BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN & PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN JEPARA Jl. Pattimura No.4 Jepara, Telp. (0291) LAPORAN AKHIR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN & PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN JEPARA Jl. Pattimura No.4 Jepara, Telp. (0291) LAPORAN AKHIR"

Transkripsi

1 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN & PENGEMBANGAN DAERAH KABUPATEN JEPARA Jl. Pattimura No.4 Jepara, Telp. (0291) LAPORAN AKHIR KAJIAN POTENSI PENGEMBANGAN BIOFARMAKA DI KABUPATEN JEPARA Tahun Anggaran 2017

2 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Tuhan YME atas tersusunnya laporan akhir dari proses pelaksanaan pekerjaan Kajian Potensi Pengembangan Biofarmaka Di Kabupaten Jepara. Buku laporan tahap akhir berisikan tentang latar belakang, maksud, tujuan, dan sasaran penyusunan laporan, telaah literatur, gambaran umum kabupaten Jepara dan profil potensi biofarmaka, analisis potensi dan strategi pengembangan biofarmaka serta pemberdayaannya. Dengan terselesaikannya buku laporan akhir ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan tanaman biofarmaka di Kabupaten Jepara. Akhir kata, kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya laporan ini, diucapkan terima kasih. Jepara, November 2017 Penyusun i

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i ii iv vi BAB 1 PENDAHULUAN... I Latar Belakang... I Maksud, Tujuan dan sasaran... I Maksud... I Tujuan... I Sasaran... I Ruang Lingkup Pekerjaan... I Dasar Hukum... I Keluaran... I Sistematika Penulisan... I-7 BAB 2 KAJIAN TEORI DAN METODE KAJIAN... II Kajian Teori... II Pembangunan Agribisnis... II Zona Agroekologi... II Potensi Biofarmaka dan Pengembangannya... II Teknologi Penanganan Pasca Panen dan Penjaminan Mutu... II Kerangka Pikir Kajian... II Metode kajian... II-28 BAB III GAMBARAN UMUM JEPARA & KAJIAN KEBIJAKAN... III PROFIL WILAYAH... III Letak Geografis... III Karakteristik Fisik Alam... III Administrasi... III Kependudukan... III Sosial Budaya... III Pendidikan... III Kesehatan... III Agama... III Perekonomian... III Produk Domestik Regional Bruto... III PROFIL POTENSI... III Gambaran Umum Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara... III Gambaran Umum Biofarmaka... III Tanaman Biofarmaka yang didata di Jepara... III KAJIAN KEBIJAKAN... III UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan... III UU No 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura... III-75 ii

4 Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun Perda Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Jepara Tahun RPJPD Kabupaten Jepara Tahun (Perda Kabupaten Jepara No 2 Tahun 2007)... III-83 III-87 III-94 BAB IV ANALISIS POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN.. IV Identifikasi Potensi... IV Identifikasi Potensi Pertanian... IV Identifikasi Wilayah Potensial Biofarmaka... IV Identifikasi Pelaku Utama Dan Pelaku Usaha Pertanian Biofarmaka IV Identifikasi Persoalan Agribisnis Biofarmaka... IV Zona Agroekologi Kabupaten Jepara... IV Analisis Potensi... IV Kondisi Eksisting dan Analisis Produktivitas Budidaya Biofarmaka IV Analisis Rantai Nilai... IV Analisis SWOT... IV Prospek Potensi Dan Arah Pengembangan... IV Prospek potensi Pasar... IV Prospek potensi budidaya... IV Arah pengembangan dan Roadmap Pengembangan... IV-83 BAB V STRATEGI PENGEMBANGAN BIOFARMAKA DAN PEMBERDAYAANNYA... V-1 1. Kelembagaan... V-1 2. SDM... V-1 3. Teknologi dan Pengembangan Usaha... V-2 4. Pembiayaan... V-4 5. Promosi dan pemasaran... V-4 6. Kemitraan... V-4 DAFTAR PUSTAKA iii

5 DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Perbandingan Trend hasil produksi Tanaman Biofarmaka di Jepara dan Jawa tengah... I-4 Tabel 2.1 Matriks SWOT II-32 Tabel 3. 1 Ketinggian Permukaan Tanah Setiap Kecamatan di Kabupaten Jepara Tabel 3. 2 Banyaknya Hari Hujan Dan Curah Hujan Di Kabupaten Jepara III-9 Tabel 3. 3 Luas Penggunaan Lahan Tahun III-14 Tabel 3. 4 Jumlah Kecamatan, Luas, Desa/Kelurahan, RW dan RT... III-16 Tabel 3. 5 Penduduk Menurut Kelompok Umur Dirinci Per Jenis Kelamin Di Kabupaten Jepara III-17 Tabel 3. 6 Kepadatan Penduduk Per Km2 di Kabupaten Jepara III-18 Tabel 3. 7 Tingkat Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Jepara III-20 Tabel 3. 8 Jumlah Sekolah dan Siswa Menurut Jenjang Pendidikan... III-21 Tabel 3. 9 Jumlah Fasilitas Kesehatan Tahun III-22 Tabel PDRB Kabupaten Jepara ADHB Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) Tahun III-24 Tabel PDRB Kabupaten Jepara ADHK Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) Tahun III-25 Tabel Banyaknya Usaha Pertanian Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian 2003 dan 2013 Menurut Kecamatan dan Cakupan Usaha... III-27 Tabel Luas Penggunaan Lahan Tahun III-29 Tabel Kelompok Tanaman Biofarmaka... III-31 Tabel 3.15 Impor Tanaman Obat Tahun III-32 Tabel 3.16 Ekspor Tanaman Obat Tahun III-32 Tabel 3.17 Luas Panen Tanaman Dlingo/Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-33 Tabel Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Tabel Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-36 Tabel Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-38 Tabel Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-39 Tabel Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-41 Tabel Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-42 Tabel Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-44 Tabel Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-45 Tabel Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon)... III-47 Tabel Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon)... III-49 III-4 III-35 iv

6 Tabel Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara(Ha)... III-50 Tabel Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-52 Tabel Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-53 Tabel Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Tabel Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-56 Tabel Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-58 Tabel Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-59 Tabel Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Tabel Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Tabel Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-64 Tabel Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-65 Tabel Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-66 Tabel Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon)... III-68 Tabel Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-69 Tabel Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-70 Tabel Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-72 Tabel Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-73 Tabel 4. 1 Potensi Unggulan, Andalan Dan Potensial Sektor Pertanian... IV-4 Tabel 4. 2 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik... IV-6 Tabel 4. 3 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik... IV-35 Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Kelompok Poktan... IV-37 Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Jenis Usaha Kelompok Tani... IV-37 Tabel 4. 6 Luas Lahan Sawah dan Jumlah Anggota Poktan... IV-38 Tabel 4.7 Sebaran bentuk lahan, Bahan Induk dan Luas... IV-41 Tabel 4.8 Sebaran bahan induk tanah di Kabupaten Jepara... IV-43 Tabel 4.9 Sebaran kelas kemiringan lahan di Kabupaten Jepara... IV-44 Tabel 4.10 Sebaran tekstur tanah di Kabupaten Jepara... IV-45 Tabel 4.11 Sebaran drainase tanah di Kabupaten Jepara... IV-45 Tabel Satuan Unit (SUL) Zona Agroekologi di Kabupaten Jepara dan tanaman Biofarmaka yang cocok... IV-47 Tabel Potensi Kecocokan Jenis Tanaman Biofarmaka berdasarkan Kecamatan... IV-52 III-55 III-61 III-62 v

7 DAFTAR GAMBAR Gambar 2. 1 Prototipe sistem agribisnis (Siregar, 2006)... II-2 Gambar 2. 2 Pelibatan Multidisiplin Dalam Pengembangan Biofarmaka.. II-6 Gambar 2. 3 Tahapan Kerja Untuk Mendapatkan Senyawa Kimia Murni Bahan Obat... II-8 Gambar 2. 4 Proses pengembangan produk tradisional... II-9 Gambar 2. 5 Pola pengembangan ekstra terstandar... II-10 Gambar 2. 6 SOP Simplisia Rimpang (Rizhoma)... II-21 Gambar 2. 7 SOP Simplisia Daun... II-22 Gambar 2. 8 SOP Simplisia Bunga... II-23 Gambar 2. 9 SOP Simplisia Buah... II-24 Gambar SOP Simplisia Biji... II-25 Gambar SOP Simplisia Akar... II-25 Gambar SOP Simplisia Kayu dan Kulit Batang... II-26 Gambar SOP Bubuk/Serbuk... II-27 Gambar Kerangka Pemikiran... II-28 Gambar Desain Matrik Metode Campuran... II-30 Gambar 3. 1 Letak Kabupaten Jepara dalam Konstelasi Jawa Tengah... III-2 Gambar 3. 2 Peta Kabupaten Jepara... III-3 Gambar 3. 3 Peta Kemiringan Lereng... III-8 Gambar 3. 4 Peta Curah Hujan Kabupaten Jepara... III-10 Gambar 3. 5 Peta Jenis Tanah... III-12 Gambar 3. 6 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Jepara... III-15 Gambar 3. 7 Kepadatan penduduk masing-masing Kecamatan di Kabupaten Jepara... III-19 Gambar 3. 8 Persentase Penduduk Yang Bekerja Berdasarkan Lapangan Usaha Gambar 3. 9 Unit usaha Industri Kecil Menengah di Kecamatan di Kabupaten Jepara... III-26 Gambar Penyebaran Rumah Tangga Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara Gambar Luas Lahan Tanah Sawah dan Tanah Kering... III-30 Gambar Luas Lahan Tanah Sawah... III-30 Gambar Luas Lahan Tanah Kering... III-30 Gambar Luas Panen Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-34 Gambar Luas Panen Tanaman Dringo (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-34 Gambar Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-35 Gambar Luas Panen Tanaman Jahe (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-36 Gambar Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-37 Gambar Luas Panen Tanaman Kapulaga (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-37 Gambar Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di III-23 III-28 vi

8 Kabupaten Jepara (Ha)... III-38 Gambar Luas Panen Tanaman Kejibeling (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-39 Gambar Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-40 Gambar Luas Panen Tanaman Kencur (Ha) di Kab. Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-40 Gambar Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-41 Gambar Luas Panen Tanaman Kunyit (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-42 Gambar Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-43 Gambar Luas Panen Tanaman Laos (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-43 Gambar Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-44 Gambar Luas Panen Tanaman Lempuyang (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-45 Gambar Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-46 Gambar Luas Panen Tanaman Lidah Buaya (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-46 Gambar Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (pohon)... III-48 Gambar Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa (pohon) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-48 Gambar Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di Kabupaten Jepara (pohon)... III-49 Gambar Luas Panen Tanaman Mengkudu (pohon) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-50 Gambar Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-51 Gambar Luas Panen Tanaman Temuireng (ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-51 Gambar Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-52 Gambar Luas Panen Tanaman Temukunci (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-53 Gambar Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha)... III-54 Gambar Luas Panen Tanaman Temulawak (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah... III-54 Gambar Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-56 vii

9 Gambar Produksi Tanaman Dringo (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-56 Gambar Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar Produksi Tanaman Jahe (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-58 Gambar Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-59 Gambar Produksi Tanaman Kapulaga (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-59 Gambar Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-60 Gambar Produksi Tanaman Kejibeling (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-60 Gambar Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-61 Gambar Produksi Tanaman Kencur (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-62 Gambar Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-63 Gambar Produksi Tanaman Kunyit (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-63 Gambar Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar Produksi Tanaman Laos (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-65 Gambar Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-66 Gambar Produksi Tanaman Lempuyang (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-66 Gambar Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-67 Gambar Produksi Tanaman Lidah Buaya (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-67 Gambar Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-68 Gambar Produksi Tanaman Mahkota Dewa (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-69 Gambar Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon)... III-70 Gambar Produksi Tanaman Mengkudu (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-70 Gambar Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-71 Gambar Produksi Tanaman Temuireng (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-71 Gambar Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-72 III-57 III-64 viii

10 Gambar Produksi Tanaman Temukunci (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-73 Gambar Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton)... III-73 Gambar Produksi Tanaman Temulawak (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah... III-74 Gambar 4. 1 Luas Panen Jahe tahun IV-7 Gambar 4. 2 Produksi Jahe tahun IV-7 Gambar 4. 3 Luas Panen Laos tahun IV-8 Gambar 4. 4 Produksi Laos tahun IV-8 Gambar 4. 5 Luas Panen Kencur tahun IV-9 Gambar 4. 6 Produksi Kencur tahun IV-9 Gambar 4. 7 Luas Panen Kunyit tahun IV-10 Gambar 4. 8 Produksi Kunyit tahun IV-10 Gambar 4. 9 Luas Panen Lempuyang tahun IV-11 Gambar Produksi Lempuyang tahun IV-11 Gambar Luas Panen Temulawak tahun IV-12 Gambar Produksi Temulawak tahun IV-12 Gambar Luas Panen Temuireng tahun IV-13 Gambar Produksi Temuireng tahun IV-13 Gambar Luas Panen Temukunci tahun IV-14 Gambar Produksi Temukunci tahun IV-14 Gambar Produksi Dlingo tahun IV-15 Gambar Luas Panen Kapulaga tahun IV-15 Gambar Produksi Kapulaga tahun IV-16 Gambar Luas Panen Mengkudu tahun IV-16 Gambar Luas Panen Mahkota Dewa tahun IV-17 Gambar Produksi Mahkota Dewa tahun IV-18 Gambar Luas Panen Kejibeling tahun IV-18 Gambar Produksi Kejibeling tahun IV-19 Gambar Luas Panen Lidah Buaya tahun IV-19 Gambar Produksi Lidah Buaya tahun IV-20 Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%)... IV-21 Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%)... IV-21 Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%)... IV-22 Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%)... IV-22 Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%)... IV-23 Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%)... IV-23 Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%)... IV-24 ix

11 Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Laos (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Laos (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%)... Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%)... Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%)... Gambar Rata-rata Produktivitas Tanaman Biofarmaka Kabupaten Jepara... Gambar Peta Potensi Dringo... Gambar Peta Potensi Jahe... IV-24 IV-25 IV-25 IV-26 IV-26 IV-27 IV-27 IV-28 IV-28 IV-29 IV-29 IV-30 IV-30 IV-31 IV-31 IV-32 IV-32 IV-33 IV-33 IV-34 IV-34 IV-61 IV-69 IV-70 x

12 Gambar Peta Potensi Kapulaga... Gambar Peta Potensi Kejibeling... Gambar Peta Potensi Kencur... Gambar Peta Potensi Kunyit... Gambar Peta Potensi Laos/Lengkuas... Gambar Peta Potensi Lempuyang... Gambar Peta Potensi Lidah Buaya... Gambar Peta Potensi Mahkota Dewa... Gambar Peta Potensi Mengkudu/Pace... Gambar Peta Potensi Temuireng... Gambar Peta Potensi Temukunci... Gambar Peta Potensi Temulawak... IV-71 IV-72 IV-73 IV-74 IV-75 IV-76 IV-77 IV-78 IV-79 IV-80 IV-81 IV-82 xi

13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah memberikan motivasi bagi setiap daerah untuk menggali dan memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya seoptimal mungkin termasuk didalamnya sektor pertanian, peternakan dan perikanan. Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian daerah di Jepara dalam posisi tiga besar. Pengembangan potensi wilayah untuk sektor pertanian, keragaman sifat lahan sangat menentukan jenis komoditas yang cocok untuk diusahakan serta tingkat produktivitasnya. Keragaman potensi sumberdaya lahan mengindikasikan perlunya suatu perencanaan penggunaan lahan yang tepat, optimal dan berkelanjutan dengan mengacu pada hasil analisis dan informasi potensi sumberdaya lahan yang ada. Zona Agroekologi (ZAE) merupakan suatu konsep penyederhanaan dan pengelompokkan agroekosistem yang beragam dalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif dengan menggunakan sistem informasi geografis. Pembangunan pertanian merupakan langkah strategis untuk mempercepat laju pengentasan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2015 sebesar 28,59 juta orang (11,22 persen), angka ini mengalami kenaikan sebanyak 0,31 juta jiwa dibandingkan Maret 2014, yaitu jumlah penduduk miskin 28,28 juta jiwa (11,25 persen), hal ini terlihat bahwa secara absolut mengalami kenaikan, tetapi secara relatif mengalami penurunan. Selama periode Maret 2014-Maret 2015, penduduk miskin di daerah perkotaan bertambah 0,14 juta orang, sementara di daerah perdesaan bertambah 0,17 juta orang (BPS Perhitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2015). Sedangkan untuk angka kemiskinan di Kabupaten Jepara pada Bulan September 2014 sebesar jiwa (8,55 persen). Angka kemiskinan ini dalam kurun waktu 5 tahun mengalami penurunan, yaitu dari 9,38 persen pada tahun 2012 menjadi 8,50 persen pada tahun 2015 (sumber: paparan wabup). Upaya pencapaian target peningkatan kesejahteraan petani dan nilai I-1

14 tambah dilakukan melalui berbagai program. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pengembangan agibisnis untuk mempercepat pertumbuhan industri pertanian di perdesaan. Pengembangan agribisnis dijabarkan melalui berbagai kegiatan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, antara lain Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP), Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3), Sarjana Membangun Desa (SMD) dan Penggerak Membangun Desa (PMD), dan rekrutmen tenaga pendamping lapang (Kemtan, 2010). Produk biofarmaka yang salah satunya berasal dari tumbuhan sangat berpotensi untuk pengembangan Industri Obat Tradisonal (IOT) dan kosmetika (Purnaningsih, 2008). Untuk mengoptimalkan potensi tersebut, pemerintah telah mengembangkan beberapa klaster biofarmaka. Di Jawa Tengah terdapat beberapa klaster biofarmaka antara lain di Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, dan Semarang. Sesuai klasifikasi sektor usaha di PDRB, terdapat 20 sektor usaha. Salah satu sektor adalah pertanian, kehutanan dan perikanan, sub sektornya adalah 1) Pertanian, Peternakan, Perburuan & Jasa Pertanian dengan sub sektor 1a) Tanaman Pangan, 1b) Tanaman Hortikultura, 1c) Perkebunan, 1d) Peternakan, 1e) Jasa Pertanian & Perburuan, 2) Kehutanan & Penebangan Kayu, 3) Perikanan. Dewasa ini banyak masyarakat yang beralih dari mengkonsumsi obat kimia ke obat herbal yang berasal dari tanaman obat (biofarmaka). Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) dengan keyakinan bahwa mengkomsumsi obat alami relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik, maka berdampak tingginya permintaan dunia akan obat alami sehingga prospek pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri semakin besar peluangnya. Kebutuhan dunia akan tanaman obat mencapai 1,2 juta ton per tahun dengan rata-rata kenaikan permintaan mencapai 6%-7% per tahun atau sekitar 80 ribu ton per tahun peningkatannya. Permintaan impor biofarmaka paling banyak berasal dari negara Jepang, Belanda, Jerman, Saudi Arabia dan USA. Pada tahun 2017, ekspor Indonesia telah mencapai 12,15 juta USD dengan negara tujuan I-2

15 ekspor terbesar adalah India (33%), Bangladesh (16%), Malaysia (9%), Vietnam (7%) dan Korea Selatan (6%). Potensi pasar dalam negeri juga masih terbuka lebar dengan adanya kebiasaan masyarakat Indonesia meminum jamu. Survey perilaku konsumen dalam negeri menunjukkan bahwa 61,3% responden mempunyai kebiasaan meminum jamu tradisional. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa industri obat tradisional (IOT) di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat Tahun 1999 jumlah IOT di indonesia sebanyak 449 industri yang terdiri atas 429 buah Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan 20 buah IOT. Pada tahun 2009 jumlah IOT di Indonesia telah meningkat menjadi 810 buah dengan 723 IKOT dan 87 buah IOT. Industri sebanyak ini mampu menghasilkan perputaran dana sekitar Rp. 1,5 trilyun per tahun. Sayangnya permintaan pasar yang besar, belum dapat dipenuhi. Kekurangan pasokan tersebut antara lain disebabkan rendahnya budidaya tanaman obat secara komersial. Petani juga menghadapi permasalahan rendahnya kualitas produk, sementara industri obat tradisional menuntut kualitas yang tinggi (Pusat Studi Biofarmaka IPB, 2010). Selain itu, petani juga menghadapi hambatan rendahnya produktivitas dan harga, ketidakpastian pasar, dan lemahnya modal dan daya tawar (Bank Indonesia, 2005; Departemen Pertanian, 2007). Alasan rendahnya produktivitas yaitu belum diterapkannya teknik budidaya anjuran berdasarkan Standard operational procedure (SOP) yang dibakukan (Bank Indonesia, 2005; Departemen Pertanian, 2007), dan belum digunakannya bibit unggul (Departemen Pertanian, 2007). Masalah rendahnya harga yang diterima petani tak bisa dilepaskan dari rantai nilai. Proses transformasi produk dari bahan mentah menjadi barang jadi biasanya melalui rangkaian mata rantai kegiatan yang disebut value chain (rantai nilai) atau supply chain (rantai pasokan). Menurut FAO (2004), rantai nilai tanaman obat seringkali sangat panjang, yang melibatkan petani, tengkulak lokal, pasar grosir regional, pasar grosir besar dan pemasok khusus. Vodouhe dkk (2008) menemukan bahwa distribusi keuntungan kotor diantara para pelaku bisnis tanaman obat tidak merata. Petani, yang merupakan pelaku kunci, justru mendapatkan margin yang terendah I-3

16 sedangkan tengkulak memperoleh margin tertinggi. Meskipun pasar tanaman obat domestik maupun ekspor sangat menjanjikan, namun supply response (respon pasokan) dari petani belum seperti yang diharapkan karena masih terjadi kesenjangan yang tinggi antara permintaan dan penawaran. Terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi industri biofarmaka. Pertama, belum kokohnya sektor industri hulu. Kedua, terdapatnya kebijakan yang berpotensi menghambat pengembangan industri ini. Ketiga, dari sisi pasar, beredarnya obat tradisional ilegal serta produk biofarmaka negara lain dengan tingkat inovasi yang lebih baik. Oleh karena itu, pengembangan biofarmaka memerlukan strategi integrasi hulu-hilir, kategorisasi kebijakan kawasan industri, peningkatan mutu, pemasaran, dan daya saing untuk pasar domestik dan asing. Kabupaten Jepara memiliki potensi di bidang pertanian yang cukup baik, termasuk di dalamnya komoditas tanaman biofarmaka. Berbagai jenis tanaman biofarmaka hidup dan berkembang di dataran Jepara secara alami. Akan tetapi semua potensi tersebut belum teridentifikasi secara baik, sehingga strategi pengembangannya belum terdokumentasi. Dari analisis pendahuluan yang dilakukan oleh tim, perkembangan tanaman biofarmaka secara statistik, sebagai berikut: Tabel 1.1 Perbandingan Trend hasil produksi Tanaman Biofarmaka di Jenis tanaman biofarmaka Jepara dan Jawa tengah Trend (persen) Jepara Jawa Tengah Kencur -59,09 69,33 Jahe -52,50 5,79 Kunyit -71,71 3,03 Laos -15,80-4,14 Temulawak -79,72 86,78 Sumber: olah data, 2017 Berdasarkan tabel 1.1, dapat dijelaskan bahwa semua hasil produksi Tanaman Biofarmaka di Jepara meliputi kencur, jahe, kunyit, laos dan temulawak mengalami trend penurunan yang drastis. Hal yang sebaiknya terjadi untuk jawa tengah yang trendnya mengalami kenaikan. I-4

17 Berangkat dari permasalahan ini, maka kajian untuk mengembangkan potensi biofarmaka perlu dilakukan. Kajian ini akan menjadi rujukan bagi pengambil kebijakan untuk menyusun kebijakan strategis daerah terutama yang terkait dengan potensi pengembangan biofarmaka di Kabupaten Jepara Maksud, Tujuan dan sasaran Maksud Kajian ini dimaksudkan untuk menyediakan dokumen kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kabupaten Jepara Tujuan Tujuan pekerjaan adalah menyusun dokumen kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kabupaten Jepara Sasaran Sasaran pekerjaan ini adalah: 1. Menganalisis potensi sumber daya tanaman biofarmaka yang ada di Jepara 2. Menganalisis zona agroekologi pengembangan budidaya tanaman biofarmaka di Jepara 3. Menganalisis pengembangan pasca panen tanaman biofarmaka yang ada di Jepara 1.3. Ruang Lingkup Pekerjaan Lingkup kegiatan dalam Kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kab. Jepara adalah sebagai berikut: 1. Persiapan a. Melakukan studi literatur atau review studi yang relevan; b. Pengidentifikasian peraturan-peraturan dan kebijakan pemerintah terkait pembangunan pertanian, khususnya terkait komoditas biofarmaka; c. Pemahaman kebijakan-kebijakan untuk menentukan dasar studi /desain; I-5

18 d. Menyusun jadual kerja dan kegiatan persiapan lain yang dibutuhkan. 2. Melaksanakan pengumpulan data, baik data primer, data sekunder yang terdiri dari: a. Pengumpulan Data Primer berupa: 1) Inventarisasi potensi tanaman biofarmaka di Kab. Jepara. b. Pengambilan data-data sekunder berupa : 1) Kondisi eksisting budidaya tanaman biofarmaka di Kab. Jepara 2) Identifikasi potensi panen komoditas biofarmaka di Kabupaten Jepara, 3) Data-data lainnya yang relevan. 3. Melakukan analisa dan evaluasi pengembangan budidaya biofarmaka di Kabupaten Jepara. a. Melakukan analisa kebutuhan sarana dan prasana untuk mendukung pengembangan budidaya dan pemanfaatan pasca panen komoditas biofarmaka di Kabupaten Jepara; b. Melakukan analisa dan proyeksi pengembangan komoditas biofarmaka baik ditinjau dari aspek budidaya maupun pemanfaatan pasca panen; 4. Menyusun laporan kegiatan. Penyusunan laporan kegiatan merupakan tahapan akhir dari kegiatan kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kab. Jepara Dasar Hukum 1. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang 2. UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah 3. UU No. 18 tahun 2002 Tentang Sistem Nasional penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. 4. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan 5. UU No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman 6. UU No. 13 tahun 2010 tentang Hortikultura 7. PP RI No. 103 tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional I-6

19 8. Permenkes No. 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional 9. Permenkes RI No. 006 /2002 tentang Industri dan Obat Tradisional 10. Permenkes RI Mo. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk Menjamin Jamu Aman, Bermutu dan Berkhasiat 11. Perda No 2 Tahun 2007 Tentang RPJPD Kabupaten Jepara Tahun Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun Perda No 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara Tahun Perbup Kab. Jepara No 12 Tahun 2014 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah Kabupaten Jepara 1.5. Keluaran Keluaran yang dihasilkan dari pelaksanan pekerjaan ini adalah tersedianya hasil kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kab. Jepara Sistematika Penulisan Penulisan Kajian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Pada bagian pendahuluan berisi penjelasan mengenai latar belakang pentingnya kajian ini, maksud, tujuan, dan sasaran, ruang lingkup, dasar hukum, keluaran, dan sistematika penulisan. Bab II Kajian Teori dan Metode Kajian Pada bab 2 berisi tentang kajian teori, metode pelaksanaan pekerjaan, metode analisis, dan tahapan analisis. Bab III Gambaran Umum Kabupaten Jepara Bab 3 berisi tentang gambaran umum Kabupaten Jepara secara luas, I-7

20 gambaran umum tanaman biofarmaka di Jepara, dan kajian kebijakan yang berhubungan dengan pekerjaan. Bab IV Analisis Potensi dan Strategi Pengembangan Pada bab 4 berisi tentang Identifikasi Potensi pertanian, identifikasi wilayah potensial tanaman biofarmaka, identifikasi pelaku utama dan pelaku usaha pertanian biofarmaka, identifikasi persoalan agribisnis biofarmaka, zona agroekologi kabupaten jepara, kondisi eksisting dan analisis produktivitas budidaya biofarmaka, analisis rantai nilai, analisis SWOT, prospek potensi dan arah pengembangan. Bab V Strategi Pengembangan Biofarmaka dan Pemberdayaannya Pada bab lima berisi mengenai strategi pengembangan biofarmaka dan pemberdayaannya meliputi kelembagaan, SDM, teknologi dan pengembangan usaha, promosi dan pemasaran, kemitraan. I-8

21 BAB 2 KAJIAN TEORI DAN METODE KAJIAN 2.1. Kajian Teori Pembangunan Agribisnis Agribisnis merupakan cara baru dalam memandang pertanian yang mempunyai keterkaitan antar sektor (intersektoral) sebagai satu sistem dengan pendekatan bisnis. Agribisnis memperhatikan keterkaitan vertikal antar subsistem agribisnis serta keterkaitan horizontal dengan sistem atau subsistem lain di luar pertanian. Menurut Saragih (1998), sektor agribisnis merupakan bentuk modern dari pertanian primer, dan paling sedikit mencakup empat subsistem, yaitu: subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness), subsistem usahatani (on-farm agribusiness) atau yang biasa dianggap sebagai pertanian primer, subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness), dan jasa layanan pendukung. Subsistem agribisnis hulu meliputi kegiatan ekonomi yang menghasilkan dan memperdagangkan sarana produksi pertanian primer (misalnya industri pupuk, obat-obatan, bibit/benih, alat dan mesin pertanian). Subsistem usahatani mencakup kegiatan yang menggunakan barang-barang modal yang dihasilkan subsistem hulu dan sumberdaya alam untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Subsistem agribisnis hilir mencakup pengolahan hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik dalam bentuk siap masak, siap saji, atau siap konsumsi, serta perdagangan di pasar domestik dan internasional. Yang terakhir adalah subsistem jasa yang menyediakan jasa bagi subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani dan subsistem agribisnis hilir. Keterkaitan antar subsistem dalam sistem agribisnis dapat dilihat pada Gambar 2.1. II-1

22 Sumber: (Siregar, 2006) Gambar 2. 1 Prototipe sistem agribisnis Dalam pembangunan sistem agribisnis, keempat subsistem tersebut beserta usaha-usaha di dalamnya harus dikembangkan secara sumultan dan harmonis. Karena itu, tugas manejemen pembangunan adalah mengorkestra perkembangan perkembangan kelima subsistem tersebut secara harmonis. Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan pembangunan sektor pertanian dalam arti luas dengan pembangunan industri dan jasa terkait dalam suatu cluster industri. Pembangunan pertanian dengan pendekatan sistem agribisnis akan memperbesar potensi pertanian melalui penciptaan nilai tambah dan mendorong peningkatan efisiensi usaha (Anonim, 2007). Ada tiga tahap pembangunan agribisnis (Siregar, 2006). Menurut tahapan tersebut, pembangunan agribisnis di Indonesia saat ini masih digerakkan oleh kelimpahan faktor produksi (factor driven) sumber daya alam dan tenaga kerja tidak terdidik. Peningkatan nilai produksi agregat lebih bersumber pada peningkatan jumlah konsumsi sumber daya alam dan tenaga kerja dengan produksi akhir berupa produk komoditas primer (agricultural based economy). Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak akan mampu menghadapi kompetisi global yang semakin ketat dan manfaat ekonomi yang dihasilkan relatif kecil. Untuk itu pembangunan agribisnis perlu diarahkan agar dapat berpindah pada II-2

23 tahap selanjutnya, yaitu pengelolaan komoditas yang digerakkan oleh kekuatan investasi dan pendalaman industri pengolahan (agroindustri) serta industri hulu. Pada tahap ini produk akhir yang dihasilkan berupa produk yang bersifat padat modal dan tenaga terdidik sehingga nilai tambahnya lebih besar dan segmen pasarnya lebih luas. Perekonomian dengan demikian akan berbasis industri agribisnis (agroindustry based economy). Pada tahap pembangunan agribisnis selanjutnya, pembangunan akan didorong oleh inovasi pada setiap subsistem agribisnis yang disertai dengan peningkatan sumberdaya manusia. Ciri tahap ini adalah produktivitas yang tinggi dari lembaga- lembaga penelitian dan pada setiap subsistem agribisnis, sedangkan produk yang dihasilkan didominasi oleh produk berbasis ilmu pengetahuan dan tenaga kerja terdidik dengan nilai tambah yang tinggi. Pada tahap ini perekonomian akan berbasis teknologi (technology based economy) Zona Agroekologi Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk keperluan produksi pertanian maupun keperluan lainnya membutuhkan pemikiran seksama dalam perencanaan dan pengambilan keputusan pemanfaatan yang paling optimal. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), mengemukakan bahwa untuk dapat melakukan perencanaan secara menyeluruh, informasi faktor fisik lingkungan yang meliputi sifat dan potensi lahan melalui kegiatan evaluasi sumberdaya lahan harus tersedia. Produktivitas dan mutu hasil suatu komoditas pertanian dipengaruhi oleh kondisi biofisik, agroklimat dan sosial ekonomi. Pemanfaatan dan perluasan spektrum pertanian yang bertitik tolak dari potensi dan keragaman sumberdaya alam serta kondisi sosial ekonomi, harus memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Keragaman sifat lahan merupakan modal dasar yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan pewilayahan komoditas pertanian. Perencanaan pembangunan pertanian yang berdasarkan pewilayahan akan dapat mengatasi terjadinya persaingan jenis dan produksi komoditas antar wilayah, sehingga peluang pasar akan terjamin. Jenis atau kelompok komoditas II-3

24 pertanian yang potensial untuk dikembangkan di suatu wilayah perlu memperhatikan kondisi wilayah setempat. Hal ini disebabkan setiap jenis komoditas pertanian memerlukan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal (Djaenudin et al, 1998). Berbagai langkah yang ditempuh dalam pengembangan sumberdaya lahan secara optimal, antara lain: (a) pengenalan sifat dan karakteristik; (b) penetapan kesesuaian lahan dengan melakukan analisis kesesuaian antara kualitas dan karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan; (c) penetapan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan; (d) penilaian kesesuaian lahan bagi pengembangan berbagai komoditas pertanian, serta (e) penentuan pilihan komoditas atau tipe penggunaan lahan tertentu yang secara fisik sesuai dan secara ekonomis menguntungkan (Budianto, 2001). Produksi pertanian menjadi optimum serta berwawasan lingkungan tercapai apabila lahan digunakan secara tepat dan dengan cara pengelolaan lahan yang sesuai. Djaenudin dkk., (2000) menyatakan bahwa pengembangan komoditas pertanian pada wilayah yang sesuai dengan persyaratan pedoagroklimat tanaman, yang mencakup iklim, tanah, dan topografi, akan memberikan hasil yang optimal dengan kualitas prima. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah aspek manajemen dalam mengelola lahan yang didasarkan pada sifat-sifat lahan untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan. Secara ideal data sumberdaya lahan pada skala 1: yang dipergunakan sebagai dasar penilaian kesesuaian lahan dan komoditas pertanian, dapat diperoleh melalui pemetaan sumberdaya lahan tingkat semi detil. Namun demikian, oleh karena membutuhkan waktu dan biaya yang cukup tinggi, maka digunakan pendekatan analisis permukaan lahan (terrain) (Marsoedi dkk., 1996 dan Puslittanak, 2001) dengan memadukan teknik interprestasi foto udara dan atau citra satelit, peta kontur atau peta topografi, serta survei dan verifikasi lapangan. Bahkan saat ini sedang dikembangkan sistem zonasi agroekologi secara digital menggunakan analisis citra satelit (BBSDL, 2013). Konsep zona agroekologi (ZAE) atau agroecological zone (AEZ) adalah II-4

25 suatu metode penyederhanaan dan pengelompokan agroekosistem yang beragam kedalam bentuk klasifikasi yang lebih aplikatif (Las dkk, 1990). Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah digunakan untuk penentuan zona agroekologi sejumlah tanaman utama di sembilan daerah utama di Asia, Afrika dan di Amerika (Sivikumar dan Valentin, 1997). Keragaman tanah dan iklim dapat dimanfaatkan sebagai dasar pewilayahan berbagai komoditas pertanian agar dicapai tingkat produksi yang optimal dan berkelanjutan. Penyusunan peta pewilayahan komoditas skala 1: berdasarkan ZAE dilakukan dengan identifikasi dan karakterisasi sumberdaya lahannya melalui pendekatan analisis terrain, dengan mempertimbangkan karakteristik lahan yaitu relief, lereng, proses geomorfologi, litologi/ bahan induk, dan hidrologi sebagai parameter dalam analisis terrain (Van Zuidam, 1986). Pemetaan tanah semi detail yang dapat digambarkan pada peta skala 1: , dapat digunakan untuk perencanaan operasional penggunaan lahan di tingkat kabupaten atau kecamatan (Soekardi, 1994). Penerapan paket rekomendasi teknologi sistem usahatani juga harus didasarkan kepada suatu kajian zona agroekologi (ZAE) secara menyeluruh sehingga akan mempermudah perencanaan dan pengelolaan tanaman (Amien, 2000) serta produksi pertanian yang diperoleh menjadi optimum dan kelestarian sumberdaya lahan tetap terjaga. Pewilayahan komoditas dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan perencanaan pembangunan bagi pemerintah daerah, investasi, penentuan teknologi yang tepat guna dan keberlanjutan dalam rangka pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan pewilayahan komoditas pertanian akan dapat mengatasi penggunaan lahan yang kurang atau tidak produktif menuju kepada penggunaan lahan dengan jenis komoditas unggulan yang lebih produktif. Untuk menghindari terjadinya benturan kepentingan dalam hal penggunaan lahan, maka konversi tata guna lahan harus mengacu kepada rencana tata ruang baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten. Areal yang dipilih harus tercakup pada wilayah yan peruntukkanya sebagai kawasan budidaya pertanian dengan kriteria sektoral dengan mempertimbangkan kesesuaian lahan dan atau daya dukung lahan II-5

26 (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Apabila pemilihan lahan dan sektor atau komoditas unggulan yang akan dikembangkan dapat dilakukan secara benar dan sesuai dengan tujuan program, maka pusat pertumbuhan yang akan menjadi andalan daerah dapat diwujudkan (Haeruman, 2000) Potensi Biofarmaka dan Pengembangannya Istilah biofarmaka didefinisikan sebagai sumber daya alam (tumbuhan, hewan dan mikroba) yang mempunyai manfaat obat, makanan fungsional dan suplemen diet (obat dan nutraceuticals) untuk manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungannya. Berdasarkan definisi tersebut, jika dilihat dari kelompok komoditasnya, biofarmaka sangatlah bervariasi dan kaya akan keragaman, yaitu dapat berupa tumbuhan liar hutan, tanaman pangan, tanaman perkebunan, tanaman hortikultura, atau tanaman yang tumbuh di lautan, seperti rumput laut, dan sebagainya. Cakupan yang luas dalam definisi biofarmaka akan menyebabkan usaha pengembangan dan pemanfaatannya melibatkan banyak pihak (multidisiplin). Pelibatan berbagai disiplin ilmu dan keahlian dapat dimulai dari pencarian sumber biofarmaka, bagaimana membudidayakan, menentukan komponen kimia dan khasiatnya, serta bagaimana mengubahnya menjadi bentuk yang dapat dikonsumsi. Konservasi sumberdaya hutan, biologi, kelautan (etnobotani, etnofarmasi, m ikroba, produk laut dan lain-lain Budidaya pertanian, tanah (Studi SOP, agrobiofisik dan lain-lain) BIOFARMAKA Kimia (Purifikasi senyawa kimia dan lain-lain) Teknologi pertanian, social ekonomi (Pascapanen, pengolahan, pemasaran dan lain-lain Biokimia, Farmasi, Kedokteran Hewan (Uji Keamanan, pengolahan, pemasaran dan lain-lain) Sumber: Dyah Iswantini, 2009 Gambar 2. 2 Pelibatan Multidisiplin Dalam Pengembangan Biofarmaka II-6

27 Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghasilkan produk biofarmaka yang berbasis invensi dan inovasi, yaitu: (l) Komoditas biofarmaka untuk sumber keragaman senyawa kimia bahan obat; (2) Komoditas biofarmaka untuk produk langsung dari kearifan tradisional (etnofarmasi); (3) Komoditas biofarmaka untuk produk dari aturan legal. Tiap pendekatan yang dilakukan untuk menghasilkan produk biofarmaka memiliki karakteristik masingmasing baik ditinjau dari segi dana, waktu, teknologi maupun keuntungan yang akan didapatkan. 1. Pendekatan Pertama: Komoditas Biofarmaka untuk Sumber Keragaman Senyawa Kimia Bahan Obat Produk biofarmaka yang dihasilkan melalui pendekatan ini merupakan suatu senyawa kimia murni untuk dijadikan obat dalam industri farmasi. Produksinya dalam skala besar akan tergantung pada kerumitan dan kelimpahan struktur kimia yang didapatkan, apakah dibuat dalam proses sintesis lab jika bentuknya tidak rumit atau diambil melalui proses pemurnian dari ekstrak jika struktur kimia yang berkhasiat sangat rumit. Waktu yang sangat panjang (10-15 tahun) dan dana yang besar dibutuhkan untuk pendekatan ini. Tahapan yang harus dilakukan sampai mendapatkan senyawa kimia murni berkhasiat ditunjukkan pada Gambar dibawah ini. II-7

28 BIODIVERSITY RESOURCES a. Medicinal Plant Collection b. Microbe Collection SOLATION CHEMISTRY a. Isolation of Crude Modures b. Fractination by Polarity PURIFICATION TO A SINGLE COMPOUND a. Chromatoghraphy b. Crystalization STRUCTURE EDUCATION NMR, IR, MS, and X-Ray PATENT APPRECIATION PUBLIVATIONS DRUG DEVELOPMENT (Industry) IN VIVO ASSAYS BIOCONSERVATION a. Conservation of Diversity b. Determination of Genetiv Diversity c. Search of New Species LARGE SCALE MANAGEMENT a. Large Scale Planting b. Large Scale Culture c. Genetic Improvement BIOLOGICAL ACTIVITY a. Cardiova scular b. Cancer/ Antioxidant c. Obesity d. Aphrosidiac e. Diabetic f. Hepatoprotector g. Rheumatic SELECTION OF BIOACTIVE COMPOUNDS DRUG FORMULATION and DELIVERY Sumber: Dyah Iswantini, 2009 Gambar 2. 3 Tahapan Kerja Untuk Mendapatkan Senyawa Kimia Murni Bahan Obat 2. Pendekatan Kedua : Komoditas Biofarmaka untuk Produk Langsung dari Kearifan Tradisional (Etnofarmasi) Bentuk produk yang dihasilkan melalui pendekatan ini adalah produk simplisia yang dikemas secara artistik dan modern dengan tetap mengedepankan prinsip quality, efficacy, dan safety. Produk yang dikembangkan melalui pendekatan ini tidak memerlukan waktu yang lama dan dana yang besar dalam proses pengembangannya. Penekanan lebih dilakukan pada pencarian teknologi bagaimana mengemas dan menampilkan produk sehingga lebih menarik. Inovasi dan invensi lain yang menjadi perhatian adalah bagaimana menghasilkan simplisia II-8

29 yang terstandar baik melalui standarisasi teknik budidaya (misal dengan sistem organik) maupun standarisasi metode pascapanen. Hasil dari metode budidaya dan pascapanen yang terstandar ini, selain dikemas dalam bentuk produk kemasan kecil artistik tradisional tetapi juga simplisia dalam jumlah besar dapat disediakan untuk mensuplai industri farmasi lain sehingga dapat berperan sebagai Simplisia Center. Simplisia Center ini juga menjadi pendukung bagi dua pendekatan lainnya. Kajian etnobotani dan etnofarmasi Komoditas biofarmaka Budidaya (in situ, domestifikasi) SOP budidaya dan pascapanen (organic farming dll) Simplisia center Produk tradisional yang dikemas menarik Sumber: Dyah Iswantini, 2009 Gambar 2. 4 Proses pengembangan produk tradisional 3. Pendekatan Ketiga : Komoditas Biofarmaka untuk Produk dari Aturan Legal Terdapat beberapa jenis produk legal dalam kategori biofarmaka yaitu jamu, ekstrak herbal terstandar, fitofarmaka dan suplemen/nutraceutical. Produksi dari produk dengan pendekatan ketiga ini harus memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh institusi berwenang seperti BPOM, baik untuk kebutuhan dasar ilmiah produk maupun cara produksinya. Selain untuk kebutuhan manusia, karena kompetensi IPB, pengembangan produk dengan pendekatan ketiga ini juga dapat dilakukan untuk produk-produk kesehatan hewan atau tumbuhan, misalnya II-9

30 suplemen asam amino untuk mempercepat pertumbuhan tanaman sawit. Bentuk produk yang dikembangkan dapat berupa kapsul, serbuk instan, ekstrak yang kesemuanya untuk diproduksi sendiri atau dijadikan lisensi agar dapat dibuat oleh industri kecil masyarakat, atau bentuk produk dengan teknologi tinggi yang diproduksi sendiri melalui proses mikroenkapsulasi atau metode lainnya. Tahapan yang dilakukan untuk pendekatan ketiga ini tidak selama maupun semahal pada pendekatan pertama. Pencarian senyawa kimia dilakukan pada pendekatan ini hanya diarahkan untuk mendapatkan senyawa penciri sebagai marker pada proses standarisasi atau dapat pula proses standarisasinya berdasarkan pada adanya sidik jari ekstrak dari pola HPLC, TLC atau Spektra. BIODIVERSITY RESOURCES a. Medicinal Plant Collection b. Microbe Collection SOLATION CHEMISTRY a. Isolation of Crude Modures b. Fractination by Polarity PURIFICATION TO A SINGLE COMPOUND a. Chromatoghraphy b. Crystalization Finger Print (HPLC, TLC, Spectra Ete) Marker Compound Standardized Extracts, Phytopharmaca (plus clinical BIOCONSERVATION a. Conservation of Diversity b. Determination of Genetiv Diversity c. Search of New Species LARGE SCALE MANAGEMENT a. Large Scale Planting b. Large Scale Culture c. Genetic Improvement BIOLOGICAL ACTIVITY a. Cardiova scular b. Cancer/ Antioxidant c. Obesity d. Aphrosidiac e. Diabetic f. Hepatoprotector IN VIVO ASSAYS DRUG FORMULATION and DELIVERY Sumber: Dyah Iswantini, 2009 Gambar 2. 5 Pola pengembangan ekstra terstandar Teknologi Penanganan Pasca Panen dan Penjaminan Mutu Sediaan bahan alam memberikan andil yang cukup besar terhadap II-10

31 kesehatan manusia tidak saja dalam hal melakukan suatu tindakan pencegahan dan pengobatan terhadap suatu penyakit akan tetapi juga dalam hal menjaga kebugaran dan meningkatkan stamina tubuh. Selain itu dengan bergesernya konsep tentang kecantikan maka sediaan bahan alam juga banyak dimanfaatkan untuk mempercantik penampilan seseorang. Pencapaian tujuan penggunaan sediaan bahan alam ini tergantung pada tersedianya suatu bahan alam yang bermutu. Ada dua alternatif pemakaian bahan alam untuk membuat sediaan ini yakni mengambil dari alam dan diolah dalam keadaan segar menjadi suatu bentuk sediaan siap pakai atau berasal dari simplisia yakni bahan alamiah yang belum mengalami pengolahan apapun selain dikeringkan. Simplisia yang dipilih untuk suatu bahan pengobatan dapat berupa simplisia nabati berbentuk tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudatnya; simplisia hewani berbentuk utuh, bagian hewan atau zat yang dihasilkan hewan yang mempunyai efek pengobatan dan atau simplisia pélican (mineral yang belum atau sudah diolah secara sederhana). Persyaratan simplisia yang digunakan untuk bahan baku obat dapat merujuk pada syarat baku mutu yang tertera dalam Materia Medika Indonesia. Baku mutu meliputi kadar abu, kadar abu yang tidak larut dalam asam, kadar sari yang larut air dan etanol dan bahan organik asing serta kemurnian yang diberikan dalam pemerian makro maupun mikroskopis. Persyaratan simplisia yang sedang dirintis oleh Departemen Pertanian ialah menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI). Persyaratan dalam SNI ini juga menggunakan rujukan dari Materia Medika Indonesia dan standar WHO untuk Herbal. Simplisia yang beredar dipasaran dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan baku mutu, bisa berubah menjadi suatu simplisia yang kwalitasnya tidak sesuai dengan standar sehingga tujuan penggunaan obat bahan alam tidak tercapai atau bahkan mungkin bisa membahayakan. Perubahan kualitas simplisia bisa terjadi karena penanganan yang tidak baik dalam hal penyimpanan, pendistribusian maupun kemasan yang digunakan. Mutu dan keamanan (quality and safety) produk biofarmaka, seperti simplisia sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu mutu bahan baku II-11

32 (rimpang, batang, daun, akar, tanaman) dan teknologi pasca panen tanaman obat yang digunakan. Bahan baku yang bermutu sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan GAP (Good Agricultural Practices). Teknologi pasca panen tanaman obat di Indonesia pada dasarnya telah tersedia tetapi implementasinya di masyarakat masih sangat rendah. Masalah implementasi yang rendah tersebut pada dasarnya adalah alih teknologi yang terhambat. Produk tanaman obat berkhasiat atau produk biofarmaka dapat dikelompokkan menjadi pangan fungsional dan suplemen. Pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Sedangkan suplemen adalah nutraceuticals yang mengandung komponen bioaktif, disajikan bukan dalam bentuk pangan tetapi dalam bentuk tablet, kapsul atau serbuk dengan dosis komponen bioaktif yang digunakan lebih tinggi dari jumlah yang dapat diperoleh dari konsumsi pangan secara normal. Penggunaan obat tradisional atau rempah-rempah untuk tujuan preventif dan atau kuratif harus memenuhi syarat aman, manfaat dan mutu. Aman berarti bahwa bahan tersebut tidak akan menimbulkan efek yang merugikan (efek toksik) bagi tubuh. Sedangkan syarat manfaat dan mutu mengandung arti bahwa dalam bentuk penggunaannya (bentuk sediaan) yang baik (berkualitas), bahan tersebut mempunyai khasiat yang dikehendaki secara optimal. Keamanan pada penggunaan bahan rempah-rempah atau obat tradisional menyangkut segi toksisitas dan efek lain yang tidak dikehendaki dari bahan itu sendiri maupun dari akibat pengolahan atau penanganan bahan dari tumbuhan sumber bahan menjadi sediaan jadi. Akibat yang tidak dikehendaki yang dapat berasal dari tumbuhan itu sendiri atau dari kontaminan yang berupa tumbuhan toksik, mikroorganisme atau toksin mikroba, pestisida atau bahan fumigan radioaktif, bahan mineral toksik (logam berat), bahan atau senyawa kimia sintetik dan bahan obat dari hewan yang ditambahkan atau senyawa yang mempunyai efek karsinogenik atau mutagenik. Pengembangan obat tradisional dari bahan alam pada prinsipnya mengacu II-12

33 pada praktek GAP (Good Agricultural Practices) untuk memperoleh bahan bakunya dan GMP (Good Manujacturing Practices) untuk penanganan dan pengolahan pasca panennya menjadi obat tradisional. GMP disebut pula CPOB (Cara Produksi Obat yang Baik). Obat (tradisional) yang dihasilkan memenuhi tiga syarat seperti yang telah diuraikan di atas yaitu aman, manfaat dan mutu. 1. Pemilihan Bahan Baku Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau Materia Medika Indonesia. Bila pada ketiga buku persyaratan tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau pedoman lain. Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain harus mendapat persetujuan pada waktu pendaftaran fitofarmaka. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan tanaman berkhasiat obat adalah sebagai berikut: a. Daun, dipetik sewaktu tumbuhan mulai berbunga, daun dapat dipetik untuk dimanfaatkan sebagai bahan obat. b. Buah, pada umumnya yang dimanfaatkan sebagai bahan obat adalah buah yang telah masak. c. Bunga, untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat, sebaiknya bunga diambil sebelum mekar secara sempurna. d. Umbi, rimpang dan akar, dapat diambil untuk bahan obat ketika proses pertumbuhannya telah sempurna. Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda - beda antara lain tergantung pada: a. Bagian tanaman yang digunakan untuk simplisia b. Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen c. Waktu panen d. Lingkungan tempat tumbuh Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif (metabolit sekunder) dalam tanaman yang dipanen. Dengan demikian sebaiknya panen dilakukan pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif II-13

34 dalam jumlah terbesar. Tanaman yang dipanen dijamin tidak tercampur dengan tanaman lain ataupun yang semarga. Bagian tanaman yang dipanen harus dijamin bahwa bagian tersebut tidak tercampur bagian tanaman yang lain yang mengandung komponen bioaktif yang berbeda kuantitas dan kualitasnya. Untuk menjamin keseragaman khasiat dan keamanan fitofarmaka harus diusahakan pengadaan bahan baku yang terjamin keseragaman komponen aktifnya. Untuk keperluan tersebut, bahan baku sebelum digunakan harus dilakukan pengujian melalui analisis kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian dapat diperoleh ekstrak terstandar dari suatu fitofarmaka. Dalam perdagangan tidak selalu mungkin untuk memperoleh simplisia yang sepernuhnya murni, kadang- kadang terdapat bahan asing yang tidak berbahaya dalam jumlah yang kecil. Oleh karena itu sebelum membuka kemasan simplisia perhatikan apakah kemasannya masih bagus atau tidak. Kemudian perhatikan dalam simplisia tersebut apakah ada : (l) Cemaran berupa serangga; (2) Cemaran berupa fragmen hewan atau kotoran hewan; (3) Lendir dan cendawan atau kotoran lain yang beracun dan berbahaya; dan (4) Kemurnian simplisia. 2. Pembuatan Simplisia Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut: pemilihan/ pengumpulan bahan baku, sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering, pengepakan, penyimpanan dan pemeriksaan mutu. a. Sortasi basah Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan asing lainnya dari simplisia. Misalnya simplisa yang terbuat dari akar suatu tanaman obat, sering tercampuri oleh bahan-bahan asing seperti : tanah, krikil, rumput, batang, ranting atau daun yang telah rusak. Bahan-bahan asing tersebut harus dipisahkan dan dibuang. Seperti diketahui tanah mengandung bermacam- macam mikroba dalam jumlah yang tinggi. Dengan demikian, perlu dilakukan pembersihan tanah yang terikat, sehingga mikroba awal dapat dikurangi jumlahnya. b. Pencucian Pencucian dengan menggunakan air bersih, misalnya air dari sumur, II-14

35 mata air atau PAM, untuk memisahkan kotoran yang melekat pada bahan baku simplisia. Bahan simplisia yang mengandung zat yang mudah larut dalam air yang mengalir, maka pencucian sebaiknya dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Pembersihan/pencucian mengikuti prinsip sanitasi yang baik, baik dari segi sarana prasarana pencucian maupun pekerjanya. Pencucian bahan baku (tanaman maupun bagian tanaman) menggunakan air bersih dan mengalir. Kualitas air pencuci dan pekerja perlu diperhatikan karena pencucian yang tidak benar dapat menyebabkan tingginya kontaminan. Tangan pekerja hendaknya dicuci terlebih dahulu dengan sabun atau larutan desinfektan yang diijinkan. Apabila bahan baku tersebut akar atau rimpang yang diperoleh dari dalam tanah, maka selain kontaminan berupa * tanah dan logam berat (fisik dan kimia) juga yang sangat berbahaya adalah kontaminan spora bakteri. Spora bakteri dalam tanah berasal dari bakteri-bakteri tanah yang telah diketahui beberapa tahan panas, sehingga perlakuan pendahuluan. berupa pencucian yang benar merupakan syarat utama. Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia. Bakteri yang banyak terkandung dalam air pencuci bahan simplisia antara lain : Pseudomonas, Proteus, Micrococcus, Bacillus, Streptococcus, Enterobacter dan Escherichia. Pada simplisia buah atau batang dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi mikroba awal karena sebagian besar jumlah mikroba terdapat pada permukaan bahan simplisia. c. Perajangan Beberapa jenis bahan simplisa perlu mengalami proses perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses berikutnya yaitu : pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan, semakin cepat proses penguapan air, sehingga dapat mempercepat waktu pengeringan. Namun demikian, irisan yang terlalu tipis dapat menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, rasa, dan bau II-15

36 yang diinginkan. Oleh karena itu bahan simplisia yang mengandung minyak atsiri, perlu dihindari perajangan yang terlalu tipis. Perlu diusahakan agar selama perajangan dilakukan dalam keadaan tetap bersih sehingga jumlah mikroba tidak berubah. Penjemuran sebelum perajangan sebaiknya dilakukan untuk mengurangi timbulnya pewarnaan akibat reaksi antara bahan simplisia dengan logam pisau (alat perajang). d. Pengeringan Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu lebih lama, yaitu dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik yang berlangsung di dalam sel simplisia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air dalam sel yang kurang dari 10% sudah dapat menghentikan proses enzimatik. Oleh sebab itu, dengan pengeringan akan dapat dicegah penurunan mutu atau rusaknya simplisia. Untuk simplisia tertentu proses enzimatik ini justru dikehendaki setelah pemetikan/pengumpulan. Dalam hal ini sebelum proses pengeringan, bagian tanaman yang dipanen dibiarkan pada suhu dan kelembaban tertentu agar reaksi enzimatik dapat berlangsung. Cara lain dapat pula dilakukan dengan pengeringan perlahan-lahan agar reaksi enzimatik tetap berlangsung selama proses pengeringan. Dalam hal ini proses enzimatik masih diperlukan, karena senyawa aktif yang dikehendaki masih dalam ikatan kompleks dan baru dipecahkan dari ikatan kompleksnya oleh enzim tertentu dalam suatu reaksi enzimatik setelah tanaman itu mati. Contohnya simplisia ini antara lain adalah vanili (Vanilla fragrans) dan biji cola (Cola nítida). Dalam proses pengeringan tumbuhan berkhasiat obat tertentu juga dapat dicampur dengan madu, cuka beras atau jahe. Caranya, tumbuhan berkhasiat obat yang telah kering disangrai bersama bahan campuran yang ingin digunakan, misalnya madu, cuka beras ataupun jahe, setelah disangrai, tumbuhan berkhasiat obat yang telah dicampur dijemur kembali. Hal ini II-16

37 umumnya dilakukan dengan tujuan agar tumbuhan berkhasiat obat lebih efektif atau menetralkan toksin yang ada dalam tumbuhan. Cara lain untuk mengurangi toksin dari tumbuhan berkhasiat obat adalah dengan merendam tumbuhan tersebut selama beberapa hari sambil diganti airnya secara kontinyu, setelah proses perendaman tadi, tumbuhan obat tersebut dikeringkan dan siap digunakan. Pada jenis bahan simplisia tertentu, setelah panen langsung dilakukan pengeringan. Proses ini dilakukan pada bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif yang mudah menguap. Penundaan proses pengeringan bahan simplisia ini akan menurunkan kadar senyawa aktifnya yang berarti dapat menurunkan mutu simplisia. Pengeringan simplisia dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau menggunakan alat pengering. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah : suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran udara, waktu pengeringan dan luas permukaan bahan yang dikeringkan. Faktor-faktor tersebut sangat penting pengaruhnya agar didapatkan simplisia kering yang tidak mudah mengalami kerusakan selama penyimpanan. Cara pengeringan yang kurang benar dapat mengakibatkan terjadinya face hardening" yakni bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih belum kering. Hal ini dapat terjadi akibat dari rajangan bahan simplisia yang terlalu tebal ataupun suhu pengeringan terlalu tinggi, mengakibatkan penguapan air permukaan bahan lebih cepat dari pada difusi air dari dalam permukaan. e. Sortasi kering Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir dalam pembuatan simplisia. Tujuan sortasi ini untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian- bagian tanaman yang tidak dikehendaki dan kotoran lain yang masih tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus dan disimpan. f. Pengemasan dan penyimpanan II-17

38 Simplisia dapat rusak, mundur atau berubah mutunya karena berbagai faktor luar dan dalam, antara lain : 1. Cahaya Sinar dengan panjang gelombang tertentu dapat menimbulkan perubahan kimia pada simplisia isomerasi, polimerasi, dll. 2. Oksigen udara Senyawa tertentu di dalam simplisia dapat mengalami perubahan kimiawi oleh pengaruh oksigen udara yang menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. Perubahan ini dapat berpengaruh pada bentuk simplisia, misalnya yang berbentuk cair, berubah menjadi kental, padat, mengkristal, dll. 3. Reaksi kimia intern Perubahan kimiawi dalam simplisia dapat disebabkan oleh reaksi intern misalnya oleh enzim, polimerasi, autooksidasi, dan lain-lain. 4. Dehidrasi Apabila kelembaban udara di luar lebih rendah dari pada di dalam simplisia, maka secara perlahan-lahan simplisia akan kehilangan sebagian airnya, sehingga semakin lama semakin mengkerut. 5. Penyerapan air Simplisia yang higroskopis, apabila disimpan di dalam wadah terbuka akan menyerap lengas udara sehingga menjadi, kental, basah, atau cair. 6. Pengotoran Pengotoran simplisia dapat disebabkan oleh berbagai sumber, debu atau air, eksresi hewan, bahan asing (misalnya minyak yang tumpah), fragmen wadah (bagian karung goni). 7. Serangga Kerusakan simplisia dapat diakibatkan oleh serangga yang meninggalkan kotoran baik larva ataupun imagonya, atau sisa dari metamorfosanya. 8. Kapang Bila kadar air dalam simplisia terlalu tinggi, maka simplisia dapat II-18

39 berkapang. Kerusakan yang timbul tidak hanya terbatas pada jaringan simplisia, tetapi juga akan merusak susunan kimia zat yang dikandung, bahkan dari kapangnya dapat mengeluarkan tosin yang mungkin dapat mengganggu kesehatan. Selama penyimpanan, ada kemungkinan terjadi kerusakan pada simplisia. Kerusakan tersebut dapat mengakibatkan kemunduran mutu, sehingga simplisia yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat yang diperlukan atau yang ditentukan. Oleh sebab itu, dalam usaha penyimpanan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu : cara pengepakan, pembungkusan daan pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi, dan pemeriksaan mutu, serta pengawetannya. Penyebab utama kerusakan simplisia adalah air dan kelembaban. Untuk dapat disimpan dalam waktu lama simplisia harus dikeringkan dahulu sampai kadar air tertentu yaitu kadar air yang tidak menyebabkan kerusakan yang merugikan. Simplisia yang berupa korteks, radiks, lignum yang mengandung resin, pada umumnya bersifat kurang menyerap uap air udara dan lebih tahan dalam penyimpanan. Beberapa simplisia folium atau herba kering dapat menyerap uap air udara sekitarnya sampai 10-15% dari bobot bahannya dan bahkan ada yang sampai 30%. Senyawa glikosida tumbuhan yang terdapat di dalam simplisia mudah sekali terurai dengan kadar air 8% atau lebih. Secara umum dapat diambil sebagai pedoman bahwa kadar air dalam simplisia seharusnya tidak tidak lebih dari 5% bobot bahan. Banyak simplisia jika disimpan lama akan berubah warnanya, sehingga kurang menarik. Perubahan ini dapat diakibatkan oleh terjadinya perubahan kimia dalam bahan aktifnya. Di lain pihak, perubahan warna dapat juga diakibatkan oleh cahaya matahari secara langsung. Cahaya matahari ini mengakibatkan kenaikan suhu sehingga dapat mempercepat perubahan susunan kimia senyawa aktif di dalam simplisia. Sebagian dari zat alam mudah teroksidasi oleh oksigen udara menjadi zat-zat teroksidasi. Reaksi II-19

40 oksidasi berlangsung lebih mudah apabila simplisia mengadung enzim oksidase. Beberapa serangga dan binatang pengerat dapat juga merusak simpanan simplisia. Cara pengemasan simplisia tergantung pada jenis simplisia dan tujuan penggunaan pengemasan. Bahan dan bentuk pengemasan harus sesuai, agar dapat melindungi dari kemungkinan kerusakan simplisia dan menghemat pemanfaatan ruang penyimpanan dan pengangkutan. Wadah harus tidak beracun dan tidak bereaksi (inert) dengan isinya, sehingga tidak terjadi reaksi serta penyimpanan wadah, bau, rasa dan lain-lain pada simplisia. Selain itu, wadah harus melindungi simplisia dan cemaran mikroba, kotoran, serangga yang merusak serta mempertahankan senyawa aktif yang mudah menguap atau mencegah pengaruh sinar, masuknya uap air dan gasgas lain yang dapat menurunkan mutu simplisia. Terutama simplisia yang mengandung vitamin, pigmen dan lemak akan peka terhadap pengaruh cahaya. Untuk keperluan ini wadah/pembungkus dapat digunakan aluminium foil, plastik atau botol berwarna gelap, kaleng dan sebagainya. 9. Pemeriksaan mutu simplisia Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau pembelian. Suatu simplisia dinyatakan bermutu bila simplisia yang bersangkutan memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam SNI. Pengambilan contoh untuk kepentingan pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara uji petik sehingga contoh tersebut dapat mewakili keseluruhan simplisia yang diperiksa mutunya. Simplisia yang tidak memenuhi syarat SNI misalnya kekeringannya kurang akan ditumbuhi kapang, mengandung lendir, sudah berubah warna atau baunya, berserangga atau termakan serangga. Simplisia seperti ini harus ditolak penerimaannya. Secara lengkap berikut ini disajikan Standar Operasional Prosedur tentang penanganan pasca panen simplisia yang terdiri dari: a. Simplisia Rimpang (Rizhoma) II-20

41 b. Simplisia Daun c. Simplisia Bunga d. Simplisia Buah e. Simplisia Biji f. Simplisia Akar g. Simplisia Kayu dan Kulit Batang h. Simplisia Bubuk/Serbuk Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 6 SOP Simplisia Rimpang (Rizhoma) II-21

42 Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 7 SOP Simplisia Daun II-22

43 Pemanenan Sortasi Basah Pencucian dan Penimbangan Bahan Pengeringan Pegemasan dan Penyimpanan Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 8 SOP Simplisia Bunga II-23

44 Penyimpanan Bahan Baku Penyimpanan Peralatan dan Penyediaan Air Pencucian Air Bersih Penyortiran Awal Pencucian dan Penirisan Tanah, Kerikil, Rumput, Benda Asing Kotoran yang Melekat Penimbangan Bahan Baku Pengeringan Penyortiran Akhir & Pengemasan dan Pelabelan Penyimpanan Sumber: Diolah (2017) Gambar 2. 9 SOP Simplisia Buah II-24

45 Pemanenan Sortasi Basah dan Penimbangan Bahan Pengeringan Pengemasan dan Penyimpanan Gambar SOP Simplisia Biji Pemanenan Sortasi dan Pencucian Perajangan Penimbangan Bahan Baku Pengeringan, Pengemasan dan Penyimpanan Sumber: Diolah (2017) Gambar SOP Simplisia Akar II-25

46 Sumber: Diolah (2017) Gambar SOP Simplisia Kayu dan Kulit Batang II-26

47 Sumber: Diolah (2017) Gambar SOP Bubuk/Serbuk 2.2. Kerangka Pikir Kajian Pekerjaan kajian potensi pengembangan biofarmaka di Kabupate jepara, dilakukan secara bertahap. Sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan, mulai dari persiapan, pelaksanaan, analisis dan evaluasi, berikut ini disusun kerangka pikir kajian. II-27

48 Sumber: Diolah (2017) Gambar Kerangka Pemikiran 2.3. Metode kajian Rancangan Kajian Rancangan kajian dilakukan dengan metode campuran, yaitu kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan banyak definisi yang disampaikan oleh peneliti terdahulu II-28

49 Johnson dkk (2007) mendefinisikan metode campuran sebagai jenis penelitian. Dalam metode ini, peneliti atau tim peneliti mengkombinasikan elemen pendekatan kualitatif dan kuantitatif (misalnya menggunakan sudut pandang, pengumpulan data, analisis dan teknik inferensi kualitatif dan kuantitatif) untuk mencapai pemahaman dan pembuktian tujuan penelitian yang luas dan mendalam. Johnson (2007) menyimpulkan penggunaan metode campuran bertujuan untuk: 1. Triangulation yaitu mencari konvergensi dan bukti-bukti yang menguatkan sebagai hasil dari metode yang berbeda untuk mempelajari suatu fenomena. 2. Complementarity yaitu mencari elaborasi, penguatan, ilustrasi, klarifikasi hasil dari sebuah metode dengan hasil dari metode lain 3. Development yaitu menggunakan hasil dari satu metode untuk membantu metode lain. 4. Initiation yaitu untuk menemukan paradoks dan kontradiksi yang bertujuan untuk membuat kerangka ulang pertanyaan penelitian 5. Expansion yaitu berusaha memperluas luasan dan jangkauan penelitian dengan menggunakan berbagai metode untuk menyelidiki komponen yang berbeda. Menurut Morse (2005), penggunaan metode kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan (simultan) dilakukan karena interaksi diantara kedua sumber data sangat terbatas selama proses pengumpulan data tetapi temuannya akan saling melengkapi saat tahap intrepretasi. Sebaliknya triangulasi sekuensial digunakan ketika hasil dari satu pendekatan akan bermanfaat untuk perencanaan metode selanjutnya. Johnson dan Onwuegbuzie (2004) mengusulkan matrik yang berguna untuk memahami kaitan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif dalam metode campuran. II-29

50 Sumber: Johnson dan Onwuegbuzie 2004 Gambar Desain Matrik Metode Campuran Pada kajian ini akan dilakukan metode campuran secara sekuensial, yaitu: metode kuantitatif kemudian diikuti oleh metode kualitatif dengan penekanan yang seimbang KUAL-KUAN. Tujuan penggunaan metode campuran dalam kajian ini adalah 1) Development yaitu menggunakan hasil dari satu metode untuk membantu metode lain dan 2) Expansion yaitu berusaha memperluas luasan dan jangkauan penelitian dengan menggunakan berbagai metode untuk menyelidiki komponen yang berbeda Metode Penentuan Informan Informan dalam kajian ini adalah informan kunci (key informan) yang ditentukan dengan kriteria tertentu (purposive), yaitu: memiliki pemahaman dan pengetahuan memadai terkait kisi-kisi wawancara yang disusun dan atau memiliki keahlian yang diperlukan. Penentuan informan kunci dilakukan secara purposive II-30

51 atau sengaja, yaitu: 1) Kepala Seksi produksi dan usaha hortikultura; 2) petani/poktan/gapoktan; 3) koordinator penyuluh pertanian masing-masing kecamatan; 4) penyedia saprodi usahatani biofarmaka; 5) unsur penunjang usahatani biofarmaka (marketing lembaga pembiayaan); dan 6) pedagang pengepul Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam studi dokumen Kajian Potensi Pengembangan Biofarmaka Di Kabupaten Jepara Tahun 2017 sebagai berikut: 1. Observasi Observasi adalah pengamatan terhadap obyek yang dikaji secara langsung baik mulai dari Pemetaan titik lokasi, Pemetaan potensi dan permasalahan di lapangan. Selain itu dapat pula dengan mengamati aktivitas dari pelaku usahatani. 2. Wawancara Mendalam (indepth interview) Wawancara mendalam adalah pengumpulan data dengan cara mewawancarai langsung informan yang telah dipilih dan dengan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun secara semi terstruktur. Pemilihan informan merupakan keputusan penting karena akan mempengaruhi terhadap data serta informasi yang sedang dikumpulkan. Wawancara mendalam ini dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang banyak hal yang berkaitan dengan kajian. 3. Dokumen dan literatur Dokumen dan literatur adalah pengumpulan data dengan laporan-laporan kajian, publikasi, foto, peraturan-peraturan serta data yang relevan dengan kegiatan kajian Metode Analisis 1. Analisis SWOT Analisis yang dipakai untuk menyusun factor-faktor strategis adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan II-31

52 kekuatan dan kelemahan. Matrik ini data menghasilkan empat set kemungkinan alternative strategis. (Rangkuti,2001). Analisis SWOT dengan terlebih dahulu mengidentifikasi faktor-faktor strategis (kekuatan-kelemahan-peluang-ancaman) dari Potensi Pengembangan Biofarmaka. Data mengenai faktor strategis dari setiap potensi biofarmaka kemudian diolah menggunakan alat analisis matriks SWOT untuk mendapatkan rumusan strategi pengembangan biofarmaka. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Analisis matriks SWOT digambarkan ke dalam Matriks dengan 4 kemungkinan alternatif strategi, yaitu stategi kekuatan-peluang (S-O strategies), strategi kelemahan-peluang (W-O strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies), dan strategi kelemahan-ancaman (W-T strategies). Tabel 3.2. Matriks SWOT Strenght (S) Menentukan 5-10 faktor faktor kekuatan internal Weakness (W) Menentukan 5-10 faktorfaktor kelemahan internal Opportunities (O) Menentukan 5-10 faktorfaktor peluang eksternal Threats (T) Menentukan 5-10 faktorfaktor ancaman eksternal Sumber : Rangkuti, 2002 Strategi S-O Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi S-T Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Strategi W-O Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi W-T Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman II-32

53 Delapan tahapan dalam penentuan alternatif strategi yang dibangun melalui matriks SWOT adalah sebagai berikut : a. Menuliskan peluang faktor eksternal kunci Potensi Pengembangan Biofarmaka di Kabupaten Jepara. b. Menuliskan ancaman faktor eksternal kunci Potensi Pengembangan Biofarmaka di Kabupaten Jepara. c. Menuliskan kekuatan faktor internal kunci Potensi Pengembangan Biofarmaka di Kabupaten Jepara. d. Menuliskan kelemahan faktor internal kunci Potensi Pengembangan Biofarmaka di Kabupaten Jepara. e. Mencocokkan kekuataan faktor internal dengan peluang faktor eksternal dan mencatat Strategi S-O dalam sel yang sudah ditentukan. f. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan peluang faktor eksternal dan mencatat Strategi W-O dalam sel yang sudah ditentukan. g. Mencocokkan kekuatan faktor internal dengan ancaman faktor eksternal dan mencatat Strategi S-T dalam sel yang sudah ditentukan. h. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan ancaman faktor eksternal dan mencatat Strategi W-T dalam sel yang sudah ditentukan. 2. Analisis Rantai Nilai Pendekatan Rantai Nilai (Value Chain Approach) merupakan sebuah pendekatan sekaligius juga alat analisis untuk penguatan (upgrading) daya saing sebuah sub-sektor atau komoditas unggulan daerah secara komprehensif. Aplikasi dari instrument ini bersifat partisipasif yang melibatkan para pelaku yang terkait dalam penciptaan nilai suatu komoditas sejak dari input hingga tahap konsumsi. Melalui pendekatan rantai nilai dapat diperoleh strategi dan rencana aksi yang lebih aplikatif bagi penguat sebuah sub-sektor atau komoditas unggulan, melalui fasilitasi pembuatan peta rantai nilai (Value Chain Map), analisis rantai nilai (Value Chain Analysis), formulasi strategi dan rencana aksi upgrading rantai nilai, serta ketrampilan fasilitas untuk aspek terkait dengan implementasi penguatan rantai nilai (Fakultas Teknik Industri, 2009). Untuk mengidentifikasi rantai nilai dalam Potensi Pengembangan II-33

54 Biofarmaka dilakukan dengan menggunakan analisis value chain map. Untuk analisis rantai nilai (value chain map) dilakukan secara derskriptif dengan mengolah data mengenai rantai nilai Potensi Pengembangan Biofarmaka kemudian dipaparkan dalam bentuk tabel informatif. Adapun analisis value chain map meliputi profil pelaku dari setiap rantai yang terlibat dalam agroindustri mulai dari supplier, produsen, dan pemasar yang terlibat dalam Potensi Pengembangan Biofarmaka. II-34

55 BAB III GAMBARAN UMUM JEPARA & KAJIAN KEBIJAKAN 3.1. PROFIL WILAYAH Letak Geografis Secara geografis Kabupaten Jepara terletak pada posisi 110 9' 48,02" sampai ' 37,40" Bujur Timur dan 5 43' 20,67" sampai 6 47' 25,83" Lintang Selatan, sehingga merupakan daerah paling ujung sebelah utara dari Provinsi Jawa Tengah. Berikut ini batas-batas wilayah administratif Kabupaten Jepara: Sebelah utara : Laut Jawa Sebelah Selatan : Kabupaten Demak Sebelah Timur : Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati Sebelah Barat : Laut Jawa Wilayah Kabupaten Jepara juga meliputi Kepulauan Karimunjawa, yang berada di Laut Jawa, di mana untuk menuju ke wilayah tersebut sekarang dilayani oleh kapal ferry dari Pelabuhan Jepara dan kapal cepat dari Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Selain itu di Kepulauan Karimunjawa juga terdapat lapangan terbang perintis yang dapat didarati pesawat terbang berjenis kecil dari Semarang. Luas wilayah daratan Kabupaten Jepara ,189 ha (1.004,132 km 2 ) dengan panjang garis pantai 72 km. Wilayah tersempit adalah Kecamatan Kalinyamatan (2.3710,001 ha) sedangkan wilayah terluas adalah Kecamatan Keling (12.311,588 ha). Sebagian besar luas wilayah merupakan tanah kering sebesar ,133 ha (73,82%) dan sisanya merupakan tanah sawah sebesar ,056 ha (26,28%). Berikut ini disajikan konstelasi Kab. Jepara di Jawa tengah. III 1

56 Gambar 3. 1 Letak Kabupaten Jepara dalam Konstelasi Jawa Tengah Wilayah Kabupaten Jepara juga mencakup luas lautan sebesar 1.845,6 km 2. Pada lautan tersebut terdapat daratan kepulauan sejumlah 29 pulau, dengan 5 pulau berpenghuni dan 24 pulau tidak berpenghuni. Wilayah kepulauan tersebut merupakan Kecamatan Karimunjawa yang berada di gugusan Kepulauan Karimunjawa, yakni gugusan pulau-pulau yang ada di Laut Jawa dengan dua pulau terbesarnya adalah Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. Sedangkan sebagian besar wilayah perairan tersebut dilindungi dalam Taman Nasional Laut Karimunjawa. Berikut ini disajikan peta administrasi Kab. Jepara. III 2

57 Gambar 3. 2 Peta Kabupaten Jepara

58 Karakteristik Fisik Alam Topografi Kabupaten Jepara memiliki relief yang beraneka ragam, terdiri dari daratan tinggi (sekitar Gunung Muria dan Gunung Clering) dan daratan rendah di sekitar pantai (Pantai Kartini, Bandengan, Bondo, dll.). Secara topografi, Kabupaten Jepara dapat dibagi dalam empat wilayah yaitu wilayah pantai di bagian pesisir Barat dan Utara, wilayah dataran rendah di bagian tengah dan Selatan, wilayah pegunungan di bagian Timur yang merupakan lereng Barat dari Gunung Muria dan wilayah perairan atau kepulauan di bagian utara merupakan serangkaian Kepulauan Karimunjawa. Tabel 3. 1 Ketinggian Permukaan Tanah Setiap Kecamatan di Kabupaten Jepara Kecamatan Tinggi (meter) (1) (2) 1 Kedung Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Batealit Tahunan Jepara Mlonggo Pakis Aji Bangsri Kembang Keling Donorojo Karimunjawa Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka, 2017 Dengan kondisi topografi demikian, Kabupaten Jepara memiliki variasi ketinggian antara 0 m sampai dengan mdpl (dari permukaan laut), daerah terendah adalah Kecamatan Kedung antara 0-2 yang merupakan dataran pantai, sedangkan daerah yang tertinggi adalah Kecamatan Keling antara merupakan perbukitan. Variasi ketinggian tersebut menyebabkan Kabupaten Jepara terbagai dalam empat kemiringan lahan, yaitu datar ,060 ha, III 4

59 bergelombang ,917 ha, curam ha dan sangat curam ,212 ha. Berdasar data tersebut, bagian daratan utama Kabupaten Jepara terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi yang merupakan kawasan pada lereng Gunung Muria. Kondisi sistem hidrologi demikian menyebabkan terdapatnya beberapa sungai besar yang memiliki beberapa anak sungai. Sungai-sungai besar tersebut antara lain Sungai Gelis, Keling, Jarakan, Jinggotan, Banjaran, Mlonggo, Gung, Wiso, Pecangaan, Bakalan, Mayong dan Tunggul. Berdasarkan karakteristik topografi wilayah, aliran sungai relatif dari daerah hulu dibagian timur (Gunung Muria) ke arah barat (barat daya, barat, dan barat laut) yaitu daerah hilir (Laut Jawa). Berdasarkan kondisi geologinya secara umum wilayah Kabupaten Jepara dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu : 1. Di sepanjang garis pantai utara, yang meliputi wilayah dengan morfologi dataran-bergelombang. 2. Bagian Timur dengan morfologi berupa perbukitan. Berdasarkan kemiringan tanahnya, secara umum wilayah Kabupaten Jepara dibedakan dalam 4 (empat) kategori, yaitu : 1. Kemiringan 0-2% lahan datar meliputi sebagian Kecamatan Mayong, sebagian Kecamatan Nalumsari, sebagian Kecamatan Welahan, sebagian Kecamatan Pecangakan, sebagian Kecamatan Kedung, sebagian Kecamatan Jepara, sebagian Kecamatan Tahunan, sebagian Kecamatan Mlonggo, sebagian Kecamatan Bangsri, sebagian Kecamatan Kembang, sebagian Kecamatan Keling, Kecamatan Karimunjawa dan sebagian wilayah Batealit. 2. Kemiringan 2-15% lahan landai meliputi sebagian Kecamatan Mayong, sebagian Kecamatan Nalumsari, sebagian Kecamatan Batealit, sebagian Kecamatan Jepara, sebagian Kecamatan Tahunan, sebagian Kecamatan Mlonggo, sebagian Kecamatan Bangsri, sebagian Kecamatan Keling, sebagian kecil wilayah utara Pecangaan dan Kedung. 3. Kemiringan 15-40% lahan agak curam meliputi sebagian Kecamatan Mayong, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Batealit, sebagian kecil III 5

60 Kecamatan Mlonggo, sebagian Kecamatan Bangsri dan sebagian Kecamatan Keling. Merupakan daerah di sekitar gunung Muria, Trawean, Genuk, dan Pucang Pendawa. 4. Kemiringan > 40% lahan sangat curam meliputi wilayah puncak gunung Muria, Trawean, Genuk, dan Pucang Pendawa. Terletak di Kecamatan Mayong, Batealit, Mlonggo, Bangsri dan Keling. Morfologi daerah Jepara berdasarkan pada bentuk topografi dan kemiringan lerengnya dapat dibagi menjadi 7 (tujuh) satuan morfologi yaitu: a. Dataran Merupakan daerah dataran aluvial pantai dan sungai. Daerah bagian barat daya merupakan punggungan lereng perbukitan, bentuk lereng umumnya datar hingga sangat landai dengan kemiringan lereng medan antara 0-5% (0-3%), ketinggian tempat di bagian utara antara 0-25 mdpl dan di bagian barat daya ketinggiannya antara mdpl. Luas penyebaran sekitar 164,9 km2 (42,36%) dari seluruh daerah Jepara. b. Daerah Bergelombang Satuan morfologi ini umumnya merupakan punggungan, kaki bukit dan lembah sungai, mempunyai bentuk permukaan bergelombang halus dengan kemiringan lereng medan 5-10% (3-9%), ketinggian tempat antara mdpl. Luas penyebarannya sekitar 68,09 km 2. (17,36%) dari seluruh daerah Jepara. c. Perbukitan Berlereng Landai Satuan morfologi ini merupakan kaki dan punggungan perbukitan, mempunyai bentuk permukaan bergelombang landai dengan kemiringan lereng 10-15% dengan ketinggian wilayah mdpl. Luas penyebaran sekitar 73,31 km 2 (18,84%) dari seluruh daerah Jepara. d. Perbukitan Berlereng Agak Terjal Satuan morfologi ini merupakan lereng dan puncak perbukitan dengan lereng yang agak terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 15-30%, ketinggian tempat antara mdpl. Luas penyebarannya sekitar 57,91 km 2 (14,8%) dari seluruh daerah Jepara. III 6

61 e. Perbukitan Berlereng Terjal Satuan morfologi ini merupakan lereng dan puncak perbukitan dengan lereng yang terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 30-50%, ketinggian tempat antara mdpl. Luas penyebarannya sekitar 17,47 Km 2 (4,47%) dari seluruh daerah Jepara. f. Perbukitan Berlereng Sangat Terjal Satuan morfologi ini merupakan lereng bukit dan tebing sungai dengan lereng yang sangat terjal, mempunyai kemiringan lereng antara 50-70%, ketinggian tempat antara mdpl. Luas penyebarannya sekitar 2,26 Km 2 (0,58%) dari seluruh daerah Jepara. g. Perbukitan Berlereng Curam Satuan morfologi ini umumnya merupakan tebing sungai dengan lereng yang curam, mempunyai kemiringan >70%, ketinggian tempat antara mdpl. Luas penyebarannya sekitar 6,45 Km 2 (1,65%) dari seluruh daerah Jepara. Berikut ini disajikan peta kemiringan lereng Kab. Jepara. III 7

62 Gambar 3. 3 Peta Kemiringan Lereng

63 Klimatologi Kabupaten Jepara beriklim tropis dengan pergantian musim penghujan dan kemarau. Musim penghujan antara bulan Nopember-April dipengaruhi oleh musim Barat sedang musim kemarau antara bulan Mei-Oktober yang dipengaruhi oleh angin musim Timur. Sedangkan jumlah curah hujan ± mm, dengan jumlah hari hujan 89 hari. Suhu udara Kabupaten Jepara terendah pada 21,55 C dan tertinggi sekitar 33,71 C, dengan kelembaban udara rata-rata sekitar 84%. Kabupaten Jepara sebagaimana kota-kota di Pantai Utara Jawa beriklim tropis dengan dua musim bergantian sepanjang tahun yaitu penghujan dan kemarau. Berdasarkan katagori iklim menurut Schmidt dan fergusson, Kabupaten Jepara termasuk pada golongan iklim type D (sedang). Prinsip yang digunakan dalam kategori iklim menurut Schmidt dan Fergusson yaitu dengan mengambil data bulan kering dan bulan basah. Bulan basah adalah jika curah hujan lebih dari 100 mm/bulan sedangkan bulan kering jika curah hujan kurang dari 60 mm/bulan. Suhu atau temperatur rata-rata di Kabupaten Jepara setiap bulan berkisar antara 21, ,7 0 Celcius. Berdasarkan data tahun 2015, banyaknya hari hujan tertinggi rata-rata terjadi pada bulan januari, yaitu 29 hari hujan dan terendah terjadi pada bulan Oktober, yaitu 1 hari hujan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan januari, yaitu mm dan terendah pada bulan Oktober, yaitu 5 mm sedangkan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3. 2 Banyaknya Hari Hujan Dan Curah Hujan Di Kabupaten Jepara No Kecamatan Hari Hujan Curah Hujan (Hari) (mm) 1 Kedung 101, Pecangaan 69, Welahan 108, Nalumsari 128, Batealit 104, Tahunan 103, Jepara 103, Mlonggo 121, Bangsri 98, Keling 111, Donorojo 117, Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka, 2017 III 9

64 Gambar 3. 4 Peta Curah Hujan Kabupaten Jepara

65 Jenis Tanah Jenis tanah yang ada di Kabupaten Jepara dibedakan atas 5 jenis tanah. Secara rinci penyebaran jenis tanah di Kabupaten Jepara dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Tanah Andosol Coklat. Terdapat di perbukitan dan puncak Muria bagian utara Muria dengan luas tanah Ha, atau 3,15 %. 2. Tanah Regusol. Terdapat di bagian utara Kabupaten Jepara dengan luas tanah 2.700,857 Ha atau 2,69 % 3. Tanah Alluvial. Terdapat di sepanjang pantai utara dengan luas tanah 9.126,433 Ha, atau 9,09 %. 4. Tanah Asosiasi Mediteran. Terdapat di pantai barat Kabupaten Jepara dengan luas tanah ,458 Ha, atau 19,32 % 5. Tanah Latosol. Jenis tanah ini paling dominan di Kabupaten Jepara terdapat di perbukitan Gunung Muria dengan luas tanah ,972 Ha, atau 65,39%. Kabupaten Jepara terletak di sebelah barat Gunung Muria. Gunung Muria terletak di atas batuan neogen yang berupa batu gamping, batu lempung dan nepal. Penyebaran setiap litologi penyusunan tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Batu Gamping: tersingkap sebagai inklusi di daerah puncak Gunung Genuk dan kawah rahtawu dan pada bantuan itu mengandung fosil foraminifera kecil cyclocypeous sebagai indikator umur. Sebagian dari inklusi batu gamping tersebut menunjukkan gejala telah tertetamorfosa. 2. Batu kerikil/batu pasir, mengandung fosil vertebrata. Adanya fosil vertebrata tersebut menunjukkan indikasi pembentukan batuan ini pada lingkungan darat. 3. Batu lanau, batu pasir, koilin, andesit dan breksi-breksi gunung api umumnya mengandung fosil vertebrata sebagai indikator lingkungan darat yang berumur pleistosin tengah. 4. Kerikil, pasir, lempung merupakan litologi hasil proses fluviovulkanik pada kala holosen dan terletak tak selaras diatas endapan hasil kegiatan gunung berapi. III 11

66 Gambar 3. 5 Peta Jenis Tanah

67 Hidrologi dan Hidrogeologi Kabupaten Jepara termasuk dalam wilayah Sub DAS Jratun Seluna (Jragung, Tuntang, Serang, Lusi, dan Juana). Aliran sungai ini titik beratnya diarahkan pada pemanfaatan secara optimal sekaligus rehabilitasi terhadap sumber alam hutan, tanah dan air yang rusak serta untuk meningkatkan pembangunan pertanian yang dapat memberikan pengaruh pada sektor lain. Potensi air permukaan tanah dan air dalam tanah di daerah Kabupaten Jepara cukup besar. Air dalam tanah dapat dibagi 3 daerah menurut keadaan airnya, yaitu: 1. Daerah air tawar, meliputi daerah kaki gunung Muria, mempunyai mutu air yang baik dan digunakan sebagai sumber air minum. 2. Daerah air tanah payau, meliputi daerah dataran rendah yang merupakan batas antara air tanah asin dengan air tanah tawar. Persebaran akuifernya tidak merata pada tiap tempat dengan ketebalan antara 2-7 m. Air ini relatif masih bisa digunakan. 3. Daerah air asin, meliputi daerah dataran di pinggiran pantai atau pantai yang menjorok ke daratan Kondisi Penggunaan Lahan Luas wilayah Kabupaten Jepara tercatat mencapai ,19 Ha. Luas wilayah tersebut terdiri dari ,792 (26,42%) lahan sawah dan ,397 Ha (73,58%) lahan bukan lahan sawah. Menurut penggunaannya sebagian besar lahan sawah digunakan sebagai lahan sawah berpengairan sederhana PU 9.187,126 Ha, lahan sawah dengan tadah hujan 5.717,318 Ha, selainnya berpengairan irigasi teknis, setengah teknis dan non PU. Lahan bukan lahan sawah digunakan untuk bangunan & halaman sekitarnya sebesar ,919 Ha (29,63 %) yang merupakan persentase penggunaan terbesar, digunakan untuk tegai, padang rumput, rawa yang tidak ditanami, tambak, kolam, tanah yang sementara tidak diusahakan, tanah untuk tanaman kayu-kayuan, hutan negara, perkebunan negara/swasta, dan tanah lainnya (jalan, sungai, kuburan, lambiran, tanah gege, lapangan olahraga, dll). III 13

68 Tabel 3. 3 Luas Penggunaan Lahan Tahun 2016 No Kacamatan Tanah Tanah Sawah (ha) Kering (ha) 1 Kedung 1.974, ,52 2 Pecangaan 1.538, ,81 3 Kalinyamatan 1.393,13 978,64 4 Welahan 1.586, ,56 5 Mayong 2.075, ,26 6 Nalumsari 2.230, ,28 7 Batealit 2.253, ,52 8 Tahunan 1.028, ,11 9 Jepara 402, ,23 10 Mlonggo 1.141, ,89 11 Pakis Aji 1.481, ,25 12 Bangsri 2.740, ,95 13 Kembang 2.452, ,24 14 Keling 2.256, ,46 15 Donorojo 1.940, ,67 16 Karimunjawa 32, ,00 Total , ,40 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 Berikut ini disajikan peta tata guna lahan kabupaten Jepara. III 14

69 Gambar 3. 6 Peta Tata Guna Lahan Kabupaten Jepara

70 Administrasi Secara administratif wilayah seluas 1.004,132 km² tersebut terdiri atas 16 kecamatan yang dibagi lagi dalam 195 desa/kelurahan, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 3. 4 Jumlah Kecamatan, Luas, Desa/Kelurahan, RW dan RT Kecamatan Luas (km 2 ) Desa/Kel RW RT (1) (2) (4) (5) (6) 1 Kedung 43, Pecangaan 35, Kalinyamatan 24, Welahan 27, Mayong 65, Nalumsari 56, Batealit 88, Tahunan 38, Jepara 24, Mlonggo 42, Pakis Aji 60, Bangsri 85, Kembang 108, Keling 123, Donorojo 108, Karimunjawa 71, Jepara 1.004, Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 Berdasarkan tabel 3.4, Luas wilayah daratan Kabupaten Jepara 1.004,132 km 2 dengan panjang garis pantai 72 km. Wilayah tersempit adalah Kecamatan Kalinyamatan (24,179 km 2 ) sedangkan tiga kecamatan yang memiliki wilayah paling luas adalah keling (123,116 km 2 ), Donorojo (108,642 km 2 ) dan Kembang (108,124 km 2 ). sedangkan kecamatan yang paling banyak desanya adalah Kedung dan Mayong (masing-masing 18 desa). Penggunaan lahan di Kabupaten Jepara didominasi oleh bangunan dan halaman (29,57 persen dari total luas lahan), diikuti oleh tanah sawah (26,47 persen), Tegalan (17,69 persen), dan hutan negara (17,45 persen). III 16

71 Kependudukan Jumlah Penduduk Jumlah penduduk Kabupaten Jepara pada tahun 2016 sebanyak jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak jiwa dan perempuan sebanyak jiwa. Kecamatan Karimunjawa memiliki jumlah penduduk terendah karena Kecamatan Karimunjawa merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Jepara yang berbentuk kepulauan sehingga tidak banyak penduduk yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut, serta difungsikannya Kecamatan Karimunjawa sebagai Taman Nasional Laut dengan tujuan untuk melindungi dan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara lestari. Lebih jelasnya komposisi jumlah penduduk tampak pada tabel di bawah ini: Tabel 3. 5 Penduduk Menurut Kelompok Umur Dirinci Per Jenis Kelamin Di Kabupaten Jepara 2016 Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah (1) (2) (3) (4) Jumlah Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 Tabel piramida penduduk Kabupaten Jepara, seperti disajikan pada tabel 3.5 berbentuk expensive yaitu sebagian besar penduduk berada dalam kelompak III 17

72 umur termuda. Piramida ini menunjukkan bahwa Kabupaten Jepara mempunyai peluang tenaga kerja yang banyak di masa depan, akan tetapi juga bermasalah apabila tidak membuka lapangan pekerjaan karena akan menimbulkan pengangguran Kepadatan Penduduk dan Pertambahan Penduduk Kabupaten Jepara memiliki 16 kecamatan dan kecamatan yang memiliki desa paling banyak penduduknya adalah Kecamatan Tahunan, dengan luas wilayah sebesar 38,906 Km 2 dan memiliki jumlah penduduk yaitu jiwa dengan kepadatan penduduk jiwa/km 2. Sedangkan kecamatan yang memiliki jumlah desa paling sedikit terdapat di Kecamatan Karimunjawa, dengan luas wilayah yaitu 71,200 Km 2 dan jumlah penduduk hanya sebesar jiwa sehingga kepadatan penduduk hanya sebesar 132 Jiwa/Km 2. Lebih jelasnya mengenai kepadatan penduduk di Kabupaten Jepara dapat dilihat pada tabel 3.6 berikut ini. Tabel 3. 6 Kepadatan Penduduk Per Km2 di Kabupaten Jepara 2016 Kecamatan Luas Jumlah Kepadatan Daerah Penduduk (Km 2 Penduduk Per Km ) (orang) (1) (2) (3) (4) 1. Kedung 43, Pecangaan 35, Kalinyamatan 24, Welahan 27, Mayong 65, Nalumsari 56, Batealit 88, Tahunan 38, Jepara 24, Mlonggo 42, Pakis Aji 60, Bangsri 85, Kembang 108, Keling 123, Donorojo 108, Karimunjawa 71, Tahun , III 18

73 Sumber : Kabupaten Jepara dalam Angka 2017 Jika dilihat berdasarkan kepadatan penduduk, pada tahun 2016, kepadatan penduduk Kabupaten Jepara mencapai jiwa per km 2. Penduduk terpadat berada di Kecamatan Jepara (3.613 jiwa per km 2 ), sedangkan kepadatan terendah berada di Kecamatan Karimunjawa (132 jiwa per km 2 ). Berikut ini disajikan kepadatan penduduk per kecamatan. Gambar 3. 7 Kepadatan penduduk masing-masing Kecamatan di Kabupaten Jepara III 19

74 Tingkat Pertumbuhan Penduduk Pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Jepara terjadi secara fluktuatif dari tahun 2012 sebesar jiwa, tahun 2013 sebesar jiwa tahun 2014 sebesar jiwa dan Tahun 2015 sebesar jiwa, tahun 2016 sebesar jiwa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.7 berikut ini. Tabel 3. 7 Tingkat Pertumbuhan Penduduk di Kabupaten Jepara Tahun Pertambahan Penduduk Prosentase Penduduk Per Akhir Tahun (%) Tahun (1) (2) (3) (4) , , , , , ,47 Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka Sosial Budaya Kehidupan budaya masyarakat Kabupaten Jepara pada umumnya sangat dipengaruhi oleh budaya orang-orang pesisir/pantai. Budaya masyarakat pesisir pada umumnya mempunyai etos kerja yang kuat dan jiwa kewirausahaan yang besar. Kehidupan budaya masyarakat ini akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah, hal itu dapat dilihat antara lain dengan banyaknya jumlah penduduk yang mata pencahariannya tidak tersentral dalam 1 atau 2 sektor saja, tetapi tersebar di semua sektor-sektor lapangan usaha. Angka kemiskinan di Kabupaten Jepara sampai dengan tahun 2016 berdasarkan data. Badan Pusat Statistik (BPS) Jepara, angka kemiskinan pada 2016 di Kabupaten Jepara tercatat masih 8,35 persen, atau sebanyak 100,32 jiwa. Angka ini lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini ternyata juga diikuti dengan kondisi kerawanan sosial yang masih relatif tinggi, khususnya balita terlantar, anak dan lanjut usia terlantar, gelandangan dan pengemis, serta penyandang cacat. III 20

75 Kondisi kesejahteraan sosial yang ada sebetulnya sudah didukung oleh ketersediaan sarana-sarana kesejahteraan seperti panti sosial asuhan anak sebanyak 33 buah. Namun demikian dilihat dari jumlah dan kualitas pelayanan belum sepenuhnya dapat menangani permasalahan yang dihadapi. Untuk itu diperlukan pemikiran dan pemecahan masalah secara komprehensif, mengingat penyebab masalah sosial adalah sangat kompleks Pendidikan Keberhasilan pendidikan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sarana dan prasarana pendidikan seperti sekolah dan tenaga pendidikan (guru) yang memadai. Berikut disajikan data jumlah sekolah, jumlah siswa dan jumlah guru menurut jenjang pendidikan. Tabel 3. 8 Jumlah Sekolah dan Siswa Menurut Jenjang Pendidikan Jenjang Pendidikan Sekolah Siswa (orang) Guru (orang) SD Negeri SD Swasta MI Negeri MI Swasta SLTP Negeri SLTP Swasta MTs Negeri MTs Swasta SMA Negeri SMA Swasta MA Negeri MA Swasta SMK Negeri SMK Swasta Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka Kesehatan Kesehatan merupakan masalah kita bersama, baik pemerintah maupun masyarakat, dan oleh karena itu kesehatan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Salah satu peran pemerintah dalam pembangunan kesehatan adalah menyediakan sarana kesehatan yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas, baik dari segi finansial maupun lokasinya. III 21

76 Sarana kesehatan tersebut antara lain berupa rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu dan tenaga kesehatan (medis/paramedis). Pada tahun 2016 di Kabupaten Jepara terdapat 6 RSU, 1 rumah bersalin, 21 puskesmas, 44 puskesmas pembantu, 47 balai pengobatan dan posyandu. Selain itu, sarana kesehatan lain yang berupa tenaga kesehatan adalah 77 dokter umum dan 18 dokter spesialis, 452 bidan dan 726 tenaga paramedis. Fasilitas kesehatan lainnya adalah 80 apotik dan 4 toko obat yang tersebar diseluruh Kabupaten Jepara. No Tabel 3. 9 Jumlah Fasilitas Kesehatan Tahun 2016 Kecamatan Rumah Sakit Rumah Bersalin Puskesmas Puskesmas Pembantu Balai Pengobatan Swasta Posyandu 1 Kedung Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Batealit Tahunan Jepara Mlonggo Pakis Aji Bangsri Kembang Keling Donorojo Karimunjawa JUMLAH Sumber: Kabupaten Jepara dalam Angka Agama Kesadaran beragama di Kabupaten Jepara cukup tinggi, hal itu digambarkan dengan fasilitas tempat-tempat ibadah sangat memadai dan cenderung meningkat baik kuantitas maupun kualitasnya, serta kondusifnya situasi kerukunan antar umat beragama. Dilihat dari banyaknya pemeluk agama, penduduk. Kabupaten Jepara, mayoritas beragama Islam yaitu mencapai 97,88% III 22

77 dari total jumlah penduduk, selebihnya pemeluk agama. Kristen dan Katolik sebesar 1,63%; pemeluk agama Hindu 0,05% dan Budha sebesar 0,77%. Meskipun mayoritas keagamaan penduduk di Jepara adalah Muslim, namun hal itu tetap memberikan ruang bagi penganut agama lain. Hal itu tampak dari jumlah sarana peribadatan yang cukup lengkap terdiri dari: masjid sebanyak 978, Mushola sebanyak 4.068, Greja Protestan sebanyak 106, Greja Khatolik sebanyak 3, pura sebanyak 36, Vihara sebanyak 4, dan Klenteng sebanyak Perekonomian Basis sektor ekonomi di Kabupaten Jepara dapat dilihat melalui perkembangan sektor ekonomi strategis, yaitu sektor ekonomi yang prospektif dapat dikembangkan diantaranya sektor industri pengolahan, pertanian, perdagangan dan sektor pariwisata. Pada gambar 3.8 disajikan penduduk Kabupaten Jepara berdasarkan lapangan usaha (sektor). Sebagian besar berusaha / di sektor Industri (44,53 persen) dan Perdagangan (17,76 persen), selebihnya berusaha / bekerja di sektor Pertanian, Pertambangan, Listrik, Konstruksi, Perdagangan, Keuangan dan Jasajasa. Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar 3. 8 Persentase Penduduk Yang Bekerja Berdasarkan Lapangan Usaha Produk Domestik Regional Bruto Pada tabel berikut, disajikan PDRB Jepara, berdasarkan harga berlaku III 23

78 dan harga konstan. Tabel PDRB Kabupaten Jepara ADHB Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) Tahun KATEGORI * 2016** A Pertanian, Kehutanan, dan , , , , ,10 Perikanan B Pertambangan dan , , , , ,23 Penggalian C Industri Pengolahan , , , , ,70 D Pengadaan Listrik dan Gas , , , , ,55 E Pengadaan Air, Pengelolaan , , , , ,72 Sampah, Limbah dan Daur Ulang F Konstruksi , , , , ,32 G Perdagangan Besar dan , , , , ,22 Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor H Transportasi dan , , , , ,26 Pergudangan I Penyediaan Akomodasi dan , , , , ,55 Makan Minum J Informasi dan Komunikasi , , , , ,94 K Jasa Keuangan dan Asuransi , , , , ,80 L Real Estate , , , , ,51 M,N Jasa Perusahaan , , , , ,70 O Administrasi Pemerintahan, , , , , ,40 Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib P Jasa Pendidikan , , , , ,27 Q Jasa Kesehatan dan , , , , ,39 Kegiatan Sosial R,S,T,U Jasa lainnya , , , , ,08 PRODUK DOMESTIK , , , , ,74 REGIONAL BRUTO PENDUDUK (Proyeksi Penduduk) PDRB Per Kapita (Rupiah) , , , , ,26 Sumber: PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Jepara, Ket: * = Angka Sementara **= Angka Sangat Sementara Produk Domestik Regional Bruto atas harga berlaku Kabupaten Jepara pada tahun 2016 mencapai ,74 juta rupiah. Jika diperbandingkan dengan nilai PDRB tahun-tahun sebelumnya, maka nampak bahwa dalam 3 tahun terakhir nilai PDRB Kabupaten Jepara tersebut mengalami peningkatan, karena pada tahun 2013 sebesar ,49 juta rupiah, pada tahun 2014 sebesar ,01 juta rupiah, dan pada tahun 2015 sebesar ,25 juta rupiah. III 24

79 Tabel PDRB Kabupaten Jepara ADHK Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah) Tahun KATEGORI * 2016** A Pertanian, Kehutanan, dan , , , , ,29 Perikanan B Pertambangan dan , , , , ,82 Penggalian C Industri Pengolahan , , , , ,96 D Pengadaan Listrik dan Gas , , , , ,20 E Pengadaan Air, Pengelolaan , , , , ,70 Sampah, Limbah dan Daur Ulang F Konstruksi , , , , ,57 G Perdagangan Besar dan , , , , ,25 Eceran; Reparasi Mobil dan Sepeda Motor H Transportasi dan , , , , ,14 Pergudangan I Penyediaan Akomodasi dan , , , , ,56 Makan Minum J Informasi dan Komunikasi , , , , ,36 K Jasa Keuangan dan , , , , ,64 Asuransi L Real Estate , , , , ,70 M,N Jasa Perusahaan , , , , ,89 O Administrasi Pemerintahan, , , , , ,79 Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib P Jasa Pendidikan , , , , ,81 Q Jasa Kesehatan dan , , , , ,30 Kegiatan Sosial R,S,T,U Jasa lainnya , , , , ,89 PRODUK DOMESTIK , , , , ,88 REGIONAL BRUTO PENDUDUK (Proyeksi , ,00 Penduduk) PDRB Per Kapita (Rupiah) , , , , ,06 Sumber: PDRB menurut Lapangan Usaha Kabupaten Jepara, Ket: * = Angka Sementara **= Angka Sangat Sementara Dari data di atas nampak bahwa kontribusi masing-masing sub sektor tiap tahun mengalami kenaikan, untuk sub sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan di tahun 2012 sebesar ,42 (juta rupiah), di tahun 2013 sebesar ,34 (juta rupiah), di tahun 2014 sebesar ,03 (juta rupiah), di tahun 2015 sebesar ,19 (juta rupiah), dan di tahun 2016 sebesar ,29 (juta rupiah). Sektor industri merupakan tiang penyangga utama daripada III 25

80 perekonomian Kabupaten Jepara Tahun 2016 ada buah perusahaan industri/unit di Kabupaten Jepara. Angka tersebut mencakup seluruh perusahaan (unit usaha) industri kecil menengah (IKM) dengan jumlah tenaga kerja sebanyak orang. Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar 3. 9 Unit usaha Industri Kecil Menengah di Kecamatan di Kabupaten Jepara 3.2. PROFIL POTENSI Gambaran Umum Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Kabupaten Jepara sebanyak dikelola oleh rumah tangga, sebanyak 23 dikelola oleh Perusahaan Pertanian berbadan hukum dan sebanyak 6 dikelola oleh selain rumah tangga (NRT). Kecamatan Kembang, Kecamatan Keling dan Kecamatan Bangsri merupakan tiga kecamatan dengan urutan teratas yang mempunyai jumlah rumah tangga pertanian terbanyak yaitu masing-masing rumah tangga, rumah tangga dan rumah tangga. Sedangkan Kecamatan Karimunjawa merupakan wilayah yang paling sedikit jumlah rumah tangga usaha pertaniannya yaitu sebanyak rumah tangga. Sementara itu jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum dan usaha III 26

81 pertanian selain perusahaan dan rumah tangga di Kabupaten Jepara 29, untuk perusahaan sebanyak 23 unit dan lainnya 6 unit. Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum terbanyak beralokasi di Kecamatan Jepara yaitu 5 dan paling sedikir di Kecamatan kalinyamatan yaitu sebanyak 1 perusahaan. Sedangkan jumlah perusahaan tidak berbadan hukum atau bukan usaha rumah tangga usaha pertanian terbanyak terdapat di Kecamatan Batealit yaitu sebanyak 2 unit dan Lainnya masing-masing terdapat 1 unit yaitu untuk Kecamatan Kedung, Jepara, Keling dan Donorojo. Tabel Banyaknya Usaha Pertanian Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian 2003 dan 2013 Menurut Kecamatan dan Cakupan Usaha No Kecamatan Pertumbuhan ( ) RPT Perusa RPT Perusa Lain RPT Perusahaan haan haan nya Absolut % Absolut % (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) 1 Kedung , ,00 2 Pecangaan , Kalinyamatan ,39 0 0,00 4 Welahan , Mayong , Nalumsari , Batealit ,56 2 0,00 8 Tahunan ,42 0 0,00 9 Jepara , ,33 10 Mlonggo , ,00 11 Pakis Aji *) *) *) *) Bangsri ,60 0 0,00 13 Kembang ,00 0 0,00 14 Keling ,44 0 0,00 15 Donorojo *) *) *) *) Karimunjawa ,60 1 0, 00 Sumber: Sensus Pertanian Kab Jepara Tahun 2013 III 27

82 Gambar Penyebaran Rumah Tangga Usaha Pertanian di Kabupaten Jepara Luas wilayah Kabupaten Jepara tercatat mencapai Ha. Luas wilayah tersebut terdiri dari (26,42%) lahan sawah dan Ha (73,58%) lahan bukan lahan sawah. Menurut penggunaannya sebagian besar lahan sawah digunakan sebagai lahan sawah berpengairan sederhana PU Ha, lahan sawah dengan tadah hujan Ha, selainnya berpengairan irigasi teknis, setengah teknis dan non PU. Lahan bukan lahan sawah digunakan untuk bangunan & halaman sekitarnya sebesar Ha (29,63 %) yang merupakan persentase penggunaan terbesar, digunakan untuk tegal, padang rumput, rawa yang tidak ditanami, tambak, kolam, III 28

83 No No tanah yang sementara tidak diusahakan, tanah untuk tanaman kayu-kayuan, hutan negara, perkebunan negara/swasta, dan tanah lainnya (jalan, sungai, kuburan, lambiran, tanah gege, lapangan olahraga, dll). KECAMATAN Tabel Luas Penggunaan Lahan Tahun 2016 Tanah Sawah Pengaira Pengaira Pengai Pengai n n ran Tadah ran Setenga Sederha Non Hujan Tehnis h Tehnis na P.U. PU Pasang Surut Sementa ra Tidak Diusaha kan Jumlah 1 Kedung Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Batealit Tahunan Jepara Mlonggo Pakis Aji Bangsri Kembang Keling Donorojo Karimunjawa JUMLAH Lanjutan.. KECAMATA N Bangu nan & Halam an Tegal Pad ang Ru mp ut Rawa Yang Tida k Ditan ami Tam bak Tanah Kering Seme K ntara ol tidak a diusa m haka n Tana man Kayu - kayu an Hutan Negara Perk ebun an Nega ra/s wasta Tana h Lain nya Jumla h 1 Kedung Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Batealit Tahunan Jepara Mlonggo Pakis Aji Bangsri Kembang Keling Donorojo Karimunjawa JUMLAH III 29

84 Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar Luas Lahan Tanah Sawah dan Tanah Kering Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar Luas Lahan Tanah Sawah Sumber: Data Diolah, 2017 Gambar Luas Lahan Tanah Kering III 30

85 Gambaran Umum Biofarmaka Berdasarkan Undang-undang No 13 Tahun 2010 Hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura, termasuk di dalamnya jamur, lumut, dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau bahan estetika. Subsektor hortikultura telah berkontribusi secara nyata dalam mendukung perekonomian nasional, baik dalam penyediaan produk pangan, kesehatan dan kosmetika, perdagangan, penciptaan produk domestik bruto maupun penyerapan tenaga kerja. Berkaitan dengan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa biofarmaka merupakan salah satu tanaman hortikultura. Dengan berkembangnya perekonomian dan pengetahuan masyarakat, makin meningkat pula kesadaran akan pentingnya kesehatan dengan menjaga/merawat kesehatan dan melakukan pengobatan penyakit yang bersumber dari tanaman biofarmaka. Oleh karena itu, data dan informasi tanaman biofarmaka, penting artinya dalam mendukung perumusan perencanaan dan kebijakan, menginformasikan keadaan dan keberhasilan, maupun dalam mengevaluasi kinerja pengembangan tanaman biofarmaka. Jenis tanaman biofarmaka (obat-obatan) antara lain: Tabel Kelompok Tanaman Biofarmaka No Jenis Tanaman Satuan Luas Panen Bentuk Hasil 1 Jahe M 2 Rimpang 2 Laos (Lengkuas) M 2 Rimpang 3 Kencur M 2 Rimpang 4 Kunyit M 2 Rimpang 5 Lempuyang M 2 Rimpang 6 Temulawak M 2 Rimpang 7 Temuireng M 2 Rimpang 8 Temukunci M 2 Rimpang 9 Dringo M 2 Rimpang 10 Kapulaga M 2 Biji 11 Mengkudu (Pace) Pohon Buah 12 Mahkota Dewa Pohon Buah 13 Kejibeling M 2 Daun 14 Sambiloto M 2 Daun 15 Lidah buaya M 2 Daun Sumber: Statistik Tanaman Biofarmaka Indonesia 2015 III 31

86 No Berdasarkan bentuk produksinya, tanaman biofarmaka dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok rimpang dan bukan rimpang. Kelompok tanaman rimpang terdiri dari tanaman jahe, laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci dan dringo, sedangkan kelompok tanaman bukan rimpang terdiri dari tanaman kapulaga, mengkudu/pace, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto dan lidah buaya. Ada beberapa jenis tanaman biofarmaka yang masih membutuhkan impor dari negara lain. Hal ini mungkin dikarenakan jenis varietas tertentu yang harus dipenuhi oleh proses produksinya atau bisa juga dikarenakan harganya yang relatif lebih murah sehingga memungkinkan untuk memproduksi dengan memperkuat daya saing terhadap harga jual produk tersebut. Tanaman biofarmaka yang mengalami Impor yang tertinggi di tahun 2015 adalah tanaman jahe, tanaman tersebut mengalami peningkatan baik volume maupun nilainya, yaitu sekitar 4.039,99 ton atau senilai 3.511,72 ribu dolar AS. Sedangkan yang volumenya tertinggi penurunannya adalah tanaman temulawak, yaitu menurun sekitar 92,44 ton, dan yang tertinggi penurunan nilainya adalah tanaman kapulaga, turun sekitar 74,41 ribu dolar AS. Jenis Tanaman Tabel 3.15 Impor Tanaman Obat Tahun Perubahan Berat Nilai CIF Berat Nilai CIF Berat Nilai CIF (Kg) (US $) (Kg) (US $) (Kg) (US $) 1 Kapulaga Jahe Kunyit Temulawak Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Tahun 2015 Tabel 3.16 Ekspor Tanaman Obat Tahun Perubahan Jenis Berat Nilai Berat (Kg) Nilai Berat (Kg) Nilai No. Tanaman (Kg) FOB(US $) FOB(US $) FOB(US $) 1 Kapulaga Jahe Kunyit Temulawak Sumber: Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia Tahun 2015 III 32

87 Tanaman Biofarmaka yang didata di Jepara Hasil produksi tanaman biofarmaka di Jepara antara lain Kencur, Jahe, Kapulaga, Kejibeling, Laos/lengkuas, Kunyit, Temulawak, Temuireng, Temukunci, Dlingo, Mengkudu/Pace, Mahkota Dewa, dan Lidah Buaya Luas Panen Tanaman Biofarmaka di Kabupaten Jepara Pada tabel dan gambar Disajikan mengenai luas panen tanaman Dlingo, Jahe, Laos/lengkuas, Kencur, Kunyit, Temulawak, Temuireng, Temukunci, Kapulaga, Mengkudu/Pace, Mahkota Dewa, Kejibeling, dan Lidah Buaya dari tahun Tabel 3.17 Luas Panen Tanaman Dlingo/Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan 0,0005-0,0005 0,0005 Kalinyamatan - 0, Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman Dlingo/Dringo dari tahun yang terluas ada di kecamatan Pecangaan di tahun 2014 sebesar 0,0005 Ha, tahun 2016 dan 2017 sebesar 0,0005 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman dlingo terluas ada di kecamatan Pecangaan. III 33

88 Gambar Luas Panen Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman Dlingo/Dringo yang paling luas dari tahun adalah kecamatan Pecangaan dan Kalinyamatan. Di tahun 2014, 2016, dan 2017 luas Dlingo/Dringo yang paling luas sebesar 0,0005 Ha di kecamatan Mayong, sedangkan di tahun 2015 luas Dlingo/Dringo yang paling luas sebesar 0,0005 Ha di kecamatan Kalinyamatan. Gambar Luas Panen Tanaman Dringo (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman Dlingo/Dringo kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas Dlingo/Dringo jawa tengah sebesar 3,5745 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,0005 Ha. III 34

89 Tabel Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling 0,42 0,50 0,95 0,95 0,37 0,20 0,20 0,20 Donorojo 0,19 0, ,00 0,00 0,00 Kembang 0,50-0,02 0,02 0,03 0,09 0,04 0,05 Bangsri ,00 0,02 0,02 0,01 Mlonggo - - 0,23 0,23 0,24 0,24 0,19 0,09 Pakis Aji ,20 0,04 0,04 0,08 Jepara 0,05 0,01 0,06 0,06-0,04 0,04 0,13 Batealit 0,10-0,10 0, Pecangaan ,00 0,00 0,00 0,00 Kalinyamatan - 0,04 0,06 0,06-0,06 0,09 0,06 Welahan 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 Mayong 0,23 0,40 2,40 2,40 0,50 0,15 0,15 - Nalumsari - - 1,00 1,00 0,23 0,19 0,16 0,16 Tahunan ,04 0,05 0,10 0,13 Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman jahe dari tahun yang terluas ada di kecamatan Mayong di tahun 2010 sebesar 0,23 Ha; tahun 2011 sebesar 0,40 Ha; tahun 2012 dan 2013 sebesar 2,40 Ha; tahun 2014 sebesar 0,50 Ha; tahun 2015 dan 2016 sebesar 0,15 Ha; dan tahun 2016 sebesar 7,00 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman jahe terluas ada di kecamatan Mayong. Gambar Luas Panen Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman jahe yang paling luas dari tahun adalah kecamatan Mayong. Dan di III 35

90 tahun 2012 dan 2013 luas jahe yang paling luas sebesar 0,40 Ha di kecamatan Mayong. Gambar Luas Panen Tanaman Jahe (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman jahe kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas jahe jawa tengah sebesar 2.329,03 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 1,10 Ha. Tabel Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling 1,11 0,99 0,99 0,99 Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa III 36

91 Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman Kapulaga dari tahun yang terluas ada di kecamatan Keling di tahun 2014 sebesar 1,11 Ha; tahun 2015 sampai 2017 sebesar 0,99 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kapulaga terluas ada di kecamatan Keling. Gambar Luas Panen Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman Kapulaga yang paling luas dari tahun adalah kecamatan Keling. Dan di tahun 2014 luas kapulaga yang paling luas sebesar 1,11 Ha di kecamatan Keling. Gambar Luas Panen Tanaman Kapulaga (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kapulaga kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas Kapulaga jawa tengah sebesar 1217,42 Ha III 37

92 sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,99 Ha. Tabel Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara - 0,008 0,008 0,008 Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman Kejibeling dari tahun yang terluas ada di kecamatan Jepara di tahun tahun 2015 sampai 2017 sebesar 0,008 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kejibeling terluas ada di kecamatan Jepara. Gambar Luas Panen Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman III 38

93 Kejibeling yang paling luas dari tahun adalah kecamatan Jepara. Dan di tahun 2015 sampai 2017 luas kejibeling yang paling luas sebesar 0,008 Ha di kecamatan Jepara. Gambar Luas Panen Tanaman Kejibeling (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman Kejibeling kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas kejibeling jawa tengah sebesar 4,2424 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,0075 Ha. Tabel Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling 0,37 0,70 1,05 1,05 0, Donorojo 0,10 0, ,00 0,00 0,00 Kembang 0,20-0,01 0,01 0,04 0,04 0,04 0,01 Bangsri ,64 0,64 0,07 - Mlonggo 0,14 0, ,15 0,15 0,09 0,09 Pakis Aji 0,02 0,49 0,30 0,30 1,30 1,00 1,00 1,18 Jepara 0,05 0,07 0,06 0,06 0,08 0,08 0,08 0,11 Batealit 0,40-0,30 0,30 5, Pecangaan Kalinyamatan 0,01 0,09 0,08 0,08 0,05 0,05 0,10 0,05 Welahan 0,04 0,05 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 Mayong 1,40 8,00 1,60 1,60 0, Nalumsari 6,45 2,90 1,90 1,90 7,20 2,50 7,00 2,50 Tahunan ,09 0,03 0,06 0,10 Kedung Karimunjawa III 39

94 Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman kencur dari tahun yang terluas ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2010 sebesar 6,45 Ha; tahun 2011 sebesar 2,90 Ha; tahun 2012 dan 2013 sebesar 1,90 Ha; tahun 2014 sebesar 7,20 Ha; tahun 2015 sebesar 2,50 Ha; tahun 2016 sebesar 7,00 Ha dan tahun 2017 sampai bulan September sebesar 2,50 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kencur terluas ada di kecamatan nalumsari. Gambar Luas Panen Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kencur yang paling luas dari tahun adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2014 luas kencur yang paling luas sebesar 7,20 Ha di kecamatan nalumsari. Gambar Luas Panen Tanaman Kencur (Ha) di Kab. Jepara dan Provinsi Jawa Tengah III 40

95 Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kencur kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas kencur jawa tengah sebesar 563,84 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 4,50 Ha. Tabel Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling 0,13 0,85 0,45 0,45 0, Donorojo ,00 0,00 0,00 Kembang 0,30-0,01 0,01 0,02 0,08 0,08 0,06 Bangsri 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 Mlonggo 0, ,25 0,25 0,20 0,20 Pakis Aji 0,05 0,85 0,30 0,30 0, ,02 Jepara 0,03-0,05 0,05 0,03 0,00 0,00 0,08 Batealit 0, Pecangaan ,00 0,00 0,00 0,00 Kalinyamatan - 0,05 0,05 0,05-0,01 0,05 0,01 Welahan 0,11 0,09 0,11 0,11 0,05 0,06 0,03 0,01 Mayong 0,10 0,20 0,25 0, Nalumsari - 1, Tahunan ,03-0,03 0,09 Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman kunyit dari tahun yang terluas ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2011 sebesar 1,00 Ha. Gambar Luas Panen Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) III 41

96 Gambar Luas Panen Tanaman Kunyit (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kunyit kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas kunyit jawa tengah sebesar 1.177,97 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,41 Ha. Tabel Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling 0,250 0,450 0,450 0,450 0,050 0,050 0,290 0,050 Donorojo 0,120 3, ,920 0,001 0,001 0,001 Kembang 0, ,018 0,013 0,013 0,013 Bangsri ,002 0,014 0,013 0,003 Mlonggo 0, ,330 0,230 0,200 0,200 Pakis Aji 0,010 0,990 0,600 0,600 0, Jepara 0,020 0, ,021 0,010 0,010 0,023 Batealit 0,900-0,200 0,200 0,200 0,200 0,200 - Pecangaan ,001 0,001 0,001 0,001 Kalinyamatan - 0,050 0,050 0,050-0,060 0,060 0,060 Welahan 0,030 0,010 0,010 0,010 0,016 0,013 0,005 0,005 Mayong 2,850 29,500 2,900 2,900 0,175 0,300 0,300 - Nalumsari 149,600 67, , ,560 20,003 3,750 17,500 7,550 Tahunan ,050 0,040 0,060 0,120 Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman laos dari tahun yang terluas ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2010 sebesar 149,600 Ha; tahun 2011 sebesar 67,890 Ha; tahun 2012 dan 2013 sebesar 101,560 Ha; tahun 2014 sebesar 20,003 Ha; tahun 2015 sebesar 3,750 Ha; tahun III 42

97 2016 sebesar 17,500 Ha dan tahun 2017 sampai bulan September sebesar 7,550 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman laos terluas ada di kecamatan nalumsari. Gambar Luas Panen Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman laos yang paling luas dari tahun adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2010 luas laos yang paling luas sebesar 149,600 Ha di kecamatan Nalumsari. Gambar Luas Panen Tanaman Laos (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman laos kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas laos jawa tengah sebesar 451,26 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 4,68 Ha. III 43

98 Tabel Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling Donorojo - 0,001 0,001 0,001 Kembang 0,004 0,004 0,004 0,004 Bangsri Mlonggo Pakis Aji 0, ,002 Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan 0,010 0,009 0,005 0,002 Mayong 0, Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman Lempunyang dari tahun yang terluas ada di kecamatan Mayong di tahun tahun 2014 sebesar 0,200 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kejibeling terluas ada di kecamatan Mayong. Gambar Luas Panen Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman lempuyang yang paling luas dari tahun adalah kecamatan Mayong. III 44

99 Dan di tahun 2014 luas lempuyang yang paling luas sebesar 0,200 Ha di kecamatan Mayong Gambar Luas Panen Tanaman Lempuyang (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman lempuyang kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas lempuyang jawa tengah sebesar 121,17 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,01 Ha. Tabel Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan 0,003 0,003 0,003 0,006 Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa III 45

100 Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman lidah buaya dari tahun yang terluas ada di kecamatan Pecangaan di tahun 2014 sebesar 0,003 Ha; tahun 2015 sebesar 0,003 Ha; tahun 2016 sebesar 0,003 Ha; dan tahun 2017 sebesar 0,006 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman lidah buaya terluas ada di kecamatan Pecangaan. Gambar Luas Panen Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman lidah buaya yang paling luas dari tahun adalah kecamatan Pecangaan. Dan di tahun 2017 sampai bulan September luas lidah buaya yang paling luas sebesar 0,200 Ha di kecamatan Mayong. Gambar Luas Panen Tanaman Lidah Buaya (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah III 46

101 Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman lidah buaya kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas lidah buaya jawa tengah sebesar 0,4657 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,003 Ha. Tabel Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon) Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman mahkota dewa dari tahun yang paling banyak ada di kecamatan Keling di tahun 2014 sebesar 390 pohon; tahun 2015 dan 2016 sebesar 81 pohon. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman kejibeling terluas ada di kecamatan Keling. III 47

102 Gambar Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (pohon) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman mahkota dewa yang paling banyak dari tahun adalah kecamatan Keling. Dan di tahun 2014 tanaman mahkota dewa yang paling banyak sebesar 390 pohon di kecamatan Keling. Gambar Luas Panen Tanaman Mahkota Dewa (pohon) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman mahkota dewa kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas mahkota dewa jawa tengah sebesar pohon sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 183 pohon. III 48

103 Tabel Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon) Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman mengkudu dari tahun yang paling banyak ada di kecamatan Keling di tahun 2014 sampai 2017 sebesar 604 pohon. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman mengkudu terluas ada di kecamatan Keling. Gambar Luas Panen Tanaman Mengkudu per Kecamatan di Kabupaten Jepara (pohon) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman mengkudu yang paling banyak dari tahun adalah kecamatan Keling. III 49

104 Dan di tahun 2014 sampai 2017 tanaman mengkudu yang paling banyak sebesar 640 pohon di kecamatan Keling. Gambar Luas Panen Tanaman Mengkudu (pohon) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman mengkudu kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas mengkudu jawa tengah sebesar pohon sedangkan Kabupaten Jepara sebesar pohon. Tabel Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling Donorojo - 0,0004 0,0004 0,0004 Kembang 0,0025 0,0025 0,0025 0,0030 Bangsri Mlonggo Pakis Aji 0, Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan 0,0110 0,0070 0,0020 0,0010 Mayong 0, Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa III 50

105 Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman temuireng dari tahun yang terluas ada di kecamatan Mayong di tahun 2014 sebesar 0,2000 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman temuireng terluas ada di kecamatan Mayong. Gambar Luas Panen Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temuireng yang paling banyak dari tahun adalah kecamatan Mayong. Dan di tahun 2014 tanaman temuireng yang paling banyak sebesar 0,2000 Ha di kecamatan Mayong. Gambar Luas Panen Tanaman Temuireng (ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temuireng kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Tahun 2015 luas temuireng jawa tengah sebesar 134,4438 Ha sedangkan III 51

106 Kabupaten Jepara sebesar 0,0099 Ha. Tabel Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling 0,018 0,050 0,050 0,050 Donorojo - 0,001 0,001 0,001 Kembang 0,003 0,003 0,003 0,007 Bangsri 0,001 0, Mlonggo Pakis Aji 0, Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan 0,020 0,040 0,070 0,040 Welahan Mayong Nalumsari Tahunan ,050 Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman temukunci dari tahun yang terluas ada di kecamatan Kalinyamatan di tahun 2014 sebesar 0,020 Ha; tahun 2015 sebesar 0,040 Ha; tahun 2016 sebesar 0,070 Ha; dan tahun 2017 sebesar 0,040 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman temukunci terluas ada di kecamatan Kalinyamatan. Gambar Luas Panen Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) III 52

107 Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temukunci yang paling banyak dari tahun adalah kecamatan Kalinyamatan. Gambar Luas Panen Tanaman Temukunci (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temukunci kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas temukunci jawa tengah sebesar 41,95 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,10 Ha. Tabel Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Keling Donorojo ,001 0,001 0,001 Kembang 0, ,003 0,004 0,004 0,004 Bangsri Mlonggo Pakis Aji 0,050 0,030 0,030 0, Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan - 0, Welahan 0,030 0,030 0,020 0,020 0,010 0,014 0,010 0,002 Mayong 0,050 0,200 0,250 0,250 0, Nalumsari Tahunan ,001 Kedung Karimunjawa III 53

108 Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, luas panen tanaman temulawak dari tahun yang terluas ada di kecamatan Mayong di tahun 2010 sebesar 0,050 Ha; tahun 2011 sebesar 0,200 Ha; tahun 2012 dan 2013 sebesar 0,250 Ha; tahun 2014 sebesar 0,200 Ha. Dapat disimpulkan bahwa luas panen tanaman temulawak terluas ada di kecamatan Mayong. Gambar Luas Panen Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Ha) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temulawak yang paling luas dari tahun adalah kecamatan Mayong. Dan di tahun 2012 dan 2013 luas temulawak yang paling luas sebesar 0,250 Ha di kecamatan Mayong. Gambar Luas Panen Tanaman Temulawak (Ha) di Kabupaten Jepara dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman temulawak kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat III 54

109 rendah. Pada tahun 2015 luas temulawak jawa tengah sebesar 465,0811 Ha sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 0,018 Ha Jumlah Produksi Tanaman Biofarmaka di Kabupaten Jepara Pada tabel dan gambar Disajikan mengenai luas panen tanaman Dlingo, Jahe, Laos/lengkuas, Kencur, Kunyit, Temulawak, Temuireng, Temukunci, Kapulaga, Mengkudu/Pace, Mahkota Dewa, Kejibeling, dan Lidah Buaya dari tahun Tabel Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan 0,04-0,04 0,03 Kalinyamatan - 0, Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman dringo dari tahun kecamatan yang produksi tanaman dringo hanya ada di Kecamatan Pecangaan dan Welahan. III 55

110 Gambar Produksi Tanaman Dringo per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar Produksi Tanaman Dringo (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling 8,95 5,00 9,80 9,80 12,11 13,00 8,00 3,00 Donorojo 6,72 1, ,10 0,10 0,10 Kembang 11,87-0,11 0,11 0,90 2,50 1,35 1,18 Bangsri 0,06-0,01 0,01 0,03 0,24 0,31 0,79 Mlonggo - - 0,70 0,70 1,80 3,80 2,80 1,80 Pakis Aji ,00 0,20 0,20 2,57 Jepara 1,00 0,23 1,65 1,65-0,80 0,80 2,60 Batealit 1,00-3,00 3, Pecangaan 0,03-0,05 0,05 0,11 0,10 0,10 0,09 Kalinyamatan - 0,60 1,80 1,80-2,40 3,60 2,40 III 56

111 Welahan 0,66 0,52 0,38 0,38 0,60 0,72 0,32 0,24 Mayong 11,50 14,00 96,00 96,00 2,00 3,00 3,00 - Nalumsari ,00 30,00 6,20 5,70 4,80 4,80 Tahunan ,40 0,50 0,70 0,52 Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, produksi tanaman jahe per kecamatan di kabupaten Jepara yang banyak ada di kecamatan Mayong di tahun 2010 sebesar 11,50 ton; tahun 2011 sebesar 14,00 ton; tahun 2012 sebesar 96,00 ton; tahun 2013 sebesar 96,00 ton; tahun 2014 sebesar 2,00 ton; tahun 2015 sebesar 3,00 ton; dan tahun 2016 sebesar 3,00 ton. Dapat disimpulkan bahwa paling banyak produksi tanaman jahe ada di kecamatan Mayong. Gambar Produksi Tanaman Jahe per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa produksi tanaman jahe yang paling banyak dari tahun adalah kecamatan Mayong. Dan di tahun 2012 dan 2013 tanaman jahe yang paling banyak sebesar 96,00 ton di kecamatan Mayong. III 57

112 Gambar Produksi Tanaman Jahe (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman jahe kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas jahe jawa tengah sebesar ,74 ton sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 33,06 ton. Tabel Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling 33,00 44,68 23,48 11,00 Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman kapulaga III 58

113 dari tahun kecamatan yang produksi tanaman kapulaga setiap tahunnya yaitu di Kecamatan Keling. Gambar Produksi Tanaman Kapulaga per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar Produksi Tanaman Kapulaga (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara - 0,09 0,09 0,34 Batealit III 59

114 Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman kejibeling dari tahun kecamatan yang produksi tanaman kejibeling setiap tahunnya yaitu hanya di Kecamatan Jepara. Gambar Produksi Tanaman Kejibeling per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar Produksi Tanaman Kejibeling (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah III 60

115 Tabel Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling 12,26 7,00 14,25 14,25 7, Donorojo 1,95 0, ,03 0,03 0,03 Kembang 6,28-0,06 0,06 0,28 0,81 0,81 0,15 Bangsri 0, ,80 3,25 0,85 - Mlonggo 3,67 10, ,70 3,90 2,70 1,45 Pakis Aji 0,99 13,60 6,00 6,00 11,34 3,40 3,40 8,83 Jepara 0,91 1,88 1,20 1,20 2,03 1,23 1,23 2,43 Batealit 4,00-8,00 8,00 25, Pecangaan Kalinyamatan 0,15 1,50 2,40 2,40 1,50 1,00 2,00 1,00 Welahan 1,32 1,08 0,20 0,20 0,07 0,06 0,02 0,02 Mayong 56,00 250,00 36,00 36,00 0, Nalumsari 288,60 87,00 57,00 57,00 208,00 90,00 225,00 90,00 Tahunan ,40 0,15 0,26 0,17 Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, produksi tanaman kencur per kecamatan di kabupaten Jepara yang banyak ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2013 sebesar 57,00 ton; tahun 2014 sebesar 208,00 ton; tahun 2015 sebesar 90,00 ton; tahun 2016 sebesar 225,00 ton; dan tahun 2017 sampai dengan bulan September sebesar 90,00 ton. Dapat disimpulkan bahwa paling banyak produksi tanaman kencur ada di kecamatan Nalumsari. Gambar Produksi Tanaman Kencur per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa produksi tanaman III 61

116 kencur yang paling banyak dari tahun adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2010 tanaman kencur yang paling banyak sebesar 288,60 ton di kecamatan Nalumsari. Gambar Produksi Tanaman Kencur (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kencur kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas kencur jawa tengah sebesar 8.764,88 ton sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 103,83 ton. Tabel Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling 2,25 17,30 6,75 6,75 1, Donorojo ,02 0,02 0,02 Kembang 9,80-0,10 0,10 0,51 1,88 1,88 1,28 Bangsri 0,22 0,15 0,19 0,19 0,09 0,30 0,47 0,29 Mlonggo 3, ,00 5,75 5,00 4,00 Pakis Aji 1,87 20,00 9,10 9,10 3, ,23 Jepara 0,50 0,81 1,00 1,00 0,60 0,04 0,04 1,24 Batealit 5, Pecangaan 0,04 0,15 0,06 0,06 0,11 0,11 0,11 0,11 Kalinyamatan - 1,00 1,50 1,50-0,20 1,40 0,20 Welahan 3,12 2,53 2,20 2,20 1,15 1,30 0,60 0,20 Mayong 4,00 5,00 6,00 6, Nalumsari - 30, Tahunan ,20-0,14 0,02 Kedung Karimunjawa III 62

117 Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, produksi tanaman kunyit per kecamatan di kabupaten Jepara yang banyak ada di kecamatan Nalumsari di tahun 2011 sebesar 30,00 ton. Dapat disimpulkan bahwa paling banyak produksi tanaman kunyit ada di kecamatan Nalumsari. Gambar Produksi Tanaman Kunyit per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa produksi tanaman kunyit yang paling banyak dari tahun adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2011 tanaman kunyit yang paling banyak sebesar 30,00 ton di kecamatan Nalumsari. Gambar Produksi Tanaman Kunyit (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dijelaskan bahwa luas panen tanaman kunyit kabupaten Jepara dibandingkan Jawa tengah masih sangat rendah. Tahun 2015 luas kunyit jawa tengah ,75 ton sedangkan Kabupaten Jepara 9,59 ton. III 63

118 Tabel Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling 6,23 4,50 17,20 17,20 4,70 17,70 19,40 1,40 Donorojo 82,31 58, ,00 0,02 0,02 0,02 Kembang 1,20-0,08 0,08 0,71 0,63 0,63 0,46 Bangsri 0,08 0,12 0,16 0,16 0,08 0,38 0,44 0,33 Mlonggo 10, ,00 4,45 4,00 10,00 Pakis Aji 1,13 19,50 10,15 10,15 2, ,00 Jepara 0,30 1, ,40 0,20 0,20 0,52 Batealit 9,00-9,40 9,40 6,00 6,00 6,00 - Pecangaan 0,04 0,08 0,09 0,09 0,09 0,09 0,08 0,07 Kalinyamatan - 1,00 1,50 1,50-2,40 2,40 2,40 Welahan 0,67 0,22 0,21 0,21 0,39 0,32 0,10 0,10 Mayong 171,00 936,00 145,00 145,00 1,40 12,00 12,00 - Nalumsari 6.264, , , ,85 601,98 167,00 728,20 330,20 Tahunan ,90 0,40 0,48 0,42 Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran per kecamatan, produksi tanaman laos per kecamatan di kabupaten Jepara yang banyak ada di kecamatan Nalumsari di tahun tahun 2013 sebesar 3.046,85 ton; tahun 2014 sebesar 601,98ton; tahun 2015 sebesar 167,00 ton; tahun 728,20 ton; tahun 2017 sebesar 330,20 ton. Dapat disimpulkan bahwa paling banyak produksi tanaman laos ada di kecamatan Nalumsari. Gambar Produksi Tanaman Laos per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa produksi tanaman III 64

119 kunyit yang paling banyak dari tahun adalah kecamatan Nalumsari. Dan di tahun 2010 tanaman laos yang paling banyak sebesar 6.264,90 ton di kecamatan Nalumsari Gambar Produksi Tanaman Laos (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa luas panen tanaman kunyit kabupaten Jepara dibandingkan dengan Jawa tengah masih sangat rendah. Pada tahun 2015 luas laos jawa tengah sebesar ,71 ton sedangkan Kabupaten Jepara sebesar 211,59 ton. Tabel Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling Donorojo - 0,02 0,02 0,02 Kembang 0,09 0,13 0,13 0,06 Bangsri Mlonggo Pakis Aji 0, ,33 Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan 0,15 0,14 0,08 0,03 Mayong 0, Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa III 65

120 Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman lempuyang dari tahun kecamatan yang produksi tanaman lempuyang setiap tahunnya yaitu di Kecamatan Donorojo, Kembang, Pakis Aji,Wlahan dan Mayong. Gambar Produksi Tanaman Lempuyang per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar Produksi Tanaman Lempuyang (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara III 66

121 Batealit Pecangaan 0,37 0,36 0,36 0,31 Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman lidah buaya dari tahun kecamatan yang produksi tanaman lidah buaya setiap tahunnya yaitu hanya di Kecamatan Pecangaan. Gambar Produksi Tanaman Lidah Buaya per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar Produksi Tanaman Lidah Buaya (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah III 67

122 Tabel Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon) Keling 16,81 17,10 4,00 - Donorojo Kembang 1,20 1,05 0,45 0,75 Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara - 0,54 0,54 0,94 Batealit Pecangaan 1,63 1,65 1,66 1,61 Kalinyamatan Welahan 0,20 0,00 0,00 5,24 Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman mahkota dewa dari tahun kecamatan yang produksi tanaman mahkota dewa setiap tahunnya hanya di tahun yaitu di Keling, Kembang, Jepara, Pecangaan dan Welahan. Gambar Produksi Tanaman Mahkota Dewa per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III 68

123 Gambar Produksi Tanaman Mahkota Dewa (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling 0,96 2,34 1,41 0,60 Donorojo Kembang 0,27 0,30 0,15 0,15 Bangsri 0,37 0,38 0,35 0,32 Mlonggo Pakis Aji Jepara 0,88 0,70 0,70 2,70 Batealit Pecangaan 14,25 12,83 12,81 13,67 Kalinyamatan - - 0,17 0,59 Welahan 1,80 1,12 0,42 0,14 Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman mengkudu/pace dari tahun kecamatan yang produksi tanaman mengkudu/pace setiap tahunnya hanya di tahun yaitu di Keling, Kembang, Bangsri, Jepara, Pecangaan dan Welahan. III 69

124 Gambar Produksi Tanaman Mengkudu/Pace per Kecamatan di Kabupaten Jepara (Pohon) Gambar Produksi Tanaman Mengkudu (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling Donorojo - 0,01 0,01 0,01 Kembang 0,04 0,06 0,06 0,05 Bangsri Mlonggo Pakis Aji 0, ,10 Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan 0,23 0,12 0,03 0,02 III 70

125 Mayong 0, Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Jika dilihat berdasarkan sebaran kecamatan, produksi tanaman temuireng dari tahun kecamatan yang produksi tanaman temuireng setiap tahunnya hanya di tahun yaitu di Donorojo, Kembang, Pakis Aji, Welahan dan Mayong. Gambar Produksi Tanaman Temuireng per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Gambar Produksi Tanaman Temuireng (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah III 71

126 Tabel Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling 0,65 4,60 4,20 3,75 Donorojo - 0,03 0,03 0,03 Kembang 0,03 0,03 0,03 0,10 Bangsri 0,02 0,02 0,02 0,05 Mlonggo Pakis Aji 0, ,10 Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan 0,60 0,50 1,10 0,50 Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Produksi Tanaman Temukunci per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III 72

127 Gambar Produksi Tanaman Temukunci (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah Tabel Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) Keling Donorojo ,01 0,01 0,01 Kembang 0,27-0,01 0,01 0,04 0,04 0,04 0,04 Bangsri 0, Mlonggo Pakis Aji 0,50 0,60 0,90 0, ,01 Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan - 0, Welahan 1,48 0,80 0,45 0,45 0,15 0,20 0,14 0,02 Mayong 2,50 7,00 3,75 3,75 0, Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Produksi Tanaman Temulawak per Kecamatan di Kabupaten Jepara (ton) III 73

128 Gambar Produksi Tanaman Temulawak (Ton) di Kabupaten Jepara dan di Provinsi Jawa Tengah 3.3. KAJIAN KEBIJAKAN Arah kebijakan, kerangka regulasi, kerangka kelembagaan dan strategi pengembangan potensi biofarmaka mengacu pada norma peraturan perundangan. Berikut ini daftar peraturan perundangan yang dikaji yang terkait dengan Kajian pengembangan potensi biofarmaka di Kabupaten Jepara. 1. UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan 2. UU No 13 Tahun 2010 Tentang Holtikultura 3. Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun Perda Kabupaten Jepara No 2 Tahun 2007 Tentang RPJPD Kabupaten Jepara Tahun Perda No 2 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Jepara Tahun UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan III 74

129 kesehatan tetap dijaga kelestariannya. Pemerintah menjamin pengembangan dan pemeliharaan bahan baku obat tradisional. Dalam pelestariannya masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya. Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia atau buku standar lainnya dan standar/syarat yang sudah ditentukan. Standar Obat tradisional mengacu pada meteria medica Indonesia UU No 13 Tahun 2010 Tentang Hortikultura 1. Pengertian dan perencanaan Hortikultura adalah segala hal yang berkaitan dengan buah, sayuran, bahan obat nabati, dan florikultura, termasuk di dalamnya jamur, lumut, dan tanaman air yang berfungsi sebagai sayuran, bahan obat nabati, dan/atau bahan estetika. Perencanaan hortikultura mencakup aspek: a. Sumber daya manusia b. Sumber daya alam c. Sumber daya buatan d. Sasaran produksi dan konsumsi e. Kawasan hortikultura f. Pembiayaan, penjaminan, dan penanaman modal dan g. Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perencanaan hortikultura merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah, dan perencanaan pembangunan sektoral. Perencanaan hortikultura diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat. Perencanaan hortikultura ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana tahunan di tingkat nasional, provinsi, atau kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan III 75

130 peraturan perundang-undangan. Perencanaan hortikultura tingkat kabupaten/kota dilakukan dengan memperhatikan rencana pembangunan kabupaten/kota. Rencana hortikultura nasional, rencana hortikultura provinsi, dan rencana hortikultura kabupaten/kota menjadi pedoman bagi pelaku usaha dalam pengembangan hortikultura. Dalam menyusun rencana hortikultura perlu disediakan sistem informasi yang memadai. Sistem informasi hortikultura mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi hortikultura. Sistem informasi dilaksanakan oleh pusat data dan informasi dengan menyediakan data mengenai: a. varietas tanaman b. letak dan luas wilayah, kawasan, dan unit usaha budidaya hortikultura c. permintaan pasar d. peluang dan tantangan pasar e. perkiraan produksi f. perkiraan harga Sistem informasi paling sedikit digunakan untuk keperluan: a. perencanaan b. pemantauan dan evaluasi c. pengelolaan pasokan dan permintaan produk hortikultura dan d. pertimbangan penanaman modal. 2. Pemanfaatan Dan Pengembangan Sumber Daya Hortikultura Sumber daya hortikultura terdiri dari: a. Sumber daya manusia Terdiri atas pelaku usaha, penyuluh hortikultura, dan pihak lain yang terkait dalam kegiatan pelayanan dan usaha hortikultura. b. Sumber daya alam Sumber daya alam berupa: 1) Lahan III 76

131 Lahan budidaya hortikultura terdiri atas lahan terbuka dan lahan tertutup yang menggunakan tanah dan/atau media tanam lainnya. Lahan budidaya hortikultura wajib dilindungi, dipelihara, dipulihkan, serta ditingkatkan fungsinya oleh pelaku usaha. Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh dan/atau perbuatan manusia. Yang dimaksud dengan lahan terbuka adalah lahan budidaya tanpa penaung. Yang dimaksud dengan lahan tertutup adalah lahan budidaya dengan penaung, seperti rumah kaca, rumah kasa, dan kubung jamur. Yang dimaksud dengan media tanam lainnya adalah antara lain agar-agar, air yang diperkaya dengan nutrisi, serbuk gergaji, cocopeat, sabut kelapa, dan arang. 2) Iklim Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memantau, mengevaluasi, memprakirakan, mendokumentasikan, dan memetakan pola iklim untuk pengembangan usaha hortikultura. Hasil pemantauan, evaluasi, prakiraan, dokumentasi, dan pemetaan pola iklim dapat menjadi acuan perencanaan hortikultura dan pengembangan usaha hortikultura. 3) Sumber daya air 4) Sumber daya genetik. c. Sumber daya buatan. Sumber daya buatan berupa prasarana dan sarana hortikultura. 1) Prasarana hortikultura terdiri atas: a) Jaringan irigasi b) Pengolah limbah c) Jalan penghubung dari lokasi budidaya ke lokasi pascapanen sampai ke pasar d) Pelabuhan dan area transit III 77

132 e) Tenaga listrik dan jaringannya sampai ke lokasi pascapanen f) Jaringan komunikasi sampai ke lokasi budidaya g) Gudang yang memenuhi persyaratan teknis Gudang yang memenuhi persyaratan teknis adalah gudang yang memenuhi persyaratan: (1) Penggunaan sesuai dengan jenis barang (komoditas, benih, pupuk, dan bahan pengendali opt) (2) Lokasi (3) Jenis (tertutup, terbuka, dan berpendingin) (4) Ukuran (tinggi, luas, dan kapasitas) (5) Konstruksi (6) Kelembapan dan (7) Suhu udara tertentu. h) Rumah atau penaung tanaman yang memenuhi persyaratan teknis Rumah atau penaung tanaman yang memenuhi persyaratan teknis adalah antara lain rumah kaca, rumah kasa, rumah sere/rumah lindung, rumah plastik, dan kubung yang memenuhi persyaratan: (1) Kesesuaian dengan fungsi (jenis tanaman, perbenihan, dan budidaya) (2) Desain dan konstruksi (3) Kapasitas dan (4) Peralatan. i) Gudang berpendingin j) Bangsal penanganan pascapanen yang memenuhi persyaratan teknis Bangsal penanganan pascapanen yang memenuhi persyaratan teknis adalah bangunan beserta fasilitasnya yang digunakan untuk penanganan hasil panen, yang memenuhi persyaratan: (1) Kesesuaian dengan fungsi (untuk buah, sayuran, florikultura, dan tanaman bahan obat) (2) Desain dan konstruksi (3) Kapasitas dan III 78

133 (4) Peralatan. k) pasar 2) Sarana Hortikultura terdiri atas: a) Benih bermutu dari varietas unggul b) Pupuk yang tepat dan ramah lingkungan c) Zat pengatur tumbuh yang tepat dan ramah lingkungan d) Bahan pengendali opt yang ramah lingkungan dan e) Alat dan mesin yang menunjang hortikultura. Penggunaan sarana hortikultura dikembangkan dengan teknologi yang memperhatikan kondisi iklim, kondisi lahan, dan ramah lingkungan. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan produk unggulan yang akan dikembangkan di dalam kawasan hortikultura. Produk unggulan hortikultura harus memiliki potensi daya saing dan memperhatikan kearifan lokal. Produk unggulan hortikultura yang telah ditetapkan berkewajiban menjamin ketersediaan: a. Prasarana dan sarana hortikultura yang dibutuhkan b. Distribusi dan pemasaran di dalam negeri atau ke luar negeri c. Pembiayaan dan d. Penelitian dan pengembangan teknologi 3. Kawasan Hortikultura Kawasan hortikultura ditetapkan dan direncanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam penetapan kawasan hortikultura perlu memperhatikan aspek: a. Sumber daya hortikultura b. Potensi unggulan yang ingin dikembangkan c. Potensi pasar d. Kesiapan dan dukungan masyarakat dan e. Kekhususan dari wilayah Pengembangan kawasan hortikultura dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan masyarakat. Pelaksanaan terpau yaitu dengan melibatkan semua III 79

134 institusi sesuai dengan fungsi, kegiatan, dan kewenangannya masing-masing secara bersama-sama. 4. Usaha Hortikultura Klasifikasi skala usaha budidaya hortikultura dapat dikelompokkan menjadi mikro, kecil menengah dan besar. Sedangkan jenis-jenis usaha hortikultura meliputi: a. Perbenihan Usaha perbenihan meliputi pemuliaan, produksi benih, sertifikasi, peredaran benih, serta pengeluaran dan pemasukan benih dari dan ke wilayah negara Republik Indonesia. Usaha perbenihan hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dalam bidang perbenihan dengan wajib menerapkan jaminan mutu benih melalui penerapan sertifikasi. Ketentuan sertifikat kompetensi atau badan usaha yang bersertifikat dan kewajiban menerapkan jaminan mutu benih, dikecualikan bagi pelaku usaha perseorangan atau kelompok yang melakukan usaha perbenihan untuk dipergunakan sendiri dan/atau terbatas dalam 1 (satu) kelompok. b. Budidaya Usaha budidaya hortikultura dilakukan dengan memperhatikan: a) Permintaan pasar b) Budidaya yang baik c) Efisiensi dan daya saing d) Fungsi lingkungan dan e) Kearifan lokal c. Panen dan pascapanen Usaha panen dan pascapanen dilakukan untuk mencapai hasil yang maksimal, memenuhi standar mutu produk, menekan kehilangan dan/atau kerusakan serta meningkatkan nilai tambah pada penanganan, pengolahan, dan transportasi produk hortikultura. d. Pengolahan III 80

135 Usaha pengolahan produk hortikultura wajib memenuhi standar mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Distribusi, perdagangan, dan pemasaran Usaha distribusi dilakukan untuk menyalurkan, membagi dan mengirim produk hortikultura dari unit usaha budidaya hortikultura sampai ke konsumen. f. Penelitian Usaha penelitian hortikultura dapat dilakukan pada usaha perbenihan, usaha budidaya, usaha panen dan pascapanen, usaha pengolahan, dan usaha distribusi, perdagangan, pemasaran, serta usaha wisata agro. g. Wisata agro. Kawasan dan/atau unit usaha budidaya hortikultura dapat digunakan dan dikembangkan untuk usaha wisata agro. Pelaku usaha dalam melaksanakan usaha hortikultura wajib memenuhi standar proses atau persyaratan teknis minimal dan standar mutu dan keamanan pangan produk hortikultura. Untuk memenuhi kewajiban tersebut Pemerintah dan/atau pemerintah daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha hortikultura agar memenuhi standar proses dan persyaratan teknis minimal, standar mutu, dan keamanan pangan produk hortikultura. 5. Pemberdayaan usaha hortikultura Pemberdayaan usaha hortikultura meliputi: a. Penguatan kelembagaan pelaku usaha dan peningkatan kualitas sumber daya manusia b. Pemberian bantuan teknik penerapan teknologi dan pengembangan usaha c. Fasilitasi akses kepada lembaga pembiayaan atau permodalan d. Penyediaan data dan informasi e. Fasilitasi pelaksanaan promosi dan pemasaran f. Bantuan sarana dan prasarana hortikultura g. Sertifikasi kompetensi bagi perseorangan yang memiliki keahlian usaha hortikultura dan h. Pengembangan kemitraan. III 81

136 Lembaga pengembangan hortikultura dapat dibentuk di tingkat pusat, tingkat provinsi dan/atau tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan. Lembaga pengembangan hortikultura merupakan lembaga yang bersifat mandiri, profesional, dan nirlaba. Lembaga pengembangan hortikultura terdiri atas unsur: a. Tokoh masyarakat b. Pelaku usaha dan asosiasi pelaku usaha hortikultura c. Pakar dan akademisi dan d. Konsumen produk dan jasa hortikultura. Dalam melaksanakan fungsi, lembaga pengembangan hortikultura bertugas: a. Menampung dan menyalurkan aspirasi pelaku usaha dan masyarakat b. Memberikan masukan kepada pemerintah mengenai arah pengembangan penyelenggaraan hortikultura c. Memberikan data, informasi, dan masukan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pelaku usaha dan d. Membantu melakukan mediasi antar asosiasi pelaku usaha. Untuk meningkatkan pemberdayaan usaha hortikultura didorong peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat dilakukan dalam hal: a. Penyusunan perencanaan b. Pengembangan kawasan c. Penelitian d. Pembiayaan e. Pemberdayaan f. Pengawasan g. Pembentukan asosiasi pelaku usaha h. Pengembangan sistem informasi i. Pengembangan kelembagaan dan/atau j. Pembentukan pedoman tata cara usaha k. Hortikultura untuk kepentingan usahanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. III 82

137 Perda No 6 Tahun 2010 Tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun Pola ruang wilayah Provinsi menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung dan kawasan budidaya sebagai berikut Pola ruang wilayah Provinsi Jawa Tengah Kawasan Lindung 1. Kawasan yang memberi perlindungan terhadap kawasan bawahannya; 2. Kawasan perlindungan setempat; 3. Kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya; 4. Kawasan rawan bencana alam; 5. Kawasan lindung geologi; 6. Kawasan lindung lainnya. Kawasan Budidaya 1. Kawasan hutan produksi 2. Kawasan hutan rakyat 3. Kawasan peruntukan pertanian 4. Kawasan peruntukan perkebunan 5. Kawasan peruntukan peternakan 6. Kawasan peruntukan perikanan 7. Kawasan peruntukan pertambangan 8. Kawasan peruntukan industri 9. Kawasan peruntukan pariwisata 10. Kawasan peruntukan permukiman 11. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kawasan Peruntukan Pertanian adalah wilayah budidaya pertanian pangan dan hortikultura pada kawasan lahan pertanian basah maupun kering baik berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut/non pasang surut dan/ atau lahan tidak beririgasi dengan tujuan melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan, menjamin tersedianya lahan pertanian pangan dan hortikultura secara berkelajutan, mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan, melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani, meningkatkan kemakmuran, serta kesejahteraan petani dan masyarakat, meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani, meningkatkan penyediyaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak, mempertahankan keseimbangan ekologis, mewujudkan revitalisasi pertanian ditetapkan sebagai kawasan pertanian pangan dan hortikultura berkelanjutan, lahan pertanian pangan dan hortikultura berkelanjutan dan cadangan lahan pertanian pangan dan hortikultua berkelanjutan. III 83

138 Kawasan peruntukan pertanian untuk budidaya dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Kawasan tanaman pangan Kawasan tanaman pangan adalah kawasan lahan basah beririgasi, rawa pasang surut, dan lebak dan lahan basah tidak beririgasi serta lahan kering potensial untuk pemanfatan dan pengembangan tanaman pangan. 2. Hortikultura. Kawasan hortikultura adalah kawasan lahan kering potensial untuk pemanfaatan dan pengembang- an tanaman hortikultura secara monokultur maupun tumpang sari. Kawasan peruntukan pertanian meliputi: 1. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan Pertanian Lahan Basah adalah Kawasan yang fungsi utamanya diperuntukkan bagi kegiatan pertanian pangan dan hortikultura yang didukung oleh kondisi dan topografi tanah yang memadahi dan sumber utama pengairan-nya berasal dari irigasi, dapat ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan dan cadangan lahan pertanian pangan yang dilindungi agar berkelanjutan. Ketentuan pemanfaatan Kawasan Tanaman Pangan Lahan Basah adalah sebagai berikut : a. Sawah irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan sawah tadah hujan di kawasan perdesaan yang dapat ditanami dua kali padi setahun atau ditanami satu kali padi dan satu kali palawija setahun dengan intensitas pertanaman 200% atau lebih tidak boleh dikonversi untuk kegiatan non pertanian b. Sawah irigasi teknis, setengah teknis, sederhana di kawasan perdesaan yang dapat ditanami satu kali padi setahun dengan intensitas pertanaman kurang dari 200% boleh dikonversi untuk kegiatan non pertanian apabila tidak tersedia air irigasi yang cukup dan produktivitas 65% atau kurang dari rata-rata produktivitas pada tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan III 84

139 c. Sawah tadah hujan di kawasan perdesaan yang dapat ditanami satu kali padi setahun dengan intensitas pertanaman kurang dari 200% dapat dikonversi untuk kegiatan non pertanian d. Sawah irigasi teknis, setengah teknis di kawasan perkotaan yang dapat ditanami dua kali padi setahun dengan intensitas pertanaman 200% atau lebih tidak boleh dikonversi untuk kegiatan non pertanian e. Sawah irigasi teknis, setengah teknis di kawasan perkotaan yang dapat ditanami satu kali padi dan satu kali palawija setahun dengan intensitas pertanaman sama dengan 200% boleh dikonversi untuk kegiatan non pertanian apabila luas hamparan sawah kurang dari 2 hektar, tidak tersedia air irigasi yang cukup dan produktivitas 65% atau kurang dari rata-rata produktivitas tingkat wilayah administrasi yang bersangkutan; f. Sawah irigasi teknis, setengah teknis, sederhana dan tadah hujan di kawasan perkotaan yang dapat ditanami satu kali padi setahun dengan intensitas pertanaman kurang dari 200% boleh dikonversi untuk kegiatan non-pertanian g. Sawah irigasi sederhana dan tadah hujan di kawasan perkotaan yang dapat ditanami dua kali padi setahun dengan intensitas pertanaman 200% atau lebih boleh dikonversi untuk kegiatan non-pertanian h. Sawah irigasi sederhana dan tadah hujan di kawasan perkotaan yang dapat ditanami satu kali padi dan satu kali palawija setahun dengan intensitas pertanaman sama dengan 200% boleh dikonversi untuk kegiatan non-pertanian Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan dengan syarat: a. Dilakukan kajian kelayakan strategis b. Disusun rencana alih fungsi lahan c. Dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik dan d. Disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan III 85

140 2. kawasan pertanian lahan kering Kawasan Pertanian lahan kering adalah Kawasan yang fungsi utamanya diperuntukkan bagi kegiatan pertanian pangan dan hortikultura yang didukung oleh kondisi dan topografi tanah yang memadahi dan sumber utama pengairannya berasal dari air hujan, dapat ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan dan cadangan lahan pertanian pangan yang dilindungi agar berkelanjutan. Kawasan pertanian lahan basah seluas ± hektar diarahkan dan ditetapkan untuk dipertahankan sebagai kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan terletak di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal. Kawasan pertanian lahan kering seluas ± hektar tersebar di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Jepara, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal. III 86

141 Perda Kabupaten Jepara Nomor 2 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Jepara Tahun Kebijakan penataan ruang kabupaten meliputi: a. Pengembangan dan pemberdayaan industri mikro, kecil dan menengah dengan titik berat pada pengolahan hasil pertanian, kehutanan, bahan dasar hasil tambang, dan perikanan Strategi meliputi : a) Mengembangkan industri mebel ukir, tenun ikat, konveksi, perhiasan, makanan, keramik dan rokok b) Mengembangkan klaster-klaster industri c) Mendorong peningkatan kegiatan koperasi,usaha mikro, kecil dan menengah d) Mengembangkan pusat pengolahan hasil pertanian dan perikanan e) Mengembangkan wilayah industri. b. Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dengan bertumpu pada budaya lokal Strategi meliputi : a) mengembangkan wisata bahari, religi,alam dan buatan; b) mengembangkan kawasan perkotaan dengan potensi pariwisata sebagai PKLp; c) mempercepat pembangunan simpul pariwisata; dan d) mengembangkan obyek wisata andalan. 2. Rencana sistem pusat kegiatan meliputi : a. PKL di perkotaan Jepara dan Pecangaan PKL sebagai pusat pemerintahan kabupaten, pelayanan sosial dan ekonomi, permukiman perkotaan, perdagangan, industri, perikanan, pendidikan tinggi, perhubungan, pariwisata danpertanian b. PKLp di perkotaan Bangsri, Mayong, Kelingdan Karimunjawa PKLp sebagai pusat pengembangan pelayanan sosial dan ekonomi, pengembangan permukiman perkotaan, perdagangan, industri, pertanian, perikanan, pengembangan budi daya hutan, riset perikanan, pelestarian sumber daya alam, konservasi, perhubungan dan pariwisata III 87

142 3. Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Jepara Berikut ini adalah tabel rencana pola ruang wilayah kabupaten Jepara Rencana pola ruang wilayah kabupaten Jepara Kawasan lindung Kawasan budi daya 1. Kawasan hutan lindung 2. Kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahannya 3. Kawasan perlindungan setempat 4. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya 5. Kawasan rawan bencana alam 6. Kawasan lindung geologi dan 7. Kawasan lindung lainnya. a. Kawasan peruntukan hutan produksi Kawasan peruntukan hutan produksi meliputi: a) Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas 1. Kawasan peruntukan hutan produksi 2. Kawasan peruntukan hutan rakyat 3. Kawasan peruntukan pertanian 4. Kawasan peruntukan perikanan 5. Kawasan peruntukan pertambangan 6. Kawasan peruntukan industri 7. Kawasan peruntukan pariwisata 8. Kawasan peruntukan permukiman dan 9. Kawasan peruntukan lainnya. Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas dengan luas kurang lebih 3.509,31 (tiga ribu lima ratus sembilan koma tiga puluh satu) ha meliputi: Kecamatan Donorojo, Kecamatan Keling, Kecamatan Mayong, Kecamatan Batealit, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Kembang, Kecamatan Bangsri dan Kecamatan Pakisaji. b) Kawasan peruntukan hutan produksi tetap. Kawasan peruntukan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada dengan luas kurang lebih 6.910,51 (enam ribu sembilan ratus sepuluh koma lima puluh satu) ha meliputi: Kecamatan Donorojo, Kecamatan Keling, Kecamatan Kembang, Kecamatan Bangsri dan Kecamatan Mlonggo. b. Kawasan peruntukan hutan rakyat dengan luas kurang lebih ,260 (sebelas ribu delapan ratus lima puluh delapan koma dua ratus enam puluh) ha meliputi: Kecamatan Keling, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Kembang, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Pakisaji, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Jepara, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Batealit, Kecamatan Kedung, III 88

143 Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Mayong, Kecamatan Kalinyamatan, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Welahan dan Kecamatan Karimunjawa. c. Kawasan peruntukan pertanian terdiri atas: a) Peruntukan tanaman pangan b) Peruntukan hortikultura c) Peruntukan perkebunan dan d) Peruntukan peternakan Kawasan peruntukan tanaman pangan meliputi: a) Peruntukan pertanian lahan basah b) Peruntukan pertanian lahan kering. Kawasan peruntukan pertanian lahan basah tersebar di seluruh wilayah kabupaten, meliputi: Kecamatan Kedung, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Jepara, Kecamatan Batealit, Kecamatan Kalinyamatan, Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Welahan, Kecamatan Mayong, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Kembang, Kecamatan Keling, Kecamatan Pakisaji, Kecamatan Donorojo Kawasan peruntukan pertanian lahan basah tersebar di seluruh wilayah kabupaten, meliputi: a) Kecamatan Kedung dengan luas kurang lebih 1.960,215 (seribu sembilan ratus enam puluh koma dua ratus lima belas) ha; b) Kecamatan Tahunan dengan luas kurang lebih 1.038,271 (seribu tiga puluh delapan koma dua ratus tujuh puluh satu) ha; c) Kecamatan Jepara dengan luas kurang lebih 402,610 (empat ratus dua koma enam ratus sepuluh) ha; d) Kecamatan Batealit dengan luas kurang lebih 2.238,700 (dua ribu dua ratus tiga puluh delapan koma tujuh ratus) ha; e) Kecamatan Kalinyamatan dengan luas kurang lebih 1.443,624 (seribu empat ratus empat puluh tiga koma enam ratus dua puluh empat) ha; f) Kecamatan Pecangaan dengan luas kurang lebih 1.536,696 (seribu lima ratus tiga puluh enam koma enam ratus sembilan puluh enam) ha; III 89

144 g) Kecamatan Welahan dengan luas kurang lebih 1.576,760 (seribu lima ratus tujuh puluh enam koma tujuh ratus enam puluh) ha; h) Kecamatan Mayong dengan luas kurang lebih 2.065,553 (dua ribu enam puluh lima koma lima ratus lima puluh tiga) ha; i) Kecamatan Nalumsari dengan luas kurang lebih 2.237,801 (dua ribu dua ratus tiga puluh tujuh koma delapan ratus satu) ha; j) Kecamatan Mlonggo dengan luas kurang lebih 1.149,219 (seribu seratus empat puluh sembilan koma dua ratus sembilan belas) ha; k) Kecamatan Bangsri dengan luas kurang lebih 2.134,288 (dua ribu seratus tiga puluh empat koma dua ratus delapan puluh delapan) ha; l) Kecamatan Kembang dengan luas kurang lebih 2.245,447 (dua ribu dua ratus empat puluh lima koma empat ratus empat puluh tujuh) ha; m) Kecamatan Keling dengan luas kurang lebih 2.262,537 (dua ribu dua ratus enam puluh dua koma lima ratus tiga puluh tujuh) ha; n) Kecamatan Pakisaji dengan luas kurang lebih 1.481,514 (seribu empat ratus delapan puluh satu koma lima ratus empat belas) ha; dan o) Kecamatan Donorojo dengan luas kurang lebih 1.244,105 (seribu dua ratus empat puluh empat koma seratus lima) ha. Kawasan peruntukan pertanian lahan kering meliputi: Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Mayong, Kecamatan Jepara, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Welahan, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Kalinyamatan, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Keling, Kecamatan Batealit, Kecamatan Kembang, Kecamatan Kedung, Kecamatan Donorojo. d. Kawasan peruntukan hortikultura tersebar di seluruh wilayah kabupaten. Kawasan peruntukan perkebunan dengan luas kurang lebih ,96 (tiga puluh dua ribu lima ratus delapan puluh tujuh koma sembilan puluh enam) ha meliputi: Kecamatan Mayong, Kecamatan Bangsri, Kecamatan Kedung, Kecamatan Keling, Kecamatan Kembang, Kecamatan Batealit, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Pakisaji, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Karimunjawa. e. Kawasan peruntukan peternakan meliputi: III 90

145 a) peternakan ternak besar di Kecamatan Mayong, Donorojo, Keling, Kembang, Batealit, Bangsri, Mlonggo, Pakisaji, Nalumsari, dan Welahan; dan b) peternakan ternak kecil di Kecamatan Donorojo, Keling, Kembang, Mlonggo, Pakisaji, Batealit, Pecangaan, Kalinyamatan, Kedung, Mayong, dan Nalumsari; dan c) peternakan ternak unggas di Kecamatan Kalinyamatan, Welahan, Mayong, Nalumsari, Batealit, Tahunan, Mlonggo, Bangsri, Keling, Donorojo, Pakisaji, Pecangaan, Kedung dan Kembang. f. Kawasan peruntukan perikanan dengan luas kurang lebih 2.495,6 (dua ribu empat ratus sembilan puluh lima koma enam) ha meliputi: a) peruntukan budi daya air tawar tersebar di seluruh kecamatan; b) peruntukan budi daya air payau di Kecamatan Kedung, Tahunan, Jepara, Mlonggo, Donorojo, dan Karimunjawa; dan c) peruntukan budi daya air laut di Kecamatan Tahunan, Jepara, Mlonggo, Bangsri, Donorojo dan Karimunjawa; dan d) peruntukan penangkapan ikan di laut di Kecamatan Kedung, Jepara, Tahunan, Mlonggo, Bangsri, Kembang, Keling, Donorojo dan Karimunjawa sesuai zonasinya. g. Kawasan peruntukan pertambangan berupa kawasan pertambangan mineral, meliputi: Kecamatan Bangsri, Kecamatan Mlonggo, Kecamatan Pakisaji, Kecamatan Jepara, Kecamatan Tahunan, Kecamatan Kedung, Kecamatan Keling, Kecamatan Donorojo, Kecamatan Mayong, Kecamatan Nalumsari, Kecamatan Welahan, Kecamatan Batealit, Kecamatan Pecangaan, Kecamatan Kalinyamatan dan Kecamatan Kembang. h. Kawasan peruntukan industri meliputi: a) sentra industri menengah; dan b) sentra industri mikro dan kecil. Kawasan peruntukan industri berupa pembangunan Kawasan Industri Mulyoharjo di Kecamatan Jepara dengan luas kurang lebih 28 ha; Kawasan sentra industri mikro dan kecil meliputi: III 91

146 a) Sentra industri kerajinan mebel di Kecamatan Tahunan, Jepara dan Kedung; b) Sentra industri ukir akar dan patung di Desa Mulyoharjo Kecamatan Jepara; c) Sentra industri kerajinan monel dan emas di Desa Kriyan Kecamatan Kalinyamatan; d) Sentra industri kerajinan keramik di Desa Pelemkerep, Mayong Lor dan Mayong Kidul Kecamatan Mayong e) Sentra industri tenun ikat troso di Desa Troso Kecamatan Pecangaan; f) Sentra industri kerajinan anyaman rotan di Desa Teluk Wetan Kecamatan Welahan; g) Sentra industri kue dan roti di Desa Bugo Kecamatan Welahan; h) Industri rokok kretek di Kecamatan Kalinyamatan, Nalumsari, Mayong dan Welahan; i) Sentra industri konveksi di kecamatan Kalinyamatan, Mayong dan Nalumsari; dan j) Sentra industri anyaman bambu di desa Buaran kecamatan Mayong. i. Kawasan pariwisata alam meliputi: a) Pantai Kartini di Kecamatan Jepara b) Pantai Tirto Samudro di Kecamatan Jepara c) Wisata Kepulauan Karimunjawa di Kecamatan Karimunjawa d) Pulau Panjang di Kecamatan Jepara e) Pulau Mandalika di Kecamatan Donorojo f) Pantai Pailus di Kecamatan Mlonggo g) Pantai Pungkruk di Kecamatan Ml.onggo h) Pantai Bondo di Kecamatan Bangsri i) Pantai Banyutowo di Kecamatan Kembang j) Sonder Kalinyamat di Kecamatan Donorojo k) Kluster Buah Belimbing di Kecamatan Welahan l) Kluster Buah Durian di Kecamatan Pecangaan m) Kluster Buah Jeruk Siam di Kecamatan Nalumsari III 92

147 n) Air Terjun Songgolangit di Kecamatan Kembang o) Desa Wisata Tempur di Kecamatan Keling p) Wana Wisata Sreni lndah di Kecamatan Nalumsari q) Wana Wisata Desa Tanjung di Kecamatan Pakisaji r) Wana Wisata Desa Sumanding di Kecamatan Kembang s) Wana Wisata Desa Damarwulan di Kecamatan Keling t) Gua Tritip di Kecamatan Donorojo u) Bumi Perkemahan di Kecamatan Pakisaji v) Kluster Kambing PE di Kecamatan Donorojo w) Air Terjun Suroloyo di kecamatan Mayong x) Pantai Empurancak di kecamatan Mlonggo j. Kawasan peruntukan permukiman dengan luas kurang lebih 5.828,07 (lima ribu delapan ratus dua puluh delapan koma tujuh) ha meliputi : a) permukiman perdesaan Dengan luas kurang lebih 2.598,37 (dua ribu lima ratus sembilan puluh delapan koma tiga puluh tujuh) ha meliputi: semua kecamatan di kabupaten Jepara. b) permukiman perkotaan. Kawasan permukiman perkotaan dengan luas kurang lebih 3.229,70 (tiga ribu dua ratus dua puluh sembilan koma tujuh puluh) ha meliputi: semua kecamatan di Kabupaten Jepara k. Kawasan peruntukan lainnya meliputi: a) kawasan khusus untuk militer di Desa Mororejo dan Pulau Gundul; dan b) kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Perwujudan kawasan budidaya mencakup: hutan produksi, hutan rakyat, pertanian, perikanan, pertambangan, industri, pariwisata, permukiman, kawasan khusus militer dan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Perwujudan kawasan budi daya pertanian mencakup kegiatan: a. penyusunan kebijakan revitalisasi pertanian; b. pengembangan sawah baru; c. pengembangan budi daya perkebunan yang lestari; III 93

148 d. pengembangan perkebunan rakyat; e. inventarisasi dan penetapan lokasi usaha peternakan dan kawasan sentra produksi ternak; f. penataan dan pengendalian lokasi usaha peternakan dan kawasan sentra produksi ternak; dan g. monitoring dan evaluasi revitalisasi pertanian RPJPD Kabupaten Jepara Tahun (Perda Kabupaten Jepara No 2 Tahun 2007) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan pembangunan lima tahunan tahapan pertama dan kedua, maka tahapan ketiga diarahkan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Misi kedua yaitu peningkatan ekonomi masyarakat dan daerah berbasis pada industri, pertanian dan pariwisata, didukung dengan sektor lain yang berdaya saing tinggi; misi ini akan dilaksanakan dengan prioritas pada pembangunan perekonomian masyarakat yang ditekankan, pada fasilitasi permodalan dan teknologi tepat guna, khususnya untuk aktivitas ekonomi pada sektor basis di atas,atau sektor lain yang berdaya saing tinggi. Peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat dari sisi permodalan dan dukungan teknologi akan berdampak pada peningkatan daya saing yang semakin kuat dan kompetitif diperkuat dengan adanya keterpaduan industri pengolahan dengan pertanian, pariwisata, dan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan. Misi keempat yaitu peningkatan prasarana dan sarana yang menunjang pengembangan kawasan (wilayah) berbasis pada kemampuan dan potensi lokal. Pada tahapan ketiga diprioritaskan pada peningkatan dan pemeliharaan (rehabilitasi) prasarana dan sarana penunjang pengembangan kawasan/ wilayah. Terpenuhinya ketersediaan infrastruktur yang didukung oleh mantapnya kerja III 94

149 sama pemerintah dan dunia usaha, makin selarasnya pembangunan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan industri serta terlaksananya penataan kelembagaan ekonomi untuk mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, penguasaan dan penerapan teknologi oleh masyarakat dalam kegiatan perekonomian. III 95

150 BAB IV ANALISIS POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN Bab empat analisis potensi, dan strategi pengembangan dan pemberdayaan merupakan bagian utama dari kajian ini. Pokok-pokok bahasan yang disajikan terdiri dari: 1) identifikasi potensi, 2) analisis zona agroekologi, 3) analisis potensi, 4) prospek potensi dan pengembangan, 5) strategi pengembangan dan pemberdayaan. Subbab pertama, identifikasi potensi menguraikan mengenai potensi pertanian di Jepara secara umum kemudian mengerucut ke potensi bofarmaka, identifikasi wilayah-wilayah potensial untuk budidaya biofarmaka, identifikasi pelaku usahata tani dan hasil wawancara dan observasi mengenai aspek agribisnis usahatani biofarmaka. Subbab kedua, analisis agroekologi menjelaskan tentang satuan unit lahan yang tersebar di kabupaten jepara, yang mana terdapat 32 satuan unit lahan. Satuan unit lahan ini merupakan kombinasi dari 13 bentuk lahan, 5 jenis bahan induk tanah, 7 kemiringan lereng, 4 jenis ketinggian dan 5 tipe penggunaan lahan. Hasil analisis ini akan memberikan informasi mengenai zonasi/wilayah yang sesuai untuk penanaman biofarmaka. Subbab ketiga, mengenai analisis potensi menjelaskan mengenai kondisi eksisting budidaya biofarmaka, analisis sebab-sebab penurunan produksi dan luas lahan tanaman biofarmaka. Subbab keempat, mengenai prospek potensi dan pengembangannya menjelaskan tentang prospek potensi pasar biofarmaka baik untuk simplisia maupun produk turunannya, prospek potensi agribisnis biofarmaka, mulai dari hulu hingga hilir dan aspek pendukungnya. Sedangkan untuk pengembangan meliputi: Konsep pengembangan, Arah pengembangan dan Roadmap Pengembangan biofarmaka. Subbab kelima, strategi pengembangan dan pemberdayaan menjelaskan mengenai: penguatan kelembagaan pelaku usaha dan peningkatan kualitas sumber daya manusia; pemberian bantuan teknik penerapan teknologi dan pengembangan IV 1

151 usaha; fasilitasi akses kepada lembaga pembiayaan atau permodalan; penyediaan data dan informasi; fasilitasi pelaksanaan promosi dan pemasaran; bantuan sarana dan prasarana hortikultura; dan pengembangan kemitraan Identifikasi Potensi Identifikasi Potensi Pertanian Analisis pengembangan potensi daerah merupakan analisis dalam menentukan komoditas unggulan, andalan dan potensial dari masing-masing sektor yang berpengaruh dalam perkembangan perekonomian suatu wilayah. Penentuan komoditas Unggulan, Andalan dan Potensial (UAP) diharapkan dapat memberi gambaran potensi-potensi sumber daya alam yang menjadi potensi unggulan dan andalan yang dapat dikembangkan serta mendorong potensi sumber daya alam yang potensial untuk terus dapat berkembang baik. 1. Komoditas Unggulan Komoditas unggulan adalah komoditas yang memiliki keunggulan kompetitif, karena telah memenangkan persaingan dengan produk sejenis di daerah lain. Keunggulan kompetitif demikian dapat terjadi karena efisiensi produksinya yang tinggi akibat posisi tawarnya yang tinggi baik terhadap pemasok, pembeli, serta daya saingnya yang tinggi terhadap pesaing, pendatang baru. 2. Komoditas Andalan Komoditas andalan adalah komoditas potensial yang dipandang dapat dipersaingkan dengan produk sejenis di daerah lain, karena disamping memiliki keunggulan komparatif juga memiliki efisiensi usaha yang tinggi. Efisiensi usaha itu dapat tercermin dari efisiensi produksi, produktivitas pekerja, profitabilitas dan lain-lain. 3. Komoditas Potensial Komoditas potensial adalah komoditas daerah yang memiliki potensi untuk berkembang karena memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif itu terjadi misalnya karena kecukupan ketersediaan sumber daya, seperti tersedianya bahan baku lokal, ketrampilan sumber daya manusia lokal, teknologi produksi lokal serta sarana dan prasarana lokal lainnya. IV 2

152 Sentra pengembangan dari masing-masing komoditas unggulan, andalan dan potensial yang ada di Kabupaten Jepara berdasarkan masterplan pengembangan agropolitan, sebagai berikut: 1. Komoditas Unggulan a. Kacang Tanah : Kecamatan Tahunan, Kedung, Welahan, Kembang b. Belimbing : seluruh kecamatan c. Pisang : seluruh kecamatan d. Salak : Kecamatan Keling (Tempur) e. Jambu air : Kecamatan Welahan (Ujungpandan) f. Cengkeh : Kecamatan Tahunan, Keling, Kembang g. Kopi: Kecamatan Bangsri, Keling, Kembang, Batealit h. Kapuk: Kecamatan Donorojo, Pakis aji, Tahunan, Batealit, Bangsri i. Cokelat : Kecamatan Keling, Kembang, Donorojo, Pakis aji j. Lada : Kecamatan Keling, Mayong, Bangsri, Kembang, Pakis aji k. Sapi : Kecamatan Donorojo, Kembang, Bangsri, Keling, Tahunan l. Kambing : Kecamatan Donorojo, Bangsri, Keling, Mlonggo, Kembang, Mayong 2. Komoditas Andalan a. Padi Sawah : Kecamatan Tahunan, Donorojo, Kembang, Mayong, Jepara, Batealit b. Padi Ladang : Kecamatan Kembang, Keling, Welahan c. Jagung: Kecamatan Jepara, Tahunan, Kedung d. Ketela Rambat/Jalar: Kecamatan Pakis aji, Pecangaan, Welahan, Kalinyamatan, Nalumsari, Mayong e. Mangga : tersebar di seluruh kecamatan f. Tebu: Kecamatan Pecangaan, Kalinyamatan, Mayong, Nalumsari, Batealit, Pakis aji, Bangsri, Kembang, Keling g. Kelapa : Kecamatan Karimunjawa, Mayong, Batealit, Tahunan, Kembang, Pakis aji, Mlonggo, Jepara h. Aren: Kecamatan Kembang, Bangsri i. Ayam Buras : Kecamatan Donorojo, Mayong, Keling, Kembang, Nalumsari IV 3

153 3. Komoditas Potensial a. Ketela Pohon/Ubi Kayu: Kecamatan Tahunan, Jepara, Kedung, Mlonggo, Bangsri b. Kacang Hijau: Kecamatan Kedung, Nalumsari c. Kacang Kedelai: Kecamatan Mayong, Tahunan, Bangsri d. Jambu Mete : Kecamatan Keling, Karimunjawa e. Panili : Kecamatan Keling f. Kencur : Kecamatan Nalumsari, Pakis aji, Mlonggo, Keling g. Jahe : Kecamatan Mayong, Kembang, Keling, Donorojo h. Kunyit : Kecamatan Pakis aji, Bangsri, Kembang, Mlonggo, Mayong i. Laos : Kecamata Nalumsari, Keling j. Temu Lawak : Kecamatan Welahan, Mayong k. Sapi perah : Kecamatan Keling l. Kerbau :Kecamatan Welahan, Kembang m. Kuda : Kecamatan Donorojo, Bangsri n. Domba : Kecamatan Bangsri, Donorojo o. Ayam Ras : Kecamatan Pakis aji, Mlonggo p. Itik : Kecamatan Pecangaan q. Itik Manila : Kecamatan Pecangaan, Kalinyamatan r. Ayam Ras Broiler : Kecamatan Jepara, Batealit s. Burung Puyuh : Kecamatan Welahan, Keling, Mayong Komoditas unggulan, andalan dan potensial, bilamana dilihat berdasarkan wilayah berdasarkan masterplan pengembangan agropolitan, dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut: Tabel 4. 1 Potensi Unggulan, Andalan Dan Potensial Sektor Pertanian No Kecamatan Unggulan Andalan Potensial 1 Kedung Kacang tanah, belimbing, pisang Jagung, mangga Ketela pohon/ubi kayu, kacang hijau 2 Pecangaan Belimbing, pisang Ketela rambat/ jalar, mangga, tebu Itik, itik manila 3 Kalinyamatan Belimbing, pisang Ketela rambat/ jalar, mangga, tebu Itik manila IV 4

154 No Kecamatan Unggulan Andalan Potensial 4 Welahan Kacang tanah, belimbing, pisang, jambu air Padi gogo, ketela rambat/ jalar, mangga Kerbau, burung puyuh 5 Mayong Belimbing, pisang, lada, kambing Padi sawah, ketela rambat/ jalar, mangga, tebu, kelapa, ayam buras 6 Nalumsari Belimbing, pisang Ketela rambat/ jalar, mangga, tebu, ayam buras 7 Batealit Belimbing, pisang, kopi, kapuk 8 Tahunan Kacang tanah, belimbing, pisang, cengkeh, sapi Padi sawah, mangga, tebu, kelapa Padi sawah, jagung, mangga, kelapa 9 Jepara Belimbing, pisang Padi sawah, jagung, mangga, kelapa 10 Mlonggo Belimbing, pisang, Mangga, kelapa kambing 11 Pakis Aji Belimbing, pisang, Ketela rambat/ jalar, kapuk, cokelat, mangga, tebu, kelapa lada 12 Bangsri Belimbing, pisang, kopi, kapuk, lada, sapi, kambing 13 Kembang Kacang tanah, belimbing, pisang, cengkeh, kopi, cokelat, lada, sapi, kambing 14 Keling Belimbing, pisang, salak, cengkeh, kopi, cokelat, lada, sapi, kambing 15 Donorojo Belimbing, pisang, kapuk, cokelat, sapi, kambing Mangga, tebu, aren Padi sawah, padi lading, mangga, tebu, kelapa, aren, ayam buras Padi gogo, mangga, tebu, ayam buras Padi sawah, mangga, ayam buras Kacang kedelai, jahe, kunyit, temulawak, burung puyuh Kacang hijau, kencur, laos Ayam ras broiler Ketela pohon/ ubi kayu, kacang kedelai Ketela pohon/ ubi kayu, ayam ras broiler Ketela pohon/ ubi kayu, kencur, kunyit Kencur, kunyit, ayam ras Ketela pohon/ ubi kayu, kacang kedelai, kunyit, kuda, domba Jahe, kunyit, kerbau Jambu mete, panili, kencur, jahe, laos, sapi perah, burung puyuh Jahe, kuda, domba 16 Karimunjawa Belimbing, pisang Mangga, kelapa Jambu mete Sumber: Masterplan pengembangan Agropolitan Jepara, 2012 Berdasarkan identifikasi awal, yang mana keberadaan biofarmaka potensial hanya terdapat di wilayah-wilayah kecamatan tertentu, yaitu: Mayong, Nalumsari, IV 5

155 Batealit, Tahunan, Pakis Aji, Bangsri, Kembang, Keling, dan Donorojo maka tim kemudian melakukan pemetaan awal, yaitu di kecamatan-kecamatan yang berada di kaki gunung muria Identifikasi Wilayah Potensial Biofarmaka Jenis tanaman biofarmaka yang masuk dalam catatan statistik meliputi: Tabel 4. 2 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik No Jenis Tanaman Satuan Luas Panen Hasil Produksi (1) (2) (3) (4) 1 Jahe Ha atau m 2 Rimpang 2 Laos (Lengkuas) Ha atau m 2 Rimpang 3 Kencur Ha atau m 2 Rimpang 4 Kunyit Ha atau m 2 Rimpang 5 Lempuyang Ha atau m 2 Rimpang 6 Temulawak Ha atau m 2 Rimpang 7 Temuireng Ha atau m 2 Rimpang 8 Temukunci Ha atau m 2 Rimpang 9 Dringo Ha atau m 2 Rimpang 10 Kapulaga Ha atau m 2 Biji 11 Mengkudu (Pace) pohon Buah 12 Mahkota Dewa pohon Buah 13 Kejibeling Ha atau m 2 Daun 14 Sambiloto Ha atau m 2 Daun 15 Lidah buaya Ha atau m 2 Daun Sumber: Statistik Tanaman Biofarmaka Indonesia 2015 Berdasarkan bentuk produksinya, tanaman biofarmaka dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok rimpang dan bukan rimpang. Kelompok tanaman rimpang terdiri dari tanaman jahe, laos/lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, temukunci dan dringo, sedangkan kelompok tanaman bukan rimpang terdiri dari tanaman kapulaga, mengkudu/pace, mahkota dewa, kejibeling, sambiloto dan lidah buaya. Dokumentasi data dari BPS Jepara menunjukkan bahwa data biofarmaka yang tersedia hanya lain Kencur, Jahe, Laos, Kunyit dan Temulawak, selama periode yang berasal dari Jepara Dalam Angka Sesudah periode tersebut tidak tercantum lagi. Sehingga untuk updating data diperoleh dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian, khususnya Bidang Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Data yang tersedia dari mulai tahun IV 6

156 Triwulan ke-3. Pada bagian berikut disajikan trend tanaman biofarmaka di Kabupaten Jepara. 6,00 5,00 Luas Panen Jahe (Ha) 4,83 luas Panen (ha) 4,00 3,00 2,00 1,00 1,51 1,01 1,25 1,62 1,11 1,10 0,92 Jahe Tahun Gambar 4. 1 Luas Panen Jahe tahun produksi (ton) 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 Produksi Jahe (ton) 143,50 41,84 21,85 26,64 25,14 33,06 26,08 20, tahun Jahe Gambar 4. 2 Produksi Jahe tahun Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen jahe dari tahun mengalami penurunan, dan trend tertinggi ada pada tahun IV 7

157 luas Panen (ha) 180,00 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 154,34 Luas Panen Laos (Ha) 102,85 105,78 39,05 25,18 4,58 Laos / Lengkuas 4,68 8, Tahun Gambar 4. 3 Luas Panen Laos tahun produksi (ton) 7.000, , , , , , , , ,85 Produksi Laos (ton) 3.230, ,87 Laos / Lengkuas 702,45 211,59 773,95 349, tahun Gambar 4. 4 Produksi Laos tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen lengkuas mengalami penurunan. IV 8

158 luas Panen (ha) 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 Luas Panen Kencur (Ha) 17,90 9,18 12,84 5,31 9,82 4,49 4,50 Kencur Tahun 4,05 Gambar 4. 5 Luas Panen Kencur tahun produksi (ton) 400,00 350,00 300,00 250,00 200,00 150,00 100,00 50,00 376,22 373,90 125,11 Produksi Kencur (ton) 225,65 278,67 103,83 236,30 104, tahun Kencur Gambar 4. 6 Produksi Kencur tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen kencur mengalami penurunan. IV 9

159 luas Panen (ha) 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 Luas Panen Kunyit (Ha) 1,40 3,05 1,23 0,80 0,63 0,41 0,41 Kunyit Tahun 0,47 Gambar 4. 7 Luas Panen Kunyit tahun produksi (ton) 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 Produksi Kunyit (ton) 30,61 76,94 26,89 14,67 11,66 9,59 9,65 9, tahun Kunyit Gambar 4. 8 Produksi Kunyit tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen kunyit mengalami penurunan. IV 10

160 luas Panen (ha) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 Luas Panen Lempuyang (Ha) 0,37 0,27 0,24 0,01 0,01 Lempuyang Tahun 0,01 Gambar 4. 9 Luas Panen Lempuyang tahun produksi (ton) 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 Produksi Lempuyang (ton) 8,02 2,95 0,95 0,28 0,22 0, tahun Lempuyang Gambar Produksi Lempuyang tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen lempuyang mengalami penurunan. IV 11

161 Luas Panen Temulawak (Ha) 0,35 0,30 0,27 0,30 0,27 luas Panen (ha) 0,25 0,20 0,15 0,10 0,14 0,21 Temulawak 0,05 0,02 0,02 0, Tahun Gambar Luas Panen Temulawak tahun produksi (ton) 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 4,76 8,50 5,11 Produksi Temulawak (ton) 4,56 0,78 0,25 0,19 Temulawak 0, tahun Gambar Produksi Temulawak tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen temulawak mengalami penurunan. IV 12

162 luas Panen (ha) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 Luas Panen Temuireng 0,34 0,22 0,22 0,01 0,01 Temuireng Tahun 0,00 Gambar Luas Panen Temuireng tahun produksi (ton) 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 Produksi Temuireng (ton) 7,86 4,30 1,05 0,19 0,09 0, tahun Temuireng Gambar Produksi Temuireng tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen temuireng mengalami penurunan. IV 13

163 1,20 1,01 Luas Panen Temukunci 1,00 luas Panen (ha) 0,80 0,60 0,40 0,20 0,05 0,05 0,05 0,10 Temukunci 0, Tahun Gambar Luas Panen Temukunci tahun produksi (ton) 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 13,73 0,90 Produksi Temukunci (ton) Temukunci 1,35 5,18 5,37 4, tahun Gambar Produksi Temukunci tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen temukunci mengalami penurunan. IV 14

164 produksi (ton) 0,05 0,04 0,04 0,03 0,03 0,02 0,02 0,01 0,01 0,04 0,03 Produksi Dlingo (ton) 0,04 0,03 0,04 Dlingo / Dringo 0, tahun Gambar Produksi Dlingo tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen Dlingo relatif stabil. luas Panen (ha) 1,12 1,10 1,08 1,06 1,04 1,02 1,00 0,98 0,96 0,94 0,92 1,10 1,11 1,11 Luas Panen Kapulaga 0,99 0,99 0,99 Kapulaga Tahun Gambar Luas Panen Kapulaga tahun IV 15

165 produksi (ton) 50,00 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 Produksi Kapulaga (ton) 23,87 42,97 33,00 44,68 23,48 Kapulaga 11, tahun Gambar Produksi Kapulaga tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen kapulaga berfluktuasi tapi cenderung turun. luas Panen (Pohon) Luas Panen Mengkudu (pohon) Mengkudu / Pace *) Tahun Gambar Luas Panen Mengkudu tahun IV 16

166 produksi (ton) 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 28,66 25,53 18,51 17,66 Produksi Mengkudu (buah ribuan) Mengkudu / Pace *) 16,01 18, tahun Gambar 4. Produksi Mengkudu tahun luas Panen (Pohon) Luas Panen Mahkota Dewa (pohon) Mahkota Dewa *) Tahun Gambar Luas Panen Mahkota Dewa tahun IV 17

167 produksi (ton) 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 24,11 31,23 Produksi Mahkota Dewa (buah ribuan) 19,84 20,34 Mahkota Dewa *) 6,65 8, tahun Gambar Produksi Mahkota Dewa tahun Luas Panen Kejibeling Kejibeling 0,01 0,01 luas Panen (ha) 0,01 0,01 0,01 0,00 0,01 0,01 0,01 0, Tahun Gambar Luas Panen Kejibeling tahun IV 18

168 produksi (ton) 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 Produksi Kejibeling (ton) 0,05 0,09 0,09 0, tahun Kejibeling Gambar Produksi Kejibeling tahun luas Panen (ha) 0,01 0,01 0,01 0,00 0,00 0,00 0,00 Luas Panen lidah Buaya Lidah Buaya 0,01 0,00 0,00 0,00 0, Tahun Gambar Luas Panen Lidah Buaya tahun IV 19

169 produksi (ton) 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 Produksi Lidah Buaya (ton) 0,38 0,36 0,37 0,36 0,36 0, tahun Lidah Buaya Gambar Produksi Lidah Buaya tahun Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa trend produksi dan luas panen lidah buaya relatif stabil. IV 20

170 Kontribusi Luas Panen 100% Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%) 50% 0% 2014 Keling 2015 Donorojo 2016 Kembang 2017 Bangsri rata rata Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelasakan bahwa kontribusi luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman dlingo hanya ada pada kecamatan Pecangaan dan kecamatan Kalinyamatan. 100% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%) 50% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Dlingo (%) Berdasarkan gambar diatas dapat dijelasakan bahwa kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman dlingo hanya ada pada kecamatan Pecangaan dan kecamatan Kalinyamatan. IV 21

171 100% Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%) 50% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%) 100% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%) 50% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Jahe (%) IV 22

172 100% Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%) 50% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%) rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kapulaga (%) IV 23

173 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%) 100% 50% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%) 100% 50% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kejibeling (%) IV 24

174 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kencur (%) IV 25

175 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Kunyit (%) IV 26

176 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Laos/Lengkuas (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Laos (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Laos/Lengkuas (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Laos (%) IV 27

177 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lempuyang (%) IV 28

178 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%) 100% 80% 60% 40% 20% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%) 0% rata rata Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Lidah Buaya (%) IV 29

179 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa(%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa(%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mahkota Dewa (%) IV 30

180 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%) 100% 80% 60% 40% 20% Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%) 0% rata rata Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Mengkudu (%) IV 31

181 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temuireng (%) IV 32

182 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temukunci (%) IV 33

183 Kontribusi Luas panen masing masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi Luas panen masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%) Kontribusi produksi masing masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%) 100% 80% 60% 40% 20% 0% rata rata Keling Donorojo Kembang Bangsri Mlonggo Pakis Aji Jepara Batealit Pecangaan Kalinyamatan Welahan Mayong Nalumsari Tahunan Kedung Karimunjawa Gambar Kontribusi produksi masing-masing kecamatan terhadap tanaman Temulawak (%) Berdasarkan trend luas panen dan produksi selama periode , kemudian dirata-rata untuk memperoleh informasi awal mengenai wilayah-wilayah yang potensial. Berikut ini rekapitulasi jenis tanaman dan wilayah yang potensial. IV 34

184 Tabel 4. 3 Jenis Tanaman Biofarmaka dalam Dokumentasi Statistik Luas panen Produksi tanaman Kecamatan biofarmaka Rata-rata Rata-rata Persen Persen (m2) (kg) Dlingo Pecangaan ,54 Kalinyamatan ,46 Keling , ,24 Jahe Mayong , ,34 Kembang , ,91 Kapulaga Keling Kejibeling Jepara Nalumsari , ,22 Kencur Mayong , ,02 Keling , ,82 Keling , ,6 Kunyit Kembang , ,16 Pakis Aji , ,88 Nalumsari , ,29 Lengkuas Mayong , ,34 Keling , ,28 Mayong , ,86 Lempuyang Pakis Aji 79 11, Welahan 65 9, ,45 Lidah Buaya Pecangaan Keling , ,47 Mahkota Dewa Jepara 34 14, ,65 Kembang 31 13, ,81 Mengkudu/Pace Pecangaan , ,1 Keling , ,55 Mayong , ,71 Temuireng Welahan 53 8, ,48 Pakis Aji 25 4, ,8 Temukunci Keling , ,36 Kalinyamatan , ,44 Mayong , ,26 Temulawak Welahan , ,7 Pakis Aji 140 9, ,62 IV 35

185 Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui, kecamatan yang dominan dalam budidaya tanaman biofarmaka adalah Keling, Kembang, Mayong, Nalumsari dan Pakis aji. Sedangkan berdasarkan jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan trend investasi ke depan serta klaim khasiat dan jumlah serapan oleh industri obat tradisional (IOT), lima komoditas TO yang potensial untuk dikembangkan adalah temulawak, kunyit, kencur, jahe dan lengkuas. Jenis tanaman rimpang-rimpangan tersebut paling banyak digunakan dalam produk jamu karena diklaim sebagai penyembuh berbagai penyakit. Secara ekonomi, temulawak, kunyit, kencur, jahe dan lengkuas memberikan kontribusi tinggi bagi perekonomian masyarakat pelaku usaha pertanian biofarmaka Identifikasi Pelaku Utama Dan Pelaku Usaha Pertanian Biofarmaka Pelaku utama pertanian biofarmaka adalah petani biofarmaka dan keluarga intinya. Sedangkan pelaku usaha adalah perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian biofarmaka. Pelaku pertanian biofarmaka merupakan salah satu komponen penting yang memperlihatkan keberadaan pekerjaan bagi kelompok-kelompok masyarakat Berdasarkan analisis data statistik, dokumen perencanaan, observasi lapangan dan wawancara dengan pelaku pertanian di Kabupaten Jepara untuk wilayah yang potensial dengan tanaman biofarmaka yaitu Desa Tempur dan Desa Damarwulan Kecamatan Keling; Desa Somosari Kecamatan Batealit; Desa Bungu dan Pancur Kecamatan Mayong; Desa Bategede, Ngetuk, Bendanpete, dan Muryolobo Kecamatan Nalumsari. Pelaku pertanian biofarmaka yang dimaksud disini adalah 1. Penjual bibit ada 2 yaitu Desa Margoyoso, Desa Donorojo 2. Kelompok tani dari desa potensial biofarmaka sebanyak Tengkulak sebanyak 5 orang 4. Penyuluh pendamping pertanian sebanyak 13 orang 5. Lembaga dasawisma di Kecamatan Keling 6. Home industry di Kecamatan Keling. IV 36

186 Pada tabel berikut, disajikan tentang identifikasi kelompok tani di wilayah kecamatan yang memiliki potensi biofarmaka. Tabel 4. 4 Distribusi Frekuensi Kelompok Poktan Kecamatan Kelas POKTAN Frequency Percent Lanjutan 34 30,4 Madya 21 18,8 Batealit Pemula 53 47,3 Utama 4 3,6 Total Lanjutan 58 59,2 Madya 17 17,3 Keling Pemula 15 15,3 Utama 8 8,2 Total Lanjutan 29 38,2 Madya 12 15,8 Mayong Pemula 31 40,8 Utama 4 5,3 Total Lanjutan 19 31,1 Madya 19 31,1 Nalumsari Pemula 15 24,6 Utama 8 13,1 Total Berdasarkan tabel diatas data Kelompok poktan dapat dibagi menjadi 4 Kelompok yaitu Kelompok Lanjutan, Madya, Pemula dan Utama. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa Kecamatan yang jumlah data poktannya terendah adalah kecamatan Nalumsari sebesar 61 Kelompok Poktan. Pada tabel berikut ini disajikan distribusi frekuensi jenis pertanian yang dibudidayakan oleh kelompok tani. Tabel 4. 5 Distribusi Frekuensi Jenis Usaha Kelompok Tani Kecamatan Tanaman Horti pangan kultura Perkebunan peternakan pengolahan Batealit Keling Mayong Nalumsari IV 37

187 Berdasarkan tabel diatas Jenis usaha tanaman pangan berdasarkan kecamatan dapat dilihat bahwa jenis usaha tanaman pangan terendah ada di kecamatan Nalumsari sebesar 41 dan untuk jenis tanaman holtikultura tertinggi ada di Kecamatan Keling. Pada tabel berikut ini disajikan statistik deskriptif luas lahan dan jumlah anggota POKTAN. Tabel 4. 6 Luas Lahan Sawah dan Jumlah Anggota Poktan Rata-rata Kecamatan Keterangan Jumlah pemilikan lahan (Ha/orang) Batealit Luas Lahan Sawah (Ha) 3.222,41 Jumlah Anggota Poktan ,5097 Keling Luas Lahan Sawah (Ha) 2.403,92 Jumlah Anggota Poktan ,3181 Mayong Luas Lahan Sawah (Ha) 2.066,25 Jumlah Anggota Poktan ,3480 Nalumsari Luas Lahan Sawah (Ha) 3.904,3 Jumlah Anggota Poktan ,4367 Berdasarkan tabel diatas, dapat dijelaskan bahwa luas lahan yang terdata di POKTAN, paling luas dari kecamatan Nalumsari demikian juga dilihat dari jumlah anggota. Dari hasil wawancara dengan para petani, ketua poktan, ketua gapoktan dan Penyuluh pertanian di Desa Tempur, Dudakawu, Sumanding, Papasan, Tanjung, Plajan, Somosari, Bungu, Pancur, Ngetuk, Muryolobo, Bategede, dan Bendanpete dapat disimpulkan bahwa desa yang potensial untuk tanaman biofarmaka adalah Desa Tempur, Damarwulan, Somosari, Bungu, Pancur, Ngetuk, Muryolobo, Bategede, dan Bendanpete Identifikasi Persoalan Agribisnis Biofarmaka Persoalan umum yang dihadapi secara nasional dalam agribisnis biofarmaka adalah ketiadaan program menyeluruh dan terpadu dari hulu hingga hilir untuk pengembangan dan pemanfaatan biofarmaka dan kurangnya koordinasi dan IV 38

188 sinkronisasi program antar instansi pemerintah, swasta dan litbang, sehingga program yang ada menjadi kurang terarah, kurang efektif dan kurang efisien. Sedangkan, beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan sektor pertanian secara umum di Kabupaten Jepara adalah: 1. Potensi terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian sebagai akibat dari perkembangan aktivitas masyarakat yang terjadi di wilayah Kabupaten Jepara 2. Sarana dan prasarana pertanian masih perlu dikembangkan untuk mendukung peningkatan produktifitas pertanian, seperti kemudahan dalam memperoleh bibit unggul dan pupuk, peningkatan jaringan jalan yang mendukung aktivitas pertanian, bimbingan dan penyuluhan di bidang pertanian. 3. Masih terbatasnya sumber daya manusia dalam peningkatan usaha agribisnis (masih terbatasnya ketrampilan petani dalam usaha pengolahan hasil pertanian) 4. Manajemen pemasaran dan distribusi hasil pertanian yang masih bersifat lokal dan belum ada usaha diversifikasi secara optimal. Secara rinci, persoalan-persoalan yang dihadapi dapat diidentifikasi dari aspek-aspek agribisnis: 1. Usaha Agribisnis Hulu Nilai tambah tanaman obat di sektor usaha industri hulu, ditentukan oleh faktor produksi di dalam pembudidayaannya, antara lain cara budidaya sesuai GAP (Good Agrikultural Practices) dengan menerapkan SOP (Standard Operational Procedures) budidaya yang telah dibakukan. Faktor pendukung yang mempunyai nilai tambah adalah penyediaan benih unggul. Rendahnya produktivitas tanaman obat di sebagian besar sentra produksi, disebabkan petani belum mengikuti teknik budidaya anjuran berdasarkan SPO yang dibakukan, serta belum menggunakan bibit unggul. Meskipun penyebaran benih beberapa tanaman obat dari satu ke lain daerah terus berlangsung, namun sampai saat ini belum ada standar benih bermutu yang berasal dari varietas yang sudah dilepas. IV 39

189 2. Usaha Agribisnis Hilir Peningkatan nilai tambah melalui diversifikasi produk primer (rimpang) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak) oleh usaha agroindustri primer (pengirisan, pengeringan rimpang serta ekstraksi), merupakan salah satu aspek usaha berdaya saing tinggi di dalam upaya pemenuhan kebutuhan industri serta peningkatan pendapatan petani. Bidang usaha pengolahan rimpang menjadi simplisia mampu meningkatkan harga produk menjadi 7-15 kali, sedangkan dari rimpang menjadi produk olahan ekstrak sebesar kali. Namun sampai saat ini, usaha agribisnis hilir untuk komoditas rimpang-rimpangan masih terbatas jumlahnya, padahal usaha ini berpeluang besar dilakukan di sentra-sentra produksi tanaman obat dan daerah industri jamu/farmasi. 3. Infrastruktur dan Kelembagaan Sentra produksi tanaman obat sebagian besar terdapat di pedesaan, dimana infrastrukturnya kurang baik, sehingga menyebabkan biaya transportasi yang tinggi. Selain itu belum adanya pola perdagangan tanaman obat yang jelas menyebabkan posisi tawar petani menjadi lemah dalam pembentukan harga (price taker). Kondisi ini menyebabkan kelembagaan penunjang cenderung tidak berperan, seperti kelembagaan pemasaran yang cenderung oligopsoni, sistem ijon dan tebas yang cenderung merugikan petani. Peranan kelembagaan koperasi dalam memperbaiki ekonomi petani sampai saat ini belum dapat dipulihkan. Demikian pula asosiasi petani tanaman obat belum banyak berfungsi, sementara itu akses petani terhadap pasar dan teknologi perlu dipermudah dan dipercepat. 4. Kebijakan Harga, Perdagangan dan Investasi Nilai jual komoditas tanaman obat sampai saat ini tergolong sangat rendah, bila dibandingkan dengan komoditas tanaman hortikultura atau perkebunan rakyat lainnya. Petani sebagai pelaku usaha pertanian primer, sangat dirugikan dengan tidak adanya kepastian pasar dan kepastian harga jual komoditas yang dihasilkannya. Hal ini terjadi karena belum adanya kebijakan harga dari pemerintah di dalam perdagangan komoditas tanaman obat. IV 40

190 Akibatnya minat investasi dalam usaha pertanian primer tanaman obat menjadi rendah. Dari hasil, permasalahan umum ini kemudian tim pengkaji melakukan wawancara terhadap kelompok tani dari desa-desa terpilih di kaki gunung muria Zona Agroekologi Kabupaten Jepara Karakterisasi zona agroekologi (ZAE) disusun pada skala 1: dilakukan dengan menggunakan peta kerja dari hasil interpretasi foto udara (Samijan, dkk., 2004) dan peta dasar berupa peta rupa bumi skala 1 : dan peta geologi skala 1 : Peta kerja di overlay dengan citra landsat, peta penggunaan lahan, peta AEZ skala 1: dan peta tanah tinjau skala 1: Untuk memverifikasi satuan unit lahan yang terbentuk telah dilakukan survei observasi lapang dan pengamatan data karakteristik lapang pada masingmasing satuan unit lahan. Berdasarkan hasil karakterisasi zona agroekologi, Kabupaten Jepara teridentifikasi memiliki tipe satuan lahan sebanyak 32 satuan unit lahan. Satuan unit lahan (SUL) yang tersebar di Kabupaten Jepara merupakan variasi kombinasi dari 13 bentuk lahan (landform), 5 jenis bahan induk tanah dan 7 kemiringan lereng serta beberapa strata ketinggian tempat dan tipe penggunaan lahan. 1. Bentuk Lahan (landform) Karakteristik lahan yang diidentifikasi dalam rangka penentuan zona agroekologi adalah bentuk lahan (lanform). Karakteristik bentuk lahan ini biasanya juga menggambarkan asal- usul bahan induk yang membentuknya. Dua karakter lahan ini menjadi penentu jenis tanah yang terbentuk diatasnya. Sebaran bentuk lahan di Kabupaten Jepara disajikan pada Tabel dibawah ini. Tabel 4.7 Sebaran bentuk lahan, Bahan Induk dan Luas No. Bentuk Lahan Bahan Induk Luas (Ha) % 1 Dataran aluvial, Endapan ,97 17,48 banjir dan pesisir 2 Dataran tektonik Batupasir 3.327,86 3,41 3 Kaldera Tuff; Basalt 998,81 1,02 IV 41

191 No. Bentuk Lahan Bahan Induk Luas (Ha) % 4 Lereng volkan Tuf ,30 38,32 5 Aliran lava Basalt 2.296,18 2,35 6 Dataran volkan Tuf ,61 37, ,74 100,00 Sumber: Samidjan, 2014 Berdasarkan data pada Tabel di atas terlihat bahwa sebagian besar wilayah di Kabupaten Jepara didominasi oleh bentuk lahan lereng volkan dan dataran volkan dengan bahan induk tuf. Bentuk lahan lereng dan dataran volkan masing-masing memiliki luas sekitar ,30 ha (38,32%) dan ,61 ha (37,41%). Bentuk lahan berikutnya didominasi oleh dataran aluvial dan dataran banjir dengan bahan induk endapan seluas ,97 ha (17,48%), dan sisanya merupakan bentuk lahan dataran tektonik, kaldera, dan aliran lava dengan luasan sekitar 7,78% dari luas wilayah Kabupaten Jepara. Berdasarkan sebaran bentuk lahan dominan yang terdapat di Kabupaten Jepara membuktikan bahwa wilayah ini secara umum terbentuk dari proses vulkanik, yang diduga berasal dari formasi Gunung Muria. Bentuk lahan lereng dan dataran volkan tersebar pada areal persawahan, tegalan, kebun, hutan primer dan hutan jati, dengan kisaran lereng datar sampai agak datar (0-45 persen). Bentuk lahan dataran aluvial merupakan areal pertanian yang sangat potensial untuk pengembangan komoditas pertanian tanaman pangan dan hortikultura, sedangkan untuk perbukitan tektonik diarahkan untuk pengembangan komoditas pertanian campuran antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan. Beberapa faktor pembatas yang perlu dicermati di daerah kaki volkan ini adalah faktor retensi hara (kandungan N dan C organik tanah rendah) dan di beberapa zona dengan kemiringan datar sampai agak datar memiliki kelas drainase agak terhambat oleh karena faktor tekstur tanah yang cenderung berliat. Bentuk lahan terluas ke dua yaitu dataran aluvial dan dataran banjir sebagian besar tersebar pada areal sawah, tambak dan pesisir dengan topografi IV 42

192 datar sampai agak datar (0-3%). Pada zona ini faktor pembatas yang paling dominan adalah retensi hara (nutrient retention) disebabkan faktor kejenuhan basa, kandungan N dan C organik tanah rendah. Pembatas lain adalah kondisi lapisan perakaran disebabkan tekstur tanah yang cenderung berliat sehingga drainase tanah menjadi agak terhambat sampai terhambat. Sehubungan hal tersebut di atas, maka prioritas utama dalam pengembangan komoditas dan pengelolaan lahan di zona dominan ini harus memperhatikan manajemen pemupukan N dan organik yang tepat dan rasional sesuai dengan tingkat kesuburan yang ada. 2. Bahan Induk Karakteristik lahan utama kedua adalah bahan induk yang merupakan gambaran asal-usul bahan pembentukan tanah. Sebaran bahan induk tanah disajikan pada Tabel dibawah ini. Tabel 4.8 Sebaran bahan induk tanah di Kabupaten Jepara No. Bahan Induk Jenis Tanah Soil Taksonomi Luas (Ha) % 1 Endapan Regosol, Entisol, Inceptisol ,97 17,48 Aluvial, Latosol Batupasir Latosol, Inceptisol 3.327,86 3,41 2 Kambisol, Alfisol 3 Tuff Basalt Latosol, Inceptisol, Andisol 998,81 Kambisol 1,02 4 Tuf Latosol, Inceptisol, Andisol ,30 38,32 Kambisol, Mediteran 5 Basalt Latosol, Kambisol Inceptisol, Andisol 2.296,18 2,35 6 Tuf Kambisol, Inceptisol, Andisol ,61 37,41 Latosol CKM Jumlah ,74 100,00 Sumber: Samidjan, 2014 Apabila dilihat dari material bahan induknya sebagaimana disajikan pada Tabel diatas, Kabupaten Jepara didominasi oleh bahan induk tuff yang menempati luasan sekitar 76,8%. Jenis bahan induk ini biasanya menghasilkan jenis tanah Andisol dan Inceptisol. Pada umumnya tanah-tanah yang terbentuk dari bahan induk tuff ini akan memiliki karakteristik tekstur tanah yang lempung, lempung berliat, liat berlempung dan liat, sehingga berkorelasi pada IV 43

193 kelas drainase tanah baik sampai terhambat. Tanah-tanah dari bahan induk tuff umumnya memiliki tingkat kesuburan kimia sedang sampai baik. Namun demikian untuk tanah yang sudah mengalami perkembangan tingkat lanjut, biasanya telah mengalami banyak penurunan tingkat kesuburan kimia seperti ph, C organik, unsur N dan K dalam tanah. Beberapa jenis tanah yang terbentuk dari bahan induk tuff yang terdapat di Kabupaten Jepara antara lain Latosol, Kambisol dan Mediteran. 3. Relief dan Kemiringan dibawah ini. Keragaman kemiringan lahan di Kabupaten Jepara disajikan pada Tabel Tabel 4.9 Sebaran kelas kemiringan lahan di Kabupaten Jepara No. Kelas Relief Lereng (%) Luas (Ha) Luas (%) 1 Datar (0-1) ,12 21,4% 2 Agak Datar (1-3) 9.321,97 9,6% 3 Berombak (3-8) ,58 28,8% 4 Bergelombang (8-15) ,90 28,0% 5 Berbukit (15-25) 1.766,30 1,8% 6 Bergunung (>25) ,87 10,4% Jumlah ,74 100,0% Sumber: Samidjan, 2014 Berdasarkan keragaman wilayah dilihat dari permukaan lahan (relief) dan tingkat kemiringannya, Kabupaten Jepara didominasi areal berombak dan bergelombang dengan kelas kemiringan (3-8%) dan (8-15%), dengan luasan masing-masing sekitar 28% dari luas wilayah kabupaten. Zona dengan topografi berombak merupakan daerah potensial untuk pengembangan tanaman semusim, sedangkan pada zona dengan topografi bergelombang, pengembangan komoditas pertanian tanaman semusim sebaiknya sudah dikombinasi dengan tanaman keras sekitar 25%. Wilayah dominan berikutnya di Kabupaten Jepara merupakan daerah dengan topografi datar (0-1%) dengan luasan sekitar 21,4%. Dominasi wilayah datar ini menjadi indikasi adanya potensi yang sangat besar untuk pengembangan komoditas pertanian tanaman semusim, namun harus IV 44

194 memperhatikan faktor pembatas yang ada yaitu drainase tanah yang cenderung terhambat. Disamping itu, di zona agroekologi dengan topografi datar di Kabupaten Jepara ini juga terdapat areal yang kurang potensial untuk pengembangan pertanian tanaman, yaitu di wilayah pesisir pantai. Hal ini disebabkan adanya faktor pembatas tekstur tanah yang berpasir dan peluang terjadinya intrusi air laut. 4. Tekstur dan Drainase Tanah Unsur karakteristik lahan yang memiliki peran sangat penting terhadap penentuan kelas kesesuaian komoditas pertanian adalah tekstur dan drainase tanah. Tekstur tanah memiliki peran dalam menentukan kondisi lapisan olah tanah terhadap tingkat kegemburannya. Tekstur tanah juga berperan dalam menentukan kelas drainase tanah. Namun demikian, tingkat drainase tanah ini disamping dipengaruhi oleh tekstur tanah juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiringan lahan. Jenis tanah yang didominasi oleh fraksi liat, pada kemiringan lahan yang cukup miring (>15%) cenderung akan menghasilkan kondisi drainase yang sedang (agak baik). Keragaan data tekstur dan drainase tanah di Kabupaten Jepara disajikan pada Tabel dibawah ini. Tabel 4.10 Sebaran tekstur tanah di Kabupaten Jepara No. Tekstur Luas (Ha) % 1 Halus ,57 50,5 2 Agak ,63 33,8 3 Sedang ,23 10,9 4 Agak 0,00 0,0 5 Kasar 4.687,31 4,8 Jumlah ,74 100,0 Sumber: Samidjan, 2014 Tabel 4.11 Sebaran drainase tanah di Kabupaten Jepara No. Kelas Drainase Luas (Ha) (%) 1 Terhambat ,38 22,7 2 Agak Terhambat ,82 30,0 3 Sedang ,27 29,3 4 Baik 7.416,68 7,6 5 Agak Cepat 4.523,96 4,6 6 Cepat 5.711,63 5,9 jumlah ,74 100,0 Sumber: Samidjan, 2014 IV 45

195 Berdasarkan data pada Tabel diatas telihat, bahwa sebagian besar wilayah di Kabupaten Jepara didominasi oleh tekstur liat sampai liat berdebu. Wilayah yang memiliki tekstur berliat seperti ini meliputi sekitar 50,5%. Kondisi tekstur tanah berliat ini menjadi salah satu sebab kondisi drainase tanah berada pada kelas agak terhambat sampai terhambat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.11, bahwa kondisi wilayah di Kabupaten Jepara dengan drainase agak terhambat mencapai sekitar 30,0% dan terhambat mencapai sekitar 22,7%. Pada tabel 4.12 berikut ini disajikan jenis tanaman biofarmaka yang cocok sesuai dengan zonasi agroekolog dan gambar peta ZAE kabupaten Jepara. IV 46

196 Tabel Satuan Unit (SUL) Zona Agroekologi di Kabupaten Jepara dan tanaman Biofarmaka yang cocok Sul Zona Landform Kecamatan 1 IV/Wfse Dataran banjir pada sungai meander 2 IV/D Tanggul sungai meander Keling Kembang Pakis Aji Batealit Pecangaan Welahan Mayong 3 IV/Wfse Dataran aluvial Mlonggo Kedung Kalinyamatan 4 IV/W Pesisir lumpur Keling Endapan liat 5 IV/W Pesisir lumpur Donorojo Endapan Mlonggo liat Jepara Kedung 6 IV/Wffe Dataran tektonik berombak 7 IV/Wfhe Dataran tektonik berombak 8 III/Wffe Dataran tektonik bergelombang Bahan Luas Relief Elevasi Jenis Tnh % Tanaman Yang Cocok Induk (Ha) Endapan Agak datar Aluvial 3.493,78 3,58 Lempuyang, Temukunci Endapan Agak datar Latosol 2.871,86 2,94 Temulawak, Kencur, Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Endapan Datar 0-10 Latosol 7.841,56 8,04 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah buaya Datar 0-3 Regosol 258,59 0,27 Laos, Sambiloto, Lidah Buaya Datar 0-3 Regosol 2.581,17 2,65 Laos, Sambiloto, Lidah Buaya Donorojo Batupasir Berombak Latosol 233,11 0,24 Temulawak, Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Donorojo Batupasir Berombak 5-50 Kambisol 1.221,62 1,25 Donorojo Batupasir Bergelomb ang Alfisol 1.873,13 1,92

197 Sul Zona Landform Kecamatan Bahan Luas Relief Elevasi Jenis Tnh Induk (Ha) % Tanaman Yang Cocok 9 IV/Wffe Kaldera Keling Tuf Berombak >1200 Kambisol 235,24 0,24 10 IV/Wffe Kaldera Donorojo Basalt Bergelomb ang Latosol 239,67 0,25 Laos, Lempuyang, Temuireng, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya, Jahe 11 III/Dffe Kaldera Donorojo Basalt Berbukit kecil Kambisol 523,91 0,54 12 II/Dff Lereng volkan atas Nalumsari Tuf Bergunung Mediteran 773,47 0,79 13 II/Dfs Lereng volkan atas Bangsri Batealit Tuf Bergunung Latosol 3.248,50 3,33 Laos, Lempuyang, Temuireng, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya, Jahe 14 IV/Dffe Lereng volkan atas Keling Tuf Bergunung > 700 Latosol 4.523,96 4,64 Temulawak, Kunyit, Jahe, Laos, Lempuyang, Temuireng, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mahkota Dewa, Kejibeling, Lidah Buaya 15 III/Wffe Lereng volkan tengah 16 III/Wffe Lereng volkan tengah 17 IV/Dffe Lereng volkan tengah Mayong Nalumsari Keling Bangsri Pakis Aji Nalumsari Tuf Berombak Kambisol 2.392,02 2,45 Tuf Tuf Bergelomb ang Bergelomb ang Latosol 3.853,16 3,95 Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe, Laos, Lempuyang, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Latosol 3.767,57 3,86 Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe, Laos, Lempuyang, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya

198 Sul Zona Landform Kecamatan Bahan Luas Relief Elevasi Jenis Tnh Induk (Ha) % Tanaman Yang Cocok 18 II/Dffe Lereng volkan tengah Kembang Tuf Berbukit Latosol 516,14 0,53 Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe, Laos, Lempuyang, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya 19 IV/Dfve Lereng volkan Donorojo Tuf Berombak Kambisol 707,1 0,72 bawah 20 IV/Dffe Lereng volkan Nalumsari Tuf Bergelomb Kambisol 225,33 0,23 bawah ang 21 IV/Dffe Lereng volkan bawah Donorojo Mayong Tuf Bergelomb ang Kambisol 4.168,18 4,27 22 IV/Wffe Lereng volkan bawah 23 IV/Dffe Lereng volkan bawah 24 II/Dffe Aliran lava subresen 25 II/Dffe Aliran lava subresen Nalumsari Keling Kembang Bangsri Pakis Aji Batealit Keling Bangsri Pakis Aji Batealit Tuf Tuf Bergelomb ang Bergelomb ang Donorojo Basalt Berbukit Kambisol 726,24 0, Latosol 6.191,99 6,35 Temulawak, Kencur, Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Latosol 7.007,88 7,18 Temulawak, Kencur, Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Donorojo Basalt Bergunung Latosol 1.569,94 1,61 Temulawak, Kunyit, Kencur, Jahe, Laos, Lempuyang, Temukunci, Dringo, Kapulaga, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya

199 Sul Zona Landform Kecamatan 26 IV/Wffe Dataran volkan Bangsri Tahunan Batealit 27 IV/Dffe Dataran volkan Donorojo Keling Kembang 28 IV/Dffe Dataran volkan Donorojo Keling Kembang Bangsri 29 IV/Wffe Dataran volkan Donorojo Keling Kembang Pecangaan Mayong Nalumsari 30 IV/Dffe Dataran volkan Kembang Bangsri Mayong 31 IV/Dffe Dataran volkan Mlonggo Jepara Tahunan Welahan Bahan Luas Relief Elevasi Jenis Tnh % Tanaman Yang Cocok Induk (Ha) Tuf Agak datar 5-25 Kambisol 2.956,32 3,03 Tuf Datar 5-25 Latosol CKM 2.323,22 2,38 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Tuf Datar 5-25 Latosol 2.696,11 2,76 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Tuf Datar Latosol 5.200,47 5,33 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Tuf Berombak Latosol 5.553,93 5,69 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya Tuf Berombak 5-50 Latosol ,0 3 Mayong 32 IV/Dei Dataran volkan Keling Tuf Berombak Latosol CKM Sumber: observasi dan pengolahan data tim pengkaji, ,32 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Mahkota Dewa, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya 1.847,54 1,89 Laos, Lempuyang, Temukunci, Mengkudu, Kejibeling, Sambiloto, Lidah Buaya

200 IV 51

201 Tabel Potensi Kecocokan Jenis Tanaman Biofarmaka berdasarkan Kecamatan No Jenis Tanaman Kecamatan 1 Dringo Keling, Kembang, Pakis Aji, Nalumsari, Donorojo, Bangsri, Batealit 2 Jahe 3 Kapulaga 4 Kejibeling 5 Kencur Keling, Kembang, Pakis Aji, Nalumsari, Donorojo, Bangsri, Batealit Keling, Kembang, Pakis Aji, Nalumsari, Donorojo, Bangsri, Batealit Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Kembang, Pakis Aji, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Bangsri, Welahan, Batealit 6 Kunyit Keling, Kembang, Pakis Aji, Nalumsari, Bangsri 7 Laos Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo 8 Lempuyang 9 Lidah Buaya 10 Mahkota Dewa 11 Mengkudu 12 Sambiloto Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Welahan, Batealit, Mlonggo Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo 13 Temuireng Keling, Donorojo, Bangsri, Batealit IV 52

202 No Jenis Tanaman 14 Temukunci 15 Temulawak Kecamatan Keling, Kembang, Pakis Aji, Tahunan, Jepara, Kalinyamatan, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Kedung, Welahan, Batealit, Mlonggo Keling, Kembang, Pakis Aji, Pecangaan, Nalumsari, Mayong, Donorojo, Bangsri, Welahan, Batealit Sumber: observasi dan pengolahan data tim pengkaji, 2017 IV 53

203 4.3. Analisis Potensi Kondisi Eksisting dan Analisis Produktivitas Budidaya Biofarmaka Kondisi eksisting pelaku usahatani biofarmaka ditelaah dari aspek-aspek agribisnis, meliputi: aspek hulu, aspek usahatani, aspek hilir dan aspek pendukung. Dari masing-masing aspek dijelaskan sesuai dengan hasil wawancara, baik dengan Penyuluh pendamping, ketua kelompok tani, petani, tengkulak, pengambil kebijakan dll. 1. Hasil wawancara dengan petani Pada tahun produksi tanaman biofarmaka sangat tinggi. Namun, pada tahun 2010 sampai sekarang mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah ketidakpastian informasi pasar dan harga. Pasar merupakan faktor yang paling dominan dalam penurunan minat petani menanam biofarmaka dan pada akhirnya menyebabkan penurunan produksi. Bilamana terdapat pasar yang menjanjikan, para petani menyatakan siap untuk melakukan penanaman tanaman biofarmaka. Saat ini tanaman biofarmaka hanya ditanam di pekarangan saja, yaitu hanya sebagai tumpang sari. Para petani tidak menanam secara besar-besaran seperti pada tahun Akan tetapi di wilayah Muryolobo, sebagian petani menanam tanaman biofarmaka sepanjang musim. Penanaman tersebut dilakukan secara rotasi, misal tahun ini jahe maka musim depan setelah panen diganti dengan kencur. Para petani memperoleh bibit berasal dari persediaan hasil panen. biasanya hasil produksi dari petani sebagian disimpan untuk ditanam kembali dan sebagian lagi dijual kepada tengkulak. Ada juga petani yang membeli bibit dari tengkulak termasuk kebutuhan modal untuk usaha tani, akan tetapi hal tersebut menyebabkan para petani harus menjual kepada tengkulak. Jenis permodalan berasal dari dana pribadi dan pinjaman dari tengkulak. Para petani meminjam uang kepada tengkulak digunakan untuk membeli bibit. Bilamana pada musim panen tiba, para petani harus menjual ke tengkulak tersebut dengan harga yang lebih murah atau pengembalian hasil panen yang lebih banyak. IV 54

204 2. Hasil wawancara dengan Penyuluh pertanian a. Penyuluh pertanian kecamatan Batealit Dari hasil wawancara dengan penyuluh pertanian kecamatan Batealit, persoalan-persoalan antara lain: 1) Kesadaran masyarakat belum sepenuhnya sadar tentang manfaat dari tanaman biofarmaka. 2) Lamanya proses panen. 3) Sulitnya perairan yang terjadi di Batealit akibat musim kemarau. 4) Peluang pasar yang masih sempit/ ketiadaan informasi pasar yang dimiliki petani. 5) Standar harga untuk tanaman biofarmaka belum ada. 6) Masalah distribusi, diantaranya peluang pasar yang masih kurang. Untuk pengolahan pasca panen biofarmaka oleh kelompok wanita tani (KWT) diantaranya adalah jahe. Jahe tersebut dibuat menjadi ekstra jahe (penghangat badan). Namun baru jahe saja yang terealisasikan, untuk biofarmaka lain belum pernah diolah. Teknologi atau peralatan yang digunakan dalam pengolahan produk biofarmaka untuk petani biofarmaka di Batealit belum menggunakan teknologi khusus, mereka masih menggunakan peralatan secara manual. Penyuluh pendamping dalam melakukan pendampingan terhadap petani mengenai pola/perilaku penanaman, tanaman obat/emponempon/biofarmaka salah satunya adalah dengan adanya kegiatan POKJA 3 selain sandang pangan ada juga juga obat-obatan yang berhubungan dengan biofarmaka bisa membangkitkan semangat para petani untuk menanam tanaman biofarmaka. Beberapa tanaman biofarmaka yang banyak dikembangkan di kecamatan Batealit adalah Jahe, laos, kencur, kunyit, kapulogo. Pada tahun di Somosari pernah mendapatkan bantuan dari perkebunan untuk menanam tanaman kapulogo dalam skala besar. Untuk standar pendampingan terhadap para petani biofarmaka di Kecamatan Batealit, sudah sesuai standar SOP dalam pertanian. Di daerah Batealit hasil produksi biofarmaka belum ada pengolahan khusus untuk pasca panennya. Pengolahannya hanya di jual ke pasar Batealit atau pun di kelola IV 55

205 menjadi produksi rumahan seperti di konsumsi sendiri atau terkadang dipesan oleh tetangga terdekat untuk keperluan pribadi. Untuk perolehan bibitnya para petani memperoleh dari pasar Batealit sendiri dan ada juga dari antar sesama petani. Untuk penjualan di jual ke pasar-pasar terdekat, ada juga yang di jual ke pasar Batealit karena biasanya di pasar Batealit ada tengkulak dari daerah lain yang khusus untuk membeli tanaman seperti biofarmaka, dan ada juga khusus tengkulak yang langsung mendatangi ke rumah petani. Baik banyak atau sedikit, yang dimiliki oleh petani biasanya tengkulak selalu siap membeli. Akses petani terhadap informasi pasar hanya mengandalkan informasi dari petani lain (sharing informasi dari satu petani dengan petani yang lain). Lembaga Ekonomi Pedesaan seperti LKM (Lembaga Keuangan Mikro) dulunya ada di Kecamatan Batealit untuk membantu para petani, namun karena tidak berjalan dengan baik akibat macetnya pengembalian pinjamannya akhirnya lembaga tersebut ditutup. b. Penyuluh pertanian kecamatan Pakis Aji Dari hasil wawancara dengan penyuluh pertanian Kecamatan Pakis Aji. Penurunan hasil produksi biofarmaka sejak tahun 2010 hingga sekarang diakibatkan karena tidak adanya pasar. Hal ini membuat para petani tidak berminat menanam biofarmaka. Sebab lain adalah bibit berkualitas yang sulit didapatkan. Pada tahun produksi cukup tinggi, karena pada periode tersebut banyak pembeli skala besar yang siap menampung hasil panen tanaman biofarmaka. Banyaknya potensi pasar membuat para petani mulai bersemangat untuk menanam biofarmaka, namun saat panen besar, tengkulak besar mulai menghilang. Akhirnya para petani mulai berpindah dari awalnya menanam tanaman biofarmaka menjadi menanam tanaman yang lain, maka di tahun 2010 itulah potensi produksi biofarmaka mulai menurun. Permasalahan utama yang dihadapi oleh para petani biofarmaka adalah tidak ada peluang pasar dalam menjual hasil produksi biofarmaka, pembibitan, pemasaran, tidak adanya lembaga perekonomian untuk membantu permodalan para petani untuk mengembangkan tanaman biofarmaka, dan standar dan stabilitas harga yang tidak tentu (harga berfluktuasi). IV 56

206 Pengolahan pasca panen biofarmaka hanya dikelola untuk produksi rumahan, dijual ke pasar, namun tidak dalam skala besar dan juga jika ada permintaan seperti tukang jamu/jamu gendong. Belum ada teknologi atau peralatan khusus yang digunakan dalam pengolahan produk biofarmaka. Kegiatan para penyuluh dalam mendampingi petani biofarmaka adalah sosialisasi TOGA (Tanaman Obat Keluarga) dan memberi pengarahan. Kebanyakan para petani di Kecamatan Pakis aji sebagian besar menanam tanaman pangan, namun masih ada juga yang menanam tanaman biofarmaka seperti jahe, kencur, kunyit namun hanya dalam skala kecil dan biasanya untuk kebutuhan produksi rumahan Untuk Ketersediaan tenaga kerja di Kecamatan Pakis Aji, mayoritas masyarakatnya sangat berpotensi dalam menanam tanaman biofarmaka asalkan peluang pasarnya ada dan perolehan bibitnya mudah. Disayangkan sekali jika di daerah Kecamatan Pakis Aji tidak banyak petani yang menanam tanaman biofarmaka, karena tanah dan cuaca pegunungan disana sangat cocok untuk ditanami tanaman biofarmaka. Kebijakan pemerintah yang diharapkan oleh para penyuluh adalah adanyan sosialisasi yang lebih menjurus ke tanaman biofarmaka, demplot jenis tanaman biofarmaka, membuat peluang pasar untuk produk biofarmaka, kemudahan memperoleh bibit biofarmaka. c. Penyuluh Pertanian Kec. Keling Pada tahun produksi tanaman biofarmaka di kec. Keling cukup tinggi, namun pada tahun 2010 sampai sekarang tetap stabil tidak mengalami peningkatan. Permasalahan yang dihadapi dalam hal ini adalah bibit tanaman biofarmaka karena di daerah ini memproduksi olahan produk instant maka terkadang terjadi kekurangan pasokan biofarmaka. Pengolahan produk instant berupa temulawak instant, jahe instant, dll. Peralatan yang digunakan berupa parut, pemeras manual, dan wajan. Tanaman yang kebanyakan ditanami oleh petani adalah kapulaga. Petani memperoleh bibit berasal dari sebagian hasil panen yang dijadikan cadangan, dan apabila kehabisan stock para petani membeli di desa IV 57

207 Donorojo. Penyuluh pendamping melakukan pendampingan secara khusus tidak ada, dan telah sesuai ketentuan/sop pertanian. Minat petani dalam menanam tanaman biofarmaka cukup tinggi karena hasil tanaman biofarmaka yang dijual bukan bahan mentah akan tetapi produk instanst, dan belum terjadi kegagalan panen dan tidak terdapat hama yang bersifat epidemik. Masalah produksi tanaman biofarmaka yang dihadapi oleh petani adalah keterbatasan alat, dan tenaga kerjanya berasal dari keluarga sendiri. Kualitas produksi tanaman biofarmaka cukup baik hal ini dikarenakan tidak ada hama dan menjalankan SOP pertanian meski belum secara penuh. Di Kecamatan Keling petani di beberapa desa, yaitu Tempur, Gelang, Dan Damarwulan banyak menanam biofarmaka karena tanahnya sangat cocok. Hal ini juga sesuai dari analisis ZAE. Pemasaran produk difasilitasi melalui PKK, dan OPD yang memberi pendampingan adalah BPPKB (Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana) Jepara (sekarang menjadi Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana). Jangkauan pemasarannya adalah wilayah Jepara dan para wisatawan. Alat komunikasi petani menggunakan mulut ke mulut, jenis permodalan yang diperlukan oleh petani yaitu alat, bibit, uang, pupuk. Lembaga pendukung dalam pemasaran adalah melalui kelompok PKK. Organisasi tersebut bernama dasawisma. Para petani di Kecamatan Keling tidak tergantung pada tengkulak hal ini dikarenakan para petani memproduksi sendiri hasil olahan panen. Stabilitas harga produk biofarmaka stabil hal ini dilakukan pengolahan sendiri. Pemerintah telah melakukan sosialisasi terhadap tanamn biofarmaka, perhatian pemerintah terhadap tanaman biofarmaka untuk periode saat ini menurun, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Dalam pendampingan kepada petani penyuluh telah memberikan program-program seperti penyuluhan/sosialisasi, dan juga bantuan alat press. d. Penyuluh Pertanian Kec. Kembang IV 58

208 Pada tahun produksi tanaman biofarmaka cukup tinggi, namun pada tahun 2010 sampai sekarang mengalami penurunan hal ini disebabkan potensi pasarnya tidak ada dan juga harga tanaman biofarmaka mengalami penurunan. Permasalahan yang menjadi kendala dalam usahatani biofarmaka adalah pasar, pengolahan pasca panen biofarmaka seperti kunyit dijual kepada tengkulak, peralatan yang digunakan dalam pengolahan produk biofarmaka tidak ada hal ini langsung dibeli oleh penebas secara borongan. Tanaman yang banyak ditanami oleh petani adalah kencur, jahe, kunyit. Penyuluh pendamping hanya berorientasi pada pendapatan, dan tidak ada pendampingan kepada petani. Hasil produksi tanaman biofarmaka yang ada di kecamatan kembang dijual kepada tengkulak-tengkulak. Masalah produksi biofarmaka dalam hal ini tidak ada, dan tenaga kerjanya berasal dari keluarga sendiri. Di kecamatan kembang ada beberapa desa yang menanami tanaman biofarmaka yaitu Sumanding, Bucu dan Dudakawu. Mengenai distribusi, tengkulak datang sendiri ke rumah petani. Jenis permodalan yang diperlukan yaitu bibit, pupuk organik. Harga produk biofarmaka adalah berfluktuasi menyebabkan kini sudah tidak banyak petani yang menanam biofarmaka. Pemerintah tidak memberikan fasilitas yang mendukung dalam tanaman biofarmaka dan para petani mengharapkan adanya bantuan bibit. e. Penyuluh Pertanian Kec. Mayong Permasalahan yang selama ini dihadapi oleh para petani biofarmaka di Desa Bungu dan Pancur adalah ketiadaan tenaga kerja di lapangan (buruh tani), tidak ada jaminan harga, tidak ada pasar untuk menjual hasil panen, dan kesulitan memperoleh bibit. Selama ini hasil produksinya dijual ke tengkulak dengan sistem tebas. Untuk bibit para petani biasanya membeli di pasar dan membeli di tengkulak karena bibitnya lebih unggul tetapi segi harga bibit yang dari tengkukak akan lebih mahal. Permodalan yang dimiliki petani dari modal sendiri akan tetapi kalau para petani butuh uang mereka akan meminjam dari tengkulak dengan IV 59

209 perjanjian hasil tanamannya dijual ke tengkulak (sistem ijon) dan biasanya harganya lebih rendah dari pasaran. Perhatian dari pemerintah selama ini yaitu hanya pada tanaman palawija dan perkebunan. Untuk tanaman biofarmaka setelah masuk dinas pertanian tidak ada bantuan bibit dari pemerintah, sebagaimana ketika masih di dinas perkebunan masih ada bantuan. 3. Hasil wawancara dengan para pengepul/tengkulak Hasil wawancara dari para pengepul di daerah kudus yaitu dengan Bapak Giyono (Kandangmas rt 02/03), Bapak Sulhadi (Cranggang Rt 01/02), dan Bapak Nirgito (Rejosari, dukuh kepangen rt 06/02). Dari hasil wawancara tersebut tanaman biofarmaka yang sering ditebas adalah Kencur, Kunyit, temulawak, Jahe, Laos (merah/putih). Mereka mulai merintis usaha menjadi pengepul tanaman obat ada yang memulai dari tahun 1990 (Giyono), tahun 2002 (Sulhadi), dan tahun 2007 (Nirgito). Para pengepul biasanya mencari tanaman biofarmaka di wilayah Jepara (Bangsri, Mayong, Batealit), Pati, Kudus. Pera petani juga memperoleh bibit dari para pengepul. Sedangkan para pengepul sendiri memperoleh bibit biasanya dari Kudus, Sumatra, Banyumas, Solo, dan ada juga yang tanaman sendiri (biasanya kalau hasil panen sebagian di tanaman untuk dijadikan bibit). Hubungan antara pengepul dengan para petani memiliki ketergantungan satu sama lain. Para petani tidak bisa menjual hasil panen jika tidak ada pengepul dan sebaliknnya para pengepul juga tidak bisa memenuhi permintaan konsumen jika tidak ada para petani. Jadi disini hubungan antara para petani dan pengepul simbiosis mutualisme dimana keadaan yang saling menguntungkan. Pinjaman modal oleh tengkulak besar sering diberikan kepada para petani ataupun para penebas. Proses pengembaliannya biasanya ada yang mengembalikan pinjaman modal berupa hasil panen sesuai dengan jumlah nominal yang dipinjamnya dari hasil panen, dan ada juga pengepul yang meminta pengembaliannya berupa hasil panen lebih banyak dibanding uang yang dipinjam, perumpamaannya seperti 1:2. Untuk para pengepul pencarian IV 60

210 tanaman biofarmaka ada yang setiap hari selalu menerima hasil panen dari para petani maupun penebas, dan ada juga tidak setiap hari namun setiap ada permintaan saja pengepul tersebut baru mencari hasil panen ke penebas maupun petani. Kebijakan pemerintah yang diharapkan oleh para pengepul adalah ketersediaan dana pinjaman, perolehan bibit tanaman biofarmaka, dan berikan peluang pasar untuk menjual hasil panen biofarmaka. Untuk melihat kinerja pertanian biofarmaka secara umum, berikut ini disajikan produktivitas tanaman biofarmaka di Jepara selama periode ,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 20,68 41,00 25,96 17,89 rata rata Produktivitas 21,46 15,57 19,57 43,07 71,33 28,34 16,10 75,42 18,58 92,45 Ket: Satuan : ton/ha *) : kg/pohon rata rata Sumber: Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Gambar Rata-rata Produktivitas Tanaman Biofarmaka Kabupaten Jepara Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa rata-rata produktivitas tanaman biofarmaka kabupaten Jepara untuk tanaman jahe sebesar 20,68 ton/ha; tanaman laos sebesar 41,00 ton/ha; tanaman kencur sebesar 25,96 ton/ha; tanaman kunyit sebesar 17,89 ton/ha; tanaman lempuyang sebesar 21,46 ton/ha; tanaman temulawak sebesar 15,57 ton/ha; tanaman temuireng sebesar 19,57 ton/ha; tanaman temukunci sebesar 43,07 ton/ha; tanaman dlingo sebesar 71,33 ton/ha; tanaman kapulaga sebesar 28,34 ton/ha; tanaman mengkudu 16,10; tanaman kejibeling IV 61

211 sebesar 18,58; tanaman sambiloto tidak ada yang menanam dan tanaman lidah buaya sebesar 92, Analisis Rantai Nilai Analisis rantai nilai (value chain) menjelaskan tentang interaksi pelakupelaku agribisnis dan lembaga-lembaga dalam agribisnis biofarmaka. Rantai nilai secara umum disajikan pada gambar berikut: Analisis Rantai Nilai Petani Biofarmaka di Kecamatan Keling Perbenihan Infrastruktur Pupuk, Media PETANI BIOFARMAKA Pasca Panen/Hasil Olahan Saranan/Prasaran Permodalan DASAWISMA IV 62

212 Berdasarkan rantai nilai diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku petani biofarmaka di Kecamatan Keling mulai pembenihan sampai dengan pasca panen adalah sebagai berikut: a. Tahap awal petani memperoleh benih tanaman biofarmaka yaitu dari simpanan hasil panennya. Apabila para petani kehabisan stock benihnya maka para petani akan membeli ke Kecamatan Donorojo karena bibit tanaman biofarmaka disana lebih unggul. b. Sarana/prasaranan yang dimiliki oleh petani biofarmaka disana yaitu 20 alat pengemas produk yang berasal dari bantuan pemerintah, dan alat ini penggunaannya masing kurang optimal dikarenakan masih secara bergantian antara petani satu dengan petani yang lainnya. c. Permodalan untuk menjalankan usaha tani biofarmaka berasal dari dana pribadi para petani. d. Hasil dari panen tanaman biofarmaka ini tidak langsung dijual dalam bentuk mentahan akan tetapi dijual dalam bentuk produk yaitu berupa olahan instan. e. Para petani biofarmaka di Kecamatan Keling juga berkerjasama dengan dasawisma untuk melakukan pemasaran hasil olahan instan. Atau hasil olahan instan tersebut selain dipasarkan oleh dasawisma juga dititip-titipkan ke tokotoko. IV 63

213 Analisis Rantai Nilai Petani Biofarmaka di Kecamatan Mayong, Nalumsari dan Batealit Perbenihan Infrastruktur Pupuk, Media Saranan/Prasaran PETANI BIOFARMAKA Penebas Tengkulak Permodalan Berdasarkan rantai nilai diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku petani biofarmaka di Kecamatan Mayong, Nalumsari dan Batealit mulai pembenihan sampai dengan pasca panen adalah sebagai berikut: a. Para petani memperoleh bibit berasal dari simpanan hasil tanaman biofarmaka milik petani sendiri dan ada juga yang berasal dari tengkulak. Simpanan hasil tanaman biofarmaka kemudian ditanam setelah panen hasil produksi tersebut sebagian ditanam dan sebagian lagi di jual ke tengkulak langsung atau pun dijual kepada penebas yang dibeli secara borongan. Apabila bibit tersebut diperoleh dari tengkulak maka hasil panen tersebut harus dijual kepada para tengkulak tersebut dan harganya disesuaikan dengan harga atas tengkulak tersebut. b. Mengenai permodalan tengkulak memberikan pinjaman kepada penebas untuk membeli secara borongan atas hasil panen dari petani, dan sebagian juga terdapat pinjam meminjam antara petani dengan tengkulak, akan tetapi terkadang hasil panen dari petani harus memberikan hasil panen yang lebih banyak kepada para tengkulak. c. Hasil dari panen tanaman biofarmaka akan langsung dijual ke penebas secara borongan, dari penebas akan dijual ke tengkulak. Hasil tebasan dari tengkulak ini akan dijual keperusahaan-perusahaan besar melalui supervisor, karena para tengkulak ini sudah memiliki relasi atau jalinan kerjasama dengan IV 64

214 perusahaan-perusahaan tersebut. Jika petani ingin menjual hasil panennya ke perusahaan-perusahaan besar tersebut akan sangat sulit. Dapat disimpulkan bahwa perilaku petani biofarmaka di Kecamatan Mayong, Nalumsari dan Batealit adalah mereka memperoleh bibit dari penebas, kemudian hasilnya dijual ke penebas dan modal sebagian berasal dari penebas. Sehingga para petani sangat bergantung dengan penebas. Rantai nilai (value chain) disinyalir menjadi salah satu penyebab rendahnya harga yang diterima petani. Rantai nilai merupakan rantai kegiatan pada proses transformasi produk dari bahan mentah menjadi bahan jadi. Rantai nilai tanaman biofarmaka seringkali sangat panjang, terdiri dari 6-7 tahap pemasaran mulai dari petani, tengkulak lokal, pasar grosir regional, pasar grosir besar, dan pemasok khusus. Kebanyakan industri lebih suka membeli dari pemasok dan pedagang grosir sehingga menyebabkan gross margin (keuntungan kotor) diantara pelaku bisnis menjadi tidak merata. Petani yang merupakan pelaku kunci justru mendapatkan margin yang rendah. Kondisi rantai nilai yang dominan oligopsoni (pasar dikuasai oleh beberapa pembeli), sistem tebas dan ijon menunjukkan bahwa masih banyak kekurangan dalam industri tanaman biofarmaka di Indonesia. Indonesia dengan potensi sumber daya alam yang melimpah pasti mampu memenuhi permintaan pasokan bahan herbal jika ada upaya perbaikan tata kelola mulai dari pemerintah sampai ke petani Analisis SWOT Ringkasan analisis SWOT, disajikan sebagai berikut: Faktor Internal: Kekuatan 1. Kondisi Sumber daya alam 2. Ketersediaan lahan 3. Sudah dikenal secara luas sebagai produsen/sentra 4. Kemitraan antar pelaku utama dan pelaku usaha 5. Kemampuan memenuhi Pesanan/Permintaan Tepat Waktu 6. Kapasitas Produksi 7. Distribusi ke pasar atau ke konsumen IV 65

215 Faktor Internal: Kelemahan 1. Ketersediaan bibit 2. Kualitas produk 3. Keahlian /ketrampilan sumber daya manusia 4. Biaya produksi 5. pengetahuan tentang standarisasi produksi dan pasca panen 6. Kelembagaan/organisasi 7. Penggunaan teknologi pengolahan 8. Ketersediaan modal/modal yang dimiliki 9. Pengolahan pasca panen 10. Manajemen usaha 11. Jangkauan pemasaran 12. Harga 13. Kemampuan akses permodalan dari pihak lain 14. Kemampuan membaca peluang pasar/informasi pasar 15. Infrastruktur jalan Faktor Eksternal: Peluang 1. Potensi pasar domestik (lokal, regional dan nasional) 2. Pola kemitraan dan partisipasi masyarakat 3. Daya beli masyarakat 4. investasi optimalisasi fungsi lahan 5. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi 6. Kondisi infrastruktur (air bersih, listrik, jalan dsb) 7. Persaiangan harga antar pengusaha/petani 8. Kemudahan dalam memperoleh sarana produksi 9. Pertumbuhan ekonomi daerah 10. Kebijakan/regulasi pemerintah Faktor Eksternal: Ancaman 1. Fluktuasi harga 2. Persaingan usaha produk sejenis 3. Persaingan usaha dengan produk lain 4. Ketidakpastian iklim 5. Produk Impor IV 66

216 4.4. Prospek Potensi Dan Arah Pengembangan Prospek potensi Pasar Penggunaan tumbuhan sebagai tanaman obat kini semakin diminati. Pemasaran tanaman obat di dunia pada tahun 2014 dapat mencapai nilai transaksi sebesar 60 miliar US Dolar (Marichamy dkk., 2014). Di Indonesia sendiri, permintaan tanaman obat pada tahun 2002 mencapai 10,5% dari permintaan obat nasional dan naik menjadi 12% pada tahun 2005 (Zulkarnain & Ahmad Zaki, 2007). Sementara itu, penggunaan tanaman obat di Indonesia mencapai sekitar 250 ton per minggu atau sama dengan ton per tahun (Kadarwati & Istiqomah, 2011). USAID pada tahun 2006 menyatakan bahwa pasar internasional tanaman obat dan aromatik bertumbuh sebesar % per tahunnya. Tingginya permintaan tersebut disebabkan oleh besarnya risiko efek samping yang mungkin ditimbulkan karena penggunaan obat sintesis. Pasar tanaman obat di Indonesia, menurut Departemen Pertanian, terbagi atas industri obat` tradisional (IOT), industri kecil obat tradisional (IKOT), dan industri farmasi. Kategori IOT dan IKOT didasarkan pada besarnya aset. IOT memiliki aset lebih dari 600 juta rupiah, sedangkan IKOT kurang dari 600 juta rupiah. Di Indonesia, ada sebanyak 118 IOT dengan besar pertumbuhan 6,4% per tahun dan 905 IKOT dengan pertumbuhan 1,8% per tahunnya. Pertumbuhan tersebut salah satunya disebabkan oleh kebiasaan masyarakat Indonesia mengkonsumsi jamu. Kecenderungan back to nature masyarakat Indonesia maupun mancanegara saat ini, merupakan suatu peluang yang cukup besar bagi obat bahan alam untuk menggantikan obat modern walaupun belum secara penuh. Sampai saat ini belum ada data pasti mengenai permintaan jamu secara nasional maupun ekspor. Menurut data yang ada, omset industri jamu nasional mencapai Rp. 3,2-3,5 triliun pada tahun 2004, naik sekitar 15-20% dari tahun Walaupun pangsa pasar obat bahan alam belum sebesar obat modern tetapi potensi peningkatannya cukup besar. Meskipun kontribusi obat tradisional pada saat ini hanya mencapai 10,5%, namun nlainya cukup berarti (Rp. 2 triliun). Diperkirakan untuk tahun 2010 akan meningkat menjadi 16% dengan nilai Rp. 7,2 triliun. Selain permintaan domestik, IV 67

217 permintaan mancanegara akan produk jamu terus meningkat walaupun data yang akurat belum tersedia. Perbandingan permintaan obat modern dan obat bahan alam Obat Modern Obat bahan Alam Tahun Permintaan Pangsa Permintaan Pangsa ,5 2 10, ,0 7,2 16,0 Sumber: Balitbang Pertanian (2005) Berdasarkan hasil analisis studi potensi permintaan dan penawaran tanaman obat (biofarmaka) yang dilakukan oleh Badan Koordinasi dan Penanaman Modal Terpadu (BKMPT) Provinsi Banten pada tahu 2016, diketahui hasilnya sebagai berikut: 1. Permintaan Jahe sebesar Ton selama setahun 2. Permintaan Kunyit sebesar Ton selama setahun 3. Permintaan Kencur sebesar l Ton selama setahun 4. Permintaan Lengkuas sebesar Ton selama setahun Prospek potensi budidaya Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) telah melepas 1 varietas unggul Jahe Putih Besar (Cimanggu-1) dengan potensi produksi ton/ha dan 3 varietas unggul kencur (Galesia-1, Galesia-2 dan Galesia-3) dengan potensi produksi ton/ha, yang sangat potensial untuk mendukung pengembangan industri benih guna meningkatkan nilai tambah agribisnis tanaman obat di sektor hulu, sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri obat tradisional. Namun demikian, petani biofarmaka di Jepara belum memperoleh bibit unggul sebagaimana dimaksud. Hasil identifikasi potensi biofarmaka berdasarkan kecamatan disajikan pada bagian berikut: IV 68

218 Gambar Peta Potensi Dringo

219 Gambar Peta Potensi Jahe

220 Gambar Peta Potensi Kapulaga

221 Gambar Peta Potensi Kejibeling

222 Gambar Peta Potensi Kencur

223 Gambar Peta Potensi Kunyit

224 Gambar Peta Potensi Laos/Lengkuas

225 Gambar Peta Potensi Lempuyang

226 Gambar Peta Potensi Lidah Buaya

227 Gambar Peta Potensi Mahkota Dewa

228 Gambar Peta Potensi Mengkudu/Pace

229 Gambar Peta Potensi Temuireng

230 Gambar Peta Potensi Temukunci

231 Gambar Peta Potensi Temulawak

232 Arah pengembangan dan Roadmap Pengembangan Peluang pasar masih cukup luas baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Kebutuhan dalam negeri setiap tahunnya meningkat sebagaimana tercermin dari pertumbuhan jumlah IOT dan IKOT di Indonesia, belum termasuk kebutuhan industri rumah tangga dan jamu gendong yang tidak diwajibkan melapor ke Badan POM. Sebagian besar IOT memperoleh bahan baku di samping berasal dari dalam negeri juga berasal dari impor, dengan alasan bahan baku domestik kualitas, kuantitas dan kontinuitasnya tidak terjamin, terutama simplisia impor untuk formulasi obat ekstrak dan nutraceutical. Oleh karena itu salah satu arah pengembangan tanaman biofarmaka adalah untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan kontinuitas bahan baku dan peningkatan nilai tambah. Pengembangan tanaman biofarmaka dapat ditinjau dari beberapa aspek: 1. Aspek kelembagaan 2. Aspek SDM 3. Aspek teknologi dan pengembangan usaha 4. Aspek pembiayaan 5. Aspek promosi dan pemasaran 6. Aspek kemitraan Program umum yang dibutuhkan untuk pengembangan tanaman biofarmaka adalah: 1. Penetapan wilayah pengembangan berdasarkan potensi, kesesuaian lahan dan agroklimat, sumberdaya manusia dan potensi serapan pasar; penyusunan kluster tanaman biofarmaka 2. Peningkatan produksi, mutu dan daya saing melalui: (a) penggunaan varietas unggul yang ditanam di tempat yang sesuai dengan penerapan praktek pertanian yang baik (GAP, Good Agricultural Practices) yang didasarkan atas SOP (Standard Operational Procedures) untuk masing-masing komoditas, (b) Panen dan pengolahan produk sesuai dengan GMP (Good Manufacturing Practices). 3. Peningkatan kompetensi sumber daya manusia melalui: (a) pendidikan dan pelatihan SDM, (b) demplot teknologi produksi bahan tanaman. IV 83

233 4. Pengembangan infrastruktur dan kelembagaan melalui: (a) pembangunan sarana dan prasarana penunjang transportasi, telekomunikasi ke daerah sentra produksi TO, (b) pengembangan kemitraan antara petani dengan industri dan pemerintah. 5. Peningkatan pelayanan informasi, promosi dan pemasaran melalui: (a) pengembangan website, publikasi di media masa dan forum-forum terkait, (b) pembentukan jejaring kerja dan sistem informasi pasar. 6. Penyusunan kebijakan dan insentif investasi yang kondusif di sub sistem hulu sampai hilir dalam agribisnis dan agroindustri berbasis tanaman biofarmaka melalui penciptaan lingkungan usaha agribisnis dan agroindustri yang kondusif. Peta jalan pengembangan dapat disajikan sebagai berikut: Sumber: Data diolah (2017) Berdasarkan gambar peta jalan pengembangan yang disajikan diatas dapat dijelaskan bahwa terdapat 2 kegiatan yaitu: IV 84

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi memerlukan kondisi kesehatan yang optimal. Kondisi kesehatan tubuh tentunya tidak bisa lepas dari konsumsi makanan yang sehat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam perannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas fungsi-fungsi pelayanannya kepada seluruh lapisan masyarakat diwujudkan dalam bentuk kebijakan

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR Oleh : Surya Yuliawati A14103058 Dosen : Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga C. Program PERKREDITAN PERMODALAN FISKAL DAN PERDAGANGAN KEBIJAKAN KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PERBAIKAN JALAN DESA KEGIATAN PENDUKUNG PERBAIKAN TATA AIR INFRA STRUKTUR (13.917 ha) Intensifikasi (9900 ha) Non

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki kepentingan yang besar terhadap sektor pertanian. Pentingnya sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia yang dilihat dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara mega diversity untuk tumbuhan obat di dunia dengan keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 setelah BraziRismawati. Dari 40 000 jenis

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN. Jahe (Zingiber officinale) dan kunyit (Curcuma longa) merupakan

1. BAB I PENDAHULUAN. Jahe (Zingiber officinale) dan kunyit (Curcuma longa) merupakan 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jahe (Zingiber officinale) dan kunyit (Curcuma longa) merupakan rempah-rempah Indonesia yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, umumnya dijadikan sebagai

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PETERNAKAN H. ISKANDAR ANDI NUHUNG Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian ABSTRAK Sesuai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kembali ke alam (back to nature), kini menjadi semboyan masyarakat modern. Segala sesuatu yang selaras, seimbang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kembali ke alam (back to nature), kini menjadi semboyan masyarakat modern. Segala sesuatu yang selaras, seimbang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kembali ke alam (back to nature), kini menjadi semboyan masyarakat modern. Segala sesuatu yang selaras, seimbang dan menyejukkan yang diberikan alam dirindukan oleh masyarakat.

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan Juli 1997 mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian negara. Sektor pertanian di lndonesia dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. PENDAHULUAN Latar Belakang Sejarah menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia telah memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa peran penting sektor pertanian antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya A. Visi Perumusan visi dan misi jangka menengah Dinas Pertanian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, perumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, perumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian yang BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah dari penelitian, perumusan masalah, tujuan serta manfaat dari penelitian yang dilakukan. Berikutnya diuraikan mengenai batasan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, yang memiliki warna sentral karena berperan dalam meletakkan dasar yang kokoh bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang

IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang IV. KEADAAN UMUM 4.1. Regulasi Penataan Ruang Hasil inventarisasi peraturan perundangan yang paling berkaitan dengan tata ruang ditemukan tiga undang-undang, lima peraturan pemerintah, dan empat keputusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa depan. Globalisasi dan liberalisasi

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian ke depan. Globalisasi dan liberasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran,

I. PENDAHULUAN. Komoditas hortikultura yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan sayuran, I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan sub-sektor pertanian tanaman pangan, merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan telah terbukti memberikan peranan penting bagi pembangunan nasional,

Lebih terperinci

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA 2015-2019 Dalam penyusunan Rencana strategis hortikultura 2015 2019, beberapa dokumen yang digunakan sebagai rujukan yaitu Undang-Undang Hortikultura Nomor

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian di era global ini masih memainkan peran penting. Sektor pertanian dianggap mampu menghadapi berbagai kondisi instabilitas ekonomi karena sejatinya manusia memang

Lebih terperinci

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis 5Kebijakan Terpadu Pengembangan Agribisnis Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan kondisi yang makin seimbang. Persentase sumbangan sektor pertanian yang pada awal Pelita I sangat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian sebagai bagian dari pembangunan nasional adalah pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA

ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA Oleh: ERNI DWI LESTARI H14103056 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 DAFTAR ISI Halaman

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia. Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari sektor agribisnis. Agribisnis merupakan suatu sistem yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. impor yang serba mahal dan sebagainya. Mulai era 2000an pelan-pelan manusia

BAB I PENDAHULUAN. impor yang serba mahal dan sebagainya. Mulai era 2000an pelan-pelan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya teknologi telah membawa peradaban manusia yang terus menerus berubah dari zaman ke zaman. Pola hidup manusia pun berubah begitu drastis sehingga faktor kesehatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting di Indonesia. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting di Indonesia. Sektor pertanian merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting di Indonesia. Sektor pertanian merupakan penyokong utama perekonomian rakyat. Sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi menurut Arsyad (1999) dalam Rustiadi et al (2003) dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kemampuan

Lebih terperinci

Bab 5 H O R T I K U L T U R A

Bab 5 H O R T I K U L T U R A Bab 5 H O R T I K U L T U R A Komoditas hortikultura yang terdiri dari buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai usaha agribisnis. Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan pola konsumsi makanan pada masyarakat memberikan dampak positif bagi upaya penganekaragaman pangan. Perkembangan makanan olahan yang berbasis tepung semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878. V. GAMBARAN UMUM 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia Luas lahan robusta sampai tahun 2006 (data sementara) sekitar 1.161.739 hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.874

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral

I. PENDAHULUAN. Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan agroindustri atau industri hasil pertanian merupakan bagian integral dari sektor pertanian memberikan kontribusi penting pada proses industrialisasi di wilayah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang secara ekonomis, ekologis dan sosial budaya memainkan peranan penting dalam pembangunan nasional. Sesuai Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. petani, mengisyaratkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan harus memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. petani, mengisyaratkan bahwa produk pertanian yang dihasilkan harus memenuhi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan pembangunan pertanian ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan, mengembangkan agribisnis dan meningkatkan kesejahteraan petani, mengisyaratkan bahwa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN

I PENDAHULUAN I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai petani. Hal ini perlu mendapat perhatian berbagai pihak, karena sektor pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN OBAT

AGRIBISNIS TANAMAN OBAT Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS TANAMAN OBAT Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa

I. PENDAHULUAN. kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buah-buahan merupakan salah satu komoditi hortikultura yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan pertanian di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, PDB komoditi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu syarat penting menuju terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut melibatkan banyak sektor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 18 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi Nasional yang bertumpu pada upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program pengembangan agribisnis. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi berkembangnya usaha agribisnis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SUBSISTEM DI DALAM SISTEM AGRIBISNIS KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN

ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SUBSISTEM DI DALAM SISTEM AGRIBISNIS KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN ANALISIS KETERKAITAN ANTAR SUBSISTEM DI DALAM SISTEM AGRIBISNIS KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN OLEH AMELIA 07 114 027 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011 i ANALISIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber: Badan Pusat Statistik (2009) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan penting bagi perekonomian Negara Indonesia. Sebagian besar masyarakat Indonesia menggantungkan kehidupan mereka pada sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan masalah kemiskinan dan tantangan dampak krisis ekonomi yang ditandai dengan tingginya tingkat

Lebih terperinci

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN

INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN INDUSTRIALISASI MADURA: PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN AGROPOLITAN OLEH BURHANUDDIN Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM-IPB Otonomi daerah telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka mewujudkan sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB.

I. PENDAHULUAN. 1 Kementerian Pertanian Kontribusi Pertanian Terhadap Sektor PDB. I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini dikarenakan sektor pertanian adalah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat

BAB I PENDAHULUAN. komparatif karena tersedia dalam jumlah yang besar dan beraneka ragam serta dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber daya kelautan berperan penting dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah dan nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, lapangan kerja dan pendapatan penduduk.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN 2012, No.205 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN, PANGAN

Lebih terperinci

Good Agricultural Practices

Good Agricultural Practices Good Agricultural Practices 1. Pengertian Good Agriculture Practice Standar pekerjaan dalam setiap usaha pertanian agar produksi yang dihaslikan memenuhi standar internasional. Standar ini harus dibuat

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012

MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 07/Permentan/OT.140/2/2012 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

Ekonomi Pertanian di Indonesia

Ekonomi Pertanian di Indonesia Ekonomi Pertanian di Indonesia 1. Ciri-Ciri Pertanian di Indonesia 2.Klasifikasi Pertanian Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri pertanian di Indonesia serta klasifikasi atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN

CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN : VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN CUPLIKAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN 2001-2004: VISI, MISI DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN Visi Pembangunan Pertanian Visi pembangunan pertanian dirumuskan sebagai : Terwujudnya masyarakat yang sejahtera

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Geografis Kabupaten Kulonprogo Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bergulirnya wacana otonomi daerah di Indonesia berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi stimulan berbagai daerah untuk mengembangkan daerah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari nilai devisa yang dihasilkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor Pertanian memegang peranan penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan dalam pembentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN USAHATANI TANAMAN PANGAN BERBASIS AGRIBISNIS DI KECAMATAN TOROH, KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN USAHATANI TANAMAN PANGAN BERBASIS AGRIBISNIS DI KECAMATAN TOROH, KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN USAHATANI TANAMAN PANGAN BERBASIS AGRIBISNIS DI KECAMATAN TOROH, KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR Oleh: HAK DENNY MIM SHOT TANTI L2D 605 194 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seperti China Asia Free Trade Area (CAFTA) dapat memperparah keadaan krisis

I. PENDAHULUAN. seperti China Asia Free Trade Area (CAFTA) dapat memperparah keadaan krisis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional saat ini dihadapkan pada tantangan berupa kesenjangan masalah kemiskinan dan tantangan dampak krisis ekonomi yang ditandai dengan tingginya tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Komoditas Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Periode (Milyar Rp) No Komoditas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sangat luas dan juga sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Komoditas pertanian merupakan bagian dari sektor pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan. air tawar yang sangat digemari oleh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan lele (Clarias sp) adalah salah satu satu komoditas perikanan yang memiliki prospek cerah untuk dikembangkan, karena ikan lele merupakan komoditas unggulan. Dikatakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tabel 1. Hortikultura I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang luas dan kaya akan komoditas pertanian serta sebagian besar penduduknya adalah petani. Sektor pertanian sangat tepat untuk dijadikan sebagai

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana

I. PENDAHULUAN. Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Arah kebijakan pembangunan pertanian yang dituangkan dalam rencana strategis tahun 2010-2014 adalah terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi Pertumbuhan dan perkembangan sektor usaha perkebunan di Indonesia dimotori oleh usaha perkebunan rakyat, perkebunan besar milik pemerintah dan milik swasta. Di Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki berbagai macam potensi sumber daya alam yang melimpah serta didukung dengan kondisi lingkungan, iklim, dan cuaca yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola setiap sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci