Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak"

Transkripsi

1 Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia Oleh : Iman Hidayat, SH.MH Abstrak Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka itu, kepolisian diberikan wewenang oleh undang-undang sebagai penyidik. Penyidikan dilakukan sebagai upaya proses menetapkan siapa pelaku yang melanggar hak-hak asasi tersangka namun untuk menjamin hak-hak asasi yang lebih luas dari masyarakat umum. Pelanggaran hak-hak asasi tersangka oleh penyidik dapat dibenarkan sepanjang yang dibenarkan undang-undang (KUHAP). Namun demikian tidak jarang dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari Polri melakukan upaya justru melanggar ramburambu yang digariskan oleh undang-undang. Pelaksanaan tugas kepolisian yang sesungguhnya diberikan undang-undang dalam rangka melindungi HAM sebaliknya justru melanggar HAM lainnya. fungsi dan kewenangan Polri ada beberapa tahapan baik dalam tahap penyidikan, berupa mencari keterangan dan alat bukti dan menyuruh berhenti orang yang dicurigai sedangkan dalam tahap penyidikan berupa penangkapan dan penahanan. Kata Kunci : Polri Dalam Menjalankan Fungsi dan Wewenangnya A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara hukum yang berarti tindakan harus berdasarkan norma hukum yang berlaku dan bersumber pada UUD Beberapa sarjana Plato, Imanuel Kant, memaparkan prinsip negara hukum diantaranya Dicey menggunakan prinsip rule of law sebagai bagian negara yang ideal di abad XX, dimana fungsi dan tindakan negara mesti didasarkan pada hukum. Institusi negara merupakan ciri khas kehidupan masyarakat modern, karena hampir tidak ada di kelompok masyarakat atau bangsa di dunia yang tidak membentuk negara di dalam era modern. Negara diberi kewenangan oleh masyarakat untuk mengurus kepentingannya. Berdasarkan kewenangannya itu negara membuat peraturan-peraturan (hukum) yang harus ditaati bersama. Peraturan-peraturan itu dapat berupa hubungan antar sesama anggota masyarakat (hukum perdata) atau yang menyangkut hubungan antar warga masyarakat dengan negara (hukum publik) misalnya hukum pidana. Negara juga diberikan wewenang untuk menjalankan pelaksanaan hukum yang telah dibuat tadi penguasa ini berupa penegakan negara hukum untuk melaksanakan pentaatan terhadap hukum utamanya hukum public. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu Iman Hidayat, SH.MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 26

2 kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan kriminal. Dengan perkataan lain apabila dilihat dari sudut kebijakan kriminal maka kebijakan hukum pidana identik dengan upaya penanggulangan kejahatan sesuai dengan hukum pidana. Hukum pidana dalam arti material seperti di dalam KUHP dan beberapa undangundang hukum pidana khusus. Sedangkan hukum pidana dalam arti formal terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimuat di dalam UU No. 8 Tahun Tugas penegakan hukum pidana dilaksanakan dalam Sistem Peradilan Pidana UU No. 8 Tahun Penegakan hukum dalam peradilan pidana itu meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan atau yang sering disebut dengan Integrated Criminal Justice System. Sebuah sub sistem memiliki kedudukan dan tugas yang sama pentingnya. Sub sistem kepolisian memiliki peranan yang sangat signifikan karena kepolisian merupakan pintu gerbang pertama dalam penegakan hukum. Penyidikan adalah salah satu sub sistem peradilan pidana sebelum perkara sampai ke proses penuntutan dan pengadilan. Suatu perkara harus dilengkapi berkas penyidikan, yang dilaksanakan oleh kepolisian kecuali terhadap tindak pidana tertentu yang sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Fungsi penegakan hukum dalam rangka menjamin keamanan, ketertiban dan HAM. Dalam rangka itu, kepolisian diberikan wewenang oleh undang-undang sebagai penyidik. Penyidikan dilakukan sebagai upaya proses menetapkan siapa pelaku yang melanggar hak-hak asasi tersangka namun untuk menjamin hak-hak asasi yang lebih luas dari masyarakat umum. Pelanggaran hak-hak asasi tersangka oleh penyidik dapat dibenarkan sepanjang yang dibenarkan undang-undang (KUHAP). Namun demikian tidak jarang dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari Polri melakukan upaya justru melanggar rambu-rambu yang digariskan oleh undang-undang. Pelaksanaan tugas kepolisian yang sesungguhnya diberikan undangundang dalam rangka melindungi HAM sebaliknya justru melanggar HAM lainnya. Oleh karena itu Polri dapat diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam usahanya menegakkan hukum yang dibebankan. Dalam hal demikian sudah pasti akan menghadapi tindakan pelanggaran HAM seperti pemukulan, penyiksaan, dan lain sebagainya. Polri sebagai pelaksana sistem peradilan pidana, sebagaimana dikemukakan oleh Kunarto adalah untuk menanggulangi masalah kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan kata lain fungsi Polri adalah juga sebagai badan yang ikut serta sebagai pelaksana sistem peradilan pidana. Sebagai penegak hukum, penegak keamanan dan ketertiban polisi dihadapkan dengan hal-hal yang dapat menimbulkan tindakan melanggar hukum dan bahkan HAM. Keadaan ini tentu saja tidak sejalan dengan tugas yang diemban polisi sebagaimana ditentukan Pasal 6 Undang-Undang No. 8/1981 yang mengatur tentang Tugas Polri sebagai badan penyidik dan menjaga ketertiban masyarakat. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Tugas Pokok Polri (UU Polri) yaitu memelihara keamanan, serta melindungi masyarakat, mengayomi dan melayani masyarakat. Tugas tersebut merupakan tugas sangat berat yang harus dijalani oleh Polri secara profesional, sehingga dibutuhkan anggota Polri yang tidak hanya memiliki keahlian tetapi juga pengetahuan. Dengan berpedoman kepada tugas yang diemban kepolisian maka terlihat ada kontradiksi antara tugas sebagai penegak hukum dan sebagai pelindung HAM di satu pihak sebagai penegak hukum keamanan dan ketertiban masyarakat di pihak lain. Sebagai penegak hukum dan pelindung HAM diperlukan tindakan yang sesuai dengan aturan supaya tindakan tersebut tidak bertentangan dengan HAM. 27

3 B. Permasalahan Kewenangan-kewenangan apa saja yang dipunyai Polri dalam rangka penegakan hukum? C. Pembahasan 1. Beberapa Kewenangan Polri Dalam Rangka Penegakan Hukum Wewenang yang dibenarkan undang-undang kepada Polri dalam rangka penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh Polri sebagai penyelidik dan penyidik sebagaimana yang ditentukan oleh UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP). a. Fungsi dan Wewenang Penyelidikan Di dalam Pasal 1 butir 4, penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Penyelidikan Monopoli Tunggal Polri. Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan : Menyelenggarakan dan memberi kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang melakukan penyelidikan. Menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih seperti di masa HIR. Juga merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum dalam penyelidikan. Demikian juga dari segi waktu dan tenaga jauh lebih efektif dan efisien. Dari penegasan bunyi Pasal 4 KUHAP, aparat yang berfungsi dan berwenang melakukan penyelidikan, hanya pejabat Polri tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi dan pejabat lain. Fungsi dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang disebut pada pasal 5 KUHAP, yang dapat dipisahkan ditinjau dari beberapa segi : 1. Fungsi dan Wewenang Berdasarkan Hukum Berdasarkan ketentuan Pasal 5 KUHAP fungsi dan wewenang aparat penyelidik : a. Menerima laporan atau pengaduan. Bertitik tolak dari fungsi ini, apabila menerima suatu pemberitahuan atau laporan yang disampaikan seseorang, penyidik mempunyai hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti. Bisa tentang telah atau sedang ataupun diduga akan terjadi suatu peristiwa pidana, penyelidik wajib dan berwenang menerima pemberitahuan yang disertai dengan permintaan oleh pihak yang berkepentingan untuk menindak pelaku tindak pidana aduan yang telah merugikannya. Mengenai laporan atau pengaduan yang dapat diterima : - Jika laporan pengaduan diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu; - Jika laporan atau pengaduan diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor/pengadu dan penyelidik. - Jika pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus dicatat dalam laporan pengaduan (Pasal 103). Prinsipnya setiap laporan atau pengaduan yang disampaikan kepada penyelidik wajib diterima dan berwenang untuk menanganinya baik hal itu yang bersifat pemberitahuan biasa atau laporan, maupun yang bersifat delik aduan (klacht delik) seperti yang 28

4 dijelaskan Pasal 367 ayat 2 KUHP. Menurut ketentuan Pasal 103 ayat (1), apabila penyelidik menerima laporan atau pengaduan, harus segera melakukan penyelidikan yang diperlukan. Baik hal itu atas dasar pengetahuannya sendiri maupun berdasarkan laporan atau pengaduan. b. Mencari keterangan dan barang bukti Tujuan penyelidikan dimaksud sebagai langkah pertama atau sebagai bagian yang tak terpisahkan dari fungsi penyidikan, guna mempersiapkan semaksimal mungkin fakta, keterangan dan bahan bukti sebagai landasan hukum untuk memulai penyidikan. Seandainya penyidikan dilakukan tanpa persiapan yang memadai, bisa terjadi tindakan penyidikan yang bertentangan dengan hukum atau terjadi kekeliruan terhadap orang yang disidik. Akibat yang seperti ini yang dirugikan bisa menuntut ganti rugi dan rehabilitasi Pra Peradilan. Agar dapat berhasil mengumpulkan fakta, keterangan dan bukti serta sekaligus tidak terjerumus kemuka sidang pra peradilan sudah waktunya penyelidikan dilakukan dengan jalan mempergunakan metode scientific criminal detection, yakni metode teknik dan taktik penyelidikan secara ilmiah. c. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai. Kewajiban dan wewenang ketiga yang diberikan Pasal 5 KUHAP kepada penyelidik, menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Yang kurang jelas dari pelaksanaan wewenang ini, apakah penyelidik harus mendapat surat perintah dari penyidik atau atasannya? Untuk melakukan tindakan menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan sekalian menanyakan identitas orang yang ditanyai, tidak perlu surat perintah khusus atau dengan surat apapun berdasar alasan : - Ketentuan Pasal 4 KUHAP, menegaskan setiap pejabat Polri adalah penyelidik. - Kemudian makna bunyi Pasal 4 semakin jelas dapat dipahami jika dihubungkan dengan penjelasan menegaskan penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang undangundang ini untuk melakukan penyelidikan. Dari bunyi ketentuan ini, dapat dibaca bahwa KUHAP sendiri telah memberi wewenang bagi pejabat Polri untuk menjadi penyelidik. Oleh karena itu, KUHAP memberi wewenang yang lahir dari undang-undang ini kepada penyelidik untuk melaksanakan kewajiban dan wewenang penyelidikan yang ditentukan pasal 5 ayat (1) tanpa surat perintah. d. Tindakan lain menurut hukum Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP, yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat : - Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; - Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan. - Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. - Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa. - Menghormati hak asasi manusia. Secara teoritis sangat sulit mengkonstruksikan suatu acuan tindakan yang konkrit atas bunyi dan penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP. Mungkin praktek hukum yang memberi jalan pemecahan. Atau ketentuan ini dalam praktek lebih berat arahnya menjurus kepada tindakan keleluasaan bagi pejabat penyelidik. Jika demikian arahnya dari sekarang kita berpendapat bahwa ketentuan ini kurang dapat dipertanggung-jawabkan di dalam pelaksanaan tindakan penyelidikan. Sebagai jalan tengah yang dapat ditolerir ialah dengan mempedomani Asas proporsional yakni kalau tindakan itu masih proporsional dengan tujuan penegakan hukum, tindakan itu masih dianggap dalam ruang lingkup pasal 5 di atas. 2. Kewenangan berdasarkan perintah penyidik. 29

5 Kewajiban dan wewenang penyelidik bersumber dari perintah penyidik yang dilimpahkan kepada penyelidik atau lebih tepat merupakan tindakan melaksanakan perintah penyidik berupa : - Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan. - Pemeriksaan dan penyitaan surat. - Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. - Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. 3. Kewajiban penyelidik menyampai-kan laporan Penyelidik wajib menyampaikan hasil pelaksanaan tindakan sepanjang yang menyangkut tindakan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b KUHAP. Laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan harus merupakan laporan tertulis sehingga dapat dipertanggungjawabkan dan pembinaan pengawasan terhadap penyelidik sebagaimana yang tertera dari laporan tersebut. b. Fungsi dan Wewenang Kepolisian Sebagai Penyidik Pada tindakan penyidikan titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan barang bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Terdapat perbedaan antara penyelidikan dan penyidik, antara lain : - Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari semua anggota polri dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawas penyidik. - Wewenangnya sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas semua tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya). Ditegaskan di dalam Pasal 6 KUHAP yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik adalah : - Pejabat Penyidik Polri Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah pejabat polisi negara. Memang dari segi differensiasi fungsional, KUHAP telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, harus memenuhi syarat kepangkatan. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2). Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam peraturan pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim pengadilan umum. Titik pangkal pemeriksaan dihadapan penyidik ialah tersangka. Dari tersangkalah diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang diperiksa. Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja yang harus diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli, demi untuk terang dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Kepada saksi dan ahli ini pun harus juga diperlakukan dengan cara yang berperikemanusiaan dan beradab. c. Fungsi dan Wewenang Polri Dalam Hal Penangkapan Pasal 1 butir 20 KUHAP menjelaskan : penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 30

6 Alasan dan syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP : - Seorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana dan dugaan kuat itu, didasarkan pada permulaan bukti yang cukup. Bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal 17 ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Penjelasan pasal ini juga menyatakan pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Syarat lain untuk melakukan penangkapan harus didasarkan untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 16. Oleh karena penangkapan juga dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan, mesti tetap ditegakkan prinsip harus ada dugaan keras terhadap tersangka sebagai pelaku tindak pidananya, serta harus didahului adanya bukti permulaan yang cukup. Juga penting untuk diingat bahwa kepentingan penyelidikan dan penyidikan jangan diselewengkan untuk maksud lain di luar kepentingan penyelidikan dan penyidikan. Cara pelaksanaan penangkapan diatur dalam Pasal 18 yang menentukan : - Pelaksanaan penangkapan dilakukan petugas Kepolisian Negara RI. Pengecualiannya adalah dalam hal tertangkap tangan. Dalam hal ini setiap orang berhak melakukan penangkapan, dan bagi orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan wajib menangkap tersangka dalam hal tertangkap tangan (Pasal 11). - Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus membawa surat tugas penangkapan. Surat tugas ini merupakan syarat formal yang bersifat imperatif yang berisi penjelasan dan penegasan tentang : identitas tersangka, alasan penangkapan secara singkat, uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan dan menyebutkan dengan terang dimana tempat pemeriksaan dilakukan. Karena itu, demi untuk tegaknya kepastian serta untuk menghindari penyalahgunaan jabatan ataupun untuk menjaga ketertiban masyarakat dari pihak-pihak yang beritikad buruk, penangkapan oleh seorang petugas yang tidak mempunyai surat tugas harus ditolak dan tidak perlu ditaati. - Petugas memperlihatkan surat perintah penangkapan. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) KUHAP telah ditentukan lamanya penangkapan tidak boleh lebih dari satu hari. Lewat dari satu hari, berarti telah terjadi pelanggaran hukum, dan dengan sendirinya penangkapan dianggap tidak sah. Konsekuensinya, tersangka harus dibebaskan demi hukum. Atau jika batas waktu itu dilanggar, tersangka, penasehat hukumnya, atau keluarganya dapat meminta pemeriksaan kepada pra peradilan tentang sah-tidaknya penangkapan dan sekaligus dapat menuntut ganti rugi. Untuk mengatasi hambatan permasalahan ini, agar penangkapan mempunyai arti untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan, tetapi sekaligus tidak melanggar hukum dapat disetujui alternatif yang digariskan pada buku pedoman pelaksanaan KUHAP yang memberi jalan keluar atas hambatan tersebut : - Penangkapan supaya dilaksanakan sendiri atau dipimpin oleh penyidik, sehingga segera dapat dilakukan pemeriksaan di tempat yang terdekat. - Apabila penangkapan dilakukan penyidik, pejabat penyidik mengeluarkan surat perintah untuk membawa dan menghadapkan orang yang ditangkap kepada penyidik. 31

7 Menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) KUHAP tidak dibolehkan melakukan penangkapan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana pelanggaran. d. Fungsi dan Wewenang Polri Dalam Hal Penahanan Penahanan menurut penjelasan Pasal 1 butir 21 KUHAP : Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hukum dalam penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-undang. Tujuan penahanan disebutkan dalam Pasal 20, yang menjelaskan : 1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Mengenai ukuran kepentingan penyidikan pada dasarnya ditentukan oleh kenyataan keperluan pemeriksaan penyidikan itu sendiri secara objektif. Tergantung kepada kebutuhan tingkat upaya penyidik untuk menyelesaikan fungsi pemeriksaan penyidikan yang tuntas dan sempurna sehingga penyidikan benarbenar mencapai hasil pemeriksaan yang akan diteruskan kepada penuntut umum, untuk dipergunakan sebagai dasar pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Berarti, jika pemeriksaan penyidikan sudah cukup, penahanan tidak diperlukan lagi. Kecuali ada alasan lain untuk tetap menahan tersangka (Pasal 20 ayat 1). 2. Penahanan dilakukan oleh penuntut umum bertujuan untuk kepentingan penuntutan (Pasal 20 ayat 2). 3. Penahanan yang dilakukan oleh peradilan dimaksudkan untuk kepentingan pemeriksaan di persidangan (Pasal 20 ayat 3). Adapun unsur-unsur yang menjadi landasan dasar penahanan adalah sebagai berikut : 1. Landasan atau dasar unsur yuridis. Disebut dasar hukum atau objektif, karena undang-undang sendiri menentukan terhadap pasal-pasal kejahatan tindak pidana mana penahanan dapat diterapkan. Dasar unsur yuridis atau objektif, ditentukan dalam Pasal 21 ayat 4 yang menetapkan penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana. a. Yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. b. Penahanan dapat juga dikenakan bagi pelaku tindak pidana yang disebutkan dalam pasal KUHP dan undang-undang pdiana khusus sekalipun ancamannya kurang dari lima tahun, alasannya didasarkan pada pertimbangan pasal-pasal tindak pidana itu dapat dianggap sangat mempengaruhi kepentingan ketertiban masyarakat pada umumnya serta ancaman terhadap keselamatan badan orang pada khususnya. 2. Landasan unsur keadaan kekhawatiran. Unsur keadaan atau keperluan penahanan dimaksud, ditentukan dalam Pasal 21 ayat 1, yang berupa adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran : - Tersangka atau terdakwa akan melarikan diri. - Merusak atau menghilangkan barang bukti. - Dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana. Semua keadaan yang mengkhawatirkan disini adalah keadaan yang meliputi subjektifitas tersangka atau terdakwa. Dan pejabat yang menilai keadaan kekhawatiran inipun bertitik tolak dari penilaian subjektif. 3. Dipenuhi syarat Pasal 21 ayat 1 KUHAP 32

8 Di samping unsur-unsur penahanan yang disebutkan di atas, penahanan harus memenuhi syarat-syarat undang-undang seperti yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP : - Tersangka atau terdakwa diduga keras sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan. - Dugaan yang keras itu didasarkan pada bukti yang cukup. - Syarat penahanan berbeda dengan syarat penangkapan. Perbedaan itu dalam hal bukti. Pada penangkapan, syarat bukti ini didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Sedangkan penahanan, didasarkan pada bukti yang cukup. Dengan demikian syarat bukti dalam penahanan lebih tinggi kualitasnya dari pada tindakan penangkapan. Dari uraian di atas, telah jelas bagi kita batasan tugas dari Kepolisian menurut Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 bahwa tugas Kepolisian Republik Indonesia adalah sebagai penyidik (lihat Pasal 1 UU No. 8/1981). D. Penutup 1. Kesimpulan Bahwa fungsi dan kewenangan Polri ada beberapa tahapan baik dalam tahap penyidikan, berupa mencari keterangan dan alat bukti dan menyuruh berhenti orang yang dicurigai sedangkan dalam tahap penyidikan berupa penangkapan dan penahanan. 2. Saran a. Dalam rangka mewujudkan citra Polisi sebagai penegak hukum kiranya pimpinan Kepolisian Republik Indonesia perlu meningkatkan ilmu pengetahuan anggotanya, terutama dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga pihak Kepolisian dalam bertindak akan lebih profesionalisme. b. Hendaknya Polisi sebagai penegak hukum dan pelindung hak asasi manusia dalam bertindak harus sesuai dengan koridor hukum dan juga komisi kepolisian hendaknya lebih pro aktif dalam mengambil tindakan kepada oknum-oknum polisi yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia baik itu dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. c. Sebaiknya anggota kepolisian tetap patuh terhadap ketentuan-ketentuan hukum positif yang berkaitan dengan hak asasi manusia. E. Daftar Pustaka Adji Oemar Seno, KUHAP Sekarang Arief Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit : Citra Aditya Bandung., Fungsionalisasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Penerbit : Fakultas Hukum UNDIP Semarang. Effendi, A. Masykur, Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional, Graha Indonesia, Jakarta, Hamdan, M., Politik Hukum Pidana, Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Harahap, M. Yahya, SH, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, Kunarto, Hak-hak Asasi Manusia Dalam POLRI, Cipta Manunggal, Jakarta, Mulyatno, Hukum Pidana, Penerbit : PT. Sinar Grafika Bandung. Purbacaraka Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, Rahardjo Satjipto, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, Reksodiputro Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum/Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia. 33

9 Soekanto Soeryono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta. Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan kepada setiap manusia akal budi dan nurani, dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penegakan hukum di lapangan oleh Kepolisian Republik Indonesia senantiasa menjadi sorotan dan tidak pernah berhenti dibicarakan masyarakat, selama masyarakat selalu mengharapkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bukti Permulaan yang Cukup Istilah kesalahan ( schuld) adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah:fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban,

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus KAJIAN HUKUM TERHADAP PROSEDUR PENANGKAPAN OLEH PENYIDIK MENURUT UU NO. 8 TAHUN 1981 1 Oleh: Dormauli Lumban Gaol 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah prosedur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan masyarakat, sehingga berbagai dimensi hukum

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013

Lex Crimen Vol. II/No. 4/Agustus/2013 FUNGSI PENYELIDIKAN DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Rovan Kaligis 2 ABSTRAK Keinginan Masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang tertib dan damai dalam hidup bermasyarakat terus diupayakan,

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing: TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D 101 10 308 Pembimbing: 1. Dr. Abdul Wahid, SH., MH 2. Kamal., SH.,MH ABSTRAK Karya ilmiah ini

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEPOLISIAN. polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEPOLISIAN. polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 38 BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KEPOLISIAN F. Pengertian Polisi Secara teoritis pengertian mengenai polisi tidak ditemukan, tetapi penarikan pengertian polisi dapat dilakukan dari pengertian kepolisian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalankan tugas sehari-hari dikehidupan masyarakat, aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim) tidak terlepas dari kemungkinan melakukan perbuatan

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN NAMA KELOMPOK : 1. I Gede Sudiarsa (26) 2. Putu Agus Adi Guna (16) 3. I Made Setiawan Jodi (27) 4. M Alfin Gustian morzan (09) 1 DAFTAR

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek pembaharuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana tersangka dari tingkat pendahulu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat bermacam-macam definisi Hukum, menurut P.Moedikdo arti Hukum dapat ditunjukkan pada cara-cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA

BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA BAB II PERANAN POLISI SEBAGAI PENYIDIK DALAM MELAKUKAN PENANGANAN TEMPAT KEJADIAN PERKARA A. Peraturan Perundang-undangan Yang Dapat Dijadikan Penyidik Sebagai Dasar Hukum Untuk Melakukan Penanganan Tempat

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack Vol. 23/No. 9/April/2017 Jurnal Hukum Unsrat Kumendong W.J: Kemungkinan Penyidik... KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1 Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Email:wempiejhkumendong@gmail.com Abstrack

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana dicantumkan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keamanan dalam negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia adalah mendukung atau penyandang kepentingan, kepentingan adalah suatu tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Manusia dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak merupakan pengingkaran terhadap kedudukan setiap orang sebagai makhluk ciptaan Tuhan

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strafbeerfeit dapat diartikan dengan perkataan delik, sebagaimana yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil, artinya apabila terjadi pelanggaran hukum pidana materiil,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG 2.1 Bentuk Kejahatan Narkotika Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri.

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan lembaga yang menjalankan tugas kepolisian sebagai profesi, maka membawa konsekuensi adanya kode etik profesi maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan

Lebih terperinci

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hak asasi manusia (selanjutnya disingkat HAM) yang utama adalah hak atas kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Pidana formal mengatur tentang bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memindana dan menjatuhkan pidana. Hukum acara pidana ruang lingkupnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara

Lebih terperinci

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah merupakan negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 bukan berdasarkan atas kekuasaan semata. Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepolisian Republik Indonesia 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Negara Indonesia adalah Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu unsur penegak hukum yang diberi tugas dan wewenang melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai Pasal 30 ayat 1(d)

Lebih terperinci

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2 KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan globalisasi dan kemajuan teknologi yang terjadi dewasa ini telah menimbulkan dampak yang luas terhadap berbagai bidang kehidupan, khususnya di bidang

Lebih terperinci

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011 A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyelidikan dan Penyidikan Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

Lebih terperinci

Sumber: Dewi, A.I, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka book Publisher : yogyakarta.

Sumber: Dewi, A.I, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka book Publisher : yogyakarta. 5. Tahapan & Regulasi Hukum Acara Pidana Masalah Hukum Kesehatan Setiap pelanggaran hukum akan selalu mengakibatkan timbulnya sanksi hukum, sanksi ini merupakan monopoli atau wewenang dari penguasa untuk

Lebih terperinci

2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; BAB 2 Differensiasi Fungsional Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2.1 Sistem Peradilan Pidana Indonesia Konsepsi sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia dari satu negara ke negara lain. Hal ini menimbulkan berbagai dampak, baik yang menguntungkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Urgensi Praperadilan Praperadilan yang dimaksudkan di sini dalam pengertian teknis hukum berbeda dengan pemahaman umum yang seakan-akan itu berarti belum peradilan (pra:

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 126/PUU-XIII/2015 Yurisprudensi Mahkamah Agung Mengenai Bilyet Giro Kosong I. PEMOHON Henky Setiabudhi Kuasa Hukum Wahyudhi Harsowiyoto, SH dan Mario Tanasale, SH., para

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Umum Tindak pidana korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana terhadap kehidupan

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Analisis Yuridis Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Penetapan Status Tersangka Menurut Pasal 77 Kuhap Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-VIII/2014 tentang Perluasan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016 PENANGKAPAN DAN PENAHANAN SEBAGAI UPAYA PAKSA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA 1 Oleh : Hartati S. Nusi 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana alasan penangkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah Bandar Lampung adalah menyelenggarakan pengelolaan keuangan dengan sebaik-baiknya sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini telah berjalan dalam suatu koridor kebijakan yang komprehensif dan preventif. Upaya pencegahan tindak pidana korupsi

Lebih terperinci

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN Diajukan oleh: JEMIS A.G BANGUN NPM : 100510287 Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia didalam menemukan kemerdekaan, keadilan dan perdamaian

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA. A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan

BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA. A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan BAB II PENGATURAN DAN PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENCURIAN DALAM KELUARGA A. Pencurian Dalam Keluarga Merupakan Delik Aduan Strafbaarfeit dapat disepadankan dengan perkataan delik, sebagaimana yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkewajiban untuk menjamin adanya suasana aman dan tertib dalam bermasyarakat. Warga negara yang merasa dirinya tidak aman maka ia berhak meminta perlindungan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci