BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prasasti peninggalan Raja Balitung pada tahun 907 menceritakan kisah Bima

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prasasti peninggalan Raja Balitung pada tahun 907 menceritakan kisah Bima"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Seni pewayangan merupakan salah satu bentuk seni budaya klasik tradisional bangsa Indonesia yang telah berkembang selama berabad-abad. Prasasti peninggalan Raja Balitung pada tahun 907 menceritakan kisah Bima Kumara dan Ramayana. Beberapa teks kuno juga menyebutkan tentang seorang dalang beserta upah yang diterimanya (Zoetmulder, 1985: 262). Jenis-jenis wayang di Jawa sedikitnya telah berjumlah dua puluh satu buah yakni: 1) Wayang Beber, 2) Wayang Gedhog, 3) Wayang Kidang Kencana, 4) Wayang Purwa, 5) Wayang Golek, 6) Wayang Sunggingan, 7) Wayang Krucil atau Klithik, 8) Wayang Wong, 9) Wayang Keling Pekalongan, 10) Wayang Dakwah, l1) Wayang Betawi, 12) Wayang Bali, 13) Wayang Potehi, 14) Wayang Madya, 15) Wayang Tasripin, 16) Wayang Suluh, 17) Wayang Wahana, 18) Wayang dan Perjuangan, 19) Wayang Kancil, 20) Wayang Pancasila, 21) Wayang Wahyu (Ismunandar, 1994: 4). Suryadi Ws (1984: 23), menyatakan bahwa jenis-jenis wayang tersebut di atas, yang paling populer dan luas daerah penyebarannya adalah wayang purwa. Wayang ini tidak saja dipentaskan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, melainkan di Sumatera dan Kalimantan, bahkan sampai ke Malaysia. Wayang kulit purwa terutama mengambil cerita dari epos besar Mahabharata dan Ramayana. Kepopuleran wayang kulit purwa dapat dilihat dari kuantitas frekuensi

2 2 pementasannya. Keluarga dan instansi-instansi baik negeri maupun swasta banyak menanggap pergelaran wayang purwa semalam suntuk, terutama ketika masyarakat mempunyai hajat atau hari-hari penting. Wayang semalam suntuk di Jawa itu, telah dikenal secara luas dan mendapatkan apresiasi yang signifikan di kalangan pengamat kebudayaan, baik dari dalam negeri maupun secara internasional. Marwanto dan Budhy Moehanto (2000: 2) menuliskan pengertian harafiah kata wayang adalah bayangan, namun dengan berjalannya waktu pengertian wayang berubah berarti pertunjukan panggung dan teater. Wayang sebagai teater berarti pertunjukan panggung dengan cara sutradaranya ikut bermain. Sutradara yang dimaksud yaitu dalang. Dalang dianggap sebagai sutradara karena menjadi pusat pemanggungan wayang kulit purwa yang memimpin jalannya pertunjukan semalam suntuk. Haryanto (1988: 2-6) menjelaskan bahwa seni pewayangan dan seni pedalangan merupakan satu kesatuan yang seimbang dan seirama. Seni dalam pertunjukan wayang paling sedikit mengandung tujuh unsur seni yang ada, yaitu: seni lukis atau seni rupa, seni tatah atau seni kriya, seni suara, seni karawitan, seni gaya yang mencakup gaya sabetan, gaya seni rupa wayang,gaya pergelaran,seni sastra dan seni drama. Masing-masing unsur seni tersebut memperkuat keberadaan pentas wayang dengan berbagai pesan-pesannya. Cerita wayang Purwa, bersumber dari kisah panjang Mahabharata dan Ramayana, yang semula berasal dari India, namun setelah masuk di Jawa banyak terjadi perubahan cerita, hingga menjadi cerita milik masyarakat Jawa. Berbagai cerita wayang purwa telah disesuaikan dengan karakteristik sosial-budaya

3 3 masyarakat Jawa, oleh karena itu pada akhirnya cerita wayang purwa berisi berbagai nilai ideologi masyarakat Jawa, yang disampaikan dengan menggunakan bentuk pertunjukan drama, terutama sekali yang berupa wayang kulit, dalam penggalan-penggalan cerita yang sering disebut lakon. Makna kefalsafahan yang bersifat menyeluruh, bahkan juga kefalsafahan dari bagian-bagian cerita atau bagian-bagian pertunjukan yang ada, dapat diketahui dan dihayati melalui lakon pada seni drama wayang. Wayang menyajikan berbagai butir mutiara filosofis yang bukan saja untuk persembahyangan, meditasi, pendidikan, pengetahuan, hiburan, tetapi juga menyediakan nyanyian, lukisan estetis dan imajinasi sastrawi untuk petuah-petuah religius yang mampu mempesona dan menggetarkan jiwa manusia yang mendengarkannya (Mulyono, 1982: 12). Haryanto (1992: 2) menyatakan bahwa pergelaran wayang senantiasa mengandung nilai hidup serta kehidupan luhur yang dalam setiap akhir cerita atau lakonnya memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Hal itu merupakan salah satu ajaran moral dalam wayang, bahwa dalam kehidupan ini perbuatan baiklah yang akan unggul, sedangkan perbuatan jahat akan selalu menerima kekalahannya. Wayang terus berkembang dari waktu ke waktu. Pertumbuhan dan perkembangan cerita wayang kemudian berjalan melalui jalur lisan dan tulisan. Jalur tulisan memunculkan berbagai tulisan cerita wayang purwa itu, baik aneka Serat Pakem Balungan, Serat Pakem Jangkep, cerita pethilanatau fragmen, maupun penulisan kembali cerita panjang Mahabharata atau Ramayana. Yasadipura I misalnya, dari sumber cerita wayang yang sudah ada, menulis Serat

4 4 Rama dengan mengisahkannya secara panjang lebar tidak berdasarkan adeganadegan.r. Ng. Ranggawarsita mengarang Pustaka Raja Purwa. K.G.P.A.A. Mangkunegara VII mengumpulkan lakon dengan judul Serat Pedhalangan Ringgit Purwa memuat 178 lakon dalam bentuk pakem balungan (Mulyono, 1984: ). Wayang, melalui jalur lisan disebarkan oleh para dalang dan orang-orang tua yang sudah tahu banyak tentang ceritanya. Kegiatan itu hingga saat ini masih berlangsung secara turun-temurun. Jalur lisan ditunjang dengan berbagai media elektronik, baik media audio maupun audiovisual. Berbagai pertunjukan telah direkam sejak lama, salah satunya adalah pertunjukan-pertunjukan oleh dalangdalang tersohor, seperti Ki Hadi Sugita, Ki Nartasabda, Ki Anom Suroto, Ki Manteb Sudarsono, dan Ki Timbul Hadiprayitno. Sumber-sumber cerita pewayangan tersebut, baik secara langsung maupun tidak, secara utuh maupun sebagian, akhirnya akan diacu dalam pementasan lakon-lakon wayang berikutnya. Baik sumber-sumber cerita tertulis maupun sumber lisan yang sudah dipentaskan, semestinya dijaga kelestariannya, dikaji dan bahkan dikembangkan, antara lain dalam rangka mewartakan tuntunannya yang berupa nilai-nilaimoralnya, yang pada gilirannya akan tetap berpengaruh pada perilaku masyarakat pendukungnya. Masyarakat Jawa banyak mengajarkan nilai-nilai moral melalui komunikasi simbolik. Wayang merupakan bahasa simbol kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada jasmaniah. Jika orang melihat pergelaran wayang, secara ideal yang dilihat bukan saja wayangnya, melainkan masalah yang tersirat

5 5 dalam lakon wayang itu (Mulyono, 1978: 15-16). Masalah yang disampaikan dalam lakon wayang terdapat dalam cerita dramatiknya. Wayang purwa, yang salah satu materinya merupakan cerita dramatik, tidak lain adalah karya sastra. Cerita wayang, sebagai karya sastra, memiliki ciri kesastraan yang dominan, yaitu ciri estetik kesusasteraannya. Cerita wayang menganut prinsip-prinsip estetika timur, seperti; prinsip keseimbangan, kesatuan, keteraturan, menekankan keindahan rasa, dan sekaligus menjadi ensiklopedi hidup (Nurgiyantoro, 1998: 28). Cerita wayang penuh dengan berbagai karakteristik tokoh-tokohnya. Tidak berlebihan bila wayang juga identik dengan alat pendidikan karakter, sebagai suatu representasi dari salah satu karakteristik budaya ketimuran, yakni khususnya budaya Jawa, yang disampaikan oleh seorang dalang. Istilah dalang, secara tradisi, juga sering dimaknai sebagai bentuk jarwa dhosok atau makna singkatan, yakni dari kata ngudhal piwulang, yang berarti membeberkan ajaran kebaikan. Justru menjadi tidak semestinya bila dhalang tidak memberikan piwulang pada masyarakat. Orang, dengan menyenangi wayang dan semakin sering mendapatkan piwulang yang berupa ajaran-ajaran moral, diharapkan karakternya semakin terbentuk menjadi baik. Hal ini sesuai dengan proses pendidikan karakter, seperti yang didefinisikan oleh Koesoemo (2012:56), bahwa karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu, yang tidak sekedar berhenti atas determinasi kodratinya, melainkan juga sebuah usaha untuk hidup semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan dirinya terus-menerus. Karakter bukanlah produk yang

6 6 sudah jadi, tapi merupakan proses, sekaligus hasil, yang terus menerus berlangsung menuju ke kesempurnaan. Wayang purwa sebagai pertunjukan, berisi tontonan, tuntunan dan tatanan. Wayang sebagai tontonan, telah teruji sejak jaman dahulu hingga dewasa ini. Wayang dapat ditonton oleh semua lapisan masyarakat, baik tua maupun muda, baik yang belum atau yang sudah mengerti wayang, penggemar wayang, cendekiawan, orang biasa, dan lain-lain. Kandungan tuntunan wayang sangat luas dan beragam, mulai dari nilai religius, falsafah, sampai yang praktis, misalnya: nilai budi pekerti untuk menuntun sikap dan perilaku manusia dalam upaya character building. Tugas dalang dituntut mampu menjadikan pentas wayang sebagai tontonan sekaligus tatanan dan tuntunan untuk menyampaikan pesanpesan moral. Perihal tatanan yang sangat penting dalam pagelaran wayang adalah pathet. Pathet adalah tahapan pergelaran yang mengandung makna tahap hidup manusia, masa muda, dewasa dan tu, dengan segala pemasalahan hidup yang dihadapinya (Solichin, 2011: 12-14). Cara menyampaikan tuntunannya, wayang purwa banyak menggunakan cara simbolik, baik melalui berbagai alat pendukung dramatiknya maupun melalui cerita dramatiknya, antara lain pada cakepan syair pesindennya, pada bentuk simbolis filosofis berbagai alat gamelan iringannya, maupun pada pendukung pertunjukan lainnya. Tuntunan wayang, melalui cerita dramatiknya ditemukan pada alur ceritanya, pada dialog antar tokoh-tokohnya, dan pada bentuk narasi dalang. Lakon wayang purwa sebagai karya seni yang menampilkan berbagai

7 7 macam simbol harus diintrpretasikan baik oleh dalang, oleh pembaca, maupun oleh penonton wayang sebagai penikmatnya (Sutrisno, dkk., 2009: 17-18). Wayang secara substantif berisi cerita-cerita yang bermuatan pendidikan karakter, baik dalam hubungannya dengan moral, politik, kerumah-tanggaan, maupun berbagai pendidikan yang lebih spesifik. Kelicikan Sengkuni dan para Korawa pada cerita Mahabarata, misalnya, yang berakhir dengan kemenangan Pandawa, merupakan pendidikan karakter, yakni dalam hubungannya dengan moralitas bahwa yang jahat akan berakhir dengan kekalahan. Ramayana menceritakanketeguhan Rama dalam mempertahankan haknya atas Sinta. Bagian tersebut berisi pendidikan karakter tentang keteguhan dan kesabaran. Kehancuran negeri besar Alengka adalah pendidikan karakter dalam hubungannya dengan kesombongan dan keangkara-murkaan Dasamuka. Bantuan para prajurit kera pada Pancawati adalah pendidikan karakter tentang loyalitas pada janji Sugriwa, nama pemimpin kera itu, kepada Rama yang pernah menolongnya. Keteguhan Sinta untuk tidak menerima dan meladeni Dasamuka adalah pendidikan karakter kesetiaan, keteguhan, keberanian, dan sebagainya. Cerita Mahabharata dan Ramayana kemudian diciptakan kembali menjadi bentuk lakon-lakon, dalam pertunjukan wayang purwa yang dipentaskan pada suatu pertunjukan. Wayang purwa, dalam sekali pertunjukan yang sering disebut lakon, secara tradisi dibagi dalam beberapa adegan. Setiap adegan memiliki kekhususan isinya masing-masing, meskipun demikian setiap adegan juga dapat diisi dengan berbagai muatan pendidikan (Suryadi Ws, 1984: 43-50). Misalnya, adegan pada jejer pertama, raja bersidang bersama ponggawa dan orang-orang

8 8 penting lainnya, secara khusus berisi permasalahan politik kenegaraan yang dapat diselipi dengan permasalahan politik yang terjadi pada realitas, misalnya tentng pilihan presiden, pilkada, tentang aturan kepartaian. Adegan selanjutnya, adegan Limbukan, adalah adegan antara seorang ibu dengan anak wanitanya. Adegan ini secara khusus menyuguhkan hiburan lawakan dan nyanyian, seperti campur sari, dhangdhut, dan sebagainya. Adegan tersebut juga dapat diselipi dengan pembicaraan-pembicaraan tentang kewanitaan, kerumah-tanggaan, KB, arisan ibu-ibu, masakan, dan berbagai hal yang up to date tentang kewanitaan. Adegan gara-gara, memiliki kekhususan dalam hal dunia pria. Pada adegan ini, pembicaraan yang muncul, dari para Panakawan yang dapat diberi latar pedesaan yang masih tradisional sekali sampai pada perkotaan yang modern, dari kehidupan para petani di desa, hingga mewakili para pegawai negeri atau swasta pada umumnya, bahkan boleh saja mewakili para pemimpin negara. Permasalahan keseharian bapak-bapak yang up to date dapat dibicarakan pada adegan gara-gara itu. Permasalahan pendidikan, misalnya dapat dibicarakan pada saat adegan kapandhitan, yang merupakan adegan pendeta dalam mengajar muridnya. Adegan ini kemudian dapat memunculkan adegan khusus, dengan tokoh cantrik, atau semacam santri yang sedang belajar di padepokan atau di sekolah tertentu. Adegan ini dapat memunculkan berbagai permasalahan dan suasana untuk belajar, dari suasana belajar non formal, informal dan formal. Adegan-adegan dalam wayang purwa, dengan demikian menjadi jelas, bahwa memiliki kekhususan suasana yang dapat berisi berbagai nilai etika yang pada gilirannya dapat

9 9 menyumbangkan pendidikan karakter bagi masyarakat pendukungnya.wayang secara substantif menyampaikan berbagai konsep dasar filosofi Jawa sehingga sangat menarik memahami wayang melalui pengkajian nilai etika tersebut. Penelitian ini berjudul Lakon Banjaran Anoman Sajian Ki Timbul Hadiprayitno dalam Perspektif Etika : Relevansinya dengan Pendidikan Karakter. Lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno, pada intinya menceritakan biografi tokoh Anoman sejak lahirnya hingga kematiannya. Tokoh Anoman adalah tokoh yang berwujud kera tetapi dipersonifikasikan seperti manusia, bahkan Anoman dapat terbang dan memiliki kemampuan-kemampuan yang istimewa. Anoman diceritakan sebagai putera kera yang semula adalah seorang puteri cantik bernama Dewi Anjani. Anoman berhasil menunaikan tugasnya ketika diangkat sebagai duta Prabu Rama untuk menyelidiki keberadaan Sinta di Alengka, bahkan Anoman berhasil membakar istana Alengka. Anoman berusia sangat panjang hingga menyelami kehidupan pada masa kehidupan para Pandawa, bahkan setelah kehidupan para cucu Pandawa. Alasan pemilihan lakon Banjaran Anoman sebagai objek material penelitian ini karena lakon Banjaran Anoman banyak menyampaikan nilai-nilai moral atau nilai-nilai etis. Nilai-nilai etis dalam lakon tersebut relevan sebagai nilai-nilai yang seharusnya diterapkan oleh setiap warga negara, bahkan perlu ditularkan pada genersi yang akan datang, sehingga layak untuk diteliti dan disosialisasikan hasilnya. Alasan dipilihnya Ki Timbul Hadiprayitno, sebagai dalang yang sajian lakonnya perlu dikaji dalampenelitian ini adalah bahwa Ki Timbul Hadiprayitno merupakan dalang yang tidak diragukan lagi kemampuannya, yakni

10 10 kemampuannya menyajikan suatu tontonan, tuntunan, dan tatanan dalam pertunjukan wayang purwa. Tatanan dan tuntunan yang disajikannya dalam bentuk tontonan, tidak lain adalah nilai-nilai etis. Nilai-nilai etis yang disajikan oleh Ki Timbul Hadiprayitno, sebagai dalang favorit yang sangat piawai, perlu dikaji dalam relevansinya dengan realitas yang ada pada saat ini di Indonesia. Realitas yang terjadi saat ini di Indonesia, dalam hubungannya dengan permasalahan moralitas, dari sisi tertentu sangatlah memprihatinkan. Berbagai berita, baik melalui media cetak maupun elektronik, menunjukkan bahwa banyak sekali kasus-kasus yang bermuatan pelanggaran moral hingga menjadi permasalahan hukum. Banyak tokoh-tokoh masyarakat yang disinyalir melakukan pelanggaran moral hingga ditangkap atau dimeja-hijaukan. Para oknum tokoh partai, oknum kepala daerah atau mantan kepala daerah, oknum pejabat-pejabat, oknum pendidik, dan sebagainya yang semestinya menjadi teladan atau panutan bagi masyarakat luas, malah melakukan pelanggaran moral. Dasawarsa terakhir ini setidaknya tersiar berita-berita besar antara lain yang menyangkut masalah korupsi, seperti korupsi daging sapi( diakses 6 Mei 2015), kasus korupsi pada proyek Hambalang, diakses 6 Mei 2015), korupsi di Dinas Pajak, ( diakses pada tanggal 6

11 11 Mei 2015), kasus korupsi proyek pengadaan Alquran ( Agama-Korupsi-Al-Quran. Diakses tgl 16 Mei 2015), kasus pelecehan seksualdi sekolah( Diakses 6 Mei 2015), dan kasus penelantaran anak di Perumahan Citra Grand Cibubur Bekasi( Tahu-Utomo-Telantarkan-Anak, Diakses 16 Mei 2015). Berita moralitas lainnya akhir-akhir ini juga hangat dibicarakan tentang terorisme dan radikalisme yang sebenarnya juga tidak terlepas dari masalah moralitas dalam hubungannya dengan masyarakat umum dan kewarganegaraan. Kasus-kasus tersebut tentu saja merupakan permasalahan pelanggaran terhadap hak-hak orang lain yang menyangkut nilai-nilai etisdemi memperoleh keuntungan sendiri. Pelanggaranpelanggaran moral tersebut sebagaiannya menyangkut permasalahan karakter pelakunya, oleh karena itu pemerintah Indonesia telah berusaha menanggulangi berbagai kejahatan moral tersebut dengan mengetegahkan program pendidikan karakter. Penelitian Lakon Banjaran Anoman Sajian Ki Timbul Hadiprayitno dalam Perspektif Etika : Relevansinya dengan Pendidikan Karakter ini penting dilakukan dengan alasan, (1) mengingat masalah etika, merupakan permasalahan yang hingga saat ini masih perlu dibicarakan dan disosialisasikan sebagai salah satu upaya kesadaran masyarakat akan nilai-nilai etis yang perlu dipertahankan dan dilaksanakan agar tidak terjadi kemerosotan moral. (2) Lakon Banjaran

12 12 Anoman disajikan oleh Ki Timbul Hadiprayitno, yang semasa hidupnya merupakan dalang tersohor yang sangat mengena di hati masyarakat pengemar wayang purwa. Ki Timbul Hadiprayitno tersohor dengan kepiawaiannya menyampaikan tontonan, tatanan, dan tununan melalui suasana dramatik setiap lakon yang digelarnya, sehinga berbagai bagian cerita beserta piwulang-nya dapat diterima secara baik oleh para penontonnya. (3) Lakon Banjaran Anoman mengambil tokoh utama Anoman, tokoh yang digambarkan sebagai kera tetapi ternyata sangat menekankan tanggung jawab dalam berbagai kewajibannya, serta baik budi pekertinya yang merupakan ekspresi dari hati nuraninya. Tanggung jawab, kewajiban dan hati nurani merupakan permasalahan yang sering dibicarakan dalam etika. (4)Temuan nilai-nilai etis dalam lakon Banjaran Anoman perlu dikaji relevansinya dengan pendidikan karakter yang pada dewasa ini sangat ditekankan di Indonesia. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian yang berjudul Lakon Banjaran Anoman Sajian Ki Timbul Hadiprayitno dalam Perspektif Etika: Relevansinya dengan Pendidikan Karakter bermaksud untuk mencari jawaban atas permasalahan sebagai berikut. a. Bagaimana struktur lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno? b. Apa analisis etika terhadap nilai-nilai etis dalam lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno?

13 13 c. Apa relevansi nilai-nilai etis dalam lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno dengan pendidikan karakter di Indonesia? 3. Keaslian Penelitian Penelitian-penelitian sebelumnya yang bersinggungan dengan penelitian berjudul Lakon Banjaran Anoman Sajian Ki Timbul Hadiprayitno dalam perspektif Etika: Relevansinya dengan Pendidikan Karakter ini, adalah menyangkut penelitian tentang lakon wayang, khususnya dalam hubungannya dengan etika, dan dalam hubungannya dengan pendidikan karakter. Berbagai penelitian yang sudah ada, sejuh pengetahuan peneliti tidak ada yang sama dengan penelitian ini. Penelitian-penelitian yang bersingungan adalah sebagai berikut. Tahun 2009 Kasidi Hadiprayitno berhasil menyelesaikan disertasinya pada Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dengan judul Estetika Suluk Wayang Gaya Yogyakarta: Relevansinya bagi Etika Moralitas Bangsa. Penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Filsafat Keindahan Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta (Jogjakarta: Penerbit Bagaskara). Kasidi meneliti tentang suluk wayang gaya Yogyakarta dengan perspektif estetika, dimulai dari pengertian sulukan wayang, konsep estetik penciptaan sulukan wayang, kemudian dikhususkan pada estetika sulukan wayang kulit purwa gaya yogyakarta serta relevansi estetiknya terhadap etika moralitas dan budi pekerti luhur bangsa. Penelitian tentang suluk gaya Yogyakarta oleh Kasidi ini bersinggungan dalam hal penelitian tentang wayang, namun sangat berbeda fokus penelitiannya dengan yang dilakukan oleh penulis saat ini.

14 14 Tahun 2009 juga terbit hasil penelitian Suyanto, dengan judul Nilai Kepemimpinan Lakon Wahyu Makutharama dalam Perspektif Metafisika (Surakarta: ISI Press Solo). Penelitian ini membahas hakikat aspek-aspek metafisika yang terdapat dalam lakon Wahyu Makutharama, khususnya sajian Nartasabda, yang mencakup hakikat filsafat wayang, hakikat lakon Wahyu Makutharama, yang kemudian lebih fokus pada aspek-aspek metafisika dalam lakon Wahyu Makutharama serta relevansinya bagi kepemimpinan. Penelitian oleh Suyanto ini, dalam hubungannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, bersinggungan dalam hal penelitian tentang wayang dan khusus mengkaji sajian oleh dalang Ki Nartasabda, namun fokusnya pada lakon Wahyu Makutharama dan perspektifnya adalah metafisika. Iva Ariani, pada tahun 2009 berhasil mempertahankan disertasinya di Program Studi Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada, yang berjudul Etika dalam Lakon Kumbakarna Gugur oleh Dalang Anom Suroto Relevansinya bagi Pengembangan Bela Negara Di Indonesia. Penelitian ini memfokuskan pada etika dalam lakon Kumbakarna Gugur sajian dalang Anom Suroto, yang kemudian dengan pendekatan teori Imanuel Kant dan Aristoteles lebih difokuskan pada relevansinya dengan bela negara. Penelitian ini membahas tentang etika tokoh wayang bernama Kumbakarna dari negara Alengka yang membela negaranya karena tidak mau melihat tanah airnya dihancurkan oleh musuh-musuhnya yakni para prajurit kera dari negara Pancawati. Penelitian ini, dalam hubungannya dengan penelitian penulis, sama-sama meneliti tentang etika dalam lakon wayang, namun lakonnya dan dalangnya berbeda.

15 15 Wahyu Lestari tahun 2009 menyelesaikan disertasinya pada Program Doktor Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada, dengan judul Nilai Etis Ruwatan Sukerta dalam Pertunjukan Wayang Kulit Purwa, Relevansinya Bagi Budi Pekerti. Disertasi ini menelaah tentang nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam proses ruwatan dengan pertunjukan wayang kulit purwa. Nilai-nilai etis yang ada dibahas dengan memfokuskan pada para pelaku ruwatan, mulai dari orang tua, yang diruwat, yang meruwat serta para kerabat yang membantu prosesi ruwatan. Penelitian ini, meskipun berhubungan dengan pertunjukan wayang kulit purwa dan dengan perspektif etika, namun fokus penelitiannya juga sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh penulis saat ini. Muh. Mukti, pada tahun 2013 berhasil mempertahankan disertasi doktornya berjudul Lakon Subali Lena Sajian Enthus Susmana dalam Perspektif Etika: Relevansinya dengan Ajaran Moral Syaikh Maulana Ilyas. Penelitian ini meneliti tentang struktur pakeliran lakon Subali Lena sajian Enthus Susmono, kemudian nilai-nilai etis dalam lakon Subali Lena sajian Enthus Susmono, serta relevansinya pada ajaran moral Shaikh Maulana Ilyas. Struktur pakeliran lakon Subali Lena, di dalamnya berisi sub-sub bab tentang riwayat hidup dalang Enthus Susmono, Sumber Pertunjukan dan Cerita Subali Lena, serta bentuk pertunjukan wayang kulit purwa sajian Enthus Susmono. Nilai-nilai Etis, di dalamnya berisi pembahasan tentang wayang sebagai sumber nilai, konsep hati nurani sebagai sumber nilai, konsep hati nurani dalam lakon Subali Lena, konsep hak dan kewajiban dalam lakon Subali Lena, konsep kebebasan dan tanggung jawab dalam lakon Subali Lena, serta konsep keadilan dalam lakon Subali Lena. Relevansi nilai

16 16 etis lakon Subali Lena dengan ajaran Syaikh Maulana Ilyas, berisi pembahasan tentang biografi syaikh Maulana Ilyas, pokok ajaran Syaikh Maulana Ilyas, nilai dakwah dalam lakon Subali Lena, relevansinya terhadap usaha perbaikan moral umat, serta relevansinya terhadap usaha pelestarian wayang.penelitian Muh. Mukti tersebut bersinggungan dengan penelitian penulis dalam hal wayang dan etika, namun baik lakon maupun dalangnya berbeda. Tahun 2013 Sutrisna Wibawa mempertahankan disertasinya berjudul Filsafat Moral dalam Serat Centhini melalui Tokoh Seh Amongraga Sumbangannya bagi Pendidikan Karakter. Disertasi ini meninjau filsafat moral melalui tokoh Amongraga dalam hubungannya dengan pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Universitas Negeri Yogyakarta dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hasil kesimpulannya, Sutrisna Wibawa menambahkan nilai moral hati nurani dan kerendahan hati, dari nilai moral yang sudah dirumuskan oleh Universitas Negeri Yogyakarta dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Disertasi ini mengambil objek penelitian pada Serat Centhini, dan khusus menyoroti tokoh Seh Amongraga, bukan bagian dari khasanah wayang purwa. Penelitian Sutrisna wibawa bersinggungan dengan penelitian penulis, khususnya dalam perspektif etikanya dan pendidikan karakter, tetapi objek materialnya bukan lakon wayang sehingga berbeda. Sepengetahuan peneliti, penelitian Lakon Banjaran Anoman Sajian Ki Timbul Hadiprayitno dalam Perspektif Etika: Relevansinya dengan Pendidikan Karakter memang belum pernah dilakukan oleh peneliti atau pakar lainnya. Permasalahan etika memang telah sering dibicarakan oleh banyak peneliti,

17 17 berbagai permasalahan dalam hubungannya dengan wayang purwa juga telah dilakukan oleh banyak pakar, namun baik tentang lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno maupun etika dalam lakon Banjaran Anoman belum pernah dilakukan orang lain. 4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini mencakup manfaat bagi ilmu pengetahuan, bagi ilmu filsafat dan bagi bangsa Indonesia. a. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini bermanfaat menambah kelengkapan wacana pengetahuan, yang menyangkut ilmu pengetahuan tentang lakon dalam wayang purwa dan tentang moralitas. b. Bagi ilmu filsafat, hasil penelitian ini akan menunjang keilmuan filsafat, kususnya etika dalam hubungannya dengan lakon wayang purwa. c. Bagi bangsa Indonesia, penelitian ini antara lain juga menarik kesimpulankesimpulan yang dapat mendasari bagi setiap warga negara serta para pemimpin bangsa, yaknidalam hubungannya dengan pendidikan karakter, yang akan membuka wacana tentang nilai-nilai filosofis dalam hubungannya dengan setiap kewajiban dan hak-haknya, yang pada gilirannya dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. B. Tujuan Penelitian Penelitian berjudul Lakon Banjaran Anoman Sajian Ki Timbul Hadiprayitno dalam perspektif Etika: Relevansinya dengan Pendidikan Karakter bertujuan sebagai berikut.

18 18 1. Menemukan struktur lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno. 2. Menemukan hasil analisis etika dan nilai-nilai etis dalam lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno. 3. Menemukan relevansi etika dalam lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno,dengan pendidikan karakter bangsa Indonesia. C. Tinjauan Pustaka Wayang purwa Jawa adalah salah satu bentuk karya seni yang dapat dipakai sebagai sumber pencarian nilai-nilai, termasuk permasalahan etika, karena di dalamnya terdapat berbagai ajaran dan nilai etis yang bersumber dari berbagai sistem filsafat, etika serta agama. Ajaran dan nilai-nilai etis itu memenuhi persyaratan secara objektif dan kritis yakni dapat dipakai oleh bangsa Indonesia dan terbukti keluhurannya karena telah lolos dari berbagai pengetesan dengan tetap dipakainya ajaran-ajaran dan nilai-nilai itu oleh bangsa Indonesia dari jaman-ke jaman. Mahabharata dan Ramayana merupakan sumber-sumber lakon wayang yang juga mengajarkan etos sosial berupa nilai-nilai kepahlawanan atau kesatriaan (Amir, 1991: 16-17). Ra uf (2010: 9) menyatakan bahwa manusia mampu melakukan kehidupan sosial seperti digambarkan pada tokoh wayang. Tokoh-tokoh pahlawan dalam wayang dapat memberikan inspirasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kaitannya dengan penelitian terhadap etika dalam lakon Banjaran Anoman perlu kiranya ditinjau beberapa pustaka yang telah membahas cerita Ramayana, khususnya dalam hubunganya dengan lakon Banjaran Anoman.

19 19 Cerita wayang purwa berkembang dalam tradisi tulis dan tradisi lisan. Perkembangan melalui tradisi tulis, antara lain berkembang sebagai bacaan cerita saja atau sebagai pakem atau contoh pola untuk pementasan. Perkembangan yang melalui lisan, yakni melalui pementasan-pementasan lakon wayang serta pembicaraan dari mulut ke mulut. Sri Mulyono (1978: 224), menggolongkan kepustakaan wayang menjadi tiga, yakni: (1) cerita atau lakon wayang dalam bentuk prosa, kakawin dan tembang, baik untuk tuntunan pertunjukan maupun untuk bacaan; (2) pakem wayang yang berisi ringkasan atau kerangka pokok cerita sebagai pedoman bagi dalang dan penggemar wayang untuk melaksanakan dan mengikuti pergelaran wayang; dan (3) analisis tentang hal-ihwal wayang. Darusuprapto (1969: 65) menggolongkan bentuk pakem menjadi dua, yakni (1) pakem balungan yang hanya berisi garis besar cerita dan ikhtisar pembicaraan, dan (2) pakem gancaran, yang memuat jalan cerita satu lakon, lengkap dengan penceritaan dan petunjuk pemanggungannya. Lakon banjaran adalah lakon yang menceritakan perjalanan hidup tokoh wayang, yakni mulai dari kelahirannya, masa dewasanya, perkawinannya, kejayaannya, kesaktiannya sampai dengan peristiwa kematiannya (Sutrisno, dkk., 2009: 25). Lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno, menceritakan tentang tokoh Anoman, mulai dari kelahirannya, berbagai kejadian-kejadian penting yang dialami dalam hidup Anoman hingga kematiannya. Cerita tentang tokoh Anomantersebut,berhubungan dengan berbagai cerita wayang, yakni setidaknya terdapat tiga sumber cerita. Cerita kelahiran Anoman, pengabdiannya kepada Prabu Rama sampai terkalahkannya kerajaan Alengka bersumber dari

20 20 cerita Ramayana. Cerita Anoman yang berhubungan dengan para tokoh Pandawa, tokoh para Pandawa bersumber dari cerita Mahabharata. Cerita Anoman yang berhubungan dengan tokoh Prabu Jayabaya di kerajaan Mamenang sampai kematian Anoman bersumber dari cerita wayang madya. Cerita Ramayana telah terkenal di Jawa sejak lama, terbukti adanya Kakawin Ramayana yang berbahasa Jawa Kuna. Poerbatjaraka (1957: 130) membantah pendapat Ikram, bahwa Ramayana dibuat pada abad ke-13 pada jaman Kediri, dengan mengungkapkan bahwa Kakawin Ramayana yang berbahasa Jawa Kuno ditulis antara Masehi, yaitu pada masa pemerintahan Mataram Hindu yang rajanya bernama Dyah Balitung. Kakawin Ramayana digubah pada tahun 825 Çaka atau 903 Masehi oleh Yogiswara seorang empu yang hidup pada masa pemerintahan Dyah Balitung tahun Çaka atau Masehi. Para pakar, setelah melalui berbagai perdebatan ilmiah, akhirnya banyak yang menyepakati bahwa Kakawin Ramayana dibuat sekitar tahun 850 Çaka yakni pada jaman Ratu Baka. Cerita Rama, disamping terdapat dalam kakawin, juga didapatkan dalam pahatan-pahatan di candi, antara lain di candi Prambanan dan Panataran. Cerita-cerita Rama di Jawa diketahui sebagai hasil resepsi Ramayana karya Walmiki di India, namun para ahli seperti Rassers, Kern, dan Hazeu berpendapat bahwa banyak perbedaannya dengan teks Ramayana karya Walmiki. Menurut mereka hal itu disesuaikan dengan alam pikiran dan tata nilai di Indonesia (Untoro, 2013: 138). Cerita Ramayana juga ditransformasikan dalam bentuk sendratari Ramayana yang merupakan genre baru sendratari di Jawa

21 21 setelah adanya wayang wong, langendriyan, wayang topeng dan langen mandrawanara. Cerita Ramayana juga telah berkembang dalam berbagai drama di Jawa, baik dalam bentuk lakon-lakon pergelaran wayang purwa yang umum seperti Anoman Duta maupun dalam bentuk banjaran seperti Banjaran Anoman. Cerita Ramayana merupakan karya yang sangat populer dalam masyarakat Jawa, dan bangsa Indonesia pada umumnya, bahkan popularitas Ramayana sudah menjadi milik dunia, oleh karena itu tidak mengherankan bila pembahasan tentang cerita Ramayana telah banyak dilakukan oleh para ahli. Keindahan Kakawin Ramayana dipuji oleh Poerbatjaraka dengan menyatakan bahwa seumur hidup Poerbatjaraka belum pernah membaca kitab Jawa yang kehebatannya melebihi Kitab Ramayana (Poerbatjaraka, 1957: 2). Hal yang hampir sama, Padmosoekotjo (1985) dalam bukunya yang berjudul silsilah Wayang Purwa Mawa Carita jilid II menempatkan cerita Rama itu sebagai bahasan dan bahasa yang mengagumkan keindahannya. Lakon-lakon wayang purwa yang diambil dari sumber cerita Ramayana, misalnya : Rama Duta atauanoman Duta, Rama Tambak, dan sebagainya. Tokoh-tokoh dari Ramayana sebagiannya berhubungan dengan lakon-lakon yang sumber ceritanya dari Mahabharata, antara lain dalam lakon Rama Nitik dan lakon Rama Nitis (Mulyono, 1984: ). Lakon Wahyu Makutha Rama juga menghadirkan tokoh Anoman, tokoh yang juga bersumber dari Ramayana bertemu dengan tokoh-tokoh Pandawa dari sumber Mahabharata (Suyanto, 2009: ).

22 22 Suatu hal yang menarik untuk dikaji, adalah bahwa tokoh Anoman yang juga bernama Maruti sangat populer, sehingga disamping diceritakan dalam bentuk-bentuk lakon atau pergelaran wayang, juga diciptakannya syair lagu campursari yang juga menokohkan Anoman, yakni berjudul Anoman Obong. Tokoh Anoman dalam berbagai lakon sering dilukiskan sebagai figur yang menunjukkan keluhuran budi, keteladanan utama dan lebih dari itu, Anoman adalah tokoh yang merupakan pahlawanan besar (Ditjen Kebudayaan Departemen P&K, t.t.: ). Permasalahan etika juga dimunculkan dalam hubungan kehidupan tokoh Anoman dengan tokoh-tokoh lain dalam lakon Banjaran Anoman tersebut. Penelitian yang akan menguraikan etika dalam lakon Banjaran Anoman ini diharapkan dapat menemukan pemikiran filosofis tentang berbagai etika dalam lakon yang bersangkutan sehingga dapat dimanfaatkan atau diterapkan oleh segenap warga Indonesia. Pengkajian ini, dengan demikian merupakan pengkajian kearifan lokal, berpijak dari akar budaya lokal yang disosialisasikan bagi kehidupan yang lebih luas. Lakon Banjaran Anoman memberi contoh permasalahan etika dan nilai-nilai etis sebagai bahan renungan bagi bangsa Indonesia pada umumnya. Rasa nasionalisme, cinta tanah air, tanggung jawab sebagai duta, yang menjadi bagian pembahasan penelitian ini, antara lain tercermin dalam sikap tokoh Anoman dan tokoh-tokoh lainnya. Anoman digambarkan sangat pemberani ketika melawan musuh-musuhnya dari negara Alengka. Amir (1991: ), menyatakan bahwa kesatria yang ideal dalam wayang adalah kesatria yang antara lain seperti tercermin dalam tokoh Anoman.

23 23 D. Landasan Teori Filsafat, di Barat diartikan cinta kearifan (wisdom), sedang di Jawa dapat berarti cinta kesempurnaan atau ngudi kasampurnan. Filsafat, di Barat lebih ditekankan sebagai hasil renungan dengan rasio atau cipta-akal pikir-nalar dan berarti pengetahuan berbagai bidang yang dapat memberi petunjuk pelaksanaan sehari-hari. Seorang filsuf berarti seorang pecinta kebijaksanaan. Pandangan Jawa menganggap filsuf telah mencapai status adimanusiawi atau wicaksana atau bijaksana dalam pikiran dan perasaan. Orang yang wicaksana disebut juga sebagai jalma sulaksana orang bijak atau waskitha tahu yang akan terjadi, atau ngêrti sadurunge winarah tahu sebelum terjadi atau jalma limpat seprapat tamat orang pandai sudah lulus meski baru diberi tahu seperempat bagiannya (Mulyono, 1989: 16). Intinya, orang yang wicaksana adalah orang yang bijaksana dalam pikiran dan tajam perasaannya sehingga mampu menangkap kemungkinankemungkinan yang akan terjadi. Kesempurnaan atau kasampurnan, dalam kebudayaan Jawa, berarti wikan sangkan paran mengerti akan awal dan akhir hidup. Kesempurnaan dihayati dengan seluruh kesempurnaan cipta-rasa-karsa. Manusia sempurna telah menghayati dan mengerti awal akhir hidupnya. Orang Jawa sering menyebut mulih mula mulanira yakni setelah meninggal lalu kembali pada asal mulanya. Manusia Jawa berusaha kembali dan manunggal dengan penciptanya, yang sering disebut manunggaling kawula gusti. Manusia sempurna memiliki kawicaksanan kebijaksanaan dan kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu atau kawaskithan (Ciptoprawiro, 1986: 82).

24 24 Kawicaksanan kebijaksanaan dan kawaskithan kemampuan mengetahui hal jauh atau akan datang akan selalu direpresentasikan dalam berbagai tindakan pada kehidupan sehari-harinya, termasuk dalam melaksanakan pandangan akan nilai-nilai ajaran moralnya. Pandangan filosofis khususnya etika dalam penelitian ini akan ditekankan pada pandangan Jawa sesuai dengan objek kajiannya yakni wayang purwa di Jawa. Etika mengkaji tentang nilai, yakni nilai-nilai moral. Bakry (1997: 161), dalam hubungannya dengan nilai, menjelaskan bahwa kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu untuk selanjutnya diambil keputusan, disebut menilai dalam arti menimbang, sedangkeputusan yang diambil disebut dengan nilai. Keputusan nilai dapat mengatakan: berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah, religius atau tidak religius. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia yaitu jasmani, akal, kehendak, rasa, dan kepercayaan. Sesuatu itu, pada dasarnya mempunyai nilai, apabila sesuatu itu berguna, hal riil ditinjau dari segi kemanfaatan, dan selanjutnya dapat bernilai benar atau nilai kebenaran, baik atau nilai moral, indah atau nilai estetis, dan religius atau nilai agama. Bertens (2011: 149) menyatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya sesuatu yang baik. Nilai adalah sesuatu yang diiakan atau diamini. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu yang dijauhi, sesuatu yang membuat orang melarikan diri seperti penderitaan, penyakit, atau kematian adalah lawan dari nilai, adalah non-nilai atau disvalue.

25 25 Hal yang hampir sama, Koyan (2000: 12), menyatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang berharga, positif, dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, membuat orang gembira dan puas. Kaelan (2008: 87), menyatakan bahwa istilah nilai dalam bidang filsafat menunjuk pada kata benda abstrak yang artinya keberhargaan atau kebaikan, dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. Nilai adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Scheler (Magnis-Suseno, 2008;16-18) menyatakan bahwa nilai bersifat apriori. Maksudnya, apa arti sebuah nilai, misalnya enak, jujur atau kudus, diketahui bukan karena suatu pengalaman, secara aposteriori, melainkan diketahui begitu disadari akan nilai itu. Manusia tidak menciptakan nilai-nilai, melainkan menemukan mereka. Scheler menyatakan bahwa nilai dapat diungkap bukan dengan pikiran, melainkan dengan suatu perasaan intensional. Perasaan di sini tidak dibatasi pada perasaan fisik atau emosi, melainkan mirip dengan paham rasa dalam budaya Jawa, sebagai keterbukaan hati dan budi dalam semua dimensi. Perasaan itu intensional karena setiap nilai ditangkap melalui perasaan yang terarah tepat padanya. Kehidupan manusia pada dasarnya digerakkan oleh empat nilai dasar yaitu nilai kebaikan, nilai kebenaran, nilai keindahan, dan nilai ke-tuhanan. Nilai baik dan buruk sebenarnya menjadi milik manusia dan akan selalu berarti sebagai berikut. Pertama: norma (kaidah), peraturan hidup, perintah. Kedua, sila yang

26 26 menyatakan keadaan batin terhadap peraturan hidup, hingga dapat juga berarti sikap, keadaan, siasat batin, perilaku, sopan santun, dan sebagainya. (Solichin dan Tim Filsafat Wayang, 2011: 57). Keempat nilai tersebut terdapat dalam setiap karya sastra, termasuk nilai kebaikan yang berupa ajaran moral. Moral dalam sebuah karya sastra, merupakan unsur isi, yaitu pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Moral juga dapat dipandang sebagai tema karya sastra dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang berkaitan dengan nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembaca. Karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Pesan moral ini disebut amanat. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh, pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang diamanatkan (Nurgiyantoro, 2007: ). Nilai-nilai kebaikan dibahas dalam keilmuan etika. Masalah etika merupakan gejala manusia atau menyangkut keseluruhan aktvitas manusia. Etika mempelajari tujuan yang sesuai hakikat manusia sebagai manusia ditinjau dari putusan akal, maka pengertian etika adalah perwujudan nilai atau norma dalam sikap dan perbuatan hidup yang dicita-citakan oleh akal budi (Solichin dan Tim Filsafat Wayang, 2011: 58). Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas, atau etika adalah ilmu yang menyelidiki

27 27 tingkah laku moral. Ada tiga pendekatan etika, yakni etika deskriptif, metaetika dan etika normatif. Bertens ( 2011: 17-24) menjelaskannya sebagai berikut. Etika deskriptif adalah etika yang melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak. Etika deskriptif hanya melukiskan, tidak memberi penilaian, misalnya hanya melukiskan tentang adat mengayau kepala, tanpa membenarkan atau menyalahkan adat itu. Metaetika adalah etika yang berbicara pada taraf bahasa etis atau bahasa yang digunakan pada bidang moral, atau dapat dikatakan bahwa metaetika mempelajari etika khusus dari ucapan-ucapan etis Metaetika termasuk dalam filsafat analitis, yakni yang menganggap analisa bahasa menjadi tugas terpenting dari filsafat, bahkan satu-satunya. Antara etka normatif dengan metaetika, sering tidak dapat dipisahkan, sebab jika berbicara tentang bahasa moral tentu juga akan berbicara tentang perilaku moral, ketika mempelajari ucapan-ucapan etis sering juga menilai pada ucapan-ucapan itu. Sebaliknya, jika berbicara tentang perilaku moral, dengan sendirinya akan merefleksi tentang istilah-istilah dan bahasa yang dipakai. Etika normatif adalah etika yang tidak hanya melukiskan, tetapi melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia, misalnya, tidak hanya melukiskan adat mengayau kepala, tetapi juga menolak adat itu karena dinilai bertentangan dengan martabat manusia. Contoh lainnya, menolak adanya prostitusi sebagai suatu lembaga karena bertentangan dengan martabat wanita. Etika normatif meninggalkan sikap netral dengan mendasarkan

28 28 pendiriannya atas norma. Perspektif etika dalam penelitian ini ditekankan pada etika normatif. Etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Etika dan ajaran moral tidak setingkat. Ajaran moral mengatakan tata cara seseorang harus hidup. Etika mau mengerti alasan seseorang harus mengikuti ajaran moral tertentu, atau alasan seseorang dapat mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Magnis- Suseno, 1989: 14). Antara etika dan ajaran moral tidak berada pada tingkat yang sama, ajaran moral mengatakan bagaimana manusia harus hidup, sedangkan etika menjawab bagaimana manusia dapat bersikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan pelbagai ajaran moral. Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi bukan mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain bulu tangkis atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baikburuknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang (Magnis-Suseno, 1989:14-19). Magnis-Suseno (1989: ) memerinci prinsip dasar moral menjadi tiga, yaitu (a) prinsip sikap baik, (b) prinsip keadilan, dan (c) prinsip hormat

29 29 terhadap diri sendiri. Prinsip pertama, yakni prinsip sikap baik, yang pada intinya hendaknya seseorang jangan merugikan siapa saja. Sikap yang dituntut sebagai dasar hubungan dengan siapa saja adalah sikap yang positif dan baik. Prinsip ini harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari suatu tindakan. Prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain. Prinsip baik bukan hanya sebuah pinsip yang difahami secara rasional, melainkan juga mengungkapkan perasaan syukur, suatu kecondongan yang memang sudah ada dalam watak manusia. Prinsip kedua adalah prinsip keadilan. Adil pada hakikatnya berarti memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua fihak yang bersangkutan. Perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali dapat diperlihatkan mengapa ketidaksamaan dapat dibenarkan. Suatu perlakuan tidak selalu perlu dibenarkan secara khusus, sedangkan perlakuan yang sama dengan sendirinya betul kecuali terdapat alasan-alasan khusus (Magnis- Suseno, 1989: ). Prinsip ketiga adalah hormat terhadap diri sendiri. Prinsip ini mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai sesuatu yang bernilai bagi dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, dan makhluk berakal budi. Manusia tidak boleh dianggap sebagai sarana

30 30 semata-mata demi suatu tujuan yang lebih lanjut. Tujuan tersebut harus bernilai bagi dirinya sendiri, bukan sekedar sebagai sarana untuk maksud atau tujuan yang lebih jauh. Manusia wajib memperlakukan dirinya sendiri secara hormat, yang mempunyai dua arah, pertama agar manusia tidak membiarkan dirinya diperas, diperalat, diperkosa, atau diperbudak; dan kedua agar manusia jangan sampai membiarkan diri sendiri terlantar (Magnis-Suseno (1989: ). 1. Bahan atau Materi Penelitian E. Metode Penelitian Objek material penelitian ini adalah lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno, sedang objek formal penelitian ini adalah etika. Lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno yang menjadi objek material dalam penelitian ini semula merupakan hasil rekaman pergelaran sajian Ki Timbul Hadiprayitno yang diselenggarakan oleh media Buana Minggu pada malam satu Sura. Hal ini dapat diketahui dari bagian Gara-gara, yang dinyatakan oleh tokoh Panakawan bernama Petruk, sebagai berikut. Kang Gareng karo Bagong arep takundang, perlu arep tak jak mangayu bagya, pahargyan iki tan prabeda kaya padatan, janji dina sasi Sura tanggal siji, Buana Minggu nganakake pagelaran kanggo srana padha tirakatan (Hadiprayitno: 34) (Mas Gareng dengan Bagong akan saya undang, perlunya untuk saya ajak memberi salam hormat, perayaan ini tidak berbeda dengan biasanya, setiap bulan Sura malam tanggal satu Buana Minggu mengadakan pagelaran (wayang) sebagai sarana tirakatan). Sumber lain, mencatat bahwa pada Ki Timbul Hadiprayitno menjadi dalang tetap peringatan 1 Sura di Senayan, Jakarta (Wayangkuidolaku.blogspot.in/201304/ mengenang tokoh-kebudayaan-

31 31 daerah.html, diakses tanggal 7 Oktober 2017). Ki Timbul Hadiprayitno menyatakan bahwa selama empat belas tahun secara rutin setiap malam tanggal satu bulan Sura tahun Jawa, selalu menerima undangan pentas wayang kulit purwa semalam suntuk di Balai Sidang Senayan dengan mempergelarkan lakon jenis banjaran (Sutrisno, dkk., 2009: 27). Kasidi Hadiprayitno, putera Ki Timbul Hadiprayitno, menyatakan berada di tempat pergelaran itu ketika lakon Banjaran Anoman tersebut dipergelarkan. Pergelaran itu diadakan di Senayan, pada malam tanggal satu Sura tahun 1992 (wawancara tanggal 27 Desember 2017), jadi tanggal 2 Juli Rekaman pergelaran lakon Banjaran Anoman yang dipakai sebagai objek material penelitian ini didapatkan dari Youtube, yang diunggah oleh Idi Chanel pada 5 Nopember 2015 ( https: diakses pada 16 April 2016). a. Sumber Data Primer Sumber data primer dalam penelitian ini adalah berupa teks tertulis hasil transkripsi dari bentuk verbal, yakni yang dilisankan oleh dalang dalam pergelaran wayang kulit lakon Banjaran Anoman oleh Ki Timbul Hadiprayitno ( https: diakses pada 16 April 2016). Bentuk verbal yang dilisankan oleh dalang, yakni berupa cerita yang menyangkut dialog antar tokoh, dan narasi dalang. Sumber data primer ini merupakan data dokumen, yakni dari rekaman MP3 lakon Banjaran Anoman oleh Ki Timbul Hadiprayitno.

32 32 Cara transkripsi yang dilakukan adalah dengan mendengarkan rekaman rekaman MP3 lakon Banjaran Anoman oleh Ki Timbul Hadiprayitno ( https: diakses pada 16 April 2016), lalu menuliskan hasil pendengaran tersebut. Aktivitas mendengarkan dan menuliskan itu dilakukan berulang kali sehingga mendapatkan sumber data yang valid. Transkripsi yang dilakukan yakni dengan mengacu pada metode transkripsi standar, yakni berdasarkan aturan EYD atau Ejaan Yang Disempurnakan bagi bahasa Jawa (Mulyani, 2010: 76) Data penelitian ini terdapat keterbatasan. Keterbatasan data ini karena terdapat bagian-bagian kecil dari rekaman yang tidak jelas. Peneliti sudah mencari-cari rekaman yang sama dari sumber lain, namun tidak ditemukan yang lebih jelas. Bagian-bagian yang tidak jelas sangat sulit didapatkan kejelasannya, mengingat proses rekamannya yang sudah lama dan keterbatasan waktu penelitian; oleh karena itu untuk memperkuat data penelitian ini, dipergunakan sumber data sekunder. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder penelitian ini adalah berbagai pernyataan dalam buku, yang berhubungan dengan tokoh-tokoh wayang dan lakon Banjaran Anoman, serta tentang pendidikan karakter, yang dimanfaatkan sebagai data relevansi antara etika dalam lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul Hadiprayitno dengan pendidikan karakter. Buku-buku yang dimaksud adalah sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perwujudan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu dalam rangka membentuk generasi bangsa yang memiliki karakter dengan kualitas akhlak mulia, kreatif,

Lebih terperinci

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG Oleh: Kasidi Hp. Disampaikan dalam Sarasehan Senawangi Dalam Rangka Kongres IX Senawangi 25-26 April 2017 Jakarta PENGERTIAN AKSIOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang kulit purwa. Kesenian wayang kulit purwa hampir terdapat di seluruh Pulau Jawa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang merupakan representasi kehidupan manusia yang memuat nilai, norma, etika, estetika, serta aturan-aturan dalam berbuat dan bertingkah laku yang baik. Wayang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Manusia adalah makhluk budaya, dan penuh simbol-simbol. Dapat dikatakan bahwa budaya manusia diwarnai simbolisme, yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan)

MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan) MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan) Oleh : Kasidi Jurusan Seni Pedalangan Fakultas Seni Petunjukan INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA 2014 i Judul MITOS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Seni Wayang Jawa sudah ada jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu ke indonesia. Wayang merupakan kreasi budaya masyarakat /kesenian Jawa yang memuat berbagai aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang dipastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara Etimologi istilah seni berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah pembelajaran sangat ditentukan keberhasilannya oleh masingmasing guru di kelas. Guru yang profesional dapat ditandai dari sejauh mana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia mempunyai berbagai suku bangsa dan warisan budaya yang sungguh kaya, hingga tahun 2014 terdapat 4.156 warisan budaya tak benda yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wayang Golek adalah suatu seni pertunjukan boneka tiruan rupa manusia yang dimainkan oleh seorang dalang dengan menggabungkan beberapa unsur seni. Wayang Golek

Lebih terperinci

BAB VI P E N U T U P. A. Kesimpulan. purwa lakon Subali Lena sajian dalang Enthus Susmono dalam acara Tirakatan

BAB VI P E N U T U P. A. Kesimpulan. purwa lakon Subali Lena sajian dalang Enthus Susmono dalam acara Tirakatan 224 BAB VI P E N U T U P A. Kesimpulan 1. Bentuk apa yang bisa dilihat dan apa yang bisa dicatat pertunjukan wayang kulit purwa lakon Subali Lena sajian dalang Enthus Susmono dalam acara Tirakatan Malem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang orang atau yang dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah wayang wong merupakan suatu khasanah budaya yang penuh dengan nilai-nilai kesopanan dan

Lebih terperinci

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar.

Pewayangan Pada Desain Undangan. Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar. Pewayangan Pada Desain Undangan Yulia Ardiani Staff UPT. Teknologi Informasi Dan Komunikasi Institut Seni Indonesia Denpasar Abstrak Sesuatu yang diciptakan oleh manusia yang mengandung unsur keindahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin

BAB II LANDASAN TEORI. dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya Sin 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Sebelumnya yang Relevan Penelitian tentang nilai-nilai moral sudah pernah dilakukan oleh Lia Venti, dengan judul Nilai-Nilai Moral dalam Novel Nyanyian Lembayung Karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus

BAB V PENUTUP. kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian skripsi yang telah penulis bahas tersebut maka dapat diambil kesimpulan untuk mengingatkan kembali hal-hal yang penting dan sekaligus menjadi inti sari daripada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menanamkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan. Dasar dari pengembangan pendidikan karakter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam keberagaman sering kali lupa terhadap nilai-nilai kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam keberagaman sering kali lupa terhadap nilai-nilai kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani kehidupannya di masyarakat yang penuh dengan berbagai macam keberagaman sering kali lupa terhadap nilai-nilai kebudayaan yang dimilikinya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Nilai Moral Menurut Suseno (1987: 19) kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Pengertian moral tidak hanya mengacu pada baik buruknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan termasuk salah satu dasar pengembangan karakter seseorang. Karakter merupakan sifat alami jiwa manusia yang telah melekat sejak lahir (Wibowo, 2013:

Lebih terperinci

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde

Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde Hasil Wawancara Dengan Ki Kasim Kesdo Lamono dan Paguyuban Cinde Laras - Bagaimana perkembangan kesenian wayang kulit saat ini ditengahtengah perkembangan teknologi yang sangat maju, sebenarnya semakin

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI-NILAI MORAL NOVEL RAMAYANA KARYA SUNARDI D.M. DAN IMPLEMENTASI PEMBELAJARANNYA DI SMA

ANALISIS NILAI-NILAI MORAL NOVEL RAMAYANA KARYA SUNARDI D.M. DAN IMPLEMENTASI PEMBELAJARANNYA DI SMA ANALISIS NILAI-NILAI MORAL NOVEL RAMAYANA KARYA SUNARDI D.M. DAN IMPLEMENTASI PEMBELAJARANNYA DI SMA Oleh: Yusuf Dwi Wibowo Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan permasalahan yang ada pada manusia dan lingkungannya, Sastra merupakan. lukisan ataupun karya lingkungan binaan/arsitektur.

BAB I PENDAHULUAN. dan permasalahan yang ada pada manusia dan lingkungannya, Sastra merupakan. lukisan ataupun karya lingkungan binaan/arsitektur. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra sebagai hasil karya seni kreasi manusia tidak akan pernah lepas dari bahasa yang merupakan media utama dalam karya sastra. Sastra dan manusia sangat erat kaitannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang terus berkembang dari zaman ke zaman,

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya. 104 BAB IV PENUTUP Lakon Anoman Mukswa merupakan lakon transisi dari wayang purwa menuju wayang madya sehingga dalam pementasannya terdapat dua jenis wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULULAN. sebenarnya ada makna yang terkandung di dalamnya yang diharapkan dimengerti oleh sasaran

BAB I PENDAHULULAN. sebenarnya ada makna yang terkandung di dalamnya yang diharapkan dimengerti oleh sasaran BAB I PENDAHULULAN A. Latar Belakang Komunikasi tidak hanya sekedar alat untuk menyampaikan pesan yang ditujukan pada sasaran, tetapi komunikasi juga berarti makna dan proses. Ketika seseorang mengirimkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nilai nasionalisme dan kecintaan terhadap bangsa sendiri merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh warga negara. Hal ini tidak terlepas dari kepedulian kepada

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa BAB V KESIMPULAN Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa topeng (meski sebagian tokoh mengenakan topeng, terminologi ini digunakan untuk membedakannya dengan wayang topeng) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di sekitarnya.

Lebih terperinci

BAB I Tinjauan Umum Etika

BAB I Tinjauan Umum Etika BAB I Tinjauan Umum Etika Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis Pembahasan mengenai: Pengertian etika Hubungan

Lebih terperinci

Generasi Santun. Buku 1A. Timothy Athanasios

Generasi Santun. Buku 1A. Timothy Athanasios Generasi Santun Buku 1A Timothy Athanasios Teori Nilai PENDAHULUAN Seorang pendidik terpanggil untuk turut mengambil bagian dalam menumbuhkembangkan manusia Indonesia yang utuh, berakhlak suci, dan berbudi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati dan dipahami serta dimanfaatkan oleh masyarakat pembaca. Karya sastra memberikan kesenangan dan pemahaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketoprak adalah teater yang amat populer di Jawa Tengah khususnya Yogyakarta ini dan berusia cukup tua. Sekurang-kurangnya embrio teater ini sudah muncul, meskipun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wayang orang atau wayang wong dalam bahasa Jawa-nya yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Wayang orang atau wayang wong dalam bahasa Jawa-nya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang orang atau wayang wong dalam bahasa Jawa-nya yang mementaskan cerita tentang Ramayana dan Mahabarata yang dimainkan oleh aktor dengan memerankan tokoh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak cukup dengan tumbuh dan berkembang akan tetapi. dilakukan dengan proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak cukup dengan tumbuh dan berkembang akan tetapi. dilakukan dengan proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan masalah yang sangat penting bagi manusia, karena pendidikan akan menentukan kelangsungan hidup manusia. Seorang manusia tidak cukup dengan tumbuh

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan 253 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana intertekstualitas struktur lakon dan mengapa dramatisasi diperlukan dalam sanggit lakon Hana Caraka Nabi Elia. Pertunjukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Soemardjo dan Saini K.M (1991:2) sastra merupakan karya fiktif yang dibuat berdasarkan imajinasi dunia lain dan dunia nyata sangat berbeda tetapi saling terkait

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya.

BAB 2 DATA DAN ANALISIS Perang Wanara dan Raksasa. satu ksatria yang sangat ditakuti oleh lawannya. BAB 2 DATA DAN ANALISIS 2.1. Legenda Hanoman 2.1.1 Perang Wanara dan Raksasa Setelah lakon Hanoman Obong. Hanoman kembali bersama Sri Rama dan Laskmana beserta ribuan pasukan wanara untuk menyerang Alengka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI 256 BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Umum Munculnya berbagai gejala yang menunjukkan degradasi moral di masyarakat berpangkal pada dilupakannya Sang Pencipta dalam berbagai aspek kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan pelbagai

Lebih terperinci

Pengertian Etika. Nur Hidayat TIP FTP UB 2/18/2012

Pengertian Etika. Nur Hidayat  TIP FTP UB 2/18/2012 Nur Hidayat http://nurhidayat.lecture.ub.ac.id TIP FTP UB Pengertian Etika Berasal dari Yunani -> ethos artinya karakter, watak kesusilaan atau adat. Fungsi etika: Sebagai subjek : Untuk menilai apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa

BAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penggunaan bahasa yang khas, yang hanya dapat dipahami dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa yang digunakan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah pengetahuan. Kemudian Plato, menurutnya baik itu apabila ia dikuasai oleh

BAB I PENDAHULUAN. adalah pengetahuan. Kemudian Plato, menurutnya baik itu apabila ia dikuasai oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika di mulai pada abad ke lima sebelum masehi. Berbagai mazhab di yunani yang ditandai dengan kehadiran Socrates, yang mengatakan bahwa kebaikan itu adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbagai budaya masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang dilakukan turun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia eksotisme penuh dengan berbagai macam seni budaya, dari pulau Sabang sampai Merauke berbeda budaya yang dimiliki oleh setiap daerahnya. Berbagai

Lebih terperinci

Generasi Santun. Buku 1B. Timothy Athanasios

Generasi Santun. Buku 1B. Timothy Athanasios Generasi Santun Buku 1B Timothy Athanasios Teori Nilai PENDAHULUAN Seorang pendidik terpanggil untuk turut mengambil bagian dalam menumbuhkembangkan manusia Indonesia yang utuh, berakhlak suci, dan berbudi

Lebih terperinci

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts. 3 BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Data Dan Literatur Metode penelitian yang digunakan: Literatur : - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts. - Buku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan aneka ragam kebudayaan dan tradisi. Potensi merupakan model sebagai sebuah bangsa yang besar. Kesenian wayang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh

1. PENDAHULUAN. pembelajaran sastra berlangsung. Banyak siswa yang mengeluh apabila disuruh 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra di sekolah kini tampak semakin melesu dan kurang diminati oleh siswa. Hal ini terlihat dari respon siswa yang cenderung tidak antusias saat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur. Wayang tidak hanya secara artistik memiliki kualitas

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur. Wayang tidak hanya secara artistik memiliki kualitas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia internasional mengakui wayang sebagai produk budaya dan kesenian asli Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur. Wayang tidak hanya secara artistik memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Clarry Sadadalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Clarry Sadadalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nilai-Nilai Kemanusiaan Menurut Clarry Sadadalam http://jhv.sagepub.com&http://www.globalresearch. ca/index.php?contex =view Article)nilai adalah ide atau gagasan, konsep seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara dengan latar belakang budaya yang majemuk. mulai dari kehidupan masyarakat, sampai pada kehidupan budayanya. Terutama pada budaya keseniannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, kita ketahui terdapat beberapa jenis seni yang di antaranya adalah Seni Rupa, Seni Musik, Seni Tari, dan Seni Teater. Beberapa jenis

Lebih terperinci

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat karena dalam karya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat karena dalam karya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat karena dalam karya sastra terdapat kenyataan yang dialami oleh masyarakat itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun di bumi Indonesia. Berbagai bentuk kesenian, upacara keagamaan, ritual, dan

BAB I PENDAHULUAN. tahun di bumi Indonesia. Berbagai bentuk kesenian, upacara keagamaan, ritual, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa Indonesia tak terlepas dari seni dan budaya yang lahir dari 300 lebih suku bangsa maupun dari pengaruh asing yang telah berakar selama ribuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penciptaan Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema cerita wayang Ramayana yang diperuntukkan bagi remaja usia 15-18 tahun. Hal ini dilatar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang besar dan luas. Dengan kondisi geografis yang demikian, membuat Indonesia menjadi negara yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan sebuah cerita fiksi atau rekaan yang dihasilkan lewat proses kreatif dan imajinasi pengarang. Tetapi, dalam proses kreatif penciptaan

Lebih terperinci

Bab VI Simpulan & Saran

Bab VI Simpulan & Saran Bab VI Simpulan & Saran VI.1. Simpulan Berdasarkan analisis pada perupaan sampel artefak yang saling diperbandingkan, maka sesuai hipotesis, memang terbukti adanya pemaknaan Tasawuf yang termanifestasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Geguritan merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang masih hidup dan berkembang cukup baik. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan para pengarang

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu

BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu BAB VI KESIMPULAN Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu tokoh pokok Antasena kemudian ditambah tokoh-tokoh baru seperti Manuwati,

Lebih terperinci

Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis

Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis Pembahasan mengenai: Pengertian etika Hubungan etika dengan moral Hubungan

Lebih terperinci

PENANAMAN NILAI PATRIOTISME MELALUI TOKOH WAYANG BIMA PADA CERITA BRONTOYUDHO DALAM LAKON DURYUDONO GUGUR

PENANAMAN NILAI PATRIOTISME MELALUI TOKOH WAYANG BIMA PADA CERITA BRONTOYUDHO DALAM LAKON DURYUDONO GUGUR PENANAMAN NILAI PATRIOTISME MELALUI TOKOH WAYANG BIMA PADA CERITA BRONTOYUDHO DALAM LAKON DURYUDONO GUGUR (Analisis isi video untuk pembuatan media pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan)

Lebih terperinci

Oleh: Alief Baharrudin G

Oleh: Alief Baharrudin G METODE TRANSFER NILAI-NILAI KEISLAMAN DALAM CERITA WAYANG KULIT DITINJAU DARI PENDIDIKAN AKHLAK (Studi Tentang Lakon Dewaruci) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah titipan Yang Mahakuasa. Seorang anak bisa menjadi anugerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah titipan Yang Mahakuasa. Seorang anak bisa menjadi anugerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah titipan Yang Mahakuasa. Seorang anak bisa menjadi anugerah sekaligus ujian untuk orangtuanya. Dalam perkembangannya pendidikan terhadap anak merupakan

Lebih terperinci

intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif. Novel adalah karya fiksi yang

intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain yang semuanya bersifat imajinatif. Novel adalah karya fiksi yang 1 PENDAHULUAN Karya sastra adalah salah satu bentuk karya seni yang pada dasarnya merupakan sarana menuangkan ide atau gagasan seorang pengarang. Kehidupan manusia dan berbagai masalah yang dihadapinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Drama adalah salah satu bentuk sastra yang diajarkan dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran drama yang diajarkan di tingkat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. wayang. Sebuah pemikiran besar yang sejak dahulu memiliki aturan ketat sebagai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia kesusasteraan memiliki ruang lingkup yang begitu luas dalam rangka penciptaannya atas representasi kebudayaan nusantara. Salah satu hasil ekspresi yang muncul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku etnis dan bangsa yang memiliki ciri khas masing-masing. Dari berbagai suku dan etnis

Lebih terperinci

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : GUBERNUR JAWA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan a. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupannya di dunia manusia mengalami banyak peristiwa baik itu yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Terkadang beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Kelebihan itu mencakup

BAB I PENDAHULUAN. jika dibandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Kelebihan itu mencakup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan ciptaan-nya yang lain. Kelebihan itu mencakup kepemilikan manusia atas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil pekerjaan seni kreasi manusia. Sastra dan manusia erat kaitannya karena pada dasarnya keberadaan sastra sering bermula dari persoalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Komunikasi bukan hanya sebuah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu nilai dan pikiran yang hidup pada sebuah masyarakat, dan dalam suatu nilai, dan pikiran ini berkembang sejumlah

Lebih terperinci

MATERI STUDI RELIGI JAWA

MATERI STUDI RELIGI JAWA MATERI STUDI RELIGI JAWA Bahasa dan sastra; karya sastra Jawa Kuna yang tergolong tua; karya sastra Jawa Kuna yang bertembang; karya sastra Jawa Kuna yang tegolong muda; karya sastra yang berbahasa Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan hiburan atau kesenangan juga sebagai penanaman nilai edukatif.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan hiburan atau kesenangan juga sebagai penanaman nilai edukatif. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra dipakai untuk menyebutkan gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat global meskipun secara sosial, ekonomi dan keagamaan keberadaanya tidak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bercerita memang mengasyikkan untuk semua orang. Kegiatan bercerita dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun karakter seseorang terutama anak kecil. Bercerita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa karya sastra lama. Nilai-nilai budaya suatu bangsa yang dalam kurun waktu tertentu sangat dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ujian mata kuliah Proyek Akhir yang bertema The Futuristic Of. Ramayana. Yang bertujuan untuk memperkenalkan suatu budaya

BAB I PENDAHULUAN. ujian mata kuliah Proyek Akhir yang bertema The Futuristic Of. Ramayana. Yang bertujuan untuk memperkenalkan suatu budaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pagelaran Tata Rias dan Kecantikan ini menyelenggarakan ujian mata kuliah Proyek Akhir yang bertema The Futuristic Of Ramayana. Yang bertujuan untuk memperkenalkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 dan resmikan pada tanggal 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945. Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa. Melalui karya sastra manusia bisa mengetahui sejarah berbagai hal,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa. Melalui karya sastra manusia bisa mengetahui sejarah berbagai hal, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra sangat berperan penting sebagai suatu kekayaan budaya bangsa. Melalui karya sastra manusia bisa mengetahui sejarah berbagai hal, mempelajari adat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN digilib.uns.ac.id BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN Hasil dari penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka ini, menghasilkan kesimpulan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar belakang permasalahan BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang permasalahan Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang besar yang dikenal karena keberagaman budaya dan banyaknya suku yang ada di dalamnya. Untuk mengelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan, dan pendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan istilah seniman. Pada umumnya, seorang seniman dalam menuangkan idenya menjadi sebuah karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu dimana manusia mempunyai perasaan, jiwa, hati dan pikiran masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan karya sastra di Indonesia saat ini cukup pesat. Terbukti dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan drama. Hasil

Lebih terperinci