HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Lokasi Penelitian Perairan Pelawangan Barat terletak di pantai selatan sebelah Barat Daya Cilacap merupakan outlet bagian barat Laguna Segara Anakan menuju Samudera Hindia dengan adanya penghalang Nusa Kambangan, dengan kondisi geografis bukitan yang tinggi (Nugrahadi dan Tejakusuma 2007) dengan muara Nusa Were. Sebelah Timur merupakan Pulau Nusa Kambangan, sebelah Barat berupa bukitan yang masuk wilayah Jawa Barat. Karakter PPB berupa kanal berkelok dengan panjang kurang lebih 3,5 km dengan lebar rata-rata 0,6 km. Morfometri PPB dapat dilihat pada Tabel 12. Hidrologi laguna dipengaruhi sungai-sungai yang bermuara di Laguna Segara Anakan sebelah barat diantaranya Sungai Citanduy, Sungai Cibeureum, dan Sungai Cikonde, bersama pasang surut akan mempengaruhi kondisi hidrodinamika PPB. Sungai Citanduy sebagai sungai terbesar dan menyumbang 80% debit dan sedimen melayang yang masuk ke laguna (Purba dan Sujastani 1989; Matsuyama et al. 1994; Nugrahadi dan Tejakusuma 2007), dimana 35% debit dan sedimen melayang menuju ke laut (Ongkosongo et al. 1986). Tabel 12 Morfometri dan karakter daerah penelitian Morfometri Jarak antara bagian utara PPB dan mulut PPB Rerata lebar PPB Rerata kedalaman PPB Rerata kedalaman area model Kedalaman maksimal PPB Nilai m 600 m -3,70 m -7,64 m -18,4 m Luas area PPB pada saat muka air rata-rata ,5702 m 2 Luas area model pada saat muka air rata-rata ,1267 m 2 Volume PPB Saat pasang ,2786 m 3 Saat surut ,8562 m 3 Saat muka air rata-rata ,7602 m 3 Volume area model ,8169 m 3 Prisma pasang surut (volume PPB pasang surut) ,4224 m 3

2 50 Hasil Observasi Batimetri Data batimetri merupakan dasar yang sangat dibutuhkan untuk memahami hidrodinamika PPB. Batimetri membentuk topografi dasar perairan, sangat mempengaruhi transpor hidrodinamik (Ji 2008). Untuk membangun peta batimetri membutuhkan data pengukuran kedalaman. Perolehan data kedalaman dilakukan secara insitu dengan sistem pemeruman (sounding), kisaran waktu perolehan data dapat dilihat pada Gambar 8. Perolehan data kedalaman dilakukan pada saat pasang purnama (spring tide). Secara umum PPB merupakan perairan dengan kedalaman yang bervariasi, dengan rerata kedalaman 3,7 m, bagian utara dan tengah didominasi kedalaman beragam antara 1-18 m, sedangkan daerah dekat dengan mulut Nusa Were merupakan daerah dangkal 1-6 m dengan adanya sill (daerah dengan kedalaman cukup kecil dibandingkan daerah sekitar) di mulut. Hasil pengukuran kedalaman yang dilakukan Kusnida et al. (2003) dan Holtermann et al. (2008) di daerah PPB menunjukkan pola yang mirip dengan hasil observasi, yang menunjukkan perubahan batimetri yang relatif statis. Elevasi Muka Air (cm) /27/10 3:00 6/27/10 4:00 6/27/10 5:00 6/27/10 6:00 6/27/10 7:00 6/27/10 8:00 6/27/10 9:00 6/27/10 10:00 6/27/10 11:00 6/27/10 12:00 6/27/10 13:00 6/27/10 14:00 6/27/10 15:00 6/27/10 16:00 6/27/10 17:00 6/27/10 18:00 6/27/10 19:00 6/27/10 20:00 6/27/10 21:00 6/27/10 22:00 6/27/10 23:00 6/28/10 0:00 6/28/10 1:00 6/28/10 2:00 6/28/10 3:00 kisaran waktu sampling spasial pasang pasang surut MSL dugaan Gambar 8 Kisaran waktu perolehan data kedalaman koreksi pasang surut Perolehan data kedalaman dilakukan selama 1,5 jam (dari jam 9:00-10:30), dari Gambar 8, dapat kita lihat bahwa perolehan data kedalaman pada waktu

3 51 menuju surut dan di atas muka air rata-rata. Koreksi data kedalaman dengan pasang surut untuk mendapatkan kedalaman tetap (Siregar dan Selamat 2009), yang diperoleh dengan mengurangi data kedalaman terukur dengan pengurangan tinggi pasang surut pada waktu pengukuran dengan MSL dugaan. Data kedalaman yang dilakukan antara pukul 9:00 dan 9:30 dikoreksi dengan pasang surut sebesar 51,77 cm (tinggi pasang surut 150 cm dikurangi MSL dugaan 98,23). Data kedalaman yang dilakukan antara pukul 9:30 dan 10:00 dikoreksi dengan pasang surut sebesar 49,77 cm (tinggi pasang surut 148 cm dikurangi MSL dugaan 98,23). Data kedalaman yang dilakukan antara pukul 10:00 dan 10:30 dikoreksi dengan pasang surut sebesar 41,77 cm (tinggi pasang surut 148 cm dikurangi MSL dugaan 98,23). Titik pengukuran kedalaman diukur dengan pemeruman dalam jalur zig-zag untuk mendapatkan data kedalaman. Data kedalaman diolah menjadi data batimetri yang dapat digunakan sebagai dasar pengukuran luas penampang untuk menentukan debit, pengukuran volume, luas area, dan sebagai data kedalaman dalam model. Titik pengukuran kedalaman dan hasil batimetri PPB dapat dilihat pada Gambar 9. Gambaran topografi PPB secara 3 dimensi dapat dilihat pada Lampiran 8. Data batimetri dapat digunakan untuk mengetahui profil horisontal dasar perairan dan luas penampang suatu lokasi, disajikan pada Gambar 10. Tabel 13 menunjukkan data olahan dari data batimetri untuk mengetahui luas penampang vertikal suatu lokasi pada berbagai kedudukan muka air memakai metode perhitungan planimetri (Buchan et al. 1980) dengan bantuan perangkat lunak Grapher. Tabel 13 Luas penampang vertikal beberapa lokasi No. Lokasi Lebar (m) Luas Penampang (m 2 ) Surut Pasang MSL 1. Stasiun 6 661, , , , Stasiun 5 622, , , , Stasiun 4 384, , , , Stasiun 3 878, , , , Mulut PPB 493, , , ,2274

4 52 Gambar 9 Titik pengukuran kedalaman dan batimetri PPB Gambar 10 Penampang horisontal dan melintang PPB

5 53 Gambar 9 dan 10, menunjukkan bahwa topografi dasar PPB sangat kompleks dengan beberapa cekungan dan diantaranya terdapat kedalaman yang dangkal, hal ini akan mempengaruhi hidrodinamika dan sebaran MPT. Perubahan batimetri terjadi pada PPB (Purba dan Sujastani 1989), tetapi memerlukan studi yang lebih mendalam, dalam penelitian ini tidak membahas muatan sedimen dasar yang sangat berpengaruh terhadap perubahan batimetri. Beban yang masuk ke PPB diasumsikan dari sedimen kohesif, dengan MPT sebagai faktor yang mempengaruhi sedimen melayang dengan faktor pengendapan kecil (wash load). Faktor batimetri juga mempengaruhi sebaran dari MPT, karena kedalaman mempengaruhi pola arus, dan sebaran MPT sangat dipengaruhi oleh faktor hidrodinamika. Arus dan Debit Air Data arus pada stasiun menetap (stasiun 4) dan stasiun sumber (stasiun 6) merupakan data arus yang berubah terhadap waktu pada siklus pasang surut. Hal-hal yang dapat dianalisa dari arus stasiun menetap, adalah sebagai berikut: Kisaran magnitut arus: minimal 0,03 m/detik, maksimal 1,49 m/detik, kecepatan rata-rata 0,52 m/detik ± 0,31 m/detik. Arus terbesar 1,49 m/detik tercapai ketika surut maksimal yaitu pada tanggal 27 Juni 2010 pukul 13:00. Ada beberapa waktu dimana terdapat kondisi air diam (slack water), yaitu pada (1) tanggal 27 Juni 2010 pukul 17:10 sampai dengan 17:30 dengan kecepatan arus permukaan sebesar 0 0,08 m/detik, (2) tanggal 27 Juni 2010 pukul 22:20 sampai dengan 22:30 dengan kecepatan arus permukaan berkisar 0,12 m/detik, (3) tanggal 28 Juni 2010 pukul 4:50 sampai dengan 5:00 dengan kecepatan arus permukaan sebesar 0,05 0,09 m/detik, (4) tanggal 28 Juni 2010 pukul 10:30 sampai dengan 10:50 dengan kecepatan arus permukaan berkisar 0,04 m/detik. Arah arus: ketika pasang mempunyai kisaran 8,3 69,9 o (utara dan timur) dan ketika surut mempunyai kisaran 175,7 338,3 o (selatan dan barat). Pasang surut dan stick plot arus stasiun menetap disajikan pada Gambar 11. Arus yang tercatat di stasiun menetap menggambarkan pola arus yang didominasi oleh pasang surut. Ketika pasang, arus menuju ke Laguna Segara Anakan, dan ketika surut, arus menuju ke laut. Debit air sungai dari Laguna Segara Anakan sangat mempengaruhi hidrodinamika PPB, hal ini dapat dilihat dari arus yang mengalir dengan cepat ketika surut, yaitu resultan arus yang

6 54 berasal dari laguna dan arus dari Sungai Citanduy. Arus maksimal hasil model dari Matsuyama et al. (1994), menunjukkan nilai 1,5 m/detik, merupakan arus resultan pada saat surut dan arus dari Sungai Citanduy dimana arus ketika pasang adalah lemah. Data arus pada stasiun menetap merupakan data arus yang digunakan dalam validasi model. Gambar 11 Stick plot arus di stasiun menetap (stasiun 4) Data arus pada stasiun sumber (stasiun 6) merupakan data arus yang berubah terhadap waktu pada siklus pasang surut. Hal-hal yang dapat dianalisa dari arus stasiun sumber, adalah sebagai berikut: Secara total pasang surut teramati selama 12 jam, dengan 2 kali surut dan 1 pasang, 2 kali air tenang (slack water), Data arus sumber: minimal 0,02 m/detik, maksimal 1,24 m/detik, kecepatan rata-rata 0,50 m/detik ± 0,33 m/detik. Arus terbesar 1,24 m/detik tercapai ketika surut maksimal yaitu pada tanggal 28 Juni 2010 pukul 14:50. Arah arus: ketika pasang mempunyai kisaran 343,5-14,8 o (utara) dan ketika surut mempunyai kisaran 164,8 197,7 o (selatan). Data arus diam (slack water): (1) Terjadi pada tanggal 28 Juni: pukul 18:40-18:50, tinggi pasang surut 80 cm, dengan kecepatan arus 0,039 0,053

7 55 m/detik. (2) Terjadi pada tanggal 28 Juni: pukul 22:50-23:10, tinggi pasang surut 123 cm, dengan kecepatan arus 0,02 0,075 m/detik. Pasang surut dan stick plot arus stasiun sumber disajikan pada Gambar 12. Data arus stasiun sumber dengan luas penampang merupakan data debit yang berubah menurut waktu dalam siklus pasang surut. Menurut Matsuyama et al. (1994) pemakaian debit dalam model sebagai masukan (flow) dalam model sebagai pembawa MPT. Gambar 12 Stick plot arus di stasiun sumber (stasiun 6) Sistem hidrodinamika PPB dipengaruhi oleh pasang surut juga dan sungaisungai yang bermuara di Laguna Segara Anakan. Debit Sungai Citanduy mempunyai peranan penting pada hidrodinamika Laguna Segara Anakan bagian barat dan PPB. Air dari sungai-sungai yang bermuara di Laguna Segara Anakan bagian barat, setelah tercampur dengan air laut ketika air pasang, akan kembali ke laut melalui PPB saat air surut. Debit air campuran tersebut sangat bervariasi, mencapai maksimal ketika air surut maksimal, hasil perhitungan debit pada stasiun sumber (stasiun 6) dapat dilihat pada Lampiran 4. Debit pada stasiun sumber dapat dilihat pada Tabel 14. Air campuran tersebut sangat mempengaruhi proses percampuran air di PPB. Gambaran tentang masuknya air laut dan debit dari sungai yang membawa sedimen melayang dapat dilihat pada Lampiran 1, dimana batas percampuran antara keduanya terlihat jelas berupa front akibat beda densitas dan adanya arus turbulen.

8 56 Hasil perhitungan debit di stasiun sumber (stasiun 6) mempunyai nilai yang hampir sama dengan penelitian Holtermann et al. (2008) pada musim yang sama. Hal tersebut dapat diasumsikan bahwa data debit tersebut cukup valid untuk dijadikan input model hidrodinamika di PPB. Hasil perhitungan debit pada stasiun sumber, digunakan sebagai input kondisi batas debit (Flow Boundary Condition) pada model. Tabel 14 Debit pada stasiun stasiun sumber (stasiun 6) Variabel Stasiun Sumber Satuan Luas penampang pada saat surut 1272,9290 m 2 Luas penampang pada saat pasang 1879,5290 m 2 Arus maksimal pada waktu surut 1,2410 m/detik Arus minimal pada waktu surut 0,1210 m/detik Arus rerata pada waktu surut 0,7545 m/detik Arus maksimal pada waktu pasang 0,4950 m/detik Arus minimal pada waktu pasang 0,1920 m/detik Arus rerata pada waktu pasang 0,2784 m/detik Debit pada saat surut dengan arus surut maksimal 1579,7049 m 3 Debit pada saat surut dengan arus surut minimal 154,0244 m 3 Debit pada saat surut dengan arus rerata surut 960,3719 m 3 Debit pada saat pasang dengan arus pasang maksimal 930,3668 m 3 Debit pada saat pasang dengan arus pasang minimal 360,8696 m 3 Debit pada saat pasang dengan arus rerata pasang 523,3262 m 3 Pasang Surut Pergerakan air di PPB dipengaruhi oleh aliran sungai-sungai dari laguna dan pasang surut dari Samudera Hindia. Penelitian-penelitian sebelumnya: Purba dan Sujastani (1989) di daerah laguna dan PPB; Matsuyama et al. (1994) di daerah laguna, Klaces; Nugrahadi; Holtermann et al. (2008) di daerah laguna yaitu di Klaces, Motean. Tipe lokal pasang surut di PPB adalah campuran cenderung semi diurnal (dua kali pasang dan dua kali surut)(purba dan Sujastani 1989; Matsuyama et al. 1994; Nugrahadi dan Tejakusuma 2007; Holtermann et al. 2008) dengan tunggang pasang surut antara 0,35-1,65 m (kisaran pasang surut 1,3 m). Dengan rerata muka air 0,9823 m ditentukan dengan Metode Doodson (Ongkosongo dan Suyarso 1986), dapat dilihat pada Lampiran 2.

9 57 Rerata muka air digunakan lebih lanjut dalam penentuan volume air PPB pada waktu pasang dan surut, luas penampang melintang tiap stasiun dalam menentukan debit, dan luas area PPB. Data pasang surut hasil pengukuran di lokasi penelitian pada Bulan Juni 2010 selama 64 jam (2 hari 16 jam) disajikan dalam Gambar Elevasi Muka Air (cm) /26/10 11:00 6/26/10 13:00 6/26/10 15:00 6/26/10 17:00 6/26/10 19:00 6/26/10 21:00 6/26/10 23:00 6/27/10 1:00 6/27/10 3:00 6/27/10 5:00 6/27/10 7:00 6/27/10 9:00 6/27/10 11:00 6/27/10 13:00 6/27/10 15:00 6/27/10 17:00 6/27/10 19:00 6/27/10 21:00 6/27/10 23:00 6/28/10 1:00 6/28/10 3:00 6/28/10 5:00 6/28/10 7:00 6/28/10 9:00 6/28/10 11:00 6/28/10 13:00 6/28/10 15:00 6/28/10 17:00 6/28/10 19:00 6/28/10 21:00 6/28/10 23:00 6/29/10 1:00 6/29/10 3:00 Gambar 13 Data Pasang Surut Selama Penelitian Analisa data pasang surut meliputi perhitungan waktu dalam asimetri pasang surut dan perbandingan data pengukuran dengan data pasang surut model dari NaOTide. Bentuk pasang-surut tidak sama (asimetris), dimana lama waktu pasang dan surut tidak sama, dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Asimetri pasang surut data pengukuran Pasang/surut ke- Lama Surut Lama Pasang (jam) (jam) Pertama 4* 6 Kedua 4 6 Ketiga 6,5 7 Keempat 4 6 Kelima 5,5 6 Keenam 4* - Keterangan: * data tidak lengkap (data awal/akhir tidak diketahui) Dari tabel di atas, lama waktu pasang lebih lama dibandingkan dengan lama waktu surut, hal ini diduga peran dari resultan arus dari sungai-sungai yang

10 58 bermuara di Laguna Segara Anakan. Ketika surut resultan positif, artinya arus sungai menambah kecepatan arus surut, ketika pasang adalah sebaliknya. Waktu yang dibutuhkan surut untuk mencapai surut maksimal lebih cepat dari pada pasang, hal tersebut terjadi akibat karakteristik arus pasang surut yang berubah akibat perubahan morfologi perairan dan hidrologi lokal (Open University Course Team 1989). Cepat rambat pasang surut ke dalam estuari tergantung pada kedalaman perairan. Puncak gelombang bergerak lebih cepat dari lembah, sehingga siklus pasang surut bersifat asimetris dengan interval waktu relatif lama antara pasang naik dan surut rendah berikutnya, dan interval yang lebih pendek antara surut rendah dengan pasang naik berikutnya (Open University Course Team 1989) Fluktuasi muka air (m) Data Observasi NaOTide Residu Keterangan: Angka pada sumbu x adalah tanggal 26 Juni 2010 jam 11:00 sampai dengan 28 Juni 2010 jam 13:00 Gambar 14 Perbandingan data pasang surut observasi dan NaOTide Perbandingan data pasang surut observasi dan NaOTide disajikan pada Gambar 14, dimana pasang surut observasi dan NaOTide dengan posisi koordinat dan waktu yang bersesuaian mempunyai fase yang hampir berhimpit

11 59 dengan magnitut yang berbeda sedikit. Validasi data model pasang surut NaOTide dan data observasi pasang surut, mempunyai nilai RMSE sebesar 0,1788 m dan nilai NRMSE sebesar 15,4816%, maka masukan data pasang surut model pada kondisi batas elevasi (elevation Boundary Condition) menggunakan data model NaOTide. Perhitungan validasi data pasang surut model NaOTide dan data observasi dapat dilihat pada Lampiran 9. Hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya Matsuyama et al. (1994) dan Nurjaya dan Surbakti (2010). Sedimen Dasar Analisis fraksi butiran sedimen dasar PPB dapat dilihat pada Gambar 15 dan Tabel 16. Didapatkan hasil: kelas sedimen daerah dekat Laguna Segara Anakan (PPB bagian utara) adalah dominansi pasir, sedangkan di daerah tengah PPB dan dekat mulut Nusa Were berupa kelas lanau-berliat. Hal tersebut diduga bahwa arus dari Segara Anakan membawa material sedimen mengendapkan sejumlah pasir di daerah Utara PPB, sedangkan material sedimen halus terbawa sampai ke laut dan terjadi pengendapan di daerah tengah PPB dan dekat pelawangan. Peran arus pasang surut sangat dominan di PPB dalam proses transpor sedimen (van Rijn 1993; Triatmojo 1999; Ji 2008). Gambar 15 Sedimen dasar dan diagram Ternary

12 60 Tabel 16 Analisa fraksi sedimen dasar PPB Jenis Sedimen Lokasi Dekat Pelawangan Tengah PPB Utara PPB Clay (%) medium clay 34,710 41,570 4,360 Silt (%) very fine silt 7,260 11,120 1,936 fine silt 16,187 21,136 2,027 medium silt 21,553 18,454 3,477 Pasir (%) very fine sand 16,704 6,672 50,710 fine sand 3,086 1,025 37,390 very coarse sand 0,500 0,023 0,100 Kelas: Lanau berliat Lanau berliat Pasir Sedimen dasar terdiri dari campuran berbagai macam kelas dan ukuran butir sedimen. Untuk mengetahui sebaran ukuran butir sedimen dapat dilakukan dengan tabel dan grafik distribusi ukuran butir sedimen. Distribusi frekuensi dari komposit sampel sedimen dasar PPB dapat dilihat pada Tabel 17 berikut: Tabel 17 Distribusi frekuensi ukuran butir sedimen dasar PPB D(mm) =-log2(d) Prosentase Distribusi frekuensi 0,0010 9, , ,88 0,0022 8,8614 6, ,65 0,0069 7, , ,77 0,0215 5, , ,26 0,0745 3, , ,96 0,1940 2, , ,79 0,7000 0,5146 0, Dari tabel di atas dibuat grafik distribusi asimetris, seperti dapat dilihat pada Gambar 16, dimana prosentase yang besar adalah sedimen dengan ukuran butir halus, dari diameter rata-rata. Diameter rata-rata adalah ukuran yang berhubungan dengan nilai tengah dari area di bawah kurva distribusi frekuensi ukuran butir sedimen. Nilai yang diberikan pada persentil ke-50 (D 50 ) adalah median dari ukuran butir, yaitu sedimen dengan diameter 0,0215 mm yang termasuk kelas lanau kasar. Selanjutnya data tersebut digunakan untuk acuan dasar menentukan nilai kekasaran dasar dalam model.

13 Distribusi Frekuensi (%) D Ukuran Butir (mm) Gambar 16 Distribusi frekuensi ukuran butir sedimen dasar PPB Data Tabel 17 selanjutnya diolah dengan parameter statistik sedimen, yaitu dengan mengetahui nilai tengah ukuran butir sedimen (mean size), standar deviasi (sortasi), dan kemencengan (skewness). Perhitungan tersebut mengikuti prosedur dari Dyer (1986) dan Blott dan Pye (2001). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7, secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Analisis parameter statistik sedimen dasar sistem logaritmik Mean Size Sortasi Skewness x φ = 0,0511 φ = Lanau kasar fm φ f m φ x 2 φ 100 σ φ = Tersortasi sangat baik Sk φ = f m φ x φ 3 100σ φ Sangat condong butir halus Hasil perhitungan distribusi frekuensi ukuran butir sedimen Tabel 17 dan analisis parameter statistik menunjukkan hasil yang sama, bahwa ukuran butir median (mean size) adalah dari jenis lanau kasar (coarse silt). Langkah ini sangat penting sebagai gambaran tingkat kekasaran dari dasar perairan. Dalam pemodelan, data tersebut membantu dalam menentukan koefisien dari kekasaran dasar (roughness coefisien). Sedimen dasar di PPB mempunyai

14 62 standar deviasi (sortasi) sangat baik, artinya sedimen yang mengendap di PPB terpilih secara baik, yaitu dari jenis lanau dengan ukuran hampir seragam. Sedimen dasar PPB mempunyai kecenderungan kemencengan (skewness) ke arah sedimen halus, artinya sedimen dasar PBB dijumpai dari jenis sedimen dengan ukuran butir halus. Data CTD Pengukuran data CTD mendapatkan data deret waktu salinitas, suhu, densitas, dan kedalaman. Data densitas yang merupakan fungsi dari salinitas dan suhu mempunyai peran yang sangat penting dalam mengetahui properti perairan: yaitu ada atau tidaknya stratifikasi, indikator untuk mengetahui pola percampuran (mixing) dan pergerakan air vertikal (arus residu). Gambar 17 menunjukkan sebaran vertikal densitas di PPB pada saat pasang dan surut. Densitas [kg/m 3 ] (a) Selatan Jarak [km] Utara Densitas [kg/m 3 ] (b) Jarak [km] Gambar 17 Sebaran menegak densitas pada saat (a) pasang dan (b) surut

15 63 Saat terjadi pasang surut, massa air bergerak ke arah Utara saat pasang dan arah sebaliknya ketika surut, adanya gesekan pada dasar menyebabkan tahanan kecepatan dan menimbulkan turbulensi. Turbulensi membuat proses percampuran massa air efektif, dimana terjadi proses percampuran air bersalinitas tinggi ke arah permukaan dan air bersalinitas rendah bercampur ke bawah. Proses penurunan salinitas mencapai dekat dasar sehingga menghasilkan gradien salinitas ke arah hulu estuari (Dyer 1989). Seperti pada Gambar 17, terjadi degradasi salinitas pada saat pasang dan surut. Sebaran densitas secara vertikal pada saat pasang seperti yang dapat dilihat pada Gambar 17 (a), menunjukkan bahwa faktor salinitas dari laut lebih dominan mempengaruhi densitas daripada suhu, karena kisaran suhu yang sempit. Dimana faktor suhu di estuari tidak secara nyata mempengaruhi densitas (Dyer 1989). Perbedaan salinitas antar stasiun menunjukkan bahwa salinitas tinggi mendominasi PPB. Bagian hulu PPB (stasiun 6) mempunyai densitas yang bervariasi, yaitu cenderung kecil pada lapisan permukaan hingga kedalaman 2 m dan densitas tinggi berada di lapisan dasar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh debit air tawar dari sungai yang bermuara di Laguna Segara Anakan masih ada, dan percampuran air di daerah hulu PPB. Sebaran densitas secara vertikal pada saat surut seperti yang dapat dilihat pada Gambar 17 (b), menunjukkan bahwa air dari Laguna Segara Anakan melalui PPB mempengaruhi densitas dari hulu hingga mulut PPB. Perbedaan densitas pada kolom perairan cenderung tidak terstrafikasi di PPB. Hal tersebut menunjukkan air berdensitas rendah dari Laguna Segara Anakan menuju laut dengan mekanisme surut. Hal berbeda ditunjukkan pada stasiun 1 dan stasiun 2 yang merupakan daerah laut, dimana densitas tinggi berada di lapisan bawah. Data MPT Data MPT yang diperoleh adalah: MPT deret waktu pada lapisan permukaan di stasiun menetap, MPT deret waktu pada lapisan dekat dasar di stasiun menetap, sebaran spasial MPT pada lapisan permukaan, sebaran spasial MPT pada lapisan dekat dasar. Gambar 18 merupakan data MPT deret waktu yang dilakukan selama observasi. Tabel 19 merupakan data MPT sebaran spasial pada waktu pasang dan surut, pada lapisan permukaan dan dekat dasar. Pola sebaran konsentrasi MPT terlihat dalam Gambar 19.

16 64 Konsentrasi MPT (mg/l) /26/10 11:00 6/26/10 12:00 6/26/10 13:00 6/26/10 14:00 6/26/10 15:00 6/26/10 16:00 6/26/10 17:00 6/26/10 18:00 6/26/10 19:00 6/26/10 20:00 6/26/10 21:00 6/26/10 22:00 6/26/10 23:00 6/27/10 0:00 6/27/10 1:00 6/27/10 2:00 6/27/10 3:00 6/27/10 4:00 6/27/10 5:00 6/27/10 6:00 6/27/10 7:00 6/27/10 8:00 6/27/10 9:00 6/27/10 10:00 Elevasi Muka Air (cm) MPT permukaan MPT dekat dasar Pasang surut Gambar 18 Data MPT deret waktu selama observasi di Stasiun 4 Gambar 18 menunjukkan bahwa konsentrasi MPT deret waktu mempunyai pola mengikuti pasang surut. Pada saat surut akan mentranspor MPT ke laut dengan magnitut cukup besar, karena resultan arus surut dan debit dari sungai. Matsuyama et al. (1994) menyatakan bahwa MPT dari Sungai Citanduy dibawa langsung ke arah PPB ketika arus surut. Pada saat pasang, konsentrasi MPT lebih kecil daripada saat surut, sebab air laut yang jernih dan berdensitas lebih tinggi masuk ke PPB sehingga proses percampuran terjadi. Konsentrasi MPT di permukaan dan dekat dasar mempunyai pola yang serupa tergantung kondisi pasang surut. Konsentrasi MPT dekat dasar pada pukul 20:00, menunjukkan peningkatan pada saat pasang, diduga karena olakan sedimen dasar pada saat air laut masuk. Tabel 19 Data MPT pada waktu pasang dan surut Stasiun MPT (mg/l) sampling spasial Pasang Surut Permukaan Dekat dasar Permukaan Dekat dasar Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun

17 65 Gambar 19 Pola sebaran spasial MPT pada waktu pasang dan surut Pada saat pasang, konsentrasi MPT dekat dasar lebih kecil daripada permukaan, seperti terlihat pada Gambar 19 (a) dan (b), diduga karena air laut yang jernih dan berdensitas lebih tinggi masuk ke PPB, sedangkan di permukaan PPB masih dipengaruhi air Laguna Segara Anakan. Hasil yang berbeda ditunjukkan di stasiun 4, dimana MPT dasar lebih tinggi daripada MPT di permukaan, hal ini diduga karena lokasi tersebut merupakan daerah penyempitan, sehingga arus permukaan lebih besar sehingga mentranspor MPT permukaan. Hal lain yang diduga meyebabkan konsentrasi MPT dekat dasar lebih tinggi adalah adanya turbiditas maksimum yang disebabkan oleh turbulensi (van Rijn 1993). Pada saat surut, konsentrasi MPT di dekat dasar lebih tinggi daripada permukaan, seperti terlihat pada Gambar 19 (c) dan (d), diduga karena air dari

18 66 Laguna Segara Anakan dengan arus cukup tinggi keluar dari PPB menuju laut dengan membawa MPT dengan konsentrasi tinggi. Hasil yang berbeda ditunjukkan di stasiun 1, dimana MPT dekat dasar lebih rendah daripada permukaan, karena lokasi tersebut merupakan daerah laut (depan mulut PPB), dimana air berarus dari PPB masih membawa MPT dengan densitas rendah berada di permukaan (Gambar 17 b). Stasiun 3 merupakan stasiun dengan nilai MPT tertinggi, karena dangkal, dimana olakan selalu terjadi dan mengaduk sedimen dasar (resuspensi). Kompilasi Data Observasi Kompilasi data observasi antara pasang surut, properti perairan, dan MPT pada stasiun menetap (stasiun 4) dapat dilihat pada Gambar 20. Pasang surut merupakan gaya utama di Laguna Segara Anakan (Purba dan Sujastani 1989; Matsuyama et al. 1994; Nugrahadi dan Tejakusuma 2007; Holtermann et al. 2008) yang juga mempengaruhi hidrodinamika di PPB. Pada saat surut, kondisi PPB adalah sebagai berikut: arus dengan magnitut cukup besar dari Laguna Segara Anakan melalui PPB ke arah Samudera Hindia dengan arah baratdaya. Arus tersebut membawa MPT dalam jumlah besar, baik di permukaan ataupun dekat dasar. Suhu relatif tidak berbeda secara nyata, sedangkan salinitas berfluktuasi dengan nilai rendah. Sehingga densitas lebih banyak dipengaruhi oleh fluktuasi salinitas (Dyer 1989). Hal tersebut menandakan debit dari sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan cukup banyak mempengaruhi hidrodinamika PPB. Pada saat air diam (slack water) pada pukul 17:00 di permukaan masih ada arus dari Laguna Segara Anakan. Pada saat surut densitas di stasiun 4 rendah, karena masukan air tawar dari laguna, seperti terlihat pada Gambar 17 (b). Pada saat pasang, kondisi PPB adalah sebagai berikut: arus dengan magnitut cukup kecil dari Samudera Hindia melalui PPB ke arah Laguna Segara Anakan dengan arah timur laut. Arus tersebut membawa air bersalinitas tinggi dan jernih, sehingga air di permukaan dan dekat dasar mempunyai konsentrasi MPT yang kecil. Suhu relatif tidak berbeda secara nyata, sedangkan salinitas berfluktuasi dengan nilai besar. Sehingga densitas lebih banyak dipengaruhi oleh fluktuasi salinitas. Air bersalinitas tinggi tinggi masuk ke PPB dari dasar perairan. Hal tersebut terlihat dari salinitas yang tinggi di dekat dasar. Pada saat air diam (slack water) pada pukul 22:00 menuju surut berikutnya di permukaan masih ada

19 67 arus dari laguna walaupun kecil (0,15 m/detik). Pada saat pasang, densitas di stasiun 4 tinggi, karena masukan air laut dari Samudera Hindia, seperti terlihat pada Gambar 17 (a). Gambar 20 Kompilasi data observasi di stasiun menetap Model Hidrodinamika dan Sebaran MPT Syarat diterapkannya model hidrodinamik 2-dimensi adalah tipe percampuran perairan tersebut tidak terstratifikasi sempurna (Donnell, 2008).

20 68 Untuk mengetahui tipe stratifikasi di PPB dapat dilihat dari profil menegak densitas. Gambar 21 merupakan beberapa kondisi percampuran air (beda densitas tiap kedalaman) pada waktu: menuju surut, surut, menuju pasang, dan pasang di sekitar stasiun 4 (stasiun menetap). Untuk data yang lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. Salah satu ciri estuari dengan tipe tercampur sebagian adalah garis isohalin cenderung membentuk lengkung (Dyer 1986). Untuk memperkuat pernyataan bahwa tipe percampuran PPB tercampur sebagian, maka bukti lain adalah dengan perhitungan Angka Richardson. Untuk data yang lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6, dimana hasil perhitungan menunjukkan bahwa tipe percampuran PPB adalah estuari tercampur sebagian (partially mixed estuary) dengan nilai R=0,0819. Dari hasil profil menegak densitas dan Angka Richardson yang menunjukkan bahwa PPB merupakan perairan terstratifikasi sebagian, maka model 2D dapat diterapkan di PPB. Kedalaman (m) Densitas (kg/m 3 ) menuju surut surut menuju pasang pasang Gambar 21 Profil menegak densitas menjelang pasang, pasang, menjelang surut dan surut Pada estuari tercampur sebagian energi pasang surut dihambat oleh turbulensi akibat tahanan dasar. Faktor turbulen sangat penting dalam proses percampuran suatu estuari atau perairan. Untuk membuktikan bahwa PPB merupakan perairan dengan aliran turbulen, dapat dilihat pada Lampiran 10 (Angka Reynolds). Turbulensi tersebut berupa turbulensi eddy dengan

21 69 tercampurnya air bersalinitas tinggi ke arah atas dan air tawar ke arah bawah. Akibatnya salinitas di permukaan meningkat, maka aliran di permukaan merupakan aliran dari air tawar ditambah dengan air bersalinitas tinggi dari bawah (Dyer 1986). Dalam estuari tercampur sebagian, aliran dari sungai lebih rendah dibandingkan dengan prisma pasut. Setelah penerapan model 2-dimensi dapat diterapkan, maka langkah selanjutnya adalah menentukan perangkat lunak pemodelan hidrodinamika 2- dimensi rerata kedalaman. Pemilihan model 2-dimensi adalah Surfacewater Modeling System (SMS) dengan modul RMA2 untuk hidrodinamika dan modul SED2D untuk sebaran MPT. Pada bagian ini akan diulas proses pembuatan jaring model (mesh), dan hasil dari pemodelan yaitu: pola arus dan elevasi (modul RMA2), sebaran MPT (modul SED2D). Proses awal pemodelan SMS adalah pendiskritisasian area model (domain model) dengan pembuatan model-konseptual, yang dibuat dalam modul map dan modul scatter point. Data yang dibutuhkan berupa peta PPB proyeksi UTM, data batimetri, garis pantai, dan titik-titik referensi kondisi batas. Hasil diskritisasi berupa domain model (Gambar 22), yaitu daerah PPB dan laut yang berdekatan. Domain model PPB dibangun dari peta dengan proyeksi S-UTM zona 49, titik scatter garis pantai dan batimetri. Penentuan garis bantu untuk kondisi batas model dibuat di dua lokasi, sebelah utara (dekat stasiun 6) merupakan kondisi batas debit, dan sebelah selatan (laut) merupakan kondisi batas elevasi (garis merah). Proses selanjutnya adalah pembuatan model-konseptual (Gambar 23). Domain model dalam bentuk gambar (image) digunakan sebagai panduan pembuatan model-konseptual, Gambar 23 (a). Model-konseptual dibuat dalam modul map dan modul scatter point dengan membuat garis, titik, dan poligon. Garis pantai dinyatakan dengan garis (map module) dan batimetri dinyatakan dengan titik (scatter point module). Data batimetri diinterpolasikan kedalam elemen pada suatu poligon. File dari model-konseptual disimpan dalam file dengan ekstensi *.map, *.sup. Hasil akhir dari pembuatan model-konseptual adalah poligon-poligon yang berisi informasi tentang elemen pembentuk jaring model (mesh), seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23 (b). Tiap poligon berisi informasi tentang: tipe mesh (paving), tipe batimetri (scatter set), tipe poligon.

22 70 Gambar 22 Batimetri dan domain model PPB dan laut sekitarnya (a) (b) Gambar 23 Model-konseptual dari domain model

23 71 Tipe mesh paving dipilih karena bentuk elemennya dapat berupa elemen segitiga ataupun segiempat, sehingga dapat menyesuaikan garis pantai. Tipe batimetri yang dipilih adalah scatter set, karena disesuaikan data batimetri hasil observasi dan diinterpolasikan terhadap elemen. Tipe poligon yang dipilih dengan menerapkan parameter model (koefisien kekasaran, turbulensi) terhadap semua elemen. Proses selanjutnya adalah membuat poligon menjadi mesh. Jaring Model Setelah mendefinisikan semua poligon, maka proses selanjutnya adalah mengubah map menjadi mesh dari menu Feature Object. Jaring model (Mesh) RMA2 dan SED2D merupakan geometri domain model dengan tipe 2-dimensi, rerata kedalaman, dengan elemen hingga (finite element) (Gambar 24 a). Mesh yang dibangun dengan spesifikasi: jumlah elemen 590 buah, jumlah node buah, tipe elemen kuadratik, jumlah elemen segitiga 80 buah, jumlah elemen segiempat 510 buah. Mesh yang dihasilkan telah diinterpolasikan dengan data scatter batimetri dan garis pantai (Gambar 24 b). Proses interpolasi tersebut dilakukan pada saat input data batimetri pada modul Scatter point. Perangkat lunak SMS memberikan fasilitas pemeriksaan kualitas mesh dan akan diperiksa ulang pada tahap model checker. (a) (b) Gambar 24 Mesh (a) geometri mesh (b) mesh dengan interpolasi kedalaman

24 72 Kondisi Batas Kondisi Batas Elevasi Kondisi batas elevasi berupa data elevasi muka air laut 1 jam-an selama 360 jam dari data NaOTide, penggunaan data NaOTide sebagai input model seperti yang dilakukan Nurjaya dan Surbakti (2009). Data 1 jam-an dipilih mengikuti data observasi pasang surut dan data yang lain dengan periode 1 jam. Sedangkan 360 jam (15 hari) dipilih disesuaikan dengan siklus komponen pasang surut utama (M 2 ) untuk kembali pada nilai yang sama (Ongkosongo dan Suyarso 1986). Data NaOTide sebelumnya dibandingkan dengan data pengukuran observasi, nilai Root Mean Square Error (RMSE) atau nilai galat model sebesar 0,1788 m dengan Normalized RMSE (NRMSE) atau tingkat kesalahan sebesar 15,4816%, sehingga data NaOTide dapat digunakan sebagai input kondisi batas elevasi. Hasil elevasi model divalidasi dengan data pasang surut hasil observasi. Kondisi Batas Debit Kondisi batas debit (BC Flow) berupa data deret waktu arus dari stasiun 6 dikalikan dengan luas penampang basah pada stasiun 6, sehingga diperoleh debit. Hasil hitungan debit sesuai dengan hasil penelitian Holtermann (2008), yaitu antara m 3 /detik. Data debit digunakan sebagai input kondisi batas debit dengan jumlah langkah waktu 360 jam, tipe transient (dinamik). Kondisi Batas Daratan Kondisi batas daratan merupakan kondisi batas licin (slip Boundary Condition), yaitu suatu kondisi dimana air tidak dapat menembus daratan atau kecepatan arus mengenai daratan adalah nol. Salah satu ciri dari kondisi batas ini adalah arah arus menjadi sejajar dengan daratan (Donnell 2008). Kondisi batas daratan berupa garis pantai yang sudah diinterpolasi ke dalam mesh. Parameter Model Penentuan parameter model merupakan tahap yang cukup rumit, karena memerlukan studi yang komprehensif, untuk pemula lebih bersifat coba-coba (trial and error) (Donnell 2006; Donnell 2008). Parameter model RMA2 dan SED2D ditentukan dari pustaka dan dari penelitian sebelumnya. Parameter

25 73 model RMA2 diatur dalam menu kontrol model, dengan memasukkan: kondisi permukaan air awal (dari data input BC elevasi) yang berguna untuk mengisi kolom kanal PPB dengan air dengan ketinggian inisial, tipe simulasi transient (dinamis berdasarkan waktu), jumlah ulangan perhitungan (iterasi diberi input 3), perhitungan waktu (ukuran langkah waktu: 1 jam, jumlah langkah waktu 360 jam, waktu maksimum 360, langkah waktu pertamaadalah jam ke-0), koefisien kekasaran Manning (0,025) dan viskositas Eddy (1 m 2 /det)(eci, 1994). Penentuan langkah waktu 1 jam adalah disesuaikan dengan data observasi pada stasiun menetap (pasang surut tiap 30 menit dijadikan data 1 jam-an, arus tiap 10 menit dijadikan data 1 jam-an, MPT tiap 1 jam). Sedangkan jumlah waktu 360 jam (15 hari) dipilih disesuaikan dengan siklus komponen pasang surut utama (M 2 ) untuk kembali pada nilai yang sama (Ongkosongo dan Suyarso 1986). Langkah waktu dan jumlah langkah waktu dalam modul SED2D disesuaikan dengan modul RMA2. Modul RMA2 dan SED2D merupakan gabungan model hidrodinamik 2- dimensi dan model transpor sedimen sesuai dengan penelitian Lin dan Falconer (1995) dalam penggabungan model hidrodinamik dan transpor sedimen. Penentuan parameter transpor sedimen cukup rumit, dimana proses transpor sedimen dipengaruhi oleh variasi parameter bebas, diantaranya: formasi sedimen dasar, ukuran partikel, kecepatan endap partikel, koefisien difusi sedimen, besarnya arus, kekasaran dasar, tahanan dasar (Lin dan Falconer 1995; Triatmojo 1999). Pengukuran lapangan secara akurat sangat sulit diperoleh. Dalam modul SED2D, parameter model banyak yang dipilih aturan tetapan model (default), karena membutuhkan studi komprehensif.. Hasil Pemodelan Model RMA2 Setelah beberapa kali error dan diperbaiki, hasil pemeriksaan model adalah goemetri mesh tidak ditemukan kesalahan, kondisi batas dan nilai parameter tidak ditemukan kesalahan. Maka model RMA2 dijalankan (running), menghasilkan file solusi (*.sol). Proses berikutnya adalah validasi hasil model dengan data observasi (Hsu et al. 1999), data yang divalidasi adalah arus hasil model dengan data arus dari stasiun 4 (stasiun menetap), elevasi hasil model

26 74 dengan data observasi pasang surut. Hasil validasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 25. Arus maksimal hasil model RMA2 adalah 1,9 m/detik, dengan rata-rata 0,5 m/detik, hal ini sesuai dengan penelitian dari Matsuyama (1994) dan ECI (1994). Hasil perhitungan RMSE dan NRMSE dari validasi hasil model dan data observasi dari arus dan elevasi adalah sebagai berikut: - Perbandingan arus model dan data observasi di stasiun 4, dengan RMSE 0,1037 m/detik dan NRMSE 20,1363%. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran Elevasi muka air model dengan data pasang surut observasi, dengan hasil hampir berhimpit. Nilai RMSE 0,1405 m dan NRMSE 11,215%. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Dengan hasil tersebut, maka pembuatan model pola arus (RMA2) memenuhi kriteria (Hsu et al. 1999) arus observasi arus model -1 (a) (b) elevasi observasi elevasi model Gambar 25 Validasi hasil model dan observasi data (a) arus dan (b) elevasi

27 75 Gambar 25 (a), arus uv hasil validasi model dan observasi dari data 24 jam menunjukkan pola mengarah ke timur laut saat pasang dan mengarah ke barat daya ketika surut. Hasil RMSE 0,1037 m/detik dan NRMSE 20,1363%, hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan arus model dan observasi kurang lebih 10 cm/detik, diduga karena penentuan parameter model yang belum sesuai. Tingkat penyimpangan (galat model) masih cukup besar, tetapi masih dalam kisaran model tersebut dapat diterima (Hsu et al. 1999). Demikian juga Gambar 25 (b), elevasi hasil validasi model dan observasi dari data 24 jam menunjukkan pola yang hampir berhimpit dan beda fase yang tidak besar. Hasil RMSE 0,1405 m dan NRMSE 11,215%, hal tersebut menunjukkan bahwa perbedaan elevasi model dan observasi kurang lebih 14 cm, diduga karena selisih data model NaOTide dan data observasi yang digunakan sebagai kondisi batas elevasi. Hasil Model Pola Arus Sebagai pembanding arus hasil pemodelan, Gambar 26 merupakan kondisi elevasi muka air dan arus pengukuran observasi, sebagai stasiun validasi arus dan elevasi. Angka dalam grafik pasang surut menunjukkan kondisi air (menuju surut, surut, menuju pasang, pasang). Arus hasil pemodelan juga menggunakan empat kondisi ar tersebut, dapat dilihat pada Gambar 27, dengan penjelasan sebagai berikut: Gambar 26 Elevasi muka air dan arus pada stasiun 4

28 76 Gambar 27 (a), pola arus hasil pemodelan pada kondisi menuju surut: Arus hasil observasi di stasiun (stasiun menetap) merupakan arus dari Laguna Segara Anakan menuju Samudera Hindia dengan magnitut 0,6768 m/detik dan arus hasil model 0,6498 m/detik dengan arah 240,1 o (barat daya). Hasil pemodelan menunjukkan bahwa terjadi putaran (eddy) di daerah tengah (stasiun 3) yang mengindikasikan arus dari Laguna Segara Anakan masih berpengaruh terhadap perubahan pola arus dan juga akan mempengaruhi pola sebaran MPT. Elevasi muka air masih tinggi setelah air diam (slack water) sehingga akan menambah magnitut arus ketika surut. Gambar 27 (b), pola arus hasil pemodelan pada kondisi surut: Arus dari Laguna Segara Anakan mempunyai magnitut yang cukup besar, arus hasil observasi sebesar 1,0663 m/detik dan arus hasil model 0,9516 m/detik dengan arah 195,3 o (selatan), berarti arus tersebut mendorong air dengan cepat ke arah laut. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Matsuyama et al (1994). Hasil pemodelan menunjukkan bahwa putaran (eddy) di daerah tengah (stasiun 3) tidak terbentuk karena aliran air menjadi laminar dengan kecepatan tinggi sehingga akan mempengaruhi pola sebaran MPT keluar ke Samudera Hindia dengan kecepatan transpor yang tinggi pula. Gambar 27 (c), pola arus hasil pemodelan pada kondisi menuju pasang: Arus hasil observasi merupakan arus yang masuk dari Samudera Hindia dengan magnitut sebesar 0,1578 m/detik dan arus hasil model 0,1343 m/detik dengan arah 8,3 o (utara). Hasil pemodelan menunjukkan bahwa terjadi putaran (eddy) pada beberapa bagian di PPB yang mengindikasikan arus dari laut dan Laguna Segara Anakan bertemu dengan beda magnitut sehingga mempengaruhi pola sebaran MPT. Elevasi muka air rendah setelah air diam (slack water) sehingga magnitut arus kecil. Gambar 27 (d), pola arus hasil pemodelan pada kondisi pasang: Arus hasil observasi merupakan arus dari Samudera Hindia dengan magnitut arus hasil observasi sebesar 0,7860 m/detik dan arus hasil model 0,7357 m/det dengan arah 41,0 o (utara). Hasil pemodelan menunjukkan bahwa terjadi putaran (eddy) pada beberapa bagian di PPB yang mengindikasikan arus

29 77 dari laut dan Laguna Segara Anakan bertemu dengan beda magnitut sehingga mempengaruhi pola sebaran MPT. (a) Arus menuju surut (b) Arus pada waktu surut (c) Arus menuju pasang (d) Arus pada waktu pasang Gambar 27 Pola arus hasil pemodelan RMA2 Model SED2D Dari hasil pemeriksaan model tidak ditemukan kesalahan, proses berikutnya adalah menjalankan model SED2D (running) menghasilkan file solusi sedimen dengan ekstensi *.sed. Selanjutnya membandingkan hasil model MPT dengan data observasi (validasi). Hasil validasi tersebut mempunyai nilai RMSE

30 78 0,0439 kg/m 3 dan NRMSE 15%, dapat dilihat pada Gambar 28. Selanjutnya Gambar 29, merupakan pola sebaran pada waktu pasang dan surut, dimana pada saat pasang: air laut dengan membawa air yang jernih dan bersalinitas tinggi mendesak air di PPB menuju ke Laguna Segara Anakan, sehingga konsentrasi MPT hasil observasi dan model kecil pada daerah mulut dan daerah tengah PPB (daerah stasiun 3). Sedangkan pada saat surut: arus resultan antara arus surut dan debit air dari Laguna Segaa Anakan mempunyai konsentrasi MPT tinggi tertranspor ke Samudera Hindia dengan kecepatan tinggi. Estuari mempunyai mekanisme unik yang mempengaruhi proses sedimentasi, karena adanya gaya pasang surut, flokulasi dan pengendapan sedimen melayang yang dipengaruhi variasi salinitas, sirkulasi estuari. Proses sedimentasi sangat kompleks. Erosi, transpor, dan pengendapan dipengaruhi oleh aliran sungai, arus pasang surut, kejadian meteorologis, reaksi kimia dan proses biologi. Energi turbulensi yang dibangkitkan oleh pasang surut mempunyai cukup energi untuk membuat sedimen tersuspensi. Adanya flokulasi dari fraksi sedimen halus dan sirkulasi estuari membuat sedimen-melayang tetap dalam sistem estuari, sampai akhirnya terbawa arus ke laut (Ji 2008). MPT dari Sungai Citanduy dibawa langsung ke arah PPB ketika arus surut dan pada arah sebaliknya ketika pasang (Matsuyama et al. 1994). Konsentrasi MPT (kg/m 3 ) /26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/26/ :00 6/27/2010 0:00 6/27/2010 1:00 6/27/2010 2:00 6/27/2010 3:00 6/27/2010 4:00 6/27/2010 5:00 6/27/2010 6:00 6/27/2010 7:00 6/27/2010 8:00 6/27/2010 9:00 6/27/ :00 MPT observasi MPT model Gambar 28 Perbandingan konsentrasi MPT hasil model dan observasi

31 79 (a) (b) Gambar 29 Pola sebaran MPT pada saat (a) pasang dan (b) surut Dinamika sedimen melayang di PPB dipengaruhi oleh arus, dimana sejumlah besar MPT tetap pada kondisi melayang, dan mempunyai kecepatan endap pada saat masuk perairan bersalinitas. Kecepatan endap butiran sedimen, merupakan bagian dalam transport sedimen terutama untuk sedimen tersuspensi. Sedimen non-kohesif (misalnya pasir) dalam analisa kecepatan endap merupakan fungsi dari bentuk dan ukuran butiran dengan menggunakan Hukum Stokes, namun jika material sedimen merupakan butiran kohesif maka kecepatan endap dipengaruhi oleh banyak faktor seperti konsentrasi sedimen tersuspensi, salinitas dan diameter partikel. Konsentrasi suspensi adalah parameter paling penting dalam proses flokulasi (Triatmojo 1999). Salinitas juga memengaruhi kecepatan endap dimana pada salinitas 2 o / oo kecepatan endap menjadi lebih cepat dan kemudian konstan (Triatmodjo 1999). Proses flokulasi dipengaruhi oleh diameter butir sedimen, dimana flokulasi berkurang dengan bertambahnya dimensi partikel akibat kohesi yang kurang, semakin kecil diameter maka makin besar flokulasi. Kecepatan endap rerata flokon dalam air yang dapat menyebabkan fokulasi. Sedimen dengan ukuran yang lebih halus lebih mudah berpindah dan cenderung lebih cepat daripada ukuran kasar. Fraksi halus terangkut dalam bentuk suspensi sedangkan fraksi kasar terangkut pada atau dekat dasar laut. Selanjutnya partikel yang lebih besar akan tenggelam lebih cepat daripada yang berukuran kecil (Dyer, 1986). Kecepatan endap (laju partikel keluar dari suspensi

32 80 menuju dasar perairan) adalah sangat kecil misalnya lanau dengan diameter 10 m adalah 9.79 x 10-5 m/detik. Pengaruh pasang surut terhadap proses sedimentasi dalam hal deposisi dan resuspensi. Kecuali saat air diam (slack water), percampuran turbulen membuat sedimen melayang tetap tersuspensi, pada saat yang sama partikelpartikel mengendap ke dasar perairan. Saat arus kembali meningkat pada siklus pasang surut berikutnya, sehingga erosi kembali terjadi dan mentranspor sedimen yang mengendap saat air diam (slack water). Tipe siklus erosi-deposisi dipengaruhi oleh sifat arus pasang surut yang secara periodik berganti arah sesuai dengan siklus pasang surut (Ji 2008). Beban dan Fluks MPT Perhitungan load MPT (rumus S-14) dan fluks MPT (rumus S-15), merupakan nilai yang menggambarkan beban MPT dan fluks ke Samudera Hindia. Perhitungan beban (load) MPT dan fluks MPT pada bulan Juni 2010, dapat dilihat pada Tabel 20, data dari hasil model (konsentrasi MPT pada beberapa titik di mulut PPB, kecepatan arus pada titik yang bersesuaian dengan konsentrasi MPT, dan luas penampang mulut) sebagai berikut: Tabel 20 Hasil perhitungan beban dan fluks MPT di mulut PPB Beban (Load)(kg/detik) Fluks (kg/m 2 /detik) maksimal minimal rerata maksimal minimal rerata surut maksimal pasang maksimal surut minimal pasang minimal Rerata dugaan beban MPT di mulut PPB sebesar kg/detik, dengan fluks sebesar kg/m 2 /detik.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Dalam bab ini akan dijelaskan tentang: waktu dan lokasi penelitian, alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian, perolehan data, pengolahan data, dan pembuatan model hidrodinamika

Lebih terperinci

HIDRODINAMIKA DAN SEBARAN MATERI PADATAN TERSUSPENSI DI PERAIRAN PELAWANGAN BARAT, SEGARA ANAKAN CILACAP TRI NUR CAHYO

HIDRODINAMIKA DAN SEBARAN MATERI PADATAN TERSUSPENSI DI PERAIRAN PELAWANGAN BARAT, SEGARA ANAKAN CILACAP TRI NUR CAHYO HIDRODINAMIKA DAN SEBARAN MATERI PADATAN TERSUSPENSI DI PERAIRAN PELAWANGAN BARAT, SEGARA ANAKAN CILACAP TRI NUR CAHYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan

Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan BAB IV PEMODELAN MATEMATIKA PERILAKU SEDIMENTASI 4.1 UMUM Untuk mengkaji perilaku sedimentasi di lokasi studi, maka dilakukanlah pemodelan matematika dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SMS versi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2 Hidrologi sungai-sungai yang masuk ke Segara Anakan. Rerata Debit (m 3 /hari) Musim Penghujan. Musim Kemarau (x10 6 )

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 2 Hidrologi sungai-sungai yang masuk ke Segara Anakan. Rerata Debit (m 3 /hari) Musim Penghujan. Musim Kemarau (x10 6 ) TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Perairan Pelawangan Barat Laguna Segara Anakan bagian barat dan Samudera Hindia dihubungkan oleh PPB. Bagian yang berhubungan dengan laut merupakan teluk memanjang dari Perairan

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa G174 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang langsung bertemu dengan laut, sedangkan estuari adalah bagian dari sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang langsung bertemu dengan laut, sedangkan estuari adalah bagian dari sungai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Muara Sungai Muara sungai adalah bagian hilir dari sungai yang berhubungan dengan laut. Permasalahan di muara sungai dapat ditinjau dibagian mulut sungai (river mouth) dan estuari.

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi studi ini adalah pcrairan di sckilar pcrairan muara Sungai Dumai scpcrti dilunjukan pada Gambar 3-1. Gambar 3-1. Lokasi Studi Penelitian

Lebih terperinci

(a). Vektor kecepatan arus pada saat pasang, time-step 95.

(a). Vektor kecepatan arus pada saat pasang, time-step 95. Tabel 4.4 Debit Bulanan Sungai Jenggalu Year/Month Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 1995 3.57 3.92 58.51 25.35 11.83 18.51 35.48 1.78 13.1 6.5 25.4 18.75 1996 19.19 25.16 13.42 13.21 7.13

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

NASKAH SEMINAR TUGAS AKHIR SIMULASI 2-DIMENSI TRANSPOR SEDIMEN DI SUNGAI MESUJI PROVINSI LAMPUNG

NASKAH SEMINAR TUGAS AKHIR SIMULASI 2-DIMENSI TRANSPOR SEDIMEN DI SUNGAI MESUJI PROVINSI LAMPUNG NASKAH SEMINAR TUGAS AKHIR SIMULASI 2-DIMENSI TRANSPOR SEDIMEN DI SUNGAI MESUJI PROVINSI LAMPUNG Disusun oleh : SIGIT NURHADY 04/176561/TK/29421 JURUSAN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI

BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI BAB 6 MODEL TRANSPOR SEDIMEN DUA DIMENSI Transpor sedimen pada bagian ini dipelajari dengan menggunakan model transpor sedimen tersuspensi dua dimensi horizontal. Dimana sedimen yang dimodelkan pada penelitian

Lebih terperinci

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6 No. 2, (2017) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) G-172 Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa Muhammad Ghilman Minarrohman, dan Danar Guruh

Lebih terperinci

III HASIL DAN DISKUSI

III HASIL DAN DISKUSI III HASIL DAN DISKUSI Sistem hidrolika estuari didominasi oleh aliran sungai, pasut dan gelombang (McDowell et al., 1977). Pernyataan tersebut mendeskripsikan kondisi perairan estuari daerah studi dengan

Lebih terperinci

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sedimen dasar permukaan Hasil analisis sedimen permukaan dari 30 stasiun diringkas dalam parameter statistika sedimen yaitu Mean Size (Mz Ø), Skewness (Sk

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Data Pasang surut merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk melakukan validasi model. Validasi data pada model ini ditunjukkan dengan grafik serta

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Erosi Erosi adalah lepasnya material dasar dari tebing sungai, erosi yang dilakukan oleh air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : a. Quarrying, yaitu pendongkelan batuan

Lebih terperinci

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17

(a) Profil kecepatan arus IM03. (b) Profil arah arus IM03. Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM03 III-17 (a) Profil kecepatan arus IM3 (b) Profil arah arus IM3 Gambar III.19 Perekaman profil arus dan pasut stasiun IM3 III-17 Gambar III.2 Spektrum daya komponen vektor arus stasiun IM2 Gambar III.21 Spektrum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Penelitian Kecamatan Muara Gembong merupakan daerah pesisir di Kabupaten Bekasi yang berada pada zona 48 M (5 0 59 12,8 LS ; 107 0 02 43,36 BT), dikelilingi oleh perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam perkembangan teknologi perangkat keras yang semakin maju, saat ini sudah mampu mensimulasikan fenomena alam dan membuat prediksinya. Beberapa tahun terakhir sudah

Lebih terperinci

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H PENGANTAR OCEANOGRAFI Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H21114307 Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Makassar 2014 Kondisi Pasang Surut di Makassar Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sedimen merupakan unsur pembentuk dasar perairan. Interaksi antara arus dengan dasar perairan berpengaruh terhadap laju angkutan sedimen. Laju angkutan sedimen tersebut

Lebih terperinci

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab

Definisi Arus. Pergerakkan horizontal massa air. Penyebab Definisi Arus Pergerakkan horizontal massa air Penyebab Fakfor Penggerak (Angin) Perbedaan Gradien Tekanan Perubahan Densitas Pengaruh Pasang Surut Air Laut Karakteristik Arus Aliran putaran yang besar

Lebih terperinci

Analisis Angkutan dan Distribusi Sedimen Melayang Di Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat pada musim kemarau

Analisis Angkutan dan Distribusi Sedimen Melayang Di Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat pada musim kemarau Analisis Angkutan dan Distribusi Sedimen Melayang Di Sungai Kapuas Pontianak Kalimantan Barat pada musim kemarau Wenni Rindarsih, S.Si 1) ; Muh. Ishak Jumarang, M.Si 2) ; Muliadi, M.Si 3) 1,2,3) Jurusan

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik

Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Studi Laju Sedimentasi Akibat Dampak Reklamasi Di Teluk Lamong Gresik Fiqyh Trisnawan W 1), Widi A. Pratikto 2), dan Suntoyo

Lebih terperinci

ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY

ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY ANALISIS TRANSPORT SEDIMEN DI MUARA SUNGAI SERUT KOTA BENGKULU ANALYSIS OF SEDIMENT TRANSPORT AT SERUT ESTUARY IN BENGKULU CITY Oleh Supiyati 1, Suwarsono 2, dan Mica Asteriqa 3 (1,2,3) Jurusan Fisika,

Lebih terperinci

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b

Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b Analisis Pola Sirkulasi Arus di Perairan Pantai Sungai Duri Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat Suandi a, Muh. Ishak Jumarang a *, Apriansyah b a Jurusan Fisika, Fakultas MIPA Universitas Tanjungpura

Lebih terperinci

DAFTAR NOTASI. A : sebuah konstanta, pada Persamaan (5.1)

DAFTAR NOTASI. A : sebuah konstanta, pada Persamaan (5.1) DAFTAR NOTASI A : sebuah konstanta, pada Persamaan (5.1) a c a m1 / 3 a m /k s B : Koefisien-koefisien yang membentuk elemen matrik tridiagonal dan dapat diselesaikan dengan metode eliminasi Gauss : amplitudo

Lebih terperinci

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun

Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000-2007 diperlihatkan

Lebih terperinci

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen II BAHAN DAN METODE Sedimen merupakan fragmentasi material yang berasal dari pemecahan batuan akibat proses fisis dan kimiawi (van Rijn, 1993). Di kawasan pesisir, pasokan sedimen terutama berasal dari

Lebih terperinci

PERMODELAN SEBARAN SUHU, SEDIMEN, TSS DAN LOGAM

PERMODELAN SEBARAN SUHU, SEDIMEN, TSS DAN LOGAM PERMODELAN SEBARAN SUHU, SEDIMEN, TSS DAN LOGAM 1. Daerah dan Skenario Model Batimetri perairan Jepara bervariasi antara 1 meter sampai dengan 20 meter ke arah utara (lepas pantai). Secara garis besar,

Lebih terperinci

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) PADA PROFIL VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN Aries Dwi Siswanto 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Sebaran sedimen

Lebih terperinci

STUDI TRANSPOR SEDIMEN LITHOGENEUS DI PERAIRAN MUARA SUNGAI DUMAI PROVINSI RIAU. Oleh

STUDI TRANSPOR SEDIMEN LITHOGENEUS DI PERAIRAN MUARA SUNGAI DUMAI PROVINSI RIAU. Oleh STUDI TRANSPOR SEDIMEN LITHOGENEUS DI PERAIRAN MUARA SUNGAI DUMAI PROVINSI RIAU Oleh Asrori 1), Rifardi 2) dan Musrifin Ghalib 2) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau Email:asrorinasution26@gmail.com

Lebih terperinci

ANALISA ANGKUTAN SEDIMEN DI SUNGAI JAWI KECAMATAN SUNGAI KAKAP KABUPATEN KUBU RAYA

ANALISA ANGKUTAN SEDIMEN DI SUNGAI JAWI KECAMATAN SUNGAI KAKAP KABUPATEN KUBU RAYA ANALISA ANGKUTAN SEDIMEN DI SUNGAI JAWI KECAMATAN SUNGAI KAKAP KABUPATEN KUBU RAYA Endyi 1), Kartini 2), Danang Gunarto 2) endyistar001@yahoo.co.id ABSTRAK Meningkatnya aktifitas manusia di Sungai Jawi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kestabilan Massa Air Pelapisan massa air merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan bahwa dalam kolom air massa air terbagi secara vertikal kedalam beberapa lapisan. Pelapisan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi

3. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Oktober 2011 meliputi penyusunan basis data, pemodelan dan simulasi pola sebaran suhu air buangan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Bone Letak geografis Perairan Teluk Bone berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di sebelah Barat dan Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara di

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta Hasil pengamatan lapangan nitrat, amonium, fosfat, dan DO bulan Maret 2010 masing-masing disajikan pada Gambar

Lebih terperinci

STUDI SEBARAN SEDIMEN SECARA VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

STUDI SEBARAN SEDIMEN SECARA VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN STUDI SEBARAN SEDIMEN SECARA VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN Vivieta Rima Radhista 1, Aries Dwi Siswanto 1, Eva Ari Wahyuni 2 1 Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana. BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH A. Intensitas Curah Hujan Menurut Joesron (1987: IV-4), Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu. Analisa intensitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemodelan Hidrodinamika Arus dan Pasut Di Muara Gembong Pemodelan ini menghasilkan dua model yaitu model uji sensitifitas dan model dua musim. Dalam model uji sensitifitas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir

BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir BAB III METODOLOGI 3.1 Diagram Alir Penyusunan Laporan Tugas Akhir Langkah-langkah yang dilakukan dalam penyusunan Tugas Akhir dapat dilihat pada diagram alir berikut: 74 dengan SMS Gambar 3.1 Diagram

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pengumpulan Data Dalam suatu penelitian perlu dilakukan pemgumpulan data untuk diproses, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk analisis. Pengadaan data untuk memahami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. SUNGAI Sungai merupakan salah satu bagian dari siklus hidrologi. Air dalam sungai umumnya terkumpul dari presipitasi, seperti hujan, embun, mata air, limpasan bawah tanah, dan

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Hidrodinamika Perairan Estuari. Estuari adalah suatu perairan tempat pertemuan air tawar dengan air laut yang mengakibatkan adanya gradien salinitas di sepanjang badan estuari

Lebih terperinci

AWAL GERAK BUTIR SEDIMEN

AWAL GERAK BUTIR SEDIMEN AWAL GERAK BUTIR SEDIMEN April 14 Transpor Sedimen 2 Konsep Awal Gerak Awal gerak butir sedimen sangat penting dalam kaitannya dengan studi tentang transpor sedimen, degradasi dasar sungai, desain saluran

Lebih terperinci

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura

Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal Pertanian dan Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura Seminar Nasional : Menggagas Kebangkitan Juni, 2013 PENGARUH GELOMBANG TERHADAP TRANSPOR SEDIMEN DI SEPANJANG PANTAI UTARA PERAIRAN BANGKALAN Dina Faradinka, Aries Dwi Siswanto, dan Zainul Hidayah Jurusan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIKA ALIRAN DAN BUTIR SEDIMEN

KARAKTERISTIKA ALIRAN DAN BUTIR SEDIMEN KARAKTERISTIKA ALIRAN DAN BUTIR SEDIMEN May 14 Transpor Sedimen Karakteristika Aliran 2 Karakteristika fluida air yang berpengaruh terhadap transpor sedimen Rapat massa, ρ Viskositas, ν Variabel aliran

Lebih terperinci

BAB IV OLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV OLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV OLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Sungai Cisadane 4.1.1 Letak Geografis Sungai Cisadane yang berada di provinsi Banten secara geografis terletak antara 106 0 5 dan 106 0 9 Bujur Timur serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Morfologi Sungai Perhitungan ini akan menjelaskan langkah-langkah perhitungan hidrometri dan menentukan tipe morfologi Sungai Progo Hilir. Contoh perhitungan

Lebih terperinci

KAJIAN SEDIMENTASI PADA SUMBER AIR BAKU PDAM KOTA PONTIANAK

KAJIAN SEDIMENTASI PADA SUMBER AIR BAKU PDAM KOTA PONTIANAK KAJIAN SEDIMENTASI PADA SUMBER AIR BAKU PDAM KOTA PONTIANAK Ella Prastika Erlanda 1), Stefanus Barlian Soeryamassoeka 2), Erni Yuniarti 3) Abstrak Peristiwa sedimentasi atau pengendapan partikel-partikel

Lebih terperinci

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut

III-11. Gambar III.13 Pengukuran arus transek pada kondisi menuju surut Hasil pengukuran arus transek saat kondisi menuju surut dapat dilihat pada Gambar III.13. Terlihat bahwa kecepatan arus berkurang terhadap kedalaman. Arus permukaan dapat mencapai 2m/s. Hal ini kemungkinan

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Morfologi Sungai Perhitungan ini akan menjelaskan langkah-langkah perhitungan hidrometri dan menentukan tipe morfologi Sungai Progo. Contoh perhitungan diambil

Lebih terperinci

Laut dalam dengan kedalaman -20 m memanjang hingga 10 km ke arah timur laut

Laut dalam dengan kedalaman -20 m memanjang hingga 10 km ke arah timur laut 28 46 ' 60" 12 14 ' 30" 001 7 9 2' 20" 00 8 0 02 0 07 0 03 006 R O A D - 4 BEA & CUKAI KPLP PENGERUKAN 101 INTERLAND 102 El.+4.234 J A L A N A N G G A D A I 103 J A L A N D O S O M U K O J A L A N S U

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 1, Tahun 2016, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 1, Tahun 2016, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 1, Tahun 2016, Halaman 20-27 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose Sebaran Sedimen Dasar Di Muara Sungai Silugonggo Kecamatan Batangan, Kabupaten

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Logam berat terdapat di seluruh lapisan alam, namun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Dalam air laut konsentrasinya berkisar antara 10-5 10-3 ppm. Pada tingkat kadar yang

Lebih terperinci

Sadri 1 1 Dosen Politeknik Negeri Pontianak.

Sadri 1 1 Dosen Politeknik Negeri Pontianak. PERBANDINGAN TINGKAT SEDIMENTASI ANTARA KONDISI EKSISTING DENGAN ALTERNATIF KONDISI LAINNYA PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) PEMANGKAT KALIMANTAN BARAT Sadri 1 1 Dosen Politeknik Negeri Pontianak cadrie_kobar@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

LAMPIRAN 1 DISTRIBUSI UKURAN BUTIRAN

LAMPIRAN 1 DISTRIBUSI UKURAN BUTIRAN LAMPIRAN 1 DISTRIBUSI UKURAN BUTIRAN Tabel Pengujian analisa saringan agregat halus dan kasar Lokasi asal sampel Sungai Progo segmen Kebon Agung II Jenis sampel Sedimen dasar sungai Berat sampel yang di

Lebih terperinci

BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Morfologi Sungai Perhitungan ini akan menjelaskan langkah-langkah perhitungan hidrometri dan menentukan tipe morfologi Sungai Opak. Contoh perhitungan diambil

Lebih terperinci

Pemodelan Hidrodinamika 3-Dimensi Pola Persebaran Sedimentasi Pra dan Pasca Reklamasi Teluk Jakarta

Pemodelan Hidrodinamika 3-Dimensi Pola Persebaran Sedimentasi Pra dan Pasca Reklamasi Teluk Jakarta A543 Pemodelan Hidrodinamika 3-Dimensi Pola Persebaran Sedimentasi Pra dan Pasca Reklamasi Teluk Jakarta Evasari Aprilia dan Danar Guruh Pratomo Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN

ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN ANALISIS SEDIMENTASI DI MUARA SUNGAI PANASEN Amelia Ester Sembiring T. Mananoma, F. Halim, E. M. Wuisan Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado Email: ame910@gmail.com ABSTRAK Danau

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

STUDI KECEPATAN JATUH SEDIMEN DI PANTAI BERLUMPUR (STUDI KASUS LOKASI PANTAI BUNGA BATUBARA SUMATERA UTARA)

STUDI KECEPATAN JATUH SEDIMEN DI PANTAI BERLUMPUR (STUDI KASUS LOKASI PANTAI BUNGA BATUBARA SUMATERA UTARA) STUDI KECEPATAN JATUH SEDIMEN DI PANTAI BERLUMPUR (STUDI KASUS LOKASI PANTAI BUNGA BATUBARA SUMATERA UTARA) TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat Menempuh Ujian Sarjana

Lebih terperinci

DAMPAK ANGKUTAN SEDIMEN TERHADAP PEMBENTUKAN DELTA DI MUARA SUNGAI BONE, PROVINSI GORONTALO

DAMPAK ANGKUTAN SEDIMEN TERHADAP PEMBENTUKAN DELTA DI MUARA SUNGAI BONE, PROVINSI GORONTALO DAMPAK ANGKUTAN SEDIMEN TERHADAP PEMBENTUKAN DELTA DI MUARA SUNGAI BONE, PROVINSI GORONTALO Ari Mulerli Puslitbang Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum, Jln. Ir. H. Juanda 193 Bandung, Telp/Fax

Lebih terperinci

SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI. Dian Savitri *)

SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI. Dian Savitri *) SIMULASI SEBARAN SEDIMEN TERHADAP KETINGGIAN GELOMBANG DAN SUDUT DATANG GELOMBANG PECAH DI PESISIR PANTAI Dian Savitri *) Abstrak Gerakan air di daerah pesisir pantai merupakan kombinasi dari gelombang

Lebih terperinci

Studi Perencanaan Alur Pelayaran Optimal Berdasarkan Hasil Pemodelan Software SMS-8.1 di Kolong Bandoeng, Belitung Timur

Studi Perencanaan Alur Pelayaran Optimal Berdasarkan Hasil Pemodelan Software SMS-8.1 di Kolong Bandoeng, Belitung Timur Reka Racana Jurusan Teknik Sipil Itenas Vol. 3 No. 1 Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Maret 2017 Studi Perencanaan Alur Pelayaran Optimal Berdasarkan Hasil Pemodelan Software SMS-8.1 di Kolong

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI 21 BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Erosi Secara umum erosi dapat dikatakan sebagai proses terlepasnya buturan tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya material tersebut oleh gerakan air atau angin

Lebih terperinci

Pengertian Pasang Surut

Pengertian Pasang Surut Pengertian Pasang Surut Pasang surut adalah fluktuasi (gerakan naik turunnya) muka air laut secara berirama karena adanya gaya tarik benda-benda di lagit, terutama bulan dan matahari terhadap massa air

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penerapan model arus pada saluran terbuka pada bagian hulu dan hilir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penerapan model arus pada saluran terbuka pada bagian hulu dan hilir 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Model Hidrodinamika Penerapan model arus pada saluran terbuka pada bagian hulu dan hilir seperti yang telah diterapkan pada Van Rijn (1987) bertujuan untuk menguji

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Hasil Model dengan DISHIDROS Komponen gelombang pasang surut M2 dan K1 yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut, disebabkan kedua komponen ini yang paling dominan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI DAFTAR ISI ALAMAN JUDUL... i ALAMAN PENGESAAN... ii PERSEMBAAN... iii ALAMAN PERNYATAAN... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMBANG... xiii INTISARI...

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Daerah penelitian merupakan daerah yang memiliki karakteristik tanah yang mudah meloloskan air. Berdasarkan hasil borring dari Balai Wilayah

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Bone, Perairan Sulawesi dan sekitarnya, Indonesia (Gambar 6). Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian Teluk Bone,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengukuran Beda Tinggi Antara Bench Mark Dengan Palem Dari hasil pengukuran beda tinggi dengan metode sipat datar didapatkan beda tinggi antara palem dan benchmark

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

Pengukuran Debit. Persyaratan lokasi pengukuran debit dengan mempertimbangkan factor-faktor, sebagai berikut:

Pengukuran Debit. Persyaratan lokasi pengukuran debit dengan mempertimbangkan factor-faktor, sebagai berikut: Pengukuran Debit Pengukuran debit dapat dilakukan secara langsung dan secara tidak langsung. Pengukuran debit secara langsung adalah pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan peralatan berupa alat pengukur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka A. Sungai Sungai merupakan jalan air alami dimana aliranya mengalir menuju samudera, danau, laut, atau ke sungai yang lain. Menurut Soewarno (1991) dalam Ramadhan (2016) sungai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sungai Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air, material yang dibawanya dari bagian hulu ke bagian hilir suatu daerah

Lebih terperinci

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR ORISINALITAS... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 329-336 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose POLA SEBARAN SEDIMEN TERSUSPENSI BERDASARKAN MODEL POLA ARUS PASANG SURUT DI

Lebih terperinci

STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN Aries Dwi Siswanto 1, Wahyu Andy Nugraha 1 1 Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura Abstrak: Fenomena dan dinamika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Kondisi Fisik Daerah Penelitian II.1.1 Kondisi Geografi Gambar 2.1. Daerah Penelitian Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52-108 36 BT dan 6 15-6 40 LS. Berdasarkan

Lebih terperinci

Karakteristik Pasang Surut dan Pola Arus di Muara Sungai Musi, Sumatera Selatan

Karakteristik Pasang Surut dan Pola Arus di Muara Sungai Musi, Sumatera Selatan Jurnal Penelitian Sains Volume 15 Nomer 1(D) 15108 Karakteristik Pasang Surut dan Pola Arus di Muara Sungai Musi, Sumatera Selatan Heron Surbakti Program Studi Ilmu Kelautan, Universitas Sriwijaya, Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Penulisan 1.3 Pembatasan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan Penulisan 1.3 Pembatasan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angkutan sedimen di sungai atau saluran terbuka merupakan suatu proses alami yang terjadi secara berkelanjutan. Sungai di samping berfungsi sebagai media untuk mengalirkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

BAB X PEMBUATAN LENGKUNG ALIRAN DEBIT

BAB X PEMBUATAN LENGKUNG ALIRAN DEBIT BAB X PEMBUATAN LENGKUNG ALIRAN DEBIT 10.1 Deskripsi Singkat Lengkung aliran debit (Discharge Rating Curve), adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara tinggi muka air dan debit pada lokasi penampang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bencana banjir seakan telah dan akan tetap menjadi persoalan yang tidak memiliki akhir bagi umat manusia di seluruh dunia sejak dulu, saat ini dan bahkan sampai di masa

Lebih terperinci

Analisis Pengaruh Pola Arus dan Laju Sedimentasi Terhadap Perubahan

Analisis Pengaruh Pola Arus dan Laju Sedimentasi Terhadap Perubahan TUGAS AKHIR Analisis Pengaruh Pola Arus dan Laju Sedimentasi Terhadap Perubahan Batimetri di Perairan Teluk Tomini Zuriati achmad 4307100048 LATAR BELAKANG Teluk Tomini merupakan salah satu teluk terbesar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Studi Daerah yang menjadi objek dalam penulisan Tugas Akhir ini adalah pesisir Kecamatan Muara Gembong yang terletak di kawasan pantai utara Jawa Barat. Posisi geografisnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sungai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sungai Sungai merupakan torehan di permukaan bumi yang merupakan penampung dan penyalur alamiah aliran air, material yang dibawanya dari bagian Hulu ke bagian Hilir suatu daerah

Lebih terperinci