BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pendidikan inklusif dalam dasa warsa terakhir memperoleh perhatian dari. Sehingga kajian tentang pendidikan inklusif makin

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pendidikan inklusif dalam dasa warsa terakhir memperoleh perhatian dari. Sehingga kajian tentang pendidikan inklusif makin"

Transkripsi

1 14 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif dalam dasa warsa terakhir memperoleh perhatian dari para pakar pendidikan. Sehingga kajian tentang pendidikan inklusif makin berkembang dan makin intensif. Pengertian tentang pendidikan inklusif dikemukakan oleh beberapa pakar antara lain: Sapon-Shevin (Direktorat PLB, 2004: 9) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani disekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Dengan demikian maka perlu ditekankan restrukturisasi sekolah, sehingga dapat mendukung pelayanan terhadap setiap individu di sekolah serta dukungan dari berbagi pihak. Sementara itu Staub dan Peck (Direktorat PLB, 2004: 9) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah reguler dapat menerima semua tanpa membedakan latar belakang kondisi anak. Pendapat lain dikemukakan Freiberg (Direktorat PLB, 2004: 10) yang mengemukakan, melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-

2 15 sama anak lainnya (non ABK) untuk mengoptimalkan potensinya yang dimilikinya. Shaeffer (2005: 2) berpendapat bahwa pendidikan inklusif berarti membuat yang tidak tampak menjadi tampak dan memastikan semua siswa mendapatkan hak memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik. Inklusi adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial, mereka yang percaya inklusi meyakini bahwa semua orang adalah bagian yang berharga dalam kebersamaan masyarakat, apapun perbedaan mereka. dalam pendidikan ini berarti bahwa semua anak, terlepas dari kemampuan maupun ketidakmampuan mereka, latar belakang sosial ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa, agama atau jender, menyatu dalam komunitas bersama. Heijmen (2005: 5). Stainback dan Stainback (Direktorat PLB, 2004: 6) mengemukakan sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun batuan dan dukungan yang diberikan kepada guru agar anak-anak dapat berhasil, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, dan masyarakat agar kebutuhan individunya dapat terpenuhi. Inklusif: Definisi Seminar Agra dan Kebijakan Afrika Selatan tentang pendidikan - Lebih luas daripada pendidikan formal: mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal. - Mengakui bahwa semua anak dapat belajar.

3 16 - Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak. - Mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, kecacatan, status HIV/AIDS dll. - Merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya. - Merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif (Sue Stubbs, 2002: 38). Dari berbagai pendapat tersebut di atas dapat dirumuskan pengertian pendidikan inklusif adalah pendidikan yang bertujuan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak tanpa membedakan latar belakang anak. 2. Dasar Pendidikan Inklusif Beberapa dasar yang kuat dalam penerapan pendidikan inklusif antara lain : a. Dasar Filosofis Dalam proses pendidikan berawal dari dasar filosofis yang melatar belakangi tentang pandangan hakekat sifat dasar manusia sehingga dengan berbagai pandangan tentang manusia akan memperngaruhi terhadap konsep pendidikan, ada pandangan bahwa manusia memiliki potensi baik dan buruk. Sedangkan dasar filosofis yang utama dalam pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas pondasi yang lebih mendasar lagi yang disebut Bhineka Tunggal Ika Abdulrahman (Direktorat PLB, 2004: 11).

4 17 Sedangkan menurut Heijnen (2005: 5). Filosofi inklusi adalah mengenai: kepemilikan, keikutsertaan, dalam komunitas sekolah dan keinginan untuk dihargai. Lawan katanya adalah eksklusi yang berarti penolakan, keterbatasan dan ketidak berdayaan dan sering mengarah pada frustasi dan kebencian. Pendidikan inklusif tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengikuti program pendidikan, namun lebih melihat pada guru dan sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan individu. Pertimbangan filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusif paling tidak ada tiga. Pertama, cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang. Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah yang dihadapi peserta didik harus

5 18 didiskusikan terus menerus di antara staf sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya masalah-masalah lain. Dasar filosofi tersebut memberikan makna yang mendalam bahwa pendidikan merupakan hak mendasar setiap individu, baik secara vertikal maupun secara horisontal. Sehingga apapun latar belakang anak, mereka memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi. Termasuk dalam hal ini adalah ABK yang juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan seperti non ABK. b. Dasar Yuridis Negara mempunyai kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai yang telah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, maka pemerintah selayaknya melaksanakan pembenahan dan perbaikan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan inklusif dituangkan dalam beberapa konvensi internasional yang menunjukkan bahwa pendidikan inklusif merupakan isu yang penting dan menjadi trend global seperti halnya isu mengenai hak asasi manusia. Dasar-dasar yuridis internasional diantaranya: 1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights) menegaskan bahwa: setiap orang mempunyai hak atas pendidikan tentunya ini negara harus menghormati dan menjamin hak-hak setiap anak tanpa diskriminasi apapun.

6 19 2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention on the right of the child) menyatakan bahwa pendidikan dasar wajib bagi setiap anak dan negara membebaskan biayanya dan terdapat prinsip umum yaitu: prinsip non diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik anak, prinsip penghormatan atas hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan, dan prinsip penghargaan atas pendapat anak. 3) Konferensi Jomtien, Thailand Dalam konferensi ini dinyatakan bahwa universalisai akses dan peningkatan kesamaan hak. 4) Pernyataan Salamanca, yang menekankan bahwa semua anak seyogyanya belajar bersama-sama, sejauh memungkinkan, apa pun kesulitan atau perbedaan yang ada pada diri mereka. sekolah inklusif harus mengakui dan tanggap terhadap keberagaman kebutuhan siswa-siswanya, mengakomondasi gaya dan kecepatan belajar yang berbeda-beda. 5) Deklarasi Dakar Pendidikan untuk Semua adalah menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak, terutama anak perempuan, anak yang mengalami keadaan yang sulit dan mereka yang termasuk etnik minoritas, memperoleh akses ke dan menamatkan pendidikan dasar wajib dan bebas biaya dengan kualitas baik. 6) Konvensi Hak Penyandang Disabled dan Protokol Opsional Terhadap Konvesi (Resolusi PBB 61/106, 13 Desember 2006).

7 20 Disebutkan bahwa negara mengakui pentingnya aksesibilitas terhadap lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya, terhadap layanan kesehatan dan pendidikan serta terhadap informasi dan komunikasi, untuk memampukan penyandang cacat agar dapat menikmati dan kebebasan mendasar. Dasar yuridis nasional diantaranya: 1) UUD 1945 (amandemen) Pasal: 31 ayat (1): Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 2) Undang-Undang No: 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Diantaranya menyebutkan setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak, setiap anak cacat fisik dan mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. 3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Yang menyebutkan negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan, anak yang menyandang cacat fisik atau mental diberi kesempatan yang sama

8 21 dan aksesibilitaas untuk memperoleh pendidikan biasa dan luar biasa. 4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3: Tujuan Pendidikan Nasioanal adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, madiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pasal: 5 ayat (1) bahwa warga negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (2) bahwa orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Dalam penjelasan disebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelebihan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggaran secara inklusi atau berupa sekolah khusus. 5) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/ Januari Perihal Pendidikan Inklusif: menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. 6) Deklarasi Bandung Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif 8-14 Agustus 2004.

9 22 c. Dasar Pedagogis Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 3: Tujuan Pendidikan Nasioanal adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, madiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam proses pengajaran pada model pendidikan inklusif, menerapkan prinsip dasar pengajaran yang sama bagi semua. Artinya pengajar harus mengenal dan merespon terhadap kebutuhan yang berbeda-beda dari para siswanya, mengakomodasi berbagai macam gaya dan kecepatan belajarnya, dan menjamin diberikannya pendidikan yang berkualitas kepada semua siswa melalui penyusunan kurikulum yang tepat, pemilihan strategi pengajaran yang tepat, pemanfaatan sumber dengan sebaik-baiknya, penggunaan media dan metode yang tepat dan evaluasi hasil belajar yang tepat. d. Dasar Empiris Heller, dkk (Diknas 2004: 15) Penelitian yang dipelopori oleh The National Academy of Sciencs, menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil indentifikasi yang tepat.

10 23 Baker (Diknas 2004: 15) mengungkapkan bahawa: dari berbagai model pendidikan luar biasa, pendidikan integrasi dan pendidikan inklusi, ternyata dari 13 penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. Dasar empiris ini memberikan masukan yang sangat positif bahwa model pendidikan inklusif ini merupakan program yang memberikan hasil sangat baik bagi perkembangan siswa. Baik bagi siswa normal maupun siswa yang berkebutuhan khusus. 3. Konsep Utama Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif bukan merupakan suatu kebijakan dalam pendidikan tetapi merupakan filosofi pendidikan yang memungkinkan semua peserta didik memperoleh pendidikan yang lebih baik tanpa memandang latar belakang kondisi indidividu, konsep-konsep Utama yang terkait dengan Pendidikan Inklusif menurut Stubbs, S. (2002 : 40) adalah sebagai berikut: a. Konsep-konsep tentang anak - Semua anak berhak memperoleh pendidikan di dalam komunitasnya sendiri. - Semua anak dapat belajar, dan siapapun dapat mengalami kesulitan dalam belajar.

11 24 - Semua anak membutuhkan dukungan untuk belajar. - Pengajaran yang terfokus pada anak bermanfaat bagi semua anak. b. Konsep-konsep tentang sistem pendidikan dan persekolahan - Pendidikan lebih luas dari pada persekolahan formal - Sistem pendidikan yang fleksibel dan responsif - Lingkungan pendidikan yang memupuk kemampuan dan ramah - Peningkatan mutu sekolah-sekolah yang efektif - Pendekatan sekolah yang menyeluruh dan kolaborasi antar mitra. c. Konsep-konsep tentang keberagaman dan diskriminasi - Memberantas diskriminasi dan tekanan untuk mempraktekkan eksklusi - Merespon/merangkul keberagaman sebagai sumber kekuatan, bukan masalah - Pendidikan inklusif mempersiapkan siswa untuk masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan d. Konsep-konsep tentang proses untuk mempromosikan inklusi - Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan inklusi - Meningkatkan partisipasi nyata bagi semua orang - Kolaborasi dan kemitraan - Metodologi partisipatori, Penelitian tindakan, penelitian kolaboratif e. Konsep-konsep tentang sumber daya - Membuka jalan ke sumber daya setempat - Redistribusi sumber daya yang ada

12 25 - Memandang orang (anak, orangtua, guru, anggota kelompok termarjinalisasi dll) sebagai sumber daya utama - Sumber daya yang tepat yang terdapat di dalam sekolah dan pada tingkat lokal dibutuhkan untuk berbagai anak, misalnya Braille, alat asistif. Dari uraian tersebut cukup jelas bahwa dalam proses pendidikan inklusif, selain berfokus pada anak sebagai peserta didik, juga harus mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. 4. Faktor-faktor Dalam Pendidikan Inklusif Menurut Tarsidi (2002: 5) implementasi pendidikan inklusi harus memperhatikan delapan faktor yang mendukung yaitu: a. Sikap dan keyakinan yang positif: 1) Guru reguler yakin bahwa siswa disable akan berhasil. 2) Kepala sekolah merasa bertanggung jawab atas hasil belajar siswa disable. 3) Seluruh staf dan siswa sekolah yang bersangkutan telah dipersiapkan untuk menerima kehadiran siswa disable. 4) Orang tua anak disable terinformasi dan mendukung tercapainya tujuan program sekolah. 5) Guru pembimbing khusus memiliki komitmen untuk berkolaborasi dengan guru reguler di kelas.

13 26 b. Tersedia program untuk memenuhi kebutuhan spesifik siswa disable. Untuk siswa tunanetra, program ini mencakup Braille, orientasi dan mobilitas, keterampilan kehidupan sehari-hari (ADL), dan keterampilan sosial. c. Tersedia peralatan khusus dan teknologi asistif untuk mengakses program kurikuler. Bagi siswa tunanetra, ini mencakup alat tulis dan buku Braille, peta timbul, komputer bicara, dan sebagainya. d. Lingkungan fisik diadaptasikan agar lebih aksesibel bagi siswa disable. Bagi siswa tunanetra, adaptasi tersebut mencakup penyediaan tanda-tanda taktual atau auditer untuk memudahkan mereka mengorientasi lingkungan. e. Dukungan sistem: 1) Kepala sekolah memahami kebutuhan khusus siswa disable. 2) Tersedia personel dengan jumlah yang cukup, termasuk guru pembimbing khusus dan tenaga pendukung lainnya. 3) Terdapat upaya pengembangan staf dan pemberian bantuan teknis yang didasarkan pada kebutuhan personel sekolah (misalnya pemberian informasi yang tepat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kecacatan, metode pengajaran, kegiatan kampanye kesadaran dan penerimaan bagi para siswa, dan latihan keterampilan kerja tim).

14 27 4) Terdapat kebijakan dan prosedur yang tepat untuk memonitor kemajuan setiap siswa disable, termasuk untuk asesmen dan evaluasi hasil belajar. f. Kolaborasi: 1) Guru pembimbing khusus menyiapkan program pengajaran individualisasi (individualized educational program) bagi siswa disable, dan merupakan bagian dari tim pengajar di kelas reguler. 2) Pendekatan tim dipergunakan untuk pemecahan masalah dan implementasi program. 3) Guru reguler, guru pembimbing khusus dan spesialis lainnya berkolaborasi (misalnya dalam co-teaching, team teaching, teacher assistance teams). g. Metode pengajaran: 1) Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memilih dan mengadaptasikan materi pelajaran dan metode pengajaran menurut kebutuhan khusus setiap siswa. 2) Dipergunakan berbagai strategi pengelolaan kelas (misalnya team teaching, cross-grade grouping, peer tutoring, teacher assistance teams). 3) Guru menciptakan lingkungan belajar kooperatif dan mempromosikan sosialisasi bagi semua siswanya.

15 28 h. Dukungan masyarakat: 1) Masyarakat menyadari bahwa anak disable merupakan bagian integral dari masyarakat tersebut. 2) Terdapat organisasi disable yang aktif melakukan advokasi dan kampanye kesadaran masyarakat, dan berfungsi sebagai wahana untuk mempertemukan anak dengan orang dewasa disable sebagai model guna memperkuat motivasi belajarnya. B. Indeks Inklusi Angka indeks seperti yang dinyatakan Mangkuatmodjo (2003: 132) indeks menurut tujuan angka indeks adalah untuk mengukur perbedaan besaran dari sekelompok variabel yang saling berhubungan, namun demikian studi-studi tentang indeks telah banyak dilakukan terutama oleh perguruan tinggi di luar negeri. Beberapa studi indeks yang telah dipublikasikan antara lain Environmental Sustainability Index, Environmental Performance Index, Index for Inclusion. Dari ketiga indeks tersebut Index for Inclusion yang layak diadopsi untuk mengukur kondisi inklusifitas di sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, selain karena lebih sederhana dan mudah dipahami oleh semua komunitas sekolah. Indeks inklusi merupakan sebuah sumber daya yang mendukung perkembangan pendidikan inklusif. Indeks inklusi adalah sebuah dokumen yang komprehensif dan lengkap, yang dapat membantu setiap orang untuk menentukan

16 29 langkah berikutnya dalam mengembangkan setting pendidikan inklusif secara mandiri (Booth dan Ainscow, 2002: 3) Dari sumber yang lain Booth (2002) juga mengutarakan The index for inclusion is a unique set of materials which supports ordinary schools in a process of inclusive school development. Indeks Inkulusi adalah seperangkat alat-alat yang khas untuk mendukung sekolah reguler dalam proses mengembangkan pendidikan inklusif. Index for Inclusion sudah dikembangkan di negara Australia, Amerika dan Inggris. Di Inggris dipakai sebagai pedoman dalam mengimplementasikan kebijakan kurikulum nasional pendidikan inklusif yang ada di negara itu. Berdasarkan teori tersebut diatas peneliti mengadopsi Index fo inclusion sebagai alat ukur sejauh mana pelaksanaan pendidikan inklusif sudah berjalan di suatu daerah. Dalam kontek Index for Inclusion Sunanto (2009: 4) mengemukakan bahwa keterlaksanaan pendidikan inklusif dapat dievaluasi menggunakan suatu indeks yang disebut index for Inclusion. Inklusi seringkali dihubungkan dengan siswa disable atau siswa berkebutuhan khusus, namun di dalam indeks inklusi, inklusi adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi semua anak dan orang yang terlibat dalam komunitas lingkungan sekolah. Indeks inklusi menawarkan sebuah proses review diri dan perkembangan yang bersifat mendukung atau suportif pada sekolah inklusif, proses tersebut mengacu pada pandangan kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua, serta anggota komunitas lingkungan sekitar yang lain. Pada sekolah Inklusif

17 30 memerlukan dilakukannya pengamatan yang detil untuk mengetahui bagaimana hal-hal yang menghambat partisipasi dan proses pembelajaran siswa dapat dikurangi. Indeks inklusi bukanlah sebuah inisiatif tambahan melainkan sebuah cara untuk meningkatkan sekolah berdasarkan nilai-nilai inklusifnya. Bukan juga sebuah alternatif untuk meningkatkan prestasi, melainkan bagaimana melakukannya dengan cara yang membangun hubungan kerjasama dan perkembangan dalam lingkungan belajar mengajar. Dengan memperhatikan nilai dan kondisi belajar mengajar, indeks dapat membantu mempertahankan peningkatan atau perbaikan di sekolah inklusif. Indeks juga mendukung gagasan pembelajaran, dimana ABK dan non ABK melakukan kegiatan bersama secara aktif, menggabungkan apa yang mereka pelajari dengan pengalaman mereka sendiri. Indeks inklusi juga merupakan sebuah dokumen praktis yang menjelaskan pengertian pendidikan inklusif untuk seluruh komunitas sekolah. Konsep-konsep utama dalam indeks seperti yang di kemukakan oleh booth and ainscow (2002: 4) adalah: inklusi, hambatan proses pembelajaran dan partisipasi, sumber daya untuk mendukung proses pembelajaran dan partisipasi, dan dukungan terhadap keaneka ragaman. Semua konsep utama ini memberikan gambaran untuk membahas perkembangan pendidikan inklusif, seperti dapat diuraikan sebagi berikut: Inklusi memerlukan adanya perubahan, Inklusi merupakan sebuah proses pembelajaran dan partisipasi yang semakin meningkat dan dilakukan secara terus menerus pada semua komunitas sekolah. Ini merupakan gagasan ideal yang dicita-

18 31 citakan oleh semua sekolah, tetapi tidak pernah sepenuhnya tercapai. Inklusi segera terjadi ketika proses peningkatan partisipasi dimulai. Inklusi dalam pendidikan termasuk: - Memandang semua siswa, guru dan karyawan secara sama. - Meningkatkan partisipasi siswa di dalam budaya, kurikulum, dan komunitas sekolah, serta mengurangi eksklusi mereka dari hal-hal tersebut. - Melakukan restrukturisasi budaya, kebijakan, dan praktik di sekolah sehingga mampu menanggapi perbedaan siswa yang ada di lingkungan sekolah. - Mengurangi hambatan proses pembelajaran dan partisipasi pada semua siswa. - Belajar dari usaha mengatasi hambatan akses dan partisipasi siswasiswa tertentu untuk melakukan perubahan demi kepentingan siswa secara lebih luas. - Melihat perbedaan yang ada di antara siswa sebagai sumber daya pendukung proses pembelajaran, bukan sebagai masalah yang harus diatasi. - Menghargai hak siswa untuk mendapatkan pendidikan di lingkungan mereka. - Melakukan pengembangan sekolah, baik untuk siswa maupun untuk para staf. - Menekankan peranan sekolah dalam membangun komunitas dan mengembangkan nilai-nilai, serta meningkatkan prestasi. - Meningkatkan hubungan saling menguntungkan yang terus terjalin antara sekolah dan lingkungan komunitas. - Menyadari bahwa inklusi dalam pendidikan merupakan satu aspek inklusi dalam masyarakat.

19 32 Eksklusif merujuk pada semua tekanan yang sifatnya temporer atau lebih lama yang menghambat terjadinya partisipasi secara penuh. Ini bisa diakibatkan oleh kesulitan dalam membangun hubungan, atau kesulitan dengan apa yang dipelajari, atau bisa juga sebagai akibat dari perasaan tidak dihargai. Inklusi adalah tentang bagaimana meminimalisir semua hambatan pendidikan bagi semua. Dalam indeks, hambatan proses pembelajaran dan partisipasi memberikan sebuah alternative terhadap konsep Pendidikan Kebutuhan Khusus. Gagasan bahwa kesulitan pendidikan dapat diatasi dengan mengidentifikasi beberapa anak yang berkebutuhan khusus yang memiliki banyak batasan. Gagasan tersebut memberikan sebuah label yang dapat membawa kita pada ekspektasi yang lebih rendah. sehingga membuat siswa lain yang tidak diberi label tadi tidak mendapatkan perhatian atas kesulitan yang dialami dalam hal hubungan, budaya, kurikulum, pendekatan belajar mengajar, organisasi dan kebijakan sekolah. Ini dapat menyebabkan terjadinya perpecahan usaha yang dilakukan sekolah sebagai reaksi atas keaneka ragaman siswa, yang dikelompokkelompokkan secara berbeda. Ide tentang hambatan proses pembelajaran dan partisipasi dapat digunakan untuk fokus pada apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pendidikan setiap anak. Sumber daya untuk mendukung proses pembelajaran dan partisipasi yaitu usaha yang dilakukan untuk mengurangi hambatan proses pembelajaran dan partisipasi yang memerlukan dilakukannya pengaturan sumber daya di dalam

20 33 sekolah dan lingkungannya. Sumber daya ini juga bisa ditemukan dalam berbagai aspek di sekolah, dalam diri siswa, orang tua, komunitas, dan guru dalam perubahan budaya, kebijakan dan praktek. Sumber daya yang ada pada diri siswa seperti kemampuan mereka untuk mendorong proses pembelajaran mereka sendiri dan untuk mendukung pembelajaran siswa lain, mungkin saat ini belum sepenuhnya dilakukan. Hal yang sama mungkin juga terjadi dengan para guru dan karyawan yang memiliki potensi untuk saling mendukung perkembangan diri diantara mereka. Sehingga terdapat banyak informasi di sekolah tetang apa yang menjadi halangan bagi proses pembelajaran dan partisipasi siswa, yang mungkin belum dimanfaatkan sepenuhnya. Indeks membantu sekolah untuk memberikan informasi tentang perkembangan pendidikan inklusif yang sudah diimplementasikan. Dukungan untuk keaneka ragaman (perbedaan) yaitu dukungan untuk memberikan reaksi atas keaneka ragaman siswa yang diberikan sangat luas, pemberian dukungan pada tiap-tiap individu hanyalah sebagian kecil usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa. Dukungan juga diberikan ketika guru merancang sebuah rencana pembelajaran, yaitu dengan mengingat semua siswa dalam pikirannya, mengenali titik awal mereka yang berbeda, pengalaman dan gaya belajar yang berbeda pula, atau ketika siswa saling membantu. Ketika kegiatan belajar dirancang untuk mendukung partisipasi semua siswa, kebutuhan adanya dukungan individu bisa dikurangi. Sama halnya, pengalaman memberikan dukungan pada seseorang dapat mengakibatkan adanya peningkatan pembelajaran yang mandiri dan aktif, serta berkontrobusi pada peningkatan dalam memberikan

21 34 proses pengajaran pada sekelompok siswa yang berjumlah lebih banyak. Dukungan merupakan bagian dari semua proses pengajaran dan semua terlibat di dalamnya. Indeks Inklusi meliputi tiga dimensi perkembangan sekolah yang saling terkait yaitu menciptakan budaya inklusif, membuat kebijakan-kebijakan inklusif, dan mengembangkan praktik-praktik inklusif seperti terlihat pada gambar 2.1. Gambar 2.1. Tiga Dimensi Indeks Inklusi (Booth and Ainscow, 2002: 7) Dimensi-dimensi tersebut mengarahkan cara berpikir ke arah perubahan sekolah yang lebih inklusif, oleh karena itu semua rencana perubahan sekolah harus memperhatikan ketiga dimensi tersebut, sehingga dengan adanya budaya inklusif dalam sekolah, perubahan kebijakan dan praktik diharapkan akan dapat dijaga terus oleh semua komunitas yang ada di sekolah.

22 35 Untuk memberikan fokus yang lebih mendalam dalam meningkatkan proses pembelajaran dan partisipasi di sekolah, masing-masing dimensi dibagi dalam dua seksi seperti pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Dimensi dan Bagian Indeks Inklusi Dimensi A: Menciptakan budaya inklusif Membangun komunitas Menciptakan nilai-nilai inklusif Dimensi B: Membuat kebijakan-kebijakan inklusif Mengembangkan sekolah untuk semua anggota komunitas Mengatur adanya dukungan terhadap perbedaan Dimensi C: Mengembangkan praktik-praktik inklusif Merencanakan proses pembelajaran Mengerahkan sumber daya (Sunanto, 2004: 5) Dimensi A membangun sebuah komunitas yang aman, menerima, bekerjasama, dan memberikan stimulasi, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama. Dimensi ini mengembangkan nilai-nilai inklusif bersama yang nantinya juga diperlakukan kepada kepla sekolah, guru, karyawan, siswa, dan orang tua murid dalam komunitas. Prinsip dan nilai dalam budaya sekolah inklusif menjadi pedoman dalam pembuatan kebijakan dan praktik sehari-hari dalam ruang kelas dan lingkungan sekolah sehingga perkembangan sekolah menjadi suatu proses yang berkelanjutan. Dimensi B memastikan bahwa inklusi dilakukan di semua rencana sekolah, kebijakan-kebijakan yang dibuat mendorong adanya partisipasi siswa dan staf sejak pertama kali mereka menjadi bagian dari sekolah, menjangkau semua

23 36 siswa di lingkungan sekolah, serta meminimalisir adanya tekanan eksklusioner, semua kebijakan menggunakan strategi perubahan yang jelas. Yang dimaksud dengan dukungan di sini adalah semua kegiatan yang meningkatkan kapasitas sekolah untuk menanggapi perbedaan siswa. Semua bentuk dukungan dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip inklusif dan disatukan dalam sebuah kerangka tunggal. Dimensi C mengembangkan praktik sekolah yang mencerminkan budaya dan kebijakan inklusif, pelajaran diatur agar responsive pada perbedaan siswa. Siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam semua aspek pendidikan mereka, yang juga memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang mereka dapat dari luar sekolah. Staf mengidentifikasi sumber material dan sumber daya lain yang ada dalam diri siswa, orang tua, serta komunitas local, yang dapat digunakan untuk mendukung proses pembelajaran dan partisipasi. Pendidikan inklusif akan terjamin dengan cara memusatkan perhatian pada tiga dimensi utama yang saling berkaitan yaitu: 1. Dimensi Budaya Inklusi Suatu Budaya inklusif, memandang pendidikan hanya sebagai salah satu aspek dari sasaran pengembangan masyarakat inklusif, oleh karena itu mengusung pada perbedaan, rasa keadilan sosial serta solidaritas, nilai-nlai dan sosialisasi. Mendukung serta mempromosikan kepercayaan serta sistem nilai yang mengarah pada terciptanya komunitas yang aman, menerima, bekerjasama, dan suportif bagi semua

24 37 siswa. Dimensi budaya inklusif dapat dijelaska secara lebih terperinci sebagai berikut: a. Mengusung Perbedaan Setiap anak memperoleh pendidikan bersama-sama seperti anak yang lainnya. Diversity is not viewed as a problem to be overcome, but as a rich resource to support the learning of all. (Bartolo, 2002: 12) perbedaan ini tidak dipandang sebagai permasalahan yang harus diatasi, namun sebagai kekayaan sumber daya untuk mendukung pendidikan bagi semua. b. Komunitas Sekolah Terbuka Lebar Bagi Siapa Saja Diperlukan adanya perubahan akan keseluruhan sistem pendidikan dari yang mulanya bersifat eklusif seperti pendidikan yang berdasarkan pada penerimaan siswanya dengan sitem ujian masuk, menjadi sitem pendidikan yang menerima semua anak dan bertujuan untuk mendidik semua siswa. c. Keadilan Sosial dan Solidaritas Dalam masyarakat Demokratis, semua suara tidak hanya didengar, namun juga dihargai, oleh sebab itu proses pendidikan harus menanamkan dalam diri siswa rasa keadilan sosial dan solidaritas. d. Mengusung nilai-nilai Fundamental Nilai-nilai fundamental akan kasih sayang, kekeluargan, hormat menghormati, solidaritas, demokrasi, komitmen serta

25 38 tanggung jawab harus menjadi dasar dalam pendidikan. Nilai-nilai ini harus dimasukkan ke dalam setiap aspek budaya, kebijakan, dan praktik. e. Solidaritas Antar Beragam Budaya Dalam masyarakat yang multi kultural, sistem pendidikan harus memungkinkan para siswa untuk mengembangkan rasa hormat, kerja sama, dan solidaritas antar budaya. f. Sekolah Inklusi bagi Masyarakat Inklusi Regular schools with this inclusive orientasion are the most effective means of combating discriminatory attitudes, creating welcoming communities, building an inclusive sosiety and achieving education for all (UNESCO, 1994: 9). Sekolah-sekolah reguler dengan orientasi inklusi adalah cara yang paling efektif dalam memerangi sikap-sikap diskriminatif, menciptakan komunitas yang bersahabat, membangun masyarakat inklusi serta mencapai pendidikan bagi semua. 2. Dimensi Kebijakan Inklusi Pengembangan kebijakan-kebijakan inklusi berarti memperkenalkan sasaran-sasaran ekplisit untuk mempromosikan inklusi dalam rencana pengembangan sekolah serta panduan-panduan praktik lainnya dalam manajemen, pengajaran, dan pembelajaran di sekolah. Program pendidikan individu bagi siswa harus menjadi tanggung jawab

26 39 bersama baik dari guru kelas, fasilitator, dan orang tua, yang bersamasama dengan para pakar lainnya menyusun dan mengimplementaskan program. Agar hal tersebut dapat terlaksana, sekolah bersama-sama dengan dewan sekolah perlu membuat komitmen tertulis dan menjamin tanggung jawab formal untuk menjalankan program pendidikan inklusif di sekolah. Kebijakan-kebijakan tersebut melibatkan komitmenkomitmen ekplisit untuk membuat pembelajaran menjadi lebih dapat diakses oleh semua orang diantaranya: a. Persamaan Akses Bagi Semua Komunitas pendidikan harus menjamin persamaan akses terhadap sistem pendidikan tanpa diskriminasi atas dasar kemampuan, gender, agama, ras, atau latar belakang sosial budaya dan ekonomi. b. Pedagogi Holistik yang Berorintasi Pada Siswa Konsep perkembangan holistik yaitu seseorang menempatkan siswa di pusat sistem, oleh karena itu, kurikulum haruslah bersifat melayani siswa, bukan malah sebaliknya. c. Asesmen Formatif Sebuah pendidikan yang mengakui adanya keanekaragaman memandang asesmen formatif sebagai suatu hal yang harus ada dalam melaksanakan agenda demokratis. Jenis asesmen ini berkonsentrasi pada individu siswa dengan cara yang menguntungkan bagi siswa tersebut. Asesmen formatif yaitu harus

27 40 mencakup sistem penyusunan profil yang tidak terbatas pada aspekaspek koknitif, namun juga pada aspek-aspek yang lebih luas akan perkembangan dan aktifitas anak. d. Pembelajaran Kooperatif Berdasarkan kelompok harus merubah kecenderungan kopetitif dan individualistik yang menjadi ciri khas kelas inklusi. Melalui diskusi, bertukar ide, dan berkolaborasi dengan orang lainlah kita dapat mengklarifikasi pemikiran kita, belajar cara bertanya, mengubah dan mengembangkan konsep-konsep yang kita punya, serta mengetahui pola pikir dan tindakan. e. Kerja kelompok kolaboratif Telah diakui secara luas bahwa dukungan terbaik bagi anakanak hanya dapat terjamin melaluhi kolaborasi diantara semua pihak dan orang tua yang terlibat dalam mendukung pendidikan anak. f. Dukungan Rumah Sebuah sistem pendidikan yang efektif menyadari kaitan antara lingkungan rumah dan perbedaan kondisi diantara anak-anak. Jika memungkinkan, pendidikan anak-anak harus dikaitkan dengan program pendidikan serta partisipasi orang tua atau wali mereka, bila siswa tidak mendapatkan dukungan diluar sekolah maka harus diberi perhatian khusus.

28 41 g. Melibatkan Semua Staff Sekolah bukan hanya sekedar tempat untuk menyampaikan instruksi-instruksi, namun juga merupakan tempat dimana para siswa mendapatkan ajaran mengenai nilai-nilai etis dan pembentukan karakter yang kuat dalam lingkungan yang menyenangkan dan bersahabat, didampingi oleh guru-guru yang senang dengan profesi mereka sehingga bersama-sama dapat melangkah maju menuju pendidikan inklusif yang lebih diharapkan. 3. Dimensi Praktik Inklusi Praktik-praktik yang mencerminkan budaya serta kebijakan sekolah inklusi dengan cara menjamin bahwa aktifitas-aktifitas kelas dan ektra kurikuler mendukung partisipasi semua siswa serta menunjukkan pengetahuan dan pengalaman mereka diluar sekolah, sehingga semua anak benar-benar menjadi bagian dari sekolah mereka dengan cara berpartisipasi sepenuhnya, diantaranya dengan mewujudkan: a. Pembelajaran dan Kemajuan Bagi Semua Anak Pembelajaran harus menyediakan konteks semua anak tanpa terkecualian, dapat berpartisipasi dalam pengembangan yang terusmenerus akan ilmu pengetahuan serta sikap dan kemampuan dasar yang dianggap penting bagi perkembangan holistik seseorang.

29 42 b. Indentifikasi Dini Akan Potensi dan Kebutuhan Sekolah harus mengembangkan sebuah sistem yang sejak tahap awal mengindentifikasi potensi dan kebutuhan semua anak sehingga hasilnya dapat digunakan untuk proses pendidikan selanjutnya. c. Kurikulum yang Bervariasi Setiap anak mempunyai cara yang berbeda-beda dalam mempelajari apa yang diajarkan, ada yang belajar dengan baik mengalami pengalaman kongkrit, ada yang melalui pemikiran abstrak dan konsep, sementara beberapa lainnya memilih belajar sendiri dan ada juga memilih bekerja dalam kelompok. Setiap guru harus menyadari perbedaan-perbedaan ini beserta implikasi paedagogiknya, sehingga mereka dapat melaksanakan pendekatan yang lebih efektif berdasarkan pengalaman pembelajaran yang berbeda-beda. d. Dukungan sebagai bagian integral dari seluruh pengajaran Menyediakan dukungan bagi masing-masing individu adalah salah satu upaya untuk membuat pelajaran dapat diakses oleh semua anak. dukungan tersebut pada umumnya akan mengarah pada penigkatan kurikulum yang inklusif. e. Penyususnan pengajaran dan pembelajaran serta materi sesmen yang inovatif Dalam pendidikan inklusif harus mengahasilkan pengajaran dan pembelajaran, materi-materi asesmen, serta susunan kurikulum

30 43 yang inovative yang menghargai perbedaan dan kebutuhan semua anak. C. Pendidikan Inklusif di Kabupaten Musi Banyuasin 1. Gambaran Umum di Kabupaten Musi Banyuasin Kabupaten Musi Banyuasin merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, dengan luas wiyah ,96 Km2 atau sekitar 15% dari luas provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan batas wilayah Kabupaten Musi Banyuasin sebagai berikut: - sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Jambi. - sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Muara Enim. - sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas. - sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin. Dari segi topografi sebelah timur Kecamatan Sungai Lilin, sebelah Barat Kecamatan Bayung Lencir dan di daerah pinggiran Sungai Musi sampai ke Kecamatan Babat Toman tanahnya terdiri dari rawa-rawa dan dipengaruhi oleh pasang surut. Sedangkan di daerah lainnya tanahnya terdiri dari tanah dataran tinggi dan berbukit dengan ketinggian antara 20 sampai 140 meter di atas permukaan air laut. Kabupaten Musi Banyuasin terbagi menjadi 11 kecamatan yaitu Kecamatan Babat Toman, Plakat Tinggi, Batanghari Leko, Sanga Desa, Sungai Keruh, Sekayu, Lais, Sungai lilin, Keluang, Bayung Lencir dan Lalan. Jumlah penduduk Kabupaten Musi Banyuasin pada tahun 2005 sebesar jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki dan

31 jiwa penduduk perempuan. (Sumber: Muba dalam Angka Tahun 2005). Perekonomian masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin dapat dikategorikan sebagai perekonomian yang masih bersifat agraris. Karena sektor pertanian masih memberikan kontribusi lebih besar dibandingkan kotribusi sektor industri, sektor perdagangan dan sektor lainnya. 2. Pendidikan di Kabupaten Musi Banyuasian Pendidikan merupakan sektor yang menjadi prioritas di Kabupaten Musi Banyuasin. Tentang fasilitas pendidikan di Kabupaten Musi Banyuasin berupa sekolah yang tercatat di Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Musi Banyuasin disajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel 2.2. Jumlah Sekolah di Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2010 No Jenjang Pendidikan Jumlah Sekolah Persentase 1 TK ,1% 2 SD / MI % 3 SMP / MTs ,1% 4 SMA / MA 52 6,8% 5 SMK 11 1,4% 6 PT 3 0,4% 7 SLB 1 0,1% Jumlah % Sumber : Dinas pendidikan Nasional Kab. Muba, 2010 Dari data tersebut dapat diketahui, bahwa sekolah tingkat SD dan MI memiliki jumlah yang paling banyak yaitu sebesar 59 % dari total sekolah yang ada di Kabupaten Musi Banyuasin. Selanjutnya adalah SMP dan MTs sebesar 18,1 %. Hal ini dapat dipahami karena kebijakan dari

32 45 Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin yang mendorong agar semua anak di Musi Banyuasin dapat mengenyam pendidikan dasar. Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah dengan program sekolah gratis. Mengenai jumlah siswa sekolah di Kabupaten Musi Banyuasin yang tercatat di Dinas Pendidikan nasional Kabupaten Musi Banyuasin disajikan dalam tabel sebagai berikut : Tabel 2.3. Jumlah Siswa Sekolah di Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2010 No Jenjang Pendidikan Jumlah Siswa Persentase 1 SD / MI ,18% 2 SMP / MTs ,45% 3 SMA / MA ,59% 4 SMK ,69% 5 PT SLB 83 0,07% Jumlah % Sumber : Dinas Pendidikan Nasional Kab. Muba, 2010 Dari data tersebut dapat dilihat komposisi siswa sekolah dasar yang masih dominan, yaitu mencapai 73,18% dari total siswa sekolah di Kabupaten Musi Banyuasin. 3. Implementasi Pendidikan Inklusif di Kabupaten Musi Banyuasian Pendidikan inklusif adalah sebagai strategi untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua (education for all) juga telah diimplementasikan di Kabupaten Musi Banguasin. Implemntasi ini sementara diprioritaskan pada jenjang sekolah dasar. Jumlah sekolah inklusi sampai tahun 2009 di Kabupaten Musi Banyuasin tercatat ada 33 SD atau 7,3% dari total 451

33 46 buah SD/MI, (Dinas Pendidikan Nasional Kab. Muba, 2009). Sekolah inklusi tersebut secara periodik mendapat pembinaan dan bantuan fasilitas guna menunjang pelaksanaan pendididkan inklusi. a. Pengembangan Pendidikan Inklusif Upaya kegiatan pengembangan pendidikan inklusif Kabupaten Musi Banyuasin pada awalnya didukung oleh pemerintah daerah dengan menyusun beberapa rangkaian-rangkaian kegiatan seperti: 1) Pencanangan pendidikan inkluasif setelah dilakukan penandatanganan komitmen oleh Bupati Musi Banyuasin dalam kegiatan Nation Stakeholder Meeting Education for All in an Inclusive Setting pada tanggal 13 Mei 2007 di Yogyakarta. Selain itu juga dukungan dari Pemerintah Pusat setelah terbitnya PP No 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. 2) Sosialisasi berupa kampanye kesadaran pentingnya pendidikan untuk semua melalui implementasi pendidikan inklusif. Sosialisasi diikuti oleh beberapa pejabat daerah dan stakeholder yang ada di Kabupaten Musi Banyuasin, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pendidikan dan juga organisasi-organisasi kemasyarakatan. 3) Pelatihan teknis dan sosialisasi tentang pendidikan inklusif bagi kepala sekolah dan guru-guru SD/SDLB baik secara khusus atau

34 47 melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) se-kabupaten Musi Banyuasi. Materi yang disampaikan diantaranya tentang konsep dasar pendidikan inklusif dan mengembangkan pembelajaran yang berorentasi pada keberagaman dan kebutuhan anak. Kegiatan tersebut diprakarsai oleh Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Musi Banyuasin dengan biaya APBD. 4) Penetapan sekolah imbas menuju inklusi melalui SK Bupati Musi Banyuasin No: 628 tahun 2008 tanggal 25 April 2008 tentang penetapan sekolah imbas menuju inklusi dan penunjukan SLB Negeri sebagai pusat sumber Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Inklusi. 5) Penetapan guru kunjung sebagai guru yang memiliki tugas sebagai guru ABK di sekolah inklusi. Kebijakan ini dimabil karena jumlah guru khusus di sekolah inklusi yang ada belum memadai. Guru kunjung ini menjalankan tugas secara berkala, yaitu dengan mengunjungi sekolah inklusi sesuai dengan jadwal yang telah dibuat oleh Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Musi Banyuasin. b. Pengembangan SDM (Sumber Daya Manusia) Pendidikan Inklusif. Dalam rangka pengembangan pendidikan inklusi yang diprogramkan, telah dilakukan beberapa kegiatan yang menunjang implementasi pendidikan inklusif yang telah berlangsung. Kegiatan

35 48 yang dilakukan terutama pada pengembangan SDM, karena stratgisnya posisi SDM dalam pelaksanaan program yang ada. Pengembangan SDM selain ditujukan kepada pejabat dinas pendidikan kabupaten dan kecamatan, juga dilakukan pada pengawas, kepala sekolah, guru dan orang tua siawa ABK. Harapannya adalah pendidikan inklusif yang dicanangkan dan doprogramkan oleh Pemerintah Daerah Musi Banyuasin dapat diimplementasikan dengan baik. Berdasarkan informasi dari SLB Negeri Sekayu sebagai Pusat Sumber, ada beberapa kegiatan pengembangan SDM yang dilakukan dalam rangka pengembangan pendidikan inklusif antara lain : 1) Orientasi Pengembangan dan Desain Silabus Pendidikan Inklusif, dengan sasaran peserta adalah Pejabat Diknas Kabupaten, Diknas Kecamatan, pengawas, dan Kepala Sekolah. 2) Training of Trainer (TOT), ditujukan kepada guru sekolah inklusif. Selain mengenai penguasaan pengelolan pengajaran bagi kelas inklusif, TOT ini bertujuan untuk membekali guriu agar memiliki ketrampilan untuk menularkan ilmu tentang inklusi nya kepada guru lain dan orang tua siswa. 3) Pelatihan Sistem Dukungan, pelatihan ini dilaksankan oleh Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Musi Banyuasin. Sasaran pelatihan ini adalah pejabat Diknas Kecamatan, Pengawas, Kepala

36 49 Sekolah, dan guru. Pelatihan ini diorientasikan pada manajemen pengelolaan penididkkan inklusi di sekolah inklusi. 4) Studi Visit, yaitu melakukan kunjungan ke SLB Negeri Sekayu, diikuti oleh guru-guru yang akan mengelola kelas inklusi. Tujuannya adalah agar guru-guru dapat melihat langsung dan dapat bertukar pikiran mengenai bagaimana mengelola kelas inklusi. Kunjungan ini sangat bermanfaat dalam rangka meningkatkan kompetensi guru dalam mengelola kelas inklusi di sekolah masingmasing. 5) Pelatihan orang tua ABK, yaitu pelatihan yang diikuti oleh orang tua yang memiliki siswa ABK. Tujuannya adalah agar orang tua dapat mendukung program pendidikan yang dilakukan di sekolah inklusi. Khususnya bagaimana memberikan pendidikan yang tepat di rumah bagi ABK. Sebab bagi ABK tersebut, waktu bersekolah hanya beberapa jam saja, sedangkan waktu lainnya lebih banyak di rumah bersama orang tuanya. 6) Lokakarya Penyusunan Program Aksi 2008, yaitu kegiatan yang berorientasi pada penyusunan program sekolah inklusi dan pengajaran inklusi. Kegiatan ini dilakukan oleh para guru yang mengelola kelas inklusi. 7) Pelatihan Penjaringan ABK, bagi para pengawas di jajaran Diknas Kecamatan. Tujuan kegiatan ini nantinya adalah agar ABK memeperoleh kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk

37 50 mendapatkan pendidikan. Selama ini banyak orang tua ABK yang berpendapat bahwa anaknya hanya dapat disekolahkan di SLB. Sedangkan jumlah dan lokasi SLB yang ada belum memadai untuk melayani ABK yang tersebar di seluruh pelosok Kabupten Musi Banyusain. Sehingga penyelenggaraan sekolah inklusi sebagai solusi bagi pelayanan hak ABK harus terus disosialisasikan. 8) Lokakarya penggunaan media pembelajaran Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) inklusi, yang di fasilitasi oleh diknas Kabupaten Musi Banyuasin diikuti oleh guru-guru pendamping dari SD reguler. Dari penelusuran data dokumentasi didapatkan peserta yang mengikuti program pengembangan SDM dalam mengimplementasikan pendidikan inklusif tahun 2007 dalam tabel 2.4: Tabel 2.4 Jumlah Peserta Program pengembangan SDM Implementasi Pendidikan Inklusif Tahun 2007 Kegiatan Orientasi Pengembangan dan design silabus pendidikan inklusif Diknas Kab Diknas Kec Penga was Peserta Kep Sek Guru Orang tua Jumlah Training of Trainer Pelatihan Sistem Dukungan Studi Visit Pelatihan orang tua ABK Lokakarya penyusunan program aksi Penjaringan ABK di wilayah kabupaten Musi Banyuasin Jumlah Sumber : Diknas Kab. Muba, 2009

38 51 c. Organisasi Pelaksana Pendidikan Inklusi Dasar pelaksanaan pendidikan inklusif di Kabupaten Musi Banyuasin adalah SK Bupati Musi Banyuasin No: 628 tahun 2008 tanggal 25 April 2008 tentang Penetapan Sekolah Imbas Menuju Inklusi dan Penunjukan SLB Negeri sebagai Pusat Sumber Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Inklusi, seperti disajikan pada gambar 2.2. Gambar 2. 2 Struktur Organisasi Implementasi Pendidikan Inklusif Kabupaten Musi Banyuasin Sumber: Program MBS Inklusi Kabupaten Musi Banyuasin, 2010

39 52 Berdasarkan gambar tersebut di atas dapat diketahui bahwa SLB Negeri Sekayu berperan sebagai pusat sumber. Pusat sumber ini akan memainkan peranan sebagai koordinator mempunyai hubungan kerjasama, menjaga dan menjamin layanan pendidikan inklusif berjalan dengan maksimal di setiap wilayah. Wilayah koordinasi dibagi menjadi lima wilayah, masing-masing adalah sebagai berikut : - Wilayah 1 SD Negeri 8 Sekayu - Wilayah 2 SD Negeri 1 Sungai Lilin - Wilayah 3 SD Negeri Babat Toman - Wilayah 4 SD Negeri 4 Ngulak - Wilayah 5 SD Negeri Bandar Agung Sedangkan SD Negeri yang ditunjuk sebagai koordinator wilayah 1 adalah SD Negeri 8 Sekayu membawahi SD imbas yang ada diseluruh Kecamatan Sekayu, Kecamatan Lais dan Kecamatan Sungai Keruh. Wilayah 2 SD Negeri 1 Sungai Lilin membawahi SD imbas yang ada diselurh Kecamatan Sungai Lilin, Kecamatan Banyu Lencir, dan Kecamatan Keluang. Wilayah 3 SD Negeri 1 Babat Toman membawahi SD imbas yang ada di seluruh Kecamatan Babat Toman dan Kecamatan Batang Hari Leko. Wilayah 4 SD Negeri 4 Ngulak membawahi SD imbas yang ada diseluruh Kecamatan Sanga Desa dan Kecamatan Plangkat Tinggi. Sedangkan wilayah 5 SD Negeri Bandar Agung membawahi SD imbas yang ada di Kecamatan Lalan.

40 53 d. Jumlah Siswa ABK dan Non ABK Jumlah siawa ABK dan Non ABK di tiga SD yang diteliti, disajikan dalam tabel 2.5 Tabel 2.5 Jumlah Siswa di Sekolah Inklusi No Nama Sekolah Jumlah ABK Jumlah Non ABK Jumlah Siswa Persentase Jml ABK 1 SD N 8 Sekayu ,6% 2 SD N Bangun Sari ,1% 3 SD N Sungai Lilin ,9% J u m l a h ,7% Sumber : Dok sekolah, diolah 2010 Atau divisualisasikan dalam grafik berikut ini : ABK Non ABK 93.4% 96.9% 87.1% 6.6% 3.1% 12.9% SD N 8 Sekayu SD N Bangun Sari SD N Sungai Lilin Grafik 2.1 Jumlah Siswa di Sekolah Inklusi Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat jumlah ABK yang ada di SD N 8 Sekayu sebanyak 22 orang atau 6,6% dari total jumlah siswa, SD N Bangun Sari sebanyak 10 orang atau 3,1%, dan SD N Sungai Lilin

41 54 sebanyak 128 orang atau 12,9%. Dari data tersebut dapat diketahui ratarata jumlah ABK yang ada di ketiga sekolah yang diteliti adalah 9,7% dibanding dengan total jumlah siswa non ABK. e. Keadaan Personalia Sekolah Personalia sekolah inklusi yang dimaksud di sini adalah Kepala Sekolah, guru, pegawai tata usaha, komite sekolah, dan penjaga sekolah. Berdasarkan data yang ada, jumlah personalia pada sekolah yang diteliti disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel Keadaan Personalia Sekolah pada Tahun Pelajaran 2009/2010 No Nama Sekolah Kepala Sekolah Guru Tata Usaha Komite Sekolah Penjaga sekolah 1 SD N 8 Sekayu SD N Bangun Sari SD N Sungai Lilin J u m l a h Sumber : Diknas Kab. Muba, 2010 Berdasarkan jumlah guru yang ada secara keseluruhan sebanyak 55 orang, terdiri dari guru kelas sebanyak 27 orang, guru mata pelajaran sebanyak 22 orang dan guru pembimbing khusus sebanyak 6 orang. Jumlah guru pemimbing khusus ini baru menacapai sejumlah 6 orang. Sedangkan rasio guru-murid di sekolah-sekolah tersebut adalah sebagai berikut:

Landasan Pendidikan Inklusif

Landasan Pendidikan Inklusif Bahan Bacaan 3 Landasan Pendidikan Inklusif A. Landasan Filosofis 1) Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penddikan adalah hak setiap warga negara. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan untuk semua warga negaranya tanpa diskriminasi. Pendidikan untuk semua diwujudkan

Lebih terperinci

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Pendidikan Inklusif Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Perkembangan SLB di Dunia 1770: Charles-Michel de l Epee mendirikan SLB pertama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap warga dari suatu negara. Rumusan pendidikan sebagai bagian dari HAM itu terlihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lebih terperinci

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Drs. Didi Tarsidi I. Pendahuluan 1.1. Hak setiap anak atas pendidikan

Lebih terperinci

KABUPATEN MUSI BANYUASIN UPAYA KABUPATEN MUSI BANYUASIN DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSI

KABUPATEN MUSI BANYUASIN UPAYA KABUPATEN MUSI BANYUASIN DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSI UPAYA KABUPATEN MUSI BANYUASIN DALAM IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSI LUAS WILAYAH : 14.265,96 KM 2 JUMLAH PENDUDUK : 473.795 JIWA Terdiri dari : 11 Kecamatan 9 Kelurahan 196 Desa TOPOGRAFI 26% 5% 69% DATARAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal (1) dinyatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

Lebih terperinci

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016 Desain Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Kelas Inklusif Juang Sunanto dan Hidayat Departemen Pendidikan Khusus, Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menyusun desain

Lebih terperinci

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak karena, pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari keterbelakangan, kebodohan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak berhak mendapat pendidikan, hal ini telah tercantum dalam deklarasi universal 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi PENDIDIKAN INKLUSIF Nenden Ineu Herawati ABSTRAK Uraian singkat tentang pendidikan inklusif adalah pendidikan yang ramah untuk semua anak, dengan sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti anak dengan hambatan penglihatan, anak

Lebih terperinci

PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG. Juang Sunanto, dkk

PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG. Juang Sunanto, dkk PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG Juang Sunanto, dkk Jurusan Pendidikan Luar Biasa Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi kebutuhan paling dasar untuk membangun kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan sumber daya manusia. Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak untuk semua anak dan hal ini telah tercantum dalam berbagai instrument internasional

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak untuk semua anak dan hal ini telah tercantum dalam berbagai instrument internasional BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak untuk semua anak dan hal ini telah tercantum dalam berbagai instrument internasional mulai dari Deklarasi Universal 1948. Instrumeninstrument

Lebih terperinci

Jaringan Kerja untuk Inklusi. Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung

Jaringan Kerja untuk Inklusi. Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung Jaringan Kerja untuk Inklusi Didi Tarsidi Jurusan PLB, FIP, UPI, Bandung Disajikan pada Seminar Pendidikan Inklusif peringatan hari kelahiran Louis Braille Suku Dinas Pendidikan Luar Biasa, Bandung 28

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dan dievaluasi

Lebih terperinci

A. Perspektif Historis

A. Perspektif Historis A. Perspektif Historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia. Mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak

Lebih terperinci

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI

PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH INKLUSI (Program Pengabdian Masyarakat di SD Gadingan Kulonprogo) Oleh: Rafika Rahmawati, M.Pd (rafika@uny.ac.id) Pendidikan inklusi merupakan

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 dikemukakan kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif merupakan paradigma baru pendidikan kita dan merupakan strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agar keberlangsungan hidup setiap manusia terjamin maka kebutuhan dasar akan pendidikan harus terpenuhi sehingga lebih bermartabat dan percaya diri. Oleh karena itu

Lebih terperinci

37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA

37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA 37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA Oleh: Indah Permata Darma, & Binahayati Rusyidi E-mail: (indahpermatadarma@gmail.com; titi.rusyidi06@gmail.com) ABSTRAK Sekolah inklusi merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman membuat manusia menyesuaikan diri dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari bahwa setiap individu memiliki hak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945, Amandemen IV Pembukaan, alinea IV yaitu dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id Abstrak Artikel dengan judul Model penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah akan

Lebih terperinci

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 SIAPAKAH? ANAK LUAR BIASA ANAK PENYANDANG CACAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan, alinea 4 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara Indonesia di antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan sesungguhnya bersifat terbuka, demokratis, tidak diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam konteks pendidikan untuk

Lebih terperinci

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP. 131 755 068 PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) Konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus):

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA Disusun oleh: ZULKIFLI SIDIQ NIM 029519 A. PENDAHULUAN Selama beberapa tahun kita telah mengamati bahwa anak-anak dan remaja berhenti sekolah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG, Menimbang : a. bahwa bidang pendidikan merupakan

Lebih terperinci

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI Dieni Laylatul Zakia Program Magister Pendidikan Luar Biasa UNS dienizuhri@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui optimalisasiperan

Lebih terperinci

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals

Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS Individualized Education Program (IEP) Least Restrictive Environment (LRE) Teaming and Collaboration among Professionals Individualized Education Program (IEP) Dapat diberikan

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA Oleh: Haryanto REALITA PENCA DI LAPANGAN Belum ada data riil jumlah penca di Indonesia, Diperkirakan 10% dari populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak semua anak, terbuka untuk semuatanpa memandang latar belakang setiap individudikarenakan mereka tumbuh dari lingkungan dan budaya yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hak setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang layak sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak

BAB I PENDAHULUAN. warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah ditegaskan dalam UU RI 1945 pasal 31 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia PENDIDIKAN INKLUSIF Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Seperti sebuah lagu yang baru saja diluncurkan, pendidikan inklusif mendapat sambutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan

pada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dahulu sebatas penyediaan layanan pendidikan dengan sistem segregrasi, hingga akhirnya pada saat ini muncullah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Pendidikan telah menjadi bagian kehidupan yang diamanatkan secara nasional maupun internasional. Dalam

Lebih terperinci

D S A A S R A R & & FU F N U G N S G I S PE P N E D N I D DI D KA K N A N NA N S A I S ON O A N L A

D S A A S R A R & & FU F N U G N S G I S PE P N E D N I D DI D KA K N A N NA N S A I S ON O A N L A UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL Sosialisasi KTSP DASAR & FUNGSI PENDIDIKAN NASIONAL Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN SALINAN WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek 144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek budaya, aspek kebijakan, dan aspek praktik yang digunakan sebagai tolak ukur keterlaksanannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam lini kehidupan. Semua orang membutuhkan pendidikan untuk memberikan gambaran dan bimbingan dalam

Lebih terperinci

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF

LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS dan PENDIDIKAN INKLUSIF Aini Mahabbati, S.Pd., M.A Jurusan PLB FIP UNY HP: 08174100926 Email: aini@uny.ac.id Disampaikan dalam PPM Sosialisasi dan Identifikasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) a. Pengertian KTSP Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat

Lebih terperinci

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN

PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN PENDEKATAN INKLUSIF DALAM PENDIDIKAN A. PERUBAHAN PANDANGAN TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN PENDIDIKANNYA Paham humanisme yang berkembang di negara-negara Barat saat ini mempengaruhi cara pandang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban untuk

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017 1119 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No. 067261 MEDAN MARELAN Dahniar Harahap* 1 dan Nina Hastina 2 1,2) Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan upaya yang dapat mengembangkan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu negara memiliki kewajiban untuk

Lebih terperinci

Lanjutan Hakikat Pendidikan Inklusif

Lanjutan Hakikat Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusi sebagai proses yang ditujukan dan menanggapi berbagai kebutuhan dari semua peserta didik melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eksklusi/pengenyampingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah  Rizki Panji Ramadana, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak dasar bagi setiap Warga Negara Indonesia, tak terkecuali bagi anak berkebutuhan khusus. Semua anak berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan, tidak hanya bagi perkembangan dan perwujudan diri individu tetapi juga bagi pembangunan suatu bangsa dan negara.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adanya perubahan paradigma baru tentang pendidikan, yaitu pendidikan untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas usia, tingkat

Lebih terperinci

Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar Riset Indeks Inklusi dalam Pembelajaran Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia ABSTRAK Tujuan utama penelitian ini untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis

Lebih terperinci

DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DASAR & FUNGSI Pendidikan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DASAR & FUNGSI Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta

P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta Risti Fiyana Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika Dr.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 1. Dengan mengambil lokus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri

Lebih terperinci

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri PENINGKATAN HASIL BELAJAR PENGUKURAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) RINGAN MELALUI PEMBELAJARAAN KOOPERATIF SETTING INKLUSIF SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri Abstrak: Salah satu masalah

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF. BPK Penabur Cimahi, 11 Juli Mohamad Sugiarmin

PENDIDIKAN INKLUSIF. BPK Penabur Cimahi, 11 Juli Mohamad Sugiarmin PENDIDIKAN INKLUSIF sugiarmin_2006@yahoo.co.id BPK Penabur Cimahi, 11 Juli 2009 Target yang diharapkan pada peserta Pemahaman Peserta Memahami konsep Pendidikan Inklusif Peserta Memahami keragaman peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang pemerataan akses pendidikan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) baik yang diselenggarakan oleh

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF. Oleh Mohamad Sugiarmin

PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF. Oleh Mohamad Sugiarmin PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF Oleh Mohamad Sugiarmin Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk dapat memperoleh pendidikan melekat pada semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ; BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat 1 s.d 4 menyatakan bahwa ; Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh

Lebih terperinci

DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS

DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS DESAIN PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN KHUSUS (Model Bahan Ajar Program Khusus Tunarungu SLB) Oleh: Tim Pengembang KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PUSAT KURIKULUM

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF

PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF PROGRAM PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT DLINGO, 3 OKTOBER 2011 PEMBELAJARAN DI KELAS INKLUSIF Aini Mahabbati Jurusan PLB FIP UNY HP : 08174100926 EMAIL : aini@uny.ac.id IMPLIKASI PENDIDIKAN INKLUSIF (Diadaptasi

Lebih terperinci

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART GUNAWAN WIRATNO, S.Pd SLB N Taliwang Jl Banjar No 7 Taliwang Sumbawa Barat Email. gun.wiratno@gmail.com A. PENGANTAR Pemerataan kesempatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

Landasan Yuridis SI, SKL dan KTSP menurut UU No 20/2003 tentang Sisdiknas

Landasan Yuridis SI, SKL dan KTSP menurut UU No 20/2003 tentang Sisdiknas PAPARAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 1 PERTAMA: KONSEP DASAR 2 Landasan Yuridis SI, SKL dan KTSP menurut UU No 20/2003 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini ditujukan untuk mengekesplorasi praktik pelaksanaan dan pengembangan sekolah inklusif. Penelitian dilakukan dengan menjadikan SD Negeri 2 Bendan, Kecamatan

Lebih terperinci

Kata Kunci : Pendidikan Inklusi, Sekolah Inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus.

Kata Kunci : Pendidikan Inklusi, Sekolah Inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus. SEKOLAH INKLUSI SEBAGAI PERWUJUDAN PENDIDIKAN TANPA DISKRIMINASI (Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Pendidikan Inklusi di SMK Negeri 9 Surakarta) Nurjanah K8409047 Pendidikan Sosiologi Antropologi ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class merupakan salah satu terobosan besar yang dicetuskan di dunia pendidikan. Hal ini karena

Lebih terperinci

DIKLAT/BIMTEK KTSP 2009 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL HALAMAN 1

DIKLAT/BIMTEK KTSP 2009 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL HALAMAN 1 PANDUAN PENYUSUNAN KTSP DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL HALAMAN 1 LANDASAN UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Permendiknas No.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

DASAR & FUNGSI. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

DASAR & FUNGSI. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DASAR & FUNGSI Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pendidikan Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Luar Biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses penbelajaran karena kelainan fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan nasional.

Lebih terperinci

Tujuan 4: Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta mempromosikan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua

Tujuan 4: Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta mempromosikan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua : Multi-stakeholder Consultation and Workshop, 26-27 April 2017, Jakarta, Tujuan 4: Memastikan kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta mempromosikan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan ahlak mulia, serta keterampilan yang

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan ahlak mulia, serta keterampilan yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

Lebih terperinci

PAUD INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

PAUD INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) Paud Inklusi Untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) PAUD INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) Abstrak Sri Huning Anwariningsih, Sri Ernawati Universitas Sahid Surakarta, Jl Adi Sucipto 154 Surakarta

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci