PENGARUH KERUSAKAN PENUTUPAN VEGETASI RAWA GAMBUT TERHADAP KOMUNITAS IKAN DI SUNGAI MERANG KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH KERUSAKAN PENUTUPAN VEGETASI RAWA GAMBUT TERHADAP KOMUNITAS IKAN DI SUNGAI MERANG KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN"

Transkripsi

1 PENGARUH KERUSAKAN PENUTUPAN VEGETASI RAWA GAMBUT TERHADAP KOMUNITAS IKAN DI SUNGAI MERANG KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN Oleh SURYANTO ADI WARDOYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 PENGARUH KERUSAKAN PENUTUPAN VEGETASI RAWA GAMBUT TERHADAP KOMUNITAS IKAN DI SUNGAI MERANG, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN SURYANTO ADI WARDOYO Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

3 Judul Tesis : Pengaruh Kerusakan Penutupan Vegetasi Rawa Gambut Terhadap Komunitas Ikan di Sungai Merang, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan Nama : Suryanto Adi Wardoyo, S.Pi NIM : P Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Andry Indrawan M.S. Ketua Dr. Ir. Etty Riani M.S. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Lulus : 7 Februari 2006

4 ABSTRACT SURYANTO ADI WARDOYO. The Effect of Peat swamp vegetation Damage to Fish Community at Merang River Musi Banyuasin District South Sumatera. Under the supervision of ANDRY INDRAWAN and ETTI RIANY. Vegetation around Merang River is the last peat swamp forest in South Sumatera. Before the year of 2000, forest usage rights/licences (HPH) activity was the main cause destroyig peat swamp vegetation but recently illegal logging is the main factor of ecosystem and fish community damage. The aim of this reseach was to observe the effect of vegetation damage on fish community. Method used was field survey to collected basic data of vegetation, soil, water quality, animal and fisheries biology. The ecosystem of peat swamp forest in Merang River was degradated because of HPH activity, since 1989 until It made the peat swamp forest became secondary forest gaining 90% from the original ecosystem. At least 21 kinds of trees with medium diversity in this forest. The most of important value index were on manggris, punak and rengas types. The sum of type and individu of vegetation and fish in upstream area were more than borderland and below areas. The diversity of fish was medium with sum of fish type above 40 type. Linier Regression Analysis showed that vegetation cover had a positive impact to fish population. The vegetation covered channel area including seep and floodland area. Often the fish was not afford to live in the opened area, without the covering vegetation. Another factor affecting to fish population was water quality. Illegal logging activity caused oxidation of pirit to sulphate acid. Based on canonic variable, the higher alight, the lower debit and the low turbidity made the more uniform the fish. The other factor affecting fish population was electricity elusive kit to catch fish by poeple.

5 KATA PENGANTAR Segala Puji hanya bagi Alloh SWT, atas segala karunia-nya Karya Ilmiah (Tesis) ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini berjudul Pengaruh Kerusakan Penutupan Vegetasi Rawa Gambut terhadap Komunitas Ikan di Sungai Merang Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pelaksanaan penelitian pada bulan Agustus dan September Karya Ilmiah ini dapat terwujud, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Andry Indrawan MS. dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani selaku dosen pembimbing pertama dan kedua. 2. Bapak Dr. Ir. Syaeful Anwar, M.Sc. selaku dosen penguji. 3. Wetlands International (WI), selaku Lembaga yang membiayai penelitian ini, khususnya Bapak Ir. INN Suradiputra (Direktur Teknis), Irwansyah Reza Lubis, Dandun Sutaryo, Ferry Hasudungan, Bapak Lili Muslihat (WI/Puslitan- Bogor) dan Bapak Aep (WI/Lab. Ekologi Kehutanan Fahutan IPB). 4. Deddy Permana dan Agus Mampeno (Wahan Bumi Hijau). 5. Alm. Pak Yadi (Ketua RT Dusun Bina Desa, Desa Muara Merang). 6. Rekan-rekan PSL 2003 genap : Pak Syafruddin, Nurul Fajri, Nur Rohmah K, Sofi Mardiah dan Pak Jamlis Lahandu serta Pak Daud dan rekan-rekan PSL lainnya. 7. Devi Melyana Sari istri tercinta dan Muhammad Faris Rahman, putra tersayang, serta seluruh keluarga. 8. PT. Karsa Buana Lestari dan semua pihak yang namanya tidak dapat disebut satu-persatu Dengan segala keterbatasan, semoga Karya Ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Februari 2006 Suryanto Adi Wardoyo, S.Pi

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung, sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Pendidikan sarjana di tempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB lulus pada awal tahun Pada bulan Februari 2004, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, dan tamat pada bulan Februari Penulis bekerja di Perusahaan ikan hias pada tahun 2000, kemudian dari tahun 2001 hingga 2004 bekerja di Lembaga non pemerintah, Wetlands International bergabung dengan proyek Berbak-Sembilang dan Gambut di Palembang, Sumatera Selatan serta menjadi pengajar di Fakultas Perikanan Universitas PGRI Palembang dan Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Palembang. Pada tahun 2005 penulis bergabung dengan konsultan dan laboratorium Lingkungan Hidup, PT. Karsa Buana Lestari hingga sekarang.

7 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI...i DAFTAR TABEL...iv DAFTAR GAMBAR...iv DAFTAR LAMPIRAN...v BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis Penelitian Manfaat Penelitian...7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Hutan Rawa Gambut Tekanan Ekologi Hutan Rawa Gambut Hutan Rawa Gambut dan Sumberdaya Ikan...11 BAB III. METODE STUDI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metoda Penelitian Analisis Data Analisis Vegetasi Analisis Struktur Komunitas Pohon Analisis Tanah Analisis Struktur Komunitas Biota air Biologi Perikanan Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat Analisis Statistik...22 i

8 BAB IV. KONDISI UMUM Kondisi Umum Lokasi Lahan Gambut Kualitas Air Jenis-jenis Fauna Struktur Komunitas Ikan...33 Biologi Perikanan...34 Hubungan antara Fekunditas, Musim Bertelur Ikan dan Musim Tangkapan ikan Kondisi Umum Sosial Ekonomi Masyarakat Sejarah Desa Muara Merang Kegiatan Perikanan di Sungai Merang dan Sekitarnya dari Dulu hingga Sekarang Kegiatan Logging di Sungai Merang dari Zaman HPH hingga Sekarang Mata Pencarian Penduduk Asli Desa Muara Merang Kondisi Sekarang...40 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Degradasi Hutan di Sungai Merang Vegetasi Hubungan Vegetasi Dengan Keanekaragaman Ikan Hubungan Degradasi Hutan dan Hasil Tangkapan Ikan Regresi Linier Regresi Berganda Hubungan Vegetasi Dengan Sebaran Ikan Sungai Merang Uji Chi Square Ikan White Fish dan Black Fish Pola Sebaran Ikan Rimba Hubungan Vegetasi, Kualitas Air dan Komunitas Ikan Hubungan Vegetasi dengan Alat Tangkap Ikan Sosial Ekonomi Perikanan...69 ii

9 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran...73 DAFTAR PUSTAKA...74 LAMPIRAN...79 iii

10

11 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis alat dan cara pengukuran parameter fisika kimia Kualitas air rata-rata di hulu, tengah dan hilir Sungai Merang Jumlah penduduk Desa Muara Merang Jumlah unit usaha warga Desa Muara Merang Luasan hutan yang terdegradasi dari tahun 1989 hingga Korelasi peubah kanonik ikan dengan peubah asli ikan Korelasi peubah kanonik air dengan peubah asli air Korelasi peubah kanonik air dengan peubah asli ikan...65 iv 5

12 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran Peta lokasi pengambilan contoh Proses penentuan peubah kanonik Peta Kematangan dan Kondisi Gambut Sungai Merang Ekosistem hutan rawa gambut Sungai Merang (Murdiyarso et al., 2004) Pasang surut harian Sungai Merang di daerah hilir dan muara yang dapat diamati Grafik curah hujan di Kabupaen Musi Banyuasin tahun (Dinas Klimatologi, 2001) Zonasi pasang surut di Sungai Merang Ikan sianang (Mystus bimaculatus) Ikan elang (Datnoides microlepis) Ikan toman (Channa micropeltes) Ikan seluang kremasan (Rasbora kalochroma) Telur bujuk (Channa lucius) Telur pepunti (Leiocassis sp) Peta penutupan vegetasi Sungai Merang tahun Peta penutupan vegetasi Sungai Merang tahun Peta penutupan vegetasi Sungai Merang tahun Kerapatan jenis pohon dan tiang Grafik kerapatan jenis perplot Nilai dominansi jenis Grafik dominansi setiap plot Grafik Frekuensi Jenis Grafik frekuensi per plot Indeks nilai penting per jenis Grafik indeks nilai penting perkelas diameter Kayu tebangan di Sungai Merang & kondisi vegetasi Parit dan pengangkutan kayu di Sungai Merang Grafik hubungan jumlah jenis vegetasi dengan jumlah jenis ikan...52 v 6

13 29. Grafik hubungan jumlah individu vegetasi dengan jumlah individu ikan Indeks keanekaragaman jenis ikan setiap stasiun Hubungan jumlah jenis vegetasi dan ikan dengan debit air Indeks keseragaman dan dominansi setiap stasiun Perbandingan berat total ikan dengan jumlah jenis ikan Pola pergerakan ikan di musim hujan dan musim kemarau Proses pengaruh illegal logging pada perikanan Penentuan peubah kanonik Hubungan antara kecerahan, debit dan kekeruhan (air1) dengan jumlah jenis, Kenekaragaman dan keseragaman ikan (ikan1) Uji kenormalan menghasilkan p-value >0.05 maka residual model bisa dikatakan menyebar normal artinya model regresi valid Pemasangan alat tangkap di tanaman rasau Jaring untuk ikan permukaan Pancing tajur Sengilar Tangkul Ikan Alat tangkap bubu dari rotan Perkiraan hasil perikanan di Sungai Merang

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Jenis pohon di sepanjang Sungai Merang Perhitungan indeks keanekaragaman dan dominansi Indeks nilai penting Jenis mammalia, avifauna dan herpetofauna Jenis-jenis ikan di Sungai Merang Regresi linier Regresi berganda Perhitungan Chi - Square Analisis peubah kanonik Beberapa alat tangkapan ikan di Sungai Merang Konstanta nilai perbandingan panjang dan berat ikan

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah gambut di Indonesia termasuk ekosistem lahan basah, tergolong tanah rawa dan terbentuk dari bahan organik sisa tanaman yang mati di atasnya. Pembentukan tanah gambut disebabkan oleh keadaan lingkungan yang selalu jenuh atau terendam air yang mengakibatkan proses pelapukan lebih lambat dari proses penumpukan sisa-sisa tanaman. Lahan gambut tropis seluas 40 juta ha dan 50% diantaranya terdapat di Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Wahyunto et al., 2003) Hutan rawa gambut mempunyai sumber daya dan keanekaragamanan hayati yang penting, yang dapat dimanfaatkan dan dikonservasi untuk memperoleh manfaat yang lestari. Hutan gambut memiliki jenis kayu komersial yang diperdagangkan, seperti Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea spp.) dan Damar (Agathis dammara). Selain itu terdapat kayu gelam (Mellaleuca sp.) yang berfungsi sebagai bahan bangunan ringan kerangka pembuatan gedung dan bagan penangkap ikan. Hasil tambahan lainnya adalah hasil non kayu seperti rotan, getah jelutung, tumbuhan obat, madu, ikan dan buah-buahan. Perairan hutan rawa gambut dan sungai yang melintasinya adalah daerah pemijahan ikan yang ideal, dalam hal ini selain menjadi habitat berbagai jenis satwa liar termasuk jenis-jenis endemik. Menurut Bezuijen, et al. (2002) kawasan ini merupakan salah satu habitat terakhir yang tersisa untuk buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii). Lahan gambut merupakan cadangan karbon terestrial yang penting, sehingga jika mengalami gangguan akibat deforestasi, kebakaran dan drainase, dapat berpengaruh langsung pada perubahan iklim global (Murdiyarso et al, 2003). Luas gambut di Sumatera 9,7 juta ha dan sebagian diantaranya berada di Sumatera selatan, seluas ha, namun sebagian besar sudah beralih fungsi menjadi daerah perkebunan, pertanian dan daerah transmigrasi (Wahyunto et al. 2003). Hutan rawa gambut Merang, Desa Muara Merang, Kecamatan Bayunglincir, Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA) merupakan salah satu hutan rawa gambut penting yang tersisa di Propinsi Sumatera Selatan dengan luasan sekitar ha, dan ha yang masih berhutan, sedangkan sisanya telah rusak karena kebakaran yang berulang dan maraknya aktifitas penebangan. Kebakaran hutan banyak terjadi di lahan hutan yang rusak parah seperti daerah Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan.

16 Kawasan gambut Sungai Merang berbatasan dengan Taman Nasional Berbak, Jambi di sebelah utara dan Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan di sebelah timur. Di kawasan hutan rawa gambut Sungai Merang ini, terdapat daerah kubah gambut. Selain Sungai Merang, sungai lain yang melintasi kubah gambut ini adalah Sungai Kepahiyang dan Sungai Medak. Sungai-sungai ini dipengaruhi oleh pasang surut (pasut) harian air laut, sehingga berpengaruh terutama pada fluktuasi harian kedalaman sungai, namun salinitas air laut tidak mencapai daerah ini. Pengaruh pasut ini sangat dirasakan mulai dari muara Sungai Merang hingga sepanjang sekitar 40 km sungai. Pada jarak km merupakan daerah peralihan, dan setelah daerah peralihan pengaruh pasang surut tidak berpengaruh lagi. Sungai Merang sejak dahulu merupakan daerah untuk kegiatan perikanan tawar. Sungai ini dilelang oleh pemerintah Desa, dengan pemodal atau pengemin umumnya berasal dari luar daerah. Pada dasarnya aktivitas perikanan Sungai Merang berjalan seiring dengan kegiatan eksploitasi hutan, dari masa perusahaan pemegang HPH, hingga pasca HPH. Pada tahun 1984 dan 1997 terjadi kebakaran hutan dikawasan HPH tersebut. Kegiatan HPH di hutan rawa gambut sekitar Sungai Merang berakhir tahun Selanjutnya pengelolaan hutan yang telah rusak tersebut dikembalikan ke pemerintah setempat melalui Dinas Kehutanan Sumatera Selatan. Dengan tidak adanya kejelasan pengelolaan dari pemerintah, lahan bekas HPH dengan pepohonan yang masih tersisa tersebut, kini dimanfaatkan masyarakat setempat maupun pendatang melalui kegiatan penebangan liar (illegal logging), sehingga memperparah kerusakan yang ada. Selain mengambil kayu, mereka juga membangun parit untuk mengeluarkan kayu yang jauh dari sungai. Dengan demikian maka seluruh rangkaian kegiatan illegal logging selain merusak ekosistem yang ada, juga mengganggu aktivitas perikanan, bahkan telah mengakibatkan hasil tangkapan ikan terus menurun dari tahun ke tahun. Pengaruh kegiatan HPH, kebakaran hutan dan illegal logging pada komunitas ikan cukup kuat. Setelah HPH berakhir, mekanisme lelang sungai yang dulu diperuntukkan bagi kegiatan perikanan, beralih untuk mendukung kegiatan illegal logging. Pengemin atau pemegang hak lelang sungai menjadikan illegal logging sebagai penghasilan yang utama, dengan menarik retribusi kayu pada setiap kayu yang melewati sungai. Kondisi ini terjadi karena secara ekonomis hasil dari kayu jauh lebih besar. Hal ini pula yang menyebabkan sebagian besar nelayan beralih menjadi penebang liar. Kegiatan illegal logging berdampak langsung pada hasil produksi perikanan yang terus menurun, walaupun jumlah kepala keluarga yang hidup dari perikanan sudah jauh berkurang. Ironisnya walaupun pengemin telah mendapatkan keuntungan yang besar dari kayu, mereka tetap mengambil hasil perikanan walaupun hasilnya sudah sangat berkurang. Kondisi ini menyebabkan pengemin mengambil jalan pintas dalam 2

17 melakukan penangkapan ikan yakni dengan menggunakan alat tangkap listrik/setrum yang mempunyai daya tangkap yang tinggi pada sekali pengoperasian namun membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan karena tidak ada selektifitas ukuran ikan. Sayangnya walaupun terbukti menimbulkan kerusakan dan mengancam kelestarian, namun karena tidak adanya tindakan hukum, maka masyarakat Sungai Merang dan sekitarnya turut serta menggunakan alat ini untuk menangkap ikan, bahkan alat-alat tangkap tradisional yang biasa mereka gunakan, saat ini sudah semakin banyak ditinggalkan Kerangka Pemikiran Kegiatan perikanan merupakan kegiatan utama masyarakat di sekitar hutan rawa gambut Sungai Merang. Saat dimulainya perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH) tahun 1980-an kegiatan perikanan masih terus berlangsung. Kegiatan eksploitasi hutan ini pada akhirnya berakibat pada rusaknya ekosistem hutan rawa gambut secara keseluruhan, yang berdampak pula pada komunitas ikan, sehingga hasil perikanan menjadi berkurang. Kerusakan ekosistem dan berkurangnya hasil perikanan, berdampak pula pada perubahan tatanan hidup masyarakat, dari nelayan menjadi perambah hutan. Kegiatan HPH telah menimbulkan banyak kerusakan ekosistem hutan rawa gambut di sekitar Sungai Merang. Padahal kegiatan HPH ini baru berakhir pada tahun Selain hal tersebut, pada saat konsesi berlangsung juga pernah terjadi kebakaran hutan tahun 1984 dan 1997 sehingga semakin memperparah kerusakan hutan rawa gambut Sungai Merang. Pada waktu kegiatan HPH masih menyisakan hutan di sepanjang Sungai Merang sepanjang 100 meter dari sungai, sebagai daerah konservasi (Bezuijen et al. 2002), namun setelah izin kegiatan HPH berakhir, kondisi kawasan malah semakin rusak, karena eksplotasi hutan dilanjutkan dengan kegiatan illegal logging yang dilakukan oleh pendatang sekitar Desa Muara Merang dan Kabupaten lain. Kegiatan tersebut akhirnya diikuti pula oleh penduduk setempat. Akibatnya daerah konservasi sepanjang 100 m dari sungai menjadi daerah pertama yang dieksploitasi karena aksesnya berada di tepi sungai. Selain membuka hutan, masyarakat setempat juga ikut membangun parit untuk memudahkan pengangkutan kayu dari hutan rawa gambut yang letaknya lebih jauh dari sungai. Pada kegiatan illegal logging selain melakukan eksploitasi hutan, pembuatan parit untuk keperluan pengangkutan kayu mengakibatkan terjadinya drainase di hutan gambut. Drainase hutan gambut ini telah mengakibatkan erosi, sedimentasi dan teroksidasinya pirit yang semuanya akan mempengaruhi kualitas air. Selain itu, drainase mengakibatkan terjadinya landsubsidence. Landsubsidence ini menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah gambut dalam menahan limpasan air hujan sehingga 3

18 akan meningkatkan run off air hujan dan akan mempengaruhi kualitas air. Lahan yang telah terdrainase pada musim kemarau akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran lahan gambut. Kebakaran lahan gambut akan mempengaruhi kualitas air yang ada. Seluruh aktivitas yang mempengaruhi kualitas air pada akhirnya akan mempengaruhi komunitas ikan di Sungai Merang. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Kawasan Hutan Gambut Sungai Merang Sebelum tahun 2000 Logging (HPH) Kebakaran hutan Lelang Sungai (Perikanan) tahun Illegal Logging Lelang Sungai Perikanan Non perikanan (Illegal loging) Illegal fishing (electric fishing) Vegetasi berkurang Parit Drainase rawa gambut erosi sedimentasi pirit subsiden Potensi kebakaran hutan Kualitas Air Komunitas Ikan Gambar 1. Kerangka pemikiran 4

19 1.3. Perumusan Masalah Kerusakan ekosistem hutan rawa gambut Sungai Merang berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati dan kepunahan spesies, termasuk yang ada di perairan. Menurut Kottelat et al. (1993), vegetasi berpengaruh dalam kehidupan ikan, selain mengurangi fluktuasi suhu perairan, vegetasi juga merupakan bagian dari kondisi habitat yang mendukung aktivitas ikan, dalam hal berlindung, bertelur, mencari makan dan daerah asuhan. Perairan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lahan gambut. Kondisi perairan dipengaruhi oleh kondisi lahan, baik itu karakteristik tanah gambut, rawa maupun vegetasi yang menaunginya. Dengan demikian kesuburan perairan dipengaruhi oleh kondisi kesuburan tanah gambut. Menurut Mudiyarso et al. (2004), lahan gambut secara alami menyimpan cadangan air permukaan dengan kapasitas 0,8-0,9 m 3 /m 3. Kondisi ini membuat lahan gambut dapat mengatur debit air pada musim hujan dan kemarau. Selain itu keberadaan lahan gambut juga berfungsi untuk menghambat teroksidasinya pirit yang dapat menimbulkan keasaman tanah dan keracunan tanaman. Asam sulfat yang terbentuk sebagai akibat dari teroksidasinya pirit akan berpengaruh terhadap kehidupan akuatik perairan. Pembukaan hutan rawa gambut, apalagi dengan pembangunan parit akan mempercepat pengeringan lahan gambut, terutama pada musim kemarau. Pada kondisi ini, rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan gambut. Selain itu, pengeringan lahan gambut juga akan membuat penurunan muka tanah (subsidence) sehingga kemampuan gambut menahan air menjadi berkurang, dan air banyak terbuang melalui run off. Penurunan ini bersifat irreversible dan akan terjadi dekomposisi gambut, karena hilangnya air gambut (Waspodo et al., 2003). Limpasan air akan meningkatkan erosi dan sedimentasi di perairan. Secara ekologi, hutan rawa gambut merupakan tempat pemijahan ikan serta berbagai jenis satwa liar lainnya. Kerusakan ekosistem gambut menyebabkan penurunan hasil tangkapan ikan di Sungai Merang. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya orang yang menangkap ikan, dan memaksa mereka untuk ikut dalam merambah hutan. Kondisi ini terjadi pula pada tingkat pemegang lelang sungai (pengemin), dalam hal ini lelang sungai yang pada awalnya untuk hasil perikanan akhirnya beralih ke retribusi atau hasil pajak kayu sedangkan perikanan menjadi kegiatan sampingan. Pada saat ini telah terjadi degradasi hutan rawa gambut yang cukup besar di Sungai Merang. Kegiatan HPH selain eksploitasi hutan juga mengakibatkan 5

20 terjadinya kebakaran hutan. Hutan gambut primer tersebut terdegradasi menjadi hutan sekunder, semak, belukar dan vegetasi gelam. Berdasarkan kondisi yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil suatu pertanyaan penelitian yang akan dikaji pada penelitian ini yaitu : 1. Apakah berkurangnya vegetasi berpengaruh pada kualitas air? 2. Apakah kondisi kualitas air yang ada berpengaruh pada komunitas ikan? 3. Apakah berkurangnya vegetasi berpengaruh terhadap komunitas ikan? 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan kondisi permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh berkurangnya vegetasi terhadap komunitas ikan. 1.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut : 1. Berkurangnya vegetasi berpengaruh negatif terhadap kualitas air 2. Penurunan kualitas air berpengaruh negatif terhadap komunitas ikan 3. Vegetasi berpengaruh positif pada komunitas ikan 1.6 Manfaat Penelitian 1 Untuk mengetahui pengaruh kerusakan vegetasi gambut terhadap komunitas ikan. 2 Menjadi salah satu acuan dalam menyusun rencana pengelolaan kawasan sungai dan hutan sekitarnya secara terpadu dan berkelanjutan, yang berkaitan dengan aspek perikanan. 6

21 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Hutan Rawa Gambut Paludisasi (Paludization) adalah proses pembentukan tanah gambut yang disebabkan oleh akumulasi bahan organik pada daerah perairan yang tidak mengalir, sehingga terjadi kondisi an aerobik yang memungkinkan akumulasi sepanjang waktu. Proses ini selalu diikuti dengan ripening atau proses pematangan/ pelapukan bahan organik. Apabila memungkinkan akan terjadi proses mineralisasi atau terlepasnya unsur hara dari ikatan organik. Proses ini terjadi secara fisika, kimia dan biologi (Buol et al., 1980 dalam Haryanto, 1993). Lahan gambut merupakan lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Histosol atau tanah gambut terbentuk apabila produksi dan penimbunan bahan organik lebih besar daripada mineralisasinya. Keadaan demikian terdapat di tempat-tempat yang selalu tergenang air sehingga sirkulasi oksigen terhambat. Oleh karena itu dekomposisi bahan organik terhambat dan terjadilah akumulasi bahan organik (Sitorus, 2003). Menurut Wahyunto et al. (2005), sifat dan karakteristik fisik tanah gambut ditentukan oleh tingkat dekomposisi tanah gambut itu sendiri. Hasil dekomposisi ini dapat dilihat dari nilai bobot isi atau BD (Bulk density ). Nilai kerapatan ini dapat dijadikan acuan dalam klasifikasi tanah gambut berdasarkan tingkat dekomposisinya. Tingkatan dekomposisi gambut berdasarkan nilai BD adalah : Folists : bahan organik belum terdekomposisi di atas batu-batuan. Fibrists : bahan organik fibrik dengan BD < 0,1 gram/cm 3 Hemists : bahan organik hemik dengan BD 0,1-0,2 gram/cm 3 Saprists : bahan organik saprik dengan BD > 0,2 gram/cm 3 Menurut Wahyunto et al. (2005), gambut ombrogen umumnya terdapat di pulau Sumatera dan Kalimantan. Kegiatan HPH di Kalimantan dan Sumatera umumnya berada di hutan rawa gambut ombrogen. Penyebaran lahan gambut di Sumatera terletak di dekat pantai Timur Sumatera dan merupakan jalur panjang dari utara ke selatan sejajar dengan pantai timur. Tipe gambut ini di Sumatera umumnya terbentuk di pantai timur di belakang hutan mangrove. Gambut ombrogen umumnya terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi dengan air tergenang, tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dan curah hujan yang tinggi. 7

22 Hutan gambut di daerah tropika umumnya memiliki flora yang khusus dan relatif terbatas spesiesnya. Vegetasi yang tumbuh di gambut ombrogen memiliki zonasi yang berlapis menuju pusat kubah gambut. Semakin ke pusat kesuburan gambut semakin berkurang, hal ini tercermin dari keadaan vegetasinya antara lain : Penurunan tinggi tajuk Penurunan total biomasa per unit luas Peningkatan ketebalan daun sebagai akibat dari adaptasi tumbuhan terhadap tanah miskin hara Penurunan diameter/ keliling jenis-jenis tertentu. Ditemukan jenis-jenis indikator tanah miskin hara yang makin melimpah, terutama Nephenthes spp. (Whitmore, 1990 dalam Haryanto, 1993). Semakin luas aktivitas penebangan akan memperluas rumpang yang terjadi. Rumpang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim mikro hutan sehingga berpengaruh kepada proses dinamika permudaan, arsitektur hutan dan komposisi hutan. Pembalakan umumnya akan menurunkan taraf komposisi dan struktur tegakan. Fase rumpang merupakan fase yang sangat kritis bagi perkembangan populasi dinamika hutan (Whitmore, 1978 dalam Enrico et al., 1997). Lahan gambut memiliki kondisi tanah yang selalu tergenang karena berupa rawa dan iklimnya selalu basah (Suzuki et al., 2000). Menurut Naiola (2000), tumbuhan di kawasan lahan gambut sesungguhnya mengalami berbagai stress fisiologi, karena kondisi lingkungan setempat. Kesuburan yang rendah menyebabkan terjadinya defisiensi unsur hara. Selain itu, kelimpahan sejumlah ion tertentu, mengakibatkan suasana asam yang cukup tinggi di sekitar rizosfer. Lingkungan rizosfer mengalami stress yang lain berupa genangan, sehingga dapat mengakibatkan kekurangan oksigen. Namun demikian, menurut Naiola et al. (2003) pada tumbuhan air seperti bakung dan rasau yang berada di tepian sungai tidak terjadi stress akibat gangguan tersebut. Perombakan bahan organik tumbuhan menjadi gambut berlangsung pada kondisi an aerob. Perombakan bahan organik ini menyebabkan terbentuknya senyawa tereduksi seperti amonia, sulfida, metan serta berbagai senyawa organik lainnya seperti antara lain kelompok senyawa fenolik. Gambut di Indonesia memiliki kandungan lignin yang tinggi, tetapi rendah untuk senyawa-senyawa yang larut dalam air (Wahyunto et al., 2005). 2.2 Tekanan Ekologi Hutan Rawa Gambut Menurut Chokkalingam et al. (2003), masalah kebakaran hutan dan lahan semakin marak di Indonesia terutama pada dasawarsa terakhir ini sehingga 8

23 menimbulkan masalah lingkungn hdup, sosial dan ekonomi baik di Indonesia maupun negara tetangga. Tahun 1997/1998, sekitar 9,7 juta hektar lahan dan hutan musnah terbakar dan nampak dari asap dan kebakaran itu sendiri telah mempengaruhi kehidupan 75 juta orang. Kerugian ekonomi diduga mencapai USD 3 milyar. Emisi Karbon mencapai 13 40% dari total produksi karbon emisi dunia, sehingga menyebabkan Indonesia menjadi penghasil polusi terbesar di dunia (Page et al., 2002 dalam Chokkalingam, 2003). Menurut Suyanto et al., (2003) berdasarkan berbagai hasil riset, menunjukkan bahwa kebakaran hutan sangat berkaitan dengan aktivitas manusia. Pada tahun ada sekitar 77% lahan yang terbakar akibat kegiatan landclearing atau pembersihan lahan untuk aktivitas ekonomi. Kebakaran hutan terbesar terjadi tahun 1982/1983, 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998 selain oleh manusia juga karena pengaruh el nino yang besar. Menurut Darjono (2003), sebagian besar kebakaran disebabkan oleh perusahaan dan hanya sebagian kecil oleh kegiatan illegal logging dan pertanian masyarakat. Kegiatan illegal logging adalah semua kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengolahan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. HPH dan HTI dapat dikategorikan sebagai kegiatan illegal logging, apabila kegiatannya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik berupa pemanenan yang berlebih, mengambil kayu dari daerah yang tidak diperbolehkan, penipuan dan pemalsuan dokumen. (Forest Watch Indonesia, 2004). Laju deforestasi di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2000 mencapai 1,6 juta hektar dan selanjutnya antara tahun mencapai 3,6 juta hektar / tahun. Besarnya volume kayu adalah 67 juta m 3 tiap tahun dengan kerugian materiil sedikitnya Rp 30 triliun / tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace tahun 2003 (Anonim, 2003), dilaporkan 88% kayu-kayu yang masuk ke industri perkayuan Indonesia adalah illegal. Hal ini didukung pula oleh fakta bahwa kebutuhan industri kayu setiap tahun mencapai 63 juta m 3 sedangkan hasil produksi sekitar 22 juta m 3 (Anonim, 2004 dan Suripto 2005). Kegiatan illegal logging banyak pula yang terjadi di daerah hutan rawa gambut. Areal Taman Nasional berhutan gambut seperti Taman Nasional Berbak di Jambi dan Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah tidak luput dari ancaman kehancuran akibat illegal logging. Selama tahun 2003 kehilangan hutan terbesar terjadi di Kalimantan Barat, yakni sebanyak hektar dan Riau hektar. Kerugian itu dihitung berdasarkan nilai kayu dan pajak (Anonim, 2004). 9

24 Hutan rawa gambut kaya akan sumberdaya flora dan fauna namun merupakan habitat hutan yang paling rawan dibandingkan tipe hutan lain di daerah tropis. Penebangan dapat menurunkan jumlah pohon dan volume tegakan. Dampak selanjutnya dari penebangan adalah menurunkan tinggi air tanah dan meningkatkan kekompakan tanah di hutan bekas tebangan (Abidin et al., 1999). Kegiatan tersebut mengakibatkan gambut menjadi kering, sehingga rawan terhadap bahaya kebakaran (Yusuf, 2000). Dengan keringnya gambut, maka akan terjadi subsidence atau amblasnya tanah gambut dan kondisi ini bersifat irreversibel atau tidak dapat kembali lagi walaupun diairi kembali (Najiyati, 2003). Pada areal hutan gambut bekas terbakar, baik terbakar ringan maupun terbakar berat, jumlah spesies dan jumlah individu vegetasi cenderung mengalami penurunan, yang berkisar antara 9 40 % pada areal terbakar ringan dan 52,53%- 60,87% untuk areal terbakar berat (Lindawati et al., 1999). Menurut Dunham et al., (2004) dinamika ikan terhadap kebakaran berkaitan dengan ukuran habitat, isolasi, siklus hidup dan respon terhadap kebakaran. Masa pemulihan terhadap gangguan tergantung dari tipe gangguan dan dampaknya. Kebakaran hutan atau kerusakan hutan gambut tidak hanya berdampak pada ekosistem secara keseluruhan, namun berdampak pula pada sumberdaya perikanan yang ada. 2.3 Hutan Rawa Gambut dan Sumberdaya Ikan Aliran air sungai yang berasal dari hutan gambut bersifat asam dan berwarna hitam sehingga dikenal dengan nama air hitam. Sungai-sungai air hitam yang ada di hutan gambut memiliki jenis fauna relatif sedikit, karena kemasaman airnya kurang sesuai bagi sebagian biota air (Wahyunto et al., 2005). Menurut kottelat et al. (1993), keanekeragaman hayati adalah suatu ukuran untuk mengetahui keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetik dari suatu kehidupan yang berhubungan erat dengan ekosistem dan jumlah spesies suatu komunitas. Dengan demikian ekosistem hutan rawa gambut merupakan salah satu bagian dari keanekaragaman ekosistem, dimana dalam ekosistem ini akan memiliki keanekaragaman spesies dan genetik yang spesifik, termasuk pada spesies dan genetik ikan. Di dunia ini terdapat sekitar spesies ikan, dimana baru yang teridentifikasi. Di Indonesia telah ditemukan lebih dari dari spesies ikan (45 % spesies) (Barber et al dalam Harteman 2003). Khusus untuk ikan air tawar, menurut Kottelat et al. (1993) di perairan Indonesia bagian barat telah teridentifikasi dan diberi nama ilmiah : Kalimantan berjumlah lebih dari 394 spesies / 149 endemik (38 %), Sumatera berjumlah 272 spesies / 30 spesies 10

25 endemik (11 %), Jawa berjumlah 132 spesies / 12 spesies endemik (9%) dan Sulawesi berjumlah 68 spesies / 52 spesies endemik (76 %). Namun demikian, ada sebagian ikan dalam definisi tersebut sebenarnya jenis ikan laut, namun berada di bagian hilir dan muara sungai, yang terkena pengaruh air laut (daerah estuaria). Menurut Haryono dan Tjakrawidjaya (2000), di areal penambangan gambut Kabupaten Bengkalis provinsi Riau, jumlah jenis ikan di daerah gambut yang berhasil didapat ada sekitar 38 jenis yang terbagi dalam 12 famili. Famili Cyprinidae adalah yang terbanyak. Pengaruh hutan rawa gambut terhadap jumlah jenis ikan cukup besar. Dari lima stasiun pengamatan yang berbeda, pada lokasi HTI dan hutan alam memiliki jumlah jenis yang terbanyak. Pada saluran, daerah penambangan dan areal reklamasi memiliki jumlah jenis yang paling sedikit. Menurut Harteman (2003), pengaruh aktivitas manusia cenderung mengurangi keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan lingkungan bukan dianggap sebagian bagian yang terpadu dalam keberlanjutan usaha, melainkan dianggap hanya sebagai biaya produksi. Salah satu bentuk eksploitasi sumberdaya alam yang menimbulkan kerusakan alam adalah penggundulan hutan dan pengeringan rawa gambut. Penggundulan hutan dan pengeringan rawa gambut merupakan ancaman bagi Tumbuhan dan hewan di hutan juga bagi kehidupan ikan. Beberapa penyebab diantaranya adalah : 1. Hutan rawa gambut dan sungai-sungai disekitarnya menciptakan relung ekologi yang beragam dan menciptakan keanekaragaman hayati (Kottelat et al.,1993). Menurut Welcomme (1979), pada daerah hutan rawa gambut, pada musim hujan air sungai dan rawa bisa naik hingga lebih dari 2 meter. Kondisi ini membantu penyebaran telur dan jenis-jenis ikan hingga ke dalam hutan. Pada musim kemarau, air surut dan ikan-ikan tersebut terjebak dalam kubangan air (rawa-rawa hutan), dengan kondisi vegetasi dan kedalaman rawa yang bervariasi. 2. Vegetasi selain sebagai habitat bagi ikan-ikan, juga merupakan tempat perlindungan telur dan ikan-ikan muda (Wardoyo, 2004). Selain itu menurut Kottelat et al., 1993, banyak ikan yang bergantung pada daun tumbuhan, buah, biji-bijian yang hanyut ke air, bahkan serangga air pun menjadi sumber makanan bagi ikan. 3. Meningkatnya suhu perairan menyebabkan kandungan oksigen akan menurun, sehingga berpengaruh pada kondisi fisik dan kimia air dan hanya ikan-ikan tertentu saja yang sanggup hidup (Kottelat et al.,1993). Pada daerah rawa lebak 11

26 dengan kedalaman kurang dari satu meter, menyebabkan suhu perairan akan sangat tinggi. Suhu tinggi menyebabkan perairan kekurangan oksigen. Hanya ikan yang memiliki alat nafas tambahan dan memiliki kemampuan membenamkan diri di substrat perairan yang dapat bertahan. Hal ini banyak dijumpai di daerah Taman Nasional Berbak, di daerah bekas terbakar (Wardoyo, 2004). 4. Erosi dan abrasi dapat terjadi akibat penggundulan hutan, menyebabkan meningkatnya kekeruhan di perairan. Kondisi ini berdampak pada pernafasan ikan, terganggunya fotosintesis alga dan tanaman air, serta dapat menimbun telur ikan yang belum sempat dibuahi (Kottelat et al., 1993). Menurut Kartamihardja (2002), di Kalimantan Tengah hutan rawa gambut memberikan hasil perikanan yang berlimpah dibandingkan perikanan laut. Luas perairan tawar mencapai 3,6 juta hektar, dimana 50%-nya adalah rawa lebak yang digunakan untuk kegiatan perikanan. Wilayah perairan merupakan 14,6% dari seluruh daratan Kalimantan Tengah yang terintegrasi dengan hutan rimba yang merupakan bagian yang terluas dari provinsi ini. Perikanan merupakan mata pencarian utama masyarakat asli Kalimantan Tengah, yang mendiami daerah hutan rawa gambut, sebelum dibangun Proyek Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar tahun Kegiatan proyek tersebut menyebabkan perubahan lingkungan perairan dimana terjadi penurunan nilai ph dari 5,5-6,5 menjadi 3,5-4 secara mendadak sehingga banyak terjadi kematian masal ikan-ikan di sungai dekat lokasi penggalian kanal. Potensi produksi ikan lestari perairan rawa di Kalimantan Tengah sebelum proyek PLG dilaksanakan ditaksir sebesar sebesar ton/th (Hamid, 1982 dalam Kartamihardja, 2002) sedangkan setelah 3 tahun proyek PLG dimulai potensi produksi ikan tersebut menurun tajam menjadi ton/th (Kartamihardja et al.,1998 dalam Kartamihardja, 2002 ). 12

27 III. BAHAN DAN METODA 3.1 Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Sungai Merang, yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi, tepatnya pada wilayah administratif Desa Muara Merang, Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pengambilan contoh tanah, vegetasi, kualitas air dan ikan dilakukan di sepanjang Sungai Merang, Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus dan September Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar Bahan Dan Alat Bahan dan alat selama penelitian berkaitan dengan pengamatan vegetasi, tanah, ikan dan kualitas air. Akses ke lokasi penelitian seluruhnya melalui Sungai Merang, Sarana transportasi pendukung untuk mencapai lokasi adalah speedboat dan perahu ketek (km 0 - km 50). Pada km selanjutnya digunakan perahu dayung kecil (km 50-70). Bahan dan alat untuk pengambilan contoh tanah, adalah alat pengebor tanah manual. Untuk mengetahui posisi geografis dari lokasi pengambilan contoh, digunakan alat GPS Garmin 12. Bahan dan alat untuk penuntun jalur dan mengukur vegetasi tingkat pohon adalah meteran dan tali. Alat yang digunakan untuk pengamatan satwa adalah binocular. Bahan-bahan/alat-alat yang digunakan untuk mengambil contoh ikan adalah pancing, tangkul (ancho) ukuran 1 m 2, serokan dengan mata jaring 2 cm atau lebih kecil lagi, jaring kantong, pengilar, sengilar, bubu, lulung, dan pancing tajur. Untuk mengukur berat digunakan timbangan pegas (500 gr dan 7 kg) dan mengukur panjang dengan penggaris. Bahan pengawet digunakan formalin 10 %. 3.3 Metoda Penelitian Pengambilan contoh data fisika, kimia dan biologi seluruhnya dilakukan dilakukan dari pagi hingga siang hari ( ). Metoda pengambilan contoh adalah sebagai berikut : Metode Pengambilan Contoh Vegetasi Pengamatan groundchek atau pengamatan kondisi vegetasi dilapangan secara langsung dilakukan untuk melihat kondisi hutan terkini sekaligus pembuktian langsung hasil analisa citra satelit. Hutan primer berada jauh dari hulu Sungai Merang. Dengan demikian, survey vegetasi hanya bisa mencapai km ke 55, karena 13

28 adanya keterbatasan akses menuju ke hutan primer. Lokasi pengambilan contoh vegetasi selengkapnya pada Gambar 2. Keterangan : HS : Hemists / Saprists 1 : Daerah Hulu, km dari muara S. Merang 2 : Daerah Tengah, km dari muara S. Merang 3 : Daerah hilir / muara, 0-40 km dari muara S. Merang Gambar 2. Peta lokasi pengambilan contoh (Sumber : Hasil pengolahan peta citra satelit) 14

29 Survei kuantitatif dilakukan untuk melihat struktur vegetasi terutama pada tingkat tiang (poles) dan pohon. Tingkat tiang (poles) dan pohon diambil sebagai parameter karena kedua tingkat vegetasi ini dianggap memiliki perkembangan dan pertumbuhan yang dinamis. Pengamatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan areal cuplikan (sample plot) berukuran 50 m x 20 m. Model peletakan plot adalah random sampling. Pengukuran di lapangan yang dilakukan adalah pengukuran diameter pohon mulai dari diameter 10 cm atau lebih. Dari pengamatan lapangan sebelum dilakukan penghitungan, terlebih dahulu dikelompokkan berdasarkan kelas diameter. Kelas diameter yang dibuat adalah diameter cm, cm, 30 39,999 cm dan diameter 40 cm atau lebih (40 up). Metode Pengambilan Contoh Tanah Pengambilan contoh tanah dan vegetasi dilakukan di lokasi yang sama. Hal ini untuk melihat hubungan antara kondisi vegetasi dan tanah gambut (selengkapnya pada Gambar 2 dan Gambar 4). Pengambilan contoh tanah gambut dilakukan dengan melakukan pengeboran tanah gambut secara manual. Metode Pengambilan Contoh Biota Air Pengambilan contoh biota ikan selain pagi hingga sore hari, juga dilakukan pada malam hingga dini hari. Pengambilan contoh ikan dibantu oleh para nelayan setempat, dilokasi yang telah ditentukan. Pengambilan contoh ikan dilakukan di sebelas stasiun (Lihat Gambar 2). Pengamatan dimulai dari muara Sungai Merang dan sekitarnya (empat titik), kemudian tiga titik di tengah dan empat titik di hulu. Pengambilan contoh air dilakukan di tiga titik pengamatan, yaitu pada daerah hilir, tengah dan hulu. Metode Pengamatan Fauna Data fauna yang berada di hutan sepanjang Sungai Merang dilakukan sebagai data pendukung, namun tidak diplot dalam jumlah stasiun, karena tujuannya untuk inventarisasi jumlah jenis di sepanjang Sungai Merang. Metoda Pengambilan Contoh Kualitas Air Pengambilan contoh air dilakukan secara komposit pada masing-masing stasiun. Beberapa parameter kualitas air diukur langsung di lapangan (in situ) dan beberapa dianalisa di laboratorium Produktivitas & Lingkungan Perairan (Proling) 15

30 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Parameter yang diamati di lapangan dan di laboratorium selengkapnya disajikan dalam Tabel 1. Pengambilan contoh ini dilakukan di 11 stasiun (Lihat Gambar 2.) Tabel 1. Jenis alat dan cara pengukuran parameter kualitas air No Parameter Satuan Metoda / Alat Lokasi 1 Debit meter 3 /detik Stopwatch, tali berskala insitu 2 TSS (Total Suspended Solid) mg/liter Gravimetrik laboratorium 3 Kekeruhan NTU Visual laboratorium 4 Kecerahan cm Secchi disk insitu o 5 Suhu C termometer insitu 6 ph - Kertas lakmus insitu 7 COD mg/liter spektrofotometrik laboratorium 8 DO mg/liter spektrofotometrik insitu 9 Konduktivitas (ms/cm) insitu 10 Kesadahan mg/liter CaCO 3 eq Titrimetrik insitu 11 Alkalinitas mg/liter CaCO 3 eq Titrimetrik insitu 12 K mg/liter gravimetrik laboratorium 13 Ca mg/liter gravimetrik laboratorium 14 Mg mg/liter gravimetrik laboratorium 15 Na mg/liter gravimetrik laboratorium 16 Total Fe mg/liter Phenanthroline laboratorium 17 Sulfat mg/liter Turbidimetrik laboratorium 18 Kelimpahan Plankton Individu/liter Mikroskop Elektrik binokuler laboratorium 3.4 Analisis Data Analisis Vegetasi Survei kuantitatif dilakukan untuk melihat struktur vegetasi terutama pada tingkat tiang (poles) dan pohon. Tingkat tiang (poles) dan pohon diambil sebagai parameter karena kedua tingkat vegetasi ini dianggap memiliki perkembangan dan pertumbuhan yang dinamis. Pengamatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan plot contoh (sample plot) berukuran 50 m x 20 m yang dilakukan ilakukan pada 14 titik (Gambar 2). Model peletakan plot adalah purposive sample. Rumus-rumus yang dipergunakan dalam analisis ini adalah sebagai berikut: Kerapatan Jenis = Kerapatan Relatif (%) = Dominansi = Dominansi relatif (%) = Frekuensi relatif = Frekuensi relatif (%) = Jumlah individu Luas contoh Kerapatan dari suatu spesies atau jenis x 100 % Kerapatan seluruh jenis Jumlah bidang dasar Luas petak contoh Dominansi suatu jenis x 100 % Dominansi seluruh jenis Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh plot Frekuensi dari seluruh suatu jenis jenis X 100% 16

31 INP = Kerapatan Relatif + Dominansi relatif + Frekuensi seluruh jenis Data pendukung vegetasi adalah peta citra satelit Landsat TM tahun 1989, 1999 dan 2002 di Sungai Merang. Pengolahan data citra satelit tersebut dibantu dengan menggunakan software Arc View Analisis Struktur Komunitas Pohon Struktur komunitas pohon diukur dengan Indeks keanekaragaman, Indeks Keseragaman dan Indeks dominansi yaitu sebagai berikut : Indeks Keanekaragaman Jenis Pohon Keanekaragaman jenis pohon dinyatakan dengan indeks keanekaragaman (H ) Shannon-Wiener (Krebs, 1989): s H = - pi log2 pi i =1 Keterangan: H = Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener pi = ni/n dimana ni adalah jumlah individu spesies ke-i dan N adalah jumlah total individu Menurut Krebs (1989), nilai indeks keanekaragaman populasi dapat menggambarkan kondisi ekosistem hutan, nilai indeks ini adalah sebagai berikut : keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap jenis rendah dan kestabilan komunitas rendah H' < 3,2199. keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan komunitas sedang, dengan nilai < H' < 9,657. keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis tinggi dan kestabilan komunitas tinggi, dengan nilai dan H' > 9. Indeks Keseragaman Pohon Keseragaman adalah komposisi individu dalam setiap genus yang terdapat dalam komonitas. Keseragaman didapat dengan membandingkan indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Keseragaman dihitung dengan rumus (Krebs, 1989) : 17

32 E = H = H H maksimum log S Keterangan : E = Indeks Keseragaman populasi H = Indeks Keanekaragaman H maks = Indeks Keanekaragaman maksimum = log S s = jumlah spesies Kriteria nilai keseragaman adalah sebagai berikut: Keseragaman populasi kecil artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama, atau ada kecenderungan satu spesies mendominasi, dengan nilai E < Keseragaman populasi sedang, dengan nilai < E < Keseragaman populasi tinggi artinya tidak ada jenis yang mendominasi, dengan E > Indeks Dominansi Pohon Dominansi suatu jenis pohon di dalam komunitas dapat diduga dengan indeks dominansi Simpson (Krebs, 1989) yaitu sebagai berikut : s D = (pi ) 2 i =1 Keterangan : D = Indeks dominansi s = jumlah genus pi = ni/ N, dimana ni adalah jumlah individu spesies ke-i dan N adalah jumlah total individu Nilai D berkisar antara 0 3,219. Bila nilai D mendekati 3,219 menunjukkan adanya dominansi oleh spesies tertentu, sedangkan bila nilai D mendekati 0 menunjukkan kecilnya dominasi atau tidak ada dominansi oleh spesies tertentu Analisis Tanah Analisis tanah adalah untuk melihat tingkat kesuburan dan tingkat dekomposisi tanah organik (hemik, saprik dan fibrik). Penelitian tingkat kesuburan tanah gambut dilakukan di Pusat Penelitian Tanah Bogor. Pengamatan tingkat dekomposisi tanah gambut dilakukan di lapangan. Data sekunder digunakan untuk 18

33 analisa tanah berkaitan dengan peta dan sebaran kematangan gambut di lokasi penelitian Analisis Struktur Komunitas Biota air Struktur komunitas meliputi biota ikan dan plankton, yang diukur dengan indeks keanekaragaman, indeks Keseragaman dan Indeks dominansi yaitu sebagai berikut : Indeks Keanekaragaman Ikan dan Plankton Keanekaragaman jenis ikan dan plankton keanekaragaman (H ) Shannon-Wiener (Krebs, 1989): dinyatakan dengan indeks s H = - pi log 2 pi* i =1 Keterangan: H = Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener* pi = ni/n dimana ni adalah jumlah individu spesies ke-i dan N adalah jumlah total individu (*) = logaritma 10 untuk ikan dan logaritma 2 untuk plankton Nilai indeks ini adalah sebagai berikut : keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap jenis rendah dan kestabilan komunitas rendah, dengan nilai H < 1 (ikan) dan H' < 3,2199 (plankton). keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan komunitas sedang, dengan nilai 1,0 <H < 3,0 (ikan) dan < H' < 9,657 (plankton). keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis tinggi dan kestabilan komunitas tinggi, dengan nilai H > 3 (ikan) dan H' > 9,657 (plankton). Indeks Keseragaman Ikan dan Plankton Keseragaman ikan dan plankton didapat dengan membandingkan indeks keanekaragaman masing-masing dengan nilai maksimumnya. Keseragaman dihitung dengan rumus (Krebs, 1989): E = H = H H maksimum log S 19

34 Keterangan : E = Indeks Keseragaman populasi H = Indeks Keanekaragaman H maks = Indeks Keanekaragaman maksimum = log S s = jumlah spesies Kriteria nilai keseragaman adalah sebagai berikut: Keseragaman populasi kecil artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama, atau ada kecenderungan satu spesies mendominasi, dengan nilai E < 0,4 (ikan) dan E < Keseragaman populasi sedang, dengan nilai 0,4 < E < 0,6 (ikan) dan < E < (plankton). Keseragaman populasi tinggi artinya tidak ada jenis yang mendominasi, dengan nilai E > (plankton). Indeks Dominansi ikan dan Plankton Dominansi suatu jenis ikan dan plankton di dalam komunitas dapat diduga dengan indeks dominansi Simpson (Krebs, 1989) yaitu sebagai berikut : s D = (pi ) 2 i =1 Keterangan : D = Indeks dominansi s = jumlah genus pi = ni/ N, dimana ni adalah jumlah individu spesies ke-i dan N adalah jumlah total individu Nilai D berkisar antara 0-1. Bila nilai D mendekati 1 menunjukkan adanya dominansi oleh spesies tertentu, sedangkan bila nilai D mendekati 0 menunjukkan kecilnya dominasi atau tidak ada dominansi oleh spesies tertentu Biologi Perikanan Menurut Effendie (1997), kondisi lingkungan yang berpengaruh pada biologi ikan dapat diduga melalui perbandingan antara panjang ikan (mm) dengan berat ikan (gram). Perbandingan tersebut menghasilkan suatu kisaran konstanta yaitu b, apa bila nilai b =3 maka perbandingan panjang dan berat ikan adalah isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan berat). Jika nilai b tidak sama dengan tiga, disebut allometrik, yakni perbandingan panjang dan 20

35 berat ikan tidak proporsional. Jika b>3, maka pertambahan berat lebih dominan (allometrik positif). Jika b<3 maka pertambahan panjang lebih dominan (allometrik negatif). Hubungan Panjang Berat Hubungan panjang - berat ditunjukkan dalan suatu bentuk rumus umum (Effendie, 1997), yaitu : W = al b Keterangan W = Berat tubuh ikan (gram) L = Panjang ikan (mm) a dan b = konstanta Pendugaan Musim Pemijahan Ikan Pendugaan musim pemijahan dilakukan pula secara deskriptif berdasarkan data biologi perikanan. Musim pemijahan didukung pula dengan data hasil wawancara dengan nelayan setempat dan data curah hujan sepuluh tahun terakhir yang berasal dari stasiun Klimatologi setempat Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat Kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat secara umum akan dilakukan, melalui wawancara dengan beberapa tokoh dan masyarakat desa. Analisis Statistika Deskriptif digunakan untuk melihat pengaruh illegal logging pada perikanan dari segi sosial ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara kecenderungan hasil tangkapan ikan dengan degradasi hutan Analisis Statistik Analisis statistika digunakan sebagai alat bantu dalam pengolahan data. Beberapa analisis yang digunakan adalah Regresi linier, Regresi berganda, Chisquare dan korelasi kanonik. Regresi Linier Regresi linier digunakan untuk mengetahui apakah ada pengaruh luas hutan rawa gambut primer (dalam hektar) terhadap jumlah tangkapan ikan dari nelayan (dalam kg). Variabel tidak bebasnya adalah jumlah tangkapan ikan (Y) dan variabel bebasnya luas hutan rawa gambut primer (X). 21

36 Bentuk model persamaan regresi berganda (Supranto, 1989 dan Dajan 1991) adalah: Y = β 0 + β 1 X + ε, dimana β 0 merupakan intercept dan β 1 adalah slope (kemiringan) atau koefisien regresi dan dimana ε adalah random error dengan rata-rata nol dan varian β 2 σ. Model regreisnya adalah : ( ) n XY X Y = n X X dan β0 = Y β1x Pengujian koefisien regresi β 1 dilakukan dengan tabel anova untuk pengujian koefisien regresi digunakan Uji t. Regresi Berganda Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh antara total jumlah ditemukannya suatu jenis (X2) terhadap berat total (Y). individu suatu jenis (X 1 ) dengan jumlah stasiun Menurut Supranto (1989) dan Dajan (1991), hubungan fungsional (dimana X merupakan variabel bebas dan Y merupakan variabel tak bebas ) antara Y dengan X 1, X 2,..., X k bisa dinyatakan oleh persamaan: Yˆ = βˆ + βˆ X + βˆ X βˆ X k k + Penarikan kesimpulan persamaan regresi berganda dilakukan dengan pengujian koefisien e Uji Chi-Square Statistik Chi Square dapat digunakan untuk menguji hipotesa tentang distribusi dari ukuran atau variabel-variabel penelitian yang diteliti. Uji Chi Square juga berguna untuk menguji apakah dua atau lebih populasi mempunyai distribusi yang sama (Supranto, 1989). Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah ada zonasi penyebaran ikan di Sungai Merang. Model yang digunakan adalah : Eij = (Σbarisi) (Σ kolom i) = (n.i) (n.j) N n 2 n n X = Σ Σ (0ij-Eij) 2 i j E ij 22

37 Analisis Peubah Kanonik Korelasi kanonik adalah suatu teknik untuk menganalisa hubungan antara dua gugus variabel dimana masing-masing gugus variabel memiliki beberapa variabel. Korelasi kanonik adalah salah satu variasi dari konsep multipel regresi dan analisis korelasi. Dalam multipel regresi dan korelasi kita dapat menguji hubungan antara kombinasi linier dari satu gugus variabel X dengan variabel tunggal Y. Dalam Korelasi kanonik, kita dapat menghitung hubungan antara kombinasi linier dari gugus variable X dengan kombinasi linier gugus variabel Y. Analisis peubah kanonik digunakan untuk mengetahui tingkat korelasi antara parameter-parameter kualitas air (peubah kualitas air) dengan parameterparameter komunitas ikan (peubah komunitas ikan). Tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana kualitas air berpengaruh pada komunitas ikan. Untuk dapat melihat korelasi kanonik, dipilih data-data dari parameter kualitas air dan parameter komunitas ikan yang memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi dari hulu hingga muara. Operasi peubah kanonik menggunakan program komputer SAS sistem. Penentuan peubah kanonik selengkapnya disajikan pada Gambar 3. DATA KARAKTERISTIK IKAN DATA KARAKTERISTIK AIR DATA KARAKTERISTIK IKAN YANG MEMILIKI KERAGAMAN DATA TINGGI DATA KARAKTERISTIK KUALITAS AIR YANG MEMILIKI KERAGAMAN DATA TINGGI PEUBAH KANONIK : ikan 1, ikan 2 dst. PEUBAH KANONIK : air 1, air 2 dst. Gambar 3. Proses penentuan peubah kanonik 23

38

39 IV. KONDISI UMUM 4.1 KONDISI UMUM LOKASI Lahan gambut Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi tanah gambut di sepanjang Sungai Merang umumnya didominasi oleh tanah-tanah yang belum berkembang atau belum matang yaitu dengan tingkat dekomposisi hemik dan fibrik, kadang-kadang juga ditemukan tanah dengan campuran bahan organik pada bagian yang berawa. Kondisi tanah gambut dapat terlihat juga dari aktifitas illegal logging sepanjang Sungai Merang, terutama pada Km 50-an hingga hulu. Lokasi tersebut dibuat parit, untuk membantu mengeluarkan kayu dari hutan. Untuk menggali parit, alat utama yang digunakan adalah gergaji mesin (chainsaw) dengan kedalaman rata-rata satu meter. Proses perkembangan tanah selain ditentukan oleh bahan induk juga oleh keadaan vegetasi dan posisi tempat yang dipengaruhi oleh lingkungan berair. Berdasarkan hasil pengamatan, pada musim hujan, hamparan hutan sepanjang Sungai Merang yang terendam air semakin luas. Kondisi tanah gambut di Sungai Merang sebagian besar terbentuk dari bahan endapan organik, sebagian lagi campuran endapan sungai dan endapan marin. Tanah pada satuan lahan kubah gambut terbentuk dari hasil akumulasi bahan induk berasal dari tanaman/vegetasi dimana proses dekomposisi bahan organik yang berjalan lebih lambat, sehingga membentuk suatu kubah (dome) gambut. Peta kematangan dan kondisi lahan gambut Sungai Merang secara umum dijelaskan pada Gambar 4. Proses dekomposisi bahan organik dari vegetasi yang mati berjalan lambat, karena kondisi tanah yang terus berair. Pada beberapa titik pengamatan dapat dilihat pada kedalaman satu meter bahkan lebih akan banyak dijumpai batang, cabang dan akar yang belum terdekomposisi sempurna. Kondisi tanah gambut yang masih berupa batang yang besar atau akar sering dijumpai, terutama pada parit-parit yang dibangun. Kondisi tanah gambut Sungai Merang berkadar air tinggi sehingga berat jenisnya rendah, yaitu 0,1-0,3 g/cm 3. Dengan demikian selain proses dekomposisi berjalan lambat, kandungan mineral serta porositasnya menjadi tinggi yaitu 70-95%. Dengan tingginya kadar air di gambut, menurut Waspodo et al. (2004), proses pencucian unsur hara oleh air hujan cukup besar, sehingga tanah gambut di Sungai Merang miskin unsur-unsur hara. Taman Nasional Berbak, Jambi 25

40 Lokasi Penelitian Sungai Merang dan sekitarnya KABUPATEN MUSI BANYUASIN, SUMATERA SELATAN DAN SEKITARNYA Gambar 4. Peta kematangan dan kondisi lahan gambut Sungai Merang (Sumber : Hasil pengolahan peta citra satelit landsat) Reaksi tanah sepanjang Sungai Merang sangat masam (ph< 4) beberapa ada yang berpotensi mengandung bahan sulfisik (pirit) dengan ph < 2,5. Menurut 26

41 Murdiyarso et al., 2004 lahan gambut tropis juga dicirikan oleh rendahnya kandungan hara atau kesuburan tanah dan tingginya keasaman. Pada umumnya lahan gambut tropis memiliki ph antara 3-4,5. Kemasaman tanah tinggi menyebabkan gangguan penyerapan (uptake) unsur hara. Menurut Sitorus (2003), pada reaksi tanah netral unsur hara akan lebih tersedia bagi pertumbuhan tanaman dibandingkan pada tanah gambut. Berdasarkan pengamatan, formasi umum tanah di sepanjang tepi Sungai Merang, wilayah ini dapat dibedakan menjadi dua bagian besar, yaitu : daerah alluvial, muara (km 0) hingga (km 39,4) dan hutan rawa gambut Km 39,4 hingga km 72,5 (hulu). Pada km 0 hingga km ke 40 adalah daerah belukar dan hutan gelam. Pada km ke-10, bahkan dijumpai tanah mineral, yang tidak bergambut lagi. Daerah tersebut dijadikan daerah pertanian. Menurut Lubis et al., (2004), tanah pada satuan lahan dataran alluvial umumnya terbentuk dari endapan sungai berupa endapan liat, lumpur, pasir dan bahan organik. Tanah-tanahnya sudah agak berkembang dicirikan dengan adanya struktur yang sudah terbentuk dan adanya warna karatan. Ketebalan gambut di sepanjang Sungai Merang bervariasi, hal ini dapat dijumpai pada km ke-40 hingga ke hulu. Menurut Wahyunto et al. (2003) tanah gambut yang ada di Sungai Merang yang ditemukan adalah Haplosaprits (Organosol Saprik) dan Haplohemist (Organosol Hemik) dengan ketebalan gambut bervariasi dari sangat dangkal (< 50 cm) hingga sangat dalam (450 cm). Tanah gambut dalam ( cm), dijumpai di bagian tengah sampai hulu Sungai Merang, sedangkan gambut dangkal ( cm) dijumpai di bagian tepian atau hilir Sungai Merang. Sebaran gambut ini selengkapnya disajikan dalam Gambar Kualitas Air Ekosistem gambut di Sungai Merang merupakan keterpaduan antara ekosistem perairan dan ekositem daratan. Proses pembentukan tanah gambut terjadi dengan kondisi tanah yang terus berair. Tinggi rendahnya permukaan air di Sungai Merang dan gambut sekitarnya dipengaruhi oleh besarnya curah hujan. Selisih tinggi muka air musim kemarau dan musim hujan bisa mencapai 2 meter, terutama dimulai dari km 0 hingga km 40 (Gambar 5). Pengaruh pasut terhadap ketinggian perairan masih terlihat hingga jarak 39,4-43,1km dari muara Sungai Merang. Hal ini dapat terlihat pada bekas tumbuhan disepanjang sungai dan dirasakan langsung oleh masyarakat yang sering berperahu sepanjang sungai Merang (Gambar 6). Secara umum curah hujan yang mempengaruhi Sungai Merang dijelaskan dalam Gambar 7. al Sungai Tanah Organik Sungai 27

42 Tanah mineral Gambar 5. Ekosistem hutan rawa gambut sungai merang (Murdiyarso, et al., 2004) Gambar 6. Pasang surut harian di Sungai Merang di daerah hilir dan muara Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des Gambar 7. Grafik curah hujan di Kabupaten Musi Banyuasin tahun (Dinas Klimatologi, 2001) Bulan curah hujan Selain curah hujan, pasang surut juga mempengaruhi tinggi muka air sungai. Berdasarkan hasil pengamatan, pengaruh pasang surut air laut terbagi dalam tiga zona. Zona pertama adalah daerah yang dipengaruhi pasang surut harian air payau /asin. Zona dua adalah zona yang terletak setelah zona pertama, dimana pengaruh pasang surut yang terjadi adalah naik turunnya permukaan air tawar. Zona terakhir adalah zona tiga, pada zona ini sudah tidak ada lagi pengaruh harian pasang surut air. Sungai Merang terletak pada zona kedua dan ketiga, sehingga tidak ada pengaruh salinitas air laut. Zona dua dengan pasang surut harian air tawar terutama dirasakan mulai dari muara hingga km ke 40-an. Setelah itu zona ketiga, dimana tidak ada lagi pengaruh pasang surut harian, dimulai mulai km 40-an hingga ke 28

43 daerah hulu sungai. Selengkapnya pola pasang surut di Sungai Merang disajikan dalam Gambar 8. ZONA - III Rawa Lebak atau Rawa Non Pasang Surut Km 40-an hingga hulu sungai Km 0 Km 40-an ZONA - II Pengaruh pasang surut harian air tawar ZONA - I Gambar 8. Zonasi pasang surut di Sungai Merang (modifikasi dari Wahyunto, et al., 2005) Kesuburan perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi badan air yang menampungnya. Rendahnya ph tanah, berdampak pada rendahnya ph perairan dan kesuburan perairan. Kesuburan perairan gambut adalah rendah, demikian pula yang terjadi di Sungai Merang. Rendahnya nilai ph dan oksigen terlarut ini dapat dilihat dari hasil pengamatan dari hulu Sungai Merang hingga ke muara (Tabel 2). Nilai ph dibawah 5 tergolong rendah dan akan mengurangi keanekaragaman biota air diantarnya plankton dan ikan. Selain keanekaragaman, menurut Boyd (1988), proses dekomposisi oleh mikroorganisme akan berjalan lambat pada perairan yang ber-ph rendah dekomposisi bahan organik akan berjalan cepat pada ph netral dan alkalis. Kualitas air di daerah gambut dicirikan dengan kondisi perairan yang asam dan kandungan oksigen terlarut yang rendah. Nilai Oksigen dibawah 5 mg/liter kurang baik bagi perikanan, bahkan pada kisaran 1-5 mg/liter pertumbuhan ikan akan 29

44 terganggu Boyd (1988). Dengan kondisi ph dan oksigen yang rendah dekomposisi akan berjalan lambat. Tabel 2. Kualitas air rata-rata di hulu, tengah dan muara Sungai Merang No Uraian Hulu tengah Muara Fisika: 1 Suhu ( o C) Kecerahan (cm) Warna air (visual) hitam hitam Hitam kecoklatan 4 Total padatan tersuspensi/tss (mg/l) Substrat dasar (visual) serasah serasah serasah Kimia: 1 Konduktivitas (ms/cm) Dissolved Oxygen (ppm) PH Kesadahan (mg/l) Alkalinitas (mg/l) tt tt 6 Asiditas (mg/l) COD (mg/l) K (mg/l) Ca (mg/l) Mg (mg/l) Na (mg/l) Total Fe Sulfat (SO4) kekeruhan (NTU) lebar kecepatan arus kedalaman debit Plankton BACILARIOPHYCEAE 1 Asterionella spp Chaetoceros spp Coscinodiscus spp Cyclotella spp Cymbella spp Fragilaria spp Melosira spp Navicula spp Nitzschia spp Pinnularia spp Pleurosigma spp Surirella spp CHLOROPHYCEAE 13 Euastrum spp Pediastrum spp Scenedesmus spp

45 Tabel 2 (Lanjutan) No Uraian Hulu tengah Muara 16 Selenastrum spp Sphaerocytis spp Staurastrum spp Ulothrix spp CYANOPHYCEAE 20 Asteriococcus spp Chroococcus spp Coscinodiscus spp Gloeotrichia spp Kirchneriella spp Jumlah Taksa Jumlah Total Individu Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Indeks Dominansi Selain ph dan DO, kesuburan perairan juga dapat dilihat dari unsur-unsur logam yang terdapat di dalamnya. Beberapa unsur yang dijadikan indikator kesuburan diantaranya Ca, Mg, K, Na dan Fe. Menurut Cole (1988), perairan yang miskin unsur Kalsium (Ca) biasanya akan diikuti oleh rendahnya ion-ion lainnya yang sangat dibutuhkan tumbuhan akuatik. Kisaran nilai Ca di Sungai Merang adalah 0,07 hingga 0,4. Nilai ini relatif rendah, karena pada umumnya nilai Ca di perairan kurang dari 15 mg/liter atau pada perairan di sekitar batuan karbonat kadarnya adalah mg/liter. Magnesium atau Mg adalah salah satu unsur yang penting di perairan. Magnesium pada tumbuhan terdapat pada klorofil. Unsur ini bersama Ca penyusun utama kesadahan. Kadar unsur ini diperairan alami adalah mg/liter. Nilai unsur ini di Sungai Merang rata-rata 2 mg/liter, sehingga relatif rendah bila dibandingkan kondisi umumnya perairan alami. Nilai Potassium atau Kalium (K) di Sungai Merang adalah 0,198 hingga 1 mg/liter. Nilai ini relatif rendah untuk perairan tawar. Pada perairan tawar alami nilai unsur ini < 10 mg/liter (McNeely et al dalam Effendie 2003). Kosentrasi Sodium atau Natrium (Na) di Sungai Merang adalah 0,015-0,1 mg/liter. Kosentrasi unsur ini cukup rendah bila dibandingkan dengan kosentrasi ratarata di perairan tawar yaitu 50 mg/liter. Pada perairan alami, ratio Na dan K adalah 2:1 hingga 3:1(McNeely et al dalam Effendie 2003), sedangkan ratio Na : K di Sungai Merang berada diluar kisaran tersebut, karena kandungan unsur Pottasium (K) jauh lebih tinggi dari nilai Natrium (Na), baik di hulu, tengah dan hilir/muara. Indikator kesuburan dan karakteristik perairan lainnya adalah yang berhubungan dengan unsur atau ion logam, yaitu alkalinitas, kesadahan dan 31

46 konduktivitas. Alkalinitas adalah kapasitas air untuk menetralkan asam. Dengan demikian alkalinitas merupakan buffer (penyangga) agar perairan stabil. Nilai alkalinitas tidak dapat dihitung jika ph perairan di bawah 5. Parameter selanjutnya setelah alkalinitas adalah kesadahan. Kesadahan adalah gambaran logam divalen. Unsur Ca dan Mg adalah unsur penyusun utama nilai kesadahan. Kesadahan perairan berasal dari kontak air dengan tanah dan beberapa batuan. Kondisi daerah gambut adalah tanah organik, sehingga nilai kesadahannya lunak. Kisaran nilai kesadahan menurut Effendie (2003) adalah lunak (<50 mg/l); menengah (50-150); sadah ( ) dan sangat sadah (>300). Semakin tinggi nilai kesadahan, akan semakin menghambat toksisitas logam berat di perairan. Air sadah lebih disukai daripada air lunak bagi biota perairan. Nilai kesadahan di Sungai Merang adalah mg/l. Nilai tersebut cukup rendah atau kesadahan air lunak. Air lunak relatif kurang disukai oleh biota ikan. Hal ini dapat dilihat pula pada nilai keanekaragaman ikan dan plankton di Sungai Merang. Parameter selanjutnya setelah kesadahan adalah konduktivitas. Nilai konduktivitas di Sungai Merang relatif kecil. Kisaran untuk perairan tawar alami adalah ms/cm. Nilai konduktivitas di Sungai Merang adalah (ms/cm). Nilai alkalinitas, kesadahan dan konduktivitas selengkapnya disajikan dalam Tabel 2. Arus sungai di Sungai Merang berdasarkan hasil pengamatan tergolong berarus lambat. Kecepatan arus rata-rata di daerah hulu adalah 23,4 cm/detik, pada daerah tengah 24,5 cm/detik dan daerah hilir atau muara 24 cm/detik. Kisaran kecepatan arus sungai menurut Mason (1981), adalah sangat cepat (>100 cm/detik), cepat ( cm/detik), sedang (25-50 cm/detik), lambat (10-25 cm/detik) dan sangat lambat (< 10 cm/detik). Kecepatan arus akan mempengaruhi jenis flora yang tinggal di perairan. Dengan kondisi arus yang relatif lambat, maka banyak vegetasi atau tumbuhan air yang dapat tinggal di sepanjang Sungai Merang. Tumbuhan air merupakan salah satu habitat di perairan yang disukai oleh ikan. Kesuburan perairan selain secara kimia dapat pula dilihat dari indikator biologi. Biota perairan dapat dijadikan indikator biologis mengenai kondisi kualitas air di perairan. Salah satu biota yang dijadikan indikator diantaranya adalah plankton. Nilai keanekaragaman plankton adalah rendah (Tabel 2). Nilai PH perairan sangat berpengaruh pada keanekaragaman plankton. Nilai ph di Sungai Merang adalah rendah. Menurut Baker et al. (1990), dalam Novotny dan Olem, 1994 dalam Effendie (2003), penurunan nilai ph sebesar 0,5 berdampak pada keanekaragaman plankton. Penurunan menjadi 6-6,5 mengakibatkan penurunan keanekaragaman plankton dan benthos. Pada kisaran 5,5-6,0 akan semakin nampak dan pada kisaran 5,0-5,5 32

47 nampak tidak hanya pada plankton juga pada perifiton. Pada kisaran 4,5-50 penurunan akan semakin besar Jenis-Jenis Fauna Wilayah survey fauna meliputi daerah muara Sungai Merang (km 0) hingga km 70. Selama waktu tersebut, dicatat beberapa spesies yang dilindungi dengan kategori : (1) Dilindungi berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia (P) (2) kategori Genting (Endangered) karena tingkat keterancaman kepunahannya berdasarkan IUCN Red Data List (3) Appendix I, merupakan jenis yang terancam kepunahan dan perdagangannya diatur hanya untuk kebutuhan tertentu saja seperti untuk penelitian dan (4) Appendix II, merupakan spesies yang saat ini tidak terlalu terancam kepunahan jika perdagangannya diatur berdasarkan kuota yang disepakati dalam konvensi antara negara yang meratifikasi CITES (COP). Keberadaan fauna di kawasan Sungai Merang dan sekitarnya terancam punah seiiring dengan kondisi kerusakan vegetasi di lahan gambut. Jenis-jenis fauna yang didapat selengkapnya disajikan dalam Lampiran Struktur Komunitas Ikan Berdasarkan survey dilapangan, terdapat sedikitnya 40 jenis ikan di dalam kawasan Sungai Merang, yang terbagi dalam lima ordo berdasarkan banyaknya spesies yaitu Perciformes, Siluriformes, Cypriniformes, Cyprinidontiformes dan Osteglossiformes. Semua jenis yang didapat, sebagian dari Sungai Merang dan sebagian lagi dari Sungai Lalan yang masuk ke Sungai Merang pada saat musim hujan atau saat permukaan air meninggi terutama di daerah muara dan hilir Sungai Merang. Jenis-jenis ikan Sungai Lalan tersebut adalah dari ordo Perciformes, Siluriformes dan Cypriniformes. Ordo Perciformes yaitu ikan sumpit (Toxotes jaculatrix), tilan (Mastacembelus sp) dan sebengkah (Leiognathus equulus). Ordo siluriformes yaitu ikan juaro (Famili pangasidae). Ordo Cypriniformes yaitu seluang beras (Rasbora sumatrana) ikan aro (Osteochilus melanopleura) dan unggut-unggut (Osteochilus kappenii). Selengkapnya jenis-jenis ikan yang dijumpai di Sungai Merang disajikan dalam Gambar 9 hingga Gambar 14 serta Lampiran 5. 33

48 Gambar 9. ikan sianang ( Mystus bimaculatus) Gambar 10. ikan elang (Datnoides microlepis) Gambar 11. Ikan toman (Channa micropeltes) Gambar 12. Seluang kremasan ( Rasbora kalochroma) Gambar 13. Telur bujuk (Channa lucius) Gambar 14. Telur pepunti (Leiocassis sp) Biologi Perikanan Berdasarkan analisis hubungan antara panjang dan berat ikan, nilai konstanta b pada semua jenis ikan yang ada di Sungai Merang adalah lebih kecil daripada 3. Nilai ini menunjukkan bahwa ikan memiliki pola pertumbuhan panjang lebih dominan daripada berat (Lampiran 11). Dengan demikian secara umum ikan-ikan yang ada di Sungai Merang dalam keadaan kurus. Pertumbuhan ikan yang relatif kurus ini, menurut Sinaga et al. (2000) disebabkan ukuran ikan dan kompetisi makanan. Perbedaan ini dapat disebabkan faktor dalam dan faktor luar. Faktor 34

49 dalam meliputi keturunan, jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit. Adapun faktor luar yang utama adalah makanan dan suhu perairan. Faktor makanan erat kaitannya dengan kesuburan perairan. Secara umum kondisi Sungai Merang tidak subur atau miskin unsur hara. Selain miskin unsur hara, perairan inipun memiliki ph perairan yang rendah dan kandungan oksigen terlarut yang rendah pula, sehingga hanya sedikit organisme yang dapat hidup di lokasi tersebut. Hubungan antara Fekunditas, Musim Bertelur Ikan dan Musim Tangkapan Ikan. Fekunditas adalah semua telur yang akan dikeluarkan pada waktu pemijahan (Effendie, 1997). Fekunditas ikan dapat digunakan untuk menduga jumlah populasi yang akan dihasilkan dalam ekosistem perairan. Secara umum ikan-ikan hasil tangkapan belum menunjukkan tanda-tanda mulainya musim pemijahan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat kematangan gonad yang belum matang. Namun demikian dari beberapa jenis ikan, terutama famili Channidae (bujuk, gabus dan toman), seluang beras (Rasbora sp) dan pepunti (Leiocassis sp) berhasil didapatkan telur yang relatif telah memasuki tingkat kematangan gonad ke -3 atau ke-4. Berdasarkan pengamatan bulan juli-agustus, pada ikan betina dari family Channidae ( bujuk, gabus dan toman) hampir seluruhnya terdapat telur, demikian juga dengan bulan juli Fekunditas ikan bujuk sekitar butir telur. Fekunditas ikan pepunti (Leiocassis sp) sekitar an dan seluang beras sekitar 5000-an. Fekunditas ikan sebengkah dan tapa kero belum bisa dihitung karena gonadnya masih berada pada tingkat kematangan gonad ke 2 hingga 3. Pola pemijahan yang hampir bersamaan ini diduga menyesuaikan dengan kondisi musim yang akan masuk musim hujan, karena trigger pemijahan spesies ikan antara lain adalah adanya air baru (awal musim hujan). Jumlah fekunditas yang cukup besar, merupakan potensi yang sangat besar bagi hasil perikanan bila dikelola dengan baik. Informasi yang diberikan nelayan adalah berdasarkan pengalaman sebelum ikut kegiatan illegal logging. Selain illegal logging, kegiatan penyetruman menurut nelayan lebih mempercepat kelangkaan hasil tangkapan ikan. Memasuki tahun 2000-an adalah tahun terburuk bagi usaha perikanan, karena gangguan illegal logging dan kegiatan penyetruman terjadi semakin marak. Selain fekunditas ikan, buaya sinyulong merupakan salah satu indikator untuk melihat jumlah populasi ikan di sungai. Jumlah ikan yang semakin turun, dapat dilihat dengan semakin banyaknya buaya sinyulong yang tertangkap dengan bubu ikan atau 35

50 memakan umpan ikan pada pancing tajur. Hal ini banyak terjadi pada tahun 2001 dan Musim bertelur buaya ini sekitar Juli. Selanjutnya pada bulan Agustus, telur dierami di tanah gambut dan akan menetas bulan September, awal musim hujan. Dengan demikian kondisi muka air yang tinggi memudahkan anak buaya masuk ke perairan, karena lokasi bertelur biasanya agak jauh dari sungai (Bezuijen et al., 2001 & 2002). Lokasi penetasan telur relatif aman karena jauh dari sungai. Telur akan menetas ketika mulai masuk musim penghujan. Pada saat itu air mulai tinggi dan menggenangi hingga daerah sekitar sarang buaya sinyulong. Kondisi ini memudahkan bayi buaya untuk mencapai air dan bersamaan dengan itu juga akan banyak juvenile ikan yang tersebar ke dalam hutan, sebagai sumber makanan KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT Sejarah Desa Muara Merang Penduduk asli Desa Muara Merang belum dapat diidentifikasi dengan pasti. Namun ada sebagian warga mengatakan bahwa penduduk asli desa ini adalah Suku Anak Dalam (suku Kubu) yang sekarang ada beberapa orang tinggal di Dusun Kepahiang. Pada tahun Dinas Sosial Propinsi membuat daerah ini sebagai daerah binaan Departemen Sosial. Salah satu programnya adalah pembinaan sosial terhadap Suku Kubu yang berada di lokasi ini dengan membangun beberapa fasilitas perumahan serta prasarana umum bagi mereka. Namun warga dari suku Kubu ini hampir seluruhnya tidak dapat bertahan untuk berinteraksi sosial dengan masyarakat sehingga sebagian besar kembali masuk hutan. Perkembangan selanjutnya di daerah ini banyak ditempati oleh warga pendatang lainnya (dari Muba, OKI atau dari Palembang). Beberapa orang yang tersisa dapat beradaptasi hingga saat ini bermukim di Kepahiang dengan mata pencarian sebagai pengrajin anyaman. Berdasarkan keterangan tokoh masyarakat yang telah lama tinggal di daerah ini (sejak tahun 1972), masyarakat Desa Muara Merang berasal dari daerah sekitar Pangkalan Balai dan hulu Sungai Lalan. Pada tahun-tahun tersebut mereka sebagai pencari ikan di sekitar Desa Muara Merang dan bermukim di sana. Laju pertumbuhan jumlah penduduk pada saat sekitar 26 jiwa / tahun Kegiatan Perikanan di Sungai Merang dan Sekitarnya dari Dulu Hingga Sekarang Lelang sungai adalah suatu mekanisme pemilikan sungai selama setahun untuk mengambil hasil perikanan. Mekanisme ini berjalan sejak zaman dahulu, 36

51 sebelum ada sistem pemerintahan desa. Sungai yang dilelang bukan tempat transportasi utama masyarakat dan tidak banyak penduduk yang tinggal sepanjang sungai. Sungai tersebut biasanya bermuara ke sungai lain yang lebih besar, seperti misalnya sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Lalan (contohnya Sungai Bakung, Sungai kepahiyang, Sungai Merang dan Sungai Medak). Pemanfaatan sungai untuk mencari hasil ikan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat di Sungai Medak dan Sungai Merang. Di beberapa bagian sungai terdapat lubuk, yaitu bagian yang terdalam dari sungai. Ada Beberapa lubuk di Sungai Merang, dimulai dari stasiun 8 (Daerah Lubuk Buntik) dan beberapa ke arah hulu Sungai Merang. Kegiatan perikanan yang masih dapat bertahan berkaitan dengan lelang sungai terdapat di Sungai Medak dan Sungai Merang. Sungai Bakung tidak lagi di lelang karena hasil perikanan sangat jauh berkurang semenjak lahan di sekitar sungai tersebut seluruhnya telah berubah menjadi area perkebunan intensif kelapa sawit. Sebelum dijadikan perkebunan, daerah ini menjadi daerah HPH dan penebangan liar. Sungai Kepahiyang tidak lagi dilelang karena hasil kayu dan hasil ikan sudah jauh berkurang. Kegiatan perikanan di Sungai Medak masih terus bertahan, karena sebagian besar warga Desa Medak adalah penduduk asli, dengan tetap memegang adat zaman pemerintah marga, walaupun sudah berganti menjadi pemerintahan desa. Hasil perikanan dari sungai ini lebih tinggi dibandingkan Sungai Merang, walaupun luasan hutan dan sungai lebih kecil daripada Sungai Merang Sungai Medak sama dengan sungai lainnya, tidak bisa terlepas dari gangguan eksploitasi kayu hutan dari penebangan, pembuatan parit hingga pengangkutan hasil hutan melalui sungai yang juga merupakan tempat mencari ikan. Namun demikian, hingga sekarang lelang sungai untuk hasil perikanan terus berjalan, bahkan jumlah KK yang bergerak di sektor perikanan dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Mekanisme pelelangan sungai dilakukan bersama aparat dari kecamatan, dimana hak lelang sepenuhnya diserahkan ke kelompok masyarakat setempat. Investor dari luar tidak dapat menguasai sungai berdasarkan peraturan dari sebelum ada pemerintahan marga (sebelum ada Desa) hingga sekarang. Masyarakat pendatang bila ingin menangkap ikan harus menjadi anggota kelompok. Penggunaan alat tangkap setrum dan racun dilarang, baik wilayah lelang maupun di luar daerah lelang. Sungai Merang sejak zaman dulu dilelang untuk kegiatan perikanan. Pada era 70-an dan awal 80-an, daerah ini dianggap memiliki hasil perikanan yang berlimpah dibanding sungai-sungai lainnya yang bermuara ke Sungai Lalan. Namun lama kelamaan hasil perikanan terus merosot dan tidak lagi dapat menjadi mata pencarian utama. Kegiatan eksploitasi hutan berjalan seiring dengan aktivitas 37

52 perikanan. Sejak tahun 2001, lelang sungai tidak lagi untuk perikanan tapi khusus untuk hasil kayu hutan. Kerusakan ekosistem akibat eksploitasi hutan, apalagi dengan dibangunnya parit di sepanjang sungai membuat kegiatan perikanan hanya sebagai pelengkap, namun eksploitasinya justru meningkat, terutama dengan penggunaan setrum atau listrik sebagai alat tangkap ikan Kegiatan Logging di Sungai Merang dari Zaman HPH Hingga Sekarang Pada Tahun di daerah ini mulai terdapat prasarana jalan dan pasar desa. Pada tahun-tahun inilah mulai datang HPH PT BRUI, PT KMPI, PT Inhutani, PT SST yang kemudian pada tahun-tahun selanjutnya muncul perusahaan Perkebunan PT Pinang Sawit Mas, Eksploitasi Minyak PT Gulf yang sekarang berganti PT Conoco Philips. Perusahaan HPH telah berakhir masa konsesinya sejak tahun Setelah itu, muncullah aktifitas baru bagi beberapa warga yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan pencari ikan menjadi penebang liar di dalam hutan. Warga yang memiliki modal banyak umumnya menjadi investor (boss atau touke kayu). Boss atau taoke kayu ini semakin banyak berdatangan baik dari masyarakat lokal hingga yang datang dari Palembang yang berkerja secara illegal. Seiring dengan aktifitas tersebut juga telah bermunculan puluhan sawmill di sepanjang daerah ini. Walaupun dikategorikan sebagai desa terpencil, Muara Merang adalah sebuah desa yang sangat terbuka bagi para pendatang sebagai buruh tebang kayu maupun bagi mereka yang melakukan bisnis kayu / pengusaha kayu. Mayoritas penduduk sejak tahun 2000 adalah para pendatang untuk usaha kayu. Pada akhir-akhir ini posisi masyarakat mulai bergeser karena lebih banyak pendatang umumnya dari Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten OKI untuk merambah hutan (illegal logging) dan membawa pekerja dari daerahnya masingmasing. Sehingga warga lokal banyak yang kehilangan mata pencarian dan kesulitan untuk beralih profesi Mata Pencarian Penduduk Asli Desa Muara Merang Desa Muara Merang terbagi dalam tiga dusun, yaitu Dusun Kepahiyang, Dusun Bina Desa dan Dusun Bakung. Dusun Kepahiyang terletak di muara Sungai Kepahiyang, Dusun Bina Desa pada muara Sungai Merang dan Dusun Bakung terletak di muara Sungai Bakung. Dengan demikian semua pemukiman warga berada di muara sungai. Semua sungai ini bermuara ke Sungai Lalan. Pusat pemerintahan berada di Dusun Bakung. Transportasi seluruhnya menggunakan fasilitas sungai dengan menggunakan perahu, speedboat dan kapal/ perahu bermotor. 38

53 Jumlah kepala keluarga (KK) berdasarkan keterangan tokoh masyarakat dan kepala Dusun/ ketua RT adalah 196 KK (Dusun Kepahiyang), 68 KK (Dusun Bina Desa) dan 176 KK (Dusun Bakung). Data penduduk selengkapnya disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Jumlah penduduk Desa Muara Merang No Keterangan Jumlah Prosen (%) 1. Penduduk laki-laki 650 jiwa 52 % 2. Penduduk perempuan 592 jiwa 48 % 3. Jumlah keseluruhan penduduk jiwa 4. Kepadatan penduduk 60 jiwa/km2 5. Angka pertumbuhan/perubahan penduduk 26 jiwa/ tahun 0,02 % Dalam satu KK, jumlah tenaga kerja bisa lebih dari satu, karena umumnya anak laki-laki usia menjelang remaja akan ikut bekerja dan tidak melanjutkan sekolah. Hanya sebagian kecil warga yang melakukan aktivitas di perikanan dan illegal logging. Seluruh warga yang berprofesi bekarang/nelayan adalah warga Desa Muara Merang. Banyak warga yang kembali ke profesi semula dan meninggalkan kegiatan illegal logging. Kegiatan perikanan dapat dilakukan oleh siapa saja, tidak harus menjadi nelayan, karena lingkungan tinggal mereka dikelilingi sungai. Namun demikian tetap Intensitas penangkapan nelayan lebih tinggi. Jumlah unit usaha warga Desa Muara Merang selengkapnya disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Jumlah unit usaha warga Desa Muara Merang No Usaha Unit DUSUN Kepahiyang Bina Desa Bakung 1 Padi Orang Palawija Padi dan Palawija Holtikultura Perkebunan rakyat Kehutanan Ternak Bekarang/nelayan* Penangkar satwa liar Memungut hasil hutan (pembalok) & menangkap satwa liar** 11 Jasa pertanian Kuasa usaha Pengolah hasil pertanian Buruh tani total * Persentase % **Persentase

54 Kondisi sekarang Desa Muara Merang memiliki jumlah penduduk sebanyak jiwa dan 440 KK, yang bermukim di 3 dusun, yaitu Dusun Kepahiyang, Dusun Bakung dan dusun Bina Desa. Mobilitas penduduk Desa Muara Merang sangat tinggi, dimana pada musim air pasang / hujan terdapat perubahan penambahan penduduk yang cukup besar, dimana terdapat antara jiwa warga pendatang sebagai pembalok yang melakukan penebangan liar di hutan gambut yang ada di wilayah desa. Sementara pada musim kemarau / kering terdapat antara jiwa warga pembalok tersebut. Mereka hampir seluruhnya / sebagian besar adalah warga dari Kecamatan Tulung Selapan Kabupaten OKI yang tidak terdaftar sebagai warga desa secara resmi. Para pendatang ini umumnya hanya bertahan untuk bermukim selama 3 4 bulan, baik datang sendiri maupun didatangkan oleh para pemilik modal (cukong kayu). 40

55 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Degradasi Hutan di Sungai Merang Secara umum kondisi vegetasi di sepanjang Sungai Merang adalah hutan sekunder. Dalam penelitian ini untuk melihat perubahan yang terjadi pada vegetasi, digunakan data Citra satelit Landsat TM tahun 1989, 1999 dan 2002 (Gambar 9, Gambar 10 dan Gambar 11). Berdasarkan hasil analisa interpretasi data dengan software Arcview 2, didapatkan kondisi vegetasi yang telah terdegradasi. Hutan gambut primer yang hilang dari tahun 1989 hingga 2002 mencapai 90%, yaitu dari , 84 ha menjadi ha. Degradasi tersebut terjadi karena penebangan oleh HPH. Dampak lanjutan dari HPH adalah timbulnya kebakaran hutan. Terbukanya hutan ini menyebabkan vegetasi lain tumbuh pesat seperti semak, belukar dan vegetasi gelam. Berdasarkan data citra landsat tahun 1989 hingga 2002 di lokasi penelitian, telah terjadi perubahan besar hutan rawa gambut primer menjadi hutan sekunder. Menurut Murdiyarso et al. (2004) pembukaan tajuk akan mempercepat invasi jenis-jenis pionir karena ketersediaan cahaya akan memicu perkecambahan benih yang banyak tersedia di permukaan tanah yang secara langsung akan merubah struktur dan komposisi hutan gambut. Besarnya degradasi hutan menjadi daerah hutan sekunder dapat dilihat pada Tabel 5. Pola degradasi hutan ini dimulai dari daerah tengah Sungai Merang (Km ke 40-50), terus meluas hingga ke daerah hulu (selengkapnya pada Gambar 15, Gambar 16 dan Gambar 17). Tabel 5. Luasan hutan yang terdegradasi dari tahun 1989 hingga 2002 Legenda Area_89 Area_99 Area_02 (Ha) (Ha) (Ha) Hutan rawa gambut Primer Hutan rawa gambut bekas tebangan Hutan rawa gambut bekas kebakaran Belukar Semak Hutan tanaman dan perkebunan Hutan gelam Padang Rumput Mangrove Perladangan, sawah dan pemukiman Sumber: Hasil pengolahan peta citra landsat 41

56

57 PETA VEGETASI SUNG AI ME RANG PROPINSI SUMATRA SELATAN Tahun 1989 U Se ka la : 1 : LEGENDA : Hutan rawa gambut Primer Hutan rawa gambut bekas tebangan Hutan rawa gambut bekas kebakaran Belukar Sem ak Mangrove Padang Rum put Perladangan, sawah dan pem ukim an Jalan sarad Jalan utam a Sungai Gambar 15. Peta penutupan vegetasi di sepanjang Sungai Merang tahun 1989 (Sumber : Hasil pengolahan peta citra landsat) 42 43

58 PETA VEGETASI SUNGAI MERANG PROPINSI SUMATRA SELATAN Tahun 1999 U Se ka la : 1 : LEGENDA : H utan rawa gambut Prim er H utan rawa gambut bekas tebangan H utan rawa gambut bekas kebakaran Belukar Sem ak Mangrov e Padang Rum put Perladangan, sawah dan pem ukim an Jalan sarad Jalan utam a Sungai Gambar 16. Peta penutupan vegetasi di sepanjang Sungai Merang tahun 1999 (Sumber : Hasil pengolahan peta citra landsat) 43 44

59 PETA VEGETASI SUNGAI MERANG PROPINSI SUMATRA SELATAN Tahun 2002 U Se ka la : 1 : LEGENDA : H utan rawa gambut Prim er H utan rawa gambut bekas tebangan H utan rawa gambut bekas kebakaran Belukar Sem ak Mangrov e Padang Rum put Perladangan, sawah dan pem ukim an Jalan sarad Jalan utam a Sungai Gambar 17. Peta penutupan vegetasi di sepanjang Sungai Merang tahun 2002 (Sumber : Hasil pengolahan peta citra landsat) 45

60 5.2 Vegetasi Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan sekurang-kurangnya 21 jenis vegetasi ukuran pohon dan tiang. Jenis-jenis yang didapat merupakan jenis-jenis khas daerah gambut. Selengkapnya jenis-jenis yang didapat disajikan dalam Lampiran 1. Kondisi vegetasi dapat dilihat dari nilai Keanekaragaman jenis, Keseragaman jenis dan Dominansi jenis. Nilai keanekaragaman jenis vegetasi adalah 4,15. Nilai tersebut termasuk dalam kategori keanekaragaman yang sedang karena berada pada kisaran nilai 3,219 < H < 9,657 Krebs (1989). Kondisi ini menunjukkan tingkat keanekaragaman individu sedang. Tingginya eksploitasi dapat pula dilihat dari indeks Keseragaman yang tinggi (0,61) dan nilai dominansi yang rendah (0,01). Tingkat keseragaman yang tinggi menjelaskan jumlah individu dari seluruh jenis yang ada cukup tinggi. Hal ini dapat menjelaskan bahwa spesies yang ada adalah spesies yang tersisa dari kegiatan HPH dan illegal logging. Kerapatan Jenis Kerapatan jenis pohon dan tiang terbesar adalah pada jenis manggris (Koompasia maingay ex Benth) yaitu 25 individu/ha, kemudian punak (Tetramerista glabra Miq.) sebanyak 18 individu/ha, durian (Durio adans) sebanyak 16 individu/ha dan rengas (Gluta sp.) 10 individu/ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar Kerapatan jenis pohon dan tiang nilai kerapan (pohon/ha) Perupuk Balam Bintangur Darah Kero Durian Gelam Gerunggang Jelutung Kayu Arang Kelat Labu Mahang Manggris Jenis-jenis pohon Medang Meranti Punak Ramin Rengas pohon/ha Tembesu Tenam / Mersawa Terentang 46

61 Gambar 18. Kerapatan jenis pohon dan tiang. Pada penelitian ini didapatkan nilai kerapatan jenis pohon dan tiang tertinggi berada di plot 3, dengan nilai 417 individu/ha. Nilai terendah untuk kerapatan jenis pohon dan tiang adalah 165 individuidu/ha yang merupakan nilai di plot 8. Nilai kerapatan jenis pohon dan tiang untuk kelas diameter 10-19,99 cm tertinggi di plot 14 dengan 190 individu/ha dan terendah di plot 11 dengan 40 individu/ha. Pada kelas diameter 20-29,99 cm nilai kerapatan jenis pohon dan tiang tertinggi di plot 4 dengan 180 individuidu/ha dan terendah di plot 1 dengan 30 individu/ha. Di kelas diameter 30-39,99 cm nilai kerapatan jenis tertinggi 90 individu/ha tercatat di plot 3. Dua plot mempunyai kerapatan jenis pohon dan tiang 0 individu/ha untuk diameter 30-39,99 cm yaitu di plot 8 dan 13. Untuk kelas diameter 40 up kerapatan jenis pohon dan tiang tertinggi di plot 10 yakni 110 individu/ha dan nilai 0 individu/ha tercatat di plot 13 dan 14. Rata-rata, Kerapatan Jenis pohon dan tiang masing masing kelas diameter mempunyai kecenderungan untuk mempunyai nilai tertinggi di kelas diameter 40 up. Kelas 10-19,99 cm mempunyai nilai sedikit lebih rendah. Kerapatan jenis pohon dan tiang terendah ada di kelas diameter 30-39,99 cm. Kerapatan Jenis sedikit bertambah di kelas diameter 20-29,99 cm. Keterangan selengkapnya lihat Gambar 19. Kerapatan jenis per kelas diameter 100% Kerapatan jenis (individu/ha) 80% 60% 40% 20% 40 up 30-39, , ,99 0% Plot pengamatan vegetasi Gambar 19. Grafik kerapatan jenis perplot 47

62 Dominansi Nilai dominansi jenis pada seluruh areal penelitian terbesar adalah untuk pohon Manggris (K. maingay) 28 m 2 /ha, Rengas (Gluta sp.) 10,74m 2 /ha dan Jelutung (Dyera sp) 7,116 m 2 /ha. Nilai dominansi untuk seluruh jenis selengkapnya disajikan dalam Gambar Nilai dominansi Nilai dominansi (m2/ha jenis pohon m2/ha Gambar 20. Nilai dominansi jenis Nilai dominansi berdasarkan pengelompokkan diameter untuk setiap plot selengkapnya disajikan dalam Gambar 21. Nilai Dominansi terbesar adalah 52.31m 2 /ha dan terendah 5.7 m 2 /ha. Di kelas diameter 10-19,99 cm nilai dominansi tertinggi m 2 /ha di plot 14 dan terendah 0,770 tercatat di plot 11. Nilai dominansi terbesar untuk kelas diameter 20-29,99 cm adalah 8.46 m 2 /ha di plot 4 dan terendah 1.9 di plot 7 dan 12. Kelas 30-39,99 cm nilai dominansi tertinggi di plot 3 dengan nilai 7.85 m 2 /ha. Di sedangkan di plot 8 dan 13 mencatat nilai penutupan 0 (Nol) m 2 /ha. Di kelas 40 up penutupan terbesar di plot 10 dengan 42.8 m 2 /ha dan 2 plot mempunyai nilai penutupan 0 m 2 /ha yaitu di plot 13 dan

63 Nilai Dominansi per kelas diameter 100% 80% niai dominansi (m2/ha) 60% 40% 20% 40 up 30-39, , ,99 0% plot pengamatan vegetasi Gambar 21. Grafik dominansi setiap plot Frekuensi Jenis Frekuensi jenis pada seluruh areal penelitian terbesar ada pada jenis durian, manggris (K. maingay), punak (T.glabra), rengas (Gluta sp.) dan meranti (Shorea sp.). Jenis-jenis ini relatif lebih tersebar di semua plot pengamatan. Jenis yang ditemukan tidak berbeda jauh dengan dengan kerapatan jenis dan dominansi. Kayu meranti memiliki sebaran yang relatif luas. Frekunsi jenis selengkapnya disajikan dalam Gambar 22. Frekuensi jenis terbesar terdapat pada plot 6, yaitu 20 jenis, sedangkan terendah pada plot 3 yaitu 5 jenis. Nilai frekuensi jenis total untuk ukuran diameter yang terbesar adalah pada diameter 10-19,99 cm, kemudian 20-29,99 cm, 40 up dan terakhir 30-39,99 cm. Selengkapnya lihat Gambar

64 Frekuensi Jenis Frekuensi Jenis frekuensi Gambar 22. Grafik frekuensi Jenis Frekuensi jenis perkelas diameter 100% frekuensi (jenis) 80% 60% 40% 20% 40 up 30-39, , ,99 0% Plot pengamatan vegetasi Gambar 23. Grafik frekuensi per plot Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting pada seluruh areal penelitian untuk setiap jenis terbesar adalah manggris (K. maingay), punak (T. glabra), rengas (Gluta sp.) dan darah kero (Knema sp). Indeks nilai penting merupakan penjumlahan dari Kerapatan relatif, dominansi relatif dan frekuensi relatif. Indeks nilai penting untuk setiap jenis selengkapnya disajikan dalam Gambar 24. Indeks nilai penting untuk setiap plot berdasarkan ukuran diameter selengkapnya pada Gambar 25. Indeks nilai penting 50

65 untuk kayu yang berukuran 40 up pada plot 13 dan 14 adalah nol, hal ini menunjukkan tingkat eksploitasi hutan yang tinggi dan kondisi hutan merupakan hutan sekunder Indeks Nilai Penting (INP) persentasi (100% KR FR DR Jenis pohon Gambar 24. Indeks Nilai Penting per jenis Indeks Nilai penting persentasi up 30-39, , , nomor plot Gambar 25. Indeks nilai penting per kelas diameter Indeks Nilai Penting terbesar adalah pada jenis manggris (K. maingay), punak (T.glabra), durian (D. Adans) dan rengas (Gluta sp) sedangkan berdasarkan nilai Indeks Nilai Penting untuk kelompok diameter per plot, secara umum kayu di atas diameter 40 cm sudah banyak berkurang karena ditebang (Lihat Gambar 26). Kayu ukuran 40 up, lebih banyak pada jenis punak (T.glabra) dan manggris (K. maingay) jumlahnya masing-masing 7 individu dan 17 individu dari 40 individu. Nilai INP kedua kayu ini 51

66 relatif tinggi, baik INP setiap jenis maupun berdasarkan kelompok dimater setiap plot. Disamping itu, kedua kayu memiliki nilai ekonomis namun kurang disukai dalam kegiatan illegal logging karena kayu ini tenggelam, sehingga sulit untuk distribusikan melalui sungai. Gambar 26. Kayu tebangan di Sungai Merang dan kondisi vegetasi Selanjutnya adalah kayu rengas (Gluta sp.) yang ditemukan relatif banyak yaitu 6 individu untuk ukuran diameter 40 up. Jenis kayu ini memiliki nilai ekonomis namun memiliki getah yang dapat menimbulkan iritasi pada kulit sehingga banyak yang tidak ditebang. Jenis kayu 40 up lainnya adalah durian (D.adans) dan jelutung (Dyera sp.) sebanyak 3 individu, kemudian Mahang (Macaranga montleyana), Medang (Litsea sp), Balam (Palaquium sp.) dan Kelat (Eugenia sp.) sebanyak 1 individu. Selain kayu ukuran 40 up, jenis-jenis kayu ekonoms lainnya yang berukuran 10-19,99 cm hingga 40 up banyak tidak ditebang karena dijadikan patokan untuk batas bagi para penebang liar yang mempunyai wilayah kekuasaan (kapling) masing-masing. Selain pohon, batas lain yang digunakan adalah parit yang seluruhnya bermuara ke Sungai Merang. Jumlah total parit sepanjang Sungai Merang mencapai 250 parit, sebelah kiri dan kanan Sungai Merang (Lihat Gambar 27). Semua kayu hasil tebangan disusun membentuk rakit, agar dapat ditarik dengan kapal motor. Selain sebagai batas, parit berfungsi untuk jalan keluarnya kayu dari tengah hutan. 52

67 Gambar 27. Parit dan pengangkutan kayu di Sungai Merang 5.3 Hubungan Vegetasi dengan Keanekaragaman Ikan Kegiatan illegal logging terpusat pada daerah yang masih tersisa kayu-kayu ekonomis. Kawasan ini berada di sungai Merang sekitar km hingga daerah hulu, km 70-an. Intensistas illegal logging di daerah tengah (km 40-50) hingga muara (km 0) relatif lebih sedikit. Disamping itu, daerah hulu memiliki hasil perikanan yang tinggi dibandingkan daerah tengah hingga muara. Daerah hulu berada dalam kawasan kubah gambut yaitu pada plot 1 s/d plot 7. Daerah ini dan mempunyai rata-rata jumlah jenis dan jumlah individu untuk vegetasi yang tinggi begitu pula dengan ikan yaitu pada stasiun 8 s/d stasiun 11(lihat Gambar 28dan Gambar 29). Jumlah rata-rata jenis dan jumlah individu vegetasi di daerah hulu yang tinggi ini berpengaruh pula pada nilai keanekaragaman ikan di daerah hulu. Nilai keanekaragaman ikan adalah sedang (kisaran nilai 1-1,2), dengan jumlah jenisnya adalah jenis (lihat Gambar 22). Selanjutnya nilai rata-rata keanekaragaman di tengah (stasiun 4 s/d stasiun 7) dan di hilir menurun (stasiun 1 s/d stasiun 3), seiring dengan semakin berkurangnya vegetasi. Jumlah rata-rata jenis dan individu untuk vegetasi di daerah tengah (Plot 8 s/d plot 12) pada km memiliki jumlah rata-rata jenis dan individu ikan (stasiun 5 s/d stasiun 7) lebih sedikit daripada daerah hulu. bila dibandingkan daerah tengah yaitu km dan hilir sungai Merang yaitu km nol (lihat Gambar 28 dan Gambar 29). Jumlah rata-rata jenis dan individu untuk vegetasi (plot 13 dan plot 14) dan ikan (stasiun 1 s/d stasiun 4) di daerah hilir hingga muara relatif tidak jauh berbeda dengan daerah tengah (selengkapnya pada Gambar 28 dan Gambar 29). Daerah bekas 53

68 kebakaran hutan yang luas, mempunyai vegetasi yang relatif homogen yaitu gelam. Jenis gelam tumbuh karena hutan primer dan sekunder telah habis ditebang dan terbakar, sehingga daerah menjadi terbuka. Kayu gelam relatif bisa bertahan pada daerah terbuka, sehingga hanya tanaman ini yang dapat bertahan dan tumbuh secara meluas. Kayu ini dimanfaatkan untuk konstruksi awal bangunan dan bahan untuk arang. Daerah berkayu gelam berada mulai km 40 hingga km 20 (lokasi selengkapnya pada Gambar 2). Kondisi vegetasi yang homogen mengakibatkan biota penghuni daerah hutan gelam relatif lebih rendah dibandingkan hutan sekitarnya. Kondisi ini secara tidak langsung berkaitan pula dengan biota ikan disekitar daerah yang bervegetasi gelam. Nilai keanekaragaman ikan adalah rendah (kisaran nilai 0,6-0,85) dengan jumlah jenis ikan hanya 4 8 jenis (lihat Gambar 22). Daerah semak dan belukar berada dari km 20 hingga muara. Daerah ini di beberapa bagian ditepi sungai dimanfaatkan untuk pertanian oleh masyarakat setempat. Pada km 10 terdapat pangkalan perusahaan eksplorasi gas bumi namun sudah tidak ada lagi tahap konstruksi. Pengangkutan gas melalui pipa, sehingga tidak mengganggu aktivitas sepanjang sungai. Kegiatan perikanan masih tetap berlangsung di daerah tersebut hingga ke muara. Menurut Abidin et al. (1999) semak dan belukar terjadi karena hutan primer berubah menjadi hutan sekunder dan terjadi kebakaran. Selain itu, disepanjang Sungai Merang di beberapa tempat terjadi kebakaran secara sporadis, terutama di tepi sungai untuk membuka jalan bagi parit. Setelah kebakaran terjadi pertumbuhan hutan sekunder, dan bila terjadi kebakaran lagi, maka tinggal beberapa jenis saja yang bertahan yaitu herba, semak dan belukar. Nilai keanekaragaman ikan adalah rendah (kisaran nilai 0,04-0,6) dan jumlah jenis 2 4 jenis (lihat Gambar 30). 18 Rata-rata Jumlah jenis Vegetasi da Ikan Hulu Tengah Hilir Lokasi Sungai Merang jenis Vegetasi jenis Ikan Gambar 28. Grafik hubungan jumlah jenis vegetasi dengan jumlah jenis ikan 54

69 Rata-rata Jumlah Individu Vegetasi dan ikan Hulu Tengah Hilir Lokasi Sungai Merang Individu Vegetasi Individu Ikan Gambar 29. Grafik hubungan jumlah Individu vegetasi dengan jumlah individu ikan stasiun pengamatan Nilai keragaman ikan setiap stasiun Gambar 30. Indeks keanekaragaman jenis ikan setiap stasiun Jumlah jenis ikan di muara 12 jenis, lebih tinggi dari pada ikan di km 20 hingga 40. Hal ini disebabkan ikan Sungai Merang sudah bercampur dengan ikan-ikan di Sungai Lalan, yang masuk saat air tinggi atau air pasang. Dengan demikian stasiun satu tidak bisa dijadikan acuan untuk melihat ikan yang ada di Sungai Merang, karena sudah ada pengaruh dari ikan-ikan dari Sungai Lalan. Menurut Kottelat et al. (1993) keanekaragaman jenis, dari hulu ke hilir akan semakin besar. Hal ini didukung dengan dimensi sungai yang semakin besar dari hulu ke hilir. Dimensi sungai yang besar, memberi ruang yang lebih luas untuk ikan untuk hidup dan mencari makan. Kondisi yang sama terjadi pada Sungai Merang, dimana dimensinya semakin besar dari hulu ke hilir. Namun demikian, kondisi yang terjadi di 55

70 Sungai Merang justru sebaliknya, dimana keanekaragaman yang tinggi justru terjadi di daerah hulu (lihat Gambar 31). Hal ini berkaitan dengan rusaknya vegetasi sepanjang Sungai Merang dari tengah hingga muara. Vegetasi di daerah tengah hingga muara Sungai Merang adalah semak, belukar dan hutan gelam. Vegetasi selain sebagai habitat bagi ikan-ikan, juga merupakan tempat perlindungan telur dan ikan-ikan muda. Selain itu menurut Kottelat et al. (1993), banyak ikan yang bergantung pada daun tumbuhan, buah, biji-bijian yang hanyut ke air, bahkan serangga air pun menjadi sumber makanan bagi ikan Hulu Tengah Hilir jenis Vegetasi jenis Ikan Debit Gambar 31. Hubungan jumlah jenis vegetasi dan ikan dengan debit air Nilai keanekaragaman berkaitan erat dengan kestabilan ekosistem, hal ini berkaitan erat dengan kondisi kualitas air, yaitu ph dan kandungan oksigen terlarut yang rendah, serta pengaruh vegetasi yang menaungi perairan. Vegetasi salah satunya berkaitan erat dengan perlindungan sungai dari sinar matahari, yang menyebabkan suhu meningkat. Kisaran suhu perairan yang ternaungi vegetasi lebat pada siang hari adalah o C. Kisaran suhu di perairan yang terbuka pada siang hari adalah o C. Stasiun 1 hingga 7 memiliki nilai rendah, karena kondisi lingkungan yang relatif tidak stabil, baik karena penutupan vegetasi yang kurang maupun pengaruh pasang surut. Pada Km dari muara merupakan batas terakhir pengaruh pasang surut air tawar di Sungai Merang atau daerah peralihan antara zona II dan III (pasang surut air tawar dan daerah yang tidak terkena pengaruh pasang surut). 56

71 Keseragaman dan Dominansi Ikan Nilai keseragaman berbanding terbalik dengan dominansi. Keseragaman jenis ikan di Sungai Merang cukup tinggi. Keseragaman yang tinggi ini berarti jumlah individu setiap jenis ikan yang terdapat dalam setiap stasiun pengamatan cukup tinggi. Hal ini berarti hampir tidak ada spesies yang mendominasi. Nilai keseragaman tinggi dimulai dari stasiun tiga hingga stasiun sebelas. Nilai keseragaman berfluktuasi, namun masih tetap berada dalam kisaran nilai yang tinggi. Nilai keseragaman di muara Sungai Merang atau stasiun satu (muara) dan stasiun dua (hilir) adalah rendah. Artinya jumlah individu setiap jenis di lokasi tersebut sedikit dan ada kecenderungan terdapat spesies tertentu yang mendominasi (selengkapnya pada Gambar 32. Keseragaman yang rendah atau dominansi yang tinggi ini diperkirakan dipengaruhi oleh ikan-ikan dari Sungai Lalan Stasiun Pengamatan Nilai Dominansi jenis ikan perstasiun Nilai Keseragaman ikan perstasiun Gambar 32 Indeks keseragaman dan dominansi setiap stasiun 5.4. Hubungan Degradasi Hutan dan Hasil Tangkapan Ikan Regresi Linier Salah satu cara untuk melihat pengaruh degradasi hutan terhadap hasil tangkapan ikan adalah melalui regresi linier. Data tersebut diperoleh dari tahun 1989 hingga Berdasarkan hasil perhitungan, degradasi hutan berpengaruh pada 57

72 jumlah tangkapan ikan. Bentuk persamaan regresinya adalah : Y= X + å Dari hasil didapatkan bahwa besar koefisien korelasi antara luas hutan rawa gambut primer (dalam hektar) dengan jumlah tangkapan ikan nelayan (dalam kg) sebesar Hasil ini menunjukkan bahwa hubungannya tidak terlalu kuat. Hal ini dimungkinkan karena dari nilai koefisien determinasi (r 2 ) yang didapatkan hanya sebesar atau sebesar %. Artinya, banyaknya jumlah tangkapan ikan dipengaruhi oleh luas hutan rawa gambut hanya sebesar %, sedangkan sebesar % dipengaruhi oleh faktor lainnya. Hasil ini menunjukkan bahwa hubungannya tidak terlalu kuat, artinya ada faktor lain yang cukup berpengaruh selain luasan hutan. Perhitungan selengkapnya disajikan dalam Lampiran 6. Kecilnya pengaruh luasan vegetasi terhadap hasil tangkapan ikan dikarenakan banyaknya suatu jenis dan besarnya berat hasil tangkapan ikan tidak selalu sebanding dengan besarnya luas tutupan vegetasi. Hal ini berkaitan dengan jenis-jenis yang didapat dan ukuran ikan yang didapat. Sebagai contoh stasiun 3 (hilir) mempunyai perbandingan berat total ikan yang tinggi dbandingkan jumlah jenis, namun jumlah jenis yang didapat sedikit. Hal ini dikarenakan pada stasiun tersebut tertangkap ikan tapa dan ikan tapa yang ukurannya besar. Pada stasiun lain seperti daerah hulu yaitu stasiun 8, stasiun 9 dan stasiun 10 memiliki jumlah jenis yang tinggi dibandingkan berat total. Ketiga stasiun tersebut berada di daerah yang bervegetasi lebat (daerah hulu, km 50-70). Kondisi paling ideal adalah daerah hulu yaitu stasiun 11, karena jumlah jenis dan berat total memiliki sama-sama tinggi. Fenomena ini selengkapnya disajikan dalam Gambar 33 58

73 Berat total ikan per stasiun (gr) Jumlah Jenis ikan stasiun pengambilan contoh 0 berat total ikan per stasiun jumlah jenis ikan Gambar 33. Perbandingan berat total ikan dengan jumlah jenis ikan Regresi Berganda Besarnya faktor yang mempengaruhi hasil tangkapan ikan selain penutupan vegetasi, dapat dilihat dari hubungan antara jumlah hasil tangkapan (Y) dengan jumlah individu suatu jenis (X1) dengan jumlah stasiun ditemukannya suatu jenis (X2). Dengan regresi berganda. Perhitungan selengkapnya disajikan dalam Lampiran 7. Model regresi adalah sebagai berikut : Y = X X + ε 1 2 Model persamaan di atas menunjukkan model hubungan antara X 1 dan X 2 dengan variabel Y, yang mengindikasikan pengaruh total individu ikan dan jumlah stasiun terhadap berat total ikan. Nilai -5, merupakan nilai intersep dalam model regresi. Nilai tersebut menunjukkan berat total ikan ketika total individu bernilai nol atau ketika tidak ada ikan sama sekali, dan ketika nilai jumlah stasiun nol atau tidak ada stasiun. Nilai -6, merupakan koefisien regresi untuk variabel total individu. Koefisien regresi ini mengindikasikan perubahan total berat ikan ketika nilai total individu dinaikan satu satuan nilai atau ketika ada penambahan ikan satu ekor. Perubahan tersebut dalam hal ini menurun, karena nilai koefisien ini bernilai negatif. 59

74 Nilai 225,10103 merupakan koefisien regresi untuk variabel jumlah stasiun. Koefisien regresi ini menunjukan rata-rata peningkatan total berat ke arah yang positif ketika jumlah stasiun naik satu satuan. Secara umum pengaruh jumlah individu suatu jenis (X1) dan jumlah stasiun ditemukan suatu jenis (X2) terhadap hasil tangkapan ikan (Y) kurang signifikan. Hal ini berdasarkan uji signifikasi, pengujian secara individual dan pengujian koefisien regresi (Lampiran 7). Selain itu, banyaknya suatu jenis yang di dapat di suatu stasiun tidak selalu mempunyai jumlah berat yang tinggi. 5.5 Hubungan Vegetasi Dengan Sebaran Ikan Sungai Merang Uji Chi-Square Berdasarkan hasil pengamatan, terdapat beberapa ikan khas daerah gambut yang bervegetasi lebih rapat, diantaranya seperti seluang baro (Rasbora cephalotaenia), seluang kremasan (Rasbora Kalochroma), ikan elang (Datnoides microlepis) dan setumbuk banir (Luciocephalus pulcher). Dengan pendekatan uji Chi-Square, dilakukan pembuktian Hipotesis awal mengenai adanya zonasi penyebaran ikan. Berdasarkan hasil perhitungan dengan selang kepercayaan 95%, maka asumsi awal tentang adanya zonasi ikan (Hipotesi nol /H0) ternyata ditolak, karena nilai perhitungan jauh lebih besar dari tabel. Hal ini menunjukkan adanya beberapa ikan yang mampu bertahan baik dilingkungan sungai yang dinaungi vegetasi lebat maupun yang terbuka. Jenis ikan tersebut diantarnya ikan-ikan dari famili Channidae (ikan gabus, serandang dan bujuk), ikan lele, ikan sepat, ikan betok dan ikan mingkung. Dengan semakin meluasnya kerusakan hutan, maka jenis-jenis ikan ini yang lebih mampu bertahan. Perhitungan selengkapnya di sajikan di Lampiran Ikan White Fish dan Black fish Ikan di Sungai Merang ada yang hidup secara luas baik di aliran sungai maupun daerah rawa atau perairan yang relatif tergenang. Kondisi ini secara umum menurut Welcomme (1979), dapat dibagi dalam dua kelompok yang berbeda berdasarkan tingkah laku dalam merespon kondisi khusus dari banjir sungai, yakni: 1. Kelompok pertama adalah ikan-ikan yang menghindari kondisi yang berat dari dataran banjir dengan pindah ke aliran sungai utama dan sering bergerak dengan banyak dalam sungai di luar areal banjir. Kelompok ini disebut whitefish misalnya 60

75 pada jenis Cyprinidae dan Siluroid. Beberapa jenis hanya terbatas pada alur sungai sepanjang waktu dan tidak pernah memasuki daerah banjir (Gambar 34). 2. Kelompok kedua adalah Blackfish yang resisten pada kondisi miskin oksigen. Gerakan ikan ini lebih terbatas dari ikan whitefish. Ikan-ikan ini secara berkala hidup di daerah banjiran selama musim kemarau dan jika bergerak ke sungai mereka berada di bawah pinggiran tanaman air atau di kolam yang terbentuk saat sungai kering. Banyak dari siluroid masuk dalam kategori ini, bersama dengan ophiocephalidae (channidae), anabantidae, osteoglossidae, belontidae dan Clariidae (Gambar 34). Pola pergerakkan ikan yang mengikuti musim ini berhubungan dengan pola ikan whitefish dan blackfish. Hal ini dibenarkan oleh nelayan berdasarkan jumlah hasil tangkapan. Pada musim hujan ikan akan cenderung bergerak ke hulu sungai, atau daerah yang lebih tinggi. Pada musim kemarau, ikan akan cenderung bergerak ke hilir (Gambar 26). Menjelang musim kemarau, ikan akan cenderung mengumpul di empang atau lubuk. Ada sekitar tujuh lubuk di Sungai Merang, dari km 39 hingga km 72,5 semuanya adalah daerah ikan yang berlimpah, terutama sebelum tahun Sebagian besar ikan ovipar mempunyai waktu pemijahan (breeding) tertentu yang dilakukan tiap tahun secara teratur. Dari beberapa ekor ikan betina yang ditangkap, didapatkan telur dengan tingkat kematangan gonad antara 1 hingga 3. Dengan demikian pada bulan Agustus hingga awal September merupakan masa pemijahan karena musim kemarau mulai berakhir dan musim penghujan tiba. Bulan September adalah awal masuk musim hujan, sehingga permukaan air akan terus naik sepanjang musim hujan sehingga banyak rawa dan dataran banjir tergenang air. Hal ini membuat ikan akan tersebar cukup luas di dalam hutan. Pada saat yang bersamaan, ikan-ikan yang terjebak di rawa-rawa, akan dapat keluar. Kondisi ini merupakan saat yang paling ditunggu oleh orang bekarang (pencari ikan). Menurut Effendie (1997), banyak dari jenis ikan di daerah tropis yang memijah pada musim hujan. Jadwal pemijahan ini disesuaikan dengan keadaan yang menguntungkan terutama yang berhubungan dengan persediaan makanan bagi anak-anaknya apabila anak ikan tadi mulai makan makanan yang diambil dari luar setelah persediaan kuning telur habis (Effendie, 1997). 61

76

77 Gambar 34. Pola pergerakan ikan di musim hujan dan musim kemarau Pola Sebaran Ikan Rimba Definisi ikan blackfish dan whitefish, tidak berlaku mutlak karena pada kenyataannya sering kali dijumpai ikan lais dan seluang yang merupakan ikan whitefish berada di lebak atau rawa-rawa, yang merupakan wilayah ikan blackfish. Hal ini terjadi karena rawa gambut merupakan daerah tangkapan air yang luas bagi Sungai Merang, sehingga masih banyak ruang bagi ikan untuk bergerak. Selain penggolongan di atas, para nelayan menambahkan dengan jenis ikan rimba. Jenis ini adalah ikan yang biasa berada di vegetasi lebat sehingga perairan terasa teduh dan habitat tidak terkena sinar matahari secara langsung. Jenis ikan whitefish yang tidak tahan dengan kondisi perairan terbuka diantaranya adalah seluang kremasan (Rasbora kalochroma), perunggu janda (Nandus nebulosus) dan sianang (Mystus bimaculatus). Jenis ikan black fish yang termasuk ikan rimba diantaranya, tempalo (Betta anabantoides), kleso (Scleropages formosus), setumbuk banir (Luciocephalus pulcher) dan sebagainya. Dengan demikian, walaupun mereka masuk dalam kelompok blackfish, namun bila kondisi perairan hutan rawa menjadi terbuka, tanpa naungan vegetasi (biasanya disebut lebak), ikan-ikan tersebut akan mati. Berbeda dengan ikan blackfish lainnya seperti selincah (Belontia hasselti), betok (Anabas testudienus), tembakang (Helostoma teminckii), lele (Clariidae) dan ikan-ikan famili Channidae (toman, bujuk, serandang), yang lebih tahan hidup di perairan tanpa naungan vegetasi. Sebagai pembanding, di 63

78 daerah Taman Nasional Berbak, khususnya Sungai Air Hitam Laut, lebih sering dijumpai ikan-ikan blackfish yang tahan dengan tanpa naungan vegetasi, yang berada di daerah bekas terbakar (Wardoyo, 2004). Berkaitan dengan keberadaan ikan rimba, menurut Wetzel, 1975 dalam Effendie 2000, cahaya matahari yang mencapai permukaan perairan sebagian diserap dan sebagian direfleksikan kembali. Pada perairan alami, sekitar 53% cahaya masuk mengalami transformasi menjadi panas dan sudah mulai mengalami penghilangan panas pada kedalaman satu meter dari permukaan. Dengan demikian rawa-rawa atau lebak yang rata-rata kedalamannya kurang dari 1 meter, bila tidak dinaungi oleh vegetasi, suhu perairan akan tinggi. Hal ini mengakibatkan tidak banyak jenis ikan yang mampu bertahan di rawa terbuka atau lebak tersebut dan ikan yang mampu bertahan biasanya berlindung di balik serasah gambut pada atau di sela-sela rerumputan. Daerah lebung atau lebak yang dalam, kedalaman bisa mencapai lebih dari satu meter, kemungkinan akan mempunyai lebih banyak ikan dibandingkan lebak. Ikan yang tahan pada kondisi vegetasi terbuka dengan suhu tinggi dan kandungan oksigen terlarut rendah dapat dilihat pada penyebaran beberapa jenis ikan seperti ikan-ikan dari famili Channidae (seperti ikan gabus, bujuk dan serandang), ikan dari famili Belontidae (tambakan, sepat, selincah dan tempalo) dan famili Anabantidae (ikan betok) yang hampir tersebar merata di seluruh perairan, dari hulu yang bervegetasi lebih lebat hingga muara yang relatif lebih terbuka. Suhu udara di daerah bervegetasi lebat pada siang hari adalah C. Pada daerah yang terbuka, suhu berkisar antara C. Di perairan Sungai Merang yang dinaungi vegetasi lebat, suhu perairan pada kedalaman cm adalah 21 0 C sedangkan pada daerah yang terbuka suhu perairan mencapai C. Menurut Enrico et al. (1997) rumpang berpengaruh nyata terhadap iklim mikro. Semakin luas rumpang (daerah hutan yang terbuka), maka semakin tinggi suhu udara, suhu tanah dan intensitas cahaya Hubungan Vegetasi, Kualitas Air dan Komunitas Ikan Kegiatan illegal logging tidak terpisahkan dengan pembuatan parit. Kegiatan illegal logging dengan membangun parit, dapat menyebabkan penurunan kualitas air, akibat adanya erosi dan bahan-bahan organik yang masuk ke perairan. Selain itu, dengan semakin terbukanya ruang, suhu perairan akan meningkat dan akan semakin menurunkan kosentrasi oksigen terlarut di air. Erosi mengangkut tanah pucuk yaitu tanah lapisan atas yang subur (top soil) dan memindahkan ke tempat lain yang lebih 64

79 rendah. Seiring dengan terangkutnya lapisan tanah pucuk tersebut, terangkut pula unsur hara. Tanah-tanah baru yang terbentuk karena pengendapan dari tanah pucuk yang mengalami erosi ini disebut tanah alluvial (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendie 2003). Jumlah parit di sepanjang Sungai Merang mencapai 250 buah, dengan panjang parit berkisar antara 200 m hingga 5 km. Selain membangun parit, kegiatan pembakaran vegetasi di beberapa bagian badan sungai untuk memudahkan pembangunan parit dan keluar masuk kayu, mempengaruhi kondisi kualitas air. Berdasarkan keterangan nelayan Sungai Merang, ikan belida (Notopterus sp) setelah kebakaran tahun 1997, tidak lagi ditemukan di Sungai Merang. Penyebab hilangnya ikan belida ini diduga karena pengaruh dari bahan-bahan sisa pembakaran, yang terekstraksi menjadi senyawa-senyawa tertentu dan terbawa ke perairan saat hujan. Menurut Dunham et al., (2003), kebakaran dapat mempunyai banyak pengaruh yang khusus bagi ekosistem perairan. Pengaruh tersebut adalah terganggunya kestabilan aliran air; perubahan kayu menjadi serasah dan tersebar dan tersimpan; peningkatan ketersediaan nutiren; tingginya penyebaran sediment; terhambatnya sinar matahari di perairan dan suhu perairan. Pengaruh langsung dari kebakaran secara umum meliputi iklim, topografi, geologi dan penggunaan lahan. Kondisi habitat yang terbatas dan spesifik atau terisolasi bila terganggu dengan kebakaran, maka peluang terjadinya kepunahan spesies akan besar. Jenis ikan yang spesifik dan membutuhkan beberapa habitat yang spesifik akan sangat rentan dengan terputusnya siklus hidup karena habitat yang mendukung siklus hidupnya hilang. Disamping itu, dengan adanya kebakaran maka kondisi habitat yang berubah akan mengundang ikan lain untuk masuk, khususnya ikan yang mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi. Parit selain membuat erosi dan sedimentasi, juga menimbulkan teroksidasinya pirit (FeS 2 ) yang ada di lahan gambut. Besi atau Fe, hanya ditemukan di perairan dengan kondisi anaerob dan suasana asam (Cole, 1988). Nilai pirit di Sungai Merang dapat dilihat dari kosentrasi besi (Fe) yang tinggi yaitu 1-2 mg/liter, sedangkan kosentrasi normal di perairan 0,05-0,2 mg/liter. Pirit merupakan salah satu sumber besi di alam. Kadar ini cukup tinggi, karena pada kosentrasi diatas 1 mg/liter akan membahayakan organisme di perairan (Moore, 1991 dalam Effendie 2003). Kadar besi pada perairan yang teraerasi jarang yang bisa mencapai 0,3 mg/liter (Rump dan Krist, 1992 dalam Effendi 2003). Dengan adanya parit, okisidasi yang terjadi cukup tinggi, sehingga kadar besi meningkat. Lingkungan yang terbuka menjadikan 65

80 suasana perairan menjadi aerobik, sehingga akan terjadi oksidasi pirit menjadi asam sulfat. Rekasi tersebut menurut Wahyunto et al. (2005), adalah sebagai berikut : FeS /4O 2 + 7/2HO 2 Fe(OH) (SO 4 ) H + Pirit okisgen Besi III asam sulfat Hasil reaksi terbentuknya asam sulfat mengakibatkan ph perairan sangat rendah (ph1,9 3,5). Kosentrasi sulfat di Sungai Merang adalah 70 mg/liter (hulu), 261,51 mg/liter(tengah) dan 38,48 mg/liter (hilir). Kosentrasi ini jauh diatas batas normal perairan tawar yaitu 2-80 mg/liter. Nilai sulfat terbesar ada dibagian tengah Sungai Merang, yang merupakan akumulasi dari hulu (1) dan hilir (3). Air dari hulu ini tertahan ketika terjadi pasang naik, dimana air naik dari hilir menuju hulu, bertemu di bagian tengah (Km 40-50). Dengan adanya kosentrasi sulfat yang tinggi akibat adanya oksidasi pirit karena aktivitas penebangan dan penggalian parit, maka akan berpengaruh terhadap komunitas ikan. Pengaruh tersebut berpengaruh secara langsung pada ikan dan secara tidak langsung melalui rantai makanan. Proses ini selengkapnya dijelaskan pada Gambar 35 berikut : Penebangan liar Penggalian parit Oksidasi pirit Terbentuk asam sulfat Kualitas air Sungai Merang Komunitas plankton ph perairan turun Komunitas ikan Gambar 35. Proses pengaruh illegal logging pada perikanan 66

81 Analisis Peubah Kanonik Parameter kualitas air yaitu ph, DO, alkalinitas, kesadahan, daya hantar listrik dan unsur-unsur logam/ mineral memiliki nilai keanekaragaman data yang rendah dari hulu hingga hilir. Hal ini erat kaitannya dengan sifat dan karakteristik perairan gambut pada umumnya, yang memiliki ph, DO dan kesuburan yang rendah. Parameter yang berbeda nilainya dari hulu hingga hilir dan memiliki tingkat keanekaragaman data yang tinggi, adalah kecerahan, kekeruhan, debit, TSS dan COD. Kelima parameter ini dapat dikatakan memiliki nilai yang berbeda nyata. Dengan demikian, peubah kanonik air yang digunakan meliputi kelima parameter kualitas air tersebut. Proses peubah kanonik selengkapnya pada Gambar 36. Parameter komunitas ikan memiliki nilai yang bervariasi dari hulu hingga muara. Dengan demikian seluruh nilai berbeda nyata. Parameter komunitas yaitu indeks dominansi, tidak dimasukan dalam peubah kanonik. Indeks dominansi memiliki nilai yang berbanding terbalik dengan keseragaman. Dengan demikian indeks keseragaman sudah cukup mewakili. KARAKTERISTIK IKAN : JTI, JJ, BRT, ANK SRG KARAKTERISTIK AIR : DBT, KEC, KRH, COD, TSS PEUBAH KANONIK : IKAN1,..., IKAN5 PEUBAH KANONIK : AIR1,..., AIR5 Gambar 36. Penentuan peubah kanonik Keterangan : Peubah Kanonik komunitas Ikan : JTI = jumlah tangkapan Ikan; JJ = jumlah jenis; BRT = berat; ANK = keanekaragaman ikan; SRG = keseragaman Peubah Kanonik karakteristik (kualitas) air : DBT = debit; KEC = kecerahan; BRT = berat; COD; dan TSS Peubah asli untuk ikan dan air ditransformasi kedalam peubah kanonik dengan ketentuan : 67

82 1. PK ikan1,..., ikan5 merupakan kombinasi linear dari peubah asli ikan JTI, JJ, BRT, ANK, SRG. 2. PK air1,..., air5 merupakan kombinasi linear dari peubah asli air DBT, KEC, KRH, COD, TSS 3. PK ikan1,..., ikan5 bersifat saling orthogonal (tidak berkorelasi) 4. PK air1,..., air5 bersifat saling orthogonal (tidak berkorelasi) 5. Pasangan PK (ikan1, air1) menjelaskan keragaman data terbesar diikuti PK (ikan2, air2), dst Tahapan pertama adalah mencari korelasi antara pasangan peubah kanonik air dan peubah kanonik ikan. Persentasi keragaman dengan peubah kanonik didapatkan nilai 78,09%. Nilai ini berarti hubungan korelasi tidak berbeda nyata (perhitungan selengkapnya pada Lampiran 9, model 1). Dengan demikian model pertama dari korelasi kanonik ini tidak berbeda nyata. Tahapan kedua adalah mengurangi peubah ikan yaitu berat (BRT). Berat dalam hal ini dianggap kurang mewakili. Hal ini dikarenakan beberapa jenis yang tertangkap memiliki ukuran yang berbeda-beda, tergantung usia ikan. Stasiun 3 (hilir), stasiun 6 (tengah) dan 8 (hulu) memiliki berat total hasil tangkapan yang tinggi, namun jumlah jenis dan keanekaragaman tinggi. Sebaliknya daerah hulu yaitu stasiun 8, 9 dan 10 yang bervegetasi relatif lebat, memiliki jumlah jenis dan keanekaragaman yang tinggi, namun berat total hasil tangkapan rendah (Gambar 33). Hal ini dikarenakan lebih banyak ikan muda yang terdapat di ketiga stasiun tersebut. Dengan demikian peubah kanonik ikan menjadi 4 sedangkan peubah kanonik air tetap 5 (selengkapnya pada Lampiran 9). Persentasi keanekaragaman dengan peubah kanonik pada model 2 ini didapatkan nilai 90,43%. Nilai ini berarti hubungan korelasi tidak berbeda nyata (perhitungan selengkapnya pada Lampiran 9, model 2). Dengan demikian model pertama dari korelasi kanonik ini tidak berbeda nyata. Tahapan yang ketiga atau model yang ketiga adalah pengurangan kembali jumlah peubah kanonik, baik peubah kanonik ikan maupun peubah kanonik air. Peubah kanonik ikan yang dikurangi adalah jumlah tangkapan ikan (JTI). Jumlah tangkapan ikan terkait dengan alat tangkap yang digunakan dan berat ikan yang didapat. Kondisi ini serupa dengan tahapan 2 atau model 2, yaitu selain faktor lingkungan juga faktor selektifitas penangkapan atau metoda sampling. Dengan demikian Peubah kanonik ikan yang tersisa adalah keanekaragaman (ANK), jumlah jenis (JJ) dan keseragaman (SRG). Peubah kanonik air yang dikurangi adalah COD dan TSS. Nilai korelasi peubah kanonik COD dan TSS ini dengan peubah 68

83 kanonik ikan adalah paling rendah. Dengan demikian, pada model ketiga ini tersisa 3 peubah kanonik. Peubah kanonik ikan yaitu jumlah jenis (JJ), keanekaragaman (ANK) dan keseragaman (SRG) sedangkan peubah kanonik air adalah debit (DBT), kecerahan (KEC) dan kekeruhan (KRH). Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Selengkapnya korelasi kanonik disajikan pada Tabel 6 hingga Tabel 8. Tabel 6. Korelasi antara peubah kanonik ikan dengan peubah asil ikan Canonical Structure Correlations Between the Karakteristik ikan and Their Canonical Variables Tabel 7. Korelasi antara peubah kanonik air dengan peubah asil air Correlations Between the karakteristik air and Their Canonical Variables air1 air2 air3 DBT DBT KEC KEC KRH KRH Tabel 8. Korelasi antara peubah kanonik air dengan peubah asil pada ikan Correlations Between the Karakteristik ikan and the Canonical Variables of the karakteristik air air1 air2 air3 JJ JJ ANK ANK SRG SRG JJ JJ ANK ANK SRG SRG Dari hasil tahap 3, maka dibuat hubungan regresi antara kedua peubah kanonik yaitu peubah kanonik ikan dan peubah kanonik air, pada setiap stasiun (Gambar 37 dan Gambar 38). Dari Gambar 37, dapat terlihat hubungannya bahwa dengan tingginya kecerahan, debit rendah, kekeruhan rendah maka jumlah jenis, Keanekakaragaman dan keseragaman ikan semakin tinggi. Pada stasiun 8, nilai peubah kanonik sedikit di luar batas regresi, artinya memiliki nilai peubah kanonik lebih tinggi untuk peubah kanonik ikan. Stasiun 8 dikenal sebagai daerah lubuk buntik. Daerah ini pada tahun 1996 merupakan kampung nelayan (10 KK) dan juga salah satu daerah yang melimpah hasil tangkapan ikan, dari seluruh daerah di Sungai Merang. (Bezuijen, 2002). Daerah 69

84 ini mempunyai arus yang tenang, cukup dalam dan banyak ditumbuhi tanaman rasau (Pandanus sp). Selain itu, daerah ini merupakan peralihan zona pasang surut dari zona 2 ke zona 3. Berdasarkan penjelasan diatas, yaitu melalui pendekatan peubah kanonik dan curah hujan dan sebaran ikan, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan Sungai Merang yang cenderung homogen dan pola penyebaran ikan yang ada banyak dipengaruhi oleh curah hujan. REGRESI IKAN-1 DEN GAN AIR-1 ikan1 = air1 2 1 Regression 95% CI S R-Sq 85.2% R-Sq(adj) 83.5% ikan air Gambar 37. Hubungan antara kecerahan, debit dan kekeruhan (air1) dengan jumlah jenis, Kenekaragaman dan keseragaman ikan (ikan1). 70

85 UJI KENORMALAN UNTUK RESIDUAL Mean StDev N 11 AD P-Value Percent RESIDUAL Gambar 38. Uji kenormalan menghasilkan p-value >0.05 maka residual model bisa dikatakan menyebar normal artinya model regresi valid. Menurut Kottelat et al. (1993), kepunahan spesies ikan di Indonesia, lebih banyak karena rusaknya ekosistem hutan. Pada daerah gambut di daerah Bengkalis, Riau menurut Tjakrawidjaya dan Haryono (2001), terjadi penurunan jumlah spesies yang cukup besar pada daerah yang dijadikan pertambangan dari semula hutan primer dan hutan sekunder. Hal serupa terjadi di lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan. Menurut Kartamihardja, (2002), setelah hutan gambut seluas 1 juta hektar hilang, maka hasil tangkapan ikan para nelayan berkurang hingga 60% Hubungan Vegetasi dengan Alat Tangkap Ikan Alat tangkap ikan yang utama adalah bubu, temilar, sengilar, jaring, pancing tajur dan pancing kecepek. Prioritas utama adalah ikan-ikan ekonomis, seperti tapa, baung, lele, bujuk, ruan, serandang dan kleso. Pemasangan alat tangkap ikan dilakukan di daerah yang dipenuhi tanaman air, baik rasau maupun bakung. Alat tangkap bubu, temilar dan alat tangkap trap lainnya sangat efektif di daerah yang bervegetasi. Jika tidak ada vegetasi, mereka membuat pagar untuk menggiring ikan masuk ke dalam bubu. Alat tangkap terbesar adalah lulung, yang terdapat di daerah lebung di sekitar km 39,4. Prinsipnya seperti bubu, yaitu ada semacam pagar atau injab untuk menggiring 71

86 ikan ke dalam lulung. Karena alat tangkap ini cukup besar, maka seringkali kura-kura dan labi-labi masuk ke alat tangkap ini. Alat tangkap yang digunakan selengkapnya disajikan dalam Gambar 39 sampai dengan Gambar 44 dan Lampiran 10. Ikan-ikan kecil yang ukurannya kurang dari 20 cm, banyak dijumpai di daerah sekitar tanaman air. Penggunaan tangkul atau menggunakan serok dengan berperahu secara perlahan adalah metode yang biasa digunakan untuk menangkap ikan-ikan tersebut. Jenis yang biasa tertangkap adalah seluang (Rasbora chepalotaenia), julungjulung (Dermogenys sp), seliur (Hemisilurus sp), lais muncung (Ceratoglanis sp), kili-kili (Ompok sp.) dan lain-lain. Ikan-ikan ini biasanya dimanfaatkan untuk konsumsi seharihari atau sebagai umpan pancing tajur. Hampir semua alat tangkap ikan yang digunakan nelayan efektif digunakan di daerah yang dipenuhi vegetasi bahkan alat tangkap yang merusak kelestarian ikan seperti setrum atau listrik (electric fishing) efektif di daerah bertanaman air. Perikanan merupakan salah satu mata pencarian penduduk di Desa Muara Merang. Kegiatan perikanan sudah lama dilakukan di daerah ini. Dengan demikian, jumlah ikan akan terus berkurang karena terus dieksploitasi. Penurunan jumlah hasil tangkapan ikan ini salah satunya dipengaruhi oleh penggunaan alat tangkap listrik oleh masyarakat secara luas. Alat tangkap listrik tidak boleh digunakan untuk menangkap ikan, karena akan mengancam kelestarian ikan sehingga secara hukum pun tidak diperbolehkan. Hasil tangkapan dari alat tangkap ini terdiri dari dua macam, yaitu hasil tangkapan utama dan hasil sampingan. Hasil tangkapan utama adalah semua jenis dan ukuran ikan yang bernilai ekonomis dan dapat dimanfaatkan. Semua ikan dewasa dan induk ikan tertangkap dengan alat ini. Hasil sampingan saat pengoperasian alat ini yaitu larva ikan dan juvenile atau ikan-ikan muda. Alat ini sangat efektif dalam menangkap ikan di daerah yang dipenuhi tanaman air, karena ruang gerak ikan terbatas, sehingga mudah untuk menangkapnya. Jangkauan alat tangkap ini sekitar 1-2 meter. Tahun 2001, alat ini secara sembunyi-sembunyi digunakan, namun sejak Pengemin periode 2003 dan 2004, alat ini semakin sering dijumpai, tidak saja oleh pengemin namun masyarakat secara luas. Pada waktu pengamatan, dalam satu minggu kegiatan penyetruman bisa mencapai 2 kali. Dalam satu kali perjalanan, ikan yang dihasilkan dapat mencapai 3-4 kwintal, berbagai jenis dan ukuran. Jumlah tersebut tidak termasuk hasil sampingan berupa telur, larva dan juvenil yang mati serta ikan-ikan yang tidak terangkut. Namun demikian, pola tangkap dengan menggunakan listrik tidak memperhatikan musim hujan 72

87 atau kemarau serta pergerakan ikan, seperti yang dilakukan para nelayan tradisional terdahulu. Dengan demikian penangkapan ikan dengan tidak memperhatikan pola ruaya ikan setidaknya dapat mengurangi laju kecepatan eksploitasi ikan. Gambar 39. Pemasangan alat tangkap di tanaman rasau Gambar 41. Pancing tajur Gambar 40. Jaring untuk ikan permukaan 73

88 Gambar 43. Tangkul ikan Gambar 42. Sengilar Gambar 44. Alat tangkap bubu dari rotan Sosial Ekonomi Perikanan Lelang Sungai adalah suatu mekanisme pemilikan sungai selama setahun untuk mengambil hasil perikanan. Mekanisme ini berjalan sejak zaman dahulu, sebelum ada sistem pemerintahan desa. Sungai yang dilelang bukan tempat transportasi masyarakat dan tidak banyak penduduk yang tinggal sepanjang sungai. Sungai tersebut biasanya bermuara ke sungai lain yang lebih besar, seperti misalnya sungai-sungai yang bermuara ke Sungai Lalan. Pada beberapa bagian sungai terdapat lubuk, yaitu bagian yang terdalam dari sungai. Ada Beberapa lubuk di Sungai Merang, dimulai dari stasiun 8 (Daerah lubuk buntik) dan ada beberapa lagi ke arah hulu Sungai Merang. Sungai sungai yang bermuara ke Sungai Lalan dahulu dilelang untuk usaha perikanan, namun sekarang tidak dilelang lagi untuk perikanan tapi diperuntukan untuk kegiatan illegal logging terutama sejak awal tahun Hasil produksi perikanan terus menurun, walaupun usaha penangkapan terus diupayakan dengan intensitas yang relative tidak berubah. Puncak kemrosotan hasil perikanan, terjadi pada tahun 2000, padahal usaha yang dilakukan memiliki intensitas yang lebih tinggi dari periode sebelumnya (Gambar 45). Setelah tahun itu, perikanan hanyalah kegiatan sambilan bagi pengemin. Sungai Merang adalah sungai terbesar diantara sungai yang berada di rawa gambut yang bermuara ke Sungai Lalan dan dahulu merupakan salah satu daerah lelang sungai untuk perikanan. Hasil dari usaha perkayuan atau illegal logging jauh lebih besar daripada perikanan. Berdasarkan keterangan Pegawai Pak Barowi, pemilik lelang tahun , hasil tangkapan total ikan selama tahun 2002 adalah 12,5 pikul (kwintal) 74

89 termasuk di dalamnya 300 kg dari hasil tangkapan nelayan lain. Setengah dari hasil tangkapan mereka adalah ikan tapa (Wallago leeri). Bila rata-rata harga ikan perkilo adalah Rp 8000, maka hasil dari ikan pertahun adalah Rp Selain hasil tangkapan sendiri, pemegang lelang memungut hasil tangkapan ikan dari orang lain yang menangkap ikan di Sungai Merang. Biaya per-kg adalah Rp Bila hasil tangkapan setahun sekitar 12 kwintal (pikul), maka hasil retribusi pertahunnya adalah Rp Dengan demikian total hasil dari perikanan baik dari menangkap sendiri maupun reribusi usaha perikanan adalah Rp Produk lain seperti kura-kura dan labi-labi tidak dipungut biaya, walaupun sebenarnya nilai jualnya lebih tinggi dari ikan, namun jumlahnya hanya sedikit. Hasil ini jelas tidak mungkin untuk dapat mengembalikan modal lelang sungai. Perkiraan Hasil Perikanan di S. Merang Persentasi Hasil th 2001 th 2002 th 2003 th 2004 Gambar 45. Perkiraan hasil perikanan di Sungai Merang Hasil Periode tangkapan waktu ikan (tahun) di S. Merang (Yield) Usaha penangkapan (effort) Jumlah KK yang menangkap ikan 75

90 Pemilik lelang mendapatkan hasil utama dari produksi kayu. Biaya setiap rakit kayu (terdiri dari 3 4 balok, sepanjang 3 4,5 m) adalah Rp Diperkirakan ratarata rakit kayu yang keluar setiap hari dari tahun 2001 hingga 2003 adalah 300 rakit. Dengan demikian dalam satu tahun pendapatan kotor dari kayu diperkirakan mencapai Rp Keuntungan dari hasil usaha perikanan hanyalah 3,4% dari hasil keuntungan usaha kayu. Dengan demikian, walaupun harga lelang sungai terus naik, dan hasil perikanan relatif tetap, lelang sungai terus diminati para pemodal. Pekerjaan di sektor perkayuan membutuhkan banyak tenaga kerja. Hal ini membuat masyarakat tertarik termasuk nelayan. Untuk membangun parit sedikitnya dibutuhkan 3 orang untuk menghasilkan panjang parit 10 m/hari. Selanjutnya untuk menebang, mengumpulkan dan mengantar ke sawmil, itupun membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Dengan tidak adanya proteksi usaha perikanan oleh pengemin dari gangguan illegal logging, membuat nelayan banyak yang beralih kerja ke sektor perkayuan. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan illegal logging di Sungai Merang telah merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat, dalam hal ini masyarakat terpaksa ikut merambah hutan karena hasil perikanan terus menurun akibat illegal logging. Disamping itu, mekanisme lelang sungai justru ikut memfasilitasi kegiatan eksploitasi hasil hutan dan tidak lagi memfokuskan pada sektor perikanan. 76

91 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Ekosistem hutan gambut Sungai Merang terus mengalami degradasi karena kegiatan HPH sejak tahun 1989 hingga tahun 2000, kemudian dilanjutkan oleh masyarakat melalui kegiatan illegal logging. Luasan hutan primer yang hilang akibat HPH dari tahun 1989 hingga 2002 mencapai 90%. Secara umum vegetasi hutan adalah hutan sekunder. Sekurang-kurangnya terdapat 21 jenis pohon dengan keanekaragaman jenis tergolong sedang. Indeks Nilai Penting terbesar ada pada jenis kayu yang tenggelam yaitu manggris dan punak serta jenis kayu yang getahnya menimbulkan iritasi, yaitu kayu rengas. Pada kegiatan illegal logging, ketiga jenis kayu ini lebih banyak tidak ditebang karena secara teknis menyulitkan. Kondisi umum hutan rawa gambut di Sungai Merang memiliki tanah dengan tingkat dekomposisi fibrik dan hemik. Tingkat kesuburan dan ph tanah rendah, demikian pula dengan kualitas air. Pengaruh pasang surut harian air tawar dirasakan hingga daerah tengah (km 40-50). Kerusakan vegetasi menyebabkan kerusakan habitat fauna mamalia, herpetofauna dan avifauna sehingga kelestariannya ikut terancam. Daerah hulu memiliki jumlah jenis dan jumlah individu vegetasi dan ikan relatif lebih besar dibandingkan daerah tengah dan hilir. Jumlah jenis ikan sekitar 40 jenis. Keanekaragaman ikan di daerah hulu Sungai Merang relatif lebih tinggi daripada daerah tengah dan hilir serta muara. Dari analisis regresi linier antara jumlah hasil tangkapan ikan dan luasan hutan dari tahun 1989 hingga 2002 terlihat bahwa luas penutupan vegetasi berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan. Namun demikian tidak seluruhnya berasal dari penutupan vegetasi, tetapi ada juga faktor-faktor lain, diantaranya nilai keanekaragaman di muara lebih tinggi daripada daerah tengah Sungai Merang karena bercampur dengan ikan-ikan dari Sungai Lalan. Komunitas ikan ditentukan juga oleh kemampuan ikan untuk bertahan baik di lingkungan sungai yang dinaungi vegetasi lebat maupun yang terbuka. Hal ini berkaitan dengan suhu perairan dan kemampuan ikan bertahan pada daerah yang miskin oksigen terlarut. Keberadaan komunitas ikan juga bergantung kepada kemampuan hidup ikan pada kondisi perairan, yaitu ikan yang mampu bertahan di daerah aliran sungai (Whitefish) dan ikan yang mampu bertahan di daerah dataran banjir (Black fish). 77

92 Vegetasi hutan penting bagi ikan, karena tidak semua ikan whitefish dan blackfish mampu bertahan pada perairan yang vegetasinya terbuka (jenis ikan rimba). Penggalian parit menyebabkan teroksidasinya pirit menjadi asam sulfat sehingga perairan menjadi sangat asam. Komponen kualitas air lainnya yang berpengaruh terhadap komponen komunitas ikan berdasarkan peubah kanonik adalah dengan tingginya kecerahan, debit rendah, kekeruhan rendah maka jumlah jenis, keanekakaragaman dan keseragaman ikan semakin tinggi. Keberadaan komunitas ikan dipengaruhi pula oleh alat tangkap ikan yang digunakan. Alat tangkap ikan tradisional milik nelayan efektif digunakan di daerah yang dipenuhi vegetasi demikian pula halnya dengan alat tangkap listrik (electric fishing). Alat tangkap listrik salah satu penyebab turunnya hasil tangkapan ikan di Sungai Merang. Pekerjaan di sektor perkayuan membutuhkan banyak tenaga kerja termasuk nelayan di Sungai Merang. Hal ini mengakibatkan mekanisme lelang sungai justru ikut memfasilitasi kegiatan eksploitasi hasil hutan dan tidak lagi memfokuskan pada kegiatan perikanan berkelanjutan Saran Pengamatan akan lebih baik jika dilakukan di dua musim yaitu musim hujan dan kemarau, karena akan lebih diketahui sejauh mana ikan-ikan ini tersebar ke dalam ekosistem hutan gambut. Selain itu, sebaiknya titik pengamatan dan titik pengambilan contoh adalah sama atau pada radius yang lebih dekat, untuk semua parameter, baik vegetasi, tanah, kualitas air, fauna dan biota air. Selanjutnya perlu dilakukan pengamatan yang lebih kuantitatif mengenai pola ruaya dan pergerakan ikan serta siklus hidupnya. Perlu dilakukan penelitian mengenai sebaran jenis-jenis ikan yang ada di sungai, parit dan rawa gambut. Dengan demikian upaya konservasi lahan gambut dengan membendung parit diharapkan bisa mendapatkan nilai ekonomis berupa hasil tangkapan ikan dari parit. 78

93 DAFTAR PUSTAKA Abidin, M., I. Soerianegara, C. Kusmana dan Sudarsono Pengaruh Penebangan pada Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus di HPH PT. Kosmar Timur Raya Propinsi Riau). Bibliografi Hasil-Hasil Penelitian Hutan Rawa Gambut di Indonesia Oleh Fakultas Kehutanan IPB Periode Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Anonim Penyelundupan kayu 60 kali lebih besar. Kompas 12 (kolom 3-6) 03 Agustus 2004 Anonim Greenpeace volunteers infiltrate tilbury docks and brand illegal rainforest timber. London Docks Implicated In World s Worst Environmental Disaster. Saveordelete.com Uncovering Ancient Forest Crime. Juli 21 st (7 April 2005) Bezuijen, M. R., P. Hartoyo, M. Elliott dan B.A. Baker Project tomistoma. Second report on the ekology of the false gharial (Tomistoma schlegelii) in Sumatera. Wildlife Management International PTY. Australia. Bezuijen, M. R., R. Kadarisman, S. Adi Wardoyo, F. Hasudungan, K. Rauf, Samedi dan G.J.W. Webb Rapid Appraisal Of The Conservation Status Of The False Gharial (Tomistoma Schlegelii) In Two Location In Southeast Sumatera, Indonesia. Wetlands International Chicago Zoological Society Wildlife Management International Pty Limited- IUCN Bezuijen, M. R., F. Hasudungan, R. Kadarisman, G.J.W. Webb, S. A. Wardoyo, S.C. Manolis dan Samedi False Gharial (Tomistoma schlegelii) Survey in Southeast Sumatera, Indonesia ( ). Cleveland Zoological society/wildlife Management International Pty Limited/ Fauna dan Flora International/ Wetlands International/PHKA/Crocodylus Park-Reseach & Education Centre. Boer, R Model pendugaan keuntungan karbon dari proyek hutan karbon lahan gambut: studi kasus Kecamatan Mentangai Kalimantan Tengah dan rawa gambut pasang surut merang kepahyang, Sumatera Selatan, Laboratorium Klimatologi Fakultas MIPA, IPB dan Wetlands International, various. Boyd, C. E Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station. Alabama. USA. 79

94 Cole, G.A Textbook of Limnology. Third edition. Waveland Press, Inc Illinois, USA. Chokkalingam, U., R.P. Suyanto, Permana., I. Kurniawan., J. Mannes., A. Darmawan, N. Khususyiah dan R.H. Susanto Pengelolaan api, perubahan sumberdaya alam dan pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat di areal rawa/gambut Sumatera bagian selatan. Prosiding Semiloka Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi. Palembang, Sumtera Selatan Desember Center for International Forestry Reseach. pp Darjono Pengalaman penegakan hukum yang berkaitan degan kebakaran di areal perkebunan dan hti rawa gambut. Prosiding Semiloka Kebakaran di Lahan Rawa/Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi. Palembang, Sumtera Selatan Desember Center for International Forestry Reseach. pp Dajan, A Pengantar Metode Statistik Jilid II. LP3S. Dinas Klimatologi Data curah hujan Bayunglincir, Muba Sumatera Selatan. Dinas Klimatologi dan Geofisika, Palembang. Dunham. J.B., M.K. Ypung., R.E. Gresswell dan B.E. Rieman. Effect of fire on fish populations : landscape perspektif of native fishes and non native fishes invasion. Forest Ecology and Management. 178 (2003) ( 23 Oktober 2004). Effendie, H Telaahan Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Effendie, I Biologi Perikanan. Pustaka Utama. Yogyakarta. Enrico., A. Indrawan dan O. Rusdiana Studi Luas Rumpang Terhadap Kerapatan Permudaan Alam Jenis-Jenis Komersial di Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus di HPH PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries, Sumatera Selatan). Bibliografi Hasil-Hasil Penelitian Hutan Rawa Gambut di Indonesia Oleh Fakultas Kehutanan IPB Periode Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Forest Watch Indonesia Penebangan Liar di Indonesia. Bogor 80

95 Harteman, E Ancaman manusia terhadap keanekaragaman hayati dan upaya perlindungannya di Indonesia. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. Mei (14 Maret 2005) Haryanto Variasi Lokal Tipe Vegetasi Dalam Ekosistem Hutan Gambut Dan Dampak Pembukaannya Di Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar Dan Danau Bawah, Riau. Tesis. Program Pascasarjana. Intitut Pertanian Bogor. Haryono dan A.H. Tjakrawidjaya Dampak penambangan gambut terhadap biodiversitas ikan di Kabupaten Bengkalis-Riau. Jurnal Ilmiah Berita Biologi. Edisi Khusus Wetlands Indonesia- Peat Lands Area. 5 (3) : Kartamihardja, E.S Pembukaan lahan gambut di kalimantan tengah: mega proyek pemusnahan sumberdaya perikanan? Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. April (14 Maret 2005). Kottelat, M., A.J Whitten., S.N. Kartikasari dan S. Wirjoatmodjo Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions Limited, Indonesia P 293. Krebs, C.J Ecology, The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. Harper and Row Publisher. New York. Lindawati, I., I. Hilwan dan Istomo Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pada Areal Hutan Gambut Bekas Terbakar (Studi Kasus di HPH PT. SBAWI, Sumatera Selatan). Bibliografi Hasil-Hasil Penelitian Hutan Rawa Gambut di Indonesia Oleh Fakultas Kehutanan IPB Periode Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Mason, C.F Biology of Freshwater Pollution. Longman Inc. Newyork. 250p. Murdiyarso, D., U. Rosalina, K. Hairiah, L. Muslihat, I.N.N Suryadiputera dan A.Jaya Petunjuk Lapangan : Panduan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia- Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Naiola, B.P Potensial air pada turgor loss point tumbuhan hutan rawa gambut dalam kondisi stress genangan di kawasan Sungai Sebangau, Kalimantan 81

96 Tengah. Jurnal Ilmiah Berita Biologi. Edisi Khsus Wetlands Indonesia- Peat Lands Area. 5(3) : Naiola, B.P dan D.S.H. Hoesen Fluktuasi air dalam tumbuhan (plant water relation) dan stabilitas Taman Nasional Gunung Halimun : kianak (Castanopsis accuminatissima., (BL.) DC). Jurnal Ilmiah Berita Biologi. 6(4): Najiyati, S Mengenal Perilaku Lahan Gambut. Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia-Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Sinaga T.P, M.F. Rahardjo dan D. S. Sjafei Bioekologi ikan gabus (Channa striata) pada aliran Sungai Banjaran, Purwokerto. Prosiding Seminar Keanekaragaman Hayati Ikan. Pusat Studi Ilmu Hayati-IPB; Pusat Penelitian Biologi LIPI dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Supranto, J Statistik Teori dan Aplikasi. Edisi kelima. Jilid 2. Penerbit Erlangga. Suripto. 16 Maret Memberantas Illegal Logging. Republika 4 (kolom 3-6). Suyanto S., G. Applegate, dan L. Tacconi Community-based fire management, land tenure and conflict: insights from sumatera. US Forest Service, European Commission, CIFOR and ICRAF. April 2005). Suzuki, E., T. Kohyama dan H. Simbolon Vegetation of fresh water swampy areas in west and central Kalimantan. Jurnal Ilmiah Berita Biologi. Edisi Khsus Wetlands Indonesia- Peat Lands Area. 5 (3) : Wahyunto., S. Ritung dan H. Subagjo Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera / Maps of Area of Peatland Distribution and Carbon Content in Sumatera Wetlands International Indonesian Programme dan Wildlife Habitat Canada (WHC). Wahyunto., S. Ritung, Suparto dan H. Subagjo Sebaran gambut dan kandungan karbon di Sumatera dan Kalimantan Wetlands International Indonesian Programme dan Wildlife Habitat Canada (WHC). 82

97 Wardoyo, S.A Mengapa hutan ditebang ikan menjadi sulit didapat? (Pengalaman di S. Merang, Muba dan Semenanjung Banyuasin, Sumatera Selatan). Warta Konservasi Lahan Basah. 12(3) : Waspodo, R.S.B., A. Dohong dan I.N.N Suryadiputera Konservasi air tanah di lahan gambut (panduan penyekatan parit dan saluran di lahan gambut bersama masyarakat). Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia- Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Welcomme, R.L Fisheries Ecology of floodplain Rivers. Longman Inc., New York. Yusuf, R Analisis vegetasi dan degradasi jenis tumbuhan hutan gambut setelah kebakaran di Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting Kalimantan Tengah. Jurnal Ilmiah Berita Biologi. Edisi Khusus Wetlands Indonesia- Peat Lands Area Nomor. 5 (3) :

98

99 85

100 Lampiran 1. Jenis pohon di sepanjang Sungai Merang No. Nama Daerah Nama Botani Famili 1 Balam Palaquium sp. Sapotaceae 2 Bintangur Calophyllum sp. Guttiferae 3 Darah Kero Knema sp. Myristicaceae 4 Durian Durio adans Bombaceae 5 Gelam Melaleuca sp Myrtaceae 6 Gerunggang Cratoxylum sp Guttiferae 7 Jelutung Dyera sp Hook.f. Apocynaceae 8 Kayu Arang Diospyros sp. Ebenaceae 9 Kelat Eugenia sp Myrtaceae 10 Labu Endospermum sp. Euphorbiaceae 11 Mahang Macaranga motleyana Euphorbiaceae 12 Manggris Koompassia maingay. ex Benth. Fabaceae 13 Medang Litsea sp atau Dehaasia sp Lauraceae 14 Meranti Shorea sp Dipterocarparceae 15 Perupuk Lophopetalum sp. Celasteraceae 16 Punak Tetramerista glabra Miq. Theaceae 17 Ramin Gonystylus Teijsm. & Binnend. Thymelaeaceae 18 Rengas Gluta sp Anacardiaceae 19 Tembesu Fagraea sp Loganiaceae 20 Tenam / Mersawa Anisoptera sp Korth. Dipterocarparceae 21 Terentang Campnosperma sp. Anacardiaceae 86

101 Lampiran 2. Perhitungan indeks keanekaragaman dan dominansi No. Nama Daerah Jumlah pi = (n/n) log 2 pi -pi log 2 pi pi 2 1 Balam Bintangur Darah Kero Durian Gelam Gerunggang Jelutung Kayu Arang Kelat Labu Mahang Manggris Medang Meranti Perupuk Punak Ramin Rengas Tembesu Tenam / Mersawa Terentang Nilai Keanekaragaman = (sedang). Nilai Dominansi = 0, (rendah) Nilai Keseragaman = (tinggi) 87

102 Lampiran 3. Indeks nilai penting Jenis K KR F FR D DR INP Balam (Palaquium sp) Bintangur (Calophyllum sp) Darah Kero (Knema sp) Durian (Durio Adans) Gelam (Melaleuca sp) Gerunggang (Cratoxylum sp) Jelutung (Dyera sp Hook.f.) Kayu Arang (Diospyros sp.) Kelat (Eugenia sp) Labu (Endospermum sp.) Mahang (Macaranga motleyana) Manggris (Koompassia Maingay. ex Benth.) Medang Litsea sp atau Dehaasia sp Meranti (Shorea sp) Perupuk (Lophopetalum sp) Punak (Tetramerista glabra Miq.) Ramin (Gonystylus Teijsm. & Binnend. ) Rengas (Gluta sp) Tembesu (Fagraea sp) Tenam / Mersawa (Anisoptera sp Korth.) Terentang (Campnosperma sp)

103 Lampiran 3. Indeks Nilai Penting Kelas Diameter (Lanjutan) URAIAN diameter plot KR 10 up DR 10 up FR 10 up KR 20 up DR 20 up FR 20 up KR 30 up DR 30 up FR 30 up KR 40 up DR 40 up FR 40 up INP 10 up INP 20 up INP 30 up INP 40 up INP

104

105 Lampiran 4. Jenis-jenis mammalia, avifauna dan herpetofauna No. Nama Indonesia/Lokal Nama Ilmiah STATUS kelompok 1 Malu-malu, kukang Nycticebus coucang P, App II Mammalia 2 Simpai Presbytis melalophos P, App II 3 Lutung, cekong Presbytis cristatus P, App II 4 Beruk Macaca nemestrina P, App II 5 Ungko Hylobates agilis P, App I, EN 6 Rusa sambar Cervus unicolor P 7 Kijang Muntiacus muntjak P 8 Napu Tragulus napu P 9 Harimau sumatera Panthera tigris sumatrae P, App I, EN 10 Kucing kuwuk Felis bengalensis P, App I 11 Beruang madu Helarctos malayanus P, App I, EN 12 Gajah Elephas maximus P, App I, EN 13 Kera ekor-panjang Macaca fascicularis App II 14 Berang-berang cakar -kecil Aonyx cinerea App II 1 Bangau rawa storm Ciconia stormi App I, EN Avivauna 2 Bangau tongtong Leptoptilos javanicus P, VU 3 Elang brontok Spizaetus cirrhatus P, App II 4 Elang bondol Haliastur indus P, App II 5 Elang -laut perut-putih Haliaeetus leucogaster P, App II 6 Elang -ikan kecil Ichthyophaga humilis P, App II, n t 7 Elang -ular Bido Spilornis cheela P, App II 8 Alap-alap capung Microhierax fringilarius P, App II 9 Raja-udang meninting Alcedo meninting P 10 Pekaka emas Pelargopsis capensis P 11 Cekakak belukar Halcyon smyrnensis P 12 Cekakak sungai Halcy on chloris P 13 Julang Jambul-hitam Aceros corrugatus P, App II, nt 14 Kangkareng perut-putih Anthracoceros albirostris P, App II 15 Kangkareng Hitam Athracoceros malayanus P, App II, nt 16 Rangkong badak Buceros rhinoceros P, App II, nt 1 Buaya Senyulong Tomistoma schlegelii P, EN, App I Herpetofauna 2 Buaya Muara Crocodylus porosus P, App II 3 Beyuku, Bajuku Orlitia borneensis P, App II; nt 4 Labi-labi Amida cartalaginea App II 5 Ular sawah Phyton reticulatus App II 6 Ular Kobra, tedung Ophiophagus hannah App II 7 Biawak Varanus salvator App II 85.

106 Lampiran 5. Jenis-jenis ikan di Sungai Merang No Nama Daerah Nama Ilmiah Famili Ordo 1 Seluang baro Rasbora cephalotaenia Cyprinidae Cypriniformes 2 Seluang buing Puntius sp 3 Seluang kremasan Rasbora kalochroma 4 Seluang beras Rasbora sumatrana 5 Buruk perut Eirmotus octozona 6 Aro Osteochilus melanopleura 7 Unggut-unggut Osteochilus kappenii 8 Siamis Parachela oxygastroides 9 Betok Anabas testudineus Anabantidae Perciformes 10 Tembakang Helostoma temminckii Helostemidae 11 Selincah Belontia hasselti Belontidae 12 Sepat Trichogaster leerii 13 Tempalo Betta anabatoides 14 Serandang Channa pleurohthalmus Channidae 15 Toman Channa micropeltes 16 Bujuk Channa lucius 17 Gabus, ruan,deleg Channa striata 18 Perunggu janda Nandus nebulosus Nandidae 19 Sepatung Pristolepis grootii Pristolepidae 20 Setumbuk banir, Unjung Luciocephalus pulcher Luciocephalidae 21 Elang Datnoides microlepis Datnioidae 22 Sumpit Toxotes jaculatrix Toxotidae 23 Tilan Mastacembelus sp Mastacembelidae 24 Sebengkah Leiognathus equulus Leioghnathidae 25 Julung-julung Hemirhamphodon pogonognatus Hemiramphidae Cyprinidontiformes 26 Julung-julung Dermogenys sp 27 Tapa kero Wallago leerii Siluridae Siluriformes 28 Tapa kero Kryptopterus apogon 29 Lais Kryptopterus sp. 30 Seliur Hemisilurus sp. 31 Lais muncung Ceratoglanis sp. 32 Kili-kili Ompok sp. 33 Lele Clarias teijsmanni Clariidae 34 Mingkung, puting beliung Chaca bankenensis Chacidae 35 Sianang (Mystus bimaculatus Bagridae 36 Baung Mystus wyckii 37 Sengiringan Mystus sp 38 Pepunti Leiocassis sp 39 Juaro Pangasius sp Pangasiidae 40 Kleso, siluk atau arwana Scleropages formasus Osteoglossidae Osteglossiformes 86.

107 Lampiran 6. Regresi Linier Pengujian koefisien regresi β 1 dilakukan dengan tabel anova: H 0 : β 1 = 0 ; Ada hubungan antara luasan hutan dengan hasil tangkapan ikan H1 : β 1 0 ; Tidak ada hubungan Daftar Anavanya: Sumber Variasi db Jumlah Kuadrat (JK) RJK Regresi 1 JK Regresi RJK Regresi Residu n-2 JK total- JK regresi JK Residu/(n-2) Total n - 1 JK Total - F hitung = RJK Regresi/RJK Residu Kriteria uji: tolak H 0 jika F hitung > F (1; (n-2)(á)). Terima dalam hal lainnya. KOEFISIEN KORELASI Persamaan koefisien regresi. r XY = n XY XY 2 2 ( n X ( X) ) n Y ( Y) Uji Koefisien Regresi ( ) 2 2 Hipotesis yang akan diuji adalah : H 0 : ρ = 0 H1 : ρ 0 Statistik uji : Kriteria Uji : t = r 1 n r 2 2 Tolak H0 jika thitung > ttabel dengan db = (n 2) pada taraf α = 5% Data Penelitian: Tahun Dari data diperoleh nilai-nilai berikut: Hutan Rawa Gambut Primer (ha)(x) Tangkapan Nelayan (kg) (Y)

108 Lampiran 6( Lanjutan) X = X 2 = Y = Y = XY = n = 11 Perhitungan: 2 n X ( X) β 1 = 2 β 1 = 2 β 1 = β 0 = β 1 β 0 = β 0 = n XY X Y (11)( )-( )(275885) (11)( ) ( ) Y X ( ) ( )( ) Maka bentuk model regresinya Y= X + å Pengujian Koefisien Regresi: Bentuk hipotesisnya H 0 : β 1 = 0 ; ada hubungan antara luasan hutan dengan hasil tangkapan ikan H1 : β 1 0 ; Tidak ada hubungan á = 0.05 Daftar Anava Sumber Variasi db Jumlah Kuadrat (JK) RJK Regresi Residu Total F tabel (1,9;0.05) = 5.12 Perhitungannya: JK(total) = n Y JK(total) = n ( X ) 2 i= 1 i= 1 n ( ) ( )- 11 JK(total) = JK regresi =β 1 ( X)( Y) XY n JK regresi = ( )( ) ( ) 11 JK regresi = JK residu = ( ) - ( ) JK residu =

109 Lampiran 6( Lanjutan) Dari tabel anava bisa dilihat bahwa nilai F hitungnya = ( )/ ( ) = Nilai ini lebih kecil dari F tabel (5.12). Berarti H0 diterima, dan tidak ada hubungan antara luasan hutan dengan hasil tangkapan ikan. Koefisien Korelasi r r r XY XY XY = = Dengan menggunakan nilai -nilai dari data, maka: n XY XY 2 2 ( n X ( X ) ) n Y ( Y) ( ) 2 2 (11)( )-( )(275885) 2 2 ((11)( ) ( ))((11)( ) (275885) ) = r = Dari hasil didapatkan bahwa besar koefisien korelasi antara luas hutan rawa gambut primer (dalam hektar) dengan jumlah tangkapan ikan nelayan (dalam kg) sebesar Hasil ini menunjukkan bahwa hubungannya tidak terlalu kuat. Hal ini dimungkinkan karena dari nilai koefisien determinasi (r 2 ) yang didapatkan hanya sebesar atau sebesar %. Artinya, banyaknya jumlah tangkapan ikan dipengaruhi oleh luas hutan rawa gambut hanya sebesar %, sedangkan sebesar % dipengaruhi oleh faktor lainnya. Uji Koefisien Korelasi Hipotesis yang akan diuji adalah : H 0 : ρ = 0 H 1 : ρ 0 Statistik uji : r t = n 2 1 r t = 2 1 (0.517) 2 t = t tabel = 2.26 Kriteria Uji : Tolak H0 jika t hitung > t tabel dengan db = (n 2) pada taraf α = 5%. Dari hasil didapatkan bahwa t hitung ( ) < t tabel (2.26). Berarti H 0 diterima berarti nilai koefisien korelasi tidak signifikan.. 89

110

111 Lampiran 7. Regresi Berganda Uji Keseluruhan Parameter Regresi Hipotesis yang akan diuji adalah : H0 : β1 = β2 = 0 H1 : Terdapat minimal satu parameter β yang tidak nol Statistik uji : F = RJK Regresi / RJK Residu Kriteria Uji : Tolak H0 jika FHitung > FTabel dengan db = (k, n k 1) pada taraf α = 5% Sumber Variasi db Jumlah Kuadrat (JK) Rata Rata JK Regresi k ( Y ) 2 T T JK regresi/ k β ( X Y ) n Residu n k 1 JKTotal-JKRegresi JK residu/ (n k 1) Total n - 1 ( Y ) Y n Data Penelitian No X 1 X 2 Y No X1 X2 Y No X1 X2 Y UJI INDIVIDU PARAMETER REGRESI Hipotesis yang akan diuji adalah : H 0 : β i = 0 H1 : βi 0 Statistik uji : βˆ t = dimana : s S / xx s 2 = SS Error n 2 dan Kriteria Uji : Tolak H0 jika thitung > ttabel dengan db = (n 2) pada taraf α = 5% n S = ( X X) XX i= 1 i 2 91

112 Lampiran 7 (Lanjutan) MODEL REGRESI Y = X X + ε UJI SIGNIFIKANSI a. Pengujian secara Simultan -Hipotesis Statistik 1 2 H0 : β = 0 (secara simultan tidak ada pengaruh variabel bebas (total individu dan jumlah stasiun terhadap berat total ) H 1 : β 0 (minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap berat total) á = Statistik uji: Sumber Variasi db Jumlah Kuadrat (JK) Rata Rata JK F hitung Regresi Residu Total Fhitung = Fhitung= Ftabel = F 0.05 (2 ; 36) = Kriteria Uji Tolak H 0 jika F F tabel terima dalam hal lainnya. -Kesimpulan Karena F hitung F tabel maka menerima H 0, menolak H 1 artinya dengan taraf signifikansi sebesar 5% atau dengan taraf kepercayaan sebesar 95% secara simultan tidak terdapat pengaruh yang signifikan variabel bebas (total individu dan jumlah stasiun) terhadap berat total. b. Pengujian Secara Individual Pengujian koefisien regresi β 1 Langkah -langkah pengujian koefisien regresi β 1 adalah sebagai berikut: -Hipotesis Statistik H 0 : β 1 = 0 (Tidak ada pengaruh variabel total individu (X 1 ) terhadap berat total (Y)) H1 : β 0 (Ada pengaruh variabel total individu (X1) terhadap berat total (Y)) 1 á = Statistik uji: t = s ˆ β / Sxx t = ttabel= t 0.975(37 ) = Kriteria Uji Tolak H0 jika t1 > ttabel -Kesimpulan Karena t 1 < t tabel maka menerima H 0 atau menolak H 1, artinya tidak terdapat pengaruh variabel total individu (X 1 ) terhadap berat total (Y). 92

113 Pengujian koefisien regresi β 2 Langkah -langkah pengujian koefisien β 2 regresi sebagai berikut: -Hipotesis Statistik H0 : β 0 (Tidak ada pengaruh variabel jumlah Stasiun (X2) terhadap berat total 2 = (Y)) H 1 : β 2 0 (Ada pengaruh variabel jumlah Stasiun (X 2 ) terhadap berat total (Y)) á = Statistik uji: t = s ˆ β / Sxx t = ttabel= t 0.975(37) =2.02 -Kriteria Uji Tolak H0 jika t2 > ttabel -Kesimpulan Karena t 1 < t tabel maka menerima H 0 atau menolak H 1, artinya tidak terdapat pengaruh variabel jumlah stasiun (X 2 ) terhadap berat total (Y). 93

114

115 Lampiran 8. Perhitungan Chi Square Chi-Square Test: 1; 2; 3; 4; 5; 6 Skipping rows and/or columns filled with zeros. Expected counts are printed below observed counts Total ,66 0,05 0,41 0,25 0,92 0, ,08 0,24 1,90 1,19 4,27 3, ,44 0,03 0,27 0,17 0,61 0, ,88 0,07 0,54 0,34 1,22 0, ,32 0,10 0,81 0,51 1,83 1, ,10 0,08 0,68 0,42 1,53 1, ,22 0,02 0,14 0,08 0,31 0, ,22 0,02 0,14 0,08 0,31 0, ,22 0,02 0,14 0,08 0,31 0, ,22 0,02 0,14 0,08 0,31 0, ,22 0,02 0,14 0,08 0,31 0, ,20 0,17 1,36 0,85 3,05 2, ,10 0,08 0,68 0,42 1,53 1, ,44 0,03 0,27 0,17 0,61 0, ,44 0,03 0,27 0,17 0,61 0, ,22 0,02 0,14 0,08 0,31 0,24 Total Chi-Sq = 8, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

116 2, , , , , , , , , , , , , , , , , ,237 + Lampiran 8. (Lanjutan) DF = 75 2, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,237 + =146,964 Chi-Square Test: 7; 8; 9; 10; 11 Skipping rows and/or columns filled with zeros. Expected counts are printed below observed counts Total ,13 0,62 0,43 0,34 0, ,67 3,11 2,15 1,70 2, ,33 1,56 1,07 0,85 1, ,33 1,56 1,07 0,85 1, ,33 1,56 1,07 0,85 1, ,27 1,24 0,86 0,68 0, ,20 0,93 0,64 0,51 0, ,53 2,49 1,72 1,36 1, ,73 3,42 2,36 1,87 2, ,27 1,24 0,86 0,68 0, ,20 0,93 0,64 0,51 0, ,67 3,11 2,15 1,70 2, ,07 0,31 0,21 0,17 0, ,13 0,62 0,43 0,34 0, ,13 0,62 0,43 0,34 0,

117 0,13 0,62 0,43 0,34 0, ,27 1,24 0,86 0,68 0, Lampiran 8. (Lanjutan) 0,67 3,11 2,15 1,70 2, ,60 2,80 1,93 1,53 2, ,40 1,87 1,29 1,02 1, ,20 0,93 0,64 0,51 0, ,87 4,04 2,79 2,21 3, ,20 0,93 0,64 0,51 0, ,27 1,24 0,86 0,68 0, ,07 0,31 0,21 0,17 0, ,27 1,24 0,86 0,68 0, ,07 0,31 0,21 0,17 0,24 Total Chi-Sq = 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,237 = 205,721 DF =

118 Lampiran 9. Analisis Peubah Kanonik Model 1 Statistik Deskriptif Data Penelitian The SAS System 10:27 Monday, January 1, 2005 Karakteristik ikan 5 karakteristik air 5 Observations 11 Means and Standard Deviations Standard Variable Mean Deviation Label JTI JTI JJ JJ BRT BRT ANK ANK SRG SRG DBT DBT KEC KEC KRH KRH COD COD TSS TSS Korelasi Peubah Asli Correlations Among the Original Variables Correlations Among the Karakteristik ikan SRG JTI JJ BRT ANK JTI JJ BRT ANK SRG Correlations Among the karakteristik air TSS DBT KEC KRH COD DBT KEC KRH COD TSS Correlations Between the Karakteristik ikan and the karakteristik air 98

119 TSS DBT KEC KRH COD JTI JJ BRT ANK SRG Lampiran 9. (Lanjutan) Koefisien Korelasi Kanonik Asli Canonical Correlation Analysis Raw Canonical Coefficients for the Karakteristik ikan ikan5 ikan1 ikan2 ikan3 ikan4 JTI JTI JJ JJ BRT BRT ANK ANK SRG SRG Raw Canonical Coefficients for the karakteristik air air5 air1 air2 air3 air4 DBT DBT KEC KEC KRH KRH COD COD TSS TSS Koefisien Korelasi Kanonik Distandarisasi Canonical Correlation Analysis Standardized Canonical Coefficients for the Karakteristik ikan ikan5 ikan1 ikan2 ikan3 ikan4 99

120 JTI JTI JJ JJ BRT BRT ANK ANK SRG SRG Standardized Canonical Coefficients for the karakteristik air air5 air1 air2 air3 air4 DBT DBT KEC KEC KRH KRH COD COD TSS TSS PK ikan1= JTI JJ BRT ANK SRG dst sampai PK ikan5 PK air1= DBT KEC KRH COD TSS dst sampai PK air5 Evaluasi Model Korelasi Kanonik Canonical Correlation Analysis Adjusted Approximate Squared Canonical Canonical Standard Canonical Correlation Correlation Error Correlation Korelasi PK ikan1 dengan PK air1 sebesar dengan R 2 = Lampiran 9. (Lanjutan) Korelasi PK ikan2 dengan PK air2 sebesar dengan R 2 = Eigenvalues of Inv(E)*H = CanRsq/(1-CanRsq) Eigenvalue Difference Proportion Cumulative PK (ikan1, air1) menjelaskan keragaman data sebesar % PK (ikan2, air2) menjelaskan keragaman data sebesar % 100

121 Pengujian Hipotesis Model Korelasi Kanonik Test of H0: The canonical correlations in the current row and all that follow are zero Likelihood Approximate Ratio F Value Num DF Den DF Pr > F Multivariate Statistics and F Approximations S=5 M=-0.5 N=-0.5 F Statistic Value F Value Num DF Den DF Pr > Wilks' Lambda Pillai's Trace Hotelling-Lawley Trace Roy's Greatest Root NOTE: F Statistic for Roy's Greatest Root is an upper bound. Uji hipotesis terhadap korelasi kanonik, ternyata semua pasangan PK(ikan-i, air-i) dengan á=0.10 ternyata peluang (Pr>F )> á artinya model tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bhw hipotesis Korelasi Kanonik bernilai nol tidak ditolak. Korelasi antara peubah kanonik ikan dengan peubah asli pada ikan Canonical Structure Correlations Between the Karakteristik ikan and Their Canonical Variables ikan5 ikan1 ikan2 ikan3 ikan4 JTI JTI JJ JJ BRT BRT ANK ANK SRG SRG Korelasi PK ikan dengan peubah asli ikan menggambarkan keeratan hubungan antara peubah kanonik dengan peubah aslinya, sehingga PK bisa diberi nama sesuai dengan nilai korelasi tertinggi antara PK dengan peubah asli. PK ikan1 korelasinya kecil dengan semua peubah asli. 101

122 Lampiran 9. (Lanjutan) PK ikan2 mempunyai korelasi tinggi dengan JJ, ANK, SRG, shg PKikan2 bisa disebut dengan nama baru misalnya keanekaragaman jenis ikan, dst Korelasi antara peubah kanonik air dengan Peubah asli pada air Correlations Between the karakteristik air and Their Canonical Variables air5 air1 air2 air3 air4 DBT DBT KEC KEC KRH KRH COD COD TSS TSS Penafsiran sama dengan cara di atas Korelasi antara peubah kanonik air dengan Peubah asli pada ikan Correlations Between the Karakteristik ikan and the Canonical Variables of the karakteristik air air5 air1 air2 air3 air4 JTI JTI JJ JJ BRT BRT ANK ANK SRG SRG PK air2 berkorelasi tinggi dengan JJ, ANK, dan SRG. PKair2 menggambarkan DBT, Kec, KRH berpengaruh terhadap JJ, ANK, SRG. dst Korelasi antara peubah kanonik ikan dengan Peubah asli pada air Correlations Between the karakteristik air and the Canonical Variables of the Karakteristik ikan ikan5 ikan1 ikan2 ikan3 ikan4 DBT DBT KEC KEC KRH KRH

123 COD COD TSS TSS Penafsiran sama dengan cara di atas (TIDAK RELEVAN DENGAN PENELITIAN) Model 3 Statistik deskriptif data penelitian The SAS System 14:27 Monday, January 1, 2005 Karakteristik ikan 3 karakteristik air 3 Observations 11 Means and Standard Deviations Standard Lampiran 9. (Lanjutan) Variable Mean Deviation Label JJ JJ ANK ANK SRG SRG DBT DBT KEC KEC KRH KRH Korelasi Peubah Asli Correlations Among the Original Variables Correlations Among the Karakteristik ikan JJ ANK SRG JJ ANK SRG Correlations Among the karakteristik air DBT KEC KRH DBT KEC KRH Correlations Between the Karakteristik ikan and the karakteristik air DBT KEC KRH JJ ANK SRG Koefisien Korelasi Kanonik Asli Canonical Correlation Analysis Raw Canonical Coefficients for the Karakteristik ikan ikan1 ikan2 ikan3 JJ JJ ANK ANK

124 SRG SRG Raw Canonical Coefficients for the karakteristik air air1 air2 air3 DBT DBT KEC KEC KRH KRH Koefisien Korelasi Kanonik Distandarisasi Canonical Correlation Analysis Standardized Canonical Coefficients for the Karakteristik ikan ikan1 ikan2 ikan3 JJ JJ ANK ANK SRG SRG Lampiran 9. (Lanjutan) Standardized Canonical Coefficients for the karakteristik air air1 air2 air3 DBT DBT KEC KEC KRH KRH Evaluasi Model Korelasi Kanonik Canonical Correlation Analysis Adjusted Approximate Squared Canonical Canonical Standard Canonical Correlation Correlation Error Correlation Eigenvalues of Inv(E)*H = CanRsq/(1-CanRsq) Eigenvalue Difference Proportion Cumulative PK (ikan1, air1) menjelaskan keragaman data sebesar %. Dengan satu pasangan peubah kanonik sudah cukup bagus hasilnya. Pengujian Hipotesis Model Korelasi Kanonik Test of H0: The canonical correlations in the current row and all that follow are zero Likelihood Approximate Ratio F Value Num DF Den DF Pr > F

125 Multivariate Statistics and F Approximations S=3 M=-0.5 N=1.5 F Statistic Value F Value Num DF Den DF Pr > Wilks' Lambda Pillai's Trace Hotelling-Lawley Trace Roy's Greatest Root NOTE: F Statistic for Roy's Greatest Root is an upper bound. Hasil pengujian korelasi kanonik dengan á=0.10 ternyata pasangan PK(ikan1, air1) mempunyai peluang Pr>F = < á artinya model signifikan atau korelasi kanonik pada pasangan PK(ikan1, air1) tidak sama dengan nol, sedangkan PK(ikan2, air2) dan PK(ikan3, air3) tidak signifikan 105

126 Lampiran 9. (Lanjutan) Korelasi antara peubah kanonik ikan dengan Peubah asli pada ikan Canonical Structure Correlations Between the Karakteristik ikan and Their Canonical Variables ikan1 ikan2 ikan3 JJ JJ ANK ANK SRG SRG KORELASI ANTARA PEUBAH KANONIK AIR DENGAN PEUBAH ASLI PADA AIR Correlations Between the karakteristik air and Their Canonical Variables air1 air2 air3 DBT DBT KEC KEC KRH KRH Korelasi antara peubah kanonik air dengan Peubah asli pada ikan Correlations Between the Karakteristik ikan and the Canonical Variables of the karakteristik air air1 air2 air3 JJ JJ ANK ANK SRG SRG Korelasi antara peubah kanonik ikan dengan Peubah asli pada air Correlations Between the karakteristik air and the Canonical Variables of the Karakteristik ikan ikan1 ikan2 ikan3 Tidak perlu DBT DBT KEC KEC KRH KRH

127 Lampiran 10. Beberapa Alat tangkap ikan di Sungai Merang Thrownet (Jala) Material made from nylon Dimensions: Length : 7-10 m Opening diameter: 6-8 m Mesh size: 2-3 cm Fishing location: Lake and River Mode of operation: Mobile/active a whole year Fish catch : fish and shrimp Single hook & line (Rawai Tajak) Material: bamboo stick and nylon string with small and alive fish bait at the hook. Dimensions: Length of bamboo stick: 2 m Length of string : 40 cm Fishing location: swamp area Mode of operation: Stationary When water level in the swamp increased Fish catch : big carnivorous fish Open Drum/funnel trap (Bubu Baung) Material made from bamboo bars tightened with rattan or nylon ropes Dimensions: Length : 250 cm Diameter : 40 cm Distance between bars : 3 cm Fishing location: river banks and tributaries mouth Mode of operation: Stationary/inactive When the water level is high Fish catch : fish (baung) Slender funnel trap (Lukah) Material made from bamboo bars tightened with rattan or nylon ropes Dimensions: Length : 250 cm Diameter : 25 cm Distance between bars : 2 cm Fishing location: swamp Mode of operation: Stationary/inactive When the water level is high Fish catch : fish (gabus) 107

128 Lampiran 10. (Lanjutan) Vertical slit (heart shape)trap (Tamba) Material made from bamboo bars tightened with rattan or nylon ropes Dimensions: Height : 60 cm Diameter : 45 cm Distance between bars : 1 cm Fishing location: river and lake Mode of operation: Stationary/inactive When the water level is medium-high Fish catch : fish (kendia, puyau) & shrimp Vertical bamboo fence (Hampang) Material made from bamboo bars tightened with rattan or nylon ropes Dimensions: Height : 150 cm Width/length : 100 cm 1 km Distance between bars : 1-2 cm Fishing location: river banks and lake littoral and tributaries mouth Mode of operation: Stationary/inacti ve Combined with vertical slit trap and wing trap When the water level is high Fish catch : fish (kendia, repang, sepat siam, gabus) & shrimp Wing trap (Lulung) Material made from bamboo bars tightened with rattan or nylon ropes Dimensions: Height : 120 cm Diameter : 60 cm (1 unit) Distance between bars : 1-2 cm Fishing location: river banks and lake littoral Mode of operation: Stationary/inactive Combined with vertical bamboo fence When the water level is medium-high Fish catch : fish (kendia, berukung, puyau, jelawat) & shrimp 108

129 Lampiran 10. (Lanjutan) Scoop net (Sodok) Net made from nylon and framed with bamboo Dimensions: Length : 300 cm Width : 250 cm Mesh size : 2-3 cm Fishing location: river banks. The gear is put under the moving raft. Mode of operation: Mobile/active When the water level low (low tide) Fish catch : fish (biawan, sepat siam) Woven box trap (Pengilar) A cube shape box made from rattan Dimensions: Length, width, height : 100 cm Mesh size : 5-10 cm Entrance gate : 30 cm Fishing location: river Mode of operation: Stationary/inactive Young fresh leaves as bait When the water level is medium-high Fish catch : big white fish (jelawat, repang, lempam, belida) Lift net (tankul) Made from fine meshed cloth (mosquito nets material). Dimensions: Square (Length x width) : 4 x 2 m Depth : m Mesh size : 0.3 cm Fishing location: river bank and lake Mode of operation: Stationary/inactive A whole year operated Fish catch : small fish-fingerling (of salap, kendia, repang) Gill net (Pukat/rengge) Hand/factory made net made from nylon. Dimensions: Length : m Height : m Mesh size : 2 cm Fishing location: river bank and lake (for swamp, it has smaller size) Mode of operation: Stationary/inactive it blocks the river A whole year operated Fish catch : fish (kendia, repang) 109

130 ELECTRIC FISHING GEAR (STRUM AKU) Consists of 4 units car batteries, connected with copper wire and bamboo stick. Dimensions: Battery : 12 volt and 12 ampere each Number of battery : 4 unit Fishing location: river and tributaries Mode of operation: Mobile/active on the canoe A whole year operated Fish catch : mainly big carnivorous fish (ikan toman) 110

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3. 1 Luas dan Lokasi Hutan Gambut Merang terletak dalam kawasan Hutan Produksi Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan dengan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya juga memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan yang khas yaitu komunitas

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 KONDISI UMUM LOKASI Lahan gambut

IV. KONDISI UMUM 4.1 KONDISI UMUM LOKASI Lahan gambut IV. KONDISI UMUM 4.1 KONDISI UMUM LOKASI 4.1.1 Lahan gambut Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi tanah gambut di sepanjang Sungai Merang umumnya didominasi oleh tanah-tanah yang belum berkembang atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di dalam areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT. Sari Bumi Kusuma, Unit S. Seruyan, Kalimantan Tengah. Areal hutan yang dipilih untuk penelitian

Lebih terperinci

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT

PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 14/Permentan/PL.110/2/2009 Tanggal : 16 Februari 2009 PEDOMAN PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Peningkatan

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 di lahan gambut yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Ujicoba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Rawa Gambut Bersulfat Masam Dengan Jenis Melaleuca leucadendron Ujicoba

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014. Pengambilan sampel dilakukan di Rawa Bawang Latak, Desa Ujung

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU Khairijon, Mayta NovaIiza Isda, Huryatul Islam. Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT Hesti Wahyuningsih Abstract A study on the population density of fish of Jurung (Tor sp.) at Bahorok River in Langkat, North

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau pengambilan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi Oleh Bastoni dan Tim Peneliti Balai Litbang LHK Palembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

POTRET GAMBUT KALIMANTAN

POTRET GAMBUT KALIMANTAN POTRET GAMBUT KALIMANTAN Disusun Oleh: 1) Firman Dermawan Yuda, S.Hut., M.Sc. (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan Pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH P3E Kalimantan) 2) Riza Murti Subekti, S.Hut.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya alam tambang di kawasan hutan telah lama dilakukan dan kegiatan pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia.

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik penentuan lokasi secara purposive sampling (penempatan titik sampel dengan tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di kebun kelapa sawit Panai Jaya PTPN IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Penelitian berlangsung dari bulan Februari 2009

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN, Menimbang : a. bahwa gambut merupakan tipe ekosistem lahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan Taryono Darusman 1, Asep Mulyana 2 dan Rachmat Budiono 3 Pendahuluan Lahan gambut merupakan ekosistem lahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung pada lokasi

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Waduk Cirata dengan tahap. Penelitian Tahap I merupakan penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Program Skala Kecil ICCTF Tahun 2016 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Mitigasi Berbasis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan salah satu wilayah yang berada di Pantai Barat Sumatera. Wilayahnya berada 0 1.266 m di atas permukaan laut serta terletak pada

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Penentuan lokasi dilakukan dengan purposive sampling (penempatan titik sampel dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci