PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR SEBAGAI WATERFRONT CITY NURFAIDA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR SEBAGAI WATERFRONT CITY NURFAIDA"

Transkripsi

1 PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR SEBAGAI WATERFRONT CITY NURFAIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2009 Nurfaida A

3 ABSTRACT NURFAIDA. Development and Landscape Management Plan of Makassar Coastal as a Waterfront City. Under supervision of HADI SUSILO ARIFIN and ARIS MUNANDAR. Makassar with 36.1 km seashore length lies has lots of potential on the terrestrial and aquatic landscapes, e.g. recreation spot, mangrove forest, fisheries and coral areas. However, due to rapid population growth and the need of different urban facilities, various environmental change was occurred. The objects of this research are 1) to evaluate coastal landscape based on biophysical, social economy factors, its natural beauty and amenity in order to gain the best land use, and 2) to draw recommendations for development and management coastal area as waterfront city. The methods were applied on this research was exponential comparison method to evaluate cost-benefit, evaluation of land suitability with geographical information system (GIS) approach, aesthetical analysis with scenic beauty estimation (SBE) and amenity analysis. The result showed that Makassar coastal area is a potential region to develop as a waterfront city with the priority for recreational waterfront. Development consideration was drawn by zoning, which are tourism zone of ha (15%) that is used for tourism activities, multi-purpose zone of ha (66%) which is aimed to various activities such as settlement resort, trading center, transportation facilities, etc., and conservation zone of ha (19%) to preserve ecosystem of coastal, marine area and adjacent islands. Landscape management effort should be done with the concept of responsible city strategy. The management program covers management of tourism area, management of multi-purpose area, and management of conservation area. Keywords: coastal area, development, landscape management plan, waterfront city

4 RINGKASAN NURFAIDA. Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan ARIS MUNANDAR. Kota Makassar dengan panjang pantai sekitar 36,1 km memiliki potensi yang tinggi baik di darat maupun di laut, antara lain, obyek rekreasi, hutan mangrove, kekayaan perikanan, tambak, dan terumbu karang. Akan tetapi, akibat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan akan berbagai fasilitas kota telah menimbulkan berbagai perubahan lingkungan, seperti perubahan tata guna lahan, perubahan morfologi pantai, penurunan kualitas perairan, dan kerusakan hutan mangrove. Kawasan pantai dan laut yang merupakan sumber daya milik bersama yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang telah menjadi halaman belakang tempat membuang segala macam limbah dari berbagai aktivitas manusia. Tujuan penelitian adalah 1) mengevaluasi lanskap pantai Kota Makassar berdasarkan aspek biofisik, sosial, ekonomi, keindahan, dan kenyamanan sehingga diperoleh penggunaan lahan terbaik, dan 2) menyusun rekomendasi pengembangan dan pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city. Penelitian dilakukan di kawasan pantai Kota Makassar mencakup tiga kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Mariso, dan Kecamatan Tamalate yang dimulai dari Pantai Losari hingga Pantai Barombong. Penelitian di lapang dilaksanakan mulai Maret sampai Mei Metode yang digunakan adalah metode perbandingan eksponensial (MPE) untuk mengetahui manfaat dan biaya, evaluasi kesesuaian lahan dengan pendekatan analisis spasial sistem informasi geografi (SIG), analisis keindahan dengan metode scenic beauty estimation (SBE), dan analisis kenyamanan. Hasil analisis manfaat biaya menunjukkan bobot dari pengembangan kawasan rekreasi memiliki nilai paling besar (0,274) dibandingkan dengan alternatif pengembangan lainnya, sedangkan pengembangan kawasan pertanian/tambak memiliki nilai paling kecil (0,008). Berdasarkan perhitungan selisih manfaat dan biaya yang akan diperoleh, urutan pertama adalah kawasan rekreasi yang memiliki nilai manfaat paling besar (2,1098), sedangkan kawasan permukiman memiliki nilai manfaat paling kecil (0,0071). Namun, urutan kedua dan seterusnya dari kedua perhitungan tersebut menunjukkan perbedaan urutan. Selanjutnya berdasarkan analisis urutan prioritas manfaat menghasilkan aktivitas rekreasi sebagai prioritas pertama, sedangkan atraksi budaya sebagai prioritas terakhir. Analisis urutan prioritas biaya menghasilkan pemeliharaan infrastruktur sebagai prioritas pertama, sedangkan perubahan nilai sosial budaya sebagai prioritas terakhir. Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan sebagai kawasan wisata pantai, diperoleh hasil luas kawasan yang cukup sesuai adalah 470,8 ha (2,7%), sesuai marginal seluas 1.255,5 ha (7,2%), dan tidak sesuai dengan luas ,7 ha (90,1%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk pengembangan wisata pantai adalah kecerahan perairan. Kesesuaian lahan sebagai kawasan konservasi mangrove menunjukkan hasil kawasan pantai yang sangat sesuai untuk

5 penanaman mangrove seluas 959,1 ha (5,5%), cukup sesuai seluas 488,2 ha (2,8%), sesuai marginal seluas 2.127,3 ha (12,2%), dan tidak sesuai seluas ,4 ha (79,5%), dengan faktor pembatas adalah kondisi drainase. Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman diperoleh hasil yang sangat sesuai seluas 6.661,4 ha (38,2%), cukup sesuai seluas 3.975,6 ha (22,8%), sesuai marginal seluas 192,5 ha (1,1%), dan tidak sesuai seluas 6.607,5 ha (37,9%). Faktor pembatas untuk pengembangan kawasan permukiman adalah kondisi drainase dan kerawanan banjir. Evaluasi kesesuaian untuk kawasan tambak menunjukkan hasil yang sangat sesuai untuk tambak seluas 645,2 ha (3,7%), cukup sesuai seluas 383,6 ha (2,2%), sesuai marginal seluas 2.127,3 ha (12,2%), dan tidak sesuai mencakup hampir seluruh Kota Makassar seluas ,9 ha (81,9%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas adalah pengairan atau drainase. Pantai Kota Makassar memiliki kualitas keindahan lanskap dengan nilai SBE berkisar antara -151 sampai dengan 154. Lanskap yang memiliki nilai SBE paling tinggi adalah Anjungan Bahari, sedangkan lanskap dengan nilai SBE paling rendah adalah Dermaga Tata Maddong. Berdasarkan analisis indeks tingkat kenyamanan (ITN) diperoleh luas kawasan yang memiliki ITN tinggi adalah 297,153 ha (12,05%), ITN sedang seluas 1.846,787 ha (74,89%), dan ITN rendah seluas 322,060 ha (13,06%). Berdasarkan pertimbangan manfaat dan biaya lingkungan, kesesuaian lahan, aspek keindahan, kenyamanan, dan daya dukung, kawasan pantai Kota Makassar memiliki potensi dikembangkan sebagai waterfront city dengan prioritas utama pengembangan sebagai kawasan rekreasi. Rekomendasi pengembangan dan pengelolaan dilakukan dengan strategi the responsible city atau kota berwawasan bijak. Zona pengembangan kawasan pantai Kota Makassar terbagi atas tiga zonasi, yaitu (a) zona pemanfaatan wisata seluas 369,9 ha (15%), (b) zona multipemanfaatan seluas 1.627,6 ha (66%), dan (c) zona konservasi seluas 468,5 ha (19%). Program pengelolaan yang direkomendasikan meliputi (a) pengelolaan kawasan pemanfaatan wisata, (b) pengelolaan kawasan multi-pemanfaatan, dan (c) pengelolaan kawasan konservasi. v

6 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR SEBAGAI WATERFRONT CITY NURFAIDA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Arsitektur Lanskap SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Luky Adrianto

9 Judul Tesis : Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City Nama : Nurfaida NRP : A Program Studi : Arsitektur Lanskap Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. Ketua Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 8 Januari 2009 Tanggal Lulus:

10 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan alam dan seisinya sebagai suatu karunia yang besar dan indah. Dia yang memberikan ketentuan dan peraturan yang tepat untuk memelihara dan merawatnya. Atas segala karunia-nya pulalah tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota Makassar sebagai Waterfront City ini merupakan salah satu syarat menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana yang ditempuh atas Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari DIKTI. Tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan pendanaan oleh Universitas Hasanuddin dan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) melalui beasiswa bantuan dana penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S. dan Dr. Ir. Aris Munandar, M.S. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasehat dalam menyelesaikan tesis ini, serta kepada Dr. Ir. Luky Adrianto sebagai penguji luar komisi atas masukan untuk perbaikan tesis ini. Terima kasih disampaikan kepada Pemerintah Kota Makassar dan instansiinstansi yang terkait, pihak akademis Universitas Hasanuddin, PT. Dann Bintang Gelarrancana khususnya Irwan Anwar Said, SE. M.Si., dan Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada rekan-rekan ARL, Penny Pujowati, Euis Puspita Dewi, Siti Zulfa Yuzni, Wulan Sarilestari, Noril Milantara, Dudun Abdurrahim, Nursalam, dan Andi Chairul Achsan atas persahabatan dan kebersamaannya selama kuliah hingga penyelesaian tugas akhir, serta Dwi Aryanti atas dukungan yang diberikan. Terima kasih yang tidak terhingga kepada keluarga tercinta, Mama, kakak, dan adik atas kasih sayang dan doa tulus yang tidak pernah berhenti, khususnya kepada Amrin Kudus atas motivasi, doa, dan kesabaran yang diberikan selama ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi Pemerintah Kota Makassar dan pihakpihak yang terkait dengan pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar. Bogor, Januari 2009 Nurfaida

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 23 Februari 1973 dari bapak Baharuddin Nassa (alm.) dan ibu Nurhabi. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 1992 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Makassar dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Arsitektur Lanskap, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Departemen Arsitektur Lanskap penulis peroleh pada tahun 2006 dengan beasiswa BPPS dari DIKTI. Sebelum diangkat sebagai staf pengajar pada Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin pada tahun 2005, penulis mengabdi pada jurusan yang sama sejak tahun 1999 sebagai dosen luar biasa. Penulis juga pernah bekerja sebagai staf perencanaan lanskap pada PT. Mandara Permai, Pantai Indah Kapuk di Jakarta sejak tahun 1997 hingga tahun Selain itu, penulis pernah bekerja sebagai staf pada Program Non Reguler (Ekstensi) Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin sejak tahun 2000 hingga tahun 2006.

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah Pesisir dan Pantai Kota Tepi Air (Waterfront City) Evaluasi Lanskap Pantai Pengembangan Kawasan Pantai dan Pesisir Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan III. METODOLOGI Tempat dan Waktu Metode Studi Inventarisasi Analisis Analisis Manfaat Biaya Evaluasi Kesesuaian Lahan Analisis Keindahan Analisis Kenyamanan Sintesis Penyusunan Rekomendasi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Letak Geografis dan Administratif Kondisi Biofisik Iklim Geologi dan Tanah Topografi Hidrologi Oseanografi Vegetasi dan Satwa Tata Guna Lahan Obyek dan Pengelolaan Kawasan Pantai (Existing) Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Analisis Manfaat Biaya Alternatif Manfaat (Benefit)... 59

13 xiii Alternatif Biaya (Cost) Evaluasi Kesesuaian Lahan Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Wisata Pantai Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi Mangrove Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Permukiman Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Tambak Analisis Keindahan Analisis Kenyamanan Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Pantai Konsep dan Zonasi Daya Dukung Kawasan Strategi dan Program Pengelolaan V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kelas kesesuaian lahan dan deskripsi Jenis data, unit, tahun, sumber, kegunaan, dan pendekatan penelitian di kawasan Pantai Kota Makassar Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi mangrove Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan tambak Kriteria tingkat kenyamanan yang dianalisis Indeks tingkat kenyamanan pada kawasan pantai Kota Makassar Faktor pembatas dan standar kebutuhan ruang fasilitas pariwisata di kawasan pesisir Jumlah kelurahan, luas, dan persentase terhadap luas Kota Makassar Data iklim Kota Makassar tahun Kondisi perairan berdasarkan parameter fisika kimia Jenis dan jumlah obyek wisata di Kota Makassar Bobot alternatif pengembangan kawasan pantai Kota Makassar berdasarkan pendapat responden ahli Prioritas pengembangan berdasarkan penilaian responden dan selisih manfaat biaya Analisis alternatif manfaat (benefit) pengembangan kawasan pantai Kota Makassar Analisis alternatif biaya (cost) pengembangan kawasan pantai Kota Makassar Penggunaan dan luas lahan di Kota Makassar tahun 1994 dan tahun Ciri-ciri kualitas keindahan lanskap pantai Kota Makassar Hasil pengukuran suhu udara dan kelembaban udara Estimasi daya dukung berdasarkan kapasitas pantai berpasir Estimasi daya dukung berdasarkan luas lahan akomodasi Estimasi daya dukung berdasarkan ketersediaan air bersih Perhitungan daya dukung kawasan pantai Kota Makassar... 90

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Batasan wilayah pesisir Skema kegiatan-kegiatan dalam evaluasi lahan (FAO, 1976) Peta lokasi penelitian di kawasan pantai Kota Makassar (Sumber: peta administrasi Kota Makassar skala 1:40.000; Google Earth) Mangrove di Kecamatan Tamalate Total nilai manfaat biaya Pemandangan sunset di Pantai Losari Pulau-pulau kecil di Kota Makassar (a) Pulau Kayangan, (b)pulau Samalona, (c) Pulau Kodingareng Keke, dan (d) Pulau Lanyukang (DKKP, 2007b) Rumah susun sederhana sewa Peta kesesuaian lahan kawasan wisata pantai Peta kesesuaian lahan kawasan konservasi mangrove Peta kesesuaian lahan kawasan permukiman Peta kesesuaian lahan kawasan tambak Nilai SBE lanskap pantai Kota Makassar Persentase tipe lanskap berdasarkan kualitas keindahan Persentase jawaban responden berdasarkan waktu pengukuran Peta indeks tingkat kenyamanan di pantai Kota Makassar Contoh rancangan pengelolaan kawasan pantai (Rees, 2002) Zonasi pengembangan kawasan pantai Kota Makassar Diagram pengelolaan air (diadaptasi dari Tjallingi, 1995)... 96

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Lembaran kuisioner ahli (expert) untuk analisis manfaat biaya Format kuisioner penilaian kualitas keindahan Panjang garis pantai berdasarkan kecamatan di Kota Makassar Panjang garis pantai berdasarkan pulau-pulau di Kota Makassar Peta administrasi Kota Makassar Peta geologi di Kota Makassar Peta rawan banjir di Kota Makassar Data tinggi ombak maksimum di perairan Kota Makassar Data tunggang air pasang surut di perairan Kota Makassar Kondisi biofisik perairan pesisir Kota Makassar Jenis vegetasi yang ditemukan di kawasan pantai Kota Makassar Jenis satwa di kawasan pantai Kota Makassar Jenis nekton dan benthos di kawasan pantai Kota Makassar Obyek rekreasi di kawasan pantai Kota Makassar Prioritas pengembangan berdasarkan selisih manfaat biaya Penilaian alternatif manfaat (benefit) kawasan pantai Kota Makassar Analisis alternatif manfaat (benefit) kawasan pantai Kota Makassar Penilaian alternatif biaya (cost) kawasan pantai Kota Makassar Analisis alternatif biaya (cost) kawasan pantai Kota Makassar Perubahan garis pantai di sekitar muara Sungai Jeneberang dari tahun 1849 hingga 1993 (Bapedalda, 2003) Foto lanskap dan nilai Scenic Beauty Estimation (SBE) Nilai Scenic Beauty Estimation (SBE) 40 foto dari 40 responden

17 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas pulau dengan garis pantai sepanjang km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman yang tinggi dalam ekosistem (terrestrial dan aquatic) serta bentukan fisik (features, forms, dan forces). Indonesia memiliki sumber daya alam yang kaya dan sangat beragam, baik sumber daya dapat pulih maupun sumber daya tidak dapat pulih. Kawasan pantai memiliki fungsi sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan seperti udara segar, air bersih, dan sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan (estetika). Selain itu, kawasan pantai juga memiliki aksesibilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan seperti transportasi, pelabuhan, industri, permukiman, dan pariwisata. Namun, pembangunan atau aktivitas manusia dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam di kawasan pantai sering tidak ramah lingkungan. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, timbul berbagai permasalahan lingkungan terutama di kota-kota pantai Indonesia. Pencemaran, degradasi fisik habitat, eksploitasi berlebihan sumber daya alam, penggunaan lahan yang tidak sesuai, dan penurunan nilai estetika merupakan permasalahan lingkungan yang sering timbul di kawasan pantai kota-kota besar. Permasalahan ini mengakibatkan ekosistem pantai berada pada kondisi yang sangat kritis, apalagi bila dikaitkan dengan perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming) yang mengancam eksistensi kawasan pantai karena permukaan air laut akan terus meningkat seiring meningkatnya iklim. Kota Makassar dengan panjang pantai sekitar 36,1 km memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan. Salah satu potensi yang dimiliki adalah Pantai Losari yang dulunya dikenal sebagai restoran terpanjang di dunia. Pantai yang berada di sebelah barat Kota Makassar ini memiliki pemandangan sunset yang indah. Pantai Losari merupakan landmark Kota Makassar yang memanjang dari utara ke selatan menghubungkan kawasan Pelabuhan Samudera Soekarno-Hatta dan kawasan Tanjung Bunga. Saat ini Pantai Losari telah direklamasi dengan dibangunnya Anjungan Bahari, dari tiga buah anjungan yang direncanakan. Selain

18 2 Anjungan Bahari, terdapat obyek lain di sepanjang pantai ini seperti dermaga kapal penyeberangan Pulau Kayangan dan Kayu Bangkoa, pusat perniagaan Somba Opu, dan Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam). Benteng Ujung Pandang merupakan bangunan peninggalan bersejarah yang menunjukkan Kota Makassar dulunya adalah kota pantai yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan perniagaan. Potensi lain yang dimiliki baik di daratan maupun lautan adalah hutan mangrove, kekayaan perikanan, tambak ikan/udang, dan terumbu karang. Menurut Rauf (2000), di kepulauan Spermonde (sebelah barat Kota Makassar) banyak dijumpai terumbu karang yang masih asli (alami), sedangkan menurut Bappeda (2006), dari 356 jenis karang di Indonesia, dua per tiga di antaranya terdapat di kepulauan ini. Implikasi laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,79% (BPS, 2007) dan kebutuhan akan fasilitas perumahan, sarana perekonomian, pendidikan, jalur sirkulasi, dan tempat rekreasi telah menimbulkan berbagai perubahan lingkungan di Kota Makassar. Pembangunan dan aktivitas di Kota Makassar telah menimbulkan berbagai permasalahan di pantai seperti perubahan tata guna lahan, perubahan morfologi pantai, penurunan kualitas perairan, dan kerusakan hutan mangrove. Kawasan pantai dan laut yang merupakan sumber daya milik bersama (common property resources) yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access) telah menjadi halaman belakang tempat membuang segala macam limbah dari berbagai kegiatan manusia. Seharusnya pantai dengan lautnya merupakan halaman depan yang dijaga kebersihannya, karena laut memiliki keterbatasan dalam kemampuan menampung dan mengurai limbah. Selain itu, ekosistem pantai juga memiliki batas kemampuan daya dukung (carrying capacity) dalam menyediakan segenap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan. Pantai Losari telah mengalami penurunan kualitas lingkungan seperti perubahan morfologi pantai akibat adanya proses-proses yang terjadi di darat dan laut. Proses sedimentasi dari Sungai Jeneberang menyebabkan terjadinya pendangkalan dan tanah timbul sepanjang Pantai Losari. Kondisi laguna yang berada di sebelah dalam Jalan Metro Tanjung Bunga yang menghubungkan Pantai

19 3 Losari dengan kawasan Tanjung Bunga telah mengalami pendangkalan yang cukup serius dan terjadi pembusukan organik laut akibat tidak optimalnya pertukaran air laut di dalam laguna. Pendangkalan tersebut mengakibatkan perahu-perahu tidak dapat berlabuh dengan baik di dermaga pelelangan ikan. Selain masalah sedimentasi, abrasi juga terjadi sehingga mengakibatkan rusaknya dinding penahan pada beberapa titik. Dinding penahan yang sudah lama dan besarnya energi gelombang yang menghantam struktur tersebut telah menimbulkan kerusakan struktur yang lambat laun dapat merusak bangunan di sepanjang pantai (Mardiah, 2006). Selain perubahan morfologi, di Pantai Losari juga terjadi penurunan kualitas perairan berupa pencemaran. Sumber utama pencemaran terhadap pantai Kota Makassar berasal dari kegiatan rumah tangga (limbah domestik), industri pengolahan (Bapedalda, 2004; Samawi, 2007), dan kegiatan pertanian di hulu Sungai Jeneberang (Monoarfa, 2002). Limbah padat dan cair masuk perairan pantai Losari melalui run-off dan mengakibatkan pendangkalan pantai serta perubahan beberapa parameter kualitas air. Menurut Samawi (2007), beban pencemaran terbesar yang masuk ke pantai Makassar adalah bahan organik dan padatan tersuspensi yang mengakibatkan pencemaran pantai. Nilai bahan organik yang sukar terurai (nilai COD) pada perairan pantai Kota Makassar berkisar antara mg/l dengan beban pencemaran sebesar ,4 ton per tahun dan nilai padatan tersuspensi (nilai TSS) berkisar antara ,5 mg/l dengan beban pencemaran sebesar ,4 ton per tahun. Beban pencemaran lain baik yang berasal dari Sungai Jeneberang maupun Sungai Tallo adalah bahan organik yang terurai secara biologi (nilai BOD), hara nitrat, fosfat, logam timbal (Pb), logam kadmium (Cd), dan logam tembaga (Cu). Untuk mengatasi tekanan ekologis yang semakin parah dan kompleks yang mengakibatkan semakin rusaknya ekosistem sumber daya alam di kawasan pantai Kota Makassar diperlukan upaya pengelolaan. Visi pemerintahan Kota Makassar sebagaimana yang tertuang dalam pola dasar pembangunan Kota Makassar dengan rumusan Makassar adalah kota maritim, niaga, pendidikan budaya dan jasa yang berorientasi global, berwawasan lingkungan dan paling bersahabat seharusnya didukung oleh pengembangan dan pengelolaan kawasan pantai yang

20 4 terencana dengan baik. Perencanaan pengelolaan kawasan pantai ini dilakukan agar tercipta harmonisasi kepentingan pembangunan dan pelestarian sumber daya alam yang memperhatikan karakteristik dan keunikan kawasan pantai Kota Makassar Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan 1. mengevaluasi lanskap pantai Kota Makassar berdasarkan aspek biofisik, sosial, ekonomi, keindahan, dan kenyamanan sehingga diperoleh penggunaan lahan yang terbaik, dan 2. menyusun rekomendasi pengembangan dan pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah Kota Makassar, instansi yang terkait, investor/pihak pengembang, dan pengelola kawasan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar Kerangka Pemikiran Visi pemerintahan Kota Makassar sangat mendukung pengembangan kawasan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city. Pantai Kota Makassar memiliki potensi lanskap seperti hutan mangrove, tambak ikan/udang, terumbu karang, dan pemandangan sunset yang indah. Pantai ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti transportasi, pelabuhan, industri, permukiman, dan pariwisata. Akan tetapi, pemanfaatan tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan di pantai Kota Makassar. Untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan tersebut diperlukan upaya pengelolaan. Inventarisasi terhadap kondisi kawasan pantai dilakukan untuk mengetahui aspek biofisik, sosial-ekonomi, keindahan, dan kenyamanan. Selanjutnya berdasarkan potensi dan permasalahan dari aspek biofisik dan sosialekonomi dilakukan analisis manfaat biaya dan evaluasi kesesuaian lahan. Analisis

21 5 keindahan dilakukan terhadap aspek keindahan dan analisis kenyamanan terhadap aspek kenyamanan. Berdasarkan hasil analisis, dilakukan sintesis untuk memperoleh alternatif-alternatif pengembangan dan pengelolaan sehingga menghasilkan rekomendasi pengembangan dan rencana pengelolaan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city (Gambar 1). Visi Kota Makassar: kota maritim, niaga, pendidikan budaya dan jasa yang berorientasi global, berwawasan lingkungan dan paling bersahabat Permasalahan lingkungan: - perubahan tata guna lahan - perubahan morfologi pantai (sedimentasi, abrasi) - penurunan kualitas perairan/pencemaran - kerusakan habitat dan biota - kerusakan hutan mangrove Pantai Kota Makassar: - terletak di sebelah barat kota - panjang pantai 52,8 km (pesisir 36,1 km; pulau dan gusung 16,7 km) - terdapat 12 pulau kecil, 1 gusung, dan 26 taka Potensi lanskap pantai: - obyek wisata menarik - pemandangan sunset - bagian sejarah perkembangan kota - hutan mangrove - kekayaan perikanan - tambak ikan/udang - terumbu karang Inventarisasi Aspek biofisik dan sosial-ekonomi Aspek keindahan Aspek kenyamanan Analisis manfaat biaya Evaluasi kesesuaian lahan Analisis keindahan Analisis kenyamanan Alternatif-alternatif pengembangan dan pengelolaan kawasan pantai Rekomendasi pengembangan dan rencana pengelolaan pantai sebagai waterfront city Pengembangan kawasan pantai (konsep dan zonasi ruang) Rencana pengelolaan kawasan pantai (daya dukung kawasan, strategi, dan program pengelolaan) Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

22 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wilayah Pesisir dan Pantai Berdasarkan Undang-undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Penentuan batas-batas wilayah pesisir di dunia umumnya berdasarkan pada tiga kriteria, yaitu 1) garis linier secara arbiter tegak lurus terhadap garis pantai (coastline atau shoreline), seperti yang terlihat pada Gambar 2 (Pernetta & Milliman, 1995 diacu dalam Dahuri, 1998), 2) batas-batas administrasi, misalnya di Indonesia, batas wilayah pesisir provinsi adalah 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan batas wilayah pesisir kabupaten/kota adalah 1/3 dari wilayah provinsi atau 4 mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas, dan 3) karakteristik dan dinamika ekologis (biofisik) berdasarkan sebaran spasial dari karakteristik alamiah (natural features) atau kesatuan proses-proses ekologis (seperti aliran air sungai, migrasi biota, dan pasang surut). Contoh batas satuan pengelolaan wilayah pesisir menurut kriteria ketiga ini adalah batasan menurut daerah aliran sungai (DAS). Gambar 2. Batasan wilayah pesisir (Pernetta & Milliman, 1995 diacu dalam Dahuri, 1998)

23 7 Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan air surut terendah (Pratikto & Sambodho, 2001). Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi, sedangkan daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai adalah garis pertemuan antara daratan dan air laut yang posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi (Triatmodjo, 1999). Wilayah pesisir apabila ditinjau dari garis pantai (coastline) memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore). Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif lebih mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo, atau batas wilayah pesisir Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung Nasikonis dan Pulau Sabu, dan batas wilayah pesisir Jakarta adalah antara Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur (Dahuri, 1998). Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat ditetapkan dua jenis, yaitu batas untuk wilayah perencanaan (planning zone) dan batas untuk wilayah pengaturan (regulation zone) atau pengelolaan keseharian (day-to-day management) (Diposaptono, 2005). Wilayah pesisir merupakan sistem yang kompleks, tempat terjadinya interaksi berbagai proses biofisik, sosial, budaya, ekonomi, administrasi, dan pemerintahan. Faktor-faktor biofisik yang menyusun keunikan wilayah ini ditunjukkan dengan sangat nyata, misalnya tingkat elevasi (rendah-sedang-tinggi), jenis air (asin-payau-tawar), tingkat pasang surut, dan jenis tanah (pasir-tanah liat). Di wilayah ini, banyak ditemukan bukit pasir (sand dunes) dan jenis tumbuhan asli (indigenous). Kebanyakan dari jenis-jenis tumbuhan yang bersifat endemik (Sjaifuddin, 2007). Selain itu, wilayah pesisir juga memiliki nilai penting dalam konteks sosial ekonomi. Berbagai aktivitas ekonomi penting seperti permukiman, industri, pertanian, dan pariwisata yang terkonsentrasi di wilayah pesisir memberikan dampak pada terjadinya peningkatan kepadatan penduduk

24 8 secara nyata (Tol et al., 1996; Joseph & Balchand, 2000). Pariwisata sebagai salah satu sektor penting penyangga ekonomi dunia, bahkan menempatkan wilayah pesisir sebagai salah satu daerah tujuan wisata paling dominan. Menurut Dahuri et al. (2001), suatu kawasan pesisir dapat memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir dan sumber daya pesisir. Berdasarkan sifat ekosistem, ekosistem pesisir dapat bersifat alamiah (natural) atau buatan (man made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescarpae, formasi barringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan, antara lain, tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, dan kawasan permukiman. Indonesia sebagai daerah tropis memiliki ekosistem pesisir sebagai berikut. 1. Hutan mangrove merupakan tipe hutan khas tropika yang tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai. Kehidupan tumbuhan ini sangat dipengaruhi oleh suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien dan stabilitas substrat. Hutan mangrove banyak dijumpai di pantai yang landai dengan muara sungai yang berlumpur dengan kondisi perairan yang tenang dan terlindung dari ombak. Menurut Kawaroe et al. (2001), keunikan ekosistem mangrove adalah batas yang menghubungkan antara ekosistem darat dan ekosistem laut sehingga dapat mempengaruhi proses kehidupan biota (flora dan fauna) di wilayah tersebut. Berbeda dengan ekosistem darat, mangrove adalah ekosistem terbuka yang dihubungkan dengan ekosistem laut melalui arus pasang surut. 2. Padang lamun (sea grass beds) merupakan semacam rumput (padang ilalang) laut yang hidup terbenam di perairan dangkal yang agak berpasir. Secara ekologis padang lamun memiliki beberapa fungsi penting bagi daerah pesisir, yaitu sebagai sumber utama produktivitas primer, sumber makanan penting bagi organisme, penstabil dasar perairan yang lunak karena memiliki sistem perakaran rapat, tempat berlindung organisme, tempat pembesaran bagi beberapa spesies, peredam arus gelombang, dan tudung pelindung panas matahari. Kehidupan padang lamun sangat dipengaruhi oleh kondisi kecerahan air laut, suhu air laut, salinitas, substrat, dan kecepatan arus.

25 9 3. Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem khas di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas organik yang tinggi dan kaya akan keragaman spesies penghuninya seperti ikan karang. Terumbu karang merupakan ekosistem pesisir yang memiliki nilai estetika alam yang sangat tinggi. Terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung ekosistem pesisir dan laut dari tekanan gelombang. Keberadaan terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi kecerahan perairan, suhu, salinitas, kecepatan arus air, sirkulasi, dan sedimentasi. 4. Rumput laut (sea weeds) merupakan tumbuhan pada perairan yang memiliki substrat keras yang kokoh untuk tempat melekat. Tumbuhan ini hanya dapat hidup pada perairan tempat tumbuhan mudanya mendapatkan cukup cahaya. Parameter lingkungan utama untuk ekosistem rumput laut adalah kekeruhan/kecerahan air, kandungan padatan terlarut dan tersuspensi, serta arus laut. 5. Estuaria adalah teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bercampur. Kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang kaya bahan organik dan menjadi cadangan makanan utama bagi organisme estuaria. Akan tetapi, organisme dan tumbuhan yang berkembang di estuaria relatif sedikit karena merupakan kawasan pertemuan air laut dan air tawar. 6. Pantai pasir (sandy beach) terdiri atas kwarsa dan feldspar yang merupakan sisa-sisa pelapukan batuan di gunung yang dibawa oleh aliran sungai. Pantai pasir lainnya terbentuk oleh rombakan pecahan terumbu karang yang diendapkan oleh ombak. Partikel yang kasar menyebabkan hanya sebagian kecil bahan organik yang terserap sehingga organisme yang hidup di pantai berpasir relatif sedikit. Meskipun demikian, pantai berpasir sering dijadikan beberapa biota (seperti penyu) untuk bertelur. Parameter utama dari pantai berpasir adalah pola arus yang mengangkut pasir, gelombang yang melepas energinya, dan angin yang mengangkut pasir ke arah darat. 7. Pantai berbatu (rocky beach) merupakan pantai dengan batu-batu memanjang ke laut dan terbenam di air. Batuan yang terbenam ini menciptakan zonasi kehidupan organisme yang menempel di batu karena pengaruh pasang.

26 10 Parameter utama yang mempengaruhi pantai berbatu adalah pasang laut dan gelombang laut yang mengenainya. 8. Formasi Pescaprae umumnya terdapat di belakang pantai berpasir. Formasi pescarpae didominasi oleh vegetasi pionir, khususnya kangkung laut (Ipomoea pescaprae) untuk menahan gelombang. 9. Formasi Barringtonia merupakan ekosistem yang berkembang di pantai berbatu tanpa deposit pasir, tempat formasi pescarpae tidak dapat tumbuh. Habitat berbatu ini ditumbuhi oleh komunitas rerumputan dan belukar yang dikenal sebagai formasi Barringtonia Kota Tepi Air (Waterfront City) Pengertian waterfront secara harfiah adalah tepi air, bagian kota yang berbatasan dengan air. Menurut Nugroho (2000) diacu dalam Ayuputri (2006), waterfront merupakan penerapan konsep tepian air (laut, sungai/kanal, atau danau) sebagai halaman depan, tempat tepian air tersebut dipandang sebagai bagian lingkungan yang harus dipelihara, bukan halaman belakang yang dipandang sebagai tempat pembuangan. Waterfront city mempunyai arti suatu lingkungan perkotaan yang berada di tepi atau dekat wilayah perairan, misalnya lokasi area pelabuhan besar di kota metropolitan (Wrenn, 1983). Soesanti dan Sastrawan (2006) mengemukakan waterfront berdasarkan tipe proyeknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development). Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Redevelopment adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada. Development adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai. Menurut Breen dan Rigby (1996) diacu dalam Sairinen dan Kumpulainen (2006), waterfront berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu mixed-used waterfront, recreational waterfront, residential waterfront, dan working waterfront. Mixed-used waterfront adalah waterfront

27 11 yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan. Recreational waterfront adalah semua kawasan waterfront yang menyediakan sarana dan prasana untuk kegiatan rekreasi, seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk kapal pesiar. Residential waterfront adalah perumahan, apartemen, dan resort yang dibangun di pinggir perairan. Working waterfront adalah tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, industri berat, dan fungsifungsi pelabuhan. Berdasarkan konsep waterfront city, suatu kota dapat berada di tepi laut/pantai, di tepi sungai/kanal, atau di tepi danau. Toronto dan Yunani merupakan contoh kota yang berada di tepi laut, Bangkok sebagai contoh kota yang berada di tepi sungai, dan Amsterdam merupakan contoh kota yang berada di tepi kanal. Menurut Laidley (2007), Kota Toronto yang direncanakan oleh Toronto Waterfront Revitalization Corporation merupakan pengembangan kota tepi laut yang memposisikan kawasan tepi laut sebagai bagian penting dalam perkembangan perekonomian kota dan menjadikan kawasan tepi laut Toronto sebagai pintu gerbang baru ke Canada. Kota-kota di Yunani juga merupakan contoh pengembangan kota dengan konsep waterfront city. Pengembangan kembali (redevelopment) bertujuan memperbaiki kualitas ruang inti dari kota-kota di Yunani dan mengembangkan pariwisata sesuai karakteristik waterfront (Gospodini, 2001). Menurut Wijanarka (2008), Bangkok sebagai kota tepi sungai didesain dengan konsep waterfront yang terlihat dari adanya tiga kanal yang menghubungkan Sungai Chao Phraya, adanya jalan darat di tepi Sungai Chao Phraya yang didesain mengikuti pola sungai, dan adanya reklamasi di tepi Sungai Chao Phraya yang dipersiapkan untuk lahan rumah tinggal bagi para pendatang. Kota Amsterdam yang berawal dari permukiman nelayan yang terletak di muara Sungai Amstel didesain dengan sistem kanal. Selain itu, bangunan kota juga didesain dengan setting mengikuti pola kanal dengan arah bangunan ke arah kanal. Sebagian besar kota-kota penting di Indonesia terletak di tepi laut. Menurut Suprijanto (2000), kota tepi laut atau disebut kota pantai merupakan suatu kota dengan segala ukuran yang dinamis dan unik tempat darat dan laut bertemu

28 12 (kawasan pantai) dan harus dipertahankan keunikannya. Batasan kawasan kota pantai tidak hanya mencakup bagian kota di darat atau berhadapan dengan laut saja, tetapi juga mencakup bagian yang berada di atas air. Keberadaan dan perkembangan kota pantai tidak lepas dari fungsinya saat awal pembukaan dan didirikannya, yaitu sebagai akses hubungan antara pedalaman dengan dunia luar. Menurut Suprijanto (2000), kota pantai sebagai salah satu bentuk kota tepi air pada dasarnya berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad telah menjadi bagian dari jalur perdagangan internasional. Hantoro (2007) mengemukakan ciri utama perkembangan kota pantai diawali sebagai tempat berlabuh kapal dan alur-alur jalan yang menghubungkannya dengan pedalaman yang menghasilkan produk pertanian atau perambahan hutan. Suprijanto (2000) menjelaskan pada perkembangan selanjutnya kawasan kota pantai menjadi tempat yang menarik untuk permukiman. Kedudukan kawasan kota pantai merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari beberapa kawasan lain di kota induknya, tempat orientasi kegiatan kota pantai berbasis darat dan laut seperti perdagangan, pelabuhan dan transportasi, perikanan, serta permukiman. Di Indonesia, kawasan kota pantai dapat diarahkan pada tujuh jenis pengembangan, yaitu (1) kawasan komersial (perdagangan), (2) kawasan budaya, pendidikan, dan lingkungan hidup, (3) kawasan peninggalan bersejarah, (4) kawasan permukiman, (5) kawasan wisata (rekreasi), (6) kawasan pelabuhan dan transportasi, dan (7) kawasan pertahanan keamanan (Suprijanto, 2000). Kawasan kota pantai cenderung tumbuh lebih cepat, baik secara demografis maupun ekonomis daripada kota-kota di wilayah lain. Akan tetapi, pesatnya pertumbuhan kota pantai sejak 10 tahun terakhir diikuti oleh sejumlah masalah, antara lain, terkait dengan masalah lingkungan dan keterbatasan sumberdaya (lahan, air, bahan konstruksi, dan lain-lain). Tingginya laju pertumbuhan perkotaan menyebabkan diabaikannya kapasitas daya dukung dan sifat asli dari kawasan pantai. Gejala alam yang sebetulnya memang sudah lazim terjadi dapat berdampak negatif sebagai ancaman bencana. Eksploitasi sumber daya di luar kawasan kota menyebabkan terganggunya keseimbangan alam yang berdampak

29 13 pada timbulnya berbagai bencana seperti banjir, longsor, erosi pantai, dan gelombang pasang (Hantoro, 2000). Pengembangan kota pantai di Indonesia merupakan masalah yang harus ditangani secara seksama, karena Indonesia memiliki garis pantai terpanjang di dunia dan terdapat 516 kota andalan di Indonesia dengan 216 kota di antaranya merupakan kota tepi air yang berada di tepi laut (pantai), sungai, atau danau. Dibandingkan dengan kawasan tepi sungai atau danau, kawasan kota pantai mempunyai lebih banyak potensi untuk dikembangkan, terutama terkait dengan aspek fungsi dan aksesibilitas (Suprijanto, 2000). Setiap upaya mengembangkan kota pantai seharusnya mengenali potensi sumber daya, daya dukung lingkungan (karakteristik pantai), dan gejala alam di sekitarnya sehingga dapat dilakukan penyesuaian untuk memperkecil biaya ataupun resiko dampak di kemudian hari seiring perkembangan kota (Hantoro, 2007). Menurut Torre (1989), beberapa unsur yang dapat mendukung keberhasilan suatu waterfront sebagai berikut. 1. Tema Elemen ini ditentukan oleh iklim, budaya, dan sejarah. Tema tersebut akan menentukan ruang-ruang yang akan dibentuk, tata guna lahan, material yang akan dipakai, skala, dan makna waterfront sehingga tercipta suatu keunikan yang menarik pengunjung dan menimbulkan perasaan untuk kembali lagi. 2. Kesan (image) Kesan publik akan mempengaruhi minatnya untuk mengunjungi waterfront. Keinginan untuk mengunjungi suatu kawasan waterfront akan sulit dihidupkan apabila kesan masyarakat sudah negatif. Oleh karena itu, harus ditimbulkan kesan positif sebelum mengembangkan waterfront, misalnya melalui promosi atau pertemuan terbuka. 3. Keaslian Karakter waterfront yang akan dikembangkan harus ditemukan dan dipertahankan sehingga akan menimbulkan suatu keunikan dan meningkatkan daya tariknya. 4. Kegiatan Jenis kegiatan harus disusun sedemikian rupa sehingga urutannya dapat dinikmati secara baik oleh pengunjung. Kemudahan pencapaian, sirkulasi, dan

30 14 pengalaman yang menarik harus tetap diperhatikan. Hal yang paling diminati pengunjung adalah kesempatan untuk makan atau duduk santai sambil melihat-lihat. 5. Persepsi publik Sebelum pengembangan dimulai, publik harus diyakinkan bahwa kegiatan ini akan meningkatkan kualitas kawasan sekitarnya dan kegiatan yang sudah terbentuk tidak akan terganggu dengan adanya pengembangan ini. Tujuan ini dapat dicapai dengan menginformasikan kepada masyarakat tentang kegiatan yang akan berlangsung sehingga masyarakat akan mendukung keberhasilan pengembangan kawasan waterfront. 6. Pelestarian lingkungan Pengembangan waterfront harus tetap melestarikan lingkungan, bahkan jika memungkinkan dapat memperbaiki lingkungan yang rusak. Selain itu, pengembangan sedapat mungkin mengurangi dampak lingkungan dan memanfaatkan secara maksimal sumber daya alam yang ada. 7. Teknologi konstruksi Tugas utama dalam bidang konstruksi adalah membuat suatu metode yang dapat menstabilkan garis pertemuan antara darat dan air. 8. Manajemen Manajemen yang baik dan efektif terhadap pemeliharaan kawasan dan peningkatan daya tarik dengan mengadakan kegiatan berkala sangat diperlukan untuk menghidupkan kawasan pantai Evaluasi Lanskap Pantai Lanskap kawasan pantai sebagai daerah peralihan (ecoton) merupakan kawasan yang sangat peka dan rapuh. Kerusakan di kawasan pantai terjadi karena lahan tidak dimanfaatkan sesuai dengan kemampuannya mendukung aktivitas di kawasan tersebut. Akibatnya kerusakan tersebut akan berdampak sangat serius terhadap kelangsungan hidup ekosistem di kawasan pantai. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu adalah evaluasi kesesuaian lahan. Menurut Tahir et al. (2002), salah satu upaya untuk membantu

31 15 pengembangan program pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan adalah kegiatan evaluasi kesesuaian lahan. Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna lahan yang bertujuan menentukan nilai (kelas) suatu lahan untuk tujuan tertentu. Inti dari evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno & Widiatmaka, 2007). Evaluasi lahan dapat dibedakan dalam tiga intensitas kerincian sebagai berikut (FAO, 1976; 1989; dan 1990). 1. Tingkat tinjau (reconnaissance) Evaluasi lahan dengan intensitas ini dilakukan dalam skala nasional atau provinsi. Evaluasi lahan dilakukan secara kualitatif dan analisis ekonomi hanya dilakukan dengan sangat umum. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk perencanaan secara nasional, yang dapat menentukan skala prioritas untuk masing-masing daerah. 2. Tingkat semi detil (semi-detail) Evaluasi lahan dengan intensitas ini dilakukan untuk tujuan-tujuan yang lebih khusus, misalnya studi kelayakan (feasibility study) untuk suatu proyek. Survei pertanian dan analisis sosial-ekonomi merupakan faktor penting, dan evaluasi lahan sebaiknya dilakukan secara kuantitatif. Hasil evaluasi dapat memberikan keterangan untuk pengambilan keputusan, penelitian proyek, dan perubahan-perubahan yang mungkin diperlukan terhadap proyek yang direncanakan. 3. Tingkat detil (detail) Evaluasi lahan dilakukan untuk perencanaan yang telah pasti atau setelah kepastian melaksanakan proyek tersebut diputuskan, misalnya untuk pembuatan desain. Menurut FAO (1976), evaluasi lahan mencakup kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.

32 16 Konsultasi pendahuluan Tipe penggunaan lahan Satuan peta lahan Syarat-syarat masing-masing penggunaan lahan Pembandingan syaratsyarat penggunaan lahan dengan kualitas lahan Kualitas lahan Klasifikasi kesesuaian lahan Penyajian hasil Gambar 3. Skema kegiatan-kegiatan dalam evaluasi lahan (FAO, 1976) 1. Konsultasi pendahuluan Kegiatan ini merupakan pertukaran pendapat mengenai tujuan survei dan jenis evaluasi yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. 2. Tipe penggunaan lahan, syarat-syarat, dan pembatas Identifikasi dan deskripsi terhadap tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan merupakan bagian penting dalam evaluasi lahan. Ada dua kemungkinan, yaitu (a) tipe penggunaan lahan telah ditentukan dari awal evaluasi dilakukan dan (b) tipe penggunaan lahan ditetapkan pada awal evaluasi, tetapi dapat mengalami modifikasi dan penyesuaian. Selanjutnya masing-masing tipe penggunaan lahan mempunyai syarat-syarat dan pembatas tertentu. Faktor pembatas untuk suatu tipe penggunaan lahan diperlakukan sama dengan persyaratan penggunaan lahan.

33 17 3. Satuan peta lahan dan kualitas lahan Penentuan batas satuan-satuan peta lahan didasarkan pada karakteristik lahan yang mudah dipetakan seperti kemiringan lahan, bentuk lahan (landform), jenis tanah, dan bahan induk tanah. Akan tetapi, kualitas lahan yang besar pengaruhnya terhadap tipe penggunaan lahan yang direncanakan perlu mendapat perhatian. 4. Pembandingan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas lahan Pembandingan dilakukan terhadap persyaratan dari tipe penggunaan lahan dengan kualitas lahannya untuk dapat melakukan perbaikan yang diperlukan. Dengan membandingkan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas lahan yang dimiliki oleh masing-masing satuan peta lahan akan didapatkan kelas kesesuaian lahan dan faktor pembatasnya bagi penggunaan lahan tersebut. 5. Klasifikasi kesesuaian lahan Hasil pembandingan persyaratan dari tipe penggunaan lahan tertentu dengan kualitas lahan suatu satuan peta lahan menghasilkan suatu kelas kesesuaian lahan yang menunjukkan kesesuaian masing-masing satuan peta lahan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Kesesuaian lahan dapat dibagi menjadi empat kelas, yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal), dan N (tidak sesuai) dengan deskripsi masing-masing pada Tabel 1. Dalam mengambil keputusan untuk klasifikasi kesesuaian lahan menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), dapat digunakan berbagai cara seperti metode penghambat maksimum, metode parametrik dengan pemberian angka nilai untuk masing-masing faktor, kemudian dijumlahkan atau dikalikan dan sebagainya. Dengan metode yang berbeda tersebut sudah pasti akan menghasilkan kelas yang berbeda-beda pula. 6. Penyajian hasil Hasil evaluasi lahan disajikan dalam bentuk peta dan laporan. Peta kesesuaian lahan dengan penjelasan penting dalam legenda merupakan penyajian yang paling efektif dari hasil evaluasi, sedangkan keterangan yang lebih detil disajikan dalam laporan.

34 18 Tabel 1. Kelas kesesuaian lahan dan deskripsi Kelas Kesesuaian Lahan Deskripsi S1 S2 S3 N Sangat Sesuai (Highly Suitable) Cukup Sesuai (Moderately Suitable) Sesuai Marginal (Marginally Suitable) Tidak Sesuai (Not Suitable) Sumber: FAO (1976) Lahan tidak mempunyai pembatas yang serius untuk penerapan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan/ tingkatan perlakuan yang diberikan Lahan mempunyai pembatas yang cukup serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus ditetapkan atau hanya mempunyai pembatas yang hanya meningkatkan masukan/tingkatan perlakuan yang diperlukan Lahan mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, tetapi masih memungkinkan diatasi/diperbaiki; lahan masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya rasional Lahan sama sekali tidak dapat digunakan karena memiliki pembatas yang permanen sehingga tidak mungkin digunakan terhadap suatu penggunaan yang lestari 2.4. Pengembangan Kawasan Pantai dan Pesisir Indonesia memiliki banyak kawasan pantai dan pesisir dengan potensi pembangunan yang sangat besar. Akan tetapi, seringkali pengembangan kawasan pantai tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Pembangunan intensif yang tidak berkelanjutan banyak terjadi di beberapa kawasan pantai kotakota besar Indonesia. Menurut Dahuri et al. (2001), kapasitas berkelanjutan dari banyak ekosistem pesisir telah terancam oleh pola pembangunan yang tidak berkelanjutan (unsustainable development pattern) melalui pencemaran, erosi, degradasi fisik habitat penting pesisir, eksploitasi berlebihan sumber daya alam, serta konflik penggunaan ruang dan sumber daya. Akan tetapi, pola pembangunan yang begitu merusak kualitas lingkungan belum berhasil mensejahterakan sebagian penduduk setempat. Bahkan ada kecenderungan bahwa industrialisasi yang terjadi di kawasan pantai selama ini seringkali justru memiskinkan penduduk setempat, seperti yang terjadi di Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur. Kegiatan pembangunan yang berkembang di kawasan pantai dan pesisir disebabkan oleh tiga alasan ekonomis (economic rationality) yang kuat (Dahuri, 1998), yaitu (1) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara

35 19 biologis paling produktif di dunia ini; berbagai ekosistem dengan produktivitas hayati tertinggi, seperti hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuaria berada di wilayah pesisir, (2) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan (accessibilities) yang paling praktis dan relatif lebih murah bagi kegiatan industri, permukiman, dan kegiatan pembangunan lainnya, daripada yang dapat disediakan oleh daerah lahan atas (up-land areas); kemudahan tersebut berupa media transportasi, tempat pembuangan limbah, bahan baku air pendingin (cooling water) dari air laut untuk berbagai jenis pabrik dan pembangkit tenaga listrik, dan bahan baku industri lainnya, dan (3) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan obyek rekreasi dan pariwisata yang sangat menarik dan menguntungkan (lucrative), seperti pasir putih atau pasir bersih untuk berjemur, perairan pesisir untuk berenang, selancar, dan berperahu, serta terumbu karang dan keindahan bawah laut lainnya untuk pariwisata selam dan snorkeling. Konsep pembangunan yang memperhatikan keseimbangan antara pencapaian pemanfaatan yang optimal dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan adalah pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan oleh World Commission on Environment and Development adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep pembangunan yang berkelanjutan ini telah menjadi kesepakatan hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia sejak KTT Bumi di Rio de Jenairo 1992 (Saifullah, 2004). Dahuri (1998) mengemukakan empat persyaratan utama yang dapat menjamin tercapainya pembangunan berkelanjutan sumber daya pesisir secara ekologis adalah (1) keharmonisan spasial, (2) pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan, (3) pembuangan limbah sesuai dengan kapasitas asimilasi lingkungan, dan (4) perancangan dan pembangunan prasarana dan sarana sesuai dengan karakteristik serta dinamika ekosistem pesisir. Selanjutnya terkait dengan konsep waterfront city menurut Tjallingi (1995), pembangunan kawasan pantai di perkotaan tidak lepas dari tiga indikator utama dalam pengelolaan lingkungan. Pembangunan suatu kota dapat dilakukan dengan tiga strategi

36 20 utama, yaitu the responsible city, the living city, dan the participating city dengan masing-masing strategi berhubungan erat dengan pengelolaan, tata ruang, dan juga kebijakan yang diterapkan, tetapi tidak melupakan aspek yang paling utama, yaitu faktor lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi. Strategi tersebut tidak hanya memperhatikan kebutuhan masyarakat, tetapi juga mutu lingkungan dan kenyamanan yang diperoleh dari suatu pembangunan kota tempat partisipasi masyarakat untuk menciptakan suatu kondisi yang sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai hal utama. Strategi the responsible city merupakan suatu konsep desain dan pengelolaan kota yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan level-level tertentu, tetapi juga generasi yang akan datang dengan tetap bertanggung jawab terhadap mutu lingkungan dari wilayah tersebut. Suatu kota tidak akan terlepas dari berbagai macam permasalahan yang menyangkut beberapa hal seperti air (banjir, kekeringan, atau polusi air), energi, sampah, kemacetan lalu lintas, dan permasalahan sentralisasi atau desentralisasi. Semua permasalahan tersebut harus menjadi perhatian sehingga pengelolaan disebut sebagai pengelolaan rantai. Konsep the living city bermakna suatu kota harus menawarkan kondisi yang tidak hanya memberikan kenyamanan, tetapi juga kesehatan sekaligus keindahan pada penduduknya, misalnya dengan adanya pepohonan di sekitar jalan yang memperhatikan aspek estetika. Dalam pemanfaatan potensi ekologi (iklim, air, tanah, dan tumbuhan) tidak hanya memberikan kontribusi kesehatan, tetapi juga memberi identitas pada kota secara keseluruhan dan sesuai untuk berbagai perbedaan lingkungan dari segi waktu, gaya hidup, dan aktivitas. Artinya, kota tersebut tidak hanya baik untuk lingkungan atau peduli pada lingkungan, tetapi juga dapat memberikan kontribusi pada kualitas kota tersebut. Konsep ini biasanya dikaitkan dengan kebijakan tata ruang. Kota bukan hanya untuk masyarakat, tetapi juga dimiliki oleh masyarakat sehingga kepedulian masyarakat terhadap kota itu sendiri harus ditingkatkan. Hal ini yang menjadi dasar bagi konsep the participating city dan juga sebagai acuan untuk mencapai konsep the responsible city dan the living city. Strategi ini sangat terkait dengan gaya hidup dan tipe bisnis yang ada pada suatu area yang juga terkait erat dengan kebijakan kota tersebut termasuk kebijakan yang terkait dengan masalah lingkungan, perencanaan kota, dan perangkat organisasinya.

37 21 Kawasan pantai Kota Makassar termasuk dalam kawasan pusat kota yang mencakup wilayah Kecamatan Ujung Tanah, Wajo, Ujung Pandang, Mariso, dan Tamalate. Dalam misi dan strategi pengembangan tata ruang kota, pemerintah kota telah berkomitmen menjadikan kawasan pusat kota sebagai kawasan dengan kualitas standar pelayanan yang lebih baik kepada lingkungan dan masyarakatnya, dengan mendorong aktivitas pembangunan fisik berkembang secara vertikal dan pengelolaan lingkungan yang terkendali. Beberapa strategi yang terkait dengan kawasan pantai adalah mengembangkan kawasan strategis pada kawasan ekonomi termasuk di sepanjang pantai Losari, mengembangkan kawasan kumuh seperti Kecamatan Mariso, merevitalisasi kawasan pantai Losasi secara terpadu dengan mereklamasi batas ruang pantai, dan membatasi pembangunan pada ruang belakang pantai Losari sekitar kawasan Makassar Golden Hotel dan sekitarnya dengan membuat jalan arteri pembatas sampai ke depan Benteng Ujung Pandang (Pomanto, 2007). Lanskap kawasan pantai dan pesisir merupakan kawasan yang sangat peka dan rapuh. Kerusakan yang terjadi di kawasan tersebut akan berdampak sangat serius terhadap kelangsungan hidup ekosistem pesisir. Beberapa panduan untuk pengembangan kawasan pantai terutama untuk pariwisata agar kelestariannya terjaga adalah sebagai berikut (Nurisyah, 2000). 1. Pengembangan wisata pantai harus disusun bersama-sama dalam kerangka kerja rencana pengembangan sosial ekonomi nasional, regional, dan lokal secara terpadu, selaras dengan lingkungan dalam strategi pengembangan. Pengembangan wisata pantai harus melakukan pendekatan secara strategi nasional dalam pengembangan dan pengelolaan wisata pantai yang akan menunjukkan zona paling sesuai untuk kegiatan pariwisata. 2. Kawasan lindung pantai untuk pengembangan pariwisata harus terliput oleh kawasan yang memperhatikan geografi alami dan kondisi sosial ekonomi kawasan. Untuk memanfaatkan sumber daya wisata secara optimal, harus dilakukan kegiatan inventarisasi di kawasan yang diusulkan, yaitu lingkungan sosial, budaya, dan penyakit yang endemik atau temporer. 3. Kapasitas daya dukung kawasan haruslah ditetapkan untuk maksud penentuan jumlah wisatawan yang sesuai tanpa membebani keberadaan infrastruktur dan menyebabkan menurunnya mutu sumber daya alam.

38 22 4. Kegiatan penataan lahan harus diawasi untuk mencegah dampak seminimal mungkin terhadap ekosistem pantai alami. 5. Jalan terbaik menuju tempat wisata harus direncanakan sebaik mungkin untuk meminimalkan kepadatan lalu lintas, kebisingan, polusi, dan dampak lainnya di sekitar kawasan. 6. Pengembangan fasilitas akomodasi harus dikonsentrasikan dan tidak mengganggu sumberdaya alam. Skala, ukuran, dan jenis infrastruktur haruslah sesuai. 7. Pembuatan tempat pembuangan sampah yang memadai. Limbah cair tidak dibuang ke pantai, terumbu karang, dan kawasan peka lainnya Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan Pengelolaan adalah tindakan yang dilakukan untuk mengamankan dan menyelamatkan suatu lanskap secara efisien dan terarah, dalam upaya pelestarian dan keberlanjutannya, meliputi sumber daya fisik dan biofisik, lingkungan binaan yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku (Wardiningsih, 2005). Jayadinata (1992) mengemukakan pengelolaan adalah salah satu usaha kebijaksanaan untuk memelihara dan menyelamatkan ekosistem. Konsep dasar dari pengelolaan secara ekologi dengan pendekatan ekosistem, seperti danau, hutan, laut, tanaman pertanian, perkebunan, dan padang rumput. Menurut Astri (2005), pengelolaan dalam arti luas meliputi aspek administrasi, penanganan masalah, cara penanggulangan, pengembangan, dan pengendaliannya. Pengelolaan meliputi kegiatan-kegiatan (1) preservasi yaitu melestarikan sesuatu yang unik dan dilaksanakan jika sudah ada ancaman, (2) proteksi yaitu melindungi suatu lanskap terhadap gangguan-gangguan yang dapat merusak, (3) perawatan yaitu memelihara lanskap yang ada agar tetap baik dan bersifat statis, (4) pemeliharaan yaitu memelihara lanskap dengan berusaha meningkatkan mutunya dan bersifat dinamis, dan (5) rehabilitasi yaitu memperbaiki lanskap yang rusak. Pengelolaan yang berkelanjutan adalah usaha manusia untuk mengubah, mengatur, dan menata ekosistem agar manusia memperoleh manfaat yang maksimal dengan mengusahakan kontinuitas keberadaannya yang dipengaruhi

39 23 oleh faktor ruang, waktu, dan energi (Wardiningsih, 2005). Menurut Sarosa (2002), dimensi-dimensi keberlanjutan terdiri atas temporal/intergenerational, spasial, sosial-ekonomi, politik (ecological cost, advantage atau disadvantage), interspecies, dan inter-medium. Dimensi temporal mengandung arti suatu pembangunan jangka pendek yang disebut baik belum tentu baik dalam jangka panjang. Sebagai contoh, energi nuklir pada saat ini merupakan salah satu alternatif yang menunjang aktivitas beberapa negara maju, tetapi di masa yang akan menjadi masalah besar bagi lingkungan. Indikator-indikator yang dapat digunakan dalam analisis dimensi temporal untuk keberlanjutan lingkungan perkotaan, antara lain, populasi, pendapatan, populasi masyarakat miskin, tenaga kerja informal, akses terhadap fasilitas-fasilitas kota (persediaan air, limbah, listrik, dan telepon), angka kejahatan, ukuran polusi udara dan air, ruang terbuka hijau, dan lain-lain. Dimensi spasial terkait dengan hubungan antara suatu kota dengan kota lainnya, yang berarti masalah pada suatu kota dipindahkan ke kota atau daerah pedesaan di sekitar kota. Misalnya, suatu kota bersih dari sampah bahkan mendapat piala Adipura, tetapi sampah yang dihasilkan kota tersebut dibuang di daerah luar kota. Masalah sosial-ekonomi pada suatu kota terkait dengan dimensi sosialekonomi. Perkembangan suatu kota dapat menguntungkan pihak tertentu, tetapi merugikan pihak lainnya. Suatu kota dikatakan berkelanjutan apabila dapat memberikan (transfer) biaya-biaya lingkungan yang timbul akibat kegiatan sosialekonomi kepada pihak lain. Dimensi sosial-ekonomi melibatkan isu-isu perubahan kesejahteraan atau kesehatan oleh stakeholder setelah jangka waktu tertentu, perubahan dalam kondisi yang hidup (kondisi-kondisi lingkungan) stakeholder pada periode waktu, perpindahan yang mungkin dari sumber daya ekonomi dan sosial suatu kelompok stakeholder sebagai hasil perubahan keseluruhan kondisi (struktur dari kota tersebut) atau dari proses/pola tata kota, dan perpindahan yang mungkin dari permasalahan lingkungan kelompok stakeholder sampai tingkat yang berbeda dari status sosial-ekonomi. Dimensi politik yaitu suatu kota dapat mentransfer biaya-biaya ekologis secara politik yang menguntungkan ke pihak lain yang tidak menguntungkan.

40 24 Dimensi interspecies adalah upaya meningkatkan kesejahteraan manusia dengan tidak mengganggu spesies lain, sedangkan dimensi inter-medium dapat dilihat pada pengolahan sampah dengan insinerator atau mengurangi limbah padat dengan cara pembakaran sehingga menciptakan pencemaran atau polusi udara. Menurut Arancibia et al. (1999), konsep strategi pengelolaan yang berkelanjutan menggunakan keterkaitan positif antara efisiensi ekonomi dan perbaikan lingkungan, serta ikut menciptakan tanda ekonomi yang baru dan mendorong semua kegiatan produksi dan konsumsi yang mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan. Apabila kondisi lingkungan tidak terlindungi, nilai ekonomi dalam pembangunan secara utuh tidak akan tercapai. Pengelolaan kawasan pantai tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pengelolaan wilayah pesisir. Berdasarkan Undang-undang RI No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dijelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Pengelolaan tersebut berasaskan pada keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Kewenangan dalam hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) dapat diberikan oleh menteri, gubernur, dan bupati/walikota. Menteri berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir lintas provinsi dan kawasan strategis nasional tertentu, gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir sampai dengan 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan perairan pesisir lintas kabupaten/kota, dan bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah perairan pesisir 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi. Pengelolaan berkelanjutan suatu kawasan pantai menurut Dahuri et al. (2001), memerlukan empat persyaratan sebagai berikut. 1. Setiap kegiatan pembangunan (seperti tambak, pertanian, dan pariwisata) harus ditempatkan pada lokasi yang sesuai secara biofisik. Persyaratan ini

41 25 dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan (land suitability) termasuk perairan. 2. Jika memanfaatkan sumber daya yang dapat pulih (seperti penangkapan ikan di laut), tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut. Demikian halnya jika menggunakan air tawar (biasanya merupakan faktor pembatas dalam ekosistem pulau-pulau kecil), laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau tersebut untuk menghasilkan air tawar dalam kurun waktu tertentu. 3. Jika membuang limbah ke lingkungan pulau, jumlah limbah (bukan limbah B3, tetapi jenis limbah yang biodegradable) tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. 4. Jika memodifikasi lanskap suatu pulau (seperti penambangan pasir dan reklamasi) atau melakukan kegiatan konstruksi di lingkungan pulau, khususnya di tepi pantai, seperti membangun dermaga (jetty) dan hotel, harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan proses-proses alami lainnya. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan pantai menurut Andit (2007), yaitu (1) pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumber daya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan, (2) menangani wilayah pesisir berbeda dengan menangani proyek (harus terus-menerus), (3) menetapkan batas wilayah hukum secara geografis (meliputi wilayah perairan dan wilayah daratan), (4) menetapkan tujuan khusus atau issu permasalahan yang harus dipecahkan melalui program-program, (5) memiliki identitas institusional (dapat diidentifikasi apakah sebagai organisasi independen atau jaringan koordinasi dari organisasiorganisasi yang memiliki kaitan dalam fungsi dan strategi pengelolaan), dan (6) mencirikan integrasi dua atau lebih sektor berdasarkan pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan. Secara spasial, kawasan pantai dan pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan laut lepas. Dengan keterkaitan tersebut, pengelolaan kawasan pantai tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi di kawasan pantai

42 26 merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, dan permukiman. Demikian juga dengan keterkaitan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut (Bengen, 2005). Menurut Kodoatie (2004), pengelolaan kawasan pantai terpadu diwujudkan dalam bentuk rencana induk (master plan) pengelolaan kawasan pantai terpadu, baik tingkat nasional/provinsi maupun kabupaten/kota. Master plan itu terdiri atas beberapa hal yang saling berkait secara integral, yaitu meteorologi pantai, oseanografi, hidrografi pantai, coastal engineering, coastal management, sedimen transport, banjir, lingkungan pantai, bangunan pelindung pantai, pelabuhan, navigasi, estuari (mulut sungai), flora dan fauna pantai, aliran air tanah, pertanian, kependudukan dan urbanisasi, industri, satuan wilayah pantai, serta reklamasi pantai. Selanjutnya untuk mempertahankan kelestarian dan keberadaan dari suatu sumber daya alam dan lingkungan, salah satu satu pendekatan yang dapat digunakan adalah melakukan penilaian terhadap daya dukung. Pendekatan ini digunakan untuk meminimalisasi kerusakan atau membatasi penggunaan sumber daya alam (Nurisyah et al., 2003). Menurut Knudson (1980), daya dukung merupakan penggunaan secara lestari dan produktif dari suatu sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources). Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumber daya alam dan lingkungan yang lestari melalui ukuran kemampuannya. Konsep ini dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumber daya alam dan lingkungan sehingga kelestarian keberadaan dan fungsinya dapat tetap terwujud, dan pada saat dan ruang yang sama, pengguna atau masyarakat pemakai sumber daya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera dan/atau tidak dirugikan (Nurisyah et al., 2003). Pendugaan nilai daya dukung suatu kawasan ditentukan oleh tiga aspek utama, yaitu (1) kepekaan sumber daya alam (site productivity); yang terkait dengan karakteristik biofisiknya meliputi kualitas udara, air, tanah, stabilitas ekosistem, dan erosi tanah, (2) bentuk, cara, dan laju (rate) penggunaan, serta

43 27 tingkat apresiasi dari pemakai sumber daya alam dan lingkungan, dan (3) bentuk pengelolaan (fisik, non fisik) yang bertujuan jelas dan berjangka panjang (Rahmadani, 2005). Kemudian sesuai tujuan yang ingin dicapai, beberapa bentuk pendugaan nilai daya dukung dari suatu kawasan adalah sebagai berikut. 1. Daya dukung ekologis menurut Pigram (1983) diacu dalam Nurisyah et al. (2003), dinyatakan sebagai maksimum penggunaan suatu kawasan atau suatu ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis suatu kawasan atau ekosistem tersebut, termasuk estetika lingkungan/alami yang dimilikinya. Kawasan yang menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung ekologis ini adalah jenis kawasan atau ekosistem yang rapuh (fragile) dan yang tidak dapat pulih (unrenewable), seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetlands), antara lain, rawa, payau, danau, laut, pesisir, dan sungai. 2. Daya dukung fisik, merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain, dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air sungai/permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum, atau pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat rekreasi. 3. Daya dukung sosial, merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan atau persepsi pemakai kawasan terhadap kehadiran orang lain secara bersama dalam memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat kenyamanan (comfortability) dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu tapak. 4. Daya dukung ekonomi, merupakan tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumber daya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan.

44 III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan pantai Kota Makassar mencakup tiga kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Mariso, dan Kecamatan Tamalate yang dimulai dari Pantai Losari hingga Pantai Barombong (Gambar 4). Penelitian di lapang dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Mei Metode Studi Penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan penggunaan lahan terbaik di kawasan pantai Kota Makassar berdasarkan manfaat dan biaya yang akan timbul serta kesesuaian lahan ini menggunakan metode survei pengumpulan data dengan cara pengamatan di lapang, wawancara, kuisioner, dan studi literatur. Data yang dikumpulkan meliputi data biofisik, sosial-ekonomi, keindahan, dan kenyamanan. Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penentu kebijakan. Penyebaran kuisioner dilakukan kepada responden terkait dengan aspek sosialekonomi, keindahan, dan kenyamanan. Proses penelitian terdiri atas evaluasi dan penyusunan rekomendasi dengan beberapa tahapan Inventarisasi Tahap inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data kondisi kawasan pantai pada saat ini. Data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut (Tabel 2). a. Aspek biofisik, meliputi data lokasi, iklim, geologi, jenis tanah, topografi, oseanografi, vegetasi, satwa, biota perairan, dan tata guna lahan. b. Aspek sosial-ekonomi, meliputi jumlah, sebaran dan kepadatan penduduk, pendapatan masyarakat, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat, pengelolaan masing-masing obyek rekreasi, serta aktivitas dan keinginan pengguna. c. Aspek keindahan, meliputi kealamiahan, tata guna lahan, pemandangan, dan persepsi keindahan masyarakat. d. Aspek kenyamanan, meliputi suhu udara, kelembaban udara, dan penutupan lahan.

45 Gambar 4. Peta lokasi penelitian di kawasan pantai Kota Makassar (Sumber: peta administrasi Kota Makassar skala 1:40.000; Google Earth) 29

46 Analisis Analisis dilakukan untuk mengetahui potensi sumber daya baik fisik maupun non fisik dan permasalahan yang sedang dan akan timbul akibat perubahan dan pengembangan pantai. Tabel 2. Jenis data, unit, tahun, sumber, kegunaan, dan pendekatan penelitian di kawasan pantai Kota Makassar No. Jenis Data Unit Tahun Sumber Kegunaan Pendekatan A. Biofisik 1. Lokasi (letak dan luas) dan kondisi geografis m Survei, DKKP Posisi dengan tempat lain 2. Iklim - Curah hujan mm/thn BMG Stasiun Maritim Paotere - Suhu udara o C BMG Stasiun Maritim Paotere - Kelembaban udara % BMG Stasiun Maritim Paotere Modifikasi penggunaan lahan, kenyamanan Modifikasi penggunaan lahan, kenyamanan Modifikasi penggunaan lahan, kenyamanan Modifikasi penggunaan lahan - Kecepatan angin km/jam BMG Stasiun Maritim Paotere 3. Geologi Bappeda Modifikasi penggunaan lahan 4. Jenis tanah Bappeda Modifikasi penggunaan lahan 5. Topografi - Kemiringan lereng % 2007 DKKP Modifikasi penggunaan lahan - Ketinggian m dpl Survei, DKKP Modifikasi penggunaan lahan 6. Hidrologi dan DKKP, DPLHK Modifikasi kualitas air penggunaan lahan 7. Oseanografi Survei, BMG, Modifikasi (kedalaman pantai, Bappeda, DKP penggunaan lahan arus laut, pasang surut, sedimentasi) 8. Vegetasi, satwa dan biota perairan , 2006, Aksesibilitas dan sirkulasi 10. Tata guna lahan , 2006, 2008 B. Sosial-Ekonomi 1. Jumlah, sebaran, dan kepadatan penduduk 2. Kesejahteraan masyarakat Survei, Bapedalda, DKKP Modifikasi penggunaan lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Kesesuaian lahan Survei, Bappeda Pemetaan Kesesuaian lahan Survei, wawancara (Bappeda, DTRB, PT. Dann Gelarrancana) Pemetaan SIG jiwa 2007 BPS Pengelolaan Analisis manfaat biaya Wawancara Pengelolaan Analisis manfaat biaya

47 31 Tabel 2. Lanjutan No. Jenis Data Unit Tahun Sumber Kegunaan Pendekatan 3. Kegiatan Pengelolaan Wawancara (UPTD PABPL, PT. GMTD, masyarakat) Pengelolaan 4. Aktivitas dan keinginan pengguna Wawancara dan kuisioner Pengelolaan C. Keindahan 1. Kealamiahan Survei Keindahan SBE 2. Tata guna lahan Survei, Bappeda Keindahan SBE 3. Pemandangan Survei Keindahan SBE 4. Persepsi keindahan masyarakat D. Kenyamanan Kuisioner Keindahan SBE Analisis manfaat biaya Analisis manfaat biaya 1. Suhu udara o C 2008 Survei Kenyamanan Analisis kenyamanan 2. Kelembaban udara % 2008 Survei Kenyamanan Analisis kenyamanan Analisis Manfaat Biaya Analisis ini dilakukan untuk mengetahui keuntungan atau manfaat (benefit) dari adanya pengembangan kawasan pantai dan dampak atau biaya (cost) yang mungkin ditimbulkan apabila tidak ada tindakan pengelolaan. Metode yang digunakan adalah metode perbandingan eksponensial (MPE), yaitu metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu (Ma arif & Tanjung, 2003). Metode ini digunakan untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dari beberapa kriteria (Marimin, 2004). Analisis manfaat biaya dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi pengelolaan terkait aspek ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya (Weaver, 2001). Alternatif manfaat (benefit) yang akan ditentukan sebagai keputusan adalah (1) peningkatan kualitas lingkungan, (2) perubahan visual/estetika, (3) pendapatan masyarakat (4) peluang usaha, (5) aktivitas rekreasi, (6) keamanan dan kesejahteraan masyarakat, dan (7) atraksi budaya. Alternatif biaya adalah (1) pencemaran lingkungan, (2) perubahan morfologi pantai, (3) kemacetan lalu lintas, (4) pemeliharaan infrastruktur, (5) perubahan mata pencaharian, dan (6) perubahan nilai sosial-budaya. Kriteria-kriteria yang ditetapkan adalah pengembangan kawasan sebagai (1) kawasan rekreasi, (2) kawasan jasa dan perdagangan/bisnis, (3) kawasan permukiman, (4) kawasan

48 32 konservasi, (5) kawasan pertanian/tambak, (6) kawasan olahraga, dan (7) kawasan budaya. Pemilihan beberapa alternatif tersebut berdasarkan survei lapang, wawancara dengan tenaga ahli, dan studi literatur, sedangkan kriteria mengacu pada kondisi lapang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengembangan kawasan, antara lain Perda No. 16 tahun 2004 tentang penataan kawasan pulau, pantai, pesisir, dan pelabuhan, Perda No. 6 tahun 2006 tentang RTRW Makassar, dan Peraturan Walikota No. 120 tahun 2006 tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan laut. Pendapat ahli (expert) sebagai responden sebanyak 12 orang berasal dari lembaga pemerintah, akademisi, dan swasta yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan (DPLHK), Dinas Tata Ruang dan Bangunan (DTRB), Dinas Kelautan dan Ketahanan Pangan (DKKP), Universitas Hasanuddin, dan PT. Dann Bintang Gelarrancana. Penentuan derajat kepentingan atau bobot dari setiap kriteria yang ditetapkan merupakan hasil judgement dari ahli (expert) dengan menggunakan metode pembobotan (derajat kepentingan) yaitu metode eckenrode dengan formula sebagai berikut (Ma arif & Tanjung, 2003). W e = k n j= 1 λ λ n ej ej e= 1 j= 1 e ej untuk e= 1,2,..., k...(1) dengan λ ej = nilai tujuan ke λ oleh ahli ke j n = jumlah ahli Selanjutnya berdasarkan kuisioner (Lampiran 1) dilakukan penilaian alternatif pada setiap kriteria dengan memberi nilai berdasarkan kriterianya. Penilaian alternatif menggunakan selang nilai 1 5 dengan nilai 1 sangat rendah kontribusinya terhadap alternatif manfaat (benefit) dan biaya (cost) yang dinilai, sedangkan nilai 5 sangat tinggi kontribusinya terhadap alternatif manfaat (benefit) dan biaya (cost). Perhitungan nilai total dari setiap pilihan keputusan diformulasikan sebagai berikut (Ma arif & Tanjung, 2003; Marimin, 2004).

49 33 TotalNilai(TN ) = dengan TN i = total nilai alternatif ke-i Rk ij i m j= 1 (Rk TKK j ij)...(2) = derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada keputusan ke-i, yang dapat dinyatakan dengan skala ordinal (1,2,3,4,5) TKK j = derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j, yang dinyatakan dengan bobot n = jumlah pilihan keputusan m = jumlah kriteria keputusan. Hasil analisis kemudian dibandingkan manfaat dan biaya/kerugiannya sehingga keputusan yang diambil kemudian sudah mencakup manfaat dan resiko biaya (Mukhtasor et al., 2006). Perlu ditekankan bahwa perbandingan antara manfaat dan biaya didasarkan bukan pada nilai nominal, tetapi dalam konteks perbandingan prioritas pembobotan yang dilakukan oleh responden ahli Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan terhadap aspek biofisik untuk memperoleh penggunaan lahan yang terbaik, antara lain penggunaan lahan untuk permukiman, rekreasi, konservasi, dan produksi. Penentuan kesesuaian lahan dilakukan dengan pendekatan analisis spasial Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan software ArcView versi 3.3. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan berdasarkan prosedur yang dikemukakan oleh FAO (1976) yang meliputi enam kegiatan, yaitu (1) konsultasi pendahuluan, (2) penentuan tipe penggunaan lahan, syarat-syarat, dan pembatas, (3) penentuan satuan peta lahan dan kualitas lahan, (4) pembandingan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas lahan, (5) klasifikasi kesesuaian lahan, dan (6) penyajian hasil. Satuan peta lahan dalam metode SIG ditentukan berdasarkan polygon yang dihasilkan dari metode tumpang susun (overlay) terhadap masing-masing peta tematik untuk setiap tipe kesesuaian lahan. Pembandingan dilakukan terhadap persyaratan dari tipe penggunaan lahan dengan kualitas lahannya untuk mendapatkan kelas kesesuaian lahan dan faktor pembatasnya. Klasifikasi untuk masing-masing tipe penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 3, 4, 5, dan 6.

50 34 Tabel 3. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai No. Karakteristik Lahan Kualitas Lahan untuk Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N 1. Buffer garis pantai < 300 m m m >700 m 2. Lebar pantai >15 m m <10 m tidak ada pantai 3. Substrat pantai pasir pasir berlumpur lumpur tidak ada pantai 4. Kecepatan arus 0-0,17 0,17-0,34 0,34-0,51 >0,51 m/dtk m/dtk m/dtk m/dtk 5. Kecerahan perairan >10 m 5-10 m <5 m tidak ada 6. Biota berbahaya tidak ada bulu babi bulu babi, ikan pari bulu babi, ikan pari, lepu, hiu 7. Ketersediaan air tawar 1 km 1-2 km 2 km tidak tersedia 8. Rawan bencana rendah sedang tinggi Diadaptasi dari Sjafi i (2000) Tabel 4. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi mangrove No. Karakteristik Lahan Kualitas Lahan untuk Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N 1. Kemiringan lahan 0-2 % 3-5% >6 % 2. Jarak dari pantai < 200 m m m >400 m 3. Jarak dari sungai <100 m m m >300 m 4. Jenis tanah Aluvial pantai Aluvial hidromof kelabu Gleihumus, Regosol 5. Drainase tergenang periodik tidak tergenang Diadaptasi dari FAO (1976) Tabel 5. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman No. Karakteristik Lahan Kualitas Lahan untuk Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N 1. Ketersediaan air tawar <1 km 1-2 km >2 km tidak tersedia 2. Kemiringan lahan <10% 10-15% 15-20% >20% 3. Drainase baik sedang jelek tergenang 4. Banjir tidak ada sedang sekali-sekali regular (occasional) 5. Batu tersingkap tidak ada sedang sangat berbatu (rock) 6. Jarak dari pantai >200 m m m <50 m 7. Jarak dari sungai >500 m m m <100 m Diadaptasi dari Zee (1990); Haris (2003)

51 35 Tabel 6. Klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan tambak No. Klasifikasi Lahan Kualitas Lahan untuk Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N 1. Kemiringan lahan 0-2 % 2-3 % 3-8 % >9 % 2. Jarak dari pantai m m <200 m >4000 m 3. Jarak dari sungai m m m >3000 m 4. Jenis tanah Aluvial pantai Aluvial hidromof kelabu Gleihumus, Regosol 5. Drainase tergenang periodik tidak tergenang 6. Geologi sedimen lepas sedimen padu Diadaptasi dari Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) Analisis Keindahan Analisis keindahan lanskap (landscape beautification) dilakukan untuk menentukan kualitas lanskap pantai Kota Makassar. Metode yang digunakan adalah metode scenic beauty estimation (SBE) yang dikemukakan oleh Daniel dan Boster (1976). Metode ini termasuk dalam kategori penilaian berdasarkan preferensi yang menggunakan kuisioner (Lampiran 2) untuk mengetahui preferensi responden terhadap lanskap. Analisis dengan metode SBE dilakulan dengan 3 (tiga) tahapan, yaitu (1) pemotoan lanskap, (2) evaluasi, dan (3) analisis kualitas keindahan (estetika). Pemotoan lanskap dilakukan berdasarkan karakteristik lanskap di kawasan pantai. Berdasarkan peta penutupan lahan, penentuan vantage point dilakukan pada lokasi yang dianggap memiliki karakteristik lanskap tertentu, yaitu ruang terbuka publik, kawasan jasa/perdagangan, kawasan bersejarah, permukiman, lanskap jalan raya, rawa/mangrove, dan tepi sungai. Pemotoan dilakukan di lapang pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan dengan waktu pemotretan yang memperhatikan saat pasang surut air laut dan terbenamnya matahari. Berdasarkan seleksi foto terhadap kualitas gambar, kesesuaian dengan tujuan pemotoan, dan keterwakilan elemen-elemen lanskap, dipilih 40 foto yang mewakili karakteristik lanskap yang telah ditentukan. Tahap evaluasi merupakan tahap presentasi slide foto yaitu penilaian responden terhadap lanskap yang dipresentasikan dalam slide foto. Presentasi slide dilakukan dengan durasi 8 detik setiap slide untuk dinilai oleh responden dengan skala penilaian Angka 1 menunjukkan sangat tidak disukai, sedangkan angka 10 menunjukkan lanskap yang sangat disukai. Jumlah responden

52 36 pada penelitian ini adalah 40 responden dari civitas akademika Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin. Jumlah responden atau ukuran contoh sekitar sudah cukup menghasilkan bentuk sebaran penarikan contoh yang mendekati normal (Daniel & Boster, 1976; Agresti & Finlay, 1997). Nilai SBE diperoleh dengan melakukan analisis kualitas keindahan. Nilai setiap foto dikelompokkan berdasarkan skala penilaian dari Selanjutnya tiap nilai dihitung frequency (f), cumulative frequency (cf), cumulative probability (cp), nilai z dan nilai z rata-rata. Foto dengan nilai z rata-rata paling mendekati nol ditetapkan sebagai lanskap standar. Nilai SBE diformulasikan sebagai berikut. SBE x = [Z Lx Z Ls ] (3) dengan SBE x = nilai SBE lanskap ke-x (x=1,2,3,..., n) Z Lx = Nilai rata-rata z lanskap ke-x Z Ls = Nilai rata-rata z lanskap standar Hasil perhitungan nilai SBE untuk setiap lanskap yang diperoleh dikelompokkan ke dalam tiga kategori kualitas keindahan yaitu kualitas tinggi, sedang, dan rendah. Pengelompokan dilakukan dengan menggunakan metode kuartil. Menurut Walpole (1990), kuartil adalah nilai-nilai yang membagi segugus pengamatan menjadi 4 (empat) bagian yang sama besar, yaitu masing-masing 25%. Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan gugus adalah nilai SBE semua lanskap yang diurutkan dari yang terendah sampai tertinggi. Kualitas tinggi adalah 25% dari gugus nilai SBE tertinggi, sedangkan kualitas rendah adalah 25% gugus nilai SBE terendah. Kualitas sedang adalah 50% gugus yang mempunyai nilai di antara kedua kualitas tersebut sebelumnya (Gunawan, 2005) Analisis Kenyamanan Proses perencanaan dan pengelolaan lanskap tidak hanya dapat dilihat dari aspek visual keindahan, tetapi juga mencakup iklim mikro, yaitu suhu, curah hujan, kelembaban atmosfer, dan keberadaan badan air (Kaswanto, 2007; Schiller, 2001). Perhitungan kenyamanan lanskap (landscape amenity) di kawasan pantai Kota Makassar didekati dengan dua faktor, yakni suhu dan kelembaban udara yang dibedakan menjadi tiga tingkatan dan pembobotan (Tabel 7). Nilai indeks tingkat kenyamanan (ITN) dihitung berdasarkan formula pada Tabel 8 dan

53 37 dikelompokan ke dalam tiga kelas interval kesesuaian yakni tinggi, sedang, dan rendah. Untuk mendapatkan kriteria tingkat kenyamanan di kawasan pantai Kota Makassar, dilakukan pengukuran suhu udara dan kelembaban udara menggunakan termometer dan higrometer. Pengukuran dilakukan pada pukul 06.00, 09.00, 12.00, 15.00, dan WITA saat cuaca cerah. Survei terhadap 30 responden dilakukan untuk mengetahui apakah suhu pada waktu tersebut nyaman atau tidak. Selain itu, pengukuran suhu udara pada grid juga dilakukan untuk mengetahui pola sebaran suhu udara yang dilakukan pada pukul WITA saat cuaca cerah. Tabel 7. Kriteria tingkat kenyamanan yang dianalisis* No. Faktor Kenyamanan Tingkatan Pembobotan 1. Suhu udara (SU) Suhu udara o C Suhu udara o C Suhu udara o C Kelembaban udara (KU) Kelembaban udara % Kelembaban udara % Kelembaban udara % * Cerah dan siang hari Tabel 8. Indeks tingkat kenyamanan pada kawasan pantai Kota Makassar Indeks Tingkat Kenyamanan (ITN): ITN= (1TN + SU 1TN KU )/2 dengan TN SU = kenyamanan berdasarkan suhu udara rata-rata harian = kenyamanan berdasarkan kelembaban udara rata-rata harian TN KU Sintesis Tahap ini merupakan tahap untuk mendapatkan alternatif-alternatif pengembangan kawasan pantai yang sesuai dengan karakter lanskap. Alternatif pengembangan kawasan adalah sebagai kawasan rekreasi, kawasan permukiman, kawasan konservasi, dan kawasan produksi (tambak). Alternatif tersebut dipilih berdasarkan penggunaan lahan terbaik yang diperoleh dari analisis manfaat biaya, evaluasi kesesuaian lahan, analisis keindahan, dan analisis kenyamanan.

54 Penyusunan Rekomendasi Tahap selanjutnya adalah penyusunan rekomendasi pengembangan dan pengelolaan pantai. Rekomendasi yang dihasilkan berupa konsep pengembangan dan pengelolaan kawasan yang sesuai untuk mewujudkan Kota Makassar sebagai waterfront city. Pertimbangan dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan adalah manfaat biaya yang akan diperoleh, keindahan/estetika, dan kenyamanan. Konsep pengembangan dan pengelolaan dijabarkan dalam konsep dan zonasi ruang, daya dukung kawasan, serta strategi dan program pengelolaan. Perhitungan daya dukung kawasan dilakukan untuk mengetahui kemampuan kawasan untuk menerima sejumlah pengunjung dengan intensitas penggunaan maksimum terhadap sumber daya alam yang berlangsung terus-menerus tanpa merusak lingkungan. Daya dukung tersebut dihitung berdasarkan standar yang dikemukakan oleh WTO (1981) dengan faktor pembatas berupa panjang pantai berpasir, luas lahan untuk akomodasi, dan ketersediaan air bersih (Tabel 9). Selain itu, untuk mengetahui kapasitas daya dukung kawasan untuk setiap aktivitas dihitung berdasarkan formula Boullon (Libosada, 1998) sebagai berikut. Tabel 9. Faktor pembatas dan standar kebutuhan ruang fasilitas pariwisata di kawasan pesisir No. Faktor Pembatas Standar Kebutuhan Ruang 1. Kapasitas pantai - kelas rendah - kelas menengah - kelas mewah - kelas istimewa 10 m 2 /orang, 2,0-5,0 orang/20-50 m pantai 15 m 2 /orang, 1,5-3,5 orang/20-50 m pantai 20 m 2 /orang, 1,0-3,0 orang/20-50 m pantai 30 m 2 /orang, 0,7-1,5 orang/20-50 m pantai 2. Air bersih - Penginapan kawasan pesisir liter/hari - Penginapan kawasan pantai tropik liter/hari 3. Akomodasi (hotel) - ekonomi - menengah - istimewa Sumber: WTO (1981) Ruang yang disyaratkan 10 m 2 /tempat tidur Ruang yang disyaratkan 19 m 2 /tempat tidur Ruang yang disyaratkan 30 m 2 /tempat tidur atau tempat tidur/ha

55 39 A DD =...(4) S T = DD K...(5) N K = R...(6) dengan DD = daya dukung per satuan luas area A = luas area yang digunakan wisatawan (m 2 ) S = standar rata-rata individu untuk suatu aktivitas (m 2 /individu) T = total pengunjung yang diperkenankan dalam satu hari (individu/hari) K = koefisien rotasi per hari N = jam kunjungan per hari area yang diijinkan R = rata-rata waktu kunjungan

56 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Letak Geografis dan Administrasi Kota Makassar secara geografis terletak antara 119 o o BT dan 05 o o 13 6,5 LS yang berbatasan di sebelah Utara dengan Kabupaten Pangkep dan Maros, sebelah Timur dengan Kabupaten Maros dan Gowa, sebelah Selatan dengan Kabupaten Gowa, dan sebelah Barat dengan Selat Makassar. Luas Kota Makassar secara keseluruhan adalah ha yang terdiri atas ha wilayah daratan dan 140 ha wilayah kepulauan. Dalam wilayah laut Kota Makassar terdapat 12 pulau, 1 gusung, dan 26 taka (DKKP, 2006). Pulau terjauh adalah Pulau Lanyukang sejauh 40 km dari Kota Makassar tepatnya dari dermaga Kayu Bangkoa, sedangkan pulau terdekat adalah Pulau Lae-lae berjarak 2 km dari Kota Makassar. Kota yang terletak di pantai barat Sulawesi Selatan ini mempunyai garis pantai sepanjang 52,8 km yang terdiri atas garis pantai daerah pesisir sepanjang 36,1 km dan garis pantai pulau dan gusung sepanjang 16,7 km (Lampiran 3, 4). Wilayah Kota Makassar memiliki 14 kecamatan dan 143 kelurahan. Jumlah kelurahan, luas wilayah, dan persentase terhadap luas wilayah dapat dilihat pada Tabel 10. Dari 14 kecamatan tersebut, 8 kecamatan berbatasan langsung dengan laut (Lampiran 5). Lokasi studi ini mencakup 3 (tiga) kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Mariso, Kecamatan Tamalate, dan Kecamatan Ujung Pandang dengan luas keseluruhan tapak adalah ha dan panjang garis pantai adalah 14,3 km Kondisi Biofisik Iklim Berdasarkan data yang tercatat dari Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah IV Stasiun Maritim Paotere selama periode , Kota Makassar memiliki curah hujan rata-rata tahunan adalah mm/tahun dengan rata-rata curah hujan bulanan 231 mm. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidth- Ferguson, Kota Makassar tergolong tipe iklim D (nilai Q=73,44%) yaitu daerah sedang dengan vegetasi hutan musim. Berdasarkan data iklim Kota Makassar tahun 2007 (Tabel 11), dapat dilihat bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada

57 41 bulan Februari sebesar 646,9 mm dan terendah bulan Juli sebesar 0,8 mm. Jumlah hari hujan pada tahun 2007 sebesar 142 hari. Suhu udara rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir sebesar 27,4 o C dengan kelembaban rata-rata 81,9%. Lama penyinaran matahari rata-rata adalah 67% dengan kecepatan angin rata-rata 3,8 knot. Kecepatan angin menurut Skala Beaufort adalah angin sepoi lemah. Tabel 10. Jumlah kelurahan, luas, dan persentase terhadap luas Kota Makassar No. Kecamatan Jumlah Persentase terhadap Luas Luas Area (ha) Kelurahan Kota Makasar (%) 1. Mariso ,04 2. Mamajang ,28 3. Tamalate ,50 4. Rappocini ,25 5. Makassar ,43 6. Ujung Pandang ,50 7. Wajo ,13 8. Bontoala ,19 9. Ujung Tanah , Tallo , Panakkukang , Manggala , Biringkanaya , Tamalanrea ,11 Jumlah ,00 Sumber: BPS (2007) Tabel 11. Data iklim Kota Makassar tahun 2007 Bulan Curah hujan (mm) Hari hujan (hari) Suhu ( o C) Kelembaban (%) Penyinaran matahari (%) Kecepatan angin (knot) Januari 588, ,6 87,0 42,0 6,4 Februari 646, ,1 87,0 37,4 5,4 Maret 351, ,3 85,0 55,3 4,9 April 264, ,6 84,0 63,4 2,6 Mei 32, ,2 81,0 63,0 1,8 Juni 136, ,1 84,0 60,9 1,7 Juli 0,8 1 27,3 75,9 72,8 3,9 Agustus 0,0 0 27,2 71,6 97,8 4,6 September 0,0 0 28,0 66,0 97,0 4,6 Oktober 0,0 0 28,4 67,0 98,1 4,7 Nopember 17,2 8 29,1 74,1 88,5 5,3 Desember 443, ,1 81,0 65,1 5,1 Sumber: BMG Wilayah IV, Stasiun Maritim Paotere Makassar

58 Geologi dan Tanah Kondisi geologi di Kota Makassar disusun oleh dua jenis batuan, yaitu batuan gunung api dan endapan alluvial (Lampiran 6). Kondisi geologi tersebut menunjukkan bahwa di Kota Makassar tidak dijumpai adanya gejala yang memberikan indikasi terdapatnya struktur geologi yang dinamis dan penting, yaitu sesar (patahan), lipatan, dan kekar sehingga relatif aman dari proses geologi. Jenis tanah yang ada di Kota Makassar terdiri atas tanah inceptisol dan tanah ultisol. Jenis tanah inceptisol terdapat hampir di seluruh wilayah Kota Makassar. Jenis ini tergolong sebagai tanah muda dengan tingkat perkembangan lemah dengan horison kambik yang dicirikan dengan adanya kandungan liat yang belum terbentuk dengan baik akibat proses basah kering dan proses penghayutan pada lapisan tanah. Tanah ini terbentuk dari berbagai macam bahan induk, yaitu aluvium (fluviatil dan marin), batu pasir, batu liat, dan batu gamping. Jenis tanah ultisol merupakan tanah berwarna kemerahan yang banyak mengandung lapisan tanah liat dan bersifat asam. Jenis ini berkembang dari batuan sedimen masam (batu pasir dan batu liat) dan sedikit dari batuan volkan tua. Tanah yang mempunyai horison argilik atau kandik ini telah mengalami pelapukan lanjut dan terjadi translokasi liat pada bahan induk yang umumnya terdiri atas bahan kaya aluminium silika dengan iklim basah (Bappeda, 2005) Topografi Kota Makassar memiliki kondisi topografi relatif datar dengan kemiringan lahan 0-15% dan ketinggian 0-25 m di atas permukaan laut. Kondisi topografi yang relatif datar tersebut sesuai untuk berbagai jenis penggunaan lahan, seperti pelabuhan, rekreasi, pertanian/tambak, dan konservasi Hidrologi Secara hidrologis, Kota Makassar dipengaruhi oleh Sungai Jeneberang di bagian selatan dan Sungai Tallo di bagian utara. Sebagian permukaan Kota Makassar memiliki wilayah yang lebih rendah dari permukaan air laut sehingga hampir setiap tahunnya beberapa bagian kota mengalami banjir. Bagian kota terutama di sepanjang DAS Jeneberang dan Tallo yang peka terhadap banjir merupakan daerah rendah, yang sebelumnya berupa empang atau rawa-rawa yang

59 43 berkembang menjadi daerah permukiman. Peta rawan banjir di Kota Makassar dapat dilihat pada Lampiran 7. Berdasarkan parameter fisika kimia, kondisi perairan pantai Kota Makassar telah mengalami pencemaran terutama bahan organik dan padatan tersuspensi. Beberapa parameter fisika kimia telah melebihi baku mutu air laut yang tergolong tercemar adalah total padatan tersuspensi (total suspended solid, TSS), kebutuhan oksigen secara kimia (chemical oxygen demand, COD), nitrat, fosfat, logam timbal (Plumbum, Pb), dan logam kadmium (Cadmium, Cd) (Tabel 12). Tabel 12. Kondisi perairan berdasarkan parameter fisika kimia No. Parameter Satuan Min Maks Rerata Baku mutu Daerah Nasional EC* Keterangan 1. TSS mg/l ,5 152, Tercemar 2. ph - 7,75 8,14 7,94-7-8,5 6-9 Sesuai untuk biota laut 3. Suhu o C 30,1 30,7 30, Tidak tercemar 4. DO mg/l 3,8 5,1 4,7 4 >5 5,6-9 Tidak tercemar, kecuali muara Sungai Jeneberang proses fotosintesis terhambat oleh padatan tersuspensi 5. BOD mg/l 2,3 2,7 2, Tidak tercemar 6. COD mg/l , Tercemar 7. Amonia mg/l 0,01 0,04 0,018-0,3 0,025 Tidak tercemar 8. Nitrat mg/l 0,01 1,326 0,258-0,008 0,03 Tercemar 9. Fosfat mg/l 0,09 0,224 0,135-0,015 - Tercemar 10. Pb mg/l 0,115 0,415 0,215-0,008 0,001 Tercemar 11. Cd mg/l 0,003 0,125 0,047-0,001 0,0018 Tercemar 12. Cu mg/l 0 0,011 0,018-0,008 0,005 Tidak tercemar Sumber: Diolah dari Samawi (2007) * EC: European Community Oseanografi Kondisi oseanografi di perairan pantai Kota Makassar dipengaruhi oleh kondisi arah dan kecepatan angin. Pada saat kecepatan angin maksimum arah angin yang terjadi dominan dari arah barat laut dan diikuti dari arah barat serta arah barat daya. Selain itu, ombak di perairan juga dibangkitkan oleh angin. Menurut DKKP (2006), tinggi ombak maksimum pada tahun di Pantai Barombong berada pada kisaran 0,5-4,0 m, sedangkan di Pantai Losari lebih rendah yaitu berada pada kisaran 0,5-1,3 m (Lampiran 8).

60 44 Pola arus di perairan pantai Kota Makassar dipengaruhi oleh arus pasang surut yang bergerak dari arah utara ke selatan dan sebaliknya dari selatan ke utara. Arus tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi di daratan dan dasar laut yang landai dengan keberadaan pulau-pulau di sekitar Kota Makassar dan juga adanya karang dan lamun. Pada daerah tertentu terdapat teluk yang berfungsi sebagai penghalang sehingga aksi arus dari laut lepas teredam oleh keberadaan tanjung yang menyebabkan arus menjadi lemah. Data tunggang air pasang surut di perairan Kota Makassar dapat dilihat pada Lampiran 9. Dominansi arus dari selatan ke utara cenderung membawa sedimen ke arah utara. Selain berasal dari erosi dan abrasi pantai akibat arus susur pantai dan arus tolak pantai, sedimen juga berasal dari DAS Jeneberang dan DAS Tallo. Sedimentasi tersebut menyebabkan kekeruhan, pendangkalan (terutama di kawasan pelabuhan), timbulnya delta, dan lidah pasir (spit) ke arah Pantai Losari. Daerah Aliran Sungai Jeneberang memiliki luas ha dengan panjang sungai utama 75 km dan debit sungai berkisar 4, m 3 /detik. Angkutan sedimen diketahui dengan mengacu pada debit sungai Jeneberang, yaitu antara 238, m 3 /detik (debit rata-rata tahunan sebesar 33,05 m 3 /detik) dengan kadar lumpur yang terbawa antara gr/liter (DKKP, 2007a). Pengaruh perkembangan sedimentasi ini berdampak pada daerah sekitar Tanjung Bunga ke arah barat laut hingga utara. Sebagai alternatif untuk mengatasi masalah sedimentasi, dibangun Dam Bili-bili yang diperkirakan akan menurunkan muatan sedimen ke perairan pantai Makassar hingga 0,2 106 m/tahun atau seperempat kali volume semula. Selain itu, pengaruh ombak dan arus dekat pantai juga menimbulkan gayagaya hidrodinamis sehingga membentuk spit yang ujungnya membelok ke arah daratan seakan-akan menyerupai spiral. Antara spit dengan daratan di Kecamatan Mariso terbentuk teluk yang cenderung membentuk perairan tertutup dari arah barat sehingga proses dauran ombak relatif kecil (Bappeda, 2003). Berdasarkan data pada Lampiran 10, suhu permukaan laut di sekitar pantai Kota Makassar berkisar antara o C, sedangkan di sekitar pulau-pulau kecil suhu permukaan laut berkisar o C. Salinitas permukaan laut di sekitar pantai Kota Makassar berkisar antara o / oo, sedangkan di sekitar pulau-

61 45 pulau kecil berkisar o / oo. Nilai kecerahan perairan di Pantai Barombong adalah 4-6 m, sedangkan di kawasan Pelabuhan Makassar hanya sebesar 2,6-3,5 m. Kecerahan tinggi sekitar m terdapat di perairan yang jauh dari daratan utama yaitu di sekitar pulau-pulau terluar, seperti Pulau Lumu-lumu dan Pulau Lanyukang Vegetasi dan Satwa Kota Makassar memiliki pantai berpasir dan pantai berair sehingga jenis vegetasi juga dipengaruhi oleh jenis pantai. Vegetasi yang terdapat di pantai berpasir terdiri atas jenis Pescarpae dan jenis Barringtonia. Jenis Pescarpae merupakan vegetasi yang dapat tumbuh pada tanah yang berkadar garam (salinitas) tinggi. Vegetasi yang ditemukan di pantai Kota Makassar adalah kangkung laut (Ipomoea pescaprae) dan kacang laut (Vigna marina). Jenis Barringtonia merupakan vegetasi yang berada di belakang jenis Pescarpae yang didominasi oleh jenis pohon. Vegetasi jenis ini yang ada di pantai Kota Makassar seperti ketapang (Terminalia catappa) dan waru laut (Hibiscus tiliaceus). Jenis vegetasi lain yang juga terdapat di kawasan pantai Kota Makassar antara lain akasia (Acasia auriculiformis), kelapa dalam (Cocos nucifera), lontar (Borassus sudaica), kayu jawa (Lannea grandis), dan palem raja (Roystonea regia) (Lampiran 11). Jenis vegetasi yang tumbuh di pantai berair adalah mangrove, yang banyak dijumpai terutama di muara Sungai Jeneberang. Luas hutan mangrove di Kota Makassar adalah 38 ha, yang terluas ditemukan di Kecamatan Tamalanrea yaitu 19 ha. Di wilayah studi, ekosistem mangrove yang tersisa adalah 4 ha, yaitu di Kecamatan Mariso seluas 2 ha dan Kecamatan Tamalate seluas 2 ha. Vegetasi mangrove di Kecamatan Tamalate hanya terdapat di Kelurahan Maccini Sombala (Gambar 5) karena sebagian besar hutan mangrove di kecamatan ini telah dikonversi menjadi tambak. Mangrove tersebut terletak 30 m di bagian belakang garis pantai yaitu api-api (Avicennia alba) sebagai jenis yang dominan, sedangkan jenis lainnya adalah perepat (Sonneratia alba). Mangrove di daerah ini dimanfaatkan secara tidak langsung oleh masyarakat di sekitarnya, yaitu sebagai pelindung pantai dan pematang tambak.

62 46 Jenis satwa yang ada di pantai Kota Makassar terdiri atas satwa di daratan (terrestrial) dan perairan (aquatic). Satwa di daratan yang dominan di sekitar pantai Kota Makassar adalah beberapa jenis burung, seperti burung gereja (Passer montanus), kapinis (Apas pasificus), dan burung dara laut (Sterna hirundo). Selain itu, ditemukan juga satwa dari jenis mamalia, reptil, dan insekta (Lampiran 12). Satwa atau biota yang hidup di perairan di pantai Kota Makassar cukup beragam meliputi nekton dan benthos (Lampiran 13). Beberapa jenis dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dengan cara menangkap/mengambil atau memancing, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun dijual. Gambar 5. Mangrove di Kecamatan Tamalate Tata Guna Lahan Kawasan pantai Kota Makassar terutama di Kecamatan Tamalate sekitar Sungai Jeneberang merupakan kawasan yang mengalami perkembangan yang pesat untuk kegiatan-kegiatan perkotaan. Berbagai aktivitas perkotaan telah tumbuh di areal-areal yang masih kosong dan lahan pertanian/tambak. Permukiman telah dibangun baik dengan skala kecil maupun besar. Selain itu, kawasan rekreasi juga telah dibangun, seperti kawasan wisata miniatur Sulawesi Selatan (Benteng Somba Opu), kawasan Tanjung Bunga (Pantai Akkarena), dan kawasan Tanjung Merdeka. Untuk menghubungkan Tanjung Bunga dan Tanjung Merdeka dengan Kota Makassar telah dibangun jalan alternatif menuju Pantai Losari untuk memperlancar aksesibilitas antar kedua kawasan tersebut. Kondisi penggunaan lahan di kawasan pantai Kota Makassar saat ini dikembangkan sebagai kawasan permukiman, rekreasi, jasa dan perhotelan,

63 47 perdagangan, kawasan bersejarah, pelabuhan pendaratan ikan, pelabuhan antar pulau, lahan pertanian/sawah, dan areal bekas tambak. Kawasan pantai Kota Makassar bagian utara sebagian besar masih berupa pantai berlumpur dan bervegetasi mangrove. Dari segi pemanfaatan, pantai di bagian utara relatif tidak dimanfaatkan. Kecuali di Kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan Wajo yang telah mengalami pengerasan dengan retaining wall dan dimanfaatkan untuk industri galangan kapal, docking kapal TNI AL, Bogasari, dan Pelabuhan Makassar (Pelabuhan Umum dan Peti Kemas). Kawasan pantai bagian barat meliputi Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Mariso, dan Kecamatan Tamalate. Pantai di Kecamatan Ujung Pandang umumnya sudah mengalami pengerasan dengan dinding penahan (retaining wall) karena sebagian besar pantai di kecamatan ini merupakan daerah rekreasi Pantai Losari. Hanya sebagian lokasi di sebelah utara pantai merupakan kompleks perhotelan (Pantai Gapura Makassar Hotel dan Makassar Golden Hotel) serta dermaga penyeberangan ke pulau (Dermaga Kayu Bangkoa dan Pulau Kayangan). Demikian pula pantai di Kecamatan Mariso umumnya juga sudah mengalami pengerasan dengan dinding penahan karena sebagian besar pantai di kecamatan ini merupakan daerah pangkalan pendaratan ikan (TPI Rajawali) dan permukiman pantai. Kecamatan Tamalate mempunyai pantai terpanjang di antara kecamatan yang mempunyai pantai di Kota Makassar, yaitu sepanjang 9,7 km (panjang pantai Kota Makassar 36,1 km). Pada umumnya pantai di kecamatan ini bertipe pantai berpasir dengan lebar pantai sekitar m dan kelandaian 3%. Secara umum pantai ini dikatakan relatif stabil sekalipun cenderung maju ke arah laut akibat sedimentasi pasir halus dari sungai Jeneberang. Dengan kondisi pantai tersebut, sebagian besar pantai ini digunakan sebagai areal rekreasi pantai. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar tahun , tata guna lahan di Kota Makassar akan dibagi menjadi 13 kawasan terpadu, tujuh kawasan khusus, dan 1 kawasan prioritas. Selanjutnya kawasankawasan ini dibagi lagi ke dalam beberapa kawasan pengembangan, seperti kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan hijau, kawasan tangkapan air, kawasan ekonomi perspektif, dan lain-lain. Kawasan pantai Kota Makassar

64 48 termasuk dalam kawasan pusat kota, kawasan pelabuhan terpadu, kawasan maritim terpadu, kawasan budidaya terpadu, kawasan olahraga terpadu, kawasan bisnis/pariwisata terpadu, dan kawasan bisnis global terpadu Obyek dan Pengelolaan Kawasan Pantai (Existing) Kota Makassar memiliki 185 obyek wisata (BPS, 2007) dengan 6 obyek wisata pantai/pelabuhan (Tabel 13). Obyek wisata pantai/pelabuhan tersebut adalah Pantai Losari, Pantai Akkarena, Pantai Tanjung Merdeka, Pantai Tanjung Bayang, Pantai Barombong, dan dermaga penyeberangan ke pulau-pulau kecil. Beberapa obyek rekreasi di kawasan pantai Kota Makassar dapat dilihat pada Lampiran 14. Tabel 13. Jenis dan jumlah obyek wisata di Kota Makassar No. Jenis Obyek Wisata Jumlah 1. Obyek wisata pulau Obyek wisata sungai/kanal 8 3. Obyek wisata pantai/pelabuhan 6 4. Obyek wisata budaya dan sejarah Obyek wisata belanja niaga Obyek wisata pendidikan Obyek wisata olahraga 54 Total 185 Sumber: BPS (2007) Obyek wisata tersebut memiliki pengelolaan yang berbeda-beda. Pantai Losari terutama Anjungan Bahari dan Pantai Barombong dikelola oleh Pemerintah Kota Makassar yaitu Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) Pengelolaan Anjungan Bahari Pantai Losari dibawah koordinasi Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota Makassar untuk pengelolaan Anjungan Bahari, sedangkan Pantai Barombong oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Pantai Akkarena yang berlokasi di kawasan Tanjung Bunga dikelola oleh swasta yaitu Sektor Taman Rekreasi Pantai Akkarena dibawah PT. Gowa Makassar Tourism Development (PT. GMTD). Pantai Tanjung Merdeka dan Tanjung Bayang dikelola oleh masyarakat setempat, yaitu LPM Sakinah.

65 49 Pantai Losari merupakan landmark Kota Makassar yang memanjang dari utara ke selatan sepanjang 4 km dan menghubungkan kawasan Pelabuhan Samudera Soekarno-Hatta di bagian utara dan kawasan Tanjung Bunga di bagian selatan. Saat ini Pantai Losari telah direklamasi dengan dibangunnya Anjungan Bahari, dari tiga anjungan yang akan dibangun. Dua anjungan lainnya yang akan dibangun, yaitu Anjungan Bugis-Makassar dan Anjungan Toraja-Mandar. Luas anjungan akan dibangun sekitar 11 ha yang dapat menampung sekitar orang. Fasilitas yang tersedia di Anjungan Bahari yang dapat dimanfaatkan oleh pengunjung antara lain tempat duduk, toilet, musholah, dan tempat memancing. Taman Rekreasi Pantai Akkarena yang terletak di dalam kawasan Tanjung Bunga memiliki luas m 2 dengan luas areal terbangun m 2 dan luas tidak terbangun m 2. Pantai Akkarena dengan panjang garis pantai sekitar 412 m memiliki beberapa fasilitas antara lain loket, tempat parkir, kios/kafe, tempat penyewaan speedboat, dan fasilitas taman bermain. Rata-rata jumlah pengunjung setiap harinya di Pantai Akkarena adalah 100 orang dan dapat mencapai 500 orang pada hari libur. Tanjung Merdeka dan Tanjung Bayang memiliki panjang garis pantai sekitar 800 m. Rata-rata jumlah pengunjung di pantai ini sekitar 100 orang dan dapat mencapai 1000 orang pada hari libur. Aktivitas pengunjung di pantai ini umumnya berenang, makan-makan, dan bermain di pantai, yang didukung oleh beberapa fasilitas seperti loket, wisma/penginapan, dan tempat penyewaan ban. Pantai Barombong seluas 3,5 ha memiliki panjang garis pantai 80 m yang berbatasan dengan Sekolah Pelayaran Barombong. Dibandingkan dengan obyek rekreasi lainnya, Pantai Barombong lebih jarang dikunjungi dengan jumlah pengunjung sekitar 50 orang per hari dan dapat mencapai 500 orang pada hari libur. Fasilitas yang tersedia di pantai ini antara lain loket, rumah/pondok, aula, toilet, kamar ganti pakaian, dan gazebo Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Jumlah penduduk Kota Makassar pada tahun 2007 adalah jiwa. Berdasarkan data penduduk tahun jumlah penduduk di Kota Makassar mengalami peningkatan dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk 1,45%. Dari

66 50 ketiga kecamatan di lokasi penelitian, Kecamatan Tamalate memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi yaitu 2,47% dibanding dua kecamatan lainnya. Hal ini terkait dengan pemanfaatan lahan dari lahan pertanian/tambak menjadi kawasan permukiman. Akan tetapi, dari segi kepadatan penduduk di Kecamatan Tamalate memiliki tingkat kepadatan penduduk yang rendah (8.173 jiwa/km 2 ) dibandingkan Kecamatan Mariso (29,293 jiwa/km 2 ) dan Kecamatan Ujung Pandang ( jiwa/km 2 ). Jenis usaha yang dilakukan oleh rumah tangga (RT) terbagi atas lima jenis usaha, yaitu sektor perdagangan, konstruksi bangunan, angkutan/transportasi, pertanian, dan industri. Menurut Koordinator Statistik Kecamatan Tamalate (2007) jenis usaha di Kecamatan Tamalate adalah perdagangan sebanyak RT, konstruksi bangunan sebanyak RT, angkutan/transportasi sebanyak RT, pertanian sebanyak RT, dan industri sebanyak 616 RT. Untuk usaha di sektor pertanian terutama perikanan, jumlah rumah tangga perikanan (RTP) yang bekerja sebagai nelayan sebanyak 535 RTP, mengusahakan tambak sebanyak 69 RTP, dan perikanan lainnya sebanyak 36 RTP. Masyarakat nelayan di Kota Makassar mempunyai struktur ekonomi dan budaya nelayan yang unik yaitu adanya struktur punggawa-sawi yang berlaku umum dalam kegiatan kenelayanan. Umumnya nelayan-nelayan kecil (sawi) bekerja pada punggawa karena memiliki modal yang cukup untuk melakukan kegiatan kenelayanan. Artinya, pengadaan kapal dan biaya operasional untuk proses penangkapan ikan disediakan oleh punggawa. Selain itu, punggawa juga menyediakan dana untuk keperluan-keperluan mendesak bagi keluarga nelayan yang bekerja pada punggawa, seperti uang sekolah, biaya pengobatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, hubungan punggawa-sawi tidak terbatas hubungan ekonomi saja, tetapi juga hubungan emosional atau kekeluargaan (DKKP, 2007b) Analisis Manfaat Biaya Kawasan pantai Kota Makassar memiliki beberapa alternatif pengembangan, yaitu sebagai kawasan rekreasi, kawasan konservasi, kawasan olahraga, kawasan jasa/perdagangan dan bisnis, kawasan budaya, kawasan permukiman, dan kawasan pertanian/tambak. Menurut Breen dan Rigby (1996)

67 51 diacu dalam Sairinen dan Kumpulainen (2006) pengembangan suatu kota dengan konsep waterfront city dapat dikelompokkan ke dalam enam penggunaan utama, yaitu (1) kawasan komersial (commercial waterfront), (2) kawasan budaya, pendidikan, dan lingkungan (cultural, educational, and environmental waterfront), (3) kawasan bersejarah (historic waterfront), (4) kawasan rekreasi (recreational waterfront), (5) kawasan perkantoran (working waterfront), dan (6) kawasan permukiman (residential waterfront). Berdasarkan analisis penentuan bobot setiap alternatif menggunakan metode eckenrode diperoleh hasil bobot dari pengembangan kawasan rekreasi memiliki nilai paling besar (0,274) dibandingkan dengan alternatif pengembangan lainnya, sedangkan pengembangan kawasan pertanian/tambak memiliki nilai paling kecil (0,008) dibandingkan dengan alternatif pengembangan lainnya (Tabel 14). Hal ini berarti bahwa kawasan pantai Kota Makassar menurut responden memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan rekreasi. Tabel 14. Bobot alternatif pengembangan kawasan pantai Kota Makassar berdasarkan pendapat responden ahli Alternatif Pengembangan Bobot Kawasan rekreasi 0,274 Kawasan konservasi 0,179 Kawasan olahraga 0,175 Kawasan jasa/perdagangan dan bisnis 0,171 Kawasan budaya 0,123 Kawasan permukiman 0,071 Kawasan pertanian/tambak 0,008 Keterangan: Bobot 0,000-1,000 menunjukkan tingkat kepentingan alternatif pengembangan dari sangat rendah-sangat tinggi Selanjutnya berdasarkan perhitungan manfaat dan biaya yang akan diperoleh apabila kawasan pantai Kota Makassar dikembangkan, terlihat bahwa seluruh alternatif pengembangan kawasan menunjukkan nilai manfaat yang lebih besar dibandingkan nilai biaya (Gambar 6). Artinya bahwa selisih nilai manfaat biaya yang diperoleh seluruhnya bernilai positif. Selisih nilai manfaat biaya yang terbesar adalah pengembangan kawasan rekreasi dengan nilai 2,1098, sedangkan selisih nilai manfaat biaya yang terkecil adalah pengembangan kawasan permukiman dengan nilai 0,0071 (Lampiran 15).

68 52 Total Nilai Total Nilai Manfaat Total Nilai Biaya Kawasan rekreasi Kawasan jasa/perdagangan dan bisnis Kawasan budaya Kawasan konservasi Kawasan olahraga Kawasan pertanian/tambak Kawasan permukiman Alternatif Pengembangan Gambar 6. Total nilai manfaat biaya Berdasarkan hasil yang diperoleh, urutan pertama berdasarkan penilaian responden dan perhitungan selisih manfaat biaya adalah pengembangan kawasan rekreasi. Akan tetapi, urutan kedua dan seterusnya terlihat adanya perbedaan urutan prioritas (Tabel 15). Tabel 15. Prioritas pengembangan berdasarkan penilaian responden dan selisih manfaat biaya Alternatif Pengembangan Prioritas Berdasarkan Penilaian Responden Prioritas Berdasarkan Selisih Manfaat Biaya Kawasan rekreasi 1 1 Kawasan jasa/perdagangan dan bisnis 4 2 Kawasan permukiman 6 7 Kawasan konservasi 2 4 Kawasan pertanian/tambak 7 6 Kawasan olahraga 3 5 Kawasan budaya 5 3 Kota Makassar memiliki potensi obyek wisata yang menarik, antara lain, obyek wisata pantai, obyek wisata pulau, dan obyek wisata budaya atau sejarah. Salah satu obyek wisata pantai dengan pemandangan sunset yang indah adalah Pantai Losari (Gambar 7). Pantai Losari sebagai landmark Kota Makassar berada di pusat kota dan mudah dijangkau oleh masyarakat. Pantai ini banyak dikunjungi oleh masyarakat dari pagi hingga malam hari yang melakukan berbagai aktivitas.

69 53 Setelah selesainya pembangunan salah satu anjungan yaitu Anjungan Bahari, pantai tersebut juga sering digunakan untuk kegiatan-kegiatan publik seperti konser musik, pertemuan organisasi, perlombaan, dan lain-lain. Gambar 7. Pemandangan sunset di Pantai Losari (Foto: Irwan Anwar Said) Obyek lain adalah Pantai Akkarena, Tanjung Merdeka, Tanjung Bayang, dan Pantai Barombong yang terletak di Kecamatan Tamalate. Beberapa fasilitas penunjang aktivitas rekreasi telah tersedia di lokasi tersebut, seperti wisma/penginapan, kafe, dan gazebo. Akan tetapi, yang menjadi kendala adalah beberapa fasilitas terlihat rusak karena tidak terkelola dengan baik terutama di Pantai Barombong. Selain obyek wisata pantai, obyek laut dan pulau-pulau kecil yang berada dekat pantai merupakan pendukung pengembangan pantai sebagai kawasan rekreasi. Sebagian besar pulau memiliki kondisi yang masih asri dengan potensi wisata bahari berupa perairan jernih, hamparan pasir putih, pemandangan bawah laut (terumbu karang dan berbagai jenis ikan karang), beberapa lokasi kapal tenggelam (wreck), dan kehidupan nelayan tradisional (Burhanuddin et al., 2006). Kota Makassar memiliki 12 pulau, 1 gusung, dan 26 taka (DKKP, 2006). Pulaupulau yang banyak dikunjungi wisatawan adalah Pulau Kayangan, Pulau Samalona, Pulau Kodingareng Keke, dan Pulau Lanyukang (Gambar 8). Pulaupulau tersebut dapat dijangkau melalui dermaga penyeberangan, yaitu dermaga Kayu Bangkoa, dermaga wisata Pulau Kayangan, dan dermaga milik persatuan olahraga perahu motor dan ski air (POPSA) Makassar.

70 54 Potensi untuk mengembangkan pulau-pulau kecil menjadi obyek wisata sebenarnya sangat tinggi. Akan tetapi, tidak adanya program pengelolaan yang baik menyebabkan kondisi lingkungan sebagai daya tarik wisata seperti terumbu karang di beberapa pulau telah mengalami perubahan. Terumbu karang di sekitar pulau-pulau yang berdekatan dengan daratan utama telah mengalami degradasi akibat sedimentasi, penangkapan yang tidak ramah lingkungan, dan pencemaran. Sebagai contoh, terumbu karang di Pulau Kayangan tergolong sudah sangat buruk dengan tingkat penutupan karang hidup kurang dari 10%. Demikian pula Pulau Lae-lae yang merupakan pulau terdekat dari Kota Makassar, kondisi terumbu karang hidup juga relatif rendah dengan penutupan karang hidup hanya 10%. Daerah pesisir pulau didominasi oleh makro alga coklat (Sargassum spp.) yang menandakan tingginya tingkat eutrofikasi di pulau tersebut (DPLHK, 2006). Tingkat penutupan terumbu karang yang cukup tinggi antara lain terdapat di sebelah selatan Pulau Samalona (45%), sebelah barat laut Pulau Barrang Caddi (55%), dan sebelah barat Pulau Lumu-lumu (74%) (DKKP, 2006). Umumnya kondisi karang yang baik ditemukan di pulau-pulau terluar pada posisi bagian selatan dan barat. (a) (b) (c) (d) Gambar 8. Pulau-pulau kecil di Kota Makassar (a) Pulau Kayangan, (b) Pulau Samalona, (c) Pulau Kodingareng Keke, dan (d) Pulau Lanyukang (DKKP, 2007b)

71 55 Kawasan pantai Kota Makassar sebagai bagian dari kawasan Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa Gowa, Takalar sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memiliki sektor unggulan pariwisata. Oleh karena itu, pariwisata merupakan komponen yang paling dominan dan menjadi tumpuan dalam pengembangan Kota Makassar. Akan tetapi, pembangunan pariwisata yang berwawasan lingkungan harus diutamakan untuk menjamin kelestarian dan keindahan lingkungan. Upaya menjual potensi wisata seharusnya diikuti dengan upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup agar potensi daya tarik tidak rusak justru karena kegiatan itu sendiri dan tidak terkalahkan oleh kepentingan ekonomi (Vallega, 2001). Untuk mencapai pembangunan pariwisata yang optimal dan berkelanjutan harus memenuhi empat aspek, yaitu (1) mempertahankan kelestarian dan keindahan lingkungan, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (3) menjamin kepuasan pengunjung, dan (4) meningkatkan keterpaduan dan kesatuan pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zona pengembangan (Gunn, 1993). Urutan kedua berdasarkan penilaian responden adalah kawasan konservasi (bobot 0,179). Kawasan pantai Kota Makassar memiliki potensi sebagai kawasan konservasi karena memiliki hutan mangrove. Akan tetapi, luas hutan mangrove semakin berkurang karena sebagian besar telah dikonversi menjadi tambak, permukiman, dan lain-lain. Jumlah penduduk di Kota Makassar yang semakin meningkat menyebabkan makin mendesaknya tuntutan untuk memperoleh manfaat ekonomi dari kawasan hutan mangrove. Selain itu, meningkatnya proses pembangunan menyebabkan mangrove di pinggir pantai mendapat tekanan yang semakin berat. Akibatnya manfaat ekonomi kawasan hutan mangrove di Kota Makassar telah mengalahkan manfaat ekologisnya, padahal sekali ekosistem alami rusak akan sangat sulit untuk memulihkannya kembali seperti sediakala. Kawasan olahraga berdasarkan penilaian responden berada pada urutan ketiga dengan bobot 0,175. Berdasarkan RTRW Kota Makassar tahun , kawasan pantai Kota Makassar juga diperuntukkan sebagai kawasan olahraga terpadu yang berlokasi di Kecamatan Tamalate dengan brand Barombong Sport City (Bappeda, 2005). Rencana tersebut dengan cara mereklamasi sepanjang pesisir Pantai Barombong untuk kegiatan olahraga, wisata, dan bisnis.

72 56 Pengembangan pantai Kota Makassar sebagai kawasan olahraga sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lanskap. Jenis olahraga yang dikembangkan juga sebaiknya tidak terlalu banyak merubah lanskap pantai. Jenis olahraga yang dapat dikembangkan baik olahraga darat dan air, antara lain, jogging, voli pantai, berenang, ski air, dan selancar angin. Urutan keempat menurut responden adalah kawasan jasa/bisnis dan perdagangan (bobot 0,171). Di kawasan pantai Kota Makassar juga berkembang kawasan jasa/bisnis dan perdagangan yang dapat dilihat antara lain, adanya hotel, restoran, rumah makan, dan pusat perbelanjaan. Data BPS (2007) menunjukkan jumlah hotel di Kecamatan Ujung Pandang sebanyak 40 hotel, di Kecamatan Mariso sebanyak 2 hotel, dan di Kecamatan Tamalate sebanyak 7 hotel. Adanya pelabuhan laut dan aktivitas pariwisata yang berkembang di kawasan pantai mendorong perkembangan kawasan bisnis. Berdasarkan RTRW Kota Makassar tahun , kawasan bisnis dan pariwisata terpadu akan dibangun pada tanah tumbuh dan sekitarnya dengan jalan mereklamasi kawasan sekitar tanah tumbuh dari deposit hasil sedimentasi. Saat ini pembangunan telah dimulai dan rencananya kawasan bisnis dan pariwisata terpadu dengan brand Tanjung Bunga Waterfront City tersebut akan dibangun menjadi kawasan wisata termegah dan terbesar di Asia Tenggara yaitu Trans Studio Makassar (TSM). Kawasan tersebut rencananya juga akan menyediakan monorail pertama di Indonesia dan lokasi Family Entertainment Centre (FEC) yang menyerupai Disneyland dengan 23 jenis permainan. Pengembangan kawasan bisnis dan pariwisata terpadu di pantai Kota Makassar perlu mempertimbangkan pengaruh reklamasi terhadap perubahan lanskap di kawasan pantai. Menurut Dharmayanti (2006), reklamasi biasanya dilakukan dengan mengorbankan ekosistem, habitat atau lahan basah yang sudah ada di wilayah pesisir seperti hutan mangrove, rawa, lahan basah, pantai berlumpur, dan lain sebagainya yang dianggap kurang bernilai dan perlu dikonversi menjadi lahan bentuk lain yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi. Oleh karena itu, reklamasi sebaiknya direncanakan dan dilaksanakan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan kualitas pantai, bukan justru

73 57 sebaliknya terjadi penurunan kualitas perairan atau bahkan menimbulkan konflik sosial dan permasalahan penataan ruang lainnya. Kawasan budaya berada pada urutan kelima dengan bobot 0,123. Adanya Benteng Somba Opu yang menampilkan rumah-rumah adat Sulawesi Selatan seperti rumah tongkonan Tana Toraja dan rumah panggung Bugis mendasari pengembangan kawasan budaya. Saat ini kondisi Benteng Somba Opu tidak terawat dengan beberapa rumah yang rusak, rumput yang tidak terpangkas, dan kurangnya pengunjung. Selain Benteng Somba Opu, situs sejarah peninggalan Belanda yaitu Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) yang dikelola oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar juga mendukung pengembangan kawasan budaya. Di dalam benteng tersebut terdapat Museum Lagaligo yang dikelola oleh Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan. Urutan keenam menurut penilaian responden adalah kawasan permukiman dengan bobot 0,071. Kawasan permukiman yang berkembang di dekat pantai semula adalah permukiman nelayan. Akan tetapi setelah reklamasi dilakukan, pengembangan kawasan permukiman skala besar dilakukan oleh pihak pengembang yaitu PT. Gowa Makassar Tourism Development (PT. GMTD). Selain itu, untuk mengatasi masalah kawasan kumuh yang berkembang terutama di Kecamatan Mariso, pemerintah Kota Makassar telah membangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) dengan jumlah kamar sebanyak 288 unit (Gambar 9). Gambar 9. Rumah susun sederhana sewa

74 58 Urutan terakhir berdasarkan penilaian responden adalah kawasan pertanian/tambak (bobot 0,008). Di kawasan pantai Kota Makassar khususnya Kecamatan Tamalate terdapat beberapa area yang digunakan sebagai lahan pertanian, sedangkan tambak sudah tidak produktif hanya bekas areal tambak. Umumnya lahan yang dijadikan tambak adalah bekas rawa-rawa atau konversi hutan mangrove yang merupakan daerah bentuk lahan alluvial marine yang terbentuk akibat pengendapan alluvial dari laut (DKKP, 2007a). Secara ekologis, keberadaan tambak di kawasan pantai Kota Makassar berfungsi sebagai daerah resapan air terutama pada musim hujan. Akan tetapi, secara ekonomi keberadaan tambak sudah tidak menguntungkan karena kualitas air yang buruk sehingga produksi sangat kecil. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), tambak merupakan bagian dari ekosistem pantai yang menggunakan air laut (bercampur dengan air sungai) sebagai penggenangnya. Untuk dapat menghasilkan produksi, tambak seharusnya masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut, sedangkan tambak di kawasan pantai Kota Makassar sudah tidak dipengaruhi pasang surut karena antara tambak dengan laut sebagian besar telah direklamasi. Dengan kondisi tersebut, beralasan jika responden menempatkan kawasan pertanian/tambak sebagai urutan terakhir dalam pengembangan Kota Makassar sebagai waterfront city. Faktor lain yang kemungkinan mempengaruhi penilaian responden adalah kenyataan bahwa industri tambak atau tambak intensif telah menyebabkan kerusakan lingkungan pantai dan laut di Indonesia. Menurut WALHI (2006), luas tambak di Indonesia pada tahun 2005 telah mencapai ha, dengan rata-rata kenaikan jumlah luasan setiap tahunnya sekitar 14%. Industri tambak tersebut telah mengakibatkan degradasi hutan mangrove yang setiap tahunnya hilang sebesar 2% dari total keseluruhan hutan mangrove yang ada. Usaha tambak terutama udang juga telah mengakibatkan meluasnya resapan air garam ke wilayah persawahan dan lahan-lahan pertanian lainnya. Selain itu, akibat usaha tambak terutama udang menyebabkan masyarakat pesisir telah kehilangan kayu, daun obat-obatan, dan sumber daya lainnya.

75 Alternatif Manfaat (Benefit) Berdasarkan analisis urutan prioritas manfaat (benefit) yang diperoleh jika kawasan pantai Kota Makassar dikembangkan, responden menilai aktivitas rekreasi sebagai prioritas pertama, sedangkan atraksi budaya sebagai prioritas terakhir. Urutan prioritas manfaat (benefit) menurut penilaian tertera pada Tabel 16, Lampiran 16, dan Lampiran 17. Tabel 16. Analisis alternatif manfaat (benefit) pengembangan kawasan pantai Kota Makassar Alternatif Manfaat (Benefit) Kriteria Krek Kkon Kola Kjas Kbud Kmuk Ktan Nilai Prioritas Aktivitas rekreasi 4,5 2,8 3,9 3,0 4,3 2,3 2,1 8,452 1 Perubahan visual/estetika 4,3 2,9 3,5 3,6 3,2 2,9 2,3 8,431 2 Peningkatan kualitas lingkungan 4,1 3,3 3,3 3,3 3,3 3,0 2,5 8,414 3 Pendapatan masyarakat 3,8 2,3 3,5 4,3 3,6 2,4 4,0 8,377 4 Keamanan dan kesejahteraan masyarakat 3,7 3,0 2,9 3,6 2,9 3,3 3,3 8,357 5 Peluang usaha 3,8 2,0 3,8 4,6 2,9 2,4 3,8 8,350 6 Atraksi budaya 3,6 2,2 3,4 2,8 4,6 2,3 2,7 8,278 7 Bobot 0,274 0,179 0,175 0,171 0,123 0,071 0,008 1,000 Keterangan: Krek : Kawasan rekreasi Ktan : Kawasan pertanian/tambak Kjas : Kawasan jasa dan perdagangan/bisnis Kola : Kawasan olahraga Kmuk : Kawasan permukiman Kbud : Kawasan budaya Kkon : Kawasan konservasi Kawasan pantai Kota Makassar memiliki potensi untuk pengembangan rekreasi. Berbagai aktivitas rekreasi dapat dilakukan oleh wisatawan di kawasan pantai, seperti menikmati pemandangan sunset, viewing, photo hunting, berenang, voli pantai, dan bermain pasir. Selain itu di kawasan laut dan pulau, wisatawan juga dapat melakukan aktivitas yang menyenangkan dan menantang seperti menyelam (snorkling, diving), mengamati, dan memotret keindahan dan kekayaan kehidupan bawah air (terumbu karang dan berbagai jenis ikan karang). Beberapa kegiatan rutin telah dilaksanakan di kawasan pantai Kota Makassar untuk mendukung pengembangan pariwisata, antara lain Makassar Regatta, Sandeq Race, Pesta Bandar Makassar (sejak 2003 disebut Festival Losari), lomba jolloroq dan sekoci, dan lomba jet ski. Makassar Regatta adalah perlombaan perahu layar (yacht rally), sedangkan Sandeq Race adalah lomba perahu layar tradisional tipe sandeq dari Majene ke Makassar. Kapal jolloroq adalah jenis kapal yang digunakan sebagai alat transportasi nelayan/masyarakat dari Makassar ke pulau-

76 60 pulau sekitarnya atau antar pulau, sedangkan perahu sekoci adalah kapal motor yang dipersewakan untuk mengangkut wisatawan dari Makassar ke pulau-pulau sekitarnya (Burhanuddin et al., 2006). Perubahan visual (estetika) berdasarkan penilaian responden ditempatkan sebagai urutan kedua. Kawasan pantai memiliki keindahan lingkungan sebagai daya tarik wisatawan. Setelah Anjungan Bahari di Pantai Losari dibangun, terjadi perubahan visual yang meningkatkan nilai estetika. Pantai Losari yang memiliki pemandangan sunset yang indah sering dijadikan lokasi viewing dan photo hunting bagi masyarakat. Urutan ketiga alternatif manfaat (benefit) berdasarkan penilaian responden adalah peningkatan kualitas lingkungan. Apabila kawasan pantai dikembangkan sebagai waterfront city, menurut responden dapat meningkatkan kualitas lingkungan. Perencanaan dan pengelolaan yang teratur dan terarah dapat menghindari kerusakan lingkungan hidup, terhindar dari pencemaran, hutan mangrove menjadi lestari sehingga dapat mengikat sedimen dan memperkecil erosi atau abrasi pantai, dan terumbu karang tumbuh dengan baik. Urutan keempat alternatif manfaat (benefit) adalah pendapatan masyarakat, yang sejalan dengan keamanan dan kesejahteraan masyarakat pada urutan kelima serta peluang usaha pada urutan keenam. Pengembangan kawasan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city dengan pengembangan utama sebagai kawasan wisata harus direncanakan secara menyeluruh, tidak hanya mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan pantai, tetapi juga pengaruhnya terhadap masyarakat lokal. Manfaat yang dapat diperoleh dari pengembangan pariwisata suatu daerah menurut Nurisyah dan Damayanti (2006), yaitu (1) penciptaan lapangan kerja dan peluang usaha, (2) peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat, (3) penciptaan pasar baru bagi penduduk lokal, (4) peningkatan infrastruktur, fasilitas, dan pelayanan bagi masyarakat, dan (5) peningkatan pengetahuan serta perlindungan dan pelestarian lingkungan dan budaya. Menurut Suwantoro (2004), pengembangan pariwisata akan memberi dampak positif bagi kehidupan perekonomian masyarakat, yaitu membuka kesempatan berusaha seperti usaha penyediaan makanan, minuman, dan usaha transportasi baik tradisional maupun konvensional. Dengan terbukanya

77 61 kesempatan usaha tersebut, diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi baik langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan pariwisata, misalnya pengamanan kawasan, ketertiban dan kebersihan kawasan, penyediaan sarana dan prasarana, termasuk kebutuhan akomodasi (homestay). Sebagai contoh, masyarakat nelayan yang tinggal di pulau-pulau kecil terdekat dan memiliki perahu sering menyewakan perahunya bagi pengunjung yang akan berwisata ke pulau. Masyarakat yang tinggal di Pantai Tanjung Bayang juga banyak menyediakan shelter dan rumah-rumah sewa bagi pengunjung. Akan tetapi, usaha ini tidak didukung dengan perencanaan lanskap yang baik. Shelter untuk tempat duduk-duduk dibangun tidak teratur, padat, dan semakin mendekati garis pantai. Akibatnya kondisi lingkungan menjadi rusak, luas pantai untuk kegiatan rekreasi menjadi berkurang, dan kualitas estetika menurun. Pengembangan pariwisata juga berpengaruh terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya untuk tumbuh dan berkembang. Menurut DPLHK (2006), kondisi perekonomian Kota Makassar cukup baik. Indikator yang menunjukkan hal tersebut adalah tingginya PAD yang bersumber dari kegiatan-kegiatan ekonomi dan interaksi masyarakat dalam bidang perekonomian. Sumber pajak dan retribusi andalan adalah pajak hotel dan restoran, pajak reklame, dan retribusi IMB. Indokator lain adalah meningkatnya PDRB dari tahun ke tahun, serta meningkatnya pendapatan per kapita masyakarat Kota Makassar. Manfaat (benefit) sebagai urutan terakhir berdasarkan penilaian responden adalah atraksi budaya. Menurut Nurisyah dan Damayanti (2006), budaya pesisir yang tercermin dari bentuk lanskap vernakulernya dan struktur kehidupan masyarakat seperti nelayan, pelaut, dan penguasa daerah, juga dapat dijadikan aset komplementer dari pengembangan kawasan pantai. Pola perkampungan nelayan tradisional, pertanian lahan pesisir, ragam dan adat kehidupan masyarakat yang hidup di kawasan tersebut, tempat pelelangan dan pasar ikan, gudang-gudang serta pelabuhan pada era kerajaan dan kolonial, serta banyak legenda, cerita rakyat atau folklore merupakan atraksi budaya. Kawasan pantai Kota Makassar memiliki perkampungan nelayan Kampung Lette, tempat pelelangan ikan Rajawali, pelabuhan kapal rakyat Paotere, dan Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) sebagai aset wisata budaya. Selain itu,

78 62 adat kehidupan masyarakat terutama orang Bugis-Makassar yang memiliki hubungan erat dengan budaya laut dapat menjadi atraksi budaya yang menarik. Sebagai contoh, prosesi upacara laut seperti aparuru bundu, angngasong angngaru, dan appattepu kale merupakan ritual sebelum berangkat bertempur di laut agar selamat kembali dengan membawa kemenangan. Apabila mengalami cuaca buruk, para pelaut melakukan ritual songkabala di atas kapal agar terhindar dari badai laut. Atraksi lain adalah kisah-kisah heroik, kegigihan, dan keberanian anak bangsa dalam bertempur dan mengarungi samudera sebagai simbol semangat bahari nusantara. Salah satu kisah heroik di Sulawesi Selatan adalah kisah Sultan Hasanuddin sebagai seorang pahlawan yang gagah berani bertempur melawan imperialisme Belanda. Sebelum berangkat berlayar, seluruh pasukan laut Sultan Hasanuddin juga melakukan ritual marewangan yang dimaksudkan untuk memohon berkah kepada penguasa laut agar semangat juang para prajurit tidak kendur, pantang menyerah, dan memenangkan medan laga (Pramono, 2005) Alternatif Biaya (Cost) Berdasarkan analisis urutan prioritas biaya (cost) yang diperoleh jika kawasan pantai Kota Makassar dikembangkan, responden menilai pemeliharaan infrastruktur sebagai prioritas pertama, sedangkan perubahan nilai sosial budaya sebagai prioritas terakhir. Urutan prioritas biaya (cost) menurut penilaian tertera pada Tabel 17, Lampiran 18, dan Lampiran 19. Tabel 17. Analisis alternatif biaya (cost) pengembangan kawasan pantai Kota Makassar Alternatif biaya (cost) Kriteria Krek Kkon Kola Kjas Kbud Kmuk Ktan Nilai Prioritas Pemeliharaan infrastruktur 3,8 2,2 3,8 3,8 3,9 3,6 2,1 8,396 1 Perubahan morfologi pantai 3,7 2,2 3,5 3,3 2,3 3,5 2,9 8,264 2 Perubahan mata pencaharian 3,6 2,3 3,3 3,6 2,6 2,4 2,3 8,254 3 Pencemaran lingkungan 3,4 2,3 3,0 2,6 2,6 3,3 3,2 8,170 4 Kemacetan lalu lintas 2,6 2,0 3,3 3,0 2,4 3,2 2,3 8,077 5 Perubahan nilai sosial-budaya 3,0 2,3 2,7 2,4 2,4 2,5 2,2 8,050 6 Bobot 0,274 0,179 0,175 0,171 0,123 0,071 0,008 1,000 Keterangan: Krek : Kawasan rekreasi Ktan : Kawasan pertanian/tambak Kjas : Kawasan jasa dan perdagangan/bisnis Kola : Kawasan olahraga Kmuk : Kawasan permukiman Kbud : Kawasan budaya Kkon : Kawasan konservasi

79 63 Alternatif biaya (cost) sebagai urutan pertama adalah biaya untuk pemeliharaan infrastruktur. Pengembangan kawasan pantai Kota Makassar memerlukan biaya pemeliharaan yang sangat besar. Biaya tersebut harus dikeluarkan untuk reklamasi pantai, mulai dari pengerukan sungai dan laut, penimbunan lahan, perbaikan saluran drainase, pembangunan jalan dan jembatan, dan lain-lain. Urutan kedua alternatif biaya (cost) berdasarkan penilaian responden adalah perubahan morfologi pantai. Kawasan pantai senantiasa mengalami perubahan untuk mencapai keseimbangan pantai akibat pengaruh eksternal dan internal baik alami maupun buatan. Faktor alami yang mempengaruhi antara lain, gelombang, arus, kecepatan angin, arah angin, debit sungai, kondisi tumbuhan pantai, dan aktivitas tektonik atau vulkanik, sedangkan faktor buatan atau campur tangan manusia akibat pemanfaatan kawasan pantai misalnya sebagai kawasan perikanan, industri, pelabuhan, pariwisata, pertanian, kehutanan, pertambangan, dan permukiman. Perubahan garis pantai di sekitar muara Sungai Jeneberang dari tahun 1849 hingga tahun 1993 dapat dilihat pada Lampiran 20. Perubahan ini telah mengakibatkan pertumbuhan daratan di sekitar kawasan pantai Kota Makassar. Perubahan mata pencaharian berdasarkan penilaian responden ditempatkan sebagai urutan ketiga. Pengembangan kawasan pantai Kota Makassar dapat menyebabkan perubahan mata pencaharian masyarakat. Jumlah penduduk Kota Makassar yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan adalah jiwa (Ihsan, 2003). Apabila kawasan pantai dikembangkan, mata pencaharian penduduk akan berubah menjadi tukang ojek, pedagang kelontongan, menjadi buruh pelabuhan, buruh pabrik, dan lain-lain. Urutan keempat alternatif biaya (cost) adalah pencemaran lingkungan. Kawasan pantai Kota Makassar telah mengalami pencemaran dengan sumber utama pencemaran dari limbah domestik, industri pengolahan, dan kegiatan pertanian di hulu Sungai Jeneberang. Outlet pembuangan dan kanal-kanal kota yang langsung ke laut menyebabkan tingginya pencemaran. Limbah dari rumah tangga, hotel, restoran, dan rumah sakit yang berada di kawasan pantai langsung dibuang ke laut tanpa adanya pengolahan. Selain itu, kegiatan industri yang ada di

80 64 Kota Makassar diduga ikut mempengaruhi penurunan kualitas perairan. Menurut Monoarfa (2002), limbah industri walaupun telah diproses di IPAL, tetapi kualitasnya masih jelek (nilainya masih di atas ambang batas yang telah ditetapkan) saat dibuang ke laut sehingga masih berpengaruh terhadap kualitas ekosistem perairan. Menurut DPLHK (2006), industri kecil di kecamatan pesisir antara lain, industri tempe/tahu, meubel kayu/rotan, konveksi, pandai besi, kompor, pengolahan ikan, dan industri emas/perak. Pencemaran lingkungan juga terkait dengan masalah sampah. Jika tidak direncanakan dan dikelola secara terarah, sampah yang dihasilkan pengunjung dapat menjadi masalah lingkungan yang dapat mempengaruhi kualitas kawasan terutama kualitas air, sementara kualitas air merupakan kunci sukses dari pengembangan waterfront city (Hata et al., 1991). Pengunjung memasuki kawasan dengan membawa bekal makanan yang dikemas dalam berbagai bentuk. Menurut Hakim (2004), sumber polutan terbesar yakni bahan pengemas makanan yang tidak dapat terdegradasi dan beracun, seperti plastik pengemas makanan, botol bekas, botol-botol aluminium, dan bahan-bahan sintetis dari senyawa organik yang tidak terdegradasi. Bahan-bahan tersebut secara ekologis tidak akan dapat dicerna dan dihancurkan oleh organisme pengurai dan akibatnya limbah tersebut terakumulasi di lingkungan tanpa dapat diuraikan. Kemacetan lalu lintas berdasarkan penilaian responden ditempatkan sebagai urutan kelima. Pengembangan kawasan baru dengan berbagai peruntukan seperti pariwisata, pusat bisnis, industri, dan lain-lain akan menambah beban lalu lintas yang baru. Menurut Bapedalda (2003), kepadatan lalu lintas sebelum revitalisasi pantai dilakukan relatif tinggi terutama di Jalan Penghibur dengan nilai kepadatan lalu lintas puncak sebesar 509 smp/jam dan kepadatan rata-rata 212 smp/jam. Kepadatan tersebut mengalami fluktuasi mulai pagi hingga malam hari. Oleh karena itu, berdasarkan RTRW Kota Makassar tahun , akan dibangun jalan arteri pembatas pada ruang belakang Pantai Losari sekitar kawasan Makassar Golden Hotel (MGH) sampai ke depan Benteng Ujung Pandang untuk memecahkan kemacetan akibat bottle neck pada daerah sekitar MGH. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan dalam pembangunan jalan tersebut harus mempertimbangkan nilai-nilai sumber daya, nilai-nilai sosial, dan nilai-nilai

81 65 estetika selain pertimbangan teknik. Lintasan jalan raya yang dibangun harus mempunyai manfaat sosial yang maksimum dengan biaya sosial yang minimum (McHarg, 2005). Perubahan nilai sosial-budaya berdasarkan penilaian responden ditempatkan sebagai prioritas terakhir. Nilai-nilai sosial-budaya masyarakat sebagai nelayan yang dikenal dengan pelaut ulung kemungkinan akan berubah dengan dibangunnya kawasan bisnis dan pariwisata. Menurut Yanti (2002), nelayan merupakan mata pencaharian tertua di kalangan orang Makassar khususnya yang berdomisili di kawasan pantai. Kerajaan Gowa sejak dahulu sudah dikenal sebagai kerajaan bahari atau kerajaan maritim dengan sumber dan tumpuan hidupnya berasal dari laut. Nelayan Makassar mampu menjelajah laut sampai ke perairan bebas untuk mencari jenis ikan yang dikehendaki meskipun hanya menggunakan perahu sederhana. Jiwa bahari bagi orang Makassar adalah gambaran siri sebagai etos (watak) kebudayaan Makassar sejak dahulu sampai sekarang. Orang Makassar yang melakukan pelayaran memegang teguh motto sekali berlayar tetap berlayar walau apapun yang terjadi tidak akan kembali ke kampung halaman sebelum sampai ke tujuan (Limbugau, 1989 diacu dalam Yanti, 2002). Siri merupakan unsur budaya masyarakat Bugis-Makassar yang memiliki pengertian sebagai malu, harga diri, dan martabat. Oleh karena itu, siri merupakan daya pendorong untuk melenyapkan atau mengusir siapa saja yang menyinggung perasaan mereka dan untuk membangkitkan tenaga dalam bekerja atau berusaha (Abdullah, 1985). Menurut Ahmaddin (2007), untuk menegakkan dan membela siri yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, masyarakat Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri dalam kehidupan masyarakat. Akan tetapi, saat ini siri tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya, budaya siri telah mengalami pergeseran nilai dan siri dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan-tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Seharusnya budaya siri sebagai nilai sakral masyarakat Bugis-Makassar dipertahankan dan diamalkan sesuai koridor adat (ade ) dan ajaran agama.

82 Evaluasi Kesesuaian Lahan Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Wisata Pantai Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk kawasan wisata pantai, diperoleh hasil pembandingan yang dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan hanya terdapat tiga kelas, yaitu cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3), dan tidak sesuai (N). Luas kawasan yang cukup sesuai untuk pengembangan wisata pantai adalah 470,8 ha (2,7%) yang berada di sepanjang pantai Kecamatan Tamalate, sedangkan sesuai marginal seluas 1.255,5 ha (7,2%) mencakup sepanjang pantai di kecamatan pesisir lainnya. Kawasan yang tidak sesuai untuk pengembangan wisata pantai meliputi hampir seluruh Kota Makassar dengan luas ,7 ha (90,1%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk pengembangan wisata pantai adalah kecerahan perairan. Menurut DPLHK (2006) kecerahan perairan di Pantai Barombong adalah 4-6 m, sedangkan di kawasan Pelabuhan Makassar hanya sebesar 2,6-3,5 m. Kecerahan tinggi sekitar m terdapat di perairan yang jauh dari daratan utama yaitu di sekitar pulau-pulau terluar, seperti Pulau Lumu-lumu dan Pulau Lanyukang (DKKP, 2006). Nilai kecerahan di kawasan pantai menunjukkan kondisi perairan termasuk kelas S2 untuk aktivitas berenang dan menyelam. Kondisi kecerahan di kawasan pantai disebabkan oleh pengaruh dari daratan yaitu sedimentasi dan pencemaran. Pada tahun 2004 terjadi longsor Gunung Bawakaraeng yang meluncurkan sekitar 300 juta m 3 tanah dan pasir melalui Dam Bili-bili sampai muara Sungai Jeneberang yaitu pantai Kota Makassar. Pencemaran yang mempengaruhi kecerahan terutama dari padatan tersuspensi dan bahan organik yang bersumber dari limbah domestik, industri pengolahan (Bapedalda, 2004; Samawi, 2007), dan kegiatan pertanian di hulu Sungai Jeneberang (Monoarfa, 2002). Di kawasan Pantai Losari terdapat 14 outlet pembuangan yang langsung ke laut dan kanal-kanal kota yang juga langsung ke laut. Selain itu, tidak tersedianya sewage treatment plan (STP) kota juga menyebabkan tingginya pencemaran di kawasan pantai.

83 Gambar 10. Peta kesesuaian lahan kawasan wisata pantai 67

84 68 Untuk mengatasi faktor pembatas tersebut, diperlukan kegiatan pengelolaan dari hulu hingga hilir Sungai Jeneberang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penanaman semak (bush) dan tanaman pelindung dengan kanopi untuk melindungi tanaman di bawahnya di sepanjang sungai (Kodoatie & Sjarief, 2008). Selain itu, perlu adanya sewage treatment plan (STP) untuk mengolah limbah sehingga tidak langsung dibuang ke laut. Upaya pengelolaan tersebut diharapkan dapat memperbaiki kondisi kecerahan di kawasan pantai sehingga dapat menjadi kelas S1 untuk aktivitas berenang dan menyelam. Kawasan pantai Kota Makassar secara umum dapat dikembangkan sebagai kawasan wisata pantai. Kecamatan Tamalate cukup sesuai sebagai kawasan wisata pantai karena memiliki lebar pantai m dengan tipe pantai pasir, sedangkan kecamatan lainnya sudah mengalami pengerasan dengan dinding penahan. Karakteristik lebar dan substrat pantai tersebut sangat mendukung pantai di Kecamatan Tamalate untuk kegiatan wisata pantai seperti berenang, berjemur, dan bermain di pantai. Kawasan pantai di kecamatan lainnya seperti Kecamatan Ujung Pandang dan Kecamatan Mariso dengan Pantai Losari-nya dapat dikembangkan kegiatan-kegiatan seperti olahraga air, menikmati pemandangan sunset, berperahu, photo hunting, konser musik, wisata kuliner, dan lain-lain. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Makassar tahun , Kecamatan Tamalate akan dikembangkan menjadi kawasan bisnis dan pariwisata terpadu dengan brand Tanjung Bunga Waterfront City yang dibangun dengan cara reklamasi. Kebijakan reklamasi tersebut pada dasarnya bertujuan menyiapkan kawasan baru, meningkatkan daya tarik Kota Makassar dari arah pantai dengan konsep waterfront city, dan menahan abrasi pantai. Akan tetapi, dikhawatirkan kegiatan reklamasi tersebut akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan di kawasan lainnya. Sebagai contoh reklamasi pantai di Jakarta dinilai banyak pihak telah menyebabkan berbagai masalah lingkungan seperti banjir yang melanda Jakarta beberapa tahun terakhir. Hal ini karena rawarawa yang semula dapat dijadikan tempat resapan dan penampungan air saat hujan sudah tidak ada lagi, berubah menjadi permukiman. Akibatnya aliran air permukaan menjadi lebih besar dan menyebabkan banjir.

85 69 Akan tetapi, jika pengembangan kawasan akan dilaksanakan, kawasan pantai sebaiknya tetap dapat diakses oleh publik karena daya tarik utama adalah pantai. Menurut Sairinen dan Kumpulainen (2006), salah satu aspek penting dalam pengelolaan waterfront city adalah bangunan tidak secara langsung diposisikan di tepi pantai sehingga pantai dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Selain itu, pantai tidak memiliki penghalang secara fisik dan psikologis serta dapat dijangkau dengan berjalan kaki Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi Mangrove Kesesuaian lahan sebagai kawasan konservasi terutama dilakukan untuk mendapatkan lahan yang sesuai sebagai kawasan mangrove. Berdasarkan hasil pembandingan kualitas lahan, diperoleh bahwa kawasan pantai Kota Makassar yang sangat sesuai (S1) untuk penanaman mangrove seluas 959,1 ha (5,5%) yang berada di sepanjang pantai Kecamatan Tamalate, Kecamatan Tamalanrea, dan Kecamatan Biringkanaya. Kelas kesesuaian lahan yang cukup sesuai (S2) seluas 488,2 ha (2,8%) yang terletak di sepanjang Sungai Jeneberang, pantai Kecamatan Wajo, dan Kecamatan Ujung Tanah, sedangkan yang sesuai marginal (S3) seluas 2.127,3 ha (12,2%) berada di sepanjang Sungai Tallo. Kelas yang tidak sesuai (N) seluas ,4 ha (79,5%) menyebar hampir di seluruh kawasan Kota Makassar (Gambar 11). Karakteristik lahan yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi mangrove adalah kemiringan lahan, jarak dari pantai, jarak dari sungai, jenis tanah, dan drainase. Penyebaran mangrove terutama di sepanjang pantai dan sungai dapat dipahami karena hutan mangrove merupakan hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur alluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut (Noor et al., 2006). Berdasarkan hasil pembandingan, faktor pembatas kesesuaian kawasan konservasi mangrove adalah kondisi drainase. Di kawasan pantai Kota Makassar terutama Kecamatan Tamalate, sebagian besar hutan mangrove sudah tidak terpengaruhi oleh pasang surut air laut karena telah direklamasi. Kegiatan reklamasi tersebut akhirnya menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap perkembangan hutan mangrove.

86 Gambar 11. Peta kesesuaian lahan kawasan konservasi mangrove 70

87 71 Luas mangrove di Kota Makassar adalah 38 ha (DKKP, 2006) yang sebelumnya pada tahun 1990 adalah ha (Gunawan, 1998). Luas mangrove dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Di Indonesia, pada tahun 1984 memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha, tahun 1992 luasnya tersisa 3,812 juta ha, kemudian pada tahun 1999 luas mangrove hanya 9,2 juta ha. Sementara lebih dari setengah hutan mangrove tersebut (57,6%) ternyata dalam kondisi rusak parah dengan kecepatan kerusakan mangrove mencapai ha/tahun (Anwar & Gunawan, 2006). Dalam pengelolaan lanskap pantai, mangrove memiliki peranan penting sebagai penyambung darat dan laut. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan, dan spesies lainnya. Hutan mangrove juga menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) sebagai habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia, dan jenis kehidupan lainnya. Dengan sistem perakaran dan kanopi yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, abrasi/erosi, dan gaya-gaya laut lainnya (Wiharyanto, 2007). Selain itu, hutan mangrove berfungsi sebagai pembangun lahan melalui proses sedimentasi, pengontrol penyakit malaria, memelihara kualitas air (mereduksi polutan, pencemar air), dan penyerap CO 2 dan penghasil O 2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan lain (Ariawan & Irawanti, 2006). Secara ekonomi, mangrove dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain, sebagai arang/kayu bakar, bahan bangunan, bahan baku chip, tanin untuk menyamak kulit pada industri sepatu dan tas, obat-obatan, lahan pertanian/tambak, dan sebagai obyek wisata (Anwar & Gunawan, 2006). Berdasarkan fungsi ekologis dan ekonomis tersebut, hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang penting. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa ekosistem mangrove bersifat kompleks dan dinamis, tetapi labil. Dikatakan kompleks karena ekosistemnya selain dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi

88 72 sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali seperti sediakala (Anwar & Gunawan, 2006). Oleh karena itu, mangrove di Kota Makassar perlu tetap dijaga dan dipelihara agar dapat memberikan fungsinya secara optimal dan lestari untuk kesejahteraan masyarakat Kota Makassar Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Permukiman Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan permukiman diperoleh hasil yang disajikan pada Gambar 12. Secara umum Kota Makassar sangat sesuai (S1) untuk kawasan permukiman dengan luas 6.661,4 ha (38,2%). Kelas kesesuaian cukup sesuai (S2) seluas 3.975,6 ha (22,8%) terutama terdapat di Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Manggala. Kelas kesesuaian sesuai marginal (S3) seluas 192,5 ha (1,1%) dan tidak sesuai (N) seluas 6.607,5 ha (37,9%) yang terdapat di sepanjang pantai dan sungai. Hasil pembandingan tersebut menunjukkan bahwa umumnya kawasan pantai Kota Makassar sangat sesuai dikembangkan sebagai kawasan permukiman. Luas lahan permukiman di Kota Makassar terlihat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 1994, luas lahan permukiman adalah ha (29,72%) dan pada tahun 2004 luasnya menjadi ha (37,96%) (Tabel 18). Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Makassar tahun , lahan yang akan dikembangkan sebagai kawasan permukiman terpadu berada di Kecamatan Wajo, Bontoala, Ujung Pandang, Mariso, Makassar, Ujung Tanah, dan Tamalate (Bappeda, 2005). Secara umum kecamatan yang akan dikembangkan sebagai kawasan permukiman terpadu tersebut merupakan kecamatan yang berada di kawasan pantai yang termasuk pusat kota. Perkembangan kawasan permukiman di kawasan pantai disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, tetapi lahan yang tersedia terbatas. Kawasan kota pantai merupakan konsentrasi penduduk yang paling padat. Berdasarkan Agenda 21 dinyatakan bahwa populasi dunia pada tahun 2020 akan melebihi 8 milyar. Sekitar 60% dari populasi tersebut bermukim di kawasan pantai, sementara 65% dari kota-kota dunia dengan penduduk lebih dari 25 juta jiwa terdapat di sepanjang garis pantai (Vallega, 2001).

89 Gambar 12. Peta kesesuaian lahan kawasan permukiman 73

90 74 Tabel 18. Penggunaan dan luas lahan di Kota Makassar tahun 1994 dan tahun 2004 No. Penggunaan Lahan Tahun 1994 Tahun 2004 Luas (ha) Persentase Luas (ha) Persentase 1. Perumahan 5.224,00 29, ,96 2. Lapangan olahraga 137,00 0, ,81 3. Tanah usaha 394,26 2, ,47 4. Tanah jasa 762,69 4, ,56 5. Jalan 664,00 3, ,97 6. Kuburan 24,90 0, ,14 7. Sawah 4.049,00 23, ,31 8. Kebun campuran 761,30 4, ,89 9. Tegalan 1.295,00 7, , Tambak 2.981,00 16, , Tanah kosong yang sudah diperuntukkan 174,00 0, , Penggaraman 18,00 0, , Tanah industri 344,85 1, , Hutan sejenis 113,00 0, , Padang rumput 105,00 0, , Pasir 33,00 0, , Sungai 415,00 2, , Rawa 81,00 0, ,38 Jumlah ,00 100, ,00 Sumber: RTRW Kota Makassar Tahun Pengembangan permukiman di kawasan pantai sebaiknya memperhatikan kondisi fisik lanskap. Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk pengembangan kawasan permukiman berdasarkan kesesuaian lahan adalah kondisi drainase dan kerawanan banjir. Kota Makassar di bagian utara dipengaruhi oleh DAS Tallo, sedangkan di bagian selatan dipengaruhi oleh DAS Jeneberang. Di sepanjang Sungai Jeneberang terutama Kecamatan Tamalate sebelumnya adalah empang atau rawa-rawa yang merupakan kawasan yang peka terhadap banjir karena terletak lebih rendah dari permukaan laut. Faktor yang juga perlu dipertimbangkan adalah banjir dan sedimentasi. Kawasan pantai di bagian selatan Kota Makassar dipengaruhi oleh Sungai Jeneberang. Di sepanjang DAS Jeneberang terutama Kecamatan Tamalate yang sebelumnya adalah empang atau rawa-rawa merupakan kawasan yang peka terhadap banjir karena terletak lebih rendah dari permukaan laut. Selain itu, sedimentasi juga berdampak terhadap kecamatan di sepanjang DAS Jeneberang

91 75 akibat muatan sedimen berupa lumpur. Faktor lain yang menjadi penyebab timbulnya banjir adalah sampah/limbah dari rumah tangga terutama di sepanjang DAS Tallo dan DAS Jeneberang. Jumlah timbulan sampah yang bersumber dari permukiman (mewah, menengah, sederhana) sebanyak 1744,21 m 3 /hari (BPS, 2007). Jumlah sampah permukiman ini mencapai 48,69% dari total timbulan sampah Kota Makassar sebanyak 3582,01 m 3 /hari. Jika kawasan permukiman berada dekat sungai, dikhawatirkan sampah akan dibuang ke sungai dan akhirnya ke laut. Apalagi dengan adanya anggapan bahwa sungai atau laut merupakan halaman belakang tempat membuang segala macam sampah atau limbah Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Tambak Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan, diperoleh lahan yang sangat sesuai (S1) untuk tambak seluas 645,2 ha (3,7%) terutama di dekat Sungai Jeneberang dan Sungai Tallo yang berada di Kecamatan Tamalate dan Kecamatan Tallo. Kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) seluas 383,6 ha (2,2%) dan sesuai marginal (S3) seluas 2.127,3 ha (12,2%) berada di sepanjang Sungai Tallo. Kelas tidak sesuai (N) mencakup hampir seluruh Kota Makassar seluas ,9 ha (81,9%) (Gambar 13). Luas tambak di Kota Makassar pada tahun 2004 adalah ha atau 14,93% dari luas keseluruhan kota (Bappeda, 2005). Umumnya tambak tersebut dibuat di atas tanah bekas lahan mangrove. Akan tetapi, kondisi tambak khususnya di Kecamatan Tamalate sebagian tidak diusahakan lagi karena lahan telah direklamasi. Berdasarkan aspek hidrologi, pengembangan tambak di kawasan pantai sangat potensial karena adanya daerah pasang surut untuk pengairan (pengisian dan pengeringan) tambak secara alami. Akan tetapi, faktor pengairan atau drainase tersebut menjadi faktor pembatas dalam kesesuaian lahan untuk pengembangan tambak. Kawasan pantai Kecamatan Tamalate yang telah direklamasi menjadi tertutup dari pengaruh pasang surut air laut. Akibatnya sebagian besar lahan tambak menjadi tidak produktif dan terbengkalai karena tidak menguntungkan lagi. Bekas lahan pertambakan yang tidak produktif tersebut akhirnya menjadi alasan untuk pemanfaatan lahan lain yang dianggap lebih menguntungkan seperti jasa/perdagangan dan bisnis.

92 Gambar 13. Peta kesesuaian lahan kawasan tambak 76

93 Analisis Keindahan Pantai Kota Makassar memiliki kualitas keindahan lanskap (landscape beautification) yang sangat beragam. Hal ini terlihat pada nilai SBE yang diwakili oleh 40 foto lanskap yaitu berkisar antara -151 sampai dengan 154 (Gambar 14). Lanskap yang memiliki nilai SBE paling tinggi adalah Anjungan Bahari, sedangkan lanskap dengan nilai SBE paling rendah adalah Dermaga Tata Maddong. Lanskap yang memiliki nilai SBE paling tinggi menggambarkan kualitas keindahan yang tinggi dan paling disukai, demikian pula sebaliknya. Lanskap yang tidak disukai atau paling tidak indah, dalam hal ini diindikasikan dengan nilai SBE yang rendah pula (Gunawan, 2005; Daniel & Boster, 1976). Nilai SBE Foto Lanskap Gambar 14. Nilai SBE lanskap pantai Kota Makassar Lanskap dengan kualitas keindahan paling tinggi adalah Anjungan Bahari. Lanskap ini didominasi oleh elemen perkerasan dan bangunan. Elemen perkerasan di Anjungan Bahari berupa plaza yang memiliki motif dan warna yang menarik. Penggunaan elemen perkerasan seperti aspal, paving block, semen, batu koral, dan sebagainya dapat memberi kesan visual yang baik sehingga mempengaruhi kualitas keindahan lanskap sekitarnya (Ruswan, 2006). Permukaan elemen perkerasan juga terlihat bersih dan rapi yang dapat mempengaruhi kualitas keindahan lanskap tersebut. Menurut Branch (1995), salah satu unsur fisik yang mempengaruhi kualitas keindahan adalah kebersihan. Selain itu, kerapihan elemen

94 78 lanskap juga sangat menentukan penilaian kualitas keindahan, semakin rapi suatu kawasan semakin indah untuk dilihat (Ruswan, 2006). Lanskap Anjungan Bahari juga didominasi elemen bangunan sebagai latar belakang yang mempengaruhi kualitas keindahan lanskap. Bangunan yang tampak adalah Rumah Sakit Stella Maris yang memiliki arsitektur dinding dan atap yang menarik dari segi bentuk, ukuran, dan warna. Kondisi fisik bangunan yang memberi penilaian kualitas keindahan tinggi adalah bangunan yang memiliki warna menarik pada atap dan dinding (Sadik, 2004). Selain itu, karakter bangunan seperti tekstur, warna, dan detail juga menentukan kualitas tempat bangunan tersebut berada (Booth, 1983). Lanskap yang memiliki kualitas keindahan paling rendah adalah Dermaga Tata Maddong. Lanskap ini didominasi oleh elemen lanskap dengan kualitas yang tidak tertata dengan baik dan kurang menarik. Kapal-kapal yang sedang berlabuh di dermaga tersebut tidak tertata dengan baik dan elemen perkerasan di pinggir pantai juga sudah rusak. Selain itu, di Dermaga Tata Maddong juga terlihat sampah yang berserakan sehingga menurunkan nilai keindahan lanskap. Hal ini didukung oleh penelitian Ruswan (2006) bahwa keberadaan sampah serta penataan dan struktur elemen lanskap yang kurang baik pada suatu lanskap akan mengakibatkan penurunan kualitas keindahan. Tipe lanskap di kawasan pantai Kota Makassar terdiri atas ruang terbuka publik, kawasan jasa/perdagangan, kawasan bersejarah, kawasan permukiman, lanskap jalan raya, rawa/mangrove, dan tepi sungai. Berdasarkan pengelompokan dengan metode kuartil, nilai SBE dikelompokkan ke dalam tiga kategori kualitas, yaitu tinggi, sedang, dan rendah (Gambar 15). Hasil pengelompokan memperlihatkan bahwa tipe lanskap ruang terbuka publik (tipe 1) dan kawasan jasa/perdagangan (tipe 2) mempunyai ketiga kualitas keindahan tersebut. Tipe lanskap yang mempunyai kedua kualitas keindahan adalah kawasan pemukiman (tipe 4) dengan kualitas keindahan tinggi dan rendah, sedangkan lanskap jalan raya (tipe 5) dengan kualitas keindahan tinggi dan sedang. Tipe lanskap yang hanya memiliki satu kualitas keindahan adalah kawasan bersejarah (tipe 3) dengan kualitas keindahan tinggi, sedangkan rawa/mangrove (tipe 6) dan tepi sungai (tipe 7) dengan kualitas sedang.

95 79 100% 90% 80% 70% Persentase 60% 50% 40% Tinggi Sedang Rendah 30% 20% 10% 0% Ruang terbuka publik Kawasan jasa/perdagangan Kawasan bersejarah Kawasan permukiman Tipe Lanskap Lanskap jalan raya Rawa/hutan mangrove Tepi sungai Gambar 15. Persentase tipe lanskap berdasarkan kualitas keindahan Keindahan lanskap di kawasan pantai Kota Makassar memiliki kualitas yang berbeda karena memiliki karakteristik yang berbeda pula. Kualitas keindahan lanskap dapat dilihat dari elemen lanskap, kerapihan, dan kebersihan. Menurut Ruswan (2006), elemen lanskap yang berpengaruh terhadap kualitas keindahan adalah elemen vegetasi, elemen bangunan, elemen perkerasan, dan elemen air. Klasifikasi nilai dan ciri-ciri elemen lanskap, kerapihan, dan kebersihan yang menentukan kualitas keindahan lanskap dapat dilihat pada Tabel 19. Lanskap pantai Kota Makassar yang memiliki kualitas keindahan tinggi didominasi elemen vegetasi (rumput, semak, perdu, dan pohon) dengan penataan yang baik seperti pada foto lanskap Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam). Selain itu, pada beberapa foto lanskap juga terdapat elemen bangunan dan elemen perkerasan. Elemen bangunan memiliki arsitektur yang menarik dan tertata dengan baik seperti bangunan bersejarah Benteng Ujung Pandang dan Celebes Convention Centre (CCC). Elemen lainnya yang mendominasi adalah elemen perkerasan seperti pada lanskap Anjungan Bahari. Perkerasan tersebut memiliki

96 80 desain dan warna yang menarik dengan bahan keramik, paving block, dan aspal. Secara umum, lanskap di kawasan pantai Kota Makassar tersebut memiliki kualitas keindahan tinggi karena memiliki penataan dan pengelolaan elemen lanskap yang sangat baik. Oleh karena itu, program pengelolaan secara terpadu harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas keindahan lanskap pantai Kota Makassar karena menurut Vallega (2001), nilai-nilai keindahan di kawasan pantai merupakan pemicu utama untuk kesuksesan pengembangan waterfront city. Tabel 19. Ciri-ciri kualitas keindahan lanskap pantai Kota Makassar Kualitas Keindahan Lanskap Rendah Sedang Tinggi Ciri-ciri a. Vegetasi tidak tertata dengan baik b. Penataan bangunan tidak baik c. Kualitas fisik bangunan tidak baik (warna, arsitektur, dan sebagainya) d. Tekstur perkerasan tidak baik e. Terdapat sampah, tidak terdapat sampah a. Vegetasi tertata dengan cukup baik b. Penataan bangunan cukup baik c. Kualitas fisik bangunan cukup baik d. Tekstur perkerasan cukup baik e. Tidak terdapat sampah a. Vegetasi tertata dengan sangat baik b. Penataan bangunan sangat baik c. Kualitas fisik bangunan sangat baik d. Tekstur perkerasan sangat baik (aspal, paving block, dan sebagainya) e. Tidak terdapat sampah Sumber: Diadaptasi dari Ruswan (2006) 4.8. Analisis Kenyamanan Berdasarkan pengukuran suhu udara dan kelembaban udara (Tabel 20) serta jawaban responden terhadap perasaan nyaman atau tidak (Gambar 16) diperoleh kriteria seperti yang terlihat pada Tabel 7. Secara umum menurut responden yang berkunjung ke kawasan pantai Kota Makassar, kondisi yang menunjukkan kenyamanan adalah pada waktu pagi hari (pukul WITA) dan sore hari (pukul WITA). Jawaban responden pada kedua waktu tersebut adalah 100% merasakan nyaman. Kondisi yang terasa tidak nyaman dimulai pada pukul WITA hingga pukul WITA dengan suhu udara mencapai 35 o C. Pada pukul WITA tersebut, sebanyak 100% responden merasakan ketidaknyamanan. Kondisi kenyamanan yang berbeda pada waktu pagi dan siang hari menyebabkan

97 81 jumlah pengunjung juga berbeda. Jumlah pengunjung pada waktu pagi dan sore hari lebih banyak dibandingkan siang hari. Pengunjung akan mendapatkan kenyamanan pada waktu pagi dan sore hari sehingga dapat melakukan aktivitas dengan nyaman. Tabel 20. Hasil pengukuran suhu udara dan kelembaban udara Ulangan I Ulangan II Ulangan III Ulangan IV Rata-rata Jam Pengukuran Suhu ( o C) Kelembaban (%) Suhu ( o C) Kelembaban (%) Suhu ( o C) Kelembaban (%) Suhu ( o C) Kelembaban (%) Suhu ( o C) Kelembaban (%) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , % 90% 80% Persentase 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% Nyaman Tidak Nyaman Waktu Pengukuran Gambar 16. Persentase jawaban responden berdasarkan waktu pengukuran Berdasarkan analisis indeks tingkat kenyamanan (ITN) yang disajikan pada Gambar 17 diperoleh luas kawasan yang memiliki indeks tingkat kenyamanan tinggi adalah 297,153 ha (12,05%) yang berada di Kecamatan Tamalate. Indeks tingkat kenyamanan sedang yang mendominasi sebagian besar kawasan memiliki luas 1.846,787 ha (74,89%), sedangkan indeks tingkat kenyamanan rendah seluas 322,060 ha (13,06%). Indeks tingkat kenyamanan rendah berada di Kecamatan Mariso yang umumnya didominasi oleh permukiman.

98 Gambar 17. Peta indeks tingkat kenyamanan di pantai Kota Makassar 82

99 Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Pantai Konsep dan Zonasi Pengembangan kawasan pantai Kota Makassar sebagai prioritas utama dengan konsep waterfront city adalah kawasan rekreasi (recreational waterfront). Prinsip dasar pengembangan waterfront city dilakukan dengan menyeimbangkan lingkungan alami dan menciptakan daya tarik wisata. Kota Makassar memiliki beberapa obyek rekreasi yang menarik dan didukung oleh kondisi geografis berupa pantai dan kepulauan. Akan tetapi, pengembangan tersebut harus tetap melestarikan lingkungan, bahkan jika memungkinkan dapat memperbaiki lingkungan yang rusak. Lingkungan alami seperti hutan mangrove yang tersisa harus dipertahankan, bahkan sebaiknya dilakukan konservasi. Tujuan pengembangan kawasan recreational waterfront yang ingin dicapai adalah kelestarian alam, mempertahankan nilai-nilai sosial budaya, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatannya dilakukan terhadap aspek keindahan, kenyamanan, dan daya dukung lingkungan. Menurut Hata et al. (1991), kenyamanan, keindahan pemandangan, budaya, dan warisan sejarah merupakan faktor-faktor penting dalam pengembangan recreational waterfront. Selanjutnya Ramly (2007) mengemukakan lima aspek utama pengembangan wisata berorientasi lingkungan yaitu (1) adanya keaslian alam dan budaya, (2) keberadaan dan dukungan masyarakat, (3) pendidikan dan pengalaman, (4) keberlanjutan, dan (5) kemampuan manajemen pengelolaan kawasan. Usulan pengembangan lain berdasarkan hasil analisis adalah kawasan mixed-use waterfront, yaitu kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan (Breen & Rigby, 1996 diacu dalam Sairinen & Kumpulainen, 2006). Pembangunan di kawasan pantai Kota Makassar sangat pesat dengan peruntukkan yang beragam, seperti permukiman, bisnis/perdagangan, transportasi, dan lain-lain. Kawasan tersebut dibangun dengan cara mereklamasi pantai sebagai upaya mengatasi keterbatasan lahan. Selain itu, harga lahan di darat semakin mahal sehingga pemerintah kota lebih memilih alternatif untuk mengurug pantai yang merupakan harta milik bersama (common property).

100 84 Sebenarnya jika kegiatan reklamasi dilakukan secara terpadu, dengan teknologi yang tepat, dan sesuai dengan kondisi biofisik serta memperhatikan kondisi sosial ekonomi, kegiatan tersebut akan memberikan manfaat, yaitu (1) mendapatkan tambahan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti tempat wisata, daerah industri, pelabuhan, dan perumahan, (2) memperbaiki kondisi fisik pantai yang telah mengalami kerusakan seperti akibat erosi, (3) memperbaiki kualitas lingkungan pantai secara keseluruhan, dan (4) memberikan kejelasan tanggung jawab pengelolaan pantai (Pratikto, 2004). Namun, reklamasi yang dilakukan secara parsial dan tidak terpadu justru akan memberikan kondisi yang sebaliknya yaitu menimbulkan permasalahan. Permasalahan tersebut, antara lain, pencemaran lingkungan, perubahan morfologi pantai, perubahan mata pencaharian, dan perubahan nilai sosial budaya yang dapat terjadi pada semua tahap baik pra, pelaksanaan maupun pasca kegiatan. Kegiatan pengembangan di kawasan pantai sering dilaksanakan secara tidak terpadu sehingga menimbulkan biaya yang besar terhadap lingkungan. Oleh karena itu, perencanaan dan pengelolaan secara terpadu sangat diperlukan untuk menjamin bahwa kualitas lingkungan dan keindahan kawasan pantai dapat berjalan dengan baik. Rees (2002) mengemukakan contoh rancangan pengelolaan kawasan pantai yang apabila pengembangan dilaksanakan dalam kerangka kerja tersebut, masyarakat dapat memperoleh manfaat jangka panjang dari sumber daya alam yang terkait (Gambar 18). Gambar 18. Contoh rancangan pengelolaan kawasan pantai (Rees, 2002)

101 85 Untuk mengantisipasi berbagai permasalahan yang akan timbul dalam pengembangan kawasan dan memudahkan kegiatan pengelolaan, kawasan pantai Kota Makassar yang mencakup tiga kecamatan di pusat kota dibagi menjadi tiga zonasi pengembangan sebagai berikut (Gambar 19). 1. Zonasi Pemanfaatan Wisata Zona ini merupakan zona yang dimanfaatkan untuk aktivitas pariwisata terutama wisata pantai. Zona ini dikembangkan pada area yang mempunyai potensi dan daya tarik wisata serta lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan. Namun, aktivitas yang dilakukan tetap mempertimbangkan unsur perlindungan dan pelestarian sumber daya pantai. Zona pemanfaatan wisata dialokasikan seluas 369,9 ha (15%) yang dapat dikembangkan di sepanjang pantai Kota Makassar terutama di Kecamatan Tamalate. 2. Zonasi Multi-Pemanfaatan Zona ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti permukiman, bisnis/perdagangan, transportasi, dan lain-lain. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan, Kota Makassar sesuai untuk pengembangan permukiman. Akan tetapi, pengembangan zona dengan multi-pemanfaatan tersebut harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai dan memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Alokasi untuk zona multi-pemanfaatan adalah 1.627,6 ha (66%) yang dikembangkan pada ketiga kecamatan. 3. Zonasi Konservasi Zona ini ditujukan untuk melestarikan ekosistem di kawasan pantai, laut, dan pulau-pulau kecil terdekat terutama mangrove dan terumbu karang. Menurut Bengen (2005), keberadaan zona konservasi penting dalam memelihara berbagai proses penunjang kehidupan, seperti siklus hidrologi dan unsur hara, membersihkan limbah secara alamiah, dan sumber keanekaragaman hayati (biodivesity). Zona konservasi dialokasikan seluas 468,5 ha (19%) terutama di sepanjang Sungai Jeneberang dan tanah timbul di Kecamatan Tamalate. Kegiatan yang dapat dilakukan di zona konservasi adalah kegiatan-kegiatan untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Kegiatan wisata dapat dilakukan, tetapi lebih ditujukan ke arah ecotourism daripada mass-tourism.

102 Gambar 19. Peta zonasi pengembangan kawasan pantai Kota Makassar 86

103 Daya Dukung Kawasan Pengembangan kawasan pantai Kota Makassar sebagai recreational waterfront harus mempertimbangkan kenyamanan dan kepuasan pengguna atas sumber daya yang ditawarkan, tetapi juga harus dilakukan perlindungan terhadap sumber daya alam tersebut. Kawasan pantai sangat rentan terhadap kegiatan manusia sehingga perlu adanya pembatasan jumlah pengunjung. Untuk itu dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan pantai perlu diketahui daya dukung kawasan untuk mendukung kegiatan rekreasi. Daya dukung merupakan kemampuan kawasan untuk menerima sejumlah pengunjung dengan intensitas penggunaan maksimal terhadap sumber daya yang berlangsung terus-menerus tanpa merusak lingkungan. Daya dukung tersebut sangat menentukan keberlanjutan kawasan pantai Kota Makassar. Menurut Saifullah (2004), terdapat tiga faktor yang membatasi kegiatan rekreasi, yaitu (1) panjang pantai berpasir untuk kegiatan rekreasi pantai, (2) luas pantai untuk penyediaan akomodasi, dan (3) ketersediaan air bersih (air tawar). 1. Pantai Berpasir Obyek yang memiliki pantai berpasir adalah Pantai Akkarena, Pantai Tanjung Bayang, dan Pantai Barombong. Estimasi daya dukung berdasarkan kapasitas pantai berpasir menurut standar yang digunakan oleh World Tourism Organization (WTO) dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Estimasi daya dukung berdasarkan kapasitas pantai berpasir No. Obyek Panjang Pantai Berpasir (m) Standar Kebutuhan Ruang (m 2 /orang)* Daya Dukung (orang) 1. Pantai Akkarena Pantai Tanjung Bayang Pantai Barombong Keterangan: * Sumber WTO (1981) Berdasarkan Tabel 21, Pantai Akkarena dengan panjang garis pantai berpasir 412 m memiliki daya dukung 41 orang untuk kelas rendah dan 13 orang untuk kelas tinggi. Apabila diasumsikan daya dukung digunakan secara penuh dengan intensitas 300 hari per tahun, kapasitas pantai untuk menampung pengunjung

104 88 kelas rendah dalam setahun sebesar HOW (hari orang wisata), sedangkan kelas tinggi HOW. Pantai Tanjung Bayang dengan panjang pantai berpasir 800 m memiliki daya dukung 80 orang untuk kelas rendah dan 26 orang untuk kelas tinggi. Kapasitas pantai dalam setahun untuk kelas rendah adalah HOW dan kelas tinggi HOW. Pantai Barombong dengan panjang pantai berpasir 90 m dapat menampung sebanyak 9 orang untuk kelas rendah dan 3 orang untuk kelas tinggi. Kapasitas pantai dalam setahun adalah HOW untuk kelas rendah dan 900 HOW untuk kelas tinggi. 2. Lahan untuk Akomodasi (Penginapan) Ketersediaan penginapan atau rumah-rumah sewa yang memadai untuk pengunjung dengan aksesibilitas yang baik akan mempengaruhi kunjungan dan lama tinggal. Estimasi daya dukung berdasarkan luas lahan untuk penginapan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Estimasi daya dukung berdasarkan luas lahan akomodasi No. Obyek Luas Lahan Akomodasi (m 2 ) Standar Kebutuhan Ruang (m 2 /tempat tidur)* Daya Dukung (orang)# 1. Pantai Akkarena Pantai Tanjung Bayang Pantai Barombong Keterangan: * Sumber WTO (1981) # Asumsi 1 tempat tidur untuk 1 orang Berdasarkan standar kebutuhan ruang untuk akomodasi (WTO, 1981) Pantai Akkarena dengan luas m 2 memiliki daya dukung orang untuk kelas rendah dan 433 orang untuk kelas tinggi. Apabila diasumsikan tingkat penggunaan 100% dengan intensitas 300 hari dalam setahun, kapasitas daya dukung menjadi HOW untuk kelas rendah dan HOW untuk kelas tinggi. Pantai Tanjung Bayang memiliki daya dukung orang untuk kelas rendah dan 400 orang untuk kelas tinggi. Daya dukung dalam setahun untuk kelas rendah adalah HOW, sedangkan untuk kelas tinggi adalah HOW. Pantai Barombong dengan luas lahan akomodasi m 2 dapat menampung sebanyak 142 orang untuk kelas rendah dan 47 orang untuk kelas

105 89 tinggi sehingga dalam setahun dapat menampung sebanyak HOW untuk kelas rendah dan HOW untuk kelas tinggi. 3. Air Bersih Ketersediaan air bersih (air tawar) merupakan faktor yang sangat penting dalam pengembangan kawasan pariwisata. Kebutuhan air di Kota Makassar disediakan oleh PDAM (selain sumber air tanah setempat). Untuk memenuhi kebutuhan air tersebut, PDAM menyediakan lima instalasi pengolahan air (IPA) dengan kapasitas terbesar liter/detik dari IPA Somba Opu yang sumber air bakunya dari Dam Bili-bili. Estimasi daya dukung berdasarkan ketersediaan air bersih dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Estimasi daya dukung berdasarkan ketersediaan air bersih No. Obyek Ketersediaan air bersih (liter/detik) Standar Kebutuhan (liter/hari)* Daya Dukung (orang)# 1. Pantai Akkarena Pantai Tanjung Bayang Pantai Barombong Keterangan: * Sumber WTO (1981) # Asumsi air mengalir selama 24 jam setiap hari Standar kebutuhan air bersih untuk penginapan pada ketiga obyek memiliki daya dukung yang sama yaitu orang untuk kelas rendah dan orang untuk kelas tinggi. Jika digunakan asumsi intensitas penggunaan 300 hari dalam setahun diperoleh daya dukung sebanyak HOW untuk kelas rendah dan HOW untuk kelas tinggi. Berdasarkan faktor pembatas pada masing-masing obyek, panjang pantai berpasir merupakan faktor utama yang membatasi kegiatan rekreasi, sedangkan penyediaan akomodasi dan ketersediaan air bersih tidak begitu berpengaruh karena kawasan berada dekat dengan pusat Kota Makassar. Oleh karena itu, daya dukung yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kawasan adalah daya dukung berdasarkan panjang pantai berpasir. Perhitungan daya dukung juga dapat dilakukan berdasarkan aktivitas rekreasi. Formula yang digunakan adalah formula Boullon (Libosada, 1998), yaitu dengan menjumlahkan daya dukung untuk setiap bentuk aktivitas. Perhitungan

106 90 daya dukung pada beberapa obyek rekreasi di kawasan pantai Kota Makassar dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Perhitungan daya dukung kawasan pantai Kota Makassar Aktivitas Luas Area (m 2 ) Standar Kebutuhan Ruang (m 2 /individu)* Daya Dukung (individu)# Koefisien Rotasi** Daya Dukung Total (individu/ hari) Pantai Losari -Menikmati pemandangan Menyaksikan pertunjukan Memancing Sub-total Pantai Akkarena -Menikmati pemandangan Berenang , Jetski Speedboat All terrain vehicle (ATV) Bermain anak Makan di kafe Sub-total Pantai Tanjung Bayang -Berenang , Piknik Volly pantai Kemah Berperahu Sub-total Pantai Barombong -Berenang 800 4, Piknik Memancing Kemah Sub-total 631 Daya Dukung Total Kawasan Pantai Kota Makassar Keterangan: * Sumber Harris dan Dines (1998); Chiara dan Koppelman (1997); Gold (1980) # Daya dukung (DD) = luas area yang digunakan pengunjung (A) dibagi standar rata-rata individu untuk suatu aktivitas (S) ** Koefisien rotasi per hari (K) = jam kunjungan per hari area yang diijinkan (N) dibagi rata-rata waktu kunjungan (R) Berdasarkan perhitungan menggunakan formula Boullon, diperoleh daya dukung total untuk kawasan pantai Kota Makassar adalah individu/hari. Kapasitas daya dukung masing-masing obyek rekreasi terlihat berbeda karena faktor aktivitas yang berbeda pula. Pantai Akkarena memiliki daya dukung sebesar individu/hari karena aktivitas yang dapat dilakukan lebih beragam. Pengelola Pantai Akkarena menyediakan fasilitas jetski, speedboat, dan all terrain

107 91 vehicle (ATV) yang tidak tersedia di tempat lain. Pantai Losari memiliki daya dukung sebesar individu/hari karena di pantai ini dapat digunakan untuk berbagai kegiatan publik seperti konser musik, perlombaan, pertemuan organisasi, dan lain-lain. Pantai Tanjung Bayang dan Pantai Barombong memiliki daya dukung lebih sedikit, meskipun panjang pantai lebih besar. Hal ini karena aktivitas yang dapat dilakukan terbatas karena kurang fasilitas pendukung Strategi dan Program Pengelolaan Penerapan konsep waterfront city merupakan salah satu upaya pengelolaan kawasan pantai Kota Makassar. Strategi pengelolaan yang direkomendasikan adalah strategi the responsible city atau kota berwawasan bijak seperti yang dikemukakan oleh Tjallingi (1995). Strategi ini merupakan suatu konsep desain dan pengelolaan perkotaan yang tidak hanya memperhatikan kebutuhan levellevel tertentu, tetapi juga generasi yang akan datang dengan tetap bertanggung jawab terhadap mutu lingkungan. Pengelolaan tidak hanya mencakup kawasan itu sendiri, tetapi juga di luar kawasan tersebut. Strategi the responsible city melihat bahwa suatu kota tidak akan terlepas dari berbagai macam permasalahan seperti ketersediaan air, energi, sampah, dan kemacetan lalu lintas yang saling berhubungan dalam suatu aliran pengelolaan rantai. Hal ini penting karena pengembangan kawasan pantai terutama dengan cara reklamasi dapat memberikan dampak bagi kawasan lain, meskipun kawasan itu sendiri tidak terkena dampaknya. Seperti yang terjadi di Jakarta beberapa tahun terakhir ini, reklamasi Pantai Indah Kapuk (PIK) dinilai telah menimbulkan masalah banjir di jalan tol Bandara Soekarno-Hatta. Oleh karena itu, kontribusi dalam kajian lingkungan yang berkesinambungan harus dilakukan agar masalah tidak menimpa kawasan lain dan diwariskan pada generasi yang akan datang. Prinsip-prinsip pedoman dalam pengelolaan kawasan menurut Tjallingi (1995), sebagai berikut. 1. Pemanfaatan yang ekonomis. Prinsip ini terfokus pada dorongan untuk merubah tingkah laku misalnya bersepeda daripada mengendarai mobil. Namun, pada konteks ini juga dapat menerapkan sistem yang lebih efisien dalam pelaksanaannya, misalnya pemakaian rumah yang berbahan menyerap energi (well insulated house).

108 92 2. Pemakaian kembali (re-use). Prinsip ini adalah langkah kedua karena pemakaian yang hemat berarti semakin sedikit produk limbah yang dihasilkan. Namun sejauh ini, langkah ini dapat dicapai dengan pemanfaatan bangunan dan obyek, dan jika tidak memungkinkan dapat juga melalui pemakaian kembali dan daur ulang bahan mentah. 3. Pembaharuan sumber-sumber yang tidak terbatas jumlahnya. Langkah yang masih sangat perlu dikembangkan adalah bahan bakar dan bahan mentah yang dapat diperbaharui ataupun tidak dapat habis, misalnya energi matahari. 4. Rasa tanggung jawab akan kualitas dan kuantitas aliran suplai dan pembuangan. Misalnya kayu hutan sebagai bahan yang tahan lama dan dapat diperbaharui. Namun, cara memperolehnya saat ini malah menyebabkan kerusakan hutan. Tanggung jawab ini harus ditanamkan pada para pemakai kayu untuk bangunan ini. Untuk mewujudkan kawasan pantai Kota Makassar sebagai waterfront city, dijabarkan program pengelolaan sebagai berikut. 1. Pengelolaan kawasan pemanfaatan wisata Pengembangan kawasan pemanfaatan wisata dapat menimbulkan masalah apabila tidak dikelola dengan baik. Untuk itu perlu dilakukan beberapa tindakan pengelolaan sebagai berikut. a. Penataan ruang terbuka publik terutama di sepanjang Pantai Losari sebagai tempat berinteraksi sosial dan menikmati pemandangan pantai. Keindahan pemandangan sunset di Pantai Losari merupakan faktor utama untuk menarik minat masyarakat mengunjungi kawasan pantai. Oleh karena itu, Pantai Losari sebagai landmark Kota Makassar harus ditata dengan baik. Selain itu, view ke arah pantai sebaiknya tidak terhalangi oleh bangunan dan masyarakat dapat mengakses pantai dengan mudah. Menurut Wijanarka (2008), ruang terbuka yang tercipta oleh massa-massa bangunan pada dasarnya difungsikan untuk kegiatan manusia. Meskipun berfungsi sebagai street, faktor kegiatan manusia lebih diutamakan daripada faktor kendaraan bermotor. Oleh karena itu, ruang terbuka tersebut selalu dilengkapi dengan street furniture sebagai pendukung kegiatan manusia.

109 93 b. Penataan rumah-rumah penduduk dan shelter yang disewakan terutama di kawasan Pantai Tanjung Merdeka dan Tanjung Bayang yang dikelola oleh masyarakat setempat. Berdasarkan hasil analisis keindahan, kawasan tersebut memiliki nilai keindahan rendah sehingga perlu penataan untuk meningkatkan kualitas keindahan. Bangunan rumah dan shelter ditata dengan memberi jarak antara rumah atau shelter untuk memberi kenyamanan kepada pengunjung. Selain itu, perlu adanya pembatasan pembangunan agar tidak terlalu dekat ke garis pantai (diupayakan minimal 100 m dari pasang tertinggi ke arah darat). c. Penataan vegetasi untuk memberi kenyamanan kepada pengunjung terutama untuk mengurangi pengaruh suhu yang relatif tinggi. Jenis vegetasi yang telah ada di kawasan pantai dapat digunakan, seperti akasia (Acasia auriculiformis), kayu jawa (Lannea grandis), waru laut (Hibiscus tiliaceus). Tanaman lontar (Borassus flabellifer) sebagai tanaman endemik Sulawesi Selatan juga dapat digunakan sebagai focal point. d. Penyediaan dan perbaikan fasilitas-fasilitas pendukung seperti kamar mandi, kamar bilas, tempat bermain, tempat duduk-duduk, dan lain-lain. Saat ini fasilitas yang terdapat di Pantai Tanjung Merdeka dan Tanjung Bayang masih terbatas, sedangkan di Pantai Barombong kondisi beberapa fasilitas seperti kamar mandi telah rusak. e. Pengelolaan sampah yang dihasilkan oleh pengunjung dengan menyediakan tempat sampah, unit pengolahan sampah, dan petugas yang melaksanakan kegiatan pengelolaan. Untuk Anjungan Bahari, sesuai Peraturan Walikota Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja UPTD Pengelolaan Pelataran Pantai Losari, pengelola hanya satu orang merangkap sebagai kepala UPTD sekaligus pelaksana. Oleh karena itu, untuk menjaga kebersihan anjungan setidaknya terdapat tiga orang petugas yang terdiri atas satu penanggung jawab/pengawas dan dua orang pelaksana harian. f. Pendidikan lingkungan kepada masyarakat terutama anak-anak sekolah mengenai pentingnya menjaga kelestarian kawasan pesisir untuk masa kini dan yang akan datang. Kegiatan yang diusulkan, antara lain, penyediaan paket-paket promosi seperti pembebasan biaya masuk bagi pelajar yang berkunjung ke obyek rekreasi dan pemanfaatan obyek rekreasi untuk kegiatan-

110 94 kegiatan pendidikan seperti lomba menggambar, kuis, olah raga, dan lain-lain. Kegiatan lomba menggambar bagi pelajar banyak dilaksanakan di pusat perbelanjaan seperti mal Tanjung Bunga. Oleh karena itu, untuk lebih mengenalkan lingkungan pantai ke anak-anak sekolah, kegiatan tersebut dapat dialihkan ke obyek rekreasi di kawasan pantai seperti Pantai Akkarena dan Anjungan Bahari. g. Perencanaan kegiatan-kegiatan atraksi budaya secara rutin seperti festival Losari, lomba jolloroq, prosesi upacara laut, pementasan kisah-kisah heroik pelaut Bugis-Makassar, dan lain-lain. 2. Pengelolaan kawasan multi-pemanfaatan Pengelolaan kawasan multi-pemanfaatan ditujukan untuk pemanfaatan sebagai kawasan permukiman, bisnis/perdagangan, transportasi, dan kegiatankegiatan perkotaan lainnya. Beberapa tindakan pengelolaan yang diusulkan sebagai berikut. a. Penataan bangunan di sepanjang pantai dengan memanfaatkan pantai dan laut sebagai halaman depan. Untuk menerapkan konsep waterfront, bangunan yang berada di sepanjang pantai harus mengarah dan berorientasi ke laut. Apabila konsep waterfront tidak diterapkan, kawasan pantai akan kehilangan ciri dan karakteristiknya sebagai waterfront city. Umumnya bangunan yang berada di kawasan pantai Kota Makassar belum mengarah ke laut. Jika terdapat beberapa hotel, rumah sakit, dan bangunan toko yang menghadap ke laut disebabkan oleh bangunan tersebut berorientasi ke jalan yang sejajar dengan laut. Bangunan yang baru dibangun pun seperti Celebes Convention Centre dibangun membelakangi laut. Akan tetapi, konsep waterfront sebenarnya telah diterapkan di permukiman nelayan tradisional. Menurut Yanti (2002), umumnya perkampungan nelayan berada dekat sumber mata pencaharian dan letak rumah nelayan mengikuti empat penjuru mata angin. Biasanya rumah tersebut mengarah ke Timur tempat matahari terbit atau menghadap ke sumber mata pencaharian seperti danau, sungai, atau laut. b. Peningkatan nilai estetika fasade bangunan yang berada di sepanjang pantai. Menurut Wijanarka (2008), estetika fasade bangunan dapat diperoleh, antara lain, dengan pola desain yang sama, keserasian antara fasade bangunan yang

111 95 satu dengan lainnya meskipun pola desainnya berbeda, adanya garis pengatur ketinggian bangunan, dan pola bukaan fasade (pintu dan jendela) yang indah. Di kawasan pantai Kota Makassar, berdasarkan hasil analisis keindahan terlihat bahwa beberapa bangunan telah memiliki nilai fasade yang indah, seperti bangunan Benteng Ujung Pandang, RS Stella Maris, dan Celebes Convention Centre. Akan tetapi, beberapa bangunan lainnya seperti ruko di sepanjang pantai dan bangunan di Pantai Laguna belum terlihat indah. c. Pengaturan sirkulasi atau jaringan jalan sebagai penghubung dalam kawasan waterfront. Pengaturan sirkulasi dilakukan sejajar, berpola lurus dengan sisi pengairan, atau pola jalan mengikuti pola air untuk memudahkan orang menikmati view ke arah laut. Menurut Soesanti dan Sastrawan (2006), sirkulasi yang tidak berdekatan dengan area perairan mengakibatkan salah orientasi dan hilangnya citra dari waterfront itu sendiri. Pengaturan jalur jalan juga dilakukan searah untuk menghindari kemacetan lalu lintas terutama pada saat pelaksanaan kegiatan-kegiatan publik di kawasan pantai serta dilakukan pemisahan jalur pejalan kaki untuk keamanan pengunjung. Selain itu, jalur jalan yang berada dekat laut juga dapat digunakan untuk membedakan dua area yang berbeda (darat dan air). d. Pengelolaan air mencakup kuantitas dan kualitas air bersih. Diagram sistem pengelolaan air mulai dari skala rumah tangga hingga kota dapat dilihat pada Gambar 20. Sumber air yang berasal dari Dam Bili-bili sebanyak 125 liter dapat dihemat menjadi 76 liter yang digunakan untuk masak, mandi, dan mencuci, sedangkan untuk kebutuhan air siraman toilet dapat menggunakan air hujan. Limbah dari rumah tangga selanjutnya dialirkan ke sistem pembuangan untuk diolah pada unit pengolahan limbah. Limbah yang masuk saluran melalui aliran permukaan mengalir ke kanal-kanal, tetapi harus ada tindakan pengawasan, pencegahan, penampungan sementara, dan pembersihan sebelum dialirkan ke sungai atau laut. Adanya ruang terbuka hijau sebagai green infrastructure seperti taman-taman kota, area rekreasi, dan kawasan konservasi hutan mangrove diharapkan dapat mendukung ketersediaan air. Menurut Benedict dan McMahon (2001), green infrastructure dapat merujuk pada engineered structure, seperti fasilitas pengelolaan air dan green roof

112 96 yang didesain ramah lingkungan. Green infrastructure sebaiknya menjadi kerangka dalam pengembangan dan konservasi kawasan, yang digambarkan sebagai suatu jaringan yang menghubungkan ruang terbuka hijau untuk melindungi fungsi dan nilai ekosistem alami sehingga memberikan manfaat bagi manusia. Green infrastructure memiliki sistem poros atau pusat kegiatan (hubs) dan penghubung (link) untuk memulihkan ekosistem dan fitur-fitur lanskap. Hubs mencakup kawasan yang dilindungi, lanskap alami yang dikelola sebagai area rekreasi, lahan-lahan pertanian, dan taman lingkungan, sedangkan link mencakup landscape linkages, koridor-koridor yang dilindungi, jalur-jalur hijau (greenway), dan sabuk-sabuk hijau (greenbelt). RUMAH KECAMATAN KOTA REGIONAL Sumber air bersih dari DAM Bili-bili Tamantaman kota Pemanfaatan untuk masak, mandi, dan mencuci Kanal-kanal Pengawasan dan pencegahan Penampungan sementara Air hujan Pemanfaatan untuk air siraman toilet Hutan mangrove Area rekreasi PENGOLAHAN LIMBAH Sistem pembuangan Gambar 20. Diagram pengelolaan air (diadaptasi dari Tjallingi, 1995)

113 97 e. Pemanfaatan potensi energi yang berasal dari laut untuk menghasilkan listrik. Menurut Gunawan (2008), energi yang berasal dari laut (ocean energy) dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu (1) energi ombak (wave energy), energi pasang surut (tidal energy), dan (3) hasil konversi energi panas laut (ocean thermal energy conversion). Energi laut juga dapat dimanfaatkan juga untuk kegiatan-kegiatan publik yang membutuhkan kapasitas listrik besar seperti konser musik. f. Pengelolaan sampah domestik terutama dari rumah tangga, hotel, restoran, dan industri. Walaupun pemerintah Kota Makassar telah mencanangkan kampanye Makassar Bersih pada tanggal 15 Mei 2004 dan mengeluarkan kebijakan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 mengenai larangan membuang sampah, permasalahan sampah masih belum teratasi. Dalam kurun waktu dua tahun penerapan Perda ini di wilayah percontohan Kecamatan Ujung Pandang baru menjaring 68 pelanggar untuk diproses secara hukum melalui pengadilan. Sementara kondisi persampahan di kecamatan tersebut masih sangat memprihatinkan, dan pelanggar yang lolos dipastikan jauh lebih banyak daripada yang terjaring. g. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan lingkungan secara rutin. Pemerintah Kota Makassar telah merencanakan beberapa kegiatan pengelolaan lingkungan, tetapi tidak dilaksanakan secara rutin. Program tersebut antara lain program kali bersih (Prokasih), program udara bersih (Prodasih), dan program pantai dan laut lestari. Untuk mendukung program tersebut, sebaiknya diberikan sanksi dan penghargaan kepada individu yang terkait. 3. Pengelolaan kawasan konservasi Pengelolaan kawasan konservasi di pantai Kota Makassar diarahkan pada pengelolaan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Mangrove yang tersisa di kawasan pantai Kota Makassar harus dipertahankan. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan sebagai berikut. a. Konservasi hutan mangrove dengan pembuatan persemaian, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Lokasi persemaian mangrove dapat dibuat di tanah timbul yang terdapat di Kecamatan Tamalate, sedangkan penanaman

114 98 dilakukan di sepanjang Sungai Jeneberang hingga tanah timbul tersebut. Penentuan lebar jalur hijau hutan mangrove menggunakan formula seperti yang dikemukakan Soerianegara (1996) yaitu 120 kali rata-rata tunggang air pasang purnama (tidal range) m. Rata-rata tunggang air pasang surut di perairan Kota Makassar adalah 1,14 m sehingga lebar jalur hijau hutan mangrove sebesar 136,8 m. b. Pembuatan bangunan fisik seperti penahan arus, pemecah gelombang, dan penguat tebing (turap) untuk melindungi bibit mangrove yang baru ditanam sampai bibit tersebut tahan terhadap hempasan gelombang dan kikisan arus pasang surut. c. Pembangunan jalur untuk rekreasi pengunjung di dalam kawasan hutan mangrove. Hutan mangrove dapat dimanfaatkan untuk ecotourism dengan penyediaan fasilitas berupa jalur jalan, menara pengamat, dermaga, dan lainlain. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam kawasan hutan mangrove, antara lain, bird watching, memancing, menikmati pemandangan alam, dan bersampan. d. Perencanaan komunikasi sosial dan kelembagaan antara pemerintah kota dan masyarakat setempat untuk kegiatan konservasi mangrove. Salah satu contoh keberhasilan organisasi sosial adalah Yayasan Kelola di Sulawesi Utara yang bekerja sama dengan Mangrove Action Project (MAP). Organisasi ini telah mengembangkan kurikulum mengenai hutan mangrove di sekolah-sekolah setempat, membangun Pusat Sumber Daya Komunitas Pantai (Coastal Community Resource Centre) di Desa Tiwoho, Taman Laut Nasional Bunaken, memperbaiki kondisi hutan mangrove di wilayah tambak udang yang ditelantarkan, dan menciptakan peraturan desa untuk konservasi hutan mangrove seluas 40 ha (DTE, 2003). Ekosistem lain yang termasuk dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan konservasi adalah terumbu karang dan padang lamun. Terumbu karang dan padang lamun terutama terdapat di sekitar pulau-pulau kecil. Walaupun ekosistem terumbu karang memiliki kemampuan dalam memperbaiki sendiri bila terjadi kerusakan dan memperbaharui bagian yang rusak, tetapi tekanan akibat

115 99 aktivitas manusia dapat menimbulkan kerusakan. Untuk itu diperlukan tindakan pengelolaan sebagai langkah pencegahan sebagai berikut. a. Pembatasan kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem, seperti pengerukan yang menyebabkan teraduknya sedimentasi dan membuat air keruh, pencemaran atau pembuangan limbah, dan penggunaan bahan peledak atau beracun sebagai alat penangkap ikan. b. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi terhadap terumbu karang yang telah mengalami kerusakan terutama di Pulau Kayangan dan Pulau Lae-lae yang memiliki kondisi terumbu karang sangat buruk (tingkat penutupan karang hidup kurang dari 10%). c. Pelaksanaan kegiatan pemantauan ekosistem terumbu karang secara rutin yang dapat dilakukan melalui kerjasama pihak pemerintah Kota Makassar dengan institusi pendidikan atau penelitian. Pemantauan dilakukan untuk menghindari eksploitasi berlebihan sumber daya alam dan melindungi keanekaragaman hayati perairan. Menurut Teh dan Cabanban (2007), petunjuk perencanaan sustainable ecotorism antara lain menghindari eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya untuk kepentingan sosialekonomi, melindungi keanekaragaman hayati perairan sebagai atraksi utama bagi wisatawan, dan adanya kerjasama serta dukungan dari para pengguna dalam pengelolaan sumber daya lokal. d. Pendidikan mengenai pentingnya mempertahankan ekosistem terumbu karang dan padang lamun kepada masyarakat dan mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan.

116 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Berdasarkan pertimbangan manfaat dan biaya lingkungan, kesesuaian lahan, aspek keindahan, kenyamanan, dan daya dukung, kawasan pantai Kota Makassar memiliki potensi dikembangkan sebagai waterfront city dengan prioritas utama pengembangan sebagai kawasan rekreasi. Pengembangan tersebut dilakukan di sepanjang pantai Kota Makassar yang mencakup Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Mariso, dan Kecamatan Tamalate. 2. Rekomendasi pengembangan dan pengelolaan dilakukan dengan strategi the responsible city atau kota berwawasan bijak. Zona pengembangan kawasan pantai Kota Makassar terbagi tiga zonasi, yaitu (a) zona pemanfaatan wisata seluas 369,9 ha (15%), (b) zona multi-pemanfaatan seluas 1.627,6 ha (66%), dan (c) zona konservasi seluas 468,5 ha (19%). Program pengelolaan yang direkomendasikan meliputi (a) pengelolaan kawasan pemanfaatan wisata, (b) pengelolaan kawasan multi-pemanfaatan, dan (c) pengelolaan kawasan konservasi Saran 1. Pengembangan lahan terutama di sepanjang pantai Kecamatan Tamalate disarankan hanya sebagai kawasan rekreasi. 2. Pengembangan kawasan multi-pemanfaatan di kawasan pantai sebaiknya memperhatikan sempadan pantai yaitu minimal 100 m dari pasang tertinggi ke arah darat. 3. Perlunya pengelolaan obyek wisata secara terintegrasi antara pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat dengan adanya standar pengelolaan yang sama.

117 DAFTAR PUSTAKA Abdullah H Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Pr. Agresti A, Finlay B Statistical Method for the Social Science. Ed ke-3. New Jersey: Prentice Hall. Ahmaddin A Adat dan Kebudayaan Suku Bugis. melayuonline.com. [24 Des 2008]. Andit AR Sistem Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) untuk Menyelamatkan Masa Depan Teluk Jakarta dan Pulau-Pulau di Kepulauan Seribu. Di dalam: Zain AM, editor. Prosiding Seminar dan Kolokium Nasional Menuju Jabodetabek Berkelanjutan; Bogor, Sep Bogor: Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah-LPPM IPB. hlm Anwar C, Gunawan H Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mangrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir. Di dalam: Anwar et al., editor. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang, Sep Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. hlm Arancibia AY, Domingguez ALL, Galaviz JLR, Lomeli DJZ, Zapata GJV, Gil PS Integrating Science and Management on Coastal Marine Protected Area in the Southeren Gulf of Mexico. Ocean Coastal Manage. p Ariawan K, Irawanti S Kajian Tambak di Hutan Mangrove Pantai Utara Jawa (Kasus Kabupaten Subang). Info Sosial Ekonomi. 6(3): Astri IM Rencana Pengelolaan Lanskap Safari Trek di Taman Safari Indonesia [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ayuputri M Perancangan Lanskap Waterfront Situ Babakan, di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Jakarta Selatan [Skripsi]. Bogor: Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [Bapedalda] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Revitalisasi Pantai Losari di Kota Makassar. Makassar: Bapedalda Kota Makassar. [Bapedalda] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Pemantauan dan Pengelolaan Dampak Lingkungan Hidup Pemanfaatan Kawasan Pantai Kota Makassar. Makassar: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan.

118 102 [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Pesisir/Pantai Kota Makassar. Makassar: Bappeda Kota Makassar. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar. Makassar: Nalarencana & Bappeda Kota Makassar. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Revitalisasi Pantai Losari. [29 Nov 2007]. [BPS] Badan Pusat Statistik Makassar dalam Angka Makassar: BPS Kota Makassar. Benedict MA, McMahon ET Green Infrastructure: Smart Conservation for the 21 st Century. [3 Feb 2007]. Bengen DG Menuju Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS). Di dalam: Setyawan WB et al., editor. Interaksi Daratan dan Lautan, Pengaruhnya terhadap Sumber Daya dan Lingkungan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hlm Booth NK Basic Elements of Landscape Architectural Design. Illinois: Wavelang Pr. Branch M Perencanaan Kota Komprehensif. Yogyakarta: Gama Pr. Breen A, Rigby D The New Waterfront: A Worldwide Urban Success Story. Great Britain: Thames & Hudson. Burhanuddin S, Ahmad, Liebner H Wisata Bahari Makassar. Jakarta: Ara Sinergi Optima. Chiara J, Koppelman LE Standar Perencanaan Tapak. Hakim J, penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Site Planning Standards. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Dahuri R Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan secara Terpadu. J. Pesisir Lautan. 1: Daniel TC, Boster RS Measuring Landscape Aesthetic: The Scenic Beauty Estimation Method. USDA Forest Service. Tucson: Univ. Arison. Dharmayanti I Kajian Reklamasi Pantai Dadap Kabupaten Tangerang (Sebuah Analisa Persepsi Stakeholder) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

119 103 [DKKP] Dinas Kelautan dan Ketahanan Pangan Statistik Pertanian dan Perikanan Kota Makassar. Makassar: DKKP Kota Makassar. [DKKP] Dinas Kelautan dan Ketahanan Pangan. 2007a. Pemetaan Potensi Wilayah Pesisir dan Laut Kota Makassar. Makassar: DKKP Kota Makassar. [DKKP] Dinas Kelautan dan Ketahanan Pangan. 2007b. Rona Bahari Makassar. Makassar: DKKP Kota Makassar. [DPLHK] Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Makassar. Makassar: DPLHK Kota Makassar. Diposaptono S Kebutuhan Riset Tsunami untuk Mendukung Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Di dalam: Sadikin A dkk., editor. Prosiding Seminar Tsunami dalam Kerangka Research on Tsunami Hazard and Its Effects on Indonesia Coastal Region; Yogyakarta, Mar Yogyakarta: Tsunami Research Center BPPT Teknologi. hlm [DTE] Down to Earth Tambak Udang Merusak Hutan Bakau dan Mata Pencaharian. [12 Agu 2008]. [FAO] Food and Agriculture Organization A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin 32. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. [FAO] Food and Agriculture Organization Guidelines for Land Use Planning. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. [FAO] Food and Agriculture Organization Land Evaluation and Farming System Analysis for Land Use Planning. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Gold SM Recreation Planning and Design. New York: McGraw-Hill. Gospodini A Urban Waterfront Redevelopment in Greek Cities. Cities. 18(5): Gunawan A Evaluasi Kualitas Estetika Lanskap Kota Bogor. J. Lanskap Indon. 1(1): Gunawan H Pelestarian Hutan Mangrove untuk Konservasi Satwa Langka di Sulawesi. Eboni. 1:1-10. Gunawan T Pemanfaatan Energi Laut 1: Ombak. majarikanayakan.com/2008/01/energi-laut-ombak/ [24 Jun 2008]. Gunn CA Tourism Planning, Basic, Concepts, Cases. Ed ke-3. Washington DC: Taylor & Francis. Hakim L Dasar-dasar Ekowisata. Malang: Bayumedia.

120 104 Hamid M Identifikasi Jenis Pohon pada Kawasan Rekreasi Pantai di Kecamatan Tamalate, Makassar [Skripsi]. Makassar: Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin. Hantoro WS Pengaruh Karakteristik Laut dan Pantai terhadap Perkembangan Kawasan Kota Pantai. prosiding/01-wahyu.doc. [17 Nov 2007]. Hardjowigeno S, Widiatmaka Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Pr. Haris A Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Teluk Kayeli Kabupaten Buru [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Harris CW, Dines NT Time-Saver Standards for Landscape Architecture. New York: McGraw-Hill. Hata T, Hasegawa Y, Totani M, Adachi T, Ogino Y, Kojima H Necessary Conditions for the Development of Waterfronts as Desirable Environments. Marine Pollut. Bull. 23: Ihsan Analisis Kebijakan Alternatif Peningkatan Pendapatan Masyarakat Pesisir di Kota Makassar [Laporan Penelitian]. Makassar: Bappeda dan Yalindo Makassar. Jayadinata JT Tata Guna Lahan dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Joseph KA, Balchand AN The Application of Coastal Regulation Zones in Coastal Management-Appraisal of Indian Experience. Ocean Coastal Manage. 43: Kaswanto Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Agrowisata yang Berwawasan Lingkungan di DAS Ciliwung (Studi Kasus di Kawasan Bogor dan Puncak) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kawaroe M, Bengen DG, Eidman M, Boer M Kontribusi Ekosistem Mangrove terhadap Struktur Komunitas Ikan di Pantai Utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. J. Pesisir Lautan. 3: Knudson DM Outdoor Recreation. London: MacMillan. Kodoatie RJ, Sjarief R Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta: Penerbit Andi. Kodoatie RJ Berdampak Mulai KLI hingga Tanjung Emas. air.bappenas.go.id/modules/doc/pdf_download.php?prm_download_id=364 &sbf=8&prm_download_table=2. [1 Sep 2007].

121 105 Koordinator Statistik Kecamatan Tamalate Kecamatan Tamalate dalam Angka Makassar: Koordinator Statistik Kecamatan Tamalate, BPS Kota Makassar. Laidley J The Ecosysitem Approach and the Global Imperative on Toronto s Central Waterfront. Cities. 24(4): Libosada CM Ecotourism in the Philippines. Makati City: Bookmark. Limbugau D Perjalanan Sejarah Kota Maritim Makassar. Di dalam: Mukhlis, editor. Persepsi Sejarah Kawasan Pantai, Proyek Pengkajian dan Pengembangan Masyarakat Pantai. Ujung Pandang: Univ. Hasanuddin. hlm Ma arif MS, Tanjung H Teknik-teknik Kuantitatif untuk Manajemen. Jakarta: Grasindo. Mardiah S Analisis Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Pantai Losari Makassar [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marimin Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: Grasindo. McHarg IL Merancang Bersama Alam. Gunadi S, penerjemah. Surabaya: Airlangga Univ. Pr. Terjemahan dari: Design with Nature. Monoarfa W Dampak Pembangunan bagi Kualitas Air di Kawasan Pesisir Pantai Losari Makassar. J. Sci. Tech. 3(3): net/jurnal_pdf/sci_3_3/winarni.pdf [21 Jun 2008]. Mukhtasor, Suyuthi A, Kusrini DE, Rosyid DM Studi Pengembangan Lingkungan Pantai Kenjeran sebagai Kawasan Ekowisata Bahari. J. Pesisir Lautan. 7(1): Noor YS, Khazali M, Suryadiputra INN Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor: Wetlands International-Indonesia Programme. Nugroho S Waterfront Cities. [20 Jun 2005]. Nurisyah S, Damayanti VD Pengembangan Interpretasi Wisata Pesisir Guna Mendukung Program Pendidikan Sumber Daya Pesisir dan Kelautan. Di dalam: Suwahyuono, et al., editor. Kumpulan Riset Kelautan: Jalan Menuju Kejayaan Bahari. Cibinong: BAKOSURTANAL. hlm Nurisyah S, Pramukanto Q, Wibowo S Daya Dukung dalam Perencanaan Tapak. Bogor: PS Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nurisyah S Rencana Pengembangan Fisik Kawasan Bahari di Wilayah Pesisir Indonesia. Bul. Taman Lanskap Indon. 3:49-54.

122 106 Pernetta JC, Milliman JD Land-Ocean Interactions in the Coastal Zone: Implementation Plan. Stockholm: The International Geosphere-Biosphere Programme. Pigram P Outdoor Recreation and Resource Management. New York: St. Martin Pr. Pomanto D Kawasan Pusat Kota. Makassar Terkini: 43(22). Pramono D Budaya Bahari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pratikto WA, Sambodho K Pembangunan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Pesisir dan Laut dalam Rangka Persiapan Otonomi Daerah dan Revitalisasi Peran Pusat Studi Lingkungan Hidup. Di dalam: Rachmawati R, editor. Prosiding Forum Teknologi Konservasi dan Rehabilitasi Pesisir; Jakarta, Sep Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. hlm 1-5. Pratikto WA Reklamasi Wilayah Pesisir Ditinjau dari Perspektif Pengelolaan Wilayah Terpadu (Integrated Coastal Management). Di dalam: Makalah Lokakarya Pengelolaan Reklamasi di Wilayah Pesisir; 14 Jun Jakarta: Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP. Rahmadani NI Disain Pengembangan Potensi Wisata di Kawasan Pesisir: Studi Kasus Wilayah Cilincing Jakarta Utara [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ramly N Pariwisata Berwawasan Lingkungan; Belajar dari Kawasan Wisata Ancol. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu. Rauf A Penentuan Zonasi dan Kondisi Terumbu Karang dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh di Kepulauan Spermonde Selat Makassar Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rees C Buku Pedoman untuk Pengembangan Daerah Perkotaan dan Daerah Pantai. Malaysia: Asian Wetland Bureau. Ruswan M Analisis Pengaruh Elemen Lanskap terhadap Kualitas Estetika Lanskap Kota Depok [Skripsi]. Bogor: Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sadik F Evaluasi Perbaikan Kualitas Estetika Lanskap Pemukiman Kumuh di Kota Bogor dengan Simulasi Komputer [Skripsi]. Bogor: Program Studi Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Saifullah Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Teluk Saleh Kabupaten Dompu [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sairinen R, Kumpulainen S Assessing Social Impact in Urban Waterfront Regeneration. Environ. Impact Assess. Rev. 26:

123 107 Samawi MF Desain Sistem Pengendalian Pencemaran Perairan Pantai Kota (Studi Kasus Perairan Pantai Kota Makassar) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sarosa W A Framework for the Analysis of Urban Sustainability. Jakarta: The Urban and Regional Development Institute (URDI). Schiller G Biometeorology and Recreation in East Mediterranean Forests. Landscape Urban Plann. 57:1-12. Sjafii BIE Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Manado, Sulawesi Utara [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sjaifuddin Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir dan Laut Teluk Banten Berkelanjutan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soerianegara Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Di dalam: Soerianegara et al., editor. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove; Bali, 5-8 Agu Bogor: Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB. hlm Soesanti S, Sastrawan A Pola Penataan Zona, Massa, dan Ruang Terbuka pada Perumahan Waterfront (Studi Kasus: Perumahan Pantai Indah Kapuk). J. Dimensi Teknik Arsitektur. 34: Supriharyono Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suprijanto I Karakteristik Spesifik Permasalahan Potensi Pengembangan Kawasan Kota Tepi Laut/Pantai (Coastal City) di Indonesia. [29 Nov 2007]. Suwantoro G Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi. Tahir A, Bengen DG, Susilo SB Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Balikpapan. J. Pesisir Lautan. 4(3):1-16. Teh L, Cabanban AS Planning for Sustainable Tourism in Southern Pulau Banggi: An Assessment for Biophysical Conditions and Their Implication for Future Tourism Development. J. Enviro. Manage. 85: Tjallingi SP Ecopolis: Strategy for Ecologically Sound Urban Development. Leiden: Backhuys. Tol RSJ, Klein RJT, Jansen HMA, Verbruggen H Some Economic Considerations on the Importance of Proactive Integrated Coastal Zone Management. Ocean Coastal Manage. 32:

124 108 Torre L Waterfront Development. New York: Van Nostrand Reinhold. Triatmodjo B Teknik Pantai. Yogyakarta: Beta Offset. Vallega A Urban Waterfront Facing Integrated Coastal Management. Ocean Coastal Manage. 44: [WALHI] Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Bencana Ekologis dan Industri Pertambakan _bencdnindstrtambk_li/html. [12 Agu 2008]. Walpole RE Pengantar Statistika (Edisi ke-3). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wardiningsih S Rencana Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi di Situ Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Jakarta Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Weaver D Ecotourism. Milton: J. Wiley. Wiharyanto D Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove di Kawasan Konservasi Pelabuhan Tengkayu II Kota Tarakan Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wijanarka Desain Tepi Sungai: Belajar dari Kawasan Tepi Sungai Kahayan Palangka Raya. Yogyakarta: Penerbit Ombak. [WTO] World Tourism Organization Seminar on Domestic Tourism Report. Jakarta: WTO. Wrenn MD Urban Waterfront Development. Washington DC: Urban Land Institute. Yanti CWB Sistem Pengelolaan Lanskap di Kawasan Wisata Tanjung Bunga Provinsi Sulawesi Selatan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zee D van der Aspects of Settlement, Infrastructure and Population in Land Evaluation. Nederland: International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences (ITC).

125 LAMPIRAN

126 110 Lampiran 1. Lembaran kuisioner ahli (expert) untuk analisis manfaat biaya LEMBAR KUISIONER Data Pribadi Responden Nama :... Pendidikan :... Pekerjaan :... Jabatan :... Seandainya Kota Makassar dikembangkan sebagai waterfront city, di antara kawasan-kawasan di bawah ini manakah yang paling sesuai dikembangkan sebagai pendukung konsep waterfront city berdasarkan tingkat kepentingannya dalam suatu lanskap pantai. Tolong diisi berdasarkan urutan kepentingannya (dari yang paling sesuai/penting). Pilihan pengembangan kawasan di pantai Kota Makassar: 1. Kawasan rekreasi 2. Kawasan jasa dan perdagangan/bisnis 3. Kawasan permukiman 4. Kawasan konservasi 5. Kawasan pertanian/tambak 6. Kawasan olahraga 7. Kawasan budaya Urutan:

127 111 Lampiran 1. Lanjutan Penentuan Manfaat (Benefit) dan Biaya (Cost ) Menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Berilah nilai setiap alternatif manfaat (benefit)/biaya (cost) berikut sesuai dengan kriteria pengembangan kawasan berdasarkan range penilaian 1 5, yaitu: 5 = sangat bermanfaat/memerlukan biaya 4 = bermanfaat/memerlukan biaya 3 = cukup bermanfaat/memerlukan biaya 2 = kurang bermanfaat/memerlukan biaya 1 = tidak bermanfaat/memerlukan biaya Alternatif Manfaat (Benefit) Kriteria Krek Kjas Kmuk Kkon Ktan Kola Kbud 1. Peningkatan kualitas lingkungan 2. Perubahan visual 3. Pendapatan masyarakat 4. Peluang usaha 5. Aktivitas rekreasi 6. Keamanan dan kesejahteraan masyarakat 7. Atraksi budaya Keterangan: Krek : Kawasan rekreasi Ktan : Kawasan pertanian/tambak Kjas : Kawasan jasa dan perdagangan/bisnis Kola : Kawasan olahraga Kmuk : Kawasan permukiman Kbud : Kawasan budaya Kkon : Kawasan konservasi Alternatif Biaya (Cost) Kriteria Krek Kjas Kmuk Kkon Ktan Kola Kbud 1. Pencemaran lingkungan 2. Perubahan morfologi pantai 3. Kemacetan lalu lintas 4. Pemeliharaan infrastruktur 5. Perubahan mata pencaharian 6. Perubahan nilai sosial-budaya Keterangan: Krek : Kawasan rekreasi Ktan : Kawasan pertanian/tambak Kjas : Kawasan jasa dan perdagangan/bisnis Kola : Kawasan olahraga Kmuk : Kawasan permukiman Kbud : Kawasan budaya Kkon : Kawasan konservasi

128 112 Lampiran 2. Format kuisioner penilaian kualitas keindahan LEMBAR KUISIONER Skala Penilaian Responden Keindahan Lanskap Sangat Sangat Tidak Disukai Disukai Penilaian Identitas Responden Jenis Kelamin : L / P Umur :... tahun Komentar mengenai kawasan pantai Kota Makassar:

129 113 Lampiran 3. Panjang garis pantai berdasarkan kecamatan di Kota Makassar No. Kecamatan Panjang garis pantai (km) 1. Mariso 1,6 2. Mamajang - 3. Tamalate 9,7 4. Rappocini - 5. Makassar - 6. Ujung Pandang 3,0 7. Wajo 1,9 8. Bontoala - 9. Ujung Tanah 9,0 10. Tallo 2,1 11. Panakkukang Manggala Biringkanaya 2,5 14. Tamalanrea 6,3 Jumlah 36,1 Sumber: DKKP (2006) Lampiran 4. Panjang garis pantai berdasarkan pulau-pulau di Kota Makassar No. Pulau/Gusung Panjang garis pantai (km) 1. Lae Lae * 2,4 2. Kayangan 0,5 3. Samalona 0,7 4. Barrang Caddi 1,0 5. Barrang Lompo 1,9 6. Kodingareng Keke 0,5 7. Kodingareng Lompo 2,0 8. Lanyukkang 1,8 9. Langkai 2,2 10. Lumu Lumu 0,7 11. Bone Tambung 0,7 12. Gusung Bone Battang 0,1 13. Gusung Tallang/Pulau Lae Lae Kecil * 2,2 Jumlah 16,7 * Hitungan panjang garis pantai termasuk pulau dan barrier pemecah ombak Sumber: DKKP (2006)

130 Lampiran 5. Peta administrasi Kota Makassar 114

131 Lampiran 6. Peta geologi di Kota Makassar 115

132 Lampiran 7. Peta rawan banjir di Kota Makassar 116

133 117 Lampiran 8. Data tinggi ombak maksimum di perairan Kota Makassar Tahun Bulan Pulau Langkai Pulau Barrang Lompo Tinggi Ombak Maksimum (m) Pantai Barombong Pantai Losari Pelabuhan Soekarno Hatta Pelabuhan Paotere Arah datang Ombak 2005 Januari 2,9 2,3 2,0 0,8 0,3 1,8 Barat Laut Februari 3,5 3,0 3,9 1,3 0,2 2,4 Barat Maret 2,9 2,6 3,2 1,2 0,2 2,1 Barat April 3,3 2,5 2,2 0,9 0,3 1,9 Barat Laut Mei 1,6 1,4 1,6 0,8 0,2 1,3 Barat Juni 1,3 1,2 1,4 0,7 0,2 1,1 Barat Juli 0,8 0, ,4 Timur Laut Agustus 1,2 1,1 1,2 0,7 0,2 1,0 Barat September 1,1 0,8 0,5 0,5 0,6 0,6 Utara Oktober 1,8 1,1 0,6 0,7 0,7 0,8 Utara Nopember 1,6 1,0 0,6 0,6 0,7 0,7 Utara Desember 3,8 2,7 2,4 1,0 0,3 2,1 Barat Laut 2006 Januari 4,1 2,9 2,6 1,1 0,3 2,2 Barat Laut Februari 2,6 2,3 2,8 1,1 0,2 1,9 Barat Maret 3,5 3,0 3,9 1,3 0,2 2,4 Barat April 3,6 3,1 4,0 1,3 0,2 2,4 Barat Mei 1,1 1,0 1,1 0,6 0,2 0,9 Barat Juni 1,5 1, Selatan Juli 1,3 1,2 1,4 0,7 0,2 1,1 Barat Agustus 1,1 0,8 0,5-0,6 0,6 Utara September 0,9 0, Tenggara Oktober 1,3 1,2 1,4 0,7 0,2 1,1 Barat Nopember 1,6 1,4 1,6 0,8 0,2 1,3 Barat Desember 3,6 2,6 2,4 1,0 0,3 2,1 Barat Laut Sumber: DKKP (2006)

134 118 Lampiran 9. Data tunggang air pasang surut di perairan Kota Makassar Tahun Bulan Muka air terendah (cm) Muka air tertinggi (cm) Tunggang air pasang surut (cm) Tipe pasang surut 2005 Januari Campuran diurnal Februari Campuran diurnal Maret Campuran diurnal April Campuran diurnal Mei Campuran diurnal Juni Campuran diurnal Juli Campuran diurnal Agustus Campuran diurnal September Campuran diurnal Oktober Campuran diurnal Nopember Campuran diurnal Desember Campuran diurnal 2006 Januari Campuran diurnal Februari Campuran diurnal Maret Campuran diurnal April Campuran diurnal Mei Campuran diurnal Juni Campuran diurnal Juli Campuran diurnal Agustus Campuran diurnal September Campuran diurnal Oktober Campuran diurnal Nopember Campuran diurnal Desember Campuran diurnal Sumber: DKKP (2006)

135 119 Lampiran 10. Kondisi biofisik perairan pesisir Kota Makassar No. Lokasi Pengamatan Suhu ( o C) Salinitas ( o / oo ) Kecepatan arus (m/det) Kekeruhan (NTU) Kecerahan (m) ph 1.Pantai Losari ,03-0, ,20-9,12 2.Pantai Barombong ,058-0, ,1-8,4 3.Pelabuhan Makassar ,6-3,5 6,3-6,5 4.Sungai Jeneberang ,09-0, ,4-8,1 5.Lae Lae Kayangan Samalona Barrang Caddi Barrang Lompo Kodingareng Keke Kodingareng Lompo Lanyukkang Langkai Lumu Lumu Bone Tambung Gusung Bone Battang Sumber: DPLHK (2006); DKKP (2006)

136 120 Lampiran 11. Jenis vegetasi yang ditemukan di kawasan pantai Kota Makassar No. Nama Lokal Nama Latin Klasifikasi 1. Akasia Acasia auriculiformis Pohon 2. Akasia bangkok Acacia longifolia Pohon 3. Angsana Pterocarpus indicus Pohon 4. Asam londo Pithecellobium dulce Pohon 5. Beringin Ficus benyamina Pohon 6. Bungur Lagerstroemia speciosa Pohon 7. Cemara gunung Pinus mercusii Pohon 8. Cemara kipas Thuja orientalis Pohon 9. Cemara laut Cassuarina equisetifolia Pohon 10. Kayu jawa Lannea grandis Pohon 11. Kelapa dalam Cocos nucifera Pohon 12. Kelapa sawit Elaeis guineensis Pohon 13. Ketapang Terminalia catappa Pohon 14. Kiara payung Filicium decipiens Pohon 15. Kol banda Pisonia alba Pohon 16. Lontar Borassus sudaica Pohon 17. Mangga Mangifera indica Pohon 18. Palem ekor ikan Cariota mitis Pohon 19. Palem ekor tupai Wodyetia bifureata Pohon 20. Palem kipas bundar Livistona rotundifolia Pohon 21. Palem kuning Chrysalidocarpus lutescens Pohon 22. Palem putri Veitchia merilli Pohon 23. Palem raja Roystonea regia Pohon 24. Perepat Sonneratia alba Pohon 25. Pinang Areca cathecu Pohon 26. Waru Hibiscus tiliaceus Pohon 27. Agave Agave angustifolia Semak 28. Bambu jepang Arundinaria pumila Semak 29. Bogenvil Bougainvillea spectabilis Semak 30. Bunga bahagia Dieffenbachia amoena Semak 31. Gendarusa Gendarusa vulgaris Semak 32. Hanjuang hijau Dracaena fragrans Semak 33. Hanjuang merah Cordyline terminalis Semak 34. Palem wregu Rhapis exelca Semak 35. Pandan Pandanus amarullifolia Semak 36. Pangkas hijau Duranta repens Semak 37. Pangkas kuning Duranta variegata Semak 38. Pedang-pedangan Furcraea gigantea Semak 39. Pisang hias Heliconia spp. Semak 40. Puring Codieaum variegatum Semak 41. Sikas Cycas revoluta Semak 42. Soka daun kecil Ixora sinensis Semak 43. Terang bulan Tethonia diversifolia Semak 44. Adam hawa Rhoeo discolor Tanaman penutup tanah 45. Bayam merah Iresine herbstii Tanaman penutup tanah 46. Jawer kotok Coleus blumei Tanaman penutup tanah 47. Kacang-kacangan Arachis pintoi Tanaman penutup tanah 48. Krokot Althernantera ficoides Tanaman penutup tanah

137 121 Tabel 11. Lanjutan No. Nama Lokal Nama Latin Klasifikasi 49. Lili paris Chlorophytum comosum Tanaman penutup tanah 50. Lidah mertua Sansiviera trifasciata Tanaman sukulen 51. Rumput manila Zoysia matrella Rumput 52. Rumput paetan Axonopus compressus Rumput Sumber: Survei lapang (2008); Hamid (2007) Lampiran 12. Jenis satwa di kawasan pantai Kota Makassar No. Nama Lokal Nama Latin Keterangan 1. Anjing Canis familiaris Mamalia 2. Kucing Felis catus Mamalia 3. Kuda Equus pizewalsk Mamalia 4. Tikus Mus musculus Mamalia 5. Cicak Hemidactylys frenatus Reptil 6. Belalang Braciotola sp. Insekta 7. Lalat rumah Musca domestica Insekta 8. Ayam Galus domesticus Aves 9. Kuntul kecil Egretta garzetta Aves 10. Kuntul Egretta intermedia Aves 11. Kutilang Pycnonotus aurigaster Aves 12. Burung gereja Passer montanus Aves 13. Kapinis Apas pasificus Aves 14. Burung dara laut Sterna hirundo Aves 15. Burung madu Nectariania jugularis Aves Sumber: Survei lapang (2008); Bapedalda (2003) Lampiran 13. Jenis nekton dan benthos di kawasan pantai Kota Makassar No. Nama Lokal Nama Latin Keterangan 1. Belanak Mugil dussumieri Nekton 2. Ikan sunu Epinephelus sp. Nekton 3. Kerung-kerung Therapon puta Nekton 4. Balusu Elops machnata Nekton 5. Kakapas Carangoides cillarias Nekton 6. Katamba Lucanus sp. Nekton 7. Peperek Leiognathus sp. Nekton 8. Baronang Siganus coxrallinus Nekton 9. Cumi-cumi Loligo sp. Nekton 10. Kerang Mactra violacea Benthos 11. Kerang dara Anadara sp. Benthos 12. Kerang Pitar manilae Benthos 13. Kerang Gafrarium tumidum Benthos 14. Kerang Modiolus micropterus Benthos 15. Kerang Hiatula sp. Benthos 16. Kerang Meretrix sp. Benthos 17. Kerang Pseudodon vondenbuschianus Benthos 18. Kepiting Scylla sp Benthos 19. Karang Acropora sp. Benthos 20. Spons Sponge sp. Benthos Sumber: Bapedalda (2003)

138 Lampiran 14. Obyek rekreasi di kawasan pantai Kota Makassar 122

139 Lampiran 15. Prioritas pengembangan berdasarkan selisih manfaat biaya Alternatif-alternatif Nilai Krek Kjas Kmuk Kkon Ktan Kola Kbud Manfaat (Benefit) Peningkatan kualitas lingkungan 1,1234 0,5643 0,2130 0,5907 0,0200 0,5775 0,4059 Perubahan visual/estetika 1,1782 0,6156 0,2059 0,5191 0,0184 0,6125 0,3936 Pendapatan masyarakat 1,0412 0,7353 0,1704 0,4117 0,0320 0,6125 0,4428 Peluang usaha 1,0412 0,7866 0,1704 0,3580 0,0304 0,6650 0,3567 Aktivitas rekreasi 1,2330 0,5130 0,1633 0,5012 0,0168 0,6825 0,5289 Keamanan dan kesejahteraan masyarakat 1,0138 0,6156 0,2343 0,5370 0,0248 0,5075 0,3567 Atraksi budaya 0,9864 0,4788 0,1633 0,3938 0,0216 0,5950 0,5658 Total Nilai Manfaat 7,6172 4,3092 1,3206 3,3115 0,1640 4,2525 3,0504 Biaya (Cost) Pencemaran lingkungan 0,9316 0,4446 0,2343 0,4117 0,0256 0,5250 0,3198 Perubahan morfologi pantai 1,0138 0,5643 0,2485 0,3938 0,0232 0,6125 0,2829 Kemacetan lalu lintas 0,7124 0,5130 0,2272 0,3580 0,0184 0,5775 0,2952 Pemeliharaan infrastruktur 1,0412 0,6498 0,2556 0,3938 0,0168 0,6650 0,4797 Perubahan mata pencaharian 0,9864 0,6156 0,1704 0,4117 0,0184 0,5775 0,3198 Perubahan nilai sosial-budaya 0,8220 0,4104 0,1775 0,4117 0,0176 0,4725 0,2952 Total Nilai Biaya 5,5074 3,1977 1,3135 2,3807 0,1200 3,4300 1,9926 Selisih Manfaat Biaya 2,1098 1,1115 0,0071 0,9308 0,0440 0,8225 1,0578 Prioritas

140 124 Lampiran 16. Penilaian alternatif manfaat (benefit) kawasan pantai Kota Makassar Kriteria No. Alternatif manfaat (benefit) Responden Total Rerata Kawasan rekreasi 1. Peningkatan kualitas lingkungan ,1 2. Perubahan visual/estetika ,3 3. Pendapatan masyarakat ,8 4. Peluang usaha ,8 5. Aktivitas rekreasi ,5 6. Keamanan & kesejahteraan masyarakat ,7 7. Atraksi budaya ,6 Kawasan jasa dan 1. Peningkatan kualitas lingkungan ,3 perdagangan/bisnis 2. Perubahan visual/estetika ,6 3. Pendapatan masyarakat ,3 4. Peluang usaha ,6 5. Aktivitas rekreasi ,0 6. Keamanan & kesejahteraan masyarakat ,6 7. Atraksi budaya ,8 Kawasan permukiman 1. Peningkatan kualitas lingkungan ,0 2. Perubahan visual/estetika ,9 3. Pendapatan masyarakat ,4 4. Peluang usaha ,4 5. Aktivitas rekreasi ,3 6. Keamanan & kesejahteraan masyarakat ,3 7. Atraksi budaya ,3 Kawasan konservasi 1. Peningkatan kualitas lingkungan ,3 2. Perubahan visual/estetika ,9 3. Pendapatan masyarakat ,3 4. Peluang usaha ,0 5. Aktivitas rekreasi ,8 6. Keamanan & kesejahteraan masyarakat ,0 7. Atraksi budaya ,2 Kawasan pertanian/ 1. Peningkatan kualitas lingkungan ,5 tambak 2. Perubahan visual/estetika ,3 3. Pendapatan masyarakat ,0 4. Peluang usaha ,8 5. Aktivitas rekreasi ,1 6. Keamanan & kesejahteraan masyarakat ,3 7. Atraksi budaya ,7 Kawasan olahraga 1. Peningkatan kualitas lingkungan ,3 2. Perubahan visual/estetika ,5 3. Pendapatan masyarakat ,5 4. Peluang usaha ,8 5. Aktivitas rekreasi ,9 6. Keamanan & kesejahteraan masyarakat ,9 7. Atraksi budaya ,4 Kawasan budaya 1. Peningkatan kualitas lingkungan ,3 2. Perubahan visual/estetika ,2 3. Pendapatan masyarakat ,6 4. Peluang usaha ,9 5. Aktivitas rekreasi ,3 6. Keamanan & kesejahteraan masyarakat ,9 7. Atraksi budaya ,6

141 125 Lampiran 17. Analisis alternatif manfaat (benefit) kawasan pantai Kota Makassar Alternatif manfaat (benefit) Skor kriteria (Rkij) Krek Kjas Kmuk Kkon Ktan Kola Kbud Nilai kumulatif Prioritas Peningkatan kualitas lingkungan 4,1 3,3 3,0 3,3 2,5 3,3 3,3 8,414 3 Perubahan visual/estetika 4,3 3,6 2,9 2,9 2,3 3,5 3,2 8,431 2 Pendapatan masyarakat 3,8 4,3 2,4 2,3 4,0 3,5 3,6 8,377 4 Peluang usaha 3,8 4,6 2,4 2,0 3,8 3,8 2,9 8,350 5 Aktivitas rekreasi 4,5 3,0 2,3 2,8 2,1 3,9 4,3 8,452 1 Keamanan dan kesejahteraan masyarakat 3,7 3,6 3,3 3,0 3,3 2,9 2,9 8,336 6 Atraksi budaya 3,6 2,8 2,3 2,2 2,7 3,4 4,6 8,279 7 Bobot (TKKj) 0,274 0,171 0,071 0,179 0,008 0,175 0,123 1,000 Alternatif manfaat (benefit) Nilai kriteria* Nilai Krek Kjas Kmuk Kkon Ktan Kola Kbud kumulatif Prioritas Peningkatan kualitas lingkungan 1,472 1,226 1,081 1,238 1,007 1,232 1,158 8,414 3 Perubahan visual/estetika 1,491 1,245 1,079 1,210 1,007 1,245 1,154 8,431 2 Pendapatan masyarakat 1,442 1,283 1,064 1,161 1,011 1,245 1,171 8,377 4 Peluang usaha 1,442 1,298 1,064 1,132 1,011 1,263 1,140 8,350 5 Aktivitas rekreasi 1,510 1,207 1,061 1,202 1,006 1,269 1,197 8,452 1 Keamanan dan kesejahteraan masyarakat 1,431 1,245 1,088 1,217 1,010 1,205 1,140 8,336 6 Atraksi budaya 1,420 1,193 1,061 1,152 1,008 1,239 1,206 8,279 7 Bobot 0,274 0,171 0,071 0,179 0,008 0,175 0,123 1,000 * Hasil analisis berdasarkan rumus 2 Krek : Kawasan rekreasi Ktan : Kawasan pertanian/tambak Kjas : Kawasan jasa dan perdagangan/bisnis Kola : Kawasan olahraga Kmuk : Kawasan permukiman Kbud : Kawasan budaya Kkon : Kawasan konservasi

142 126 Lampiran 18. Penilaian alternatif biaya (cost) kawasan pantai Kota Makassar Kriteria No. Alternatif biaya (cost) Responden Total Rerata Kawasan rekreasi 1. Pencemaran lingkungan ,4 2. Perubahan morfologi pantai ,7 3. Kemacetan lalu lintas ,6 4. Pemeliharaan infrastruktur ,8 5. Perubahan mata pencaharian ,6 6. Perubahan nilai sosial-budaya ,0 Kawasan jasa dan 1. Pencemaran lingkungan ,6 perdagangan/bisnis 2. Perubahan morfologi pantai ,3 3. Kemacetan lalu lintas ,0 4. Pemeliharaan infrastruktur ,8 5. Perubahan mata pencaharian ,6 6. Perubahan nilai sosial-budaya ,4 Kawasan permukiman 1. Pencemaran lingkungan ,3 2. Perubahan morfologi pantai ,5 3. Kemacetan lalu lintas ,2 4. Pemeliharaan infrastruktur ,6 5. Perubahan mata pencaharian ,4 6. Perubahan nilai sosial-budaya ,5 Kawasan konservasi 1. Pencemaran lingkungan ,3 2. Perubahan morfologi pantai ,2 3. Kemacetan lalu lintas ,0 4. Pemeliharaan infrastruktur ,2 5. Perubahan mata pencaharian ,3 6. Perubahan nilai sosial-budaya ,3 Kawasan pertanian/ 1. Pencemaran lingkungan ,2 Tambak 2. Perubahan morfologi pantai ,9 3. Kemacetan lalu lintas ,3 4. Pemeliharaan infrastruktur ,1 5. Perubahan mata pencaharian ,3 6. Perubahan nilai sosial-budaya ,2 Kawasan olahraga 1. Pencemaran lingkungan ,0 2. Perubahan morfologi pantai ,5 3. Kemacetan lalu lintas ,3 4. Pemeliharaan infrastruktur ,8 5. Perubahan mata pencaharian ,3 6. Perubahan nilai sosial-budaya ,7 Kawasan budaya 1. Pencemaran lingkungan ,6 2. Perubahan morfologi pantai ,3 3. Kemacetan lalu lintas ,4 4. Pemeliharaan infrastruktur ,9 5. Perubahan mata pencaharian ,6 6. Perubahan nilai sosial-budaya ,4

143 127 Lampiran 19. Analisis alternatif biaya (cost) kawasan pantai Kota Makassar Alternatif biaya (cost) Skor kriteria (Rkij) Nilai Krek Kjas Kmuk Kkon Ktan Kola Kbud kumulatif Prioritas Pencemaran lingkungan 3,4 2,6 3,3 2,3 3,2 3,0 2,6 8,170 4 Perubahan morfologi pantai 3,7 3,3 3,5 2,2 2,9 3,5 2,3 8,264 2 Kemacetan lalu lintas 2,6 3,0 3,2 2,0 2,3 3,3 2,4 8,077 5 Pemeliharaan infrastruktur 3,8 3,8 3,6 2,2 2,1 3,8 3,9 8,396 1 Perubahan mata pencaharian 3,6 3,6 2,4 2,3 2,3 3,3 2,6 8,254 3 Perubahan nilai sosial-budaya 3,0 2,4 2,5 2,3 2,2 2,7 2,4 8,050 6 Bobot (TKKj) 0,274 0,171 0,071 0,179 0,008 0,175 0,123 1,000 Alternatif biaya (cost) Nilai kriteria* Nilai Krek Kjas Kmuk Kkon Ktan Kola Kbud kumulatif Prioritas Pencemaran lingkungan 1,398 1,177 1,088 1,161 1,009 1,212 1,125 8,170 4 Perubahan morfologi pantai 1,431 1,226 1,093 1,152 1,009 1,245 1,108 8,264 2 Kemacetan lalu lintas 1,299 1,207 1,086 1,132 1,007 1,232 1,114 8,077 5 Pemeliharaan infrastruktur 1,442 1,256 1,095 1,152 1,006 1,263 1,182 8,396 1 Perubahan mata pencaharian 1,420 1,245 1,064 1,161 1,007 1,232 1,125 8,254 3 Perubahan nilai sosial-budaya 1,351 1,161 1,067 1,161 1,006 1,190 1,114 8,050 6 Bobot 0,274 0,171 0,071 0,179 0,008 0,175 0,123 1,000 * Hasil analisis berdasarkan rumus 2 Krek : Kawasan rekreasi Ktan : Kawasan pertanian/tambak Kjas : Kawasan jasa dan perdagangan/bisnis Kola : Kawasan olahraga Kmuk : Kawasan permukiman Kbud : Kawasan budaya Kkon : Kawasan konservasi

144 Lampiran 20. Perubahan garis pantai di sekitar muara Sungai Jeneberang dari tahun 1849 hingga 1993 (Bapedalda, 2003) 128

145 129 Lampiran 21. Foto lanskap dan nilai Scenic Beauty Estimation (SBE) Lanskap 1; nilai SBE = 88 Lanskap 2; nilai SBE = -118 Lanskap 3; nilai SBE = -146 Lanskap 4; nilai SBE = 66 Lanskap 5; nilai SBE = -33 Lanskap 6; nilai SBE = -21 Lanskap 7; nilai SBE = 82 Lanskap 8; nilai SBE = 48

146 130 Lampiran 21. Lanjutan Lanskap 9; nilai SBE = 9 Lanskap 10; nilai SBE = -81 Lanskap 11; nilai SBE = 154 Lanskap 12; nilai SBE = 0 Lanskap 13; nilai SBE = 136 Lanskap 14; nilai SBE = 90 Lanskap 15; nilai SBE = 61 Lanskap 16; nilai SBE = 24

147 131 Lampiran 21. Lanjutan Lanskap 17; nilai SBE = 90 Lanskap 18; nilai SBE = 89 Lanskap 19; nilai SBE = -54 Lanskap 20; nilai SBE = -38 Lanskap 21; nilai SBE = -151 Lanskap 22; nilai SBE = 24 Lanskap 23; nilai SBE = 72 Lanskap 24; nilai SBE = -76

148 132 Lampiran 21. Lanjutan Lanskap 25; nilai SBE = -126 Lanskap 26; nilai SBE = -26 Lanskap 27; nilai SBE = -53 Lanskap 28; nilai SBE = 78 Lanskap 29; nilai SBE = -94 Lanskap 30; nilai SBE = 112 Lanskap 31; nilai SBE = 50 Lanskap 32; nilai SBE = -66

149 133 Lampiran 21. Lanjutan Lanskap 33; nilai SBE = -24 Lanskap 34; nilai SBE = 42 Lanskap 35; nilai SBE = -3 Lanskap 36; nilai SBE = 35 Lanskap 37; nilai SBE = 27 Lanskap 38; nilai SBE = 75 Lanskap 39; nilai SBE = 150 Lanskap 40; nilai SBE = -26

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.791 km (Supriharyono, 2007) mempunyai keragaman

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR SEBAGAI WATERFRONT CITY NURFAIDA

PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR SEBAGAI WATERFRONT CITY NURFAIDA PENGEMBANGAN DAN RENCANA PENGELOLAAN LANSKAP PANTAI KOTA MAKASSAR SEBAGAI WATERFRONT CITY NURFAIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Wilayah Pesisir dan Pantai Berdasarkan Undang-undang RI No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. WILAYAH. NASIONAL. Pantai. Batas Sempadan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut Menurut UU No. 26 tahun 2007, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN PERANCANGAN LANSKAP WATERFRONT SITU BABAKAN, DI PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, JAKARTA SELATAN Oleh : Mutiara Ayuputri A34201043 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan laut yang masih di pengaruhi pasang dan surut air laut yang merupakan pertemuan anatara darat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R Oleh : Andreas Untung Diananto L 2D 099 399 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu 3.2. Metode Studi Inventarisasi

III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu 3.2. Metode Studi Inventarisasi III. METODOLOGI 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan pantai Kota Makassar mencakup tiga kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Ujung Pandang, Kecamatan Mariso, dan Kecamatan Tamalate yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara bahari dan negara kepulauan terbesar di dunia dengan keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity) (Polunin, 1983).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU Zonasi Wilayah Pesisir dan Lautan PESISIR Wilayah pesisir adalah hamparan kering dan ruangan lautan (air dan lahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan dataran rendah dan landai dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia, seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam pengertian lingkungan hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada, dua per tiga wilayah Indonesia adalah kawasan perairan.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Redevelopment atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari,

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai Kawasan pesisir 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Pesisir dan Pantai 2.1.1. Kawasan pesisir Menurut Dahuri (2003b), definisi kawasan pesisir yang biasa digunakan di Indonesia adalah suatu wilayah peralihan antara daratan

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di kawasan Kampung Setu Babakan-Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa-Kotamadya Jakarta Selatan (Gambar 6), dengan luas kawasan ± 165 ha, meliputi

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis Kota Makassar secara geografi terletak pada koordinat 119 o 24 17,38 BT dan 5 o 8 6,19 LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1-25 meter dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan fakta fisiknya, Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian terdapat kesepakatan umum bahwa wilayah pesisir didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan

PENDAHULUAN. banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia yang sangat tinggi telah menimbulkan banyak efek buruk bagi kehidupan dan lingkungan hidup manusia. Kegiatan pembangunan, terutama di sektor industri

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di dunia. Wilayah kepulauan Indonesia sangat luas, luas daratannya adalah 1,92 Juta Km 2, dan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waterfront City 2.1.1 Pengertian Waterfront City Kawasan tepian air atau lebih dikenal waterfront merupakan lahan atau area yang terletak berbatasan dengan air seperti kota yang

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pantai adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Garis pantai adalah garis batas pertemuan antara daratan dan

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN

ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN ANALISIS KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BAHARI PULAU HARI KECAMATAN LAONTI KABUPATEN KONAWE SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA ROMY KETJULAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS

I. PENDAHULUAN. Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bandar Lampung sebagai kota pesisir, terletak pada posisi 5º20-5º31 LS dan 105º10-105º22 BT, mempunyai berbagai permasalahan yang berkaitan dengan karakteristik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan wilayah pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali keliling bumi melalui khatulistiwa.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengembangan pulau pulau kecil merupakan arah kebijakan baru nasional dibidang kelautan. Berawal dari munculnya Peraturan Presiden No. 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor. DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan

Lebih terperinci

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A

PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO. Oleh DIDIK YULIANTO A PERSEPSI KUALITAS ESTETIKA DAN EKOLOGI PADA JALUR WISATA ALAM TAMAN NASIONAL GEDE PANGRANGO Oleh DIDIK YULIANTO A34202008 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTIT UT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan basah merupakan sumber daya alam hayati penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem global. Salah satu tipe lahan basah adalah lahan gambut. Lahan gambut merupakan ekosistem

Lebih terperinci

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI

KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI KAJIAN BIOFISIK LAHAN HUTAN MANGROVE DI KABUPATEN ACEH TIMUR ISWAHYUDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xi xv

Lebih terperinci

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian. III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan Gunung Kapur Cibadak Ciampea Bogor, Propinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian terlihat pada Gambar 2. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17.500 pulau dan memiliki garis panjang pantai terpanjang kedua di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari BAB I BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari 95.181 km. Sehingga merupakan negara dengan pantai terpanjang nomor empat di dunia setelah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V : KETENTUAN UMUM : PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI Bagian Kesatu Indeks Ancaman dan Indeks Kerentanan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor 09/PRT/M/2010 Tentang PEDOMAN PENGAMANAN PANTAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, Menimbang : a. bahwa pantai merupakan garis pertemuan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK Penelitian tentang karakter morfologi pantai pulau-pulau kecil dalam suatu unit gugusan Pulau Pari telah dilakukan pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi studi

Gambar 2 Peta lokasi studi 15 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Studi Studi dilakukan di Kebun Anggrek yang terletak dalam areal Taman Kyai Langgeng (TKL) di Jalan Cempaka No 6, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah,

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07/PRT/M/2015 TENTANG PENGAMANAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK

Lebih terperinci

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR Oleh: TAUFIQURROHMAN L2D 004 355 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2009 KESESUAIAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci