BAB II PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL DAN KONTROL DIRI REMAJA YANG MENGALAMI KECANDUAN INTERNET

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL DAN KONTROL DIRI REMAJA YANG MENGALAMI KECANDUAN INTERNET"

Transkripsi

1 19 BAB II PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI-SOSIAL DAN KONTROL DIRI REMAJA YANG MENGALAMI KECANDUAN INTERNET A. Program Bimbingan Pribadi-Sosial 1. Pengertian Bimbingan Pribadi Sosial Menurut pandangan Shertzer dan Stone (Winkel, 1997: 1), bimbingan diartikan sebagai proses membantu orang perorangan untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya (the process of helping individuals to understand themselves and their world). Sunaryo Kartadinata (Nurihsan dan Yusuf, 2005: 6), mengartikan bimbingan semembantu sebagai proses individu untuk mencapai perkembangan optimal. Menurut Rochman Natawidjaja, bimbingan adalah suatu proses pemeberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memehami dirinya, sehingga dia sanggup mengarahkan dirinya dan dapat bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan sekolah, masyarakat, dan kehidupan pada umumnya ( Nurihsan dan yusuf, 2005:6). Nurihsan dan Yusuf (2005:6) mengemukakan bahwa bimbingan merupakan suatu proses, yang berkesinambungan, bukan kegiatan yang seketika atau kebetulan. Bimbingan merupakan serangkaian tahapan kegiatan yang sistematis dan berencana yang terarah kepada pencapaian tujuan. Bimbingan merupakan helfing, yang identik dengan aiding, assisting, atau availing, yang

2 20 berarti bantuan atau pertolongan. makna bantuan dalam bimbingan menunjukan bahwa yang aktif dalam mengembangkan diri, mengatasi masalah, atau mengambil keputusan adalah individu. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu untuk dapat berkembang secara optimal melalui tahapan yang berkesinambungan untuk mencapai suatu tujuan. Bimbingan pribadi-sosial adalah salah satu dari empat ragam bimbingan. Menurut Winkel ( 1997: 142), bimbingan pribadi sosial berarti bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi berbagi pergumulan dalam batinnya sendiri; dalam mengatur dirinya sendiri dibidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya; serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesama diberbagai lingkungan (pergaulan sosial). Dalam perkembangan perilaku kecanduan internet pada remaja yang kaitannya juga dengan rendahnya kontrol diri, layanan yang diberikan termasuk ke dalam layanan bimbingan pribadi-sosial. Bimbingan pribadi-sosial membantu individu dalam menenyelesaikan masalah-masalah pribadi-sosial dalam mementapkan dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya (Yusuf dan Nurihsan, 2005: 10-12). Bimbingan pribadisosial membantu individu untuk mampu menghadapi dan menyelesaikan masalahmasalah pribadi-sosial yang berkaitan dengan perilaku kecanduan internet.

3 21 Layanan bimbingan pribadi-sosial mengarah pada pencapaian pribadi yang mantap dengan memperhatikan keunikan dan bidang-bidang permasalahan yang dialami individu. Bimbingan pribadi-sosial berupaya mengembangkan kemampuan individu untuk menghadapi dan mengatasi masalah-masalah pribadisosial dengan cara menciptakan lingkungan interaksi pendidikan yang kondusif, mengembangkan sistem pemahaman diri dan sikap-sikap yang positif, serta dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan pribadi-sosial (Nurihsan dan Sudianto,2005:13). 2. Tujuan Bimbingan Pribadi- Sosial Secara umum, tujuan bimbingan adalah perkembangan inividu yang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Menurut Nurihsan dan Yusuf (2005: 13), tujuan pemberian layanan bimbingan adalah agar individu dapat: a. Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang akan datang. b. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinga seoptimal mungkin. c. Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya. d. Mengatasi hambatan diri dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.

4 22 Secara khusus tujuan bimbingan pribadi-sosial hyang dikemukakan oleh Nurihsan dan Yusuf ( 2005 : 14) adalah sebagi berikut. a. Memilki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah tempat kerja, maupun tempat kerja pada umumnya. b. Memilki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing. c. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut. d. Memilki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis. e. Memiliki sikap positif atau resfek terhadap diri sendiri dan orang lain. f. Memilki kemampuan melakukan pilihan secara sehat. g. Memilki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya. h. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan atau silaturahmi dengan sesama manusia.

5 23 i. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik konflik yang bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun konflik dengan orang lain. j. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara sehat Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, remaja harus mendapatkan kesempatan untuk: a. Mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembagannya. b. Mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya. c. Mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut. d. Memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri. e. Menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya dan masyarakat. f. Menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya. g. Mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara tepat dan teratur secara optimal. 3. Fungsi Bimbingan yaitu: Ada tujuh fungsi bimbingan menurut Nurihsan dan Yusuf ( 2005: 16-17)

6 24 a. Pemahaman, yaitu membantu peserta didik agar memiliki pemahan terhadap dirinya dan lingkungannya. b. Preventif, yaitu upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya unruk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh peserta didik (siswa). c. Pengembangan, yaitu konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan siswa. d. Perbaikan (penyembuhan), yaitu upaya pemberian bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. e. Penyaluran, yaitu membantu individu memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian, dan ciri-ciri kepribadian lainnya. f. Adaptasi, yaitu membantu para pelaksana pendidikan khususnya konselor, guru atau dosen untuk mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan siswa. g. Penyesuaian, yaitu membantu siswa agar dapat menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah atau norma agama.

7 25 4. Prinsip-Prinsip Bimbingan Terdapat enam prinsip dasar sebagai landasan pemberian layanan bimbingan (Nurihsan dan Yusuf, 2005: 17-18). Prinsip dasar tersebut adalah sebagai berikut: a. Bimbingan diperuntukan bagi semua individu Bimbingan diberikan kepada semua individu, baik yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah; baik pria maupun wanita. Pendekatan yang digunakan dalam bimbingan pun lebih bersifat preventif dan pengembangan daripada penyembuhan; dan lebih diutamakan menggunakan teknik kelompok daripada perseorangan. b. Bimbingan bersifat individualisasi Fokus sasaran bantuan adalah individu, meskipun layanan bimbingannya merupakan teknik kelompok. c. Bimbingan menekankan hal positif Bimbingan merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang. d. Bimbingan merupakan usaha bersama Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor sekolah, tetapi juga tugas semua unsur yang ada di sekolah, sebagai teamwork. e. Pengambilan keputusan merupakan hal yang esensial dalam bimbingan

8 26 Bimbingan diarahkan untuk membantu individu agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan individu untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan sendiri. f. Bimbingan berlangsung dalam berbagai setting kehidupan Pemberian layanan bimbingan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga dilingkungan keluarga, perusahaan/industry, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. 5. Jenis Layanan Bimbingan Berdasarkan fungsi dan prinsip bimbingan, terdapat empat jenis layanan utama dalam bimbingan dan konseling (Nurihsan, 2005: 27), yaitu: a. Layanan dasar bimbingan Layanan dasar bimbingan adalah layanan bimbingan yang bertujuan untuk membantu seluruh peserta didik mengembangkan perilaku efektif dan keterampilan-keterampilan hidupnya yang mengacu pada tugas-tugas perkembangan peserta didik. b. Layanan responsif Layanan responsive adalah layanan bimbingan yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan yang dirasakan sangat penting oleh peserta didik saat ini. Layanan ini bersifat preventif atau mungkin kuratif. c. Layanan perencanaan individual

9 27 Layanan perencanaan individual adalah layanan bimbingan yang bertujuan membantu seluruh peserta didik membuat dan mengimplementasikan rencana-rencana pendidikan, karir, dan sosial-pribadinya. d. Dukungan sistem Dukungan sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan untuk memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan secara menyeluruh melalui pengembangan professional; hubungan masyarakat dan staf, konsultasi dengan guru, staf ahli/penasehat, masyarakat yang lebih luas; manajemen program; penelitian dan pengembangan. 6. Program Bimbingan Pribadi-Sosial Dalam masalah perilaku kecanduan internet pada remaja karena rendahnya kontrol diri, layanan yang diberikan adalah lebih pada bimbingan pribadi-sosial. Bimbingan pribadi-sosial membantu individu dalam menyelesaikan masalahmasalah pribadi-sosial dalam mementapkan dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya ( Yusuf dan Nurihsan, 2005: ). Menurut Winkel (1997: 142), bimbingan pribadi-sosial berarti bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri, serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesama di berbagai lingkungan (pergaulan sosial). Program adalah rencana kegiatan yang disusun secara operasional dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelaksanaannya (Suherman dan Sudrajat, 1998: 1). Program yang berkaitan dengan dengan

10 28 pembinaan siswa di sekolah adalah program bimbingan. Program bimbingan (guidance program), yaitu suatu rangkaian kegiatan bimbingan yang terencana, yang terorganisir, dan terorganisasi selama periode waktu tertentu, misalnya satu tahun ajaran (Winkel, 1997: 119). Jadi, program bimbingan pribadi-sosial adalah suatu rencana kegiatan untuk memberikan layanan kepada peserta didik dalam memantapkan dan mengembangkan kemampuan peserta didik menangani masalah-masalah diri dan masalah sosial yang dihadapinya untuk dilaksanakan selama periode waktu tertentu. Menurut Suherman dan Sudrajat (1998: 33) penyusunan program bimbingan dan konseling di sekolah harus memperhatikan beberapa dimensi, yaitu: a. Dimensi kebutuhan atau masalah siswa Program bimbingan disusun sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi siswa. Dalam penelitian ini, kebutuhan dan masalah yang dihadapi siswa berkaitan dengan kontrol diri dan perilaku kecanduan internet dalam lingkup masalah pribadi-sosial. b. Dimensi fungsi pelayanan Program bimbingan di sekolah hendaknya disusun sesuai dengan fungsinya. c. Dimensi jenis pelayanan

11 29 Dalam penyusunannya program bimbingan hendaknya memperhatikan batas-batas kemungkinan pelayanan. Sehingga jenis layanan yang diprogramkan dapat mendukung fungsi dan pencapaian tujuan bimbingan. d. Dimensi sarana atau fasilitas Sarana dan fasilitas merupakan salah satu faktor yang mendukung pelaksanaan program bimbingan di sekolah. Sarana-sarana tersebut diantaranya adalah sarana fisik, seperti ruang bimbingan dan perlengkapannya; sarana teknis, seperti alat pengumpul data, alat penyimpan data, sarana teknis pelayanan layanan, dan sarana tata laksana bimbingan; dan anggaran pelaksanaan program bimbingan. e. Dimensi personel Pelaksanaan program bimbingan di sekolah merupakan tanggungjawab seluruh unsur yang ada di sekolah. Bimbingan ini menjadi tugas dan tanggungjawab semua staf yang ada di sekolah. Program bimbingan dalam teamwork akan berhasil apabila setiap personel mengetahui posisi masingmasing berikut wewenang dan tanggungjawabnya. f. Dimensi organisasi Program bimbingan akan berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya jika dilaksanakan dalam organisasi yang teratur, mekanisme yang mantap, jelas dan tegas diantara pihak-pihak yang terlibat. Program bimbingan yang baik adalah suatu bentuk program bimbingan apabila dilaksanakan di sekolah memiliki efisiensi dan efektifitas yang optimal. Sehubungan dengan hal itu, Miller (Su) mengemukakan bahwa:

12 30 a. Program bimbingan hendaknya dikembangkan secara bertahap dengan melibatkan semua unsur atau staf sekolah dalam perencanaannya. b. Program bimbingan hendaknya memiliki tujuan yang ideal dan realitas dalam pelaksanaannya. c. Program bimbingan hendaknya mencerminkan komunikasi yang kontinyu antara semua unsur atau staf sekolah yang bersangkutan. d. Program bimbingan hendaknya menyediakan atau memiliki fasilitas yang diperlukan. e. Program bimbingan hendaknya hendaknya memberikan pelayanan kepada semua siswa. f. Program bimbingan hendaknya menunjukan peranan yang signifikan dalam menghubungkan dan memadukan sekolah dan masyarakat. g. Program bimbingan hendaknya memberikan kesempatan untuk melaksanakan penilaian terhadap diri sendiri. h. Program bimbingan hendaknya menjamin keseimbangan pelayanan bimbingan dalam hal: 1) Pelayanan kelompok dan perorangan 2) Pelayanan yang diberikan oleh berbagai jenis petugas bimbingan 3) Studi perorangan dan konseling perorangan 4) Penggunaan instrumentasi atau teknik pengumpul data yang objektif dan subjektif 5) Pemberian jenis-jenis bimbingan 6) Pemberian bimbingan tentang berbagai program sekolah

13 31 7) Penggunaan sumber-sumber di dalam maupun di luar sekolah yang bersangkutan 8) Kebutuhan perorangan dan kebutuhan masyarakat luas 9) Kesempatan untuk berpikir, merasakan dan berbuat Menurut Suherman dan Sudrajat (1998: 55), bimbingan sebagai kegiatan besar yang bertujuan membantu perkembangan siswa dalam mencapai tujuan hidup dan kehidupannya, memerlukan perencanaan yang matang. Untuk itulah penyusunan program bimbingan dapat dilakukan dengan langkah-langkah: a. Pendataan Langkah pertama dalam penyusunan program bimbingan. Analisa data yang dilakukan dalam pendataan ini, berdasarkan hasil evaluasi, aspirasi, ataupun hasil analisis kebutuhan siswa saat ini. b. Penyusunan rumusan rencana Penyusunan rumusan rencana ini mencakup tujuan dan sasaran kegiatan; ruang lingkup kegiatan, penyususnan staf, koordinasi, pengarahan, pengawasan dan pelaporan; waktu pelaksanaan; dan penyiapan anggaran. c. Pengajuan rumusan rencana Rumusan rencana tersebut diajukan kepada semua staf sekolah, termasuk orang tua dan masyarakat. d. Pelaksanaan program

14 32 Bila rencana program telah disetujui dan dapat dijadikan program, maka pelaksanaan program harus sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan tidak menyimpang dari garis kebijaksanaan. B. Konsep Kontrol Diri 1. Definisi Kontrol Diri Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (self-control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang; dengan kata lain serangkaian proses yang membentuk dirinya sendiri. Goldfried dan Merbaum (dalam Lazarus, 1976), mendefinisikan kontrol diri sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi positif. Selain itu kontrol diri juga menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan (Lazarus, 1976). Harter (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa dalam diri seseorang terdapat suatu sistem pengaturan diri (self-regulation) yang memusatkan perhatian pada pengontrolan diri (self-control). Proses pengontrolan diri ini menjelaskan bagaimana diri (self) mengatur dan mengendalikan perilaku dalam menjalani kehidupan sesuai dengan kemampuan individu dalam mengendalikan perilaku. Jika individu mampu mengendalikan perilakunya dengan baik maka ia dapat menjalani kehidupan dengan baik baik.

15 33 Menurut Goldfiled dan merbaum (dalam Sarafino, 2006) kontrol diri diartikan sebagai kemampuan individu untuk menyususn, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu kearah konsekuensi positif. kontrol diri juga dapat diartikan sebagai perasaan bahwa seseorang dapat membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari yang tidak diinginkan. Chaplin (2002 : 405) meyatakan bahwa kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri, kemampuan untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impulsive. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Burger (1989) yang mendefinisukan kontrol diri sebagai kemampuan yang dirasakan dapat mengubah kejadian secara pasti Karena individu dianggap mempunyai kemampuan dalam mengelola perilakunya. Kontrol diri diartikan Papalia (2004) sebagai kemampuan individu untuk menyesuaikan tingkah laku dengan apa yang dianggap diterima secara sosial oleh masyarakat. Wallston (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa kontrol diri adalah perasaan individu bahwa ia mampu untuk membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dan menghindari hasil yang tidak diinginkan. Ketika berinteraksi dengan orang lain, individu akan berusaha menampilkan perilaku yang dianggap paling tepat bagi diri individu. Calhoun dan Acocella (1990), mengemukakan dua alasan yang mengharuskan individu untuk mengontrol diri secara kontinyu. Pertama, individu hidup dalam kelompok sehingga dalam memuaskan keinginannya individu harus mengontrol perilakunya

16 34 agar tidak menggangu kenyamanan orang lain. Kedua, masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya. Sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibutuhkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang. Kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya (Hurlock, 1990). Menurut konsep ilmiah, pengendalian emosi berarti mengarahkan energi emosi ke saluran ekpresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Ada dua kriteria yang menentukan apakah kontrol emosi dapat diterima secara sosial atau tidak. Kontrol emosi dapat diterima bila reaksi masyarakat terhadap pengendalian emosi adalah positif. Namun reaksi positif saja tidaklah cukup. Karenanya perlu diperhatikan kriteria lain, yaitu efek yang muncul setelah mengontrol emosi terhadap kondisi fisik dan psikis. Kontrol emosi seharusnya tidak membahayakan fisik dan psikis individu. Artinya, dengan mengontrol emosi kondisi fisik dan psikis individu harus membaik (Hurlock, 1990). Hurlock (1990) menyebutkan tiga kriteria emosi yang masak sebagai berikut : a. Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. b. Dapat memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkan untuk memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat. c. Dapat menilai situasi secara kritis sebelum meresponnya dan memutuskan cara beraksi terhadap situasi tersebut.

17 35 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kontrol diri adalah kemampuan individu dalam menyusun, membimbing, mengatur, mengarahkan dan mengubah bentuk perilaku melalui pertimbangan kognitif sehingga perilakunya tersebut menuju kea rah yang lebih positif dari sebelumnya. 2. Manifestasi Kontrol Diri Dalam kehidupan remaja, terdapat tuntutan moral yang harus dilakukan remaja pada umumnya antara lain mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya lalu menyesuaikan tingkah lakunya dengan harapan sosial tanpa bimbingan, pengawasan, motivasi dan ancaman sebagaimana sewaktu kecil. Remaja juga dituntut mampu mengendalikan tingkah lakunya karena mereka bukan lagi menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Oleh karena itu kontrol diri diperlukan agar remaja dapat mengatur segala bentuk perilakunya. Kontrol diri dianggap sebagai lawan dari kontrol eksternal. Kontrol diri mengandung pengertian bahwa individu menentukan standar perilaku, ia akan member ganjaran bila memenuhi standard dan sebaliknya ia akan memberi hukuman bila tidak memenuhi standar tersebut. Pada kontrol eksternal, orang lain yang menentukan standard an member ganjaran atau hukuman (Calhoun dan Acocella, 1990: 117). Theorsen dan Mahoney (Calhoun dan Acocella, 1990) menggambarkan seseorang menggunakan kontrol diri ketika dia dengan sengaja menghindari perilakunya yang biasa dilakukan atau memberikan kepuasan yang lebih sedikit untuk mencapai tujuan jangka panjang.

18 36 Menurut Calhoun dan Acocella (1990 : 131) kontrol diri diperlukan dengan dua alasan yaitu: a. Alasan sosial, yaitu individu tidak hidup sendiri tetapi dalam kelompok masyarakat. Individu harus mengontrol perilakunya agar tidak menggangu ketentraman sosial atau melanggar kenyamanan dan keamanan orang lain. b. Alasan personal, yaitu bahwa kontrol diri dibutuhkan individu untuk belajar mengenal kemampuan, kebaikan dan hal-hal lain yang diinginkan dari kebudayaannya. Masyarakat mendorong individu untuk secara konstan menyusun standar yang lebih tinggi untuk dirinya sendiri. Individu harus terus menerus belajar mengontrol dorongan-dorongan dalam dirinya. Menurut Logue (1995) cirri-ciri orang yang mampu mengendalikan dirinya adalah sebagai berikut: a. Memegang teguh atu tetap bertahan dengan tugas yang seharusnya ia kerjakan, walaupun ia menghadapi banyak gangguan. b. Mengubah perilakunya sendiri melalui perubahan dari beberapa pengaruh atau norma yang ada. c. Tidak menunjukan atau melibatkan perilaku yang dipengaruhi oleh kemarahan atau emosional. d. Bersifat toleran terhadap stimulus yang berlawanan. 3. Perkembangan Kontrol Diri

19 37 Sejak individu dilahirkan, mulai dari bayi, menginjakan remaja sampai dewasa, individu tersebut mempelajari banyak hal mengenai dunia sekitarnya. Dalam melakukan itu, individu berusaha untuk bisa memahami hal-hal penting tentang dirinya. Hal penting dari perkembangan diri adalah diri (self) yang merupakan bagian dari proses terbentuknya kontrol diri (kontrol diri). Vasta et al (Dyah, 2009) menyatakan bahwa perilaku anak pertama kali dikendalikan oleh kekuaatn eksternal. tindakan mereka diatur oleh perintah dan konsekuensi-konsekuensi dari orang tua dan lingkungannya. Secara perlahanlahan kontrol eksternal diinternalisasikan sehingga menjadi kontrol internal. Saat memasuki usia remaja, kemampuan mengontrol diri berkembang seiring dengan kematangan emosi. Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja emosinya tidak meledak dihadapan orang lain, melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih diterima dan tidak mengganggu orang lain (Hurlock, 1980 : 213). Berdasarkan teori Piaget, remaja telah mencapai tahap pelaksanaan formal dalam kemampuan kognitif (Hurlock, 1980). Oleh karena itu, remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggungjawabkannya. Kemampuan mengontrol diri yang dimiliki individu berkembang seiring dengan bertambahnya usia. Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok darinya dan kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa

20 38 harus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam seperti hukuman yang dialami sewaktu anak-anak. Ketika seorang individu mulai memasuki masa dewasa, ia menjadi individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat (Hurlock, 1980). 4. Jenis-Jenis Kontrol Diri Block dan Block (Lazarus, 1976: 238) menjelaskan ada tiga jenis kualitas kontrol diri, yaitu: a. Over control, yaitu kontrol diri yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam beraksi terhadap stimulus. b. Under control, merupakan suatu kecenderungan individu untuk melepaskan impuls dengan bebas tanpa perhitungan yang masak. c. Appropriate control, merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan impuls secara tepat. Selanjutnya Sarafino (2006) mengemukakan kontrol diri yang digunakan individu dalam menghadapi suatu stimulus meliputi: a. Behavioral control, yaitu kemampuan untuk mengambil tindakan konkrit untuk mengurangi akibat dari stressor. Tindakan ini dapat berupa pengurangan intensitas kejadian atau memperpendek durasi kejadian. b. Cognitive control, yaitu kemampuan untuk menggunakan proses berpikir atau strategi untuk memodifikasi akibat dari stressor. Strategi dapat berupa

21 39 penggunaan cara yang berbeda dalam memikirkan kejadian tersebut atau memfokuskan pada pemikiran yang menyenangkan atau netral. c. Declaration control, yaitu kesempatan memilih antara prosedur alternatif atau tindakan yang dilakukan. d. Informational control, yaitu kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan mengenai kejadian yang menekan, kapan akan terjadi, mengapa, dan apa konsekuensinya. Kontrol informasional dapat memprediksi dan mempersiapkan apa yang akan terjadi dan mengurangi ketakutan seseorang dalam menghadapi sesuatu yang tidak diketahuinya. e. Retrospective control, yaitu menyinggungkepercayaan mengenai apa atau siapa yang menekan setelah kejadian tersebut terjadi. 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri Gufron dalam (Dyah, 2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kontrol diri terdiri dari faktor internal yaitu dalam diri individu dan faktor eksternal yaitu lingkungan individu. a. Faktor internal Faktor internal yang ikut berperan terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin baik kemampuan menggontrol dirinya.

22 40 b. Faktor eksternal Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga terutama orang tua menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang. Persepsi remaja terhadap penerapan disiplin orang tua yang semakin demokratis cenderung diikuti tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Bila orang tua menerapkan disiplin kepada anaknya secara intens sejak dini dan orang tua tetap konsisten terhadap semua konsekuensi yang dilakukan anak bila ia menyimpang dari apa yang sudah ditetapkan, maka sikap konsisten ini akan diinternalisasi oleh anak dan kemudian akan menjadi kontrol diri baginya. 6. Aspek-Aspek Kontrol Diri Ada berbagai macam aspek dari kontrol diri. Menurut Averill (Dyah, 2009 : 22) ada tiga aspek kontrol diri, yaitu: a. Behavioral control, Merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini terbagi menjadi dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability). Kemampuan mengatur pelaksanaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang kemampuan mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku

23 41 dengan menggunakan kemampuan dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal. Kemampuan mengatur stimulus merupakan kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang tidak dikehendaki dihadapi. Ada beberapa cara yang dapat digunakan, yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menempatkan tenggang waktu di antara rangkaian stimulus yang sedang berlangsung, menghentikan stimulus sebelum waktunya berakhir, dan membatasi intensitasnya. b. Cognitive control, Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen, yaitu memperoleh informasi (information gain) dan melakukan penilaian (appraisal). Dengan informasi yang dimiliki oleh individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan, individu dapat mengantisipasi keadaan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Melakukan penilaian berarti individu berusaha menilai dan menafsirkan suatu keadaan atau peristiwa dengan cara memperhatikan segi-segi positif secara subjektif. c. Decisional control, Merupakan kemampuan individu untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kontrol diri dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik

24 42 dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur kontrol diri digunakan aspek-aspek sebagai berikut : a. Mampu mengontrol perilaku Kemampuan untuk memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan, dimana terdapat keteraturan untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, apakak oleh dirinya atau orang lain. Individu yang mampu mengontrol dirinya dengan baik akan mampu mengatur perilakunya sesuai dengan kemampuan dirinya dan bila tidak maka individu akan menggunakan sumber eksternal. b. Mampu mengontrol stimulus Kemampuan untuk mengetahui bagaimana dan kapan suatu stimulus yang dapat dikehendaki muncul. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu mencegah atau menjauhi stimulus, menghentikan stimulus sebelum berakhir, dan melakukan kegiatan yang dapt mengalihkan perhatian dari stimulus c. Mampu mengantisipasi peristiwa Kemampuan individu dalam mengolah informasi dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif. Informasi yang dimiliki individu mengenai suatu keadaan yang tidak menyenangkan akan membuat individu mampu mampu mengantisipasi keadaan melalui pertimbangan objektif.

25 43 d. Mampu menafsirkan peristiwa Penilaian yang dilakukan seorang individu merupakan suatu usaha untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan memperhatikan segi-segi positif secara subjektif. e. Mampu mengambil keputusan kemampuan seseorang untuk memilih suatu tindakan berdasarkan sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Kemampuan dalam mengontrol keputusan akan berfungsi dengan baik apabila terdapat kesempatan dan kebebasan dalam diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan. C. Konsep 1. Definisi Kecanduan Kecanduan menurut Plantinga (dalam Elia, 2009) adalah kelekatan yang kompleks, progresif, berbahaya, dan sering juga melumpuhkan terhadap zat psikoaktif (alkohol, heroin, zat adiktif lainnya) atau perilaku (seks, kerja, judi) dimana individu secara kompulsif mencari perubahan perasaan. Carpenter (Essau, 2008) menyatakan bahwa kecanduan merupakan suatu kondisi dimana individu membutuhkan obat-obatan (misalnya, obat bius) yang meliputi ketergantungan Griffiths (Essau, 2008) menyatakan bahwa kecanduan merupakan aspek perilaku yang kompulsif, adanya ketergantungan, dan kurangnya kontrol. Sarafino (2006) mendefinisikan kecanduan sebagai suatu kondisi yang diakibatkan karena adanya konsumsi obat-obatan yang berulang-ulang, yang membuat individu tergantung secara fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik terjadi ketika tubuh

26 44 telah beradaptasi dengan obat-obatan dan jaringan tubuh tidak lagi berfungsi secara normal. Sedangkan pada ketergantungan psikologis, individu merasa didorong menggunakan obat-obatan untuk mendapatkan efeknya. Kecanduan merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan ketergantungan yang dimiliki individu baik secara fisik dan psikologis dalam sebuah aktivitas, meminum minuman keras atau obat-obatan yang berada dibawah kontrol kesadaran. Kecanduan terjadi disebabkan adanya (Mark, Murray, Evans, & Willig, 2004): a. Keinginan yang kuat untuk selalu terlibat dalam perilaku tertentu (terutama ketika kesempatan untuk terlibat dalam perilaku tertentu tidak dapat dilakukan). b. Adanya kegagalan dalam melakukan kontrol terhadap perilaku, individu merasakan ketidaknyamanan dan stress ketika perilaku ditunda atau dihentikan. c. Terjadinya perilaku yang terus-menerus walaupun telah ada fakta yang jelas bahwa perilaku mengarah kepada permasalahan. Berdasarkan uraian diatas maka kecanduan dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana individu mengalami ketergantungan terhadap perilaku tertentu. akibat kurangnya kontrol terhadap perilaku sehingga menyebabkan ketidaknyamanan dan stress ketika perilaku tersebut ditunda atau dihentikan.

27 45 2. Kecanduan internet diartikan Young (1998) sebagai sebuah sindrom yang ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online. Young (Essau, 2008) juga menyatakan bahwa kecanduan internet sama seperti perilaku kecanduan lainnya, yang berisi tingkah laku yang kompulsif, kurang tertarik terhadap aktivitas-aktivitas yang lain, dan meliputi symptomsymptom fisik dan mental ketika berusaha untuk menghentikan tingkah laku tersebut. Griffiths (1998) mendefinisikan kecanduan internet sebagai tingkah laku kecanduan yang meliputi interaksi antara manusia dengan mesin tanpa adanya penggunaan obat-obatan. Orzack (dalam Mukodim, Ritandiyono & Sita, 2004) menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan suatu kondisi dimana individu merasa bahwa dunia maya di layar komputernya lebih menarik daripada kehidupan nyata sehari-hari. Kecanduan internet pada anak-anak merupakan simtom psikologis dan berkaitan dengan gangguan fisiologis yang muncul dalam bentuk ketergantungan yang berlebihan terhadap World Wide Web (www). Kecanduan internet disebabkan oleh penggunaan Web jangka panjang, secara bertahap seseorang menjadi terobsesi, sehingga akan mengurangi kemampuannya untuk menghindar dari godaan, dan peningkatan keingininan untuk mengakses internet secara berulangulang.

28 46 Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kecanduan internet adalah tingkah laku kompulsif, kurang tertarik dengan aktivitas lain, merasa bahwa dunia maya di layar komputer lebih menarik sehingga menghabiskan banyak waktu dalam menggunakan internet serta meliputi symptom-symptom fisik dan mental ketika tingkah laku tersebut ditunda atau dihentikan. 3. Dimensi Griffiths (1998) telah mencantumkan enam dimensi untuk menentukan apakah individu dapat digolongkan sebagai pecandu internet. Dimensi-dimensinya adalah sebagai berikut: a. Salience. Hal ini terjadi ketika penggunaan internet menjadi aktivitas yang paling penting dalam kehidupan individu, mendominasi pikiran individu (preokupasi atau gangguan kognitif), perasaan (merasa sangat butuh),dan tingkah laku (kemunduran dalam perilaku sosial). Individu akan selalu memikirkan internet, meskipun tidak sedang mengakses internet. b. Mood modification. Hal ini mengarah pada pengalaman individu sendiri, yang menjadi hasil dari bermain internet, dan dapat dilihat sebagai strategi coping. c. Tolerance. Hal ini merupakan proses dimana terjadinya penigkatan jumlah penggunaan internet untuk mendapatkan efek perubahan dari mood.

29 47 d. Withdrawal symptoms. Hal ini merupakan perasaan tidak menyenangkan yang terjadi karena penggunaan internet dikurangi atau tidak dilanjutkan (misalnya, mudah marah, cemas, tubuh bergoyang). e. Conflict. Hal ini mengarah pada konflik yang terjadi antara pengguna internet dengan lingkungan sekitarnya (konflik interpersonal), konflik dalam tugas lainnya (pekerjaan, tugas, kehidupan sosial, hobi) atau konflik yang terjadi dalam dirinya sendiri (konflik intrafisik atau merasa kurangnya kontrol) yang diakibatkan karena terlalu banyak menghabiskan waktu bermain internet. f. Relapse. Hal ini merupakan kecenderungan berulangnya kembali pola penggunaan internet setelah adanya kontrol. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan apakah individu dapat dinyatakan mengalami kecanduan internet adalah dengan menggunakan dimensi-dimensi kecanduan internet, yaitu salience, mood modification, tolerance, withdrawal symptom, conflict, dan relapse. 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi kecanduan internet (Young, Pistner, O Mara & Buchanan, 1998) adalah: a. Gender Gender mempengaruhi jenis aplikasi yang digunakan dan penyebab individu tersebut mengalami kecanduan internet. Laki-laki lebih sering mengalami kecanduan terhadap game online, situs porno, dan perjudian online, sedangkan

30 48 perempuan lebih sering mengalami kecanduan terhadap chatting dan berbelanja secara online. b. Kondisi psikologis Survey di Amerika Serikat menunjukkan bahwa lebih dari 50% individu yang mengalami kecanduan internet juga mengalami kecanduan pada hal lain seperti obat-obatan terlarang, alkohol, rokok dan seks. Kecanduan internet juga timbul akibat masalah-masalah emosional seperti depresi dan gangguan kecemasan dan sering menggunakan dunia fantasi di internet sebagai pengalihan secara psikologis terhadap perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan atau situasi yang menimbulkan stress. Berdasarkan hasil survey ini juga diperoleh bahwa 75% individu yang mengalami kecanduan internet disebabkan adanya masalah dalam hubungannya dengan orang lain, kemudian individu tersebut mulai menggunakan aplikasi-aplikasi online yang bersifat interaktif seperti chat room dan game online sebagai cara untuk membentuk hubungan baru dan lebih percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain melalui internet. c. Kondisi sosial ekonomi Individu yang telah bekerja memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kecanduan internet dibandingkan dengan individu yang belum bekerja. Hal ini didukung bahwa individu yang telah bekerja memiliki fasilitas internet di kantornya dan juga memiliki sejumlah gaji yang memungkinkan individu tersebut memiliki fasilitas komputer dan internet juga dirumahnya.

31 49 d. Tujuan dan waktu penggunaan internet Tujuan menggunakan internet akan menentukan sejauhmana individu tersebut akan mengalami kecanduan internet, terutama dikaitkan terhadap banyaknya waktu yang dihabiskannya sendirian di depan komputer. Individu yang menggunakan internet untuk tujuan pendidikan, misalnya pada pelajar dan mahasiswa akan lebih banyak menghabiskan waktunya menggunakan internet. Umumnya, individu yang menggunakan internet untuk tujuan pendidikan mengalami kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami kecanduan internet. Hal ini diakibatkan tujuan penggunaan internet bukan digunakan sebagai upaya untuk mengatasi atau melarikan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya di kehidupan nyata atau sekedar hiburan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecanduan internet, yaitu gender, kondisi psikologis, kondisi sosial ekonomi, tujuan dan waktu penggunaan internet. 5. Jenis- Jenis Kecanduan internet Pada Remaja Kecanduan internet secara umum dapat digolongkan dalam 5 jenis : a. Kecanduan terhadap situs porno : situs porno biasanya terang-terangan, mudah diakses, kadang-kadang gratis sulit dihindari apalagi jika anak sedang dalam periode kematangan seksual (puber remaja). b. Kecanduan terhadap situs gaul : adalah umum jika seorang anak/remaja dalam memperluas pergaulannya kemudian memanfaatkan internet untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

32 50 c. Kecanduang terhadap situs belanja : belanja, jual- beli atau berjudi melalui internet merupakan jebakan yang sekalipun orang dewasa agak sulit untuk menghindarinya, apalagi seorang anak/remaja yang tidak berpengalaman dan belummatang. d. Informasi yang berlebihan : surfing informasi yang berlebihan tanpa tujuan yang jelas. e. Kecanduan terhadap game on line : dengan kemampuan untuk berhubungan dengan siapa saja/dimana saja secaramaya, pengalaman bermain game on line membuat seseorang menjadi tidak peka. Penggunaan internet yang patologis (Pathological Internet Use/ PIU) merujuk pada ketergantungan psikologis terhadap internet. Hal ini ditandai dengan meningkatnya waktu yang digunakan, uang, usaha dan lain-lain untuk kegiatan yang berkaitan dengan internet, merasa cemas/sedih/gelisah jika tidak bisa mengakses internet, dan menyangkal akan adanya masalah perilaku. Pada dasarnya penggunaan internet menjadi patologis ketika hal itu mengganggu satu dari beberapa area kehidupan (misalnya relasi, pekerjaan, sekolah, kesehatan fisik dan atau mental. Ada 2 macam Penggunaan Internet yang patologis yaitu : a. Bersifat spesifik :Biasanya, sebelum kecanduan, seseorang sudah memiliki kecenderungan untuk menjadi kecanduan. Internet hanya mempermudah akses untuk menjadi ketagihan.

33 51 b. Bersifat umum :Merupakan simtom kecanduan sebagai hasil dari penggunaan internet. Kecanduan timbul karena adanya cara bersosialisasi yang unik, yang hanya dapat diperoleh dari internet. 6. Tingkat Young (1996) membagi kecanduan internet dalam 3 tingkatan, yaitu: a. Mild. Pada tingkatan ini individu termasuk dalam pengguna online rata-rata. Individu menggunakan internet dalam waktu yang lama, tetapi individu memiliki kontrol dalam penggunaannya. b. Moderate. Pada tingkatan ini individu mulai sering mengalami beberapa permasalahan dari penggunaan internet. Internet merupakan hal yang penting, namun tidak selalu menjadi yang utama dalam kehidupan. c. Severe. Pada tingkatan ini individu mengalami permasalahan yang signifikan dalam kehidupan mereka. Internet merupakan hal yang paling utama sehingga mengabaikan kepentingan-kepentingan yang lain. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 tingkat kecanduan internet, yaitu mild, moderate, dan severe.

34 52 D. Remaja 1. Definisi Remaja Istilah remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin adolscere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescene (dari bahasa Inggris) yang dipergunakan saat ini memiliki arti yang cukup luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1990). Piaget (dalam Hurlock, 1990) mengatakan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Indivdu tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat, mempunyai banyak aspek afektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk di dalamnya juga perubahan intelektual yang mencolok, transformasi yang khas dari berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa. Selanjutnya, Kartono (1990) mengatakan bahwa masa remaja juga sebagai masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada masa remaja terdapat tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi. Menurut Hurlock (1990), seluruh tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas perkembangan remaja adalah: a. Mencapai peran sosial pria dan wanita

35 53 b. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. d. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. e. Mempersiapkan karir ekonomi untuk masa yang akan datang. f. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. g. Memperoleh nilai-nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi. Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode storm and stress, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan emosi dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru (Hurlock, 1990). Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah individu yang mulai berintegrasi dengan masyarakat dewasa dimana indivdu tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat,dan juga memiliki tugas-tugas perkembangan yang sebaiknya dipenuhi. Tugas perkembangan remaja yang paling mendasari dalam penelitian ini adalah tugas perkembangan dimana remaja meulai mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

36 54 2. Ciri-ciri Remaja Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1990), terdapat 8 ciri masa remaja, antara lain: a. Masa remaja sebagai periode yang penting. Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai, dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode yang peralihan. Peralihan tidak berarti putus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya. c. Masa remaja sebagai periode perubahan. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung pesat. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah. Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak lakilaki maupun anak perempuan. Ada dua alasan bagi kesulitan ini, yaitu:

37 55 1) Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. 2) Remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, sehingga menolak bantuan dari orang tua dan guru-guru. e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas. Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, dan pada masa ini lebih menekankan pada penyesuaian diri dengan standar kelompok dibandingkan bersikap individualistik. Adanya keinginan menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain. f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan. Adanya anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, sehingga menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik. Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sesuai dengan apa yang ia inginkan dan bukan sesuai dengan apa adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil tujuan yang ditetapkannya sendiri. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

38 56 Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan streotype belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan. 3. Batasan Usia Remaja Monks, dkk (2002) membagi fase-fase masa remaja ke dalam tiga tahap, yaitu: a. Remaja awal (12-15 tahun) Pada tahap ini, remaja mulai beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Individu berusaha untuk menghindari ketidaksetujuan sosial atau penolakan dan mulai membentuk kode moral sendiri tentang benar dan salah. Individu menilai baik terhadap apa yang disetujui orang lain dan buruk apa yang ditolak orang lain. Pada tahap ini, minat remaja pada dunia luar sangat besar dan juga tidak mau dianggap sebagai kanak-kanak lagi namun belum bisa meninggalkan pola kekanakannya. Selain itu, pada masa ini remaja masih belum tahu apayang diinginkannya, remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil dan tidak puas (Kartono, 1990).

39 57 b. Remaja pertengahan (15-18 tahun) Pada tahap ini, remaja berada dalam kondisi kebingungan dan terhalang dari pembentukan kode moral karena ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukannya dalam kehidupan sehari-hari. Keraguan semacam ini juga jelas dalam sikap terhadap masalah mencontek, pada waktu remaja duduk di sekolah menengah atas. Karena hal ini dianggap umum, remaja menganggap bahwa teman-teman akan memaafkan perilaku ini, dan membenarkan perbuatan mencontek bila selalu ditekan untuk mencapai nilai yang baik agar dapat diterima di sekolah tinggi dan yang akan menunjang keberhasilan dalam kehidupan sosial dan ekonomi di masa-masa mendatang. Pada tahap ini, mulai tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban untuk mempertahankan aturan-aturan yang ada, namun belum dapat mempertanggungjawabkannya secara pribadi. c. Masa remaja akhir (18-21 tahun) Pada tahap ini, individu dapat melihat sistem sosial secara keseluruhan. Individu mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Alasan mematuhi peraturan bukan merupakan ketakutan terhadap hukuman atau kebutuhan individu, melainkan kepercayaan bahwa hukum dan aturan harus dipatuhi untuk mempertahankan tatanan dan fungsi sosial. Remaja sudah mulai memilih prinsip moral untuk hidup. Individu melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab

BAB II LANDASAN TEORI. Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (self-control)

BAB II LANDASAN TEORI. Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (self-control) BAB II LANDASAN TEORI A. KONTROL DIRI 1. Definisi Kontrol Diri Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan kontrol diri (self-control) sebagai pengaturan proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang;

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605). BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan untuk menekan atau untuk mencegah tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis pada internet, apapun

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis pada internet, apapun BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kecanduan Internet Kandell (dalam Panayides dan Walker, 2012) menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi

BAB II LANDASAN TEORI. yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Diet 1. Pengertian Perilaku Diet Perilaku diet adalah pengurangan kalori untuk mengurangai berat badan (Kim & Lennon, 2006). Demikian pula Hawks (2008) mengemukakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal

BAB II LANDASAN TEORI. Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal BAB II LANDASAN TEORI A. KECANDUAN BLACKBERRY SERVICE 1. Definisi Kecanduan Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal yang berkenaan dengan zat adiktif (misalnya alkohol,

Lebih terperinci

Sigit Sanyata

Sigit Sanyata #3 Sigit Sanyata sanyatasigit@uny.ac.id Komitmen kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/ Madrasah,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. IDENTITAS DIRI 1. Pengertian Identitas Diri Menurut Erikson (dalam Berk, 2007) identitas merupakan pencapaian besar dari kepribadian remaja dan merupakan suatu tahap yang penting

Lebih terperinci

Kemandirian sebagai Tujuan Layanan Bimbingan dan Konseling Kompetensi SISWA yang dikembangkan melalui layanan bimbingan dan konseling adalah kompetens

Kemandirian sebagai Tujuan Layanan Bimbingan dan Konseling Kompetensi SISWA yang dikembangkan melalui layanan bimbingan dan konseling adalah kompetens BIMBINGAN DAN KONSELING SEBAGAI LAYANAN PENGEMBANGAN PRIBADI MAHASISWA Dr. Suherman, M.Pd. Universitas Pendidikan Indonesia Kemandirian sebagai Tujuan Layanan Bimbingan dan Konseling Kompetensi SISWA yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelecehan Seksual 1. Pengertian Pelecehan Seksual Menurut Winarsunu (2008), pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence)

BAB I PENDAHULUAN. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin (adolescence) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Dalam perkembangan kepribadian seseorang

Lebih terperinci

Kemandirian sebagai tujuan Bimbingan dan Konseling Kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling adalah k

Kemandirian sebagai tujuan Bimbingan dan Konseling Kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling adalah k FOKUS LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING Dr. Suherman, M.Pd. Kemandirian sebagai tujuan Bimbingan dan Konseling Kompetensi peserta didik yang harus dikembangkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Periode remaja adalah masa transisi dari periode anak-anak ke periode dewasa. Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun. Pada masa remaja manusia tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 55 BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Hasil Penelitian Bab IV mendeskripsikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hasil penelitian. Baik dengan rumusan masalah penelitian, secara berurutan

Lebih terperinci

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional dan metode penelitian. A. Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang membedakan dengan makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki manusia

BAB I PENDAHULUAN. yang membedakan dengan makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk Tuhan yang diberi berbagai kelebihan yang membedakan dengan makhluk lainnya. Kelebihan yang dimiliki manusia adalah akal pikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan mendorong peserta didik untuk memiliki kekuatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kompetensi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Interpersonal Menurut Mulyati Kemampuan membina hubungan interpersonal disebut kompetensi interpersonal (dalam Anastasia, 2004).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. laki-laki dan perempuan. Responden siswa laki-laki sebanyak 37 siswa atau 60 %.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. laki-laki dan perempuan. Responden siswa laki-laki sebanyak 37 siswa atau 60 %. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Data Diri Responden Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin, terdiri atas responden siswa laki-laki dan perempuan. Responden siswa laki-laki sebanyak 37 siswa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara suka rela

BAB II KAJIAN TEORI. dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara suka rela BAB II KAJIAN TEORI A. Disiplin Berlalu Lintas 1. Pengertian Disiplin Berlalu Lintas Menurut Hurlock (2005), disiplin berasal dari kata yang sama dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi yang sangat pesat semakin memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Teknologi yang berkembang pesat saat ini adalah teknologi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian keluarga Menurut Friedmen (1998) keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan dan emosional dan individu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepercayaan Diri 2.1.1 Pengertian Kepercayaan Diri Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Orang yang percaya diri yakin

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Usia sekolah menengah pertama pada umumnya berada pada usia remaja awal yaitu berkisar antara 12-15 tahun. Santrock (2005) (dalam http:// renika.bolgspot.com/perkembangan-remaja.html,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Lalu lintas didalam undang-undang no 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Lalu lintas didalam undang-undang no 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Disiplin Lalu Lintas 1. Pengertian Lalu Lintas Lalu lintas didalam undang-undang no 22 tahun 2009 didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) :

POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) : POKOK BAHASAN MATA - KULIAH BK PRIBADI SOSIAL (2 SKS) : 1. Konsep dasar bimbingan dan konseling pribadi - sosial : a. Keterkaitan diri dengan lingkungan sosial b. Pengertian BK pribadi- sosial c. Urgensi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Frekuensi Merokok 1. Definisi frekuensi Frekuensi berasal dari bahasa Inggris frequency berarti kekerapan, keseimbangan, keseringan, atau jarangkerap. Smet (1994) mengatakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. Dalam teori Averil (1973) dijelaskan secara terperinci jenis-jenis self

BAB II LANDASAN TEORITIS. Dalam teori Averil (1973) dijelaskan secara terperinci jenis-jenis self BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1 Alasan Pemilihan Teori Dalam teori Averil (1973) dijelaskan secara terperinci jenis-jenis self control dan proses psikologis dari self control (behavior control, cognitive

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Emosi remaja sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi masalah kesehatan mental. Jika sudah menjadi masalah kesehatan mental, stres begitu mengganggu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hana Nailul Muna, 2016 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peserta didik di SMA memasuki masa late adolescence yang berada pada rentang usia 15-18 tahun. Santrock (2007) menjelaskan, remaja mengalami berbagai perubahan

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab ini, akan dijelaskan beberapa hal mengenai definisi kontrol diri, aspek kontrol diri, faktor yang mempengaruhi kontrol diri, definisi perilaku konsumtif, faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Seksual Pranikah 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah Menurut Sarwono (2005) perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran dari kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini 1 `BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Siswa sekolah menengah umumnya berusia antara 12 sampai 18/19 tahun, yang dilihat dari periode perkembangannya sedang mengalami masa remaja. Salzman (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan merupakan proses yang terjadi secara terus menerus dan berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan yang dialami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi mendefinisikan perkembangan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua merupakan interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam perkembangan manusia, masa remaja merupakan salah satu tahapan perkembangan dimana seorang individu mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG Rheza Yustar Afif Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro Jl. Prof. Soeadarto, SH, Kampus Undip Tembalang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992).

BAB II LANDASAN TEORI. berhubungan dengan orang lain. Stuart dan Sundeen (dalam Keliat,1992). BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konsep Diri 2.1.1 Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan

Lebih terperinci

FUNGSI DAN PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING

FUNGSI DAN PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING PPG DALAM JABATAN Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2018 Hak cipta Direktorat Pembelajaran, Dit Belmawa, Kemenristekdikti RI, 2018 FUNGSI DAN PRINSIP BIMBINGAN DAN KONSELING Dr. Catharina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda tergantung faktor sosial budaya, yang berjalan antara umur 12

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungannya, dan mengenal masyarakat di sekitarnya. Remaja mulai memahami

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses kehidupan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN oleh: Dr. Lismadiana,M.Pd

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN oleh: Dr. Lismadiana,M.Pd PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN oleh: Dr. Lismadiana,M.Pd Pertumbuhan : Perubahan fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik yang berjalan normal pada anak yang sehat dalam perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

Lebih terperinci

ASSALAMU ALAIKUM WR.WB.

ASSALAMU ALAIKUM WR.WB. ASSALAMU ALAIKUM WR.WB. PENDIDIKAN BERMUTU efektif atau ideal harus mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergis, yaitu (1) bidang administratif dan kepemimpinan, (2) bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Remaja dipandang sebagai periode perubahan, baik dalam hal fisik, minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan

BAB I PENDAHULUAN. remaja yang berkisar antara tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia sekolah Menengah pertama pada umumnya berada pada rentang usia remaja yang berkisar antara 12-15 tahun. Hurlock (1980: 206) mengemukakan bahwa secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu sejak dilahirkan akan berhadapan dengan lingkungan yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri. Penyesuaian diri yang dilakukan oleh individu diawali dengan penyesuaian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan proses yang esensial untuk mencapai tujuan dan cita-cita individu. Pendidikan secara filosofis merupakan proses yang melibatkan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Tentang Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Pengertian mandiri berarti mampu bertindak sesuai keadaan tanpa meminta atau tergantung pada orang lain. Mandiri adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan, individu akan mengalami fase-fase perkembangan selama masa hidupnya. Fase tersebut dimulai dari awal kelahiran hingga fase dewasa akhir yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan,

BAB I PENDAHULUAN. itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki serangkaian kebutuhan yang harus dipenuhi baik itu kebutuhan fisik maupun psikologis. Untuk kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS A. KEMATANGAN KARIR 1. Pengertian Kematangan Karir Crites (dalam Salami, 2008) menyatakan bahwa kematangan karir sebagai sejauh mana individu dapat menguasai tugas-tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sepanjang rentang kehidupannya individu mempunyai serangkaian tugas perkembangan yang harus dijalani untuk tiap masanya. Tugas perkembangan tersebut terbentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Dunia pendidikan Indonesia saat ini kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh para siswanya, khususnya siswa Sekolah Menengah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Menurut Havighurst (dalam Syaodih : 161) mengatakan bahwa:

BAB II KAJIAN TEORI Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja. Menurut Havighurst (dalam Syaodih : 161) mengatakan bahwa: BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Pengertian Tugas-tugas Perkembangan Remaja Menurut Havighurst (dalam Syaodih. 2009.: 161) mengatakan bahwa: Definisi tugas perkembangan adalah suatu tugas yang

Lebih terperinci

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS Diajukan Kepada Program Studi Manajemen Pendidikan

Lebih terperinci

Wawasan Bimbingan Konseling di Sekolah. Meliputi : pengertian, tujuan, landasan & urgensi BK, fungsi, sifat, ruang lingkup, prinsipprinsip,

Wawasan Bimbingan Konseling di Sekolah. Meliputi : pengertian, tujuan, landasan & urgensi BK, fungsi, sifat, ruang lingkup, prinsipprinsip, Wawasan Bimbingan Konseling di Sekolah Meliputi : pengertian, tujuan, landasan & urgensi BK, fungsi, sifat, ruang lingkup, prinsipprinsip, asas-asas Definisi Bimbingan Konseling Definisi bimbingan : 1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak kejahatan atau perilaku kriminal selalu menjadi bahan yang menarik serta tidak habis-habisnya untuk dibahas dan diperbincangkan, masalah ini merupakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2011 TENTANG PEMBINAAN, PENDAMPINGAN, DAN PEMULIHAN TERHADAP ANAK YANG MENJADI KORBAN ATAU PELAKU PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian diri ialah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhankebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rentang kehidupan individu mengalami fase perkembangan mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Rentang kehidupan individu mengalami fase perkembangan mulai dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rentang kehidupan individu mengalami fase perkembangan mulai dari masa pranatal, bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, dan masa tua. Masing-masing fase memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri 1. Definisi Kontrol Diri Kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah respon diri sendiri, terutama untuk membawa diri mereka kepada standar yang sudah ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seseorang yang mengkonsumsinya (Wikipedia, 2013). Pada awalnya, alkohol

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. seseorang yang mengkonsumsinya (Wikipedia, 2013). Pada awalnya, alkohol 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Minuman berakohol adalah minuman yang mengandung etanol. Etanol adalah bahan psikoaktif yang akan menyebabkan penurunan kesadaran bagi seseorang yang mengkonsumsinya

Lebih terperinci

Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran

Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran Model Hipotetik Bimbingan dan konseling Kemandirian Remaja Tunarungu di SLB-B Oleh: Imas Diana Aprilia 1. Dasar Pemikiran Pendidikan bertanggungjawab mengembangkan kepribadian siswa sebagai upaya menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah usia seseorang yang sedang dalam masa transisi yang sudah tidak lagi menjadi anak-anak, dan tidak bisa juga dinilai dewasa, saat usia remaja ini anak ingin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, yang diistilahkan dengan adolescence yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan dan keinginan. Seringkali kebutuhan dan keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi dengan segera. Selain itu

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Mengenai Self Control pada Remaja Mengenai Kedisiplinan di Panti Asuhan X

Studi Deskriptif Mengenai Self Control pada Remaja Mengenai Kedisiplinan di Panti Asuhan X Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Self Control pada Remaja Mengenai Kedisiplinan di Panti Asuhan X 1 Rizkia Alamanda Nasution, 2 Temi Damayanti 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas

Lebih terperinci