BAB I PENDAHULUAN. a. Latar belakang. Sindrom rubela kongenital (congenital rubella syndrome, CRS) adalah kumpulan

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar belakang Sindrom rubela kongenital (congenital rubella syndrome, CRS) adalah kumpulan kelainan kongenital yang terjadi pada anak-anak akibat infeksi rubela pada ibu selama kehamilan. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari bayi lahir dengan CRS di tahun 2008, sebagian besar berada di Asia Tenggara (48%) dan Afrika (38%). Manifestasi klinis CRS adalah kelainan mata (katarak, glaukoma, retinopati pigmentosa, dan mikroftalmia), kelainan pendengaran (gangguan pendengaran sens orineural), kelainan jantung (stenosis arteri pulmonalis, duktus arteriosus persisten, atau defek septum ventrikel), kelainan kraniofasial (mikrosefali) sehingga berisiko menderita gangguan perkembangan. Bayi dengan CRS berisiko menderita kelainan endokrin berupa diabetes melitus tipe I, gangguan hormone pertumbuhan, dan gangguan fungsi tiroid. 1 Pandemi rubela dunia pada tahun menunjukkan 10% wanita hamil terinfeksi virus rubela dan 30% bayi yang lahir menderita CRS. Kasus CRS di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 12,5 juta kasus, dimana lebih dari bayi lahir mati, bayi lahir dengan kelainan kongenital berat, hingga bayi lahir dengan manifestasi CRS sedang sampai berat. Biaya yang dikeluarkan akibat epidemi rubela di Amerika Serikat antara tahun ditaksir lebih dari 2 milyar dollar. 2 Penelitian pilot project surveilans CRS di Indonesia pada tahun 2013 menunjukkan hasil 7 kasus confirmed di Bandung, 36 kasus confirmed di Yogyakarta, dan 8 kasus confirmed di Jakarta. Data rekam medik Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (IKA RSCM) mencatat 63 kasus CRS pada periode Kasus CRS di RS Dr. Sardjito selama kurun waktu tercatat 125 kasus. 1

2 2 Pasien dengan CRS perlu dipantau pertumbuhan, perkembangan, dan munculnya komplikasi. Pasien yang dijadikan subyek pemantauan adalah pasien confirmed CRS dengan manifestasi klinis berupa katarak kongenital mata bilateral (saat ini sudah menjalani operasi small incision cataract surgery-sics, tanpa intraocular lens-iol), profound distal neural hearing loss di telinga bilateral, mikrosefali, penyakit jantung bawaan asianotik stenosis pulmonal dengan riwayat ASD sekundum kecil, PDA kecil yang telah menutup, global developmental delay (GDD), underweight, stunted, dan gizi kurang dengan hasil konfirmasi laboratorium berupa deteksi antibodi Ig M spesifik rubela. Pasien berobat di RSUP Dr. Sardjito dan bertempat tinggal di Guning Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sehingga relatif dekat, mudah dijangkau, dan pemantauan lebih mudah dilakukan. b. Deskripsi kasus singkat IDENTITAS PASIEN Nama : by. CDK Nama ayah : Bp. Y Umur/Tanggal lahir : 9 bulan/ 23 Juni 2013:02.45 WIB Umur : 25 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan : SMA Alamat : Soka, Ngoro-oro, Patuk, Pekerjaan : Karyawan swasta Gunung Kidul Masuk RS : 17 Januari 2014 Nama ibu : Ny. SL No CM : Umur : 23 tahun Tanggal diperiksa : 25 Februari 2014 Pendidikan: SMA Usia saat ini Pekerjaan : Ibu Rumah tangga : 9 bulan Bayi terdiagnosis confirmed CRS dengan manifestasi klinis katarak kongenital, penyakit jantung kongenital (stenosis pulmonal dengan riwayat ASD sekundum kecil dan PDA kecil), gangguan pendengaran (profound distal neural hearing loss), mikrosefali,

3 3 gangguan perkembangan (suspek global developmental delay), dengan hasil positif pada pemeriksaan antibody IgM rubela. Bayi sudah menjalani operasi katarak SICS tanpa IOL pada tanggal 17 Desember 2014, dan memakai kacamata 10 dioptri sejak 1 Maret Penyakit jantung kongenital yang diderita bayi adalah stenosis pulmonal valvular sedang (berdasarkan hasil echocardiography 10 Maret 2014) dengan riwayat ASD kecil dan PDA kecil. Bayi sudah menjalani pemeriksaan brain evoked response audiometry (BERA) pada tanggal 24 November 2013 dengan hasil nilai profound deafness dengan ambang pendengaran 105 db pada telinga kiri maupun telinga kanan, sesuai gangguan pendengaran berat dengan kerusakan pada N. VIII. Bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (1700 gram), cukup bulan (skor Dubowitz setara dengan 38+2 minggu), memiliki riwayat ikterus pada masa neonatus dan menjalani fototerapi. Pengukuran lingkar kepala menunjukkan mikrosefali. Data klinis tersebut dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dengan hasil Ig M rubela 8,79 IU/ml (positif bila >1,20 IU/ml). Gambar 1. Silsilah keluarga Riwayat penyakit pada keluarga yang meliputi riwayat darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, alergi, kejang dengan atau tanpa demam, ataupun asma tidak ada. Ibu pasien lahir pada usia kehamilan cukup bulan dengan berat badan lahir gram.

4 4 Bayi mendapatkan nutrisi dari air susu ibu (ASI) eksklusif dari lahir hingga berusia 6 bulan, sesuka bayi biasanya setiap 2 hingga 3 jam. Bayi menyusu 10 menit hingga 30 menit setiap kali menyusu. Bayi mendapat makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak berusia 6 bulan hingga 8 bulan berupa bubur susu sebanyak 1 porsi pada pagi, siang, dan sore hari dan tambahan 1 porsi buah setiap hari. Perkembangan motorik kasar saat ini, dapat mengangkat dada dengan menumpu pada lengan, membalik badan, dan bangkit dengan kepala tegak, belum dapat duduk tanpa pegangan maupun berdiri dengan pegangan. Perkembangan motorik halus yang dapat dilakukan yaitu meraih benda saat usia 3 bulan, saat ini mampu mencari benang, belum dapat menggaruk manik-manik, memindahkan kubus, atau mengambil 2 kubus. Perkembangan bahasa, bayi bersuara saat usia 1 bulan, dapat tertawa pada usia 3 bulan, dan berteriak pada usia 5 bulan, belum dapat menoleh kearah kerincingan, menoleh kearah suara, mengucapkan satu suku kata, meniru bunyi kata-kata, mengucapkan pada atau mama, atau kombinasi silabel. Perkembangan sosial, sudah bisa senyum saat usia 3 bulan namun belum bisa mengenal orang. Perkembangan bayi tidak sesuai usia dengan gangguan pada motorik kasar, motorik halus, bahasa, maupun personal sosial dan didiagnosis dengan suspek global developmental delay. Bayi mendapat imunisasi Hepatitis B0 usia 12 hari di RS Sardjito, BCG usia 1 bulan, DPT/Hepatitis B/Polio (IPV) di usia 2,3, dan 4 bulan di Puskesmas. Imunisasi yang dilakukan tidak sesuai dengan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Bayi tinggal bersama ibu, kakak, kakek dan dan nenek di rumah ukuran 80 m2, dinding dari tembok, lantai dari keramik, atap dari genteng. Rumah terdiri dari 2 kamar tidur, 1 kamar mandi/ WC, dapur dan ruang tamu. Cahaya dan ventilasi rumah kurang, lembab. Air minum dari sumur, jarak septic tank dari dapur > 10 meter. Rumah tidak sesuai dengan kriteria rumah sehat. Ayah bekerja sebagai pekerja pabrik kayu di Korea dengan penghasilan

5 5 per bulan sekitar 3 juta rupiah, sedangkan ibu tidak bekerja (social ekonomi menengah ke bawah). Pemeriksaan fisik anak saat ini ditemukan berat badan 5300 gram, panjang badan 58,0 cm, lingkar kepala 38,0 cm, lingkar dada 39,0 cm, lingkar perut 37,0 cm, dan lingkar lengan atas 15,0 cm. Profil antropometri anak menunjukkan BB//U -3,2 SD, PB//U -5 SD, BB//PB -0,2 SD, LLA//U -0,9 SD, lingkar kepala menurut kurva Nellhaus < -2 SD, dengan kesimpulan status antropometri anak adalah severely underweight, severely stunted, gizi kurang, dan mikrosefali. Hasil pemeriksaan kepala didapatkan ubun-ubun membuka datar. Wajah tidak tampak dismorfik, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, gerakan bola mata baik, terdapat nistagmus, lensa mata tidak terlihat keputihan (paska operasi katarak), kedua telinga tidak didapatkan serumen, hidung tidak didapatkan sekret. Gigi belum tumbuh. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening di leher. Bunyi jantung I normal, bunyi jantung II mengeras, tidak terdengar bising jantung. Suara napas dasar vesikuler, tidak terdapat suara tambahan. Perut tampak datar, bising usus normal, perut lemas/supel, turgor dan elastisitas baik, tidak teraba hepar dan lien. Akral hangat, nadi kuat angkat dan perfusi perifer baik. Gerakan bebas, refleks fisiologis positif normal, refleks patologis tidak ada, tonus normal, eutrofi. Tidak terdapat parese atau plegia. Pasien didiagnosis dengan confirmed CRS, riwayat katarak kongenital mata bilateral (sudah menjalani SICS tanpa IOL), profound distal neural hearing loss di telinga bilateral, stenosis pulmonal dengan riwayat ASD sekundum kecil dan PDA kecil yang telah menutup, severely underweight, severely stunted, gizi kurang, mikrosefali, dan suspek global developmental delay.

6 6 c. Tujuan Menambah pengetahuan seputar CRS beserta permasalahan yang ada berupa manifestasi awal (gangguan pendengaran, penjakit jantung kongenital, katarak, mikrosefali, palsi serebral, hipotonia, diskoordinasi, dan retardasi mental) dan manifestasi lanjut (glaukoma paska operasi katarak, diabetes melitus, hipotiroid, hipertensi, autisme, dan gangguan tingkah laku berupa agresi, tantrum, self stimulation, iritabilitas, tingkah laku kompulsif ritualistik, dan penurunan waktu atensi. Pemantauan jangka panjang pasien CRS menambah pengalaman dalam mengelola pasien CRS sesuai dengan standar pelayanan yang ada, serta mengusahakan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bagi pasien CRS. d. Manfaat Pemantauan diharapkan membuat pasien CRS mampu bertahan hidup, dapat mencegah atau mendeteksi permasalahan yang mungkin timbul dalam 5 tahun pertama kehidupan yaitu glaukoma paska operasi katarak, diabetes melitus, hipotiroid, hipertensi, autisme, dan gangguan tingkah laku berupa agresi, tantrum, self stimulation, iritabilitas, tingkah laku kompulsif ritualistik, dan penurunan waktu atensi) sedini mungkin, sehingga intervensi dapat segera dilakukan. Anak diharapkan tumbuh dan berkembang dengan optimal dan mencapai kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Keluarga dan lingkungan mendapatkan pemahaman tentang CRS dan kondisi lain yang menyertai, permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul (glaukoma paska operasi katarak, diabetes melitus, hipotiroid, hipertensi, autisme, dan gangguan tingkah laku berupa agresi, tantrum, self stimulation, iritabilitas, tingkah laku kompulsif ritualistik, dan penurunan waktu atensi), tatalaksana, dan prognosis anak sehingga dapat berperan aktif dalam memantau pertumbuhan dan perkembangan anak. Keluarga dapat menyediakan kondisi yang mendukung upaya petugas kesehatan.

7 7 Kasus ini diangkat sebagai kasus longitudinal sebagai bentuk kerjasama antara petugas kesehatan dan keluarga dalam melakukan pemantauan pertumbuhan, perkembangan, permasalahan yang mungkin timbul pada pasien CRS, dan penatalaksanaannya. Peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) memperoleh pengetahuan CRS, pemantauan permasalahan yang akan timbul pada CRS, dan intervensi yang harus dijalani. Rumah sakit (RS) dapat meningkatkan mutu pelayanan dengan melakukan pemantauan dan tatalaksana yang sesuai dengan standar pelayanan medis untuk CRS, mencakup pertumbuhan dan perkembangan secara menyeluruh dan berkesinambungan.