BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Magnet keramik Keramik adalah bahan-bahan yang tersusun dari senyawa anorganik bukan logam yang pengolahannya melalui perlakuan dengan temperatur tinggi. Kegunaannya adalah untuk dibuat berbagai keperluan desain teknis khususnya dibidang kelistrikan, elektronika, mekanik dengan memanfaatkan magnet keramik sebagai magnet permanen, dimana material ini dapat menghasilkan medan magnet tanpa harus diberi arus listrik yang mengalir dalam sebuah kumparan atau selenoida untuk mempertahankan medan magnet yang dimilikinya. Disamping itu, magnet permanen juga dapat memberikan medan yang konstan tanpa mengeluarkan daya yang kontinu. Magnet keramik yang merupakan magnet permanen mempunyai struktur Hexagonal close-pakced. Dalam hal ini bahan yang sering digunakan adalah Barrium Ferrite (BaO.6Fe 2 O 3 ). Barium dapat juga digantikan dengan bahan yang menyerupai(segolongan) dengannya, yaitu seperti Strontium. Bahan keramik yang bersifat magnetik umumnya merupakan golongan ferit, yang merupakan oksida yang disusun oleh hematit (α-fe 2 O 3 ) sebagai komponen utama. Bahan ini menunjukkan induksi magnetik spontan meskipun medan magnet dihilangkan. Material ferit juga dikenal sebagai magnet keramik, bahan itu tidak lain adalah oksida besi yang disebut ferit besi (ferrous ferrite). Pada umumnya ferit dibagi menjadi tiga kelas : 1. Ferit Lunak, ferit ini mempunyai formula Mfe 2 O 4, dimana M = Cu, Zn, Ni, Co, Fe,Mn, Mg dengan struktur kristal seperti mineral spinel. Sifat bahan ini mempunyaipermeabilitas dan hambatan jenis yang tinggi, koersivitas yang rendah. 2. Ferit Keras, ferit jenis ini adalah turunan dari struktur magneto plumbit yang dapat ditulis sebagai Mfe 12 O 19, dimana M = Ba, Sr, Pb. Bahan ini mempunyai gaya koersivitas dan remanen yang tinggi dan mempunyai struktur kristal heksagonal dengan momen-momen magnetik yang sejajar dengan sumbu c. 30

2 3. Ferit Berstruktur Garnet, magnet ini mempunyai magnetisasi spontan yang bergantung pada suhu secara khas. Strukturnya sangat rumit, berbentuk kubik dengan sel satuan disusun tidak kurang dari 160 atom (Idayanti, 2002). Ferit lunak mempunyai struktur kristal kubik dengan rumus umum MO.Fe 2 O 3 dimana M adalah Fe, Mn, Ni, dan Zn atau gabungannya seperti Mn-Zn dan Ni-Zn. Bahan ini banyak digunakan untuk inti transformator, memori komputer,induktor, recording heads, microwave dan lain-lain. Ferit keras banyak digunakan dalam komponen elektronik, diantaranya motor-motor DC kecil, pengeras suara (loudspeaker), meteran air, KWH-meter, telephone receiver, circulator, dan rice cooker(cullity, 1972). 2.2 Sifat-sifat Magnet Keramik Sifat-sifat kemagnetan suatu bahan dapat diperlihatkan dalam kurva histerisis yaitu kurva hubungan intensitas magnet (H) terhadap medan magnet (B). Seperti ditunjukkan pada gambar 2.1 merupakan kurva histerisis pada saat magnetisasi. Gambar 2.1 Kurva saat proses magnetisasi (Moulson A.J, et all., 1985). Pada gambar 2.1 di atas tampak bahwa kurva tidak berbentuk garis lurus sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan kenaikan harga H, mula-mula B turut naik cukup besar, tetapi mulai dari nilai H tertentu terjadi kenaikan nilai B yang kecil dan makin lama nilai B akan konstan. Harga medan magnet untuk keadaan saturasi disebut dengan Bs atau medan 31

3 magnet saturasi. Saturasi magnetisasi adalah keadaan dimana terjadi kejenuhan, nilai medan magnet B akan selalu konstan walaupun medan eksternal H dinaikkan terus. Bahan yang mencapai saturasi untuk harga H rendah disebut magnet lunak seperti yang ditunjukkan kurva (a). Sedangkan bahan yang saturasinya terjadi pada harga H tinggi disebut magnet keras seperti yang ditunjukkan kurva (c). Sesudah mencapai saturasi ketika intensitas magnet H diperkecil hingga mencapai H = 0, ternyata kurva B tidak melewati jalur kurva semula. Pada harga H = 0, medan magnet atau rapat fluks B mempunyai harga Br 0 seperti ditunjukkan pada kurva histerisis pada gambar 2.1. Harga Br ini disebut dengan induksi remanen atau remanensi bahan. Remanen atau ketertambatan adalah sisa medan magnet B dalam prosesmagnetisasi pada saat medan magnet H dihilangkan, atau remanensi terjadi pada saat intensitas medan magnetik H berharga nol dan medan magnet B menunjukkan harga tertentu. Pada gambar 2.2 tampak bahwa setelah harga intensitas magnet H = 0 atau dibuat negatif (dengan membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B=0 atau menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut koersivitas bahan. Koersivitas digunakan untuk membedakan hard magnet atau soft magnet. Semakin besar gaya koersivitasnya maka semakin keras sifat magnetnya. Bahan dengan koersivitas tinggi berarti tidak mudah hilang kemagnetannya. Untuk menghilangkan kemagnetannya diperlukan intensitas magnet H yang besar. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai saturasi dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada harga H positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang. Bahan seperti itu baik untuk membuat magnet permanen. 32

4 Gambar 2.2 Kurva histerisis material magnetik (Moulson A.J, et all., 1985). Magnet permanen dapat diberi indeks berdasarkan momen koersif yang diperlukan untuk menghilangkan induksi (tabel 2.1). Patokan ukuran yang yang lebih baik adalah hasil kali BH. BaFe 12 O 19 mempunyai nilai H c yang sangat besar, tetapi BH maks yang tidak terlalu tinggi, karena rapat fluks lebih rendah dibandingkan bahanmagnet permanen lainnya. Dari tabel 2.1 akan diperoleh gambaran mengenai peningkatan yang mungkin diperoleh beberapa para ahli peneliti dan rekayasawan dengan pengembangan alnico (metalik) dan magnet BaFe 12 O 19 (keramik). Magnet lunak merupakan pilihan tepat untuk penggunaan pada arus bolakbalik atau frekuensi tinggi, karena harus mengalami magnetisasi dan demagnetisasi berulang kali selama selang satu detik. Spesifikasi yang agak kritis untuk magnet lunak adalah : induksi jenuh (tinggi), medan koersif (rendah), dan pemeabilitas maksimum (tinggi). Tabel 2.1. sifat berbagai magnet keras (dari berbagai sumber) Bahan magnet Remanen, Medan koersif, Produk demagnetisasi Br(V.det/m 2 ) -Hc (A/m) maksimum BHmaks(J/m 3 ) Baja karbon 1,0 0,4 x ,1 x 10 4 Alnico 1,2 5,5 x ,4 x 10 4 Ferroxdur (BaFe12O19) 0,4 15,0 x ,0 x 10 4 Perbandingan sifat magnetnya dari beberapa material dapat diperlihatkan pada gambar

5 Gambar 2.3 Kurva yang menunjukkan perbandingan sifat magnet dari beberapa jenis magnet permanen (Moulson A.J, et all., 1985). 2.3 Barium Hexaferrite (BaO.6Fe 2 O 3 ) Barium hexaferrite merupakan keramik oksida komplek dengan rumus kimia BaO.6Fe 2 O 3 atau BaFe 12 O 19. Bariumhexaferrite mempunyai kestabilan kimia yang bagus dan relatif murah dan kemudahan dalam produksi. Walaupun kekuatan magnet heksaferit lebih rendah dibandingkan jenis magnet terbaru berbasis logam tanah jarang, magnet permanen hexaferrite (Ba-ferit dan Sr-ferit) masih menempati tempat teratas dalam pasar magnet permanen dunia baik dalam hal nilai uang maupun berat produksi. Barium heksaferit (BaFe 12 O 19 ) dikenal sebagai magnet permanen dengan struktur heksagonal yang sesuai dengan space group P 63/mmc. Seperti keluarga oksida lainnya, material ini memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan tidak mudah terkorosi. Pemakaian senyawa ini sebagai perekam magnetik, divais gelombang mikro (microwave) dan absorber sangat diminati sehingga banyak usaha dilakukan untuk memproduksi subtitusi kation yang mungkin ke dalam BaFe 12 O 19 guna meningkatkan sifat magnetiknya. Divalen logam transisi seperti Co, Ti dan Mn sering digunakan karena persamaan jari jari ionik dan konfigurasi elektron. Heksaferit memiliki kristal anisotropi yang besar dan lokasi resonansi yang dapat dimodifikasi pada rentang frekuensi yang luas melalui substitusi ion dalam heksaferit. Selain itu, heksaferit adalah bahan magnetik lunak dengan 34

6 permeabilitas yang relatif besar. Oleh karena itu, heksaferit adalah kandidat yang menjanjikan untuk pengembangan material anti radar (Amin, 1981).Material Barium M-Heksaferit(BaFe12O19) mempunyai polarisasi magnet saturasi tinggi(78 emu/g), yang terdiri dari kristal uniaxial anisotropi yang kuat, temperatur Curie tinggi (450 0 C) dan medan koersifitas yang besar (6700 Oe), terkait dengan sangat baikdalam stabilitas kimia dan ketahanannya terhadap korosi. Material magnet oksida BaO6Fe 2 O 3 merupakan jenis magnet keramik yang banyak dijumpai disamping material magnet Sr.6Fe 2 O 3. seperti pada jenis oksida lainnya, material magnet tersebut memiliki sifat mekanik yang sangat kuat dan tidak mudah terkorosi. Sebagai magnet permanen, material BaO.6Fe 2 O 3 memiliki sifat kemagnetan dengan tingkat kestabilan tinggi terhadap pengaruh medan magnet luar pada suhu diatas 300 o C. Sehingga sangat cocok dipergunakan dalam peralatan teknologi pada jangkauan yang cukup luas. Barium hexaferrite BaO.6Fe 2 O 3 yang memiliki parameter kisi a = 5,8920 Angstrom, dan c = 23,1830 Angstrom. Gambar struktur kristal barium hexaferrite BaO.6Fe 2 O 3 diperlihatkan pada gambar 2.4 Gambar 2.4 Struktur kristal BaO.6Fe 2 O 3 [Moulson A.J, et all., 1985]. Barium heksaferrit dapat disintesa dengan beberapa metoda seperti kristalisasi gas, presipitasi hidrotermal, sol-gel, aerosol, copresipitasi dan pemaduan mekanik. Diantara metoda ini pemaduan/gerus mekanik adalah ekonomis karena ketersediaan bahan baku secara komersial dan relatif murah. Selain itu, penanganan material relatif sederhana untuk proses pemaduan mekanik 35

7 dan produksi skala besar dapat diimplementasikan dengan mudah. 2.4 Kompaksi Karakteristik Serbuk Karakteristik serbuk mempengaruhi perilaku serbuk ketika pemrosesan yang akan menentukan sifat dari produk yang dihasilkan. Karakteristik partikel serbuk diantaranya meliputi distribusi ukuran partikel, bentuk partikel, luas permukaan, berat jenis serbuk, mampu alir, kompressibilitas, gesekan antar partikel dan komposisi kimia serbuk(german R.M, 1994). Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai karakteristik dari partikel serbuk dan pengaruhnya terhadap pemrosesan serbuk dan produk yang dihasilkan. a. Ukuran dan Distribusi Ukuran Partikel Ukuran partikel akan mempengaruhi densitas, porositas dan sifat mekanis material serbuk kompaksi, dimana semakin kecil atau halus ukuran partikel serbuk maka densitas bakalan (green density) akan semakin besar. Ada beberapa teknik yang digunakan untuk menentukan ukuran partikel serbuk diantaranya dengan pengayakan (screening), mikroskop, teknik sedimentasi, hamburan cahaya (light scattering), konduktivitas listrik, penghalangan cahaya (light blocking) (David, 1999). Ukuran partikel juga akan menentukan stabilitas dimensi, pelepasan gas yang terperangkap dan karakteristik selama pencampuran. Distribusi ukuran partikel sangat menentukan kemampuan partikel dalam mengisi ruang kosong antar partikel untuk mencapai volume terpadat dan pada akhirnya akan menentukan besar densitas, porositas serta kekuatan green compact dan hasil sinternya (David, Myrna, 1999). b. Bentuk Partikel Bentuk partikel serbuk sangat mempengaruhi sifat massa serbuk, yaitu efisiensi pemadatan (packing efficiency), mampu alir (flowbility) dan mampu tekan (compressibility). Bentuk partikel serbuk akan mempengaruhi luas luas permukaan serbuk dan gesekan antarpartikel serbuk. Hal ini akan mempengaruhi perpindahan serbuk ketika penekanan 36

8 saat proses kompaksi. Peningkatan luas permukaan partikel (semakin kecil ukuran partikel, semakin tidak beraturan bentuk partikel, semakin besar permukaan partikel) akan meningkatkan reaktivitas kimia serbuk sehingga hal ini meningkatkan penyerapan gas dan uap air dari lingkungan (Klar, 1983). Bentuk partikel serbuk ditentukan oleh sifat dari material bahan baku serbuk tersebut dan juga proses yang digunakan untuk menghasilkan serbuk dari material bulk-nya. Partikel serbuk bisa berbentuk bulat, angular, serpihan(flake),fibrous, sponge/porous, dan lainnya. c. Mampu Alir Serbuk Mampu alir sebuk merupakan karakteristik yang menggambarkan sifat alir serbuk dan kemampuan serbuk memenuhi ruang cetakan. Karakteristik serbuk seperti berat jenis nyata serbuk dan gesekan partikel seringkali dihubungkan dengan mampu alir serbuk. Pada umumnya, faktor-faktor yang mengurangi gesekan antarpartikel dan meningkatkan berat jenis nyata (seperti partikel bulat dan halus) akan meningkatkan mampu alir serbuk. Disamping itu karakteristik serbuk seperti bentuk serbuk, berat jenis serbuk, kelembaban serbuk, dan distribusi ukuran partikel dapat mempengaruhi mampu alir serbuk(klar, 1983). Mampu alir dari serbuk logam tergantung dari gesekan antar partikel, dimana luas permukaan dan kekasaran partikel akan mempengaruhi gesekan antarpartikel tersebut. Jika luas permukaan dan kekasaran partikel meningkat maka intesitas gesekan akan meningkat sehingga meyebabkan efisiensi mampu alir serbuk akan rendah. Selain itu, bentuk partikel yang mempunyai bentuk tidak beraturan mempunyai efisiensi mampu alir yang rendah sedangkan bentuk yang bulat mempunyai mampu alir yang baik (Klar, 1983). d. Mampu Tekan Mampu tekan serbuk merupakan perbandingan volume serbuk mula-mula dengan volume benda yang ditekan, yang nilainya berbeda-beda dengan tergantung distribusi ukuran serbuk dan bentuk butirnya. Seperti halnya mampu alir, besarnya mampu tekan serbuk juga dipengaruhi oleh gesekan antarpartikel (German R.M, 1994). Gesekan antarpartikel akan lebih 37

9 rendah bila serbuk yang dikompaksi memiliki bentuk yang lebih teratur dan lebih halus sehingga akan menghasilkan densitas bulk yang lebih tinggi (Klar, 1983) Pencampuran Karakteristik serbuk mempunyai peranan penting dalam tercapainya hasil campuran yang seragam. Semakin tinggi gesekan partikel akan menyebabkan sulitnya proses pencampuran serbuk. Volume serbuk akan meningkat oleh beberapa faktor diantaranya ukuran partikel yang makin kecil, bentuk partikel tidak beraturan, koefisien gesek partikel yang makin tinggi. Partikel yang besar akan lebihy mudah untuk mengalami segregasi (pemisahan). Salah satu kendala dalam proses pencampuran adalah jika serbuk yang akan dicampur memiliki densitas yang akan berbeda sehingga sulit untuk mendapatkan hasil campuran yang seragam. Serbuk yang memiliki densitas lebih kecil akan terakumulasi di atas serbuk yang densitasnya lebih tinggi sehingga terjadi segregasi(german R.M, 1991) Poses kompaksi Kompaksi merupakan proses pemberian suatu gaya luar berupa tekanan untuk mendeformasi serbuk menjadi benda yang mempunyai bentuk dan ukuran tertentu yang mempunyai densitas lebih tinggi. Proses kompaksi akan mengakibatkan pengaturan partikel, deformasi partikel, dan terbentuknya ikatan antar partikel (German R.M, 1994) Pada saat kompaksi, ada beberapa tahapan yang terjadi pada serbuk, yaitu a. Penataulangan Partikel Serbuk (Rearrangement) Pada saat dimulai penekanan terjadi pengaturan susunan partikel serbuk(rearrangement). Pada tahap ini tidak terjadi deformasi partikel namun hanya penyesuaian letak dari serbuk. Pergerakan dan pengaturan partikel-partikel serbuk akibat adanya penekanan menyebabkan partikel tersusun lebih rata. Adanya gaya gesek antarpartikel dan antara partikel 38

10 dengan permukaan cetakan, permukaan penekan, dan inti, menghambat penyusunan partikel serbuk. Pergerakan partikel cenderung terjadi di dalam massa serbuk pada tekanan yang relatif rendah, sehingga kecepatan penekanan yang rendah akan memberikan kesempatan pada partikel untuk membentuk susunan yang terpadat (German R.M, 1994). b. Deformasi Elastis Partikel Serbuk Pada tahap ini serbuk mulai bersentuhan dan apabla penekanan dihentikan, maka serbuk akan kembali ke bentuk semula. Umumnya deformasi elastis terlihat dari dimensi bulk yang sedikit membesar saat dikeluarkan dari cetakan. Kecenderungan deformasi elastis meningkat dengan menurunnya nilai modulus elastisitas (German R.M, 1994). c. Deformasi Plastis Partikel Serbuk Deformasi Plastis merupakan bagian terpenting dari mekanisme pemadatan (densification) selama kompaksi berlangsung. Pada saat pemberian tekanan yang lebih tinggi maka akan terjadi peningkatan densitas yang disebabkan oleh perbesaran kontak antarpartikel sehingga akan terjadi deformasi plastis pada partikel tersebut. Pada tahap ini, semakin tinggi tekanan kompaksi yang diberikan akan menyebabkan semakin meningkatnya derajat deformasi plastis, antara lain kekerasan dan perpindahan tegangan antar partikel yang berdekatan(german R.M, 1994). Makin tinggi kekerasan partikel serbuk, makin rendah densitas bakalan yang dicapai pada tekana tertentu. Pada material keras, perpatahan dan deformasi terjadi selama kompaksi. Makin kasar sebuah partikel dapat meningkatkan kekuatan green compact dalam bentuk penguncian mekanik antar partikel. Disisi lain, kehalusan partikel akan memberikan ikatan antarpartikel yang lebih banyak, yang dapat meningkatkan kekuatan green compact. Kompaksi dapat dilakukan melalui kompaksi dingin( cold compacting) maupun kompaksi panas(hot compacting), baik dengan proses penekanan satu arah (single uniaxial pressing) maupun penekanan dua arah (double uniaxial pressing). Proses kompaksi dingin dilakukan pada temperatur ruang, sedangkan hot pressing merupakan suatu proses kompaksi yang dilakukan pada temperatur 39

11 yang relatif tinggi. Pada penekanan satu arah, penekan(punch) bagian atas bergerak ke bawah, sedangkan pada penekanan dua arah yang menggunakan dua buah penekan, penekan atas dan penekan bawah bergerak secara bersamaan dengan arah yang berlawanan. Penekanan dengan dua arah memiliki keunggulan berupa hasil densitas green compactyang lebih seragam(german, 1994). Gambar 2.5 Distribusi penekanan serbuk a) Single Uniaxial Pressing, b) Double Uniaxial Pressing(German, 1994). Kenaikan tekanan kompaksi dapat menurunkan porositas dari green body. Jika green body tersebut disinter dapat meningkat densitasnya karena dengan kenaikan tekanankompaksi yang semakin tinggi susunan antar partikel akan menjadi lebih padat, hal ini menyebabkan rongga-rongga terdesak semakin berkurang (German, 1994). Pada Gambar 2.6a menunjukkan pengaruh tekanan kompaksi terhadap densitas dari serbuk yang telah mengalami proses compacting. Gambar 2.6 a) Hubungan tekanan kompaksi dengan densitas dari serbuk yang dikompaksi(c.y. Wu, 2005b)Tahapan kompaksi partikel (McEntire B.J dan Norton, 1991). 40

12 2.5 Sintering Proses sintering pada magnet keramik adalah suatu proses pemadatan/densifikasi dari sekumpulan serbuk pada suhu tinggi mendekati titik leburnya. Proses sintering dilakukan pada suhu berkisar dari titik lelehnya dalam kondisi padat atau solid(e. Paul DeGarmo, 2003).Melalui proses ini terjadi perubahan struktur mikro seperti pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir (grain growth), peningkatan densitas dan penyusutan (shrinkage). Beberapa variabel yang mempengaruhi prosessintering yaitu densitas awalgreen compact, ukuran partikel, atmosfir sintering, suhu, kecepatan pemanasan dan lama penahanan. Sintering merupakan tahapan pembuatan keramik yang sangat penting dan menentukan sifat-sifat produk keramik. Tujuan dari sintering adalah untuk mengaglomerasikan partikel ke dalam massa koheren. Faktor-faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering antara lain : jenis bahan, komposisi, bahan pengotornya dan ukuran partikel. Proses sintering berlangsung apabila : a. Adanya transfer materi diantara butiran yang disebut proses difusi. b. Adanya sumber energi yang dapat mengaktifkan transfer materi, energi tersebut digunakan untuk menggerakkan butiran hingga terjadi kontak dan ikatan yang sempurna. Difusi adalah aktivitas termal yang berarti bahwa terdapat energi minimum yang dibutuhkan untuk pergerakan atom atau ion dalam mencapai energi yang sama atau diatas energi aktivitas untuk membebaskan dari letaknya semula dan bergerak ke tempat yang lain yang memungkinkannya. Energi untuk menggerakkan proses sintering disebut gaya dorong (drying force) yang ada hubungannya dengan energi permukaan butiran (γ) Tahapan Sintering Tahapan sintering menurut Hirschorn, pada sampel yang telah mengalami kompaksi sebelumya, akan mengalami beberapa tahapan sintering sebagai 41

13 berikut: 1. Ikatan mula antar partikel serbuk. Saat sampel mengalami proses sinter, maka akan terjadi pengikatan diri. Proses ini meliputi difusi atom-atom yang mengarah kepada pergerakan dari batas butir. Ikatan ini terjadi pada tempat dimana terdapat kontak fisik antar partikel-partikel yang berdekatan. Tahapan ikatan mula ini tidak menyebabkan terjadinya suatu perubahan dimensi sampel. Semakin tinggi berat jenis sampel, maka akan banyak bidang kontak antar partikel, sehingga proses pengikatan yang terjadi dalam proses sinter juga semakin besar. Elemen-elemen pengotor yang masih terdapat, berupa serbuk akan menghalangi terjadinya proses pengikatan ini. Hal ini disebabkan elemen pengotor akan berkumpul dipermukaan batas butir, sehingga akan mengurangi jumlah bidang kontak antar partikel. 2. Tahap pertumbuhan leher. Tahapan kedua yang tejadi pada proses sintering adalah pertumbuhan leher. Hal ini berhubungan dengan tahap pertama, yaitu pengikatan mula antar partikel yang menyebabkan terbentuknya daerah yang disebut dengan leher (neck) dan leher ini akan terus berkembang menjadi besar selama prosessintering berlangsung. Pertumbuhan leher tersebut terjadi karena adanya perpindahan massa, tetapi tidak mempengaruhi jumlah porositas yang ada dan juga tidak menyebabkan terjadinya penyusutan. Proses pertumbuhan leher ini akan menuju kepada tahap penghalusan dari saluran-saluran pori antar partikel serbuk yang berhubungan, dan proses ini secara bertahap. 3. Tahap penutupan saluran pori. Merupakan suatu perubahan yang utama dari salam proses sinter. Penutupan saluran pori yang saling berhubungan akan menyebabkan perkembangan danpori yang tertutup. Hal ini merupakan suatu perubahan yang penting secara khusus untuk pori yang saling berhubungan untuk pengangkutan cairan, seperti pada saringan-saringan dan bantalan yang dapat melumas sendiri. Salah satu penyebab terjadinya proses ini adalah 42

14 pertumbuhan butiran. Proses penutupan saluran ini dapat juga terjadi oleh penyusutan pori (tahap kelima dari proses sinter), yang menyebabkan kontak baru yang akan terbentuk di antara permukaan-permukaan pori. 4. Tahapan pembulatan pori. Setelah tahap pertumbuhan leher, material dipindahkan di permukaan pori dan pori tersebut akan menuju kedaerah leher yang mengakibatkan permukaan dinding tersebut menjadi halus. Bila perpindahan massa terjadi terus-menerus melalui daerah leher, maka pori disekitar permukaan leher akan mengalami proses pembulatan. Dengan temperatur dan waktu yang cukup pada saat proses sinter maka pembulatan pori akan lebih sempurna. 5. Tahap penyusutan Merupakan tahap yang terjadi dalam proses sinter. Hal ini berhubungan dengan proses densifikasi (pemadatan) yang terjadi. Tahap penyusutan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan volume, disisi lain sampel yang telah disinter akan mejadi lebih padat. Dengan adanya penyusutan ini kepadatan pori akan meningkat dan dengan sendirinya sifat mekanis dari bahan tersebut juga akan meningkat, khususnya kekuatan dari sampel setelah sinter. Tahap penyusutan pori ini terjadi akibat pergerakan gas-gas yang terdapat di daerah pori keluar menuju permukaan. Dengan demikian tahap ini akan meningkatkan berat jenis yang telah disinter. 6. Tahap pengkasaran pori Proses ini akan terjadi apabila kelima tahap sebelumnya terjadi dengan sempurna. Pengkasaran pori akan terjadi akibat adanya proses bersatunya lubang-lubang kecil dari pori sisa akan menjadi besar dan kasar. Jumlah total dari pori adalah tetap, tetapi volume pori berkurang dengan diimbangi oleh pembesaran pori tersebut (Randall M. German, 1991) Klasifikasi Sintering Sintering dapat diklasifikasikan dalam dua bagian besar yaitu sintering dalam keadaan padat (solid state sintering) dan sintering fasa cair (liquid phase 43

15 sintering). Sintering dalam keadaan padat dalam pembuatan material yang diberi tekanan diasumsikan sebagai fasa tunggal oleh karena tingkat pengotornya rendah. Sedangkan sintering pada fasa cair adalah sintering untuk serbuk yang disertai terbentuknya fase liquid selama proses sintering berlangsung. Gambar 2.7 Proses sinter padat (a). Sebelum sinter partikel mempunyai permukaan masing-masing. (b). Setelah sinter hanya mempunyai satu permukaan(van Vlack, 1989) Dari gambar 2.7 dapat dilihat bahwa proses sintering dalam keadaan padat, selama sintering penyusutan serbuk, kekuatan dari material akan bertambah, poripori dan ukuran butir berubah. Perubahan ini diakibatkan oleh sifat dasar dari serbuk itu sendiri, kondisi tekanan, aditif, waktu sintering dan suhu. Proses sintering memerlukan waktu dan suhu pemanasan yang cukup agar partikel halus dapat menjadi padat. Sinter tanpa cairan memerlukan difusi dalam bahan padat itu sendiri, sehingga diperlukan suhu tinggi dalam proses sintering (Van Vlack, 1989) Dari Gambar 2.8 diketahui bahwa semakin lambat proses pemanasan menunjukkan penyusutannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penyusutan yang terjadi pada suatu material jauh lebih lambat dibandingkan dengan waktu pemanasan yang terjadi. Oleh karena itu, kecepatan pemanasan kurang mempengaruhi kadar penyusutan secara keseluruhannya. Namun demikian, kecepatan pemanasan yang tinggi menjadikan distribusi panas pada bagian luar dan dalam material menjadi kurang merata yang dapat menimbulkan retakan di dalam material hasil sintering(agus, 2013). 44

16 Gambar 2.8. Kurva sintering dengan variasi kecepatan pemanasan Berdasarkan pola ikatan yang terjadi pada proses kompaksi, ada 2 fenomena yang mungkin terjadi pada saat sintering, yaitu: 1. Penyusutan (shrinkage) Apabila pada saat kompaksi terbentuk pola ikatan bola-bidang maka pada proses sintering akan terbentuk shrinkage, yang terjadi karena saat proses sintering berlangsung gas (lubricant) yang berada pada porositas mengalami degassing (peristiwa keluarnya gas pada saat sintering). Dan apabila temperatur sinter terus dinaikkan akan terjadi difusi permukaan antar partikel matrik dan filler yang akhirnya akan terbentuk liquid bridge / necking (mempunyai fasa campuran antara matrik dan filler). Liquid bridge ini akan menutupi porositas sehingga terjadi eleminasi porositas/ berkurangnya jumlah dan ukuran porositas. Penyusutan dominan bila pemadatan belum mencapai kejenuhan. 2. Retak (cracking) Apabila pada kompaksi terbentuk pola ikatan antar partikel berupa bidang-bidang, sehingga menyebabkan adanya trapping gas (gas/lubricant terjebak di dalam material), maka pada saat sintering gas yang terjebak belum sempat keluar tapi liquid bridge telah terjadi, sehingga jalur porositasnya telah tertutup rapat. Gas yang terjebak ini akan mendesak ke segala arah sehingga terjadi bloating (mengembang), sehingga tekanan di porositas lebih tinggi dibanding tekanan di luar. Bila kualitas ikatan 45

17 permukaan partikel pada bahan komposit tersebut rendah, maka tidak akan mampu menahan tekanan yang lebih besar sehingga menyebabkan retakan (cracking).keretakan juga dapat diakibatkan dari proses pemadatan yang kurang sempurna, adanya shock termal pada saat pemanasan karena pemuaian darimatrik dan filler yang berbeda. 2.6 Retakan (cracking) Mekanisme Penjalaran Retak Perpatahan adalah pemisahan atau pemecahan suatu benda padat, menjadi 2 bagian atau lebih diakibatkan adanya tegangan. Proses perpatahan terdiri atas 2 tahap, yaitu timbulnya retak dan tahap penjalaran retak. Tahap awal mulainya retak adalah slip pada beberapa butir yang terus menjalar. Tahap awal pembentukan retak ini memerlukan jumlah siklus yang cukup besar. Perambatan retak yang terjadi pada tahap ini sangat lambat. Tahap penjalaran retak ini diawali oleh adanya garis-garis halus (striasi) dari tempat awal mulainya slip antar butir. Ini akan jelas jika diamati dengan mikroskop elektron. Patah dapat digolongkan dalam 2 kategori umum, yakni patah liat dan patah getas.patah liat ditandai oleh deformasi plastik yang cukup besar, sebelum dan selama proses penjalaran retak. Pada permukaan patahan, biasanya tampak adanya deformasi yang cukup besar. Patah getas pada logam ditandai oleh adanya kecepatan penjalaran retak yang tinggi, tanpa terjadi deformasi kasar dan sedikit sekali terjadi deformasi mikro. Patah getas ada kaitannya dengan pembelahan pada kristal ionik. Kecenderungan terjadinya patah getas akan bertambah besar, bila temperatur turun, laju regangan bertambah, dan tegangan yang bekerja adalah tegangan 3 sumbu (biasanya dihasilkan oleh adanya takik). Bagaimanapun juga retak getas harus dihindarkan, karena terjadi tanpa adanya proses perambatan retak dan biasanya menimbulkan kerugian yang sangat besar(harry, 2007). Pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa mulainya retak ditandai oleh adanya deformasi plastis lokal. Hal ini terjadi pada daerah yang konsentrasi 46

18 tegangannya tinggi. Umumnya, terjadinya deformasi plastis ini terletak pada daerah-daerah : 1. Cacat permukaan karena goresan dan rongga. 2. Inklusi lapisan batas butir. 3. Lekukan atau cekungan. 4. Daerah yang luasannya tereduksi, seperti lubang baut. 5. Permukaan yang kasar. 6. Intrusi dan Ekstrusi. Daerah-daerah tersebut di atas sangat potensial terhadap awal mulanya retak karena konsentrasi tegangannya tinggi. Gambar 2.9 Mekanisme patah fatik model wood(broek, 1986) Terjadinya deformasi plastik dapat diamati jelas dengan adanya garis-garis slip pada permukaan spesimen seperti gambar Pada saat pembebanan akan terjadi slip, dan pada pembebanan berikutnya slip terjadi berlawanan arah dan sejajar dengan bidang slip sebelumnya. Pembebanan berulang ini dapat menghasilkan pembentukan rangkaian intrusi dan ekstrusi pada permukaan bebas logam sepanjang bidang slip. Intrusi dan ekstrusi menjadi semakin banyak dan retak awal terbentuk pada bagian intrusi. 47

19 Gambar 2.10 Foto mikroskop ekstrusi dan intrusi(chandra, H, 1993) Dari konsep fracture mechanics,laju pertumbuhan retak dinyatakan dengan da/dnyang merupakan fungsi dari sifat material, panjang retak, dan tegangan operasi. Dari hukum Paris dapat di interpretasikan bahwa laju perambatan retak sebagai ; da/dn = C ( K) m... (2.1) Dengan : da / dn = Laju perambatan retak (in/cycles) K = range faktor intensitas tegangan(mpa mm ) C = konstanta material m = material constant, Laju perambatan retak merupakan fungsi dari faktor intensitas tegangan,. Retak berawal dari daerah yang paling lemah, kemudian berkembang seiring dengan berjalannya siklus pembebanan. Didalam suatupercobaan biasanya perambatan retak dapat diukur secara visual dengan alat teleskop.atau bisa dilakukan dengan alat ultrasonik ataupun dengan alat pengubah resistivitas listrik. Pertumbuhan retak adalah perubahan panjang retak terhadap siklus. Jika panjang retak a di plot dengan siklus N, maka dapat ditunjukkan oleh Gambar. Gambar 2.11Panjang retak versus siklus (Masanori, K, 2000) 48

20 da/dn dievaluasi pada suatu panjang retak, kemudian K untuk panjang retak tersebut. Dengan mengasumsi bahwa panjang retak a pada suatu panjang konstan dan hanya tegangan yang bervariasi Laju Pertumbuhan Retak Untuk memprediksi laju pertumbuhan retak diperlukan data laju pertumbuhan retak dari material yang dibebani secara fatigue, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.12 Gambar 2.12 Skematik laju pertumbuhan retak(masanori, K, 2000). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fatigue 1. Dimensi (Size) Bila ukuran spesimen bertambah maka ketahanan fatigue kadang-kadang menurun. Hal ini ada beberapa alasan, Kegagalan akibat fatigue biasanya dimulai dari permukaan. Jadi bila penambahan size dilakukan maka memberikan kemungkinan menimbulkan keberadaan cacat. Akibatnya retak berawal pada cacat tersebut. 2. Efek Permukaan Ketahanan fatigue sangat dipengaruhi oleh kondisi permukaan. Kondisi permukaan tersebut adalah sifat permukaan seperti perlakuan permukaan seperti surface hardening dan tegangan sisa permukaan. Efek dari surface finishing ataukekasaran permukaan secara qualitatif juga mempengaruhi ketahanan fatigue suatu material seperti yang ditunjukkan pada Tabel

21 Tabel 2.2 Hubungan kehalusan permukaan terhadap ketahanan fatigue Finishing operation Surface finish (μ inch) Fatigue life (cycles) Bubut Sebagian polish Polish penuh Grinda Grinda dan polish Perlakuan-perlakuan permukaan yang akan merubah sifat mekanik permukaan juga akan mempengaruhi ketahanan fatigue bahan. Seperti perlakuan ; Elektroplating sering akan menurunkan ketahanan fatigue. Hal ini dapat menimbulkan tegangan tarik sisa pada permukaan akibat proses tersebut, sehingga dapat memicu rerak pada permukaan. Perlakuan lain seperti dekarburisasi dapat mengurangi ketahanan fatigue. Namun sebaliknya proses pengerasan permukaan seperti karburisasi, nitridasi, induksi dan flame hardening dapat meningkatkan ketahanan fatigue(masanori, 2000) Pola Retak Jenis pola retak dalam ASTM standard 2002 Volume 04. dibedakan menjadi 5 jenis pola retak ( lihat gambar), yaitu sebagai berikut : 1. Pola retak kerucut (cone ). 2. Pola retak kerucut dan pecah ( cone dan split ). 3. Pola retak kerucut dan geser ( cone dan shear). 4. Pola retak geser ( shear ). 5. Pola retak columnar. 50

22 (1) (2) (3) (4) (5) Gambar 2.13Macam Pola Retak Kelima macam pola retak diatas dapat terjadi dalam satu campuran. Hal ini disebabkan oleh tidak homogennya serbuk, akibatnya distribusi kekuatan dalam benda uji tidak merata sehingga retakan akan mengikuti titik-titik perlemahannya. 2.7 Drop Test Menurut Widayat (2008)drop test dilakukan untuk menguji ketahanan pada briket dengan benturan pada permukaan keras dan datar ketika dijatuhkan dari ketinggian 1,8 meter. Berat bahan yang hilang atau yang lepas dari briket diukur dengan timbangan digital dengan ketelitian 1/ gram. Semakin sedikit partikel yang hilang dari briket pada saat pengujian drop test, maka briket semakin bagus. Briket ditimbang dengan menggunakan timbangan untuk mengetahui berapa berat awalnya, kemudian briket dijatuhkan pada ketinggian 1,8 meter yang dimana landasannya harus benar-benar rata dan halus. Setelah dijatuhkan, briket kemudian ditimbang ulang untuk mengetahui berat setelah dijatuhkan, kemudian berat awal awal tadi dikurangi berat setelah briket dijatuhkan dari ketinggian 1,8 meter. Gambar 2.14 Drop Test(Widayat, 2008) 2.8 Mikrostruktur Struktur mikro adalah suatu struktur yang hanya bisa dilihat dengan bantuan alat, dalam hal ini mikroskop optik yang dijadikan sebagi alat dalam pengujian ini, sedangkan struktur makro adalah suatu struktur yang hanya bisa dilihat dengan cara visual/kasat mata.pengujian secara mikroskopik ialah suatu proses penelitian yang ditujukan untuk melihat dan menganalisa struktur mikro suatu material. Hal 51

23 ini terkadang menjadi sangat penting untuk mendapatkan jawaban dari suatu kegagalan yang terjadi yang tidak dapat di jelaskan sepenuhnya oleh pengujian secara makroskopik. Pengujian ini biasanya lebih mengarah kepada struktur penyusun dan bentuk dari mikrostruktur material itu sendiri, apakah itu serat maupun batas butir dan struktur penyusunnya dari kontur yang dimlai oleh penjalaran retak dapat dilihat dengan jelas. Ada dua alasan untuk melakukan pengujian mikroskopis: untuk menguji mikrostruktur dalam menentukan sebelum dilakukan pemrosesan yang sesuai (misalkan dalam perlakuan panas) atau untuk menguji hubungan antara bentuk retakan terhadap mikrostrukturnya. Pada saat mikrostruktur sedang dipelajari, setiap bahan harus diuji. Seperti halnya dalam semua kerja metalografi, pengawasan harus dilakukan dalam mengangkat, menghaluskan dan penyempurnaan (Trisna, 2012). 2.9 Makrostruktur Pengujian makroskopik memerlukan persiapan yang sedikit, namun aturan yang telah diberikan sebelumnya tentang kehati-hatian dalam penanganan harus diterapkan. Hasil makroskopik kadang-kadang memberikan informasi yang cukup untuk menjelaskan penyebab suatu masalah. Kegiatan pengujian ini merupakan kegiatan yang ditinjau dengan indera penglihatan atau mata. Beberapa faktor yang harus ditinjau adalah : distorsi yang berhubungan dengan kerusakan, perubahan letak dari permukaan retak, produk korosi, ukuran, jumlah dan lokasi dari potongan, kekasaran atau kekerasan permukaan retak. Dari penampakan-penampakan inilah suatu kerusakan dapat dideteksi apakah telah terjadi deformasi plastis sebelum logam itu gagal, sehingga diketahui apakah logam tersebut ulet atau getas, atau kombinasi dari keduanya (Trisna,2012) 2.10 Kekerasan Vickers Uji kekerasan vickers menggunakan indentor piramida intan yang pada dasarnya 52

24 berbentuk bujursangkar. Besar sudut antar permukaan-permukaan piramida yang saling berhadapan adalah Nilai ini dipilih karena mendekati sebagian besar nilai perbandingan yang diinginkan antara diameter lekukan dan diameter bola penumbuk pada uji kekerasan brinell. Angka kekerasan vickers didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan lekukan. Pada prakteknya, luas ini dihitung dari pengukuran mikroskopik panjang diagonal jejak. VHN dapat ditentukan dari persamaan berikut: VHN = Dengan : 2P sin (θ / 2) dd 2 = (1,854)P dd 2...(2.2) P = beban yang digunakan (kg) d = panjang diagonal rata-rata (mm) θ= sudut antara permukaan intan yang berhadapan = Karena jejak yang dibuat dengan penekan piramida serupa secara geometris dan tidak terdapat persoalan mengenai ukurannya, maka VHN tidak tergantung kepada beban. Pada umumnya hal ini dipenuhi, kecuali pada beban yang sangat ringan. Beban yang biasanya digunakan pada uji vickers berkisar antara 1 hingga 120 kg. tergantung pada kekerasan logam yang akan diuji. Hal-hal yang menghalangi keuntungan pemakaian metode vickers adalah: (1) Uji ini tidak dapat digunakan untuk pengujian rutin karena pengujian ini sangat lamban, (2) Memerlukan persiapan permukaan benda uji yang hati-hati, dan (3) Terdapat pengaruh kesalahan manusia yang besar pada penentuan panjang diagonal. Gambar 2.15 Tipe-tipe lekukan piramid intan pada uji kekerasan Vickers: (a) lekukan yang sempurna, (b) lekukan bantal jarum, (c) lekukan berbentuk tong (Dieter. 1987). Lekukan yang benar yang dibuat oleh penekan piramida intan harusberbentuk bujur sangkar (gambar 2.15a). Lekukan bantal jarum (gambar 53

25 2.15b) adalah akibat terjadinya penurunan logam di sekitar permukaan piramida yang datar. Keadaan demikian terjadi pada logam-logam yang dilunakkan dan mengakibatkan pengukuran panjang diagonal yang berlebihan. Lekukan berbentuk tong (gambar 2.15c) akibat penimbunan ke atas logam-logam di sekitar permukaan penekan tedapat pada logam-logam yang mengalami proses pengerjaan dingin (Dieter, 1987) Densitas Pengujian sifat fisis keramik berpori pada penelitian ini dilakukan dengan prinsip Archimedes. Prinsip Archimedes Sebuah benda yang tenggelam seluruhnya atau sebagian dalam suatu fluida diangkat Keatas oleh sebuah gaya yang sama dengan berat fluida yang dipindahkan Densitas = massa benda di udara...(2.3) massa benda didalamair Gaya apung merupakan gaya yang diberikan oleh fluida pada benda yang tenggelam di dalamnya. Gaya ini tergantung pada kerapatan fluida dan volume benda,tetapi tidak pada komposisi atau bentuk benda da besarnya sama dengan berat fluida yang dipindahkan oleh benda. Densitas merupakan ukuran kepadatan dari suatu material atau sering didefenisikan sebagai perbandingan antara massa (m) dengan volume (v) dalam hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut: ρ= mm vv...(2.4) Dengan : ρ = Densitas (gram/cm 3 ) m = Massa sampel (gram) V = Volume sampel (cm 3 ) Dalam pelaksanaannya kadang-kadang sampel yang diukur mempunyai ukuran bentuk yang tidak teratur sehingga untuk menentukan volumenya menjadi sulit, akibatnya nilai kerapatan yang diperoleh tidak akurat. Oleh karena itu untuk menghitung nilai densitas suatu material yang memiliki bentuk yang tidak teratur 54

26 (bulk density) digunakan metode Archimedes yang persamaannya sebagai berikut: ρ = mm uu mm 0 mm 0 (mm AA mm kk ) xx ρ air...(2.5) Dengan : ρ = Densitas bulk sampel (gram/cm 3 ) m 0 = Berat awal sampel setelah dikeringkan di dalam oven (gram) m A = Massa sampel yang ditimbang digantung didalam (gram) m k =Massa kawat yang digunakan untuk menggantungkan sampel (gram) ρ air = densitas air( 1 gr/cm 3 ). 55

METALURGI SERBUK. By : Nurun Nayiroh

METALURGI SERBUK. By : Nurun Nayiroh METALURGI SERBUK By : Nurun Nayiroh Metalurgi serbuk adalah metode yang terus dikembangkan dari proses manufaktur yang dapat mencapai bentuk komponen akhir dengan mencampurkan serbuk secara bersamaan dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 26 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini, pembuatan soft magnetic menggunakan bahan serbuk besi dari material besi laminated dengan perlakuan bahan adalah dengan proses kalsinasi dan variasi

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Karakterisasi Awal Serbuk ZrSiO 4 dan ZrO 2 Serbuk ZrSiO 4 dan ZrO 2 sebagai bahan utama membran merupakan hasil pengolahan mineral pasir zirkon. Kedua serbuk tersebut

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. 10 dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sintesis paduan CoCrMo Pada proses preparasi telah dihasilkan empat sampel serbuk paduan CoCrMo dengan komposisi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Magnet secara umum Magnet adalah suatu benda yang mempunyai medan magnet dan mempunyai gaya tolak menolak dan tarik menarik terhadap benda-benda tertentu. Efek tarik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Magnet permanen adalah salah satu jenis material maju dengan aplikasi yang sangat luas dan strategis yang perlu dikembangkan di Indonesia. Efisiensi energi yang tinggi

Lebih terperinci

Sifat sifat kemagnetan magnet permanen ( hard ferrite ) dipengaruhi oleh kemurnian bahan, ukuran butir (grain size), dan orientasi kristal.

Sifat sifat kemagnetan magnet permanen ( hard ferrite ) dipengaruhi oleh kemurnian bahan, ukuran butir (grain size), dan orientasi kristal. 2.1 Pengertian Magnet Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan magnet. Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta telah banyak dimanfaatkan untuk industri

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode eksperimen. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat yang Digunakan Alat yang akan digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan bahan dasar velg racing sepeda motor bekas kemudian velg tersebut diremelting dan diberikan penambahan Si sebesar 2%,4%,6%, dan 8%. Pengujian yang

Lebih terperinci

BAB 1. PENGUJIAN KEKERASAN

BAB 1. PENGUJIAN KEKERASAN BAB PENGUJIAN KEKERASAN Kompetensi : Menguasai prosedur dan trampil melakukan pengujian kekerasan. Sub Kompetensi : Menguasai prosedur pengujian kekerasan Brinell, Vickers dan Rockwell B DASAR TEORI Pengujian

Lebih terperinci

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH Komponen : adalah logam murni atau senyawa yang menyusun suatu logam paduan. Contoh : Cu - Zn (perunggu), komponennya adalah Cu dan Zn Solid solution (larutan padat)

Lebih terperinci

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2

350 0 C 1 jam C. 10 jam. 20 jam. Pelet YBCO. Uji Konduktivitas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Ba(NO 3 ) Cu(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Y(NO 3 ) 2 Pelarutan Pengendapan Evaporasi 350 0 C 1 jam 900 0 C 10 jam 940 0 C 20 jam Ba(NO 3 ) Pelarutan Pengendapan Evaporasi Pencampuran Pirolisis Kalsinasi Peletisasi Sintering Pelet YBCO Cu(NO 3

Lebih terperinci

BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar

BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar BAB 2 Teori Dasar 2.1 Konsep Dasar 2.1.1 Momen Magnet Arus yang mengalir pada suatu kawat yang lurus akan menghasilkan medan magnet yang melingkar di sekitar kawat, dan apabila kawat tersebut dilingkarkan

Lebih terperinci

Asyer Paulus Mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri ITS

Asyer Paulus Mahasiswa Jurusan Teknik Material dan Metalurgi Fakultas Teknologi Industri ITS PENGARUH TEKANAN KOMPAKSI DAN WAKTU PENAHANAN TEMPERATUR SINTERING TERHADAP SIFAT MAGNETIK DAN KEKERASAN PADA PEMBUATAN IRON SOFT MAGNETIC DARI SERBUK BESI Asyer Paulus Mahasiswa Jurusan Teknik Material

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 DIAGRAM ALIR PENELITIAN Penimbangan Serbuk Alumunium (Al), Grafit (C), dan Tembaga (Cu) Pencampuran Serbuk Al dengan 1%Vf C dan 0,5%Vf Cu Kompaksi 300 bar Green Compact

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Serbuk Awal Membran Keramik Material utama dalam penelitian ini adalah serbuk zirkonium silikat (ZrSiO 4 ) yang sudah ditapis dengan ayakan 400 mesh sehingga diharapkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISTIK BAHAN Tabel 4.1 Perbandingan karakteristik bahan. BAHAN FASA BENTUK PARTIKEL UKURAN GAMBAR SEM Tembaga padat dendritic

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 PENDAHULUAN Kekerasan suatu bahan adalah kemampuan sebuah material untuk menerima beban tanpa mengalami deformasi plastis yaitu tahan terhadap identasi, tahan terhadap penggoresan,

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI PUSTAKA Magnet

BAB 2 STUDI PUSTAKA Magnet BAB 2 STUDI PUSTAKA 2.1. Magnet Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan magnet. Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta telah banyak dimanfaatkan untuk

Lebih terperinci

02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM

02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM 02 03 : CACAT KRISTAL LOGAM 2.1. Cacat Kristal Diperlukan berjuta-juta atom untuk membentuk satu kristal. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila terdapat cacat atau ketidakteraturan dalam tubuh kristal.

Lebih terperinci

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK BARIUM M-HEKSAFERRIT DENGAN DOPING ION Zn PADA VARIASI TEMPERATUR RENDAH

SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK BARIUM M-HEKSAFERRIT DENGAN DOPING ION Zn PADA VARIASI TEMPERATUR RENDAH SINTESIS DAN KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK BARIUM M-HEKSAFERRIT DENGAN DOPING ION Zn PADA VARIASI TEMPERATUR RENDAH ARIZA NOLY KOSASIH 1108 100 025 PEMBIMBING : Dr. M. ZAINURI M,Si LATAR BELAKANG Barium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam komponen pembentuknya. Menurut sifatnya terhadap pengaruh kemagnetan, bahan dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

Cara uji kepadatan ringan untuk tanah

Cara uji kepadatan ringan untuk tanah Standar Nasional Indonesia Cara uji kepadatan ringan untuk tanah ICS 93.020 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii Pendahuluan... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sintesis Fe 2 O 3 Dari Pasir Besi Dalam rangka meningkatkan nilai ekonomis pasir besi dapat dilakukan dengan pengolahan mineral magnetik (Fe 3 O 4 ) yang diambil dari pasir besi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Analisis difraksi sinar X serbuk ZrSiO 4 ZrSiO 4 merupakan bahan baku utama pembuatan membran keramik ZrSiO 4. Untuk mengetahui kemurnian serbuk ZrSiO 4, dilakukan analisis

Lebih terperinci

KARAKTERISASI PADUAN AlFeNiMg HASIL PELEBURAN DENGAN ARC FURNACE TERHADAP KEKERASAN

KARAKTERISASI PADUAN AlFeNiMg HASIL PELEBURAN DENGAN ARC FURNACE TERHADAP KEKERASAN No.06 / Tahun III Oktober 2010 ISSN 1979-2409 KARAKTERISASI PADUAN AlFeNiMg HASIL PELEBURAN DENGAN ARC FURNACE TERHADAP KEKERASAN Martoyo, Ahmad Paid, M.Suryadiman Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir -

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini peran nanoteknologi begitu penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan kehidupan manusia. Nanoteknologi merupakan bidang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama yaitu isolator. Struktur amorf pada gelas juga disebut dengan istilah keteraturan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama yaitu isolator. Struktur amorf pada gelas juga disebut dengan istilah keteraturan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Material Amorf Salah satu jenis material ini adalah gelas atau kaca. Berbeda dengan jenis atau ragam material seperti keramik, yang juga dikelompokan dalam satu definisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Proses karakterisasi material Bantalan Luncur dengan menggunakan metode pengujian merusak. Proses penelitian ini dapat dilihat dari diagram alir berikut

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan sampel Sampel yang digunakan adalah pelat baja karbon rendah AISI 1010 yang dipotong berbentuk balok dengan ukuran 55mm x 35mm x 8mm untuk dijadikan sampel dan

Lebih terperinci

Proses Annealing terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu sebagai berikut :

Proses Annealing terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu sebagai berikut : PERLAKUAN PANAS Perlakuan panasadalah suatu metode yang digunakan untuk mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro melalui proses pemanasan dan pengaturan kecepatan pendinginan dengan atau

Lebih terperinci

PROSES MANUFACTURING

PROSES MANUFACTURING PROSES MANUFACTURING Proses Pengerjaan Logam mengalami deformasi plastik dan perubahan bentuk pengerjaan panas, gaya deformasi yang diperlukan adalah lebih rendah dan perubahan sifat mekanik tidak seberapa.

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

BAB II STUDI PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara BAB II STUDI PUSTAKA 2.1.Meteran Air Ada banyak tipe meter air yang dibuat, salah satunya adalah multi jet. Meter air tipe ini digerakkan oleh putaran turbin di dalam rumah meter. Meteran ini bekerja berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan magnetik digunakan pada peralatan tradisional dan modern. Magnet permanen telah digunakan manusia selama lebih dari 5000 tahun seperti medium perekam pada komputer

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah logam. Seiring dengan jaman yang semakin maju, kebutuhan akan logam menjadi semakin tinggi.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Magnet Magnet adalah suatu benda yang dibuat dari material tertentu yang menghasilkan suatu medan magnet. Medan magnet suatu magnet adalah daerah sekeliling magnet

Lebih terperinci

04 05 : DEFORMASI DAN REKRISTALISASI

04 05 : DEFORMASI DAN REKRISTALISASI 04 05 : DEFORMASI DAN REKRISTALISASI 4.1. Deformasi 4.1.1 Pengertian Deformasi Elastis dan Deformasi Plastis Deformasi atau perubahan bentuk dapat dipisahkan menjadi dua, yaitu deformasi elastis dan deformasi

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69 BAB IV PEMBAHASAN 4.1 ANALISA STRUKTUR MIKRO BAJA SETELAH HARDENING DAN TEMPERING Struktur mikro yang dihasilkan setelah proses hardening akan menentukan sifat-sifat mekanis baja perkakas, terutama kekerasan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yang dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap pembuatan magnet barium ferit, tahap karakterisasi magnet

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

BAB III PROSEDUR PENELITIAN BAB III PROSEDUR PENELITIAN III.1 Umum Penelitian yang dilakukan adalah penelitian berskala laboratorium untuk mengetahui pengaruh variasi komposisi aditif (additive) yang efektif dalam pembuatan keramik

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19

KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19 KARAKTERISASI SIFAT MAGNETIK DAN SERAPAN GELOMBANG MIKRO BARIUM M-HEKSAFERIT BaFe 12 O 19 NOER AF IDAH 1109201712 DOSEN PEMBIMBING Prof. Dr. Darminto, MSc Pendahuluan: Smart magnetic materials Barium M-Heksaferit

Lebih terperinci

Beberapa sifat mekanis lembaran baja yang mcliputi : pengerasan. regang, anisotropi dan keuletan merupakan parameter-parameter penting

Beberapa sifat mekanis lembaran baja yang mcliputi : pengerasan. regang, anisotropi dan keuletan merupakan parameter-parameter penting BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11.1. Parameter - Parameter Sifat Mampu Bentuk Beberapa sifat mekanis lembaran baja yang mcliputi : pengerasan regang, anisotropi dan keuletan merupakan parameter-parameter penting

Lebih terperinci

III.METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei

III.METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei 17 III.METODELOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan terhitung pada bulan Februari Mei 2012. Adapun tempat pelaksanaan penelitian ini

Lebih terperinci

Gambar 2.1. Proses pengelasan Plug weld (Martin, 2007)

Gambar 2.1. Proses pengelasan Plug weld (Martin, 2007) BAB II DASAR TEORI 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Proses pengelasan semakin berkembang seiring pertumbuhan industri, khususnya di bidang konstruksi. Banyak metode pengelasan yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 14 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 PENDAHULUAN Uji tarik adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan/material dengan cara memberikan beban gaya yang sesumbu (Askeland, 1985). Hasil

Lebih terperinci

Keramik. Ikatan atom pada keramik. Sifat-sifat bahan keramik 04/10/2016. Lukhi mulia s

Keramik. Ikatan atom pada keramik. Sifat-sifat bahan keramik 04/10/2016. Lukhi mulia s Ikatan atom pada keramik Keramik Lukhi mulia s O Ikatan ion O Ikatan kovalen O Ikatan logam O Ikatan dipol O Ikatan antar atom dan sifat-sifat kristal 1 3 1438 1438 3 3 Pendahuluan O Keramik merupakan

Lebih terperinci

Gambar 2.1. momen magnet yang berhubungan dengan (a) orbit elektron (b) perputaran elektron terhadap sumbunya [1]

Gambar 2.1. momen magnet yang berhubungan dengan (a) orbit elektron (b) perputaran elektron terhadap sumbunya [1] BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Momen Magnet Sifat magnetik makroskopik dari material adalah akibat dari momen momen magnet yang berkaitan dengan elektron-elektron individual. Setiap elektron dalam atom mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanopartikel merupakan suatu partikel dengan ukuran nanometer, yaitu sekitar 1 100 nm (Hosokawa, dkk. 2007). Nanopartikel menjadi kajian yang sangat menarik, karena

Lebih terperinci

pendinginan). Material Teknik Universitas Darma Persada - Jakarta

pendinginan). Material Teknik Universitas Darma Persada - Jakarta BAB V DIAGRAM FASE Komponen : adalah logam murni atau senyawa yang menyusun suatu logam paduan. Contoh : Cu - Zn (perunggu) komponennya adalah Cu dan Zn Solid solution (larutan padat) : terdiri dari beberapa

Lebih terperinci

C20 FISIKA SMA/MA IPA. 1. Hasil pengukuran diameter suatu benda menggunakan jangka sorong ditunjukkan oleh gambar berikut.

C20 FISIKA SMA/MA IPA. 1. Hasil pengukuran diameter suatu benda menggunakan jangka sorong ditunjukkan oleh gambar berikut. 1 1. Hasil pengukuran diameter suatu benda menggunakan jangka sorong ditunjukkan oleh gambar berikut. Rentang hasil pengkuran diameter di atas yang memungkinkan adalah. A. 5,3 cm sampai dengan 5,35 cm

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah eksperimen. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ dengan metode kompaksi serbuk. 3.2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nanomaterial memiliki sifat unik yang sangat cocok untuk diaplikasikan dalam bidang industri. Sebuah material dapat dikatakan sebagai nanomaterial jika salah satu

Lebih terperinci

Tugas Sarjana Teknik Material 2008 Data dan Analisa

Tugas Sarjana Teknik Material 2008 Data dan Analisa berpengaruh pada surface tension juga menjadi limitasi terjadi pembentukan gas lanjutan. Gambar IV. 18 Penampang melintang produk, yang memperlihatkan sel porositas yang mengalami penggabugan dan pecahnya

Lebih terperinci

1. Pengukuran tebal sebuah logam dengan jangka sorong ditunjukkan 2,79 cm,ditentikan gambar yang benar adalah. A

1. Pengukuran tebal sebuah logam dengan jangka sorong ditunjukkan 2,79 cm,ditentikan gambar yang benar adalah. A PREDIKSI 7 1. Pengukuran tebal sebuah logam dengan jangka sorong ditunjukkan 2,79 cm,ditentikan gambar yang benar adalah. A B C D E 2. Pak Pos mengendarai sepeda motor ke utara dengan jarak 8 km, kemudian

Lebih terperinci

Pengaruh Penambahan Barium Karbonat Pada Media Karburasi Terhadap Karakteristik Kekerasan Lapisan Karburasi Baja Karbon Rendah

Pengaruh Penambahan Barium Karbonat Pada Media Karburasi Terhadap Karakteristik Kekerasan Lapisan Karburasi Baja Karbon Rendah Pengaruh Penambahan Barium Karbonat Pada Media Karburasi Terhadap Karakteristik Kekerasan Lapisan Karburasi Baja Karbon Rendah Heru Suryanto*, Viktor Malau**, Samsudin** * Teknik Mesin Universitas Negeri

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Aktivasi Zeolit Sebelum digunakan, zeolit sebaiknya diaktivasi terlebih dahulu untuk meningkatkan kinerjanya. Dalam penelitian ini, zeolit diaktivasi melalui perendaman dengan

Lebih terperinci

Kategori Sifat Material

Kategori Sifat Material 1 TIN107 Material Teknik Kategori Sifat Material 2 Fisik Mekanik Teknologi Kimia 6623 - Taufiqur Rachman 1 Sifat Fisik 3 Kemampuan suatu bahan/material ditinjau dari sifat-sifat fisikanya. Sifat yang dapat

Lebih terperinci

Karakterisasi Material Bucket Teeth Excavator 2016

Karakterisasi Material Bucket Teeth Excavator 2016 BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Data dan Analisa Metalografi Pengambilan gambar atau foto baik makro dan mikro pada Bucket Teeth Excavator dilakukan pada tiga dua titik pengujian, yaitu bagian depan spesimen

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS

ANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS TUGAS AKHIR ANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS Disusun : SUDARMAN NIM : D.200.02.0196 JURUSAN TEKNIK MESIN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa dalam menciptakan material, struktur fungsional, maupun piranti dalam skala nanometer. Perkembangan nanoteknologi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC) Hasil karakterisasi dengan Difraksi Sinar-X (XRD) dilakukan untuk mengetahui jenis material yang dihasilkan disamping menentukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN komposisi tidak homogen akan memiliki perbedaan kelarutan dalam pembersihan, sehingga beberapa daerah ada yang lebih terlarut dibandingkan dengan daerah yang lainnya. Ketika oksida dihilangkan dari permukaan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Logam Logam cor diklasifikasikan menurut kandungan karbon yang terkandung di dalamnya yaitu kelompok baja dan besi cor. Logam cor yang memiliki persentase karbon

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK SERBUK 4.1.1. Serbuk Fe-50at.%Al Gambar 4.1. Hasil Uji XRD serbuk Fe-50at.%Al Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan pengamatan, pengukuran serta pengujian terhadap masingmasing benda uji, didapatkan data-data hasil penyambungan las gesek bahan Stainless Steel 304. Data hasil

Lebih terperinci

PROSES PENGERASAN (HARDENNING)

PROSES PENGERASAN (HARDENNING) PROSES PENGERASAN (HARDENNING) Proses pengerasan atau hardening adalah suatu proses perlakuan panas yang dilakukan untuk menghasilkan suatu benda kerja yang keras, proses ini dilakukan pada temperatur

Lebih terperinci

Karakterisasi Material Sprocket

Karakterisasi Material Sprocket BAB IV DATA DAN ANALISA 4.1 Pengamatan Metalografi 4.1.1 Pengamatan Struktur Makro Pengujian ini untuk melihat secara keseluruhan objek yang akan dimetalografi, agar diketahui kondisi benda uji sebelum

Lebih terperinci

Terjemahan ZAT PADAT. Kristal padat

Terjemahan ZAT PADAT. Kristal padat Terjemahan ZAT PADAT Zat padat adalah sebuah objek yang cenderung mempertahankan bentuknya ketika gaya luar mempengaruhinya. Karena kepadatannya itu, bahan padat digunakan dalam bangunan yang semua strukturnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Produk keramik adalah suatu produk industri yang sangat penting dan berkembang pesat pada masa sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Agregat Penelitian ini menggunakan agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya yang berlokasi di Kecamatan Bongomeme. Agregat dari lokasi ini kemudian diuji di Laboratorium Transportasi

Lebih terperinci

VARIASI TEKANAN KOMPAKSI TEHADAP DENSITAS DAN KEKERASAN PADA KOMPOSIT

VARIASI TEKANAN KOMPAKSI TEHADAP DENSITAS DAN KEKERASAN PADA KOMPOSIT PENGARUH KOMPOSISI DAN VARIASI TEKANAN KOMPAKSI TEHADAP DENSITAS DAN KEKERASAN PADA KOMPOSIT - UNTUK PROYEKTIL PELURU DENGAN PROSES METALURGI SERBUK Oleh: Gita Novian Hermana 2710100077 Jurusan Teknik

Lebih terperinci

STUDI PENAMBAHAN MgO SAMPAI 2 % MOL TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK KERAMIK KOMPOSIT Al 2 O 3 ZrO 2

STUDI PENAMBAHAN MgO SAMPAI 2 % MOL TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK KERAMIK KOMPOSIT Al 2 O 3 ZrO 2 STUDI PENAMBAHAN MgO SAMPAI 2 % MOL TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK KERAMIK KOMPOSIT Al 2 O 3 ZrO 2 Meilinda Nurbanasari Jurusan Teknik Mesin, Institut Teknologi Nasional, Bandung Dani Gustaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini banyak dikembangkan penelitian tentang nanopartikel spinel ferrit. Hal ini dikarenakan bidang aplikasinya yang sangat luas yaitu dalam sistem penyimpanan

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 4340

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 4340 ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 30 Sasi Kirono, Eri Diniardi, Seno Ardian Jurusan Mesin, Universitas Muhammadiyah Jakarta Abstrak.

Lebih terperinci

Karakterisasi Baja Karbon Rendah Setelah Perlakuan Bending

Karakterisasi Baja Karbon Rendah Setelah Perlakuan Bending Karakterisasi Baja Karbon Rendah Setelah Perlakuan Bending Budi Setyahandana 1, Anastasius Rudy Setyawan 2 1,2 Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Kampus III Paingan, Maguwoharjo,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR- BATAN Bandung meliputi beberapa tahap yaitu tahap preparasi serbuk, tahap sintesis dan tahap analisis. Meakanisme

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MAGNET PERMANEN BAO.(6-X)FE2O3 DARI BAHAN BAKU LIMBAH FE2O3

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MAGNET PERMANEN BAO.(6-X)FE2O3 DARI BAHAN BAKU LIMBAH FE2O3 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MAGNET PERMANEN BAO.(6-X)FE2O3 DARI BAHAN BAKU LIMBAH FE2O3 Sri Handani 1, Sisri Mairoza 1 dan Muljadi 2 1 Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas 2 Lembaga Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

Frekuensi yang digunakan berkisar antara 10 hingga 500 khz, dan elektrode dikontakkan dengan benda kerja sehingga dihasilkan sambungan la

Frekuensi yang digunakan berkisar antara 10 hingga 500 khz, dan elektrode dikontakkan dengan benda kerja sehingga dihasilkan sambungan la Pengelasan upset, hampir sama dengan pengelasan nyala, hanya saja permukaan kontak disatukan dengan tekanan yang lebih tinggi sehingga diantara kedua permukaan kontak tersebut tidak terdapat celah. Dalam

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Magnet Magnet atau magnit adalah suatu obyek yang mempunyai suatu medan magnet. Magnet dapat dibuat dari bahan besi, baja, dan campuran logam serta telah banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Alat-alat yang dipergunakan dalam pembuatan magnet permanen adalah : a. Hydraulic press (Hydraulic Jack). Berfungsi untuk menekan pada proses

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR

BAB II STUDI LITERATUR BAB II STUDI LITERATUR 2.1 LOGAM BUSA Logam busa atau material selular merupakan suatu material yang memiliki banyak struktur sel dan pori di dalamnya. Porositas dalam aplikasi keteknikan dapat menjadi

Lebih terperinci

PENGARUH UNSUR ALUMINIUM DALAM KUNINGAN TERHADAP KEKERASAN, KEKUATAN TARIK, DAN STRUKTUR MIKRO

PENGARUH UNSUR ALUMINIUM DALAM KUNINGAN TERHADAP KEKERASAN, KEKUATAN TARIK, DAN STRUKTUR MIKRO PENGARUH UNSUR ALUMINIUM DALAM KUNINGAN TERHADAP KEKERASAN, KEKUATAN TARIK, DAN STRUKTUR MIKRO Eko Nugroho Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Univ. Muh Metro Jl. Ki Hajar Dewantara no 115 Metro E-mail

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pasir besi umumnya ditambang di areal sungai dasar atau tambang pasir (quarry) di pegunungan, tetapi hanya beberapa saja pegunungan di Indonesia yang banyak mengandung

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN

BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN BAB IV ANALISIS & HASIL PERCOBAAN IV.1 Karakterisasi Serbuk Alumina Hasil Milling Menggunakan SEM Proses milling ditujukan untuk menghaluskan serbuk sehingga diperoleh gradasi ukuran partikel yang tinggi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Data BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data Penelitian ini merupakan eksperimen untuk mengetahui pengaruh temperatur media pendingin pasca pengelasan terhadap laju korosi dan struktur mikro.

Lebih terperinci

Sifat fisika kimia - Zat Aktif

Sifat fisika kimia - Zat Aktif Praformulasi UKURAN PARTIKEL, DISTRIBUSI PARTIKEL BENTUK PARTIKEL / KRISTAL POLIMORFI, HIDRAT, SOLVAT TITIK LEBUR, KELARUTAN KOEFISIEN PARTISI, DISOLUSI FLUIDITAS (SIFAT ALIR), KOMPAKTIBILITAS PEMBASAHAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen

BAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimen secara langsung. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik komposit pelet CSZ-Ni

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan magnet permanen setiap tahun semakin meningkat terutama untuk kebutuhan hardware komputer dan energi. Suatu magnet permanen harus mampu menghasilkan

Lebih terperinci

SNMPTN 2011 Fisika KODE: 559

SNMPTN 2011 Fisika KODE: 559 SNMPTN 2011 Fisika KODE: 559 SOAL PEMBAHASAN 1. Gerakan sebuah mobil digambarkan oleh grafik kecepatan waktu berikut ini. 1. Jawaban: DDD Percepatan ketika mobil bergerak semakin cepat adalah. (A) 0,5

Lebih terperinci

SINTESIS KERAMIK Al 2 TiO 5 DENSITAS TINGGI DENGAN ADITIF MgO

SINTESIS KERAMIK Al 2 TiO 5 DENSITAS TINGGI DENGAN ADITIF MgO SINTESIS KERAMIK Al 2 TiO 5 DENSITAS TINGGI DENGAN ADITIF MgO Disampaikan oleh: Kurmidi [1106 100 051] Dosen Pembimbing Drs. Suminar Pratapa, M.Sc.,Ph.D. Sidang Tugas Akhir (J 102) Komponen Otomotif :

Lebih terperinci

D. I, U, X E. X, I, U. D. 5,59 x J E. 6,21 x J

D. I, U, X E. X, I, U. D. 5,59 x J E. 6,21 x J 1. Bila sinar ultra ungu, sinar inframerah, dan sinar X berturut-turut ditandai dengan U, I, dan X, maka urutan yang menunjukkan paket (kuantum) energi makin besar ialah : A. U, I, X B. U, X, I C. I, X,

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR

BAB II STUDI LITERATUR BAB II STUDI LITERATUR II.1 LOGAM BUSA II.1.1 Definisi Logam Busa Logam busa atau yang dikenal dengan istilah Metal Foam merupakan suatu Advance Material yang memiliki struktur berongga pada material logam

Lebih terperinci

Alasan pengujian. Jenis Pengujian merusak (destructive test) pada las. Pengujian merusak (DT) pada las 08/01/2012

Alasan pengujian. Jenis Pengujian merusak (destructive test) pada las. Pengujian merusak (DT) pada las 08/01/2012 08/01/2012 MATERI KE II Pengujian merusak (DT) pada las Pengujian g j merusak (Destructive Test) dibagi dalam 2 bagian: Pengujian di bengkel las. Pengujian skala laboratorium. penyusun: Heri Wibowo, MT

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN bawah ini. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada kedua bagan di Gambar 3.1 Proses Pembuatan bahan matriks Komposit Matrik Logam Al5Cu 27 28 Gambar

Lebih terperinci

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja Heat Treatment Pada Logam Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma Proses Perlakuan Panas Pada Baja Proses perlakuan panas adalah suatu proses mengubah sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Magnet keras ferit merupakan salah satu material magnet permanen yang

BAB I PENDAHULUAN. Magnet keras ferit merupakan salah satu material magnet permanen yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Magnet keras ferit merupakan salah satu material magnet permanen yang berperan penting dalam teknologi listrik, elektronik, otomotif, industri mesin, dan lain-lain.

Lebih terperinci

BAB II TEORI KEAUSAN. 2.1 Pengertian keausan.

BAB II TEORI KEAUSAN. 2.1 Pengertian keausan. BAB II TEORI KEAUSAN 2.1 Pengertian keausan. Definisi paling umum dari keausan yang telah dikenal sekitar 50 tahun lebih yaitu hilangnya bahan dari suatu permukaan atau perpindahan bahan dari permukaannya

Lebih terperinci

METALURGI SERBUK (POWDER METALLURGY) Metalurgi Serbuk : Teknologi pemrosesan logam dimana part-part diproduksi dari serbuk metal.

METALURGI SERBUK (POWDER METALLURGY) Metalurgi Serbuk : Teknologi pemrosesan logam dimana part-part diproduksi dari serbuk metal. METALURGI SERBUK (POWDER METALLURGY) Metalurgi Serbuk : Teknologi pemrosesan logam dimana part-part diproduksi dari serbuk metal. Teknologi proses produksi secara umum : - Serbuk dipadatkan (di compressed/

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN ANALISA

BAB IV DATA DAN ANALISA BAB IV DATA DAN ANALISA Pengelasan plug welding pada material tak sejenis antara logam tak sejenis antara baja tahan karat 304L dan baja karbon SS400 dilakukan untuk mengetahui pengaruh arus pengelasan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. masing-masing benda uji, pada pengelasan las listrik dengan variasi arus 80, 90,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. masing-masing benda uji, pada pengelasan las listrik dengan variasi arus 80, 90, BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Spesimen 4.1.1. Proses Pengelasan Setelah pengamatan, pengukuran serta pengujian dilaksanakan terhadap masing-masing benda uji, pada pengelasan

Lebih terperinci