Analisis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi
|
|
- Suharto Sudjarwadi
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Analisis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi Oleh : H. M. Badri, SH,MH 1 Abstrak Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis sanksi dalam tindak pidana korupsi dengan rumusan masalah Bagaimanakah Analisis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi. Metode yang digunakan dalam tulisan ini digunakan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana belum memuat ketentuan yang jelas dan tegas tentang syarat penahanan terhadap seorang tersangka pelaku tindak pidana, tidak terdapat parameter yang terukur atau kriteria yang jelas mengenai mengapa seseorang harus ditahan. Ketentuan penetapan penahanan yang sebaiknya diterapkan terhadap tersangka tindak pidana korupsi agar mampu meningkatkan kinerja penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi adalah berupa penguatan terhadap ketentuan penetapan tersangka. Kata Kunci : Analisis Sanksi, Korupsi, Penetapan Penahanan A. Latar Belakang Sehubungan dengan tindak pidana korupsi yang akan menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini, kiranya perlu dikemukakan terlebih dahulu hasil survei dari sebuah lembaga internasional yakni Transparency International (TI) pada tahun 2009 yang mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan negara terkorup keenam di dunia 2. Hasil survey tersebut terasa sangat memprihatinkan dan menyentakkan kesadaran kita betapa sudah begitu kronisnya persoalan korupsi di negeri kita. Korupsi telah menjadi semacam kanker ganas yang telah menggerogoti seluruh sendi-sendi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa, yakni sendi-sendi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional (ipoleksusbudhankamnas). Korupsi telah menghancurkan sendi-sendi agama, nilai-nilai moral dan etika. Ia telah pula menggadaikan marwah bangsa, menjerumuskan Indonesia menjadi bangsa yang terbelakang, miskin dan dililit hutang. Uang rakyat bernilai ratusan triliun rupiah yang seyogyanya dipergunakan untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, menciptakan lapangan kerja, menggerakkan sektor riil dan meningkatkan daya saing bangsa, justeru H. M. Badri, SH,MH adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 2 MetroTV, Headline News Pkl WIB, 5 April
2 masuk ke kantung-kantung pejabat yang korup. Mereka menikmati kehidupan yang mewah, berlimpah dan serba mudah di tengah jeritan ratusan juta rakyat yang hidup dalam tekanan ekonomi yang tidak terperikan. Di sisi lain korupsi telah meluluhlantakan budaya malu di kalangan penyelenggara negara sehingga menganggap korupsi sebagai tradisi. Bila kondisi ini terus berkembang, dapat dibayangkan betapa seriusnya akibat yang akan ditimbulkannya. Kesenjangan kehidupan akan terus meningkat dan semakin mencolok dan pada gilirannya dapat berubah menjadi ledakan kecemburuan sosial yang amat membahayakan stabilitas keamanan negara. Dengan demikian, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa yang dapat diberantas dengan cara-cara yang konvensional. Korupsi telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang memerlukan pemberantasan secara luar biasa pula Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, kita telah memiliki landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undangundang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan ketentuan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana tersebut di atas, telah pula dibentuk badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang diberi nama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dan melakukan koordinasi dan supervisi terhadap institusi penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, yakni Kepolisian dan Kejaksaan. Disamping itu, berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam pasal 53 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, telah pula dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), yang berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK. Kemudian bila dicermati, berkembang biaknya korupsi secara massif dan fenomenal di Indonesia tentu bukan tanpa penyebab. Majalah Tempo melansir bahwa setidaknya ada tigat penyebab utama terjadinya korupsi. 39
3 Pertama, budaya hidup hedonik di kalangan pejabat publik dan penyelenggara negara. Kedua, budaya kolutif kalangan dunia usaha. Ketiga, lemahnya perangkat undang-undang dan rendahnya integritas penegak hukum. 3 Mengenai budaya hidup hedonik, selengkapnya dijelaskan bahwa : Penyebab pertama adalah budaya hidup hedonik yang mengenyampingkan pemuliaan terhadap nilai-nilai agama dan integritas moral. yang berkembang di kalangan pejabat publik dan penyelenggara negara. Budaya hidup yang mengagungkan harta dan kemewahan dunia itu, menyebabkan korupsi seolah-olah diterima dan difahami sebagai suatu kewajaran sehingga ia bebas menjalar bahkan berurat berakar pada seluruh lapisan birokrasi kita. Ia menghinggapi pejabat tinggi di pusat kekuasaan sampai pamong rendahan di pelosok-pelosok desa, singgah di meja BUMN dan BUMD. Dan lebih tragis lagi, ia telah pula menggerogoti institusi penegakan hukum, yang justeru menjadi tumpuan harapan sebagai ujung tombak yang tajam dalam pemberantasan tindak pidana korupsi 4 Selanjutnya mengenai budaya kolutif kalangan dunia usaha, dikemukakan bahwa : Alasan Kedua adalah budaya kolutif kalangan dunia usaha. Budaya hedonik para pejabat publik telah dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk berkolusi sehingga menyuburkan korupsi. Sejak lama diketahui bahwa sebagian dari pelaku usaha menjadi besar bukan karena kemampuan dan daya saing produk yang mereka miliki tetapi lebih pada faktor kedekatan mereka dengan jejaring birokrasi sehingga mereka mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan. 5 Sementara itu, mengenai alasan ketiga, dijelaskan sebagai berikut: Alasan terakhir namun amat penting bagi suburnya korupsi, karena lemahnya perangkat undang-undang dan rendahnya integritas penegak hukum. Kita memang tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa dari sejumlah kasus-kasus besar korupsi yang berhasil diungkap dan diajukan ke pengadilan, hanya segelintir saja untuk tidak menyebut tidak ada, yang berhasil dijerat dengan hukuman yang berat. Di sisi lain, hampir setiap saat media menyuguhkan berbagai keganjilan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan oleh Pengadilan serta berbagai cerita tentang perbedaan perlakuan, tebang pilih dan tarik ulur pada setiap tingkatan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. Kenyataan ini membuat para pelaku korupsi tidak pernah takut dan jera menggerogoti uang rakyat dan atau mengambil serta menikmati sesuatu yang bukan haknya. 6 3 Majalah Tempo, Negeri yang Carut Marut, edisi 20 April 2010, hal Ibid. 5 Ibid. 6 Ibid. 40
4 Banyak kalangan menilai bahwa lemahnya perangkat perundangundangan dan rendahnya integritas penegak hukum, adalah titik paling krusial dan paling menentukan keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sepanjang peraturan perundangan-undangan pidana dibidang tindak pidana korupsi, belum efektif dan atau masih memiliki pasal-pasal yang bersifat multi tafsir, maka penegak hukum yang kurang memiliki integritas akan memanfaatkan kelemahan peraturan perundangan-undangan dimaksud untuk kepentingannya sendiri. Bila demikian halnya, maka hukum tidak lagi berfungsi sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering) sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound 7, melainkan dimanfaatkan sebagai alat untuk berbuat kejahataan (law as a tool of a crime engineering). Sejumlah kalangan mengartikan bahwa salah satu titik lemah penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah ketentuan hukum pidana formil yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyangkut penetapan tersangka dan penahanan. Di tangan para penegak hukum yang tidak berintegritas, ketentuan mengenai penetapan tersangka dan penahanan, cenderung menjadi ladang memupuk kekayaan dan atau kepentingan bagi, akibat dari lemahnya ketentuan yang mengatur mengenai penetapan tersangka dan penahanan di dalam KUHAP. Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUHAP, yang dimaksud tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Untuk keperluan penyidikan, penegak hukum dapat melakukan penahanan. terhadap seorang tersangka. Kewenangan mana di atur di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d dan Pasal 20 KUHAP. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 KUHAP, kiranya dapat ditarik pengertian bahwa terdapat 3 (tiga) syarat penahanan, yakni syarat subjektif sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (1), syarat formal sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (2) dan (3), dan syarat objektif penahanan sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (4). B. Perumusan Masalah Penulis membatasi dengan merumuskan permasalahan Bagaimanakah Analisis Sanksi Dalam Tindak Pidana Korupsi? C. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan untuk mengetahui dan menganalisis sanksi dalam tindak pidana korupsi. D. Metode Penelitian 7 Roscoe Pound dalam Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat: Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum, BPHN-LIPI, Jakarta, hal
5 Metode yang digunakan dalam tulisan ini digunakan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis selanjutnya dianalisis secara kualitatif. E. Pembahasan Didalam perspektif hukum pidana Indonesia, tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undangundang Pemberantasan Tipikor). Sebelum sampai pada analisis mengenai ketentuan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor, ada baiknya terlebih dahulu ditinjau latar belakang lahirnya Undang-undang Pemberantasan Tipikor sebagai sebuah kebijakan hukum pidana atau kebijakan legislatif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999 dan ditempatkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140 ini, lahir dari kesadaran bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi dan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Selanjutnya berdasarkan pertimbangan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa, maka Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang yang disahkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001 dan ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 134 tersebut, merubah ketentuan 13 (tiga belas) Pasal dalam Undang-undang Nomor 31 tahun Diantara 13 Pasal tersebut, 9 Pasal merupakan perubahan terhadap ketentuan pidana pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang Pemberantasan Tipikor. 42
6 Disamping itu, perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. perlu dilakukan untuk menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Berdasarkan rumusan mengenai ketentuan pidana dalam Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 Undang-undang Pemberantasan Tipikor tersebut di atas, dapat ditarik ringkasan mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak korupsi dimaksud dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yakni korupsi yang bersifat aktif dan korupsi yang bersifat pasif. Adapun jenis pidana atau sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi adalah pidana mati, pidana penjara antara 1 (satu) tahun sampai dengan pidana penjara seumur hidup, pidana tambahan dan gugatan perdata kepada ahli waris. Penjatuhan pidana mati diatur di dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan pidana penjara berupa pidana penjara paling singkat selama 1 (satu) tahun dan paling lama selama seumur hidup, diatur dalam sejumlah Pasal yakni Pasal 2 sampai dengan Pasal 12, Pasal 21 sampai dengan Pasal 22 dan Pasal 24 Undang-undang Pemberantasan Tipikor. Sementara itu, mengenai gugatan perdata kepada ahli waris dapat dilakukan apabila tersangka korupsi yang meninggal dunia dalam penyidikan, diatur di dalam Pasal 33 Undang-undang Pemberantasan Tipikor. Disamping itu, dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidanakorupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara. Disamping itu, untuk menjamin pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi Undang-undang Pemberantasan Tipikor juga mengatur mengenai sanksi pidana tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti. Ketentuan mengenai sanksi pidana tambahan dimaksud termaktub dalam Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tipikor. Mencermati ketentuan sanksi pidana pembayaran uang pengganti dan bentuk-bentuk sanksi pidana tambahan lainnya dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor, dapat dirasakan kehendak atau komitmen yang kuat dari penyusun Undang-undang atau penyandang kebijakan legislatif untuk menyusun suatu rumusan ketentuan yang dapat menjamin bahwa pada setiap kali terjadinya tindak pidana korupsi, akan terjadi pemulihan kerugian negara melalui perampasan kekayaan milik pelaku tindak pidana korupsi dan kewajiban pelaku untuk mengembalikan uang negara melalui sanksi pidana pembayaran uang pengganti. Mengenai kedudukan peraturan perudangan pidana dalam penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kebijakan 43
7 hukum pidana. Upaya melindungi masyarakat melalui penanggulangan kejahatan yang merupakan inti dari kebijakan kriminal (criminal policy) merupakan bagian integral dari upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Kedua kebijakan tersebut memiliki hubungan saling melengkapi. Politik pembangunan hanya akan dapat tercapai apabila didukung oleh sebuah kebijakan kriminal yang baik. Sebaliknya, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak akan banyak artinya apabila politik pembangunan justru merangsang tumbuhnya kejahatan. Pengertian dari kebijakan kriminal dikemukakan antara lain oleh Marc Ancel seperti dikutip Barda Nawawi Arief bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) didefinisikan sebagai the rational organization of the control of crime by society atau suatu usaha rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. 8 Bertolak dari pendapat Marc Ancel tersebut, G. Peter Hoefangels sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief, mengungkapkan beberapa pengertian dari kebijakan kriminal sebagai berikut : 1. Criminal Policy is a the rational organization reaction to crime; 2. Criminal Policy is the science of responses; 3. Criminal Policy is the science of crime prevention; 4. Criminal Policy is a policy of designating human behaviour as crime; 5. Criminal Policy is a rational total of the responses to crime 9 Dari pendapat di atas, kiranya dapat diambil pengertian bahwa kebijakan kriminal adalah upaya melindungi masyarakat dari kejahatan untuk mendukung upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Hubungan kebijakan kriminal dan kebijakan sosial dikemukan oleh G. Peter Hoefnagels seperti dikutip Barda Nawawi Arief: Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy : the law enforcement policy...the legislative and enforcement policy is in turn part of social policy. 10 Bertolak dari konsepsi kebijakan integral yang demikian itu, maka kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justeru menimbulkan faktorfaktor yang merangsang tumbuhnya kejahatan. Sehubungan dengan masalah ini, PBB dalam beberapa kongres mengenai Crime Trend and Crime Prevention Strategies, menyatakan : 1. Kongres PBB ke-4 mengenai Prevention of crime and the Treatment of offenders tahun 1970 : Any dichotomy between a country s policies for social defence and its planning for national development was unreal by definition; 2. Kongres PBB ke-6 tahun 1980: 8 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Undip, Semarang, hal Ibid. hal Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal 3 44
8 a. Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political system, social and cultural values and social change, as well as in the context of the new international economic order. b. It is a matter of a great importance and priority that programmes for crime prevention and the treatment of offenders should be based on the social, cultural, political and economic circumstances of each country, in a climate of freedom and respect for human rights, and that members states should develop and effective capacity policy coordinated with strategies for social, economic, political and cultural development. 3. Kongres PBB ke-7 di Milan tahun 1985 : Crime prevention and criminal justice should be considered in the context of economic development, political systems, social and cultural values and social chaneg, as well as in the context of the new international economic order. The criminal justice system should be fully responsive to the diversity of political, economic and social systems and to the constantly evolving conditions of society. 11 Dari pernyataan-pernyataan Kongres PBB tersebut di atas, kiranya dapat diambil penegasan bahwa apabila hasil-hasil pembangunan didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat serta menunjang seluruh kondisi sosial, maka pembangunan tidak bersifat kriminogen. Namun sebaliknya, ia dapat merangsang tumbuhnya kejahatan apabila pembangunan : a. Tidak direncanakan secara rasional; b. Perencanaannya tidak proporsional atau timpang dan tidak seimbang; c. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral; d. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dilihat dari sudut politik kriminal, masalah strategis yang justeru harus ditanggulangi ialah menangani masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat merangsang atau menumbuh-suburkan kejahatan. Ini berarti, penanganan atau penggarapan masalah-masalah tersebut justeru merupakan posisi kunci dan stategis dilihat dari sudut politik kriminal. Atau, kedua kebijakan tersebut memiliki hubungan saling melengkapi. Politik pembangunan hanya akan dapat tercapai apabila didukung oleh sebuah kebijakan kriminal yang baik. Sebaliknya, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak akan banyak artinya apabila politik pembangunan justru merangsang tumbuhnya kejahatan. Sementara itu, mengenai pengertian dari kebijakan kriminal antara lain dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro. Ahli hukum pidana tersebut menjelaskan bahwa : Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam arti yang luas pada hakekatnya adalah merupakan segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah (negara) dan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan (dan mereka yang mempunyai potensi untuk 11 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal 6 45
9 melakukan kejahatan) maupun setelah terjadinya kejahatan (penyidikan, pemeriksaan, peradilan, dan pembinaan si pelanggar hukum). 12 Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam defisinisi penal policy dari Marc Ancel yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. 13 Mengacu pada orientasi pada kebijakan sosial itulah, menurut Djoko Prakoso, mengutip pendapat Sudarto dalam menghaadapi masalah kriminal atau kejahatan, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut: a. Tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pemba-ngunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan sprituil berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; b. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materil dan sprituil atas warga masyarakat; c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil; d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan sampai melampaui beban tugas (overblasting). 14 F. Kesimpulan KUHAP belum memuat ketentuan yang jelas dan tegas tentang syarat penahanan terhadap seorang tersangka pelaku tindak pidana. Walaupun KUHAP telah mengatur parameter yang terukur atau kriteria yang jelas tentang syarat formal dan obyektif penahanan, namun KUHAP belum memuat parameter yang terukur atau kriteria yang jelas mengenai syarat subyektif penahanan. Hal itu terlihat dari ketentuan KUHAP yang menyerahkan sepenuhnya alasan penetapan penahanan kepada kewenangan penyidik yang didasarkan kepada pertimbangan subjektif dari 12 Mardjono Reksodiputro,2007,Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua.,Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Jakarta (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, hal Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal Djoko Prakoso, 1984, Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal
10 penyidik bersangkutan apakah keadaan tersangka menimbulkan kekhawatiran akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, atau tidak. Dengan demikian, tidak terdapat parameter yang terukur atau kriteria yang jelas mengenai mengapa seseorang harus ditahan. Ketentuan penetapan penahanan yang sebaiknya diterapkan terhadap tersangka tindak pidana korupsi agar mampu meningkatkan kinerja penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi adalah berupa penguatan terhadap ketentuan penetapan tersangka dan penghapusan atau pernyataan tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai syarat subyektif penahanan, khusus untuk tindak pidana korupsi. G. Daftar Pustaka Buku Adib Bahari, dkk, 2009 Komisi Pemberantasan Korupsi dari A sampai Z, Pustaka Yustisia, Yogyakarta Andi Hamzah Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Pradnya Paramita, Jakarta. Barda Nawawi Arif Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Undip, Semarang., Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Djoko Prakoso, 1984, Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, Mardjono Reksodiputro, 2007, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua.,Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum Jakarta (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Roscoe Pound dalam Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hubungan Antara Hukum Dengan Masyarakat: Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pelaksanaan Pembaharuan Hukum, BPHN-LIPI, Jakarta Peraturan Perundang-Undang Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana 47
I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi
Lebih terperinciPOLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Oleh : Wahab Ahmad, S.HI., SH (Hakim PA Tilamuta, Dosen Fakultas Hukum UG serta Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI
20 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI A. Undang-Undang Dasar 1945 Adapun terkait hal keuangan, diatur di dalam Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
Lebih terperinciKebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36
Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36 KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN PENYALAHGUNAAN BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI Oleh : Aprillani Arsyad, SH,MH 1 Abstrak Penyalahgunaan Bahan Bakar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang mengalami proses pembangunan. Proses pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak sosial positif yaitu
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhmya yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Lebih terperinciKEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2 Abstrak Penelitian ini mengkaji mengenai kebijakan hukum pidana terutama kebijakan formulasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berusaha untuk benar-benar menjunjung tinggi hak asasi manusia, negara akan menjamin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi persoalan yang hangat untuk dibicarakan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan
Lebih terperinciKAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH
KAITAN EFEK JERA PENINDAKAN BERAT TERHADAP KEJAHATAN KORUPSI DENGAN MINIMNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENYERAPAN ANGGARAN DAERAH I. Pendahuluan. Misi yang diemban dalam rangka reformasi hukum adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa perekonomian nasional disusun berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan perbuatan yang melanggar hukum. Korupsi sudah berkembang di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini jelas sangat merugikan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang
15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan dan Sekitar Penahanan 1. Pengertian Penahanan Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan merupakan penempatan
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Petikan Putusan Nomor 1361 K/Pid.Sus/2012 Berdasarkan pemeriksaan perkara pidana khusus dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung telah memutuskan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan internasional, regional dan nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan narkotika di seluruh
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidahkaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan
Lebih terperinciETIK UMB. Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi. Modul ke: 13Fakultas EKONOMI. Program Studi Manajemen
Modul ke: 13Fakultas Gunawan EKONOMI ETIK UMB Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi Wibisono SH MSi Program Studi Manajemen POKOK BAHASAN: Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi SUB POKOK BAHASAN:
Lebih terperinciUPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta
1 UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta A. LATAR BELAKANG Kejahatan narkotika yang sejak lama menjadi musuh bangsa kini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menuliskan bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum. Salah satu prinsip penting negara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tindak pidana yang menjadi permasalahan seluruh bangsa di dunia ini adalah korupsi. Korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi. 1998. Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Moeljatno. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat dituntut untuk dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan. Meskipun
Lebih terperinciBAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT
38 BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT A. Faktor Penyebab Terjadi Korban 1. Faktor Internal a. Faktor Aparat Penegak Hukum Penegakan hukum
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun apabila pengetahuan tidak diimbangi dengan rasa
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat negatif lainnya yang menyertai
Lebih terperinciETIK UMB Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Modul ke: ETIK UMB Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi Fakultas Desain dan Seni Kreatif Program Studi Desain Produk www.mercubuana.ac.id Rizky Dwi Pradana, SHI., M.Si A. Pembahasan Ada yang mengatakan
Lebih terperinciKEBIJAKAN KRIMINAL DALAM UU NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNCTO UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Ayu Dian Ningtias, SH.MH.
KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM UU NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNCTO UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Ayu Dian Ningtias, SH.MH. Abstrak Pendayagunaan UU No. 20 Tahun 2001 termasuk sebagai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia menyebutkan istilah korupsi pertama kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi
Lebih terperinciPENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat
PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai
Lebih terperinciHAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2
HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hak negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu arah kebijaksanaan yang harus ditempuh khususnya dalam rangka mewujudkan sistim hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia
Lebih terperinciPencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Modul ke: Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi Fakultas Rusmulyadi, M.Si. Program Studi www.mercubuana.ac.id Konsep Pemberantasan Korupsi Kebijakan penanggulangan kejahatan yang biasa dikenal dengan
Lebih terperinciPEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH
1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Dalam kasus Korupsi sering kali berhubungan erat dengan tindak pidana pencucian uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kondisi aktual yang belakangan ini telah menjadi perhatian bagi masyarakat luas di tanah air, yaitu perihal Mafia Peradilan. Mafia Peradilan atau sebutan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan korupsi yang terjadi di Indonesia selalu menjadi hal yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Salah satu hal yang selalu menjadi topik utama
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Kelalaian dalam Kegiatan yang Mengumpulkan Massa dan Menimbulkan Korban Tinjauan adalah melihat dari jauh dari tempat
Lebih terperinciUPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H
1 UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H A. LATAR BELAKANG Pemerintah sangat menjunjung tinggi perlindungan hukum bagi setiap warga negaranya, sehingga diperlukan pemantapan-pemantapan
Lebih terperinciBAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang
BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang Pengganti Masalah penetapan sanksi pidana dan tindakan pada
Lebih terperinciProsiding Ilmu Hukum ISSN: X
Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Kebijakan Kriminal terhadap Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Manusia Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. banyaknya persoalan-persoalan yang mempengaruhinya. Salah satu persoalan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan negara hukum yang berlandaskan pada falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN sampai dengan Desember peneliti untuk melakukan pengumpulan data.
BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitan : Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Desember 2010. 2. Tempat Penelitian : Penelitian ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu jenis kejahatan yang paling sulit diberantas. Realitas ini
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan dan pembentukan lembaga untuk pemberantasan korupsi sudah banyak terjadi, namun tindak pidana korupsi di Indonesia hingga hari ini masih merupakan
Lebih terperinciKORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL. Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan
KORUPSI MENGHAMBAT PEMBANGUNAN NASIONAL Oleh : Kolonel Chk Hidayat Manao, SH Kadilmil I-02 Medan Salah satu tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan kesejahteraan Rakyat yang adil dan makmur
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Umum Tindak pidana korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana terhadap kehidupan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan permasalahan serta hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
Lebih terperinciBAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat
BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Sanksi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk menguntungkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar keseimbangan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pada dasarnya bersifat mengatur atau membatasi setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap masyarakat (individu). Pada garis besarnya hukum merupakan peraturan-peraturan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Kebijakan Kriminal Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena keterbiasaanya terdapat semacam kerancuan atau kebingungan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan peradaban dunia semakin berkembang dengan pesat menuju ke arah modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu
A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Bahaya narkotika di Indonesia saat ini semakin mengkhawatirkan bangsa-bangsa beradab hingga saat ini. Sehingga Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada hukum.namun dilihat dari sudut hukum, hak dan kewajiban secara individual selalu berkonotasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. membuat masyarakat tidak sadar bahwa korban yang paling dirugikan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Begitu membudayanya tindak pidana korupsi di Indonesia membuat masyarakat tidak sadar bahwa korban yang paling dirugikan sebenarnya adalah rakyat, yakni kita
Lebih terperinciFungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak
Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh : Iman Hidayat, SH.MH Abstrak Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka
Lebih terperincijenis kejahatan yang dapat menyentuh berbagai ranah kehidupan.
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu juga dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Usaha penanggulangan kejahatan, secara operasional dapat dilakukan melalui sarana penal maupun non penal. Menurut Muladi
Lebih terperinciPencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi
Modul ke: 11Fakultas EKONOMI DAN BISNIS Pencegahan dan Upaya Pemberantasan Korupsi Addys Aldizar, LSQ, MA Program Studi Akuntansi A. KONSEP PEMBERANTASAN KORUPSI Mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian
Lebih terperinciInstrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi
Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Oleh Suhadibroto Pendahuluan 1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana tidak hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai-nilai yang
Lebih terperinciPERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA Oleh: Ni Made Dwita Setyana Warapsari I Wayan Parsa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang pengelolaannya diimplemantasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana pemerkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. konstitusi Indonesia menyebutkannya dalam salah satu Pasal yaitu Pasal 3
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasan, begitu konstitusi Indonesia menyebutkannya dalam salah satu Pasal yaitu Pasal 3 UUD 1945, semua orang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum ( rechtstaat ), tidak
Lebih terperinciUSU Law Journal, Vol.2.No.3 (Desember 2014)
KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI Megawati Madiasa Ablisar, Marlina, Suhaidi (Churumii@yahoo.co.id) ABSTRACT Policy formulation is a criminal sanction in formulating
Lebih terperinciLex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015
SUATU KAJIAN TENTANG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SEBAGAI UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI (PASAL 2 DAN 3 UU NO. 31 TAHUN 1999) 1 Oleh : Rixy Fredo Soselisa 2 ABSTRAK Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk
Lebih terperinciBAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak
BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan
18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga peraturan-peraturan hukum itu dapat berlangsung lurus
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan suatu negara yang berdasar atas hukum bukan berdasarkan kepada kekuasaan semata. Hal tersebut dipertegas di dalam Konstitusi
Lebih terperinciURGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI
URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI Anjar Lea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi Abstrak Penelitian ini bertujuan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB III PENUTUP. 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain:
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana terorisme antara lain:
Lebih terperinciRANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan masalah serius yang dapat membahayakan stabilitas keamanan negara, masyarakat, serta merugikan keuangan negara. Di Indonesia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu mengalami perkembangan diberbagai bidang. Perkembangan yang diawali niat demi pembangunan nasional tersebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban/saksi dapat berupa pelaku tindak pidana yaitu: seorang Korban/saksi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Secara etimologis kata hakim berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang diharapkan mampu memberikan kedamaian pada masyarakat saat kekuasaan negara seperti eksekutif dan kekuasaan legislatif hanya
Lebih terperinciSILABI A. IDENTITAS MATA KULIAH
SILABI A. IDENTITAS MATA KULIAH Nama Mata Kuliah : SistemPeradilanPidana Kode Mata Kuliah : SKS : 2 (dua) Sks Status Mata Kuliah : Wajib Konsentrasi Semester Sajian : 7 (tujuh) B. DESKRIPSI MATA KULIAH
Lebih terperinciRELEASE AND DISCHARGE SIAPA YANG AKAN TANDA TANGAN?
RELEASE AND DISCHARGE SIAPA YANG AKAN TANDA TANGAN? Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. PENDAHULUAN Isu seputar MSAA dan Release and discharge bagaikan sebuah kisah yang tak pernah berakhir dan selalu
Lebih terperinciTINJAUAN YURIDIS PEDOMAN TUNTUTAN PIDANA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PADA KEJAKSAAN NEGERI WONOSOBO BAB I
TINJAUAN YURIDIS PEDOMAN TUNTUTAN PIDANA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI PADA KEJAKSAAN NEGERI WONOSOBO BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kasus-kasus korupsi di negeri
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah tujuan pemerintah Indonesia yang dilaksanakan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pembangunan nasional adalah tujuan pemerintah Indonesia yang dilaksanakan secara berkesinambungan bagi seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Tujuan Negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi disamping sudah diakui sebagai masalah nasional juga sudah diakui pula sebagai masalah internasional. Tindak pidana korupsi telah terjadi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan suatu negara ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan dan kemakmuran rakyat. Indonesia merupakan negara terkaya di
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan
Lebih terperinciExecutive Summary. PKAI Strategi Penanganan Korupsi di Negara-negara Asia Pasifik
Executive Summary P emberantasan korupsi di Indonesia pada dasarnya sudah dilakukan sejak empat dekade silam. Sejumlah perangkat hukum sebagai instrumen legal yang menjadi dasar proses pemberantasan korupsi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Peranan Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan dimana kedudukan itu
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian
15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penegakan Hukum Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses perwujudan
Lebih terperinciBAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP
29 BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia, yang mana hal tersebut
Lebih terperinciI. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis
I. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal
Lebih terperinciUPAYA PENAL DAN NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN PEREDARAN KOSMETIK ILEGAL DIWILAYAH HUKUM KOTA JAMBI ARTIKEL. Oleh Firsleydent Simbolon Nim ERB
UPAYA PENAL DAN NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN PEREDARAN KOSMETIK ILEGAL DIWILAYAH HUKUM KOTA JAMBI ARTIKEL Oleh Firsleydent Simbolon Nim ERB10012080 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Upaya
Lebih terperinci