LEMBAR KONTRIBUSI SINTESA RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LEMBAR KONTRIBUSI SINTESA RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO"

Transkripsi

1 LEMBAR KONTRIBUSI SINTESA RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO PUSPROHUT: Tati Rostiwati, Sofwan Bustomi, Sutiyono, Lincah Andadari, Eny Widyati, Yetti Heryati, Illa Anggraeni, Wida Darwiati, Retno Agustarini, Irma Yeni, Ujang Darmawan, Tuti Herawati BPTSTH, KUOK: Purnomo BPK PALEMBANG: Agung Wahyu Nugroho, Sahwalita, Asmaliyah BPTPTH, BOGOR: Dida Syamsuwida, Rina Kurniaty, Kurniawati P. Putri, Aam Aminah, Nia Purwaka, Elya BPT AGROFORESTRY, CIAMIS: Encep Rahman, Devy Priambodo, Aditya Hani, Dewi Maharani BBPBPTH, JOGYAKARTA: Budi Leksono BPK BANJARBARU: Purwanto Budi Santosa BPTHHBK MATARAM: Ogi Setiawan, Ryke Nandini, Anita Apriliani DR, Septiantina R, I Wayan Widhiana, I. Komang Surata, Rubangi Al Hasan, Yumantoko, Cecep Handoko, Resti Wahyuni, Sentot Adi S B2PD, SAMARINDA: Amiril Saridan, Agus Kholik, Listya Mustika Dewi, Karmilasanti, Asep Kurniawan, Suryanto BPK MANOKWARI : Wilson Rumbiak, Batseba A. Suripatty, Susan Trida Salosa, Timothius Siriwa PUSAT LITBANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN BADAN LITBANG KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN 2014 SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... i

2 KATA PENGANTAR Paradigma pengelolaan SDH sudah berubah dari single product (pengelolaan yang hanya mengandalkan produk dari kayu (Hasil Kayu/HK) saja) menjadi multiple product (selain dari HK, pengelolaan juga berasal dari Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan). Bahkan dari segi ekonomi, perolehan nilai ekonomi produk HHBK bisa mencapai 80%. HHBK merupakan upaya untuk menjawab tantangan dalam peningkatan produktivitas dan kualitas hutan tanaman, peningkatan nilai ekonomi dan mempertahankan kelestarian jasa lingkungan. Laporan sintesa hasil Rencana Penelitian Integratif (RPI) Pengelolaan HHBK FEMO merupakan intisari dari berbagai penelitian yang mendukung upaya peningkatan produktivitas dan kualitas lingkungan serta nilai ekonomi HHBK sebagai sumber pangan, energi, bahan obat-obatan dan kosmetik serta manfaat lainnya. Laporan sintesa ini mendokumentasikan hasil-hasil penelitian pada RPI Pengelolaan HHBK FEMO yang dilaksanakan dari tahun Penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para peneliti yang telah menyampaikan hasil penelitian, ilmu dan pengalamannya dan kepada para pihak yang mendukung kelancaran kegiatan penelitian dan proses penyusunan laporan dan sintesa hasil akhir. Kritik dan saran untuk perbaikan di masa akan datang sangat diharapkan. Semoga laporan sintesa ini menambah khasanah ilmu pengetahuan kehutanan yang mendukung peningkatan sumber daya hutan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia yang akan datang. Kepala Pusat, Dr. Ir. Bambang Tri Hartono, MF NIP SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... ii

3 DAFTAR ISI Halaman LEMBAR KONTRIBUSI... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... SEKAPUR SIRIH... i ii iii vi x xii xiii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Risalah HHBK Sektor Kehutanan Risalah Litbang HHBK di Badan Litbang Kehutanan Research Question Kerangka Acuan HHBK Tujuan dan Sasaran... 6 II. METODE SINTESIS Kerangka Pikir Output RPI Metode Penyusunan Sintesis... 9 III. OUTPUT PENELITIAN Informasi Persyaratan Tempat Tumbuh, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Hutan Penghasil Kayu Energi dan FEMO Identifikasi Sebaran Tempat Tumbuh dan Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Hutan Penghasil Kayu Energi Potensi, Sebaran dan Biofisik Bidara Laut Potensi, Sebaran dan Biofisik Keruing Potensi, Sebaran dan Biofisik Masoi Potensi, Sebaran dan Biofisik Kratom Teknik silvikultur intensif jenis penghasil FEMO Informasi fenologi dan perbenihan jenis-jenis kayu energi dan FEMO Weru (Albizia procera) Pilang (Acacia leucophloea) Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Akor (Acacia auriculiformis A.Cunn) Lamtoro (Leucaena leucocephala, Lmk. de wit) Turi ( Sesbania grandiflora (L.) Pers.) Malapari (Pongamia pinnata (L.) Pierre) Nyamplung (Calophyllum inophyllum. L.) Lontar (Borrassus flabellifer) Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) Kilemo (Litsea cubeba L. Person) Kemenyan (Styrax benzoin) Massoi (Cryptocarya massoia) SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... iii

4 Teknik pembibitan jenis-jenis kayu energi dan FEMO Weru (Albizia procera) Pilang (Acacia leucophloea) Akor (Acacia auriculiformis A.Cunn) Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Malapari (Pongamia pinnata (L.) Pierre) Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) Kilemo (Litsea cubeba L. Person) Kemenyan (Styrax benzoin) Rotan Jernang (Daemonorops sp) Teknik penanaman dan pemeliharaan Teknik penanaman dan pemeliharaan Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Teknik penanaman dan pemeliharaan Sukun Teknik penanaman dan pemeliharaan Ganitri (Elaeocarpus ganitrus ROXB) Teknik penanaman dan pemeliharaan Nyamplung Teknik pemeliharaan Kayu Energi (Kaliandra, Akor, Pilang, Weru) Budidaya Ulat Sutera Budidaya Rotan Penghasil Jernang Aplikasi Pestisida Nabati Budidaya Gemor Silvikultur Intensif Sagu Budidaya Kratum Budidaya Massoi Budidaya Kilemo Budidaya Cendana (Santalum album Linn.) Pola tanam campuran kemiri, kesambi, kenari, mimba, saga, ganitri, malapari Budidaya Ganitri Data kuantitatif produksi Kuantifikasi produksi buah Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Kuantifikasi Produksi buah Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Kuantifikasi Buah Jenis kayu energi Kuantifikasi Buah Kilemo Kuantifikasi Buah Ganitri Kuantifikasi Buah Malapari Kuantifikasi Buah Kemenyan Kuantifikasi Empulur Jenis HHBK Untuk Bioetanol (Sagu) Teknik Pemangkasan Hasil/Produksi Tanaman Hutan Penghasil Kayu Energi (Kaliandra, Akor, Pilang, Weru) Teknik Produksi Propolis Lebah Madu Halaman SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... iv

5 3.3. Informasi Pemanfaatan dan Pola Konsumsi FEMO Pola Pemanfaatan dan Tata Niaga Massoi Pola Pemanfaatan Bidara Laut Pola Pemanfaatan Keruing Pemanfaatan Indigofera tinctoria sebagai Zat Pewarna Ramah Lingkungan Informasi Model Keekonomian-Finansial dan Kelembagaan Budidaya Tanaman Penghasil FEMO Ekonomi dan Finansial Budidaya Tanaman Penghasil Kayu Energi Kelayakan Finansial Pengelolaan HHBK Nyamplung pada Demplot DME Kelembagaan dan Tataniaga Sagu di Papua Barat Kelembagaan Madu di Sumbawa dan Riau Kelembagaan dan Pasar Madu di Sumbawa Model Usaha dan Kelayakan Finansial Budidaya Bambu Distribusi dan Insentif Petani Rotan Rantai Nilai dan Kelembagaan Sutera Alam di Sulawesi Selatan Pembangunan Demplot HHBK Uji Multilokasi Murbei Budidaya Tanaman Minyak Atsiri Potensial Rotan Jernang di Kawasan Hutan IV. SINTESA DAN REKOMENDASI Sintesa per komoditas Jenis Kayu Energi Kayu Energi jenis akor, pilang, turi, lamtoro, kaliandra Sagu (Metroxylon spp.) Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Lontar(Borrassus flabellifer) Malapari (Pongamia pinnata L. PIERRE) Food Medicine and Others Tanaman penghasil keruing(dipterocarpus) Tengkawang (Shorea spp.) Rotan (Calamus sp) Gemor (Nothaphoebe coriacea Kosterm) Lebah Madu Sutera Alam Rotan Jernang (Daemonorops spp) Masohi(Cryptocaria sp) Kratom (Mitragyna speciosa)... I Kilemo (Litsea cubeba Persoon L.) Ganitri (Elaeocarpus ganitrus ROXB) Bambu Pewarna alami Mimba(Azadirachta indica JUSS) Halaman SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... v

6 Halaman Bidara laut (Strychnos lucida R.Br. / Strychnos lingustrina BL.) Cendana (Santalum album) Kemenyan (Styrax spp) Sukun (Artocarpus altilis) Pestisida Nabati Penghasil Minyak Atsiri Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... vi

7 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1. Hasil pengamatan kondisi tempat tumbuh pada demplot ujicoba penanaman tanaman penghasil kayu energy.. 12 Tabel 3.2. Tabel hasil biomassa tanaman akor 14 Tabel 3.3. Riap tahunan rata-rata (MAI) diameter dan tinggi tanaman turi, mimba, mindi, dan ekaliptus pelita di Desa Pringgabaya Utara, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat 15 Tabel 3.4. Karakteristik tempat tumbuh bidara laut Tabel 3.5. Potensi permudaan bidara laut di Bali dan NTB Tabel 3.6. Nilai Indeks Nilai Penting (INP) bidara laut di Bali dan NTB Tabel 3.7. Perjumpaan individu Mitragyna speciosa pada setiap tingkatan pertumbuhan.. 21 Tabel 3.8. Rekapitulasi informasi perbenihan Tabel 3.9. Persentase hidup dan pertumbuhan bibit rotan jernang umur 2 bulan Tabel Hasil analisis tanah sebelum dan sesudah pemupukan. 52 Tabel Tabel Data rata-rata persen hidup dan pertambahan tinggi dan diameter provenance Nyamplung Ras Jawa di TNUK Ujung Kulon. 56 Rekapitulasi hama dan penyakit pada demplot kayu energi Tabel Kualitas kokon hibrid harapan dan komersil di Kebun Wanatani Cibidin, Desa Kabandungan, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi. 62 Tabel Kualitas telur dan kokon di Regaloh, Pati Tabel Kualitas telur dan kokon di Desa Sukaresik, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat 63 Tabel Hasil skrining fitokimia dengan reaksi uji warna pada bagian pohon gemor dari Dsn. Jengan dan Dsn. Leking, Kalimantan Timur 71 Tabel Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter serta persentase hidup (%) kilemo umur 3 tahun di KHDTK Aek Nauli, Sumatera Utara Tabel Data pertambahan tinggi dan diameter Mimba, Saga, Kenari, Kesambi dan Kemiri umur 4 tahun yang mendapat perlakuan berbagai dosis pupuk NPK 82 SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... vii

8 Tabel Data rata-rata persen tumbuh dan pertambahan tinggi dan diameter jenis-jenis tanaman Nyamplung, Malapari dan Ganitri umur 2 tahun 82 Tabel Lokasi dan sampel penelitian 85 Halaman Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Hasil pengamatan produksi buah nyamplung pada lokasi Batukaras Cijulang Ciamis. 87 Produksi buah rata-rata dan sebaran diameter pohon model weru pada plot Sumedang dan Majalengka 89 Rata-rata produksi buah dan sebaran diameter pohon model pilang dari TNBB Bali dan Soe-Kupang.. 90 Korelasi antara produksi buah weru dengan variabel dimensi pohon dan antar variabel pada plot Sumedang dan Majalengka.. 90 Korelasi antara produksi benih pilang dengan variabel dimensi pohon dan antar variabel pada plot TNBB dan Soe-Kupang 92 Produksi buah ganitri (E. ganitrus) dari lokasi hutan rakyat Puspahyang Salawu Tasikmalaya Karakteristik beberapa jenis sagu di kawasan hutan sagu Kwadeware, Distrik Sentani, Papua 98 Pertumbuhan tunas Akor umur pangkasan 8 bulan pada tinggi tunggak 20 dan 50 cm *) 100 Rekapitulasi pengamatan teknik pangkas beberapa jenis penghasil kayu energy Tabel Data rendemen aqueous extraction propolis Tabel Keragaman jenis pakan Trigona spp di P. Lombok Tabel Produksi propolis di masing-masing lokasi Tabel Tabel Tabel perhitungan ekonomi budidaya Trigona spp di Karang Bayan, Kab. Lombok Barat. 106 Bagian-bagian tumbuhan bidara laut yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa Hu u, Dompu NTB Tabel Jenis-jenis penghasil minyak keruing 110 Tabel Daftar nama jenis dan bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan zat pewarna alam. 112 Tabel Biaya budidaya kayu energi pola HTI mandiri jenis turi (Sesbania grandiflora) per hektar Tabel Biaya budidaya kayu energi pola kemitraan berbasis agroforestry jenis turi (Sesbania grandiflora) per hektar SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... viii

9 Halaman Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel 4.1. Analisis kelayakan usaha budidaya kayu energi jenis turi berdasarkan tipe program Perbandingan kegiatan pengelolaan usaha perlebahan di Sumbawa dan Riau Institusi yang terlibat dalam pengusahaan madu di Danau Sentarum Institusi yang terlibat dalam pengusahaan madu di Ujung Kulon Keterkaitan pelaku usaha sub-sektor rotan, fungsi dan kebutuhan skill/teknologi Distribusi nilai tambah para aktor dalam rantai nilai (Rp/1 set kursi tamu) Peran para pihak yang terlibat dalam pengembangan ulat sutera di Sulawesi Selatan Rekapitulasi data sifat dasar dan pemanfaatan jenis kayu energi SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... ix

10 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Skema pemasaran HHBK di Indonesia (Sumber: Soenardi, 1980 dalam Subarudi dan Lugina, 2006)... 8 Gambar 2.2. Hubungan sasaran dan kegiatan penelitian untuk menghasilkan pengelolaan HHBK FEMO 10 Gambar 3.1. Gambar 3.2. Gambar 3.3. Gambar 3.4. Gambar 3.5. Grafik sebaran menurut tinggi-diameter dari pohonpohon sampel penyusunan model volume pohon akor di Kabupaten Banyumas. 13 Tegakan M. speciosa yang tumbuh di genangan air dan berasosiasi dengan Barringtonia racemosa di Mamberamo Hulu, Papua 22 Perbungaan nyamplung: (A) Bunga, (B) Penampang melintang, (C) Pollen.. 32 Skema periode perkembangan bunga nyamplung menjadi buah Penyerbukan bunga nyamplung oleh polinator kumbang (Foto. Resti, 2010) 33 Gambar 3.6. Buah Nyamplung (A), Struktur anatomis bakal buah (B). 34 Gambar 3.7. Siklus perkembangan bunga jantan Lontar Gambar 3.8. Gambar 3.9. Siklus perkembangan bunga betina sampai pembuahan Lontar Struktur dan morfologi bunga betina (kiri) dan bunga jantan (kanan) pohon lontar Gambar Kecambah siap sapih Gambar Bibit rotan penghasil jernang di persemaian Gambar Tanaman Nyamplung Ras Batu Karas (kiri) dan tanaman nyamplung yg hampir mati karena kekeringan (kanan).. 57 Gambar Cara menanam rotan sistem cemplongan (Januminro, 2000) Gambar Cara menanam rotan sistem jalur (Januminro, 2000). 65 Gambar Kondisi tanaman di plot uji tanaman Gambar Tanaman kilemo pada berbagai kondisi lahan di KHDTK Aek Nauli. 78 Gambar Jenis tanaman Nyamplung, Malapari dan Ganitri umur 2 tahun di KHDTK Sobang Gambar Perbandingan pertumbuhan ganitri umur 3 tahun di 2 lokasi (Jawa Tengah dan Banten): tinggi, diameter, persen tumbuh Gambar Produksi buah nyamplung (C. Inophyllum) selama masa berbuah dari berbagai ukuran pohon di Batukaras Ciamis 87 Halaman SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... x

11 Halaman Gambar Regresi eksponensial antara produksi buah dengan diameter pohon weru (Albizia procera) pada plot penelitian Sumedang (A) dan Majalengka (B) 91 Gambar Regresi eksponensial antara produksi buah dengan diameter pohon akor (A.auriculiformis).. 92 Gambar Regresi eksponensial antara produksi buah dengan jumlah terubusan kaliandra (C.callothyrsus). 93 Gambar Hubungan diameter batang terhadap produksi buah ganitri (E. ganitrus) 94 Gambar Hubungan diameter batang terhadap produksi buah ganitri (E. ganitrus) 95 Gambar Proses pembuatan tepung sagu 121 Gambar Alur tataniaga tepung sagu asal Distrik Rasiey Gambar Rantai perdagangan rotan Gambar Pihak yang terlibat dalam pengembangan ulat sutera di Sulawesi Selatan 143 Gambar Pola penanaman demplot tanaman penghasil minyak atsiri 146 Gambar Alur pemikiran penentuan jenis yang akan dikembangkan 148 Gambar Rencana lokasi (a), Persemaian (b) 148 SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... xi

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Penyebaran jenis bidara laut di Kabupaten/kota Bima dan Dompu 196 Lampiran 2 Penyebaran bidara laut di kawasan TNBB, Bali 197 Lampiran 3. Penyebaran jenis rotan jernang di Propinsi Jambi Lampiran 4. Penyebaran jenis gemor di Propinsi Kalimantan Tengah Lampiran 5. Penyebaran alami jenis nyamplung di NTB 200 SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... xii

13 SEKAPUR SIRIH Sumberdaya hutan (SDH) mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan social bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil Hutan Kayu (HHK), melainkan juga dari Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), karbon dan ekowisata. Produk Produk yang dihasilkan dari jenis tanaman HHBK dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan diantaranya untuk pangan (Food), energy (energy), obat-obtaan termasuk kosmetik (medicine) dan manfaat lainnya (other). Peningkatan pertambahan penduduk yang cukup pesat berdampak pada meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pangan, energy dan obat, sementara produk yang dihasilkan dari tanaman HHBK selama ini belum dapat terpenuhi baik untuk kebutuhan sehari-sehari maupun penambahan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu, keempat manfaat HHBK tersebut (FEMO) saat ini telah menjadi isu global yang cukup penting. Untuk menghadapi isu global tersebut, maka tujuan dari penelitian integratif Pengelolaan HHBK ini adalah meningkatkan produktivitas dan nilai Ekonomi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sebagai sumber pangan, energy dan obatobatan serta kosmetik. Pendekatan yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut yaitu dengan menjawab permasalahan yang ada melalui beberapa komponen riset dari aspek hulu sampai hilir baik aspek budidaya (termasuk bioteknologi dan pemuliaan), pengolahan dan social ekonomi serta kebijakan HHBK. Pengelolaan HHBK yang tepat merupakan suatu sistem perencanaan hutan yang memberikan arahan untuk kegiatan pemanfaatan/pemungutan, rehabilitasi dan konservasi, kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, sehingga diharapkan selain berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan juga akan berdampak pula pada pemenuhan bahan baku FEMO (kuantitas dan kualitas) bagi industri pangan, energi pedesaan dan industri farmasi serta industri lainnya. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO... xiii

14 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Risalah HHBK Sektor Kehutanan Paradigma pengelolaan SDH sampai saat ini masih bertumpu pada single product artinya pengelolaan yang hanya mengandalkan produk dari kayu (Hasil Kayu/HK) saja, sementara Sumber Daya Hutan (SDH) di Indonesia dapat menghasilkan multiple product. Artinya selain dari HK juga dapat berupa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan. Pandangan single product tersebut salah satu yang mendorong terjadinya eksploitasi hasil kayu secara eksesif melebihi kapasitasnya (Pramono, 2012). Di hutan Indonesia diketahui tidak kurang dari 7000 spesies tumbuhan yang memiliki khasiat obat. Pemanfaatan oleh masyarakat mencapai kurang lebih 1000 jenis, dimana 74 diantaranya merupakan tumbuhan liar yang hidup di hutan. Kurang lebih 85% dari kebutuhan bahan baku untuk IOT (Industri Obat Tradisional) dan IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) masih diperoleh dari upaya penambangan hutan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka jika dihitung secara seksama nilai ekonomi yang berasal dari dari produk HHBK (termasuk tumbuhan obat) dan jasa lingkungan nilai ekonominya dapat mencapai 80%, sementara produk kayu hanya 20% saja. Nilai tersebut yang sampai saat ini belum dikaji/dianalisis secara sosio-ekonomi yang lebih komprehensif dan mendalam. Permasalahan yang dihadapi dalam menganalisis nilai ekonomi tersebut adalah sulitnya mentransformasi perhitungan dari ekonomi pemanfaatan tradisional HHBK menjadi usaha ekonomi produktif yang profesional tanpa meninggalkan nilainilai kultural atau adat istiadat. Walaupun sejak tahun 1999 telah ada Kebijakan tentang Pengelolaan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yaitu UU. No. 41 tahun 1999, yaitu pasal 26 (pemungutan HHBK pada hutan lindung), pasal 28 (pemanfataan HHBK pada hutan produksi). Demikian juga pada Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 55/Menhut-II/2006 Jo. P. 63/Menhut-II/2006 tentang penata usahaan hasil hutan yang berasal dari hutan negara, dimana didalamnya tertera juga penatausahaan HHBK), PP no 6 tahun 2007 merupakan peraturan pemerintah tentang upaya optimalisasi HHBK yaitu di pasal 28 tentang Pemungutan HHBK pada hutan lindung, pasal 43 tentang Pemanfaatan HHBK dalam hutan BAB I PENDAHULUAN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 1

15 tanaman pada hutan produksi. Sistem perencanaan HHBK menjadi salah satu kebijakan yang bersifat pengarus-utamaan (main streaming) pada sistem perencanaan hutan, yang memberikan arahan pemanfaatan, rehabilitasi dan konservasi, penelitian dan pengembangan, kelembagaan, organisasi dan sumberdaya manusia, serta pemberdayaan masyarakat (Sekjen Dephut, 2008). Selain itu juga telah dikeluarkan beberapa kebijakan Kemenhut tentang Pengembangan HHBK yaitu Permenhut nomor P.35/kpts-II/2007 Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 347/Menhut-II/2007 tentang POKJA HHBK Implikasi Koordinasi Daerah (Propinsi Kabupaten), Peraturan Direktur Jenderal RLPS No. P.14/V-Set/2007 Tentang Pedoman Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Permenhut P 19/2009 tentang Strategi Pengembangan HHBK, Permenhut P. 21/2009 tentang Kriteria dan Indikator Penetapan Jenis HHBK Unggulan Risalah Litbang HHBK di Badan Litbang Kehutanan Walaupun sampai tahun 2009 telah banyak hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (khususnya HHBK) maupun lembaga penelitian terkait seperti Perguruan Tinggi, LIPI, SEAMEO - BIOTROP, CIFOR, ICRAF, dunia usaha Kehutanan dll namun kenyataan menunjukkan bahwa sampai saat ini nilai ekonomi produk HHBK tidak banyak mengubah kondisi perekonomian masyarakat di sekitar hutan sebagai pelaku usaha HHBK. Oleh karena itu agar litbang HHBK lebih fokus dan terarah maka sejak tahun 2010 telah dilakukan penyusunan peta jalan/peta arah yang lebih dikenal dengan sebutan Roadmap Litbang Kehutanan ( ) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:SK.163/MENHUT-II/2009, yang di dalamnya termasuk Litbang Pengelolaan HHBK. Berdasarkan arahan Roadmap litbang pengelolaan HHBK, maka penanganan litbang HHBK dikatagorikan menjadi 3 tahapan (Tiers) yaitu: 1) Preliminary (Tiers 1): penanganan terhadap komoditi HHBK yang masih ditekankan pada aspek eksplorasi sebaran dan potensi, identifikasi prospek pemanfaatannya serta aspek konservasi genetik (untuk HHBK yang terancam punah); 2) Intermediate (Tiers 2): penanganan komoditi HHBK yang terfokus pada pemuliaan, budidaya, penanganan pasca panen dan pengolahan; 3) Advance (Tiers 3): penanganan komoditi HHBK yang lebih terfokus kepada peningkatan kualitas, diversifikasi dan daya saing produk dan pengelolaan secara berkelanjutan. BAB I PENDAHULUAN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 2

16 Di dalam upaya melaksanakan maksud dan tujuan yang tertuang dalam roadmap litbang kehutanan, maka telah disusun Rencana Strategis Lingkup Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan (PUSPROHUT) dengan Keputusan Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan No. SK. 33/VIII/P3PPH-2/2012. Renstra tersebut disusun agar pelaksanaan penelitian dan pengembangan dapat diarahkan dan diimplementasikan secara sistematis untuk mencapai suatu kondisi yang diinginkan. Kondisi yang diinginkan adalah kondisi pengelolaan hutan produksi dengan produktivitas tinggi yang dicapai dari hasil teknologi dan kebijakan yang berdasarkan pada telaahan ilmiah hasil litbang (RENSTRA PUSPROHUT Revisi, 2012). Salah satu program yang diemban oleh Pusprohut adalah Program Litbang HHBK. Program Litbang HHBK dilaksanakan melalui kegiatan Rencana Penelitian Integratif (RPI) Pengelolaan HHBK FEMO (Food, Energy, Medicine, Others). Kegiatan dalam RPI pengelolaan HHBK FEMO bertujuan untuk memperoleh IPTEK dasar dan terapan sebagai dasar penetapan kebijakan dan pelaksanaan teknis pengelolaan HHBK FEMO untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Sasarannya adalah diperolehnya IPTEK peningkatan produktivitas dan kualitas lingkungan serta nilai ekonomi HHBK sebagai sumber pangan, energi, bahan obat-obatan dan kosmetik serta manfaat lainnya (RPI ). Berdasarkan tujuan dan sasaran tersebut maka kegiatan penelitian RPI pengelolaan HHBK FEMO , dilakukan oleh Pusat (Pusprohut) dan Daerah (UPT). Oleh karena jenis HHBK cukup banyak, maka pemilihan UPT yang terlibat dalam kegiatan penelitian didasarkan oleh:1) wilayah sebaran alami jenis HHBK dan 2) Tahapan Penanganan/Tier jenis HHBK dan 3) Status riset jenis HHBK, sementara untuk kegiatan penelitian di Pusat lebih banyak difokuskan pada jenis-jenis yang sudah menjadi unggulan Nasional (rotan, bambu, sutera, madu dan nyamplung) Research Question Berdasarkan penelaahan ilmiah dan pengalaman lapangan beberapa faktor yang menyebabkan hasil penelitian dan pengembangan serta kebijakan HHBK sulit diimplementasikan pada level masyarakat. Faktor yang dapat mempengaruhi optimalisasi lahan untuk produktivitas produk HHBK adalah faktor edaphis, biologis dan fisiologis serta fisik. Faktor edaphis adalah: 1) BAB I PENDAHULUAN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 3

17 ketepatan tempat tumbuh (ketinggian tempat, keharaan tanah, iklim mikro - cahaya matahari, suhu dan kelembaban udara), 2) faktor biologis dan fisiologis tumbuhan adalah jenis produk/substansi sekunder (minyak atsiri, lemak nabati, resin, getah, nira, pati, tanin, sekresi, hasil metamorfosis ulat); organ penghasil (daun, bunga, buah, cabang, akar, batang kulit, kayu, gubal kayu, umbi); 3) faktor fisik adalah bentuk tumbuhannya (pohon, herba, liana, semak); jenis penghasil (tumbuhan, serangga, ulat, mikroorganisme); manfaat produknya (sebagai obat dan kosmetika, sandang, pangan, papan dan energi). Faktor yang paling sering terlihat secara visual adalah faktor edaphis. Faktor ini secara ilmiah dikenal dengan istilah Fitogeografi tumbuhan. Secara singkat Kurniawan (2011) menyatakan bahwa fitogeografi adalah kajian yang mempelajari sebaran makhluk hidup di bumi pada masa yang lalu dan saat ini. Kajian tentang distribusi vegetasi dapat dilakukan menurut jenis-jenisnya secara terpisah atau secara keseluruhan pola distribusi tumbuhan dapat secara luas atau secara terbatas pada wilayah tertentu. Berdasarkan terdapat atau tidak terdapat jenis-jenis tumbuhan di suatu wilayah, dikenal 3 kelompok taksa tumbuhan, yaitu tumbuhan yang tersebar luas, tumbuhan endemik dan tumbuhan discontinue. Contoh tumbuhan tersebar luas (wides) antara lain, plantago mayor, atau agathis australis; tumbuhan endemik adalah Ginko biloba atau Rafflesia arnoldii, dan tumbuhan discontinue adalah Empetum nigrum atau Larrea trdentata. Artinya altitude, posisi geografis, dan lahan tumbuhnya suatu jenis tumbuhan secara alami merupakan petunjuk bahwa pada habitat itu jenis tersebut akan menghasilkan produksi metabolisme sekunder yang maksimal. Dalam rangka mendorong meningkatkan produksi optimal, diversifikasi jenis dan diversifikasi manfaat maka pengembangan jenis HHBK diluar habitat alamnya (ex-situ) di kawasan-kawasan hutan/kph (konservasi, lindung dan produksi), kawasan Perum Perhutani, baik untuk kepentingan konservasi maupun produksi merupakan pilihan alternatif yang sangat tepat. Research question untuk kepentingan budidaya ex situ adalah:1) Pemilihan target jenis untuk penelitian tahap dasar, tahap uji coba dan jenis yang siap untuk dikembangkan; 2) Pemilihan target wilayah penelitian dan pengembagan; 3) Paket IPTEK yang tepat untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan produktivitas HHBK; 4) Paket model pengelolaan HHBK untuk skala usaha dan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan. BAB I PENDAHULUAN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 4

18 1.3. Kerangka Acuan HHBK Sampai saaat ini telah dilakukan upaya peningkatan nilai ekonomi HHBK melalui beberapa kebijakan, akan tetapi tidak semua produk HHBK dapat diusahakan dalam skala industri, pada umumnya produk HHBK hanya diusahakan dalam skala menengah bahkan ada yang masih sangat kental dengan bentuk skala usaha rumah tangga. Kelompok dan skala usaha kecil produk HHBK yang spesifik pada umumnya memiliki sumber bahan baku dari alam bukan hasil budidaya intensif misalnya kulit kayu gemor, kulit kayu masohi, minyak lawang, sagu, kemenyan, rotan, rotan jernang, gula aren, nira nipah. Sementara skala usha produk HHBK yang dilakukan melalui budidaya intensif sudah terlihat pada jenis lebah madu dan penanaman murbei sebagai pakan ulat sutra. Untuk mendukung usaha HHBK menjadi skala industri maka, dibutuhkan dukungan pemerintah dalam membuka pasar bagi productproduct HHBK. Berdasarkan 5 (Lima) kriteria dan indikator yang telah di tetapkan dalam P 21/2009, maka telah ditetapkan 6 (enam) komoditi unggulan Nasional (SK Dirjen RLPS no. 22/2010). Komoditi yang telah ditetapkan sebagai cluster adalah gaharu di Propinsi Bangka Belitung, rotan di Propinsi Kalimantan Tengah dan Madu di Sumbawa. Sementara ada komoditi yang sudah diperdagangkan namun pemungutannya masih berskala tradisional contohnya jenis Shorea penghasil buah tengkawang di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Dasar pemilihan jenis tengkawang untuk diteliti mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan Yang Dilindungi, pohon penghasil tengkawang merupakan salah satu jenis yang dilindungi. Untuk menjaga dari kepunahan, selain PP tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (PP No. 7 tahun 1999) juga diterbitkan SK Menhut No. 261/Kpts-IV/1990 tentang perlindungan pohon tengkawang sebagai tanaman langka, dimana jenis-jenis shorea penghasil tengkawang termasuk jenis yang dilindungi. Demikian juga halnya dengan komoditi Masohi. Kulit kayu masoi (Massoia aromatica) mengandung kadar lakton (bahan aktif utama) dari minyak atsiri paling tinggi (±70%) dihasilkan pada pohon-pohon yang tersebar di Papua Barat dibandingkan yang diperoleh dari pohon yang tersebar di luar Papua (kadar ± 50%) dan Papua New Guinea (PNG)(hanya ± 40%)(komunikasi pribadi: dengan pengusaha kulit masohi di Papua Barat, 2011). Dalam upaya mengatasi BAB I PENDAHULUAN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 5

19 pengurasan besar-besaran terhadap sumberdaya alam HHBK di kawasan hutan alam dan hutan produksi Kabupaten Teluk Wondama, maka Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Teluk Wondama menerbitkan Keputusan tentang Pengesahan Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IPHHBK) No. KEP-522.2/IZ.I/2011. Salah satu ayat yang tercantum di dalam keputusan tersebut adalah IPHHBK yang berasal dari penebangan diberikan sesuai kebutuhan maksimum 50 (Lima puluh) ton, lokasi Distrik Naikere Kabupaten Teluk Wondama. Ada Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Kabupaten/Kota Muara Enim Nomor 18 Tahun 2001 tentang Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Non Kayu. Salah satu butirnya adalah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan pemanfaatan hasil hutan non kayu, maka kepada setiap orang atau badan hukum yang akan memanfaatkan hasil hutan non kayu perlu mendapat izin. Sementara untuk komoditi sagu (Metroxylon sagu) sejak tahun 1995 telah dikelola dalam bentuk Hutan Tanaman yaitu berdasarkan Surat Menteri Kehutanan No. 1083/Menhut-IV/1995 tanggal 24 Juli 1995 tentang Pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam hutan tanaman (sagu) kepada PT. National Timber and Forest Product atas areal hutan produksi seluas ± hektar di Provinsi Riau Tujuan dan Sasaran Tujuan penyusunan sintesa ini adalah menyediakan paket telaahan ilmiah dan teknis pengelolaan jenis HHBK FEMO berdasarkan sintesa hasil-hasil penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan dan pustaka sebelumnya. Sasarannya adalah tersedianya IPTEK Pengelolaan HHBK FEMO dalam rangka meningkatkan produktivitas dan nilai ekonomi produk HHBK FEMO di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 6

20 II. METODE SINTESIS 2.1. Kerangka Pikir Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK Non Timber Forest Product) selalu menduduki peran penting dan besar dalam ekonomi kehutanan di negaranegara berkembang (Arnold, 2004), dan produk HHBK telah menjadi pemasukan sekaligus pendapatan langsung bagi pemenuhan kebutuhan banyak rumah tangga dan masyarakat di seluruh dunia (Iqbal, 1993; Walter, 2001). Pengelolaan hutan bagi masyarakat sekitar hutan mutlak diperlukan sebagai sumber pangan, bahan obat, energi dan manfaat lainnya. Terdapat sekitar 90 jenis HHBK yang diperjual belikan di Indonesia, lebih dari petani di Kalimantan yang menggantungkan penghidupan pada usaha rotan, keluarga di Sumatera Utara pada produk benzoin (Styrax benzoin) dan ribuan keluarga di Kalimantan Timur terlibat dalam usaha gaharu (Aquilaria spp.) (Gusmailina et al., 2006). Sampai saat ini belum ada lembaga khusus untuk pengusahaan produk HHBK sehingga proses produksi pemungutan dilakukan secara perorangan dan belum dikoordinir menjadi suatu kelompok pemungut produk HHBK. Menurut Subarudi et al. (2000) bahwa tidak ada yang menyadari bahwa ekspor produk rotan di Indonesia dalam jutaan US dollar sangat tergantung pada mood (keinginan) petani sehingga jika petani enggan untuk pergi ke hutan maka produksi rotan akan menurun secara signifikan. Kekurangan informasi harga pasar untuk produk-produk HHBK menyebabkan posisi daya tawar (bargaining position) petani menjadi lemah sehingga petani memungut tidak berdaya melepas produk HHBK yang mereka pungut, walaupun dengan tingkat harga yang sangat rendah. Pengusahaan HHBK di Indonesia dan distribusi HHBK berdasarkan sistem pemasarannya dapat diilustrasikan seperti Gambar 2.1. BAB 2 METODE SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 7

21 Keterangan: 1. Rotan;2. Terpentin; 3. Kopal; 4. Damar; 5. Jelutung; 6. Arang; 7. Bambu; 8. Madu; Minyak kayu putih; 10. Biji Tengkawang Gambar 2.1. Skema pemasaran HHBK di Indonesia (Sumber: Soenardi, 1980 dalam Subarudi dan Lugina, 2006). Perkembangan budidaya HHBK secara umum belum menunjukkan adanya hasil yang maksimal. Potensi HHBK sesuai kebijakan Pemerintah yang sebesarbesarnya diberikan kepada masyarakat ternyata tidak diikuti oleh upaya pembudidayaannya. Walaupun banyak manfaat yang dapat diambil dari produk HHBK seperti sebagai bahan pangan, energi (energi biomassa dan energi cair/biofuel), obat-obatan dan kosmetika, serta manfaat lainnya namun jika tidak ada upaya untuk budidayanya, maka keberadaan jenis jenis HHBK di alam terancam punah Output RPI Output RPI diperoleh peneliti Badan Litbang Kehutanan melalui kegiatan yang tertuang dalam RPI baik yang didanai oleh APBN/PNP Badan Litbang Kehutanan maupun yang dilakukan peneliti tanpa alokasi khusus anggaran mengingat pentingnya kegiatan tersebut. Kegiatan penelitian RPI Pengelolaan HHBK FEMO terdiri atas 5 output yaitu: 1) Paket data dan informasi persyaratan tempat tumbuh, pertumbuhan dan hasil tanaman jenis penghasil FEMO 2) Paket IPTEK Silvikultur Intensif jenis tanaman penghasil FEMO 3) Paket informasi dan teknik produksi tanaman hutan jenis HHBK-FEMO 4) Paket model ekonomi-analisis finansial dan kelembagaan masyarakat 5) Demplot penanaman HHBK-FEMO BAB 2 METODE SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 8

22 2.3. Metode Penyusunan Sintesis Penyusunan sintesis ini menggunakan metode: 1) Review Laporan Hasil Penelitian (LHP) UPT terkait mencakup 10 jenis Hasil Hutan Bukan Kayu penghasil energi dan 25 jenis HHBK FMO. 2) Penelusuran pustaka/lhp dari RPI lain yang mendukung penjelasan ilmiah yang tertera pada LHP pada Tabel 1. 3) Kompilasi dan formulasi hasil review dan penelusuran pustaka lainnya (seperti internet, jurnal) menjadi satu bentuk sintesis Pengelolaan HHBK. Sintesis hasil penelitian didasarkan pada kajian terhadap data dan laporan hasil penelitian di berbagai lokasi penelitian terkait HHBK FEMO. Sintesis hasil penelitain mengacu pada luaran dan kegiatan penelitian yang tercantum dalam RPI 11 Pengelolaan HHBK FEMO tahun anggaran Hasil sintesa diarahkan dan diimplementasikan berdasarkan tahapan penanganan komoditas yang secara sistematis untuk mencapai suatu kondisi yang diinginkan yaitu pengelolaan hutan dengan produktivitas tinggi. Penanganan komoditas untuk pengelolaan HHBK FEMO meliputi: (a) Preliminary adalah penanganan komoditas HHBK FEMO pada aspek eksplorasi, sebaran dan potensi, identifikasi prospek pemanfaatan serta aspek konservasi genetik untuk HHBK yang terancam punah; (b) Intermediate adalah penanganan komoditas HHBK FEMO terfolus pada pemuliaan, budidaya penanganan paska panen dan pengolahan; dan (c) Advance adalah penanganan komoditi HHBK yang terfokus pada peningkatan kualitas, diversivikasi dan daya saing produk, pengelolaan secara berkelanjutan. Hubungan luaran dan kegiatan penelitian untuk menghasilkan pengelolaan HHBK FEMO dapat dilihat pada Gambar 2.2. BAB 2 METODE SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 9

23 BAB III. OUTPUT PENELITIAN 3.1. Informasi Persyaratan Tempat Tumbuh, Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Hutan Penghasil Kayu Energi dan FEMO Identifikasi Sebaran Tempat Tumbuh dan Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Hutan Penghasil Kayu Energi Berapa jenis pohon yang memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, sifat pertumbuhannya yang cepat, dapat regenerasi dengan trubusan dan memiliki daya adaptasi yang baik terhadap berbagai kondisi tempat tumbuh antara lain akor (Acacia auricoliformis A. Cunn ex Benth.), weru (Albizia procera(roxb.)benth.) dan kaliandra (Calliandra calothyrsus Benth.). Suatu hal yang dapat dipandang sebagai faktor menguntungkan adalah bahwa jenis-jenis tersebut bukan tergolong jenis penghasil kayu pertukangan atau pulp sehingga apabila dikembangkan tidak mengganggu kestabilan produk kayu energi yang ditargetkan akibat pengalihan dari pengusahaan kayu energi ke pengusahaan kayu pertukangan/pulp. Pada saat yang sama, dengan penanaman skala luas jenis-jenis tersebut dapat berkontribusi positif terhadap pelstarian lingkungan dan pemulihan lahan terdegadasi, karena tergolong jenis legum yang dikenal dapat menjerap unsur nitrogen bebas. Informasi berkaitan dengan identifikasi sebaran tempat tumbuh pertumbuhan tanaman hutan penghasil kayu energi yang diperoleh dari lahan Ujicoba Teknik Pola Agoforestry Kayu Energi. Lokasi demplot berada di KHDTK Sobang, RPH/BKPH Cibenda KPH Majalengka, dan desa di Kabupaten Lombok Timur. Pembangunan demplot agoforestry menggunakan pola penanaman campuran 4 jenis pohon penghasilkayudengan system system blok (petak) dengan jarak tanam 6 m X 2 m dan tanaman budidaya pertanian 1-2 jenis lokasi dari 3 jenis pilihan (padi gogo dan/atau jagung dan/atau kacang tanah) dengan rancangan ekperimen pola Latin Square 4x4 dengan satuan percobaan berupa petak persegi berukuran 50 m X 25 m (0,125 ha). Berdasarkan rancangan tersebut, maka jumlah petak yang dibuat sebanyak 16 petak dengan luas seluruhnya 2,0 ha. Hasil pengramatan kondisi biofisik pada lokasi demplot ujicoba penanaman tanaman penghasil kayu energi dapat dilihat pada Tabel 3.1. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 11

24 Tabel 3.1. Hasil pengramatan kondisi tempat tumbuh pada demplot ujicoba penanaman tanaman penghasil kayu energi Parameter Lokasi Demplot Ujicoba Majalengka Sobang Lombok Ketinggian tempat (m dpl) Curah Hujan (mm/tahun) Jenis Tanah Kondisi penanaman mm mm/tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 11 hari/bulan Latosol, Podsolik, Gumosol, Aluvial, Regosol, Mediteran, dan asosianya mm mm/tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 13 hari/bulan Podsolik mm mm/tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 15 hari/bulan Gumusol Tidak ada naungan Dengan Naungan Tidak Ada naungan Ternyata keempat jenis kayu energi yang ditanam (kaliandra, akor, weru, pilang) memperlihatkan pertumbuhan yang berbeda. Kayu energi yang ditanam di Majalengka dan di Sobang mempunyai pertumbuhan lebih baik dibandingkan demplot di Lombok Timur. Berdasarkan kondisi tempat tumbuhnya terlihat bahwa lokasi demplot di lombok timur memiliki jenis tangah Gumosol. Jenis tanah ini merupakan jenis tanah yang berwarna kelabu hingga hitam yang mempunyai sifat liat, kadar keasaman yang dimilki dari basa hingga netral pada musim kemarau tanah ini akan nampak seperti tanah pecah akibat penyinaran matahari. Umumnya tanaman akan sulit tumbuh pada jenis tanah seperti ini. Sehingga tidak mengherankan jika pertumbuhan demplot di lombok timur pertumbuhannya minimal. Selain itu juga dilakukan pengramatan dinamika pertumbuhan jenis-jenis kayu energi pada sebaran alaminya. Pengramatan pertumbuhan dilakukan pada beberapa lokasi yaitu: jenis kaliandra dan weru sebanyak masing-masing 1 PUP (Petak Ukur Permanen) di Majalengka, jenis akor di Purwakarta sebanyak 2 PUP dan di Purwokerto sebanyak 6 PUP. Selain itu juga diamati jenis turi sebanyak 1 PUP di Lombok Timur. Pengramatan pertumbuhan tersebut dengan pembuatan plot berukuran 30 x 30 m, selanjutnya dilakukan pengramatan tinggi dan diameter untuk perhitungan kuantifikasi. Selanjutnya dilakukan pengramatan setahun sekali, minimal SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 12

25 3 kali pengramatan untuk selanjutnya diolah untuk mengetahui hubungan tinggi dan diameter serta hubungan volume dan diameter. Hasil pengramatan menunjukkan bahwa jenis akor dan weru yang sudah bisa diperoleh hasilnya. Jenis-jenis lainnya masih dalam taraf pengramatan awal (kuantifikasi). Pada tanaman akor terlihat bahwa hubungan antara tinggi dan diameter dari himpunan pohon sampel menghasilkan persamaan: Ln H = 1, ,5357Ln D, dimana H adalah tinggi pohon dan D diameter pohon Grambar 3.1. Gafik sebaran menurut tinggi-diameter dari pohon-pohon sampel penyusunan model volume pohon akor di Kabupaten Banyumas Selanjutnya dilakukan analisa hubungan antara diameter dan volume pohon sehingga bisa diperoleh model penduga volume pohon. Untuk tanaman akor diperoleh model penduga pohon: Ln V = -8, ,5045 Ln D dimana V adalah volume pohon dan D diameter pohon Dari pengukuran PUP-PUP yang dilaksanakan pada tahun telah terhimpun data time-series perkembangan tanaman akor, dan analisis data menghasilkan model hasil diameter (Ln D = 2,9752-2,0397/A), model hasil tinggi (H = 1, ,2587 Ln A), dan model hasil volume tegakan (Ln V/ha = 5,6889-4,1465/A). Model-model hasil yang telah diperoleh tersebut dapat dipergunakan untuk memproyeksikan perkembangan tanaman akor apabila besaran umur tanaman dimasukkan pada Peubah-A. Di samping itu, berbekal pengetahuan bahwa berat jenis SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 13

26 kayu akor sebesar 0,77 (Bustomi, 2009), maka dapat diproyeksikan perkembangan biomassa tanaman menurut perkembangan umur. Tabel 3.2. Tabel hasil biomassa tanaman akor Umur (tahun) Diameter (cm) Tinggi (m) Volume tiap hektar (m 3 /ha) Biomassa tiap hektar (ton/ha) 1 2,5 1,5 4,68 3,6 2 7,1 7,2 37,17 28,6 3 9,9 10,5 74,20 57,1 4 11,8 12,9 104,82 80,7 5 13,0 14,8 128,97 99,3 6 13,9 16,3 148,09 114,0 7 14,6 17,5 163,46 125,9 8 15,2 18,6 176,02 135,5 9 15,6 19,6 186,45 143, ,0 20,5 195,24 150,3 Untuk tanaman weru, berdasarkan hasil pengramatan dan analisa hubungan antara diameter dan volume pohon diperoleh model penduga volume pohon. Model penduga volume pohon tanaman weru adalah: V = 0, D 2 H 0, D 2 dimana V adalah volume pohon, D diameter pohon dan H tinggi pohon Pada lokasi demplot di Lombok Timur, tepatnya di Pringgabaya Utara dibudidayakan tanaman turi (Sesbania gandiflora(l.) Pers.), mimba (Azadirachta indica A. Juss.), mindi (Melia azedarach L.), dan ekaliptus (Eucalyptus pelita F. Muell.). keberadaan tanaman ini adalah untuk penghasil kayu energi. Sehubungan dengan itu, bersamaan dengan pengukuran PUP akor tahun 2013 dilakukan pula pengukuran terhadap tanaman-tanaman tersebut dengan pembuatan petak ukur temporer (PUT). Rekapitulasi hasil pengukuran PUT-PUP tanaman turi, mimba, mindi, dan ekaliptus dapat dilihat pada Tabel 3.3. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 14

27 Tabel 3.3. Riap tahunan rata-rata (MAI) diameter dan tinggi tanaman turi, mimba, mindi, dan ekaliptus pelita di Desa Pringgabaya Utara, Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat Jenis Waktu tanam Umur (th) D (cm) MAID (cm/th) H (m) MAIH (m/th) Turi Januari ,4 6,3 2,6 8,1 3,3 Mimba Desember ,5 4,4 1,2 4,6 1,2 Mindi Desember ,5 6,2 1,7 7,1 1,9 Ekaliptus pelita Desember ,5 6,6 1,8 7,9 2, Potensi, Sebaran dan Biofisik Bidara Laut (Strychnos lucida R.Br.) Bidara laut, yang dibeberapa tempat dikenal juga dengan nama songga, bidara pait, kayu pait, termasuk dalam family Loganiaceae dan menurut hasil indentifikasi tim laboratorium botani Pusat Pengembangan dan Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Bogor, nama botani Bidara laut adalah Strychnos lucida R.Br. (BPK Mataram, 2010). Sedangkan menurut Heyne (1987) nama botani Bidara laut adalah Strychnos lingustrina BL., namun kedua nama tersebut diduga merupakan spesies yang sama karena mempunyai ciri-ciri dan manfaat yang sama yaitu sebagai obat demam/obat malaria. Hal ini juga didukung oleh referensi lainnya yang menyebutkan bahwa sinomim dari Strychnos lucida R.Br. adalah Strychnos lingustrina BL. Heyne (1987) menjelaskan lebih lanjut tumbuhan Bidara laut banyak terdapat di Pulau Flores dan pulau-pulau sekitarnya termasuk wilayah Bima (P. Sumbawa), sedangkan di kabupaten Dompu sendiri terdapat di seluruh kawasan hutan kabupaten Dompu. Bidara laut yang terdapat di Kabupaten Dompu dan Kab/Kota Bima terdapat di kawasan hutan yang berada dekat dengan pantai dengan ketinggian tempat sampai dengan 300 m dpl (Setiawan, dkk. 2010; Widhiana, dkk. 2010). Secara administratif penyebaran kayu Songga di Kabupaten Dompu tersebar di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Hu u, Woja, Manggelewa, Kempo dan Kilo. Penyebaran jenis songga secara administratif di Kabupaten/kota Bima meliputi Kecamatan Lambu, Sape, Ambalawi dan Asakota. Penyebaran jenis Bidara laut di Kabupaten/kota Bima dan Dompu dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 15

28 penelusuran dari dokumentasi berbagai kegiatan atau penelitian yang telah di lakukan serta langsung dari masyarakat sekitar hutan, informasi penyebaran jenis bidara laut di Bali relatif tidak terlalu banyak. Di pulau Bali penyebaran bidara laut terkonsentrasi di wilayah bagian Barat pulau Bali, yaitu di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Penyebaran bidara laut di kawasan TNBB, Bali dapat dilihat pada Lampiran 2. Setiap spesies tumbuhan memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai untuk hidup, sehingga persyaratan hidup setiap spesies berbedabeda, dimana mereka hanya menempati bagian yang cocok bagi kehidupannya. Tempat tumbuh bidara laut baik di NTB maupun Bali mempunyai karakteristik yang relatif sama, tumbuh pada lokasi yang mempunyai tipe iklim D, E dan F menurut pengelompokan iklim Schmidt- Fergusson dengan jumlah bulan kering relatif cukup panjang. Topogafi tempat tumbuh bidara laut pada umumnya berupa dataran sampai dengan perbukitan dengan kemiringan lereng mulai dari landai sampai dengan curam. Batuan permukaan pada habitat Bidara laut relatif sedikit serta batuan singkapan sedang. Pada Tabel 3.4. disajikan karakteristik tempat tumbuh bidara laut (Setiawan dkk., 2010). Tabel 3.4. Karakteristik tempat tumbuh bidara laut Parameter Nilai Ketinggian tempat (m dpl) Kemiringan Lereng % 5 45 CH (mm/tahun) Tipe Iklim (Scmidt-Ferguson) D,E,F Suhu Udara Rata-rata ( 0 C) 23,8 28,9 Kelembaban rata-rata (%) Bulan Basah 3-5 Bulan kering 5-8 Batuan Permukaan % 0-30 Batuan Singkapan % 5-50 Permeabilitas Tingkat erosi ph H2O Lambat Cepat Rendah - berat Agak masam - Netral C organik (%) 0,4 8,8 N total (%) 0,01-0,3 P tersedia (ppm) 0,3 82,2 K tersedia (mg/100g) 62,5 211,7 KTK (cmol/kg) 2,8-37,6 Kation dapat ditukar : K (cmol/100g) 0,3-2,0 Na (cmol/100g) 1,2-8,53 Ca (cmol/100g) 4,3-38,5 SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 16

29 Parameter Nilai Mg (cmol/100g) 1,5-7,9 Pasir (%) 36-69,9 Debu (%) 17-49,2 Liat (%) 0,9-41 Kerapatan Butir Tanah (BD) (g/m 3 ) 0,8-3,0 Kerapatan Massa Tanah (BV) (g/m 3 ) 0,5-2,4 Porositas (N) (%) 1,2-74,8 Tekstur Sedang - agak kasar Catatan : kategori yang digunakan berdasarkan Balai Penelitian Tanah (2005) Keterangan: Setiawan dkk (2010, 2011) Potensi permudaan jenis bidara laut sangat besar, hal ini ditunjukan oleh besarnya kerapatan pada tingkat semai dan pancang. Namun demikian, tingkat tiang dan pohon mampunyai kerapatan yang relatif kecil. Hasil pengukuran yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tabel 3.5. Potensi permudaan bidara laut di Bali dan NTB Potensi menurut kerapatan Individu dgn Ø 10 cm atau lebih (individu/ha) No. Lokasi Potensi Volume Rerata tinggi Semai Pancang Tiang Pohon LBDS (m (m 2 /ha) 3 /ha) Ø (cm) (m) TNBB, ,43 1,3 17,3 7,5 2 3 Bali Dompu, NTB Bima, NTB Keterangan: Setiawan dkk (2010, 2011) ,72 3,31 16, ,81 3,90 Tbbc 4,0 Bidara laut dalam habitatnya bukan merupakan spesies yang dominan namun mempunyai Indeks Nilai penting (INP) yang cukup besar. Pada tabel 3.6 disajikan nilai INP bidara laut di Kabupaten Bima, Dompu dan kawasan TNBB. Tabel 3.6. Nilai Indeks Nilai Penting (INP) bidara laut di Bali dan NTB No. Lokasi Indeks Nilai Penting (INP) (%) Semai Pancang Tiang Pohon 1 TNBB, Bali 49,6 31,0 32,4 4,3 2 Dompu, NTB 42,5 41,2 50,7 15,9 3 Bima, NTB 35,2 35,5 25,9 20,4 Keterangan: Setiawan dkk (2010, 2011) Strata tajuk jenis Bidara laut dalam komunitasnya berkisar antara strata D (1-4 m) sampai dengan strata C (4-20m). Pola distribusi spasial jenis Bidara laut dalam komunitasnya mengikuti pola distribusi SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 17

30 mengelompok dengan nilai Kepangkatan Taylor lebih dari 1 (Philips, 1959 dalam Wihermanto, 2004). Hasil analisis asosiasi antara jenis Bidara laut dengan jenis lainnya menunjukkan bahwa sebagian besar jenis yang ada tidak berasosiasi dengan Bidara laut. Adapun jenis yang mempunyai asosiasi dengan Bidara laut adalah Laban (Vitex pubescens Vahl), Putian (Symplocos javanica Kurz.), Serut (Streblus asper (Retzius).Louleira.), Talok (Gewia koordersiana) dan Walikukun (Shoutenia ovata) Potensi, Sebaran dan Biofisik Keruing (Dipterocarpus spp) Rostiwati et al. (2012) mengemukakan bahwa di Sumatera terdapat lokasi dimana terdapat tegakan keruing yang dominan dan telah ada kegiatan pemanfaatan resin keruing oleh masyarakat, yaitu di zona pemanfaatan kawasan TNGL dan Hutan Adat Menggramat di Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan, selain itu pula sebaran keruing terdapat juga di kawasan IUPHHK PT. Teluk Nauli di Pulau Tello Kabupaten Nias Selatan. Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan secara Geogafis terletak pada 95 00' 95 08' BT dan 05 02' 05 08' LU. Pohon penghasil minyak keruing yang dimaksud adalah dari jenis Dipterocarpus spp, namun sampai saat ini potensi alami jenis-jenis tersebut di Indonesia belum diketahui secara pasti. Menurut Appanah and Turnbull (1998) di Kalimantan dan Sumatera bagian utara terdapat sekitar 20 jenis dari marga Dipterocarpus yang menghasilkan minyak keruing. Penghasil minyak keruing terbaik dihasilkan dari Dipterocarpus cornutus, D. crinitus, D. hasseltii, D. kerii, D. gandiflorus (Malaysia), D. turbinatus, D. tuberculatus (India, Bangladesh, Myanmar), D. alatus (Bangladesh, Andaman, Indochina), dan D. gandiflorus (Philipina)). Jenis Dipterocarpus penghasil minyak keruing lainnya yang seringkali diperdagangkan ke beberapa negara dan banyak tersebar di Indonesia adalah jenis Dipterocarpus gacilis dan D. lamellatus (Lewis, 1977; Shiva dan Jantan, 1998 dalam Rostiwati et al., 2012) Minyak keruing dengan nama ilmiah oleoresin merupakan resin cair, berbau harum, lengket dan berminyak bermanfaat sebagai bahan baku obat. Oleoresin dengan istilah lokal yang bermacam-macam, seperti gurjan oil (India), kanyin oil (Birma), balau (Philipina) dan minyak keruing (Malaysia dan Indonesia). Dipterocarpus turbinatus dikenal sumber utama penghasil kanyin oil di Myanmar, gurjan oil di Bangladesh dan India. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 18

31 Minyak keruing efektif untuk mengobati penyakit genito-urinary. Minyak keruing ini sudah sejak lama diperdagangkan karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat dan aromaterapi (Yulita, 2002). Negara sasaran ekspor minyak keruing adalah negara-negara Eropa. Tahun 1984 produksi minyak keruing dari Sumatera adalah sekitar 20 ton dengan kisaran harga saat itu sebesar US$ 30 per 4 galon (Lawrence, 1985), sedangkan produk minyak keruing di Laos yang berasal dari jenis Dipterocarpus alatus memiliki nilai jual US$ 30/L (Ankarfjard & Kegl, 1998). Penelitian yang telah dilakukan oleh Saridan et al. (2011) terhadap potensi pohon keruing menunjukkan bahwa tegakan keruing di Hutan Penelitian Labanan berbeda dengan potensi pohon di areal PT Hutan Sanggram Labanan Lestari (Eks PT Inhutani I) yang terletak di Camp Sei Du ung, Desa Labanan Makarti, Kecamatan Teluk Bayur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur. Lokasi hutan penelitian Labanan terletak di koordinat Lintang Utara dan Bujur Timur sedangkan areal PT Hutan Sanggram Labanan Lestari (Eks PT Inhutani I) berada di posisi LU; BT dengan ketinggian 52 m dpl. Di Hutan Penelitian Labanan terdapat 9 jenis Dipterocarpus dan 3 diantaranya tidak menghasilkan minyak keruing yaitu Dipterocarpus glabrigemmatus, D. humeratus dan D. tempehes dengan potensi pohon keruing di hutan penelitian Labanan rata-rata per hektarnya sebanyak 35 batang/ha dan rata-rata per jalur adalah 7 batang (Saridan et al., 2011), sementara di areal PT Hutan Sanggram Labanan Lestari (Eks PT Inhutani I) terdapat 4 jenis pohon keruing dan hanya 1 jenis pohon penghasil minyak keruing yaitu D. palembanicus Slooten, dengan kerapatan pohon keruing sebanyak 11 batang/ha, dengan volume rata-rata tegakan sebesar 33,19 m 3 /ha (Kholik et al., 2012). Secara umum jenis keruing tumbuh pada lereng yang sangat curam, tetapi Dipterocarpus stellatus ssp parvus Ashton merupakan jenis yang memiliki kemampuan tumbuh di berbagai kelerengan Potensi, Sebaran dan Biofisik Massoi (Cryptocaria sp) HHBK jenis Massoi di wilayah Provinsi Papua Barat memiliki potensi dan penyebaran cukup bervariasi, yang di pengaruhi oleh tingkat pemanfaatan dan faktor site (biofisik). Potensi sebarannya terdapat pada 3 kabupaten yaitu: SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 19

32 Kabupaten Teluk Bintuni Kabupaten Teluk Bintuni merupakan wilayah potensial bagi pengembangan sentra produksi massoi dan sumber benih. Adapun Lokasilokasi penyebaran antara lain: Bintuni (Naramasa, Botai), Kuri, Idoor, Farfurwar dan Tembuni. Salah satu lokasi kampung yang memiliki potensi massoi >10 pohon /ha berada di kampung Botai yang letaknya di sekitar sungai muturi, Distrik Bintuni. Kabupaten Manokwari Potensi dan penyebaran massoi di Kabupaten Manokwari dapat diketahui berada pada lokasi-lokasi kampung di wilayah distrik antara lain: Tahota, Sihu, Isim dan Horna. Wilayah kampung Horna masih memiliki potensi terbesar untuk tingkat pohon (>10 phn/ha). Kondisi ini di duga disebabkan oleh rendahnya produktifitas karena faktor aksesibilitas dan medan/topogafi yang cukup berat sehingga menjadi kendala bagi masyarakat lokal (pengumpul). Teluk Wondama (Dusner, Nanimori, Ambumi, Wombu, Wondiboi, Rado, Aisandami). Potensi massoi di Kabupaten Teluk Wondama cenderung menyebar secara merata di seluruh kawasan hutan Teluk Wondama. Potensi terbesar berada di Wilayah Distrik Wamesa dan Wasior Barat. Kampung Mamisi dan Wombu masih memiliki potensi terbesar dengan kerapatan untuk tingkat pohon > 10 pohon /ha, dengan INP masing-masing 23,71 % (Mamisi) dan 28,83 % (Wombu). Massoi dapat tumbuh pada kondisi hutan beriklim tropis basah dengan curah hujan tahunan mm/tahun. Pola pertumbuhan berkelompok dan menyebar secara parsial di hutan belukar, tumbuh pada tanah pasir maupun lempung yang tidak tergenang air. Berasosiasi dengan jenis tumbuhan lainnya terutama Pandanaceae dan mulai menyebar di hutan dataran rendah dengan ketinggian 10 m dpl hingga pada ketinggian ± 500 m dpl. Massoi di golongkan jenis tumbuhan pohon dataran rendah, dengan kondisi habitat relatif datar bergelombang ringan sampai sedang. Secara alami, kondisi umum untuk penyebaran dan kuantitas individu (kerapatan) relatif lebih baik pada ketinggian m dpl dengan kelerengan %. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 20

33 Potensi, Sebaran dan Biofisik Kratom (Mitragyna speciosa). Hingga saat ini baru wilayah Mamberamo yang diketahui sebagai daerah sebaran Kratom. Sebaran Kratom di wilayah sekitar Kampung Dabra Distrik Mamberamo Hulu pada daerah yang terkena pasang surut dan memiliki kelembaban suhu tanah yang tinggi. Tingkat sebarannya kurang merata dikarenakan pola sebaran yang mengelompok. Pada lokasi Sungai Furu, Kratom memiliki dominansi (penguasaan) yang tinggi pada tingkat semai dan pohon. Sedangkan pada tingkat pancang dan pohon berada pada urutan ketiga dan kedua. Struktur populasi jenis Kratom menunjukkan struktur populasi yang tidak normal yaitu miskin jumlah individu pada tingkat pancang dan tiang. Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui potensi Kratom dan asosiasinya dengan vegetasi lain. Pengukuran yang dilakukan pada lokasi sungai Furu seluas 0,2 ha (5 plot). Jumlah individu Kratom yang dijumpai sebanyak 29 tegakan seperti yang diperlihatkan Tabel 3.7. Tabel 3.7. Perjumpaan individu Kratom pada setiap tingkatan pertumbuhan Jumlah individu No. Plot Semai Pancang Tiang Pohon I II III IV V Jumlah Berdasarkan hasil pengramatan di lapangan, jenis Kratom hanya dapat tumbuh pada daerah yang berlumpur dan memiliki kelembaban tanah tinggi (74 90 %). Faktor lain yang menarik dari jenis ini adalah kemampuannya tumbuh di atas genangan air (± 70 cm) seperti jenis bakau. Penyebaran benih Kratom di Mamberamo banyak dibantu oleh air (hydrogramy) dan kelelawar (ornithogramy). Namun yang masih merupakan misteri apakah biji Kratom mampu berkecambah di dalam air. Hal ini bisa menjadi research question selanjutnya. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 21

34 Grambar 3.2. Tegakan Kratom (M. Speciosa) yang tumbuh di genangan air dan berasosiasi dengan Barringtonia racemosa di Mamberamo Hulu, Papua Kratom diduga berasal di Asia Tenggara. Sekarang dapat ditemukan tumbuh liar di Thailand dan di beberapa daerah sekitarnya di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia. Kratom merupakan pohon dengan tinggi dapat mencapai meter. Daun berukuran panjang lebih dari 18 cm dan lebar sekitar 10 cm. Warna daun hijau gelap. Bunganya kuning dan berbentuk rangkaian. Kratom merupakan tanaman tahunan, daun tua berguguran dan digantikan oleh daun muda yang terus tumbuh Teknik silvikultur intensif jenis penghasil FEMO Informasi fenologi dan perbenihan jenis-jenis kayu energi dan FEMO Tabel 3.8. Rekapitulasi informasi perbenihan Komoditas Kayu energi Jenis Weru Periode pembungaanpembuahan 7-8 bulan (tunas generatif Februari, bunga mekar April dan buah muda Mei-Juni, buah masak September Oktober). Pilang Siklus reproduksi 5 6 bulan (Tunas generatif Mei, bunga mekar Mei, buah masak fisiologis Agustus-September) Informasi Perbenihan Fenologi Penanganan Benih direndam H 2SO 4 10 menit atau air panas dan dibiarkan dingin selama 24 jam direndam H 2SO 4 selama 20 menit SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 22

35 Komoditas Jenis Informasi Perbenihan Fenologi Penanganan Benih Kaliandra periode pembungaan 3-4 bulan. Seleksi benih dengan Inisiasi bunga terjadi sepanjang menggunakan saringan tahun yang diindikasikan dari (mesh) munculnya bunga sepanjang tahun Akor siklus pembungaan - Seleksi benih menggunakan pembuahan 6-7 bulan(tunas saringan (mesh), tidak generatif Februari, bunga menunjukkan daya mekar Maret-April,buah berkecambah berbeda. dewasa dan masak Mei- Seleksi benih menggunakan Juli/Agustus). seed gavity table memperlihatkan daya berkecambah benih dan pertumbuhan tinggi bibit yang lebih baik pada kriteria benih besar dan sedang dengan nilai berkisar antara 55% sampai 62%. Lamtoro Waktu inisiasi bunga lamtoro diduga terjadi setiap saat yang terindikasi dari munculnya bunga sepanjang tahun. Siklus reproduksi berlangsung 4 5 bulan. Turi Periode pembungaan 3-3,5 bulan. Pembungaan dan pembuahan sepanjang tahun. Malapari siklus pembungaan dan pembuahan 7-8 bulan (tunas generatif Maret-April, bunga mekar Mei ( 5-7 hari), buah muda Juni-Juli dan buah matang Oktober-Nopember FMO Ganitri berlangsung selama 5-6 bulan (Pembungaan bulan April dan buah masak bulan September ). Pada Oktober/Nopember terjadi pembungaan kembali (late flowering) namun dengan jumlah sedikit dan buah masak bulan April/Mei. Kilemo Periode berbunga khususnya di Cikole-Jawa Barat tampak terus terjadi. Di Aek nauli bulan Februari- Maret dan buah masak pada bulan Juli-Agustus 2010 yang ditandai dengan warna kulit buah hitam Ekstraksi benih dengan menjemur polong tua di bawah sinar matahari sampai polong merekah, dan dipisahkan kulitnya. Perlakuan direndam dengan H 2SO 4 selama 10 dan 20 menit Hasil pengujian di laboratorium menunjukkan kandungan kadar air benih segar sebesar 9%, dengan kemurnian 99%, berat seribu butir 37,8 g, jumlah benih per kg butir, jumlah benih per liter butir dan daya berkecambah 71%. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 23

36 Komoditas Informasi Perbenihan Jenis Fenologi Penanganan Benih kemenyan Siklus pembungaan - Benih mempunyai kadar air pembuahan selama 8 9 bulan ebesar 44%, teknik (Tunas generatif Juni-Juli, ekstraksi dengan cara bunga kuncup Juli Agustus, membuang kulit dan daging dan bunga mekar Agustus, Buah muda September Oktober dan buah siap panen Februari-Maret. buahnya menggunakan pisau sampai daging buah terlepas semua, setelah itu biji dikeluarkan. Perlakuan pendahuluan dengan cara rendam jemur selama ± 3 hari hingga kulit biji terlihat retak Weru (Albizia procera) Waktu inisiasi bunga yang diamati pada penelitian ini berbeda untuk setiap jenis. Inisiasi bunga adalah tahapan awal dari satu rangkaian perkembangan pembungaan-pembuahan. Akan tetapi, proses ini hanya dapat dilihat secara mikroskopis dengan mengidentifikasi adanya perubahan jaringan dari meristem vegetatif menjadi apikal reproduktif (primordia bunga) pada organ tunas. Inisiasi bunga weru terjadi lebih dari 2 bulan yang teramati mulai bulan Januari. Ketika terjadi pertumbuhan dari primordia bunga menjadi tunas generatif (reproduktif), maka organ ini muncul pada bagian lateral atau terminal (ujung). Proses perkembangan pembungaan dan pembuahan selanjutnya secara kasat mata (visible) dapat diamati, dan biasanya dimulai dari munculnya tunas generatif. Tunas ini keluar dari ketiak daun (apeks lateralis) atau dari bagian ujung (apeks terminalis) yang berupa bendulan kecil. Pengramatan berlanjut hingga ke bunga mekar (anthesis), pembentukan buah dan buah masak siap panen. Periode pembungaan-pembuahan jenis weru di Jawa Barat berlangsung selama 7-8 bulan, yang diawali dengan pemunculan tunas generatif pada bulan Februari, bunga mekar pada bulan April dan menjadi buah muda bulan Mei-Juni. Buah masak siap panen terjadi pada bulan September Oktober. Tanaman mempunyai tipe bunga tunggal atau majemuk yang terdapat dalam satu rangkaian yang disebut malai (inflouresence). Tunas generatif weru keluar dari ujung tangkai (terminalis) berupa bendulan kecil, kemudian berkembang menjadi satu rangkaian bunga (bakal malai) yang SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 24

37 masih menyatu, tangkai bakal bunga keluar dari ketiak-ketiak daun membentuk tipe panicle dan bunga berkelompok membentuk bunga majemuk. Keberhasilan reproduksi merupakan parameter untuk mengetahui potensi reproduksi yang dimiliki tanaman. Weru memiliki nilai fruit set dan seed set yang relatif tinggi yaitu masing-masing 0,40±0,08 dan 0,85±0,02 sehingga menghasilkan nilai KRSP (Keberhasilan Reproduksi Sebelum Perkecambahan) yang relatif tinggi pula yaitu 0,35 ± 0,09 atau antara 26% sampai 44%. Dengan demikian, proporsi ovul yang berhasil dibuahi dan berkembang menjadi biji yang viabel adalah rata-rata sebesar 35%. Dengan menghilangkan asumsi yang berpengaruh terhadap perkembangan buah seperti hama dan penyakit, kerontokan buah dan lain sebagainya, nilai ini menggrambarkan potensi produksi benih viabel per pohon yang akan dihasilkan berdasarkan potensi reproduksi yang dimiliki. Produksi benih atau buah dapat diduga secara langsung dengan mengukur jumlah atau berat buah per pohon berdasarkan variabel dimensi pohon seperti diameter batang, tinggi pohon dan lebar tajuk. Pada umumnya diameter batang merupakan peubah bebas yang dapat digunakan untuk menduga produksi. Produksi buah atau polong weru rata-rata 62,5 kg/pohon atau setara dengan 105 g benih/pohon. Dengan nilai keberhasilan reproduksi weru sebesar 35%, maka akan diperoleh benih viabel dalam setiap pohon sejumlah 36,75 g. Buah weru yang sudah masak fisiologis ditandai dengan warna kulit buah berwarna kecoklatan, dengan kadar air benih optimal mencapai 8,4%. Benih weru mempunyai kemurnian yang cukup tinggi yaitu 98,88%. Hal ini menunjukkan proporsi benih murni jenis weru dan banyaknya kotoran serta benih lain yang terkandung di dalam lot benih. Penentuan berat 1000 butir benih digunakan untuk memprediksi jumlah benih dalam 1 kg yang sangat berguna dalam perencanaan penanaman terutama dalam penentuan jumlah benih yang diperlukan untuk persemaian guna memenuhi target bibit siap tanam. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai rata-rata berat 1000 butir benih weru adalah 31,77 gram, dan jumlah benih per 1 kg adalah butir. Perlakuan pendahuluan dan metode uji yang disarankan adalah benih direndam dengan H2SO4 selama 10 menit dan diuji menggunakan metode UKDdp (Uji Kertas SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 25

38 Digulung dalam plastik), UDK (Uji Di atas Kertas), UAK (Uji Antar Kertas) dan media pasir tanah. Selain itu juga dapat direndam air panas dan dibiarkan dingin selama 24 jam dan diuji dengan metode yang sama. Dengan metode ini benih mampu berkecambah antara 84% sampai 93%. Seleksi benih weru dilakukan dengan menggunakan alat Seed Gavity Table menghasilkan ukuran benih terbesar (3,44 g per 1000 butir benih) dengan daya berkecambah dan kecepatan berkecambah maksimal yaitu berturutturut antara 81,5% sampai 85% dan 13,6 %KN/etmal sampai 14,2%KN/etmal) Pilang (Acacia leucophloea) Siklus reproduksi tanaman pilang di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) pada tahun 2010 berlangsung selama 5 6 bulan. Tunas generatif terlihat pada bulan Mei dan pada bulan yang sama terjadi perkembangan menjadi kuncup bunga, bunga mekar dan bunga layu. Buah masak fisiologis terjadi pada bulan Agustus-September yang merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pengunduhan. Hasil pengramatan terhadap potensi reproduksi pilang menunjukkan bahwa keberhasilan reproduksi tanaman pilang relatif rendah. Ratio pembentukan buah menjadi bunga (fruit set) rata-rata 40% dan pembentukan ovul menjadi biji (seed set) rata-rata 51% serta keberhasilan reproduksi sebelum perkecambahan rata-rata 19%. Hasil rata-rata produksi buah pilang secara keseluruhan yang berasal dari plot penelitian di TNBB adalah 14,84 kg/pohon atau setara dengan 371 g benih/pohon (persentase polong menjadi biji rata-rata 2,5%). Apabila nilai potensi produksi dikaitkan dengan potensi reproduksi (Keberhasilan Repoduksi Sebelum Perkecambahan) yang dimiliki tanaman pilang yaitu sebesar 19% (Syamsuwida et al. 2011), maka akan diperoleh benih viabel rata-rata 70,49 g/pohon. Namun demikian, pada kenyataannya benih pilang yang dikumpulkan dari atas pohon atau lantai hutan banyak terserang hama ulat antara 20% - 43% (Suita et al. 2011). Sehingga produksi benih viabel pilang per pohon dari TNBB akan jauh berkurang apabila serangan hama diperhitungkan. Diameter batang merupakan variabel bebas yang dapat digunakan untuk menduga produksi benih pilang di plot TNBB. Populasi Soe-Kupang menghasilkan produksi benih pilang lebih banyak daripada populasi TNBB. Produksi benih pilang SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 26

39 di Soe-Kupang rata-rata sebesar 1716,36 g/pohon. Produksi benih pilang pada kedua populasi dapat diprediksi berdasarkan variabel diameter batang dengan menggunakan satu persamaan regesi: Y = ,8 x. Pilang mempunyai rata-rata kadar air yang cukup rendah (7,0 %). Hal ini menunjukkan bahwa jenis pilang dapat masuk ke dalam kategori benih ortodok. Benih pilang mempunyai kemurnian yang cukup tinggi yaitu 99,3%. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai rata-rata berat 1000 butir benih pilang 23,07 gram, atau berat per 1 kg adalah : butir. Perlakuan pendahuluan dan metode uji untuk jenis pilang adalah perendaman benih dengan H 2SO 4 selama 20 menit dengan metode uji UAK (Uji Antar Kertas) atau UDK (Uji Di atas Kertas). Dengan metode ini dihasilkan persentase berkecambah antara 55,0% sampai 55,8% dan kecepatan berkecambah berkisar antara 13,8%KN/etmal sampai 13,9%KN/etmal. Seleksi benih pilang dengan menggunakan Seed Gavity Table menghasilkan viabilitas benih yang tinggi pada benih berukuran antara 2,6 g sampai 2,65 g dengan daya kecambah berkisar antara 73,8% sampai 77,5% dan kecepatan berkecambah 12,2% KN/etmal hingga 12,8 % KN/etmal) Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Kaliandra memiliki periode pembungaan-pembuahan yang relatif pendek yaitu 3-4 bulan yang diamati di daerah Bogor dan Cianjur. Inisiasi bunga terjadi sepanjang tahun yang diindikasikan dari munculnya bunga sepanjang tahun. Dengan demikian, tanaman kaliandra dikatakan mengalami pembungaan terus menerus tanpa ada dormansi tunas sehubungan dengan kondisi iklim. Kaliandra memiliki sistem kelamin andromonoecious yaitu dalam satu tanaman terdapat bunga hermaprodite (biseksual) dan bunga jantan. Dalam satu malai rata-rata terdapat 2-4 bunga (jantan) dan 4-11 bunga hermaprodit. Keberhasilan reproduksi tanaman kaliandra dilaporkan berkisar antara 10% sampai 22% atau ratarata 16%. Produksi buah kaliandra di Kebun Raya Cibodas secara nyata berkorelasi dengan jumlah terubusan (R 2 = 0,63; P<0.01). Persamaan yang dihasilkan adalah ln Y=ln 37, ,1359X. Jumlah polong rata-rata 115,43 g/pohon yang dikumpulkan dari kelas terubusan berjumlah 12. Jumlah ini setara dengan 60 g benih/pohon. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 27

40 Kaliandra yang sudah masak fisiologis ditandai dengan warna buah hijau-kecoklatan dan sebagian buah sudah merekah. Kadar air benih kaliandra dari beberapa lokasi (Sumatera Barat dan Jawa Barat) berkisar 5,74% hingga 8,87% dan berat 1000 butir berkisar 45,35 g sampai 53,17g dengan jumlah benih perkilogram berkisar antara butir sampai butir. Seleksi benih kaliandra menggunakan saringan (mesh), dimana benih yang tertahan di mesh yang berdiameter 5,75 mm adalah termasuk benih besar dengan daya berkecambah berkisar 79% sampai 91% Akor (Acacia auriculiformis A.Cunn) Akor memunculkan tunas generatif pada bulan Februari dan mekar pada bulan Maret-April, akhirnya menjadi buah muda, dewasa dan masak pada bulan Mei-Juli/Agustus. Sehingga diketahui bahwa siklus perkembangan pembungaan hingga pembuahan akor tejadi selama 6-7 bulan yang diamati pada satu tegakan di Desa Sawangan dan Jingkang (Banyumas Barat). Pada umumnya masa pembungaan akor tidak serentak pada satu dahan dalam waktu yang pendek, namun bergantian dan berlangsung cukup lama yaitu tiga hingga empat bulan. Sehingga dalam satu pohon atau satu populasi tegakan akan terlihat kondisi dimana bunga kuncup, bunga mekar, buah muda dan buah tua terjadi. Buah polong akor matang bersifat dehiscence yaitu kulit buah kering berwarna coklat tua pecah dan biji didalamnya akan berhamburan. Bunga akor bersifat hermaprodit yang memiliki tipe protandrius yaitu kematangan organ jantan lebih dulu daripada kematangan organ betina, sehingga perlu teknik yang tepat pada saat melakukan penyerbukan. Ratio pembentukan buah menjadi bunga atau fruit set berkisar antara 4% hingga 8% dan pembentukan ovul menjadi biji atau seed set antara 10% hingga 22% serta keberhasilan reproduksi (KRSP) antara 0,5% hingga 1,5%. Pendugaan produksi benih akor dari tanaman berdiameter batang rata-rata 30,1 cm pada tegakan di RPH Bunder-Gunungkidul menghasilkan rata-rata 80,75 g/pohon. Dengan asumsi potensi reproduksi 1% (KR akor 0,5-1,5%) dalam setiap pohon, maka diperoleh benih viabel rata-rata 0,8 g/pohon atau sekitar 575 butir/kg (1 kg biji akor = butir). Kecenderungan hubungan antara produksi benih akor dengan diameter pohon dapat dinyatakan dengan persamaan eksponensial SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 28

41 yaitu : y = 0,6287e 0,164x, R 2 = 0,579 dengan y = produksi benih dan x = diameter pohon. Rata-rata kadar air benih akor 6,6 %, berat 1000 butir 15,7g dengan jumlah benih per kilogram adalah butir. Seleksi benih akor dengan menggunakan saringan (mesh) tidak menunjukkan perbedaan daya kecambah pada setiap ukuran benih yang tersaring. Sedangkan seleksi benih menggunakan seed gavity table, menghasilkan benih dengan kriteria benih besar dan sedang dengan daya berkecambah berkisar antara 55% sampai 62% Lamtoro (Leucaena leucocephala, Lmk. de wit) Waktu inisiasi bunga lamtoro diduga terjadi setiap saat yang terindikasi dari munculnya bunga sepanjang tahun serta ditemukannya struktur primordia bunga pada semua sampel pohon yang diamati. Setelah inisiasi bunga terjadi, pada bagian ujung tumbuh tunas generatif (bakal bunga) yang berkembang menjadi bonggol bunga. Dalam satu tangkai biasanya terdiri dari 2-6 bonggol bunga. Bunga bonggol merupakan kumpulan bunga membentuk bola berwarna putih krem yang tersusun atas kuntum bunga (Grambar 4). Bonggol berdiameter mm. Siklus reproduksi tanaman lamtoro di Dramaga-Bogor berlangsung selama 4 5 bulan. Diawali dengan tumbuhnya tunas vegetatif diikuti dengan tunas generatif pada bulan April dan pada bulan yang sama terjadi perkembangan menjadi kuncup bunga, bunga mekar dan bunga layu. Buah masak fisiologis terjadi pada bulan Juli-Agustus yang merupakan waktu yang tepat untuk melakukan pengunduhan sebelum buah merekah dan biji terpencar. Fruit set, seed set dan keberhasilan reproduksi (KRSP) tanaman lamtoro berturut-turut adalah antara kisaran 3% sampai 5%, 96% sampai 99% dan 3% sampai 5%. Ratio bunga menjadi buah lamtoro sangat rendah menunjukkan keberhasilan penyerbukan yang rendah. Produksi buah lamtoro dari tegakan yang ada di TN Bali Barat sebesar 409,08 buah/pohon dengan rata-rata diameter batang 8,13±1,53 cm dan tinggi total 6,11±1,24 m. Produksi buah lamtoro dari tegakan di plot penelitian Cikampek adalah 825,60 g/pohon. Jumlah benih lamtoro per 1000 g adalah butir, maka produksi benih per pohon dari plot Cikampek adalah sebesar 14976,4 butir atau setara dengan 829,26 buah/pohon (jumlah biji/buah = 18,06 butir). Dari nilai ini dapat SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 29

42 disimpulkan bahwa produksi buah lamtoro dari tegakan di Cikampek lebih banyak daripada produksi buah yang diambil dari tegakan di TNBB. Hal ini dapat difahami mengingat banyaknya ditemukan hama ulat Acanthocelides sp. (Coleoptera : Bruchidae) pada biji lamtoro yang berasal dari TNBB yang menurunkan produksi benih per pohon. Berdasarkan uji korelasi diketahui bahwa tingkat keeratan hubungan antara dimensi pohon dengan produksi buah lamtoro sangat rendah dengan koefisien korelasi berturut-turut sebesar 2 % dan 26 % masing-masing untuk lokasi TNBB dan Cikampek. Rendahnya nilai korelasi tersebut menyebabkan belum dapat disusunnya model persamaan regesi untuk menduga produksi buah lamtoro. Mutu fisik benih lamtoro yang meliputi nilai kadar air benih dari beberapa lokasi (Banten, Riau dan Sumbar) rata-rata berkisar antara 7,21% sampai 8,52%, kemurnian berkisar 99,11% sampai 99,82% dan berat 1000 butir berkisar 54,01g sampai 56,48 g dengan jumlah benih perkilogram berkisar butir sampai butir. Benih lamtoro yang ditabur baik pada bak kecambah terbuka maupun tertutup dengan perlakuan perendaman H 2SO 4 selama 10 sampai 20 menit menghasilkan persentase kecambah dengan kisaran 86% hingga 88%. Metode uji UAK, UDK maupun UKDdp dengan perlakuan H 2SO 4 selama 10 sampai 20 menit menghasilkan daya berkecambah >83%. Benih lamtoro diseleksi menggunakan seed gavity table dan menghasilkan daya berkecambah yang tinggi untuk ukuran benih terbesar baik yang berasal dari Sumbar (96,7%), Riau (94,50%) maupun Carita (89,50%) Turi ( Sesbania gandiflora (L.) Pers.) Turi memiliki periode pembungaan yang relatif pendek yaitu antara 3 bulan sampai 3,5 bulan yang diamati di beberapa daerah di Bogor. Seperti pada umumnya jenis dengan periode pembungaan yang tidak lama, turi mengalami pembungaan dan pembuahan sepanjang tahun. Dengan demikian, tidak ada pengaruh iklim pada bulan basah atau kering yang secara spesifik menstimulasi terjadinya puncak bunga atau buah raya. Pengramatan yang dilakukan pada awal bulan April saat pertama terlihat tunas generatif, memperlihatkan perkembangan fase-fase pembungaan selanjutnya hingga terlihatnya pembesaran ovarium terjadi pada bulan yang sama. Fase buah muda hingga masak fisiologis terlihat pada bulan Mei-Juni/Juli. Ratio pembentukan buah menjadi bunga atau SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 30

43 fruit set berkisar antara 12% - 24%. Namun demikian, pembentukan ovul menjadi biji atau seed set cukup tinggi yaitu antara 71% sampai 99%. Nilai keberhasilan reproduksi (KRSP) diperoleh dengan kisaran 11% hingga 23%. Dengan demikian, proporsi ovul yang berhasil dibuahi dan berkembang menjadi biji yang viabel adalah rata-rata sebesar 17%. Variabel reproduksi turi pada dahan bagian timur dan barat tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) kecuali jumlah buah (P<0,05) Malapari (Pongramia pinnata (L.) Pierre) Periode perkembangan pembungaan dan pembuahan malapari pada cabang bagian barat dan timur tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan (P>0,05). Demikian juga ratio bunga menjadi buah pada kedua cabang yang berbeda (barat da timur) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Cahaya matahari memancarkan sinarnya ke segala arah dan hanya sebagian kecil yang diterima bumi. Secara geogafis, arah barat dan timur relatif menerima intensitas cahaya yang sama. Perbedaan terjadi ketika awan atau hujan menghalangi cahaya matahari (Jumin 2008). Selain itu, jarak tanam malapari di Batukaras relatif dekat satu sama lain (2,5 m x 1,0 m) dan penutupan tajuk cukup rapat, sehingga cahaya yang datang kurang lebih sama. Dengan demikian, pertumbuhan dan perkembangan bunga dan buah malapari pada cabang barat dan timur pada pohon yang sama menerima cahaya matahari dengan intensitas yang relatif sama. Tanpa memperhatikan arah barat dan timur, pada umumnya tunas generatif malapari terjadi pada bulan Maret-April dan berkembang menjadi bunga mekar pada bulan Mei yang berlangsung selama 5-7 hari. Ketika bunga mengalami penyerbukan, ovarium akan terlihat membesar dan selanjutnya berkembang menjadi buah muda. Fase ini terjadi pada bulan Juni-Juli dan menjadi buah matang pada bulan Oktober-Nopember. Secara keseluruhan, siklus pembungaan dan pembuahan malapari berlangsung selama 7-8 bulan. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 31

44 Nyamplung (Calophyllum inophyllum. L.) Nyamplung berbuah sepanjang tahun dengan musim buah raya umumnya terjadi pada bulan Agustus-September. Fenomena ini terjadi hampir di seluruh lokasi yang diamati seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan NTB. Masa berbunga dan berbuah nyamplung yang relatif pendek (3-4 bulan) dan tanpa dormansi tunas menyebabkan jenis ini mampu berbunga dan berbuah hingga 2-3 kali dalam setahun, sehingga tampaknya pembuahan selalu terjadi pada setiap lokasi. Seperti hasil penelitian periode berbunga nyamplung di beberapa lokasi pengramatan di Kabupaten Lombok Tengah tampak bervariasi, yaitu dari bulan April hingga Mei, ada yang terjadi pada bulan Mei hingga Juni atau bulan Juni hingga Juli, sedangkan perkembangan bunga menjadi bakal buah berlangsung antara 2 bulan - 2,5 bulan dan buah masak siap panen mencapai ± 3 bulan. Di Batukaras-Jawa Barat dan Purworejo-Jawa Tengah periode pembungaan (tunas generatif hingga buah mekar) berlangsung selama 1-2 bulan (aprilmei) dan pembuahan 2-3 bulan (mei-juli/agustus). Berkaitan dengan posisi pembungaan pada cabang bagian barat dan timur di lokasi Batukaras, hasil pengramatan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa cabang bagian barat membutuhkan periode pembungaan lebih lama dibandingkan dengan di bagian timur. Ratio bunga menjadi buah (fruit set) nyamplung di Batukaras tercatat mencapai 29%-37%. Buah masak siap panen ditandai dengan warna kulit buah kuning kecoklatan. Perkembangan pembungaan nyamplung (dari tahap awal terbentuknya bakal bunga hingga bunga mekar) terjadi selama 1 bulan. Bunga nyamplung mempunyai karakteristik panjang 3,5 6 cm dan diameter 1,6 3,5 cm (Handoko et al., 2010). Bunganya sendiri tergolong bunga sempurna Hal ini dapat diketahui dengan ditemukannya alat reproduktif jantan dan betina dalam satu bunga nyamplung (Grambar 3.3) Ket: struktur anatomi dengan perbesaran 40x Grambar 3.3. Perbungaan nyamplung: (A) Bunga, (B) Penampang melintang, (C) Pollen SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 32

45 Periode perkembangan bunga nyamplung menjadi buah nyamplung terjadi selama 1 bulan. Periode perkembangan bunga masak berkisar 2-3 bulan dengan karakter buah mempunyai panjang berkisar 2,3 3,4 cm dan lebar 2 3,3 cm. Ukuran diameter bunga, ukuran buah dan lama waktu pembuahan diduga dipengaruhi oleh faktor genetik individu pohon nyamplung. Skema periode perkembangan bunga nyamplung menjadi buah nyamplung tersaji pada Grambar 3.4. Polinator penyerbukan nyamplung umumnya adalah kumbang (Grambar 3.5). Grambar 3.4. Skema periode perkembangan bunga nyamplung menjadi buah Grambar 3.5. Penyerbukan bunga nyamplung oleh polinator kumbang (Foto. Resti, 2010) Nyamplung berbuah sepanjang tahun dengan musim buah raya umumnya terjadi pada bulan Agustus-September. Buah yang dikumpulkan adalah yang telah masak dengan warna kulit buah kuning kecoklatan. Persentase buah masak fisiologis di wilayah NTB (Jerowaru, Batukliang Utara dan Korleko) pada saat pengunduhan pertama masing-masing sebesar 32,78%, 36,45% dan tertinggi di Korleko sebesar 40,29%. Persentase perkecambahannya berturut-turut sebesar 91,1%, 94,87% dan 77,05% (Handoko et al., 2010). Berdasarkan hasil analisis jaringan bunga, SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 33

46 terdapat 1 sel calon bakal buah pada tiap jaringan bunga nyamplung. Hasil pengramatan anatomi buah dapat dilihat pada Grambar 3.6. Ket: struktur anatomi dengan perbesaran 40x Grambar 3.6. Buah Nyamplung (A), Struktur anatomis bakal buah (B) Lontar (Borrassus flabellifer) Lontar ialah sejenis palem kipas, kira-kira setinggi pohon nyiur, gemang lebih kurang 2 kaki dan makin tinggi makin ramping hingga kirakira 1 kaki. Lontar tergolong tanaman HHBK multifungsi, gula lontar berperan penting sebagai bahan makanan di daerah Timor, sedangkan niranya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan bioetanol khususnya alkohol medik. Pembungaan lontar pada bunga jantan berlangsung selama hari mulai dari muncul tandan sampai cabang (bunga) sebelum muncul buah. Perkembangan bunga jantan meliputi: pembungaan dimulai dengan pembentukan tunas yang muncul dari batang pohon. Tunas memanjang dan berbentuk seperti pandan. Dari tiap helaian tunas akan muncul bunga (6 16 hari). Bunga akan terus memanjang dan berubah warna dari coklat kehijauan menjadi coklat muda. Panjang bunga mencapai cm. Saat bunga jantan siap menyerbuki/tepung sari masak, sisik bunga (mikrosporofil) akan membuka dan tepung sari akan keluar dari kantongnya (mikrosporangium). Lama proses dari munculnya bunga sampai tepung sari masak sekitar hari. Bunga akan berubah warna menjadi coklat kehitaman sampai hitam, dan akan jatuh ke tanah. Siklus perkembangan bunga jantan lontar dapat dilihat pada Grambar 3.7. Pembungaan betina berlangsung selama hari dari muncul tandan sampai fuji (bunga) kering. Pembungaan bunga betina dimulai dengan pembentukan tunas yang muncul dari batang pohon. Dari SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 34

47 tunas akan keluar bunga yang berbentuk seperti tongkol. Dalam 1 bunga akan muncul cabang-cabang bunga. Waktu munculnya bunga hari. Bunga akan tumbuh memanjang dan akan mekar saat bunga siap diserbuki. Tidak dapat diketahui dengan jelas kapan bunga siap diserbuki (biasanya ditandai dengan sisik-sisik bunga yang membuka). Dalam 1 tongkol bunga terdapat banyak bakal biji di dalamnya. Masaknya bakal biji pada satu tongkol bunga tidak bersamaan. Bakal biji yang telah diserbuki akan berkembang menjadi buah. Munculnya buah pada hari ke Buah muda berwarna coklat kehijauan, lama kelamaan berubah menjadi coklat kehitaman. Waktu yang diperlukan buah muda menjadi buah tua sekitar hari. Ukuran buah juga mengalami perubahan mulai dari diameter 4,16 cm sampai 12,83-15,4 cm. Warna buah akan berubah lagi menjadi hitam sampai hitam kekuningan. Perubahan warna ini menandakan buah sudah masak fisiologis. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan buah masak fisiologis dari mulai munculnya tunas bunga yaitu 4 bulan. Pembuahan lontar berlangsung selama 90 hari. Di Kec Kubu, dari 6 bunga, buah masak fisiologis yang dihasilkan sebanyak 19 buah, sedangkan di Abang, dari 5 bunga yang terbentuk menghasilkan 41 buah masak fisiologis. Siklus perkembangan bunga betina sampai pembuahan Lontar dapat dilihat pada Grambar 3.8. Struktur dan morfologi bunga betina dan jantan pada lontar Grambar 3.7. Siklus perkembangan bunga jantan Lontar SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 35

48 Grambar 3.8. Siklus perkembangan bunga betina sampai pembuahan Lontar Grambar 3.9. Struktur dan morfologi bunga betina (kiri) dan bunga jantan (kanan) pohon lontar Bunga betina mempunyai bagian-bagian seperti sisik bunga, sisik braktea, bakal buah dan poros bunga. Sedangkan pada bunga jantan terdiri dari bagian mikroskofil, mikrosporangium, tangkai mikrosporofil, tepung sari dan poros bunga Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) Masa berbunga dan berbuah ganitri di Kebumen-Jawa Tengah pada tahun berlangsung selama 5-6 bulan. Pembungaan terlihat pada bulan April dan buah masak bulan September Pada SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 36

49 Oktober/Nopember 2010 terjadi pembungaan kembali (late flowering) namun dengan jumlah sedikit dan buah masak bulan April/Mei Jumlah bunga dan buah ganitri yang tumbuh di Desa Donosari, Kebumen lebih banyak daripada yang tumbuh di Cisarua (Jawa Barat), masingmasing dengan ratio buah/bunga (fruit set) berkisar antara 15%- 48% dan 4% - 35% Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) Periode berbunga hingga berbuah tanaman kilemo di beberapa lokasi pengramatan menunjukkan masa yang relatif pendek (3-4 bulan) dan berkesinambungan, sehingga pembungaan dan pembuahan khususnya di Cikole-Jawa Barat tampak terus terjadi. Di Aek nauli pembungaan terlihat pada bulan Februari-Maret dan buah masak pada bulan Juli-Agustus 2010 yang ditandai dengan warna kulit buah hitam. Jumlah rata-rata malai bunga per ranting di Aek nauli (68 malai) dan buah per malai (180 butir) lebih banyak daripada yang berasal dari Cikole. Hasil pengujian di laboratorium menunjukkan kandungan kadar air benih segar sebesar 9%, dengan kemurnian 99%, berat seribu butir 37,8 g, jumlah benih per kg butir, jumlah benih per liter butir dan daya berkecambah 71% Kemenyan (Styrax benzoin) Siklus reproduksi tanaman kemenyan di arboretum BPK Aek Nauli-Pematang Siantar berlangsung selama 8 9 bulan yang diawali dari terlihatnya bakal bunga kemenyan pada pertengahan bulan Juni hingga Juli dan bunga mekar terjadi pada akhir Agustus hingga September, bunga rontok dan pembesaran pada ovarium pada bulan September. Perkembangan menjadi buah muda kecil pada bulan September-Oktober. Buah tua siap panen terjadi pada bulan Februari-Maret. Ratio bunga menjadi buah (fruit set) tanaman kemenyan yang tumbuh pada cabang ranting di bagian Barat berkisar antara 9%-17% dan di bagian Timur antara 4%-16%. Ukuran buah kemenyan pada ranting bagian barat dan timur cenderung tidak jauh berbeda yaitu berturut-turut berkisar antara 2,63-2,89cm diameter dan 1,98-2,22cm panjang serta diameter 2,56-3,06 cm dan panjang 2,09-2,25 cm. Buah kemenyan yang masak disukai oleh tupai, rusa dan babi hutan. Oleh karena itu sulit untuk mendapatkan biji sebagai bahan tanaman SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 37

50 dalam jumlah besar. Biji kemenyan berjumlah ± 366 butir/kg. Benih kemenyan mempunyai kadar air sebesar 44%, sehingga benih dikatagorikan sebagai benih semi rekalsitran sehingga tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama di ruang terbuka. Teknik ekstraksi buah kemenyan dilakukan dengan cara membuang kulit buahnya terlebih dahulu, setelah itu dilakukan pengeluaran bijinya. Biji kemenyan yang telah dibersihkan harus segera dikecambahkan. Perlakuan pendahuluan sebelum dikecambahkan adalah dengan cara rendam jemur selama ± 3 hari hingga kulit biji terlihat retak. Benih kemenyan mempunyai kadar air sebesar 44%, sehingga benih dikatagorikan sebagai benih semi rekalsitran sehingga tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama di ruang terbuka. Teknik ekstraksi buah kemenyan dilakukan dengan cara membuang kulit dan daging buahnya dengan menggunakan pisau terlebih dahulu sampai daging buah terlepas semua. setelah itu dilakukan pengeluaran bijinya Massoi (Cryptocarya massoya) Musim berbunga dan berbuah massoi dalam satu tahun sebanyak dua kali, yaitu pada bulan Agustus dan Desember. Bunga massoi berbentuk majemuk berwarna kuning hijau dengan enam buah mahkota bunga yang berbentuk elips, mempunyai 15 benang sari pada tiga tangkai sari, berbentuk malai, keluar dari ketiak daun. Karakter biji/ buah massoi berbentuk bulat dengan sedikit terdapat tonjolan tanjam pada suatu sisi. Tonjolan tersebut menyerupai tonjolan yang dimiliki oleh buah kelapa. Pada waktu masih muda, buah berwarna hijau dan pada waktu masak berwarna hitam. Buah massoi termasuk dalam kelompok buah buni. Buah massoi terdiri atas dua lapisan, yaitu kulit luar yang lunak (daging buah tipis) dan kulit bagian dalam yang keras seperti kulit kelapa atau pinang. Kedua lapisan kulit tersebut melindungi daging buah yang digunakan sebagai cadangan makanan. rata-rata berat biji sebesar gram Teknik pembibitan jenis-jenis kayu energi dan FEMO Weru (Albizia procera) Pada tingkat semai, tanaman masih memerlukan input teknologi untuk menghasilkan bibit berkualitas. Bibit weru umur 5 bulan, menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik setelah mendapat perlakuan yaitu penggunaan media tanah dengan arang sekam padi 3:1 (v:v) dan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 38

51 naungan 25 %. Diperoleh pertumbuhan tinggi 16,7 cm, diameter 1,23 mm, jumlah daun 8.81 helai, IMB 0.12 dan luas daun 22.5 sq cm. Tanaman weru dapat diperbanyak secara vegetatif dengan metode stek pucuk. Stek memberikan respon pertumbuhan yang baik setelah diberi larutan IBA dosis 600 ppm. Perlakuan ini menghasilkan biomassa akar 0,21 g dengan persen berakar 9,9 %, jumlah akar 9,2 buah, panjang akar 6 cm, persen bertunas 11,1 dan jumlah tunas 2,5 buah Pilang (Acacia leucophloea) Penggunaan media campuran antara tanah dengan arang sekam padi 3:1 (v:v) pada bibit pilang umur 5 bulan tanpa naungan menghasilkan pertumbuhan bibit tertinggi dibanding dengan media lainnya yaitu tinggi 11,7 cm, diameter 1,84 mm, jumlah daun 20,84 helai, berat kering 1,47 g dengan IMB 0,19. Apabila menggunakan media tanah sub soil, inokulasi mikoriza 5 g dengan pupuk NPK 0,5 g pada bibit pilang dapat menghasilkan peningkatan relatif kolonisasi akar sebesar 123,07 % dibanding kontrol dan peningkatan relatif serapan unsur P sebesar 36 % dibanding kontrol dengan TR ratio 2, Akor (Acacia auriculiformis A.Cunn) Inokulasi mikoriza 2,5 g per bibit dengan rhizobium hasil isolasi pada bibit akor umur 3 bulan menghasilkan peningkatan relatif jumlah nodul 112 %, serapan unsur P 3,57 %, tinggi 129,35 %, diameter 119,44 % dan berat kering 357,89% dibanding kontrol. Akor dapat diperbanyak secara vegetatif dengan metode stek. Pada stek umur 2 bulan, dengan menggunakan media campuran kokopit + arang sekam padi ditambah dengan ZPT IBA 250 ppm memberikan hasil yaitu jumlah akar 5,9 buah, jumlah daun 9,1 helai, berat kering akar 0,16 g, ratio tunas dengan akar 3,07, persen tumbuh 90 %, C total 41,88 % dan N total 3,02 % Kaliandra (Calliandra calothyrsus) Penggunaan mikoriza 2 g per bibit tanpa rhizobium pada bibit kaliandra umur 5 bulan memberikan pertumbuhan paling baik yaitu dengan tinggi 33,6 cm, diameter 2,67 mm dan berat kering 7,70 g dengan persen hidup 97,7 %, jumlah nodul 0,3 dan kolonisasi akar 42,77 %. Pemberian zpt 750 ppm dapat meningkatkan jumlah akar stek kaliandra dari 5 akar menjadi 25 akar. Konsentrasi IBA sebesar 1500 ppm SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 39

52 menyebabkan penurunan persentase stek berakar dari 88,75% menjadi 72,5% (P<0,05) Malapari (Pongramia pinnata (L.) Pierre) Pembibitan Generatif dilakukan dengan penambahan inokulasi mikoriza. Ternyata inokulasi mikoriza 5 gram dan pupuk NPK 0,5 gram per bibit pada bibit malapari umur 5 bulan menghasilkan peningkatan relatif kolonisasi akar 46,45 % dibanding kontrol dan peningkatan relatif serapan unsur P 13,55 % dibanding kontrol dengan tinggi 17,0 cm; diameter 3,3 mm; % hidup 77,2 %; berat kering 2,7 gram; TR ratio 1,64 dan IMB 2, Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) Pembibitan generatif ganitri menggunakan media tanah + kompos organik + arang sekam padi 3:1:1 (v:v:v) tanpa naungan. Bibit ganitri umur 4 bulan asal cabutan memberikan hasil terbaik dengan berat kering yaitu 3,69 gram, tinggi 25,9 cm dan diameter 3,75 mm, menghasilkan persen hidup 78 %, TR ratio 1,81 dan IMB 0,39. Pembibitan vegetatif yang dilakukan dengan stek. Bahan stek yang terbaik adalah bagian bawah anakan alam dengan IBA 500 memberikan pertumbuhan stek yang terbaik, yaitu menghasilkan persen tumbuh 100 %, biomasa akar 0,14 g, persen berakar 100 % dengan jumlah akar 11,46 buah, di mana panjang akar yang dihasilkan 4,57 cm dan jumlah tunas 5 buah Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) Stek yang tidak menggunakan maupun menggunakan zpt IBA 750 ppm dan ditumbuhkan pada media pasir menghasilkan panjang tunas yang tidak berbeda (P>0,05) masing-masing sebesar 10,3 cm dan 12,5 cm. Penggunaan konsentrasi IBA 1500 ppm menekan pertumbuhan panjang tunas hingga 8,4 cm. Media perakaran stek kilemo yang terbaik adalah campuran cocopeat dan sekam padi Kemenyan (Styrax benzoin) Biji kemenyan yang telah dibersihkan harus segera dikecambahkan. Benih kemenyan memiliki kulit benih yang keras sehingga perlu diberi perlakuan pendahuluan sebelum dikecambahkan yaitu dengan cara rendam jemur selama ± 3 hari hingga kulit biji terlihat retak. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 40

53 Penyapihan dilakukan pada semai yang telah memiliki minimal sepasang daun (46 hari setelah penaburan benih). Setelah semai berumur 3 bulan dan telah berdaun dua, maka semai dipindahkan ke dalam polybag Teknik persemaian yang tepat untuk pembibitan kemenyan adalah dengan menggunakan kombinasi perlakuan sebagai berikut: 1. Kombinasi media tanah + kompos organik + arang sekam padi 1:2 (v:v) dengan intensitas naungan 25 % menunjukkan hasil berat Kering 1,96 g, tinggi 15,6 cm, diameter 2,39 mm, persen hidup 62,0 % dan IMB 0, Kombinasi inokulasi mikoriza endomikoriza (Fungi Mikoriza Arbuskula / FMA) campuran dari jenis Glomus sp + Acaulospora + Gigaspora.dosis 5 g pada media sub soil dengan tanpa pupuk NPK dapat meningkatkan infeksi akar sebesar 9232 % dibanding kontrol dan TR ratio 2,14. Teknik pembibitan melalui setek yang tepat adalah dengan beberapa perlakuan yaitu: Penggunaaan bahan setek pucuk dari bibit umur 2 bulan yang diberi ZPT IBA 750 ppm menghasilkan rata-rata persentase berakar sebesar 74,98 % dan panjang tunas 3,98 cm dalam kurun waktu 3 bulan. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa bahan stek kemenyan dari bibit umur 2 bulan memiliki kecukupan kandungan hormon endogen dan karbohidrat yang menjadikan setek mampu bertahan selama masa inisiasi akar primordial, sehingga bahan stek mampu menumbuhkan tunas dan akar walaupun tanpa diberi zat pengatur tumbuh dari luar. Penggunaan bahan setek pucuk dari bibit umur 4 bulan tanpa pemberian ZPT IBA juga dapat dijadikan alternatif sebagai bahan setek kemenyan karena menghasilkan rata-rata persentase berakar yang tinggi (83,54 %) dalam kurun waktu 3 bulan. Berdasarkan pengramatan kualitas perakaran stek yang dihasilkannya cenderung lebih kokoh dengan batang stek yang lebih besar serta kondisi akar yang lebih tebal dan kaku. Bentuk perakaran setek tersebut juga merupakan modal penting yang harus diperhatikan terutama dalam kaitannya dengan proses aklimatisasi dan pertumbuhan bibit selanjutnya. Selain itu bahan setek dari bibit umur 4 bulan diharapkan relatif dapat lebih banyak menyediakan bibit untuk penanaman mengingat potensi nilai persentase tumbuh seteknya yang lebih besar dibandingkan bahan setek dari bibit umur 2 bulan. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 41

54 Rotan Jernang (Daemonorops sp.) Pembibitan rotan dilakukan dengan cara penyapihan benih setelah ± 2,5 bulan berkecambah yang ditandai dengan tumbuhnya tunas (panjang ± 5 cm) dan akar (minimal 3 helai akar). Grambar Kecambah rotan jernang siap sapih Daun rotan mulai mengembang setelah 1 bulan di sapih dengan warna awal daun coklat kekuningan, kemudian berubah menjadi hijau setelah 1-2 minggu. Daya hidup bibit rotan sampai umur 2 bulan untuk semua perlakuan media sebesar 100%. Pertumbuhan tinggi dan jumlah daun yang tumbuh disajikan pada Tabel 3.9. Tabel 3.9. Persentase hidup dan pertumbuhan bibit rotan jernang umur 2 bulan Media Tinggi (cm) Jumlah daun M0 = media tanah:serbuk gergaji= 4:0 (v/v) 5,70 5,75 M1 = media tanah:serbuk gergaji= 3:1 (v/v) 6,89 6 M2 = media tanah:serbuk gergaji = 1:1(v/v) 6,01 5,83 M3 = media tanah:serbuk gergaji = 1:3 (v/v) 5,98 5,92 M4 = media tanah:serbuk gergaji = 0:4 (v/v) 6,17 5,83 Perlakuan media dari serbuk gergaji cenderung menghasilkan pertumbuhan tinggi dan jumlah daun yang lebih baik dari media tanah masing-masing sebesar 6,17 cm dan 5,83 helai daun. Serbuk gergaji merupakan limbah organik yang selain ringan, dapat meningkatkan aerasi dan porositas media, kapasitas pertukaran kation, dan aktivitas mikroorganisme dalam media. Mikroorganisme bertugas mengurai bahanbahan organik menjadi ion-ion yang dapat diserap oleh akar tanaman untuk pertumbuhannya. Serbuk gergaji merupakan bahan potensial yang dapat dimanfaatkan sebagai media pertumbuhan semai karena dapat menyokong pertumbuhan akar dan mengandung unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Limbah serbuk gergaji mengandung unsur hara C (50%), N (0,25%), dan P (0,20%) (Mindawati, SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 42

55 dkk., 1998). Media dari kompos gergajian mempunyai kandungan bahan organik (62,94%), nisbah C/N sebesar 19,52 dan nitrogen total (1,87%). Tingginya kandungan bahan organik berpengaruh terhadap aktivitas mikrobia tanah terutama di daerah rhizosfer maupun rhizosplane yang sangat berperan terhadap pertumbuhan perakaran bibit tanaman. Media tersebut dapat digunakan sebagai media pembibitan sebaik tanah atasan karena mempunyai indeks mutu yang nisbi sama dengan media tanah atasan untuk pertumbuhan bibit Santalum album umur 8 bulan (Putri, 2008). Selain itu, pemakaian serbuk gergaji dapat menurunkan bobot media sampai 80% sehingga mempermudah pengangkutan dan menghemat biaya angkut bibit, membentuk sistem perakaran semai yang kompak dan kokoh (Fakuara, dkk., 1998 dalam Armin, 2001), serta mempunyai kemampuan menyimpan air yang lebih tinggi dibanding tanah atasan (Putri, 2008). Pemeliharaan bibit dilakukan secara teratur yang meliputi: pembersihan gulma, penyemprotan fungisida, pemberantasan hama dan penyakit serta penyiraman. Berdasarkan pengramatan, penyakit yang menyerang bibit rotan jernang adalah bercak daun. Penyakit ini ditandai dengan adanya warna bintik hitam kecil pada daun, kemudian semakin luas menyebar dan akhirnya daun menjadi kering. Bila tidak segera ditanggulangi, bisa menyebabkan daun rontok dan bibit mati. Upaya pengendalian yang dilakukan meliputi: penyemprotan fungisida Dithane - 45 dengan dosis 2 g/10 ml air, memotong daun yang terkena serangan dan mengisolasinya, pengaturan kelembaban karena lingkungan yang terlalu lembab akan berpeluang terkena serangan jamur. Grambar Bibit rotan penghasil jernang di persemaian SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 43

56 Teknik penanaman dan pemeliharaan Teknik penanaman dan pemeliharaan Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Mimba sudah dikenal mempunyai banyak kegunaan sebagai bahan obat, pestisida, sumber biodiesel dan pupuk organik, termasuk pohon yang mampu beradaptasi di daerah marginal. Di Bali, mimba dikenal dengan nama intaran dan pada umumnya jenis ini tumbuh pada lahan kering yang banyak dijumpai tumbuh alami di pesisir Bali utara. Tanaman ini relatif cepat tumbuh dan mudah perawatannya. Tingkat adaptasi pohon mimba pada lahan-lahan kritis ditunjukkan oleh perakarannya yang kuat dan dalam, sehingga proses penyerapan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman masih tetap dapat berlangsung (Winrock International, 1997). Semakin kering tempat tumbuh mimba, semakin tinggi zat aktif (azadirachtin) yang dikandung. Berdasarkan karakteristik fisiologis tanaman mimba tersebut, maka penanaman jenis ini di lahan kritis memiliki dua keuntungan yaitu mendukung kegiatan rehabilitasi lahan kritis sekaligus memperoleh manfaat dari tanaman ini untuk bahan baku obat dan kosmetika. Walaupun pemanfaatan mimba untuk bahan baku obat dan kosmetik cukup potensial, namun pembudidayaannya sampai saat ini masih dalam skala terbatas. Oleh karena itu dalam upaya meningkatkan produktivitas lahan, maka diperlukan penerapan teknik silvikultur intensif. Penanaman dengan tujuan mendapatkan produksi tinggi dapat dicapai melalui penyediaan bibit yang bermutu tinggi (unggul), pemanfaatan lahan secara optimal dan manipulasi tempat tumbuh yang diterapkan pada saat pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan guna menghasilkan produksi secara lestari (Bustomi et al., 2006). Berdasarkan data sampai dengan tahun 2007, luas lahan kritis di Indonesia baik di dalam kawasan hutan maupun luar kawasan hutan mencapai ha (Dephut, 2009). Dengan begitu besarnya luas lahan kritis di Indonesia, maka lahan-lahan kritis yang ada perlu dikembalikan kondisinya sehingga dapat menjalankan fungsinya baik sebagai fungsi produksi atau ekologi. Manipulasi lingkungan sebagai aspek dari silvikultur intensif dipandang perlu guna meningkatkan produktivitas lahan terutama lahan- SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 44

57 lahan marginal/kritis seperti di Nusa Penida. Oleh sebab itu dilakukan uji efektifitas upaya perbaikan kondisi kimia fisik tanah dalam rangka meningkatkan produktivitas tanah melalui pemberian pupuk kandang dengan pembuatan guludan, hydrogel dengan pembuatan guludan. Beberapa perlakuan diberikan pada tanaman mimba diantaranya Kontrol, Pupuk kandang, Pupuk kandang + gulud, Pupuk kandang + hydrogel dan Gulud + hydrogel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman mimba yang diberi perlakuan pupuk kandang dan hydrogel menghasilkan pertumbuhan terbaik (47,7 cm dan 5,96 mm), sedangkan yang terkecil adalah perlakuan kontrol (17,9 cm dan 2,62 mm. Lebar tajuk rata-rata terbesar adalah pada perlakuan yang diberi pupuk kandang dan hydrogel (36,9 cm) dan yang terkecil pada kontrol (17,2 cm). Secara keseluruhan pertumbuhan mimba di lokasi penelitian termasuk lambat karena menurut Ahmed dan Idris (1997) tinggi tanaman mimba pada umur 3 tahun dapat mencapai 4 7 m, sedangkan di lokasi penelitian sampai tahun ketiga yang tertinggi adalah 298 cm dan terendah adalah 6 cm. Secara statistik, nilai signifikansi dari varian baris menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata terhadap parameter tinggi dan diameter. Hal ini menggrambarkan bahwa perbedaan baris mampu mempangaruhi pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman mimba. Dari hasil uji lanjut DMRT nampak bahwa tanaman mimba pada baris 1 memiliki pertumbuhan tinggi dan diameter paling besar diantara baris yang lain. Beberapa faktor yang diduga menyebabkan perbedaan tersebut adalah berdasarkan pengramatan di lapangan pada baris 1 dan 2 memiliki ketebalan tanah yang lebih tebal daripada baris 3, 4, dan 5. Selain itu pada baris 3, dan 5 terdapat beberapa pohon besar yang meskipun tidak sepenuhnya menaungi tanaman mimba namun dirasa cukup menghalangi intensitas cahaya matahari yang sampai pada tanaman mimba. Hasil analisa tanah menunjukkan sifat kimia, fisika dan biologi tanah secara umum adalah sama yang ditunjukkan oleh kesamaan harkat. Rata-rata produksi seresah selama tahun 2012 yang terbesar pada perlakuan yang diberi pupuk kandang dan hydrogel yaitu 5,48 gram sedangkan yang terkecil pada perlakuan guludan tanah dan pemberian hydrogel yaitu 0,19 gram. Sifat kimia tanah yang berupa C-organik dan K 20 pada perlakuan pupuk kandang + hydrogel mempunyai nilai tertinggi SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 45

58 dibandingkan dengan perlakuan lain. Sedangkan perlakuan pupuk kandang + gulud mempunyai nilai N-Total dan KTK tertinggi dibandingkan perlakuan lain pada akhir Baik perlakuan P2 maupun pupuk kandang + hydrogel merupakan perlakuan dengan menggunakan input pupuk kandang. Namun demikian, penurunan nilai dan harkat kandungan C-organik mengindikasikan bahwa masih diperlukan input pupuk kandang agar kebutuhan bahan organik dalam tanah dapat tercukupi. Penambahan pupuk kandang ini sangat penting karena dari berbagai hasil penelitian terbukti pupuk kandang dapat memperbaiki struktur tanah, menentukan tingkat perkembangan struktur tanah, berperan pada pembentukan agegat tanah, meningkatkan daya simpan lengas karena pupuk kandang mempunyai kapasitas menyimpan lengas yang tinggi (Stevenson, 1982 dalam Jamilah, 2003). Pada perlakuan dengan menggunakan hydrogel, hasil analisis menunjukkan bahwa keduanya mempunyai kadar air tertinggi, sedangkan untuk parameter biologi tanah, perlakuan yang diterapkan tidak dapat menunjukkan pola penambahan yang khas. Selain itu pengembangan mimba di lahan kritis atau marginal di NTB menggunakan teknik budidaya khususnya penyiapan lahan. Aspek penyiapan lahan mencakup pekerjaan pembersihan lapang dan pengolahan lahan. Hal ini dikarenakan lahan kritis di NTB pada umumnya mempunyai factor pembatas yaitu permasalahan ketersediaan air dan kandungan unsur hara tanah. Pemilihan sistem penyiapan lahan juga hendaknya disesuaikan dengan vegetasi asal, jenis tanaman pokok yang akan ditanam, topogafi, kondisi lapangan dan pengaruhnya terhadap lingkungan dan biaya (Hendromono, 2001). Berdasarkan hal tersebut untuk mendukung penanaman mimba pada lahan marginal atau lahan kritis dengan faktor pembatas berupa ketersediaan sumberdaya air dan unsur hara, maka perlu dilakukan ujicoba penyiapan lahan dalam rangka mendukung keberhasilan penanaman mimba. Perlakuan yang diberikan adalah penyiapan lahan (sistem lorong dan babat habis), pemberian hidrogel (hidrogel dan non hidrogel) serta pemberian pupuk (pupuk organik dan non pupuk). Ada 8 perlakuan yang diberikan yaitu LHP (sistem lorong, diberi hidrogel dan pupuk organik), LHNP (sistem lorong, diberi hidrogel dan non pupuk), LNHP (sistem lorong, non hidrogel dan pupuk organik), LNHNP (sistem lorong, non hidrogel dan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 46

59 non pupuk), BHP (babat habis, diberi hidrogel dan pupuk organik), BHNP (babat habis, diberi hidrogel dan non pupuk), BNHP (babat habis, non hidrogel dan pupuk organik), dan BNHNP (babat habis, non hidrogel dan non pupuk). Perlakuan yang mempunyai diameter rata-rata dan tinggi ratarata terbesar adalah BHP (babat habis, diberi hidrogel dan pupuk organik). Walaupun perlakuan ini mempunyai tinggi dan diameter tertinggi, namun mempunyai keragraman relatif besar yang ditandai oleh besarnya nilai standar deviasi. Perlakuan yang mempunyai nilai rata-rata diameter dan tinggi terendah adalah perlakuan LNHP (sistem lorong, non hidrogel dan pupuk organik). Perlakuan BHP juga merupakan perlakuan yang mempunyai pertumbuhan baik diameter maupun tinggi yang paling besar sampai dengan umur tanaman 3 tahun. Selain itu, berdasarkan data tersebut juga terdapat kecendrungan dimana perlakuan kombinasi hidrogel dan pupuk atau pupuk saja (BHP, BNHP, LHP dan LNHP), mempunyai pertumbuhan tinggi dan diameter lebih besar dari perlakuan lainnya. Unsur N dalam tanah pada umumnya berasal dari bahan organik baik halus maupun kasar. N dalam tanah berfungsi dalam proses pertumbuhan vegetatif tanaman dan pembentukan protein. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa kandungan unsur N pada tiap perlakuan berkisar antara 0,1% - 0,14%, dimana nilai ini termasuk kategori sangat rendah sampai rendah (Pusat penelitian Tanah, 2005). Apabila kandungan unsur N ini dibandingkan dengan kondisi awal (2010) maka kondisinya masih sama berkisar antara sangat rendah-rendah. Begitu pula halnya dengan kandungan C-organik, perlakuan yang diberikan belum mampu meningkatkan kandungan C-organik secara signifikan. Namun demikian perlakuan yang menggunakan pupuk dan hidrogel mempunyai kandungan N dan C-organik yang lebih besar dari perlakuan lainnya. Unsur P pada semua perlakuan berdasarkan hasil analisis tanah termasuk kategori sangat tinggi (>60 mg/100g). Bila dibandingkan dengan kondisi awal, maka telah terjadi perubahan yang cukup signifikan dimana pada kondisi awal unsur P di lokasi penelitian termasuk kategori rendah. Hasil analisis juga menunjukkan perlakuan pupuk mempunyai nilai unsur P yang lebih besar dari perlakuan lainnya.peningkatan bahan organik melalui penambahan pupuk organik diharapkan dapat memperbaiki kondisi tanah dan unsur SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 47

60 hara yang diperlukan tanaman.penambahan pupuk organik ini sangat penting karena dari berbagai hasil penelitian terbukti pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, menentukan tingkat perkembangan struktur tanah dan berperan pada pembentukan agegat tanah (Stevenson, 1982 dalam Jamilah, 2003). Hasil analisis tanah untuk unsur K dan KTK, tidak terdapat perbedaan dengan kondisi awal penelitian yaitu termasuk kategori sangat tinggi untuk unsur K dan sedang sampai tinggi untuk KTK.Unsur K dalam tanah bermanfaat dalam pembentukan pati, pengaktifan enzim, penyerapan unsur-unsur lain dan mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit. Nilai KTK berkaitan erat dengan kesuburan tanah, dimana tanah dengan nilai KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dari pada tanah dengan nilai KTK rendah. Sifat tanah lainnya yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sifat biologi tanah khususnya kelimpahan mikroorganisme. Parameter ini dapat dijadikan salah satu indeks kesuburan tanah.pelapukan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu tanggung jawab keberadaan mikroorganisme tanah. Dengan kata lain mikroorganisme ini juga secara tidak langsung akan mempengaruhi sifat kimia dan fisika tanah. Dalam penelitian ini kelimpahan mikroorganisme didekati dengan kerapatan bakteri. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kerapatan bakteri selama periode pengramatan ( ). Perlakuan hidrogel dan pupuk mempunyai nilai kerapatan bakteri yang lebih besar dari perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tersebut mampu memberikan lingkungan yang mendukung perkembangan mikroorganisme tanah. Populasi mikroorganisme yang tinggi menggrambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup, ditambah lagi dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangannya pada tanah tersebut (Anas, 1989). Namun demikian apabila dibandingkan dengan kondisi tanah subur yang biasanya mempunya 3-4 milyar tiap gram (Soepardi, 1983), kondisi di lokasi penelitian masih jauh di bawah kondisi ideal tersebut. Salah satu faktor pembatas dalam upaya rehabilitasi lahan kritis di daerah beriklim kering adalah sumberdaya air untuk mendukung SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 48

61 pertumbuhan. Pemanfaatan hidrogel dan pupuk organik baik secara terpisah atau digabungkan, menunjukan hasil yang signifikan terhadap kelembaban tanah dalam rangka penyediaan sumberdaya air untuk pertumbuhan mimba. Penggunaan hidrogel memberikan beberapa manfaat antara lain adalah memastikan ketersediaan air sepanjang tahun, mengurangi hilangnya air dan nutrient karena leaching dan evaporasi, memperbaiki physical properties dari compact soil dengan membentuk aerasi udara yang baik, meningkatkan pertumbuhan tanaman karena air dan nutrient selalu tersedia dengan baik sehingga mengoptimalkan penyerapan oleh akar (Basri, 2010). Begitu pula dengan pupuk organik sebagai sumber bahan organik, mampu meningkatkan daya simpan lengas karena bahan organik mempunyai kapasitas menyimpan lengas yang tinggi (Stevenson, 1982 dalam Jamilah, 2003). Salah satu sumber bahan organik tanah adalah serasah tanaman yang terdekomposisi dalam tanah. Perlakuan yang mempunyai potensi penyumbang bahan organik dari serasah adalah perlakuan BHP, hal ini diduga disebabkan oleh kondisi fisik dari tanaman mimba itu sendiri. Perlakuan BHP mempunyai rata-rata serta pertumbuhan baik diameter maupun tinggi yang terbesar, tentunya kondisi ini akan meningkatkan jumlah daun atau volume tajuk sehingga peluang untuk menyumbangkan serasah menjadi besar pula. Menurut Cragg (1964) dalam Soerojo (1986) bahwa semakin tipis penutupan tajuk, semakin kurang produksi serasah. Selama periode pengramatan, curah hujan yang terjadi adalah 939 mm untuk tahun 2012 dan 1051 mm untuk tahun Kondisi curah hujan ini masih dalam batas toleransi tanaman mimba yang mampu hidup pada curah hujan 450 mm per tahun (Tewari, 1992). Pada tahun 2013, koefisien limpasan pada umumnya menurun dari tahun Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mimba sudah mempunyai peran dalam mengalihragramkan hujan menjadi aliran permukaan seiring dengan pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman. Namun demikian peran tumbuhan bawah yang mendominasi di lokasi penelitian masih mempunyai peran yang sangat besar dalam pengendalian aliran permukaan. Hasil pengramatan pada tahun 2013 limpasan permukan terbesar terjadi pada plot perlakuan LNHNP sedangkan erosi yang terbesar terjadi pada plot perlakuan LNHP. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 49

62 Perlakuan kombinasi hidrogel dan pupuk atau pupuk saja (BHP, BNHP, LHP dan LNHP) mempunyai kandungan unsur hara (N, P, K), C- organik, KTK, kerapatan bakteri, dan kadar air serta air tersedia yang lebih besar dari perlakuan lainnya. Perlakuan BHP mempunyai potensi yang paling besar dalam menyumbang serasah sebagai sumber bahan organik yaitu 79,9 g/pohon berat basah atau 45,4 g/pohon berat kering. Serasah mimba mempunyai potensi menyumbang unsur N lebih dari 1% dan bahan organik lebih dari 50%. Selama periode pengramatan curah hujan yang terjadi adalah 1051 mm. Limpasan permukaan yang terjadi berkisar antara 59,5 116,5 mm dan erosi antara 1,2 1,5 kg/m 2. Perlakuan persiapan lahan berupa lorong atau babat habis pada tahun ketiga mempunyai kerapatan dan jumlah jenis tumbuhan bawah yang tidak jauh berbeda. Hasil pengramatan selama , penyiapan lahan yang optimal untuk mendukung keberhasilan penanaman mimba di Sumbawa atau darah kering yaitu dengan babat habis serta pemanfaatan pupuk organik dan hydrogel. Untuk mendukung keberhasilan penanaman mimba di Sumbawa atau daerah kering lainnya, maka disarankan untuk mengaplikasikan hal-hal berikut, yaitu : ü Persiapan lahan tanpa bakar yang dapat diterapkan adalah babat habis ü Pada penanaman mimba dapat mengaplikasikan kombinasi antara hydrogel dan pupuk organik atau hanya menggunakan pupuk organik saja. ü Pupuk organik yang digunakan adalah 5 kg/lubang tanam, sedangkan hydrogel yang digunakan adalah 50 : 50 dengan tanah lapisan atas untuk tiap lubang Teknik penanaman dan pemeliharaan Sukun (Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg) Pengembangan sukun sebagai tanaman pangan alternatif memerlukan teknik silvikultur intensif (silin) agar dapat berhasil secara optimal. Pemupukan merupakan salah satu bagian dari kegiatan silin yang belum banyak dilakukan untuk sukun. Salah satu upaya peningkatan produk buah sukun adalah dengan menggunakan pupuk yang mengandung phosphat. Teknik pemeliharaan sukun melalui pemupukan untuk meningkatkan pertumbuhan sukun di Lombok Barat, Nusa SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 50

63 Tenggara Barat adalah menggunakan pupuk SP-36 dosis 200 g/tanaman, dosis 250 g/tanaman, dan dosis 300 g/tanaman, dimana dari ketiga dosis pemupukan tersebut menghasilkan persen hidup yang tidak berbeda, sedangkan pertumbuhan tinggi dan diameter tertinggi diperoleh perlakuan pemupukan SP-36 dosis 200 g/tanaman (16,31 cm dan 2,03 mm), sedangkan yang terkecil dengan pemupukan dosis 250 g/tanaman (4,57 cm dan 0,81 mm). Adapun Jumlah daun mengalami penurunan pada semua perlakuan, hal ini diduga bukan karena factor perlakuan akan tetapi akibat faktor cuaca. Sifat tanah tanpa pemupukan dan dengan pemupukan relatif sama dan masih dalam satu harkat. Penambahan nilai yang paling drastis pada semua perlakuan adalah pada parameter K 20. Peningkatan harkat ada pada parameter P 20 5, semua perlakuan naik satu tingkat. Selain itu tekstur tanah juga mengalami perubahan harkat, yaitu dari agak kasar menjadi kasar. Hal ini kemungkinan disebabkan lokasi pengrambilan sampel yang berada pada lereng bawah sehingga pada saat pengrambilan tanah kedua (sesudah pemupukan), lokasi tersebut menjadi tempat penampung kikisan material yang terbawa saat hujan. Secara keseluruhan, hampir semua nilai parameter pada perlakuan SP-36 dosis 300 g/tanaman lebih tinggi kecuali KTK sesudah pemupukan. Nilai KTK pada semua perlakuan menurun sesudah pemupukan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh penambahan pupuk. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 51

64 Tabel Hasil analisis tanah sebelum dan sesudah pemupukan Parameter C organik (%) Pengukuran Dosis pupuk pupuk SP gram 250 gram 300 gram Sebelum 0,49 SR 0,42 SR 0,61 SR Sesudah 0,50 SR 0,65 SR 0,94 SR N total (%) Sebelum 0,09 R 0,08 SR 0,10 R K 20 (mg/100g) Sesudah 0,09 R 0,13 SR 0,13 SR Sebelum 84,7 ST 72,65 ST 111,95 ST Sesudah 433,79 ST 563,33 ST 567,53 ST P 20 5 (ppm) Sebelum 16,20 R 26,74 S 36,79 S KTK (cmol/kg) Sesudah 97,165 ST 112,41 ST 132,125 ST Sebelum 46 ST 35,4 T 48,4 ST Sesudah 35,4 T 33,4 T 22,6 S Tekstur Sebelum lempung berpasir AK lempung berpasir AK lempung berpasir Sesudah pasir K pasir K pasir berlempung berlempung berlempung Kerapatan Sebelum 7,05 x ,45 x ,6 x 10 7 bakteri (CFU g -1 Sesudah 3,71 x ,4 x ,67 x 10 6 sampel) Kerapatan Sebelum 3,1 x ,75 x ,73 x 10 4 fungi (CFU g -1 sampel) Sesudah 5,79 x ,03 x ,26 x 10 4 Ket : SR= sangat rendah, S= sedang, R= rendah, T= tinggi, ST= sangat tinggi, AK= agak kasar AK K Parameter biologi tanah dianalisis untuk mengetahui kelimpahan mikroorganisme dalam tanah. Populasi mikroorganisme yang tinggi menggrambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup, ditambah lagi dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangannya pada tanah tersebut (Anas, 1989). Pada penelitian ini parameter biologi tanah didekati oleh kerapatan bakteri dan fungi tanah yang merupakan salah satu unsur yang dapat membantu pelarutan fosfat dan C-organik dalam tanah (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2007). Menurut Ueda (1997), salah satu mikroba yang dapat menambat nutrisi khususnya fosfat dari bentuk yang tidak tersedia menjadi bentuk yang dapat diserap tanaman adalah jamur mikorhiza (Vascular Arbuscular Mychorrhiza). Hasil analisis menunjukkan bahwa kerapatan bakteri sebelum pemupukan lebih kecil dibanding sesudah pemupukan, sedangkan kerapatan fungi sebelum pemupukan lebih besar dibandingkan sesudah pemupukan. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 52

65 Teknik penanaman dan pemeliharaan Ganitri (Elaeocarpus ganitrus ROXB) Tanaman ganitri (sudah mulai dikenal dan dikembangkan oleh masyarakat luas, baik di hutan rakyat di kebun maupun pekarangan rumah. Potensi tegakan ganitri di Ciamis adalah 32 phn/ha (lokasi hutan rakyat) dan 216 phn/ha (lokasi kebun). Pada lokasi penelitian di Tasikmalaya, terlihat potensi tegakan di lokasi kebun sebesar 38 phn/ha. Untuk potensi tegakan pada daerah sebaran alami ganitri di Sruweng- Kebumen diperoleh data sebesar 256 phn/ha. Penanaman bibit ganitri menggunakan rancangan acak kelompok atau Randomized Completely Block Design (RCBD) dengan 3 perlakuan pupuk kandang dan 1 perlakuan tanpa pupuk kandang. Jenis pupuk kandang yang digunakan yaitu pupuk kandang dari kotoran ayam, kambing dan sapi dengan dosis masing-masing 2 kg. Bibit yang ditanam pada masing-masing petak merupakan hasil perbanyakan dari biji dengan pohon induk berasal dari Kabupaten Tasikmalaya dan bibit hasil perbanyakan secara sambung (gafting) dengan pohon induk berasal dari Kabupaten Cilacap. Jarak tanam yang digunakan adalah 4 m x 4 m dan parameter yang diukur meliputi persen hidup, tinggi dan diameter tanaman. Plot tanaman seluas 0,768 Ha membujur dari arah timur ke barat dengan batas timur yaitu jalan, batas barat berupa plot mahoni (Swetania macrophylla), batas utara plot baril dan nyawai (Ficus variegata) sedangkan batas selatan berupa plot mahoni. Kemudian bibit hasil perbanyakan dengan sambung pucuk juga ditanam dengan jarak tanam 4m x 4m, dengan luas plot 0,144 Ha. Tanaman ganitri di KHDTK Cikampek umur 3 tahun mencapai tinggi rata-rata 3,4 m dan diameter rata-rata 5.6 cm. Persen tumbuh tanaman ganitri pada plot penelitian di KHDTK Cikampek menunjukkan perkembangan yang tidak bagus. Hal tersebut akibat berbedanya kondisi lingkungan pada lokasi penelitian (KHDTK Cikampek) dan kondisi tapak alami ganitri (Kebumen). KHDTK Cikampek mempunyai ciri-ciri kondisi tapak dengan jenis tanah latosol merah berkonkresi, topogafi datar serta ketinggian tempat 50 m dpl dan mempunyai curah hujan tahunan 1796 mm/tahun, sedangkan kondisi tapak alami tanaman ganitri di Kabupaten Kebumen mempunyai curah hujan selama tahun 2011 yaitu 2.757,64 mm SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 53

66 dengan hari hujan 114 hari, rata-rata suhu minimum antara 21,16ºC - 23,20ºC pada bulan Juli dan Desember serta rata-rata suhu tertinggi 33,50ºC - 34ºC pada bulan Februari Maret dengan rata-rata kelembaban udara antara 84,08% - 85,83% dan rata-rata kecepatan angin 0,94 m/detik 1,59 m/detik (stasiun pengramatan Wadaslintang dan Sempor). Perlakuan pupuk kambing memberikan pertumbuhan diameter rata-rata yang sama dengan pupuk ayam (0,74 cm), lebih baik dibandingkan pupuk sapi (0,64 cm) dan kontrol (0,65 cm). Pertumbuhan tinggi terbaik ditunjukan oleh perlakuan kontrol dengan tinggi rata-rata (33,36 cm) dibandingkan pupuk kambing (34,12 cm), pupuk ayam (31,80 cm) dan pupuk sapi (33,77 cm). Kunci keberhasilan pemberian pupuk adalah adanya peningkatan pertumbuhan diameter dan tinggi yang lebih baik dibandingkan tanpa pemberian pupuk (kontrol). Namun dengan melihat data rata-rata pertumbuhan diameter dan tinggi yang tidak berbeda dengan kontrol, maka pemberian tiga jenis pupuk (kambing, ayam dan sapi) perlu ditinjau kembali. Pengaruh dari pemupukan ph mengalami penurunan menjadi sangat masam sedangkan sebelum pemupukkan rata-rata masam, sedangkan C organik mengalami peningkatan sebelumnya pada kondisi sedang setelah pemupukkan menjadi tinggi, begitupun N total mengalami peningkatan sebelumnya sangat rendah menjadi sedang. Kemudian P tersedia dan K tersedia tidak banyak mengalami perubahan dari sebelumnya yang rata-rata sangat rendah, setelah pemupukan pun masi sangat rendah. Hal ini diduga bahwa pupuk yang diberikan belum mengalami penguraian dikarenakan kondisi tanah masih kering dan tidak ada hujan sehingga sulit mengalami pelarutan Teknik penanaman dan pemeliharaan Nyamplung Upaya penanaman nyamplung di daerah pantai mempunyai tingkat kesulitan tersendiri karena kondisi pantai yang lebih ekstrim dibandingkan dengan kondisi di daratan. Pada umumnya daerah pantai mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut : 1) Lahan didominasi oleh pasir; 2) Unsur hara (bahan organik) yang sangat rendah; 3) Porositas tinggi sehingga tidak mampu menahan air; 4) Suhu harian rata-rata sangat tinggi; 5) Angin bertiup kencang dan membawa uap garam; 6) Intensitas cahaya matahari sangat tinggi. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 54

67 Jarak tanam yang digunakan 4m x 4m dengan pemberian pupuk dasar masing-masing 5 kg dan penggunaan tanaman semusim jenis legum (kacang-kacangan) dengan tanaman nyamplung diharapkan dapat memperbaiki kondisi tanah terutama untuk dapat meningkatkan unsur Nitrogen (N) dalam tanah, selain itu pula limbah pemanenan berupa daun dari jenis kacang-kacangan sangat baik digunakan sebagai sumber pupuk hijau. Pemanfaatan pandan laut sebagai kombinasi dengan tanaman nyamplung diharapkan jenis tersebut juga dapat berfungsi sebagai windbreak (penahan angin laut), karena angin laut yang kencang dan mengandung uap air garam seringkali menyebabkan kematian tanaman. Selain itu pandan laut dapat dapat dimanfaatkan bagian daunnya untuk diambil sebagai bahan baku kerajinan antara lain : tikar, tali, topi dan mebel. Hasil pengukuran tanaman nyamplung berumur 6 bulan di Batukaras Cijulang Ciamis dengan pembersihan lahan secara total menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respon persentase tumbuh dan pertumbuhan antara asal bibit cabutan dengan bibit asal benih. Respon asal bibit cabutan menunjukkan persentase tumbuh sebesar 100%, sedangkan respon bibit asal benih 95,6%. Berdasarkan perbedaan asal bibit yaitu cabutan memiliki tinggi rata-rata cm (pertambahan cm) dan diameter 1.32 cm (pertambahan 0.78 cm), sedangkan bibit asal benih memiliki tinggi rata-rata 54.7 cm (pertambahan cm) dan diameter 0.75 cm (pertambahan 0.17 cm) dengan catatan bahwa bibit asal cabutan ditanam di lokasi lebih jauh dari garis pantai dibanding bibit asal benih. Pola tanam agoforestry nyamplung dan tanaman semusim di lahan pantai memberikan persentase hidup, pertumbuhan tinggi, dan diameter yang lebih baik dibandingkan dengan pola tanam nyamplung dan pandan serta pola tanam nyamplung monokultur dengan pemberian pupuk dasar berupa pupuk kandang sebanyak 5 kg dan pupuk lanjutan (pemeliharaan) NPK sebanyak 100 gram/pohon/tahun. Selain itu uji coba penanaman nyamplung di KHDTK Sobang seluas 1 ha dengan jarak tanam 5 x 5 m dengan pemeliharaan pembabadan, roundup jalur dan pendangiran menghasilkan rata-rata persen hidup 91,50%, rata-rata SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 55

68 pertambahan tinggi 13.06±1,72 dan rata-rata pertambahan diameter 0.18 ± 0,03. Plot Uji Provenance Nyamplung Ras Jawa di TN Ujung Kulon menggunakan rancangan Rancangan Acak Berblok dengan 6 jenis perlakuan provenance jenis Nyamplung yang berasal dari Kulon Progo, Purworejo, Cilacap, Batu Karas, Banten dan Gunung Kidul. Ke enam jenis provenance tersebut ditanam pada tahun 2010/2011 pada lahan seluas 2,5 ha dengan jarak tanam 5 x 5 m. pemeliharaan yang dilakukan berupa pendangiran. Pengramatan tanaman dilakukan pada saat nyamplung berumur 1 tahun. Saat itu cuaca sangat ekstrim, sehingga banyak tanaman nyamplung yang mati dan sebagian besar pada tahap kritis (daun sebagian kering). Berdasarkan hasil pengramatan pada saat itu ras Kulon Progo mempunyai persen hidup paling rendah dibandingkan dengan jenis ras nyamplung lainnya (Tabel 3.11). Tabel Data rata-rata persen hidup dan pertambahan tinggi dan diameter provenance Nyamplung Ras Jawa di TNUK Ujung Kulon Rata-rata pertambahan Persentase Hidup Ras Lahan (%) Tinggi (cm) Diameter (cm) Kulon Progo ,38 ± 9, ± 0.09 Purworejo ,50 ± 5,57 0,26 ± 0,08 Cilacap ,75 ± 11,57 0,44 ± 0,17 Batu Karas ,00 ± 7,12 0,35 ± 0,14 Banten ,55 ± 8,16 0,45 ± 0,15 Gunung Kidul ,831 ± 7,61 0,35 ± 0,13 Tabel 3.11 memperlihatkan bahwa tanaman Nyamplung Ras Cilacap menghasilkan pertumbuhan terbaik dengan rata-rata pertambahan tinggi dan diameter masing-masing 25,75 cm dan 0,44 cm, disususl Kulon Progo 24,38 cm dan 0.29 cm, Ras Banten 21,55 cm dan 0,45, Ras Gunung Kidul 19,831 cm dan 0,35 cm, Ras Purworejo 16,50 cm dan 0,26 cm dan Ras Batu Karas 15,00 cm dan 0,35 cm. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 56

69 Grambar Tanaman Nyamplung Ras Batu Karas (kiri) dan tanaman nyamplung yg hampir mati karena kekeringan (kanan). Namun ketika pengramatan dilakukan pada tahun ke dua, semua tanaman tanaman nyamplung mati karena kekeringan. Upaya pemeliharaan tanaman nyamplung dengan melakukan penyiraman sama sekali tidak membantu agar tanaman tetap hidup. Gangguan hama penyakit pada tanaman tidak bisa diabaikan, terutama pada tanaman yang ditanam dengan pola monokultur, namun demikian gangguan hama penyakit juga bisa menyerang pada tanaman dengan pola campuran. Dalam penelitian ini jenis hama yang ditemukan menyerang tanaman nyamplung pada pola tanam agoforestry adalah trif (kutu daun), penggerek pucuk dan ulat penggulung daun. Sedangkan jenis penyakit yang ditemukan adalah penyakit embun tepung dan bercak daun. Pengendalian hama penggerek pucuk menggunakan ekstrak sirsak mampu menurunkan intensitas serangan paling tinggi sebesar 9,1%. Pengendalian hama trips menggunakan pestisida kimia berbahan aktif karbosulfan 200EC memberikan penurunan intensitas serangan sebesar 59,7%. Selain yang disebutkan diatas, berdasarkan hasil pengramatan ditemukan ditemukan juga ulat gayak (Spodoptera litura), sedangkan penyakit benihnya disebabkan oleh Fusarium sp, Aspergillus sp, Penicillium sp, dan Rhizophus sp, Burkholderia, Erwinia, Agobacterium, Pseudomonas, Xanthomonas dan Pantoea. Sedangkan hama yang menyerang kecambah nyamplung adalah kutu putih (Ferrisia virgata), kutu daun (Aphis sp), semut merah (Anoplolepis sp ) dan ulat gayak (Spodoptera litura), sedangkan penyakit pada kecambah adalah Fusarium sp, Penicillium sp, Aspergillus sp, Cercospo. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 57

70 Hama dan penyakit tanaman nyamplung yang ditemukan di lapangan adalah kutu putih, ulat kantong, bercak daun dan rayap serta penyakit embun jelaga dan blendok. Penyebab penyakit blendok pada tegakan nyamplung di RPH Loano, BKPH Purworejo, KPH Kedu Selatan adalah fungi Lasiodiplodia sp. Persentase serangan penyakit dapat mencapai 19,23%. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah: penggunaan bibit yang berkualitas; pemeliharaan tanaman yang intensif sampai tanaman menjelang mulai berbuah; melakukan monitoring sehingga dapat diketahui dengan cepat apabila ada pohon yang sudah menunjukkan gejala; memusnahkan jaringan kayu ari pohon yang telah terserang Teknik pemeliharaan Kayu Energi (Kaliandra, Akor, Pilang, Weru) Penelitian difokuskan pada kegiatan identifikasi jenis hama dan penyakit pada tanaman kayu energi seperti Akor (Acacia auriculiformis A.Cunn), Kaliandra (Calliandra calothyrsus), Pilang (Acacia leucophloea) dan weru/ki hiyang (Albizia procera). Penelitian dilakukan di KPH Majalengka dan KHDTK Sobang. Lokasi tepatnya adalah KPH Majalengka, BKPH Cibenda, RPH Sukajaya unit II Jabar dan Banten. Desa Sukamulya, Kec. Kertajati, kab. Majalengka. Ke empat jenis tanaman kayu energi tersebut ditanam pada tahun 2011 dengan luas area 2 ha, pembangunan demplot kayu energy di gunakan penanaman campuran dengan sistem blok (petak) dengan jarak tanam 5 x 2 dan 6 x 2 (m). Di KPH Majalengka tanaman kayu energi ditanam secara tumpangsari dengan jagung, palawija dan kacang tanah, sedangkan di KHDTK Sobang kayu energi ditanam dibawah tegakan jati. Berdasarkan hasil pengramatan yang dilakukan selama tiga tahun ( ), pada demplot kayu energi di BKPH Cibenda Majalengka permasalahan hama lebih banyak ditemukan pada tanaman weru dan pilang. Untuk tanaman akor dapat tumbuh baik walau cuaca sangat panas sedangkan tanaman kaliandra banyak diserang oleh hama tikus sehingga mengakibatkan kematian. Bila dibandingkan dengan demplot di KHDTK Sobang, pertumbuhan empat jenis kayu energi kurang baik karena hampir semua area tertutupi oleh gulma dan dibawah naungan pohon jati sehingga pertumbuhan tidak maksimal, lebih banyak permasalahan penyakit embun SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 58

71 jelaga pada tanaman akor. Rekapitulasi hama dan penyakit yang menyerang demplot penghasil kayu energi dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel Rekapitulasi hama dan penyakit pada demplot kayu energi Jenis Weru/Ki Hiyang (Albizia procera) Tahun pengramatan Dari jumlah tanaman 500 pohon, hampir 80 % terserang hama pelipat daun(famili: Lepidoptera) yang mengakibatkan tanaman menjadi kering dan gundul dengan intensitas sangat berat. Larva hama ini berukuran sekitar 2 cm dengan warma hijau muda seperti daun, dengan tubuh bersegmen dan mengalami metamorphosis yang sempurna. Stadia larva yang paling aktif menyerang daun weru tsb dan apabila populasinya tinggi dapat mengganggu proses fotosintesis pada tanaman tsb, sehingga mengakibatkan kematian tanaman. Selain hama pelipat daun ditemukan hama lain yaitu jenis hama belalang, ulat kantong dan kepik pengisap cairan pada bagian pucuk daun. Permasalahan penyakit dan gulma pada tanaman weru/ki hiyang tidak ada. Akor dari total tanaman 500, untuk permasalahan hama dan gulma tidak ditemukan. Pada tanaman akor sudah ada yang terserang penyakit karat daun kurang lebih 10 % dengan intensitas ringan. Gejala penyakit karat daun ditunjukkan dengan adanya bercak nekrotik berbentuk agak bulat (grambar 4) dengan warna pucat dan letaknya pada permukaan daun maupun pada tangkai dan batang. Pada serangan yang berat akan mengalami perubahan bentuk menjadi serangan hama daun jenis Dinumma sp (Lepidoptera: Noctuidae) masih muncul dengan intensitas 50,8%. dilakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida organik dengan bahan aktif azadirachtin dan merk dagang OrgaNeem. Pengramatan tahun kedua, tanaman akor tumbuh baik dengan tinggi diatas dua meter dan diameter mencapai 20 cm. Jumlah tanaman 500, dan pada pengramatan tahun ini sudah ada yang terserang penyakit karat daun sekitar 10 % dengan intensitas yang ringan. Sedangkan tanaman akor di KHDTK sobang, mulai terserang penyakit embun Tanaman weru/ki hiyang banyak yang mati kekeringan, akar tanaman di makan oleh tikus. Total jumlah tanaman 500 dengan 4 plot lokasi, pada pengramatan bulan Oktober 2014, tanaman weru yang hidup hanya 127 pohon, sisanya mati kekeringan. Permasalahan hama pelipat daun yang dulu pernah menyerang tanaman weru ini masih ada walau dengan intensitas ringan. Hasil pengramatan tidak ditemukan adanya serangan hama dan penyakit, namun tetap diwaspadai oleh serangan hama tikus yang mulai menggigit akar dan batang tanaman akor tsb, sekitar 22 pohon mati akibat serangan tikus dan kekeringan. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 59

72 Jenis Tahun pengramatan mengkerut dan mengeriting jelaga dengan daun menghitam seperti intensitas berat, hangus, akibatnya yang diawali dengan pertumbuhan terhambat. timbulnya noda hitam atau bercakbercak hitam pada permukaan daun, kemudian menebal dan berdebu seperti jelaga. Penyebab penyakit embun hitam ini adalah fungi Meliola spp, family meliolaceae, oprdo Meliolales, kelas Ascomycetes. Pilang tidak dijumpai permasalahan hama dan penyakit banyak ditemukan hama pengisap pucuk sejenis kepik (Physomerus oedimerus) (Hemiptera : Coriidae), jumlah tanaman pilang yang ada sekitar 500 dan hampir disetiap tanaman pilang ditemukan hama dengan populasi antara 2 5 ekor. Dengan ditemukan hama pengisap pucuk pada tanaman pilang pertumbuhan pada tanaman ini terhambat, banyak daun yang gundul dan kering serta banyak percabangan. Plot tanaman pilang hampir sama dengan plot tanaman weru, banyak yang mati akibat kekeringan. Permasalahan hama kepik yang dulu pernah menyerang tanaman pilang sudah tidak ada lagi. Jumlah tanaman yang hidup sebanyak 223 pohon dari 500 pohon yang ada. Tinggi tanaman rata-rata sekitar cm dengan banyak cabang dan pertumbuhan kurang baik. Permasalah hama tikus juga masih menyerang tanaman pilang. Ditemukan, hama ulat kantong dengan persentase yang ringan. Untuk masalah hama telah dilakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida organik dengan bahan aktif azadirachtin dengan merk dagang OrgaNeem dan juga SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 60

73 Jenis Tahun pengramatan pestisida kimia, sedangkan pada bulan oktober ini tidak dilakukan pengendalian karena kondisi demplot yang kering. Kaliandra tidak dijumpai permasalahan hama dan penyakit belum ditemukan permasalahan hama dan penyakit. Pertumbuhan tanaman kaliandra di demplot majalengka bagus dengan batang yang lurus sedangkan di KHDTK sobang pertumbuhan tanaman kaliandra ini dengan percabangan yang banyak. Pengramatan pada bulan Oktober 2014 ini hampir semua tanaman mati kering juga karena diserang hama tikus yang merusak bagian akar tanaman tsb juga karena faktor cuaca yang sangat panas. Jumlah tanaman yang hidup hanya 191. Pada pengramatan tahun 2013 permasalahan hama pada tanaman kaliandra ini tidak ada dan pertumbuhannya baik, nanum karena faktor cuaca yang panas sekali pada tahun 2014 ini sehingga banyak tanaman yang mati kekeringan Budidaya Ulat Sutera Uji kualitas di beberapa daerah konsumen yang kondisi lingkungan berlainan (multilokasi) diperlukan karena pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat pemeliharaannya. Sebagai kelanjutan dari penelitian di Laboratorium, maka pada tahun 2011 sampai tahun 2014 dilakukan uji adaptasi dari 4 hibrid harapan dengan didampingi oleh hybrid komersil sebagai control pada multilokasi untuk menguji kesesuaian hybrid baru terhadap kondisi ekosistem yang dinamis antar tempat dan waktu. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 61

74 Pengramatan multilokasi dilakukan pada 3 lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah yaitu : (1) Kecamatan Regaloh, Pati (100 m dpl); (2) Kecamatan kabandungan, Kabupaten Sukabumi (750 m dpl); (3) Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya (500 m dpl). Uji coba hybrid baru pada ruang pemeliharaan ulat milik petani dilaksanakan oleh para peneliti dan teknisi persuteraan alam dari Puslitbang Peningkatan Produktivitas Hutan, dengan menggunakan fasilitas pemeliharaan yang tersedia pada masing-masing lokasi. Hasil pengramatan di 3 lokasi yang kondisinya berbeda menunjukkan bahwa rasio hybrid C (PS 01) lebih baik dari pada ke 3 hibrid lainnya termasuk dibandingkan dengan C-301 yang merupakan kontrol. Hal ini terlihat berdampak pada persentase serat yang dihasilkan. PS 01 telah dilaunching dengan Nomor: SK 794/MENHUT-II/2013. Tabel Kualitas kokon hibrid harapan dan komersil di Kebun Wanatani Cibidin, Desa Kabandungan, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi Perlakuan Rendemen Pemeliharaan (%) Persentase kokon Normal Bobot kokon (g) Persentase Kulit Kokon (%) A 88,22 90,97 1,73 19,22 B 90,17 92,37 1,82 20,54 C 93,33 89,78 1,84 20,35 D 91,33 90,62 1,65 19,00 BS 09 95,97 94,11 1,52 17,90 C ,11 95,97 1,48 17,90 Tabel Kualitas telur dan kokon di Regaloh, Pati No. Perlakuan % penetasan Bobot kokon (g) Bobot kulit kokon (g) Rasio kulit kokon (%) Panjang filament (m) X102 (A) 96,91 1,36 0,29 21, , X921 (B) 97,36 1,49 0,32 21, , X927 (C) 97,33 1,37 0,29 21, , X102 (D) 96,92 1,40 0,30 21, ,00 5. BS 09 (E) 97,15 1,38 0,31 22,32 935,67 6. C301 (F) 96,02 1,06 0,20 19,54 755,67 SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 62

75 Tabel Kualitas telur dan kokon di Desa Sukaresik, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat No. Perlakuan % penetasan Bobot kokon (g) Bobot kulit kokon (g) Rasio kulit kokon (%) X102 (A) 97,35 a 1,54 a 0,31 a 20,36 a X921 (B) 96,42 a 1,66 a 0,33 a 19,84 b X927 (C) 95,79 a 1,65 a 0,32 a 19,70 b X102 (D) 97,80 a 1,47 b 0,30 a 20,29 a 5. C301 (F) 95,15 a 1,48 b 0,28 a 19,22 b Berdasarkan data yang diperoleh dari 3 lokasi ujicoba dengan ketinggian tempat yang berbeda dapat disimpulkan bahwa ke empat hibrid baru mempunyai kualitas kokon yang lebih tinggi dibanding hybrid komersil C-301. Uji Hibrid ulat sutera sudah pada taraf uji aplikasi calon pengguna, rekomendasi yang bisa diberikan karena cenderung menghasilkan kualitas kokon lebih baik dari hibrid komersil adalah sebagai berikut: ü Pada ketinggian tempat 500 m dpl sebaiknya menggunakan hibrid B (804X921) ü Pada ketinggian 700 m dpl menggunakan hibrid A (804X102), ü Hibrid PS 01 pada dataran rendah ( m dpl) Jenis penyakit yang umumnya menyerang ulat sutera adalah muskardin putih, flaseri dan aspergilus. Insiden serangan penyakit bervariasi menurut fase pertumbuhan ulat dan periode pemeliharaan. Mortalitas tertinggi pada ulat sutera adalah pada fase pengokonan. Teknik pengendalian penyakit dilakukan menurut SOP (Standard Operational Procedure), namun kebersihan serta sirkulasi udara ruang ulat harus terjaga agar SOP yang diterapkan pada pengendalian penyakit dapat berjalan efektif Budidaya Rotan Penghasil Jernang (Daemonorops spp.) Getah jernang merupakan salah satu komoditas HHBK yang memiliki nilai ekonomi menjanjikan. Masyarakat selama ini memungut buah rotan untuk diekstrak menjadi jernang langsung dari hutan alam. Namun demikian seiring dengan menurunnya luasan hutan alam budidaya rotan jernang harus dilakukan. Masyarakat Desa Lamban Sigatal dan Sepintun di Jambi sudah melakukan budidaya jernang. Di Lamban Sigatal Jernang mulai berbuah pada umur 6-7 tahun, sedangkan di Sepintun SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 63

76 sampai dengan tahun ke-7 belum menunjukkan tanda-tanda berbuah. Oleh karena itu diperlukan input teknologi yang dapat menghasilkan bibit unggul, cepat berbuah, menghasilkan jernang banyak dengan mutu baik. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 adalah eksplorasi benih, eksplorasi mikroba rhizosfir dan pembibitan. Peta sebaran rotan penghasil jernang dapat dilihat pada Lampiran 3. Benih yang didapat dari Jambi adalah jenis Daemonorops draco sin. D. propinqua, sedangkan dari aceh jenis Daemonorops dydimophylla dan D. draco. Sedangkan mikroba rhizosfir yang ditemukan di jambi adalah kelompok mikrob pendegadasi selulosa, mikrob penambat nitrogen dan mikrob pelarut fosfat. Benih diperlakukan dengan merendam dalam air kelapa selama 24 jam. Pengalaman masyarakat benih tanpa perlakuan akan berkecambah dalam 3 bulan. Dengan perlakuan tersebut benih mulai berkecambah pada hari ke-21 (4/1800an) dan masih berkecambah sampai hari ke-76 setelah penyekapan. D. dydimophylla memiliki persentase berkecambah 37,11 % sedangkan D. draco hanya 13,9%. Pada tahun 2014 penelitian yang dilakukan meliputi analisis tempat tumbuh, pertumbuhan bibit yang diberi perlakuan mikrob dan eksplorasi ke TN. Bukit Barisan Selatan. Kondisi tanah tempat tumbuhnya jernang di lapangan menunjukkan kecenderungan ke arah masam, kandungan bahan organik tinggi, KTK tinggi, KB sedang dengan tingkat kesuburan sedang. Populasi mikrob benefisial yang didapatkan dilapangan adalah Mikroba pelarut fosfat, mikroba pendegadasi selulosa dengan populasi tertinggi di Sungai Banir, Bangko Koneng jaya dan terendah di sepintun. Benih yang didapatkan D. dydimophylla dengan % kecambah 37,11 dan D. draco dengan % kecambah 13,9. Semua kondisi tanah di calon lokasi demplot Haurbentes, Sobang, dan Carita memiliki kondisi tanah yang mendekati kondisi tanah asal benih, sehingga menungkinkan untuk dilakukan penanaman di semua lokasi. Namun kemudian dipilih Carita karena alasan non teknis. Bibit yang diinokulasi dengan konsorsium mikrob 5 ml/bibit menunjukan pertumbuhan yang berbeda signifikan dengan kontrol, tetapi yang memiliki pertumbuhan yang terbaik adalah pertumbuhan bibit yang diberi perlakuan pupuk NPK 20 g/bibit. Eksplorasi di Taman Nasional Bukit Barisan Sumatera Selatan pada ketinggian m dpl didiga SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 64

77 merupakan forma lain dari D. Didymophilla dengan nama lokal Awi Jernang Kapsul. Secara umum, penanaman rotan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1) penanaman sistem cemplongan (Grambar 3.13), dan 2) penanaman system jalur (Grambar 3.14). Pada penanaman sistem cemplongan, bibit rotan ditanam dalam lubang pada piringan tanaman dalam satu larikan. Pembersihan lapangan dilaksanakan hanya terbatas pada piringan tanaman tiap-tiap lubang. Penanaman sistem jalur dilaksanakan seperti pada penanaman sistem cemplongan, tetapi pembersihan lapangan dilakukan sepanjang larikan yang akan ditanami rotan. Gambar Cara menanam rotan sistem cemplongan (Januminro, 2000) Gambar Cara menanam rotan sistem jalur (Januminro, 2000) Pemilihan waktu yang tepat untuk menanam sangatlah penting dalam menentukan keberhasilan kegiatan penanaman. Hampir semua jenis pohon di waktu muda peka terhadap kelembaban tanah yang rendah. Oleh karena itu waktu penanaman yang terbaik adalah pada saat kelembaban tanah mencapai kapasitas lapang, yaitu ditandai dengan jumlah curah hujan telah mencapai 100 mm per bulan. Untuk mengurangi evapotranspirasi, maka penanaman dilakukan pada saat langit berawan atau cuaca teduh. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 65

78 Plot uji penanaman berada di bawah tegakan karet umur 10 tahun di KHDTK Kemampo dengan jarak tanam 5 m x 3 m. Selain sebagai tanaman inang, tegakan karet juga berfungsi sebagai penaung ketika bibit rotan masih muda. Meski tumbuh berdampingan, pohon yang dirambati rotan tidak akan terganggu. Menurut Wijaya (2010), rotan jernang termasuk tumbuhan perdu yang tidak parasit terhadap pohon inang. Rotan jernang hanya memanfaatkan pohon terdekat untuk mencapai kondisi mikroklimat ideal antara lain meliputi: intensitas sinar matahari, aliran udara, dan kelembaban relatif. Sebelum memperoleh kondisi mikroklimat ideal, rotan jernang akan tumbuh menjalar sampai menemukan tanaman sekitarnya untuk merambat. Pembuatan plot dimulai dari survei lokasi, pengeplotan, penebasan secara jalur, pengajiran, pembuatan lubang tanam sebesar (40 x 40 x 40) cm, pemberian pupuk kandang 2 kg per lubang, penyemprotan EM-4, pengadukan media dan penanaman. Lubang tanam dengan ukuran relatif besar (40 cm x 40 cm x 40 cm) mampu memberi ruang yang optimal bagi akar untuk menyerap unsur-unsur hara yang diperlukan. Pemberian bahan organik (pupuk kandang 2 kg/lubang dan EM- 4) ditujukan untuk menambah kandungan unsur hara tanah dan menyelaraskan muatan ionik dalam tanah. Tanah pada lahan penanaman termasuk tanah Ultisol dimana kesuburan tanahnya tergantung kepada adanya bahan organik yang ditambahkan. Muatan ionik syarat terjadinya interaksi tanaman dan nutrisi tanah. Tanaman mampu menyerap hara tanah, jika nutrisi berbentuk ion. Selain itu bahan organik juga mencegah tanah padat karena aktivitas mikroba dan hewan memunculkan rongga sehingga aerasi tanah terjaga. Dampaknya bahan organik mampu mempertahankan perbedaan muatan dan memudahkan akar menyerap nutrisi. Untuk menjamin media siap ditanami (suhu tanah ± 27 C,C/N sebesar 12-15%, tidak ada patogen), pupuk kandang diaduk secara merata dengan tanah bekas galian lubang tanam dan disiram dengan EM-4. Penanaman bibit dilakukan pada awal musim penghujan (bulan November 2011) dengan cara centre hole method yaitu cara penanaman dimana bibit diletakkan di tengah-tengah lubang tanam. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 66

79 Pembangunan plot uji penanaman dilakukan 2 tahap yaitu tahun 2011 dan Pada tahap pertama diterapkan uji coba pemupukan pupuk tunggal P dan untuk tahap kedua diterapkan uji coba pemupukan pupuk majemuk lengkap lambat urai. Pada plot uji penanaman yang menjadi kendala adalah serangan hama babi hutan. Hama ini biasanya menyerang tanaman yang berdaun muda, bagian pucuk tanaman langsung dimakan dan bahkan ada beberapa tanaman yang tercabut. Upaya yang dilakukan adalah dengan membuat pagar disetiap tanaman menggunakan karung. Pemagaran ini cukup baik untuk menjaga tanaman muda dari serangan babi hutan. Kegiatan pemeliharaan yang telah dilakukan meliputi: pembersihan gulma, pemberian pupuk bokhasi cair, pendangiran, pemupukan P, penyulaman, dan pengukuran. Untuk mengurangi efek negatif dari musim kemarau yang panjang, pada bulan Agustus 2012 dilakukan aplikasi hidrogel. Hidrogel dilarutkan dalam air dengan perbandingan 5 g hidrogel dilarutkan dalam 1 lt air. Larutan hidrogel dimasukkan dalam lubang tanam secara hati-hati, jangan sampai merusak sistem perakaran. Dengan pemeliharaan intensif dan teratur, sampai umur 1 tahun setelah tanam, tanaman target menunjukkan performa sebagai tanaman sehat dengan dicirikan: pertumbuhan yang baik, daun segar dan lebat, persen hidup yang tinggi, dan tidak terserang hama penyakit. Sampai umur 1 tahun, persen hidup rotan jernang untuk masing-masing perlakuan relatif tinggi berkisar 94,7 97,3%. Selain aplikasi hidrogel, tanaman inang (tegakan karet) mampu untuk mengurangi temperatur udara yang cukup tinggi. Tegakan karet dapat berfungsi sebagai penaung dengan intensitas naungan berkisar 70 80% sehingga dampak temperatur yang tinggi di atas tegakan tidak ekstrim berpengaruh terhadap temperatur di bawah tegakan. Pengukuran pertumbuhan rotan penghasil jernang muda dilakukan dengan menghitung jumlah pelepah dan panjang pelepah. Pertumbuhan jumlah pelepah dan panjang pelepah tertinggi dicapai tanaman dengan aplikasi pemupukan 80 g TSP per pohon, diikuti tanaman dengan aplikasi 40 g TSP per pohon dan tanaman tanpa dipupuk. Adanya respon yang nyata dari perlakuan pemupukan TSP terhadap pertumbuhan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 67

80 panjang pelepah daun disebabkan karena pemupukan TSP dosis 80 g dan 40 g mampu meningkatkan kadar P tanah dan mampu mendorong pertumbuhan akar tanaman. Pupuk TSP diikat oleh tanah dengan cukup kuat, relatif kurang tercuci, mudah larut dalam air, dan cepat tersedia bagi tanaman. Fosfor mempunyai peranan penting dalam menyimpan dan memindahkan energi yang dihasilkan dari proses fotosintesis dan metabolisme karbohidrat. Kekurangan P akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil dengan sistem perakaran yang terbatas dan batang yang kecil (Mclaren dan Cameron, 1996). Grambar Kondisi tanaman di plot uji tanaman Aplikasi Pestisida Nabati Kegiatan pencegahan dan pengendalian gangguan pada tanaman yang paling sering dilakukan umumnya menggunakan insektisida kimia, namun seiring berjalannya waktu penggunaan insektisida kimia ini banyak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Untuk itu perlu dicari insektisida alternatif lainnya yang lebih ramah lingkungan tetapi cukup efektif untuk pengendalian hama. Pengendalian hama pada tanaman harus mengacu pada konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagaimana termaktub dalam Undang- Undang No 12, tahun Penerapan konsep PHT tidak saja didasarkan pada aspek ekonomi tetapi juga aspek ekologi. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah pengendalian dengan menggunakan pestisida nabati yang bahan aktifnya berasal dari tanaman. Banyak hasil penelitian sebelumnya yang telah membuktikan adanya kandungan bahan aktif di dalam tumbuhan yang bersifat sebagai insektisida. Salah satu di antaranya adalah tumbuhan mimba (Azadirachta SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 68

81 indica), yang pemanfaatannya sebagai insekitisida telah berkembang luas dan telah diproduksi dalam skala industri, baik yang perusahaan lokal maupun mancanegara. Selain tanaman mimba banyak lagi jenis tumbuhan yang telah terbukti potensinya sebagai pestisida walaupun masih dalam skala laboratorium, diantaranya adalah bintaro, pinang, puar, rimau dan mindi. Sebelum dikembangkan secara luas, potensi jenis-jenis tumbuhan ini perlu diverifikasi lagi dalam skala lapangan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis hama dan penyakit yang dominan ditemukan pada tanaman jabon adalah hama kepik dari jenis Mictis sp. (Hemiptera; Coreidae), ulat pemakan daun dari jenis Parotis sp., Daphnis hypothous dan ulat kantong serta penyakit bercak daun. Berdasarkan hasil pengramatan menunjukkan bahwa perlakuan penyemprotan menggunakan ekstrak daun rimau (Toona sp.) efektif dalam menekan perkembangan serangan hama kepik Mictis sp., ulat pemakan daun Parotis sp. dan ulat kantong. Diduga bahwa tanaman rimau mengandung senyawa metabolit sekunder yang bersifat sebagai insektisida. Hasil ini membuktikan bahwa kelompok tumbuhan dari famili Meliaceae merupakan salah satu kelompok tumbuhan yang sangat potensial sebagai sumber penghasil insektisida. Banyak species tumbuhan dari famili Meliaceae ini yang telah dilaporkan aktif terhadap serangga hama, diantaranya Mimba (Azadirachta indica), Mindi (Melia azedarach), suren (Toona surensis) dan Aglaia harmsiana (Wiyantono, 1998). Ekstrak daun rimau yang dihasilkan dengan pelarut metanol lebih efektif dalam menekan perkembangan serangga hama kepik Mictis sp. ulat daun Parotis sp. dan ulat kantong. Hal ini mengindikasikan bahwa pelarut metanol lebih efektif dalam melarutkan bahan aktif yang terkandung dalam tanaman dibandingkan pelarut air. Farrel (1990) dalam Naufalin (2005), mengemukakan bahwa keefektifan ekstrak yang diperoleh salah satunya dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan. Perbedaan keefektifan ini juga diduga karena perbedaan konsentrasi bahan aktif yang terekstrak, sehingga untuk mendapatkan hasil yang sama, konsentrasi ekstrak daun rimau dengan pelarut air harus ditingkatkan. Diduga bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak daun rimau ini bersifat polar, karena dengan menggunakan pelarut metanol dan air bahan aktif yang terkandung dalam tanaman dapat terekstrak. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 69

82 Berdasarkan tingkat polaritas, metanol dan air termasuk kelompok senyawa polar. Harborne (1987), mengemukakan bahwa kepolaran suatu senyawa aktif yang akan terekstrak atau terlarut dari suatu bahan tanaman dalam proses perendaman sesuai dengan kepolaran jenis pelarutnya. Efektifitas penyemprotan ekstrak daun rimau terhadap serangga hama kepik, selain dipengaruhi oleh efektifitas dari bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak daun rimau, diduga dipengaruhi juga oleh faktor curah hujan. Curah hujan yang tinggi dapat menghambat perkembangan kepik Mictis sp. (Asmaliyah, et al, 2013). Seperti kebanyakan kelompok kepik (Hemiptera), pada curah huan rendah populasinya meningkat dengan cepat (Kalshoven, 1981). Aktifitas senyawa aktif terhadap hama kepik Mictis sp. diduga memiliki efek mengusir. Hal ini terlihat di lapangan, dimana beberapa saat setelah aplikasi penyemprotan, kepik-kepik yang berada pada pucuk tanaman jabon sebagian besar terbang menjauh tanaman atau menjatuhkan diri ke tanah, tapi tidak menyebabkan kematian kepik. Sedangkan aktivitas ekstrak daun terhadap ulat daun Parotis sp. diduga memiliki efek antifeedant (mengurangi nafsu makan). Hal ini dapat dilihat di lapangan, dimana pada saat populasi ulat daun meningkat (pengramatan bulan januari 2013), serangan ulat Parotis sp. cenderung semakin menurun. Dibandingkan pada perlakuan kontrol, serangan ulat daun Parotis sp. cenderung meningkat. Belum efektifnya perlakuan penyemprotan esktrak rimau terhadap serangan ulat pemakan daun D. hypothous ini, karena pada saat penyemprotan kedua pada bulan November 2012, serangan hama ini belum ada. Di duga ketika serangan hama ini datang, residu ekstrak rimau telah hilang dari tanaman, sehingga ulat menjadi berminat mendekati dan makan tanaman. Berdasarkan hal tersebut, disarankan waktu yang tepat untuk aplikasi menggunakan ekstrak tanaman adalah pada saat serangga hama ada ditempat. Hal ini terkait erat dengan sifat dari bahan aktif yang berasal dari tanaman yang mudah terdegadasi di alam apabila terpapar matahari. Senyawa aktif yang terkandung didalam ekstrak daun rimau hanya bersifat insektisida, tidak bersifat fungisida. Faktor ini yang kemungkinan menjadi penyebab ekstrak daun rimau belum efektif SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 70

83 terhadap serangan penyakit. Penurunan dan peningkatan besaran persentase serangan dan intensitas serangan diduga dipengaruhi oleh musim (curah hujan) Budidaya Gemor (Nothaphoebe sp.) Berdasarkan hasil identifikasi terdapat 2 spesies yang dimanfaatkan masyarakat sebagai penghasil kulit kayu gemor (Nothaphoebe coriacea (Kosterm.) Kosterm dan Nothaphoebe cf umbelliflora). Adinugoho et al. (2012) menyatakan bahwa masyarakat membedakan 2 spesies pohon ini dari warna kulit dalam setelah dikupas yaitu ada berwarna putih kekuningan dan merah dan dari 2 spesies ini jenis Nothaphoebe coriacea (Kosterm.) yang lebih banyak diambil masyarakat karena kulitnya yang lebih tebal. Selanjutnya disebutkan pula bahwa masyarakat mengenal pohon tersebut dengan sebutan gemor, menuk, tempuloh. Berdasarkan nilai indeks Ochiai, indeks Dice dan Jaccard diketahui bahwa pohon gemor di daerah Long Daliq, Kubar berasosiasi dengan Horsfieldia sp, Mezzettia parviflora Becc, Shorea parvifolia Dyer, Sizygium sp1, Stemonurus scorpioides Becc., Dacryodes cf. incurvata (Engl.) H. J. Lam, Lithocarpus sp1, Litsea angulata Blume, Palaquium sp, sedangkan di daerah Tuanan, Kalteng pohon gemor bersasosiasi dengan Diospyros sp.1, Ilex sp., Koompassia malaccensis Maing. Ex Benth., Neoscortechinia kingii (Hook.f.) Pax & K.Hoffm, Tetramerista glabra Miq., Calophyllum sp., Canarium sp.1, Elaeocarpus sp.2, Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz, Palaquium sp.1, Payena lerii (Tejsm. & Binn.) Kurz, Shorea parvifolia Dyer, Syzygium sp.1, Timonius sp. Peta sebaran gemor dapat dilihat pada Lampiran 4. Sampai saat ini masih sedikit informasi hasil penelitian gemor, terutama pada aspek budidayanya. Tingkat kesulitan upaya budidaya jenis ini sama seperti jenis jenis tanaman di hutan rawa grambut lainnya, seperti Terentang (Campnosperma sp.), yang mempunyai keberhasilan yang rendah saat di stek. Terentang secara alami terdapat pada hutan rawa grambut, namun jika di potong batangnya untuk di setek akan mengeluarkan resin secara terus menerus sehingga kadar air bahan setek turun dan perlakuan pemberian hormon perangsang akar tidak efektif (Santosa et al., 2003). Stek gemor pada awal menunjukkan kondisi segar sampai 6 bulan, setelah itu berangsur menurun kesegarannya dan berakar SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 71

84 sampai akhir pengramatan hanya 1%. Dengan demikian berdasarkan hasil peneltian pembibitan jenis penghasil kulit kayu gemor yang masih rendah maka dapat diperoleh kesimpulan jenis ini termasuk kedalam katagori jenis yang susah berakar (difficult to root). Oleh sebab itu perlu dilakukan perlakuan ekstra untuk menumbuhkan setek gemor, seperti yang dilaporkan oleh Adinugoho (2006); Panjaitan et al., (2010); Santosa et al., (2011). Karakteristik gemor dengan adanya kandungan phenol yang relatif tinggi menjadi kendala terjadinya pembentukan akar. Perbanyakan pohon penghasil kulit gemor secara vegetatif cangkok telah dapat dilakukan. Perbanyakan bibit gemor dapat dibuat secara cangkok dengan menggunakan media campuran grambut dan kompos (1:1) dengan berupa serabut kulit buah kelapa dan menggunakan media tanah dengan pembungkus plastik transparan (Santosa et al., 2012). Bagian pohon jenis ini yang sering dimanfaatkan masyarakat adalah bagian kulit batangnya dimana pada bagian ini bersifat aromatic seperti pada umumnya dijumpai pada family Lauraceae. Zulhemy dan Martono (2003) melaporkan kegunaan kulit kayu gemor sebagai bahan campuran obat nyamuk, hio untuk upacara ritual dan bahan baku lem atau perekat. Menurut anonym (1993) dari serbuk kulit kayu gemor diketahui terdapat kandungan kadar air 13,10%, alkaloid 0,74%, Pyrethrin, 1,80%, Resin 5,21%, Tanin 1,66%, dan karbohidrat 39,30%. Pyrethrin adalah suatu bahan aktif insektisida yang bermanfaat untuk pemberantas nyamuk dan dapat digunakan sebagai sumber bahan aktif insektisida alami, yang diharapkan menggantikan bahan insektisida sintetis yang digunakan pada anti nyamuk bakar yang merusak lingkungan. Berdasarkan hasil pengramatan dan wawancara dengan masyarakat di sekitar wilayah proyek lahan grambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah, kegiatan pengrambilan kulit kayu gemor sudah berlangsung di daerah grambut Kalimantan Tengah sejak tahun 1970 an. Jenis pohon ini masih berupa tumbuhan hutan yang belum dibudidayakan secara luas. Masyarakat memanen langsung dari hutan dengan cara menebang dan mengupas kulitnya sehingga keberadaan pohon ini berpotensi untuk mengalami kepunahan. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 72

85 Data Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Kalteng menunjukkan pada tahun 2002 produksi kulit kayu gemor tercatat 39,12 ton dan turun menjadi 4,44 ton pada tahun 2003 dan pada tahun 2004 sudah tidak tercatat lagi. Tamin dan Arbain dalam Suryanto et al. (2006), menyebutkan bahwa senyawa kimia yang bermanfaat dari tumbuhan merupakan hasil metabolit sekunder, yaitu hasil samping proses metabolisme seperti alkaloid, steroida/terpenoida, flavonoid, fenolik, kumarin, kuinon, lignin, dan glikosida. Saat ini sudah banyak kandungan metabolit sekunder dari berbagai jenis tumbuhan hutan yang diisolasi zat aktifnya dan dimanfaatkan. Adinugoho (2006) melaporkan tentang potensi gemor, kandungan fitokimia kulit kayunya, dan teknik perbanyakan setek yang masih rendah keberhasilannya (<1%). Hasil uji warna menunjukkan bahwa kandungan metabolit sekunder lebih banyak dijumpai pada bagian kulit batang dibanding ranting dan daun, pada bagian tersebut terkandung flavonoid, fenolik, saponin, steroid, dan alkaloid. tabel Hasil skrining fitokimia dengan reaksi uji warna pada bagian pohon gemor dari Dsn. Jengan dan Dsn. Leking, Kalimantan Timur Bagian Pohon Lokasi Flavonoid Fenolik Saponin Steroid Alkaloid Kulit Batang Dsn. Jengan Dsn. Leking Ranting Dsn. Jengan Dsn. Leking Daun Dsn. Jengan Sumber: Rostiwati et al. (2009) Dsn. Leking Berdasarkan kandungan fitokimia dan hasil uji kromatogafi pada bagian jaringan gemor, diketahui bahwa gemor berpotensi sebagai bahan baku obat. Panjaitan (2011) melaporkan bahwa potensi gemor semakin berkurang dan tata niaga gemor masih belum diatur dengan baik Silvikultur Intensif Sagu Sampai saat ini sagu belum banyak dimanfaatkan secara optimal, karena masyarakat memanfaatkan sagu hanya sebatas sebagai bahan pangan saja, sehingga budidayanyapun dilakukan secara konvensional. Berkaitan dengan kemajuan IPTEK, maka saat ini pati sagu dapat digunakan sebagai bahan bakar nabati yang potensial yaitu sebagai bahan baku bioetanol. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 73

86 Oleh karena itu diperlukan penerapan sistim silvikultur sagu (pembibitan sampai pemanenan) yang tepat untuk meningkatkan produktivitas sagu. Evaluasi sistim silvikultur sagu yang diterapkan di masyakat diperlukan untuk mengetahui tingkat produktivitas sagu yang dihasilkan dari kegiatan budidaya masyarakat di sekitar kawasan hutan sagu selama ini. Evaluasi dibedakan berdasarkan tingkat kemajuan ekonomi masyarakat di sekitar hutan sagu yaitu masyarakat yang telah maju dan masyarakat tertinggal. Penelitian dilakukan dengan pembuatan demplot di Desa Koyani, Sp. 6 Kecamatan Prafi, Papua Barat. Luas demplot yang terbangun seluas 4 ha. Jenis sagu yang ditanam ada 6 jenis yaitu Antar, Hawar, Noiin, Huwor, Makbon, Yeriran. Penelitian diawali dengan pengamatan karakteristik 6 jenis sagu seperti berikut: 1. Antar Keliling 2 m, tinggi 3,6 m, tidak berduri, warna daun hijau kecoklatan; warna batang hijau kecoklatan; panjang daun 63,8 cm; lebar daun 7 cm; jarak antara daun 7,9 cm; kedudukan daun selang seling merapat; Warna batang kuning; warna daun kuning; panjang daun 45,5 cm; lebar daun 2,4 cm. Jenis ini dapat tumbuhkan anakan pada umur 2 tahun. Jumlah daun 38. Hawar Keliling 2, 40 m, tinggi 3,75 m Daun hijau warna kekuningan; batang muda warna hijau bintik hitam; warna coklat pada belakang pelepah; Jenis berduri, jumlah duri melingkar menyebar pelepah berjumlah 32, panjang duri 3 cm; jarak dari pangkal 1,8 cm; jumlah duri ke atas 18; panjang duri yang tua 10,2 cm; panjang duri yang sedang 5 cm; panjang duri kecil 2,2 cm; panjang daun 7.7 cm; lebar daun 4,1 cm; kedudukan daun berhadapan agak menyilang; jarak antar masing-masing daun 8,3 cm. Jumlah daun 28. Noiin Keliling 3,65 m, tinggi 2,35 m, Warna batang hijau coklat; warna belakang pelepah coklat garis-garis putih; warna daun hijau tua keunguan; duri kecil selang seling pada batang tidak beraturan; panjang daun 69,9 cm; lebar daun 3,2; jarak antara daun 8,7 cm. Jenis ini dapat tumbuhkan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 74

87 anakan. Jumlah daun 22. Huwor Keliling 3,75 m, tinggi 3,42 m, Warna daun hijau kekuningan, warna batang hijau kekuningan; panjang daun 49 cm, lebar daun 5 cm; jumlah duri 5 melingkar batang dengan posisi selang seling. Jumlah daun 35. Makbon Keliling 3.75 m, tinggi 3,67 m, Warna batang kuning bercak coklat; warna daun hijau; jarak antar daun 5,5 cm; jumlah duri 6 8 posisi melingkar pelepah dengan jumlah panjang 4 dan pendek 4 atau panjang 1 pendek 2; panjang daun 53,5 cm dan lebar daun 3 cm, jumlah daun 28. Yeriran Keliling 3,35 m, tinggi 2,8 m. Warna pelepah batang hijau kecoklatan; warna daun hijau kekuningan; jumlah duri 6 rapat tersusun rapat pada pelepah batang; jarak daun 9,3 cm; panjang daun 53,2 cm; lebar daun 1 cm, jumlah daun 30 Perlakuan yang diberikan tanaman sagu adalah pemberian pupuk bokasi dengan taraf berbeda (250 g, 500 g, 750 g dan 1000 g) per tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas 6 jenis sagu di demplot menghasilkan pertumbuhan yang baik. Namun pemberian pupuk bokasih yang diberikan dengan berbagai dosis tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi, diameter dan jumlah pelepah 6 jenis sagu di lapangan. Pertumbuhan tanaman sagu di lapangan dipengaruhi oleh kondisi bibit pada saat akan ditanam. Bibit ke enam jenis sagu tersebut dalam kondisi sehat dan sudah siap tanam,. Selain itu pemeliharaan tanaman sagu di lapangan dengan membersihkan gulma yang mengganggu tanaman dilakukan secara rutin, sehingga tidak ada lagi gulma yang mengganggu pertumbuhan tanaman sagu tersebut. Berdasarkan hasil pengramatan, gulma yang paling dominan adalah jenis Passiflora foetida, Mikania mikranata, Neprolepis bisserata, Hyptis sp, Ageratum conycoides. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 75

88 Budidaya Kratom Kratom adalah obat yang cukup unik, dalam dosis rendah sampai sedang biasanya (tetapi tidak selalu) akan merangsang, sedangkan dosis tinggi hampir selalu cukup menenangkan. Hal ini tampaknya karena alkaloid aktif memiliki kedua efek stimulan dan obat penenang. Yang menonjol mungkin tergantung baik pada tingkat darah dan perbedaan individu di antara penggunanya (Jack, 2009). Penggunaan kratom di beberapa negara seperti Australia, Burma dan Thailand merupakan barang ilegal. Berbeda dengan negara Amerika Serikat dan seluruh Eropa yang melegalkan pemakaian kratom. Indonesia sendiri belum ada aturan atau Undang-Undang yang menyatakan kepastian hukum produk kratom. Bagi masyarakat Dabra, jenis Mitragyna speciosa hanya digunakan sebagai kayu bakar dan kayu untuk memasang jaring ikan di sungai. Informasi lainnya yang diperoleh bahwa daunnya sempat diperdagangkan dengan harga Rp / kg pada seorang pengusaha Cina di Jayapura. Volume daun Mitragyna speciosa yang dijual diprediksi lebih dari 1 ton. Kratom (Mitragyna speciosa) merupakan tumbuhan tropis yang tumbuh di hutan dataran rendah hingga menengah. Tumbuh baik pada daerah lembab tapi tidak menyukai cuaca dingin. Kratom dapat ditanam dalam pot atau di pekarang rumah namun perlu dipangkas agar tidak tumbuh tinggi karena jenis ini dapat tumbuh besar layaknya pohon. Perbanyakan kratom dapat dilakukan dengan biji (generatif) maupun dengan cara stek (vegetatif) Budidaya Massoi Dalam membudidayakan Massoi pada umumnya menggunakan biji sebagai sumber benih, sementara dalam proses perkecambahannya membutuhkan penanganan yang cukup serius meninggat tingginya gangguan hama perusak biji. Tumbuhan massoi termasuk kategori yang rentan terhadap serangan hama. Hama massoi terdiri atas hama buah ( hama dari genus Coleoptera famili Scolytidae) dan hama penggerek daun anakan massoi di persemaian (Rumbiak, 2008). Cara mengecambahkan biji massoi dapat dilakukan melalui perlakuan perendaman biji selama kurang lebih 1 hari. Hasil pengramatan proses perkecamahan biji massoi, perkecambahan dimulai dengan pecahnya sumbat gabus, kemudian diikuti keluarnya radikel atau calon akar dan diikuti dengan keluarnya plumula SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 76

89 Dalam penanganan biji Intensitas cahaya yang baik bagi persentase tumbuh bibit/ anakan massoi tinggi pada intensitas cahaya 50 % karena di duga merupakan kondisi yang relatif optimum bagi pertumbuhan bibit di persemaian. Pada kondisi tersebut bibit tidak mengalami strees karena adanya perubahan lingkungan. Penelitian lain yang pernah dilaksanakan oleh BPKM (1997) yang berkaitan dengan aspek silvikultur jenis massoi diantaranya adalah pengaruh wadah penyimpanan dan media tanam terhadap persentase tumbuh anakan massoi dimana diketahui wadah penyimpanan bibit massoi yang terbaik nilai persentase tumbuhnya adalah pelepah pisang kemudian karung goni dan daun hutan. Tingginya nilai persentase tumbuh anakan massoi yang disimpan pada pelepah pisang disebabkan oleh pelepah pisang mengandung air sehingga dapat mengatur suhu udara dan air. Sementara media tumbuh yang baik adalah tanah, kemudian tanah bercampur pasir. Hal ini diduga karena tanah memiliki daya tangkap air yang lebih besar jika dibandingkan dengan campuran pasir dan tanah Budidaya Kilemo Ujicoba pola tanam kilemo telah dilakukan di KHDTK Aek Nauli pada lahan seluas tanam 5 ha. Lokasi penanaman pada ketinggian m dpl. Rancangan penelitian adalah rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan kondisi tempat tumbuh (tempat terbuka, areal alangalang, di bawah tegakan Pinus dan di bawah tegakan ingul) dengan jarak tanam 3x5 m. Penanaman dilakukan tahun 2010, dan dilakukan pengramatan Hasil pengukuran tinggi dan diameter kilemo pada berbagai kondisi lahan di KHDTK Aek Nauli dapat dilihat pada Tabel Tabel Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter serta persentase hidup (%) kilemo umur 3 tahun di KHDTK Aek Nauli, Sumatera Utara Persentase Rata-rata pertambahan (cm) Kondisi Lahan Hidup (%) Tinggi Diameter Tempat terbuka 55,0 164,00 ± 45,15 1,27± 0,55 Areal alang-alang 60,0 128,43 ± 29,88 1,07± 0,53 Di bawah tegakan Pinus 57,67 182,64± 69,18 1,14 ± 0,57 Di bawah tegakan ingul 83,53 253,89 ± 78,08 2,10 ± 1,00 Berdasarkan Tabel 3.17 dapat dilihat bahwa tanaman kilemo yang ditanam di bawah tegakan ingul menghasilkan pertambahan tinggi SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 77

90 yang paling baik (253,89 cm), disusul yang ditanam dibawah tegakan Pinus (182,64 cm), di tempat terbuka (164,00 cm) dan di areal alang-alang (128,43 cm). Sedangkan pertambahan diameter yang tertinggi diperoleh tanaman kilemo yang ditanam di bawah tegakan ingul (2,10 cm), disusul di tempat terbuka (1,27 cm), di bawah tegakan Pinus (1,14 cm) dan di areal alang-alang (1,07 cm). Data tersebut memperlihatkan bahwa pada umur 3 tahun, kilemo yang ditanam dibawah tegakan ingul menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter terbaik. Grambar tanamam kilemo pada berbagai kondisi lahan dapat dilihat pada Grambar Grambar Tanaman kilemo pada berbagai kondisi lahan di KHDTK Aek Nauli Untuk mendapatkan produksi daun optimal dam meningkatkan kandungan sineol dan sitronellal telah dilakukan penelitian pemangkasan dan pemupukan dalam rangka untuk mengetahui dampak pemangkasan terhadap produksi eksudat akar dan populasi mikrob rhizosfir tanaman kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) dan mengetahui efektivitas pemupukan terhadap peningkatan produksi daun pada tanaman kilemo umur 2 tahun yang dipangkas. Pemangkasan dilakukan dengan membuang seluruh bagian pucuk di atas percabangan terbawah. Pupuk organik, pupuk daun, NPK dan kontrol diberikan pada tanaman setelah satu bulan dilakukan pemangkasan dalam rancangan acak lengkap. Pengrambilan sampel tanah rhizosfir dilakukan pada kedalaman 0 20 cm pada hari ke-10, 30, 60 dan 90 setelah pemangkasan. Sampel tanah diukur kandungan total gula dan diisolasi mikrob penambat N, pendegadasi selulosa serta pelarut fosfat. Untuk mengetahui respon pemupukan terhadap pertumbuhan terubusan dilakukan penghitungan jumlah, panjang dan pendugaan biomas terubusan pada hari ke-15, 30, 60, 90 dan 120 hari setelah pemangkasan. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 78

91 Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kilemo yang dipangkas mengalami penurunan eksudat akar 22%, 28%, 44% dan 70% pada hari ke-10, 30, 60 dan 90 setelah pemangkasan. Penurunan eksudat akar tersebut mengakibatkan menurunnya seluruh populasi mikrob rhizosfir. Penambahan pupuk organik dapat meningkatkan kandungan gula rhizosfir lebih baik dibandingkan pupuk NPK dan pupuk daun. Walaupun pemupukan dapat meningkatkan produksi eksudat akar tetapi mengakibatkan menurunnya populasi mikrob di rhizosfir. Peningkatan jumlah, panjang dan biomas terubusan paling efektif diberikan oleh perlakuan pemupukan dengan pupuk organik. Perlakuan ini dapat meningkatkan jumlah terubusan 116%, panjang terubusan 99% serta biomas 475% dibanding kontrol. Perlakuan ini dapat meningkatkan ketersediaan N, P dan K dalam tanah serta meningkatkan P total dalam tanah. Hasil analisis regesi menunjukkan ketersediaan unsur-unsur hara tersebut berkaitan sangat erat dalam meningkatkan jumlah, panjang dan biomas terubusan sampai tiga bulan setelah pemupukan Budidaya Cendana (Santalum album Linn.) Cendana adalah tanaman penghasil minyak atsiri cendana yang berbau harum, yaitu salah satu hasil hutan bukan kayu unggulan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Jenis ini merupakan andalan komoditas hutan dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Cendana merupakan spesies asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi NTT seperti P. Timor, P. Sumba, P. Alor, P. Solor, P. Pantar, P. Flores, P. Roti dan pulau lainnya. Selain di NTT, cendana juga dijumpai di Gunung Kidul, Imogiri, Kulon Progo (DIY), Bondowoso (Jawa Timur), dan Sulawesi. Selain di Indonesia tanaman ini juga tumbuh di India bagian Selatan serta Australia bagian Utara dan Barat. Tanaman cendana memerlukan inang primer dan sekunder untuk pertumbuhan. Syarat untuk inang primer adalah jenis yang tidak menyebabkan persaingan, bertajuk kecil, akar succulen, mudah tumbuh kembali setelah dipangkas, tidak berumur pendek, mudah didapat dan berfungsi membantu menyerap unsur hara. Inang primer yang biasanya digunakan adalah jenis krokot hijau (Althernanthera sp.), Desmanthus virgatus dan Crotalaria juncea. Inang sekunder ditanam setahun sebelum penanaman cendana. Ini bertujuan agar akar inang telah cukup SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 79

92 berkembang sehingga dapat mempercepat terjadinya kontak dengan akar cendana, selain itu juga dapat berfungsi sebagai penaung. Bali merupakan daerah konsumsi cendana yang relatif besar, karena sebagian besar masyarakatnya memanfaatkan kayu cendana, terutama untuk kerajinan dalam rangka menunjang sektor pariwisata dan kebutuhan keagramaan. Kebutuhan kayu cendana di Bali terus meningkat seiring dengan perkembangan pariwisata, dan pertambahan jumlah penduduk. Kayu cendana selain sabagai bahan baku industri kerajinan juga dimanfaatkan sebagai bahan baku kosmetik, obat-obatan dan pembuat aneka dupa (Surata dan Idris, 2001). Untuk menjamin kesinambungan kebutuhan cendana dimasa mendatang di Bali maka perlu dilakukan pengembangan cendana di Nusa Penida dengan pertimbangan sesuai kondisi biofisik, sosial budaya, ketersediaan teknologi budidaya. Keberhasilan demplot penanaman cendana di Nusa Penida sangat ditentukan oleh minat atau keinginan masyarakat, penguasaan teknologi dan pola tanam yang tidak mengganggu usaha tanaman pangan. Pola tanam yang dinginkan adalah jaraknya tidak terlalu rapat (minimal 6 x 12 m atau 12 x 12 m) dan dilakukan sebagai tanaman penguat teras, sehingga aktivitas tanaman pangan masih bisa berjalan. Namun keinginan masyarakat belum diimbangi dengan teknik penanaman dan pemeliharaan yang baik oleh peserta demplot karena alasan sosialisasi teknologi belum dilakukan dan belum sepenuhnya teknologi dikuasai masyarakat. Pengembangan cendana yang telah dilakukan masyarakat sebelumnya di Desa Tangglad dan Pejukutan hanya menunjukkan 60% tingkat keberhasilan tumbuh cendana. Namun keberhasilan pertumbuhannya terjadi hanya di 3 plot petani yaitu 2 plot di Pejukutan dan 1 plot di Tanglad. Kurangnya pengetahuan teknologi pasca pemeliharaan tanaman dan keraguan hasilnya menyebabkan kegagalan cendana. Ujicoba pola tanam secara partisipatif pada tanaman cendana telah dilakukan di Nusa Penida, Bali pada bulan Desember Penanaman dilakukan di cubang 30 cubang per cubang 20 pohon dan satu demplot seluas 1 ha dengan memakai inang turi, kelor dan betenu. Pertumbuhan anakan cendana pada awal penanaman rata-rata tinggi 34,55 cm, diameter 0,54 cm. Sifat fisik dan kimia tanah di lokasi penelitian menunjukkan tekstur tanah termasuk liat berdebu bahan induk SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 80

93 batu kapur, solum tipis. Sifat kimia tana adalah ph tanah termasuk alkalis ph H2O 7,7-7,9), Unsur P N, K, dan C-organik di lokasi penelitian termasuk rendah, oleh karena itu untuk penanaman perlu masukan bahan organik Pola tanam campuran kemiri, kesambi, kenari, mimba, saga, ganitri, malapari Plot Uji Coba Penanaman Mimba, Saga, Kenari, Kemiri dan Kesambi berada di KHDTK Sobang, Banten. Lokasinya sendiri berada pada ketinggian m dpl. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak lengkap dengan 3 perlakuan pupuk NPK yaitu dosis 25, 75 dan 125 g/tanaman. Kelima jenis tersebut ditanam pada tahun 2008 dengan luas masing-masing 1 ha dengan jarak tanam 3 x 5 m. Pemeliharaan yang dilakukan adalah pembabadan, roundup jalur, pendangiran. Parameter yang diamati adalah Persen tumbuh dan diameter pohon. Hasil pengramatan pertumbuhan jenis Mimba, Saga, Kenari, Kemiri dan Kesambi yang mendapat berbagai perlakuan dosis pupuk NPK dapat dilihat pada Tabel terlihat bahwa pemberian pupuk NPK dengan dosis yang berbeda pada kelima jenis tanaman HHBK menghasilkan pertumbuhan yang berbeda pula. Pada jenis Mimba, kenari dan kesambi ternyata pemberian 125 g pupuk NPK/tanaman menghasilkan pertumbuhan yang paling baik, sedangkan pada jenis Saga dengan pupuk 25 g/tanaman. Dari 5 jenis HHBK (obat, energi dan pangan) yang telah berumur 4 tahun, maka pemilihan jenis untuk lahan di Sobang adalah jenis yang tahan terhadap kondisi iklim di wilayah banten namun dapat tetap meningkatkan pertambahan diameter dan tingginya. Dosis pupuk NPK yang dianjurkan untuk tanaman saga adalah 25g/tanaman, sedangkan mimba, kenari dan kesambi dianjurkan menggunakan dosis 125 g pupuk NPK/tanaman. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 81

94 Tabel Data pertambahan tinggi dan diameter Mimba, Saga, Kenari, Kesambi dan Kemiri umur 4 tahun yang mendapat perlakuan berbagai dosis pupuk NPK Jenis tanaman Rata-rata pertambahan tinggi dan diameter (cm) P0 P1 P2 P3 T D T D T D T D Mimba Saga Kenari Kesambi Kemiri Keterangan: P0=Kontrol (tanpa pupuk), P1= 25 g NPK/tanaman, P2=75 g NPK/tanaman, P3= 125 g NPK/tanaman Plot Uji Coba Penanaman Malapari, Nyamplung dan Ganitri berada di KHDTK Sobang, Banten. Rancangan yang digunakan pada masing jenis tanaman Malapari (Pongramia pinnata), Nyamplung (Calophyllum inophyllum) dan Ganitri (Elaeocarpus ganitrus) adalah rancangan acak lengkap dengan masing2 jenis mendapat perlakuan pemupukan NPK dengan dosis 0, 50, 75 dan 125 gram/tanaman. Ketiga jenis tanaman tersebut ditanam pada tahun 2010/2011 dengan masingmasing jenis seluas 1 ha dengan jarak tanam 5 x 5 m. Pemeliharaan yang dilakukan adalah pembabadan, roundup jalur dan pendangiran. Hasil pengramatan pertumbuhan tinggi dan diameter pohon jenis Nyamplung Malapari dan Ganitri dapat dilihat pada Tabel Tabel Data rata-rata persen tumbuh dan pertambahan tinggi dan diameter jenis-jenis tanaman Nyamplung, Malapari dan Ganitri umur 2 tahun Persentase Rata-rata pertambahan (cm) Jenis tanaman Hidup (%) Tinggi Diameter Nyamplung ± 1, ± 0,03 Malapari ± 2, ± 0,03 Ganitri ± 8, ± 0,10 Berdasarkan hasil yang tertera pada Tabel 3.19 terlihat bahwa tanaman Nyamplung menghasilkan persen tumbuh yang paling tinggi yaitu 91,50%, Malapari 82,75% dan Ganitri 51,25%. Sedangkan rata-rata pertambahan tinggi adalah Ganitri 17,15 ± 8,75, disusul oleh Malapari (16.77± 2,70) dan Nyamplung (13.06 ± 1,72). Sedangkan rata-rata pertambahan diameter paling tinggi dihasilkan oleh tanaman Malapari (0.19± 0,03 ), kemudian Nyamplung (0.18 ± 0,03) dan yang paling rendah adalah Ganitri (0.16 ± 0,10). Dari hasil perhitungan standar deviasi ketiga SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 82

95 jenis tanaman tersebut terlihat bahwa tanaman Ganitri menghasilkan standar deviasi yang paling tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan Ganitri tidak seragram dan berbeda jauh satu sama lain. Grambar ketiga jenis tanaman tersebut dapat dilihat pada Grambar Grambar Jenis tanaman Nyamplung, Malapari dan Ganitri umur 2 tahun di KHDTK Sobang Budidaya Ganitri Lokasi ujicoba Pola Tanam Ganitri di wilayah Jawa Tengah berada di Hutan Produksi (HP) Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pengujian ini ditujukan untuk konservasi eks situ tanaman obat jenis ganitri. Penanaman dilakukan pada tahun 2011 menggunakan jarak tanam 5 x 5 m dengan luasan 2 ha. Penanaman dilakukan disela tanaman pinus. Pemeliharaan yang dilakukan adalah pembabadan dan pendangiran serta pemupukan NPK. Setelah 3 tahun ditanam terlihat masih tumbuh sejumlah 344 dari 500 tanaman; dengan rerata tinggi adalah 5,44 m serta diameter 4,8 cm. Secara keseluruhan persen tumbuh tanaman adalah 68,8%. Hal ini berbeda dengan ujicoba jenis yang sama di KHDTK Sobang yang hanya mempunyai persen hidup 26% setelah umur 3 tahun. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 83

96 Jawa Barat tinggi (m) Jawa Tengah diameter (cm) 80 % hidup Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Barat Jawa Tengah Grambar Perbandingan pertumbuhan ganitri umur 3 tahun di 2 lokasi (Jawa Tengah dan Banten): tinggi, diameter, persen tumbuh Terlihat dari Grambar 3.18, pertumbuhan ganitri di lokasi Banten dan Jawa Tengah mempunyai perbedaan baik dari performa pertumbuhan tanaman (tinggi dan diameter) maupun jumlah individu yang mampu hidup. Lokasi Jawa Tengah lebih sesuai untuk pertumbuhan ganitri dibandingkan dengan lokasi Jawa Barat, hampir 3 kali lipat keberhasilan penanaman di Jawa Tengah tersebut. Kondisi pertumbuhan ganitri di Karanganyar dengan rerata suhu kering 33 C dan suhu basah 30 C serta intensitas cahaya matahari 27 lebih mampu menumbuhkan ganitri dibanding di Sobang Data kuantitatif produksi Kuantifikasi produksi buah Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Nyamplung belakangan ini mulai menjadi perhatian di kalangan peneliti dan praktisi kehutanan. Pemanfaatan biji nyamplung sebagai bahan baku biofuel termasuk dalam kategori energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui (renewable) dan dalam pengembangannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. populasi sebaran alami nyamplung diyakini tersebar cukup luas di wilayah NTB dan Bali bahkan pada lahan-lahan kering maupun kritis terutama pada daerah-daerah dekat pantai. Namun ternyata di NTB, informasi mengenai nyamplung belum terdata, hanya 8 (delapan) komoditas saja yang tercatat volume produksinya selama 6 tahun terakhir ( ) yaitu madu, gaharu, kemiri, bambu, aren, arang, asam, dan rotan Eksplorasi nyamplung dilaksanakan di 3 pulau yang ada di Bali dan NTB yaitu Lombok, Nusa Penida, Sumbawa. Potensi dan sebaran nyamplung di Bali dan Nusa Tenggara Barat sebagian besar terdapat di SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 84

97 daerah pesisir. Nyamplung dapat ditemukan pada ketinggian m di atas permukaan laut, pada daerah yang berair tawar hingga daerah pantai yang salin. Lokasi nyamplung di Pulau Lombok terdapat di Pringgarata (Lombok Tengah), Batulayar (Lombok Barat), dan Wanasaba (Lombok Timur). Lokasi di Pulau Sumbawa adalah di Sekongkang (Sumbawa Bagian Barat), Kilo dan Kempo (Kab. Dompu). Penelitian dirancang dengan metode survey, dengan pemilihan lokasi secara purposive sampling. Pengramatan produksi buah dikelompokkan berdasarkan ph tanah dan ketinggian tempat sehingga terdapat 5 kelompok berdasar ph dan ketinggian. Jumlah pohon sampel tiap lokasi minimal 30 dengan kisaran diameter berdasar sebaran normal masing-masing lokasi. Model penduga produksi buah dan biji disusun dengan analisis regesi. Dari hasil eksplorasi didapat data sebaran pada Tabel Peta Sebaran dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel Lokasi dan sampel penelitian Kelompok I II III IV V Kriteria pengelompokan ph AA (6,76) B (8,26) AA (6,76) AA (6,6) AB (7,56) Ketinggian (m dpl) Lokasi Penelitian < 150 Kec. Sekongkang, Kab. Sumbawa Bagian Barat (P. Sumbawa) < 150 Kec. Kempo, Kab. Dompu (P. Sumbawa) Kec. Kilo, Kab. Dompu (P. Sumbawa) 150 Kec. Pringgarata, Kab. Lombok Tengah (P. Lombok) Kec. Batulayar, Kab. Lombok Barat (P. Lombok) Kec. Wanasaba, Kab. Lombok Timur (P. Lombok) 300 Dusun Tanglad Batukandik Pejukutan (P. Nusa Penida) Data hasil eksplorasi tahun Ʃ pohon kisaran Ø (cm) Ʃ Pohon sampel ,82-86, ,5-222, ,32-44, ,68-72, , Dalam jangka waktu 6 bulan pengramatan, rerata produksi buah total nyamplung 539 buah dengan berat ± 3,65 kg, dan 80 buah diantaranya tergolong rusak atau gugur muda. Rendemen produksi buah SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 85

98 bervariasi antara 78-92%. Dari ke-5 kelompok, buah yang berasal dari kelompok II (Kilo Kempo) mempunyai karakter buah yang bagus, dengan jumlah total buah yang tinggi (1.087 buah per pohon), berat 6,24 kg per pohon dan rendemen buahnya tergolong tinggi (89,42%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik lingkungan (ph dan ketinggian) tidak berpengaruh terhadap produksi buah, hanya karakter individu pohon (diameter dan tinggi pohon). Terjadi korelasi positif antara diameter dan tinggi pohon terhadap produksi buah. Model estimasi produksi buah nyamplung adalah: Log (Ƥ) = - 1,96 + 2,32 log (d_phn) + 1,04 log (t_pohon) + ε. R 2 model = 0,40; koef. Var = 14,6; Sig. < di mana d_phn adalah diameter pohon, t_pohon = tinggi pohon Dari sampel 2 kg buah, rerata jumlah biji nyamplung 286 butir dengan 188 butir biji diantaranya adalah biji bagus dengan berat rata-rata ± 0,73 kg. Rendemen jumlah biji bagus bervariasi antara 51-80% dengan rata-rata 67,79%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik lingkungan dan karakteristik individu pohon berpengaruh terhadap jumlah biji bagus. ph, ketinggian dan tinggi tajuk berkorelasi negatif sedangkan diameter dan tinggi berkorelasi positif terhadap produksi buah. Model estimasi jumlah biji bagus : Log (B) = 2,13 4,57 log (ph) 0,26 log (alt) + 2,44 log (d_phn) + 1,43 log (t_pohon) 0,8 log (t_tj) + ε. R 2 model = 0,60; koef. Var = 17,11; Sig. < Pengramatan produksi buah nyamplung dilakukan di Batukaras Cijulang Ciamis. Hasil pengramatan produksi biah nyamplung dapat dilihat pada Table SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 86

99 Tabel Hasil pengamatan produksi buah nyamplung pada lokasi Batukaras Cijulang Ciamis Bulan Ke- Jumlah (butir) Produksi Buah Pohon I (Kecil) Pohon II (Sedang) Pohon III (Besar) Persentastase Persen- Berat Jumlah Berat Jumlah Berat (gram) (butir) (gram) (butir) (gram) (%) (%) Persentase (%) , , , , , , , , , , ,514 4, ,199 13, Total 1,673 14, ,785 21, ,405 19, Terlihat dari hasil pengramatan bahwa semakin besarnya ukuran pohon tidak menunjukkan semakin besarnya produksi buah nyamplung. Hal tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : perbedaan persentase luas tajuk yang berbuah, perbedaan penyinaran matahari serta umur fisiologis pohon. Persentase buah yang jatuh pada bulan pertama setelah masa berbuah cukup tinggi (13.43%-58.63%) akan berpengaruh terhadap produksi buah nyamplung yang dapat dimanfaatkan, baik untuk perbanyakan tanaman (benih) ataupun bahan biodiesel. Hal tersebut disebabkan oleh buah yang masih muda dengan kadar air cukup tinggi (78.51%). Grambar Produksi buah nyamplung (C. Inophyllum) selama masa berbuah dari berbagai ukuran pohon di Batukaras Ciamis SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 87

100 Kuantifikasi produksi buah mimba (Azadirachta indica A.Juss) Mimba merupakan tumbuhan hutan yang bernilai ekonomis sebagai penghasil produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Biji dan daun mimba mempunyai kandungan azadirachtin digunakan sebagai bahan baku produk pertanian seperti pestisida nabati dan pupuk, dan bahan baku produk kesehatan, yaitu zat antiseptic. Beberapa produk mimba telah beredar di pasaran, berupa neem leaves powder (tepung dari daun mimba) sebagai bahan obat dan insektisida, neem oil (minyak mimba) dipergunakan sebagai produk kesehatan, pertanian, kosmetik sampai produk sabun dan neem cake (bungkil mimba) sebagai bahan pupuk organik. Keberadaan mimba cukup potensial di Bali dan Lombok, sehingga dipergunakan sebagai salah satu sumber bahan baku produk mimba untuk pabrik PT Intaran Indonesia. Tanaman mimba di Bali banyak dijumpai di Kabupaten Buleleng (Kecamatan Seririt dan Gerokgak), dan Kabupaten Karangsem (Kecamatan Kubu). Potensi mimba di Kecamatan Kubu mempunyai kerapatan 123±80 pohon/ha dengan volume rata-rata 24,57±12,44 m 3 /ha. Produksi daun mimba per pohon di Kecamatan Kubu Karangasem adalah 16,18 kg untuk berat basah daun dan 15,38 kg untuk biomassa daun. Produksi dan rendemen minyak dari daun mimba per pohon di Kecamatan Kubu adalah 0,23 kg dan 1,82 %. Berdasarkan koefesien korelasi, urutan variabel yang berpengaruh (sangat signifikan) terhadap produksi daun (berat basah) adalah jumlah ranting, jumlah cabang, lebar tajuk dan diameter pohon. Sehubungan dengan itu, model persamaan regesi terbaik di Kec Kubu Karangasem, Bali adalah Bbtd = 0,369 j_rt 1,135 dengan koefesien determinasi 60,3 % dan kesalahan baku 2,06 %,; dimana Bbtd adalah berat basah daun per pohon (kg) dan j_rt adalah jumlah ranting. Mimba di Pulau Lombok banyak ditemukan di Kabupaten Lombok Timur bagian selatan serta Kabupaten Lombok Utara (terutama Kecamatan Bayan). Potensi mimba di Lombok Timur masing-masing: Kecamatan Jerowaru (34 pohon dengan volume 14,89 m 3 ); Keruak (51 pohon dengan volume 22,04 m 3 ); Sakra (73 pohon dengan volume 24,14 m 3 ); Pringgabaya (34 pohon dengan volume 11,13 m 3 ); Sambelia (35 pohon dengan volume 15,77 m 3 ). Sedangkan potensi mimba di Kecamatan Bayan adalah 164 pohon dengan volume 35,65 m 3. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 88

101 Rata-rata produksi daun di Lombok Timur mempunyai berat basah 12,69 kg dan biomassa daun 5,44 kg, sedangkan di Lombok Utara mempunyai berat basah daun 15,82 kg dan biomassa daun 6,51 kg. Produksi daun mimba per pohon di Lombok Timur adalah 0,13 kg dengan rendemen minyak 2,07 %. Sedangkan produksi daun mimba per pohon di Lombok Utara adalah 0,16 kg dengan rendemen minyak 3,57 %. Berdasarkan koefesien korelasi, urutan variabel yang berpengaruh (sangat signifikan) terhadap produksi daun (berat basah) adalah jumlah ranting, jumlah cabang, lebar tajuk dan diameter pohon. Sehubungan dengan itu, model persamaan regesi terbaik di Lombok adalah Bbtd = 0,823 j_rt 0,650 baku 4,69 %. dengan koefesien determinasi 41,9 % dan kesalahan Kuantifikasi buah jenis kayu energi Pendugaan potensi produksi buah enam jenis kayu energi dilakukan berdasarkan parameter dimensi pohon meliputi: diameter batang, tinggi pohon, lebar tajuk dan jumlah terubusan khusus untuk kaliandra. Pendugaan produksi buah jenis turi dan lamtoro belum dapat disajikan karena masih dalam evaluasi. Pohon model weru dan pilang dapat dikelompokkan kedalam 3 kelas diameter, dengan sebaran produksi buah dan frekuensi pohon pada masing-masing lokasi (Tabel 3.22). Tabel Produksi buah rata-rata dan sebaran diameter pohon model weru pada plot Sumedang dan Majalengka Sumedang Majalengka No Kelas Produksi Kelas Produksi diameter N Buah (kg) diameter N Buah (kg) (cm) (cm) 1 17,0-27,0 14 8,64 a 6,0-15,9 5 14,56 a 2 27,1-37,0 9 9,21 a 16,0-25,9 6 65,12 b 3 37,1 4 19,2 b 26, ,5 c Sebaran diameter batang pohon weru di plot penelitian Sumedang lebih lebar daripada di plot Majalengka, akan tetapi produksi buah polong yang dihasilkan lebih banyak diperoleh dari populasi Majalengka (Tabel 22). Kelas diameter besar baik dari populasi Sumedang maupun Majalengka menghasilkan produksi buah paling banyak. Tabel Rata-rata produksi buah dan sebaran diameter pohon model pilang dari TNBB Bali dan Soe-Kupang SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 89

102 No TNBB Bali Kelas diameter N (cm) Produksi Buah (g) Kelas diameter (cm) Soe_Kupang N Produksi Benih (g) 1 11,0 32, ,4 b 35,0-62, ,68 a 2 32,1-52, ,5 b 62,1-90, ,76 a 3 52, ,7 a 90, ,85 a Sebaran diameter pohon pilang di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) lebih sempit dibandingkan dengan sebaran diameter di Soe- Kupang. Produksi benih rata-rata pada setiap kelas diameter di plot Soe- Kupang menunjukkan hasil yang jauh lebih banyak daripada di plot TNBB (Tabel 3.23). Hubungan antara produksi buah dengan variabel dimensi pohon weru dan hubungan antar variabel dimensi pada plot Sumedang dan Majalengka disajikan dalam matrik pada Tabel Tabel Korelasi antara produksi buah weru dengan variabel dimensi pohon dan antar variabel pada plot Sumedang dan Majalengka Produksi Variabel Diameter Tinggi total Lebar tajuk buah Sumedang Produksi buah - 0,494** -0,163 0,209 Diameter 0,494 ** - 0,476** 0,641** Tinggi total -0,163 0,476** - 0,588** Lebar tajuk 0,209 0,641** 0,588** - Majalengka Produksi buah - 0,675** 0,505* 0,649** Diameter 0,675** - 0,839** 0,613** Tinggi total 0,505* 0,839** - 0,603** Lebar tajuk 0,649** 0,613** 0,603** - Keterangan/notes: * nyata pada taraf/significant at level : = 0.01 Pada plot Sumedang, produksi buah weru memiliki korelasi yang nyata dengan diameter batang, sedangkan dengan variabel lainnya tidak berkorelasi. Antar variabel dimensi pohon terjadi korelasi antara diameter batang baik dengan tinggi total maupun lebar tajuk dan antara tinggi total dengan lebar tajuk (Tabel 3.24). Dengan demikian, hanya diameter batang yang merupakan variabel independen dan menjadi penentu dalam pendugaan produksi buah weru di plot Sumedang, Produksi buah polong weru di Majalengka memperlihatkan korelasi yang sangat nyata dengan semua variabel dimensi pohon. Hubungan antar variabel juga memperlihatkan korelasi yang sangat nyata SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 90

103 (Tabel 4). Dengan demikian, diameter batang, tinggi total dan lebar tajuk merupakan variabel bebas untuk menduga produksi buah polong weru di Majalengka. Hasil rata-rata produksi buah weru secara keseluruhan yang berasal dari plot penelitian di Majalengka adalah 62,5 kg/pohon. Berdasarkan uji korelasi, produksi buah weru di Sumedang mempunyai hubungan yang signifikan dengan diameter dengan koefisien korelasi (R) sebesar 0,7441 (p<0,01). Sementara itu, di Majalengka terjadi kecenderungan meningkat seiring dengan makin besarnya ukuran diameter batang weru. Kecenderungan ini dibuktikan dengan uji korelasi yang menghasilkan koefisien (R 2 ) sebesar 0,73 (p<0,001). Persamaan eksponensial pada kedua lokasi digrambarkan dalam gafik berikut (Grambar 3.20): A Grambar Regesi eksponensial antara produksi buah dengan diameter pohon weru (Albizia procera) pada plot penelitian Sumedang (A) dan Majalengka (B). B Persamaan regesi yang ditunjukkan oleh grambar tersebut adalah: ln Y = 4, ,092 lnx, dengan R 2 = 0,554 untuk plot Sumedang dan ln Y = ,1373 lnx, dengan R 2 = 0,7280 untuk plot Majalengka. Hubungan antara produksi buah dengan variabel dimensi pohon pilang dan hubungan antar variabel dimensi pada plot TNBB dan Soe-Kupang disajikan dalam matrik pada Tabel SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 91

104 Tabel Korelasi antara produksi benih pilang dengan variabel dimensi pohon dan antar variabel pada plot TNBB dan Soe-Kupang Variabel Produksi Diameter Lebar tajuk Tinggi total buah TNBB Produksi buah - 0,757** 0,065 0,262 Diameter 0,757 ** - 0,130 0,330* Tinggi total 0,065 0,130-0,365* Lebar tajuk 0,262 0,330* 0,365* - Soe-Kupang Produksi buah - 0,289* -0,012 0,507** Diameter 0,289* - 0,277 0,462** Tinggi total -0,012 0,277-0,306** Lebar tajuk 0,507** 0,462** 0,306** - Keterangan/notes: * nyata pada taraf = 0.05; ** nyata pada taraf = 0.01 Pendugaan produksi benih akor dilakukan pada satu populasi yaitu di RPH Bunder, Kabupaten Gunung Kidul. Kecenderungan hubungan antara produksi benih akor dengan diameter pohon dapat dinyatakan dengan persamaan eksponensial yaitu : y = 0,6287e 0,164x, R 2 = 0,579 dengan y = produksi benih dan x = diameter pohon (Grambar 3.21.). Grambar Regesi eksponensial antara produksi buah dengan diameter pohon akor (A.auriculiformis). Nilai R 2 untuk besaran tinggi total dan tinggi bebas cabang cukup rendah dan hal ini menunjukkan bahwa kedua parameter tersebut tidak dapat dijadikan acuan untuk memprediksi produksi benih karena kurang valid. Dugaan produksi benih akor dari tanaman dengan rata-rata diameter batang 30 cm dan tinggi total 23 meter menghasilkan rata-rata 80,75 g/pohon, pada pohon berdiameter > 40 cm menghasilkan produk cukup banyak (> 500 g). Sebagai perbandingan, produksi benih per pohon dari genus yang sama yaitu jenis A mangium mencapai 575 g (Hadiyanto 2001). SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 92

105 Pembagian kelas diameter, tinggi total dan tinggi bebas cabang akor menjadi tiga kelompok tidak menyebabkan perbedaan yang nyata terhadap produksi benih (P<0.05). Pendugaan potensi produksi buah kaliandra menggunakan pendekatan jumlah terubusan dalam menghitung jumlah buah yang dihasilkan. Uji korelasi menunjukkan produksi buah polong kaliandra di plot penelitian Cibodas mempunyai korelasi yang nyata dengan jumlah terubusan namun dengan koefisien korelasi (R 2 ) yang rendah yaitu sebesar 0,20 (p<0,01). Hubungan kasualitas dari korelasi ini diuji regesinya seperti pada Grambar Persamaan regesi yang ditunjukkan oleh grambar tersebut adalah: Y= 84,7e 0,0646x dengan R 2 = 0,16. Grambar Regesi eksponensial antara produksi buah dengan jumlah terubusan kaliandra (C.callothyrsus) Berdasarkan pengukuran hasil rata-rata produksi polong yang terbanyak maka tanaman kelas sampel dengan jumlah terubusan 9-12 batang menghasilkan rata-rata sebanyak 166,67 g/tanaman. Terjadi kecenderungan semakin banyak terubusan kaliandra semakin tinggi produksi polong. Banyaknya terubusan disebabkan adanya pemangkasan. Dapat disimpulkan untuk kuantifikasi Pada umumnya diameter batang merupakan peubah bebas yang dapat digunakan untuk menduga produksi buah weru, pilang dan akor. Produksi buah kaliandra dapat diduga dari banyaknya jumlah terubusan. Pendugaan produksi benih akor di RPH Bunder-Gunungkidul menghasilkan rata-rata 80,75 g/pohon dan diperoleh benih viabel rata-rata 0,8 g/pohon atau sekitar 575 butir/kg. Produksi buah polong weru rata-rata 62,5 kg/pohon atau setara dengan 105 g benih/pohon, maka akan diperoleh benih viabel dalam setiap pohon SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 93

106 sebesar 36,75 g. Produksi benih viabel pilang per pohon jauh berkurang karena adanya serangan hama Kuantifikasi Buah Kilemo Pendugaan produksi buah kilemo di lokasi Balige (Tobasa) adalah Log P= -2,177 +2,330 LOG dbh sedangkan untuk lokasi Aek Nauli : Log P= - 2, ,770 Log DBH. Pendugaan produksi buah kilemo cukup menggunakan variable diameter pohon setinggi dada, dan juga pengukuran diameter pohon setinggi dada di lapangan akan lebih efektif dan efisien untuk diaplikasikan dibanding variable bebas lainnya (Putri et al., 2013) Kuantifikasi Buah Ganitri Produksi buah ganitri yang berasal dari berbagai ukuran pohon cukup bervariasi. Hubungan produksi buah dengan diameter batang ditunjukkan oleh persamaan y = 0.396x , tetapi memiliki koefisien korelasi yang cukup kecil. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan seperti unsure hara, intensitas cahaya, umur fisiologis pohon dan perlakuan peneresan pada pohon dengan tujuan untuk memperkecil ukuran buah (Grambar 3.23). Grambar Hubungan diameter batang terhadap produksi buah ganitri (E. ganitrus) Pengramatan produksi buah ganitri dilakukan di Hutan Rakyat Puspahyang Salawu Tasikmalaya. Hasil pengramatan produksi buah ganitri dapat dilihat pada Tabel SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 94

107 Tabel Produksi buah ganitri (E. ganitrus) dari lokasi hutan rakyat Puspahyang Salawu Tasikmalaya No Umur (Tahun) Tinggi Total (m) Deskripsi Pohon TBC (m) Diameter (cm) Lebar Tajuk (m) Produksi Buah (kg) Keterangan Tidak Diteres Tidak Diteres Trubusan Tidak Diteres Tidak Diteres Tidak Diteres Tidak Diteres Tidak Diteres Tidak Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Diteres Grambar Hubungan diameter batang terhadap produksi buah ganitri (E. ganitrus) SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 95

108 Produksi buah ganitri yang berasal dari berbagai ukuran pohon cukup bervariasi. Hubungan produksi buah dengan diameter batang ditunjukkan oleh persamaan y = 0.396x , tetapi memiliki koefisien korelasi yang cukup kecil. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan faktor lingkungan seperti unsure hara, intensitas cahaya, umur fisiologis pohon dan perlakuan peneresan pada pohon dengan tujuan untuk memperkecil ukuran buah Kuantifikasi Buah Malapari Tinggi total dan diameter batang pohon berkorelasi negatif dengan produksi biji malapari yang terdapat di lokasi Batu Karas Pangandaran Jawa Barat. Diameter tajuk dan volume tajuk berkorelasi positif dengan jumlah biji. Sehingga semakin besar diameter dan volume tajuk, semakin banyak jumlah biji yang dihasilkan. Untuk kepraktisan dan ketepatan maka ukuran diameter tajuk menjadi faktor penduga produksi biji malapari. Dari hubungan antara diameter tajuk dan jumlah biji tersebut, kemudian dibangun persamaan allometrik yaitu Y = 0,155 e 0,222 Dtjk (R 2 = 53,4; Se = 44,8). Di Lokasi TN Alas Purwo Jawa Timur, diameter batang pohon berkorelasi erat dengan jumlah polong (R = 0,703). Model persamaan regesi penduga jumlah polong malapari yang terbaik adalah model regesi eksponensial dengan bentuk persamaan matematik adalah Y = 504,21 e 0,027 D (R 2 = 0,704; Se 0,309) Kuantifikasi Buah Kemenyan Buah kemenyan yang masak disukai oleh tupai, rusa dan babi hutan. Oleh karena itu sulit untuk mendapatkan biji sebagai bahan tanaman dalam jumlah besar. Biji kemenyan berjumlah ± 366 butir/kg, Hasil penelitian terhadap pendugaan potensi produksi benih/biji antar kelas diameter pohon cukup bervariasi. Telah diperoleh Model penduga produksi buah kemenyan adalah log P = 3, ,42 log Dbh, dimana P = produksi buah (kg/pohon) dan Dbh = diameter setinggi dada (cm). Koefisien determinasi yang disesuaikan/adjusted coeficien of determination (R 2 -adj) = 43,91% dan simpangan baku 0,41 kg/pohon Kuantifikasi Empulur Jenis HHBK Untuk Bioetanol (Sagu) Bioetanol yang berasal dari sagu berbahan baku empulur (pati dan serat) membutuhkan teknologi berskala industri. Dengan demikian, SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 96

109 pengembangan pemanfaatan sagu untuk bioetanol membutuhkan jaminan produktivitas (kuantitas dan kualitas) empulur sagu yang tinggi. Namun, tingginya variasi antar jenis dan luasnya sebaran tempat tumbuh sagu, yang menyebabkan bervariasinya kandungan pati dari setiap janis/tipe sagu. Hal tersebut menimbulkan masalah dalam pengembangan sagu berskala industri seperti industri bioetanol. Dengan demikian langkah langkah seleksi jenis/tipe sagu pada beberapa kondisi lokasi (aksesi) melalui program pemuliaan tanaman harus dimulai dari tingkat jenis. Seleksi ini pada dasarnya merupakan kombinasi uji jenis dan uji provenan sagu untuk mendapatkan informasi jenis dan sebaran alam (aksesi) yang potensial untuk produksi dan kualitas empulur sagu di tempat pengembangan. Apabila telah mendapatkan informasi keunggulan (beberapa sifat yang diunggulkan seperti: daur pendek, kadar pati, kulit yang tipis dan warna tepung atau sifat-sifat lainnya) dari setiap jenis/tipe sagu pada sebaran alaminya, maka selanjutnya dapat dilakukan seleksi antar individu dalam jenis/tipe tersebut untuk memperoleh klon unggul melalui uji klon dengan menggunakan material vegetatif alami yang biasa tumbuh dari tunas akar. Seleksi individu baik dalam jenis/tipe atau antar jenis/tipe pada setiap aksesi memungkinkan akan dapat dihasilkan tanaman sagu berproduktivitas tinggi dengan daur yang pendek yang kemudian dikembangkan pada wilayah wilayah pengembangan budidaya sagu untuk industri bioetanol. Penelitian dilakukan di kawasan hutan sagu Kwadeware, Distrik Sentani, Papua dan hutan alam Rarisi Sereweng Yapen Utara. Berdasarkan hasil survey di kawasan hutan sagu Kwadeware, Distrik Sentani, Papua ditemukan 3 (tiga) intra species sagu berduri dan 2 (dua) intra species sagu tidak berduri. Masing-masing jenis sagu tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, seperti yang disajikan pada Tabel SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 97

110 No Tabel Karakteristik beberapa jenis sagu di kawasan hutan sagu Kwadeware, Distrik Sentani, Papua Ciri dan Karakter istik 1 Pangkal batang 2 Batang Warna Duri Intra species tidak Intra species berduri berduri Yakari Bata Dondo Yebha Ojokuru Normal, lurus dari bawah ke atas, d=35 cm; t= 11,0 m Normal, lurus dari bawah ke atas, d= 50 cm; t= 9,0 m Normal, lurus dari bawah ke atas, d= 35 cm; t= 8,0 m Hijau kecoklatan Berselangseling, duri pendek dan jarang; pjng=2-6 cm Hijau tua Coklat tua keabuan Berselangseling, Berselang- duri seling, duri panjang dan panjang dan banyak, banyak, pjng=3-15 pjng=1,5-3 cm cm Normal, lurus dari bawah ke atas, d= 40 cm; t= 9,6 m Hijau bercak putih Tidak berduri Normal, lurus dari bawah ke atas, d= 45 cm; t = 10,0 m Hijau kehitaman Tidak berduri 3 Warna pucuk Kemerahan Kemerahan Hijau kemerahan Kemerahan Hijau kemerahan 4 Daun Warna Hijau tua Hijau tua Hijau tua Hijau Hijau tua Panjang 6 8 m 7 8 m 8 10 m 8 9 m 8 10 m daun 5 Empulur Warna Kemerahan Merah muda Putih Putih Merah muda 6 Pati Warna Putih Putih Putih Putih Putih kemerahan Berdasarkan hasill survei potensi sagu (Metroxyllon spp) di kawasan hutan sagu Kwadeware, Distrik Sentani, Papua, dapat diperoleh informasi bahwa sagu jenis Yebha mendominasi di setiap plot pewakilan dengan nilai Frekuensi Relative (FR) = 29,127%; Kerapatan Relative (KR)= 47,273% dan Indeks Nilai Penting ( INP) =76,4. Dari hasil survey tersebut juga diperoleh informasi bahwa produktivitas kandungan kimia empulur untuk bioetanol per hektar untuk jenis Yebha untuk tanaman Belum Masak Tebang (BMT) dan Masak Tebang (MT) berturut-turut yaitu pati: 541,779 kg dan 178,239 kg; selulosa: 55,111kg dan 18,131 kg, hemiselulosa: 18,052 kg dan 5,939 kg. Sedangkan hasil survey di kawasan hutan alam Rarisi Sereweng Yapen Utara, ditemukan 6 jenis sagu yaitu Antar, Kuraw, Noiin, Hawar, Huwor dan Makbon. Karakteristik 6 jenis sagu terebut dapat dilihat pada bahasan tentang silvikultur intensif sagu. Berdasarkan hasil kajian, jenis sagu yang menghasilkan produksi sagu yang terbanyak adalah jenis sagu SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 98

111 Noiin yang diperoleh pada bagian ujung batang pohon. Sedangkan jenis sagu yang mempunyai nilai karbohidrat dan pati yang sangat tinggi adalah jenis sagu Kuraw, Hawar dan Makbon. Nilai karbohidrat dan pati yang sangat tinggi dapat menjadi sumber bahan penghasil bioetanol Teknik Pemangkasan Hasil/Produksi Tanaman Hutan Penghasil Kayu Energi (Kaliandra, Akor, Pilang, Weru) Kayu bakar merupakan sumber energi primer masyarakat terutama di pedesaan. Semua jenis pohon yang tumbuh di areal hutan rakyat, kebun maupun pekarangan dimanfaatkannya tanpa membedakan jenis pohon dan karakteristiknya. Kayu bakar memiliki kelebihan yakni sifat terbaharukan. Namun demikian, jika masyarakat kurang peduli untuk menanam dan khususnya bagi pengguna yang kegiatan usahanya memerlukan kayu bakar cukup besar, seperti pengusaha batu bata, genting, kapur, gula kelapa, gula aren dan sebagainya, maka usahanya diyakini akan bisa mengalami kesulitan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pengembangan hutan kayu energi ini dengan implementasi pengelolaan yang tanpa merusak ekosistem. Lebih dari itu hendaknya malah justru mampu meningkatkan produktivitas lahan. Pemangkasan merupakan bagian dari upaya kegitan pemeliharaan yang bertujuan meningkatkan produktivitas hutan. Kegiatan penelitian pemangkasan terkait dengan teknik pangkas sebagai penghasil kayu energi ini masih pada tahap awal. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi tentang teknik pemangkasan yang hasilnya dapat dimanfaatkan minimal dalam dua hal yakni mendapatkan tegakan yang berkualitas dengan potensi hasil pemangkasan yang tinggi dan bisa dimanfaatkan selain dapat mencukupi untuk keperluan energi juga antara lain untuk bahan pulp, kayu energi dan wood pellet. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Purwokerto, Purwakarta dan Rangkas Bitung di mana terdapat penanaman Akor. Pada setiap lokasi dipilih masing-masing 3 batang pohon sebagai ulangan untuk setiap perlakuan. Perlakuan dilakukan dengan memotong pohon dengan ketinggian tunggak 50 cm dan 20 cm di atas tanah, dengan tujuan untuk mempermudah melakukan pemotongan di masa yang akan datang serta diharap tingkat pertumbuhan pertunasan masih tinggi. Pada pohon terpilih diukur diameter setinggi dada untuk dilakukan pengelompokkan pada SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 99

112 kelas keliling < 10 cm, kelas keliling cm dan kelas keliling > 20 cm. Pada pohon terpilih tersebut kemudian diukur tinggi tunggak yang akan ditinggalkan, baru ditebang. Pada pohon yang telah rebah ditandai per setiap meter atau dua meter dilakukan pengukuran kelilingnya untuk batang dan cabang. Untuk mengetahui total biomasa dari potensi setiap pohon di atas tunggak maka semua bagian komponen pohon terdiri dari batang, cabang, ranting dan daun diukur beratnya. Tunggaknya sendiri kemudian diratakan dan diberi cat di atasnya serta diberi nomor urut. Teknik pangkasi produksi ini akan diamati kemampuan trubusnya (coppies system), pemanfaatan hasil pangkas (produksi serpih) serta sifat dasar kayu energinya. Banyaknya tunas hasil pengukuran pangkasan enis akor berumur 8 bulan sebanyak 17 pohon di kabupaten Purwakarta, 13 pohon di Rangkas Bitung dan 18 pohon di kabupaten purwokerto tercantum pada Tabel Tabel Pertumbuhan tunas Akor umur pangkasan 8 bulan pada tinggi tunggak 20 dan 50 cm *) Lokasi D cm tunas 20 cm 50 cm % tunas T D cbg tunas T D cbg Purwakarta (3) (8) Rangkas (1) (2) Purwokerto (2) (4) Dari Tabel 3.28 diketahui bahwa kemampuan bertunas pohon akor di Kabupaten Purwakarta lebih tinggi dibanding akor di Rangkasbitung dan Purwokerto. Kemampuan bertunas akor di Kabupaten Purwakarta, Rangkas bitung dan Purwokerto berturut-turut sebesar 47,1 %, 30,8 % dan 27,8 %. Demikian juga rata-rata jumlah tunas pada batang lebih banyak. Namun demikian, oleh karena rapatnya tunas, pertumbuhan tinggi tunas di Purwakarta lebih pendek dibanding kedua lokasi tersebut, dengan rata-rata tinggi berturut-turut 49,7 cm, 66,8 cm dan 65,1 cm. Adapun pertumbuhan diameter belum memperlihatkan perbedaan yang nyata dengan kisaran antara 0,4-0,5 cm.. Mengingat jenis akor termasuk tumbuh cepat, pertumbuhan tinggi pohon sebagai pertumbuhan primer (ápex) dianggap sebagai lambat. Untuk memacu pertumbuhan tinggi dan diikuti pertumbuhan sekunder (diameter) agar diperoleh produktivitas tinggi SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 100

113 tindakan pengaturan jumlah tunas yang akan menjadi tumpuan produksi biomassa harus segera dilakukan. Selanjutnya berdasarkan pengramatan tersebut diperoleh data rekapitulasi sebagai berikut: Tabel Rekapitulasi pengramatan teknik pangkas beberapa jenis penghasil kayu energi Jenis kemampuan trubus jumlah trubus pemanfaatan hasil pangkas kayu utuh chip kering (kg) serpih (kg) kadar air (%) sifat dasar berat jenis nilai kalor (Kal) akor ,29 0, weru ,9 1008,7 lamtoro ,6 996,88 kaliandra , ,5 turi 27,91 0, , Teknik Produksi Propolis Lebah Madu Lebah madu digolongkan menjadi 2 yaitu lebah madu bersengat dan lebah madu tidak bersengat. Salah satu lebah madu tak bersengat yang ditemukan NTB adalah Trigona spp. Di NTB khususnya di Lombok, masyarakat sudah banyak yang mengetahui manfaat dari membudidayakan lebah madu trigona ini. Pengrambilan sampel Trigona dilakukan pada 12 sarang/stup yang diambil dari pembudidaya lebah madu di NTB. Berdasarkan hasil identifikasi, jenis lebah yang diambil diketahui bahwa terdapat dua jenis Trigona yang hingga saat ini telah dibudidayakan oleh masyarakat. Kedua jenis tersebut adalah Trigona sapiens dan Trigona clypearis. Tabel Data rendemen aqueous extraction propolis Jenis lebah Trigona clypearis Kode sarang Berat sampel awal (B0) Berat propolis (B1) Rendemen (%) Rata-rata rendemen per jenis GG B 9,60 3,32 34,59 41,80 SIRA B 9,64 5,35 55,56 KB A 9,11 3,18 34,90 KB C 9,99 4,21 42,16 Trigona sapiens LN A 9,63 0,37 3,93 16,34 LN B 9,02 2,18 24,17 LN C 9,06 1,61 17,87 KB B 9,15 1,77 19,37 Catatan : LN : Lendang Nangka;; SR : Pantai Sira; GG : Gangga; KB : Karang Bayan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 101

114 Pada Tabel 3.30 dapat dilihat bahwa rendemen propolis yang dihasilkan oleh Trigona clypearis berada pada selang 34-55% sedangkan rendemen propolis yang dihasilkan oleh jenis Trigona sapiens berada pada selang 3-24%. Rata-rata rendemen kedua jenis ini juga cukup jauh berbeda. T. clypearis menghasilkan rendemen propolis yang lebih besar dibandingkan dengan T. sapiens. Secara kasat mata sebagian propolis yang diperoleh dari tiap-tiap lokasi pembudidayaan Trigona sp. hampir sama yaitu coklat kehijauan atau coklat kehitaman. Namun ada pula yang berwarna kuning kehijauan. Pada suhu ruangan propolis mentah sangat lengket sehingga sulit untuk diperoleh titik leleh dari propolis trigona. Propolis umumnya lembut, lentur, dan lengket pada suhu 25 o C - 45 o C, tetapi pada suhu dibawah 15 o C propolis akan bertekstur keras dan rapuh. Pada suhu 60 0 C sampai 70 o C propolis akan berwujud cairan. Beberapa jenis propolis memiliki titik didih sampai diatas 100 o C (Krell, 1996). Tabel Keragraman jenis pakan Trigona spp di P. Lombok No. Nama Jenis Tanaman Masa Bunga Nektar Getah LN GG SR KB 1 Alpukat 1 Hujan 2 Aren 1 Jan Des 3 Asem 1 Apr Agst 4 Belimbing 3 Sepanjang tahun 5 Bunga Kertul 2 Sepanjang tahun 6 Bunga Nusa Sepanjang Indah 2 tahun 7 Bunga Sepatu 2 Sepanjang tahun 8 Ceruring 11 Jun Jul 9 Coklat 7 April-Juli 10 Dadap 8 Musim hujan 11 Durian 7 Nop-Maret 12 Duwet 9 April-Okt 13 Euphorbia 10 Sepanjang tahun 14 Gramal 8 Sepanjang tahun 15 Jambu Air 11 Juli-Agustus 16 Jambu Biji 6 Musim hujan 17 Jambu Mente 1 Mar Jul 18 Jarak 5 Sepanjang tahun 19 Jeruk 7 Musim hujan 20 Jukut Gagak 2 Sepanjang SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 102

115 No. Nama Jenis Tanaman Masa Bunga Nektar Getah LN GG SR KB tahun 21 Kamboja 2 Sepanjang tahun 22 Kapuk 1 Juni-Agustus 23 Kedondong 11 Sepanjang tahun 24 Kelapa 1 Jan Des 25 Kersen 9 Sepanjang tahun 26 Kluwih 27 Kopi 11 Musim kemarau 28 Mangga 1 Jun dan Agst 29 Mangga Hutan 7 Jun dan Agst 30 Manggis 9 Musim kemarau 31 Nanas TMT 32 Nangka 9 Sepanjang tahun 33 Nyamplung 4 Mei-Juni 34 Pepaya 11 TMT 35 Pinang 8 Jan- Apr 36 Pisang 8 Sepanjang tahun 37 Putri Malu 1 Jan Des 38 Rambutan 9 Akhir kemarau 39 Rumput Bunga Sepanjang Kuning 2 tahun 40 Rumput Ekor Sepanjang Tikus 2 tahun 41 Rumput Gajah 2 Sepanjang tahun 42 Rumput Kawatan 2 Sepanjang tahun 43 Rumput Klirang 2 Sepanjang tahun 44 Rumput Lemu 2 Sepanjang tahun 45 Rumput Lendang 2 Sepanjang tahun 46 Rumput Leutek 2 Sepanjang tahun 47 Rumput Maya 2 Sepanjang tahun 48 Rumput Parang 2 Sepanjang tahun 49 Rumput Teki 2 Sepanjang tahun 50 Rumput Sepanjang Tengkarang 2 tahun 51 Rumput Tinggan 2 Sepanjang tahun SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 103

116 No. Nama Jenis Tanaman Masa Bunga Nektar Getah LN GG SR KB 52 Sawo 7 Sepanjang tahun 53 Semanggi 2 Sepanjang tahun 54 Singkong TMT 55 Sirsak 9 Okt-Nop 56 Srikaya 9 Musim kemarau 57 Sukun Agust- Okt 58 Talas TMT 59 Ubi Kayu TMT 60 Urut Subun Kedit 2 Sepanjang tahun Penelitian teknik produksi propolis lebah madu trigona di titik beratkan pada analisis vegetasi yang berada di sekitar lokasi pembudidayaan dan menganalisis vegetasi yang berpotensi menjadi pakan trigona. Di Desa Genggelang, teridentifikasi 28 jenis dari 268 jenis vegetasi yang ditemukan berpotensi pakan. Pakan tersebut diantaranya adalah asam jawa, jambu air, mangga, nangka, euphorbia, dll. Di Desa Sigar Penjalin, teridentifikasi 22 jenis dari total 77 jenis yang ditemukan berpotensi sebagai pakan, diantaranya adalah kelapa, sirsak, jarak, gramal, nangka, dll. Untuk wilayah Lombok Timur diambil lokasi di Desa Lendang Nangka dan teridentifikasi 41 jenis yang merupakan pakan trigona dari 105 jenis vegetasi yang diambil datanya. Adapun pakan yang teridentifikasi di Lendang Nangka adalah alpukat, aren, kelapa, nyamplung, sukun, dll. Untuk lokasi Desa Karang Bayan teridentifikasi 17 jenis pakan dari 75 jenis total vegetasinya. Pakan yang teridentifikasi diantaranya aren, durian, kelapa, nangka, rambutan, dll. Dari data sebelumnya, dapat dilihat bahwa masing-masing lokasi pembudidayaan mempunyai persediaan tanaman pakan bagi trigona, dan apabila digabungkan semua, ada 60 jenis vegetasi yang berpotensi pakan yang teridentifikasi dari 497 jenis vegetasi yang ditemukan (Tabel 3.31). Berdasarkan produk yang dihasilkan, pakan trigona dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu nektar dan getah. Trigona mengkonsumsi nektar bunga untuk menghasilkan madu dan mengkonsumsi getah tanaman untuk membantu memproduksi propolis. Nektar yang dikonsumsi oleh trigona dapat diambil dari beragram tanaman, mulai dari rumput sampai SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 104

117 pohon besar, nektarnya dapat dimanfaatkan oleh trigona. Sehingga hampir tidak ada masa paceklik makanan bagi trigona (Mahani, dkk, 2011). Trigona mengkonsumsi nektar untuk dapat memproduksi madu, dan nektar dapat ditemukan pada bunga tanaman. Namun, ketika musim berbuah sudah lewat, trigona masih dapat memproduksi madu dengan memanfaatkan alternatif pakan yang lain yaitu bunga rumput maupun bunga tanaman hias lainnya. Tabel Produksi propolis di masing-masing lokasi Lokasi Lendang Nangka Kode sarang Penutup sarang (gram) Pintu sarang (gram) Penutup madu (gram) A B 31,32 25,2 34,04 C 23,35 23,64 21,05 D 31,05 23,37 6,91 E 28,35 26,24 25,38 F 24,23 0 7,78 Sigar Penjalin A 51,04 32,89 12,14 B 23,83 31,4 53,43 C 20,47 22,89 1,21 D 39,59 24,21 8,44 E 21,54 24,38 6,27 F 21,73 24,02 7,05 Genggelang A 31,49 24,92 38,75 B 28,52 25,85 85,93 C 33 24,45 42,92 D 89,97 31,57 41,34 E 31,28 24,39 48,68 F Karang Bayan A 27,72 23,03 91,16 B C 22,99 27,54 29,2 D 23,73 25,6 18,24 E F Tabel 3.32 merupakan hasil rendemen propolis dari berbagai lokasi penelitian yang bervariasi. Propolis yang diproduksi oleh Trigona spp selama 6 bulan dari 19 stup adalah g. Diduga, besar kemungkinan hasil tersebut dipengaruhi oleh faktor kehidupan lebah. Sulthoni (1986) mengatakan bahwa kehidupan lebah sangat bergantung pada temperatur SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 105

118 dan curah hujan, ketersediaan pakan serta pengelolaan koloni lebah. Data temperatur dan curah hujan pada masing masing lokasi kegiatan penelitian masih masuk dalam rentang normal kelembaban yang disukai trigona sp yaitu untuk suhu berkisar 27 o C 29 o C dan kelembaban 60,5% - 71% (Wahyuni, 2012). Sehingga suhu dan kelembaban diareal lokasi penelitian mendukung aktivitas lebah Trigona spp dalam mencari pakan dan menjaga sarangnya. Tabel Tabel perhitungan ekonomi budidaya Trigona spp di Karang Bayan, Kab. Lombok Barat No Kegiatan Jumlah (Rp) 1 Pengeluaran membuat 600 stup Trigona spp -Pembuatan -Pembelian koloni@ Pengeluaran untuk tenaga kerja -Tenaga kerja 2 orang selama lima hari untuk membuat stup dan kandang Penghasilan dari hasil menjual madu dalam satu tahun yaitu 600 botol dengan harga Rp Keuntungan = 3-(1+2) = ( ) Rp Rp Rp Tabel 3.33 menyajikan data tentang analisis ekonomi di salah satu pembudidaya di Desa Karang Bayan, Kab. Lombok Barat. Dari data tabel tersebut, terlihat bahwa usaha budidaya Trigona spp menguntungkan secara ekonomi. Dengan modal awal sebanyak Rp ,- dengan dikurangi biaya-biaya operasional, maka mendapat keuntungan bersih sebanyak Rp , Informasi Pemanfaatan dan Pola Konsumsi FEMO Informasi pemanfaatan dan pola konsumsi FEMO akan menjabarkan informasi-informasi pemanfaatan HHBK oleh masyarakat setempat. Jenis-jenis HHBK unggulan setempat diantaranya adalah massoi (Papua), bidara laut (NTB), keruing (Kalimantan Timur), mimba (Bali) Pola Pemanfaatan dan Tata Niaga Massoi Proses pemanfaatan massoi hanya terbatas pengrambilan kulit untuk dipasarkan dan sejauh ini belum sampai pada tingkat penyulingan. Kegiatan pengumpulan kulit massoi sering dilakukan secara individu maupun berkelompok (5-7 orang/kelompok). Operasi pencarian kulit SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 106

119 massoi hingga pemanenan (satu trip) dapat memakan waktu ± 3 hari. Dalam satu trip dapat menghasilkan 50 kg kulit massoi, dengan rata-rata diameter pohon yang ditebang adalah 37 cm. Kegiatan pemungutan massoi dilakukan dalam beberapa tahapan pekerjaan utama yaitu: penebangan, pengrambilan kulit, pengolahan pasca panen dan pemasaran. ü Penebangan Masyarakat lokal melakukan penebangan pohon massoi menggunakan peralatan sederhana (kapak dan parang). Pohon yang ditebang umumnya berdiameter > 20 cm. Penebangan dilakukan tepat di atas banir (tinggi banir ±30 cm). Sebenarnya teknik penebangan yang dilakukan masyarakat tersebut serupa dengan teknik trubusan, namun masih sangat sederhana, belum menggunakan teknik silvikultur yang benar. Sebagian kulit pada tunggak massoi dikuliti lalu ditinggalkan agar dapat tumbuh tunas yang akan tumbuh secara alami menjadi tumbuhan dewasa. ü Pengrambilan kulit Setelah ditebang dan pohon tumbang, selanjutnya dilakukan pengelupasan kulit batang. Sifat kulit massoi yang mudah dilepas dari batang mempermudah pekerjaan. Umumnya masyarakat menggunakan parang untuk mengupas kulit dengan arah vertikal (ke arah pucuk batang). Selain kulit batang, masyarakat juga mengabil produk kulot pada cabangcabang pohon yang dikenal dalam pasaran lokal dengan istilah pala jatuh. Kulit cabang massoi diambil dengan cara memotong lalu bagian kulitnya dipukul-pukul menggunakan pemukul kayu sehingga kulitnya terlepas dari cabang dalam bentuk cacahan. ü Pengolahan pasca panen Pengolahan pasca panen yang dilakukan adalah pembersihan dan pengeringan kulit. Produk kulit massoi yang telah dipungut, kemudian dikumpulkan lalu dipotong-potong sesuai ukuran (±100 cm). Selanjutnya kulit dibersihkan bagian kulit luar dari jamur, lumut atau bekas torehan yang menempel pada kulit tersebut. Sesuai dengan syarat permintaan pasar untuk produk kulit kering yang lebih tinggi, maka kulit massoi dijemur terlebih dahulu sebelum dipasarkan. Lama pengeringan terhadap produk kulit yang sering dilakukan adalah 3-4 hari, dengan rata-rata waktu pengeringan 8 jam SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 107

120 (pagi-sore). Umumnya wadah yang digunakan sebagai alas pengeringan adalah kantung plastik, karung goni, seng, papan dan atau karpet. Bahkan ada juga yang menjemur langsung di lantai tanpa menggunakan alas. Selain penjemuran, pengeringan kulit juga dilakukan dengan cara pengasapan atau pemanasan dengan api. Tujuannya mempercepat pengeringan agar produk kulit segera dipasarkan. Teknik ini biasa dilakukan bila musim hujan tiba atau ada kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak. ü Pemasaran Pola pemasaran massoi cenderung bila ada permintaan dan peran aktif pelaku usaha (pedagang pengumpul). Tata niaga memiliki 1 tipe yaitu produsen ke pedagang pengumpul, yang selanjutnya akan dipasarkan ke pedagang besar atau industri pengguna. Masyarakat atau produsen seringkali memiliki posisi tawar rendah akibat pedagang pengumpul relatif lebih aktif untuk datang langsung ke lokasi. Biasanya produk kayu massoi yang dipasarkan dalam bentuk ikatan (bundelan) sementara kulit dalam bentuk cacahan (pala jatuh) dijual dalam karung. Harga produk bervariasi antara Rp ,- harga produk kulit basah lebih murah dibanding produk kering Pola Pemanfaatan Bidara Laut Bidara laut yang merupakan spesies asli di kawasan TNBB Bali. Batangnya telah dimanfaatkan masyarakat desa penyangga TNBB untuk mengatasi penyakit otot dan persendian, penyakit kulit, diabetes dan juga penyakit jantung. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa hampir semua bagian dari tumbuhan ini (akar, batang, kulit, daun dan buah) dimanfaatkan, namun sebagian besar (60%) masyarakat cenderung memanfaatkan batang serta kulit batang. Cara pemanfaatan sebagai pengobatan terdiri dari dua metode yaitu konsumsi langsung dengan memakan buahnya, dan konsumsi secara tidak langsung dilakukan melalui proses penyeduhan atau perebusan bagian batang, kulit ataupun akarnya. Cara tersebut dilakukan dengan tujuan melarutkan bahan aktif yang terkandung di dalam bahan obat tersebut. Masyarakat Hu u, Dompu menggunakan bidara laut untuk mengobati berbagai penyakit seperti malaria, sakit perut, mual, sakit gigi, darah tinggi, dan demam. Selain itu juga digunakan untuk mengobati usus SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 108

121 buntu tanpa perlu dilakukan operasi. Tabel 3.34 tertera informasi yang diperoleh dari masyarakat di desa Hu u tentang pemanfaatan bidara laut. Tabel Bagian-bagian tumbuhan bidara laut yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa Hu u, Dompu NTB No Bagian Tanaman Kegunaan Prosedur 1. Kulit Obat sakit gigi/ gigi berlubang. Dimasukkan ke gigi berlubang yang sakit. Obat usus buntu Kulit bidara laut dicampur akar Tamba, direbus, airnya diminum 3 x sehari. Obat luka luar Ditumbuk lalu dioleskan ke bagian yang luka 2. Akar Sakit perut Direbus, airnya 1 gelas diminum sebelum sarapan. 3. Biji Obat Malaria Dikonsumsi 2 3 biji/hari. Mencegah Malaria Dikonsumsi 3 biji untuk satu tahun ke depan. Obat Mencret Dikonsumsi 2 biji satu kali minum, sampai sembuh. Pegal linu Diminum 2-3 biji 1 x /hari 4. Batang Obat Malaria Batang direbus, air 1 gelas diminum 3 x/hari. Sumber: Laporan Riset Ristek Songga, 2010 Berdasarkan informasi 40% masyarakat Dompu memanfaatkan biji/buah dari bidara laut untuk pengobatan, sementara 6,7% lainnya memanfaatkan batangnya. Pemanfaatan kayu Bidara laut sebagai obat sudah pada tahap pemasaran, akan tetapi masih dalam bentuk bahan utuh tanpa pengolahan lanjut. Sistem pemungutan yaitu dengan menebang pohonnya lansung dari dalam kawasan hutan (BPK Mataram, 2009) Pola Pemanfaatan Keruing Genus Dipterocarpus merupakan sumber utama oleoresin. Minyak keruing dengan nama ilmiah oleoresin merupakan resin cair, berbau harum, lengket dan berminyak. Menurut Boer dan Ella (2001) dari 69 species dari genus Dipterocarpus hanya terdapat 20 species yang menghasilkan minyak keruing (Tabel 3.35). SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 109

122 Tabel Jenis-jenis penghasil minyak keruing No. Species Nama Lokal 1. Dipterocarpus cornutus Keruing gajah 2. D. crinitis Keruing bulan 3. D. haseltii Keruing bunga 4. D. kerii Keruing gondola 5. D. gandiflorus Keruing belimbing 6. D. baudii Lagan senduk 7. D. caudatus Keruing gasing 8. D. confertus Keruing tempurung 9. D. costatus Keruing bukit 10. D. dyeri Keruing daun lebar 11. D. gacilis Keruing keladan 12. D. kunstleri Keruing lagan 13. D. pelembanicus Lagan torop 14. D. sublamelltus Lagan buih 15. D. retusus Keruing gunung 16. D. validos Keladan 17. D. verrucosus Keruing beras 18. D. turbinatus D. tuberculatus D. alatus - Sumber: Boer dan Ella (2001) Pemungutan produk minyak keruing dilakukan melalui penyadapan dengan membuat lubang pada batang dan kemudian dilakukan pembakaran. Minyak keruing digunakan oleh masyarakat sekitar hutan untuk lampu penerangan (obor), dempul pada kapal, dan sebagai pelapis untuk meningkatkan kewetan kayu terhadap air. Selain itu minyak keruing digunakan pula sebagai bahan vernis, parfum dan obat-obatan, antara lain sebagai disinfectant, laksatif, stimulan ringan dan analgesic liniments. Minyak keruing efektif untuk mengobati penyakit genito-urinary (Shiva dan Jantan, 1998). Lokasi penelitian berada di wilayah hutan penelitian Labanan dan areal PT Hutan Sanggram Labanan Lestari (Eks PT Inhutani I). Rostiwati et al. (2013) mendapatkan bahwa produksi resin keruing masih bergantung pada keberadaan pohon keruing di habitatnya yang aksesibilitasnya cukup sulit untuk menuju pohon keruing. Dengan demikian walaupun potensi pohon keruing cukup tersedia namun jika akses menuju pohonnya sulit maka cost pemanenan resin keruing akan menjadi tinggi. Metode pemanenan/pemungutan hasil yang sekarang dilakukan bukanlah berasal dari kearifan tradisional masyarakat setempat. Metode ini diperkenalkan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 110

123 oleh NGo (WWF) dalam upaya menekan kehilangan pohon (aspek konservasi) akibat metode tebang yang sebelumnya biasa dilakukan oleh petani pemungut. Berkaitan dengan hal tersebut, maka habitat-habitat yang masih menyisakan tegakan pohon keruing umumnya berada pada daerah yang bertopogafi berat (kelerengan lebih dari 40%) dan jauh dari desa. Kondisi tersebut yang mencerminkan bahwa kearifan pemanfaatan resin keruing bukan didasarkan dari budaya dan perilaku masyarakat/petani tapi lebih cendrung dipengaruhi oleh adanya faktor pembatas topogafi dan aksesibilitas tersebut. Tidak ada usaha pengolahan produk khusus menjadi minyak keruing tapi di tumpang kan pada alat penyulingan nilam, sehingga produksi minyak keruing sangat bergantung pada musim suling nilam Pemanfaatan Indigofera tinctoria sebagai Zat Pewarna Ramah Lingkungan Zat warna alam untuk bahan batik dan tenun pada umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga. Dari sekitar 200 jenis tanaman penghasil zat pewarna alami ada sekitar 65 jenis tanaman yang intensif digunakan sebagai pewarna alami (Tabel 3. 36). Warna-warna yang dihasilkan meliputi warna primer seperti merah, kuning dan biru serta warna sekunder seperti coklat, jingga dan nila. Salah satu kendala pewarnaan tekstil menggunakan zat warna alam adalah ketersediaan variasi warnanya sangat terbatas dan ketersediaan bahannya yang tidak siap pakai sehingga diperlukan proses-proses khusus untuk dapat dijadikan larutan pewarna tekstil. Oleh karena itu zat warna alam dianggap kurang praktis penggunaannya. Namun dibalik kekurangannya tersebut zat warna alam memiliki potensi pasar yang tinggi sebagai komoditas unggulan produk Indonesia memasuki pasar global dengan daya tarik pada karakteristik yang unik, etnik dan eksklusif. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 111

124 Tabel Daftar nama jenis dan bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan zat pewarna alam No. Nama Tumbuhan Nama Latin Bagian Tumbuh Warna 1 Jambe Areca catechu an biji merah 2 Kasumba(Nias)/ anggur Somba(Jawa)/ biji, kulit Bixa orellana orange Gelanggem biji 3 Suji Pleomele angustifolia daun hijau 4 Kara Phaseolus lunafus daun hijau 5 Ketul Garuga abilo daun hitam 6 Imer Fluegea virosa daun hitam 7 Trembilu Phyllantus reticufatus daun - tangkai hitam 8 Katuk Sauropusa endrogymus daun hijau 9 Karahan Macaranga gigantosa daun hitam 10 Gurah Sapium indicum daun hitam 11 Pacar Banyu Impatien balsamina muda daun merah 12 Trembilu Phyllantus reticufatus daun - tangkai kuku hitam 13 Apokat Persea gatisima GAERTN daun coklat 14 Jati Tectona gandis Daun muda coklat 15 Lire Hemigaphis angustifolia muda Daun - merah 16 Noja Teristrophie bivalves Daun merah 17 Nila, Tom Indgofera sp Daun biru 18 Kasumba Carthamus tinclirius 19 Ri Serepan / Biskucing (Jawa), Bujang kagit (Sunda) Mimosa piduca daun - bunga bunga. Daun coklat kuning 20 Bunga Telang Clitoria temasea LINN bunga ungu 21 Sapu angin (Jawa) Acassia golden bunga ungu 22 Wora - wiri (Jawa) Hibiscus rosasinensis bunga ungu 23 Kembang Teleng LINN Clitoria tematea bunga biru 24 Plasa Butea monosperma bunga biru 25 Kembang Sepatu Hibiscus rosasinensi bunga merah 26 Srigading Nyctanthes arbortritus tabung kuning 27 Janinten Castanea argentea mahkota kulit hitam 28 Nangka Arthocarphus intega kulit p\- tatal 29 Kedondong Albizzia lebbeckiosides kulit 30 Secang Caesalpinia sappan LINN kayu kulit kayu kuning merah merah - coklat 31 Soso Pellophorum pterocarpum kulit coklat 32 Kemlaka Phyllanthus emblica kulit biru tua 33 Dempul Glochidion zeylanicum kayu kulit batang merah coklat - 34 Jirek Symplocos fasciculate Zoll. daun kuning 35 Jirek kepundung Baccaurea racemosa kulit kayu ungu SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 112

125 No. Nama Tumbuhan Nama Latin 36 Gintung Bischova javanica Bagian Tumbuh an kulit kayu Warna merah - hitam 37 Biruwak Macaranga gigantean kulit kayu hitam - coklat 38 Gedilule Homalanthus populnea kulit hitam 39 Jarak Pati Homalanthus populnea kayu kulit hitam 40 Mangga Mangifera indica kayu kulit hijau 41 Kayu Bugis Koodersiodendron kayu kulit ekuningan coklat tua 42 Balang pinnatum Pterospermum acerifolium kayu kulit kuning 43 Kimanjel Gordonia exelsia kayu Gelam hitam 44 undu Garcinia dulcis kayu kulit hijau 45 Klampok Eugenia acuminatissima kayu kulit hitam 46 Kisireum Eugenia clavimirtus kayu kulit hitam 47 Serai talang Eugenia conglomerate kayu kulit coklat 48 Manting Eugenia cymosa kayu kulit coklat 49 Jambu alas Eugenia densiflora kayu kulit coklat 50 Pancal kidang Eugenia spicata kayu kulit hitam 51 Manjel Medinilla radicans kayu kulit jingga 52 Laban Vitex pubescens kayu kulit hijau 53 Akar kawil-kawil Uncaria scelrphylla kayu kulit hitam 54 Tegeran (Jawa), Kuderang (Sunda) Cudrania javanensis kayu kuning 55 Jambal (Jawa) Pelthophorum pterocarpum 56 Tingi (Jawa), Tengah (Sunda) Cenop condolleana kulit kayu kulit kayu coklat kemeraha n coklat 57 Combrang Nicolaia sp rimpang kuning 58 Gembili Dioscorrea accuelata rimpang kuning 59 Temu ireng Curcuma eerogmosa rimpang kuning 60 Kacapiring Gardenia augusta buah kuning 61 Oyod Bopong Uncaria cordata batang hitam muda 62 Soka Ixora longituba akar coklat kemerah- 63 Bengkudu Morinda bracteata akar merah 64 Mengkudu Bogor Morinda critifolia akar padam merah 65 Slaketan Antidesma stipulare Cairan ungu Sumber: Unikal, 2013 buah Untuk mendapatkan bahan baku pewarna alam terutama yang berasal dari batang dan kulit batang, para pengajin batik dan tenun mendapatkan bahannya dari pasar-pasar tradisional atau mengrambil dari pohon-pohon yang ada di sekitar halaman rumah seperti pohon mangga, mahoni, manggis, kelapa dan lain-lain. Namun salah satu jenis tanaman penghasil warna biru alami yaitu Indigofera spp. didapatkan para pengajin SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 113

126 dari tanaman liar yang biasanya tumbuh di sekitar pematang atau tegalan. Tanaman ini belum banyak dibudidayakan, sehingga para pengajin kesulitan untuk mendapatkan bahan bakunya. Tanaman dari genus Indigofera ini dimanfaatkan secara luas sebagai sumber pewarna biru di seluruh wilayah tropika (Sutarman, 2010). Jenis tanaman ini termasuk Divisi: Magnoliophita; Kelas : Magnoliopsida; Ordo: Fabales; Bangsa: Indigofereae; Suku : Fabaceae dan Genus : Indigofera. Tanaman Indigofera termasuk perdu dengan tinggi dapat mencapai 3 m. Batang berkayu di bagian pangkal batangnya, dengan percabangan yang tegak atau memancar, tertutup indumentum yang berupa bulu-bulu bercabang dua. Daun berseling, biasanya bersirip ganjil, kadang-kadang beranak daun tiga atau tunggal. Bunga-bunganya tersusun dalam suatu tandan di ketiak daun, bunga panjangnya 5 mm, bertangkai; daun kelopaknya berbentuk genta bergerigi lima; daun mahkotanya berbentuk kupu-kupu. Buah umumnya bertipe polong, berbentuk pita, lurus atau bengkok, berisi 7-12 biji yang kebanyakan bulat sampai jorong. Semainya dengan perkecambahan epigeal, keping bijinya tebal, cepat rontok. Akar tunggang. Di Asia Tenggara ada sekitar 40 jenis Indigofera, namun hanya 4 jenis Indigofera yang diperdagangkan yaitu Indigofera arrecta, Indigofera suffruticosa, Indigofera suffruticos Guatemala, dan Indigofera tinctoria. Pewarna alami yang berbahan baku tanaman indigofera ini dikenal dengan nama dagang Nila. Tanaman Indigofera mengandung glukosida indikan, setelah tanaman ini direndam di dalam air, proses hidrolisis oleh enzim akan mengubah indikan menjadi indisil (tarum-putih) dan glukosa. Indoksil dapat di oksidasi menjadi tarum biru (Departemen Pertanian, 2009). Proses pembuatan warna dari tanaman indigofera ini berbeda dengan tanaman penghasil warna lain, yaitu memerlukan proses fermentasi. Selain itu waktu pemanenan sangat berpengaruh terhadap warna yang dihasilkan. Oleh sebab itu untuk memudahkan para pengajin batik dan tenun dalam mengaplikasikan warna biru dari tanaman indigofera, Fakultas Kimia, Universitas Gajah Mada telah membuat serbuk warna biru yang berasal dari tanaman Indigofera tinctoria dengan nama dagang Grama Indigo. Warna biru dari tanaman indigofera juga mulai diproduksi dalam bentuk pasta. Kedua jenis produk ini sudah mulai SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 114

127 banyak dipasarkan dan sudah digunakan oleh para pengajin batik dan tenun. harga jual produk serbuk indigo antara Rp Rp per kg, sedangkan harga jual produk pasta Indigo berkisar antara Rp Rp per kg. Proses pembuatan pasta relatif sederhana namun keterbatasan bahan baku menjadikan harga produk pasta pewarna alam menjadi tinggi Informasi Model Keekonomian-Finansial dan Kelembagaan Budidaya Tanaman Penghasil FEMO Ekonomi dan Finansial Budidaya Tanaman Penghasil Kayu Energi Untuk menanggulangi hilangnya potensi tembakau kering akibat tingginya pemanfaatan daun tembakau kering oleh masyarakat sebagai bahan bakar, maka PT. Sadana Arifnusa selaku perusahaan konsumen daun tembakau, berinisiatif untuk membangun hutan tanaman penghasil kayu energi. Pola hutan tanaman yang dibangun terdiri dari dua program, yaitu : a. Tipe A (Pola Mandiri) Program ini dibangun sesuai dengan prinsip hutan tanaman industri, dengan jenis tanaman utama yang digunakan adalah jenis turi (Sesbania gandiflora) (komposisi 100% jenis turi) dan masak tebang 4 tahun. Program ini dikelola secara mandiri/swakelola oleh PT. Sedana Arifnusa tanpa kemitraan dengan petani. Saat ini uji coba lahan yang telah ditanami untuk program tersebut adalah sebanyak 15 ha di lahan kompiban TNI, 4 ha di daerah Pandak Luar dan 25 ha di daerah Kahyangan. b. Tipe B (Pola Kemitraan) Program ini dibangun melalui kemitraan antara PT. Sadana Arifnusa bersama petani dengan pola agoforestry, komposisi pohon yang ditanam dalam 1 ha yaitu a) 100% jenis turi sebanyak (jarak tanam 2.5 m x 1 m), dan b) terdiri dari 2600 jenis turi, 400 gmelina, 500 akasia dan 500 mindi, total pohon yang ditanam adalah 4000 pohon, dimana pada program ini pohon yang ditanam tidak hanya dipergunakan untuk keperluan kayu bakar tetapi juga untuk keperluan kayu pertukangan. Biaya pembangunan hutan tanaman penghasil kayu energi dapat digolongkan berdasarkan rincian kegiatan pembangunan hutan tanaman meliputi biaya persiapan lahan, pengadaaan bibit, penanaman, SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 115

128 pemeliharaan dan pemanenan. Rincian pengeluaran/biaya yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan untuk tipe program A dan B masingmasing dapat dilihat pada Tabel 3.37 dan Tabel 3.38 di bawah ini. Tabel Biaya budidaya kayu energi pola HTI mandiri jenis turi (Sesbania gandiflora) per hektar Kegiatan Unit Harga Satuan Kebutuhan (Rp/unit) 1. Pengadaan Bibit Turi: (Jarak tanam 1,5 x 2 m, jumlah bibit btg) a. Kebutuhan Bibit Batang b. Upah angkut bibit Batang Jumlah Persiapan lahan (semi mekanis) (upah, bahan dan peralatan) Macammacam Macammacam Macammacam Penanaman (upah, bahan dan peralatan) Macammacam Macammacam Macammacam Pemeliharaan a. Blanking HOK b. Penyiangan di areal tanam (manual) HOK c. Penyiangan > Round Up Liter > Upah HOK d. Penyiangan antar baris (manual) HOK e. Penyiangan > Round Up Liter > Upah HOK Jumlah Pemanenan a. Chainsaw unit b. Bahan baker liter/unit c. Ongkos angkut rit d. Upah operator chainsaw HOK Jumlah Total Biaya Pendapatan (tingkat keberhasilan stapel tanam 75 %) (m 3 ) Keterangan : Volume rata-rata dalam 100 pohon = 4 stapel (m3); Jumlah pohon yang ditanam 4000 batang; Tingkat keberhasilan (presentase tumbuh) = 75% SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 116

129 Tabel Biaya budidaya kayu energi pola kemitraan berbasis agoforestry jenis turi (Sesbania gandiflora) per hektar Tahun Kegiatan unit Persiapan (Upah dan Peralatan) buah Harga Satuan (Rp/unit) unit/ha Macammacam Macammacam Kebutuhan Rp/ha a. Persiapan Lahan Macammacamacamacam Macam- Macam- (Upah dan Peralatan) b. Pengadaan & Macammacamacamacam Macam- Macam- Pengangkutan Bibit : c. Penanaman dan Pemupukan (Upah dan Bahan) d. Pemeliharaan (Upah dan Bahan) Pemeliharaan II Macammacamacamacam Macam- Macam- (Upah dan Bahan) Pemanenan : a. Upah tebang HOK b. Sewa Chainsaw Unit c. solar liter d. Upah angkut sampai Tpn HOK Total Biaya Pengeluaran Pendapatan Macam2 a. Hasil tumpang sari (jagun dan kedelai hitam) kg 250 Macam b. Kayu baker (tingkat staple m keberhasilan 75 %) (m 3 ) Total Pendapatan Keterangan: Volume rata-rata dalam 100 pohon = 4 stapel (m3); Jumlah pohon yang ditanam 4000 batang (jarak tanam 1 x 2.5m); Tingkat keberhasilan (presentase tumbuh) = 75% Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha dengan menggunakan parameter IRR, NVP dan BCR, untuk masing-masing tipe program dapat dilihat pada Tabel Dalam analisis tersebut digunakan ketentuanketentuan sebagai berikut : (1). Jangka waktu analisis meliputi satu rotasi pengusahaan hutan tanaman penghasil kayu energi (jenis turi) selama 4 tahun; (2). Faktor inflasi yang mempengaruhi nilai pendapatan dan pengeluaran dianggap sama, sehingga harga dari setiap komponen pengeluaran dan pendapatan yang digunakan adalah harga konstan; (3). Suku bunga yang digunakan adalah suku bunga efektif rataan yang berlaku saat ini yaitu 12% per tahun. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 117

130 Tabel Analisis kelayakan usaha budidaya kayu energi jenis turi berdasarkan tipe program. Tipe Program Parameter Satuan A B Net Present Value (NPV) Rp Benefit Cost Ration (BCR) desimal Internal Rate of Return (IRR) a. Sebelum pajak b. Setelah pajak % % Berdasarkan tabel di atas, nilai NPV > 0, BCR > 1 dan nilai IRR lebih besar dari nilai suku bunga efektifnya sehingga dapat disimpulkan bahwa pembangunan hutan tanaman penghasil kayu energi dapat dikatakan layak dan sangat menarik bagi investor untuk membangun hutan tanaman dalam upaya pemenuhan bahan bakar omprongan tembakau di propinsi Nusa Tenggara Barat baik pola mandiri (tipe A) maupun pola kemitraan (tipe B). Berdasarkan nilai NPV dan IRR, jika dibandingkan antara kedua tipe yaitu A dan B maka tipe B lebih menguntungkan, hanya tingkat keberhasilan tanaman pada tipe B lebih kecil dibandingkan tipe A. Analisis kelayakan pembangunan HTI kayu energi dengan pola mandiri (tipe A) dan kemitraan (tipe B) pada tingkat diskonto 12% memberikan nilai indikator kelayakan IRR masing-masing sebesar 46% dan 132% sehingga dapat disimpulkan bahwa pembangunan hutan tanaman penghasil kayu energi sebagai bahan bakar omprongan secara ekonomi finansial sangat layak dan dapat dipertimbangkan untuk diprioritaskan pembangunannya dalam upaya penyelamatan petani tembakau di Propinsi Nusa Tenggara Barat Kelayakan Finansial Pengelolaan HHBK Nyamplung pada Demplot DME Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa pola tanam yang berbeda memberikan nilai kelayakan finansial yang berbeda pula, dengan perhitungan pada luas lahan 1 hektar, pola tanam nyamplung monokultur memberikan NPV=Rp ,-; IRR=24,78%; BCR=2,135. Pola tanam Nyamplung + Kelapa memberikan nilai NPV=Rp ,-; IRR=20,97% dan BCR=1,697. Pola tanam Nyamplung + Sengon + Kacang tanah memberikan nilai NPV=Rp ,-; IRR=35,19%, dan BCR=2,091. Pola tanam Nyamplung + Sengon + Kelapa + Pisang memberikan nilai NPV=Rp ,-; IRR=44,92%, dan BCR=2,429. Dari berbagai studi SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 118

131 kelayakan tersebut pola agoforestri menunjukkan nilai kelayakan usaha yang lebih baik dengan nilai NPV, BCR dan IRR lebih tinggi monokultur. Kondisi ini secara ekonomis menarik petani memanfaatkan lahan dengan pola agoforestri. Namun disisi lain pola agoforesti dengan jumlah tanaman Nyamplung yang relatif rendah per hektarnya akan mengurangi suplai bahan baku industri pengolahan biodisel. Setelah kelestarian bahan baku biji nyamplung terpenuhi maka, keberlanjutan operasioanal pabrik pengolahan biodisel menjadi sesuatu yang penting agar industri BBN agar dapat lebih berkembang. Kelayakan pengolahan biodisel nyamplung perlu diperhitungkan untuk melihat layak tidaknya suatu usaha dilakukan. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai kelayakan finansial usaha pengolahan biodisel nyamplung di desa Buluagung Kecamatan Siliragung Kabupaten Banyuwangi dalam kondisi optimal tingkat suku bunga 12% memiliki nilai NPV Rp , BCR 0,44 dan IRR 12%. Nilai tersebut menunjukan angka yang kurang dari standar kelayakan yang ada. Kondisi yang dihitung merupakan kondisi optimal, yaitu dimana seluruh hasil produksi biodisel yang dihasilkan laku terjual. Jika dilihat dari perhitungan laba rugi secara kasar dilihat dari variabel biaya yang dibutuhkan dengan pendapatan yang diperoleh juga menunjukan nilai kerugian (Rp Rp =-Rp ). Untuk meningkatkan nilai pendapatan biodiesel nyamplung, perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat mereduksi besarnya biaya produksi. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya biaya produksi adalah sulitnya memperoleh bahan kimia pencampur. Metanol diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak, namun ketersediaannya terbatas. Selain keterbatasan bahan baku pencampur, terdapat permasalahan antara lain : 1) sumberdaya manusia Sumberdaya manusia (keahlian dan pemahaman proses produksi yang kurang mencukupi), 2) Kualitas biodiesel yang dihasilkan belum teruji, hal ini mempersulit pemasaran dan biodisel nyamplung masih belum diterima oleh masyarakat, 3) pasar biodisel masih sangat sedikit, 4) Pengelolaan limbah kurang optimal, dibutuhkan teknologi untuk mengubah limbah biodisel sehingga dapat digunakan kembali. Untuk mereduksi biaya produksi dilakukan perhitungan kelayakan finansial pada pembuatan biokerosin nyamplung. Pembuatan biokerosin tidak terlalu membutuhkan banyak campuran kimia, sehingga tidak SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 119

132 memerlukan biaya produksi tinggi. Hasil perhitungan kelayakan finansial biokerosin dengan suku bunga 12 % menunjukkan NPV Rp , BCR 1,04 dan IRR (tidak terindetifikasi). Produksi biokerosin nyamplung masih bisa diupayakan dan dapat sedikit memberikan keuntungan. Biokerosin dijual dengan harga Rp /liter dan diperuntukan bagi industri genteng. Dari 100 liter biokerosin yang dihasilkan diperoleh pendapatan Rp dengan biaya produksi Rp , masih memperoleh keuntungan sebesar Rp Hal tersebut diperkuat dengan hasil perhitungan kelayakan finansial, menurut parameter NPV pengolahan biokerosin pada tahun ke-5 dapat menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp dengan BCR 1, meskipun tingkat pengembalian masih dibawah suku bunga yang ditentukan, sama dengan pada proses biodisel. Biokerosin dari nyamplung masih memerlukan beberapa penelitian secara fisik dan kimia, mengingat kualitas biokerosin yang dihasilkan masih memiliki daya viskositas yang tinggi sehingga daya kapilaritasnya rendah, selain itu bau kerosin yang dihasilkan sangat menyengat Kelembagaan dan Tataniaga Sagu di Papua Barat Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004 tentang pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry menyebutkan bahwa pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat adalah kegiatan pengelolaan hutan secara utuh yang dilakukan oleh masyarakat setempat, dimana masyarakat setempat adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Penelitian dilakukan di distrik Rasiey Kabupaten Teluk Wondama. Distrik Rasiey dengan luas km 2 terdiri dari 9 kampung yakni kampung Senderawoi, Tandia, Sasirei, Isei, Rasiey, Webi, Uriemi, Torey, dan Nggatu. Kampung-kampung ini merupakan kampung dengan habitat sagu dan nipah yang besar. Produk utama yang dihasilkan berupa sagu (tepung sagu) dan air nira (minuman lokal). Kampung-kampung ini berada di tepi kali Wosimi. Sagu yang dalam bahasa wondama disebut ana merupakan bahan makanan pokok masyarakat sehingga sagu umumnya disiapkan untuk SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 120

133 kebutuhan pangan keluarga dan dapat dijual bila hasil panennya banyak. Proses pengolahan sagu dari pohon sagu hingga menjadi tepung sagu dapat digrambarkan pada Grambar 3.25 berikut ini: Grambar Proses pembuatan tepung sagu Hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari di kampung Sasirei distrik Rasiei telah terdapat pengelolaan sagu berdasarkan kelompok. Ada tiga kelompok parut sagu yaitu: 1. Kelompok Kamodi yang terdiri dari 7 keluarga fam Kamodi. 2. Kelompok Sayori yang terdiri dari 8 keluarga fam Sayori. 3. Kelompok Warami yang terdiri dari 12 keluarga fam Warami. Kelompok ini merupakan kelembagaan non formal yang beranggotakan anggota keluarga dalam satu fam/marga, sehingga segala aturan yang terdapat dalam kelompok hanya mengikat bagi anggota kelompok sendiri. Belum terdapat aturan yang mengikat antar kelompok lainnya sehingga kelembagaan ini belum dapat mengatur hubungan silang antar kelompok. Kehadiran kelompok ini hanya akan mempermudah pemerintah dalam memfasilitasi bantuan teknis dan pelatihan baik berupa bantuan mesin parut dari intansi terkait (Sallosa, S. 2012). Kelembagaan ini selayaknya didorong untuk membentuk kelembagaan formal yang nantinya mampu bekerjasama antar pemilik dusun Sagu dalam menghasilkan ouput ekonomi desa dan mengatur distribusi secara merata. Aliran tata niaga tepung sagu sejak dari penokok sampai dengan konsumen di distrik Rasiey kabupaten Teluk Wondama adalah sebagai berikut: SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 121

134 Grambar Alur tataniaga tepung sagu asal Distrik Rasiey Alur tata niaga tepung Sagu di Papua cukup pendek namun harga produk yang sampai ke konsumen cukup bervariasi dan tinggi. Dalam 5 tahun terakhir kenaikan harga jual di tinggal konsumen naik 100%. Kenaikan harga di tingkat konsumen disebabkan naiknya harga dasar yang ditetapkan petani sebagai akibat kelangkaan ketersediaan pati sagu di wilayah tersebut. Petani saat ini membutuhkan biaya panen Sagu yang meningkat disebabkan semakin berkurangnya tenaga kerja yang berpartisipasi mengolah sagu sebagai pati. Solossa (2013) menyebutkan untuk memperoleh tepung sagu bukan hal yang mudah, kerena membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup banyak jika peralatan yang digunakan masih menggunakan peralatan sederhana. Keterbatasan pati sagu di wilayah Papua secara tidak langsung merupakan potensi pasar sagu yang berasal dari maluku Kelembagaan Madu di Sumbawa dan Riau Produk Perlebahan sebagai salah satu komoditas HHBK dikembangkan melalui strategi pengembangan klaster, sebagaimana diatur dalam Permenhut P19/2009 tentang gand strategi HHBK Provinsi Nusa Tenggara Barat ditetapkan sebagai klaster pengembangan madu dan madu Sumbawa ditetapkan sebagai salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu Unggulan Nasional. Madu sendiri telah ditetapkan dalam Permenhut No. 19 Tahun 2009 sebagai salah satu komoditas HHBK yang pengembangannya dilaksanakan dengan sistem klaster. Dalam Permenhut ini, klaster didefinisikan sebagai kelompok yang terdiri atas jejaring pengusaha yang secara bersama-sama memajukan kesejahteraan di tingkat wilayah melalui penguasaan dan pengendalian rantai suplai dan rantai SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 122

135 nilai. Sementara itu, Marshal mendefinisikan sistem klaster sebagai berkumpulnya industri-industri dalam sebuah ruang geogafi, dimana manfaat dari klaster industri ini tidak dinikmati secara pribadi dan mikro oleh sebuah perusahaan namun dapat dinikmati bersama oleh industriindustri yang berkumpul di dalamnya (Hartanto dalam Amin, 2007). Di sisi lain, provinsi Riau juga memiliki potensi perlebahan yang tinggi. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah apakah penetapan provinsi NTB sebagai klaster madu efektif memberikan dampak terhadap pengembangan usaha madu di daerah tersebut, serta bagaimana perbandingannya dengan wilayah lain yang tidak ditetapkan sebagai klaster? Hasil penelitian menunjukkan aktor yang terlibat dalam pengembangan usaha perlebahan di provinsi NTB terdiri dari dua kelompok utama yaitu pelaku kegiatan usaha dan pihak pemerintah. Pelaku kegiatan usaha perlebahan adalah pihak swasta yang terdiri dari petani pemungut lebah yang tergabung dalam koperasi dan Jaringan Madu Hutan Sumbawa. Sementara itu pihak pemerintah berfungsi sebagai regulator atau fasilitator dalam kegiatan pengembangan usaha perlebahan. Hasan (2010) menyatakan adanya 7 stakeholder yang berperan dalam pengembangan pengusahaan madu di Sumbawa sesuai dengan bidang tugasnya, yaitu : (1) lini fasilitasi/regulasi adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Diskoperindag; Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dodokan Moyosari (BPDAS DMS) (2) lini litbang adalah BPT HHBK dan lembaga litbang lain; (3) lini produksi: koperasi dan kelompok tani; (4) lini industri: koperasi dan industri kreatif; (5) lini pemasaran: JMHS (Jaringan Madu Hutan Sumbawa) dan koperasi; (6) lini pengembangan SDM: JMHS, koperasi, kelompok tani; (7) lini inkubasi bisnis: JMHS, Diskoperindag. Lebih lanjut Hasan (2010) menganalisis bahwa pihak yang menonjol perannya adalah JMHS, Koperasi dan kelompok tani, dan Dishutbun Kab. Sumbawa, dan BPDAS DMS. BPTHHBK berperan dalam mendukung pengembangan teknologi seperti penurun kadar air dan kajian mengenai kandungan-kandungan madu sesuai SNI (Standar Nasional Indonesia). Di samping itu juga melakukan kajian mengenai margin keuntungan tata niaga madu sumbawa dan penelitian tentang kelembagaan pengembangan madu sumbawa. Diskoperindag berperan dalam pemberian sarana produksi madu dan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 123

136 pengemasan madu, namun manfaatnya belum dirasakan optimal. Bantuan peralatan yang diberikan mangkrak karena tidak cukup tepat sasaran. Hasan (2010) mengindikasikan bahwa peran BPDAS DMS cukup sentral karena sebagai UPT dibawah Ditjen BPDASPS memiliki mandat dalam pengembangan HHBK. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di BPDAS DMS dapat diketahui bahwa fasilitasi anggaran yang disediakan oleh BPDAS DMS untuk kegiatan pengembangan lebah madu sebesar 4% dari total anggaran Balai. Pada tahun anggaran 2011 kegiatan pengembangan lebah memang difokuskan untuk mendukung Sumbawa sebagai klaster pengembangan madu nasional. Namun pada tahun anggaran 2012, sasaran pengembangan madu lebih diarahkan pada penyusunan identifikasi HHBK unggulan di setiap kabupaten. Hal ini sesuai dengan arahan dari Ditjen BPDAS PS Kementerian Kehutanan dalam rangka penetapan komoditas HHBK Unggulan berbasis kabupaten. Dengan demikian, keterlibatan para actor dalam pengembangan usaha perlebahan sangat dinamis. Berbagai kepentingan dapat menjadi factor penentu intensitas keterlibatan setiap institusi. Hal ini dapat menjelaskan fenomena adanya persepsi yang kurang sejalan antara para pelaku kegiatan usaha di Sumbawa terhadap BPDASPS. Sehingga pada saat kegiatan penelitian tahun 2012 dilaksanakan, peta stakeholder yang terlibat di dalam pengembangan madu Sumbawa lebih didominasi oleh para pelaku produksi di tingkat kelompok petani yang tergabung dalam JMHS. Herawati (2012) melakukan perbandingan pengelolaan usaha perlebahan pada lokasi yang telah ditetapkan sebagi cluster (Sumbawa) dan bukan cluster (Riau). Perbandingan pengelolaan usaha perlebahan antara kedua lokasi ini menjadi bahan analisis komparasi antara lokasi yang ditetapkan ditetapkan sebagai klaster dan bukan klaster pengembangan lebah madu (Tabel 3.40). SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 124

137 Tabel Perbandingan kegiatan pengelolaan usaha perlebahan di Sumbawa dan Riau Kondisi biofisik sumberdaya perlebahan RIAU (Non klaster) SUMBAWA (Klaster)* Jenis lebah Apis dorsata Apis dorsata Pohon inang sarang lebah Pohon sialang dengan jumlah pohon sekitar batang di kawasan TN Tesso Nillo (data 2010) Pohon Boan (data potensi jumlah pohon belum diperoleh) pohon yang tinggi dengan diameter besar, ditempati sarang/pohon Produksi kg per sarang kg per sarang Produksi total Aktor madu Pasar dan jaringan pemasaran Aturan/norma Permasalahan yang dihadapi 3 lini yaitu produksi dan pemasaran Regulasi : pemda kabupaten, Fasilitasi pemasaran oleh WWF Produksi :Masyarakat sekitar hutan yang disebut sebagai pemburu lebah Pengembangan SDM : WWF Pemasaran dilakukan secara individual atau berkelompok yang didampingi oleh WWF Akses pasar produk hingga ke Malaysia melalui kontrak Ada pengakuan hak atas pohon sialang pemilik pohon mendapatkan bagian 1/3 dari panen Menurunnya populasi pohon sialang akibat deforestrasi Meningkatnya aktifitas pencurian sarang lebah kg/tahun 7 lini, yaitu (1) lini fasilitasi/regulasi adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Diskoperindag; Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dodokan Moyosari (BPDAS DMS) (2) lini litbang adalah BPT HHBK dan lembaga litbang lain; (3) lini produksi: koperasi, kelompok tani; (4) lini industri: koperasi& industri kreatif; (5) lini pemasaran: JMHS (Jaringan Madu Hutan Sumbawa) dan koperasi; (6) lini pengembangan SDM: JMHS, koperasi, kelompok tani; (7) lini inkubasi bisnis: JMHS, Diskoperindag Pemasaran dilakukan melalui koperasi dan Jaringan madu Hutan Sumbawa Adanya kontrak pembelian madu oleh pihak JMHS Pohon boan merupakan sumberdaya open acces Menurunnya populasi pohon boan akibat deforestasi Cakupan JMHS masih terbatas di Kabupaten SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 125

138 Kondisi biofisik sumberdaya perlebahan RIAU (Non klaster) SUMBAWA (Klaster)* Program pengembangan usaha perlebahan Pendampingan dari LSM kelompok Sumbawa, Dompu dan Bima memiliki potensi yang belum tertangani Dinas Kehutanan melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan terhadap pelaku usaha perlebahan. Adanya dukungan pemasaran produk madu melalui launching kontrak penjualan madu 1 ton/tahun. Fasilitasi teknologi oleh UPT Litbang HHBK Mataram Keterangan: * klaster pengembangan madu melalui Keputusan Dirjen RLPS No. SK.22/V-BPS/2010 tanggal 18 Juni 2010 Secara umum dapat dikatakan kelembagaan madu tidak banyak perbedaan antara lokasi yang ditetapkan sebagai klaster maupun bukan klaster pengembangan lebah. Hal ini dapat dilihat dari kinerja pengelolaan perlebahan alam yang hampir memiliki kesamaan karakteristik biofisik, dan permasalahan yang dihadapi. Namun demikian dampak penetapan klaster HHBK di Propinsi NTB telah meningkatkan peran dan kepedualian banyak pihak untuk mengembangan program pengembangan madu di lokasi tersebut Kelembagaan dan Pasar Madu di Sumbawa Madu adalah salah satu produk lebah madu yang memiliki potensi sangat besar untuk dikembangkan. Kebutuhan madu di Indonesia cukup besar yakni 138 ribu ton per tahun, sementara produksi madu nasional rata-rata hanya mencapai ton per tahun, sehingga impor madu ratarata mencapai 260 ton per tahun. Dengan produksi rata-rata ton per tahun, berarti baru sekitar 1,81 persen konsumsi madu di dalam negeri (Anonim, 2010). Temuan tersebut cukup kontras dengan kondisi Negara lain. Sebagai perbandingan, negara yang berpenghasilan per kapita tinggi di dunia, sekaligus juga merupakan negara produsen madu seperti RRC, Amerika Serikat, Rusia, Jerman, Australia, Selandia Baru, Meksiko, Hungaria, dan Jepang, masih juga mengimpor madu. Misalnya Amerika Serikat SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 126

139 mengimpor antara 40 ribu s/d 70 ribu ton madu setiap tahunnya. Jerman juga setiap tahun mengimpor madu antara 80 ribu s/d 90 ribu ton, sedangkan Jepang setiap tahun diperkirakan masih mengimpor antara 30 ribu s/d 40 ribu ton madu. (Anonim, 2010). Melihat potensi madu yang memiliki peluang pasar yang sangat besar, Indonesia perlu melakukan pengembangan madu. Produksi madu perlu ditingkatkan, dengan diiringi peningkatan kualitasnya. Selama ini madu Indonesia banyak yang tidak memenuhi standar SNI karena masih memliki kandungan air dan kadar sukrosa yang tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan rekayasa agar kualitas madu sesuai dengan standar SNI. Disamping itu, lini distribusi pemasaran juga perlu diperbaiki untuk mencapai tingkat harga yang optimal pada masing-masing lini pemasaran. Berdasarkan penelitian yang ada selama ini margin keuntungan pemasaran madu paling banyak dinikmati oleh penjual dengan keuntungan berlipat. Petani atau pemburu madu berada pada level terendah yang dalam penerimaan keuntungan dari penjualan madu. Dari keterangan tersebut menunjukkan bahwa harga yang terbentuk tidak cukup adil. Petani atau pemburu adalah pihak yang paling berperan dalam upaya pengadaan madu sehingga seharusnya mendapatkan porsi yang layak dalam menikmati keuntungan penjualan madu produksinya. Salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keadilan ekonomi pada masing-masing pelaku usaha adalah dengan membangun kebijakan industri berbasis klaster. Landasan kebijakan ini tertuang dalam Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Kebijakan tersebut kemudian diturunkan pada masing-masing lini pemerintahan sehingga muncullah salah satunya di Kementerian Kehutanan dengan pengembangan HHBK berbasis klaster. Kebijakan pengembangan HHBK berbasis klaster di Kemenhut tertuang dalam Permenhut No. 19 tahun 2009 tentang Strategi Pengembangan HHBK Nasional. Kebijakan klaster atas produk madu sumbawa merupakan kebijakan strategis dalam upaya membangun tata niaga madu yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Permenhut No 19 Tahun 2009 telah berjalan selama dua tahun namun implementasi kebijakan di lapangan masih kurang nampak. Kabupaten Sumbawa ditetapkan sebagai lokasi klaster madu. Secara kelembagaan memang lebih baik dibandingkan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 127

140 dengan Kabupaten Bima dan Dompu yang tidak masuk dalam klaster. Namun dilihat dari parameter kelembagaan, masih sangat banyak yang harus dibenahi, terutama interaksi antara aktor didalam klaster itu sendiri. Di Kabupaten Sumbawa stakeholder yang terlibat dalam pengembangan madu cenderung lebih aktif dibandingkan di Bima dan Dompu. Stakeholder yang menonjol antara lain Kelompok tani, Koperasi, JMHS, Dinas Kehutanan. Unit pengelolaan yang ada di Sumbawa relatif lebih hidup baik pada level kelompok, desa, maupun kabupaten. Hal ini cukup berbeda dibandingkan dengan di Bima dan Dompu. Kelompok tani dan koperasi belum banyak terbentuk dan berjalan di wilayah Bima, sedangkan di Dompu beberapa kelompok tani sudah terbentuk namun tidak berjalan. Kemitraan dalam pengembangan madu sudah mulai berjalan di Sumbawa, sementara di Bima dan Dompu belum nampak. Insentif yang diberikan kepada petani dan koperasi di Sumbawa juga lebih banyak. Sementara di Bima dan Dompu pemberian insentif relatif masih kecil. Kekurangan yang ada pada keduanya adalah tidak adanya follow up dan pendampingan yang kontiniu atas bantuan dan kemitraan yang ada. Hal ini mengakibatkan pengembangan usaha berjalan lamban. Hasil penelitian menggrambarkan kelembagaan pengusahaan madu di Danau Sentarum dan Ujung Kulon didominasi oleh peran aktor pemasaran dan pembinaan mutu yang dikenal dengan JMHI, APDS, Dian Niaga dan Riak Bumi. JMHI (Jaringan Madu Hutan Indonesia) adalah jaringan madu hutan yang terbesar di Indonesia. Anggotanya tersebar diseluruh Indonesia. JMHI dibentuk untuk menjadi forum komunikasi, membangun proses-proses berbagi pengalaman mengenai pengelolaan dan pemafaatan lebah Apis dorsata di masing-masing wilayah, memfasilitasi proses produksi yang baik, membangun pasar, dan meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai lebah Apis dorsata, hutannya, dan madunya. Adapun jaringan JMHI tersebar di beberapa wilayah yaitu: 1. Kalimantan Barat di Taman Nasional Danau Sentarum Pendamping Kaban, Riak Bumi 2. Kalimantan Selatan di Pegunungan Meratus : Pendamping LPMA Borneo 3. Sulawesi Tenggara, di Alaaha : Pendamping YASCITA 4. Sulawesi Selatan di Luwu Utara : Pendamping YBS SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 128

141 5. Riau di Taman Nasional Tessonilo :Pendamping WWF Tessonilo 6. Sumbawa : Pendamping JMHS 7. Banten Taman Nasional Ujung Kulon pendamping PHMN Untuk mengorganisasikan petani-petani yang ada di Kawasan Taman Nasional Danau Sentarum dibentuk organisasi gabungan yang terdiri dari Aliansi Organis Indonesia (AOI), Yayasan Riak Bumi, Yayasan Dian Tama, dan WWF membentuk APDS (Asosiasi Periau Danau Sentarum) pada tanggal 21 Juli Dalam wadah perkumpulan APDS, periau (kelompok petani madu) melakukan tata kelola sendiri pengusahaan madu sehingga sumberdaya manusia petani madu menjadi meningkat. Dalam sejarahnya, APDS dibentuk berdasar seringnya kegiatan-kegiatan yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga yang peduli dengan petani madu. Kelima periau yang pertama menjadi anggota APDS yakni periau Danau Luar, Suda, Mersak, Semangit, dan Semalah (BPDAS Kapuas, 2011). Salah satu LSM yang juga berjasa dalam pemberdayaan masyarakat di Danau Sentarum adalah Riak Bumi. Riak bumi merupakan salah satu LSM yang didirikan pada tahun 2000 bergerak untuk memfasilitasi petani madu di Danau Sentarum. Selain itu adapula Dian Niaga yang merupakan salah satu divisi dari JMHI. Dian Niaga bertugas untuk memasarkan madu JMHI. Madu yang diterima dari dari JMHI maupun dari pemasok yang lain masih diolah untuk mendapatkan kualitas yang bermutu baik. Pada tahun 2007 Dian Niaga membeli madu dari Asosiasi Petani Danau Sentarum seharga APDS membeli madu dari petani seharga Sehingga Asosiasi memperoleh keuntungan sekitar 8,9% dari pembelian yang dilakukan oleh Dian Niaga. Dian Niaga masih mengolah madu yang didapat dari APDS untuk mendapatkan kualitas madu yang lebih baik. Proses selanjutnya yaitu menurunkan kadar air madu agar sesuai dengan standar SNI yakni 24 %. Selain itu madu yang telah didapat dikemas dengan kemasan yang menarik. Hal ini menjadikan, madu yang telah keluar dari Dian NIaga memiliki harga yang berlipat besar. Hal tersebut wajar karena ada perlakuan yang telah menyebabkan kualitas madu menjadi baik. Keuntungan yang didapat antara lain digunakan untuk berbagai kegiatan JMHI. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 129

142 Berdasarkan aktor, kepentingan dan pengaruhnya dalam menjalankan kelembagaan. Institusi yang terlibat dalam pengusahaan madu di Danau Sentarum dapat dilihat pada Tabel Tabel Institusi yang terlibat dalam pengusahaan madu di Danau Sentarum Institusi Peran Kepentingan JMHI Membawahi anggota dan mengkoordinir anggota Memasarkan madu JMHI Menjaga kualitas dan kualitas madu hutan dari anggota Dian Niaga Mencari laba atas madu yang diperdagangkan Riak Bumi Sekretariat JMHI Fasilitator untuk APDS, APDS Dishut Kalbar BP Kapuas Das KSDA Kalbar TN. Danau Sentarum (Kementerian Kehutanan) Mendapatkan madu sesuai standar yang telah ditetapkan oleh JMHI Membina kehutanan di tingkat provinsi Mengelola daerah aliran sungai Konservasi sumberdaya alam di Kalbar Mengelola kawasan Danau Sentarum Pelaksana pemerintahan bidang kehutanan Meningkatkan kualitas kuantitas madu dan Menentukan arah kebijakan kehutanan provinsi Terselenggaranya dan tertanya daerah aliran sungai Terselenggaranya konservasi di Kalbar Menjaga agar kawasan TNDS tetap lestari Mewujudkan hutan lestari masyarakat sejahtera Kekuatan dan pengaruh Menerapkan aturan untuk semua anggota Menentukan mutu madu standar Menyebarkan informasi kepada seluruh anggota Berhak menentukan lembaga mana yang menjadi fasilitator Memiliki kekuasaan kehutanan pada daerah tingkat 1 UPT pusat yang memiliki wewenang untuk menjaga agar DAS tetap tertata UPT pusat yang mengendalikan keanekaragraman SDA di Kalbar Mengatur lingkungan sekitar kawasan TNDS Menentukan arah kebijakan kehutanan di tingkat nasional APDS merupakan gabungan dari para periau. Disekitar Taman Nasional terdapat puluhan periau. Masing-masing periau memiliki struktur dan aturan yang berbeda dengan periau yang lain. Namun jika sudah tergabung dalam APDS, mereka harus mematuhi aturan yang telah disepakati bersama. Aturan tersebut antara lain, (1). Wilayah kelola periau sudah ditentukan, (2). Tikung tidak boleh terbuat dari kayu medang, (3). Warga kampung dapat menjadi anggota periau dengan syarat mampu untuk memasang lebih dari 25 tikung, (4). Panen dilakukan dalam waktu SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 130

143 yang sama yang ditentukan oleh ketua periau, (5). Jarak antar tikung tidak boleh terlalu dekat, (6). Tidak boleh memasang tikung dijalur tikung dan diluar periau, (7). Tidak boleh mengrambil madu dari tikung milik orang lain. Penegakan aturan didalam periau dilakukan oleh ketua. Tugas ketua periau antara lain yaitu menyelesaikan konflik yang terjadi diantara anggota. Selain itu ketua periau bertugas untuk memeriksa tikung, menentukan masa panen madu pertama dan mengkoordinasikan pelaksanaan panen serempak (Wulandari, 2009) APDS hanya membeli madu dari petani anggota. Jika ingin bergabung dengan APDS, periau atau masyarakat dikenakan kewajiban yang telah disepakati bersama. Kewajiban tersebut adalah, standar yang diterapkan untuk meningkatkan kualitas panen madu yang harus dipenuhi, salah satunya yaitu, menerapkan panen lestari. Peran lembaga dalam konteks pengembangan madu yaitu sebagai pembuat aturan untuk anggota. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah memasarkan produk madu kepada pihak-pihak yang membutuhkan madu. Untuk membuat produk tersebut menjadi bermutu, APDS juga memberikan pelatihan dan pembinaan kepada anggota-anggotanya. Karena, kepentingan terbesar lembaga dalam konteks pengembangan madu yaitu Meningkatkan kualitas madu di pasaran, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga kelestarian hutan dan lingkungan, serta menambah keuntungan finansial. Selanjutnya hal tersebut akan memberikan manfaat kepada lembaga yaitu pengakuan dari pihak lain yang selama ini konsen dengan pengembangan madu. Hasil kerja lembaga telah memperlihatkan kondisi yang berbeda. Masyarakat sudah lebih maju dalam mengelola pengusahaan madu. Sehingga, keuntungan yang didapat mampu menggerakan perekonomian masyarakat setempat (Wulandari, 2009). Selama ini, APDS lebih banyak mendapatkan pembinaan dari lembaga pendamping, sedangkan lembaga pemerintah lebih banyak bergerak disektor hulu yang tidak terkait langsung seperti penanaman pohon yang menjadi sumber pakan lebah. Kedua hal tersebut merupakan perpaduan yang harus dijaga secara seimbang, karena peran LSM dan pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kerja SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 131

144 keras dari para pendamping, baik NGO maupun dari lembaga pemerintah, mengubah kebiasaan panen madu yang sudah berlangsung ratusan tahun. Lembaga-lembaga tersebut memperkenalkan panen madu lestari. Selain Taman Nasional Danau Sentarum dilakukan juga pengramatan kelembagaan pada Taman Nasional Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang merupakan lembaga pemerintah yang bertugas untuk menjaga konservasi terutama di wilayah Ujung Kulon. Pada wilayah ini pengelolaan madu melibatkan beberapa institusi seperti terlihat pada Tabel Tabel Institusi yang terlibat dalam pengusahaan madu di Ujung Kulon Institusi Peran Kepentingan Kekuatan dan pengaruh JMHI Membawahi Menjaga kualitas dan Menerapkan aturan anggota dan kualitas madu hutan untuk semua mengkoordinir anggota dari anggota anggota Persatuan Hangjuang Mahardika Persatuan Petani Madu Hutan Ujung Kulon TN. Ujung Kulon (Kementerian Kehutanan) Dian Niaga Pendampingan kepada petani madu hutan di Ujung Kulon Memburu madu hutan dengan menjaga SDA Menjaga dan Melindungi areal konservasi TN. Ujung Kulon Pelaksana pemerintahan bidang kehutanan Memasarkan madu Meningkatkan SDM petani binaannya Melindungi membimbing dan membina anggotanya Terjaganya kawasan konservasi Mewujudkan hutan lestari masyarakat sejahtera Mendapatkan laba Memiliki pengaruh sebagai fasilitator untuk petani madu hutan di Ujung Kulon Memiliki pengaruh untuk tingkat Desa Ujung Jaya Institusi terbesar yang memiliki pengaruh di kawasan konservasi dan sekitarnya Menentukan arah kebijakan kehutanan di tingkat nasional Menentukan standar mutu madu dari petani PPMHUK dibentuk pada tahun 2009 di Dusun Cikaung, Desa Ujung Jaya atas fasilitasi dari PHMN (Persatuan Hangjuang Mahardika Nusantara) sebuah LSM lokal di Pandeglang. Jumlah anggotanya saat ini telah mencapai 33 orang yang tersebar di dua RT. Pada Tanggal 17 Juli 2009 PPMHUK bergabung dengan JMHI. Sejak saat itulah PPMHUK mulai menerapkan standar pengolahan madu yang diterapkan oleh JMHI. Program dari lembaga ini adalah untuk memfasilitasi anggotanya agar SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 132

145 mampu berdaya dalam pengusahaan madu. Selain itu lembaga dibentuk untuk menaungi bermacam kegiatan yang diadakan oleh berbagai lembaga agar bisa terkoordinir dengan baik. Lembaga yang menjadi mitra yaitu JMHI dan Japan Enviromental Education Forum (JEEF). Persatuan Hangjuang Mahardika Nusantara (PHMN) adalah lembaga pendamping untuk masyarakat Ujung Jaya. PHMN didirikan pada tanggal 5 Maret 2008 dengan akta notaris. PHMN juga membentuk Koperasi Madu Hangjuang Mahardika. Koperasi ini didirikan oleh anggota Kelompok Tani Madu Hutan Ujung Kulon (KTMHUK) dan pengurus Perhimpunan Hanjuang Mahardika Nusantara (PHMN), sebagai wadah usaha bersama bagi petani, pendamping petani, konsumen dan agen yang menjadi mitra. Terdaftar pada Dinas Koperasi Kabupaten Pandeglang dengan badan hukum No : 33/BH/XI.6/DK.UMKM/I/2012 tanggal 31 Januari Dalam perjalanannya belum terlalu aktif. Untuk gedung sendiri masih dalam proses pembangunan. Sehingga nantinya mungkin akan menjadi wadah bagi kelompok tani untuk mendapatkan keuntungan yang baik. Banyaknya aktor yang terlibat dalam pengelolaan madu baik di Sumbawa dan di Ujung Kulon masih menunjukkan Kolaborasi yang terbangun antar institusi belum padu. Hal ini dikarenakan, masing-masing pihak memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Untuk kolaborasi yang berkaitan dengan pengembangan madu, institusi yang terlibat yaitu Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Persatuan Hang Juang Mahardika (PHMN), dan Persatuan Petani Madu Hutan Ujung Kulon (PPMHUK) Model Usaha dan Kelayakan Finansial Budidaya Bambu Untuk keperluan industri berbasis bahan baku bambu sebaiknya menggunakan jenis-jenis bambu berukuran besar karena lebih efesien dan lebih murah budidayanya. Jenis-jenis bambu yang prospektif untuk dikembangkan adalah : Bambu Petung (D. asper), Bambu Tali (G. apus), Bambu Ater (G. atter), Bambu Hitam (G. atroviolacae), Bambu Mayan (G. robusta), Bambu Andong (G. pseudoarundinacae), Bambu Temen (G. pseudoarundinacae), Bambu Peting (G. levis), Bambu Ampel Kuning (B. vulgaris v. striata), Bambu Ampel Hijau (B. vulgaris v. vitata), Bambu Duri (B. blumeana) Bambu Tutul (B. maculata). Model usaha aneka produk budidaya bambu yang memanfaatkan sumberdaya tegakan rumpun bambu masih menguntungkan, dengan jenis- SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 133

146 jenis produk yang diusahakan adalah lidi tangkai dupa, bambu lamina dan kere berpotensi dapat diusahakan oleh industri kecil rumahan. Produk lidi tangkai dupa dan bambu lamina menggunakan bahan baku jenis bambu bitung (Dendrocalamus asper) dengan umur tegakan batang > 5 tahun. Sedangkan produk kere menggunakan jenis bambu tali (Gigantochloa apus) dengan umur tegakan batang > 3 tahun. Untuk produk lidi tangkai dupa dengan kapasitas produksi 150 kg/hari membutuhkan areal tanaman bambu bitung seluas 3,9 ha dengan 832 tegakan rumpun. Sedangkan produk bambu lamina dengan kapasitas produk 4m3/bulan membutuhkan areal tanaman bambu bitung seluas 0,6 ha dengan 132 tegakan rumpun, Sementara itu, produk kere dengan kapasitas produk 30 lembar/bulan membutuhkan areal tanaman bambu tali seluas 1 ha dengan 275 tegakan rumpun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menunjang usaha produksi bambu lamina yang lestari dengan kapasitas 360 m 3 /bulan harus didukung keberadaan areal penanaman bambu petung seluas 240/208,3 atau 1,15 Ha. Hasil pengramatan di Ciamis dan Malang, lokasi pengramatan yang berada di dataran tinggi (ketinggian > 500 mdpl) membuat karakteristik batang bambu petungnya berukuran besar. Effendi dan Rostiwati (2012) mengkaji kelayakan pengembangan hutan bambu untuk menyediakan bahan baku industri pengolahan bambu yang terintegasi dengan kawasan hutannya di Propinsi Banten. Jenis bambu yang dianalisis adalah jenis bambu temen (Gigantochloa pseudoarundinacae 2) dan bambu andong (Gigantoohica pseudoarundinacae). Hasil analisis kelayakan pengusahaan bambu atas dasar proyeksi pendapatan, proyeksi pengeluaran, dan beban pajak, kriteria kelayakan dengan luas 500 ha dan bunga efektif 10.95% maka pendapatan terdiskonto sebesar Rp ,-, biaya terdiskonto Rp ,-, NPV sebesar Rp ,-, BCR sebesar 2.30 dan IRR sebesar 32.30%. Dari informasi tersebut, nilai NPV lebih besar dari 0 (nol) dan nilai IRR lebih besar dari nilai suku bunga efektifnya sehingga dapat disimpulkan bahwa secara finansial pengusahaan hutan bambu ini adalah layak dan dapat dikatakan sangat menarik bagi investor untuk membangun hutan tanaman bambu dalam upaya pemenuhan bahan baku industri pengolahan bambu. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 134

147 Distribusi dan Insentif Petani Rotan Dalam industri kerajinan rotan, pelaku usaha sub sektor rotan saling keterkaitan satu sama lainnya. Pelaku Usaha Subsektor Rotan, fungsi dan Kebutuhan Skill/Teknologi disajikan pada Tabel Perdagangan bahan baku dan produk mebel dan kerajinan mulai di Kalimantan, Sulawesi, Jawa Barat (Cirebon) dan Jawa Timur mempunyai mata rantai yang cukup panjang dan beragram mulai dari petani sebagai pemasok bahan baku, pedagang penumpul, industri pengolah rotan hingga pengguna akhir, secara umum dapat terlihat pada Grambar Tabel Keterkaitan pelaku usaha sub-sektor rotan, fungsi dan kebutuhan skill/teknologi Grambar Rantai perdagangan rotan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 135

148 Secara umum dapat dijelaskan bahwa hampir seluruh rotan mentah berasal dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan NTB dan sebagian besar diolah oleh industri rotan yang terletak di pulau Jawa seperti Cirebon dan Surabaya. Pengolahan rotan di luar Jawa umumnya terbatas hanya kepada pencucian dan pengasapan dengan belerang (washed and sulphurized (W&S). Beberapa industri setengah jadi dengan produk-produk rotan seperti kulit rotan (rattan bark), hati rotan atau fitrit (pith rattan), rotan bulat dipoles halus (polished round rattan) dan bahan anyaman (plaiting materials) juga terdapat di Kalimantan Selatan. Pada tahun 80 an banyak juga terdapat industri lampit rotan di Kalimantan Selatan yang tergolong di antara barang 1/2 jadi dan barang jadi rotan yang di ekspor ke Asia dan Eropa. Di Kalimantan, para petani dan pengumpul rotan menjual rotan asalan mereka kepada para pedagang pengumpul di tingkat desa dan kemudian diteruskan kepada pedagang pengumpul antar pulau. Sebagian dari pedagang pengumpul tingkat desa tersebut mengolah rotan asalan menjadi rotan W&S atau rotan belah sebelum menjualnya kepada pedagang pengumpul antar pulau/propinsi. Sejumlah kecil rotan mentah tersebut dijual ke para pengajin anyaman rotan di Kalimantan Selatan. Para pedagang pengumpul antar pulau mengirimkan sebagian besar rotan mereka ke industri pengolahan rotan di pulau Jawa terutama di Cirebon dan Surabaya dalam bentuk rotan W&S. Sebagian rotan (W&S dan rotan belah) dijual ke industri pengolahan rotan 1/2 jadi di Kalimantan Selatan. Sedangkan rantai tata niaga di Sulawesi umumnya lebih pendek dibandingkan dengan di Kalimantan. Umumnya rantai tata niaga di Sulawesi termasuk Gorontalo terdiri atas petani pengumpul, pengumpul rotan, industri setengah jadi kemudian ke industri meubelair rotan yang ada di Jawa. Sedangkan produksi rotan dari pulau Sulawesi alam mencapai 60 persen dari produksi nasional. Disamping untuk ekspor dan dikirim antar pulau, rotan polis dan rotan core juga menjadi bahan baku industri mebel rotan dan kerajinan rotan di Kota Palu, dalam memenuhi permintaan konsumen mebel kursi rotan dan kerajinan rotan di sekitar Kota Palu. Produksi rotan dari Provinsi Sulawesi Tengah dan Gorontalo dari tahun 2007 sampai tahun 2012 cenderung selalu menurun. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 136

149 ü Distribusi dan nilai tambah Distribusi nilai tambah yang diperoleh setiap pelaku yang terlibat dalam rantai nilai rotan dikaitkan dengan rangkaian kegiatan yang biasa dilakukan oleh setiap lembaga tata niaga atau rantai nilai antara lain : a. Pengumpul dan petani rotan melakukan pengumpulan/pemanenan dan pengangkutan ke desa dihasilkan rotan asalan (basah, dengan kadar air %) b. Pedagang pengumpul (tingkat desa) dan jasa pengangkutan melakukan pengolahan I (pencucian, pengeringan dan pengasapan) dan pengangkutan ke Pedagang di Banjarmasin dihasilkan rotan mentah (W&S), kadar air 25-40% c. Pedagang pengumpul, pabrik pengolah (skala kecil), jasa pengangkutan melakukan pengolahan II (pengasapan, pengeringan, pembelahan) dan pengangkutan ke Cirebon dihasilkan rotan setengah jadi (kulit dan hati rotan) d. Pabrik pengolah (skala menengah dan besar) melakukan pengolahan (mebel dan anyaman), pengangkutan ke Cirebon atau diekspor langsung ke konsumen di luar negeri dihasilkan produk jadi berupa anyaman kulit rotan, anyaman hati rotan dan mebel rotan Semakin banyak perlakuan yang diterapkan oleh lembaga tata niaga akan diperoleh nilai tambah semakin tinggi. Sebagai contoh, seorang petani atau pemungut menambah kegiatan pencucian, pengeringan dan pengasapan terhadap rotan yang dikumpulkannya maka pendapatan petani akan lebih besar. Distribusi dari nilai tambah dihitung berdasarkan nilai akhir dari produk mebel rotan berupa kursi makan yang dieksport. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, 1 unit kursi tamu bahan baku rotan sebanyak 10 kg. Distribusi nilai tambah yang tercipta dari rantai perdagangan rotan yang terbentuk disajikan pada Tabel SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 137

150 Tabel No Distribusi nilai tambah para aktor dalam rantai nilai (Rp/1 set kursi tamu) Aktor 1 Petani Pembudidaya/ Pemungut 2 Pedagang Pengumpul/ Perantara 3 Pedagang Antar Pulau 4 Industri Pengolah Kecil/ Pengajin 5 Pedagang lokal/regional Pendapatan (Rp/1 unit kursi tamu) Pengeluaran (Rp/unit) Nilai Tambah (Rp/unit) Persentasi (%) , , , , ,9 6 Industri Pengolah Menengah/Bes ar/ekportir ,4 Jumlah Nilai Tambah Total Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa semakin ke hilir maka semakin tinggi nilai tambah perdagangan mebel rotan terwujud. Dalam hal ini, petani pembudidaya/pemungut rotan sebagai pemasok bahan baku mebel dan anyaman rotan (rotan kering), hanya menikmati nilai tambah sebesar 10,3% dari total nilai tambah yang tercipta. Distribusi nilai tambah bagi setiap pelaku usaha perdagangan rotan sangat dipengaruhi oleh harga pembelian rotan tergantung kepada jenis rotan serta lokasinya, serta kompleksitas perlakukan terhadap produk yang dibeli. Di wilayah Cirebon yang bermitra dengan industri pengolahan rotan besar, dimana pengajin tersebut hanya menikmati nilai tambah sebesar 13,97% dari total nilai tambah yang tercipta. Sementara itu industri besar dan eksportir masingmasing menikmati nilai tambah sebesar 21,95% dan 28,97%. ü Model insentif yang dapat diperoleh petani rotan Berdasarkan hasil pengramatan lapangan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah dan Gorontalo, maka beberapa alternatif insentif perlu diberlakukan. Hal ini dimaksudkan agar terjalinnya keseimbangan dan keberlanjutan harga pasar dan tersedianya bahan baku yang berdampak kepada nilai tambah di sepanjang rantai nilai SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 138

151 perdagangan khususnya yang dapat diperoleh dari petani. Beberapa alternatif insentif yang perlu dilakukan, antara lain: 1. Insentif fiskal berupa tax deduction industri besar untuk membangun hutan rotan yang pada gilirannya mendorong pembangunan rotan; 2. Subsidi untuk petani rotan guna mendorong pembangunan penanaman/ budidaya rotan; 3. Adanya indirect incentives berupa kemudahan-kemudahan perijinan, baik di tingkat hulu (Departemen Kehutanan) maupun di tingkat hilir (Departemen Perindustrian dan Perdagangan); 4. Kemudahan-kemudahan akses masyarakat kepada tenurial system bagi petani rotan berupa perijinan yang jelas tentang jangka waktu sebagai dasar kepastian usaha dan operasional dengan menjabarkan PP 34 tahun 2002 untuk rotan : a. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu; b. Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu 5. Keikut-sertaan asosiasi yang bergerak di bidang rotan harus berperan aktif dalam mata rantai perdagangan dan pemasaran rotan dari hulu sampai ke hilir; 6. Pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang terintegasi dan holistik dalam pengembangan rotan, terutama yang berpihak kepada petani rotan; 7. Peningkatan pemberdayaan melalui pengembangan kelembagaan masyarakat dalam organisasi petani rotan yang berorientasi bisnis, sehingga mempunyai posisi tawar menawar (bargaining power) yang lebih tinggi; 8. Untuk meningkatkan nilai tambah, para petani rotan dilatih untuk meningkatkan keterampilan dalam bentuk magang (apprenticeship) ke industri-industri rotan. Selain itu dalam pembudidayaan rotan perlu diperkenalkan jenis-jenis rotan lain yang mempunyai nilai ekonomis; 9. Untuk meningkatkan gairah petani rotan perlu dilakukan prinsip kemitraan dengan industri-industri pengolahan rotan, sehingga dihasilkan produk-produk dalam bentuk setengah jadi yang dapat meningkatkan pendapatan petani rotan. 10. Perlu adanya kebijakan penyerapan rotan yang dihasilkan oleh petani/pemungut rotan oleh industri pengolahan berdasarkan harga SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 139

152 patokan yang ditetapkan pemerintah yang mengacu dari hasil perpaduan antara harga domestik dan harga ekspor, agar petani lebih sejahtera. Rangkaian kegiatan yang biasa dilakukan oleh setiap lembaga tata niaga atau rantai nilai merupakan acuan dalam memperoleh nilai tambah setiap lembaga tata niaga. Hal ini merupakan benang merah dalam pemanfaatan dan pemasaran rotan dalan skala perdagangan industri rotan, maka perlu melakukan hal-hal yang mendukung tujuan tersebut dengan beberapa saran, yakni : Ø Merevisi kebijakan larangan ekspor rotan yang akan diberlakukan terhitung Januari tahun Penghapusan larangan ekspor mentah dan setengah jadi yang dapat menggairahkan kembali industri rotan 1/2 jadi, khususnya di daerah-daerah produsen bahan baku rotan sehingga membawa pengaruh terhadap peningkatan minat petani untuk membudidayakan rotan dan harga rotan di tingkat pengumpul/petani rotan yang akhirnya terjadi peningkatan produktivitas. Ø Kebijakan penyerapan rotan yang dihasilkan oleh petani/pemungut rotan oleh industri pengolahan berdasarkan harga patokan yang ditetapkan pemerintah yang mengacu dari hasil perpaduan antara harga domestik dan harga ekspor Rantai Nilai dan Kelembagaan Sutera Alam di Sulawesi Selatan Persuteraan alam di Sulawesi Selatan dimulai pada sekitar tahun 1950-an. Dalam perkembangan persuteraan alam di Sulawesi Selatan, tercatat 3 periode yaitu: Periode Kebijakan Kerjasama Teknis Indonesia- Jepang ( ), Periode Kredit Usahatani Persuteraan Alam ( ) dan Periode Klaster Persuteraan Alam (2006-sekarang). ü Tahun Persuteraan alam di Sulawesi Selatan dimulai pada sekitar tahun an. Pada waktu itu tentara dari Pulau Jawa membawa bibit ulat sutera untuk dikembangkan khususnya di pedesaan. Pemeliharaan ulat sutera kemudian berkembang pesat karena selain kondisi agoklimat yang sesuai juga budaya yang menunjang dalam hal pakaian adat yang memakai bahan sutera. Produksi benang sutera mencapai puncaknya pada tahun 1971 dengan produksi sebesar 140 ton benang sutera. Kemudian setelah itu produksi menurun karena berbagai faktor. Salah satu penyebab adalah SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 140

153 meledaknya penyakit pebrine yang menyebabkan matinya ulat sutera dalam pemeliharaan. Pemerintah kemudian melarang penggunaan bibit lokal dan menganjurkan penggunaan bibit bivoltine yang diimpor. Pemerintah kemudian mengadakan kerjasama dengan Jepang (JICA) yang selanjutnya memberikan bantuan hibah berupa bantuan teknik yang ditempatkan di lima kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Enrekang, Soppeng, Wajo, Sidrap dan Gowa disertai dengan expert dari Jepang. Selain itu dari staf dari Indonesia diberi kesempatan magang ke Jepang untuk mempelajari teknis pembibitan ulat sutera, budidaya murbei, pemeliharaan ulat sutera dan pemintalan. Pihak yang terlibat antara lain Departemen Kehutanan dan Departemen Perindustrian. Pada kebijakan kerjasama teknik antara Pemerintah Indonesia dan Jepang yang terlibat dalam hal ini adalah Departemen Kehutanan dan JICA. Aktor yang terlibat antara lain Departemen Kehutanan, JICA, perguruan tinggi. ü Tahun Untuk mendorong pengembangan usaha persuteraan alam, sejak tahun 1997 Departemen Kehutanan telah menyediakan Kredit Usahatani persuteraan alam kepada petani yang dituangkan dalam SK Menhut No. 50/Kpts-II/97. Pengembangan Kredit Usahatani Persuteraan Alam dilakukan pada daerah pusat-pusat produksi benang sutera pada 20 kabupaten di 5 propinsi yaitu Sumatera Barat, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. Pemberian kredit diberikan dalam bentuk modal kerja dan sarana produksi dengan bunga yang sangat rendah yaitu 6 persen per tahun. Bantuan permodalan disalurkan oleh pemerintah melalui pihak ketiga atau mitra yaitu badan usaha yang prosesnya melalui penunjukan langsung oleh Departemen Kehutanan. Aktor yang terlibat dalam program pemberian bantuan kredit usahatani persuteraan alam antara lain Departemen Kehutanan, badan usaha sebagai mitra penyalur dan petani penerima. Dalam periode ini pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan meluncurkan program Kredit Usahatani Persuteraan Alam. Sasaran program ini adalah petani murbei dan pemeliharan ulat sutera. Proses pemilihan mitra kelihatannya tidak terlalu ketat karena dilihat dari pengalaman mitra yang seharusnya mempunyai pengalaman dalam pembinaan petani sutera. Pada masa ini SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 141

154 dikenal sebagai masa transisi dari orde baru ke orde reformasi dimana proses pengawasan tidak terlalu ketat dan Dana Reboisasi juga dipakai untuk kepentingan non-kehutanan seperti biaya pembuatan pesawat terbang. Bersamaan dengan program KUPA ini juga terdapat program lain seperti KUKDAS (Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai) dan KUHR (Kredit Usaha Hutan Rakyat) yang kondisinya sama dengan KUPA (Raswa, 2007). ü Tahun 2006 sekarang Dalam rangka pengembangan persuteraan alam di Indonesia, pemerintah mengeluarkan kebijakan peraturan bersama Menteri Kehutanan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah No. : P.47/Menhut-II/2006, No.:29/M-Ind/Per/6/2006, No.:07/Per/M.KUKM/VI/2006 Tentang pembinaan dan pengembangan persuteraan alam Nasional dengan Pendekatan Klaster. Pengembangan persuteraan alam dengan pendekatan klaster merupakan program yang melibatkan tiga departemen yaitu Departemen Kehutanan, Departemen Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan UKM. Pengembangan persuteraan alam selama ini sudah dilakukan oleh ketiga institusi hanya saja masing-masing berjalan dengan program sendiri-sendiri. Pada pola pengembangan ini pemerintah mencoba membuat kebijakan terpadu dalam satu pola yaitu pola klasterisasi. Aktor yang terlibat dalam program klaster persuteraan alam ini adalah Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Departemen Kehutanan mengurusi bagian hulu sedangkan Departemen Perindustrian serta Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mengurusi bagian hilir. Pada hulu persuteraan alam (ulat sutera) terutama di daerah Sulawesi Selatan terlihat ada 6 pihak yang terlibat yaitu: Litbang (Pusprohut), Perhutani, BPA Makasar, Petani, dan Importir. Grambaran dan peran parapihak tersebut terlihat pada Grambar 3.28 dan Tabel 3.45 berikut. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 142

155 Tabel Peran para pihak yang terlibat dalam pengembangan ulat sutera di Sulawesi Selatan PARAPIHAK PERHUTANI SOPPENG BPA MAKASAR BPDAS PS KELOMPOK TANI SWASTA (PAK MASALANGKA) LITBANG (PUSPROHUT) PERAN 1. Produksi telur 2. penyangga harga kokon dan benang 1. sertifikasi telur 2. pengawasan peredaran telur 3. pembinaan petani sutera Pengembangan lahan murbei 1. pemeliharaan ulat kecil (inti) 2. pemeliharaan ulat besar (plasma) 3. pemintalan benang Importer bibit cina 1. IPTEK 2. Material genetic unggul Grambar Pihak yang terlibat dalam pengembangan ulat sutera di Sulawesi Selatan Kebijakan klaster adalah kebijakan nasional persuteraan alam yang digeneralisasi pada semua wilayah. Namun ternyata kebijakan klaster ini tidak cocok diterapkan di Kabupaten Wajo karena pengusaha masingmasing mempunyai strategi dalam berusaha dan tidak bisa disatukan dan menganggap bahwa tiap perusahaan mempunyai rahasia perusahaan. Selain itu, pembentukan pokja hanya mengandalkan pengurus daerah dan SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 143

156 beban operasional seharusnya ditanggung pemerintah. Akibatnya kebijakan ini tidak berjalan baik di Kabupaten Wajo, padahal Kabupaten Wajo adalah sentra pertenunan sutera di Sulawesi Selatan Pembangunan Demplot HHBK Uji Multilokasi Murbei Pembangunan demplot ujicoba multilokasi penanaman murbei sebagai pakan ulat sutera dilakukan pada 2 lokasi yaitu Desa Cipetay Kab Sukabumi dan Desa Banjarwangi Kabupaten Garut. Berikut informasi pada masing-masing lokasi ü Demplot sutera di Desa Cipetay Kab Sukabumi, Demplot dibangun pada bulan Nopember Demplot ini menggunakan 5 (lima) jenis stek murbei murbei terdiri dari 5 jenis murbei hibrid hasil uji klon dan 1 (satu) jenis sebagai kontrol yaitu : a) Suli 01 (M. cathayana x M. amakusaguwa IV.12) (jenis 1) b) M. cathayana x M. amakusaguwa IV.10 (jenis 2) c) M. shiwasuguwa x M. tsukasugawa X.1 (jenis 3) d) M. australis x M. indica...(jenis 4) e) M. cathayana x M. amakusaguwa IV.1...(jenis 5) f) M. cathayana (kontrol).....(kontrol) Demplot dibangun dengan rancangan acak kelompok menggunakan 5 (lima) jenis stek murbei tersebut. Hasil pengramatan hingga 2014 memperlihatkan bahwa: - Murbei hibrid jenis 1 (SULI 01) dan jenis 2 (M. cathayana x M. amakusaguwa IV. 10) menunjukkan kandungan N hampir sama dengan kandungan N pada control (M. cathayana) yaitu rata-rata 3,00%. Produksi daun rata-rata kedua jenis murbei ini memiliki nilai yang tinggi yaitu mencapai 50,42 ton/ha/th. - Produksi daun jenis 1 (SULI 01) dapat mencapai 52,35 ton/ha/th dan jenis 2 (M. cathayana x M. amakusaguwa IV. 10) mencapai 48,49 ton/ha/th, lebih tinggi dibandingkan dengan M. cathayana sebagai kontrol, terdapat peningkatan produksi rata-rata sebesar 50%. - Jenis 4 (M. australis x M. indica) mempunyai perbandingan produksi daun dan ranting = 60,15 : 39,86, sedangkan kelima jenis yang lainnya hanya 60 : 40. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 144

157 - Murbei jenis 1 (SULI 01) dan jenis 2 (M. cathayana x M. amakusaguwa IV. 10) mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan sehingga perlu dicoba di daerah pengembangan sutera lainnya. ü Demplot Murbei Desa Banjarwangi Kabupaten Garut. Demplot dibangun pada bulan Maret Demplot ini menggunakan 5 (lima) jenis stek murbei terdiri dari 5 jenis murbei hibrid hasil uji klon dan 1 (satu) jenis sebagai kontrol yaitu : a) Suli 01 (M. cathayana x M. amakusaguwa IV.12) (jenis 1) b) M. cathayana x M. amakusaguwa IV.10 (jenis 2) c) M. shiwasuguwa x M. tsukasugawa X.1 (jenis 3) d) M. australis x M. indica...(jenis 4) e) M. cathayana x M. amakusaguwa IV.1...(jenis 5) f) M. cathayana (kontrol).....(kontrol) Belum bisa direkomendasikan jenis murbei yang adaptif untuk wilayah Garut karena tanaman baru berumur sembilan bulan tanam dan baru dilaksanakan pangkas pertama sehingga belum dilakukan pengramatan produksi daun Budidaya Tanaman Minyak Atsiri Potensial Demplot budidaya tanaman minyak atsiri potensial dibangun pada tahun 2012 bekerjasama dengan pemerintah daerah Kabupaten Pasaman Barat. Demplot ini sebagai wujud kerjasama dan berkolaborasi dalam optimalisasi budidaya tanaman penghasil HHBK terutama penghasil minyak atsiri mengingat Kabupaten Pasaman Barat merupakan sentra minyak atsiri. Alternatif jenis tanaman yang ditawarkan merupakan tanaman penghasil minyak atsiri jenis pohon yang bernilai ekonomi sehingga bermanfaat bagi masyarakat, namun tidak mengabaikan kepentingan lingkungan. Teknik pengelolaan hutan yang lestari dengan menggabungkan jenis pohon dan herba penghasil minyak atsiri yang bernilai ekonomis. Komoditas yang ditanam adalah penghasil minyak atsiri jenis pohon (pohon wangi (Melaleuca bracteata), kulilawang (Cinnamommum cullilawan) dan kilemo (Litsea cubeba)) dan penghasil minyak atsiri jenis herba ((nilam, kunyit, jahe). Penanaman dan tanggungjawab terbagi yaitu untuk jenis pohon menjadi tanggungjawab penelitian, sedangkan jenis herba menjadi tanggungjawab pemerintah daerah Pasaman Barat. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 145

158 Penanaman dilakukan pada 2 lokasi dengan spesifikasi kawasan hutan dan kawasan hutan adat. Lokasi demplot adalah kawasan hutan (Nagari Kajai Jorong Timbo Abu) dan kawasan hutan adat (Nagari Talu, Tabek Godang). Luas areal penanaman masing-masing 3 Ha dengan rancangan penanaman seperti terlihat pada Grambar Keterangan: warna hijau (tanaman kehutanan), warna Kuning (tanaman nilam), warna Biru (tanaman kunyit), warna merah (tanaman jahe) Grambar Pola penanaman demplot tanaman penghasil minyak atsiri Penanaman jenis-jenis minyak atsiri kelompok pohon (kulilawang dan pohon wangi) berhasil dengan baik dengan persen hidup rata-rata 71,68% pada kedua lokasi. Performa pertumbuhan yang terbaik untuk jenis pohon wangi (tinggi 163,59 cm dan diameter 3,31 cm) dan kulilawang (tinggi 76,42 cm dan diameter 0,72 cm). Penanaman jenis-jenis minyak atsiri kelompok herba tidak berhasil dengan baik karena pihak Pemda selaku penanggungjawab kegiatan melaksanakan penanaman pada waktu yang salah (musim kemarau). Akibat kegagalan penanaman jenis-jenis minyak atsiri kelompok herba maka tidak bisa diperoleh data rendemen minyak atsirinya Informasi kelembagaan usaha minyak atsiri di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat: terdapat 3 komponen pelaku (produsen (petani nilam/penyuling), pedagang/lembaga pemasaran yang terlibat dan konsumen/importir di luar negeri) dan 2 jalur pemasaran. Marjin keuntungan yang diterima petani cukup tinggi (89,7 %), marjin keuntungan dan marjin biaya yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga sebanding dan cukup rendah. Hal ini berarti sistem tataniaga minyak nilam di Kabupaten Pasaman Barat efisien. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 146

159 Rotan Jernang di Kawasan Hutan KPHP Model Boalemo merupakan salah satu KPH yang ada di Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Selama ini mengalami permasalahan tingginya pembalakan liar (penebangan kayu) serta kebijakan pemerintah daerah dalam mengembangkan jagung sebagai komoditas pangan andalan Provinsi Gorontalo yang menyebabkan masyarakat enggan untuk beralih atau menambah komoditas lainnya serta menambah perluasan penanaman jagung dengan merambah hutan di sekitar KPH di Gorontalo, salah satunya di KPHP Boalemo. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk memperkenalkan jenis-jenis tanaman lain yang berfungsi sebagai tanaman untuk pangan, papan, energy dan obat, sehingga masyarakat mendapatkan hasil tambahan selain jagung selain juga mengalihkan pembalakan liar. Salah satu nya adalah dengan melakukan introduksi jenis HHBK yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Untuk menentukan jenis yang akan dikembangkan di KPHP Model Boalemo perlu dipertimbangkan beberapa hal seperti: potensi yang ada di KPHP Boalemo, kondisi biofisik KPHP Boalemo serta permasalahan yang dihadapi. Alur pemikiran penentuan jenis yang akan dikembangkan dapat dilihat pada Grambar Berdasarkan pengramatan jenis yang bisa dikembangkan dan mengakomodir ketiga hal tersebut adalah rotan jernang (Daemonorops spp.) dan Massoi (Cryptocaria massoi). Jenis-jenis tersebut mempunyai nilai ekonomis tinggi yang bisa mengatasi permasalahan yag ada, dan potensi di KPHP Boalemo juga ada rotan namun belum ada jenis rotan jernang. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 147

160 Grambar Alur pemikiran penentuan jenis yang akan dikembangkan Rancangan pembangunan demplot disetujui oleh Litbang dan pihak KPHP Model Boalemo dan baru dimulai tahun Jenis yang disetujui adalah rotan jernang (Daemonorops spp.) dan Massoi (Cryptocaria massoi). Penanaman Massoi sudah dilaksanakan di Desa Ayuhulalo, Kec. Tilamuta, Kab. Boalemo pada areal seluas ±3 ha. Lokasi untuk penanaman rotan jernang merupakan hutan produksi yang ditumbuhi oleh Gmelina arborea, hasil tanaman rehabilitasi tahun Kegiatan penanaman rotan jernang akan dilakukan pada awal musim hujan tahun Pembangunan demplot dimulai dengan kegiatan pembibitan. Lokasi persemaian terletak di belakang kantor Dinas Kehutanan dan Pertambangan dan Energi Kab. Boalemo yang berada di daerah Tilamuta. Persemaiannya permanen dengan akses air yang mudah.. Gambar Rencana lokasi (a), Persemaian (b) SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 148

161 4.1. Sintesis per Komoditi Jenis Kayu Energi IV. SINTESA Kayu Energi jenis akor, pilang, turi, lamtoro, kaliandra Diperkirakan sedikitnya setengah dari tebangan kayu di dunia dipergunakan sebagai energi, baik untuk kebutuhan memasak maupun pemanasan. Pemanfaatan bahan bakar yang berasal dari kayu dilakukan pada jenis kayu yang mempunyai nilai jual rendah namun memiliki nilai kalor yang tinggi. Beberapa jenis pohon yang memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, sifat pertumbuhannya cepat, dapat regenerasi dengan trubusan dan memiliki daya adaptasi yang baik terhadap berbagai kondisi tempat tumbuh antara lain akor (Acacia auricoliformis A. Cunn ex Benth.), weru (Albizia procera(roxb.)benth.), dan kaliandra (Calliandra calothyrsus Benth.). Jenis-jenis tersebut bukan tergolong jenis penghasil kayu pertukangan atau pulp sehingga apabila dikembangkan tidak mengganggu kestabilan produk kayu energi yang ditargetkan akibat pengalihan dari pengusahaan kayu energi ke pengusahaan kayu pertukangan/pulp. Selain itu dengan penanaman skala luas jenis-jenis tersebut dapat berkontribusi positif terhadap pelestarian lingkungan dan pemulihan lahan terdegradasi, karena tergolong jenis legum yang dikenal dapat menjerap unsur nitrogen bebas. Pengembangan tanaman penghasil kayu energi perlu didukung dengan adanya penyediaan benih yang berkualitas, dimulai pencarian informasi perbenihan dan pembibitan tanaman. Hasil pengamatan terhadap pengembangan 6 tanaman penghasil kayu energi (akor, weru, kaliandra, pilang, turi dan lamtoro) bahwa ternyata siklus perkembangan tanaman enam jenis penghasil kayu energi terjadi antara rentang waktu 3-5 bulan (kaliandra, turi dan lamtoro) dan 6-8 bulan (weru, pilang dan akor). Fruit set (ratio buah/bunga) dan seed set (ratio biji/ovul) umumnya berkisar antara 6% - 40% dan 6% - 85%. Proporsi ovul yang berhasil diserbuki dan berkembang menjadi biji viabel (KRSP) berkisar antara 1% - 35%, semakin tinggi biji viable maka potensi produksi benih makin banyak. Tanaman weru berpotensi menghasilkan produksi benih paling BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 149

162 banyak, dan akor sebaliknya. Pengunduhan buah weru, pilang dan akor dapat dilakukan antara bulan Juli-September, sedangkan jenis kaliandra, turi dan lamtoro dapat dilakukan sepanjang tahun. Untuk menduga produksi buah secara optimal dan akurat, maka perlu dilakukan pengunduhan buah pada puncak panen serta kombinasi beberapa parameter yang diukur. Upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan biomassa dapat dilakukan dengan cara pemangkasan pada tanaman kayu energi. Dengan cara ini selain diperoleh produksi kayu, juga diharapkan tumbuh terubusan yang setelah beberapa waktu kemudian bisa berkembang dengan baik menjadi sekumpulan bahan energi baru yang siap diproduksi kembali tanpa kehilangan sumbernya. Begitu seterusnya, sehingga sumber energi ini selalu tersedia dan berkelanjutan. Hasil rekapitulasi dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Rekapitulasi data sifat dasar dan pemanfaatan jenis kayu energi Jenis Pemanfaatan hasil pangkas Kayu utuh (kg) Chip kering serpih (kg) Kadar air (%) Densitas (bj) Nilai kalor (cal) sifat dasar Riap (m 3 / ha/th) Produksi energi (gj/ha/ th) sifat energi Akor 31, ,5 baik Weru 1557,9 1008,7 0, ,5 baik Lamtoro 1432,6 996,88 0, ,5 baik Kaliandra , ,6 baik Turi 27,91 0, ,5 baik Berdasarkan hasil tesebut jenis kayu energy berada pada tahapan penanganan Intermediate yang terfokus pada aspek perbenihan dan pembibitan. Sementara itu kayu energi memiliki peluang untuk dikembangkan. Sejak tahun 2014 kayu energi telah menjadi komitmen semua pihak antara lain Dirjen Bina Usaha Kehutanan, Kementrian Kehutanan menyatakan bahwa pengembangan kluster kayu pertukangan dan pengembangan bioenergi di 50 unit dalam KPH atau sekitar 400 ribu ha. Hal tersebut dikuatkan lagi oleh BAPPENAS dan Kementerian Keuangan, bahwa pengembangan kayu energi terpadu perlu tertuang dalam RPJM BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 150

163 Pola pengembangan biomassa sebagai sumber energi dapat dilakukan dengan cara optimalisasi pemanfaatan limbah, pengembangan tanaman penghasil kayu bakar, pengembangan teknologi tepat guna olah biomassa, peningkatan efisiensi pemanfaatan biomassa serta pengembangan contoh terpadu berupa kebun energi Sagu (Metroxylon spp.) Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) merupakan salah satu tumbuhan monokotil dari genus Metroxylon dan famili Palmae. Sagu juga dapat didefinisikan sebagai jenis tanaman monokotil yang pembuluh kayu atau empulurnya berisi sebagai sumber penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan dengan beras, jagung, ubi kayu, pemanfaatan tepung pati sagu untuk keperluan pangan dan sumber bioetanol. Sagu (Metroxylon spp.) secara alami tersebar hampir di kepulauan Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Untuk mendukung target kebutuhan bioetanol pengembangan sagu di wilayah Papua, RPI HHBK FEMO menyediakan paket telaahan ilmiah dan teknis pengelolaan jenis HHBK FEMO meliputi aspek silvikultur intensif sagu (PIU) (pengendalian hama penyakit dan gulma, pemupukan, pola tanam) /Uji coba penanaman sagu, kuantifikasi empulur sagu untuk bioetanol di beberapa wilayah sebaran di Papua serta analisis Kelembagaan dan Tata Niaga Pemanfaatan dan Pemungutan Sagu di Papua Barat. Hasil penelitian menunjukkan sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat >70% dan bahan organik 30% ph 5,5 6,5. Sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar. Tanaman sagu tumbuh membentuk rumpun dengan umur tebang antara 6-8 tahun. Dalam satu rumpun terdapat pohon sagu dengan umur yang berbeda dan pada akhir masa tebang (MT) tanaman sagu akan mati dengan sendirinya. Hal ini memungkinkan tanaman sagu untuk BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 151

164 diusahakan secara berotasi untuk pengembangan diversivikasi produk olahan sagu dan sumber energy alternatif. Pengamatan karakteristik sagu (Metroxylon spp) umur 3 tahun 7 bulan pada demplot Balai Penelitian Kehutanan Manokwari seluas 1 ha di Desa Koyani Kecamatan Masni Kabupetan Manokwari terhadap 6 jenis sagu (antar, hawar, Noiin, huwor, makbon, yeriran) bahasa daerah Sereweng Waropen, menunjukkan pertumbuhan keliling berkisar 2-3,75 cm dan tinggi 2,8-3,75 cm. Hasil pertumbuhan ke enam varietas jenis sagu di demplot Sagu menunjukan pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan yang baik disebabkan bibit yang dibawa dari habitat alaminya merupakan bibit siap untuk di tanam, dan pemeliharaan dilakukan dengan baik, sehingga belum nampak hama dan penyakit yang yang mengganggu pertumbuhan tanaman sagu tersebut. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan di kawasan hutan sagu Kwadeware, Distrik Sentani, Papua ditemukan 3 (tiga) intra species sagu berduri (Yakari, Bata, Dondo) dan 2 (dua) intra species sagu tidak berduri (Yebha dan Ojokuru). Hasil survei potensi sagu diperoleh (Jenis/tipe Yebha mendominasi di setiap plot pewakil dengan FR = 29,127%; KR= 47,273% dan INP=76,4. Produktivitas kandungan kimia empulur untuk bioetanol per hektar jenis/tipe Yebha untuk BMT (belum masak tebang) dan MT (masak tebang) berturut-turut yaitu pati: 541,779 kg; 178,239, selulosa: 55,111kg; 18,131 kg, hemiselulosa: 18,052 kg; 5,939 kg (Suripatty, 2013). Mengacu pada target kebutuhan bioetanol tahun sebesar 1,48 juta KL, maka berdasarkan perhitungan Rostiwati et al., (2009) target tersebut sudah dapat dipenuhi dari pemanfaatan hutan alam sagu potensial yang ada (1,2 juta ha), sedangkan untuk pemenuhan target kebutuhan tahun-tahun berikutnya ( ; ) yang terus meningkat (2,78 juta KL; 6,28 juta KL) (ESDM, 2008) perlu ada dukungan melalui pengembangan hutan tanaman sagu seluas ha, dan periode berikutnya seluas 460 ribu ha. Bioetanol yang berasal dari sagu berbahan baku empulur (pati dan serat) membutuhkan teknologi berskala industri. Dengan demikian, pengembangan pemanfaatan sagu untuk bioetanol membutuhkan jaminan produktivitas (kuantitas dan kualitas) empulur sagu yang tinggi. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 152

165 Namun, tingginya variasi antar jenis dan luasnya sebaran tempat tumbuh sagu, yang menyebabkan bervariasinya kandungan pati dari setiap janis/tipe sagu. Sampai saat ini jenis sagu yang mengandung bioetanol tertinggi belum diketahui. Hal tersebut menimbulkan masalah dalam pengembangan sagu berskala industri seperti industri bioetanol. Di sisi lain rantai tata niaga sagu untuk kebutuhan bioetanol belum nampak di wlayah Papua, tata niaga sagu yang dilakukan saat ini hanya sebatas memenuhi kebutuhan lokal sebagai sumber pangan (tepung sagu basah). Dengan rantai tata niaga yang pendek dan tidak ada kelembagaan yang mengatur pemasaran sagu dapat menjadi hambatan dalam meningkatkan keberlanjutan produksi sagu dan kesejahteraan petani sagu. Dalam kondisi demikian tanaman sagu saat ini dalam tahapan penanganan komoditi intermediate, terfokus pada ekplorasi jenis sagu yang memiliki kandungan bioetanol yang tinggi dan budidaya intensif untuk meningkatkan kandungan bioetanol untuk meningkatkan produktivitas hutan dan manfaat ekonominya bagi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu perlu peningkatan kualitas sagu dengan pemuliaan untuk mendukung ketersediaan bahan baku energi alternatif melalui pengembangan demplot secara berkesinambungan Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Nyamplung merupakan tanaman multifungsi, namun pada penelitian di RPI HHBK FEMO fokus penelitian nyamplung untuk mendukung fungsinya sebagai sumber energi alternatif. Nyamplung dijumpai hampir di seluruh daerah terutama pada daerah pesisir pantai antara lain: Taman Nasional (TN) Alas Purwo, TN Kepulauan Seribu, TN Baluran, TN Ujung Kulon, Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, Kawasan Wisata (KW) Batu Karas, Pantai Carita (Banten), P. Yapen (Jayapura), Biak, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak (Wilayah Papua), Halamhera dan Ternate (Maluku Utara), TN Berbak (Pantai Barat Sumatera). Survey yang telah dilakukan (Jawa, Bali dan NTB), nyamplung umumnya ditemukan pada wilayah marginal ataupun di daerah dengan ketersediaan air tawar yang cukup. Air dan kelelawar menjadi media persebaran populasi nyamplung yang cukup dominan. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 153

166 Habitat nyamplung meliputi karakteristik tanah (pasir, liat, lempung, cenderung masam hingga cenderung salin), rentang ketinggian mdpl serta rentang kelembaban 58%- 90% serta rentang curah hujan mm/tahun. Fenologi pembungaan nyamplung dari bunga kuncup hingga bunga mekar berkisar 2 minggu 1 bulan, pembuahan berkisar 2-3 bulan. Berbuah sepanjang tahun dengan musim buah raya umumnya terjadi pada bulan Agustus-September. Model penduga produksi biji adalah Ln(P) = 1, ,4865 ln(d 1.30). Teknik perbenihan, pembibitan dan perkecambahan nyamplung terlah dikuasai, bahkan sampai ke tahap pemuliaan. Dalam budidaya nyampung ditemukan 10 (sepuluh) BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 154 jenis hama yaitu ; kepik pengisap pucuk, sejenis ngengat kecil (dua jenis), kumbang moncong, hama akar, ulat kantong (dua jenis), kutu putih, ulat penggulung daun, dan rayap, sedangkan penyakit yang ditemukan adalah penyakit embun jelaga, bercak daun dan blendok. Serangan hama dan penyakit pada tanaman nyamplung secara umum pada tingkat tidak membahayakan, namun demikian ada juga permasalahan penyakit yang apabila tidak dikendalikan akan mematikan tanaman nyamplung sebagai sumber biofuel. Pola agroforestry merupakan pola tanam yang direkomendasikan dalam pembangunan hutan rakyat Nyamplung dengan memperhatikan pemilihan jenis tanaman yang sudah dikenal dan cocok secara agroklimat. Berdasarkan studi kelayakan, pola agroforestri menunjukkan nilai kelayakan usaha yang lebih baik dengan nilai NPV, BCR dan IRR lebih tinggi monokultur. Kelapa, Sengon, Pisang, maupun jenis-jenis tanaman pertanian dan hortikultura dapat dibudidayakan bersama Nyamplung sehingga petani tetap memperoleh pendapatan rutin sambil menunggu pendapatan dari Nyamplung. Penanaman Nyamplung dapat memberikan kontribusi pendapatan berkisar 22,98% - 74% per tahun selama 50 tahun daur budidaya Nyamplung dari total pendapatan dari usaha hutan rakyat tergantung dari jumlah pohon Nyamplung yang ditanam dan pola agroforestri yang dilakukan. Setelah kelestarian bahan baku biji nyamplung terpenuhi maka, keberlanjutan operasioanal pabrik pengolahan biodisel menjadi sesuatu

167 yang penting agar industri BBN agar dapat lebih berkembang. Kelayakan pengolahan biodisel nyamplung perlu diperhitungkan untuk melihat layak tidaknya suatu usaha dilakukan. Berdasar hasil kajian analisa finansial terlihat bahwa pengolahan nyamplung menjadi biodiesel tidak layak karena memiliki nilai NPV Rp , BCR 0,44 dan IRR 12% pada kondisi optimal tingkat suku bunga 12%. Untuk meningkatkan nilai finansial biodiesel nyamplung, perlu dilakukan upaya-upaya yang dapat mereduksi besarnya biaya produksi. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya biaya produksi adalah sulitnya memperoleh bahan kimia pencampur. Metanol diperlukan dalam jumlah yang sangat banyak, namun ketersediaannya terbatas. Selain keterbatasan bahan baku pencampur, terdapat permasalahan antara lain : 1) Sumberdaya manusia (keahlian dan pemahaman proses produksi yang kurang mencukupi), 2) Kualitas biodiesel yang dihasilkan belum teruji, hal ini mempersulit pemasaran dan biodisel nyamplung masih belum diterima oleh masyarakat, 3) pasar biodisel masih sangat sedikit, 4) Pengelolaan limbah kurang optimal, dibutuhkan teknologi untuk mengubah limbah biodisel sehingga dapat digunakan kembali. Berdasarkan hasil penelitian, penanganan nyamplung berada di level intermediate, sehingga perlu upaya-upaya peningkatan kualitas agar menjadi advance. Upaya tersebut dilakukan melalui pemuliaan tanaman agar diperoleh spesies yang mampu menghasilkan bibit unggul, diversifikasi produk akhir sebagai sumber bahan baku obat yang dikelola secara berkesinambungan dan integratif Lontar (Borrassus flabellifer) Lontar (Borrassus flabellifer) adalah sejenis palem kipas, kirakira setinggi pohon nyiur, gemang lebih kurang 2 kaki dan makin tinggi makin ramping hingga kira-kira 1 kaki. Lontar tergolong tanaman HHBK multfungsi, semua bagian tanaman bisa dimanfaatkan. Gula lontar berperan penting sebagai bahan makanan di daerah Timor, sedangkan niranya bisa dimanfaatkan untuk pembuatan bioetanol khususnya alkohol medik. Buah muda merupakan bahan makanan, buah setengah tua bsa jadi makanan ternak alternatif, buah tua sebagai bahan baku pembuatan make up dan kecantikan (bahan lulur, dll). Batang tanaman BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 155

168 sebagai bahan baku membuat rumah dan meubeler, sedangkan daunnya untuk anyaman kerajinan. Tanaman ini dapat tumbuh baik di daerah dengan ketinggian antara m dpl, tidak membutuhkan persyaratan khusus untuk hidupnya, bahkan dapat tumbuh di lahan kritis sekalipun. Pengamatan fenologi pembungaan memperlihatkan bahwa bunga lontar tergolong bunga majemuk. Terdapat perbedaan antara bunga jantan dan bunga betina, jika bunga jantan tersusun di dalam tongkol maka bunga betina dalam bulir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembungaan lontar pada bunga betina berlangsung selama hari mulai dari muncul tandan sampai cabang (bunga) sebelum muncul buah, sedangkan pada bunga jantan berlangsung selama hari dari muncul tandan sampai fuji (bunga) kering. berlangsung selama 90 hari. Pembuahan lontar Berdasarkan hasil penelitian maka penanganan lontar pada tahap PRELIMINARY. Oleh karena itu penanganan lontar ke depan perlu difokuskan pada kegiatan pemuliaan, budidaya, penanganan pasca panen dan pengolahan Malapari (Pongamia pinnata L. PIERRE) Malapari (Pongamia pinnata L. PIERRE) dikenal juga dengan kranji (madura), kipahang laut (jawa barat), malapari (simeuleu), hatehira (ternate), butis, sikam (timor), bangkongan, kepik (jawa), mabai (bangka), marauwen (minahasa) dan nama internasional pongam, karanj, honge dan indian beach adalah tumbuhan multifungsi yang dikenal sebagai sebagai sumber energy dan dan minyak nabati non pangan. Nilai kalor yang berasal dari kayu bakar 19,2 MJ/kg dan kandungan minyak % dari berat kering bijinya. Bentuk pemanfaatan lainnya yaitu kayunya sebagai bahan bakar dalam memasak, sedangkan minyak yang berasal dari bijinya dimanfaatkan untuk penerangan. Selain itu minyak malapari digunakan sebagai pelumas, industri penyamakan kulit tradisional di India, pembuatan sabun, pernis dan cat. Malapari juga bermanfaat sebagai pupuk hijau yang berasal daun, bunga dan bijinya. Sedangkan daun dan bijinya digunakan sebagai pakan ternak. Bunganya bermanfaat sebagai sumber serbuk sari dan nectar yang baik untuk madu hitam/coklat dan pepagan bisa digunakan untuk tali. Ekstrak daun, BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 156

169 pepagan dan biji merupakan antiseptic untuk melawan penyakit kulit dan rematik. Biji yang telah dimemarkan dan dipanggang digunakan sebagai racun ikan. Tanaman malapari juga digunakan untuk reforestasi tanah kurang subur dan system akarnya yang ekstensif berguna dalam menahan erosi. Tanaman ini tumbuh baik pada tanah liat berpasir, tanah berpasir dan tanah liat yang bergumpal gumpal pada pada kondisi alkalin. Tumbuh alami di hutan dataran rendah pada tanah berkapur dan batu karang di pantai, sepanjang tepi hutan bakau, sepanjang aliran dan sungai pasang surut dan hidup bergerombol. Secara alami menyebar pada ketinggian antara m. Curah hujan tahunan yang dibutuhkan mm dengan musim kering 2-6 bulan. Pohon tumbuh cepat, dalam 4-5 tahun dapat mencapai tinggi m dan mulai berbunga dan berbuah. Ketika pertumbuhan awal tanaman muda cukup toleran terhadap naungan. Satu pohon malapari mampu menghasilkan 9 90 kg biji/tahun. Di Batu Karas, tunas generatif malapari terjadi pada bulan Maret-April dan berkembang menjadi bunga mekar pada bulan Mei yang berlangsung selama 5-7 hari. Tegakan alam malapari di Batukaras berumur kurang lebih dari 20 tahun mencapai diameter batang 21.53±6.7 cm dan tinggi pohon 6.36±1.4 m dapat memproduksi benih sebanyak 1,41±1,56 kg/pohon atau sekitar 2,0-3,3 kg/pohon. Produksi benih mempunyai korelasi negatif dengan diameter batang (P<0,05). Dengan demikian, peningkatan diameter batang akan diikuti oleh penurunan produksi benih. Hal ini dapat terjadi karena relatif dekatnya jarak tanam antar pohon yaitu 2,49 ±0,80 m. Benih malapari mempunyai kadar air yang cukup tinggi yaitu rata-rata berkisar 57,05% - 63,39%. Nilai rata-rata berat 1000 butir benih malapari berkisar 1.507,76 g 2.027,38 g. Perlakuan perkecambahan malapari yang terbaik adalah benih yang diturunkan kadar airnya dan diberi perlakuan direndam air selama 24 jam serta ditabur pada media bak terbuka. Perlakuan ini menghasilkan nilai daya berkecambah 100% dan kecepatan berkecambah 4,71%KN/etmal. Untuk mempertahankan viabilitas benih malapari dapat dilakukan teknik penyimpanan benih dengan menggunakan wadah BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 157

170 plastik yang disimpan selama 2 minggu dan dengan media arang sekam disimpan selama 3 minggu menghasilkan daya berkecambah mencapai 100%. Perbanyakan malapari dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif. Dalam pembibitan generatif, bibit malapari umur 5 bulan yang dinokulasi mikoriza 5 g dan pupuk NPK 0,5 g per bibit menghasilkan persen hidup 77,2 %. Sedangkan pembibitan vegetatif, penggunaan bahan stek asal anakan dengan ZPT IBA 500 ppm memberikan hasil yang tertinggi pada persen berakar yaitu 96,05%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penanganan malapari berada pada tahap Intermediate yang terfokus pada penanganan pembibitan, sedangkan kegiatan pemuliaan, budidaya intensif, penanganan pasca panen dan pengolahan belum dilakukan Food, Medicine and Others (FMO) Tanaman penghasil keruing (Dipterocarpus) Potensi sebaran keruing meliputi: Aceh Selatan (kawasan Hutan Adat Menggamat); Nias Selatan (kawasan IUPHHK PT. Teluk Nauli); dan Kalimantan Timur (Hutan Penelitian Labanan dan PT Hutan Sanggam Labanan Lestari). Jenis keruing menghasilkan resin yang berasal dari batang dan ranting keruing yang dilukai, namun tidak semua keruing (Dipterocarpus) menghasilkan minyak keruing. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan di Hutan Penelitian Labanan terdapat 6 jenis Dipterocarpus yang menghasilkan minyak keruing yaitu Dipterocarpus stellatus ssp parvus Ashton, D. palembanicus, D. verrucosus Foxw, D. confertus V.Sl, D. grandiflorus (Blco) Blco, dan D. cornutus Dyer. Sedangkan di lokasi PT Hutan Sanggam Labanan Lestari terdapat 1 jenis yang menghasilkan keruing yaitu D. palembanicus Slooten. Pasar keruing pada daerah Sumatera Bagian Utara tersedia dan dengan rantai yang cukup pendek, yaitu : Petani / Kelompok Tani à Pedagang Pengumpul à Pedagang Besar. Harga minyak keruing pada kondisi pasar saat sekarang adalah Rp. 150 ribu hingga Rp. 400 rb per kilogram. Satu kilogram keruing setara dengan berat 0,9 liter air. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 158

171 Kearifan dan pengetahuan lokal pengusahaan minyak keruing di Hutan Adat Menggamat di Kecamatan Kluet Tengah (Menggamat) Kabupaten Aceh Selatan, cukup rendah. Hal tersebut dipengaruhi antara lain: (a) Habitat. Produksi masih bergantung pada keberadaan pohon keruing di habitatnya dan sangat bergantung aksesibilitas menuju pohon. Walaupun potensi jumlah pohon ada, jika akses menuju pohon jauh maka kegiatan pemanfaatan tidak dilakukan. Pertimbangannya adalah topografi yang berat, yang menyebabkan tingginya biaya produksi; (b) Metode pemanenan/pemungutan hasil. Metode koakan yang sekarang dilakukan bukanlah berasal dari kearifan tradisional masyarakat setempat. Metode ini diperkenalkan oleh NGo (WWF) dalam upaya menekan kehilangan pohon (aspek konservasi) akibat metode tebang yang sebelumnya biasa dilakukan oleh petani pemungut. Metode tebang jelas merupakan metode yang dapat merusak karena menyebabkan pohon mati dan rusaknya habitat. Argumentasi yang paling mungkin untuk menerangkan masih tersedianya habitat keruing di hutan-hutan sekitar desa adalah topografi yang berat dan akses yang sulit (mahal) menuju pohon. Habitat-habitat yang masih menyisakan tegakan pohon keruing umumnya berada pada daerah yang bertopografi berat (kelerengan lebih dari 40%) dan jauh dari desa. Sehingga dalam hal ini, kearifan bukan didasarkan dari budaya dan perilaku pemanfaatan tapi lebih cenderung dipengaruhi adanya faktor pembatas topografi dan akses tersebut; (c) Produk sampingan/marginal. Potensi sumber daya alam di Menggamat cukup tinggi dengan keberagaman jenis yang besar. Diantara potensipotensi yang ada tersebut, Nilam adalah produk utama dan primadona bagi masyarakat desa. Selain untuk padi sawah, masyarakat lebih memilih mengusahakan budidaya Nilam pada lahan-lahan kebunnya. Sementara itu, kawasan hutan di sekitar desa memiliki keberagaman hasil hutan bukan kayu yang tinggi. Selain minyak keruing, hutan di sekitar desa juga menyediakan produk rotan, damar mata kucing, kemiri dan beragam buah-buahan. Masing-masing produk hasil hutan bukan kayu ini memiliki potensi ekonomi, namun pemanfaataannya bersifat komplemen dan penambah penghasilan. Pola pemanfaatan juga tergantung musim berbuah dan pasar; (d) Pengolahan produk menjadi BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 159

172 minyak keruing. Tidak ada usaha pengolahan yang khusus diperuntukkan untuk pengolahan hasil. Penyulingan yang dilakukan bersifat di tumpang kan pada alat penyulingan Nilam. Pola tumpang ini juga sangat bergantung pada musim suling, dimana penyulingan resin keruing hanya bisa dilakukan pada saat aktifitas penyulingan nilam tidak ada. Pengelolaan Keruing di Menggamat Aceh Selatan telah bergeser dan kemudian berinteraksi dan tercampur dengan dengan pengetahuan ilmiah formal. Pengetahuan tradisional yang pragmatis, dimana pemungutan dilakukan dengan metode tebang mulai bergeser pada metode koakan. Dalam pola perdagangan, pergeseran juga telah terjadi. Jual beli antara petani pengumpul dan pedagang besar yang sebelumnya dalam bentuk jual beli langsung (cash and carry) telah bergeser menjadi sistem kontrak. Dimana penentuan harga dan kuota telah dinegosiasikan terlebih dahulu, sehingga demikian, nilai tawar petani menjadi lebih kuat. Selama ini upaya budidaya keruing masih ditujukan untuk pemanfaatan kayunya. Maka informasi mengenai jenis ini masih terbatas pada penanganan tahap preliminary. Berdasarkan hal tersebut dapat disarankan bahwa pengembangan keruing untuk pemanfaatan minyak keruing dapat ditingkatkan dari preliminery menjadi intermediate, namun demikian pengembangan pengetahuan budidaya lebih disarankan untuk dilakukan di daerah lain yang mempunyai prospek lahan dan masyarakat dengan tingkat ketertarikan budidaya yang memadai. Faktor penghambat jika dilakukan di Menggamat antara lain adalah karena 3 faktor, yaitu a). terdapat produk tanaman lain selain keruing yang memiliki potensi ekonomi yang lebih tinggi (seperti Nilam dan damar), b). Faktor a menyebabkan animo untuk budidaya Keruing di lahan-lahan milik di sekitar pemukiman menjadi rendah. c). Jika dilakukan di lahan hutan menyebabkan biaya tinggi karena akses yang jauh dan topografi yang berat. Pengembangan di daerah lain menjadi mungkin karena pasar untuk minya keruing sangat tersedia. Memunculkan animo budidaya di daerah lain mempersyaratkan adanya kegiatan sosialisasi tentang pengelolaan minyak keruing. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 160

173 Tengkawang (Shorea spp.) Tengkawang (Shorea spp.) adalah nama buah dan pohon dari genus Shorea (jenis meranti) yang buahnya menghasilkan minyak nabati. Bila dibandingkan dengan biji dari meranti lainnya, biji tengkawang yang dipress mempunyai kadar minyak nabati paling tinggi. Pengolahan biji tengkawang menjadi minyak/lemak melalui tahapan pengupasan kulit buah, pengeringan biji, ekstraksi dan pemurnian. Karakteristik minyak/lemak tengkawang mirip dengan lemak coklat. Dengan demikian lemak tengkawang dapat digunakan sebagai bahan pengganti atau bahan pencampur lemak coklat yang harganya relatif lebih mahal. Penggunaan lemak tengkawang sangat luas mencakup industri kosmetika, industri farmasi, industri cat, industri pencelup dan sebagai baku cocoa butter substitute (CBS) untuk industri permen coklat. Jenis tengkawang yang bijinya mengandung lemak yaitu: Shorea macrophylla (tengkawang katuko), S. macroptera (tengkawang jantung), S. palembanica (tengkawang majau), S. stenoptera (tengkawang lelon). Namun yang S. stenoptera Burck merupakan jenis yang telah dikenal baik sebagai penghasil biji tengkawang yang telah diperniagakan secara luas, terutama untuk tujuan ekspor. Di Indonesia terdapat 13 jenis pohon penghasil tengkawang, di mana 10 jenis di antaranya terdapat di Kalimantan dan 3 jenis lainnya di Sumatera. Potensi tengkawang di Semboja Kabupaten Sanggau, Propinsi Kalimantan Barat berkisar antara pohon/ha dengan posisi tegakan tidak tersebar merata dan hanya terpusat pada beberapa titik, dengan jenis dominan adalah jenis tengkawang tungkul (tengkawang tungkul putih (S. macrophylla (de Vriese) P.S.Ashton) dan tengkawang tungkul merah (Shorea stenoptera Burck)). Untuk meningkatkan kualitas penanganan komoditas HHBK ini dilakukan juga pemuliaan dengan mempertimbangkan jenis yang menghasilkan kadar lemak tinggi serta jenis yang terancam punah. Oleh karena itu dilakukan eksploitasi di kalimantan Tengah (Bukit Baka), Kalimantan Barat (G. Bunga-Bekinci dan Sungai Runtim), serta Jawa Barat (Hutan Penelitian Haurbentes). Hasil eksplorasi tersebut memperoleh 4 jenis yang dimuliakan yaitu S.gysbertsiana,, S. pinanga BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 161

174 Scheff.) Miq.), Shorea macrophylla (tengkawang katuko), S. stenoptera (tengkawang lelon). Hasilnya menunjukkan bahwa jenis S.stenoptera mempunyai kadar lemak dan asam lemak bebas tertinggi dibandingkan jenis lain. Berdasarkan hasil tersebut, pengelolaan jenis tengkawang masih dalam penanganan secara intermediate. Untuk peningkatan penanganan pengelolaan jenis tengkawang perlu dilanjutkan ke tahap advance dengan peningkatan kualitas, diversifikasi dan daya saing produk dan pengelolaan secara berkelanjutan Rotan (Calamus sp) Rotan merupakan komoditas yang memberi kehidupan bagi sekurangnya 2 juta rakyat Indonesia yang umumnya tersebar di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Jawa., Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Namun wilayah yang mempunyai potensi rotan yang banyak adalah di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Berdasarkan potensi bahan baku tersebut, pemerintah telah menetapkan Sulawesi dan Kalimantan sebagai pusat pemasok bahan baku rotan untuk industri dan ekspor rotan asalan. Jenis-jenis rotan komersil yang terdapat di Kalimantan adalah 22 jenis, 4 diantaranya sudah dibudidayakan yaitu Rotan Taman/Sega (Calamus caesius), Rotan Irit (C. trachycoleus), Rotan Manau (C. manan) dan Rotan Pulut (Calamus sp.). Di Sulawesi terdapat 36 jenis rotan, 12 jenis diantaranya bernilai komersil. Rotan dari Sulawesi tergolong kualitas prima, sehingga memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan jenis rotan yang sama di luar Sulawesi, dan sangat dibutuhkan oleh industri meubel rotan untuk keperluan ekspor. Produksi rotan alamnya mencapai 60 persen dari produksi nasional. Untuk kebutuhan lokal, penyerapan bahan baku rotan oleh 20 industri kerajinan kecil dan menengah yang mengolah rotan sebanyak dua ton per bulan. Namun demikian potensi rotan dan kualitas yang dimiliki tidak secara langsung dapat meningkatkan kesejahteraan petani rotan. Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kontribusi rotan pada pendapatan petani adalah : 1. Kebijakan pemerintah dalam membuka tutup pelarangan ekspor dengan pertimbangan membela petani rotan atau membela industri BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 162

175 furniture rotan. Namun pada kenyataannya sejak tahun 1979, kebijakan penutupan ekspor tidak menghasilkan produk industri mebel dan kerajinan berdaya saing tinggi di pasar internasional, sehingga tidak berkontribusi nyata terhadap nilai devisa dari ekspor produk rotan walaupun posisi Indonesia sebagai penghasil utama rotan dunia. 2. Rantai tata niaga dari produk bahan mentah sampai bahan jadi panjang dan lintas wilayah yang menyebabkan biaya semakin tinggi. 3. Para petani dan pengepul rotan masih belum memperhatikan kualitas, akibat terbatasnya kemampuan pengolahan, dan rendahnya kemampuan menjalin jejaring/kerjasama antara petani, pedagang dan industri pengolahan rotan. Hal ini mengakibatkan pendapatan petani dan pengepul lebih rendah dibandingkan pelaku usaha lainnya. Kondisi ini berdampak terhadap penurunan minat petani baik dalam budidaya maupun pemungutan rotan. Salah satu upaya untuk pengembangan rotan di Indonesia diperlukan insentif petani rotan di dalam rantai perdagangan. Beberapa alternatif insentif yang perlu dilakukan, antara lain: 1. Insentif fiskal berupa tax deduction industri besar untuk membangun hutan rotan yang pada gilirannya mendorong pembangunan rotan; 2. Subsidi untuk petani rotan guna mendorong pembangunan penanaman/ budidaya rotan; 3. Adanya indirect incentives berupa kemudahan-kemudahan perijinan, baik di tingkat hulu (Departemen Kehutanan) maupun di tingkat hilir (Departemen Perindustrian dan Perdagangan); 4. Kemudahan-kemudahan akses masyarakat kepada tenurial system bagi petani rotan berupa perijinan yang jelas tentang jangka waktu sebagai dasar kepastian usaha dan operasional dengan menjabarkan PP 34 tahun 2002 untuk rotan : a. Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu; b. Ijin Usaha Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 163

176 5. Keikut-sertaan asosiasi yang bergerak di bidang rotan harus berperan aktif dalam mata rantai perdagangan dan pemasaran rotan dari hulu sampai ke hilir; 6. Pemerintah perlu menetapkan kebijakan yang terintegrasi dan holistik dalam pengembangan rotan, terutama yang berpihak kepada petani rotan; 7. Peningkatan pemberdayaan melalui pengembangan kelembagaan masyarakat dalam organisasi petani rotan yang berorientasi bisnis, sehingga mempunyai posisi tawar menawar (bargaining power) yang lebih tinggi; 8. Untuk meningkatkan nilai tambah, para petani rotan dilatih untuk meningkatkan keterampilan dalam bentuk magang (apprenticeship) ke industri-industri rotan. Selain itu dalam pembudidayaan rotan perlu diperkenalkan jenis-jenis rotan lain yang mempunyai nilai ekonomis; 9. Untuk meningkatkan gairah petani rotan perlu dilakukan prinsip kemitraan dengan industri-industri pengolahan rotan, sehingga dihasilkan produk-produk dalam bentuk setengah jadi yang dapat meningkatkan pendapatan petani rotan. 10. Perlu adanya kebijakan penyerapan rotan yang dihasilkan oleh petani/pemungut rotan oleh industri pengolahan berdasarkan harga patokan yang ditetapkan pemerintah yang mengacu dari hasil perpaduan antara harga domestik dan harga ekspor, agar petani lebih sejahtera. Alternatif insentif ini merupakan rangkaian kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap lembaga tata niaga atau rantai nilai sebagai acuan dalam memperoleh nilai tambah setiap lembaga tata niaga. Untuk mendukung tujuan meningkatkan nilai tambah tersebut terdapat beberapa saran, yakni : Ø Merevisi kebijakan larangan ekspor rotan yang akan diberlakukan terhitung Januari tahun Penghapusan larangan ekspor mentah dan setengah jadi yang dapat menggairahkan kembali industri rotan 1/2 jadi, khususnya di daerah-daerah produsen bahan baku rotan sehingga membawa pengaruh terhadap BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 164

177 Ø peningkatan minat petani untuk membudidayakan rotan dan harga rotan di tingkat pengumpul/petani rotan yang akhirnya terjadi peningkatan produktivitas. Kebijakan penyerapan rotan yang dihasilkan oleh petani/pemungut rotan oleh industri pengolahan berdasarkan harga patokan yang ditetapkan pemerintah yang mengacu dari hasil perpaduan antara harga domestik dan harga ekspor. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai rotan tergolong advance. Namun demikian disarankan untuk keberlanjutan bahan baku perlu upaya pengembangan jenis rotan potensial di tingkat masyarakat dan kebijakan pasar yang mendukung sehingga pada akhirnya mendorong terciptanya usaha kecil mandiri berbasis rotan Gemor (Nothaphoebe coriacea Kosterm) Tanaman gemor (Nothaphoebe coriacea Kosterm) yang hidup endemik Kalimantan Tengah pada lahan rawa gambut, memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dan menjadi salah satu jenis HHBK andalan masyarakat setempat ( indigenous tree species ). Pemanfaatan gemor oleh masyarakat adalah kulit kayunya sebagai bahan baku pembuat obat anti nyamuk, hio untuk upacara ritual keagamaan dan bahan baku lem atau perekat. Selain itu merupakan bahan baku industri dalam negeri dan eksport ke Taiwan, Jepang, Singapura. Berdasarkan hasil identifikasi terdapat 2 spesies yang dimanfaatkan masyarakat sebagai penghasil gemor yaitu Nothaphoebe coriacea (Kosterm.) yang memiliki kulit lebih tebal dibanding jenis Nothaphoebe cf umbelliflora). Gemor banyak terdapat di pulau Kalimantan, terutama di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yaitu tepatnya di Kab. Kapuas, Kodia Palangkaraya, Kab. Pulang Pisang serta Kab. Kuala Kurun. Gemor dapat dibudidayakan dengan bibit yang dibuat dari cara vegetative cangkok dengan menggunakan media campuran gambut dan kompos (1:1) menunjukkan hasil berakar paling baik dengan pembungkus berupa serabut kulit buah kelapa dan media tanah dengan pembungkus plastik transparan. Pada tingkat semai, anakan gemor BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 165

178 memerlukan cahaya yang relatif berat, tapi kemudian memerlukan cahaya lebih banyak dengan bertambahnya tingkat pertumbuhan. Gemor dapat tumbuh pada kondisi gambut dengan kesuburan tanah sangat rendah dengan ph berkisar 3-4, kondisi KTK yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah, dan kandungan Al dan Fe sangat rendah. Kegiatan budidaya gemor masih mengalami kesulitan sebab jenis ini mempunyai keberhasilan yang rendah saat dilakukan perbanyakan tanaman melalui stek batang, seperti umumnya jenis jenis tanaman di hutan rawa gambut lainnya. Ternyata hal tersebut karena karakteristik gemor yang mempunyai kandungan phenol yang relatif tinggi sehingga menjadi kendala pembentukan akar. Berdasarkan kandungan fitokimia dan hasil uji kromatografi pada bagian jaringan berpotensi sebagai bahan baku obat gemor, diketahui bahwa gemor Berdasarkan hasil tesebut masuk ke dalam PRELIMINARY yang mengarah pada konservasi genetik yang terancam punah. Selama ini pemanfaatan masih bersifat ekstraktif, perlu didorong kegiatan penanaman gemor (baik pemerintah dan masyarakat) dan upaya penyuluhan bagi masyarakat untuk mulai menanam di lahan pekarangan (domestikasi). Mengingat kandungan gemor dapat digunakan sebagai obat, perlu penelitian lanjutan uji farmakologi lainnya, sehingga nilai gemor semakin meningkat Lebah Madu Lebah madu merupakan HHBK hewani golongan serangga bersayap yang masuk dalam genus Apidae. Karakteristik kegiatan perlebahan terdiri dari 2 jenis, yaitu perburuan madu hutan dan pembudidayaan lebah madu. Apis sp. Jenis lebah yang memiliki sengat adalah Apis sp. Jenis yang diburu adalah A. dorsata, sedangkan jenis yang dapat dibudidayakan adalah A. cerana dan A. mellifera. Sebaran potensi lebah madu A. dorsata di Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuantan Singingi (Propinsi Riau); Sumbawa (Propinsi NTB) dan Kabupaten Kapuas Hulu (Propinsi Kalimantan Barat). Tumbuhan tempat hidup koloni lebah adalah kategori pohon sialang (Riau) dan pohon boan (Sumbawa). Sedangkan tumbuhan BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 166

179 tempat tumbuh koloni lebah di Kalimantan Barat yaitu Masung (Syzgium clauvifflora), Marbemban (Xanthophyllum sp), Putat (Baringtonia acutangula), Akar Libang (Monocarpus sp), Ringin (Dillenia beccariana), Kayu Taun ( Caraffia bractreaca), Ubah (Syzgium ducifolium), Kawi (Shorea belangeran), Laban (Vitex pinnata). Untuk budidaya A. cerana dan A. Mellifera dapat memanfaatkan potensi yang ada pada HTI, sebagai sumber bahan pakan lebah. Introduksi tanaman sorgum di areal HTI A. mangium dapat merangsang peningkatan kualitas dan kuantitas populasi lebah dan produksi madu Apis cerana yaitu peningkatan Crude Protein (CP), jumlah sisiran sarang serta produksi madu. Trigona Trigona spp. merupakan salah satu spesies dari suku Meliponini. Salah satu ciri dari Melioponini adalah kemampuannya menghasilkan propolis. Jenis Trigona yang dijumpai di alam Riau dan Sumatera Barat adalah Trigona itama dan Trigona airdiipenus. Trigona itama lebih memilih bersarang di rongga-rongga pohon, sedangkan Trigona airdiipenus lebih memilih bersarang di bangunan-bangunan yang beratap. Kandungan senyawa propolis bervariasi tergantung dari lokasi budidaya dan vegetasi pendukungnya. Budidaya Trigona itama tidak disarankan pada lokasi di atas ketinggian 500 m dpl, berkebalikan dengan Trigona minangkabau.manipulasi udara dan cahaya pada salah satu sisi stup meningkatkan produksi raw propolis. Propolis trap dari plastik streamin maupun plastik transparan juga meningkatkan produksi raw propolis. Jenis trigona yang dijumpai di Lombok, NTB adalah T. Clypearis dan T. Sapiens. T. clypearis menghasilkan rendemen propolis yang lebih besar (34-55%) dibandingkan dengan Trigona sapiens (3-24%). Banyak sedikitnya rendemen yang dihasilkan tergantung pada pakan yang dikonsumsinya. Pakan trigona yang teridentifikasi berdasarkan analisis vegetasinya ada 60 jenis vegetasi dari 497 jenis semua vegetasi yang ditemukan.propolis yang diproduksi oleh Trigona spp selama 6 bulan dari 19 stup adalah gr. Usaha budidaya Trigona spp secara ekonomi menguntungkan, karena dapat memperoleh keuntungan bersih 8x lipat modal awal. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 167

180 Berdasarkan data dan teknologi yang telah diperoleh menunjukkan bahwa penanganan komoditi lebah pada tahapan Advance dimana informasi potensi, sebaran dan teknik budidaya sudah diketahui, sehingga penelitian saat ini terus berupaya meningkatkan produktivitas melalui diversifikasi produk dan pengelolaan secara berelanjutan. Namun demikian untuk kesejahteraan masyarakat melalui produk lebah perlu dikenalkan berbagai produk sampingan lebah selain madu yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi sepeti beepollen, royal jelly, lilin lebah maupun propolis Sutera Alam Persuteraan alam mempunyai kegiatan yang panjang dan saling berkaitan, yaitu pengadaan pakan berupa kebun murbei, pengadaan bibit ulat/telur, pemeliharaan ulat, pengolahan kokon menjadi benang sutera dan penenunan kain sutera. Faktor yang mendukung keberhasilan pemeliharaan ulat adalah daun murbei yang berkualitas baik, bibit ulat sutera yang berkualitas tinggi, kondisi ruang pemeliharaan yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan ulat dan teknik pemeliharaan yang tepat, disamping factor budaya atau sifat/kebiasaan dari masyarakat. Faktor lain yang berpengaruh terhadap kurang berhasilnya pemeliharaan ulat adalah kurangnya wawasan yang dimiliki oleh para pelaku karena informasi yang ada tidak sampai, sehingga pelaku tidak terdorong untuk maju dan kurang motivasi untuk meningkatkan kemampuan. Juga factor pasar yang kurang jelas mengakibatkan para pemelihara ulat kurang berani melakukan kegiatan ini secara penuh sehingga kurang konsentrasi dalam kegiatan karena terpecah perhatian, Suli O1 merupakan jenis murbei yang adaptif ditanam di dataran rendah maupun tinggi. Jenis ini mampu menghasilkan kualitas kokon yang lebih baik dari jenis yang lainnya serta memiliki daya tahan terhadap hama penyakit. Bahkan jenis ini sudah dilaunching dengan Nomor: SK 793/MENHUT-II/2013 dan diaplikasikan di beberapa daerah pengembangan sutera antara lain Sulawesi Selatan (Wajo, Soppeng), Gorontalo, Menado, Garut, Cianjur, dan Sukabumi. Sedangkan rekomendasi jenis ulat sutera yang adaptif di dataran rendah adalah BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 168

181 hibrit ulat PS 01, ketinggian 500 m dpl adalah persilangan 804x921 serta ketinggian 700 m dpl adalah persilangan 804 x 102. Dalam kondisi ini penanganan produk sutra alam sudah dapat dikatakan Advance, sehingga diperlukan kebijakan yang mendorong daya saing produk sutera dalam negeri secara berkelanjutan. Perlu ada upaya pembinaan secara terintegrasi dalam mendorong aktivitas persuteraan alam mulai dari tingkat hulu sampai tingkat hilir dan pemasaran berdasarkan pendekatan Quality, Cost and Delivery (QCD). Pada tingkat hulu pengembangan budidaya ulat sutera diarahkan kepada pemanfaatan lahan yang lebih produktif dan teknologi budidaya yang tepat untuk menghasilkan kokon yang berkualitas tinggi agar mampu menghasilkan benang sutera yang bermutu tinggi. Pemerintah dan stakeholder serta dunia usaha lainnya diharapkan secara bersama-sama menentukan tingkat teknologi dan skala industri yang tepat serta memfasilitasi kebijakan kemitraan dan menciptakan iklim usaha yang kondusif Rotan Jernang (Daemonorops spp) Rotan jernang (Daemonorops spp) resinnya dikenal dengan nama darah naga atau dragon blood. Tanaman ini tumbuh secara merumpun atau berkelompok dan sulurnya tumbuh memanjat pada tanaman berkayu. Sampai saat ini telah diketahui terdapat 20 jenis rotan penghasil resin jernang yaitu Daemonorops draco, D. didmophyllus, D. mattanensis, D. micranthus, D. propinquus, D. ruber, D. draconcellus, D. micracanthus, D. motleyi, D. sabut, D. acehensis, D. brachystachys, D. didymophylla, D. dracuncula, D. dransfieldii, D. maculate, D. rubra, D. siberutensis, D. uschdraweitiana dan D. sekundurensis. Komponen utama resin jernang adalah draco resinolanol (56%), dracoresen (11%), draco alban (2,5%), asam benzoate, dan asam bensolaktat. Komponen kimia utama pada resin yang dihasilkan dari buah jernang adalah resin ester dan dracoresino tannol (57-82 %). Tanaman jernang memeiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Potensi budidaya jernang untuk 1 ha lahan (dengan asumsi ada 500 rumpun/ha, 1 rumpun ada 5 batang, 60% batang adalah betina, harga jernang Rp /kg) akan memperoleh hasil sebesar 225 kg/ha/th (dari panen raya sebanyak 150 kg/ha/th dan panen selang sebesar 75 BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 169

182 kg/ha/th). Sehingga akan dapat menghasilkan penerimaan sebesar Rp /ha/th atau Rp /bulan. Tingginya harga resin jernang yang berkisar Rp Rp /kg disebabkan manfaatnya yang penting bagi industry interior dan obat-obatan. Resin jernang memiliki kegunaan sebagai bahan pewarna keramik, pernis, marmer, kayu, bamboo, rotan, kertas, cat dan bahan lainnya. Selain itu digunakan sebagai obat tradisional yang berfungsi sebagai antiseptic, merangsang sirkulasi darah, anti mikroba, anti virus, anti tumor, obat luka dan lain sebaginya. Jernang juga mempunyai manfaat sosial, yaitu dengan menanam rotan jernang berarti melestarikan peninggalan nenek moyang (Puyang) mengingat rotan jernang merupakan tumbuhan asli masyarakat Jambi. Populasi rotan jernang di Jambi tersebar di Kabupaten Bungo, Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, kawasan Taman Nasional Bukit 12, dan kawasan hutan Kapas. Karakter habitat tempat tumbuh alami jernang meliputi: intensitas cahaya berkisar 50 55%, suhu tanah 23,4 31,9 ºC, ph tanah 5,5 6,2, kelembaban tanah 55 62%, suhu udara 23 29,40ºC, kelembaban udara 60 92%, dan ketinggian tempat m dpl. Jenis ini memerlukan curah hujan mm per tahun, sebab jika curah hujan di atas mm per tahun dapat menghambat pembungaan. Saat ini, rotan jernang di hutan alam sudah sangat sulit ditemukan, membutuhkan waktu 2 pekan untuk mendapatkan 1-2 kg jernang. Untuk mengatasi hal tersebut masyarakat Desa Lamban Sigatal dan Sepintun Jambi sudah melakukan budidaya jernang. Pengalaman masyarakat di Jambi, benih jernang yang dikecambahkan tanpa perlakuan dapat dikecambah dalam waktu setelah 3 bulan dan mulai berbuah pada umur 6-7 tahun, sedangkan di Sepintun sampai pada tahun ke tujuh belum menunjukkan tanda-tanda berbuah. Di sisi lain teknik budidaya (perkecambahan, pembibitan, penanaman, dan pemeliharaan), teknik pengolahan hasil melalui ekstraksi biji, data dan informasi kelembagaan dan tata niaga BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 170 telah dihasilkan melalui penelitian. Namun demikian hasil penelitian tersebut belum banyak diketahui dan dikembangkan oleh masyarakat secara luas.

183 Penelitian uji coba pembibitan yang menggunakan media limbah serbuk gergaji yang terdekomposisi menunjukkan tren yang lebih baik sebagai media sapih dibandingkan dengan tanah dengan menghasilkan daya hidup 100%, pertumbuhan tinggi sebesar 6,17 cm, jumlah daun sebanyak 5,83 helai. Upaya penanaman juga dilakukan dengan pembangunan plot uji penanaman rotan jernang di KHDTK Kemampo dengan jarak tanam 5 m x 3 m. Plot berada di bawah tegakan karet umur 10 tahun yang digunakan sebagai tanaman inang. Tegakan karet juga berfungsi sebagai penaung ketika bibit rotan masih muda. Media limbah serbuk gergaji yang terdekomposisi merupakan media sapih jernang yang disarankan. Hasil penanaman di plot uji memperlihatkan pertumbuhan yang baik dengan persen tumbuh 94,7-97,3 %, dengan pertumbuhan terbaik pada aplikasi pupuk tunggal P sebesar 80gr/pohon. Pengamatan yang dilakukan pada plot uji menunjukkan Hama yang berpotensi menimbulkan gangguan dalam budidaya rotan jernang adalah hama babi dengan luas serangan pada plot budidaya tahun tanam 2012 sebesar 29,5%. Rantai tataniaga rotan jernang menggambarkan proses pendistribusian rotan jernang dalam bentuk buah dari petani pemungut/pembudidaya sebagai produsen rotan jernang ke konsumen yang merupakan pedagang dan industri pengolah rotan jernang. Nilai tambah yang tercipta terdistribusi tidak seimbang antar pelaku yang terlibat yaitu 6,43% untuk petani pemungut/pembudidaya dan 25,36% untuk industri pengolahan buah jernang serta 44,29% untuk pedagang besar atau eksportir. Penerimaan nilai tambah yang relatif sedikit merupakan situasi yang bersifat dis-insentif bagi petani pemungut/pembudidaya rotan jernang. Akibatnya fluktuasi harga jernang rotan yang cenderung terus meningkat kurang berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani pemungut/pembudidaya rotan jernang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penanganan rotan jernang sudah pada tahapan Intermediate yang terfokus upaya budidaya, penanganan pasca panen dan pengolahan. Selanjutnya diperlukan penelitian yang terfokus pada input teknologi yang menghasilkan bibit BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 171

184 unggul cepat berbuah dengan produksi buah yang banyak dan bermutu baik Massoi (Cryptocarya sp) Massoi (Cryptocaria sp) sejenis pohon yang masih sekerabat dengan Kayu Manis merupakan tanaman berkayu yang menghasilkan minyak atsiri yang mengandung senyawa lactone. Bagian yang dimanfaatkan tumbuhan ini adalah kulit yang diekstraksi untuk menghasilkan minyak yang digunakan sebagai bahan jamu, obat cacing dan kejang perut. Pemanfaatan massoi oleh masyarakat lokal selama ini belum optimal karena bagian yang dimanfaatkan hanya kulitnya saja sementara kayunya dibiarkan lapuk dan membusuk, padahal pada bagian kayunya juga memiliki kandungan senyawa bahan aktif. Bagian pangkal teras kayu massoi memiliki senyawa aktif yaitu massoilactone dalam kadar lebih sedikit (78.56%) dibandingkan bagian ujung teras (78.74%). Senyawa massoilactone sendiri diketahui banyak digunakan pada industri makanan dan kosmetik sebagai flavouring agent dan juga digunakan sebagai obat penenang. Cryptoria sp menyebar di Indonesia tanaman paling banyak ditemui di Maluku dan Papua pada ketinggian mdpl. Namun populasinya di Maluku sudah sulit ditemukan, sehingga kebutuhan minyak massoi dunia saat ini 100% diperoleh dari Papua. Populasi massoi di Papua dapat dijumpai di wilayah kabupaten Nabire, Kaimana, Fak-fak, Merauke, Jayapura, Sarmi, dan Manokwari. Provinsi Papua Barat memiliki potensi dan penyebaran massoi cukup bervariasi, yang di pengaruhi oleh tingkat pemanfaatan dan faktor site (biofisik). Kabupaten Teluk Wondama: cenderung menyebar secara merata di seluruh kawasan hutan Teluk Wondama. Potensi terbesar berada di Wilayah Distrik Wamesa dan Wasior Barat. Kabupaten Teluk Bintuni merupakan wilayah potensial bagi pengembangan sentra produksi massoi dan sumber benih. Adapun Lokasi-lokasi penyebaran antara lain Bintuni (Naramasa, Botai), Kuri, Idoor, Farfurwar dan Tembuni. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 172

185 Pada wilayah Kabupaten Manokwari, potensi dan penyebaran massoi dapat diketahui berada pada lokasi-lokasi kampung di wilayah distrik antara lain Tahota, Sihu, Isim dan Horna. Pola pertumbuhan berkelompok dan menyebar secara partsial di hutan belukar, tumbuh pada tanah pasir maupun lempung yang tidak tergenang air. Berasosiasi dengan jenis tumbuhan lainnya terutama Pandanaceae dan mulai menyebar di hutan dataran rendah dengan ketinggian 10 m dpl hingga pada ketinggian ± 500 m dpl. Massoi tumbuh pada kondisi habitat relatif datar bergelombang ringan sampai sedang. Secara alami, kondisi optimum untuk penyebaran dan kuantitas individu (kerapatan) relatif lebih baik pada ketinggian m dpl dengan kelerengan %. Teknik pemanenan yang dilakukan dengan cara menebang pohon dan menguliti mengakibatkan tanaman ini semakin sedikit di habitatnya dan terancam punah. Hal tersebut akan memberikan dampak yang sangat merugikan dari sisi konservasi karena secara tidak langsung menyebabkan berkurangnya populasi Masoi di alam. Teknik budidaya Massoi pada umumnya menggunakan biji sebagai sumber benih, sementara dalam proses perkecambahannya membutuhkan penanganan yang cukup serius mengingat tingginya gangguan hama perusak biji dan intensias cahaya yang harus diperhatikan. Hama massoi terdiri atas hama buah (hama dari genus Coleoptera famili Scolytidae) dan hama penggerek daun anakan massoi di persemaian. Intensitas cahaya 50 % di duga merupakan kondisi yang relatif optimum bagi pertumbuhan bibit di persemaian. Wadah penyimpanan dan media tanam terhadap persentase tumbuh anakan massoi dimana diketahui wadah penyimpanan bibit massoi yang terbaik nilai persentase tumbuhnya adalah pelepah pisang, kemudian karung goni dan daun hutan. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan komoditi massoi masih dalam tahap penangan jenis preliminery yaitu aspek eksplorasi sebaran, potensi, identifikasi prospek pemanfaatan serta aspek konservasi genetik untuk HHBK terancam punah. Untuk selanjutnya penanganan BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 173

186 massoi perlu difokuskan pada budidaya intensif, pengaturan hasil agar kelestariannya terjaga, penanganan pasca panen dan teknik pengolahan Kratom (Mitragyna speciosa) Kratom (Mitragyna speciosa) adalah tanaman asli Asia Tenggara (Thailand, Malaysia, Myanmar, Burma). Kratom berada dalam keluarga yang sama dengan pohon kopi (Rubiaceae). Daun kratom telah digunakan sebagai obat herbal sejak zaman dahulu oleh bangsa-bangsa Asia Tenggara, yaitu digunakan sebagai stimulan (pada dosis rendah), sedatif (pada dosis tinggi), narkoba, pembunuh rasa sakit, obat diare, dan pengobatan untuk kecanduan opiat. Unsur aktif kratom (mitragynine dan 7-OH-mitragynine) telah diidentifikasi dan diketahui mengikat reseptor mu, delta dan kappa pada candu di dalam tubuh dan otak (mu candu merupakan reseptor yang mendasari efek menyenangkan dan adiktif opiat seperti morfin dan heroin). Daunnya dapat dikonsumsi dengan cara dikunyah, dibuat menjadi teh dan diolah menjadi bubuk. Tanaman ini memiliki rasa pahit karena mengandung senyawa alkaloid. Identifikasi sebaran di Papua baru mencakup wilayah Kabupaten Mamberamo Papua. Sebarannya di sekitar Kampung Dabra Distrik dan Sungai Furu, Mamberamo Hulu. Sebaran kratom terdapat pada daerah yang terkena pasang surut, kelembaban suhu tanah yang tinggi (74 90 %), berlumpur dan mampu tumbuh di atas genangan air (± 70 cm) seperti jenis bakau. Tingkat sebarannya kurang dengan pola mengelompok. Struktur populasi jenis Mitragyna speciosa menunjukkan struktur populasi yang tidak normal yaitu miskin jumlah individu pada tingkat pancang dan tiang. Penyebaran benih Mitragyna speciosa di Mamberamo banyak dibantu oleh air (hydrogamy) dan kelelawar (ornithogamy). Adanya keterbatasan informasi budidaya dan sebaran yang rendah menunjukkan bahwa jenis ktarum merupakan tanaman yang harus di konservasi. Kepentingan konservasi dititik beratkan pada semakin langkanya jenis ini di habitatnya dan pemanfaatannya yang digolongkan sebagai jenis penenang (narkotika). Informasi ini menunjukkan penanganan komoditi kratom pada tahapan preliminery yang mengarah pada konservasi genetik untuk HHBK yang terancam BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 174

187 punah. Perlu upaya budidaya lanjutan mengenai perbenihan dan pembibitan (pengadaan bibit) dan penanaman yang mempunyai karakteristik mampu tumbuh dalam genangan air Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) Kilemo (Litsea cubeba L. Persoon) termasuk marga Lauraceae dengan nama daerah Kilemo (Jawa Barat), Krangean (Jawa Tengah), dan Antarasa, Andaliman (Sumatera Utara). Jenis ini merupakan pohon penghasil minyak atsiri potensial, karena semua bagian pohon yaitu buah, kayu, kulit kayu, dan akar dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku minyak atsiri, berbau harum seperti baunya tanaman jeruk. Tumbuhan ini merupakan perdu pohon atau pohon dengan tinggi pohon 5 m - 15 m dan diameter batang sekitar 6 cm - 20 cm. Di Sumatera Utara tinggi pohon dapat mencapai ± 30 m dengan diameter ± 30 cm. Di Indonesia, kilemo tumbuh berkelompok di daerah pegunungan di seluruh Pulau Jawa pada ketinggian 700 m s/d 2300 m dari permukaan laut dan Kalimantan Timur pada ketinggian m dpl. Sedangkan berdasarkan hasil inventarisasi di kawasan Gunung Patuha, Kawah Putih, Ciwidey, Jawa Barat, secara alami tegakan Kilemo tumbuh pada titik kordinat 07 o S; 107 o T, dengan jumlah individu pada tingkat pohon sangat rendah karena banyak pohon kilemo yang ditebang masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian kilemo mampu beradaptasi pada kondisi tanah yang cenderung masam, kandungan bahan organik tinggi, tetapi kandungan N, P dan K cenderung rendah. Minyak atsiri kilemo banyak dibutuhkan untuk keperluan industri, seperti bahan kosmetik (aromaterapi), sabun, minyak wangi, pembersih kulit, obat jerawat, serta diyakini memiliki unsur karsinostatic (zat anti kanker). Berdasarkan hasil penelitian awal kandungan minyak atsiri yang dihasilkan dari daun berbeda dengan dari kulit batang. Kandungan minyak atsiri dari daun menghasilkan minyak yang mengandung sineol (56,61%), sitronellal (12,26%), alfa oinen (5,09%), dan beta pinen (5,29%), sedangkan dari kulit batang minyaknya mengandung sineol (13,29%), sitronelal (24,4%), dan limonena (19,34%). Berdasarkan hasil analisa kandungan minyak atsirinya, kualitas minyak atsiri kilemo dipengaruhi oleh 1) lokasi tempat tumbuh, BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 175

188 2) bagian organ tumbuhan yang diekstrak serta, 3) proses pengekstraksiannya. Penyulingan daun kilemo kering asal Sukabumi menghasilkan minyak atsiri sebanyak 7,9%, sedangkan hasil penyulingan selama 8 jam dengan metode kukus menghasilkan rendemen minyak daun (5,4%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan rendemen dari kulit batang (1,6%). Bentuk pemanfaatan kilemo dilakukan masyarakat dengan cara menebang dan menguliti kulit batang pada populasi hutan alam. Hal ini mengakibatkan jumlah individu pada tingkat pohon sangat rendah. Disisi lain kandungan sineol pada daun lebih tinggi dibandingkan kulit kayu. Oleh karena itu telah dilakukan upaya budidaya untuk meningkatkan produksi daun dan kandungan sineol dan sitronelal melalui tindakan pemangkasan dan pemupukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen minyak atsiri terbaik diberikan oleh perlakuan pupuk daun dengan dosis 3 gram yang dilarutkan dalam 20 liter air. vegetative. Perbanyakan bibit Kilemo dapat dilakukan secara generatif dan sudah masak fisiologis. Perbanyakan secara generative dilakukan pada benih yang Secara generative perlakuan skarifikasi dapat dilakukan dengan cara direndam dengan air kelapa selama 6 jam dan ditabur di dalam bak kecambah terbuka menghasilkan daya berkecambah (57,50%) dan kecepatan berkecambah (1,32%/etmal). Secara vegetative dapat dilakukan menggunakan stek dengan menggunakan atau tidak menggunakan zat pengatur tumbuh. Selain itu dapat melalui inovasi teknologi perbanyakan dengan penggunaan metode kultur jaringan. Perlakuan induksi perakaran dengan konsentrasi auksin IBA (dosis 1,25 mg/l dan 2,5 mg/l) menghasilkan pertumbuhan akar 100% dan pertumbuhan planlet bibit pada tahapan aklimatisasi dapat mencapai 77,5 %. Konsentrasi auksin IBA lebih tinggi (dosis 5 mg/l) akan menyebabkan ketidak berhasilannya pertumbuhan planlet. Pembibitan kilemo dengan menggunakan media tumbuh tanah + arang sekam padi 3:1 (v:v) dengan naungan 25 % memberikan pertumbuhan terbaik pada bibit umur 5 bulan, namun media perakaran stek kilemo yang terbaik adalah campuran cocopeat dan sekam padi. Selain itu inokulasi mikoriza pada media sub soil yang dikombinasikan BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 176

189 dengan pemberian pupuk P pada bibit kilemo umur 5 bulan menghasilkan peningkatan kolonisasi akar dan serapan unsure P, pertumbuhan tinggi, diameter, berat kering, persen hidup, TR ratio yang seimbang dan Indeks Mutu Bibit yang terbaik. Benih kilemo bersifat rekalsitran sehingga cepat mengalami penurunan daya kecambahnya dan tidak dapat disimpan lama. Untuk mengatasi masalah tersebut telah ditemui teknik penyimpanan benih dengan daya kecambah yang baik yaitu di dalam ruang dengan suhu kamar menggunakan wadah plastic menghasilkan daya berkecambah 52%, sedangkan jika disimpan di refrigerator dalam wadah plastik selama 12 minggu menghasilkan daya berkecambah 36%. Penelitian mengenai penanaman kilemo di Aeknauli memperlihatkan bahwa kilemo umur 3 tahun yang ditanam di bawah naungan yaitu dibawah tegakan ingul dan pinus menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan yang ditanam di tempat terbuka. Hal tersebut menunjukkan bahwa kilemo membutuhkan naungan pada pertumbuhan awalnya. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan jenis kilemo sudah berada pada sebagian tahapan Intermediate sehingga perlu keberlanjutan penanganan yang terfokus pada pemuliaan, upaya perlindungan tanaman, penanganan pasca panen dan pengolahan Ganitri (Elaeocarpus ganitrus ROXB) Ganitri (Elaeocarpus ganitrus ROXB) adalah salah satu jenis pohon asli Indonesia yang berkhasiat sebagai obat, sering juga disebut dengan nama daerah jenitri atau mata dewa. Di India dikenal dengan nama Rudraksa, dan di Amerika Utara Sum Bead. Salah satu khasiat ganitri adalah sebagai pelindung tubuh dari bakteri, kanker, dan pembengkakan. Indonesia saat ini sebagai pemasok 70% biji ganitri di dunia, Nepal 20% dan India 5%). Setiap tahun tidak kurang dari 350 ton biji ganitri di ekspor keluar negeri, terutama India dan Australia. Tanaman ganitri masyarakat luas dan mulai dikenal dan dikembangkan oleh banyak dijumpai di hutan rakyat, di kebun maupun pekarangan rumah di daerah Ciamis, Tasikmalaya, Cisarua (Jawa Barat) dan Kebumen (Jawa Tengah). BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 177

190 Masa berbunga dan berbuah pohon ganitri di Kebumen, Jawa Tengah berlangsung sepanjang tahun. Produksi buah ganitri dapat dihitung berdasarkan persamaan y = 0.396x Persamaan tersebut memiliki koefisien korelasi yang kecil sehingga variabel diameter yang diukur tidak dapat dijadikan variabel utama dalam menentukan produksi buah. Beberapa faktor lingkungan yang diduga mempengaruhi produksi buah adalah unsur hara, intensitas cahaya, umur fisiologis pohon serta perlakuan peneresan yang dilakukan pada pohon. Penelitian keberhasilan pertumbuhan telah dilakukan di Kebumen, KHDTK Cikampek, di Hutan Produksi Perum Perhutani Unit I, Jawa Tengah dan di KHDTK Sobang. Bibit yang digunakan pada lokasi Kebumen dan KHDTK Cikambek berasal dari biji dan grafting. Bibit dari biji berasal dari pohon induk di Kabupaten Tasikmalaya dan bibit secara sambung (grafting) berasal dari pohon induk di Kabupaten Cilacap. Perlakuan media tanam menggunakan 3 jenis pupuk kandang (sapi, ayam dan kambing) dengan dosis 2kg/tanaman. Hasil perlakuan pemupukan tidak memberikan perbedaan pertumbuhan yang signifikan dibandingkan dengan tanpa pemupukan. Sementara pertumbuhan ganitri umur 3 tahun yang mendapat perlakuan pemupukan NPK di Hutan Produksi Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter yang lebih baik dengan persen hidup mencapai 68,8% dibandingkan dengan di KHDTK Sobang yang hanya menghasilkan persen hidup 26%. Mengingat ganitri memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka perlu upaya mendukung kelestarian tegakan ganitri. Data dan informasi teknik perbenihan dan pembibitan telah dihasilkan. Hal ini menunjukkan penanganan jenis ganitri telah berada pada tahap Intermediate. Namun demikian penanganannya baru sampai tahap budidaya belum terfokus pada pemuliaan untuk mendapatkan bibit unggul, penanganan pasca panen dan pengolahannya. Oleh karena itu perlu melanjutkan penelitian penanganan jenis pada tahap Intermediate, yang akan berlanjut pada tahap penanganan advance yang meliputi peningkatan kualitas, diversifikasi dan daya saing produk dan pengelolaan secara berkelanjutan. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 178

191 Bambu Bambu merupakan HHBK multifungsi, mulai dari bahan pangan (rebung, bahan tusuk sate, tusuk gigi), bahan sandang, bahan papan (mebeler, arang bambu, partikelboard, asbes dan bambu lamina), pulp dan kertas. Jenis bambu yang terdapat di dunia diketahui sekitar ±1300 jenis, dan dari jumlah tersebut 143 merupakan jenis asli Indonesia. Tanaman bambu dapat dijumpai mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, dari pegunungan berbukit dengan lereng curam sampai landai. Telah diketahui jenis-jenis bambu yang sesuai untuk tipe iklim basah dan kering, jenis bambu di lahan yang basah dan kering serta jenis bambu berdasarkan peruntukannya. Hingga saat ini bambu belum dibudidayakan secara intensif. Pada prakteknya petani masih menggunakan teknologi yang sederhana. Namun berdasarkan hasil penelitian, budidaya bambu bisa dilakukan dengan pembiakan vegetatif dengan stek (batang, cabang dan rhizom). Pola penanaman juga tergantung pada ukuran bambu, jika bambu besar seperti bambu petung sebaiknya ditanam dengan jarak tanam 8 x 8 m, bambu berukuran seperti bambu tali ditanam dengan jarak 8 x 6 m. Model usaha aneka produk budidaya bambu yang memanfaatkan sumberdaya tegakan rumpun bambu masih menguntungkan, dengan jenis-jenis produk yang diusahakan adalah lidi tangkai dupa, bambu lamina dan kere. Produk lidi tangkai dupa Dapat diusahakan oleh industri kecil rumahan. Bahan baku yang digunakan jenis bambu bitung (Dendrocalamus asper) dengan umur tegakan batang > 5 tahun. Untuk menghasilkan kapasitas produksi 150 kg/hari membutuhkan areal tanaman bambu bitung seluas 3,9 ha dengan 832 tegakan rumpun. Bambu lamina Dapat diusahakan oleh industri menengah besar. Bambu lamina bisa diusahakan menggunakan jenis bitung dan petung. Bahan baku yang digunakan pada industri di Yogyakarta adalah jenis bambu bitung. Untuk memenuhi kapasitas produk 4m 3 /bulan membutuhkan areal BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 179

192 tanaman bambu bitung seluas 0,6 ha atau setara dengan 132 tegakan rumpun. Bahan baku yang digunakan pada industri di Bali adalah jenis bambu petung. Untuk menunjang usaha produksi bambu lamina yang lestari dengan kapasitas 360 m 3 /bulan harus didukung keberadaan areal penanaman bambu petung seluas 1,15 Ha. Kebutuhan bahan baku sangat tergantung pada karakteristik jenis bambu dan kondisi tempat tumbuh. Hasil pengamatan di Ciamis dan Malang memperlihatkan bahwa bambu petung yang berada di dataran tinggi (> 500 mdpl) mempunyai karakteristik batang berukuran besar. Kere Dapat diusahakan oleh industri kecil rumahan. Produk kere menggunakan jenis bambu tali (Gigantochloa apus) dengan umur tegakan batang > 3 tahun. Untuk memenuhi kapasitas produksi 30 lembar/bulan membutuhkan areal tanaman bambu tali seluas 1 ha dengan 275 tegakan rumpun. Hasil analisis kelayakan pengusahaan bambu jenis bambu temen (Gigantochloa pseudoarundinacae) dan bambu andong (Gigantoohica pseudoarundinacae) dengan luas 500 ha dan bunga efektif 10.95% maka pendapatan terdiskonto sebesar Rp ,-, biaya terdiskonto Rp ,-, NPV sebesar Rp ,-, BCR sebesar 2.30 dan IRR sebesar 32.30%. Ini mengindikasikan secara finansial pengusahaan hutan bambu ini adalah layak dan dapat dikatakan sangat menarik bagi investor untuk membangun hutan tanaman bambu dalam upaya pemenuhan bahan baku industri pengolahan bambu. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai bambu tergolong advance. Namun demikian disarankan untuk keberlanjutan bahan baku perlu upaya penanaman melalui demplot pengembangan jenis-jenis bambu potensial di tingkat masyarakat yang pada akhirnya mendorong terciptanya usaha kecil mandiri berbasis bambu. Upaya ini juga sebagai sarana penyebarluasan informasi jenis-jenis bambu potensial sesuai peruntukannya. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 180

193 Pewarna alami Zat pewarna alam umumnya diperoleh dari hasil ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji ataupun bunga. Di Indonesia ada sekitar 150 jenis yang menghasilkan warna alami, namun berdasarkan informasi dari Yayasan Pencinta Budaya Bebali (YPBB) ada sekitar 200 jenis tumbuhan yang bisa dimanfaatkan sebagai pewarna alami dan ada sekitar 65 jenis tanaman yang intensif digunakan sebagai pewarna alami. Warna-warna yang dihasilkan meliputi warna primer seperti merah, kuning dan biru serta warna sekunder seperti coklat, jingga dan nila. Kajian mengenai pemanfaatan tanaman sebagai pewarna alam telah dilakukan di Cirebon, Yogyakarta dan Pekalongan. Di daerah penghasil batik ini pewarna alam yang intensif digunakan diantaranya berasal dari tanaman perdu maupun pohon seperti mengkudu (Morinda critifolia) penghasil warna merah, Jati (Tectona grandis), jirek (Symplocos fasciculate Zoll) penghasil warna kuning, nangka (Arthocarphus integra) penghasil warna kuning, laban (Vitex pubescens) penghasil warna hijau, Jambe (Areca catechu) penghasil warna merah, Secang (Caesalpinia sappan) penghasil warna merah, Kasumba (Bixa orellana) penghasil warna orange, Biskucing (Mimosa piduca) penghasil warna hijau dan kuning, Tarum (Indigofera spp. penghasil warna biru dll. Untuk mendapatkan bahan baku pewarna alam terutama yang berasal dari batang dan kulit batang, para pengrajin batik dan tenun mendapatkan bahannya dari pasar-pasar tradisional, sedangkan dari daun mengambil dari pohon-pohon yang ada di sekitar halaman rumah. Namun salah satu jenis tanaman penghasil warna biru alami yaitu Indigofera spp. sudah mulai sulit didapat, karena belum banyak yang membudidayakan. Biasanya para pengrajin mengambil daun indigofera dari tanaman liar yang berada di tegalan atau pematang sawah. Di pasar sudah bisa dijumpai produk pewarna alami berupa serbuk dan pasta warna biru yang berasal dari tanaman Indigofera tinctoria. Produk-produk tersebut dijual dengan harga Rp Rp , per kg untuk jenis serbuk dan Rp Rp per kg untuk jenis pasta. Hasil pewarnaan kedua jenis produk pewarna biru tersebut bisa berbeda BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 181

194 tergantung kepada cara pengaplikasiannya. Selain itu, secara umum kualitas warna juga dipengaruhi oleh tempat tumbuh tanaman pewarna alami. Oleh karena itu saat ini telah dilakukan penanaman penghasil pewarna biru Indigofera tinctoria di dataran rendah pada ketinggian 1meter di atas permukaan laut di Pekalongan. Kegiatan penanaman ini masih dalam tahap pengamatan pertumbuhan. Jika pertumbuhannya baik maka hasilnya akan dilakukan ujicoba pewarnaan pada batik. Berdasarkan hasil kajian tanaman pewarna alami tersebut, penanganan jenis berada pada tahap preliminary, yaitu tahap mencari informasi tentang pemanfaatan tanaman pewarna pada batik maupun tenun. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian mengenai budidaya jenisjenis tanaman pewarna alami di beberapa tempat yang berbeda serta aplikasinya pada batik maupun tenun Mimba (Azadirachta indica JUSS) Mimba (Azadirachta indica JUSS) termasuk family meliaceae dengan nama daerah intaran dan mimba. Jenis ini tergolong HHBK multifungsi. Pohon mimba memiliki bunga yang biseksual dengan warna ungu guna memancing lebah yang diketahui dapat menghasilkan madu mimba yang sangat bermanfaat. Bijinya memiliki kandungan bahan aktif yang berfungsi sebagai pestisida, insectisida dan fungisida. Bungkil mimba (ampas pengepresan) juga ditemukan sangat baik sebagai bahan pembuatan pupuk dan untuk pemulsaan. Mimba merupakan salah satu tanaman HHBK potensial yang mampu beradaptasi di lahan kritis. Namun untuk mengoptimalkan pertumbuhannya diperlukan teknik manipulasi lingkungan Pengembangan mimba di lahan kritis seperti di Nusa Penida dan Sumbawa dilakukan dengan teknik: persiapan lahan tanpa bakar dengan babat habis (land clearing), dapat mengaplikasikan kombinasi antara hydrogel dan pupuk organik atau hanya menggunakan pupuk organik saja. Pupuk organik yang digunakan adalah 5 kg/lubang tanam, sedangkan hydrogel yang digunakan adalah 50 : 50 dengan tanah lapisan atas untuk tiap lubang. Minyak atsiri mimba umumnya dihasilkan dari daun. Rendemen minyak atsiri mimba di Lombok berkisar 1,88 23,3 % (Lombok Timur) dan 2,17 4,34 % (Lombok Utara). BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 182

195 Upaya pemuliaan mimba diawali dengan eksplorasi materi genetik pada populasi mimba : Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur), Madura, NTB, NTT, dan Bali (Bali Timur dan Bali Barat). Informasi keragaman kandungan azadirachtin dari beberapa lokasi di Jawa menunjukkan pada kisaran 0,06-0,59%. Plot uji provenan dibangun di Wonogiri (Jawa Tengah) seluas 2 ha dengan melibatkan 10 populasi, 4 blok, 8 plot (populasi), 25 treeplot dan jarak tanam 3x3 m. Pertumbuhan tanaman sampai dengan umur 1 tahun pada uji provenan Mimba di lapang belum menunjukkan penampilan yang stabil, sehingga belum menampakkan keragaman genetik antar provenan yang diuji. Berdasarkan hasil tersebut penanganan penelitian mimba tergolong intermediate. Penelitian silvikultur intensif masih perlu dilanjutkan agar diperoleh pertumbuhan mimba yang lebih optimal di lahan kritis. Selain itu, upaya pemuliaan untuk mendapatkan jenis mimba dengan kadar azadirachtin yang tinggi dan tahan di lahan kritis tetap perlu dilakukan Bidara laut (Strychnos lucida R.Br. / Strychnos lingustrina BL.) Bidara laut, yang dibeberapa tempat dikenal juga dengan nama songga, bidara pait, kayu pait, termasuk dalam family Loganiaceae dengan nama botani Strychnos lucida R.Br. atau Strychnos lingustrina BL. Bidara laut mempunyai sebaran alami di NTB (tepatnya di Kab. Dompu dan Kab/Kota Bima) dan Bali (kawasan Taman Nasional Bali Barat - TNBB). Tempat tumbuh bidara laut baik di NTB maupun Bali mempunyai karakteristik yang relatif sama (tipe iklim D, E dan F menurut pengelompokan iklim Schmidt-Fergusson, topografi dataran sampai dengan perbukitan dengan kemiringan lereng mulai dari landai sampai dengan curam, batuan permukaan relatif sedikit serta batuan singkapan sedang). Potensi permudaan jenis bidara laut sangat besar (semai dan pancang yang tumbuh rapat), namun di dalam habitatnya bukan merupakan spesies yang dominan walaupun mempunyai Indeks Nilai penting (INP) yang cukup besar. Strata tajuk dalam komunitasnya berkisar antara strata D (1-4 m) sampai dengan strata C (4-20m) dengan pola distribusi spasial mengelompok. Jenis yang mempunyai asosiasi dengan bidara laut adalah Laban (Vitex pubescens Vahl), Putian BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 183

196 (Symplocos javanica Kurz.), Serut (Streblus asper (Retzius).Louleira.), Talok (Grewia koordersiana) dan Walikukun (Shoutenia ovata). Bidara Laut merupakan salah satu produk HHBK potensial sebagai sumber bahan obat-obatan terdapat setidaknya ±40 jenis unsur kimia baik dari akar, batang maupun daun. Masyarakat memanfaatkan secara tradisional untuk mengobati penyakit otot dan persendian, malaria, kulit dan gangguan peredaran darah, sakit perut, mual, sakit gigi, darah tinggi, dan demam. Model prediksi produk kayu bidara laut yaitu Ƥ = -0, ,006 Diameter, dengan se 0,9% dan R2 77,3%. Jika melihat dari ciri fisiknya, benih bidara laut termasuk benih ortodoks. Benih yang baik untuk dikecambahkan mempunyai karakteristik : berasal dari buah yang berwarna kuning kemerahan, ukuran besar sampai sedang dan berat. Sedangkan untuk bahan stek batang sebaiknya memiliki diameter lebih dari 1 cm. Perkecambahan bisa menggunakan cara generatif dan vegetatif. Perkecambahan secara generatif mempunyai persen berkecambah hanya dibawah 80% sampai 3 bulan dikecambahkan dengan kecepatan berkecambah tergolong kecil (hanya 18 kecambah per minggu). Pembibitan secara vegetatif menggunakan pucuk dan batang. Periode berakar stek bidara laut mulai umur 13 minggu. Periode terbentuknya tunas/pucuk pada stek batang muncul pada umur 2-5 minggu. Berdasarkan hasil tesebut masuk ke dalam PRELIMINARY yang mengarah pada konservasi genetik yang terancam punah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian fenologi dan upaya budidaya bidara laut untuk mendapatkan teknik budidaya yang intensif (penanganan benih, pengadaan bibit dan penanaman) Cendana (Santalum album) Santalum album merupakan pohon penghasil kayu cendana dan minyak cendana. Kayunya digunakan sebagai rempah-rempah, bahan dupa, aromaterapi, campuran parfum, serta sangkur keris (warangka). Kayu yang baik bisa menyimpan aromanya selama berabad-abad. Di Sri Lanka digunakan untuk membalsam jenazah putri-putri raja sejak abad ke-9. Di Indonesia, cendana banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur, BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 184

197 khususnya di Pulau Timor. Bahkan sekarang mulai dibudidayakan di Jawa dan Bali. Saat ini populasi cendana di NTT sudah menurun sangat tajam, sehingga dikhawatirkan berpengaruh terhadap eksistensi cendana. Merosotnya populasi cendana di daerah sebaran alaminya disebabkan penebangan secara berlebihan dan tidak terkendali, tingginya pencurian, gangguan kebakaran dan penggembalaan liar, sedangkan keberhasilan penanaman rendah dan masih mengandalkan regenerasi secara alami. Status cendana saat ini tergolong jenis yang berisiko punah (vulnerable) dan masuk jenis Appendix II CITES. Untuk mengatasi permasalahan penurunan populasi dan produksi cendana maka perlu segera dilakukan upaya konservasi jenis yang masih tersisa. Salah satunya adalah dengan mengadakan pembangunan hutan tanaman cendana. Upaya konservasi eks situ cendana dilakukan oleh Badan litbang kehutanan melalui pembangunan demplot cendana di Situbondo, Jawa Timur pada tahun 2002 seluas 2,5 Ha dan di Gunung Kidul, DIY pada tahun 2003 seluas 2,5 Ha. Upaya konservasi in situ juga dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara di NTT pada tahun 2006, dan menghasilkan teknik budidaya cendana, namun keberhasilan penanaman cendana masih rendah < 50 %. Kayu cendana mempunyai tingkat permintaan yang tinggi di Bali sebab digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempat sembahyang. namun banyak yang tidak terpenuhi. Oleh karena itu dibangun plot Uji Coba Pola Tanam Jenis Cendana di Nusa Penida, Bali; wilayah yag mempunyai karakteritik seperti habitat asli cendana di NTT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan demplot (60%) sangat ditentukan oleh minat atau keinginan masyarakat, penguasaan teknologi, ketersediaan air, dan pola tanam yang tidak mengganggu usaha tanaman pangan. Pola tanam yang dinginkan adalah jaraknya tidak terlalu rapat (minimal 6 x 12 m atau 12 x 12 m) dan dilakukan sebagai tanaman penguat teras, sehingga aktivitas tanaman pangan masih bisa berjalan. Ketersediaan air didekati dengan melakukan penanaman di sekitar cubang (tempat penampungan air hujan). BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 185

198 Komoditi cendana masih dalam tahapan penanganan intermediate yang terfokus pada upaya meningkatkan adaptabilitas bibit di luar habitat alami. Untuk selanjutnya perlu difokuskan pada pengelolaan secara berkelanjutan sehingga mampu memenuhi kebutuhan pasar cendana di wilayah Bali Kemenyan(Styrax spp). Kemenyan adalah sejenis getah yang dihasilkan oleh pohon kemenyan (Styrax spp). Ada dua jenis kemenyan yang dibudidayakan di Kabupaten Tapanuli Utara dan sekitarnya, yaitu : hamija-on toba (Styrax paralleloneurum) dan hamijon durame (Styrax benzoin). Kedua jenis tanaman kemenyan ini termasuk ordo Ebenales, family Styraceae dan genus Styrax. Pohon kemenyan berukuran sedang sampai besar, diameter antara cm, dan tinggi mencapai m. Batangnya lurus, percabangannya sedikit, dan kulit batangnya berwarna coklat kemerah-merahan. Tanaman kemenyan berdaun tunggal, tersusun spiral, dan berbentuk oval, yaitu bulat memanjang dan ujungnya meruncing. Buah kemenyan berbentuk bulat, dan lonjong (agak gepeng); dan di dalamnya terdapat biji berwarna coklat. Tempat tumbuh kemenyan bervariasi, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi ( m dpl). Kemenyan tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang khusus, dapat tumbuh pada jenis tanah podsolik, andosol, lotosol, dan regosol. Dapat tumbuh pada berbagai asosiasi lainnya, mulai dari tanah yang bertekstur berat sampai ringan, dan tanah yang kurang subur sampai yang subur, dan mampu tumbuh pada tanah yang berporositas tinggi. Pohon kemenyan (Styrax benzoin) merupakan satu-satunya pohon dari famili Styraceae yang menghasilkan getah yang mengandung senyawa asam balsamat. Senyawa ini digunakan secara luas dalam industri parfum dan kosmetik. Getah kemenyan menjadi komoditi ekspor, namun masih dalam bentuk bahan mentah (raw material). Pemanfaatan kemenyan oleh masyarakat secara umum masih terbatas pemenuhan kebutuhan secara tradisional (industri rokok dan ritual). Padahal sebenarnya kemenyan mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi jika digunakan sebagai bahan baku dalam industri seperti parfum, BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 186

199 farmasi, obat-obatan, kosmetik, sabun, kimia dan pangan. Namun di Propinsi Sumatera Utara sebagai sentra produksi getah kemenyan, belum terdapat industri pengolahan kemenyan menjadi bentuk barang setengah jadi (semifinal goods) atau barang jadi (final goods). Getah kemenyan di Sumatera Utara masih mengekslporasi tanaman yang tumbuh liar di hutan. Upaya budidaya sempat dilakukan namun terkendala teknik penyediaan bibit. Pembiakan generatif yang dilakukan masyarakat mempunyai viabilitasnya rendah karena kulit biji yang keras dan sulit untuk dikecambahkan, sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan bibit dalam jumlah banyak. Oleh sebab itu dilakukan upaya perbanyakan secara vegetatif dengan stek. Perlakuan yang diberikan adalah pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) IBA pada umur stek berbeda. Bibit kemenyan umur 2 dan 4 bulan dapat dijadikan sebagai bahan stek dengan persen tumbuh masing-masing 71,40 % dan 83,54 %. Informasi fenologi di wilayah Pematang siantar telah diketahui yaitu mempunyai siklus reproduksi yang berlangsung selama 8 9 bulan mulai bulan Juni hingga Februari dari bakal bunga sampai buah tua. Pendugaan potensi produksi benih/biji antar kelas diameter pohon cukup bervariasi dan telah diperoleh Model penduga produksi buah kemenyan adalah log P = 3, ,42 log Dbh, dimana P = produksi buah (kg/pohon) dan Dbh = diameter setinggi dada (cm). Berdasarkan informasi teknologi pembibitan yang diperoleh diketahui bahwa penanganan sumber benih kemenyan pada tahap penanganan intermediete khususnya penanganan budidaya dan penanganan pasca panen untuk meningkatkan kualitas produksi sehingga mampu mencapai daya saing produk Sukun Sukun merupakan tanaman potensial yang dapat menjadi substitusi beras sebagai bahan pangan. Produksi sukun di Indonesia pada tahun terus meningkat dari ton menjadi ton dengan luas panen ha. Sentra produksi sukun adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I Yogyakarta, Kalimantan Timur, NTT, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan dan Jambi. Rata-rata BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 187

200 produksi buah sukun dapat mencapai buah/tanaman. Paling sedikit setiap tanaman dapat menghasilkan 25 buah dengan rata-rata buah per musim dan untuk setiap hektar lahan dapat menghasilkan buah sukun sebanyak ton. Sampai saat ini kebutuhan konsumsi buah sukun belum dapat terdata dengan baik. Namun dengan asumsi satu buah sukun dapat digunakan sebagai pengganti beras bagi 3-4 orang, maka produksi di Jawa Barat pada tahun 2000 yang sekitar kg atau kurang lebih sebanyak buah dapat dikonsumsi oleh jiwa dan ini setara dengan konsumsi beras ton. Potensi ini menarik untuk dikembangkan pada tipe lahan kering sebagai alternative sumber pangan. Upaya pengembangan sukun di lahan kering sebagai tanaman pangan alternatif dilakukan di Dusun Rincung, Desa Banyu Urip, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat. Lokasi penelitian merupakan kawasan hutan yang masuk dalam RTK 13 Marejebonga. Pada lokasi penelitian terdapat kegiatan pengembangan sukun seluas 10 hektar oleh Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Barat yang mulai penanaman sejak tahun Berdasarkan pengamatan secara fisik pertumbuhan sukun yang di tanam oleh Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat belum menunjukkan produksi buah yang baik. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengembangan sukun dengan metoda silvikultur intensive (silin). Pemupukan merupakan salah satu bagian dari kegiatan silin yang diujicobakan untuk meningkatkan pertumbuhan sukun dilahan kering. Jenis pupuk yang digunakan adalah mengandung phosphat. Sifat tanah tanpa pemupukan dan dengan pemupukan relatif sama dan masih dalam satu harkat, namun dari segi nilai P3 lebih tinggi dibanding P1 dan P2. Penambahan nilai yang paling drastis pada semua perlakuan adalah pada parameter K 20. Peningkatan harkat ada pada parameter P 20 5, dimana pada P1, P2 dan P3 semuanya naik satu tingkat. Hal ini wajar karena pupuk yang ditambahkan mengandung unsur P. Selain P 20 5, tekstur tanah juga mengalami perubahan harkat, yaitu dari agak kasar menjadi kasar. Namun demikian penggunaan pupuk pada pertumbuhan jenis sukun unggul tidak menunjukkan pertumbuhan yang baik dengan BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 188

201 tingkat keberhasilannya rendah<50%. Hasil analisis diketahui bahwa curah hujan selama tahun 2012 adalah 336,5 mm, jumlah hari hujan 60 dengan hujan maksimum 20,6 mm sedangkan minimum 0 mm, padahal curah hujan yang optimal untuk pertumbuhan sukun adalah mm. Curah hujan ini akan mempengaruhi pertumbuhan sukun. Hal ini menunjukkan lokasi penelitian tidak cocok untuk pertumbuhan sukun. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penelitian sukun telah pada tahap Intermediate terfokus pada budidaya intensive dan telah menghasilkan bibit unggul. Namun demikian jika dilakukan pengembangan untuk meningkatkan produkstivitas hasil maka sebaiknya dilakukan pada lahan dengan sebaran curah hujan optimum Pestisida Nabati Secara umum pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Karena terbuat dari bahan alami maka jenis pestisida nabati bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan hewan. Di Indonesia terdapat sekitar 2400 jenis tanaman (masuk dalam 235 famili) jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati. Ujicoba mengatasi serangan hama dan penyakit pada tanaman jabon menggunakan pestisida nabati dengan bahan dasar tanaman rimau. Rimau adalah tanaman berkayu dari marga Toona, suku Meliaceae yang multifungsi. Pohonnya berfungsi sebagai pemecah angin di perkebunan teh; pohon penanung di tepi jalan dan kayunya berkualitas baik untuk furnitur dan konstruksi. Selain itu, kulit dan akar sering digunakan sebagai ramuan obat untuk diare. Kulit dan buahnya dapat digunakan untuk minyak atsiri. Jenis hama dan penyakit yang dominan ditemukan pada tanaman jabon adalah hama kepik dari jenis Mictis sp. (Hemiptera; Coreidae), ulat pemakan daun dari jenis Parotis sp., Daphnis hypothous dan ulat kantong serta penyakit bercak daun. Ternyata ekstrak daun rimau dengan pelarut etanol lebih efektif menekan serangan hama kepik Mictis sp. dan memiliki efek antifeedant terhadap serangga hama ulat daun Parotis sp pada jabon; namun belum efektif menekan serangan penyakit jabon. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 189

202 Aplikasi jenis pestisida nabati yang berasal dari rimau, penanganannya masih dalam tahapan Preliminery, yaitu masih dalam tahap eksplorasi prospek penggunaan pada jabon. Perlu dilakukan eksplorasi dan aplikasi jenis-jenis pestisida alami lainnya untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia yang membahayakan lingkungan dan kesehatan Penghasil Minyak Atsiri Budidaya tanaman minyak atsiri potensial dilakukan dengan pembangunan demplot di Kabupaten Pasaman Barat. Hal ini dilakukan untuk menyokong Kabupaten Pasaman Barat sebagai penghasil minyak atsiri. Tanaman yang ditawarkan merupakan tanaman penghasil minyak atsiri jenis pohon yang bernilai ekonomi sehingga bermanfaat bagi masyarakat, namun tidak mengabaikan kepentingan lingkungan. Teknik pengelolaan hutan yang lestari dengan menggabungkan jenis pohon dan herba penghasil minyak atsiri yang bernilai ekonomis. Komoditas yang ditanam adalah penghasil minyak atsiri jenis pohon (pohon wangi (Melaleuca bracteata), kulilawang (Cinnamommum cullilawan) dan kilemo (Litsea cubeba)) dan penghasil minyak atsiri jenis herba ((nilam, kunyit, jahe). Penanaman jenis-jenis minyak atsiri kelompok pohon (kulilawang dan pohon wangi) berhasil dengan baik dengan persen hidup rata-rata 71,68% pada kedua lokasi. Performa pertumbuhan yang terbaik untuk jenis pohon wangi (tinggi 163,59 cm dan diameter 3,31 cm) dan kulilawang (tinggi 76,42 cm dan diameter 0,72 cm). Berdasarkan hasil analisa nilam sebagai penghasil minyak atsiri di Kabupaten Pasaman Barat ternyata terdapat 3 komponen pelaku dalam distribusi nilam yaitu produsen (petani nilam/penyuling), pedagang/lembaga pemasaran yang terlibat dan konsumen/importirdiluar negeri) dan 2 jalur pemasaran. Marjin keuntungan yang diterima petani cukup tinggi (89,7 %), marjin keuntungan dan marjin biaya yang dikeluarkan oleh pelaku tataniaga sebanding dan cukup rendah. Hal ini berarti sistem tataniaga minyak nilam di Kabupaten Pasaman Barat efisien. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 190

203 4.2. Rekomendasi Rekomendasi dari hasil penelitian RPI Pengelolaan HHBK FEMO adalah sebagai berikut: 1. hasil penelitian pada RPI Penggelolaan HHBK FEMO telah mengkaji 30 komoditas dengan rincian: 10 komoditas kayu energi (turi, pilang, akor, kaliandra, weru, lamtoro, sagu, nyamplung, lontar dan malapari); dan 20 komoditas pangan, obat dan lainnya food, medicine and others (penghasil keruing, tengkawang, rotan, gemor, lebah madu, sutra alam, rotan jernang, masohi, kratom, kilemo, ganitri, bambu, pewarna alami, mimba, bidara laut, cendana, kemenyan, sukun, pestisida nabati dan penghasil minyak atsiri) 2. hasil penelitian pada RPI Penggelolaan HHBK FEMO telah menghasilkan: ü ü ü ü Informasi Persyaratan Tempat Tumbuh jenis kayu energi dan 4 jenis HHBK FMO (bidara laut, keruing, masoi, kratom) Teknik silvikultur intensif jenis penghasil FEMO Informasi perbenihan: 9 jenis kayu energi (Weru, Pilang, Kaliandra, Akor, Lamtoro, Turi, Malapari, Nyamplung, Lontar) dan 3 jenis FMO (Ganitri, Kilemo, kemenyan) Teknik pembibitan: 7 Jenis kayu energi (Weru, Pilang, Akor, Kaliandra, Malapari, Turi, Lamtoro) dan 4 jenis HHBK FMO (Bidara laut, Ganitri, Kilemo, Kemenyan) Teknik silvikultur intensif : 5 Kayu energi (kaliandra, akor, pilang, weru, nyamplung, sagu) dan 12 jenis HHBK FMO (mimba, sukun, ganitri, sutera, Rotan jernang, Pestisida nabati,gemor, kilemo, kratom, masoi, cendana) Data kuantitatif produksi: 6 jenis kayu energi (nyamplung, kaliandra, akor, pilang, weru, sagu) dan 2 jenis HHBK FMO (mimba, lebah). Informasi pemanfaatan dan pola konsumsi FEMO : 5 jenis HHBK FMO (masoi, bidara laut, Keruing, Mimba dan zat pewarna) Informasi model keekonomian-finansial dan kelembagaan budidaya tanaman penghasil FEMO: 3 komoditas kayu energi (Nyamplung, kayu energi, sagu) dan 4 komoitas HHBK FMO (bambu rotan, madu, sutera alam) BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 191

204 ü Pembangunan demplot HHBK: 4 demplot dengan 4 jenis komoditas yaitu murbei, rotan jernang, kulilawang dan pohon wangi 3. Berdasarkan status riset yang telah dilakukan badan litbang maka penanganan komoditas HHBK dikelompokkan menjadi 3: ü Preliminary Status riset jenis-jenis yang masih dalam taraf preliminery adalah: penghasil keruing, gemor, masohi, kratom, pewarna alami, bidara laut, lontar. Umumnya merupakan jenis-jenis yang terancam punah. Untuk selanjutnya penanganan perlu difokuskan pada budidaya intensif, pengaturan hasil agar kelestariannya terjaga, penanganan pasca panen dan teknik pengolahan. ü Intermediate Status riset jenis-jenis yang masih dalam taraf intermediate adalah: jenis-jenis kayu energi (kaliandra, weru, pilang, akor, lamtoro, turi), sagu, nyamplung, malapari, tengkawang, rotan jernang, kilemo, ganitri, mimba, cendana, sukun dan kemenyan. Untuk selanjutnya perlu keberlanjutan penanganan yang terfokus pada pemuliaan, upaya perlindungan tanaman, penanganan pasca panen dan pengolahan. ü Advance Status riset jenis-jenis yang masih dalam taraf advance adalah: rotan, bambu, lebah madu, sutera alam. Penanganan komoditi HHBK yang lebih terfokus kepada peningkatan kualitas, diversifikasi dan daya saing produk dan pengelolaan secara berkelanjutan 4. Produktivitas HHBK pada semua jenis mengalami penurunan di habitat asalnya, sehingga perlu pengembangan pada wilayah-wilayah sebaran menggunakan teknik silvikultur intensif 5. Pada spesies HHBK yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dengan jangka waktu produksi yang lama, perlu segera dilakukan upaya pemuliaan. 6. semua jenis HHBK perlu dukungan teknologi pengolahan yang lebih efisien sehingga mempunyai nilai tambah produk tersebut 7. Demplot yang telah dibangun sebanyak 4 lokasi (sutera, minyak atsiri dan rotan jernang). Berdasarkan hasil evaluasi, perlu didorong komitmen pengembangannya agar dapat meningkatkan kemanfaatan bagi petani dan institusi pengembang. BAB 4 SINTESA SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO. 192

205 DAFTAR PUSTAKA Adinugroho, W.C Karakteristik Habitat dan Ekologi Pohon Penghasil Kulit Kayu Gemor (Ringkasan Hasil Penelitian). Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Ahmed, S. dan Idris, S Azadirachta indica A.H.L. Juss. dalam Proseabase. Faridah Hanum, I dan van der Maesen, L.J.G. (Editors). PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) Foundation, Bogor, Indonesia. Diakses 5 Januari 2011 Anas, I Biologi Tanah dalam Praktek. PAU Bioteknologi IPB. Bogor Ankarfjard, R. and M. Kegl Tapping oleoresin from Dipterocarpus alatus (Dipterocarpaceae) in a Lao Village. Eco Appanah, S. and J.M. Turnbull A Review of Dipterocarps: taxonomy, ecology and silviculture. CIFOR, Bogor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Metode Analisis Biologi Tanah. Badan Litbang Pertanian. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tengara Barat Sumberdaya Alam Spasial Daerah 2007 Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. Badan Litbang Pertanian Indigofera Sebagai Pakan Ternak. Editor: Ginting, S.P., Prawiradiputra, B.R. dan Balai Penelitian Tanah Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Juknis. Edisi I. Deptan. Jakarta. Basri, H.M Apa itu Hydrogel? Diakses 15 Februari url: Boer, E. and A.B. Ella Plant producing exudates. PROSEA No. 18. Bogor. BPK Mataram Analisis Usaha Tani Lebah Madu di NTB. Laporan Hasil Penelitian, Balai Penelitian Kehutanan. BPK Mataram Eksplorasi, Pemanfaatan dan Budidaya Kayu Songga Sebagai Bahan Obat Alternatif di Provinsi NTB dan Bali. Laporan Hasil Penelitian. BPK Mataram. Tidak dipublikasikan. BPDAS Kapuas Perkembangan Madu Hutan di Wilayah Taman Nasional Danau Sentarum. Pontianak Departemen Kehutanan Mengharumkan Kembali Cendana di NTT. Siaran Pers, Nomor: S.84/PIK-1/2009. Dinas Kehutanan NTB, Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun Mataram. Hasan Ekstraksi Propolis dari Lebah Madu Trigona Spp. ( Hasan et al Ekstraksi Propolis dari Lebah Madu Trigona Spp. ( SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO

206 Hasan, R.A Kajian Kelembagaan Pengusahaan Madu Hutan di Sumbawa. Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram.(Tidak dipublikasikan). Herawati, T Kajian Kelembagaan Produk Perlebahan. Laporan Hasil Penelitian. Puslitbang Peningkatan Heyne, K Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Jack Kratom (Mitragyna speciosa). Diakes tanggal 12 Februari 2010 pkl Jamilah Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan Kelengasan terhadap Perubahan Bahan Organik dan Nitrogen Total Entisol. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Kalshoven, L.G.E The Pest of crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Krell, R Value-Added Products from Beekeeping. FAO Agricultural Services Bulletin No Roma: FAO. Lawrence, B.M A review of the world production of essential oils (1984). Perfumer and Flavourist 10, Lewis, W.H Medical botany. Plants affecting man s health. John Wiley & Sons. New York. 350 p. Mahani., Rokim A.K., Nunung, N Keajaiban Propolis Trigona. Pustaka Bunda. Depok Mclaren, R.G. dan K.C. Cameron, Soil science. Sustainable production and environmental protection. New edition. Oxford University Press. Hal. 102, 209 Putri, K. P., S. Bustomi. Dan T. Rostiwati Kuantifikasi Produksi Buah Ganitri (Elaeocarpus Ganitrus Roxb). Laporan Putri, K.P., B. Leksono, E. Rahman Interaksi genotipe dan lingkungan pada pertumbuhan bibit nyamplung (C. Saridan, A., A. Kholik, A. Rachman dan A. Suprianto Eksplorasi potensi tegakan dan sebaran jenis pohon Shiva, MP. and I. Jantan Non timber forest product from dipterocarps. In: Apannah, S. and J.M. Turnbull (eds.). A Review of Dipterocarps: Taxonomy, Ecology and Sylviculture. Bogor: CIFOR.) Sulthoni Aspek Biologi Lebah Madu Sebagai Faktor Utama Pengembangan Budidaya Di Kehutanan. Prosiding. Sukito, A. Dkk Analisis Margin Tata Niaga Madu Alam Sumbawa. Balai Penelitian Kehutanan Mataram. Laporan Penelitian. Surata, I.K. dan M. Idris Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi Edisi Khusus Vol 5.No.5. Pusat Penelitian Biologi LIPI Sutarman, A Pedoman Budidaya Tanaman Nila. Pusat Penyuluhan Pertanian BPPSDP. Dirat Tan. Semusim SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO

207 Susila, IWW, Cecep Handoko, Retno A Laporan Hasil Penelitian Kuantifikasi Produksi Buah Nyamplung (CalopHyllum inophyllum L.) Bali dan NTB. BPTHHBK Mataram. Tidak dipublikasikan. Tewari, D.N Monograph on Neem (Azadirachta indica A. juss.). International Book Distributing. India Trubus EXO Propolis Dari Lebah Tanpa Sengat. Trubus Swadaya. Jakarta Ueda, T Research on Greening Technologies for Tropical and Arid Regions using Microorganism (VAM fungi). Unikal Daftar nama jenis dan bagian tumbuhan yang digunakan sebagai bahan zat pewarna alam. Universitas Wahyuni, N., Septiantina, D.R., Edi, K Teknik Produksi Propolis Lebah Madu Trigona sp Di NTB. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu. Mataram. Tidak dipublikasikan Wihermanto Dispersi Asosiasi dan Status Populasi Tumbuhan Terancam Punah di Zona Submontana dan Montana Taman Nasional Gunung Gede- Pangrango. Biodiversitas. Vol.5 No.1. Hal Wiyantono Bioaktivitas Ekstrak Biji Aglaia harmsiana Perkins (Meliaceae) terhadap Crocidolomia binotalis Zeller. Winrock International Azadirachta indica - neem, a versatile tree for the tropics and subtropics. Forest, Farm, and Community Tree Network, FACT Arkansas, USA. Wijaya, A., Ini dia getah termahal. Hal: Trubus 492- November Wulandari, B. J Peningkatan Usaha Ekonomi Tradisional Studi Kasus Petani Madu Hutan di Desa Nanga Leboyan Kapuas Hulu. Widya Riset, Yulita, K.S Sebuah tinjauan mengenai potensi Dipterocarpus (Dipterocarpaceae) sebagai tumbuhan obat dan aromatik. Prosiding Simposium Nasional II Tumbuhan Obat dan Aromatik. LIPI. Bogor. SINTESA HASIL PENELITIAN RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO

208 LAMBU SUMI 119 5' NGGELU 119 5' BAJOPULAU 7 55' ' ' Lampiran 1. Penyebaran jenis bidara laut di Kabupaten/kota Bima dan Dompu LABUHAN KANANGA 8 45' 8 20' 7 55' ' ' ' NANGAMIRO KADINDI PEKAT KAWINDANAE TAMBORA LABUHAN KANANGA SORINOMO BERINGIN JAYA LEGENDA : # Desa Jalan Kawasan Hutan : Batas Kecamatan KAWINDATOI KEC.TAMBORA DOROPETI Lokasi tegakan Songga Enklave Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Tetap UPT PIONG KEC. SANGGAR SANGIANG LASI K I W U SAMPUNGU MAWU HIDIRASA PIONG # UPT OITUI SAI # BORO NIPA WORA TAWALI MELAJU KEC. AMBALAWI KEC. DONGGO KOLO KORE PERS. KRAMAT KANANTA TOLOWATA # NUNGGI KEC. ASAKOTA KEC. WERA RORA KALA JATIBARU RITE BALA TALOKO UPT TAROPO PUNTI TALAPITI MBUJU JATIWANGI # PALAMA MELAYU TOLO KALO SANEO BAJO SARAE SANTI PAI KARAMABURA NTOBO NTOKE O'0 SUKA DAMAI LANCI JAYA MBAWA TANJUNG NAE MONTABARU DORIDUNGGA MONGGONAO KENDO TAA DODU NUSA JAYA BARA RADE PENATOI KEC. RASANAE TIMUR POJA KEMPO RASABOU PENARAGA KONTE KEC. RASANAE BARAT KOWO NDANO SADIA NUNGGA BALI # PARUGA RABADOMPU NOWA TAMBE BUNCU LAMPE RATO KANANGA # NGGEMBE SAMBINAE PARANGINA SONGGAJAH OO KATUA RABANGODU DORO MELO PANDA JIA KEC. SAPE MONGGO KUMBE SORO SORIUTU MADAPRANA DOROTANGGA BONTOKAPE RONTU MARIA BADA KEC. LEU BOLO NITU SANGIA DENA SONDOSIA RAI01 MATUA KANDAI DUA SIMPASAI NTORI # POTU KARIJAWA TALABIU SARI BELO NAE BANGGO # KAREKE TIMU SANOLO DONGGOBOLO DADIBOU TONGGORISA TEKE TETA PESA RIWO WAWONDURU MADA PANGGA KANDAI SATU RABAKODO BUGIS LEPADI MPURI SAMILI RABA BOKE KALEO RASABOU # NANGATUMPU TENTE DOREBARA PANDAI KALAMPA NTONGGU ROI WAWO NARU # NARU RANGGO CAMPA NISA KALODU SORO BELO NATA KUTA TARLAWI MBAWI RISA KELI TENGA LUNE RUPE WORO RENDA RUNGGU SAMBORI LANTA SIMPASAI MUMBU UPT. KEC. WOHA WOKO CENGGU BARALAU KARUMBU JAMBU SEKURU LIDO NGALI MANGGE # # NCERA KAWUWU KWANGKO ADU DORO O'O WAWORADA RATO MONTA UPT DORO O'O KANGGA PERS. CEMPI JAYA LAJU UPT WAWORADA SIMPASAI UPT LAJU SIE KANCA TANGGA RASABOU # KEC. MONTA LAJU PARADORATO SONDO DAHA WAWORADA TOLOTANGGA KEC. LANGGUDU KARUMBU HUU KARAMPI # PARADOWANE KUTA Sumber : 1. Peta RBI Skala 1: Survey lapangan Proyeksi : - UTM Zona 50S, Datum WGS84 - Geografi U Skala 1: SANGIANG KEC. LAMBU ' ' '

209 Melaya NEGA RA Br. D auhwaru Mendoyo Gerokgak Pekutat an Seri ri t Banjar Busungbi u Kampungsingar aja Pupuan SING ARAJA Sukasada Kubutam bahan Kloncing Batur it i Abang Petang Menanga Meli nggih Sulahan Duda Bebandem AMLAPU RA Pohgending K awan Br. Tegal lalang Br. BANG Kaw an Tembuku LI Subagan Basa Sidem en Bajer a Ulakan Br. Kem bangsari Ubud SEMA RAPUR A Br. M andung Sangging TABANA N GIA NYAR Dawan Br. Jagasat ru Br. Ser angan Blahbat uh Banjar angkan DajanTangl uk Karyadhar ma Jabaj ero Sukawati Tejakula Kint amani Kubu U Lampiran 2 Penyebaran bidara laut di kawasan TNBB, Bali Selat Bali Lampu merah # # # # # 100 # # # # # # # Teluk Kelor 150 # # # # Brumbun P. Menjangan Gilimanuk Cekik # # # # # 50 # # # # # # # # # # 100 # # # G. Prapat Agung 200 # # # # # 50 Sumber Klampok 300 # 50 # # # Teluk Trima # # # # # # # # # # # # # # 100 # 150 # # # # # # Labuan Lalang Kab. Buleleng 200 G. Penginuman LEGENDA PETA PROVINSI BALI # Sebaran jenis Songga Jalan Batas Kabupaten Km Kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) Kab. Jembrana Garis kontur SUMBER PETA - Peta RBI Skala 1: Peta Kawasan TNBB - Survey lapangan Areal yang dipetakan (TNBB)

210 Lampiran 3. Penyebaran jenis rotan jernang di Propinsi Jambi

211 Lampiran 4. Penyebaran jenis gemor di Propinsi Kalimantan Tengah

212 Lampiran 5. Penyebaran alami jenis nyamplung di Propinsi NTB

KONDISI SAAT INI RPPI 6. OBAT-OBATAN ALTERNATIF TANAMAN HUTAN

KONDISI SAAT INI RPPI 6. OBAT-OBATAN ALTERNATIF TANAMAN HUTAN RPPI 6. OBAT-OBATAN ALTERNATIF TANAMAN HUTAN Koordinator : Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA Wakil Koordinator : Dra. Lincah Andadari, M.Si Pembina : Prof riset. Dr. Nina Mindawati, M.Si KEMENTERIAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HHBK

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HHBK KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN LITBANG KEHUTANAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HHBK 1 Melaksanakan 2 RPI Lingkup Pusprohut RPI 10. Bioteknologi Hutan dan Pemuliaan Tanaman Hutan RPI 11. Pengelolaan HHBK FEMO

Lebih terperinci

Sintesa Hasil

Sintesa Hasil Sintesa Hasil 2010-2014 RPI PENGELOLAAN HHBK FEMO Penyusun : TIM HHBK Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTRIAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN BIDANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN

PENGEMBANGAN BIDANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN PENGEMBANGAN BIDANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN Disampaikan pada Rapat Koordinasi Teknis Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Balikpapan, 10-12 Juni

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN J A K A R T A

KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN J A K A R T A KEMENTERIAN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN J A K A R T A KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Nomor: SK.24/VIII-SET/2010 TENTANG PENETAPAN PENELITIAN INTEGRATIF

Lebih terperinci

KONDISI SAAT INI RPPI 6. OBAT-OBATAN ALTERNATIF TANAMAN HUTAN 6/10/2015

KONDISI SAAT INI RPPI 6. OBAT-OBATAN ALTERNATIF TANAMAN HUTAN 6/10/2015 RPPI 6. OBAT-OBATAN ALTERNATIF TANAMAN HUTAN Koordinator : Dr. Ir. Maman Turjaman, DEA Wakil Koordinator : Dra. Lincah Andadari, M.Si Pembina : Prof riset. Dr. Nina Mindawati, M.Si KEMENTERIAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

PELUANG PENGEMBANGAN HHBK PRIORITAS DAERAH DI WILAYAH KPH MODEL DI INDONESIA. TIM PENELITI HHBK DR. TATI ROSTIWATI, M.Si. YETTI HERYATI, S.HUT, M.Sc.

PELUANG PENGEMBANGAN HHBK PRIORITAS DAERAH DI WILAYAH KPH MODEL DI INDONESIA. TIM PENELITI HHBK DR. TATI ROSTIWATI, M.Si. YETTI HERYATI, S.HUT, M.Sc. PELUANG PENGEMBANGAN HHBK PRIORITAS DAERAH DI WILAYAH KPH MODEL DI INDONESIA TIM PENELITI HHBK DR. TATI ROSTIWATI, M.Si. YETTI HERYATI, S.HUT, M.Sc. PUSAT LITBANG PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN CISARUA,

Lebih terperinci

SINTESA RPI: AGROFORESTRY. Koordinator: Encep Rachman

SINTESA RPI: AGROFORESTRY. Koordinator: Encep Rachman SINTESA RPI: AGROFORESTRY Koordinator: Encep Rachman TARGET OUTPUT RPI 2012-2014 Sintesa Output 1: Paket Iptek pendukung peningkatan produk0vitas lahan dgn pola agroforestry berbasis kayu pertukangan Output

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan)

Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan) Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan) Teknik Pembibitan Generatif dan Teknik Penanaman Rotan Jernang Paket Iptek Silvikultur Intensif Page 87 Program : Penelitian

Lebih terperinci

27/05/2015. Bogor, 26 Mei 2015

27/05/2015. Bogor, 26 Mei 2015 Bogor, 26 Mei 2015 1. RPPI Sebagai Instrumen Program menjawab IKK 2. Skema dan Format RPPI 3. Aspek Integratif RPPI dan Kegiatan Multiyears 4. Problem Statement dan State of The Art 5. Lokus dan Fokus

Lebih terperinci

VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS

VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS VISI, MISI & SASARAN STRATEGIS BADAN LITBANG KEHUTANAN 2010-2014 V I S I Menjadi lembaga penyedia IPTEK Kehutanan yang terkemuka dalam mendukung terwujudnya pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan

Lebih terperinci

RPI 7 : PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN

RPI 7 : PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN RPI 7 : PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN Tujuan Menyediakan IPTEK peningkatan produktivitas hutan tanaman penghasil kayu pertukangan, kayu pulp dan kayu energi dalam mendukung kemandirian KPH Sasaran Tersedianya

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN 2012-2014 TUJUAN untuk merumuskan model agroforestry yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan aspek budidaya, lingkungan dan sosial ekonomi SASARAN

Lebih terperinci

HHBK, Potensi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan KUNJUNGAN DPRD BOALEMO KE KAMPUS BADAN LITBANG KEHUTANAN BOGOR, 3 JULI 2014

HHBK, Potensi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan KUNJUNGAN DPRD BOALEMO KE KAMPUS BADAN LITBANG KEHUTANAN BOGOR, 3 JULI 2014 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTRIAN KEHUTANAN HHBK, Potensi Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan KUNJUNGAN DPRD BOALEMO KE KAMPUS BADAN LITBANG KEHUTANAN BOGOR, 3 JULI 2014 OUTLINE

Lebih terperinci

KODEFIKASI RPI 12. Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu Fem (Food, Energy, Medicine)

KODEFIKASI RPI 12. Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu Fem (Food, Energy, Medicine) KODEFIKASI RPI 12 Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu Fem (Food, Energy, Medicine) LEMBAR PENGESAHAN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF (RPI) TAHUN 2010 2014 PENGELOLAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU FEM (FOOD, ENERGY,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dibidang kehutanan saat ini terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menjamin kelangsungan tersedianya hasil hutan, demi kepentingan pembangunan industri, perluasan

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG

TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG ASPEK : SILVIKULTUR Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Dr. Tati Rostiwati Judul

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Pohon Pemetaan sebaran pohon dengan luas petak 100 ha pada petak Q37 blok tebangan RKT 2011 PT. Ratah Timber ini data sebaran di kelompokkan berdasarkan sistem

Lebih terperinci

CAPAIAN OUTPUT DAN OUTCOME

CAPAIAN OUTPUT DAN OUTCOME CAPAIAN OUTPUT DAN OUTCOME BOGOR, 13 NOV NO Kegiatan Target Output Penelitian dan Pengembangan Produktifitas Hutan 1. Laporan Hasil Penelitian Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu 1.1 Studi Kebutuhan

Lebih terperinci

AREN (Arenga pinnata MERR)

AREN (Arenga pinnata MERR) AREN (Arenga pinnata MERR) Aren (Arenga pinnata MERR) adalah tanaman perkebunan yang sangat potensial untuk mengatasi kekurangan pangan. Tanaman ini mudah beradaptasi pada berbagai agroklimat, mulai dari

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015

TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 TASIKMALAYA 14 DESEMBER 2015 SIDIK CEPAT PEMILIHAN JENIS POHON HUTAN RAKYAT BAGI PETANI PRODUKTIFITAS TANAMAN SANGAT DIPENGARUHI OLEH FAKTOR KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUHNYA, BANYAK PETANI YANG

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI BPTPTH

STRUKTUR ORGANISASI BPTPTH BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI PERBENIHAN TANAMAN HUTAN (BPTPTH) Jl. Pakuan Ciheuleut PO BOX 105. Bogor-Indonesia 16001 Telp./Fax : +62 251 8327768 http: //www. bptpbogor.litbang.go.id STRUKTUR ORGANISASI

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN

SINTESA HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN REPUBLIK SINTESA HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI SERAT TANAMAN HUTAN Bogor, 13-14 Nopember 2014 Kegiatan Penelitian 2010-2014 RPI : Penelitian pengelolaan hutan tanaman

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG JATI PURWOBINANGUN 5/13/2016

LATAR BELAKANG JATI PURWOBINANGUN 5/13/2016 JATI PURWOBINANGUN LATAR BELAKANG Jati merupakan salah satu primadona hutan rakyat di Indonesia Estmasi hutan rakyat dengan jenis utama jati mencapai 1.2 juta ha dari 1.7 juta hutan jati di Indonesia (

Lebih terperinci

RPI dan RENJA 2015 Litbang Teknologi Pengolahan Hasil Hutan untuk Peningkatan Daya Saing Produk Kayu dan Bukan Kayu

RPI dan RENJA 2015 Litbang Teknologi Pengolahan Hasil Hutan untuk Peningkatan Daya Saing Produk Kayu dan Bukan Kayu RPI 2015-2019 RENJA 2015 Litbang Teknologi Pengolahan Hasil Hutan untuk Peningkatan Daya Saing Produk Kayu Bukan Kayu Bogor, 7 Agustus 2014 RPI 2015-2019 4 RPI 1. Sifat Dasar kegunaan kayu bukan kayu 2.

Lebih terperinci

KONDISI UMUM PERUSAHAAN

KONDISI UMUM PERUSAHAAN KONDISI UMUM PERUSAHAAN Sejarah Kebun PT. National Sago Prima dahulu merupakan salah satu bagian dari kelompok usaha Siak Raya Group dengan nama PT. National Timber and Forest Product yang didirikan pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan bertujuan untuk perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan masyarakat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

Cakupan bahasan. A. Status B. Progres C. Permasalahan

Cakupan bahasan. A. Status B. Progres C. Permasalahan KHDTK Carita Cakupan bahasan A. Status B. Progres C. Permasalahan status Landasan hukum : SK. Menhut No. 290/Kpts-II/2003 tanggal 26 Agustus 2003 Lokasi : Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Propinsi

Lebih terperinci

VISI : Menjadi Pusat Keunggulan IPTEK (Centre of Excellence) untuk Peningkatan Produktivitas Hutan dan Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari.

VISI : Menjadi Pusat Keunggulan IPTEK (Centre of Excellence) untuk Peningkatan Produktivitas Hutan dan Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari. VISI : Menjadi Pusat Keunggulan IPTEK (Centre of Excellence) untuk Peningkatan Produktivitas Hutan dan Mewujudkan Pengelolaan Hutan Lestari. 1 MISI : 1. Meningkatkan penguasaan dan kemanfaatan IPTEK peningkatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG Balai Besar CAPAIAN KEGIATAN LITBANG 10-14 CAPAIAN RENSTRA 10-14 B2PD 1. Pengelolaan Hutan Alam /sub kegiatan A. Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari 1) pembinaan/pengayaan intensif di hutan alam pasca

Lebih terperinci

Draft Rencana Pengembangan Integratif

Draft Rencana Pengembangan Integratif Draft Rencana Pengembangan Integratif Dewan Riset, 25 Agustus 2014 Definisi pengembangan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001, tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

KELAPA. (Cocos nucifera L.)

KELAPA. (Cocos nucifera L.) KELAPA (Cocos nucifera L.) Produksi tanaman kelapa selain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, juga diekspor sebagai sumber devisa negara. Tenaga kerja yang diserap pada agribisnis kelapa tidak sedikit,

Lebih terperinci

RPI 8: PENGELOLAAN HHBK

RPI 8: PENGELOLAAN HHBK RPI 8: PENGELOLAAN HHBK Masih mengandalkan WILD HARVEST padahal DATA POTENSI dan SEBARAN belum tersedia (PUSKONSER) TEKNIK BUDIDAYA BELUM DIKUASAI (PUSPROHUT) Tata kelola belum baik (PUSPIJAK) Rantai nilai

Lebih terperinci

Implementasi PUG Badan Litbang Kehutanan

Implementasi PUG Badan Litbang Kehutanan Implementasi PUG Badan Litbang Kehutanan Disampaikan oleh: Sekretaris Badan Litbang Kehutanan (Penanggung Jawab Pelaksanaan PUG Badan Litbang Kehutanan) Hotel Peninsula Jakarta 16 September 2014 OUTLINE

Lebih terperinci

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa 3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa Lahan basah non rawa adalah suatu lahan yang kondisinya dipengaruhi oleh air namun tidak menggenang. Lahan basah biasanya terdapat di ujung suatu daerah ketinggian

Lebih terperinci

Teknik silvikultur intensif di hutan alam bekas tebangan. Dampak penerapan sistem silvikultur terhadap perubahan lingkungan Hutan Alam Produksi

Teknik silvikultur intensif di hutan alam bekas tebangan. Dampak penerapan sistem silvikultur terhadap perubahan lingkungan Hutan Alam Produksi TUJUAN: MENYEDIAKAN IPTEK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN ALAM PRODUKSI UNTUK MENDUKUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN MENUJU TERWUJUDNYA KELESTARIAN HUTAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SASARAN: TERSEDIANYA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) merupakan upaya strategis dalam mengatasi permasalahan kelangkaan bahan baku industri pengolahan kayu domestik di Indonesia. Tujuan pembangunan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Lokasi penelitian terletak di dalam areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan (Kelompok Hutan Sungai Seruyan Hulu) yang berada pada koordinat 111 0 39 00-112

Lebih terperinci

Peluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013)

Peluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013) Peluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013) Muhammad Satriadi, S.P. Pengendali Ekosistem Hutan Pertama BPTH Bali dan Nusa Tenggara Intisari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua New Guinea (PNG),

Lebih terperinci

MENGGALAKAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SEBAGAI PRODUK UNGGULAN

MENGGALAKAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SEBAGAI PRODUK UNGGULAN MENGGALAKAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU SEBAGAI PRODUK UNGGULAN Hidayat Moko I. PENDAHULUAN Keragaman jenis tanaman hutan Indonesia sudah banyak diketahui manfaatnya, baik manfaat langsung (tangible) maupun

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi

Lebih terperinci

ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM

ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM ASPEK Agroforestry JENIS: BAMBANG LANANG GELAM Program : Pengelolaan Hutan Tanaman Judul RPI : Pengelolaan Hutan Tanaman Penghasil Kayu Pertukangan Koordinator RPI : Drs. Riskan Efendi, MSc. Judul Kegiatan

Lebih terperinci

Pbaik agar menghasilkan benih bermutu.

Pbaik agar menghasilkan benih bermutu. 3 Penanganan Benih Teknik Penanganan Benih Rekalsitran 11 25 Teknik Penanganan Benih Ortodok penanganan benih adalah proses penting yang harus dilakukan dengan Pbaik agar menghasilkan benih bermutu. Benih

Lebih terperinci

LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE. Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM

LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE. Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM LAND AVAILABILITY FOR FOOD ESTATE Oleh : MENTERI KEHUTANAN RI ZULKIFLI HASAN, SE, MM Jakarta Food Security Summit 2012 Feed Indonesia Feed The World Jakarta, Selasa, 7 Februari 2012 I. PENDAHULUAN Pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki potensi sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup besar dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional. Penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI

PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI SINTESIS RPI 4 PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DAN Koordinator Endro Subiandono Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor, 2015 Luaran RPI-4 dan Strategi Pencapaiannya Melalui berbagai Kegiatan Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu dalam penyediaan

Lebih terperinci

Koordinator: Enny Widyati

Koordinator: Enny Widyati Koordinator: Enny Widyati Penelitian Bioenergi sudah banyak dan sudah lama dilakukan di INDONESIA tetapi Masyarakat & industri masih menggunakan BBM. Tingkat ketergantungan terhadap BBM fosil masih tinggi

Lebih terperinci

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI

II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI II. IKLIM, TANAH DAN WILAYAH PRODUKSI 2.1. Iklim Ubi kayu tumbuh optimal pada ketinggian tempat 10 700 m dpl, curah hujan 760 1.015 mm/tahun, suhu udara 18 35 o C, kelembaban udara 60 65%, lama penyinaran

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam menyumbangkan pendapatan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan kondisi alam dan luas areal lahan pertanian yang memadai untuk bercocok tanam.

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan hutan terutama pemanenan kayu sebagai bahan baku industri mengakibatkan perlunya pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang lestari. Kurangnya pasokan bahan baku

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) TINJAUAN PUSTAKA Definisi Hutan Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undangundang tersebut, hutan adalah suatu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN Suwarno Asisten Direktur Perum Perhutani Unit 2 PENDAHULUAN Perusahaan Umum (Perum) Perhutani Unit 2 berdasar Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2010 mendapat

Lebih terperinci

ASPEK LAHAN DAN IKLIM UNTUK PENGEMBANGAN NILAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

ASPEK LAHAN DAN IKLIM UNTUK PENGEMBANGAN NILAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM ASPEK LAHAN DAN IKLIM UNTUK PENGEMBANGAN NILAM DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Rosihan Rosman dan Hermanto Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat ABSTRAK Nilam merupakan salah satu komoditi ekspor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Luas daratan Indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH

PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH LAMPIRAN 7 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.1/Menhut-II/2009 Tanggal : 6 Januari 2009 PROSEDUR SERTIFIKASI SUMBER BENIH A. Identifikasi dan Deskripsi Calon Sumber Benih 1. Pemilik sumber benih mengajukan

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU

TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU TEKNIK BUDIDAYA GAHARU SERTA PERAN NYATA PENYULUH KEHUTANAN DALAM BUDIDAYA GAHARU Oleh : Firmansyah, S.Hut, M.Si Penyuluh Kehutanan Ahli Pusat Penyuluhan BP2SDM Berdasarkan sifat fisiologis jenis-jenis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan pangan terus menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup manusia. Peningkatan jumlah populasi dunia, peningkatan suhu bumi yang disebabkan efek pemanasan global,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

Dialog Mingguan, 10 Agustus 2015 Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi BADAN LITBANG DAN INOVASI MENJAWAB TANTANGAN TERKINI

Dialog Mingguan, 10 Agustus 2015 Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi BADAN LITBANG DAN INOVASI MENJAWAB TANTANGAN TERKINI Dialog Mingguan, 10 Agustus 2015 Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi BADAN LITBANG DAN INOVASI MENJAWAB TANTANGAN TERKINI Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi mempunyai tugas menyelenggarakan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI TIGA POPULASI DI PERSEMAIAN. C. Andriyani Prasetyawati *

PERTUMBUHAN ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI TIGA POPULASI DI PERSEMAIAN. C. Andriyani Prasetyawati * Pertumbuhan Anakan Alam Eboni (Diospyros celebica Bakh) C. Andriyani Prasetyawati PERTUMBUHAN ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI TIGA POPULASI DI PERSEMAIAN C. Andriyani Prasetyawati * Balai

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan sumber bahan pangan ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Dengan perkembangan teknologi, ubi kayu dijadikan

Lebih terperinci

SINTESIS RPI PUSPROHUT

SINTESIS RPI PUSPROHUT RAPAT PEMBAHASAN SINTESA SINTESIS RPI PUSPROHUT 2010-2014 Oleh : Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Bogor, 13 November 2014 MANDAT RPI 2010-2014 PUSKONSER (5 RPI; 9 KEG) RPI 2010-2014 14 RPI PUSPROHUT

Lebih terperinci

Evaluasi Kegiatan

Evaluasi Kegiatan Evaluasi Kegiatan 2010-2014 Balai Penelitian Kehutanan Kupang Bogor, 13 November 2014 Balai Penelitian Kehutanan Kupang VISI, MISI & SASTRA VISI Menjadi lembaga penyedia IPTEK Kehutanan wilayah semi arid

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Denpasar, Maret 2016 Kepala Balai, Ir. S y a f r i, MM NIP

KATA PENGANTAR. Denpasar, Maret 2016 Kepala Balai, Ir. S y a f r i, MM NIP KATA PENGANTAR Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan pelaksanaan kegiatan Inventarisasi Biogeofisik di Wilayah

Lebih terperinci

LRC. Oleh : Herman Rakha / Peneliti LRC

LRC. Oleh : Herman Rakha / Peneliti LRC Oleh : Herman Rakha / Peneliti Hutan merupakan salah satu aset yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa hutan merupakan paru-paru bumi, satwa hidup, pohon-pohon,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis merupakan sektor yang paling penting di hampir semua negara berkembang. Sektor pertanian ternyata dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam dari sektor kehutanan merupakan salah satu penyumbang

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam dari sektor kehutanan merupakan salah satu penyumbang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumber daya alam yang dimiliki negara Indonesia sangatlah beragam, sumber daya alam dari sektor kehutanan merupakan salah satu penyumbang bagi perekonomian Indonesia.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

BUTIR-BUTIR BAHAN RUMUSAN RAKORNIS 2014 KOMISI PUSPROHUT

BUTIR-BUTIR BAHAN RUMUSAN RAKORNIS 2014 KOMISI PUSPROHUT BUTIR-BUTIR BAHAN RUMUSAN RAKORNIS 2014 KOMISI PUSPROHUT A. Kegiatan Penelitian 1. Paket IPTEK peningkatan produktivitas hutan sangat diperlukan dalam upaya penanganan semakin menurunnya kualitas dan produktivitas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Durian 1. Karakteristik tanaman durian Durian (Durio zibethinus Murr.) merupakan salah satu tanaman hasil perkebunan yang telah lama dikenal oleh masyarakat yang pada umumnya

Lebih terperinci

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan

(Shanti, 2009). Tanaman pangan penghasil karbohidrat yang tinggi dibandingkan. Kacang tanah (Arachis hypogaea) merupakan salah satu tanaman pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor sub pertanian tanaman pangan merupakan salah satu faktor pertanian yang sangat penting di Indonesia terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, peningkatan gizi masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci