BAB II LANDASAN TEORI. A. Kesepian. hubungan dengan orang lain; perasaan bahwa seseorang hilang. Kesepian lebih

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. A. Kesepian. hubungan dengan orang lain; perasaan bahwa seseorang hilang. Kesepian lebih"

Transkripsi

1 digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian adalah perasaan kekurangan yang disebabkan oleh kurangnya hubungan dengan orang lain; perasaan bahwa seseorang hilang. Kesepian lebih lanjut dicirikan sebagai rasa kekurangan yang muncul ketika hubungan tertentu dengan orang lain yang diharapkan tidak hadir (Gordon, dalam Peplau dan Perlman, 1982). Peplau dan Perlman (1982) menjelaskan, kesepian sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan yang terjadi ketika seseorang kekurangan hubungan sosial, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara khusus, kesepian (a) dianggap sebagai hasil dari kekurangan yang dirasakan dalam kehidupan sosial seseorang; (b) adalah kondisi subjektif; dan (c) merupakan pengalaman negatif, menyakitkan, dan sangat menyedihkan (dalam Vanhalst, 2012). Sullivan mengidentifikasi kesepian sebagai pengalaman sangat tidak menyenangkan dan pendorong yang terhubung dengan kebutuhan akan keintiman yang tidak memadai, untuk keintiman interpersonal (dalam Peplau dan Perlman, 1982). Lake (1986) menyatakan, kesepian adalah tidak terpenuhinya kebutuhan untuk berkomunikasi dan membina hubungan persahabatan yang akrab sampai cinta yang mendalam. Disebutkan bahwa individu yang mengalami kesepian sangat membutuhkan orang lain untuk berkomunikasi dan 12

2 digilib.uns.ac.id 13 menjalin suatu hubungan timbal balik yang mendalam dan intim. Gierveld dan Tilburg (2006) mendefinisikan kesepian sebagai salah satu kemungkinan hasil dari evaluasi situasi di mana seorang individu memiliki sejumlah kecil hubungan. Baron dan Byrne (2005) mengatakan bahwa kesepian merupakan suatu keadaan reaksi emosi dan kognisi seseorang terhadap adanya sebuah hubungan yang lebih tidak memuaskan daripada apa yang diharapkan. Menurut Burger, orang yang kesepian adalah seseorang yang menginginkan teman, tapi tidak memilikinya (dalam Baron dan Byrne, 2005). Kesepian tidak disebabkan oleh kesendirian, namun disebabkan karena tidak terpenuhinya kebutuhan akan hubungan yang pasti, atau karena tidak tersedianya hubungan yang dibutuhkan oleh individu tersebut (Anderson dkk., dalam Baron dan Byrne, 2005). Kesepian disebabkan oleh tidak adanya mitra sosial yang tepat yang dapat membantu dalam mencapai kesatuan tujuan yang penting, dan keinginan untuk terus berhubungan sosial (Derlega dan Margulis, dalam Peplau dan Perlman, 1982). Weiss percaya bahwa ada dua kondisi afektif yang dikarakterisasi sebagai kesepian oleh mereka yang mengalami, yaitu kesepian sosial dan kesepian emosi. Kesepian sosial berarti memiliki lebih sedikit interaksi antarpersonal dari yang dinginkan. Kesepian emosi berarti memiliki hubungan intim lebih sedikit dari yang dinginkan (dalam Lauer dan Lauer, 2000). Dalam beberapa definisi tersebut, kesepian merupakan perasaan tidak menyenangkan sebagai suatu keadaan reaksi emosi dan kognisi dari kurangnya

3 digilib.uns.ac.id 14 hubungan timbal balik yang mendalam dengan orang lain, baik secara sosial, yaitu memiliki lebih sedikit interaksi sosial dari yang diharapkan; maupun emosional, yaitu kurangnya keintiman hubungan dengan orang lain. 2. Konseptualisasi Kesepian Peplau dan Perlman (1982) membagi kesepian menjadi tiga pendekatan konseptualisasi sebagai berikut : a. Need for intimacy Kebutuhan akan keintiman atau intimacy adalah sesuatu yang universal dan sudah menetap pada diri manusia sepanjang hidupnya. Dorongan kebutuhan keintiman manusia muncul dalam keinginan bayi pada sentuhan. Dalam masa praremaja, kebutuhan keintiman muncul dalam bentuk kebutuhan akan sahabat karib, seseorang yang dapat saling bertukar informasi mendalam. Remaja yang keterampilan sosialnya kurang karena kesalahan interaksi dengan orang tuanya selama masa kanak-kanak memiliki kesulitan dalam membentuk persahabatan karib. Ketidakmampuan remaja dalam memenuhi kebutuan keintiman ini dapat menuntun remaja merasa kesepian. b. Cognitive process Persepsi dan evaluasi individu mengenai hubungan sosialnya. Aspek penting persepsi individu adalah penekanan dalam kognisi sebagai faktor yang memediasi antara kekurangan dalam pergaulan dan pengalaman kesepian. Kesepian terjadi ketika individu merasakan kesenjangan antara

4 digilib.uns.ac.id 15 dua faktor, yaitu yang diinginkan dan yang dicapai dari hubungan sosial. Dikatakan pula bahwa kesepian akibat dari ketidakpuasan yang dirasakan individu mengenai sebuah hubungan sosial. c. Social reinforcement Hubungan sosial adalah suatu reinforcement, apabila interaksi sosial itu kurang menyenangkan, maka akan menjadikan individu merasa kesepian. Kesepian berhubungan terbalik dengan penerimaan orang lain. Kesepian seringkali diasosiasikan dengan sikap sinisme dan penolakan kepada orang lain dan kehidupan secara umum. 3. Dimensi Kesepian Weiss (dalam Gierveld dan Tilburg, 2006) mengemukakan bahwa di dalam perasaan kesepian terdapat dua komponen, yaitu: a. Kesepian emosi (Emotional loneliness) Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya figur kelekatan. Tidak adanya hubungan intim atau keterikatan emosi dengan seseorang (misalnya, sahabat, pasangan, atau kerabat), sehingga tidak dapat bergantung kepada siapa pun. Hubungan yang ada kurang memuaskan, atau merasa lingkungan sosial kurang memahaminya. Kesepian emosi tidak dapat dihilangkan hanya dengan hadirnya orang lain di sekitarnya, tapi diatasi dengan mengisi apa yang kurang dari sekadar kehadiran orang lain, yaitu keakraban.

5 digilib.uns.ac.id 16 b. Kesepian sosial (Social loneliness ) Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya jaringan sosial yang dapat diperoleh. Tidak adanya teman, saudara, atau orang lain dari jaringan sosial di mana aktivitas-aktivitas dan kepentingan-kepentingan bisa saling dibagi, dan terasing dari lingkungan sosial. Salah satu contoh kesepian sosial adalah ketika seseorang berpindah tempat dan menjadi pendatang baru. Kesepian sosial dapat dihilangkan dengan mengadakan kontak dan membangun hubungan dengan orang-orang baru di sekitarnya, serta menjaga hubungan sosial dengan orang-orang lama. Berdasarkan dimensi kesepian yang telah diuraikan di atas, penelitian ini menggunakan pendapat Weiss (dalam Gierveld dan Tilburg, 2006), yaitu kesepian emosi dan kesepian sosial sebagai aspek untuk mengukur variabel kesepian. 4. Faktor-faktor Kesepian a. Faktor yang mempengaruhi kesepian Kesepian terbentuk oleh beberapa faktor. Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesepian, yaitu: 1) Faktor genetis McGuire dan Clinfford, dalam penelitiannya tahun 2000, menemukan data konsisten yang mengindikasikan bahwa kesepian dapat diatribusikan sebagian sebagai faktor keturunan.

6 digilib.uns.ac.id 17 2) Pengalaman individu Menurut Braza dkk., kegagalan membangun keterampilan sosial yang tepat pada masa kanak-kanak berakibat pada interaksi yang tidak sukses dengan teman-teman sebaya, dan akhirnya kesepian. Keterampilan sosial yang tidak adekuat pada masa kanak-kanak menjadi keterampilan yang tidak adekuat pada masa remaja dan dewasa. 3) Determinan budaya Budaya memiliki pengaruh dan kemungkinan asal-usulnya pada kesepian. Rokach menjelaskan bahwa Amerika Utara menempatkan kesepian sebagai kesalahan utama pada hubungan intim yang tidak terpenuhi, tetapi orang Asia Selatan lebih menempatkan kesepian sebagai ketidakmampuan personal, seperti kekurangan pada karakter. Menurut Brehm (2002) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesepian, adalah sebagai berikut: 1) Usia Strereotip yang berkembang dalam masyarakat yang beranggapan bahwa semakin tua seseorang, maka akan semakin merasa kesepian, tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa stereotip tersebut keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov dan Offer (dalam Brehm, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling kesepian justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti oleh Perlman (Taylor, Peplau, dan Sears, 2000; dalam Brehm, 2002) dan menemukan hasil yang sama,

7 digilib.uns.ac.id 18 dimana kesepian lebih tinggi pada remaja dan dewasa awal dan lebih rendah pada orang yang lebih tua. Menurut Brehm (2002) hal tersebut disebabkan orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, misalnya merantau, memasuki dunia kuliah, memasuki dunia kerja secara full time untuk pertama kalinya yang dapat menimbulkan kesepian. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial mereka menjadi semakin stabil. Bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan mereka menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang mereka harapkan. 2) Sosio-ekonomi Weiss mengatakan bahwa kelompok dengan penghasilan yang lebih rendah cenderung mengalami kesepian. Hal yang sama juga ditemukan oleh Page dan Cole berdasarkan survei yang dilakukan ditemukan bahwa aggota keluarga dengan penghasilan rendah lebih mengalami kesepian daripada anggota keluarga dengan penghasilan yang lebih tinggi. Berdasarkan studi, tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan kesepian (dalam Brehm, 2002). 3) Status Perkawinan Secara umum, orang yang menikah kurang merasa kesepian daripada orang yang tidak menikah. Tidak menikah dikategorikan dalam subgrup (tidak pernah menikah, bercerai atau janda) diperoleh

8 digilib.uns.ac.id 19 hasil yang berbeda, dimana orang yang tidak pernah menikah lebih tidak kesepian. Kesepian dilihat sebagai reaksi hilangnya hubungan pernikahan daripada respon ketidakhadiran (dalam Brehm, 2002). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Demir dan Fisiloghu (dalam Brehm, 2002) kesepian berhubungan dengan kepuasan pernikahan sehingga orang dengan pernikahan yang tidak bahagia berisiko mengalami kesepian. 4) Gender Walaupun banyak studi tentang kesepian yang tidak mengindikasikan adanya perbedaan menyeluruh antara laki-laki dan perempuan, beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki memiliki skor kesepian yang lebih tinggi daripada perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh stereotip peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan stereotip peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Brehm (2002) menambahkan bahwa gender berinteraksi dengan status pernikahan. Berdasarkan studi cross-national (Stack, dalam Brehm, 2002) pernikahan mengurangi kemungkinan laki-laki mengalami kesepian. Di antara pasangan yang menikah dilaporkan bahwa perempuan lebih sering mengalami kesepian dibandingkan dengan laki-laki. Sebaliknya, pada kelompok yang belum menikah dan

9 digilib.uns.ac.id 20 kelompok orang yang bercerai ditemukan bahwa laki-laki lebih sering mengalami kesepian dibandingkan dengan perempuan (Rubenstein dan Shaver, dalam Peplau dan Perlman, 1982). Brehm (2002) mengatakan penemuan ini menunjukkan bahwa laki-laki cenderung mengalami kesepian ketika tidak memiliki pasangan yang intim. Sementara perempuan cenderung mengalami kesepian ketika ikatan perkawinan mengurangi akses untuk terlibat pada jaringan yang lebih luas. Dengan demikian, laki-laki memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami isolasi emosional sedangkan perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami isolasi sosial. b. Faktor Penyebab Kesepian Terdapat kondisi yang menyebabkan terjadinya kesepian. Kondisi tersebut merupakan faktor-faktor yang memicu terbentuknya perasaan kesepian. Nugroho dan Muchji (1996) menyebutkan ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang dapat mengalami kesepian yaitu: 1) Frustrasi Dalam hal ini orang yang tidak mau diganggu, mereka lebih senang dalam keadaan sepi, tidak suka bergaul dan lebih senang hidup sendiri. 2) Keterasingan Keterasingan akibat dari sikap sombong, angkuh, keras kepala sehingga dijauhi oleh teman-temanya. Karena mereka

10 digilib.uns.ac.id 21 menjauh, akibat yang terjadi adalah merasa terasing, terkucilkan dan terpencil dari keramaian hidup, sehingga menyebabkan terjadinya kesepian. 3) Sikap rendah diri, pemalu, minder, merasa dirinya kurang berharga dibandingkan dengan orang lain dan akhirnya lebih suka menyendiri, sehingga menimbulkan kesepian. Menurut Middlebrook (1980), ada dua faktor penyebab kesepian, yaitu: 1) Faktor Psikologis a) Existential loneliness Kesepian ini disebabkan oleh kenyataan adanya keterbatasan keberadaan manusia yang disebabkan oleh terpisahnya seseorang dengan orang-orang lain, sehingga tidaklah mungkin baginya untuk berbagi perasaan dan pengalamannya dengan orang lain. Berakhirnya suatu hubungan dekat seperti kematian, perceraian, perpisahan, serta putus cinta membawa seseorang ke arah kesepian. b) Pengalaman traumatis hilangnya orang-orang terdekat Hilangnya seseorang yang sangat dekat dengan individu secara tiba-tiba tanpa bisa dihindari seringkali dianggap sebagai penyebab kesepian. Akan tetapi, derajat kesepian akan menjadi rendah bila individu sering mengalami kehilangan orang terdekat sehingga dia dapat mentolerir perasaan kesepian itu.

11 digilib.uns.ac.id 22 c) Kurangnya dukungan dari orang lain Kesepian dialami oleh mereka yang merasa tidak sesuai dengan lingkungannya. Mereka yang mengalami kesepian manganggap diri mereka sebagai orang yang diremehkan dan ditolak lingkungannya. d) Adanya masalah krisis dalam diri seseorang dan kegagalan Bila seseorang marasa harga dirinya terganggu, akan menghilangkan semangat untuk bersosialisasi dengan orang lain dan akan merasa kosong, sehingga menghindar untuk mengadakan hubungan dengan lingkungannya. e) Kurangnya rasa percaya diri Meskipun individu dapat melakukan hubungan sosial dengan baik, namun ketika ia merasa bahwa lingkungan disekitarnya kurang melibatkannya, ia hanya dapat berhubungan sosial secara formalitas saja, sehingga menyebabkan individu merasa kesepian. f) Kepribadian yang tidak sesuai dengan lingkungan Orang-orang yang menjengkelkan, seperti pemarah, terlalu patuh, dan tidak mempunyai kemampuan bersosialisasi akan dihindari dari lingkungannya, sehingga mereka merasa kesepian.

12 digilib.uns.ac.id 23 g) Ketakutan untuk menanggung risiko sosial Individu yang takut menanggung risiko seperti takut ditolak oleh orang lain atau risiko lainnya yang terjadi akibat adanya hubungan sosial, juga akan mengalami kesepian. Individu yang terlalu takut dekat dengan orang lain akan melihat kedekatan sosial sebagai sesuatu yang berbahaya dan penuh risiko, sehingga akan mengarah pada rasa kesepian. 2) Faktor Sosiologis a) Takut dikenal orang lain Individu merasa takut dikenal oleh orang lain, sehingga hal tersebut menghilangkan kesempatannya untuk berhubungan dekat dengan orang lain. b) Nilai-nilai yang berlaku pada lingkungan sosial Nilai-nilai yang dianut masyarakat seperti privacy, kesuksesan dapat menyebabkan seseorang merasa kesepian karena ia merasa terikat oleh nilai-nilai tersebut. c) Kehidupan di rumah Rutinitas di rumah seperti adanya keributan di rumah dan kebiasan lainnya juga akan menyebabkan seseorang merasa kesepian karena kejenuhan. d) Perubahan pola-pola dalam keluarga Kehadiran orang lain dalam keluarga akan menyebabkan terganggunya hubungan dengan anggota keluarga lain.

13 digilib.uns.ac.id 24 e) Pindah tempat Seringnya pindah dari satu tempat ke tempat yang lain menyebabkan seseorang tidak dapat menjalin hubungan yang akrab dengan orang lain. f) Terlalu besarnya suatu organisasi Terlalu banyak orang di sekeliling individu akan menambah perasaan terisolasi. Hal ini membuat individu sulit untuk mengenal satu sama lain. g) Desain arsitektur bangunan Bentuk bangunan yang canggih juga berpengaruh terhadap interaksi sosial. Bangunan-bangunan dapat menyebabkan masyarakat menjadi individualistis di mana interaksi sosial menjadi terbatas. 5. Dampak Kesepian Kesepian dapat menimbulkan berbagai dampak bagi orang yang mengalaminya, di antaranya sebagai berikut: a. Kesepian disertai dengan efek negatif, termasuk perasaan depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, pesismisme, menyalahkan diri sendiri, dan rasa malu. Seorang remaja yang kesepian dapat merasakan kesia-siaan dan rasa putus asa yang dapat mengakibatkan bunuh diri (dalam Baron dan Byrne, 2005)

14 digilib.uns.ac.id 25 b. Salah satu temuan umum para ilmuwan sosial adalah bahwa orang kesepian cenderung tertekan (Levin dan Stokes, 1986; dalam Lauer dan Lauer, 2000). c. Kesepian jangka panjang memiliki konsekuensi negatif yang serius bagi orang-orang yang mengalaminya. Orang yang kesepian melaporkan lebih banyak mengalami masalah kesehatan (dalam Lauer dan Lauer, 2000). d. Kesepian jangka panjang dapat mengakibatkan seseorang memandang dirinya sebagai orang yang mengalami kegagalan sosial, kemudian menyebabkan kemerosotan harga diri (Sears dkk., 2009) Rubenstein dan Shaver (dalam Lauer dan Lauer, 2000) mendaftar beberapa gejala dan masalah yang terkait dengan kesepian, yaitu: a. Merasa tidak berharga, b. Merasa tidak dapat pergi begitu saja, c. Selalu merasa cemas dan khawatir, d. Mengalami ketakutan yang tidak rasional, e. Merasa mudah marah dan mudah tersinggung, f. Merasa bersalah, g. Mudah lelah, h. Insomnia, i. Memiliki penyakit jantung, j. Sulit bernapas, k. Tidak nafsu makan, l. Sakit kepala, m. Masalah pencernaan,

15 digilib.uns.ac.id 26 n. Kehilangan minat pada hubungan seks, o. Kegemukan atau merasa gemuk, p. Menderita penyakit serius. B. Kohesivitas Keluarga 1. Pengertian Kohesivitas Keluarga Kohesi didefinisikan sebagai ikatan emosional yang anggota miliki satu sama lain (Olson, Portner, dan Lavee, dalam Smith, 1996). Dikatakan oleh Cartwright dan Zander (1968) kohesivitas dalam suatu kelompok ditandai oleh : (a) adanya pemeliharaan terhadap keanggotaan kelompok; (b) adanya kekuatan kelompok untuk mempengaruhi anggota; (c) tingginya partisipasi dan loyalitas anggota terhadap kegiatan kelompok; (d) adanya rasa aman pada diri anggota; (e) adanya evaluasi diri yang positif dari masing-masing anggota terhadap keanggotaannya dalam kelompok. Kehidupan keluarga merupakan suatu perpaduan terjadinya interaksi dan interkomunikasi antara dua orang atau lebih yang berperan sebagai suamiistri dan kemudian sebagai ayah, ibu, kakak, dan adik. Peranan ditentukan oleh masyarakat tempat mereka berada, tetapi dalam perkawinan peranan tersebut mengalami penguatan oleh ikatan emosional, tradisi yang berlaku, dan pengalaman hidup keluarga. Interaksi antaranggota keluarga ada untuk memenuhi kebutuhan sosial dan kebutuhan emosional (Miller dan Tucker, 1993). Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang diikat oleh kekerabatan, tempat tinggal, atau ikatan emosional yang dekat, dan mereka menunjukkan

16 digilib.uns.ac.id 27 empat gambaran sistemik; ketergantungan antar anggotanya, pemeliharaan lingkungan selektif sekitarnya, kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan memelihara identitas mereka sepanjang waktu, keragaan tugas-tugas keluarga (Mattessich dan Hill, dalam Zeitlin dkk., 1995). Kohesivitas keluarga didefinisikan secara luas sebagai tingkat kebersamaan dan ikatan emosional yang anggota keluarga memiliki terhadap satu sama lain (Vandeleur dkk., 2009). Hal ini mengacu pada hubungan antar generasi antara anggota keluarga apakah ada dukungan emosional yang hangat dan dekat di antara anggota keluarga. Kohesivitas keluarga merupakan ikatan emosional di antara anggota keluarga dan perasaan kedekatan yang dinyatakan oleh perasaan memiliki dan penerimaan dalam sistem keluarga (McKeown dkk., dalam Johnson, dkk., 2001). Kohesivitas keluarga merupakan kedekatan antaranggota keluarga yang didasarkan pada jumlah waktu untuk berkumpul bersama, kualitas komunikasi, dan sejauh mana remaja dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga (Lian dan Yusoof, 2009). Kohesivitas keluarga diasosiasikan sebagai hubungan yang menyenangkan dan memuaskan di dalam keluarga yang menumbuhkan kemampuan untuk mengalami empati, rasa percaya diri yang tinggi, dan kepercayaan interpersonal (Baron dan Byrne, 2005). Schwartz (2007) mengatakan bahwa kohesivitas dalam keluarga memberikan pengaruh pada proses penyesuaian sosial dan pencarian identitas diri seorang anak, sehingga kohesivitas dalam keluarga memiliki tempat penting dalam pembentukan ketrampilan interpersonal pada anak.

17 digilib.uns.ac.id 28 Green dan Werner (dalam Choi, 2012) mengemukakan bahwa keluarga dengan kohesi tinggi harus mencakup pengasuhan, kehangatan, waktu yang dihabiskan bersama-sama, konsistensi dan keintiman fisik. Hal ini menunjukkan bahwa jika sebuah keluarga memiliki kohesi tinggi, ada kontak dengan frekuensi tinggi antaranggota keluarga, dan dukungan afektif dalam keluarga untuk menciptakan lingkungan yang penuh kasih untuk waktu yang lama. Kohesivitas keluarga pada diri suami-istri ditandai dengan adanya usaha dari suami-istri untuk mempertahankan perkawinannya, adanya loyalitas dan paritisipasi suami-istri dan anak-anak dalam menjalani aktifitas kerumahtanggaan, memberikan rasa aman pada anggota keluarga serta timbulnya evaluasi positif anggota keluarga terhadap kekeluargaan mereka. Berdasarkan beberapa definisi di atas, kohesivitas keluarga merupakan ikatan antaranggota keluarga dengan adanya interaksi sosial dan interaksi emosional antaranggota keluarga dalam sistem keluarga yang memunculkan penerimaan dan dukungan, perasaan kedekatan, perasaan saling memiliki, serta pembentukan keterampilan interpersonal. 2. Aspek-aspek Kohesivitas Keluarga Miller dan Tucker (1993) menyatakan bahwa aspek kohesivitas keluarga meliputi: a. Sosial Substansi interaksi sosial dapat dilihat dari sifat interaksi sosial antaranggota keluarga yang diukur dengan interaksi antaranggota keluarga

18 digilib.uns.ac.id 29 dalam sistem keluarga, seperti seberapa sering antaranggota keluarga menghabiskan waktu bersama dengan berkumpul bersama, berbincangbincang bersama, melakukan kegiatan bersama, sehingga antar anggota keluarga dapat merasa perasaan kebersamaan dan perasaan saling memiliki. Interaksi sosial dalam sistem keluarga juga dapat dilihat dari kerjasama antaranggota keluarga dalam sistem keluarga untuk dapat merasakan dukungan dan perhatian antara satu dengan anggota keluarga yang lain. b. Emosional Substansi emosional dapat dilihat dari interaksi emosi dan ikatan emosi antaranggota keluarga yang diukur dengan sejauh mana anggota keluarga memiliki rasa saling dekat dan akrab, saling memberi dukungan, serta saling memberi perhatian dan kasih sayang. Interaksi dan ikatan emosi keluarga ini dapat dilihat dari kerukunan antaranggota keluarga dan pola interaksi satu sama lain yang menghasilkan kedekatan emosional. Sprenkle dan Russell (1979, dalam Miller dan Tucker, 1993) mengidentifikasi dua komponen kohesi keluarga, yaitu: a. Ikatan emosional antaranggota keluarga yang dimiliki satu dan yang lain. b. Tingkat otonomi individu yang dialami seseorang dalam sistem keluarga. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek kohesivitas keluarga dari Miller dan Tucker (1993), yaitu aspek sosial dan emosional untuk mengukur variabel kohesivitas keluarga. Hal tersebut dikarenakan oleh kedua aspek menurut Miller dan Tucker (1993) lebih sesuai untuk mengukur variabel kohesivitas keluarga dalam penelitian ini.

19 digilib.uns.ac.id Karakteristik Keluarga yang Kohesif Keluarga yang kohesif merupakan keluarga yang fungsional, yaitu keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsinya dalam sistem keluarga (dalam Yusuf, 2004). Keluarga yang fungsional ditandai oleh karakteristik sebagai berikut: a. Saling memperhatikan dan mencintai, b. Bersikap terbuka dan jujur, c. Orangtua mau mendengarkan anak, menerima perasaannya, dan menghargai pendapatnya, d. Ada sharing masalah atau pendapat diantara anggota keluarga, e. Mampu berjuang mengatasi masalah hidupnya, f. Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi, g. Orangtua melindungi anak. Menurut Otero (1992), fungsi dasar keluarga paling tidak mencakup: a. Penguatan ikatan ekonomi, sosial, dan emosional diantara anggota keluarga, b. Hubungan seksual dan procreasi diantara pasangan suami-istri, c. Pemberian nama dan status, khususnya kepada anak, d. Perawatan dan perhatian kepada anak, e. Sosialisasi dan pendidikan anak, f. Perlindungan anggota keluarga, g. Rekreasi dan perhatian emosional anggota keluarga, dan h. Pertukaran barang dan jasa.

20 digilib.uns.ac.id Faktor yang Mempengaruhi Kohesivitas Keluarga Wicaksono dan Prabowo (dalam Anindita dan Bashori, 2012) menyatakan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan munculnya kohesivitas keluarga, yaitu: a. Kedekatan personal Pengenalan mendalam antar anggota keluarga. Dalam hal ini, pola relasi antaranggota keluarga harus progresif dan tidak monoton. Keluarga berperan sebagai lingkungan sosial dalam menjalin hubungan dan mengembangkan keterampilan sosial (Faturochman, 2001). b. Intensitas kebersamaan Seringnya anggota keluarga melakukan kegiatan bersama dapat meningkatkan kohesivitas keluarga. Hal ini seperti yang diungkap juga oleh Lian dan Yusooff (2009) yang menyatakan bahwa kohesivitas keluarga merupakan kedekatan antaranggota keluarga yang didasarkan pada jumlah waktu untuk berkumpul bersama. Stinnet dan DeFrain (Hawari, 2004) mengemukakan faktor mengenai keharmonisan keluarga, yaitu: a. Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga Kerukunan akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi anak, komunikasi yang baik dalam keluarga dapat membantu remaja untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya di luar rumah, dalam hal ini selain berperan sebagai orangtua, ibu dan ayah juga harus berperan sebagai

21 digilib.uns.ac.id 32 teman, agar anak lebih leluasa dan terbuka dalam menyampaikan semua permasalahannya. b. Saling menghargai antar sesama anggota keluarga Keluarga memberikan tempat bagi setiap anggota keluarga untuk menghargai perubahan yang terjadi dan mengajarkan ketrampilan berinteraksi sedini mungkin pada anak dengan lingkungan yang lebih luas. c. Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga Hubungan yang erat antar anggota keluarga juga menentukan harmonisnya sebuah keluarga, apabila dalam suatu keluarga tidak memiliki hubungan yang erat maka antar anggota keluarga tidak ada lagi rasa saling memiliki dan rasa kebersamaan akan kurang. Hubungan yang erat antar anggota keluarga ini dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling menghargai. Katwal dan Kamalanabhan (dalam Harisuci, 2014) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kohesivitas dalam keluarga adalah jenis kelamin, perbedaan usia, ukuran kelompok saudara, struktur keluarga, kehadiran kedua orang tua, dan apa yang dirasakan orang tua pada keluarga yang bisa kompak. 5. Fungsi Kohesivitas Keluarga Hubungan hangat dan suportif antara orang tua dan remaja yang memberikan peluang bagi remaja untuk mengeksplorasi gagasan dan peran sosial dapat menumbuhkan otonomi dan memprediksi kepercayaan diri yang tinggi, kompetensi akademik, penghargaan diri yang baik, dan kemudahan

22 digilib.uns.ac.id 33 melalui masa transisi menuju bangku kuliah (dalam Berk, 2012). Konsistensi pengawasan orang tua terhadap keseharian remaja, melalui hubungan kooperatif yang mendorong remaja mau berbagi informasi secara sukarela terkait dengan beragam hasil positif, diantaranya pencegahan kenakalan remaja, membaiknya prestasi sekolah, dan kesehatan psikologis (Crouter dan Head, dalam Berk 2012). Sepanjang masa remaja, kualitas hubungan orang tua dengan anak menjadi penaksir tunggal paling konsisten tentang kesehatan mental. Dalam keluarga yang berfungsi dengan baik, remaja tetap terikat pada orang tua dan meminta nasihat mereka, tetapi mereka melakukan itu dalam konteks kebebasan yang lebih besar (Collins dan Steinberg, dalam Berk, 2012). 6. Dampak Kohesivitas Keluarga Tingkat kohesivitas keluarga yang sangat tinggi dan tingkat yang sangat rendah cenderung menjadi masalah bagi individu dan pengembangan hubungan dalam jangka panjang. a. Depresi dan mengurangi penerimaan sosial Persepsi remaja terhadap kohesi rendah dalam keluarga mereka terkait dengan perasaan yang meningkatkan depresi dan mengurangi penerimaan sosial. Pemeriksaan konflik interparental dan penurunan kohesi keluarga telah menunjukkan hubungan dengan perasaan remaja depresi dan gejala internalisasi lainnya. Menurut Leadbeater dkk., gejala internalisasi yang dihasilkan dari gangguan hubungan interpersonal meningkatkan

23 digilib.uns.ac.id 34 kerentanan remaja terhadap "peristiwa interpersonal negatif" lainnya (dalam Johnson dkk., 2001). b. Kesepian Kohesi keluarga rendah, diungkapkan oleh perasaan tidak memiliki, dikaitkan dengan perasaan dan perilaku anak-anak dan remaja yang mencerminkan lingkungan keluarga mereka, yaitu kesepian (dalam Johnson dkk., 2001). C. Harga Diri 1. Pengertian Harga Diri Frey dan Carlock (1980) mendefinisikan harga diri sebagai istilah evaluatif yang mengacu pada penilaian negatif, positif, netral. Evaluasi ini akan memperlihatkan bagaimana penilaian individu tentang penghargaan terhadap dirinya, percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan atau tidak, adanya pengakuan dan penerimaan atau tidak. Harga diri memiliki dua komponen yang saling berhubungan, yaitu kemampuan dalam menjalani kehidupan yang mencakup rasa percaya diri, dan perasaan bahwa diri berguna dalam kehidupan yang ditunjukkan dengan penghargaan terhadap diri sendiri. Coopersmith (1967) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya, yang diekspresikan suatu bentuk sikap setuju atau tidak setuju dan menunjukk an tingkat di mana individu meyakini dirinya sendiri sebagai individu yang mampu, penting, dan berharga. Harga diri merupakan pengalaman subjektif

24 digilib.uns.ac.id 35 yang diungkapkan individu kepada orang lain melalui komunikasi verbal dan perilaku-perilaku yang nyata. Bentuk sikap yang mencerminkan hal ini di antaranya sikap menerima atau menolak dan keyakinan terhadap kemampuan, keberartian, keberhasilan, dan kelayakan. Harga diri merupakan kebutuhan dasar individu yang berperan dalam segala proses kehidupan, perkembangan individu yang positif, dan usaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dianut individu. Branden (1992) mengemukakan definisi harga diri sebagai kepercayaan diri terhadap kemampuan yang dimiliki untuk dapat berpikir dan menghadapi tantangan hidup. Harga diri juga memberikan keyakinan terhadap diri sendiri bahwa individu berhak untuk bahagia, merasa sukses, merasa berharga, memenuhi kebutuhan dan keinginan, mencapai standar nilai tertentu, dan menikmati hasil dari kerja keras yang telah dilakukan. Menurut Guindon (2010), harga diri adalah sikap, komponen evaluasi diri; penilaian afektif yang ditempatkan pada konsep diri terdiri dari rasa berharga dan penerimaan yang dikembangkan dan dipertahankan sebagai konsekuensi dari kesadaran kompetensi dan umpan balik dari dunia luar. Harga diri didefinisikan sebagai pengalaman individu atau perasaan terhadap fitur tertentu dari diri (misalnya, akademik, sosial atau seksual diri), yang paling relevan dengan perilaku individu (Rosenberg dkk., dalam Vasconcelos-Raposo, dkk., 2011). Berdasarkan beberapa definisi tersebut, harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan memandang dirinya terutama tentang

25 digilib.uns.ac.id 36 kepercayaan diri akan kompetensi diri dan keinginan dirinya yang diasosiasikan pada sikap menerima atau menolak, indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan dirinya. 2. Aspek-aspek Harga Diri Menurut Rosenberg (1965), aspek harga diri adalah penghormatan diri. Merasa diri sebagai orang yang berharga merupakan penghormatan terhadap diri sendiri. Juga memberikan nilai atau manfaat terhadap diri sendiri merupakan cara menghormati diri sendiri. Menganggap dirinya seorang yang layak. menghargai jasa-jasa sendiri, ia tetap mengakui kesalahannya. istilah rendah diri berarti bahwa individu tidak memiliki rasa hormat untuk dirinya sendiri, menganggap dirinya tidak layak, tidak memadai, atau serius kekurangan sebagai pribadi (Bernadette dkk., 1997). Tafarodi dan Swann (dalam Richardson, Ratner, dan Zumbo, 2009) mengusulkan agar harga diri global yang terdiri dari dua konsep yang saling bergantung namun berbeda, yaitu: a. Self-competency Self-competency merupakan penilaian terhadap diri sendiri sebagai agen penyebab, disengaja sebagai usaha untuk mencapai hasil yang dinginkan. Self-competency mengarah pada orientasi positif atau negatif individu terhadap dirinya secara keseluruhan yang menjadi sumber efikasi dan kekuasaan. Apabila individu menilai usahanya sesuai dengan tuntutan dan harapan, berarti invidu memiliki kompetensi yang dapat membantu

26 digilib.uns.ac.id 37 membentuk harga diri yang tinggi. Sebaliknya, apabila individu sering mengalami kegagalan dalam meraih prestasi atau gagal memenuhi harapan dan tuntutan, individu tersebut merasa tidak kompeten, sehingga individu cenderung mengembangkan harga diri yang rendah. b. Self-liking Self-liking didefinisikan sebagai penilaian terhadap diri sendiri sebagai objek sosial, yaitu penilaian yang baik atau buruk sesuai dengan kriteria yang telah diinternalisasi ke dalam dirinya. Self liking merupakan nilai sosial yang dianggap berasal dari dalam diri. Apabila individu memiliki sikap positif terhadap diri dan merasa puas terhadap dirinya, maka individu cenderung mengembangkan harga diri yang tinggi. Penelitian ini menggunakan aspek-aspek harga diri dari Tafarodi dan Swann (dalam Richardson, Ratner, dan Zumbo, 2009), yaitu self-competency dan self-liking untuk mengukur variabel harga diri. Hal tersebut dikarenakan oleh kedua aspek menurut Tafarodi dan Swann (dalam Richardson, Ratner, dan Zumbo, 2009) lebih sesuai untuk mengukur variabel harga diri dalam penelitian ini. 3. Komponen Harga Diri Menurut Coopersmith (1967), ada empat komponen yang menjadi sumber dalam pembentukan harga diri individu, yaitu: a. Success Beberapa individu memaknakan keberhasilan dalam bentuk kepuasan spiritual, dan individu lain menyimpulkan dalam bentuk

27 digilib.uns.ac.id 38 popularitas. Pemaknaan yang berbeda-beda terhadap keberhasilan ini disebabkan oleh faktor individu dalam memandang kesuksesan dirinya, dan kondisi-kondisi budaya yang memberikan nilai pada bentuk-bentuk tertentu dari kesuksesan. Dalam satu seting sosial tertentu, mungkin lebih memaknakan keberhasilan dalam bentuk kekayaaan, kekuasaan, penghormatan, independen, dan kemandirian. Pada konteks sosial yang lain, lebih dikembangkan makna ketidakberhasilan dalam bentuk kemiskinan, ketidakberdayaan, penolakan, keterikatan pada suatu bentuk ikatan sosial dan ketergantungan. b. Nilai-nilai (value) Setiap individu berbeda dalam memberikan pemaknaan terhadap keberhasilan yang ingin dicapai dalam beberapa area pengalaman, dan perbedaan-perbedaan ini merupakan fungsi dari nilai-nilai yang diinternalisasikan dari orang tua dan figur-figur signifikan lainnya dalam hidup. Faktor-faktor seperti penerimaan (acceptance) dan respek dari orang tua merupakan hal-hal yang dapat memperkuat penerimaan nilai-nilai dari orang tua tersebut. Hal ini juga mengungkapkan bahwa kondisi-kondisi yang mempengaruhi pembentukan harga diri akan berpengaruh pula dalam pembentukan nilai-nilai yang realistis dan stabil. Individu memberikan pembobotan yang lebih besar pada area-area di mana mereka berhasil dengan baik, dari pembobotan tersebut menimbulkan konsekuensi meningkatkan dan membentuk harga diri yang

28 digilib.uns.ac.id 39 tinggi di bawah kondisi yang bebas memilih dan menekankan pada sesuatu yang lebih penting bagi dirinya. c. Aspirasi-aspirasi Menurut Coopersmith (1967), penilaian diri (self judgement) meliputi perbandingan antara performance dan kapasitas aktual dengan aspirasi dan standar personalnya. Jika standar tersebut tercapai, khususnya dalam area tingkah laku yang bernilai, maka individu akan menyimpulkan bahwa dirinya adalah orang yang berharga. Individu dengan harga diri tinggi menentukan tujuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan harga diri yang lebih rendah. Harga diri tinggi berharap lebih pada dirinya sendiri, serta memelihara perasaan keberhargaan diri dengan merealisasikan harapannya daripada sekedar mencapai standar yang ditentukannya. d. Defenses Menurut Coopersmith (1967), beberapa pengalaman dapat merupakan sumber evaluasi diri yang positif, namun ada pula yang menghasilkan penilaian diri yang negatif. Defences merupakan cara untuk mengatasi ancaman dan ketidakjelasan cara individu dalam mempertahankan dirinya mengatasi kecemasan atau lebih spesifik, mempertahankan harga dirinya dari devaluasi atau penurunan harga diri yang membuatnya merasa incompetent, tidak berdaya, tidak signifikan, dan tidak berharga. Individu memiliki defence untuk mampu mengeliminasi stimulus yang mencemaskan, mampu menjaga ketenangan diri, dan tingkah

29 digilib.uns.ac.id 40 lakunya efektif. Individu dengan harga diri tinggi memiliki suatu bentuk mekanisme pertahanan diri tertentu yang memberikan individu tersebut kepercayaan diri pada penilaian dan kemampuan dirinya, serta meningkatkan perasaan mampu untuk menghadapi situasi yang menyulitkan. 4. Fungsi Harga Diri Sedikedes (dalam Baron dan Byrne, 2004) mengemukakan tiga tujuan seseorang memberikan penilaian terhadap diri sendiri. Tiap individu memiliki tujuan yang paling menonjol, tergantung dari lingkungan, kepribadian, dan budaya individu. Tujuan pertama adalah self assesment, yaitu untuk memperoleh pengetahuan yang akurat tentang diri sendiri. Tujuan ini banyak diterapkan oleh masyarakat pada budaya kolektivis. Tujuan berikutnya adalah sebagai self enhancement, yaitu untuk mendapatkan informasi positif tentang diri sendiri. Tujuan ini banyak diterapkan oleh masyarakat pada budaya Barat yang sebagian besar menganut budaya individualis. Tujuan terakhir, self verification, yaitu untuk mengkonfirmasi informasi yang sudah diketahui tentang diri sendiri. Individu yang menonjol pada self verification memandang dirinya dalam perspektif negatif yang enggan untuk berubah. 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Diri Menurut Coopersmith (1967) harga diri dalam perkembangannya terbentuk dari hasil interaksi individu dengan lingkungan dan atas sejumlah

30 digilib.uns.ac.id 41 penghargaan, penerimaan, dan pengertian orang lain terhadap dirinya. Berdasarkan teori-teori dan penelitian sebelumya mengarahkan Coopersmith (1967) untuk menyimpulkan 4 faktor utama yang memberi kontribusi pada perkembangan harga diri, yaitu: a. Respectful, penerimaan, dan perlakuan yang diterima individu dari significant others Significant others adalah orang yang penting dan berarti bagi individu, dimana ia menyadari peran mereka dalam memberi dan menghilangkan ketidaknyamanan, meningkatkan dan mengurangi ketidakberdayaan, serta meningkatkan dan mengurangi keberhargaan diri. Harga diri merupakan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam interaksi tersebut akan terbentuk suatu penilaian atas diri berdasarkan reaksi yang diterima dari orang lain. Orang tua merupakan significant others yang utama dalam perkembangan harga diri anak. Tetapi harga diri anak masih dapat berubah karena lingkungan sosial. Seseorang yang merasa dirinya dihormati, diterima, dan diperlakukan dengan baik akan cenderung membentuk harga diri yang tinggi. Sebaliknya, seseorang yang diremehkan, ditolak, dan diperlakukan buruk akan cenderung membentuk harga diri yang rendah. b. Sejarah keberhasilan, status dan posisi yang pernah dicapai individu Keberhasilan, status, dan posisi yang pernah dicapai individu akan membentuk suatu penilaian terhadap dirinya, berdasarkan dari penghargaan

31 digilib.uns.ac.id 42 yang diterima dari orang lain. Status merupakan suatu perwujudan dari keberhasilan yang diindikasikan dengan pengakuan dan penerimaan dirinya oleh masyarakat. c. Nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi Pengamalan-pengalaman individu akan diinterpretasi dan dimodifikasi sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi yang dimilikinya. Individu akan memberikan penilaian yang berbeda terhadap berbagai bidang kemampuan dan prestasinya. Perbedaan ini merupakan fungsi dari nilai-nilai yang mereka internalisasikan dari orang tua dan individu lain yang signifikan dalam hidupnya. Individu pada semua tingkat harga diri mungkin memberikan standar nilai yang sama untuk menilai keberhargaannya, namun akan berbeda dalam hal bagaimana mereka menilai pencapaian tujuan yang telah diraihnya. d. Cara individu berespons Individu dapat mengurangi, mengubah, atau menekan dengan kuat perlakuan yang merendahkan diri dari orang lain atau lingkungan, salah satunya adalah ketika individu mengalami kegagalan. Pemaknaan individu terhadap kegagalan tergantung pada caranya mengatasi situasi tersebut, tujuan, dan aspirasinya. Cara individu mengatasi kegagalan akan mencerminkan bagaimana ia mempertahankan harga dirinya dari perasaan tidak mampu, tidak berkuasa, tidak berarti, dan tidak bermoral.

32 digilib.uns.ac.id 43 D. Remaja Akhir 1. Pengertian Remaja Akhir Istilah remaja (dalam Desmita, 2010), dikenal dengan adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa Latin adolescere (kata bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak kanak menuju masa dewasa yakni antara usia 12 sampai 21 tahun. Santrock (2012) menyatakan bahwa masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Istilah remaja (dalam Desmita, 2010), telah digunakan secara luas untuk menunjukkan suatu tahap perkembangan yang ditandai oleh perubahanperubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial. Desmita membedakan rentang waktu usia remaja sebagai berikut, masa remaja awal dengan rentang usia tahun, masa remaja pertengahan dengan rentang usia tahun, dan masa remaja akhir dengan rentang usia tahun. Phinney (dalam Santrock, 2012) menjelaskan bahwa remaja berada pada masa mulai meninggalkan bangku sekolah dan beranjak pada jenjang yang lebih tinggi, yaitu masa kuliah yang dapat menghasilkan kompleksitas keterampilan penalaran dengan berbagai pengalaman baru yang menyoroti perbedaan antara rumah dan kampus, serta antara diri mereka sendiri dan orang lain. Desmita (2010) mengatakan bahwa salah satu perkembangan kognitif yang terjadi pada masa remaja adalah orientasi masa depan, yaitu mengarah pada

33 digilib.uns.ac.id 44 persiapan memenuhi tuntutan dan harapan peran sebagai orang dewasa seperti memberi perhatian pada dunia kerja dan mulai merancang untuk hidup berumah tangga. Berdasarkan pengertian masa remaja yang diuraikan oleh beberapa tokoh, penelitian ini menggunakan pengertian menurut Santrock (2012) dan Desmita (2010) bahwa remaja akhir merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa dengan ditandai adanya transisi yang terjadi pada rentang usia 18 tahun hingga 21 tahun. 2. Karakteristik Remaja Akhir Remaja akhir berada dalam rentang masa remaja. Santrock (2012) menjelaskan karakteristik remaja sebagai berikut: a. Terjadinya perubahan fisik Masa remaja adalah sebuah periode dimana kematangan fisik berlangsung cepat yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh. Perubahan yang paling jelas terlihat adalah tanda-tanda kematangan seksual serta pertambahan tinggi dan berat tubuh. b. Seksualitas remaja Remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa fantasi dan realitas seksual, masa mengintegrasikan seksual ke dalam identitas seseorang. Menguasai perasaan seksual dan membentuk rasa identitas seksualmencakup kemampuan belajar untuk mengelola perasaan seksual (seperti ketertarikan dan hasrat seksual), mengembangkan bentuk

34 digilib.uns.ac.id 45 intimasi yang baru, serta mempelajari keterampilan untuk mengelola tingkah laku seksual. c. Adanya perubahan kognisi Masa remaja, menurut Piaget, berada pada tahap perkembangan kognitif operasional formal, pemikiran individu menjadi lebih logis, abstrak, dan idealis. Remaja jadi lebih mampu bernalar secara hipotesisdeduktif mengenai cara-cara memecahkan masalah-masalah. Perubahan masa remaja dalam pemrosesan informasi mencakup berkembangnya kemampuan dalam mengambil keputusan dan berpikir kritis. d. Terdapat perkembangan sosioemosi Terdapat beberapa perubahan yang menandai perubahan sosioemosi remaja. Perubahan ini mencakup meningkatnya usaha untuk memahami diri sendiri serta pencarian identitas. Perubahan yang ada juga berlangsung di dalam konteks kehidupan remaja, disertai dengan transformasi yang berlangsungdi dalam relasi dengan keluarga dan kawan sebaya di dalam konteks budaya. e. Masa remaja sebagai periode perubahan penghargaan diri Berdasarkan hasil sebuah studi oleh Robins dkk. (dalam Santrock, 2012) diketahui bahwa individu memiliki penghargaan diri yang tinggi di masa kanak-kanak, cenderung menurun secara derastis selama masa remaja. Penghargaan diri mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan realitasnya. Penghargaan diri yang tinggi dapat mengacu pada persepsi yang akurat mengenai nilai seseorang sebagai manusia serta keberhasilan dan

35 digilib.uns.ac.id 46 pencapaian seseorang, namun juga dapat mengindikasikan kesombongan, berlebihan, dan merasa lebih superior dari yang lain. f. Adanya perubahan sosial Remaja akhir mulai meninggalkan bangku sekolah dan beranjak pada jenjang yang lebih tinggi, yaitu masa kuliah yang dapat menghasilkan kompleksitas keterampilan penalaran dengan berbagai pengalaman baru yang menyoroti perbedaan antara rumah dan kampus, serta antara diri mereka sendiri dan orang lain (Phinney, dalam Santrock, 2012). 3. Tugas Perkembangan Remaja Akhir Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008), harapan masyarakat terhadap remaja dapat dipengaruhi melalui suatu proses berkesinambungan dalam menjalankan tugas tugas perkembangan bagi remaja, yaitu: a. Menerima keadaan fisiknya Remaja mengalami berbagai macam perubahan fisik yang berhubungan dengan pertumbuhannya dan kematangan seksualnya. Pada masa remaja akhir, struktur dan penampilan fisik sudah menetap dan harus diterima sebagaimana mestinya. b. Memperoleh kebebasan Emosional Agar menjadi orang dewasa yang dapat mengambil keputusan yang bijaksana, remaja harus memperoleh latihan dalam mengambil keputusan yang bertahap. Seorang remaja akhir sedang pada masa proses melepaskn diri dari orang yang dekat dalam hidupnya (orang tua). Ia mampu

36 digilib.uns.ac.id 47 mengungkapkan pendapat dan perasaannya dengan sikap yang sesuai dengan lingkungan dan kebebasan emosionalnya. c. Mampu bergaul Dalam mempersiapkan diri untuk masa dewasa, remaja harus belajar dan meningkatkan keterampilan membangun hubungan dengan teman sebaya dan tidak sebaya, sejenis maupun tidak sejenis. Dengan orang yang lebih tua, remaja akhir mampu menyesuaikan dan memperlihatkan kemampuan bersosialisasi dalam tingkat kematangan sesuai dengan norma sosial yang ada. d. Menemukan model untuk Identifikasi Dalam proses ke arah pematangan pribadi, tokoh identifikasi menjadi faktor penting untuk memberikan pengarahan bagaimana bertingkah laku dan bersikap sebaik-baiknya. e. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri Pengertian dan penilaian objektif mengenai diri sendiri sudah mulai terpupuk, sehingga kekurangan dan kegagalan yang bersumber dari kemampuan tidak lagi mengganggu fungsi kepribadian maupun menghambat prestasi yang ingin dicapai. f. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma Pada masa ini, remaja memperlihatkan suatu sikap ke arah penyesuaian terhadap patokan di luar dirinya, baik yang berhubungan dengan nilai sosial maupun nilai moral.

37 digilib.uns.ac.id Kesepian pada Remaja Akhir Sullivan (dalam Santrock, 2003) mengatakan remaja memiliki sejumlah kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sosioemosi. Remaja akhir memiliki kebutuhan yang kuat akan rasa cinta, kasih sayang, pengakuan dan penerimaan dari lingkungan sosial yang menumbuhkan kemampuan pada diri remaja akhir untuk membangun dan mempertahankan hubungan dengan orang sekitarnya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan sosioemosinya. Kebutuhan membentuk dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain membuat remaja akhir membangun keterampilan sosial guna berinteraksi, serta memenuhi perasaan menyenangkan dan aman dalam dirinya. Hal ini membuat remaja menumbuhkan harapan terhadap hubungan memuaskan yang akan dibangunnya. Sayangnya, jika harapan akan sebuah hubungan ini tidak memuaskan, timbul reaksi emosi dan kognisi dalam diri remaja, yaitu kesepian. Remaja akhir juga memiliki kebutuhan untuk membangun hubungan baik dengan orang-orang baru di lingkungan sosialnya. Keterampilan sosial yang kurang untuk membangun hubungan baik dengan orang-orang baru demi melewati transisi sosial dalam kehidupan remaja akhir dapat memicu munculnya kesepia. Salah satu transisi kehidupan adalah tahun pertama kuliah, yaitu ketika siswa meninggalkan sekolah dan memasuki perguruan tinggi. Meninggalkan sekolah serta dunia kampung halaman dan keluarga untuk masuk perguruan tinggi bisa memunculkan rasa kesepian pada diri remaja (Santrock, 2002). Juga ketika remaja akhir

38 digilib.uns.ac.id 49 tidak memiliki hubungan dekat dengan orang tua dan saudara dapat memunculkan kesepian. Hal ini sesuai dengan penjelasan Ponzeti dan James (dalam Baron dan Byrne, 2005) yang menyatakan bahwa kesepian pada masa remaja akhir ditemukan lebih besar pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan dekat dengan seorang kakak atau adik, terutama jika ada konflik antara kakak beradik. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kesepian yang terjadi pada remaja akhir adalah perasaan tidak menyenangkan yang dialami sebagai suatu keadaan reaksi emosi dan kognisi dari tidak terpenuhinya kebutuhan sosioemosi yang besar, juga kurangnya keterampilan sosial dalam membangun hubungan timbal balik yang mendalam dengan orang lain, baik secara sosial, yaitu memiliki lebih sedikit interaksi sosial dari yang diharapkan; maupun emosional, yaitu kurangnya keintiman hubungan. E. Hubungan antara Kohesivitas Keluarga dengan Kesepian Kesepian adalah tidak terpenuhinya kebutuhan untuk berkomunikasi dan membina hubungan persahabatan yang akrab sampai cinta yang mendalam (Lake, 1986). Sullivan (dalam Santrock, 2003) mengatakan remaja memiliki sejumlah kebutuhan dasar yang di dalamnya termasuk kebutuhan akan cinta, kasih sayang, ikatan yang aman, teman yang menyenangkan, dan penerimaan lingkungan sosial. Remaja memiliki kebutuhan yang kuat akan rasa cinta, kasih sayang, dan keterlibatan dengan orang lain. Cinta dan kasih sayang merupakan hal yang sangat berharga, karena di dalamnya menyangkut suatu hubungan erat, sehat, dan penuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang kerap muncul dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian (loneliness) 1. Pengertian Kesepian Menurut Sullivan (1955), kesepian (loneliness) merupakan pengalaman sangat tidak menyenangkan yang dialami ketika seseorang gagal

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang, karena pada masa ini remaja mengalami perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan psikis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi 7 TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan suatu cara untuk memengaruhi individu agar si pemberi pesan (sender) dan si penerima pesan (receiver) saling mengerti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa (Santrock, 2012). Remaja merupakan usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan yang bisa menumbuhkan peradaban bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel bebas: Kohesivitas keluarga dan harga diri 2. Variabel tergantung: Kesepian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang rentang kehidupan individu, banyak hal yang dipelajari dan mempengaruhi perkembangan psikologis individu. Pengalaman-pengalaman bersama keluarga dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI DENGAN KESEPIAN PARA ISTRI ANGGOTA TNI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 oleh : DWI BUDI UTAMI F 100 040

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap manusia pernah menghadapi situasi yang dapat menyebabkan kesepian.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dimana pada masa itu remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pancaindra menurun, dan pengapuran pada tulang rawan (Maramis, 2016).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pancaindra menurun, dan pengapuran pada tulang rawan (Maramis, 2016). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usia lanjut adalah suatu proses yang alami yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Lansia ditandai dengan perubahan fisik, emosional, dan kehidupan seksual. Gelaja-gelaja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Penyesuaian Sosial Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian Menurut UU No.10 tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial, tentu membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan

Lebih terperinci

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA MADYA DI SMA X BOGOR LATAR BELAKANG MASALAH Agresivitas Persahabatan Kesepian Penolakan AGRESIVITAS Perilaku merugikan atau menimbulkan korban pihak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian adalah dengan merasa terasing dari sebuah kelompok, tidak dicintai oleh sekeliling, tidak mampu untuk berbagi kekhawatiran pribadi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran dari kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi muda yang berperan sebagai penerus cita-cita bangsa, oleh karena itu remaja diharapkan dapat mengembangkan potensi diri secara optimal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat MODUL PERKULIAHAN Perkembangan Sepanjang Hayat Adolescence: Perkembangan Psikososial Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh Psikologi Psikologi 03 61095 Abstract Kompetensi Masa remaja merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang berarti tidak dapat hidup tanpa orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri, baik terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan dalam masa transisi itu remaja menjajaki alternatif dan mencoba berbagai pilihan sebagai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak 7 TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dimana seorang anak dididik dan dibesarkan. Berdasarkan Undang-undang nomor 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orang tua berperan sebagai figur pemberi kasih sayang dan melakukan asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan berperan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Kesepian 2.1.1 Definisi Kesepian Kesepian didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia 1 B A B I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia akan mengalami serangkaian tahap perkembangan di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah tahap remaja. Tahap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keluarga merupakan sistem sosialisasi bagi anak, dimana anak mengalami pola disiplin dan tingkah laku afektif. Walaupun seorang anak telah mencapai masa remaja dimana

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa 15 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Di usia remaja antara 10-13 tahun hingga 18-22 tahun (Santrock, 1998), secara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan

BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan BAB II LANDASAN TEORI A. HARGA DIRI Menurut Coopersmith harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu dan berkembang menjadi kebiasaan kemudian dipertahankan oleh individu dalam memandang dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Frekuensi Merokok 1. Definisi frekuensi Frekuensi berasal dari bahasa Inggris frequency berarti kekerapan, keseimbangan, keseringan, atau jarangkerap. Smet (1994) mengatakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN MASA REMAJA (ADOLESENCE) PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir logis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan kelompok yang sangat berpotensi untuk bertindak agresif. Remaja yang sedang berada dalam masa transisi yang banyak menimbulkan konflik, frustasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berlangsung sejak usia 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal yang disebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Komunikasi 1. Definisi Komunikasi Secara etimologis, istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin, yaitu communication, yang akar katanya adalah communis, tetapi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN RUMUSAN MASALAH. Menurut Branden (dalam Esri, 2004) perilaku seseorang mempengaruhi dan

BAB II LANDASAN TEORI DAN RUMUSAN MASALAH. Menurut Branden (dalam Esri, 2004) perilaku seseorang mempengaruhi dan 6 BAB II LANDASAN TEORI DAN RUMUSAN MASALAH II.1 Pengertian Harga diri (Self-Esteem (SE)) II.1.1 Definisi Harga diri (Self-Esteem) Menurut Branden (dalam Esri, 2004) perilaku seseorang mempengaruhi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan

Lebih terperinci