KAJIAN KEPUSTAKAAN. anjing, hal ini ditemukan pada situs arkeologi di Persia (Iran), Jericho (Tepi Barat),

Transkripsi

1 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Domba Lokal Domba merupakan hewan kedua yang didomestifikasi oleh manusia setelah anjing, hal ini ditemukan pada situs arkeologi di Persia (Iran), Jericho (Tepi Barat), Choga Marni Jutun dan Cayonu pada tahun SM (Disnak Kabupaten Langkat, 2013). Domba telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia sekitar 800 SM. Hal ini dibuktikan dengan relief domba di Candi Borobudur (Denie, 2011). Menurut Yayan (2010), ternak domba memiliki keunggulan berkembangbiak dengan cepat, mudah menyesuaikan diri pada lingkungan, dan dagingnya relatif dapat diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Saat ini, domba yang telah mengalami domestikasi adalah Ovies aries, dengan taksonomi sebagai berikut: Kingdom Phylum Kelas Ordo Sum Ordo Famili Genus : Animalia : Chordata : Mamalia : Artiodactyla : Ruminansia : Bovidae : Ovis Spesies : Ovis aries (Ensminger, 2002). Domba yang telah mengalami domestikasi pun banyak berkembang di Indonesia. Termasuk salah satunya domba lokal yang banyak dipelihara oleh peternak. Ternak lokal menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 pasal 16

2 8 (1) adalah ternak hasil persilangan antara ternak asli luar negeri dan ternak asli Indonesia yang telah dikembangbiakan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan atau manajemen setempat. Domba lokal merupakan domba hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangbiakan di Indonesia sampai dengan generasi kelima atau lebih serta beradaptasi pada lingkungan atau manajemen setempat (Denie, 2011). Perkembangan domba lokal di Indonesia dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu Domba Ekor Tipis (DET) dan Domba Ekor Gemuk (DEG). Distribusi DET banyak ditemukan di daerah yang relatif basah seperti Jawa Barat sedangkan DEG banyak tersebar di daerah-daerah yang relatif kering seperti provinsi Jawa Timur, Madura serta Papua di Nusa Tenggara, sedangkan di Sulawesi DEG dikenal sebagai domba Donggala (Tiesnamurti dan Asmarasari, 2006). 1.2 Karakteristik Ovarium Domba Ovarium merupakan organ genetik betina, terdapat sepasang ovarium yang terletak di sebelah kiri dan sebelah kanan uterus dalam rongga pelvis. Ovarium tersusun dari bagian medulla yang terletak di bagian dalam dan korteks yang terletak di bagian luar. Pada medulla terdapat jaringan ikat fibroelastik, jaringan syaraf dan pembuluh darah yang menghubungkan dengan ligamentum mesovarium melalui hilus. Bagian korteks berisi folikel-folikel antral dan pre antral, corpus luteum, stoma, pembuluh darah, pembulu limfe, dan serabut otot polos. Ovarium memiliki dua fungsi yaitu sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur dan organ endokrin yang menghasilkan hormon steroid (Hafez dan Hafez, 2000). Struktur, bentuk, dan ukuran ovarium masing-masing hewan sangat bervariasi tergantung pada spesies, umur, tahap siklus seksual, dan jumlah anak yang dilahirkan (Hafez dan Hafez, 2000). Bentuk ovarium pada ternak sapi dan

3 9 domba yaitu berbentuk oval (Toelihere, 1997). Ternak umumnya memiliki dua buah ovarium di kanan dan kiri yang terletak di dalam pelvis. Bentuk dan ukuran ovarium berbeda-beda menurut spesies ternak dan fase siklus birahi. Ovarium domba berbentuk lonjong dengan panjang berkisar 1,3 1,9 cm (Tita dan Ismudiono, 2013). Pertumbuhan dan perkembangan ovarium selama peralihan masa reproduksi diatur oleh hormon-hormon yang berasal dari kelenjar hormon yaitu kelenjar hipofisa yang terdapat didasar otak dalam kepala (Partodihardjo, 1987). Teknik penyimpanan ovarium jangka pendek telah telah dicoba pada kambing (Silva, dkk., 2000, Calvalho, dkk., 2001), pada sapi (Lucci, dkk., 2007), dan anjing (Lopes, dkk., 2009, Lima, dkk., 2004). Secara umum hasilnya menunjukan bahwa suhu 4 0 C memungkinkan preservasi ovarium selama 18 atau 24 jam, sedangkan pada suhu 20 0 C mampu mempreservasi ovarium selama 4 atau 6 jam. 1.3 Perkembangan Folikel Folikel yang terdapat di dalam ovarium berasal dari epitel benih yang melapisi permukaan ovarium. Perkembangan folikel diawali dengan tumbuh dan bertambah banyaknya jumlah sel pipih yang mengelilingi oosit. Folikel mencapai kematangan melalui tingkat perkembangan yang dimulai dari folikel primer, folikel sekunder, folikel tersier, dan folikel de graaf (matang) (Hafez dan Hafez, 2000). Tahapan pertama perkembangan folikel primer ketika betina masih di dalam kandungan dan setelah lahir, folikel ini berasal dari satu sel epitel benih yang membelah diri yang nantinya menjadi sel telur dikelilingi oleh membran granulosa (Bone, 1988). Tahap kedua saat ternak betina lahir dan manjadi pendewasaan tubuh dimana tahapan pertumbuhan folikel primer menjadi folikel sekunder. Folikel sekunder memiliki jumlah sel granulosa lebih banyak namun terletak jauh

4 10 dari permukaan ovarium, pada tahap ini sel telur telah dibungkus oleh membran vitelline dan zona pellucida (Tita dan Ismudino, 2013). Tahapan ketiga ketika terjadi perkembangan folikel sekunder menjadi folikel tersier yang memiliki cairan yang disebut liquor foliculi. Sel granulosa tumbuh lebih cepat dan banyak sehingga tampak lebih besar dan terletak lebih jauh dari permukaan ovarium. Pengaruh hormon pada perkembangan folikel sangat penting. Hormon FSH akan merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel menjadi folikel de graaf yang semakin meningkat ukurannya sampai ovulasi (Hafez dan Hafez, 2000). 2.4 Oosit Sel telur atau bisa disebut oosit dihasilkan oleh ovarium (Hafez dan Hafez, 2000). Oosit mempunyai dua membran yaitu membran vitellin dan zona pellucida. Membran vitellin adalah suatu diferensiasi cortical oocyte yang dapat dianggap mempunyai struktur dan sifat yang sama dengan membran plasma sel somatik yang berguna untuk difusi dan pengangkutan aktif (Khillare, 2008). Zona pellucida adalah suatu selaput yang homogen dan semi-permeable, terbuat dari suatu protein yang dapat dilebur oleh enzim-enzim proteolitik seperti trypsin dan chymotrypsin (Suryohudoyo, 2000). Membran sel telur penting untuk perlindungan sel telur maupun absorpsi selektif terhadap ion-ion anorganik dan zat-zat metabolik pada perubahan-perubahan fisikokimiawi yang sewaktu ovulasi, pembuahan, cleavage dan pengembangan blastocyst (Toelihere, 1997). Oosit berkembang dalam satuan-satuan bentuk yang disebut folikel, biasanya satu oosit dihasilkan dalam satu folikel tersusun dari ribuan sel yang mempunyai kontribusi untuk perkembangan oosit (Hunter, 1995). Oosit terbentuk

5 11 melalui peristiwa oogenesis yang melalui tahapan sebagai berikut yaitu oogenium dan polar body ke I, sementara itu polar body yang terbentuk pada meiosis I membelah menjadi II sehingga pada akhir oogenesis terbentuk I oosit dan polar body. Ternak mamalia proses oosgenesis berakhir sebelum atau segera sesudah partus (Toelihere, 1997). Oosit yang telah mengalami pematangan akan berbentuk bulat besar dengan adanya inti sitoplasma berwarna gelap. Sitoplasma merupakan sel granulosa yang memiliki pinggiran jenis karbohidrat yang disebut zona pellucida yang dihasilkan oleh sel kumulus (Bone, 1988). Kualitas oosit ditentukan berdasarkan lapisan sel kumulus oophorus yaitu sel-sel granulosa yang mengelilingi oosit dalam kondisi utuh (padat) atau tidak (Monk, 1987). Sel kumulus yang mengelilingi oosit dipengaruhi saat proses folikulogenesisi dimana terjadi perkembangan dan pematangan folikel yang terdapat di dalam ovarium (Widjiati, 2002) Klasifikasi Kualitas Oosit dan Potensi Genetik Oosit Kualitas oosit dapat diklasifikasikan berdasarkan keberadaan sel kumulus dan sitoplasma. (1) Menurut Herdis (2000), kriteria oosit dibagi menjadi: 1. Grade A : oosit memiliki lapisan sel kumulus komplek yang utuh, sitoplasma homogen, dan korona radiata terlihat lebih gelap. Secara keseluruhan oosit terlihat terang dan transparan 2. Grade B : oosit memiliki lapisan sel kumulus komplek tidak utuh, performan sitoplasma kurang homogen, dan korona radiata tidak jelas. Secara keseluruhan oosit terlihat lebih gelap dan kurang transparan 3. Grade C : oosit tampak dikelilingi oleh lapisan sel kumulus 4. Grade D : oosit dikelilingi oleh fibrin.

6 12 (2) Klasifikasi sel telur menurut Mayes dan Sirand (2001) dikelompokan menjadi : 1. Grade A : Sel telur dikelilingi setidaknya lima lapisan sel kumulus yang kompak, sitoplasma berwarna bening, homogen dan cincin berwarna sedikit gelap terlihat di sisi luar sitoplasma 2. Grade B : Sel telur dikelilingi sel kumulus yang kurang kompak dan sel telur berwarana sedikit gelap 3. Grade C : Sel kumulus tidak padat dan sitoplasma berwarna gelap. (3) Klasifikasi kualitas oosit menurut Gordon (2003) dibagi menjadi : 1. Grade A : Terdapat beberapa lapisan sel kumulus utuh dan kompak, ooplasma tidak bergranula (kompak) 2. Grade B : Lapisan sel kumulus tidak utuh atau minimal mengelilingi setengah bagian sel telur dengan ooplasma rata 3. Grade C : Sel telur gundul tanpa lapisan sel kumulus 4. Grade D : Sel telur dikelilingi fibrin yang menyerupai sarang laba-laba. Potensi oosit pada reproduksi ternak telah menjadi suatu perkembangan teknologi, yang cepat pada zaman ini. Kualitas oosit merupakan suatu syarat dari bahan dasar salah satu teknologi reproduksi seperti in vitro maturation (IVM) dan in vitro fertilization (IVF) (Lasiene, dkk., 2009). IVF merupakan salah satu bioteknologi reproduksi yang dapat digunakan untuk memproduksi embrio dengan memanfaatkan ovarium dari ternak yang masih hidup maupun yang telah dipotong. Ovarium yang berasal dari rumah potong hewan (RPH) maupun TPH merupakan sumber oosit yang memiliki nilai ekonomi lebih murah serta dapat dimanfaatkan secara optimal. Sedangkan IVM keberhasilannya dapat ditentukan oleh kualitas media kultur (Wattimena, 2011).

7 13 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teknologi ini yaitu salah satunya untuk mengetahui kualitas oosit sebagai potensi genetiknya. Kualitas oosit grade A dan B sering digunakan untuk memproduksi embrio pada proses IVF (Gordon, 2003 dalam Encong dan Kerja, 2013). 2.5 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa nukleofilik yang mempunyai kemampuan mereduksi, melemahkan atau menekan reaksi radikal bebas (Winarsih, 2007). Terdapat dua kelompok antioksidan yaitu antioksidan pencegah dan antioksidan pemutus rantai. Antioksidan pencegah yaitu antioksidan yang mencegah pembentukan senyawa-senyawa radikal bebas berlebihan, seperti enzim katalase, glutathione peroksidase, glutathione, dan sistein. Antioksidan pemutus rantai adalah antioksidan yang bekerja mencegah reaksi rantai berlanjut, seperti β-karoten, vitamin C, dan sistein (Rizal dan Herdis, 2010). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer disebut juga antioksidan endogen atau antioksidan enzimatis yang bekerja dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru atau mengubah radikal bebas yang telah terbentuk menjadi molekul yang kurang reaktif, seperti enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutathione peroksidase (Kesic, dkk., 2009). Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogen atau non-enzimatis yang bekerja dengan cara menangkap radikal bebas, kemudian mencegah reaktivitasnya atau memotong reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar, seperti β-karoten, vitamin E, vitamin C dan flavonoid antioksidan tersier bekerja dengan memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak akibat serangan

8 14 radikal bebas (Kumar, dkk., 2013). Antoioksidan tersier ini berupa enzim seperti metionin sulfoksida reduktase (Winarsi, 2007). Glutathione (C10H17N3O6S;γ-Glu-CysH-Gly;GSH;BM 307,33 g/mol) merupakan tripeptida (cysteine,glutamine, glycin) yang secara normal tersebar luas pada hampir semua sel, mempunyai peran penting dalam mekanisme perlindungan sel terhadap stress oksidatif yang disebabkan oleh ROS. Glutathione adalah suatu reservoir alami yang dapat dengan cepat digunakan oleh sel-sel sebagai pertahanan melawan stress oksidatif. Glutathione memberi perlindungan terhadap kerusakan oksidatif (Loos, dkk., 2003). Glutathione melindungi terhadap reactive oxygen species (ROS) dengan cara difasilitasi oleh interaksi dengan enzim-enzim seperti glutathione peroksidase dan glutathione reductase (Takahashi, dkk., 1993). Bucak dkk (2007) menjelaskan konsentrasi glutathione yang berlebih dapat menimbulkan efek negatif atau efek toksik dari glutathione yang menyebabkan kerusakan pada kualitas oosit, dengan cara kerja glutathione memproses racun, mengatur siklus oksidanitrat dan metabolisme zat besi, serta bisa mengatur antioksidan lainnya untuk memiliki fungsi sebagaimana mestinya (Adifa, 2010). Ascorbic acid (asam askorbat) adalah salah satu senyawa kimia yang membentuk vitamin C, asam askorbat oksidase atau disingkat askobase merupakan enzim yang hanya mengkatalisis reaksi oksidasi. Saat ovarium berkembang asam askorbat berperan dengan fungsinya sebagai kofaktor enzim prolil dan lisil hidroksilase yang mengkatalis hidroksilase prolin dan lisin, dan esensial untuk perkembangan normal jaringan kolagen yang banyak terdapat pada ovarium. Kolagen merupakan penyusun utama dinding dalam ovarium (Sandness, 1981). Waagbo dkk (1989) telah mengamati adanya akumulasi asam askorbat di jaringan kolagen yang mengelilingi sel telur sehingga disimpulkan bahwa pada saat gonand

9 15 berkembang asam askorbat digunakan untuk sintesis kolagen. Pendapat lain dikemukakan oleh Sadness (1981) bahwa peningkatan kadar vitamin C pada ovarium berperan dalam reaksi hidroksilase sintesis hormon steroid reproduksi.