BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. sekitar 4000 kasus per tahun (Anonim, 2013).

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Jumlah pasien jantung yang membutuhkan tindakan operasi di Indonesia sekitar 4000 kasus per tahun (Anonim, 2013). Pada operasi jantung terdapat penggunaan mesin cardiopulmonary bypass (CPB) dan prosedur aortic cross clamp. Penggunaan mesin CPB pada operasi jantung akan berpotensi menimbulkan morbiditas dan mortalitas perioperatif (Salis et al, 2008). Sedangkan aortic cross clamp menimbulkan risiko iskemia, stroke, dan cedera reperfusi (McMahon, 2015). Perubahan fisiologis utama akibat CPB adalah: (i) perubahan pulsatilitas, pola aliran darah dan tekanan, (ii) paparan darah pada permukaan nonfisiologis dan kerusakan darah akibat tekanan (shear stress), (iii) hemodilusi, (iv) respon stress sistemik dan (v) derajat hipotermia (atau hipertermia selama rewarming) (Hessel and Ghansah, 2008). Penggunaan mesin CPB akan mengakibatkan vasospasme, perubahan interaksi platelet dan sel endothelial, dan respon inflamasi menyeluruh karena kontak darah dengan permukaan alat pintas sehingga aliran darah di mikrosirkulasi jantung, otak, dan organ-organ lainnya mengalami penurunan, dan berakhir dengan terjadinya disfungsi organ. Disfungsi organ tersebut meliputi jantung, paru, neurologi, ginjal, dan hematologi (Sivestry,

2 2 Disfungsi neurologi berupa: stroke, kejang, encephalopathy hipoksik, delirium, gangguan penglihatan, gangguan sensorik dan motorik, neuropati perifer, dan cedera pleksus brachialis. Insidensi komplikasi neurologi setelah operasi bedah jantung sekitar 7% - 61% yang bersifat sementara, sedangkan 1,6% - 23% bersifat menetap (Gilman, 1990). Disfungsi ginjal dapat terjadi acute renal failure (ARF), terjadi pada sekitar 30% pasien yang menjalani operasi jantung, dan sekitar 1% sampai membutuhkan dialisis. ARF mengakibatkan morbiditas, mortalitas dan risiko terkena infeksi lebih tinggi. Angka mortalitas akibat berkembangnya ARF sampai sekitar 60%. Prosedur valvular mempunyai risiko yang lebih tinggi terjadinya ARF. (Rosner and Okusa, 2006). Komplikasi pada paru terjadi pada 15,08% pasien pasca operasi jantung, dengan mortalitas sekitar 18,5%. Sekitar 2,23% komplikasi paru terjadi pada operasi penggantian katup, dan 5,05% pada operasi penyakit jantung bawaan (kongenital). Komplikasi paling sering adalah atelektasis, sekitar 70% kasus (Al- Qubati et al, 2013). Oleh karena itu, semakin lama durasi dan paparan CPB, akan mengakibatkan efek yang lebih buruk. Pada studi oleh Salis et al pada 5006 pasien yang menjalani operasi jantung, pada analisis multivariat menyebutkan pada peningkatan CPBT 30 menit, merupakan faktor risiko independen kematian pasca operasi yang mempunyai nilai odds ratio (OR) 1,57, p<0,0001, komplikasi pulmonal (OR 1,17, p<0,0001), renal (OR 1,31, p<0,0001), neurologi (OR 1,28, p<0,0001), kegagalan multiorgan (OR 1,21 p<0,0001) reoperasi karena

3 3 perdarahan (OR 1,1, p=0,0165), dan transfusi darah multiple (OR =1,58, p<0,0001) (Salis et al, 2008). Pada operasi jantung, dilakukan prosedur aortic cross clamp yang merupakan suatu tindakan mengeklem aorta untuk menghentikan aliran darah dari jantung ke seluruh tubuh melalui aorta. Aortic cross clamp menimbulkan risiko iskemia, stroke, dan cedera reperfusi (McMahon M, 2015). Sehingga akan terjadi cedera post iskemik pada miosit, endotel vaskuler koroner dan mikrovaskuler (Johansen et al, 2000). Pada studi oleh Al-Sarraf et al, menggunakan analisis regresi logistik, disebutkan bahwa aortic cross clamp time (AOX time) >60 menit merupakan faktor risiko independen terhadap low cardiac output, pemanjangan ventilasi, komplikasi renal, transfusi darah, mortalitas dan pemanjangan lama rawat inap (length of stay) di rumah sakit pada grup risiko rendah (nilai EuroSCORE <6), dan risiko tinggi (nilai EuroSCORE >6). Sedangkan AOX time sebagai variabel kontinyu, peningkatan interval satu menit lama AOX, akan meningkatkan mortalitas 2% (Al-Sarraf et al, 2010). Nissinen et al, menyebutkan lama AOX, CPB time (CPBT), dan CPBT dengan aorta yang tidak diklem, secara bermakna berhubungan dengan kematian 30 hari pasca operasi, dengan nilai receiver operating characteristics (ROC) AOX time (area under the curve, (AUC): 0.66), CPBT (AUC: 0.73) dan CPBT tanpa pengekleman aorta (AUC: 0.77). Selain itu, AOX time dan CPBT dengan peningkatan interval 30 menit merupakan prediktor independen kematian 30 hari, nilai AOX time (OR 1.21, 95% C.I ) dan CPBT (OR 1.47, 95%C.I.

4 ). Nilai potong terbaik untuk AOX time adalah 150 menit (kematian 30 hari: 1.8% vs (versus) 12.2%, adjusted OR 3.07, 95%C.I , akurasi 91.5%) sedangkan CPBT 240 menit (kematian 30 hari: 1.9% vs. 31.5%, adjusted OR 8.78, 95%C.I , akurasi 96.0%) (Nissinen et al, 2009). Studi oleh Shah et al tentang faktor risiko yang mempengaruhi pemanjangan lama rawat di ICU (intensive care unit), dibagi menjadi grup A (lama rawat di ICU < 4 hari) dan grup B (lama rawat di ICU > 4 hari), menyebutkan bahwa CPBT dan AOX time nilainya lebih tinggi pada grup B dan signifikan secara statistik (grup A 49, ,03, grup B 73, ,03, p=0,003 dan grup A ± 45.57, grup B ± 50.97, p=0.006) (Shah et al, 2015). Pasca operasi bedah jantung, pasien akan dirawat di ICU. Pasien pasca operasi kardiotoraksik merupakan prioritas pertama karena membutuhkan terapi intensif dan tertitrasi seperti bantuan ventilasi mekanik, dan pengobatan yang menunjang fungsi sistem tubuh (Kementerian kesehatan RI, 1966). Perawatan setelah operasi kardio-toraksik di ICU umumnya membutuhkan waktu 1-3 hari. (Gerhardt MA, 2008). Studi oleh Nikolic tahun 2015, rerata lama rawat inap pasca bedah jantung di ICU adalah 3,1 hari (Nikolic, 2015). Azarfarin et al menyatakan lama rawat di ICU rata-rata 70,9 jam. Sebagian besar studi menyebutkan, pemanjangan lama rawat di ICU (>72 jam) terjadi pada 33% operasi jantung (Azarfarin et al, 2014, Shah et al, 2015). Selama perawatan di ICU dapat terjadi komplikasi pasca operasi. Komplikasi pasca operasi yang disebutkan di atas, akan meningkatkan mortalitas,

5 5 morbiditas, prognosis yang jelek, meningkatkan lama rawat, dan meningkatkan biaya kesehatan (Azarfarin et al, 2014). I.2. Perumusan Masalah CPB mengakibatkan vasospasme, perubahan interaksi platelet dan sel endothelial, dan respon inflamasi menyeluruh karena kontak darah dengan permukaan alat pintas sehingga aliran darah di mikrosirkulasi jantung, otak, dan organ-organ lainnya mengalami penurunan. Sedangkan AOX menyebabkan iskemia dan cedera reperfusi. Sehingga pemanjangan lama CPB dan AOX saat operasi akan menyebabkan kerusakan yang lebih berat sehingga terjadi multyorgan diysfunction yang akan meningkatkan mortalitas dan pemanjangan lama rawat di ICU. I.3. Pertanyaan Berdasarkan perumusan masalah tersebut dibuat pertanyaan penelitian : Apakah terdapat hubungan lama CPB dan AOX terhadap mortalitas dan pemanjangan lama rawat di ICU pasca operasi katup jantung di RSUP Dr. Sardjito? I.4. Tujuan Untuk mengetahui hubungan lama CPB dan AOX terhadap mortalitas dan pemanjangan lama rawat di ICU pada pasien pasca operasi katup jantung di RSUP Dr. Sardjito. I.5.Manfaat 1. Bagi peneliti: mengetahui hubungan lama CPB dan AOX terhadap mortalitas dan pemanjangan lama rawat di ICU.

6 6 2. Operator dan intensivis dapat memberikan informasi kepada keluarga pasien tentang gambaran kemungkinan lama rawat dan risiko kematian di ICU pasca operasi katup jantung 3. Prediksi pemanjangan lama rawat di ICU pasca operasi akan akan memudahkan manajerial rumah sakit untuk memberikan informasi ketersediaan tempat di ICU, efisiensi alokasi sumber daya, dan biaya kesehatan. 4. Bagi institusi pendidikan anestesi: sebagai tambahan referensi mengenai faktor yang mempengaruhi mortalitas dan pemanjangan lama rawat di ICU pasien pasca operasi katup jantung I.6.Keaslian tentang lama CPB dan AOX yang mempengaruhi mortalitas dan pemanjangan lama rawat di ICU sudah pernah diteliti di negara-negara lain (Al- Sarraf et al, Nissinen et al, Shah et al, Chalmers et al, Careddu et al, Mahesh et al, Bhukal et al, Salis et al) dengan hasil yang signifikan, sehingga menurut peneliti penting diteliti karena belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUP Dr. Sardjito.

7 Tabel 1. - Tentang Lama CPB dan AOX Sebagai Prediktor Mortalitas dan Pemanjangan Lama Rawat Di ICU Pada Pasien Pasca Operasi Jantung No. Peneliti (tahun) 1. Al-Sarraf et al (2010) 2. Nissinen et al (2009) 3. Shah et al (2015) 443 Populasi Sampel operasi CABG -operasi katup -RS James Irlandia -Februari Juli pasien low risk (EuroScore <6) dan high-risk (EuroScore >6) operasi CABG, katup, kelainan kongenital - di RS Vaasa, Finlandia - Januari Juni operasi CABG, katup atau kombinasi keduanya -di Amerika - bulan Januari Maret 2014 Desain retrospektif Variabel - AOX (<60 menit), AOX >60 -<90 menit, AOX >90 menit - mortalitas dan morbiditas -30-day post-operative mortality -LOS ICU >4 hari -stroke -penggunaan IABP post operatif -dialisis post operatif -additive dan logistic EuroScore -Lama CPB dan AOX -tipe operasi -perfusion -preoperatif: umur, jenis kelamin, DM, Hipertensi, BMI, LVEF, albumin, SGOT,SGPT, Ureum, kreatinin -durante: lama CPB, AOX -postoperatif:durasi inotropik, lama ventilasi, LVEF, SGOT,SGPT, albumin, ureum,kretinin - grup A LOS ICU <4hari, B: LOS ICU >4hari Hasil In-hospital mortality 3,5% (133 pasien), tertinggi pada pasien AOX>90menit. Analisis univariat dan multiple regresi logistic signifikan pada kedua grup, terhadap: -low cardiac output -prolonged ventilation -prolonged hospital stay -peningkatan mortalitas -transfusi darah -komplikasi renal Peningkatan setiap interval 30 menit durasi CPB dan AOX signifikan terhadap: -30-day post-operative mortality -LOS ICU -IABP -dialisis -Lama CPBT dan AOX nilainya lebih tinggi pada grup B dan signifikan secara statistik -serum creatinine, SGOT, urea, albumin dan LVEF lebih tinggi pada grup B.

8 Lanjutan Tabel 1 No. Peneliti (tahun) 4. Chalmers et al (2014) 5. Careddu et al (2012) 6. Mahesh et al (2012) Populasi Sampel operasi AVR - di Liverpool Inggris -bulan April 1997-Maret operasi jantung - di Bologna - bulan Januari Desember operasi jantung - di RS Papworth Inggris -bulan Januari Desember 2007 Desain retrospektif Variabel -resternotomi, CKMB, LOS ICU, kehilangan darah mediastinal, LOS dan kematian rumah sakit, long term survival -lama CPB -faktor preoperatif -grup A: LOS ICU <1 hari. Grup B LOS ICU >1hari -preoperatif: umur, sex, berat badan (BB), tinggi badan (TB), BMI, bilirubin, kreatinin, hematocrit, EF, ASA,DM,Hipertensi,gagal ginjal, CHF, PPOK -durante: lama CPB, AOX, IABP, tipe kardioplegi -post operasi: ph, PaCO2,PaO2 di ICU, perdarahan 12 jam pertama -terikat: Grup I (LOS ICU >3 hari Grup C (LOS ICU <3hari) Mortalitas: early dan late -bebas: Preoperative: umur, DM, kreatinin, PPOK, BMI, urgensi operasi Intra operatif: lama CPB, tipe operasi Postoperasi: IABP, transfusi darah, reeksplorasi perdarahan Hasil Lama CPB signifikan pada -kehilangan darah mediastinal -lama rawat di ICU, lama rawat di rumah sakit dan mortalitas di rumah sakit. Lama CPB, AOX, usia, PPOK, gagal ginjal dalam dialysis, kretinin, bilirubin, EF, Klas CHF NYHA prediktor LOS ICU Early mortality grup I 10%, grup C 0,6%. Late mortality: survival 1 tahun grup I 89,2%, C 97,8%. Survival 3 tahun grup I 81,2%, C 93,6% Yang meningkatkan risiko lama rawat di ICU: -Pemanjangan waktu CPB (peningkatan tiap 10 menit) - Faktor-faktor pre, intra, dan post operasi -Prolonged stay ICU independen predictor: early mortality, LOS RS, dan survival

9 Lanjutan Tabel 1 No. Peneliti (tahun) 7. Bhukal et al (2012) 8. Salis, et al (2008) Populasi Sampel 88 -operasi CABG, katup, koreksi kelainan kongenital operasi CABG, katup -RS Kanada - Januari Maret 2008 Desain Retrospektif Variabel -Preoperatif: BB, BMI, skor CARE (Cardiac Anaesthesia Risk Evaluation), ASA, NYHA, elektrolit, hematocrit, ureu, kreatinin, prothrombin time index (PTi), activated partil thromboplastin time, EKG, foto thorax, echocardiogram, tes fungsi paru. -intraoperatif: lama CPB, AOX, urin output, penggunaan inotropic -postoperatif: skor APACHE II, LOS di ruang pemulihan dan rumah sakit -mortalitas -lama rawat di ruang pemulihan dan RS - mortalitas,komplikasi renal, respiratori, neurologi, abdominal, dan infeksi; postoperative blood losses, reoperasi karena perdarahan transfusi darah; LOS ICU dan RS -lama CPB Preoperatif: -Sex, umur, creatinine, number of diseased coronary vessels, NYHA, redo operation, LVEF (>50%; 30%- 50% ;<30%), BB,BMI, tipe operasi, diabetes, hipertensi, previous myocardial infarction, stroke, dialysis, dan urgency operasi Intraoperatif: -lama CPB, IABP Hasil Yang mempengaruhi mortalitas: -PTi -skor CARE -durasi CPB -ASA -NYHA -jumlah inotropic -skor APACHE II Yang mempengaruhi lama rawat di ruang pemulihan: -PTi -Inotropik -skor APACHE II Yang mempengaruhi lama rawat di RS: -Durasi CPB -Lama AOX Faktor preoperasi, IABP faktor independen lama CPB Lama CPB berpengaruh terhadap: -LOS ICU -LOS RS -perdarahan postoperasi -transfusi sel darah merah yang multiple -reoperasi karena perdarahan -komplikasi respirasi -komplikasi neurologi -komplikasi infeksi -komplikasi renal -kegagalan multiorga postoperasi -kematian