PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) BERDASARKAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSINYA DI SUNGAI TULANG BAWANG, LAMPUNG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) BERDASARKAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSINYA DI SUNGAI TULANG BAWANG, LAMPUNG"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) BERDASARKAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSINYA DI SUNGAI TULANG BAWANG, LAMPUNG INDRA GUMAY YUDHA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengelolaan Sumber Daya Ikan Lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) Berdasarkan Pertumbuhan dan Reproduksinya di Sungai Tulang Bawang, Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Indra Gumay Yudha NIM C

4 RINGKASAN INDRA GUMAY YUDHA. Pengelolaan Sumber Daya Ikan Lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) Berdasarkan Pertumbuhan dan Reproduksinya di Sungai Tulang Bawang, Lampung. Dibimbing oleh MUHAMMAD FADJAR RAHARDJO, DANIEL DJOKOSETIYANTO, dan DJAMAR TUMPAL F. LUMBAN BATU. Sungai Tulang Bawang merupakan salah satu sungai dataran banjir di Provinsi Lampung yang memiliki keanekaragam ikan yang tinggi. Salah satu ikan jenis ikan ekonomis penting di Sungai Tulang Bawang adalah ikan lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) yang termasuk famili Cyprinidae. Ikan ini memiliki daerah persebaran terbatas di perairan umum di Sumatera, Semenanjung Malaya, dan Borneo. Data dan informasi ilmiah tentang ekobiologi ikan lumo masih minim. Aspek pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo hingga saat ini belum dikaji. Tidak tersedianya data dan informasi biologi perikanan suatu jenis ikan menyebabkan upaya pengelolaan ikan tersebut tidak optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa aspek pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo, serta parameter fisika kimia perairan yang memengaruhinya. Aspek pertumbuhan yang dikaji dalam penelitian ini adalah hubungan panjang bobot dan faktor kondisi relatif. Adapun beberapa aspek reproduksi yang diteliti meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, tipe pemijahan, musim pemijahan, dan ukuran pertama kali matang gonad. Persamaan hubungan panjang bobot dihitung menggunakan regresi kuadrat terkecil dari transformasi logaritma persamaan W=aL b. Faktor kondisi relatif dihitung berdasarkan Kn=W/W*. Penentuan nisbah kelamin dilakukan dengan membandingkan jumlah ikan jantan dengan ikan betina. Tingkat kematangan gonad diamati secara morfologis, sedangkan indeks kematangan gonad ditentukan dari persamaan IKG=(Wg/W)x100%. Fekunditas dihitung menurut persamaan FT=(Gxf)/g. Persamaan hubungan fekunditas dan panjang total dihitung menggunakan regresi kuadrat terkecil dari transformasi logaritma persamaan F=aL b. Adapun ukuran ikan lumo pertama kali matang gonad diestimasi menggunakan analisis Spearman-Karber. Ikan contoh dikumpulkan setiap bulan selama periode April 2013 hingga Maret 2014 di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak, Lampung, menggunakan jaring insang berukuran mata jaring 1,1½, 1¾, dan 2. Spesimen terdiri dari 690 ekor ikan lumo jantan dengan kisaran panjang total mm dan 651 ekor lumo ikan betina dengan kisaran panjang total mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan lumo jantan dan ikan lumo betina memiliki pertumbuhan allometrik positif. Persamaan hubungan panjang bobot ikan lumo jantan adalah W= 2,227x10-6 L 3,284, sedangkan ikan lumo betina memiliki persamaan W = 2,473x10-6 L 3,272. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan lumo adalah 1,02±0,03 (jantan) dan 1,02±0,04 (betina) dan faktor kondisi tersebut relatif sama antara musim kemarau dan musim hujan.

5 Ikan lumo termasuk kelompok ikan yang melakukan pemijahan serentak. Pemijahan berlangsung setahun sekali yang bertepatan dengan musim hujan antara bulan Oktober-Januari di perairan Bawang Latak. Ikan lumo memijah dengan nisbah kelamin 1:1 pada saat bulan Oktober-Desember. Puncak pemijahan terjadi pada bulan November dan Desember. Ukuran ikan lumo jantan saat pertama kali matang gonad adalah 157±1 mm dan pada ikan lumo betina 160 ±1 mm. Fekunditas ikan lumo berkorelasi dengan panjang total dengan persamaan log F=3,653 log L - 4,546 (di Sungai Tulang Bawang) dan log F=3,982 log L - 5,287 (di perairan Bawang Latak). Fekunditas ikan tersebut bervariasi antara butir telur. Sumber daya ikan lumo di perairan Tulang Bawang telah terindikasi mengalami penurunan, baik dalam jumlah maupun ukurannya yang semakin mengecil. Penurunan ikan lumo dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tangkap lebih, penggunaan alat tangkap yang merusak, dan kerusakan habitat perairan. Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan lumo disarankan agar pemanfaatan sumber daya ikan tersebut tidak menggunakan alat penangkapan ikan yang merusak (jaring togok, setrum ikan, dan racun), menggunakan alat tangkap yang selektif seperti jaring insang dengan ukuran mata jaring lebih besar dari 1¾ inci, penutupan masa penangkapan ikan pada saat puncak musim pemijahan lumo antara bulan November-Desember di Bawang Latak, dan perbaikan lingkungan DAS Tulang Bawang melalui rehabilitasi lahan serta penerapan konservasi tanah dan air pada kegiatan pertanian lahan kering. Kata kunci: ikan lumo, pertumbuhan, aspek reproduksi, pengelolaan.

6 SUMMARY INDRA GUMAY YUDHA. The fish management of lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) based on it s growth and reproduction aspects in Tulang Bawang River, Lampung. Supervised by MUHAMMAD FADJAR RAHARDJO, DANIEL DJOKOSETIYANTO, and DJAMAR TUMPAL F. LUMBAN BATU. Tulang Bawang is one of the floodplain rivers in Lampung which has a high diversity of fish. One of the economically important of fishes is lumo fish, Labiobarbus ocellatus. Lumo fish is belonged to Cyprinidae. That fish is limited only to the waters of Sumatera, the Malay Peninsula and Borneo. There is lack of data and ecobiology information about L. ocellatus. The growth and reproduction of lumo fish have not been evaluated. The unavailability of fisheries biology data and information causing the fish management efforts are not optimal. This study aimed to analyze several aspects of the growth and reproduction of lumo fish, as well as physical and chemical parameters affecting the waters. The examined growth aspects, particulary in this study were the lumo s length-weight relation and the relative condition factor. Meanwhile, the examined aspects of lumo reproduction consisted of sex ratio, gonad s maturity, fecundity, egg s diameter, type of spawning, the spawning season, and the size of lumo at first maturity. The length-weight relationship was`calculated using least squares regression of following logarithmic transformation equation named, W = al b. The relative condition factor was calculated according to Kn = W / W* equation. Sex ratio was determined by comparing the number of male to female fish. Gonad maturity level was observed morphologically. The gonado somatic index (GSI) was derived from (Wg/W)x100%. Fecundity (FT) was calculated according to the (GXF)/g. The relation of fecundity and the length was calculated using a least squares regression of following logarithmic transformation equation named, F = al b. For estimating the size of the first maturity was calculated based on Spearman-Karber analysis. The samples of fish were collected monthly, during April 2013 to March 2014 in the Tulang Bawang River and Bawang Latak Swamp, Lampung by using gill net sized 1", 1½", 1¾", and 2". Specimens consisted of 690 males at mm in total length and 651 females at mm in total length. The results showed that the male and female lumo had a positive allometric growth. The length-weight relationship of male followed W= 2,227 x10-6 L 3,284, whereas females had W = 2,473x10-6 L 3,272. The average value of the lumo s condition factor was 1.02 ± 0.03 (male) and 1.02 ± 0.04 (female) which indicated that fish was in a good condition. Lumo was the group of fish that performed spawning simultaneously. Spawning was occured once a year in the rainy season between the months of October to January at Bawang Latak waters. Lumo spawned with a sex ratio of 1: 1 during October to December. Peak spawning occured in November and

7 December. The size of first maturity of male is 157 ± 1 mm, while the female is 160 ± 1 mm. The fecundity had some correlations with the body length. The related equations are log F=3,653 log L - 4,546 (at Tulang Bawang River) and log F=3,982 log L - 5,287 (at Bawang Latak waters). However, fecundity varied between eggs. Lumo fish resources in Tulang Bawang waters has been indicated was declined, both in quantity and narrowed size of fish. Decrease of lumo fish can be caused by various factors, such as overfishing, using of destructive fishing gear, and degradation of aquatic habitats. In order to manage lumo fish resources, its suggested that utilization of fish resources are not using destructive fishing gear (togok, electro fishing, and poisson), using selective fishing gear, i.e. gillnets with a mesh size larger than 1¾ inches, closing fishing activity during peak spawning of lumo fish between November to December in Bawang Latak, and improvement Tulang Bawang watershed through rehabilitation and implementation of soil and water conservation in farming activities. Keywords: lumo fish, growth, repoductive aspects, fish management

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) BERDASARKAN PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSINYA DI SUNGAI TULANG BAWANG, LAMPUNG INDRA GUMAY YUDHA Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian: Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Peneliti pada (Peneliti Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan) 2. Dr. Didik Wahju Hendro Tjahjo, M.S. (Peneliti Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan) Terbuka: 1. Prof. Dr. Ir. Husnah, M.Phil. (Peneliti Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan) 2. Dr. Didik Wahju Hendro Tjahjo, M.S. (Peneliti Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan)

11

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi ini. Penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang tulus kepada: 1. Prof. Dr. Ir. M.F. Rahardjo, DEA selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto, DEA, dan Prof. Dr. Ir. Djamar T.F. Lumban Batu, M. Agr., selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran, dan perbaikan; 2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf yang telah memberikan pelayanan administrasi akademik kepada mahasiswa dengan sangat baik; 3. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Perairan beserta staf yang telah memberikan pelayanan dengan baik; 4. Prof. (R) Dr. Ir. Endi Setiadi Kartamihardja, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku penguji luar komisi pada ujian kualifikasi, yang telah memberikan saran dan perbaikan; 5. Prof. Dr. Ir. Husnah, M.Phil. dan Dr. Didik Wahju Hendro Tjahjo, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, yang telah banyak memberikan saran dan perbaikan; 6. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) kepada penulis dalam rangka tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB; 7. Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan Ketua Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung, yang telah sepenuhnya memberikan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan studi program doktor; 8. Pertamina Foundation yang telah memberikan bantuan dana penelitian melalui kegiatan Anugerah Sobat Bumi 2013; 9. Keluarga Kol. (Purn.) Drs. H. Sahmi Gumay, keluarga Mayor (Purn.) M. Wahono, istriku Yuli Ambarwati, S.Sos., M.Pd. beserta anak-anakku M. Alfarizi Gumay dan M. Rayhan Gumay yang penuh kesabaran, pengertian, dan senantiasa memberikan doa, motivasi, dan semangat kepada penulis dalam melaksanakan tugas belajar; 10. Rekan-rekan SDP 2010 (Haryono, Asbar Laga, Meria, dan Lukman), Hamid, Tedjo Sukmono, Alfred, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan, motivasi, kebersamaan, dan kerjasama yang baik. Penulis mempersembahkan karya ilmiah ini untuk semua pihak, khususnya yang terkait dalam pengelolaan sumber daya perairan yang berkelanjutan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2015 Indra Gumay Yudha

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xii 1. PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan dan Manfaat Penelitian 2 Kebaharuan 3 Kerangka Pemikiran Penelitian 3 2. KARAKTERISTIK PERAIRAN 5 Pendahuluan 5 Metode Penelitian 5 Hasil 8 Pembahasan 11 Simpulan PERSEBARAN IKAN LUMO 15 Pendahuluan 15 Metode Penelitian 15 Hasil 16 Pembahasan 20 Simpulan PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN LUMO 23 Pendahuluan 23 Metode Penelitian 23 Hasil 25 Pembahasan 28 Simpulan ASPEK REPRODUKSI IKAN LUMO 31 Pendahuluan 31 Metode Penelitian 31 Hasil 33 Pembahasan 37 Simpulan PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO 43 Pendahuluan 40 Ancaman 41 Pengelolaan SIMPULAN DAN SARAN 52 Simpulan 52 Saran 52 DAFTAR PUSTAKA 53 LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP 59 85

14 DAFTAR TABEL 1 Metode dan alat yang digunakan dalam pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan 8 2 Kisaran parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak 8 3 Matrik perbandingan parameter fisika kimia perairan berdasarkan uji Mann-Whitney 11 4 Persebaran ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) 17 5 Faktor kondisi relatif ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak 27 6 Faktor kondisi relatif ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan sebaran panjang total 28 7 Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad ikan contoh 32 8 Variasi temporal nisbah kelamin ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) dalam kondisi TKG IV 34 9 Fekunditas ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan sebaran panjang total 36 DAFTAR GAMBAR 1 Ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) 2 2 Kerangka pemikiran penelitian 4 3 Lokasi penelitian 7 4 Curah hujan rata-rata bulanan 9 5 Kedalaman perairan di stasiun pengamatan 9 6 Kurva biplot antara komponen 1 dan komponen 2 parameter fisika kimia perairan 10 7 Sebaran panjang ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) 16 8 Fluktuasi ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) per bulan di setiap stasiun pengamatan 17 9 Jumlah ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) per stasiun pengamatan Sebaran jumlah ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan selang kelas panjang total pada tiap stasiun pengamatan Sebaran kelimpahan bulanan ikan lumo, L.ocellatus (Heckel,1843) di Sungai Tulang Bawang berdasarkan selang kelas panjang Sebaran kelimpahan bulanan ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) di Bawang Latak berdasarkan selang kelas panjang Penentuan jenis kelamin ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan bentuk lubang genital Hubungan panjang bobot ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) 26

15 15 Kurva pertumbuhan ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) Faktor kondisi relatif rata-rata ikan lumo, L.ocellatus (Heckel 1843) Persentase tingkat kematangan gonad ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) Persentase ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) dalam kondisi TKG IV dan V di masing-masing stasiun pengamatan Indeks kematangan gonad ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) Hubungan fekunditas dan panjang total ikan lumo betina TKG IV di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak Sebaran diameter telur ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) Kurva penangkapan ikan lumo yang dikonversi dari panjang Berbagai metode penangkapan ikan di Sungai Tulang Bawang (a, b, d) dan Bawang Latak (c) Anak-anak ikan yang mati terperangkap dalam jaring togok dan dibiarkan membusuk Bolak yang dibangun di tepi sungai Keramba apung di Sungai Tulang Bawang Himbauan penangkapan ikan yang tidak merusak Biomassa per penambahan baru (B /R) dan hasil tangkapan per penambahan baru (Y /R) saat laju eksploitasi maksimum pada kondisi simulasi panjang ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) yang tertangkap berukuran 90 mm (a) dan 160 mm (b) Upaya pengelolaan ikan lumo, L.ocellatus (Heckel, 1843) Cara ikan lumo tertangkap oleh jaring insang serta rata-rata tinggi kepala dan tinggi badan ikan lumo (TL=160 mm) 84 DAFTAR LAMPIRAN 1 Deskripsi stasiun pengamatan 61 2 Parameter fisika kimia perairan 63 3 Hasil analisis komponen utama 66 4 Hasil uji Mann-Whitney terhadap parameter fisika kimia perairan 67 5 Rekapitulasi sebaran panjang ikan lumo 68 6 Jumlah ikan lumo yang tertangkap per stasiun setiap bulan 70 7 Uji t untuk menentukan nilai b>3 dari persamaan hubungan panjang-bobot 71 8 Faktor kondisi relatif (Kn) ikan lumo 74 9 Uji Mann-Whitney terhadap faktor kondisi relatif ikan lumo Uji khi kuadrat untuk menentukan nisbah kelamin ikan lumo TKG IV dalam perbandingan 1: Sebaran jumlah ikan lumo jantan dan betina berdasarkan TKG 78

16 12 Penentuan ukuran pertama kali ikan lumo matang gonad Penentuan ukuran mata jaring 84

17 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Sungai Tulang Bawang yang terletak di Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Kabupaten Tulang Bawang merupakan sungai dataran banjir (Noor et al. 1994). Rawa-rawa di aliran Sungai Tulang Bawang terhampar di areal seluas lebih dari hektar, terletak di antara mulut Sungai Tulang Bawang dan Kota Menggala yang pada mulanya hampir 90 persen terdiri atas hutan rawa gelam dan 10 persen berupa hutan mangrove, namun kondisi hutan tersebut telah terdegradasi dan rawa mengalami penurunan, baik dalam hal flora maupun faunanya (Noor et al. 1994). Sungai Tulang Bawang termasuk sungai ordo 8 dan merupakan daerah aliran sungai (DAS) Tulang Bawang bagian tengah yang memiliki keanekaragaman ikan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Vannote et al. (1980) yang menyatakan bahwa keanekaragaman organisme perairan meningkat sesuai dengan peningkatan ordo sungai dan keanekaragaman yang tertinggi terdapat di zona tengah sungai. Noor et al. (1994) mencatat sekitar 88 spesies ikan dari 24 famili yang sebagian besar merupakan famili Cyprinidae, Clariidae, Channidae, Anabantidae, Eleotrididae, Synbranchidae, Belontiidae, dan Siluridae yang terdapat di Sungai Tulang Bawang. Ikan lumo, Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) termasuk salah satu jenis ikan Cyprinidae yang terdapat di Sungai Tulang Bawang (Noor et al. 1994; Yudha 2011). Ikan lumo merupakan ikan konsumsi dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku ikan olahan. Umumnya masyarakat Lampung dan Sumatera Selatan menggunakan ikan lumo sebagai bahan baku utama pembuatan ikan fermentasi (bekasam). Selain banyak ditangkap sebagai ikan konsumsi, ikan lumo yang berukuran relatif kecil juga banyak ditangkap untuk makanan ikan toman (Channa micropeltes), gabus (Channa striata), dan ikan baung (Hemibagrus nemurus) yang dipelihara dalam keramba jaring apung oleh pembudidaya ikan setempat. Tidak ada data resmi yang menggambarkan kondisi populasi ikan lumo setiap tahunnya dari dinas/instansi yang berwenang, sehingga tidak diketahui secara pasti kondisi sumber daya ikan tersebut. Namun demikian, berdasarkan informasi nelayan setempat diketahui bahwa jumlah dan ukuran ikan lumo tertangkap semakin menurun. Ikan lumo yang merupakan ikan pemakan detritus (Hartoto et al. 1999; Torang & Buchar 2000; Kottelat & Widjanarti 2005) memegang peranan penting dalam ekosistem sungai dan rawa banjiran. Dalam sistem rantai makanan di perairan mengalir, ikan pemakan detritus dapat memanfaatkan sejumlah materi organik yang berasal dari hulu sungai yang hanyut sebagai allotonus di sungai utama. Bahan organik allotonus tersebut menjadi input energi utama di ekosistem perairan mengalir dan produktivitasnya cukup tinggi di sungai bagian tengah sesuai dengan River Continuum Concept yang dikemukakan oleh Vannote et al. (1980). Adapun di ekosistem rawa banjiran, Junk & Wantzen (2004) menyatakan bahwa status nutrien di rawa banjiran juga sangat tergantung pada jumlah dan kualitas padatan terlarut dan tersuspensi yang berasal dari sungai utama dan proses pertukarannya antara lain dipengaruhi oleh dekomposisi bahan organik tersebut. Oleh karena keberadaan ikan lumo memegang peranan penting dalam keseimbangan rantai makanan di sungai dan rawa banjiran, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan

18 2 sumber daya ikan tersebut. Untuk dapat dikelola dengan benar, diperlukan data dan informasi ilmiah ikan lumo. Data dan informasi ilmiah ekobiologi ikan lumo masih minim (Froese & Pauly 2014). Beberapa kajian yang sudah dilakukan antara lain adalah morfologi (Weber & de Beaufort 1916; Robert 1989; Robert 1993; Kottelat et al. 1993), daerah persebaran (Weber & de Beaufort 1916), serta kebiasaan makan (Hartoto et al. 1999; Torang & Buchar 2000; Kottelat & Widjanarti 2005). Tidak tersedianya data dan informasi biologi suatu jenis ikan menyebabkan upaya pengelolaan ikan tersebut tidak optimal. Arocha & Barrios (2009) menyatakan bahwa dalam rangka pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan diperlukan informasi dasar dari spesies ikan dan habitatnya. Untuk itu diperlukan suatu penelitian yang dapat melengkapi kajian yang sudah ada dan dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan sumber daya ikan lumo, sehingga pengelolaannya dapat lebih optimal. Gambar 1. Ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan lumo diperlukan data dan informasi ilmiah yang menyangkut aspek persebaran, pertumbuhan, dan reproduksinya. Aspek persebaran ikan lumo terkait erat dengan kesesuaian ikan tersebut dengan kondisi perairan yang menjadi habitatnya, sehingga parameter fisika kimia perairan perlu dikaji. Data pertumbuhan ikan juga diperlukan untuk mengukur kondisi ikan dan pendugaan stok ikan. Adapun data dan informasi biologi reproduksi ikan juga dapat digunakan untuk menduga produktivitas dan daya lenting suatu populasi ikan terhadap penangkapan ataupun gangguan yang diakibatkan oleh kegiatan antropogenik (Morgan 2008). Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek persebaran, pertumbuhan, serta reproduksi ikan lumo, sebagai dasar untuk merumuskan konsep kebijakan pengelolaan sumber daya ikan tersebut di Sungai Tulang Bawang. Manfaat penelitian ini secara umum dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan secara khusus diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan ilmiah dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan lumo di Sungai Tulang Bawang.

19 3 Kebaharuan Kajian tentang aspek ekobiologi ikan lumo masih jarang dilakukan. Sejak dideskripsikan oleh Heckel pada tahun 1843, beberapa aspek biologi ikan lumo belum pernah dikaji secara mendalam, termasuk aspek pertumbuhan dan reproduksinya. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengkaji aspek pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo. Selain itu, kebaharuan penelitian ini juga mencakup kajian mengenai ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan lumo dan konsep pengelolaan sumber daya ikan tersebut. Kerangka Pemikiran Penelitian Fluktuasi curah hujan yang terjadi selama musim kemarau dan musim hujan sangat menentukan karakteristik habitat ikan lumo di Sungai Tulang Bawang. Perbedaan curah hujan antara musim kemarau dan musim hujan menyebabkan terjadinya fluktuasi parameter fisika kimia perairan yang selanjutnya dapat menyebabkan fluktuasi ketersediaan makanan, perbedaan luasan habitat, dan lainlain. Beberapa parameter fisika kimia perairan dapat memengaruhi biologi ikan lumo, seperti persebaran, pertumbuhan dan faktor kondisi, serta aspek reproduksinya, yang selanjutnya menentukan populasinya. Di sisi lain, aktivitas penangkapan ikan dapat menurunkan populasi ikan tersebut apabila terjadi tangkap lebih ataupun penangkapan ikan dengan alat tangkap yang merusak. Minimnya data dan informasi beberapa aspek ekobiologi ikan lumo di Sungai Tulang Bawang menyebabkan upaya pengelolaan sumber daya ikan tersebut belum dapat dilakukan secara optimum. Untuk itu diperlukan beberapa kajian terkait dengan ekobiologi ikan lumo, seperti persebaran, pertumbuhan dan faktor kondisi, reproduksi, serta parameter fisika kimia perairan yang memengaruhi kelimpahan ikan lumo. Selanjutnya berdasarkan hasil kajian tersebut dapat dirumuskan suatu kebijakan pengelolaan ikan lumo, sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan dan pada akhirnya sumber daya ikan lumo tetap lestari. Berdasarkan beberapa pemikiran tersebut maka disusun suatu kerangka pemikiran penelitian seperti yang tertera pada Gambar 2. Melalui kerangka pemikiran penelitian ini dapat diketahui bahwa karakteristik habitat perairan dapat memengaruhi populasi ikan lumo melalui perubahan kondisi ekobiologi ikan lumo. Di sisi lain, aktivitas penangkapan ikan juga dapat berdampak terhadap populasi ikan tersebut. Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan lumo, perlu diperhatikan aspek ekobiologi dan beberapa permasalahan dalam pemanfaatannya, sehingga sumber daya ikan tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

20 4 Pengaruh Musim (Hujan-Kemarau) Fluktuasi Curah Hujan Fluktuasi Fisika Kimia Perairan Karakteristik Habitat Perairan: - Sungai Tulang Bawang - Rawa Bawang Latak Biologi ikan lumo Persebaran Pertumbuhan dan faktor kondisi Reproduksi Aktivitas penangkapan ikan Populasi ikan lumo Kebijakan pengelolaan sumber daya ikan lumo Pemanfaatan ikan lumo berkelanjutan Sumber daya ikan lumo lestari Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian

21 5 2. KARAKTERISTIK PERAIRAN Pendahuluan Sungai Tulang Bawang merupakan bagian dari DAS (daerah aliran sungai) Tulang Bawang yang terletak di Kabupaten Tulang Bawang Barat dan Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Berdasarkan pembagian orde sungai, Sungai Tulang Bawang merupakan sungai orde 8 pada DAS Tulang Bawang dan termasuk sub-das Tulang Bawang Bagian Tengah. Pola aliran Sungai Tulang Bawang mengikuti pola aliran sungai yang berkelok-kelok (meander). Dengan kondisi aliran sungai yang demikian maka arus sungai mengalir lebih cepat pada sisi luar kelokan dibandingkan pada sisi dalam, sehingga sisi luar kelokan terus menerus tergerus dan hasilnya terendapkan di sisi bagian dalam kelokan. Sungai Tulang Bawang mengalir ke Laut Jawa dan bermuara di Pantai Timur Lampung. Menurut Wiryawan et al. (1999) pasang naik di Pantai Timur Lampung dapat mendesak air payau ke hulu sungai sejauh km selama musim kemarau. Dalam kajian ekobiologi ikan perlu dilakukan penelaahan yang mencakup parameter fisika kimia perairan, sehingga kajian yang dihasilkan dapat lebih komprehensif. Keberadaan suatu jenis ikan di perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi fisika kimia perairan (Beamish et al. 2006; Li & Gelwick 2005; Sullivan & Watzin 2009; Rahardjo et al. 2011), terutama ikan-ikan yang hidup di sungai dataran banjir (Welcomme 1985; Junk 1996; Mc Connell 1987). Beberapa parameter fisika kimia perairan memegang peranan penting dalam persebaran ikan (Hoggarth et al. 1996; Li & Gelwick 2005; Beamish et al. 2006), pertumbuhan ikan (Le Cren 1951; Effendie 2002; Rahardjo et al. 2011), ataupun aspek reproduksi (Rainboth 1996; Effendie 2002; Song 2007; Welcomme 2008; Rahardjo et al. 2011). Karakteristik habitat perairan yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan keragaman jenis ikan. Vannote et al. (1980) menyatakan bahwa keragaman organisme perairan di zona hulu dan zona hilir sungai lebih rendah daripada di zona tengah sungai. Zona tengah sungai yang memiliki variasi yang tinggi dalam hal suhu, pengaruh riparian dan arus, menyebabkan keragaman organisme perairan lebih besar dari zona hulu dan zona hilir sungai. Hasil kajian Adjie dan Utomo (2011) di Sugai Kapuas menunjukkan bahwa karakteristik perairan yang berbeda antara zona tengah sungai dan zona hilir sungai menyebabkan perbedaan keragaman jenis ikan. Keragaman jenis ikan paling banyak berada di zona tengah sungai, yaitu 123 jenis ikan. Di zona tengah sungai tersebut terdapat beberapa rawa banjiran yang produktif dan pengaruh air tawar masih dominan, sedangkan di zona hilir sungai dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur beberapa parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak, dan selanjutnya menerangkan karakteristik kedua habitat perairan tersebut berdasarkan parameter fisika kimia perairan yang diukur. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 di Sungai Tulang Bawang dan Rawa Latak, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung (Gambar 3). Pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan dilakukan in-situ setiap bulan di lima stasiun pengamatan yang tersebar di Sungai

22 6 Tulang Bawang, yaitu Cakat Nyinyik (S1), Ujung Gunung (S2), Rawa Bungur (S3), dan Pagar Dewa (S4), serta di Bawang Latak (R). Deskripsi singkat masingmasing stasiun pengamatan tertera pada Lampiran 1. Penentuan stasiun penelitian tersebut berdasarkan pertimbangan berikut ini: Stasiun A merupakan perairan paling hulu dari Sungai Tulang Bawang yang berdekatan dengan pertemuan antara Sungai Way Kanan dan Way Kiri; Stasiun B mewakili perairan sungai yang terletak di bagian tengah dan berdekatan dengan lahan pertanian; Stasiun C mewakili perairan sungai yang terletak di bagian tengah sebelum memasuki permukiman penduduk; Stasiun D mewakili perairan sungai yang terletak di bagian hilir yang diduga masih dipengaruhi oleh energi pasang surut; Stasiun E merupakan perairan yang terletak di Sungai Way Miring yang berarus lebih lambat dan lebih kecil dari Sungai Tulang Bawang, mewakili perairan rawa banjiran. Parameter fisika kimia perairan yang tidak diukur in-situ dianalisis di Laboratorium Kesehatan Lingkungan Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung. Pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan yang penting yang meliputi kecerahan, ph, oksigen terlarut, suhu perairan, amonium (NH + 4 ), ortofosfat (P-PO 4 ), bahan organik total, padatan tersuspensi total, kedalaman, dan arus dilakukan setiap bulan. Pengambilan contoh air dilakukan dengan menggunakan water sampler. Pengukuran parameter fisika kimia perairan yang meliputi kecerahan, ph, oksigen terlarut, suhu perairan, kedalaman, dan arus dilakukan in situ; sedangkan kandungan amonium, P-PO4, dan bahan organik total dilakukan di laboratorium (Tabel 1). Contoh air yang diukur kandungan amonium, P-PO 4, dan bahan organik total disimpan dalam wadah bersuhu 4 ºC dalam interval waktu 12 jam untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium yang mengacu pada Rice et al. (2005). Adapun data curah hujan diperoleh berdasarkan rekaman curah hujan di Unit Pelaksana Teknis Daerah Badan Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (UPTD BPTPH) Provinsi Lampung. Parameter fisika kimia perairan yang menentukan karakteristik setiap stasiun penelitian dianalisis secara multivariat dengan menggunakan analisis komponen utama. Menurut Mattjik & Sumertajaya (2011) analisis komponen utama mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang diukur dengan menggunakan sedikit peubah yang menjadi komponen utamanya saja. Untuk memudahkan analisis komponen utama digunakan perangkat lunak PAST. Uji Mann-Whitney dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan masing-masing parameter fisika kimia perairan tersebut di setiap stasiun penelitian, sehingga dapat diketahui perbedaan karakteristik perairan berdasarkan parameter fisika kimianya. Uji tersebut juga digunakan untuk menentukan ada tidaknya perbedaan masing-masing parameter fisika kimia perairan saat musim kemarau dan musim hujan.

23 Gambar 3. Lokasi penelitian 7

24 8 Tabel 1. Metode dan alat yang digunakan dalam pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan. Parameter Satuan Metode Pengukuran Alat Lokasi Fisika : Kecerahan cm Visual Piring Secchi in situ Suhu perairan ºC Pemuaian/penyusutan Thermometer in situ raksa Kedalaman m Pantulan gelombang Depht sounder in situ suara Kecepatan arus m/det --- Current meter in situ Padatan tersuspensi total mg/l Gravimetri laboratorium Kimia : ph --- Potensiometri ph meter in situ elektroda hidrogen Oksigen terlarut mg/l Potensiometri DO meter in situ + Ammonium (NH 4 ) mg/l Metode fenate Spektrofotometer laboratorium Ortofosfat (P-PO 4 ) mg/l Metode stanus klorida Spektrofotometer laboratorium Bahan organik total mg/l Permanganometri Buret laboratorium Hasil Hasil pengukuran beberapa parameter fisika kimia perairan disajikan secara lengkap pada Lampiran 2 dan rekapitulasinya tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Kisaran parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak. Sungai Tulang Bawang Bawang Latak Parameter kemarau hujan kemarau hujan Fisika: Kecerahan (cm) ,0-9,5 20,0-35,0 10,0-25,0 Suhu perairan (⁰C) 28,0-30,2 28,6-30,1 29,0-31,0 28,9-31,2 Kedalaman (m) 2,43-6,24 2,97-6,74 2,25-3,75 2,70-4,91 Kecepatan arus (m/det) 0,10-0,80 0,30-0,80 0,05-0,20 0,10-0,40 Padatan tersuspensi total (mg/l) Kimia: ph 6,05-7,79 6,75-7,45 6,02-6,78 6,67-7,05 Oksigen terlarut (mg/l) 4,52-6,73 5,22-6,15 4,50-6,50 4,26-6,00 Amonium (mg/l) 0,018-0,822 0,120-0,360 0,320-0,845 0,120-2,025 Ortofosfat (mg/l) 0,025-0,600 0,054-0,120 0,098-0,160 0,06-0,11 Bahan organik total (mg/l) 14,54-114,39 25,55-49,93 34,52-120,24 11,38-54,20 Data curah hujan bulanan tahun yang diperoleh dari UPTD BPT- PH Provinsi Lampung yang mencakup 16 pos pengamat hujan di hulu Sungai Tulang Bawang menunjukkan adanya fluktuasi curah hujan rata-rata bulanan (Gambar 4). Curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan Juni (118 mm), sedangkan yang tertinggi terjadi pada bulan Desember (485 mm).

25 9 Curah hujan bulanan rata-rata (mm) Kedalaman (m) Gambar 4. Curah hujan rata-rata bulanan Sumber data: UPTD BPTPH Provinsi Lampung Cakat Nyinyik Ujung Gunung Rawa Bungur Pagar Dewa Bawang Latak Apr-13 Mei-13 Jun-13 Jul-13 Agust-13 Sep-13 Okt-13 Nop-13 Des-13 Jan-14 Feb-14 Mar-14 Kemarau Hujan Gambar 5. Kedalaman perairan di stasiun pengamatan Fluktuasi kedalaman perairan yang diukur setiap bulan memiliki kemiripan pola dengan fluktuasi curah hujan rata-rata bulanan (Gambar 5). Kedalaman perairan tertinggi di Sungai Tulang Bawang terjadi pada bulan Januari yang mencapai 6,74 m, sedangkan kedalaman tertinggi di perairan Bawang Latak 2,66 m. Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa komponen 1 dan komponen 2 menjelaskan keragaman sebesar 51,10%. Komponen 1 menjelaskan keragaman sebesar 31,23% dan komponen 2 menjelaskan keragaman 19,87% (Lampiran 3). Berdasarkan kurva biplot antara komponen 1 dan komponen 2 (Gambar 6) diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komponen 1 adalah ph, suhu, oksigen terlarut, amonium, kecepatan arus, kecerahan, dan kedalaman. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komponen 2 adalah kandungan fosfat, TSS, dan bahan organik total.

26 10 Gambar 6. Kurva biplot antara komponen 1 dan komponen 2 parameter fisika kimia perairan. Keterangan: A= Pagar Dewa; B= Rawa Bungur, C= Ujung Gunung; D=Cakat Nyinyik; E=Bawang Latak. Pada Gambar 6 terlihat bahwa di stasiun Bawang Latak (E) parameter kimia perairan yang berpengaruh adalah amonium dan bahan organik total; sedangkan di perairan Sungai Tulang Bawang (A, B, C, D) lebih dipengaruhi oleh kedalaman, kecepatan arus, Bahan organik total, fosfat, TSS, dan kecerahan. Kecerahan di Sungai Tulang Bawang berkorelasi negatif dengan kedalaman dan kecepatan arus. Berdasarkan uji Mann-Whitney diketahui bahwa suhu, amonium, kecepatan arus, dan kecerahan berbeda nyata antara perairan Bawang Latak dengan perairan di 4 stasiun pengamatan lainnya di Sungai Tulang Bawang. Adapun ph, oksigen terlarut, fosfat, bahan organik total, padatan tersuspensi total, dan kedalaman tidak berbeda nyata (Lampiran 4). Secara ringkas, matrik pembeda parameter fisika kimia perairan berdasarkan uji Mann-Whitney disajikan pada Tabel 3. Pengaruh perbedaan musim hujan dan musim kemarau terhadap beberapa parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak berdasarkan uji Mann-Whitney tertera pada Lampiran 4. Di Sungai Tulang Bawang, nilai ph, oksigen terlarut, fosfat, bahan organik total, kecepatan arus, dan kedalaman berbeda antara musim kemarau dan musim hujan; sedangkan suhu perairan, TSS, dan konsentrasi amonium tidak berbeda nyata. Adapun di perairan Bawang Latak parameter fisika kimia perairan yang berbeda antara musim kemarau dan musim hujan adalah ph, fosfat, bahan organik total, dan arus; sedangkan suhu, konsentrasi oksigen terlarut, amonium, kecerahan, padatan tersuspensi total, dan kedalaman tidak berbeda nyata.

27 11 Tabel 3. Matrik perbandingan parameter fisika kimia perairan berdasarkan uji Mann-Whitney Perbandingan ph Suhu DO NH4 PO4 BOT Arus Kecerahan TSS Kedalaman air (m) Antar Stasiun: Di sungai : A-B A-C A-D B-C B-D C-D Sungai-rawa: A-E X X X X B-E X X X X C-E X X X X D-E X X X X X Antar musim (kemarau-hujan): K S -H S X X X X X X X X K R -HR X X X X Keterangan: = tidak berbeda nyata; X=berbeda nyata A = Pagar Dewa; B= Rawa Bungur; C= Ujung Gunung; D= Cakat Nyinyik; E= Bawang Latak DO = oksigen terlarut; BOT= bahan organik total; TSS=padatan tersuspensi total K S -H S = perbandingan antara musim hujan dan musim kemarau di stasiun sungai (A, B, C, D); KR-H R = perbandingan antara musim hujan dan musim kemarau di stasiun Bawang Latak (E) Pembahasan Daerah aliran sungai Tulang Bawang diprediksi telah mengalami kerusakan. Kerusakan yang terjadi sebagian besar berupa hilangnya tutupan vegetasi akibat kerusakan hutan dan pertanian lahan kering tanpa tindakan konservasi tanah dan air. Indikator utama kerusakan daerah aliran sungai dapat ditunjukkan oleh rasio debit air maksimum dan debit air minimum (Q maks /Q min ) yang lebih besar dari 30 (Asdak 2007). Alviya et al. (2012) menyatakan bahwa pada saat musim hujan debit air Sungai Tulang Bawang maksimum sebesar 1.757,3 m 3 /det dan pada saat musim kemarau debit minimum sebesar 28,15 m 3 /det, sehingga rasio Q maks /Q min adalah 62,42. Kondisi Sungai Tulang Bawang yang selalu menunjukkan warna air kecoklatan mengindikasikan bahwa konsentrasi material tersuspensi cukup tinggi yang disebabkan oleh erosi yang terjadi di bagian hulu. Erosi tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor topografi dan aliran permukaan. Menurut Alviya et al. (2012),

28 12 DAS Tulang Bawang memiliki koefisien aliran permukaan berkisar 21-28%; artinya sekitar 21-28% curah hujan akan menjadi aliran permukaan yang berpotensi menggerus tanah permukaan dan membawanya ke dalam perairan. Hal ini menyebabkan kecerahan di Sungai Tulang Bawang relatif rendah dan air sungai tersebut berwarna kecoklatan yang sejalan dengan tingginya nilai padatan tersuspensi total di perairan tersebut hingga mencapai lebih dari 200 mg/l. Selain itu, aliran permukaan yang tinggi juga berpeluang menyebabkan terjadinya banjir di daerah aliran sungai tersebut. Beberapa parameter fisika kimia perairan, yaitu ph, oksigen terlarut, fosfat, bahan organik total, padatan tersuspensi total, dan kedalaman air relatif sama antara Sungai Tulang Bawang dan Rawa Bawang Latak. Hal ini disebabkan perairan rawa Bawang Latak bukan merupakan perairan yang tertutup melainkan masih terhubung dengan Sungai Miring yang menyatu dengan Sungai Tulang Bawang. Stasiun Bawang Latak (E) dicirikan oleh parameter fisika kimia yang berupa amonium, suhu, kecerahan, dan bahan organik total; sedangkan stasiun pengamatan di Sungai Tulang Bawang, yaitu di Pagar Dewa (A), Rawa Bungur (B), Ujung Gunung (C), dan Cakat Nyinyik (D) dan lebih dicirikan oleh konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi, TSS, arus, kenaikan muka air, fosfat, dan ph (Gambar 6). Faktor utama yang menyebabkan fluktuasi parameter fisika kimia perairan adalah kenaikan permukaan air yang disebabkan oleh kenaikan curah hujan, terutama saat musim hujan. Kenaikan permukaan air yang sejalan dengan peningkatan kecepatan arus di Sungai Tulang Bawang berimplikasi pada peningkatan TSS, ph, dan oksigen terlarut, tetapi berdampak terhadap penurunan kecerahan, dan konsentrasi amonium. Semua stasiun pengamatan di Sungai Tulang Bawang dicirikan dengan tingginya nilai fosfat (Gambar 6), terutama saat musim kemarau. Ortofosfat yang diukur di lokasi penelitian berkisar antara 0,025-0,600 mg/l. Menurut Boyd (1990) kadar fosfor dalam ortofosfat jarang melebihi 0,1 mg/l meskipun pada perairan eutrof. Ortofosfat yang tinggi di stasiun 3 (0,600 mg/l) dan stasiun 4 (0,410 mg/l) dapat berasal dari lahan pertanian, limbah domestik, ataupun deterjen dari daerah hulu Sungai Tulang Bawang. Arus di perairan Bawang Latak relatif lebih lambat dibandingkan dengan arus di Sungai Tulang Bawang, bahkan di beberapa tempat yang jauh dari Sungai Miring perairan bersifat stagnan. Kondisi ini memungkinkan berbagai jenis vegetasi air dapat tumbuh dengan baik dan jumlahnya melimpah. Arus yang lambat juga dapat menyebabkan terjadinya sedimentasi di perairan Bawang Latak, sehingga kecerahan air di perairan tersebut dapat mencapai perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan di stasiun-stasiun pengukuran lainnya di Sungai Tulang Bawang. Keadaan ini juga menyebabkan suhu perairan di Bawang Latak relatif lebih hangat dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang yang terus menerus mengalami pergantian air lebih cepat. Demikian pula halnya dengan kandungan amonium yang lebih tinggi di perairan di Bawang Latak yang dapat disebabkan oleh penguraian bahan organik, baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan, yang terendapkan di bagian perairan di sekitarnya. Sisa-sisa tumbuhan yang mati dapat menjadi serasah ataupun detritus yang merupakan sumber makanan bagi ikan. Kenaikan muka air di Bawang Latak yang lebih kecil dibandingkan di Sungai Tulang Bawang merupakan akibat dari meningkatnya perluasan genangan air

29 13 saat musim hujan dan terjadi banjir, sedangkan di Sungai Tulang Bawang tidak demikian. Semakin luas areal genangan maka kenaikan permukaan air rawa bertambah, namun tidak signifikan bila dibandingkan dengan kenaikan muka air di Sungai Tulang Bawang. Oleh karena itu, pengaruh musim tidak berbeda nyata terhadap kedalaman di perairan Bawang Latak, namun kedalaman perairan Sungai Tulang Bawang berbeda nyata antara musim kemarau dan musim hujan. Beberapa parameter fisika kimia perairan yang penting, yaitu ph, suhu perairan dan oksigen terlarut, masih dalam batas normal untuk mendukung kehidupan organisme akuatik. Nilai ph yang diukur berkisar antara 6,02-7,79. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar 7-8,5 (Novotny & Olem, 1994). Suhu perairan di lokasi penelitian berkisar antara 28,0-31,2⁰C masih dalam batas optimum untuk pertumbuhan ikan. Boyd (1990) menyatakan bahwa spesies-spesies akuatik di daerah tropis dan subtropis tidak akan tumbuh dengan baik ketika suhu perairan turun di bawah 26⁰C dan ketika suhu perairan di bawah 10⁰C akan mengakibatkan kematian. Oksigen terlarut yang diukur di lokasi penelitian berkisar antara 4,26-6,73 mg/l. Rahardjo et al. (2011) menyatakan bahwa kebutuhan minimal ikan terhadap oksigen terlarut untuk dapat tumbuh dan berkembang adalah 3 mg/l dan akan lebih baik bila di atas 5 mg/l. Amomium (NH + 4 ) yang diukur dari lokasi penelitian berkisar antara 0,018-2,025 mg/l. Pada dasarnya amonium di perairan merupakan bentuk amonia terionisasi yang dipengaruhi oleh ph; sebagian besar amonia akan terionisasi menjadi amonium pada saat ph kurang dari atau sama dengan 7. Amonium tidak bersifat toksik terhadap biota akuatik, sedangkan amonia bebas tak terionsisasi (NH 3 ) ber-sifat toksik terhadap organisme akuatik (Rahardjo et al. 2011). Padatan tersus-pensi total (TSS) di lokasi penelitian berkisar antara mg/l. Padatan tarsus-pensi dapat meningkatkan kekeruhan. Menurut Alabaster & Lloyd (1982) nilai TSS yang lebih dari 80 mg/l kurang baik bagi kehidupan ikan air tawar. Keberadaan ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan di Bawang Latak (Bab 1) karena didukung oleh kondisi habitat perairan yang sesuai untuk menunjang kehidupan ikan lumo. Kondisi fisika kimia perairan yang merupakan habitat ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Rawa Bawang Latak relatif tidak berbeda dengan beberapa kajian lainnya. Di Danau Teluk (Jambi) ikan tersebut terdapat dalam jumlah yang dominan pada kondisi oksigen terlarut 5,58 mg/l, ph 7, total alkalinitas 18 mg/l CaCO3, kekeruhan 11,40 NTU, dan padatan terlarut total sebesar 30 ppm (Nurdawati 2010). Namun demikian, di perairan rawa banjiran di Kalimantan ikan lumo dapat hidup dalam kondisi ph dan oksigen terlarut yang lebih rendah. Sulistiyarto et al. (2007) menyebutkan bahwa ikan L. ocellatus banyak ditemukan di rawa banjiran Sungai Rungan (Kalimantan Tengah) yang memiliki kedalaman perairan antara 14,8-40,2 m, ph antara 5,64-5,88, oksigen terlarut berkisar 3,50-4,95 mg/l, kecerahan perairan 36,3-62,0 cm, dan suhu air permukaan antara 30,2-30,7 C. Adapun di Danau Sabuah (Kalimantan Tengah) ikan tersebut hidup pada kondisi perairan dengan kecerahan 37,5-42,5 cm, suhu antara 27,5-30,3 C, kisaran ph 5,76-6,99 dan oksigen terlarut antara 3,86-4,79 mg/l (Torang & Buchar 2000). Di zona tengah Sungai Kapuas, ikan lumo hidup pada kisaran suhu air antara C, kecerahan cm, ph 5-7, oksigen terlarut 4,9-12,64 mg/l, alkalinitas mg/l CaCO 3, BOD 5 antara 0,9-6,07 mg/l, dan COD 8,3-40,6 mg/l (Adjie & Utomo 2011).

30 14 Simpulan Perairan Bawang Latak lebih dicirikan oleh amonium dan bahan organik total; sedangkan perairan Sungai Tulang Bawang lebih dicirikan oleh kedalaman, kecepatan arus, bahan organik total, fosfat, TSS, dan kecerahan yang rendah. Parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak yang penting untuk mendukung kehidupan organisme perairan, seperti suhu perairan, ph, dan oksigen terlarut, masih dalam batas normal, kecuali padatan tersuspensi total. Ikan lumo dapat hidup dengan baik di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak

31 15 3. PERSEBARAN IKAN LUMO Pendahuluan Sungai Tulang Bawang memiliki keterkaitan dengan rawa banjiran di sekitarnya, termasuk rawa Bawang Latak. Karakteristik Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak yang terletak di zona tengah DAS Tulang Bawang memiliki keragaman jenis ikan yang tinggi. Kondisi ini didukung oleh parameter fisika kimia perairan yang penting bagi kehidupan organisme perairan dalam batas normal. Parameter fisika kimia perairan yang penting untuk mendukung kehidupan organisme akuatik, seperti suhu perairan, ph, dan oksigen terlarut, masih dalam batas normal, kecuali padatan tersuspensi total. Persebaran dan kelimpahan spesies-spesies ikan dipengaruhi oleh karakteristik habitat dan faktor-faktor biologi (Taylor et al. 1993). Habitat dapat merepresentasikan tempat-tempat dimana individu, populasi, ataupun kumpulan ikan dapat menemukan kondisi fisika dan kimia perairan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya, yaitu kesesuaian terhadap kualitas air, tempat mencari makan, bereproduksi, dan tempat perlindungan (Hayes et al. 2006). Beberapa parameter fisika kimia perairan yang signifikan memengaruhi persebaran ikan-ikan Cyprinidae, termasuk juga genus Labiobarbus, adalah suhu perairan, lebar habitat, pergantian air, oksigen ambien, alkalinitas (Beamish et al. 2006), ph, amonia, kedalaman, dan subtrat dasar (Tongnunui et al. 2009). Ikan lumo termasuk jenis ikan potamodromus (Froese & Pauly 2014) yang menyebar di zona sungai bagian hilir dan zona sungai bagian tengah (Adjie & Utomo 2011) dan hidup di perairan rawa banjiran (Torang & Buchar 2000; Sulistiyarto et al. 2007; Nurdawati 2010; Adjie & Utomo 2011). Sebagai ikan yang tergolong potamodromus, ikan lumo beruaya di perairan sungai, danau, ataupun rawa banjiran. Ikan lumo memiliki kemampuan berenang pada perairan berarus, sehingga ikan tersebut dapat hidup tersebar di perairan sungai yang besar, seperti di Sungai Tulang Bawang (Noor et al. 1994) dan Sungai Kapuas (Adjie & Utomo 2011), ataupun rawa banjiran. Persebaran ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak belum dikaji secara mendalam. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji persebaran ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan April 2013 sampai dengan bulan Maret 2014 di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung (Gambar 3). Pengambilan ikan contoh dilaksanakan setiap bulan di empat stasiun pengamatan yang tersebar di sepanjang Sungai Tulang Bawang, yaitu Pagar Dewa (A), Rawa Bungur (B), Ujung Gunung (C), dan Cakat Nyinyik (D), serta satu stasiun pengamatan di Rawa/Bawang Latak (E). Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium Hidrobiologi, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Ikan lumo dikumpulkan dengan cara ditangkap menggunakan jaring insang bermata jaring 1,1½, 1¾, dan 2 yang masing-masing berukuran panjang 20 m dan tinggi 2 m. Jaring insang tersebut dioperasikan di lima stasiun pengambilan contoh dengan cara dipasang sejajar di tepi sungai selama satu hari. Ikan lumo

32 16 yang tertangkap diawetkan dengan formalin 10%, dimasukkan ke kantung plastik dan kemudian disimpan dalam wadah plastik. Jumlah ikan yang tertangkap dicatat per stasiun pengamatan setiap bulan. Untuk memastikan bahwa contoh ikan yang dikumpulkan adalah L. ocellatus, dilakukan identifikasi berdasarkan Weber & de Beaufort (1916), Roberts (1989) dan Kottelat et al. (1993). Selanjutnya di laboratorium ikan diukur panjang totalnya dengan penggaris dan dikelompokkan dalam selang kelas panjang. Data tersebut ditabulasikan dalam bentuk tabel ataupun diagram batang untuk diketahui persebarannya, baik temporal maupun spasial. Hasil Ikan lumo yang tertangkap pada semua stasiun penelitian bervariasi jumlahnya. Ikan lumo yang berhasil dikumpulkan selama penelitian berjumlah ekor yang terdiri atas 690 ekor ikan lumo jantan dan 651 ekor ikan lumo betina. Ukuran panjang ikan lumo jantan berkisar antara mm, sedangkan ikan lumo betina memiliki sebaran panjang antara mm. Rekapitulasi data sebaran panjang ikan lumo disajikan pada Lampiran 5. Ukuran maksimum panjang total ikan lumo yang tertangkap selama penelitian adalah 242 mm. Nilai ini merupakan data terbaru untuk panjang total maksimum ikan lumo. Sebelumnya dinyatakan bahwa L. ocellatus memiliki panjang total maksimum 220 mm (Weber & de Beaufort 1916); Kottelat et al. 1993; Froese & Pauly 2012). Sebaran ukuran panjang total ikan lumo secara keseluruhan sebagian besar berada pada selang kelas mm (Gambar 7). Persentase ikan lumo jantan yang tertangkap pada selang kelas tersebut mencapai 83% dan pada ikan lumo betina mencapai 84%. Kondisi ini terkait dengan selektivitas alat tangkap yang digunakan, yaitu jaring insang dengan ukuran mata jaring antara 1-2. Jaring insang merupakan alat tangkap yang memiliki selektivitas yang tinggi, sehingga ikanikan yang tertangkap terbatas pada ukuran tertentu saja. Frekuensi relatif (%) 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 Betina Jantan Selang kelas panjang (mm) Gambar 7. Sebaran panjang ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843)

33 17 Ikan lumo yang tertangkap berfluktuasi setiap bulan selama masa penelitian. Di awal musim hujan (Oktober) ikan lumo paling banyak tertangkap, namun demikian saat puncak musim hujan dan terjadi banjir di bulan Januari jumlah ikan lumo yang tertangkap menurun drastis. Data jumlah ikan lumo yang berhasil ditangkap setiap bulan pada masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 4. Jumlah ikan lumo yang tertangkap di Bawang Latak lebih banyak dibandingkan dengan stasun pengamatan lainnya di Sungai Tulang Bawang (Gambar 8). Adapun ikan lumo yang tertangkap di stasiun pengamatan Ujung Gunung (C) yang dekat dengan permukiman jumlahnya paling sedikit dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya. Tabel 4. Persebaran ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) Stasiun pengamatan Musim\Bulan A B C D E J B J B J B J B J B Kemarau: Apr Mei Jun Jul Agust Sep Sub jumlah Hujan: Okt Nop Des Jan Feb Mar Sub jumlah Jumlah Keterangan: A= Pagar Dewa, B=Rawa Bungur, C=Ujung Gunung, D=Cakat Nyinyik, E= Bawang Latak; J=Jantan; B=Betina Jumlah ikan (ekor) Ck Nyinyik Uj Gunung Rw Bungur Pg Dewa Bw Latak Apr-2013 Mei-2013 Jun-2013 Jul-2013 Agust-2013 Sep-2013 Okt-2013 Nov 2013 Des-2013 Jan-2014 Feb-2014 Mar-2014 Gambar 8. Fluktuasi ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) per bulan di setiap stasiun pengamatan

34 18 Ikan lumo menyebar dalam jumlah yang bervariasi di masing-masing stasiun penelitian berdasarkan selang kelas panjang total. Pola penyebaran ikan lumo berdasarkan selang kelas panjang total hampir sama di setiap stasiun penelitian (Gambar 10). Di setiap stasiun penelitian panjang total ikan lumo yang tertangkap didominasi ukuran antara mm. Jumlah Ikan (ekor) A B C D E Stasiun pengamatan Jantan Betina Gambar 9. Jumlah ikan lumo, L. ocellatus (Heckel,1843) per stasiun pengamatan Keterangan: A= Pagar Dewa, B=Rawa Bungur, C=Ujung Gunung, D=Cakat Nyinyik, E= Bawang Latak Gambar 10. Sebaran jumlah ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan selang kelas panjang total pada tiap stasiun penelitian Sebaran panjang total ikan lumo di Bawang Latak lebih bervariasi dibandingkan dengan stasiun penelitian lainnya. Bahkan ikan lumo yang berukuran panjang total lebih dari 216 mm lebih banyak terdapat di Bawang Latak, sedangkan di stasiun penelitian lainnya sedikit atau bahkan tidak ada. Persebaran temporal ikan lumo di Sungai Tulang Bawang berdasarkan selang kelas panjang pada bulan April dan Juni didominasi oleh ikan-ikan dengan

35 19 ukuran panjang total mm, sementara pada bulan Mei dan Juli didominasi pada selang kelas mm (Gambar 11). Pada bulan Agustus hingga November ukuran ikan lumo yang banyak tertangkap berada pada selang kelas panjang mm. Persebaran ikan lumo pada bulan Desember lebih didominasi oleh ikan-ikan lumo yang berukuran lebih besar (berada pada selang kelas panjang mm) dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Kondisi yang hampir sama dijumpai pada bulan Januari, tetapi didominasi oleh ikan lumo dengan selang kelas panjang mm. Antara bulan Februari dan Maret ukuran ikan lumo lebih banyak ditemukan pada selang kelas panjang mm. Kondisi ini hampir menyerupai pola persebaran ikan lumo pada bulan April dan Mei. Gambar 11. Sebaran kelimpahan bulanan ikan lumo, L. ocellatus (Heckel,1843) di Sungai Tulang Bawang berdasarkan kelas panjang

36 20 Gambar 12. Sebaran kelimpahan bulanan ikan lumo L. ocellatus (Heckel, 1843) di Bawang Latak berdasarkan kelas panjang Persebaran temporal ikan lumo di Bawang Latak berdasarkan selang kelas panjang memiliki pola yang sedikit berbeda dengan pola persebaran ikan lumo di Sungai Bawang Latak. Selang kelas panjang ikan lumo di Bawang Latak lebih besar dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang pada bulan Agustus, September, dan November. Antara bulan Agustus hingga September ikan lumo di Bawang Latak lebih didominasi oleh selang kelas mm, dan bulan November yang didominasi oleh selang kelas mm (Gambar 12). Pembahasan Fluktuasi kedalaman di Sungai Tulang Bawang yang sangat berbeda antara musim hujan dan musim kemarau tidak menyebabkan jumlah ikan lumo yang tertangkap berbeda. Berdasarkan Uji Mann-Whitney tidak terlihat adanya perbedaan

37 antara jumlah ikan lumo yang tertangkap saat musim kemarau dengan ikan lumo yang tertangkap saat musim hujan (Lampiran 4). Kondisi ini juga dijumpai pada ikan lumo yang tertangkap di perairan Bawang Latak. Secara spasial jumlah ikan lumo yang tertangkap di stasiun Bawang Latak lebih banyak bila dibandingkan dengan empat stasiun lainnya di Sungai Tulang Bawang. Karakteristik perairan Bawang Latak dengan arus yang relatif lambat, kecerahan yang lebih dalam, dan suhu yang lebih hangat menyebabkan ikan lumo lebih banyak berada di habitat tersebut bila dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang. Faktor arus yang relatif lambat di Bawang Latak dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang menyebabkan perairan Bawang Latak menjadi tempat berlindung yang baik untuk ikan lumo. Sullivan & Watzin (2009) menyatakan bahwa perairan dataran banjir yang memiliki kisaran kedalaman dan tingkat kekeruhan yang bervariasi cenderung memiliki keanekaragaman ikan yang tinggi dibandingkan dengan sungai utamanya. Keberadaan berbagai spesies ikan di perairan dataran banjir menunjukkan bahwa ikan-ikan tersebut termasuk oportunistik dalam hal habitat, yaitu mengambil manfaat saat ketersediaan habitat meluas, mencari makan, serta berlindung dari arus yang kuat (Sullivan & Watzin 2009). Ikan lumo yang lebih banyak tertangkap di rawa banjiran Bawang Latak dibandingkan dengan di sungai utama serupa dengan kajian peneliti lainnya. Ikan tersebut merupakan salah satu jenis ikan yang melimpah di rawa banjiran yang berupa danau tapal kuda di Sungai Kampar Kiri (Simanjuntak et al. 2006), juga dominan di perairan rawa banjiran Danau Teluk (Nurdawati 2010), ataupun di Sungai Kapuas bagian tengah yang banyak terdapat rawa banjiran (Adjie & Utomo 2011). Bahkan Adjie & Utomo (2011) menyatakan walaupun kualitas air di bagian tengah dan hilir Sungai Kapuas relatif sama, tetapi ikan bauk tadung atau ikan lumo lebih banyak terdapat di Sungai Kapuas bagian tengah dimana banyak terdapat rawa banjiran. Keberadaan berbagai jenis vegetasi air yang lebih banyak di Bawang Latak, seperti Ceratophyllum spp dan Hydrilla verticillata (Lampiran 1), merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kelimpahan ikan lumo tinggi. Dengan kondisi arus yang relatif lambat dan kecerahan yang lebih dalam, vegetasi air dapat tumbuh dengan baik di perairan Bawang Latak dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang yang berarus lebih kuat. Menurut Hoggarth et al. (1999), vegetasi air di dataran banjir dapat meningkatkan kelimpahan ikan dengan menciptakan struktur habitat yang komplek dan menyediakan lebih banyak makanan serta perlindungan bagi anak-anak ikan. Vegetasi air yang terendam di dataran banjir dapat terurai menjadi detritus dan menjadi media penempelan perifiton dan berfungsi sebagai sumber makanan alami bagi ikan (Nurdawati & Prasetyo 2007). Menurut Adjie & Utomo (2011), daerah rawa banjiran di zona tengah Sungai Kapuas yang banyak terdapat vegetasi air merupakan daerah produktif karena ketersediaan pakan alami yang melimpah, seperti perifiton dan serangga air, serta merupakan tempat pemijahan dan perlindungan bagi ikan. Hal yang sama dikemukakan oleh Nurdawati (2010) bahwa di perairan rawa banjiran Danau Teluk, terutama di bagian perairan yang banyak ditumbuhi vegetasi air yang terendam, kelimpahan ikan lambak muncung atau ikan lumo sangat dominan. Secara temporal ikan lumo melimpah jumlahnya saat memasuki musim hujan. Pada saat awal musim hujan (Oktober) ikan-ikan banyak yang memasuki perairan rawa-rawa ataupun berada di pinggiran sungai untuk menghindari arus 21

38 22 yang kuat, sehingga banyak yang tertangkap oleh jaring insang yang dioperasikan di pinggir sungai ataupun perairan rawa. Masuknya ikan lumo menuju ke rawa banjiran juga diduga kuat berkaitan dengan proses pemijahan karena banyak ditemukan ikan lumo dalam kondisi matang gonad (Bab 5). Seiring dengan semakin bertambah luas habitat perairan di Bawang Latak akibat banjir dan arus yang kuat di Sungai Tulang Bawang menyulitkan upaya penangkapan ikan tersebut, sehingga hasil tangkapan ikan lumo pada bulan Januari lebih sedikit dibandingkan dengan bulan lainnya. Jumlah ikan lumo yang melimpah saat awal musim hujan merupakan fenomena yang umum terjadi di perairan rawa banjiran. Keragaman habitat perairan yang terjadi akibat pertambahan luas wilayah perairan di rawa banjiran pada saat musim hujan menyebabkan ikan-ikan melakukan ruaya dari sungai utama ke perairan tersebut. Agostinho et al. (2000) menyatakan bahwa tingginya keragaman fauna ikan yang ditemukan di daerah rawa banjiran Sungai Paraná, Amerika Selatan, merupakan ciri dinamika ekologi sebagai respon ikan terhadap habitat yang heterogen dan fluktuasi tinggi muka air. Parameter lingkungan yang bervariasi secara temporal adalah kedalaman, kecepatan arus, suhu, substrat dan oksigen terlarut yang berperan dalam menunjang keragaman kelompok ikan di daerah rawa banjiran (Li & Gelwick 2005). Seperti halnya ikan-ikan air tawar lainnya yang hidup di sungai rawa banjiran, ikan lumo memasuki dataran banjir pada saat air mulai menggenangi areal tersebut untuk mencari makan, melakukan pemijahan, dan mencari tempat perlindungan ataupun daerah asuhan. Kondisi yang sama dijumpai pada spesies Labiobarbus lainnya, seperti L. leptocheilus, L. lineatus, dan L siamensis yang hidup di Sungai Mekong Kamboja yang melakukan ruaya dan memasuki perairan dataran banjir pada saat air mulai banjir untuk mencari makan dan memijah (Rainboth 1996). Faktor-faktor yang memicu ruaya tersebut antara lain pergantian air, naiknya muka air, arus, dan hujan (Baran 2006). Menurut Mc Connell (1979) banjir yang terjadi di sungai dataran banjir dapat meningkatkan habitat perairan hingga 50% per tahun serta membawa nutrisi yang dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme, invertebrata, dan tanaman, serta menyediakan makanan yang berlimpah untuk ikan. Selain itu, meningkatnya keragaman habitat yang tersedia di rawa banjiran pada saat musim hujan menyebabkan banyak spesies ikan memanfaatkan perairan tersebut melalui berbagai cara untuk menunjang proses kehidupannya, seperti pemijahan (Lim et al. 1999), daerah asuhan anak-anak ikan (Ribeiro et al. 2004), mencari makan, dan habitat hidup bagi ikan-ikan dewasa (Boercherding et al. 2002). Simpulan Ikan lumo lebih banyak terdapat di perairan Bawang Latak daripada di Sungai Tulang Bawang; dan jumlah ikan tersebut meningkat pada saat awal musim hujan (Oktober).

39 23 4. PERTUMBUHAN DAN FAKTOR KONDISI IKAN LUMO Pendahuluan Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi relatif merupakan parameter pertumbuhan ikan yang penting diketahui untuk kajian dinamika populasi ataupun biologi perikanan. Hubungan panjang bobot dapat digunakan untuk menilai kesehatan ikan secara umum, tingkat kemontokan, perkembangan gonad, dan menentukan berat ikan berdasarkan panjangnya ataupun sebaliknya (Le Cren 1951). Hubungan panjang bobot juga merupakan faktor yang penting dalam kajian biologi ikan (Odat 2003), pendugaan stok ikan (Sparre et al. 1989; Frota et al. 2004; Abdurahiman et al. 2004), penentuan kondisi ikan (Soler et al. 2005; Froese 2006), serta dapat digunakan untuk kajian perbandingan pertumbuhan spesies ikan, baik antar jenis kelamin, musim, maupun wilayah (Froese 2006). Model pertumbuhan von Bertalanffy merupakan salah satu dasar model pertumbuhan dalam biologi perikanan karena seringkali digunakan sebagai submodel dalam sejumlah model pertumbuhan yang lebih rumit dalam menjelaskan berbagai dinamika populasi ikan (Sparre et al. 1989). Ikan-ikan yang berukuran cukup tua biasanya mengikuti model pertumbuhan von Bertalanffy, sehingga model ini dapat mendeskripsikan laju pertumbuhan ikan-ikan besar yang dapat dieksploitasi (Sparre et al. 1989). Model pertumbuhan von Bertalanffy juga dapat digunakan untuk menduga umur ikan pada ukuran tertentu dan hal ini sangat berguna untuk menentukan komposisi umur ikan-ikan yang tertangkap berdasarkan panjangnya. Nilai faktor kondisi merupakan suatu instrumen yang efisien dan dapat menunjukkan perubahan kondisi ikan sepanjang tahun dan perubahan faktor kondisi tersebut secara tak langsung bisa menjadi penanda adanya perubahan lingkungan (Rahardjo et al. 2011). Parameter pertumbuhan ini juga dapat menggambarkan keragaan biologi ikan, seperti kegemukan ikan, perkembangan gonad, kesesuaian terhadap lingkungan (Le Cren 1951, Muchlisin et al. 2010), kapasitas fisika untuk survival dan reproduksi (Effendie 2002), siklus hidup ikan dan keseimbangan ekosistem (Lizama & Ambròsio 2002), serta memberikan informasi kapan ikan memijah (Hossain et al., 2006). Penelitian ini bertujuan untuk menghitung beberapa parameter pertumbuhan ikan lumo, yaitu b, K, L, t 0, dan faktor kondisi relatif. Selanjutnya menyusun persamaan hubungan panjang bobot dan model pertumbuhan von Bertalanffy untuk menerangkan pola pertumbuhan ikan lumo tersebut. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan pada pada bulan April 2013 sampai dengan Maret 2014 di Sungai Tulang Bawang dan Rawa Latak, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung (Gambar 3). Lokasi ini berjarak sekitar 120 km dari Kota Bandar Lampung. Lokasi pengambilan ikan contoh terdapat di empat stasiun pengamatan yang tersebar di sepanjang Sungai Tulang Bawang, yaitu Pagar Dewa (A), Rawa Bungur (B), Ujung Gunung (C), dan Cakat Nyinyik (D), serta satu stasiun pengamatan di rawa Bawang Latak (E). Pengambilan ikan contoh dilakukan setiap bulan menggunakan jaring insang berukuran panjang 20 m tinggi 2 m dengan mata jaring 1,1½, 1¾, dan

40 24 2. Jaring insang dipasang sejajar dengan tepi sungai selama 24 jam. Ikan lumo yang tertangkap diawetkan dengan formalin 10%, diukur panjang totalnya (TL) dengan penggaris dalam satuan mm, serta ditimbang bobotnya menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g. Penentuan jenis kelamin ikan contoh dilakukan dengan mengamati secara langsung bentuk genitalnya (Gambar 13). Ikan lumo jantan memiliki lubang genital yang menyerupai tonjolan memanjang, sedangkan ikan lumo betina memiliki lubang genital berupa lubang kecil dan tidak terdapat tonjolan seperti halnya ikan lumo jantan. Gambar 13. Penentuan jenis kelamin ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan bentuk lubang genital Analisis hubungan panjang bobot dilakukan untuk mengetahui pola partumbuhan ikan lumo, apakah pertambahan panjang ikan tersebut seimbang dengan pertambahan bobotnya (isometrik) atau pertumbuhannya bersifat allometrik. Hubungan panjang bobot diperoleh dengan menggunakan persamaan empiris Le Cren (1951): b W= al Keterangan: W=bobot ikan L=panjang ikan a dan b = konstanta Selanjutnya dilakukan uji t pada nilai b dengan selang kepercayaan 95%. Bila nilai b sama dengan 3 maka pertumbuhan ikan isometrik; jika nilai b lebih besar dari 3 disebut allometrik positif, sedangkan nilai b yang lebih kecil dari 3 disebut allometrik negatif. Persamaan hubungan panjang bobot dibedakan antara ikan lumo jantan dengan ikan lumo betina. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy menurut Pauly (1980) adalah sebagai berikut: L t = L {1-exp[-K(t-t 0 )]} Keterangan: L t = panjang ikan saat umur t (satuan waktu) L = panjang ikan infiniti

41 25 K= koefisien pertumbuhan =umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol t 0 Parameter pertumbuhan von Bertalanffy (K dan L ) dapat dihitung dengan menganalisis serangkaian data frekuensi panjang menggunakan metode ELEFAN I yang terakomodasi pada perangkat lunak FISAT II (Gayanilo et al. 2005). Selanjutnya untuk menghitung nilai t0 dapat dilakukan dengan memasukkan nilai K dan L yang sudah diperoleh dari program ELEFAN I menggunakan persamaan menurut Pauly (1979), sebagai berikut: log (-to) = -0,3922-0,2752 log L -1,038 log K Faktor kondisi relatif atau indeks ponderal ikan lumo dapat diketahui dengan persamaan sebagai berikut (Le Cren 1951): Kn=W/W* Keterangan: W = bobot ikan lumo berdasarkan pengamatan W * = bobot yang dihitung berdasarkan persamaan hubungan panjang bobot al Faktor kondisi relatif dihitung setiap bulan secara terpisah antara ikan lumo jantan dan ikan lumo betina. Selanjutnya data tersebut ditabulasikan berdasarkan dua musim, yaitu musim kemarau (April-September) dan musim hujan (Oktober- Maret), serta dibedakan antara habitat di sungai dan di rawa-rawa. Selain itu, faktor kondisi relatif juga dihitung pada sebaran selang kelas panjang sehingga dapat ditentukan ada tidaknya perbedaan faktor kondisi relatif antara ikan lumo berukuran kecil dengan ikan lumo berukuran lebih besar. Hasil Hubungan Panjang Bobot Berdasarkan analisis hubungan panjang bobot ikan lumo jantan diperoleh persamaan sebagai berikut: W = 2,227 x 10-6 L 3,284 (r = 0,98) Adapun ikan betina memiliki persamaan hubungan panjang bobot sebagai berikut: W= 2,473 x 10-6 L 3,272 (r = 0,98) Dari hasil analisis tersebut diketahui bahwa panjang dan bobot ikan lumo, baik jantan dan betina, memiliki korelasi yang kuat yang ditunjukkan dari nilai r yang mendekati 1 (Gambar 14). Dengan demikian, setiap pertambahan ukuran panjang ikan diikuti dengan pertambahan bobotnya. Pola pertumbuhan ikan lumo jantan dan ikan lumo betina yang diekspresikan dari nilai b adalah allometrik positif. Dari hasil uji t diketahui bahwa nilai b berbeda nyata dengan 3, baik untuk ikan lumo jantan maupun ikan lumo betina Nilai b ikan lumo jantan tidak berbeda nyata dengan nilai b ikan lumo betina (Lampiran 7). b

42 26 Gambar 14. Hubungan panjang bobot ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) Model Pertumbuhan von Bertalanffy Hasil analisis parameter pertumbuhan yang dilakukan dengan menggunakan analisis ELEFAN I yang terdapat dalam perangkat lunak FISAT II menunjukkan bahwa ikan lumo jantan memiliki nilai panjang infinity (L ) hingga 233 mm, koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,31 per bulan atau setara dengan 3,72 per tahun, serta nilai t 0 = -0,30 bulan. Berdasarkan ketiga parameter pertumbuhan tersebut maka kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan lumo jantan mengikuti persamaan L t = 233*[1-e -0,31(t+0,30) ]. Ikan lumo betina memiliki panjang infinity yang lebih kecil, yaitu 202 mm dengan nilai K adalah 0,48 per bulan (setara dengan 5,76 per tahun) dan t 0 = -0,20 bulan. Persamaan kurva pertumbuhan von Bertalanffy ikan lumo betina adalah L t =202*[1-e -0,48(t+0,20) ]. Adapun parameter pertumbuhan von Bertalanffy ikan lumo gabungan (tanpa membedakan jenis kelamin) adalah sebagai berikut: L = 203 mm, K=0,45 per bulan atau setara dengan 5,4 per tahun, dan t0 = -0,22 bulan. Dengan demikian persamaan kurva pertumbuhan von Bertalanffy gabungan dapat dinyatakan dalam L t =203*[1-e -0,45(t+0,22) ]. Gambar 15. Kurva pertumbuhan ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843)

43 27 Faktor Kondisi Relatif Ikan lumo yang hidup di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak memiliki faktor kondisi yang relatif sama. Di Sungai Tulang Bawang faktor kondisi relatif ikan lumo jantan rata-rata 1,01±0,06 dan ikan lumo betina 1,00±0,06 (Tabel 5). Adapun ikan lumo yang hidup di Bawang Latak memiliki faktor kondisi relatif rata-rata 1,01±0,05 (jantan) dan 1,01±0,04 (betina). Kondisi relatif ikan lumo jantan dan ikan lumo betina saat musim kemarau tidak berbeda dengan musim hujan (Lampiran 9). Berdasarkan sebaran panjang total diketahui bahwa faktor kondisi relatif juga tidak jauh berbeda antara ikan lumo jantan dengan ikan lumo betina (Tabel 6). Rata-rata nilai Kn tersebut adalah 1,02±0,03 untuk ikan lumo jantan dan 1,02± 0,04 untuk ikan lumo betina. Gambar 16. Faktor kondisi relatif rata-rata ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) Tabel 5. Faktor kondisi relatif ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak Musim/Bulan Sungai Tulang Bawang Bawang Latak Jantan Betina Jantan Betina Apr ,03 0,97 1,01 1,01 Mei ,05 1,02 1,03 1,03 Kemarau Jun ,05 0,99 1,02 1,03 Jul ,02 0,94 1,03 1,00 Agust ,93 0,98 0,92 0,98 Sep ,91 0,93 0,94 1,01 Okt ,97 0,96 1,02 0,97 Nov ,04 0,97 1,08 1,06 Hujan Des ,06 1,10 1,03 1,04 Jan ,02 1,04 1,08 1,00 Feb ,08 1,11 1,01 1,07 Mar ,95 0,95 1,00 0,96 Rata-rata 1,01±0,06 1,00±0,06 1,01±0,05 1,01±0,04

44 28 Tabel 6. Faktor kondisi relatif ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan sebaran panjang total Kelas panjang (mm) Betina Jantan n (ekor) Kn n (ekor) Kn ,00 1 1, , , , , , , , , , , , , , , , , , Rata-rata 1,02±0,04 1,02±0,03 Keterangan: n= jumlah ikan (ekor); Kn=faktor kondisi relatif Pembahasan Pertumbuhan ikan lumo jantan dan ikan lumo betina bersifat allometrik positif dengan nilai b masing-masing sebesar 3,284 dan 3,272. Nilai b ini tidak berbeda jauh dengan nilai b yang dinyatakan oleh Froese & Pauly (2014) untuk ikan tersebut, yaitu sebesar 3,19; dan juga untuk genus Labiobarbus lainnya, yaitu L. lineatus dan L. siamensis (Sidthimunka 1973). Berdasarkan model pertumbuhan von Bertanlanffy diketahui bahwa ikan lumo betina memiliki laju pertumbuhan (K=0,48) relatif lebih cepat dibandingkan dengan ikan lumo jantan (K=0,31). Laju pertumbuhan ikan lumo berlangsung pesat pada awal pertumbuhannya (t 0 ); selanjutnya mengalami perlambatan pertumbuhan saat ukuran tubuhnya mencapai panjang asimtotiknya. Secara teoritis, ikan lumo jantan mencapai panjang asimtotik diperkirakan pada umur 20 bulan, sedangkan ikan lumo betina mencapai panjang asimtotiknya pada umur 13 bulan. Ukuran maksimum ikan lumo jantan yang tertangkap (232 mm) mendekati ukuran panjang asimtotiknya; sedangkan ukuran maksimum ikan lumo betina yang tertangkap (242 mm) sudah melebihi panjang asimtotiknya. Faktor kondisi relatif (Kn) rata-rata pada ikan lumo jantan dan ikan lumo betina tidak berbeda. Ikan lumo jantan dan ikan lumo betina hidup dalam kondisi yang sama di perairan Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak. Kondisi tersebut menguntungkan dari segi pertumbuhannya, sehingga ikan lumo jantan dan ikan lumo betina memiliki peluang yang sama untuk bertahan hidup, tumbuh dan berkembang di perairan tersebut. Ikan lumo juga hidup dalam kondisi relatif yang sama saat musim hujan dan musim kemarau. Keadaan ini menunjukkan bahwa ikan lumo dapat hidup dengan baik sepanjang tahun tanpa dipengaruhi oleh fluktuasi habitat perairan yang terjadi akibat perbedaan musim hujan dan musim kemarau. Pertumbuhan ikan lumo dalam kondisi yang tidak berbeda antara musim hujan dan musim kemarau ini dimungkinkan karena kualitas habitat perairan yang mendukung untuk kehidupan ikan lumo. Beberapa parameter fisika kimia perairan yang penting, seperti ph,

45 suhu, dan oksigen terlarut berada pada kisaran yang normal bagi ikan tersebut untuk hidup dengan baik pada musim kemarau dan musim hujan (Tabel 2). Ikan lumo yang hidup di Sungai Tulang Bawang yang memiliki arus cukup kuat juga memiliki faktor kondisi relatif yang tidak berbeda dengan ikan lumo yang hidup di Bawang Latak yang berarus tenang (Lampiran 9). Bila dikaitkan dengan bentuk tubuhnya, ikan lumo memiliki kemampuan berenang di perairan yang berarus. Hal ini sesuai dengan pendapat Beamish et al. (2006) yang menyatakan bahwa spesies dengan dasar sirip punggung yang panjang, seperti pada ikan Labiobarbus siamensis dan Labiobarbus leptocheilus, memiliki kemampuan berenang yang kuat dan bermanuver dengan baik pada habitat perairan yang berarus kuat. Walaupun padatan tersuspensi total di Sungai Tulang Bawang relatif tinggi, ikan lumo masih dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Kondisi ini serupa dengan ikan lumo yang hidup dengan baik dan merupakan spesies dominan di Danau Teluk (Jambi) dengan warna air kecoklatan dan keruh yang disebabkan tingginya padatan tersuspensi berupa partikel tanah (Nurdawati 2010). Faktor kondisi juga dapat memberikan informasi saat ikan akan memijah (Yeldan & Avsar 2000; Hossain et al. 2006; Rahardjo & Simanjuntak 2008). Menjelang puncak musim pemijahan faktor kondisi dapat meningkat dan kemudian menurun setelah masa pemijahan (Rahardjo & Simanjuntak 2008). Hal ini berkaitan erat dengan penggunaan sumber energi utama untuk perkembangan gonad dan pemijahan (Lizama & Ambrósio 2002). Meningkatnya faktor kondisi relatif ikan lumo jantan dan ikan lumo betina dari bulan Oktober hingga Desember terkait erat dengan proses pemijahan. Pada bulan Oktober sudah ditemukan ikan lumo dalam kondisi TKG III dan TKG IV, dan bulan November-Desember banyak ditemukan ikan lumo dalam kondisi TKG IV (Bab 5). Perkembangan gonad saat menjelang tahap kematangannya secara langsung menambah bobot gonad, sehingga bobot ikan lumo juga meningkat dan hal ini menyebabkan nilai faktor kondisi relatif juga meningkat. Pada bulan Januari faktor kondisi relatif ikan lumo menurun ketika ikanikan tersebut selesai memijah yang ditandai dengan adanya beberapa ikan lumo dalam kondisi TKG V (Gambar 17). Pada saat TKG V gonad sudah berkurang bobotnya karena sebagian besar telur ataupun sperma sudah dikeluarkan saat pemijahan. Kenaikan faktor kondisi saat bulan Februari yang kemudian menurun di bulan Maret tidak berkaitan dengan proses pemijahan karena ikan contoh yang dikumpulkan pada kedua bulan tersebut sebagian besar berukuran di bawah ukuran dewasa seksual (Gambar 11 dan Gambar 12). Diduga bahwa ikan lumo yang tertangkap pada bulan Februari dan Maret merupakan kelompok ikan muda yang berasal dari pemijahan sebelumnya (Oktober-Januari). Faktor kondisi relatif yang berfluktuasi pada bulan Februari dan Maret lebih berkaitan dengan akumulasi lemak karena sebagian besar ikan contoh yang dikumpulkan memiliki jaringan lemak yang cukup besar, yaitu sekitar 2,8% dari bobot tubuhnya, yang terletak di bawah gelembung renangnya. 29

46 30 Simpulan Pertumbuhan ikan lumo jantan dan ikan lumo betina bersifat allometrik positif. Berdasarkan model pertumbuhan von Bertalanffy diketahui bahwa laju pertumbuhan awal ikan lumo betina lebih cepat daripada ikan lumo jantan. Kondisi relatif ikan lumo yang hidup di Sungai Tulang Bawang tidak berbeda dengan ikan lumo yang hidup di perairan Bawang Latak. Demikian pula halnya dengan kondisi relatif ikan lumo tidak berbeda saat musim kemarau maupun saat musim hujan.

47 31 5. ASPEK REPRODUKSI IKAN LUMO Pendahuluan Ikan lumo hidup di Sungai Tulang Bawang dan perairan Bawang Latak dalam kondisi pertumbuhan yang baik, terlihat dari pertumbuhannya yang bersifat allometrik positif. Ikan lumo juga hidup di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak dengan faktor kondisi relatif yang tidak berbeda antara musim kemarau maupun musim hujan. Dengan kondisi pertumbuhan yang demikian, ikan lumo yang telah mencapai ukuran dewasa seksual, gonadnya dapat berkembang ke tahap pematangan gonad dan selanjutnya melakukan pemijahan. Kajian tentang aspek reproduksi ikan di sungai rawa banjiran sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain pada ikan Thynnichthys polylepis di Sungai Kampar Kiri (Bakhris et al. 2007), Pristolepis grootii di Sungai Musi (Ernawati et al. 2009a), dan Anabas testudineus di Sungai Mahakam (Ernawati et al. 2009b). Kajian tentang aspek reproduksi ikan lumo yang hidup di sungai rawa banjiran belum pernah dilakukan sebelumnya. Data dan informasi beberapa parameter reproduksi ikan diperlukan terkait dengan upaya pengelolaan sumber daya ikan tersebut. Morgan (2008) menyatakan bahwa karakteristik reproduksi, seperti kematangan gonad, nisbah kelamin, dan fekunditas sangat berguna untuk pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Informasi tentang ukuran ikan pertama kali matang gonad diperlukan dalam rangka pengelolaan perikanan yang bertujuan untuk melindungi anak-anak ikan hingga mencapai ukuran dewasa seksual, dan kesalahan dalam penentuan ukuran tersebut dapat berbahaya terhadap stok ikan yang boleh dieksploitasi (Suzuki et al. 2004). Tidak tersedianya data dan informasi aspek-aspek reproduksi ikan lumo menyebabkan upaya pengelolaan ikan tersebut tidak optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung dan mengukur beberapa aspek reproduksi ikan lumo, seperti nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, ukuran pertama kali matang gonad, serta menerangkan tipe pemijahan dan musim pemijahan ikan lumo. Metode Penelitian Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan lumo jantan dan ikan lumo betina. Oleh karena kepentingan mengetahui nisbah kelamin ini adalah untuk menentukan kondisi pemijahan dalam suatu kelompok ikan, maka data yang digunakan adalah data ikan lumo yang akan memijah, yaitu ikan lumo dalam kondisi TKG IV. Sebaran ikan lumo dalam kondisi TKG IV berada pada periode Oktober-Januari, sehingga perhitungan nisbah kelamin hanya mencakup data ikan lumo yang akan memijah pada periode tersebut. Pengamatan perkembangan gonad dilakukan dengan membedah rongga perut ikan menggunakan pisau bedah ataupun gunting untuk selanjutnya dilakukan pengamatan gonadnya. Pengamatan tingkat kematangan gonad ikan secara morfologi dilakukan berdasarkan panduan tingkat kematangan gonad menurut Effendie (1979), seperti yang tertera pada Tabel 7. Untuk menghitung jumlah telur berkaitan dengan penentuan fekunditas ikan digunakan penghitungan dengan cara gravimetrik. Menurut Effendie (1979), cara

48 32 menghitung telur secara gravimetrik dapat dilakukan berdasarkan persamaan sebagai berikut: FT= GG ff gg Keterangan: FT= fekunditas total G= berat gonad (g) f = jumlah telur dalam contoh gonad (butir) g= berat contoh gonad (g). Hubungan antara fekunditas dengan panjang tubuh ikan diketahui berdasarkan persamaan sebagai berikut (Effendie 1979): Keterangan: F=fekunditas L= panjang ikan a dan b = konstanta. F=aL Tabel 7. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad ikan contoh. TKG Betina Jantan I II III IV V Sumber: Effendie (1979) Ovari seperti benang, panjang sampai ke depan rongga tubuh. Gonad tampak jernih dan permukaannya licin. Ukuran ovari lebih besar. Pewarnaan lebih gelap kekuning-kuningan. Telur belum terlihat jelas dengan mata. Ovari berwarna kuning. Secara morfologi telur mulai kelihatan butirnya dengan mata. Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak nampak, mengisi ½-²/ 3 rongga perut, usus terdesak. Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan. Banyak telur seperti pada tingkat II b Testes seperti benang, lebih pendek (terbatas) dan terlihat ujungnya di rongga tubuh. Gonad tampak jernih. Ukuran testes lebih besar. Pewarnaan putih seperti susu. Bentuk lebih jelas daripada tingkat I. Permukaan testes tampak bergerigi. Warna makin putih, testes makin besar. Dalam keadaan diawet mudah putus. Seperti pada tingkat III, tampak lebih jelas. Testes semakin pejal. Testes bagian belakang kempis dan di bagian dekat pelepasan masih berisi. Diameter telur diukur dengan cara mengambil contoh telur dari masingmasing ovari dari bagian anterior, tengah, dan posterior dengan jumlah masingmasing 50 butir. Diameter telur diukur dengan menggunakan mikrometer pada mikroskop. Untuk mengetahui ada tidaknya pengelompokan telur berdasarkan sebaran diameternya, maka dilakukan penentuan dengan menggunakan metode Bhattacharya yang tersedia dalam perangkat lunak FiSAT II (Sparre et al. 1989). Indeks kematangan gonad (IKG) ditentukan dengan cara membandingkan antara berat gonad dengan berat tubuh yang berisi gonad dikalikan seratus persen (Effendie 2002), seperti diutarakan pada persamaan berikut:

49 33 IKG = WWWW WW x 100% Keterangan: IKG= indeks kematangan gonad Wg=bobot gonad W=bobot tubuh Musim pemijahan ikan lumo dianalisis berdasarkan data tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad, dikaitkan dengan bulan pengambilan contoh ikan selama satu tahun. Bulan-bulan ketika banyak ditemukan ikan contoh dalam kondisi TKG IV ataupun IKG yang tinggi merupakan puncak musim pemijahan. Pengaruh beberapa parameter fisika kimia perairan yang berperan terhadap proses pemijahan ikan lumo, dalam hal ini adalah jumlah ikan lumo dalam kondisi TKG IV dan V, dianalisis secara multivariat dengan menggunakan pendekatan analisis komponen utama. Tipe pemijahan ditentukan berdasarkan analisis indeks kematangan gonad dan sebaran diameter telur ikan lumo yang matang gonad. Tipe pemijahan dapat dibedakan atas pemijahan serentak dan pemijahan bertahap (Rahardjo et al. 2011). Jika sebaran diameter telur membentuk satu kelompok maka tipe pemijahan adalah pemijahan serentak, sebaliknya jika membentuk lebih dari satu kelompok maka termasuk pemijahan bertahap. Pemijahan serentak dapat dilihat berdasarkan seluruh himpunan dari oosit yang mengandung kuning telur mengalami ovulasi dengan segera dan telur-telur dilepaskan dalam suatu peristiwa yang khusus atau melewati suatu periode waktu yang pendek, satu atau dua minggu, sebagai bagian dari suatu episode tunggal; sedangkan pemijahan bertahap merujuk pada spesies dimana pada saat pemijahan hanya sebagian dari oosit yang mengandung kuning telur dipijahkan pada masingmasing kumpulan dan biasanya melalui proses hidrasi (Murua & Rey 2003). Rata-rata panjang ikan lumo pertama kali matang gonad atau rata-rata panjang ikan lumo yang telah mencapai matang gonad 50% dihitung dengan formulasi Sperman Karber (Udupa 1986) sebagai berikut: mm = XXXX + XX (XX PPPP) 2 Keterangan: Xk = logaritma nilai tengah terakhir pada saat 100% ikan matang gonad x = Rata-rata selisih logaritma nilai tengah Pi = Proporsi dari ikan yang benar-benar matang gonad pada kelas ke-i Pi =r i /n i, jika n i n i+1 untuk i=1,2,3,,k-1 Pi = ri/n, jika n=n i =n i+1 untuk i=1,2,3,,k-1 ri = Jumlah ikan matang gonad pada kelas ke-i; ni = Jumlah ikan pada kelas ke-i ; qi = 1-pi. Ragam m dapat ditentukan sebagai berikut: - Jika n i n i+1 untuk i=1,2,3,,k-1 Ragam (m) = XX 2 kk PP ii QQ ii ii=1 ; dimana Qi=1-P nn ii 1 - Jika n=n untuk i=1,2,3,,k-1 i=n i+1 XX 2 kk Ragam (m) = [rr nn 2 (nn 1) ii=1 ii(nn rr ii )] Pada selang kepercayaan 95%, maka: mm ± 1,96 rrrrrrrrrr i

50 34 Selanjutnya untuk mengetahui ukuran ikan saat pertama kali matang gonad (L m ) dapat dihitung dengan menggunakan antilog m. Nisbah Kelamin Hasil Nisbah kelamin ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak pada periode Oktober-Desember dalam kondisi seimbang. Sebaliknya pada bulan Januari perbandingan ikan lumo jantan dan ikan lumo betina di Sungai Tulang Bawang tidak seimbang (Tabel 8). Ikan lumo diindikasikan lebih banyak melakukan pemijahan di Bawang Latak dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang. Tabel 8. Variasi temporal nisbah kelamin ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) dalam kondisi TKG IV dan TKG V. Sungai Tulang Bawang Bawang Latak Bulan 2 J B R χ J B R χ 2 Okt ,90 0, ,67 0,80 Nop ,80 4,26* ,74 0,90 Des ,15 0, ,93 0,04 Jan ,62 2, ,88 0,07 Ket.: J=jumlah ikan lumo jantan; B=jumlah ikan lumo betina; R=nisbah kelamin J:B Nilai χ 2 hitung yang lebih kecil dari χ 2 tabel (0,05; 1) = 3,841 menunjukkan bahwa nisbah kelamin adalah 1:1. * nisbah kelamin tidak 1:1 Tingkat Kematangan Gonad Data persebaran jumlah ikan lumo jantan dan ikan lumo betina berdasarkan tingkat kematangan gonad di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak setiap bulan disajikan pada Lampiran 11. Perkembangan tingkat kematangan gonad ikan lumo jantan dan ikan lumo betina memiliki kemiripan pola, baik yang berada di Sungai Tulang Bawang maupun di Bawang Latak (Gambar 17). Perkembangan tingkat kematangan gonad untuk proses pemijahan dimulai menjelang berakhirnya musim kemarau (September). Proses pemijahan yang ditandai dengan banyaknya ikan lumo dalam kondisi TKG IV terjadi pada saat musim hujan, terutama pada bulan November-Desember, dan berakhir pada bulan Januari. Terlihat perbedaan yang jelas bahwa ikan lumo di Bawang Latak yang telah matang gonad (TKG IV) mencapai 90% (jantan) dan 88% (betina) pada bulan November, sedangkan di Sungai Tulang Bawang baru mencapai 35% (jantan) dan 14% (betina). Pada bulan Desember terdapat ikan lumo dalam kondisi TKG V dan jumlahnya meningkat saat bulan Januari. Pada bulan Januari persentase ikan lumo betina yang telah memijah (TKG V) hampir sama antara ikan lumo betina di Bawang Latak (33%) maupun ikan lumo betina di Sungai Tulang Bawang (38%). Demikian pula halnya dengan ikan lumo jantan dalam kondisi TKG V di kedua perairan tersebut, yaitu masing-masing 71% (Bawang Latak) dan 67% (Sungai Tulang Bawang). Selanjutnya pada bulan Februari tidak ditemukan ikan lumo dalam kondisi TKG IV dan V baik di Bawang Latak maupun di Sungai Tulang Bawang.

51 35 Berdasarkan sebaran persentase ikan lumo jantan dan ikan lumo betina dalam kondisi TKG IV dan TKG V yang diamati antara bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014, diketahui bahwa sebagian besar ikan-ikan tersebut ditemukan di perairan Bawang Latak dengan persentase 42,05% untuk ikan lumo jantan dan 48,31% untuk ikan lumo betina (Gambar 18). Gambar 17. Persentase tingkat kematangan gonad ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) Persentase ikan TKG IV-V Jantan Betina 19,63 15,89 15,25 12,71 12,71 12,15 10,28 11,02 48,31 42,05 A B C D E Stasiun Penelitian Gambar 18. Persentase ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) dalam kondisi TKG IV dan V di masing-masing stasiun pengamatan Keterangan: A=Pagar Dewa, B=Rawa Bungur, C=Ujung Gunung, D=Cakat Nyinyik, E= Bawang Latak

52 36 Indeks Kematangan Gonad Indeks kematangan gonad ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak antara bulan Oktober 2013 sampai dengan Januari 2014 tertera pada Gambar 19. Terdapat pola peningkatan nilai IKG pada bulan November dan selanjutnya menurun di bulan berikutnya. Pola tersebut terjadi baik pada ikan lumo betina maupun pada ikan lumo jantan di Sungai Tulang Bawang dan di perairan Bawang Latak, walaupun peningkatan IKG pada ikan lumo jantan tidak sebesar pada ikan lumo betina. Nilai IKG ikan lumo yang hidup di perairan Bawang Latak lebih tinggi daripada IKG ikan lumo di Sungai Tulang Bawang. Gambar 19. Indeks kematangan gonad ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) Fekunditas Fekunditas rata-rata yang diamati dari 51 ekor ikan lumo betina yang berasal dari Sungai Tulang Bawang dan 51 ekor ikan lumo betina dari Bawang Latak dalam kondisi TKG IV berkisar antara butir. Fekunditas rata-rata ikan lumo berdasarkan sebaran panjang total ikan tertera pada Tabel 9. Dari hasil analisis regresi didapatkan persamaan antara fekunditas dengan panjang total ikan betina dalam kondisi TKG IV. Ikan lumo betina yang berasal dari Sungai Tulang Bawang memiliki persamaan log F = 3,653 log L - 4,546; sedangkan ikan lumo betina yang berasal dari Bawang Latak memiliki persamaan log F = 3,982 log L - 5,287 (Gambar 20). Berdasarkan uji t kedua persamaan tersebut memiliki nilai b yang tidak berbeda nyata. Tabel 9. Fekunditas ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) berdasarkan sebaran kelas panjang total selang kelas Sungai Tulang Bawang Bawang Latak panjang n (ekor) F rata-rata (butir) n (ekor) F rata-rata (butir) ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Jumlah 51 51

53 37 Gambar 20. Hubungan fekunditas dan panjang total ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) betina TKG IV di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak (Keterangan : F= fekunditas; L=panjang total) Diameter Telur dan Tipe Pemijahan Sebaran diameter telur ikan lumo yang berasal dari 102 ikan betina dalam kondisi TKG IV bervariasi antara nilai minimum 0,52 mm hingga nilai maksimum sebesar 0,90 mm. Ukuran diameter telur relatif sama antara telur-telur yang berasal dari bagian anterior, tengah, maupun posterior dari ovari. Sebaran diameter telur-telur ikan lumo hanya membentuk satu kelompok, baik pada ikan lumo yang berasal dari Sungai Tulang Bawang maupun ikan lumo yang tertangkap dari perairan Bawang Latak (Gambar 21). Kondisi ini ini mengindikasikan bahwa tipe pemijahan ikan lumo adalah pemijahan serentak. Gambar 21. Sebaran diameter telur ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) Ukuran Ikan Lumo Pertama Kali Matang Gonad Ukuran ikan lumo pertama kali matang gonad tidak berbeda antara ikan lumo yang tertangkap di Sungai Tulang Bawang dengan ikan lumo yang tertangkap di perairan Bawang Latak. Berdasarkan analisis Spearman-Karber (Udupa 1986) seperti yang tertera pada Lampiran, secara teoritis ukuran pertama kali ikan lumo jantan matang gonad antara mm. Adapun ukuran pertama kali matang gonad untuk ikan lumo betina adalah mm (Tabel 10).

54 38 Tabel 10. Ukuran ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) pertama kali matang gonad (mm) Jantan Betina Sungai Tulang Bawang 159±1 162 ±1 Bawang Latak 157±1 160 ±1 Pembahasan Ikan lumo melakukan pemijahan pada saat musim hujan yang berlangsung mulai bulan Oktober hingga Januari yang ditandai dengan adanya ikan lumo jantan dan ikan lumo betina yang sudah mencapai TKG IV dan TKG V (Gambar 18). Kondisi ini bertepatan dengan bertambahnya kedalaman air. Sebagian besar spesies ikan air tawar yang hidup di sungai dataran banjir cenderung melakukan pemijahan pada saat musim hujan berkenaan dengan ketersediaan makanan yang melimpah serta bertambah dalam dan luasnya habitat perairan (Rainboth 1996; Effendie 2002; Song 2007; Nurdawati & Prasetyo 2007; Bakhris et al. 2007; Welcomme 2008; Ernawati et al. 2009a). Hujan yang berlangsung di awal musim penghujan dapat memicu terjadinya ruaya reproduksi dan proses perkembangbiakan ikan-ikan di daerah tropis dan hal tersebut terkait erat dengan kenaikan permukaan air (McConnell 1987; Baran 2006). Ikan lumo yang melakukan pemijahan saat dimulainya musim hujan merupakan fenomena yang umum terjadi pada spesies ikan lainnya yang hidup di sungai dataran banjir, seperti ikan sepatung P. grooti di Sungai Musi (Ernawati et al. 2009a), ikan betok A. testudineus di Sungai Mahakam (Ernawati et al. 2009b), ikan motan Thynnichthyes polylepis di Sungai Kampar Kiri (Bakhris et al. 2007), beberapa ikan di Danau Tonle Sap seperti Clarias batrachus, Colisa fasciatus, Helostoma temmincki, Heteropneustes tassilis, Henicorhynchus lobatus, Cirrhinus jullieni (Song 2007), Labiobarbus leptocheilus, Labiobarbus lineatus, dan Labiobarbus siamensis (Rainboth 1996), beberapa ikan Cyprinid di Sungai Mekong, yaitu Barbonymus gonionotus, Cyclocheilichthys enoplos, Mekongina erythrospila, dan Paralaubuca typus (Baran 2006), serta ikan Capoeta capoeta umbla di Sungai Karasu Turki (Türkmen et al. 2002). Pada bulan November ikan lumo jantan dan ikan lumo betina di Bawang Latak yang telah matang gonad (TKG IV) mencapai 90%, sedangkan di Sungai Tulang Bawang baru mencapai 30% (jantan) dan 10% (betina). Kondisi ini menunjukkan bahwa pemijahan yang berlangsung di Bawang Latak telah berlangsung lebih dahulu. Ikan lumo yang tertangkap di Sungai Tulang Bawang diduga tidak memijah di sungai tersebut, tetapi memijah di sekitar rawa banjiran yang ada di sekitar Sungai Tulang Bawang. Ikan lumo yang tertangkap jaring insang di Sungai Bawang Latak sebagian besar menghadap ke arah rawa banjiran yang ada di sekitar stasiun pengamatan dan hal ini mengindikasikan bahwa ikan-ikan tersebut akan menuju rawa banjiran untuk memijah. Ikan lumo diindikasikan lebih banyak melakukan proses pemijahan di perairan Bawang Latak. Ikan lumo yang tertangkap selama periode pemijahan antara Oktober hingga Januari sebagian besar berasal dari Bawang Latak. Kondisi perairan Bawang Latak yang relatif tenang dan bervariasi kedalamannya pada saat banjir dibandingkan dengan Sungai Tulang Bawang dapat menciptakan beragam-

55 nya habitat bagi organisme akuatik. Genangan air yang meluas, dangkal, berarus tenang, dan keberadaan berbagai jenis vegetasi air (Lampiran 1), merupakan habitat yang sesuai bagi anak-anak ikan untuk berlindung dan mencari makan. Suzuki et al. (2004) menyatakan bahwa sebagian besar ikan-ikan berukuran kecil dan sedang di Sungai Paraná melakukan pemijahan di perairan lentik ataupun semilotik di dataran banjir; sedangkan ikan-ikan peruaya memijah di perairan lotik dan menjadikan perairan lentik di dataran banjir sebagai tempat asuhan anak-anak ikan, tempat mencari makan, dan daerah pemulihan. Bagian perairan Bawang Latak yang jauh dari Sungai Way Miring memiliki arus yang relatif tenang serupa dengan habitat ikan lumo di Danau Teluk di Jambi (Nurdawati 2010), Danau Cala di Sumatera Selatan (Nurdawati & Prasetyo 2007), serta Danau Sabuah dan Danau Tundai di Kalimatan Selatan (Torang & Buchar 2000), yang seluruhnya merupakan danau tapal kuda di sungai dataran banjir. Karakteristik perairan Danau Teluk yang dangkal dengan populasi tumbuhan air yang tinggi merupakan habitat yang sesuai untuk ikan lumo, sehingga ikan tersebut merupakan salah satu spesies yang dominan pada saat musim hujan (Nurdawati 2010). Selanjutnya Nurdawati & Prasetyo (2007) menjelaskan bahwa ikan lambak muncung atau lumo juga hidup di habitat perairan hutan rawa Danau Cala pada saat musim kemarau dan juvenil ikan ini memanfaatkan perairan tersebut sebagai habitat pembesarannya pada saat musim hujan. Puncak pemijahan ikan lumo diperkirakan terjadi pada bulan November dan Desember. Pada saat itu nilai IKG tertinggi dan kemudian menurun di bulan berikutnya. Effendie (2002) menyatakan bahwa IKG akan semakin meningkat nilainya dan akan mencapai batas maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Berdasarkan sebaran nilai IKG yang memiliki satu puncak saja maka ikan lumo hanya memijah satu kali dalam setahun. Berdasarkan persamaan hubungan fekunditas dan panjang total ikan lumo betina yang tidak berbeda nyata antara ikan lumo betina yang tertangkap di Sungai Tulang Bawang dan di perairan Bawang Latak, maka diprediksi bahwa ikan lumo betina yang tertangkap di Sungai Tulang Bawang memiliki potensi rekrutmen yang sama dengan ikan lumo di perairan Bawang Latak. Terdapat korelasi antara fekunditas ikan lumo dengan panjang totalnya, sehingga panjang total ikan lumo betina dapat dijadikan penduga fekunditasnya. Ikan lumo betina saat pertama kali matang gonad (160±1 mm) diprediksi memiliki fekunditas sebesar butir telur. Kondisi ini mendekati fekunditas sebenarnya pada ikan lumo contoh yang berukuran 160 mm yang memiliki fekunditas butir telur. Ukuran ikan lumo pertama kali matang gonad yang diestimasi berdasarkan Udupa (1986) mendekati kondisi sebenarnya di perairan untuk ikan lumo betina dan ikan lumo jantan. Ukuran terkecil ikan lumo betina yang tertangkap dalam kondisi TKG IV adalah 158 mm, sedangkan ukuran terkecil ikan lumo jantan matang gonad (TKG IV) adalah 155 mm. Ukuran ikan lumo betina pertama kali matang gonad yang lebih besar daripada ikan lumo jantan berhubungan dengan laju pertumbuhan ikan lumo betina yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan lumo jantan. Berdasarkan model pertumbuhan von Bertalanffy diduga umur ikan lumo betina saat pertama kali matang gonad adalah 3,1 bulan, sedangkan umur ikan lumo jantan sekitar 3,3 bulan. Menurut Suzuki et al. (2004) pada umumnya ukuran ikan betina saat pertama kali matang gonad memang lebih besar daripada ikan jantan. 39

56 40 Ukuran ikan lumo pertama kali matang gonad lebih kecil dibandingkan dengan ikan lelan Osteochilus vittatus, ikan sasau Hampala sp, dan lalawak Barbodes balleroides. Menurut Uslichah & Syandri (2003) ukuran ikan O. vittatus pertama kali matang gonad di Danau Singkarak adalah 182,18-202,35 mm (betina) dan 145,00-165,25 mm (jantan); sedangkan Hampala sp berukuran mm (betina) dan 200,84-231,67 mm (jantan) pada saat pertama kali matang gonad. Adapun ikan lalawak jantan dan ikan lalawak betina dapat mencapai kematangan gonad pertama kali pada saat berukuran 193 mm (Rahardjo & Sjafei 2004). Data dan informasi ini dapat bermanfaat untuk kepentingan pengelolaan sumber daya ikan yang sifatnya multiple spesies, dimana prioritas pengelolaan tentunya ditujukan pada spesies yang terancam. Tipe pemijahan ikan lumo yang berupa pemijahan serentak merupakan salah satu strategi pemijahan untuk memaksimumkan jumlah anak-anak ikan yang dihasilkan dengan memanfaatkan datangnya musim hujan. Dengan fekunditas yang tinggi, seluruh telur dikeluarkan saat ikan memijah untuk menghasilkan anak-anak ikan yang banyak dan memiliki peluang hidup yang lebih baik karena ketersediaan makanan yang melimpah, daerah asuhan yang meluas saat banjir, ataupun kematian akibat predasi. Ikan air tawar yang memiliki tipe pemijahan serentak seperti ikan lumo antara lain adalah Osteochilus vittatus (Uslichah & Syandri 2003), ikan motan Thynnichthys polylepis (Bakhris et al. 2007), ikan sepatung Pristolepis grootii (Ernawati et al. 2009a), Henicorhynchus lobatus dan Cirrhinus jullieni (Song 2007). Simpulan Nisbah kelamin ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak pada saat menjelang pemijahan relatif seimbang. Tipe pemijahan ikan lumo adalah pemijahan serentak. Pemijahan berlangsung pada musim hujan dengan puncak pemijahan pada bulan November-Desember yang selaras dengan naiknya permukaan air. Ikan lumo lebih banyak melakukan pemijahan di Bawang Latak. Ukuran ikan lumo jantan saat pertama kali matang gonad adalah 157±1 mm dan pada ikan betina 160 ±1 mm. Fekunditas rata-rata ikan lumo bervariasi antara butir telur dan fekunditas tersebut berkorelasi dengan ukuran panjang total ikan.

57 41 6. PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LUMO Pendahuluan Perbedaan curah hujan antara musim kemarau dan musim hujan menyebabkan terjadinya fluktuasi parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang dan rawa-rawa banjiran di sekitar sungai tersebut, termasuk di Bawang Latak. Parameter fisika kimia perairan di Sungai Tulang Bawang yang berbeda antara musim kemarau dan musim hujan, terutama dalam hal kedalaman, arus, ph, oksigen terlarut, padatan tersuspensi total, fosfat, bahan organik total, dan kecerahan, lebih signifikan dibandingkan dengan di perairan Bawang Latak. Kondisi ini menyebabkan persebaran ikan lumo lebih banyak terdapat di Bawang Latak. Faktorfaktor lingkungan yang penting, seperti ph, suhu perairan, dan oksigen terlarut masih dalam batas normal untuk mendukung kehidupan ikan lumo, sehingga memungkinkan ikan lumo hidup dalam kondisi yang optimum dan pertumbuhannya tidak terganggu. Keberadaan ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak dalam kondisi relatif yang tidak berbeda pada saat faktor-faktor lingkungan perairan berfluktuasi menunjukkan bahwa perairan tersebut merupakan habitat yang sesuai bagi ikan lumo. Ikan lumo termasuk jenis ikan yang bersifat oportunistik dalam hal habitat dengan mengambil manfaat ketika ketersediaan habitat meluas saat banjir dan berlindung dari arus yang kuat. Ikan lumo lebih menyukai habitat dengan arus yang tidak terlalu kuat, kecerahan yang lebih dalam, dan suhu yang relatif lebih hangat. Keberadaan ikan lumo di perairan Bawang Latak yang lebih banyak dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang membuktikan hal tersebut. Perairan Bawang Latak yang memiliki kisaran kedalaman dan tingkat kecerahan yang bervariasi lebih disukai oleh ikan lumo dibandingkan dengan sungai utamanya. Dengan kondisi fisik yang relatif baik, ikan lumo yang telah mencapai ukuran dewasa seksual, gonadnya dapat berkembang ke tahap pematangan gonad. Hal ini dialami oleh ikan lumo yang hidup di Sungai Tulang Bawang yang berarus deras maupun di Bawang Latak yang relatif lebih tenang. Selanjutnya ikan lumo yang telah mencapai TKG IV melakukan pemijahan yang berlangsung saat musim hujan dan dipicu oleh naiknya permukaan air. Saat memijah ikan lumo juga lebih memilih perairan yang berarus tenang, seperti halnya di Bawang Latak, dibandingkan dengan di Sungai Tulang Bawang yang berarus deras. Kondisi ini merupakan hal yang sering ditemukan pada beberapa spesies ikan yang hidup di sungai dataran banjir dan memijah di rawa banjiran saat musim hujan berkenaan dengan bertambah dalam dan luasnya perairan tersebut. Menjelang dan saat pemijahan berlangsung, nisbah kelamin ikan lumo dalam kondisi seimbang. Hal ini dapat menjamin keberhasilan proses pemijahan, sehingga regenerasi dapat berlangsung dengan baik. Pemijahan ikan lumo yang dilakukan serentak juga merupakan strategi untuk mengoptimumkan masa naiknya permukaan air, sehingga anak-anak ikan yang menetas memiliki peluang hidup yang lebih baik karena ketersediaan makanan yang melimpah dan daerah asuhan yang meluas di Bawang Latak. Beberapa hasil kajian ekobiologi ikan lumo yang sudah diuraikan sebelumnya dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pengelolaan sumber daya ikan

58 42 lumo di Sungai Tulang Bawang dan rawa-rawa banjiran di sekitarnya. Beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut: - Beberapa parameter fisika kimia perairan Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak yang penting untuk mendukung kehidupan organisme perairan masih dalam batas normal, kecuali padatan tersuspensi total. - Parameter pertumbuhan von Bertalanffy ikan lumo gabungan (tanpa membedakan jenis kelamin) adalah sebagai berikut: K=5,4 per tahun, L = 203 mm, dan t 0 = -0,22 bulan. Parameter pertumbuhan tersebut dapat digunakan untuk menentukan status pemanfaatan sumber daya ikan lumo. - Ukuran ikan lumo saat pertama kali matang gonad adalah 157±1 mm (jantan) dan 160±1 mm (betina). - Ikan lumo memijah secara serentak pada saat dimulainya musim hujan; pemijahan berlangsung selama bulan Oktober hingga Januari dengan puncak pemijahan pada bulan November-Desember. - Pemijahan ikan lumo berlangsung di perairan rawa banjiran Bawang Latak. Ancaman Walaupun kisaran parameter fisika kimia perairan Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak masih mendukung ikan lumo untuk tumbuh dengan baik dan bereproduksi, namun terdapat beberapa potensi ancaman terhadap kelestarian ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak yang apabila tidak dikelola dengan baik dapat menyebabkan kerusakan sumber daya ikan tersebut. Kegiatan antropogenik di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Tulang Bawang dapat menyebabkan gangguan terhadap populasi ikan, termasuk ikan lumo. Selain karena hutan sudah terdegradasi dan rawa-rawa mengalami penurunan (Noor et al. 1994), kondisi sumber daya ikan di Sungai Tulang Bawang diperkirakan sudah mengalami tekanan akibat berbagai kegiatan penangkapan ikan yang merusak (Yudha 2011). Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan, sehingga perlu dilakukan upayaupaya pengelolaan agar sumber daya ikan di perairan umum daratan tidak mengalami kepunahan. Sumber daya ikan lumo di perairan umum Tulang Bawang diindikasikan telah mengalami penurunan, baik jumlah maupun ukuran ikan yang semakin mengecil. Pengamatan yang dilakukan di Pasar Menggala selama periode penelitian menunjukkan bahwa ikan lumo yang dijual lebih banyak berukuran kecil (kurang dari 150 mm) dan jarang ditemukan ikan lumo yang berukuran besar (lebih dari 180 mm). Ukuran ikan lumo yang tertangkap semakin mengecil dapat mengindikasikan terjadi tangkap lebih, dimana hasil tangkapan ikan tersebut telah melebihi hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Berdasarkan hasil analisis mortalitas dengan menggunakan perangkat lunak FISAT II terhadap data frekuensi panjang ikan lumo dan parameter pertumbuhan ikan lumo gabungan (K=5,4 per tahun; L = 203 mm; t 0 = -0,22 bulan) diperoleh gambaran bahwa tingkat pemanfaatan sumber daya ikan lumo telah mengalami tangkap lebih dengan nilai E=0,66 (Gambar 22). Menurut Sparre et al. (1989) laju eksploitasi (E) merupakan indeks yang menggambarkan tingkat pemanfaatan stok di suatu perairan; nilai E=0,50 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan stok maksimal dan E>0,50 menunjukkan tingkat pemanfaatan stok sudah mengalami tangkap lebih.

59 43 Gambar 22. Kurva penangkapan ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) yang dikonversi dari panjang Tingkat pemanfaatan sumber daya ikan lumo yang sudah mengalami tangkap lebih tidak terlepas dari adanya penggunaan alat tangkap yang tidak selektif dan merusak. Kegiatan penangkapan ikan di Sungai Tulang Bawang banyak dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan berbagai alat tangkap, yaitu pancing, jaring insang, anco, bubu, jala lempar, dan jaring togok (Gambar 23). Jaring togok merupakan alat tangkap yang berbahan waring berukuran mata jaring kecil (sekitar 2 mm 2 ) yang dipasang menetap di tepi sungai. Oleh karena bermata jaring kecil, jaring togok dapat memerangkap ikan-ikan kecil yang keluar dari anak-anak sungai menuju ke Sungai Tulang Bawang ketika rawa-rawa mulai mengering. Ikan-ikan berukuran kecil yang berharga mahal, seperti seluang, akan dijual; sedangkan anak-anak ikan lainnya yang tertangkap akan dibiarkan mati di dalam jaring tersebut hingga membusuk untuk digunakan sebagai pakan ikan baung, toman, dan gabus yang dipelihara dalam keramba apung. Jaring togok banyak dioperasikan di bagian pinggir Sungai Tulang Bawang oleh nelayan setempat justru pada saat anak-anak ikan beruaya ke Sungai Tulang Bawang yang puncaknya berlangsung antara bulan Mei-Juni. Pada saat itu perairan pinggir Sungai Tulang Bawang merupakan alur ruaya anak-anak ikan bergerak menentang arus menuju ke arah hulu. Oleh karena jaring togok dioperasikan dengan cara menetap selama berhari-hari di perairan maka alat tangkap tersebut selalu memerangkap anak-anak ikan yang beruaya ke sungai utama tersebut dalam jumlah yang relatif besar. Seringkali anak-anak ikan yang terperangkap dibiarkan mati dan membusuk di dalam jaring tersebut (Gambar 24). Penggunaan alat setrum ikan (electro fishing) dan racun ikan juga banyak dilakukan di Sungai Tulang Bawang oleh nelayan setempat. Ikan-ikan yang menjadi target utama alat tangkap ini sebenarnya adalah ikan-ikan yang berukuran besar dan bernilai ekonomis. Pada saat dioperasikan justru lebih banyak membunuh anak-anak ikan dan ikan-ikan berukuran kecil yang bukan menjadi target penangkapan.

60 44 Gambar 23. Berbagai metode penangkapan ikan di Sungai Tulang Bawang (a, b, d) dan Bawang Latak (c). Keterangan : a. anco, b. jaring insang, c & d. jaring togok Gambar 24. Anak-anak ikan yang mati terperangkap dalam jaring togok dan dibiarkan membusuk

61 45 Di Bawang Latak tidak ada nelayan yang menggunakan racun dan alat setrum ikan. Nelayan di Bawang Latak mengoperasikan jaring togok untuk menangkap berbagai jenis ikan air tawar, termasuk ikan lumo. Pada saat musim hujan banyak ikan lumo yang tertangkap, tetapi saat banjir mulai meluas di bulan Januari jumlah hasil tangkapan menurun karena ikan-ikan menjadi sulit untuk ditangkap. Ada juga nelayan yang menangkap ikan dengan cara yang merusak, yaitu dengan menggunakan arus listrik dan racun. Penggunaan arus listrik untuk menangkap ikan di Sungai Tulang Bawang dilakukan dengan generator listrik yang dihubungkan dengan mesin kapal sehingga menghasilkan arus listrik yang besar, yaitu sekitar ampere. Adapun penggunaan racun dan arus listrik bertenaga baterai aki hanya dilakukan di rawa-rawa ataupun anak sungai yang dangkal. Metode penangkapan ikan yang juga banyak berkembang di rawa-rawa dan di tepian sungai yang terdapat di sekitar Sungai Tulang Bawang adalah sistem bolak (Gambar 25). Bolak adalah lubang galian yang dibuat oleh masyarakat setempat yang menyerupai saluran air dengan kedalaman sekitar 1 m, lebar 2 m, dan panjang antara m. Pada saat musim banjir bolak-bolak tersebut berisi air dan menyatu dengan rawa-rawa. Ketika air menyusut dan rawa-rawa mulai mengering, air di dalam bolak tetap ada dan ikan-ikan berkumpul di dalamnya sehingga dengan mudah ditangkap. Dalam satu kali musim banjir rata-rata pemilik bolak dapat menangkap ikan minimal kg. Bolak yang dibangun di tepi Sungai Tulang Bawang dapat menjadi perangkap bagi anak-anak ikan dan ikan dewasa saat air di rawa-rawa banjiran mulai surut dan ikan-ikan tersebut berupaya melakukan ruaya ke sungai utama. Ikan-ikan yang akan beruaya menuju sungai utama tertahan di saluran bolak dan terperangkap di dalamnya, sehingga dapat mengalami kematian akibat predasi, menurunnya kualitas air, ataupun tertangkap oleh nelayan. Gambar 25. Bolak yang dibangun di tepi sungai

62 46 Usaha budi daya ikan yang sudah berkembang di Sungai Tulang Bawang adalah pembesaran ikan dalam keramba apung. Keramba ini terbuat dari bambu yang dilengkapi dengan pelampung dari drum (Gambar 26). Jenis-jenis ikan yang dipelihara adalah ikan baung (Hemibagrus nemurus), toman (Chana micropeltes), dan gabus (Channa striata). Ikan-ikan tersebut memiliki harga jual yang tinggi, terutama jika dijual dalam keadaan hidup. Pakan yang digunakan selama masa pemeliharaan adalah ikan rucah ataupun anak-anak ikan yang ditangkap dari Sungai Tulang Bawang ataupun rawa-rawa di sekitarnya. Gambar 26. Keramba apung di Sungai Tulang Bawang Masalah lainnya yang menjadi potensi ancaman bagi kelestarian ikan-ikan lokal, termasuk juga ikan lumo, di Sungai Tulang Bawang dan perairan sekitarnya adalah keberadaan ikan nila (Oreochromis niloticus). Ikan tersebut hidup dan berkembang biak dengan baik di Sungai Tulang Bawang maupun di Bawang Latak. Ikan ini banyak tertangkap dan dijual di Pasar Menggala setiap harinya hingga dapat mencapai 30-50% dari total komoditas ikan yang dijual. Keberadaan ikan nila di perairan Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak berasal dari kegiatan penebaran ikan tersebut oleh pemerintah daerah sekitar tahun dalam rangka meningkatkan produksi ikan. Oleh karena ikan nila termasuk omnivora maka keberadaannya di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak dapat berpotensi mengancam kelestarian ikan lumo dalam hal persaingan makanan. Ikan nila juga termasuk jenis ikan yang memiliki sifat penguasaan wilayah sehingga berpotensi dapat mempersempit ruang gerak ikan lumo. Wargasasmita (2005) telah menyebutkan beberapa kasus introduksi spesies ikan asing yang menyebabkan penurunan keanekaragaman ikan asli di berbagai negara. Beberapa ikan introduksi mampu memenangkan persaingan dengan ikan asli, sehingga populasi ikan asli menurun bahkan musnah sama sekali. Salah satu spesies ikan introduksi yang telah menyebabkan kepunahan beberapa ikan endemik di Indonesia adalah ikan mujair O. mossambicus (Kottelat et al. 1993; Wargasasmita 2005). Degradasi lingkungan daratan yang terjadi di sepanjang DAS Tulang Bawang akibat pembukaan lahan telah menyebabkan menurunnya kualitas air di Su-

63 47 ngai Tulang Bawang dan perairan Bawang Latak. Tingginya material erosi yang mengalir dari bagian hulu Sungai Tulang Bawang berdampak pada peningkatan padatan tersuspensi total di sungai tersebut yang selanjutnya dapat mengganggu kehidupan organisme akuatik. Partikel-partikel tersuspensi yang berukuran kecil dapat menyebabkan kekeruhan di air dan merusak epithelium insang, mengganggu proses respirasi dan pertukaran ion, membatasi penglihatan ikan, mengurangi efisiensi pemangsaan dan menghindari predator (Beamish et al. 2012). Di sisi lain terjadi pula sedimentasi dan pendangkalan pada beberapa ekosistem rawa banjiran, termasuk di perairan Bawang Latak. Selain sedimentasi, perairan Bawang Latak juga mengalami gangguan akibat melimpahnya eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang termasuk gulma air yang invasif. Pengelolaan Upaya pengelolaan ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan Bawang Latak dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh yang meliputi aspek persebaran ikan, pertumbuhan, dan reproduksi. Beberapa permasalahan yang sudah dikemukakan sebelumnya dapat dijadikan dasar untuk usulan rencana pengelolaan ikan lumo tersebut, seperti degradasi habitat, penggunaan alat penangkap ikan yang merusak, ataupun peraturan dan kelembagaan yang ada. Pada dasarnya upaya pengelolaan sumber daya ikan lumo dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan, seperti pelarangan penggunaan metode penangkapan ikan yang merusak, penutupan masa penangkapan ikan pada saat musim pemijahan, penutupan daerah perikanan di daerah pemijahan dan pembesaran ikan, serta perlindungan anak ikan atau ikan yang belum dewasa. Selain itu diperlukan pula berbagai upaya untuk memperbaiki kualitas lingkungan perairan yang mengalami degradasi. Oleh karena penggunaan jaring togok, setrum ikan, dan racun dapat membahayakan kelestarian ikan lumo dan jenis-jenis ikan lainnya, maka sudah selayaknya alat-alat tangkap tersebut dilarang digunakan. Himbauan untuk tidak menggunakan alat tangkap tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah daerah melalui berbagai penyuluhan dan papan peringatan tentang larangan penggunaan setrum dan racun untuk menangkap ikan (Gambar 27). Namun demikian tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah menyebabkan masih banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap yang merusak tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan penegakkan hukum yang lebih tegas lagi. Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang melalui Dinas Kelautan dan Perikanan juga telah membentuk Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokwasmas) Gattau Tejang Wilayah Menggalau, Bakung, Gedung Aji dan Penawar pada tahun Kelompok masyakat pengawas ini bertugas untuk memantau dan mencegah terjadinya pelanggaran tersebut sekaligus menyadarkan masyarakat lainnya untuk tidak menggunakan alat tangkap yang merusak. Beberapa kasus pelanggaran juga sudah pernah ditangani oleh pihak kepolisian. Namun demikian penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang merusak masih terjadi. Penutupan masa penangkapan ikan pada saat musim pemijahan merupakan salah satu bentuk pengelolaan untuk menjamin agar ikan lumo mendapat kesempatan untuk berpijah, sehingga proses rekrutmennya tidak terganggu. Sesudah musim pemijahan diperkirakan berakhir, barulah penangkapan ikan lumo diperbolehkan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak merusak agar anak-anak ikan yang menetas pada musim pemijahan tersebut tidak tertangkap ataupun mati.

64 48 Penutupan masa penangkapan ikan lumo dilakukan pada saat berlangsungnya musim pemijahan, yaitu antara bulan Oktober hingga Januari. Penutupan masa penangkapan ikan dapat diperluas hingga menjelang masa pembesaran anak-anak ikan berakhir, sehingga anak-anak ikan lumo memiliki kemampuan untuk melakukan ruaya menuju ke Sungai Tulang Bawang. Gambar 27. Himbauan penangkapan ikan yang tidak merusak Untuk melindungi kepastian rekrutmen ikan lumo dapat dilakukan dengan menutup suatu area sebagai tempat penangkapan ikan. Suatu wilayah perairan yang diperkirakan merupakan lokasi pemijahan ikan dan atau tempat pembesaran ikan dapat dinyatakan tertutup bagi penangkapan ikan. Sebagai lokasi pemijahan ikan lumo, perairan Bawang Latak dapat ditetapkan sebagai daerah yang bebas dari penangkapan ikan. Penutupan ini hanya diberlakukan sementara selama musim pemijahan yang berlangsung antara bulan Oktober hingga Januari. Anak ikan ataupun ikan lumo yang belum dewasa perlu dilindungi dari tekanan akibat penangkapan ataupun degradasi habitat perairan. Melalui pelarangan penangkapan ikan yang merusak, penutupan masa penangkapan ikan yang diperpanjang hingga masa pembesaran anak-anak ikan, ataupun kegiatan penutupan daerah penangkapan ikan di lokasi pemijahan, sebenarnya sudah merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk melindungi anak ikan ataupun ikan yang belum dewasa. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan menentukan ukuran ikan lumo yang diperbolehkan untuk ditangkap, yaitu lebih besar dari ukuran ikan tersebut saat pertama kali matang gonad. Tujuannya adalah agar ikan lumo memiliki kesempatan untuk melakukan pemijahan minimal sekali dalam masa hidupnya sebelum tertangkap. Ukuran ikan lumo jantan yang diperbolehkan untuk ditangkap minimal berukuran 157 mm dan untuk ikan lumo betina adalah 160 mm. Oleh karena ikan lumo sulit dibedakan antara ikan jantan dan betina secara langsung, maka batas minimal ukuran ikan lumo yang boleh ditangkap dapat ditentukan berdasarkan batas ukuran ikan lumo betina, yaitu 160 mm.

65 49 Penentuan ukuran mata jaring yang digunakan untuk menangkap ikan lumo yang berukuran di atas 160 mm harus lebih besar dari 1¾, dengan pertimbangan sebagai berikut: Alat tangkap yang digunakan adalah jaring insang dan posisi ikan lumo saat tertangkap oleh jaring insang dalam keadaan wedged, yaitu terjerat pada bagian badan ikan hingga mata jaring melingkari badannya sampai di bagian depan sirip punggung. Ikan lumo dengan panjang total 160 mm memiliki tinggi badan rata-rata 42,5 mm atau 1,67. Tinggi bukaan mata jaring disesuaikan dengan ukuran tinggi badan. Dengan asumsi jaring yang digunakan memiliki hanging ratio 30% maka mata jaring 1¾ memiliki tinggi bukaan mata jaring 1,67 dan lebar bukaan mata jaring 0,53 (Lampiran 13). Ukuran mata jaring tersebut dapat menangkap ikan lumo yang berukuran 160 mm, sehingga ukuran mata jaring yang digunakan harus lebih besar dari 1¾. Menurut Sparre et al. (1989) perubahan ukuran mata jaring dapat menyebabkan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) berbeda; semakin besar ukuran mata jaring yang digunakan menyebabkan ikan yang tertangkap semakin besar, dan hal ini dapat menghasilkan nilai MSY yang lebih tinggi. Kondisi yang demikian dapat berdampak pada upaya penangkapan ikan yang lebih berkelanjutan. Dengan memasukkan data ukuran panjang ikan pertama kali tertangkap (Lc), L, K, dan M dalam analisis ujung pisa u (knife edge) diperoleh kurva Y /R relatif dan B /R relatif (Gayanilo et al. 2005). Dengan menggunakan perangkat lunak FISAT II, hubungan antara Y /R relatif dan B /R relatif ikan lumo saat laju eksploitasi maksimum (E max ) dapat dianalisis (Gambar 28). Gambar 28. Biomassa per penambahan baru (B /R) dan hasil tangkapan per penambahan baru (Y /R) saat laju eksploitasi maksimum pada kondisi simulasi panjang ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843) yang tertangkap berukuran 90 mm (a) dan 160 mm (b). Ikan lumo yang banyak tertangkap oleh nelayan berukuran sekitar 90 mm. Ikan lumo dengan panjang 90 mm dapat tertangkap oleh jaring togok yang bermata jaring kecil. Apabila dalam pengelolaan sumber daya ikan lumo telah ditetapkan ukuran ikan lumo yang boleh ditangkap lebih besar dari 160 mm, maka diharapkan kelestarian ikan lumo dapat lebih baik. Berdasarkan simulasi pada Gambar 28 diketahui bahwa peningkatan ukuran ikan lumo yang tertangkap (Lc) dari 90 mm menjadi 160 mm dapat meningkatkan hasil tangkapan per penambahan baru (Y /R) relatif dari 0,123 menjadi 0,183, sehingga MSY meningkat sekitar

66 50 48,8%. Adapun biomassa per penambahan baru (B /R) relatif menurun 20,7% menjadi 5,7% dari biomassa awal atau biomassa virgin (Bv; biomassa jika tidak ada penangkapan). Laju eksploitasi maksimum (E max ) juga mengalami peningkatan dari 0,61 per tahun menjadi 0,93 per tahun. Peningkatan nilai E max tersebut sejalan dengan meningkatnya ambang batas penangkapan maksimum lestari, F MSY, dan nilai Y /R relatif saat E max merupakan hasil tangkapan maksimum lestari per rekrut (MSY/R). Peningkatan MSY/R tentu saja berdampak terhadap kelestarian sumber daya ikan lumo. Upaya perbaikan habitat perairan dapat dilakukan secara terintegrasi melalui perbaikan kualitas lingkungan di sekitar lokasi penelitian maupun sepanjang DAS Tulang Bawang, terutama di daerah hulu. Tutupan lahan di sekitar DAS merupakan peranan kunci dalam pengendalian respon hidrologi (Ghaffari et al. 2010), sehingga perubahan tutupan lahan dapat menyebabkan perubahan aliran permukaan dan terjadinya erosi (Tu 2009). Kandungan material erosi yang masuk ke badan air akan berkurang apabila lingkungan di daerah aliran sungai mengalami perbaikan. Untuk itu perlu dilakukan rehabilitasi ataupun konservasi lahan di DAS Tulang Bawang. Beberapa upaya konservasi yang dapat mengurangi erosi dan aliran permukaan antara lain penerapan strip rumput di lahan pertanian, pertanian kontur, pemberian mulsa sisa tanaman, dan agroforestri (Yuan et al. 2009) Terkait dengan melimpahnya eceng gondok di perairan Bawang Latak yang dapat menurunkan kualitas perairan rawa-rawa tersebut, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengatasinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pengambilan eceng gondok dari perairan secara mekanis. Apabila perairan Bawang Latak sudah bersih dari eceng gondok, maka diupayakan agar di perairan tersebut tidak lagi tumbuh eceng gondok yang melimpah. Untuk itu perlu adanya pelibatan kelompok nelayan setempat untuk menjaga perairan Bawang Latak yang bebas dari pelimpahan eceng gondok. Secara garis besar, upaya pengelolaan sumber daya ikan lumo dijelaskan pada Gambar 29. Agar pemanfaatan sumber daya ikan lumo di Sungai Tulang Bawang dan perairan sekitarnya dapat berkelanjutan, maka diharapkan upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah, masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, ataupun pihak swasta berperan aktif dan saling bersinergi untuk dapat mewujudkannya.

67 51 ANCAMAN DAMPAK UPAYA PENGELOLAAN HASIL YANG DIHARAPKAN TUJUAN Penggunaan metode dan alat tangkap yang merusak Tangkap lebih Mengganggu proses rekrutmen Larangan penggunaan metode dan alat tangkap yang merusak Ukuran ikan lumo yang tertangkap belum matang gonad Mengurangi jumlah induk ikan Kapasitas reproduksi menurun Penentuan ukuran ikan lumo yang boleh ditangkap (min 160 mm) Penentuan ukuran mata jaring yang diperbolehkan (lebih besar dari 1¾ ) Pemanfaatan sumber daya ikan lumo yang berkelanjutan Penangkapan saat musim pemijahan Proses pemijahan terganggu Penutupan masa penangkapan ikan saat musim pemijahan (Oktober-Januari) Sumber daya ikan lumo lestari Degradasi habitat Ketidaksesuaian habitat perairan untuk mendukung proses kehidupan ikan lumo Rehabilitasi dan konservasi lahan di DAS Tulang Bawang Pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan Habitat ikan lumo terjaga baik Gambar 29. Upaya pengelolaan ikan lumo, L. ocellatus (Heckel, 1843)

68 52 7. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan kajian pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo ini dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Persebaran ikan lumo lebih banyak terdapat di Bawang Latak daripada di Sungai Tulang Bawang. 2. Pertumbuhan ikan lumo jantan dan ikan lumo betina adalah allometrik positif. 3. Faktor kondisi relatif ikan lumo tidak berbeda antara musim kemarau dan musim hujan. Faktor kondisi tersebut juga tidak berbeda antara ikan lumo yang hidup di Sungai Tulang dengan ikan lumo yang hidup di Bawang Latak. 4. Fekunditas rata-rata ikan lumo bergantung pada panjangnya dan bervariasi antara butir. 5. Ikan lumo termasuk ikan dengan tipe pemijahan serentak yang memijah pada saat dimulainya musim hujan dan dipicu oleh naiknya permukaan air. Puncak pemijahan terjadi pada bulan November-Desember di perairan Bawang Latak. 6. Ukuran ikan lumo jantan saat pertama kali matang gonad adalah 157±1 mm dan ikan lumo betina 160±1 mm. 7. Degradasi habitat dan berbagai metode penangkapan ikan yang merusak berpotensi menyebabkan kelestarian ikan lumo terganggu. Saran Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan lumo disarankan agar pemanfaatan sumber daya ikan tersebut tidak menggunakan alat penangkapan ikan yang merusak, menggunakan alat tangkap yang selektif seperti jaring insang dengan ukuran mata jaring lebih besar dari 1¾ inci, penentuan ukuran ikan lumo yang boleh ditangkap lebih besar dari 160 mm, penutupan masa penangkapan ikan pada saat puncak musim pemijahan lumo antara bulan Oktober-Januari di Bawang Latak, serta perbaikan lingkungan DAS Tulang Bawang melalui rehabilitasi lahan serta penerapan konservasi tanah dan air pada kegiatan pertanian lahan kering.

69 53 DAFTAR PUSTAKA Abdurahiman KP, Harishnayak T, Zacharia PU, Mohamed KS Lengthweight relationship of commercially important marine fishes and shellfishes of the southern coast of Karnataka, India. Naga 27 (1&2): 9-14 Adjie S, Utomo AD Karakteristik habitat dan sebaran jenis ikan di Sungai Kapuas bagian tengah dan hilir. Bawal 3(5): Agostinho AA, Thomas SM, Minte-Vera CV, Winemiller KO Biodiversity in the high Parana River floodplain. Di dalam: Gopal B, Junk WJ, Davis JA (Eds) : Biodiversity in wetlands: Assessment, function and conservation Vol. 1. Leiden, Netherlands: Backhuys Publ. Alabaster JS, Lloyd R Water Quality Criteria for Freshwater Fish. Second edition. London: Butterworth Scientific. 359 hal. Alviya I, Salminah M, Arifanti VB, Maryani R, Syahadat E Persepsi para pemangku kepentingan terhadap pengelolaan lanskap hutan di DAS Tulang Bawang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 9(4): Arocha F, Barrios A Sex ratios, spawning seasonality, sexual maturity, and fecundity of white marlin (Tetrapturus albidus) from the Western Central Atlantic. Fisheries Research 95(1): Asdak C Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Bakhris VD, Rahardjo MF, Affandi R, Simanjuntak CPH Aspek reproduksi ikan motan (Thynnichthys polylepis Bleeker, 1860) di rawa banjiran Sungai Kampar Kiri, Riau. Jurnal Iktiologi Indonesia 7(2):53-59 Baran E Fish migration triggers in the Lower Mekong Basin and other tropical freshwater systems. MRC Technical Papper No. 14. Vientiane: Mekong River Commision. 56 hal. Beamish FWH, Sa-ardrit P, Tongnunui S Habitat characteristics of the cyprinidae in small rivers in Central Thailand. Environmental Biology of Fishes, 76 (2-4), Beamish FWH, Kangrang P, Nithirojpakdee P, Plongsesthee R Why Thai river fish occur where they are found. Environment Asia 5(1):1-16. Boercherding J, Bauerfeld M, Hintzen D, Neumann D Lateral migrations of fishes between floodplain lakes and their drainage channels at the Lower Rhine: diel and seasonal aspects. Journal of Fish Biology 61: Boyd CE Water quality in ponds for aquaculture. Alabama (US): Birmingham Publishing Co. 482 hlm. Effendie MI Metode Biologi Perikanan. Bogor:Yayasan Dewi Sri. 112 hal. Effendie MI Biologi Perikanan. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal. Ernawati Y, Aida SN, Juwaini HA. 2009a. Biologi reproduksi ikan sepatung, Pristolepis grootii Blkr (Nandidae) di Sungai Musi. Jurnal Iktiologi Indonesia 9(1):13-24 Ernawati Y, Kamal MM, Pellokila NAY. 2009b. Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia 9(2):

70 54 Froese R Cube law, condition factor and weight-length relationships: history, meta-analysis and recommendations. J. Applied Ichthyology 22: Froese R, Pauly D (Editors) Fish Base. World Wide Web electronic publication. version (11/2014) Frota LO, Costa PAS, Braga AC Length-weight relationships of marine fishes from the central Brazilian coast. Naga 27 (1&2): Gayanilo FC Jr, Sparre P, Pauly D FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II (FISAT II). Revised version. User s guide. FAO Computerized Information Series (Fisheries) No.8. Rome: FAO. hlm , Ghaffari G, Keesstra S, Ghodousi J, Ahmadi H SWAT-simulated hydrological impact of land-use change in the Zanjanrood Basin, Northwest Iran. Hydrol. Process. 24(7): Hartoto DI, Sjafei DS, Kamal MM Notes on food habit of freshwater fishes in Lake Takapan, Central Kalimantan. Limnotek 6(2): Hayes DB, Ferreri CP, Taylor WW Linking fish habitat to their population dynamics. Canada Journal of Fisheries Aquatic Science 53: Hoggart DD, Cowan VJ, Halls AS, Thomas MA, Mc Gregor JA, Garaway CA. Payne AI, Welcomme RL Management guidelines for Asian floodplain river fisheries. Part 1: A spatial, hierarchical and integrated strategy for adaptive co-management. FAO Fisheries Technical Paper 384/1.Rome: FAO.hlm 7; Hossain, MY, Ahmed ZF, Leunda PM, Jasmine S, Oscoz J, Miranda R & Ohtomi J Condition, length-weight and length-weight relationship of the Asian striped catfish Mystus vittatus (Bloch, 1794) (Siluriformes: Bagridae) in the Mathabanga River, Southwestern Bangladesh. J Appl. Ichthyol. 22: Junk WJ Ecology of floodplains- a challenge for tropical limnology. Dalam: Schiemer F, Boland KT (editor). Perspectives in Tropical Limnology. Amsterdam: Academic Publishing. hlm Junk WJ, Wantzen KM The flood pulse concept: New aspects, aproaches and applications-an update. Dalam: Welcomme R. & Petr T.(editor). Proceedings of the Second International Symposium on the Management of Large River for Fisheries Volume II. Bangkok: FAO RAP Publication 2004 /17. hlm Kottelat M, Whitten AJ, Kartikasari SN, Wirjoatmodjo S Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Jakarta: Periplus Editions. 259 hal. Kottelat M, Widjanarti E The fishes of Danau Sentarum National Park and the Kapuas Lakes area, Kalimantan Barat, Indonesia. Raffles Bull. Zool. Supplement (13): Le Cren ED The length-weight relationship and seasonal cycle in gonad weight and condition in the perch (Perca fluviatilis). Journal of Animal Ecology 20(2): Li RY, Gelwick FP The relationship of environmental factors to spatial and temporal variation of fish assemblages in a floodplain river in Texas, USA. Ecology of Freshwater Fish 14:

71 Lim P, Lek S, Touch ST, Mao, Sam-Onn, Chouk B Diversity and spatial distribution of freshwater fish in Great Lake and Tonle Sap River (Cambodia, Southeast Asia). Aquatic Living Resources 12(6): Lizama M de los AP, Ambròsio AM Condition factor in nine species of fish of the Characidae family in the upper Parana River floodplain, Brazil. Brazilian Journal Biology 62(1): Mattjik AA, Sumertajaya IM Sidik peubah ganda dengan menggunakan SAS. Bogor: Departemen Statistika FMIPA IPB. Hal Mc Connell LRH Ecological studies in tropical fish communities. London : Cambridge University Press. hlm Mc Connell LRH Ecological aspects of seasonality in fishes of tropical waters. Symposia of the Zoological Society of London 44. hlm Morgan MJ Integrating reproductive biology into scientific advice for fisheries management. J. Northw. Atl. Fish. Sci. 41: Muchlisin ZA, Musman M, Azizah MNS Length-weight relationships and condition factors of two threatened fishes, Rasbora tawarensis and Poropuntius tawarensis, endemic to Lake Laut Tawar, Aceh Province, Indonesia. Journal of Applied Ichthyology 26(6): Murua H, Rey FS Female reproductive strategies of marine fish species of the North Atlantic. J Northw Atl Fish Sci 33: Nikolsky GV The ecology of fishes. London (UK): Academic Press. 352 hal. Noor YR,Giesen W, Hanafia EW, Silvius MJ Reconnaissance survey of the western Tulang Bawang swamps, Lampung, Sumatera. Jakarta: Asian Wetland Bureau. hlm 1,7, Novotny V, Olem H Water quality, prevention, identification, and management of diffuse pollution. New York: Van Nostrans Reinhold hal. Nurdawati S, Prasetyo D Fauna ikan ekosistem hutan rawa di Sumatera Selatan. Jurnal Iktiologi Indonesia 7(1):1-8. Nurdawati S Penyebaran ikan di perairan rawa banjiran Danau Teluk hubungannya dengan kondisi lingkungan perairan. Di dalam Nuriliani A, Armanda DT, editor. Prosiding Seminar Nasional Biologi, Yogyakarta September hlm Odat N Length-weight relationship of fishes from coral reefs along the coastline of Jordan (Gulf of Aqaba). NAGA ICLARM 26(1): Pauly D Theory and management of tropical multispecies stocks: A review, with emphasis on the Southeast Asian demersal fisheries. ICLARM Studies and Reviews No.1. Manila: International Center for Living Aquatic Resources Management. hlm 31. Pauly D On the interrelationships between natural mortality, growth parameters and mean environmental temperature in 175 fish stocks. Journal du Conseil International pour l Exploration de la Mer 39(3): Rahardjo MF, Sjafei DS Aspek biologi reproduksi dan kebiasaan makan ikan lalawak, Barbodes balleroides di Sungai Cimanuk. Biosfera 21(2): Rahardjo MF, Simanjuntak CPH Hubungan panjang bobot dan faktor kondisi ikan tetet, Johnius belangerii Cuvier (Pisces: Sciaenidae) di Perairan 55

72 56 Pantai Mayangan, Jawa Barat. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 15(2): Rahardjo MF, Sjafei DS, Affandi R, Sulistiono, Hutabarat J Iktiology. Bandung: CV Lubuk Agung. 398 hal. Rainboth WJ Fishes of the Cambodian Mekong. FAO. Rome. 265 hal. Ribeiro F, Crain PK, Moyle PB Variation in condition factor and growth in young-of-the year fishes in floodplain and riverine habitats of the Cosumnes River, California. Hydrobiologia 527:77-84 Rice EW, Baird RB, Eaton AD, Clesceri LS Standard Methods for the Examination of Water & Wastewater 21 st eds. Washington DC (US): APHA, AWWA, WEF. Roberts TR The Freshwater Fish of Western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). San Francisco: California Acad of Sci. hlm Sidthimunka A Length-Weight Relationships of Freshwater Fishes of Thailand. Alabama: Auburn University. hlm 5, 24. Simanjuntak CPH, Rahardjo MF, Sukimin S Iktiofauna rawa banjiran Sungai Kampar Kiri. Jurnal Iktiologi Indonesia 6(2): Soler AA, Paterna FJO, Torralva M A review of length-weight relationships of fish from the Segura River basin (SE Iberian Peninsula). J. Applied Ichthyology 22: Song SL Fish ecology and community structure in Tonle Sap Lake, Cambodia. Cambodian Journal of Agriculture 8 (1): 1 4 Sparre P, Ursin E, Venema SC Introduction to tropical fish stock assessment. Part 1. Manual. FAO. Fisheries Technical Paper No Rome: FAO. Sulistiyarto B, Soedharma D, Rahardjo MF, Sumardjo Pengaruh musim terhadap komposisi jenis dan kemelimpahan ikan di rawa lebak Sungai Rungan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Biodiversitas 8(4): Sullivan SMP, Watzin MC Stream-floodplain connectivity and fish assemblage diversity in the Champlain Valley, Vermont, U.S.A. Journal of Fish Biology 74: Suzuki HI, de Moraes AEA, Marques EE, Lizama MA, Inada P Reproductive ecology of the fish assemblages. Di dalam: Thomaz SM, Agostinho AA, Hahn NS (Eds): The upper Paraná River and its floodplain: Physical aspects, ecology and conservation. Leiden, Netherlands: Backhuys Publ.. Hal Taylor CM, Winston MR, Matthews WJ Fish species-environment and abundance relationships in a Great Plains river system. Ecography 16: Tongnunui S, William F, Beamish H Habitat and relative abundance of fishes in small rivers in eastern Thailand. Environmental Biology of Fishes 85: Torang M, Buchar T Concept for sustainable development of local fish resource in Central Kalimantan. Di dalam: Anonimus, editor. Proceed of the International Symposium on Tropical Peatlands. Bogor, November Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm Tu J Combined impact of climate and land use changes on streamflow and water quality in Eastern Massachusetts, USA. J. Hydrol. 379:

73 Türkmen M, Erdogan O, Yildirim A, Akyurt I Reproduction tactics, age and growth of Capoeta capoeta umbla Heckel 1843 from the Aşkale Region of the Karasu River, Turkey. Fisheries Research 54: Udupa KS Statistical methods of estimating the size at first maturity in fishes. Fishbyte 4(2):8-10. Uslichah U, Syandri H Aspek reproduksi ikan sasau (Hampala sp.) dan ikan lelan (Osteochilus vittatus C.V.) di Danau Singkarak. Jurnal Iktiologi Indonesia 3(1): Vannote RL, Minshall GW, Cummins KW, Sedell KW, Cushing CE The river continuum concept. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 37: Wargasasmita S Ancaman invasi ikan asing terhadap keanekaragaman ikan asli. Jurnal Iktiologi Indonesia 5(1):5-10. Weber M, de Beaufort LF The Fishes of the Indo-Australian Archipelago III. Ostariophysi: II Cyprinoidea, Apodes, Synbranchi. Leiden: EJ Brill. hlm Welcomme RL River fisheries. FAO Fisheries Technical Paper 262. [terhubung berkala] HTM. [ 5Maret 2012]. Welcomme RL World prospects for floodplain fisheries. Ecohydrology & Hidrobiology 8(2-4): Wiryawan B, Marsden B, Susanto HA, Mahi AK, Ahmad M, Poespitasari H Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung. Kerjasama PEMDA Propinsi Lampung dengan Proyek Pesisir (Coastal Resources Center, University of Rhode Island dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor). Bandar Lampung. Indonesia. 109 hal. Yeldan H, Avsar D A preliminary study on the reproduction of the rabbitfish (Siganus rivulatus (Forsskal, 1775)) in the Northeastern Mediterranean. Turk J. Zool. 24 (2000): Yuan Y, Bingner RL, Locke MA A review of effectiveness of vegetative buffers on sediment trapping in agriculture areas. Ecohydrology 2: Yudha IG Keanekaragaman jenis dan karakteristik ikan-ikan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang. Di dalam: Ginting C, Hendri J, editor. Prosiding Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Lampung; Bandar Lampung, 21 September Bandar Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung. hlm

74 58

75 L A M P I R A N 59

76 60

77 61 Lampiran 1. Deskripsi Stasiun Pengamatan Stasiun Penelitian Pagar Dewa S 4⁰ 27' 15,88" E 105⁰ 10' 04,46" Rawa Bungur S 4⁰ 27' 40,32" E 105⁰ 12' 17,44" Ujung Gunung S 4⁰ 27' 49,57" E 105⁰ 14' 24,84" Cakat Nyinyik S 4⁰ 26' 24,34" E 105⁰ 16' 01,9" Bawang Latak S 4⁰ 30' 15,66" E 105⁰ 17' 11,12" Deskripsi Lokasi Merupakan stasiun penelitian di Sungai Tulang Bawang yang memiliki tepian curam. Kedalaman bagian tepi bervariasi antara 2,5-6,7 m. Arus di bagian tepi bervariasi 0,2-0,8 m/det. Di pinggir sungai ditumbuhi oleh gelagah. Lokasi berdekatan dengan pertemuan antara S. Way Kanan dan S. Way Kiri. Merupakan stasiun penelitian di Sungai Tulang Bawang yang memiliki tepian landai. Kedalaman bagian tepi bervariasi antara 2,4-6,4 m. Arus di bagian tepi bervariasi 0,1-0,8 m/det Di pinggir sungai terdapat lahan pertanian jagung dan ubi kayu. Terdapat eceng gondok yang keberadaannya tidak permanen Saat banjir air menggenangi bagian daratan yang ditumbuhi rumput dan semak belukar. Merupakan stasiun penelitian di Sungai Tulang Bawang yang memiliki tepian landai. Lokasi berdekatan dengan pemukiman. Di bagian daratan terdapat lahan pertanian ubi kayu. Kedalaman bagian tepi bervariasi antara 2,7-6,2 m. Arus di bagian tepi bervariasi 0,2-0,8 m/det. Terdapat tanaman darat yang merambat (tidak diketahui jenisnya) dan eceng gondok (bersifat sementara, tidak selalu ada) Saat banjir air menggenangi bagian daratan yang ditumbuhi rumput, semak belukar, dan lahan pertanian. Merupakan stasiun penelitian di Sungai Tulang Bawang yang memiliki tepian curam. Kedalaman perairan di bagian tepi bervariasi antara 2,9-6,0 m. Arus di bagian tepi bervariasi 0,4-0,7 m/det. Di pinggir sungai terdapat pepohonan yang besar dan rindang. Di bagian daratan terdapat lahan pertanian jagung. Merupakan stasiun penelitian di Sungai Way Miring yang memiliki tepian landai. Kedalaman tepi sungai bervariasi antara 2,3-4,9 m. Wilayah perairan meluas membentuk rawa-rawa. Arus di bagian tepi sungai bervariasi 0,05-0,4 m/det., sedangkan yang jauh dari sungai bersifat stagnan. Banyak terdapat vegetasi air yang tenggelam, seperti Ceratophyllum spp dan Hydrilla verticillata; di perairan tenang terdapat teratai (Nymphaea spp) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes); sedangkan di bagian tepian terdapat Typha spp, Scirpus spp, Sagittaria spp, Eceng gondok tumbuh subur dan melimpah, terutama di wilayah perairan yang tenang. Di wilayah daratan terdapat perkebunan tebu yang luas.

78 62 Lampiran 1. Lanjutan Bawang Latak

79 63 Lampiran 2. Parameter fisika kimia perairan Bulan/tahun Stasiun ph Suhu ( C) Oksigen terlarut (mg/l) NH 4 (mg/l) PO4 (mg/l Bahan organik total (mg/l) Padatan tersuspensi total (mg/l) Arus (m/det) Kecerahan (cm) Kedalaman (m) Pagar Dewa 6, ,79 0,656 0,05 46, ,8 20 5,62 Rawa Bungur 6, ,62 0,182 0,12 59, ,1 15 6,04 Apr 2013 Ujung Gunung 6, ,69 0,286 0,06 24, ,5 10 6,24 Cakat Nyinyik 6, ,52 0,155 0,1 61, ,4 10 5,83 Bawang Latak 6, ,6 0,645 0,11 81, ,1 25 3,31 Pagar Dewa 6, ,89 0,461 0,14 73, ,3 10 3,25 Mei 2013 Rawa Bungur 6, ,77 0,822 0,13 37, ,2 15 3,53 Ujung Gunung 6,25 30,1 4,82 0,374 0,13 85, ,2 10 3,76 Cakat Nyinyik 6,51 30,2 4,71 0,46 0,14 73, ,3 10 3,56 Bawang Latak 6,02 30,5 4,5 0,845 0,1 85, , ,89 Pagar Dewa 6,79 29,1 5,5 0,059 0,15 71, ,2 10 2,53 Rawa Bungur 6,58 29,1 5,35 0,038 0,12 14, ,3 13 2,43 Jun 2013 Ujung Gunung 6,75 29,1 5,27 0,018 0,18 39, ,5 15 2,66 Cakat Nyinyik 6,25 29,1 5,19 0,051 0,14 71, ,5 15 2,93 Bawang Latak 6,14 30,7 5,6 0,734 0,16 87, , ,25 Pagar Dewa 7, ,66 0,238 0,41 114, ,2 13 3,48 Rawa Bungur 7, ,73 0,2 0,6 102, ,4 13 4,24 Jul 2013 Ujung Gunung 7, ,17 0,134 0,32 108, ,4 10 4,16 Cakat Nyinyik 7, ,33 0,04 0,19 100, ,5 15 4,21 Bawang Latak 6, ,50 0,64 0,15 120, ,2 20 3,75 Pagar Dewa 7,37 29,2 5,26 0,05 0,03 41, ,2 25 3,34 Rawa Bungur 6,89 29,2 5,42 0,08 0,025 30, ,3 25 3,83 Agust 2013 Ujung Gunung 7,06 29,1 5,25 0,04 0,045 57, ,5 25 3,48 Cakat Nyinyik 7,26 29,1 5,17 0,05 0,075 27, ,5 35 3,84 Bawang Latak 6,55 30,1 5,5 0,54 0,098 34, , ,74

80 64 Lampiran 2. Lanjutan Bulan/tahun Stasiun ph Suhu ( C) Oksigen terlarut (mg/l) NH 4 (mg/l) PO4 (mg/l Bahan organik total (mg/l) Padatan tersuspensi total (mg/l) Arus (m/det) Kecerahan (cm) Kedalaman (m) Pagar Dewa 6,5 30,1 5,68 0,19 0,22 91, ,4 20 4,50 Rawa Bungur 6,54 30,1 5,43 0,18 0,13 80, ,4 25 4,11 Sep 2013 Ujung Gunung 6,59 30,2 5,27 0,2 0,2 83, ,6 20 3,57 Cakat Nyinyik 6,65 30,1 5,69 0,22 0,15 73, ,5 30 3,33 Bawang Latak 6,55 30,1 5,41 0,32 0,12 64, , ,85 Pagar Dewa 6,96 29,9 5,59 0,15 0,075 26, ,4 7,5 2,97 Rawa Bungur 6,95 29,9 5,52 0,215 0,08 25, ,3 7,5 3,35 Okt 2013 Ujung Gunung 6, ,3 0,295 0,09 32, ,3 7,5 3,63 Cakat Nyinyik 7,05 30,1 5,55 0,36 0,095 49, ,4 7,5 3,87 Bawang Latak 6,97 31,2 4,26 2,025 0,07 38, ,1 10 2,70 Pagar Dewa 7, ,5 0,12 0,08 25, ,5 6 3,65 Rawa Bungur 7, ,22 0,17 0,075 30, ,5 6 3,98 Nov 2013 Ujung Gunung 6, ,32 0,23 0,054 45, ,6 6,5 4,42 Cakat Nyinyik 7, ,46 0,215 0,078 48, ,5 6,5 4,82 Bawang Latak 6,67 30,2 5,88 0,34 0,06 17,7 84 0,2 25 3,76 Pagar Dewa 7,37 29,5 5,65 0,13 0,092 30, ,6 6,5 4,84 Rawa Bungur 7,25 29,9 5,43 0,136 0,1 28, ,6 7 4,65 Des 2013 Ujung Gunung 7,45 29,7 5,81 0,214 0,097 33, ,6 7 4,96 Cakat Nyinyik 7,42 29,7 5,65 0,225 0,1 35, ,7 7 5,35 Bawang Latak 7,05 29,8 5,85 0,12 0,1 11, ,3 20 4,39 Pagar Dewa 7,04 28,8 5,84 0,16 0,088 32, ,8 8,5 6,74 Rawa Bungur 7,24 28,6 5,55 0,182 0,11 33, ,8 8,5 6,44 Jan 2014 Ujung Gunung 7,3 28,8 5,76 0,21 0,098 45, ,75 8,5 6,18 Cakat Nyinyik 7,32 28,9 5,58 0,244 0,085 47, ,7 9,5 5,98 Bawang Latak 7,04 28,9 5,98 0,12 0,08 44, ,3 20 4,91

81 Lampiran 2. Lanjutan 65 Bulan/tahun Stasiun ph Suhu ( C) Oksigen terlarut (mg/l) NH 4 (mg/l) PO4 (mg/l Bahan organik total (mg/l) Padatan tersuspensi total (mg/l) Arus (m/det) Kecerahan (cm) Kedalaman (m) Pagar Dewa 7, ,02 0,2 0,098 36, ,8 8 5,63 Rawa Bungur 7,08 29,9 6,1 0,216 0,11 28, ,8 8 5,52 Feb 2014 Ujung Gunung 7, ,98 0,275 0,097 32, ,8 8 5,73 Cakat Nyinyik 7,05 29,8 6,15 0,348 0,12 48, ,7 8,5 6,02 Bawang Latak 6, ,224 0,11 54, ,4 15 4,62 Pagar Dewa 6, ,68 0,245 0,088 30, ,5 8,5 3,27 Rawa Bungur 6, ,74 0,135 0,105 32, ,6 8,5 3,65 Mar 2014 Ujung Gunung 6, ,52 0,212 0,11 31, ,5 8,5 3,98 Cakat Nyinyik 6, ,94 0,34 0,078 28, ,4 8,5 4,41 Bawang Latak 6,75 30,5 6 0,22 0,096 34, ,2 20,5 3,40

82 66 Lampiran 3. Hasil analisis komponen utama Keseluruhan keragaman yang dijelaskan Komponen Jumlah Nilai Eigen inisial % keragaman Kumulatif ( %) Jumlah ekstraksi dari muatan kuadrat Jumlah % keragaman Kumulatif (%) Matrik Komponen Komponen ph Suhu DO NH PO BOT Arus Kecerahan Kedalaman TSS Veg_air

83 67 Lampiran 4. Hasil uji Mann-Whitney terhadap parameter fisika kimia perairan dan jumlah ikan a. Temporal (musim kemarau-musim hujan) Stasiun Nilai uji Mann-Whittney (α) ph Suhu DO NH4 PO4 BOT Arus Kecerahan TSS Kedalaman Jumlah ikan Sungai 0,0050* 0,9574 0,0018* 0,1538 0,0040* 0,0002* 0,0002* 2,5x10-9 * 0,0011* 0,0097 * 0,3309 Rawa 0,0065* 0,6126 0,2879 0,0887 0,0260* 0,0260* 0,0152* 0,0952 0,3680 0,0931 0,3874 b. Spasial (stasiun pengamatan) Stasiun yang Nilai uji Mann-Whittney (α) dibandingkan ph Suhu DO NH4 PO4 BOT Arus Kecerahan TSS Kedalaman Jumlah ikan A-B 0,7878 0,8276 0,4341 0,8985 0,5810 0,4428 0,8076 0,8079 0,2132 0,4870 0,2341 A-C 0,9211 0,7351 0,6194 0,5233 0,6810 0,7553 0,5500 0,9660 0,9770 0,3550 0,0137 * A-D 0,7879 0,7396 0,8539 0,6824 0,6609 0,3854 0,6530 0,7432 0,1732 0,3470 0,2595 B-C 0,8318 0,5906 0,7660 0,2242 0,6598 0,1782 0,3319 0,7654 0,5800 0,8990 0,2018 B-D 0,4863 0,7082 0,6809 0,2242 0,9435 0,1241 0,3298 0,8757 0,8540 0,7550 0,8762 C-D 0,8761 0,9642 0,7872 0,5618 0,8761 0,4338 0,6478 0,7211 0,5050 0,8870 0,0567 A-E 0,0616 0,02187 * 0,6601 0,02828 * 0,5995 0,6297 0,0006 * 0,001 * 0,5039 0,4090 5,4x10-5 * B-E 0,1386 0,01905 * 0,6196 0,0095 * 0,4847 0,1277 0,0011 * 0,0025 * 0,9436 0,1005 2,6x10-6 * C-E 0,0849 0,03857 * 0,4174 0,0199 * 0,9210 0,6707 3,7x10-5 * 0,0005 * 0,4687 0,0700 4,4x10-6 * D-E 0,0514 0,04546 * 0,7867 0,04993 * 0,8311 0,9191 9,6x10-6 * 0,0062 * 0,8985 0,0240* 1,3x10-5 * Keterangan: - * berbeda nyata (α < 0,050) - Stasiun penelitian: A=Pagar Dewa; B=Rawa Bungur; C=Ujung Gunung; D = Cakat Nyinyik; E= Bawang Latak - DO = oksigen terlarut; BOT= bahan organik total

84 68 Lampiran 5. Rekapitulasi sebaran panjang ikan lumo A. Spasial a. Ikan jantan Selang Kelas Panjang (mm) 1. Cakat Nyinyik Jumlah Ikan pada Stasiun Pengamatan (ekor) 2. Ujung 3. Rawa 4. Pagar Gunung Bungur Dewa 5. Bawang Latak Jumlah b. Ikan betina Selang Kelas Panjang (mm) 1. Cakat Nyinyik Jumlah Ikan pada Stasiun Pengamatan (ekor) 2. Ujung 3. Rawa 4. Pagar Gunung Bungur Dewa 5. Bawang Latak Jumlah

85 69 Lampiran 5. Lanjutan B. Temporal a. Ikan jantan Kelas Tahun 2013 Tahun 2014 Panjang (mm) Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Jumlah b. Ikan betina Kelas Tahun 2013 Tahun 2014 Panjang (mm) Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Jumlah

86 70 Lampiran 6. Jumlah ikan lumo yang tertangkap per stasiun setiap bulan Bulan/tahun Jumlah ikan yang tertangkap per stasiun 1. Cakat Nyinyik 2. Ujung Gunung 3. Rawa Bungur 4. Pagar Dewa 5. Bawang Latak J B J B J B J B J B Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Jumlah Keterangan: J=ikan jantan; B = ikan betina

87 71 Lampiran 7. Uji t untuk menentukan nilai b > 3 dari persamaan hubungan panjang-bobot a. Ikan jantan n = 690 Persamaan hubungan panjang bobot: log W = -5, ,284 log L b = 3,284 log W = y log L = x Hipotesis : H 0 : b = 3 H yy = 1, xx = 2, : b > 3 (yy yy ) 2 = 36, (xx xx ) 2 = 3, (yy yy ) (xx xx )= 10, [ (yy yy ) (xx xx )] 2 =118, S 2 yy.xx = (yy yy )2 [ (xx xx )(yy yy )] 2 (xx xx ) 2 nn 2 Ragam b = S b S 2 b = S yyyy 2 tt hitung = 2 (xx xx ) 2 = 0, tt tabel = 1,645 bb ββ 0 2 SS yy.xx (xx xx ) 2 Kesimpulan: tolak H 0 nilai b > 3 = 0, = 3,284 3,000 0, = 12,112

88 72 Lampiran 7. Lanjutan b. Ikan betina n = 651 Persamaan hubungan panjang bobot: log W = -5, ,272 log L b = 3,272 log W = y log L = x Hipotesis : H 0 : b = 3 H yy = 1, xx = 2, : b > 3 (yy yy ) 2 = 39, (xx xx ) 2 = 3, (yy yy ) (xx xx )= 11, [ (yy yy ) (xx xx )] 2 = 130, S 2 yy.xx = (yy yy )2 [ (xx xx )(yy yy )] 2 (xx xx ) 2 nn 2 Ragam b = S b S 2 b = S yyyy 2 tt hitung = 2 (xx xx ) 2 = 0, tt tabel = 1,645 bb ββ 0 2 SS yy.xx (xx xx ) 2 Kesimpulan: tolak H 0 nilai b > 3 = 0, = 3,272 3,000 0, = 7,9045

89 73 Lampiran 7. Lanjutan c. Uji t untuk menentukan nilai b jantan =b b b jantan betina = 3,284 =3,272 betina Hipotesis : H0 : b jantan = 3,272 H1: b jantan 3,272 Pada ikan jantan: yy = 1, xx = 2, (yy yy ) 2 = 36, (xx xx ) 2 = 3, (yy yy ) (xx xx )= 10, [ (yy yy ) (xx xx )] 2 =118, S 2 yy.xx = (yy yy )2 [ (xx xx )(yy yy )] 2 (xx xx ) 2 nn 2 Ragam b = S b S 2 b = S yyyy 2 tt hitung = 2 (xx xx ) 2 = 0, tt tabel = 1,645 bb ββ 0 2 SS yy.xx (xx xx ) 2 = 0, = 3,284 3,272 0, = 0,5112 Kesimpulan: terima H 0 nilai b jantan =3,272

90 74 Lampiran 8. Faktor kondisi relatif (Kn) ikan lumo A. Sungai Tulang Bawang 1) Ikan jantan Bulan/Tahun n (ekor) Wrata-rata W* rata-rata Kn=W/W* Apr ,00 41,86 1,03 Mei ,03 21,03 1,05 Jun ,82 29,32 1,05 Jul ,26 25,74 1,02 Agust ,14 37,62 0,93 Sep ,86 39,52 0,91 Okt ,75 34,85 0,97 Nov ,49 37,13 1,04 Des ,16 44,41 1,06 Jan ,01 57,60 1,02 Feb ,08 21,27 1,08 Mar ,93 15,74 0,95 min 0,91 maks 1,08 rata-rata 1,01±0,06 2) Ikan betina Bulan/Tahun n (ekor) Wrata-rata W* rata-rata Kn=W/W* Apr ,39 37,37 0,97 Mei ,89 32,22 1,02 Jun ,69 30,94 0,99 Jul ,06 24,57 0,94 Agust ,09 34,88 0,98 Sep ,46 37,13 0,93 Okt ,92 36,33 0,96 Nov ,32 34,39 0,97 Des ,20 42,97 1,10 Jan ,39 64,73 1,04 Feb ,76 21,38 1,11 Mar ,27 16,06 0,95 min 0,93 max 1,11 rata-rata 1,00±0,06 Keterangan : n=jumlah ikan ; W= bobot ikan berdasarkan pengukuran; W*= bobot ikan berdasarkan perhitungan persamaan W*= 2,227x10-06 xl 3,284 untuk ikan jantan dan W*=2,473x10-06 xl 3,272 untuk ikan betina; Kn=faktor kondisi relatif

91 75 Lampiran 8. Lanjutan B. Bawang Latak 1) Ikan jantan Bulan/Tahun n (ekor) Wrata-rata W* rata-rata Kn=W/W* Apr ,68 28,41 1,01 Mei ,88 20,24 1,03 Jun ,58 43,86 1,02 Jul ,59 41,33 1,03 Agust ,98 44,43 0,92 Sep ,70 45,58 0,94 Okt ,99 35,30 1,02 Nov ,75 93,20 1,08 Des ,46 44,12 1,03 Jan ,57 65,63 1,08 Feb ,18 23,02 1,01 Mar ,80 33,78 1,00 min 0,92 maks 1,08 rata-rata 1,01±0,05 2) Ikan betina Bulan/Tahun n (ekor) Wrata-rata W* rata-rata Kn=W/W* Apr ,10 25,90 1,01 Mei ,11 30,22 1,03 Jun ,57 28,70 1,03 Jul ,21 28,33 1,00 Agust ,65 41,66 0,98 Sep ,30 56,88 1,01 Okt ,22 40,34 0,97 Nov ,14 97,89 1,06 Des ,18 52,93 1,04 Jan ,01 60,92 1,00 Feb ,45 18,16 1,07 Mar ,01 36,53 0,96 min 0,96 max 1,07 rata-rata 1,01±0,04 Keterangan : n=jumlah ikan ; W= bobot ikan berdasarkan pengukuran; W*= bobot ikan berdasarkan perhitungan persamaan W*= 2,227x10-06 xl 3,284 untuk ikan jantan dan W*=2,473x10-06 xl 3,272 untuk ikan betina; Kn=faktor kondisi relatif

92 76 Lampiran 9. Uji Mann-Whitney terhadap faktor kondisi relatif ikan lumo Perbandingan Nilai uji Mann-Whittney (α) Jantan Betina Antar stasiun: A-B 0,9443 0,7001 A-C 0,5786 0,8082 A-D 0,8529 0,8611 A-E 0,8746 0,2957 B-C 0,8090 0,9662 B-D 0,8755 0,8982 B-E 0,9658 0,4332 C-D 0,4322 0,8537 C-E 0,5407 0,7005 D-E 0,7433 0,7868 Antar musim (kemarau-hujan) di lokasi : S 0,2420 0,0541 R 0,1082 0,9134 Keterangan: - berbeda nyata jika α < 0,050 - Stasiun penelitian: A=Pagar Dewa; B=Rawa Bungur; C=Ujung Gunung; D = Cakat Nyinyik; E= Bawang Latak; - S= Sungai Tulang Bawang; R= Rawa Bawang Latak

93 77 Lampiran 10. Uji khi kuadrat untuk menentukan nisbah kelamin ikan lumo TKG IV dalam perbandingan 1:1 a. Temporal Jumlah Bulan/ ikan (ekor) J:B n E J-E B-E (J-E) (B-E) χ tahun J B Okt , ,5-2,5 2,5 6,25 6,25 0,64 Nop , ,5 1,5-1,5 2,25 2,25 0,15 Des , ,5-1,5 1,5 2,25 2,25 0,15 Jan , ,0 7,0 49,00 49,00 7,54* b. Spasial Stasiun Pengamatan Jumlah ikan (ekor) J:B n E J-E B-E 2 (J-E) (B-E) J B 2 2 C. Nyinyik 5 8 0, ,5-1,5 1,5 2,25 2,25 0,69 Uj. Gunung , ,5-2,5 2,5 6,25 6,25 0,93 R. Bungur , ,0 2,0 4,00 4,00 0,73 Pagar Dewa , ,0 1,0 1,00 1,00 0,15 B. Latak , ,5-2,5 2,5 6,25 6,25 0,26 χ Keterangan : J = ikan jantan; B=ikan betina; E = nilai harapan * tidak dalam perbandingan 1:1 χ 2 nilai teramati-nilai harapan 2 = nilai harapan 2 χ tabel (0,05. 1) = 3,84

94 78 Lampiran 11. Sebaran jumlah ikan lumo jantan dan betina berdasarkan TKG 1. Sungai Tulang Bawang a. jantan Jumlah ikan dalam kondisi TKG (ekor) Bulan/thn I II III IV V Jumlah (ekor) April Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar b. betina Bulan/thn Jumlah ikan dalam kondisi TKG (ekor) I II III IV V Jumlah (ekor) April Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar

95 79 Lampiran 11. Lanjutan 2. Bawang Latak a. jantan Jumlah ikan dalam kondisi TKG (ekor) Bulan/thn I II III IV V Jumlah (ekor) April Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar b. betina Bulan/thn Jumlah ikan dalam kondisi TKG (ekor) I II III IV V Jumlah (ekor) April Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar

96 80 Lampiran 12. Penentuan ukuran ikan lumo pertama kali matang gonad 1). Ikan lumo jantan a. Sungai Tulang Bawang proporsi nilai log nilai % ikan Selang kelas Persentase ikan pada TKG (%) ikan p tengah tengah contoh i *q i panjang (mm) TKG IV x= x (mm) (x i ) (n i ) i+1 -x i q i = 1-p i n i -1 I II III IV (r i ) (p i ) , , ,0388 1, , ,061 0,0356 0,94 0, , ,523 0,0329 0,48 0, , ,941 0,0306 0,06 0, , ,00 0 2,52 0,01487 m = x k + x 2 - x* p i m = 2, ,04 2 (0,04*2,52) m = 2,2002 M = antilog (2,2002) M = 159 mm

97 81 Lampiran 12. Lanjutan b. Bawang Latak proporsi nilai log nilai % ikan Selang kelas Persentase ikan pada TKG (%) ikan tengah tengah contoh panjang (mm) TKG IV (mm) (x i ) (n i ) I II III IV (r i ) (p i ) , x= x i+1 -x i q i = 1-p , ,00 0, , , ,07 0, ,93 0, , ,62 0, ,38 0, , ,88 0, ,12 0, , ,00 0,00 0 2,57 0,01879 i p i *q i n i -1 m = x k + x 2 - x* p i m = 2, ,04 2 (0,04*2,57) m = 2,1972 M = antilog (2,1972) M = 157 mm

98 82 Lampiran 12. Lanjutan 2). Ikan lumo betina a. Sungai Tulang Bawang proporsi nilai log nilai % ikan Selang kelas Persentase ikan pada TKG (%) ikan p i *q i tengah tengah contoh panjang (mm) TKG IV x= x (mm) (x i ) (n i ) i+1 -x i q i = 1-p i n i -1 I II III IV (r i ) (p i ) ,5 2, ,5 2, , , ,5 2, ,03 0, ,97 0, ,5 2, ,72 0, ,28 0, ,5 2, ,00 0,00 0 1,75 0, m = x k + x 2 - x* p i m = 2, ,04 2 (0,04*1,75) m = 2,211 M = antilog (2,211) M = 162 mm

99 83 Lampiran 12. Lanjutan b. Bawang Latak proporsi nilai log nilai % ikan Selang kelas Persentase ikan pada TKG (%) ikan tengah tengah contoh panjang (mm) TKG IV (mm) (x i ) (n i ) I II III IV (r i ) (p i ) ,5 2, x= x i+1 -x i q i = 1-p ,5 2, ,00 0, , ,5 2, ,19 0, ,81 0, ,5 2, ,77 0, ,23 0, ,5 2, ,90 0, ,10 0, ,5 2, ,00 0,00 0 2,87 0, i p i *q i n i -1 m = x k + x 2 - x* p i m = 2, ,04 2 (0,04*2,87) m = 2,2038 M = antilog (2,2038) M = 160 mm

100 84 Lampiran 13. Penentuan ukuran mata jaring Posisi ikan lumo saat tertangkap oleh jaring insang sebagian besar adalah wedged, yaitu terjerat pada bagian badan ikan hingga mata jaring melingkari badannya sampai di bagian depan sirip punggung. Ikan lumo dengan panjang total 160 mm memiliki tinggi badan rata-rata 42,5 mm atau 1,67. Tinggi bukaan mata jaring disesuaikan dengan ukuran tinggi badan. Gambar 30. Cara ikan lumo tertangkap oleh jaring insang serta rata-rata tinggi kepala dan tinggi badan ikan lumo (TL=160 mm). Dengan asumsi jaring yang digunakan memiliki hanging ratio 30% maka mata jaring 1¾ memiliki tinggi bukaan mata jaring 1,67 dan lebar bukaan mata jaring 0,53. Ukuran mata jaring tersebut sudah bisa digunakan untuk menangkap ikan lumo berukuran 160 mm. Tabel 11. Lebar dan tinggi bukaan mata jaring pada jaring insang Ukuran mata jaring (=2*d) d (inci) Lebar bukaan mata jaring (c) pada berbagai hanging ratio (inci) Tinggi bukaan mata jaring (t) pada berbagai hanging ratio (inci) inci 25% 30% 40% 50% 25% 30% 40% 50% 1,00 0,50 0,25 0,30 0,40 0,50 0,97 0,95 0,92 0,87 1,25 0,63 0,31 0,38 0,50 0,63 1,21 1,19 1,15 1,08 1,50 0,75 0,38 0,45 0,60 0,75 1,45 1,43 1,37 1,30 1,75 0,88 0,44 0,53 0,70 0,88 1,69 1,67 1,60 1,52 2,00 1,00 0,50 0,60 0,80 1,00 1,94 1,91 1,83 1,73 2,50 1,25 0,63 0,75 1,00 1,25 2,42 2,38 2,29 2,17 2,75 1,38 0,69 0,83 1,10 1,38 2,66 2,62 2,52 2,38 tt = 2dd (1 HH 2 ) Keterangan: H = hanging ratio c = lebar bukaan mata jaring t = tinggi bukaan mata jaring

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai Tulang Bawang. Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam satu bulan, dan dilakukan

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tengah dan selatan wilayah Tulang Bawang Provinsi Lampung (BPS Kabupaten

I. PENDAHULUAN. tengah dan selatan wilayah Tulang Bawang Provinsi Lampung (BPS Kabupaten I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Way Tulang Bawang merupakan salah satu sungai yang mengalir dari bagian tengah dan selatan wilayah Tulang Bawang Provinsi Lampung (BPS Kabupaten Tulang Bawang, 2010). Sungai

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari April hingga September

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari April hingga September III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari April hingga September 2013. Pengambilan sampel dilakukan di sepanjang Way Tulang Bawang dengan 4 titik

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

ABSTRACT CHARLES P. H. SIMANJUNTAK

ABSTRACT CHARLES P. H. SIMANJUNTAK ABSTRACT CHARLES P. H. SIMANJUNTAK. The reproduction of Ompok hypophthalmus (Bleeker) related to aquatic hydromorphology change in floodplain of Kampar Kiri River. Under the direction of SUTRISNO SUKIMIN

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 73-80 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ASPEK REPRODUKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain: 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan maritim yang sangat luas sehingga Indonesia memiliki kekayaan perikanan yang sangat kaya.pengetahuan lingkungan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tembakang Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, hidup pada habitat danau atau sungai dan lebih menyukai air yang bergerak lambat dengan vegetasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Labiobarbus ocellatus Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D. 2012. Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) dalam http://www.fishbase.org/summary/

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulubatu (Barbichthys laevis) Kelas Filum Kerajaan : Chordata : Actinopterygii : Animalia Genus Famili Ordo : Cyprinidae : Barbichthys : Cypriniformes Spesies : Barbichthys laevis

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN IKAN KERALI (Labocheilos falchifer) DI PERAIRAN SUNGAI LEMATANG, SUMATERA SELATAN

PERTUMBUHAN IKAN KERALI (Labocheilos falchifer) DI PERAIRAN SUNGAI LEMATANG, SUMATERA SELATAN ABSTRAK PERTUMBUHAN IKAN KERALI (Labocheilos falchifer) DI PERAIRAN SUNGAI LEMATANG, SUMATERA SELATAN Marson 1) dan Mas Tri Djoko Sunarno 2) 1) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang

Lebih terperinci

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI 1 HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT MALAKA TANJUNG BERINGIN SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : JULIA SYAHRIANI HASIBUAN 110302065

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING

STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING STUDI PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN SELAR KUNING (Selaroides leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN SELAT MALAKA KECAMATAN MEDAN BELAWAN PROVINSI SUMATERA UTARA JESSICA TAMBUN 130302053 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

STUDI KUALITAS AIR UNTUK BUDIDAYA IKAN KARAMBA DI SUNGAI KAHAYAN (Water Quality Research For Fish Farming Keramba In The Kahayan River)

STUDI KUALITAS AIR UNTUK BUDIDAYA IKAN KARAMBA DI SUNGAI KAHAYAN (Water Quality Research For Fish Farming Keramba In The Kahayan River) 87 STUDI KUALITAS AIR UNTUK BUDIDAYA IKAN KARAMBA DI SUNGAI KAHAYAN (Water Quality Research For Fish Farming Keramba In The Kahayan River) Infa Minggawati dan Lukas Fakultas Perikanan Universitas Kristen

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga September 2013.

Lebih terperinci

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari

Beberapa contoh air, plankton, makrozoobentos, substrat, tanaman air dan ikan yang perlu dianalisis dibawa ke laboratorium untuk dianalisis Dari RINGKASAN SUWARNI. 94233. HUBUNGAN KELOMPOK UKURAN PANJANG IKAN BELOSOH (Glossogobircs giuris) DENGAN KARASTERISTIK HABITAT DI DANAU TEMPE, KABUPATEN WAJO, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan Dr. Ir.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

KAJIAN MAKANAN DAN KAITANNYA DENGAN REPRODUKSI IKAN SENGGARINGAN (Mystus nigriceps) DI SUNGAI KLAWING PURBALINGGA JAWA TENGAH BENNY HELTONIKA

KAJIAN MAKANAN DAN KAITANNYA DENGAN REPRODUKSI IKAN SENGGARINGAN (Mystus nigriceps) DI SUNGAI KLAWING PURBALINGGA JAWA TENGAH BENNY HELTONIKA KAJIAN MAKANAN DAN KAITANNYA DENGAN REPRODUKSI IKAN SENGGARINGAN (Mystus nigriceps) DI SUNGAI KLAWING PURBALINGGA JAWA TENGAH BENNY HELTONIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

STUDI ASPEK REPRODUKSI IKAN BAUNG (Mystus nemurus Cuvier Valenciennes) DI SUNGAI BINGAI KOTA BINJAI PROVINSI SUMATERA UTARA

STUDI ASPEK REPRODUKSI IKAN BAUNG (Mystus nemurus Cuvier Valenciennes) DI SUNGAI BINGAI KOTA BINJAI PROVINSI SUMATERA UTARA 1 STUDI ASPEK REPRODUKSI IKAN BAUNG (Mystus nemurus Cuvier Valenciennes) DI SUNGAI BINGAI KOTA BINJAI PROVINSI SUMATERA UTARA The Studied of Fish Reproduction Baung (Mystus nemurus Cuvier Valenciennes)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena

Lebih terperinci

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT Hesti Wahyuningsih Abstract A study on the population density of fish of Jurung (Tor sp.) at Bahorok River in Langkat, North

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI

LIRENTA MASARI BR HALOHO C SKRIPSI KEBIASAAN MAKANAN IKAN BETOK (Anabas testudineus) DI DAERAH RAWA BANJIRAN SUNGAI MAHAKAM, KEC. KOTA BANGUN, KAB. KUTAI KERTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR LIRENTA MASARI BR HALOHO C24104034 SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN BERONANG (Siganus vermiculatus) DI PERAIRAN ARAKAN KECAMATAN TATAPAAN KABUPATEN MINAHASA SELATAN 1 Suleiman Tuegeh 2, Ferdinand F Tilaar 3, Gaspar D Manu 3 ABSTRACT One of the

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(1):75-84, 29 ASPEK REPRODUKSI IKAN KAPASAN (Gerres kapas Blkr, 1851, Fam. Gerreidae) DI PERAIRAN PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT [Reproductive aspect of silver biddy (Gerres kapas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 16 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009. Lokasi penelitian berada di wilayah DAS Cisadane segmen Hulu, meliputi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

Keragaman ikan di Danau Cala, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan

Keragaman ikan di Danau Cala, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan Keragaman ikan di Danau Cala, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan Jifi Abu Ammar, Muhammad Mukhlis Kamal, Sulistiono Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014 agar dapat mengetahui pola pemijahan. Pengambilan sampel dilakukan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Waduk Cirata dengan tahap. Penelitian Tahap I merupakan penelitian pendahuluan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

: Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1)

: Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1) LAMPIRAN 48 Lampiran 1. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Way Perigi Parameter Satuan Baku Mutu Kelas I 1) Baku Mutu Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Kelas III 2) Stasiun 1

Lebih terperinci

ANALISIS DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI PROPINSI JAMBI

ANALISIS DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI PROPINSI JAMBI Analisis Debit DI Daerah Aliran Sungai Batanghari Propinsi Jambi (Tikno) 11 ANALISIS DEBIT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANGHARI PROPINSI JAMBI Sunu Tikno 1 INTISARI Ketersediaan data debit (aliran sungai)

Lebih terperinci

Tingkat Kematangan Gonad Ikan Lais (Ompok hypopthalmus) yang Tertangkap di Rawa Banjiran Sungai Rungan Kalimantan Tengah

Tingkat Kematangan Gonad Ikan Lais (Ompok hypopthalmus) yang Tertangkap di Rawa Banjiran Sungai Rungan Kalimantan Tengah Tingkat Kematangan Gonad Ikan Lais (Ompok hypopthalmus) yang Tertangkap di Rawa Banjiran Sungai Rungan Kalimantan Tengah Gonad Maturity Level of Catfish Ompok hypopthalmus Caught in A Flooding Swamp Area

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities.

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities. Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities Dedy Muharwin Lubis, Nur El Fajri 2, Eni Sumiarsih 2 Email : dedymuh_lubis@yahoo.com This study was

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini

METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini III METODE PENELITIAN.. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisa kesesuaian lahan perairan Abalon ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan sungai Sungai merupakan salah satu dari habitat perairan tawar. Berdasarkan kondisi lingkungannya atau daerah (zona) pada sungai dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN UMUM 1 BAB I PENDAHULUAN UMUM A. Latar Belakang Mollusca sebagai salah satu hasil perairan Indonesia sampai saat ini belum mendapatkan perhatian yang layak. Pemanfaatan Pelecypoda masih terbatas yaitu di daerah-daerah

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR

KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR KARAKTERISTIK Fe, NITROGEN, FOSFOR, DAN FITOPLANKTON PADA BEBERAPA TIPE PERAIRAN KOLONG BEKAS GALIAN TIMAH ROBANI JUHAR PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan lokasi

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan lokasi 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi Penelitian makanan dan reproduksi ikan tilan dilakukan selama tujuh bulan yang dimulai dari bulan Desember 2007- Juli 2008. Sampling dan observasi lapangan dilakukan

Lebih terperinci

Berk. Penel. Hayati: 15 (45 52), 2009

Berk. Penel. Hayati: 15 (45 52), 2009 BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATRA SELATAN Yunizar Ernawati 1, Eko Prianto 2, dan A. Ma suf 1 1 Dosen Departemen MSP, FPIK-IPB; 2 Balai Riset Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

Indeks Gonad Somatik Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) Yang Masuk Ke Muara Sungai Sekitar Danau Singkarak

Indeks Gonad Somatik Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) Yang Masuk Ke Muara Sungai Sekitar Danau Singkarak Indeks Gonad Somatik Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) Yang Masuk Ke Muara Sungai Sekitar Danau Singkarak ENDRI JUNAIDI, ENGGAR PATRIONO, FIFI SASTRA Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Sriwijaya,

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA RIA FAIZAH

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA RIA FAIZAH BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus) DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA RIA FAIZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014. Pengambilan sampel dilakukan di Rawa Bawang Latak, Desa Ujung

Lebih terperinci

PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN

PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN PENILAIAN KUALITAS LINGKUNGAN PADA KEGIATAN WISATA ALAM DI KAWASAN EKOWISATA TANGKAHAN SKRIPSI Oleh : Melyana Anggraini 061201022 / Manajemen Hutan PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci