ramin (Gonystylus bancanus), eboni (Dyospiros spp.), dan lain-lain. Namun demikian booming kayu ini hanya mengalami masa kejayaan selama kurang lebih 30 tahun dan pada era akhir tahun 90 an, hutan beserta isinya mengalami kerusakan yang amat parah akibat eksploitasi besar-besaran di masa lalu. Beberapa jenis kayu komersial seperti kapur (Dryobalanops sp.) dan bangkirai (Shorea laevis) mengalami penurunan potensi yang tajam dan bahkan mulai sulit ditemukan di habitat aslinya di alam, seperti contohnya yang terjadi di bumi Kalimantan (Siran, 2007). Mersawa (Anisoptera costata) yang juga merupakan kayu andalan perdagangan di masa lampau sudah masuk kategori endangered (EN) berdasarkan IUCN (Soerianegara dan Lemmens, 1994). Pada tahun yang sama saat hutan dibuka secara besar-besaran tersebut yaitu di tahun 1970, Threatened Plants Commitee of IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) bersama dengan para ahli tumbuhan sedunia menerbitkan Red Data Book untuk flora. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa menjelang tahun 2000 sebanyak tumbuhan yang terdiri dari kurang lebih species flora akan mengalami kelangkaan dan terancam punah berdasarkan kategori yang dibuat oleh IUCN. Mengingat hampir 70% hutan alam telah rusak sementara laju deforestasi yang mencapai kurang lebih 2,7 juta hektar per tahun saat ini (Damanik, 2007) maka dikuatirkan bahwa kelangkaan dan kepunahan jenis hidupan liar, terutama flora, akan semakin cepat pula. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di daerah tropis yang memiliki 2 wilayah biogeografi yaitu Indo-Malaya atau kawasan oriental dan wilayah Australia dengan transisi diantaranya yaitu daerah Wallacea. Indonesia memiliki tingkat keragaman ekosistem yang paling tinggi di dunia, tidak kurang 47 macam ekosistem, mulai dari ekosistem perairan laut, rawa, savana, hutan hujan sampai ekosistem alpine di pegunungan Jayawijaya, Provinsi Papua yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati dan tingkat endemisme yang tinggi (Mittermeier et al., 1997). Status konservasi suatu jenis yang dibuat selama ini adalah berdasarkan kategori IUCN. Lembaga riset di Indonesia diprakarsai oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan 59

71 Indonesia) telah membuat daftar flora langka yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Mogea et al, 2001). Namun demikian, masih perlu diadakan kajian potensi terkini menyangkut status jenis-jenis flora dan fauna tersebut untuk mengetahui potensi dan status terakhir masing-masing jenis tersebut di habitat alaminya. Jika IUCN khusus membuat daftar semua jenis flora yang perlu mendapatkan perhatian khusus disebabkan potensi di habitat alaminya, terutama di dataran tinggi dan dataran rendah yang mulai menurun maka untuk jenis-jenis flora yang diperdagangkan kayunya secara internasional, CITES telah membuat daftar jenis-jenis yang perlu dilindungi berdasarkan tingkat kelangkaannya. Pada dasarnya CITES membuat daftar untuk flora dan fauna. Daftar ini sangat membantu dalam upaya mencegah penebangan liar, perdagangan satwa liar dan pasar gelap. CITES membagi kelompok/kategori berdasarkan status kelangkaan jenis di alam yaitu Appendix I tentang jenis-jenis yang sudah terancam punah sehingga peredaran antar negara dilarang, kecuali untuk tujuan tertentu dan tidak merusak habitat alamnya. Appendix II memuat jenis yang belum terancam punah namun jika perdagangan internasional tidak dikontrol maka terjadi resiko kepunahan. Sedangkan Appendix III memuat jenis-jenis yang perlu diawasi oleh suatu negara secara internasional, meskipun negara tempat penyebaran jenis yang bersangkutan belum memerlukan alat kontrol secara internasional. Seperti kasus ramin di Indonesia, yaitu menurunnya potensi ramin di alam serta tingginya resiko kepunahan, sedangkan ramin masih diperdagangkan secara internasional, maka perdagangan yang tidak dikontrol dikuatirkan akan menyebabkan kepunahan jenis ramin dalam waktu singkat. Dengan demikian, ramin masuk dalam kategori Appendix III (Sumarhani, 2007). Selain ramin, masih banyak jenis flora pohon lainnya yang memerlukan perhatian karena populasinya di alam mengalami penurunan drastik akibat eksploitasi yang tidak mengindahkan kelestarian serta akibat menurunnya kualitas habitat atau ekosistem tempat jenis tersebut hidup. Seperti contohnya, ulin (Eusyderoxylon zwagerii) dan eboni (Dyospiros spp.) keberadaannya di alam terancam kepunahan akibat penurunan populasi di beberapa habitat aslinya di Kalimantan dan Sulawesi. Demikian pula dengan beberapa jenis fauna yang habitatnya di Indonesia mengalami penuruan hingga mencapai 49% (McNeely et al, 1990). Beberapa kawasan hutan yang masih berfungsi dengan baik, tidak hanya di kawasan konservasi dan bahkan di kawasan hutan produksi yang tidak produktif, masih bisa dimanfaatkan oleh beberapa jenis satwaliar, terutama jenis fauna langka terestrial dan jenis satwa arboreal yang dapat beradaptasi dengan baik (Bismark, 2006). Dalam rangka mencegah kepunahan jenis-jenis flora dan fauna yang saat ini sudah sangat sulit ditemukan di habitat alaminya, berbagai lembaga baik nasional dan internasional serta badan-badan dunia di bidang yang terkait membuat inisiatif untuk melakukan kajian tentang perlindungan dan pengawetan bagi flora dan fauna yang mengalami tekanan di habitat aslinya akibat perkembangan kemajuan jaman. Upaya konservasi yang didasarkan pada tiga pilar Convention on Biological Diversity (CBD) yaitu perlindungan, pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian (Ramono, 2004) perlu mendapatkan dukungan tidak hanya oleh pemerintah pusat namun juga pemerintah 60

72 daerah dan masyarakat setempat. Kegiatan konservasi ini pada dasarnya bertujuan untuk mencegah kepunahan keanekaragaman genetik, jenis dan ekosistem. Secara khusus, pengelolaan dan pemanfaatan secara lestari keanekaragaman hayati kita baik jenis-jenis flora langka maupun satwa langka dan terancam punah maupun yang jenis yang belum dikenal masih belum banyak dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Demikian pula dengan daftar jenis flora dan fauna langka yang dibuat berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi telah banyak membahas tentang keberadaan dan persebarannya. Namun demikian kajian dan inventarisasi menyangkut potensi dan status beragam jenis flora dan fauna baik yang sudah masuk dalam daftar Red Data Book IUCN maupun belum, masih memerlukan kajian dan monitoring untuk memberikan data yang lebih akurat. II. RUMUSAN MASALAH Menurunnya populasi suatu jenis flora dan fauna di alam lebih banyak diakibatkan oleh aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa upaya untuk melestarikan kelangsungan hidup jenis yang dimanfaatkan tentunya akan berdampak negatif bagi jenis flora dan fauna tertentu, terutama jenis-jenis flora yang lambat tumbuh dan secara alami memiliki sifat dan karakter yang sangat spesifik. Beberapa jenis flora di Indonesia yang dimanfaatkan kayunya untuk perdagangan, seperti contohnya beberapa jenis dalam keluarga Dipterocarpaceae memiliki kecepatan tumbuh yang sangat lambat sehingga pengambilan kayu dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat tidak seimbang dengan kemampuan regenerasi alaminya sehingga dikuatirkan laju kepunahan jenis akan berlangsung cepat. Bahkan terjadinya illegal logging akan semakin memperparah kondisi hutan beserta isinya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memicu cepatnya status kelangkaan atau kepunahan jenis di habitat alaminya. Kelangkaan jenis juga bisa diakibatkan oleh kesalahan dalam mengidentifikasi suatu jenis, misalnya, untuk keperluan perdagangan. Seperti contohnya yang terjadi pada saat pengelompokan jenis. Ada beberapa jenis kayu yang sulit ditemukan di alam, namun pada saat diperdagangkan jenis langka tersebut masuk ke dalam kelompok jenis tertentu. Seperti contohnya adalah perdagangan jenis merbau yang dalam perdagangan dimasukkan dalam kelompok meranti-merantian. Pada prakteknya di alam sangat sulit membedakan jenis meranti dengan jenis lainnya dan ironisnya dalam kelompok meranti terdapat berbagai jenis flora yang sudah mulai langka dan juga jenis-jenis yang memerlukan perhatian akibat menurunnya populasi. Bahkan berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Papua, No.72 tahun 2002 tentang Ketentuan Ekspor Kayu Bulat Jenis Merbau di Propinsi Papua, dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa Merbau (Intsia sp.) adalah jenis kayu dari kelompok meranti yang termasuk dalam pos tarif/hs Demikian pula dengan kayu eboni yang pada prakteknya ada 3 species yang diperdagangkan dengan nama perdagangan yang sama yaitu eboni (Diospyros phillipinensis, Diospyros pilosanthera dan Diospyros rumphii) padahal menurut kriteria IUCN Diospyros phillipinensis masuk kategori genting atau EN (endangered). Khusus untuk jenis Diospyros celebica yang 61

73 merupakan jenis endemik di Sulawesi saat ini tercatat sebagai vurnerable /rentan dalam Daftar IUCN Demikian juga dengan jenis ulin, yang meskipun saat ini sudah ada upaya untuk membudidayakan dan menanam kembali namun pertumbuhan di alam belum menampakkan keberhasilan. Jenis kayu ulin memiliki karakter ekologis khusus sehingga untuk pertumbuhannya hingga mencapai masak tebang memerlukan waktu lebih dari 50 tahun. Sedangkan saat ini kecepatan pemanenan di alam melebihi kecepatan jenis tersebut beregenerasi, di tambah pula dengan maraknya illegal logging yang mempercepat laju penurunan populasinya di alam. Menurut catatan, jenis ulin masih diekspor ke luar negeri seperti pada tahun 2007 mencapai 1,31 juta meter kubik dengan devisa 659,9 juta USD dan pada tahun sebelumnya bahkan mencapai 3,48 juta m3 senilai 1,6 miliar USD. Meskipun telah dikeluarkan larangan dari Departemen Kehutanan cp. Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan untuk memperdagangkan kayu ulin baik ke luar negeri maupun antar daerah, namun demikian terjadi tumpang tindih kebijakan ekspor yang dikeluarkan oleh Deperindag yang tidak selaras dengan kebijakan dari Dephut mengakibatkan larangan tersebut tidak berjalan dengan efisien. Surat edaran Menteri Kehutanan tanggal 9 Maret 2006 menyebutkan bahwa hanya tegakan ulin yang tumbuh di dalam areal HPH dengan diameter di atas 60 cm saja yang boleh ditebang tampaknya tidak diindahkan. Meskipun menurut aturan yang berlaku, ulin hanya boleh ditebang oleh penduduk lokal dan untuk keperluan rumah tangga (bangunan rumah), pada kenyataanya jenis kayu ini juga diperdagangkan secara lokal. Saat ini pemda Kalimantan melarang jenis ulin diperdagangkan ke luar dari wilayah Kalimantan. Di samping jenis-jenis yang memang komersial dan sudah dikenal dalam perdagangan, ada beberapa jenis kayu multi-potensial yang tidak hanya dimanfaatkan untuk kayunya namun juga sebagai bahan baku energi alternatif dan obat-obatan, saat ini populasinya di alam mengalami penurunan. Contohnya adalah, jenis ki beusi (Pongamia pinnata) dan kempis/kemiren (Hernandia nymphaeifolia). Ki beusi merupakan jenis yang umum tumbuh di hutan dataran rendah mangrove, atau pantai berpasir yang dikenal sebagai ekosistem yang saat ini juga mengalami tekanan akibat kerusakan karena alih fungsi lahan. Jenis ini secara lokal digunakan sebagai bahan bangunan dan barang-barang/furniture rumah tangga. Jenis ini juga menghasilkan minyak yang digunakan sebagai bahan pelumas dan penyamak kulit. Kulit kayu dan daunnya digunakan sebagai bahan obat. Akar dari jenis ini mengandung bakteri rhizobium yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Jenis-jenis yang banyak dimanfaatkan dan merupakan jenis yang umum ditemukan di habitat aslinya bisa dikategorikan menjadi spesies kunci. Penanaman baru dimulai pada tahun 2009 di Cikalong, Tasikmalaya, oleh Balai Besar Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta, dan pembibitan dilakukan di B2PTH, Jogyakarta. Ke dua jenis ini populasinya saat ini hanya terbatas di Cagar Alam dan Taman Nasional. Spesies kunci juga dapat dijadikan indikator kerusakan habitat atau ekosistem, seperti contohnya ramin yang hanya tumbuh baik daerah rawa dan beberapa jenis baik flora dan fauna kunci yang terdapat baik di dataran tinggi maupun dataran rendah kawasan hutan tropika di Indonesia. 62

74 A. Ki Beusi (Pongamia pinnata) Kempis (Hernandia nymphaeifolia (Presl) Kubitzki) Gambar 1 : Ki Beusi (A) dan Kempis (B) jenis potensial dataran rendah yang semakin langka Selain jenis-jenis kayu komersial yang telah dikenal, berbagai macam jenis kayu yang kurang dikenal (lesser-known species) bahkan masih ada kemungkinan belum teridentifikasi dengan benar berdasarkan nomenklatur (nama botanis), juga terancam kelangkaan dan kepunahan akibat penyusutan hutan. Laporan IUCN yang terbaru menyatakan bahwa hampir sebagian besar jenis flora yang terancam punah atau masuk dalam red list berada di Indonesia (Heriyanto dan Subiandono, 2003). Namun demikian data yang diperoleh dari laporan IUCN tersebut juga perlu dikaji ulang karena data dan informasi yang diperoleh kemungkinan menggunakan teknik yang berbeda sehingga kepastian status langka oleh IUCN belum tentu terbukti dengan kondisi yang sebenarnya di alam. Hasil kajian Heriyanto dan Garsetiasih (2002) menunjukkan bahwa jenis-jenis yang masuk dalam daftar IUCN ternyata berdasarkan hasil analisa tidak menunjukkan kelangkaan, dan ada juga beberapa jenis lainnya yang berbeda status kelangkaannya. Sedangkan jenis non-dipterocarpaceae yang masuk dalam kategori langka dan terancam punah di Pulau Jawa antara lain Planchonia valida, Phyllanthus indicus, Sterculia oblongifolia, Bischoffia javanica, Symplocos fasciculate, Zyzygium antiseptum, Alstonia scholaris, Parkia roxburghii dan Stelechocarpus burahol. Upaya konservasi ek-situ untuk jenis Dipterocarpus haseltii telah dilakukan oleh peneliti dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dengan melakukan penyemaian anakan hasil cabutan dari Cagar Alam Leuweung Sancang di lokasi KHDTK Pasir Awi. 63

75 A. Anisoptera costata B. Dipterocarpus hasseltii C. Dipterocarpus retusus Gambar 2. Tiga jenis Dipterokarpa: Anisoptera cotata (A), Dipteracarpus hasseltii (B) dan Dipterocarpus retusus (C) yang semakin langka akibat degradasi hutan Beberapa kajian jenis flora langka penghasil tengkawang berikut upaya konservasi insitu dan eks-situ telah dilakukan di beberapa wilayah di Kalimantan Timur, Tengah dan Barat oleh beberapa peneliti dari Balai Besar Penelitian Diperokarpa Samarinda. Salah satu contoh upaya konservasi in-situ jenis Shorea sp. yang berhasil dibangun adalah seluas 18 Ha di Muara Wahau dan Malinau. Demikian pula dengan konservasi in-situ untuk Agathis borneensis di hutan alam Berau dan Melak seluas 4,6 Ha, sedangkan konsevasi ek-situ seluas 1 Ha di hutan produksi Semboja. Gambar 3. Owa Jawa (Hylobates molloch) yang umum ditemukan di TN Gunung Halimun (kiri) dan katak tutul (Leptobrachium hasseltii) yang mulai sulit ditemukan di TN Cibodas, Jawa Barat Tidak hanya flora, satwa juga mengalami hal yang sama. Gambar 3 menunjukkan beberapa jenis satwa endemik yang pada masa lalu kepadatannya melimpah di 64

76 habitat aslinya namun saat ini mulai sulit ditemukan di lapangan. Ancaman utama penurunan populasinya adalah akibat kerusakan dan fragmentasi habitat, polusi, pemanfaatan jenis secara berlebihan, introduksi jenis eksotik dan penyebaran penyakit (Primack et al., 1998). Seperti contohnya, keragaman primata dan burung yang sangat tergantung pada tegakan hutan dan kualitas ekosistem. Dengan demikian, keanekaragaman primata dan burung langka (besar) bisa digunakan sebagai indikator bagi sebaran dan populasi satwa terrestrial dan arboreal lainnya seperti macan tutul, harimau, tapir, gajah, dan mamalia lainnya yang saat ini terancam punah. Contoh lainnya yaitu burung punai besar (Treron capellei) yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat saat ini mulai menurun populasinya di alam. Burung ini masuk dalam ketegori Rentan (Vurnerable) berdasarkan IUCN (2002). Sebaliknya, satwa yang di beberapa wilayah dianggap mulai berkurang populasinya seperti Rusa (Cervus timorensis) ternyata memiliki potensi untuk dikembangbiakkan melalui penangkaran. Disamping itu daging rusa merupakan sumber protein hewani alternatif yang mulai dilirik oleh pasar saat ini. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi sudah mulai melakukan uji peningkatan laju reproduksi rusa dan melakukan kajian pasar konsumsi daging rusa sebagai pengganti daging sapi. Penelitian tentang populasi, dan habitat satwa akan selalau terkait dengan jenis satwa itu sendiri dan tergantung pula dengan kondisi tapak dari lokasinya. Sejak tahun 2003 hingga 2008, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi sudah melalukan kegiatan riset yang terkaita dengan konservasi in-situ beberapa jenis burung (tipe penetap dan migran). Termasuk di dalamnya juga mengkaji aspek pemanfaatannya secara komersial. Selain burung, penelitian mamalia khususnya konservasi in-situ banyak dilakukan di kawasan hutan taman nasional, hutan lindung dan hutan produksi. Termasuk didalamnya juga aspek ekonomis jenis-jenis trenggiling (Manis javanicus) dan kancil (Tragulus javanica) serta monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan karena banyaknya permintaan akan jenis monyet ini untuk dijadikan obyek penelitian kedokteran. Dengan meningkatnya permintaan dalam perdagangan dan ekspor satwaliar atau fauna dari Indonesia ditandai dengan tingginya angka kuota ekspor atau penangkapan satwa untuk diperdagangkan (masuk dalam CITES) seperti monyet ekor panjang sebanyak ekor per tahun. Jenis lain yang diekspor ke luar negeri seperti ular sanca, biawak, karnifora dan beberapa jenis burung. Sayangnya, hampir semua jenis tersebut masih diperoleh dari alam (Ditjen PHPA, 2007). Dari hasil perdagangan satwa liar ini, negara berhasil meraup devisa sebanyak Rp ,- (Departemen Kehutanan, 2008). Realitas ini menunjukkan bahwa satwa liar bisa dijadikan andalan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang menjanjikan karena jika dikelola dengan baik dan jenis satwa bisa memiliki tingkat reproduksi tinggi sebagai sumber daya hutan yang terperbaharui maka hal ini dapat mendorong pemerintah dan masyarakat untuk lebih memperhatikan keberadaan dan keberlangsungan hidup satwa-satwa multiguna tersebut. Selama 5 tahun terakhir, negara memperoleh devisa dari ekspor satwa sebesar lebih dari 40 kali lipat. Selain jenis-jenis lokal dan endemik yang menjadi target penelitian, jenis flora dan fauna eksotik yang bersifat invasif juga merupakan topik kegiatan penelitian yang menarik mengingat keberadaan jenis-jenis tersebut pada awalnya diperuntukkan bagi 65

77 tujuan tertentu. Seperti contohnya, penanaman Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran pada awalnya adalah untuk mencegah terjadinya kebakaran agar tidak mudah meluas atau menjadi tanaman sekat bakar namun pada akhirnya jenis ini menjadi dominan dan menekan pertumbuhan jenis-jenis flora lokal serta sulit untuk dikendalikan. Jenis eksotik dan invansif ini menjadi topik pembahasan pada pertemuan Asia Pasific Forestry Week di Hanoi pada bulan April 2008 yang di selenggarakan oleh Asia-Pasific Association of Forestry Research Institution (APAFRI), Asia-Pacific Forest Invasive Species Network (APFISN), Food and Agriculture Organization (FAO), U.S. Department of Agriculture (USDA) Forest Service. Jenis invasif ini dipahami bisa berpengaruh negatif maupun positif bagi kesehatan manusia, lingkungan dan ekonomi di suatu negara, terutama kesehatan dan produktifitas hutan. Mitigasi jenis-jenis invasif ini sampai saat ini masih terbatas, terutama teknologi untuk eradikasinya. Mekanisme dan pengelolaan untuk perlindungan hutan bagi deteksi dini ancaman jenis-jenis invasif juga masih minim. Masih banyak diperlukan pengembangan mekanisme dan pengelolaan yang memadai untuk mengendalikan pemanfaatan jenis-jenis invasif dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Dengan demikian sasaran dan penelitian yang akan dilakukan adalah pelestarian dan pemanfaatan jenis dengan mempertimbangkan unsur-unsur ekologis (internal dan eksternal) dan keanekaragaman hayati yang mendukung pemanfaatan secara berkelanjutan. Beberapa permasalahan yang masih dihadapi sampai saat ini di dalam pengelolaan dan pemanfaatan jenis flora, fauna dan mikroorganisme di hampir semua kawasan hutan konservasi menimbulkan pertanyaan penelitan (research question) antara lain: Bagaiman status konservasi jenis-jenis potensial dan terancam punah yang ada di seluruh kawasan hutan di Indonesia? Dan bagaimana pula dengan jenis potensial yang belum dikenal (lesser-known species)? Apakah kita sudah banyak memberikan kontribusi terhadap global Convention on Biodiversity dalam memberikan informasi menyangkut keanekaragaman hayati yang kita miliki? Apakah teknologi yang kita miliki saat ini sudah memadai untuk melakukan penilaian terhadap status konservasi jenis-jenis tersebut? Apakah data (data base) keanekaragaman hayati yang ada saat ini sudah cukup memadai untuk dapat menjawab kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan liar di bumi, sementara laju kerusakan keanekaragaman hayati serta kepunahan jenis terjadi begitu cepat? Apakah perangkat undang-undang atau peraturan yang ada saat ini sudah menjamin implementasi kelestarian keanekaragaman hayati? Apakah minimnya tingkat pemahaman masyarakat berkaitan dengan fungsi serta nilai strategis keanekaragaman hayati berkaitan dengan rendahnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia? Apakah kita sudah bisa menjadi ujung tombak kementerian teknis dengan menjawab keperluan data informasi yang dibutuhkan oleh Eselon I terkait di dalam 66

78 lingkup Kementerian Kehutanan berkaitan dengan fungsi serta nilai strategis keanekaragaman hayati? Bagaimana dengan komitmen para pihak terkait dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam menjaga keanekaragaman hayati di hutan tropis kita? III. HIPOTESIS Meningkatnya jumlah jenis flora dan fauna yang semakin sulit ditemukan di habitat alaminya atau menjadi langka di sebagian besar wilayah Indonesia memerlukan perhatian yang serius. Banyak jenis flora dan fauna yang multi guna semaikin langka dan bahkan terjadi untuk jenis yang sifat ekologis serta manfaatnya belum diketahui secara pasti. Permasalahan menyangkut hilangnya jenis flora/fauna dan mikroorganisme memerlukan kajian yang mendalam dan juga upaya serius untuk melakukan konservasi baik in-situ dan eks-situ demi menyelamatkan jenis flora/fauna dan mikroorganisme yang terancam populasinya di habitat alaminya serta menjawab status konservasi jenis-jenis tersebut di alam. Kecepatan hilangnya keanekaragaman hayati flora secara nyata baik di tingkat global, regional dan nasional dapat dilakukan dengan jalan melakukan upaya pengumpulan informasi terkini dan membangun data base menyangkut status ekologis, potensi dan persebaran alami beberapa jenis flora/fauna dan mikroorganisme potensial, multiguna dan terancam punah di Indonesia dan mempromosikan pemanfaatan dan pengelolaan flora dan fauna secara lestari. IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN Tujuan dari dilaksanakannya kegiatan penelitian integratif dengan tema konservasi flora, fauna dan mikroorganisme ini adalah untuk memperoleh model-model konservasi berbasis jenis serta untuk membangun model-model pengelolaan dan pemanfaatan jenis di setiap tipologi kawasan konservasi berdasarkan informasi status dan dinamika populasi di setiap ekosistem, potensi dan kondisi habitat dan karakter biologis, sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di lokasi observasi. Adapun sasaran dari kegiatan penelitian ini adalah konservasi flora/fauna dan mikroorgansima yang ada di dalam, sekitar dan luar kawasan konservasi termasuk di dalamnya yaitu hutan lindung, cagar alam, taman buru dan taman wisata alam. Termasuk juga kawasan konservasi yang berada dalam wilayah hutan produksi. V. LUARAN Dari beberapa program kegiatan yang ada di bawah RPI: Konservasi flora, fauna, dan mikroorganisme hutan konservasi dan hutan produksi, terdapat beberapa luaran antara lain: Informasi biofisik habitat, dinamika populasi dan keragaman genetik jenis-jenis terancam punah, teknik pelestarian jenis flora dan fauna, teknik reproduksi 67

79 jenis-jenis flora dan fauna terancam punah, teknik pemanfaatan mikroorganisme dan informasi bahan baku obat antidiabetes, antikolesterol dan antikanker yang diperoleh dari tumbuhan hutan. VI. RUANG LINGKUP Ruang lingkup kegiatan penelitian konservasi flora fauna dan mikroorganisme ini mencakup teknologi konservasi flora, fauna, dan mikroorganisme yang ada di kawasan hutan konservasi dan hutan produksi. VII. KOMPONEN PENELITIAN Beberapa komponen penelitian yang dapat mendukung ke arah RPI antara lain: - Analisis biofisik dan potensi fauna, flora dan mikroorganisme - Biologi konservasi jenis flora, fauna dan mikroorganisme - Bioprospecting mikroorganisme - Konservasi eks- situ dan in situ flora, fauna dan mikroorganisme VIII. METODOLOGI Metode dalam melakukan berbagai aktifitas penelitan akan sangat tergantung oleh tema penelitian, yang dalam hal ini riset lebih banyak melakukan kajian eksplorasi dan identifikasi. Meskipun demikian ada juga beberapa kegiatan yang memerlukan pemetaan digital dan aplikasi lapangan untuk melihat dampak kegiatan. Metode ataupun pendekatan yang akan digunakan dalam melaksanakan kegiatan lapangan akan dijelaskan secara rinci di dalam masing-masing PPTP (Proposal Penelitian Tingkat Peneliti) dan Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). Namun pada dasarnya penelitian yang menyangkut tumbuhan akan menggunakan teknik jalur berpetak untuk eksplorasi dan juga pemanfaatan peta digital untuk menggambarkan persebaran jenis flora, terutama jenis-jenis tumbuhan langka dan terancam punah. Metode riset pengamatan satwa dapat dilakukan melalui perjumpaan langsung dengan satwa target maupun melakukan kajian berdasarkan data sekunder yaitu melalui perolehan informasi dari masyarakat lokal yang berhubungan langsung dengan satwa target. Seperti contohnya, studi menyangkut harimau atau macam tutul perlu untuk mengikuti pola pergerakan harian, mengingat satwa ini merupakan jenis territorial dengan wilayah jelajah yang sangat luas maka informasi dari penduduk yang langsung melihat dan berhadapan langsung dengan satwa target. Pendugaan populasi juga dilakukan untuk mengetahui dinamika populasi beberapa jenis flora dan fauna yang langka dan terancam punah. Dinamika populasi suatu jenis sangat diperlukan guna mengetahui kemampuan suatu jenis 68

80 untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama atau untuk menjamin kelangsungan hidup jenis tertentu. Di samping kajian terhadap biodiversitas flora dan fauna, riset integratif dalam RPI 12 ini juga melakukan kajian terhadap biodiversitas mikroorganisme. Letak Indonesia yang berada dalam rentang khatulistiwa dan hampir lebih dari 70 persen lansekapnya bertutupan hutan. Hutan yang ada di Indonesia diketahui memilik kekayaan jenis mikroorganisme yang tinggi. Namun demikian, eksplorasi masih sangat diperlukan untuk mengetahui jumlah jenis dan pemanfaatan dari berbagai jenis mikroorganisme baik yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal. Tahap awal penelitian mikroorganisme adalah pengambilan sampel tanah di rizosfer, akar/bagian tanaman lainnya yang masih hidup atau mati, pengambilan sampel dapat dilakukan secara acak atau sistematik tergantung dari tujuan penelitian. Tahap selanjutnya adalah isolasi dan perbanyakan, kemudian diikuti dengan proses identifikasi dan skrining. Tahap terakhir adalah uji multilokasi dan pemanfaatan secara massal (dalam jumlah banyak). Hutan hujan tropis di Indonesia juga sangat kaya dengan flora dan fauna yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan. Perkembangan industri obat tradisional dan jamu yang pesat juga diikuti dengan permintaan terhadap simplisia yang berasal dari hutan. Namun demikian, sampai saat ini upaya mengatur pemanenan tumbuhan obat dari alam dan budidaya tumbuhan obat masih belum dilakukan. Hal ini memicu terjadinya kepunahan spesies-spesies tumbuhan obat yang pemanenannya menyebabkan kematian dan terhambatnya regenerasi atau pertumbuhannya. Sedangkan seperti kita ketahui belum semua species tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan obat diketahui sifat/karakter pertumbuhannya. Bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang secara botanis belum teridentifikasi dengan baik. Sedangkan beberapa kajian tumbuhan obat memerlukan identifikasi dan uji fitokimia yang akan dilakukan di Laboratorium Biofarmaka. Di samping uji kandungan bahan kimia, dalam aspek tumbuhan obat juga akan dilakukan riset etnobotani yang mencakup pemanfaatan bahan baku obat-obatan dari tumbuhan alam oleh masyarakat lokal. Untuk kegiatan yang berkaitan dengan mikroba dan satwa bisa dilakukan kerjasama dengan lembaga penelitian yang terkait dengan identifikasi dan analisa. Demikian pula dengan metode untuk kajian persebaran flora dan fauna langka yang sebagian besar akan menggunakan metoda eksplorasi menggunakan teknik sampling. 69

81 I. RENCANA TATA WAKTU Penelitian dilakukan mulai tahun 2010 sampai dengan Jenis kegiatan setiap tahunnya selama penelitian dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Rencana Tata Waktu Tahun Anggaran NO KEGIATAN Eksplorasi habitat dan populasi beberapa jenis flora langka dan terancam punah (antara lain: ulin, eboni, cendana, ramin, ki beusi dan kempis) - Eksplorasi habitat dan populasi beberapa jenis fauna langka dan terancam punah (antara lain: orang utan, tarsius, owa jawa, elang jawa, banteng, anoa, trenggiling dan rusa) - Kajian keragaman genetik beberapa jenis fauna langka dan terancam punah (antara lain: banteng, rusa, gajah, anoa, tarsius, trenggiling dan harimau) - Metode pendugaan populasi flora fauna di dalam dan luar kawasan konservasi 2 - Teknologi konservasi jenis flora dan fauna langka dan terancam punah - Identifikasi jenis flora dan fauna kunci pada habitat di dataran rendah dan dataran tinggi. - Teknik eradikasi alien invasive spesies flora dan fauna 3 - Teknologi penangkaran jenis-jenis fauna langka dan teranca punah dan/atau bernilai ekonomi tinggi. - Teknologi konservasi eks-situ beberapa jenis flora langka dan terancama punah (ulin, cendana, eboni, dan ramin) 4 - Eksplorasi dan bioprospeksi Fungi (sebagai biological control, bioenergi, obat, pangan dan pupuk hayati). 70

82 Pemanfaatan dan pengembangan bank mikroba - Preservasi, reproduksi dan pengembangan bank mikroba - Pemanfaatan mikroba untuk rehabilitasi lahan terdegradasi 5 - Kajian etnobotani beberapa jenis pohon sebagai bahan baku obat anti kolesterol dan diabetes - Kajian ekologi beberapa jenis Dipterokarpa yang berpotensi sebagai bahan baku obat - Uji fitokimia bahan baku obat yang belum dikenal. RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT Penelitian akan dilakukan di kawasan hutan dan hutan produksi di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Maluku Utara, NTB, NTT dan Papua. Pelaksana penelitian serta kode untuk administrasi RPI tertera sebagai berikut : Tabel 2. Pelaksana Kegiatan RPI Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme Tahun NO KODEFIKASI PELAKSANA RPI 1 01 Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) 2 05 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH) Yogyakarta 3 06 Balai Besar Penelitian Dipterokarpa (B2PD) Samarinda 4 07 Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Aek Nauli 5 13 Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK) Mataram 6 14 Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang 7 16 Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber daya Alam (BPTKSDA) Samboja 8 17 Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manado 9 18 Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Makassar Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari 71

83 I. RENCANA BIAYA Rencana anggaran biaya dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dan UPT Badan Litbang yang terlibat berdasar kegiatan dan tata waktu yang ditetapkan dapat dilihat pada table 3. Tabel 3. Rencana Anggaran, Waktu dan Unit Pelaksana Penelitian Integratif Tahun No. Kode Luaran/Kegiatan/Aspek Biaya ( x Rp ,-) Jumlah Informasi biofisik habitat, dinamika populasi dan keragaman genetik jenis-jenis langka dan terancam punah Eksplorasi habitat dan populasi beberapa jenis flora langka dan terancam punah (antara lain : ulin, eboni, cendana, ramin, ki beusi dan kempis) Eksplorasi habitat dan populasi dua jenis flora langka dan terancam punah (ki beusi dan kempis) Eksplorasi habitat, populasi, dan konservasi genetik cendana Eksplorasi habitat dan populasi 4 jenis flora (ulin, ramin, ki beusi dan kempis) Kajian habitat dan populasi jenis ebony pada KK Cagar Alam Tongkoko, TN Bogani Nani Wartabone, TN Aketajawe Lolobata Eksplorasi, habitat dan populasi ebony (Diospyros spp.) pada kawasan konservasi Eksplorasi habitat dan populasi beberapa jenis fauna langka dan terancam punah (antara lain : orang utan, tarsius, owa jawa, elang jawa, banteng, anoa, trenggiling dan rusa) Kajian ekologi dan teknik konservasi trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) pada hutan konservasi Sumut Eksplorasi Habitat dan Populasi Rusa Timor pada Kawasan Konservasi di NTT Habitat dan populasi rusa sambar (Cervus unicolor) di Kalimantan Timur , ,73 72

84 No. Kode Luaran/Kegiatan/Aspek Biaya ( x Rp ,-) Jumlah Kajian keberhasilan lokasi pelepasliaran orangutan di Kalimantan Kajian Populasi dan Habitat Anoa pada Kawasan Konservasi di Propinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo Kajian Populasi dan Habitat Tarsius spectrum di TN Bantimurung, Bulusaraung , , Kajian keragaman genetik beberapa jenis fauna langka dan terancam punah (antara lain : banteng, rusa, gajah, anoa, tarsius dan harimau) Kajian keragaman genetik banteng Kajian keragaman genetik trenggiling Kajian keragaman genetik anoa Metode pendugaan populasi dan flora fauna di dalam dan di luar kawasan konservasi Pendugaan populasi genus macaca dan aves di Jawa dan Sumatera Metode pendugaan populasi flora fauna di luar kawasan konservasi (burung paruh bengkok) Teknik pelestarian jenis flora dan fauna langka dan terancam punah Teknologi konservasi jenis flora dan fauna langka dan terancam punah Konservasi flora dan fauna kunci (Macan tutul) Identifikasi sebaran alami, potensi dan teknologi konservasi jenis Taxus sumatrana Teknologi Konservasi ek-situ jenis-jenis Dipterokarpa di hutan dataran rendah Teknologi konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffless, 1821) pada kawasan hutan di Sumatera Utara

85 No. Kode Luaran/Kegiatan/Aspek Biaya ( x Rp ,-) Teknologi konservasi ek-situ jenis Pinus merkusii strain Kerinci di Taman Nasional Kerinci Seblat Jumlah Teknologi konservasi dan inokulasi Gaharu (Gyrinops versteegii) di NTT Teknologi Konservasi Kura-kura Leher Ular Rote di NTT Teknologi konservasi burung kakatua Sumba (Cacatua sulfurea spp. citrinocristata) Teknologi Konservasi dan Domestifikasi Loba (Symplocos sp.) sebagai Flora Penghasil Bahan Mordant Pewarnaan Alami Teknologi konservasi dan domestikasi Faloak (Sterculia quadrifada) Teknologi konservasi dan domestikasi jenis Kayu Papi Teknologi konservasi jenis Ramin Teknologi konservasi banggeris (Koompassia spp.) sebagai jenis flora kunci di dataran tinggi/rendah di Kalimantan Timur. 86, , Teknologi konservasi jenis labi-labi di Kalimantan Timur Teknologi konservasi ek-situ Ulin Identifikasi Jenis dan teknologi konservasi Flora Endemik dan Sumber daya Genetik di Papua Teknologi konservasi jenis labi-labi moncong babi, kura-kura dada merah, kura-kura irian di Papua Identifikasi jenis flora dan fauna kunci pada habitat di dataran rendah dan dataran tinggi 185, , Eksplorasi dan Identifikasi Jenis-jenis Dipterocarpaceae Identifikasi Jenis Flora Kunci Pada Hutan Dataran Rendah di Sulawesi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara Eksplorasi dan identifikasi jenis-jenis fauna endemik di Sulawesi Identifikasi jenis, habitat dan populasi mamalia terrestrial dataran

86 No. Kode Luaran/Kegiatan/Aspek Biaya ( x Rp ,-) rendah di Sulawesi Keanekaragaman Jenis, Habitat dan Populasi Mamalia Terestrial Papua (Phalanger orientalis, Spilocuscus maculatus) Identifikasi Keragaman Jenis, Habitat dan Sebaran Populasi Jenis Burung Langka di Papua (Psittasidae, Columbide, Casuaride, Paradisae) Teknik eradikasi alien invasive spesies flora fauna Teknik eradikasi alien invasive spesies flora di TN Bukit Barisan Selatan dan TN Baluran Teknik pengendalian hama ulat daun gaharu melalui pola tanam campuran dan insektisida nabati Jumlah , , Ujicoba pengendalian hama ulat daun gaharu Heortia vitessoides Identifikasi jenis flora dan fauna kunci pada habitat di dataran rendah dan dataran tinggi (anoa) Eksplorasi dan ekologi jenis-jenis flora invasif di TN Wasur, Merauke Teknik reproduksi jenis-jenis flora dan fauna langka dan terancam punah dan/atau bernilai ekonomi Teknologi penangkaran jenis jenis fauna langka dan terancam punah dan/atau bernilai ekonomi Teknologi penangkaran jenis mamalia (trenggiling) Teknik Peningkatan Reproduksi penangkaran rusa Kajian Kelayakan Penangkaran Rusa Sambar (Cervus unicolor) di KHDTK Samboja 76, , Teknologi penangkaran burung kakatua Tanimbar dan Anoa Teknologi konservasi eks-situ beberapa jenis flora langka dan terancam punah (ulin, cendana, eboni dan ramin) Teknologi konservasi eks-situ jenis Eboni dan Ulin

87 No. Kode Luaran/Kegiatan/Aspek Biaya ( x Rp ,-) Jumlah Teknologi konservasi eks-situ jenis Cendana di NTT Teknologi konservasi eks-situ Diospyros spp Teknik pemanfaatan mikroorganisme Eksplorasi dan bioprospeksi Fungi (sebagai biological control, bioenergi, obat, pangan dan pupuk hayati) Teknik pemanfaatan mikroorganisme pada gaharu Teknik pengendalian hama tanaman penghasil gaharu secara biologis, feromon dan studi dinamika populasi Heortia vitessoides Eksplorasi isolasi jamur pembentuk gaharu di NTB Teknik inokulasi gaharu dengan simpori di NTB Pemanfaatan pestisida nabati dan hayati untuk pengendalian hama cendana Keanekaragaman Jenis Fungi Makro di HPH PT. Inhutani I Labanan Berau dan PT. ITCI Kenangan Kalimantan Timur Pemanfaatan dan pengembangan bank mikroba Eksplorasi dan Bioprospeksi Mikroba Lignoseluloitik sebagai Agen Biodegradasi Preservasi dan reproduksi mikroba dalam rangka pengelolaan bank mikroba ,43 95,50 95, , Bioprospeksi FMA untuk bioreklamasi lahan bekas tambang kapur Teknologi biopoting untuk mendukung bioreklamasi lahan bekas tambang Potensi jenis pohon potential sebagai bahan baku obat anti kolesterol,diabetes dan kanker 76

88 No. Kode Luaran/Kegiatan/Aspek Biaya ( x Rp ,-) Jumlah Kajian etnobotani beberapa jenis pohon sebagai bahan baku obat anti kolesterol, dan diabetes Kajian etnobotani beberapa jenis pohon sebagai bahan obat anti kolesterol dan diabetes di Pulau Jawa Kajian etnobotani beberapa jenis pohon sebagai bahan obat anti kolesterol dan diabetes di Sumatera Utara Kajian etnobotani beberapa jenis pohon sebagai bahan baku obat anti kolesterol Kajian etnobotani beberapa jenis pohon sebagai bahan baku obat anti kolesterol dan diabetes di Kalimantan Timur Kajian ekologi beberapa jenis dipterokarpa yang berpotensi sebagai bahan baku obat , , Kajian ekologi jenis Shorea spp. sebagai bahan obat kanker Uji fitokimia jenis bahan baku obat yang belum dikenal Uji fitokimia beberapa jenis pohon obat anti kanker TOTAL BIAYA RPI selama jangka waktu 5 tahun 3.387, , , , , ,55 77

89 II. ORGANISASI Kegiatan penelitian integratif dikoordinir oleh seorang Koordinator, dibantu oleh tiga orang sebagai wakil koordinator. Adapun susunan organisasi pelaksanaan RPI adalah: Penanggung jawab Program Koordinator RPI Wakil Koordinator : : Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi : Dr. Ir. Titiek Setyawati, MSc. (P3KR) 1. Flora : Dr. Ir. Titiek Setyawati, MSc. 2. Fauna : Dra. Garsetiasih, Msi 3. Mikroorganisme : Ir. Ragil Irianto, MSc. III. DAFTAR PUSTAKA Appanah, S Management of Natural Forest. A Review of Dipterocarps. Taxonomy, ecology and silviculture. Ed. Appanah, S. And J. M. Turnbull. Center for International Forestry Research. Bogor. Indonesia. Damanik, M. R Jempana: Mari Bicara REDD. Harian Kompas, Kamis 15 November Direktorat Jenderal PHPA, Kebijakan dan arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional DirJen PHPA, Departemen Kehutanan. Jakarta Heriyanto, N. M., dan E. Subiandono Status kelangkaan jenis pohon di kelompok hutan Sungai Lekawai-Sungai Jengonoi, Sintang, Kalimantan Barat. Buletin Plasma Nutfah Vol. 9 No.2 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Heriyanto, N. M., dan R. Garsetiasih Studi kasus kelangkaan jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae di hutan lindung sungai Wain, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan No IUCN/SSC IUCN Red list categories. Fourtieth Meeting of the IUCN Council. Gland. Switzerland. IUCN IUCN Red List of Threatened Species. Download on 16 July Indrawan, M., R.B Primack., dan J. Supriatna Biologi Konservasi. Edisi revisi- Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Kartodihardjo, H Masalah kebijakan pengelolaan hutan alam produksi. Pustaka Latin. Bogor. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Jakarta. 78

90 Mogea, J., P, D. Gandawidjaya, H. Wiriadinata, R. E Nasution, dan Irawati Tumbuhan Langka Indonesia Vol 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi- LIPI. Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense. 86 hal. Ramono, W. S Kebijakan Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber daya Genetik Tanaman Hutan. Prosiding Workshop Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Yogyakarta. Sala, O.E., F.S. Chapin III., J.J. Armesto, E. Berlow., J. Bloomfield, R. Dirzo, et al Global biodiversity scenarios for the year Science 287: Siran, S.(editor) Status Riset. Pengelolaan Dipterokarpa di Indonesia. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Samarinda, Kalimantan Timur. Soerianegara, I dan R.H.M.J. Lemmens, (Eds) Plant Resources of South East Asia (PROSEA) 5 (1) Timber trees: major commercial timbers. Pudoc Scientific Publishers, Wageningen. Sumarhani Aspek biologi, ekologi dan ancaman kepunahan ramin (Gonystylus bancanus Miq.) Kurz. Makalah penunjang pada Prosiding: Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumber daya Hutan. Padang, 20 September Puslibang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Stein, B.A, L.S. Kutner and J.S. Adams (eds.) Precious Heritage: The Status of Biodiversity in the United States. Oxford University Press, New York. UNEP-WCMC Strategies for the sustainable use and management of timber tree species subject to international trade: South East Asia. Report compiled by UNEP- WCMC. UNEP/WCMC. Universiteit Leidein. Agriculture, Nature and Food Quality, Department of Environment Food and Rural Affairs. World Research Institute (WRI) Global biodiversity guidelines for action to save. Study and Use Earth Biotic Wealth Sustainably and Equatably. Washington D.C World Research Institute (WRI) World Resources Institute, Washington D.C. Whitmore, T.C An Introduction to Tropical Rain Forests. Clarendon Press. Oxford. 79

91 IV. KERANGKA KERJA LOGIS No. Narasi Indikator Cara verifikasi Asumsi 1. Tema Informasi biofisik habitat, dinamika populasi dan keragaman genetik jenis-jenis langka dan terancam punah 1.1 Tujuan : Memperoleh data dan informasi tentang biofisik habitat, dinamika populasi dan keragaman genetik jenis-jenis langka dan terancam punah Informasi habitat, keragaman genetik populasi jenis-jenis langka dan terancam punah Laporan kegiatan penelitian, jurnal, tulisan ilmiah - Semua jenis pohon atau satwa yang dikaji dapat ditemukan di lapangan - Dana dan tenaga memadai. - Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 1.2 Sasaran : Informasi ilmiah tentang habitat, keragaman genetik populasi jenis-jenis langka dan terancam punah Informasi habitat, keragaman genetik populasi jenis-jenis target Laporan tahunan - Dana dan tenaga memadai. - Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 1.3. Luaran : Ketersediaan data dan informasi tentang biofisik habitat, dinamika populasi dan keragaman genetik jenis-jenis langka dan terancam punah Informasi habitat dan populasi beberapa jenis flora langka dan terancam punah (antara lain: ulin, eboni, cendana, ramin, ki beusi dan kempis), beberapa jenis fauna langka dan terancam punah (antara lain: orang utan, tarsius, owa jawa, elang jawa, banteng, anoa Laporan kegiatan penelitian Data base jenisjenis flora dan fauna target - Dana dan tenaga memadai. - Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 80

92 No. Narasi Indikator Cara verifikasi Asumsi 1.4 Jenis Kegiatan: 1. Potensi dan persebaran alami jenis pohon ulin di Kalimantan 2. Potensi dan persebaran alami jenis pohon eboni di Sulawesi dan Maluku Utara 3. Potensi dan persebaran alami jenis pohon ramin di Indonesia 4. Potensi dan persebaran alami jenis pohon ki beusi dan kempis tringgiling dan rusa), keragaman genetik beberapa jenis fauna langka dan terancam punah (antara lain: banteng, rusa, gajah, anoa, tarsius dan harimau) dan pendugaan populasi flora dan fauna di dalam dan diluar kawasan konservasi Laporan kegiatan penelitian dan jurnal ilmiah - Dana dan tenaga memadai. - Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 2 Tema Teknik pelestarian jenis flora dan fauna langka dan terancam punah 2.1 Tujuan: Memperoleh data tentang teknologi pelestarian jenis flora dan fauna langka dan terancam punah Teknologi konservasi jenis flora dan fauna langka dan terancam punah dataran rendah dan dataran tinggi Laporan kegiatan penelitian Biaya untuk melakukan kajian memadai dan didukung oleh sumber daya manusia yang sesuai dengan bidang keahliannya 81

93 No. Narasi Indikator Cara verifikasi Asumsi 2.2 Sasaran : Kajian teknologi konservasi jenis flora dan fauna langka dan terancam punah di dataran rendah dan dataran tinggi 2.3 Luaran : Ketersediaan kajian teknologi konservasi jenis flora dan fauna langka dan terancam punah di dataran rendah dan dataran tinggi 2.4 Jenis Kegiatan: 1. Teknologi konservasi jenis flora dan fauna langka dataran rendah dan dataran tinggi 2. Teknologi konservasi jenis-jenis flora dan fauna kunci 3. Identifikasi jenis flora dan fauna kunci pada habitat dataran tinggi dan dataran rendah 4. Teknik eradikasi alien invasif species flora dan fauna Teknologi konservasi jenis flora dan fauna kunci, langka dan terancam punah di dataran rendah dan dataran tinggi Teknologi konservasi jenis flora dan fauna yang langka dan terancam punah yang tersebar di dataran tinggi dan dataran rendah Informasi tentang teknologi konservasi jenis flora dan fauna kunci di dataran rendah dan dataran tinggi Laporan kegiatan penelitian Laporan kegiatan penelitian Laporan kegiatan penelitian Kondisi iklim dan habitat rusa memungkinan untuk dilakukanya kajian menyangkut biologi dan dinamika populasi satwa target Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 82

94 No. Narasi Indikator Cara verifikasi Asumsi 3 Tema 3.1 Tujuan: Menemukan teknologi reproduksi jenisjenis flora dan fauna langka dan terancam punah Teknik reproduksi jenis-jenis flora dan fauna langka dan terancam punah dan/atau bernilai ekonomi Teknik reproduksi jenis-flora dan fauna langka dan terancam punah Laporan kegiatan penelitian Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 3.2 Sasaran : Tersedianya data dan informasi ilmiah tentang teknik reproduksi jenis-jenis flora dan fauna langka dan terancam punah Informasi tentang teknik reproduksi jenis-jenis fauna dan fauna langka dan terancam punah. Laporan kegiatan penelitian Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 3.3 Luaran : Teknologi reproduksi jenis-jenis flora dan fauna langka dan terancam punah Informasi tentang teknik reproduksi jenis-jenis aves, primata, amphibi, mamalia yang terancam punah dan jenis-jenis flora seperti ulin, cendana dan eboni. Laporan kegiatan penelitian Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 3.4 Jenis Kegiatan: 1. Teknologi penangkaran jenis-jenis aves, primata, amphibi, mamalia yang terancam punah 2. Teknologi konservasi eks-situ jenis ulin, cendana, eboni dan ramin Informasi tentang teknik konservasi jenis-jenis flora dan fauna yang langka dan terancam punah Laporan kegiatan penelitian Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 83

95 No. Narasi Indikator Cara verifikasi Asumsi 4 Tema Teknik Pemanfaatan Mikroorganisme 4.1 Tujuan: Memperoleh data dan informasi teknik pemanfaatan mikroorganisme Informasi tentang teknik pemanfaatan mikroorganisme Laporan kegiatan penelitian Kerjasama dengan balai dan pemerintah daerah berjalan dengan baik 4.2 Sasaran : Tersedianya data dan informasi teknik pemanfaatan mikroorganisme Teknologi pemanfaatan mikroorganisme Laporan kegiatan penelitian Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 4.3 Luaran : Teknologi pemanfaatan mikroorganisme Informasi tentang teknologi pemanfaatan mikroorganisme Laporan kegiatan penelitian Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 4.4 Jenis Kegiatan: 1. Eksplorasi dan bioprospeksi Fungi (sebagai biological control, bioenergi, obat, pangan dan pupuk hayati). 2. Eksplorasi dan bioprospeksi Bakteri (sebagai biological control, bioenergi, obat, pangan dan pupuk hayati). Data dan informasi tentang bioprospeksi fungi, bioprospeksi bakteri, bioprospeksi yeast/khamir Laporan kegiatan penelitian dan koleksi mikroba Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 3. Eksplorasi dan bioprospeksi yeast/khamir (sebagai biological control, bioenergi, obat, pangan dan pupuk hayati). 84

96 No. Narasi Indikator Cara verifikasi Asumsi 4. Pemanfaatan dan pengembangan bank mikroba 5 Tema Potensi jenis pohon potensial sebagai bahan baku obat anti kolesterol, diabetes dan kanker 5.1 Tujuan: Memperoleh data dan informasi tentang potensi, persebaran alami dan pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagi bahan baku obat anti diabetes, kolesterol, dan kanker serta prospek pengembangannya 5.2 Sasaran : Tersedianya informasi tentang potensi, persebaran alami dan pemanfaatan jenisjenis tumbuhan yang berpotensi sebagi bahan baku obat anti kolesterol, diabetes dan kanker serta prospek pengembangannya 5.3 Luaran : Informasi bahan baku obat anti diabetes, anti kolesterol dan anti kanker yang diperoleh dari kawasan hutan di Indonesia Data dan informasi potensi, persebaran alami dan pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagi bahan baku obat anti kolesterol, diabetes dan kanker serta prospek pengembangannya Informasi potensi, persebaran alami dan pemanfaatan jenisjenis tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan baku obat anti kolesterol, diabetes dan kanker serta prospek pengembangannya Informasi bahan herbal untuk berbagai jenis penyakit dalam Laporan kegiatan penelitian Laporan kegiatan penelitian Laporan kegiatan penelitian Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 85

97 No. Narasi Indikator Cara verifikasi Asumsi 5.4 Jenis Kegiatan: 1. Kajian etnobotani beberapa jenis pohon sebagai bahan baku obat anti kolesterol, dan diabetes 2. Kajian ekologi beberapa jenis dipterokarpa yang berpotensi sebagai bahan baku obat Berbagai informasi tentang etnobotani, ekologi dan uji fitokimia bahan baku obat Laporan kegiatan penelitian Dana dan tenaga memadai. Pelaksanaan tata kerja formal atau informal tidak ada kendala 86

98 REVISI RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN KODEFIKASI RPI 13 MODEL PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI BERBASIS EKOSISTEM Koordinator: Prof. Ris. Dr. M. Bismark, MS BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN Jakarta, Agustus 2011

99 KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILTASI LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) (REVISI) MODEL PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI BERBASIS EKOSISTEM Menyetujui, Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor, Agustus 2011 Koordinator, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP Prof. Ris. Dr. M. Bismark, MS. NIP Mengesahkan : Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr.Ir.Tachrir Fathoni M.Sc NIP

100 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR ABSTRAK I. LATAR BELAKANG II. PERUMUSAN MASALAH III. HIPOTHESIS IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN V. LUARAN VI. RUANG LINGKUP VII. KOMPONEN PENELITIAN VIII. METODOLOGI I. RENCANA TATA WAKTU RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT I. RENCANA BIAYA II. ORGANISASI III. DAFTAR PUSTAKA IV. KERANGKA KERJA LOGIS

101 DAFTAR TABEL Tabel 1. Biofisik kawasan pelestarian alam (KPA)... Tabel 2. Lokasi penelitian di taman nasional sesuai dengan biogeografi... Tabel 3. Rencana tata waktu dan BPK yang terlibat..... Tabel 4. Lokasi penelitian menurut zona biogeografi dan institusi pelaksana kegiatan penelitian... Tabel 5. Rencana kebutuhan biaya penelitian setiap tahun antara tahun dinas

102 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Model pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem

103 ABSTRAK Kekayaan biodiversitas yang dikelola dalam sistem kawasan konservasi belum sepenuhnya dapat memberikan nilai ekonomi dan perlindungan secara optimal. Menyadari perkembangan ekonomi global di bidang pemanfaatan biodiversitas serta harapan menjadikannya modal pembangunan andalan di masa mendatang, telah diupayakan pengelolaan dan penetapan kawasan konservasi yang baru. Sementara itu kawasan konservasi yang ada pun mengalami degradasi habitat. Degradasi kawasan ini akan memerlukan biaya besar untuk pengamanan dan restorasinya. Guna mengatasi hal ini, pengembangan daerah penyangga semakin terlihat pentingnya. Untuk pemanfaatan yang terencana dalam jangka panjang memerlukan pengembangan ekonomi sumberdaya alam, keterlibatan aktif masyarakat sekitar kawasan dan ditopang sistem lingkungan yang kondusif. Semua ini memerlukan adanya kajian dan penelitian untuk mendukung keterlaksanaan upaya tersebut. Rencana Penelitian Integratif (RPI) Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem ini adalah bagian dari Program Biodiversitas dengan tujuan menyediakan informasi dan teknologi untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi secara lestari. Dalam tahun dinas , lokasi penelitian diprioritaskan di kawasan taman nasional yang dikelompokkan atas dasar zona biogeografi. Prioritas ini didasarkan pada arah pembangunan konservasi yang lebih intensif pada pembentukan dan pengelolaan taman nasional. Penelitian direncanakan di 13 taman nasional dengan tiga luaran yaitu: (a) Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi tiap tipologi ekosistem, (b) Model pengelolaan kawasan konservasi tiap ekosistem, dan (c) Strategi manajemen kawasan konservasi; dengan kegiatan sejumlah sembilan judul. Pelaksana kegiatan adalah Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) dan Balai Penelitian Kehutanan yang berada di zona biogeografi lokasi kegiatan. Adapun lokasi kegiatan mewakili ekosistem pegunungan, rawa air tawar, hutan dataran rendah, ekosistem laut dan kepulauan serta ekosistem pulau. Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan arahan model pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi dan daerah penyangga yang sesuai dengan tipe ekosistem dan permasalahannya. Kata kunci : restorasi ekosistem, biodiversitas, pengelolaan kolaboratif, taman nasional, nilai jasa lingkungan. I. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas secara utuh dalam habitat asli merupakan cara paling efektif untuk pelestariannya. Pelestarian habitat dalam kawasan yang luas dengan berbagai tipe ekosistem didalamnya adalah menjadi dasar penetapan kawasan konservasi, termasuk pelestarian budaya setempat. Perlindungan biodiversitas, selain dengan menetapkan kawasan konservasi yang dikelola secara efektif, dapat pula dengan memperbaiki habitat melalui restorasi ekosistem. Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk tujuan berbagai hal terutama pemanfaatan jasa lingkungan yang terkait dengan pemanasan global, obyek dan sumber ekonomi yang memerlukan tingkat pengelolaan dan efisiensi pemanfaatan yang cermat. Indonesia sebagai negara mega biodiversiti secara ekonomi menjadikan biodiversitas sebagai unggulan Indonesia di lingkup Asia Tenggara. 90

104 Jasa lingkungan yang terbentuk dalam komunitas biodiversitas yang dikelola dalam sistem kawasan konservasi yang ada belum sepenuhnya dapat memberikan nilai ekonomi dan perlindungan secara optimal. Untuk pemanfaatan yang terencana dalam jangka panjang memerlukan dukungan pengembangan ekonomi sumberdaya alam, keterlibatan aktif masyarakat sekitar kawasan dan sistem lingkungan yang mendukung. Ketiga faktor ini saling terkait sebagai bagian dari parameter pengelolaan dan pemanfaatan. Menyadari perkembangan ekonomi global di bidang pemanfaatan biodiversitas serta harapan menjadikan andalan sumberdaya hutan Indonesia di masa mendatang, upaya pengelolaan dan penetapan kawasan konservasi yang baru telah menambah luasan areal pelestarian biodiversitas. Dalam lima tahun terakhir terjadi penambahan luas dan jumlah taman nasional yang ditetapkan. Sementara itu, kawasan konservasi yang ada pun mengalami degradasi habitat. Hal ini akan berdampak pada tiga masalah di atas. Adanya degradasi kawasan ini akan memerlukan biaya besar untuk pengamanan dan restorasinya. Guna mengatasi hal ini pengembangan daerah penyangga (buffer zone) semakin terlihat pentingnya, termasuk keterlibatan dan partisipasi masyarakat dan para pemangku kepentingan (stakeholders). Kebutuhan penelitian yang dapat mendukung penyelesaian masalah pengelolaan kawasan konservasi telah teridentifikasi, yang lingkupnya berkaitan dengan aspek berikut : (a) kriteria dan indikator pengelolaan dan pemanfaatan, (b) model pengelolaan sesuai ekosistem, dan (c) strategi pengelolaannya. Penentuan lingkup penelitian untuk penyusunan RPI Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem ini diharapkan akan menjadi dasar pengelolaan kawasan konservasi seperti pengelolaan taman nasional berdasarkan Permenhut P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tatakerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Pelaksana teknis taman nasional yang dimaksud meliputi : (a) penataan zonasi, perencanaan, pemantauan dan evaluasi kawasan taman nasional, (b) pengelolaan kawasan, (c) perlindungan dan pengamanan taman nasional, (d) pengendalian kebakaran hutan, (e) promosi informasi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem, (f) penyuluhan, (g) pengembangan kerjasama dan kemitraan, (h) pemberdayaan masyarakat lokal, serta (i) pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam kenyataannya belum sepenuhnya fungsi taman nasional dapat memberikan kontribusi nilai manfaat ekonomi maupun lingkungan, sehingga maksud dan tujuan pembentukan taman nasional kurang dapat dipahami oleh masyarakat atau pemerintah daerah. Otoritas pengelolaan taman nasional berada di Pusat, namun pemerintah pusat belum sepenuhnya berhasil membentuk mekanisme pengelolaan taman nasional yang efektif. Sementara itu, pemerintah daerah mengharapkan dapat mengelola taman nasional bersama-sama sebagaimana pasal 4 Permenhut P.19/Menhut- II/2004. Pengelolaan taman nasional dapat ditentukan dari kondisi awal kawasan, kondisi masyarakat maupun kondisi tataguna hutan atau lahan sekitar kawasan, seperti taman nasional yang sebagian berasal dari bekas hutan produksi yang mempunyai nilai konservasi tinggi. Walaupun sudah ada penetapan taman nasional model, 91

105 namun kekhasan model tersebut belum diperlihatkan melalui hasil penelitian dengan tiga aspek penelitian di atas. II. RUMUSAN MASALAH Kawasan konservasi di Indonesia dikelompokkan menjadi Kawasan Suaka Alam berupa Cagar Alam dan Suaka Margasatwa serta Kawasan Pelestarian Alam meliputi Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Tawan Wisata Alam dan Taman Buru. Berdasarkan lingkup penelitian yang disepakati dalam RPI tahun dinas , penelitian lebih diarahkan pada kawasan pelestarian alam dengan fungsi taman nasional. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ciri-ciri khas dan berfungsi sebagai pelindung ekosistem yang menyangga sistem kehidupan dan taman nasional dikelola menurut sistem zonasi. Kawasan taman nasional luas relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam khas, kepentingan pelestarian tinggi, berpotensi untuk ekowisata serta memberikan manfaat yang besar bagi wilayah sekitarnya. Dalam hal pengelolaan pemanfaatan, sebagian kawasan taman nasional dapat dibuat zona pemanfaatan, pemanfaatan jasa lingkungan wisata, air dan karbon. Prioritas penelitian pada kawasan taman nasional ini selain taman nasional mempunyai manfaat yang lebih luas dalam pengelolaannya yang dapat menunjang pendapatan daerah, juga dalam beberapa tahun terakhir perkembangan penetapan taman nasional relatif cepat. Untuk itu perlu mendapat dukungan penelitian dalam pengelolaannya, terutama pengelolaan habitat, biodiversitas dan kolaborasi untuk mencapai tingkat pemanfaatan yang optimal. Permasalahan kawasan konservasi saat ini yang berkaitan dengan permasalahan konservasi berbasis ekosistem meliputi : a) Zonasi Taman Nasional Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi untuk optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan. Taman nasional yang sudah dikelola dengan baik telah tertata dalam sistem zonasi yang secara umum terdiri dari zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona lain yang sesuai dengan tingkat kepentingannya. Penetapan zonasi ini ditentukan oleh potensi biofisik, sarana prasarana tersedia dan tata ruang dan fungsi lahan daerah penyangga, serta aspek pengamanan. Untuk melihat seberapa jauh efektifitas pengelolaan dan manfaat zonasi bagi kepentingan pelestarian dan manfaat ekonomi maka perlu evaluasi nilai dan manfaat melalui indikator yang disepakati. Beberapa kawasan taman nasional telah dievaluasi penataan ruang zonasinya dan dilakukan perubahan dengan kriteria indikator daerah aliran sungai (DAS). Evaluasi kriteria indikator dan valuasi potensi serta manfaat setiap zonasi taman nasional sesuai dengan model, pengelolaan, luas, biofisik dan daerah penyangga merupakan hal yang perlu didukung dengan hasil penelitian guna peningkatan dan efektifitas pengelolaan taman nasional. 92

106 Secara umum hubungan cakupan kegiatan dalam pengelolaan kawasan konservasi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar-1. Pengelolaan Kolaboratif Model dan Pengelolaan Daerah Penyangga Model dan Pengelolaan Taman Nasional Zonasi Taman Nasional Keragaman dan Dinamika Ekosistem Nilai Jasa Lingkungan, Sosial Ekonomi, Biodiversitas dan Restorasi Ekosistem Gambar-1. Model pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem. b) Pengelolaan Kolaboratif Pengelolaan adaptif adalah proses penyesuaian terus menerus antar badan pengelola yang tergabung dalam pengelolaan kolaboratif pada taman nasional. Pengelolaan kolaboratif dan penyesuaian para pemangku kepentingan dalam proses pencapaian tujuan pengelolaan, akan dipengaruhi oleh sosial masyarakat, tipe pengelolaan lahan dan pemanfaatan hasil hutan di sekitar atau di dalam kawasan. Dalam hal ini, proses adaptif para pemangku kepentingan akan berpengaruh pada sistem pengelolaan kolaboratif antar lembaga yang mendukung. Pada taman nasional yang sebelum penetapannya sudah ada keterlibatan masyarakat seperti dalam sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), peningkatan fungsi kelembagaan pengelolaan kolaboratif dan proses adaptif ini sangat diperlukan. Hal ini penting untuk merubah pola pemanfaatan lahan hutan yang berorientasi ekonomi lebih besar ke arah pemanfaatan yang berbasis ekosistem. Dalam model pengelolaan kolaboratif, jenis kegiatan yang dikolaborasikan dipengaruhi pula oleh tataguna lahan sekitar kawasan yang menjadi daerah penyangga seperti taman nasional yang berada di sekitar areal pertambangan atau di sekitar areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Hal ini terkait dengan populasi penduduk, sosial ekonomi dan budaya, terutama masyarakat pendatang yang berpotensi melakukan intervensi ke dalam kawasan. 93

107 c) Jasa Lingkungan Jasa lingkungan adalah potensi sumberdaya kawasan yang dapat dimanfaatkan di taman nasional. Jasa lingkungan yang umum diperbincangkan adalah nilai ekonomi dan ekologi dari fungsi taman nasional sebagai areal ekowisata, sumber air bersih, penyimpan karbon dan sumberdaya genetik fauna dan flora yang mendukung program budidaya untuk peningkatan produksi pangan. Permasalahan saat ini adalah umumnya belum diketahui potensi, biofisik, keunikan dan kelimpahannya sebagai penghasil jasa lingkungan bernilai ekonomi. Untuk menjamin pengelolaan kawasan dan jasa lingkungan yang optimal, aspek diperlukan standar dan parameter nilai biofisik dan ekonomi guna pemanfaatan optimal terutama pada taman nasional yang baru ditetapkan. Selain nilai ekonomi, jasa lingkungan kawasan taman nasional dapat memberikan nilai ekologis bagi kawasan sekitarnya sehingga berfungsi sebagai penyangga kehidupan, seperti potensi satwaliar sebagai penyerbuk, sebagai penyebar biji, penyebar mineral esensial, sebagai predator hama, mempertahankan tingkat kesuburan lahan dan sumber air bagi kegiatan budidaya di daerah penyangga. Dengan diketahui potensi biofisik kawasan akan dapat dinilai jasa lingkungan kawasan terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat dan pendapatan daerah, seperti di TN Gunung Gede Pangrango menghasilkan air 110 juta m3 per tahun dengan kebutuhan masyarakat 80,3 juta m3 per tahun. d) Dinamika Ekosistem Kawasan Berdasarkan statistik, di dalam kawasan konservasi juga terdapat lahan kritis akibat dinamika ekosistem dengan tingkat gangguan berat, fragmentasi hutan, terbentuknya hutan sekunder dan lahan kritis. Kondisi ini dapat mengurangi luas kawasan yang efektif sebagai habitat, penurunan populasi satwaliar serta mudahnya terjadi intervensi kawasan dan peningkatan perburuan liar. Kondisi ini mudah terlihat pada taman nasional baru yang ditetapkan berdasarkan alih fungsi hutan produksi bernilai konservasi tinggi menjadi taman nasional atau kawasan yang dikelilingi oleh kawasan dengan fungsi selain konservasi. Untuk mengatasi penurunan kualitas habitat akibat perubahan ekosistem diperlukan kegiatan kajian evaluasi fungsi pada zona-zona taman nasional serta memerlukan perbaikan berupa restorasi. Restorasi pun memerlukan strategi silvikultur yang tepat dengan penanaman jenis pohon lokal dan berfungsi sebagai perbaikan habitat satwaliar. Restorasi ini penting bagi kawasan konservasi yang terdegradasi dan habitat satwaliar terancam punah. e) Pengelolaan Daerah Penyangga Kalau dilihat dari potensi biofisik kawasan taman nasional (Tabel 1) maka penataan ruang daerah penyangga, pengelolaan dan kolaborasi antar para pemangku kepentingan program pembangunan di daerah penyangga akan lebih penting. Hal ini terkait dengan pengamanan kawasan taman nasional, gangguan satwaliar maupun pelestarian taman nasional dari jenis-jenis invasif. Untuk tujuan ini penelitian menunjukkan bahwa perlu ada jalur hijau di luar batas taman nasional berupa kawasan hutan atau areal berhutan selebar antara meter tergantung dari fungsi lahan di luar batas taman nasional. 94

108 Tabel 1. Biofisik kawasan pelestarian alam (KPA). Daerah sekitar KPA (Daerah Periode Tipe Biogeografi Penyangga) penetapan ekosistem IUPHHK- IUPHHK- Perkebunabang Tam- dominan A B C D Lama Baru HA HT Pegunungan - - Dataran rendah ~ Rawa air tawar ~ Rawa - - gambut ~ Hutan dataran rendah Laut dan kepulauan Pulau Keterangan : A = Sumatera, Jawa, Bali; B = Kalimantan; C = Sulawesi, Nusa Tenggara; D = Maluku dan Papua. Pada dasarnya pengelolaan daerah penyangga bertujuan untuk penataan pemanfaatan lahan dan fungsinya di sekitar taman nasional guna peningkatan ekonomi masyarakat sekitar yang sesuai dengan tipe ekosistem taman nasional. Peningkatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar taman nasional akan memberikan dampak positif terhadap lingkungan dari segi pengaturan manfaat dan tataguna lahan pelestarian ekosistem taman nasional. Penetapan dan pengelolaan daerah penyangga cenderung berupa lanskap pertanian dan perubahan lahan sekitar kawasan taman nasional terbentuk fragmentasi hutan. Selain itu akibat pembukaan lahan hutan dan berkembangnya desa hutan serta penetapan kawasan budidaya berpotensi terjadinya konflik. Sementara itu, persepsi mengenai daerah penyangga dan mekanisme pengelolaannya belum mengarah pada upaya perlindungan kawasan. III. HIPOTHESIS Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi, khususnya Taman Nasional secara lestari sangat tergantung pada operasionalisasi kriteria dan indikator efektifitas pengelolaan yang tepat dan teruji yang menggambarkan atribut tipologi, valuasi potensi, zonasi, sosial dan kelembagaan. Strategi manajemen kawasan konservasi yang baik sangat ditentukan oleh pengelolaan kawasan konservasi kolaboratif, restorasi hutan dan daerah penyangga. 95

109 IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN Tujuan penelitian adalah menyediakan informasi dan teknologi untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi secara lestari. Adapun sasarannya adalah tersedianya : (a) Paket informasi karakteristik tipologi biofisik dan sosial ekonomi budaya masyarakat, serta (b) Paket teknologi konservasi kawasan dan daerah penyangga. V. LUARAN Luaran RPI sesuai sasaran masing-masing yaitu : a) Sasaran Pertama (Paket informasi karakteristik tipologi biofisik dan sosial ekonomi budaya masyarakat), dengan luaran : (1) Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi tiap tipologi ekosistem. b) Sasaran Kedua (Paket teknologi konservasi kawasan dan daerah penyangga), dengan luaran : (2) Model pengelolaan kawasan konservasi tiap ekosistem. (3) Strategi manajemen kawasan konservasi. Ketiga luaran diatas masing-masing akan ditindaklanjuti dalam bentuk Proposal Penelitian Tim Peneliti (PPTP). VI. RUANG LINGKUP Ruang lingkup RPI sebagai berikut : a) Obyek : kawasan Taman Nasional termasuk cagar biosfer; daerah penyangga Taman Nasional; dan kawasan hutan di luar Taman Nasional yang potensial sebagai habitat satwaliar yang berstatus langka/terancam punah/dilindungi. b) Lokasi : Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB dan Papua. Kegiatan dilakukan oleh Peneliti di lingkup Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR) dalam sistem koordinasi dengan Peneliti di Balai Penelitian Kehutanan (BPK) yang terkait (BPK Aek Nauli, BPTKP DAS Solo, BPK Kupang, BPTKSDA Samboja, BPK Manado, BPK Makassar, dan BPK Manokwari). VII. KOMPONEN PENELITIAN RPI Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem merupakan salah satu RPI di Badan Litbang Kehutanan, maka perlu diberi kodefikasi sesuai dengan nomor urutnya yaitu dengan membubuhkan angka 13. Dengan demikian komponen-komponen penelitian yang diperlukan untuk menghasilkan luaran pada RPI ini dikodefikasi sebagai berikut : Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi tiap tipologi ekosistem: Kajian valuasi potensi dan manfaat taman nasional Evaluasi zonasi taman nasional. 96

110 Penyusunan kriteria dan indikator pengelolaan lestari kawasan konservasi Kajian implementasi dan evaluasi kriteria dan indikator efektifitas pengelolaan kawasan konservasi Evaluasi pemanfaatan, penggunaan dan fungsi kawasan konservasi Model pengelolaan kawasan konservasi tiap ekosistem : Model pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan tipologi taman nasional Strategi manajemen kawasan konservasi : Restorasi ekosistem kawasan konservasi Pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif Model pengelolaan daerah penyangga. VIII. METODOLOGI Untuk menghasilkan tiga luaran di atas akan dilakukan beberapa kegiatan yang telah diidentifikasi : A. Luaran-1 : Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi tiap tipologi ekosistem. Akan diperoleh melalui kegiatan penelitian berikut : Kajian valuasi potensi dan manfaat taman nasional Evaluasi zonasi taman nasional Penyusunan kriteria dan indikator pengelolaan lestari kawasan konservasi Kajian implementasi dan evaluasi kriteria dan indikator efektivitas pengelolaan kawasan konservasi Evaluasi pemanfaatan, penggunaan dan fungsi kawasan konservasi. B. Luaran-2 : Model pengelolaan kawasan konservasi tiap ekosistem. Akan diperoleh melalui kegiatan penelitian berikut : Model pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan tipologi taman nasional. C. Luaran-3 : Strategi manajemen kawasan konservasi. Akan diperoleh melalui kegiatan penelitian berikut : Restorasi ekosistem kawasan konservasi Evaluasi pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif Model pengelolaan daerah penyangga. 97

111 Sebanyak sembilan kegiatan diatas, selanjutnya akan dijabarkan secara rinci dalam Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). Penelitian akan dilakukan dengan beberapa metode yang secara garis besar sebagai berikut : Penelitian potensi kawasan meliputi penelitian zonasi taman nasional, potensi vegetasi, restorasi ekosistem, dinamika populasi satwaliar dan valuasi potensi dilakukan dalam unit contoh penelitian. Sedangkan analisisnya menggunakan rumus analisis vegetasi, keanekaragaman jenis, potensi karbon dan potensi air. Penelitian potensi ekonomi kawasan dilakukan secara langsung atau melalui kuesioner dengan jumlah dan contoh responden yang tepat, sedangkan analisisnya menggunakan metode Break Event Point (BEP), Netto Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR). Kajian sosial ekonomi juga menggunakan kuesioner dengan analisis sebagaimana metode NPV dan IRR. Bersamaan dengan kajian sosial ekonomi dilakukan pula analisis kelembagaan dan analisis konflik. Kajian model daerah penyangga, pengelolaan kawasan konservasi, evaluasi kawasan dan evaluasi kriteria indikator menggunakan metode penelitian potensi ekonomi kawasan dan kajian sosial ekonomi, karena dalam penetapan model daerah penyangga tidak terlepas dari analisis fisik kawasan, vegetasi, nilai ekonomi dan kelembagaan pengelolaan. Penelitian akan dilakukan di lokasi yang dipilih dengan mempertimbangkan keterwakilan tipe ekosistem dan biogeografi kawasan (Tabel 2.), sedangkan penelitian pengelolaan daerah penyangga mewakili tipe penggunaan dan fungsi lahan (lihat Tabel 1. diatas). Tabel 2. Lokasi penelitian di taman nasional sesuai dengan biogeografi. Zona Biogeografi A B C D 1. TN. Batang Gadis (Sumut) 2. TN. Siberut (Sumbar) 3. TN. Alas Purwo (Jatim) 4. TN. Gunung Ciremai (Jabar) 5. TN. Merbabu (Jateng) 6. TN. Meru Betiri (Jawa Timur) 7. TN. Kutai (Kaltim) 8. TN. Sebangau (Kalteng) 9. TN. Bantimurung Bulu Sarawung (Sulsel) 10. TN. Laiwangi Wanggameti (NTT) 13. TN. Bogani Nani Wartabone (Manado) 12. TN. Teluk Cendrawasih (Papua) 13. TN. Wasur (Papua) Keterangan: A = Sumatera, Jawa, Bali; B = Kalimantan; C = Sulawesi, Nusa Tenggara; D = Maluku dan Papua. 98

112 I. RENCANA TATA WAKTU Pelaksanaan penelitian sangat ditentukan oleh kondisi anggaran dan ketersediaan sumberdaya peneliti. Penelitian yang terdiri dari sembilan RPTP ini dapat berjalan simultan. Walau demikian prioritas pelaksanaannya dapat disusun sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.. RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT Setiap kegiatan penelitian akan dilaksanakan di 13 taman nasional dalam zona biogeografi A, B, C dan D. Lokasi penelitian dan pelaksananya sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 3. Rencana tata waktu dan BPK yang terlibat. Kode Kegiatan Kegiatan Tahun Usulan Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi tiap tipologi ekosistem x x x Kajian valuasi potensi dan manfaat taman nasional x x x x x x x x x x x x x x x Evaluasi zonasi taman nasional x x x x Penyusunan kriteria dan indikator - x x x pengelolaan lestari kawasan konservasi x x x x Kajian implementasi dan evaluasi x x x x x kriteria dan indikator kawasan konservasi x x Evaluasi pemanfaatan, penggunaan dan fungsi kawasan konservasi x x x x x Model pengelolaan kawasan konservasi tiap ekosistem Model pengelolaan kawasan x x konservasi berdasarkan tipologi x x taman nasional x - 99

113 Kode Kegiatan Kegiatan 13.3 Strategi manajemen kawasan konservasi Tahun Usulan x x x x Restorasi ekosistem kawasan konservasi - - x x x x x x x Pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif x x x x x x x x x x Model pengelolaan daerah penyangga - - x x - - Keterangan: Digit terakhir 01 : Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi; 07 : BPK Aek Nauli; 12 : BPTKPDAS Solo; 14 : BPK Kupang; 15 : BPK Banjarbaru; 16 : BPTKSDA Samboja; 17 : BPK Manado; 18 : BPK Makassar; dan 19 : BPK Manokwari. Tabel 4. Lokasi penelitian menurut zona biogeografi dan institusi pelaksana kegiatan penelitian Lokasi Penelitian Institusi Pelaksana Zona Taman Nasional (Puslitbang dan UPT) A 1. Batang Gadis BPK Aek Nauli 2. Siberut P3KR 3. Alas Purwo P3KR 4. Gunung Ciremai P3KR 5. Merbabu BPTKPDAS Solo 6. Meru Betiri P3KR B 7. Kutai BPTKSDA Samboja 8. Sebangau BPTKSDA Samboja, BPK Banjarbaru C 9. Bantimurung Bulu Sarawung BPK Makassar 10. Bogani Nani Wartabone BPK Manado 11. Laiwangi Wanggameti BPK Kupang D 12. Teluk Cendrawasih BPK Manokwari 13. Wasur BPK Manokwari Keterangan: A = Sumatera, Jawa, Bali; B = Kalimantan; C = Sulawesi, Nusa Tenggara; D = Maluku dan Papua. 100

114 I. Rencana Biaya Biaya penelitian untuk setiap kegiatan selama lima tahun direncanakan rata-rata Rp. 100 juta per tahun. Kebutuhan biaya penelitian untuk setiap tahun dinas ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5. Rencana kebutuhan biaya penelitian setiap tahun antara tahun dinas Kode Kegiatan Kegiatan Tahun Usulan (x Rp ) Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi tiap tipologi ekosistem Kajian valuasi potensi dan manfaat taman nasional Evaluasi zonasi taman nasional Penyusunan kriteria dan indikator pengelolaan lestari kawasan konservasi Kajian implementasi dan evaluasi kriteria dan indikator kawasan konservasi Evaluasi pemanfaatan, penggunaan dan fungsi kawasan konservasi Model pengelolaan kawasan konservasi tiap ekosistem Model pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan tipologi taman nasional Strategi manajemen kawasan konservasi Restorasi ekosistem kawasan konservasi

115 Kode Kegiatan Kegiatan Tahun Usulan (x Rp ) Pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif Model pengelolaan daerah penyangga TOTAL Keterangan: Digit terakhir 1 : Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi; 7 : BPK Aek Nauli; 12 : BPTKPDAS Solo; 14 : BPK Kupang; 15 : BPK Banjarbaru; 16 : BPTKSDA Samboja; 17 : BPK Manado; 18 : BPK Makassar; dan 19 : BPK Manokwari. II. ORGANISASI Pelaksanaan kegiatan berada dalam sistem koordinasi antara Peneliti di P3KR dengan Peneliti di Balai Penelitian Kehutanan. Uraian tugas koordinator ditetapkan oleh Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan, sedangkan uraian tugas Penanggungjawab dan Anggota Tim ditetapkan oleh Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Tingkat Pusat) dan Kepala Balai Penelitian Kehutanan (Tingkat Daerah). III. DAFTAR PUSTAKA Anshari, G. Z Dapatkah pengelolaan kolaboratif menyelamatkan Taman Nasional Sentarum? Unpublish. Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Rencana strategi bisnis TN. G. Gede Pangrango sebagai Badan Layanan Umum. Bismark, M., R. Sawitri dan Eman Pengelolaan dan zonasi daerah penyangga TN Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. IV (5) Bismark, M Integrasi kepentingan konservasi dan kebutuhan sumber penghasilan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Prosiding hasilhasil penelitian rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan. Bogor. Desember DFID Pemanfaatan jasa lingkungan air di Taman Nasional Gunung Halimun- Salak untuk usaha PDAM dan PAMDK. Prosiding Workshop Pemanfataan Jasa Lingkungan Air. Sukabumi. 102

116 Hanada, K., A. Muzakhir, M. Rahayu dan Widada Traditional people and biodiversity conservation in Gunung Halimun National Park. Research and Conservation Biodiversity in Indonesia. Vol VII. JICA. Bogor. Indrawan, M., R. B. Prinack dan J. upriatna Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Kayat Dampak ekowisata terhadap kondisi biofisik kawasan dan sosial ekonomi budaya masyarakat sekitar TN Komodo. Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan. Ende. November Kuswanda, W. dan B. S. Antiko Keanekaragaman jenis tumbuhan pada beberapa tipe hutan untuk mendukung pengelolaan zona rimba TN Batang Gadis. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. V (4) Mindawati, N., A. Widiarti dan B. Rustaman Review hasil penelitian hutan rakyat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor. Sugiana, A. N., M. Takandjandji dan Kayat Kajian potensi dan biofisik TN Kelimutu di Flores. Prosiding Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan. Ende. November Sukara, E Jasa lingkungan hidup ( 103

117 IV. KERANGKA KERJA LOGIS No Narasi Indikator Cara Verifikasi Asumsi 1. Tujuan Tujuan penelitian adalah menyediakan informasi dan teknologi untuk mendukung pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi secara lestari Tercapainya fungsi kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan dan pemanfaatan biodiversitas dan ekosistem. Optimalisasi pemanfaatan kawasan konservasi untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, budidaya dan pariwisata. Asistensi tenaga ahli ke pihak Pengelola kawasan konservasi. Koordinasi dan jaringan komunikasi antar Peneliti dan Pengelola. Gelar Teknologi. Terjaminnya dukungan pihak Pengelola dan Pemerintah Daerah serta Pihak terkait di daerah penelitian. Pemasyarakatan hasil penelitian berjalan lancar. 2. Sasaran Sasaran penelitian adalah tersedianya :(a) Paket informasi karakteristik tipologi atribut biofisik dan sosial ekonomi budaya masyarakat, serta (b) Paket teknologi konservasi kawasan dan daerah penyangga. Kualitas dan kuantitas data potensi kawasan yang valid dan standar. Data dan informasi kelembagaan di daerah penyangga. Data dan informasi penilaian potensi jasa lingkungan. Implementasi dan evaluasi model dan pengelolaan kawasan konservasi dan daerah penyangga. Laporan akhir proyek. Paket teknologi. Pemasyarakatan hasil penelitian. Dana, bahan dan fasilitas tersedia dengan cukup. Kondisi lingkungan mendukung. 3. Luaran Luaran penelitian ini yaitu : (1) Kriteria dan indikator pengelolaan kawasan Diterbitkannya publikasi ilmiah, publikasi populer dan komunikasi/brief. Kebijakan pengelolaan. Jurnal, info, buletin, brief, warta. Kebijakan Pemerintah Dana tersedia. Dukungan Pemerintah Daerah 104

118 No Narasi Indikator Cara Verifikasi Asumsi konservasi tiap tipologi Daerah atau Pihak terkait dan Pihak terkait. ekosistem, serta (2) Model pengelolaan kawasan konservasi tiap ekosistem, dan (3) Strategi manajemen kawasan konservasi. tentang program pengelolaan dan restorasi kawasan konservasi. 4. Kegiatan Kegiatan yang akan dilakukan: Kajian valuasi potensi dan manfaat taman nasional Evaluasi zonasi taman nasional Penyusunan kriteria dan indikator pengelolaan lestari kawasan konservasi Kajian implementasi dan evaluasi kriteria dan indikator efektifitas pengelolaan kawasan konservasi. Tersedianya pedoman pengelolaan dan pemanfaatan potensi dan nilai ekologis taman nasional. Tersedianya kriteria dan indikator penetapan zonasi, implementasi dan pengelolaannya di dalam taman nasional. Tersedianya kriteria dan indikator untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi secara lestari. Tersedianya kriteria dan indikator untuk mendukung optimalisasi pengelolaan kawasan konservasi. Pedoman pengelolaan dan pemanfaatan. Paket kriteria dan indikator penetapan zonasi. Paket kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi secara lestari. Paket kriteria dan indikator pengelolaan kawasan konservasi secara optimal. Dana cukup tersedia dan berkesinambungan. Kondisi lingkungan kondusif, Pengelola dan Pihak terkait termasuk masyarakat mendukung. 105

119 No Narasi Indikator Cara Verifikasi Asumsi Evaluasi pemanfaatan, penggunaan dan fungsi kawasan konservasi Model pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan tipologi taman nasional Restorasi ekosistem kawasan konservasi Pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif Model pengelolaan daerah penyangga. Tersedianya teknologi pemanfaatan dan penggunaan potensi biodiversitas sesuai fungsi kawasan konservasi. Tersedianya model pengelolaan taman nasional sesuai dengan tipologinya. Tersedianya teknologi restorasi kawasan konservasi berdasarkan karakteristik tipologi atribut biofisik dan sosekbud masyarakat. Tersedianya strategi dan kelembagaan pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi. Tersedianya model pengelolaan penyangga kawasan konservasi dan kawasan hutan di luar kawasan konservasi yang sinergi dan terintegrasi dengan tata ruang dan pembangunan daerah. Teknologi pemanfaatan biodiversitas. Paket pengelolaan taman nasional berdasarkan tipologinya. Teknologi dan implementasi model restorasi. Pengelolaan sumber daya alam dan jasa lingkungan berbasis ekologi. Implementasi model pengelolaan daerah penyangga dan desa konservasi. 106

120 REVISI RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN KODEFIKASI RPI 14 SISTEM PENGELOLAAN DAS HULU, LINTAS KABUPATEN, LINTAS PROVINSI Koordinator: Ir. Paimin, M.Sc. BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN Jakarta, September 2011

121 KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILTASI LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) (REVISI) SISTEM PENGELOLAAN DAS HULU, LINTAS KABUPATEN, LINTAS PROPINSI Menyetujui, Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor, September 2011 Koordinator, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP Ir. Paimin, M.Sc. NIP Mengesahkan : Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr.Ir.Tachrir Fathoni M.Sc NIP

122 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR ABSTRAK... I. LATAR BELAKANG II. PERUMUSAN MASALAH 111 III. HIPOTESIS. 113 IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITAN. 114 V. LUARAN 114 VI. RUANG LINGKUP 115 VII. KOMPONEN PENELITIAN VIII. METODOLOGI I. RENCANA DAN TATA WAKTU RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT I. RENCANA BIAYA II. ORGANISASI III. IV. DAFTAR PUSTAKA.. KERANGKA KERJA LOGIS

123 DAFTAR TABEL Tabel 1. Komponen Penelitian RPI Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam Kabupaten (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi Untuk Tahun Tabel 2. Rencana pencapaian hasil yang diharapkan dalam penyeleng-garaan penelitian Tahun Tabel 3. Biaya Setiap Kegiatan Penelitian Per Tahun Selama Tahun

124 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Pohon Masalah Dalam Pengelolaan DAS... Gambar 2. Hasil Penelitian Sistem Karakterisasi DAS Sebagai Basis Penelitian Sistem Pengelolaan DAS... Gambar 3. Alur Kerja Sistem Karakterisasi DAS Sebagai Basis Pengelolaan

125 ABSTRAK Sistem pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) saat ini masih belum efektif. Hal ini diindikasikan dengan semakin luasnya lahan kritis dalam DAS dan masih banyaknya jumlah DAS yang masuk skala prioritas. Penyebab belum efektifnya sistem pengelolaan DAS berkaitan dengan perkembangan politik, sosial, ekonom, kelembagaan, maupun teknologi. Dinamika politik yang utama berpengaruh terhadap sistem pengelolaan DAS adalah adanya kewenangan otonomi pemerintahan daerah (UU No 32 Tahun 2004). Wilayah DAS tidak selalu bisa berhimpitan dengan wilayah administrasi pemerintahan karena DAS merupakan batas alam punggung bukit yang sering dipertentangkan dan menjadi masalah. Padahal masalah tersebut bisa diatasi melalui penyelarasan batas daerah tangkapan air dengan wilayah administrasi. Penyelarasan ini berimplikasi pada sistem pengelolaan yang harus dibangun, baik perencanaan, kelembagaan, pendekatan implementasi, maupun monitoring dan evaluasi. Untuk menyelaraskan sistem pengelolaan DAS perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan sistem informasi geografis, penginderaan jauh dan hidrologi. Tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah untuk memperoleh sistem pengelolaan DAS yang mengedepankan fungsi manjemen, kelembagaan dan implementasi, selaras dengan sistem pemerintahan otonomi daerah dan sesuai dengan hierarki sistem pengelolaan daerah tangkapan air yang berada dalam satuan wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), yang mencakup wilayah lintas kabupaten, dan yang meliputi wilayah lintas provinsi. Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah 1) dinamika sistem perencanaan pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), wilayah lintas kabupaten, dan wilayah lintas provinsi, 2) formula sistem monev pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), wilayah lintas kabupaten, dan wilayah lintas provinsi; 3) sistem kelembagaan pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), wilayah lintas kabupaten, dan wilayah lintas provinsi dan 4) sistem implementasi pengelolaan DAS pada skala operasional (mikro). Kata Kunci : Pengelolaan DAS, Karakteristik DAS, perencanaan, monitoring dan Evaluasi, kelembagaan, otonomi daerah I. LATAR BELAKANG Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia sebagian besar dalam kondisi kritis seperti dicerminkan sering terjadinya bencana banjir dan kekeringan, serta tanah longsor dan meluasnya lahan kritis. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.328/Menhut-II/2009 disebutkan bahwa sebesar 108 DAS dalam kondisi kritis yang memerlukan prioritas penanganan. Luas lahan kritis dalam DAS merupakan salah satu indikasi tingkat kekritisan suatu DAS. Di Indonesia lahan kritis masih terus berkembang dan telah mencapai 77,8 juta hektar (Departemen Kehutanan, 2007) yang tersebar di dalam kawasan hutan sekitar 51 juta ha dan di luar kawasan hutan kurang lebih seluas 26,8 juta ha. Padahal pada tahun 2000, lahan kritis di Indonesia diperkirakan ha yang berada di dalam kawasan hutan ha (35%) dan di luar kawasan ha (65%) (Dep. Kehutanan, 2001). Padahal upaya pengendalian lahan kritis telah digaungkan secara intensif sejak tahun 1976 melalui program Inpres (Instruksi Presiden) Reboisasi dan Penghijauan, dan mulai tahun 2003 telah didorong melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan/GNRHL). 110

126 Semakin luasnya lahan kritis dalam daerah aliran sungai dan jumlah DAS prioritas yang masih besar menunjukkan sistem pengelolaan DAS yang diterapkan sampai dengan saat sekarang masih belum efektif. Perkembangan politik, sosial, ekonomi, kelembagaan, maupun teknologi yang dinamis belum mampu diimbangi dengan sistem pengelolaan yang ada sekarang. Dinamika politik yang utama berpengaruh terhadap sistem pengelolaan DAS adalah adanya kewenangan otonomi pemerintahan daerah (UU No. 22 tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 32 Tahun 2004). Hal ini mempengaruhi sistem kelembagaan yang harus dibangun, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada setiap wilayah pemerintahan daerah. Sementara itu wilayah DAS tidak selalu bisa berhimpitan dengan wilayah administrasi pemerintahan karena DAS merupakan batas alam punggung bukit. Tetapi oleh Dixon dan Easter (1986) disebutkan bahwa DAS merupakan penyatu ekosistem alami antara wilayah hulu (dari puncak gunung/bukit) dengan wilayah hilir (sampai dengan muara sungai dan wilayah pantai yang masih terpengaruh daratan) melalui siklus/daur hidrologi/air. Sebagai suatu ekosistem, DAS dapat merupakan suatu unit pengelolaan karena setiap ada masukan (inputs) ke dalam ekosistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat keluaran (outputs) dari ekosistem tersebut. Satuan wilayah DAS, yang terdiri dari komponen tanah, vegetasi dan air/sungai dengan intervensi manusia, berperan sebagai prosesor terhadap setiap masukan. Sebagai prosesor DAS memiliki karakteristik khas yang dihasilkan dari interaksi karakter alami dengan pengelolaan yang diterapkan. Pengelolaan atau manajemen adalah sebuah proses yang khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan pengawasan (monitoring dan evaluasi) yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya seperti bahan-bahan, mesin, metode, uang, dan pasar (Terry, 1986). Adanya dinamika tersebut perlu adaptasi pengelolaan yang aplikatif dan adoptif. Dalam pengembangan sistem pengelolaan (perencanaan, kelembagaan, implementasi, dan monev) yang selaras dengan dinamika perkembangan tersebut perlu dukungan dasar pemikiran obyektif rasional yang didukung data dan informasi terkini yang diperoleh melalui serangkaian penelitian yang bersifat integratif. II. PERUMUSAN MASALAH DAS prioritas di Indonesia masih cukup tinggi jumlahnya, dan DAS yang besar (luas) semuanya termasuk kategori prioritas. Hal demikian terjadi karena masih lemahnya sistem pengelolaan yang belum mampu mengimbangi dinamika atau perkembangan yang terjadi baik dinamika politik, sosial, ekonomi, maupun teknologi. Dinamika politik dalam pengelolaan DAS diwujudkan dalam pembagian kewenangan pemerintahan seperti dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2008 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pembagian urusan pemerintahan bidang Kehutanan pada sub-bidang pengelolaan DAS adalah: 1. Pemerintah (Pusat) memiliki kewenangan urusan dalam penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan DAS, penetapan kriteria dan urutan DAS/Sub DAS prioritas serta penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu. 2. Pemerintahan Daerah Provinsi memberikan pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, dan penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi. 111

127 3. Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota berwenang memberikan pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupaten/kota. Dengan demikian sistem pengelolaan yang dibangun harus selaras dengan pembagian kewenangan urusan tersebut. Wilayah DAS yang tidak selalu bisa berhimpitan dengan wilayah administrasi pemerintahan, karena DAS merupakan batas alam punggung bukit, sering dipertentangkan dan menjadi masalah. Padahal masalah tersebut bisa diatasi melului penselarasan batas daerah tangkapan air dengan wilayah administrasi. Penyelarasan ini berimplikasi pada sistem pengelolaan yang harus dibangun, baik perencanaan, kelembagaan, pendekatan implementasi, maupun monitoring dan evaluasi. Secara ringkas masalah sistem pengelolaan DAS dapat disusun dalam pohon masalah seperti pada Gambar 1. DAS TERDEGRADASI (DAS PRIORITAS) MASIH TINGGI SISTEM PENGELOLAAN SEKARANG LEMAH PERENCANAAN KELEMBAGAAN IMPLEMENTASI MONEV DINAMIKA POLITIK, TEKNOLOGI, SOSIAL, EKONOMI KESELARASAN KEWENANGAN DAS dan OTONOMI DAERAH PENGUASAAN PERKEMBANGAN TEKNOLOGI EKONOMI MASYARAKAT PELAKU DAS MASIH LEMAH PENDUDUK BERTAMBAH, LAPANGAN KERJA TERBATAS Gambar 1. Pohon Masalah Dalam Pengelolaan DAS Setiap DAS memiliki sifat atau karaktersitik berbeda-beda dalam memberikan tanggapan atau respon masukan air hujan menjadi banjir beserta sedimen yang terangkut di dalamnya, baik sifat alami maupun sifat yang terbangun sebagai hasil intervensi manusia. Manusia, dalam sistem komunitasnya sebagai pengelola sumberdaya alam DAS, juga memiliki karakteristik yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap karakteristik bio-fisik DAS; sebaliknya karakteristik komunitas manusia juga dipengaruhi oleh karakteristik alam sekelilingnya. Dengan demikian karakteristik DAS terbangun sebagai hasil menyeluruh dari interaksi atau hubungan timbal balik antar unsur-unsur sumberdaya alam sendiri dan antara unsur alam dengan manusia. Oleh karena itu setiap karakteristik DAS yang dimiliki merupakan tumpuan dasar pendekatan pengelolaan DAS dalam seluruh aspeknya, baik perencanaan, pengorganisasian/kelembagaan, implementasi maupun monitoring dan evaluasi. Proses monitoring dan evaluasi sering terkendala oleh kurang sinambung dan kurang konsistennya rangkaian proses pengelolaan dalam satuan DAS atau Sub DAS karena 112

128 : (1) terbatasnya dana, (2) lemahnya kelembagaan dan koordinasi, dan (3) berubahnya kebijakan. Kendala tersebut semakin terasa setelah berlakunya otonomi daerah dimana koordinasi antar lembaga baik horisontal maupun vertikal masih memerlukan proses kesepahaman dan penataan hubungan kerja yang harmonis. Wilayah DAS yang merupakan wilayah alami dan biasanya lintas kabupaten/kota bahkan wilayah propinsi memerlukan kesadaran dan kesepahaman antar daerah otonom. Kelemahan ini berimplikasi pada kebijakan yang diambil dan sistem pendanaan. Menyadari beragamnya karakteristk DAS, baik bio-fisik maupun sosial ekonomi dan budaya, Brooks, et al.. (1990) menyebutkan tiga tipe monitoring, yakni : (1) monitoring sebab akibat, (2) monitoring sifat dasar sebagai basis perencanaan, dan (3) monitoring berdasar kebutuhan (terhadap standar). Pada hakekatnya ketiga tipe monitoring tersebut bisa diintegrasikan dalam sistem monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS. Hal lain yang perlu difikirkan adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan merupakan monev kinerja/kesehatan DAS atau pengelolaan DAS. Keduanya sepertinya mirip tetapi sebenarnya berbeda. Hal ini dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 52/Kpts-II/2001 ditunjukkan susunan Kriteria dan Indikator berbeda antara Kinerja DAS dan Pengelolaan DAS. Implementasi pengelolaan DAS merupakan integrasi dari implementasi satuan wilayah terkecil DAS atau disebut dengan DAS mikro. Namun dalam operasionalnya kegiatan pada skala DAS mikro atau hamparan sering belum merupakan derivat DAS tetapi masih merupakan serpihan kegiatan yang belum tersusun secara integral dalam satuan sistem DAS serta belum dalam sistem tahapan pengelolaan secara menyeluruh. Hubungan proses perencanaan (jangka menengah) dan proses perancangan (tahunan) dalam implementasi kurang adanya ikatan yang padu dalam sistem pengelolaan menyeluruh. III. HIPOTESIS Degradasi DAS di Indonesia, yang dicerminan oleh terjadinya bencana banjir dan kekeringan, serta laju pendangkalan waduk, danau, dan sungai, menunjukkan masih lemahnya sistem pengelolaan DAS yang diterapkan. Kelemahan sistem pengelolaan DAS dapat dicermati dari kelemahan fungsi pengelolaan DAS seperti dinyatakan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.: P.42/Menhut-II/2009 yang secara ringkas sebagai berikut: 1. Sistem perencanaan pengelolaan DAS saat ini masih bersifat parsial (belum terintegrasi), belum memiliki tujuan bersama (bersifat sektoral), proses penyusunannya kurang partisipatif, tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat, serta kurang efektif dan kurang efisien (kurang diacu oleh berbagai pihak). 2. Kelembagaan terkait pengelolaan DAS masih bersifat sektoral, masing-masing bekerja sendiri-sendiri berdasarkan kepentingannya; belum ada pembagian tugas, fungsi dan mekanisme kerja yang jelas dalam pengelolaan DAS. Forum DAS telah terbentuk tapi belum bisa bekerja secara efektif. 3. Pelaksanaan kegiatan di lapangan cenderung egosektoral, belum terpadu. Kebijakan pemerintah daerah cenderung mengeksploitasi sumber daya alam DAS untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD); sebaliknya konservasi dan rehabilitasi DAS mengandalkan Pemerintah (Pusat) terutama sektor kehutanan. Pemanfaatan jasa lingkungan DAS belum dihargai. 4. Fungsi monitoring dan evaluasi hanya diperankan oleh institusi tertentu, belum ada koordinasi dan tukar menukar informasi. Pengawasan dan penertiban belum 113

129 banyak melibatkan masyarakat dimana penertiban terhadap pelanggaran peraturan kurang dilaksanakan secara konsisten. Kondisi DAS tidak menjadi indikator kinerja institusi yang terkait dengan pengelolaan DAS. Disamping fungsi pengelolaan, sistem informasi sebagai pendukung sistem pengelolaan belum banyak dikembangkan, baik teknologi maupun sumberdaya manusianya. Dalam mengembangkan sistem pengelolaan diperlukan juga formula pendekatan yang lebih sesuai dengan karakter sosial ekonomi dan budaya seperti pola partisipasi dan insentif disinsentif. IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN Tujuan penyelenggaraan penelitian adalah untuk memperoleh sistem pengelolaan DAS yang meliputi aspek perencanaan, monitoring dan evaluasi (monev), kelembagaan, dan implementasi, selaras dengan sistem pemerintahan otonomi daerah dan sesuai dengan hierarki sistem pengelolaan daerah tangkapan air yang berada dalam satuan wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), yang mencakup wilayah lintas kabupaten, dan yang meliputi wilayah lintas provinsi. Sasaran yang harus dibidik dalam penelitian ini adalah: 1. Dinamika sistem perencanaan pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), wilayah lintas kabupaten, dan wilayah lintas provinsi. 2. Formula sistem monev pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), wilayah lintas kabupaten, dan wilayah lintas provinsi. 3. Sistem kelembagaan pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), wilayah lintas kabupaten, dan wilayah lintas provinsi. 4. Sistem implementasi pengelolaan DAS pada skala operasional (mikro) V. LUARAN Luaran yang diharapkan dalam sistem pengelolaan DAS adalah mencakup aspek Perencanaan, Monitoring dan evaluasi, Implentasi, dan Kelembagaan yang selaras dengan sistem pemerintahan otonomi dan sistem wilayah daerah tangkapan air yang berada dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), lintas wilayah kabupaten, lintas wilayah provinsi. Luaran yang harus dicapai dalam riset ini adalah: 1. Teknik penyusunan perencanaan pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), wilayah lintas kabupaten, dan wilayah lintas provinsi. 2. Teknik penyusunan sistem monev pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), wilayah lintas kabupaten, dan wilayah lintas provinsi. 3. Formula sistem kelembagaan pengelolaan daerah tangkapan air (DAS) dalam satu wilayah kabupaten dominan (bagian hulu), wilayah lintas kabupaten, dan wilayah lintas provinsi. 114

130 4. Pedoman penyusunan sistem implementasi pengelolaan DAS pada skala mikro. VI. RUANG LINGKUP Secara hierarki perencanaan, Perencanaan Penelitian Integratif Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam Kabupaten (Hulu), Lintas Kabpaten, dan Lintas Provinsi merupakan Sub Tema dari Tema Pengelolaan DAS yang merupakan bagian dari Program Penelitian dan Pengembangan pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Cakupan penelitian meliputi aspek fungsi pengelolaan dan aspek kewilayahan yang berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan. Fungsi pengelolaan terdiri dari fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian (kelembagaan), implementasi, serta monitoring dan evaluasi (monev) atau pengendalian. Sedangkan aspek kewilayahan pengelolaan DAS merupakan sinkronisasi wilayah daerah tangkapan air (catchment area) dengan wilayah administrasi pemerintahan yang dapat dipilah antara; (1) daerah tangkapan air dalam satu kabupaten dominan (hulu) yang bisa terdiri dari satuan DAS utuh, Sub DAS atau Sub-sub DAS tergantung dari luas DAS, (2) daerah tangkapan air dalam satu provinsi dominan atau lintas kabupaten, dan (3) daerah tangkapan air lintas provinsi. Lingkup wilayah kerja penelitian hanya dibatasi pada zona ekologi Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara sebagai daerah penelitian terpilih sesuai dengan keberadaan Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang Kehutanan terpilih. VII. KOMPONEN PENELITIAN Penelitian integratif Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam Kabupaten (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi telah didahului dengan penelitian Sistem Karakterisasi DAS yang dilakukan selama kurun waktu tujuh tahun ( ). Hasil yang diperoleh merupakan landasan dasar dalam melakukan penelitian pengelolaan DAS selanjutnya. Secara skematis arah penelitian seperti pada Gambar 2. Penelitian Sistem Karakterisasi DAS telah menghasilkan formula sistem karakterisasi DAS yang disusun pada tingkat DAS dan tingkat Sub DAS. Formula yang dihasilkan menuntun pada teknik diagnosis dan justifikasi atau penilaian tingkat kerentanan dan potensi suatau daerah tangkapan air. Parameter penyusun formula karakterisasi tingkat DAS (Tipologi DAS) lebih sederhana dibandingkan dengan formula tingkat Sub DAS (Sidik Cepat Degradasi Sub DAS, Paimin, et al.., 2006). Formula banjir dan tanah longsor dalam Sidik Cepat Degradasi Sub DAS diurai lebih rinci, yang dituangkan dalam buku Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor (Paimin, et al.., 2009), agar mudah difahami dan diaplikasikan oleh pengguna. Hasil karakterisasi tingkat Sub DAS digunakan sebagai dasar penyusunan pengelolaan DAS pada skala mikro yang merupakan bentuk sistem implementasi pengelolaan DAS. Sehingga hasil penelitian Sistem Karakterisasi DAS menuntun runtutan (sekuen) teknik karakterisasi dari tingkat DAS, Sub DAS, hingga mikro DAS. 115

131 DUKUNGAN PENELITIAN THDP SISTEM KARAKTERISASI DAS DUKUNGAN PENELITIAN THDP SISTEM PENGELOLAAN DAS Sistem Anal Ekon Perenc Pengel DAS Pengemb SisKarDAS Untuk Perencanaan MODELING HIDRLOGI DAS Pengeolaan Lahan Thdp Hidrologi PERENC PENGELOLAAN DAS & SUB DAS SISTEM KARAKTERISA SI DAS ZONA EKOLOGI Jawa, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara SISTEM KARAKTERIS ASI DAS (ALAMI & MANAJEMEN) KERENTANAN & POTENSI DAS, SUB DAS, MIKRO DAS SISTEM PENGEL OLAAN DAS, SUB DAS, MIKRO DAS IMPLEMENTA SI DAS MIKRO Kaj. Impl Peng DAS Mikro Kelembagaan Aplikasi Penginderaan Jauh & GIS Optimalisasi (%) Hutan Thp Tata Air MONEV PENGELOLAAN DAS & SUB DAS Analisa Tipologi Sosial Thp Kinerja DAS PENELITIAN Gambar 2. Hasil Penelitian Sistem Karakterisasi DAS Sebagai Basis Penelitian Sistem Sistem karakterisasi Pengelolaan DAS, yang DAS. menghasilkan tingkat kerentanan dan potensi, merupakan dasar dalam menuntun dan menyusun penelitian ke arah pengelolaan DAS yang mencakup aspek perencanaan, monev, dan implementasi. Alur kerja sistem karakterisasi DAS sebagai basis dalam pengelolaan DAS secara ringkas dapat diilustrasikan seperti Gambar

132 K A R A K T E R I S A S I D A S M O N E V K I N E R J A D A S Karakterisasi DAS Potensi & Kerentanan DAS Permasalahan DAS P E R E N C A N A A N Tujuan & Sasaran Pengelolaan DAS Alternatif Teknis Pengelolaan DAS Sosial, Ekonomi, Budaya, Kelembagaan Evaluasi Rencana Pengelolaan Tata Ruang Rencana Pengelolaan KELEMBAGAAN/ PENGORGANISASIAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAAN MONITORING & EVALUASI PENGELOLAAN Gambar 3. Alur Kerja Sistem Karakterisasi DAS Sebagai Basis Pengelolaan Dengan demikian komponen penelitian pada Rencana Penelitian Integratif Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam Kabupaten (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi meliputi komponen: 1. Sistem perencanaan pengelolaan DAS tingkat daerah tangkapan air dalam kabupaten dominan (tingkat hulu), lintas kabupaten, dan lintas provinsi. 2. Sistem monev pengelolaan DAS tingkat daerah tangkapan air dalam kabupaten dominan (tingkat hulu), lintas kabupaten, dan lintas provinsi. 117

133 3. Sistem kelembagaan pengelolaan DAS tingkat daerah tangkapan air dalam kabupaten dominan (tingkat hulu), lintas kabupaten, dan lintas provinsi. 4. Sistem implementasi pada DAS skala mikro Pada fase Sistem Karakterisasi DAS telah diaplikasikan untuk pengembangan perencanaan, baik tingkat Sub DAS maupun tingkat DAS, tetapi masih perlu penyempurnaan. Konsep Sistem Perencanaan Pengelolaan Tingkat Sub DAS telah disusun dan telah didiskusikan dalam bentuk lokarya pada tahun 2008, namun perlu disempurnakan. Sistem monev kinerja DAS diasumsikan sama seperti sistem karakterisasi DAS (Gambar 3), tetapi belum tersusun dalam sistem evaluasi hubungan komponen masukan, prosesor, dan luaran. Demikian juga sistem monev pengelolaan DAS belum dilakukan penelitian. Penelitian optimalisasi luas hutan dalam suatu DAS atau daerah tangkapan air perlu dilkukan pada berbagai kondisi alami untuk memperoleh basis kebijakan penetapan luas hutan yang berkelanjutan dalam perencanaan maupun monev. Sistem kelembagaan pengelolaan DAS masih diperlukan penelitian lanjutan sebagai pendukung dan kompatibel dengan fungsi pengelolaan lainnya. Dalam Undang- Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diamanatkan adanya Kesatuan Pengelolaan (KP) DAS, namun formulasi kelembagaan tersebut belum terjabarkan dalam Peraturan Pemerintah seperti KP Hutan. Untuk mendukung sistem pengelolaan tersebut masih diperlukan penelitian pendukung antara lain sistem informasi geografis, penginderaan jauh dan hidrologi. Secara ringkas komponen penelitian RPI Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dalam Kabupaten (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi seperti Tabel 1. Nomor kode menunjukkan: digit pertama (no 14) nomor kode RPI Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam Kabupaten (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi, digit ke dua kode Luaran Kegiatan dari RPI, digit ke tiga kode Kegiatan, dan digit ke empat kode Unit Kerja Pelaksana Tabel 1. Komponen Penelitian RPI Sistem Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Dalam Kabupaten (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi Untuk Tahun No Kode Kegiatan Penelitian I 14.1 Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Tingkat Kabupaten Dominan (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Hulu Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Hulu Optimalisasi Luas Hutan Thp Tata Air pada Berbagai Kondisi Alam Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Lintas Provinsi Teknik Penginderaan Jauh dan Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis 118

134 No Kode Kegiatan Penelitian Dalam Pengelolaan DAS II 14.2 Sistem Monev Pengelolaan DAS Tingkat Kabupaten Dominan (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi Sistem Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Hulu Sistem Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Lintas Provinsi III 14.3 Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Tingkat Kabupaten Dominan (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Hulu Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Hulu Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Provinsi Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Provinsi IV 14.4 Sistem Implementasi Pada DAS Skala Mikro Sistem Implementasi Pengelolaan DAS Pada DAS Skala Mikro Sistem Implementasi Pengelolaan DAS Pada DAS Skala Mikro Sistem Implementasi Pengelolaan DAS Pada DAS Skala Mikro Sistem Implementasi Pengelolaan DAS Pada DAS Skala Mikro VIII. METODOLOGI Penelitian sistem pengelolaan DAS merupakan lanjutan dari penelitian sistem karakterisasi DAS yang telah berakhir pada tahun Formula karakterisasi DAS yang diperoleh merupakan dasar acuan dalam penelitian lanjutan untuk membangun formula sistem pengelolaan, terutama untuk pengembangan sistem perencanaan, monev kinerja DAS, dan sistem implementasi DAS mikro. Dalam penelitian sistem perencanaan pengelolaan DAS, permasalahan dalam DAS digali dari diagnosis karakteristik DAS yang mencerminkan sifat rentannya. Proses penelitian sistem perencanaan selanjutnya mengikuti alur pikir pada Gambar 3, baik pada skala DAS (lintas kabupaten dan lintas provinsi) maupun skala Sub DAS (dalam kabupaten dominan). Dalam penelitian perencanaan digabung dengan penelitian kelembagaan sehingga bisa dicermati lebih rinci kompatibilitas, keberdayaan, peran dan partisipasi, serta keterkaitan kelembagaan yang ada dengan sistem pengelolaan DAS. Penelitian Sistem monev dipilah antara monev kinerja dan monev pengelolaan. Pemilahan tiga tipe monitoring oleh Brooks, et al.. (1990) dapat dimanfaatkan, yakni 119

135 tipe monitoring: (1) monitoring sebab akibat, (2) monitoring sifat dasar sebagai basis perencanaan, dan (3) monitoring berdasar kebutuhan (terhadap standar). Penelitian sistem implementasi pada DAS skala mikro merupakan penelitian komprehesif dan intergratif sebagai bentuk prototype pengelolaan DAS. Kegiatan yang dilakukan mencakup seluruh fungsi pengelolaan yakni perencanaan dalam skala perancangan (designing), pengorganisaian tingkat desa dan hubungan secara vertikal ke tingkat kabupaten, tata operasional pelaksanaan, dan monev penyelenggaraan pengelolaan. Pola pendekatan partisipatif dan pemberdayaan mayarakat, sistem insentif-disintensif, dan strategi pendekatan teknis sebagai solusi masalah secara arif, perlu digali dalam penelitian untuk setiap fungsi pengelolaan. Areal penelitian dengan menggunakan pendekatan daerah tangkapan air (catchment area). Pengambilan wilayah penelitian dengan mengambil DAS dalam kabupaten dominan, lintas kabupaten dan atau lintas provinsi. Dengan demikian penelitian dilakukan secara berjenjang dalam satuan daerah tangkapan air yakni pada tingkat DAS (lintas kabupaten atau lintas provinsi), tingkat Sub DAS (dalam kabupaten), dan tingkat desa (DAS mikro). Penggunaan areal penelitian demikian akan menuntun pemahaman sinergitas pengelolaan DAS secara menyeluruh dan integratif, selaras dengan tatanan pemerintahan dan akan diperoleh unsur-unsur tali pengikat antar pemerintahan daerah. Penelitian dilakukan secara kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari aspek yang akan diteliti, melaui metode survey lapangan (data primer) dan himpunan data dari instansi terkait (data sekunder). I. RENCANA DAN TATA WAKTU Penyelenggaraan penelitian direncanakan untuk kurun waktu selama 5 (lima) tahun mulai tahun 2010 sampai dengan tahun Kegiatan penelitian/kajian yang tersusun merupakan penjabaran dari luaran yang harus dicapai setiap tahunnya. Tata waktu untuk masing-masing kegiatan penelitian dan besarnya biaya yang diperlukan secara rinci disajikan pada Lampiran 3. Tata waktu pencapain hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan masing-masing kegiatan penelitian seperti Tabel 2. Tabel ini dapat dimanfaatkan sebagai alat evaluasi seperti pada Lampiran 2. aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa 120

136 Tabel 2. Rencana pencapaian hasil dalam penyelenggaraan penelitian Tahun KEGIATAN 1. Kajian sistem perencanaan pengelolaan DAS hulu (dalam kabupaten), lintas kabupaten, dan lintas propinsi 2. Kajian sistem monev pengelolaan DAS hulu (dalam kabupaten), lintas kabupaten, dan lintas propinsi 3. Kajian kelembagaan pengelolaan DAS di setiap hierarki pengelolaan DAS (Tk DAS - lintas Kab. & lintas Prov. - dan Tk Sub DAS dalam Kab.) 4. Kajian teknik perancangan, implementasi, kelembagaan, dan CAPAIAN DIHARAPKAN Draf Awal Teknik -Finalisasi Teknik Susun Perenc. Susun Perenc. Lolaan DAS Hulu Lolaan DAS lintas (wil Kab) Kab., dan - Himpun data untuk - Draf awal lintas Prov lintas Kab Himpunan data dasar sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab) Himpunan data dasar sistem Monev Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab) Data dasar Kelembagaan Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab) Data dasar teknik perancangan, implementasi, kelembagaan, dan - Himpunan data dasar sistem Monev Lolaan DAS Hulu (wil Kab) - Himpun data untuk lintas Kab - Draf Awal Formulasi Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab) dan - Data dasar untuk lintas Kab Data dasar dan draf awal kerangka pikir teknik perancangan & - Finalisasi Teknik Susun Perenc. Lolaan DAS Hulu (wil Kab) - Draf awal untuk lintas Kab - Himpun data untuk lintas Prov - Draf Awal Teknik Susun Monev Lolaan DAS Hulu (wil Kab) - Himpun data untuk lintas Kab - Himpun data untuk lintas Prov - Finalisasi Formulasi Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab), - Draf Awal untuk lintas Kab, dan data dasar lintas Prov. - Finalisasi teknik perancangan dan kelembagaan Lolaan DAS mikro - Finalisasi Teknik Susun Monev Lolaan DAS Hulu (wil Kab) - Draf awal untuk lintas Kab - Himpun data untuk lintas Prov - Finalisasi Formulasi Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS lintas Kab dan - Draf Awal untuk lintas Prov. Pengujian draf teknik perancangan, implementasi, kelembagaan, dan -Finalisasi Teknik Susun Perenc. Lolaan DAS Lintas Prov -Sosialisasi Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS -Finalisasi Teknik Susun Monev. Lolaan DAS lintas Kab., dan - Finalisasi Teknik Susun Perenc. Lolaan DAS lintas Prov. - Finalisasi Formulasi Sistem Kelemb Pengelolaan DAS lintas Prov dan - Sosialisasi sistem kelemb. pengelolaan DAS Finalisasi Pedoman Teknik Penyusunan Sistem 121

137 monev pengelolaan DAS mikro secara partisipatif dan terpadu monev pengelolaan DAS mikro kelembagaan pengelolaan DAS mikro - Draf awal teknik implementasi & monev pengelolaan DAS mikro monev pengelolaan DAS mikro Implementasi DAS mikro 122

138 . RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT Lokasi penelitian dipilih DAS yang termasuk dalam kategori prioritas berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan DAS Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun Namun tidak seluruh DAS prioritas di Indonesia tetapi disesuaikan dengan kedudukan dan wilayah kerja Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang ditunjuk untuk melakukan penelitian integratif tentang Sistem Pengelolaan DAS. UPT Badan Litbang yang ditunjuk untuk menyelenggarakan penelitian pengelolaan DAS meliputi Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Solo, BPK Aek Nauli, BPK Manukwari, dan BPK Makasar Wilayah DAS yang dipilih adalah satuan DAS atau bagian DAS yang berada dalam satu wilayah kabupaten dominan, DAS yang mencakup wilayah lintas kabupaten, dan wilayah DAS lintas provinsi. Sebagai bahan pertimbangan, DAS yang termasuk prioritas dekat dengan kedudukan UPT Badan Litbang Kehutanan adalah: 1. BPK Aek Nauli meliputi DAS Wampu, Besitang, Lepan, Deli, Padang, Sei Ular, Asahan Toba, Batang Gadis, Mujoi (Nias). 2. BPTKP DAS Solo mencakup Garang, Serang, Bodri, Cacaban, Juwana, Tuntang, Pemali, Pemali, Comal, Babakan, Gangsa, Kupang, Solo, Serayu, Luk Ulo, Bogowonto, Progo, Bribin, Serang, Wawar Medono, Brantas, Sampean, Deluang, Bedadung. 3. BPK Makassar meliputi DAS Jeneberang, Bila Walanae (Cenranae), Saddang, Rongkong, Latuppa, Lasolo, Konaweha, Laea Wanggu, Budong Budong, Mapili Sulbar, Mandar, Poso. 4. BPK Manado meliputi DAS Tondano, Sangihe, Dumoga, Limboto, Paguyaman. 5. BPK Manokwari meliputi DAS Remu, Auri, Prafi dan Membramo. I. RENCANA BIAYA Biaya yang diperlukan untuk menyelenggarakan Recana Penelitian Integratif Sistem Pengelolaan DAS Hulu (dalam wilayah kabupaten), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi dalam kurun waktu lima tahun (Tahun ) sebesar Rp ,- (sembilan milyar seratus juta rupiah). Besarnya biaya masingmasing kegiatan penelitian pada setiap tahun seperti pada Tabel 3. Tabel 3. Biaya Setiap Kegiatan Penelitian Per Tahun Selama Tahun No Kegiatan Utama Biaya penelitian per tahun (x Rp ) Jumlah 1. Kajian sistem perencanaan pengelolaan DAS 2. Kajian sistem monev pengelolaan DAS 3. Kajian kelembagaan pengelolaan DAS

139 4. Kajian teknik perancangan, implementasi, kelembagaan, dan monev pengelolaan DAS mikro Jumlah Biaya tersebut tersebar pada lima satuan kerja, di UPT Badan Litbang Kehutanan. Besarnya biaya untuk setiap kegiatan penelitian (24 kegiatan) pada setiap satuan kerja (dalam nomor kode) per tahun disajikan pada Lampiran 3. II. ORGANISASI Secara organisatoris RPI Sistem Pengelolaan DAS Hulu, Lintas Kabupaten, Lintas Provinsi, yang merupakan bagian dari Program Pengelolaan DAS, berada di bawah tanggungawab Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi (P3KR), Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Namun koordinator RPI berkedudukan pada Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Solo, di Solo. Secara struktural koordinator RPI bertanggungjawab kepada Kepala P3KR melalui Kepala Balai Penelitian Kehutanan Solo, sedangkan secara fungsional bertanggungjawab kepada Dewan Riset melalui Ketua Komisi/Program/Tema Pengelolaan DAS. Dalam mengendalikan arah penelitian dan dalam menyusun sintesis atau formulasi, seorang koordinator RPI dibantu oleh tim pakar terkait tanpa memandang kedudukan institusi atau organisasi dimana mereka berada karena sifat kepakarannya. Tim peneliti pendukung RPI Sistem Pengelolaan DAS terdiri dari: 1. Ir. Paimin, MSc - sebagai Ketua Tim merangkap anggota, berkedudukan di BPTKP DAS Solo 2. Ir. Sukresno, MSc ahli hidrologi dan konservasi tanah pada BPK BPTKP DAS Solo sebgai wakil. Berkenaan yang bersangkutan meninggal dunia pada Oktober 2010 maka kedudukannya diganti oleh Drs. Irfan Budi Pramono, MSc (belum ada Surat Keputusannya) 3. Ir. Purwanto, MSi ahli ekonomi DAS pada BPTKP DAS Solo sebagai wakil Disamping itu hasil akhir merupakan tanggungjawab bersama seluruh peneliti terkait dimana proses pertanggungjawaban bersama dilakukan melalui pertemuan koordinasi seluruh penelti terkait secara periodik maupun sesuai kebutuhan. II. DAFTAR PUSTAKA Bricquet, J.P., and J. Claude Latest Development in the Design of Hydrological Studies of Watershed. In. F.W.T. Penning de Vries, F. Agus, and J. Kerr. Soil Erosion at Multiple Scales. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. IBSRAM & CABI. UK Brooks, K.N., H.M. Gregersen, A.L. Lundgren, R.M. Quinn Manual on Watershed Management Project Planning, Monitoring and Evaluation. ASEAN-US Watershed Project. College, Laguna Philippines. 124

140 Departemen Kehutanan Eksekutif. Data Strategis Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta. Departemen Kehutanan Lahan Kritis Per BPDAS Tahun Situs Resmi Departemen Kehutanan. Dixon, J.A., K.W. Easter Integrated Watershed Management : An Approach to Resource Management. In. K.W. Easter, J.A. Dixon, and M.M. Hufschmidt. Watershed Resources Management. An Integrated Framework with Studies from Asia and the Pasific. Studies in Water Policy and Management, No. 10. Westview Press and London. Honolulu. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. SK.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Pencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun Paimin, Sukresno, dan Purwanto Sidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Paimin, Sukresno, dan I.B. Pramono Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Puslit Sosek Kebijakan. Bogor. Peraturan Pemerintah (PP) N0. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota. Permenhut (Peraturan Menteri Kehutanan) N0. P.42 /Menhut-V/2009 tentang Pola Umum, Kriteria dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Terry, G.R Principles of Management. 8 th. Alih Bahasa. Winardi. Asas-Asas Menejemen. Cetakan IV. Alumni. Bandung. 125

141 III. KERANGKA KERJA LOGIS No. Tujuan: TUJUAN/ SASARAN Untuk memperoleh sistem pengelolaan DAS yang meliputi aspek perencanaan, monev, kelembagaan, dan implementasi, selaras dengan system pemerintahan otonomi Sasaran : 1. Sistem perencanaan dan monev pengelolaan DAS (hulu atau dalam kabupaten, lintas kabupaten, dan lintas propinsi) 2. Formula Kelembagaan Pengelolaan DAS 3. Teknik Penyusunan KONDISI SAAT INI 1. Telah diperoleh: 1.1. Sistem Karakterisasi Tk Sub DAS ( Sidik cepat degradasi Sub DAS dan Teknik Mitigasi Banjir dan longsor ) dan Sistem Karakterisasi Tk DAS 1.2. Sistem Perencanaan Pengelolaan Tk Sub DAS 2. Hasil penelitian kelembagan pengelolaan DAS masih perlu disempurnakan 3. Sistem perancangan, implementasi, kelembagaan, dan menev pengelolaan DAS mikro masih perlu AKTIVITAS Kajian sistem perencanaan dan monev pengelolaan DAS hulu (dalam kabupaten), lintas kabupaten, dan lintas propinsi Kajian kelembagaan pengelolaan DAS di setiap hierarki pengelolaan DAS (Tk DAS - lintas Kab. & lintas Prov. - dan Tk Sub DAS dalam Kab.) Kajian teknik perancangan, implementasi, kelembagaan, dan monev pengelolaan DAS mikro secara OUTPUT Teknik Penyusunan, Perencanaan dan Monev Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab), lintas Kab., Lintas Prov Formula Kelembagaan Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab), lintas Kab., Lintas Prov Pedoman Teknik Penyusunan Sistem Implementasi DAS mikro INDIKATOR OUTCOME Pedoman tersusun diacu pengguna dlm Perencanaan wilayah dan monev kinerja berbasis pengelolaan DAS terpadu Referensi pengguna dalam menyusun kelembagaan pengelolaan DAS Referensi pengguna dalam menyelenggarak an pengelolaan DAS tingkat mikro atau desa ALAT VERIFIKASI - Buku pedoman/ juknis yang sudah disyahkan Kapus - Publikasi ilmiah Formula Kelembagaan Pengelolaan DAS yang tersusun dalam buku Pedoman atau Laporan Akhir - Buku pedoman/ juknis yang sudah disyahkan Kapus - Publikasi ilmah PELAKSANA BPK Solo BPK Makasar BPK Aek Nauli PusLitSosEkJak Hut BPTKP DAS Solo BPK Manado BPK Aek Nauli BPK Manokwari BPTKP DAS Solo BPK Makasar BPK Manado BPK Aek Nauli 126

142 No. TUJUAN/ SASARAN KONDISI SAAT INI AKTIVITAS OUTPUT INDIKATOR OUTCOME ALAT VERIFIKASI PELAKSANA Sistem Implementasi DAS mikro penyempurnaan partisipatif dan terpadu 127

143 Lampiran 2. Matrik Evaluasi Recana Penelitian Integratif Sistem Pengelolaan DAS Hulu (dalam Wilayah Kabupaten), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi. Tahun JUDUL/ KEGIATAN 1. Kajian sistem perencanaan pengelolaan DAS hulu (dalam kabupaten), lintas kabupaten, dan lintas propinsi 2. Kajian sistem monev pengelolaan DAS hulu (dalam kabupaten), lintas kabupaten, dan lintas propinsi 3. Kajian kelembagaan OUTPUT Teknik Penyusunan, Perencanaan Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab), lintas Kab., Lintas Prov Teknik Penyusunan Monev Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab), lintas Kab., Lintas Prov Formula Kelembagaan INSTITUSI PELAKSANA BPTKP DAS Solo BPK Makasar BPK Aek Nauli BPTKP DAS Solo BPTKP DAS Solo Himpunan data dasar sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab) CAPAIAN Draf Awal - Finalisasi -Finalisasi Teknik Susun Teknik Susun Teknik Perenc. Lolaan Perenc. Susun DAS Hulu (wil Lolaan DAS Perenc. Kab) Hulu (wil Lolaan DAS - Himpun data Kab) lintas Kab., untuk lintas - Draf awal untuk dan Kab lintas Kab - Draf awal - Himpun data lintas Prov untuk lintas Himpunan data dasar sistem Monev Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab) Data dasar Kelembagaan - Himpunan data dasar sistem Monev Lolaan DAS Hulu (wil Kab) - Himpun data untuk lintas Kab - Draf Awal Formulasi Prov - Draf Awal Teknik Susun Monev Lolaan DAS Hulu (wil Kab) - Himpun data untuk lintas Kab - Himpun data untuk lintas Prov - Finalisasi Formulasi - Finalisasi Teknik Susun Monev Lolaan DAS Hulu (wil Kab) - Draf awal untuk lintas Kab - Himpun data untuk lintas Prov - Finalisasi Formulasi -Finalisasi Teknik Susun Perenc. Lolaan DAS Lintas Prov -Sosialisasi Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS -Finalisasi Teknik Susun Monev. Lolaan DAS lintas Kab., dan - Finalisasi Teknik Susun Perenc. Lolaan DAS lintas Prov. - Finalisasi Formulasi Sistem 128

144 JUDUL/ KEGIATAN pengelolaan DAS di setiap hierarki pengelolaan DAS (Tk DAS - lintas Kab. & lintas Prov. - dan Tk Sub DAS dalam Kab.) 4. Kajian teknik perancangan, implementasi, kelembagaan, dan monev pengelolaan DAS mikro secara partisipatif dan terpadu OUTPUT Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab), lintas Kab., Lintas Prov Pedoman Teknik Penyusunan Sistem Implementasi DAS mikro INSTITUSI PELAKSANA BPK Manado BPK Aek Nauli BPK Manokwari BPTKP DAS Solo BPK Makasar BPK Manado BPK Aek Nauli Pengelolaan DAS Hulu (wil Kab) CAPAIAN Sistem Sistem Sistem Kelembagaan Kelembagaan Kelembagaan Pengelolaan Pengelolaan Pengelolaan DAS Hulu (wil DAS Hulu (wil DAS lintas Kab) dan Kab), Kab dan - Data dasar - Draf Awal untuk - Draf Awal untuk untuk lintas lintas Kab, dan lintas Prov. Kab data dasar lintas Data dasar teknik perancangan, implementasi, kelembagaan, dan monev pengelolaan DAS mikro Data dasar dan draf awal kerangka pikir teknik perancangan & kelembagaan pengelolaan DAS mikro Prov. - Finalisasi teknik perancangan dan kelembagaan Lolaan DAS mikro - Draf awal teknik implementasi & monev pengelolaan DAS mikro Pengujian draf teknik perancangan, implementasi, kelembagaan, dan monev pengelolaan DAS mikro Kelemb Pengelolaan DAS lintas Prov dan - Sosialisasi sistem kelemb. pengelolaan DAS Finalisasi Pedoman Teknik Penyusunan Sistem Implementasi DAS mikro 129

145 Lampiran 3. Rencana Biaya Kegiatan Penelitian Rencana PenelitiN Integratif Sistem Pengelolaan DAS Hulu (dalam Wilayah Kabupaten), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi Tahun No Kode Kegiatan Biaya ( RP ) Jumlah I 14.1 Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Tingkat Kabupaten (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Hulu Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Hulu Optimalisasi Luas Hutan Terhadap Tata Air pada Berbagai Kondisi Alam Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Perencanaan Pengelolaan DAS Lintas Provinsi Teknik Penginderaan Jauh dan Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis Dalam Pengelolaan DAS Jumlah I II 14.2 Sistem Monev Pengelolaan DAS Tingkat Kabupaten Dominan (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi Sistem Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Hulu Sistem Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Monitoring dan Evaluasi Pengelolaan DAS Lintas Provinsi Jumlah II

146 No Kode Kegiatan Biaya ( RP ) Jumlah III 14.3 Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Tingkat Kabupaten (Hulu), Lintas Kabupaten, dan Lintas Provinsi Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Hulu Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Kabupaten Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Lintas Provinsi Jumlah III IV 14.4 Sistem Implementasi Pada DAS Skala Mikro Sistem Implementasi Pada DAS Skala Mikro Jumlah IV Jumlah Total

147 KODEFIKASI RPI 15 RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAS Koordinator: Prof.Ris. Dr. Ir. Pratiwi, MSc BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN Jakarta, 2011

148 KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILTASI LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) (REVISI) PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR PENDUKUNG PENGELOLAAN DAS Menyetujui, Kepala Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor, Agustus 2011 Koordinator, Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP Prof. Ris. Dr. Ir. Pratiwi, M.Sc. NIP Mengesahkan : Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr.Ir.Tachrir Fathoni M.Sc NIP

149 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ABSTRAK.... I. LATAR BELAKANG II. RUMUSAN MASALAH 136 III. HIPOTESIS. 137 IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITAN. 137 V. LUARAN 138 VI. RUANG LINGKUP 138 VII. KOMPONEN PENELITIAN VIII. METODOLOGI I. RENCANA TATA WAKTU RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT I. RENCANA BIAYA II. ORGANISASI III. IV. DAFTAR PUSTAKA.. KERANGKA KERJA LOGIS

150 DAFTAR TABEL Tabel 1. Rencana Tata Waktu... Tabel 2. Rencana Anggaran penelitian Integratif Tahun Tabel 3. Organisasi Kegiatan RPI Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS... Tabel 4. Evaluasi RPI Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung DAS

151 ABSTRAK Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya. Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam sistem pengelolaan DAS. Adanya peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan serta energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan pengurangan areal hutan untuk keperluan lain. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan. Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan flora,fauna dan manusia. Pengelolaan lahan dan air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air yang disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, untuk memperbaiki lahan-lahan yang terdegradasi terutama di daerah hulu, dapat dilakukan dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumber daya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Kata kunci: pengelolaan sumber daya lahan dan air, pengelolaan DAS, rehabilitasi, konservasi tanah dan air I. LATAR BELAKANG Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya (Wardoyo, 2007). Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi dua yaitu daerah tengah dan daerah hilir (Notohadiprawiro, 1981). Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi (Wardoyo, 2007). Oleh karena, itu perubahan penggunaan lahan 134

152 di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Daerah Aliran Sungai dapat dipandang sebagai sumber daya alam yang berupa stok dengan ragam kepemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa,baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat (Kartodihardjo et al., 2004). Dengan demikian, DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem, dimana dalam suatu DAS terdapat berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan yang holistik dan terpadu terhadap suatu DAS. Komponen sumber daya alam yang terdapat dalam DAS antara lain hutan, lahan dan air serta jasa-jasa lingkungan. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam sistem pengelolaan DAS. Oleh karena itu, lahan dan air merupakan komponen pokok yang menunjang kehidupan yang berada di dalam sistem DAS tersebut. Kehidupan dalam sistem DAS yang terdiri dari flora, fauna dan manusia sangat tergantung pada jasa tanah dan air dalam sistem penunjang kehidupan. Oleh karena itu tanah,air dan kehidupan tidak pernah dapat dipisah-pisahkan. Kehidupan dapat membentuk komunitas flora dan fauna (hutan, tanah, lahan pertanian, dan sebagainya) dan masyarakat manusia (desa, kota) dengan berbagai perangkatnya yang berada di dalam sistem DAS senantiasa bergantung kehidupannya pada tanah dan air dalam sistem lahan. Oleh karena itu, pengelolaan DAS tidak pernah dapat dipisahkan dengan pengelolaan lahan dan air. Agar sistem DAS dapat berfungsi secara lestari maka pengelolaan DAS harus ditunjang sepenuhnya oleh pengelolaan lahan dan air yang senantiasa mempertimbangkan daya dukungnya. Adanya peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan pengurangan areal hutan untuk pemenuhan kebutuhan di luar sektor kehutanan. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan. Pembukaan tajuk hutan tropika basah seperti di Indonesia menyebabkan erosi tanah yang akhirnya dapat menurunkan kualitas tanah baik sifat fisik maupun kimianya. Akibat erosi ini adalah meluasnya lahan terdegradasi. Total lahan terdegradasi di Indonesia tercatat seluas 100,5 juta ha yang terdiri dari 59 juta ha (di dalam kawasan hutan) dan 41,5 juta ha (di luar kawasan hutan) (Departemen Kehutanan, 2008). Lahan terdegradasi ini tersebar di berbagai tipe dan fungsi hutan. Semakin luas lahan terdegradasi, semakin menyebabkan siklus air terganggu. Penyebab meluasnya lahan kritis, antara lain adalah: penebangan liar, penyerobotan lahan hutan, kebakaran hutan, penambangan liar dan kebakaran hutan. Akibatnya adalah hutan menjadi terdeforestasi. Laju deforestasi di Indonesia dari tahun diperkirakan sebesar 1,6-2 juta ha/th (Anonymous, 2000). Kemudian periode tahun menjadi 3,8 juta ha (Departemen Kehutanan, 2003). Sedangkan data terakhir menunjukkan bahwa dari tahun , laju deforestasi untuk tujuh pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tercatat rata-rata 1,09 juta ha/th (Departemen Kehutanan, 2008). 135

153 Salah satu upaya untuk menghadapi degradasi hutan terutama di daerah hulu adalah dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumber daya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Pentingnya posisi pengelolaan sumber daya lahan dan air sebagai unit perencanaan yang utuh memiliki tujuan untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya hutan, tanah dan air dalam sistem DAS. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu yang didukung oleh pengelolaan sumber daya lahan dan air dari hulu sampai hilir. Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan flora,fauna dan manusia. Pengelolaan lahan dan air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air yang disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan lahan dan air bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya lahan secara optimal, mendapatkan hasil maksimal dan mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dan air itu sendiri. Sebenarnya pengelolaan lahan dan air melalui kegiatan rehabilitasi telah banyak dilakukan, namun keberhasilannya masih rendah. Di sisi lain, kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi hutan/lahan hanya berkisar 1-2 juta ha per tahun, itu pun kalau semuanya dinilai berhasil untuk dapat menutupi lahan yang terbuka (Rustam, 2003 dalam Darwo, 2007). Rendahnya tingkat keberhasilan pengelolaan lahan antara lain adalah kurangnya informasi mengenai teknologi untuk merehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Disamping itu, sebagian besar masyarakat setempat yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut hanya sebagai kerja upahan dan tidak diajak berperan aktif dalam analisis masalah dan pengambilan keputusan. Agar rehabilitasi hutan dan lahan dapat berhasil dengan baik, juga diperlukan upaya yang seksama dalam menerapkan teknik konservasi tanah dan air, serta pemilihan jenis pohon yang sesuai/dapat beradaptasi dengan lingkungan yang kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah sebelum revegetasi. Jika hal ini dapat dilakukan, maka diharapkan pengelolaan sumber daya lahan dan air dapat menunjang pengelolaan DAS sehingga DAS dapat berfungsi secara lestari. II. RUMUSAN MASALAH Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumber daya lahan dan air adalah rendahnya produktivitas lahan kawasan hutan dan adanya kemiskinan karena kelebihan tenaga kerja di subsistem sosial. Atas dasar tersebut maka perlu peningkatan produktivitas kawasan hutan, baik ditinjau dari aspek hasil hutan kayu maupun non kayu, maupun untuk menjaga kelestarian dan perlindungan sumber daya alam serta lingkungan hidup. Di lain pihak kemampuan daya dukung lahan relatif rendah, sehingga jika pemanfaatan lahan melebihi kapasitas produksinya,maka yang terjadi adalah lahanlahan terdegradasi. Lahan terdegradasi ini sebagian besar akibat dari adanya kegiatan-kegiatan: penambangan yang tidak mengikuti aturan yang ada, penebangan hutan secara illegal, perambahan kawasan hutan, bencana alam, dan sebagainya. Meningkatnya lahan terdegradasi ini menyebabkan fungsi hutan baik 136

154 sebagai penghasil kayu/bukan kayu dan pengatur siklus hidroorologi menjadi menurun. Untuk itu perlu dicari upaya-upaya memperbaiki lahan yang terdegradasi. Salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi lahan-lahan terdegradasi adalah dengan merehabilitasi lahan tersebut, melalui berbagai pendekatan. Salah satu caranya adalah mengkombinasikan teknik-teknik rehabilitasi lahan dan pengelolaan tanah dan air yang sesuai dengan kondisi lahan dan merangsang partisipasi aktif (peran serta) masyarakat di sekitar kawasan hutan. Agar masyarakat yakin bahwa kegiatan tersebut memberi manfaat terhadap mereka,maka kegiatannya dapat dilakukan dengan partisipasi aktif masyarakat sejak perencanaan sampai pelaksanaan dan monitoringnya. Demonstrasi plot (demplot) perlu dibuat sebagai sarana untuk mempermudah meyakinkan masyarakat. III. HIPOTESIS Implementasi rehabilitasi lahan dan pengelolaan sumber daya lahan dan air dengan menerapkan teknologi rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air dan teknik pemilihan jenis pohon dan teknik silvikultur lainnya, serta memperhatikan pendekatan partisipasi masyarakat dapat memperbaiki fungsi DAS dan mempertahankan daya dukung lahan dan lingkungannya, sehingga DAS dapat berfungsi secara lestari. IV. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN Tujuan Rencana Penelitian Integratif ini adalah menyediakan informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumber daya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi agar sumber daya lahan dan air yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora,fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan pengelolaan pasca rehabilitasi lahan. Sasaran yang akan dicapai meliputi: A. Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan 1. Tersedianya Data dan Informasi tentang Model-model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dan Air (RLKTA) dengan Pendekatan Partisipatif; 2. Tersedianya Data dan Informasi Teknik Mitigasi Tanah Longsor; 3. Tersedianya Data dan Informasi Teknik Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Terdegradasi dalam suatu DAS khususnya di Lahan Bekas Tambang (emas, timah, batubara); 4. Tersedianya Data dan Informasi mengenai Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; 5. Tersedianya Data dan Informasi Model-model Tata Guna Lahan untuk Optimalisasi Tataair; dan 6. Tersedianya Data dan Informasi Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada Unit DAS. 137

155 B. Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut Tersedianya Data dan Informasi Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut. C. Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Pantai Tersedianya Data dan Informasi Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai. V. LUARAN Luaran yang akan dihasilkan adalah: A. Luaran 1: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan 1. Demplot Model-model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dan Air dengan Pendekatan Partisipatif; 2. Pedoman Teknik Mitigasi Longsor; 3. Pedoman Teknik Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Bekas Tambang (emas, timah, batubara); 4. Informasi Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; 5. Modelling Tata Guna Lahan untuk Optimalisasi Tata Air;dan 6. Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada Unit DAS. B. Luaran 2: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut Pedoman Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut C. Luaran 3: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Pedoman Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai VI. RUANG LINGKUP Sehubungan dengan latar belakang dan tujuan yang telah disebutkan di atas, maka ruang lingkup penelitian ini meliputi lahan terdegradasi yang berupa bagian dari DAS atau sub DAS yang dianggap kritis termasuk lahan bekas tambang dan daerah gambut serta pantai, yang menyebabkan fungsi hidroorologis lahan tersebut terganggu. Kegiatan penelitian ini meliputi: 1. Karakterisasi DAS terdegradasi termasuk karakteristik lahan terdegradasi; 2. Pemilihan jenis pohon dan teknik silvikultur; 3. Teknologi konservasi tanah dan air; 4. Karakterisasi masyarakat sekitar hutan; 5. Aspirasi masyarakat terhadap pembangunan kehutanan; 6. Pembuatan Demplot; dan 7. Penyusunan Paket Teknologi. 138

156 VII. KOMPONEN PENELITIAN Komponen penelitian meliputi: A. Luaran 1: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan Kegiatan penelitian: 1. Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dan Air; 2. Teknik Mitigasi Daerah Rawan Longsor; 3. Teknik Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Bekas Tambang (emas, timah, batubara); 4. Kajian Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; 5. Modelling Tata Guna Lahan untuk Optimalisasi Tata Air; dan 6. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada Unit DAS. B. Luaran 2: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut Kegiatan penelitian: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut C. Luaran 3: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Kegiatan penelitian: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai VIII. METODOLOGI A. Luaran 1: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan Kegiatan 1.Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model RLKTA Akan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan: 1. Kajian biofisik lingkungan (identifikasi karakteristik lahan); 2. Kajian sosial ekonomi dan kelembagaan (termasuk aspirasi masyarakat); 3. Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air dengan pendekatan partisipasi masyarakat; 4. Pemilihan jenis pohon dan teknik silvikultur; 5. Pemilihan teknologi konservasi tanah dan air; 6. Implementasi model yang sesuai dengan kondisi fisik dan sosekbud wilayah; 7. Pengamatan parameter pertumbuhan (tinggi dan diameter tanaman) dan parameter tanah (laju aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara);dan 8. Pembuatan Model-model RLKTA dengan pendekatan partisipatif. 139

157 Kegiatan 2.Teknik Mitigasi Daerah Rawan Longsor Akan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan: 1. Pemetaan daerah rawan longsor; 2. Identifikasi daerah rawan longsor; 3. Mencari metode untuk mendapatkan indikator kerawanan longsor; 4. Pengukuran gerakan tanah dan sifat-sifat tanah; 5. Pemilihan jenis pohon dan teknik silvikultur; 6. Pemilihan teknik konservasi tanah dan air; 7. Pembuatan bangunan penahan longsor; 8. Pengukuran kejenuhan tanah dan pengaruhnya terhadap kepekaan longsor;dan 9. Pembuatan Teknik Mitigasi Daerah Rawan Longsor. Kegiatan 3. Paket Teknologi Rehabilitasi Lahan Terdegradasi dalam Suatu DAS, khususnya di Lahan Bekas Tambang (emas, timah, batubara); Akan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan: 1. Pemilihan lokasi; 2. Identifikasi karakteristik lahan (kondisi biofisik) bekas tambang (emas, timah, batubara); 3. Penentuan teknik rehabilitasi lahan, revegetasi dan silvikulturnya (termasuk persiapan bibit dan pemanfaatan limbah bekas tambang); 4. Penentuan spesies tumbuhan; 5. Penanaman dengan berbagai perlakuan; 6. Pemeliharaan tanaman; 7. Pengamatan parameter pertumbuhan (diameter dan tinggi tanaman) dan parameter tanah (tingkat kesuburan tanah: fisik dan kimia); dan 8. Pembuatan Teknik Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang (emas, batubara dan timah). Kegiatan 4. Kajian Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Akan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan: 1. Kajian jenis-jenis tanaman hutan yang cocok dengan teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; 2. Kajian formula bahan/larutan untuk teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; 3. Pengaruh kelerengan terhadap efektifitas teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; 4. Aspek kelayakan ekonomi teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; dan 5. Informasi kelayakan teknik Aerialseeding dan Hydroseeding. 140

158 Kegiatan 5. Modelling tataguna lahan untuk optimalisasi tata air Akan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan: 1. Pemantauan parameter tataair (sedimentasi dan debit air) di daerah hulu dan hilir; 2. Kajian tataguna (pola pemanfaatan) lahan di wilayah hulu dan hilir; dan 3. Modelling tataguna lahan yang memberikan hasil air optimal. Kegiatan 6. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada Unit DAS Akan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan: 1. Pengumpulan data kondisi DAS kritis di Indonesia; 2. Pengumpulan peta tanah, topografi, dan iklim yang terdigitasi di DAS terpilih; 3. Pengumpulan informasi jenis pohon andalan setempat di DAS terpilih; 4. Pengumpulan informasi persyaratan tempat tumbuh jenis pohon andalan setempat di DAS terpilih; dan 5. Pembuatan Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada Unit DAS. B. Luaran 2: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut Kegiatan 1. Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut Akan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan: 1. Analisis biofisik dan tataair daerah gambut; 2. Kajian pola pemanfaatan lahan gambut; 3. Kajian tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah gambut; 4. Kajian pengaruh pemanfaatan lahan gambut terhadap tataair; dan 5. Pembuatan Teknik Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Gambut. C. Luaran 3: Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Kegiatan 1. Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Akan diperoleh melalui kegiatan-kegiatan: 1. Analisis biofisik dan tataair daerah pantai; 2. Kajian pola pemanfaatan lahan pantai; 3. Kajian tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah pantai; 4. Kajian pengaruh pemanfaatan lahan pantai terhadap tataair; dan 5. Pembuatan Teknik Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Pantai. 141

159 I. RENCANA TATA WAKTU Kegiatan penelitian akan dilakukan dari tahun 2010 sampai dengan Adapun Rencana Tata Waktu penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rencana Tata Waktu Kegiatan LUARAN 1. TEKNIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN DAN AIR WILAYAH DARAT Tahun Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model-model RLKTA a. Kajian biofisik lingkungan (identifikasi karakteristik lahan); b. Kajian sosial ekonomi dan kelembagaan (termasuk aspirasi masyarakat); c. Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air dengan pendekatan partisipatif; d. Pemilihan jenis pohon dan teknik silvikultur; e. Pemilihan teknologi konservasi tanah dan air; f. Implementasi model yang sesuai dengan kondisi fisik dan sosekbud wilayah; g. Pengamatan parameter pertumbuhan (tinggi dan diameter tanaman) dan parameter tanah (laju aliran permukaan,erosi dan kehilangan unsur hara); h. Pembuatan publikasi Model-model RLKTA dengan pendekatan partisipatif Teknik Mitigasi Daerah Rawan Longsor a. Pemetaan daerah rawan longsor; b. Identifikasi daerah rawan longsor; c. Mencari metode untuk mendapatkan indikator kerawanan longsor; d. Pengukuran gerakan tanah dan sifat-sifat tanah; e. Pemilihan jenis pohon dan teknik silvikultur; f. Pemilihan teknik konservasi tanah dan air; g. Pembuatan bangunan penahan longsor; h. Pengukuran kejenuhan tanah dan pengaruhnya terhadap kepekaan longsor; i. Pembuatan publikasi Teknik Mitigasi Daerah Rawan Longsor. 1.3.Paket Teknologi Rehabilitasi Lahan Terdegradasi dalam Suatu DAS Khususnya di Lahan Bekas Tambang(emas,batubara,timah); a. Pemilihan lokasi; b. Identifikasi karakteristik lahan (kondisi biofisik) bekas tambang; c. Penentuan teknik rehabilitasi lahan,revegetasi dan silvikulturnya (termasuk persiapan bibit dan pemanfaatan limbah bekas tambang); d. Penentuan spesies tumbuhan; e. Penanaman dengan berbagai perlakuan; f. Pemeliharaan tanaman; g. Pengamatan parameter pertumbuhan (diameter dan tinggi tanaman) dan parameter tanah (tingkat kesuburan tanah:fisik dan kimia) h. Pembuatan Pedoman Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang (emas,batubara dan timah) 1.4. Kajian Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding a. Kajian jenis-jenis tanaman hutan yang cocok dengan teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; b. Kajian formula bahan/larutan untuk teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; 142

160 Kegiatan c. Pengaruh kelerengan terhadap efektifitas teknik Aerialseeding dan hydroseeding; d. Aspek kelayakan ekonomi teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; e. Informasi kelayakan teknik Aerialseeding dan Hydroseeding. Tahun Modelling Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tata Air a. Pemantauan parameter tataair (sedimentasi dan debit air) di daerah hulu; b. Pemantauan parameter tataair (sedimentasi dan debit air) di daerah hilir; c. Kajian tataguna (pola pemanfaatan) lahan di wilayah hulu; d. Kajian tataguna (pola pemanfaatan) lahan di wilayah hilir; e. Modelling tataguna lahan yang memberikan hasil air optimal. 1.6.Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon Pada Unit DAS a. Pengumpulan data kondisi DAS kritis di Indonesia; b. Pengumpulan peta tanah, topografi, dan iklim yang terdigitasi di DAS terpilih; c. Pengumpulan informasi jenis pohon andalan setempat di DAS terpilih; d. Pembuatan Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh pada Unit DAS terpilih LUARAN 2: TEKNIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN DAN AIR WILAYAH GAMBUT 2.1. Teknik pengelolaan sumber daya lahan dan air wilayah gambut a. Analisis biofisik dan tataair daerah gambut; b. Kajian pola pemanfaatan lahan gambut: c. Kajian tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah gambut: d. Kajian pengaruh pemanfaatan lahan gambut terhadap tataair; e. Pembuatan Teknik Pengelolaan Lahan dan Air pada Lahan Gambut. LUARAN 3:TEKNIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAHAN DAN AIR PADA LAHAN PANTAI 3.1. Teknik evaluasi lahan dan air daerah pantai a. Analisis biofisik dan tataair daerah pantai; b. Kajian pola pemanfaatan lahan pantai; c. Kajian tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah pantai: d. Kajian pengaruh pemanfaatan lahan pantai terhadap tataair; e. Pembuatan Teknik Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Pantai.. RENCANA LOKASI DAN UPT TERKAIT Penelitian-penelitian dalam kegiatan ini akan dilakukan di Jawa dan luar Jawa, di lahan terdegradasi dan bagian DAS/sub DAS yang dianggap kritis. Di Jawa meliputi: beberapa tempat di provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur. Di luar Jawa meliputi beberapa tempat di provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua. 143

161 I. RENCANA BIAYA Rencana Biaya diuraikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rencana Anggaran Penelitian Integratif No Kode Kegiatan Biaya ( Rp ) Jumlah I 15.1 Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model RLKTA (2 Aspek) Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model RLKTA Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model RLKTA Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model RLKTA Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model RLKTA Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model RLKTA Teknik Mitigasi Daerah Rawan Longsor Teknik Rehabilitasi dan restorasi lahan bekas tambang (emas) Teknik Rehabilitasi dan restorasi lahan bekas tambang (timah) Teknik Rehabilitasi dan restorasi lahan bekas tambang (batubara) Teknik Rehabilitasi dan restorasi lahan bekas tambang (batubara) (2 aspek) Kajian Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Kajian Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Modelling Tataguna lahan untuk Optimalisasi Tatair Modelling Tataguna lahan untuk Optimalisasi Tatair (2 aspek) Modelling Tataguna lahan untuk Optimalisasi Tatair Modelling Tataguna lahan untuk Optimalisasi Tatair Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon Pada Unit DAS

162 No Kode Kegiatan Biaya ( Rp ) Jumlah Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon Pada Unit DAS JUMLAH I II 15.2 Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air pada Lahan Rawa/Gambut Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Gambut Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Gambut JUMLAH II III 15.3 Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Pantai Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Pantai JUMLAH III JUMLAH TOTAL

163 II. ORGANISASI Organisasi kegiatan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3.Organisasi Kegiatan RPI Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS No. Instansi/UPT Pelaksana 1. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Prof. Ris.DR.Ir.Pratiwi, MSc. I Wayan Susi D., S.Hut.MSi. Harris Herman Siringo-ringo, MSi. 2. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Ir. Sri Sugiharto, MSi. 3. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Solo Ir.Nining Wahyuningrum, MSc., Ir.Benny Haryadi, MSc., Drs. Ugro Hari Murtiono, MSc., Ir. Dona Oktavia, MSi, Ir. Agung Supangat, MSc. 4. Balai Penelitian Kehutanan Kupang Ir. Ida Rachmawati, MSi. 5. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru 6. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam Samboja Purwanto Budi Santoso, S.Hut.MSc.; Rusmana, S.Hut. Septina Asih Widuri, S.Si; Burhannudin, S.Hut.; Faiqotul Falah, S.Hut. MSi.; Bina Swasta Sitepu, S.Hut. 7. Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli Dany, S.Hut.MSi., Asep Sukmana, S.P. 8. Balai Penelitian Kehutanan Manado Ir. Laode Tira Asir, MSc. 9. Balai Penelitian Kehutanan Makassar Ir.Kudeng Salatta, MSi.; Retno, S.Hut. 10. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Ir.David Seran III. DAFTAR PUSTAKA Anonymous Combating Land Degradation in Indonesia. National Report on the Implementation of United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD). For submission at the fourth session of Conference of the Parties. Bonn, Germany. Darwo Strategi Peningkatan Program Gerhan. (Studi Kasus Gerhan di Sekitar Daerah Tangkapan Air Danau Toba).Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Padang, 20 September Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. p Departemen Kehutanan Kebijakan Penyusunan Masterplan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan dan JICA. Jakarta. 146

164 Departemen Kehutanan Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. 204 p. Kartodihardjo, H., K.Murtilaksono., dan U.Sudadi Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Konsep dan Pengantar Analisa Kebijakan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Notohadiprawiro, T Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan Ilmu Tanah, Faperta, Universitas Gadjah Mada. 35 p. UU No.7 Tahun Tentang Sumberddaya Air. Wardoyo, W Perlunya Penyamaan Persepsi dan Peningkatan Komitmen dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Keynote Speech pada Lokakarya Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastuktur Data., F-MIPA IPB dan CIFOR, 5 September

165 IV. KERANGKA KERJA LOGIS No. 1. Tujuan: NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi Menyediakan informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumber daya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi agar sumber daya lahan dan air yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora,fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan,termasuk di dalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan pengelolaan pasca rehabilitasi lahan. 2. Sasaran: A.Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan a. Tersedianya Data dan Informasi tentang Model-model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dan Air dengan Pendekatan Partisipatif; Luas lahan terdegradasi menurun Jumlah lahan berhutan meningkat Fungsi hidroorologis hutan menjadi lebih baik Kesadaran masyarakat akan fungsi hutan meningkat Model-model RLKTA diaplikasikan oleh masyarakat Statistik Kehutanan Demplot Gelar Teknologi Laporan akhir proyek Paket Teknologi Dukungan kebijakan pemerintah Dukungan masyarakat terhadap program pengelolaan sumber daya lahan dan air Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam b. Tersedianya Data dan Informasi Teknik Mitigasi Tanah Longsor; Teknik mitigasi tanah longsor Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia 148

166 No. NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi Tidak ada bencana alam c. Tersedianya Data dan Informasi Teknik Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Terdegradasi dalam suatu DAS khususnya di lahan bekas tambang:emas, batubara, dan timah; Teknologi rehabilitasi lahan bekas tambang: emas, batubara dan timah Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam d. Tersedianya Data dan Informasi Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam e. Tersedianya Data dan Informasi Model-model Tata Penggunaan Lahan untuk Optimalisasi Tata Air. Model-model Tata Penggunaan Lahan untuk Optimalisasi Tata Air Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam f. Tersedianya Data dan Informasi Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon Pohon pada Unit DAS Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada Unit DAS Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam 149

167 No. NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi B.Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut Tersedianya Data dan Informasi Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Gambut. C.Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Tersedianya Data dan Informasi Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Pantai. 3. Luaran A.Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan a. Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Modelmodel RLKTA ; Pedoman Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan Wilayah Gambut Pedoman Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan Wilayah Pantai Demplot Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dan Air Laporan akhir proyek Paket Teknologi Laporan akhir proyek Paket Teknologi Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam b. Pedoman Teknik Mitigasi Tanah Longsor; 1 Paket Teknologi Mitigasi Tanah Longsor Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada 150

168 No. NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi bencana alam c. Pedoman Teknik Rehabilitasi dan Restorasi Lahan Bekas Tambang (emas, batubara, timah); 3 Paket Teknologi Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang: emas, batubara, timah Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam d. Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; 1 Paket informasi mengenai Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam e. Modelling Tataguna lahan untuk optimalisasi tataair f. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon Dalam Unit DAS; 1 Paket Modelling Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair 1 Paket Modeling Tataguna Lahan dan Optimalisasi Tata Air 1 Paket Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada Unit DAS; Laporan akhir proyek Paket Teknologi Laporan akhir proyek Paket Teknologi Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam 151

169 No. NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi B.Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Gambut C.Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air pada Wilayah Pantai Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air pada lahan pantai 1 Paket Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Gambut 1 Paket Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Pantai Laporan akhir proyek Paket Teknologi Laporan akhir proyek Paket Teknologi Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam Kondisi lingkungan mendukung Dana tersedia Tidak ada bencana alam 4. Kegiatan: LUARAN 1. Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Daratan Kegiatan 1. Pendekatan partisipatif dalam pengembangan model RLKTA Kegiatan: a. Kajian biofisik lingkungan (Identifikasi karakteristik lahan); b. Kajian sosial ekonomi dan kelembagaan (termasuk Karakteristik lahan Teknik silvikultur terpilih Teknologi KTA PPTP,RPTP,RKAp KL/DIPA, RK, SPJ Peneliti dan teknisi tersedia Anggaran tersedia tepat waktu 152

170 No. NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi aspirasi masyarakat); terpilih c. Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air dengan pendekatan partisipatif; d. Pemilihan jenis pohon dan teknik silvikultur; e. Pemilihan teknologi konservasi tanah dan air; f. Implementasi model yang sesuai dengan kondisi fisik dan sosekbud wilayah; g. Pengamatan parameter pertumbuhan (tinggi dan diameter tanaman) dan parameter tanah (laju aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara); h. Pembuatan publikasi Model-model RLKTA dengan pendekatan partisipatif. Karakteristik sosekbud masyarakat Kebijakan Pemerintah Implementasi model RLKTA Pengukuran pertumbuhan, aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara Kondisi lapangan terpenuhi Koordinasi berjalan baik Kegiatan 2. Teknik Mitigasi Daerah Rawan Longsor Kegiatan: a. Pemetaan daerah rawan longsor; b. Identifikasi daerah rawan longsor; c. Mencari metode untuk mendapatkan indikator kerawanan longsor; d. Pengukuran gerakan tanah dan sifat-sifat tanah; e. Pemilihan jenis dan teknik silvikultur; f. Pemilihan teknik konservasi tanah dan air; g. Pembuatan bangunan penahan longsor; Peta daerah rawan longsor Daerah rawan longsor teridentifikasi Indikator tingkat kerawanan longsor Sifat-sifat tanah dan gerakan tanah teridentifikasi PPTP,RPTP,RKA- KL/DIPA, RK, SPJ Peneliti dan teknisi tersedia Anggaran tersedia tepat waktu Kondisi lapangan terpenuhi Koordinasi berjalan baik 153

171 No. h. Pengukuran kejenuhan tanah dan pengaruhnya terhadap kepekaan longsor; NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi Jenis terpilih i. Pembuatan publikasi Teknik Mitigasi Tanah Longsor. Teknik silvikultur terpilih Teknologi KTA terpilih Bangunan penahan longsor terbangun Kejenuhan tanah dan pengaruhnya terhadap kepekaan longsor teridentifikasi Kegiatan 3.Teknik Rehabilitasi Lahan Terdegradasi dalam Suatu DAS Khususnya di Lahan Bekas Tambang (emas, batubara, timah) Kegiatan: a. Pemilihan lokasi ; b. Identifikasi karakteristik lahan (kondisi biofisik); c. Penentuan teknik rehabilitasi lahan, revegetasi dan silvikulturnya (termasuk persiapan bibit dan pemanfaatan limbah bekas tambang); d. Penentuan spesies tumbuhan; e. Penanaman dengan berbagai perlakuan; f. Pemeliharaan tanaman; g. Pengamatan parameter pertumbuhan (diameter dan tinggi tanaman) dan parameter tanah (fisik dan Lokasi sesuai Spesies terpilih Kegiatan penanaman dan pemeliharaan Penetapan parameter dan pengamatan Paket teknologi rehabilitasi/revegetas i PPTP,RPTP,RKA- KL/DIPA, RK, SPJ Peneliti dan teknisi tersedia Anggaran tersedia tepat waktu Kondisi lapangan terpenuhi Koordinasi berjalan baik 154

172 No. kimia); h. Pembuatan Pedoman Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang (emas, batubara dan timah) NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi Kegiatan 4. Kajian Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Kegiatan: a. Kajian jenis-jenis tanaman hutan yang cocok dengan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; b. Kajian formula bahan/larutan untuk Teknik Aerialseeding dan hydroseeding; c. Pengaruh kelerengan terhadap efektifitas Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; d. Aspek kelayakan ekonomi Teknik Aerial seeding dan Hydroseeding; e. Informasi Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Tanaman hutan yang cocok untuk dikembangkan dengan teknik Aerialseeding dan Hydrooseeding Formula larutan untuk Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; Kelerengan yang sesuai untuk Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding; PPTP, RPTP, RKA-Kl/DIPA, RK, SPJ Peneliti dan teknisi tersedia Anggaran tersedia tepat waktu Kondisi lapangan terpenuhi Koordinasi berjalan baik Kelayakan ekonomi Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding. Informasi kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding 155

173 No. NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi Kegiatan 5. Modelling Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair Kegiatan: a. Pemantauan parameter tataair (sedimentasi dan debit air) di daerah hilir; b. Pemantauan parameter tataair (sedimentasi dan debit air) di daerah hilir; c. Kajian tataguna (pola pemanfaatan) lahan di wilayah hulu; d. Kajian tataguna (pola pemanfaatan) lahan di wilayah hulu; e. Modelling tataguna lahan yang memberikan hasil air optimal Sedimentasi dan debit air di hulu dan hilir diketahui; Tataguna (pola pemanfaatan) lahan di hulu dan hilir diketahui; Modelling tataguna lahan yanga memberikan hasil air optimal diketahui PPTP, RPTP,RKA- KL/DIPA, RK, SPJ Peneliti dan teknisi tersedia Anggaran tersedia tepat waktu Kondisi lapangan terpenuhi Koordinasi berjalan baik Kegiatan 6. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada unit DAS Kegiatan: a. Pengumpulan data kondisi DAS kritis di Indonesia; b. Pengumpulan peta tanah, topografi, dan iklim yang terdigitasi di DAS terpilih; c. Pengumpulan informasi jenis pohon andalan setempat di DAS terpilih; dan d. Pembuatan Peta Kesesuaian Tempat tumbuh pada unit DAS terpilih. Data kondisi DAS kritis di Indonesia diketahui; Peta tanah, topografi dan iklim yang terdigitasi di DAS terpilih diketahui; Data jenis pohon andalan setempat di PPTP,RPTP,RKA- KL/DIPA, RK, SPJ Peneliti dan teknisi tersedia Anggaran tersedia tepat waktu Kondisi lapangan terpenuhi Koordinasi berjalan baik 156

174 No. NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi DAS terpilih diketahui; Data persyaratan tempat tumbuh jenisjenis pohon andalan setempat di DAS terpilih diketahui; Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada Unit DAS LUARAN 2. Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut Kegiatan 1. Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Gambut Kegiatan: a. Analisis biofisik dan tataair daerah gambut; b. Kajian pola pemanfaatan lahan gambut; c. Kajian tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah gambut; d. Kajian pengaruh pemanfaatan lahan gambut terhadap tataair; e. Pembuatan Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut. Kondisi biofisik dan tata air daerah gambut diketahui; Tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah gambut diketahui; Pengaruh pemanfaatan lahan gambut terhadap PPTP,RPTP,RKA- KL/DIPA, RK, SPJ Peneliti dan teknisi tersedia Anggaran tersedia tepat waktu Kondisi lapangan terpenuhi Koordinasi berjalan baik 157

175 No. NARASI Indikator Cara Verifikasi Asumsi tatair diketahui; LUARAN 3. Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Kegiatan 1. Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Pantai Kegiatan: a. Analisis biofisik dan tataair daerah pantai; b. Kajian pola pemanfaatan lahan pantai; c. Kajian tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah pantai; d. Kajian pengaruh pemanfaatan lahan pantai terhadap tataair; e. Pembuatan Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai. Teknik Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Gambut. Kondisi biofisik dan tata air daerah pantai diketahui; Tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah pantai diketahui; Pengaruh pemanfaatan lahan pantai terhadap tatair diketahui; Teknik Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Pantai. PPTP,RPTP,RKA- KL/DIPA, RK, SPJ Peneliti dan teknisi tersedia Anggaran tersedia tepat waktu Kondisi lapangan terpenuhi Koordinasi berjalan baik 158

176 VI. EVALUASI Tabel 4. Evaluasi RPI Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS JUDUL RPI: Pengelolaan Sumber daya lahan dan air pendukung pengelolaan DAS OUTPUT Informasi dan teknologi tepat guna untuk menunjang pengelolaan sumber daya lahan dan air, pendukung pengelolaan DAS INSTITUSI PELAKSANA Puskonser BBP2D Samarinda BPK Solo BPK Kupang BPK Samboja BPK Manado BPK Makasar BPK Banjarbaru BPK Aek Nauli BPK Manokwari CAPAIAN LUARAN 1. Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Daratan 1. Pendekatan Partisipatif dalam Pengembangan Model RLKTA Pedoman Model-model RLKTA dengan pendekatan partisipatif BPK Solo (Ir. Nining Wahyuningrum, MSc., Ir.Dona Oktavia, MSi.) BPK Kupang (Ir Ida Rachmawati, MSi.) BPK Makasar (Ir Kudeng Sallata, MSi.) Data awal pertumbuhan tanaman dan kondisi fisik lingkungan, sosek dan budaya Data pertumbuhan tanaman dan pengaruh perlakuan (teknik KTA) Data pertumbuhan tanaman, aliran permukaan, erosi serta kehilangan unsure hara Informasi jenis dan teknik silvikultur dan KTA, termasuk informasi peran masyarakat dalam pengembangan model RLKTA secara partisipatif Pembuatan Teknik RLKTA dengan Pendekatan Partisipatif BPK Manado (Ir.Laode Asir Tira, MSi.) 2. Teknik mitigasi tanah rawan longsor Pedoman mitigasi daerah rawan longsor BPK Manokwari (Ir David Seran) BPK Solo (Ir. Benny Haryadi, MSc.) Data awal mengenai karakteristik dan sebaran daerahdaerah rawan longsor,indikator kerawanan longsor, dll. Pemilihan teknik KTA dan jenis pengendali longsor Penerapan teknik KTA dan jenis pengendali longsor Data dan informasi mengenai cara pengendalian daerah rawan longsor Pembuatan Teknik Mitigasi Daerah Rawan Longsor 159

177 JUDUL 3. Teknik rehabilitasi lahan bekas tambang batubara 4. Teknik rehabilitasi lahan bekas tambang emas 5. Teknik Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Timah 6. Kajian Kelayakan Teknik Aerialseeding dan hydroseeding 7. Modelling tataguna lahan untuk optimalisasi tataair OUTPUT Pedoman rehabilitasi lahan bekas tambang batubara Pedoman rehabilitasi lahan bekas tambang emas Pedoman rehabilitasi lahan bekas tambang timah Informasi mengenai Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Model-model tataguna lahan untuk optimalisasi tataair INSTITUSI PELAKSANA BBPD Samarinda (Ir. Sri Soegiharto, MSi.) BPK Samboja (Septina Asih Widuri, S.Si.; Burhannudin, S.Hut.) Puskonser (DR.Ir. Chairil Anwar Siregar, MSc.) Puskonser (Prof.Ris. DR Ir Pratiwi, MSc.) BPK Banjarbaru (Rusmana, S.Hut.) BPK Makassar (Retno, S.Hut.) Puskonser (I Wayan Susi Darmawan, S.Hut., MSi.) BPK Manado (Ir. Laode Asir Tira, MSi) CAPAIAN Data pertumbuhan Data pertumbuhan Informasi jenis dan awal pada awal pada berbagai teknik silvikultur berbagai jenis jenis terpilih yang terpilih yang ditanam di lapangan ditanam di lap. Data awal biofisik lahan bekas tambang batubara Data pemanfaatan tailing emas dan jenisjenis terpilih yang toleran terhadap media tailing emas Kondisi biofisik lahan bekas tambang timah dan data pertumbuhan tanaman/bibit pada berbagai perlakuan dengan memanfaatakan tailing bekas tambang timah Data pemanfaatan tailing emas dan jenis-jenis terpilih yang toleran terhadap media tailing emas Data pertumbuhan awal pada jenis terpilih yang ditanam di lapangan dengan berbagai perlakuan - - Data pengamatan parameter tatair (sedimentasi dan debit air) daerah hulu Data pengamatan parameter tatair (sedimentasi dan debit air) daerah hulu Pedoman Pemanfaatan Tailing Tambang Emas Data pertumbuhan awal pada jenis terpilih yang ditanam di lapangan dengan berbagai perlakuan Informasi mengenai jenis-jenis tumbuhan yang cocok untuk teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Informasi mengenai formula untuk teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Data pengamatan parameter tatair (sedimentasi dan debit air) daerah hilir Diseminasi Hasil Data pertumbuhan pada jenis terpilih yang ditanam di lapangan dengan berbagai perlakuan Informasi mengenai kelerengan yang layak untuk teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Data pengamatan parameter tatair (sedimentasi dan debit air) daerah hilir Pembuatan Teknik Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Batubara Diseminasi hasil Pedoman Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang Timah Informasi mengenai Kelayakan Teknik Aerialseeding dan Hydroseeding Modelling tataguna lahan untuk optimalisasi tatair BPK Solo (Drs. Ugro Hari Murtiono, MSc.) 8. Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis- Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon pada Unit DAS Puskonser (Prof.Ris.Dr.Ir. Pratiwi, MSc.) Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis Pohon pada Unit DAS Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis Pohon pada Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis Pohon pada Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis Pohon pada Peta Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis Pohon pada 160

178 JUDUL jenis Pohon Pada Unit DAS OUTPUT INSTITUSI PELAKSANA BPK Solo (Ir Nining. S.MSc.) CAPAIAN (I) Unit DAS (II) Unit DAS (III) Unit DAS (IV) Unit DAS (V) BPK Aek Nauli (Dany, S.Hu.,MSi., Asep Sukmana, S.Hut) LUARAN 2. Teknik Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Gambut 9. Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Gambut Pedoman Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Gambut LUARAN 3. Teknik Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Pantai Puskonser ( I Wayan Susi Darmawan, MSi.) BPK Samboja ( Bina Swasta Sitepu S.Hut.) Data awal kondisi biofisik lahan gambut, termasuk pola pemanfaatan lahan dan sosekbud Data mengenai tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah gambut Data mengenai pengaruh pemanfaatan lahan gambut Pedoman Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Gambut 10. Teknik Pengelolaan Sumber daya Lahan dan Air Wilayah Pantai Pedoman Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Pantai Puskonser (Harris Herman Siringo-ringo, MSi.) BPK Makassar (Dr. Nawir, MSc.) Data awal kondisi biofisik lahan pantai Data awal pemanfaatan lahandan sosekbud Data mengenai tingkat kerentanan banjir dan daerah terkonstruksi di daerah pantai Data mengenai pengaruh pemanfaatan lahan pantai Pedoman Pengelolaan Lahan dan Air Wilayah Pantai 161

179

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI SINTESIS RPI 4 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN Koordinator Endro Subiandono Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor, 2015 Luaran RPI-4 dan Strategi Pencapaiannya Melalui berbagai Kegiatan Penelitian

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 4. Pengelolaan Hutan Mangrove

KODEFIKASI RPI 4. Pengelolaan Hutan Mangrove KODEFIKASI RPI 4 Pengelolaan Hutan Mangrove LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN 2010 2014 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE Jakarta, Februari 2010 Disetujui Oleh: Kepala Pusat, Koordinator

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 11. Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem

KODEFIKASI RPI 11. Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem KODEFIKASI RPI 11 Model Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Ekosistem LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN 2010 2014 MODEL PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI BERBASIS EKOSISTEM

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS

VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS BADAN LITBANG KEHUTANAN 2010-2014 V I S I Menjadi lembaga penyedia IPTEK Kehutanan yang terkemuka dalam mendukung terwujudnya pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

FOREST LANDSCAPE RESTORATION

FOREST LANDSCAPE RESTORATION FOREST LANDSCAPE RESTORATION Indonesia Disampaikan dalam Workshop di Wanagama, 7-8 Desember 2009 Forest Landscape Restoration? Istilah pertama kali dicetuskan pada tahun 2001 oleh para ahli forest landscape

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN J A K A R T A KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Nomor : SK.50/VIII-SET/2010 TENTANG PEDOMAN MONITORING DAN PELAPORAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu bentang alam yang memiliki keunikan karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km serta lebih dari 17.508 pulau dan luas laut sekitar 3,1 juta km

Lebih terperinci

RAPAT EVALUASI KEGIATAN BADAN LITBANG KEHUTANAN

RAPAT EVALUASI KEGIATAN BADAN LITBANG KEHUTANAN RAPAT EVALUASI KEGIATAN BADAN LITBANG KEHUTANAN Permata Hotel, 13 November 2014 PUSKONSER MELAKSANAKAN 7 RPI YANG DIKELOMPOKKAN KE DALAM 3 PROGRAM LITBANG PROGRAM 2 : HUTAN ALAM PROGRAM 4 : BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Desa Dabong merupakan salah satu desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat yang memiliki hamparan hutan mangrove yang cukup luas. Berdasarkan Surat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA 9 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.46/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENGESAHAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN JANGKA PANJANG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DAN KESATUAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alamnya, baik sumber daya yang dapat pulih (seperti perikanan, hutan mangrove

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan

I. PENDAHULUAN. mangrove. Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi, BAB.I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang sangat diperlukan untuk menjaga keberlanjutan. MenurutHadi(2014), menyebutkan bahwa lingkungan adalah tempat manusia

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM STRATEGI PEMULIHAN KERUSAKAN VEGETASI MANGROVE DI KAWASAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM STRATEGI PEMULIHAN KERUSAKAN VEGETASI MANGROVE DI KAWASAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM STRATEGI PEMULIHAN KERUSAKAN VEGETASI MANGROVE DI KAWASAN SUAKA MARGASATWA PULAU RAMBUT BIDANG KEGIATAN PKM-GT Diusulkan oleh: DAHLAN E34070096 2007 TUTIA RAHMI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka Konservasi Rawa, Pengembangan Rawa,

Lebih terperinci

CAPAIAN RENSTRA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI

CAPAIAN RENSTRA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN AEK NAULI CAPAIAN RENSTRA 2014 CAPAIAN RENSTRA BALAI PENELITIAN KEAN AEK NAULI 2010-2014 Bogor, 13-14 NOPEMBER 2014 1 BALAI PENELITIAN KEAN AEK NAULI Visi : Terwujudnya Balai Peneitian Kehutanan Aek Nauli sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka Konservasi Rawa,

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove Mangrove merupakan vegetasi yang kemampuan tumbuh terhadap salinitas air laut baik. Mangrove juga memiliki keunikan tersendiri dibandingkan lain, keunikannya diantaranya

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

2 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembar

2 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembar No.1442, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Inventasrisasi Potensi. Kawasan Suaka Alam. Kawasan Pelestarian Alam. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.81/Menhut-II/2014

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi PENDAHULUAN Latar Belakang Meningkatnya harga udang windu di pasaran mendorong pembukaan lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi untuk pertambakan adalah hutan mangrove.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Konsep pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi dan sosial disebut sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep pembangunan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

MANAJEMEN HABITAT DAN POPULASI SATWALIAR LANGKA PASCA BENCANA ALAM ERUPSI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI

MANAJEMEN HABITAT DAN POPULASI SATWALIAR LANGKA PASCA BENCANA ALAM ERUPSI DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI KODE JUDUL : N.2 LAPORAN HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, KEKAYAAN INTELEKTUAL, DAN HASIL PENGELOLAANNYA INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA MANAJEMEN HABITAT DAN POPULASI SATWALIAR

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci