SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN"

Transkripsi

1 SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN

2 i SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN Diklat Kepemimpinan di lingkungan Kementerian Pertahanan memiliki nilai strategis karena menjadi acuan dalam proyeksi pengisian kebutuhan jabatan terkait dengan pembinaan dan pengembangan karier PNS. Diklat Pim diharapkan mampu menghasilkan PNS yang memiliki standard kompetensi mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya secara profesional, efektif dan efisien. Pembinaan dan pengembangan PNS yang memiliki standard kompetensi di lingkungan Kementerian Pertahanan ini sejalan dengan Penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan Tk. III dan Diklat Kepemimpinan Tk. IV yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan mensinergikan karakter kepemimpinan, manajemen stratejik, manajerial serta pemberdayaan secara terintegrasi dalam merumuskan dan menetapkan serta memimpin pelaksanaan kegiatan unit organisasi. Untuk mampu mendapatkan standarisasi akademik peserta Diklat dari berbagai latar belakang pengetahuan yang dimiliki, maka perlu dilakukan penyusunan modul Bahan Seleksi Pengetahuan Akademik Diklat Kepemimpinan Tk. III dan Diklat Kepemimpinan Tk. IV di lingkungan Kementerian Pertahanan yang meliputi substansi Sejarah Perjuangan Bangsa, Pengetahuan Pancasila, Pengetahuan Pertahanan Negara, Teori Konflik dan Integrasi, Nasionalisme Indonesia, Good Governance, Kepemimpinan Masa Depan, Administrasi dan Manajemen Pemerintahan RI. ii Dengan selesainya penyusunan modul dibidang akademik, diharapkan dapat membantu para peserta seleksi Diklat Kepemimpinan Tk III dan Tk. IV dalam mempersiapkan diri mengikuti seleksi Tes Pengetahuan Akademik dan membantu peserta Diklat dalam mengikuti proses pembelajaran, serta membantu pengelola dan penyelenggara Diklat dalam penyelenggaraan seleksi calon peserta Diklat. Akhir kata, selamat memanfaatkan modul Bahan Seleksi Pengetahuan Akademik Diklat Kepemimpinan ini, semoga melalui modul ini, peningkatan kompetensi calon peserta Diklat Kepemimpinan Tk. III dan Diklat Kepemimpinan Tk. IV dapat tercapai. Jakarta, Juni 2015 Kepala Biro Kepegawaian, Sumardi Brigadir Jenderal TNI iii KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan Modul sebagai bahan bacaan belajar mandiri bagi para peserta seleksi Diklat Kepemimpinan Tk. III dan Tk IV Kemhan ini dengan baik. Materi modul terdiri dari Sejarah Perjuangan Bangsa, Pengetahuan Pancasila, Pengetahuan Pertahanan Negara, Teori Konflik dan Integrasi, Nasionalisme Indonesia, Good Governance, Kepemimpinan Masa Depan, Administrasi dan Manajemen Pemerintahan RI. Modul ini disusun untuk digunakan sebagai pedoman atau referensi dalam mengikuti tes potensi akademik bagi peserta seleksi Diklat Kepemimpinan Tk. III dan Tk IV di lingkungan Kemhan. Akhir kata selamat memanfaatkan modul ini, semoga melalui modul ini dapat membantu peserta seleksi Diklat Kepemimpinan Tk. III dan Tk IV Kemhan dalam mengikuti Tes Potensi Akademik dalam rangkaian seleksi calon peserta Diklat Kepemimpinan Tk. III dan IV. Tim Penyusun sudah berupaya optimal untuk merumuskan subtansi modul secara benar, dan menyadari modul ini masih belum sempurna, untuk itu kritik dan saran dari pembaca yang budiman untuk penyempurnaan modul ini sangat diharapkan. Sekian terima kasih. Selamat belajar dan semoga sukses. Jakarta, Juni 2015 iv DAFTAR ISI Halaman Sambutan Kabadiklat Kemhan... i Sambutan Kapusdiklat Jemenhan Badiklat Kemhan... ii Kata Pengantar Tim Penyusun... iv BAB I

3 BAB II PENDAHULUAN... 1 A. B. C. D. E. F. G. Latar Belakang... Deskripsi Singkat... Tujuan Pembelajaran... Indikator Hasil Belajar... Materi Pokok... Manfaat... Petunjuk Belajar SEJARAH PERJUANGAN BANGSA... 7 B. C. D. E. F. G. H. Pergerakan Nasional: Masa Awal, Masa Radikal, dan Masa Bertahanan... 8 Masa Pendudukan Jepang Sampai Dengan Indonesia Merdeka Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Masa Demokrasi Liberal Tahun Masa Demokrasi Terpimpin Tahun Masa Orde Baru Sampai Dengan Runtuhnya Orde Baru 125 BAB III PENGETAHUAN PANCASILA 167 A. B. C. Pengertian, Fungsi Dan Kedudukan Hukum Pancasila 167 Sejarah Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara 175 Peranan Pancasila Dalam Kehidupan v D. E. F. G. Bangsa Dan Negara 189 Peranan Pancasila Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia 208 Pengamalan Pancasila Sebagai Pandangan Hidup 212 Pengamalan Pancasila Sebagai Dasar Negara 215 Pengamanan Pancasila. 226 BAB IV PENGETAHUAN PERTAHANAN NEGARA 228 A. Pengertian B. Sistem 2. 3.

4 Pertahanan Negara Pengertian Pertahanan Negara 228 Sistem Pertahanan Negara 230 Penyelenggaraan Sistem Pertahanan Negara 232 Prinsip Penyelenggaraan C. dan Pertahanan Negara Prinsip-prinsip Pertahanan Negara 234 Hakekat, Tujuan dan Fungsi Pertahanan Negara 237 Bentukbentuk Ancaman 237 Obyek Pertahanan Negara Wilayah Negara vi 2. D. Pelaku E. Penyelenggara Pertahanan Negara Pengelola Pertahanan Negara 259 Doktrin Pertahanan Negara 262 Strategi Pertahanan Negara 264 Komponen Pertahanan Negara Permasalahan BAB V Bangsa Indonesia 250 Bidang Pertahanan

5 Negara Kondisi Umum Wilayah Perbatasan dan Pulau Terdepan 273 Industri Pertahanan Gangguan Keamanan dan Pelanggaran Hukum Di wilayah Laut Yuridiksi Nasional Keamanan dan Keselamatan Pelayaran di Selat Malaka dan ALKI Terorisme Keamanan Informasi Negara Yang Masih Lemah TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI A. B. C. Kondisi Geografi dan Demografi Indonesia... Permasalahan Konflik Separatisme... Teori Integrasi Umum Pengertian Integrasi Sejarah Integrasi Sejarah Disintegrasi di Dunia Teori Konflik Karakteristik Konflik Sumber dan Alasan Konflik vii Akar dan Alasan Konflik... Bentuk dan Sifat Konflik... Pengendalian Konflik... Pendekatan Pengendalian Konflik NASIONALISME INDONESIA... A. Hakekat Nasionalisme... B. Tantangan Nasionalisme... C. Perkembangan Nasionalisme... D. Fase Nasionalisme... E. Peranan Agama dan Etnisitas BAB VII TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (Good Governance)... A. Pengertian... B. Konsep Good Governance... C. Unsur-unsur Utama Good Governance... D. Prinsipprinsip Good Governance... E. Good Governance Bidang Pertahanan Negara... F. Langkah-langkah Good Governance... G. Keadaan di Indonesia Bidang Kebijakan Hubungan Kewenangan Antar Aktor Pertahanan 3. Pengawasan Bidang Pertahanan Langkah-langkah ke Depan BAB VIII KEPEMIMPINAN MASA DEPAN... A. Pengertian Kepemimpinan... B. Gaya Kepemimpinan... C. Tipologi Kepemimpinan... D. Teori Kepemimpinan... E. Kompetensi Kepemimpinan... F.

6 Kepemimpinan Abad Kepemimpinan Transformasional Kepemimpinan Transaksional BAB VI viii BAB IX ADMINISTRASI DAN MANAJEMEN PEMERINTAHAN RI... A. Membangun Pemerintahan Yang Baik Perkembangan Linkungan Strategis Nasional Global Interaksi Sosial Politik dan Pemerintahan Yang Baik Reformasi Penyelenggara Negara untuk Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik B. Sistem Pengelolaan Pembangunan Memahami Sistem Pengelolaan Pembangunan.. 2. Pengertian, Landasan dan Tujuan Sistem Pengelolaan Pembangunan Nasional Visi, Misi dan Strategi Pembangunan Nasional.. 4. Struktur Kelembagaan dalam Pengelolaan Pembangunan Nasional... Pembangunan Daerah, Sektor dan Negara Kewenangan Pemerintahan Pusat, Provinsi Dan Daerah Keadaan, Tantangan dan Strategi Perencanaan Pembangunan Penyelenggaraan, Hambatan dan Penilaian D. Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima Makna Pelayanan Prima Strategi Pelayanan Prima Standar Pelayanan Prima Sikap Dalam Pelayanan Prima E. Hukum Administrasi Negara Pengertian dan Sumber Hukum Administrasi Negara Hubungan Hukum Administrasi Negara Dengan Hukum Tata Negara Pengawasan Administratif dan Pengawasan Yuridis terhadap Pemerintah C.

7 F Analisis Kebijakan Publik ix G. Pengertian, Jenis dan Tingkat Kebijakan Publik. 429 Sistem, Proses dan Siklus Kebijakan Publik Implementasi, Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Publik Analisis Kebijakan Publik Teknologi Informasi Dalam Pemerintahan Masalah Pengembangan Sistem Informasi Masalah Teknologi Informasi Masalah Tenaga Kerja di Bidang Teknologi Informasi Masalah Kebijakan Pimpinan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang. Pemerintahan Negara yang diamanatkan oleh UUD RI Tahun 1945 adalah pemerintahan demokratis, desentralistis, bersih dari praktek Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik secara adil. Ketentuan tentang bentuk pemerintahan seperti tersebut tertuang dalam berbagai Undang-Undang sebagai pelaksanaan dari UUD RI Tahun 1945 yang merupakan sublimasi citacita luhur bangsa sebagaimana tercantum dalam UUD RI Tahun 1945 tentang tata pemerintahan yang baik atau good governance. Untuk menyelenggarakan pemerintahan seperti tersebut perlu dibangun aparatur negara yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktek KKN, berintegritas tinggi, serta berkemampuan dan berkinerja tinggi. Sesuai publikasi Bank Dunia yang baru saja dirilis, Investing in Indonesia s Institutions for InclusIIe and Sustainable Development menunjukkan konsekuensi dari transformasi Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah. Permintaan masyarakat akan pelayanan publik bermutu, dan cepat akan mengalami peningkatan. Sebagai bangsa berpendapatan menengah dan memiliki tingkat pendidikan semakin tinggi, serta mempunyai kehidupan politik yang semakin demokratis yang rakyatnya punya kesadaran politik semakin tinggi, menuntut pelayanan publik yang semakin baik, 2 semakin terjangkau dan bermutu tinggi, antara lain pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan bermutu tinggi, sarana dan prasarana transportasi yang lebih baik, dan sarana komunikasi yang state of the art. Untuk memenuhi tuntutan pelayanan publik yang setara dengan negara maju lainnya sangat diperlukan aparatur negara yang profesional, mampu menggalang kemitraan dengan pihak swasta, berkinerja tinggi, akuntabel, bersih dari praktek KKN, sehingga perlu dijamin tingkat kesejahteraannya. Reformasi Birokrasi yang dilaksanakan di berbagai kementerian dan pemerintah daerah mencakup 3 (tiga) elemen dasar yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusia aparatur negara. Sebagai unsur terbesar Aparatur Negara yang terdiri atas orang PNS pada bulan Februari 2013 (Sumber: BPS) adalah

8 unsur Aparatur Negara yang paling besar dan menduduki posisi penting karena sangat menentukan penyelenggaraan pelayanan publik, dan pelaksanaan tugas tugas pemerintahan serta pembangunan. Untuk dapat membentuk sosok PNS seperti tersebut di atas, perlu dilaksanakan pembinaan melalui jalur Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) bagi seluruh jajaran PNS, terutama terhadap PNS dalam jabatan struktural karena berperan sebagai pengelola dan pelaksana kebijakan publik dan atau keputusan politik. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, diantaranya ditetapkan jenis-jenis Diklat PNS. Salah satu jenis diklat yang diperlukan dalam pembentukan kompetensi PNS pada jabatan struktural 3 eselon III dan eselon IV adalah Diklat Kepemimpinan Tingkat III (Diklatpim Tk. III) dan Diklat kepemimpinan Tingkat IV (Diklatpim Tk. IV). Negeri Sipil, diantaranya ditetapkan jenis-jenis Diklat PNS. Salah satu jenis Diklat yang diperlukan dalam pembentukan kompetensi PNS pada jabatan struktural eselon III dan eselon IV adalah Diklat Kepemimpinan Tingkat III (Diklatpim Tk. III) dan Diklat kepemimpinan Tingkat IV (Diklatpim Tk. IV). Sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggungjawab dalam penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan, PNS pemangku jabatan struktural eselon III dan eselon IV memerlukan standar kompetensi jabatan yang meliputi kompetensi dasar (integritas, kepemimpinan, perencanaan dan pengorganisasian, kerjasama, fleksibilitas) dan sejumlah kompetensi bidang lainnya. Untuk dapat mengikuti Diklatpim Tk. III dan Tk. IV Kemhan, semua calon peserta diwajibkan mengikuti dan lulus seleksi Diklat yang meliputi: Seleksi Administrasi, Tes Kesehatan dan Jasmani, Tes Keterampilan Komputer, Tes Pengetahuan Akademik, Tes Kemampuan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (TOEFL), Psikotes dan Tes Kesehatan Jiwa (Keswa). Sebelum mengikuti tes, seluruh calon peserta seleksi Diklatpim Tk. III dan Tk. IV akan diberikan Modul Pengetahuan Akademik sebagai bahan bacaan belajar mandiri. Diharapkan dengan membaca modul tersebut calon peserta seleksi Diklatpim Tk. III dan Tk. IV dapat memahami dan mempedomaninya, karena soal-soal tes seleksi disusun dari modul ini. 4 B. Deskripsi Singkat. Modul ini menjelaskan tentang Sejarah Perjuangan Bangsa, Pengetahuan Pancasila, Pengetahuan Pertahanan Negara, Teori Konflik dan Integrasi, Nasionalisme Indonesia, Good Governance, Kepemimpinan Masa Depan, Administrasi dan Manajemen Pemerintahan RI. Modul ini diperuntukkan bagi seluruh calon peserta seleksi Diklatpim Tk. III dan Tk. IV Kemhan. C. Tujuan Pembelajaran. Setelah membaca modul ini calon peserta seleksi Diklatpim Tk. III dan Tk. IV Kemhan diharapkan mampu mengerti, memahami dan menjelaskan tentang Sejarah Perjuangan Bangsa, Pengetahuan Pancasila, Pengetahuan Pertahanan Negara, Teori Konflik dan Integrasi, Nasionalisme Indonesia, Good Governance, Kepemimpinan Masa Depan, Administrasi dan Manajemen Pemerintahan RI. D. Indikator Hasil Belajar. Indikator-indikator hasil belajar peserta, meliputi: Mampu menjawab dengan benar seluruh butirbutir soal tentang Sejarah perjuangan Bangsa; Mampu menjawab dengan benar seluruh butirbutir soal tentang Pengetahuan Pancasila; Mampu menjawab dengan benar seluruh butirbutir soal tentang Pengetahuan Pertahanan Negara;

9 E. Mampu menjawab dengan benar seluruh butirbutir soal tentang Teori Konflik dan Integrasi; Mampu menjawab dengan benar seluruh butirbutir soal tentang Nasionalisme Indonesia; Mampu menjawab dengan benar seluruh butirbutir soal tentang Good Governance; Mampu menjawab dengan benar seluruh butirbutir soal tentang Kepemimpinan masa depan; Mampu menjawab dengan benar seluruh butirbutir soal tentang Administrasi dan Manajemen Pemerintahan RI. Materi Pokok. Materi pokok yang dibahas pada modul ini adalah: F. Sejarah Perjuangan Bangsa Pancasila Pengetahuan Pertahanan Negara; Teori Konflik dan Integrasi; Nasionalisme Indonesia; Good Governance; Kepemimpinan masa depan; Administrasi dan Manajemen Pemerintahan RI. Manfaat. Berbekal hasil belajar pada modul ini, calon peserta seleksi Diklatpim Tk. III dan Tk. IV Kemhan diharapkan mampu mengerti, memahami dan menjelaskan serta dapat menjawab dengan benar seluruh butir-butir soal tentang Sejarah Perjuangan Bangsa, Pengetahuan Pancasila, Pengetahuan Pertahanan Negara, Teori Konflik dan Integrasi, Nasionalisme Indonesia, Good 6 Governance, Kepemimpinan Masa Depan, Administrasi dan Manajemen Pemerintahan RI. G. Petunjuk Belajar. Agar proses belajar peserta Diklat dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien, peserta dipersilahkan mencermati hal-hal sebagai berikut: Pelajari urutan materi secara perlahan-lahan; Beri tanda pada butir-butir yang dianggap penting untuk disimak ulang; Catat/tulis dalam kertas kosong rangkaian pokokpokok bahasan, sub pokok bahasan, unsur, sub unsur dan seterusnya. BAB II 7 SEJARAH PERJUANGAN BANGSA Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar; Setelah mempelajari modul ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan tahap-tahap (periodesasi) sejarah di Indonesia, dan dalam hal ini utamanya adalah perkembangan Indonesia dari masa Pergerakan Nasional, masa pendudukan Jepang, Proklamasi Kemerdekaan, masa Perang Kemerdekaan, masa Demokrasi Liberal, masa Demokrasi Terpimpin, masa Orde Baru dan masa Reformasi. A. Pendahuluan Sejarah adalah rekonstruksi peristiwa masa lampau untuk memperjelas kekinian dalam rangka menatap masa depan. Dengan mempelajari sejarah diharapkan kita dapat memahami arti kehidupan manusia di masa lampau. Keberadaan manusia yang sekarang ini merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dari kehidupan generasi sebelumnya. Sehubungan dengan itu memahami generasi sebelumnya adalah rangkain untuk memahami generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Rangkaian kelampauan, kekinian, dan keakanan itu merupakan suatu kesinambungan yang tak terpisahkan. Dengan demikian mempelajari Sejarah Perjuangan Indonesia adalah suatu keharusan agar dapat memilih dan menganalisis peristiwa-peristiwa sekarang untuk menentukan tindakan-tindakan pada masa yang akan datang. Khusus mengenai sejarah Indonesia, sebenarnya jika ditulis secara lebih lengkap dapat meliputi sekitar 13 jaman/periode/masa, yaitu:

10 Jaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha (abad IV-abad XV); Jaman Kerajaan-kerajaan/Kesultanan Islam ( ); Jaman VOC ( ); Jaman Hindia Belanda ( ); yang di antara Jaman/periode/masa ke-4 itu ada jaman/masa penjajahan-interegnum governmentinggris ( ); Jaman Pergerakan Nasional ( ); Jaman Pendudukan Jepang ( ); Jaman Revolusi Fisik/Jaman Perang Kemerdekaan atau Perang Mempertahankan Kemerdekaan ( ); Jaman/masa Negara RIS (27 Desember Agustus 1950); Jaman Demokrasi Parlementer ( ); Jaman Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama ( ); Jaman Orde Baru/Orba ( ); Jaman/Masa Orde Reformasi Namun, dalam mata pelajaran Sejarah ini hanya menitikberatkan perkembangan Sejarah Perjuangan Indonesia dari masa Pergerakan Nasional (1908) sampai masa Orde Baru dan runtuhnya Orde Baru (1998), serta adanya penambahan data informasi kesejarahan seputar perubahan Jaman, dari Jaman/masa Orde Baru ke Orde Reformasi. B. PERGERAKAN NASIONAL: MASA AWAL, MASA RADIKAL, DAN MASA BERTAHANAN Masa Pergerakan Nasional ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi modern antara lain Budi Utomo (BU), Sarekat Islam (SI), dan Indische Partij (IP) dalam memperjuangkan perbaikan nasib bangsa. Kaum terpelajar melalui organisasi- 9 organisasi modern memotori munculnya pergerakan nasional Indonesia. Pada saat itulah bangsabangsa di Nusantara mulai sadar akan rasa sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Kata Pergerakan Nasional mengandung suatu pengertian yang khas yaitu merupakan perjuangan yang dilakukan oleh organisasi secara modern ke arah perbaikan taraf hidup bangsa Indonesia yang disebabkan karena rasa tidak puas terhadap keadaan masyarakat yang ada. Dengan demikian istilah ini mengandung arti yang sangat luas. Gerakan yang mereka lakukan memang tidak hanya terbatas untuk memperbaiki derajat bangsa tetapi juga meliputi gerakan di berbagai bidang, seperti: sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, keagamaan, wanita, pemuda dan lain-lain. Istilah Nasional berarti bahwa pergerakanpergerakan tersebut mempunyai cita-cita nasional untuk mencapai kemerdekaan bagi bangsanya yang masih terjajah. Disamping itu, sifat pergerakan pada masa ini lebih bersifat nasional bila dibanding dengan sifat pergerakan sebelumnya yang bercorak kedaerahan. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya pergerakan nasional, antara lain adalah : a. Faktor yang berasal dari luar negeri (eksternal), antara lain: pada waktu itu pada umumnya bangsabangsa di Asia sedang menghadapi imperialisme Barat. Hal inilah yang mendorong bangkitnya nasionalisme Asia. Selain itu kemenangan Jepang dalam perang melawan Rusia tahun 1905 juga membuktikan bahwa ternyata Bangsa Timur dapat juga mengalahkan Bangsa Barat. Disamping adanya gerakan Turki Muda yang bertujuan mencari perbaikan nasib. 10 b. 1. Faktor yang berasal dari dalam negeri (internal), yaitu adanya rasa tidak puas, penderitaan, rasa kesedihan dan kesengsaraan dari bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan penindasan kolonial. Ketidakpuasan itu sebenarnya sudah lama mereka ungkapkan melalui perlawanan bersenjata melawan Belanda di berbagi daerah, antara lain: perlawanan yang dipimpin oleh Pattimura, Teuku

11 Umar, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro dll. Namun perlawanan-perlawanan itu menemui kegagalan karena di antara mereka masih belum ada rasa persatuan nasional. Kegagalan demi kegagalan inilah yang menyadarkan para pemimpin bangsa atau dalam hal ini kaum pergerakan nasional untuk merubah taktik dan strategi perjuangan melawan penjajah dalam mewujudkan citacita mereka, yaitu mencapai Indonesia Merdeka dengan mendirikan organisasi-organisasi modern. MASA AWAL Masa awal ditandai dengan berdirinya organisasiorganisasi modern antara lain adalah : a. Budi Utomo (BU) 20 Mei 1908 Gagasan pertama pembentukan Budi Utomo berasal dari dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter Jawa dari Surakarta.Ia menginginkan adanya tenaga-tenaga muda yang terdidik secara Barat, namun pada umumnya pemuda-pemuda tersebut tidak sanggup membiayai dirinya sendiri. Sehubungan dengan itu perlu dikumpulkan beasiswa (study fond) untuk membiayai mereka. Pada tahun 1908 dr.wahidin bertemu dengan Sutomo, pelajar Stovia. Dokter Wahidin mengemukakan gagasannya pada pelajar-pelajar Stovia dan para pelajar tersebut menyambutnya dengan baik. 11 Secara kebetulan para pelajar Stovia juga memerlukan adanya suatu wadah yang dapat menampung kegiatan dan kehidupan budaya mereka pada umumnya. Sehubungan dengan itu pada tanggal 20 Mei 1908 diadakan rapat di satu kelas di Stovia. Rapat tersebut berhasil membentuk sebuah organisasi bernama Budi Utomo dengan Sutomo ditunjuk sebagai ketuanya. Pada awalnya tujuan Budi Utomo adalah menjamin kemajuan kehidupan sebagai bangsa yang terhormat. Kemajuan ini dapat dicapai dengan mengusahakan perbaikan pendidikan, pengajaran, kebudayaan, pertanian, peternakan, dan perdagangan. Namun sejalan dengan berkembangnya waktu tujuan dan kegiatan Budi Utomo pun mengalami perkembangan. Pada tahun 1914 Budi Utomo mengusulkan dibentuknya Komite Pertahanan Hindia (Comite Indie Weerbaar). Budi Utomo menganggap perlunya milisi bumiputra untuk mempertahankan Indonesia dari serangan luar akibat Perang Dunia Pertama (PD I, ). Namun, usulan itu tidak dikabulkan dan justru pemerintah Belanda lebih mengutamakan pembentukan Dewan Rakyat Hindia (Volksraad). Selanjutnya ketika Volksraad (Dewan Rakyat) didirikan, Budi Utomo aktif dalam lembaga tersebut. Pada tahun 1932 pemahaman kebangsaan Budi Utomo makin berkembang maka pada tahun itu pula mereka mencantumkan citacita Indonesia merdeka dalam tujuan organisasi. 12 b. Serikat Islam (SI) Agustus 1911 Berbeda dengan Budi Utomo yang mula-mula hanya mengangkat derajat para priyayi khususnya di Jawa, maka organisasi Serikat Islam mempunyai sasaran anggotanya yang mencakup seluruh rakyat jelata yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Pada tahun 1909 R.M.Tirtoadisuryo mendirikan perseroan dalam bentuk koperasi bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Perseroan dagang ini bertujuan untuk menghilangkan monopoli pedagang Cina yang menjual bahan dan obat untuk membatik. Persaingan pedagang batik Bumiputra melalui SDI dengan pedagang Cina juga nampak di Surakarta. Oleh karena itu Tirtoadisuryo mendorong seorang pedagang batik yang berhasil di Surakarta, Haji Samanhudi untuk mendirikan Serikat Dagang Islam. Setahun setelah berdiri, Serikat Dagang Islam tumbuh dengan cepat menjadi organisasi raksasa. Sekitar akhir bulan Agustus 1911, nama Serikat Dagang Islam diganti menjadi Serikat Islam (SI). Hal ini dilakukan karena adanya perubahan dasar perkumpulan, yaitu mencapai kemajuan rakyat yang nyata dengan jalan persaudaraan, persatuan dan tolong-menolong di antara kaum muslimin. Anggota SI segera meluas ke seluruh Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Sebagian besar anggotanya adalah rakyat jelata. Serikat Islam ini dapat membaca keinginan rakyat, dengan membantu perbaikan upah kerja, sewa tanah dan perbaikan sosial kaum tani. Perkembangan yang cepat ini terlihat pada tahun 1917 dengan jumlah anggota mencapai orang yang tersebar

12 pada 84 cabang. 13 Meningkatnya anggota Serikat Islam secepat ini, membuat pemerintah Hindia Belanda menaruh curiga. Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghalangi pertumbuhannya. Kebijakan yang ditempuh antara lain dengan hanya memberikan izin sebagai badan hukum pada tingkat lokal. Sebaliknya pada tingkat pusat tidak diberikan izin karena dianggap membahayakan, jumlah anggota yang terlalu besar diperkirakan akan dapat melawan pemerintah. Dalam kongres tahunannya pada tahun 1916, H.O.S Cokro Aminoto mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk Komite Pertahanan Hindia. Hal itu menunjukkan bahwa kesadaran politik bangsa Indonesia mulai meningkat. Dalam kongres itu diputuskan pula adanya satu bangsa yang menyatukan seluruh bangsa Indonesia. Sementara itu orang-orang sosialis yang tergabung dalam de Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) seperti Semaun, Darsono, dan lain-lain mencoba mempengaruhi SI. Sejak itu SI mulai bergeser ke kiri (sosialis). Melihat perkembangan SI itu, pimpinan SI yang lain kemudian menjalankan disiplin partai melalui kongres SI bulan Oktober 1921 di Surabaya. Selanjutnya SI pecah menjadi SI putih di bawah Cokroaminoto dan SI merah di bawah Semaun dan Darsono. Dalam Perkembangan SI merah ini bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah berdiri sejak 23 Mei Dalam kongres Serikat Islam di Madiun pada tahun 1923 nama Serikat Islam diganti menjadi Partai Serikat Islam (PSI). Partai ini bersifat non 14 kooperasi yaitu tidak mau bekerjasama dengan pemerintah tetapi menginginkan adanya wakil dalam Dewan Rakyat (Volksraad). c. Muhammadiyah (18 November 1912) Pada tanggal 18 November 1912 Muhammadiyah didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Organisasi Muhammadiyah bergerak di bidang pendidikan, sosial dan budaya. Muhammadiyah bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dalam pelaksanaan hidup sehari-hari agar sesuai dengan Al-Qur an dan Hadits. Muhammadiyah berusaha memberantas semua jenis perbuatan yang tidak sesuai dengan Al-Qur an dan hadits. Di samping itu, Muhammadiyah juga giat memerangi penyakit TBC (Taklid, Bid ah dan Churafat) yang menghinggapi masyarakat khususnya di Jawa. Praktik Churafat atau lebih dikenal dengan praktikpraktik amalan ibadah yang salah menurut Islam, karena mendekati takhayul, perilaku syirik (menyekutukan Tuhan) yang banyak terjadi di lingkungan Kerajaan Mataram Yogyakarta dan sekitarnya seperti: percaya kepada kekuatan keris, tombak, peristiwa gerhanabulan dianggap sebagai Buta Ijo sedang memakan bulan, dan bahkan ada yang percaya kepada Nyi Roro Kidul. Hal itu barangkali alasan yang dapat menjawab pertanyaan mengapa Muhammadiyah lahir di kota Yogyakarta. Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah melakukan berbagai usaha seperti: mendirikan sekolah-sekolah, mendirikan rumah sakit, 15 mendirikan panti asuhan,mendirikan rumah anak yatim piatu dan lain-lain. Di bidang pendidikan Muhammadiyah mendirikan dan mengelola sekolah-sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah selain diajarkan agama juga diajarkan pelajaran umum yang mengacu pada kaidah-kaidah modern. Pendidikan mengenal sistem kurikulum kelas atau tingkatan, sebagaimana dilakukan sekolah model Barat. Dalam perkumpulan Muhammadiyah terdapat bagian wanita yang disebut Aisyiah, bagian khusus anak gadis disebut Nasyiatul Aisiyah, dan kepanduan yang disebut, Hizbul Wathan. d. Indische Partij (IP) 1912 Organisasi yang sejak berdirinya sudah bersikap radikal adalah Indische Partij. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 25 Desember 1912 di kalangan orang-orang Indo di Indonesia yang dipimpin oleh Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (dr. Danudirja Setiabudi). Cita-citanya adalah agar orang-orang yang menetap di Hindia Belanda (Indonesia) dapat duduk dalam pemerintahan. Adapun semboyan IP adalah Indie Voor de Indier (Hindia bagi orang-orang yang berdiam di Hindia). Dalam menjalankan propagandanya ke Jawa Tengah, E.F.E Douwes Dekker

13 bertemu dengan Cipto Mangunkusumo yang telah meninggalkan Budi Utomo. Cipto Mangunkusumo terkenal dalam Budi Utomo dengan pandanganpandangannya yang radikal, segera terpikat pada ide Douwes Dekker. Suwardi Suryaningrat (Ki 16 Hajar Dewantara) dan Abdul Muis yang berada di Bandung juga tertarik pada ide Douwes Dekker tersebut. Dengan dukungan tokoh-tokoh tersebut, Indische Partij berkembang menjadi 30 cabang dengan orang anggota, sebagian besar terdiri atas orang-orang Indo-Belanda. Indische Partij berjasa memunculkan konsep Indie voor de Indier yang sesungguhnya lebih luas dari konsep Jawa Raya dari Budi Utomo. Dibandingkan dengan Budi Utomo, Indische Partij telah mencakup sukusuku bangsa lain di nusantara. Budi utomo dalam perkembangannya terpengaruh juga oleh cita-cita nasionalisme yang lebih luas. Hal ini dialami juga oleh organisasiorganisasi lain yang keanggotaannya terdiri atas suku-suku bangsa tertentu, seperti Serikat Ambon, Serikat Minahasa, Kaum Betawi, Partai Tionghoa Indonesia, Serikat Selebes, dan Partai Arab-Indonesia. Cita-cita persatuan ini kemudian berkembang menjadi nasionalisme yang kokoh, hal ini menjadi pokok. Masa akhir Indische Partij terjadi setelah Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo ditangkap. Pemerintah Belanda menganggap Indische Partij mengganggu serta mengancam ketertiban umum. Oleh karena itu, para pemimpinnya ditangkap dan dibuang. dr. E.F.E. Douwes Dekker atau dr. Danudirja Setiabudi dibuang ke Kupang (NTT), dr.cipto Mangunkusumo dibuang ke Bandanaira di Kepulauan Maluku, dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat dibuang ke Pulau Bangka. Akhirnya kedua tokoh tersebut meminta dibuang ke negeri Belanda. Demikian juga Douwes Dekker dibuang ke Belanda dari tahun 1913 sampai dengan Pada saat pemerintah Hindia Belanda merayakan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari Belgia, tokoh yang disebut terakhir ini juga menulis sebuah artikel berjudul Als Ik de Netherlander was (seandainya aku seorang Belanda) yang berisikan kritikan pedas terhadap pemerintah. Kelak karena permohonan ketiga tokoh itu sendiri, akhirnya mereka dibuang ke negeri Belanda. 2. MASA RADIKAL Masa radikal diartikan sebagai suatu masa yang memunculkan organisasiorganisasi politik yang kemudian dinamakan partai. Beberapa partai yang dimaksud antara lain: PKI (1920), PNI (1927) dan Partindo (1931). Pada umumnya organisasi-organisasi ini tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan cita-cita organisasinya. Mereka dengan tegas menyebutkan tujuannya untuk mencapai Indonesia Merdeka. Organisasiorganisasi atau partai ini sudah bergerak dalam bidang politik, khususnya menentang keputusan pemerintah Belanda. Masa radikal ini juga diwarnai pengaruh Marxisme dan komunisme. Pada tahun 1908 di negeri Belanda berdiri sebuah organisasi yang bernama Indische Vereeniging. Organisasi ini didirikan oleh pelajar-pelajar dari Indonesia. Pada mulanya hanya bersifat sosial yaitu untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama para pelajar tersebut. Namun sejalan dengan berkembangnya perasaan anti kolonialisme dan imperialisme setelah berakhirnya Perang Dunia I, organisasi ini juga menginginkan adanya hak 18 bagi bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sehubungan dengan itu Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Sejalan dengan itu majalah Perhimpunan Indonesia yang semula bernama Hindia Putra juga berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Para anggota PI berusaha mengadakan propaganda kemerdekaan Indonesia. Di samping itu mereka mengadakan hubungan dengan gerakan-gerakan nasional di berbagai negara di dunia, antara lain dengan Liga Penentang Tindasan Penjajah, Internasional Komunis dan ikut serta pada kongreskongres internasional yang bersifat humanistis. Dalam perkembangannya pada tanggal 5-10 Februari 1927 Liga Penentang Tindakan Penjajahan mengadakan Kongres Internasional pertama di Brussel. Tujuan kongres ini adalah menentang imperialisme di dunia dan tindakan penjajahan. Dalam kongres Brussel itu hadir wakil-wakil pergerakan kebangsaan berbagai negara terjajah di

14 dunia termasuk Indonesia diwakili oleh Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Gatot Mangkupraja, Achmad Soebardjo dan Semaun. Adapun hasil-hasil yang diputuskan dalam Kongres Brussel adalah: a) Memberikan dukungan yang sebesarbesarnya kepada Pergerakan Kemerdekaan Indonesia dan menyokong pergerakan itu secara terus menerus dengan segala daya upaya apa pun juga; 19 b) Menuntut dengan keras kepada Pemerintah Belanda agar pergerakan Rakyat Indonesia diberi kebebasan bergerak, menghapus keputusan-keputusan hukuman mati dan pembuangan, serta menuntut adanya pembebasan tahanan politik bagi kaum pergerakan. Dengan lahirnya keputusan-keputusan yang memberikan dukungan kepada kaum pergerakan maka Perhimpunan Indonesia segera menjadi anggota Liga Tindakan Anti Penjajahan. Tujuannya adalah agar kaum pergerakan mendapat perhatian Internasional serta para pemuda Indonesia bisa berkenalan dengan para tokoh pergerakan bangsa-bangsa lain. Di samping itu juga untuk menanamkan rasa senasib atau rasa solidaritas dengan bangsa-bangsa terjajah lainnya seperti: tokoh-tokoh nasional dari India, Indo Cina, Filipina, Mesir serta tokoh-tokoh pergerakan negaranegara di Pasifik. Tindakan Perhimpunan Indonesia (PI) itu membuat Pemerintah Kolonial Belanda bertindak tegas. Empat anggota pengurus Perhimpunan Indonesia yaitu Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Abdul Madjid, dan Ali Sastroamidjojo ditangkap. Mereka dihadapkan pada sidang pengadilan Maret Dalam kesempatan tersebut, Mohammad Hatta mengajukan pidato pembelaan yang berjudul Indonesia Vry. Pemerintah kolonial Belanda ternyata tidak berhasil membuktikan kesalahannya, sehingga merekapun dibebaskan. Kejadian ini merupakan peristiwa yang penting bagi perjalanan Pergerakan Nasional Indonesia. Penentangan yang dilakukan membuat PI semakin mendapat simpati dari rakyat sehingga PI semakin besar. 20 Semangat yang tinggi untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka juga nampak pada Partai Nasional Indonesia. Dalam anggaran dasarnya ditegaskan secara jelas yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia. PNI berkeyakinan bahwa untuk membangun nasionalisme ada tiga syarat yang harus ditanamkan kepada rakyat yaitu Jiwa Nasional (nationaale geest), Niat/Tekad Nasional (nationaale wil), dan Tindakan Nasional (nationaale daad). Dengan cara ini Partai Nasional Indonesia berusaha dengan kekuatan rakyat sendiri, memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan budaya bangsa Indonesia. Pemahaman terhadap ketiga unsur itu menjadikan masyarakat sadar akan kemelaratannya dalam alam penjajahan. Soekarno menjelaskan kepada rakyat bahwa masa lampau Indonesia adalah sangat gemilang. Manusia Indonesia menurut Soekarno (tokoh PNI) dimiskinkan oleh kolonial. Manusia Indonesia yang memiliki tanah untuk mencari nafkah, tetapi tetap miskin. Semangat marhaenisme dan nasionalisme yang ditiupkan oleh Bung Karno mendapat simpati kelompok- kelompok politik. Semangat marhaenisme dan nasonalisme itulah yang membuat partaipartai politik semakin terbangun persatuannya. Oleh sebab itu pada akhir tahun 1927 PNI mengadakan suatu rapat di Bandung yang antara lain dihadiri oleh wakil-wakil dari Partai Serikat Islam, Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, Sumatranen Bond dan Kaum Betawi. Rapat yang dipimpin atau dipelopori Partai Nasional Indonesia (PNI) itu, pada tanggal 17 Desember 1927 sepakat membentuk suatu badan kerjasama yaitu Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Lahirnya PPPKI mendapat respon dalam kongres PNI tahun Dalam kongres itu dikemukakan bahwa ada pertentangan tajam antara penjajah dan yang 21 dijajah. Belanda, merupakan suatu kekuatan imperialisme yang mengeruk kekayaan bumi Indonesia. Itulah sebabnya tatanan-tatanan sosial, ekonomi dan politik Indonesia hancur lebur. Untuk mengatasi keadaan ini diperlukan perjuangan politik yaitu mencapai Indonesia merdeka.

15 Tidak dapat disangkal bahwa pada masa pergerakan nasional ini ada unsur-unsur Marxisme turut mempengaruhi sikap pergerakan nasional. Pemikiran itu disebarkan dalam rapat-rapat, kursuskursus dan sekolah-sekolah serta organisasi-organisasi pemuda yang didirikan oleh PNI. Pers PNI yang terdiri dari surat-surat kabar Banteng Priangan (Bandung) dan Persatuan Indonesia (Jakarta) juga membantu penyebaran pandangan ini. Kegiatan PNI ini dengan pesat menarik perhatian massa. Jumlah anggota PNI pada tahun 1929 diperkirakan orang, yang tersebar antara lain di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Makassar. Perkembangan PNI ini semakin mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Dengan tuduhan akan melakukan pemberontakan, tokoh-tokoh PNI, Soekarno dkk ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan pada 18 Agustus Dalam pengadilan tersebut, Soekarno mengajukan pidato pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggugat. Tokoh-tokoh PNI tersebut kemudian dijatuhi hukuman penjara. Setelah tokoh-tokoh pimpinan PNI ditangkap, PNI kemudian dibubarkan. Selama Ir. Soekarno dipenjara, di dalam tubuh PNI mengalami pertentangan antara kelompok yang tidak setuju PNI dibubarkan yaitu PNI Merdeka yang kemudian mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-Baru yang dipimpin oleh Drs.Moh. Hatta. Sedangkan kelompok lainnya yang dipimpin Sartono yang lebih memilih PNI dibubarkan akhirnya 22 mendirikan Partindo (Partai Indonesia). Setelah keluar dari penjara Ir. Soekarno dihadapkan kepada dua pilihan organisasi yang sama-sama berat di hatinya. Namun demikian, akhirnya Ir.Soekarno memilih masuk Partindo. Nasionalisme juga berkembang di kalangan pemuda. Para pemuda yang telah mendirikan berbagai organisasi pemuda juga merasa perlu untuk menggalang persatuan. Semangat persatuan ini diwujudkan dalam kongres pemuda pertama di Jakarta pada bulan Mei Para pemuda menyadari bahwa nasionalisme perlu ditumbuhkan dari sifat kedaerahan yang sempit menuju terciptanya kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Namun kongres pertama ini belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan. PPI mempelopori penyelenggaraan Kongres Pemuda II. Dalam Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada tanggal Oktober 1928 berbagai organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Rukun, Pasundan, Jong Celebes, Pemuda Kaum Betawi. Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda peserta Kongres ini berusaha mempertegas kembali makna persatuan dan berhasil mencapai suatu kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, yaitu: Pertama, Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua, Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Ketiga, Kami Putera dan Puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia. 23 Dalam penutupan kongres itu pula untuk pertama kali dikumandangkan lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah Putih dikibarkan untuk mengiringi lagu tersebut. Suasana haru yang sangat mendalam memenuhi hati para pemuda yang hadir saat itu. Sebagai tindak lanjut Sumpah Pemuda pada tanggal 31 Desember 1930 di Surakarta dibentuk organisasi Indonesia Muda, yang merupakan penyatuan dari berbagai organisasi pemuda, yaitu Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes, Sekar Rukun dan Pemuda Indonesia. Hal itu membuat Pemerintah Belanda semakin serius mengawasi pergerakan politik bangsa Indonesia. Gubernur Jenderal De Jonge melakukan tekanan keras terhadap organisasi pergerakan nasional. Ia mempunyai hak luar biasa untuk menindak setiap gerakan nasional yang dianggap mengganggu ketentraman dan ketertiban, Partai politik dikenakan larangan rapat, surat kabar diberangus dan dibakar. Para pemimpinnya ditangkap dan dibuang. Tindakan pemerintah berupa penangkapan dan pembuangan para pemimpin politik inilah yang menyebabkan hubungan partai-partai politik dengan massa rakyat terputus. Pemimpin dan pengikut dipisahkan dari kegiatan politik. Polisi rahasia atau Politieke Inlichtingen Dienst (PID) selalu memata-matai setiap gerakan dan siap menindak. 3.

16 MASA BERTAHAN Pada tahap ini kaum pergerakan berusaha mencari jalan baru untuk melanjutkan perjuangan. Hal itu dilakukan karena adanya tindakan keras dari pemerintah. Mereka menggunakan taktik baru, yaitu dengan bekerja sama dengan pemerintah melalui parlemen. Partai politik mengirimkan wakil-wakilnya dalam Dewan Rakyat. Mereka mengambil jalan 24 kooperatif, tetapi sifatnya sementara dan lebih sebagai taktik perjuangan saja. Perjuangan moderat dan parlementer ini berlangsung dari tahun , pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer ( ). Hingga saat pemerintah Hindia Belanda ditaklukkan oleh Jepang, pemberian hak parlementer penuh oleh pemerintah Belanda kepada wakil-wakil rakyat Indonesia tidak pernah menjadi kenyataan. Diantara partai-partai politik yang melakukan taktik kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda adalah Persatuan Bangsa Indonesia dan Partai Indonesia Raya. Kelompok Studi Indonesia di Surabaya menyarankan agar perbedaan antara gerakan yang berasas kooperasi dan non-kooperasi tidak perlu dibesarbesarkan. Hal yang lebih penting yaitu tujuan organisasi sama yakni memperjuangkan pembebasan rakyat dari penderitaan lewat kesejahteraan ekonomi, sosial budaya dan politik. Untuk melaksanakan cita-cita kesejahteraan ekonomi maka Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) mendirikan bank, koperasi serta perkumpulan tani dan nelayan. Pemakarsanya adalah Dokter Sutomo, seorang pendiri Budi Utomo. Pada tahun 1932, anggota PBI yang berjumlah orang dari 30 cabang menyelenggarakan kongres, yang memutuskan bahwa PBI akan tetap menggalakkan koperasi, serikat kerja, dan pengajaran. Untuk mencapai tujuan itu maka tidak ada jalan lain yang dilakukan kecuali pendidikan rakyat diperhatikan dengan mengadakan kegiatan kepanduan. Pada tahun 1935 terjadi penyatuan antara Budi Utomo dan PBI. Dalam sebuah partai yang disebut Partai 25 Indonesia Raya (Parindra), Ketuanya adalah Dokter Sutomo. Organisasi-organisasi lain yang ikut bergabung dalam Parindra diantaranya: Serikat Sumatera, Serikat Celebes, Serikat Ambon, dan Kaum Betawi. Dengan bergabungnya berbagai organisasi membuat Parindra semakin kuat dan anggotanya tersebar di mana-mana. Jumlah anggotanya meningkat pesat. Pada tahun 1936 jumlah anggotanya berkisar orang dari 37 cabang. Cita-cita Parindra pun semakin tegas yaitu mencapai Indonesia merdeka. Dalam kongresnya tahun 1937, Wuryaningrat terpilih sebagai ketua dibantu oleh Mohammad Husni Thamrin, Sukardjo Wiryapranoto, Raden Panji Suroso, dan Susanto Tirtoprojo. Kerjasama antar anggota cabangcabangnya menjadikan Parindra sebagai partai politik terkuat menjelang runtuhnya Hindia Belanda. Di samping Parindra juga muncul organisasi lain seperti Partindo. Namun karena desakan pemerintah akhirnya partai itu bubar pada tahun Para pemimpinnya meneruskan perjuangan dengan mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta pada tanggal 24 Mei Tokoh-tokoh yang duduk dalam Gerindo ialah Mr. Sartono, Mr. Mohammad Yamin, dan Mr. Amir Syarifuddin. Para pemimpinnya menginginkan Gerindo menjadi partai rakyat dengan asas kooperasi. Prinsip demokrasi dipertahankan untuk menahan desakan ekspansi Jepang yang makin dekat. Perjuangan melawan pemerintah Belanda terus dilanjutkan. Di pihak lain, para pejuang juga mempersiapkan diri menghadapi Jepang yang mulai mengarah ke selatan.namun kemudian terjadi kericuhan di dalam Gerindo, sehingga perpecahan 26 tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu Mr. Mohammad Yamin mendirikan Partai Persatuan Indonesia pada tanggal 21 Juli Asas perjuangannya adalah demokrasi kebangsaan dan kerakyatan. Namun organisasi ini tidak mendapat tempat dalam masyarakat. Pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Van Lim burg Stirum ( ) dibentuk Volksraad atau Dewan Rakyat, yaitu pada tanggal 18 Mei Anggota dewan dipilih dan diangkat dari golongan orang Belanda, Indonesia, dan bangsa-bangsa lain. Orang Indonesia yang menjadi anggota mula-mula berjumlah 39%, kemudian bertambah dalam tahuntahun selanjutnya. Tujuan pembentukan Dewan Rakyat adalah agar wakil-wakil rakyat Indonesia dapat berperan serta dalam pemerintahan. Akan tetapi, dewan ini tidak mencerminkan perwakilan rakyat yang sesungguhnya, karena yang berhak memilih anggota dewan adalah orang-orang yang dekat dengan pemerintah. Wakil-wakil bumiputra tidak

17 banyak mempunyai hak suara. Meskipun demikian, partai politik yang berazaskan kooperatif mengirimkan wakil-wakilnya untuk duduk dalam Dewan Rakyat. Mereka menyalurkan aspirasi (citacita, harapan, keinginan) partainya melalui dewan itu. sedang golongan non kooperatif menganggap Dewan Rakyat hanyalah sandiwara dan mereka tidak mau duduk dalam dewan itu. Golongan kooperatif berupaya semaksimal mungkin untuk memanfaatkan Dewan Rakyat. Pada tahun 1930 Mohammad Husni Thamrin, anggota Dewan Rakyat, membentuk Fraksi Nasional guna memperkuat barisan dan persatuan nasional. Mereka menuntut perubahan ketatanegaraan dan penghapusan diskriminasi di berbagai bidang. Mereka juga menuntut penghapusan 27 beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda tentang penangkapan dan pengasingan pemimpin perjuangan Indonesia serta pemberangusan pers. Pada tanggal 15 Juli 1936 Sutarjo Kartohadikusumo, anggota dewan rakyat, menyampaikan petisi agar Indonesia diberi pemerintahan sendiri (otonomi) secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun. Jawaban terhadap petisi Sutarjo baru diberikan oleh pemerintah dua tahun kemudian. Dapat dipastikan bahwa tuntutan untuk otonomi ini ditolak pemerintah, sebab hal ini memberi peluang yang mengancam runtuhnya bangunan kolonial. Meskipun demikian, para nasionalis tetap gigih memperjuangkan tuntutan itu lewat forum parlemen semu tersebut. Kegagalan Petisi Sutarjo bahkan menjadi cambuk untuk meningkatkan perjuangan nasional. Pada bulan Mei 1939 Muh. Husni Thamrin membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang merupakan gabungan dari Parindra, Gerindo, PSII, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia. Pasundan, Kaum Betawi, dan Persatuan Minahasa. Tujuannya ialah agar terbentuk kekuatan nasional tunggal dalam menghadapi pemerintah kolonial. Selain itu, ancaman perang makin terasa karena Jepang sudah bergerak makin jauh ke selatan dan mengancam Indonesia. GAPI mengadakan aksi dan menuntut Indonesia Berparlemen yang disusun dan dipilih oleh rakyat Indonesia, Pemerintah harus bertanggung jawab kepada Parlemen. Jika tuntutan itu diterima pemerintah, GAPI akan mengajak rakyat untuk mengimbangi kemurahan hati pemerintah. Untuk mencapai cita-cita GAPI ini maka pada tanggal 24 Desember 1939 kaum pergerakan mengadakan Kongres Rakyat Indonesia. Kegiatan ini antara lain 28 menuntut pemerintah Belanda agar menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan dan bendera merah putih sebagai bendera Nasional. Pemerintah memberikan reaksi dingin. Perubahan ketatanegaraan akan diberikan setelah Perang Dunia II selesai. Pada 1 September 1939 pecah perang di Eropa yang kemudian berkembang menjadi Perang Dunia II. Tuntutan GAPI dijawab Pemerintah dengan pembentukan Komisi Visman pada bulan Maret Komisi yang diketuai Visman ini bertugas menyelidiki keinginan golongangolongan masyarakat Indonesia dan perubahan pemerintahan yang diinginkan. Namun Komisi ini hanya menampung hasrat masyarakat Indonesia yang pro pemerintah dan masih menginginkan Indonesia tetapi dalam ikatan Kerajaan Belanda. Hasil penyelidikan Komisi Visman tidak memuaskan. Komisi hanya sekedar memberi angin atau berbasabasi kepada kaum nasionalis Indonesia dan tidak sungguh-sungguh menanggapi perubahan ketatanegaraan Indonesia. Sebelum hasil Komisi Visman diwujudkan, Jepang sudah tiba di Indonesia. Meskipun demikian pihak Indonesia telah sempat mengusulkan 3 hal, yaitu : pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri; penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang Dewan Rakyat; pergantian kata Inlander (pribumi) menjadi Indonesier. Untuk menguatkan dan mensukseskan perjuangan GAPI yaitu Mencapai Indonesia Berparlemen, maka kaum pergerakan mengadakan kongres. Kongres Rakyat Indonesia (KRI) yang sebelumnya hanyalah kata kerja/kegiatan (verb) kemudian dirubah menjadi 29 seolah-olah sebuah badan perwakilan (parlemen) bagi bangsa Indonesia. Anggota KRI di

18 antaranya: 1. Partai Indonesia Raya (Parindra), 2. Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), 3. Paguyuban Pasundan, 4. Persatuan Minahasa, 5. Persatuan Perkumpulan Pemuda Indonesia (PPPI), 6. Kongres Perempuan Indonesia (KPI), 7. Istri Indonesia (II), 8. Persatuan Djurnalis Indonesia (Perdi), 9. Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI), 10. Persatuan Hindustan Indonesia (PHI), 11. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), 12. Partai Islam Indonesia (PII), 13. Partai Arab Indonesia (PAI), 14. Muhammadiyah, 15. Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), 16. Persatuan Islam (Persis), 17. Nahdhatul Ulama (NU), 18. Gabungan Serikat Pekerja Indonesia (Gaspi), 19. PBMTS, 20. Partai Persatuan Indonesia (Parpindo), 21. Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), kemudian yang berasal dari organisasi Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) seperti: 22. Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH) yang kemudian berubah menjadi Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB), 23. Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) yang berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI yang merupakan gabungan dari: VOB, PGB, OKSB, PGAS dan HKSB), 24. Landelijke Inkomsten Bond (LIB), 25. Perserikatan Kaum Sekerja Boschwezen (PKSB), 26. Pegawai Mijn Bouw (PMB), 27. Perhimpunan Pegawai Spoor Tram (PPST). Kongres Rakyat Indonesia yang mempunyai anggota tidak kurang dari 27 perkumpulan tersebut segera mempersiapkan pembentukan parlemen ala Indonesia, yakni dengan merubah Kongres Rakyat Indonesia menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI). MRI dianggap sebagai suatu Badan Perwakilan Rakyat Indonesia untuk sementara sampai terbentuknya parlemen 30 Indonesia yang sesungguhnya. Sejak tanggal 14 September 1941, Kongres Rakyat Indonesia secara resmi diganti menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Di dalam MRI duduk wakil-wakil dari organisasi politik, organisasi Islam, federasi serikat sekerja, dan pegawai negeri. Anggota MRI adalah merupakan gabungan dari organisasi-organisasi besar seperti Gapi, MIAI dan PVPN. Anggota Gapi (Gabungan Politik Indonesia) meliputi: Parindra, Gerindo, PII, PPKI, PSII, Persatuan Minahasa dan Paguyuban Pasundan. Federasi ini merupakan wadah baru setelah PPPKI yang sebelumnya merupakan federasi dari berbagai perkumpulan beraneka warna lumpuh. Kemudian MIAI (Majelis Islam A la Indonesia) ini merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam yang didirikan pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya. Anggota MIAI di antaranya ialah NU, Muhammadiyah, SI dan PII. Rupanya PII disamping sebagai anggota Gapi juga menjadi anggota MIAI. Sedangkan PVPN (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri), merupakan federasi perkumpulanperkumpulan sarikat sekerja pegawai negeri yang pada tahun 1930 jumlah anggotanya mencapai orang dan meliputi 13 perkumpulan dan pada akhir masa pergerakan nasional PVPN beranggotakan 18 organisasi di antaranya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB; di mana PGHB sendiri merupakan gabungan dari 7 perkumpulan guru-guru dengan jumlah anggota , di antaranya yang paling besar dari perkumpulan Volks Onderwijzers Bond (VOB) yang mempunyai 103 cabang dan anggota), dan PGHB kemudian namanya diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) yang mencakup Persatuan Guru Bantu (PGB), Persatuan Guru Ambacht School 31 (PGAS), VOB, Oud Kweekscholieren Bond (OKSB), Persatuan Normaal School (PNS) dan Hogere Kweekscholieren Bond (HKSB). Sedangkan anggota PVPN lainnya seperti Perserikatan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH), Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB), Perhimpunan Pegawai Spoor dan Tram (PPST), Vereniging van Indonesische Personeel bij de Irrigatie, Waterstaat en Waterschappen (VIPIW), Landelijke Inkomsten Bond (LIB; Kadaster Bond), Perserikatan Kaum Sekerja Boschw ezen (PKSB), VAMOLA, Pegawai Mijn Bouw (PMB), Persatuan Kaum Verplegers (sters) van Indie (PKVI), PPAVB, Midpost, Opiumregie, PPTR, VOLTA, PMMB, PPP dan ORBHB. Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara organisasi-organisasi yang tergabung dalam MRI, namun persatuan dan kesatuan kaum Nasionalis terus dipupuk sampai masuknya Tentara Militer Jepang. C. MASA PENDUDUKAN JEPANG SAMPAI DENGAN INDONESIA MERDEKA Masa Pendudukan Jepang berlangsung dari tahun , diwarnai dengan perubahan-perubahan yang penting dalam

19 perjalanan sejarah bangsa Indonesia, perubahan-perubahan itu terlihat nyata dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Pada masa pendudukan Jepang ini, dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang sangat penting artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia khususnya untuk mewujudkan kemerdekaan. Para tokoh pergerakan yang sebelumnya aktif dalam masa awal dan masa radikal melanjutkan berkiprah menuangkan gagasangagasannya untuk perbaikan nasib bangsanya dan kemudian berhasil memproklamasikan kemerdekaan lepas dari pengaruh Jepang. 32 Pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang yang menjadi sekutu Jerman, menyerang pangkalan armada Amerika Serikat di Pearl Harbour (Pasifik). Sejak itu Perang Pasifik atau yang lebih dikenal dengan Perang Asia Timur Raya (ATR) berlangsung sengit. Perang ini merupakan bagian dari Perang Dunia II (PD II) yang berlangsung sejak 1 September 1939 (serbuan Jerman atas Polandia) hingga 15 Agustus 1945 (Jepang menyerah kepada Sekutu). Pada mulanya PD II hanya berkobar di Eropa antara Jerman dan Italia melawan Sekutu (Amerika, Inggris, Belanda, dan Perancis). Kemudian pada akhir tahun 1941, Jepang (di Asia) melibatkan diri dalam peperangan dan bergabung dengan Jerman dan Italia. Pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour (Hawai). Akibatnya, pecahlah Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya. Dalam waktu singkat, pasukan Jepang menyerbu dan menduduki negaranegara Filipina, Myanmar, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda memaklumatkan perang pada Jepang lima jam setelah penyerbuan Pearl Harbour, tetapi pasukannya tidak sebanding dengan pasukan Jepang yang menyerbu Indonesia. Belanda hanya memiliki 4 divisi sedangkan Jepang menyerang dengan 6 sampai 8 divisi, sehingga tidak mengherankan bila Belanda mengalami kesulitan dalam menghadapi serbuan tentara Jepang (Dai Nippon). Pada tanggal 23 Januari 1942 Jepang menduduki Balikpapan, tanggal 14 Februari 1942 menduduki Palembang, dan tanggal 16 Februari 1942, Plaju juga jatuh ke tangan tentara Jepang. Pada tanggal 1 Maret 1942, Tarakan (kota minyak) di Kalimantan juga dikuasai Jepang. Di samping itu, tentara Jepang 33 berhasil mendarat sekaligus tiba di tiga tempat di Pulau Jawa yaitu di Teluk Banten, di Eretan Wetan di pantai utara Jawa Barat dan di Desa Kragan di sebelah timur kota Pasuruan, Jawa Timur. Pada tanggal 5 Maret 1942, kota Jakarta sudah diduduki Jepang. Pada tanggal 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yakni Tjarda van Starkenborgh Starkhouver menyerahkan pemerintahan Hindia Belanda kepada Panglima Angkatan Perang Jepang di Jawa, Letnan Jenderal H. Imamura. Upacara penyerahan itu berlangsung di Kalijati (Subang) Jawa Barat. Dengan penyerahan Belanda tanpa syarat pada tanggal 8 Maret 1942, maka berakhirlah penjajahan Belanda di Indonesia. Maka sejak 8 Maret 1942 Indonesia mulai diduduki atau diperintah oleh Jepang. Kedatangan tentara Jepang yang berhasil mengalahkan Belanda disambut dengan baik di manamana. Jepang menyebutnya sebagai Saudara Tua bangsa Indonesia. Jepang mempergunakan kesempatan ini untuk propaganda agar rakyat Indonesia mau membantu Jepang. Faktor utama tentara Jepang menyerbu Indonesia yaitu: alasan ekonomis (ingin mendapatkan minyak, batu bara dan bahan baku industri) dan imperialisme (perluasan wilayah atau pasar industri). Beberapa taktik Jepang dalam mengambil atau menarik simpati rakyat Indonesia, antara lain: Tentara Jepang mengijinkan rakyat Indonesia mengibarkan Sang Merah Putih; Lagu Indonesia Raya (karya WR. Supratman) boleh dinyanyikan di mana-mana; dan Bahasa Belanda dilarang digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari dan diganti dengan bahasa Indonesia. 34 Namun demikian, dengan masuknya Jepang tidak berarti Pergerakan Nasional Indonesia akan berhenti. Gerakan Petisi seperti Wibowo dan Soetarjo yang muncul pada tahun 1936-an tetap menjadi landasan perjuangan kaum pergerakan di masa Jepang. Hanya saja, pada masa pendudukan Jepang semua organisasi maupun perkumpulan dibubarkan, kecuali yang bersifat hiburan dan organisasi yang dikehendaki pemerintah Jepang. Berikut ini adalah beberapa organisasi yang

20 dibentuk, dikehendaki atau mendapat ijin keberadaannya oleh Pemerintah Jepang. 1. Gerakan Tiga A Gerakan 3A ini merupakan organisasi pertama kali yang didirikan oleh pemerintahan Jepang di Indonesia. Organisasi ini didirikan tanggal 29 April 1942, dipelopori oleh bagian Propaganda Jepang (Seindenbu). Pelopor Gerakan Tiga A ialah Shimizu Hitoshi (orang Jepang). Semboyan Gerakan Tiga A adalah: Nipon Pemimpin Asia, Nipon Pelindung Asia, dan Nipon Cahaya Asia. Ketua Gerakan Tiga A yaitu Mr. Syamsuddin dibantu oleh beberapa bekas tokoh Parindra seperti K.Sutan Pamuncak dan Muhammad Saleh. 2. Pusat Tenaga Rakyat (Putera) Pada tanggal 9 Maret 1943 Jepang mendirikan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dipimpin oleh Empat Serangkai yaitu: Ir. Soekarno (Bung Karno), Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta), Ki Hajar Dewantara, dan KH. Mas Mansur. Jepang curiga terhadap Putera karena kegiatan-kegiatannya 35 justru lebih memberi keuntungan kepada persiapan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 8 Januari 1944 didirikan sebuah organisasi baru bernama Jawa Hookokai (Organisasi Kebaktian Rakyat Jawa) yang dipimpin oleh orang-orang Jepang. Kegiatan Jawa Hookokai lebih bersifat pemaksaan, sehingga pada kemudian hari munculah istilah kerja paksa (Romusha). Namun demikian, orang-orang yang terlibat dalam Romusha oleh Jepang disebut sebagai Prajurit Ekonomi. 3. Majelis Syura Muslim in Indonesia (Masyumi) Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebelumnya adalah berupa organisasi Majelis Islam A la Indonesia (MIAI) pada masa akhir Hindia Belanda (akhir Jaman Pergerakan Nasional). Organisasi ini didirikan oleh K.H. Mas Mansur tahun 1937 di Surabaya. Untuk mendapatkan simpati dari rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam, maka pada tanggal 13 Juli 1942 MIAI dihidupkan kembali oleh Pemerintah Pendudukan Jepang. Kemudian, pada bulan Oktober 1943, MIAI dibubarkan kemudian didirikan sebuah organisasi Islam baru bernama Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Masyumi secara resmi berdiri pada tanggal 22 Nopember Sebagai ketua dipilih K.H. Hasyim Asy ari, dibantu oleh K.H. Mas Mansur dan K.H. Farid Ma ruf. Kepada pemuda-pemuda Islam diberi kebebasan untuk membentuk laskarlaskar muslimin Indonesia dan dilatih kemiliteran oleh tentara Jepang. Seperti: Laskar Hisbullah, Laskar Fisabilillah, dan lain-lain. 4. Heiho (Pembantu Prajurit) 36 Karena keadaan perang semakin gawat, maka tentara Jepang membuka kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk menjadi pembantu prajurit Jepang. Maka tentara Jepang membentuk Heiho (Pembantu Prajurit Jepang khususnya untuk perang di luar Jawa). Untuk Angkatan Darat disebut Rikugun Heiho, sedangkan untuk Angkatan Laut disebut Kaigun Heiho. 5. Peta (Pembela Tanah Air) Pada tanggal 3 Oktober 1943, tentara Jepang mengumumkan pembentukan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Hal ini disebabkan karena serangan tentara Sekutu terhadap tentara Jepang semakin gencar, oleh karena itu semakin banyak pemuda-pemuda Indonesia yang dibutuhkan untuk mempertahankan Pulau Jawa dan sekitarnya (untuk pertahanan dalam negeri Indonesia), sehingga banyak pemuda Indonesia yang dilatih tentara Jepang dalam latihan militer untuk keperluan membantu Jepang dalam berperang.

21 Perang Pasifik adalah babak baru bagi perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Pada tanggal 16 Juni tahun 1943 Perdana Menteri Jepang Tojo memberikan kebijakan baru untuk memperluas bidang pendidikan dan kebudayaan serta memberi kesempatan untuk ikut serta di bidang pemerintahan. Realisasi kebijakan ini terlihat dengan dibentuknya badan-badan pertimbangan di daerah dan pusat. Pengangkatan orang-orang Indonesia untuk menduduki jabatan tinggi mulai nampak. Di samping itu orang-orang Indonesia mulai menjadi anggota badan penasehat pada badanbadan 37 Pemerintahan Militer Jepang. Penempatan orangorang pribumi pada jabatan pemerintahan di setiap keresidenan mulai nampak. Dalam masa pemerintahan Jepang di Indonesia, wilayah pemerintahannya dibagi atas tiga bagian besar. Pertama meliputi: Jawa dan Madura dengan pusat pemerintahan di Batavia. Wilayah ini di bawah kekuasaan pasukan Tentara XVI. Kedua Wilayah Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Wilayah ini di bawah kekuasaan pasukan Tentara XXV; dan Wilayah ketiga meliputi: Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi yang berpusat di Makassar. Wilayah ini di bawah kekuasaan Pasukan Arm ada Selatan II. Masa pendudukan Jepang ini merupakan masa yang berat bagi orang-orang Indonesia. Orang-orang Indonesia diwajibkan mengikuti kemauan Jepang yang dirasakan rakyat Indonesia sangat memberatkan. Rakyat dipaksa untuk membantu Jepang untuk memperoleh kemenangan dalam perang Asia Timur Raya. Rakyat dipaksa menyerahkan hasil panen, menyerahkan perhiasan dan dipaksa untuk menjadi tenaga romusha, yang banyak dipekerjakan di daerah sekitar medan perang. Mereka dipaksa untuk membuat jalan, jembatan, terowongan atau bunker dan lain-lain. Akibatnya kehidupan rakyat sangat memprihatinkan. Kehidupan ekonomi mereka sangat merosot. Bahan kebutuhan sehari-hari sangat sulit didapat. Untuk mendapatkannya rakyat harus mengikuti antrian yang memakan waktu lama. Bahkan tidak jarang mereka tidak kebagian, sehingga tenaga dan waktu terbuang percuma. Tidak sedikit rakyat yang mati karena kelaparan dan menderita sakit. Di samping itu juga diakibatkan karena kerja keras yang berlebihan (romusha) untuk 38 kepentingan penjajahan Jepang. Situasi pada masa itu betul-betul sangat menyedihkan, banyak rakyat mati karena kelaparan, tidak ada obat-obatan, mudah diserang penyakit seperti beri-beri, tipes, kolera, malaria dan lain-lain. Banyak wanita dan gadis-gadis Indonesia yang dijadikan pemuas nafsu seks tentara Jepang (zugun ianfu). Akibat penderitaan rakyat yang begitu parah, maka terjadilah beberapa perlawanan terhadap Jepang, seperti: Teuku Abdul Jalil dan Teuku Hamid di Aceh (Aceh), K.H. Zainal Mustafa (Singaparna, Tasikmalaya), K.H. Kusaeri (Cilacap), serta Pemberontakan PETA, Supriyadi (Blitar). Menjelang akhir tahun 1944 Jepang mendapat kekalahan dalam perang Pasifik. Akibatnya Kabinet Tojo jatuh dan digantikan oleh Kabinet Jenderal Koiso. Dalam kebijakannya kabinet Jenderal Koiso mengumumkan apa yang dikenal dengan janji kemerdekaan kepada Indonesia di kelak kemudian hari. Berbagai daerah pangkalan tentara Jepang dikuasai oleh Tentara Sekutu dibawah pimpinan Amerika Serikat, diantaranya adalah daerah Balikpapan. Pada bulan Maret 1945 Panglima Tentara Jepang di Jakarta mengumumkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritsu Zunbi Cosakai. Badan baru ini bermaksud menyelidiki masalah tata pemerintahan, ekonomi, politik dalam rangka pembentukan negara merdeka. Upacara peresmian dilakukan pada tanggal 28 Mei 1945 di Pejambon yang dihadiri oleh pejabat-pejabat tinggi Jepang dan diikuti penaikan Bendera Merah Putih. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Widiodininggrat. Dalam sidangnya pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 badan ini telah melahirkan konsep dasar-dasar negara. Badan penyelidik ini kemudian dibubarkan 39 dan dibentuk badan baru Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Zunbi inkai. Meskipun kekalahan Jepang sangat dirahasiakan, tetapi berkat kecepatan para pemuda, berita tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu, sampai juga pada pemimpin-pemimpin Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1945 bertempat di Asrama Baperpi Cikini 71 Jakarta para pemuda dari berbagai

22 kelompok mengadakan rapat dibawah pimpinan Chaerul Saleh. Rapat memutuskan agar kemerdekaan segera diproklamasikan oleh bangsa Indonesia sendiri. Para pemuda lalu mengirimkan utusan kepada Bung Karno dan Bung Hatta untuk menyampaikan hasil putusan rapat tersebut. Para pemuda juga minta agar pengumuman tentang kemerdekaan Indonesia lepas dari segala ikatan dengan Jepang. Semula Soekarno-Hatta menolak usul para utusan tadi dengan alasan bahwa mereka harus berembug dulu dengan para pemimpin lainnya serta harus mendengarkan keterangan resmi tentang penyerahan Jepang. Utusan yang terdiri atas pemuda Darwis dan Wikana akhirnya kembali dan menyampaikan hasil penolakan tersebut. Penolakan tersebut mempertajam perbedaan pendapat yang telah ada antara golongan tua dan golongan muda. Golongan muda mendesak agar proklamasi segera dilaksanakan keesokan harinya tanggal 16 Agustus 1945, sedang golongan tua masih menekankan perlunya rapat dengan PPKI terlebih dahulu. Adanya perbedaan pendapat itu mendorong golongan pemuda untuk membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke luar kota, dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang. Upaya paksa untuk membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke 40 Rengasdengklok ini dikemudian hari dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Demikianlah pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 4.30 para pemuda membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok kota kecil di sebelah timur Jakarta. Sementara itu di Jakarta tercapai kesepakatan antara golongan tua dan golongan muda bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta. Mr. Ahmad Subardjo memberi jaminan bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus Atas jaminan itu Bung Karno dan Bung Hatta dibawa kembali ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta Bung Karno dan Bung Hatta langsung menuju rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1. Di rumah inilah naskah proklamasi disusun dan rumusannya berhasil diselesaikan pada menjelang subuh tanggal 17 Agustus Pada pukul tanggal 17 Agustus 1945 di halaman rumah kediaman Bung Karno Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi) naskah proklamasi tersebut diumumkan oleh Soekarno-Hatta dihadiri pemimpinpemimpin bangsa dan berbagai kalangan pemuda. Sejak itulah Indonesia memasuki alam kemerdekaan. Kemerdekaan yang telah dicapai itu harus dibela dan dipertahankan. Pemuda-pemuda Indonesia tampil ke depan dan mengambil tindakan-tindakan yang nyata, antara lain : a. Berita proklamasi dikumandangkan ke seluruh tanah air dan segenap penjuru dunia oleh pemudapemuda yang bekerja di kantor berita PTT serta instansi-instansi lain. 41 b. Pemuda-pemuda yang bekerja di jawatanjawatan mengambil alih jawatan dari tangan Jepang dengan atau tanpa kekerasan. c. Untuk menjaga keamanan, pemerintah mula-mula membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat) pada 22 Agustus Kemudian para pemuda bekas anggota PETA, Heiho, dan KNIL mengajukan usul pada pemerintah untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan TKR dibentuk tanggal 5 Oktober TKR kemudian diganti menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) bulan Januari Selanjutnya pada 3 Juni 1947, TRI diganti lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). d. Milik pemerintah Jepang seperti gedung, mobil dan lain-lain dinyatakan milik Republik Indonesia. e. Slogan-slogan dan semboyan-semboyan perjuangan ditempelkan atau dicat pada tembok dan dinding-dinding kereta api. Pihak Jepang di Indonesia sejak semula tidak mau mengakui adanya Republik Indonesia. Secara resmi Jepang ditugaskan untuk menjaga keamanan sampai tentara sekutu tiba dan diperintahkan agar tidak mengubah keadaan yang ada. D. PERJUANGAN KEMERDEKA-AN

23 MEMPERTAHANKAN Masa kemerdekaan dan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dimulai dari tahun , diwarnai dengan pengisian atau pembentukan perlengkapan lembaga Negara sebagaimana Negara merdeka dan perjuangan bersenjata dalam mempertahankan kemerdekaan, 42 serta berbagai diplomasi antara bangsa Indonesia dengan pihak Belanda. Diplomasi itu direalisasikan dalam perjanjian-perjanjian. Intinya Belanda sebenarnya tidak relabila Indonesia merdeka. Sehingga dengan berbagai cara Belanda ingin menjajah Indonesia kembali dengan cara memecah belah Republik Indonesia yang baru lahir. 1. Masa Awal Indonesia Merdeka Memasuki bulan Agustus 1945 kedudukan Jepang semakin kritis. Pada tanggal 6 Agustus 1945 Kota Hiroshima dibom oleh Sekutu dan disusul Kota Nagasaki pada 8 Agustus Akibatnya Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu tanggal 14 Agustus Dengan penyerahan Jepang itu terjadi kevakuman kekuasaan di Indonesia. Bangsa Indonesia kemudian mempergunakan kesem-patan tersebut untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang didirikan 7 Agustus 1945 dijadikan badan nasional dengan menambah enam orang anggota sehingga badan tersebut beranggotakan 27 orang. Melihat susunan anggotanya yang mewakili seluruh tanah air, maka pada waktu itu PPKI dianggap sebagai Badan Perwakilan seluruh rakyat Indonesia. Sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang pertama. Sidang tersebut berhasil mengesahkan UUD serta menunjuk Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Dalam sidang berikutnya berhasil dibentuk berbagai kementrian dan pembagian 43 wilayah Indonesia menjadi delapan (8) provinsi. Selanjutnya berhasil pula dibentuk Komite Nasional, Partai Nasional dan Badan Keamanan Rakyat. Sedikit demi sedikit aparat pemerintahan semakin lengkap, sehingga roda pemerintahan pun mulai berjalan. Untuk menegakkan kedaulatan, negara yang baru lahir ini dihadapkan dengan berbagai tantangan, bentrokan dengan Jepang terjadi di berbagai daerah. Demikian juga dengan Sekutu yang ternyata diboncengi oleh Netherland Indische Civil Administration (NICA). Perang Kemerdekaan pun terjadi di mana-mana bahkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. 2. Usaha-usaha Belanda untuk Menghancurkan Republik Indonesia Pada pertengahan September 1945 rombongan pertama pasukan Sekutu mulai mendarat. Mereka merupakan bagian dari South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Mountbatten. Untuk Indonesia SEAC membentuk Allieu Force Netherlands East Indies (AFNEI) yang terdiri atas pasukan Inggris yang mendarat di Jawa dan Sumatera serta pasukan Australia yang mendarat di luar Jawa dan Sumatra. Pasukan ini bertugas melucuti dan memulangkan tentara Jepang serta membebaskan tawanan perang. Pemerintah RI menerima kedatangan pasukan tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan pihak Sekutu terhadap RI. Pada tanggal 1 Oktober 1945 Letnan Jenderal Christison, menyatakan bahwa pihaknya mengakui (de facto) pemerintahan Republik 44 Indonesia. Semenjak itu pasukan-pasukan Inggris mulai memasuki kota-kota penting di Jawa dan Sumatera. Namun kemudian timbul ketegangan-ketegangan baru antara pasukan Inggris dan pasukan RI yang kemudian berkembang menjadi pertempuran-pertempuran. Apalagi setelah diketahui bahwa kedatangan pasukan sekutu (tentara Inggris) itu diboncengi oleh NICA. Sehingga pada awal masa kemerdekaan, pasukan-pasukan RI tidak hanya menghadapi Jepang tetapi juga Inggris dan NICA (Belanda). Keadaan ini sudah diduga oleh para pemimpin Indonesia. Itulah sebabnya pemerintah RI pada tanggal 5 Oktober memutuskan untuk membentuk suatu tentara dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selain itu pemerintah mengeluarkan maklumat

24 bahwa RI akan menanggung semua hutang-hutang Nederland Indie. Dengan maklumat ini pemerintah ingin menunjukkan pada dunia luar bahwa RI bukanlah negara yang masih tunduk pada Jepang, tetapi RI mengakui tata cara negara-negara demokrasi barat. Sebagai realisasi dari maklumat ini maka didirikan sejumlah partai dan dibentuk satu kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir. Tugas kabinet ini adalah menjalankan perundingan-perundingan dengan pihak Belanda, yang melahirkan perundingan di Linggarjati pada tahun Sebelum perundingan disepakati, Kabinet Syahrir dibubarkan karena mendapat kritikan dari kelompok oposisi yaitu Tan Malaka. Namun Presiden menunjuk Syahrir untuk kembali memimpin kabinet. Dalam perundingan Kabinet Syahrir II mengusulkan bahwa pada dasarnya RI 45 adalah negara yang berdaulat penuh atas bekas wilayah Nederland Indie. Karena itu Belanda harus menarik mundur tentaranya dari Indonesia. Mengenai modal asing pemerintah Republik Indonesia tetap akan menjamin. Selanjutnya Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook mengajukan usul suatu pengakuan atas Republik Indonesia (Jawa) dan pembentukan negara Serikat. Atas anjuran Duta Istimewa Inggris Clark Kern, Syahrir memberi konsensus pada bulan Maret itu juga, yaitu agar Belanda mengakui RI di Jawa dan Sumatera saja dan agar bersama-sama Belanda membentuk Republik Indonesia Serikat Keinginan Belanda lewat tentara Sekutu dinyatakan oleh Van Mook pada tanggal 19 Januari Kehadirannya adalah bermaksud menciptakan Negara persemakmuran (commenwealth). Anggotanya adalah Kerajaan Belanda, Suriname, Curocao dan Indonesia. Urusan ke luar commenwealth itu dipegang oleh kerajaan Belanda sedangkan urusan ke dalam dipegang oleh masing-masing negara. Pada perundingan bulan Mei 1946, Van Mook mengusulkan agar Republik Indonesia bersedia membentuk commontwealth dan pengakuan Belanda atas kekuasaan RI di Jawa dan Madura dikurangi kota-kota yang telah diduduki Sekutu. Usul ini tentu saja ditolak oleh pihak RI. Pemerintah tetap menolak ide commontwealth dan tetap menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi di meja perundingan antara Indonesia dan Belanda mengenai pengakuan kedaulatan RI dan intimidasi Belanda di luar Jawa dan Sumatera. Di 46 samping itu munculnya oposisi Tan Malaka dengan Persatuan perjuangannya (PP) yang dengan gencar menyerang pemerintah. Sikap ini memuncak dengan meletusnya pergolakan di daerahdaerah Solo untuk menghapuskan daerah istimewa Surakarta. Keadaan sedemikian kritisnya, sehingga Presiden merasa perlu mengumumkan keadaan bahaya. Status keadaan bahaya diperlakukan untuk seluruh Indonesia karena pihak Tan Malaka berhasil menculik Sutan Syahrir bersama Mayor Jenderal Sudibyo, Dr. Darmasetiawan, dan Dr Sumitri. Atas seruan Presiden para penculik kemudian membebaskan Syahrir dan kawan-kawan. Kemudian pihak PP mencoba memaksa Presiden untuk menyusun pemerintah baru yang dipimpin oleh kawan-kawan Tan Malaka pada tanggal 3 Juli 1947, tetapi Presiden tetap menunjuk Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri. Kabinet Syahrir III terbentuk Oktober Dari pihak Belanda intimidasi dimulai dengan diselenggarakannya Konferensi Malino bulan Juli 1946 untuk membentuk negara-negara di wilayah-wilayah yang akan ditinggalkan tentara Sekutu. Ini jelas bertentangan dengan kehendak RI yaitu agar negara-negara bagian dalam Republik Indonesia dibentuk bersama-sama RI dan Belanda. Sementara itu pihak Inggris ikut berbicara dengan maksud agar penarikan tentara Sekutu (Inggris) berjalan secepat mungkin, agar utusan Inggris di bawah pimpinan Lord Killern tiba pada bulan Agustus dan mengusulkan antara lain syarat-syarat gencatan senjata antara RI dengan Belanda. Pemerintah Indonesia menyetujui usul ini dan mengirim perwira-perwira tentara 47 Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah tehnis gencatan senjata. Sementara itu perundingan dengan pihak Belanda dilanjutkan setelah Kabinet Syahrir III disahkan dalam bulan Oktober Delegasi Indonesia yang dipimpin Sutan Syahrir mengajukan usul agar Indonesia diakui kedaulatannya, pihak Belanda mengajukan usul commontwealth lagi. Namun, akhirnya tercapai juga suatu konsensus. Perundingan yang dilakukan di Linggarjati dikeluarkan hasilnya pada

25 tanggal 15 November Ide commontwealth gagal, dan kekuasaan RI meliputi Jawa, Sumatera dan Madura. Namun hasil persetujuan Linggarjati ini ternyata tidak bisa diterima oleh PNI, Pertindo, Partai Katolik, Masyumi, dan laskar- laskar (Partai sosialis dan Kabinet Syahrir dengan sendirinya mendukung). Dengan perantaraan wakil Presiden Moh. Hatta, akhirnya persetujuan itu bisa disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang pada waktu itu berfungsi sebagai parlemen dalam sidangnya di Malang tanggal 25 Maret Seminggu sebelumnya, 12 Februari persetujuan gencatan senjata juga ditandatangani oleh pihak militer. Pelaksanaan dari kedua persetujuan itu ternyata tidak mudah. Masing-masing pihak membuat interpretasinya sendiri. Salain itu kabinet Syahrir mendapat tantangan hebat dari partai-partai. Sebab itu akhirnya Sutan Syahrir meletakkan jabatan. Sebagai penggantinya Presiden mengangkat Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. 48 Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda tiba-tiba melancarkan Agresi militer I dan berhasil menerobos pertahanan RI. Tentara Republik Indonesia bertahan dengan melancarkan perang gerilya. Pada akhir Juli 1947 India dan Australia mengajukan tuntutan mengenai agresi Belanda itu pada Dewan Keamanan PBB dan DK-PBB memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 4 Agustus Selain itu suatu komisi konsuler yang terdiri atas konsul-konsul Amerika Serikat, Cina, Belgia, Perancis, Inggris, dan Australia di Jakarta, ditugaskan PBB untuk menyelidiki masalah-masalah itu dan melaporkan pada Dewan Keamanan. Amerika Serikat kemudian mengusulkan pada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk membentuk suatu komisi yang mengawasi pelaksanaan gencatan senjata. Komisi yang terdiri atas Dr. Frank Graham (AS), Richard Kirby (Australia) dan Paul Vanzeelant (Belgia), di Indonesia dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN) atau komisi jasa baik. Komisi ini hanya mempunyai wewenang dalam bidang militer, sedangkan dalam bidang politik komisi ini hanya mempunyai hak mengusulkan. KTN mulai bekerja pada bulan Oktober 1947 dan membuka kembali perundingan-perundingan politik antara Indonesia dan Belanda. Pihak Indonesia dalam perundingan ini dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Perundingan itu dilakukan di atas kapal USS Renville pada tanggal 8 Desember Selain itu ada suatu komisi teknis yang dipimpin oleh dr. J. Leimana dibentuk untuk menyelesaikan masalah gencatan senjata. Pihak Belanda menginginkan agar masalah gencatan senjata itu diselesaikan dulu sebelum 49 masalah politik dirundingkan. Namun utusan Indonesia beranggapan masalah politiklah yang paling penting. Dengan demikian perundingan Renville dihentikan untuk sementara. Tidak lama kemudian utusan RI menyetujui Belanda agar masing-masing pihak mendekati Komisi Tiga Negara (KTN) untuk merundingkan sikap politiknya. Hasil perundingan ini KTN berpendapat bahwa perjanjian Linggarjati harus dijadikan landasan perundingan politik. Pihak Belanda menanggapi usul KTN dengan usul 12 prinsip politik yang pada dasarnya tidak menginginkan adanya Republik Indonesia. Pihak RI bahkan hanya berhasil mengatasi keadaan dengan mengajukan 6 prinsip politik tambahan. Utusan RI menerima usul ini, karena ketentuannya adalah diadakan plebisit di Indonesia untuk menentukan apakah daerahdaerah bersedia atau tidak bergabung dengan RI. Pihak Belanda pun menerima. Sementara itu muncul masalah-masalah di dalam negeri, khususnya intimidasi dari Belanda, yaitu pembentukan negara-negara boneka. Untuk menghadapi Belanda,Amir Syarifuddin mengganti anggota-anggota kabinet agar menjadi lebih kuat, namun setelah Renville ditandatangani Masyumi dan PNI menarik anggota-anggotanya dari kabinet. Akibatnya Kabinet Amir Syarifuddin pun jatuh karena hanya didukung oleh sayap kiri (partai-partai yang beraliran Marxisme). Presiden Soekarno kemudian menunjuk Drs. M. Hatta sebagai formatur. Kabinet Hatta terbentuk tanpa sayap kiri tetapi dengan dukungan Masyumi, PNI, Parkindo, dan Partai Katolik. Program kabinet Hatta adalah pelaksanaan 50 persetujuan Renville, pembentukan rasionalisasi tentara dan pembangunan RIS,

26 Untuk pembentukan RIS dan plebisit, Perdana Menteri Hatta menunjuk Mr. Moh. Roem dan Belanda yang diwakili Abdul Kadir Widjojoatmodjo. Perundingan dilaksanakan di Kaliurang tetapi gagal. Hal ini disebabkan adanya desas-desus yang sengaja disebar luaskan oleh pihak komunis, bahwa RI mengadakan hubungan politik dengan Uni Soviet. Reaksi Belanda atas desas-desus ini adalah minta kepada RI yang isinya adalah, pertama, agar dalam masa peralihan (menjelang terbentuknya Negara RIS) kedaulatan di seluruh Indonesia berada dalam tangan Belanda, kedua agar hubungan dengan Uni Soviet dihentikan. RI menjawab kedudukan RI tidak bisa diubah. Sementara itu Amir Syarifuddin membentuk apa yang disebut Front Demokrasi Rakyat, yaitu suat persatuan antara golongan komunis dan unsurunsur radikal lainnya. Mereka memancing konflik dengan golongan Hatta dan menuntut reshoffle kabinet. Kemudian timbul kekuatan lain yang dipimpin Tan Malaka dalam bentuk Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang berusaha mengimbangi FDR, untuk kepentingan politiknya sendiri. Sementara keadaan begitu gawat, pada bulan Agustus 1948, Muso, seorang tokoh PKI yang lari ke Moskow sejak tahun 1926, kembali ke Yogyakarta. Muso membawa politik baru dari Rusia, yaitu agar parta-partai yang beraliran Marxisme disatukan menjadi PKI. Pada akhir bulan Agustus itu juga partai sosialis dari Amir Syarifuddin dan Partai Buruh disatukan ke dalam 51 PKI. Partai ini dipimpin oleh Muso. Taktik perjuangan yang digariskan dari Moskow adalah melawan golongan nasional maupun kolonial (Belanda). Rapat-rapat raksasa mulai dilakukan untuk menyebarkan sikap ini. Pada taraf pusat, FDR yang dipimpin PKI itu menentang rasionalisasi tentara, yaitu penyatuan tentara Republik Indonesia dengan laskar-laskar menjadi Tentara Nasional Indonesia. Pihak PKI ingin tetap memelihara laskar-laskarnya untuk mengimbangi tentara. Kabinet Hatta tetap tidak tergoyahkan dan mendapat dukungan Masyumi, PNI dan Laskar seberang (KRIS, IPR, SRSK) yang dipimpin oleh J. Latuharhari. Keadaan mulai meruncing di Solo, daerah yang banyak dikuasai unsur-unsur FDR. Pada tanggal 18 September 1948 PKI memproklamasikan Republik Soviet Indonesia di Madiun. Pemberontakan Madiun dimulai. Kolonel Djokosuyono diangkat oleh PKI menjadi Gubernur Militer dan Kol. Dahlan menjadi komandan, Komando Pertahanan di Madiun. Muso mulai melancarkan serangan-serangan politik terhadap kabinet Hatta melalui pemancar radio Madiun. Pemerintah bertindak tegas, Pasukan TNI dikerahkan secara besarbesaran pada tanggal 20 September 1948 dan pada tanggal 30 September, Kota Madiun dapat direbut kembali. Pertempuran dilanjutkan sampai Muso tewas dan Amir Syarifuddin tertangkap. Meskipun demikian banyak pemimpin PKI yang meloloskan diri ke daerah pendudukan Belanda, antara lain D.N. Aidit. Sementara masalah PKI belum teratasi, Belanda melakukan Agresi II pada tanggal 19 Desember Dalam serbuan ke Yogyakarta, Presiden dan Wakil Presiden tertangkap oleh Belanda. Meskipun begitu Pemerintah berhasil mengirimkan telegram kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sementara Panglima besar Sudirman masih terus bergerilya. Sebulan setelah serangan Belanda, TNI berhasil mengadakan konsolidasi. Perang gerilya dilancarkan dengan cara menghadang garis komunikasi logistik pasukan Belanda, memutuskan telepon, dan merusak jalan kereta api. Belanda dapat menguasai kota-kota besar di Jawa dan Sumatera tetapi daerah pedesaan tetap berada dalam tangan RI. Rakyat dikerahkan untuk membantu TNI dalam hal intel, logistik dan keperluan lain. Inilah yang dikenal dengan strategi Perang Rakyat Semesta. Sementara TNI berhasil mengatur pertahanannya, Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengambil tindakan. Wakil Amerika Serikat menyerukan gencatan senjata dan memerintahkan KTN bekerja kembali. Belanda ditekan dengan mengancam penghentian bantuan Marshaal Plan (Bantuan Amerika Serikat pada negara-negara untuk membangun industri yang rusak selama perang Dunia II). Perundingan pertama dimulai antara PM Belanda Dr. Beel dan Prof. Dr.Supomo dan anggotaanggota delegasi RI pada perundingan Renville. Selain itu antara RI dan negara-negara buatan Belanda yang tergolong dalam BFO (Bejeenkomst voor Federal Overleg) juga diadakan pendekatan. BFO kemudian menemui Presiden dan Wakil Presiden yang sedang

27 53 ditawan di Bangka. Pihak RI mengajukan usul agar dibicarakan tentang pengakuan kedaulatan, penarikan pasukan Belanda dan pengembalian Pemerintahan RI di Yogyakarta. BFO menyatakan dukungan pengembalian pemerintahan RI di Yogyakarta dan menyerukan agar PBB membentuk suatu panitia untuk membantu melaksanakan resolusi PBB di Indonesia. Pada bulan April perundingan dimulai antara delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem dan Dr. J. H. Van Royen dari pihak Belanda. Pertemuan di Hotel Des Indes (kini Duta Merlin) itu diawasi dan dipimpin Marle Cochran, wakil dari Amerika Serikat dalam Komisi PBB (UNCI: United Nations Commision for Indonesia). Dalam perundingan ini pihak Indonesia menuntut agar Presiden dan Wakil Presiden dikembalikan ke Yogyakarta dan agar Belanda mengakui RI. Perundingan berjalan sangat lamban, sehingga Drs. Hatta didatangkan dari Bangka untuk langsung berunding dengan Dr. Van Royen. Dengan demikian pada tanggal 7 Mei 1949 dicapai Persetujuan Roem-Royen dan pemerintah Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta, setelah cara-cara pengosongan Yogyakarta oleh tentara Belanda disepakati. Setelah perundingan dengan pihak BFO yang sudah dimulai sejak di Bangka, maka pada bulan Juli 1949 di Yogyakarta dicapai persetujuan bahwa akan dibentuk negara federal yang bernama RIS. Kemudian diselenggarakan Konferensi Antar Indonesia di Jakara pada bulan Juli 1949 yang dipimpin Drs. Hatta dan berhasil memutuskan untuk membentuk Panitia 54 Persiapan Nasional sebelum maju ke KMB (Konferensi Meja Bundar). Konferensi Meja Bundar dimulai di Den Haag pada tanggal 23 Agustus 1949 dan berakhir pada tanggal 2 November Hasilnya direalisasikan oleh KNIP pada tanggal 14 Desember Pada tanggal 16 Desember 1949 diadakan Pemilihan Presiden Negara RIS dan pada keesokan harinya Soekarno terpilih dan disahkan sebagai Presiden Negara RIS. Pada tanggal 20 Desember 1949 kabinet Negara RIS dibentuk dan dipimpin Drs. Mohammad Hatta, kemudian pada tanggal 23 Desember 1949 pimpinan kabinet Negara RIS bertolak ke Den Haag, Belanda untuk menandatangani pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember Kondisi Ekonomi Indonesia pada Masa Perang Kemerdekaan Pada kesempatan ini akan dibahas kondisi ekonomi pada masa perang kemerdekaan. Di sini anda akan mengetahui usaha-usaha yang telah dilakukan, oleh pemerintah Negara RI yang baru saja merdeka baik di bidang moneter, perdagangan maupun penataan sektor-sektor lainnya. Pelajaran ini merupakan, lanjutan dari pelajaran sebelumnya yang telah membahas kondisi politik Indonesia pada periode yang sama. a. Masalah Moneter Di bidang ekonomi negara baru ini menghadapi kenyataan yang cukup sulit. Laju inflasi sangat tinggi. Ternyata sumber 55 inflasi adalah kekacauan moneter. Sampai bulan Agustus 1945 mata uang Jepang yang beredar di Jawa berjumlah 1,6 Milyar. Jumlah uang beredar semakin meningkat ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota dan menguasai beberapa bank. Mereka ini kemudian mengedarkan uang cadangan bank sebesar 2,3 Milyar untuk membiayai kegiatan mereka. Sementara itu pajak dan bea masuk sangat berkurang, sebaliknya pengeluaran negara makin bertambah. Karena belum mempunyai mata uang sendiri pada masa awal itu pemerintah RI menetapkan berlakunya tiga macam mata uang sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah RI. Tiga mata uang tersebut adalah mata uang De Javasche Bank, mata uang Pemerintah Hindia Belanda dan mata uang pendudukan Jepang Selanjutnya untuk mengatasi kesulitan moneter pemerintah mengusahakan pinjaman nasional. Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) Menteri Keuangan Ir. Surachman melaksanakan pinjaman yang direncanakan meliputi Rp ,-, yang dibagi menjadi dua tahap. Pinjaman tersebut akan dibayar kembali selambat-lambatnya dalam waktu 40 tahun. Pada bulan Juli seluruh penduduk di Jawa dan Madura diharuskan menyetorkan uang pada Bank Tabungan Pos dan rumah-rumah pegadaian. Pinjaman tahap I berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp ,-. Sukses ini menunjukkan besarnya dukungan rakyat pada pemerintah.

28 56 Namun upaya pemerintah itu tidak berhasil mengatasi inflasi, karena pihak Sekutu dalam hal ini NICA juga mengeluarkan uang baru di wilayah yang diduduki Sekutu. Uang baru itu dikenal dengan uang NICA dimaksudkan untuk menggantikan uang Jepang yang sudah sangat menurun nilainya. Penggantian uang itu diumumkan sejak 6 Maret Kurs ditentukan 3% artinya setiap satu rupiah uang Jepang sama nilainya dengan tiga sen uang NICA. Perdana Menteri RI Sutan Syahrir memprotes panglima AFNEI karena melanggar persetujuan yang telah disepakati bersama, yaitu selama belum ada penyelesaian politik status Indonesia, maka tidak akan dikeluarkan mata uang baru. Kepada masyarakat pemerintah mengingatkan bahwa di wilayah RI hanya berlaku tiga macam uang sebagaimana yang telah diumumkan pada 1 Oktober Penduduk tidak dibenarkan mempergunakan mata uang NICA sebagai alat pembayaran. Sehubungan dengan itu Pemerintah RI kemudian mengeluarkan uang kertas baru yang dikenal dengan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) untuk mengganti mata uang Jepang. Kurs uang baru ini ditetapkan satu per seribu, artinya seribu uang Jepang (Y 1000) sama nilainya dengan satu rupiah (Rp 1,-) ORI. Untuk sementara pemerintah hanya mengizinkan setiap keluarga memiliki Rp. 300,- dan yang tidak berkeluarga Rp. 100,-. 57 Usaha lain yang dilakukan pemerintah dalam memperbaiki moneter adalah pembentukan Bank. Mula-mula dibentuk Bank Rakyat Indonesia sebagai lanjutan dari Shomin Ginko. Bank ini merupakan bank negara yang bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia. selanjutnya pada 1 November 1946 dibentuk Bank Negara Indonesia (BNI) yang berawal dari Yayasan Pusat Bank yang didirikan oleh Margono Djojohadikusumo pada bulan Juli Bank ini kemudian dikenal dengan Bank BNI 46. b. Perdagangan Indonesia Walaupun sedang menghadapi blokade Belanda, pemerintah RI mulai merintis perdagangan internasional dengan memberikan bantuan beras pada India. Saat itu India sedang tertimpa bahaya kelaparan. Sebagai imbalan, Pemerintah India akan mengirimkan bahan pakaian yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Tindakan pemerintah ini sebenarnya lebih bersifat politik, karena berdasarkan Persetujuan Linggarjati, RI diharuskan menjual surplus berasnya ke daerah-daerah yang diduduki Belanda. Namun pemerintah menganggap lebih menguntungkan untuk menjual berasnya pada negara sahabat dari pada membantu Belanda. Di samping itu pemerintah juga mengadakan hubungan dagang langsung dengan luar negeri. Usaha ini dirintis oleh Banking and Trading Corporation (BTC) dibawah 58 pimpinan Sumitro Djojohadikusumo. BTC berhasil mengadakan transaksi dengan Isbrantsen Inc sebuah perusahaan swasta Amerika Serikat. Isbrantsen Inc bersedia membeli barang-barang Indonesia seperti: gula, karet, teh, dan lain-lain, dan membawa barang-barang pesanan Indonesia. Namun, ternyata kapal yang membawa barangbarang tersebut berhasil disita oleh Angkatan Laut Belanda. Di Sumatera pemerintah juga berusaha menembus blokade Belanda. Sejak tahun 1946 sampai akhir perang kemerdekaan usaha ini dilakukan dengan perahu layar dan motor ALRI. Beberapa aparat Pemda Aceh juga mencoba menembus blokade ke negara terdekat Singapura dan Malaya. Bahkan sejak awal tahun 1947 Pemerintah RI telah berhasil membentuk perw akilan resmi di Singapura yang diberi nama Indonesia Office (Indoff). Badan ini dipimpin oleh Mr. Oetojo Ramelan dibantu Soerjono, Daroesman, Mr. Zairin Zain, ThaharudinAh mad, dr. Soeroso dan Tamtomo. Secara resmi Indoff memperjuang-kan kepentingan politik di luar negeri, akan tetapi secara rahasia badan ini adalah pengendali usaha penembus blokade dan melakukan perdagangan barter. Kementerian Pertahanan juga membentuk perwakilan di luar negeri disebut Kementerian Pertahanan Usaha Luar Negeri (KPULN) dipimpin oleh Ali Jayeng prawiro. Tugas pokok KPULN adalah membeli senjata dan menembus blokade musuh. Sampai tahun 1946, Belanda hanya berhasil menguasai Pelabuhan Belawan sehingga RI 59 masih dapat menyelundupkan barang ke luar. Selama tahun 1946 barang yang diterima Singapura dari Sumatera seharga Strait $ ,-, sedang dari Jawa Straits seharga $ ,-. Sebaliknya barang-barang yang dikirim dari Singapura ke Sumatera seharga Straits $

29 ,- dan ke Jawa seharga $ ,-. c. Penataan Sektor-sektor Lain Pada awal kemerdekaan itu pemerintah menghadapi beberapa masalah ekonomi yang sangat mendesak. Masalah-masalah tersebut yaitu: masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, dan status dan administrasi perkebunanperkebunan. Untuk memecahkan masalahmasalah tersebut pemerintah kemudian menyelenggarakan Konperensi Ekonomi pada bulan Februari Konperensi ini dipimpin oleh Ir. Darmawan Mangunkusumo dan dihadiri oleh para gubernur, para cendikiawan dan pejabatpejabat lain yang terkait. Konperensi memutuskan untuk menghapus sistem autarki dalam pelaksanaan produksi dan distribusi untuk secara berangsur-angsur diganti dengan sistem desentralisasi. Untuk itu kemudian dibentuk Badan Pengawas Makanan Rakyat yang kemudian mejadi Badan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan (BPPBM). Badan ini dibawah supervise Kementerian Kemakmuran dan dipimpin oleh dr. Sudarsono. Konperensi juga berhasil mengadakan penilaian kembali tentang 60 status dan administrasi perkebunan yaitu semua perkebunan dikuasai negara di bawah pengawasan Menteri Kemakmuran. Pada 16 Mei 1946 pemerintah merasa perlu untuk menyelenggarakan konperensi ekonomi kedua yang diadakan di Solo. Dalam konperensi itu dibahas program ekonomi pemerintah, masalah keuangan negara, pengendalian harga,distribusi dan alokasi tenaga manusia. Wakil Presiden Moh. Hatta mengarahkan agar rehabilitasi pabrik-pabrik gula, karena gula merupakan bahan ekspor yang terpenting, karena itu pengusahaannya harus dikuasai negara. Hasil ekspor gula diharapkan dapat dijual atau ditukar dengan barang-barang lain. Saran Moh. Hatta direalisasi dengan membentuk Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN). Status badan tersebut adalah perusahaan negara, yang dipimpin oleh Notosudirdjo. Di samping itu dibentuk pula Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) yang juga merupakan perusahaan negara. Tugas PPN adalah: a. b. c. Meneruskan pekerjaan bekas perusahaan perkebunan yang dikuasai oleh Jepang; Mengawasi perkebunan bekas milik Belanda; Mengawasi perkebunan-perkebunan lainnya, dengan cara mengawasi mutu produksinya. Selanjutnya Menteri Kemakmuran Dr. AK. Gani pada 19 Januari 1947 membentuk 61 Planning Board (Badan Perancang Ekonomi). Badan ini bertugas membuat rencana pembangunan ekonomi, mengkoordinasi dan merasionalisasi semua cabang produksi dalam bentuk badan hukum. Sesuai dengan planning board, untuk membiayai pembangunan 10 tahun ini pemerintah mengerahkan dana-dana masyarakat, yaitu dengan pinjaman nasional dan tabungan rakyat serta pinjaman luar negeri. Di samping itu juga mengikutsertakan badanbadan swasta dalam pembangunan ekonomi. Rencana itu ternyata tidak sempat dilaksanakan karena situasi politik militer tidak memungkinkan. Aksi militer Belanda pertama mengakibatkan sebagian besar daerah Republik yang potensial jatuh ke tangan musuh. Wilayah RI hanya tinggal beberapa keresidenan di Jawa dan Sumatera, itu pun merupakan daerah minus dan berpenduduk padat. Moh. Hatta yang menjabat perdana menteri sejak tahun 1948 mencoba mengatasi kemerosotan ekonomi dengan tindakan yang realitas, yaitu rasionalisasi. Rasionalisasi meliputi penyempurnaan administrasi negara, angkatan perang dan aparat ekonomi. Sejumlah satuan angkatan perang dan laskar disalurkan pada bidang yang produktif dan diurus oleh kementerian pembangunan dan pemuda. Karena sumber dana yang utama adalah sektor pertanian, maka bidang ini akan diaktifkan kembali. Menteri Urusan Bahan Makanan, Kasimo membuat rencana produksi tiga tahun yang dikenal sebagai Plan Kasimo 62 yang pada dasarnya adalah usaha swasembada pangan, Kasimo menyarankan agar tanah-tanah

30 kosong di Sumatera Timur seluas hektar ditanami. Di Jawa diadakan intensifikasi dengan menanam bibit padi unggul. Hewan yang berperanan penting dalam produksi pangan dipelihara sebaik-baiknya, dalam arti tidak disembelih. Sensus hewan pun harus dilaksanakan. Di setiap desa harus dibentuk kebun-kebun bibit untuk memberikan bibit yang baik lagi bagi rakyat. Plan Kasimo juga meliputi transmigrasi. Sementara itu Badan Perancang yang dibentuk, dr. AK. Gani diperluas menjadi Panitia Siasat Ekonomi yang dipimpin sendiri oleh Wakil Presiden Moh. Hatta, sedangkan dr. AK. Gani menjadi wakilnya. Tugas panitia ini adalah mempelajari, mengumpulkan data, dan memberi bahan masukan bagi kebijaksanaan pemerintah dan perencanaan pembangunan ekonomi. Di samping juga memberikan nasehat-nasehat dalam rangka perundingan dengan Belanda. Panitia pemikir ini menghasilkan dasar-dasar pokok rancangan ekonomi Indonesia, yang berisi program pembangunan jangka panjang, dengan tujuan untuk memperbesar dan menyebarkan atau meningkatkan kemakmur-an rakyat secara merata, dengan cara: a. mengintensifkan usaha produksi; b. memajukan pertukaran perdagangan internasional; c. mencapai taraf hidup yang lebih baik; dan d. mempertinggi derajat dan kecakapan rakyat. Adapun petunjuk pelaksanaan yang harus diikuti adalah sebagai berikut: sektor 63 perdagangan digiatkan kembali. Impor dibatasi pada barang-barang yang penting seperti bahan pakaian, bahan baku untuk industri, dan alat transport. Eksport meliputi hasil-hasil perkebuan, hasil hutan, dan tambang. Penyebaran penduduk dilakukan dengan cara memindahkan 20 juta penduduk Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 15 tahun. Dengan demikiandiharapkan kemakmuran di Jawa berkembang dan terbuka kemakmuran baru di Sumatera. Dasar politik ekonomi pemerintah adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, karena semua perusahaan vital harus dikuasai oleh negara. Perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan listrik dan air, perusahaan kereta api dan term, pos dan telekomunikasi serta bank sirkulasi. Selama masa perang revolusi kemerdekaan, kegiatan ekonomi dikuasai pemerintah sehingga partisipasi pengusahapengusaha swasta kurang menggembirakan. Karena itu di dalam kongres Persatuan Tenaga Ekonomi di Malang, Wakil Presiden Moh. Hatta menganjurkan agar para pengusaha swasta memperkuat wadah persatuannya. Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE) dibawah pimpinan BR. Motik menggiatkan kembali partisipasi pengusaha swasta. Tujuannya adalah menggalang dan melenyapkan individualism di kalangan organisasi organisasi pedagang untuk memperkokoh ekonomi bangsa Indonesia. Bahkan Presiden Soekarno pernah menjanjikan bila PTE meningkatkan partisipasinya, calon- 64 calon PTE akan diangkat dalam Komite Nasional Pusat. Dianjurkan juga agar pemerintah daerah membantu usaha-usaha PTE, namun karena situasi perusahaan yang berada di bawah PTE semakin mundur, PTE hanya berhasil mendirikan Bank PTE di Yogyakarta dengan modal pertama Rp ,-. Kegiatan PTE semakin mundur akibat aksi militer Belanda PTE kemudian mencurahkan kegiatannya pada bidang perbankan. Usaha swasta lain yang membantu pemerintah adalah Banking and Trading Corporation (BTC). Menurut Dr. Sumitro Djojohadikusumo, BPC adalah langkah persiapan organisasi badan perdagangan nasional, jika sewaktu-waktu perjuangan politik beralih ke perjuangan ekonomi. Selain itu beberapa perusahaan lain dari kalangan swasta bergabung dalam bentuk gabungan perusahaan. Misalnya Gabungan Perusahaan Perindustrian dan Perusahaan penting yang berpusat di Malang dan Pusat Perusahaan Tembakau Indonesia (Puperti) yang berpusat di Cirebon. Produksi Puperti mencapai 170 juta batang rokok untuk konsumen di Jawa. Dalam sidang berikutnya berhasil dibentuk berbagai kementerian dan pembagian wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi. 4. Kembali ke Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia Serikat adalah negara yang terdiri atas negara-negara bagian. Negara RIS ini terbentuk sebagai tidak lanjut dari hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) tanggal 2 65 November 1949 di Den Haag. RIS terdiri atas 16 negara bagian, yaitu: Negara Republik

31 Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Jawa Tengah, Negara Sumatera Selatan, Negara Sumatera Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Bangka Belitung dan Riau. Ir. Soekarno diangkat sebagai presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai perdana menteri. Kabinet pun dibentuk dengan anggota-anggota antara lain Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Wilopo, Prof. Dr. Supomo, dr. Leimena, Arnold Monomutu, Ir. Hertinglaoh, Sultan Hamid II dan Ide Anak Agung Gede Agung. Kabinet ini merupakan Zaken Kabinet (yang mengutamakan keahlian dari anggota-anggotanya). Ternyata sebagian besar dari anggota kabinet ini adalah pendukung unitarisme (kesatuan). Karena itu tidak beberapa lama setelah RIS berdiri, gerakan-gerakan untuk membubarkan negara federal dan membentuk negara kesatuan telah ada. Gerakan tersebut makin lama makin kuat. Apalagi pembentukan negara federal tidak berdasarkan landasan konsepsional yang kuat. Pembentukan negara federal pada awalnya hanya merupakan tindak lanjut dari usaha Belanda untuk menghancurkan RI. Karena itu banyak mendapat tantangan dari sebagian besar rakyat RI. Bahkan ternyata di kalangan negara-negara bagian bentukan Belanda pun ada gerakan yang kuat untuk menentang bentuk negara federal tersebut. Mereka menginginkan menegakkan kembali negara kesatuan RI. Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur dengan tegas 66 menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan RI. Kedua negara bagian tersebut kemudian menyerahkan mandatnya pada Pemerintah RIS untuk mengadakan pembicaraan mengenai pembentukan Negara Kesatuan dengan Pemerintah RI. Setelah ditandatanganinya Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dan pemerintah RI tanggal 19 Mei 1950, pembentukan Negara Kesatuan direalisasi. Kemudian dibentuk Panitia Gabungan RIS RI yang bertugas merancang UUD Negara Kesatuan yang diselesaikan pada 20 Juli Rancangan UUD ini ditandatangani oleh Presiden Soekarno 15 Agustus 1950 yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Sementara RI 1950 (UUDS 1950). E. MASA DEMOKRASI LIBERAL TAHUN Pada masa Demokrasi Liberal yang dimulai tahun 1950 hingga 1959, diwarnai dengan adanya munculnya partai-partai yang saling berebut untuk menduduki kabinet. Pada masa ini ada dua partai yang sangat menonjol dalam percaturan politik yaitu PNI dan Masyumi. Sehingga masa ini diidentifikasikan dengan masa jatuh bangunnya kabinet. Masa Demokrasi Liberal kepemimpinan negara diatur menurut Undang-undang Dasar yang bertanggungjawab kepada parlemen. Kabinet disusun menurut pertimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai itu. 1. Arti Sistem Demokrasi Liberal 67 Suatu bentuk sistem politik dan pemerintahan yang bersendikan pada asas-asas liberalisme yang pada umumnya ada dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Di Indonesia sistem Demokrasi Liberal berlangsung sejak tahun 1950 saat NKRI masih menggunakan UUDS 1950 sampai tahun 1959 saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dengan ditandai berlakunya UUD 1945 lagi. Pada masa ini pergantian kabinet sering dilatarbelakangi oleh perbedaan yang tajam antara partaipartai melawan partai yang memerintah. 2. Kondisi Politik pada Masa Demokrasi Liberal Kondisi politik Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal baik secara langsung maupun tidak langsung, sangat dipengaruhi oleh hasil KMB, yang memunculkan rasa ketidakpuasan di berbagai kalangan politisi maupun militer di berbagai daerah. Pasca KMB Negara RI menjadi berbentuk Negara Serikat, yaitu Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang pelaksanaannya berdasarkan Konstitusi RIS (UUDS 1950) yang bercorak parlementer atau liberal. Walaupun kemudian sejak bulan Agustus 1950 Negara RIS berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang pelaksanaannya berdasarkan Konsitusi atau UUDS 1950, corak demokrasi dan pemerintahannya masih bersifat parlementer atau liberal. Oleh karena itulah

32 pada masa pelaksanaan UUD RIS maupun UUDS 1950 lebih dikenal dengan masa Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal. Pada masa Demokrasi Liberal menunjukkan keadaan yang sangat buruk. Sejak 68 Negara RIS berubah menjadi NKRI pada bulan Agustus 1950, sistem pemerintahan Negara Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 yang menggunakan sistem kabinet parlementer dan sistem multi partai. Seluruh aspirasi politik disalurkan melalui partaipartai politik yang ada pada waktu itu. Selama negara Indonesia menganut sistem Demokrasi Liberal, yang terjadi adalah situasi sosial-politik dan keamanan dalam negeri yang menunjukkan gejala instabilitas politik dan keamanan, yang antara lain ditandai oleh sering terjadi pergantian kabinet, pergolakan di berbagai daerah dan gejolak dalam Angkatan Perang. Pada tanggal 23 Januari 1950 di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang sebagian anggotanya merupakan bekas tentara Koningklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL), dengan berkekuatan lebih dari 800 prajurit melakukan serangan atas kota Bandung. Kemudian, pada tanggal 5 April 1950, di Makasar, Sulawesi Selatan terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Andi Azis yang didukung KNIL. Pada tanggal 25 April 1950, Dr. Soumokil (mantan Jaksa Agung NIT) mengumumkan berdirinya negara Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon, Maluku. Pada waktu itu, Indonesia juga masih menghadapi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo yang kemudian berkembang ke beberapa daerah lain seperti: pemberontakan DI/TII di Aceh, pimpinan Daud Beureuh; DI/TII di Jawa Tengah, pimpinan Amir Fatah, DI/TII di 69 Sulawesi Selatan, pimpinan Kahar Muzakar dan lain-lain. Selama masa ini sering terjadi jatuh bangunnya kabinet,dan terbukti telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet dimana umur rata-rata setiap kabinet hanya sekitar satu tahun. Selama masa Demokrasi Liberal yang menggunakan UUDS 1950 telah terjadi tujuh kali pergantian kabinet, antara lain: Kabinet Natsir (September 1950Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus Juli 1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali Sastromidjojo II (Maret 1956-Maret 1957) dan Kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959). Jatuh bangunnya kabinet pada masa Demokrasi Liberal disebabkan karena adanya konflik antara partai politik. Misalnya Kabinet Natsir jatuh karena PNI menentang kebijakannya mengenai Irian Jaya. Konflik partai Masyumi dan PNI ini dimenangkan oleh Masyumi dan menjadikan kabinet Sukiman berkuasa. Kabinet Sukiman tidak berlangsung lama karena ia dijatuhkan oleh PNI. Partai Nasional Indonesia menentang penandatanganan program bantuan Amerika Serikat kepada pemerintah RI. Alasan penolakannya adalah karena bantuan itu dapat dipakai sebagai alat untuk memasukkan RI ke dalam Blok Amerika Serikat. Dengan demikian menurut PNI, Indonesia tidak bersikap bebas aktif lagi dalam melihat Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Untuk mengurangi konflik antara PNI dan Masyumi itu Presiden menunjuk tokoh moderat 70 dari PNI untuk memimpin Kabinet, maka terbentuklah Kabinet Wilopo ( ). Kabinet ini bertugas mengadakan persiapan pemilihan umum dan pembentukan dewan konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, kabinet inipun harus meletakkan jabatan. Hal ini disebabkan karena daerahdaerah makin tidak percaya kepada pemerintah pusat. Di samping itu terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952, yaitu desakan dari militer agar Presiden segera membubarkan Parlemen yang tidak mencerminkan keinginan rakyat. Peristiwa 17 Oktober 1952 dimanfaatkan oleh TNI-AD untuk kepentingan politiknya. Golongan yang dipimpin Kol.Bambang Sugeng itu tidak menyetujui Kol. A.H. Nasution sebagai KASAD. Sekelompok partai dalam parlemen menyokong dan menuntut agar diadakan perombakan pimpinan Kementerian Pertahanan dan TNI. Keterlibatan partai dianggap oleh pimpinan TNI sebagai campur tangan sipil dalam urusan tentara. Oleh karena itu mereka menuntut agar Presiden Soekarno membubarkan Parlemen. Presiden Soekarno menolak tuntutan ini sehingga KASAD maupun KSAP meletakkan jabatan. Mandat pembentukan kabinet

33 tetap diserahkan kepada PNI. Dalam suasana konflik politik itu, Ali Sastroamidjojo terpilih untuk memimpin kabinet. Tugas Kabinet Ali Sastroamidjojo adalah melanjutkan program kabinet Wilopo, yaitu antara lain melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih DPR dan Konstituante. Meskipun Kabinet Ali Sastroamidjojo berhasil dalam politik luar negeri yaitu, dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) 71 di Bandung dalam bulan April 1955, akan tetapi Kabinet Ali Sastroamidjojo harus meletakkan jabatan sebelum dapat melaksanakan tugas utamanya yaitu pemilu, alasannya karena pimpinan TNI- AD menolak pimpinan baru yang diangkat Menteri Pertahanan. Hal ini sebenarnya yang berpangkal pada peristiwa 17 Oktober Calon pimpinan TNI yang diajukan Kabinet ini ditolak oleh Korps perwira sehingga menimbulkan krisis kabinet. Pada saat itu Presiden Soekarno akan berangkat ke tanah Suci Mekah. Sebelum berangkat Presiden mengangkat tiga orang untuk menjadi formatur kabinet, yaitu Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat (non partai). Namun ketiga orang ini tidak berhasil membentuk kabinet hingga terpaksa mengembalikan mandatnya pada Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. Hatta kemudian menunjuk Burhanuddin Harahap dari Masyumi untuk membentuk kabinet. Kabinet Burhanudin ( ), ditugaskan untuk melaksanakan pemilihan umum. Usaha ini berhasil sekalipun mengalami kendala-kendala yang berat. Pada tanggal 29 September 1955 pemilihan anggota-anggota parlemen dilakukan, dan pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan pemilihan umum untuk Konstituante. Setelah itu kabinet Burhanudin meletakkan jabatan dan kemudian dibentuk kabinet baru yang sesuai dengan hasil pemilihan umum. Selain masalah pemilihan umum Kabinet Burhanuddin juga berhasil menyelesaikan masalah TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kol. A.H. Nasution sebagai KASAD pada bulan Oktober Selain itu dalam politik luar negeri 72 kabinet ini condong ke barat dan berusaha mengadakan perundingan dengan Belanda mengenai soal Irian Barat. Hasil pemilihan umum 1955 menunjukkan PNI adalah partai yang terkuat. Oleh sebab itu presiden mengangkat seorang formatur kabinet dari PNI yaitu Ali Sastoramidjojo. Kabinet Ali Sastroamidjojo II ( ) adalah kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Kabinet ini mempunyai rencana kerja untuk lima tahun. Rencana kerja ini disebut rencana lima tahun. Isinya antara lain: 1. perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat dalam wilayah RI; 2. Otonomi Daerah; 3. mengusulkan perbaikan nasib buruh; 4. penyehatan keuangan; dan 5. pembentukan Dewan Ekonomi Nasional. Sementara program berjalan timbul masalahmasalah baru. Pertama kegagalan dalam memaksa pihak Belanda agar menyerahkan Irian Barat dan pembatalan perjanjian KMB. Kedua, berkembangnya masalah anti Cina di kalangan rakyat yang tidak senang melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Sehingga perkelahian dan pengrusakan terjadi di beberapa kota. Ketiga di beberapa daerah timbul perasaan tidak puas terhadap pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan terjadinya pergolakan di beberapa daerah. Pergolakan daerah itu mendapat dukungan dari beberapa panglima TNI-AD, mereka merebut kekuasaan di daerah dengan cara membentuk Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara pada tanggal 22 Desember 1956, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. 73 Untuk mengatasi keadaan ini Presiden mengumumkan berlakunya undang-undang SOB (negara dalam keadaan bahaya) dan angkatan perang mendapat wewenang khusus untuk mengamankan negara di seluruh Indonesia. Tetapi usaha Presiden untuk mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet baru ternyata gagal. Sebab itu ia mengangkat Ir. Djuanda yang tidak berpartai sebagai formatur kabinet. Kabinet Djuanda ( ) bertugas menyelesaikan kemelut dalam negeri, selain memperjuangkan kembalinya Irian Barat dan menjalankan pembangunan. Pertamatama kabinet ini membentuk suatu Dewan Nasional yang bertugas memberi nasehat kepada pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di samping itu, diadakan musyawarah nasional untuk mencari jalan keluar dari kemelut nasional. Sebelum musyawarah itu menghasilkan keputusan

34 terjadi Peristiwa Cikini, yaitu percobaan pembunuhan Presiden. Pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum agar Kabinet Djuanda dibubarkan dalam waktu lima kali 24 jam. Presiden ternyata tidak menghiraukan hal ini sehingga akhirnya Dewan Banteng memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Begitu pula di Sulawesi dibentuk pemerintahan sendiri yaitu Permesta. Hal itu membuat situasi Negara semakin mengkhawatirkan. 74 Dalam perjalanan pemerintahan pada masa Demokrasi Parlementer atau Demokrasi Liberal, di bawah sistem pemerintahan UUDS 1950, sebagian besar program kabinet-kabinet yang ada berjalan sangat lambat dan bahkan tersendat-sendat, serta tidak sedikit yang kurang dari satu tahun. Sebut saja misalnya, Kabinet Natsir hanya sekitar 6,5 bulan (September 1950Maret 1951), dan Kabinet Burhanuddin Harahap hanya sekitar 7 bulan (Agustus 1955-Maret 1956). Kabinet yang bertahan labih dari satu tahun hanya Kabinet Wilopo, yaitu sekitar 14 bulan (April 1952-Juni 1953) dan Kabinet Ali Sastroamidjojo I selama sekitar dua tahun (Juli 1953-Juli 1955). Pemerintahan yang dihasilkan melalui Pemilu 1955 adalah Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Kabinet ini pun usianya hanya sekitar 11,5 bulan atau hampir mencapai satu tahun (Maret 1956-Maret 1957). Bahkan, pada masa Demokrasi Liberal ini, sering terjadi krisis Kabinet atau vacum cabinet (kekosongan pemerintahan Perdana Menteri), dan hal ini sering berlangsung cukup lama. Sebut saja misalnya: Pertama, antara jatuhnya Kabinet Sukiman (Februari 1952) yang bertahan sekitar sepuluh bulan (April Pebruari 1952) hingga dibentuknya Kabinet Wilopo (April 1952), maka waktu krisis cukup lama, yaitu sekitar 38 hari. Kedua, antara jatuhnya Kabinet Wilopo (Juni 1953) hingga dibentuknya Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1953) ada waktu krisis paling lama, yaitu 58 hari. Masa Demokrasi Liberal adalah masa yang disebut sebagai zaman pemerintahan partaipartai, zaman kabinet silih berganti dan zaman yang melalaikan pembangunan berencana. Pada 75 masa ini timbul pergolakan di daerah-daerah yang disebabkan adanya perasaan tidak puas terhadap kebijakasanaan pemerintahan pusat, seperti sistem pemerintah yang tersentralisasi di pulau jawa, pembangunan di daerah-daerah dirasakan sangat seret dan ada daerah-daerah yang beranggapan, bahwa pemerintah pusat dipengaruhi oleh golongan komunis. Manifestasi perasaan tidak puas ini akhirnya menimbulkan gerakan-gerakan penentangan maupun perlawanan terhadap pusat di beberapa daerah, seperti: Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawasi. Sebenarnya, sejak tahun 1956 Presiden Sukarno mulai mengkritik secara mendalam terhadap keberadaan dan pelaksanaan UUDS 1950 dalam sistem pemerintahan. Hal itu dilakukan karena sudah lama tidak menyukai sistem politik Demokrasi Liberal di bawah UUDS 1950, karena sistem ini dirasakan telah membatasi atau mengungkung kekuasaannya. Ia merasa peranan politik yang dijalankan sesuai kedudukannya sebagai Presisden terkungkung atau terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUDS Situasi seperti itu dirasakan tepat baginya untuk melepaskan diri dari pembatasanpembatasan yang ditimpakan kepadanya sebagai Presiden berdasarkan konstitusi. Sejak tahun 1956, ia sangat berharap dari kinerja Konstituante hasil Pemilu 1955 yang beranggotakan 542 orang untuk menghasilkan UUD yang diharapkan, yang sesuai dengan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia. 76 Selama tahun 1956, Presiden Sukarno telah menunjukkan kebebasannya yang lebih luas lagi dan memperlihatkan tindakannya yang lebih jelas dan lebih tegas terhadap sistem Demokrasi Liberal. Dalam banyak hal ia telah menolak kebijaksanaan politik pemerintah dan lebih mendasar lagi ia telah mulai dan berani mengecam dasar-dasar pokok lembaga parlemen yang ada pada saat itu. Bahkan, pada saat pembukaan resmi parlemen yang baru telah dipergunakannya untuk menyatakan bahwa kebiasaan parlemen Barat yang berdasarkan suara terbagi itu, setengah jumlah suara tambah satu tidak cocok dengan masyarakat Indonesia dan mengharapkan parlemen baru itu tidak akan bekerja berdasarkan kebiasaan Barat itu, tetapi memperhatikan prinsip hidup bangsa

35 Indonesia, yaitu gotong royong. Keinginan Presiden Sukarno untuk mengganti UUDS 1950 pertama dikemukakannya ketika ia berpidato tentang kuburan semua Partai pada tanggal 28 Oktober 1956 dan dua hari kemudian ketika ia berpidato di depan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tanggal 30 Oktober 1956 yang antara lain anjurannya yang agak keras mengenai pembubaran partai-partai, serta pidatonya di depan sidang pembukaan Konstituante yang baru terpilih pada tanggal 10 November 1956 dengan mengusulkan suatu gagasan bagi pemecahan permasalahan dalam konsepsi yang dikemukakannya pada tanggal 21 Februari 1957 yang kemudian dikenal dengan sebutan Konsepsi Presiden. Ada tiga hal pokok isi dari Konsepsi Presiden, antara lain: Pertama, Sistem Demokrasi Parlementer model Barat tidak sesuai dengan 77 Kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Sistem Demokrasi Terpimpin.Kedua, Dibentuknya Kabinet GotongRoyong yang terdiri dari wakil-wakil semua partai (4 partai besar pemenang pemilu: PNI, Masyumi, NU dan PKI) ditambah dengan golongan fungsional; dan Ketiga, Dibentuknya Dewan Nasional yang kemudian bernama Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS), yang beranggotakan wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan ini berfungsi memberi nasehat kepada kabinet baik diminta atau tidak. Demokrasi Liberal telah merubah demokrasi menjadi ajang perebutan kekuasaan dan sumber daya ekonomi belaka. Mereka di parlemen dan di hampir di semua lembaga Negara dan bahkan di masyarakat berlomba-lomba ingin menjadi pemenang. Masalahnya kemudian adalah mereka yang menang justru lebih mementingkan kepentingan pribadi, golongan dan partainya. Oleh karena itu, diskusi-diskusi atau rapat-rapat di tingkat lembaga penyelenggara pemerintahan lebih syarat diwarnai perdebatan sengit untuk memenangkan kepentingan para politisi atau elit penguasa daripada membahas inti demokrasi yang substansial yaitu, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Akibatnya wacana dan usaha untuk mengganti sistem pemerintah Liberal yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia muncul dan terus dilakukan oleh Presiden Sukarno. Presiden Sukarno berkeyakinan bahwa semua kesulitan bisa diatasi dengan merombak susunan pemerintah secara keseluruhan. Konsep atau gagasan Presiden Sukarno ini kemudian dikenal 78 dengan nama Konsepsi Presiden yang disampaikan kepada para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka pada tanggal 21 Februari 1957 dengan usulan untuk membentuk Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional. Dalam konsep ini pula Presiden Sukarno mulai menyatakan untuk meninggalkan sistem liberal, terutama dalam bidang politik dan ekonomi. Meskipun Konsepsi Presiden sempat mendapat kritikan keras dari Mohammad Hatta, dan menyulitkan Kabinet Alisastroamidjojo II, akan tetapi ide atau konsep Presiden Sukarno ini didukung oleh A.H Nasution. Namun, pada kenyataan, dalam pelaksanaan Konsepsi Presiden ini menimbulkan perdebatan dalam mayarakat, terutama di kalangan tokoh masyarakat maupun politisi. Bahkan, Hatta yang pada waktu itu sudah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden juga ikut mengkritisi Konsepsi Presiden tersebut. Partai-partai politik seperti: Masyumi, NU, PSII, Katholik dan PRI menolak konsepsi ini dan berpendapat bahwa merubah susunan ketatanegaraan secara radikal hendaknya diserahkan kepada Konstituante. Di antara partai-partai besar hanya PNI dan PKI yang setuju. Masyumi sama sekali menolaknya. Bahkan NU yang tradisional, bersifat oportunis dan lebih cenderung bersekutu dengan PNI daripada bekas teman separtai Islamnya Masyumi, akan tetapi, kali ini NU tegasmenolak dimasukkannya PKI ke dalam pemerintahan. Pada tanggal 14 Maret 1957, selang sekitar satu setengah jam setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo II mengundurkan diri, suhu politik semakin memanas. Presiden kemudian mengumumkan keadaan darurat perang, Staat van Oorlog en 79 Beleg (SOB) bagi seluruh wilayah Indonesia. Pernyataan Presiden tersebut kemudian disusul dengan dikeluarkannya perintah Harian Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Segera sesudah itu Gabungan Kepala Staf (GKS) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) mengeluarkan perintah Harian. Baik GKS maupun KSAD menyatakan bahwa Konsepsi Presiden itu

36 dikeluarkan untuk mengatasi keadaan yang tidak stabil di dalam negara. Keadaan darurat perang tersebut kemudian ditingkatkan menjadi keadaan bahaya tingkat keadaan perang pada tanggal 17 Desember Keadaan ini memungkinkan Angkatan Perang lebih leluasa mengambil tindakantindakan tegas dalam menanggulangi berbagai pemberontakan di daerah serta para pengacau yang dilakukan oleh gerombolan DI/TII. Presiden Sukarno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur dan kabinet yang berhasil disusunnya ialah kabinet yang dipimpin oleh Ir. Djuanda, seorang non-partai, sebagai Perdana Menteri, dengan wakil-wakil Perdana Menteri masing-masing dari PNI, NU dan Parkindo. Kabinet yang dilantik pada tanggal 9 April 1957 dikenal dengan nama Kabinet Karya. Kabinet ini dapat dikatakan sebagai kabinet yang merintis jalan ke arah era atau kondisi Demokrasi Terpim pin yang diinginkan atau diharapkannya dalam rangka pelaksanaan UUD 1945 kembali. Ia berharap, dengan kembalinya pelaksanaan sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945, maka kekuasaan menjalankan pemerintahan akan ada di tangannya. Dengan demikian, kekuasaan dan kedudukan Presiden dalam 80 menjalankan pemerintahan akan kembali menjadi lebih kuat. Pada masa Kabinet Karya, pergolakan politik dan masalah keamanan dalam negeri meningkat. Pada tanggal 6 Mei 1957,sebagai realisasi dari konsepsi Presiden dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri dari 45 orang anggota, masingmasing mewakili golongan fungsional seperti tani, buruh, wanita dan pemuda. Kepala-kepala Staf dari angkata-angkatan dalam angkatan perang juga diangkat sebagai anggota Dewan ini. Dewan Nasional ditetapkan berdasarkan UndangUndang Darurat No. 7 tahun 1957, yang antara lain dijelaskan bahwa tugas dewan ini adalah memberikan nasehat mengenai soal-soal pokok kenegaraan dan kemasyarakatan kepada pemerintah, baik atas permintaan pemerintah maupun atas inisiatif sendiri. Dewan Nasional dipimpin oleh Presiden. Perdebatanperdebatan di Konstituante makin berlarut-larut, kata sepakat yang diharapkan rakyat sulit didapat, dan hal ini membuat krisis nasional semakin parah. Melihat gelagat kegagalan Konstituante ini berbagai pihak mencari jalan keluar dari krisis politik yang terjadi saat itu. Pimpinan TNI Angkatan Darat, mengajukan gagasan kembali ke UndangUndang Dasar Pada tanggal 22 April 1959 Presiden Sukarno berpidato lagi di muka sidang Konstituante dan atas nama pemerintah menganjurkan agar dalam rangka pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, Konstituante menetapkan kembali UUD 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Esok harinya Presiden Sukarno memulai perjalanan panjangnya mengunjungi beberapa negara. 81 Sebelum Konstituante menerima atau menolak usul pemerintah itu terlebihdahulu dari kelompok Islam datang dan mengusulkan agar dilakukan amandemen untuk mengembalikan kata dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya kedalam pembukaan UUD Usulan ini ditolak oleh Konstituante dalam sidangnya tanggal 29 Mei 1959 dengan perbandingan suara 201 setuju melawan 265 menolak. Pada tanggal 30 Mei 1959 baru dilakukan pemungutan suara terhadap anjuran atau usulan pemerintah, hasilnya adalah 269 setuju dan 199 tidak setuju dari jumlah 474 orang yang hadir, dari 542 anggota Konstituante keseluruhan. Dengan demikian tidak tercapai qorum dua pertiga (2/3) seperti disyaratkan dalam Pasal 37 UUDS Kegagalan Konstituante untuk kembali ke UUD 1945 melalui saluran Konstituante yang disarankan pemerintah, menyebabkan timbulnya keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, ditambah lagi dengan adanya pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah yang makin mengancam keutuhan negara, mendorong Presiden Sukarno untuk segera mengambil tindakan tegas. Pada tanggal 29 Juni 1959, dalam pidatonya setelah tiba di Tanah Air dari perjalanan panjangannya ke luar negeri, Presiden Sukarno mengatakan bahwa dalam beberapa hari ini ia akan mengambil tindakan tegas dalam persoalan gagasan kembali kepada UUD Berikut adalah sebagian kutipan dari isi pidato Presiden Sukarno tersebut: Selama saja didalam perdjalanan, saja telah mendapat laporan-laporan mengenai keadaan 82 disini dan saja mengetahui garis besar dari pada persoalan gagasan pelaksanaan

37 UndangUndang Dasar 45. Sekarang saja datang ditanah air, insja Allah subhanahu wata alla, didalam waktu jang singkat saja akan mengambil keputusan. Keputusan itu akan saja dasarkan kepada kehendak rakjat. Didalam tahun 1952 saja telah berkata bahwa saja tidak mau mendjadi diktator. Tetapi sekarang saja insja Allah akan mengambil keputusan berdasarkan atas kehendak rakjat terbanjak. Maka dengan demikian saja tidak akan bertindak sebagai diktator." Pada tanggal 4 Juli 1959 di Istana Bogor, Presiden Sukarno mulai mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan pejabatpejabat penting pemerintah untuk mencari jalan keluar dari situasi yang gawat itu. Pertemuan dimulai dengan Mr. Sartono, bekas Pejabat Presiden sementara, kemudian dengan Perdana Menteri Djuanda. Setelah itu Presiden mengadakan pembicaraan dengan ketiga kepala staf yang juga dihadiri oleh Perdana Menteri Djuanda selaku Menteri Pertahanan. Presiden juga mengadakan pembicaraan dengan Wakil Ketua Dewan Nasional, Ruslan Abdulgani, Menteri Negara Prof. Moh. Yamin, Ketua Mahkamah Agung Mr. Wirjono dan Direktur Kabinet Presiden, Mr. Tanzil. Setelah Konstituante gagal menetapkan UUD 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, maka melalui pembicaraan dan konsultasi dengan pejabat-pejabat tinggi negara di Istana Bogor, maka keesokan harinya pada tanggal 5 Juli 1959 bertempat di Istana Merdeka, Presiden Sukarno mengeluarkan 83 Dekrit. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 memuat tiga hal pokok, yaitu: Pertama, Menetapkan pembubaran Konstituante. Kedua, Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi UUDS. Ketiga, Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari Daerahdaerah dan golongangolongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara dalam waktu yang sesingkatsingkatnya. Presiden Sukarno tidak menyukai sistem politik Demokrasi Liberal di bawah UUDS 1950, karena sistem ini dirasakan telah membatasi atau membelenggu kekuasaannya. Ia merasa peranan politik yang dimainkannya sesuai kedudukannya sebagai Presiden terkungkung atau terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUDS Situasi seperti itu dirasakan tepat baginya untuk melepaskan diri dari pembatsanpembatasan yang ditimpakan kepadanya sebagai Presiden berdasarkan konstitusi. Sejak tahun 1956, Beliau sangat berharap dari kinerja Konstituante hasil Pemilu 1955 yang beranggotakan 542 orang untuk menghasilkan UUD yang diharapkan, yang baik, yang sesuai dengan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia. Gagasan Presiden Sukarno tentang perlunya gotong royong dari berbagai unsur baik dari kalangan nasional, agama dan komunis, kemudian melahirkan gagasan tentang Nasakom. Gagasan Nasakom, dalam grand designnya 84 merupakan miniatur politik luar negeri yang bebas aktif, tetapi realisasinya tidak begitu populer di dalam negeri. Presiden Sukarno tetap diperebutkan oleh kalangan militer, komunis dan Islam. Gagasan Nasakom yang dicetuskan Presiden Sukarno merupakan bargaining politik dan mobilisasi berbagai ideologi dalam wadah Nasakom dan memberikan akses kepada seluruh rakyat yang secara bahu-membahu mengenyahkan penjajah dari bumi Indonesia dalam penjuangan dan Perang Kemerdekaan, tanpa membedakan pandangan politik dan ideologi. Kemelut pertentangan politik dan ideologi ini tidak terlepas dari strukturpolitik Indonesia pada masa itu yang menganut sisem demokrasi liberal dibawah Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Berdasarkan UUDS 1950, Perdana Menteri yang merupakan penanggung jawab tertinggi pemerintahan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh parlemen yang terdiri dari multipartai, sedangkan Sukarno sebagai presiden tidak dapat dijatuhkan langsung oleh parlemen. Pada masa negosiasi pampasan perang dengan Jepang, yang menjabat sebagai Perdana Menteri adalah Ir. Djuanda, yang lebih dikenal sebagai seorang birokrat dari pada politisi. Kekuasaan politik pada waktu itu berada pada Perdana Menteri Djuanda, dan Presiden Sukarno lebih sebagai simbol yang tidak mempunyai akses langsung kepada parlemen maupun partai-partai politik. Dalam hal inilah kebijakan presiden-khususnya mengenai masalah penanganan pampasan perang dan penyelesaian Pemberontakan PRRI-Permesta mendapat banyak

38 tantangan, baik dari kalangan anggota parlemen maupun militer. 85 A.H Nasution dan Ahmad Yani yang berhasil memadamkan pemberontakan PRRI-Permesta, mendukung Dekrit Presiden ini. Untuk mengamankan pemberlakuan UUD 1945, untuk pertama kalinya wakil militer duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) berdasarkan penunjukan. Presiden Sukarno pada bulan Februari 1957 melontarkan gagasan untuk menghapuskan partai potitik dan menggantinya dengan golongan profesi atau golongan fungsional di parlemen, dan menawarkan gagasan Demokrasi Terpimpin, dengan Inti Demokrasi Terpimpin adalah Manipol dan Usdek. Sebagai perwujudan dari gagasan ini presiden kemudian membentuk Dewan Nasional berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun Berdasarkan undangundang ini, unsur militer diikutkan dalam kabinet dan Dewan Nasional, kemudian dalam Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tahun 1958, merupakan cikal bakal terwujudnya gagasan politik Sukarno yang melibatkan wakil-wakil militer dalam pemerintah dan proses pembentukan kebijakan nasional. Salah satu tugas dari Dewan Perancang Nasional adalah untuk mengkoordinasikan proyek-proyek pemerintah yang diajukan sebagai pampasan perang kepada Jepang. Dengan demikian, militer mempunyai akses yang jelas dalam proses pengambilan kebijakan negara. Itulah sebabnya proyek-proyek yang diajukan oleh kementerian veteran, misalnya, termasuk yang diajukan oleh Pertamina adalah proyek-proyek yang berkaitan dengan kebutuhan militer. Presiden Sukarno bertekad untuk mengakhiri berlakunya UUDS 1950, dan kembali pada UUD Tindakan ini diwujudkan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang berisi pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945, dan tidak berlakunya UUDS Dekrit Presiden ini mendapat dukungan kuat dari militer, karena militer sudah jenuh menyaksikan pertikaian di parlemen yang meluas sebagai pertentangan massa di lapangan. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mengawali berlangsungnya masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Sementara itu, dalam perkembangan selanjutnya, prinsip politik bebas aktif yang dipegang pemerintah Indonesia dalam menjalin hubungan luar negeri yang telah dirintis sejak perang kemerdekaan, pada Masa Demokrasi Terpimpin mulai condong bergerak ke arah kiri. 3. Kondisi Ekonomi Pada Masa Liberal a. Keadaan Ekonomi Setelah penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949, masalah perekonomian yang dihadapi Indonesia telah berkembang semakin kompleks. Kondisi ekonomi di Indonesia pasca perang kemerdekaan masih menunjukkan keadaan yang sangat memprihatinkan, karena masih menyisakan permasalahan pelik sebagai dampak dari era sebelumnya, dan munculnya permasalahan ekonomi yang baru sebagai akibat dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Berikut ini adalah masalahmasalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia di bidang ekonomi yang semakin bertambah rumit dan kompleks tersebut: 87 Pertama, belum terwujudnya kemerdekaan atau kedaulatan ekonomi. Kondisi perekonomian Indonesia pasca pengakuan kedaulatan atau pasca perang kemerdekaan sebagian besar masih dikuasai oleh asing. Memasuki dekade 1950-an, sektor ekonomi modern Indonesia masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan milik Belanda. Menghadapi situasi sepertiitu, aspirasi para tokoh pemimpin Indonesia memunculkan pandangan yang dikenal dengan ekonomi nasional atau nasionalisasi ekonomi. Namun, oleh karena kurang adanya persiapan dan perencanaan yang matang, termasuk kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dengan baik, maka kebijakan nasionalisasi ekonomiyang diambil pemerintah Indonesia sebagian mengalami kegagalan. Kegagalan dalam upaya untuk mewujudkan ekonomi nasional secepatnya, sebagian besar ditafsirkan oleh para pemimpin Indonesia sebagai kegagalan mengatasi dominasi perusahaan-perusahaan Belanda. Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani para pemimpin republik di Den Haag pada tahun 1949 memuat jaminan bahwa hak hak yang diberikan kepada modal asing akan dihormati. Dengan hal itu

39 berarti perusahaan-perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor-sektor ekonomi yang utama Kedua, banyaknya sarana dan prasarana ekonomi yang hancur dan rusak akibat perang dan kurang terawat. Akibat perang dan perjuangan secara fisik, banyak sarana dan prasarana ekonomi yang rusak seperti: 88 jalan, jembatan, alat transportasi, alat komunikasi dan instalasi industri. Kerusakan parah juga banyak terjadi di perkebunan, instalasi minyak, pabrik dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan lambatnya atau kemacetan produksi dalam bidang industri. Ketiga, pasca perang kemerdekaan terjadi pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang meningkat cukup tajam. Hal itu lebih dikarenakan salah satunya faktor angka kematian (mortalitas) menurun, di sisi lain angka kelahiran (fertilitas atau natalitas) bertambah. Pada tahun 1950 diperkirakan penduduk Indonesia sekitar 77,2 juta jiwa dan pada tahun 1955 meningkat menjadi 85,4 juta. Laju pertumbuhan penduduk yang cepat berakibat pada kebutuhan impor makanan juga meningkat. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk kebutuhan akan lapangan kerja juga meningkat. Sementara, pemerintah Indonesia tidak cukup banyak dana untuk membuka lapangan kerja, akibatnya pengangguran terjadi dimanamana. Oleh karena sebagian besar rakyat Indonesia pada waktu itu adalah petani yang hidupnya banyak dipengaruhi oleh faktor alam dan sebagian besar menganggur, akibatnya banyak rakyat Indonesia yang miskin atau melarat. Pada tahun 1950-an, dengan kondisi ekonomi Negara yang sangat memprihatinkan, sebagian rakyat Indonesia berada dalam garis kemiskinan, maka sebagian besar mereka sulit memperoleh makanan yang cukup, akibatnya badannya kurus dan kesehatan mereka terganggu. 89 Dengan kondisi semacam itu, maka mereka dalam bekerja akan berkurang kualitasnya, produktifitas terganggu sehingga produktifitas ekonomi mereka kecil. Dengan produktifitas kerja yang sangat kurang maka pendapatan akan semakin kecil juga. Selanjutnya, apabila ada kebutuhan yang mendadak tentu akan semakin sulit memenuhinya dan bertambah sengsara atau menderita karena kemelaratan tersebut. Keempat, utang negara meningkat dan inflasi cukup tinggi. Setelah pengakuan kedaulatan, ekonomi Indonesia tidak kunjung stabil. Hal itu ditandai dengan meningkatnya utang negara dan meningginya tingkat inflasi. Meskipun penyebab inflasi dalam sejarah perekonomian Indonesia disebabkan oleh faktor yang berbeda, tetapi dalam kasus inflasi pada kurun waktu pasca perang kemerdekaan hingga tahun 1958 pun, sebagian besar disebabkan oleh adanya defisit Anggaran Belanja Negara. Kelima, Indonesia mengalami defisit dalam perdagangan internasional. Pada tahun 1950-an, perdagangan internasional Indonesia menurun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki barang-barang ekspor selain hasil perkebunan. Padahal sarana dan produktivitas perkebunan telah merosot akibat berbagai kerusakan. Untuk dapat meningkatkan produksi, diperlukan alat-alat dan sumber produksi. Sementara sebagian besar sarana dan prasarana ekonomi dan alat-alat produksi mengalami kerusakan dan kehancuran, maka dari itu produksi berkurang. Akibat produk industri 90 berkurang maka komoditas yang akan diperdagangkan atau diekspor juga berkurang dan pada akhirnya Indonesia sering mengalami defisit dalam perdagangan internasional. Dengan kondisi ekonomi Indonesia yang hampir selalu defisit dalam perdagangan internasional, menyebabkan Indonesia sulit untuk mengimpor alat-alat produksi. Sementara, untuk mengurangi atau menghilangkan defisit paling tidak diperlukan penghematan atau menekan pengeluaran pemerintah atau memperbesar pajak. Dengan demikian, berarti menekan kinerja pemerintah dan disisi lain menekan pengusaha, yang pada gilirannya mempersulit baik usaha pemerintah maupun para pengusaha. Kondisi semacam itu tentu memperparah perusahaan maupun industri dan menimbulkan penyerapan tenaga kerja berkurang dan pengangguran bertambah. Maka, kondisi ekonomi yang demikian lesu menambah rumitnya persoalan, mengakibatkan kondisi ekonomi semakin sulit, dan pendapatan pajak pun berkurang dan kondisi keuangan pemerintah tetap defisit. Keenam, kekurangan tenaga ahli untuk membangun ekonomi nasional.pada awal pengakuan kedaulatan,

40 perusahaanperusahaan yang ada masih merupakan milik Belanda. Demikian juga tenaga ahlinya. Tenaga ahli masih dari Belanda, sedang tenaga Indonesia hanya tenaga kasar. Oleh karena itu Mr. Iskaq Tjokroadisuryo melakukan kebijakan Indonesianisasi. 91 Kebijakan ini mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha swasta nasional. Adapun langkahnya adalah dengan mewajibkan perusahaan asing memberikan latihan kepada tenaga-tenaga orang Indonesia. Ketujuh, rendahnya penanaman modal asing (PMA). Penyebab rendahnya PMA salah satunya adalah masalah gangguan keamanan dan konflik dengan Belanda berkaitan dengan Irian Barat yang tidak kunjung selesai. Akibat konflik Irian Barat kondisi politik tidak stabil. Bangsa Indonesia banyak melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda. Sebagai dampak nasionalisasi, investasi asing mulai berkurang. Investor asing tidak berminat menanamkan modalnya di Indonesia. Para pemimpin nasional Indonesia yang berpandangan pragmatis menyadari bahwa modal asing harus dapat ditarik ke Indonesia untuk mengembangkan potensi sumber daya alam yang tersedia dan perindustrian yang modern. Untuk itu maka pada tahun 1953 pemerintah Indonesia menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (RUU PMA) yang setelah melalui proses pembahasan yang cukup lama, akhirnya RUU PMA tersebut disetujui parlemen pada tahun 1958 disertai berbagai amandemen. Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah : (a)mengurangi jumlah uang yang beredar dan (b)mengatasi kenaikan biaya hidup. 92 Sedangkan masalah jangka panjang adalah pertambahan penduduk dan tingkat hidup yang rendah. Dari sisi moneter defisit pemerintah sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah pada 20 Maret Jumlah itu didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp 1,6 Milyar. Kemudian dengan kesepakatan Sidang Menteri Uni IndonesiaBelanda, diperoleh kredit sebesar Rp ,- dari negeri Belanda. Pada 13 Maret 1950 di bidang perdagangan diusahakan untuk memajukan ekspor dengan sistem sertifikat devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang ekspor. Keadaan sedikit membaik tahun 1945 Ekspor Indonesia menjadi 187% pada bulan April 1950, 243% pada bulan Mei atau sejumlah $ 115 juta. Selain itu diupayakan mencari kredit dari luar negeri terutama untuk pembangunan prasarana ekonomi. Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda berhasil mendapatkan kredit dari Exim Bank of Washington sejumlah $ Dari jumlah tersebut direalisasi sejumlah $ Jumlah ini untuk membangun proyek-proyek pengangkutan automotif, pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan udara. Namun demikian sejak 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang lagi, karena menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia dengan ekonomi agrarianya memang tidak memiliki barang-barang ekspor lain kecuali hasil perkebunan. 93 Upaya perbaikan ekonomi secara intensif diawali dengan Rencana Urgensi Perekonomian (1951) yang disusun Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo di masa Kabinet Natsir. Sasaran utamanya adalah industrialisasi.setahun kemudian, pada zaman Kabinet Sukiman, pemerintah membentuk Biro Perancang Negara yang berturut-turut dipimpin oleh Prof.Dr.Soemitro Djojohadikusumo, Ir. Djuanda, dan Mr. Ali Budiardjo. Pada tahun 1956 badan ini menghasilkan suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun ( ) dan untuk melaksanakannya, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri Perancang Nasional. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan berjumlah Rp 12,5 Milyar, didasarkan harapan bahwa harga barang dan upah buruh tidak berubah selama lima tahun. Ternyata harga ekspor bahan mentah Indonesia merosot. Hal ini mendorong pemerintah untuk melaksanakan nasionalisasi terhadap perusahaanperusahaan milik Belanda di Indonesia pada bulan Desember b. Upaya Membangun Pengusaha Nasional Gagasan Soemitro itu dilaksanakan oleh Kabinet Natsir (September 1950 April 1951) ketika ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Program ini terkenal dengan sebutan Program Benteng (Gerakan Benteng/Benteng Group) yang dimulai pada

41 bulan April Selama tiga tahun ( ) kurang lebih 700 perusahaan bangsa Indonesia telah mendapat kredit bantuan dari Program Benteng Ini. Langkah-langkah lain dalam menumbuhkan dunia usaha 94 nasional antara lain adalah mewajibkan perusahaan-perusahaan asing untuk memberikan latihanlatihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar mereka dapat menduduki jabatan-jabatan staf, mendirikan perusahaan-perusahaan Negara, menyediakan kredit dan lisensi bagi usahausaha swasta nasional dan memberikan perlindungan pada perusahaan-perusahaan itu agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing di Indonesia Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Di dalam sidang konstituante menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 kembali menjadi Undang-undang Republik Indonesia yang tetap. Hal ini menunjukkan bahwa konstituante dianggap tidak mampu bekerja lagi. Krisis politik pun semakin merajalela dan partaipartai tidak dapat mengatasinya sehingga negara benar-benar dalam keadaan gawat. Untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, dicapailah kesepakatan antara presiden, kabinet, dewan nasional,wakilwakil partai, dan pimpinan TNI untuk kembali ke UUD 1945.Ini adalah jalan yang terbaik untuk mengatasi krisis nasional. Akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya sebagai berikut: 1. Pembubaran Konstituante ; 2. Berlakunya kembali UUD 1945; dan 3. Tidak berlakunya UUDS Dekrit Presiden itu juga menetapkan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Permusyawaratan Rakyat Sementara (DPRS),dan Dewan Perancang Nasional (Deparnas). Dekrit yang kemudian dikenal dengan nama Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini mengawali Masa Demokrasi Terpimpin dalam pemerintahan Republik Indonesia. F. MASA DEMOKRASI TERPIMPIN TAHUN Pengertian demokrasi terpimpin adalah demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan atau dengan kata lain kedaulatan (kekuasan) berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Namun, dalam pelaksanaannya Demokrasi Terpimpin diartikan sebagai Demokrasi yang dipimpin oleh satu orang (presiden), sehingga terjadi pemusatan kekuasaan pada presiden (power upon presiden) dan akhirnya terjadilah kultus individu (pengagungan pada diri seseorang, dalam hal ini Presiden Soekarno). Masa Demokrasi Terpimpin diawali dengan adanya Dekrit Presiden 5 Juli Dikeluarkannya dekrit tersebut disebabkan karena ketidak mampuan Konstituante untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Padahal, sejak tahun 1956, Presiden Soekarno sangat berharap dari kinerja Konstituante hasil 96 Pemilu 1955 yang beranggotakan 542 orang untuk menghasilkan UUD yang diharapkan, yang baik, yang sesuai dengan kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia. Namun demikian, sumber lain mengungkapkan bahwa Dekrit Presiden keluar karena Presiden Sukarno tidak menyukai sistem politik Demokrasi Liberal di bawah UUDS 1950, karena sistem ini dirasakan telah membatasi atau membelenggu kekuasaannya. Ia merasa peranan politik yang dimainkannya sesuai kedudukannya sebagai Presiden terkungkung atau terbelenggu oleh ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UUDS Situasi seperti itu dirasakan tepat baginya untuk melepaskan diri dari pembatasanpembatasan yang ditimpakan kepadanya sebagai Presiden berdasarkan konstitusi. Dengan kembalinya sistem kehidupan bernegara menggunakan UUD 1945, maka kekuasaan presiden semakin kuat karena adanya pasal di dalam konstitusi yang mengatur hak prerogatif presiden atau hak istimewa. Pada masa ini banyak keputusan-keputusan penting Negara yang didasarkan atas penilaian, pertimbangan, pemikiran dan kemauan Presiden dari pada keputusan yang didasarkan

42 atas musyawarah dalam parlemen. Oleh karena itu tidak heran apabila ada beberapa sejarawan yang mengungkapkan bahwa Demokrasi Terpimpin yang dijalankan tidak lagi berdasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia yang berlandaskan pada falsafah dan ideologi Pancasila sebagai pedomannya, melainkan didasarkan kepada keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi politik Presiden Soekarno. 97 Setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit, 5 Juli 1959, yang selanjutnya, dengan kekuasaan penuhnya Beliau mengeluarkan beberapa konsep pemikiran yang dianggap radikal yang justru menambah ketegangan terhadap Barat. Beberapa konsep pemikiran yang dianggap radikal itu seperti: 1. Penemuan Kembali Revolusi Kita ( ) yang kemudian dikenal sebagai Manipol; Dalam perkembangan selanjutnya, Manipol disandingkan dengan implementasi dari Demokrasi Terpimpin. Semua pilar kehidupan bernegara (UUD1945Sosialisme-Demokrasi-Kepribadian Bangsa/Pancasila) dirumuskan dalam satu istilah USDEK sehingga menjadi Manipol-USDEK. 2. Jalannya Revolusi Kita (Jarek; ), perlunya persatuan unsur nasionalis, agama dan komunis (Nasakom); meningkat lagi pada konsep baru, 3. Revolusi-Sosialisme-Pimpinan (Resopim; ). Pada tahun ini pula, berkaitan dengan masalah Irian Barat yang belum selesai Beliau mencetuskan Tri Kora ( ); 4.Tahun Kemenangan (Takem; ); 5. Menggemakan Genta Suara Revolusi (Gesuri; ); 6. Tahun Vivere Pericoloso (TAVIP; ) dan lain-lain, yang tiada selesai-selesainya, yang semua itu justru memperkuat tesis Presiden Sukarno bahwa Revolusi Belum Selesai. 1. Kondisi Politik Masa Demokrasi terpimpin Demokrasi terpimpin pada hakekatnya adalah suatu demokrasi yang tidak didasarkan atas paham liberalism, sosialisme, fasisme dan komunisme. Akan tetapi suatu paham demokrasi yang didasarkan keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh dengan 98 kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 agustus Penpres Nomor 7 Tahun 1959 partai ini mendapat tempat dalam tatanan politik. Kemudian dengan menyokong gagasan NASAKOM (NasionalismeAgama-Komunisme) dari Presiden, PKI dapat memperkuat kedudukannya dan berusaha menyaingi TNI. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Rediscovery of Our Revolution). Pidato itu merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 serta kebijaksanaan Presiden dalam mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin. DPAS mengusulkan agar pidato Presiden tersebut dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan dinamakan Manipol (Manifesto Politik). Usul tersebut kemudian diterima oleh MPRS. Landasan Manipol adalah ajaran-ajaran Bung Karno sejak tahun 1927 yang dikembangkan menjadi satu kekuatan politik dan disebut Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Ajaran ini mengukuhkan presiden sebagai penguasa tunggal. Politik adalah Panglima merupakan semboyan pada waktu itu. Segala hal dalam kehidupan bernegara diarahkan untuk kepentingan politik belaka. Ekonomi, kebudayaan, pendidikan, kesenian harus diletakkan di atas kepentingan politik. Arah politiknya adalah sosialisme. Keadaan ini menguntungkan PKI karena sejak semula tujuan perjuangan politiknya adalah menggalang persatuan nasional di bawah kekuatan komunis. 99 Politik pemerintah zaman Demokrasi Terpimpin memang sangat menguntungkan PKI. Azas Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif pun diganti dengan doktrin politik baru yang mempertentangkan New Emerging Forces (Nefo) dan The Old Established Forces (Oldefo). Negaranegara yang tergabung dalam Nefo adalah Negara-negara yang baru lahir atau baru berkembang (developing countries). Negara yang tergabung dalam Nefo umumnya adalah negaranegara Asia dan Afrika yang anti Barat. Sedangkan Oldefo adalah Negara-negara yang sudah mencapai kemapanan sebelumnya (developed countries). Oldefo umumnya adalah negara-negara Barat dan antekanteknya yang merupakan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imprealisme). Asas politik baru ini dapat digunakan dengan baik oleh PKI karena tidak berbeda jauh dengan program dan pandangan

43 komunisme. Disamping itu, kebijakan politik Presiden Sukarno yang titik beratnya lebih condong ke luar negeri daripada ke dalam, serta dari kepemimpinan Beliau yang semakin radikal, terutama setelah melewati Tahun Tantangan, 1958, dapat menjelaskan mengapa ada simpati atau dukungan dari Negara-negara Sosialis-Komunis (Uni Soviet, RRC dan lain-lain) di satu sisi, dan ada peningkatan ketegangan atau penentangan dari sisi lain, yaitu dengan Barat yang cenderung Kapitalis-Liberal (AS, Inggris, dan lain-lain). Pada akhir tahun 1960, setelah Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama berhasil ditetapkan oleh MPRS dengan ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960, maka untuk keperluan merevisi (baca: meninjau 100 cara pelaksanaan) Pola Pembangunan hasil karya Dewan Perancang Nasional (DPN) sesuai dengan Ketetapan-ketetapan MPRS maka Presiden mengeluarkan Keppres Nomor 343 Tahun 1960 tanggal 27 Desember 1960 untuk membentuk suatu Dewan Pembangunan Pembantu Presiden atau disingkat D.P.P.P. atau DP3 agar Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar. Anggota DP3 terdari dari dua puluh orang dari lima Lembaga Negara, yaitu: 1. dari pimpinan MPRS 5 orang; 2. dari DPRGR 5 orang; 3. dari DPN 4 orang; 4. dari DPAS1 orang; dan 5. dari Pembantu Presiden (anggota Kabinet) 5 orang. Berdasarkan Keppres Nomor 343 Tahun 1960 tanggal 27 Desember 1960, yang menjadi Ketua DP3 adalah Ketua MPRS, Dr. Chairul Saleh. Memasuki awal tahun baru, 1 Januari 1961, Presiden Sukarno meresmikan di mulainya Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama dalam suatu upacara pencangkulan tanah di Jl. Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Di halaman belakang Gedung Proklamasi dibangun Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta (Gedung Pola). Pada masa ini dimulai perencanaan dan pelaksanaan pembangunan besar-besaran berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebut saja misalnya: Pabrik Super Fosfat di Cilacap (Jawa Tengah), Pabrik Peleburan Baja terbesar di Indonesia, Krakatau Steel di Cilegon (dahulu Jawa Barat, sekarang 101 wilayah Banten), Jembatan Sungai Musi di Palembang (Sumatera Selatan), Pabrik Semen, Pabrik Gula, Pabrik Kertas dan lain-lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Sementara, keadaan di Jakarta, pada awal masa Demokrasi Terpimpin sedang sibuk melakukan pembangunan berbagai sarana dan infra struktur, terutama dalam mendukung pembangunan pekerjaan persiapan penyelenggaraan AG IV tahun Berbagai sarana dan infra struktur yang mulai dibangun di Jakarta pada awal tahun 1960-an antara lain: 1. Kompleks AG IV, mulai dibangun sejak 8 Februari 1960; 2. Monumen Nasional (1961); 3. Masjid Istiqlal (1961); 4. Hotel Indonesia (1961); 5. Pelebaran Jl. Gatot SoebotoM.T Haryono (1961); 6. Pelebaran Jl. ThamrinSudirman (1961); 7. Jembatan Semanggi (1961); 8. Wisma Warta (Pers House; 1960); 9. TVRI (1960); 10. Tugu Selamat Datang di Bundaran HI (1960); dan lain-lain. Agar pembangunan pekerjaan persiapan penyelenggaraan AG IV 1962 dapat selesai pada waktunya, Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres RI No. 15 Tahun 1961 tanggal 11 Januari 1961 Tentang Pembentukan dan Pengangkatan Pemimpin, Deputi Pemimpin, dan Pembantu Umum Pimpinan Komando Urusan Pembangunan Asian Games (KUPAG) yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Disamping itu, dengan adanya Keppres RI Nomor 15 Tahun 1961 akan lebih memperkuat kepemimpinan, kewenangan Presiden dalam mempercepat penyelesaian proyek pekerjaan persiapan penyelenggaraan AG IV tahun 1962 di Jakarta. 102 Disamping itu, salah satu Program Kabinet Kerja yang pada hakekatnya merupakan tuntutan nasional adalah masalah Irian Barat. Wilayah ini merupakan bagian dari Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945, tetapi Belanda belum bersedia menyerahkan bahkan berlarutlarut sampai tahun Mula-mula Indonesia mencoba memperjuangkan kembalinya wilayah itu melalui PBB, tetapi tidak pernah berhasil memperoleh tanggapan positif. Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengambil sikap tegas yaitu merencanakan penyerbuan ke Irian Barat. Rencana ini dinamakan Tri

44 Komando Rakyat atau Trikora. Dalam rangka mencari bantuan untuk operasi militer ke Irian Barat itulah Pemerintah RI mendekati Uni Soviet. Langkah ini ditempuh setelah negara-negara barat (terutama Amerika Serikat) tidak bersedia memberikan dukungan. Dalam rangka membebaskan Irian Barat inilah pada tahun 1962 dibentuk Komando Mandala di bawah pimpinan Kolonel Soeharto. Dengan dibentuknya Operasi Mandala, maka suasana perang semakin dekat. Amerika Serikat kemudian mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan. Amerika Serikat khawatir situasi itu dapat digunakan Uni soviet menanamkan kekuasaannya di wilayah Pasifik, yang akan merugikan pihak Barat dalam Perang Dingin. Usaha ini berhasil dan pada tanggal 15 Agustus 1962 pihak Belanda dan Indonesia menandatangani Perjanjian New York. Duta Besar AS untuk PBB, Ellsworth Bunker menjembatani pertikaian ini. Bunker mengusulkan agar Irian Barat diserahkan kepada Indonesia 103 melalui PBB dalam waktu dua tahun. Dalam masa peralihan itu Irian Barat dipegang oleh suatu badan PBB, UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority). Badan ini kemudian menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei Disamping program yang sudah diterangkan di atas, pada masa awal pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, Indonesia sedang dalam persiapan menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan Asian Games IV yang diadakan di Jakarta pada tahun Meskipun kondisi ekonomi Indonesia pada waktu itu, sejak pasca kemerdekaan hingga tahun 1958 masih memprihatinkan, sedang terpuruk dan dipandang belum memungkinkan untuk menyelenggarakan kegiatan olah raga internasional semacam Asian Games. Ditambah lagi penyelesaian berbagai permasalahan ekonomi, politik dan pemulihan keamanan pada tahun 1950-an, termasuk di dalamnya adalah penyelesaian masalah PRRIPermesta dan pergolakan daerah lainnya, semua itu menguras perhatian pemerintah, yang berdampak pada ikut campur tangannya kekuatan-kekuatan asing. Namun demikian, pemerintah Indonesia tetap mengajukan proposalnya kepada Sidang AGF di Tokyo pada tanggal 23 Mei Setelah sebagian besar anggota AGF memutuskan memilih Jakarta sebagai tempat diselenggarakannya AG IV tahun 1962, maka Proyek Pembangunan Asian Games tidak boleh gagal. Proyek Pembangunan Asian Games oleh pemerintah ditetapkan sebagai tugas nasional. Pesta olahraga AG IV bukan saja bersifat 104 keolahragaan, tetapi juga mengandung unsurunsur mempertinggi derajat bangsa dan negara selaku tuan rumah. Sementara itu, seperti uraian sebelumnya, keadaan ekonomi Indonesia pada saat itu masih sangat sulit. Oleh karena itu, untuk menjawab keraguan darimana Indonesia mendapatkan dukungan dan sumber dana, serta mensiasati keadaan inflasi tersebut di atas, maka Presiden Sukarno telah melakukan manuver diplomasi yang luar biasa dengan menggunakan dukungan Komunis (PKI). Indonesia mengajukan proposal kepada Pemerintah Uni Soviet untuk meminjam dana sebesar 12,5 Juta Dollar AS untuk membangun sarana dan prasarana olahraga, termasuk stadion utama, kolam renang, gedung olahraga, asrama/wisma atlet dan gedunggedung lainnya. Langkah strategis dan diplomatis itu sengaja diambil karena Indonesia pada saat itu benarbenar memerlukan anggaran biaya pembangunan yang sangat besar, terutama dalam hal ini adalah biaya penyelenggaraan AG IV tahun Dukungan Pemerintah Uni Soviet baik dalam upaya mensukseskan penyelenggaraan AG IV, 24 Agustus September 1962 maupun dalam perjuangan bangsa Indonesia merebut Irian Barat dinilai sangat membantu pemerintah Indonesia dalam mensukseskan programprogram pemerintah yang ada. Namun, hal itu juga memberikan jalan bagi PKI untuk mempengaruhi kebijakan politik Bung Karno. Hal itu juga memungkinkan PKI mendapat nama dan tempat yang terhormat di mata Presiden Soekarno dan tentunya hal ini juga dapat menghapus tindakan pemberontakannya yang 105 pernah dilakukan melalui apa yang disebut dengan Peristiwa Madiun, 18 September Masalah Malaysia pun merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk mendapat tempat dalam kalangan pimpinan negara. Masalah ini muncul ketika Tengku Abdulrachman mengusulkan pada

45 pemerintah Inggris untuk membentuk federasi antara daerah-daerah jajahan Inggris di Asia Tenggara. Federasi tersebut Federasi Malaysia yang meliputi daerahdaerah Malaya, Singapura, Serawak, Brunei dan Sabah. Indonesia dengan tegas menolak pembentukan federasi tersebut. Pemerintah Indonesia waktu itu menganggap bahwa federasi itu proyek neo kolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia. PKI yang sangat berpengaruh waktu itu berusaha mendorong Indonesia ke arah Konfrontasi. Filipina juga merasa dirugikan dengan pembentukan federasi tersebut. Karena itu masalah federasi menjadi masalah internasional dan menimbulkan ketegangan di Asia Tenggara. Untuk menghindari terjadi perang di Asia Tenggara, kemudian diusahakan penyelesaian melalui perundingan. Setelah itu kemudian dilakukan perundingan-perungdingan baik di Tokyo maupun di Manila. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Manila 7 Juni 1963, wakil Indonesia dan Filipina menyatakan bahwa tidak berkeberatan atas pembentukan federasi tersebut asal memang dikehendaki oleh rakyat Kalimantan Utara. Dan untuk mengetahui kehendak rakyat Kalimantan Utara tersebut harus dilakukan oleh PBB. Untuk itu kemudian dibentuk tim untuk melaksanakan Referendum. Namun sebelum tim ini selesai menjalankan tugas Tengku 106 Abdulrachman dan Inggris telah mengumumkan berdirinya Federasi Malaysia pada tanggal 16 September Indonesia mengajukan protes, karena menganggap Tengku Abdulrachman melanggar Konferensi Tingkat Tinggi di Manila. Dalam konferensi tersebut Tengku Abdulrachman menjanjikan untuk menangguhkan Proklamasi Federasi Malaysia sampai Tim PBB menyelesaikan tugasnya. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia tidak bersedia mengakui Federasi Malaysia dan membuka tahap baru dalam konfrontasinya terhadap Malaysia. Kemudian pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk menggagalkan dan menghancurkan Federasi Malaysia. 2. Kondisi Ekonomi Pada Masa Terpimpin Dekrit Presiden yang dikeluarkan 5 Juli 1959 juga membawa perubahan dalam bidang ekonomi. Presiden kemudian mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) yang antara lain menyebutkan bahwa penyelenggaraan ekonomi harus dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah. Kebijaksanaan pemerintah dalam ekonomi terutama nampak dalam kebijaksanaan moneternya. Untuk membendung inflasi Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang- Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 1959 yang mulai berlaku 25 Agustus Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar. Untuk itu nilai uang kertas pecahan Rp 500,- dan Rp 1.000,- diturunkan nilainya masing-masing menjadi Rp 50,- dan Rp 100,-. Di samping itu juga dikeluarkan Perpu 107 Nomor 3 Tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar, terutama dalam tahun 1957 dan Sementara perdagangan ekspor-impor dan perdagangan dalam negeri juga mengalami kemerosotan sehingga penghasilan negara juga merosot. Dengan demikian defisit anggaran belanja menjadi meningkat, dan hanya sebagian kecil saja yang dapat ditutup dengan pinjamanpinjaman dari luar negeri. Hal-hal itu menyebabkan makin bertambahnya percetakan uang kertas. Sebagai tindak lanjut pengeluaran uang baru pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 6 Tahun Isi peraturan tersebut bahwa bagian lembaran uang lama Rp 1.000,- dan Rp 500,harus segera ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum 1 Januari Untuk itu kemudian dibentuk Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut tindakan moneter tersebut. Tindakan moneter ini dimaksudkan untuk mengindahkan inflasi dan mencapai keseimbangan serta kemantapan moneter. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang usaha-usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi tindakan pemerintah ini ternyata mengalami kegagalan. Volume uang yang beredar dari waktu ke waktu semakin meningkat. Apalagi pemerintah kembali melakukan kebijakan moneter yaitu mengeluarkan uang rupiah baru yang nilainya

46 108 ditetapkan sebesar 1000 kali uang rupiah lama. Jumlah uang yang beredar semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada akhir Hal itu diperparah lagi dengan tidak adanya kemauan pemerintah untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Hal itu dapat dilihat dari adanya proyek-proyek yang dianggap proyek mercusuar seperti: Pembangunan Monumen Masional (Monas), Ganefo dan Conefo (Games of the New Emerging Force dan Conference of the New Emerging Forces) dan lain-lain. Adanya proyek-proyek tersebut memaksa pemerintah mengeluarkan dana semakin besar. Akibatnya inflasi semakin meningkat dan hargaharga semakin membubung. Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965 (antara 200%-300% dari harga tahun 1964) selaras dengan tingkat kenaikan peredaran yang paling tinggi dalam tahun 1965, karena ekspor merana, impor pun harus dibatasi sesuai kekuatan devisa. Sejak tahun 1961 pemerintah secara terusmenerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia kehabisan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta. Hal ini terjadi terutama karena politik konfrontasi dengan Malaysia. Di samping itu dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin Presiden Soekarno menganggap perlu mengintegrasikan semua bank ke dalam suatu organisasi Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan 109 aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Sebagai langkah pertama untuk menuju Bank Tunggal Milik Negara itu terlebih dahulu diadakan integrasi bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan (BKN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah proses pengintegrasian itu selesai, barulah dibentuk Bank Tunggal Milik Negara yang dibagi dalam beberapa unit, masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan pendiriannya. Keadaan demikian itu berlangsung terus sampai bank tunggal itu dibubarkan pada tahun 1968 (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968). Yang menarik dari Bank Tunggal Milik Negara itu ialah bahwa pengintegrasian bankbank negara dalam bentuk tunggal diatur melalui penetapan Presiden, sedangkan bank-bank yang bersangkutan, sebelum diintegrasikan dibentuk atau didirikan atas dasar undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Pada tahun 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 081 dan Keputusan Presiden Nomor 360 Tahun 1964 yang berisi ketentuanketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan Dana-dana Revolusi. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Impor dengan kredit ini dilakukan karena persediaan devisa sangat minus. Pada waktu itu memang persediaan devisa menipis sekali. Dalam praktek barang-barang yang diimpor dengan menggunakan deferred payment itu 110 adalah barang-barang yang tidak bermanfaat bagi rakyat banyak, bahkan sebaliknya merupakan barang-barang yang sudah dijadikan spekulasi dalam perdagangan misalnya scooter dan barangbarang luks lainnya. Jumlah izin impor dengan deferred payment khusus ini kira-kira US$ 270 juta. Untuk setiap US $ 1 yang diimpor dengan deferred payment itu orang harus menyetor antara Rp 250 sampai Rp 1.000,- (uang lama) untuk Dana Revolusi di samping kadangkadang harus juga membayar dengan valuta asing dalam jumlah tertentu. Karena kebijaksanaan kredit luar negeri itu hutang-hutang negara semakin menumpuk sedangkan ekspor semakin menurun dan devisa makin menipis. Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau ditangguhkan. Republik Indonesia tidak mampu membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, sehingga terjadi insolvensi internasional, sebab itu beberapa negara menghentikan impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar. Di dalam negeri berakibat mengganggu, menghambat atau mengacaukan produksi, distribusi dan perdagangan, serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk. Upaya Presiden Soekarno dalam upaya mengangkat nama, martabat dan derajat bangsa Indonesia di mata dunia internasional pada masa Demokrasi Terpimpin ini salah satunya dengan berupaya agar Indonesia dapat menjadi tuan rumag AG IV tahun 1962 di Jakarta. Disamping itu, keinginannya untuk

47 mewujudkan new era atau Orde Baru, baik dalam sekala nasional (merubah mindset kolonial ke arah mindset nasional) maupun dalam skala internasional(to 111 Build The New World Order) juga disampaikan Presiden Soekarno dalam Sidang Umum PBB, 30 September Namun demikian, semua upaya Presiden Sukarno tersebut juga menimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif yang luar biasa. Perekonomian Indonesia justru semakin terpuruk, karena semua proyek yang dicanangkan Presiden Sukarno semuanya membutuhkan dana yang sangat besar, sementara Indonesia tidak mempunyai basis pendapatan yang kuat, maka jalan keluar saat itu ialah mencetak uang. Percetakan uang Negara saat itu tidak hentihentinya bekerja siang malam mencetak uang, dan dampak yang terjadi yaitu inflasi hingga mencapai tiga digit. Situasi semacam ini jelas semakin memanaskan konstelasi politik di Indonesia pada saat itu. 3. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 a. Latar Belakang Peristiwa Dalam Terjadinya Peristiwa G30S 1965 lebih dikarenakan adanya pertemuan kepentingan yang berbeda dari berbagai kelompok kepentingan, sehingga menimbulkan konflik dan rivalitas antar dan inter kelompok, individu, golongan maupun unsur kepentingan negara baik yang melibatkan faktor internal dan eksternal. Faktor internal, lebih dikarenakan adanya konflik dan rivalitas antar dan inter kekuatan partai politik di Parlemen dan pemerintahan yang semakin memuncak, terutama setelah 112 Pemilu 1955 menghasilkan 4 partai besar, yaitu: PNI, Masyumi, NU dan PKI. Sedangkan TNI yang berperan sebagai tulang punggung pertahanan Negara pada waktu itu, dan mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam suatu pemerintah negara, tidak heran jika TNI sering diperebutkan oleh berbagai kelompok kepentingan terutama partai politik, dan tidak terkecuali termasuk PKI. PKI semakin berpengaruh sejak konsep Demokrasi Terpimpin dilaksanakan di Indonesia pada tahun Perkembangan politik pada waktu itu yang didasarkan pada pelaksanaan ide Nasionalis, Agama, dan Komunisme (Nasakom), memberi kesempatan kepada PKI untuk memperluas pengaruhnya ke dalam semua komponen masyarakat. Perluasan pengaruh PKI ini didukung oleh terjadinya krisis politik, sosial, dan ekonomi nasional sejak awal tahun 1960an. Keputusan pemerintah untuk membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan pesaing utama PKI dalam kehidupan politik nasional pada bulan Agustus 1960, semakin memperbesar kesempatan bagi PKI untuk memperluas pengaruhnya. Kondisi ekonomi nasional yang semakin menurun berhasil dimanfaatkan oleh komunis untuk membangun simpati di dalam masyarakat, terutama lapisan masyarakat bawah yang memang sedang mengalami tekanan yang sangat berat. 113 Ada adagium bahwa di mana suatu masyarakat atau negara dengan keadaan ekonominya merosot, buruk dan banyak kemiskinan, maka di situlah komunis dapat tumbuh dengan subur. Pada akhir 1963, sebuah gerakan yang disebut aksi sepihak mulai dilancarkan oleh PKI dan pendukungnya. Para petani dibantu oleh para kader PKI mengambil alih tanah penduduk, terutama penduduk yang memiliki tanah yang luas. Tindakan yang serupa juga dilakukan oleh para pendukung PKI di daerah perkebunan. Mereka mengambil alih tanah perkebunan milik pemerintah, kemudian membuka lahan pertanian atau membuat permukiman di atas tanah perkebunan yang mereka duduki. Dalam melakukan kegiatannya para pendukung PKI tidak jarang mengancam dan melakukan tindakan kekerasan lainnya terhadap para pemilik tanah, pegawai pemerintah, dan pengurus perkebunan. Beberapa contoh aksi sepihak yang dilakukan PKI dan pendukungnya, antara lain Peristiwa Jengkol (15 November 1961), Peristiwa Indramayu (15 Oktober 1964), Peristiwa Boyolali (November 1964), Peristiwa Kanigoro (13 Januari 1965), dan Peristiwa Bandar Betsi (14 Mei 1965). Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para petani atau buruh yang didukung oleh PKI beserta organisasi pendukungnya, dibalas juga dengan kekerasan oleh kelompok anti PKI,

48 114 sehingga terjadi berkepanjangan. pertikaian yang Pertikaian antara kelompok PKI dengan kelompok anti PKI juga terjadi di kalangan seniman dan intelektual. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) merupakan salah satu organisasi pendukung PKI yang bergerak dalam bidang kebudayaan. Perluasan pengaruh komunis menimbulkan reaksi dari kelompok anti Lekra, yang tidak menginginkan adanya dominasi ideologi politik tertentu di dalam kegiatan seni atau intelektual. Kelompok ini juga menyatakan perlunya menempatkan Pancasila dalam kebudayaan nasional. Sikap menentang Lekra tersebut kemudian dituangkan melalui sebuah pernyataan, yang dikenal sebagai Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada Agustus Sebaliknya, kelompok Lekra melihat kelompok Manikebu juga telah berpolitik. Perkembangan politik pada waktu itu memungkinkan bagi PKI memojokkan kelompok anti komunis sama dengan anti pemerintah. Akibatnya, Manikebu dilarang pemerintah pada bulan Mei 1964, karena dianggap sebagai hasil kebudayaan Barat yang humanis dari kelompok borjuis yang tidak revolusioner. Hasil karya sastra beberapa sastrawan Angkatan 45 dan Pencetus Manikebu pada jaman Demokrasi Terpimpin dinyatakan terlarang, dan sebagian dari mereka di penjara tanpa proses 115 pengadilan. Upaya PKI dalam mempengaruhi seluruh komponen masyarakat diterapkan juga pada ABRI. Beberapa divisi berhasil disusupi kelompok pendukung PKI. Begitu juga dengan Angkatan Laut, yang terpaksa harus kehilangan beberapa orang perwira terbaiknya karena sikap mereka yang menentang perluasaan pengaruh komunis di tubuh TNI AL. Beberapa perwira Kepolisian Negara juga telah berhasil dipengaruhi oleh PKI. Berkembangnya simpati terhadap ideologi komunis ini di dalam tubuh ABRI, menimbulkan sikap saling curiga di antara anggota maupun di antara angkatan. Dominasi politik PKI berpengaruh besar dalam menentukan kebijakan pemerintah. Hal ini terbukti pada September 1964, ketika Partai Murba yang garis politiknya berseberangan dan menentang PKI, dibubarkan oleh pemerintah. Demikian pula organisasi wartawan anti komunis yang tergabung dalam Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), dilarang oleh pemerintah pada Desember Selanjutnya, pada 14 Januari 1965, Ketua Comitte Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI), Dipa Nusantara Aidit menuntut pemerintah agar mempersenjatai kaum buruh dan tani. Untuk menampung kaum buruh dan tani yang telah dipersenjatai ini rencananya akan dibentuk Angkatan Kelima, setelah Angkatan Laut, Angakatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. D.N. Aidit merencanakan meminjam pucuk senjata dari 116 RRC untuk kaum buruh dan tani. Sedangkan pihak RRC (melalui Perdana Menteri Chou En Lai) menjanjikan akan memberikan pucuk senjata tersebut secara cuma-cuma. Tuntutan ini ditentang keras oleh kalangan TNI AD, antara lain Menteri Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani. Ia menegaskan bahwa semua kegiatan yang berhubungan dengan usaha mempersenjatai penduduk sipil seharusnya langsung berada di bawah pengawasan dan koordinasi TNI. Menurut Men/Pangad Letjen Achmad Yani, Membentuk Departemen Angkatan V tidak Efisien. Walaupun mendapat tantangan hebat dari kalangan pimpinan TNI dalam usahanya membentuk Angkatan Kelima, PKI (yang pada saat itu menjadi bagian atau kekuatan penting pendukung kekuasaan pemerintahan) terus mempersiapkan dan melatih pasukan sukarelawan untuk dikirim dalam konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora) sebagai bagian dari perang dalam skala luasinternasional melawan kaum kapitalis dan imperialis Barat. Para anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani dilatih dengan keterampilan teknis militer, seperti pada awal Juli Tempat yang digunakan untuk latihan itu berada di sekitar Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. Sampai akhir September 1965, diperkirakan tidak kurang dari orang telah mengikuti latihan militer

49 117 tersebut di Jakarta. Latihan serupa juga telah dilakukan di luar ibu kota. Tindakan dan perluasan pengaruh komunis yang dilakukan oleh PKI baik di masyarakat maupun struktur pemerintahan menimbulkan kecurigaan kelompok anti komunis dan mempertinggi persaingan di antara elite politik nasional. Kecurigaan dan persaingan itu tergambar dengan jelas dalam berbagai polemik yang menonjolkan pendapat masing-masing melalui surat kabar atau media massa lain yang dimiliki masing-masing kelompok serta aktivitas kemasyarakatan lainnya. Kecurigaan dan persaingan itu semakin meningkat dengan munculnya berbagai desas-desus di dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kesehatan Presiden Soekarno dan Dewan Jenderal Angkatan Darat. Pada 15 Mei 1965, Dr. Subandrio selaku Wakil Perdana Menteri I/Menteri Luar Negeri menerima sepucuk surat tanpa tanda tangan si pembuat. Dalam surat tersebut hanya ditemukan nama Gilchrist (duta besar Inggris) yang seolah-olah memberikan laporan kepada duta besar Amerika mengenai situasi di Indonesia. Di dalam Dokumen Gilchrist itu ditemukan kata-kata our local Army friends, yang oleh PKI ditafsirkan bahwa di dalam tubuh TNI AD ada sebuah Dewan Jenderal yang bertugas menilai kebijaksanaan Presiden. Tudingan terhadap Angkatan Darat semakin lantang pada September 1965, ketika ribuan tentara mulai berkumpul di 118 Jakarta dalam rangka persiapan hari ulang tahun (HUT) ABRI ke-20, pada 5 Oktober Tuduhan ini ditolak oleh Angkatan Darat. Angkatan Darat kemudian secara resmi mengumumkan penolakan terhadap penerapan prinsip Nasakom ke dalam jajaran TNI dan pembentukan Angkatan Kelima pada tanggal 27 September Hal tersebut secara langsung mempertinggi kecurigaan dan persaingan politik antara Angkatan Darat dengan PKI. Namun, di luar kontroversi persaingan politik antara TNI dengan PKI seputar gagasan Angkatan ke-5 dan Nasakom tersebut, Presiden Soekarno sendiri justru sebagai penggagas, pencetus, pelopor dan penggerak ideologi Nasakom tersebut. Bahkan, sebelumnya, mulai tanggal 1 10 Juni 1965 di berbagai tempat di seluruh Indonesia diadakan Pendidikan Kilat Kader Nasakom. Pendidikan itu diikuti oleh ribuan peserta dari partai-partai politik, organisasi massa, PNS, anggota ABRI, lingkungan universitas dan swasta. Pendidikan itu diselenggarakan oleh Front Nasional dan merupakan bagian dari berbagai usaha indoktrinasi (kursus kader revolusi; dalam suasana konfrontasi terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat) pada masa itu. b. Pelaksanaan Peristiwa. G30S 1965/Terjadinya 119 Di tengah-tengah kecurigaan dan persaingan politik yang semakin tinggi itu, sekelompok pasukan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Kawal Resimen Cakrabirawa (pasukan khusus pengawal Presiden) melakukan aksi bersenjata di Jakarta. Kelompok bersenjata ini bergerak meninggalkan daerah Lubang Buaya pada tengah malam (hari Kamis 30 September 1965, kemudian disebut dengan istilah Gestapu), sedangkan Penculikan dilakukan pada dini hari (pagi-pagi buta), Jum at tanggal 1 Oktober Kemudian, beberapa jam kemudian G30S melalui RRI mengumumkan bahwa gerakannya dilakukan dengan dalih untuk mengamankan dan menyelamatkan Pemimpin Besar Revolusi (Presiden Soekarno). Mereka menculik dan membunuh para perwira tinggi Angkatan Darat. Di operasi itu, para tentara itu berhasil menculik 6 orang perwira tinggi Angkatan Darat, yaitu Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R Suprapto, Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtidarmo, Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo. Disamping itu telah gugur pula Letnan Satu Piere Andreas Tendean sebagai ajudan Menhankam/Kasab Jenderal Nasution serta Brigadir Polisi Sasuit Tubun sebagai pengawal Wakil Perdana Menteri II J. Leimena. Selain beberapa perwiratni, 120 puteri Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani Nasution, juga tertembak dan tewas dalam

50 peristiwa tersebut. Di Yogyakarta gugur pula dua orang perwira TNI-AD, yaitu Kolonel Katamso sebagai Komandan Korem 072/Yogyakarta dan Kepala Staf Korem Letnan Kolonel Sugiyono. Mereka kemudian diculik dan dibunuh di Desa Kentungan, sebelah utara Yogyakarta. Kemudian, para korban G30S itu oleh pemerintah diangkat sebagai Pahlawan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 (pagi hingga siang hari), pemimpin gerakan mengumumkan melalui RRI Jakarta tentang aksi yang telah dilakukan. Dalam pengumuman itu disebutkan tentang beberapa hal, antara lain G30S berhasil menggagalkan kudeta terhadap pemerintah atau Presiden Soekarno, pembentukan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, pembubaran kabinet, dan penghapusan pangkat jenderal dalam TNI, dan mengumumkan bahwa pangkat tertinggi di TNI untuk sementara adalah kolonel. Berita tentang G30S (Gestapu) segera menyebar pada 1 Oktober 1965, dan menimbulkan kebingungan di dalam masyarakat. Presiden Soekarno pergi ke Bandar Udara Halim Perdanakusuma dengan alasan untuk mempermudah tindakan penyelamatan jika keadaan memburuk. Presiden Soekarno kemudian memerintahkan agar masyarakat tetap 121 menjaga persatuan dan kesatuan serta mencegah terjadinya pertumpahan darah. c. Penumpasan Terhadap Pelaku G30S 1965 Dalam Berita penculikan yang dilakukan oleh Pasukan Cakrabirawa segera diterima oleh Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto. Kevakuman yang ada di dalam tubuh Angkatan Darat karena terbunuhnya Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani berhasil dikuasai setelah beliau menyimpulkan kegiatan rutin Men/Pangad. Apabila Men/Pangad berhalangan, yang mewakilinya biasanya Panglima Kostrad. Atas pertimbangan dan kesimpulan itu, Panglima Kostrad pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 segera menggerakkan pasukan untuk menumpas G30S itu. Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto memerintahkan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) untuk menumpas pemberontakan. Gerakan penumpasan oleh Panglima Kostrad ini kemudian oleh Presiden Soekarno diberi nama Gerakan Satu Oktober (Gestok). Pada tanggal 2 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo berhasil menguasai markas G30S di Jakarta. Keberhasilan serupa kemudian terjadi juga di daerah-daerah, seperti di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kemudian, pada tanggal 3 Oktober 1965, 122 satuan-satuan RPKAD atas bantuan Brigadir Polisi Sukiman yang dapat meloloskan diri dari penculikan G30S, berhasil menemukan jejak-jejak G30S yang mengubur mayat para perwira TNI tersebut di Lubang Buaya. Keesokan harinya, tanggal 4 Oktober 1965, dengan dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto satuan-satuan Amphibi KKO Angkatan Laut segera menggali dan mengangkat jenazah para perwira TNI AD dari sebuah sumur tua yang kedalamannya mencapai 12 meter. Baru pada pukul WIB, semua jenazah berhasil diangkat dan diangkut ke RSAD (Rumah Sakit Angkatan Darat) dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat Jakarta. Bertepatan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) ABRI yang ke-20, 5 Oktober 1965, pukul (dalam suasana HUT ABRI yang ke-20) dilakukan upacara penghormatan penguburan jenazah para Perwira Tinggi Angkatan Darat tersebut. Dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 pada 5 Oktober 1965, keenam perwira pertama itu diangkat sebagai Pahlawan Revolusi. Sementara itu, operasi penumpasan sisasisa G30S terus dilanjutkan. Seorang demi seorang tokoh-tokoh gerakan tersebut dapat ditangkap. Kolonel Latief, mantan Komandan Brigade Infantri I/Kodam V Jaya berhasil ditangkap di Jakarta pada tanggal 9 Oktober Dua hari 123 kemudian, pada tanggal 11 Oktober 1965, Untung Sutopo dalam pelariannya tertangkap di daerah Tegal Jawa Tengah oleh anggota Pertahanan Sipil (Hansip) dan rakyat. Adapun ketua CC PKI D.N. Aidit diberitakan kematiannya tanggal 24 November Tokoh-tokoh G30S yang berhasil ditangkap kemudian diajukan ke pengadilan, di antaranya Nyono, Untung Sutopo, Kolonel Latief, Dr. Subandrio, Omar Dani, Kamaruszzaman, Sudisman, Oetomo Ramelan, Kolonel Sahirman, Mayor Mulyono dan Brigjen Soepardjo. Sementara tertangkapnya Letkol Untung Sutopo di kota Tegal

51 diberitakan di media massa seperti penangkapan tukang copet. Peristiwa G30S merupakan tragedi Nasional. Pada masa Orde Baru, setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila dan untuk mengenangnya di Lubang Buaya didirikan Monumen Pancasila Sakti. Sementara di Yogyakarta juga dibangun Monumen Pahlawan Pancasila. Kemudian, pada jaman Reformasi, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Megawati Soekarnoputri, Hari Kesaktian Pancasila diubah menjadi Hari Tragedi Nasional. d. Kontroversi Seputar Peristiwa Gerakan 30 September 1965 Peristiwa G30S 1965 ini merupakan peristiwa paling kontroversial dalam sejarah Indonesia. Penulisan sejarah seputar Peristiwa G30S 1965, selama ini masih 124 kontroversial. Oleh karena itu, maklumlah jika dalam membaca beberapa sumber, baik seputar latar belakang, peristiwa, pelaku dan sebab-sebab yang berbeda dengan sumber lain kemudian ditemukan informasi yang berbeda-beda pula. Perbedaan persepsi dan pemahaman sejarah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya: perbedaan metodologi penulisan, perbedaan sumber yang ditemukan, perbedaan asal-usul, jenis-jenis dan sudut pandang sejarawan, pelaku sejarah dan masyarakat sejarawan itu sendiri. Bahkan, di antara sesama sejarawan sendiri di dalam mengambil sikap terhadap distorsi sejarah (fakta sejarah yang diselewengkan) masih berbeda-beda. Ada yang setuju terhadap pelurusan sejarah, namun ada juga yang tidak setuju. Sejarawan lainnya justru mengusulkan ada penulisan ulang sejarah. Pendapat lain mengatakan tidak setuju jika diulang, berarti akan mengulang kesalahan distorsi. Pendapat lain lebih setuju dengan istilah perlengkapan dan pengayaan sejarah, tetapi di pihak lain juga belum tentu setuju. Namun demikian, sampai saat ini, ketentuan baku tentang bagaimana cara menulis judul yang paling benar terhadap peristiwa G30S 1965 tersebut memang belum ada. Beberapa alternatif penulisan masih bisa muncul, seperti: Pemberontakan G-30-S/PKI 1965, Pemberontakan G30S 1965, Peristiwa G30-S/PKI 1965, Peristiwa G30S 1965, 125 G30S 1965, Gerakan 30 September 1965, Gestapu 1965, Gestok, Gerakan 1 Oktober, Gestok 1965, dan lain-lain. Dalam soal penulisan judul atau tema saja topik ini bisa menimbulkan kontroversi, apalagi dalam memaparkan versi-versi, tentu semua itu sangat mungkin. Sudah sekitar 35 tahun lebih hingga sekarang, kontroversi atau polemik di seputar Peristiwa G30S 1965 masih terjadi. Bahkan, setelah berhentinya Soeharto dari jabatan presiden tanggal 21 Mei 1998, polemik tersebut semakin berkembang. Dari beberapa polemik tersebut, terdapat beberapa tesis atau versi yang muncul di masyarakat. Namun demikian versi-versi berikut ini masih mempunyai ruang untuk dikritisi kembali dan diuji kebenarannya seperti beberapa versi berikut ini. Versi I (PKI Sebagai Perancang dan Pelaku). Versi pertama ini merupakan versi pertama kali yang sudah berkembang luas pada masa awal kelahiran Orde Baru hingga sekarang. Versi ini menyebutkan bahwa PKI dianggap sebagai pelaku utama (dalang) dari Peristiwa G30S Penganut versi ini berpendapat bahwa PKI telah lama membangun kekuatan secara sistematis, sebelum peristiwa itu terjadi, termasuk menyusup ke tubuh ABRI dan memperalat oknum-oknum tentara. Versi II (Presiden Soekarno Sebagai Perancang dan Pemberi restu kepada para Pelaku). Versi kedua ini menyebutkan bahwa di samping Soebandrio (eksekutif) 126 seorang tokoh PKI yang sangat berperan dalam situasi politik saat itu, versi ini juga lebih tegas menyebutkan bahwa Peristiwa G30S 1965 merupakan sebuah skenario (gagasan dan rancangan) Presiden Soekarno untuk melenyapkan oposisi (lawannya) dari para perwira tinggi yang menentang sikap politiknya. Versi ini dikemukakan oleh Anthony Dake (sejarawan Amerika Serikat). Kesimpulan tersebut didasarkan atas kesaksian Bambang Widjonarko, ajudan Presiden Soekarno, di Mahmilub. Versi III (Militer Sebagai Pelaku, karena adanya konflik di internal TNI AD). Versi ketiga ini sebenarnya juga telah berkembang pada akhir masa Orde Baru, namun pada waktu itu baru disampaikan dalam kalangan atau diskusi-diskusi terbatas. Versi ketiga ini menyebutkan bahwa

52 Peristiwa G30S 1965 merupakan akibat dari konflik internal di dalam tubuh Angkatan Darat (AD). Versi ini dikemukakan oleh Ben R.O.G. Anderson dan Ruth Mc Vey (sejarawan dari Cornell University di Amerika), dalam kertas kerjanya yang kemudian dikenal dengan Cornell Paper. Versi IV (Letjen Soeharto Sebagai Pelaku) Versi ini berkembang pesat terutama setelah Soeharto berhenti dari jabatan presiden RI. Namun, sebenarnya tesis ini sempat beredar di kalangan terbatas, khususnya di lingkungan kampus beberapa bulan menjelang berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden RI, 21 Mei Versi keempat ini menyebutkan bahwa Letjen Soeharto adalah orang yang sesungguhnya berada di balik Peristiwa G30S Versi V (AS Tidak Terlibat atau Tidak Ikut campur) Versi kelima ini menyebutkan bahwa Amerika Serikat tidak terlibat atau tidak ikut campur dalam Peristiwa G30S Versi ini bahkan menyebutkan bahwa Presiden Soekarno sebenarnya sudah mengetahui rencana PKI sebelum peristiwa. Sebagai indikasinya yaitu adanya surat rahasia yang diberikan kepada Soekarno di sela-sela acara pertemuan Persatuan Ahli Teknik di Senayan, Jakarta pada tanggal 30 September Versi VI (AS Sebagai Perancang Peristiwa). Versi keenam ini mulai berkembang pesat terutama setelah pergantian pemerintahan Soeharto ke pemerintahan B.J Habibie dan seterusnya, di samping faktor lain yaitu sudah mulai dapat dibuka atau diaksesnya arsip-arsip bersejarah yang penting di Amerika Serikat yang menyinggung seputar peristiwa G30S dan peranan pemerintah AS melalui CIA di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia pada tahun an. Versi keenam ini menyebutkan bahwa Peristiwa G30S 1965 terjadi karena adanya campur tangan (intervensi) dari pemerintahan AS melalui Central Intelligence Agency (CIA) atau Pusat Dinas Rahasia AS yang terutama untuk urusan hubungan (jalur informal) rahasia luar negeri. Dinas rahasia (CIA) ini dianggap memprovokasi (memancing) PKI 128 melalui Dokumen Gilchrist agar segera melakukan aksi (bisa dibaca penculikan atau bisa juga dibaca dengan kudeta). Akan tetapi, aksi (penculikan/kudeta) itu sedapat mungkin diusahakan atau dikondisikan sedemikian rupa supaya berlangsung secara prematur (terlalu dini, kurang perencanaan dan persiapan). Dengan begitu, PKI bisa langsung dihancurkan atau dilenyapkan. Versi ini dikemukakan oleh Peter Dale Scott (Sejarawan dan Guru Besar Universitas California, Amerika Serikat). Versi VII (Semua Pihak Terlibat) Versi ini menyebutkan bahwa pelaku atau penyebab Peristiwa G30S 1965 adalah adanya faktor internal (dalam negeri) yang didukung oleh faktor eksternal (luar negeri). Versi ini dikemukakan oleh Dr. Asvi Warman Adam (seorang peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Suasana jaman (zeitgheist) pada saat itu, baik pada masa sebelum maupun sesudah peristiwa, nampak jelas adanya aroma pertarungan ideologi (baik dalam skala nasional maupun internasional) yang sangat panas. Untuk skala nasional, nampak sekali ideologi komunis di kisaran atau sekitar kekuasaan Soekarno bertarung sengit dengan lawanlawan politik PKI seperti NU, Masyumi, Murba dan lain-lain. Di pihak lain (dalam skala internasional), pihak Sekutu (Amerika, Inggris, Perancis, Belanda dan Australia) yang memenangi PD I dan II masih melanjutkan perang dingin melawan ideologi komunis (Rusia, Cina, 129 Korea Utara, Vietnam Utara, Kuba dan lainlain). G. MASA ORDE BARU RUNTUHNYA ORDE BARU SAMPAI DENGAN Orde Baru adalah era tatanan baru atau orde tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa dan negara Indonesia yang diletakkan kembali di atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Disamping itu, Orde Baru juga diartikan sebagai sebuah orde/era

53 pembangunan atau masa koreksi total terhadap orde sebelumnya (Orde Lama) yang dianggap banyak menyimpang dari ketentuan yang tercantum di dalam Pancasila dan UUD Kelahiran Orde Baru ini tidak dapat dipisahkan dari Peristiwa G30S 1965 dan munculnya Supersemar Munculnya Supersemar merupakan dampak dari upaya penyelesaian kemelut politik yang menimpa bangsa Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Nasional pada tanggal 30 September Lahirnya Orde Baru Setelah G30S berhasil ditumpas dan kemudian diketahui bahwa PKI berada di balik peristiwa tersebut. Masyarakat umum dan partai-partai yang berseberangan dengan PKI secara spontan mulai membentuk berbagai kelompok yang menuntut pertanggungjawaban G30S dan para pendukungnya. Pada 8 Oktober 1965, mulai terjadi beberapa demonstrasi massa menuntut pertanggungjawaban PKI. Pada tanggal 25 Oktober 1965, terbentuklah beberapa kesatuan aksi antara lain: Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang kemudian disusul Kesatuan Aksi Pemuda 130 Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan Kesatuan Aksi Pengemudi Becak Indonesia (KAPBI). Kesatuan-kesatuan aksi itu membentuk Front Pancasila yang bersama-sama dengan organisasi yang menentang PKI mengadakan rapat akbar pada 26 Oktober 1965 di Lapangan Banteng Jakarta. Menghadapi arus demonstrasi yang kian deras, Presiden Soekarno berjanji akan mengadakan penyelesaian politik terhadap G30S. Namun, janji tersebut masih belum ditepati, sehingga menyebabkan para mahasiswa, pelajar, dan kelompok lainnya yang didukung oleh masyarakat dan ABRI mulai melakukan tindakan yang langsung mengarah kepada pembersihan PKI dan pendukungnya. Pertikaian langsung antara para pemuda, mahasiswa, pelajar, dan kesatuan aksi lainnya dengan PKI dan pendukungnya (Front Nasional/Barisan Soekarno) tidak dapat dihindarkan. Di beberapa tempat seperti di Jakarta dan Yogyakarta, mahasiswa dan pelajar bahkan telah berkorban jiwa. Para pemuda anti PKI di berbagai daerah juga melakukan aksi yang sama melalui berbagai organisasi. Pertikaian langsung dengan PKI dan para pendukungnya tidak dapat dihindari. Di beberapa daerah khususnya di Jawa, Bali, dan Sumatera Utara, situasi berkembang menjadi aksi kekerasan yang menimbulkan banyak korban di kalangan para anggota PKI 131 beserta pendukungnya serta orang-orang yang diduga menjadi pendukung komunisme. Namun aksi kekerasan ini juga dimanfaatkan oleh kelompok atau individu tertentu untuk kepentingan sendiri. Akibatnya, orang-orang yang tidak ada kaitan dengan PKI atau organisasi pendukungnya juga menjadi korban. Tidak ada yang tahu berapa jumlah orang yang telah terbunuh, karena semuanya hanya berdasarkan perkiraan. Hal yang pasti, sebuah tragedi kemanusiaan yang bertentangan, baik dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia maupun hak asasi manusia universal telah terjadi. Sementara itu, dengan dasar petimbangan kemelut politik yang tidak menentu dan membubungnya harga-harga kebutuhan pokok rakyat. Pada tanggal 10 Januari 1966, KAMI dan KAPII di hadapan Gedung DPRGR mengajukaan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu: a. Bubarkan PKI; b. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G30S; dan c. Turunkan harga/perbaikan ekonomi. Menghadapi situasi yang semakin gawat dan memanas, Presiden Soekarno memanggil seluruh menterinya untuk mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor. Dalam sidang itu, banyak tokoh-tokoh KAMI yang diundang. Namun, di luar Istana Bogor, masyarakat yang berdemonstrasi semakin ramai dan semakin berani menuntut dilaksanakannya Tritura. Dalam sidang kabinet tersebut Presiden Soekarno sekali lagi berjanji akan memberikan penyelesaian politik, bahkan menawarkan jabatan menteri kepada siapa saja yang sanggup menurunkan harga. 132 Janji penyelesaian politik yang diucapkan Presiden Soekarno dalam siding Kabinet Dwikora, diwujudkan dengan merombak susunan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kabinet Dwikora yang disempurnakan itu dikenal dengan sebutan Kabinet 100

54 Menteri karena itu terdiri dari 100 orang menteri yang banyak memihak kepada PKI. Pada tanggal 24 Februari 1966, Kabinet Dwikora dilantik di Istana Merdeka Jakarta. Pada saat pelantikan Kabinet Dwikora inilah salah seorang mahasiswa UI yang sedang berdemonstrasi bernama Arief Rahman Hakim gugur akibat bentrokan dengan pasukan pengawal presiden. Melihat penyelesaian politik yang dilakukan Presiden Soekarno yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat, akhirnya menimbulkan terjadinya gelombang aksi demonstrasi yang semakin besar, yang kini ditujukan kepada Presiden Soekarno. Presiden Soekarno yang merasa tersinggung dengan kesatuan-kesatuan aksi yang mendemonstrasinya, segera membalas dengan membubarkan KAMI pada tanggal 16 Februari 1966 dan menutup kampus Universitas Indonesia pada tanggal 3 Maret Tindakan Presiden Soekarno tersebut justru semakin memperuncing keadaan, sehingga arus demonstrasi semakin keras dan membanjiri Jakarta. Akibatnya keadaan kota Jakarta semakin tidak menentu. Akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1966, di Istana Negara (Jakarta), dilangsungkan sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Namun, sebelum sidang berakhir, terdengar berita dari 133 Komandan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) Brigjen Sabur, bahwa di luar Istana Bogor banyak pasukan yang tidak dikenal identitasnya. Mendengar laporan itu, Presiden Soekarno gusar dan menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena. Selanjutnya, Beliau bersama Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh meninggalkan sidang menuju Istana Bogor. Setelah sidang selesai, tiga orang perwira TNI AD masing-masing Mayor Jenderal Basuki Rahmat (Menteri Veteran), Brigadir Jenderal M. Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Brigadir Jenderal Amir Machmud (Panglima Kodam V/Jaya) menyampaikan hasil sidang Kabinet Dwikora itu. Ketiga perwira TNI-AD itu, meminta izin (atau memang disarankan) Letnan Jenderal Soeharto untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Letnan Jenderal Soeharto mengijinkan ketiga perwira TNI-AD untuk menemui Presiden Soekarno dan menyampaikan pesan, bahwa Letnan Jenderal Soeharto sanggup menyelesaikan kemelut politik dan memulihkan keamanan dan ketertiban di ibukota. Setelah melakukan pembicaraan beberapa jam, akhirnya Presiden Soekarno setuju memberikan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah, serta dalam menjalankan tugas, penerima mandat (Letjen Soeharto) juga diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada Presiden Soekarno. Karena surat itu dibuat pada 11 Maret 1966, sehingga surat itu dikenal 134 dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Dengan surat perintah tersebut, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa tindakan di antaranya adalah membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 dan selanjutnya pada tanggal 18 Maret 1966 dilakukan pengamanan terhadap 15 orang menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan yang diduga terlibat G30S. Turunnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), merupakan jawaban terhadap berbagai tuntutan mahasiswa dan rakyat yang menginginkan pembubaran PKI. Lahirnya Supersemar, oleh sebagian sejarawan dianggap sebagai tonggak kelahiran Orde Baru. Sementara, jika dilakukan penelitian secara mendalam, besar kemungkinan masamasa itu masih atau dapat dikatakan juga sebagai masa-masa dimulainya peralihan (masa transisi). Dengan turunnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tersebut, sebenarnya merupakan awal dimulainya masa transisi (masa perpindahan atau perubahan pemerintahan yang masih belum menentu). Masa transisi dianggap sebagai masa peralihan yang masih belum pasti, sehingga masih ada kemungkinan kekuatan lama (Orde Lama saat itu) kembali memegang kekuasaan. Namun, dalam faktanya, pergulatan politik antara pendukung Orde Lama dengan kekuatan pendukung Orde Baru (Mahasiswa, ABRI dan sebagian besar rakyat Indonesia) dimenangkan oleh kekuatan Orde Baru. Namun, langkah Letnan Jenderal Soeharto dengan membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 dan mengamankan 15 orang menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan yang diduga terlibat G30S 135 dinilai sebagai tindakan yang sangat tegas, terlepas dari masih adanya perdebatan, polemik

55 atau kontroversi sejarah di masyarakat seputar Peristiwa G30S 1965 dan Supersemar tersebut. Kemudian, menindaklanjuti pembersihan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, pada tanggal 2 Mei 1966 diselenggarakan sidang DPRGR, selain dihadiri oleh anggota DPRGR, sidang tersebut juga dihadiri ratusan mahasiswa yang menyampaikan dan membacakan Nota Politik KAMI. Hasil sidang DPRGR itu adalah sebagai berikut: a. Menyatakan pimpinan DPRGR demisioner; dan b. mengangkat pengganti pimpinan DPRGR, yakni Achmad Syaichu, Laksamana Muda (laut) Mursalin Daeng Mamanggung, dan Brigjen Syarif Tayeb. Dengan kepemimpinan pengganti, DPRGR terus mengadakan sidang-sidang untuk penghilangan unsur-unsur, kekuatan atau pengaruh PKI dan pendukung-pendukung Soekarno dari tubuh DPRGR maupun MPRS. Pada tanggal 5 Mei 1966 muncullah pernyataan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Untuk menanggapi perkembangan keadaan, khususnya sehubungan dengan adanya usahausaha untuk membubarkan MPRS dan DPRGR, ABRI yang meliputi AD, AL, AU dan Kepolisian, mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Waperdam ad interm bidang Hankam/Menteri/Pangad Letnan Jenderal Soeharto, Wakil Panglima Besar Kogam Jenderal A.H. Nasution, Menteri/Pangau Komodor Udara Rusmin Nurjadin, Menteri/Pangal Laksamana Muda (L) Moeljadi, dan Menteri/Pangak Komisaris Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo. 136 Pada 17 Mei 1966, DPRGR berhasil menyusun kepengurusan DPRGR, yang terdiri dari Achmad Syaichu (Golongan Islam) sebagai ketua. Sedangkan wakil ketua adalah Moh. Isnaeni (Golongan Nasionalis), Drs Ben Mang Reng Say (Kristen Katolik), Laksda (laut) Mursalin Daeng Mamanggung (Golkar) dan Brigjen Syarif Tayeb (Golkar). Disamping itu DPRGR juga berhasil membersihkan anggotanya dengan memecat 65 orang anggota DPRGR yang mewakili PKI dan ormasormasnya.selanjutnya dalam menegakkan tertib hukum di Indonesia, DPRGR juga berhasil merumuskan memorandum kepada MPRS tentang Sumber Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia yang kemudian oleh MPRS ditetapkan dengan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966. Setelah DPRGR secara maraton mengadakan sidang-sidangnya, giliran MPRS untuk melaksanakan berbagai persidangan. Dalam Sidang Umum (SU) MPRS IV, pada 20 Juni 5 Juli 1966, MPRS berhasil merumuskan 24 ketetapan. Namun, dari 24 TAP MPRS hasil SU IV tersebut, ada beberapa TAP MPRS yang diangap sangat penting dalam memuluskan jalan Soeharto pada masa awal menjalankan pemerintahannya (Orde Baru), yaitu: 1. Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Supersemar; 2. Tap MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Pengukuhan Kabinet Ampera; 3. Tap MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden; 4. Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib 137 Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia; 5. Tap MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan; 6. Tap MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan dalam Bidang Pertahanan/Keamanan; 7. Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia; 8. Tap MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Penelitian Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno; 9. Tap MPRS Nomor XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan gelar Bintang Mahaputra Kelas III dari D.N. Aidit; dan 10. Tap MPRS Nomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan Paduka Yang Mulia, Yang Mulia, Paduka Tuan dengan Sebutan Bapak atau Saudara/Saudari. Di samping itu, dengan Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk meminta kepada Presiden Soekarno agar melengkapi laporan pertanggung-jawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G30S beserta epilognya (pasca peristiwanya), serta masalah kemunduran ekonomi dan akhlak. Pada tanggal 22 Juni 1966 (dalam suasana SU MPRS ke-4, hari ke-3), Presiden menyampaikan amanat atau pidatonya yang berjudul Nawaksara. Nawa artinya sembilan, sedangkan Aksara artinya huruf atau pasal. Amanat-pidato-Soekarno tersebut oleh MPRS dipandang atau dianggap tidak memenuhi harapan rakyat, karena tidak memuat

56 secara jelas kebijakan Presiden selaku 138 Mandataris MPRS mengenai Peristiwa G30S 1965 beserta epilognya. Satu hari setelah Sidang MPRS ke-4 ditutup, yaitu tanggal 6 Juli 1966, ABRI kembali mengeluarkan pernyataan penegasan dukungannya terhadap ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan MPRS, serta bertekad melaksanakan dan mengamankannya secara konsekwen. Setelah Sidang Umum MPRS IV tahun 1966 tersebut dapat berlangsung dengan lancar, kemudian pada tanggal 25 Juli 1966, Presiden Soekarno melaksanakan Tap MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera. Presiden Soekarno membentuk Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kabinet Ampera terdiri dari tiga unsur, yaitu: a. Pimpinan kabinet dipegang oleh Presiden Soekarno; b. Pembantu Pimpinan yang terdiri dari lima orang Menteri Utama yang secara bersama merupakan suatu Presidium, dengan Letjen Soeharto (Menteri Utama Bidang Hankam) sebagai Ketua Presidium; dan c. Anggota-anggota kabinet yang terdiri dari 24 Menteri yang masing-masing memimpin Departemen, di bawah koordinasi Presidium Kabinet melalui Menteri Utama yang membawahi bidang-bidang yang bersangkutan. Tugas dari Kabinet Ampera ini disebut Dwi Darma, yaitu mewujudkan stabilitas politik dan menciptakan stabiltas ekonomi. Sedangkan program kerja Kabinet Ampera disebut Catur Karya yang terdiri dari empat hal, yaitu: a. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan; b. Melaksanakan 139 pemilu dalam batas waktu sebagaimana disebutkan di dalam Tap MPRS Nomor XI/MPRS/1966; c. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Tap MPRS Nomor XI/MPRS/1966; dan d. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Pada tanggal 11 Agustus 1966, ada dua peristiwa penting yaitu: dibentuknya Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional (DSEN) oleh Pemerintah untuk membantu Kabinet Ampera. Sedangkan peristiwa penting lainnya yaitu tercapainya persetujuan normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Pada tanggal 16 Agustus 1966, Ketua Presidium Kabinet Ampera (Letjen Soeharto) di depan Sidang Pleno DPR-GR, menyampaikan keterangan Pemerintah mengenai kebijakan yang telah diambil dan langkah-langkah yang akan dilaksanakan Pemerintah. Satu hari kemudian, tanggal 17 Agustus 1966 (dalam suasana Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-21), Presiden Soekarno mengucapkan pidato di depan rakyat dari halaman Istana Merdeka yang kemudian judul pidatonya dikenal dengan nama JASMERAH (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Pidato Presiden Soekarno tersebut mendapat reaksi dari berbagai kalangan dan menjadi bahan perdebatan atau pertentangan politik saat itu. Bahkan di beberapa tempat sempat menyebabkan timbulnya bentrokan-bentrokan fisik. Pada tanggal 28 September 1966, pada masa pemerintahan Kabinet Ampera (Soekarno dibantu 5 orang Presidium dengan Letnan 140 Jenderal Soeharto sebagai Ketua Presidium dan 24 Menteri), Indonesia kembali aktif di PBB setelah sebelumnya semenjak komando Presiden Soekarno pada tanggal 7 Januari 1966 Indonesia keluar dari PBB. Dengan masuknya kembali Indonesia sebagai anggota PBB, secara tidak langsung menandakan semakin menguatnya atau kemenangan secara politis bagi pihak yang dipimpin Jenderal Soeharto (Orde Baru). Pada tanggal 31 Desember 1966, di depan corong RRI dan layar TVRI, Jenderal Soeharto (selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera) menyampaikan pidato akhir tahun kepada rakyat Indonesia. Hal ini juga menandakan bahwa secara politis pihak yang dipimpin Jenderal Soeharto (Orde Baru) semakin dominan, sementara Presiden Soekarno (Orde Lama) yang secara de jure masih memegang kekuasaan pemerintahan sebagai Presiden RI dan sebagai Pimpinan Kabinet Ampera, namun secara defacto pengaruh dan legitimasi pemerintahannya pada saat itu semakin memudar dan semakin dijauhi masyarakat. Mengawali peristiwa penting di tahun 1967, pada tanggal 10 Januari 1967, Presiden Soekarno menyampaikan surat Pelengkap Nawaksara kepada Pimpinan MPRS untuk memenuhi permintaan MPRS (yang tertuang dalam Keputusan Nomor 5/MPRS/1966) agar Presiden melengkapi laporan pertanggungjawabannya mengenai terjadinya Peristiwa G30S Untuk membahas Pelengkap Nawaksara tersebut,

57 Pimpinan MPRS menyeleng-garakan 141 musyawarah pada tanggal 21 Januari 1967, dan mengeluarkan pernyataan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi ketentuan-ketentuan konsti-tusional. Sementara itu, DPR-GR dalam resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari 1967 menyatakan menolak Nawaksara beserta Pelengkap Nawaksara, dan berpendapat bahwa kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politik dan ideologi membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa, negara dan Pancasila. Dalam perkembangan politik selanjutnya, berdasarkan Pengumuman Presiden Soekarno/Mandataris MPRS/ Panglima Tertinggi ABRI tanggal 20 Februari 1967 dan isi dari Tap MPRS Nomor XV/MPRS/1966 (yang menyatakan: Apabila Presiden berhalangan, maka pemegang Supersemar memegang jabatan Presiden), di Jakarta pada 22 Februari 1967, berlangsung penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto (sebagai pengemban Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966). Peristiwa penyerahan kekuasaan pemerintahan tersebut merupakan peristiwa penting dalam usaha mengatasi situasi konflik yang sedang memuncak pada waktu itu. Penyerahan kekuasaan ini mendapat sambutan yang meriah di masyarakat umum dan ABRI. Bahkan pada tanggal 24 Februari 1967, ABRI menyatakan akan mengamankan isi yang tersurat dan yang tersirat dalam pengumuman tersebut dengan segala konsekuensinya. Dengan terjadinya penyerahan kekuasaan tersebut, pada tanggal 4 Maret 1967 Jenderal Soeharto memberikan keterangan resmi pemerintahan di hadapan 142 sidang DPRGR, setelah sebelumnya pada tanggal 24 Februari 1967 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mengeluarkan kebulatan tekad untuk mengamankan penyerahan kekuasaan tersebut. Menindaklanjuti penyerahan kekuasaan tersebut, MPRS mengadakan Sidang Istimewa pada tanggal 7-12 Maret Dalam Sidang Istimewa tersebut, MPRS berhasil merumuskan Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967, yang berisi hal-hal sebagai berikut: a. Mencabut kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno; b. Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaan pemerintah sebagaimana yang diatur di dalam UUD 1945; dan c. Mengangkat Pengemban Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada akhir sidang istimewa MPRS, yakni pada tanggal 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto secara resmi dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS, Jenderal TNI A.H. Nasution sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Di samping Tap MPRS No. XXXIII, MPRS juga berhasil merumuskan: a. Tap MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Tap MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI sebagai GBHN karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangannya; dan b. Tap MPRS Nomor XXXV/ MPRS/1966 tentang pencabutan Tap MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi. 143 Di dalam Sidang Umum MPRS yang berlangsung pada tanggal Maret 1968, Pejabat Presiden Jenderal TNI Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden RI sampai dengan terpilihnya Presiden RI hasil pemilihan umum. Selain itu, di dalam Sidang Umum MPRS 1968, telah dirumuskan tujuh ketetapan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Jenderal Soeharto diambil sumpah sebagai Presiden RI yang keempat. Sejak 1968, Soeharto resmi menjabat sebagai Presiden RI yang keempat (setelah Sukarno, ; Mr. Asaat, ; Sukarno, ). Walaupun realitasnya demikian, akan tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia lebih mempercayai bahwa Soeharto adalah Presiden RI yang ke Stabilisasi dan Rehabilitasi Tuntutan Tritura yang ketiga yaitu perbaikan dan stabilitas ekonomi hanya dapat dilakukan dengan pembangunan di segala bidang. Akan tetapi pembangunan hanya dapat berjalan lancar jika negara berada dalam keadaan aman dan tertib. Oleh karena itu sebelum pembangunan nasional dimulai diperlukan dahulu stabilitas nasional. Program pertama yang dilakukan adalah pembaharuan kabinet. Kabinet untuk menstabilitaskan ekonomi dan keamanan disebut Kabinet Ampera. Dalam masa Kabinet Ampera I & II ( ), Departemen Keuangan mengemban tugas melaksanakan program stabilitas ekonomi dan keuangan negara yang

58 meliputi bidang moneter termasuk didalamnya menjaga stabilitas intern dan ekstern nilai mata uang Indonesia. 144 Untuk mengatasi situasi perekonomian dan keuangan yang sangat buruk serta dalam rangka stabilitas ekonomi, pemerintah menetapkan serangkaian kebijaksanaan, yaitu: a. Penyesuaian pengeluaran negara dengan pendapatan negara, sehinga terdapat keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan (Balance Budget) yang dituangkan dalam Undang-undang APBN Nomor 13 Tahun 1967 tanggal 30 Desember 1967 yang juga menjadi dasar hukum pelaksanaan APBN 1968/1969; b. Penekanan inflasi dan peningkatan nilai rupiah; dan c. Penjadwalan beban pembayaran utang luar negeri warisan masa lampau yang seluruhnya berjumlah US$ 2,4 Milyar dan di lain pihak juga berusaha untuk mendapat kredit baru guna membiayai belanja pembangunan. Selain itu, dalam konperensi rescheduling hutang-hutang luar negeri dengan pihak kreditor menghasilkan persetujuan, yaitu: a. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun dari tahun 1970 s.d. 1999; b. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran dengan jumlah yang sama setiap tahun; c. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga sedangkan pembayaran kembali bunga pinjaman dilaksanakan dalam 15 angsuran tahunan mulai 1985; dan d. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip non discriminative, baik terhadap negara kreditor, maupun terhadap sifat dan tujuan kredit. Untuk melaksanakan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 15/U/KEP/8/1966 tentang Struktur Organisasi Departemen dengan 145 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 57/MEN.KEU/1967 dilakukan penyempurnaan struktur organisasi Departemen Keuangan sebagai berikut : a. Pembentukan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan yang merupakan pemecahan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami tugas nasional dan departemental; b. Penambahan direktorat-direktorat yang pada Direktorat Jenderal Anggaran (dari 3 menjadi 5), Direktorat Pajak (dari 4 menjadi 5), Direktorat Jenderal Keuangan (dari 3 menjadi 5), Direktorat Pengawasan Keuangan Negara (dari 3 menjadi 4); dan c. Koordinasi langsung kantor-kantor daerah oleh Direktorat Jenderal yang bersangkutan. Adapun unit eselon I yang ada pada Departemen Keuangan itu adalah terdiri dari Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara, Direktorat Jenderal Keuangan dan Inspektorat Jenderal. Setelah memasuki Kabinet Pembangunan I, Kebijaksanaan Menteri Keuangan dalam bidang moneter, penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin diarahkan untuk meningkatkan tabungan pemerintah, serta memperbaiki neraca pembayaran. Pada masa Repelita I banyak dilaksanakan kebijaksanaankebijaksanaan di bidang anggaran, perpajakan, penerimaan negara, ekspor dan devisa sehingga memberikan kemajuan perekonomian Indonesia. Hal ini terbukti dengan turunnya tingkat inflasi dari 650% pada tahun 1966 menjadi 85% pada tahun Untuk mendukung pelaksanaan tugas, serta dalam rangka meningkatkan ketertiban dan disiplin pegawai dalam melaksanakan tugasnya, pada tanggal 30 Maret 1971 dengan Surat Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1971 ditetapkan pemberian tunjangan khusus yang dimaksudkan sebagai tindakan preventif dan sekaligus sebagai imbangan atas tindakan yang akan diambil sehingga pegawai Departemen Keuangan dapat menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, berprestasi kerja semaksimal mungkin dan tidak melakukan penyelewenganpenyelewengan dalam bidang penerimaan dan pengeluaran negara. Keputusan Presiden ini berlaku mulai tanggal 1 April Tahap-tahap Pembangunan Nasional Prioritas utama tahap pembangunan nasional adalah stabilitas politik. Tindakan ini dilakukan berdasarkan pengalaman sejarah pada masa Liberal dan masa Demokrasi Terpimpin sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Karena itu dalam Kabinet Pembangunan Nasional I, mula-mula yang mereka lakukan adalah menghilangkan pertentangan

59 politik. Dualisme Kepemimpinan adalah bagian pertama yang harus segera diselesaikan. Dualisme Kepemimpinan ini berakhir pada tanggal 22 Februari Ketika itu Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Letnan Jenderal Soeharto. Namun secara resmi serah terima jabatan baru dilaksanakan setelah Sidang Umum V MPRS yang berlangsung tanggal 7-12 Maret Dalam Sidang Umum V MPRS tanggal Maret 1968 Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai Presiden 147 RI sampai terpilih kembali melalui Pemilihan Umum. Dengan terpilihnya Jenderal Soeharto ini kemudian dibentuk Kabinet Pembangunan. Tugas utama Kabinet Pembangunan adalah: 1. Menciptakan Stabilitas Politik dan Ekonomi; 2. Menyusun dan melaksanakan rencana Pembangunan Lima tahun Tahap pertama; 3. Melaksanakan Pemilihan Umum; 4. Mengikis habis sisa-sisa Pelaku G30S dan pendukungnya; dan 5. Membersihkan aparatur negara di pusat dan di daerah dari pengaruh PKI. Keberhasilan dalam mewujudkan stabilitas politik ditunjukkan oleh hasil penentuan pendapat rakyat (pepera) di Irian Barat pada tahun Irian Barat memilih bersatu dengan Republik Indonesia. Di samping itu pemerintah juga berhasil mengembalikan stabilitas politik luar negeri antara lain dengan: 1. Berakhirnya Konfrontasi dengan Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966; 2. Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966; dan 3. Pembentukan ASEAN 8 Agustus Setelah Jenderal Soeharto resmi menjabat sebagai Presiden RI, maka langkah utama melaksanakan pembangunan nasional adalah membentuk Kabinet Pembangunan I sesuai dengan Tap MPRS Nomor XLI/MPRS/1968 pada tanggal 6 Juni tugas pokok Kabinet Pembangunan I adalah melanjutkan tugastugas dari Kabinet Ampera. Programnya dikenal dengan sebutan Panca Krida Kabinet Pembangunan. Isinya adalah sebagai berikut: a. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima 148 b. c. d. e. Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu). Menyusun dan merencanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Melaksanakan pemilihan umum selambatlambatnya pada bulan Juli Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengkikis habis sisasisa G30S dan setiap rongrongan, penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di tingkat daerah. Untuk merealisasikan pembangunan seperti yang diamanatkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Orde Baru melaksanakan konsep Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang dimulai sejak 1 April Adapun pelaksanaan konsep Pembangunan Lima Tahun selama masa pemerintahan Orde baru adalah sebagai berikut: a. Pelita I (1 April Maret 1974); b. Pelita II (1 April Maret 1979); c. Pelita III (1 April Maret 1984); d. Pelita IV (1 April Maret 1989); e. Pelita V (1 April Maret 1994); dan f. Pelita VI (1 April Maret 1999, tdak terlaksana dengan penuh). Dalam sektor ekonomi Kebijaksanaan Pemerintah diarahkan untuk memperbaiki neraca pembayaran yang ditunjang dengan tersedianya cadangan devisa yang cukup memadai. Di samping itu terjadinya keseimbangan moneter dan anggaran pendapatan belanja negara yang berimbang 149 dan dinamis. Untuk mencapai hal ini, maka dikeluarkan paket kebijaksanaan 1 April 1976.

60 Sasaran pokok kebijakan ini adalah mendorong ekspor di luar minyak dan gas bumi sebagai sumber pendapatan negara. Untuk meningkatkan daya saing hail-hasil produksi dalam negeri, maka pada tanggal 15 November 1978 diambil kebijaksanaan yang menurunkan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing dengan 33,6% dari Rp 415,- per US dolar menjadi Rp 615,- per US dolar. Sedangkan untuk meningkatkan persediaan dalam negeri dilakukan peningkatan kesadaran pajak masyarakat, penyempurnaan efisiensi kerja setiap departemen. Untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah ini dan untuk menyelesaikan perkembangan pelaksanaan tugas yang semakin kompleks, diperlukan susunan tata kerja Departemen Keuangan yang lebih sempurna. Sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 44 dan 45 tahun 1974, Menteri Keuangan dengan Surat Keputusan Nomor KEP-405/MK/6/4/1975 menetapkan pembentukan unit organisasi baru sebagai berikut : a) b) Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK), yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan pendidikan/ latihan yang dirasakan semakin meningkat dan penting bagi seluruh pegawai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keuangan (Puslitbang Keuangan), yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pembinaan semua unitunit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen Keuangan. 150 c) Kantor Wilayah, yang merupakan perwakilan departemen di daerah. Di samping itu, pada tahun 1976 kembali dilakukan perubahan-perubahan antara lain : a) Dibentuknya Pusat Analisa Informasi Keuangan (PAIK), yang bertugas melakukan pembinaan dan pengembangan dalam pengolahan data. b) Berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 52 tahun 1976, dibentuk Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan, dan bertugas mengadakan penilaian terhadap perusahaan-perusahaan yang akan menjual saham-sahamnya melalui pasar modal, menyelenggarakan bursa pasar modal yang efektif dan efisien serta terus-menerus mengikuti perkembangan perusahaan-perusahaan yang menjual saham-sahamnya melalui pasar modal. c) Terbitnya Instruksi Menteri tentang Pengalihan tugas Direktorat IPEDA dari Direktorat Jenderal Moneter ke Direktorat Jenderal Pajak. d) Pembentukan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), serta beberapa penyempurnaan pada Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara dan BPLK. Pada Kabinet Pembangunan III, kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah adalah dilakukannya penyempurnaan kebijaksanaankebijaksanaan ekonomi yang telah dilaksanakan pada kabinet sebelumnya terutama untuk meningkatkan sumber-sumber dalam negeri 151 guna meningkatkan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan yang semakin meningkat. Kejadian yang sangat mengganggu perekonomian bangsa Indonesia adalah turunnya harga minyak bumi secara tajam sehingga memaksa pemerintah untuk mendevaluasikan mata uang rupiah sebesar 27,8% dari Rp 700,- per US dolar menjadi Rp 970,- per US dolar pada bulan Maret 1983 guna mengamankan pembangunan neraca pembayaran. Oleh karena itu, Indonesia kemudian mulai mengandalkan penerimaan dalam negeri untuk menghimpun dana selain bantuan luar negeri. Dengan memfokuskan pada peningkatan penerimaan dalam negeri, hasilnya secara nyata terlihat dengan meningkatnya jumlah penerimaan dalam negeri yang terdiri dari pajak, bea masuk dan cukai, penerimaan minyak serta penerimaan bukan pajak yang meningkat 57 kali dibanding Repelita I. Untuk lebih memantapkan pengawasan serta untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pemerintah dan pembangunan, maka Departemen Keuangan mengadakan perubahan organisasi dan membentuk unit-unit kerja baru sejalan dengan perluasan tugas pokok dan fungsinya. Adapun beberapa unit baru tersebut adalah : a)

61 Direktorat Jenderal Moneter, dikembangkan menjadi Direktorat Jenderal Moneter Dalam negeri dan Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri. b) BPLK, terjadi perluasan dalam struktur organisasi BPLK. Pusdiklat Kebendaharaan Umum, berganti nama menjadi Pusdiklat 152 c) d) e) Anggaran dan dibentuk Pusdiklat Keuangan Umum sebagai penyelenggara diklat bagi Setjen, Ditjen Moneter Dalam dan Luar Negeri, BUPN, BAPEPAM, BPLK, PAIK serta Perjan Pegadaian. Selain itu, Pusdiklat Akuntansi menjadi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Dan yang terakhir adalah dihapusnya Pusdiklat Pengawasan yang kemudian dibentuk Pusdiklat Pegawai. BUPN, dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.01/1982 ditetapkan pembentukan, pengaturan mengenai nama, tempat kedudukan daerah wewenang cabang BUPN dan Kanwil BUPN. Direktorat Jenderal Pajak, terjadi penyempurnaan organisasi dan Ditjen. Pajak yang meliputi peningkatan type kantor Inspeksi Ipeda dan pembentukan kantor dinas Ipeda Tk. I dan II. Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN), pada tahun 1983 dilakukan pengalihan tugas dari DJPKN Departemen Keuangan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk berdasarkan Inpres No. 14 tahun Kebijaksanaan pembangunan berlandaskan pada Trilogi Pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional yang sehat dan dinamis mulai diterapkan pada Pelita IV. Kebijaksanaan ini bertujuan meningkatkan neraca pembayaran dengan mengambil langkah-langkah efisiensi dalam penggunaan devisa untuk impor, 153 peningkatan penanaman modal luar negeri serta pemantapan nilai tukar riil rupiah terhadap valuta asing. Untuk mendukung semua ini dilakukan deregulasi dan debirokrasi. Namun dalam mewujudkan langkah-langkah efisiensi dan penggunaan devisa untuk impor terjadi masalah, yaitu jatuhnya harga minyak bumi pada tahun 1986 dari sekitar US$ 25 per barel pada awal tahun menjadi di baw ah US$ 10 per barel pada bulan Agustus. Dampak dari keadaan ini adalah pemerintah mendevaluasikan rupiah sebesar 31,0% dari Rp 1.134,- per US dolar menjadi Rp 1.644,- per US dolar. Langkah lebih lanjut deregulasi dan debirokrasi perdagangan luar negeri adalah Pemerintah mengeluarkan paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986 yang kemudian disusul dengan paket kebijaksanaan 15 Januari Hasilnya ternyata cukup menggembirakan yakni dengan naiknya penerimaan dalam negeri dengan pertumbuhan rata-rata 21,6% pada Repelita IV. Namun, upaya penyempurnaan organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan terus dilanjutkan. Adapun perubahan yang terjadi adalah : 1) Dengan Kepres Nomor 15 Tahun 1984 dibentuk Pusat Pembukuan Keuangan Negara (PPKN) yang berada di baw ah dan bertanggung jawab kepada Menteri, dan sehari-hari pembinaannya dilakukan oleh Sekretaris Jenderal; 154 2) 3) 4) 5)

62 6) 7) Dibentuk Pusat Penyusunan dan Analisa APBN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1985; Dibentuk Pusat Pengelolaan dan Pembebasan Pengembalian Bea Masuk (P4BM) berdasarkan keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1986; Dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1987 dilakukan perubahan struktur organisasi Departemen Keuangan yakni, Ditjen Moneter Luar Negeri dan Ditjen Moneter Dalam Negeri digabung kembali menjadi Ditjen Moneter dan sebagian direktorat dan tugas Ditjen Moneter Luar Negeri dilimpahkan kepada Ditjen Anggaran dan Setjen; Terjadi perubahan struktural pada tingkat eselon II dalam Ditjen Anggaran dengan masuknya Direktorat Dana Luar Negeri sebagai akibat peleburan Ditjen Moneter dan peleburan Direktorat Kas Negara dengan Direktorat Perbendaharaan Negara menjadi Direktorat Perbendaharaan dan Kas Negara; Dibentuknya Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan, dan Neraca Pembayaran pada tahun 1988, yang kemudian disebut Badan Analisa Keuangan Negara; Dibentuk Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data Keuangan (BAPELTA) yang sekarang disebut BAPEKSTA berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun Badan ini 155 merupakan gabungan antara PAIK dan P4BM. Dalam Kabinet Pembangunan V, prioritas utama ditujukan pada pembangunan prasarana, peningkatan kualitas sumber daya manusia, operasi pengendalian pengentasan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan ini, Departemen Keuangan mendapat tugas utama, yakni menggali dan mengembangkan sumber-sumber penerimaan migas maupun non migas. Hasilnya diharapkan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja. Untuk itu maka upaya peningkatan penerimaan bukan pajak makin digalakkan, baik melalui peningkatan efisiensi usaha dan penyempurnaan administrasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun melalui penertiban dan intensifikasi penerimaan rutin departemen/lembaga. Hasilnya, dalam tiga tahun pertama penerimaan PPN menunjukkan hasil yang cukup mengesankan. Hal ini dikarenakan adanya penyederhanaan yang telah dilakukan dalam system perpajakan dan perluasan dasar pengenaan pajak. Dalam bidang moneter, serangkaian kebijaksanaan penting diambil sejak awal Repelita V adalah menyempurnakan sistem perkreditan nasional. Sistem ini menggalang kredit bagi usaha kecil. Dalam paket ini fungsi perbankan dan lembaga keuangan sebagai pengelola. Langkahlangkah yang diambil berkaitan dengan paket ini antara lain: mengurangi secara bertahap peranan kredit likuiditas untuk berbagai program dan kegiatan, menyederhanakan struktur suku bunga, dan 156 menyempurnakan program perkreditan ke arah terjaminnya penyediaan dana usaha kecil dan kegiatan produktif koperasi, diikuti dengan paket kebijaksanaan 29 Januari 1990 (Pakjan) disusul oleh Paket Februari 1991 (Paktri) dan Paket Juni Kemajuan yang pesat di bidang penerimaan dalam negeri, penerimaan pembangunan, pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan, serta perkembangan moneter yang meliputi perkembangan jumlah uang beredar, penghimpunan dana, perkreditan, lembaga keuangan, dan ekspor diharapkan dapat memperkuat landasan ekonomi menyongsong Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II). Dalam menyesuaikan perkembangan kebutuhan dalam pelaksanaan pembangunan, Departemen Keuangan mengadakan penyempurnaan di bidang organisasi dan tata kerja. Tujuannya adalah agar dapat lebih berdaya guna dalam pelaksanaan organisasi tata kerja. Penyempurnaan ini berupa penggabungan Kantor Kas Negara (KKN) dengan Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) menjadi Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), pembentukan Direktorat PAK, pelimpahan sebagian tugas dan pegaw ai Ditjen Anggaran kepada PT. TASPEN, dan relokasi pegawai DJA ke Ditjen Pajak. Dalam rangka menghadapi perdagangan internasional peningkatan kesejahteraan suatu bangsa sangat penting, karena ekonomi menjadi lebih terbuka dan Free trade area semakin menjadi kebutuhan. Fakta yang menunjukkan kondisi seperti ini adalah dengan munculnya GATT, AFTA, NAFTA, maupun

63 157 WTO serta mulai dicanangkannya kesatuan mata uang Eropa. Melihat keadaan yang seperti ini, diperlukan tingkat kompetitif yang tinggi pada masing-masing negara baik itu berupa keunggulan kompetitif maupun keunggulan komperatif, jika suatu Negara ingin tetap exist dalam perdagangan internasionalnya. Adanya integrasi ekonomi regional seperti AFTA, NAFTA, APEC dan sebagainya, cenderung akan memperketat persaingan global dan memperkuat resiprositas dalam perdagangan internasional. Lebih-lebih integrasi regional yang beranggotakan negara-negara maju yang meliputi peraturan serta kebijaksanaan tarif dan non tarif serta insentif ekspor, akan semakin merugikan negaranegara yang tertinggal di bidang tekhnologi. Dalam hal ini diperlukan campur tangan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan dan mengurangi dampak perdagangan yang merugikan dengan negara-negara yang lebih maju serta mencegah adanya penetrasi yang lebih dalam perusahaan-perusahaan multinasional ke dalam sektor industri nasional. Dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, kehadiran BUMN akan sangat diperlukan sebagai balancing agents dalam menghadapi perusahaan-perusahaan multinasional swasta yang mampu menggunakan kekuatan ekonomis mereka untuk membelokkan kebijaksanaan pemerintah ke arah yang menguntungkan bagi perusahaan yang bersangkutan dan merugikan kepentingan nasional. 4. Awal Reformasi dan Runtuhnya Orde Baru 158 Puluhan tahun masa orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto berlangsung dengan prioritas Pembangunan Jangka Pendek (5 tahun) dan Pembangunan Jangka Panjang (30 tahun) yang dituangkan dalam program pembangunan tiap lima tahun (Repelita). Keberhasilan pembangunan yang dijalankan oleh orde baru lebih banyak pada pembangunan fisik, dimana bangunanbangunan pencakar langit kokoh berdiri di kotakota besar namun disisi lain pembangunan ekonomi sektor riil yang melibatkan kalangan ekonomi lemah sangatlah rapuh. Pada bidang politik dan keamanan orde baru berhasil mengkondisikan situasi sehingga kebijakankebijakan yang diambil mendapat dukungan dari parlemen yang mayoritas suara dikuasai oleh partai golkar sebagai partai penguasa orde baru. Dengan dukungan yang dimiliki dari parlemen hasil pemilu 1997, Soeharto sebagai presiden berkuasa untuk melakukan berbagai kebijakan termasuk menempatkan orang-orang kepercayaanya bahkan kroni-kroni dan keluarganya pada posisi-posisi strategis. Kebijakankebijakan yang diambil oleh penguasa orde baru lebih banyak menguntungkan elit penguasa dan keluarganya sehingga banyak menimbulkan kerugian bagi negara, korupsi menjadi hal yang susah untuk diperkarakan apalagi diberantas habis. Kekayaan berlebihan keluarga Soeharto, para kroni dan cukong jelas melukai rakyat jelata dan usahawan pribumi. Pada tahun 1997 krisis ekonomi melanda, diawali dengan turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sehingga harga-harga 159 melonjak tajam, masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan bahan pokok. Kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah mengatasi krisis ekonomi telah hilang, timbul gejolak di masyarakat termasuk di kalangan mahasiswa yang menyerukan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Demonstrasi mahasiswa muncul dimana-mana dan terus berlanjut menuntut pengadilan kasuskasus korupsi yang merugikan negara hingga pengunduran diri Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru. a. Lahirnya Reformasi. Setelah pelantikan Kabinet Pembangunan VII pada awal bulan Maret 1998 kondisi bangsa dan negara semakin tidak membaik. Perekonomian juga tidak mengalami pertumbuhan, sementara masalah sosial semakin menumpuk. Kondisi seperti itu mengundang keprihatinan rakyat. Memasuki bulan Mei, mahasiswa di berbagai daerah mulai bergerak menggelar unjuk rasa dan aksi keprihatinan yang isinya antara lain menuntut turunnya harga sembako, dihapuskannya korupsi, kolusi, dan nepoitisme (KKN) dan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Oleh karena semakin banyaknya aksi unjuk rasa dimana-mana, akhirnya membuat aparat tampak kewalahan, sehingga mereka

64 160 harus bertindak lebih keras terhadap aksi tersebut. Peringatan Jenderal Wiranto kepada mahasiswa yang berani turun ke jalan waktu itu (April 1998), bahwa ia akan memerintahkan mengganti peluru karet dengan peluru timah dalam menertibkan para demonstran. Akibatnya, bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan tak dapat dicegah. Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang mengakibatkan empat mahasiswa tewas tertembak dan puluhan mahasiswa dan warga lainnya mengalami luka-luka. Kematian keempat mahasiswa Trisakti ternyata tidak menyurutkan aksi mahasiswa di seluruh Indonesia. Bahkan, kematian rekannya itu makin mengobarkan semangat mahasiswa di seluruh Indonesia yang didukung masyarakat untuk terus menyuarakan tuntutannya supaya Presiden Soeharto mengundurkan diri. Peristiwa Trisakti, 12 Mei 1998 itu membuat masyarakat berduka dan marah. Kejadian itu memicu terjadinya kerusuhan massal pada tanggal 14 dan 15 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya. Kerusuhan itu mengakibat-kan kelumpuhan kegiatan masyarakat. Banyak pusat perbelanjaan (Mal, Plaza, Supermarket) dijarah orang-orang yang 161 tidak bertanggung jawab sehingga beratus-ratus pertokoan menjadi amukan massa dan si jago merah. Demikian pula, di Surakarta bangunan-bangunan yang diduga sebagai akibat KKN menjadi korban keganasan perusuh. Banyak bangunan menjadi rata dengan tanah. Aksi mahasiswa di Jakarta agak mereda saat terjadi kerusuhan massa. Namun, setelah itu aksi mahasiswa pro reformasi semakin besar. Mereka terus berusaha mendatangi gedung DPR/MPR untuk berdialog dengan wakil rakyat walaupun mendapat penjagaan ketat dari aparat keamanan. Pada tanggal Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya akhirnya berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Dalam suasana yang sangat panas tersebut, kaum reformis di seluruh pelosok tanah air bersemangat untuk menuntut reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hokum. Pada tanggal 20 Mei 1998 Presiden mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia, untuk diminta pertimbangannya dalam rangka membentuk Komite Reformasi, yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto. Namun tawaran pembentukan komite tersebut tidak mendapat tanggapan, sehingga Presiden Soeharto tidak mampu membentuk Komite Reformasi maupun Kabinet Reformasi. 162 Di luar gedung istana, ABRI dari segala angkatan siap siaga, sehingga suasana menjadi tegang. Semangat reformasi ternyata tidak reda, terbukti masih banyaknya mahasiswa yang bertahan di gedung DPR/MPR Senayan. Dengan adanya desakan dari mahasiswa dan masyarakat serta mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara, hari Kamis, 21 Mei 1998, pukul Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari tugas menjalankan kekuasaan Presiden RI di depan Mahkamah Agung. Pada kesempatan yang sama, berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie menjadi pengganti Presiden. Pelantikan dilakukan di depan Mahkamah Agung. b. Dasar Hukum Naiknya B.J Habibie Menjadi Presiden RI Naiknya B.J Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto sempat memunculkan polemik (kontroversi) di kalangan ahli hukum. Sebagian ahli hukum di Indonesia, ada yang menilai hal itu konstitusional (sah berdasarkan hukum dasar atau konstitusi), akan tetapi ada juga yang memberi penilaian hal itu inkonstitusional (melanggar konstitusi). Adanya beberapa pendapat tersebut disebabkan hukum yang kita miliki belum lengkap, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Bagi mereka yang menganggap bahwa B.J. 163 Habibie menjadi presiden adalah sah dan konstitusional adalah didasarkan atau disesuaikan dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum diamandemen) yang berbunyi: Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat menjalankan kewajibannya, maka ia diganti oleh wakil presiden sampai habis masa waktunya. Sedangkan bagi mereka yang menyatakan bahwa naiknya B.J Habibie menjadi Presiden adalah tidak sah atau inkonstitusional, dengan melandaskan pada ketentuan Pasal 9 UUD Pasal 9 UUD 1945 (sebelum diamandemen) menyatakan bahwa, Sebelum Presiden memangku jabatannya, maka ia (Presiden) harus mengucapkan sumpah dan janji di hadapan MPR atau DPR. Untuk kasus ini, B.J. Habibie tidak melakukan hal demikan. Ia

65 mengucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan personil MPR dan DPR yang diundang ke Istana dan bukan bersifat kelembagaan. Dalam Tap MPR Nomor VII/1973 memungkinkan sumpah itu di depan MA, akan tetapi, ia tidak melihat alasan bahwa ketika itu tidak dimungkinkan sumpah dan janji presiden dilakukan di depan MPR atau DPR, artinya bahwa, sumpah dan janji presiden bisa dilakukan di depan rapat DPR, meskipun saat itu gedung MPR/DPR RI masih diduduki mahasiswa. Bahkan, ada juga yang berpendapat bahwa mustinya Soeharto harus mengembalikan mandatnya dahulu kepada MPR yang 164 mengangkatnya, baru kemudian MPR yang kemudian menyerahkan mandat tersebut kepada wakil presiden (B.J. Habibie) atau bisa juga mandat rakyat Indonesia itu diserahkan oleh MPR kepada orang lain (yang berasal dari kelompok reformis) yang dipandang oleh MPR mampu memimpin Indonesia, karena situasi dan kondisinya yang memang sedang tidak normal (sedang dalam keadaan darurat). Secara hukum materiil (normatif yuridis) naiknya B.J. Habibie menjadi presiden sah dan konstitusional. Namun, secara hukum formal (hukum acara) hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hukum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang dari Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi yang konstitusional. Apabila perbuatan itu dihasilkan dari acara yang tidak konstitusional maka perbuatan hukum itu menjadi tidak sah. Saat itu DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, seharusnya ada alasan yang kuat dan itu harus dinyatakan sendiri oleh DPR. Berdasarkan hal tersebut, secara yuridis formal ada dualisme kepemimpinan, sebab saat itu mandat Soeharto sebagai presiden belum dicabut. Jika demikian, maka apa pun nama sidang yang dilakukan oleh MPR harus tetap bersidang untuk menerima pengunduran diri atau pernyataan berhenti dari Soeharto. Jika pengunduran diri atau pernyataan berhenti dari Soeharto diterima maka 165 MPR mencabut mandatnya, maka barulah hal yang demikian itu dinyatakan sah. Begitu juga naiknya B.J. Habibie menjadi presiden juga harus melalui Tap. MPR baru, sehingga ketetapan sebelumnya yang mengangkatnya menjadi wapres harus dicabut melalui sidang MPR. Disamping itu, Soeharto seharusnya mempertanggung-jawabkan kepemimpinannya sejak Maret 1998, baik secara kelembagaan maupun individu. Prosedur pertanggungjawaban itu harus tetap dipenuhi. Namun, fakta sejarah menunjukkan lain, yaitu penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Soeharto kepada B.J. habibie dilakukan di Istana di hadapan MA dan undangan para pejabat tinggi negara. Hal itu terjadi lebih dikarenakan faktor situasi dan kondisi yang serba tidak memungkinkan terhadap semua aturan yuridis formal itu dilaksanakan. Disamping itu, ketika negara dalam situasi dan kondisi yang tidak normal (semisal dalam keadaan darurat, revolusi maupun kudeta), maka pemerintah suatu negara, atau bisa juga terhadap pelaku kudeta tidak hanya untuk kasus pemerintah atau pelaku kudeta di Indonesia saja memungkinkan terjadinya tindakan inkonstitusional, termasuk mengeluarkan dekrit, peraturan baru, dan bahkan penggantian terhadap semua unsur pemerintahan yang ada sekalipun. 166 b. Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan Setelah B.J. Habibie dilantik dan disumpah di Istana dihadapan MA untuk menjadi presiden pada tanggal 21 Mei 1998, beliau mendapat tugas memimpin bangsa Indonesia. Dalam janji yang diucapkannya, beliau akan memperhatikan sungguhsungguh dinamika dan aspirasi yang berkembang dalam pelaksanaan reformasi secara menyeluruh. Pada tanggal 22 Mei 1998, B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 Menteri, yang meliputi perwakilan dari militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI. Pada tanggal 25 Mei 1998 diadakan pertemuan atau sidang pertama kebinet Reformasi Pembangunan. B.J. Habibie membentuk komite untuk merancang undang-undang politik yang lebih longgar, menjanjikan pemilu dalam waktu satu tahun, dan menyetujui pembatasan masa jabatan presiden paling lama (maksimal) untuk dua periode (dua kali lima tahun). Upaya tersebut mendapat sambutan positif, akan tetapi pemerintah masih dituntut untuk merealisasikan agenda reformasi tersebut. Tugas berat B.J. Habibie adalah mengatasi krisis

66 ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun Disamping itu, ia juga dituntut menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa, bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta berbagai kebijakan lain yang 167 positif untuk menjawab tantangan dan memenuhi tuntutan orde rerformasi ini. c. Perbaikan Ekonomi Di bidang ekonomi, B.J. Habibie dianggap sangat berhasil dengan gemilang, karena mampu menaikkan kurs rupiah yang sebelumnya sempat merosot dan mengembalikan kepercayaan dunia kepada Indonesia. Padahal, ketika B.J. Habibie naik menjadi presiden, negara Indonesia diwarisi krisis ekonomi yang cukup parah. Oleh karena itu, agar bangsa Indonesia dapat segera keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, maka B.J. Habibie berusaha melakukan beberapa kebijakan untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. Adapun beberapa kebijkan yang ditempuh B.J. Habibie antara lain: 1. Merekapitalisasi perbankan; 2. Merekonstruksi perekonomian nasional; 3. Melikuidasi beberapa bank bermasalah; 4. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga di bawah Rp ,- dan 5. Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan IMF. d. Reformasi di Bidang Politik. Tanggapan masyarakat terhadap kedudukan B.J. Habibie sebagai presiden RI ada yang pro (mendukung) dan ada yang kontra (menolak atau menentang). Hal tersebut di atas merupakan kewajaran dalam kehidupan politik suatu negara, 168 apalagi dalam situasi dan kondisi negara memasuki masa-masa transisi. Di era reformasi, Presiden B.J. Habibie mengupayakan suasana politik Indonesia dalam keadaan yang transparan dan merencanakan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sehingga dapat dibentuk lembaga tinggi Negara yang betul-betul refresentatif. Disamping itu, hanya dengan melaksanakan Pemilu, disamping dianggap memenuhi tuntutan sebagian besar kaum reformis, tetapi di pihak lain, memang sengaja dipersiapkan oleh B.J. Habibie untuk jalan kembalinya kekuatan Orde Baru di pemerintahan pada masa yang akan datang. Dalam pemilu yang siap diselenggarakan era pemerintahan Presiden B.J. Habibie ternyata rakyat dapat menyalurkan aspirasinya sehingga bermunculan partaipartai politik sebanyak lebih kurang 45 partai. Hal ini berbeda dengan pemilupemilu sebelumnya yang hanya terdiri dari tiga orsospol peserta pemilu (PPP, Golkar dan PDI). Disamping itu, kebijakan B.J. Habibie yang dianggap cukup bijaksana di bidang politik yaitu membebaskan beberapa narapidana politik. Sebut saja misalnya Sri Bintang Pamungkas, mantan anggota DPR yang masuk penjara karena mengkritik Presiden Soeharto, serta Muchtar Pakpahan, pemimpin buruh yang dijatuhi hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di Medan, Sumatera Utara tahun Di samping itu, Habibie juga 169 mencabut larangan berdirinya serikat buruh independen. serikate. Pemilihan Umum 1999 Salah satu kebijakan politik yang penting dalam memulihkan multikrisis di Indonesia setelah penguasa Orde Baru (Soeharto) menyatakan berhenti tanggal 21 Mei 1998 dan kemudian dilanjutkan oleh wakilnya (B.J Habibie) yang oleh sebagian besar kaum reformis dianggap penerus Orde Baru ialah dengan mempersiapkan Pemilihan Umum (Pemilu) yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilu dianggap sebagai salah satu jalan yang perlu mendapatkan perhatian untuk keluar dari multikrisis dan untuk memperoleh pemimpin yang dipercaya rakyat. Untuk melaksanakan pemilihan umum sebagaimana yang diamanatkan dalam ketetapan MPR. Presiden Habibie menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaannya. Untuk itu maka dicabutlah lima paket undang-undang tentang politik, yaitu undang-undang tentang pemilu, susunan, kedudukan, tugas, dan wewenang DPR/MPR, partai politik dan Golkar, referendum, serta organisasi massa. Sebagai gantinya, DPR berhasil menetapkan tiga undangundang politik baru. Ketiga undang-undang yang diratifikasi pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani Habibie itu adalah undang-undang partai politik, pemilihan umum, dan susunan

67 serta kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Lahirnya undang- 170 undang politik tersebut menggairahkan kehidupan politik di Indonesia. Hal itu memicu munculnya partai-partai politik yang jumlahnya cukup banyak. Tidak kurang dari 112 partai politik lahir. Dari sekian banyak itu, hanya 48 partai yang berhak mengikuti pemilihan umum. Sebagai pelaksana pemilihan umum adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan lagi LPU. Anggota KPU terdiri atas wakil dari pemerintah dan partai politik peserta Pemilu. Kampanye pemilihan umum yang diikuti oleh 48 partai digelar di seluruh wilayah Indonesia. Jadwal kampanye pemilu pun telah diatur namun bentrok antar pendukung partai tetap tidak dapat dihindarkan. Pelaksanaan pemilihan umum yang diperkirakan rusuh, ternyata tidak menjadi kenyataan. Selama pemungutan suara, yaitu pada tanggal 7 Juni 1999, kondisi Indonesia justru relatif aman. Pemungutan suara berjalan dengan lancar dan tidak ada kerusuhan. Setelah pemungutan suara berakhir, KPU kembali melakukan pengunduran jadwal penghitungan akhir. Dalam penghitungan akhir, lima partai yaitu: PDI-P, Partai Golkar, PPP, PKB, dan PAN, meraih suara cukup besar. f. Sidang Umum MPR Hasil Pemilu Setelah KPU berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR berdasarkan hasil pemilu tahun 1999, serta berhasil 171 menetapkan jumlah wakil-wakil Utusan Golongan dan Utusan Daerah maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR Tahun 1999 diselenggarakan antara tanggal 1 sampai dengan 21 Oktober Sidang Umum ini mengukuhkan Amien Rais sebagai ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai ketua DPR. Dalam Sidang Paripurna MPR XII tanggal 19 Oktober 1999, pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh anggota MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 suara menerima, 9 abstain, dan 4 suara tidak sah. Dengan penolakan pertanggungjawaban tersebut, peluang Habibie untuk mencalonkan diri kembali sebagai presiden RI menjadi sangat tipis. BAB III PENGETAHUAN PANCASILA Setelah membaca Bab ini, calon peserta Diklat diharapkan mampu memahami dan menjelaskan tentang Pengertian, Fungsi Dan Kedudukan Hukum Pancasila, Sejarah Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara, Peranan Pancasila Dalam Kehidupan Bangsa Dan Negara, Peranan Pancasila Dalam Kehidupan Bangsa Indonesia, Pengamalan Pancasila Sebagai Pandangan Hidup, Pengamalan Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Pengamanan Pancasila. 172 A. PENGERTIAN, FUNGSI DAN KEDUDUKAN HUKUM PANCASILA 1. PENGERTIAN Kata atau istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Panca berarti Lima dan Sila berarti Dasar atau Asas. Jadi istilah Pancasila yang berasal dari bahasa Sansekerta berarti lima dasar atau lima sila adalah nama Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disahkan oleh Panitia Persiapan

68 Kemerdekaan Indonesia (PPKI), pada tanggal 18 Agustus 1945, bersamaan pada saat disahkan UUD 1945 oleh PPKI karena Pancasila sebagai Dasar Negara merupakan bagian dari UUD 1945 yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD Berdasarkan catatan peninggalan sejarah Pancasila telah dikenal sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit. Pada zaman Majapahit (abad XIV), istilah Pancasila terdapat dalam buku Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca dan buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular istilah Pancasila berarti : 1. Berbatu sendi yang lima 2. Pelaksanaan kesusilaan yang lima Istilah Pancasila sebagai Dasar Negara yang terdiri dari lima asas atau lima dasar tersebut diusulkan oleh Ir. Soekarno sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei s.d 1 Juni , yang mana usulan Ir. Soekarno tersebut diterima dalam sidang. Karena usulan Ir. Soekarno disetujui dalam sidang maka pada tanggal 1 Juni 1945 dianggap sebagai lahirnya nama Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia Merdeka. Sebagai dasar Negara Pancasila berarti lima dasar atau lima asas yang menjadi dasar dari suatu bangunan Negara R.I. yang diproklamirkan pada tanggl 17 Agustus Ibarat suatu bangunan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) didirikan diatas suatu pondasi atau dasar yang terdiri dari lima asas yang dinamakan Pancasila. Adapun dasar Negara Pancasila dirumuskan BPUPKI yang diketuai Dr. Rajiman Wedyadiningrat dan Ketua muda R.P. Soeroso. Selanjutnya Pancasila sebagai Dasar Negara, disahkan oleh PPKI, yang merupakan penjelmaan atau mewakili seluruh rakyat Indonesia dalam sidang PPKI yang diketuai Ir. Soekarno dan wakil ketua Drs. Moehammad Hatta pada tanggal 18 Agustus 1945 yaitu sehari setelah Indonesia memproklamirkan hari kemerdekaannya. Dasar Negara Pancasila di sahkan oleh PPKI bersamaan saatnya dengan pengesahan UUD Istilah Pancasila itu sendiri tidak terdapat dalam Pembukaan maupun dalam pasal-pasal UUD 1945, namun telah cukup jelas bahwa Pancasila yang kita maksud sebagai Dasar Negara adalah rumusan sila-sila Pancasila yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi sbb : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Jadi rumusan sila-sila Pancasila yang kita amalkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah rumusan silasila Pancasila yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 Sebagai suatu paham filosofis, pemahaman terhadap Pancasila pada hakikatnya dapat dikembalikan kepada dua pengertian pokok, yaitu pengertian Pancasila sebagai pandangan hidup dan sebagai Dasar Negara. Adapun pengertian Pancasila sebagai Pandangan Hidup dan sebagai Dasar Negara adalah sbb : 1. Pancasila sebagai pandangan hidup. Pancasila adalah suatu paham filsafat (philosophical way of thinking) oleh karena itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan dapat diterima oleh akal sehat. Dalam pengertian tersebut, Pancasila disebut juga sebagai way of life, weltanschaung, pegangan hidup, petunjuk hidup, dan sebagainya. Dalam hal ini Pancasila adalah sebagai petunjuk arah kegiatan di segala bidang kehidupan, sehingga seluruh tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pancaran dari silasila Pancasila yang merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. 175 Sebagai pandangan hidup yang merupakan penjelmaan falsafah hidup bangsa, Pancasila dalam pelaksanaannya seharihari tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama, norma-norma kesusilaan, norma-norma sopan santun, serta norma-norma hukum yang berlaku. 2. Pancasila sebagai Dasar Negara Sebagai dasar negara, Pancasila harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis konstitusional (menurut hukum ketatanegaraan), oleh karena itu setiap orang tidak boleh atau tidak bebas memberikan pengertian/penafsiran manurut pendapatnya sendiri. Pancasila dalam pengertian ini sering disebut pula sebagai dasar falsafah Negara (philosofische grondslag) atau ideologi negara (staatsidee). Dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur

69 penyelenggaraan negara atau mengatur pemerintahan negara. Hal tersebut nampak dari amanat alinea keempat pembukaan UUD 1945, yang berbunyi antara lain:.., maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan 176 mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya menurut Prof. Drs. Notonegoro, SH, sebagai unsur pokok kaidah negara yang fundamental, asas kerohanian Pancasila mempunyai kedudukan istimewa dalam kehidupan ketatanegaraan bangsa Indonesia. Ditegaskan pula bahw a Pancasila sebagai pokok kaidah fundamental dari suatu negara itu dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat dan tak berubah bagi negara yang dibentuk. Dari penegasan tersebut dapat disimpulkan bahw a kedudukan Pancasila sebagai pokok kaidah negara (dasar negara) adalah sangat fundamental. 2. FUNGSI PANCASILA Berdasarkan pengertian pokok Pancasila, maupun berdasarkan peranannya dalam tata kehidupan bangsa Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, maka Pancasila dalam bentuknya yang sekarang ini berfungsi sebagai: 1. Dasar yang statis/fundamental, di mana di atasnya didirikan bangunan negara Indonesia yang kekal. Inilah fungsi pokok Pancasila, yang tercantum dalam Pembukaan UUD Tuntunan yang dinamis, yaitu ke arah mana/ negara Indonesia akan digerakkan, atau dengan perkataan lain sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. 3. Ikatan yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia, di mana Pancasila menjamin hak hidup secara layak bagi semua w arga negara dan semua golongan tanpa ada perbedaan. 177 Di samping itu, apabila dilihat lingkup jangkauan sasarannya, fungsi-fungsi Pancasila dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Fungsi yuridis ketatanegaraan yang merupakan fungsi pokok atau fungsi utama dari Pancasila sebagai Dasar Negara. 2. Fungsi sosiologis, yaitu apabila dilihat sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya. 3. Fungsi etis dan filosofis, yaitu apabila fungsinya sebagai pengatur tingkah laku pribadi, dalam hal ini Pancasila berfungsi sebagai philosophical way of thinking atau philosophical system. 3. KEDUDUKAN HUKUM PANCASILA Dalam kaitan dengan fungsi pokoknya sebagai dasar Negara, Pancasila sebagai bagian dari Pembukaan UUD 1945 mempunyai kedudukan hukum yang kuat. Dalam hubungannya dengan UUD 1945, Pancasila menjiwai pembukaan dan pasal-pasal UUD Pembukaan UUD 1945 mengandung pokokpokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila yang merupakan cita-cita hukum (rechtsidee) yang menguasai hukum dasar, baik hukum dasar tertulis maupun hukum dasar tidak tertulis (konvensi). Pembukaan UUD 1945 terdiri dan 4 alinea, yang memuat hal-hal sebagai berikut : 1. Pernyataan hak kemerdekaan bagi setiap bangsa 2. Pernyataan tentang hasil perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia 3. Pernyataan merdeka Tentang dasar kerohanian Pancasila sebagai dasar negara. (falsafah) Tiga pernyataan pertama adalah mengenai keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa yang mendahului terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga pernyataan itu tidak mempunyai hubungan organis dengan pasalpasal UUD 1945, namun pernyataan ke empat yaitu tentang dasar kerohanian (falsafah) Pancasila sebagai dasar negara mengandung pokok pikiran yang di dalamnya tersimpul ajaran Pancasila, sehingga dengan demikian mempunyai hubungan kausal dan organis dengan Pasal-pasal UUD Butir keempat tersebut sangat penting karena

70 merupakan semangat kejiwaan dari UUD 1945, sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Soepomo SH, bahwa untuk memahami hukum dasar suatu negara tidak cukup hanya memahami pasalpasalnya saja, melainkan harus dipahami pula suasana kebatinan (semangat kejiwaan) dari hukum dasar itu. Pokok-pokok pikiran yang merupakan suasana kebatinan dari UUD 1945 tersebut terdiri dari: 1. Pertama, negara melindungi segenap bangsa Indonesia dengan berdasarkan persatuan (sila ketiga). 2. Kedua, negara Indonesia mew ujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila kelima). 3. Ketiga, negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan (sila keempat). 4. Keempat, negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan 179 yang adil dan beradab (sila kesatu dan kedua). Pokok-pokok pikiran itu yaitu Pancasila merupakan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar baik hukum dasar yang tertulis maupun hukum dasar yang tidak tertulis. Pokokpokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 dijelmakan dalam pasal-pasal UUD Jadi pasal-pasal dalam UUD 1945 dijiwai oleh pokokpokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Pancasila. Menurut Prof. DR. Dardji Darmodihardjo SH dalam kaitannya dengan fungsi pokok atau fungsi utama Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, Pancasila mempunyai kedudukan yang tinggi sebagai cita-cita dan pandangan hidup bangsa. Selanjutnya kedudukan hukum Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang disahkan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dipertegas kembali dengan Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/ Adapun materi yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 adalah sebagai berikut: 1. Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang tercantum dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 yang ditetapkan dalam masa Orde Baru. 2. Menegaskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Alinea keempat UUD 1945 yang disahkan PPKI pada tanggal 18 Agustus Selanjutnya kedudukan hukum Pancasila selain sebagai Dasar Negara juga sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, 180 sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 10 Tahun Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum Pancasila adalah sebagai berikut: 1. Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dipertegas kembali dengan ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/ Pancasila menjiwai Pembukaan dan pasalpasal UUD Menurut Prof. R. Soepomo pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu sila-sila Pancasila merupakan suasana kebatinan atau semangat kejiwaan dari pasal-pasal UUD Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 10 Tahun Hal ini berarti bahwa semua peraturan perundangundangan di Indonesia harus dijiwai Pancasila atau harus mengacu pada Pancasila atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Berdasarkan halhal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kedudukan hokum Pancasila selain sebagai Dasar Negara, juga menjiwai Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, dan sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. B. SEJARAH PERUMUSAN DASAR NEGARA PANCASILA SEBAGAI ZAMAN SRIWIJAYA DAN MAJAPAHIT (abad VII-XVI) Sejak berabad-abad lampau, bangsa Indonesia

71 berjuang dan berupaya dengan berbagai cara untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka, yaitu untuk membentuk pemerintahan yang berdaulat yang meliputi seluruh wilayah Nusantara. Pada zamannya, kedua kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tersebut telah merupakan negara yang berdaulat, bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh nusantara. Pada zaman itu, unsur-unsur atau sila-sila dari Pancasila yaitu Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan sosial telah dihayati dan dijadikan asas dalam tata kehidupan pemerintahan dan kemasyarakatan, walaupun sila-silanya belum dirumuskan secara konkrit. Kenyataan itu dapat dibuktikan berdasarkan dokumen-dokumen tertulis yang ada seperti Telaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tua dan Kota Kapur. Dalam buku Nagara kertagama karangan Mpu Prapanca juga diuraikan susunan pemerintahan Majapahit yang menunjukkan adanya unsur musyawarah, hubungan antar negara tetangga dan sebagainya. Di samping itu, dalam buku Sutasoma karangan Mpu Tantular dilukiskan pula adanya toleransi kehidupan beragama, khususnya antara agama Budha dan Hindu. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa bangsa Indonesia telah mengalami kejayaan pada zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit dimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah diterapkan dalam tata kehidupan bernegara dan bermasyarakat, namun dengan 182 datangnya penjajahan Barat maka kehidupan bangsa Indonesia berubah menjadi penderitaan, karena penjajah bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 2. ZAMAN PENJAJAHAN BARAT Dalam perkembangan selanjutnya yaitu antara abad XVII-XX, Indonesia mengalami masa penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat dan Jepang. Dalam periode penjajahan Barat, bangsa Indonesia terlibat dalam perjuangan fisik untuk mengusir penjajah, sehingga melahirkan pahlawan-pahlawan dan pejuang-pejuang bangsa yang tak terbilang jumlahnya, seperti Sultan Agung, Sultan Hasanudin, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Sisingamangaraja XII dan sebagainya. Perlawanan terhadap penjajahan Barat tersebut terjadi hampir diseluruh wilayah Indonesia, namun belum terkoordinasikan dengan baik dimana perjuangan masih bersifat kedaerahan, sehingga belum berhasil mengusir penjajah. Sementara itu bangsa Indonesia mulai menyadari bahwa disamping perjuangan fisik, harus dipikirkan pula mengenai perlawanan dalam bentuk lain, yaitu perjuangan non pisik untuk menyadarkan bangsa Indonesia mengenai pentingnya hidup bernegara dan berbangsa. Maka muncullah berbagai bentuk organisasi yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial yang dipelopori oleh berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei Karena Budi Utomo merupakan pelopor gerakan Nasional, maka pada tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Selanjutnya lahirlah perintis-perintis pergerakan nasional, seperti HOS 183 Tjokroaminoto, Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantoro, Dr. Tjipto Mangunkusumo dan lainlainnya. Para perintis kemerdekaan mulai merintis jalan untuk menuju cita-cita perjuangan yaitu Indonesia merdeka, melalui organisasi-organisasi yang didirikannya. Perjuangan pergerakan mereka mulai menampakkan hasilnya dengan diselenggarakan-nya kongres pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober Pada waktu itu pemuda-pemuda Indonesia yang dipelopori antara lain oleh Mr. Muh. Yamin, Kuntjoro Purbopranoto, Wongsonagoro dan lain-lain; mengumandangkan Sumpah Pemuda yang berisi ikrar dan pengakuan adanya satu bangsa, satu tanah air dan bahasa yang satu, Indonesia. Dengan sumpah pemuda itu tegaslah apa yang diinginkan oleh bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan tanah air dan bangsa. Adapun perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah Barat merupakan implementasi nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 3. ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG Sampai dengan periode tersebut di atas ternyata perjuangan bangsa Indonesia belum berhasil mengusir penjajah Barat dari bumi Indonesia, sampai akhirnya meletus Perang Pasifik pada tanggal 7 Desember 1941, yaitu perang antara Jepang di satu pihak, melawan sekutu (Inggris, Amerika Serikat, Belanda) dilain pihak. Dalam Perang Pasifik Jepang melakukan

72 pemboman terhadap kekuatan armada Amerika Serikat di Pearl Harbour. 184 Pada tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang dan mulai saat itu mulailah penjajahan Jepang di Indonesia. Tidak berbeda dengan penjajahpenjajah lain, Jepang pun melakukan penindasan dan kekejaman yang mengakibatkan penderitaan rakyat. Maka mulailah timbul perlawananperlawanan terhadap Jepang baik secara legal maupun ilegal, misalnya pemberontakan PETA di Blitar. Mulai tahun Jepang mengalami kekalahan disemua medan pertempuran, dan dalam perkembangan selanjutnya, menunjukkan adanya tandatanda akan segera berakhir perang Pasifik dengan kekalahan Jepang di mana-mana. Dalam kondisi seperti itu, untuk dapat mempertahankan dirinya, Jepang berusaha untuk menarik simpati bangsa Indonesia, yaitu pada tanggal 7 September 1944 Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dikemudian hari, apabila Indonesia membantu Jepang memenangkan perang. Sebagai tindak lanjut dari janji tersebut, pada tanggal 1 Maret 1945 Jepang mengulangi janji kemerdekaan Indonesia namun tanpa syarat, dan Jepang mengumumkan akan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Choosakai) yang dikenal sebagai BPUPKI. Pada tanggal 29 April 1945, Jepang membentuk BPUPKI yang diketuai Dr.K.R.T. Radjiman Wediodiningrat, dengan dua orang Ketua Muda (Fuku Kaityo). Ketua Muda I Itibangase dan Ketua Muda II, Raden Pandji Soeroso yang beranggotakan 60 orang anggota biasa, dan 7 (tujuh) orang anggota Istimew a (Toku Betsu) berkebangsaan Jepang yang tidak mempunyai hak suara. Keberadaan mereka di dalam BPUPKI, karena pada tanggal tersebut adalah 185 HUT Tenno Heika (Kaisar), atau Tenco-Setsu (Hari Mulia). Adapun ke tujuh orang anggota istimewa tersebut adalah: Tokonomi Tokuzi, Miyano Syoozo, Itagaki Masamitu, Matuura Mitokiyo, Tanaka Minoru, Masuda Toyohiko, dan Idee Toitiroe. Kemudian jumlah anggota BPUPKI ditambah 6 ( enam) orang anggota yang berasal dari Indonesia. Dengan demikian jumlah keseluruhan anggota BPUPKI adalah 76 orang (termasuk Ketua dan Ketua Muda). Pada tanggal 28 Mei 1945 Jepang melantik BPUPKI dan keesokan harinya BPUPKI melakukan persidangan yaitu sidang pertama dari tanggal 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945 dan sidang kedua dari tanggal 10 Juli 1945 hingga tanggal 16 Juli Dengan terbentuknya badan tersebut bangsa Indonesia dapat secara sah mempersiapkan kemerdekaannya, antara lain merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai negara yang merdeka, di samping itu juga dasar-dasar atau asas-asas, di atas mana akan didirikan negara Republik Indonesia. Periode inilah yang diwarnai dengan kegiatan perumusan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu dengan diskusi dan perdebatan-perdebatan dalam siding Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada hari pertama sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945 ketua BPUPKI meminta para anggota BPUPKI untuk mengemukakan dasar Indonesia merdeka. Pada tanggal 29 Mei, 31 Mei 186 dan 1 Juni 1945 para anggota BPUPKI yaitu Mr. Moh. Yamin, Prof, R, Soepomo dan Ir. Soekarno masing-masing mengemukakan pendapatnya tentang lima asas atau lima dasar Negara Indonesia merdeka. Adapun rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara yang dikemukakan para anggota BPUPKI tersebut adalah sebagai berikut: Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Moh. Yamin menyampaikan dalam pidatonya lima asas atau dasar Negara Indonesia merdeka, yaitu: 1. Peri Kebangsaan 2. Peri Kemanusiaan 3. Peri Ketuhanan 4. Peri kerakyatan 5. Kesejahteraan Rakyat. Di samping pidato tersebut Mr. Muh. Yamin menyampaikan pula secara tertulis rancangan UUD Republik Indonesia yang di dalam pembukaannya tercantum lima asas dasar negara. Lima asas tersebut rumusannya berbeda dengan yang diucapkannya dalam pidatonya, yaitu sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa Kebangsaan Persatuan Indonesia Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada tanggal 31 Mei 1945, dalam pidatonya Prof. R. Soepomo mengemukakan pendapatnya tentang lima

73 187 asas atau lima dasar Negara Indonesia merdeka dengan rumusan sebagai berikut : 1. Persatuan 2. Kekeluargaan 3. Keseimbangan lahir dan batin 4. Musyaw arah 5. Keadilan Rakyat Pada tanggal 1 Juni 1945 tibalah giliran Ir. Soekarno untuk menyampaikan pidatonya pada sidang BPUPKI. Dalam pidato itu Ir. Soekarno mengusulkan pula lima asas untuk menjadi dasar Negara Indonesia Merdeka yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan 3. Mufakat atau Demokrasi 4. Kesejahteraan Sosial 5. Ketuhanan yang berkebudayaan. Pada tanggal 1 Juni 1945 untuk lima asas atau lima dasar sebagai dasar Negara Indonesia merdeka oleh Ir. Soekarno diusulkan untuk diberi nama Pancasila yang mana istilah itu diperolehnya dari seorang temannya yang ahli bahasa. Adapun usul Ir. Soekarno agar Dasar Negara Indonesia yang terdiri dari lima asas atau lima dasar dinamakan Pancasila, disetujui peserta sidang BPUPKI. Dalam perkembangannya kemudian yaitu tahun 1947 pidato Ir. Soekarno tersebut dipublikasikan dalam bentuk sebuah buku yang berjudul lahirnya Pancasila dan oleh karena itulah muncul anggapan umum bahwa lahirnya Pancasila adalah tanggal 1 Juni 1945 pada saat peserta sidang pertama BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 menyetujui usulan Ir. Soekarno agar nama Dasar Negara yang terdiri dari lima sila dinamakan Pancasila. 188 Menurut Prof. Dardji Darmodihardjo, SH dinyatakan bahwa pada tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir istilah Pancasila sebagai nama Dasar Negara Indonesia. Jadi Dasar Negara kita Pancasila bukan lahir pada tanggal 1 Juni 1945, karena pada tanggal 1 Juni 1945 yang lahir adalah nama Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia yang diusulkan Ir. Soekarno yang mana usulan tersebut diterima dalam sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Perumusan dasar negara Pancasila oleh Ir. Soekarno tersebut tidak didasarkan kepada pola berfikir filosofis/religius, melainkan kepada pola berfikir dialektis atau historis materialisme. Atas dasar hal tersebut maka sila kebangsaan dihadapkan dengan Internasionalisme/Perikemanusiaan menjadi Sosio Nasionalisme. Disamping itu sila Mufakat/Demokrasi dihadapkan dengan sila kesejahteraan Sosial, menjadi Sosio Demokrasi. Jadi lima dasar tadi menjadi tiga, yang disebut Trisila yaitu: 1. Sosio Nasionalisme 2. Sosio Demokrasi 3. Ketuhanan. Selanjutnya Trisila itu diperas menjadi Ekasila, yaitu Gotong-Royong. Pada akhir sidang pertama, ketua sidang membentuk suatu panitia, yang dikenal sebagai panitia delapan yang diketuai Ir. Soekarno yang ditugasi antara lain mengumpulkan dan menggolong-golongkan usul-usul yang diajukan peserta sidang. Sidang pertama BPUPKI berakhir pada tanggal 1 Juni Pada tanggal 22 Juni 1945, ketua panitia delapan telah mengadakan pertemuan dengan anggota BPUPKI yang ada di Jakarta dan anggota BPUPKI yang kebetulan berada di Jakarta. 189 Pertemuan tersebut merupakan pertemuan antara golongan/paham kebangsaan dan golongan/paham agama. Dalam rapat tersebut dibentuk panitia sembilan yang anggotanya terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Panitia sembilan telah mencapai hasil baik yang menghasilkan persetujuan dari golongan /paham agama (Islam) dan golongan/paham kebangsaan. Persetujuan tersebut termaktub dalam satu naskah yang oleh panitia delapan ditetapkan sebagai Rancangan Preambule Hukum Dasar. Adapun hasil panitia sembilan tersebut sebagai hasil persetujuan golongan agama dan kebangsaan oleh Mr. Moh. Yamin disebut sebagai Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Didalam Rancangan Preambule Hukum Dasar yang disusun oleh Panitia Sembilan yang kemudian menjadi rancangan Pembukaan UUD 1945 terdapat rancangan dasar Negara Pancasila. Adapun rancangan dasar Negara Pancasila yang terdapat dalam Piagam Jakarta adalah sebagai berikut : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

74 dalam permusyawaratan/ perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rancangan Dasar Negara Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta tersebut yang tertuang dalam 190 Rancangan Preambule Hukum Dasar dilaporkan dalam sidang kedua BPUPKI. Rancangan Preambule Hukum Dasar dan hal-hal lainnya oleh panitia delapan dilaporkan dalam sidang kedua BPUPKI, dan dalam sidang kedua keanggotaan BPUPKI. Selanjutnya pada tanggal 11 Juli 1945 ketua BPUPKI membentuk tiga panitia yaitu : 1. Panitia Perancang UUD diketuai Ir. Soekarno 2. Panitia Pembelaan Tanah Air diketuai Abikoesno Tjokrosoejoso 3. Panitia soal keuangan dan perekonomian diketuai Dr. Moh. Hatta Panitia Perancang UUD bekerja selama 3 hari membentuk panitia kecil yang diketuai Prof. R. Soepomo. Pada tanggal 14 Juli 1945 Ketua Perancang UUD Ir. Soekarno melaporkan hasil tugasnya kepada sidang kedua BPUPKI. Adapun hasil panitia perancang UUD yang disampaikan sidang kedua BPUPKI terdiri dari naskah: 1. Rancangan teks proklamasi yang diambil dari alinea 1, 2 dan 3 rancangan Preambule hukum dasar (Piagam Jakarta) ditambah dengan yang lain sehingga merupakan teks proklamasi yang panjang. 2. Rancangan Pembukaan UUD 1945 diambil dari alinea 4 Rancangan Preambule Hukum dasar (Piagam Jakarta). 3. Rancangan Batang Tubuh UUD. Pada tanggal 14 Juli 1945 setelah melalui perdebatan dan perubahan maka teks Indonesia Merdeka dan teks Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat rancangan dasar Negara Pancasila diterima sidang. 191 Pada tanggal 16 Juli 1945 rancangan Preambule hukum dasar yang selanjutnya dikenal sebagai rancangan Pembukaan, UUD dan rancangan Batang Tubuh UUD diterima dalam sidang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dirumuskan dalam sidangsidang BPUPKI. Setelah menyelesaikan tugasnya BPUPKI dibubarkan, dan pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) oleh Jepang yang bertugas menyelenggarakan Kemerdekaan Indonesia. PPKI yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan wakil ketua Drs. Moh. Hatta yang beranggotakan 21 orang. Pada tanggal 9 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai Ketua dan wakil ketua PPKI dan mantan ketua BPUPKI Drs. Rajiman Wedyadiningrat dipanggil oleh Jenderal Besar Terauchi di Dalat, yang menyatakan bahwa Jepang telah menyetujui kemerdekaan Indonesia, dan kapan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, diserahkan sepenuhnya kepada PPKI. Namun pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang meminta damai pada sekutu dan pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pada tanggal 16 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai ketua dan wakil ketua PPKI dipanggil Jepang dan ditegaskan bahw a PPKI dilarang untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Jepang telah mencabut semua janjinya akan memberikan kemerdekaan kepada Bangsa Indonesia, sehingga 192 berkat semangat para pendiri Negara dan seluruh rakyat Indonesia maka pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamirkan kemerdekaan Indonesia. 4. ZAMAN KEMERDEKAAN Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indoensia. Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, datanglah utusan yang mewakili rakyat Indonesia Bagian Timur menghadap Drs. Moh. Hatta yang merasa keberatan terhadap bagian kalimat yang terdapat dalam sila pertama Pancasila yang terdiri dari tujuh kata yaitu kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya. Karena pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut, UUD yang didalamnya terdapat rancangan dasar Negara Pancasila belum disahkan, disamping itu juga belum terpilih Presiden dan Wakil Presiden, maka keesokan harinya dengan semangat persatuan dan kesatuan diadakan sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.

75 Sebelum sidang PPKI dimulai, Drs. Moh. Hatta membicarakan usul penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila yang berasal dari Piagam Jakarta kepada K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singadimedjo dan Mr. Teuku M. Hasan. Dengan mengkedepankan persatuan dan kesatuan, mereka setuju dan mufakat untuk menghapus tujuh kata tersebut dalam Sila Pertama Pancasila, yaitu Sila Ketuhanan yang semula tertulis Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi pemeluk-pemeluknya, setelah dihapus tujuh kata 193 tersebut, Sila Pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perlu dipahami pada saat PPKI dilantik Jepang beranggotakan 21 orang, dan pada saat PPKI melaksanakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 keanggotaannya ditambah 6 orang sehingga seluruh anggota PPKI berjumlah 27 orang. Adapun PPKI yang bersidang pada tanggal 18 Agustus yang beranggotakan 27 orang tersebut merupakan Badan nasional yang mew akili seluruh rakyat Indonesia. Dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan: 1. Mengesahkan UUD 1945 yang didalamnya terdapat dasar Negara Pancasila yang dalam sila pertama Pancasila telah dihapuskan tujuh kata tersebut 2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden pertama NKRI yaitu Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Untuk lebih kemahami perbedaan rumusan Pancasila yang terdapat dalam Piagam Jakarta dan alinea Pembukaan UUD 1945, maka dibaw ah ini tertulis Rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara yang tercantum dalam Piagam Jakarta dan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu sebagai berikut: a. Rumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara Yang Tercantum Dalam Piagam Jakarta 1. Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/ perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 194 b. Rumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara Yang Tercantum Dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD Ketuhanan yang Maha Esa Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indoensia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah berasal dari Piagam Jakarta setelah dihapuskan tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Adapun rumusan sah dari Pancasila yang wajib kita laksanakan dan diamalkan dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah rumusan silasila yang terdapat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 karena: Mempunyai kedudukan yuridis konstitusional yaitu tercantum atau merupakan bagian dari konstitusi (UUD). Disahkan oleh lembaga atau badan yang mewakili seluruh bangsa Indonesia (PPKI) yang berarti disepakati oleh seluruh bangsa Indonesia. Demikianlah, Pancasila yang dari awalnya sudah merupakan kepribadian, pandangan hidup, maupun jiwa bangsa, setelah melalui jalan yang panjang akhirnya ditetapkan sebagai dasar 195 negara atau dasar falsafah negara sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD Adalah menjadi tugas dan kewajiban setiap warga negara untuk menghayati dan menghayati secara utuh nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila agar dapat mengamalkan secara konsisten dan bertanggung jawab dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. C. PERANAN PANCASILA BANGSA DAN NEGARA

76 DALAM KEHIDUPAN 1. HAKIKAT PENGERTIAN SILA-SILA PANCASILA Pancasila terdiri dari lima sila, masing-masing silanya merupakan rangkaian kesatuan yang utuh dan bulat yang tidak dapat dipisahkan satu sila dengan yang lainnya. Pancasila merupakan satu kesatuan, satu rangkaian yang utuh dan bulat, dimana sila yang satu tidak dapat dipisahkan dari sila yang lain. Adapun susunan sila-sila Pancasila adalah sistimatis hierarkhis artinya kelima Pancasila menunjukkan suatu rangkaian urutan-urutan yang bertingkat (hirarkhis). Tiap-tiap sila Pancasila mempunyai tempat sendiri tidak dapat dipindahkan tata urutannya, tidak dapat digeser-geser atau dibolak-balik. Adapun urutan sila-sila Pancasila yang sah dan benar adalah urutan sila-sila Pancasila yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD Adanya urutan sila-sila Pancasila tersebut tidak menunjukkan bahwa sila pertama 196 lebih tinggi kedudukannya atau lebih penting dari sila kedua, demikian pula sila kedua tidak lebih tinggi atau lebih penting dari sila ketiga dan seterusnya karena pengamalan Pancasila harus secara utuh dan bulat. Masing-masing sila Pancasila menjiwai sila lainnya, karena keseluruhan sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang organis, utuh dan bulat dan hal ini dapat diijelaskan sebagai berikut : 1. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa meliputi dan menjiwai sila kedua, ketiga, keempat dan kelima. 2. Sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab meliputi dan menjiwai sila kesatu, ketiga, keempat, kelima. 3. Sila ketiga Persatuan Indonesia meliputi dan menjiwai sila pertama, kedua, sila keempat, dan sila kelima 4. Sila keempat Kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan meliputi dan menjiwai sila kesatu, kedua, ketiga dan kelima 5. Sila kelima Keadilan sosial meliputi dan menjiwai sila pertama, kedua, ketiga dan sila keempat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa masing-masing sila meliputi dan menjiwai sila lainnya. Meskipun sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisahkan satu dan yang lainnya, namun dalam memahami hakikat pengertian Pancasila diperlukan uraian sila demi sila dan uraian tersebut harus berdasarkan Pembukaan dan pasal-pasal UUD Selanjutnya uraian sila demi sila dari hakikat pengertian Pancasila yang berdasarkan pada Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 adalah sebagai berikut : Ketuhanan Yang Maha Esa Kemanusiaan yang adil dan beradab Persatuan Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/ perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Adapun hakikat pengertian Pancasila yang terdiri dari 5 (lima) sila adalah sebagai berikut: 1. Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa Sebagai sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi sumber pokok nilainilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan Persatuan Indonesia yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang berdaulat, yang bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hakikat pengertian sila pertama Pancasila menjiwai : a. Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi antara lain: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa b. Pasal 29 UUD 1945: 198 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa 2) Negara menjamin kemerdekaan

77 tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. 2. Sila Kedua: Kemanusiaan dan beradab yang adil Di dalam sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab telah tersimpul cita-cita kemanusiaan yang lengkap, yang adil dan beradab memenuhi seluruh hahekat manusia. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu rumusan sifat keluhuran budi manusia (Indonesia). Dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, maka setiap warga Negara mempunyai kewajiban dan hak-hak yang sama; setiap warga Negara dijamin haknya serta kebebasannya yang menyangkut hubungan dengan Tuhan, dengan orang seorang, dengan negara, dengan masyarakat, dan menyangkut pula kemerdekaan menyatakan pendapat dan berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sebagaimana dijelaskan terdahulu maka sila kedua ini diliputi dan dijiwai pula oleh sila pertama. Hal ini berarti bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia bersumber dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa, yaitu manusia sebagai makhluk pribadi, sebagai anggota masyarakat dan sekaligus hamba Tuhan. 199 Hakikat pengertian sila kedua Pancasila menjiwai : a. Alinea pertama Pembukaan UUD 1945 Bahwa Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. b. Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 UUD 1945 Mengenai kemanusiaan ini lebih lanjut dijabarkan dalam Bab X A UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J). 3. Sila Ketiga: Persatuan Indonesia Persatuan Indonesia berasal dari kata satu, yang berarti utuh tidak terpecah-pecah, Persatuan mengandung pengertian bersatunya bermacam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologis, politik, ekonomi sosial budaya dan keamanan (Ipoleksosbud dan Hankamnas). Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia, yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan kebangsaaan yang bebas dalam wadah negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat. Oleh karena itu perbedaan merupakan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang membentuk Negara. Perbedaan bukan untuk menimbulkan konflik atau permusuhan, tapi diarahkan pada pengertian yang saling memberikan manfaat yaitu persatuan dalam 200 kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama sebagai bangsa. Persatuan Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia, karena bertujuan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Perwujudan sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia adalah perwuju dan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena itu paham kebangsaan Indonesia tidaklah sempit (chauvinistis), tetapi dalam arti menghargai bangsa lain sesuai dengan sifat kehidupan bangsa itu sendiri. Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa dalam upaya membina tumbuhnya persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa yang bersatu padu, tidak terpecahpecah. Hakikat pengertian sila ketiga Pancasila menjiwai: a. Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

78 dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan 201 Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.. b. Pasal 32, 35 dan 36, 36 A, 36 B dan 36 C. UUD Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan Sila keempat berbunyi: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaw aratan/perwakilan. Ini berarti bahwa Indonesia menganut kedua macam demokrasi tersebut, yaitu demokrasi langsung dan tidak langsung (demokrasi perwakilan). Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan (melalui atau perantaraan wakilwakil) sangat penting dalam suatu negara yang mempunyai daerah luas dan warga negara yang banyak, seperti negara-negara di zaman modern dewasa ini. Pelaksanaan demokrasi langsung dalam tingkat negara secara rutin hampir tidak dapat dilakukan lagi sekarang ini, karena jumlah warga negara dan luas negara umumnya adalah besar. Sesuai dengan perkembangan dinamika rakyat Indonesia saat ini yang didukung oleh kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dalam menentukan siapa pemimpinnya telah disepakati, misalnya bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan melalui pemilihan umum oleh rakyat secara langsung, tidak lagi oleh majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini di atur dalam Pasal 6 A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi Presiden dan Wakil Presiden dipilih 202 dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran atau rasio yang sehat dengan selalu mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan dengan sabar, jujur dan bertanggungjawab serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan dan atau memutuskan suatu hal berdasarkan kehendak rakyat hingga tercapai keputusan yang berdasarkan kebulatan pendapat atau mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem dalam arti tata cara (prosedur) mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan dengan melalui badanbadan perwakilan. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan berarti, rakyat dalam melaksanakan tugas kekuasaannya baik secara langsung maupun melalui perwakilan ikut dalam pengambilan keputusankeputusan dalam musyawarah yang dipimpin oleh pikiran yang sehat secara penuh tanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada rakyat yang diw akilinya. Sila keempat ini merupakan sendi yang penting dari asas kekeluargaan masyarakat kita. Sila keempat ini juga merupakan suatu 203 asas, bahwa tata Pemerintahan Republik Indonesia didasarkan atas kedaulatan rakyat. Hakikat pengertian sila keempat Pancasila menjiwai : a. Alinea keempat Pembukaan UUD yang antara lain berbunyi: maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat..dan seterusnya. b. Pasal 2 ayat (3), Pasal 7 B ayat (7), Pasal 28, 28 A s.d. Pasal 28 J, dan Pasal Sila Kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berarti, bahwa setiap warganegara Indonesia mendapat perlakuan yang adil dalam bidang hukum, politik sosial, ekonomi dan kebudayaan. Keadilan social mencakup pula pengertian adil dan makmur. Keadilan sosial yang dimaksud tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena yang dimaksud dengan keadilan sosial dalam sila kelima bertolak dari pengertian bahwa antara pribadi dan masyarakat satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Masyarakat tempat hidup dan berkembangnya pribadi, sedangkan pribadi adalah komponennya masyarakat. Tidak dibenarkan terjadi praktek dalam masyarakat sosialistis/komunalistis yang hanya mementing-kan masyarakat dan juga sebaliknya seperti yang berlaku dalam Negara liberal yang segala sesuatu dipandang titik beratnya pada kepentingan pribadi/individu. 204 Keadilan sosial mengandung arti tercapainya keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat. Oleh karena kehidupan manusia itu meliputi kehidupan jasmani dan

79 kehidupan rohani, maka keadilan itu pun meliputi keadilan di dalam pemenuhan tuntutan hakiki kehidupan jasmani serta keadilan di dalam pemenuhan tuntutan hakiki kehidupan rohani secara seimbang, di bidang material dan di bidang spiritual. Pengertian ini mencakup pula pengertian adil dan makmur yang dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia secara merata, dengan berdasarkan asas kekeluargaan. Sila keadilan sosial adalah tujuan dari empat sila yang mendahuluinya merupakan tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perw ujudannya ialah tata masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila. Hakikat pengertian di atas sesuai dengan alinea kedua Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan: a. Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 antara lain menegaskan Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. b. Pasal-pasal UUD 1945 : yaitu pasal 23 A, 27, 28, 29, 31, 33 dan 34 UUD Dengan uraian tersebut di atas, anda dapat mengetahui tentang hakikat pengertian Pancasila. Selanjutnya hakikat pengertian Pancasila itu hendaknya anda hayati untuk seterusnya diamalkan dalam segala kegiatan kehidupan. 2. NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PANCASILA Dalam hubungannya dengan pengertian Pancasila sebagaimana tersebut di atas, Pancasila tergolong nilai kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang meyakini adanya nilai material dan nilai vital. Pancasila tergolong nilai kerohanian yang didalamnya terkandung nilainilai yang lain secara lengkap, dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran/kenyataan, nilai aestetis, maupun nilai religius. Prof. Dr. Notonegoro, membagi nilai menjadi 3 yakni : Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia. Nilai vital, yaitu sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan dan aktivitas. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini dapat dibedakan atas 4 macam yakni : a. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal manusia b. Nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa indah manusia c. Nillai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kodrat manusia (manusia dalam segala dimensinya). 206 d. Nilai religius yang merupakan nilai Ketuhanan, kerohanian yang tinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada kepercayaan/keyakinan manusia. Selanjutnya nilai -nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila adalah: 1. Dalam sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung nilai religius 2. Dalam sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab terkandung nilai kemanusiaan 3. Dalam sila ketiga Persatuan Indonesia terkandung nilai persatuan bangsa 4. Dalam sila keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan terkandung nilai kerakyatan 5. Dalam sila kelima Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia terkandung nilai keadilan social. Meskipun nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai kerohanian yang mengakui pentingnya nilai material dan nilai vital secara seimbang, sebagaimana dibuktikan dengan susunan silasila yang sistematis hirarkhis yang dimulai sila pertama Ketuhanan Yang Maha esa, sampai dengan sila kelima yaitu Keasilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Jadi yang mempunyai nilai itu tidak hanya sesuatu yang berw ujud benda material saja, akan tetapi juga benda yang tidak berwujud yang bukan benda material. Bahkan sesuatu yang bukan benda material itu dapat menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai material secara relatif lebih mudah diukur dengan alatalat pengukur, misalnya dengan alat pengukur berat (gram), alat 207 pengukur panjang (meter), alat pengukur luas (meter persegi) alat pengukur isi (liter), dan

80 sebagainya. Sedangkan nilai rohani tidak dapat diukur dengan menggunakan alat-alat pengukur tersebut di atas, tetapi diukur dengan budi nurani manusia, karena itu lebih sulit dilakukan, karena permasalahannya adalah apakah ada perw ujudan budi nurani manusia yang bersifat universal. Manusia yang mengadakan penilaian terhadap sesuatu yang bersifat kerohanian menggunakan budi nurani dengan dibantu indera, akal, perasaan, kehendak dan oleh keyakinan. Sampai sejauh mana kemampuan dan alat-alat bantu ini bagi manusia dalam memberikan penilaian tidak sama bagi manusia yang satu dengan yang lain, dipengaruhi situasi dan keadaan manusia yang bersangkutan. Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam segala perbuatannya. Dalam pelaksanaannya, nilai-nilai dijabarkan dalam bentuk norma (normatif), sehingga merupakan suatu perintah/keharusan, anjuran atau merupakan larangan atas sesuatu yang tidak diinginkan atau celaan. Nilai kebenaran harus dilaksanakan dan segala sesuatu yang tidak benar, tidak indah, tidak baik, dan sebagainya dilarang atau dicela. Dari uraian yang dikemukakan di atas nampak jelas bahwa nilai berperan sebagai dasar pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai berada dalam hati nurani, suara hati atau kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan/kepercayaan yang bersumber dari berbagai aspek atau sumber. 208 Selanjutnya untuk lebih memahami nilai - nilai yang terkandung dalam Pancasila, akan diberi pemahaman tentang pengertian moral, nilai, norma, dan sanksi sebagai berikut : 1. Pengertian Moral Moral adalah ajaran baik buruk perbuatan atau tingkah laku manusia berdasarkan kodratnya. Moral berasal dari kata mos (mores) yang berarti kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral sebagai ajaran tentang baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Seseorang individu yang tingkah lakunya sesuai dengan harkatnya sebagai manusia disebut baik secara moral dan jika sebaliknya disebut buruk secara moral atau imoral. Akan tetapi tidak semua nilai merupakan nilai moral. Ada bermacammacam nilai seperti telah disebutkan di atas. Kalau seorang siswa salah menjawab suatu pertanyaan guru di kelas ia tidaklah buruk dalam arti moral. Begitu juga kalau lagu tidak merdu didengar, tidak dapat kita nilai bahwa lagu itu buruk dalam arti moral. Dalam Pancasila terdapat suatu rangkaian nilai-nilai yang merupakan nilai-nilai moral, karena apabila nilai-nilai itu dilaksanakan, maka harkat dan martabat manusia Indonesia dapat menjadi baik karena nilainilai moral yang melekat pada dirinya. 2. Nilai, Norma, dan Sanksi Nilai terbentuk atas dasar pertimbanganpertimbangan cipta, rasa, karsa dari seseorang atau sekelompok masyarakat/ bangsa. Terbentuknya suatu nilai secara 209 teoritis melalui proses tertentu dan atas dasar kesadaran dan keyakinan, jadi tidak dapat dipaksakan. Nilai secara singkat dapat dikatakan sebagai hasil penilaian/ pertimbangan baik/tidak baik terhadap sesuatu, yang kemudian dipergunakan sebagai dasar alasan (motivasi) melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Norma (kaidah) adalah petunjuk tingkah laku (perilaku) yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam hidup seharihari berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila norma (kaidah) tidak dilakukan. Dari hubungan nilai timbullah ancamanancaman norma dengan sanksinya, misalnya: a. b. c. d. 3. Norma agama, dengan sanksi dari Tuhan Norma kesusilaan, dengan sanksi rasa malu dan menyesal terhadap dirinya sendiri. Norma sopan santun, dengan sanksi sosial masyarakat. Norma hukum dengan sanksi dari pemerintah (alat-alat negara). PENDEKATAN PENGAMALAN PANCASILA Pancasila sebagai suatu ideologi mencakup seluruh aspek kehidupan. Pendekatan untuk pengamalan Pancasila melalui 3 aspek (historis, 210 yuridis konstitusional dan filosofis). Sedangkan secara umum, pendekatan dapat dilakukan

81 dengan cara objektif praktis, agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas, yaitu: suatu penguraian yang menyoroti materi yang didasarkan atas bahan-bahan resmi dan segala uraian selalu dapat dikembalikan secara bulat dan sistematis pada bahan-bahan resmi. Selanjutnya pengertian praktis dapat diartikan bahwa segala yang diuraikan mempunyai kegunaan dalam praktek. 1. Pendekatan Historis (Sejarah) Pembahasan nilai-nilai Pancasila dari segi sejarah (aspek historis) diperlukan, sehubungan dengan sifat dari nilai yang abstrak. Dengan cara ini dapat diketahui proses tumbuhnya dan melembaganya nilai-nilai tersebut dalam kegiatan kehidupan (pribadi, masyarakat dan negara). Perlu ditegaskan disini bahwa pembahasan aspek historis ini bukanlah sama dengan pelajaran ilmu sejarah murni, tetapi hanya terbatas pada pengungkapan fakta sejarah yang ada kaitannya langsung dengan proses pertumbuhan serta pelaksanaan nilai-nilai Pancasila. Pendekatan sejarah hanya membicarakan fakta sejarah yang ada sangkut pautnya dengan Pancasila. 2. Pendekatan Yuridis Konstitusional Dari segi hukum ketatanegaraan pendekatan yuridis konstitusional sangat penting untuk dihayati karena hukum yang mengatur kegiatan kehidupan kita (pribadi 211 masyarakat dan negara), sebagai konsekuensi Pancasila sebagai dasar negara kita. Tegasnya tatanan kehidupan Pancasila tersebut perlu dipahami dengan baik, agar dapat mengamalkannya dengan baik. Hal ini penting untuk dipelajari, karena sulit bagi kita untuk berbuat/bertindak, jika kita tidak mengetahui dengan baik, segisegi hokum ketatanegaraan dari Pancasila. Dikatakan demikian karena semua peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan kehidupan mengalir dari nilai-nilai Pancasila. 3. Pendekatan Filosofis Istilah filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah. Secara etimologi falsafah berasal dari bahasa Yunani philosophia, yang terdiri dari dua suku kata yaitu philo dan sophia. Philein berarti mencari, mencintai dan sophia berarti kebenaran, kearipan kebijaksanaan. Dengan demikian kata majemuk philosophia berarti daya upaya pemikiran manusia untuk mencari kebenaran atau kebijaksanaan. Orang yang berfilsafat berarti orang yang mencintai dan mencari kebenaran, bukan memiliki kebenaran. Namun sebagaimana diketahui kebenaran itu relatif sifatnya, dalam arti bahwa apa yang kita anggap benar saat ini, belum tentu dianggap demikian dimasa yang akan datang. Kebenaran yang mutlak adalah ditangan/milik Tuhan Yang Maha Esa. Dalam masalah pendekatan filosofis atas nilai-nilai Pancasila ini kita tidak akan membicarakan seluruh ilmu filsafat, tetapi 212 terbatas pada penerapan metode ilmu filsafat dalam mempelajari ketentuan yang mengalir dari nilai-nilai Pancasila. Pendekatan filsafat ini juga diperlukan sehubungan dengan materi yang dibicarakan adalah meliputi aspek filsafat dari Pancasila. Filsafat Pancasila adalah ilmu pengetahuan yang mendalam tentang Pancasila. Untuk mendapat pengertian yang mendalam, kita harus mengetahui hakikat silasila Pancasila tersebut, dari tiap sila kita cari pula intinya. Setelah kita mengetahui hakikat inti tersebut di atas, maka selanjutnya kita cari hakikat dan pokok-pokok yang terkandung dalam Pancasila, antara lain tersebut dibawah ini: a. b. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, berarti bahw a nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu dijadikan tuntunan dan pegangan dalam mengatur sikap dan tingkah laku manusia Indonesia, dalam hubungannya dengan Tuhan, masyarakat dan alam semesta. Pancasila sebagai dasar negara, ini berarti bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu dijadikan dasar dan pedoman dalam mengatur tata kehidupan bernegara sebagaimana yang diatur oleh UUD Untuk kepentingan kegiatan praktis operasional diatur dalam UU No. 10 tahun 2004 mengenai tata urutan peraturan perundangundangan yang berlaku, ditegaskan bahwa UUD 1945 menempati tata urutan yang 213

82 c. d. e. f. g. D. tertinggi dari peraturan perundangan yang berlaku. Falsafah Pancasila yang abstrak tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan uraian terperinci dari Proklamasi 17 Agustus 1945 yang dijiwai Pancasila. Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan suatu kebulatan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan Jiwa Pancasila yang abstrak tercetus menjadi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan tercermin dalam pokok-pokok yang terkandung dalam Pembukaan UUD Undang-Undang Dasar 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran yaitu Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan dalam pasal-pasalnya. Ini berarti pasal-pasal UUD 1945 merupakan penjelmaan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai perwujudan dari jiwa Pancasila. Penafsiran sila-sila Pancasila harus bersumber dan berdasarkan Pembukaan dan Pasal-pasal UUD PERANAN PANCASILA BANGSA INDONESIA DALAM KEHIDUPAN Pancasila menjiwai Pembukaan UUD 1945 dan pasal- pasal UUD Dalam Pembukaan UUD 1945 menggambarkan konsepsi dasar tentang kehidupan yang dicita-citakan yang terkandung didalamnya suatu kehidupan yang dianggap baik bagi 214 bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Karena Pancasila sudah membumi sejak adanya bangsa Indonesia yang berasal dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia sendiri maka Pancasila sebagai acuan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di samping dua pengertian pokok mengenai Pancasila yaitu sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, maupun Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia, maka pemahaman terhadap Pancasila dapat pula dikaitkan dengan peranannya dalam tata kehidupan bangsa Indonesia, yaitu: 1. Pancasila sebagai Jiwa Bangsa Indonesia Menurut teori Von Savigny, setiap bangsa mempunyai jiwanya masing-masing, yang disebut volksgeist (jiwa rakyat/jiwa bangsa). Sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit (abad VIIXVI), nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sudah dikenal dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dimana kedua kerajaan tersebut telah memiliki kedaulatan dan wilayah yang meliputi seluruh wilayah Nusantara. Pada waktu itu unsur-unsur atau sila-sila yang terdapat dalam Pancasila telah terwujud sebagai asas-asas yang menjiwai dan dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, walaupun belum dirumuskan secara konkrit. Dengan demikian pada zaman itu telah lahir Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia. 2.

83 Pancasila Indonesia sebagai Kepribadian Bangsa Kepribadian bangsa adalah sifat hakiki yang tercermin dari sikap dan perilaku suatu bangsa, yang membedakan bangsa itu dengan bangsa 215 lain. Sikap dan perilaku bangsa Indonesia menunjukkan adanya sifat-sifat yang religius (walaupun dalam bentuknya yang paling sederhana sekalipun), adat istiadat yang penuh nilai-nilai kesopanan dan keluhuran budi, toleransi, kebersamaan dan kegotong-royongan, keadilan dan sebagainya, yang keseluruhannya itu merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Ciri-ciri atau sifat-sifat yang terkandung dalam nilai-nilai Pancasila itulah yang melekat pada bangsa Indonesia sehingga dapat dibedakan dengan bangsa lain. 3. Pancasila sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum Negara Setiap hukum dasar, baik tertulis (UUD) maupun tidak tertulis, harus bersumber dan berada di bawah pokok kaidah negara yang fundamental. Dan sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, menurut Prof. Drs. Notonegoro, S.H., Pancasila merupakan unsur pokok kaidah negara yang fundamental. Dengan demikian dari seluruh tingkatan tertib hukum yang ada, Pancasila harus selalu menjadi acuan utama. Selanjutnya dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara, atau dengan kata lain semua peraturan perundangperundangan yang berlaku di Indonesia harus mengacu, dijiwai, atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. 4. Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan Bangsa Indonesia 216 Fungsi sekaligus tujuan Negara Indonesia terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selanjutnya cita-cita bangsa Indonesia terkandung dalam alinea kedua yaitu membentuk Negara Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia maka dibentuk suatu pemerintahan negara dalam suatu Undang-undang Dasar dengan bentuk susunan negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Dengan demikian nampak jelas bahwa berdasarkan pembukaan UUD 1945, Pancasila adalah sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. Cita-cita dan tujuan itulah yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia. 5. Pancasila sebagai falsafah hidup mempersatukan bangsa Indonesia yang Sebagai falsafah hidup dan kepribadian bangsa Indonesia, Pancasila mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang oleh bangsa Indonesia diyakini paling benar, paling adil, paling bijaksana atau paling tepat bagi kehidupannya. Dengan keyakinan tersebut maka Pancasila merupakan sarana yang sangat ampuh untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Karena memiliki falsafah hidup dan kepribadian yang sama, yaitu Pancasila, maka bangsa Indonesia menjadi bersatu.

84 Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia pada waktu mendirikan Negara Pancasila sebagai jiwa, kepribadian, maupun sebagai dasar Negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, perumusannya melalui proses yang cukup panjang sampai akhirnya diterima dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yaitu pada saat pengesahan UUD 1945 tanggal 18 Agustus Proses itu dimulai dari pidato Mr. Muh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang berisikan lima asas dasar negara Indonesia Merdeka. Selanjutnya pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. R. Soepomo SH mengemukakan dalam pidatonya tentang lima asas atau lima dasar Negara Indonesia merdeka. Kemudian pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI, yang juga mengemukakan mengenai lima asas sebagai dasar negara Indonesia Merdeka (dilanjutkan dengan perumusan Pancasila oleh Panitia Sembilan yang menghasilkan Piagam Jakarta sampai diterimanya Piagam Jakarta tersebut oleh PPKI). Dalam rangkaian proses itu terjadilah kompromi atau perjanjian moral yang luhur sehingga pada akhirnya Pancasila diterima oleh semua pihak sebagai dasar negara sebagaimana rumusannya termuat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD Dikatakan sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia, karena PPKI yang mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut merupakan badan 218 nasional yang Indonesia. E. mewakili PENGAMALAN PANCASILA PANDANGAN HIDUP seluruh bangsa SEBAGAI Pancasila dalam pengertian ini disebut sebagai way of life, (Weltanschaung) sebagai pegangan hidup, petunjuk hidup dsb. Dalam hal ini Pancasila sebagai petunjuk arah semua kegiatan kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti bahwa semua tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari harus dijiwai dan merupakan pancaran dari sila-sila Pancasila yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat, karena keseluruhan sila didalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang organis. Mengamalkan Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Filsafat Hidup Bangsa), berarti melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menggunakan Pancasila sebagai petunjuk hidup sehari-hari agar hidup kita dapat mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup adalah sangat penting, karena dengan demikian diharapkan adanya tata kehidupan yang sesuai (harmonis) antara hidup kenegaraan dan hidup kemasyarakatan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia baik kehidupan material maupun spiritual. Namun demikian, karena hidup sehari-hari itu meliputi bidang yang sangat luas dan selalu berkembang, maka dalam prakteknya ketentuan-ketentuan hidup berdasarkan Pancasila dalam hidup sehari-hari tidak mungkin dibuat dalam peraturan perundangan secara menyeluruh dan terperinci. Berhubung dengan itu pada asasnya pengamalan Pancasila dalam hidup seharihari diserahkan kepada kesadaran kita masing-masing 219 sebagai anggota Indonesia. warga bangsa/warga negara

85 Secara umum dapat disimpulkan, bahwa pengamalan Pancasila dalam hidup sehari-hari adalah apabila kita mempunyai sikap mental, pola berpikir dan tingkah laku (amal perbuatan) yang dijiw ai sila-sila Pancasila secara bulat dan utuh yang bersumber pada Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945, tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, kesusilaan, sopan santun dan adat kebiasaan, serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan normanorma hukum yang berlaku. Sebagaimana dikemukakan di atas, pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup disebut pengamalan Pancasila secara subyektif. Pengamalan Pancasila secara subyektif ini meliputi bidangbidang yang sangat luas meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan kemasyarakatan. Adapun pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup antara lain tersebut dibawah ini: 1. Pengamalan Sila Pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. a. Mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan sifat-sifatnya Yang Maha Sempurna, Maha Kuasa dan lain-lain sifat yang serba suci b. Mentaati ajaran-ajaran Tuhan Yang Maha Esa. c. Saling menghormati antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2. Pengamalan Sila Kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab. 220 a. Menempatkan sesama manusia sebagai makhluk Tuhan dengan segala martabat dan hak asasinya. b. Memperlakukan sesama manusia secara adil dan beradab seperti memperlakukan dirinya sendiri. c. Memperlakukan sesama manusia sebagai manusia pribadi dan manusia sosial secara seimbang. 3. Pengamalan Sila Ketiga : Persatuan Indonesia. a. Membina persatuan sesama w arga negara dan penduduk Indonesia b. Membina persatuan dan kesatuan w ilayah Indonesia dan kebudayaan yang Bhineka Tunggal Ika. c. Mencintai tanah air dan bangsa, dan menempatkan kepentingan umum, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. 4. Pengamalan Sila Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaw aratan/ perwakilan. a. Menjunjung tinggi asas kerakyatan b. Melaksanakan asas kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan, akal sehat dan hati nurani yang suci dalam permusyawaratan/perwakilan. c. Mentaati segala putusan rakyat dalam lembaga-lembaga perwakilan. 5. Pengamalan Sila Kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. a. Memelihara kehidupan yang adil di segala bidang kehidupan: politik, ekonomi, sosial 221 budaya dan kain-lain bagi seluruh rakyat Indonesia. b. Menumbuhkan sikap hidup tolong menolong, kekeluargaan dan gotongroyong. c. Memelihara kehidupan sebagai makhluk sosial dan memanfaatkan serta mengamalkan miliknya sehingga mempunyai fungsi sosial. F. PENGAMALAN NEGARA PANCASILA

86 SEBAGAI DASAR Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara adalah sebagai dasar penyelenggaraan negara untuk mewujudkan cita-cita bangsa sesuai tujuan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD Menurut Prof. DR. Notonegoro asas kerohanian Pancasila mempunyai kedudukan istimewa dalam hidup kenegaraan, yaitu fungsi pokok atau fungsi utama Pancasila adalah sebagai Dasar Negara. Menurut Prof. DR. Notonegoro, Pancasila sebagai pokok kaedah Negara yang fundamental mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat dan tak berubah bagi Negara yang dibentuk, dengan perkataan lain dengan jalan hukum tidak dapat diubah. Pengamalan Pancasila sebagai Dasar Negara meliputi pengamalan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal-pasal UUD Pengamalan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 Mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara berarti mengamalkan Pencasila sebagai dasar 222 untuk mengatur penyelenggaraan negara, termasuk penyelenggaraan pemerintahan. Pokokpokok pikiran tentang hakikat dan bentuk negara serta pemerintahan negara Republik Indonesia telah dituangkan di dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan penuangan jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ialah jiwa Pancasila yang mengandung empat pokok pikiran: Adapun pengamalan Pancasila dalam pokokpokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut: a. Negara persatuan (sila ketiga Pancasila) Negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (sila persatuan). Pernyataan ini terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD Dalam hal ini Negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perorangan. Negara menurut pengertian dalam Pembukaan UUD 1945 menghendaki persatuan, meliputi segenap Bangsa Indonesia seluruhnya. Negara dan rakyat Indonesia mengutamakan kepentingan negara dan rakyat diatas kepentingan golongan dan kepentingan perorangan (pokok pikiran persatuan). b. Negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam rangka mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. (Sila Kelima). Dalam hal ini Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum, 223 mencerdaskan kehidupan bangsa, dan...: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (pokok pikiran keadilan sosial). c. Negara berkedaulatan rakyat berdasarkan atas kerakyatan dalam permusyawaratan/perwakilan. (Sila Keempat) Negara kita berkedaulatan rakyat mempunyai sistem pemerintahan demokrasi yang kita sebut Demokrasi Pancasila. Ini merupakan perwujudan dari Sila keempat Pancasila yang berbunyi: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan (pokok pikiran kedaulatan rakyat) berdasar atas kerakyatan dalam permusyawaratan perwakilan). d. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. (Sila Pertama dan Kedua) Negara kita bukan negara theokrasi, tetapi juga bukan negara sekuler. Negara kita adalah negara

87 berke-tuhan Yang Maha Esa yang menjunjung tinggi semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, adanya keselarasan kehidupan bernegara dan beragama. Ini merupakan perwujudan dari Sila pertama Pancasila yang berbunyi : Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Sila kedua yang berbunyi : Kemanusiaan yang adil dan beradab (pokok pikiran Ketuhanan yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab). 224 Selain empat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut diatas, juga ditegaskan dalam alinea pertama dan kedua Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut: a. Negara Indonesia yang merdeka, dan anti penjajahan. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan (alinea pertama Pembukaan UUD 1945) b. Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (alinea kedua Pembukaan UUD 1945). 2. Pengamalan prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945 Dari uraian tersebut diatas, nampak jelas, bahwa hakikat dan sifat Negara kita adalah identik dengan hakikat dan sifatsifat manusia Indonesia seutuhnya ialah sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial dalam satu kesatuan yang disebut monodualistis. Berpokok pangkal pada dasar tersebut diatas, maka disusunlah pemerintahan negara berdasarkan Pancasila dengan mengamalkan 225 prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasalpasal UUD 1945 sebagai berikut: a. Negara Kesatuan Republik Indonesia Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, negara kita ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Mengenai bentuk negara, antara lain kita mengenal bentuk Negara Serikat dan Negara Kesatuan. Bagi negara kita paling tepat ialah bentuk Negara Kesatuan (Eenheidstaat) karena sesuai dengan sejarah perjuangan dan perkembangan bangsa, yang memiliki wawasan nasional yaitu Wawasan Nusantara, yakni Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya dan satu kesatuan pertahanan keamanan nasional (Ipoleksosbud Hankamnas). b. Hak asasi dan kewajiban asasi manusia berdasarkan Pancasila Negara Pancasila menjunjung tinggi hak asasi, disamping hak asasi terdapat kewajiban asasi. Kalau dalam masyarakat yang individualistis, tuntutan pelaksanaan hak-hak asasi manusia ada kecenderungan berlebih-lebihan sehingga mungkin merugikan masyarakat sebagai keseluruhan, maka dalam masyarakat Pancasila hak asasi itu dilaksanakan secara seimbang dengan kewajiban asasi karena sebagai manusia monodualistis, yaitu manusia sesuai kodratnya adalah sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial.contoh-contoh perwujudan hak-hak 226 dan kewajiban-kewajiban asasi manusia berdasarkan Pancasila dapat dilihat pada Pembukaan UUD 1945 dan Pasal-pasal 27, 28, 28 A s/d 28 J, 29, 30, 31, 33, dan 34 UUD c. Sistem politik : Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan Dalam Pasal 26 UUD 1945 dinyatakan, bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orangorang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Selanjutnya dalam Pasal 27 ayat (1) dinyatakan: segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik meliputi: satu kesatuan wilayah, kesatuan

88 bangsa, kesatuan filsafat dan ideology (Pancasila) dan kesatuan hukum. d. Sistem ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan Negara yang kita citacitakan adalah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Pemerintah negara Indonesia berkewajiban mewujudkan kesejahteraan umum, yaitu mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal-hal yang berhubungan dengan kesejahteraan dibidang ekonomi ini diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: 227 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal 33 ini menggambarkan adanya demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila. Kepulauan Nusantara sebagai kesatuan ekonomi berarti, bahwa kekayaan wilayah Nusantara adalah modal dan milik bersama bangsa, dan tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh Indonesia. e. Sistem Sosial Budaya: atas dasar kebudayaan nasional dan Bhinneka Tunggal Ika Dalam Pasal 32 UUD 1945 disebutkan, bahwa negara/pemerintah memajukan kebudayaan nasional, menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Ini berarti bahwa bangsa Indonesia mengutamakan 228 pembinaan dan pembangunan kebudayaan nasional. Penerimaan unsur-unsur kebudayaan asing ke dalam kebudayaan nasional dapat dibenarkan dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nilainilai Pancasila dalam kebudayaan nasional, dan dapat meningkatkan nilai-nilai kebudayaan nasional sekaligus meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia. Disamping itu, karena negara kita terdiri atas banyak pulau dan suku bangsa serta golongan warga negara, maka kita menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam hubungan ini kita tidak boleh mempertentangkan perbedaan sifat, bentuk dan wujud kebudayaan yang beraneka ragam yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kita, tetapi keanekaragaman itu hendaknya saling melengkapi dan semuanya itu merupakan khazanah kebudayaan kita. Manusiamanusia yang mendiami kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan sosial dan budaya sebagaimana terkandung dalam wawasan nasional bangsa Indonesia yaitu wawasan Nusantara. Corak ragam budaya menggambarkan kekayaan budaya bangsa,yang harus dikembangkan untuk dapat dinikmati bersama. f. Sistem pembelaan negara, hak kewajiban dalam pertahanan negara dan Dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dinyatakan, bahwa pemerintah negara Indonesia harus melindungi segenap bangsa 229 Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menegaskan setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Selanjutnya dalam pasal 30 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan, bahwa tiap-tiap w arga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Dalam pasal 30 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan

89 bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Kepulauan nusantara kita sebagai satu kesatuan Pertahanan Keamanan berarti, bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara dan bahwa tiap-tiap w arga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka upaya pembelaan dan pertahanan keamanan negara dan bangsa. g. Sistem pemerintahan Negara (Demokrasi Pancasila) Pancasila yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945 tidaklah mungkin dapat kita terapkan di dalam kehidupan ketatanegaraan sehari-hari, bila tidak dirumuskan di dalam ketentuan-ketentuan yang konkrit yang sekarang tercantum di dalam pasal-pasal UUD Adapun sistem pemerintahan Negara yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945 yang dijiwai Pancasila adalah sebagai berikut: 1) Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat) Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia ialah negara hukum. 2) Sistem Konstitusional Dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD (konstitusi). Jadi presiden menjalankan pemerintahan Negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi NKRI. 3) Kekuasaan negara yang tertinggi berada di tangan rakyat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dari uraian di atas jelaslah, bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menganut sistem kedaulatan rakyat. Hal ini jelas dinyatakan dalam salah satu kalimat dari alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berbentuk republik yang berkedaulatan rakyat ) Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan bertanggung jawab kepada rakyat Dalam pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD, sedangkan pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menegaskan kedaulatan di tangan rakyat. Selanjutnya dalam pasal 6A ayat (1) ditegaskan bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Mengacu kepada pasal 4 ayat (1), pasal 1 ayat (1) dan pasal 6A ayat (1) UUD 1945 nampak jelas bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan bertanggung jawab kepada rakyat. 5) Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-Undang (gesetzgebung) dan untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Staatsbegrooting). Latar belakang dari prinsip di atas ialah bahwa pemerintahan Indonesia adalah suatu pemerintahan yang demokratis dan berdasarkan perwakilan, karena DPR dipilih rakyat melalui pemilu. 6) Fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa DPR memiliki fungsi pengawasan 232 terhadap jalannya pemerintahan Negara yang dilaksanakan presiden. 7) Kekuasaan Kehakiman yang merdeka Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berdasarkan pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahw a kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan dibawahnya (Pengadilan Umum, Agama, Militer, dan TUN), dan Mahkamah Konstitusi. 8) Pemerintah Daerah Pemerintah daerah diatur didalam pasal 18, 18A, dan 18B UUD Adapun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi pula dalam kabupaten dan kota. Di daerah-daerah tersebut diadakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya NKRI mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan atau bersifat istimewa. Dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan diseluruh wilayah Indonesia dilakukan melalui otonomi daerah. G. PENGAMANAN PANCASILA Sebagai bangsa Indonesia kita wajib menghayati, mengamalkan dan mengamankan Pancasila. Pengalaman sejarah membuktikan bahwa PKI pernah

90 233 mencoba untuk menggantikan ideologi Negara Pancasila dengan ideologi komunis yang bertentangan dengan Pancasila. Demikian pula halnya dengan liberalisme yang mengutamakan kebebasan individu yang pernah kita alami pada saat berlakunya UUDS 1950 yang menganut Demokrasi Liberal yang mengutamakan kebebasan individu, demikian pula halnya dalam era globalisasi yaitu terjadinya aliran teknologi informasi yang masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila. Merupakan tugas kita semua untuk mengamankan Pancasila dimuka bumi Indonesia, khususnya untuk generasi muda yang tidak pernah mengalami, perjuangan bangsa Indonesia yang dijiwai sila-sila Pancasila, perlu diberikan pemahaman yang baik dan benar tentang nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila yang telah melekat sejak nenek moyang kita dalam kehidupan kemasyarakatan maupun dalam kehidupan kenegaraan. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus kita hayati dan kita amalkan karena nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila membentuk manusia Indonesia yang bersifat dan berperilaku yang baik sebagai makluk ciptaan Tuhan baik sebagai makhluk pribadi maupun sebagai makhluk sosial dalam tata kehidupan kemasyarakatan maupun dalam kehidupan kenegaraan. Dalam kenyataannya menunjukan bahwa Pancasila membentuk kehidupan yang harmonis, serasi dan seimbang, antara kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang akhirnya diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual dalam mewujudkan tujuan nasional. Mengingat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila membentuk sifat dan perilaku yang positif, maka, tugas dan kewajiban kita sebagai bangsa Indonesia untuk 234 mengamankan Pancasila dibumi Indonesia, karena Pancasila merupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang mampu membawa Bangsa Indonesia hidup berkeseimbangan antara kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kenegaraan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual, berdasarkan Pancasila. BAB IV PENGETAHUAN PERTAHANAN NEGARA Setelah membaca Bab ini, calon peserta Diklat diharapkan mampu memahami dan menjelaskan tentang pengertian dan sistem pertahanan negara, prinsip-prinsip penyelenggaraan pertahanan negara, obyek pertahanan negara, pelaku penyelenggara pertahanan negara, dan permasalahan bidang pertahanan negara. A. Pengertian dan Sistem Pertahanan Negara. 1. Pengertian Pertahanan Negara. Sistem pertahanan semesta (Sishanta) bersumber dari pengalaman sejarah panjang perang kemerdekaan yang menempatkan TNI dalam posisi sentral baik dalam perlawanan terhadap Belanda maupun dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan terutama di daerah-daerah perjuangan bersenjata. Sumber sejarah sering menjadi sumber inspirasi bagi perancang strategi perang gerilya dalam strategi 235 pertahanan pulau besar dan karena itu peran kekuatan matra darat menjadi vital. Sampai saat ini hal tersebut masih menjadi pedoman dalam memecahkan masalah-masalah strategi, taktik, dan organisasi yang dihadapi dalam membangun kekuatan pertahanan Indonesia. Pengalaman sejarah yang berkaitan dengan pertahanan negara senantiasa perlu ditinjau kembali. Sebagai contoh, salah satu faktor kejatuhan Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit adalah karena kedua kerajaan ini tidak mampu menghadapi gangguan para perompak dan gangguan lain di laut yang secara perlahan berhasil memisahkan kekuasaan pusat dengan daerah-daerah taklukan. Kegagalan Sultan Agung menyerang Batavia adalah juga disebabkan oleh keberhasilan Belanda melakukan blokade laut untuk menutup kemungkinan mengalirnya bantuan dari kerajaankerajaan lain kepada Sultan Agung melalui laut. Terbukti ini sangat efektif. Perjalanan sejarah tersebut menunjukkan bahwa pemerintahan Indonesia sekarang masih mewarisi nilai, paradigma, dan perspektif dari sistem pertahanan Hindia Belanda dan Jepang, dan tidak belajar dari akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya. Bahkan, tidak belajar dari pengalaman kegagalan perang Sriwijaya dan Majapahit

91 yang hancur karena gangguan keamanan di laut. Kajian sejarah tersebut sangat penting dalam menentukan arah, strategi dan kebijakan pengelolaan pertahanan negara kedepan. Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam 236 menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan atau dari dalam negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya. Bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 bertekad bulat untuk membela, mempertahankan, dan menegakkan kemerdekaan, serta kedaulatan negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara yang merupakan usaha untuk mewujudkan satu kesatuan pertahanan negara guna mencapai tujuan nasional, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Jadi Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. 2. Sistem Pertahanan Negara. 237 Dalam UU Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan bahwa Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Pertahanan negara diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara melalui usaha membangun dan membina kemampuan dan daya tangkal negara dan bangsa serta menanggulangi setiap ancaman. Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam menghadapi ancaman nonmiliter, menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama yang disesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Sistem pertahanan negara melibatkan seluruh komponen pertahanan negara, yang terdiri atas komponen utama, komponen cadangan, dan komponen pendukung. Sistem pertahanan semesta dapat menegaskan peran dan kewenangan pemerintah sebagai pemegang otoritas politik di bidang pertahanan yang mencakup perumusan kebijakan umum pertahanan negara, kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara termasuk di dalamnya 238 kebijakan pertahanan negara, kebijakan pengelolaan potensi pertahanan, industri pertahanan, serta anggaran pertahanan, dan kebijakan umum penggunaan kekuatan TNI. Oleh karena itu, TNI tidak dapat mengatas namakan rakyat mengambil inisiatif tanpa keputusan politik pemerintah. Sesuai amanat BAB V pada UU Nomor 3 Tahun 2002 bahwa pembinaan kemampuan pertahanan negara ditujukan untuk dapat terselenggaranya sebuah sistem pertahanan negara, sebagai berikut: a. Segala sumber daya nasional yang berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara.

92 b. Pembangunan didaerah harus memperhatikan pembinaan kemampuan pertahanan negara. c. Pendayagunaan segala sumber daya buatan harus memperhatikan prinsipprinsip berkelanjutan, prinsip keragaman dan prinsip produktivitas lingkungan hidup. d. Wilayah Indonesia dapat dimanfaatkan untuk pembinaan kemampuan pertahanan negara dengan memperhatikan hak masyarakat dan peraturan perundangundangan. e. Wilayah yang digunakan sebagai instalasi militer dan latihan militer yang strategis dan 239 permanen ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 3. f. Dalam rangka meningkatkan kemampuan pertahanan negara, pemerintah melakukan penelitian, pengembangan industri dan teknologi di bidang pertahanan negara. g. Dalam menjalankan tugas, Menteri Pertahanan mendorong dan memajukan pertumbuhan industri pertahanan negara. Penyelenggaraan Sistem Pertahanan Negara (Manajemen Pertahanan). Kondisi pertahanan suatu negara senantiasa berubah secara dinamis sesuai dengan perkembangan lingkungan strategis dan hakikat ancaman. Perubahan tersebut terkait dengan kepentingan dan prioritas keamanan nasional, ketersediaan sumber daya, serta kemampuan pembiayaan negara. Mengingat pentingnya pertahanan negara bagi kelangsungan hidup suatu bangsa dihadapkan dengan perubahan dinamis, perlu adanya persamaan persepsi dan keterpaduan usaha dalam mewujudkan stabilitas keamanan nasional. Penyelenggaraan Pertahanan Negara adalah segala kegiatan untuk melaksanakan kebijakan pertahanan negara yang merupakan upaya membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulangi setiap ancaman yang diselenggarakan secara terpadu lintas sektoral dengan melibatkan Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) serta penyelenggara negara lainnya termasuk TNI. 240 Perumusan kebijakan Pertahanan Negara Republik Indonesia untuk perencanaan pertahanan (defence planning) terkait dengan hal penyusunan program pengembangan kemampuan pertahanan nasional dan strategi pertahanan berbasis pada kemampuan sendiri. Dalam rangka membangun postur pertahanan negara yang handal, harus memiliki efek penangkalan (deterrence effect) melalui pembangunan sistem dan kekuatan (system building dan force building). Postur pertahanan negara yang handal diperlukan dalam menghadapi perkembangan lingkungan strategis dan ancaman baik secara global, regional, maupun nasional. Pembaharuan pengelolaan pertahanan selalu dilakukan

93 untuk dapat menyinkronkan antara sasaran strategis dan kemampuan pertahanan, anggaran, dan kemauan politik nasional terhadap pertahanan dalam kerangka manajemen pertahanan yang komprehensif. B. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pertahanan Negara. 1. Prinsip-prinsip Pertahanan Negara. Dalam kehidupan bernegara, aspek pertahanan merupakan faktor yang sangat hakiki dalam menjamin kelangsungan hidup negara tersebut. Tanpa mampu mempertahankan diri terhadap ancaman dari luar negeri dan atau dari dalam negeri, suatu negara tidak akan dapat mempertahankan keberadaannya. Bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan-nya pada tanggal 17 Agustus 1945 bertekad bulat untuk membela, 241 mempertahankan, dan menegak-kan kemerdekaan, serta kedaulatan negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Adapun pandangan hidup bangsa Indonesia tentang pertahanan negara, sebagaimana ditentukan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang- Undang Dasar 1945, adalah: Kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan; Pemerintah negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial; Hak dan kewajiban setiap warga negara untuk ikut serta dalam usaha pembelaan negara; Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dari pandangan hidup tersebut di atas, bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan pertahanan negara menganut prinsip: Bangsa Indonesia membela serta berhak dan wajib mempertahankan 242 kemerdekaan dan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman; Pembelaan negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan dalam upaya pertahanan negara merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga negara. Oleh karena itu, tidak seorangpun warga negara boleh dihindarkan dari kewajiban ikut serta dalam pembelaan negara, kecuali ditentukan dengan undangundang. Dalam prinsip ini terkandung pengertian bahwa upaya

94 pertahanan negara harus didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri; Bangsa Indonesia cinta perdamaian, tetapi lebih cinta kepada kemerdekaan dan kedaulatannya. Penyelesaian pertikaian atau pertentangan yang timbul antara bangsa Indonesia dan bangsa lain akan selalu diusahakan melalui cara-cara damai. Bagi bangsa Indonesia, perang adalah jalan terakhir dan hanya dilakukan apabila semua usaha dan penyelesaian secara damai tidak berhasil. Prinsip ini menunjukkan pandangan bangsa Indonesia tentang perang dan damai; Bangsa Indonesia menentang segala bentuk penjajahan dan menganut politik bebas aktif. Untuk itu, pertahanan negara ke luar bersifat defensif aktif yang berarti tidak agresif dan tidak ekspansif sejauh kepentingan nasional tidak terancam. Atas dasar sikap dan pandangan tersebut, 243 bangsa Indonesia tidak terikat atau ikut serta dalam suatu pakta pertahanan dengan negara lain; 2. Bentuk pertahanan negara bersifat semesta dalam arti melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan; Pertahanan negara disusun berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Di samping prinsip tersebut, pertahanan negara juga memperhatikan prinsip kemerdekaan, kedaulatan, dan keadilan sosial. Hakekat, Tujuan dan Fungsi Pertahanan Negara. Dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan bahwa Hakekat pertahanan negara bagi bangsa Indonesia adalah segala upaya pertahanan yang bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewaiban warga negara serta keyakinan kekuatan sendiri. Sedangkan dalam penyusunan konsepsi pertahanan negara juga memperhatikan pada kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dalam konteks wawasan nusantara, yang disusun berdasarkan prinsip demokrasi, hak asasi manusia, kesejahteraan umum, ketentuan 244 hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai. Pertahanan Negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Sedangkan Pertahanan Negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan seluruh wilayah negara Kesatuan RI sebagai satu kesatuan Pertahanan. 3. Bentuk-bentuk Ancaman. Perkembangan lingkungan strategis senantiasa membawa perubahan

95 terhadap kompleksitas ancaman terhadap pertahanan negara, yang dapat dilihat dari sifat, sumber, dimensi dan spektrum ancaman. Sifat ancaman tidak lagi didominasi oleh ancaman militer tetapi juga oleh nonmiliter, serta tidak terbatas hanya pada ancaman tradisional tapi juga ancaman nontradisional. Dilihat dari sumber ancaman, semakin besar keterkaitan antara eksternal dan internal. Dimensi ancaman mudah berkembang dari satu dimensi ke dimensi lain, termasuk dimensi ideologi, ekonomi, politik, sosial, hukum, informasi dan teknologi, serta keamanan. Spektrum ancaman dapat berubah dengan tiba-tiba dari lokal ke nasional, demikian juga perkembangan eskalasi keadaan dari tertib hingga darurat, dan sebaliknya, tidak mudah untuk diprediksi. Dengan mengingat kompleksitas ancaman yang dihadapi, semua komponen pertahanan negara dan unsurunsur di luar bidang pertahanan 245 dituntut untuk saling mendukung dan bersinergi satu dengan yang lain, dengan senantiasa mengindah-kan tataran dan lingkup kewenangan yang sudah ditentukan peraturan perundangundangan. Di antara ancaman aktual yang menuntut sinergisme yang tinggi dan harus mendapat perhatian yang serius pada lima tahun ke depan, adalah ancaman terhadap konflik di wilayah perbatasan dan keamanan pulau-pulau kecil terluar, ancaman separatisme, terorisme, bencana alam, konflik horizontal, radikalisme, kelangkaan energi dan ragam kegiatan ilegal baik di darat maupun di laut yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Kesiapan pertahanan negara dalam menghadapi ancaman potensial, antara lain pencemaran lingkungan, pandemik, cyber crime, pemanasan global, krisis finansial, agresi militer, serta berbagai kemungkinan ancaman yang muncul di sepanjang Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) tetap menjadi perhatian pembangunan pertahanan negara dalam jangka panjang. Ancaman aktual maupun ancaman potensial sifatnya militer akan berpengaruh langsung terhadap pertahanan negara, sedangkan ancaman bersifat nonmiliter secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap pertahanan negara. Ancaman yang bersifat militer maupun nonmiliter sebagaimana sudah diatur dalam ketentuan perundang-undangan harus dihadapi dengan strategi yang tepat dan dirumuskan oleh setiap 246 Kementerian/LPNK yang juga telah ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisir yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Dengan demikian ancaman pada hakikatnya adalah setiap usaha dan kegiatan, baik yang berasal dari luar negeri atau bersifat lintas negara maupun yang timbul di dalam negeri, yang dinilai membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Pada hakekatnya perang dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yakni Perang Konvensional adalah perang dengan menggunakan alat utama sistem senjata (alutsista) misalnya dengan menggunakan tank, pesawat tempur, rudal, kapal induk dan kapal perang yang dilaksanakan oleh militer/tni. Disini penjurunya atau penanggung jawab utamanya adalah Kemhan dan TNI. Sedangkan jenis perang yang lain adalah Perang Asimetris. Perang Asimetris adalah perang untuk merusak sosial budaya, ekonomi dan politik. Perang ini menjadi tanggung jawab semua warga Negara Indonesia. Disini penjurunya atau penanggung jawab utamanya adalah Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) diluar Kemhan dan TNI. 247 Perang Asimetris merupakan model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dan di luar aturan peperangan yang berlaku, dengan spektrum perang yang sangat luas dan mencakup aspek-aspek astagatra, yaitu perpaduan antara: Trigatra yakni geografi, demografi, dan sumber daya alam; dan Pancagatra yakni ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Perang asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang, salah satu titik infiltrasi adalah Saluran Informasi. Bentuk peperangan yang dihadapi saat ini dan kedepan antara lain: Propaganda dan Perang Politik (Political

96 Warfare), Perang Psikologi, Operasi Psikologi, Influence Attitudes/Strategic Influence/Perception Management, Perang Informasi, Operasi Informasi dan Perang elektronika. Ancaman yang timbul terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dapat berbentuk ancaman militer dan ancaman non militer. a. Bentuk Ancaman Militer 1) Agresi berupa penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa atau dalam bentuk dan cara-cara, antara lain: a) Invasi berupa serangan oleh kekuatan bersenjata negara lain 248 terhadap wilayah kesatuan RI. negara b) Bombardemen berupa penggunaan senjata lainnya yang dilakukan oleh angkatan bersenjata negara lain terhadap wilayah negara kesatuan RI. c) Blokade terhadap pelabuhan atau pantai atau wilayah udara negara kesatuan RI oleh angkatan bersenjata negara lain. d) Serangan unsur angkatan bersenjata negara lain terhadap unsur satuan darat atau satuan laut atau satuan udara Tentara Nasional Indonesia. e) Unsur kekuatan bersenjata negara lain yang berada dalam wilayah negara kesatuan RI berdasarkan perjanjian yang tindakan atau keberadaannya bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian. f) Tindakan suatu negara yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara lain sebagai daerah persiapan untuk melakukan agresi terhadap negara RI. g) Pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran 249 oleh negara lain untuk melakukan tindakan kekerasan di wilayah negara kesatuan RI atau melakukan tindakan seperti tersebut di atas. 2) Pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negara lain, baik yang menggunakan kapal maupun pesawat non komersial.

97 3) Spionase yang dilakukan oleh negara lain untuk mencapai dan mendapatkan rahasia militer. 4) Sabotase untuk merusak instansi penting militer dan objek vital nasional yang membahayakan keselamatan bangsa. 5) Aksi teror bersenjata yang dilakukan oleh jaringan terorisme internasional atau yang bekerja sama dengan terorisme dalam negeri atau luar negeri yang ber-eskalasi tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa. 6) Pemberotakan bersenjata. 7) Perang saudara yang terjadi antara kelompok masyarakat bersenjata dengan kelompok masyarakat bersenjata lainnya. b. Bentuk Ancaman Non Militer. 250 Ancaman non militer lebih tepatnya disebut Ancaman Asimetris adalah segala ancaman selain ancaman militer tersebut diatas, bila menyangkut kedaualatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa termasuk kategori ancaman non militer atau ancaman asimetris. Bentuk Ancaman Asimetris antara lain: 1) 2) Tidak meratanya persebaran sukusuku di Indonesia, yang ditandai dengan: a) Di Indonesia terdapat 653 suku bangsa. b) Dari Sumatera hingga Jawa (kecuali Sumatera Selatan) hanya terdapat beberapa suku mayoritas. c) Di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, banyak sekali suku bangsa yang menghuni satu kota. d) Setengah dari jumlah suku bangsa Indonesia berada di Papua. e)

98 Kondisi tersebut dapat menjadi ancaman disintegrasi. Bangunan keras antara lain meliputi: demokratisasi (yang kelewat batas), 251 desentralisasi, wilayah. 3) C. dan pemekaran Bangunan lunak antara lain meliputi: Ideologi kebangsaan, konstitusi, negara dan agama. Obyek Pertahanan Negara 1. Wilayah Negara Menurut sejarah Batas Wilayah Negara Indonesia khususnya Batas Wilayah Negara di darat adalah batas-batas yang disepakati oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Inggris di Kalimantan dan Papua, dan Pemerintah Portugis di Pulau Timor yang selanjutnya menjadi wilayah Indonesia berdasarkan prinsip uti possidetis juris yang berlaku dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip tersebut, negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya. Wilayah Indonesia yang membentang mulai dari 92o BT-141o BT dan 7o20 LU-14o LS, Indonesia terdiri dari pulau. Dengan luas lebih dari 7,7 juta km2, 62% diantaranya berupa lautan, termasuk separuh diantaranya merupakan kawasan ekonomi eksklusif. Indonesia memiliki km garis pantai dan sekitar km perbatasan darat (dengan Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste). Indonesia terletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Pasifik dan Hindia) dan memiliki 4 dari 7 choke point yang berada di seluruh dunia. Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 Pasal Republik 25 A 252 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Bahwa wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem: Pengaturan suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; Pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat; Desentralisasi pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang bersifat otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

99 Kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara disebutkan bahwa pengelolaan Wilayah Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti upayaupaya pengelolaan Wilayah Negara meliputi: 253 Hendaknya memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa. Sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan Kawasan Perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan. 254 PETA WILAYAH N.K STATUS 17 FEBRUARI SEKA DASAR HUKUM : TAP MPR NO. V/1999 TANGGAL DARATAN NUSANTARA PERAIRAN NUSANTARA LAUTAN TERITORIAL LAUT ZONA EKONOMI EKSKLUSI F 200 MIL 256 (Sumber Dittjen Strahan Dephan, 2008) a. Pengakuan sebagai Negara Kepulauan Indonesia diakui sebagai negara kepulauan oleh PBB dimulai sejak ratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 dan disahkan dengan UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Tentang Hukum Laut). Sejak itu perairan yang menghubungkan antar pulau yang sebelumnya merupakan wilayah perairan internasional (wilayah bebas) resmi menjadi wilayah kedaulatan Indonesia. Konsekuensinya Indonesia harus menyediakan jalur lalu lintas internasional yang membelah kepulauan Indonesia, yakni Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI): ALKI I membelah antara pulau Sumatera dengan pulau Jawa dan pulau Kalimantan (choke point 2);

100 ALKI II membelah antara pulau Kalimantan dan pulau Jawa dengan pulau Sulawesi dan pulau Bali serta pulau-pulau NTB dan NTT (choke point 3); ALKI III membelah antara pulau Sulawesi, pulau Bali serta pulau-pulau NTB dan NTT 257 dengan pulau Papua (choke point 4); dan pulau Maluku Selat Malaka yang membelah antara pulau Sumatera sampai pulau Natuna dengan negara Malaysia dan negara Singapura (choke point 1). Wilayah Negara Indonesia berbatasan darat dan atau laut yang didasarkan pada 185 titik dasar dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, yaitu Australia, India, Kepulauan Palau, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam. Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas dasar Konvensi Hindia Belanda dan Inggris Tahun 1891, Tahun 1915, dan Tahun Sedangkan Batas darat antara Indonesia dan Timor Leste ditetapkan atas dasar Konvensi tentang Penetapan Batas Hindia Belanda dan Portugal Tahun 1904 dan Keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) Tahun Serta Batas darat antara Indonesia dan Papua Nugini ditetapkan atas dasar Perjanjian Batas Hindia Belanda dan Inggris Tahun b. Permasalahan Perbatasan : Dengan batas darat sepanjang kurang lebih km, saat ini baru terbangun 189 pos pertahanan dari total kebutuhan minimal sebanyak 396 pos pertahanan. Selain itu, dari 92 Pulau terdepan (terluar) baru 12 pulau yang memiliki pos pertahanan. Permasalahan perbatasan Indonesia antara lain meliputi: yang dihadapi 258 1) Garis Batas Darat Indonesia-Malaysia masih menyisakan 10 daerah bermasalah yaitu : a) Tanjung Datu; b) Gunung Raya; c) Gunung Jagoi/S. Buan; d) Batu Aum; e) Titik D 400; f) P. Sebatik, tugu di sebelah barat P. Sebatik; g) S. Sinapad; h) S. Semantipal, i) Titik C C 600; dan j) Titik B B ) Permasalahan Garis Batas Darat antara Indonesia-PNG adalah daerah Wara Smoll yang merupakan wilayah NKRI tetapi telah dihuni, diolah, dan dimanfaatkan secara ekonomis, administratif, serta sosial oleh warga PNG yang sejak dahulu dilayani oleh pemerintah PNG. 3) Garis Batas Indonesia dan Timor Leste yakni belum sepenuhnya sepakat dengan garis batas darat untuk daerah Noel Besi, Manusasi, dan Dilumil/Memo. Isu-isu yang berkaitan dengan tapal batas (border), baik dalam pengertian fisik maupun maya,

101 selalu menjadi pertimbangan pokok. Perspektif apapun yang menjadi pijakan utama, keamanan nasional (national security) atau keamanan manusia (human security), harus dipertimbangkan. Angin puting beliung, gempa bumi, tsunami adalah merupakan ancaman terhadap keamanan manusia yang sebagian besar diantaranya ditentukan oleh kondisi geografis. Penyebaran konflik komunal tampaknya juga sedikit terbendung oleh faktor geografis, sebagaimana terjadi di Afrika, Balkan, dan Asia 259 Tengah. Keberadaan Indonesia di antara dua benua dan dua samudera tentu juga membawa implikasi geopolitik maupun geostrategi tertentu. Bagaimana mewujudkan keunggulan superioritas kondisi geografis tertentu menjadi keunggulan dalam faktor-faktor yang lebih luas. Pada masa modern, superioritas kekuatan laut cenderung menimbulkan superioritas kekuatan darat daripada kecenderungan keunggulan kekuatan di darat untuk meraih kemenangan di laut. 2. Bangsa Indonesia Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarga-negaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya, negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warga negaranya. Sesuai Undang- Undang RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia menjelaskan bahwa Undang-Undang ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau universal, yaitu asas ius sanguinis, ius soli, dan campuran. Adapun asas-asas yang dianut dalam UndangUndang ini sebagai berikut: Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. 260 Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan UndangUndang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yaitu: Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarga-negaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.

102 261 Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal 262 yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya. Bangsa Indonesia terdiri dari keanekaragaman Ras, keanekaragaman Suku Bangsa dan keanekaragaman Agama, yang dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Keanekaragaman Ras Penduduk di kepulauan Indonesia tidak semua berasal dari ras yang sama, bahkan penduduk pribuminya juga tidak berasal dari ras yang sama, meskipun sebagian terbesar penduduk pribumi dapat digolongkan sebagai ras melayu, penduduk di Irian Jaya berasal dari ras yang lain, begitupun dengan penduduk pribumi diberbagai daerah lainnya. Selain penduduk pribumi, di kepulauan ini juga terdapat berbagai golongan penduduk yang sebagian atau sepenuhnya berasal dari ras-ras di luar wilayah Indonesia, seperti ras Arab, ras China dan ras Belanda dan sebagainya, sehingga ada penduduk yang masih murni berasal dari negara asalnya dan ada penduduk yang merupakan keturunan maupun peranakan hasil asimilasi dengan penduduk pribumi. Pembedaan ras asli

103 263 atau murni dari negeri, keturunan maupun peranakan yang telah lama tinggal di Indonesia cenderung mewujudkan kebudayaan tersendiri yang berakar pada kebudayaan asing maupun pada kebudayaan pribumi, tetapi sebagai keseluruhan merupakan kebudayaan tersendiri. Disamping itu timbul pembedaan nama misalnya: orang-orang asli keturunan Arab disebut Wulaiti, sedangkan orang-orang Arab peranakan disebut Mulawad. Pada orangorang golongan keturunan China diadakan pembedaan antara orang Singkek dan Peranakan China, begitu juga Belanda totok dan Belanda Indo dan seterusnya. Apapun pemikiran seseorang tentang pembedaan ras, kehadiran golongan ras yang berbeda pada penduduk di kepulauan Indonesia, diantara kita sesama orang Indonesia, bangsa Indonesia yang tidak dapat disangkal, itu adalah suatu kenyataan. Kenyataan ini harus kita terima sebagaimana adanya, tetapi kita harus berusaha agar supaya pembedaan ras tidak menjadi penghalang kesatuan dalam persatuan bangsa kita, bangsa Indonesia. b. Keanekaragaman Suku Bangsa. Penduduk pribumi di kepulauan kita, yang sejak permulaan tahun 1920 mulai kita namakan Kepulauan Indonesia, terdiri dari beranekaragam suku bangsa. Bahkan sebelum kita mulai menganggap diri kita sebagai satu bangsa yakni bangsa 264 Indonesia, suku-suku bangsa ini biasa dinamakan bangsa, seperti bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa Batak, bangsa Sunda dan bangsa Bugis dan sebagainya. Masing-masing suku bangsa mempunyai wilayah kediaman sendiri, tanah air sendiri, daerah tempat kediaman para nenek moyang suku bangsa yang bersangkutan pada umumnya dinyatakan melalui mitos yang meriwayatkan asal usul suku bangsa yang bersangkutan. Setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan sendiri, nilai-nilai, aturan-aturan dan kepercayaan tertentu. Masing-masing suku bangsa juga mempunyai bahasa sendiri, struktur masyarakat sendiri dan sistem politik sendiri. Anggotaanggota masing-masing suku bangsa mempunyai identitas sendiri, sehingga dalam keadaan tertentu mereka cenderung mewujudkan rasa setia kawan, solidaritas, dan ikatan emosional dengan sesama anggota suku bangsa asal yang dinamakan primordialisme. c. Keanekaragaman Agama. Dengan adanya pembedaan suku bangsa tersebut diatas, masing-masing suku bangsa memiliki agama warisan nenek moyang masing-masing. Perwujudan agama warisan nenek moyang ini sering dianggap tahayul bilamana dilihat dari sudut pandang agama-agama yang lebih besar, agama-agama dunia. Tetapi dalam kenyataan kepercayaan- 265 kepercayaan nenek moyang ini merupakan suatu sistem keagamaan sendiri yang pada umumnya cukup rumit bilamana dikaji dengan teliti. Perwujudan agama demikian dapat terlihat misalnya, apa yang disebut agama Jawa, agama Batak, agama Bugis dan sebagainya, selain mengandung kepercayaan-kepercayaan tertentu, masing-masing agama ini bisa dinamakan agama pribumi, mewujudkan filsafat tertentu, nilai-nilai tertentu dan aturanaturan tertentu termasuk pengaturan upacara-upacara tertentu. Dahulu perwujudan agama pribumi ini dinamakan animisme, yang dianut oleh anggota masyarakat daerah asal suku yang bersangkutan, secara sadar ataupun tidak sadar. Walaupun orang-orang santri islam, santri kristen atau santri agama dunia lainnya cenderung menolak perwujudan agama-agama pribumi ini dan menyatakan bahwa kepercayaan-kepercayaan atau upacara-upacara agama pribumi bukan perwujudan dari suatu agama. Agama-agama dunia seperti agama islam, hindu, budha, kristen protestan, katolik roma dan sikh yang masing-masing mempunyai kepercayaan-kepercayaan tersendiri, filsafat sendiri, pengetahuan sendiri, nilai-nilai dan aturan-aturan tersendiri serta beraneka ragam perlambang yang digunakan dalam penyelenggaraan kegiatan yang bersifat keagamaan. Masing-masing agama dunia 266 ini dapat dikatakan mempunyai kebudayaan tersendiri. Masing-masing agama dunia ini juga mempunyai para ahlinya sendiri dan pejabat-pejabat yang mempunyai wewenang tertentu dalam

104 kehidupan umat agama yang bersangkutan. Agama dunia yang terdapat di kepulauan Indonesia ini berasal dari luar negeri atau berasal dari arah barat atau negara barat. Seringkali orang kita, orang Indonesia yang berbicara tentang pengaruh kebudayaan barat dan menyatakan kekawatiran tentang kemungkinan westernisasi tidak sadar bahwa agama yang dijadikan berpijak dalam mengemukakan pendapat atau melontarkan kekawatirannya juga berasal dari Barat. Perbedaan agama merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan karena pada umumnya penganut masingmasing agama berkeyakinan penuh atas kebenaran agama yang dianutnya. Biasanya apa yang dijadikan keyakinan dan kepercayaan (agama) seseorang tidak bisa diubah dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Oleh sebab itu, kenyataan penduduk kepulauan kita mewujudkan perbedaan agama harus diterima sebagai kenyataan yang tidak bisa diubah. Masalah yang kita hadapi bersama adalah bagaimana caranya umat yang masing-masing akan bertahan terus sebagai umat tersendiri, 267 dapat hidup bersama dengan sesama warga negara yang merupakan bagian dari umat agama yang lain sebagai satu bangsa yang bersatu, satu masyarakat moral. Perbedaan ras, suku bangsa, dan agama dari penduduk Indonesia, masing-masing dengan kebudayaan tersendiri, harus ditanggapi bukan sebagai keadaan yang menghambat persatuan dan kesatuan bangsa kita, melainkan sebagai kekayaan budaya yang dapat dijadikan sumber pengkayaan kebudayaan nasional kita, kebudayaan yang bermakna bagi kita semua sebagai satu bangsa, serta pengkayaan kebudayaan-kebudayaan daerah, kebudaya-an-kebudayaan agama ataupun kebudayaan orang-orang peranakan. Kebudayaan nasional tidak sama dengan kebudayaan masyarakat daerah tertentu dan tidak juga sama dengan penjumlahan seluruh kebudayaan daerah di kepulauan ini. Kebudayaan nasional adalah kebudayaan kita bersama, kebudayaan yang mempunyai makna bagi kita semua sebagai bangsa Indonesia. Kebudayaan nasional ini mengandung nilainilai tertentu, dengan nilainilai Pancasila sebagai inti, dan semakin banyak aturan yang diberlakukan bagi anggota masyarakat Indonesia, aturan-aturan tertulis seperti UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya maupun aturan-aturan yang tidak tertulis. 268 D. Pelaku Penyelenggara Pertahanan Negara 1. Pengelola Pertahanan Negara Pengelolaan pertahanan negara adalah segala kegiatan pada tingkat strategis dan kebijakan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pertahanan negara. Pengelola pertahanan negara yang diatur oleh Undang-Undang, terdiri dari Presiden, Dewan Pertahanan Nasional, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI. a. Presiden. Pengelolaan sistem pertahanan negara adalah merupakan kewenangan dan tanggung jawab Presiden. Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, Presiden berwenang menetapkan kebijakan umum pertahanan negara meliputi upaya membangun, memelihara dan mengembang-kan secara terpadu dan terarah segenap komponen pertahanan negara. Kebijakan umum tersebut selanjutnya dijadikan acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara. b. Dewan Pertahanan Nasional. Dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara, Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional yang berfungsi sebagai penasehat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara. Adapun tugasnya antara lain:

105 269 1) Menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu pertahanan negara agar Kementerian pemerintah, lembaga pemerintah non Kementerian, dan masyarakat beserta Tentara Nasional Indonesia dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam men-dukung penyelenggaraan pertahanan negara. 2) Menelaah, menilai, dan menyusun kebijakan terpadu pengerahan komponen pertahanan negara dalam rangka mobilisasi dan demobilisasi. 3) Menelaah dan menilai resiko dari kebijakan yang akan ditetapkan. Dewan Pertahanan Nasional dipimpin oleh Presiden dengan keanggotaan, terdiri atas anggota tetap dan anggota tidak tetap dengan hak dan kewajiban yang sama. Anggota tetap terdiri atas Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Panglima. Sedangkan anggota tidak tetap terdiri atas pejabat pemerintah dan nonpemerintah yang dianggap perlu sesuai dengan masalah yang dihadapi. c. Menteri Pertahanan. Selain memimpin Kementerian Pertahanan (Kemhan), juga membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan umum pertahanan negara dan menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara 270 berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan Presiden. Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, Menteri bertugas: d. 1) Menyusun buku putih pertahanan serta menetapkan kebijakan kerja sama bilateral, regional, dan internasional di bidangnya. 2) Merumuskan kebijakan umum penggunaan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya. 3) Menetapkan kebijakan penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang diperlukan oleh Tentara Nasional Indonesia dan komponen pertahanan lainnya. 4) Bekerjasama dengan pimpinan Kementerian dan instansi pemerintah lainnya serta menyusun dan melaksanakan perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan

106 pertahanan. Panglima TNI. Selain memimpin Tentara Nasional Indonesia, Panglima TNI menyelenggarakan perencanaan strategi dan operasi militer, pembinaan profesi dan kekuatan militer, serta memelihara kesiagaan operasional. 271 Atas keputusan politik negara Panglima TNI berwenang menggunakan segenap komponen pertahanan negara dalam penyelenggaraan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang, serta bertanggung jawab kepada Presiden dalam penggunaan komponen pertahanan negara dan bekerja sama dengan Menteri dalam pemenuhan kebutuhan Tentara Nasional Indonesia. e. 2. Kewenangan DPR. Dalam UU No. 3 Tahun 2002 disebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan umum pertahanan negara dan dapat meminta keterangan tentang penyelenggaraan dan pengelolaan pertahanan negara. (Pasal 24 UU No. 3 Tahun 2002). Rumusan demikian hanya menetapkan mekanisme pengawasan melalui forum rapat kerja dan dengar pendapat (hearing) dengan pemerintah dan TNI. Doktrin Pertahanan Negara Indonesia mempunyai karakteristik geografi yang terdiri atas gugusan Kepulauan Nusantara, yang terletak di posisi silang dengan aneka ragam sumber daya alam dan demografi yang majemuk wajib dilindungi dan dipertahankan. Kondisi Indonesia tersebut di satu sisi mengandung kekuatan besar untuk didayagunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tetapi di sisi lain juga mengisyaratkan suatu tantangan yang besar bagi pengelolaan dan pengamanannya yang berimplikasi terhadap 272 diperlukannya pem-bangunan dan pengelolaan sistem pertahanan negara yang handal. Berdasarkan hal tersebut di atas, negara memerlukan pendekatan pertahanan yang komprehensif dalam menghadapi setiap ancaman dengan memadukan seluruh kekuatan bangsa, baik kekuatan militer maupun nirmiliter. Keterpaduan kekuatan militer dan nirmiliter merupakan pengejawantahan sistem pertahanan yang dianut bangsa Indonesia, yakni sistem pertahanan yang bersifat semesta. Upaya pertahanan negara merupakan tanggung jawab dan kehormatan setiap warga negara Indonesia yang diselenggarakan melalui fungsi pemerintah. Agar penyelenggaraan fungsi pertahanan negara terlaksana secara efektif sesuai dengan nilai-nilai ke-indonesiaan sebagai negara demokrasi yang merdeka, berdaulat, dan berdasarkan hukum, diperlukan suatu doktrin untuk menuntun setiap unsur yang terlibat. Oleh karena itu, Doktrin Pertahanan Negara Indonesia ditetapkan sebagai pengejawantahan tekad, prinsip, dan kehendak untuk menyelenggarakan pertahanan negara. Sesuai Buku Doktrin Pertahanan Negara tahun 2007 Doktrin Pertahanan Negara adalah Dwi Dharma Nusantara selanjutnya dijadikan sebagai salah satu perangkat utama dalam mengembangkan kebijakan dan strategi pertahanan negara. Doktrin Pertahanan Negara berisi ajaran serta prinsip-prinsip fundamental yang digali dari pengalaman bangsa Indonesia serta dalam mengelola perkembangan lingkungan strategis baik global maupun regional. Ajaran dan prinsip fundamental dimaksud menuntun bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan pertahanan negara. Strategi Pertahanan Negara Strategi Pertahanan Negara Republik Indonesia bersifat defensif aktif, yang mengandung pengertian bahwa pertahanan negara tidak ditujukan untuk melancarkan agresi

107 terhadap negara lain, namun secara aktif menangkal, mencegah dan mengatasi segala bentuk ancaman yang ditujukan terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Strategi Pertahanan Negara disusun untuk menghadapi segala ancaman terhadap pertahanan negara, baik yang bersifat militer maupun bersifat nonmiliter sebagaimana diamanatkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Strategi pertahanan yang tepat harus mampu menjawab tiga pertanyaan penuntun yang mendasar, yaitu apa yang dipertahankan, dengan apa mempertahankannya, serta bagaimana mempertahankannya. Esensi penyelenggaraan pertahanan negara adalah menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam wadah NKRI. Indikator keberhasilan penyelenggaraan pertahanan negara tercermin dalam daya tangkal bangsa terhadap setiap ancaman yang membahayakan kehidupan bangsa dan negara, baik dari luar maupun yang timbul di dalam negeri. Agar dapat menjamin tetap tegaknya NKRI sekaligus mampu merespons tantangan pertahanan negara ke depan, maka pertahanan 274 negara diselenggarakan dalam Sistem Pertahanan Semesta dengan memperhatikan kondisi geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Dalam konteks tersebut strategi pertahanan negara dikembangkan dalam wujud Strategi Pertahanan Berlapis yang menyinergikan lapis pertahanan militer dengan lapis pertahanan nirmiliter sebagai satu kesatuan pertahanan negara yang utuh dan saling menyokong. Strategi Pertahanan Berlapis merupakan manifestasi dari keikutsertaan seluruh warga negara Indonesia dalam upaya pertahanan negara dengan mendayagunakan segenap sumber daya nasional secara maksimal. Implementasi dari Strategi Pertahanan Berlapis diwujudkan dalam lapis pertahanan militer dengan TNI sebagai inti kekuatan pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer dibantu oleh komponen cadangan dan komponen pendukung dalam menghadapi ancaman militer serta disokong oleh lapis pertahanan nirmiliter yang menyelenggarakan fungsifungsi diplomasi, ekonomi, psikologi, teknologi dan informasi serta keselamatan umum. Keterpaduan antara pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter menghasilkan daya tangkal yang mampu mencegah dan mengatasi setiap bentuk ancaman. Daya tangkal bangsa melalui Strategi Pertahanan Berlapis bertumpu pada kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang kuat, profesional, serta disegani, mampu melaksanakan operasi militer perang (OMP), dan operasi militer selain perang (OMSP), disokong oleh kapabilitas pertahanan nirmiliter yang manunggal dengan TNI. 275 Sokongan pertahanan nirmiliter dalam pertahanan negara diwujudkan dalam pembangunan nasional untuk menyejahterakan rakyat yang berkeadilan serta merefleksikan kemampuan diplomasi dengan posisi tawar yang tinggi, ekonomi yang kuat dan berdaya saing, faktor psikologi bangsa yang memancarkan nasionalisme yang tinggi dengan rasa persatuan dan kesatuan bangsa, serta penguasaan iptek untuk mewujudkan kemandirian bangsa. Peran pertahanan nirmiliter diselenggara-kan melalui upaya diplomasi sebagai lini depan pertahanan, serta diperkuat oleh peran rakyat melalui kekuatan politik, ekonomi, psikologi, informasi, dan teknologi. 4. Komponen Pertahanan Negara Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan negara, maka Pertahanan negara diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa serta menanggulangi setiap ancaman. Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi 276 guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan

108 lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Penggolongan pelaku pertahanan negara tersebut tidak berarti bangsa dan pemerintah Indonesia mengabaikan konvensi yang mengatur penggunaan personel combatan dan non combatan dalam suatu penyelenggaraan perang dengan menggunakan cara-cara militer. Penggolongan tersebut lebih ditujukan untuk mengkombinasikan peran dan semangat bela negara yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Semangat bela negara tersebut bukan hanya dalam arti mengorbankan jiwa dan raga, tetapi dalam konteks kesemestaan dapat diwujudkan dalam bentuk peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kemampuan pengelolaan sumber daya alam dan buatan, peningkatan pemahaman dan penyelesaian permasalahan internal bangsa, yang kesemuanya mengarah pada terwujudnya kemandirian bangsa Indonesia dan semakin 277 kokohnya semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Pertahanan negara diselenggarakan oleh pemerintah dan dipersiapkan secara dini dalam suatu sistem pertahanan yang bersifat semesta. Sistem pertahanan ini berintikan usaha membangun dan membina kemampuan dan daya tangkal negara dan bangsa serta menanggulangi setiap ancaman. Untuk mendukung kepentingan pertahanan negara, sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang berada di dalam dan/atau di luar pengelolaan departemen yang membidangi pertahanan, harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, baik sebagai komponen cadangan maupun komponen pendukung. Sesuai Pasal 7 ayat (2) Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Dalam kaitan ini, apa yang dimaksud ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi dan dinilai mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Sementara itu Pasal 8 ayat (1) komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui 278 mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Melalui penetapan ini, pada dasarnya pola penyelenggaraan pertahanan negara dibagi dalam tiga komponen: (1) komponen utama (dalam hal ini TNI), (2) komponen cadangan (yaitu sumber daya nasional beserta sarana dan prasarana nasional yang memenuhi syarat dan dipilih, dibentuk, dan dilatih sebagai kekuatan pengganda komponen utama), dan (3) kompenen pendukung (yaitu sumber daya nasional dan sarana prasarana yang diorganisir dan disiapkan agar mendukung logistik pertahanan semesta). Komponen Cadangan dibentuk dan dipersiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI. Mobilisasi merupakan tindakan politik dari pemerintah melalui pernyataan Presiden untuk mengerahkan dan menggunakan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional sebagai kekuatan pertahanan. Komponen Pendukung adalah sumber daya nasional selain Komponen Utama dan Komponen Cadangan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan. Komponen Pendukung dikelompokkan dalam lima suku komponen pendukung, yakni Garda Bangsa/Para militer, tenaga ahli sesuai dengan profesi dan bidang keahliannya, warga negara lainnya, industri nasional, sarana dan prasarana, serta sumber daya buatan dan sumber daya alam yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan sebagaimana gambar dibawah. 279 (Sumber Buku Putih Pertahanan tahun 2008) E.

109 Permasalahan Bidang Pertahanan Negara. 1. Kondisi Umum. Keamanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan perwujudan dari salah satu tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini merupakan prasyarat bagi terwujudnya tiga tujuan bernegara lainnya 280 sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD Tahun Sebagai bagian dari masyarakat dunia, keamanan nasional NKRI yang mencakup pertahanan negara, keamanan dalam negeri, keamanan dan ketertiban masyarakat, serta keamanan sosial baik secara langsung maupun tidak langsung sangat dipengaruhi oleh dinamika politik, ekonomi, kesejahteraan, sosial, dan budaya di dalam negeri, serta dinamika keamanan di kawasan Regional dan Internasional. Meskipun dalam jangka waktu lima tahun ke depan kemungkinan terjadinya perang sangat kecil, sebagai negara berdaulat Indonesia harus mempersiapkan kekuatan militer, agar sewaktuwaktu siap untuk dikerahkan; apabila terjadi ancaman militer terhadap kedaulatan NKRI. Dari pengalaman beberapa dekade terakhir ini, Indonesia juga pernah mengalami embargo persenjataan dari luar negeri. Berdasarkan pengalaman pahit tersebut, kemampuan serta pemberdayaan industri pertahanan nasional perlu ditingkatkan, agar mampu mandiri dan tidak tergantung kepada pihak luar. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang dua pertiga luas wilayahnya merupakan perairan/laut; maka tidak mengherankan apabila banyak terjadi gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut. Oleh karena itu diperlukan upaya khusus untuk mencegah dan menanggulangi gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional Indonesia. Dewasa ini kepentingan ekonomi serta penguasaan sumber daya alam, migas, dan air 281 bersih lebih mewarnai berbagai permasalahan keamanan nasional suatu negara, termasuk Indonesia. Ancaman dan gangguan terhadap keamanan nasional dilancarkan tidak hanya oleh negara, tetapi juga oleh aktor-aktor bukan negara (non-state actors). Secara nyata bentuk ancaman dan gangguan terhadap keamanan nasional suatu negara termasuk Indonesia, telah sedemikian berkembang tidak hanya berbentuk ancaman militer, tetapi juga berbentuk ancaman non-militer dengan menggunakan teknologi canggih dan bersifat lintas negara. Kompleksitas permasalahan keamanan nasional acap kali timbul bersamaan dengan munculnya isu-isu global seperti HAM, demokrasi, lingkungan hidup, good governance, dan terorisme. Penggunaan kombinasi operasi soft power melalui diplomasi, ekonomi, finansial, sosialbudaya, dan media, dengan operasi hard power melalui pengerahan militer cenderung digunakan oleh negara-negara tertentu untuk memaksakan kepentingannya terhadap negara lain. Pada akhirnya segala kerawanan tersebut berdampak merugikan terhadap keutuhan wilayah, kedaulatan negara, kesejahteraan masyarakat, lingkungan hidup dan seluruh peri kehidupan lainnya. Semenjak kemerdekaan sampai dengan saat ini, bangsa dan negara Indonesia telah berulang kali mengalami pergulatan dengan permasalahan keamanan nasional seperti pemberontakan bersenjata yang melawan konstitusi negara (insurgency) Wilayah Perbatasan (terluar). dan Pulau Terdepan

110 Penegasan garis batas Indonesia dengan negara tetangga belum sepenuhnya tuntas. Pada saat ini penegasan garis batas darat Indonesia-Malaysia masih menyisakan 10 daerah bermasalah yaitu: a. Tanjung Datu; b. Gunung Raya; c. Gunung Jagoi/S. Buan; d. Batu Aum; e. Titik D 400; f. P. Sebatik, tugu di sebelah barat P. Sebatik; g. S. Sinapad; h. S. Semantipal, i. Titik C 500-C 600; dan j. Titik B 2700-B Sedangkan permasalahan garis batas darat antara Indonesia-PNG adalah daerah Wara Smoll yang merupakan wilayah NKRI tetapi telah dihuni, diolah, dan dimanfaatkan secara ekonomis, administratif, serta sosial oleh warga PNG yang sejak dahulu dilayani oleh pemerintah PNG. Selain itu, Indonesia, dan Timor Leste juga belum sepenuhnya sepakat dengan garis batas darat untuk daerah Noel Besi, Manusasi, dan Dilumil/Memo. Permasalahan batas laut Indonesia dengan negara tetangga juga belum sepenuhnya terselesaikan. Berdasarkan Royal Proclamation Tanggal 23 Pebruari 1981, secara sepihak Thailand mengumumkan ZEE berjarak 200 NM dari baselines Thailand dan mengusulkan landas kontinen dengan ZEE berhimpit, Namun sesuai dengan UNCLOS 82 Indonesia berpendapat ZEE mempunyai rejim hukum yang berbeda dengan landas kontinen. Sementara itu, Malaysia mengklaim Blok Ambalat di laut Sulawesi dan tidak konsisten dengan UNCLOS 1982 meskipun 283 ZEE belum ditetapkan, sedangkan Indonesia berpendapat Blok Ambalat adalah sah secara hukum milik Indonesia. Kerawanan di wilayah perbatasan juga sangat terkait dengan jumlah pos pertahanan di wilayah perbatasan darat dan di pulau terdepan (terluar) yang masih relatif kurang. Dengan batas darat sepanjang kurang lebih km, saat ini baru terbangun 189 pos pertahanan dari total kebutuhan minimal sebanyak 396 pos pertahanan. Selain itu, dari 92 Pulau terdepan (terluar) baru 12 pulau yang memiliki pos pertahanan. 3. Industri Pertahanan. Industri pertahanan merupakan salah satu pilar penting keamanan nasional terutama pertahanan negara. Kemandirian industri pertahanan nasional akan mengurangi ketergantungan alutsista TNI dan alat utama POLRI, memperkecil resiko dan kerawanan serta kelangkaan alustsita yang diakibatkan oleh embargo, dan sekaligus dapat meningkatkan efek penggentar pertahanan negara. Secara umum peran industri pertahanan nasional dalam keamanan nasional relatif belum maksimal, yaitu dicerminkan dari potensi Industri pertahanan yang belum sepenuhnya dapat direalisasikan dan termanfaatkan dalam sistem keamanan nasional. Pengadaan Alustsista TNI dan alat utama POLRI dari luar negeri seyogyanya dihindari jika Alutsista dan peralatan utama tersebut sudah dapat diproduksi oleh industri pertahanan nasional. Pengadaan Alutsista TNI dan alat utama POLRI dari luar negeri sedapat mungkin 284 harus dikaitkan dengan proses alih teknologi, offset dan kerjasama produksi sehingga memperkuat industri pertahanan nasional dan memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia. Di sisi lain, industri pertahanan nasional yang saat ini identik dengan inefisiensi, kurang kompetitif, dan tidak memiliki keunggulan komperatif, dan tidak mampu memenuhi persyaratan dalam kontrak, juga harus mentransformasi perilaku bisnisnya agar mampu mengemban kepercayaan yang telah diberikan, yang antara lain dicerminkan dari kesesuaian harga dan kualitas produk serta ketepatan waktu penyerahan. Berbagai permasalahan dalam pengembangan industri pertahanan ini sangat terkait dengan ketersediaan dan belum solidnya payung hukum, kelembagaan, dukungan penelitian dan pengembangan, serta dukungan finansial. Untuk itu, penyusunan road map industri pertahanan nasional merupakan tantangan yang harus segera di atasi dalam lima tahun mendatang agar peran industri pertahanan nasional semakin signifikan dalam mewujudkan keamanan nasional terutama dalam mendukung pengadaan alutsista TNI dan alat utama Polri. 4. Gangguan Keamanan dan Pelanggaran Hukum di Wilayah Laut Yurisdiksi Nasional. Luasnya wilayah perairan Indonesia yang dihadapkan pada keterbatasan sarana dan prasarana penjagaan dan pengawasan terutama kapal patroli, surveillance system, dan pos-pos pertahanan dan keamanan mengakibatkan masih banyaknya area yang tidak terjangkau operasi

111 285 pengawasan dan pengamanan. Akibatnya, banyak gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di wilayah laut yurisdiksi nasional yang tidak dapat ditangani dan merugikan negara. Kondisi ini juga terkait dengan intensitas operasi yang sangat terbatas baik yang dilakukan secara terpadu maupun secara mandiri oleh lembagalembaga yang berwenang di laut. Sebaliknya, ancaman dan gangguan keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional terus berkembang dan diperkirakan akan jauh meningkat di masa depan. Dengan kemampuan permodalan yang sangat kuat, penguasaan teknologi canggih, serta penggunaan kapal yang modern dan berkecepatan tinggi, tindak pelanggaran hukum seperti penangkapan ikan liar dan pembakalan liar diperkirakan akan semakin marak dan lebih sulit diatasi. 5. Keamanan dan Keselamatan Pelayaran di Selat Malaka dan ALKI. Wilayah internasional di Selat Malaka dan tiga jalur ALKI secara umum kondisinya semakin aman, terutama dari tindak kejahatan perompakan yang menimpa kapal-kapal asing. Namun, dunia pelayaran internasional masih menempatkan Selat Malaka dan perairan internasional Indonesia lainnya sebagai wilayah yang relatif berbahaya bagi pelayaran kapalkapal asing. Selain itu, munculnya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1816 pada tanggal 2 Juni 2008 yang memberikan kewenangan kepada cooperating states untuk melakukan penegakan hukum terhadap perompak di sekitar perairan Somalia, telah memunculkan kekhawatiran bagi negara-negara pantai, dan merupakan tantangan antara Indonesia bersama-sama dengan Singapura dan Malaysia untuk meningkatkan kerjasama trilateral pengamanan Selat Malaka. Terorisme. Perkembangan aksi terorisme mengindikasikan bahwa sangat mungkin di masa depan aksi terorisme berpotensi menggunakan persenjataan biologi maupun kimia dan bahkan persenjataan nuklir mengingat ketersediaan dan perdagangan teknologi, persenjataan biologi dan kimia, serta bahan nuklir cenderung semakin sulit dikontrol sepenuhnya. Selain itu, aksi terorisme yang melibatkan warga negara Indonesia dengan didukung kekuatan asing juga menunjukkan bahwa terorisme di Indonesia masih merupakan bahaya laten. Di masa mendatang, selain pengungkapan, penegakan hukum dan penuntasan jaringan terorisme, tantangan berat lainnya adalah meyakinkan dan memaksimalkan peran seluruh komponen bangsa dan negara serta masyarakat bahwa terorisme adalah musuh yang harus dihadapi secara bersama-sama dan sekuat tenaga sehingga aksi terorisme di wilayah NKRI dapat tercegah. 7. Keamanan informasi negara yang masih lemah. Meningkatnya potensi gangguan keamanan dalam negeri, baik karena faktor eksternal luar negeri maupun internal dalam negeri memerlukan peningkatan langkah antisipasi, 287 terutama dari aspek pengamanan rahasia negara dan deteksi dini, agar potensi gangguan keamanan tersebut dapat diredam. Namun, cakupan pengamanan rahasia negara yang baru mencapai 36 % berpotensi terjadinya kebocoran rahasia negara. Masih banyak daerah dan kota strategis belum terjangkau sistem persandian nasional (Sisdina) yang berpotensi mengganggu komunikasi strategis di antara pimpinan pemerintah di pusat dan daerah. Di sisi lain, ketertinggalan teknologi deteksi dini dapat mengganggu kinerja intelijen dalam pengumpulan data gangguan keamanan nasional. 288

112 289 BAB V TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI Setelah membaca Bab ini, calon peserta Diklat Setelah membaca ini, calon Diklat diharapkan mampu Bab memahami dan peserta menjelaskan diharapkan mampu memahami dan menjelaskan Kondisi pengertian dan tentang pengertian dan sistem, Geografi dan Demografi Indonesia, Permasalahan prinsip-prinsip penyelenggaraan pertahanan negara Konflik Separatisme, obyek pertahanan negara pelaku penyelenggara pertahanan negara A. Kondisi Geografi dan Demografi Indonesia Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan satu negara kepulauan yang terbesar didunia, terdiri dari beberapa pulau besar dan ribuan pulau kecil, terletak merata tersebar dikawasan perairan nusantara, dengan jumlah pulau sebanyak buah, dengan luas seluruh wilayah nusantara termasuk ZEE sebesar 7,8 juta Km2, wilayah daratan sebesar 1,9 juta Km2 sedang wilayah lautan sebesar 5,9 juta Km2 (termasuk landas kontinen 2,8 juta Km2 ) dengan panjang garis pantai Km. Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi untuk menjadi negara besar (super power) apabila ditinjau dari aspek-aspek jumlah penduduk, luas wilayah, kekayaan sumberdaya alam, kebhinnekaan agama, etnis dan kultur yang dimiliki Indonesia. Wilayah negara yang luas memungkinkan ruang gerak yang cukup, bersifat positif sebagai lapisan pertahanan dan keamanan negara. Tetapi disisi lain, pengelolaan wilayah yang sangat luas memerlukan satu upaya yang besar untuk menghadapi kendala-kendala ruang dan waktu serta potensial menimbulkan konflik baik intern dalam negeri maupun ekstern luar negeri khususnya tentang perbatasan. 290 Di beberapa wilayah yang posisinya strategis dari sudut geo-maritime strategy untuk pengawasan jalur laut, pada saat ini sedang mengalami gejolak akibat kerusuhan bernuansa SARA dan separatisme. Misalnya Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yang penting bagi pengawasan jalur laut ke Samudera Hindia dan Selat Malaka, Propinsi Riau untuk mengawasi Selat Malaka, Pulau Lombok untuk mengawasi Selat Lombok, Pulau Ambon untuk mengawasi Laut Banda, atau Pulau Buru, Pulau Ternate dan Pulau Halmahera untuk mengontrol jalur Laut Maluku sampai Samudera Pasifik. Makna dari geopolitik dan geostrategik yang tertuang dalam Wawasan Nusantara hendaknya dapat dijadikan faktor pengontrol lalulintas perdagangan dari Timur ke Barat menuju Laut Cina Selatan dan ke Samudera Pasifik atau sebaliknya yang melewati perairan laut Indonesia. Suatu negara yang anggota masyarakatnya majemuk khususnya di negara-negara berkembang di wilayah Asia, Afrika dan Pasifik, sering timbul konflik yang berpotensi disintegrasi. Indonesia yang masyarakatnya majemuk tidak ada jaminan dari figur politik sentral yang dapat mengatasi potensi disintegrasi itu, sebagai contoh dengan tumbangnya Presiden Soeharto telah menimbulkan beberapa konflik di beberapa daerah, karena tidak adanya pemimpin panutan yang dapat menjadi perekat. Dengan melihat perkembangan pada era reformasi ini, maka dinamika kebhinnekaan ras, suku dan budaya yang kondisinya masih belum kondusif akan membawa negara kita menuju ketidakstabilan dan konflik yang berkepanjangan? Dalam kondisi tertentu, demokrasi dapat dijalankan dalam masyarakat yang majemuk seperti Austria, Belgia, Belanda dan Swiss, tetapi negara-negara tersebut populasi penduduknya kecil dan kurang sebanding dengan Indonesia. 291 Kemiripan yang lebih tepat dengan penduduk yang besar dengan keanekaragaman etnik sebenarnya adalah Amerika Serikat (AS), tetapi AS tidak bisa dijadikan contoh karena perbedaan sosio kultural dan historis yang amat jauh. Negara AS dibangun atas dasar ideologi kapitalisme dengan inti politik luar negeri adalah imperialisme, keterbukaan etnik dengan menerima imigran dari seluruh dunia, penyebaran kebudayaan AS ke seluruh dunia melalui gaya hidup dan film-film serta bahasa Inggris AS telah menjadi bahasa pengantar ekonomi global dan sosial transnasional. Tradisi entrepreneur yang mengakar kuat serta etika kerja yang kuat dibidang industrialisasi dan demokrasi. Nilai-nilai budaya AS adalah nilai-nilai merkantil, materilistik dan kompetitif, dimana orang AS bersifat individualistis dan sangat tinggi menghargai keuntungan materi dalam setiap

113 kegiatan dan persaingan dianggap sebagai hal yang wajar. Globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dunia tanpa batas waktu dan ruang, informasi melalui media elektronika membuat transparansi, yang dikemas secara integralistik dan spesifik disebarluaskan dalam kecepatan tinggi dan akurat ke penjuru dunia dengan isu mengenai politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan suatu negara, serta berita aktual tentang suatu peristiwa yang terjadi di seluruh dunia. Dampak dari globalisasi dan perkembangan iptek tersebut akan mempengaruhi tatanan kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia yang sangat rentan karena heteroginitas suku, agama, ras dan kebudayaan (multi kultural). Dampak dari krisis moneter yang terjadi sejak tahun 1997 telah mempengaruhi tatanan kehidupan sosial bangsa Indonesia secara signifikan, krisis ekonomi tidak saja telah menimbulkan krisis pangan diseluruh Indonesia melainkan juga memicu berbagai krisis 292 sosial seperti terjadinya beragam kerusuhan dan tindak kekerasan. Krisis ekonomi dan keuangan juga dialami oleh negara-negara lain di Asia, seperti Korea Selatan, Malaysia, Thailand dan Pilipina, tetapi anehnya di Indonesia krisis ini berlarut-larut dan menerobos kewilayah-wilayah lain (politik, sosial, budaya dan sebagainya). Krisis berkepanjangan itu belakangan ini menampilkan dampak berantai (multiple effect) yang tidak terelakkan, seperti dibidang pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, hukum, etnisitas dan juga kehidupan rohani (agama). Semua bidang tersebut sangat rentan sebagai sumber masalah-masalah sosial, karena bertautan dengan wilayah sosialbudaya. Fakta menunjukkan bahwa bagian dari krisis dengan dampak berantai itu ialah kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial tersebut menampakkan diri dalam bentuk yang aslinya, yaitu pertikaian dan perselisihan antar-warga, antar-suku, antar-golongan dan antar-agama. Kemiskinan yang berkepanjangan secara ekonomi, sosial, dan pendidikan yang dialami masyarakat wilayah Indonesia Timur khususnya Papua (yang kaya akan sumberdaya alam dan wilayah yang sangat luas) semakin terasa mendera setelah suku-suku yang lain pendatang membangun sistem sosial-ekonomi mereka sendiri. Persoalan ini tidak diantisipasi dengan cermat oleh aparat pemerintahan, termasuk oleh aparat tingkat desa, akibatnya terjadi kristalisasi (latent) kecemburuan selama puluhan tahun. Daerah yang kaya akan sumberdaya alam tetapi penduduknya miskin tersebut belakangan menuntut memisahkan diri dari NKRI, termasuk Aceh, Riau dan Kalimantan Barat. 293 B. Permasalahan Konflik Separatisme. Indonesia sebenarnya terbentuk dari berbagai etnik (suku bangsa-suku bangsa) yang membentuk kelompok sosial yang terikat oleh hubungan kekerabatan, etnik atau suku bangsa-suku bangsa tersebut bergabung dalam kebangsaan atau nationnation karena merasa senasib untuk mengusir penjajah yang kemudian terintegrasi ke dalam nation Indonesia. Dalam dinamika pelaksanaan pembangunan yang tidak diimbangi dengan pengembangan nilai-nilai budaya yang menjamin rasa keadilan, demokrasi dan kebebasan berbudaya, persatuan etnik atau suku bangsa tersebut akan terganggu yang dapat menimbulkan perpecahan antar etnik atau suku bangsa dan dapat berkembang menjadi konflik separatisme. Beberapa pernyataan daerah atau sebagian komunitas etnik seperti Papua, Riau dan Kalimantan Barat yang menginginkan memisahkan diri dari NKRI mengindikasikan bahwa nation Indonesia cenderung melemah. Menurut pemikiran Franz Magnis Suseno dalam Persatuan Indonesia, Pancasila, Paham Kebangsaan dan Integritas Nasional berpendapat bahwa integrasi dan kohesi nasional tidak bersifat etnik melainkan bersifat etis, artinya yang mempersatukan masyarakat di nusantara sebagai bangsa Indonesia adalah sejarah yang dialami bersama, sebuah sejarah penderitaan, penindasan, perjuangan kemedekaan dan tekat membangun kehidupan bersama. Dari nasib bersama tersebut tumbuh hasrat untuk tetap bersama, maka dasar kesatuan bangsa Indonesia bukan tendensitendensi bawah sadar masing-masing golongan penduduk/etnis, melainkan sebuah tekad bersama. Sedangkan pemikiran founding father yang disampaikan pada rapat BPUPKI dalam perumusan Pancasila

114 294 tanggal 1 Juni 1945 membuktikan kebenaran dari teori Ernest Renan yang menyatakan bahwa dasar kebangsaan adalah le desir d etre ensemble yang maksudnya hasrat untuk bersama, dan teori Otto Bauer bahwa eine nation ist eine aus schicksals gemeinschaft erwachsene charakter gemeinschaft yang maksudnya bangsa adalah komunitas bercita-cita yang tumbuh dari komunitas senasib. Proses integrasi etnik-etnik di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sebagainya atas dasar kesepakatan para pemimpin daerah tersebut yang merasa senasib untuk membebaskan diri dari penjajah Belanda dan bertekat membangun kehidupan bersama dalam kerangka NKRI. Para pemimpin tersebut mampu memberi isi emosional kepada masyarakat setempat dengan cara mengurangi atau bahkan menghilangkan kesetiaan primordial untuk mendukung kepada kesetiaan nasional negara Indonesia yang akan dibentuk kemudian, sehingga loyalitas kedaerahan berubah menjadi loyalitas negara. Republik Indonesia terbentuk bukan karena dipersatukan oleh satu bahasa, atau oleh kesatuan etnis, budaya ataupun agama, tetapi menurut Proklamator Indonesia Soekarno bahwa integrasi dan kohesi nasional Indonesia tidak bersifat alamiah melainkan bersifat historis, artinya Indonesia bersatu bukan karena dipersatukan oleh satu bahasa, kesatuan etnis, kesatuan budaya maupun kesatuan agama, melainkan oleh rasa senasib dan hasrat untuk bersama. Alamiah mengandung arti bahwa masyarakat Indonesia merupakan keanekaragaman etnis, budaya daerah dan pluralitas agama, yang tersebar di ribuan pulau yang secara geografis tidak dengan sendirinya mendukung persatuan nasional Indonesia. 295 Secara umum Indonesia tidak dapat terlepas dari fenomena politik global khususnya tentang gejala menguatnya etno nasionalisme sempit, seperti yang terjadi di bekas negara-negara Yugoslavia dan Uni Soviet. Walaupun Indonesia telah merdeka selama 60 tahun, tetapi masih menghadapi konflik separatisme berupa pemberontakan etnis seperti di Papua, yang sebagian besar disebabkan oleh ketidakpuasan etnis tersebut terhadap pelaksanaan pemerintahan Indonesia. C. Teori Integrasi 1. Umum. Faham nasionalisme mengajarkan bahwa suatu bangsa bernegara (nation state) dapat dibangun dari masyarakat yang majemuk, jika warga masyarakat tersebut benar-benar bertekat kuat untuk membangun masa depan bersama, terlepas dari perbedaan agama, ras, etnik atau ikatan primordial lainnya. Suatu negara dapat berfungsi dengan baik, apabila memiliki dukungan ideologi nasionalisme, juga memerlukan dukungan demokrasi. Dalam hal ini nasionalisme adalah semangatnya, sedangkan demokrasi adalah instrumen dan mekanismenya. Dalam nasionalisme dibangun semangat rakyat untuk bersatu, sedangkan dalam demokrasi rakyat dijamin jati dirinya serta keikutsertaanya dalam kehidupan bernegara, dengan demikian diharapkan akan tercipta stabilitas. Dalam negara yang demokratis, etnik tidaklah lenyap tetapi bisa surut kebelakang atau melarut dalam berbagai lembaga politik yang ada, semua itu dapat tercapai apabila pemerintahan negara dapat berfungsi dengan baik, antara lain adanya 296 keadilan dalam mengalokasikan sumber daya nasional baik antar sektor maupun antar wilayah, sehingga etnik akan hidup tenang dan aman dalam kerutinan kehidupan sosial budayanya. Sebaliknya apabila pemerintahan negara mengalami kemerosotan/ kemunduran, dan masing-masing golongan (etnik ) yang ada dalam masyarakat berjuang untuk memperoleh hak dan memenuhi aspirasi dan kepentingan yang syah, maka akan menimbulkan kebangkitan etnik. 2. Pengertian Integrasi. Pengertian suatu negara sebagai kesatuan politik dalam hukum internasional harus memiliki unsurunsur tertentu, unsur-unsur tersebut sesuai hasil Konferensi Pan Amerika di kota Montevideo tahun 1933 tentang hak-hak dan kewajibankewajiban negara, yang dikenal dengan Konvensi Montevideo dalam pasal 1 menyebutkan bahwa: Negara sebagai subyek hukum internasional harus memiliki kualifikasi-kualifikasi sebagai berikut : (a) penduduk yang tetap; (b) wilayah tertentu; (c) pemerintah dan (d) kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara

115 lainnya. Ketiga unsur pertama tersebut sebagai unsur konstitutif menurut konsepsi ilmu politik, sedangkan unsur keempat dalam arti hukum internasional. Dalam proses menyatukan rakyat, suatu negara yang rakyatnya relatif homogen lebih mudah disatukan dibanding menyatukan rakyat yang secara etnik, ras dan agama adalah heterogen. Negara yang rakyatnya heterogen akan menimbulkan beberapa permasalahan antara lain: adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang 297 mempunyai implikasi pada perbedaan mengenai nilai-nilai budaya politik. visi Nilai kultural etnik, ras dan agama yang beraneka ragam tersebut perlu disublimasikan terlebih dahulu menjadi nilai kultural nasional baru, yang disatu pihak menjamin eksistensi etnik, ras dan agama yang khas, dipihak lain membangun visi dan nilai kultural nasional baru, hal tersebut merupakan proses tumbuhnya nasionalisme dan demokrasi khas suatu negara. Proses penyatuan tersebut disebut integrasi nasional. Dalam pengertian yang sederhana menurut Claude Ake, integrasi nasional pada dasarnya mencakup dua masalah pokok yaitu: Pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh kepada tuntutan-tuntutan negara, yang mencakup perkara pengakuan rakyat terhadap hak-hak yang dimiliki negara. Kedua, bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur perilaku politik setiap anggota masyarakat, konsensus ini tumbuh dan berkembang diatas nilai-nilai dasar yang dimiliki bangsa itu secara keseluruhan. Sedangkan menurut Maurice Duverger dalam bukunya Sosiologi Politik memberikan pengertian integrasi sebagai berikut: Integrasi didefinisikan sebagai dibangunnya interdependensi yang lebih rapat antara bagianbagian antara organisme hidup atau antara anggota-anggota dalam masyarakat. Sehingga integrasi adalah proses mempersatukan masyarakat, yang cenderung membuatnya menjadi suatu kota yang harmonis, yang 298 didasarkan pada tatanan yang oleh anggotaanggotanya dianggap sama harmonisnya. Dari dua pengertian tersebut diatas, pada hakekatnya integrasi politik berarti kekuasaan yang terorganisir yaitu negara/state. Untuk mencapai integrasi yaitu menyatukan masyarakat berarti menghilangkan antagonisme dan menghentikan pergolakan/konflik yang mengancam integrasi. Dilain pihak masyarakat tanpa konflik tidak terintegrasi secara riil bilamana individu-individu yang menjadi unsur-unsurnya (masyarakat) tetap berdiri satu disamping lainnya. Integrasi menerima bukan saja eliminasi konflik akan tetapi juga pengembangan solidaritas. Kekerasan atau konflik pada prinsipnya tidak bisa diberantas secara tuntas/menyeluruh, meskipun politik/pemerintah berusaha memberantas konflik tetapi tidak pernah berhasil secara menyeluruh/ tuntas. Konflik itu selalu ada, bahkan didalam masyarakat yang paling beradab sekalipun, masyarakat yang paling baik diorganisir atau masyarakat yang paling demokratis sekalipun. Maka cara-cara yang sering digunakan kekuasaan dan negara ikut campur di dalam proses integrasi adalah: Dengan merumuskan aturan-aturan dan prosedur. Dengan mengorganisir pelayananpelayanan kolektif dan pola umum dari aktifitas sosial. 299 Dengan memberikan warga negara.

116 Dengan mempergunakan kekuasaan dalam menghadapi mereka yang merusak/ melanggar hukum. pendidikan bagi Menurut Nazaruddin Sjamsudin istilah integrasi nasional merujuk pada integrasi atau keterpaduan dalam segala aspek kehidupan bangsa, yang meliputi sosial, budaya, politik dan ekonomi, maka pengertian integrasi nasional adalah: Sebagai suatu proses, integrasi nasional menekankan pada persatuan persepsi dan perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat, dalam bentuknya ditemukan dua dimensi integrasi yaitu vertikal dan horizontal. Ditinjau dari dimensi vertikal, integrasi nasional bertujuan mengintegrasikan persepsi dan perilaku elite dan perilaku massa, dengan cara menghilangkan atau mengurangi kesenjangankesenjangan antara kelompok yang berpengaruh dengan kelompok-kelompok yang dipengaruhinya. Sedangkan menurut dimensi horizontal, integrasi nasional berkaitan dengan kadar integrasi antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, dengan cara menjembadani perbedaan-perbedaan yang dilahirkan oleh faktor-faktor teritorial (termasuk kultural), dengan jalan mengurangi kesenjangan-kesenjangan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor tersebut. Konsepsi integrasi nasional sebagai suatu proses dari Nazarudin Sjamsudin tersebut ditegaskan kembali secara rinci oleh Suyoto Usman dengan menekankan pada cara-cara integrasi, yakni: 300 Integrasi lazim dikonsepsikan sebagai suatu proses ketika kelompok-kelompok sosial tertentu dalam masyarakat saling menjaga keseimbangan untuk mewujudkan kedekatan hubunganhubungan sosial, ekonomi dan politik. Kelompokkelompok sosial tersebut bisa terwujud atas dasar agama atau kepercayaan, suku, ras dan kelas. Konsepsi tersebut juga mengisyaratkan bahwa integrasi tercipta melalui proses interaksi dan komunikasi yang intensip (dengan tetap mengakui adanya perbedaanperbedaan). Kelompok-kelompok sosial yang berintegrasi membangun social net-works (jaringanjaringan hubungan) dalam satu unit sosial yang relatif kohesif. Sedangkan faktor-faktor yang dapat menghambat proses integrasi dapat dilihat dari dua dimensi yakni: Pertama, dari sudut vertikal antara lain terjadinya perbedaan-perbedaan antara kelompok elite dengan kelompok massa, perbedaan tersebut dapat berupa latar belakang pendidikan, kehidupan ekonomi atau politik. Dalam bidang pendidikan terjadi kesenjangan cukup besar yang meliputi jenjang, jenis dan mutu pendidikan, sedangkan dari kehidupan ekonomi terjadi kesenjangan cukup besar dalam gaya kehidupan masyarakat, dimana kelompok elite politik cenderung untuk hidup dalam gaya kosmopolitan, sebaliknya kelompok massa mayoritas masih berupaya keras untuk memenuhi kebutuhan primer. 301 Kedua, dari sudut horizontal, faktor-faktor yang menghambat proses integrasi adalah nilai primordial yang sering menonjol dalam masyarakat yang majemuk. Primodialisme adalah ikatan kesetiaan yang melekat pada diri seseorang dan dimilikinya sejak ia dilahirkan, seperti daerah kelahiran, suku, ikatan darah keturunan, ras, agama dan bahasa. Setiap kebijakan pemerintah akan menimbulkan reaksi masyarakat baik reaksi setuju (sehingga merasa puas karena diuntungkan) dan reaksi menolak atau kurang setuju (sehingga merasa dikecewakan karena dirugikan), hal tersebut terjadi karena pada primordialisme senantiasa menyalur-kan kepuasan dan kekecewaan kedalam masyarakat melalui kelompok-kelompok yang ada didalamnya. Dengan demikian salah satu sumber utama dari kesenjangan dalam masyarakat adalah adanya persepsi dan sikap-sikap yang didasarkan pada ikatan primordial, dengan perbedaan persepsi tersebut dapat menimbulkan kecurigaan ataupun rasa bermusuhan dalam masyarakat, karena dengan persepsi itu kelompok-kelompok dalam masyarakat melihat adanya keadaan yang menghambat tujuan-tujuan mereka. Sebagai suatu gejala sosial, integrasi disebabkan oleh berbagai faktor antara lain peran memori kebersamaan sejarah, ancaman dari luar, kesepakatan pemimpin, homogenitas sosial budaya serta agama, paksaan negara

117 dan saling ketergantungan politik dan ekonomi. Sebaliknya disintegrasi terjadi karena tiadanya atau melemahnya faktor-faktor yang berfungsi sebagai integrator tersebut. 302 Selanjutnya integrasi masyarakat dalam negara bangsa dapat tercapai apabila: Pertama, masyarakat dapat terintegrasi apabila terjadi kesepakatan dari sebagian besar anggotanya terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental. Integrasi ini sering tercipta dalam kehidupan masyarakat majemuk, karakteristik masyarakat majemuk sering ditandai dengan adanya berbagai macam kelompok sosial dengan masing-masing kebudayaan yang unik, tingkat deferensiasi fungsional yang tinggi dengan struktur sosial (institusi) yang tidak bersifat komplementer. Dalam masyarakat tersebut kesepakatan terhadap nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental sangat krusial karena mampu meredam kemungkinan berkembangnya konflik-konflik ideologi akibat dari kebencian atau antipati terhadap nilai-nilai kelompok lain. Kedua, masyarakat dapat terintegrasi apabila sebagian besar anggotanya terhimpun dalam berbagai unit-unit sosial sekaligus (cross cutting affiliations), dengan demikian konflik-konflik yang terjadi dapat diredam dengan loyalitas ganda. Karena kelompok-kelompok sosial yang ada saling mengawasi aspek-aspek sosial yang potensial menciptakan permusuhan/konflik. Ketiga, masyarakat dapat terintegrasi apabila terjadi saling ketergantungan diantara kelompokkelompok sosial yang terhimpun didalamnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Akibat adanya perbedaan kepemilik-an dan penguasaan sumbersumber ekonomi dapat terjadi pengelompokan pendapatan (kaya dan miskin) 303 sehingga dapat terjadi timbulnya eksploitasi kelompok kaya terhadap kelompok miskin. Tetapi dengan adanya model pembangunan masyarakat yang menekankan saling ketergantungan ekonomi dapat mencegah kemungkinan tumbuhnya eksploitasi kelompok kaya terhadap kelompok miskin, karena masing-masing kelompok pendapatan tersebut terjadi spesialisasi secara fungsional, sehingga ciri-ciri diferensiasi tidak terlalu sulit diseimbangkan. Konflik internal yang terjadi dalam suatu negara biasanya disebabkan adanya perbedaanperbedaan cara pandang masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi serta adanya kesenjangan dalam kehidupan masyarakat. Maka kata kuncinya adalah integrasi nasional, yang merujuk pada keterpaduan dalam segala aspek kehidupan bangsa, yang secara umum meliputi: sosial, budaya, ekonomi, politik. Sebagai suatu proses integrasi nasional menekankan pada persatuan persepsi dan perilaku diantara kelompokkelompok dalam masyarakat. Pada dasarnya integrasi nasional mencakup dua masalah pokok yaitu: bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh kepada tuntutantuntutan negara, yang mencakup perkara pengakuan rakyat terhadap hak-hak yang dimiliki negara; serta bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur perilaku politik setiap anggota masyarakat, konsensus ini tumbuh dan berkembang diatas nilai-nilai dasar yang dimiliki bangsa itu secara keseluruhan: o Dari sudut vertikal faktor-faktor yang dapat menghambat proses integrasi antara lain 304 terjadinya perbedaan-perbedaan antara kelompok elit dengan massa, perbedaan tersebut dapat berupa latar belakang pendidikan, kehidupan ekonomi atau politik, kesenjangan antara kota dan desa atau industri besar dengan industri kecil. o Sedangkan dari sudut horizontal, faktorfaktor yang menghambat proses integrasi adalah nilai primordial yang sering menonjol dalam masyarakat yang majemuk. Primodialisme adalah ikatan kesetiaan yang melekat pada diri seseorang dan dimilikinya sejak ia dilahirkan, seperti: daerah kelahiran, suku, ikatan darah keturunan, ras, agama dan bahasa. Untuk mempertahankan integrasi tersebut diperlukan perekat yang disebut wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia tentang jatidirinya sebagai suatu bangsa. Rasa kebangsaan ini lahir (sejak Sumpah Pemuda tahun 1928) dari rasa kebersamaan.

118 Tumbuhnya rasa kebersamaan sebagai suatu bangsa, disebabkan adanya musuh bersama yang dihadapi sebagai tantangan bersama yaitu penjajahan (sudut pandang keluar). Sedangkan dari sudut pandang kedalam yaitu wawasan kebangsaan dapat mengatasi paham golongan, suku, ras dan agama. Oleh karena itu untuk mengatas konflik-konflik internal (baik konflik vertikal dan/atau horizontal) perlu proses untuk membina dan mengembangkan suatu hubungan yang harmonis antar warganegara yang berbeda agama, ras, suku dan golongan serta hubungan 305 yang harmonis antara masyarakat/rakyat. pemerintah dan Jadi wawasan kebangsaanlah yang akan menjamin ketenteraman hidup dari seluruh bangsa, dan pada gilirannya akan memberikan isi dan makna kepada persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan wawasan kebangsaan itu, akan mampu menangani konflik-konflik dalam tubuh negara kita, tidak saja konflik antar-ras, suku, agama dan golongan dalam dalam masyarakat, tetapi juga konflik kepentingan antara pusat dan daerah serta konflik kepentingan antara pemerintah dan rakyat. 3. Sejarah Integrasi di Dunia. Sebagai suatu gejala sosial, integrasi disebabkan oleh berbagai faktor dan telah dijelaskan oleh berbagai teori yang menekankan peran memori kebersamaan-sejarah, ancaman dari luar, kesepakatan pemimpin, homogenitas sosialbudaya-agama, paksaan negara/pusat dan saling ketergantung-an politik dan ekonomi. Sebaliknya disintegrasi terjadi karena tiadanya atau melemahnya faktor-faktor yang berfungsi sebagai integrator tersebut. Pengalaman sejarah negaranegara yang telah berusia lebih dari 100 tahun dapat dipergunakan sebagai pelajaran bagi negara-negara yang masih relatif muda usianya. Yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa terdapat negara bangsa yang telah berusia lebih dari 100 tahun, bagaimana strateginya?. Apakah faktor jumlah penduduk, luas wilayah, homogenitas agama atau etnik cukup berperan dalam integrasi?. 306 Menurut data tentang integrasi dari 131 negara, tidak menunjukkan adanya korelasi baik positif maupun negatif antara umur suatu negara disatu pihak, dengan luas wilayah negara, maupun jumlah penduduk di lain pihak. Tetapi umur suatu negara disatu pihak menunjukkan adanya korelasi yang positif dan negatif dengan homogenitas etnik dan homogenitas agama. Kelompok negara dengan tingkat homogenitas yang tinggi (51%-100 %) dan homogenitas agama yang tinggi (51%-100%) berjumlah 26 negara antara lain, Jepang, Portugis, Haiti, Italia, Paraguay, Uruguay, Romania, Perancis, Panama, Swedia, Denmark dan Spanyol. Kondisi tersebut menunjukkan ancaman disintegrasi negara sangat rendah (hanya 39 kasus disintegrasi). Data juga menunjukkan bahwa negara yang telah berumur lebih dari 100 tahun yang mempunyai homogenitas etnik kurang dari 50%, namun homogenitas agama diatas 50%-100% hanya terdapat 10 kasus disintegrasi, meliputi: Belgia, Peru, Guatemala, Ekuador, Afganistan, Thailand, Bolivia, Nepal, Amerika Serikat dan Liberia (Indonesia akan termasuk dalam kelompok ini jika telah berusia 100 tahun pada tahun 2024 dengan tingkat homogenitas etnik kurang 50% yaitu 24% namun tingkat homogenitas agama lebih dari 50%). Sementara itu terdapat dua negara yaitu Inggris dan Belanda yang berusia diatas 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik 51%-100%, namun tingkat homogenitas agama 0%-50%. Sedangkan negara yang berusia diatas 100 tahun dengan tingkat homogenitas etnik 0%-50% 307 dan homogenitas agama 0%-50% hanya negara Swiss (sehingga kasus disintegrasi dapat dikatakan tidak ada). Data diatas menunjukkan peran homogenitas etnik dan agama bagi bangsa yang telah berusia 100 tahun, akan semakin sulit untuk mengalami disintegrasi. Dari 45 negara yang berusia diatas 100 tahun hanya Inggris yang mengalami separatisme parsial (Irlandia tahun 1922

119 dan Ethiopia tahun 1993). 4. Sejarah Disintegrasi di Dunia. Disintegrasi bangsa atau separatisme (secession) merupakan salah satu bentuk konflik internal makro selain perang (eksternal) dan konflik ideologi (internal). Pada abad ke-20 terjadi kasus-kasus disintegrasi antara lain: SwediaNorwegia tahun 1905, Inggris- Irlandia tahun 1922, Ottoman-Turki tahun 1923, DenmarkIslandia tahun 1944, Korea Utara-Korea Selatan tahun 1948, Jerman Barat-Jerman Timur tahun 1949, Mali-Senegal tahun 1960, MalysiaSingapura tahun 1965, Pakistan-Bangladesh tahun 1971, Uni Soviet tahun 1990, Yugoslovakia tahun 1991, Ethiopia-Eritria tahun 1993, Cekoslovakia tahun sedangkan pada abad ke-21 Indonesia-Timor Leste tahun 2001 dari kasus disintegrasi tersebut yang tanpa kekerasan adalah terjadi di Denmark, Swedia, Mali, Malaysia, dan Cekoslovakia. Sementara itu dari 27 kasus disintegrasi yang terjadi di seluruh dunia antara tahun 1944 sampai dengan 1994 yang telah selesai, diketahui bahwa 10 kasus di menangkan pemerintah pusat dengan cara tindakan militer, dua kasus 308 dimenangkan oleh pemberontak dan 8 kasus diselesaikan dimana daerah memperoleh otonomi (Naga di India, Basque di Spanyol, Tripura di India, Palestina di Israel, Moro di Pilipina, Chittagong Hill di Bangladesh, Miskito di Nikaragua, Abkhazian di Georgia). Tiga konflik menghasilkan negara baru yakni Ukrania tahun 1991, Lithuania tahun 1991, dan Eritria tahun kasus konflik selebihnya menghasilkan de facto partition yakni Kurdi, Armenia dan Somali, dan normal power sharing adalah Lebanon. Data tersebut menunjukkan bahwa konflik disintegrasi (separatisme) tidaklah mudah untuk menghasilkan negara baru. Namun dalam masa pasca perang dingin penyelesaian konflik dengan penggunaan kekerasan oleh pemerintah pusat akan mendapat tantangan masyarakat internasional. Data separatisme apabila dicermati menunjukkan beberapa hal yang menarik untuk dipelajari meliputi: Faktor sejarah integrasi suatu negara. Apakah integrasi karena dipaksa, terpaksa, atau sukarela, merupakan faktor yang cukup berperan. Sebagai contoh integrasi yang dipaksa terjadi di Uni Soviet, Yugoslavia dan Cekoslovakia, yang berkaitan erat dengan runtuhnya rezim komunisme yang menekankan faktor kekuasaan dan paksaan sebagai integrator utama. Kasus integrasi karena terpaksa terjadi ketika Singapura ingin bergabung dengan Malaya dalam Malaysia, Singapura merasa terancam oleh berkembangnya 309 kelompok komunis yang akan merebut kekuasaan. Demikian pula Eritria bergabung ke Etiopia (1952) karena terpaksa mengikuti keputusan PBB. Faktor bentuk negara sebelumnya. Apakah terdiri dari satu atau lebih cukup berperan. Kasus Yugoslavia menunjukkan bahwa sebelum integrasi tahun 1918, Kroasia dibawah Hongaria, Slovania dibawah Austria, Bosnia-Herzegovina dibawah Austria dan Hongaria, kemudian di aneksasi oleh Serbia tahun Demikian pula Uni Soviet merupakan Rusia ditambah aneksasi Belarusia, Ukrania, Armenia, Azerbaijan, Georgia dan negara Baltik (Estonia, Latvia dan Lituania). Penerapan sistem negara federal. Penerapan sistem ini tidak dapat berfungsi sebagai integrator, jika integrasi dilakukan secara paksa, (kasus Uni Soviet, Yugoslavia dan Cekoslovakia), atau karena terpaksa (kasus Singapura ke Malaysia) atau perbedaan etnik dan ekonomi (kasus Bangladesh- Pakistan). Faktor kekuatan eksternal. Faktor kekuatan eksternal dapat mendorong disintegrasi, seperti yang

120 terjadi di Otoman-Turki, Jerman dan Korea. Demikian pula sebaliknya masa perang dingin membantu mencegah disintegrasi negara di Asia, Afrika yang baru merdeka karena dekolonisasi. Munculnya 310 separatisme lebih disebabkan oleh masalah dalam negeri namun keberhasilan separatisme lebih ditentukan oleh negaranegara asing. Separatisme bukan hanya masalah konflik daerah dengan pusat namun seringkali melibatkan negaranegara asing yang pro maupun antiseparatisme. Aliansi ekonomi, politik dan militer antara daerah maupun pusat dengan negara-negara asing berperan dalam keberhasilan atau kegagalan separatisme. Bentuk disintegrasi negara. Disintegrasi negara dapat berbentuk total dalam arti yang lepas lebih dari satu negara seperti Uni Soviet dan Yugoslavia, maupun parsial seperti kasus Denmark-Eslandia atau Malaysia-Singapura. Perbedaan agama dan etnik. Perbedaan agama dapat mendorong disintegrasi, seperti kasus di Ethiopia, Malaysia, Inggris-Irlandia, Uni Soviet dan Yugoslavia. Demikian pula faktor perbedaan etnik dapat mendorong disintegrasi seperti, Pakistan di Punjab dan Bengali, Malaysia, Inggris- Irlandia, Uni Soviet, Cekoslovakia dan Yugoslavia. Sedangkan perbedaan sosio-ekonomi juga dapat mendorong disintegrasi seperti terjadi di Cekoslovakia dan Pakistan-Bangladesh. Habisnya generasi pertama. 311 Semakin sedikitnya generasi pertama integrator (pendiri negara) yang penuh dengan emosi nasionalisme dapat mempengaruhi disintegrasi. Pada periode 50 tahun sampai 100 tahun setelah integrasi/kemerdekaan, akan muncul generasi kedua dan ketiga yang akan mengevaluasi dan mempertanyakan kontrak sosial/integrasi antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Faktor ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan akan meng-undang tuntutan perbaikan atau separatisme. 5. Namun keberadaan generasi kedua dan seterusnya itu tidak secara otomatis menghasilkan disintegrasi karena masih adanya faktor integrator, seperti rasa kebersamaan, kesamaan etnik dan kesamaan agama. Dalam contoh terakhir yang masih hangat adalah kasus tuntutan merdeka Quebec-Perancis tidak berhasil karena masih adanya sebagian warganya yang berusia 60 tahun keatas yang masih loyal terhadap Kanada yang terbentuk tahun Teori Konflik. Menurut Prof. Dr. Jonatan Salusu, MA dalam makalah Seminar berjudul Stabilitas Nasional, Perdamaian dan Komunikasi Politik, disebutkan bahwa hakekat dari politik adalah Konflik, Konsensus dan Kekuasaan (power). Kehidupan masyarakat pada prinsipnya merupakan kehidupan yang diwarnai konflik. Tidak ada satupun kelompok masyarakat, bahkan bagaimanapun kecilnya masyarakat itu, yang 312 hidup tanpa konflik. Masyarakat terdiri dari manusia atau individu yang memiliki karakter, sifat, perilaku serta keinginan yang berbeda satu dengan lainnya. Dalam diri setiap individu terdapat juga naluri agresif yang berbeda antara individu yang satu dengan yang lain, bahkan sebenarnya dalam diri manusia itu seringkali dijumpai konflik internal yang timbul pada saat seseorang menghadapi

121 situasi yang dilematis, misalnya dalam memutuskan antara ya dan tidak, antara yang benar dan salah, antara baik dan buruk dan sebagainya. Perbedaan karakter antar-individu itulah yang seringkali menimbulkan benturan yang mengarah pada konflik eksternal. Tingkat konflik ini berbeda satu dengan yang lain, ada yang rendah, sedang dan tinggi. Jika konflik itu berada pada tingkat yang tinggi, ia mengarah pada konflik terbuka yang dinampakkan dalam bentuk benturan fisik (violent). Dalam hubungan antar negara, konflik dapat pecah dalam bentuk perang terbuka. Jadi pada dasarnya kehidupan manusia adalah kehidupan berkonflik. Kehidupan bangsa-bangsa adalah refleksi dari kehidupan manusia, itulah sebabnya juga sering dikatakan bahwa sejarah bangsabangsa itu adalah sejarah konflik atau sejarah peperangan. Namun bagaimanapun parahnya konflik itu, selalu dapat diselesaikan. Tuhan menciptakan manusia dengan segala keseimbangan. Dalam diri setiap manusia ada keseimbangan, selama keseimbang-an itu masih ada, selama itu pula 313 konflik selalu dapat diselesaikan. Manusia mengenal buruk, tetapi ia juga mengenal baik, selain ia membenci, ia juga mengasihi dan mencintai. Hakekat naluri agresif yang ada pada diri manusia ialah selalu ingin menguasai artinya sedapat mungkin hanya keinginannya yang terjadi. Tetapi karena semua orang menghendaki demikian, maka keinginan untuk menguasai itu selalu terbendung. Yang justru terjadi adalah pengakuan atas eksistensi orang lain. Prinsip ingin saling menguasai ini pada akhirnya melahirkan konsensus. Artinya seseorang ingin menerima tetapi juga mau memberi. Jadi hakekat menerima dan memberi itulah yang melahirkan konsensus; bahkan keputusan pemerintahpun tidak luput dari konsensus. Dalam mencapai konsensus itu kekuasaan memegang peranan penting. Yang dimaksud dengan kekuasaan disini ialah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sehingga orang lain tersebut mau mengikuti apa yang dikehendaki orang pertama itu. Dalam ilmu politik, pengertian kekuasaan ialah kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dalam negara dan pemerintahan. siapa yang memiliki kekuasaan yang besar, ia juga akan mempunyai pengaruh yang besar dalam kebijakan pemerintahan. 6. Karakteristik Konflik. Dalam tahun-tahun terakhir ini jenis konflik baru menjadi semakin mengemuka, yakni konflik yang terjadi didalam wilayah negara, atau konflik dalam negara. Konflik dalam negara dalam 314 bentuk perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan dan peperangan domestik lainnya. Dua elemen yang sering menimbulkan konflik adalah meliputi: a. Identitas. Pada hakekatnya adalah mobilitas orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang di dasarkan atas: ras, agama, budaya dan bahasa, yang sering disebut SARA. b. Distribusi. Yakni cara untuk membagi sumberdaya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat. Adalah kombinasi dari dua faktor yang didasarkan pada identitas dengan persepsi yang lebih luas tentang ketidakadilan ekonomi dan sosial merupakan potensi konflik, yang disebut Konflik yang mengakar. Karakteristik yang paling menonjol dari konflik internal seperti tersebut diatas adalah tingkat ketahanannya. Konflik yang timbul pada dasarnya dimulai dari isu identitas disebut konflik etnis. Etnisitas merupakan konsep yang luas yang mencakup elemen ras, kultur, agama, keturunan, sejarah, bahasa dan seterusnya. Konflik yang disebabkan oleh sebuah komunitas dianggap sebagai identitas fundamental dan yang menyatukan mereka sebagai sebuah kelompok, mereka memilih dan merasa kewajiban 315 melakukan kekerasan untuk melindungi identitas mereka yang terancam. Seringkali isu-isu yang berhubungan dengan identitas ini bercampur dengan isu atas pendistribusian sumberdaya seperti wilayah, kekuasaan ekonomi, dan prospek lapangan kerja, ini membuka kesempatan para oportunistik untuk mengeksploitasi dan memanipulasinya, hal ini akan menjadi potensi konflik yang paling tinggi. Konflik identitas adalah konflik yang sangat rumit, bertahan/jangka panjang, dan sulit dikelola, sulit mencapai kompromi, negosiasi atau pertukaran. Konflik seperti ini melibatkan hak-hak kelompok: kelompok kebangsaan, jender, rasial, agama, kultural dan sebagainya. Konflik ini akan

122 sangat umum, sangat nyata, sangat awet dan sangat sulit dipecahkan adalah karena isu yang dipertikaikan ini sangat emosional, langsung menusuk kedalam inti sesuatu yang memberi orang kesadaran akan dirinya sendiri, ikatan seseorang dengan komunitasnya, dan mendefinisikan sumber kepuasan bagi kebutuhan akan identitas. Sesungguhnya konflik sosial, dalam arti hubungan sosial antar perorangan ataupun antar kelompok yang tidak serasi dalam pemikiran atau tidak searah dan setujuan dalam tindakan, merupakan gejala sosial yang umum dalam setiap kelompok sosial betapapun kecilnya. Bahkan konflik sosial itu tidak mungkin dibasmi sama sekali, melainkan harus dikelola agar dapat mendatangkan manfaat bagi semua pihak yang bertikai. Ada anggapan bahwa pertikaian sosial itu memang diperlukan sebagai kekuatan yang 316 dapat memicu perkembangan ataupun perubahan sosial. masyarakat Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses perubahan, setiap perubahan akan menimbulkan konflik, begitu juga pembangunan politik dengan pendekatan etnik dapat menimbulkan konflik. Inti dari pendekatan ini adalah identitas etnik yang diaktifkan dan dipergunakan untuk kepentingan mobilisasi politik. Banyak faktor yang dapat menyebab-kan konflik antara etnik dengan pemerintah, seperti perebutan sumber-sumber daya yang terbatas, ketimpangan regional, investasi dalam infrastruktur yang berpengaruh besar dalam sistem ekonomi etnik lokal tertentu, eksplorasi daerah perbatasan baru, konflik pasar tenaga kerja maupun konflik distribusi, serta masalah kecemburuan sosial antar etnik karena ketimpangan distribusi kesejahteraan/ hasil pembangunan antara etnik minoritas dan etnik mayoritas, disparitas alokasi personel dalam struktur politik dan sebagainya. Bjorn Hettne dalam bukunya Development Theory and the Three Worlds, menyatakan bahwa pada intinya konflik-konflik dalam pembangunan yang berhubungan dengan permasalahan etnik dapat dirangkum sebagai berikut: Pertama, konflik dalam mengontrol sumbersumber daya alam yang terbatas, juga dalam hal pemanfaatan sumber daya alam tersebut. 317 Kedua, konflik yang berhubungan dengan proyek infrastruktur utama yang berpengaruh terhadap sistem ekologi lokal. Ketiga, konflik yang mewujud bukan karena faktor impersonal maupun sekuler saja, tetapi dari kecenderungan adanya urbanisasi, proletaria-nisasi maupun komodifikasi sosial. Biasanya dalam pembangunan suatu negara ada daerah yang lebih berkembang dibanding daerah lainnya sehingga mampu menarik banyak investasi dan maju pesat dengan dukungan keahlian. Keempat, konflik yang berkepentingan dengan kandungan prinsip-prinsip dalam strategi pembangunan nasional. Kelima, konflik karena kontrol negara atas redistribusi hasil-hasil pembangunan, seperti meliputi lapangan pekerjaan, kesempatan pendidikan maupun perlindungan keamanan. Pada umumnya pembangunan senantiasa mengabaikan faktor-faktor non-ekonomi seperti keanekaragaman budaya, pada hal budaya bagi masing-masing etnik mempunyai arti yang berbeda dan sangat bermakna, ada yang menjadikan sebagai senjata pertahanan diri, sumber untuk mobilisasi politik dan terkadang untuk aroganisme etnik. Pendekatan pembangun-an ini juga mensyaratkan pentingnya proteksi terhadap hak-hak budaya, agama dan bahasa didalam sebuah kerangka kerja sistem yang fungsional, dengan pendekatan teritorial yang mengandung aspek-aspek budaya didalamnya. 318 Dalam pelaksanaan pembangunan faktor keanekaragaman etnik perlu diperhatikan, karena untuk mengatur dan mengurus sejumlah orang yang semua sama ciri-ciri, kehendak dan adat istiadatnya (homogen) adalah lebih mudah daripada mengurus sejumlah orang yang semuanya berbeda-beda (heterogen). Proses untuk mengembangkan hubungan yang selaras antara suku bangsa atau etnik memang tidak mudah, memerlukan waktu lama, kebijakan yang tepat dan adil, sehingga konflik-konflik yang terjadi dapat dieliminir. Menurut F. Barth dalam bukunya Ethnic

123 Groups and Boundaries yang dikutip oleh Koentjaraningrat, aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menganalisis hubungan antar suku bangsa dan golongan adalah: (1) sumber-sumber konflik; (2) potensi untuk toleransi; (3) sikap dan pandangan dari suku bangsa atau golongan terhadap sesama suku bangsa atau golongan; (4) akhirnya harus diperhatikan tingkat masyarakat dimana hubungan dan pergaulan antara suku bangsa atau golongan tersebut berlangsung. Sumber-sumber konflik antara suku bangsa atau golongan di Indonesia dapat diidentifikasi paling sedikit terdapat lima dimensi yakni: Pertama, masing-masing etnik atau suku bangsa saling bersaing dalam mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang sama; Kedua, salah satu etnik atau satu suku bangsa mencoba memaksakan unsur-unsur dari 319 kebudayaannya kepada warga dari suatu etnik atau suku bangsa lain; Ketiga, salah satu warga dari satu etnik atau suku bangsa mencoba memaksakan konsepkonsep ajaran agamanya terhadap warga dari suatu etnik atau suku bangsa lain yang berbeda agama; Keempat, adanya usaha salah satu etnik atau suku bangsa untuk mendominasi suatu etnik atau suku bangsa lain secara politik; Kelima, antara etnik atau suku bangsa memang terjadi permusuhan secara adat. Sedangkan aspekaspek potensi untuk bersatu atau bekerja sama antara etnik atau suku bangsa terdapat dua dimensi yakni: Pertama, warga dari dua etnik atau suku bangsa yang berbeda dapat saling bekerja sama secara sosial ekonomi, kalau masing-masing etnik atau suku bangsa bisa mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang berbeda dan saling melengkapi. Dalam keadaan yang saling membutuhkan itu akan berkembang hubungan yang bersifat simbiotik, sehingga sikap dari warga masing-masing etnik atau suku bangsa dijiwai oleh suasana toleransi; Kedua, warga dari dua etnik atau suku bangsa yang berbeda dapat hidup berdampingan tanpa konflik, kalau terjadi orientasi kearah fihak ketiga (mediator) yang dapat menetralisasi hubungan antara kedua etnik atau suku bangsa tersebut. 320 Sedangkan aspek sikap dan pandangan dari etnik atau suku bangsa dan golongan terhadap sesama etnik atau suku bangsa dan golongan, dapat diperinci menjadi tiga yakni : Pertama, sikap antara dua etnik atau suku bangsa yang sepadan; Kedua, sikap dari suatu etnik atau suku bangsa dominan terhadap suku bangsa minoritas; Ketiga, sikap dari suatu etnik atau suku bangsa minoritas terhadap suatu etnik atau suku bangsa dominan. Akhirnya aspek tingkat masyarakat dimana hubungan antara etnik atau suku bangsa itu berlangsung, dapat terjadi di tingkat masyarakat pedesaan, tingkat masyarakat perkotaan atau di tingkat nasional. 7. Sumber dan Alasan Konflik Apabila dicermati, ada 2 kekuatan besar yang dapat memicu pertikaian sosial, yaitu: Pertama, kekuatan dari dalam masyarakat dan kebudayaan itu sendiri (internal factor); Kedua, kekuatan dari luar masyarakat dan kebudayaan masing-masing (external force). Masyarakat sebagai kumpulan individu, tidak bebas dari perbedaan kepentingan dan cara menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan hidup sesama anggota. Perbedaan jenis kelamin, tingkat usia dan lingkungan pendidikan dalam arti luas dapat melahirkan 321 perbedaan kepentingan dan cara penanggulangan yang pada gilirannya dapat memicu pertikaian dalam kelompok sosial yang bersangkutan. Karena itu berbagai mekanisme dikembangkan manusia untuk mengatasi, kalau tidak dikatakan untuk mengendalikan, pertikaian sosial yang mungkin mereka hadapi. Pergantian generasi dalam suatu kelompok sosial yang terkecil sekalipun tidak bebas dari potensi konflik. Generasi pendahulu yang dilahirkan, dibesarkan dan berhasil mecapai kemapanan, biasanya sulit menerima suatu pembaharuan (innovation), karena setiap perubahan dapat mengganggu kemapanan yang ada. Karena itu mereka cenderung untuk memuja-muja kejayaan masa silam (post-figurative) dan berusaha mempertahankan kemapanan yang mereka nikmati. Sebaliknya generasi penerus yang masih harus berjuang untuk mencapai kemapanan, biasanya tidak puas dengan kemapanan yang dianggap menghalangi mereka mencapai keberhasilan. Bagi mereka yang masih kuat semangatnya, tantangan masa kini lebih diperhatikan

124 daripada kejayaan masa lampau (co-figurative). Perbedaan cara pandang dan strategi untuk menghadapi tantangan hidup antar generasi itu merupakan kekuatan pembaharuan yang dapat memicu konflik antar generasi. Oleh karena itu ada anggapan bahwa pertikaian sosial itu memang diperlukan, mengingat kehadirannya di setiap kelompok sosial dan di setiap waktu sepanjang sejarah kehidupan manusia. 8. Akar dan Alasan Konflik. 322 Ada berbagai akar masalah atau kepentingan yang menjadi alasan konflik, seperti perbedaan sudut pandang dan pola pikir, perbedaan kepentingan ideologi, agama maupun kebudayaan, perbedaan kepentingan ekonomi, politik maupun keamanan dan banyak lagi alasan yang mungkin menjadi alasan terjadinya konflik dalam suatu masyarakat ataupun antar masyarakat. Akar dan alasan konflik dalam masyarakat majemuk dengan mullti kulturnya itu semakin kompleks dan tidak mudah mengendalikannya. Ia memerlukan perlakuan kasus demi kasus. 9. Bentuk dan Sifat Konflik. Apabila dicermati, ada 4 bentuk hubungan sosial yang mengandung kekuatan konflik: Pertama, masyarakat yang mapan dan cenderung mandeg (static), karena tiadanya tantangan yang harus dihadapi dan dapat merangsang kreativitas ke arah pembaharuan. Hubungan sosial sedemikian itu hampir tidak mungkin berlangsung selamanya, kecuali kelompok sosial itu memang sudah mendekati keruntuhan. Betapapun kecilnya dinamika, setiap masyarakat akan menghadapi tantangan akibat berkembangnya hubungan yang kurang serasi antar generasi muda yang cenderung untuk berjuang mengejar kemapanan dengan pembaharuan tatatan dan harus menghadapi generasi pendahulu yang berusaha mempertahankan kemapanan. Kedua, bentuk hubungan konflik latent, atau konflik yang tersembunyi dan sewaktu-waktu dapat meledak dengan pemicu sebesar apapun. 323 Dalam keluarga poligami, misalnya, isteri senior yang karena berbagai alasan terpaksa menerima keadaan. Akan tetapi sewaktu-waktu, dengan sedikit pemicu atau peluang, ia dapat memberontak dan menuntut suami untuk menceraikan isteri-isteri juniornya atau dirinya. Hal yang sama terjadi dalam masyarakat majemuk dengan multi kulturnya. Mereka dapat hidup berdampingan secara damai selama ada kepentingan bersama yang kuat mengikatnya. Ikatan itu dapat menjadi lemah atau hancur karena hilangnya sasaran bersama atau karena ketidak adilan yang dilakukan oleh salah satu kelompok sosial. Ketiga, konflik terbuka yang merupakan pertikaian sosial yang berakar dalam karena konflik laten yang terpendam. Konflik terbuka ini biasanya dapat menjadi ledakan yang sulit diatasi, karena memang akar masalahnya yang terpendam dan lama ditahan-tahan. Pertikaian antar masyarakat Madura dengan Melayu di Sambas, merupakan salah satu contoh nyata. Betapa masyarakat Melayu menahan diri untuk tidak bertikai melawan masyarakat Madura yang terkenal dengan senang menggunakan senjata tajam untuk menyelesaikan masalah. Selama 50 tahun masyarakat Melayu mengalah dan bahkan ada 2 komuniti desa yang terpaksa menyingkir untuk menghindarkan kekerasan. Ketika tekanan fisik maupun mental itu tidak tertahan lagi, mereka aktifkan kembali kebudayaan amuk (Hikayat Hang Jebat) untuk menyelesaikan konflik terpendam dengan konflik terbuka yang mengerikan. Keempat, konflik di permukaan sebenarnya merupakan konflik yang terbuka, akan tetapi tidak 324 mempunyai akar yang dalam. Karena itu pertikaian antar individu ataupun kelompok ini lebih mudah diatasinya daripada konflik terbuka. Perkelahian antar suami-istri yang belum matang untuk berumahtangga, ataupun antar artis yang biasanya berlangsung secara lancar. Demikian pula perkelahian antar warga komuniti karena salah paham, biasanya tidak berlarut-larut. 10. Pengendalian Konflik. Mengingat potensinya bagi kemajuan sosial maupun kebudayaan, konflik sosial itu tidak perlu dan tidak mungkin dihindarkan, melainkan harus dapat dikendalikan (conflict

125 mana-gement) agar dapat mendatangkan manfaat bagi semua pihak yang bertikai. Berbagai norma sosial, aturan hukum dan perundang-undangan dikembangkan masyarakat manusia untuk mengelola konflik yang mungkin timbul di antara sesama warga dan harus diatasi sebaik mungkin. Lembaga perkawinan sebagai landasan pembentukan keluarga yang mempersatukan sejumlah individu dengan berbagai kepentingannya itu merupakan salah satu contoh betapa kemampuan manusia mengelola konflik secara menguntung-kan. Demikian pula sistem kekerabatan yang menata hak dan kewajiban segenap warganya, merupakan bukti kemampuan manusia mengelola konflik yang mungkin timbul dari dalam kelompok yang bersangkutan. Tidak kalah pentingnya, akan tetapi seringkali dilupakan, adalah lembaga pendidikan sebagai sarana kegiatan untuk mempersiapkan generasi penerus yang bertanggung jawab atas 325 kelangsungan hidup kelompok sosial yang bersangkutan. Melalui pendidikan, anak manusia telah dipersiapkan sejak dini untuk mengambil alih kedudukan-kedudukan dan peran-peran sosial dari para pendahulu mereka yang cepat atau lambat akan berlalu. Lewat pendidikan, ditanamkan dan dikukuhkan nilai-nilai budaya dan pranata sosial sebagai kerangka acuan dan pedoman dalam penyelenggaraan hidup bermasyarakat. 11. Pendekatan Pengendalian Konflik. Sungguhpun setiap masyarakat, tanpa kecuali, menyelenggarakan pendidikan dalam arti mempersiapkan segenap warganya agar mampu melakukan peran-peran sesuai dengan kedudukan-kedudukan sosial masing-masing, tidak berarti masyarakat yang bersangkutan bebas dari potensi konflik. Selain karena kepribadian seseorang, pengalaman dan kemampuan menyerap pengetahuan kebudayaan sejak dini antar warga tidak sama. Karena itulah setiap masyarakat mengembangkan organisasi sosial sebagai pedoman bersama dalam membina ketertiban hidup bermasyarakat. Penataan hak dan kewajiban antar sesama warga (social alignment), pengembangan media pengikat kelompok sosial (social media), serta adat-istiadat yang baku (social standard) dan pengendalian sosial dalam arti sempit (social control) merupakan bukti betapa sesungguhnya setiap kelompok sosial berusaha mengatasi konflik yang mungkin harus mereka hadapi. 326 Maka untuk mengetahui ada tidaknya konflik halhal yang perlu dilakukan adalah: Pertama: Tingkatkan intensitas konflik. Selain tindakan preventif dan represif, pengendalian konflik juga dapat dilakukan justru dengan meningkatkan intensitasnya untuk memperjelas dan mempermudah mengatasinya. Konflik latent yang terlalu lama terpendam bagaikan sekam yang tidak mudah dipadamkan, seringkali dipacu untuk membara dan menjadi konflik terbuka. Contoh aktual di Indonesia adalah konflik latent antar kubu nasionalis melawan kubu sosialis (komunis) sebelum peristiwa berdarah 30 September Terlepas dari siapa dalang yang merekayasa maupun siapa wayang yang dimainkan, yang hingga kini masih menjadi bahan perdebatan, pada hakekatnya peristiwa yang dikenal dengan G-30-S-PKI itu merupakan bentuk pengendalian konflik latent yang diintensifkan menjadi konflik terbuka. Kedua : Pertajam konflik. Bentuk pengendalian konflik lainnya adalah dengan cara meningkatkan perbedaan dan ketegangan hubungan antar kelompok yang berselisih atau mempunyai potensi untuk berseberangan. Contoh aktual di Indonesia adalah peningkatan konflik dengan kedok agama yang terjadi di Ambon, Poso dan Maluku. Sayangnya pengendalian konflik sedemikian itu mengandung resiko yang amat berat, terutama kalau lepas kendali akan makan banyak korban dan menghancurkan kepercayaan masyarakat 327 terhadap aparat pemerintahan sipil maupun keamanan. Mengingat keragaman akar dan alasan serta sifat konflik yang berkembang dalam masyarakat, telah dikembangkan beberapa pendekatan pengendalian seperti: a. Pencegahan Konflik, biasanya dilakukan untuk menghindarkan meningkatnya konflik dan kemungkinan terjadinya kekerasan. Biasanya pencegahan konflik itu dilakukan untuk meredam

126 konflik latent yang terpendam menjadi konflik terbuka, seperti yang selama ini dilakukan oleh para pemimpin bangsa dalam membina persatuan dan kesatuan bangsa dengan menciptakan musuh bersama. Selama 25 tahun pertama sejak kemerdekaan, Bung Karno berusaha mempersatukan bangsa yang majemuk masyarakatnya dengan menciptakan musush bersama Nekolim yang harus dihadapi bersama. Demikian dahsyat-nya pergolakan nasional itu, oleh C.Geertz (1965) memberinya predikat sebagai Integrative Revolution. Semasa pemerintahan Orde Baru, pendekatan yang sama dilakukan oleh presiden Suharto dengan menciptakan tujuan bersama (common denominator) yaitu mengejar keberhasilan pembangunan. Pemusatan pemikiran, usaha dan dana diarahkan pada keberhasilan pembangunan dengan menyisihkan segala rintangan dan menciptakan stabilitas nasional. Akan tetapi sayangnya keberhasilan pembangunan tidak segera 328 diikuti dengan penegakan keadilan, demokrasi dan kebebasan budaya yang menjadi persyaratan untuk merawatnya. b. Penyelesaian Konflik, dilakukan untuk mengakhiri pertikaian yang berkepanjangan dan menghindarkan kekerasan yang mungkin menyertainya. Biasanya pendekatan penyelesaian konflik ini dilakukan terhadap konflik terbuka maupun konflik di permukaan yang telah berlangsung. Contoh adalah penyelesaian konflik antar komuniti Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang bertikai melawan komuniti Dayak dan Melayu. Pertikaian terbuka yang telah lama berakar (konflik latent) itu sempat meledak berulang-ulang dan menimbulkan korban jiwa, raga dan harta benda yang tidak ternilai harganya. Bermula dari konflik latent antar komuniti Madura di Kalimantan dengan penduduk setempat, yaitu Dayak dan Melayu. Perbedaan kepentingan ekonomi ber-kembang menjadi konflik etnis yang mengaktifkan simbol-simbol ikatan primordial. Gejala yang menonjol adalah usaha komuniti Melayu yang berusaha meredam konflik latent agar jangan sampai menjadi konflik terbuka selama 50 tahun. Pendekatan damai yang dilakukan oleh komuniti Melayu dengan menghindarkan pertikaian secara fisik, seperti pengungsian 2 komuniti desa Melayu untuk menjauhi komuniti Madura di Sambas, ternyata tidak 329 efektif dan berakhir dengan meledaknya peristiwa Sambas. Sementara itu penyelesaian yang dilakukan dalam pertikaian antar komuniti Madura dengan komuniti Dayak selama ini hanya sampai pada perdamaian dan tidak menyentuh akar masalah sosialbudayanya, sehingga berulangkali terjadi ledakan pertikaian terbuka yang membawa banyak korban. c. Pengelolaan konflik, biasanya dilakukan untuk mencapai perdamaian abadi dengan merubah sikap dan pola tingkah laku mereka yang terlibat dalam pertikaian agar tidak berlanjut dengan kekerasan. Pengelolaan konflik ini pernah dilakukan oleh Tim Pakar Kapolri di Kalimantan Tengah, khususnya di Pangkalan Bun pada tahun Komuniti Madura, komuniti Dayak dan komuniti Melayu yang terlibat dalam pertikaian didekati dan diajak bicara secara terpisah dan diminta pertanggunganjawabnya untuk mengendalikan warganya. Kesepakatan bersama tercapai untuk saling menghormati komuniti-komuniti yang ada dengan catatan bahwa masing-masing komuniti harus dapat merubah sikap dan pola tingkah laku yang kurang bersahabat, khususnya bagi warga Madura. Kesepakatan itu dipegang teguh hingga kini dan pihak keamananpun menjamin perlindungan bagi mereka yang melaporkan tindak kriminal warganya. 330 Pengelolaan konflik ini dapat dilakukan terutama pada konflik terpendam agar tidak menjadi terbuka, maupun konflik terpendam yang terlanjut terbuka dan konflik di permukaan seperti peristiwa Sambas dan Kalimantan Tengah dan konflik antar kampung di Jakarta. d. Resolusi Konflik dilakukan terhadap konflik di permukaan dengan menemukenali sebab-sebab konflik serta berusaha membangun kebali pola-pola hubungan yang serasi antar kelompok yang bertikai. Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk

127 melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Penjabaran tahapan proses resolusi konflik mempunyai tujuan: 1) Konflik tidak boleh hanya dipandang sebagai suatu fenomena politikmiliter, namun harus dilihat sebagai suatu fenomena sosial. 2) Konflik memiliki suatu siklus hidup yang tidak berjalan linear. Siklus hidup suatu konflik yang spesifik sangat tergantung dari dinamika lingkungan konflik yang spesifik pula. 3) Sebab-sebab suatu dapat direduksi ke konflik tidak dalam suatu 331 variabel tunggal dalam bentuk suatu proposisi kausalitas bivariat. Suatu konflik sosial harus dilihat sebagai suatu fenomena yang terjadi karena interaksi bertingkat berbagai faktor. 4) Resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara optimal jika dikombinasikan dengan beragam mekanisme penyelesaian konflik lain yang relevan. Suatu mekanisme resolusi konflik hanya dapat diterapkan secara efektif jika dikaitkan dengan upaya komprehensif untuk mewujud-kan perdamaian yang langgeng. Secara empirik tahap-tahap resolusi konflik meliputi : 1) Pendekatan Militer, yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi bertujuan untuk de-eskalasi konflik. Pada tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Tahap ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus bergandengan tangan dengan 332 orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik dapat dimulai jika mulai didapat indikasi bahwa pihakpihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik. Kajian tentang entry point ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang kondisi "hurting stalemate". Saat kondisi ini muncul, pihak-pihak yang bertikai lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang meningkat. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris (2000). Namun, ripeness thesis ini ditolak oleh Burton (1990, 88-90) yang menyatakan bahwa "problemsolving conflict resolution seeks to make possible more accurate prediction and costing, together with the discovery of viable options, that would make this ripening unnecessary". Dengan demikian, entry point juga dapat diciptakan jika ada pihak ketiga yang dapat menurunkan eskalasi konflik (Kriesberg: 1991). De-eskalasi ini dapat dilakukan dengan melakukan intervensi militer yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga internasional berdasarkan mandat BAB VI dan VII Piagam PBB (Crocker, 1996). 333 Operasi militer untuk menurunkan eskalasi konflik merupakan suatu tugas berat yang mendapat perhatian besar dari beberapa agen internasional. UNHCR, misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada tahun 1995 yang berjudul "A UNHCR Handbook For The Military On

128 Humanitarian Operations". Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul "A Guide to Peace Support Operations" 2) Pendekatan Politik, yang bertujuan untuk memulai proses reintegrasi elit politik dari kelompokkelompok yang bertikai, melalui Intervensi Kemanusia-an dan Negosiasi Politik. Ketika de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi ke-manusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban-korban konflik (Anderson, 1996). Intervensi kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip mid-war operations (Loescher dan Dwoty: 1996; Widjajanto: 2000). Prinsip ini yang merupakan salah satu perubahan dasar dari intervensi kemanusiaan di dekade 90-an, mengharuskan intervensi kemanusiaan untuk tidak lagi 334 bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata tetapi harus bisa mendekati titik sentral peperangan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa korban sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang bisa melakukan operasi penyelamatan selain pihak ketiga. Dengan demikian, bentuk-bentuk aksi kemanusian minimalis yang hanya menangani masalah defisiensi komoditas pokok (commodity-based humanita rianism) dianggap tidak lagi memadai. Intervensi kemanusiaan tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk membuka peluang (entry) diadakannya negosiasi antar elit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political settlement) antara aktor konflik. 3) Pendekatan Sosial, pendekatan ini lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problemsolving approach. Tahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah problem-solving yang memiliki orientasi sosial. Tahap ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak 335 antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi (Jabri: 1996, 149). Transformasi konflik dapat dikatakan berhasil jika dua kelompok yang bertikai dapat mencapai pemahaman timbal-balik (mutual understanding) tentang cara untuk mengeskplo-rasi alternatif-alternatif penyelesaian konflik yang dapat langsung dikerjakan oleh masing-masing komunitas. Alternatif-alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebabsebab fundamental dari suatu konflik. Bagi Burton (1990, 202), sebabsebab fundamental tersebut hanya dapat ditemukan jika konflik yang terjadi dianalisa dalam konteks yang menyeluruh (total environment). Aplikasi empirik dari problem-solving approach ini dikembangkan oleh misalnya, Rothman (1992, 30) yang menawarkan empat komponen utama proses problem-solving. Komponen pertama adalah masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. Komponen kedua adalah masingmasing pihak memberikan informasi 336 yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik, trauma-trauma yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik. Komponen ketiga adalah kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan signalsignal perdamaian. Komponen terakhir adalah problemsolving workshop yang berupaya menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik. 4) Pendekatan Kultural, yang bertujuan untuk melakukan perombakanperombakan struktur sosialbudaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng. Tahap keempat adalah peacebuilding yang meliputi tahap transisi, tahap rekonsiliasi dan tahap konsolidasi.

129 Tahap ini merupakan tahapan terberat dan akan memakan waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural. 337 Tahap pertama dari proses peace-building adalah transisi, kajian tahap ini dilakukan oleh Ben Reily (2000, ) yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi demokrasi bagi masyarakat pasca-konflik. Mekanisme transisi tersebut meliputi lima proses yaitu: (1) pemilihan bentuk struktur negara; (2) pelimpahan kedaulatan negara; (3) pembentukan sistem trias-politica; (4) pembentukan sistem pemilihan umum; (5) pemilihan bahasa nasional untuk masyarakat multietnik; dan (6) pembentukan sistem peradilan. Tahap kedua dari proses peacebuilding adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut Tahap terakhir dari proses peacebuilding adalah tahap konsolidasi. Dalam tahap konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah "Quo Desiderat Pacem, Praeparet Pacem". Semboyan ini mengharuskan aktoraktor yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi 338 perdamaian terhadap struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihakpihak yang bertikai. (Miall: 2000, ). Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early warning system, Widjajanto: 2001) Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik dan memperkecil kemungkinan pengguna-an kekerasan bersenjata untuk mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang oleh Lund (1996, ) didefinisikan sebagai: "preventive diplomacy, or conflict prevention, consists of governmental or non-governmental actions, policies, and institutions that are taken deliberately to keep particular states or organized groups within them from threatening or using organized violence, armed force, or related forms of coercion such as repression 339 as the means to settle interstate or national political disputes, especially in situations where the existing means cannot peacefully manage the destabilizing effects of economic, social, political, and international change". Kegiatan kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat eskalasi konflik (Widjajanto: 2001). Aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat saja melibatkan Non-Governmental Organisations (NGOs) (Aall:1996), mediator internasional (Zartman dan Touval: 1996), atau institusi keagamaan (Sampson: 1997; Lederach: 1997). Keempat tahap resolusi konflik tersebut harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan untuk mencapai tujuan disatu tahap akan berakibat tidak sempurnanya proses pengelolaan konflik di tahap lain. Tahap-tahap tersebut juga menunjukkan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi 340 kemunculan kekerasan struktural di suatu komunitas. 5) Transformasi Konflik dilakukan untuk mengatasi perluasan konflik sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas dan mengendalikannya untuk kepentingan semua pihak. Potensi konflik antar sementara golongan di Indonesia dewasa ini yang dikaitkan dengan dominasi ekonomi sehingga mempengaruhi sikap elite politik dan sosial dalam menghadapi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Potensi konflik itu harus dikendalikan bukan dengan mematahkan usaha golongan ekonomi kuat (contoh Cina) dan mengusirnya dengan membawa serta modal yang mereka kuasai, melainkan

130 dengan cara memberikan lebih banyak peluang bagi pribumi untuk mengembangkan usaha secara sehat. Dengan demikian konflik yang bersumber pada perbedaan sosial, politik dan ekonomi itu dapat dikendalikan dan menguntungkan semua pihak. Transformasi konflik ini dapat dilakukan bagi semua bentuk konflik dari yang terpendam, terbuka, maupun yang di permukaan. Namun kesemua pendekatan konflik itu hanya mungkin berhasil kalau dilakukan dengan penuh kejujuran, tidak berpihak pada salah 341 satu kelompok melainkan kepentingan nasional, dan dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjut-an. Disamping itu, penghormatan terhadap kelembagaan sosial masing-masing kelompok dalam masyarakat majemuk agar dapat berfungsi dalam ikut serta mengembangkan ketertiban bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, potensi konflik diantara sesama warga dapat dikendalikan secara menguntungkan tanpa harus mematikan kreativitas ke arah pembaharuan disertai penghormatan atas harkat dan martabat masing-masing pihak yang berpotensi konflik. 342 BAB VI NASIONALISME INDONESIA Setelah membaca Bab ini, calon peserta Diklat diharapkan mampu memahami dan menjelaskan hakekat nasionalisme, tantangan nasionalisme, perkembangan nasionalisme, fase nasionalisme dan peranan agama dan etnisitas A. Hakekat Nasionalisme Puncak perjuangan bangsa kita, yang mengedepankan perjuangan Nasionalisme Indonesia sejak tanggal 20 Mei 1908, adalah Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus Sejak saat itu, kita menjadi bangsa yang merdeka. Bangsa yang berdaulat. Sebuah bangsa yang berdiri tegak untuk tumbuh, berkembang, dan maju. Oleh karena itu, kebangkitan kita sebagai sebuah bangsa, pada hakekatnya adalah kebangkitan yang beresensikan pada pemahaman atas semangat nasionalisme atau semangat cinta tanah air. Gelora semangat nasionalisme itulah yang selanjutnya mengantar bangsa kita kepada pintu gerbang kemerdekaan. Nasionalisme Indonesia yang kita bangun memang memiliki keunikan tersendiri. Nasionalisme Indonesia memiliki sifat yang tidak antagonis terhadap fakta multietnik, multi-kultur, multi-agama, dan multi-lingual. Dasar dan falsafah negara Pancasila serta semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dapat mencegah Nasionalisme Indonesia menjadi Fasisme Indonesia. Bagi bangsa kita, rumusan paham kebangsaan telah dinyatakan dengan terang dan jelas di dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; membangun sebuah negara kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur; 343 membina persahabatan dalam pergaulan antarbangsa; mencipta-kan perdamaian dunia yang berlandaskan keadilan; dan menolak penjajahan dan segala bentuk eksploitasi, yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan peri-keadilan. B. Tantangan Nasionalisme. Dalam perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, kita memahami bahwa nasionalisme itu selalu mengalami dinamika yang beragam. Kita pernah mengalami kualitas semangat nasionalisme yang begitu luar biasa, yang telah mendorong kita untuk tetap mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa, meski pun dengan nyawa sebagai taruhannya. Namun nasionalisme yang telah dibangun dengan susah payah itu, dalam perkembangannya terkadang menunjukkan tanda-tanda penurunan. Hal ini harus kita cegah. Kita harus tetap merawat dan memelihara semangat nasionalisme agar negara kita tidak terpecah belah menjadi negaranegara kecil. Kita harus tetap merawat dan memelihara semangat nasionalisme, karena kita ingin membangun bangsa dan negara dengan semangat keindonesiaannya. Kita memang perlu terus menerus memupuk semangat kebangsaan, agar kita dapat menjadi sebuah bangsa yang besar, maju, dan memiliki daya saing. Upaya memupuk dan mengembangkan semangat kebangsaan itu, dengan sendirinya harus menyesuaikan diri dengan tantangan perubahan zaman. Namun, esensinya sama

131 sekali tidak berubah. Nasionalisme harus memperkuat posisi ke dalam, dengan memelihara dan mempertahan-kan kedaulatan dan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita harus terus berjuang membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, 344 menegakkan hukum, dan membangun ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tantangan dan kondisi sekarang ini, berada dalam suasana bangsa-bangsa di dunia sedang didera oleh tiga persoalan mendasar; yaitu krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan global. Semuanya itu berimbas pada kondisi ekonomi negara kita. Untuk merevitalisasi semangat nasionalisme dan menghadapi tantangan global dewasa ini, maka kita harus sanggup memaknai semangat nasionalisme dan globalisasi dalam konteks kepentingan kita sebagai bangsa. Globalisasi harus kita jadikan sebagai sebuah akses untuk merebut berbagai peluang yang tersedia di dalamnya. Kita harus tampil sebagai sebuah bangsa yang tumbuh, berkembang, dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa Indonesia harus mampu mengatasi itu semua, karena kita yakin, bangsa kita adalah bangsa yang besar. Bangsa yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang banyak. Kita harus mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk kemajuan bangsa. Dalam kaitan itu, maka tentu saja pemaknaan tentang nasionalisme harus terus menerus kita tingkatkan. Kita harus lebih mengaktualisasikan nasionalisme itu dalam berbagai peluang untuk menghadapi tantangan global yang semakin terbuka. Harapan kedepan dengan kondisi dan tantangan yang ada sekarang ini dapat menumbuhkan kesadaran dan semangat juang rakyat Indonesia dalam rangka memperkuat kepribadian bangsa, memperkokoh nilainilai budaya bangsa, mempertebal harga diri dan kebanggaan nasional serta memperkuat jiwa persatuan 345 dan kesatuan bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang damai, adil, demokratis, dan sejahtera. C. Perkembangan Nasionalisme. Menurut Daniel Bell, The End of Ideology (1960); ketika ideologiideologi intelektual lama abad ke-19khususnya Marxisme telah exhausted (kehabisan tenaga, lumpuh) dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi "baru" semacam industrialisasi, modernisasi, Pan-Arabisme, warna kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru yang baru bangkit di Asia Afrika seusai Perang Dunia II. Bell berpendapat bahwa ideologi-ideologi lama sebagai sistem intelektual yang dapat mengklaim kebenaran' atas pandangan dunia mereka, telah kehilangan raison d'etre-nya di tengah perubahan sosial masyarakat barat yang amat kompleks, khususnya menjelang dan terus berlanjut sampai usainya Perang Dunia II. Ideologi lama kehilangan tenaga karena lenyapnya semangat yang menyala-nyala (passion), sebagai akibat proses rasionalisasi dan antromorfisasi. Pendeknya, ideologi-ideologi lama yang dalam segisegi tertentu bersifat universalistik, humanistik yang dikonseptualisasikan kaum intelektual, kehilangan "kebenaran" dan kekuatan untuk memikat banyak orang di barat. Pada pihak lain, ideologi-ideologi baru yang sedang bangkit itu bersifat parokial dan instrumental. Ia dirumuskan, dikonseptualisasikan dan dibentuk para politisi. Impulsi-impulsi yang melatarbelakangi pertumbuhannya terutama adalah pembangunan ekonomi dan kekuatan nasional. Hal ini melibatkan koersi atas seluruh penduduk dan berbarengan dengan muncul dan berkuasanya elit penguasa baru yang menggiring dan memaksa rakyat atas nama kepentingan nasional. 346 Justifikasipun diberikan; bahwa tanpa koersi dan stabilitas nasional', kemajuan ekonomi tidak bisa dicapai. Karya Bell, The End of Ideology, mungkin sudah terlalu klasik; lagi pula, ia tidak secara khusus membahas subyek nasionalisme. Namun jelas, nasionalisme' tidak mati; walaupun ia memang kelihatan surut di negaranegara maju. Hobsbawm, ahli nasionalisme Marxis, dalam bukunya Nations and Nationalism since 1780: Programme, Myth, Reality (1990). Menurutnya, nasionalisme kini memang tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam perkembangan historis masyarakat dunia. Ia tidak lagi menjadi program politik global sebagaimana pernah terjadi pada

132 abad XIX dan XX, pada saat Hobsbawm menulis karyanya tadi, Uni Soviet sedang ambruk; mendorong akselarasi gerakangerakan nasionalisme yang amat kuat di berbagai wilayahnya, atau bahkan di Eropa Timur secara keseluruhan. Pada saat yang sama, negara-negara di Timur Tengah juga mengalami gejolak nasionalisme yang lebih hebat dibandingkan masa-masa sebelumnya. Lagilagi, pada saat yang sama, jumlah negara-negara baru yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) terus bertambah sebagai akibat kristalisasi nasionalisme. Francis Fukuyama, dalam bukunya The End of History and the Last Man (1992), menjelaskan bahwa nasionalisme sedang mengalami kebangkitan kembali, khususnya di kalangan masyarakat yang berada dalam transisi ke arah kebudayaan industrial. Fukuyama juga menilai, nasionalisme tidak lagi menjadi kekuatan signifikan dalam sejarah. Ia melihat semakin surutnya nasionalisme lama' di negara-negara demokrasi paling liberal dan maju di Eropa. Kalau pun mereka masih 347 berpegang pada nasionalisme, itu lebih bersifat kultural ketimbang politik, dan karenanya lebih toleran. Fukuyama juga berargumen, nasionalisme baru' yang lebih politis kini juga sedang bangkit, khususnya di wilayah-wilayah yang baru mulai atau berada pada tingkat pembangunan sosial ekonomi yang relatif rendah. Nasionalisme baru ini cenderung primitif, yakni tidak toleran, chauvinistik, dan secara internal agresif. Sebagai contoh, Jerman dan Italia dua negara paling akhir dalam proses industrialisasi dan bersatu secara politik di Eropa merupakan tempat tumbuhnya nasionalisme radikal dalam bentuk gerakan fascist ultra-nasionalis. Nasionalisme baru itu juga tumbuh paling kuat di wilayah-wilayah Dunia Ketiga bekas koloni Eropa yang berada dalam tahap awal modernisasi dan industrialisasi. Tidak heran kalau nasionalisme terkuat dewasa ini juga dapat ditemukan di bekas wilayah Uni Soviet dan Eropa Timur, saat industrialisasi datang begitu terlambat, dan identitas-identitas nasional begitu lama terlindas. Kesimpulannya, nasionalisme tetap bergelora di banyak bagian Dunia Ketiga dan Eropa Timur. Bahkan, dalam segi-segi tertentu, dapat diprediksikan kekuatan gelombangnya hampir sama dengan kebangkitan nasionalisme pada abad ke-19 dan 20. Dan ia akan bertahan lebih lama dibandingkan pengalaman nasionalisme di Eropa Barat dan Amerika. Proses globalisasi yang berlangsung demikian cepat belakangan ini memang kelihatan cenderung melenyapkan batas-batas nasionalisme; namun, pada saat yang sama, ia juga mendorong peningkatan nasionalisme yang diekspresikan dalam berbagai cara dan medium. 348 Modernisasi dan industrialisasi kelihatannya merupakan salah satu faktor penting yang bertanggung jawab bagi menyurutnya nasionalisme di Indonesia. Namun, bertolak belakang dengan argumen Fukuyama tadi, ideologi modernisasi dan developmentalism, secara de facto, menggantikan nasionalisme (politik) yang menjadi ideologi dominan di kawasan ini sebelum tahun 1970-an. Indonesia dan banyak negara yang termasuk ke dalam Dunia Ketiga dan negara-negara tengah berkembang (developing countries) terseret ke dalam orbit kapitalisme internasional. Gejala ini kian menguat dengan meningkatnya globalisasi sejak 1980-an. Bermula dengan globalisasi pasar dan ekonomi yang berintikan liberalisasi pasar dan ekonomi, globalisasi juga dengan segera mengimbas ke dalam bidang politik, sosial, budaya dan seterusnya. Dalam bidang politik, globalisasi berarti liberalisasi politik yang memunculkan gelombanggelombang demokrasi, yang pada akhirnya membuat berakhirnya negara-negara dengan rejim-rejim otoriter. Dan Indonesiapun mengalami liberalisasi politik ini sejak Globalisasi yang mendorong terjadinya liberalisasi politik, juga memunculkan nasionalisme etnis (ethnic nationalism) dan bahkan tribalism yang bernyala-nyala, sebagaimana bisa dilihat pada kasus negara-negara bekas Uni Soviet, dan Yugoslavia sampai sekarang ini. Indonesia dalam krisis ekonomi dan politik 1998 dan seterusnya bahkan juga sempat dicemaskan banyak pengamat asing sebagai segera mengalami proses Balkanisasi, persisnya disintegrasi. Nasionalisme politik, kecuali dalam bentuk kedaulatan dan keutuhan wilayah memang terlihat semakin menyurut, apalagi dengan berakhirnya perang dingin. Dalam konteks itu, kita melihat lenyap atau semakin 349 berkurangnya konflik-konflik yang nasionalisme politik di Indonesia.

133 berakar dari Disamping itu di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi yang berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas mengakibatkan Indonesia dan negara-negara berkembang umumnya harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk produk-produk industri ekonomi, khususnya di negara-negara maju. Di sini nasionalisme ekonomi Indonesia dan negara-negara berkembang harus berhadapan dengan proteksionisme negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat dan Eropa Barat. Di lain pihak, globalisasi informasi dan budaya yang dikendalikan negara-negara maju semakin dirasakan mengancam budaya Indonesia dan negara-negara berkembang. Memang tidak seluruh sistem nilai dan budaya yang disebarkan melalui globalisasi itu memiliki dampak negatif bagi perkembangan sistem nilai budaya tradisional dan nasional Indonesia, yang mengandung banyak kearifan local (local wisdom). Namun, rasa terancam dan kekhawatiran akan pelunturan nilai-nilai lokal jelas terus kian meningkat pula. D. Fase Nasionalisme Fase pertama adalah pertumbuhan awal dan kristalisasi gagasan nasionalisme. Fase ini ditandai penyerapan gagasan nasionalisme yang selanjutnya diikuti pembentukan organisasi-organisasi yang disebut Benda dan McVey atau Hobsbawn sebagai "protonasionalisme". Kemunculan dan pertumbuhan protonasionalisme, dalam banyak hal, merupakan konsekuensi dari perubahan-perubahan cepat dan 350 berdampak luas yang berlangsung di Indonesia dan banyak negara lain umunmya pada dekadedekade awal abad 20. Dalam periode ini, sebagaimana kita ketahui, kolonialis Belanda di Indonesia melaksanakan kebijaksanaankebijaksanaan sosial dan ekonomi liberal'. Di Indonesia, dalam bidang sosial, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan politik etis yang antara lain, menghasilkan ekspansi pendidikan bagi pribumi. Dalam bidang ekonomi, kebijaksanaan liberal mendorong pertumbuhan sektor ekonomi modern, yang mempunyai dampak meluas terhadap ekonomi tradisional; Indonesia dengan segera dibawa ke dalam orbit ekonomi pasar. Semua perubahan cepat ini menimbulkan disrupsi dalam keseimbangan tatanan masyarakat tradisional; antara lain mengakibatkan terjadinya kemerosotan kepemimpinan tradisional dan melonggarnya ikatanikatan komunal dan etnis. Liberalisasi' dalam bidang pendidikan betapapun terbatasnya, seperti dalam kasus Indonesia, berhasil memunculkan kelas terdidik baru, sekaligus kepemimpinan baru yang mempunyai peran sentral dalam kelahiran dan pertumbuhan awal proto-nasionalisme yang pada gilirannya menjadi nasionalisme yang lebih sempurna. Kaum terpelajar mengambil inisiatif menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional'. Inilah salah satu tahap paling krusial dalam pembentukan negarabangsa Indonesia; inilah tahapan sejarah yang secara logis berkaitan dengan Kebangkitan Nasional Demikian pula berbagai suku bangsa di kepulauan Nusantara terikat dengan pengalaman sejarah yang sama sebagai "bangsa Indonesia. 351 Pada fase proto-nasionalisme atau nasionalisme awal ini, seperti bisa diduga, adalah penciptaan dan penggalangan semangat nasionalitas vis-à-vis penjajah; inilah tahapan sebagai Kebangkitan Nasional. Karena itulah yang lebih menonjol dalam pertumbuhan nasionalisme pada tahap ini adalah penggalangan dimensi-dimensi sosial dan kultural. Bahkan, organisasi-organisasi proto-nasionalis yang muncul dan berkembang lebih bersifat kultural, sosial, pendidikan, dan ekonomi ketimbang politis. Gellner menjelaskan bahwa nasionalisme sebenarnya tidak mempunyai akar begitu kuat dalam psike manusia, nasionalisme harus diciptakan dan ditumbuhkan. Fase kedua. Masa pendudukan Jepang ( ) merupakan periode katalis dalam mengakselerasi pertumbuhan nasionalisme di Asia Tenggara. Pendudukan Jepang otomatis menghambat kepentingan dan tujuan pemerintahan kolonial Eropa. Jepang dengan sengaja mendorong pertumbuhan nasionalisme lokal di

134 Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya. Bahkan, Jepang memberikan peluang, betapapun terbatasnya kepada para pemimpin lokal untuk membicarakan masa depan wilayah dan bangsa mereka masing-masing. Dengan demikian, nasionalisme di Indonesia dan banyak negara lain segera memasuki fase kedua. Dalam fase ini, nasionalisme sangat sarat dengan muatan politis ketimbang sosial dan kultural. Tema pokok nasionalisme di fase ini adalah, sebagai "nation and character building", yakni memupuk keutuhan dan integritas negara dan bangsa yang akan segera terwujud, sebagaimana dijanjikan Jepang. Pembinaan nasionalisme dalam konteks ini, sesuai dengan kebijakan Jepang, bertujuan mencegah dengan cara apapun kembalinya kolonialisme dan imperialisme Eropa ke berbagai wilayah Asia. 352 Pendudukan Jepang menciptakan perkembanganperkembangan yang sangat kompleks bagi pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Golongan nasionalis yang memegang kendali sejak pertumbuhan awal nasionalisme, dengan sengaja, dialienasikan penguasa Jepang. Jepang lebih memberi kesempatan dan ruang gerak kepada para pemimpin agama dan ulama.. Langkah ini pada gilirannya menciptakan konflik antara kepemimpinan nasionalis dan kepemimpinan yang berakar pada sentimen keagamaan. Hanya beberapa saat menjelang berakhirnya pendudukan, Jepang kembali menoleh kepada kelompok nasionalis sekuler'. Kelompok ini berhasil mengkonsolidasi diri untuk kemudian memegang kendali dalam proses pembentukan nation state' Indonesia. Kepemimpinan agama pada akhirnya harus melakukan kompromi untuk meratakan jalan bagi pembentukan negara kebangsaan Indonesia, dengan menerima Pancasila sebagai ideologi nasional. Puncak nasionalisme Indonesia-sesuai dengan kerangka Bell di atas-tercapai pada masa Soekarno. Berkat kemampuan intelektual dan retorikanya, Presiden pertama Indonesia ini berhasil menggelorakan nasionalisme Indonesia, khususnya vis-à-vis kekuatan-kekuatan yang disebutnya sebagai neo-kolonialisme dan imperialisme (Neokolim). Bagi Soekarno, nasionalisme merupakan konsep sentral untuk membangun Indonesia yang mandiri dan terhormat di tengah percaturan internasional. Ia mengutuk eksklusivisme dan chauvinisme nasionalisme Eropa, yang justru menciptakan eksploitasi terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika. Bagi Soekarno, nasionalisme harus berdasarkan rasa cinta 353 kepada seluruh manusia. Namun, masyarakat Indonesia jelas terlalu majemuk dalam banyak hal untuk bisa diakomodasi dalam satu konsep nasionalisme. Baginya, konsep nasionalisme harus mampu memikat dan mengikat seluruh bagian masyarakat Indonesia. Dalam perumusan nasionalismenya, ia dapat mengambil dan menerapkan analisis Marxis tentang penindasan imperialisme. Pada saat yang sama, ia juga menggunakan sikap permusuhan kaum Muslimin terhadap penjajah kafir. Dengan melakukan hal seperti itu, ia dapat mengembangkan gagasan sentral tentang nasion sebagai sebuah entitas yang dapat mendamaikan berbagai elemen yang bertentangan dalam masyarakat Indonesia dan mensubordinasikannya ke bawah tujuan-tujuan jangka panjang. Dalam kerangka itulah pada 1960-an, ia kemudian menggelindingkan konsep Nasakom untuk menyimbolkan kesatuan nasionalisme, agama, dan komunisme. Nekolim merupakan versi 1960-an dari sikap antiimperialisme pada 1920-an, yang dirancangnya agar cocok dengan situasi di mana kekuasaan kolonial langsung berakhir; sementara kolonialisme dalam bentuk dominasi ekonomi Barat tetap berlangsung. Masih dalam konteks nasionalisme semacam ini, Soekarno memperkenalkan konsep New Emerging Forces (Nefos), kekuatan kebebasan, dan keadilan; dan Old Established Forces (Oldefos), kekuatan lama, penindasan. Atas nama kepentingan bangsa, nasionalisme, dan Nefos, Soekarno kemudian mengembalikan Irian Barat ke pelukan Indonesia dan melakukan kampanye Ganyang Malaysia!. Fase Ketiga. Berakhirnya kekuasaan Soekarno menyusul kegagalan kudeta berdarah PKI pada 30 September 1965 menandai berakhirnya fase kedua 354 nasionalisme di Indonesia. Bangkitnya pemerintah Orde Baru di Indonesia di bawah pimpinan Jenderal Soeharto membuka kemunculan fase baru, yakni fase ketiga nasionalisme. Soeharto dan

135 militer yang merasa traumatis dengan pengalaman politik Indonesia pada masa Soekarno, dengan segera melancarkan program modernisasi dan industrialisasi, yang lebih dikenal dengan istilah pembangunan (ideologi developmentalism'). Penekanan kini diberikan pada nasionalisme ekonomi yang tidak jarang mengharuskan Indonesia meredam nasionalisme politiknya yang pernah berkobarkobar. Ghia Nodia, Nationalism and Democracy, dalam Journal of Democracy, Vol. 3, No.4, 1992, h Mengatakan nasionalisme ibarat satu koin yang mempunyai dua sisi. Sisi pertama adalah politik, dan sisi lainnya adalah etnik. Tidak ada nasionalisme tanpa elemen politik; tetapi substansinya tak bisa lain kecuali sentimen etnik. Hubungan elemen ini ibarat jiwa politik yang mengambil tubuhnya dalam etnisitas. Nasionalisme yang muncul merupakan perpaduan sentimen etnisitas dan politik yang kemudian beramalgamasi dengan semangat keagamaan. Hasil dari perpaduan ini adalah nasionalisme yang sangat chauvinisme dan fascis, seperti terlihat jelas dalam kasus Serbia. John Naisbitt dalam buku, Global Paradox (1994), secara tersirat menyebut etnisitas chauvinistik dan radikal itu sebagai new tribalism". Tribalisme baru ini secara sempurna mewujudkan diri dalam berbagai tindak kebrutalan, perkosaan, pembunuhan, dan bentuk-bentuk lain ethnic cleansing' di wilayah bekas Yugoslavia. Dan ini merupakan kecenderungan yang sangat berbahaya. Di sini Naisbitt mengutip laporan The Economist, yang menyatakan bahwa "virus tribalisme, 355 mengandung risiko menjadi AIDS politik internasional, yang diam selama bertahun-tahun, tetapi tiba-tiba membara untuk menghancurkan berbagai negara." Naisbitt memprediksikan, pada masa depan kebanyakan konflik bersenjata akan bermotif etnik dan tribalisme ketimbang bermotif ekonomi dan politik. Negara Indonesia ini tentu saja memiliki potensi etnisitas atau tribalisme yang luar biasa besar. Namun, harus diingat bahwa kebangkitan tribalisme baru' yang relatif modern' seperti terjadi di Amerika Serikat atau tribalisme baru primitif' di bekas Yugoslavia mempunyai konteks sosial dan historis tertentu, yang dalam banyak segi berbeda dengan Asia Tenggara. E. Peranan Agama dan Etnisitas. Pengalaman historis Indonesia dengan nasionalisme, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama sangat kompleks. Kompleksitas itu tidak hanya disebabkan perbedaan-perbedaan pengalaman historis dalam proses pertumbuhan nasionalisme, tetapi juga oleh realitas Indonesia yang sangat pluralistik, baik secara etnis maupun agama. Peta etnografis Indonesia sangat kompleks, antara lain sebagai hasil dari tipografi kawasan ini. Indonesia dihuni kelompokkelompok etnis dalam jumlah besar yang, selain mempunyai kesamaan-kesamaan fisik-biologis, juga memiliki perbedaan-perbedaan linguistik dan kultural yang cukup substansial. Dalam pengalaman Indonesia, kemajemukan etnisitas beserta potensi divisif dan konfliknya dengan segera dijinakkan faktor Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk Islam menjadi "supra-identity" dan fokus kesetiaan yang mengatasi identitas dan kesetiaan etnisitas. Dengan demikian, kedatangan dan perkembangan Islam di Indonesia tidak hanya 356 menyatukan berbagai kelompok etnis dalam pandangan keagamaan dan dunia yang sama, tetapi juga dalam aspek-aspek penting-yang bahkan menjadi dasar nasionalisme-khususnya bahasa. Berkat Islam, bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa Indonesia, menjadi lingua franca berbagai kelompok etnis di Indonesia. Kesetiaan pada Islam di Indonesia pada gilirannya memperkuat kesadaran pengalaman kesejarahan yang sama. Dalam pengertian ini, penjajahan Belanda yang secara teologis menurut ajaran Islam, adalah kafir merupakan semacam blessing in disguise. Dengan kata lain, penjajahan Belanda mendorong berbagai kelompok etnis di Indonesia bersatu pada tingkat teologis keagamaan. Di sinilah kemudian sentimen etnisitas menjadi sesuatu yang tidak relevan. Dengan demikian, Islam menjadi unsur qenuine, pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Pada saat yang sama, Islam juga mampu menjinakkan sentimen etnisitas untuk menumbuhkan loyalitas kepada entitas lebih tinggi. Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa etnisitas tidak menjadi faktor penghambat yang signifikan dalam pertumbuhan nasionalisme Indonesia. Bahkan, etnisitas cenderung kehilangan relevansinya sebagai sebuah tema politik.

136 Pengalaman pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam hubungannya dengan etnisitas dan agama, seperti dikemukakan di atas, cukup bertolak belakang dengan pandangan Fukuyama. Fukuyama benar ketika menyatakan bahwa nasionalisme awal (tepatnya protonasionalisme) pada abad ke-16 di Eropa yang begitu kental dengan sentimen keagamaan, hanya menghasilkan fanatisme keagamaan dan perang agama. Anggapan ini juga 357 mungkin benar dalam hubungannya dengan brutalitas nasionalisme Serbia beberapa tahun lalu. Namun, dalam kasus Islam di Indonesia, justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan ramah, Islam Indonesia justru merangsang, menumbuhkan, dan berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme. BAB VII TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD GOVERNANCE) Setelah membaca Bab ini, calon peserta Diklat diharapkan mampu memahami dan menjelaskan tentang pengertian dan sistem pertahanan negara, prinsip-prinsip penyelenggaraan pertahanan negara, obyek pertahanan negara, pelaku penyelenggara pertahanan negara. A. Pengertian. Faktor-faktor yang mendorong perlunya penerapan good governance adalah tuntuan globalisasi yang melanda dunia pada tahun 1990an. Globalisasi adalah kecenderungan semakin terbukanya komunikasi antar bangsa (negara-bangsa) dan kebudayaan yang diakibatkan oleh semakin majunya teknologi komunikasi, sehingga: 1. Meningkatnya pengetahuan mengenai dunia luar dan masuknya gagasan dan nilai-nilai dari dunia luar ke Indonesia Negara (pemerintah) kerapkali tidak mampu menyaring arus informasi dari dunia luar. 3. Tumbuhnya gagasan-gagasan global di dunia luar seperti demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan sebagainya. Governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan negara, atau pengelolaan (management), dimana intinya bahwa kekuasaan tidak lagi sematamata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Kata governance memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti bahwa fungsi oleh pemerintah bersama institusi lain (LSM, swasta & warga negara). Dalam penyelenggaraan pemerintahan ketiganya perlu terjalin sinergi atau keseimbangan/kesetaraan dan multi arah (partisipatif). Governance without government berarti bahwa pemerintah tidak selalu diwarnai dengan lembaga, tetapi termasuk dalam makna proses pemerintahan. Good Governance adalah tata pemerintahan yang baik, dan atau cara menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dll.). sedangkan Clean Government adalah pemerintah yang bersih dan berwibawa. Dan Good Corporate Governance diartikan tata pengelolaan perusahaan yang baik dan bersih. Intinya adalah Government adalah Lembaga atau badan yang menyelenggarakan pemerintahan negara. Sedangkan Governance adalah tindakan atau pola dari kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. B. Konsep Good Governance. Perspektif governance mengimplikasikan terjadinya pengurangan peran pemerintah, tetapi pemerintah sebagai institusi tidak bisa ditinggalkan begitu saja.

137 359 Timbul pertanyaan, bagaimana negara (pemerintah) menempatkan diri dan bersikap ketika berlangsung proses governing dalam konteks governance? Atau bagaimana pemerintah berperan dalam mengelola negara atau publik? Setidaknya terdapat enam prinsip yang ditawarkan yang dapat dijadikan acuan untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu: a. Dalam kolaborasi yang dibangun, negara (baca: pemerintah) tetap bermain sebagai figur kunci namun tidak mendominasi, yang memiliki kapasitas untuk mengkoordinasi (bukan memobilisasi) aktor-aktor pada institusi-institusi semi pemerintah dan non pemerintah, untuk mencapai tujuantujuan politik. b. Kekuasaan yang dimiliki negara harus ditransformasikan, dari yang semula dipahami sebagai kekuasaan atas menjadi kekuasaan untuk, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan, memenuhi kebutuhan, dan menyelesaikan masalah publik. c. Negara, NGO, swasta, dan masyarakat lokal merupakan aktor-aktor yang memiliki posisi dan peran yang saling menyeimbangkan (untuk tidak menyebut setara). d. Negara harus mampu mendesain ulang struktur dan kultur organisasinya agar siap dan mampu menjadi katalisator bagi institusi lainnya untuk menjalin sebuah kemitraan yang kokoh, otonom, dan dinamis. e. Negara harus melibatkan semua pilar masyarakat dalam proses kebijakan mulai dari 360 formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan, serta pemberian pelayanan politik. f. C. Negara harus mampu meningkatkan kualitas responsivitas, adaptasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan kepentingan, pemenuhan kebutuhan, dan penyelesaian masalah publik. Unsur-Unsur Utama Good Governance. Pada umumnya unsur-unsur utama Good Governance adalah : D. 1. Akuntabilitas, Aparatur sebagai penanggungjawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkan. 2. Transparansi, segala tindakan dan kebijakan pemerintah harus selalu dilaksanakan secara terbuka

138 dan diketahui umum. 3. Keterbukaan, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik terhadap pemerintah. 4. Aturan hukum, adanya jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Prinsip-Prinsip Good Governance. Menurut UNDP (United Nation Development Program), good governance memiliki sepuluh prinsip sebagai berikut: 1. Partisipasi. Setiap orang mempunyai hak suara yang sama dalam proses pengambilan 361 keputusan (kebebasan berserikat, berpendapat dan ber-partisipasi). 2. Aturan hukum. Kerangka aturan hukum dan peraturan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi. 3. Transparansi. Kebebasan aliran informasi, dapat diakses secara bebas oleh masyarakat, sebagai alat pengawasan masyarakat kepada pemerintah. 4. Daya tanggap. Setiap lembaga dan prosesnya diarahkan untuk melayani berbagai pihak (stake holders). 5. Berorientasi konsensus. Pemerintah bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan. 6. Berkeadilan. Pemerintah memberikan kesempatan yang sama kepada semua rakyat untuk meningkatkan dan memelihara kualitas hidup. 7. Efektifitas dan efisiensi. Setiap proses kegiatan untuk menghasilkan sesuatu sesuai kebutuhan dengan sumda yang tersedia. 8. Akuntabilitas. Aparatur memiliki pertanggungjawaban kepada publik.

139 kewajiban Ada pula yang menyebutkan sepuluh prinsip, mirip dengan pendapat di atas, yakni: 1. Partisipasi, warga memiliki hak (dan mempergunakannya) untuk menyampaikan pendapat, 362 bersuara dalam proses perumusan kebijakan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Penegakan hukum, hukum diberlakukan bagi siapapun tanpa pengecualian, hak asasi manusia dilindungi, sambil tetap dipertahankannya nilainilai yang hidup dalam masyarakat. 3. Transparansi, penyediaan informasi tentang pemerintah(an) bagi publik dan dijaminnya kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. 4. Kesetaraan, adanya peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk beraktifitas/ berusaha. 5. Daya tanggap, pekanya para pengelola instansi publik terhadap aspirasi masyarakat. 6. Wawasan ke depan, pengelolaan masyarakat hendaknya dimulai dengan visi, misi, dan strategi yang jelas. 7. Akuntabilitas, laporan para penentu kebijakan kepada para warga. 8. Pengawasan publik, terlibatnya warga dalam mengontrol kegiatan pemerintah, termasuk parlemen. 9. Efektivitas dan efisiensi, terselenggaranya kegiatan instansi publik dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. Indikatornya antara lain: pelayanan mudah, cepat, tepat, dan murah Profesionalisme, tingginya kemampuan dan moral para pegawai pemerintah, termasuk parlemen. Selanjutnya seorang pengamat mencoba mengkaji kadar penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Indonesia, beliau menyimpulkan bahwa ada beberapa pertanyaan yang perlu diperhatikan,

140 apabila Indonesia akan menciptakan pemerintahan yang baik, antara lain: 1. Bagaimana relasi/hubungan antara pemerintah dan rakyat. 2. Bagaimana kultur pelayanan publik. 3. Bagaimana praktik KKN. 4. Bagaimana kuantitas dan kualitas konflik antara level pemerintah. 5. Bagaimana kondisi kabupaten/kota. tersebut di provinsi, Dari kajian yang dilaksanakan maka ditemukan ciri pemerintahan yang buruk, tidak efisien dan tidak efektif, dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Relasi antara pemerintah dan rakyat berpola serba negara. 2. Kultur pemerintah sebagai tuan dan bukan pelayan. 3. Patologi pemerintah dan kecenderungan KKN. 4. Kecenderungan lahirnya etno politik yang kuat E. Konflik kepentingan antar pemerintah. Good Governance Bidang Pertahanan Negara. Tata pemerintahan yang baik (good governance) adalah kunci sistem penyelenggaraan pemerintahan modern dan demokratis yang terdiri dari dua pilar yaitu akuntabilitas dan transparansi. Hal ini juga harus diterapkan dalam bidang keamanan yang mencakup aspek pertahanan. Saat ini perkembangan demokrasi baik dalam konteks

141 penyelenggaraan pemerintahan maupun penghormatan atas hak-hak rakyat dalam melakukan pengawasan dan memenuhi kepentingankepentingan mereka telah melahirkan suatu pemahaman bahwa reformasi sektor pertahanan negara (keamanan nasional) merupakan prasyarat penyelenggaraan pembangunan, demokrasi, dan perdamaian yang berkelanjutan. Salah satu alasannya adalah karena dengan good governance akan lebih mudah memahami dan membaca arah kebijakan pertahanan negara (keamanan nasional), bahkan terdapat ruang untuk melakukan pengawasan dan koreksi atas suatu perkembangan kebijakan pertahanan negara baik yang dilakukan oleh aktor politik domestik maupun dalam hubungannya dengan negara lain. F. Langkah-Langkah Good Governance. Good governance dalam bidang pertahanan melihat pertahanan sebagai kewenangan pemerintah, suatu pandangan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pertahanan merupakan kewenangan otoritas politik yang memegang monopoli atas keputusan penggunaan instrumen kekerasan yang bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingan keamanan 365 (pertahanan Negara) baik keamanan negara maupun keamanan masyarakat dan individual. Dalam pandangan ini pertahanan, yang merupakan bagian dari keamanan, dilihat sebagai bagian dari sektor publik untuk mengelola dua pelaku atau komponen utama bidang pertahanan yaitu alat/instrumen pertahanan negara dan lembagalembaga politik sipil yang bertanggungjawab atas pengelolaan dan kontrol terhadap alat-alat atau alat pertahanan tersebut. Dalam perspektif governance, hubungan antara aparat dan lembaga-lembaga politik sipil ini should be the subject to the same standards of efficiency, equity, and accountability as any other (public) service Ini adalah aspek pertama good governance yaitu akuntabilitas yang menuntut adanya pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat dalam sistem politik demokrasi dalam mengelola sektor pertahanan. Hal ini sekaligus mensyaratkan adanya mekanisme pertanggungjawaban semua institusi dan aktor pertahanan. Dengan demikian, institusi dan alat pertahanan harus bertanggungjawab kepada otoritas politik yaitu eksekutif, kementerian yang membidangi masalah pertahanan, parlemen dan beberapa komisi parlemen yang relevan, kewenangan kehakiman, dan badanbadan pengawasan misalnya komisi hak azasi manusia dan ombudsman sesuai dengan mekanisme politik negara tersebut. Peran dari badan-badan ini adalah untuk memberi jaminan bahwa penyelenggaraan pertahanan dikelola melalui cara yang efisien dan efektif dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar universal demokrasi dan hak azasi manusia. Jadi, pertahanan tidak hanya menjadi kewenangan 366 government, melainkan juga merupakan governance yang harus tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi. Akuntabilitas tersebut hanya bisa dicapai melalui aspek kedua good governance yaitu adanya transparansi yang merupakan prasyarat akuntabilitas yang efektif. Transparansi membuat publik mengetahui dan memahami pertahanan, membuat mereka mampu mengontrol perilaku aktor pertahanan. Kebijakan, perencanaan, dan penganggaran pertahanan juga harus dibuat transparan yang memberi ruang untuk terjadinya debat publik secara dinamis tentang kebijakan pertahanan negara (keamanan nasional). Tetapi, juga harus diakui bahwa transparansi bidang pertahanan selalu merupakan masalah sensitif karena harus diseimbangkan dengan aspek kerahasiaan, terlebih yang menyangkut tentang militer. Padahal, sebenarnya tidak ada satupun kebijakan yang rahasia. Karena kebijakan adalah ruang publik dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Kerahasiaan dalam bidang pertahanan biasanya hanya menyangkut taktik dan strategi pada tingkat operasional. Aspek akuntabilitas dan transparansi sering diwujudkan dalam upaya-upaya menegakkan kontrol demokratis atas militer (democratic control of armed forces). Konsep ini memang masih menimbulkan perdebatan dan bahkan melahirkan penafsiran yang berbeda. Hal ini sudah berlangsung sejak lama, ketika para peneliti bidang hubungan sipil-militer (civil-military relations)

142 memperdebatkan konsep objective dan subjective civilian control dan konsep profesionalisme lama dan profesionalisme baru. Tetapi, good governance dalam konteks democratic control of armed forces secara universal dipahami mengandung beberapa hal sebagai berikut : Alat-alat pertahanan tunduk dan bertanggungjawab kepada otoritas politik yang memperoleh legitimasi dan mandat konstitusional dari rakyat. 2. Alat-alat pertahanan mengikuti kebijakan politik otoritas politik sipil dan harus netral secara politik. 3. Misi dan peran kekuatan pertahanan hanya dilakukan untuk tugas-tugas yang telah digariskan secara konstitusional melalui kebijakan pertahanan negara (keamanan nasional) maupun yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 4. Kekuatan pertahanan memperoleh sumbersumber pendanaan hanya melalui anggaran belanja nasional (APBN) yang telah disetujui oleh parlemen. Hal ini untuk mencegah lahirnya kekuatan pertahanan yang independen terhadap otoritas politik sipil. 5. Kekuatan pertahanan harus mematuhi rule of law, termasuk aturan-aturan internasional tentang hukum humaniter yang mengatur tentang perilaku di masa konflik. Ini mensyaratkan adanya aturan pelibatan (rules of engagement) dalam setiap operasi militer. 6. Kekuatan pertahanan harus diintegrasikan ke dalam sistem politik dalam aturan-aturan demokrasi yang telah disepakati untuk mencegah lahirnya kekuatan militer yang bertindak seperti negara dalam negara (a state within the state). Dalam praktek hal ini akan terlihat dari bagaimana hubungan antara Presiden, Menteri Pertahanan, Panglima, dan institusi militer, dan institusiinstitusi lain yang berkaitan dengan pertahanan dan militer. 368 Keenam prinsip-prinsip pokok tersebut harus dibarengi dengan penyelenggaraan pertahanan dalam kerangka sebagai berikut: Pertama, harus dibangun kerangka konstitusional dan legal yang menegaskan pemisahan kekuasaan antara pemerintah, parlemen, dan kekuasaan hukum dan menetapkan tugas, hak, dan kewajiban alat pertahanan (militer) dalam kerangka checks and balances. Kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu tangan akan melahirkan penyalahgunaan kekuasaan termasuk penyalahgunaan alat-alat pertahanan untuk kepentingan kekuasaan. Kedua, pengembangan pengawasan sipil atas militer dalam pengelolaan sektor pertahanan (dan keamanan secara umum) oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian terkait dengan kekuasaan membuat kebijakan dan mengelola masalah-masalah pertahanan negara (keamanan nasional). Ketiga, pelaksanaan pengawasan parlemen (parliamentary oversight) bidang pertahanan dan keamanan melalui kekuasaan untuk menyetujui anggaran pertahanan, undang-undang yang berkaitan dengan bidang pertahanan, strategi dan perencanaan pertahanan, pengadaan alutsista, dan pengerahan

143 kekuatan pertahanan, ratifikasi perjanjian dan hukum internasional yang berkaitan dengan keamanan, pembentukan komisi pertahanan, investigasi parlemen melalui dengar pendapat (hearing), sistem pelaporan dan sebagainya. Keempat, penegakan kontrol/pengawasan hukum atas sektor keamanan yaitu menempatkan mereka tunduk pada sistem hukum sipil, kecuali untuk hukum pidana 369 militer yang secara khusus diberlakukan untuk pelanggaran-pelanggaran militer (military offences). Kelima, pengawasan oleh publik (public control) melalui masyarakat sipil (LSM), partai politik, masyarakat akademis dalam bidang pertahanan dan keamanan, lembaga penelitian, media, dan sebagainya. Peran penting lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah mendorong diskusi dan debat nasional tentang keamanan dan pertahanan. Oleh karena itu good governance dalam bidang pertahanan mensyaratkan beberapa penataan: Pertama, restrukturisasi alat pertahanan, terutama militer. Langkah ini mencakup antara lain reformasi pertahanan, reformasi militer, restrukturisasi organisasi pertahanan dan organisasi militer, termasuk di dalamnya adalah pengembangan doktrin pertahanan dan doktrin militer, dan pengembangan profesionalisme militer. Kedua, langkah-langkah memperkuat kemampuan sipil (capacity building) dan institusinya, misalnya dengan melakukan reformasi kementerian yang menangani masalah pertahanan, termasuk kementerian keuangan, serta mekanisme pengawasan baik di lingkungan parlemen maupun dalam lingkungan eksekutif. Langkah capacity building ini juga mencakup penguatan kapasitas parlemen dan partai politik dalam memahami dan melakukan pengawasan dalam masalah pertahanan. Kedua langkah ini juga untuk menegaskan dan memisahkan antara akuntabilitas politik dan kebijakan di satu sisi dengan akuntabilitas operasional yang harus dipenuhi melalui profesionalisme alat 370 pertahanan, baik dari aspek kompetensi/kemampuan maupun organisasi. Ketiga, langkahlangkah penataan sumber-sumber nasional untuk kepentingan pertahanan, terutama yang berkaitan dengan sumber-sumber anggaran. Transparansi dan akuntabilitas anggaran pertahanan adalah syarat mutlak bagi penyelenggaraan good governance dalam bidang pertahanan yang mencerminkan tiga hal pokok yaitu menegaskan kontrol sipil dalam bidang pertahanan; menjaga agar anggaran pertahanan tidak melampaui kemampuan pemerintah; dan mengindikasikan prioritas kebijakan suatu negara. Dalam masyarakat di mana instrumen keamanan (militer) masih relatif independen dan otonom terhadap otoritas politik dan tidak transparan, sumber-sumber nasional dengan mudah dapat digunakan secara tidak proporsional yang merugikan kepentingan pembangunan ekonomi dan sosial. Atau, paling tidak kegiatan bisnis militer yang tidak terkontrol bisa mendistorsi ekonomi nasional. Karena itu proses penganggaran bidang pertahanan yang transparan dan akuntabel harus melalui tahap formulasi oleh eksekutif; persetujuan oleh legislatif dalam suatu undang-undang; pengalokasian dan penggunaan serta evaluasi atas efisiensi dan efektifitas anggaran. Keempat, good governance dalam bidang pertahanan harus memperhatikan aspek/peran masyarakat dalam mengawasi kebijakan dan penyelenggaraan pertahanan yang dilakukan oleh pemerintah. Defence literacy (pengetahuan dan kesadaran) masyarakat tentang pertahanan adalah salah satu aspek fundamental dalam good governance. Masyarakat yang sadar dan mengerti tentang masalah pertahanan memainkan peran penting untuk menjamin 371 transparansi dan akuntabilitas pemerintahan bidang pertahanan. penyelenggaraan Salah satu langkah penting dalam kaitan ini adalah perlunya konsultasi dan perdebatan publik tentang masalah-masalah kebijakan pertahanan nasional serta penerbitan dokumen-dokumen kebijakan negara dalam bidang pertahanan, misalnya dengan diterbitkannya buku putih pertahanan. Buku putih pertahanan tidak hanya merupakan pernyataan kebijakan pertahanan suatu pemerintah, melainkan juga memberi ruang bagi publik untuk memperdebatkan masalah-masalah pertahanan.

144 Good governance dengan demikian mencakup hubungan antara tiga komponen utama yaitu TNI sebagai instrumen kekerasan, DPR sebagai institusi yang mengelola dan mengawasi instrument kekerasan, dan Kementerian Pertahanan sebagai struktur yang menegakkan dan mengatur hubungan semua aktor bidang pertahanan. Hubungan-hubungan tersebut harus menegaskan pengaturan tentang perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, dan pengawasan kebijakan (policy formulation, implementation, and oversight). G. Keadaan di Indonesia. Sejak reformasi tahun 1998 berbagai upaya untuk membangun good governance bidang pertahanan telah dilakukan. Secara politis, hal itu dilakukan dengan pemisahan organisasional antara polisi dan TNI yang kemudian ditetapkan secara formal melalui Tap MPR No. VI dan No. VII/2000. Pada tahun 2002 lahir Undang-undang No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara sebagai kerangka legal pengelolaan masalah pertahanan yang memberikan kewenangan kepada masing-masing aktor pertahanan. Secara lebih khusus, 372 tahun 2004 lahir Undang-undang No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang menegaskan kewenangan dan tempat TNI dalam ketatanegaraan Indonesia dalam menjalankan fungsinya sebagai komponen utama pertahanan. Langkah-langkah awal ini ditujukan untuk melepaskan militer dari keterlibatan politik. Politik dan kebijakan pertahanan menjadi kewenangan Kementerian atau Menteri Pertahanan. Militer hanya bertanggungjawab secara operasional dan pengembangan kemampuan teknis dan operasional untuk kepentingan operasi militer. Aspek lain yang menjadi agenda penting pengembangan good governance sejak gelombang reformasi adalah memberi kekuasaan pengawasan yang lebih besar kepada DPR dalam bidang pertahanan dan keamanan. Jadi, sejak reformasi terdapat upaya untuk menegaskan pemilahan kewenangan dan pertanggungjawaban aktor dalam hal pembuatan kebijakan, implementasi kebijakan, dan pengawasan kebijakan dalam bidang pertahanan: 1. Bidang Kebijakan Secara institusional-legal kebijakan pertahanan telah ditempatkan sebagai kewenangan Kementerian Pertahanan. Kementerian Pertahanan adalah kepanjangan tangan dari Presiden sebagai pemegang otoritas politik sipil dalam bidang pertahanan dengan kewenangan dalam bidang pembuatan kebijakan (policy) dan pengelolaan (management). Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara sangat jelas telah menegaskan kewenangan tersebut. 373 Demikian pula halnya dengan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia melindungi segenap bangsa dengan konsekuensi perlunya perumusan kebijakan pertahanan untuk tujuan tersebut. Hal ini merupakan fundamental politik dalam negara demokratis dalam arti bahwa tanggungjawab politik dan perumusan kebijakan pertahanan tidak boleh diberikan kepada instrumen pelaksana yaitu TNI. Tetapi, perlu ditegaskan bahwa menurut UndangUndang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, kebijakan pertahanan harus didahului dengan perumusan suatu kebijakan umum pertahanan negara. Perumusan ini dilakukan oleh Presiden dengan melibatkan Dewan Pertahanan Nasional yang anggotanya terdiri dari Wakil Presiden, Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, dan pejabat pemerintahan dan non-pemerintahan. Kebijakan Umum Pertahanan Negara ini dioperasionalkan oleh Menteri Pertahanan dengan merumuskan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara dan Kebijakan Umum Penggunaan Kekuatan TNI. Sebagai pemegang kebijakan pertahanan Presiden juga memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Darat. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang dengan negara lain, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Presiden memutuskan pengerahan kekuatan pertahanan/ bersenjata, termasuk pengerahan 374 kekuatan bersenjata dalam keadaan mendesak. Presiden juga mempunyai kekuasaan untuk menyatakan keadaan bahaya atau keadaan darurat dan mengerahkan kekuatan militer untuk

145 mengatasi keadaan bahaya tersebut. Karena itulah, dalam bidang pertahanan menjadi jelas bahwa supremasi otoritas politik dalam perumusan kebijakan politik telah memperoleh kerangka legal di mana Presiden memegang tanggung jawab bidang pertahanan dengan konsekuensi kewenangan menetapkan prioritas pertahanan negara, menetapkan strategi untuk mencapainya, dan penggunaan instrumeninstrumen atau kekuatan pertahanan untuk mencapai tujuan pertahanan negara. Ini semua harusnya merupakan esensi dari Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang sampai sekarang belum dirumuskan. Kebijakan umum pertahanan memberi arah tentang apa yang hendak dicapai pada masa pemerintahan sekarang ini dan bagaimana mencapainya. Kebijakan umum pertahanan memberikan arah tentang apa yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam perubahan perkembangan internasional dan domestik. Di sini kebijakan umum pertahanan negara berisi penilaian tentang potensi ancaman (threat assessment) baik eksternal maupun internal atas dasar analisa lingkungan strategis dan karakter geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Kebijakan umum pertahanan negara juga menjelaskan penilaian tentang kapabilitas pertahanan (capability assessment) yang dimiliki dan harus dikembangkan oleh Indonesia dengan melihat perkembangan kapabilitas pertahanan 375 negara-negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Akhirnya, kebijakan umum pertahanan juga berisi strategi pertahanan yang menjelaskan tentang bagaimana menghadapi perkembangan-perkembangan potensi ancaman dan lingkungan strategis yang kemudian diturunkan dalam pengembangan strategi dan kekuatan pertahanan Indonesia. Dalam merumuskan Kebijakan Umum Pertahanan Negara Presiden dibantu oleh suatu Dewan Keamanan Nasional yang di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 disebut Dewan Pertahanan Nasional (DPN). Ke depan nama dewan ini harus diganti menjadi Dewan Keamanan Nasional (untuk menghindari pengertian/persepsi yang keliru). Beberapa orang mengatakan untuk menjalankan fungsi dewan ini bisa digunakan Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang sudah ada dan dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 1999, atau paling tidak orang dapat mempertanyakan mengapa harus ada Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sementara dalam waktu yang sama ada kabinet yang di dalamnya terdapat beberapa menteri yang membidangi masalah pertahanan dan keamanan. DPN berbeda dari Wantannas atau kabinet. Suatu dewan keamanan nasional bertugas menganalisa isu-isu ancaman, dari mana ancaman datang, dan bagaimana menghadapi ancaman tersebut. DPN memberikan nasehat kepada Presiden dalam pembuatan kebijakan umum pertahanan negara, menyusun kebijakan 376 tentang pengerahan komponen pertahanan, dan menelaah resiko dari kebijakan yang ditetapkan. Tetapi ada fungsi yang lebih fundamental. Ketua dewan keamanan nasional adalah juga penasehat Presiden dalam bidang keamanan (national security adviser) yang sehari-harinya berkomuni-kasi dengan Presiden. Dalam situasi krisis keberadaan DPN sangat diperlukan, terutama ketika pemerintah menghadapi situasi darurat atau mendesak yang segera harus ditangani dengan segala resikonya, termasuk ketika harus menggunakan instrumen kekerasan dan memberlakukan keadaan darurat pada berbagai tingkatan. Struktur dan keanggotaan DPN di luar keanggota-an tetap seperti yang dicantumkan dalam undang-undang tergantung dari Presiden sesuai dengan kepentingan dan prioritas masalah keamanan dalam kurun waktu tertentu. Anehnya, sampai sekarang Dewan Keamanan Nasional belum dibentuk, meskipun hal ini merupakan suatu keharusan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Untuk menjadi operasional kebijakan umum pertahanan negara harus diterjemahkan ke dalam beberapa kebijakan yang lebih kongkrit yang disebut kebijakan penyelenggaraan pertahanan yang menjadi tanggungjawab dari Kementerian Pertahanan yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan. Esensi dari kebijakan penyelenggaraan pertahanan adalah pembuatan policy dan pengelolaan (management). Penjabarannya 377 meliputi perumusan kebijakan dan strategi pertahanan, kebijakan pengembangan kekuatan

146 pertahanan (termasuk di dalamnya pengadaan atau procurement, pembinaan potensi pertahanan), pengembangan teknologi dan industri pertahanan, kebijakan alokasi anggaran pertahanan, dan kebijakan umum pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Kebijakan-kebijakan penjabaran dari kebijakan umum pertahanan negara ini jelas menunjuk-kan bahwa Menteri Pertahan tidak hanya berwenang merumuskan kebijakan pertahanan, melainkan juga kontrol terhadap TNI, termasuk kontrol terhadap pembinaan kekuatan pertahanan apakah sesuai dengan kebijakan pembangunan kekuatan yang dirumuskan oleh Kementerian Pertahanan. Salah satu alat kontrol yang penting adalah kontrol terhadap anggaran TNI yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan. Semua kewenangan ini dan pertanggungjawaban politiknya tidak dapat berikan kepada TNI karena mereka bukan institusi atau aktor yang memegang akuntabilitas politik. 2. Hubungan pertahanan. kewenangan antar aktor Ada beberapa kemajuan secara legal formal dalam hubungan antar aktor dan institusi bidang pertahanan yang menunjukkan supremasi otoritas politik, terutama dalam hal pembuatan kebijakan dan pengawasan kebijakan. Tetapi dalam aspek operasional, hubungan-hubungan kewenangan masih tumpang tindih. 378 Pertama tentang kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas ketiga Angkatan dalam tubuh TNI. Konsekuensinya, Presiden berwenang mengangkat dan memberhentikan Panglima TNI. Tetapi, ketentuan dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyatakan bahwa pengangkatan Panglima TNI harus disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini dapat menciptakan politisasi proses pengangkatan dan jabatan Panglima TNI yang dapat mengganggu hubungan institusional dan kewenangan antara Panglima TNI dengan Menteri Pertahanan. Padahal, posisi Panglima adalah pelaksana kebijakan pertahanan negara yaitu membuat perencanaan pembinaan dan pengembangan secara operasional kekuatan pertahanan serta perencanaan strategi dan operasi militer, termasuk di dalamnya adalah pengembangan postur, organisasi, dan doktrin TNI. Oleh karena itu ke depan pengangkatan Panglima TNI tidak memerlukan persetujuan DPR. Masalah lain adalah pemahaman tentang hubungan antara Presiden dengan Panglima TNI berdasarkan Ketetapan VI dan VII/MPR/2000 yang menyatakan bahwa TNI berada langsung di bawah Presiden. Ketetapan ini melahirkan penafsiran bahwa Panglima TNI mempunyai posisi setara dengan menteri kabinet, termasuk Menteri Pertahanan dan karena itu tidak ada hubungan surbordinasi antara Panglima dan Menteri Pertahanan. Pandangan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa Panglima diangkat oleh Presiden setelah memperoleh persetujuan DPR, 379 yang secara politis berarti posisi Panglima TNI lebih tinggi dari pada Menteri Pertahanan. Masalah ini, di luar kerangka legal UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004, sudah lama menjadi bahan perdebatan. Persoalannya terletak pada ketidakjelasan posisi Panglima yang mempunyai dua makna. Pertama, Panglima sebagai komandan perang atau senopati dalam suatu operasi militer. Di sini, Panglima tunduk secara langsung kepada Presiden melalui garis komando karena Presiden adalah panglima tertinggi (supreme commander). Tetapi, jarang sekali, Panglima TNI sekaligus berperan sebagai seorang komandan operasi militer. Biasanya, untuk melaksanakan suatu operasi militer ditunjuk panglima operasi atau komandan operasi. Perintah operasi mengalir dari Presiden sebagai Panglima Tertinggi dan pemegang otoritas politik yang mempunyai kewenangan pengerahan, yang kemudian dikomunikasikan kepada Panglima untuk selanjutnya kepada komandan operasi. Peran Panglima lebih banyak sebagai penasehat militer dan dalam merencanakan operasi

147 mliter, bukan panglima dalam pengertian senopati. Makna kedua, Panglima adalah pemimpin suatu organisasi atau institusi yang bernama Tentara Nasional Indonesia. Sebagai pemimpin TNI, Panglima bertugas menjabarkan kebijakan pertahanan yang dirumuskan oleh Menteri Pertahanan ke dalam pengembangan kekuatan TNI dan langkah-langkah operasional TNI. Di sinilah panglima tunduk dan bertanggungjawab kepada Menteri Pertahanan, 380 sebagai perpanjang-an tangan Presiden. Jadi, sangat jelas bahwa Panglima TNI tunduk pada otoritas politik sipil, sebagai pemimpin TNI dan bertanggungjawab pada aspek operasional TNI, dan tunduk pada kebijakan dan strategi pertahanan yang dirumuskan oleh Kementerian Pertahanan. Siapa pun yang menjadi panglima tidaklah penting, sepanjang Kementerian Pertahanan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan Presiden bisa menyelenggarakan otoritas, arah, dan pengawas-an terhadap TNI. Karena itu penting dilakukan penataan hubungan antara Presiden, Kementerian Pertahanan, dan Mabes TNI justru untuk melindungi TNI dari tarikmenarik kepentingan politik. Selama ini masalah politik dalam pengangkatan Panglima didasarkan atas asumsi bahwa Panglima mempunyai kedudukan politik-strategis. Hal ini yang harus diubah dengan mindset baru bahwa TNI adalah alat negara yang menjalankan tugas hanya atas dasar keputusan politik. Sebagai instrumen yang bertindak atas keputusan politik pengerahan, TNI tidak mempunyai akuntablitas politik. Sangat disayangkan, masalah-masalah kelembagaan yang ditimbulkan oleh kedua makna tersebut tidak diselesaikan secara kelembagaan, sehingga lahir penafsiran secara terbuka tentang hubungan antara Kementerian dan Menteri Pertahanan dengan Mabes dan Panglima TNI. Oleh karena itu, harus dipikirkan hubungan kelembagaan antara Presiden, Kementerian/ Menteri Pertahanan, dan Mabes/Panglima TNI di masa yang akan datang. Apakah akan tetap 381 seperti sekarang dimana posisi Panglima TNI relatif kuat vis a vis Menteri Pertahanan dan masih mengandung aspek politis karena keterlibatan DPR dalam pengangkatan Panglima? Ataukah akan digunakan model Gabungan Kepala Staf dengan konsekuensi perubahan dalam garis komando dan hubungan antara Presiden, Kementerian/Menteri Pertahanan dan Mabes/ Panglima TNI. Restrukturisasi ini memerlukan keputusan politik dari pucuk pimpinan nasional yaitu Presiden dengan legitimasi politik melalui proses-proses politik yang melibatkan DPR. Langkah ini memerlukan perubahan/amandemen peraturan perundang-undangan bidang pertahanan dan tentang Tentara Nasional Indonesia. Hubungan institusional yang di masa depan akan menjadi masalah serius adalah hubungan antara pemerintah pusat dan dan pemerintah daerah dalam bidang pertahanan. Secara umum telah disepakati sebagai prinsip politik bahwa masalah pertahanan tidak dapat didesentralisasi. Hal yang sama juga dapat ditemui di negaranegara yang menganut sistem pemerintahan federal, misalnya Amerika Serikat. Dalam beberapa tahun terakhir masalah ini muncul ke permukaan dalam bentuk misalnya pembelian kapal jenis KAL-35 oleh Pemerintah Daerah Riau dan pemberian fasilitas komunikasi oleh Pemerintah Daerah DKI kepada KODAM Jakarta. Sangat menarik dari beberapa pengamatan sebagian pemerintah daerah menyatakan bahwa pembelian tersebut adalah untuk melindungi para nelayan warga provinsinya dari nelayan dari 382 provinsi lain. Masalah ini makin rumit jika daerah menuntut hak pengelolaan kekayaan laut sampai batas zona ekonomi eksklusif. Tidak hanya hal ini akan membahayakan konsepsi perairan nusantara yang diakui oleh masyarakat internasional seperti ditentukan oleh Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS), melainkan juga melibatkan TNI dalam sekatsekat masalah keamanan pemerintah-pemerintah daerah. Ini sangat membahayakan konsepsi pertahanan dan bangunan negara Indonesia dari perspektif geostrategis dan geopolitik negara Indonesia. Masalahnya adalah jika pemerintah daerah memberikan bantuan langsung kepada TNI, hal ini bisa melahirkan kesetian lokal kepada pemerintah daerah. Atau, paling tidak hubungan ini dapat melahirkan saling menguntungkan atas dasar kepentingan lokal dan kepentingan sempit. Lebih buruk lagi, dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung melalui jalur partai politik, hubungan antara pemerintah daerah dengan militer bisa melahirkan hubungan antara partai politik dengan militer

148 atas dasar kepentingan ekonomi dan politik lokal. Bantuan langsung dari pemerintah daerah kepada militer juga dapat menyebabkan melemahnya kapital sosial dalam tubuh militer. Militer di daerah kaya bisa menyebabkan munculnya kritik dan ketidakpuasan dari militer yang ditempatkan di daerah miskin. 3. Pengawasan bidang pertahanan. 383 Secara politik pengawasan dilakukan oleh parlemen dan masyarakat. Pengawasan ini mencakup kontrol dan pertanggungjawaban. Pernah dikatakan oleh Perdana Menteri Perancis bahwa Perang merupakan masalah yang terlalu serius untuk diserahkan pada militer. Pernyataan ini menegaskan bahwa para wakil rakyat memegang kekuasaan tertinggi dalam politik negara dan tidak ada sektor negara yang berada di luar pengawasan rakyat. Pernyataan senada juga dikemukakan oleh ilmuwan Amerika Serikat yaitu masalah yang paling fundamental dan terus-menerus dalam politik adalah menghindari pemerintahan otoriter. Pengawasan parlemen telah memperoleh dasar hukum dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undangundang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Secara umum pengawasan parlemen dalam bidang pertahanan mencakup pembuatan perundang-undangan (termasuk meng-amandemen), persetujuan pengangkatan Panglima TNI, persetujuan pengerahan kekuatan TNI, pernyataan keadaan darurat dan perang, membuat perjanjian dengan negara lain, dan penetapan anggaran pertahanan. Kontrol anggaran mencakup akses pada semua dokumen tentang anggaran, hak untuk meninjau dan mengubah dana anggaran pertahanan dan keamanan, pengawasan atas anggaran dilakukan pada tingkat program, proyek, dan pedoman kerja, serta hak untuk menyetujui atau menolak usul tambahan anggaran pertahanan dan keamanan. Dalam implementasinya kekuasaan parlemen juga mencakup kontrol atas pembelian alutsista 384 (alat utama sistem persenjataan), terutama dalam konteks meneliti apakah pengadaan persenjataan tersebut sesuai dengan kebijakan pertahanan dan apakah pengadaan alutsista tersebut tersebut telah sesuai dengan mekanisme penganggaran APBN. Ini terlihat misalnya dalam kasus pengadaan Sukhoi dan MI-17 yang pernah menjadi perdebatan sengit di DPR. Kasus ini menegaskan praktek pengawasan atas pengadaan alutsista yang mencakup kewajiban eksekutif untuk memberitahu DPR tentang pengadaan, hak DPR untuk menyetujui dan menolak kontrak, serta meninjau tahap-tahap pengadaan yang mencakup menetapkan perlunya perlatan baru, membandingkan dan memilih pabrik dan menilai penawaran untuk kompensasi atau ganti rugi. Pengawasan oleh DPR dalam bidang pertahanan ternyata masih menghadapi banyak kendala. Keahlian yang dimiliki oleh DPR jarang menandingi keahlian pemerintah dan aktor-aktor pertahanan, terutama militer. Dalam banyak kasus, DPR memiliki staf peneliti yang terbatas baik dalam jumlah maupun keahlian yang harus berhadapan dengan staf ahli eksekutif Kementerian pertahanan dan Kementerian lain. Anggota DPR hanya dipilih untuk periode yang terbatas, sedangkan para anggota birokrasi pemerintah dan personalia militer mempunyai pengalaman panjang dan menghabiskan waktu mereka dalam bidang pertahanan. Masalah lain yang mendasar adalah bahwa DPR sangat tergantung pada informasi yang dibuat oleh pemerintah dan militer yang sangat diwarnai oleh 385 budaya tertutup pertahanan. dan kerahasiaan

149 sektor Sementara itu pengawasan masyarakat terhadap pemerintah dalam bidang pertahanan dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga akademis, pusat kajian, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Pengawasan ini dilakuakan dengan menyebarkan analisa dan informasi tentang masalah pertahanan dan khususnya militer kepada parlemen dan masyarakat secara luas. Mereka juga dapat membuat agenda politik tentang masalah-masalah pertahanan yang penting bagi masyarakat. Kelompok akademis dan lembaga penelitian juga dapat memberikan latihan dan analisa masalah pertahanan kepada DPR serta memberikan pandangan alternatif tentang kebijakan pertahanan, anggaran pertahanan, pengadaan alutsista, memperdebatkan kebijakan pertahanan dan merumuskan alternatif kebijakan. Tidak kalah pentingnya adalah memfasilitasi perdebatan publik tentang masalah pertahanan. 4. Langkah-langkah ke Depan. Tata pemerintahan yang baik dalam bidang pertahanan memerlukan proses yang panjang. Tidak hanya diperlukan pemahamanpemahaman pada tingkat perspektif tentang hubungan antar institusi dan aktor serta kewenangannya dalam sistem politik yang sedang dikembangkan melainkan juga mensyaratkan pembangunan kapasitas semua pelaku yang terlibat yang merupakan stake 386 holders (pihak yang berkepentingan). Mereka mencakup militer, pengambil keputusan dan pengawasannya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), dan masyarakat. Tata pemerintahan yang baik dalam bidang pertahanan juga ditentukan oleh keterlibatan masyarakat. Pertama, hal ini dilakukan melalui pengawasan oleh masyarakat terhadap institusi dan perilaku aktor-aktor pertahanan. Tetapi ini hanya bisa dilakukan jika masyarakat memahami masalah pertahanan. Karena itulah harus dikembangkan kemampuan dan pengetahuan masyarakat dalam bidang pertahanan baik melalui pendidikan formal maupun melalui interaksi dengan Kementerian pemerintah, melalui saluran politik baik partai politik maupun parlemen. Perubahan-perubahan ke arah pemerintahan yang baik bidang pertahanan hanya bisa dicapai jika terdapat kontrol oleh masyarakat yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam bidang pertahanan. Kedua, tata pemerintahan yang baik dalam bidang pertahanan melalui kontrol masyarakat hanya bisa diciptakan jika muncul kesadaran bahwa masalah pertahanan adalah kepentingan mereka. Masyarakat yang merasa bahwa pertahanan tidak ada kaitan dengan kepentingan mereka sulit diharapkan bisa melakukan pengawasan terhadap mereka yang terlibat dalam pembuatan kebijakan pertahanan maupun pelaku operasional kebijakan pertahanan tersebut. Kesadaran ini bisa ditumbuhkan melalui interaksi antara masyarakat, partai politik, dan lembaga- 387 lembaga masyarakat lain. Partai politik sulit diharapkan mengangkat isu pertahanan jika mereka merasa bahwa masalah pertahanan tidak pernah menjadi kepentingan masyarakat untuk kemudian dirumuskan menjadi suatu agenda nasional. Dalam pemerintahan yang baik dalam bidang pertahanan harus memprioritaskan kesejahteraan prajurit. Hal ini tidak hanya untuk menciptakan profesionalisme, melainkan juga untuk menutup ruang terbuka yang sering digunakan untuk melakukan aktifitas bisnis dan kegiatan-kegiatan offbudget yang sulit dikontrol baik oleh pemerintah, parlemen, maupun masyarakat. 388 BAB VIII KEPEMIMPINAN MASA DEPAN Setelah membaca Bab ini, calon peserta Diklat diharapkan mampu memahami dan menjelaskan tentang pengertian kepemimpinan, gaya kepemimpinan, tipologi kepemimpinan, teori kepemimpinan, kompetensi kepemimpinan, dan kepemimpinan abad 21.

150 A. Pengertian Kepemimpinan. Definisi dari kepemimpinan atau leadership yang diberikan oleh beberapa pakar baik dalam negeri maupun luar negeri adalah: 1. Leadership is any attemp to influence the behaviour of another individual or group (Paul Herseyin the situasional leader ). 2. Leadership is the ability to decide what is to be done and then get others to want to do it. (Dwight D. Eisenhower). 3. Leadership over human being is exercised when persons With certain motives and purpose mobile, in competition Or conflict with others, institutional, political. 4. Psychological, and other resources so as to arouse, Engage, and satisfy the motives of followers. (James Macgregor Burns in leadership ). 5. Kepemimpinan adalah Kemampuan seseorang untuk membawa atau mengajak orang-orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan memperoleh kepercayaan dan respek 389 dari orang-orang itu. (Sayidiman Suryodiningrat dalam kepemimpinan ABRI 1996). 6. Quantum Leadership adalah konsep kepemimpinan yang berorientasi pada masa depan dengan komitmen untuk dapat melihat dan bermimpi, mengubah serta menggerakkan anak buah ke arah tujuan yang direncanakan. (AB. Susanto). Beberapa buku tentang kepemimpinan mengemukakan bahwa perbedaan antara pemimpin dan manajer tampak dari kompetensi atau pun perannya masingmasing; yaitu: pemimpin adalah orang yang dapat menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan; sedangkan manajer adalah orang yang dapat mengerjakan secara benar semua tugas dan tanggung jawab yang ditentukan. Sedangkan Kepemimpinan dan manajemen adalah 2 (dua) konsep yang berbeda namun saling melengkapi, bukan mengganti. Persamaannya terletak pada pencapaian keberhasilan atau sukses organisasi. Sedangkan perbedaannya terletak pada fungsi dan aktivitasnya. Kepemimpinan berkaitan dengan penanggulangan perubahan; sedangkan manajemen berkaitan dengan penganggulangan kompleksitas (Kotter, 1991). Beranjak dari rumusan pemimpin di atas secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya berarti kemampuan untuk memimpin; kemampuan untuk menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Menurut Gibson (1998), kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, yang dilakukan melalui hubungan interpersonal dan proses komunikasi untuk mencapai tujuan. Newstrom & Davis (1999) berpendapat bahwa 390 kepemimpinan merupakan suatu proses mengatur dan membantu orang lain agar bekerja dengan benar untuk mencapai tujuan. Sedangkan Stogdill (1999) berpendapat bahwa kepemimpinan

151 juga merupakan proses mempengaruhi kegiatan kelompok, dengan maksud untuk mencapaia tujuan dan prestasi kerja. Oleh karena itu, kepemimpinan dapat dipandang dari pengaruh interpersonal dengan memanfaatkan situasi dan pengarahan melalui suatu proses komunikasi ke arah tercapainya tujuan khusus atau tujuan lainnya (Tanenbaum, Weschler & Massarik, 1981). Pernyataan ini mengandung makna bahwa kepemimpinan terdiri dari dua hal yakni proses dan properti. Proses dari kepemimpinan adalah penggunaan pengaruh secara tidak memaksa, untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan kegiatan dari para anggota yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Properti dimaksudkan, bahwa kepemimpinan memiliki sekelompok kualitas dan atau karakteristik dari atribut-atribut yang dirasakan serta mampu mempengaruhi keberhasilan pegawai (Vroom & Jago, 1988). Secara praktis, kepemimpinan dirumuskan sebagai suatu seni memobilisasi orang-orang lain (bawahan dan pihak lain) pada suatu upaya untuk mencapai aspirasi dan tujuan organisasi. B. Gaya Kepemimpinan. Gaya kepemimpinan, pada dasarnya mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis 391 dan Newstrom (1995). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan dari seorang pemimpin, pada dasarnya dapat diterangkan melalui tiga aliran teori berikut ini: 1. Teori Genetis (Keturunan). Inti dari teori menyatakan bahwa Leader are born and nor made (pemimpin itu dilahirkan (bakat) bukannya dibuat). Para penganut aliran teori ini mengetengahkan pendapatnya bahwa seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat kepemimpinan. Dalam keadaan yang bagaimanapun seseorang ditempatkan karena ia telah ditakdirkan menjadi pemimpin, sesekali kelak ia akan timbul sebagai pemimpin. Berbicara mengenai takdir, secara filosofis pandangan ini tergolong pada pandangan fasilitas atau determinitis. 2. Teori Sosial. Jika teori pertama di atas adalah teori yang ekstrim pada satu sisi, maka teori inipun merupakan ekstrim pada sisi lainnya. Inti aliran teori sosial ini ialah bahwa Leader are made and not born (pemimpin itu dibuat atau dididik bukannya kodrati). Jadi teori ini merupakan kebalikan inti teori genetika. Para penganut teori ini mengetengahkan pendapat yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup. 3. Teori Ekologis. Kedua teori yang ekstrim di atas tidak seluruhnya mengandung kebenaran, maka sebagai reaksi terhadap kedua teori tersebut 392 timbullah aliran teori ketiga. Teori yang disebut teori ekologis ini pada intinya berarti bahwa seseorang hanya akan berhasil menjadi pemimpin yang baik apabila ia telah memiliki bakat kepemimpinan. Bakat tersebut kemudian dikembangkan melalui pendidikan yang teratur dan pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Teori ini menggabung-kan segisegi positif dari kedua teori terdahulu sehingga dapat dikatakan merupakan teori yang paling mendekati kebenaran. Namun demikian, penelitian yang jauh lebih mendalam masih diperlukan untuk dapat mengatakan secara pasti apa saja faktor yang menyebabkan timbulnya sosok pemimpin yang baik. Selain pendapat-pendapat yang menyatakan tentang timbulnya gaya kepemimpinan tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya

152 merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan. Bertolak dari pemikiran tersebut, Hersey dan Blanchard (1992) mengajukan proposisi bahwa gaya kepemimpinan (k) merupakan suatu fungsi dari pimpinan (p), bawahan (b) dan situasi tertentu (s)., yang dapat dinotasikan sebagai : k = f (p, b, s). Menurut Hersey dan Blanchard, pimpinan (p) adalah seseorang yang dapat mempengaruhi orang lain atau kelompok untuk melakukan unjuk kerja maksimum yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan baik jika pimpinan mempunyai kecakapan dalam bidangnya, dan setiap pimpinan mempunyai keterampilan yang berbeda, seperti keterampilan teknis, manusiawi dan konseptual. Sedangkan bawahan adalah seorang atau sekelompok 393 orang yang merupakan anggota dari suatu perkumpulan atau pengikut yang setiap saat siap melaksanakan perintah atau tugas yang telah disepakati bersama guna mencapai tujuan. Dalam suatu organisasi, bawahan mempunyai peranan yang sangat strategis, karena sukses tidaknya seseorang pimpinan bergantung kepada para pengikutnya ini. Oleh sebab itu, seorang pemimpinan dituntut untuk memilih bawahan dengan secermat mungkin. Adapun situasi (s) menurut Hersey dan Blanchard adalah suatu keadaan yang kondusif, di mana seorang pimpinan berusaha pada saat-saat tertentu mempengaruhi perilaku orang lain agar dapat mengikuti kehendaknya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Dalam satu situasi misalnya, tindakan pimpinan pada beberapa tahun yang lalu tentunya tidak sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang, karena memang situasinya telah berlainan. Dengan demikian, ketiga unsur yang mempengaruhi gaya kepemimpinan tersebut, yaitu pimpinan, bawahan dan situasi merupakan unsur yang saling terkait satu dengan lainnya, dan akan menentukan tingkat keberhasilan kepemimpinan. C. Tipologi Kepemimpinan. Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut (Siagian,1997): 1. Tipe Otokratis. Seorang pemimpin yang otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut: Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung 394 kepada kekuasaan formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering mempergunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum. 2. Tipe Militeristis. Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin tipe militerisme berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut: Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya; Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan. 3. Tipe Paternalistis. Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa; bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya; dan sering bersikap maha tahu.

153 4. Tipe Karismatik. Hingga sekarang ini para ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang 395 demikian mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya yang sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra natural powers). Kekayaan, umur, kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma. Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang fisik sehat, John F Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat. Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ganteng. 5. Tipe Demokratis. Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik sebagai berikut: dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran, pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan team work dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan kebebasan yang seluas-luasnya 396 kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama, tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin. Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis. D. Teori Kepemimpinan. Salah satu prestasi yang cukup menonjol dari sosiologi kepemimpinan modern adalah perkembangan dari teori peran (role theory). Dikemukakan, setiap anggota suatu masyarakat menempati status posisi tertentu, demikian juga halnya dengan individu diharapkan memainkan peran tertentu. Dengan demikian kepemimpinan dapat dipandang sebagai suatu aspek dalam diferensiasi peran. Ini berarti bahwa kepemimpinan dapat dikonsepsikan sebagai suatu interaksi antara individu dengan anggota kelompoknya. Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer adalah manusia-manusia super lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu (White, Hudgson & Crainer, 1997). Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak 397 dicapai. Berangkat dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah perjalanan suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah. Dalam sejarah peradaban manusia, dikonstatir gerak hidup dan dinamika organisasi sedikit banyak tergantung pada sekelompok kecil manusia penyelenggara organisasi. Bahkan dapat dikatakan kemajuan umat manusia datangnya dari sejumlah kecil orangorang istimewa yang tampil kedepan. Orangorang ini adalah perintis, pelopor, ahli-ahli pikir,

154 pencipta dan ahli organisasi. Sekelompok orang-orang istimewa inilah yang disebut pemimpin. Oleh karenanya kepemimpinan seorang merupakan kunci dari manajemen. Para pemimpin dalam menjalankan tugasnya tidak hanya bertanggungjawab kepada atasannya, pemilik, dan tercapainya tujuan organisasi, mereka juga bertanggungjawab terhadap masalah-masalah internal organisasi termasuk didalamnya tanggungjawab terhadap pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia. Secara eksternal, para pemimpin memiliki tanggungjawab sosial kemasyarakatan atau akuntabilitas publik. Dari sisi teori kepemimpinan, pada dasarnya teori-teori kepemimpinan mencoba menerangkan dua hal yaitu, faktor-faktor yang terlibat dalam pemunculan kepemimpinan dan sifat dasar dari kepemimpinan. Penelitian tentang dua masalah ini lebih memuaskan daripada teorinya itu sendiri. Namun bagaimanapun teori-teori kepemimpinan cukup menarik, karena teori 398 banyak membantu dalam mendefinisikan menentukan masalah-masalah penelitian. dan Dari penelusuran literatur tentang kepemimpinan, teori kepemimpinn banyak dipengaruhi oleh penelitian Galton (1879) tentang latar belakang dari orang-orang terkemuka yang mencoba menerangkan kepemimpinan berdasarkan warisan. Beberapa penelitian lanjutan, mengemukakan individu-individu dalam setiap masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda dalam inteligensi, energi, dan kekuatan moral serta mereka selalu dipimpin oleh individu yang benarbenar superior. Perkembangan selanjutnya, beberapa ahli teori mengembangkan pandangan kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat. Dua hipotesis yang dikembangkan tentang kepemimpinan, yaitu: (1) kualitas pemimpin dan kepemimpinan yang tergantung kepada situasi kelompok, dan (2), kualitas individu dalam mengatasi situasi sesaat merupakan hasil kepemimpinan terdahulu yang berhasil dalam mengatasi situasi yang sama (Hocking & Boggardus, 1994). Dua teori yaitu Teori Orang-Orang Terkemuka dan Teori Situasional, berusaha menerangkan kepemimpinan sebagai efek dari kekuatan tunggal. Efek interaktif antara faktor individu dengan faktor situasi tampaknya kurang mendapat perhatian. Untuk itu, penelitian tentang kepemimpinan harus juga termasuk: (1) sifat-sifat efektif, intelektual dan tindakan individu, dan (2) kondisi khusus individu didalam pelaksanaannya. Pendapat lain mengemukakan, untuk mengerti kepemimpinan perhatian harus diarahkan kepada (1) sifat dan motif pemimpin sebagai manusia biasa, (2) membayangkan bahwa terdapat sekelompok orang yang dia pimpin dan motifnya mengikuti dia, (3) 399 penampilan peran harus dimainkan sebagai pemimpin, dan (4) kaitan kelembagaan melibatkan dia dan pengikutnya (Hocking & Boggardus, 1994). Beberapa pendapat tersebut, apabila diperhatikan dapat dikategorikan sebagai teori kepemimpinan dengan sudut pandang "Personal- Situasional". Hal ini disebabkan, pandangannya tidak hanya pada masalah situasi yang ada, tetapi juga dilihat interaksi antar individu maupun antar pimpinan dengan kelompoknya. Teori kepemimpinan yang dikembangkan mengikuti tiga teori diatas, adalah Teori Interaksi Harapan. Teori ini mengembangkan tentang peran kepemimpinan dengan menggunakan tiga variabel dasar yaitu; tindakan, interaksi, dan sentimen. Asumsinya, bahwa peningkatan frekuensi interaksi dan partisipasi sangat berkaitan dengan peningkatan sentimen atau perasaan senang dan kejelasan dari norma kelompok. Semakin tinggi kedudukan individu dalam kelompok, maka aktivitasnya semakin sesuai dengan norma kelompok, interaksinya semakin meluas, dan banyak anggota kelompok yang berhasil diajak berinteraksi. Pada tahun 1957 Stogdill mengembangkan Teori Harapan- Reinforcement untuk mencapai peran. Dikemukakan, interaksi antar anggota dalam pelaksanaan tugas akan lebih menguatkan harapan untuk tetap berinteraksi. Jadi, peran individu ditentukan oleh harapan bersama yang dikaitkan dengan penampilan dan interaksi yang dilakukan. Kemudian dikemukakan, inti kepemimpinan dapat dilihat dari usaha anggota untuk merubah motivasi anggota lain agar perilakunya ikut berubah. Motivasi dirubah dengan melalui perubahan harapan tentang hadiah dan hukuman. Perubahan tingkahlaku anggota kelompok yang terjadi, dimaksudkan untuk

155 400 mendapatkan hadiah atas kinerjanya. Dengan demikian, nilai seorang pemimpin atau manajer tergantung dari kemampuannya menciptakan harapan akan pujian atau hadiah. Atas dasar teori diatas, House pada tahun 1970 mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Motivasional. Fungsi motivasi menurut teori ini untuk meningkatkan asosiasi antara cara-cara tertentu yang bernilai positif dalam mencapai tujuan dengan tingkahlaku yang diharapkan dan meningkatkan penghargaan bawahan akan pekerjaan yang mengarah pada tujuan. Pada tahun yang sama Fiedler mengembangkan Teori Kepemimpinan yang Efektif. Dikemukakan, efektivitas pola tingkahlaku pemimpin tergantung dari hasil yang ditentukan oleh situasi tertentu. Pemimpin yang memiliki orientasi kerja cenderung lebih efektif dalam berbagai situasi. Semakin sosiabel interaksi kesesuaian pemimpin, tingkat efektivitas kepemim-pinan makin tinggi. Teori kepemimpinan berikutnya adalah Teori Humanistik dengan para pelopor Argryris, Blake dan Mouton, Rensis Likert, dan Douglas McGregor. Teori ini secara umum berpendapat, secara alamiah manusia merupakan "motivated organism". Organisasi memiliki struktur dan sistem kontrol tertentu. Fungsi dari kepemimpinan adalah memodifikasi organisasi agar individu bebas untuk merealisasikan potensi motivasinya didalam memenuhi kebutuhannya dan pada waktu yang sama sejalan dengan arah tujuan kelompok. Apabila dicermati, didalam Teori Humanistik, terdapat tiga variabel pokok, yaitu: (1), kepemimpinan yang sesuai dan memperhatikan hati nurani anggota dengan segenap harapan, kebutuhan, dan kemampuan-nya, (2), organisasi yang disusun dengan baik agar tetap 401 relevan dengan kepentingan anggota disamping kepentingan organisasi secara keseluruhan, dan (3), interaksi yang akrab dan harmonis antara pimpinan dengan anggota untuk menggalang persatuan dan kesatuan serta hidup damai bersama-sama. Blanchard, Zigarmi, dan Drea bahkan menyatakan, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan terhadap orang lain, melainkan sesuatu yang Anda lakukan bersama dengan orang lain (Blanchard & Zigarmi, 2001). Teori kepemimpinan lain, yang perlu dikemukakan adalah Teori Perilaku Kepemimpinan. Teori ini menekankan pada apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin. Dikemukakan, terdapat perilaku yang membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin. Jika suatu penelitian berhasil menemukan perilaku khas yang menunjukkan keberhasilan seorang pemimpin, maka implikasinya ialah seseorang pada dasarnya dapat dididik dan dilatih untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Teori ini sekaligus menjawab pendapat, pemimpin itu ada bukan hanya dilahirkan untuk menjadi pemimpin tetapi juga dapat muncul sebagai hasil dari suatu proses belajar. Selain teori-teori kepemimpinan yang telah dikemukakan, dalam perkembangan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian para pakar maupun praktisi adalah dua pola dasar interaksi antara pemimpin dan pengikut yaitu pola kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kedua pola kepemimpinan tersebut, adalah berdasarkan pendapat seorang ilmuwan di bidang politik yang bernama James McGregor Burns (1978) dalam bukunya yang berjudul Leadership. Selanjutnya Bass (1985) meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai kedua pola kepemimpinan dan kemudian mengumumkan secara resmi sebagai teori, lengkap dengan model dan pengukurannya. 402 E. Kompetensi Kepemimpinan. Suatu persyaratan penting bagi efektivitas atau kesuksesan pemimpin (kepemimpinan) dan manajer (manajemen) dalam mengemban peran, tugas, fungsi, atau pun tanggung jawabnya masing-masing adalah kompetensi. Konsep mengenai kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982) yang didefinisikan kompetensi sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan memberikan hasil yang diinginkan. Secara historis perkembangan kompetensi dapat dilihat dari beberapa definisi kompetensi terpilih dari waktu ke waktu yang dikembangkan oleh Burgoyne (1988), Woodruffe (1990), Spencer dan kawankawan (1990), Furnham (1990) dan Murphy (1993). Menurut Rotwell, kompetensi adalah an area of knowledge or skill that is critical for production ke outputs. Lebih lanjut Rotwell menuliskan bahwa

156 competencies area internal capabilities that people brings to their job; capabilities which may be expressed in a broad, even infinite array of on the job behaviour. Spencer (1993) berpendapat, kompetensi adalah an undderlying characteristicof an individual that is causally related to criterion referenced effective and/or superior performance in ajob or situation. Senada dengan itu Zwell (2000) berpendapat Competencies can be defined as the enduring traits and characteristics that determine performance. Examples of competencies are initiative, influence, teamwork, innovation, and strategic thinking. Beberapa pandangan di atas mengindikasikan bahwa kompetensi merupakan karakteristik atau kepribadian 403 (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Selain traits dari Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept (Spencer, 1993), knowledge, dan skill (Spencer, 1993; Rothwell and Kazanas, 1993). Menurut review Asropi (2002), berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut: Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Amstrong, 1990). Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya. Knowledge adalah informasi yang dimilki seseorang dalam suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik. Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat perilaku yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge. Dalam pada itu, menurut Spencer (1993) dan Kazanas (1993) terdapat kompetensi kepemimpinan secara umum yang dapat berlaku atau dipilah menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa: result orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality, technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team work, service orientation, interpersonal awareness, relationship building, cross 404 cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan empowering others, develiping others. Kompetensikompetensi tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampir dalam semua posisi manajerial. Ke 18 kompetensi yang diidentifikasi Spencer dan Kazanas tersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan berikut: pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor). Kompetensi pada pimpinan puncak adalah result (achievement) orientation, relationship building, initiative, influence, strategic thinking, building organizational commitment, entrepreneurial orientation, empowering others, developing others, dan felexibilty. Adapun kompetensi pada tingkat pimpinan menengah lebih berfokus pada influence, result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking, initiative, empowering others, developing others, conceptual thingking, relationship building, service orientation, interpersomal awareness, cross cultural sensitivity, dan technical expertise. Sedangkan pada tingkatan supervisor kompetensi kepemimpinannya lebih befokus pada technical expertise, developing others, empowering others, interpersonal understanding, service orientation, building organzational commitment, concern for order, influence, felexibilty, relatiuonship building, result (achievement) orientation, team work, dan cross cultural sensitivity. Dalam hubungan ini Kouzes dan Posner 1995) meyakini bahwa suatu kinerja yang memiliki kualitas unggul berupa barang atau pun jasa, hanya dapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki kualitas prima. Dikemukakan, kualitas kepemimpinan manajerial adalah suatu cara hidup yang dihasilkan 405 dari "mutu pribadi total" ditambah "kendali mutu total" ditambah "mutu kepemimpinan". Berdasarkan penelitiannya, ditemukan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang

157 memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasan bersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi bawahan. Adapun ciri khas manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknikal maupun manajerial. Sedangkan Burwash (1996) dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer mengemukakan, kunci dari kualitas kepemimpinan yang unggul adalah kepemimpinan yang memiliki paling tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik. Dinyatakan, pemimpin yang berkualitas tidak puas dengan "status quo" dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya. Beberapa kriteria kualitas kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani. Dalam pada itu, Warren Bennis (1991) juga mengemukakan bahwa peran kepemimpinan adalah 406 empowering the collective effort of the organization toward meaningful goals dengan indikator keberhasilan sebagai berikut : People feel important; Learning and competence are reinforced; People feel they part of the organization; dan Work is viewed as excisting, stimulating, and enjoyable. Sementara itu, Soetjipto Wirosardjono (1993) menandai kualifikasi kepemimpinan berikut, kepemimpinan yang kita kehendaki adalah kepemimpinan yang secara sejati memancarkan wibawa, karena memiliki komitmen, kredibilitas, dan integritas. Sebelum itu, Bennis bersama Burt Nanus (1985) mengidentifikasi bentuk kompetensi kepemimpinan berupa the ability to manage dalam empat hal: attention (= vision), meaning (= communication), trust (= emotional glue), and self (= commitment, willingness to take risk). Kemudian pada tahun 1997, keempat konsep tersebut diubah menjadi the new rules of leradership berupa (a) Provide direction and meaning, a sense of purpose; (b) Generate and sustain trust, creating authentic relationships; (c) Display a bias towards action, risk taking and curiosity; dan (d) Are purveyors of hope, optimism and a psychological resilience that expects success (lihat Karol Kennedy, 1998; p.32). Bagi Rossbeth Moss Kanter (1994), dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks dan akan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensi kepemimpinan berupa conception yang tepat, competency yang cukup, connection yang luas, dan confidence. Tokoh lainnya adalah Ken Shelton (ed, 1997) mengidentikasi kompetensi dalam nuansa lain., 407 menurut hubungan pemimpin dan pengikut, dan jiwa kepemimpinan. Dalam hubungan pemimpin dan pengikut, ia menekankan bagaimana keduanya sebaiknya berinterkasi. Fenomena ini menurut Pace memerlukan kualitas kepemimpinan yang tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu, menurut Carleff pemimpin dan pengikut merupak dua sisi dari proses yang sama. Dalam hubungan jiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat memasuki wilayah spiritual. Rangkaian kualitas lain yang mewarnainya antara lain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick menyatakan bahwa kepemimpinan bukanlah masalah intelektual atau pengenalan, melainkan masalah emosional. Sedangkan Bell berpikiran bahwa pembimbing yang benar tidak selamanya merupakan mahluk rasional. Mereka seringkali adalah pencari nyala api. F. Kepemimpinan Abad 21. Berbagai kompetensi kepemimpinan yang telah dikemukakan terdahulu, seperti yang dikemukanan Spencer dan Kazanas, Warren Bennis, Kanter akan tetap diperlukan bagi kepemimpinan dan pemimpin Abad 21. Dalam rangka pengembangan pemikiran tersebut ada baiknya apabila kita eksplorasi dan simak kembali berbagai pandangan mengenai kepemimpinan dan pemimpin yang dikemukakan beberapa ahli. Cooper dan Sawaf (1997: p. 15), mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan seseorang pimpinan dalam merasakan, memahami, dan secara

158 efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. Bethel, mengemukakan bahwa, kepemimpinan merupakan pola keterampilan, bakat, dan gagasan 408 yang selalu berkembang, bertumbuh, dan berubah. White Hodgson, dan Crainer (1997: ), berpendapat kepemimpinan masa depan adalah pemimpin yang terus belajar, memaksimalkan energi dan menguasai perasaan yang terdalam, kesederhanaan, dan multifokus. Oleh karena itu, dinyatakan bahwa kualitas menjadi penting dan kuantitas tidak lagi menjadi keunggulan bersaing. Mencari pengetahuan dan menggali ilmu harus terus dilakukan bagi pemimpin masa depan, hal ini sangat penting sebab ilmu pengetahuan merupakan energi vital bagi setiazp organisasi. Sejalan dengan pendapat ini, Kotter (1998), mengemukakan bahwa kemampuan seseorang pemimpin masa depan meliputi kemampuan intelektual dan interpersonal untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Ronald Heifetz dan Laurie (1998) berpendapat, kepemimpinan masa depan adalah seorang pemimpin yang adaptif terhadap tantangan, peraturan yang menekan, memperhatikan pemeliharaan disiplin, memberikan kembali kepada para karyawan, dan menjaga kepemimpinannya. Ditambahkan, kepemimpinan harus selalu menyiapkan berbagai bentuk solusi dalam pemecahan masalah tantangan masa depan. Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap perubahan, ditekankan pada pemanfaatan sumber daya manusia. Untuk itu, perlu dikembangkan peraturan-peraturan baru, hubungan dan kerjasama yan baru, nilai-nilai baru, perilaku baru, dan pendekatan yang baru terhadap pekerjaan. Demikian pula halnya beberapa gaya, tipologi, pun model dan teori kepemimpinan yang berkembang pada dekade-dekade akhir Abad 20 relevan dalam menghadapi tantangan atau telah yang dan 409 permasalahan Abad 21, dapat kita pertimbangkan dalam mengembangkan Kepemimpinan Abad 21, termasuk kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksi-onal sebagai alternatif model kepemimpinan Abad ke-21: 1. Kepemimpinan Transformasional. Kepemimpinan transformasional menunjuk pada proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Teori transformasional mempelajari juga bagaimana para pemimpin mengubah budaya dan struktur organisasi agar lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran organisasional. Secara konseptual, kepemimpinan transformasional di definisikan (Bass, 1985), sebagai kemampuan pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, dan pola kerja, dan nilainilai kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimal-kan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Berarti, sebuah proses transformasional terjadi dalam hubungan kepemimpinan manakala pemimpin membangun kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas dan meningkatkan kebutuhan melampaui minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi (Bass, 1985). Konsep awal tentang kepemimpinan transformasional telah diformulasi oleh Burns (1978) dari penelitian deskriptif mengenai pemimpinpemimpin politik. Burns, menjelaskan 410 kepemimpinan transformasional sebagai proses yang padanya para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi, seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan bukan di dasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan sosial, atau kebencian (Burns, 1997). Dengan cara demikian, antar pimpinan dan bawahan terjadi kesamaan persepsi sehingga mereka dapat mengoptimalkan usaha ke arah tujuan yang ingin dicapai organisasi. Melalui cara ini, diharapkan akan tumbuh kepercayaan, kebanggan, komitmen, rasa hormat, dan loyal kepada atasan sehingga mereka mampu mengoptimalkan usaha

159 dan kinerja mereka lebih baik dari biasanya. Ringkasnya, pemimpin transformasional berupaya melakukan transforming of visionary menjadi visi bersama sehingga mereka (bawahan plus pemimpin) bekerja untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, proses transformasional dapat terlihat melalui sejumlah perilaku kepemimpinan seperti: attributed charisma, idealized influence, inspirational motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration. Secara ringkas perilaku dimaksud adalah sebagai berikut. a. Attributed charisma. Bahwa kharisma secara tradisional dipandang sebagai hal yang bersifat inheren dan hanya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin kelas dunia. Penelitian membuktikan bahwa kharisma bisa saja dimiliki oleh pimpinan di level bawah dari sebuah organisasi. Pemimpin 411 yang memiliki ciri tersebut, memperlihatkan visi, kemampuan, dan keahliannya serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan organisasi dan kepentingan orang lain (masyarakat) daripada kepentingan pribadi. Karena itu, pemimpin kharismatik dijadikan suri tauladan, idola, dan model panutan oleh bawahannya, yaitu idealized influence. b. Idealized influence. Pemimpin tipe ini berupaya mempengaruhi bawahannya melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, asumsiasumsi, komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad untuk mencapai tujuan dengan senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap keputusan yang dibuat. Ia memperlihatkan kepercayaan pada cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai hidupnya. Dampaknya adalah dikagumi, dipercaya, dihargai, dan bawahan berusaha mengindentikkan diri dengannya. Hal ini disebabkan perilaku yang menomorsatukan kebutuhan bawahan, membagi resiko dengan bawahan secara konsisten, dan menghindari penggunaan kuasa untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, bawahan bertekad dan termotivasi untuk mengoptimalkan usaha dan bekerja ke tujuan bersama. c. Inspirational motivation. Pemimpin transformasional bertindak dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan melalui pemberian arti 412 dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi untuk berpartisipasi secara optimal dalam hal gagasan-gagasan, memberi visi mengenai keadaan organisasi masa depan yang menjanjikan harapan yang jelas dan transparan. Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat kelompok, antusiasisme dan optimisme dikorbankan sehingga harapanharapan itu menjadi penting dan bernilai bagi mereka dan perlu di realisasikan melalui komitmen yang tinggi. d. Intelectual stimulation. Bahwa pemimpin mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Pengaruhnya diharapkan, bawahan merasa pimpinan menerima dan mendukung mereka untuk memikirkan cara-cara kerja mereka, mencari cara-cara baru dalam menyelesai-kan tugas, dan merasa menemukan cara-cara kerja baru dalam mempercepat tugas-tugas mereka. Pengaruh positif lebih jauh adalah menimbulkan semangat belajar yang tinggi (oleh Peter Senge, hal ini disebut sebagai learning organization ). e. Individualized consideration. Pimpinan memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh dan menghargai sikap peduli mereka terhadap organisasi. Pengaruh terhadap bawahan antara lain, merasa diperhatian dan diperlakukan manusiawi dari atasannya.

160 413 Dengan demikian, kelima perilaku tersebut diharapkan mampu berinteraksi mempengaruhi terjadinya perubahan perilaku bawahan untuk mengoptimalkan usaha dan performance kerja yang lebih memuaskan ke arah tercapainya visi dan misi organisasi. 2. Kepemimpinan Transaksaksional. Pengertian kepemimpinan transaksional merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang intinya menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Kepemimpinan transaksional memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu, artinya, dalam sebuah transaksi bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Alasan ini mendorong Burns untuk mendefinisikan kepemimpinan transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas tertentu jika bawahan mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Jadi, kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama. Menurut Bass (1985), sejumlah langkah dalam proses transaksional yakni; pemimpin transaksional memperkenalkan apa yang diinginkan bawahan dari pekerjaannya dan mencoba memikirkan apa yang akan bawahan 414 peroleh jika hasil kerjanya sesuai dengan transaksi. Pemimpin menjanjikan imbalan bagi usaha yang dicapai, dan pemimpin tanggap terhadap minat pribadi bawahan bila ia merasa puas dengan kinerjanya. Dengan demikian, proses kepemimpinan transaksional dapat ditunjukkan melalui sejumlah dimensi perilaku kepemimpinan, yakni; contingent reward, active management by exception, dan passive management by exception. Perilaku contingent reward terjadi apabila pimpinan menawarkan dan menyediakan sejumlah imbalan jika hasil kerja bawahan memenuhi kesepakatan. Active management by exception, terjadi jika pimpinan menetapkan sejumlah aturan yang perlu ditaati dan secara ketat ia melakukan kontrol agar bawahan terhindar dari berbagai kesalahan, kegagalan, dan melakukan intervensi dan koreksi untuk perbaikan. Sebaliknya, passive management by exception, memungkinkan pemimpin hanya dapat melakukan intervensi dan koreksi apabila masalahnya makin memburuk atau bertambah serius. Berdasarkan uraian di atas, perbedaan utama antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat diidentifikasi yakni, bahwa inti teori kepemimpinan transaksional terutama menjelaskan hubungan antara atasan dan bawahan berupa proses transaksi dan pertukaran (exchanges process) yang bersifat ekonomis, sementara teori kepemimpinan transformasional pada hakikatnya menjelaskan proses hubungan antara atasan dan bawahan yang di dasari 415 nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi mengenai visi dan misi organisasi. Hal ini bermakna, bahwa pandangan teori kepemimpinan transaksional mendasarkan diri pada pertimbangan ekonomis-rasional, adapun teori kepemimpinan transformasional melandaskan diri pada pertimbangan pemberdayaan potensi manusia. Dengan kata lain, tugas pemimpin transformasional adalah memanusiakan manusia melalui berbagai cara seperti memotivasi dan memberdayakan fungsi dan peran karyawan untuk mengembangkan organisasi dan pengembangan diri menuju aktualisasi diri yang nyata. Meskipun masih banyak yang harus dikaji tentang kepemimpinan transformasional, namun terdapat cukup bukti dari hasil-hasil berbagai jenis penelitian empiris untuk mengusulkan beberapa pedoman sementara bagi para pemimpin yang mencoba untuk mentransformasi-kan organisasinya serta budayanya, dan bagi para pemimpin yang ingin memperkuat budaya yang ada dari suatu organisasi. Lebih khusus lagi, pedoman-pedoman dimaksud adalah sebagai antisipasi terhadap berbagai hal yang mungkin dihadapi pada abad ke-21. Beberapa pedoman tersebut, adalah sebagai berikut: (a) Kembangkan sebuah visi yang jelas dan menarik; (b) Kembangkan sebuah strategi untuk mencapai visi tersebut; (c) Artikulasikan dan promosikan visi tersebut; (c) Bertindak dengan rasa percaya diri dan optimis; (d) Ekspresikan rasa percaya kepada para pengikut; (e) Gunakan keberhasilan sebelumnya dalam tahap-tahap kecil untuk

161 membangun rasa percaya diri; (f) Rayakan keberhasilan; (g) Gunakan tindakan-tindakan yang dramatis dan simbolis untuk menekankan nilai-nilai utama; (h) Memimpin melalui contoh; (i) Menciptakan, 416 memodifikasi atau menghapuskan bentuk-bentuk kultural; dan (j) Gunakan upacara-upacara transisi untuk membantu orang melewati perubahan. 417 BAB IX ADMINISTRASI DAN MANAJEMEN PEMERINTAHAN RI Setelah membaca Bab ini, calon peserta Diklat diharapkan mampu memahami dan menjelaskan tentang Membangun Pemerintahan yang baik, Sistem pengelolaan pembangunan, pembangunan daerah, sektor dan negara, pengembangan pelaksanaan pelayanan prima, hukum administrasi negara, analisis kebijakan publik, danteknologi informasi dalam pemerintahan A. Membangun Pemerintahan yang Baik. 1. Perkembangan Lingkungan Strategis Nasional Global Peranan pemerintah di berbagai negara, khususnya yang sedang membangun, pada umumnya mencakup dua aspek yaitu pertama Penyelenggaraan fungsi umum seperti penciptaan dan pemeliharaan rasa aman dan pengaturan ketertiban umum, penyelenggaraan fungsi penye-lenggaraan hubungan diplomatik, hingga pemungutan pajak, kedua penyelenggaraan fungsi pembangunan di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagianya untuk untuk kesejahteraan seluruh masyarakat dan warga negaranya. Di masa lalu peranan pemerintah tersebut cenderung sangat dominan, sesuai dengan kondisi masyarakat yang masih terbelakang atau miskin. Dewasa ini kondisi masyarakat telah semakin maju dengan tingkat kesejahteraan yang semakin baik, bahkan kehidupan sosial, ekonomi dan politik telah semakin berkembang, kompleks, dinamis dan kritis. Dalam kondisi demikian 418 terdapat tuntutan agar pemerintahan mulai mengurangi dominasi peranannya dan menyerahkan atau memberikan kesempatan kepada masyarakat serta dunia usaha untuk berperan aktif memenuhi tuntutan aspirasi dan kepentingan masyarakat itu sendiri. Dengan perkataan lain terdapat tuntutan agar pemerinah mengendalikan bahkan menghentikan kecenderungan sentralisasi dan mengembalikan kekuasaan serta inisiatif sosial-ekonomi kepada masyarakat. Kecenderungan perkembangan kondisi masyarakat tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya peranan sektor swasta dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam penyelenggaraan tugas-tugas dan tanggungjawab yang sebelumnya menjadi semacam monopoli pemerintah. Kecenderungan globalisasi ekonomi dan industri, serta informasi ditandai dengan munculnya fenomena regionalisme ekonomi seperti terbentuknya kesatuan ekonomi Uni Eropa, AFTA, NAFTA, APEC, dan sebagainya yang diatur melintasi batas negara oleh lembagalembaga seperti WTO. Persaingan ekonomi pasar global dalam dunia tanpa batas (borderless world) yang berjalan sesuai dengan gagasan liberalisasi perdagangan dan investasi, telah menuntut setiap negara dan pemerintahannya untuk meningkatkan kemampuan daya saing nasionalnya masing-masing. Dalam konteks tersebut tidak mungkin negara dan pemerintah bertindak sendiri membangun daya saing nasional, melainkan harus mampu bekerja bersama-sama dengan seluruh komponen masyarakat serta dunia usaha, 419 sehingga dalam menghadapi globalisasi ekonomi akan mampu bertahan bahkan memenangkan persaingan global. Rendahnya daya saing nasional Indonesia secara umum terjadi karena masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat, rendahnya kualitas sumber daya manusia, masih tingginya angka angka kemiskinan, terbatasnya kemampuan dunia usaha, serta relatif buruknya manajemen perekonomian nasional yang tercermin dari tingginya angka inflasi, rendahnya kurs mata uang rupiah, rendahnya investasi, masih defisitnya neraca perdagangan internasional perdagangan dan sebagainya. Dalam hubungan itu pemerintah Indonesia harus mampu melakukan restrukturisasi ekonomi nasional sebagai upaya mengatasi krisis ekonomi di masa transisi dari orde

162 baru ke era reformasi, antara lain melalui: kebijakan stabilisasi ekonomi dan moneter, penyelenggaraan program pemberantasan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja maupun penciptaan lapangan kerja baru, rekapitulasi usaha kecil, menengah dan koperasi, pembangunan sektor riil, penyempuranaan berbagai kebijakan fiskal dan moneter, serta mendorong percepatan tumbuhnya ketahanan serta daya saing ekonomi nasional. Kegagalan pemerintah selama ini dalam membangun perekonomian serta daya saing nasional yang tangguh, ternyata lebih disebabkan oleh perilaku dan tindakan-tidakan aparatur pemerintahan sendiri yang cenderung sentralistik, top-down, self-oriented, monopolistik, represif dan kurang peka terhadap aspirasi serta partisipasi masyarakat, tidak 420 demokratis, serta penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Akibatnya potensi biaya sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan harus dibayar mahal oleh masyarakat oleh masyarakat generasi kini dan mendatang, yang tercermin dari hutang negara yang hampir tak tertanggungkan, kerusakan lingkungan hidup, serta krisis ekonomi yang pada akhirnya bermuara kepada krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang akhirnya mejatuhkan kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Berbagai permasalahan tersebut pada akhirnya menuntut pemerintah terutama pemerintah era reformasi untuk mampu melaksanakan komitmen reformasi nasional, khususnya mewujudkan pola kepemerintahan yang baik (good governance) dan bersih dari praktek-praktek KKN. 2. Interaksi Sosial-Politik dan Pemerintahan yang Baik (Good Governance). Kegagalan dalam intereksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat, secara umum dan mendasar adalah disebabkan oleh pendekatan yang kurang tepat yang dilakukan oleh Pemerintah. Dalam hal ini pemerintah kurang peka terhadap kondisi perkembangan masyarakat modern bahkan post-modern yang telah semakin dinamis, kompleks, kritis dan sangat beragam dalam karakteristik dan kebutuhannya. Dalam konteks Indonesia, kegagalan pemerintahan Orde Baru maupun rejim lainnya di Indonesia merupakan contoh bagaimana kondisi tersebut muncul dalam suatu negara. 421 Interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat, dalam perkembangannya telah melahirkan konsepsi mengenai model-model atau pola kepemerintahan yang disesuaikan dengan tingkat dinamika, kompleksitas dan diversitas sosial politik yang dihadapi. Dalam hal ini terdapat empat model umum yaitu Pemerintahan Hirarkhi (the Hierarchical State), Pemerintahan Otonom (the Autonomous State), Pemerintahan Negosiasi (the Negosiating State), dan Pemerintahan Responsif (the Responsif State). Sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomipolitik masyarakat di berbagai negara, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang, peranan negara dan pemerintah yang sangat dominan dalam pembangunan nasional telah cenderung bergeser kearah peranan masyarakat dan swasta yang lebih besar. Format interaksi antara pemerintah dengan masyarakat telah bergeser dari paradigma klasik sarwa negara (Government pradigm) telah bergeser kearah paradigma kepemerintahan post-modern yang berorientasi pada peranan masyarakat madani dalam format kepemerintahan (governance Paradigm). Penyelenggaraan pemerintahan dapat diartikan sebagai proses interaksi antara berbagai aktor dalam pemerintahan dengan kelompok sasaran atau berbagai individu masyarakat. Jadi penyelenggaraan pemerintahan adalah merupakan proses koordinasi, pengendalian (steering), pemengaruhan (influencing) dan penyeimbangan (balancing) setiap hubungan interaksi. 422 Konsepsi governance, para pelaku dalam interaksi kepemerintahan adalah terdiri dari unsur sektor publik (pemerintah) yang berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta yang menciptakan pekerjaan dan pendapatan bagi masyarakat dan masyarakat madani (sivil society) yang memfasilitasi interaksi sosial dan politik, menggerakkan kelompok dalam masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi, sosial dan politik. Dengan bergesernya paradigma dari governance kearah governance yang menekankan pada kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat

163 madani, dikembangkan pandangan atau paradigma baru administrasi publik yang disebut dengan kepemerintahan yang baik (good governance). Konsepsi good governance mengandung arti yang sinergis dan konstruktif diantara negara, sektor swasta dan masyarakat. Dalam hal ini kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat. Prinsip/karakteristik good governance adalah partisipasi masyarakat, tegaknya supermasi hukum (rule of law), transparansi, daya tanggap, orientasi terhadap konsensus, keadilan, efektifitas dan efisiensi, visi strategis, dan saling keterkaitan yang memberdayakan. 3. Reformasi Penyelenggara Negara Mewujudkan Pemerintahan yang Baik. Untuk 423 Keberhasilan pemerintahan era reformasi nasional dapat diukur dari kinerja mengatasi krisis ekonomi, mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, menegakkan hukum secara berkeadilan, serta perwujudan masyarakat madani Indonesia. Agenda reformasi nasional untuk menjamin kelancaran jalannya pemerintahan dalam upaya mewujudkan antara lain : o Perubahan sistem politik kearah sistem yang demokratis, partisipatif dan egalitarian. o Reformasi kedudukan kelembagaan militer (TNI). o Reformasi administrasi negara yang diarahkan pada peningkatan profesionalisme aparatur dalam menjalankan tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. o Reformasi sistem penyelenggaraan pemerintahan, dari sentralisasi kepada sistem desentralisasi dalam rangka peningkatan kemampuan pemerintahan daerah otonomi. o Reformasi pemerintahan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) melalui pemberantasan KKN, peningkatan disiplin pelaksanaan APBN, serta peningkatan akuntabilitas publik para penyelenggara negara. 424 Etika politik dan pemerintahan adalah diarahkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Untuk itu setiap pejabat dan elit politik secara pribadi harus mampu bersikap: jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijaksanaannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Untuk menjamin penyelenggaraan negara yang baik dan

164 bersih dari KKN maka jalannya pemerintahan harus transparan, terbuka dan memberi peluang yang besar bagi terwujudnya partisipasi masyarakat dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Selain itu upaya penegakkan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme juga ditingkatkan melalui proses tindakan hukum yang berkeadilan, berdasarkan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang telah disempurnakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat dan lembaga independen lainnya. 425 Upaya peningkatan akuntabilitas penyelenggara negara baik di tingkat pusat maupun di daerah kebijakan reformasi nasional telah pula meletakkan dasar mekanisme pertanggungjawaban lembaga-lembaga tinggi negara, khususnya pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada rakyat melalui DPRD, serta sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah melalui mekanisme pelaporan kinerja seluruh instansi pemerintah mulai dari tingkatan eselon II kepada Presiden. B. Sistem Pengelolaan Pembangunan 1. Memahami Sistem Pengelolaan Pembangunan Sistem Pengelola Pembangunan merupakan suatu tata pola perumusan rencana, pelaksanaaan dan pengendalian kegiatan (program dan kebijaksanaan) untuk mencapai kehidupan masyarakat yang lebih maju, lebih adil, lebih makmur dan lebih kuat ikatan kebangsaannya. Pembentukan Sistem Pengelola Pembangunan merupakan upaya mencapai sasaran pembangun-an yang bersifat universal yaitu : a. Meningkatkan ketersediaan dan perluasan barang-barang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu pangan, papan, kesehatan dan perlindungan. b. Menaikkan tingkat kehidupan masyarakat, termasuk peningkatan pendapatan lapangan kerja yang luas dan pendidikan yang lebih baik. 426 c. 2. Memperlebar rentang pilihan ekonomi dan sosial perorangan dan masyarakat dengan membebaskannya dari ketergantungan terhadap bangsa lain, serta kebodohan dan kesengsaraan. Pengertian, Landasan, Dan Tujuan Pengelolaan Pembangunan Nasional. Sistem Sistem pengelolaan pembangunan adalah suatu tata pola perumusan, pelaksanaan, pengendalian pelaksanaan, evaluasi pasca kebijaksanaan dan program-program pembangunan secara jangka panjang, menengah dan operasional tahunan. Penyusunan sistem pengelolaan pembangunan mempertimbangkan: masalah dasar pembangunan nasional Indonesia seperti (penduduk miskin, pembangunan daerah, penegakkan hukum dan menjaga kesatuan nasional); dan masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan pembangunan seperti perlunya pengalihan ketergantungan sumber dana pembangunan dari pinjaman luar negeri kepada sumber dana dalam negeri serta pengembangan ekspor non migas dan pariwisata. Landasan sistem pengelolaan pembangunan nasional adalah landasan idiil, konstitusional operasional. Tujuan sistem pengelolaan pembangunan nasional adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang berencana, bertahap dan

165 berkesinambungan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Idonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 427 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tuntutan masyarakat mengenai pentingnya reformasi di kalangan penyelenggara negara agar mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme telah diamanatkan pada TAP MPR Nomor: IX/MPR/1998 yang menegaskan bahwa penyelenggara negara, baik yang menjalankan fungsi ekskutif, legislatif, atau yudikatif, bersama masyarakat berkewajiban menegakkan asas umum penyelenggaraan negara yang baik meliputi: Asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas. 3. Visi, Misi Dan Strategi Pembangunan Nasional. Visi pembangunan nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah negara kesatuan RI yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Misi Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia masa depan, ditetapkan misi sebagai berikut: a. Pengamalan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. 428 b. Peningkatan pengamalan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan dan mantapnya persaudaraan umat beragama yang berakhlak mulia, toleran, rukun dan damai. c. Penjaminan kondisi aman, damai, tertib dan ketentraman masyarakat. d. Perwujudan sistem dan iklim nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin dan bertanggungjawab, berketrampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia. e. Perwujudan sistem hukum nasional, yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusi berlandaskan keadilan dan kebenaran. f. Perwujudan kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja.

166 g. Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi 429 kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. 4. h. Penegakkan kedaulatan rakyat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. i. Perwujudan aparatur negara yang berfungsi melayani masyarakat, profesional, berdaya guna, produktif, transparan, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. j. Perwujudan kehidupan sosial budaya yang berkepribadian, dinamis, kreatif, dan berdaya tahan terhadap pengaruh globalisasi. k. Perwujudan otonomi daerah dalam rangka pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan dalam wadah NKRI. l. Perwujudan politik luar negeri yang berkedaulatan, bermartabat, bebas dan pro-aktif bagi kepentingan nasional dalam menghadapi perkembangan global. Struktur kelembagaan pembangunan nasional. dalam pengelolaan Sistem pengelolaan pembangunan yang melembaga sampai saat ini merupakan suatu tata pola siklus yang mencakup perencanaan, penganggaran dan pengawasan terhadap 430 kebijakan dan program pembangunan dalam jangka panjang, menengah dan operasional tahunan. Untuk pemerintah berperan aktif dalam mendorong dan melaksanakan pembangunan nasional. Disamping itu pengelolaan pembangunan nasional tidak terpisahkan dengan struktur kelembagaan pemerintahan dalam pembangunan nasional. Dari struktur kelembagaan DPR/DPRD, Bappenas, Unit Perencanaan Daerah, Lembaga tinggi dan Kementerian/LPNK, serta Dinas/non-dinas berperan dalam menyusun perencanaan pembangunan nasional/daerah. Sebagai konsekuensinya

167 struktur kelembagaan yang terbentuk tersebut menciptakan hirarkhi perencanaan pembangun-an nasional/daerah. 5. Proses Perencanaan Pembangunan Nasional. Siklus perencanaan atau siklus penyusunan rencana pembangunan pada dasarnya terdiri dari atas tiga tahapan utama yaitu tahap penyusunan rencana, tahap pelaksanaan, serta tahap pemantauan dan evaluasi. Dalam siklus ini terlibat berbagai instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Hasil dari siklus perencanaan berupa dokumen-dokumen perencanaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, seperti propenas dan propeda, saling terkait mengikuti suatu hirarkhi. Dokumen perencanaan tersebut selanjutnya menjadi masukan bagi kegiatan penyusunan anggaran. C. Pembangunan Daerah, Sektor dan Negara Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Daerah Otonomi daerah pada dasarnya adalah desentralisasi kewenangan yang selama ini berada Pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi kepada pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah daerah kota. Pembagian kewenangan antara ketiga pemerintahan tersebut diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan melalui Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, telah direvisi melalui Undang-Undang RI nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU RI Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah. Kewenangan pemerintahan pusat meliputi bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan bidang lain terdiri atas kebijakan tentang perencanaan nasional, pengendalian pembangunan nasional dan makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam, tehnologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Kewenangan pemerintah daerah propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota serta kewenangan di bidang : 432 Perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah propinsi secara makro. Pendidikan dan pelatihan bidang tertentu. Alokasi sumberdaya manusia potensial. Penelitian yang mencakup wilayah propinsi.

168 Pengelolaan pelabuhan regional. Pengendalian lingkungan hidup. Promosi dengan budaya/pariwisata. Penanganan penyakit menular dan hama tanaman. Perencanaan tata ruang propinsi. Untuk mempercepat pembangunan daerah yang dipandang masih lebih tertinggal, maka dietetapkan adanya otonomi khusus. Otonomi khusus diberikan kepada Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Propinsi papua. 2. Keadaan Tantangan Dan Strategi. Keberhasilan pembangunan nasional maupun daerah ditentukan lima faktor utama yaitu: Keadaan daerah, meliputi keadaan sosial politik, budaya, keamanan, fisik daerah dan sarana umum. Rencana pembangunan, meliputi tujuan, sasaran dan target pembangunan, strategi dan rencana pelaksanaan. 433 Sarana pembangunan, meliputi kelembagaan, dana dan sumberdaya manusia serta sumberdaya alam yang tersedia. Pengaruh eksternal, meliputi pengaruh keadaan sosial politik ekonomi dan keamanan dunia serta kekuatan yang secara khusus mempengaruhi dan keadaan nasional bagi pembangunan daerah. Pelaksanaan, meliputi pelaksanaan ketentuan-ketentuan serta pengaturan dan pelaksanaan rencana pembangunan. Faktor yang mempengaruhi strategi yang diterapkan pada pembangunan daerah dan nasional terutama: Keadaan sosial, ekonomi, dan budaya serta sikap masyarakat terhadap berbagai keadaan dan

169 perubahan. Potensi seluruh sumberdaya, meliputi tenaga kerja modal dan sarana ekonomi. Tujuan dan sasaran pembangunan serta hasil pembangunan yang diharapkan. Peluang yang tersedia untuk menetapkan berbagai strategi pembangunan, baik pada perekonomian dalam negeri maupun perekonomian global. Kemudahan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Resiko kegagalan yang mungkin timbul. 434 Strategi yang dipilih pada umumnya memiliki ciri SMART sebagai berikut: 3. Sederhana Simple mudah dimengerti. Hasil yang dicapai Measurable. Dapat dan mudah dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan Applicable and accountable. Resiko kegagalan dan biaya kecil Riskless and costless. Mencapai target yang diinginkan pada waktu yang ditetapkan Target and Time Bound. jelas dan

170 terukur Perencanaan Pembangunan. Perencanaan memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam pembangunan karena dapat menjadikan kegiatan pembanguan: Dilaksanakan secara sistematis, terarah sesuai dengan tujuan pembangunan dan berkelanjutan. Lebih efisien didalam penggunaan dana, tenaga dan sumberdaya yang lain pada setiap kegiatan. Lebih tepat guna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemeliharaan lingkungan serta sumberdaya 435 yang lain untuk kesejahteraan. 4. tetap mendukung Memiliki dasar-dasar untuk pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan. Memiliki sarana untuk mencatat dan menilai pelaksanaan dan manfaat kegiatan pembangunan daerah. Penyelenggaraan, Hambatan dan Penilaian. Langkah pertama dalam menyelenggarakan pembangunan nasional, sektor, daerah propinsi maupun daerah kabupaten/kota, bahkan untuk kegiatan dan satuan yang lebih kecil, baik pembangunan yang dibiayai dan diselenggarakan oleh pemerintah, swasta maupun oleh masyarakat adalah secara koordinatif dan formal membahas dan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Apa yang harus dilaksanakan? Sudah siapkah untuk dilaksanakan? Dimana dilaksanakannya?

171 Bagaimana melaksanakannya? Siapa pelaksananya? Kapan mulai dilaksanakan dan kapan harus selesai? Siapa yang akan mengendalikan? mengawasi dan 436 Bagaimana pertanggungjawabannya? Sudah siapkah satuan kerja, tata kerja dan sarana yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan? Kelemahan pemerintah daerah dapat menyebabkan terhambatnya pembangunan daerah itu sendiri. Kelemahan itu meliputi : D. Kelemahan kelembagaan, meliputi keterbatasan peraturan organisasi, serta tata kerja yang kurang jelas. Kekurangan dana dan sarana. Kuantitas dan manusia pada memadai. Kelemahan dalam penguasaan berbagai data yang diperlukan untuk perencanaan pembangunan.

172 Sikap sentralistik aparatur pemerintah yang ditandai dengan ketidak beranian bertindak tanpa petunjuk pelaksanaan daerah pemerintah pusat. Korupsi kolusi dan sikap mementingkan keperluan keluarga dan golongan telah membudaya. kualitas sumberdaya pemerintahan kurang Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima. 1. Makna Pelayanan Prima. 437 Paradigma merupakan suatu konsepsi yang mendasari seseorang untuk merefleksikan keyakinannya bahwa dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan (customer) dimana pelanggan yang dilayani merasa diperhatikan atau tidak dipersulit. Instrumennya adalah dari senang dilayani menjadi gemar melayani, kepuasan pelanggan merupakan tujuan dalam memberikan pelayanan. Kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila aparatur yang memberikan pelayanan berpedoman pada visi, misi pelayanan tercapainya pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Prinsip dalam pengukuran kinerja pelayanan adalah sesuai dengan standart pelayanan yang diberikan kepada pelanggan yang cepat, tepat, akurat, murah, efisien, efektif, dan dengan pelayanan yang ramah. 2. Strategi Pelayanan Prima. Strategi pelayanan prima yang mengacu pada kepuasan/keinginan pelanggan antar lain dapat ditempuh melalui: a. Implementasi visi, misi pelayanan pada semua level yang terkait dengan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat (pelanggan/customer). b. Hakekat pelayanan prima dispakati untuk dilaksanaan oleh semua aparatur yang memberikan pelayanan c. Bahwa dalam pelaksanaan pelayanan prima, didukung oleh sistem dan lingkungan yang dapat memotivasi anggota organisasi untuk melaksanakan pelayanan prima. d. Pelaksanaan pelayanan prima aparatur pemerintah, didukung oleh sumber daya manusia, dana, dan teknologi canggih yang tepat guna. e. Pelayanan prima dapat berhasil guna, apabila organisasi menerbitkan standar pelayanan prima yang dapat dijadikan pedoman dalam melayani dan panduan bagi pelanggan yang memerlukan jasa

173 pelayanan. Standar Pelayanan Prima. Konsepsi penyusunan standar pelayanan merupakan eksistensi organisasi yang diharapkan dapat memberi jawaban terhadap tuntutan perubahan pada era/revolusi dan evolusi pelayanan yang dewasa ini menjadi kebutuhan vital warga masyarakat. Tuntutan dan tantangan seperti dikemukakan di atas, membutuhkan energi dan atensi meskipun masih dalam tataran konsepsi dalam menghadapi era globalisasi dunia yang sarat dengan kompetisi. Untuk itu diperlukan konsep yang tepat dan kompetensi aparatur dalam mengimplementasikan pelayanan prima, serta koneksi/sinkronisasi yang sinergi antara aparatur 439 yang memberikan pelayanan dengan pelanggan yang memerlukan jasa pelayanan. Standar pelayanan prima pada organisasi pemerintah menjadi penting dihayati dalam pelaksanaannya karena pada dasarnya merupakan fitrah yang melekat dalam tugas pokok dan fungsi aparatur dalam organisasi pemerintah. Sasaran pelayanan prima yang SMART adalah: 4. Spesivic (spesifik). Measurable (dapat diukur). Achievable (dapat dicapai). Relevant (sesuai kepentinga pelanggan) Timed (jelas waktunya). penentuan batas jangka Sikap Dalam Pelayanan Prima. Dalam pelayanan prima, sikap assertif merupakan suatu ketegasan dan penegasan dalam berkomunkasi dengan pelanggan yang memerlukan jasa pelayanan. Dalam sikap assertif ini akan ditemukan dan mempertemukan kesepahaman antara aparatur pelayan dengan pelanggan dalam mencapai tujuan pelayanan. Sikap dan komunikasi assertif merupakan cara/pendekatan dalam berinteraksi dengan pelanggan yang didasarkan pada prinsip, aktif, berinisiatif dalam mengekspresikan hak-hak orang lain (pelanggan) tanpa merendahkan orang 440 lain. Sikap ini diharapkan akan melahirkan prinsip saling menguntungkan karena berusaha

174 menghindari sikap egoisme sektoral. E. Hukum Administrasi Negara. 1. Pengertian Dan Negara. Sumber Hukum Administrasi Hukum Administrasi Negara merupakan sub sistem dari Sistem Hukum Nasional yang berlaku di Indonesia, oleh karena itu hukum administrasi negara harus didasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Hukum administrasi Negara adalah merupakan keseluruhan aturan-aturan hukum yang harus diperhatikan oleh alat-alat perlengkapan negara dan aparatur pemerintah apabila menjalankan kekuasaannya. Adapun tujuan hukum adminstrasi negara adalah memberikan batasan wewenang kepada aparatur negara dan aparatur pemerintah agar dalam penyelenggaraan tugastugas umum pembangun-an dan pemerintah tidak berbuat sewenang-wenang serta dapat melindungi warga masyarakat, dengan demikian tidak terjadi benturan kepentingan antara penguasa dengan warga masyarakat. Dalam era reformasi dan transparansi serta persaingan global dewasa ini, sebagai aparatur negara dan aparatur pemerintah didalam menjalankan tugas dan fungsinya dituntut untuk 441 dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat yang membutuhkannya. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya dituntut untuk berpedoman pada asas-asasumum penyelenggarakan pemerintahan yang baik serta dapat menegakkan supremasi hukum, hal ini sebagimana diamanatkan didalam Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta Instruksi Presiden Nomor VII Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah serta peraturan Perundang-undangan lainnya, semua peraturan perundang-undangan tersebut dibuat agar aparatur negara dan aparatur pemerintah didalam melaksanakan tugas sehari-hari tidak terjadi adanya tuntutan atau gugatan dari masyarakat yang merasa dirugikan kepentingannya, dengan demikian akan terwujud adanya suatau pemerintahan yan baik atau good governance. 2. Hubungan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara. a. Perbedaan Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Tata Negara: 1) Hukum Tata Negara ialah keseluruhan aturan-aturan hukum yang mengada-kan alat-alat perlengkapan dan mengatur kekuasaannya. Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan aturan- 442 aturan hukum yang harus diperhatikan oleh alat perleng-kapan negara atau pemerintah jika menjalankan kekuasaannya. (Prof. Mr. J. Oppenheim). b. 2) Hukum Tata Negara mengatur negara dalam keadaan pasif, sedangkan Hukum Administrasi Negara mengatur negara dalam keadaan aktif. (Fritz Fiener). 3)

175 Hukum Tata Negara adalah keseluruh-an aturan-aturan hukum yang megatur negara dalam keadaan statis. Sedangkan Hukum Administrasi Negara adalah aturanaturan hukum yang mengatur negara dalam keadaan dinamis. (Dr. Mr. H. J. Romijn). 4) Hukum administrasi negara ialah keseluruhan aturan yang sejak berabad-abad tidak termasuk hukum tata negara materiil, hukum perdata materiil dan hukum pidana materiil. Hukum administrasi negara ada 4 bagian yaitu sebagai berikut: hukum yang mengatur pemerintahan; hukum peradilan; hukum kepolisian; hukum yang mengatur perundang-undangan. (Cornelis van vollenhouven). Hubungan antara hukum tata negara dengan hukum administrasi negara. 443 Pengertian hukum tata negara adalah hukum mengenai konstitusi dari pada negara secara keseluruhan, sedangkan hukum administrasi negara adalah khusus hanya kepada administrasinya saja, sehingga hubungannya adalah keduanya baik administrasi dan konstitusi hukum merupakan satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan dalam pelaksanaan kepemerintahan di bidang hukum. 3. Pengawasan Administratif Dan Yuridis Terhadap Pemerintah. Pengawasan Pengawasan yang dikenal di Indonesia adalah a. Pengawasan Fungsional yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah yang tugas pokoknya melakukan pengawas-an, seperti BPK, Itjen dan Itwilprop atau Itwilkab. b. Pengawasan Legislatif, yaitu pengawas-an yang dilakukan oleh Lembaga Perwakilan Rakyat baik di Pusat maupun di Daerah. Pengawasan Melekat yaitu pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dan satuan kerja yang dipimpinnya. c. d. F. Pengawasan Masyarakat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, seperti yang dilakukan oleh media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya. Analisis Kebijakan Publik Pengertian, Jenis Dan Tingkat Kebijakan Publik. Kebijakan publik adalah suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Kebijakan publik bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada didalam masyarakat. Ada beberapa jenis kebijakan prublik, yaitu: a.

176 Substansive and Procedural Policy. Substansive policy adalah suatu kebijakan dilihat dari substansi masalah yang dihadapi oleh masalah. Seperti kebijakan pendidikan, kebijakan ekonomi dll. Procedural Policy adalah suatu kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya (Policy Stakeholders). Seperti Undang-Undang tentang Pendidikan yang berwenang membuat adalah Kementerian Pendidikan, dalam pelaksanaan pembuatan-nya banyak instansi lain yang terlibat baik pemerintah maupun bukan pemerintah antara lain DPR, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kehakiman, PGRI dan Presiden yang mengesahkan UndangUndang. b. Distributive, Redistributive and Regulatory Policies. Distributive Policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan/keuntungan kepada individuindividu, kelompok atau perusahaan. 445 Seperti kebijakan tentang Tax Holiday. Redistributive Policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan atau hak-hak. Seperti kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum. Regulatory Policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pembatasan/ pelarangan terhadap perbuatan/tindakan. Contoh kebijakan tentang larangan memiliki dan menggunakan senjata api. c. Material Policy suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi penerimanya. Contoh kebijakan pembuatan rumah sederhana. Public Good and Private Goods Policies Public Good Policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barangbarang/pelayanan oleh pemerintah untuk kepentingan orang banyak. Contoh: kebijakan tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan umum. Private Goods Policy adalah suatu kebijakan yang megatur tentang penyediaan barang-barang/ pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan individu (perorangan) di pasar bebas dengan biaya tertentu. Contoh; kebijkan pengadaan barang-barang/pelayanan untuk keperluan perorangan misalnya tempat hiburan, hotel dan lain-lain. 446 Di Indonesia dikenal adanya tingkatan-tingkatan kebijakan publik yaitu kebijakan publik lingkup nasional, yang meliputi kebijakan nasional, kebijakan umum dan kebijakan pelaksanaan. Di samping itu ada kebijakan publik lingkup wilayah/daerah yang meliputi kebijakan umum dan kebijakan pelaksanaan. 2. Sistem, Proses Dan Siklus Kebijakan Publik Data adalah fakta yang sedang tidak digunakan dalam proses pembuatan keputusan, sedangkan informasi adalah data yang telah diambil kembali, diolah dan digunakan untuk pembuatan keputusan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebagai informasi yang baik yaitu ketersediaan, mudah dipahami, relevan, bermanfaat, tepat waktu, keandalan, akurat dan konsisten. Informasi ini penting karena untuk memecahkan masalah diperlukan informasi, terutama dalam perumusan masalah-masalah kebijkan. Metodologi dalam analisis kebijkan dapat memberikan informasi dengan menjawab lima bentuk pertanyaan. Jawaban pertanyaanpertanyaan tersebut memberikan informasi tentang masalah kebijakan, kinerja kebijakan, kebijkan di masa depan dan tindakan/implementasi kebijakan. Banyak isu atau masalah yang dihadapi oleh pemerintah masuk dalam agenda pemerintah untuk kemudian dirumuskan permasalahannya. Ada dua bentuk agenda yaitu Systemic Agenda dan Governmental Agenda. Systemic Agenda (Agenda Sistemik) terdiri atas isu-isu yang dipandang secara umum oleh anggota 447 masyarakat, politik sebagai yang pantas mendapat perhatian dari pemerintah dan mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat pemerintahan masing-masing.

177 Sedangkan Governmental Agenda (Agenda Pemerintah) adalah serangkaian masalah yang secara eksplisit memerlukan pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat kebijakan yang sah. Ada beberapa prasyarat untuk dapat masuk ke dalam Systemic Agenda. Di samping itu ada faktorfaktor yang menyebabkan permasalahan masyarakat untuk dapat masuk ke dalam Governmental Agenda 3. Implementasi, Monitoring Dan Evaluasi Kebijakan Publik. Implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan, akan tetapi baru beberapa dasa warsa terakhir ini mendapat perhatian dari para ilmuwan sosial. Akibat kurangnya perhatian pada implementasi kebijakan ini menimbulkan adanya implementasi gap, yaitu kemungkinan terjadinya perbedaan antara apa yang diharapkan dengan apa yang senyatanya dicapai. Kebijakan publik mengandung resiko untuk mengalami kegagalan. Kegagalan ini dikategorikan menjadi dua yaitu non implementation dan unsuccessful implementasi. Tugas implementasi adalah mengembangkan suatu struktur hubungan antara tujuan kebijakan dengan tindakan pemerintah untuk merealisasikan tujuan kebijakan. Monitoring kebijakan merupakan kegiatan pengawasan 448 terhadap implementasi kebijakan. Ada empat tujuan monitoring yaitu Compliance (kesesuaian/kepatuhan), Auditing (pemeriksaan), Accounting (akuntasi) dan Explanation (penjelasan). Evaluasi kebijakan adalah suatu pengkajian secara sistemik dan empiris terhadap akibatakibat dari suatu kebijakan dan program pemerintah yang sedang berjalan dan kesesuaiannya dengan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan tersebut. Evaluasi kebijakan seperti tahap-tahap lain dalam proses kebijakan, merupakan proses politik yang melibatkan para birokrat, politisi dan fihak-fihak di luar pemerintah. Evaluasi merupakan kegiatan yang sulit, karena tujuan kebijkan itu sendiri sering dirumuskan secara luas, sehingga sulit menyusun indikatornya. Ada beberapa bentuk kebijakan yaitu evaluasi administrasi, evaluasi Yudisial dan Evaluasi Politis. Evaluasi administratif pada umumnya dibatasi pada pengkajian tentang efisiensi penyampaian pelayanan pemerintah dan penentuan apakah penggunaan dana oleh pemerintah sesuai dengan tujuan yang telah dicapai. Evaluasi Yudisial mengadakan pengkajian apakah kebijakan yang dibuat pemerintah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, apakah tidak melanggar HAM dan hak-hak individu. Evaluasi politis masuk dalam proses kebijkan hanya pada waktu-waktu tertentu, misalnya pemilihan umum Analisis kebijakan publik. Ada dua dimensi kebijakan publik yaitu proses kebijakan dan analisis kebijakan. Analisis kebijakan merupakan penerapan metode dan teknik analisis yang bersifat multidisiplin dalam proses kebijakan. Dalam analisis kebijakan publik perlu diperhatikan adanya faktor-faktor politik, ekonomi/finansial, administrasi/organisatoris, teknologi, sosial, budaya, agama, dan pertahanan keamanan. Ada beberapa aspek dalam analisis kebijakan yaitu analisis mengenai perumusan kebijakan, implementasi kebijakan dan analisis mengenai evaluasi kebijakan. Tujuh proses perumusan kebijakan publik: a. Tahap pertama proses kebijakan publik adalah perumusan kebijakan. Langkah pertama dalam perumusan kebijakan adalah perumusan masalah kebijakan. Dalam kebijakan publik dikenal apa yang disebut public problem dan private problem. b. Tahap kedua dalam perumusan kebijakan adalah perumusan tujuan/ sasaran.

178 c. Tahap ketiga perumusan alternatif kebijakan. Alternatif ini dapat dikembangkan dari hasil perumusan tujuan/sasaran. d. Tahap keempat adalah perumusan model analisis kebijakan. 450 G. e. Tahap kelima adalah menyusun kriteria yang meliputi kriteria politik, ekonomi/finansial, administratif, teknologi, sosial-budaya, agama dan hankam. f. Tahap keenam adalah penilaian alternatif. g. Tahap ketujuh rekomendasi. adalah perumusan Teknologi Informasi dalam Pemerintahan. Teknologi Informasi (TI) Pemerintahan dapat dipahami sebagai beberapa kumpulan sistem informasi yang digunakan untuk mengelola data dan informasi untuk diterima, didistribusikan dan disimpan (distributed and stored). Selain itu juga dapat dipahami sebagai alat atau media yang secara efektif dapat digunakan untuk mensosialisasikan mengkomunikasikan ide, konsep, jasa dan produk maupun visi yang baik untuk kepentingan internal organisasi, maupun eksternal dalam hal ini adalah pengguna jasa maupun pemasok dengan berbasiskan pada teknologi komputer maupun teknologi komunikasi lainnya. Dalam organisasi publik, kehadiran TI dipercaya dapat mengoptimalisasikan tugas pokok dan fungsi pemerintahan yang sebelumnya tidak bisa dihadirkan oleh administrasi yang berbasis konvensional. Hal ini dimungkinkan karena dengan TI selain kinerja organisasi dapat ditingkatkan juga dapat meningkatkan akuntabilitas bagi tata kelola pemerintahan. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, serta kemungkinan implementasi diberbagai bidang, khususnya di dalam pemerintahan, maka teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk mendukung terwujudnya tata kelola yang baik (good governance). Hanya masalahnya perkembangan TI, yang begitu 451 cepat di luar, tidak begitu cepat direspon oleh instansi publik. Akar persoalannya, bukannya ketiadaan dana pendukung. Namun pada kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki kompetensi spesifik dalam hal teknologi informasi, juga lemahnya kepemimpinan organisasi yang memiliki visi TI. Selain itu rancang bangun pengembangan IT yang secara komprehensif juga belum terbangun pada kebanyakan organisasi pemerintah. Akibatnya, banyak rencana pengembangan IT yang berhenti di tengah jalan atau matisuri atau tidak bisa berjalan optimal. Banyak sekali kisah

179 kegagalan proyek atau program otomatis pelayanan publik yang hanya pada awal, sayup-sayup dalam perjalanannya dan akhirnya tidak jelas pada akhirnya. Seberapa jauh kemampuan sumberdaya manusia aparatur dan kemauan pimpinan organisasi untuk mewujudkan suatu sistem administrasi pemerintahan yang berbasis kepada teknologi informasi/electronic governance (e-gov). Secara garis besar bahwa semua kendala yang ada pada unit organisasi apakah itu kendala SDM, kapital, tatalaksana, teknologi dan lain sebagainya akan terselesaikan manakala pimpinan organisasi memiliki perhatian (attention), tekad untuk menerapkan suatu sistem yang berbasis teknologi informasi di organisasi yang dipimpin. Walaupun berbagai variasi dan keragaman pengguna terhadap informasi yang dibutuhkan, dapat disediakan oleh pusat informasi (information center) yang dikenal dengan End User Computing (EUC), sehingga secara umum tidak terjadi kesenjangan akan informasi. Perkembangan teknologi informasi saat ini telah berjalan mungkin lebih dari apa yang dibayangkan semula oleh para penemu (discovery) komputer pada awal mula. Usia hidup (life span) teknologi yang sebelumnya masih dalam rentang tahun, saat ini telah 452 menjadi harian dan bahkan tidak mungkin pada masa yang akan datang akan menjadi menitan. Percepatan dan inovasi teknologi komputer ini selain akan memberikan keuntungan yang sangat besar pemberian kepuasan dari pengguna jasa, juga menimbulkan dampak bagi yang kurang beruntung untuk mengikutinya. Dalam artian mereka akan selalu berada pada barisan belakang dalam perkembangan zaman. Aliansi strategi TI dengan konsep-konsep manajemen telah memberikan pengayaan bagi perkembangannya kedua ilmu tersebut. Manajemen telah memberikan jalan (track) yang tepat bagi arah perkembangannya dalam hal ini TI mengisi bangunan tersebut sehingga performa yang ditampilkan oleh manajemen menjadi lebih berbobot. Enam pokok masalah yang dapat dijadikan titik tolak bahwa e-gov menjadi efektif bagi akurasi pengambilan keputusan: Akurasi: apakah dalam e-gov pengambilan keputusan dapat tercapai. Kecepatan: apakah dalam e-gov kecepatan pengambilan keputusan dapat dilakukan. Antar daerah: apakah dalam e-gov pengambilan keputusan, komunikasi, jaringan antar daerah dapat dilakukan dengan akurat, cepat, murah dan mudah. Antar pusat dan daerah: bagaimana bentuk hubungan antara pusat daerah dalam e-gov. Nasional: bagimana koordinasi antar instansi pemerintah pusat dalam e-gov. akurasi 453 Internasional: bagaimana hubungan pemerintah dengan dunia internasional dalam konteks e-gov. Kebijakan dan strategi pemanfaatan teknologi informasi sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan luar organisasi. Perubahan lingkungan luar tersebut akan selalu diantisipasi oleh

180 peranan teknologi informasi dalam mengatasinya. Faktor utama yang mempengaruhi organisasi tersebut akan nampak dalam upaya teknologi informasi dalam mendeteksi segala bentuk penyimpangan sehingga tindakan-tindakan korektif dapat diambil sebelum terlambat. Selain itu pengguna TI dapat meningkatkan produktivitas, kualitas, profitabilitas terutama untuk menghadapi masalah-masalah dan peluang dari globalisasi dan sebagainya sampai pada pemanfaatan TI yang memberikan ruang yang sangat luas kepada para pekerja yang mengalami hambatan fisik. Pemanfaatan TI dalam dunia publik memang sudah menjadi kebutuhan. Dalam konteks Indonesia, implementasinya memang harus menunggu prioritas lain yang juga tak kalah penting yakni agenda pemulihan ekonomi dan stabilitas politik. Namun demikian, apabila terlalu lama harus menunggu, kita khawatir kereta sudah terlalu jauh meninggalkan kita. Akhirnya kita akan terus menjadi bangsa yang terbelakang dalam bidang teknologi informasi. Peringatan dunia tentang pemanfaatan ICT yang mutakhir, Indonesia ditempatkan di posisi 67 dari 69 negara yang disurvei IBM dan Economist Intelegence Unit tentang e-readiness (detikdotcom, ). Posisi jelas mengindikasikan kita sebagai Negara yang masih terbelakang dalam mengaplikasikan ICT secara umum. 454 Berangkat dari pengamatan dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi di Indonesia, termasuk masalah mesin-mesin pengelolaan data elektronik (khususnya komputer), maka masalahmasalah IT di pemerintahan di Indonesia yang dihadapi dapat dikelompokkan dalam empat masalah utama yaitu, pertama masalah pengembangan sistem administrasi Pemerintahan, kedua masalah teknologi informasi, ketiga masalah tenaga kerja di bidang teknologi informasi, dan keempat masalah kebijakan pimpinan. 1. Masalah Pengembangan Sistem Informasi. Sampai saat ini berbagai instansi pemerintah telah mengembangkan sistem informasi dalam bidang yang menjadi tugas pokok masingmasing. Tetapi untuk keperluan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah yang sifatnya menyeluruh, baik yang bersifat tugas umum pemerintah maupun tugas-tugas pembangunan secara terpadu, masih perlu ditetapkan dan dikembangkan suatu sistem informasi secara sektoral atau yang meliputi seluruh instansi pemerintah di mana sistem informasi yang ada tiap-tiap instansi pemerintah merupakan bagian (sub sistem) dari sistem informasi. Misalnya Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian RI (SIMKRI) yang dewasa ini sedang dikembangkan. Saat ini memang tengah dirintis untuk mengintegrasikan pengembangan teknologi informasi yang diwakili oleh Badan Telematika Nasional. Pada perkembangan berikutnya dibentuk Kementerian Negara Informatika dan Telekomunikasi salah satu tugas pokoknya adalah mengembangkan dan mengintegrasikan pemanfaatan TI dalam 455 pemerintahan. Namun demikian hingga saat ini belum terlihat jelas dari visi yang akan dibangun untuk kedepannya. Hal ini sangat berbeda dengan Malaysia yang dengan mantap memaparkan konsep Multi Media Super Coridor (MMSC), begitu juga India bervisi untuk menjadi Negara Super Power di Bidang IT pada tahun Masalah Teknologi Informasi. Pada masalah ini secara garis besar meliputi perangkat keras (hard ware), perangkat lunak (software). Perangkat keras yang meliputi perangkat komputer maupun teknologi komunikasinya. Sasaran yang perlu diperhatikan dalam hubungan ini adalah kemungkinan pegembangan jaringan fisik instalasi komputer berbagai instansi pemerintah, kemungkinan mengadakan pertukaran informasi antara instansi pemerintah, kemungkinan mengadakan pertukaran informasi antara instansi melalui media komputer yang didukung oleh konfigurasi hard ware yang telah atau yang akan dipasang. Perangkat lunak (software) yang meliputi software yang dikembangkan oleh penghasil komputer software houses ataupun yang dikembangkan sendiri oleh instansi yang sudah mempunyai instansi komputer. Sasaran yang diperhatikan adalah: Penelitian terhadap software yang memungkinkan software interface dalam jaringan komputer antar instansi pemerintah.

181 456 Menginventarisasi dan meneliti menyarankan software yang diaplikasikan dalam suatu instansi. Mendorong pengembangan software yang bersifat umum oleh instansi-instansi pemakai komputer. serta dapat Masalah-masalah ini perlu penanganan oleh instansi-instansi yang secara fungsional bertugas dalam pengembangan teknologi di Indonesia. Dalam pengembangan tersebut perlu diperhatikan kebutuhan alat-alat pengolah data elektronik/ teknologi informasi dalam pengembangan sistem informasi di Indonesia dan juga pengembangan kemampuan produksi dalam negeri. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, serta kemungkinan implementasi di berbagai bidang, khususnya didalam pemerintahan, maka dapat disimpulkan untuk mendukung terwujudnya tatakelola yang baik (good governance), masalahnya perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat di luar, tidak begitu cepat direspon oleh instansi publik. Akar persoalannya bukanlah ketiadaan dana dan pendukung, namun pada kesiapan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi spesifik dalam hal teknologi informasi, juga lemahnya kepemimpinan organisasi yang memiliki visi teknologi informasi. Selain itu rancang bangun pengembangan TI yang secara komprehansif juga belum terbangun pada organisasi pemerintah, akibatnya banyak rencana pengembangan TI yang berhenti di tengah jalan atau tidak bisa berjalan optimal Masalah Tenaga Kerja di Bidang Teknologi Informasi. Masalah ini meliputi semua masalah ketenagakerjaan di bidang informatika, baik yang menyangkut pengadaan berdasar kualitas kemampuan, jumlah dan keahlian, pendidikan dan pelatihan, maupun pengembangan. Dalam hubungan ini juga dijumpai masalah kualitas lembaga-lembaga yang melaksanakan pendidikan dan pelatihan di bidang komputer, terutama lembaga-lembaga swasta, termasuk masalah sertifikasi dan akreditasi. Hal ini akan menjadi lebih penting lagi dengan dikembangkannya jabatan fungsional Pranata Komputer. 4. Masalah kebijakan Pimpinan Implementasi sistem aplikasi yang berbasis Teknologi Informasi adalah hingga seberapa jauh pimpinan puncak suatu organisasi ada perhatian terhadap sistem tersebut pada awal penerapan sistem harus mendapat dukungan penuh dari pimpinan puncak, sehingga pejabat yang lebih rendah tidak dapat lagi mengelak untuk tidak memakainya (top down). Tantangan utama dalam pengembangan TI di Pemerintahan bukanlah pada ketersediaan maupun pendayagunaan teknologinya. Tantangan utama adalah memperbaiki kinerja manajemen pemerintahan, prosedur yang transparan, standar, akuntabel, rutin, dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. 458 Perlu diingat bahwa e-adm bukanlah tujuannya dalam pengembangan TI Pemerintahan adalah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi internal dan eksternal manajemen, dan meningkat-kan daya saing nasional. Untuk itu strategi yang perlu diperhatikan adalah content, development, public participation dan kebijakan di bidang pendayagunaan teknologi informasi dan teknologi komunikasi itu sendiri. Seringkali kita telah memiliki sistem informasi, tetapi content atau isinya tidak pernah berubah dari mulai dibangun sampai beberapa waktu kemudian. Tantangan lain adalah sumber daya

182 manusia kemudian ketersediaan teknologi dan sarana pendukung lainnya yakni telekomunikasi, ketersebaran, tingkat kecerdasan teknologi masyarakat, dan kebijakan yang memungkinkannya terjadi, baik di pusat maupun di daerah. Tantangan di bidang keterbatasan kualitas SDM akan selalu menjadi tantangan karena memang teknologi berkembang bahkan sangat pesat, melebihi perkembangan teknologi yang pernah ada sebelumnya. Persyaratan membangun Teknologi Informasi dalam pemerintahan (e-governance) adalah pertanyaan kunci yang secara prinsip dapat dikemukakan sebagai berikut: Apakah infrastruktur sistem datanya sudah siap. Apakah infrakstruktur hukumnya sudah siap. Apakah infrastruktur kelembagaan sudah siap. 459 Apakah infrastruktur manusianya sudah siap. Apakah infrastruktur teknologi sudah siap. Apakah kepemimpinan stratejik sudah siap. Jakarta, dan pemikiran Juni 2015 Tim Penyusun, 1 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik (ed. um)., Indonesia Dalam Arus Sejarah., Vol. 7: Pascarevolusi (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve Departemen Kebudayaan dan Pariw isata RI, 2010). Abdurahman, Dudung., Metodologi Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,2007), Cet. Pertama. Adam Malik, Riwayat dan Perjuangan Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Jakarta,1962 Audrey R. & George Mc. Turnan Kahin., Subvertion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia (New York: The New Press, 1995) Alhaj, Pangeran 825, dan Usman Surya Patna Materi Pokok Pendidikan Pancasila. Jakarta: Penerbit Karunika Alfian, Magdalia., Politik Pembendungan Amerika Serikat Terhadap Komunisme di Indonesia, 1950-an 1965 (Depok: Universitas Indonesia, Disertasi S-3pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2006). Ake Claude, A Theory of Political Integration, dalam Nazaruddin Sjamsudin, Integrasi dan Ketahanan Nasional di Indonesia, Jakarta : Lemhannas, 1994 Amiruddin., Ekonomi Terpimpin : Mencari Jalan Baru Pembangunan Ekonomi Indonesia (Depok: Universitas Indonesia, Skripsi pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996). Asshiddiqie, Jimly Pokok-Pokok Hukum Tata

183 Negara Indonesia. Jakarta: PT.Bhuana Ilmu Populer. An Analysis of Selected Indonesian Foreign Policies, (Michigan: A Xerox Company, Ann Arbor, 1976) Anonim, Management Kualitas Pelayanan Prima, PT. Pinter Konsultama, Jakarta, Anonim, Perilaku Pelayanan Prima. Diklat Pelayanan Prima, Lembaga Administrasi Negara RI, Jakarta, Attamimi, A Hamid S, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Urusan Dalam. Urusan Indonesia. Jakarta, Bambang Pranowo dan Darmawan (Eds.), Reorientasi Wawasan Kebangsaan di era Reformasi Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, Barth Fedric, Kelompok Etnik dan Batasannya, dalam Saafroedin Bahar, Masalah Etnisitas dan Ketahanan Nasional, Resiko atau Potensi?, Jakarta : Lemhannas, Bhatta, Capacity Building at the Local Level for Effective Governance, Empowerment Without Capacity is Meaningless, Gambhir, Burhan D. Magenda, National integration in a Complex Indonesia, Jakarta : Telstra, Burhan, Pilkada dalam kerangka Hubungan Pusat dengan Daerah, Jakarta : Politika, Burhan, Perubahan dan Kesinambungan dalam Pembelahan Masyarakat Indonesia, Jakarta : Prisma, 1990 Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia , Jakarta: Pt. Grafiti Pers,1985 Carry Nadeak, dkk., Ekonomi Bikin Saya Pusing dalam: Gatra, Edisi Khusus: Ekonomi Indonesia (Jakarta: Gatra, Agustus 2005). Chaidir, Hj. Ellydar Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang Dasar Yogyakarta: Kreasi Total Media. Dahm, Bernard., Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Terj., (Ithaca London: Cornell University Press, 1969) Darmodiharjo, Darji, dkk Santiaji Pancasila Kumpulan Karangan. Cetakan VIII. Karunia Esa. Daldjoeni N, Dasar-dasar Geografi Politik, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, De Vrye C, Good Service Is Good Business, Printice Hall, Sydney, Dennis M Drew & Donald M Snow, Making Strategy : An Introuction to National Security Processes and Problem, Jakarta : Badiklat Dephan, 2005 Dinuth, Alex., Salinan Dokumen Terpilih Sekitar Pemberontakan G-30-S/PKI (Jakarta: Lemhanas, 1993) Duverger Maurice, Sosiologi Politik, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Duverger Maurice, The Study of Politics, diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae, USA : Thomas Y. Crowell Company Inc, Doktrin Pertahanan Negara. Endar Ma'moeri., Hubungan kerja dan Koordinasi, Bahan Diklat Adum, Jakarta, 2000; Fay, Brian, Contemporary Philosophy of Social Science : A Multicultural Approach, Oxford : Blackwell, Fisher, Simon, Mengelola Konflik, ketrampilan dan strategi untuk bertindak,london :The British Council-RTC, Geertz, Clifford, Politik Kebudayaan, terjemahan Kanisius Yogyakarta, 1992, dalam Suyoto Usman, Integrasi Nasional dan Ketahanan Nasional, Yogyakarta : Gajahmada University press, Grant, Robert M, Contemporary Strategy Analysis : Concept, Techniques, Application, diterjemahkan oleh Thomas Secokusumo, USA : Blackwell Publisher, Inc, Gonggong, Anhar., dkk, (Tim Revisi), R.Z. Leirissa (Peny.)., Sejarah Nasional Indonesia VI, Republik Indonesia: Dari Proklamasi Sampai Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Ditjarahnitra, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993). Gonggong, Anhar, dkk. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid VI dan VII. Jakarta: IDSN,Depdikbud, Gottschalk, Louis., Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta:Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975). Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, Jakarta: UI Press, 1983 Green, Marshal., Dari Sukarno ke Suharto: Ditinjau dari seorang Duta Besar. Hariyono., Keadaan Bahaya di Indonesia ( )., Disertasi S-3, (Depok: Universitas Indonesia, Disertasi S-3 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2004). Harvey, Barbara Sillars,. Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (Jakarta: Grafitipers, 1984). Hardjosoekarto S., Beberapa Perspektif Pelayanan Prima,Bisnis & BirokrasiNo. 3,vol IV, September Hayati, Chusnul dkk. Sejarah Indonesia (Modul 4-6) Jakarta: Karunika, 1986 Hardjosoekarto S., Beberapa Perspektif Pelayanan Prima,Bisnis & Birokrasi No. 3,vol IV, September 1994 Hauss Charles, International Conflict Resolution : International Relations for the 21 st Century, London : Continuum, Hettne Bjorn, Development Theory and the Three Worlds, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Huntington,

184 SP, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang berubah, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Huntington, The Change to Change : Modernization, Development and Politic, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1998) H. Ismanu. Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia dan Dasar Negara Republik Indonesia. Hong, Fan (ed.)., Sport, Nationalism and Orientalism the Asian Games (London and New York: Routledge, Taylor & Francis Group, 2007). 5 Ireni, Murni Setiati., Konstituante Badan Pembuat UndangUndang Dasar, (Depok: Universitas Indonesia, Skripsi pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990). Inkeles Alex, Making Men Modern : On the causes and Consequences of Individual Change Indonesia Six Developing Countries, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogyakarta, Solo: (UNS Press). Ingleson, John., Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasional Indonesia , (Jakarta: LP3ES, 1987) Japan Association For Civil Service Training and Education, How To Win Public Confidence As Government Officials : 100 Sheets For Effective And Efficient Public Administration. Kahin, George Mc. Turnan., Nationalism and Revolution in Indonesia (Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia) diterjemahkan oleh Nin Bakdi Soemanto Kahin, George Mc. Turnan & Audrey R. Kahin., Subvertion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia (New York: The New Press, 1995). Kansil, C.S.T. Julianto, Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1993 Kanumoyoso, Bondan., Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda di Indonesia, (Depok: Universitas Indonesia, Tesis S-2 pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2000). Kansil, C.S.T Pancasila dan UUD 1945 Bagian I. Jakarta:PT. Pradnya Paramita. Kansil, C.S.T Pancasila dan UUD 1945 Bagian II. Jakarta:PT. Pradnya Paramita. Katini K., Psikologi Sosial untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, CV. Rajawali, Jakarta, 1985; 6 Kindleberger, Charles P. (1965), Economic Development, McGraw Hill Book Company. Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, jilid 2. Jakarta PT. Gramedia, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan P-4 dan Penegasan Pancasila yang tercantum dalam Alinea Keempat Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta : Gramedia, Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan, Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, Komarudin, Manajemen Berdasarkan Sasaran, Bumi Aksara, Jakarta, 1994; Krause, Walter, Economic Development, Wadsworth Publishing Company Inc, Kristiadi,J.B., Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan Indonesia, STIA LAN Press, Jakarta, 1997; Legge, John D., Soekarno: Sebuah Biografi Politik, (Jakarta: SH, 2001), Cetakan ke 4, Leirissa, R.Z., PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis,(Jakarta: Grafiti, 1991) Lemhanas., Bahan-bahan Pokok G-30 S/PKI dan Penghancurannya, (Jakarta:Lemhanas, 1982) LaPalombara Joseph, Distribution : A Crisis of Resource Management, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, LaPalombara Joseph, Penetration : A Crisis of Governmental Capacity, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI), Buku 1, 7 Prinsip-prionsip Penyelenggaraan Negara, Jakarta, Lembaga Administrasi Negara, Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Buku III LAN. Jakarta, Lembaga Administrasi Negara, Manajemen Dalam Pemerintahan, Jakarta, Little, Ian M, Economic Development, Twentieth Century Fund, Inc Lucas, Henry C.Jr., The Analysis, Design, and Implementation of Information Systems, Alih Bahasa In Abdul Basith Penerbit Erlangga, Jakarta, 1993; Malley Michael dan Donald K. Emmerson, Region : Centralization and Resistance, Indonesia Beyond Suharto, Politic, Economy, Society, Transition, (New York : M.E. Sharpe, McKinney, Jerome B., Lawrence C Howard, Public Administration: Balancing Power and Accountability, Oak Park, Illinois : Moore Publishing Company, Inc Meier, G.M. & Baldwin, R.E, Economic

185 Development, Theory, History, Policy, John Wiley & Sons, Inc Mohammad Tadjoeddin Zulfan, Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi : Kasus Indonesia, , Jakarta : Mustopadidjaja, AR, dan Desi Fernanda, Manajemen Pembangunan Nasional: Kebijakan, Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan, makalah disampaikan pada Suskomsos TNI TA 1999/2000, SESKO TNI, LAN-RI, Bandung, 28 Februari Mustopadidjaja, AR, dan Desi Fernanda, Transformasi Manajemen Menghadapi Globalisasi Ekonomi, dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Vol 1, No. 1, 1997, ISSN , PP PERSADI, Jakarta, Nasution, Abdul Haris, Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Gerilya, Jilid 2A., (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989) Nazarudin Sjamsudin, Integrasi dan Ketahanan Nasional di Indonesia, dalam Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi, Sumbangan Ilmu Sosial terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, Nordlinger, Eric A., Militer dalam Politik, (terjemahan: Drs. Sahat Simamora), (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) Nicolaus Teguh Budi Harjanto, Memajukan Demokrasi mencegah Disintegrasi, sebuah wacana Pembangunan Politik, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Nigro F A & LG Nigro, Modern Public Administration, Harper & Row Publishers, New York, Nimran U, Perilaku Organisasi, Citra Media Surabaya, Osborne D & T Gaebler, Reinventing The Government, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, Osborne D & T Gaebler, Reinventing Government: How Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Reading, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Co.Inc Pembukaan UUD 1945 sebagai Dasar Negara. Peraturan Presiden, Nomor 12 tahun 2010 tentang Badan Pengelola Perbatasan. Peraturan Presiden,Nomor 41 Tahun 2010 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto., Sejarah Nasional Indonesia., Jilid VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984). Peters JH, Service Management, Managing the image, Trisakti University, Jakarta Purwanto P & Kusrini, Excellent Services, Diklat Penjenjangan Manajer Madya, PT. Angkasa Pura II, Jakarta Prawotohadikusumo, Supolo, Major CKH, Bc. Hk., Dari Orde Lama Menuju Orde Baru, (Jakarta: C.V Pantjuran Tudjuh, 1967). Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Jakarta: PT. Pustaka Rakyat,1980). Pye Lucian W, Aspects of Political Development, dalam Nicolaus Teguh Budi Harjanto, Memajukan Demokrasi mencegah Disintegrasi, sebuah wacana Pembangunan Politik, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Quiko, Eduard., The Role of Foreign Minister Subandrio in Indonesian Politics: Rahayu,Amin., Majelis Rakyat Indonesia, : Badan Perjuangan Mencapai Parlemen Indonesia yang Sejati. Skripsi., (Jakarta: FIB-UI, 2000) Rahayu, Amin., Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya. Tesis., (Jakarta: FIB-UI, 2012) Rozadi, Abdullah. Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rush, michael & Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta ; Rajawali, Sukarno., Dunia Baru Sedang Berjuang untuk Lahir di Dunia artikel dalam Mimbar Indonesia, Thn. XII., No. 18, Tanggal 3 Mei Soeparman Soemahamidjaja., Masalah Keuangan dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia, dalam: Majalah Mimbar Indonesia., No. 14,Thn. XII, 5 April Schoorl, JW, Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara Sedang Berkembang, Jakarta : Gramedia, Sekretariat Negara Republik Indonesia., 30 Tahun Indonesia Merdeka, Vol. 1: (Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1985). Cetakan ke-5. Sekretariat Negara Republik Indonesia., 30 Tahun Indonesia Merdeka, Vol. 2: (Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1985). Cetakan ke-6. Siagian, S. P, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1990, Simanjuntak, Marsilam Pandangan Negara Integralistik. Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Anem Kosong Anem. Syamsul, Chorib. dkk Materi Pokok Pancasila, Bahan Diklat Ujian Dinas Tingkat I tahun Suyanti, Sri., Kebijakan Moneter: Sanering Dalam Menahan Laju Inflasi Pada Sistem Ekonomi Terpimpin (Depok: Universitas Indonesia, Tesis S-2 pada Fakultas Ilmu

186 Budaya Universitas Indonesia, 2004). Starke. J.G., An Introduction to International Law, london, 1958, dalam F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : Binacipta, Strategi Pertahanan Negara. Stewart, J.D., The Role of Information in Public Accountability, dalam Anthony Hopwoord and Cyril R. Tomkins, eds., Issues in Public Sector Accounting, Oxford, England: Phillip Alan Subur Budhisantosa, Kebudayaan Nasional dan Kebangsaan Indonesia,(Jakarta : Puslit Pranata Pembangunan UI, Subur Budhisantosa, Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia yang Maju dan Mandiri, Jakarta : Puslit Pranata Pembangunan UI, Subur Budhisantosa, Masyarakat Majemuk Indonesia yang Demokratis dan Mandiri, Jakarta : Puslit Pranata Pembangunan UI, Subur Budhisantosa, Paradigma Sosial dan Kebudayaan dalam Pembangunan Nasional dan Daerah, Jakarta : Puslit Pranata Pembangunan UI, Subur Budhisantosa, Pembangunan dan Gerakan Sosial, Jakarta : Puslit Pranata Pembangunan UI, Subur Budhisantosa, Identifikasi Masalah dalam Perubahan Sosial dan Strategi Penanggulangan Konflik, Jakarta : Puslit Pranata Pembangunan UI, Subur Budhisantosa, Pancasila dan Kebangsaan dalam Masyarakat Majemuk dengan Keanekaragaman kebudayaan, Jakarta : Puslit Pranata Pembangunan UI, Sudarto, Drs. M.Si, Modul Konflik dan Integrasi, Badiklat Dephan, Sudarto, Drs. M.Si, Modul Multikulturalisme dan Nasionalisme, Badiklat Dephan, Sudarto, Drs. M.Si, Modul Pertahanan Negara, Badiklat Dephan, 2009 Sudarto, Drs. M.Si, Naskah awal Vandemenkum Keamanan Nasional, 2008 Sugiarto E, Psikologi Pelayanan Dalam Industri Jasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Suharto, M. Hum., Gerakan rakyat Indonesia : Wajah Baru Pergerakan Nasional Indonesia, (Depok: FSUI, 1996) Sukanto R., Organisasi Perusahaan Teori, Struktur dan perilaku, BPFE, Yogyakarta, 1989; Supriatna, Tjaya, Drs. SU., Administrasi Birokrasi Pelayanan Publik. PT. Nimas Multima, Sutopo & S, Sugiyanti, Pelayanan Prima, Lembaga Administrasi Negara RI, Jakarta Suyoto Usman, Integrasi Nasional dan Ketahanan Nasional, dalam Ichlasul Amal dan Armaidy Armawi, Sumbangan Ilmu Sosial terhadap Konsepsi Ketahanan 12 Nasional, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, Syafiie, Inu Kencana, Djamaludin Tandjung, dan Supardan Mordeong, Ilmu Administrasi Publik, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, Soyomukti, Nurani., Sukarno & Nasakom (Jakarta: Garasi, 2008), Cetakan I, Desember Soyomukti,., Sukarno Otoriter? (Jakarta: Garasi House of Book, 2010), Cetakan I, April Tirtoprojo, Susanto., Sejarah Nasional Indonesia, (Jakarta: PT. Pembangunan Jakarta Gunung Sahari, 1970) Tim Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Varshney Ashutosh, Ethnic Conflict And Civic Life: Hindus And Muslims In India, USA : Yale University Press, The Departement of Information.,The Fourth Asian Game s (Jakarta:Percetakan Negara d/h De Unie, 1962). Tjiptono F & A Diana, Total Quality Management, Andi Yogyakarta Tjokroamidjojo, Bintoro, Good Governance, Paradigma Baru Manajemen Pembangunan, Jakarta : UI Press, Tjokroamidjojo, Bintoro, Pengembangan Sistem dan Penyempumaan Administrasi Negara dalam Pembangunan Nasional, YPA, Jakarta, 1986; Todaro, Michael, Economic Development, Addison Wesley, UNDP, Governance for Sustainable Development A Policy Document, New York : UNDP, Undang-Undang RI, Nomor : 17 tahun 1985, tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut Internasional. Undang-Undang RI, Nomor : 12 tahun 2006, tentang Warga Negara Indonesia. Undang-Undang RI, Nomor: 3 tahun 2002, tentang Pertahanan Negara. 13 Undang-Undang RI, Nomor : 34 tahun 2004, tentang Tentara Nasional Indonesia. Undang- Undang RI, Nomor : 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Terluar. Undang-Undang RI, Nomor : 43 tahun 2008, tentang Wilayah Negara. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya (Amandemen I, II, III, dan IV). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan peraturan perundangundangan Utami, Rita., Masalah Politik di Indonesia dan Pembiayaan Ekonominya: Beberapa Aspek Dilematik Dari Pembangunan Politik dan Ekonomi, (Depok: Universitas Indonesia, Skripsi pada Fakultas Sastra

187 Universitas Indonesia, 1994). Wallis, Malcolm, Bureaucracy: Its Roles In The Third World Development, Basingstoke: London, McMillan Publisher Ltd, Wan Usman, Daya Tahan Bangsa, Jakarta : Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, Watson, C.W., Multiculturalism, Buckingham-Philadelphia : Open University Press, 2000 Weiner Myron, Political Participation : Crisis of the Political Process, dalam Nicolaus Teguh Budi Harjanto, Memajukan Demokrasi mencegah Disintegrasi, sebuah wacana Pembangunan Politik, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Welch Claude E., Studi Perbandingan Modernisasi Politik, dalam Nicolaus Teguh Budi Harjanto, Memajukan Demokrasi mencegah Disintegrasi, sebuah wacana Pembangunan Politik, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, Wellington P, Kaizen Strategies For Customer Care. Interaksara, Jakarta, Wilopo, S.H., Jaman Pemerintahan Partai-Partai dan Kelemahan-kelemahannya (Jakarta: Idayu, 1978).

188

SEBAB MUNCULNYA NASIONALISME

SEBAB MUNCULNYA NASIONALISME NASIONALISME Nasionalisme diartikan sebagai perangkat nilai atau sistem legitimasi baru yang mendasari berdirinya sebuah negara baru Dekolonisasi diartikan sebagai proses menurunnya kekuasaan negara-negara

Lebih terperinci

SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN

SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN i SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN Diklat Kepemimpinan di lingkungan Kementerian Pertahanan memiliki nilai strategis karena menjadi acuan dalam proyeksi pengisian kebutuhan jabatan terkait dengan pembinaan

Lebih terperinci

Kajian IPS Mengenai Zaman Pergerakan Nasional

Kajian IPS Mengenai Zaman Pergerakan Nasional Kajian IPS Mengenai Zaman Pergerakan Nasional Oleh: Didin Saripudin Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Konsep IPS-Sejarah dalam Memaknai Zaman Pergerakan Nasional di Indonesia

Lebih terperinci

DIKLAT UJIAN DINAS TINGKAT I MODUL SEJARAH INDONESIA OLEH: TIM PUSDIKLAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

DIKLAT UJIAN DINAS TINGKAT I MODUL SEJARAH INDONESIA OLEH: TIM PUSDIKLAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DIKLAT UJIAN DINAS TINGKAT I MODUL SEJARAH INDONESIA OLEH: TIM PUSDIKLAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSDIKLAT PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

DIKLAT UJIAN DINAS TINGKAT I MODUL SEJARAH INDONESIA OLEH: AMIN RAHAYU

DIKLAT UJIAN DINAS TINGKAT I MODUL SEJARAH INDONESIA OLEH: AMIN RAHAYU DIKLAT UJIAN DINAS TINGKAT I MODUL SEJARAH INDONESIA OLEH: AMIN RAHAYU KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSDIKLAT PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA JAKARTA

Lebih terperinci

ZAMAN PERGERAKAN NASIONAL

ZAMAN PERGERAKAN NASIONAL ZAMAN PERGERAKAN NASIONAL Faktor ekstern dan intern lahirnya nasionalisme Indonesia. Faktor ekstern: Kemenangan Jepang atas Rusia tahun 1905 yang menyadarkan dan membangkitkan bangsa-bangsa Asia untuk

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA

PERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA PERKEMBANGAN PERGERAKAN KEBANGSAAN INDONESIA A. LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERGERAKAN KEBANGSAAN Politik DRAINAGE Belanda mengeruk kekayaan dari negara Indonesia untuk kepentingan dan kesejahteraan negara

Lebih terperinci

PERJUANGAN PERGERAKAN BANGSA INDONESIA. Taat, Nasionalisme dan Jatidiri Bangsa,

PERJUANGAN PERGERAKAN BANGSA INDONESIA. Taat, Nasionalisme dan Jatidiri Bangsa, PERJUANGAN PERGERAKAN BANGSA INDONESIA Budi Utomo Tanda-tanda lahirnya gerakan nasional yang teratur mulai tampak saat Budi Utomo mucul pada tahun 20 Mei 1908. Perkumpulan ini beranggotakan kaum intelektual

Lebih terperinci

BAB 6: SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL

BAB 6: SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL www.bimbinganalumniui.com 1. Kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang tahun 1904 1905 membuktikan bahwa Jepang sanggup menyamai bahkan melebihi salah satu negara Barat. Kemenangan Jepang tahun 1905 menyadarkan

Lebih terperinci

SOAL PERGERAKAN NASIONAL IPS KELAS X

SOAL PERGERAKAN NASIONAL IPS KELAS X SOAL PERGERAKAN NASIONAL IPS KELAS X Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar! 1. Budi Utomo disebut sebagai organisasi pelopor Pergerakan Nasional, karena a. Corak perjuangannya terorganisir dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak masuknya bangsa Belanda dan tata-hukumnya di nusantara tahun 1596

I. PENDAHULUAN. Sejak masuknya bangsa Belanda dan tata-hukumnya di nusantara tahun 1596 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak masuknya bangsa Belanda dan tata-hukumnya di nusantara tahun 1596 berlakulah dualisme hukum di Indonesia, yaitu di samping berlakunya hukum Belanda kuno

Lebih terperinci

Siapa pendiri SDI??? Tirto Adisuryo pernah mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Bogor 1909 Tirto mendapat dukungan dari keluarga Badjanet

Siapa pendiri SDI??? Tirto Adisuryo pernah mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Bogor 1909 Tirto mendapat dukungan dari keluarga Badjanet Sarekat Islam Siapa pendiri SDI??? Tirto Adisuryo pernah mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Bogor 1909 Tirto mendapat dukungan dari keluarga Badjanet (keturunan arab) Tujuan SDI Bogor adalah meningkatkan

Lebih terperinci

Nasionalisme Liberalisme Sosialisme Demokrasi Pan-Islamisme

Nasionalisme Liberalisme Sosialisme Demokrasi Pan-Islamisme Nasionalisme Liberalisme Sosialisme Demokrasi Pan-Islamisme Nasionalisme berasal dari kata nation(bahasa Inggris) dan natie (bahasa Belanda) yang berarti bangsa. sebab-sebab munculnya perasaan nasionalisme

Lebih terperinci

ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL ENCEP SUPRIATNA

ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL ENCEP SUPRIATNA ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL ENCEP SUPRIATNA BUDI UTOMO (1908) Digagas oleh dr.wahidin Sudirohusodo untuk dapat menghimpun dana tahun 1906/1907 melakukan propaganda keliling Jawa untuk meluaskan pengajaran

Lebih terperinci

Strategi Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Bangsa Barat Sebelum dan Setelah Abad 20

Strategi Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Bangsa Barat Sebelum dan Setelah Abad 20 Strategi Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Bangsa Barat Sebelum dan Setelah Abad 20 Anggota kelompok 3: 1. Ananda Thalia 2. Budiman Akbar 3. Farrel Affieto 4. Hidayati Nur Trianti Strategi Perlawanan

Lebih terperinci

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Modul ke: Fakultas FAKULTAS TEKNIK PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA ERA KEMERDEKAAN BAHAN TAYANG MODUL 3B SEMESTER GASAL 2016 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB I PARTAI POLITIK PADA MASA PENJAJAHAN

BAB I PARTAI POLITIK PADA MASA PENJAJAHAN BAB I PARTAI POLITIK PADA MASA PENJAJAHAN Kepartaian yang terjadi di Indonesia, sudah mulai tumbuh dan berkembang sejak masa kolonial Belanda, untuk hal yang menarik untuk disimak dalam buku ini, dimulai

Lebih terperinci

GERAKAN KEBANGSAAN DI INDONESIA SAKINA MAWARDAH

GERAKAN KEBANGSAAN DI INDONESIA SAKINA MAWARDAH GERAKAN KEBANGSAAN DI INDONESIA SAKINA MAWARDAH PAHAM-PAHAM YANG MENDASARI MUNCULNYA PERGERAKAN NASIONAL NASIONALISME Perasaan cinta terhadap bangsa dan tanah airnya, timbul karena adanya kesamaan sejarah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad XX merupakan sebuah zaman baru dalam politik kolonial yang dengan diberlakukannya politik etis. Politik etis merupakan politis balas budi Kolonial dengan

Lebih terperinci

SEJARAH INDONESIA MATERI UJIAN DINAS TINGKAT I DAN II DISUSUN OLEH : TIM BAGIAN PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PEGAWAI

SEJARAH INDONESIA MATERI UJIAN DINAS TINGKAT I DAN II DISUSUN OLEH : TIM BAGIAN PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PEGAWAI SEJARAH INDONESIA MATERI UJIAN DINAS TINGKAT I DAN II DISUSUN OLEH : TIM BAGIAN PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PEGAWAI BIRO KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT JENDERAL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN JL. Medan Merdeka

Lebih terperinci

PKN 1 RANGKUMAN SEJARAH SUMPAH PEMUDA, MAKNA DAN ARTI PENTING SUMPAH PEMUDA

PKN 1 RANGKUMAN SEJARAH SUMPAH PEMUDA, MAKNA DAN ARTI PENTING SUMPAH PEMUDA PKN 1 RANGKUMAN SEJARAH SUMPAH PEMUDA, MAKNA DAN ARTI PENTING SUMPAH PEMUDA NOVI TRISNA ANGGRAYNI NIM 14144600199 PGSD A5-14 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA 2014 A. Istilah

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI TENGAH

GUBERNUR SULAWESI TENGAH GUBERNUR SULAWESI TENGAH UPACARA GABUNGAN DINAS, BADAN, BIRO DAN KANTOR DILINGKUP PEMERINTAH DAERAH PROVINSI SULAWESI TENGAH DIRANGKAIKAN PERINGATAN HARI KEBANGKITAN NASIONAL KE-103 JUM AT, 20 MEI 2011

Lebih terperinci

Komunisme dan Pan-Islamisme

Komunisme dan Pan-Islamisme Komunisme dan Pan-Islamisme Tan Malaka (1922) Penerjemah: Ted Sprague, Agustus 2009 Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxis Indonesia Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke-empat

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pada bab V, penulis memaparkan kesimpulan dan rekomendasi dari hasil penelitian secara keseluruhan yang dilakukan dengan cara studi literatur yang data-datanya diperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun

I. PENDAHULUAN. sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perjuangan bangsa Indonesia untuk menciptakan keadilan bagi masyarakatnya sejak jaman kemerdekaan berkali-kali menghadapi ujian. Pada tahun 1950-1959 di Indonesia berlaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia di jajah oleh bangsa Eropa kurang lebih 350 tahun atau 3.5 abad, hal ini di hitung dari awal masuk sampai berakhir kekuasaannya pada tahun 1942. Negara eropa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan yang diberlakukan oleh

I. PENDAHULUAN. Kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan yang diberlakukan oleh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda memang membuka kesempatan banyak bagi pemudapemuda Indonesia

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR

ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR BAB I NAMA, WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Organisasi ini bernama TUNAS INDONESIA RAYA disingkat TIDAR, selanjutnya disebut Organisasi. 2. Organisasi ini

Lebih terperinci

MASA BERTAHAN PERGERAKAN NASIONAL MENJELANG RUNTUHNYA HINDIA BELANDA ( ) PENDAHULUAN

MASA BERTAHAN PERGERAKAN NASIONAL MENJELANG RUNTUHNYA HINDIA BELANDA ( ) PENDAHULUAN MASA BERTAHAN PERGERAKAN NASIONAL MENJELANG RUNTUHNYA HINDIA BELANDA (1930-1942) PENDAHULUAN Sejarah Indonesia sejak tahun 1908 memulai babak baru, yaitu babak pergerakan nasional. Hal itu ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB 7: SEJARAH PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA. PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI

BAB 7: SEJARAH PENDUDUKAN JEPANG DI INDONESIA.  PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI www.bimbinganalumniui.com 1. Berikut ini adalah daerah pertama di yang diduduki oleh tentara Jepang... a. Aceh, Lampung, Bali b. Morotai, Biak, Ambon c. Tarakan, Pontianak, Samarinda d. Bandung, Sukabumi,

Lebih terperinci

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. 13. Mata Pelajaran Sejarah Untuk Paket C Program IPS A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau

Lebih terperinci

MAKALAH SUMPAH PEMUDA

MAKALAH SUMPAH PEMUDA MAKALAH SUMPAH PEMUDA i KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-nya kepada kami semua sehingga dapat menyelesaikan makalah Sejarah

Lebih terperinci

KD: Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan. Oleh Zuyyinatul Aslikhah ( ) S1 Pend. Sejarah B 2014

KD: Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan. Oleh Zuyyinatul Aslikhah ( ) S1 Pend. Sejarah B 2014 KD: Menganalisis Perjuangan Organisasi Pergerakan Kebangsaan Oleh Zuyyinatul Aslikhah (14040284083) S1 Pend. Sejarah B 2014 BENTUK-BENTUK ORGANISASI PERGERAKAN Perhimpunan Indonesia: Manifesto Politik

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing.

BAB I. PENDAHULUAN. bangsa Indonesia setelah lama berada di bawah penjajahan bangsa asing. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 yang diucapkan oleh Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia merupakan tonggak sejarah berdirinya

Lebih terperinci

LATIHAN SOAL SEJARAH Perjuangan Bangsa ( waktu : 30 menit )

LATIHAN SOAL SEJARAH Perjuangan Bangsa ( waktu : 30 menit ) Langkah untuk mendapatkan kunci jawaban dan pembahasan download di Latihan Soal CPNS Sejarah (Perjuangan Bangsa Kode D) ferryandriyanto, S. Pd. 1. Kekecewaan Kahar Muzakar karena keinginannya menggabungkan

Lebih terperinci

Rangkuman Materi Ajar PKn Kelas 6 MATERI AJAR

Rangkuman Materi Ajar PKn Kelas 6 MATERI AJAR Rangkuman Materi Ajar PKn Kelas 6 MATERI AJAR Mata Pelajaran : Pendidikan Kewarganegaraan Kelas/Semester : VI / I Alokasi Waktu : 6 x 35 Menit Standar Kompetensi 1. Menghargai nilai-nilai juang dalam proses

Lebih terperinci

PANCASILA DALAM SEJARAH PERJUANGAN BANGSA

PANCASILA DALAM SEJARAH PERJUANGAN BANGSA Modul ke: PANCASILA DALAM SEJARAH PERJUANGAN BANGSA Fakultas Teknik Program Studi Teknik Industri www.mercubuana.ac.id DR. Rais Hidayat, M.Pd Kompetensi Mahasiswa dapat mengetahui sejarah Pancasila Mahasiswa

Lebih terperinci

Indikator. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Materi Pokok dan Uraian Materi. Bentuk-bentukInteraksi Indonesia-Jepang.

Indikator. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Materi Pokok dan Uraian Materi. Bentuk-bentukInteraksi Indonesia-Jepang. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Materi Pokok dan Uraian Materi Indikator Bentuk-bentukInteraksi Indonesia-Jepang Dampak Kebijakan Imperialisme Jepang di Indonesia Uji Kompetensi 2. Kemampuan memahami

Lebih terperinci

Gambar: Pertemuan pemuda Indonesia

Gambar: Pertemuan pemuda Indonesia Pada 1908, rakyat Indonesia mulai memiliki kesadaran untuk bersatu melawan penjajah. Para pemuda di berbagai wilayah di Indonesia mulai mem bentuk per kum pulan untuk menentang penjajah. Perkumpulan pemuda

Lebih terperinci

PENGARUH PERHIMPUNAN INDONESIA TERHADAP PERGERAKAN NASIONAL DI INDONESIA TAHUN SKRIPSI. Oleh. Chita Putri Lustiahayu NIM

PENGARUH PERHIMPUNAN INDONESIA TERHADAP PERGERAKAN NASIONAL DI INDONESIA TAHUN SKRIPSI. Oleh. Chita Putri Lustiahayu NIM PENGARUH PERHIMPUNAN INDONESIA TERHADAP PERGERAKAN NASIONAL DI INDONESIA TAHUN 1908-1928 SKRIPSI Oleh Chita Putri Lustiahayu NIM 090210302024 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka, bebas dan jujur.tetapi pemilihan umum 1955 menghasilkan

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM.

PEDOMAN PRAKTIKUM. PEDOMAN PRAKTIKUM 1 PENGEMBANGAN SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SEJARAH Oleh : SUPARDI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN

Lebih terperinci

KISI-KISI SEJARAH KELAS XI IPS

KISI-KISI SEJARAH KELAS XI IPS 2.1. Menganalisis Kolonialisme dan Imperialisme Perkembangan Pengaruh Barat di Barat dan Perubahan Merkantilisme dan Ekonomi, dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat di pada masa Kolonial Demografi, Kapitalisme

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR ISI DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 BAB II ISI... 4 2.1 Pengertian Sistem Pemerintahan... 2.2 Sistem Pemerintahan Indonesia 1945 s.d.1949...

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis BAB V PENUTUP 1.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Dampak Nasakom Terhadap Keadaan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1966, penulis menarik kesimpulan bahwa Sukarno sebagi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. permasalahan penelitian yang terdapat pada bab 1. Beberapa hal pokok yang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. permasalahan penelitian yang terdapat pada bab 1. Beberapa hal pokok yang BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan ini merupakan inti pembahasan yang disesuaikan dengan permasalahan penelitian yang terdapat pada bab 1. Beberapa hal pokok yang menjadi kesimpulan

Lebih terperinci

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) 66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan

Lebih terperinci

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara kepulauan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut bebas di antara pulau-pulau di Indonesia. Laut bebas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan

Lebih terperinci

MODUL POLA KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL HINGGA KEMERDEKAAN MATERI : HUBUNGAN POLITIK ETIS DENGAN PERGERAKAN NASIONAL

MODUL POLA KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL HINGGA KEMERDEKAAN MATERI : HUBUNGAN POLITIK ETIS DENGAN PERGERAKAN NASIONAL MODUL POLA KEHIDUPAN BANGSA INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL HINGGA KEMERDEKAAN MATERI : HUBUNGAN POLITIK ETIS DENGAN PERGERAKAN NASIONAL Fredy Hermanto, S. Pd., M.Pd. PPG DALAM JABATAN Kementerian

Lebih terperinci

Ebook dan Support CPNS Ebook dan Support CPNS. Keuntungan Bagi Member cpnsonline.com:

Ebook dan Support CPNS   Ebook dan Support CPNS. Keuntungan Bagi Member cpnsonline.com: SEJARAH NASIONAL INDONESIA 1. Tanam paksa yang diterapkan pemerintah colonial Belanda pada abad ke-19 di Indonesia merupakan perwujudan dari A. Dehumanisasi masyarakat Jawa B. Bekerjasama dengan Belanda

Lebih terperinci

KISI-KISI PEDAGOGIK UKG 2015 SEJARAH STANDAR KOMPETENSI GURU KOMPETENSI GURU MATA PELAJARAN/KELAS/KEAHLIAN/BK

KISI-KISI PEDAGOGIK UKG 2015 SEJARAH STANDAR KOMPETENSI GURU KOMPETENSI GURU MATA PELAJARAN/KELAS/KEAHLIAN/BK KISI-KISI UKG 2015 SEJARAH Indikator Pencapaian b c d e 1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, 1.1 Memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT PANJA RUU APARATUR SIPIL NEGARA KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan,

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA ORGANISASI SAYAP PEMUDA PARTAI PERINDO Jakarta, 17 Desember 2015 ANGGARAN DASAR & ANGGARAN RUMAH TANGGA PEMUDA PERINDO PEMBUKAAN Pemuda Indonesia sebagai salah

Lebih terperinci

Sejarah Penjajahan Indonesia

Sejarah Penjajahan Indonesia Sejarah Penjajahan Indonesia Masa penjajahan Indonesia tidak langsung dimulai ketika orang-orang Belanda pertama kali menginjakkan kaki di Nusantara pada akhir abad ke-16. Sebaliknya, proses penjajahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1 S N I V

BAB I PENDAHULUAN 1 S N I V BAB I PENDAHULUAN Buku modul bahan pembelajaran sejarah ini berjudul Sejarah Nasional Indonesia V. Penulisan modul Sejarah Nasional Indonesia V ini bertujuan untuk memberikan penjelasan dan penguraian

Lebih terperinci

Presiden Seumur Hidup

Presiden Seumur Hidup Presiden Seumur Hidup Wawancara Suhardiman : "Tidak Ada Rekayasa dari Bung Karno Agar Diangkat Menjadi Presiden Seumur Hidup" http://tempo.co.id/ang/min/02/18/nas1.htm Bung Karno, nama yang menimbulkan

Lebih terperinci

LATIHAN SOAL SEJARAH Perjuangan Bangsa ( waktu : 30 menit)

LATIHAN SOAL SEJARAH Perjuangan Bangsa ( waktu : 30 menit) Langkah untuk mendapatkan kunci jawaban dan pembahasan download di Ferry Andriyanto, S. Pd. 1. Sekolah Istri didirikan pada tanggal a. 16 Januari 1904 b. 15 Februari 1904 c. 14 Maret 1903 d. 13 April 1903

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI SELAKU KETUA UMUM PERINGATAN HARKITNAS TAHUN 2012

SAMBUTAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI SELAKU KETUA UMUM PERINGATAN HARKITNAS TAHUN 2012 SAMBUTAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA RI SELAKU KETUA UMUM PERINGATAN HARKITNAS TAHUN 2012 Assalamu alaikum Warakhmatullahi Wabarokhatuh. Selamat Pagi, dan Salam Sejahtera bagi kita semua. Saudara-saudara

Lebih terperinci

SEKILAS SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL

SEKILAS SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL SEKILAS SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL Oleh: Yustina Hastrini Nurwanti (Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta) I.Pendahuluan Kebangkitan nasional adalah masa di mana bangkitnya rasa dan semangat persatuan,

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA

PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA PEMBENTUKAN TIM PENGAWAS INTELIJEN NEGARA SEBAGAI AMANAT UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 24 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014

Lebih terperinci

Para pendiri Tri Koro Dharmo adalah dr. Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman, Sunardi, dan beberapa pemuda lainnya yang semuanya berasal dari Jawa.

Para pendiri Tri Koro Dharmo adalah dr. Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman, Sunardi, dan beberapa pemuda lainnya yang semuanya berasal dari Jawa. PERJUANGAN PEMUDA Pergerakan nasional untuk mencapai Indonesia merdeka dikenal melalui tiga generasi, yaitu generasi '08, generasi '28, dan generasi '45. Tiga generasi perjuangan tersebut semuanya diawali

Lebih terperinci

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) 66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia

I. PENDAHULUAN. perhatian yang khusus. Perjuangan dalam pergerakan kebangsaan Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Abad ke 20 bukan hanya menjadi saksi perjuangan bangsa Indonesia, akan tetapi dalam hal gerakan-gerakan anti penjajahan yang bermunculan di masa ini menarik perhatian

Lebih terperinci

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Anggaran Dasar Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH Bahwa kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat adalah salah satu hak asasi manusia yang sangat

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Tugas Akhir Matakuliah Pancasila SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

Tugas Akhir Matakuliah Pancasila SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA Tugas Akhir Matakuliah Pancasila SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 Nama : Muhammad Anis NIM : 11.11.5300 Kelompok : E Jurusan S1 TI Dosen : Abidarin Rosidi, Dr, M.Ma. ABSTRAKSI Artinya

Lebih terperinci

B. Peran Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

B. Peran Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia B. Peran Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Gambar 5.8 merupakan salah satu bentuk upaya mewariskan nilai- nilai perjuangan di suatu daerah kepada generasi yang tidak mengalami perjuangan

Lebih terperinci

: SARJANA/DIPLOMA. PETUNJUK KHUSUS Pilihlah salah satu jawaban yang saudara anggap paling tepat diantara 5 pilihan yang tersedia

: SARJANA/DIPLOMA. PETUNJUK KHUSUS Pilihlah salah satu jawaban yang saudara anggap paling tepat diantara 5 pilihan yang tersedia MATA UJIAN BIDANG TINGKAT : P.ENGETAHUAN UMUM : SEJARAH : SARJANA/DIPLOMA PETUNJUK UMUM 1) Dahulukan menulis nama dan nomor peserta pada lembar jawaban 2) Semua jawaban dikerjakan di lembar jawaban yang

Lebih terperinci

Kontroversi Agama dan Pancasila

Kontroversi Agama dan Pancasila Kontroversi Agama dan Pancasila Tugas Akhir Pancasila STMIK Amikom Yogyakarta Disusun Oleh : Dosen : : M Khalis Purwanto, Drs, MM Nama : HANANDA RISZKY PRATAMA Nim : 11.02.7959 ABSTRAK Agama mampu membangun

Lebih terperinci

TUGAS KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH

TUGAS KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH TUGAS KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA DALAM KONTEKS SEJARAH Abidarin Rosidi, Dr, M.Ma. Disusun Oleh : Richi Ardianto 11.11.5468 Kelompok F S1 TI SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

Lebih terperinci

SILABUS DAN RPP MATA KULIAH SEJARAH INDONESIA BARU PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH S1

SILABUS DAN RPP MATA KULIAH SEJARAH INDONESIA BARU PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH S1 SILABUS DAN RPP MATA KULIAH SEJARAH INDONESIA BARU PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH S1 FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL SILABUS Fakultas

Lebih terperinci

B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA

B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA B A B III KEADAAN AWAL MERDEKA A. Sidang PPKI 18 19 Agustus 1945 Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 hanya menyatakan Indonesia sudah merdeka dalam artian tidak mengakui lagi bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan

BAB I PENDAHULUAN. Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bulan September tahun 1948 merupakan saat-saat yang tidak akan terlupakan oleh masyarakat kota Madiun, terutama bagi umat Islam di Madiun. Pada bulan September tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2008 TENTANG KEMENTERIAN NEGARA Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan

Lebih terperinci

PERANAN ORGANISASI POLITIK

PERANAN ORGANISASI POLITIK PERANAN ORGANISASI POLITIK Dalam perjuangan mencapai kemerdekaan, bangsa Indonesia menempuh melalui berbagai bidang. Yaitu bidang budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Di antara bidangbidang tersebut,

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR

ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR ANGGARAN DASAR Tunas Indonesia Raya TIDAR BAB I NAMA, WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 1. Organisasi ini bernama TUNAS INDONESIA RAYA disingkat TIDAR, selanjutnya disebut Organisasi. 2. Organisasi ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan telah terjadi sejak kedatangan penjajah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan telah terjadi sejak kedatangan penjajah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan telah terjadi sejak kedatangan penjajah Barat di Nusantara. Perjuangan itu berawal sejak kedatangan bangsa Portugis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. historis. Dalam kamus besar bahasa Indonesia tinjauan berarti menjenguk,

II. TINJAUAN PUSTAKA. historis. Dalam kamus besar bahasa Indonesia tinjauan berarti menjenguk, 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Konsep Tinjauan Historis Pada dasarnya konsep tinjauan historis terdiri dari atas dua kata yaitu tinjauan dan historis. Dalam kamus besar bahasa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PNDAHULUAN. Jepang dalam Perang Raya Asia Timur tahun Namun, ditengah tengah

BAB I PNDAHULUAN. Jepang dalam Perang Raya Asia Timur tahun Namun, ditengah tengah 1 BAB I PNDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kemerdekaan Indonesia diperoleh dengan perjuangan yang tidak mudah. Perjuangan tersebut lebih dikenal dengan sebutan revolusi nasional Indonesia. Revolusi nasional

Lebih terperinci

PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAHAN

PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAHAN PERJUANGAN MELAWAN PENJAJAHAN Saya siswa kelas 5A Siap Belajar dengan Tenang dan Tertib dan Antusias Pada abad ke-16 berlayarlah bangsa-bangsa Eropa ke wilayah Timur. Diantaranya adalah Portugis, Spanyol,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MELAWI NOMOR 12 TAHUN 2011 T E N T A N G KETERBUKAAN INFORMASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Bandung merupakan sebuah kota yang terletak di Propinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu bagian wilayah di Negara Indonesia. Kota ini dalam sejarahnya

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA I. UMUM Dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang

I. PENDAHULUAN. dalamnya. Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu maka seluruh komponen yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan suatu negara untuk menjadi lebih baik dari aspek kehidupan merupakan cita-cita dan sekaligus harapan bagi seluruh rakyat yang bernaung di dalamnya.

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5494 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI ADMINISTRASI. Kepegawaian. Aparatur Sipil Negara. Manajemen. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk melindungi segenap bangsa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negarawan merupakan karakter yang sangat penting bagi kepemimpinan nasional Indonesia. Kepemimpinan negarawan diharapkan dapat dikembangkan pada pemimpin pemuda Indonesia

Lebih terperinci

Sambutan Presiden RI pd Pembukaan Kongres XXI PGRI dan Guru Indonesia 2013, 3 Juli 2013, di Jakarta Rabu, 03 Juli 2013

Sambutan Presiden RI pd Pembukaan Kongres XXI PGRI dan Guru Indonesia 2013, 3 Juli 2013, di Jakarta Rabu, 03 Juli 2013 Sambutan Presiden RI pd Pembukaan Kongres XXI PGRI dan Guru Indonesia 2013, 3 Juli 2013, di Jakarta Rabu, 03 Juli 2013 SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PADA PEMBUKAAN KONGRES XXI PGRI DAN KONGRES GURU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan Indonesia. Berhubung dengan masih buruk dan minimnya sarana dan prasarana

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan Indonesia. Berhubung dengan masih buruk dan minimnya sarana dan prasarana BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Setelah Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta oleh Ir.Soekarno dan Drs.Muhammad Hatta, seluruh tanah air pun menggegap gempita

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR IKATAN PEMUDA TIONGHOA INDONESIA PEMBUKAAN

ANGGARAN DASAR IKATAN PEMUDA TIONGHOA INDONESIA PEMBUKAAN ANGGARAN DASAR IKATAN PEMUDA TIONGHOA INDONESIA PEMBUKAAN Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa : Bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang terpadu menjadi bangsa yang besar adalah anugerah Tuhan

Lebih terperinci

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD)

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD) KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA No (IPK) 1 Pedagogik Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, kultural, emosional, dan intelektual Memahami karakteristik peserta

Lebih terperinci

KISI KISI UJIAN SEKOLAH BERBASIS KOMPUTER TAHUN NO. KOMPETENSI DASAR KLS NO SOAL Memahami corak kehidupan masyarakat pada zaman praaksara

KISI KISI UJIAN SEKOLAH BERBASIS KOMPUTER TAHUN NO. KOMPETENSI DASAR KLS NO SOAL Memahami corak kehidupan masyarakat pada zaman praaksara KISI KISI UJIAN SEKOLAH BERBASIS KOMPUTER TAHUN 2017 Mata Pelajaran Penyusun Soal :SEJARAH INDONESIA : DRS. LADU NO. KOMPETENSI DASAR KLS NO SOAL 1. 3.2 Memahami corak kehidupan masyarakat pada zaman praaksara

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI

PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI PEMERINTAH KABUPATEN NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI,

Lebih terperinci

PENGARUH LIMA ALIRAN TERHADAP KEPEMIMPINAN DI INDONESIA. Novia Kencana, MPA Universitas Indo Global Mandiri

PENGARUH LIMA ALIRAN TERHADAP KEPEMIMPINAN DI INDONESIA. Novia Kencana, MPA Universitas Indo Global Mandiri PENGARUH LIMA ALIRAN TERHADAP KEPEMIMPINAN DI INDONESIA Novia Kencana, MPA Universitas Indo Global Mandiri LIMA ALIRAN PEMIKIRAN POLITIK DI INDONESIA Terdapat lima aliran pemikiran politik di Indonesia,

Lebih terperinci

SEJARAH & MAKNA SUMPAH PEMUDA. Ari Wibowo, M.Pd

SEJARAH & MAKNA SUMPAH PEMUDA. Ari Wibowo, M.Pd SEJARAH & MAKNA SUMPAH PEMUDA Ari Wibowo, M.Pd Jaman Pergerakan Nasional Pergerakan nasional mrp bagian dari sejarah Indonesia yg dimulai sejak lahirnya organisasiorganisasi modern sampai terbentuknya

Lebih terperinci