BUKU 1 PEDOMAN PERENCANAAN TEKNIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BUKU 1 PEDOMAN PERENCANAAN TEKNIS"

Transkripsi

1 LAMPIRAN II SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH TERPUSAT PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR TAHUN TENTANG PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH TERPUSAT BUKU 1 PEDOMAN PERENCANAAN TEKNIS A. PENGERTIAN PERENCANAAN TEKNIS SPAL-T Perencanaan teknis SPAL-T merupakan rencana rinci pembangunan SPAL di suatu kota atau kawasan meliputi unit pelayanan, unit pengumpulan, unit pengolahan, dan unit pembuangan akhir atau unit pengolahan lumpur. B. DASAR DASAR PERENCANAAN TEKNIS SPAL-T Perencanaan teknis SPAL-T disusun berdasarkan : 1. Rencana Induk SPAL yang telah ditetapkan; 2. Hasil Studi Kelayakan; 3. Jadwal Pelaksanaan Konstruksi; 4. Kepastian Sumber Pembiayaan; 5. Kepastian Lahan; dan 6. Hasil Konsultasi Teknis dengan Instansi Teknis terkait. C. MUATAN PERENCANAAN TEKNIS SPAL-T Perencanaan teknis SPAL-T paling sedikit memuat : 1. Rencana Detail Kegiatan serta Tahapan dan Jadwal Pelaksanaan; 2. Perhitungan dan Gambar Teknis; 3. Spesifikasi Teknis; 4. Perkiraan Biaya;

2 5. Dokumen Pelaksanaan Kegiatan; dan 6. Prosedur Operasi Standar. D. PEDOMAN PEMILIHAN SPAL-T Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan sistem dan teknologi pengolahan air limbah adalah : 1. Kepadatan Penduduk Tingkat kepadatan penduduk yang biasa digunakan dalam perencanaan sistem pengelolaan air limbah adalah : a. Kepadatan tinggi > 300 jiwa/ha b. Kepadatan sedang jiwa /ha c. Kepadatan rendah < 100 jiwa /ha 2. Konsumsi Air Minum Tingkat konsumsi air minum berdasarkan atas besarnya tingkat pelayanan dari PDAM terhadap masyarakat dan sumber lainnya., Kebutuhan air minum setiap orang di kota: a. Kota Metropolitan berkisar L/jiwa.hari b. Kota Besar berkisar L/jiwa.hari c. Kota Sedang berkisar L/jiwa.hari d. Kota Kecil berkisar L/jiwa.hari e. Ibu Kota Kecamatan (IKK) berkisar L/jiwa.hari 3. Kemiringan Tanah Penggunaan sistem sewerage konvensional sesuai jika kemiringan tanah sama dengan atau lebih dari 2%, sedangkan shallow sewer dan small bore sewer dapat digunakan pada berbagai kemiringan tanah. 4. Kedalaman Air Tanah Kedalaman muka air tanah digunakan sebagai kriteria dalam penetapan sistem. Sistem off-site digunakan jika muka air tanah lebih kecil dari 1-1,5 meter atau jika air tanah sudah tercemar.

3 5. Permeabilitas Tanah Permeabilitas tanah sangat mempengaruhi penentuan SPAL khususnya untuk penerapan sistem setempat (cubluk maupun septik tank dengan bidang resapan). Untuk mengetahui besar kecilnya permeabilitas tanah dapat diperkirakan dengan memperhatikan jenis tanah dan angka infiltrasi atau melakukan test perkolasi. Kisaran permeabilitas yang efektif adalah 2, , m/detik, untuk jenis tanah pasir halus sampai dengan pasir yang mengandung lempung. 6. Kemampuan Membiayai Kemampuan pemerintah atau masyarakat untuk membiayai pembangunan SPAL akan menentukan jenis teknologi yang dipilih. Faktor yang juga tidak dapat diabaikan dalam pemilihan sistem adalah faktor sosial masyarakat untuk menerimanya. Dalam proses pemilihan teknologi yang digunakan baik sistem on-site maupun sistem off-site dapat dilakukan dengan menggunakan diagram alir SPAL seperti pada Gambar II.1. Gambar II.1. Diagram Alir Pemilihan SPAL

4 Dasar pertimbangan yang utama dalam pemilihan teknologi SPAL adalah kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk > 300 jiwa/ha sudah pasti harus melakukan sistem off- site, sedangkan untuk kepadatan penduduk kurang dari itu masih terdapat beberapa pertimbangan lainnya, seperti sumber air yang ada, kedalaman air tanah, permeabilitas tanah, kemiringan tanah, ketersediaan lahan, dan termasuk kemampuan membiayai. Contohnya apabila kepadatan penduduknya lebih dari 300jiwa/ha, kedalaman air tanahnya kurang dari 1,5m dan tidak memiliki permeabilitas tinggi, sumber air yang disarankan adalah dilayani oleh PDAM. Jika kemiringan tanahnya lebih dari 2% dan kemampuan membiayai memenuhi maka dapat menggunakan sistem off-site, sedangkan jika kemiringan tanahnya kurang dari 2%, maka terdapat pilihan teknologi lain tergantung pada kemampuan membiayai dan kecocokan teknologi yang dipilih. Faktor kemampuan membiayai dan kecocokan juga menjadi faktor yang penting dalam pemilihan teknologi dan faktor ini dapat dilihat dari besarnya nilai PBB dari setiap rumah. Apabila nilai PBBnya masih kecil walaupun kepadatan penduduknya lebih dari 300 jiwa/ha dikhawatirkan penduduk di kawasan tersebut tidak mampu membayar biaya retribusi SPAL yang dibangun, sehingga dengan mengetahui nilai PBB dari setiap perumahan, dapat secara tepat memliih sistem on-site atau off-site yang akan digunakan. E. KOMPONEN SPAL TERPUSAT Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman Terpusat terdiri dari: 1. Unit pelayanan (Sambungan Rumah); Unit pelayanan berfungsi untuk mengumpulkan air limbah (black water dan grey water) dari setiap rumah dan menyalurkannya ke dalam unit pengumpulan. Unit ini terdiri dari sambungan rumah dan inspection chamber. Sambungan rumah yang termasuk dalam unit pelayanan meliputi pipa dari kloset, pipa non tinja, perangkap pasir/lemak, bak control pekarangan, pipa persil, dan bak kontrol akhir. 2. Unit pengumpulan; Unit pengumpulan berfungsi untuk menyalurkan air limbah dari tiap unit pelayanan melalui jaringan pipa menuju Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Unit pengumpulan terdiri dari pipa servis, pipa lateral, dan manhole.

5 3. Unit pengolahan; Unit pengolahan berfungsi untuk mengolah air limbah yang masuk ke dalam IPAL. Unit pengolahan terdiri dari pengolahan air limbah (pengolahan fisik dan pengolahan biologis) dan pengolahan lumpur hasil olahan air limbah tersebut (baik berupa lumpur dari pengolahan fisik maupun lumpur dari hasil pengolahan biologis). Bagi kota yang sudah mempunyai IPAL tapi tidak mempunyai IPLT, IPAL yang sudah ada tidak dapat berfungsi sekaligus sebagai IPLT untuk membuang lumpur tinjanya karena IPAL tetap berfungsi untuk mengolah air limbah saja. Apabila IPAL yang ada ingin difungsikan sebagai IPLT juga, maka diperlukan penyediaan tambahan unit bak pemisah lumpur atau solid separation chamber sebelum lumpur tinja tersebut masuk ke dalam IPAL. Selain itu, tidak semua air limbah bisa diolah di dalam IPAL. Karakteristik kualitas air limbah yang boleh masuk ke IPAL adalah air limbah dengan kualitas beban organik sebesar 300 mg/l atau sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan untuk masing-masing daerah. Apabila terdapat air limbah dengan konsentrasi pencemar lebih dari itu, maka perlu dilakukan proses pre-treatment terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam IPAL. 4. Unit Pengolahan Lumpur atau Pembuangan Akhir. Unit ini digunakan untuk membuang air limbah yang telah terolah atau hasil olahan dan membuang atau mengolah lumpur hasil pengolahan. Air limbah yang telah terolah dapat dimanfaatkan untuk irigasi, dijadikan sebagai bahan baku air PDAM (dengan ketentuan telah memenuhi persyaratan pembuangan air limbah pada sungai sesuai dengan peruntukkannya), penyiraman taman, dll. Sedangkan lumpur hasil pengolahan air limbah yang telah diolah dapat dimanfaatkan sebagai pupuk, tanah penutup sanitary landfill, sebagai bahan baku pembuatan semen, dapat dijadikan bahan baku paving block, dan pemanfaatan lumpur hasil olahan ini juga harus disesuaikan dengan peraturan yang berlaku di tiap daerah.

6 F. PERENCANAAN TEKNIS UNIT PELAYANAN F.1. Komponen Unit Pelayanan Unit pelayanan terdiri dari sambungan rumah dan lubang inspeksi (Inspection Chamber/IC). Sambungan rumah terdiri dari: 1. Pipa dari Kloset (black water) a. Diameter minimal 100 mm b. Bahan dari PVC, asbes semen, c. Kemiringan minimal 2% 2. Pipa dari Non Tinja (grey water) a. Diameter minimal 50 mm b. Bahan dari PVC, asbes semen, c. Kemiringan minimal 2% d. Khusus dari dapur harus dilengkapi dengan unit perangkap lemak. 3. Penangkap Pasir/Lemak a. Dimaksudkan untuk mencegah penyumbatan akibat masuknya lemak dan pasir ke dalam pipa persil dan lateral dalam jumlah besar b. Disarankan dipakai pada dapur, tempat cuci, atau pada daerah dengan pemakaian air rendah c. Lokasinya sedekat mungkin dengan sumbernya d. Perangkap Pasir/Lemak dapat berupa saringan, bak yang ditutupi kain, atau sejenisnya. 4. Bak Kontrol Pekarangan (Private Boxes/PB) a. Luas permukaan minimal 40x40 cm (bagian dalam), dan diberi tutup plat beton yang mudah dibuka-tutup. b. Kedalaman bak, minimal 30 cm, disesuaikan dengan kebutuhan kemiringan pipa-pipa yang masuk/keluar bak.

7 c. Dinding bagian atas dipasang 10 cm lebih tinggi daripada muka tanah agar dapat dicegah masuknya limpasan air hujan. d. Bahan dinding dan dasar dari batu bata kedap atau beton. Tutup dari beton bertulang atau plat baja yang bisa dibuka tutup. 5. Pipa Persil (House Connection / HC) a. Dimensi dibuat sama atau lebih besar daripada dimensi pipa plambing utama. Biasanya sebesar ( ) mm yang menuju ke lubang inspeksi. b. Kemiringan dipasang selurus mungkin, dengan kemiringan minimal 2%. Kemiringan minimal 2% supaya tidak terjadi pengendapan dalam pipa karena pipa persil membawa cukup banyak lumpur dari PB ke HI. Selain alasan tersebut, kemiringan minimal 2% ditujukan agar kecepatan dalam pipa (self cleansing) minimal 0,6 m/detik. 6. Bak Kontrol Akhir (House Inlet/HI) a. Luas permukaan minimal 50x50 cm (bagian dalam), dan diberi tutup plat beton yang mudah dibuka-tutup. b. Kedalaman bak, (40-60) cm, disesuaikan dengan kebutuhan kemiringan pipa persil yang masuk. c. Dinding bagian atas dipasang 10 cm lebih tinggi daripada muka tanah agar dapat dicegah masuknya limpasan air hujan. d. Bahan dinding dan dasar dari batu bata kedap atau beton. Tutup dari beton bertulang atau plat baja yang bisa dibuka tutup. 7. Lubang Inspeksi (Inspection Chamber/IC) a. Jarak antara dua IC dan HI 40 m b. Ada 3 tipe IC untuk kedalaman hingga 2 m. Untuk kedalaman 2,5 m, gunakan manhole yang dipakai pada sistem konvensional. c. Dimensinya tergantung pada tipe dan bentuk penampang IC, serta kedalaman pipa (seperti pada Tabel II.1). Bentuk empat persegi panjang dipilih bila akan dilakukan pembersihan pipa dengan bambu atau besi beton.

8 d. Bila kedalaman IC 1 m, maka di sisi dalamnya dilengkapi tangga dari mild steel ukuran 20 mm yang ditancapkan ke dinding sedalam 20 cm dengan masing masing panjang 75 cm. Bagian tangga teratas berada 45 cm di bawah cover, dan yang terbawah 30 cm di atas benching. e. Bahan IC terdiri dari beton tanpa tulangan untuk lantai, dan pasangan batu untuk dinding. Tutupnya harus dari beton bertulang atau plat baja yang bisa dibuka tutup. f. Level tutup IC, harus 10 cm di atas level muka tanah, agar dapat dicegah masuknya limpasan air hujan. Tipe IC Tabel II.1. Kedalaman Pipa (m) Dimensi IC Bujur sangkar Dimensi IC (m 2 ) Persegi panjang IC-1 0,75 0,4 x 0,4 0,4 x 0,6 IC-2 0,75-1,35 0,7 x 0,7 0,6 x 0,8 IC-3 1,35-2,5-0,8 x 1,2 Ket : PB : Private Box (bak kontrol pekarangan) HC : House Connection (pipa persil) HI : House Inlet (bak kontrol akhir) IC : Inspection Chamber (lubang inspeksi) MH : Manhole Gambar II.2. Batas Sambungan Rumah

9 Unit pelayanan yang terdiri dari sambungan rumah (bak kontrol pekarangan, pipa persil, dan bak kontrol akhir) dan lubang inspeksi merupakan tanggung jawab dari pemilik rumah, sehingga operasi dan pemeliharaan sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemilik rumah, sementara itu untuk unit pengumpulan hingga unit pengolahan akhir merupakan tanggung jawab pengembang (bagi kawasan yang mempunyai SPAL tersendiri) atau tanggung jawab kota yang bersangkutan (bagi kawasan yang mempunyai SPAL terpusat dengan jaringan perkotaan). F.2. Survey Sambungan Rumah (SR) 1. Sketsa tata letak bangunan dan titik-titik lokasi sumber air limbah 2. Catat rencana elevasi invert pipa lateral dan/atau invert IC 3. Plot rencana titik-titik lokasi PB dan HI 4. Sket panjang, kemiringan dan diameter pipa persil 5. Kebutuhan minimal beda elevasi antara elevasi dasar titik-titik sumber air limbah terhadap elevasi dasar IC dengan kemiringan minimal 2 %: - Jarak 10 m = 20 cm - Jarak 20 m = 40 cm - Jarak 30 m = 60 cm 6. Cek berturut-turut elevasi dasar PB, HI dan IC harus menurun dan masih berada di atas elevasi dasar pipa lateral 7. Buat lay-out SR dan total kebutuhan pengadaan/pemasangan mencakup : - Pipa-pipa dari sumber air limbah ke PB - Pipa-pipa dari PB ke HI G. PERENC. TEKNIS UNIT PENGUMPULAN (JAR. PERPIP.) Jaringan perpipaan pada unit pengumpul pada prinsipnya menyalurkan air limbah dari unit pelayanan ke unit pengolahan melalui sistem penyaluran terbuka atau sistem gravitasi. Namun, pada beberapa kondisi sesuai dengan kondisi topografi lapangan dapat pula air limbah disalurkan ke unit pengolahan menggunakan sistem pemompaan (sistem pengaliran tertutup). Sistem ini dapat terlihat pada Gambar II.3. Seperti pada Gambar II.3, wilayah A adalah wilayah yang dilayani dengan sistem aliran gravitasi, sedangkan wilayah C adalah wilayah yang dilayani dengan sistem pemompaan. Dalam kondisi khusus yaitu pada lokasi dimana terdapat kota yang tidak mempunyai IPLT, maka unit tangki penyedot

10 tinja dapat digunakan untuk mengumpulkan air limbah / lumpur tinja dari inhoff tank atau prasarana komunal lainnya langsung ke IPAL. Dalam hal ini IPAL tersebut memerlukan unit pemisah padatan, seperti unit solid separation chamber yang digunakan untuk memisahkan padatan dan air dari lumpur tinja untuk selanjutnya air tersebut diolah melalui sistem unit pengolah dalam IPAL. Gambar II.3. Jenis Jaringan Perpipaan pada Unit Pengumpul Sistem penyaluran air limbah (baik sistem pemompaan atau gravitasi), harus menggunakan sistem penyaluran pipa yang terpisah dari saluran draianse. Namun apabila belum memungkinkan sehingga harus dilakukan pencampuran antara air limbah dan air hujan di beberapa lokasi,maka perlu dibuat perencanaan secara bertahap sampai sistem penyalurannya benar-benar dialirkan secara terpisah. Sementara itu, untuk kondisi sistem pengaliran eksisting yang masih tercampur, maka diperlukan penggunaan interceptor untuk meminimalkan debit air hujan yang ikut terbawa ke bangunan pengolahan air limbah. Ketentuan dalam perencanaan unit pengumpul secara detail dapat dijelaskan pada pembahasan di bawah ini.

11 G.1. Sistem Pengumpulan Air Limbah Sistem pengumpulan air limbah dapat dibuat dalam berbagai tipe, yaitu: 1. Teknologi Perencanaan Air Limbah dengan Sistem Setempat (On-Site) Sanitasi sistem setempat (on-site) yaitu sistem dimana fasilitas pengolahan air limbah berada dalam persil atau batas tanah yang dimiliki, fasilitas ini merupakan fasilitas sanitasi individual seperti septik tank atau cubluk. Sistem ini diterapkan pada : a. Kepadatan < 100 orang/ha b. Kepadatan > 100 orang/ha, sarana on-site dilengkapi pengolahan tambahan seperti kontak media dengan atau tanpa aerasi c. Jarak sumur dengan bidang resapan atau cubluk > 10 m d. Instalasi pengolahan lumpur tinja minimal untuk melayani penduduk urban > jiwa atau bergabung dengan kawasan urban lainnya Pada sistem on-site ada 2 jenis sarana yang dapat diterapkan yakni sistem individual dan komunal. Pada skala invidual sarana yang digunakan adalah septik dengan varian pada pengolahan lanjutan untuk effluentnya yakni : a. Dengan bidang resapan b. Dialirkan pada small bore sewer c. Dengan evapotranspirasi d. Menggunakan filter Sedangkan tinja dari septik tank akan diangkut menggunakan truk penyedot tinja dan diolah di IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) Berikut ini penjelasan mengenai alternatif teknologi pada sistem On- Site : a. Sistem Cubluk Cubluk merupakan sistem pembuangan yang paling sederhana terdiri atas lubang yang digali secara manual dengan dilengkapi dinding rembes air yang dibuat dari pasangan bata berongga, anyaman bambu, dan bahan-bahan lainnya (Sugiharto, 1997). Pada umumnya cubluk berbentuk lingkaran, kotak persegi dengan diameter sepanjang (0,5-1) m, cubluk memiliki kedalaman (1-3) m. hanya sedikit air yang digunakan untuk menggelontor kotoran/ tinja ke dalam cubluk dikarenakan kotoran biasanya langsung

12 jatuh dari atas bangunan cubluk yang dibangun sederhana. Cubluk biasanya didesain untuk waktu (5-10) tahun. Berikut jenis cubluk diantaranya : 1) Cubluk Tunggal Cubluk tunggal dapat digunakan untuk daerah yang memiliki ketinggian muka air tanah > 1 m dari dasar cubluk. Cocok untuk daerah dengan kepadatan < 200 jiwa/ha. Pemakaian cubluk dihentikan apabila sudah terisi 75% dari kapasitas yang ada, apabila masih digunakan melebihi batas tersebut maka dikuatirkan timbul pencemaran seperti bauu, kotoran/tinja meluber ke atas permukaan 2) Cubluk Ganda/Kembar Cubluk kembar dapat digunakan untuk daerah dengan kepadatan penduduk < 50 jiwa/ha dan memiliki muka air tanah > 2 m dari dasar cubluk. Pemakaian lubang cubluk pertama dihentikan setelah terisi 75% dan selanjutnya cubluk kedua dapat disatukan. Jika lubang cubluk kedua telah terisi 75%, maka tinja yang ada di dalam lobang pertama dapat dikosongkan secara manual dan dapat digunakan untuk pupuk tanaman. Setealh itu lubang cubluk dapat difungsikan kembali. b. Sistem Tangki Septik Individu Sistem ini merupakan sistem conventional yang banyak digunakan oleh masyarakat. Pada umumnya terdiri dari satu buah tangki septic berbentuk kotak/lingkarann dan satu buah untuk resapan untuk menampung effluent dari tangki septik. Tangki septic merupakan suatu ruangan yang terdiri dari beberpa kompartemen yang berfungsi sebagai bangunan pengendap untuk menampung kotoran padat agar mengalami pengolahan biologis oleh bakteri anaerob dalam jangka waktu tertentu. Proses dapat berjalan dengan baik apabila tangki terisi penuh dengan cairan, oleh karena itu tangki septic haruslah kedap air. Hal- hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan tangki septic adalah : 1) Kecepatan daya serap tanah > 0,0146 cm/menit 2) Cocok diterapkan di daerah yang memiliki kepadatan penduduk < 500jiwa/ha 3) Dapat dijangkau oleh truk penyedot tinja 4) Tersedia lahan untuk bidang resapan

13 Berdasarkan SNI tangki septic dapat didesain dengan bentuk persegi panjang mengikuti kriteria desain sebagai berikut : 1) Perbandingan antara panjang dan lebar adalah (2-3) : 1 2) Lebar minimum tangki adalah 0,75 m 3) Panjang minimum tangki adalah 1,5 m 4) Kedalaman air efektif di dalam tangki antara (1-2,1) m 5) Tinggi tangki septic adalah ketinggian air dalam tangki ditambah dengan tinggi ruang bebas (free board) yang berkisar (0,2-0,4) m 6) Penutup tangki septic yang terbenam ke dalam tanah maksimum sedalam 0,4 m Bila panjang tangki lebih besar dari 2,4 m atau volume tangki lebih besar dari 5,6 m 3, maka interior tangki dibagi menjadi 2 kompartemen yaitu kompartemen inlet dan outlet. Proporsi besaran kompartemen inlet berkisar 75% dari besaran total tangki septic. c. Tangki Septik Komunal Proses pengolahan limbah domestic yang terjadi pada tangki spetik adalah proses pengendapan dan stabilisasi anaerobic. Tangki septic bisa dianggap sebagai pengolahan awal (primer). Tangki efektif tidak efektif untuk mengurangi jumlah bakteri dan virus yang ada pada limbah domestic. Minimal jarak sumur resapan dan tangki septic adalah 10 m, tergantung aliran air tanah dan porositas tanah. d. MCK Komunal MCK komunal/ umum adalah sarana umum yang digunakan bersama oleh beberpa keluarga untuk mandi, mencuci, dan buang air di lokasi pemukiman yang berpenduduk dengan kepadatan sedang sampai tinggi ( ) orang/ha. 2. Teknologi Pengolahan Air Limbah Sistem Terpusat (Off-Site) Sanitasi sistem terpusat (off-site) yaitu sistem dimana fasilitas pengolahan air limbah berada diluar persil atau dipisahkan dengan batas jarak atau tanah yang menggunakan perpipaan untuk mengalirkan air limbah dari rumah-rumah secara bersamaan dan kemudian dialirkan ke IPAL. Sistem ini diterapkan pada kawasan :

14 a. Kepadatan > 100 orang/ha b. Bagi kawasan berpenghasilan rendah dapat menggunakan sistem septik tank komunal (decentralized water treatment) dan pengaliran dengan konsep perpipaan shallow sewer. Dapat juga melalui sistem kota/ modular bila ada subsidi tariff c. Bagi kawasan terbatas untuk pelayanan sambungan rumah disarankan menggunakan basis modul. Sistem ini hanya menggunakan 2 atau 3 unit pengolahan limbah yang paralel. Pengolahan sanitasi sistem terpusat terutama bertujuan untuk menurunkan kadar pencemar di dalam air buangan. Ada beberapa tingkat pengolahan yang umumnya dilakukan untuk mengolah air buangan agar tidak berbahaya bagi lingkungan, yaitu : a. Pengolahan fisik, seperti penyaringan sampah dari aliran, pengendapan pasir, pengendapan partikel discrete. b. Pengolahan biologis yang dapat terdiri dari proses anaerobic dan/atau proses aerobic, serta pengendapan flok hasil proses sintesa oleh bakteri c. Pengolahan secara kimia dengan pembubuhan disinfektan untuk mengontrol bakteri fekal dari effluent hasil pengolahan sebelumnya Di bagian bawah dari pengolahan air limbah adalah sisa lumpur yang terbentuk harus dikendalikan serta diolah sehingga aman terhadap lingkungan. Berikut ini alternatif teknologi untuk pengolahan air limbah sistem Off-Site : a. Sistem Penyaluran Konventional Sistem penyaluran konventional (Conventional Sewer) merupakan suatu jaringan perpipaan yang membawa air buangan ke suatu tempat berupa bangunan pengolahan atau tempat pembuaangan akhir seperti badan air penerima. Sistem in terdiri dari jaringan pipa persil, pipa lateral, dan pipa induk yang melayani penduduk suatu daerah pelayanan yang cukup luas. Syarat yang harus dipenuhi untuk penerpan sistem penyaluran konventional adalah : 1) Suplai air bersih yang tinggi karena diperlukan untuk menggelontor 2) Diameter pipa minimal 100 mm, karena membawa padatan 3) Aliran dalam pipa harus aliran seragam

15 4) Slope pipa harus diatur sehingga Vcleansing terpenuhi (0,6 m/det.). aliran dalam saluran harus memiliki tinggi renang agar dapat mengalirkan padatan 5) Kecepatan maksimum pada penyaluran konventional 3 m/det. Kelebihan sistem ini adalah tidak memerlukan pengendapan padatan atau tangki septik. Sedangkan kelemahannya adalah biaya konstruksi yang relative mahal. Selain itu, peraturan jaringan akan sulit apabila dikombinasikan dengan saluran small bore sewer, karena dua sistem tersebut membawa iar buangan dengan karakteristik berbeda, sehingga tidak boleh ada cabang dari sistem konventional ke saluran small bore sewer. Daerah yang cocok untuk penerapan sistem ini adalah : 1) Daerah yang sudah mempunyai sistem jaringan saluran konventional atau dekat dengan daerah yang punya sistem ini. 2) Daerah yang punya kepekaan lingkungan tinggi, misalnya perumahan mewah dan pariwisata. 3) Lokasi pemukiman baru, dimana penduduknya memiliki penghasilan cukup tinggi dan mampu membayar biaya operasional dan perawatan 4) Di pusat kota yang terdapat gedung-gedung bertingkat yang apabila tidak dibangun jaringan saluran, akan diperlukan lahan untuk pembuangan dan pengolahan sendiri 5) Di pusat kota, dengan kepadatan penduduk > 300 jiwa/ha dan umumnya penduduk menggunakan air tanah, serta lahan untuk pembuatan sistem setempat sangat sulit dan permeabilitas tanah buruk b. Sistem Riol Dangkal (Shallow Sewer) atau Settled Sewerage Perbedaan dengan sistem konventional adalah sistem ini mengangkut air buangan dalam skala kecil dan pipa dipasang dengan slope lebih landai. Peletakan saluran ini biasanya diterapkan pada blok-blok rumah. Shallow sewer sangat tergantung pada pembilasan air buangan untuk mengangkut buangan padat jika dibandingkan dengan cara konventional yang mengandalkan self cleansing.

16 Sistem ini harus dipertimbangkan untuk daerah perkampungan dengan kepadatan penduduk tinggi dimana sebagian besar penduduk sudah memiliki sambungan air bersih dan kamar mandi pribadi tanpa pembuangan setempat yang memadai. Sistem ini melayani air buangan dari kamar mandi, cucian, pipa servis, pipa lateral tanpa induk serta dilengkapi dengan pengolahan mini. Contoh gambar sistem in terdapat pada Gambar II.4. Kriteria perencanaannya adalah sebagai berikut : 1) Kepadatan penduduk sedang ( > 150 jiwa/ha) 2) Suplai air bersih > 60% 3) Permeabilitas tanah buruk ( < 0,0416 cm/menit) 4) Muka air tanah minimum adalah 2 m 5) Kemiringan < 2% (+ 1%) 6) Persentase yang memiliki tangki septic < 60% House Inlet Inspection Chamber Gambar II.4. Skema Shallow Sewer c. Small Bore Sewer / Simplified Sewerage Sistem ini didesain hanya untuk menerima bagian cair dari limbah rumah tangga untuk disalurkan dalam saluran pembuangan. Pasir, lemak, dan padatan lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan saluran dipisahkan dari aliran limbah di dalam tangki septic yang dibangun lebih tinggi dari setiap sambungan saluran pipa. Padatan

17 yang terakumulasi dalam tangki septik akan dikuras secara periodik. Sistem ini dirancang hanya untuk menerima bagian- bagian cair dari air buangan kamar mandi, cuci dapur, dan limpahan air dari tangki septik sehingga sistem ini harus bebas dari zat padat. Saluran ini tidak dirancang untuk self cleansing. Pipa yang dipasang hanya pipa persil dan servis yang menuju lokasi pembuangan akhir. Pipa lateral dan pipa induk digunakan dalam sistem ini apabila sistem ini diterapkan di daerah perencanaan dengan kepadatan penduduk sangat tinggi. Sistem ini juga dilengkapi dengan instalasi pengolahan sederhana. Contoh gambar skema small bore sewer terdapat pada Gambar II.5. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk penerapan sistem ini adalah : 1) Memerlukan tangki untuk memisahkan padatan dan cairan. 2) Diameter pipa minimal 100 mm karena tidak membawa padatan. 3) Kecepatan maksimum 3 m/detik (aliran dalam pipa tidak harus memenuhi kecepatan self cleansing karena tidak membawa padatan) Gambar II.5. Skema Small Bore Sewer Sistem ini cocok untuk daerah pelayanan dengan kepadatan penduduk sedang sampai tinggi, terutama untuk daerah yang

18 telah menggunakan tangki septik tapi tanah sekitarnya sudah tidak mampu lagi menyerap effluent tangki septik. Secara umum sistem ini memiliki komponen : 1) Sambungan Rumah Dibuat pada inlet tangki interceptor, semua air buangan memasuki sistem melalui bagian ini. 2) Tangki Interceptor Didesain untuk menampung aliran sederhana jam untuk memisahkan padatan dari cairannya. Volumenya dapat menyimpan endapan yang akan diambil secara periodik. 3) Saluran Berupa pipa yang berukuran kecil (50-100) mm, dengan kedalaman yang cukup untuk mengalirkan air buangan dari tangki interceptor dengan sistem gravitasi dan dibuat sesuai dengan topografi yang ada. 4) Manhole Sebagai jalan masuk dalam pemeliharaan saluran serta untuk menggelontor saluran selama pembersihan saluran. 5) Vent Fungsinya untuk memelihara kondisi aliran yang bebas. 6) Sistem Pemompaan (jika diperlukan) Berfungsi untuk mengangkat effluent dari tangki interceptor ke saluran untuk mengatasi perbedaan elevasi yang diperlukan bagi sistem saluran dengan area yang luas. Selain itu, sistem penyaluran air limbah dibedakan menjadi sistem terpisah dan sistem tercampur, selengkapnya adalah sebagai berikut : 1. Sistem terpisah, yaitu sistem pengumpulan air limbah yang terpisah dari sistem penyaluran air hujan. Sistem terpisah merupakan sistem yang tepat apabila: a. Air limbah akan dikonsentrasikan di satu tempat keluaran seperti instalasi pengolahan air limbah. b. Pengaliran air limbah diutamakan dengan cara gravitasi, akan tetapi untuk tempat tempat tertentu yang sudah tidak bisa

19 dirancang sistem gravitasi maka diperbolehkan menggunakan pompa. c. Topografi daerahnya datar sehingga harus ditempatkan di tempat yang lebih dalam dari pada kedalaman yang diperlukan untuk penyaluran air hujan. d. Area drainase merupakan daerah yang pendek dan terjal sehingga menyebabkan kecepatan aliran yang tinggi menuju saluran drainase alami. e. Ketersediaan dana yang terbatas. Pembangunan sistem tercampur akan memerlukan dana yang lebih besar dari sistem terpisah. 2. Sistem tercampur, Sistem pengumpulan air limbah yang dicampur dengan penyaluran air hujan. Sistem ini digunakan apabila daerah pelayanannya adalah daerah padat dan sangat terbatas lahan untuk membangun saluran air buangan yang terpisah dengan saluran air hujan. Sistem ini bisa diterapkan dengan syarat : - Debit air buangan relatif kecil - Fluktuasi curah hujan relatif kecil dari tahun ke tahun Kelebihan sistem ini adalah terjadinya pengurangan konsentrasi pencemar air buangan karena adanya pengenceran dari air hujan, akan tetapi sistem ini biasanya membutuhkan dimensi saluran yang lebih besar daripada sistem lain. Sementara itu, sistem tercampur dapat digunakan apabila: a. Daerah yang akan dibangun saluran, merupakan daerah yang sudah terbangun dan padat, dan ada keterbatasan ruang untuk membangun dua jalur saluran. b. Saluran penyalur air hujan sudah ada atau harus dibangun sedangkan tambahan aliran air limbah jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan air hujan yang disalurkan.

20 c. Dari segi pertimbangan lingkungan, tidak menimbulkan masalah untuk membuang air limbah yang tercampur dengan air hujan pada titik-titik pembuangan. d. Air hujan yang ditampung pada saluran tidak dimanfaatkan kembali oleh masyarakat, sehingga air hujan berfungsi sebagai penurun konsentrasi air limbah yang masuk ke saluran. e. Ada pengaturan tentang pembagian sebagian aliran pada waktu hujan yang dapat disalurkan ke dalam saluran drainase alami, sementara sejumlah aliran yang besarnya sama dengan jumlah aliran yang didesain pada aliran musim kering tetap mengalir ke outlet yang lain. Unit pengumpulan terdiri dari beberapa komponen, yaitu : a. Pipa Retikulasi Pipa retikulasi terdiri dari pipa lateral dan pipa servis. 1) Pipa lateral berfungsi sebagai saluran pengumpul air limbah dari sambungan rumah ke pipa induk. Pipa lateral disambungkan ke pipa induk secara langsung melalui manhole yang terdekat. 2) Pipa servis berfungsi sebagai saluran pengumpul air limbah dari pipa lateral ke pipa induk. Pipa ini dapat dipasang apabila kondisi lapangan tidak memungkinkan secara teknis untuk menyambungkan pipa lateral ke pipa induk. b. Pipa Induk c. Bangunan Pelengkap Bangunan pelengkap yang dimaksud dapat berupa Manhole atau syphon. G.2. Pengembangan Sistem Jaringan Air Limbah Beberapa langkah yang harus dilakukan dalam pengembangan suatu rancangan sistem pengumpulan air limbah antara lain: 1. Studi tentang kebutuhan sarana tersebut yang dilengkapi dengan sebuah laporan awal dan perkiraan biaya yang dibutuhkan. 2. Rekomendasi yang menyangkut metode pembiayaan yang diusulkan untuk proyek yang diusulkan.

21 3. Publikasi proyek kepada masyarakat guna memastikan adanya dukungan masyarakat. 4. Investigasi kerekayasaan sebelum menyusun rencana akhir. 5. Rencana itu sendiri yang diikuti oleh kontrak dan penyelesaian pekerjaan. Masyarakat perlu diberi penjelasan mengenai perlunya proyek tersebut dilaksanakan dengan memberikan gambaran tentang keadaan kota/daerah sekarang ini dibandingkan dengan daerah lain yang telah memiliki sistem penyaluran air limbah yang baik. Publikasi harus memasukkan beberapa informasi berikut: 1. Uraian tentang kondisi yang tidak diinginkan pada suatu wilayah yang belum mempunyai fasiitas tersebut. 2. Uraian tentang kondisi daerah hilir dengan penjelasan tentang bahaya kerusakan yang akan dihadapi. 3. Diskusi sebelum dan sesudahnya tentang apa yang dilakukan wilayah tetangga. 4. Himbauan untuk meningkatkan kebanggaan masyarakat. G.3. Daerah dan Tingkat Pelayanan 1. Daerah pelayanan harus ditunjukkan dengan jelas dalam peta hingga mencakup skala kelurahan termasuk jalur pipa utama yang melewatinya. 2. Daerah pelayanan setiap jalur (seksi) pipa harus ditandai dengan jelas berupa blok-blok pelayanan, dengan aliran air limbah yang masuk ke manhole hulu di seksi pipa yang menerimanya. 3. Daerah pelayanan pada daerah komersil akan memberikan percepatan cost recovery O & M. 4. Tingkat pelayanan dinyatakan dengan persentase jumlah penduduk ekivalen atau jumlah sambungan rumah yang dilayani oleh suatu jalur (seksi) pipa.

22 G.4. Penyusunan Layout & Pemil. Paket Pek. Prioritas 1. Lay out sistem jaringan pipa harus diplot pada zona off-site dengan karakteristik fisik minimal: a. Pada zona dengan kepadatan penduduk tinggi. Kepadatan penduduk untuk diharuskan adanya IPAL > 300 jiwa/ha. b. Pada zona di mana air bersih tersedia dengan kapasitas yang memadai untuk penggelontoran kloset. c. Pada zona di mana elevasi muka air tanah tinggi. d. Pada zona di mana air tanah dan sungai mempunyai beban pencemaran tinggi melebihi beban maksimal sesuai peruntukannya. e. Pada zona di mana calon konsumennya mampu dan mau membayar tarif. f. Diprioritaskan pada zona komersil dan perkantoran. 2. Setiap pembuatan DED perlu me-review rencana lay-out jaringan pipa (bila ada) atas pertimbangan potensi pengembangan daerah pelayanan, kemudahan pelaksanaan atau biaya, dan kondisi eksisting daerah pelayanan. 3. Alternatif lokasi IPAL potensial sudah ditetapkan. Di mana kapasitas dan topografinya cukup memadai dan mudah dibebaskan. 4. Untuk pekerjaan pengembangan, pada ujung pipa lama yang akan diadop harus selalu diukur kembali diameter dan elevasi invertnya meskipun sudah ada as-build drawingnya. 5. Paket pekerjaan prioritas harus merupakan paket fungsional baru dan/atau perbaikan seksi pipa yang bermasalah. 6. Paket pekerjaan prioritas mencakup suatu zona pelayanan dengan karakterisik konsumen yang relatif sama, yang diprioritaskan untuk didesain dan diimplementasikan.

23 G.5. Perancangan Sistem Perancangan sistem jaringan perpipaan air limbah harus mencantumkan: 1. Peta umum sistem pengumpulan air limbah yang menunjukkan distrik atau wilayah sistem pengumpulan dan penyaluran air limbah utama beserta distrik-distrik pelengkapnya. 2. Perencanaan dan profil tiap sistem pengumpulan air limbah. 3. Detail peralatan pelengkapnya. 4. Laporan lengkap proposal pembangunan sistem 5. Spesifikasi teknis sistem perpipaan dan detailnya. G.6. Desain Aktual 1. Desain kapasitas pada setiap seksi pipa dengan awal manhole yang mendapat tambahan debit, di buat khusus dalam lembar perhitungan, seperti debit rata-rata, debit minimal, debit maksimal dan debit puncak dari domestik, industri dan infilltrasi. Data debit ini digunakan lebih lanjut dalam lembar perhitungan desain hidrolika. 2. Desain hidrolika dibuat dalam lembar perhitungan tersendiri, dengan berbagai keluaran seperti diameter, kemiringan, kecepatan, elevasi invert saluran dan manhole. 3. Desain struktur perlu memperhatikan kualitas media kontak (cairan yang akan dialirkan, kualitas tanah dan tinggi muka air tanah), beban, keamanan pekerja dan umur ekonomis struktur. Beberapa konstruksi yang perlu diperhatikan adalah: a. Pemilihan bahan pipa b. Bedding, turap, tanah urug pada pemasangan pipa c. Manhole dan pondasinya d. Rumah pompa dan perlengkapan pipa lainnya Gunakan mutu beton minimal K 350, dan untuk pekerjaan akhir dengan semen tipe 5.

24 G.7. Pemetaan Untuk keperluan operasi dan pemeliharaan yang sempurna, serta untuk keperluan dokumentasi, jalur saluran yang direncanakan haruslah dipetakan dengan baik. Sebelum melakukan pemetaan, terlebih dahulu perlu ditetapkan batas-batas wilayah atau distrik berdasarkan daerah pelayanan yang direncanakan, pertimbangan ekonomi, dan faktorfaktor lain yang terkait seperti pertumbuhan di masa yang akan datang, serta pertimbangan-pertimbangan politik dan sosiologi. Apabila batas wilayah atau distrik telah ditetapkan, pemetaan awal harus segera dilakukan. Pemetaan harus mengindikasikan bagaimana usulan sistem pengumpulan air limbah bagi wilayah yang tidak termasuk dalam rencana. Guna memperoleh pemahaman yang baik tentang proyek yang direncanakan, pemetaan harus menunjukkan beberapa informasi berikut ini: 1. Elevasi dari lahan atau persil dan ruang-ruang bawah tanah. 2. Karakteristik wilayah yang telah terbangun apabila tidak melalui bangunan-bangunan dengan atap datar, pabrik-pabrik, dll. 3. Rencana pemasangan pipa sistem penyaluran air limbah. 4. Garis batas kepemilikan. 5. Lebar jalan diantara garis kepemilikan dan di antara garis kelokan. 6. Lebar dan tipe jalan untuk pejalan kaki dan yang diaspal. 7. Jalur jalan kendaraan mobil dan jalan kereta api. 8. Struktur bawah tanah eksisting, seperti sluran pengumpul air limbah, pipa air minum, dan kabel telepon. 9. Lokasi-lokasi struktur yang dapat memberikan hambatan dalam desain saluran seperti jembatan, terowongan kereta api, penggalian yang dalam, dan gorong-gorong. 10. Lokasi outlet saluran yang memungkinkan. 11. Lokasi instalasi pengolahan air limbah.

25 12. As built drawing dari instansi terkait. Selain informasi-informasi yang dicantumkan dalam pemetaan tersebut, yang dapat dijadikan dasar dalam memperkirakan jumlah air limbah yang akan ditangani dapat diperoleh dari studi tentang pemakaian air dan kerapatan serta pertumbuhan penduduk di wilayah yang akan dilayani oleh sistem yang direncanakan, pengukuran debit di saluran air limbah yang telah ada (eksisting), serta kompilasi data tentang hujan dan run off yang ada. Apabila tidak diperoleh satu datapun yang diperlukan dalam wilayah yang direncanakan,perkiraan harus dilakukan berdasarkan data dari wilayah atau distrik yang mirip dengan yang direncanakan. G.8. Survei Bawah Tanah Untuk memperoleh informasi tentang bangunan-bangunan, kesulitan penggalian saluran, serta kondisi-kondisi lainnya yang mungkin akan dijumpai dalam pelaksanaan pekerjaan, perlu melakukan survey-survei bawah tanah disepanjang jalur saluran yang direncanakan. Informasi pasti yang dapat diperoleh termasuk jenis bahan/material yang akan digali, muka air tanah, letak dan ukuran pipa-pipa air, gas, dan air limbah, kabel-kabel listrik dan telepon, jalur kendaraan di jalan, dan struktur lain-lain yang dapat mempengaruhi konstruksi bawah tanah. Struktur-struktur tersebut harus ditempatkan dengan mengacu pada suatu titik permanen diatas muka tanah. Elevasi bagian atas pipa harus dicatat, bukan kedalaman lapisan tanah penutup pipanya karena kedalaman lapisan tanah penutup ini dapat berubah sesuai keadaan. Elevasi saluran ditetapkan terhadap dasar saluran, bukan bagian atas pipa. Pekerjaan geoteknik atau penyelidikan geologi teknik merupakan salah satu pekerjaan untuk mendapatkan data/informasi kedalaman muka air tanah, jenis kualitas tanah serta daya dukungnya yang nantinya akan merupakan bahan pertimbangan didalam menentukan desain pemasangan pipa dan penentuan metode konstruksi (pemilihan jenis turap penahan galian longsor dsb.). Penyelidikan tanah dilaksanakan di beberapa lokasi sepanjang jalur pipa yang direncanakan dengan kedalaman tertentu. Pekerjaan ini dibagi menjadi 2 pekerjaan utama

26 yaitu pekerjaan lapangan dan pekerjaan laboratorium, yang diuraikan sebagai berikut : 1. Pekerjaan di Lapangan Terdiri dari pekerjaan pengeboran dan pengambilan contoh tanah serta pengujian Standard Penetration Test (SPT) pada kedalaman lubang bor. Pengeboran dilakukan di beberapa lokasi dengan kedalaman rata-rata tergantung kondisi lapangan dan rencana kedalaman pemasangan pipa air limbah. Test SPT pada lubang bor dilakukan setiap interval kedalaman 2 meter dan pengambilan contoh tanah tidak terganggu dilakukan sebanyak satu kali untuk setiap lubang bor. Sedangkan pengamatan visual untuk tanah terganggu dilakukan sepanjang kedalaman pengeboran. Dan dari setiap lubang bor juga akan diketahui tinggi muka air tanah. 2. Pekerjaan Laboratorium Contoh tanah terganggu dan tidak terganggu yang diperoleh dari hasil pengeboran di lapangan, akan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan beberapa pengujian yang meliputi: a. Kadar air b. Berat isi c. Berat jenis Gs d. Unconfined Compresion Test Kohesi c Sudut geser Analisa saringan e. Proctor Test Optimum Moisture Content w. Opt Dry Maximum Density d. Max G.9. Penempatan/Letak Saluran Penempatan saluran dilakukan berdasarkan pada pertimbangan kemudahan dalam pemeliharaan dan pemeriksaan saluran. Untuk jalanjalan di wilayah yang belum terbangun yang hanya akan dipasang satu

27 jalur pipa (baik cabang maupun sub induk) saja, saluran seringkali diletakkan di tengah jalan. Pada jalan-jalan yang lebih padat dilalui kendaraan dan dimana saluran air hujan juga akan dipasang, saluran air hujan dan saluran air limbah akan lebih ekonomis jika ditempatkan pada trench yang sama dengan menggunakan manhole yang sama, seperti digambarkan pada Gambar II.6. Gambar II.6. Tipikal Manhole Untuk Dua Macam Saluran dalam Trench Yang Sama Letak saluran air limbah harus sedemikian rupa sehingga memberikan kombinasi yang diinginkan dalam: 1. Murah pembiayaannya 2. Sambungan ke rumah yang pendek 3. Kedalaman yang tepat 4. Menghindari pengaspalan Di jalan-jalan yang lebar seperti boulevard, saluran diletakkan di tempat parkir pada kedua sisi jalan sehingga tidak mengganggu pengaspalan dan menghindari sambungan rumah yang panjang. G.10. Penyajian Gambar Perencanaan

28 Gambar perencanaan secara keseluruhan terdiri dari : 1. Peta kunci (key map) seluruh sistem penyaluran air limbah (jaringan pipa, termasuk titik lokasi pompa dan IPAL) yang dibagi dalam beberapa indek peta. Peta ini sebaiknya dibuat digital dari hasil pemotretan udara. Skala 1 : ( ). 2. Peta sistem jaringan (lay-out) dalam satu index peta (terdiri dari satu atau beberapa seksi pipa), sebagai hasil desain, skala 1 : 1000, yang mencakup: a. Lay-out seksi pipa (dua atau beberapa Manhole yang ada dalam satu indek peta) b. Nama jalan dan tata-letak persil konsumen c. Utilitas kota di sekitar (jalur) jaringan d. Panjang dan diameter pipa e. Titik lokasi dan No. Manhole f. Elevasi muka tanah dan/atau ditunjukkan dengan kontur interval 300 mm. 3. Gambar detailed plan, sebuah profil kerja yang dapat dipakai sebagai gambar dokumen tender, dalam satu lembar gambar kerja terdiri dari : a. Gambar denah (sewer plan) skala 1 : 1000 b. Gambar profil (sewer profile), dengan posisi di bawah gambar denah, berupa potongan memanjang pipa dan data desain pipa mencakup nama jalan; utilitas kota di sekitar (jalur) jaringan; panjang dan diameter pipa; titik lokasi, no. dan tipe Manhole; elevai muka tanah eksisting; lokasi boring; jenis tanah (termasuk lapisan kerasnya); tipe bedding; metode konstruksi pipa. c. Informasi penting lainnya dengan posisi di bagian kanan berupa gambar logo dari pemberi tugas, perencana dan gambar instansi lain; indeks peta dan nomornya; judul, nomer dan halaman gambar; skala 1 : 100 (vertikal) dan 1: 1000 (horisontal); tanggal disetujuinya gambar; nama-nama drafter, pemeriksa dan pemberi persetujuan untuk keperluan tanda tangan yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan (kesepakatan); nama proyek; nama paket; legend seperti notasi jalan, jembatan, sungai, manhole,

29 pipa air, pipa/kabel listrik, bangunan-bangunan (perumahan, gedung dan fasilitas lain lengkap dengan namanya), pipa air limbah dengan arah aliran, dimensi dan panjangnya, serta notasi lain yang dianggap penting. d. Gambar detail/tipikal yang terdiri dari detail Manhole, bedding, Sambungan Rumah, bangunan pengumpul, rumah pompa dan lain-lain. G.11. G Perencanaan Teknis Sistem Perpipaan Air Limbah Perencanaan Pipa Retikulasi 1. Pipa retikulasi adalah saluran pengumpul air limbah untuk disalurkan ke pipa utama; 2. Pipa retikulasi terdiri dari pipa servis dan pipa lateral; 3. Pipa servis adalah saluran pengumpul air limbah dari pipa lateral ke pipa induk; 4. Pipa lateral adalah saluran pengumpul air limbah dari sambungan rumah ke pipa induk. 5. Perencanaan pipa retikulasi air limbah meliputi: letak pipa, diameter dan bahan pipa, metode konstruksi (open trench atau pipe jacking), kemiringan minimum, manhole; 6. Perencanaan debit rata-rata (m 3 /hr) pada masing-masing seksi pipa lateral harus memperhitungkan luas daerah tangkapan (ha), klasifikasi dan proyeksi debit spesifik air limbah yang dilayani (m 3 /hr/ha). 7. Perencanaan dimensi pipa retikulasi harus memperhitungkan: a. Debit rata-rata (tanpa infiltrasi) b. Debit jam maksimum/puncak (dengan infiltrasi) c. Debit jam minimum (tanpa infiltrasi) Perencanaan dimensi pipa dan pompa harus memperhitungkan debit jam maksimum dan debit jam minimum untuk perencanaan penggelontoran di beberapa seksi pipa.

30 8. Perencanaan pipa retikulasi harus mengacu pada kriteria dan tata cara perencanaan teknis yang berlaku. G Perencanaan Pipa Induk (Main/trunk sewer) 1. Pipa induk adalah saluran yang menyalurkan air limbah dari pipa lateral (retikulasi) menuju instalasi pengolahan air limbah; 2. Bila diperlukan pipa induk dapat dilengkapi dengan pipa cabang yang berfungsi menyalurkan air limbah dari pipa lateral (retikulasi) ke pipa induk; 3. Perencanaan pipa induk air limbah meliputi: letak pipa, dimensi dan bahan pipa, metode konstruksi (open trench atau pipe jacking), stasiun pompa dan bangunan pelengkap (seperti manhole, siphon, dll). 4. Perencanaan debit rata-rata (m 3 /hr) harus memperhitungkan seluruh daerah tangkapan (ha), klasifikasi dan proyeksi debit spesifik air limbah yang dilayani (m 3 /hr/ha). 5. Perencanaan dimensi pipa induk harus memperhitungkan: a. Debit rata-rata (tanpa infiltrasi) b. Debit jam maksimum/puncak (dengan infiltrasi) c. Debit jam minimum (tanpa infiltrasi) Perencanaan dimensi pipa dan pompa harus memperhitungkan debit jam maksimum dan debit jam minimum untuk perencanaan penggelontoran pipa induk. 6. Perencanaan teknis pipa induk harus mengacu pada standard teknis dan tata cara perhitungan perencanaan teknis pipa induk Air Limbah yang berlaku. 7. Material pipa jacking mengacu pada JIS A5303 atau JIS 5302, dengan mutu beton minimum K 400, menggunakan sement Type V (Sulfate Resisting Portland Cement) sesuai dengan SII , dan menggunakan besi jenis Hard Drawn deformed wire dengan Yield Strength > 4500kg/cm 2 dan Tensile Strength > 5000 kg/cm 2

31 G Debit Desain 1. Debit Rata-Rata a. Debit rata-rata suatu seksi pipa merupakan komulatif debit rata-rata seksi pipa hulu yang mengkontribusinya. b. Debit rata-rata suatu seksi pipa (qr) bisa terdiri dari debit satu atau beberapa sumber air limbah dengan debit air limbah spesifik, qr [m 3 /hr.ha] dan luas, a [m 2 ] yang berbeda : qr-c [m 3 /hr] = qr-a [m 3 /hr] + qr-b [m 3 /hr] + qr1 [m 3 /(hr.ha)] a1 [ha] + qr2 [m 3 /(hr.ha)] a2 [ha] +... c. Debit air limbah spesifik dari daerah permukiman qr [m 3 /(hr.ha)]=(0,15 sampai dengan 0,25) [m 3 /(org.hr)] ( ) [org/ha] d. Debit air limbah spesifik dari daerah komersil, perkantoran atau highrise building qr [m 3 /(hr.ha)] =Ls1 [m 3 /(unit.hr)] Ls2 [unit/ha], atau = (0,01-0,03) [m 3 /(org.hr)] Ls3 [org/lt] Ls4 [lt/unit] Ls2 [unit/ha] Besarnya Ls1 tergantung pada data pemakaian air bersih dan faktor air limbah (0,70-0,80). Ls2, Ls3, dan Ls4 tergantung pada kondisi sumber air limbahnya. e. Debit air limbah spesifik dari rumah sakit qr [m 3 /(hr.ha)] =Ls1 [m 3 /(unit.hr)] Ls2 [unit/ha], atau = (0,3) [m 3 /(bed.hr)] Ls3 [bed/kmr] Ls4 [kmr/lt] Ls5 [lt/unit] Ls2 [unit/ha], Besarnya Ls1 tergantung pada data pemakaian air bersih dan faktor air limbah (0,70-0,80). Ls2, Ls3, Ls4 dan Ls5 tergantung pada kondisi sumber air limbahnya.

32 2. Debit Jam Maksimal (puncak) a. Debit puncak suatu seksi pipa merupakan debit rata-rata di seksi yang bersangkutan (tanpa infiltrasi) dikalikan dengan faktor puncak sesuai dengan dimensi pipanya. b. Faktor puncak untuk berbagai dimensi pipa air limbah. Tabel II.2. Faktor Puncak Jenis Pipa fp = qp/qr Pipa SR 6 Pipa lateral 4-6 Pipa cabang 3 Pipa induk 2,5 Pipa pembawa (trunk) atau outfall 2 Atau dari formula Babbit : qp = fp qr di mana : fp = 5/(P 0,167) P = jml penduduk dilayani, ribuan c. Debit puncak total, (QP) harus mempertimbangkan debit infiltrasi d. Debit infiltrasi, (qi) QP = qp + qi qi = 10% qr G Kecepatan dan Kemiringan Pipa 1. Kemiringan pipa minimal diperlukan agar di dalam pengoperasiannya diperoleh kecepatan pengaliran minimal dengan daya pembilasan sendiri (tractive force) guna mengurangi gangguan endapan di dasar pipa; 2. Koefisien kekasaran Manning untuk berbagai bahan pipa yang terdapat pada Tabel II.3.

33 No 1 Tabel II.3. Koefisien Kekasaran Pipa Jenis Saluran Koefisien Kekasaran Manning (n) Pipa Besi Tanpa Lapisan Dengan Lapisan Semen Pipa Berlapis Gelas Pipa Asbestos Semen Saluran Pasangan Batu Bata Pipa Beton Pipa Baja Spiral dan Pipa Kelingan Pipa Plastik Halus (PVC) Pipa Tanah Liat (Vitrified Clay) Kecepatan pengaliran pipa minimal saat full flow atas dasar tractive force, yang terdapat pada Tabel II.4. Tabel II.4. Kecepatan Pengaliran Pipa Minimal Saat Full Flow Diameter (m) Kecepatan Self Cleansing (m/detik) n=0,013 n=0, ,47 0, ,49 0, ,50 0, ,52 0, ,54 0,47 4. Kemiringan pipa minimal praktis untuk berbagai diameter atas dasar kecepatan 0.60 m/dtk saat pengaliran penuh terdapat pada Tabel II.5. Diameter (m) Tabel II.5. Kemiringan Minimal Kemiringan Minimal (mm) n = 0,013 n=0, ,0033 0, ,0025 0, ,0019 0, ,0014 0, ,0011 0,0015

34 Atau dengan formula praktis : Smin = atau 0,01 Q 0,667 di mana Smin (m/m), D (mm) dan Q (L/dtk) Kecepatan aliran minimum 0,6 m/detik dan maksimum 3 m/detik. 5. Kemiringan muka tanah yang lebih curam daripada kemiringan pipa minimal, bisa dipakai sebagai kemiringan desain selama kecepatannya masih di bawah kecepatan maksimal. G Kedalaman Pipa 1. Kedalaman perletakan pipa minimal diperlukan untuk perlindungan pipa dari beban di atasnya dan gangguan lain; 2. Kedalaman galian pipa: a. Persil > 0.4 m (beban ringan, > 0,8 m (beban berat) b. Pipa service 0,75 m dan, c. Pipa lateral (1-1.2) m, 3. Kedalaman maksimal pipa induk untuk open trench 7m atau dipilih kedalam ekonomis atas pertimbangan biaya dan kemudahan/resiko pelaksanaan galian dan pemasangan pipa. G Hidrolika Pipa 1. Metode atau formula desain pipa pengaliran penuh (full flow) yang digunakan dalam pedoman ini adalah Manning; 2. Ada 4 parameter utama dalam mendesain pipa full-flow, dengan kaitan persamaan antar-parameter sebagai berikut: a. Debit, QF (m 3 /dtk) QF = = VF (D/1000) 2 = D 1000 b. Kecepatan, VF (m/dtk)

35 VF= (D/1000) 2/3 S 0,5 = = (0.5313/n 0.75 ) QF 0.25 S 3/8 c. Kemiringan, S (m/m) S = = = d. Diameter, D (mm) D = = = Pemakaian formula-formula diatas dapat juga dengan menggunakan Nomogram untuk berbagai koefisien Manning. 3. Pengaliran di dalam pipa air limbah adalah pengaliran secara gravitasi (tidak bertekanan), kecuali pada bangunan perlintasan (sifon) dan bila ada pemompaan. 4. Pada pengaliran secara gravitasi, air limbah hanya mengisi penampang pipa dengan kedalaman air hingga < (70 80)% terhadap diameter pipa, atau debit puncak = (70 80)%, atau terhadap debit full atau allowance = (20 30)%. Air dalam pipa maksimum sebesar 2/3 diameter pipa atau 80% dari volume total pipa. Perbandingan luas penampang basah dengan luas penampang pipa untuk D < 150mm yaitu a/a = 0,5 dan untuk D> 150mm a/a = 0,7. 5. Dari hasil perhitungan debit puncak (dengan infiltrasi), maka debit full dapat diperoleh, QF = QP + allowance. Allowance Debit puncak (Q P ) Debit Full (Q F ) D d 6. Dari data kemiringan pipa rencana (S) dan debit full (QF), dengan menggunakan formula kecepatan dan diameter pipa di atas dapat dihitung diameter (D) dan kecepatan pipa (VF).

36 7. v/vf dan d/d dihitung dengan formula (1/ ) [1/ArcCos ] 0,6667 [ArcCos -Sin(ArcCos ) Cos(ArcCos )] 1,667, di mana = (1-2 d/d) dalam radian : Partially flow q, v, d Full flow Q,V, D D d 8. Perhitungan hidrolika pipa bisa dilakukan secara manual atau menggunakan perhitungan cepat dengan program komputer (Microsoft Excel). G Dimensi Pipa & Populasi Ekivalen yg dilayani Dari perhitungan dimensi pipa berdasarkan aliran atau tiap jalur pipa dari berbagai sumber air limbah dapat dihitung dimensi pipa. Perhitungan dimensi pipa dari rumah tangga akan mudah diketahui bila sudah diketahui jumlah populasi dan jumlah pemakaian air bersihnya. Untuk mengetahui secara cepat dimensi pipa dari kegiatan lain seperti bisnis area, rumah sakit, pasar dan sebagainya digunakan populasi ekivalen. Berikut ini disampaikan besaran population ekivalen dari berbagai jenis kegiatan yang terdapat pada Tabel II.6. Tabel II.6. Nilai PE Untuk Setiap Kegiatan No Kegiatan Nilai PE Acuan 1 Rumah Biasa 1 Study JICA Rumah Mewah 1,67 Sofyan M Noerlambang 3 Apartemen 1,67 Sofyan M Noerlambang 4 Rumah Susun 0,67 Sofyan M Noerlambang 5 Puskesmas 0,02 Sofyan M Noerlambang 6 Rumah Sakit Mewah 6,67 SNI Rumah Sakit Menengah 5 SNI Rumah Sakit Umum 2,83 SNI SD 0,27 SNI SLTP 0,33 SNI

37 No Kegiatan Nilai PE Acuan 11 SLTA 0,53 SNI Perguruan Tinggi 0,53 SNI Ruko 0,67 SNI Kantor 0,33 SNI Stasiun 0,02 SNI Restoran 0,11 SNI Setiap SR atau dimensi pipa secara praktis dapat melayani suatu jumlah penduduk ekivalen (PE) 2. Setiap SR dari permukiman akan melayani (3-10) PE tergantung jumlah penghuninya. 3. Setiap SR atau suatu seksi pipa akan melayani: PE = Jumlah PE di sini kemungkinan tidak sama dengan jumlah penduduk yang dilayani. 4. Jumlah PE untuk masing-masing SR atau pipa. Konversi nilai PE terhadap diameter pipa terdapat pada Tabel II.7. Tabel II.7. Konversi Nilai PE Terhadap Diameter Pipa PE Diameter (mm) Miring Minimal (mm) < , , , , ,0033 G Pemilihan Bahan Pipa Pemilihan bahan pipa harus betul-betul dipertimbangkan mengingat air limbah banyak mengandung bahan yang mengganggu kekuatan pipa. Demikian pula selama pengangkutan dan pemasangannya diperlukan kemudahan serta kekuatan fisik yang memadai. Sehingga

38 berbagai faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pipa secara menyeluruh adalah: 1. Umur ekonomis. 2. Pengalaman pipa sejenis yang telah diaplikasikan di lapangan. 3. Resistensi terhadap korosi (kimia) atau abrasi (fisik). 4. Koefisiensi kekasaran (hidrolik). 5. Kemudahan transpor dan handling. 6. Kekuatan struktur. 7. Biaya suplai, transpor dan pemasangan. 8. Ketersediaan di lapangan. 9. Ketahanan terhadap disolusi di dalam air. 10. Kekedapan dinding. 11. Kemudahan pemasangan sambungan. Pipa yang bisa dipakai untuk penyaluran air limbah adalah Vitrified Clay (VC), Asbestos Cement (AC), Reinforced Concrete (RC), Stell, Cast Iron, High Density Poly Ethylene (HDPE), Unplasticised Polyvinylchloride (upvc) dan Glass Reinforced Plastic (GRP). 1. Pipa Beton a. Aplikasi Pada pengaliran gravitasi (lebih umum) dan bertekanan 1) Untuk pembuatan sifon 2) Untuk sistem tercampur dengan saluran drainase diameter ( ) mm akan lebih ekonomis karena durabilitasnya jauh lebih baik dibandingkan dengan bahan saluran lainnya. 3) Hindari aplikasi sebagai sanitary sewer dengan dimensi kecil terutama bila ada air limbah industri atau mengandung H2S berlebih. Untuk dimensi kecil hingga

39 diameter 45 mm biasanya dipakai pipa bahan PVC atau lempung. 4) Pada sanitary trunk sewer, beton bertulang juga dipakai dengan diameter lebih besar daripada PVC maksimal, dengan lining plastik atau epoksi (diproses monolit di pabrik) atau pengecatan bitumas-tik atau coal tar epoxy (dilakukan setelah instalasi di lapangan). b. Ukuran dan Panjang Pipa 1) Pipa pracetak dengan diameter diatas 600 mm harus dipasang dengan tulangan, meskipun pada diameter yang lebih kecil tetap dibuat beton bertulang. 2) Untuk konstruksi beton bertulang (pracetak), diameter dan panjang yang tersedia di lapangan: a) Diameter : [(300) ] mm b) Panjang : 1.8 m untuk diameter < 375 mm c) Panjang : 3 m untuk diameter > 375 mm d) Tersedia 5 kelas berdasarkan pada kekuatan beban eksternal. 3) Untuk konstruksi beton tidak bertulang (pracetak) a) Diameter : ( ) mm b) Panjang : ( ) c. Sambungan 1) Tongue dan Groove (khusus beton bertulang) a) Untuk diameter > 760 mm b) Dengan menggunakan sambungan senyawa mastic atau gasket karet yang membentuk seal kedap air dengan plastic atau tar panas mastic, clay tile, atau senyawa asphatik. 2) Spigot dan Soket dengan semen a) Untuk diameter ( ) mm b) Ekonomis

40 c) Mudah pemasangannya d) Aman dan Memuaskan 3) Cincin karet fleksibel 2. Pipa Cast Iron a. Aplikasi 1) Bangunan layang diatas tanah (perlintasan sungai, jembatan, dan sebagainya) 2) Stasiun pompa 3) Transport lumpur 4) Pipa bertekanan 5) Situasi yang sulit (misal pondasi jelek) 6) Pipa yang diaplikasikan pada tanah yang bermasalah dengan akar pepohonan 7) Tidak cocok apabila diaplikasikan pada: a) Daerah payau, yang selalu ada aksi elektrolit b) Sambungan rumah karena biaya mahal c) Daerah dengan tanah mengandung sulfat 8) Pipa yang akan dipasang pada kedalaman lebih dari 0.5m mengingat bila menggunakan cara pemasangan pipa dangkal cenderung akan menemukan banyak gangguan. b. Diameter dan Panjang Tersedia 1) Diameter : (2 48) inch 2) Panjang : 3.6 m c. Sambungan 1) Flanged dan Spigot

41 2) Flanged dan Soket 3) Tarred Gasket dengan Cauled Lead 3. Pipa Asbes Semen a. Aplikasi 1) Sambungan rumah 2) Saluran gravitasi 3) Pipa bertekanan (terbatas) b. Diameter dan Panjang Lapangan 1) Diameter ( ) mm, panjang 4 m 2) Diameter ( ) mm, panjang 2 m 3) Tersedia berbagai klas didasarkan pada supporting strength, dan epoxy-lined. 4. Vitrified Clay Pipe (VCP) a. Aplikasi 1) Untuk pipa pengaliran gravitasi 2) Sebagai sambungan rumah (SR) a) SR pipa standar b) SR pipa dengan riser vertical b. Diameter dan Panjang Tersedia 1) Diameter : ( ) mm dan ( ) mm. 2) Panjang : ( ) m. 3) Tersedia dalam bentuk standard dan ekstra kuat.

42 5. Pipa Plastik (Bahan PVC dan PE) a. Aplikasi 1) PVC : untuk sambungan rumah dan pipa cabang. 2) PE : untuk daerah rawa attau persilangan di bawah air. b. Klasifikasi 1) Standar JIS K a) Klas D/VU dengan tekanan 5 kg/cm 2 b) Klas AW/VP dengan tekanan 10 kg/cm 2 2) Standar SNI A/SII a) Seri S-8 dengan tekanan 12.5 kg/cm 2 b) Seri S-10 dengan tekanan 10 kg/cm 2 c) Seri S-12.5 dengan tekanan 8 kg/cm 2 d) Seri S-16 dengan tekanan 6.25 kg/cm 2 Pemilihan klas diatas tergantung pada beban pipa dan tipe bedding dan dalam kondisi pengaliran secara gravitasi atau dengan adanya pompa (tekanan). c. Diameter dan Panjang Tersedia 1) Diameter sampai dengan 300 mm. 2) Panjang standar 6 m. G Bentuk Penampang Pipa Penampang pipa yang digunakan dapat berbentuk bundar, empat persegi panjang atau bulat telur.

43 G Beban Di atas Pipa dan Bedding - Perhitungan beban-beban yang bekerja di atas pipa dapat dipakai untuk mengontrol atau merencanakan pemasangan pipa agar pipa dapat menahan beban yang bekerja sesuai dengan kekuatannya. - Kekuatan pipa dapat ditingkatkan dengan pemilihan konstruksi landasan pipa (bedding). - Ada 6 (enam) tipe konstruksi bedding dengan load factor 1,1-1,5-1,9-2,4 dan -4,5. G Menentukan Beban yang Bekerja pada Pipa Desain struktur pipa air limbah sangat tergantung dari daya dukung tanah di sekitar pipa yang terpasang dibagi dengan factor keamanan, dimana nilainya harus sama atau tidak boleh kurang dari beban yang bekerja pada pipa. Beban yang bekerja pada pipa berupa beban kombinasi dari berat tanah di atas pipa dan beban yang bekerja di atas timbunan. Macam-macam beban pipa dicontohkan pada Gambar II.7. Gambar II.7. Macam-Macam Beban yang terjadi pada Pipa 1. Beban pada pipa yang disebabkan tekanan grafitasi tanah Untuk menghitung beban yang bekerja pada pipa dapat menggunakan teori Marston. Teori Marston cocok digunakan

44 untuk diameter pipa besar (>20 inch). Sedangkan pipa diameter kecil tidak tepat menggunakan teori Marston. Persamaan umum teori Marston untuk beban merata akibat tekanan tanah : Wc = Cd. ω. Bd 2 Dimana : Wc = Beban yang bekerja di atas pipa (N/m) Cd = koefisien beban, tergantung tinggi urugan dan lebar galian pipa (Gambar I.21) = berat jenis tanah (kg/m 3 ) Bd = lebar galian pipa (m) 2. Beban pada pipa yang disebabkan beban yang bekerja di atas timbunan (Gambar II.8). a. Beban terpusat (seprti beban roda kendaraan) Wsc = Cs PF / L Dimana : Wsc = beban yang bekerja di atas pipa (N/m ) P = beban terpusat F = factor kejut L = panjang efektif pipa Cs = koefisien beban (table 9.4) = fungsi Bc/2H dan L/2H (Tabel I.9) H = tinggi urugan diatas pipa (m) Bc = lebar pipa (m) Gambar II.8. Beban yang Bekerja pada Pipa

45 b. Beban merata Rumus yang dipakai : Wsd = Cs.ρ. F. Bc Dimana : Wsd = beban yang bekerja di atas pipa (N/m) ρ = beban merata (pascal) F = faktor kejut Bc = diameter luar pipa (m) Cs = koefisien beban, merupakan fungsi dari D/2H dan M/2H (Tabel I.9) D,M = lebar dan panjang (m) H = tinggi urugan di atas pipa (m) Nilai F : - Jalan Raya F=1.3 - Jalan kereta api F=1.4 - Runway F=1.0 G Bedding dan Urugan Kemampuan pipa sewer menahan beban yang bekerja padanya sangat tergantung dari kemampuan material yang menyelimutinya (bedding) dan pondasi (tanah asli) dibawahnya. Dalam konstruksi pipa air limbah yang menjadi satu kesatuan dengan tanah di sekitar pipa terdapat 5 area penting yaitu : fondasi, bedding, hauncing, urugan pertama dan urugan terakhir seperti terlihat pada Gambar II.9. Gambar II.9. Potongan Melintang Konstruksi Pipa Sewer 1. Pondasi, yang dimaksud pondasi dalam sistem pipa sewer adalah tanah dasar galian. Tanah dasar galian harus dalam

46 kondisi stabil sehingga mampu menahan beban pipa dan beban semua urugan di atasnya. Untuk jenis tanah tertentu dengan daya dukung rendah dilakukan stabilisasi atau mengganti lapisan tanah asli. 2. Bedding, adalah lapisan material diatas pondasi sebagai tempat duduknya pipa sewer. Material yang dipakai umumnya adalah pasir supaya memudahkan dalam pemadatan. Material pasir yang dipakai harus tidak mengandung lempung lebih dari 10% berat, dan tidak mengandung batu berukuran lebih dari 25 mm. 3. Hauncing, berfungsi untuk mengunci pipa sewer di kedua sisinya, agar posisi pipa kea rah memanjang tetap dalam kondisi lurus. Material yang dipakai umumnya sama dengan material bedding. 4. Urugan Awal (initial backfill), material yang dipakai umumnya material berpasir, dimana tidak diperbolehkan ada butiran/batu berdiameter lebih dari 50 mm. Lapisan ini berfungsi menutup pipa dengan ketinggian urugan umumnya cm. Lapisan ini tidak dipadatkan dengan mesin karena dapat mengganggu elevasi pipa. Pemadatan dilakukan dengan manual (hand tamper) atau dengan bantuan air (compact by water). 5. Urugan Penutup (final backfill), urugan penutup dapat menggunakan material hasil galian atau material yang didatangkan, termasuk tanah lempung dan campuran pasir dengan kandungan lumpur tidak lebih dari 30%. Tidak boleh terdapat batuan lebih besar dari 50mm.

47 G Menentukan Type Bedding Untuk pipa sewer jenis rigid pipe ada 4 tipe bedding yang biasa dipakai seperti Gambar II.10. Gambar II.10. Type Bedding untuk Rigid Pipe Untuk menentukan type bedding (Type Bedding untuk Rigid Pipe terdapat pada Gambar II.11) yang dipakai, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Bedding factor (FB) = Dimana: Design Load = Wc + Wsd +Wsc FK = BS = Hasil test laboratorium pipa Nilai Bedding factor adalah sebagai berikut : Class A FB = 2.2 untuk type concrete cradle FB = 2.8 untuk type concrete arch Class B FB = 1.9 untuk type compacted granular bedding

48 Class C Class D FB = 1.5 untuk type granular bedding FB = 1.1 untuk type flat bottom Gambar II.11. Type Bedding untuk Rigid Pipe Tabel II.8. Besaran Nilai Koefisien Beban

49 G Perencanaan Vertikal Shaft 1. Karakteristik Shaft Metode Jacking yang digunakan akan dilakukan di bawah permukaan tanah, walau demikian masih tetap diperlukan kegiatan galian terbuka. Galian ini dibutuhkan untuk pembuatan shaft. Shaft merupakan suatu lubang yang digunakan untuk menempatkan peralatan jacking, memasukkan pipa dan sebagai tempat berakhirnya pipa serta keluarnya mesin. Terdapat dua buah shaft yaitu departure shaft dan arrival shaft. Departure shaft adalah tempat yang didisain sebagai awal dari jacking dan merupakan ruang kontrol pelaksanaan jacking. Dalan departure shaft terdapat mesin jacking dan segala perlengkapan untuk kegiatan jacking. Arrival shaft adalah suatu lubang tempat berakhirnya pipa jacking dan digunakan untuk demobilisasi mesin bor tanah. Arrival shaft dan departure shaft memiliki perbedaan dimensi. Penyebabnya adalah fungsinya berbeda. Departure shaft memiliki dimensi yang lebih besar karena akan banyak diisi dengan peralatan jacking dan alat lainnya. Sedangkan arrival shaft dimensinya lebih kecil dan hanya berfungsi untuk mengeluarkan mata bor jacking. 2. Pekerjaan Geoteknik Penyelidikan geologi teknik dilaksanakan untuk mendapatkan data/informasi kedalaman muka air tanah, jenis kualitas tanah serta daya dukungnya yang nantinya akan merupakan bahan pertimbangan didalam menentukan desain shaft untuk pemilihan jenis turap penahan galian longsor. Penyelidikan tanah dilaksanakan di beberapa titik sepanjang jalur pipa yang direncanakan dengan kedalaman tertentu. Pekerjaan ini dibagi menjadi 2 pekerjaan utama yaitu pekerjaan lapangan dan pekerjaan laboratorium, yang diuraikan sebagai berikut : a. Pekerjaan di Lapangan Terdiri dari pekerjaan pengeboran dan pengambilan contoh tanah serta pengujian Standard Penetration Test (SPT) pada kedalaman lubang bor. Pengeboran dilakukan dibeberapa

50 lokasi tergantung kondisi lapangan dan rencana kedalaman pemasangan pipa air limbah. Test SPT pada lubang bor dilakukan setiap interval kedalaman 2 meter dan pengambilan contoh tanah tidak terganggu dilakukan sebanyak satu kali untuk setiap lubang bor. Sedangkan pengamatan visual untuk tanah terganggu dilakukan sepanjang kedalaman pengeboran. Dan dari setiap lubang bor juga akan diketahui tinggi muka air tanah. b. Pekerjaan Laboratorium Contoh tanah terganggu dan tidak terganggu yang diperoleh dari hasil pengeboran di lapangan, akan dibawa ke laboratorium untuk dilakukan beberapa pengujian yang meliputi: 1) Kadar air 2) Berat isi 3) Berat jenis Gs 4) Unconfined Compresion Test Kohesi c Sudut geser 5) Proctor Test Analisa saringan Optimum Moisture Content w. Opt Dry Maximum Density d. max Untuk pelaksanaan pekerjaan lapangan akan dilakukan oleh tim survey bekerja sama dengan Laboratorium Mekanika Tanah setempat. Hasil dari penyelidikan tanah ini mencakup: 1) Boring Profile 2) Resume hasil pengujian tanah yang terdiri dari : - Pemeriksaan kekuatan tanah tekan bebas

51 - Pemeriksaan berat jenis - Analisa saringan 3) Peta lokasi pengeboran 4) Dokumentasi lapangan G Konstruksi Shaft Untuk meminimalisasi penggunaan lahan dan kemacetan lalu lintas disekitar area shaft, digunakanlah deck beton bertulang (RDC/Road Deck Cover) untuk menutup lubang SHAFT sehingga ruang publik menjadi sedikit dipergunakan dan lalu lintas dapat melalui jalan diluar shaft dengan baik. RDC dibuat dari beton bertulang berukuran 1.0 m x 2.0 m dengan tebal 20 cm, dan dikeempat sisinya diperkuat dengan besi siku. RDC ditumpu oleh Girder Steel H Beam. Konfigurasi RDC disesuaikan dengan ukuran Shaft dan kondisi di lapangan. G Perhitungan Road Deck Cover Referensi : - SNI Data - Beban Hidup, L (Crain), 26 ton dengan 4 roda P = 26,000 kg/4 = 6,500 kg (per roda). - Beban Mati, D (berat sendiri RDC) : 1,0 m (b) x 0,2 m (t) x 2400 = 480 kg/m - Dimension : b (lebar) = 100 cm, H (tebal) = 20 cm - Mutu Beton fc = 25 Mpa (K-300) - Mutu Baja fy = 32 Mpa

52 1. Perhitungan Momen dan Gaya Geser P u = 6500 kg W u A L t = 2,0 m B 1/2L t Moment Diagram Shear Diagram M service = 1/8 W u L t 2 + 1/4P u L t P shear = ½ W u L t + P u + Pu - Kombinasi Pembebanan : U = 1,2 D + 1,6 L + 5% L, D = beban mati L = beban hidup Du = 1,2 x D (kg/m) Lu = 1,6 x L + 5% x L Momen = 1/8 x Wu x lt 2 + ¼ x Pu x lt (kgm) Dimana : Wu = beban merata ultimit Du = beban mati ultimit Lu = beban hidup ultimit Pu = beban terpusat ultimit lt = lebar bentang sehingga : Wu = 1,2 x 480 = 576 kg/m Lu = 1,6 x % x 6500 = kg Momen = 1/8 x Wu x L 2 + ¼ x Lu x Lt = 6514 kgm 2. Penulangan Pelat Untuk : fc' 30 MPa, 1 = 0.85

53 Rasio tulangan pada kondisi balance, b = Faktor tahanan momen maksimum, max = 0.75 rb fy * ( ) + Momen nominal rencana Mn = Mu / ɸ Faktor tahanan momen Rn =, Rn < Rmax Rasio tulangan minimum min = 0,0025 Rasio tulangan yang diperlukan : = {, - } Luas tulangan yang diperlukan, As = b d Dimana : b = lebar pelat d = jarak as tulangan ke tepi beton G Perhitungan Girder H-BEAM Beban yang bekerja : 1. Beban Hidup (Crane) Kapasitas 2. Beban mati : berat sendiri dan berat road deck cover Kedua ujung girder dianggap tumpuan sendi. P u = Beban Roda W u A L t B 1/2L t

54 Kombinasi Pembebanan : Wu = 1,2 D + 1,6 L + 5% L, D = beban mati L = beban hidup Momen = 1/8 x Wu x lt 2 + ¼ x Lu x lt 3. Bending Moment Tegangan yang terjadi tidak boleh lebih besar dari tegangan ijin = N A Dimana : N = gaya aksial ( kg ) A = luas penampang H beam ( Ax compose, cm 2 ) Mx = bending moment ( kg cm ) Wx = momen inersia (cm 3 ) ( eq. 7 ) + Mx Wx σ = tegangan lentur ( kg/cm 2 ) = Fy /1,5 = tegangan ijin baja ( kg/cm 2 ) ( eq. 8 ) ( PPBBI 84 clause 2.2 (2) ) G Perhitungan Dinding Shaft Ada dua metode dalam pembuatan dinding Shaft. Metode pertama adalah dengan menggunakan sheet pile sebagai perkuatan dindingnya. Dengan menggunakan sheet pile bentuk Shaft dapat dibuat persegi. Metode ini memerlukan area yang cukup luas agar bisa menempatkan alat pancang sheet pile, dan menimbulkan getaran yang dapat mengganggu area di sekitarnya. Pada kondisi tanah berpasir, pemancangan sheet pile akan mengalami kesulitan. Untuk mengatasi hal tersebut dan untuk area yang tidak begitu luas, maka digunakan metode Linner Plate untuk perkuatan dinding Shaft (Gambar II.12). Untuk membuat dinding Shaft lebih stabil, bentuk shaft harus dibuat dalam bentuk lingkaran atau oval.

55 Gambar II.12. Shaft dengan Linner Plate bentuk Oval Gambar II.13. Konstruksi Departure Shaft

56 Gambar II.14. Shaft dengan Linner Plate bentuk bulat 1. Perhitungan Tekanan Tanah Tekanan tanah aktif yang akan terjadi di belakang dinding sebesar σt = 1/2 x γt x H2 x Ka. Data tanah: H = kedalaman total lantai basement (m) γt = berat jenis tanah (t/m 3 ) Φ = sudut geser tana Perhitungan nilai Ka : Ka = tg2 ( 45 Φ/2 ) Dimana : Ka = koefisien tekanan tanah aktif Φ = sudut geser tanah Menurut Peraturan Pembebanan untuk Bangunan, beban untuk lantai parkir diambil sebesar q = 400 kg/m 2. Tegangan yang disebabkan oleh beban merata: σ = q x Ka 2. Perhitungan Tekanan Air Tegangan yang disebabkan oleh air pori : σ = γ w x H2

57 3. Perhitungan Momen dan Geser PL2 H=PL2 tg 12 0 A s/2 (cm) s/2 (cm) B Moment Diagram S (cm) - + M+ = ( PL2 S 2 ) / 24 M- - = ( PL2 S 2 ) / 12 Shear Diagram + - Ps= ½ PL2 S Momen M = P lt 2 /12 Geser Ps = P lt / 2 Dimana : M = momen Ps = gaya geser P lt = beban merata = panjang bentang a. Bending Moment Tegangan yang terjadi tidak boleh lebih besar dari tegangan ijin. = N A + Dimana : N = gaya aksial ( kg ) A = luas penampang H beam ( Ax compose, cm 2 ) Mx Wx

58 Mx = bending moment ( kg cm ) Wx = momen inersia (cm 3 ) ( eq. 7 ) σ = tegangan lentur ( kg/cm 2 ) = Fy /1,5 = tegangan ijin baja ( kg/cm 2 ) ( eq. 8 ) ( PPBBI 84 clause 2.2 (2) ) b. Tegangan Geser = N A Dimana : = tegangan geser yang terjadi (kg/cm 2 ) = 0,58 = tegangan geser ijin (kg/cm 2 ) c. Sambungan Baut Untuk menyatukan antar elemen liner plate digunakan sambungan baut Tegangan geser ijin baut : = 0,6 ( PPBBI 84, pasal 8.2 (1) ) d. Kontrol Kekuatan Baut Tegangan geser yang bekerja pada baut : = Ps /As dimana : Ps = gaya geser yang bekerja pada baut As = luas penampang baut Kontraktor harus memberikan jangkar baut, mur, ring dan lengan desain yang memadai seperti yang diperlukan untuk konstruksi yang tepat dari basis dan pelat alas dengan dasar beton. Jangkar baut, mur, ring dan lengan

59 digunakan dalam kondisi terendam atau sebentar-sebentar terendam harus stainless steel, Type SUS 304. G.12. I.C Perencanaan Teknis Bangunan Pelengkap Manhole 1. Lokasi Manhole a. Pada jalur saluran yang lurus, dengan jarak tertentu tergantung diameter saluran, seperti pada tabel II.9, tapi perlu disesuaikan juga terhadap panjang peralatan pembersih yang akan dipakai. b. Pada setiap perubahan kemiringan saluran, perubahan diameter, dan perubahan arah aliran, baik vertikal maupun horizontal. c. Pada lokasi sambungan, persilangan atau percabangan (intersection) dengan pipa atau bangunan lain. Tabel II.9. Diameter (mm) Jarak Antar Manhole Pada Jalur Lurus Jarak antar MH (m) (20-50) (50-75) ( ) ( ) Klasifikasi manhole a. Manhole dangkal : kedalaman (0,75-0,9) m, dengan cover kedap. b. Manhole normal : kedalaman 1,5 m, dengan cover berat. c. Manhole dalam : kedalaman di atas 1,5 m, dengan cover berat.

60 Khusus Manhole dalam dapat diklasifikasikan lagi sesuai dengan kedalaman, ketebalan dinding, keberadaan drop, keberadaan pompa, dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan. 3. Manhole khusus a. Junction chamber b. Drop manhole c. Flushing manhole d. Pumping manhole 4. Eksentrisitas a. Eksentrisitas manhole pada suatu jalur sistem perpipaan tergantung pada diameter salurannya b. Untuk pipa dimensi besar (D > 1,20 m), manhole diletakkan secara eksentrik agar memudahkan operator turun ke dasar saluran. c. Untuk pipa dimensi kecil [D (0,2-1,2) m], manhole diletakkan secara sentrik, langsung di atas pipa. 5. Bentuk Manhole Pada umumnya bentuk manhole empat persegi panjang, kubus atau bulat. 6. Dimensi Manhole a. Dimensi horizontal harus cukup untuk melakukan pemeriksaan dan pembersihan dengan masuk ke dalam saluran. Dimensi vertikal tergantung pada kedalamannya. b. Lubang masuk (acces shaft), minimal 50 cm x 50 cm atau diameter 60 cm c. Dimensi minimal di sebelah bawah lubang masuk 1) Untuk kedalaman sampai 0,8 m : 75 cm x 75 cm

61 2) Untuk kedalaman (0,8-2,1) m : 120 cm x 90 cm atau diameter 1,2 m 3) Untuk kedalaman > 2,1 m : 120 cm x 90 cm atau diameter 140 cm Manhole D 80 cm untuk dimensi pipa kurang dari 800 mm dan dipasang disetiap 100m pipa lurus atau dibelokan dan pertemuan pipa. 7. Manhole step atau ladder ring a. Perlengkapan ini merupakan sebuah tangga besi yang dipasang menempel di dinding manhole sebelah dalam untuk keperluan operasional. b. Dipasang vertikal dan zig zag 20 cm dengan jarak vertikal masing-masing (30-40) cm. 8. Bottom invert Dasar manhole pada jalur pipa dilengkapi saluran terbuka dari beton berbentuk U (cetak di tempat) dengan konstruksi dasar setengah bundar menghubungkan invert pipa masuk dan ke luar. Ketinggian saluran U dibuat sama dengan diameter saluran terbesar dan diberi benching ke kanan/kiri dengan kemiringan 1 : 6 hingga mencapai dinding manhole. 9. Notasi a. Manhole yang ada, dengan no. urut 9, contoh : b. Manhole rencana, dengan no. urut 9, contoh: I.C Bangunan Penggelontor 1. Aplikasi Di setiap garis pipa dimana kecepatan pembersihan (self cleansing) tidak tercapai akibat kemiringan tanah/pipa yang terlalu landai

62 atau kurang kapasitas aliran. Hal ini bisa dilihat melalui tabel kalkulasi dimensi pipa. 2. Cara Penggelontoran Dengan periode waktu tetap a. Dipilih pada waktu keadaan debit aliran minimum tiap harinya, dimana pada saat itu kedalaman renang air limbah tidak cukup untuk membersihkan tinja/endapan-endapan. b. Air untuk penggelontoran dapat menggunakan air sungau terdekat dengan persyaratan airnya cukup bersih. Kebutuhan air untuk penggelontoran dimasukkan ke dalam perhitungan dimensi pipa. c. Bila menggunakan tangki gelontor. - Dioperasikan secara otomatis. - Dilakukan saat tengah malam, dimana bangunan penggelontor dengan peralatan siphon diatur pada kran pengatur, tepat penuh mengisi bak penggelontor sesuai jadwal waktu periodic penggelontoran tiap harinya. Kapasitas tangki minimal 1 m 3 dan/atau 10% dari kapasitas pipa yang disuplai sesuai dengan kebutuha. Lebih jelasnya terdapat pada Tabel II.10. Tabel II.10. Alternatif Kapasitas Air Penggelontor Kebutuhan Air (liter) untuk diameter pipa Kemiringan 20 cm 25 cm 30 cm 1 : : : : : Dengan periode Insidentil a. Metode ini dipilih jika ujung atas (awal) pipa lateral tidak dilengkapi dengan bangunan penggelontor, biasanya air dapat diambil dari kran kebakaran terdekat dengan menggunakan selang karet. Air dimasukkan ke dalam bangunan

63 perlengkapan pipa terminal cleanout, dengan debit 15 liter/detik, selama (5-15) menit. Bila tidak ada kran kebakaran, dapat menggunakan tangki air bersih. b. Alternatif lain adalah dengan pintu- pintu pada pipa air limbah. - Dapat dioperasikan secara otomatis - Pintu pintu dipasang pada inlet dan oulet saluran di setiap bukaan dalam manhole. - Pintu segera dibuka begitu terjadi akumulasi air limbah di dalam suatu seksi saluran, dan gelombang aliran akan menghanyutkan endapan kotoran. - Disediakan bangunan sadap dengan perlengkapan bar screen (trails), bangunan ukur, bangunan pelimpah, pintu air, dan bangunan peninggi muka air. I.C Syphon 1. Fungsi / Aplikasi Sebagai bangunan perlintasan, seperti pada sungai/kali, jalan kereta api, atau depressed highway. 2. Komponen Struktur a. Inlet dan outlet (box) Berfungsi sebagai pengendalian debit dan fasilitas pembersihan pipa. b. Depressed sewer (pipa syphon) 1) Berfungsi sebagai perangkap, sehingga kecepatan pengaliran harus cukup tinggi, di atas 1 m/detik pada saat debit rata-rata. 2) Terdiri dari minimal 3 unit (ruas) pipa syphon dengan dimensi yang berbeda, minimal 150 mm. Pipa ke 1

64 didesain dengan Qmin, pipa ke 2 didesain dengan (Qr- Qmin) dan pipa ke 3 didesain dengan (Qp-Qr). I.C Terminal Clean Out 1. Fungsi/aplikasi Terminal clean-out dapat berfungsi sebagai (alternatif) pengganti manhole. 2. Lokasi Di ujung saluran, terutama pada pipa lateral yang pendek dengan jarak dari manhole < 50 m. I.C Stasiun Pompa 1. Aplikasi a. Sebagai lift station, dipasang pada setiap jarak tertentu pada sistem perpipaan yang sudah cukup dalam. b. Sebagai booster station, untuk penyaluran yang tidak memerlukan pengaliran secara gravitasi. Misal dari zona rendah ke zona yang lebih tinggi atau pada conveyance sewer ke instalasi. Di sini dapat digunakan manhole pompa. 2. Kriteria Lokasi a. Tidak banjir dan mudah menerima air limbah secara gravitasi. b. Dapat memompa air limbah hingga ke elevasi yang direncanakan. c. Dapat memompa seluruh air limbah, meskipun dalam keadaan darurat. d. Fleksibel, dan kompak. e. Biaya investasi dan pemeliharaannya rendah.

65 f. Desain pompa harus dapat mengikuti fluktuasi debit. g. Bahan yang dipilih tidak mudah korosi oleh air limbah. h. Sedikit mungkin adanya pengaruh bising pada masyarakat sekitarnya. i. Tidak membutuhkan lahan yang luas. j. Tidak membutuhkan keahlian tinggi. 3. Komponen Rumah Pompa a. Rumah pompa (termasuk pondasi). b. Pompa. c. Mesin penggerak atau motor. d. Ruang pompa atau dry well. e. Sump atau wet well. f. Screen dan Grit chamber. g. Perpipaan, valve, fitting, pencatat debit, dan overflow darurat. h. Sumber power/ Sumber listrik, dan pengendali pompa (panel). 4. Rencana Rinci Rumah Pompa a. Konstruksi rumah pompa dari beton bertulang. b. Tipe masing-masing unit pompa dan karakteristiknya. c. Proteksi penyumbatan pompa. d. Lokasi pompa dan jarak antarpompa. e. Wet well dan dry well, dimensi dan konstruksi rinci. f. Valve. g. Level control untuk permukaan air limbah. h. Overflow (by pass).

66 i. Sistem alaram dan ventilasi. j. Penyaring untuk inflow dan by pass. k. Pipa tekan : diameter, bahan dan pembaca tekanan. l. Pagar dan pengaman lainnya. m. Panel listrik. 5. Pumping (wet) well Manfaat adanya pumping well akan membuat air limbah yang akan dipompa masuk terlebih dahulu ke rumah pompa dan ditampung sementara di dalam tangki yang disebut wet well. Unit ini diperlukan karena debit pompa sulit disamakan dengan debit masuk. a. Interior Pumping Well, yaitu : 1) Terdiri dari kompartemen yang basah (untuk menampung sementara air limbah) dengan pompa selam atau terpisah dalam kompartemen kering (sebagai tempat pompa). 2) Paling baik memasang pompa di dalam dry pit dengan pipa isap berada di bawah muka air terendah pada pumping well terdekat agar dapat meniadakan priming. Pengoperasiaan pompa secara otomatis diatur dengan pelampung pada bagian basah. 3) Semua bagian wet well, aksesnya harus mudah, dilengkapi man-hole dan tangga. 4) Slope dasar wet well dibuat 1 : 1 ke arah pipa isap agar dapat dicegah akumulasi padatan. 5) Kedalaman wet well (1,5-2) m, dan tergantung pada posisi pipa yang masuk. 6) Sebuah gate-valve dipasang pada pipa masuk untuk menutup aliran bila terjadi perbaikan di dalam wet well. b. Lay-out Pumping Well, yaitu :

67 Paling baik memasang pompa di dalam dry well/pit dengan pipa isap berada di bawah muka air terendah pada wet well terdekat agar dapat meniadakan priming. Pengoperasian pompa secara otomatis diatur dengan pelampung pada wet well. c. Kapasitas Wet well 1) Kapasitas wet well tergantung pada waktu pengoperasian, jumlah pompa dan waktu siklus. 2) Waktu siklus > 4 menit, berarti dalam 1 jam terjadi < 15 x start. 3) Waktu pengoperasian pompa > (15-20) menit. 4) Kapasitas efektif wet well guna memberikan periode holding sebaiknya tidak lebih daripada 10 menit pada desain rata-rata. 5) Volume atas dasar waktu siklus di mana : V = volume antara level switch-on dan switch-off, m 3 S = waktu siklus 6 kali untuk dry pit motor 20 kw = 4 kali untuk dry pit motor (25-75) kw = 2 kali untuk dry pit motor ( ) kw 10 kali untuk pompa selam Qp = debit pompa, m 3 /detik = debit jam puncak inflow 6. Jenis Pompa Pompa Sentrifugal merupakan jenis yang umum digunakan untuk memompa air limbah karena tidak mudah tersumbat. Penggunaan Pompa rendam (submersible) untuk air limbah lebih baik, karena mencegah terjadinya kavitasi, sebagaimana sering terjadi pada penggunaan pompa non submersibel dengan posisi head negatif (posisi pompa berada diatas permukaan air).

68 7. Kapasitas (Debit) Kapasitas atau debit pompa adalah volume cairan yang dipompa dalam satuan m 3 /detik, atau L/detik. Debit desain pompa adalah debit jam puncak. 8. Hidrolika pompa a. Data yang Dibutuhkan 1) Elevasi pipa tekan (discharge). 2) Elevasi garis pusat pompa. 3) Elevasi muka air wet well saat pompa off (volume air minimal). 4) Elevasi muka air wet well saat pompa on (volume air maksimal). 5) Pada pipa isap dan tekan, masing-masing diameter pipa, bahan pipa, panjang pipa, jumlah dan macam fitting (aksesoris). 6) Debit desain. b. Daya pompa Pip Pim di mana : = Q. T.g. H /ep = Pip / em Pip = power input ke pompa, W (= N m/dtk) Pim = power input ke motor, W Q = debit, m/dtk T = massa jenis air = 997 kg/m 3 g = gravitasi spesifik (9,81 m/dtk 2 ) H = total dynamic head (manometric head), m = Hstat + hf + hm + hv Hstat = beda muka air hisap dan tekan, m

69 hf = kehilangan tekanan akibat gesekan air pada pipa, m = hm = minor loss = hv = sisa head kecepatan = ep = efisiensi pompa, desimal em = efisiensi motor, desimal 9. Jumlah Pompa dan Sumber Power a. Mempunyai 2 unit pompa 1) Walau hanya pada stasiun/ rumah pompa kecil. 2) Lebih efisien bila mempunyai 3 unit pompa, terutama dalam mengatasi variasi debit. 3) Bila menggunakan 2 unit, kapasitas masing-masing unit dibuat sama atas dasar debit desain. b. Mempunyai 2 sumber power/stasiun pompa Motor listrik sebagai sumber power utama dan internalcombustion engine (generator) sebagai stand-by. 10. Perpipaan pada Pompa a. Kecepatan Pengaliran 1) Pipa isap : (0,6-2,5) m/dtk; umumnya 1,5 m/dtk 2) Pipa tekan : (1-2,5) m/dtk b. Periksa diameter pipa dengan rumus empiris bila head kecepatan V 2 /2g melebihi 0,32 m. 11. Perlengkapan pompa a. Screen dipasang di depan pompa, terutama bila limbah yang diolah terdapat banyak sampahnya;

70 b. Tambahkan unit Grit chamber bila air limbah banyak mengandung grit. c. Berbagai perlengkapan untuk pompa sentrifugal: 1) Sebuah air-release valve (valve pelepas tekanan udara) dipasang pada titik tertinggi di dalam casing untuk melepaskan udara atau gas. 2) Gauges pada pipa tekan dan isap. 3) Sebuah meter pada pipa tekan. 4) Sebuah kurva karakteristik pompa. 5) Sebuah check-valve antara gate valve dan pompa pada pipa tekan. d. Alat otomatis (floating switches) sebaiknya digunakan agar pemompaan dapat dilakukan 24 jam secara otomatis. 12. Motor pompa (pump drive equipment) a. Motor Listrik 1) Aplikasi a) Lebih andal, murah dan mudah pemeliharaannya. b) Dipakai untuk sanitary sewage pump. 2) Spesifikasi a) Tipe atau kelas b) Phase c) Daya (kwh) d) Tipe bearing e) Kecepatan f) Tipe insulasi g) Voltase h) Tipe penggerak i) Frekuensi j) Konstruksi mekanik

71 b. Mesin Diesel 1) Dipakai sebagai stand-by unit pada sanitary sewage pump. 2) Pemilihannya tetap mempertimbangkan biaya energi, biaya konstruksi, kebutuhan O&M, geografis, musim dan sosial. c. Voltase Akan lebih ekonomis bila memakai voltase berikut untuk suatu power tertentu : 1) (37-45) kw memakai 230 V. 2) (45-150) kw memakai 460 V. 3) > 150 kw memakai V. 13. Konstruksi Rumah Pompa a. Desain Pondasi Jenis pondasi yang akan digunakan pada bangunan Inflow Pumping Station ditentukan oleh kondisi tanah pada kedalaman rencana wet well dan berat seluruh bangunan. Apabila daya dukung tanah tidak mampu menahan berat bangunan dan beban hidup yang bekerja diatasnya, maka perlu digunakan jenis pondasi dalam (pondasi tiang). Ada 3 cara bagaimana suatu pondasi tiang menahan gaya luar tekan yang bekerja : 1) Dengan menggunakan ketahanan lekat atau skin friction (Qs) permukaan dimana beban ditahan oleh gesekan pada tanah non-kohesif atau adesi pada tanah kohesif. 2) Dengan menggunakan ketahanan dasar atau end bearing (Qb) dimana beban ditahan pada dasar tiang 3) Kombinasi dari ketahanan dasar dan ketahanan lekat Qp = Qs + Qb

72 Data lapisan tanah yang diperlukan adalah tebal lapisan (m), berat jenis (kn/m 3 ), sudut geser dalam (derajat), kohesi c (kn/m 2 ), nilai rata rata SPT pada lapisan tersebut (SPT), nilai index plastisitas pada lapisan tersebut (IP) dan kode apakah gaya gesekan negative /Negative Skin Friction (INEG) perlu dihitung pada lapisan tersebut. Nilai 1 untuk INEG berarti pada lapisan tersebut diperlukan analisa untuk menghitung Gaya gesekan negatif. Nilai 0 artinya tidak ada bahaya gaya gesekan negatif pada lapisan tersebut. Untuk lapisan paling bawah sebaiknya ketebalan lapisan dinyatakan dengan suatu angka yang relatif besar. 1) Daya Dukung dari Hambatan Lekat Daya dukung dari hambatan lekat tanah-pondasi untuk tanah tidak kohesif dihitung dengan persamaan berikut : Qs Fi Sz Q s F S C i z p L = Daya dukung hambatan lekat (kn) = Faktor Gesek Rencana, = Tegangan efektif rencana sepanjang tiang (kn/m 2 ) Nilai Sz diambil tidak boleh melebihi tegangan padakedalaman batas ZL. sedangkan nilai ZL diperoleh dari Tabel II.11. i Cp Li = Keliling efektip dari tiang (meter), diperoleh berdasarkan Tabel II.13 = Tebal lapisan penahan (meter) Daya dukung dari hambatan lekat tanah-pondasi untuk tanah kohesif dihitung dengan persamaan berikut Q s F K c R C C C Dimana : Qs = Daya dukung hambatan lekat (kn) Fc = Faktor Reduksi, K R C = 0.7 Cu = Kuat geser undrained rata-rata (kn/m 2 ) u p L i

73 Cp = Keliling efektif dari tiang (meter), diperoleh berdasarkan Tabel II.13. = Tebal Lapisan Penahan (meter) Li 2) Daya Dukung Dari Tahanan Ujung Daya dukung dari tahanan ujung untuk tanah tidak kohesif dihitung dengan persamaan berikut Q N Dimana : = Daya dukung tahanan ujung (kn) Qb b q S Nq = Faktor Kapasitas Daya Dukung, didapat dari Tabel II.12 Ap = Luas dasar tiang (meter 2 ), diperoleh berdasarkan Tabel II.13. z A p Daya dukung dari tahanan ujung untuk tanah kohesif dihitung dengan persamaan berikut Q N Dimana : Qb = Daya dukung tahanan ujung (kn) = Faktor Kapasitas Daya Dukung. Nc b (Biasanya diambil = 9, tetapi bila tiang tertanam kurang dari 4 kali diameter, nilai Nc dikurangi secara linier sampai suatu nilai 5.6 pada permukaan). Ap = Luas dasar tiang (meter 2 ), diperoleh berdasarkan Tabel II.13. c C u A p 3) Gaya Horisontal Terhadap Tiang Pancang Beban-beban horisontal yang mungkin diterima oleh tiang pancang adalah : a) Beban horisontal sementara, seperti beban gempa

74 b) Beban horisontal tetap, seperti tekanan tanah aktif dan tekanan air Akibat beban horisontal sementara yang bekerja pada tiang maka harus ditinjau tekanan tanah pasif yang akan menahan gaya horisontal tersebut. Jika tekanan tanah pasif cukup kuat menahan gaya horisontal tersebut maka harus ditinjau kekuatan tiang pancang tersebut memikul beban momen akibat tekanan tanah pasif. Sedangkan beban horisontal tetap akan bekerja dalam jangka waktu lama, karena itu tekanan tanah pasif mungkin tidak dapat lagi mengimbangi gaya horisontal tersebut. Untuk melawan gaya horisontal yang bekerja tetap ini dapat digunakan tiang pancang yang dipancang miring yang disebut Batter Pile. Kemiringan pemancangan tergantung kemampuan alat pancang, biasanya berkisar antara 1:10 sampai dengan 1:5 Cara menghitung gaya horizontal sementara yang diijinkan pada tiang pancang adalah sebagai berikut: x dilihat pada grafik dan diplot sehingga diperoleh harga dari persamaan diatas dapat dicari Hu Untuk menghitung momen maksimum, Brooms menggunakan persamaan: dengan dimana : Hu = gaya horizontal Mu = momen maksimum x = momen tahanan ultimit y = gaya lateral tahanan ultimit f = koefisien

75 Cu d = kohesi (consolidation undrained) = diameter tiang Gambar II.15. Resistensi Ultimate Tiang Pancang di Tanah yang Kohesif dihubungkan dengan Resistensi Momen Ultimate menurut Brooms Tabel II.11. Parameter Perencanaan Tiang Untuk Tanah Non-Kohesif Nilai SPT ZL/dia Fi Nq T. Pancang T. Bor T. Pancang T. Bor

76 Tabel II.12. Parameter Perencanaan Tiang Untuk Tanah Kohesif Kuat geser undrained rata-rata nominal Cu (kpa) Koef. terganggu Fc > Tabel II.13. Luas Dasar Efektif (Ap) dan Keliling Efektif (Cp) Pondasi Tiang Tipe tiang Bentuk Ap Cp Tiang beton persegi panjang b b b x b 2(b + b) Tinag beton D sirkular 0.25 D 2 D D Tiang pipa baja dengan ujung terbuka d 0.25 (D 2 - d 2 ) D

77 Tiang pipa baja dengan ujung tertutup D 0.25 D 2 D Tiang H baja dengan ujung terbuka b h Penampang melintang 2(b+h) h Tiang H baja dengan ujung h tertutup bh 2(b+h) b. Desain Struktur Atas Struktur atas bangunan Inflow Pumping Station terdiri dari : kolom, balok, dinding beton, dan pelat lantai. Data-data yang diperlukan dalam mendesain struktur atas bangunan Inflow Pumping adalah : mutu beton (fc ), mutu tulangan (fy), beban yang bekerja baik beban mati maupun beban hidup. Untuk mendapatkan gaya-gaya dalam (momen, gaya tekan aksial, gaya geser, gaya puntir) yang bekerja pada komponen struktur dapat digunakan program analisa struktur seperti SAP2000. Perencanaan komponen struktur beton berdasarkan : - SNI : Tatacara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedu - SNI : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Gedung Syarat-syarat yang perlu diperhatikan untuk struktur beton : 1) Selimut Beton (SNI pasal 9.7.1)

78 Untuk beton yang dicor diatas tanah dan selalu berhubungan dengan tanah : min 75 mm. Sedangkan untuk beton yang yang tidak berhubungan dengan cuaca atau tanah : - Pelat, dinding : D36 atau lebih kecil, selimut beton min 20mm - Balok, kolom : selimut beton min 40 mm. 2) Jarak Tulangan (SNI pasal 9.6) Jarak bersih antar tulangan sejajar dalam lapis yang sama minimal 25 mm. Pada dinding dan pelat lantai tulangan lentur utama jaraktulangan maksimal tiga kali tebal pelat atau dinding, ataupun 500mm. c. Perencanaan Kolom Dalam merencanakan kolom, SNI yang digunakan adalah SNI Pasal mengenai definisi kolom. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh kolom yang didesain: 1) Gaya aksial terfaktor maksimum yang bekerja pada kolom melebihi Agfc'/10. Dimana : Ag = luas penampang fc = kuat tekan karakteristik beton 2) Sisi terpendek kolom tidak kurang dari 300 mm. 3) Rasio dimensi penampang tidak kurang dari 0,4 Setelah itu kemudian check konfigurasi penulangan. Dari hasil desain berdasarkan gaya dalam, tentukan dimensi kolom dan rencana penulangan. Rasio penulangan ρg dibatasi tidak kurang dari 0,01 dan tidak lebih dari 0,06. Sementara itu, SNI yang digunakan untuk kuat kolom adalah SNI Pasal Kuat kolom φmn harus memenuhi ΣMc >= 1,2 ΣMg, dimana : ΣMc = jumlah Mn dua kolom yang bertemu di joint.

79 ΣMg = jumlah Mn dua balok yang bertemu di joint (termasuk sumbangan tulangan pelat diselebar efektif pelat). Mn = momen nominal rencana d. Desain Shear Reinforcement Ve tidak perlu lebih besar dari : Tapi, Ve tidak boleh lebih kecil dari gaya geser terfaktor hasil analisis, dimana DF adalah faktor distribusi momen di bagian atas dan bawah kolom yang didesain. Batasan ini merefleksikan pilosofi kolom kuatbalok lemah, yang membuat balok lebih lemah dari kolom. Karena kolom di lantai atas dan lantai bawah mempunyai kekakuan yang sama, maka : DFtop = DFbtm = 0,5 Mprb top dan Mprb btm adalah penjumlahan Mpr untuk masing masing beam di lantai atas dan lantai bawah di interior support. e. Perencanaan Balok Langkah-langkah desain penulangan : 1) Gaya Aksial Tekan terfaktor. Gaya aksial tekan terfaktor pada komponen struktur tidak melebihi 0,1 Ag fc'. 2) Bentang Bersih. Bentang bersih komponen struktur tidak boleh kurang dari 4 kali tinggi efektif elemen struktur. 3) b/d ratio.

80 Perbandingan lebar terhadap tinggi balok tidak boleh kurang dari 0,3. 4) Lebar Balok. - Tidak boleh kurang dari 250 mm. - Tidak boleh lebih dari lebar kolom penumpu (diukur pada bidang tegak lurus terhadap sumbu longitudinal komponen struktur lentur) ditambah jarak pada tiap sisi kolom penumpu yang tidak melebihi 3/4 tinggi komponen struktur lentur. 5) Baja Tulangan Untuk Lentur a) Baja Tulangan yang dibutuhkan untuk lentur. Diasumsikan yang terjadi adalah perilaku balok persegi, dan ada 2 layer tulangan. Sebagai pendekatan kita boleh mengabaikan tulangan tekan (jika ada). Dimensi tulangan harus dibatasi sehingga dimensi kolom paralel terhadap tulangan sekurang kurangnya 20 db. cek momen nominal b) Cek As minimum. tapi tidak boleh kurang dari Dimana : bw = lebar balok d = jarak as tulangan ke tepi beton faktor reduksi Mn = momen nominal

81 Mu = momen ultimit As = luas tulangan c) Cek rasio tulangan Batas tulangan maksimum berdasarkan Pasal adalah 0,025. 6) Baja untuk Tulangan Geser : - Gaya geser ultimit rencana, Vu - Faktor reduksi kekuatan geser, f - Tegangan leleh tulangan geser, fy - Kuat geser beton, Vc = ( fc') / 6 b d Tahanan geser beton, f Vc Vu > f Vc perlu tulangan geser - Tahanan geser sengkang, f Vs = Vu - f Vc - Kuat geser sengkang, Vs - Luas tulangan geser sengkang, Av = ns p / 4 P 2 - Jarak sengkang yang diperlukan : s = - Jarak sengkang maksimum, smax = d / 2 f. Perencanaan Pelat Lantai Data yang diperlukan adalah : - Mutu beton fc - Mutu baja tulangan fy Beban yang bekerja : - Beban Mati - Beban hidup

82 Beban rencana terfaktor Qu = (1.2 QD) + (1.6 QL) Perhitungan Momen : Panjang bentang plat arah x, Panjang bentang plat arah y, Koefisien momen plat untuk : Lx Ly Ly/Lx, dari tabel didapat nilai Clx,Cly,Ctx,Cty Momen Plat Akibat Beban Terfaktor : Momen Lapangan arah x : Mulx = Clx Qu Lx 2 Momen Lapangan arah y : Muly = Cly Qu Lx 2 Momen tumpuan arah x : Mutx = Ctx Qu Lx 2 Momen tumpuan arah y : Muty = Cty Qu Lx 2 Penulangan Pelat : Untuk : fc' 30 MPa, 1 Untuk : fc' > 30 MPa, 1 = x ( fc' - 30) / 7 Rasio tulangan pada kondisi balance, ρ b = b1 x 0.85 x fc'/ fy x 600 / ( fy ) Faktor tahanan momen maksimum, ρ max = 0.75 x rb x fy x [ 1 ½ x 0.75 x rb x fy / ( 0.85 x fc') ] Momen nominal rencana Mn = Mu / ɸ Faktor tahanan momen Rn = Mn x 10-6 / ( b x d 2 ) Rn < Rmax Rasio tulangan minimum ρ min = 0,0025 Rasio tulangan yang diperlukan : ρ = 0.85 x fc' / fy x [ 1 - Ö [ 1 2 x Rn / ( 0.85 x fc' ) ] Luas tulangan yang diperlukan, As = ρ x b x d

83 g. Perencanaan Dinding Beton Dinding ruangan pompa dan wet well menggunakan konstruksi beton bertulang. 1) Penentuan Tebal Dinding Berdasarkan Tata Cara Perhitungan truktur Beton untuk Gedung ( NI pasal 16.5(3)), Ketebalan dinding luar ruang bawah tanah dan dinding pondasi tidak boleh kurang daripada 190 mm. 2) Pembebanan pada Dinding Beban yang bekerja pada dinding basement berupa tekanan tanah + tekanan air + beban merata di permukaan. Beban tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini : 3) Analisis Dinding Momen yang terjadi akibat beban tekanan tanah dihitung dengan memodelkan struktur dinding basement sebagai pelat per meter panjang yang menerima beban segitiga akibat tekanan total (tanah+air+beban merata). Untuk perhitungan analisa struktur dapat menggunakan software SAP2000, beban tekanan total (tanah+air+beban merata) yang berbentuk segitiga tersebut dilimpahkan merata ke pelat yang dijepit di sisi bawah elemen dinding. Bagian atas dinding juga terjepit. Struktur dinding dianggap sebagai elemen shell dengan ketebalan sesuai rencana. Dari hasil analisis diperoleh besarnya gaya-gaya dalam dan deformasi struktur sebagai berikut : - Deformasi Horizontal Terbesar - Moment arah 1-1 maksimum - Moment arah 1-1 minimum - Moment arah 2-2 maksimum - Moment arah 2-2 minimum

84 4) Perhitungan Tulangan Dinding Perhitungan luas tulangan yang dibutuhkan pada dinding sama dengan perhitungan penulangan pelat lantai. I.C Panel dan Komponennya Panel dan komponen-komponennya harus menggunakan jenis yang tahan air (water proof). Semua Circuit Breaker, peralatan proteksi, beban lebih, relai proteksi, dan pengatur waktu (timer) harus ada pada panel pompa air limbah. Semua kabinet panel kontrol, panel daya, Circuit Breaker, saklar pengaman, dan peralatan listrik yang lain, harus dilengkapi atau ditempeli plat nama (name plate) untuk memudahkan pengenalan. Gambar II.16. Panel dan Komponennya I.C.8. PERENCANAAN TEKNIS UNIT PENGOL. AIR LIMBAH Instalasi pengolahan air limbah yang direncanakan secara teknis setidaktidaknya terdiri dari tiga jenis yaitu tahap pengolahan fisik, tahap pengolahan biologis, dan tahap pengolahan lumpur seperti pada Gambar II.17.

85 Gambar II.17. Tipikal Unit Pengolahan IPAL Perencanaan teknis unit pengolahan IPAL dilakukan sesuai dengan tahapan perencanaan seperti di bawah ini : I.C.8.1. Tahapan Penyusunan Perencanaan Teknis SPAL-T Tahapan penyusunan perencanaan teknis SPAL-T meliputi : 1. Tahap Perencanaan Awal (Preliminary Design) 2. Tahap Perencanaan Detail (Detail Engineering Design) Tahap perencanaan awal merupakan tahap umum perencanaan yang tujuannya adalah untuk menentukan sistem pengolahan yang akan dipilih dengan memperhatikan kesesuaiannya terhadap luasan lahan yang akan digunakan untuk lokasi IPAL. Dengan demikian, pada tahap selanjutnya, yaitu tahap perencanaan detail, perencana tinggal focus mendetailkan sistem pengolahan yang sudah dipilih. Tahap perencanaan awal meliputi: a. Menetapkan perioda perencanaan (design period) IPAL yang akan dibangun yang dihitung berdasarkan tahun awal perencaan (yaitu tahun awal saat IPAL pertama kali beroperasi) sampai mencapai 100% kapasitas desainnya. Perioda perencanaan tiap unit dapat berbeda, tergantung pada tingkat kesulitan pengembangannya (misalnya; perioda desain untuk bangunan sipil dan saluran dipilih

86 lebih lama), tingkat pertumbuhan penduduk, lingkungan dan sumber dana. Umur ekonomis unit pengolahan (umur bangunan, peralatan, perpipaan dan lain-lain), anggaran dan sumber dana yang tersedia, kecepatan perkembangan penduduk dan aktivitasnya, mudah atau tidaknya perluasan. Perioda perencanaan biasanya terbagi menjadi tiga, yaitu ; 10, 15 dan 20 tahun. b. Menetapkan diagram alir proses pengolahan IPAL yang akan digunakan. Diagram alir proses pengolahan merupakan kombinasi dari unit operasi dan unit proses. Pemilihan unit operasi dan unit proses yang digunakan tergantung dari: - Pengalaman - Peraturan yang berlaku terhadap metoda pengolahan - Ketersediaan peralatan pengolahan - Pemanfaatan terhadap unit-unit yang sudah ada - Biaya investasi dan Operasional Pemeliharaan (O & M) - Karakteristik air limbah sebelum dan sesudah pengolahan. c. Menetapkan kriteria perencanaan (Design Criteria) untuk setiap unit operasi dan unit proses dalam IPAL yang telah dipilih. Kriteria desain yang digunakan pada prinsipnya dapat mengacu kepada literatur perencanaan ataupun ketentuan teknis perencanaan yang terkait sesuai dengan kaidah teknis yang berlaku. d. Menetapkan dimensi awal unit IPAL secara umum (p x l x t) dengan maksud untuk mengkaji kesesuaian luasan unit-unit bangunan IPAL dengan besarnya lahan yang tersedia. Termasuk dalam tahap ini adalah menetapkan jumlah unit dengan memperhitungkan kondisi operasional apabila salah satu unit mengalami kerusakan atau sedang direhabilitasi. e. Menetapkan kesetimbangan massa untuk setiap unit IPAL. Hal ini perlu dilakukan sebagai evaluasi apakah efluen hasil pengolahannya akan memenuhi standar baku mutu yang berlaku. f. Menetapkan tata letak IPAL (Plant Layout) untuk mengatur posisi spasial unit-unit yang ada beserta bangunan utilitas lainnya (gedung admisnistrasi, gudang, dan lain-lain). Hal ini sebagai gambaran fisik secara menyeluruh posisi IPAL, walaupun masih bersifat umum dan sementara. Pertimbangan tata letak menyangkut: Geometri lokasi IPAL Topografi lokasi

87 Kondisi tanah dan pondasi Lokasi saluran pengumpul maupun penerima efluen air limbah Akses transportasi Aksesibilitas untuk pekerja Reliabilitas dan ekonomi operational Estetika dan lingkungan Ketersediaan lahan untuk perluasan bangunan di masa yang akan datang. g. Perhitungan hidrolis ini dilakukan untuk menetapkan posisi vertikal setiap unit IPAL berdasarkan kehilangan tekanan (headloss) dalam unit-unit IPAL saat beroperasi. Dengan demikian, informasi ini penting karena perlu diketahui apakah gradien hidrolis yang ada cukup untuk mengalirkan air limbah dari setiap unit secara gravitasi sampai ke lokasi pembuangan atau badan air penerima. Disamping itu digunakan untuk menentukan besarnya tekanan (head) pompa apabila diperlukan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan: (1) Ekualisasi pemisahan aliran dari setiap unit, (2) Pengadaan bypass terhadap pengolahan tahap II untuk menghindari kehilangan biomassa pada saat aliran puncak, (3) Meminimalisasi jumlah perubahan arah aliran air limbah dalam saluran. Gambar profil hidrolis biasanya menggunakan skala horizontal dan vertikal yang berbeda. Perhitungan profil hidrolis ini adalah untuk menentukan lokasi ketinggian (elevasi) dari setiap unit IPAL yang akan dibangun, sehingga pada umumnya penetapan elevasi dilakukan secara mundur. Dimulai dari elevasi muka air di badan air penerima sampai ke elevasi pipa pengumpul air limbah. Sedangkan untuk perencanaan detail teknis diuraikan tersendiri di bawah ini. I.C.8.2. Kriteria Pemilihan Lokasi IPAL Kriteria-kriteria penentu yang menjadi bahan pertimbangan dalam pemilihan lokasi IPAL terbagi atas dua jenis pertimbangan yaitu pertimbangan teknis dan non teknis.

88 I.C Kriteria Teknis Pemilihan Lokasi IPAL Teknis pemilihan lokasi IPAL meliputi: 1. Jarak Jarak minimum antara IPAL dengan pusat kota dan pemukiman adalah 3 Km. 2. Topografi lahan a. Kemiringan tanah Kemiringan tanah yang dinilai lebih baik jika mempunyai kemiringan 2%. b. Elevasi tanah Sistem pendistribusian IPAL dinilai baik jika perumahan terletak lebih tinggi dari letak IPALnya (elevasi tanah yang baik apabila sistem distribusinya bisa dialirkan secara gravitasi), sedangkan sistem pendistribusian IPLT kebalikannya. 3. Badan air penerima Yang dimaksud dengan badan air penerima adalah sungai. Sungai dibagi menjadi beberapa kelas sungai yaitu kelas I hingga kelas IV. Semakin bagus kualitas sungai semakin tinggi kelasnya, sehingga apabila ingin membuang air hasil olahan IPAL perlu memperhatikan kelas sungainya. Jika air hasil olahan IPAL akan dibuang ke sungai Kelas I, maka efisiensi IPAL perlu ditingkatkan agar air hasil olahannya mampu memenuhi baku mutu sungai kelas I. Jadi badan air penerima berperan sebagai penentu besarnya kualitas effluent yang harus dicapai oleh IPAL. 4. Bahaya banjir Lokasi dipilih pada lokasi yang bebas akan banjir. 5. Jenis tanah Pilihan terbaik untuk lokasi IPAL adalah tanah dengan jenis yang kedap air seperti lempung.

89 I.C Kriteria Non Teknis Pemilihan Lokasi IPAL 1. Legalitas lahan a. Kepemilikan lahan Merupakan lahan yang tidak bermasalah. Pilihan yang dinilai lebih baik adalah lahan milik Pemerintah. b. Kesesuaian RUTR / RTRW c. Dukungan masyarakat 2. Batas administrasi Terletak pada batas administrasi kota yang berkepentingan. 3. Tata guna lahan Pilihan yang terbaik jika merupakan lahan tidak produktif. I.C.8.3. Pertimbangan Umum dlm Pemil. Altern. Teknologi Dalam pemilihan teknologi pengolahan air limbah (IPAL) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, antara lain sebagai berikut. 1. Kual. & Kuan. Air Limbah Domestik yg akan diolah Kualitas air limbah domestik berdasarkan pendekatan aktual di lapangan dikelompokkan pada 3 (tiga) katagori/pengelompokan : a. Air limbah dengan tingkat pencemaran rendah, BOD < 300 mg/l. b. Air limbah dengan tingkat pencemaran sedang, 300 < BOD < 500 mg/l. c. Air limbah dengan tingkat pencemaran tinggi, BOD > 500 mg/l. Kualitas air limbah yang akan diolah harus diukur dari hasil analisa kualitas melalui uji laboratorium.

90 Kuantitas air limbah menentukan jumlah beban pencemaran yang akan diolah. Kuantitas dan kualitas air limbah menentukan desain waktu detensi di dalam reaktor, volume reaktor, jumlah media, jumlah volume udara untuk proses aerasi, dan besarnya pompa untuk resirkulasi. 2. Kemudahan Pengoperasian&Ketersediaan SDM Masing-masing jenis IPAL memiliki karakteristik pengoperasian dan tingkat kesulitan pengoperasian yang berbeda, tergantung jenis limbah yang diolah dan bangunan pengolahan yang digunakan. Faktor kemudahan pengoperasian dan ketersediaan SDM yang akan mengoperasikan IPAL tersebut menjadi unsur yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan bangunan pengolah air limbah karena terkait dengan biaya operasional yang harus ditanggung pengelola. 3. Jumlah Akumulasi Lumpur Lumpur yang berasal dari proses pengolahan memerlukan penanganan khusus. Semakin banyak jumlah lumpur yang timbul dalam instalasi, semakin membutuhkan penanganan dan unit khusus yang pada akhirnya menambah biaya operasi. 4. Kebutuhan Lahan Setiap sistem pengolahan air limbah mempunyai karakteristik laju pengolahan (flow rate), kualitas, dan kuantitas yang berbeda-beda. Hal ini dapat mempengaruhi perencanaan waktu detensi dan efisiensi proses masing-masing bangunan pengolah air limbah yang akan digunakan. Semakin besar waktu detensi, semakin besar pula kebutuhan lahan yang digunakan. 5. Biaya Pengoperasian Biaya pengoperasian biasanya sangat ditentukan oleh kebutuhan energi (listrik), biaya bahan kimia, perawatan, dan lain-lain dari masing-masing jenis IPAL. 6. Kualitas Hasil Olahan Baku mutu atau ambang batas kualitas olahan yang diperkenankan dibuang ke badan air penerima diatur oleh masing-masing daerah.

91 Semakin tinggi golongan sungai penerima air olahan, maka semakin ketat pula ambang batasnya. Semakin ketat nilai ambang batasnya, maka dituntut efisiensi pengolahan air limbah yang semakin tinggi. I.C.8.4. Proses Pemilihan Sistem IPAL Urutan langkah dalam memilih jenis IPAL yang paling sesuai untuk kondisi setempat biasanya dipertimbangkan dari aspek teknis dan non teknis sebagaimana berikut : 1. Mengumpulkan data mengenai limbah cair yang akan diolah, meliputi : a. Kualitas Limbah Cair b. Kuantitas Limbah Cair c. Beban Limbah Cair 2. Memilih sistem penyaluran air limbah (Gravitasi atau sistem pemompaan) dan teknologi pengolahan IPAL yang akan digunakan (Fisik, Kimia, dan Biologis ) berdasarkan pertimbangan beberapa aspek. Aspek Teknis : a. Kemudahan Pengoperasian b. Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada c. Jumlah Lumpur yang dihasilkan dari proses pengolahan d. Kualitas Effluent Sementara itu, pertimbangan dari aspek non teknis meliputi : a. Ketersediaan Lahan b. Ketersediaan Biaya Konstruksi dan Operasi Proses tersebut dapat digambarkan dalam Bagan Alir Gambar II.18.

92 Data Limbah Cair Kualitas Limbah Cair Kuantitas Limbah Cair Beban Limbah Cair Pilihan Sistem Penyaluran Limbah Pilihan Teknologi IPAL Aspek Teknis Langkah Pemilihan Aspek Non Teknis Kemudahan Pengoperasian SDM Jumlah lumpur Biaya Operasi Kualitas Effluen Sistem Pengolahan Limbah Cair Terpilih Ketersediaan Lahan Ketersediaan Biaya Konstruksi & Operasi Gambar II.18. Bagan Alir Proses Pemilihan Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL)

93 I.C.8.5. Jenis Sistem Pengolahan Air Limbah Jenis-jenis sistem pengolahan air limbah pada prinsipnya dapat dikategorikan dalam sistem pengolahan fisik, pengolahan biologis, dan pengolahan kimiawi seperti tampak pada Gambar II.19. SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH SISTEM PENGOLAHAN FISIK SISTEM PENGOLAHAN BIOLOGIS SISTEM PENGOLAHAN KIMIAWI 1. Sumur Pengumpul 2. Saringan Sampah (Screen) 3. Bak Penangkap Pasir (Grit Chamber) 4. Bak Pengendap I (Primary Sedimentation) 5. Bak Pengendap II (Clarifier) PENGOLAHAN AEROBIK 1. Kolam Aerasi (Aerated Lagoon) 2. Kolam Aerasi Fakultatif 3. Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process, ASP) 4. Extended Aeration 5. Parit Oksidasi (Oxidation Ditch, OD) PENGOLAHAN ANAEROBIK 1. Filter Anaerobik (Anaerobic Filter) 2. Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) 3. Kolam Anaerobik (Anaerobic Pond) 4. Anaerobic Baffled Reactor (ABR) PENGOLAHAN KOMBINASI 1. Netralisasi 2. Presipitasi 3. Koagulasi dan Flokulasi 1. Kolam Stabilisasi 2. Rotating Biological Contactor (RBC) 3. Pengolahan Anoxic 4. Biofilter 5. Bioreaktor Membran (Membran Bioreactor, MBR) 6. Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) Gambar II.19. Macam- Macam Sistem Pengolahan Air Limbah (IPAL)

94 Sedangkan tahapan proses dan operasi SPALT, serta kriteria desainnya dapat dijelaskan dibawah ini. I.C Sistem Pengolahan Fisik Pengolahan fisik hanya menggunakan proses secara fisik sebagai variabel pertimbangan untuk rekayasa pemisahan dari air dengan polutan atau zat zat pencemar yang ada di dalam air limbah. Tujuan pengolahan fisik adalah memisahkan zat yang tidak diperlukan dari dalam air tanpa menggunakan reaksi kimia dan reaksi biokimia. Dalam pengolahan air limbah secara fisik, tahapan, yaitu : terdapat beberapa 1. Menyaring Tujuannya adalah memisahkan kotoran-kotoran yang berupa zat padat kasar dan berukuran relative besar yang ada dalam air limbah. Saringan dapat berupa kawat-kawat, kisi-kisi, kawat kasar, maupun plat berlubang. 2. Sedimentasi Sedimentasi adalah proses memisahkan zat padat tersuspensi dari air limbah dengan cara mengendapkannya. Proses pengendapan terjadi akibat gaya beratnya sendiri (gaya gravitasi). Operasi ini sering dipakai untuk memisahkan pasir (dalam grit chamber), dan polutan tersuspendi (dalam bak pengendap I dan bak pengendap II). 3. Pengapungan (flotasi) Pengapungan adalah proses memisahkan zat padat tersuspensi atau dapat berupa cairan dari air limbah dengan cara menaikkannya ke atas permukaan air limbah akibat berat jenis yang lebih kecil dari air limbahnya. Pemisahan akan lebih efektif apabila dilakukan penambahan gelembung-gelembung gas ke dalam fase cair, dimana gelembung tersebut akan melekat pada zat padat tersuspensi dan mendorongnya naik ke permukaan. Bahan yang dapat dipisahkan misalnya minyak dan lemak. Parameter desain yang utama untuk pengolahan ini adalah kecepatan mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap. Kelebihan proses pengolahan fisik adalah mengurangi penggunaan energi yang dapat berpengaruh terhadap pengurangan

95 biaya operasi dan peralatan, mengurangi beban pengolahan, dan mengurangi resiko rusaknya peralatan. Kelemahan pengolahan fisik adalah pengolahan ini hanya dapat diterapkan untuk menghilangkan zat padat tersuspensi, sedangkan pencemar yang masih berupa zat terlarut tidak dapat diolah. Selain itu, hasil yang akan dicapai sangat terbatas dan memerlukan waktu yang cukup lama. Unit pengolahan fisik yang dapat direncanakan adalah : 1. Sumur Pengumpul Sumur pengumpul merupakan salah satu bangunan pengolahan pendahuluan dalam perencanaan bangunan pengolahan air limbah. Sumur pengumpul dilengkapi dengan pompa yang berfungsi untuk memompakan air limbah ke instalasi pengolahan air limbah. Fungsi sumur pengumpul ini adalah untuk menampung air limbah dari saluran air limbah (intercepting sewer) yang kedalamannya berada di bawah permukaan instalasi pengolahan air limbah. Sumur pengumpul dapat dilengkapi dengan bak penangkap lemak (oil and grease) sebelum air limbah masuk ke dalam sumur untuk menyaring minyak dan lemak yang mungkin masuk ke dalam sumur. Kriteria desain untuk sumur pengumpul yang penting adalah waktu detensi. Waktu detensi air limbah berada dalam sumur tidak boleh lebih dari 10 menit. Hal ini untuk menghindari terjadinya pengendapan dalam sumur. Contoh sumur pengumpul terdapat pada Gambar II.20. Gambar II.20. Sumur Pengumpul Jenis sumur pengumpul dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Sumur Basah

96 Menggunakan pompa submersible atau suspended/ motor yang terpasang di atas level muka air di dalam sumur basah, sedangkan bagian pompa terendam. b. Sumur Kering Menggunakan salah satu dari self-priming/ suction lift centrifugal pump atau pompa sumur kering/ pompa dipasang dalam kompartemen yang terpisah dengan air yang diisap. 2. Saringan Sampah (Screen) Saringan sampah atau screen berfungsi untuk memisahkan zat padat kasar atau yang berukuran besar (seperti plastik, kertas, dedaunan, dan lain- lain) dari air limbah. Saringan dilengkapi dengan kawat kawat, kisi- kisi, maupun plat berlubang untuk menghalangi padatan yang berukuran besar masuk ke dalam pengolahan air limbah. Saringan yang biasa digunakan dalam air limbah memiliki beberapa kriteria. Kriteria saringan sampah pada aliran air limbah terdapat pada Tabel II.14, sedangkan untuk gambar saringan sampah terdapat pada Gambar II.21. Tabel II.14. Faktor Desain Persyaratan Teknis Saringan Air Limbah Pembersihan Cara Manual Pembersihan dengan Alat Mekanik Kecepatan aliran lewat celah (m/dt 0,3 0,6 0,6 1 Ukuran penampang batang Lebar (mm) Tebal (mm) Jarak bersih dua batang (mm) Kemiringan thd. Horizontal (derajat) Kehilangan tekanan lewat celah (mm) Kehilangan tekanan Max.(cloging) (mm) Sumber: Syed R, Qosim, Waste water teatment plants

97 Gambar II.21. Skematik Saringan Sampah 3. Bak Penangkap Pasir (Grit chamber) Sarana ini diperlukan untuk memisahkan kandungan pasir dari aliran air limbah, sehingga pada tahap berikutnya bahan/material lain didalam aliran air limbah tersebut akan diproses dengan pengolahan biologi. Kunci dari pemisahan ini adalah mengendapkan pasir pada pada kecepatan horizontal, dan pasir akan mengendap. Kecepatan aliran dalam Grit chamber diatur sedemikian rupa sehingga yang diendapkan hanya pasir yang relative mempunyai spesifik grafiti yang lebih berat dari partikel lain. Tetapi kecepatan tersebut tidak telalu pelan sehingga bahan-bahan lain (organik) selain pasir ikut mengendap. Pengaturan kecepatan tersebut berlaku pada kondisi flow minimum maupun maksimum. Maka untuk mengatur kondisi tersebut : Grit chamber dibagi menjadi dua kompartemen atau lebih, untuk aliran minimum bekerja hanya satu kompartemen dan maksimum bekerja keduanya, Penampang melintang Grit chamber tersebut dibuat mendekati bentuk parabola untuk mengakomodasi setiap perubahan debit dengan kecepatan konstant. Melengkapi Grit chamber dengan pengatur aliran yang disebut control flume, yang dipasang diujung aliran.

98 Gambar skematik grit chamber selengkapnya terdapat pada Gambar II.22, dan kriteria desain untuk grit chamber terdapat pada Tabel II.15. Tabel II.15. Faktor Desain untuk Grit chamber Faktor Rencana Kriteria Keterangan Dimensi Kedalaman, m Panjang, m Lebar, m Rasio lebar/dalam Rasio panjang/lebar 2 5 7,5 20 2,5 7 1:1 s/d 5:1 2,5:1 s/d 5:1 Jika diperlukan untuk menangkap pasir halus (0,21 mm), gunakan td yang lebih lama. Lebar disesuaikan juga untuk peralatan pengeruk pasir mekanik, kalau terlalu lebar dapat menggunakan buffle pemisah aliran untuk mencegah aliran pendek. Kecepatan m/dt Aliran, 0,6 0.8 Di permukaan air Waktu detensi pada aliran puncak, menit 2 5 Supply udara Liter/det.m panjang tangki 5-12 jika menggunakan aerated Grit chamber (Sumber: Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah, PU, 2006)

99 Grit Chamber Potongan a-b Potongan c-d Gambar II.22. Skematik Grit chamber 4. Bak Pengendap I (Primary Sedimentation) Fungsi utama bak pengendap I adalah mengendapkan partikel discrete. Pemisahan partikel discrete (partikel yang tidak mengelompok) dari suspensi melalui pengendapan bebas (unhindered settling). Selain itu, bak pengendap I juga berfungsi menurunkan BOD/COD dalam aliran sehingga menurunkan beban pengolahan biologis pada tahapan pengolahan berikutnya. Unit ini dapat mengendapkan (50-70)% padatan yang tersuspensi (suspended solid) dan mengurangu (30-40)% BOD. Terdapat tiga (3) tipe unit pengendap yang biasa digunakan yaitu: Horizontal flow (aliran horizontal) yaitu dalam bentuk persegi panjang. Contohnya ada pada Gambar II.23.

100 Gambar II.23. Skematik Bak Persegi Panjang (Horizontal Flow) Radial flow yaitu bak sirkular, air mengalir dari tengah menuju pinggir. Gambar penampang bak aliran ini terdapat pada Gambar II.24. Gambar II.24. Radial Flow Upword flow yaitu aliran dari bawah keatas dan biasanya bak dalam bentuk kerucut menghadap ke atas. Contohnya terdapat pada Gambar II.25. Gambar II.25. Upword Flow

101 Sebaiknya desain dimensi bak pengendap I menggunakan debit puncak (peak hour flow) jika tujuannya hanya berfungsi untuk mengedapkan partikel discrete saja dan tidak untuk menurunkan kadar bahan organik. Artinya menggunakan waktu detensi dalam bilangan jam saja dan bukan hari. Beberapa kriteria perencanaan berkenaan dengan bak pengendap I dapat dilihat pada Tabel II.16. Tabel II.16. Parameter Desain Kriteria untuk masing masing Tipikal Bak Pengendap Tipe bak pengendap Aliran Persegi panjang Aliran ke Atas Radial Surface loading (m 3 /m 2 hari) pada aliran maksimum 45 pada aliran maksimum ± 30 pada aliran maksimum waktu detensi (jam) 2, pada aliran maksimum 2, pada aliran maksimum 2-3 pada aliran maksimum Dimensi P/L = 4:1, dalam 1,5 m P/L 2:1 dalam 3m Dalam 1/6 s/d 1/10 diameter Piramid dgn sudut 60 0 Kerucut. Sudut 45 0 Weir over flow rate (m 3 /m.hari) 300 V-notch weir di sisi luar V-notch weir di sisi luar Kinerja untuk SS > 100 mg/ltr 40-50%, sludge 3-7% 50-70%, sludge 3-6,5% 65%, sludge 3-4% (Sumber: Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah, PU, 2006)

102 5. Bak Pengendap II (Clarifier) Fungsi unit ini adalah tempat terjadinya pemisahan pengendapan material flocculant (hasil proses flokulasi atau proses sintesa oleh bakteri) yaitu partikel yang mengelompok oleh gaya saling tarik menarik (van der waals forces) menjadi menggumpul lebih besar dan kemudian menjadi lebih berat dan mudah mengendap. Perhatian khusus harus diberikan terhadap pengendapan floc dalam bentuk MLSS (mixed liquoer suspended solid) dari proses activated sludge atau lumpur aktif yang konsentrasinya tinggi mencapai 5000 mg/l. Clarifier ini merupakan pengendapan terakhir yang disebut juga final sedimentation. Untuk desain surface loading (Q/A) digunakan 30 s/40 m 3 /m 2.hari. Sedangkan untuk desain yang aman harus menggunakan debit maksimum. Kedalaman bak pengendap dari weir minimal adalah 3 m dengan waktu detensi (td) 2 jam untuk aliran puncak dan jika perhitungan menggunakan aliran rata-rata maka waktu detensinya berkisar 4,5 s/d 6 jam. Besarnya beban Weir loading rate adalah sebesar 124 m 3 /m.hari. Bentuk bangunan secondary clarifier terdapat pada Gambar II.26. Gambar II.26. Bentuk Bangunan Secondary Clarifier

103 I.C Pengolahan Biologis Pengolahan biologis adalah penguraian bahan organik yang terkandung dalam air limbah oleh jasad renik/bakteri sehingga menjadi bahan kimia sederhana berupa unsur-unsur dan mineral yang siap dan aman dibuang ke lingkungan. Tujuan pengolahan air limbah secara biologis adalah untuk menghilangkan dan menstabilkan zat-zat pencemar organik terlarut yang dilaksanakan oleh jasad renik. Jasad renik dapat berupa bakteri, kapang, algae, protozoa, dan lain lain. Pengolahan limbah secara biologis terutama memanfaatkan kerja mikroorganisme. Dalam pengolahan ini, polutan yang degradable (mudah diuraikan) dapat segera dihilangkan. Polutan tersebut merupakan makanan bagi bakteri, sehingga dalam waktu yang singkat bakteri akan berkembang biak menghabiskan polutan yang ada dalam air limbah dan menghasilkan lumpur biologis sebagai endapan. Proses penghancuran polutan secara biologi dapat dipercepat dengan memacu pertumbuhan bakteri. bakteri akan tumbuh dan berkembang pesat apabila kondisi yang sesuai bagi kehidupan bakteri dapat terpenuhi. Kondisi yang sesuai antara lain adalah ph air limbah sekitar 7 dan suhu air limbah sekitar 35 o C. Pengolahan air limbah secara biologi sangat baik, akan tetapi memerlukan waktu yang lama dan area yang luas. Pemilihan metode pengolahan yang akan digunakan tergantung tingkat pencemaran yang harus dihilangkan, besaran beban pencemaran, beban hidrolis dan standar buang (effluent) yang diperkenankan. Secara biologis ada 3 prinsip pengolahan biologis yaitu pengolahan secara aerobik yaitu dengan melibatkan oksigen, pengolahan secara anaerobik yaitu tanpa melibatkan oksigen, dan pengolahan anoxic yaitu pengolahan biologis yang menggunakan oksigen terikat. Secara umum, keuntungan dan kerugian jenis-jenis pengolahan biologis dapat dijelaskan pada Tabel II.17 hingga Tabel II.19 berikut ini :

104 Tabel II.17. Keuntungan dan Kerugian Pengolahan Biologis Aerobik No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan Menggunakan peralatan aerator mekanik berupa surface aerator Biaya pemeliharaan rendah Effluent yang dihasilkan 1 Kolam Aerasi (Aerated untuk membantu mekanisasi supply baik Lagoon) oksigen larut dalam air Biaya instalasi awal rendah Tidak menimbulkan bau Pertumbuhan bakterinya yaitu Suspended Growth Sistem Membutuhkan lahan yang luas Membutuhkan energi yang besar jika kolam aerasi dilengkapi dengan aerator 2 Kolam Aerasi Tipe Fakultatif Memerlukan aerator untuk proses pengadukan tapi kebutuhan tenaganya tidak sebesar kolam aerasi. Pertumbuhan bakterinya yaitu Suspended Growth Sistem Pada lapisan atas terjadi proses dekomposisi aerobic dan pada bagian lapisan bawah kolam terjadi dekomposisi proses anaerobic Konsentrasi solid (30-150) mg/l Waktu detensi (td) yaitu (3-6) hari Kedalaman kolam (3-5) m Efisiensi BOD removal sebesar (75-90)% Kebutuhan lahan (0,15-0,45) m 2 /kapita Kebutuhan oksigen sebesar (0,75-0,97) kwh/1000 orang atau (0,75-1,12) kwh/1000 m 3 /kolam Power yang diperlukan cukup rendah Memerlukan lahan yang cukup luas, tapi tidak seluas kolam stabilisasi Perlu melakukan pengurasan lumpur secara berkala

105 No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan Pertumbuhan bakterinya yaitu Suspended Growth Sistem dengan reycle lumpur 3 Activated Sludge Process (ASP) ASP conventional jenis alirannya plug flow Sesuai untuk pengolahan air limbah dengan debit kecil untuk polutan organic yang sudah terdegradasi Biasanya digunakan untuk pengolahan aerobic Proses bervariasi termasuk nitrifikasi dan kombinasi dengan reaktor removal nutrient Daya larut oksigen dalam air limbah lebih besar daripada kolam aerasi Efisiensi proses tinggi Menggunakan mix mikroorganisme sehingga lebih mudah diaplikasikan Maintenance dapat secara langsung karena dapat terlihat secara visual (warna air limbah) Memerlukan lahan yang luas Proses operasionalnya rumit (memerlukan pengawasan yang cukup ketat seperti kondisi suhu dan bulking control proses) Membutuhan energy yang besar, sehingga biayanya juga besar Membutuhkan operator untuk mengatur jumlah massa mikroba dalam reaktor Membutuhkan penanganan lumpur lebih lanjut 4 Extended Aeration Proses ini merupakan pengembangan dari proses lumpur aktif konventional (ASP) Pertumbuhan bakterinya yaitu Suspended Growth Sistem Proses ini tidak memerlukan bak pengendap awal Konsentrasi solid ( ) mg/l Waktu detensi (td) yaitu (0,7-1) hari Efisiensi BOD removal cukup tinggi Tidak memerlukan pengurasan lumpur pada dasar kolam Memerlukan tenaga aerator yang cukup besar Biaya O&M besar karena membayar biaya listrik untuk aerator

106 No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan Kedalaman kolam (3-5) m Efisiensi BOD removal sebesar (95-98)% Kebutuhan lahan (0,13-0,25) m 2 /kapita Kebutuhan oksigen sebesar (1,49 2,24) kwh/1000 orang atau (1,12-1,87) kwh/1000 m 3 /kolam 5 Oxidation Ditch Biasanya digunakan untuk proses pemurnian air limbah setelah mengalami proses pendahuluan Pertumbuhan bakterinya yaitu Suspended Growth Sistem Pada prinsipnya OD adalah extended aeration yang dikembangkan berdasarkan saluran sirkular dengan kedalaman (1-1,5) m Terdapat rotor di beberap tempat untuk tujuan aerasi Efisiensi removal organic cukup tinggi Biaya O&M rendah Menghasilkan lumpur yang lebih sedikit daripada proses biologis lainnya Membutuhkan lahan yang luas Konsentrasi TSS pada effluent masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan ASP

107 Tabel II.18. Keuntungan dan Kerugian Pengolahan Biologis Anaerobik No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan Dilengkapi filter media untuk tempat berkembangnya koloni bakteri membentuk film (lendir) akibat fermentasi oleh enzim bakteri terhadap bahan organik yang ada didalam limbah Tahan terhadap shock loading Tidak membutuhkan energy listrik Biaya operasional dan perawatan tidak terlalu mahal 1 Filter Anaerobik Efisiensi BOD dan TSS tinggi 2 Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) Media yang digunakan bisa dari kerikil, bola-bola plastik atau tutup botol pelasik dengan diameter antara 5 cm s/d 15 cm Aliran dapat dilakukan dari atas atau dari bawah Membutuhkan pelengkap unit sistem buffer untuk penampungan sementara fluktuasi debit yang masuk sebelum didistribusikan ke tangki UASB UASB biasanya dipakai pada konsentrasi BOD di atas 1000 mg/l, yang umumnya digunakan oleh industri dengan beban organik tinggi. Jika beban organik rendah akan sulit terbentuk sludge blanket Efisiensi removal organiknya tinggi Menghasilkan gas yang dapat digunakan sebagai sumber energi biogas Membutuhkan pencucian media secara berkala Effluentnya membutuhkan pengolahan tambahan Efisiensi reduksi bakteri pathogen dan nutrient rendah Membutuhkan start up yang lama Memerlukan start up yang cukup lama Memerlukan operator untuk mengatur aliran di dalam reaktor

108 No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan Kolam ini dibuat dengan mengatur kedalaman kolam agar terjadi proses anaerobic, kedalamannya sekitar (2-5) m. Organik loading untuk kawasan tropis sekitar ( ) g BOD/m 3.hari Biaya yang dibutuhkan sedikit dari segi operasional karna tidak menggunakan energy listrik Efisiensi removal yang cukup baik Reduksi bakteri pathogen dan nutrient rendah Effluentnya masih membutuhkan pengolahan tambahan Membutuhkan pretreatment 3 untuk Jika dinding dan dasar pada kolam Kolam Anaerobik anaerobik tidak menggunakan mencegah terjadinya (Anaerobic Pond) pasangan batu, maka kolam clogging tersebut harus dilapisi tanah kedap air (tanah liat + pasir 30%) setebal 30 cm atau diberi lapisan geomembran untuk menghidari air dari kolam meresap kedalam tanah dan beresiko mencemari air tanah sekitarnya 4 Anaerobic Baffled Reactor (ABR) Pengolahan suspended growth yang memanfaatkan sekat (baffle) dalam pengadukan yang bertujuan agar terjadi kontak antara air limbah dengan biomassa ABR mengolah air limbah dengan Organic Loading Rate (OLR) sebesar (1,2-1,5) g COD/L.hari dan pada temperatur mesophilic (23-31 C) Biaya yang dibutuhkan sedikit dari segi operasional karna tidak menggunakan energy listrik Efisiensi removal yang cukup baik Reduksi bakteri pathogen dan nutrient rendah Effluentnya masih membutuhkan pengolahan tambahan Membutuhkan pretreatment untuk mencegah terjadinya clogging

109 1 Kolam Stabilisasi Tabel II.19. Keuntungan dan Kerugian Pengolahan Biologis Kombinasi No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan Terdiri dari 3 unit kolam, yaitu kolam anaerobic, kolam fakultatif, dan kolam maturasi 2 Rotating Biological Contactor (RBC) Kolam pertama adalah kolam anaerobic, kemudian kolam fakultatif, dan dilanjutkan kolam maturasi Perbedaan ketiga kolam terdapat pada kedalamannya. Kolam anaerobic (2,5-4) m, kolam fakultatif (1,5-2) m, dan kolam maturasi 1 m. Pertumbuhan bakterinya yaitu Attached Growth Sistem Menggunakan media berupa piringan fiber/ HDPE yang berada 40% di dalam air dan disusun secara vertical pada as rotor horizontal Piringan diputar dengan kecepatan (3-6) rpm sehingga memberi kesempatan secara bergantian bagian-bagian dari luas permukaan piringan menerima oksigen dari udara luar Pemutaran media selain berfungsi untuk supplai oksigen pada bakteri yang melekat pada piringan juga berfungsi untuk membersihkan Effluentnya dapat digunakan untuk keperluan irigasi, kolam ikan peliharaan, Teknologi sederhana, tidak memerlukan O&M yang rumit Membutuhkan biaya sedikit Kebutuhan lahan yang sedikit Tahan terhadap beban kejut (shock loading) organis dan hidrolis Peluruhan biomassa lebih aktif Kebutuhan energi listrik lebih rendah Kualitas effluent tinggi Mampu mengolah air limbah yang mengandung senyawa beracun seperti besi, sianida, selenium, dan lain-lain Memerlukan lahan yang luas Perlu melakukan pengurasan lumpur secara berkala Biaya capital dan pemasangan RBC lebih mahal daripada ASP/debit/kualitas air limbah yang setara Kalau oksigen terlarutnya rendah dan terdapat sulfide di dalam air limbahnya, maka bakteri pengganggu seperti Beggiatoa akan tumbuh di media RBC Biaya investasi akan lebih mahal apabila debit olahannya besar

110 No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan lender yang berlebihan pada piringan sehingga tidak akan terjadi clogging Biasanya digunakan untuk skala modul ( ) jiwa, sehingga RBC lebih cocok untuk debit kecil 3 Biofilter 4 Bioreaktor Membran (Membrane bioreactor, MBR) Terdapat 2 bak kontaktor yaitu bak kontaktor anaerob dan bak kontaktor aerob Proses yang terjadi dalam biofilter ada proses anaero, aerob, anoxic Di dalam bak kontaktor anaerob terdapat diisi dengan media dari bahan plastic tipe sarang tawon Tangki biofilter terbuat dari bahan kedap air dan tahan korosi Jumlah bak kontaktor anaerob terdiri dari dua buah ruangan Media kontaktor terdiri dari minimal 3 kompartemen. Di dalam bak kontaktor aerob diisi dengan medua dan bahan plastic tipe sarang tawon sambil diaerasi Sistem pengolahan yang menggunakan membran Proses pengolahannya hampir sama dengan ASP, hanya bedanya pemisahan solid di MBR Dapat menurunkan zat organik, ammonia, deterjen, phospat, TSS dan lain-lain Tidak memerlukan clarifier sehingga dapat menghemat penggunaan lahan Pembuangan lumpur dapat dilakukan langsung dari Membutuhkan pencucian media secara berkala Membutuhkan tenaga cukup besar untuk proses aerasi di bak kontaktor aerob Biaya investasi dan perawatannya tinggi untuk membeli membrane Maintenance harus rutin

111 No Proses Pengolahan Karakteristik Keunggulan Kelemahan menggunakan membrane Terdiri dari 1 bak yang berfungsi untuk proses biologis dan filtrasi Kemampuan proses ini sangat tergantung dari modul filter yang digunakan dalam reaktor Kualitas effluent hasil pengolahan yang tinngi sehingga hasil olahannya dapar digunakan kembali dengan pergantian/ pencucian membran 5 Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR Menggunakan beribu biofilm dari polyethylene yang tercampur dalam reaktor yang diaerasi terusmenerus Luas permukaan media besar untuk tempat bertumbuhnya bakteri Pertumbuhan bakterinya yaitu Attached Growth Sistem Tidak membutuhkan pengembalian lumpur dan tidak perlu mengatur F/M ratio dalam reaktor Cocok untuk permasalahan nitrifikasi Tidak mengeluarkan biaya yang besar Perawatannya mudah karena tidak perlu melakukan pengembalian lumpur dan mengatur F/M ratio Efisiensi pengolahan BOD dan nitrifikasinya tinggi Tidak memerlukan lahan yang luas Perlu melakukan penggantian media yang telah jenuh secara rutin

112 Selain itu, ciri-ciri beberapa unit pengolahan biologis dapat dilihat pada Tabel II.20. Tabel II.20. No. Type Jenis Proses Kolam Aerasi (Aerated Lagoon) Kolam Aerasi Fakultatif Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process, ASP) Ciri- Ciri Bangunan Pengolahan Biologis untuk Air Limbah Beban Hidraulik/Biologis Efisiensi Pengolahan (%) Pengolahan Aerobik 0,1 kg BOD/m 3.hari >70 Pengolahan Aerobik 250 m 3 /m 2.hari >90 Pengolahan Aerobik 4 Extended Aeration Pengolahan Aerobik 5 6 Parit Oksidasi (Oxidation Ditch, OD) Filter Anaerobik (Anaerobic Filter) Pengolahan Aerobik Pengolahan Anaerobik (0,3-0,6) kg BOD/m 3.hari (0,1-0,4) kg BOD/m 3.hari 0,1 0,6 kg.bod/m 3.hari ( 4-5) kg COD/m 3.hari Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) Pengolahan Anaerobik 20 m 3 /m 2.hari atau 25 kg COD/m 3.hari Kolam Anaerobik (Anaerobic Pond) Pengolahan Anaerobik ( ) g BOD/m 3.hari Anaerobic Baffled Reactor (ABR) Pengolahan Anaerobik < 3 kg COD/m 3.hari Kolam Stabilisasi Pengolahan Anaerobik, fakultatif, dan Maturasi Kolam Anaerob = 4 m 3 /m 2.hari atau 0,3-1,2 kg BOD/m 3 /hari Kolam fakultatif =(40-120) kg BOD/ha.hari Kolam Maturasi = 0,01 kg/m 3.hari Rotating Biological Contactor (RBC) 12 Biofilter Pengolahan Aerobik dengan menggunakan beberapa disk Pengolahan Anaerobik dan Aerobik 0,02 m 3 /m 2.luas media 95 Biofilter Anaerob = (5-30) g BOD/m 2.hari Biofilter Aerob = (5-30) g BOD/m 2.hari 80-90

113 No. Type Jenis Proses Bioreaktor Membran (Membran Bioreactor, MBR) Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) Pengolahan Aerobik dengan menggunakan membran Pengolahan Aerobik dengan menggunakan beribu biofilm Beban Hidraulik/Biologis (0,4-0,7) kg BOD/m 3.hari Efisiensi Pengolahan (%) (7,5-25) g/m 2.hari 98 Selanjutnya akan dijelaskan lebih detail yaitu sebagai berikut : 1. Pengolahan Aerobik Pengolahan aerobik adalah pengolahan yang menggunakan mikroorganisme yang hidup dalam kondisi aerobik atau kondisi yang memerlukan keberadaan oksigen bebas (O2). Pengolahan aerobik biasanya digunakan untuk pengolahan limbah dengan beban organik yang tidak terlalu besar. Pengolahan ini. Contoh unit pengolahan aerobik yang biasa digunakan adalah aerobic pond, activated sludge, aerated lagoon, oxidation ditch, dan rotating biological contactor. Proses dekomposisi bahan organik dengan sistem digambarkan sebagai berikut dibawah ini : mikroorganisme aerobik C,H,O,N,P,S...+ O2 CO2, H2O, PO4 3-, SO sel baru + energi Keberadaan oksigen terlarut didalam air mutlak diperlukan untuk proses dekomposisi tersebut. Pada unit proses pengolahan air limbah secara aerobik, keberadaan optimal oksigen terlarut direkayasa secara teknologi dengan menggunakan antara lain : aerator mekanik, diffuser, kontak media yang terbuka terhadap udara luar dan proses fotosintesis. Pemilihan unit yang akan dipakai untuk pengolahan ini tergantung besar beban (biologi dan hidrolis) yang akan diolah dan tergantung hasil pengolahan yang dikehendaki (ultimate objective). 2. Pengolahan Anaerobik Pengolahan anaerobik merupakan suatu proses pengolahan yang tidak memerlukan oksigen dalam menguraikan bahan pencemar

114 organiknya. Keberadaan oksigen justru menjadi racun bagi mikroorganisme anaerobik pengurainya. Pengolahan anaerobik digunakan untuk mengolah air limbah dengan beban organik yang tinggi. Pengolahan ini menggunakan bakteri yang hidup dalam kondisi anaerob yaitu bakteri hidrolisa, bakteri acetogenik, dan metanogenik. Contoh pengolahan anaerobic yang umum digunakan adalah septic tank, anaerobic biological reactor (ABR), inhoff tank, kolam anaerobic, Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB), dan anaerobic filter. Reaksi kimia pengolahan anaerobik umumnya sebagai berikut: C,H,O,N,P,S + NO3 -, PO4 3-, SO4 2- Mikroorganisme CO2, CH4, N2, PH3, H2S + sel baru + energi Pengolahan secara anaerobik selalu menghasilkan biogas seperti CO2, dan CH4 yang bisa dimanfaatkan sebagai energi alternatif. Apabila menggunakan reaktor anaerobik lebih baik terdapat alat penangkap gasnya, sehingga bisa membantu pengadaan sumber energi alternatif untuk IPAL tersebut. 3. Pengolahan Kombinasi Pengolahan kombinasi adalah pengolahan yang mengkombinasikan antara beberapa proses, baik kombinasi aerobic dan anaerobic, pengolahan anoxic, maupun kombinasi dengan menggunakan tambahan membran atau biofilm. Pengolahan anoxic adalah suatu pengolahan yang kondisinya sudah tidak terdapat oksigen terlarut lagi (oksigen bebas lagi), sehingga mikroorganisme yang akan mengolah air limbah perlu melepaskan oksigen terikat dalam bentuk senyawa nitrat atau nitrit. Prosesnya lebih dikenal dengan istilah denitrifikasi. Oleh karena itu, proses ini digolongkan ke dalam pengolahan kombinasi. Proses denitrifikasi adalah proses dimana senyawa nitrat dan nitrit direduksi menjadi gas nitrogen. Denitrifikasi terjadi pada temperatur rendah yaitu 5 o C dan bakteri yang biasanya hidup adalah bakteri heterotrofik. Reaksi denitrifikasi ditulis sebagai berikut : NO CH3OH + H C5H7O2N + 0.4N CO H2O

115 Pengolahan dengan cara anoxic digunakan apabila senyawa nitrat dalam air limbah berlebih, sehingga perlu diubah menjadi bentuk gas. Berikut ini contoh gambar dengan menggunakan pengolahan anoxic. Gambar II.27. Activated Sludge dengan Proses Nitrifikasi (O) dan Denitrifikasi (A) I.C Pengolahan Kimiawi Pengolahan limbah secara kimiawi dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan kimia ke dalam air limbah untuk mengkondisikan air limbah yang akan diolah agar dapat diolah oleh mikroorganisme (bukan sebagai proses pengolahan utama, hal ini dikarenakan biaya pengolahan yang tinggi). Pengolahan secara kimia biasanya digunakan untuk netralisasi limbah asam maupun basa, memperbaiki proses pemisahan lumpur, memisahkan padatan yang tak terlarut, mengurangi konsentrasi minyak dan lemak, meningkatkan efisiensi instalasi flotasi dan filtrasi, serta mengoksidasi warna dan racun. Air limbah yang mengandung zat-zat kimia termasuk logam berat, sangat tepat bila pengolahan limbah dilakukan secara kimiawi. 1. Netralisasi Proses ini dilakukan untuk menghilangkan asam atau basa. Pada umumnya, semua pengolahan air limbah dengan ph yang terlalu

116 rendah atau tinggi membutuhkan proses netralisasi sebelum limbah tersebut dibuang ke lingkungan. 2. Presipitasi Presipitasi adalah pengolahan bahan- bahan terlarut dengan cara penambahan bahan-bahan kimia yang menyebabkan terbentuknya gumpalan (flok). Dalam pengolahan air limbah, presipitasi digunakan untuk menghilangkan logam berat, sulfat, fluoride, dan garam- garam besi. 3. Koagulasi dan Flokulasi Proses ini mempunyai peranan yang cukup penting dalam pengolahan air limbah, sehingga faktor- faktor yang menunjang dalam proses koagulasi dan flokulasi haruslah diperhatikan. Pemilihan zat koagulan harus berdasar pertimbangan antara lain jumlah dan kualitas air yang akan diolah, kekeruhan, metode penyaringan, serta sistem pembuangan lumpur endapan. Jenis koagulan antara lain Alum (Aluminium Sulfat), Ferro Sulfat, Poly Aluminium Chlorida (PAC), dan lain-lain. Dalam pengolahan air limbah secara kimiawi, waktu dan area yang diperlukan jauh lebih kecil dibandingkan pengolahan limbah secara fisik dan biologi. Akan tetapi biaya yang dibutuhkan lebih tinggi daripada pengolahan secara fisik dan biologis. Oleh karena itu, proses kimia dalam pengolahan air limbah permukiman tidak digunakan sebagai proses pengolahan utama. I.C Komponen Bangunan Pengolahan Air Limbah Aerobik 1. Kolam Aerasi (Aerated Lagoon) Kolam aerasi menggunakan peralatan aerator mekanik berupa surface aerator yang digunakan untuk membantu mekanisasi supply oksigen larut dalam air. Aerator ini menggunakan propeler yang setengah terbenam dalam air dengan putarannya memecah permukaan air agar lebih banyak bagian air yang kontak dengan udara dan menyerap oksigen bebas dari udara. Kelebihan kolam aerasi adalah biaya pemeliharaan rendah, effluent yang dihasilkan baik, biaya instalasi awal rendah, dan

117 tidak menimbulkan bau. Akan tetapi, kelemahannya adalah membutuhkan lahan yang luas dan membutuhkan energy yang besar jika kolam aerasi dilengkapi dengan aerator. Dinding kolam aerasi terbuat dari beton bertulang, sedangkan lantai kolam menggunakan geotekstil agar tidak terjadi kebocoran. Ada beberapa type geotekstil yang dapat digunakan sebagai penutup dasar kolam. Yang perlu diperhatikan dalam pemilihan geotekstil yang akan dipakai diantaranya: a. Memiliki berat yang cukup (4 kg/m 2 ) untuk terhindar dari kemungkinan terangkat (uplift) akibat pelepasan gas karena tanah mengandung material organik. b. Memiliki kemampuan untuk menutup kerusakan akibat penetrasi batuan dengan diameter 5 cm. c. Memiliki kekuatan yang cukup untuk terhindar dari kerusakan pada bagian tepinya karena proses pemasangan. d. Mudah dipasang dan tidak diperlukan tenaga kerja dengan spesifikasi khusus untuk memasangnya. Unit ini pada prinsipnya menempatkan aerator yang dapat mengangkat seluruh endapan tersuspensi dalam aliran sehingga dianggap terjadi pengadukan lengkap dari seluruh sisi kolam sebagaimana terjadi pada aerasi di tangki sistem activated sludge/lumpur aktif. Efisiensi BOD removal cukup tinggi namun karena aliran keluar membawa juga endapan yang tersuspensi, dengan demikian efisiensi pengurangan suspended solid pada efluen sangat rendah. Sebenarnya kebutuhan energi untuk aerasi hampir sama saja dengan tipe lainya, hanya karena harus mengangkat seluruh suspensi, maka diperlukan tenaga aerator yang cukup besar yaitu 2,6 s/d 3,88 kwh per 1000 m 3 kolam. Lebih dari 4 kali tenaga yang diperlukan oleh fakultatif aerated lagoon atau 2 kali tenaga aerator yang diperlukan extended aeration. Keuntungan tipe ini tidak memerlukan pengurasan lumpur pada dasar kolam.

118 Gambar II.28. Skematik Kolam Aerasi 2. Kolam Aerasi Fakulatif Tipe ini selaras dengan kolam alga pada kolam stabilisasi, hanya oksigen yang diperlukan disupply melalui aerator dan bukan melalui proses fotosintesis algae. Sistem ini memberikan cukup oksigen, namun power input aerator tidak cukup untuk mejaga seluruh partikel (solid) tetap dalam bentuk suspensi. Jadi sama dengan kondisi fakultatif pada kolam stabilisasi, yaitu pada lapisan bagian atas terjadi proses dekomposisi aerobik dan pada bagian lapisan bawah kolam terjadi proses anaerobik. Pada prinsipnya unit ini memerlukan power yang cukup rendah, namun memerlukan lahan yang cukup luas meskipun tidak seluas lahan untuk kolam stablisasi. Disamping itu lumpur akibat pengendapan akan berada didasar kolam dan secara periodik harus dibersihkan. Akumulasi lumpur facultatif aerated lagoon adalah 30 liter s/d 50 liter per jiwa setiap tahunnya. Gambar skematik Kolam aerasi fakultatif ada pada Gambar II.29. Gambar II.29. Skematik Kolam Aerasi Fakultatif

119 3. Proses Lumpur Aktif (Activated Sludge Process) Lumpur aktif merupakan proses pengolahan secara biologi aerobik dengan mempertahankan jumlah massa mikroba dalam suatu reactor dan dalam keadaan tercampur sempurna. Suplai oksigen mutlak diperlukan, biasanya menggunakan peralatan mekanis aerator dan blower. Peralatan tersebut selain dibutuhkan untuk menyuplai oksigen, juga diperlukan untuk melakukan pengadukan sempurna di dalam reaktor. Perlakukan untuk memperoleh massa mikroba yang tetap dalam reaktor adalah dengan melakukan resirkulasi lumpur dan pembuangan lumpur dalam jumlah tertentu. Limbah cair yang masuk ke dalam tangki aerasi akan terjadi pencampuran dengan mikroorganisme. Mikroorganisme ini yang melakukan penguraian dan menghilangkan kandungan organic dari limbah secara aerobic. Oksigen yang dibutuhkan untuk reaksi mikroorganisme tersebut diberikan dengan cara memasukkan udara ke dalam tangki aerasi dengan blower. Campuran limbah yang telah diolah kemudian dialirkan ke clarifier dan di dalam clarifier lumpur akan mengendap dan supernatannya dikeluarkan sebagai effluent dari proses. Sebagian besar lumur aktif yang ada di clarifier diresirkulasi ke tangki aerasi supaya konsentrasi mikroorganisme dalam tangki aerasinya tetap sama dan sisa lumpur yang ada di buang untuk dilakukan pengolahan lumpur. Ada dua jenis activated sludge yaitu tipe konvensional dan tipe extended aeration. Perbandingan karekteristik kedua jenis tersebut dapat dilihat pada Tabel II.21. Sedangkan kriteria perencanaan lumpur aktif terdapat pada Tabel II.22.

120 Jenis Activated sludge conventional Extended Aeration Tabel II.21. Perbandingan Sistem Lumpur Aktif dengan Sistem Aerasi Uraian Oxidation ditch Jenis aliran Tabel II.22. Waktu detensi lumpur (jam) Kriteria Perencanaan Lumpur Aktif (Activated Sludge) Jenis Proses No Kriteria Satuan Step Modified Extended Contact High Rate Conventional Pure Oxygen Aeration Aeration Aeration Stabilization Aeration 1 Beban BOD : MLSS Loading kg/kg.hari Volume Loading kg/.m 3.hari MLSS mg/l Umur Lumpur (Sludge Age ) hari Kebutuhan Udara (Q udara /Q air limbah) > 15 > 12 > 15 5 Waktu Aerasi (HRT) jam Rasio Sirkulasi Lumpur (Q lumpur /Q air limbah ) % Efisiensi Pengolahan % (Sumber: Japan Sewage Work Assosiation) F/M ratio Beban Aerator (kg/m 3.d) Plug Mix MLSS (mg/lt) Periode Aerasi (jam) Ratio Resirkulasi Kolam Intermitten Plug Aerasi (Sumber: Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah, PU, 2006) Variabel perencanaan (desain variabel) yang umum digunakan dalam pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif (Davis dan Cornwell, Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut: a. Beban BOD Beban BOD adalah jumlah massa BOD di dalam air Iimbah yang masuk (influent) dibagi dengan volume reaktor. Beban BOD dapat dihitung dengan rumus berikut: 3 Beban BOD (kg/m.hari) Q S = V Dimana: Q = debit air Iimbah yang masuk (m 3 /hari) o

121 S0 = Konsentrasi BOD di dalam air Iimbah yangmasuk (kg/m 3 ) V = Volume reaktor (m 3 ) b. Mixed-Liqour Suspended Solids (MLSS) Isi di dalam bak aerasi pada pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed liquor yang merupakan campuran antara air limbah dengan biomassa mikroorganisma serta padatan tersuspensi lainnya. MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk di dalamnya adalah mikroorganisma. MLVSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur 105 C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang. c. Mixed-Iiqour Volatile Suspended Solids (MLVSS) Porsi material organik pada MLVSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan selnya hancur (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada C, dan nilainya mendekati 65-75% dan MLSS. d. Food - to - Microorganism Ratio Parameter ini menujukkan jumlah zat organik (BOD) yang dihilangkan dibagi dengan jumlah massa mikroorganisma di dalam bak aerasi atau reaktor. Besarnya nilai F/M ratio umumnya ditunjukkan dalam kilogram BOD per kilogram MLVSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Natharison, 1986). F/M dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: F / M Q So S MLSS V dimana: Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)

122 S0 = Konsentrasi BOD di dalam air limbah yang masuk ke bak areasi (reaktor) (kg/m 3 ) S = Konsentrasi BOD di dalam efluent(kg/m 3 ) MLSS = Mixed liquor suspended solids (kg/m 3 ) V = Volume reaktor atau bak aerasi (m 3 ) e. Hidraulic Retention Time (HRT) Waktu detensi hidraulik (HRT) adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influen masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (dilution rate, 0) (Sterrittdan Lester, 1988). HRT dimana: V = Volume reaktor atau bak aerasi (m 3 ). Q = Debit air Iimbah yang masuk ke dalam tangki aerasi (m 3 /jam) D = Laju pengenceran (jam). f. Kebutuhan Oksigen Kebutuhan udara untuk aerasi sebesar 62 m 3 /kg BOD dan waktu detensi aerator selama (2-5) jam. Kebutuhan dan transfer oksigen dapat dirumuskan sebagai berikut : I D V a BOD 1 mol sel = 1,42 Konsentrasi Sel Sementara itu, kebutuhan oksigen teoritis dapat dirumuskan sebagai berikut : Lb O2/hari = (total massa BODL) 1,42 (massa organisme limbah) Dalam mensuplai kebutuhan oksigen dapat digunakan beberapa jenis aerator seperti pada Tabel II.23.

123 Tabel II.23. Karakteristik Peralatan Aerator Sistem Aerasi Uraian Kelebihan Kekurangan Sistem difuser 1.Gelembung halus 2.Gelembung sedang Menggunakan Pipa atau sungkup keramik yang porous Menggunakan Pipa perforated Baik untuk Pengadukan dan oksigen transfer Baik untuk Pengadukan dan biaya O&P rendah Biaya inisial dan O&P tinggi Biaya inisial tinggi Transfer Efisiensi Transfer Rate ,2 2, ,0 1,6 3.Gelembung besar Menggunakan Pipa dengan orifice Non clogging, biaya O&P rendah Biaya inisial dan tenaga listrik tinggi 4-8 0,6 1,2 Sistem mekanikal 1. Radial flow 2060 Dengan diameter Impeller lebar Flexible, adukan baik Biaya awal tinggi 1,2 2,4 2. Axial flow rpm Dengan diameter Propeller pendek Biaya awal rendah Adukan kurang 1,2 2,4 3. Tubular defuser 4. Jet 5. Brush rotor Udara & AL dihisap kedalam pipa untuk diaduk Tekanan udara dan AL horizontal Drum dilapisi sikat baja dan diputar dengan as horizontal Rendah inisial dan O & cost, efisiensi transfer tinggi Cocok untuk bak yang dalam Cocok untuk oxidation ditch Adukan rendah Perlu pompa dan kompresor Efisiensi rendah ,2 1, ,2 2,4 1,2 2,4 6. Submed turbin Adukan tinggi Power tinggi 1,0 1,5 a) Kg O2/Kw.jam (Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan Sarana Pengelolaan Air Limbah, Pu, 2006)

124 g. Produksi Lumpur (Px) Produksi lumpur per hari (Px) Px = Yobs Q (So S) (10 3 g/kg) -1 Dimana : Px Yobs = Jumlah bersih buangan activated sludge yang dihasilkan tiap hari, diukur dalam volatile suspended solid, (kg/hari) = observed yield (g/g) = Y ( ) 1 K d c Produksi Lumpur (Px) = [Y Q (So S)] [Kd Vr X] Dimana : Y = yield So = Konsentrasi BOD atau COD influent (mg/l) S = Konsentrasi BOD atau COD effluent (mg/l) Kd = Koefisien pada ASP (BOD/hari) Vr = Volume reactor (m 3 ) X = Konsentrasi Volatile Suspended Solid (mg/l) atau (g/m 3 ) h. Ratio Sirkulasi Lumpur (Hidraulic Recycle R) Ratio sirkulasi adalah perbandingan antara jumlah lumpur yang disirkulasikan ke bak aerasi dengan jumlah air limbah yang masuk ke dalam bak aerasi. Rumus untuk rasio resirkulasi adalah : Q R Q r o X X X r Dimana : Qr = Debit resirkulasi Qo = Debit influen X = Konsentrasi mikroorganisme dalam bioreactor Xr = Konsentrasi mikroorganisme dalam resirkulasi

125 i. Umur lumpur Aktif (ƟC) Parameter ini menunjukkan waktu detensi mikro organisma dalam sistem lumpur aktif. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu detensi sel mikroba dalam bak aerasi dapat dalam hitungan hari. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : dimana: C = Q X [ Q Q ] X w w X V ƟC = Rata- rata waktu tinggal sel berdasarkan volume tangki (hari) X = Konsentrasi Volatile Suspended Solid (mg/l) atau (g/m 3 ) w e C Y ( So S) =, dimana : 1 H K H d C V Q V = Volume reactor (m 3 ) Q w = Debit lumpur terbuang (m 3 /hari) X w = Konsentrasi volatile suspended solid dalam lumpur terbuang (g/m 3 ) X e = Konsentrasi volatile suspended solid dalam effluent yang terolah (mg/l) atau (g/m 3 ) Cara konvensional untuk mengamati kemampuan pengendapan lumpur adalah dengan menentukan Indeks Volume Sludge (Sludge Volume Index = SVI). Caranya adalah sebagai berikut : campuran lumpur dan air Iimbah (mixed liquor) di bak aerasi dimasukkan dalam silinder kerucut volume 1 liter dan dibiarkan selama 30 menit. Volume sludge dicatat. SVI menunjukkan besarnya volume yang ditempati 1 gram lumpur (sludge). SVI dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagal berikut: dimana: SVI (ml/g)= SV 1000 MLSS

126 SV = Volume endapan lumpur di dalam silinder kerucut setelah 30 menit pengendapan (ml). MLSS = mixed liqour suspended solid (mg/i). Kelebihan reaktor ini adalah daya larut oksigen dalam air limbah lebih besar daripada kolam aerasi, efisiensi proses tinggi, sesuai untuk pengolahan air limbah dengan debit kecil untuk polutan organik yang sudah terdegradasi. Kekurangan reaktor ini adalah membutuhkan area yang luas, proses operasionalnya rumit (memerlukan pengawasan yang cukup ketat seperti kondisi suhu dan bulking control proses). Selain itu kelemahannya adalah membutuhkan energi yang besar, membutuhkan operator yang terampil dan disiplin dalam mengatur jumlah massa mikroba dalam reaktor dan membutuhkan penanganan lumpur lebih lanjut. 4. Kolam Aerasi Extended Aeration Kolam Extended Aeration sebenarnya bukan termasuk kategori kolam aerasi seperti kolam aerasi lainnya, proses ini merupakan pengembangan dari proses lumpur aktif konvensional (standar). Hanya saja khusus untuk Extended Aeration tidak diperlukan bak pengendap awal. Di dalam bak aerasi air limbah disuplai oksigen dari blower atau diffuser sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada di dalam air limbah. Dengan demikian di dalam bak aerasi tersebut akan tumbuh dan berkembang biomassa dalam jumlah yang besar. Biomassa atau mikroorganisme inilah yang akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalam air limbah. Unit ini juga membuat endapan tersuspensi dengan adukan menyeluruh meliputi seluruh bagian kolam. Sebagian lumpur yang terikut pada aliran outlet dari kolam ini terendapkan, sebagian lainya dibiarkan terakumulasi didalam kolam atau sebagian yang diendapkan kemudian dikembalikan kedalam sistem aerasi untuk mencapai rasio ideal perbandingan makanan dan mikroorganisme yang disebut F/M ratio.

127 Gambar II.30. Skema Extended Aeration Ada 3 sistem yang digunakan yaitu : a. Menempatkan tangki pengendapan terpisah sesudah kolam b. Memisahkan bagian dari kolam untuk zona pengendapan untuk menahan lumpur sebelum effluen dilepas ke badan air. c. Melakukan operasi lagoon secara intermitten dengan membuat dua unit secara pararel. Kedua unit akan beroperasi secara bergantian, ketika satu unit berhenti, maka akan ada kesempatan terjadinya pengendapan. Lumpur akan terakumulasi mencapai konsentrasi solid yang ideal untuk extended aeration. Secara umum, perbedaan karakteristik dari ketiga kolam aerasi terdapat pada Tabel II.24. Tabel II.24. Kriteria Perbedaan Karakteristik dari Ketiga Tipe Kolam Aerasi Fakultatif Tipe Kolam Aerasi Flowthrough Extended Aeration Konsentrasi solid, mg/l Td, hari Dalam kolam, m Eff BOD removal %

128 Kriteria Fakultatif Tipe Kolam Aerasi Flowthrough Extended Aeration Kebutuhan lahan m 2 /cap Kebutuhan oxigen+) Aeration kwh* kwh / 1000 org kwh / 1000 m 3 /kolam *) Perhitungan Hourse Power didasarkan bahwa aerator dapat memberikan 2,28 kgo2/kwh +) KgO 2 /Kg BOD removal 5. Oxidation Ditch Pada prinsipnya sistem oxidation ditch adalah extended aeration yang semula dikembangkan berdasarkan saluran sirkular kedalaman 1 s/d 1,5 m yang dibangun dengan pasangan batu. Reaktor ini biasanya digunakan untuk proses pemurnian air limbah setelah mengalami proses pendahuluan. Fungsi utamanya adalah untuk menurunkan konsentrasi BOD, COD, dan nutrient dalam air limbah. Air diputar mengikuti saluran sirkular yang cukup panjang untuk tujuan aerasi dengan alat mekanik rotor seperti sikat baja yang berbentuk silider. Rotor diputar melalui as (axis) horizontal dipermukaan air. Alat aerasi untuk rotor yang horizontal disebut juga cage rotor atau mammoth rotor, dan pasveer ditch (apabila rotornya vertical). Gambar II.31. Skema Proses Lumpur Aktif Sistem Parit Oksidasi (Oxidation Ditch)

129 Kelebihan parit oksidasi adalah kemampuan meremoval organik dengan biaya operasional dan perawatan rendah. Selain itu, menghasilkan lumpur yang lebih sedikit daripada proses biologis lainnya. Kekurangan reaktor ini adalah membutuhkan lahan yang luas dan konsentrasi TSS pada effluent masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan proses pengolahan activated sludge. I.C Komponen Bangunan Pengolahan Air Limbah Anaerobik 1. Filter Anaerobik (Anaerobic Filter) Unit ini dilengkapi filter media untuk tempat berkembangnya koloni bakteri membentuk film (lendir) akibat fermentasi oleh enzim bakteri terhadap bahan organik yang ada didalam limbah. Film ini akan menebal sehingga menutupi aliran air limbah dicelah diantara media filter tsb, sehingga perlu pencucian berkala terhadap media, misalnya dengan metoda back washing. Media yang digunakan bisa dari kerikil, bola-bola plastik atau tutup botol pelasik dengan diameter antara 5 cm s/d 15 cm. Aliran dapat dilakukan dari atas atau dari bawah. Kelebihan reaktor ini adalah tahan terhadap shock loading, tidak membutuhkan energy listrik, biaya operasional dan perawatan tidak terlalu mahal, dan efisiensi BOD dan TSS tinggi. Kelemahan reaktor ini adalah effluentnya membutuhkan pengolahan tambahan, efisiensi reduksi bakteri pathogen dan nutrient rendah, membutuhkan start up yang lama. Dimensi dihitung berdasarkan : a. Organik loading yaitu (4-5) kg COD /m 3 x hari. b. Volume tangki dhitung berdasarkan retention time (1,5-2) hari. c. Jika menggunakan perkiraan kasar dapat dihitung volume (void + massa) anaerobik filter (0,5-1)m 3 / kapita.

130 d. Umumnya anaerobik filter digunakan sebagai pengolahan kedua setelah septik tank jika alternatif peresapan ke tanah tidak mungkin dilakukan. 2. UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanked) Unit ini menstimulasi pembentukan selimut lumpur yang terbentuk di tengah tangki oleh partikel dan mengendapkan partikel yang dibawa aliran ke atas. Dengan kecepatan aliran naik ke atas yang perlahan, maka partikel yang semula akan mengendap akan terbawa ke atas, tetapi aliran juga tidak terlalu lambat karena akan mengakibatkan terjadi pengendapan didasar. Jadi pengaturan aliran konstan dalam tangki mutlak diperlukan, maka dibutuhkan pelengkap unit sistem buffer untuk penampungan sementara fluktuasi debit yang masuk sebelum didistribusikan ke tangki UASB. Disamping itu diperlukan pengaturan input flow yang merata dalam tanki yang menjamin kecepatan aliran setiap titik aliran masuk dari dasar tangki. Sebagai pegangan untuk menilai perencanaan biasanya Hydrolic loading ditetapkan pada 20 m 3 /m 2.hari. Atau dengan kecepatan aliran konstan ke atas adalah 0,83 m/jam. Retention time (6-8) jam. Penggunaan UASB ini biasanya dipakai pada konsentrasi BOD di atas 1000 mg/l, yang umumnya digunakan oleh industri dengan beban organik tinggi. Jika beban organik rendah akan sukar terbentuk sludge blanked.

131 Gambar II.32. Tipikal Unit Pengolahan UASB 3. Kolam Anaerobik (Anaerobic Pond) Kolam biasanya tanpa penutup, tetapi permukaannya diharapkan tertutup oleh scum hasil proses fermentasi. Jadi pengaturan kedalaman kolam sangat diperlukan untuk menjaga kondisi anaerob yaitu berkisar antara 2 m s/d 5 m. Organik loading untuk kawasan tropis sekitar ( ) g BOD/m 3.hari. Biasanya waktu tinggal (1-2) hari. Jika dinding dan dasar pada kolam anaerobik tidak menggunakan pasangan batu, maka kolam tersebut harus dilapisi tanah kedap air (tanah liat + pasir 30%) setebal 30 cm atau diberi lapisan geomembran untuk menghidari air dari kolam meresap kedalam tanah dan beresiko mencemari air tanah sekitarnya. 4. ABR (Anaerobic Baffled Reactor) Anaerobic Baffle Reactor (ABR) merupakan salah satu jenis pengolahan suspended growth yang memanfaatkan sekat (baffle) dalam pengadukan yang bertujuan memungkinkan terjadinya

132 kontak antara air limbah dan biomass. Pengolahan ini adalah pengolahan yang murah dari segi operasional, sebab tidak diperlukan penggunaan energi listrik, dan memiliki efisiensi removal organik yang cukup baik. Akan tetapi, reduksi bakteri pathogen dan nutrient rendah, effluentnya masih membutuhkan pengolahan tambahan, dan membutuhkan pre-treatment untuk mencegah terjadinya clogging. Menurut McCarty dan Bachmann (1992, dalam Barber dan Stuckey, 1999), Anaerobic Baffle Reactor (ABR) adalah reaktor yang menggunakan serangkaian dinding (baffle) untuk membuat air limbah yang mengandung polutan organik untuk mengalir di bawah dan ke atas (melalui) dinding dari inlet menuju outlet. Pada dasarnya, ABR merupakan pengembangan dari reaktor upflow anaerobic sludge blankets (UASB). Kriteria desain ABR berdasarkan Sasse (1998) adalah sebagai berikut: - Up flow velocity : < 2 m/jam - Panjang : 50-60% dari ketinggian - Removal COD : 65-90% - Removal BOD : 70-95% - Organic loading : < 3 kg COD/m3.hari - Hydraulic retention time : > 8 jam ABR mengolah air limbah dengan Organic Loading Rate (OLR) sebesar 1,2-1,5 g COD/L.hari dan pada temperatur mesophilic (23-31 C). Gambar ABR terdapat pada Gambar II.33. Gambar II.33. Skematik Anaerobic baffle Reactor (ABR)

133 I.C Komponen Bangunan Pengolahan Air Limbah Kombinasi 1. Kolam Stabilisasi Pengolahan sistem ini menggunakan teknologi paling sederhana yaitu proses mengandalkan O2 dari fotosintesa alga. Sedangkan penguraian bakteri terhadap bahan organik menjadi posfat dan amoniak diperlukan alga sebagai nutrisinya (fertilizer) untuk pertumbuhannya. Kolam stabilisasi terdiri dari tiga unit kolam, yaitu kolam anaerobik, kolam fakultatif, dan kolam maturasi. Kolam anerobik yang ditempatkan sebelum kolam fakultatif, untuk kawasan tropis dapat mencapai pengurangan BOD antara 50 s/d 70 % untuk waktu detensi 1s/d 2 hari dengan kedalaman kolam antara 2,5 s/d 4 m. Kolam selanjutnya adalah kolam fakultatif. Kebutuhan lahan kolam fakultatif yang cukup luas atara 250 s/d 300 kg BOD/ ha hari. Untuk mencapai kondisi fakultatif di dalam kolam maka kedalaman kolam berkisar antara 1,5 s/d 2m, sehingga dibagian permukaan terjadi proses aerobik dan dibagian dasar kolam terjadi proses anaerobik. Seperti gambaran dibawah ini. Gambar II.34. Proses Ekologi di dalam Kolam Fakultatif Disamping itu untuk meningkatkan hasil pengolahan limbah dan mengurangi bakteri maka setelah kolam fakultatif dilanjukan dengan kolam maturasi atau pembubuhan disinfektant sebagai

134 alternatif lainnya. Sesudah kolam ini airnya diperuntukan untuk pengisi kolam ikan. Kolam maturasi digunakan untuk mengurangi bakteri fecal coliform yang mungkin masih ada di effluen dari kolam fakultatif. Kedalaman kolam 1 m dan waktu detensi 5 s/d 10 hari. Effluen dari kolam stabilisasi dapat digunakan untuk keperluan irigasi, untk kolam ikan peliharaan, dan pingisian air tanah (Ground water recharging). Gambar kombinasi unit pengolahan kolam stabilisasi terdapat pada Gambar II.35. Gambar II.35. Skema Kombinasi Unit Pengolahan Kolam Stabilisasi 2. RBC (Rotating Biological Contactor) RBC adalah salah satu teknologi pengolahan air limbah yang mengandung polutan organik biologis dengan sistem biakan mikroorganisme melekat. Prinsipnya adalah pengolahan zat-zat

135 organik yang ada pada air limbah dengan mengunakan bakteri yang melekat pada media. Jika pada trikling filter, sistem ini menggunakan filter media yang diam sebagai tempat koloni bakteri berkembang. Air limbah dicurahkan keatas filter media tersebut secara intermitten untuk mendapatkan kondisi aerob. Sebagai mana umumnya koloni bakteri tersebut menghasikan lendir (film) dari proses sintesa. Lendir-lendir ini berkembang menutupi celah (void) diantar media sehingga terjadi clogging atau penyumbatan yang akan menghambat aliran. Oleh karena itu secara periodik perlu adanya pembilasan. Bertentangan dengan kondisi clogging tersebut maka RBC menggunakan media berupa piringan fiber/hdpe yang berada 40 % didalam air dan disusun vertikal pada as (axis) rotor horizontal. Piringan diputar dengan kecepatan (3 s/d 6) rpm yang memberikan kesempatan secara bergantian bagian-bagian dari luas permukaan piringan menerima oksegen dari udara luar. Pemutaran ini selain untuk tujuan supplai oksigen pada bakteri yang melekat pada piring juga dimaksud membilas otomatis lendir yang terbentuk berlebihan pada piring. Jadi pada sistem ini tidak akan terjadi clogging. Kriteria desain: a. RBC 1) Beban organik untuk piringan = 20 gr BOD/ m 2 luas piringan.hari. 2) Jarak antara piringan (3-5) cm. 3) Diameter Piringan (1.5-3)m. 4) Detantion time (td) dalam bak (2-4) jam. 5) Kedalaman bak piringan tergantung tinggi bagian piringan yang terbenam dalam air, misal untuk piringan diameter 3m maka kedalam air dalam bak 2m. 6) Kebutuhan listrik untuk rotor: (8-10) Kw.jam/(orang.Tahun). 7) Produk lumpur: (0,4-0,5) kg / kg BOD removal.

136 b. Bak pengendap II (Clarifier). 1) Beban hidrolik Permukaan:(16-32) m 3 /(m 2.hari) untuk debit rata-rata, dan (40-50) m 3 /(m 2.hari) untuk debit puncak. 2) Beban solid: (4-6) kg/(m 2.jam) utk debi rata-rata dan (8-10) kg/(m 2. jam) untuk debit puncak, 3) Kedalam bak pengendap (3-4,5) m. Pengolahan air limbah dengan RBC terdiri dari: 1) Saringan sampah, 2) Bak pengendap pendahuluan. 3) Bak kontak media (piringan) 4) Bak pengendap kedua 5) Peralatan untuk pembubuhan zat desinfektan 6) Bak pengeram lumpur 7) Bak pengering lumpur Sebagai catatan: sistem ini pada umumnya digunakan untuk skala modul 1000 s/d jiwa. Gambar II.36. Diagram Alir proses Pengolahan Air Limbah dengan Sistem RBC

137 Parameter desain untuk RBC antara lain adalah sebagai berikut. a. Ratio volume reaktor terhadap luas permukaan media (G), yakni perbandingan volume reaktor dengan luas permukaan media. G = (V/A) x103 (liter/m 2 ) Dimana V = volume efektif reaktor (m 3 ) dan A = luas permukaan media RBC (m 2 ). b. Beban BOD (BOD Loading) BOD Loading = (Q x C0) / A (g.bod/m 2.hari) Dimana: Q = debit air limbah yang diolah (m 3 /hani). Co = Konsentrasi BOD (mg/i). A = Luas permukaan media RBC (m 2 ). c. Beban Hidrolik (Hydraulic Loading, HL), yakni jumlah air limbah yang diolah per satuan luas permukaan media per hari. HL = (Q /A) x 1000 (liter/m 2.hari) d. Waktu detensi Rata-rata (Average Detention Time, T) T = (Q / V ) x 24 (Jam) Dimana Q = debit air limbah yang diolah (m 3 /hari). V = volume efektif reaktor (m 3 ) Skematik sistem pengolahan air limbah dengan menggunakan RBC terdapat pada Gambar II.37.

138 Gambar II.37. Skematik Serial Unit-Unit Pengolahan untuk Sistem RBC Kelebihan dari RBC adalah kebutuhan lahan yang relatif sempit, tahan terhadap beban kejut (shock loading) organik dan hidrolis, peluruhan biomassa lebih aktif, kebutuhan energi listrik rendah, kualitas effluent tinggi, dan mampu mengolah air limbah yang mengandung senyawa beracun, besi, sianida, selenium, dan lainlain. Kekurangannya adalah biaya kapital dan pemasangan RBC lebih mahal dari ASP per debit per kualitas air limbah yang setara, kalau oksigen terlarutnya rendah dan terdapat sulfida di dalam air limbahnya, maka bakteri pengganggu seperti Beggiatoa akan tumbuh di media RBC. Selain itu, biaya investasinya akan menjadi mahal apabila debit air olahannya besar. Oleh sebab itu, RBC lebih cocok diterapkan pada debit kecil. 3. Pengolahan Anoxic Pengolahan dengan cara anoxic digunakan apabila senyawa nitrat dalam air limbah berlebih, sehingga perlu diubah menjadi bentuk gas. Contoh pengolahan anoxic bisa dilakukan dengan memodifikasi ASP. Supaya ASP dapat menjadi reaktor anoxic caranya adalah setelah aerator dinyalakan untuk pengadukan, kemudian hentikan aerator dan biarkan mikroba mengambil oksigen yang terikat dalam air limbah. Ketika mikroba mengambil oksigen terikat inilah terjadi proses anoxic atau lebih dikenal dengan denitrifikasi.

139 4. Biofilter Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak kontaktor anaerob dengan arah aliran dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas. Di dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi dengan media dari bahan plastik tipe sarang tawon/tangki biofilter terbuat dari bahan kedap air dan tahan korosi seperti : fiber glass, pasangan bata, beton, dan bahan kedap lainnya. Jumlah bak kontaktor anaerob terdiri dari dua buah ruangan/media kontaktor terdiri dari minimal 3 kompartemen. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik. Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-organisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap. Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak kontaktor aerob. Di dalam bak kontaktor aerob ini diisi dengan media dan bahan plastik tipe sarang tawon sambil diaerasi atau dihembus dengan udara sehingga mikroorganisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikroorgainisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, deterjen serta mempercepat proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan ammonia menjadi lebih besar. Proses ini sering dinamakan Aerasi Kontak (Contact Aeration). Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini, lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur. Sedangkan air limpasan (over flow) dialirkan ke bak klorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh microorganisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses klorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum.

140 Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain dapat menurunkan zat organik (BOD, COD), juga dapat menurunkan konsentrasi ammonia, deterjen, padatan tersuspensi (SS), phospat dan lainnya. Gambar Unit Pengolahan Bio-Filter terdapat pada Gambar II.38. Gambar II.38. Tipikal Unit Pengolahan Bio-Filter Anaerob-Aerob Parameter perencanaan bio-filter selengkapnya adalah sebagai berikut: a. Bak Pengendap Awal 1) Waktu detensi (Retention Time) rata-rata =(3 5) jam 2) Beban Permukaan = m 3 /m 2.hari (JWWA). b. Biofilter Anaerob 1) Waktu detensi (Retention Time) rata-rata = 6 8 jam 2) Tinggi ruang lumpur = 0,5 m 3) Tinggi Bed Media pembiakan mikroba = 0,9 1,5 m 4) Tinggi air di atas bed media = 20 cm

141 5) Beban BOD persatuan permukaan media (LA) = 5-30 g BOD/m 2.hari c. Biofilter Aerob 1) Waktu detensi (Retention Time) rata-rata = 6 8 jam 2) Tinggi ruang lumpur = 0,5 m 3) Tinggi Bed Media pembiakan mikroba = 1,2 m 4) Tinggi air di atas bed media = 20 cm 5) Beban BOD per satuan permukaan media (LA)= 5 30 g BOD/m 2.hari Tabel II.25. Hubungan Inlet BOD dan Beban BOD Inlet BOD (mg/l) LA (g BOD/m 2.hari) Sumber: EBIE Kunio., Eisei Kougaku Enshu, Morikita Shuppan kabushiki Kaisha, d. Bak Pengendap Akhir 1) Waktu detensi (retention time) rata-rata = 2-5 jam 2) Beban Permukaan (Surface Loading) rata-rata = 10 m 3 /m 2.hari 3) Beban Permukaan = m 3 /m 2.hari e. Media Pembiakan Mikroba 1) Tipe = SarangTawon (Cross flow) 2) Material = PVC Sheet 3) Ketebalan = mm

142 4) Luas Kontak Spesifik = m 2 /m 3 5) Diameter lubang = 2 cm x 2 cm 6) Warna = hitam atau transparan 7) Berat Spesifik = kg/m 3 8) Porositas Rongga = 0,98 5. MBR Membrane bioreactor (MBR) merupakan suatu sistem pengolahan air limbah yang mengaplikasikan penggunaan membran yang terendam di dalam bioreaktor. Proses yang terjadi di dalam bioreaktor mirip dengan lumpur aktif konvensional (conventional activated sludge, AS), di mana zat organik di dalam air limbah akan didegradasi secara biologis oleh mikroorganisme aerob kemudian terjadi pemisahan solid (lumpur). Bedanya, pada MBR proses pemisahan solid dilakukan menggunakan membran sementara pada AS pemisahan solid dilakukan secara gravitasi di dalam tangki pengendap. Perbandingan antara MBR dengan CAS dapat dilihat pada Gambar II.39. Gambar II.39. Perbedaan Sistem Proses Konventional dan Membran Bioreactor (MBR)

143 Beberapa fitur utama dari MBR antara lain: a. Tidak memerlukan bak pengendap (clarifier) sehingga dapat menghemat penggunaan lahan. b. Konsentrasi MLSS (mixed liquor suspended solids) yang tinggi dapat memaksimalkan jumlah BOD yang masuk ke dalam modul MBR untuk diolah sehingga dapat mengurangi waktu pengolahan. c. Pembuangan lumpur dapat dilakukan langsung dari dalam reaktor. d. Kualitas efluen hasil pengolahan yang tinggi s e. ehingga air hasil olahannya dapat digunakan kembali (misal untuk boiler) Kriteria yang biasa digunakan dalam MBR adalah : a. SRT = < 30 hari b. HRT = > 6 jam c. MLSS = (12-16) kg.m -3 d. BOD5 loading rate = (0,4-0,7) kg.m 3 /hari e. Removal Organik = - BOD = 98-99% - TSS = 99,9% - NH4 + = 99,2% - COD = 99% - P = 96,6% 6. Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) merupakan proses pengolahan yang sederhana dan membutuhkan luas lahan yang lebih sedikit daripada sistem pengolahan air limbah tradisional. Teknologi MBBR menggunakan beribu biofilm dari polyethylene yang tercampur di dalam suatu reaktor dengan aerasi terus-menerus.

144 Media memiliki berat jenis kurang dari 1,0. Luas permukaan media plastik yang digunakan besar, hal ini digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Biomassa tumbuh di permukaan sebagai film tipis yang ketebalannya bervariasi antara mikron. Medium atau kasar diffusers gelembung seragam ditempatkan di bagian bawah reaktor mempertahankan oksigen terlarut ( DO ) konsentrasi > 2,5-3 mg / L untuk menghilangkan BOD. Berikut ini kriteria desain untuk MBBR, adalah : a. Anoxic HRT = (0,5-2) jam b. Aerobic HRT = (1-4) jam c. Luas permukaan Biofilm Elemen Pembawa = ( ) m 2 /m 3 d. Biomassa per unit luas permukaan = (5-25) g TS/m 2 e. BOD SALR = (7,5-25) g/m 2 hari f. COD SALR = (15-50) g/m 2 hari g. NH 4-N SALR = (0,45-1) g/m 2 hari Keterangan : *) Kriteri desain berdasarkan debit rata-rata **) SALR = Surface Area Loading Rate Sumber : (Brinkley J, et all, 2007) Teknologi ini tidak terlalu mengeluarkan biaya yang besar dan perawatannya juga sangat mudah karena MBBR mampu memproses secara alamiah merawat bakterinya sendiri pada level optimum dari biofilm yang produktif. Dalam prosesnya, tidak membutuhkan pengembalian lumpur dan tidak perlu mengatur F/M ratio atau tingkat MLSS yang ada dalam reaktor. MBBR sangat efektif dalam mereduksi BOD, nitrifikasi, dan meremoval nitrogen. Proses MBBR mempertahankan volume besar biofilm dalam proses pengolahan air limbah biologis. Akibatnya, degradasi kontaminan biodegradable yang berkelanjutan dalam ukuran tangki yang sama. Tanpa perlu melakukan pengembalian lumpur, proses ini memberikan peningkatan perlindungan terhadap toxic shock, sementara secara otomatis menyesuaikan untuk memuat fluktuasi. Proses MBBR cocok diterapkan untuk permasalahan nitrifikasi karena prosesnya memungkinkan perkembangbiakan bakteri nitrifikasi dalam area permukaan dilindungi dari ribuan potongan plastik, disebut biocarriers atau media. Bakteri

145 nitrifikasi memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lambat dan sangat dipengaruhi oleh suhu air. Dalam reaktor MBBR, kondisi tersebut telah diatur sehingga proses nitrifikasi dapat teratasi dengan sangat baik. Selain itu, Salah satu tantangan terbesar dalam mencapai nitrifikasi adalah untuk menetapkan jumlah yang cukup bakteri nitrifikasi tanpa mencuci mereka keluar dari sistem. Teknologi MBBR memungkinkan proses biologis untuk mempertahankan populasi kepadatan tinggi bakteri nitrifikasi tanpa bergantung pada padatan peningkatan waktu retensi ( SRT) atau padatan tersuspensi campuran minuman keras ( MLSS). Bakteri nitrifikasi yang berkelanjutan dalam sel-sel yang dilindungi dari setiap biocarrier MBBR dalam proses. Berikut ini skematik dari MBBR. Gambar II.40. Diagram Alir Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR)

146 Gambar II.41. Skematik Proses MBBR I.C.9. TEKNOLOGI PENGOLAHAN LUMPUR Sludge atau lumpur merupakan bagaian terakhir dari proses pengelolaan air buangan yang masih perlu diolah agar aman bagi lingkungan. Pada dasarnya lumpur hasil pengendapandari bak pengendap pertama memiliki kadar air yang tinggi dengan bagian padat berkisar (0,5-4) %. Alternatif cara pengelolaan lumpur dapat dilihat pada Gambar II.42. Sludge masuk PEMEKATAN: - Graviti - Flotasi - Sentrifugasi STABILISASI : - Oksidasi - Stabilisasi dgn kapur - Pengeraman Aerobik - Pengeraman Anaerobik PENGERINGAN LUMPUR - Filter Vakum - Filter Press - Filter Bed Horizontal - Sentrifugasi - SDB PEMBUANGAN - Untuk landfill - Untuk kompos - Untuk Pengapuran Gambar II.42. Alternatif Pengolahan Lumpur Lumpur hasil pengolahan air limbah skala kecil cukup dengan disalurkan ke drying bed atau pengering lumpur, kemudian lumpurnya dibuang. Sedangkan untuk pengolahan air limbah skala besar juga akan menghasilkan lumpur yang banyak, sehingga perlu dilakukan tambahan unit pengelola lumpur agar lumpur tidak mencemari lingkungan. Tahapan-Tahapan tambahan yang dapat digunakan dalam mengolah lumpur agar mendapatkan hasil yang baik dan efsiensi yang tinggi dijelaskan sebagai berikut :

147 I.C.9.1. Thickening Tujuan thickening adalah mengurangi volume lumpur dengan membuang supernatannya. Supernatan adalah cairan atau fase cair di dalam lumpur yang akan terpisah dengan fase padatannya. Jika konsentrasi solid dalam lumpur semula sebesar 2% maka setelah thickening, konsentrasi padatan dalam lumpur akan bertambah menjadi 5%, sehingga terjadi pengurangan volume sebesar 100 % - (200/5) % = 60%Proses pengolahan lumpur dengan cara thickening dibagi lagi menjadi tiga proses, yaitu Gravity, Flotation, dan Centrifuge. Gravity thickening biasanya dalam bentuk silinder dengan kedalaman ±3.00 meter dengan dasar berbentuk kerucut untuk memudahkan pengurasan lumpur dengan waktu detensi selama 1 hari. Tujuan penggunaan thickening adalah mengurangi volume lumpur hingga (30-60)% dan mengkonsentrasikan solid underflow. Tabel II.26. menyajikan kriteria perencanaan untuk gravity sludge thickener yang umum digunakan. Asal Lumpur Tabel II.26. Konsentrasi Awal (%) Kriteria Perencanaan Gravity Sludge Thickener Consentration Thickened (%) Hydrolic Loading (m 3 /m 2.hr) Solid Loading Rate (kg/m 2.hr) Efisiensi pengenda pan (%) Over flow TSS (%) Pengendap I Trickling Filter Activated sludge Oct Pengendap I+II (Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah PU, 2006)

148 Gambar II.43. Tipikal Unit Gravity Thickener Flotation thickener merupakan salah satu metoda mengurangi volume lumpur dengan cara flotasi. Mekanisme kerja flotation thickener yaitu : gelembung udara dilarutkan dengan tekanan tinggi,kemudian tekanan dibebaskan sehingga gelembung udara naik dan menempel pada gumpalan lumpur. Hal ini menyebabkan lumpur naik ke atas permukaan bak dan akhirnya lumpur terkonsentrasi dan tersisihkan. Tekanan tipikal pada reaktor ini sebesar ( ) kpa atau (3,4-4,8) atm. Contoh gambar flotation thickener terdapat pada Gambar II.44. Gambar II.44. Tipikal Unit Flotation Thickener Metode thickening yang ketiga adalah centrifugation. Centrifugation dibagi menjadi tiga yaitu solid bowl decanter, basket type, dan nozzle separator. Centrifugation merupakan percepatan dari proses sedimentasi dengan bantuan gaya sentrifugal dan berkerja secara kontinyu. Alat ini juga dapat

149 digunakan pada tahapan dewatering. Contoh gambar solid bowl decanter terdapat pada Gambar II.45. Gambar II.45. Tipikal Unit Solid Bowl Decanter I.C.9.2. Stabilisasi Lumpur dengan Sludge Digester. Tujuan stabilisasi lumpur adalah mengurangi bakteri pathogen, mengurangi bau yang menyengat dan mengendalikan pembusukan zat organik. Stabilisasi ini dapat dilakukan dengan proses kimia, fisika dan biologi. Umumnya proses biologi banyak digunakan dalam proses pengeraman secara anaerobik yang disebut anaerobic digester. Pengaruh temparatur sangat penting dalam mempercepat proses pengeraman (digesting) yaitu temperatur antara 35 0 C s/d 55 0 C. Pada kondisi tersebut bakteri thermophilic memegang peranan penting untuk proses pengeraman. Jadi pemanasan akan meningkatkan laju pengolahan dalam digester menjadi lebih tinggi. Namun kawasan tropis pada dasarnya tidak memerlukan pemanasan tambahan. Dibawah ini terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk sludge digester yang terdapat pada Tabel I.31. Sedangkan gambar anaerobic sludge digester terdapat pada Gambar II.46.

150 Tabel II.27. Desain Kriteria untuk Pengeraman Anaerobik Parameter Standar Rate High Rate Lama Pengeraman (SRT), hari Sludge Loading, kg VS/m 3.hari 0,64 1,60 2,40 6,41 Kriteria volume Pengendapan I, m 3 /capita 0,03 0,04 0,02 0,03 Pengendapan I+II (dari activated sludge), m 3 /kapita 0,06 0,08 0,02 0,04 Pengendapan I + II (tricling filter), m 3 /kapita 0,06 0,14 0,02 0,04 Konsentrasi solid (lumpur kering) yg masuk, % Konsentrasi setelah pengeraman (Sumber : Kriteria Teknis Prasarana dan sarana Pengelolaan Air Limbah, PU, 2006) Gambar II.46. Skematik anaerobic sludge digester. I.C.9.3. Pengeringan Lumpur (Dewatering) Sludge dikeringkan untuk memudahkan pembuangannya, terutama dalam hal transpotasi. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar kelembaban lumpur. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan alami melalui evaporasi dengan unit yang disebut sludge drying bed (SDB). Selain itu, proses pengeringan juga dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan

151 mekanik seperti vaccum filter, filter press, dan belt filter. Berikut ini penjelasan macam-macam cara untuk mengeringkan lumpur. 1. Vaccum Filter Komponen-komponen yang terdapat pada vacuum filter adalah : a. Drum silinder dengan media filter (kain atau anyaman kawat) b. Pompa vacuum c. Penampung filtrat d. Pompa umpan lumpur Vacuum filter secara skema dapat dilihat pada Gambar II.47. Gambar II.47. Skematik Vacuum Filter. Drum yang dilapisi media filter diputar dengan kecepatan tertentu. Putaran drum akan menghasilkan tiga zona lumpur, yaitu (i)pembentukan cake, (ii)pengeringan, dan (iii)pembuangan. Lumpur masuk ke zona (i), di zona ini terjadi penempelan lumpur di permukaan media filter. Kemudian lumpur ke zona (ii), terjadi penyerapan air di lumpur oleh pompa vacuum sehingga terjadi pengeringan. Akhirnya ke zona (iii), di zona (iii) terjadi pelepasan lumpur kering dari media filter. Satu kali putaran drum melewati ketiga zona tersebut disebut satu cycle time. Perancangan vacuum filter menggunakan persamaan:

152 Dimana : Y = filter yield Δp = perbedaan tekanan vacuum, N/m 2 w = berat kering lumpur per satuan volume filtrat, kg/m 3 = ratio waktu pembentukan cake terhadap cycle time = viskositas absolut filtrat, N.det/m 2 R = resistensi spesifik dari lumpur kering, det 2 /kg (Nilai R dapat ditentukan berdasarkkan percobaan laboratorium menggunakan vacuum filtration testing apparatus) = cycle time, det g = percepatan gravitasi, m/det 2 2. Filter Press Filter press tersusun oleh sejumlah plat filter vertikal yang menempel pada tangkai horizontal. Contoh gambar filter press terdapat pada Gambar II.48. Gambar II.48. Skematik Filter Press. Kriteria-kriteria desain yang terdapat pada filter press dijelaskan sebagai berikut : a. Waktu yang diperlukan untuk mengisi lumpur, menyaring, hingga mengeluarkan lumpur disebut complete filtration cycle time, yang diperkirakan (1,5-2,5) jam. b. Tekanan yang diperlukan untuk filter adalah ( )kPa. c. Kadar solid dalam lumpur setelah diolah dengan filter press adalah:

153 - Lumpur bak sedimentasi I: (45-50) % - Lumpur bak sedimentasi I dan lumpur aktif segar: (45-50) % - Lumpur aktif segar: 50 % - Lumpur dari digester dan lumpur aktif: (45-50) % 3. Belt Filter Belt filter tersusun oleh dua belt yang ditumpangkan pada roda berputar seperti yang terlihat pada Gambar II.49. Gambar II.49. Skematik Belt Filter Ada tiga zona dalam belt filter, yaitu zona gravitasi, zona peras, dan zona pelepasan. Lumpur yang diolah menggunakan belt filter akan menjalani langkah-langkah sebagai berikut : a. Lumpur yang akan diperas masuk melalui zona gravitasi, berjalan mengikuti belt dan tertekan oleh dua belt. b. Di zona peras, lumpur mengalami pemerasan air sehingga air jatuh melewati belt bawah. c. Selanjutnya masuk ke zona pelepasan. Lumpur akan melalui perjalanan zig-zag agar cake dapat dilepaskan dari kedua belt untuk kemudian dikeluarkan. Kadar solid dalam lumpur setelah diolah dengan belt pres adalah: - Lumpur sedimentasi I: (28-44) % - Lumpur sedimentasi I dan lumpur aktif segar: (20-35)%

154 - Lumpur sedimentasi I dan trickling filter: (20-40) % - Lumpur dari digester (anaerob): (26-36) % - Lumpur dari digester dan lumpur aktif: (12-18) % 4. Sludge Drying Bed Drying atau sludge drying bed merupakan salah satu metoda dewatering dengan ukuran kecil hingga medium (maksimum setara dengan orang). Pada unit ini, dewatering terjadi karena evaporasi dan drain (peresapan). Pada musim kemarau, untuk mencapai kadar solid (30-40) % diperlukan waktu (2-4) minggu. Kriteria sludge drying bed (bak pengering Lumpur) atau SDB yaitu: a. Ukuran bak umumnya (8x30) m 2 b. Area yang dibutuhkan : - ( ) m 2 /kapita untuk SDB tanpa penutup atap. - ( ) m 2 /kapita dengan penutup atap. c. Sludge loading rate - ( ) kg lumpur kering/m 2.tahun untuk SDB tanpa penutup atap. - ( ) kg lumpur kering/m 2.tahun dengan penutup atap. d. Sludge Cake terdiri dari (20-40)% padatan. Satu unit SDB biasanya berukuran berukuran (6-9) meter untuk lebar dan untuk ukuran panjangnya yaitu (7,5-37,5) meter atau bisa juga dihitung dengan persamaan : A = K (0,01 R + 1,0), dimana : A K R = luas per kapita, ft 2 /kapita. = faktor yang tergantung pada tipe digestion, yaitu: - K = 1,0 untuk anaerobic digestion - K = 1,6 untuk aerobic digestion = hujan tahunan, (in).

155 Dalam satu unit SDB terdiri dari beberapa lapisan, yaitu : a. Lapisan lumpur, dengan ketebalan (20-30) cm. b. Lapisan pasir, dengan ketebalan (15 25) cm. c. Lapisan kerikil, dengan ketebalan (15-30) cm. d. Lapisan drain, letaknya di bawah kerikil untuk menampung resapan air dari lumpur. Contoh gambar ukuran lapisan-lapisan yang ada di SDB terdapat pada Gambar II.50. Gambar II.50. Kriteria Sludge Drying Bed Konstruksi Sludge Drying Bed ini dibuat dari beton bertulang untuk dinding dan lantainya. Elevasi lantai bangunan ini dibuat tidak terlalu dalam agar air sisa pengeringan lumpur dapat mengalir secara grafitasi menuju saluran sekitarnya. Karena tidak terlalu dalam, maka gaya angkat (uplift) yang bekerja pada lantai bangunan dapat diabaikan. Hal ini menyebabkan tidak terjadi gaya-gaya dan momen pada lantai dan dinding bangunan. Penulangan yang diperlukan adalah penulangan praktis untuk mengatasi retak saja. Untuk pelat lantai yang berada diluar dan berhubungan langsung dengan cuaca, untuk diameter tulangan lebih kecil dari ɸ16 mm maka jarak maksimum tulangan adalah 225 mm. Apabila kondisi tanah dasar tidak baik dan muka air tanah tinggi, perlu dilakukan perbaikan tanah dasar (stabilisasi) untuk menghindari penurunan. Sedangkan untuk mengatasi muka air tanah yang tinggi

JENIS DAN KOMPONEN SPALD

JENIS DAN KOMPONEN SPALD LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 04/PRT/M/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK JENIS DAN KOMPONEN SPALD A. KLASIFIKASI SISTEM PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB VI PERENCANAAN IPAL KOMUNAL

BAB VI PERENCANAAN IPAL KOMUNAL BAB VI PERENCANAAN IPAL KOMUNAL Perencanaan IPAL Komunal merupakan rencana dalam mengelola air limbah secara bersama (komunal) berdasarkan acuan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16 Tahun 2008

Lebih terperinci

TL-3230 SEWERAGE & DRAINAGE. Small Bore Sewer (Sistem Riol Ukuran Kecil)

TL-3230 SEWERAGE & DRAINAGE. Small Bore Sewer (Sistem Riol Ukuran Kecil) TL-3230 SEWERAGE & DRAINAGE Small Bore Sewer (Sistem Riol Ukuran Kecil) 1 System Small Bore Sewer ( Sistem Riol Ukuran Kecil ) Sistem penyaluran air effluen tangki septik dan/atau dari limbah cair cucian

Lebih terperinci

Tata cara Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah

Tata cara Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah PETUNJUK TEKNIS Tata cara Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA Daftar isi 1 Umum 1 2 Sistem penanganan air limbah domestik.... 1 2.1 Sistem pembuangan

Lebih terperinci

KLASIFIKASI SISTEM PEMBUANGAN

KLASIFIKASI SISTEM PEMBUANGAN KLASIFIKASI SISTEM PEMBUANGAN Klasifikasi berdasarkan jenis air buangan: Sistem pembuangan air kotor. Adalah system pembuangan untuk air buangan yang berasal dari kloset, urinal, bidet, dan air buangan

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PEMBANGUNAN IPLT SISTEM KOLAM

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PEMBANGUNAN IPLT SISTEM KOLAM PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PEMBANGUNAN IPLT SISTEM KOLAM TATA CARA PEMBANGUNAN IPLT SISTEM KOLAM BAB I DESKRIPSI 1.1 Ruang lingkup Tatacara ini meliputi ketentuan-ketentuan, cara pengerjaan bangunan utama

Lebih terperinci

KONSEP PENGELOLAAN LIMBAH CAIR DOMESTIK

KONSEP PENGELOLAAN LIMBAH CAIR DOMESTIK TL-3230 SEWERAGE & DRAINAGE KONSEP PENGELOLAAN LIMBAH CAIR DOMESTIK Prayatni Soewondo Prodi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil & Lingkungan Institut Teknologi Bandung 2009 Sistem Pengelolaan Limbah

Lebih terperinci

KLASIFIKASI SISTEM PEMBUANGAN. Klasifikasi berdasarkan jenis air buangan:

KLASIFIKASI SISTEM PEMBUANGAN. Klasifikasi berdasarkan jenis air buangan: KLASIFIKASI SISTEM PEMBUANGAN Dr. SUKAMTA, S.T., M.T. PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNUVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2015 Klasifikasi berdasarkan jenis air buangan: Sistem pembuangan air

Lebih terperinci

TL-3230 SEWERAGE & DRAINAGE. DETAIL INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH SISTEM SETEMPAT (On site system 1)

TL-3230 SEWERAGE & DRAINAGE. DETAIL INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH SISTEM SETEMPAT (On site system 1) TL-3230 SEWERAGE & DRAINAGE DETAIL INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH SISTEM SETEMPAT (On site system 1) Penempatan Pengolahan Air Limbah 1. Pengolahan sistem terpusat (off site) 2. Pengolahan sistem di tempat

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PERENCANAAN IPLT SISTEM KOLAM

PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PERENCANAAN IPLT SISTEM KOLAM PETUNJUK TEKNIS TATA CARA PERENCANAAN IPLT SISTEM KOLAM TATA CARA PERENCANAAN IPLT SISTEM KOLAM BAB I DESKRIPSI 1.1 Ruang lingkup Tata cara ini memuat pengertian dan ketentuan umum dan teknis dan cara

Lebih terperinci

Pengelolaan Air Limbah Domestik

Pengelolaan Air Limbah Domestik Pengelolaan Air Limbah Domestik Rekayasa Lingkungan Universitas Indo Global Mandiri NORMA PUSPITA, ST.MT. Dasar Hukum UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup PP no 82

Lebih terperinci

BAB IV DASAR PERENCANAAN

BAB IV DASAR PERENCANAAN BAB IV DASAR PERENCANAAN IV.1. Umum Pada bab ini berisi dasar-dasar perencanaan yang diperlukan dalam merencanakan sistem penyaluran dan proses pengolahan air buangan domestik di Ujung Berung Regency yang

Lebih terperinci

Suatu kriteria yang dipakai Perancang sebagai pedoman untuk merancang

Suatu kriteria yang dipakai Perancang sebagai pedoman untuk merancang Kriteria Desain Kriteria Desain Suatu kriteria yang dipakai Perancang sebagai pedoman untuk merancang Perancang diharapkan mampu menggunakan kriteria secara tepat dengan melihat kondisi sebenarnya dengan

Lebih terperinci

INSTALASI PENGOLAHAN LUMPUR TINJA JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA BAB I PENDAHULUAN

INSTALASI PENGOLAHAN LUMPUR TINJA JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Setiap hari manusia menghasilkan air limbah rumah tangga (domestic waste water). Air limbah tersebut ada yang berasal dari kakus disebut black water ada pula yang

Lebih terperinci

PERENCANAAN DESAIN TANGKI SEPTIK KOMUNAL DI KAMPUNG CIHIRIS, DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG, BOGOR

PERENCANAAN DESAIN TANGKI SEPTIK KOMUNAL DI KAMPUNG CIHIRIS, DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG, BOGOR Konferensi Nasional Teknik Sipil 11 Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017 PERENCANAAN DESAIN TANGKI SEPTIK KOMUNAL DI KAMPUNG CIHIRIS, DESA CISARUA KECAMATAN NANGGUNG, BOGOR Femylia Nur Utama 1,

Lebih terperinci

1. INSTALASI SISTEM SANITASI DAN PLAMBING BANGUNAN

1. INSTALASI SISTEM SANITASI DAN PLAMBING BANGUNAN 1. INSTALASI SISTEM SANITASI DAN PLAMBING BANGUNAN Topik kajian dalam modul ini hanya terbatas pada Instalasi Plambing Air Bersih, Air Panas, Uap, Air Kotor/Air Kotoran, Ven dan Air Hujan. Sebelum tahapan

Lebih terperinci

TATA CARA PERENCANAAN BANGUNAN MCK UMUM

TATA CARA PERENCANAAN BANGUNAN MCK UMUM TATA CARA PERENCANAAN BANGUNAN MCK UMUM COPY SNI 03-2399 - 2002 TATA CARA PERENCANAAN BANGUNAN MCK UMUM 1 Ruang Iingkup Tata cara ini meliputi istilah dan definisi, persyaratan yang berlaku untuk sarana

Lebih terperinci

INDOCEMENT AWARDS STR WRITING COMPETITION

INDOCEMENT AWARDS STR WRITING COMPETITION INDOCEMENT AWARDS STR WRITING COMPETITION BASEMENT OF WATER TANK WRT-14-075 oleh: BAMBANG JOKO SUTONO UNIVERSITAS BALIKPAPAN Jl. Pupuk kel.gn.bahagia (BALIKPAPAN) (2014) ABSTRAK Rumah merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Terpusat (Off-site) (Bagian 3 dari 4)

Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Terpusat (Off-site) (Bagian 3 dari 4) Perencanaan Sarana dan Prasarana Air Limbah Sistem Terpusat (Off-site) (Bagian 3 dari 4) Step by Step Series: Penyusunan Rencana Induk (Master Plan) Sistem Pengelolaan Air Limbah Powerpoint Templates Page

Lebih terperinci

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE TL 4001 Rekayasa Lingkungan 2009 Program Studi Teknik Lingkungan ITB Pendahuluan o Sekitar 80% air minum yang digunakan oleh manusia dibuang atau menjadi air limbah

Lebih terperinci

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE

SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE SISTEM PENYALURAN AIR LIMBAH DAN DRAINASE MI 3205 Pengetahuan Lingkungan 2013 D3 Metrologi ITB Pendahuluan o Sekitar 80% air minum yang digunakan oleh manusia dibuang atau menjadi air limbah o Air limbah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang : a. bahwa salah satu

Lebih terperinci

Perencanaan Peningkatan Pelayanan Sanitasi di Kelurahan Pegirian Surabaya

Perencanaan Peningkatan Pelayanan Sanitasi di Kelurahan Pegirian Surabaya D25 Perencanaan Peningkatan Pelayanan Sanitasi di Kelurahan Pegirian Surabaya Zella Nissa Andriani dan Ipung Fitri Purwanti Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum Setiap manusia akan menimbulkan buangan baik cairan, padatan maupun

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Umum Setiap manusia akan menimbulkan buangan baik cairan, padatan maupun BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Setiap manusia akan menimbulkan buangan baik cairan, padatan maupun dalam bentuk gas. Buangan cair yang berasal dari masyarakat yang di kenal sebagai air buangan atau air limbah

Lebih terperinci

SISTEM SANITASI DAN DRAINASI

SISTEM SANITASI DAN DRAINASI SISTEM SANITASI DAN DRAINASI Pendahuluan O Sekitar 80% air minum yang digunakan oleh manusia dibuang atau menjadi air limbah O Air limbah ini mengandung kotoran manusia, bahan sisa pencucian barang dan

Lebih terperinci

MODUL 4 DRAINASE JALAN RAYA

MODUL 4 DRAINASE JALAN RAYA MODUL 4 DRAINASE JALAN RAYA TUJUAN PEKERJAAN DRAINASE PERMUKAAN UNTUK JALAN RAYA a) Mengalirkan air hujan dari permukaan jalan agar tidak terjadi genangan. b) Mengalirkan air permukaan yang terhambat oleh

Lebih terperinci

Tata cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan

Tata cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan Pt T-22-2000-C PETUNJUK TEKNIS Tata cara perencanaan sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH 1 KATA PENGANTAR Tata Cara Perencanaan Sumur Resapan Air

Lebih terperinci

BAB 12 UJI COBA PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK INDIVIDUAL DENGAN PROSES BIOFILTER ANAEROBIK

BAB 12 UJI COBA PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK INDIVIDUAL DENGAN PROSES BIOFILTER ANAEROBIK BAB 12 UJI COBA PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMESTIK INDIVIDUAL DENGAN PROSES BIOFILTER ANAEROBIK 286 12.1 PENDAHULUAN 12.1.1 Permasalahan Masalah pencemaran lingkungan di kota besar misalnya di Jakarta, telah

Lebih terperinci

Tata cara perencanaan dan pemasangan tangki biofilter pengolahan air limbah rumah tangga dengan tangki biofilter

Tata cara perencanaan dan pemasangan tangki biofilter pengolahan air limbah rumah tangga dengan tangki biofilter Tata cara perencanaan dan pemasangan tangki biofilter pengolahan air limbah rumah tangga dengan tangki biofilter 1 Ruang lingkup Tata cara ini mencakup persyaratan, kriteria perencanaan dan cara pemasangan

Lebih terperinci

BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi

BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi 2.1. Visi Misi Sanitasi Visi Kabupaten Pohuwato Tabel 2.1: Visi dan Misi Sanitasi Kabupaten/Kota Misi Kabupaten Pohuwato Visi Sanitasi Kabupaten Pohuwato Misi Sanitasi

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DRUM PLASTIK BEKAS SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN SEPTIC TANK

PEMANFAATAN DRUM PLASTIK BEKAS SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN SEPTIC TANK PEMANFAATAN DRUM PLASTIK BEKAS SEBAGAI BAHAN PEMBUATAN SEPTIC TANK Masykur Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Metro Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Metro, Lampung. Email : masykur@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

- 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK.

- 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK. - 2-2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 15/PRT/M/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia (Berita Negara Republik

Lebih terperinci

Bab VI RUMUSAN REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASINYA

Bab VI RUMUSAN REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASINYA Bab VI RUMUSAN REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASINYA 6.1 Sintesa Hasil Simulasi 6.1.1 Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Hasil analisis terhadap keberadaan prasarana dan sarana kota menunjukkan

Lebih terperinci

Tata cara perencanaan bangunan MCK umum

Tata cara perencanaan bangunan MCK umum Standar Nasional Indonesia Tata cara perencanaan bangunan MCK umum ICS 27.180 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Halaman Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3

Lebih terperinci

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN WALIKOTA MAKASSAR NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN KONSERVASI AIR TANAH MELALUI SUMUR RESAPAN DAN LUBANG RESAPAN BIOPORI Menimbang DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air.

Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah. - Membawa air dari permukaan ke pembuangan air. 4.4 Perhitungan Saluran Samping Jalan Fungsi Saluran Jalan Berfungsi mengendalikan limpasan air di permukaan jalan dan dari daerah sekitarnya agar tidak merusak konstruksi jalan. Fungsi utama : - Membawa

Lebih terperinci

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG Titik Poerwati Leonardus F. Dhari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional Malang ABSTRAKSI

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA III.1. Umum Metode pembuangan air buangan domestik (Masduki, 2000) ada dua jenis yaitu sistem sanitasi setempat (on-site sanitation) dan sistem sanitasi terpusat (off-site sanitation).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. air bersih semakin meningkat dan sumber-sumber air konvensional yang berupa

BAB I PENDAHULUAN. air bersih semakin meningkat dan sumber-sumber air konvensional yang berupa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan salah satu kebutuhan utama bagi manusia. Kebutuhan akan air bersih semakin meningkat dan sumber-sumber air konvensional yang berupa air permukaan semakin

Lebih terperinci

DESAIN IPAL KOMUNAL UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN SANITASI DI DESA LUENGBARO, KABUPATEN NAGAN RAYA, ACEH

DESAIN IPAL KOMUNAL UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN SANITASI DI DESA LUENGBARO, KABUPATEN NAGAN RAYA, ACEH Konferensi Nasional Teknik Sipil 11 Universitas Tarumanagara, 26-27 Oktober 2017 DESAIN IPAL KOMUNAL UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN SANITASI DI DESA LUENGBARO, KABUPATEN NAGAN RAYA, ACEH Meylis Safriani

Lebih terperinci

-1- KETENTUAN TEKNIS SPAM BJP

-1- KETENTUAN TEKNIS SPAM BJP -1- LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM KETENTUAN TEKNIS SPAM BJP 1. JENIS SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

Lebih terperinci

Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Rumah Susun Tanah Merah Surabaya

Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Rumah Susun Tanah Merah Surabaya D199 Perencanaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Rumah Susun Tanah Merah Surabaya Daneswari Mahayu Wisesa dan Agus Slamet Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut

Lebih terperinci

BAB III RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN SANITASI

BAB III RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN SANITASI BAB III RENCANA KEGIATAN PEMBANGUNAN SANITASI 3.1 Rencana Kegiatan Air Limbah Pengolahan air limbah permukiman secara umum di Kepulauan Aru ditangani melalui sistem setempat (Sistem Onsite). Secara umum

Lebih terperinci

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara September 2011 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyajian Data Survei Dari survei menggunakan metode wawancara yang telah dilakukan di Desa Karanganyar Kecamatan Karanganyar RT 01,02,03 yang disebutkan dalam data dari

Lebih terperinci

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMANFAATAN AIR HUJAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa air hujan merupakan sumber air yang dapat dimanfaatkan

Lebih terperinci

Dasar-Dasar Rumah Sehat KATA PENGANTAR

Dasar-Dasar Rumah Sehat KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Guna menunjang program pemerintah dalam penyediaan infrastruktur perdesaan, Puslitbang Perumahan dan Permukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Skema Proses Pengolahan Air Limbah

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Skema Proses Pengolahan Air Limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Sewon dibangun pada awal Januari 1994 Desember 1995 yang kemudian dioperasikan pada tahun 1996. IPAL Sewon dibangun di lahan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 6 TAHUN : 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON

Lebih terperinci

Perencanaan Sistem Drainase Pembangunan Hotel di Jalan Embong Sawo No. 8 Surabaya

Perencanaan Sistem Drainase Pembangunan Hotel di Jalan Embong Sawo No. 8 Surabaya JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (013) 1-6 1 Perencanaan Sistem Drainase Pembangunan Hotel di Jalan Embong Sawo No. 8 Surabaya Tjia An Bing, Mahendra Andiek M, Fifi Sofia Jurusan Teknik Sipil, Fakultas

Lebih terperinci

PENGAWASAN BAB I PEMANTAUAN DAN EVALUASI SPALD

PENGAWASAN BAB I PEMANTAUAN DAN EVALUASI SPALD LAMPIRAN V PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 04/PRT/M/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK PENGAWASAN BAB I PEMANTAUAN DAN EVALUASI SPALD A. UMUM

Lebih terperinci

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG KONDISI FAKTUAL KONDISI IDEAL ATURAN BERSAMA YANG DISEPAKATI A. LINGKUNGAN 1. Jaringan Jalan dan Drainase Banyak rumah yang

Lebih terperinci

PERHITUNGAN RAB PADA PERANCANGAN UNIT IPAL DI SENTRAL INDUSTRI BATIK KABUPATEN PEKALONGAN

PERHITUNGAN RAB PADA PERANCANGAN UNIT IPAL DI SENTRAL INDUSTRI BATIK KABUPATEN PEKALONGAN Abstrak PERHITUNGAN RAB PADA PERANCANGAN UNIT IPAL DI SENTRAL INDUSTRI BATIK KABUPATEN PEKALONGAN Triwardaya 1) 1.) Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Semarang Jl. Prof. H. Soedarto,

Lebih terperinci

TATA CARA PERENCANAAN TANGKI SEPTIK DENGAN SISTEM RESAPAN

TATA CARA PERENCANAAN TANGKI SEPTIK DENGAN SISTEM RESAPAN TATA CARA PERENCANAAN TANGKI SEPTIK DENGAN SISTEM RESAPAN COPY SNI 03-2398 - 2002 Pendahuluan Tat cara ini dimaksudkan sebagai acuan bagi perencana dalam pembangunan septik dengan sistem resapan. Tata

Lebih terperinci

Seminar Nasional Sains dan Teknologi Lingkungan II e-issn Padang, 19 Oktober 2016

Seminar Nasional Sains dan Teknologi Lingkungan II e-issn Padang, 19 Oktober 2016 OP-022 RANCANGAN SISTEM PENYALURAN AIR BUANGAN OFFSITE SANITATION KAWASAN UNTUK MENDUKUNG PROGRAM GREEN CITY KOTA SOLOK DESIGN OF OFFSITE SANITATION SEWERAGE FOR SUPPORTING GREEN CITY PROGRAM OF SOLOK

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan. Secara umum air yang terdapat di alam yang dapat dikonsumsi oleh manusia bersumber dari:

BAB 1 Pendahuluan. Secara umum air yang terdapat di alam yang dapat dikonsumsi oleh manusia bersumber dari: BAB 1 Pendahuluan 1.1. Umum Air merupakan karunia Tuhan yang secara secara alami ada diseluruh muka bumi. Manusia sebagai salah satu makluk yang ada di bumi juga sangat tergantung terhadap air dan untuk

Lebih terperinci

1.3 Tujuan Geografis Iklim dan Curah Hujan 7

1.3 Tujuan Geografis Iklim dan Curah Hujan 7 DAFTARISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAKSI HALAMAN PERSEMBAHAN HALAMAN MOTTO KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR ii iii iv vi vii ix xiii xiv BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA 4 BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA Dalam penyusunan Tugas Akhir ini ada beberapa langkah untuk menganalisis dan mengolah data dari awal perencanaan sampai selesai. 3.1.1 Permasalahan

Lebih terperinci

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat

Tugas Akhir Pemodelan Dan Analisis Kimia Airtanah Dengan Menggunakan Software Modflow Di Daerah Bekas TPA Pasir Impun Bandung, Jawa Barat BAB V ANALISIS DATA 5.1 Aliran dan Pencemaran Airtanah Aliran airtanah merupakan perantara yang memberikan pengaruh yang terus menerus terhadap lingkungan di sekelilingnya di dalam tanah (Toth, 1984).

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA JAWA TIMUR KOTA ADMINISTRASI Profil Wilayah Secara astronomis Kota Lumajang terletak pada posisi 112 5-113 22 Bujur Timur dan 7 52-8 23 Lintang Selatan. Dengan wilayah seluas

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI 62 BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI 3.1 Jaringan Penyaluran Air Buangan Kota Bandung Pengolahan air limbah secara terpusat lebih umum digunakan di Indonesia, namun terdapat sistem saluran air buangan

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF DIAGRAM SISTEM SANITASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK KABUPATEN WONOGIRI. (C) Pengangkutan / Pengaliran

RINGKASAN EKSEKUTIF DIAGRAM SISTEM SANITASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK KABUPATEN WONOGIRI. (C) Pengangkutan / Pengaliran RINGKASAN EKSEKUTIF Strategi Sanitasi Kabupaten Wonogiri adalah suatu dokumen perencanaan yang berisi kebijakan dan strategi pembangunan sanitasi secara komprehensif pada tingkat kabupaten yang dimaksudkan

Lebih terperinci

Tabel 3.34 Daftar Program/Proyek Layanan Yang Berbasis Masyarakat Tabel 3.35 Kegiatan komunikasi yang ada di Kabupaten Merangin...

Tabel 3.34 Daftar Program/Proyek Layanan Yang Berbasis Masyarakat Tabel 3.35 Kegiatan komunikasi yang ada di Kabupaten Merangin... Daftar Isi Kata Pengantar Bupati Merangin... i Daftar Isi... ii Daftar Tabel... iv Daftar Peta... vi Daftar Gambar... vii Daftar Istilah... viii Bab 1: Pendahuluan... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Landasan

Lebih terperinci

SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN

SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN SOLUSI MENGATASI BANJIR DAN MENURUNNYA PERMUKAAN AIR TANAH PADA KAWASAN PERUMAHAN Oleh: Rachmat Mulyana P 062030031 E-mail : rachmatm2003@yahoo.com Abstrak Banjir dan menurunnya permukaan air tanah banyak

Lebih terperinci

BAB III METODE ANALISIS

BAB III METODE ANALISIS BAB III Bab III Metode Analisis METODE ANALISIS 3.1 Dasar-dasar Perencanaan Drainase Di dalam pemilihan teknologi drainase, sebaiknya menggunakan teknologi sederhana yang dapat di pertanggung jawabkan

Lebih terperinci

INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) BOJONGSOANG

INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) BOJONGSOANG INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH (IPAL) BOJONGSOANG KONTEN Pendahuluan Skema Pengolahan Limbah Ideal Diagram Pengolahan Limbah IPAL Bojongsoang Pengolahan air limbah di IPAL Bojongsoang: Pengolahan Fisik

Lebih terperinci

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN

TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 12 Tahun 2009 Tanggal : 15 April 2009 TATA CARA PEMANFAATAN AIR HUJAN I. Pendahuluan Dalam siklus hidrologi, air hujan jatuh ke permukaan bumi,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Unit Operasi IPAL Mojosongo Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Mojosongo di bangun untuk mengolah air buangan dari kota Surakarta bagian utara, dengan

Lebih terperinci

Tugas Akhir RE

Tugas Akhir RE Tugas Akhir RE-091324 PERENCANAAN PENGELOLAAN AIR LIMBAH KOMUNAL BERBASIS MASYARAKAT PERMUKIMAN PADAT DI KELURAHAN WONOKROMO Mahasiswa: Tania Ratnasari 3310 100006 Dosen Pembimbing: Ir. Eddy S. Soedjono.

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini merupakan hasil temuan dan hasil analisa terhadap kawasan Kampung Sindurejan yang berada di bantaran sungai

Lebih terperinci

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 5 HASIL PERANCANGAN

AR 40Z0 Laporan Tugas Akhir Rusunami Kelurahan Lebak Siliwangi Bandung BAB 5 HASIL PERANCANGAN BAB 5 HASIL PERANCANGAN 5.1 Konsep Dasar Bangunan yang baru menjadi satu dengan pemukiman sekitarnya yang masih berupa kampung. Rumah susun baru dirancang agar menyatu dengan pola pemukiman sekitarnya

Lebih terperinci

SISTEM DRAINASE PERKOTAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

SISTEM DRAINASE PERKOTAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN SISTEM DRAINASE PERKOTAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN Bambang Sudarmanto Dosen Tetap Jurusan Teknik Sipil Universitas Semarang (USM) Jl. Soekarno-Hatta Semarang Abstrak Sistem Drainase Perkotaan yang Berwawasan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Worm dan Hattum (2006), penampungan air hujan adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Worm dan Hattum (2006), penampungan air hujan adalah 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penampungan Air Hujan Menurut Worm dan Hattum (2006), penampungan air hujan adalah pengumpulan limpasan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air domestik, pertanian, maupun

Lebih terperinci

EVALUASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH SISTEM TERPUSAT DI KOTA MANADO

EVALUASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH SISTEM TERPUSAT DI KOTA MANADO EVALUASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH SISTEM TERPUSAT DI KOTA MANADO NEIKLEN RIFEN KASONGKAHE 3311202811 Dosen Pembimbing: Prof. Ir. JONI HERMANA, MscES., PhD Magister Teknik Sanitasi Lingkungan Institut Teknologi

Lebih terperinci

Penyehatan Lingkungan Permukiman bertujuan untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni, sehat, aman, produktif dan berkelanjutan melalui

Penyehatan Lingkungan Permukiman bertujuan untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni, sehat, aman, produktif dan berkelanjutan melalui Penyehatan Lingkungan Permukiman bertujuan untuk mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni, sehat, aman, produktif dan berkelanjutan melalui peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dan menjaga kelestarian

Lebih terperinci

PENGELOLAAN AIR LIMBAH

PENGELOLAAN AIR LIMBAH PENGELOLAAN AIR LIMBAH Rekayasa Lingkungan Universitas Indo Global Mandiri NORMA PUSPITA, ST. MT. Potret Sanitasi di Indonesia Limbah Industri yang tak tertangani BAB sembarangan Cubluk Sampah di saluran

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya, peredaran dan penyebarannya, sifat sifatnya dan hubungan dengan lingkungannya terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sewon untuk diolah agar memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan sebelum

BAB I PENDAHULUAN. Sewon untuk diolah agar memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan sebelum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sistem pengolahan air limbah terpusat skala kota yang dibangun pada tahun 1994. Sistem tersebut melayani Kota Yogyakarta, sebagian

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN

PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN PEMELIHARAAN RUTIN JALAN DAN JEMBATAN PETUNJUK PRAKTIS PEMELIHARAAN RUTIN JALAN UPR. 02 UPR. 02.4 PEMELIHARAAN RUTIN TALUD & DINDING PENAHAN TANAH AGUSTUS 1992 DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

Deskripsi Program/ Kegiatan Sanitasi. Dinas PU Kabupaten Tapanuli Tengah

Deskripsi Program/ Kegiatan Sanitasi. Dinas PU Kabupaten Tapanuli Tengah Deskripsi Program/ Sanitasi Kabupaten Tapanuli Tengah A. Program/ Air Limbah Nama Program/ Pembangunan MCK Komunal - Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak BABS dan mempunyai jamban yang aman /

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Perencanaan Sistem Drainase Pembangunan Hotel di Jalan Embong sawo No. 8 Surabaya. Tjia An Bing NRP

TUGAS AKHIR. Perencanaan Sistem Drainase Pembangunan Hotel di Jalan Embong sawo No. 8 Surabaya. Tjia An Bing NRP TUGAS AKHIR Perencanaan Sistem Drainase Pembangunan Hotel di Jalan Embong sawo No. 8 Surabaya Tjia An Bing NRP. 3109 100 112 Dosen Pembimbing : Mahendra Andiek M, ST.MT. Ir. Fifi Sofia Jurusan Teknik Sipil

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 2/2017 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Pengertian Sumur Resapan Sumur resapan merupakan sumur atau lubang pada permukaan tanah yang dibuat untuk menampung air hujan agar dapat meresap ke dalam tanah. Sumur resapan

Lebih terperinci

Manual Desludging Hand Pump (MDHP)

Manual Desludging Hand Pump (MDHP) Manual Desludging Hand Pump (MDHP) MDHP merupakan alat yang digunakan untuk menguras (desludge) septic tank maupun cincin. Septik tank merupakan merupakan bangunan kedap air yang menahan lumpur tinja (black

Lebih terperinci

Perencanaan Sistem Penyaluran Air Limbah (SPAL) di Perumahan Mutiara Permai Kota Pekanabru

Perencanaan Sistem Penyaluran Air Limbah (SPAL) di Perumahan Mutiara Permai Kota Pekanabru Perencanaan Sistem Penyaluran Air Limbah (SPAL) di Perumahan Mutiara Permai Kota Pekanabru Yudhi Hanafi Syadli 1), Jecky Asmura 2), Shinta Elystia 3) 1) Mahasiswa Program Studi Teknik Lingkungan, 2,3)

Lebih terperinci

BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL

BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL BAB 5 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH FASILITAS LAYANAN KESEHATAN SKALA KECIL 5.1 Masalah Air Limbah Layanan Kesehatan Air limbah yang berasal dari unit layanan kesehatan misalnya air limbah rumah sakit,

Lebih terperinci

PETUNJUK UMUM UNTUK MERAWAT SISTEM SEPTIK TANK

PETUNJUK UMUM UNTUK MERAWAT SISTEM SEPTIK TANK SISTEM BARU Sistem apapun yang anda pilih, baik sitem septik konvensional maupun jenis aerobik, tangki penampungan yang baru harus melalui masa tenang di mana bakteri-bakteri yang diperlukan mulai hidup

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Simpulan pada laporan ini merupakan hasil keseluruhan terhadap tahap perencanaan dan perancangan, dari hasil analisa pada bab 4 bahwa daerah Tanjung Sanyang ini merupakan

Lebih terperinci

GORONG-GORONG Anita Winarni Dwi Ratna Komala Novita Priatiningsih

GORONG-GORONG Anita Winarni Dwi Ratna Komala Novita Priatiningsih BANGUNAN IRIGASI GORONG-GORONG Anita Winarni Dwi Ratna Komala Novita Priatiningsih DEFINISI GORONG-GORONG Gorong-gorong adalah bangunan yang dipakai untuk membawa aliran air (saluran irigasi atau pembuang)

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI MASYARAKAT SEKITAR IPAL KOMUNAL SENGKAN

BAB IV KONDISI MASYARAKAT SEKITAR IPAL KOMUNAL SENGKAN BAB IV KONDISI MASYARAKAT SEKITAR IPAL KOMUNAL SENGKAN 4.1. Gambaran Umum Penelitian 4.1.1. Kondisi Fisik Lingkungan Dusun Sengkan merupakan salah satu lokasi pembangunan IPAL Komunal dari program SANIMAS

Lebih terperinci

Surface Runoff Flow Kuliah -3

Surface Runoff Flow Kuliah -3 Surface Runoff Flow Kuliah -3 Limpasan (runoff) gabungan antara aliran permukaan, aliran yang tertunda ada cekungan-cekungan dan aliran bawah permukaan (subsurface flow) Air hujan yang turun dari atmosfir

Lebih terperinci

Sambungan Persil. Sambungan persil adalah sambungan saluran air hujan dari rumah-rumah ke saluran air hujan yang berada di tepi jalan

Sambungan Persil. Sambungan persil adalah sambungan saluran air hujan dari rumah-rumah ke saluran air hujan yang berada di tepi jalan Kelengkapan Saluran Sambungan Persil Sambungan persil adalah sambungan saluran air hujan dari rumah-rumah ke saluran air hujan yang berada di tepi jalan Bentuk: Saluran terbuka Saluran tertutup Dibuat

Lebih terperinci

PERENCANAAN SISTIM PERPIPAAN AIR LIMBAH KAWASAN PEMUKIMAN PENDUDUK

PERENCANAAN SISTIM PERPIPAAN AIR LIMBAH KAWASAN PEMUKIMAN PENDUDUK Jurnal Ilmiah Media Engineering Vol.6 No.1, Januari 20116 (406-412) ISSN: 2087-9334 PERENCANAAN SISTIM PERPIPAAN AIR LIMBAH KAWASAN PEMUKIMAN PENDUDUK Muh. Arsyad Dosen Fakultas Teknik Universitas Haluoleo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). Secara struktural

BAB I PENDAHULUAN. lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). Secara struktural BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tersedianya sarana maupun fasilitas kepentingan umum yang layak dan memadai, merupakan salah satu wujud dari keberhasilan program pembangunan. Fasilitas kepentingan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. DAFTAR ISI... i. DAFTAR SINGKATAN... iii

DAFTAR ISI. DAFTAR ISI... i. DAFTAR SINGKATAN... iii DAFTAR ISI Buku 3 : Pembangunan Infrastruktur DAFTAR ISI... i DAFTAR SINGKATAN... iii BAB I PEMILIHAN JENIS SARANA SANITASI DAN TEKNOLOGI IPAL... 1 1.1. IPAL Komunal dengan Sistem Perpipaan... 3 1.2. Sistem

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 2015 SERI : PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2009 NOMOR : 28 PERATURAN WALIKOTA KOTA BANDUNG NOMOR : 937 TAHUN 2009 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2009 NOMOR : 28 PERATURAN WALIKOTA KOTA BANDUNG NOMOR : 937 TAHUN 2009 TENTANG BERITA DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN : 2009 NOMOR : 28 PERATURAN WALIKOTA KOTA BANDUNG NOMOR : 937 TAHUN 2009 TENTANG PENGATURAN PELAYANAN AIR MINUM DAN AIR LIMBAH PADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM TIRTAWENING

Lebih terperinci

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE

PERANCANGAN SISTEM DRAINASE PERANCANGAN SISTEM DRAINASE Perencanaan saluran pembuang harus memberikan pemecahan dengan biaya pelak-sanaan dan pemeliharaan yang minimum. Ruas-ruas saluran harus stabil terhadap erosi dan sedimentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BUKU PUTIH SANITASI KOTA CIREBON I - 1

BAB I PENDAHULUAN BUKU PUTIH SANITASI KOTA CIREBON I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan. Layanan yang tidak optimal dan buruknya kondisi

Lebih terperinci

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN Spectra Nomor 11 Volume VI Januari 008: 8-1 KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN Ibnu Hidayat P.J. Dosen Teknik Pengairan FTSP ITN Malang ABSTRAKSI Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah sebagian

Lebih terperinci