BAB VII PENUTUP. implementasi kebijakan, dapat disimpulkan bahwa: 1) Format kebijakan dengan strategi pelimpahan kewenangan dari DJA kepada

Transkripsi

1 151 BAB VII PENUTUP 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap proses dan hasil sementara dari implementasi kebijakan, dapat disimpulkan bahwa: 1) Format kebijakan dengan strategi pelimpahan kewenangan dari DJA kepada Kanwil DJPB sudah diimplementasikan sesuai dengan rancangan kebijakan. Namun, implementasi tersebut menemui beberapa kendala dan pada tataran teknis dilakukan beberapa penyesuaian terhadap prosedur kerja yang ditetapkan di awal tahun anggaran. Perbandingan kelebihan dan kekurangan mekanisme pengesahan DIPA antara pada saat pengesahan DIPA menjadi kewenangan DJPB dan pada saat pengesahan DIPA menjadi kewenangan DJA antara lain: a) Pada saat pengesahan DIPA menjadi kewenangan DJPB Kelebihan (1) Kualitas mekanisme check and balance lebih terjaga. Memperkuat sistem built in-control yang telah dibangun melalui pemisahan fungsi perencanaan dan fungsi pelaksanaan, sehingga lebih dapat menghindari lahirnya perilaku koruptif. (2) DIPA yang terbit sesuai dengan kebutuhan satker, karena disusun dan diajukan sendiri oleh satker.

2 152 (3) Koordinasi yang dilakukan lebih mudah, karena pelaksana pengesahan DIPA baik di pusat maupun di daerah masih berada dalam satu unit Eselon I. (4) Koordinasi dengan KPPN selaku kantor bayar lebih mudah, sehingga lebih mampu menghindari realisasi anggaran melebihi jumlah yang disepakati dan diamanahkan oleh rakyat melalui DPR Kekurangan (1) Satker harus berhadapan dengan DJA untuk menyelesaikan RKA K/L, lalu berhadapan dengan DJPB untuk menyelesaikan proses pengesahan DIPA-nya. b) Pada saat kewenangan pengesahan DIPA telah dialihkan kepada DJA Kelebihan (1) Satker hanya berhadapan dengan DJA untuk menyelesaikan pembahasan RKA K/L hingga pengesahan DIPA-nya. (2) Mekanisme on-line yang digunakan memudahkan satker dalam memantau progres dan hasil revisi DIPA. Kekurangan (1) Terkadang DIPA yang terbit tidak sesuai dengan usulan satker, karena proses usulan kegiatan dan anggaran tersebut harus melalui koordinasi di Eselon II lalu di Eselon I, yang memungkinkan adanya perubahan. Hal ini menyebabkan DIPA tersebut tidak dapat langsung direalisasikan, namun harus terlebih dahulu melalui mekanisme revisi DIPA.

3 153 (2) Untuk revisi DIPA yang dilakukan di DJA, satker merasa mekanismenya kurang transparan karena hanya melibatkan Eselon I dan DJA. (3) Koordinasi yang sulit dilaksanakan antara Kanwil DJPB dan DJA menyebabkan satker menganggap pelayanan yang diterima kurang responsif. (4) Lebih membuka peluang terhadap lahirnya perilaku koruptif karena tidak sesuai dengan sistem pemisahan fungsi. (5) Rentang koordinasi dengan kantor bayar (KPPN) terlalu jauh, sehingga kontrol terhadap kesamaan data pagu DIPA cenderung lemah. 2) Kendala-kendala yang dimaksud pada angka 1 adalah sebagai berikut: a) Terdapat beberapa ketentuan dalam SOP penyelesaian revisi DIPA Petikan di Kanwil DJPB yang tidak sesuai dengan PMK tentang revisi DIPA. Selain itu, beberapa ketentuan dalam PMK juga masih belum jelas bagi Kanwil DJPB Prov.DIY dan hingga saat ini belum memperoleh penjelasan dari DJA, sehingga Kanwil DJPB Prov.DIY tidak dapat memproses usulan revisi DIPA yang berkaitan dengan poin yang belum jelas tersebut. b) Inkonsistensi kebijakan, baik antara kebijakan dengan peraturan perundang-undangan maupun dalam kebijakan itu sendiri menyebabkan kebijakan ini tidak dapat diimplementasikan dengan optimal. Filosofi lahirnya UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara adalah

4 154 dalam rangka mengatur hubungan hukum antara legislatif-eksekutif dalam ranah politis serta hubungan hukum antar-eksekutif dalam ranah administrasi/pelaksanaan. Harus ada pemisahan yang jelas antara pihak pengambil keputusan politis dan pihak pelaksana dari keputusan politis tersebut. Dengan demikian, kebijakan ini tidak selaras dengan konsep pemikiran tersebut karena kebijakan ini menggabungkan peran pengambil keputusan politis dan sebagian peran pelaksana (pengesahan DIPA) di DJA. Kemudian, dilihat dari formulasi kebijakan, tampak ada inkonsistensi karena salah satu dampak yang diharapkan adalah penajaman peran dan fokus DJPB dalam manajemen kas dan spending review, namun pada pelaksanaannya sebagian pekerjaan dari pengesahan DIPA masih dilaksanakan oleh DJPB. c) Kurangnya penguatan SDM yang seharusnya dilakukan oleh DJA terhadap Kanwil DJPB Prov.DIY menyebabkan kurangnya pemahaman para pelaksana Kanwil DJPB tentang hal-hal yang menyangkut mekanisme Revisi DIPA. d) Sulitnya koordinasi yang dilakukan oleh Kanwil DJPB Prov.DIY kepada DJA menyebabkan seringkali terjadi perbedaan penafsiran terhadap beberapa ketentuan terkait mekanisme revisi DIPA. 3) Hasil sementara kebijakan dapat diuraikan sebagai berikut: a) Satker merasa terbantu dengan sistem DIPA Induk dan DIPA Petikan. Namun, hal itu hanya berlaku untuk DIPA awal. Sementara dalam hal revisi DIPA tahun berjalan, adanya mekanisme revisi DIPA Induk yang

5 155 dikoordinasikan oleh Eselon I membuat penyelesaian usulan revisi DIPA justru lebih lama, dan cenderung tidak transparan, karena proses tersebut hanya melibatkan Eselon I dengan DJA. b) Proses pencairan anggaran justru terhambat dengan adanya kebijakan ini. Kondisi ini diantaranya disebabkan oleh: perbedaan penafsiran antara Kanwil DJPB dan DJA atas beberapa ketentuan dalam regulasi yang mengatur revisi DIPA; sulitnya koordinasi yang dilakukan antara Kanwil DJPB dan DJA; dan juga masih terdapat ketentuan yang tidak jelas bagi Kanwil DJPB. Hal-hal tersebut kemudian menyebabkan revisi DIPA tidak dapat diproses dengan cepat, sehingga alokasi dana yang tercantum dalam DIPA tersebut juga tidak dapat dicairkan. Selain itu, lamanya waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian revisi DIPA di DJA menyebabkan satker di daerah juga terlambat melakukan pencairan dana di KPPN. c) Penghapusan prinsip check and balance dalam mekanisme pengesahan DIPA setelah implementasi kebijakan dapat mengurangi akuntabilitas anggaran. Dalam tata kelola keuangan negara harus dilandasi oleh prinsip saling tidak percaya untuk menghindari lahirnya sikap koruptif. Oleh karena itu, DJA yang berwenang menyusun Keppres rincian belanja pemerintah pusat tidak boleh merangkap melaksanakan pengesahan DIPA, karena Keppres rincian belanja pemerintah pusat tersebut merupakan alat uji dalam pengesahan DIPA. d) Sampai dengan dua tahun implementasi, kebijakan ini belum berhasil meningkatkan kualitas layanan pengesahan DIPA dan Revisi DIPA.

6 Rekomendasi 1) Kebijakan pengalihan kewenanan pengesahan DIPA dari DJPB kepada DJA perlu dipertimbangkan kembali. Dengan melihat perbandingan kelebihan dan kekurangan pada masing-masing mekanisme (kewenangan pengesahan DIPA berada pada DJPB dan pada saat kewenangan tersebut telah dialihkan kepada DJA) serta berbagai kendala yang dialami selama proses implementasi kebijakan, maka sebaiknya kewenangan pengesahan DIPA dialihkan kembali kepada DJPB. Rekomendasi ini sesuai dengan konsep pemikiran yang melandasi pengelolaan keuangan negara, yang pada intinya memisahkan ranah politis dan ranah administrasi. Peringkasan birokrasi dapat dilakukan dalam tubuh organisasi DJPB sendiri, karena dalam meringkas birokrasi, ada titik-titik tertentu yang tidak dapat dihilangkan guna menjaga stabilitas sistem. RKA K/L dan DIPA merupakan dua dokumen yang berbeda sehingga sudah sepatutnya diproses secara terpisah. Mengenai mekanisme online yang memudahkan satker dalam memantau progres penyelesaian revisi yang mereka ajukan, DJPB pun kini memiliki kapasitas yang memadai karena pada dasarnya sistem aplikasi yang digunakan pada saat ini berada pada dan dikelola oleh DJPB. 2) Untuk menilai kualitas pengesahan DIPA, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait kesamaan data antara Keppres Rincian Belanja Pemerintah Pusat dengan data pagu DIPA yang dituangkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.