TINJAUAN PUSTAKA TENTANG KEADILAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA TENTANG KEADILAN"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA TENTANG KEADILAN (Disusun Sebagai Suplement Bahan Ajar Mata Kuliah PendidikanPancasila) Oleh: Handy Sobandi Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Maranatha Bandung 2006

2 TINJAUAN PUSTAKA TENTANG KEADILAN Oleh: Handy Sobandi Konsep-konsep tentang keadilan dalam lintasan sejarah selama ini ternyata cukup banyak macamnya. Pada umumnya dalam jaman Yunani Kuno dan Romawi, keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama yang bersifat alamiah (cardinal virtue, seperti yang diungkapkan oleh Plato). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota dari sesuatu masyarakat dalam hubungannya antara yang satu terhadap yang lainnya secara alamiah. 1 Kemudian pada jaman berikutnya, keadilan merupakan suatu keutamaan moral artifisial, dan bukan merupakan keutamaan alamiah lagi. 2 Keadilan dianggap sebagai keutamaan istimewa dalam kehidupan sehari-hari, sebab keutamaan ini mengurus tindakan-tindakan yang dengannya kehidupan manusia diatur dengan benar. Tindakan-tindakan ini mencakup perlakuan terhadap diri sendiri dan sesama dalam kebersamaan. Keadilan merupakan tingkah laku manusia yang terkait dengan dimensi individual dan dimensi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Landasan keadilan adalah pribadi manusia dalam korelasi sosial. Sebagai keutamaan, keadilan merupakan tuntutan pertama dan jaminan tak tersangkalkan demi terwujudnya tatanan dalam kemajuan sosial. Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Telah diuraikan sebelumnya dalam uraian mengenai Tujuan Hukum, bahwa tujuan hukum memang tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum, dan kemanfaatan. Idealnya, hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Sekalipun demikian, tetap ada yang berpendapat, di antara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting, bahkan ada yang berpendapat merupakan tujuan hukum satusatunya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan antara lain oleh seorang hakim Indonesia, Bismar 1 The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Supersukses, Yogyakarta, 1982, hlm Lihat... David Hume, A Treatise of Human Nature, Dover Philosophical Classic, Mineola, 2003, hlm ; Lihat pula... A. Sonny Keraf, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm

3 Siregar dengan mengatakan, "Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. 3 a. Pengertian Keadilan Keadilan, menurut Georges Gurvitch ialah konsepsi tentang keadilan sebagai unsur ideal atau suatu cita (sebuah ide), yang terdapat di dalam semua hukum. 4 Jika demikian, lalu apa arti dari keadilan itu? Pertanyaan ini antara lain telah terjawab (sebelum diungkapkan Georges Gurvitch), oleh Ulpianus (200 M), yang kemudian diambil alih oleh Kitab Hukum Justinianus, dengan mengatakan bahwa keadilan ialah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-masing bagiannya (lustitia est constants et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi). 5 Keadilan merupakan tingkah laku manusia yang terkait dengan hak seseorang. Karena itu keadilan dapat dilihat sebagai keutamaan yang berusaha memenuhi hak orang lain. Landasan keadilan adalah pribadi manusia dalam korelasi sosial. Sebagai keutamaan, keadilan merupakan tuntutan pertama dan jaminan yang tak tersangkalkan demi terwujudnya tatanan dalam kemajuan sosial. Obyek keutamaan ini adalah hak manusia, baik hak orang lain maupun hak pribadi. Keadilan terkait dengan pemenuhan hak dan kewajiban, keuntungan-keuntungan sosial, dan orang-orang yang terlibat dalam masyarakat politis. Keadilan mengandung gagasan persamaan derajat manusia dalam hak dan kewajiban. 6 3 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia, Jakarta, 2002, hlm Lihat... The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Supersukses, Yogyakarta, 1982, hlm Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Gramedia, Jakarta, 2002, hlm Lihat... William Chang, Menggali Butir-butir Keutamaan, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm

4 b. Penggolongan Keadilan Menurut Aristoteles, keadilan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu "keadilan universal" (umum), dan yang kedua disebut "keadilan partikular". Keadilan universal adalah keadilan yang terbentuk bersamaan dengan perumusan hukum, sedangkan keadilan partikular adalah jenis keadilan yang oleh Aristoteles diidentikkan dengan kepatutan (fairness atau equalitas 7 ). Keadilan partikular terdiri dari dua jenis, yaitu keadilan distributif dan keadilan rektifikatoris. Keadilan distributif adalah "keadilan proposional", dan keadilan rektifikatoris atau keadilan komutatif adalah "keadilan hubungan antar persona" atau keadilan dalam perhubungan hukum. 8 Aristoteles tidak menjelaskan secara rinci dan detail (sistematis) apa yang yang menjadi dasar dari penggolongan atau pembagian tersebut. Namun demikian, secara tersamar Aristoteles telah mencoba menjelaskannya pada saat ia mengemukakan bahwa Keadilan merupakan gagasan yang ambigu (mendua), sebab dari satu sisi, konsep ini mengacu pada keseluruhan kebajikan sosial (termasuk di dalamnya kebajikan dalam hubungan dengan sesamanya) dan dari sisi yang lain, juga mengacu pada salah satu jenis kebajikan sosial khusus 9. Karena itu, seperti yang akan diuraikan di bawah ini, maka berdasarkan penggolongan Aristoteles tersebut, keadilan dapat digolongkan menjadi beberapa penggolongan berdasarkan faktor-faktor penggolongnya, yaitu berdasarkan sifat dari penerapan Aequitas atau Equalitas (billijkheid, kepatutan) tidak bermaksud untuk mengurangi keadilan. Aequitas hanya memberikan koreksi apakah subyek dalam situasi dan keadaan (omstandingheden) tertentu patut memperoleh haknya atau kewajibannya. Menurut Duynstee, dalam bukunya yang berjudul Over Recht en Rechtwaardigheid, yang dimaksud dengan aequitas ialah "Menkan de aequitas, de billijkheid definieren, als de deugd, die de mens beweegt, om in het gebruik van wat rechtens toekomt, redelijk te handelen." (Kita dapat mendefinisikan aequitas sebagai kebajikan yang mendorong manusia untuk mempergunakan apa yang menjadi haknya menurut hukum, sesuai dengan akal budinya). Aequitas itu kebajikan yang menyangkut berbagai jenis keadilan, misalnya: Aequitas berhubungan dengan justitia commutativa, misalnya, ternyata dari Arrest H.R tentang perbuatan melawan hukum. Aequitas berhubungan dengan justitia distributiva, yang pelaksanaannya perlu memperhitungkan situasi dan keadaan dari yang melakukan tugasnya. Aequitas berhubungan dengan justitia vindicativa yang pelaksanaannya perlu mempertimbangkan situasi dan keadaan dari yang melanggar undang-undang. (Lihat... O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1975, hlm ) Lihat... Aristoteles, Nicomachean Ethics (Sebuah Kitab Suci Etika) diterjemahkan oleh: Embun Kenyowati, Teraju, Jakarta, 2004, hlm ; Lihat pula... E. Sumaryono, Etika & Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm Lihat... E. Sumaryono, Etika & Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 256.

5 keadilan dan berdasarkan subyek keadilan. Berdasarkan sifat dari penerapan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, maka keadilan dapat dibedakan menjadi keadilan umum atau keadilan legal dan keadilan khusus atau partikular. Sifat dari penerapan keadilan ini maksudnya adalah bahwa pada saat keadilan diterapkan pada peristiwa tertentu, didalamnya keadilan dapat bersifat sebagai gagasan dan dapat bersifat sebagai suatu sikap dan tindakan. Demikian pula berdasarkan subyek dari keadilan, maka keadilan dapat dibedakan menjadi keadilan individual dan keadilan sosial. Hal ini mengandaikan bahwa keadilan adalah sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu subyek (dalam hal ini adalah manusia), yang secara kodrati manusia tersebut sebagai mahkluk individual dan sosial. Kemudian si subyek ini melakukan tindakan atau perbuatan yang adil kepada manusia lainnya dalam pergaulan hidupnya, baik dalam lingkupnya yang kecil seperti keluarga maupun dalam lingkupnya yang lebih besar seperti masyarakat (masyarakat negara atau dunia, bahkan jagat raya). Sehingga dengan demikian keadilan individual adalah kondisi adil yang tercipta bergantung pada kehendak baik manusia sebagai mahkluk individual. Sedangkan keadilan sosial adalah kondisi adil yang tercipta tidak bergantung pada kehendak baik manusia sebagai mahkluk individual, tetapi berdasarkan struktur sosial masyarakatnya. Untuk lebih jelasnya, maka hal-hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut di bawah ini. 1) Berdasarkan Sifat dari Penerapan Keadilan 10 a) Keadilan Legal (Universal / Umum) Keadilan legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara di hadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak dijamin untuk mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku. Tentu saja hal ini hanya merupakan 10 Lihat... A. Sonny Keraf, Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya), Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm

6 sutau prinsip atau pikiran dasar yang melandasi suatu perbuatan yang akan menciptakan suatu kondisi yang adil. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa manusia adalah mahkluk sosial, yang artinya manusia tersebut memiliki kecenderungan untuk hidup bersama dengan sesamanya, melalui sutau interaksi yang dilakukan dengan perilakunya, yang agar interaksinya ini berjalan dengan tertib diperlukan suatu hukum, dan yang berdasarkan keinsyafan batinya hukum itu ditaati karena ia (hukum) itu adil. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Thomas Aquinas (penganjur teori hukum kodrat), bahwa hubungan antara individu dengan masyarakat secara keseluruhan (ordo partium ad totum) ini menciptakan "keadilan legal" (iustitia legalis) atau "keadilan umum" (iustitia generalis). Jika sasaran pemberlakuan hukum positif adalah kebaikan umum (dalam arti kesejahteraan umum), maka keberlakuan hukum positif tersebut harus dapat menjamin dan menyebarluaskan kebaikan umum. Dalam hal ini, cara yang dapat ditempuh antara lain: Pertama, menunjukkan dengan jelas dan tegas batasan pengertian hak dan kewajiban yang melekat pada diri setiap anggota masyarakat, serta dapat menjamin terselenggaranya kebebasan, dengan maksud supaya manusia bertanggung jawab atas tujuan keberadaannya; Kedua, melindungi kedamaian batin individu dan ketertiban sosial, serta menetapkan jaminan keamanan atas hidup manusia; Ketiga, menciptakan kondisi-kondisi yang dapat mengembangkan kemajuan segala bidang yang menjadi kebutuhan manusia dalam hidupnya. Jika sebuah hukum tidak dapat mencapai sasaran keadilan seperti tersebut di atas, maka hukum semacam ini tidak dapat dinilai sebagai hukum yang adil. Ini berarti bahwa kehendak pembentuk hukum atau legislator bukan merupakan dasar eksklusif dan primer untuk sebuah tertib hukum. Sesuatu hukum hanya akan berlaku sah (valid) jika hukum itu sesuai dengan polapola keinginan dan cita-cita manusia yang terkandung di dalam realitas kodrat manusia Lihat... E. Sumaryono, Etika & Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm

7 Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa keadilan legal intinya adalah semua pihak dijamin untuk mendapat perlakuan yang sama oleh negara di hadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Hal ini dilandasi oleh pemikiran, yaitu: Pertama, semua orang adalah manusia yang mempunyai harkat dan martabat yang sama dan karena itu harus diperlakukan secara sama. Perlakuan yang berbeda atau diskriminatif berarti merendahkan harkat dan martabat manusia, tidak hanya pada orang partikular konkret tertentu, melainkan juga harkat dan martabat manusia pada umumnya. Kedua, semua orang adalah warga negara yang sama status dan kedudukannya, serta kewajiban sipilnya. Karena itu, semua orang harus diperlakukan secara sama sesuai dengan hukum yang berlaku. Perlakuan yang tidak sama hanya mungkin dibenarkan jika didasarkan pada alasan-alasan yang masuk akal, misalnya ia tidak memenuhi kewajibannya sebagai warga yang baik. Demikian pula, perlakuan yang tidak sama hanya bisa dibenarkan melalui pertanggungjawaban yang terbuka berdasarkan prosedur legal yang berlaku. Prinsip dasar moral tersebut di atas mempunyai beberapa konsekuensi legal dan moral yang mendasar, yaitu: Pertama, itu berarti semua orang harus secara sama dilindungi oleh hukum, dalam hal ini oleh negara. Hukum wajib melindungi semua warga, terlepas dari status sosial, latar belakang etnis, agama, sosial ekonomi, ataupun aliran politiknya. Jadi, semua orang harus diperlakukan secara sama sebagai manusia dan warga negara. Kedua, ini juga berarti bahwa tidak ada orang yang akan diperlakukan secara istimewa oleh hukum atau negara. Dalam kasus yang persis sama, tidak boleh ada yang mendapat perlakuan istimewa sementara yang lain tidak. Secara konkret, itu berarti siapa saja yang bersalah harus dihukum dan siapa saja yang dirugikan atau dilanggar hak dan kepentingannya harus dibela dan dilindungi oleh negara. Ketiga, negara, dalam hal ini pemerintah, tidak boleh mengeluarkan hukum atau produk hukum apa pun yang secara khusus dimaksudkan demi kepentingan kelompok atau orang tertentu, dengan atau tanpa merugikan kepentingan pihak lain. Kalaupun aturan itu secara material tidak

8 merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, aturan itu sendiri sudah menunjukkan perlakuan istimewa, yang berarti pada akhirnya merugikan dan melanggar rasa keadilan dalam masyarakat. Keempat, prinsip di atas juga berarti semua warga tanpa perbedaan apa pun harus tunduk dan taat kepada hukum yang berlaku karena hukum tersebut melindungi hak dan kepentingan semua warga. Dengan kata lain, ketaatan yang sama dari warga atas hukum pada akhirnya akan menjamin perlindungan dan perlakuan hukum yang sama bagi semua, dengan pengandaian bahwa hukum itu sendiri adil (yaitu bahwa hukum itu berlaku untuk semua tanpa terkecuali atau tanpa diskriminasi) dan etis (memuat hal yang secara moral baik). b) Keadilan Partikular / Khusus Keadilan partikular atau keadilan khusus ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu keadilan komutatif dan keadilan distributif. Keadilan komutatif ini mengatur hubungan yang adil atau fair antara orang yang satu dan yang lain atau antara warga negara yang satu dan warga negara lainnya. Dengan kata lain, jika keadilan legal lebih menyangkut hubungan vertikal antara negara dan warga negara, maka keadilan komutatif menyangkut hubungan horisontal antara warga yang satu dan warga yang lain. Keadilan komutatif menuntut agar dalam interaksi sosial antara warga yang satu dan warga yang lain, tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Ini berarti prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang memberikan, menghargai, dan menjamin apa yang menjadi hak orang lain. Maka, dasar moralnya sama dengan keadilan legal tersebut di atas, yaitu bahwa semua orang mempunyai harkat dan martabat serta hak yang sama, yang harus dijamin dan dihargai oleh semua orang lain. Dengan kata lain, dasarnya adalah keseimbangan atau kesetaraan antara semua pihak dalam interaksi sosial apa pun. Oleh karena itu, jika dalam interaksi sosial apa pun terjadi bahwa pihak tertentu dirugikan hak dan kepentingannya, maka negara dituntut untuk turun tangan menindak pihak yang merugikan dan dengan demikian memulihkan kembali keseimbangan atau

9 kesetaraan kedua pihak yang terganggu oleh adanya pelanggaran tadi. Negara dituntut untuk memulihkan kembali hubungan yang rusak oleh pelanggaran hak pihak tertentu. Dalam kaitan dengan itu, prinsip keadilan komutatif juga menyangkut pemulihan kembali hubungan yang rusak, yang menjadi tidak harmonis dan tidak seimbang (tidak adil), karena terlanggarnya hak pihak tertentu oleh pihak lain. 12 Sedangkan keadilan distributif adalah pembagian atau penyebaran hak dan kewajiban dalam bidang hukum, sosial, budaya, ekonomi dan lainnya yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributif menyangkut pembagian beban-beban dan hasil-hasil pembangunan. Atas dasar ini, Aristoteles menerima ketidakadilan sosial ekonomi sebagai hal yang adil, asalkan sesuai dengan peran dan sumbangan masingmasing orang. Maksudnya, yaitu bahwa orang yang mempunyai sumbangan dan prestasi terbesar akan mendapat imbalan terbesar, sedangkan orang yang sumbangannya kecil akan mendapat imbalan yang kecil. Ini adil. Demikian pula, perbedaan kaya miskin yang sejalan dengan perbedaan sumbangan dan prestasi masing-masing orang harus dianggap sebagai hal yang adil. Dengan kata lain, keadilan distributif tidak membenarkan prinsip sama rata dalam hal pembagian beban-beban dan hasil-hasil pembangunan. 13 2) Berdasarkan Subjek Keadilan 12 Jika diterapkan dalam bidang ekonomi atau bisnis, itu berarti relasi dagang atau bisnis harus terjalin dalam hubungan yang setara dan seimbang antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Ini berarti dalam relasi dan kegiatan bisnis tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Jika hal itu terjadi, maka negara dituntut untuk turun tangan memulihkan ketidakseimbangan, ketidakadilan itu, dengan mengenakan sanksi atau hukuman yang setimpal dengan kerugian yang diderita korban. Dengan sanksi dan hukuman yang setimpal, hubungan yang pincang, yang tidak simetris, dikembalikan menjadi simetris sebagaimana terungkap dalam lambang keadilan berupa dacing yang seimbang. Dalam bisnis, keadaan, relasi, dan transaksi yang dianggap adil adalah yang pada akhirnya melahirkan win-win situation. Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang fair antara pihak-pihak yang terlibat. Dengan demikian, prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman, memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, menjual barang dengan mutu dan harga yang seimbang dan sebagainya. 13 Hal ini sangat berbeda dengan prinsip keadilan distributif yang dianut dalam ekonomi sosialis, di mana semua orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas dari sumbangan dan prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Setiap warga akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan keluarganya, terlepas dari prestasi kerja, kedudukan, dan jabatannya.

10 a) Keadilan Individual Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa keadilan individual adalah kondisi adil yang tercipta bergantung pada kehendak baik atau buruk manusia sebagai mahkluk individual. Pelaksanaan keadilan individual ini tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga beberapa orang) saja. Dalam kehidupan sehari-hari banyak masalah tergolong keadilan individual. Keadilan individual dapat terlaksana, jika hak-hak individual terpenuhi. Keadilan individual jauh lebih mudah untuk dilaksanakan ketimbang keadilan sosial. Keadilan individual sering kali dapat dilaksanakan dengan sempurna, karena hanya menyangkut manusia sebagai individu dan tergantung dari manusia sebagai individu. Hal ini sebagaimana disimbolkan oleh timbangan sebagai lambang keadilan, yang hanya cocok untuk keadilan individual. 14 b) Keadilan Sosial Dalam rangka teori keadilan, pengertian "keadilan sosial" sering dipersoalkan dan diliputi ketidakjelasan cukup besar. Ada yang menganggap keadilan sosial sebagai nama lain untuk keadilan distributif. Ada pemikir lain yang justru berpendapat bahwa keadilan sosial harus dibedakan dari keadilan distributif. Yang pasti ialah dibandingkan dengan jenis-jenis keadilan yang sudah disebut sebelumnya, paham "keadilan sosial" masih berumur muda. Dapat dipastikan juga bahwa secara historis pengertian ini berkaitan erat dengan pemikiran sosialistis. 15 Selain itu, Ahli ekonomi Jerman, H. Pesch ( ) berpendapat bahwa, Keadilan sosial tak lain ialah istilah umum untuk keadilan umum dan keadilan distributif. Tetapi kemudian sementara orang berpendapat bahwa, keadilan sosial merupakan bentuk keempat 14 Lihat... K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yoyakarta, 2000, hlm ; Lihat pula... Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm Lihat... K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yoyakarta, 2000, hlm. 92; Lihat pula... Bur Rasuanto, Keadilan Sosial (Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: Dua Teori Filsafat Politik Modern), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 6 &

11 dan berlainan dari keadilan, yang sejauh itu belum lengkap. Menurut pendapat ini keadilan mempunyai empat bentuk yaitu umum, komutatif, distributif, dan sosial. 16 Dalam pelaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung dari struktur-struktur masyarakat di bidang sosialekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Keadilan sosial tidak akan terlaksana, jika strukturstruktur masyarakat tidak memungkinkan. Pada kenyataannya masalah keadilan sosial terutama tampak dalam bentuk negatifnya, yakni sebagai ketidakadilan sosial. Jadi di sini keadilan tidak tergantung dari kehendak baik individu-individu yang langsung terlibat dalam suatu hubungan tertentu, melainkan dari struktur-struktur ekonomis, sosial, dan politik seluruh masyarakat. Dengan demikian keadilan sosial dapat didefinisikan sebagai keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari struktur proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya, dan ideologis dalam masyarakat. Struktur-struktur itu merupakan struktur-struktur kekuasaan dalam dimensi-dimensi utama kehidupan masyarakat. Susunan struktur-struktur itu menentukan kedudukan masing-masing golongan sosial, apa yang mereka masukkan dan apa yang mereka peroleh dari proses-proses itu. Masyarakat merupakan proses yang mengalir terus menurut struktur-struktur kekuasaan itu. Mengusahakan keadilan sosial dengan demikian berarti mengubah atau seperlunya membongkar struktur-struktur ekonomis, politis, sosial, budaya, dan ideologis yang menyebabkan segolongan orang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi hak mereka atau tidak mendapat bagian yang wajar dari harta kekayaan dan hasil pekerjaan masyarakat sebagai keseluruhan. Struktur-struktur itu bersifat sedemikian rupa sehingga kelaskelas itu, betapapun anggota-anggota mereka berusaha, tetap tidak memperoleh apa yang menjadi hak mereka Lihat... Kirdi Dipoyudo, Keadilan Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hlm Lihat... Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm

12 Keadilan sosial ini terkait erat dengan masalah-masalah sosial, seperti kepincangan hubungan sosial, kesejahteraan umum dan pelaksanaan wibawa pihak pengatur negara. Keadilan sosial tersebut akan terwujud jika keluhuran martabat manusia sungguh dihargai dan dijunjung tinggi. Penghormatan terhadap keluhuran martabat manusia merupakan unsur hakiki dalam mencapai keadilan sosial. Setiap manusia diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama, yakni mereka memiliki kodrat yang sama. Keadilan sosial ini menekankan kesamaan dalam perbedaan di antara umat manusia. Sasaran utama keadilan sosial adalah kesejahteraan umum yang dapat dinikmati oleh khalayak ramai dan bukan hanya golongan terbatas. Kesejahteraan ini memberikan gambaran tentang sikap dasar manusia yang menyadari tanggungjawab atas orangorang lain yang tergabung dalam suatu masyarakat dan negara. Persahabatan antar manusia saling dihargai dan dipupuk. Keadilan sosial setidak-tidaknya memiliki tiga sasaran penting: (1) Keadilan sosial menyangkut kesejahteraan ekonomi kelompok-kelompok sosial. Pembagian yang adil dan merata bagi warga masyarakat merupakan wujud keadilan sosial dalam masyarakat; (2) Keadilan sosial menuntut pembagian yang adil dan berkeseimbangan atas kekayaan suatu bangsa di antara kelas-kelas sosial yang berbeda. Adanya kemiskinan, kemelaratan dan ketidakseimbangan merupakan "dosa" terhadap keadaan sosial masyarakat; (3) Keadilan sosial merupakan bagian dari kewajiban bangsa-bangsa dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain. Keadilan sosial mengikat dan melibatkan negeri-negeri yang dari segi ekonomi sudah maju untuk membantu negeri-negeri miskin dan belum berkembang agar bangsa-bangsa ini dapat hidup secara layak sebagai umat manusia. 18 c. Sifat/Karakteristik dari Keadilan Menurut Georges Gurvitch, keadilan sering diartikan terlampau luas sehingga tampak berbaur dengan seluruh isi dari moralitas. 19 Hal ini juga dikemukakan oleh Aristoteles. 18 Lihat... William Chang, Menggali Butir-butir Keutamaan, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm Lihat... The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, Supersukses, Yogyakarta, 1982, hlm. 7.

13 Menurutnya keadilan merupakan gagasan yang ambigu (mendua), sebab dari satu sisi, konsep ini mengacu pada keseluruhan kebajikan sosial (termasuk di dalamnya kebajikan dalam hubungan dengan sesamanya) dan dari sisi yang lain, juga mengacu pada salah satu jenis kebajikan sosial khusus. 20 Menurut Aristoteles, keadilan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu "keadilan universal" (umum), dan yang kedua disebut "keadilan partikular". Keadilan partikular terdiri dari dua jenis, yaitu keadilan distributif dan keadilan rektifikatoris. 21 Selanjutnya Dalam "Nicomachea Ethics", Buku V, Aristoteles memperbandingkan antara "kepatutan" dan "yang patut" dengan "keadilan" dan "yang adil", bahkan di satu aspek membedakannya, dan di lain aspek kedua term tersebut dianggapnya "tidak ada bedanya". Padahal, jika mengikuti konsekuensi-konsekuensi logis, sering terjadi "yang patut" berbeda pengertiannya dari "yang adil", dan jika demikian, menurut Aristoteles, "yang adil" belum tentu memiliki nilai moral serta "yang layak" itu belum tentu adil. 22 Atas dasar ini, Aristoteles menerima ketidakadilan sosial ekonomi sebagai hal yang adil, asalkan sesuai dengan peran dan sumbangan masing-masing orang. Maksudnya, yaitu bahwa orang yang mempunyai sumbangan dan prestasi terbesar akan mendapat imbalan terbesar, sedangkan orang yang sumbangannya kecil akan mendapat imbalan yang kecil. Ini adalah adil. Demikian pula, perbedaan kaya dan miskin yang sejalan dengan perbedaan sumbangan dan prestasi masing-masing orang harus dianggap sebagai hal yang adil. Dengan kata lain, keadilan distributif tidak membenarkan prinsip sama rata dalam hal pembagian kekayaan ekonomi. 20 Lihat... E. Sumaryono, Etika & Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm Lihat... E. Sumaryono, Etika & Hukum (Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas), Kanisius, Yogyakarta, 2002, hlm. 256; Lihat pula... Aristoteles, Nicomachean Ethics (Sebuah Kitab Suci Etika) diterjemahkan oleh: Embun Kenyowati, Teraju, Jakarta, 2004, hlm E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum (Norma-norma Bagi Penegak Hukum), Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 135.

14 Prinsip sama rata hanya akan menimbulkan ketidakadilan karena mereka yang menyumbang paling besar tidak dihargai semestinya, yang berarti diperlakukan secara tidak adil. 23 Paling tidak ada tiga ciri khas yang selalu menandai keadilan. Pertama, keadilan selalu tertuju pada orang lain atau keadilan selalu ditandai other directedness. Masalah keadilan atau ketidakadilan hanya bisa timbul dalam konteks antar manusia. Untuk itu, diperlukan sekurangkurangnya dua orang manusia. Kedua, keadilan harus ditegakkan atau dilaksanakan. Jadi, keadilan tidak diharapkan saja atau dianjurkan saja. Ciri kedua ini disebabkan karena keadilan selalu berkaitan dengan hak yang harus dipenuhi. Karena itu dalam konteks keadilan bisa dipakai "bahasa hak" atau "bahasa kewajiban", Dalam mitologi Romawi, Dewi lustitia (keadilan) digambarkan dengan memegang timbangan dalam tangan. Timbangan ini menunjuk kepada ciri kedua tersebut, yakni keadilan harus dilaksanakan persis sesuai dengan bobot hak seseorang. Ketiga, keadilan menuntut persamaan (equality). Dalam mitologi Romawi digambarkan bahwa Dewi lustitia yang memegang timbangan dalam tangannya, dengan matanya tertutup dengan kain. Sifat terakhir ini menunjukan bahwa keadilan harus dilaksanakan terhadap semua orang, tanpa melihat orangnya siapa. 24 d. Beberapa Teori Tentang Keadilan Dalam lintasan perkembangan tentang arti dan makna keadilan, para ahli pikir telah banyak mengembangkan tentang arti dan makna keadilan melalui berbagai teoriteori. Namun dalam tulisan ini, tidak akan semua diuraikan mengenai teori-teori keadilan yang pernah dikemukakan oleh para ahli pikir tersebut. Hal ini lebih disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis dalam memahami teori-teori keadilan tersebut. Dengan demikian, hanya beberapa teori keadilan saja dari sekian banyak teoari keadilan yang ada, yang akan diuraikan dalam tulisan ini, yaitu Teori Keadilan Adam Smith, Teori 23 Hal ini sangat berbeda dengan prinsip keadilan distributif yang dianut dalam ekonomi sosialis, di mana semua orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas dari sumbangan dan prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Setiap warga akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan keluarganya, terlepas dari prestasi kerja, kedudukan, dan jabatannya. 24 Lihat... K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yoyakarta, 2000, hlm

15 Keadilan David David Hume, dan Teori Keadilan John Rawls, seperti yang akan diuraikan di bawah ini. 1) Teori Keadilan Adam Smith 25 Makna utama keadilan menurut Adam Smith adalah keadilan komutatif. Sampai pada tingkat tertentu, keadilan komutatif Adam Smith mirip dengan keadilan komutatif dari Aristoteles. Baik keadilan komutatif dari Aristoteles maupun Adam Smith dibangun di atas dasar pengandaian akan kesamaan hakiki di antara umat manusia. Keadilan komutatif tersebut berhubungan dengan konsep kesetaraan nilai. Keadilan komutatif yang dikemukakan oleh Adam Smith mengandung prinsip utama yaitu no harm atau prinsip tidak melukai dan merugikan orang lain. Secara lebih khusus prinsip ini mengacu pada sikap menahan diri untuk tidak merugikan orang lain. Sepert Cicero, Adam Smith menegaskan bahwa kita dianggap bertindak adil terhadap sesama kita jika kita menahan diri untuk tidak merugikannya, dan tidak secara langsung melukainya, baik menyangkut pribadinya, miliknya atau reputasinya. Menurutnya, bertindak adil terhadap orang lain adalah jika tidak melukai atau tidak merugikannya, baik sebagai manusia, sebagai anggota keluarga, ataupun sebagai warga sebuah masyarakat. Sebaliknya, keadilan dilanggar jika seseorang dilucuti dari apa yang dimilikinya sebagai hak dan dapat secara sah menuntutnya dari orang lain atau jika merugikannya atau melukainya tanpa alasan. Dengan ini terlihat jelas bahwa keadilan komutatif Adam Smith menyangkut jaminan dan penghargaan atas hak-hak individu dan hak-hak asasi. Hak-hak individu tersebut, dianggap sebagai hak-hak sempurna (perfect right), yaitu hak-hak yang wajib dituntut dari orang lain untuk dihargai. Dengan prinsip tersebut di atas, keadilan komutatif Adam Smith lebih luas dari pada yang dikemukakan oleh Aristoteles. Hal ini dikarenakan oleh: Pertama, keadilan komutatif tersebut tidak hanya menyangkut pemulihan kembali kerusakan yang telah 25 Lihat... A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan & Peran Pemerintah (Telaah Atas Etika Politik Ekonomi Adam Smith), Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm ; Lihat pula... A. Sonny Keraf, Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya), Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm ; Lihat pula... Tom Campbell, Tujuh Teori Sosiologi (Sketsa, Penilaian, Perbandingan) diterjemahkan oleh: F. Budi Hardiman, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm

16 terjadi, melainkan juga menyangkut pencegahan terhadap dilanggarnya hak dan kepentingan pihak lain. Keadilan komutatif tersebut dituangkan dalam hukum yang tidak hanya menetapkan pemulihan kerugian, melainkan juga hukum yang mengatur agar tidak terjadi pelanggaran atas hak dan kepentingan pihak tertentu. Tujuan yang hendak dicapai oleh keadilan adalah menjamin manusia dalam apa yang disebut sebagai hak-hak sempurnanya. Keadilan terletak pada kemampuan menahan diri agar tidak merongrong apa yang menjadi milik orang lain dan melakukan secara sukarela apa yang pantas untuk dilakukan. Dengan demikian, aturan keadilan terutama terdiri dari serangkaian larangan tentang apa yang tidak boleh dilakukan manusia dalam interaksi sosialnya. Kedua, keadilan komutatif Adam Smith berkaitan dengan jaminan atas hakhak sempurna individu. Keadilan ini tidak hanya berlaku bagi hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya tetapi juga berlaku bagi segala macam hubungan timbal balik antara individu dengan individu, hubungan dalam keluarga, hubungan sipil dan hubungan ekonomis serta hubungan pemerintah dengan rakyat. Ketiga, keadilan komutatif Adam Smith berhubungan dengan apa yang secara tradisional dikenal melalui Aristoteles sebagai keadilan legal atau perlakuan yang sama bagi semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Keadilan ini berkaitan dengan prinsip ketidakberpihakan (impartiality). Lebih lanjut menurut Adam Smith, aturan-aturan keadilan harus sedapat mungkin memberikan kejelasan bagi tindakan manusia. Aturan-aturan ini mengatur setepat mungkin setiap tindakan yang dituntut oleh keadilan. Keadilan adalah keutamaan moral yang dapat dipaksakan, karena: Pertama, aturan-aturan itu menyangkut hak-hak manusia yang berharga dan harus dijunjung tinggi oleh siapa saja. Aturan-aturan ini menetapkan apa yang harus dilakukan dalam kaitanya dengan hak-hak orang lain dan bagaimana hal tersebut dilakukan yang di dalamnya ditetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kedua, bahwa pada kenyataannya pelanggaran atas keadilan akan menimbulkan kerugian dan kejahatan dalam masyarakat, yang pada gilirannya akan mengganggu keteraturan masyarakat.

17 Selain prinsip No Harm tersebut di atas, Teori Keadilan Adam Smith terdiri pula dari prinsip Non Intervention dan prinsip Keadilan Tukar atau Pertukaran yang Fair. Prinsip tidak ikut campur pada dasarnya mau mengatakan bahwa tidak seorang pun diperbolehkan untuk mencampuri kehidupan dan hak-hak seseorang dalam interaksi mereka satu dengan yang lainnya. Prinsip ini juga berlaku bagi hubungan antara penguasa dan rakyat, dan karena itu penguasa tidak diperkenankan untuk mencampuri secara tidak sah urusan warganya. Ini berarti, pada prinsipnya campur tangan pemerintah tanpa alasan yang sah dan jelas akan dianggap sebagai tidak adil. Prinsip perdagangan yang fair terutama mengacu pada hubungan ekonomi di antara individu dalam pasar bebas. Ini menyangkut prinsip resiprositas atau kesetaraan nilai dalam pertukaran ekonomi yang dipertahankan oleh mekanisme pasar bebas dan terwujud dalam bentuk harga alamiah dari berbagai barang dan jasa yang diperdagangkan. Di samping keadilan komutatif, Smith mengakui pula bahwa secara tradisional ada dua makna keadilan lainnya, yaitu keadilan distributif dan keadilan umum. Uraian di atas telah memperlihatkan bahwa Adam Smith terutama menganggap keadilan sebagai suatu keutamaan negatif (negative virtue). Artinya, keadilan komutatif tidak terutama terletak dalam melakukan suatu tindakan positif untuk orang lain, melainkan terletak dalam tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Menurut Smith "tujuan keadilan adalah melindungi orang dari kerugian" yang diderita akibat tindakan orang lain. Prinsip keadilan komutatif terutama menyangkut menahan atau mengekang diri sedemikian rupa sehingga tidak sampai melakukan tindakan yang merugikan orang lain, baik sebagai manusia, anggota suatu keluarga atau warga negara. Makna negatif dari keadilan komutatif ini terletak dalam dua hal. Pertama, keadilan tidak menghimbau orang untuk melakukan sesuatu yang bersifat positif terhadap orang lain. Karena itu, manusia sering bertindak sesuai dengan aturan keadilan hanya dengan berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa (diungapkan dengan kata-kata Diam berarti emas ). Kedua, seseorang yang adil sedikit sekali, dan bahkan tidak akan mendapatkan penghargaan. Jika ia melakukan apa yang dituntut oleh prinsip keadilan,

18 maka tidak ada yang akan menghargainya karena sesungguhnya ia tidak melakukan apaapa. Sebaliknya, jika ia melanggar aturan keadilan, maka ia akan mendapat hukuman. Dalam arti ini, keadilan komutatif merupakan keutamaan moral yang minimal saja. Tetapi justru karena sifatnya yang minimal dan negatif itulah keadilan ini menjadi sangat penting bagi kehidupan manusia dan masyarakat. Dalam hal ini, ia tidak hanya berkaitan dengan kegiatan ekonomi, melainkan juga seluruh bidang kegiatan dan kehidupan manusia. Prinsip ini menjadi dasar semua hubungan sosial dan moral antar manusia. Ciri negatif menyebabkan prinsip ini begitu ketat sehingga secara spontan dirumuskan dalam aturan-aturan yang jelas dan universal. Demikian pula penekanan atas sifat negatif menyebabkan prinsip ini menjadi sangat mendesak sehingga mendorong manusia untuk memaksakan keberlakuan aturan-aturannya. Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa keadilan adalah aturan main minimal bagi kehidupan sosial manusia. Suatu masyarakat atau interaksi sosial apa pun tidak akan ada dan bertahan tanpa ada keadilan. Hidup bersama mengandaikan adanya tingkah laku minimal tertentu yang harus dipatuhi dalam relasi antarmanusia. Maka, prinsip keadilan adalah aturan main yang sangat hakiki bagi hidup manusia dan karena itu berlaku bagi bidang kehidupan mana pun. Secara positif, keadilan menurut Smith dapat dianggap sebagai sikap hormat terhadap hak dan kepentingan masing-masing orang, bukan demi keutuhan masyarakat, melainkan terutama demi hak dan kepentingan itu sendiri. Artinya, penghargaan atas hak dan kepentingan orang lain, sebagai perwujudan prinsip keadilan, dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa memang hak dan kepentingan orang lain bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas dihargai. Hanya saja, perlu diingat bahwa Smith memang sengaja menekankan aspek negatif keadilan untuk menunjukkan pentingnya prinsip keadilan bagi kehidupan manusia dan bagi kelestarian masyarakat. 2) Teori Keadilan David Hume 26 David Hume mempunyai dua sasaran utama ketika dia melontarkan teorinya mengenai keadilan, yaitu untuk menentang teori hukum kodrat yang menganggap 26 Lihat... David Hume, A Treatise of Human Nature, Dover Philosophical Classic, Mineola, 2003, hlm ; Lihat pula... A. Sonny Keraf, Hukum Kodrat & Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hlm

19 keadilan sebagai sebuah keutamaan moral alamiah dan menolak teori hukum kodrat bahwa hukum kodrat atau aturan-aturan keadilan ditarik dari akal budi manusia. Sasaran yang pertama, ia ingin menentang teori hukum kodrat yang menganggap keadilan sebagai sebuah keutamaan moral alamiah. la menentang paham hukum kodrat bahwa ada aturan-aturan keadilan yang bersifat abadi dan tak terubahkan yang telah ada sejak awal mula. David Hume justru sebaliknya mengemukakan bahwa "keadilan merupakan suatu keutamaan moral artifisial, dan bukan merupakan keutamaan alamiah". Argumen utama yang mendasari teorinya ini, yaitu ia mengacu kepada pandangan tradisional yang berbunyi, "Keadilan adalah... kemauan tetap dan abadi untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya". Menurut David Hume definisi keadilan yang sudah tua ini mengandaikan bahwa sudah ada hak jauh sebelum dan terlepas dari keadilan. Artinya, dengan aturan keadilan seseorang lalu berhak atas tertentu. Jadi, keadilan menetapkan apa yang menjadi hak seseorang dan bukannya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Dalam pandangan David Hume, manusia adalah makhluk sosial. Hakikat sosial manusia ini dimungkinkan dan dipertahankan oleh afeksi sosial, seperti cinta dan afeksi lainnya sebagaimana ditemukan dalam keluarga yang memungkinkan manusia bersatu dengan yang lainnya. Akan tetapi, David Hume mengakui bahwa manusia juga mempunyai perasaan lainnya yang bersifat destruktif (menghancurkan) terhadap ikatan, keutuhan, dan kesatuan sosial. Yang paling menonjol dari perasaan semacam ini adalah sikap ingat diri atau egois. Hasrat ingat diri ini terutama mengancam hak tertentu dari setiap orang, dan dengan demikian pada akhirnya mengancam keutuhan sosial. Karena hasrat ingat diri tersebut terbuka terhadap pelanggaran bagi hak orang lain dan karena itu hak seseorang menjadi tidak aman. Dalam arti tertentu, David Hume menerima pemikiran Thomas Hobbes bahwa manusia bersifat egois, yaitu manusia mempunyai kecenderungan untuk memangsa sesamanya dan menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus, belum omnium contra omnes,. Karena sifat ini manusia sangat peduli pada kepentingannya sendiri dan

20 karena itu tidak tertutup kemungkinan bahwa ia merampas hak orang lain demi memuaskan kepentingannya sendiri. Hak milik pribadi orang lain mudah dilanggar demi memenuhi kepentingan pribadinya. Bahkan menurutnya, janji yang diucapkan oleh setiap orang bahwa dia akan menghargai hak orang lain tidak lagi efektif mempertahankan keutuhan sosial. Karena itu, satu-satunya jalan keluar yang diakui oleh David Hume adalah kesepakatan resmi di antara semua orang untuk menjamin hak dari setiap orang. Demi menjamin perasaan aman setiap orang atas haknya, manusia membuat kesepakatan di antara mereka. Jadi jalan keluar terhadap pelanggaran hak orang lain yang menyebabkan hak seseorang menjadi tidak aman, tidak diperoleh secara alamiah, melainkan secara artifisial yakni kesepakatan resmi di antara semua orang. Menurutnya, semua anggota masyarakat ikut dalam kesepakatan tersebut untuk menjamin keamanan atas hak-hak yang dimilikinya dan membiarkan setiap orang menikmati dengan tenang apa yang mungkin diperolehnya berdasarkan keberuntungan dan kerajinannya. Dengan jalan ini setiap orang akan tahu apa yang dapat dimilikinya secara aman bagi hak-haknya tersebut. Kesepakatan ini menetapkan aturan-aturan menyangkut keadilan yang menemukan apa yang menjadi hak setiap orang. Dengan kata lain, "keadilan muncul dari kesepakatan manusia". David Hume lalu menarik kesimpulan bahwa "hanya dari sikap ingat diri dan kemurahan hati yang terbatas dari manusia, bersama dengan terbatasnya persediaan alam bagi kebutuhan manusia, muncullah keadilan". Karena itu, aturan kedilan bukan merupakan proposisi rasional yang abstrak. Hukum alam pun bukan merupakan perintah akal budi yang menetapkan berbagai hak makhluk rasional dalam masyarakat, melainkan merupakan produk persetujuan manusia sebagai suatu upaya memecahkan ketidakamanan yang timbul karena pertentangan hasrat, dan pertentangan tindakan yang sejalan dengan itu. Jadi, sebelum adanya kesepakatan, keadilan dan ketidakadilan sama-sama tidak dikenal di antara manusia. Atas dasar ini, David Hume berpendapat bahwa keadilan merupakan suatu keutamaan artifisial yang lahir dari kesepakatan di antara manusia. Akan tetapi,

21 kesepakatan ini bukanlah kesepakatan yang dilakukan manusia untuk membentuk masyarakat ataupun negara sebagaimana halnya dalam teori kontrak sosial melainkan hanya menyangkut jaminan keamanan bagi hak-haknya. David Hume bahkan menolak teori kontrak sosial karena baginya sejak awal mula manusia hidup dalam ikatan sosial satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, karena kecenderungan untuk hidup sebagai makhluk sosial tidak menjamin keamanan bagi hak-haknya, maka perlu ada kesepakatan lain yang mengatur dan menjamin keamanan bagi hak-haknya. David Hume beranggapan bahwa sejak mula manusia hidup dalam masyarakat dan kekuasaan sipil lahir secara alamiah melalui proses alamiah tanpa kesepakatan. Yang dibutuhkan hanyalah kesepakatan di antara manusia untuk memberi, mengakui, dan menjamin hak setiap orang. Hal ini dikarenakan menurut David Hume, hasrat yang bersifat egois tidak hanya membuat hak menjadi tidak aman, melainkan juga menghancurkan masyarakat, dan keadilan dianggap sebagai sangat penting artinya bagi kelangsungan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan olenhnya bahwa, "Tanpa keadilan, masyarakat pasti segera hancur, dan setiap orang pasti jatuh ke dalam situasi yang kejam dan menyendiri, yang sama sekali jauh lebih buruk daripada situasi paling buruk yang dapat dibayangkan dalam masyarakat". Dengan demikian, manusia secara kodrati cenderung menempatkan dirinya di bawah pembatasan aturan-aturan keadilan itu. Sasaran kedua dari teori keadilan David Hume adalah untuk menolak teori hukum kodrat bahwa hukum kodrat atau aturan-aturan keadilan ditarik dari akal budi manusia. Yang ingin diperlihatkan David Hume adalah bahwa walaupun aturan-aturan keadilan dimaksudkan untuk menolong manusia untuk memperoleh kendali eksklusif atas haknya, motif yang ada di balik itu tidak ada sangkut pautnya dengan akal budi. Sebagaimana diungkapkan oleh David Hume bahwa: "Kepedulian terhadap kepentingan kita sendiri, dan kepentingan bersama, itulah yang membuat kita menetapkan hukum-hukum keadilan. Tidak ada yang lebih pasti daripada bahwa bukan relasi dengan ide-ide yang menyebabkan kita peduli akan hal ini, melainkan kesan dan perasaan kita, yang tanpa itu kita akan acuh tak acuh sama sekali terhadap segala hal di alam ini, dan tidak akan pernah sedikit pun mempengaruhi kita. Karena itu, perasaan keadilan tidak didasarkan pada ide-ide, melainkan pada kesan-kesan kita!"

22 Dengan demikian, dalam teori keadilan David Hume tidak ada perasaan keadilan alamiah. Bagi David Hume, kepedulian terhadap keadilan tidak berkaitan dengan perasaan spontan, melainkan merupakan hasil pendidikan atau hasil kesepakatan. Dari uraian tersebut di atas, jika disarikan, maka uraiannya adalah sebagai berikut: David David Hume berpendapat bahwa keadilan merupakan suatu keutamaan artifisial yang lahir dari kesepakatan di antara manusia. Karena itu, perasaan keadilan dan ketidakadilan tidak diperoleh dari kodrat, melainkan muncul secara artifisial dari kesepakatan manusia. Jadi, keadilan adalah menetapkan apa yang menjadi hak seseorang dan bukannya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Hal ini dikarenakan dalam pandangan David David Hume, manusia adalah makhluk sosial yang hakikat sosial manusia ini dimungkinkan dan dipertahankan oleh afeksi sosial. Kecenderungan manusia untuk hidup sebagai makhluk sosial ini, tidak menjamin keamanan bagi dirinya. Karena itu, demi menjamin perasaan aman bagi setiap orang atas haknya, manusia membuat kesepakatan di antara mereka, yaitu kesepakatan resmi di antara semua orang untuk menjamin hak dari setiap orang. Kesepakatan ini menetapkan aturan-aturan yang menyangkut keadilan untuk menemukan apa yang menjadi hak dari setiap orang tersebut. Oleh karena itu, setelah kesepakatan ini, setiap orang memperoleh jaminan atas hak-haknya, maka timbulah gagasan mengenai keadilan dan ketidakadilan. Terdapat keberatan yang bisa diajukan terhadap teori keadilan David Hume ini, yakni masalah yang dihadapi dengan teori keadilan David Hume adalah bahwa David Hume membatasi keadilan pada soal hak tertentu, yang dianggapnya sebagai hak artifisial. Sejauh hak dilihat sebagai hak artifisial, maka benar bahwa tidak ada keadilan atau ketidakadilan kalau tidak ada hak. Keadilan hanya mungkin ada kalau ada hak. Dan karena itu hak adalah ciptaan manusia, keadilan pun merupakan ciptaan manusia untuk menjamin hak ini. Akan tetapi, masalahnya adalah bahwa manusia tidak hanya mempunyai satu macam hak, melainkan juga jenis hak lainnya yang benar-benar bersifat kodrati atau alamiah. Hak-hak yang disebut terakhir ini telah ada sebelum adanya kesepakatan di

23 antara manusia. Hak-hak ini ada begitu saja. Karena itu, hak-hak seperti itu, misalnya hak atas hidup dan kebebasan, adalah hak alamiah karena hak-hak ini dimiliki oleh manusia hanya karena manusia adalah manusia. Dengan demikian, hak-hak ini muncul dan ada secara kodrati jauh sebelum dan terlepas dari aturan keadilan yang lahir dan kesepakatan manusia. Dan terhadap hak-hak inilah setiap orang harus menunjukkan sikap hormatnya. Dalam arti ini, keadilan adalah keutamaan alamiah. Apakah ada hak atau tidak, kenyataan bahwa manusia adalah manusia sudah mengimplikasikan adanya hukum keadilan kodrati untuk menjamin hak-hak asasi manusia, yang keberadaannya terlepas dari kesepakatan manusia. Lebih dari itu, karena keadilan tidak hanya menyangkut satu macam hak saja (artifisial), melainkan juga hak asasi manusia. Manusia dalam arti tertentu telah memiliki dalam hatinya perasaan keadilan untuk menghormati hak orang lain, khususnya hak-hak asasi itu. Ini suatu perasaan moral alamiah yang membuat manusia taat terhadap aturan-aturan keadilan, yang membuatnya peduli akan hak orang lain hanya karena mereka sama-sama manusia. Sejak awal mula, ada suatu perasaan keadilan alamiah yang mengendalikan manusia agar tidak sampai melanggar hak orang lain. 3) Teori Keadilan John Rawls Lihat... John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, Oxford Melbourne Cape Town, 1973, hlm. 22- dst.. Lihat pula... Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan dan Keadilan Hukum, Lembaga Penelitian Unpar, Bandung, 2002, hlm ; Lihat pula... Ian Shapiro, Asas Moral Dalam Politik diterjemahkan oleh: Theresia Wuryantari & Trisno Sutanto, Yayasan Obor Indonesia & Freedom Institute, Jakarta, 2006, hlm ; Lihat pula... Ian Shapiro, Evolusi Hak Dalam Teori Liberal diterjemahkan oleh: Masri Maris, Yayasan Obor Indonesia & Freedom Institute, Jakarta, 2006, hlm ;

24 Teori keadilan John Rawls dibangun dengan keyakinan besar untuk mengusahakan suatu teori keadilan yang dapat menjadi alternatif sekaligus mengungguli paham utilitarianisme pada umumnya, dan juga semua versi yang beraneka ragam dari paham tersebut. Rawls menolak utilitarianisme yang dipandangnya mereduksi keadilan hanya ke semacam utilitas sosial. Sebagai suatu teori normatif yang sudah punya sejarah panjang dan dominan dalam tradisi, banyak upaya membangun teori yang hendak melawan atau mematahkan utilitarianisme. Namun hasilnya, menurut Rawls, paling jauh hanya dipaksa memilih antara utilitarianisme atau intuisionisme. Padahal intuisionisme dianggap mustahil dapat menjadi alternatif utilitarianisme. Intuisionisme bagi Rawls hanya setengah teori. Teori-teori intuisionisme memperlihatkan dua ciri pokok, yakni terdiri atas pluralitas prinsip utama, yang mungkin saling konflik dan tidak memiliki metode eksplisit dan tidak mempunyai aturan prioritas yang dapat digunakan untuk menimbang-nimbang prinsip satu terhadap yang lain sehingga keputusan diserahkan kepada intuisi manusia. Ada berbagai jenis intuisionisme, dan kriteria keadilan tergantung pada prinsip utama yang dipilih masing-masing. Permilihan itu akan dipengaruhi dan diwarnai oleh situasi dan sudut pandang, kepentingan dan harapan, bahkan adat kebiasaan. Pluralitas prinsip utama dan tiadanya sistem prioritas prinsip utama itu, memberi kesan bahwa intuisionisme itu merupakan paham yang intrinsik irrasional. John Rawls mengemas teorinya dalam konsep justice as fairness, bukan karena ia mengartikan keadilan sama dengan fairness, melainkan karena dalam konsepsi itu terkandung gagasan bahwa prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat merupakan objek persetujuan asal dalam posisi simetris dan fair. Dalam kesamaan posisi asal wakil-wakil mereka menetapkan syarat-syarat fundamental ikatan mereka, menetapkan bentuk kerja sama sosial yang akan mereka masuki dan bentuk Lihat pula... Bur Rasuanto, Keadilan Sosial (Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas: Dua Teori Filsafat Politik Modern), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm ; Lihat pula... Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer diterjemahkan oleh: Agus Wahyudi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm ; Lihat pula... Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls), Kanisius, Yogyakarta, 2001, hlm ; Lihat pula... Eddie Riyadi Terre, Keluar dari Dilema Transisi (Sebuah Pendekatan Paradigmatik Menuju Keadilan Transisional), dalam Jurnal Hak Asasi Manusia Dignitas Volume I No. 1 / 2003, Elsam, Jakarta, hlm

Disarikan dari Ashur, dan Berbagai Sumber Yang Relevan

Disarikan dari Ashur, dan Berbagai Sumber Yang Relevan Disarikan dari Ashur, dan Berbagai Sumber Yang Relevan Tanggung jawab sosial perusahaan mempunyai kaitan yg erat dg penegakan keadilan dlm masyarakat umumnya dan bisnis khususnya. Tanggung jawab sosial

Lebih terperinci

PROBLEMATIK & TEORI KEADILAN. Bacaan yang dianjurkan : The Liang Gie, 1982, Teori-teori Keadilan, Penerbit Supersukses, Yogyakarta

PROBLEMATIK & TEORI KEADILAN. Bacaan yang dianjurkan : The Liang Gie, 1982, Teori-teori Keadilan, Penerbit Supersukses, Yogyakarta PROBLEMATIK & TEORI KEADILAN Bacaan yang dianjurkan : The Liang Gie, 1982, Teori-teori Keadilan, Penerbit Supersukses, Yogyakarta CONTOH KASUS Anggap aja ini martabak Tugas : Bagilah martabak ini untuk

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL TEORI ETIKA PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara lain: perilaku moral (moral behavior), perilaku tidak bermoral (immoral behavior), perilaku di luar kesadaran

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP ETIKA, DAN ETIKA BISNIS

RUANG LINGKUP ETIKA, DAN ETIKA BISNIS RUANG LINGKUP ETIKA, DAN ETIKA BISNIS 1 2 3 4 Moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu 5 atau kelompok mengenai apa yang benar dan salah berdasarkan standar moral. Standar moral ialah standar yang

Lebih terperinci

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA PANCASILA SEBAGAI DASAR HUKUM TERTINGGI DISUSUN OLEH NAMA : ALFAN RASYIDI NIM : 11.12.5949 KELOMPOK : I DOSEN : Drs.Mohammad Idris.P,MM STMIK AMIKOM YOGYAKARTA ABSTRAK Pancasila ditinjau dari pendekatan

Lebih terperinci

sebelumnya, yaitu Zaman Pertengahan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah semuanya baru.

sebelumnya, yaitu Zaman Pertengahan. Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah semuanya baru. Ada beberapa teori-teori demokrasi yaitu : 1. Teori Demokrasi Klasik Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi dilakukan

Lebih terperinci

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum.

Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. POLITIK HUKUM BAB I TENTANG PERSPEKTIF POLITIK HUKUM OLEH: Prof.DR.H.GUNARTO,SH.SE.Akt.M.Hum. Politik Hukum Secara filosofis, berbicara hukum, berarti berbicara tentang pengaturan keadilan, serta memastikan

Lebih terperinci

PEDOMAN POKOK NILAI-NILAI PERJUANGAN YAYASAN LBH INDONESIA DAN KODE ETIK PENGABDI BANTUAN HUKUM INDONESIA

PEDOMAN POKOK NILAI-NILAI PERJUANGAN YAYASAN LBH INDONESIA DAN KODE ETIK PENGABDI BANTUAN HUKUM INDONESIA PEDOMAN POKOK NILAI-NILAI PERJUANGAN YAYASAN LBH INDONESIA DAN KODE ETIK PENGABDI BANTUAN HUKUM INDONESIA Diterbitkan oleh Yayasan LBH Indonesia Jakarta, 1986 KETETAPAN No. : TAP 01/V/1985/YLBHI T e n

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara yang berlandaskan atas dasar hukum ( Recht Staat ), maka

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara yang berlandaskan atas dasar hukum ( Recht Staat ), maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan atas dasar hukum ( Recht Staat ), maka Negara Indonesia sebagai

Lebih terperinci

Pengertian Etika. Nur Hidayat TIP FTP UB 2/18/2012

Pengertian Etika. Nur Hidayat  TIP FTP UB 2/18/2012 Nur Hidayat http://nurhidayat.lecture.ub.ac.id TIP FTP UB Pengertian Etika Berasal dari Yunani -> ethos artinya karakter, watak kesusilaan atau adat. Fungsi etika: Sebagai subjek : Untuk menilai apakah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk sosial karena merupakan bagian dari masyarakat. Ia mustahil dapat hidup sendirian saja. Seseorang yang mengalami kecelakaan lalu lintaspun pasti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan secara tegas bahwa Indonesia merupakan Negara Hukum. Maka

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Nilai Humanisme 1. Nilai Nilai (value) dan sikap (attitude) merupakan dua konsep yang saling berkaitan. Nilai dianggap sebagai bagian dari kepribadian individu yang dapat mewarnai

Lebih terperinci

d. Hak atas kelangsungan hidup. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang.

d. Hak atas kelangsungan hidup. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang. BAB II PEMBAHASAN A. Hak Dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Menurut UUD 1945. Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013

ETIKA BISNIS. Smno.tnh.fpub2013 MK. ETIKA PROFESI ETIKA BISNIS Smno.tnh.fpub2013 Pengertian Etika Pengertian; Etika kata Yunani ethos, berarti adat istiadat atau kebiasaan. Etika flsafat moral, ilmu yang membahas nilai dan norma yang

Lebih terperinci

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap

PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA. Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedelapan. Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap PEDOMAN TENTANG PERANAN PARA JAKSA Disahkan oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Kedelapan Tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakukan terhadap Pelaku Kejahatan Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September

Lebih terperinci

BAB 2 ETIKA BISNIS DAN RUANG LINGKUPNYA. khotbah-khotbah, patokan-patokan, serta kumpulan peraturan dan

BAB 2 ETIKA BISNIS DAN RUANG LINGKUPNYA. khotbah-khotbah, patokan-patokan, serta kumpulan peraturan dan BAB 2 ETIKA BISNIS DAN RUANG LINGKUPNYA 2.1 Pengertian Etika Bisnis Apakah yang dimaksud dengan etika? Pengertian etika sering kali disamakan begitu saja dengan pengertian ajaran moral. Franz Magnis-Suseno

Lebih terperinci

Moral Akhir Hidup Manusia

Moral Akhir Hidup Manusia Modul ke: 07Fakultas Psikologi Pendidikan Agama Katolik Moral Akhir Hidup Manusia Oleh : Drs. Sugeng Baskoro, M.M Program Studi Psikologi Bagian Isi TINJAUAN MORAL KRISTIANI AKHIR HIDUP MANUSIA (HUKUMAN

Lebih terperinci

BAB 1 TINJUAN UMUM ETIKA. Henry Anggoro Djohan

BAB 1 TINJUAN UMUM ETIKA. Henry Anggoro Djohan BAB 1 TINJUAN UMUM ETIKA Henry Anggoro Djohan Pengertian Etika Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk tentang hak dan kewajiban moral Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak Nilai mengenai

Lebih terperinci

TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA SEMESTER GANJIL T.A. 2011/2012

TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA SEMESTER GANJIL T.A. 2011/2012 TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA SEMESTER GANJIL T.A. 2011/2012 Nama : Randi Putra NIM : 11.11.4683 Kelompok : C Jurusan : S1- Teknik Informatika Dosen : Tahajudin Sudibyo STMIK AMIKOM YOGYAKARTA STIMIK AMIKOM

Lebih terperinci

MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA

MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA MODUL 5 PANCASILA DASAR NEGARA DALAM PASAL UUD45 DAN KEBIJAKAN NEGARA (Penyusun: ) Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Dasar Negara Indikator: Untuk dapat menguji pengetahuan tersebut, mahasiswa akan

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS

PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS PRINSIP UMUM ETIKA BISNIS 1. Prinsip Otonomi 2. Prinsip Kejujuran 3. Prinsip Keadilan 4. Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual benefit principle) 5. Prinsip Integral

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

Pembahasan 1. Norma 2. Etika 3. Moral 4. Pengertian Etika Profesi 5. Fungsi Kode Etik Profesi

Pembahasan 1. Norma 2. Etika 3. Moral 4. Pengertian Etika Profesi 5. Fungsi Kode Etik Profesi Pertemuan 1 Pembahasan 1. Norma 2. Etika 3. Moral 4. Pengertian Etika Profesi 5. Fungsi Kode Etik Profesi 1.1. Norma Norma (dalam sosiologi) adalah seluruh kaidah dan peraturan yang diterapkan melalui

Lebih terperinci

SEB E U B A U H H MAT A A T KULIAH

SEB E U B A U H H MAT A A T KULIAH SEBUAH MATA KULIAH PENGANTAR PENGANTAR HUKUM INDONESIA Pengantar Hukum Indonesia HUKUM SEBAGAI PRANATA SOSIAL sistem norma yang bertujuan untuk mengatur tindakan maupun kegiatan masyarakat untuk memenuhi

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK

PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK KELOMPOK 8 MUH. IDRUS AZHARIL RIDAWAN FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR MAKASSAR 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

ETIKA BISNIS (Teori Etika )

ETIKA BISNIS (Teori Etika ) ETIKA BISNIS (Teori Etika ) Disusun oleh Kelompok I : 1. Putu Sulastra 13810331180412 2. Kadek Suarjana 13810331180415 3. Nengah Mertapa 13810331180418 4. Pande Nyoman Kartika 13810331180426 Kelas : Manajemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit).

BAB I PENDAHULUAN. hukum adalah kehendak untuk bersikap adil (recht ist wille zur gerechttigkeit). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

C. HUKUM MENURUT TEMPAT BERLAKUNYA

C. HUKUM MENURUT TEMPAT BERLAKUNYA Penggolongan Hukum Menurut Drs. C.S.T. Kansil, S.H hukum digolongkan menurut sumber, bentuk, tempat berlakunya, waktu berlakunya, cara mempertahankan, sifatnya, wujudnya, dan isinya. Pembagian hukum dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I Tinjauan Umum Etika

BAB I Tinjauan Umum Etika BAB I Tinjauan Umum Etika Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis Pembahasan mengenai: Pengertian etika Hubungan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA

PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Modul ke: PANCASILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA Fakultas 10FEB Melisa Arisanty. S.I.Kom, M.Si Program Studi MANAJEMEN PANCASILA SEBAGAI ETIKA BERNEGARA Standar Kompetensi : Pancasila sebagai Sistem

Lebih terperinci

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA -------------- KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10-17-23/PUU-VII/2009 tanggal 25 Maret 2010 atas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, dengan hormat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 William Chang, Berkaitan Dengan Konflik Etnis-Agama dalam Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini, Jakarta, INIS, 2002, hlm 27.

BAB I PENDAHULUAN. 1 William Chang, Berkaitan Dengan Konflik Etnis-Agama dalam Konflik Komunal Di Indonesia Saat Ini, Jakarta, INIS, 2002, hlm 27. BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia yang akan selalu ada sepanjang sejarah umat manusia. Sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil

Lebih terperinci

Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis

Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis Pendahuluan Manusia adalah Makhluk Individu Memiliki akal pikiran, perasaan, dan kehendak. Makhluk Sosial Memiliki perilaku etis Pembahasan mengenai: Pengertian etika Hubungan etika dengan moral Hubungan

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA ABSTRAK Prinsip-prinsip pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa dampak yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah pengetahuan. Kemudian Plato, menurutnya baik itu apabila ia dikuasai oleh

BAB I PENDAHULUAN. adalah pengetahuan. Kemudian Plato, menurutnya baik itu apabila ia dikuasai oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika di mulai pada abad ke lima sebelum masehi. Berbagai mazhab di yunani yang ditandai dengan kehadiran Socrates, yang mengatakan bahwa kebaikan itu adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dibawah Umur Pengertian anak menurut Kamus Bahasa Indonesia yang dapat disimpulkan ialah keturunan yang kedua yang berarti dari seorang pria dan seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang ada di sekitarmya, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan juga faktor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin

BAB I PENDAHULUAN. dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aristoteles merupakan salah seorang filsuf klasik yang mengembangkan dan mempromosikan ide politik dalam tulisan-tulisan etika dan politik. Dia yakin bahwa politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan hidup bangsa dan Negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki

Lebih terperinci

ETIKA dan PROFESIONALISME. Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia

ETIKA dan PROFESIONALISME. Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia ETIKA dan PROFESIONALISME dalam TEKNOLOGI SISTEM KOMPUTER / INFORMASI PENGERTIAN ETIKA Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia TUJUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan sebagai subjek pelaksana cita-cita perjuangan bangsa. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan sebagai subjek pelaksana cita-cita perjuangan bangsa. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa yang dipersiapkan sebagai

Lebih terperinci

PENGERTIAN ETIKA Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. TUJUAN MEMPELAJARI ETI

PENGERTIAN ETIKA Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. TUJUAN MEMPELAJARI ETI ETIKA DAN PROFESIONALISME DI BIDANG IT Pertemuan 1 PENGERTIAN ETIKA Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. TUJUAN MEMPELAJARI ETIKA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mengedepankan hukum seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai tujuan utama mengatur negara.

Lebih terperinci

BE ETHICAL AT WORK. Part 9

BE ETHICAL AT WORK. Part 9 BE ETHICAL AT WORK Part 9 POKOK BAHASAN An ethics framework Making ethical decisions Social responsibility An ethics framework Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pembunuhan Berencana Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh

Lebih terperinci

BAB 1 TUJUAN UMUM ETIKA

BAB 1 TUJUAN UMUM ETIKA BAB 1 TUJUAN UMUM ETIKA Perilaku etis lah yang medasari munculnya etika sebagai sebuah ilmu yang mempelajari nilai-nilai baik dan buruk. Etika juga berkembang sebagai studi tentang kehendak manusia. 1.1

Lebih terperinci

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI MODUL PERKULIAHAN ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI FILSAFAT, ETIKA, DAN KOMUNIKASI Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh FIKOM Broadcasting Sofia Aunul Abstract Dalam istilah filsafat, etika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hidup sebagai makhluk sosial, melakukan relasi dengan manusia lain karena

I. PENDAHULUAN. hidup sebagai makhluk sosial, melakukan relasi dengan manusia lain karena 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya kodrat manusia telah ditetapkan sejak lahir berhak untuk hidup dan diatur dalam hukum sehingga setiap manusia dijamin dalam menjalani hidup sebagai

Lebih terperinci

PERBEDAAN ETIKA ETIKET MORAL DAN HUKUM

PERBEDAAN ETIKA ETIKET MORAL DAN HUKUM PERBEDAAN ETIKA ETIKET MORAL DAN HUKUM Disusun oleh : NURMA YUSNITA,AMK NIM SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARATU PRODI S1 KEPERAWATAN 2017 Jalan Kaswari Nomor 10 A-D Sukajadi Pekanbaru Telp/Fax (0761)24586

Lebih terperinci

KODE ETIK PSIKOLOGI. Teori Etika, Etika Deskriptif dan Etika Normatif. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI

KODE ETIK PSIKOLOGI. Teori Etika, Etika Deskriptif dan Etika Normatif. Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI Modul ke: KODE ETIK PSIKOLOGI Teori Etika, Etika Deskriptif dan Etika Normatif Fakultas PSIKOLOGI Mistety Oktaviana, M.Psi., Psikolog Program Studi PSIKOLOGI www.mercubuana.ac.id Questions 1. Apa yang

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

KODE ETIK DAN DISIPLIN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH

KODE ETIK DAN DISIPLIN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH KODE ETIK DAN DISIPLIN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH RIAU UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHH RIAU 2011 VISI Menjadikan Universitas Muhammadiyah Riau sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bermarwah dan bermartabat dalam

Lebih terperinci

Etika Profesi Public Relations

Etika Profesi Public Relations Modul ke: Etika Profesi Public Relations ETIKA DESKRIPTIF & ETIKA NORMATIF, TEORI ETIKA Fakultas FIKOM Syerli Haryati, S.S, M.IKom Program Studi Public Relations www.mercubuana.ac.id PENGANTAR Mempelajari

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 116) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

Lebih terperinci

Pengertian etika = moralitas

Pengertian etika = moralitas Pengertian etika Meet-1 Creat By.Hariyatno.SE,Mmsi 1. Pengertian Etika Etika berasal dari dari kata Yunani Ethos (jamak ta etha), berarti adat istiadat Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam setiap kehidupan sosial terdapat individu-individu yang memiliki kecenderungan berperilaku menyimpang dalam arti perilakunya tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN ETIKA PROFESI

PERKEMBANGAN ETIKA PROFESI PERKEMBANGAN ETIKA PROFESI Apa yang dimaksud dengan Etika? Etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) berarti karakter, watak kesusilaan atau dapat juga berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidahkaidah

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan pengertian nilai dengan nilai social. 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

PENGERTIAN DAN NILAI ETIKA

PENGERTIAN DAN NILAI ETIKA ETIKA PROFESI (di-copy-paste bulat-bulat dari: http://marno.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/ ETIKA-PROFESI-PENGERTIAN-ETIKA-PROFESI.ppt Copyright 2011-2015 marnotanahfpub Theme by NeoEase, modified by DataQ.

Lebih terperinci

I. Bisnis Dan Etika. Softskill Etika Bisnis #

I. Bisnis Dan Etika. Softskill Etika Bisnis # 1 I. Bisnis Dan Etika Apakah benar jika dalam berbisnis terlalu banyak mementingkan etika, maka akan semakin jauh tertinggal oleh kompetitor? Pernyataan ini jelas sangat salah. Bayangkan saja jika salah

Lebih terperinci

HUKUM DAN KEADILAN Jamal Wiwoho Prasetyo Hadi P Sasmini

HUKUM DAN KEADILAN Jamal Wiwoho Prasetyo Hadi P Sasmini HUKUM DAN KEADILAN Jamal Wiwoho Prasetyo Hadi P Sasmini Hukum dan Keadilan 1 KEADILAN? Keadilan = justice (Inggris) = justitia (Latin) Atributif, Tindakan, Orang Adil (Bhs Indonesia) = al adl (bhs Arab)

Lebih terperinci

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA

PENDAPAT TERPISAH HAKIM ZEKIA Saya menyetujui, dengan segala hormat, bagian pengantar keputusan terkait prosedur dan fakta dan juga bagian penutup tentang dengan penerapan Pasal 50 (pas. 50) dari Konvensi terhadap kasus ini. Saya juga

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA Oleh : DENY KURNIAWAN NIM 11.11.5172 DOSEN : ABIDARIN ROSIDI, DR, M.MA. KELOMPOK E PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

Lebih terperinci

ASAS DEMOKRASI LIBERAL DAN KEMAJUAN AMERIKA: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT PRAGMATISME AMERIKA (Charles Peirce, John Dewey dan William James)

ASAS DEMOKRASI LIBERAL DAN KEMAJUAN AMERIKA: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT PRAGMATISME AMERIKA (Charles Peirce, John Dewey dan William James) ASAS DEMOKRASI LIBERAL DAN KEMAJUAN AMERIKA: SEBUAH TINJAUAN FILSAFAT PRAGMATISME AMERIKA (Charles Peirce, John Dewey dan William James) Oleh: Muhammad Hasmi Yanuardi Dosen Jurusan Sejarah FIS UNJ Abstrak.

Lebih terperinci

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA 0 PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KERJA UNTUK WAKTU TERTENTU DI PT. TIGA SERANGKAI PUSTAKA MANDIRI SURAKARTA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat Guna

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

HAKIKAT ILMU SOSIAL. Sifat sifat hakikat sosiologi sehingga dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan:

HAKIKAT ILMU SOSIAL. Sifat sifat hakikat sosiologi sehingga dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan: PENGANTAR SISTEM SOSIAL TKW 121 2 SKS DR. Ir. Ken Martina K, MT. KULIAH KE 2 HAKIKAT ILMU SOSIAL Sifat sifat hakikat sosiologi sehingga dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan: a. Sosiologi merupakan ilmu

Lebih terperinci

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 26 TAHUN 2016

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 26 TAHUN 2016 SALINAN WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 26 TAHUN 2016 TENTANG KODE ETIK APARATUR SIPIL NEGARA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA MATARAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelanggaran hak asasi

Lebih terperinci

Disarikan dari Ashur, dan Berbagai Sumber Yang Relevan

Disarikan dari Ashur, dan Berbagai Sumber Yang Relevan Disarikan dari Ashur, dan Berbagai Sumber Yang Relevan MACAM-MACAM HAK PEKERJA Hak Atas Pekerjaan Hak atas pekerjaan merupakan hak azasi manusia,karena.: Pertama: kerja melekat pada tubuh manusia. Kerja

Lebih terperinci

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia

Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia Mukadimah Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan

Lebih terperinci

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL 1. Bentuk dan Fungsi Lembaga Sosial Pada dasarnya, fungsi lembaga sosial dalam masyarakat beraneka macam berdasarkan jenis-jenis lembaganya. Oleh karena itu, kita

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Masyarakat Agraris 2.2 Pekerjaan Tenaga Kerja Tani Padi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Masyarakat Agraris 2.2 Pekerjaan Tenaga Kerja Tani Padi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Masyarakat Agraris Guna meneliti etika ketenagakerjaan yang ada di masyarakat maka diperlukan gambaran masyarakat tersebut. Gambaran masyarakat agraris yang ada di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 3 LAWANG ULANGAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2007 / 2008

DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 3 LAWANG ULANGAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2007 / 2008 DINAS PENDIDIKAN SMP NEGERI 3 LAWANG ULANGAN AKHIR SEMESTER GENAP TAHUN PELAJARAN 2007 / 2008 Mata Pelajaran : PPKn Kelas : VII ( TUJUH ) Hari, tanggal : Senin, 9 Juni 2008 Waktu : 60 Menit PETUNJUK UMUM:

Lebih terperinci

KEADILAN SOSIAL BAGI SEBAGIAN RAKYAT INDONESIA

KEADILAN SOSIAL BAGI SEBAGIAN RAKYAT INDONESIA KEADILAN SOSIAL BAGI SEBAGIAN RAKYAT INDONESIA Dosen : Tahajudin S, Drs Disusun Oleh : Nama : Ilham Prasetyo Mulyadi NIM : 4780 Kelompok : C Program Studi : S1 Jurusan : Teknik Informatika SEKOLAH TINGGI

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini,

BAB V PENUTUP. diajukan dalam rumusan masalah skripsi. Dalam rumusan masalah skripsi ini, BAB V PENUTUP Pada bab V penulis menyimpulkan keseluruhan pembahasan dalam skripsi. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan penulis ajukan dalam pembatasan masalah. Disamping itu penulis

Lebih terperinci

PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA

PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA PERNYATAAN UMUM TENTANG HAK-HAK ASASI MANUSIA MUKADIMAH Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan hukum dalam mendukung jalannya roda pembangunan maupun dunia usaha memang sangat penting. Hal ini terutama berkaitan dengan adanya jaminan kepastian hukum.

Lebih terperinci

BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK

BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK A. Pengertian Nilai, Moral, dan Norma 1. Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan

Lebih terperinci

BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM

BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM Landasan berfikir, zaman, dan tempat yang berbeda secara tidak langsung akan menimbulkan perbedaan, walaupun dalam pembahasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik,

BAB I PENDAHULUAN. plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Masyarakat dewasa ini dapat dikenali sebagai masyarakat yang berciri plural. Pluralitas masyarakat tampak dalam bentuk keberagaman suku, etnik, kelompok budaya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasannya. Aristoteles

BAB I PENDAHULUAN. Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasannya. Aristoteles BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasannya. Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dalam bukunya,

Lebih terperinci

KONTRAK KULIAH ETIKA PROFESI D O S E N : M A I M U N A H, S S I, M K O M

KONTRAK KULIAH ETIKA PROFESI D O S E N : M A I M U N A H, S S I, M K O M KONTRAK KULIAH ETIKA PROFESI D O S E N : M A I M U N A H, S S I, M K O M KULIAH 1. Kuliah selama 2 x 50 menit 2. Keterlambatan masuk kuliah maksimal 30 menit dari jam masuk kuliah 3. Selama kuliah tertib

Lebih terperinci

SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA

SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA MANUSIA MAKHLUK BUDAYA: HAKEKAT MANUSIA Manusia Makhluk ciptaan Tuhan, terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai kesatuan utuh. Manusia merupakan makhluk

Lebih terperinci

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PERTEMUAN KE 8 OLEH : TRIYONO, SS. MM. STTNAS YOGYAKARTA Pancasila Material ; Filsafat hidup bangsa, Jiwa bangsa, Kepribadian bangsa, Sarana tujuan hidup bangsa, Pandangan

Lebih terperinci

Nur Ro is, S.H.,M.H.

Nur Ro is, S.H.,M.H. Nur Ro is, S.H.,M.H. Definisi hukum Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dalam De Legibus : Hukum adalah akal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa

Lebih terperinci

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A.Pengertian perjanjian pada umumnya a.1 Pengertian pada umumnya istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah Overeenkomst

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelanggaran hak asasi manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia

I. PENDAHULUAN. Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak istilah yang diberikan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, dan penuh dengan keberagaman, salah satu istilah tersebut adalah

Lebih terperinci