AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB SKRIPSI"

Transkripsi

1 STATUS TEMPORAL KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) DAN PERTUMBUHANNYA DENGAN BERBAGAI TEKNIK TRANSPLANTASI DALAM KAWASAN REHABILITASI DI PULAU HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Status Temporal Komunitas Lamun (Seagrass) dan Pertumbuhannya dengan Berbagai Teknik Transplantasi dalam Kawasan Rehabilitasi di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Maret 2010 Ahmad Wira Munawar Khotib C

3 RINGKASAN Ahmad Wira Munawar Khotib. C Status Temporal Komunitas Lamun (Seagrass) dan Pertumbuhannya dengan Berbagai Teknik Transplantasi dalam Kawasan Rehabilitasi di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta. Di bawah bimbingan Ario Damar dan Am Azbas Taurusman. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Lamun berfungsi menjaga atau memelihara produktifitas dan stabilitas pantai pesisir dan ekosistem estuaria. Pulau Harapan termasuk ke dalam salah satu pulau berpenghuni yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Kerusakan ekosistem lamun, umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia di kawasan pesisir seperti kegiatan pembangunan, pengerukan pasir, reklamasi pantai dan kegiatan penangkapan yang mengunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status komunitas lamun alami secara temporal, pertumbuhan dan tingkat keberhasilan lamun yang ditransplantasi dengan beberapa metode dan mengetahui metode transplantasi lamun terbaik yang potensial digunakan untuk kegiatan rehabilitasi lamun di Kepulauan Seribu. Pengamatan status komunitas lamun dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan menggunakan metode Seagrass Watch dilakukan pada bulan Mei 2009 dan Oktober Sedangkan transplantasi lamun dilakukan pada bulan Maret- Oktober 2009 menggunakan metode TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame system), Plugs dan Polybags. Data yang diamati meliputi tingkat keberhasilan unit transplantasi dan pertumbuhan lamun seperti jumlah tunas serta daun. Kemudian diamati pertumbuhan panjang daun lamun transplantasi pada metode Plugs dengan menggunakan metode penandaan daun. Bibit yang digunakan berasal dari padang lamun sekitar kawasan rehabilitasi yang memiliki kepadatan tinggi, jenis lamunnya terdiri atas Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata. Komunitas lamun pada kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan berupa vegetasi campuran yang terdiri atas jenis Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata dan secara temporal mengalami perubahan. Pada bulan Mei 2009 penutupan lamun rata-rata adalah 6% dengan komposisi jenis lamun adalah C. rotundata sebesar 58% dan 42% untuk T. hemprichii, kemudian pada bulan Oktober 2009 penutupannya sebesar 13,7% dengan komposisi C. rotundata sebesar 45% dan 55% untuk T. hemprichii. Menurut KEPMEN LH no. 200 tahun 2004 mengenai kriteria kualitas padang lamun, status padang lamun dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan, termasuk miskin atau rusak, yakni penutupan lamun kurang dari 29,9%. Tingkat keberhasilan unit transplantasi dari setiap metode adalah TERFs sebesar 50%, Plugs sebesar 47,14% dan 71,13% untuk Polybags. Sedangkan tingkat keberhasilan setiap jenis lamun pada metode TERFs adalah jenis T. hemprichii sebesar 78,95% dan 5,56% untuk C. rotundata, dan untuk metode

4 Plugs adalah T. hemprichii sebesar 50,91%, C. rotundata sebesar 26,67% dan 33,33% untuk H. uninervis. Pertumbuhan lamun menggunakan metode penandaan daun menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh daun rata-rata T. hemprichii adalah 3,2 mm/hari untuk daun baru dan 2,2 mm/hari untuk daun lama, sedangkan H. uninervis adalah 1,5 mm/hari untuk daun baru dan 2,4 mm/hari untuk daun lama. Selain itu, berdasarkan jumlah tunas dan daun lamun dari ketiga metode transplantasi yaitu TERFs, Plugs, dan Polybags diketahui bahwa tingkat keberhasilan transplantasi yang paling tinggi adalah Thalassia hemprichii. Pertumbuhan lamun yang ditransplantasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti kecerahan, salinitas, suhu, kedalaman, arus perairan, tipe substrat dan ketersediaan nutrien.

5 STATUS TEMPORAL KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) DAN PERTUMBUHANNYA DENGAN BERBAGAI TEKNIK TRANSPLANTASI DALAM KAWASAN REHABILITASI DI PULAU HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama Mahasiswa NIM Program Studi : Status Temporal Komunitas Lamun (Seagrass) dan Pertumbuhannya dengan Berbagai Teknik Transplantasi dalam Kawasan Rehabilitasi di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta : Ahmad Wira Munawar Khotib : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si. NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Lulus : 26 Maret 2010

7 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Status Temporal Komunitas Lamun (Seagrass) dan Pertumbuhannya dengan Berbagai Teknik Transplantasi dalam Kawasan Rehabilitasi di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua serta Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 yang telah banyak membantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti dan mahasiswa untuk melakukan penulisan lebih lanjut. Bogor, Maret 2010 Penulis vii

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, khususnya kepada : 1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah banyak bersabar dalam membimbing, memberikan banyak masukan, arahan, nasehat dan saran untuk penulis. Serta atas izin yang bersangkutan, sehingga penulis dapat bergabung dalam penelitian yang didanai oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku pembimbing akademik atas bimbingan yang diberikan kepada penulis baik saran maupun nasehat yang bermanfaat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. 3. Dosen penguji tamu Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc dan Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis. 4. PKSPL-IPB dan Dr. Ir. Ario Damar, M. Si sebagai koordinator team rehabilitasi sumberdaya alam dan lingkungan Kepulauan Seribu tahun Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Kementrian Negara Lingkungan Hidup, atas segala bantuan dan kerjasamanya baik secara finansial maupun moril. 5. Keluarga tercinta; Mommy, Daddy, Kak Margaret atas doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasinya. 6. Tim Lamun 2009 (Andra, Nota, Ikhsan, Mirza dan Mas Arif PKSPL-IPB) dan Tim Karang 2009 (Agus, Dono, Moro dan Tia) 7. Seluruh staff Tata Usaha yang saya banggakan, terutama mbak Widar dan mbak Zaenab atas bantuan dan kesabaranya, serta civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. 8. Teman-teman MSP seluruh angkatan yang telah memberikan semangat dan motivasi, serta bantuannya, khususnya untuk angkatan 42 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 12 Januari 1988, merupakan putra kedua dari pasangan Bapak Mad Khotib dan Ibu Lasmiah. Pendidikan formal pertama diawali dari Madrasah Ibtidaiyah Sirajul Falah, Parung-Bogor (1999), MTS Sirajul Falah, Parung-Bogor (2002), SMU Negeri 1 Parung, Bogor (2005). Pada tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI. Setelah setahun melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Ikhtiologi Tahun ajaran 2007/2008 dan 2008/2009. Penulis juga aktif dalam organisasi sebagai anggota Divisi Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) periode 2006/2007 dan 2007/2008, dan anggota UKM Tenis Meja IPB dari tahun Penulis juga aktif mengikuti seminar dan berpartisipasi dalam kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Status Temporal Komunitas Lamun (Seagrass) dan Pertumbuhannya dengan Berbagai Teknik Transplantasi dalam Kawasan Rehabilitasi di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta. ix

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Lamun (Seagrass) Deskripsi Lamun Klasifikasi Lamun Fungsi Lamun Pertumbuhan Lamun Biomassa Lamun Transplantasi Lamun Teknik Transplantasi tanpa Jangkar Teknik Transplantasi dengan menggunakan Jangkar Metode Peat Pot (Calumpong & Fonseca 2001) Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Transplantasi Lamun Kecerahan Suhu Salinitas Derajat Keasaman (ph) Substrat Kecepatan Arus Perairan Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Nutrien METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penentuan Posisi Stasiun Metode Pengambilan Data Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan a. Kecerahan b. Kedalaman c. Suhu d. Salinitas e. Derajat Keasaman (ph) f. Substrat xii xiii xiv

11 g. Oksigen Terlarut h. Nutrien Pengamatan Status Komunitas Lamun Metode Transplantasi Lamun a. TERFs b. Plugs c. Polybags (PKSPL-IPB 2009) Modifikasi Metode Peat Pot Metode Pengukuran Pertumbuhan Lamun Analisis Data Status Komunitas Lamun Tingkat Keberhasilan Unit Transplantasi Pertumbuhan dan Perkembangan Lamun Biomassa Lamun HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika - Kimia Perairan Parameter Fisika a. Suhu b. Kecerahan c. Substrat Parameter Kimia a. Salinitas b. Oksigen Terlarut (DO) c. Derajat Keasaman (ph) b. Nitrat c. Ortofosfat Status Komunitas Lamun dalam Kawasan Rehabilitasi di Pulau Harapan Persentase Penutupan dan Komposisi Jenis Lamun Frekuensi Jenis Lamun Biomassa Lamun Transplantasi Lamun dalam Kawasan Rehabilitasi Tingkat Keberhasilan Unit Transplantasi Pertumbuhan dan Perkembangan Lamun KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Parameter, alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Nilai parameter fisika-kimia perairan Karakteristik substrat di Pulau Harapan Persen penutupan lamun pada bulan Mei dan Oktober Frekeuensi jenis lamun di setiap line transect Biomassa lamun di atas substrat dan di bawah substrat Persen keberhasilan unit transplantasi Pertumbuhan daun lamun dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian Morfologi umum lamun (McKenzie & Yoshida 2009) Peta lokasi penelitian Pulau Harapan Rancangan pengamatan status komunitas lamun Frame besi cm 2 pada metode TERFs Corer dengan diameter 10 cm (a) dan unit transplantasi Plugs ( b) Unit transplantasi Polybags (Sumber:dokumentasi pribadi) Penutupan jenis lamun di setiap line transect pada bulan Mei dan Oktober Komposisi jenis lamun pada bulan Mei dan Oktober Biomassa lamun di atas dan bawah substrat dari setiap line transect Persen keberhasilan transplantasi jenis lamun menggunakan metode TERFs Persen keberhasilan transplantasi jenis lamun menggunakan metode Plugs Jumlah tunas dan daun lamun transplantasi dengan menggunakan metode TERFs Jumlah tunas dan daun lamun transplantasi dengan menggunakan metode Plugs Jumlah tunas dan daun lamun transplantasi dengan menggunakan metode Polybags xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Gambar lembar pengamatan yang digunakan (McKenzie & Yoshida 2009) Gambar pedoman penentuan penutupan lamun dan algae (McKenzie & Yoshida 2009) Data hasil pengukuran panjang daun lamun pada metode Plugs Data hasil pengamatan transplantasi Lamun dengan metode TERFs (4a dan 4b) Data hasil pengamatan transplantasi lamun dengan petode Plugs (5a, 5b dan 5c) Data hasil pengamatan transplantasi lamun dengan metode Polybags (6a dan 6b) Data berat kering lamun Baku mutu air laut untuk biota laut (Kepmen LH no.200 tahun 2004) Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun Gambar berbagai jenis lamun Gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian Gambar kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan (atas: demplot rehabilitasi padang lamun dan teripang PKSPL-IPB dan bawah: lokasi pengamatan status komunitas dan transplantasi lamun) Gambar kegiatan transplantasi dan pengamatan lamun xiv

15 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006) padang lamun merupakan ekosistem laut terkaya dan paling produktif, dengan produksi primer yang tinggi. Lamun berfungsi menjaga atau memelihara produktifitas dan stabilitas pantai pesisir dan ekosistem estuaria. Selanjutnya bersama-sama dengan mangrove dan terumbu karang merupakan satu pusat plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, khususnya di Indonesia dan perairan tropis pada umumnya. Jumlah jenis lamun di dunia adalah 60 jenis, yang terdiri atas 4 famili, 2 ordo dan 12 marga (Tomlinson 1982 in Kuo & Den Hartog 2001). Di perairan Indonesia terdapat 13 jenis lamun, yang terdiri atas 2 famili dan 7 marga (Kiswara 2009). Luas penutupan lamun dari keseluruhan kepulauan di Indonesia kira-kira sebesar km 2 (Nienhuis 1993 in McKenzie & Yoshida 2009). Pada tahun 2007 ditemukan jenis baru yaitu Halophila sulawesii, di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan (Kuo 2007 in Kuriandewa 2009). Dari 13 jenis lamun yang dapat tumbuh di perairan Indonesia, 8 jenis diantaranya dapat ditemukan di Kepulauan Seribu (Mardesyawati & Anggraini 2009). Pulau Harapan termasuk ke dalam salah satu pulau berpenghuni yang memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi yaitu sekitar jiwa pada tahun 2002, sehingga aktivitas masyarakat berpotensi memberikan dampak negatif baik langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi ekosistem lamun. Kerusakan ekosistem lamun, umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia di kawasan pesisir seperti kegiatan pembangunan, pengerukan, reklamasi pantai dan kegiatan penangkapan yang mengunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Kurangnya informasi dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang ekosistem lamun serta fungsi ekologisnya, menyebabkan ekosistem yang potensial ini terabaikan dan berakibat terjadinya kerusakan ataupun degradasi ekosistem lamun, seperti halnya terjadi penurunan luas penutupan lamun di beberapa lokasi di Pulau Harapan.

16 2 Keberadaan ekosistem lamun yang begitu penting untuk menunjang kehidupan biota laut yang berasosiasi di dalamnya, berkaitan dengan fungsi ekologisnya di kawasan pesisir secara tidak langsung berpengaruh terhadap produksi perikanan. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang tepat untuk mengembalikan dan menjaga ekosistem lamun agar dapat memberikan manfaat yang lebih baik. Beberapa usaha pemulihan kerusakan ekosistem lamun yaitu transplantasi, restorasi dan penciptaan padang lamun baru. Mengingat betapa pentingnya ekosistem lamun di kawasan pesisir, maka kajian mengenai usaha pemulihan lamun melalui transplantasi dan restorasi ataupun rehabilitasi padang lamun penting untuk dilakukan, diantaranya dengan mengetahui pertumbuhan lamun hasil transplantasi menggunakan beberapa metode yang berbeda dan melakukan monitoring secara rutin terhadap status komunitas lamun yang direhabilitasi untuk mengetahui perkembangan dan perubahan yang terjadi berikut faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sehingga diharapkan keberadaan dan kelestarian ekosistem lamun dapat terjaga serta berkembang dengan baik. Kegiatan transplantasi lamun yang bertujuan untuk memperbaiki padang lamun belum umum dilakukan di Indonesia. Diantaranya telah dilakukan oleh Azkab (1999) pada tahun kegiatan transplantasi lamun di rataan terumbu Pulau Pari Kepulauan Seribu dengan menggunakan metode Plugs dan Sprig yang diujicobakan terhadap dua jenis lamun, yaitu C. rotundata dan T. hemprichii yang hasilnya cukup baik, waktu yang disarankan untuk transplantasi di Kepulauan Seribu adalah pada saat musim barat akan tetapi dapat dilakukan sepanjang tahun. Selain itu, oleh Kiswara pada tahun di Teluk Banten, dengan menggunakan teknik penanaman tunas tunggal lamun Enhalus acoroides dan jenis-jenis lamun C. rotundata, C. serrulata, S. isoetifolium, H. uninervis dan T. hemprichii yang memakai teknik jangkar dan tanpa jangkar, diperoleh hasil yang bervariasi dengan keberhasilan sekitar 60% E. acoroides dan 80% untuk C. serrulata, sementara jenis lainnya berkisar 20-40% (Kiswara 2004). Secara umum dalam kegiatan transplantasi lamun harus diperhatikan waktu yang baik pada saat penanamannya, hal ini dikarenakan kondisi perairan yang cocok sangat diperlukan untuk keberhasilan kegiatan tersebut. Oleh karena itu, informasi mengenai kapan

17 3 waktu yang tepat untuk melakukan transplantasi dibutuhkan dan disesuaikan dengan musim daerah masing-masing Rumusan Masalah Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi di perairan, lamun berfungsi sebagai nursery ground dan feeding ground bagi ikan dan biota laut, daun lamun menjadi makanan bagi biota laut lain (Dugong dugon). Selain itu fungsi fisik lamun adalah sebagai peredam gelombang laut, dan perangkap sedimen dari daratan. Namun aktivitas manusia yang semakin meningkat, seperti pembangunan kawasan pesisir, kegiatan penangkapan dan kegiatan masyarakat pesisir yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan, membuat keberadaan lamun semakin lama semakin terancam dan bahkan merusak ekosistem lamun. Kerusakan ekosistem lamun yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah mengurangi luasan area penutupan lamun di Pulau Harapan. Kemudian untuk mencegah semakin bertambah buruknya kondisi padang lamun dan mengembalikannya ke kondisi yang lebih baik, perlu dilakukan kajian mengenai usaha pemulihan lamun melalui transplantasi lamun menggunakan beberapa metode yang berbeda (Plugs, TERFs, dan Polybags), dan menetapkan suatu area menjadi kawasan rehabilitasi yang akan dilakukan monitoring secara berkala untuk melihat perkembangan dari status komunitas lamun di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, sehingga diperoleh informasi yang dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam upaya untuk menjaga kelestarian dan mengembalikan kondisi ekosistem lamun dari degradasi.

18 4 Secara sistematis kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian sebagai berikut: Ekosistem Lamun Aktivitas Manusia : 1. Pembangunan pelabuhan 2. Penangkapan ikan 3. Penambangan Pasir 4. Limbah domestik 5. Limbah industri Monitoring dan Identifikasi Lamun Status Komunitas Lamun Kerusakan Ekosistem Lamun Upaya Rehabilitasi Alami Buatan Transplantasi Lamun Menggunakan Beberapa Metode Berbeda Laju Pertumbuhan (tunas dan daun) dan Tingkat Keberhasilan Transplantasi Strategi pengelolaan lamun yang berkelanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian

19 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui status komunitas lamun alami secara temporal dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan. 2. Mengetahui pertumbuhan dan tingkat keberhasilan transplantasi lamun dengan menggunakan metode yang berbeda, yaitu TERFs, Plugs dan Polybags. 3. Mengetahui metode transplantasi lamun terbaik yang potensial digunakan untuk kegiatan rehabilitasi lamun di Kepulauan Seribu Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Memberikan informasi ilmiah tentang status komunitas lamun di kawasan rehabilitasi Pulau Harapan, Kepulauan Seribu dan efektivitas berbagai teknik transplantasi dalam upaya rehabilitasi lamun. 2. Menghasilkan teknik transplantasi yang berpotensi digunakan khususnya pada suatu kawasan rehabilitasi lamun di Kepulauan Seribu dan Indonesia umumnya.

20 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) Deskripsi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut (McKenzie & Yoshida 2009). Lamun dapat berkembang biak di perairan laut dangkal karena mempunyai beberapa sifat yang memungkinnya untuk hidup, yaitu (1) mampu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan air asin, (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, (3) mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, (4) mampu melaksanakan penyerbukan bunga dalam keadaan terbenam dalam air (Kiswara 2009), (5) mampu bersaing dengan berhasil di lingkungan laut (Den Hartog 1970 in Phillips & Menez 1988). Lamun dapat menghuni perairan laut dangkal mulai berupa kelompokan kecil atau seluas beberapa meter persegi sampai seluas ribuan kilometer persegi (Tomascik et al in Kiswara 2009). Lamun hidup dan berkembang baik pada lingkungan perairan laut dangkal, muara sungai, daerah pesisir yang selalu mendapat genangan air atau terbuka ketika air surut, dijumpai di daerah pasang surut sampai dengan kedalaman 40 m (Kiswara 2004). Lamun juga memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, berbunga, dan sistem transportasi internal untuk gas dan nutrien, serta stomata yang berfungsi dalam pertukaran gas dan nutrien. Akar pada tumbuhan lamun tidak berfungsi penting dalam pengambilan air, karena daun dapat menyerap secara langsung nutrien dari dalam air laut. Tumbuhan tersebut dapat menyerap nutrien dan melakukan fiksasi nitrogen melalui tudung akar (McKenzie & Yoshida 2009). Lamun mempunyai bentuk tanaman yang sama seperti halnya rumput di daratan, yaitu mempunyai bagian tanaman seperti rimpang yang menjalar, tunas tegak, seludang atau pelepah daun, helaian daun, bunga dan buah. Bentuk vegetatif lamun mempunyai keseragaman yang tinggi. Hampir semua jenis lamun mempunyai rimpang yang berkembang baik dan bentuk helaian daun yang memanjang (linear) atau bentuk sangat panjang seperti pita dan ikat pinggang,

21 7 kecuali pada marga Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur atau lonjong (Lanyon 1986 in Kiswara 2009). Gambar 2. Morfologi umum lamun (McKenzie & Yoshida 2009) Menurut Broun (1985) in Kiswara (1997), berdasarkan komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokkan menjadi vegetasi tunggal, yaitu padang lamun yang disusun oleh satu jenis lamun dan vegetasi campuran, yaitu padang lamun yang disusun mulai dari 2 atau lebih jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu habitat. Jenis-jenis lamun yang dijumpai membentuk komunitas padang lamun tunggal adalah Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule pinnifolia, H. uninervis, Halophila ovalis, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, Thalassodendron ciliatum. Nienhuis et al. (1989) in Kiswara (1997) melaporkan adanya vegetasi campuran yang disusun oleh 8 jenis lamun. Padang lamun vegetasi campuran umumnya sering dijumpai daripada vegetasi tunggal. Pada substrat berlumpur di tepian luar formasi mangrove sering mempunyai padang lamun vegetasi tunggal dengan biomassa yang tinggi. Sementara padang lamun campuran terbentuk di daerah intertidal yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun umumnya hidup subur di

22 8 substrat pasir berlumpur yang terlindung dari arus (Phillips & Menez 1988). Zona intertidal dicirikan oleh vegetasi pionir, yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Halophila pinifolia Klasifikasi Lamun Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri atas 4 famili (Zosteraceae, Posidoniaceae, Cymodoceaceae dan Hydrocharitaceae), 2 ordo (Hydrocharithales dan Potamogetonales) dan 12 marga (Tomlinson 1982 in Kuo & Den Hartog 2001). Di perairan Indonesia terdapat 13 jenis lamun, yang terdiri atas 2 famili dan 7 marga (Kiswara 2009). Menurut Kuriandewa (2009), 13 jenis lamun telah dilaporkan terdapat di perairan Indonesia, yaitu Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, Halophila minor, H. ovalis, H. decipiens, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, dan Halophila sulawesii. Halophila sulawesii adalah jenis lamun yang bersifat monoecious (berumah satu), ditemukan pada tahun 2007 di perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, di kedalaman sekitar meter (Kuo 2007 in Kuriandewa 2009). Dari 13 jenis lamun yang dapat tumbuh di perairan Indonesia, 8 jenis diantaranya dapat ditemukan di Kepulauan Seribu, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Halophila minor, H. ovalis, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis (Mardesyawati & Anggraini 2009). Lamun adalah tumbuhan monokotil yang tidak sepenuhnya sama seperti rumput sejati, tetapi lebih dekat kekerabatannya dengan famili tumbuhan lily (Mckenzie & Yoshida 2009). Klasifikasi tumbuhan lamun yang ada di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut (Kuo & Den Hartog 2001 in McKenzie et al. 2003): Divisi : Magnoliophyta (Angiosperms) Kelas : Liliopsida (Monocotyledons) Ordo : Hydrocharitales Famili : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus

23 9 Ordo Spesies : Enhalus acoroides Genus : Halophila Spesies : Halophila ovalis, H. minor Genus : Thalassia Spesies : Thalassia hemprichii : Potamogetonales Famili : Cymodoceaceae Genus : Halodule Spesies : Halodule uninervis Genus : Syringodium Spesies : Syringodium isoetifolium Genus : Cymodocea Spesies : Cymodocea rotundata, C. serrulata Fungsi Lamun Secara ekologis lamun memiliki fungsi penting bagi wilayah pesisir dan lautan, yaitu: 1) Lamun sebagai produsen primer Lamun memiliki tingkat produktivitas primer tinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya di laut dangkal seperti mangrove dan terumbu karang (Azkab 1999). Sumber produktivitas primer dan sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus (Kiswara 2009). 2) Lamun sebagai habitat biota laut Lamun memberikan tempat berlindung dan menempel bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan (algae) (Azkab 1999). Tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan biota-biota laut (feeding ground) (Kiswara 2009) 3) Sebagai penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sedimen (trapping sediment) dan pelindung pantai dengan cara meredam arus (Kiswara 2009). Mengikat sedimen dan menstabilkan

24 10 substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang (Bengen 2001). 4) Lamun Sebagai pendaur zat hara Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut, khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifitik (Azkab 1999). 5) Penghasil oksigen dan mereduksi CO 2 di dasar perairan (Nybakken 1988). 6) Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari (Hemminga & Duarte 2000). Disamping itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan (Kiswara 2009) Pertumbuhan Lamun Lamun menunjukkan adanya bentuk keseragaman yang tinggi pada reproduksi vegetatifnya. Hampir semua marga lamun memperlihatkan perkembangan yang baik dari rimpang (rhizome) dan bentuk daun yang pipih dan memanjang, kecuali pada marga Halophila. Jadi umumnya lamun akan menjadi kelompok homogen dengan tipe pertumbuhan "enhalid". Menurut Den Hartog (1967) in Azkab (2006) karakteristik pertumbuhan lamun dapat dibagi enam kategori yaitu: 1) Parvozosterid, dengan daun memanjang dan sempit, misalnya pada Halodule, Zostera sub marga Zosterella. 2) Magnozosterids, dengan daun memanjang dan agak lebar. misalnya Zostera sub marga Zostera, Cymodocea dan Thalassia. 3) Syringodiids, dengan daun bulat seperti lidi dan ujung runcing, misalnya Syringodium. 4) Enhalids, dengan daun panjang dan kaku seperti kulit atau berbentuk ikat pinggang yang kasar, misalnya Enhalus, Posidonia dan Phyllospadix. 5) shalophilids, dengan daun bulat telur, elips, berbentuk tombak atau panjang, rapuh dan tanpa saluran udara, misalnya Halophila.

25 11 6) Amphibolids, dengan daun tumbuh teratur pada kiri dan kanan. Misalnya Amphibolis, Thalassodendron dan Heterozostera. Berbagai bentuk pertumbuhan dari lamun mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologinya (Den Hartog 1977 in Azkab 2000). Parvososterids dan halophilids dapat ditemukan pada hampir semua habitat mulai dari pasir kasar sampai ke lumpur lunak, mulai dari pasang-surut sampai tempat yang cukup dalam, dan mulai dari laut terbuka sampai ke daerah estuaria. Halophilid dapat ditemukan pada kedalaman 90 m. Magnozosterid dapat dijumpai pada berbagai substrat, tetapi lebih terbatas pada daerah sublittoral. Batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah 10 sampai 12 m, tetapi pada perairan yang sangat jernih dapat dijumpai pada tempat yang lebih dalam. Syringodiid didapatkan sampai batas kedalaman sublittoral atas (upper sublittoral). Enhalid dan amphibolid juga terbatas pada bagian atas dari sublittoral, tetapi dengan beberapa pengecualian. Enhalid dan amphibolid hidup pada substrat pasir dan karang, kecuali Enhalus acoroides didapatkan pada habitat pasir berlumpur. Sebagai konsekuensi adanya perbedaan ekologis tersebut, maka terlihat adanya pola mintakat pertumbuhan lamun menurut kedalaman. Mintakat tersebut terutama terlihat di perairan tropik dan subtropik di mana jumlah jenisnya lebih besar dari yang ditemukan di perairan ugahari (temperate). Enhalus tumbuh terbatas pada daerah littoral dan surut rendah karena penyerbukannya tergantung pada arus. Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan panjang bagianbagian tertentu seperti daun dan rhizoma dalam jangka waktu tertentu. Namun pertumbuhan rhizoma lebih sulit diukur terutama pada jenis-jenis tertentu yang umumnya berada di bawah substrat dibanding pertumbuhan daun yang berada di atas substrat, sehingga penelitian pertumbuhan lamun relatif lebih banyak mengacu pada pertumbuhan daun. Umumnya pertumbuhan daun baru lebih cepat dibanding pertumbuhan daun lama (Azkab 1999). Pertumbuhan lamun diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme, serta faktor eksternal, seperti zat-zat hara (nutrien) dan tingkat kesuburan perairan. Menurut Azkab dan Kiswara (1994) di Teluk Kuta, Lombok Selatan, menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh daun jenis Thalassia hemprichii adalah 4,51 mm/hari untuk daun baru dan 4,06 mm/hari

26 12 untuk daun lama. Pada jenis Syringodium isoetifolium adalah 9,03 mm/ hari untuk daun baru dan 1,60 mm/hari untuk daun lama. Sedangkan untuk Cymodocea rotundata dalah 8,69 mm/hari untuk daun baru dan 4,11 mm/hari untuk daun lama. Lamun, seperti pada tanaman darat umumnya, mempersiapkan bibit atau benih untuk reproduksi. Hampir semua jenis lamun menyebarkan benih di dalam air dan kebanyakan jenis lamun memiliki bunga jantan dan bunga betina secara terpisah. Setiap jenis lamun telah beradaptasi dengan kondisi perairan laut, yaitu ada yang membenamkan bibitnya di dalam substrat, melepaskan serbuk sari ke dalam air, beberapa terapung dan pada Enhalus juga Ruppia penyerbukan terjadi secara singkat diatas permukaan air (Waycott et al. 2004). Selain itu lamun dapat tumbuh atau menyebar secara vegetatif menggunakan tunas (vegetative fragment). Lamun tumbuh dengan mengeluarkan daun baru (tunas) dari rimpang dengan cara yang sama seperti rumput darat, bambu atau jahe. Ketika segmen rhizome ini terpisah dan terus berkembang membentuk vegetasi yang baru. Sejauh ini, penelitian baru dilakukan pada beberapa jenis lamun (Waycott et al. 2004) Biomassa Lamun Biomassa lamun adalah berat dari semua material organik lamun yang hidup pada suatu luasan tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m 2 (gbk/ m 2 ). Data dari berbagai lokasi pengamatan di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat variasi biomassa yang cukup besar di lokasi-lokasi yang berbeda. Pada umumnya, rata-rata biomassa lamun berkisar antara 1 gbk/m gbk/m 2 (Kuriandewa 2009). Hal ini dipengaruhi faktor lingkungan masing-masing daerah tersebut Menurut Burkholder et al. (1959) in Azkab (2000) yang melakukan studi lamun Thalassia di Puerto Rico menemukan dari substrat lumpur ke substrat pasir terjadi peningkatan total biomassa dan terjadi penurunan rasio antara daun dan akar/rimpang. Mereka menemukan rasio daun dengan akar/rimpang 1:3 untuk lumpur halus, 1:5 pada lumpur dan pasir dan 1:7 pada pasir kasar. Berat biomassa daun tertinggi ditemukan pada sedimen pasir kasar/krikil.

27 Transplantasi Lamun Transplantasi lamun adalah memindahkan dan menanam di lain tempat; mencabut dan memasang pada tanah lain atau situasi lain (Azkab 1999, Calumpong & Fonseca 2001). Menurut Lewis (1987) in Calumpong & Fonseca (2001), restorasi adalah mengembalikan kondisi seperti sebelumnya dari gangguan atau mengganti dengan yang baru. Penanaman lamun yang dikenal dengan transplantasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki atau mengembalikan kembali habitat yang telah mengalami kerusakan. Davis (1999) & Campbell et al. (2000) in Calumpong & Fonseca (2001) memberikan strategi dalam pengambilan keputusan untuk menetapkan pemilihan lokasi penanaman yaitu intensitas cahaya, epiphytisasi, masukan nutrien, arus air, kedalaman, kemiripan lokasi donor dan tindakan alternatif seperti penyesuaian metode dengan karkteristik lokasi transplantasi. Beberapa kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi restorasi (transplantasi) lamun (Calumpong & Fonseca 2001) jauh dari lokasi asli yang mengalami kerusakan, sebagai berikut: 1) Memiliki kemiripan kedalaman relatif sama dengan lokasi padang lamun alami, 2) Memiliki sejarah pertumbuhan lamun, 3) Tidak ada gangguan dari aktivitas manusia dan gangguan lain, 4) Tidak ada gangguan secara regular oleh badai dan pergerakan sedimen, 5) Tidak mengalami rekolonisasi alami secara ekstensif oleh lamun lainnya, 6) Restorasi lamun telah berhasil di lokasi yang sama, 7) Terdapat area yang cukup untuk mendukung kegiatan transplantasi atau restorasi, 8) Memiliki kemiripan kualitas habitat dengan daerah alaminya. Kegiatan transplantasi lamun yang bertujuan untuk restorasi habitat telah dilakukan pada tahun 1947 oleh Addy dengan menggunakan biji dan bibit vegetatif lamun Zostera marina. Transplantasi dengan menggunakan biji tidak berhasil, tetapi penanaman yang menggunakan bibit vegetatif menunjukkan keberhasilan (Phillips 1974 in Kiswara 2009). Teknik transplantasi lamun di Indonesia secara garis besar dibagi dua, yakni yang mempergunakan jangkar dan tanpa jangkar.

28 Teknik Transplantasi tanpa Jangkar Teknik ini termasuk menanam tanaman yang lengkap dengan substratnya dan tanaman yang telah dibersihkan dari substratnya (Phillips 1994 in Kiswara 2004). Beberapa teknik penanaman lamun tanpa jangkar seperti dibawah ini: a. Turfs Turfs adalah sebuah unit lamun dengan luas sekitar 0,1 m 2 yang digali dan dipindahkan dari tempat donor dengan sebuah sekop. Unit dibawa ke lokasi penanaman dan unit transplantasi lamun ditanam dengan cara dimasukan pada sebuah lubang yang sebelumnya telah dipersiapkan. b. Plugs Metode plugs yaitu pengambilan bibit tanaman dengan patok paralon dan tanaman dipindahkan dengan substratnya. Biasanya menggunakan paralon (PVC) dengan diameter cm. Metode plug dengan menekan tanaman masuk ke substratnya, kemudian ditransplantasi pada lubang pada kedalaman cm (Azkab 1999). c. Biji Biji disebarkan di atas permukaan substrat di daerah dengan arus yang rendah. Kurungan plastik dipasang di sekeliling area penanaman untuk menghindari biji yang disebar hanyut terbawa arus Teknik Transplantasi dengan menggunakan Jangkar Teknik ini bertujuan untuk menghindari tanaman hanyut terbawa arus, cara untuk pananaman lamun dengan menggunakan jangkar adalah sebagai berikut: tunas tunggal diikat dengan karet gelang pada sepotong kawat atau besi, dibawa ke lokasi penanaman, menggali lubang dan setelah itu ditanam dan ditutupi dengan sedimen. Cara lain dengan mengikat sekumpulan tunas pada sebuah bata, di tempat penanaman mereka dijatuhkan kedalam air dari atas perahu, atau mengikat sekumpulan tunas (4-5 tunas) menjadi satu dengan kawat kemudian ditanam di areal penanaman bersama-sama kawatnya (Phillips 1974 in Kiswara 2004). TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame system) merupakan metode transplantasi lamun yang dikembangkan oleh F. T. Short di Universitas

29 15 New Hampshire, USA (Short et al. 2001). TERFs adalah unit penanaman lamun berupa tunas yang diikat pada frame besi (TERFs frame). TERFs kemudian ditanam dengan meletakkannya di atas sedimen substrat dasar dengan sedikit tekanan sehingga frame besi bagian bawah dapat masuk beberapa cm ke dalam substrat Metode Peat Pot (Calumpong & Fonseca 2001) Metode peat pot adalah metode transplantasi lamun yang menggunakan wadah dalam kegiatan penanaman, wadahnya ini dapat berbentu kotak ataupun bulat dan akan terdegradasi secara alami, berukuran 8 cm x 8 cm yang diperkenalkan oleh Fonseca et al. pada tahun Dengan menggunakan metode ini lamun donor diambil dari daerah yang memiliki kepadatan lamun tinggi dengan menggunakan cangkul ataupun corer. Pada saat penanaman pot, lubang terlebih dahulu dipersiapkan, kemudian pot dibenamkan ke dalam lubang tersebut sedemikian rupa sehingga terkubur dalam substratnya dengan kokoh. Penggunaan corer dimaksudkan agar seluruh bagian lamun beserta substratnya dapat terangkat secara utuh Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Transplantasi Lamun Parameter utama yang mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan ekosistem padang lamun adalah sebagai berikut: Kecerahan Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk melakukan fotosintesis. Beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan muatan sedimen pada badan air akan berakibat pada tingginya kekeruhan perairan, sehingga berpotensi mengurangi penetrasi cahaya. Cahaya merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun (Hutomo 1997). Cahaya minimum yang diperlukan lamun berkisar 10-20%, dibawah jumlah minimum ini, lamun akan mati. Peningkatan intensitas cahaya berbanding lurus terhadap pertumbuhan lamun (Short et al. 2001; McKenzie & Yoshida 2009).

30 Suhu Menurut Hutabarat & Evans (2006), suhu merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme laut, karena suhu mempengaruhi baik metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Umumnya suhu perairan di Indonesia berkisar antara C (Dahuri et al. 1996). Suhu air permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-faktor meteorologi yang berperan ialah curah hujan, penguapan, kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu pola suhu di permukaan biasanya mengikuti pula pola musiman. Sebagai contoh di Teluk Jakarta ditemukan suhu air rata-rata perbulan berkisar antara C (Nontji 2007). Walaupun padang lamun tersebar secara geografis luas yang diindikasikan oleh adanya kisaran toleransi yang luas terhadap temperatur pada kenyataannya spesies lamun di daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun adalah C. Lamun akan mengalami stres jika suhu di atas nilai optimum, yang juga berujung kematian (Zieman & Wood 1975 in Short et al. 2001) Salinitas Salinitas ialah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air (Nontji 2007). Salinitas permukaan perairan Indonesia rata-rata berkisar PSU (Dahuri et al. 1996). Spesies lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar, yaitu antara 10 dan 40 PSU. Nilai salinitas optimum untuk spesies lamun adalah 35 PSU Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Menurut Nybakken (1988), kisaran ph yang optimal untuk air laut berkisar antara 7,5-8,5. Menurut Phillips dan Menez (1988), kisaran ph yang baik untuk lamun adalah pada saat ph air normal, yaitu 7,8-8,5 karena pada saat tersebut ion bikarbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosíntesis oleh lamun dalam keadaan melimpah.

31 Substrat Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe substrat, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus sebesar 40%. Kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup 2 hal, yaitu pelindung tanaman dari arus air laut, dan tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Umumnya lamun dapat tumbuh subur mulai dari daerah berpasir sampai berlumpur karena akarnya mudah untuk terbenam, beberapa jenis tertentu bahkan dapat hidup di atas batu karang (Hemminga & Duarte 2000) Kecepatan Arus Perairan Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan dalam densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang, yang terakhir ini termasuk antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut (Nontji 2007). Arus laut lebih efektif sebagai media penyebaran dan pengenceran polutan yang masuk ke lingkungan laut (Mukhtasor 2007). Produktivitas padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan. Umumnya lamun dapat tumbuh dengan baik pada perairan yang berarus tenang (kecepatannya sampai 3,5 knots) (Phillips & Menez 1988) Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Menurut Wibisono (2005), Konsentrasi gas oksigen terlarut di permukaan laut sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh suhu, makin tinggi suhu makin berkurang tingkat kelarutan oksigen. Oksigen terlarut di laut berasal dari dua sumber, yakni dari atmosfer dan hasil fotosintesis fitoplankton dan berbagai tanaman laut. Kelarutan oksigen sangat penting bagi keseimbangan komunitas dan kehidupan organisme perairan. Menurut Effendi (2003), perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l. Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi keseimbangan kimia dan kehidupan organisme laut. Oksigen terlarut akan menurun apabila banyak limbah, terutama limbah organik yang masuk ke sistem

32 18 perairan (Mukhtasor 2007). Lamun juga berperan sebagai penghasil oksigen dan mereduksi CO 2 di dasar perairan (Nybakken 1988) Nutrien Nutrien yang utama bagi jasad hidup di laut adalah fosfor (P) dan nitrogen (N) yang memegang peranan penting dalam daur hara, meskipun bukan diantara unsur-unsur kimia yang tinggi kadarnya dalam air laut (Romimohtarto & Juwana 2001). Kedua unsur ini menjadi faktor pembatas dalam daur bahan organik. Fosfor terdapat di laut dalam berbagai bentuk, terutama dalam bentuk fosfat anorganik (FePO 4 ). Jika produktifitas laut tinggi maka kadar fosfat anorganik rendah, mencapai kurang dari 50% dari seluruh fosfor. Salah satu senyawa fosfat anorganik yang teramat melimpah dalam daur fosfor adalah ortofosfat. Pada siang hari kadar fosfor minimum karena diserap oleh tumbuhtumbuhan, yaitu pada saat terjadi fotosintesis. Sedangkan nitrogen (N) terdapat dalam berbagai bentuk di laut. Dalam daur nitrogen, tumbuh-tumbuhan menyerap nitrogen anorganik dalam bentuk gabungan atau nitrogen molekuler (Romimohtarto & Juwana 2001). Kandungan nitrat alami dalam air laut sekitar 0,5 mg/l (Dahuri et al. 1996). Menurut McKenzie & Yoshida (2009), di wilayah pesisir keberadaan lamun terutama dibatasi oleh kandungan nitrogen dan fosfor, kebutuhan nutrien untuk kehidupan lamun dipengaruhi oleh musim. Wood (1987), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kandungan C-organik dengan ukuran tekstur substrat, makin tinggi jumlah liat makin tinggi pula C-organik bila kondisi lainnya sama. Tinggi rendahnya kandungan C-organik dipengaruhi oleh pasokan air dari daratan sehingga lokasi juga mempengaruhi nilai C-organik.

33 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2009 dalam kawasan rehabilitasi PKSPL-IPB di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 3). Lokasi pengamatan atau Line Transect terdiri atas, LT 1 berada pada titik 05 39' 23,2'' LS ' 52,7'' BT, LT 2 berada pada 05 39' 23,5'' LS ' 54'' BT dan LT 3 berada pada 05 39' 23,6'' LS ' 54,7'' BT. Gambar 3. Peta lokasi penelitian Pulau Harapan 3.2. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dipergunakan dalam pengukuran parameter fisika, kimia, biologi maupun selama proses transplantasi dan pada saat pengamatan dalam penelitian ini selengkapnya disajikan pada Tabel 1 berikut ini.

34 20 Tablel 1. Parameter, alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Parameter Alat dan Bahan Satuan Keterangan Suhu Termometer ºC Insitu Salinitas Hand Refraktrometer PSU Lab. Produktivitas Lingkungan. MSP Substrat (C-organik) Oksigen Terlarut Kantong plastik, corer (Paralon), saringan, Botol DO, Erlenmeyer, larutan pereaksi(mncl 2, NaOH/KI, H 2 SO 4, Na 2 S 2 O 3, amilum), gelas ukur, pipet, aquades % Lab. Tanah (Metode Wakley & Black in Taurusman 2007) mg/l Kecerahan Secchi disk % Insitu Kedalaman Tongkat berskala atau m Insitu Perairan meteran jahit ph Kertas indikator ph - Insitu (ph stick) Posisi Stasiun GPS Lintang- Insitu Bujur Biomassa Oven, timbangan digital, alumunium foil, lamun gbk/m 2 Pertumbuhan lamun Jangka Sorong, kertas newtop, plastik penanda, meteran kain, tali sur, pensil, kamera bawah air dan snorkel cm Insitu (Titrasi Winkler) Lab. Produktivitas Lingkungan. MSP Insitu Dan bahan yang dipergunakan selama proses transplantasi dan pengamatan status komunitas lamun adalah Batang bambu penanda, TERFs frame besi ukuran cm 2, Corer (Paralon diameter 10 cm), roll meter, ember, tissu dan gunting. Serta bibit lamun, kemudian transek kuadrat cm Penentuan Posisi Stasiun Lokasi penelitian ini merupakan lokasi permanen yaitu berada dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Penentuan stasiun penelitian ditentukan berdasarkan kondisi kawasan yang memiliki padang lamun akan tetapi telah mengalami kerusakan, terutama yang terganggu oleh aktivitas

35 21 manusia. Pada lokasi ditetapkan tiga line transect (metode seagrass watch) pengamatan untuk kondisi komunitas lamun. Untuk kegiatan transplantasi lamun dilakukan di dalam kawasan rehabilitasi Metode Pengambilan Data Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Perairan a. Kecerahan Kecerahan perairan diukur di setiap line transect pada posisi transek kuadrat 0 meter dan 50 meter dengan menggunakan Secchi disk. Kecerahan dapat dihitung dengan rumus (Kesuma 2005) : ( m n) C 0,5 100% Z Keterangan : m n Z = Panjang tali saat Secchi disk sudah tidak terlihat = Panjang tali saat Secchi disk mulai terlihat lagi = Kedalaman Perairan b. Kedalaman Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan tongkat berskala pada setiap transek kuadrat dengan satuan cm. Tongkat dibenamkan ke dalam perairan sampai menyentuh dasar atau substrat, dan diperoleh kedalamannya. c. Suhu Suhu perairan diukur sebanyak tiga kali ulangan pada setiap line transect menggunakan termometer air raksa dengan cara mencelupkan termometer ke dalam perairan, kemudian suhu dilihat di dalam air untuk menghindari berubahnya hasil pengukuran jika dilihat setelah termometer diangkat kembali. d. Salinitas Salinitas diukur sebanyak satu kali dengan menggunakan refraktometer pada setiap pengamatan, dikarenakan nilai salinitas dalam suatu lokasi yang berdekatan secara umum akan sama. Cara pengukurannya adalah contoh air laut diambil dengan menggunakan pipet kemudian diteteskan ke refraktometer dan nilai salinitas dapat dilihat dengan meneropong refraktometer.

36 22 e. Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) diukur satu kali pada setiap line transect dengan menggunakan kertas indikator ph, dengan cara mencelupkan kertas tersebut ke dalam perairan kemudian warna yang muncul pada kertas ph dicocokan dengan warna standar ph yang telah memiliki nilai baku. f. Substrat Pengambilan substrat dilakukan dengan menggunakan corer berdiameter 10 cm dengan kedalaman cm pada setiap line transect kemudian dimasukkan ke dalam plastik sampel yang sudah diberi nomor dan dianalisis nilai kandungan C-organik dan ukuran partikel di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. g. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Nilai oksigen terlarut diukur dengan cara titrasi Winkler di lokasi pengamatan. Contoh air laut diambil lalu direaksikan dengan pereaksi DO (MnCl 2, NaOH/KI, H 2 SO 4, Na 2 S 2 O 3, amilum), sehingga didapatkan nilai kadar oksigen terlarut dari contoh air laut tersebut. h. Nutrien Nutrien ataupun unsur hara yang diukur adalah nutrien yang berperan terhadap pertumbuhan lamun dan kesuburan perairan yaitu nitrat dan ortofosfat. Kandungan nitrat dan ortofosfat perairan dianalisis dengan menggunakan metode spektrofotometrik. Pengukuran nutrien dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Contoh air laut diambil dengan menggunakan botol sampel dan disimpan dalam kotak pendingin agar tidak terjadi perubahan kandungan nitrat dan ortofosfat di dalam air contoh tersebut Pengamatan Status Komunitas Lamun Pengamatan status komunitas lamun menggunakan metode Seagrass Watch (McKenzie & Yoshida 2009), metode ini menggunakan area pengamatan plot permanen berukuran m 2, sampling menggunakan 3 line transect

37 23 (stasiun pengamatan) tegak lurus dari pantai dan sejajar 25 m jarak dari masingmasing line transect, dan menggunakan standar transek kuadrat ukuran cm 2 (lihat Gambar 4). Gambar 4. Rancangan pengamatan status komunitas lamun Pengambilan data status komunitas lamun dilakukan 2 kali, yaitu pada bulan Mei dan Oktober Parameter status komunitas lamun yang diamati meliputi identifikasi jenis lamun, persen penutupan lamun, substrat dasar, estimasi komposisi jenis lamun, tinggi kanopi, kedalaman perairan, tutupan alga, tutupan epifit dan biomassa lamun Metode Transplantasi Lamun Transplantasi lamun diujicobakan dengan menggunakan metode Plugs, TERFs dan Polybags. Ketiga metode penanaman ini dilakukan dalam kawasan rehabilitasi PKSPL-IPB di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta. Material lamun berupa bibit lamun, diambil dari sumber bibit (lamun donor) menggunakan

38 24 cangkul, gunting atau parang, serta PVC corer (diameter 10 cm). Bibit lamun yang digunakan berasal dari area lamun donor yang memiliki kepadatan tinggi serta tidak jauh dari lokasi penanaman. Jenis bibit yang dipilih merupakan jenis lamun yang secara alami banyak tumbuh di pulau Harapan, Kepulauan Seribu, yaitu jenis Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis. Jenis lamun ini relatif lebih mudah untuk diamati dan diharapkan dapat meningkatkan keberhasilannya. Parameter yang diamati dalam penelitian transplantasi lamun dari ketiga metode yang digunakan ini adalah tingkat keberhasilan unit transplantasi, jumlah tunas dan jumlah daun. a. TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame system) Pada metode TERFs, jenis bibit lamun yang digunakan adalah Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halodule uninervis. Bibit dibersihkan dari substratnya kemudian dipotong pada bagian pertunasan yang memiliki daun, rimpang dan akar. Kemudian bibit lamun diikatkan menggunakan tissu pada frame besi berukuran cm 2 sebanyak 25 bibit/frame dari ketiga jenis lamun tersebut (Gambar 5). 50 cm 50 cm Gambar 5. Frame besi cm 2 pada metode TERFs Jumlah frame besi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 10 unit, kedua sisinya diberi pemberat berupa batu bata untuk menjaga agar akar bibit terbenam ke dalam substrat dasar dan frame tidak hanyut terbawa arus. Frame yang sudah siap kemudian diletakan pada substrat yang permukaannya datar, yaitu pada substrat pasir halus yang memilki tutupan lamun dan pada

39 25 subtrat pasir pecahan karang mati yang sedikit terdapat lamun atau tidak ditumbuhi lamun sama sekali. Pengamatan dilakukan setiap bulan, mulai dari bulan Maret 2009 sampai Juni b. Plugs Untuk metode plugs (Phillips 1994 in Kiswara 2004), pengambilan bibit dilakukan beserta substratnya menggunakan corer (PVC paralon) berdiameter 10 cm dengan kedalaman cm dari lokasi donor yang memiliki kepadatan tinggi serta mendominasi kawasan tersebut. Jenis lamun yang digunakan adalah T. hemprichii, C. rotundata dan H. uninervis. d=10 cm (a) Gambar 6. Corer dengan diameter 10 cm (a) dan unit transplantasi Plugs (b) (b) Pada lokasi penanaman dibuat lubang penanaman menggunakan corer yang sama dan memiliki kedalaman sekitar cm. Kemudian bibit lamun yang telah diambil dibenamkan ke dalam lubang dan ditutup kembali dengan substratnya sampai rata. Jarak dari masing-masing lubang sekitar 1 m. Setelah itu dipasang patok-patok bambu dan pemberian tagging pada daun lamun untuk memudahkan melakukan pengamatan (pertumbuhan). Jumlah unit Plugs yang ditanam sebanyak 70 unit. Pengamatan dilakukan setiap bulan yaitu mulai dari bulan Maret 2009 sampai Mei 2009.

40 26 c. Polybags (PKSPL-IPB 2009) Modifikasi Metode Peat Pot Metode polybags merupakan modifikasi metode peat pot (Calumpong and Fonseca 2001), yaitu dengan menggunakan plastik hitam (polybag) yang biasa digunakan untuk pembibitan pohon mangrove. Jumlah unit polybags yang dipakai adalah sebanyak 7 unit dengan ukuran 30 cm x 25 cm. Lamun donor diambil dari daerah yang memiliki kepadatan lamun tinggi dengan menggunakan cangkul ataupun corer, kemudian lamun yang telah diambil dimasukan ke dalam polybags. Untuk kemudian bibit lamun yang ada dalam polybags ditanam dilokasi yang substratnya berupa pasir halus yang ditumbuhi lamun dan substrat berupa pasir pecahan karang mati yang sedikit ditumbuhi lamun bahkan tidak terdapat lamunnya, yang telah terlebih dahulu dibuat lubang. Polybags ini dibenamkan sedemikian rupa dan ditimbun dengan substratnya agar lebih kuat dan tidak terbawa arus. Gambar 7. Unit transplantasi Polybags (Sumber: dokumentasi pribadi) Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi jenis lamun yang terdapat dalam polybags tersebut yang nantinya akan diamati pertumbuhan jumlah tunas dan jumlah daunnya, serta tingkat keberhasilan unit penanaman Polybags. Jenis lamun yang digunakan adalah T. hemprichii, H. uninervis dan S. isoetifolium. Pengamatan dilakukan setiap bulan, mulai dari bulan Mei-Juni 2009 dan Oktober Metode Pengukuran Pertumbuhan Lamun Pengamatan pada pertumbuhan unit transplantasi lamun meliputi tingkat kelangsungan hidup unit transplantasi lamun, jumlah daun dan jumlah tunas, pengamatan di lapangan dilakukan setiap bulan dari Maret sampai Oktober 2009.

41 27 Parameter pertumbuhan lamun yang diamati adalah pertumbuhan daun lamun pada metode Plugs, dengan mengukur pertambahan panjang daun setiap minggunya selama satu bulan (4 minggu). Dan juga pertumbuhan secara vegetatif yaitu perkembangan jumlah tunas dan jumlah daun pada metode yang digunakan (pengamatan dilakukan setiap bulan). Untuk mempermudah pengamatan pada metode Plugs, setiap unit diberi patok bambu. Pertumbuhan daun lamun dihitung berdasarkan metode penandaan (marking method) (Zieman 1974 in Supriadi 2003). Metode penandaan ini didasarkan pada penandaan atau pelubangan daun lamun. Kemudian lamun dipilih secara acak, pada lamun-lamun terpilih dilakukan pelubangan mulai dari titik awal daun mulai muncul dan diberikan tanda penomoran untuk memudahkan pengamatan selanjutnya Analisis Data Status Komunitas Lamun a. Frekuensi jenis (F) adalah peluang suatu jenis lamun ditemukan dalam titik contoh yang diamati. Frekuensi jenis dihitung dengan rumus: F i = Pi p i 1 Keterangan : F i = Frekuensi jenis ke-i P i = Jumlah petak contoh ditemukan jenis ke-i P p i 1 P = Jumlah total petak contoh yang diamati b. Tutupan Lamun adalah persentase tutupan lamun dalam titik contoh yang diamati. Diukur menggunakan lembaran persentase tutupan lamun standar (McKenzie & Yoshida 2009) (Lampiran 2) Tingkat Keberhasilan Unit Transplantasi Analisa data tingkat keberhasilan unit lamun transplantasi berupa analisis komparatif, yakni membandingkan data tingkat keberhasilan (Survival Rate)

42 28 setiap bulan pengamatan pada masing-masing metode (TERFs, Plugs dan Polybags). Nt SR = 100% No Keterangan : SR = Tingkat keberhasilan (%) Nt = Jumlah unit transplantasi pada waktu t (Bulan) No = Jumlah unit transplantasi pada waktu awal atau t = Pertumbuhan dan Perkembangan Lamun Laju pertumbuhan daun lamun dihitung menggunakan rumus: Keterangan : Lt Lo Δt Pertumbuhan = Lt Lo t = Panjang daun setelah waktu t (mm) = Panjang daun pada pengukuran awal (mm) = selang waktu pengukuran (hari) Sedangkan untuk perkembangan lamun merupakan perhitungan terhadap pertumbuhan vegetatif lamun (tunas dan daun) yaitu jumlah tunas dan jumlah daun pada setiap bulan Biomassa Lamun Biomassa lamun dibedakan atas above-ground biomass (biomassa di atas substrat) dan below-ground biomass (biomassa di bawah substrat) (Supriadi 2003). Pengukuran biomassa lamun dilakukan untuk keduanya yaitu daun dan pelepah daun (di atas substrat), sedangkan akar dan rimpang (di bawah substrat) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: W B = A Keterangan : B = Biomassa lamun (gram/m 2 ) W = Berat kering lamun (gram) A = Luas area (d = 10 cm, A = πr 2 = m 2 )

43 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Fisika-Kimia Perairan Pengamatan lingkungan perairan dilakukan dengan mengukur nilai kualitas perairan tersebut, yang meliputi parameter fisika dan kimia. Faktor-faktor lingkungan ini mempengaruhi pertumbuhan, penyebaran dan perkembangan dari lamun. Berikut ini disajikan nilai-nilai parameter fisika-kimia perairan di Pulau Harapan yang diukur pada bulan Mei dan Oktober 2009 pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai parameter fisika-kimia perairan Parameter Bulan Mei Oktober Baku Mutu (1) Suhu ( C) Kedalaman (cm) Salinitas (PSU) Kecerahan (%) Nitrat (mg/l) <0,001 0,007 0,008 Ortofosfat (mg/l) <0,001 0,008 0,015 DO (mg/l) 6,62 6,89 > 5 ph ,5 (1) Ket : Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (KEPMEN LH No. 51 Tahun 2004) selengkapnya pada (Lampiran 8) Parameter Fisika a. Suhu Suhu perairan erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Pada bulan Mei 2009 suhu perairan yang terukur sebesar 30 C dan C ketika bulan Oktober Suhu lebih tinggi terukur pada bulan Oktober 2009 karena pengukuran dilakukan pada saat siang hari, dimana intensitas cahaya matahari sangat tinggi. Menurut Phillips & Menez (1988), kemampuan fotosintesis lamun akan mencapai maksimum pada saat suhu berkisar C. Jadi selama pengamatan dapat dikatakan bahwa kisaran suhu di lokasi penelitian optimum untuk proses fotosintesis bagi tumbuhan lamun. Lamun akan mengalami stres jika suhu di atas nilai optimum, yang juga berujung kematian (Zieman & Wood 1975 in Short et al. 2001).

44 30 b. Kecerahan Salah satu faktor pembatas pertumbuhan lamun adalah cahaya, hal ini dikarenakan lamun membutuhkan cahaya untuk proses fotosintesis. Kecerahan perairan sangat berperan sekali terhadap masuknya cahaya ke dalam perairan, jika kecerahan semakin tinggi maka intensitas cahaya yang masuk ke dalam air juga akan semakin tinggi dan hal ini akan mengoptimalkan kemampuan fotosintesis tumbuhan lamun. Rata-rata kecerahan perairan pada bulan Mei dan Oktober 2009 tersebut sebesar 100%, karena lokasi penelitian berada pada perairan yang dangkal dan termasuk zona intertidal. Kedalaman perairan pada bulan Mei berkisar antara 8-64 cm dan cm pada bulan Oktober. Bahkan pada saat pengamatan pada bulan Mei dalam kawasan rehabilitasi sebagian ada yang sampai terpapar sinar matahari cukup lama, hal ini dapat berpotensi merusak kelangsungan hidup lamun. Menurut McKenzie & Yoshida (2009) cahaya merupakan salah satu faktor dominan yang mempengaruhi pertumbuhan lamun, cahaya minimum yang diperlukan lamun berkisar 10-20%. Produktifitas primer dalam kawasan ini cukup tinggi jika dilihat dari kecerahannya yang mencapai 100%. Peningkatan intensitas cahaya berbanding lurus terhadap pertumbuhan lamun (Duarte 1991 in Short et al. 2001). c. Substrat Substrat dasar perairan di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu bertipe pasir. Hal ini berdasarkan hasil analisa laboratorium yang menunjukkan bahwa nilai persentase tekstur pada ketiga line transect memiliki kandungan pasir di atas 90%, sedangkan kandungan debu dan liat berkisar 1-6%, seperti pada Tabel 3. Menurut Kiswara (2009), padang lamun dibedakan ke dalam 6 kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karang dan batu karang. Kandungan C-organik dari ketiga line transect, diketahui bahwa pada LT 1 terdapat C-organik paling tinggi sebesar 0,60%, sedangkan yang terendah terdapat pada LT 3 yaitu sebesar 0,22%. Menurut McKenzie & Yoshida (2009), lamun membutuhkan bahan organik untuk tumbuh dan penyerapannya dilakukan melalui daun dengan dua cara yang spesifik pada setiap jenis lamun. Kandungan C-

45 31 organik pada LT 1 yang tinggi berasal dari serasah daun lamun yang telah membusuk, yang selama pengamatan diketahui bahwa tutupan lamun di LT 1 lebih tinggi dibanding LT 2 dan LT 3, dan juga masukan limbah organik yang berasal dari saluran pembuangan pemukiman penduduk yang letaknya tidak jauh dari LT 1. Tabel 3. Karakteristik substrat di Pulau Harapan Line Transect Tekstur (%) Tipe (%) Pasir Debu Liat Substrat C-organik LT 1 95,68 2,26 2,07 Pasir 0,60 LT 2 93,34 5,57 1,09 Pasir 0,32 LT 3 94,58 1,29 4,13 Pasir 0, Parameter Kimia a. Salinitas Salinitas rata-rata yang terukur pada bulan Mei 2009 lebih tinggi yaitu berkisar antara PSU dan PSU ketika Oktober Perbedaan salinitas disebabkan lokasi pengamatan yang berada di dekat pantai dan dipengaruhi oleh masukan air tawar dari darat dan dari hujan yang juga menyebabkan kadar salinitas pada bulan Oktober lebih rendah. Spesies lamun memiliki toleransi yang berbeda. Namun, sebagian besar memiliki toleransi berkisar PSU. Menurut McKenzie & Yoshida (2009), umumnya lamun tumbuh dengan baik pada salinitas 35 PSU, tidak semua jenis lamun memiliki toleransi yang baik terhadap salinitas dan hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyebarannya. Salinitas di perairan Pulau Harapan kurang optimal untuk pertumbuhan lamun, hal ini jika dilihat dari baku mutu yang kisarannya antara PSU. Menurut McKenzie & Yoshida (2009) lamun dapat mentoleransi terhadap perubahan salinitas dan beberapa jenis kurang mampu dibanding yang lainnya. b. Oksigen Terlarut (DO) Kandungan oksigen terlarut dalam perairan pada bulan Mei dan Oktober 2009 tidak berbeda jauh. Pada bulan Mei rata-rata kandungan oksigen terlarut sebesar 6,62 mg/l dan 6,89 mg/l saat bulan Oktober. Berdasarkan baku mutu,

46 32 kandungan oksigen di perairan Pulau Harapan sangat baik untuk kehidupan biota laut, karena > 5 mg/l. Menurut McNeely et al. (1970) in Effendi (2003), kadar oksigen terlarut dalam air laut berkisar 11 mg/l pada suhu 0 C dan 7 mg/l pada suhu 25 C. Suhu perairan yang berkisar C menyebabkan kadar oksigen terlarut kurang dari 7 mg/l. Perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l (Effendi 2003). c. Derajat Keasaman (ph) Nilai rata-rata derajat keasaman (ph) perairan Pulau Harapan yang terukur pada bulan Mei dan Oktober 2009 sebesar 8. Menurut Phillips dan Menez (1988), kisaran ph yang baik untuk lamun adalah pada saat ph air normal, yaitu 7,8-8,5 karena pada saat tersebut ion bikarbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosíntesis oleh lamun dalam keadaan melimpah. Dapat dikatakan bahwa kemampuan fotosintesis lamun relatif sama. d. Nitrat Hasil pengukuran nitrat yang terkandung dalam perairan menunjukkan bahwa pada bulan Mei 2009 kandungan nitratnya <0,001 mg/l, sedangkan pada Oktober 2009 sebesar 0,007 mg/l. Berdasarkan baku mutu, kandungan nitrat dalam perairan lebih kecil dan kurang baik untuk pertumbuhan lamun. Dalam perairan, nitrat yang lebih banyak dimanfaatkan adalah dalam bentuk nitrat anorganik ataupun molekuler, nitrat berperan penting dalam daur nutrien di perairan (Romimohtarto & Juwana 2001). Menurut McKenzie & Yoshida (2009), di wilayah pesisir faktor pembatas utama untuk lamun adalah nitrogen. e. Ortofosfat Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa kadar ortofosfat perairan ketika bulan Oktober yaitu 0,008 mg/l, sedangkan pada bulan Mei <0,001 mg/l. Kandungan ortofosfat yang terukur pada waktu yang berbeda sangat rendah dan di bawah nilai baku mutu, akan tetapi rendahnya kandungan ortofosfat dalam perairan dapat disebabkan oleh laju fotosintesis yang optimal oleh lamun yang pada saat pengamatan diketahui kecerahan perairan mencapai 100%, terutama

47 33 pada siang hari dimana intensitas cahaya yang masuk ke dalam air lebih optimum. Ortofosfat digunakan oleh tumbuhan air dalam proses fotosintesis, pada siang hari kadar fosfor akan berada pada jumlah minimum (Romimohtarto & Juwana 2001) Status Komunitas Lamun dalam Kawasan Rehabilitasi di Pulau Harapan Persen Penutupan dan Komposisi Jenis Lamun Persen penutupan lamun menggambarkan seberapa luas sebaran suatu komunitas lamun di suatu lokasi, Luasnya penutupan lamun bergantung terhadap jenisnya, hal ini dikarenakan adanya perbedaan bentuk dan ukuran daun. Tabel 4 menunjukan bahwa dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan baik ketika bulan Mei maupun Oktober 2009 terdapat dua jenis lamun, yaitu Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata. Padang lamun di kawasan ini termasuk vegetasi campuran, karena terdapat lebih dari satu jenis lamun yang hidup bersama-sama dalam tempat yang sama. Sedangkan, berdasarkan hasil identifikasi bibit lamun pada unit transplantasi yang diujicobakan ditemukan juga dua jenis lamun lainnya, yaitu Halodule uninervis dan Syringodium isoetifolium. Bibit lamun yang digunakan untuk transplantasi berasal dari padang lamun yang memiliki kepadatan tinggi dan letaknya juga berdekatan dengan lokasi transplantasi. Kawasan rehabilitasi ini merupakan padang lamun yang cukup padat yang terdiri dari empat jenis lamun atau bahkan lebih, akan tetapi karena adanya gangguan dari aktivitas manusia seperti pengerukan pasir, pembuangan limbah organik dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan menyebabkan kepadatannya berkurang dan hanya beberapa jenis lamun yang dapat bertahan, terutama beberapa jenis lamun pionir dan klimaks. Pada bulan Mei 2009 persen rata-rata tutupan lamun adalah 6%. Tutupan lamun terendah terdapat di LT 3 yaitu 2,2%, diikuti LT 2 sebesar 7,2% dan yang tertinggi adalah LT 1 sebesar 8,7% dengan rata-rata tinggi kanopi lamun 7,1 cm. Kemudian saat pengamatan bulan Oktober 2009, diketahui bahwa jumlah jenis lamun yang teramati masih sama, yang artinya tidak ada masukan jenis lamun baru ke dalam komunitas padang lamun tersebut. Persen rata-rata tutupan lamun dari ketiga line transect adalah sebesar 13,7%. Persen tutupan lamun tertinggi

48 34 terdapat di LT 1 sebesar 24,8%, diikuti oleh LT 2 sebesar 12,4% dan yang terendah adalah LT 3 sebesar 4% dengan rata-rata tinggi kanopi lamun 7,5 cm. Jika dibandingkan dengan persen penutupan lamun saat bulan Mei, maka secara umum telah terjadi peningkatan tutupan lamun di setiap line transect. Peningkatan tutupan lamun yang paling besar dan cukup signifikan terdapat di LT 1 yaitu sekitar 16,1% dari besar tutupan awal, sedangkan yang terendah terdapat di LT 3 yaitu dengan peningkatan sebesar 1,8%. Tabel 4. Persen penutupan lamun pada bulan Mei dan Oktober 2009 Mei Oktober Line Transect % Tutupan % Komposisi Jenis Lamun Tinggi Kanopi % Tutupan % Komposisi Jenis Lamun Tinggi Kanopi Lamun Cr Th (cm) Lamun Cr Th (cm) LT 1 8,7 6,3 2,4 6,4 24,8 16,4 8,5 8,7 LT 2 7,2 4,3 2,9 8,6 12,4 2,3 10,1 7,4 LT 3 2,2 0 2,2 6, ,2 Rata-rata 6 3,5 2,5 7,1 13,7 6,2 7,5 7,1 Keterangan : Cr : Cymodocea rotundata Th : Thalassia hemprichii Jenis substrat pada LT 1 bertipe pasir dan letaknya cukup dekat dengan saluran pembuangan dari pemukiman yang berperan terhadap peningkatan kandungan nutrien dalam perairan, terutama limbah organik. Sedangkan pada LT 3 jenis substratnya bertipe pasir kasar dengan campuran pecahan karang mati, yang kurang cocok untuk tumbuhnya lamun. Umumnya pada kondisi substrat seperti ini lebih sering dijumpai jenis lamun pionir, seperti Halophila dan juga rendahnya penutupan lamun dapat disebabkan oleh besarnya gangguan aktivitas manusia seperti pengerukan pasir dan pemanfaatan sumberdaya lamun, seperti penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Menurut McKenzie & Yoshida (2009), umumnya lamun hidup pada subtrat pasir atau lumpur, karena akar dan rimpang mereka dapat terbenam dengan baik di dasar laut. Menurut KEPMEN LH nomor 200 tahun 2004 mengenai penentuan status padang lamun (Lampiran 9) Maka, status padang lamun dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan termasuk dalam kondisi rusak atau miskin, karena

49 Penutupan Lamun (%) Penutupan Lamun (%) 35 penutupan lamun <29,9%. Pada pengamatan saat bulan Mei dan Oktober 2009, tutupan lamun pada lokasi studi masing-masing sebesar 6% dan 13,7% Cymodocea rotundata LT 1 LT 2 LT 3 Thalassia hemprichii LT 1 LT 2 LT 3 Line Transect Mei 2009 Oktober 2009 Gambar 8. Penutupan jenis lamun di setiap line transect pada bulan Mei dan Oktober Gambar 8 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan penutupan lamun berdasarkan waktu pengamatan dan jenis lamun. Jenis Cymodocea rotundata hanya ditemukan pada LT 1 dan LT 2. Penutupan tertinggi terdapat di LT 1 yaitu sebesar 6,3% saat bulan Mei dan 16,4% ketika bulan Oktober, terjadi peningkatan sebesar 10,1%. Sedangkan pada LT 2 yang terjadi adalah sebaliknya, penutupan lamun berkurang dari 4,3% pada bulan Mei menjadi 2,3% ketika bulan Oktober. Menurut Waycott et al. (2004), jenis ini memiliki pertumbuhan yang cepat dan berperan dalam perbaikan habitat. Berbeda dengan C. rotundata, secara umun penutupan Thalassia hemprichii mengalami peningkatan di setiap line transect. Penutupan tertinggi terdapat di LT 2 sebesar 2,9% pada bulan Mei menjadi 10,1% ketika bulan

50 36 Oktober, terjadi peningkatan kira-kira sebesar 7,2% dan yang terendah terdapat di LT 3, dengan penutupan sebesar 2,2% saat bulan Mei dan 4% ketika bulan Oktober hanya terjadi peningkatan sebesar 1,8%. Sedangkan di LT 1 penutupan lamun sebesar 2,4% pada bulan Mei dan 8,5% saat Oktober peningkatannya sebesar 6,1% (Gambar 8). Peningkatan tutupan lamun dipengaruhi oleh faktorfaktor tempat tumbuhnya, seperti kedalaman, kecerahan air dan tipe substrat. Di kawasan rehabilitasi ini memiliki tipe substrat pasir, dengan kecerahan perairan mencapai 100%. Menurut Kuriandewa (2009), jenis lamun yang paling luas penyebarannya dan paling dominan di Indonesia adalah T. hemprichii, dapat dijumpai di substrat berlumpur, berpasir dan pecahan karang. Pada LT 3 tidak ditemukan sama sekali jenis C. rotundata, hal ini dapat disebabkan karena lokasi ini sering terpapar ke udara dalam jangka waktu yang cukup lama pada saat air sedang surut. Menurut Hemminga & Duarte (2000), tidak semua jenis lamun dapat bertahan ketika terekspos di udara dan hanya beberapa saja terutama yang tumbuh di wilayah intertidal. Tingginya sinar UV dapat menyebabkan stress dan menurunkan kemampuan fotosintesis (Dawson & Dennison 1996 in Hemminga & Duarte 2000). Mei 2009 Oktober 2009 Thalassia hemprichii 42% Cymodocea rotundata 58% Thalassia hemprichii 55% Cymodocea rotundata 45% Gambar 9. Komposisi jenis lamun pada bulan Mei dan Oktober 2009 Komposisi jenis lamun yang teramati pada bulan Mei 2009 adalah C. rotundata sebesar 58% dan 42% untuk T. hemprichii. Sedangkan pada bulan Oktober 2009 komposisi jenis C. rotundata sebesar 45% dan 55% untuk T. hemprichii, terjadi peningkatan komposisi jenis lamun T. hemprichii sekitar 13% dari bulan Mei dan sebaliknya komposisi C. rotundata berkurang (Gambar 9), secara alami jenis klimaks (T. hemprichii) akan menggantikan jenis pionir (C. rotundata). Secara umum komposisi kedua jenis lamun tidak terlalu berbeda

51 37 dalam kawasan rehabilitasi padang lamun ini. Selama bulan Mei sampai Oktober diduga merupakan waktu pertumbuhan yang optimal untuk jenis T. hemprichii. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Waycott et al. (2004), bahwa musim reproduksi T. hemprichii di daerah tropis benua Australia terjadi pada bulan Juni sampai September Frekuensi Jenis Lamun Frekuensi jenis lamun menggambarkan bahwa penyebaran suatu jenis lamun di dalam suatu kawasan cukup luas dan merata. Tabel 6 memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan kemunculan jenis lamun pada bulan Mei dan Oktober Frekuensi kehadiran jenis lamun yang teramati di setiap line transect lebih banyak ditemukan jenis T. hemprichii, bahkan di LT 3 hanya ditemukan satu jenis ini saja, penyebarannya cukup luas pada perairan di Pulau Harapan yang memiliki substrat dasar pasir. Tabel 5. Frekuensi jenis lamun di setiap line transect Mei Oktober Jenis No LT 1 LT 2 Lt 3 LT 1 LT 2 LT 3 1 Cymodocea rotundata 0,8 0,6 0 0,6 0,2 0 2 Thalassia hemprichii 0,9 0,8 1,0 1,0 0,9 0,7 Total 1,7 1,4 1,0 1,6 1,1 0,7 Pada lokasi pengamatan yang bertipe substrat pasir dan memiliki kecerahan yang mencapai 100% dengan air yang jernih merupakan tempat yang cukup baik bagi lamun untuk tumbuh dan berkembang, jika dilihat dari frekuensi 2 jenis lamun yang hadir hampir di semua line transect, diketahui bahwa jenis T. hemprichii dan C. rotundata memiliki sebaran yang cukup merata di perairan kawasan rehabiltasi padang lamun Pulau Harapan yang bersubstrat dasar pasir. Menurut Kesuma (2005), kedua jenis lamun ini cenderung ditemukan pada perairan jernih bersubstrat dasar pasir. Beberapa penyebab hilangnya lamun di kawasan ini antara lain, karena lokasi ini merupakan zona yang dimanfaatkan dan letaknya dekat pemukiman warga, sehingga aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan terjadinya degradasi padang lamun. Aktivitas manusia yang

52 38 secara langsung dapat mengganggu padang lamun di Pulau Harapan adalah pengerukan pasir oleh masyarakat sekitar, ini terlihat dari banyaknya gundukan pasir dan karung pasir yang terdapat di padang lamun. Karena itu kawasan ini dijadikan kawasan rehabilitasi lamun dan kegiatan masyarakat yang semula dilakukan disana dapat dihentikan ataupun dikurangi agar tidak mengganggu dan menyebabkan kerusakan yang lebih parah lagi Biomassa Lamun Biomassa lamun dibedakan atas above-ground biomass (biomassa di atas substrat) dan below-ground biomass (biomassa di bawah substrat). Pengukuran biomassa lamun dilakukan untuk keduanya yaitu daun dan pelepah daun (di atas substrat), sedangkan akar dan rimpang (di bawah substrat). Biomassa dinyatakan dalam berat kering persatuan luas (gbk/m 2 ). Berdasarkan hasil pengukuran biomassa lamun dari pengamatan ketiga line transect (Tabel 6). Biomassa lamun rata-rata di atas substrat pada LT 1, 2, 3 berturut-turut adalah 38,84 gbk/m 2, 93,71 gbk/m 2 dan 197,34 gbk/m 2, sedangkan untuk biomassa lamun di bawah substrat pada setiap line transect adalah 126,06 gbk/m 2 pada LT 1, 253,11 gbk/m 2 pada LT 2 dan untuk LT 3 sebesar 324,96 gbk/m 2. Tabel 6. Biomassa lamun di atas dan di bawah substrat. Line Transect Atas substrat (gbk/m 2 ) Bawah Substrat (gbk/m 2 ) Rata-rata Kisaran rata-rata Kisaran LT 1 38,84±64,89 0,35-169,81 126,06±144,54 12,72-407,72 LT 2 93,71±75,79 13,42-229,10 253,11±153,47 102,82-509,59 LT 3 197,34±88,70 130,56-333,62 324,96±80,49 204,85-409,33 Ket : gbk/m 2 = gram berat kering/m 2 LT (1, 2, 3) = Line Transect Pada LT 3 terdapat biomassa lamun yang paling tinggi baik di atas maupun di bawah substrat, dengan kisaran biomassa rata-rata di atas substrat sebesar 197,34 ± 88,70 gbk/m 2 dan 324,96 ± 80,49 gbk/m 2 di bawah substrat. Jika dilihat dari persen penutupan lamun di setiap line transect, dapat dikatakan bahwa persentase penutupan yang tinggi belum tentu menghasilkan biomassa yang tinggi

53 Biomassa lamun (gbk/m2) 39 dibandingkan dengan persentase penutupan yang lebih rendah Pada umumnya, rata-rata biomassa lamun berkisar antara 1 gbk/m gbk/m 2 (Kuriandewa 2009). Atas Substrat Bawah Substrat LT 1 LT 2 LT 3 Line Transect Gambar 10. Biomassa lamun di atas dan di bawah substrat di setiap line transect. Gambar 10, menunjukkan bahwa biomassa lamun di atas dan bawah substrat pada LT 1 adalah yang terendah yaitu di atas substrat sebesar 38,84 gbk/m 2 dan 126,06 gbk/m 2 di bawah substrat dan pada LT 3 memiliki biomassa yang lebih tinggi dibandingkan lokasi lainnya, yaitu di atas substrat sebesar 197,34 gbk/m 2 dan 324,96 gbk/m 2 untuk di bawah substrat. Secara umum biomassa lamun dari LT 1 ke LT 3 cenderung mengalami peningkatan, walaupun berdasarkan penutupan lamun diketahui bahwa penutupan LT 1 lebih besar daripada LT 3 ataupun LT 2. Menurut Kaldy dan Dunton (2000), bahwa pertumbuhan daun dan rimpang pada suatu musim berkaitan erat dengan intensitas cahaya, lama penyinaran dan suhu, serta tidak ada pengaruh pola musim terhadap biomassa di bawah substrat, perbedaannya merupakan hasil dari heterogenitas lingkungan Transplantasi Lamun dalam Kawasan Rehabilitasi Tingkat Keberhasilan Unit Transplantasi Transplantasi lamun merupakan salah satu upaya rehabilitasi padang lamun yang telah mengalami kerusakan terutama yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pembangunan kawasan pesisir, penangkapan ikan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, pengerukkan pasir, reklamasi pantai

54 40 dan lain-lain. Secara umum, transplantasi lamun di Indonesia dibedakan menjadi transplantasi tanpa jangkar dan menggunakan jangkar. Dalam kawasan rehabilitasi padang lamun di Pulau Harapan, kegiatan transplantasi lamun ini dilaksanakan yaitu dengan menggunakan 3 metode yang berbeda terdiri atas metode TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame system), Plugs dan Polybags. Lokasi yang dipilih telah memiliki syarat dan kesesuaian untuk transplantasi, seperti lokasi rehabilitasi ini memiliki kedalaman yang relatif sama dengan padang lamun alami, memiliki kemiripan kualitas habitat dan memiliki sejarah pertumbuhan lamun. Pertumbuhan lamun yang ditransplantasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti kecerahan, salinitas, suhu, kedalaman, arus perairan, tipe substrat dan nutrien. Kegiatan transplantasi lamun dilakukan dalam kawasan rehabilitasi padang lamun PKSPL-IPB di Pulau Harapan pada bulan Maret sampai Oktober 2009, dari tiga metode yang digunakan dua diantaranya termasuk metode tanpa jangkar yaitu Plugs dan Polybags, sedangkan TERFs termasuk dalam metode transplantasi menggunakan jangkar. Semua unit transplantasi TERF dan Polybags diletakan dengan jarak yang berdekatan serta dibenamkan pada lokasi yang agak berbeda, yaitu mulai dari yang subtrat dasarnya berupa pasir dan terdapat lamun yang cukup banyak tumbuh hingga ke substrat dasar pasir kasar yang berasal dari karang mati dan hampir tidak ada lamun yang tumbuh. Hasilnya adalah jumlah unit TERFs dan Polybags yang dapat tumbuh dan bertahan hidup lebih banyak dilokasi yang substrat dasarnya pasir, sedangkan dari beberapa unit TERFs yang dibenamkan pada substrat pasir pecahan karang mati, semua bibit lamun tidak dapat tumbuh yang kemungkinan karena akarnya tidak dapat membenamkan diri ke dalam substrat dan menyebabkannya tidak dapat hidup. Berbeda dengan metode TERFs, pada metode Polybags yang dibenamkan pada lokasi yang sama tetap dapat tumbuh dan berkembang dengan cukup baik, penyebabnya antara lain adalah bibit lamun lebih terlindung dan kokoh karena terdapat dalam kantong polybag, kemudian bibit lamun ditanam beserta subtratnya yang juga berasal dari daerah donor sehingga gangguan terhadap pembenaman akar lebih sedikit dan tidak diperlukan adaptasi terhadap substrat baru. Sedangkan untuk unit transplantasi Plugs ditanam pada lokasi yang

55 41 memiliki tipe substrat yang relatif sama dan hanya dibedakan pada ada tidaknya lamun yang tumbuh pada penempatan unit Plugs. Tingkat keberhasilan unit transplantasi adalah jumlah unit dari tiap metode pada waktu penanaman awal dan penanaman akhir pada interval waktu yang telah ditentukan. Tabel 7 diketahui bahwa tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun dari metode TERFs, Plugs dan Polybags berturut-turut adalah 50%, 47,14% dan 71,13%. Kemampuan bertahan lamun untuk tumbuh pada setiap metode berbedaberbeda, hal ini disebabkan oleh perbedaan lokasi dan keterlindugan lamun dari pengaruh kondisi lingkungan perairan seperti arus perairan, subtrat dasar dan kedalaman akar lamun yang terbenam ke dalam substrat. Tabel 7. Persen keberhasilan unit transplantasi Metode Jumlah Unit Transplantasi Tingkat Keberhasilan Awal Akhir (%) TERFs Plugs ,14 Polybags ,13 TERFs adalah metode transplantasi lamun yang lebih direkomendasikan untuk penanaman pada lokasi yang perairannya agak dalam, sebanyak 10 unit ditanam dan sampai akhir pengamatan diketahui hanya 5 unit masih bertahan dan lamunnya tetap tumbuh yaitu dengan tingkat keberhasilan 50%. Secara umum kawasan rehabilitasi padang lamun ini bertipe pasir dan memiliki kedalaman yang sangat dangkal, serta cenderung terpapar ke udara pada saat surut terendah, secara tidak langsung sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam proses transplantasi lamun metode TERFs. Kemudian untuk tingkat keberhasilan metode Plugs sebesar 47,14%, yaitu dari 70 unit transplantasi 33 unit diantaranya hidup dan tetap tumbuh setelah pengamatan akhir, hal ini karena penanaman lamun yang diambil menggunakan corer beserta substratnya langsung ditanam pada lubang dengan kedalaman sekitar cm di lokasi transplantasi, kondisi seperti ini menyebabkan unit Plugs sangat rentan terpengaruh kondisi lingkungan perairan, terutama arus perairan yang cukup kencang dapat menyebabkan lamun yang ditransplantasi terangkat dari substratnya. Sedangkan metode Polybags memiliki tingkat keberhasilan sebesar 71,13% yaitu dari 7 unit transplantasi yang ditanam 5

56 Tingkat keberhasilan (%) 42 unit diantaranya dapat bertahan dan menunjukkan hasil yang cukup baik dilihat dari jumlah tunas dan jumlah daunnya, bibit lamun yang ditanam beserta substrat yang diambil dari sumber donor lamun berada dalam polybag (plastik hitam). Menurut Fonseca & Calumpong (2001), tingkat keberhasilan suatu kegiatan transplantasi dapat dikatakan sukses jika minimum 75% dari unit transplantasi dapat beradaptasi secara alami dalam kurun waktu satu tahun pengamatan, jika kurang dari 75% maka kegiatan penanaman dilakukan kembali hingga memenuhi standar persen keberhasilan pada saat monitoring berikutnya. Tingkat keberhasilan dalam transplantasi lamun sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti substrat dasar, salinitas, suhu, cahaya, arus perairan, ph dan ketersedian nutrien, serta waktu atau musim penanaman yang juga menentukkan kondisi perairan tersebut sehingga dapat memperkecil pengaruh dari perubahan yang terjadi dalam kolom perairan baik yang berupa fisik maupun kimia Maret April Mei Juni Bulan T. hemprichii C. rotundata Gambar 11. Persen keberhasilan transplantasi jenis lamun menggunakan metode TERFs Pada Gambar 11 menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan transplantasi lamun sampai bulan Juni 2009 dengan menggunakan metode TERFs yang tertinggi berdasarkan jenis adalah T. hemprichii yaitu sebesar 78,95%, sedangkan C. rotundata tingkat keberhasilannya hanya 5,56%. Namun, pada pengamatan saat bulan Mei tidak ditemukan jenis C. rotundata akan tetapi pada bulan Juni teramati, disebabkan saat pengamatan bulan Mei daun-daun jenis ini rusak ataupun belum tumbuh dan berdasarkan identifikasi daun lamun hanya ditemukan

57 Tingkat Keberhasilan (%) 43 jenis T. hemprichii. Sesuai dengan metodenya, TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame system) merupakan sebuah metode transplantasi yang awalnya dikembangkan untuk transplantasi jenis Eelgrass, sehingga akan lebih baik hasilnya jika digunakan jenis lamun yang juga sesuai Maret April Mei Bulan T. hemprichii C. rotundata H. uninervis Gambar 12. Persen keberhasilan transplantasi jenis lamun menggunakan metode Plugs Metode plugs, merupakan metode yang mudah digunakan dan lebih efisien dari segi biayanya dibandingkan TERFs. Gambar 12 menunjukkan bahwa terdapat tiga jenis lamun yang ditransplantasi yaitu T. hemprichii, C. rotundata dan H. uninervis. Jenis T. hemprichii mempunyai persen keberhasilan yang paling tinggi sebesar 50,91% dan terendah adalah C. rotundata sebesar 26,67%, sedangkan H. uninervis sebesar 33,33%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Pulau Pari yang menyatakan bahwa persentase tumbuh dari metode plugs lebih besar pada jenis T. hemprichii yaitu sebesar 78% dan 38% untuk C. rotundata (Azkab 1988 in Azkab 1999). Pertumbuhan lamun berbeda dengan tanaman darat. Menurutt Azkab (1999), Pertumbuhan lamun diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme, serta faktor eksternal, seperti zat-zat hara (nutrien) dan tingkat kesuburan perairan. Umumnya pengukuran pertumbuhan lamun berdasarkan pertambahan panjang daun lamun. Namun dalam penelitian ini mencoba mengamati tingkat keberhasilan transplantasi lamun berdasarkan perkembangan tunas dan daun, lebih spesifik lagi dengan menghitung jumlah tunas dan daun lamun yang ditransplantasi.

58 Pertumbuhan dan Perkembangan Lamun Pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa kecepatan tumbuh daun lamun berbeda antara jenis Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii. Jenis H. uninervis memiliki kecepatan tumbuh daun baru berkisar 1,1-2,2 mm/hari, dengan rata-rata 1,5 mm/hari dan daun lama berkisar 0,1-4,7 mm/hari, dengan rata-rata 2,4 mm/hari. Sedangkan T. hemprichii memiliki kecepatan tumbuh daun baru berkisar 1,7-6,5 mm/hari dengan rata-rata 3,2 mm/hari dan daun lamanya berkisar 2,2-4,3 mm/hari dengan rata-rata kecepatan tumbuhnya 2,2 mm/hari. Tabel 8. Pertumbuhan daun lamun dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan Spesies Daun baru (mm/hari) Daun Lama (mm/hari) Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran Halodule uninervis 1,5 1,1-2,2 2,4 0,1-4,7 Thalassia hemprichii 3,2 1,7-6,5 2,2 2,2-4,3 Dari hasil pengukuran pertumbuhan kedua jenis lamun, maka T. hemprichii mempunyai pertumbuhan paling cepat untuk daun baru (3,2 mm/hari), sedangkan H. uninervis memiliki pertumbuhan yang lebih cepat pada daun lamanya (2,4 mm/hari) dibandingkan kecepatan tumbuh T. hemprichii (2,2 mm/hari). Menurut Azkab & Kiswara (1994), bahwa kecepatan tumbuh daun ratarata T. hemprichii adalah 4,51 mm/hari untuk daun baru dan 4,06 mm/hari untuk daun lama. Metode TERFs termasuk teknik transplantasi menggunakan jangkar dan metode Plugs merupakan teknik transplantasi tanpa jangkar (Phillips 1994 in Kiswara 2004). Sedangkan metode Polybags (PKSPL-IPB 2009) yang merupakan modifikasi dari metode peat pot, metode ini menggunakan wadah sebagai tempat transplantasi lamun. Jenis lamun yang digunakan sebagai bibit dalam transplantasi menggunakan metode TERFs adalah Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata dengan jumlah frame TERFs ukuran cm 2 sebanyak 10 unit. Pada lokasi penempatan frame TERFs juga ditemukan beberapa lamun jenis Syringodium isoetifolium, untuk itu jenis ini turut diamati dengan maksud untuk mengetahui apakah ia akan tetap bisa berkembang atau terganggu bahkan mati.

59 Jumlah daun Jumlah tunas Maret April Mei Juni Bulan T. hemprichii C. rotundata S. isoetifolium Maret April Mei Juni Bulan T. hemprichii C. rotundata S. isoetifolium Gambar 13. Jumlah tunas dan daun lamun transplantasi dengan menggunakan metode TERFs. Gambar 13, menjelaskan bahwa jumlah tunas dan daun lamun yang ditransplantasi dari bulan Maret sampai Juni 2009 terus mengalami penurunan, dikarenakan bibit lamun berupa rimpang yang diikatkan pada frame TERFs harus dapat membenamkan diri dan beradaptasi dengan subtrat barunya, jika proses ini tidak berlangsung dengan baik maka lamun tidak dapat tumbuh dan berkembang. Berbeda dengan S. isoetifolium diketahui bahwa jenis ini mengalami perkembangan hingga pengamatan bulan Mei, jenis ini memang sudah tumbuh secara alami di lokasi penempatan TERFs sehingga tidak dibutuhkan adaptasi seperti pada dua jenis lamun lainnya. Jenis lamun yang memiliki keberhasilan tertinggi adalah T. hemprichii dengan jumlah tunas dan daun pada bulan Juni sebanyak 120 tunas dan 326 daun, sedangkan C. rotundata hanya 3 tunas dan 6 daun yang sebelumnya pada bulan April jenis ini tidak teramati dikarenakan daunnya telah rusak dan hanya terdapat rimpang atau tunas yang agak sulit untuk

60 Jumlah daun Jumlah tunas 46 diidentifikasi jenisnya. C. rotundata merupakan jenis lamun pionir yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan berperan terhadap perbaikan habitat. Jika dilihat, maka kemampuan jenis lamun T. hemprichii untuk berkembang dan beradaptasi dengan lingkungannya jauh lebih baik dari jenis lainnya, yaitu terhadap perlakuan penanaman yang menjadi tekanan fisiologis yang menghambat perkembangan dan pertumbuhannya. Jenis ini memiliki sebaran yang paling luas di perairan Indonesia dan hampir dapat ditemukan disemua tipe substrat mulai dari pasir sampai pasir berlumpur bahkan dibeberapa lokasi juga ditemukan di substrat karang mati Maret April Mei Bulan Maret April Mei Bulan T. hemprichii C. rotundata H. uninervis Gambar 14. Jumlah tunas dan daun lamun transplantasi dengan menggunakan metode Plugs. 2 5 Metode Plugs merupakan salah satu teknik transplantasi tanpa menggunakan jangkar yang umum digunakan. Oleh karena itu, dalam upaya transplantasi lamun dalam kawasan rehabilitasi lamun di Pulau Harapan, metode Plugs diujicobakan dengan sumber pengambilan bibit berasal dari padang lamun sekitar yang memiliki kepadatan tinggi. Sebanyak 70 unit Plugs ditanam di kawasan rehabilitasi ini. Berdasarkan sumber bibit lamun yang telah

61 47 diidentifikasi, diketahui bahwa lamun yang terdapat pada unit Plugs terdiri atas tiga jenis, yaitu T. hemprichii, H. uninervis dan C. rotundata (Gambar 14). Jumlah tunas dan daun pada bulan Maret 2009 adalah T. hemprichii sebanyak 132 tunas dan 308 daun, H. uninervis sebanyak 8 tunas dan 13 daun dan untuk C. rotundata sebanyak 37 tunas dan 78 daun. Jenis T. hemprichii paling banyak teridentifikasi yang kemungkinan karena sumber bibit berasal dari padang lamun vegetasi campuran yang didominasi oleh jenis tersebut. Gambar 14 menunjukkan bahwa jumlah tunas dan daun lamun dari bulan Maret sampai Mei 2009 terus mengalami penurunan, hal ini diduga akibat unit Plugs yang diambil menggunakan corer tidak terbenam dengan baik di substrat yang baru sehingga mudah terangkat oleh arus yang kencang dan memberikan tekanan terhadap perkembangan lamun yang secara alami masih dalam masa pemulihan diri. Musim pancaroba di Kepulauan Seribu berlangsung pada bulan April-Mei menyebabkan kecepatan arus perairan cukup kencang dan arahnya cenderung berubah-ubah ( Pada bulan Mei 2009 diketahui tingkat keberhasilan tertinggi jenis lamun yang dapat bertahan adalah T. hemprichii dengan 57 tunas dan 159 daun dan yang terendah adalah H. uninervis dengan 2 tunas dan 5 daun, sedangkan C. rotundata memiliki 8 tunas dan 19 daun. Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab, seperti jenis substrat di pulau Harapan bertipe pasir yang lebih cocok untuk jenis T. hemprichii dan memilki penyebaran cukup luas di Kepulauan Seribu, selain itu untuk metode Plugs lebih rentan untuk terganggu jika pembenaman lamun transplantasi kurang bagus dan mudah untuk terangkat oleh arus yang cukup kencang, dan selama pengamatan dari bulan Maret sampai Mei telah terjadi pemaparan unit transplantasi dalam jangka waktu yang cukup lama pada saat air surut terendah. Menurut Hemminga & Duarte (2000), tidak semua jenis lamun dapat bertahan ketika terpapar di udara dan hanya beberapa saja terutama yang tumbuh di wilayah intertidal. Bersamaan dengan pengamatan bulan Mei 2009, diujicobakan metode Polybags setelah sebelumnya melihat perkembangan kedua metode yang telah berjalan yaitu TERFs dan Plugs. Metode ini merupakan modifikasi dari metode peat pot (Short et al. 2001), peat pot adalah metode transplantasi yang

62 Jumlah daun Jumlah tunas 48 menggunakan wadah atau tempat sebagai media penanaman seperti penanaman mangrove, namun menggunakan bahan yang dapat terdegradasi secara alami dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan pada metode Polybags ini digunakan kantong plastik hitam (polybag) yang biasanya untuk penanaman tumbuhan di darat atau seperti yang digunakan untuk pembibitan tumbuhan mangrove Mei Juni Oktober Bulan Mei Juni Oktober Bulan T. hemprichii S. isoetifolium H. uninervis Gambar 15. Jumlah tunas dan daun lamun transplantasi dengan menggunakan metode Polybags. Gambar 15 menjelaskan bahwa bibit lamun transplantasi terdiri atas tiga jenis lamun yaitu T. hemprichii sebanyak 30 tunas dan 111 daun, H. uninervis sebanyak 22 tunas dan 66 daun dan S. isoetifolium sebanyak 16 tunas dan 32 daun. Dari ketiga jenis lamun diketahui bahwa di dalam unit Polybags lebih banyak terdapat jenis T. hemprichii, sedangkan jenis S. isoetifolium lebih sedikit jumlahnya dibandingkan jenis lainnya. Setelah satu bulan penanaman yaitu tepatnya bulan Juni 2009, diketahui jumlah tunas T. hemprichii dan H. uninervis bertambah menjadi 32 tunas dan 31

63 49 tunas, namun penambahan tunas tidak diikuti dengan penambahan jumlah daun T. hemprichii (95 daun) dan H. uninervis (53 daun) yang berkebalikan menurun dari bulan Mei Hal ini diduga karena pada saat proses pemindahan dari sumber bibit ke Polybags organ-organ lamun seperti daun dan rimpang ikut rusak atau patah, sehingga pada saat pengamatan daun-daun tersebut telah lapuk dan gugur. Sedangkan untuk S. isoetifolium, baik tunas maupun daun keduanya mengalami penurunan jumlah. Hal ini dikarenakan bentuk morfologi daunnya agak kaku seperti jarum, sehingga rentan sekali untuk rusak atau patah. Pengamatan selanjutnya dilakukan pada bulan Oktober 2009, hal ini dikarenakan cuaca yang buruk di Kepulauan Seribu sedang berlangsung sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengamatan pada bulan sebelumnya (Juli September 2009). Jenis lamun yang masih dapat tetap hidup dan berkembang dalam unit Polybags adalah T. hemprichii dengan jumlah tunas sebanyak 25 dan 79 daun. Sedangkan dua jenis lainnya tidak ditemukan, kemungkinan tidak dapat bertahannya H. uninervis dan S. isoetifolium, diperkirakan akibat cuaca buruk yang berlangsung di Kepulauan Seribu dan karena kondisi perairan yang tidak stabil, seperti arus perairan yang cukup kencang. Selain itu, H. uninervis dan S. isoetifolium merupakan jenis lamun pionir yang di habitat alaminya berperan penting dalam rekolonisasi padang lamun. Sedangkan T. hemprichii adalah jenis lamun klimaks yang pertumbuhannya agak lambat akan tetapi memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik dari segi perakaran. Menurut McKenzie & Yoshida (2009), sistem perakaran T. hemprichii sangat kuat menancap dan mencengkram substrat dasar sehingga berperan sebagai penstabil sedimen perairan. Dari ketiga metode transplantasi diketahui terdapat empat jenis lamun yang digunakan sebagai bibit untuk unit transplantasi, dan tiga diantaranya termasuk jenis lamun pionir yaitu C. rotundata, S. isoetifolium dan H. uninervis. Umumnya lamun pionir memiliki pertumbuhan yang cepat terutama pada daerah yang kurang stabil atau yang telah mengalami gangguan dan dengan daur hidup yang lebih singkat. T. hemprichii merupakan jenis lamun klimaks yang pertumbuhannya agak lambat dan daur hidup yang lebih panjang, akan tetapi memiliki sistem perakaran yang dapat mencengkram kuat substrat dan memiliki

64 50 penyebaran sangat luas. Ketika suksesi dan rekolonisasi oleh lamun pionir menuju keseimbangan dan keadaan lingkungan menjadi lebih stabil, terutama sedimen atau substrat maka secara alami jenis pionir akan mulai tergantikan oleh jenis klimaks. Menurut Lewis & Phillips (2010) yang melakukan penelitian tentang mitigasi lamun di Florida, menyimpulkan bahwa Halodule dan Syringodium merupakan jenis lamun pionir yang berperan dalam rekolonisasi habitat pada proses suksesi serta memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dan setelah terbentuk kestabilan secara perlahan digantikan oleh jenis lamun klimaks yaitu Thalassia. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan transplantasi lamun pada jenis T. hemprichii lebih tinggi dibandingkan jenis lamun lainnya, baik itu pada unit TERFs, Plugs maupun Polybags. Perairan di lokasi transplantasi memiliki tingkat kecerahan yang sangat tinggi, rata-rata mencapai 100% yang mengindikasikan bahwa kandungan bahan organik di perairan ini sangat rendah, sedangkan jenis-jenis lamun pionir seperti H. uninervis, C. rotundata dan S. isoetifolium mempunyai pertumbuhan yang cepat sehingga kebutuhan akan nutrien sangat tinggi. Untuk jenis lamun klimaks seperti T. hemprichii yang pertumbuhannya agak lambat dan memliki daur hidup yang lebih panjang hanya membutuhkan nutrien dalam jumlah yang lebih sedikit. Menurut Gallegos et al. (1994) spesies pionir memiliki jangka waktu hidup yang pendek pada akar dan daunnya yang mengurangi kemampuan penyimpanan nutrien dan daur ulangnya, sedangkan jenis klimaks jauh lebih baik dalam penyimpanan dan daur ulang nutrien. Lokasi transplantasi lamun untuk ketiga metode terletak saling berdekatan dan memiliki kondisi perairan yang relatif sama. Dari ketiga metode yang digunakan, terlihat bahwa di beberapa lokasi transplantasi, unit Plugs dan TERFs tidak dapat tumbuh dan mati, sedangkan unit Polybags pada lokasi sama tetap dapat bertahan dan bahkan berkembang. Substrat pada lokasi ini tersusun atas pasir dan pecahan karang mati sehingga pembenaman akar oleh lamun tidak terlalu kokoh dan bahkah tidak mampu terbenam sama sekali terutama untuk metode Plugs dan TERFs. Jika dilihat dari tingkat keberhasilan transplantasi, maka dapat direkomendasikan bahwa metode Polybags dapat diupayakan untuk penanaman jenis lamun tertentu pada substrat yang rentan ditumbuhi lamun

65 51 seperti subtrat pasir pecahan karang mati. Keberhasilan transplantasi lamun sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti tipe substrat, arus perairan dan ketersediaan unsur hara. Jenis lamun yang digunakan juga ikut berperan dalam meningkatkan keberhasilan suatu kegiatan transplantasi, terutama dalam proses rekolonisasi dan suksesi. Dalam proses rehabilitasi lamun melalui kegiatan transplantasi diperlukan pengamatan yang rutin dengan jangka waktu yang cukup panjang untuk mengetahui upaya tersebut dikatakan berhasil atau tidak, berdasarkan beberapa penelitian minimal waktu pengamatan yang ideal adalah selama satu tahun dan tingkat keberhasilan minimum sebesar 75%.

66 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Komunitas lamun pada kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan berupa vegetasi campuran yang terdiri atas jenis Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata. Penutupan lamun dan komposisi jenisnya dari bulan Mei 2009 ke bulan Oktober 2009 secara temporal mengalami perubahan, terutama untuk penutupan lamun yang secara rata-rata mengalami peningkatan. Hal ini berkaitan dengan penetapan lokasi ini menjadi kawasan rehabilitasi dan juga kegiatan manusia yang berdampak buruk pada padang lamun seperti pengerukan pasir dapat dihentikan. Menurut KEPMEN LH No. 200 tahun 2004 mengenai kriteria kualitas padang lamun, status padang lamun dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan termasuk miskin atau rusak. Keberhasilan dari kegiatan transplantasi berbeda-beda menurut metode penanaman dan jenis lamun. Tingkat keberhasilan unit transplantasi dan jenis lamun tertinggi adalah menggunakan metode Polybags dan Thalassia hemprichii. Hal ini berdasarkan pengamatan (Maret Oktober 2009) jumlah tunas dan daun dari beberapa metode yang digunakan seperti Plugs, TERFs dan Polybags. Sedangkan untuk pertumbuhan lamun menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh lamun berbeda menurut jenis dan daun lamun, jenis T. hemprichii memiliki kecepatan tumbuh lebih baik pada daun baru dan H. uninervis pada daun lamanya. Pertumbuhan lamun yang ditransplantasi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, seperti kecerahan, salinitas, suhu, kedalaman, arus perairan, tipe substrat dan ketersediaan nutrien Saran 1. Agar transplantasi lamun dapat berhasil dengan baik dibutuhkan informasi mengenai kondisi perairan seperti parameter fisika-kimia dan jenis lamun yang dominan di lokasi yang akan direhabilitasi. 2. Metode transplantasi yang direkomendasikan untuk kegiatan rehabilitasi padang lamun di Pulau Harapan ataupun Kepulauan Seribu umumnya

67 53 adalah metode Polybags, sedangkan jenis lamun yang paling baik digunakan adalah Thalassia hemprichii. 3. Diperlukan penelitian lanjutan untuk transplantasi dengan metode Polybags, terutama dengan perlakuan yang berbeda, seperti penggunaan jenis lamun yang lebih bervariasi, tipe substrat yang berbeda, kedalaman perairan dan waktu penanaman. Sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih akurat. 4. Peran serta masyarakat dan pemerintah secara sinergis diperlukan untuk mempertahankan kelestarian ekosistem lamun sehingga dapat memberikan nilai ekologis dan ekonomis yang lebih baik dimasa datang

68 DAFTAR PUSTAKA Azkab MH & Kiswara W Pertumbuhan dan produksi lamun di Teluk Kuta Lombok Selatan. In: Struktur komunitas biologi padang lamun di Pantai Selatan Lombok dan kondisi lingkungannya. Kiswara W, Moosa MK & Hutomo M (editor). Proyek Pengembangan Kelautan MREP P3O LIPI Jakarta. Hal Azkab MH. 1999b. Petunjuk penanaman lamun. Majalah Ilmiah Semi Populer Oseana. Lembaga Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 24(3): Azkab MH Pedoman inventarisasi lamun. Majalah Ilmiah Semi Populer Oseana. Lembaga Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 24(1): 1-16 Azkab MH Produktivitas di lamun. Majalah Ilmiah Semi Populer Oseana. Lembaga Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 25(1): Azkab MH Ada apa dengan lamun. Majalah Ilmiah Semi Populer Oseana. Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI. Jakarta. 31(3): [BTNKpS] Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Laporan inventarisasi lamun dan flora laut Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Jakarta. 34 hlm. Bengen DG Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Calumpong HP & Fonseca MS Seagrass transplantation and other seagrass restoration methods. Chapter 22, pp.427. In: Short FT, Coles RG (eds). Global seagrass research methods. Elsevier Science B. V., Amsterdam. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, & Sitepu MJ Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri R Keanekaragaman hayati laut : Aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Effendi H Telaah kualitas air: bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. Gallegos ME, Merino M, Rodriguez A, Marba N & Duarte CM Growth pattern and demography of pioneer Caribbean seagrasses Halodule

69 55 wrightii and Syringodium filiforme. Marine Ecology Progress Series. 109: Hemminga MA & Duarte CM Seagrass ecology. Cambridge University Press. United Kingdom. Hutabarat S & Evans SM Pengantar oseanografi. UI-Press. Jakarta. ix hlm. Hutomo M Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. p In: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir II geologi, kimia, biologi, dan ekologi. Prosiding Kongres Biologi Indonesia XV. Universitas Indonesia. Jakarta. Kaldy JE & Dunton KH Above- and below ground production, biomass and reproductive ecology of Thalassia testudinum (turtle grass) in a subtropical coastal lagoon. Marine Ecology Progress Series. 193: Kesuma AM Struktur komunitas lamun di perairan pantai Pulau Burung, Kepulauan Seribu [skripsi]. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauta. Institut Pertanian Bogor. Kiswara W Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. p In: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir, geologi, kimia, biologi, dan ekologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Kiswara W Kondisi padang lamun (seagrass) di perairan Teluk Banten Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Kiswara W Perspektif lamun dalam produktifitas hayati pesisir. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. 18 November PKSPL-IPB, DKP, LH dan LIPI. Jakarta. Kuriandewa TE Tinjauan tentang lamun di Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. 18 November PKSPL-IPB, DKP, LH dan LIPI. Jakarta. Kuo J & Den Hartog C Seagrass taxonomy and identification key.. Chapter 2, pp.427. In: Short FT, Coles RG (eds). Global seagrass research methods. Elsevier Science B. V., Amsterdam. Lewis RR & Phillips RC Experimental sea grass mitigation in the Florida keys. Econatres.wetlands07.rlewis. (10 April 2010)

70 56 Mardesyawati A & Anggraini K Persen penutupan dan jenis lamun di Kepulauan Seribu. hal In : Estradivari, Setyawan E, Yusri S. (ed) TERANGI : Laporan Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu ( ). Yayasan TERANGI. Jakarta. Viii+102 hlm. McKenzie LJ, Campbell SJ, & Roder CA Seagrass-Watch : Manual for mapping & monitoring seagrass resources by community (citizen) volunteers. 2 nd edition. Queensland Fisheries Service, NFC, Cairns. 100pp. McKenzie LJ & Yoshida RL Seagrass-Watch : Proceeding of workshop for monitoring seagrass habitats in Indonesia. The Nature Conservancy, Coral Triangel Center, Sanur, Bali. 9 th May Seagrass- Watch HQ, Caims. 56pp. Mukhtasor Pencemaran pesisir dan laut. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Nontji A Laut nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nybakken JW Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari Marine biologi: an ecological approach]. Eidman HM, Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. xiii hlm. Romimohtarto K & Juwana S Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang biota laut. Penerbit Djambatan. Jakarta. Short FT, Coles RG, & Martini CP Global seagrass distribution. Chapter 1, pp.427. In: Short FT, Coles RG (eds). Global seagrass research methods. Elsevier Science B. V., Amsterdam. Supriadi Produktivitas lamun Enhalus acoroides (LNN. F) ROYLE dan Thalassia hemprichii (EHRENB.) ASCHERSON di Pulau Barang Lompo Makasar [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hlm. Taurusman AA Community structure, clearance rate and carrying capacity of makrozoobenthos in relation to organic matter in Jakarta Bay and Lampung Bay, Indonesia [PhD Disertation]. Kiel University. Germany. 181p. Phillips RC & Menez EG Seagrasses. Smithsonian Institution Press. Washington, D.C. Waycott M, McMahon K, Mellors J, Calladine A, & Kleine D A guide to tropical seagrass of the Indo-West Pacific. James Cook University. Townsville. 72 pages

71 57 Wibisono MS Pengantar ilmu perikanan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Pulau Harapan. [terhubung berkala]. [12 Agustus 2009] Gambaran umum Kepulauan Seribu. [terhubung berkala]. [10 April 2010].

72 LAMPIRAN

73 Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) 59

74 Lampiran 2. Gambar pedoman penentuan penutupan lamun dan algae (McKenzie & Yoshida 2009) 60

75 61 Lampiran 3. Data hasil pengukuran panjang daun lamun pada metode Plugs. a. Panjang daun Halodule uninervis no. panjang daun baru (cm) plug 12 Mar Mar Mar Apr ,05 1,62 1,33 2,87 5, ,16 1, ,37-1,95 2,87 3 7,01-1,61 - panjang daun lama (cm) 12 Mar Mar Mar Apr 09 5,63 4,78 4,85 2,33 1 6,81 10,09 3,53 3,15 4,75 3, ,96 1, b. Panjang daun Thalassia hemprichii no. plug panjang daun baru (cm) 12 Mar Mar Mar Apr 09 4,86 9, ,42 3,34 2,91 4,43 1,82 4,5 7,24 9,51 5,48 7,79 1,1 3,21 1,33 2,51 4,07-5,1 4,07 2,51-3,33 4,88 1,84 - panjang daun lama (cm) 12 Mar'09 20 Mar'09 27 Mar'09 17 Apr ,89 5,8-5 4,46 3, , ,31 2,7 2,91 1,5

76 62 Lampiran 4. Data hasil pengamatan transplantasi lamun dengan metode TERFs (4a dan 4b). 4a. Jumlah tunas lamun transplantasi pada setiap unit TERFs Thalassia hemprichii Frame 20 Mar Apr Mei Juni total Cymodocea rotundata total Syringodium isoetifolium total

77 63 Lampran 4. (lanjutan ) 4b. Jumlah daun lamun transplantasi pada setiap frame Thalassia hemprichii Frame 20 Mar Apr Mei Juni total Cymodocea rotundata total Syringodium isoetifolium total

78 64 Lampiran 5. Data hasil pengamatan transplantasi lamun dengan Metode Plugs (5a, 5b dan 5c). 5a. Jumlah unit transplantasi lamun Thalassia hemprichii Line 20 Mar Apr Mei total Cymodocea rotundata total Halodule uninervis total 3 3 1

79 65 Lampiran 5. (lanjutan ) 5b. Jumlah tunas lamun 5c. Jumlah daun lamun Line Thalassia hemprichii 20 Mar Apr Mei total Cymodocea rotundata total Halodule uninervis total Thalassia hemprichii Line 20 Mar Apr Mei total Cymodocea rotundata total Halodule uninervis total 8 7 2

80 66 Lampiran 6. Data hasil pengamatan transplantasi lamun dengan Metode Polybags (6a dan 6b). 6a. Jumlah tunas lamun 6b. Jumlah daun lamun Thalassia hemprichii Polybags 23 Mei'09 20 Juni'09 15 Okt' total Halodule uninervis total Syringodium isoetifolium total Polybags Thalassia hemprichii 23 Mei'09 20 Juni'09 15 Okt' total Halodule uninervis total Syringodium isoetifolium total

81 67 Lampiran 7. Data berat kering lamun Berat kering (gram) No. sampel Daun Akar Rhizome 111 0,0247 0,1697 0, ,2125 0,1738 0, ,0028-0, ,3415 1,6227 1, ,1333 0,2746 0, ,1264 0,7428 0,3756 line 2 No. sampel Daun Akar Rhizome 211 1,8099 2,5739 1, ,6701 0,7765 1, ,9613 0,9268 1, ,346 0,4249 0, ,106 0,3728 0, ,5484 0,252 0,5603 line 3 No. sampel Daun Akar Rhizome 321 1,1051 1,4348 1, ,1034 1,0367 1, ,6356 0,6176 1, ,2199 0,8897 1, ,0314 1,0046 1, ,2584 1,1301 2,1036

82 68 Lampiran 8. Baku mutu air laut untuk biota laut (Kepmen LH no.51 tahun 2004) No. Parameter Satuan Baku Mutu FISIKA 1. Kecerahan a m Kebauan Kekeruhan a Padatan tersuspensi total b Sampah Suhu c Lapisan minyak 5 - NTU mg/l - 0 C - coral: >5 mangrove: - lamun: >3 alami 3 <5 coral: 20 mangrove: 80 lamun: 20 nihil 1(4) alami 3(c) coral: mangrove: lamun: nihil 1(5) KIMIA ph d Salinitas e Oksigen terlarut (DO) BOD5 Ammonia total (NH 3 -N) Fosfat (PO 4 -P) Nitrat (NO 3 -N) Sianida (CN - ) Sulfida (H 2 S) PAH (Poliaromatik hidrokarbon) Senyawa Fenol total PCB total (poliklor bifenil) Surfaktan (deterjen) Minyak & lemak Pestisida TBT (tributil tin) 7 Logam terlarut Raksa (Hg) Kromium hesavalen (Cr(VI)) Arsen (AS) Kadmium (Cd) tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) - 0 / 00 mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l µg/l mg/lmbas mg/l µg/l µg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 7-8,5 (d) alami 3(e) coral: (e) mangrove: s/d 34 (e) lamun: (e) >5 20 0,3 0,015 0,008 0,5 0,01 0,003 0,002 0, ,01 0,01 0,001 0,005 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05 0, BIOLOGI Coliform (total) g Patogen Plankton MPN/100 ml sel/100 ml sel/100 ml 1000 (g) nihil 1 tidak bloom 5 1. RADIO NUKLIDA Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4

83 69 Lampiran 8. (lanjutan ) Catatan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan). 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). 4. Pengamatan oleh manusia (visual ). 5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan ketebalan 0,01mm. 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal. a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 o C dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan ph e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

84 70 Lampiran 9. Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 200 Tahun 2004 Tanggal : 13 Oktober 2004 KRITERIA BAKU KERUSAKAN PADANG LAMUN TINGKAT KERUSAKAN LUAS AREA KERUSAKAN (%) Tinggi 50 Sedang 30 49,9 Rendah 29,9 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM. Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 200 Tahun 2004 Tanggal : 13 Oktober 2004 STATUS PADANG LAMUN KONDISI PENUTUPAN (%) BAIK KAYA/SEHAT 60 RUSAK KURANGKAYA/KURANG SEHAT 30 59,9 MISKIN 29,9 Menteri Negara Lingkungan Hidup, ttd Nabiel Makarim, MPA., MSM.

85 71 Lampiran 10. Gambar berbagai jenis lamun Cymodocea rotundata Thallasia hemprichii Halodule uninervis Syringodium isoetifolium

86 72 Lampiran 11. Gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian. Alat dasar selam Transek kuadrat berskala Coral boot 50 x 50 cm 2 Rollmeter Termometer Refraktrometer ph stick GPS Alat pengukur DO PVC Corer (d=10 cm)

87 Lampiran 12. Gambar kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan (atas: demplot rehabilitasi padang lamun dan teripang PKSPL-IPB dan bawah: lokasi pengamatan komunitas dan transplantasi lamun) 73

88 74 Lampiran 13. Gambar kegiatan transplantasi dan pengamatan lamun Donor bibit Lamun Pengambilan bibit lamun Bibit lamun diikatkan pada Frame TERFs Unit TERFs yang sudah dibenamkan Bibit lamun unit Plugs Unit Plugs yang sudah ditanam Unit Polybags yang siap ditanam Pengamatan status lamun Transek kuadrat pengamatan status lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun ( Seagrass Deskripsi Lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun ( Seagrass Deskripsi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) 2.1.1. Deskripsi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut (McKenzie & Yoshida 2009).

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2009 dalam kawasan rehabilitasi PKSPL-IPB di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

RIESNA APRAMILDA SKRIPSI

RIESNA APRAMILDA SKRIPSI STATUS TEMPORAL KOMUNITAS LAMUN DAN KEBERHASILAN TRANSPLANTASI LAMUN PADA KAWASAN REHABILITASI DI PULAU PRAMUKA DAN HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA RIESNA APRAMILDA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009)

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) 59 Lampiran 2. Gambar pedoman penentuan penutupan lamun dan algae (McKenzie & Yoshida 2009) 60 61 Lampiran 3. Data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun 2.1.1 Deskripsi lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkunga laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizome), berakar,

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vegetasi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan salinitas cukup tinggi.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun Menurut Azkab (2006), lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat Album Peta Lamun 2017 Pusat Penelitian Oseanografi PENYUSUN Marindah Yulia

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam kelompok

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI. STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter fiskia-kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Lebih terperinci

LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA

LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA VARIASI SPASIAL KOMUNITAS LAMUN DAN KEBERHASILAN TRANSPLANTASI LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA BINANDRA DWINDARU SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA RUMPUT LAUT (SEAGRASS) DI PERAIRAN DESA TUMBAK KECAMATAN PUSOMAEN 1 Idris Baba 2, Ferdinand F Tilaar 3, Victor NR Watung 3 ABSTRACT Seagrass community structure is the basic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Lamun Lamun (seagrass) merupakan bentangan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari klass angiospermae, tumbuhan air berbunga yang telah menyesuaikan diri hidup terbenam

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Peranan Lamun 2.1.1 Biologi Lamun Lamun (seagrass) termasuk dalam sub kelas monocotyledonae dan merupakan tumbuhan berbunga (kelas Angiospermae) (Yulianda 2002).

Lebih terperinci

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA (Comparison Of Community Structure Seagrasses In Bantayan, Dumaguete City Philippines And

Lebih terperinci

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA Rinta Kusumawati ABSTRAK Lamun merupakan tanaman laut berbentuk daun tegak memanjang dengan pola sebaran mengelompok pada substrat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi padang lamun Untuk menghindari kesalahpahaman antara lamun dan rumput laut, berikut ini disajikan istilah tentang lamun, padang lamun, dan ekosistem lamun (Azkab,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Lamun 2.1.1 Ekosistem Padang Lamun Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

Lebih terperinci

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rudini, rudini1990@gmail.com Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH Arief Pratomo, ST, M.Si

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Mofologi Lamun Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh proses kehidupan berlangsung di lingkungan perairan laut dangkal (Susetiono, 2004). Lamun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Siti Rahmi A.R. Nusi, 2 Abdul Hafidz Olii, dan 2 Syamsuddin 1 s.rahmi.nusi@gmail.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 3, Desember 2013 Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Mashoreng Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar E-mail : supriadi112@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Proses pengambilan sampel dilakukan di Perairan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta pada tiga

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Wilayah pesisir desa Sitardas memiliki panjang garis pantai sekitar 6 km dan

TINJAUAN PUSTAKA. Wilayah pesisir desa Sitardas memiliki panjang garis pantai sekitar 6 km dan 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Desa Sitardas Desa Sitardas berada di Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Wilayah pesisir desa Sitardas memiliki panjang garis pantai sekitar 6 km dan berhadapan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, mor 1, Juni 2013 Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Meilan Yusuf, 2 Yuniarti Koniyo,

Lebih terperinci

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Oleh : Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Prof. Dr. Indra Jaya, M.Sc Ir. Indarto H.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian diawali dengan survei pendahuluan pada bulan Agustus 2012. Penelitian utama ini telah dilaksanakan pada Januari 2013 - Februari

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA STUDI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA Oleh: BAYU ADHI PURWITO 26020115130110 DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun

II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun Lamun (seagrass) merupakan satu- satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizome, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut (Bengen,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif merupakan metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciriciri, sifat-sifat

Lebih terperinci

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Dini Arifa 1, Arief Pratomo 2, Muzahar 2 Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826 KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826 INTISARI Lamun merupakan ekosistem pesisir pantai yang berperan penting untuk menunjang ekosistem lainnya seperti terumbu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juli 2013 di Bintan Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 4). Dimana penelitian ini meliputi persiapan

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PERMEN-KP/2016 TENTANG TATA CARA REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT Rene Ch. Kepel 1 dan Sandra Baulu 2 1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LAMUN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LAMUN 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LAMUN Dalam dunia tumbuhan, lamun dipandang sebagai kelompok flora yang unik. Dianggap demikian, karena lamun merupakan satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. hidup di pesisir, seluruh hidupnya berada dalam air dengan salinitas cukup tinggi,

2. TINJAUAN PUSTAKA. hidup di pesisir, seluruh hidupnya berada dalam air dengan salinitas cukup tinggi, 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup di pesisir, seluruh hidupnya berada dalam air dengan salinitas cukup tinggi, berkembang biak secara vegetatif

Lebih terperinci

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto)

Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) Kadar Salinitas, Oksigen Terlarut,..Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta (Dumarno, D & T. Muryanto) KADAR SALINITAS, OKSIGEN TERLARUT, DAN SUHU AIR DI UNIT TERUMBU KARANG BUATAN (TKB) PULAU KOTOK KECIL

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci