RIESNA APRAMILDA SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RIESNA APRAMILDA SKRIPSI"

Transkripsi

1 STATUS TEMPORAL KOMUNITAS LAMUN DAN KEBERHASILAN TRANSPLANTASI LAMUN PADA KAWASAN REHABILITASI DI PULAU PRAMUKA DAN HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA RIESNA APRAMILDA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 RINGKASAN Riesna Apramilda. C Status Temporal Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun pada Kawasan Rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Harapan, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Di bawah bimbingan Ario Damar dan Am Azbas Taurusman. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah. Padang lamun mempunyai peranan penting dalam memelihara dan meningkatkan fungsi ekologis pada daerah pesisir dan lautan, yaitu sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat berlindung, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi berbagai biota. Padang lamun dapat ditemukan di sebagian besar perairan pulau dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, seperti: Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Beberapa faktor utama yang mengganggu dan mempengaruhi perubahan padang lamun di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu antara lain adalah pencemaran, kegiatan pembangunan, aktivitas keseharian di pulau-pulau pemukiman, kegiatan reklamasi dan pengerukan pantai. Transplantasi lamun merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan ekosistem lamun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas lamun alami secara spasial dalam kawasan rehabilitasi dan mengetahui tingkat keberhasilan transplantasi lamun dengan menggunakan metode Polybags dan Spring anchor di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010-Mei 2011 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Metode yang digunakan yaitu: metode Seagrass watch untuk mengamati status komunitas lamun dan metode Polybags dan Spring anchor untuk transplantasi lamun. Pada perairan Pulau Pramuka ditemukan enam spesies lamun yang termasuk kedalam dua famili yaitu Hydrocharitaceae dan Cymodoceae. Keenam spesies tersebut adalah Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, dan Halodule pinifolia. Sedangkan pada perairan Pulau Harapan hanya ditemukan lima spesies lamun yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, dan Halodule pinifolia. Dari semua jenis yang teramati di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan, Thalassia hemprichii marupakan jenis yang memiliki nilai persen penutupan yang paling besar. Persen penutupan lamun tertinggi di Pulau Pramuka terdapat di bulan September 2010 sebesar 57,27% pada transek garis 1 dan terendah terdapat pada bulan Mei 2011 sebesar 17,27% pada transek garis 3. Persen penutupan lamun tertinggi di Pulau Harapan terdapat di bulan September 2010 sebesar 30,00% pada transek garis 3 dan terendah terdapat di bulan Mei 2011 sebesar 2,73% pada transek garis 1. Tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun di Pulau Pramuka dengan metode Polybags sebesar 58% dan metode Spring anchor sebesar 46,67%. Sedangkan tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun di Pulau Harapan dengan metode Polybags sebesar 2% dan metode Spring anchor sebesar 53%. iii

3 Dilihat dari nilai persen penutupan lamun setiap transek garis, kondisi komunitas lamun Pulau Pramuka termasuk dalam kondisi kurang kaya/ kurang sehat pada transek garis 1 dan transek garis 3 serta tergolong miskin pada stasiun 2, sedangkan kondisi komunitas lamun Pulau Harapan termasuk dalam kondisi rusak pada ketiga transek garis (Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004). Oleh karena itu diperlukannya peran serta masyarakat setempat untuk menjaga dan merawat ekosistem lamun agar tidak rusak, perlunya campur tangan pemerintah dan pengelola kawasan agar terwujudnya peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan ekosistem lamun. iv

4 STATUS TEMPORAL KOMUNITAS LAMUN DAN KEBERHASILAN TRANSPLANTASI LAMUN PADA KAWASAN REHABILITASI DI PULAU PRAMUKA DAN HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA RIESNA APRAMILDA C SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 v

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Status Temporal Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun pada Kawasan Rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Harapan, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2011 Riesna Apramilda C ii

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul : Status temporal komunitas lamun dan keberhasilan transplantasi lamun pada kawasan rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Harapan, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi : Riesna Apramilda : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Dr. Am Azbas Taurusman S.Pi, M.Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Ujian : 23 Agustus 2011 vi

7 PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Status Temporal Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun pada Kawasan Rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Harapan, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Am Azbas Taurusman S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua serta Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku Ketua Komisi Pendidikan S1 yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena, itu penulis mengharapkan masukan dari pembaca untuk penyempurnaan lebih lanjut. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya. Bogor, September 2011 Riesna Apramilda C vii

8 UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, khususnya kepada : 1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Dr. Am Azbas Taurusman S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah sabar dalam membimbing penulis, memberikan banyak masukan, arahan, nasehat dan saran selama penyusunan skripsi. Serta atas izin yang bersangkutan, sehingga penulis dapat bergabung dalam penelitian yang didanai oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB (2010/2011); 2. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku pembimbing akademik atas bimbingan yang diberikan kepada penulis baik saran maupun nasehat yang bermanfaat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan; 3. Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku Ketua Komisi Pendidikan S1 yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis; 4. PKSPL-IPB, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, dan Kementrian Negara Lingkungan Hidup atas segala bantuan dan kerjasamanya baik secara finansial maupun moril; 5. Keluarga tercinta; Mama, Papa, Nenek, Kakek, Oka atas doa, kasih sayang, dukungan, serta motivasinya; 6. Tim lamun 2010 (Hana, Wepe, Satya, Austin, Kak Tyo dan Pak Arief Trihandoyo PKSPL-IPB) dan Tim Karang 2010 (Adit, Mutty, Mumu, Dani, Linggom, Eko); 7. Ibu Ana dan Kak Budi selaku staff Laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Perairan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis; 8. Para staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widar, Bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan; 9. Teman-teman kosan Dwiregina dan MSP seluruh angkatan khususnya angkatan 44 yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat, motivasi, bantuan, dan hari-hari indah yang kita lalui bersama. viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 02 April 1990, sebagai putri pertama dari pasangan Bapak Hasan Basri Majid S.H. dan Ibu Dra. Hj. Oktorina Ibrianti. Pendidikan formal pertama diawali dari TK Lembah Anai (1995), SDN No.12 Sicincin (2001), SLTPN I 2x11 Enam Lingkung (2004), dan SMUN I 2x11 Enam Lingkung (2007). Pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Praktikum Mata Kuliah Iktiologi (2009/2010) dan Asisten Praktikum Mata Kuliah Ekotoksikologi (2010/2011). Penulis juga aktif dalam organisasi sebagai anggota BEM-C Divisi PBOS pariode 2008/2009, anggota Divisi Minat dan Bakat Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) periode 2009/2010, anggota UKM Karate IPB dari tahun , dan Bendahara 1 UKM Karate IPB dari tahun Penulis juga aktif mengikuti seminar dan berpartisipasi dalam kepanitiaan di lingkungan kampus IPB, serta mengikuti dan berhasil meraih prestasi di beberapa kejuaraan karate tingkat nasional. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Status Temporal Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun pada Kawasan Rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Harapan, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. ix

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xiii xiv xv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Lamun Deskripsi lamun Klasifikasi lamun Fungsi lamun Pertumbuhan lamun Biomassa lamun Transplantasi lamun Teknik transplantasi lamun Parameter yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun Suhu Salinitas Kedalaman Kecerahan Substrat Derajat keasaman (ph) Oksigen terlarut (DO) Nutrien III. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Penentuan Posisi Stasiun Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Suhu Salinitas Kedalaman Kecerahan Substrat Derajat keasaman (ph) Oksigen terlarut (DO) Nutrien Metode Pengambilan Data Pengamatan status komunitas lamun x

11 Metode transplantasi lamun Metode pengukuran pertumbuhan lamun Biomassa lamun Analisis Data Status komunitas lamun Tingkat keberhasilan unit transplantasi Pertumbuhan dan perkembangan lamun Biomassa lamun Analisis komponen utama (PCA) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika-Kimia Perairan Parameter fisika a. Suhu b. Kedalaman c. Kecerahan d. Substrat Parameter kimia a. Salinitas b. Derajat keasaman (ph) c. Oksigen terlarut (DO) d. Nutrien Status Komunitas Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Komunitas lamun Pulau Pramuka a. Persen penutupan jenis lamun Pulau Pramuka b. Komposisi jenis lamun Pulau Pramuka c. Frekuensi jenis lamun Pulau Pramuka d. Tinggi kanopi lamun Pulau Pramuka e. Persen penutupan epifit pada lamun Pulau Pramuka Komunitas lamun Pulau Harapan a. Persen penutupan jenis lamun Pulau Harapan b. Komposisi jenis lamun Pulau Harapan c. Frekuensi jenis lamun Pulau Harapan d. Tinggi kanopi lamun Pulau Harapan e. Persen penutupan epifit pada lamun Pulau Harapan Biomassa Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Transplantasi Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Transplantasi lamun di Pulau Pramuka a. Tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun b. Laju pertumbuhan lamun transplantasi Transplantasi lamun di Pulau Harapan a. Tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun b. Laju pertumbuhan lamun transplantasi Hubungan Antara Lokasi Penelitian dengan Beberapa Variabel Pengamatan secara Spasial dan Temporal xi

12 V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Posisi geografis lokasi rehabilitasi lamun Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Nilai komposisi tekstur dan kandungan C-Organik substrat Komunitas lamun di Pulau Pramuka Rata-rata persentase penutupan setiap jenis lamun di Pulau Pramuka Rata-rata frekuensi jenis lamun di Pulau Pramuka Tinggi kanopi lamun Pulau Pramuka Persen penutupan epifit lamun Pulau Pramuka Komunitas lamun di Pulau Harapan Rata-rata persentase penutupan setiap jenis lamun di Pulau Harapan Rata-rata frekuensi jenis lamun di Pulau Harapan Tinggi kanopi lamun Pulau Harapan Persen penutupan epifit lamun Pulau Harapan Biomassa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Persen keberhasilan unit transplantasi di Pulau Pramuka Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Pramuka Persen keberhasilan unit transplantasi di Pulau Harapan Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Harapan Sidik ragam persen penutupan lamun xiii

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka perumusan masalah Morfologi umum lamun Peta lokasi penelitian di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Rancangan pengumpulan data komunitas lamun Rata-rata penutupan lamun di Pulau Pramuka Rata-rata komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Pramuka Rata-rata penutupan lamun di Pulau Harapan Rata-rata komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Harapan Biomassa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Tingkat keberhasilan transplantasi lamun menggunakan metode Polybags di Pulau Pramuka Grafik unit, jumlah tanaman, dan jumlah daun lamun transplantasi menggunakan metode polybags di Pulau Pramuka Tingkat keberhasilan transplantasi lamun Enhalus acoroides menggunakan metode Spring anchor di Pulau Pramuka Grafik jumlah tanaman dan jumlah daun Enhalus acoroides menggunakan metode Spring anchor di Pulau Pramuka Tingkat keberhasilan transplantasi lamun menggunakan metode Polybags di Pulau Harapan Grafik unit, jumlah tanaman, dan jumlah daun lamun transplantasi menggunakan metode polybags di Pulau Harapan Tingkat keberhasilan transplantasi lamun Enhalus acoroides menggunakan metode Spring anchor di Pulau Harapan Grafik jumlah tanaman dan jumlah daun Enhalus acoroides menggunakan metode Spring anchor di Pulau Harapan Distribusi spasial lokasi penelitian dengan komposisi jenis lamun dengan menggunakan Analisis komponen utama (PCA) Analisa lokasi penelitian dengan beberapa variabel pengamatan dengan menggunakan Analisis komponen utama (PCA) 64 xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan Gambar pedoman penentuan penutupan lamun Gambar pedoman penentuan penutupan algae Baku mutu air laut untuk biota laut (KepMen LH No. 51 Tahun 2004) Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun Gambar berbagai jenis lamun Gambar peralatan yang digunakan Gambar kawasan rehabilitasi dan transplantasi lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Prosedur Analisis Nutrien Persentase penutupan setiap jenis lamun di Pulau Pramuka dan di Pulau Harapan Frekuensi jenis lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan xv

16 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah (Azkab 1999). Tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang dangkal hingga kedalaman 3 meter dilautan tropis hingga sub tropis. Lamun dapat tumbuh pada daerah yang sangat luas seperti: pasir kasar, puing-puing karang atau lumpur halus dasar laut. Lamun juga membentuk padang yang padat dan produktif hingga disebut sebagai padang lamun. Jumlah jenis lamun didunia adalah 60 jenis, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 13 jenis (Kiswara 2009). Berdasarkan temuan pihak TNKpS dari 13 jenis lamun tersebut, tercatat ada 7 (tujuh) jenis lamun yang tumbuh di Kepulauan Seribu yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halophila ovalis, dan Syringodium isoetifolium (BTNKpS 2008). Ekosistem padang lamun merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam ekosistem perairan laut dangkal yang melengkapi ekosistem mangrove dan terumbu karang di Kepulauan Seribu. Keberadaan padang lamun di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu adalah membantu menstabilkan perairan dan memantapkan substrat dasar. Lamun menutupi sekitar 0,1-0,2% permukaan lautan, dan berkembang sebagai ekosistem yang tinggi produktivitasnya dan berperan penting dalam ekosistem pesisir. Padang lamun mempunyai peranan penting dalam memelihara dan meningkatkan fungsi ekologis pada daerah pesisir dan lautan. Fungsi ekologis padang lamun adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat berlindung, tempat pemijahan, tempat bermain dan asuhan bagi berbagai biota. Hilangnya lamun secara luas telah terjadi di berbagai tempat di belahan dunia sebagai akibat dari dampak langsung kegiatan manusia termasuk kerusakan secara mekanis (pengerukan dan jangkar), eutrofikasi, budidaya perikanan, pengendapan, pengaruh pembangunan konstruksi pesisir, dan perubahan jaring makanan serta dampak pengaruh tidak langsung kegiatan manusia termasuk pengaruh negatif dari perubahan iklim (erosi oleh naiknya permukan laut, naiknya

17 2 penyinaran ultraviolet), baik dari sebab-sebab alami, seperti angin siklon dan banjir. Hilangnya padang lamun ini diduga akan terus meningkat akibat tekanan pertumbuhan penduduk di daerah pesisir (Kiswara 2009). Padang lamun dapat ditemukan di sebagian besar perairan pulau dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, seperti: Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Kelapa dan Pulau Harapan. Kondisi komunitas lamun di kawasan rehabilitasi di Pulau Pramuka termasuk kurang kaya/kurang sehat pada stasiun 3 dan tergolong miskin pada stasiun 1 dan 2 (Dwindaru 2010), dan status padang lamun dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Harapan termasuk dalam kondisi rusak atau miskin, karena penutupan lamun 29,9% (Khotib 2010). Hal ini sesuai dengan kriteria status padang lamun yang dinyatakan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Pada pulau-pulau yang menjadi resort wisata dan pemukiman, kerusakan ekosistem lamun dalam skala besar mudah terjadi. Beberapa faktor utama yang mengganggu dan mempengaruhi perubahan padang lamun di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu antara lain adalah pencemaran, kegiatan pembangunan, aktivitas keseharian di pulau-pulau pemukiman dan kegiatan reklamasi dan pengerukan pantai (BTNKpS 2008). Banyaknya kerusakan ekosistem lamun yang terjadi pada sebagian besar pulau-pulau di Kepulauan Seribu, menyebabkan diperlukannya upaya-upaya manusia untuk memulihkan kondisi lamun seperti semula. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain adalah inventarisasi dan pemetaan padang lamun, monitoring dan perlindungan habitat lamun, serta rehabilitasi padang lamun. Transplantasi lamun merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan ekosistem lamun. Cara ini belum berkembang luas di Indonesia dimana transplantasi lamun bertujuan untuk memperbaiki padang lamun yang mengalami kerusakan atau menciptakan padang lamun yang baru yang sebelumnya tidak ditumbuhi lamun. Berbagai percobaan transplantasi lamun telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI di Teluk Banten, Pulau Pari dan Pulau Bidadari (Kiswara 2009), serta oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang dilakukan di Pulau Pramuka, Pulau Harapan, dan Pulau Kelapa Dua

18 3 (Taurusman et al. 2009). Untuk itu perlu adanya data dan informasi mengenai status kondisi suatu komunitas lamun dan laju pertumbuhan lamun transplantasi agar dapat dijadikan acuan dalam menyusun suatu strategi pengelolaan kawasan rehabilitasi untuk mencapai keberhasilan Rumusan Masalah Ekosistem lamun merupakan ekosistem di wilayah pesisir yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan sebagai penyumbang nutrisi yang potensial bagi kesuburan perairan di sekitarnya. Namun pengelolaan ekosistem ini cenderung diabaikan bahkan mengalami kerusakan dan penurunan populasi. Kerusakan habitat lamun akan menimbulkan kerusakan di habitat pesisir lainnya yang lambat laun akan mengancam sumberdaya dan ekosistem pesisir dan lautan. Ekosistem lamun atau seagrass merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan jasad hidup di laut serta merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif. Pulau Pramuka dan Pulau Harapan merupakan lokasi yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti masukan bahan organik yang tinggi dari hasil buangan limbah domestik, budidaya ikan (KJA) ataupun kegiatan penangkapan ikan, pembangunan kawasan pesisir, pengerukan pasir dan kegiatan wisata yang cukup tinggi. Semua kegiatan tersebut jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan meningkatnya kerusakan terhadap padang lamun. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan habitat pesisir yang telah mengalami kerusakan adalah dengan metode rehabilitasi (transplantasi) lamun.

19 4 Secara sistematis kerangka perumusan masalah adalah sebagai berikut: Ekosistem Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Aktivitas Manusia: Pencemaran limbah domestik Pembangunan konstruksi pesisir Pengerukan dan Reklamasi pantai Kegiatan perikanan Kegiatan pariwisata Kerusakan Komunitas Lamun Monitoring dan Rehabilitasi Lamun Status Komunitas Padang Lamun: Struktur komunitas lamun Persen penutupan lamun Biomassa lamun Tingkat keberhasilan transplantasi: Tingkat kelangsungan hidup (SR) Laju pertumbuhan tunas dan daun Pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan Gambar 1. Kerangka perumusan masalah

20 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengetahui struktur komunitas lamun alami secara spasial dan temporal dalam kawasan rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan; 2) Mengetahui tingkat keberhasilan transplantasi lamun dengan menggunakan metode Polybags dan metode Spring anchor di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Manfaat Penelitian Memberikan informasi ilmiah tentang sruktur komunitas lamun dan upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan di Pulau Pramuka dan Harapan, serta dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait mengenai pengelolaan Pulau Pramuka dan Pulau Harapan dalam upaya pelestarian ekosistem lamun dan kawasan pesisir di kedua pulau tersebut.

21 6 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun Deskripsi lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah (Azkab 1999). Lamun (seagrass) mampu tumbuh pada substrat berlumpur, berpasir, sampai berbatu. Lamun adalah tumbuhan air berbunga yang mempunyai kemampuan adaptasi untuk hidup pada lingkungan laut. Menurut Arber (1920) in Azkab (2000), lamun memerlukan kemampuan berkolonisasi untuk sukses di laut, yaitu: kemampuan untuk hidup pada media air asin (garam), mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, mempunyai sistem perakaran yang berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan untuk berkembang biak secara generatif dalam keadaan terbenam, dan dapat berkompetisi dengan organisme lain dalam keadaan kondisi stabil atau tidak pada lingkungan laut. Menurut Keputusan Menteri No.200 Tahun 2004, dijelaskan bahwa lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang hidup dan tumbuh di laut dangkal, mempunyai akar, rimpang (rhizome), daun, bunga, dan buah dan berkembang biak secara generatif (penyerbukan bunga) dan vegetatif (pertumbuhan tunas). Sedangkan definisi padang lamun menurut KepMen adalah hamparan lamun yang terbentuk oleh satu jenis lamun (vegetasi tunggal) atau lebih dari satu jenis lamun (vegetasi campuran). Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang produktif (Azkab 1988). Selain merupakan ekosistem yang tinggi produktivitas organiknya, padang lamun juga memiliki keanekaragaman biota yang cukup tinggi. Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun, antara lain:

22 7 1) Terdapat di perairan pantai yang landai, di daratan lumpur/pasir; 2) Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang; 3) Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung; 4) Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan; 5) Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terendam air termasuk daur generatif; 6) Mampu hidup di media air asin; 7) Mempunyai sistem perakaran yang berkembang biak. Gambar 2. Morfologi umum lamun (McKenzie dan Yoshida 2009) Tumbuhan lamun terdiri dari akar rhizome yang merupakan batang yang terpendam, merayap secara mendatar, berbuku-buku dan daun. Pada buku-buku tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun, serta berbunga dan pada buku tersebut tumbuh akar. Lamun memiliki daun-daun tipis yang memanjang seperti pita yang mempunyai saluran-saluran air (Nybakken 1992). Bentuk daun seperti ini dapat memaksimalkan difusi gas dan nutrien antara daun dan air, juga memaksimalkan proses fotosintesis di permukaan daun (Phillips dan Menez 1988). Daun menyerap hara langsung dari perairan sekitarnya, mempunyai rongga untuk mengapung agar dapat berdiri tegak di air, tapi tidak banyak mengandung serat seperti tumbuhan rumput di darat (Hutomo 1997).

23 8 Lamun dapat berkembang baik di perairan laut dangkal karena mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya untuk hidup (Arber 1920 in Kiswara 2009), yaitu: 1) Mampu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan air asin, 2) Mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, 3) Mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, 4) Mampu melaksanakan penyerbukan bunga dalam keadaan terbenam air, 5) Mampu bersaing dengan berhasil di lingkungan laut Klasifikasi lamun Secara umum lamun memiliki bentuk luar yang sama, perbedaan antar spesies adalah keanekaragaman bentuk organ sistem vegetatif (Kawaroe 2009). Bentuk vegetatif lamun memperlihatkan karakter tingkat keseragaman yang tinggi. Hampir semua genera memiliki rhizoma yang sudah berkembangbiak dengan baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) atau berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang, kecuali jenis Halophila yang memiliki bentuk lonjong (Lanyon 1986 in Kiswara 2009). Menjadi tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun juga memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan tumbuhan darat yaitu rumput. Namun berbeda dengan rumput laut (marine alga/seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun, pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air, dan gas. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri atas 4 famili (Zosteraceae, Posidoniaceae, Cymodoceaceae, dan Hydrocharitaceae), 2 ordo (Hydrocharithales dan Potamogetonales) dan 12 marga. Di perairan Indonesia terdapat 13 jenis lamun, yang terdiri atas 2 famili dan 7 marga (Kiswara 2009). Terdapat 13 jenis lamun yang terdapat di Indonesia dan telah dilaporkan, yaitu: Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, Halophila minor, H. ovalis, H. decipiens, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Thalassoedendron ciliatum, dan Halophila sulawesii (Kuriandewa 2009). Dari 13 jenis lamun yang dapat tumbuh di perairan Indonesia, 7 jenis diantaranya dapat ditemukan di Kepulauan Seribu, yaitu: Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis (BTNKpS 2008).

24 9 Klasifikasi tumbuhan lamun yang ada di Kepulauan Seribu (Phillips dan Menez 1988), sebagai berikut: Divisi : Anthophyta Kelas : Angiospermae Subkelas :Monocotyledonae Ordo : Helobiae Famili : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus Spesies : Enhalus acoroides Genus : Halophila Spesies : Halophila ovalis, H. minor Genus : Thalassia Spesies : Thalassia hemprichii Ordo : Potamogetonales Famili : Cymodoceae Genus : Cymodocea Spesies : Cymodocea serrulata, C. rotundata Genus : Halodule Spesies : Halodule uninervis, H. pinifolia Genus : Syringodium Spesies : Syringodium isoetifolium Fungsi lamun Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu juga ekosistem lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal, sebagai berikut:

25 10 a) Produsen primer Lamun memiliki tingkat produktifitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal seperti ekosistem terumbu karang. b) Habitat biota Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan alga. Disamping itu, padang lamun dapat juga sebagai daerah asuhan, padang pengembalaan dan makanan berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang. c) Penangkap sedimen Daun lamun yang lebat akan memperlambat air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan disekitarnya menjadi tenang. Disamping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi, padang lamun disini berfungsi sebagai penangkap sedimen dan juga dapat mencegah erosi. d) Pendaur zat hara Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut. Khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifit. Menurut Philips dan Menez (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem bahari yang produktif yang berfungsi sebagai : 1) Menstabilkan dan menahan sedimen-sedimen yang dibawa melalui tekanantekanan dari arus dan gelombang. 2) Daun-daun memperlambat dan mengurangi arus dan gelombang serta mengembangkan sedimentasi. 3) Melindungi hewan-hewan muda dan dewasa yang berkunjung ke padang lamun. 4) Daun-daun membantu organisme-organisme epifit. 5) Mempunyai produktifitas dan pertumbuhan yang tinggi. 6) Memfiksasi karbon yang sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai ekologis.

26 Pertumbuhan lamun Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan panjang bagian-bagian tertentu seperti daun dan rhizoma dalam kurun waktu tertentu. Namun pertumbuhan rhizoma lebih sulit diukur terutama pada jenis-jenis tertentu yang umumnya berada di bawah substrat dibanding pertumbuhan daun yang berada di atas substrat, sehingga penelitian pertumbuhan lamun relatif lebih banyak mengacu pada pertumbuhan daun. Pertumbuhan daun muda lebih cepat dibandingkan dengan daun tua. Pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti fisiologi, metabolisme, dan faktor eksternal seperti zat-zat hara, tingkat kesuburan substrat, dan faktor lingkungan lainnya. Lamun juga mempunyai bentuk pertumbuhan yang sangat erat kaitannya dengan perbedaan ekologinya (Den Hartog 1967 in Azkab 2000). Bentuk pertumbuhan tersebut dapat dibagi menjadi 6 kategori, yaitu : 1) Parvozosterid, dengan daun memanjang dan sempit, misalnya pada Halodule, Zostera sub marga Zosterella; 2) Magnozosterids, dengan daun memanjang dan agak lebar, misalnya Zostera sub marga Zostera, Cymodocea dan Thalassia; 3) Syringodiids, dengan daun bulat seperti lidi dan ujung runcing, misalnya Syringodium; 4) Enhalids, dengan daun panjang dan kaku seperti kulit atau berbentuk ikat pinggang yang kasar, misalnya Enhalus, Posidonia dan Phyllospadix; 5) Halophilids, dengan daun bulat telur, clips, berbentuk tombak atau panjang, rapuh dan tanpa saluran udara, misalnya Halophila; 6) Amphibolids, dengan daun tumbuh teratur pada kiri dan kanan, misalnya Amphibolis, Thalassodendron dan Heterozostera Biomassa lamun Biomassa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang biasanya dinyatakan dalam satuan gram berat kering per meter persegi (gbk/m 2 ), atau dapat juga dinyatakan dalam berat kering tanpa abu (Kuriandewa 2009). Sedangkan produksi lamun diartikan sebagai pertambahan biomassa lamun selang

27 12 waktu tertentu (Zieman dan Wetzel 1980) dengan laju produksi (produktivitas) yang sering dinyatakan dengan satuan berat kering per m 2 per hari (gbk/m 2 /hari) (Brouns 1985) atau berat karbon per m 2 per tahun (gc/m 2 /tahun). Data dari berbagai perairan Indonesia menunjukkan bahwa terdapat variasi biomassa yang cukup besar di lokasi-lokasi yang berbeda. Pada umumnya, rata-rata biomassa lamun berkisar antara 1 gbk/m 2 sampai 2479 gbk/m 2 (Kuriandewa 2009) Transplantasi lamun Transplantasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki atau mengembalikan habitat yang telah mengalami kerusakan (Azkab 1999). Transplantasi adalah memindahkan dan menanam di tempat lain, mencabut, dan memasang pada tanah lain atau situasi lain (Bethel 1961 in Azkab 1999). Menurut Lewis (1987) in Calumpong dan Fonseca (2001) restorasi adalah mengembalikan kondisi seperti sebelumnya dari gangguan atau mengganti dengan yang baru. Beberapa kriteria yang dibutuhkan untuk memilih lokasi restorasi (transplantasi) lamun yang jauh dari lokasi asli dan mengalami kerusakan, sebagai berikut : 1) Memiliki kedalaman yang serupa dengan daerah donor, 2) Memiliki sejarah pertumbuhan lamun, 3) Tidak ada gangguan dari aktivitas manusia dan gangguan lain, 4) Tidak ada gangguan reguler badai dan transpor sedimen, 5) Tidak mengalami rekolonisasi alami yang cepat dan meluas dari lamun lainnya, 6) Transplantasi lamun telah berhasil ditempat serupa, 7) Terdapat tempat yang cukup untuk mendukung kegiatan transplantasi, 8) Memiliki kualitas habitat yang serupa dengan daerah donor Teknik transplantasi lamun Secara garis besar teknik transplantasi lamun di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu dengan mempergunakan jangkar dan yang tidak mempergunakan jangkar (Phillips 1994 in Kiswara 2004).

28 13 1) Teknik transplantasi lamun tanpa jangkar Teknik ini termasuk menanam tanaman yang lengkap dengan substratnya dan tanaman yang telah dibersihkan dari substratnya. Beberapa teknik penanaman lamun tanpa jangkar adalah turfs, plugs, dan biji. 2) Teknik transplantasi lamun dengan menggunakan jangkar Teknik ini bertujuan untuk menghindari tanaman hanyut terbawa arus. Cara penanaman lamun dengan menggunakan jangkar, yaitu: tunas tunggal diikat dengan karet gelang pada sepotong kawat atau besi, dibawa ke lokasi penanaman, menggali lubang dan setelah itu ditanam dan ditutupi dengan sedimen. Salah satu teknik penanaman lamun dengan menggunakan jangkar adalah TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame system). 3) Metode Peat Pot (Calumpong dan Fonseca 2001) Metode peat pot merupakan metode transplantasi lamun yang menggunakan wadah dalam kegiatan penanaman, wadahnya ini dapat berbentuk kotak ataupun bulat dan akan terdegradasi secara alami, berukuran 8 x 8 cm (Fonseca et al. 1994). Dengan menggunakan metode ini lamun donor diambil dari daerah yang memiliki kepadatan lamun yang tinggi dengan menggunakan corer ataupun cangkul. Pada saat penanaman pot lubang dipersiapkan terlebih dahulu, kemudian pot dibenamkan ke dalam lubang tersebut sedemikian rupa sehingga terkubur dalam substratnya yang kokoh. Penggunaan corer dimaksudkan agar seluruh bagian lamun beserta substratnya dapat terangkat secara utuh Parameter yang mempengaruhi pertumbuhan lamun Suhu Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Perubahan suhu air dapat mempengaruhi proses-proses biokimia, fotosintesis dan pertumbuhan lamun, menentukan ketersediaan unsur hara, penyerapan unsur hara, respirasi, panjang daun dan faktor-faktor fisiologis serta ekologis lainnya. Lamun dapat mentolerir suhu perairan antara o C, tetapi suhu optimum untuk fotosintesis lamun berkisar 28-

29 14 30 o C (Phillips dan Menez 1988). Pada suhu di atas 45 o C lamun akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie 2008) Salinitas Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun akan mengalami kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian apabila berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada kisaran salinitas (Hemminga dan Duarte 2000), dan dapat bertahan hidup pada daerah estuari, perairan tawar, perairan laut, maupun di daerah hipersaline sehingga salinitas menjadi salah satu faktor distribusi lamun secara gradien (Mckenzie 2008). Thalassia dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas 24-35, namun dapat juga ditemukan hidup pada salinitas 3,5-60 dengan waktu toleransi yang singkat (Zieman 1986 in Hemminga dan Duarte 2000) Kedalaman Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Lamun hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik (Hemminga dan Duarte 2000). Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 meter. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis lamun di dalam air. Penyebaran lamun berbeda untuk setiap spesies sesuai dengan kedalaman air. Batas kedalaman sebagian besar spesiesnya adalah meter, tetapi pada perairan yang sangat jernih dapat dijumpai pada tempat yang lebih dalam (Hutomo 1987). Kiswara (1994) menyatakan untuk spesies lamun yang bersifat pionir (seperti Cymodoceae spp., Halodule spp., Syringodium spp.) cenderung tumbuh di bagian

30 15 perairan dangkal, sebaliknya spesies yang bersifat klimaks (seperti Pasidonia spp.), cenderung tumbuh pada perairan dalam karena hal ini berkaitan dengan rhizoma dan kebutuhan respirasi Kecerahan Kecerahanan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan lamun karena berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan dipengaruhi oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun di perairan pantai yang keruh (Hutomo 1997). Umumnya lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4-29% untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11% (Hemminga dan Duarte 2000) Substrat Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe subtrat, di Indonesia padang lamun dikelompokkan dalam 6 kelompok berdasarkan tipe substratnya, yaitu lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang (Kiswara 1997). Hampir semua jenis lamun dapat tumbuh pada berbagai substrat, kecuali pada Thalassodendron ciliatum yang hanya dapat hidup pada substrat karang batu (Kiswara 1997). Penyebaran horizontal padang lamun sangat dipengaruhi oleh karakteristik substrat dan kondisi gerakan air (Nybakken 1992). Semakin tipis substrat (sedimen) perairan akan menyebabkan kehidupan lamun tidak stabil, sebaliknya semakin tebal substrat perairan lamun akan tumbuh subur, yaitu berdaun panjang dan rimbun (padat), serta pengikatan dan penangkapan sedimen semakin tinggi (Zieman 1975). Penelitian mengenai dampak sedimentasi pada ekosistem padang lamun masih terbatas, terutama mengingat besarnya masalah di banyak daerah. Penelitian di Asia Tenggara telah mendokumentasikan kehilangan progresif biomassa spesies dan padang lamun sepanjang gradien endapan (Terrados et al in Hemminga dan Duarte 2000), yang dapat menyebabkan hilangnya spesies. Berdasarkan

31 16 urutannya, yaitu: Syringodium isoetifolium, Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, dan Enhalus acoroides. Padang lamun biasanya terbatas pada sedimen dengan kandungan lumpur < 15%. Hanya Enhalus acoroides yang mampu bertahan, meskipun terbatas pada perairan dangkal dan di lokasi yang sangat tertimbun lumpur. Sedimen lumpur dengan kandungan > 20% tidak memiliki penutupan lamun. Spesies yang dapat mentolerir endapan terbaik adalah Enhalus acoroides yang merupakan spesies terbesar dari berbagai jenis lamun, memiliki panjang daun hingga 2 meter. Hal ini memungkinkan untuk membawa daun dekat dengan permukaan air (Vermaat et al in Hemminga dan Duarte 2000) Derajat Keasaman (ph) Nilai ph didefenisikan sebagai logaritma negatif dari ion hidrogen. Nilai ph di lingkungan perairan laut relatif stabil dan berada pada kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,5-8,4 (Nybakken 1993). Batas toleransi organisme perairan terhadap ph bervariasi, tergantung kepada suhu, DO, dan tingkat stadium dari biota bersangkutan. Nilai ph dapat juga mengidentifikasi tingkat kesuburan perairan Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen dalam miligram yang terdapat dalam satu liter air (ppt). Oksigen terlarut umumnya berasal dari difusi udara melalui permukaan air, aliran air masuk, air hujan, dan hasil dari proses fotosintesis plankton atau tumbuhan air. Oksigen terlarut merupakan parameter penting karena dapat digunakan untuk mengetahui gerakan masssa air serta merupakan indikator yang peka bagi proses-proses kimia dan biologi. Sebagian oksigen terlarut ini dipakai untuk respirasi akar dan rimpang dan sisanya dikeluarkan melalui dinding sel ke sedimen (Oremland dan Murray 1977 in Kiswara 1995). Oksigen yang masuk ke dalam sedimen tersebut dipakai oleh bakteri nitrifikasi dalam proses siklus nitrogen di padang lamun (Iizumi dan Hattori 1980 in Kiswara 1995). Oksigen terlarut di dalam suatu perairan merupakan zat yang esensial bagi kehidupan, terutama mikroorganisme, ikan dan tumbuhan air. Oksigen digunakan

32 17 pada proses metabolisme dalam tubuh untuk pertumbuhan dan berkembang biak. Kandungan oksigen terlarut di perairan juga dapat dijadikan sebagai indikator pencemaran. Konsentrasi oksigen yang terlalu rendah akan menyebabkan kematian pada biota yang terdapat di air. Rendahnya kandungan oksigen disebabkan oleh pesatnya aktivitas bakteri dalam menguraikan bahan organik di perairan. Disamping itu oksigen juga dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Boyd 1982) Nutrien Ketersediaan nutrient menjadi faktor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih (Hutomo 1997). Ketersediaan zat hara (nutrien) di perairan padang lamun dapat berperan sebagai faktor pembatas pertumbuhannya (Hillman et al in Zulkifli 2000). Padang lamun yang tumbuh pada sedimen kapur, unsur hara fosfat dapat bertindak sebagai faktor pembatas pertumbuhannya, karena terikat kuatnya oleh partikel-partikel sedimennya. Selain itu ketersediaan nitrat di perairan diduga sebagai pembatas pertumbuhannya (Moriarty dan Boon 1989 in Zulkifli 2000). Dengan demikian, efisiensi daur nutrisi dalam sistemnya akan menjadi sangat penting untuk memelihara produktivitas primer lamun dan perifiton sebagai organisme autotrofnya (Hillman et al in Zulkifli 2000). Peningkatan kandungan nitrogen bersama-sama dengan fosfor akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air. Senyawa fosfat dalam perairan dapat berasal dari sumber alami seperti erosi tanah, buangan dari hewan dan pelapukan dari tumbuhan atau dari laut sendiri. Menurut Saeni (1989), sumber-sumber fosfat di perairan juga berasal dari limbah industri, hancuran dari pupuk, limbah domestik, hancuran bahan organik dan mineral-mineral fosfat. Fosfat yang diserap oleh organisme nabati (mikro ataupun makrofita) berbentuk orthofosfat yang terlarut dalam air atau asam lemak (Alaerts dan Santika 1984).

33 18 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010-Mei 2011 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pengamatan terhadap komunitas lamun di kawasan rehabilitasi dilakukan pada bulan Juni 2010, September 2010, Januari 2011, dan Mei Pulau Pramuka dan Pulau Harapan merupakan pulau dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Lokasi rehabilitasi Pulau Pramuka berada di bagian timur pulau, dimana lokasi ini berdekatan dengan tempat pembuangan akhir (TPA), pengerukan pasir untuk pembangunan, dan beberapa titik pembuangan limbah rumah tangga. Lokasi rehabilitasi Pulau Harapan berdekatan dengan pemukiman penduduk, sehingga memungkinkan adanya pengaruh masukan limbah domestik. Tabel 1. Posisi geografis lokasi rehabilitasi Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Lokasi Rehabilitasi Lintang Bujur Pulau Pramuka 05 o 44 44,5 LS 05 o 44 44,9 LS 05 o 44 44,4 LS 05 o 44 44,8 LS 05 o 44 44,5 LS 05 o 44 44,1 LS 106 o 36 59,4 BT 106 o 37 00,7 BT 106 o 37 00,9 BT 106 o 36 59,8 BT 106 o 37 01,2 BT 106 o 37 00,1 BT Pulau Harapan 05 o 39 13,9 LS 05 o 39 15,3 LS 05 o 39 14,0 LS 05 o 39 15,5 LS 05 o 39 14,2 LS 05 o 39 15,7 LS 106 o 34 31,2 BT 106 o 34 31,1 BT 106 o 34 32,2 BT 106 o 34 32,0 BT 106 o 34 33,2 BT 106 o 34 32,9 BT

34 Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan 19

35 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang dipergunakan dalam pengukuran parameter fisika, kimia, biologi pada saat pengamatan dan selama proses transplantasi dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Parameter Alat dan Bahan Satuan Keterangan Fisika Suhu Termometer o C Insitu Salinitas Hand Refraktometer PSU Insitu Kecerahan Visual % Insitu Kedalaman Tongkat berskala cm Insitu Tekstur substrat PVC Corer % Analisis Laboratorium Tanah ph Kertas indikator ph - Insitu Kimia Oksigen terlarut (DO) Pereaksi DO mg/l Insitu (Titrasi Winkler) Nitrat Spektrofotometer mg/l Analisis Lab. Produktivitas Lingkungan MSP Orthophospat Spektrofotometer mg/l Analisis Lab. Produktivitas Lingkungan MSP C-organik PVC Corer - Analisis Laboratorium Tanah Biologi Biomassa lamun Timbangan digital, oven gbk/m 2 Analisis Lab. Produktivitas Lingkungan MSP Penutupan lamun % Insitu Rol meter, penggaris, pensil, kertas Komposisi jenis newtop, kamera underwater, % Insitu lamun masker, snorkel, meteran jahit Penutupan epifit % Insitu Lain-lain Posisi stasiun Pertumbuhan lamun Polybag, Corer, kertas newtop, tagging, pasak, masker, snorkel, meteran jahit, pensil Insitu Insitu

36 Penentuan Posisi Stasiun Lokasi penelitian mengenai struktur komunitas lamun dilakukan pada kawasan rehabilitasi dengan luas 50 x 50 m 2. Kawasan rehabilitasi ini merupakan lokasi monitoring permanen yang terdapat di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Penentuan stasiun untuk transplantasi ditentukan berdasarkan kondisi kawasan yang memiliki padang lamun akan tetapi telah mengalami kerusakan. Pengamatan kondisi komunitas lamun dilakukan dengan menetapkan tiga transek garis (metode seagrass watch), sedangkan untuk kegiatan transplantasi lamun dilakukan di sekitar kawasan rehabilitasi Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Suhu Suhu perairan diukur menggunakan termometer air raksa dengan cara dicelupkan kedalam perairan, kemudian suhu dilihat di dalam perairan untuk mencegah berubahnya suhu apabila pengukuran dilakukan di luar air. Pengamatan ini dilakukan sebanyak tiga kali ulangan pada tiap stasiun Salinitas Dalam pengukuran salinitas alat yang digunakan berupa refraktrometer. Pertama yang dilakukan adalah refraktrometer dikalibrasi dengan menggunakan akuades serta dibersihkan dengan tisu. Sampel air laut disiapkan dan diteteskan pada alat serta dilihat nilai S pada jendela refraktrometer kemudian dicatat nilainya. Pengukuran salinitas dilakukan sebanyak tiga kali ulangan Kedalaman Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan tongkat berskala pada setiap transek kuadrat dengan satuan cm. Tongkat dicelupkan ke dalam perairan sampai menyentuh, lalu diperoleh nilai kedalaman.

37 Kecerahan Kecerahan perairan biasanya diukur secara visual dengan menggunakan secchi disk. Namun karena perairan termasuk dangkal dan masih dapat terlihat sampai ke dasar, maka kecerahan perairan diukur secara visual dengan mengamati kondisi perairan sampai ke dasar Substrat Pengambilan substrat dilakukan dengan menggunakan corer yang berdiameter 10 cm, kemudian sampel substrat yang didapatkan dimasukkan kedalam plastik sampel yang sudah diberi nomor dan dianalisis nilai kandungan C-organik dan ukuran partikel di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Derajat Keasaman (ph) Pengukuran ph dilakukan satu kali setiap stasiun dengan menggunakan kertas indikator ph yang dicelupkan ke dalam perairan, setelah itu warna yang muncul dicocokkan dengan warna standar yang sudah mempunyai nilai baku Oksigen terlarut Oksigen terlarut diukur dengan metode titrasi winkler di lapangan. Ambil sampel air dengan menggunakan botol BOD, lalu ditambahkan 1 ml MnSO 4 dan diaduk sampai larut serta ditambahkan 1 ml NaOH+KI kemudian diaduk hingga terbentuk endapan cokelat sempurna. Setelah itu ditambahkan 1 ml H 2 SO 4 pekat ke dalam larutan hingga endapan tersebut larut selanjutnya diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer serta dititrasi dengan Na-Thiosulfat hingga berwarna kuning muda. Kemudian ditambahkan amilum hingga berwarna biru dan dititrasi kembali dengan menggunakan Na-Thiosulfat hingga warnanya kembali bening. Nilai oksigen terlarut dapat dihitung dengan menggunakan rumus : mg O 2 /L = ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( ) ( )

38 Nutrien Sampel air laut diambil dengan menggunakan botol sampel, kemudian dimasukkan kedalam coolbox untuk menghindari terjadinya perubahan kandungan nitrat dan orthofosfat di dalam air tesebut. Kandungan nitrat dan orthofosfat perairan dianalisis dengan menggunakan metode spektrofotometrik. Analisis dilakukan di Laboratorium Produktifitas dan Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Prosedur analisis nitrat dan orthofosfat dapat dilihat pada Lampiran Metode Pengambilan Data Pengamatan status komunitas lamun Pengamatan status komunitas lamun menggunakan metode Seagrass Watch (McKenzie dan Yoshida 2009). Metode ini menggunakan transek kuadrat berukuran 50 x 50 cm 2 pada area pengamatan yang berukuran 50 x 50 m 2. Pengamatan dilakukan setiap 5 m pada tiga transek garis sepanjang 50 m masing-masingnya yang tegak lurus dari pantai ke arah laut dan berjarak 25 m dari masing-masing transek garis (Gambar 4). Pengamatan status kawasan meliputi identifikasi jenis lamun, persen penutupan lamun, substrat dasar, estimasi komposisi jenis lamun, tinggi kanopi, kedalaman perairan, tutupan alga, tutupan epifit, dan biomassa lamun.

39 24 Gambar 4. Rancangan pengumpulan data komunitas lamun Metode Transplantasi Lamun Transplantasi lamun yang diujicobakan di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan menggunakan metode Polybags (PKSPL 2009) dan metode Spring anchor. Metode Polybags merupakan modifikasi metode Peat pot (Calumpong dan Fonseca 2001) yaitu dengan menggunakan plastik hitam (polybags). Sedangkan penanaman metode Spring anchor ditanam dengan cara menggali sebuah lubang kecil pada substrat yang dalamnya ± 30 cm, kemudian ditutup dengan substrat yang sama. Bibit lamun yang digunakan untuk transplantasi diperoleh dari area lamun dengan kondisi sehat dan penutupan yang tinggi serta tidak jauh dari lokasi penanaman. Jenis bibit lamun yang dipilih untuk transplantasi metode Polybags adalah jenis lamun yang banyak ditemukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, dan Cymodocea rotundata. Ketiga jenis ini mudah diamati dan tumbuh secara alami. Sedangkan jenis bibit

40 25 lamun yang dipilih untuk transplantasi metode Spring anchor adalah Enhalus acoroides Metode Pengukuran Pertumbuhan Lamun Pengamatan pertumbuhan unit transplantasi lamun meliputi tingkat kelangsungan hidup unit transplantasi lamun, pertumbuhan jumlah tegakan dan jumlah daun. Laju pertumbuhan daun lamun dihitung dengan menghitung pertumbuhan mutlak daun berdasarkan metode penandaan (marking method). Metode panandaan ini didasarkan pada penandaan atau pelubangan daun lamun. Kemudian daun lamun dipilih secara acak, pada lamun-lamun terpilih dilakukan pelubangan mulai dari titik awal daun mulai muncul dan diberi penomoran untuk memudahkan pengamatan berikutnya Biomassa Lamun Sampel biomassa lamun diambil dari 3-5 titik di setiap transek kuadrat dengan menggunakan corer berdiameter 10 cm, disimpan dalam plastik sampel dan diberi nomor. Sampel bagian atas dan bagian bawah permukaan substrat dipisahkan, selanjutnya dilakukan pengovenan 110 o C selama 2 jam untuk menghilangkan kadar airnya dan didapatkan berat kering Analisis Data Status komunitas lamun Pengamatan status komunitas lamun terdiri dari penutupan jenis lamun (%) dan frekuensi jenis lamun. Penutupan jenis lamun merupakan persentase tutupan lamun dalam titik contoh yang diamati. Pengukuran penutupan jenis lamun yaitu membandingkan persentase tutupan lamun yang diamati dengan lembaran persentase tutupan lamun standar. Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya suatu jenis lamun dalam titik contoh yang diamati. Frekuensi masingmasing jenis lamun pada setiap stasiun dihitung dengan menggunakan rumus (Brower et al. 1997) : Fi Pi p i 1 P

41 26 Keterangan : Fi Pi P = Frekuensi jenis ke-i = Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis ke-i = Jumlah total petak contoh yang diamati Tingkat Keberhasilan Unit Transplantasi Analisis data tingkat keberhasilan lamun transplantasi berupa analisis komparatif, yakni membandingkan data tingkat keberhasilan (survival rate) dengan menggunakan metode polybags setiap bulan pengamatan di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan, Kepulauan seribu. SR Nt No x100% Keterangan : SR = Tingkat keberhasilan (%) Nt = Jumlah unit transplantasi pada waktu t (bulan) No = Jumlah unit transplantasi pada waktu awal atau t = Pertumbuhan dan Perkembangan Lamun Laju pertumbuhan daun lamun dihitung menggunakan rumus : Lt Lo Pertumbuhan t Keterangan : Lo = Panjang daun pada pengukuran awal (mm) Lt = Panjang daun setelah waktu t (mm) t = Selang waktu pengukuran (hari) Biomassa Lamun Biomassa lamun dihitung dengan menggunakan berat kering lamun dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Azkab 2008). W B A Keterangan : B = Biomassa lamun (gram/m 2 ) W = Berat kering (gram) A = Luas area (m 2 )

42 Analisis Komponen Utama/Principal Component Analysis (PCA) Analisis komponen utama (PCA) merupakan metode statistik deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan dalam bentuk grafik model (model matematika) suatu informasi maksimum dari matriks data (Jongman et al in Kopalit 2010). Tujuan digunakannya analisis komponen utama dalam suatu matriks data yang berukuran besar adalah (Bengen 2000): a) Mengekstraksi informasi penting yang terdapat dalam suatu tabel/matriks data yang besar b) Menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi c) Mempelajari suatu tabel/matriks data dari sudut pandang kemiripan antara individu dan hubungan antar variabel. Analisis komponen utama (PCA) ini mengkaji beberapa variabel seperti parameter fisika-kimia perairan, persen penutupan lamun, komposisi jenis lamun, lokasi dan waktu pengamatan, biomassa lamun, dan metode transplantasi.

43 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Fisika-Kimia Perairan Kondisi lingkungan perairan sangat mempengaruhi kelangsungan hidup biota perairan tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengamatan lingkungan perairan dengan mengukur nilai kualitas perairan tersebut, meliputi parameter fisika dan kimia. Nilai-nilai parameter fisika-kimia perairan di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Parameter Baku Kriteria Pulau Pulau Mutu *) Habitat Pramuka Harapan Fisika Suhu ( 0 C) ) Kedalaman (cm) Kecerahan (%) Kimia Salinitas (PSU) ) ph 7-8,5 7,8-8,5 1) 7,5-8,0 7,5 DO (mg/l) >5-9,64 7,63-9,64 Nitrat (mg/l) 0,008-0,088-0,249 0,060-0,176 Orthofosfat (mg/l) 0,015-0,018-0,041 0,010-0,049 Sumber : *) Baku mutu air aut untuk biota laut (KepMen LH No. 51 Tahun 2004) (Lampiran 4) 1) Phillips dan Menez (1988) 2) Heminga dan Duarte (2000) Parameter Fisika a. Suhu Suhu perairan yang terukur pada Pulau Pramuka berkisar antara o C dan pada Pulau Harapan berkisar antara o C. Suhu perairan berkaitan erat dengan intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Kisaran suhu pada Pulau Pramuka lebih besar, hal ini disebabkan karena pengukuran suhu di Pulau Pramuka dilakukan pada siang hari dimana intensitas cahaya matahari sangat tinggi, sedangkan di Pulau Harapan dilakukan pada pagi hari. Lamun dapat

44 29 mentolerir suhu perairan antara o C, tetapi suhu optimum untuk fotosintesis lamun berkisar o C (Phillips dan Menez 1988). Jadi kisaran suhu pada saat penelitian berada pada kisaran yang optimum bagi tumbuhan lamun untuk berfotosintesis. b. Kedalaman Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Kedalaman perairan di Pulau Pramuka berkisar antara cm, dan pada Pulau Harapan berkisar antara cm. Hal ini menunjukkan bahwa lamun hidup pada kawasan dengan penetrasi cahaya yang masih baik, karena daerah perairan dangkal dan kurang 40 meter (Hemminga dan Duarte 2000). Namun Kisaran kedalaman pada perairan Pulau Harapan yang mencapai 128 cm, menyebabkan lamun sulit melakukan proses fotosintesis secara optimal. Hal ini terjadi karena kondisi perairan Pulau Harapan yang agak keruh, sehingga lamun yang tumbuh lebih sedikit jika dibandingkan dengan Pulau Pramuka. Semakin keruh suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis lamun di dalam air. Penyebaran lamun berbeda untuk setiap spesies sesuai dengan kedalaman air. c. Kecerahan Kecerahan perairan di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan adalah sebesar 100%, hal ini karena lokasi penelitian berada pada perairan yang dangkal dan termasuk zona intertidal. Rata-rata kedalaman perairan di Pulau Pramuka adalah 62 cm dan 63 cm pada Pulau Harapan. Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor pembatas yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan lamun. Hal ini dikarenakan lamun membutuhkan perairan dengan kecerahan tinggi agar cahaya matahari dapat menembus sampai ke dasar perairan, sehingga tumbuhan lamun dapat melakukan fotosintesis. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun di perairan pantai yang keruh (Hutomo 1997).

45 30 d. Substrat Jenis substrat terdiri dari tiga komposisi, yaitu pasir, debu dan liat. Dominasi salah satu dari ketiga komposisi tersebut menentukan tipe substrat suatu perairan. Hasil analisis di laboratorium menghasilkan nilai komposisi tekstur substrat dari masing-masing pulau dan nilai konsentrasi C-Organik dari substrat tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai komposisi tekstur dan kandungan C-Organik substrat Lokasi Pulau Pramuka Pulau Harapan Transek garis C-Organik (%) Tekstur (%) Pasir Debu Liat Tipe substrat 1 0,48 96,57 1,59 1,84 pasir 2 0,40 97,73 1,07 1,20 pasir 3 0,80 89,76 8,34 1,90 pasir 1 0,32 95,81 2,89 1,30 pasir 2 0,64 96,87 1,76 1,37 pasir 3 0,48 97,40 1,53 1,07 pasir Substrat di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan memiliki tipe substrat yang sama yaitu pasir. Namun ada perbedaaan komposisi tekstur (%) substrat di kedua pulau tersebut, sehingga terdapat perbedaan komposisi jenis lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan. Disamping itu, perbedaaan komposisi tekstur (%) ini juga dapat mempengaruhi kesuburan dan pertumbuhan lamun jenis yang sama. Menurut Kiswara (1994), perbedaaan komposisi ukuran butir pasir akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses dekomposisi dan mineralisasi yang terjadi di dalam substrat. Rata-rata kandungan C-Organik di Pulau Pramuka sebesar 0,56 % dan Pulau Harapan sebesar 0,48 %. Padang lamun menyerap karbon sebesar 0,012-1,33 m ton C per tahun (Campbell 2009). Dari semua jenis lamun Enhalus acoroides merupakan jenis yang dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang besar, hal ini dikarenakan struktur bawah tanah Enhalus acoroides besar (Campbell 2009).

46 Parameter Kimia a. Salinitas Nilai salinitas yang diukur pada Pulau Pramuka berkisar antara PSU, sedangkan pada Pulau Harapan salinitasnya sebesar 29 PSU. Menurut keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51 tahun 2004, baku mutu parameter salinitas bagi biota laut khususnya tumbuhan lamun berkisar antara PSU, namun nilai yang terukur berada jauh di bawah baku mutu. Perbedaan nilai salinitas ini disebabkan oleh faktor alam yaitu turunnya hujan sehingga mempengaruhi besarnya nilai salinitas di kedua pulau tersebut. Ada jenis lamun yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas (euryhaline) seperti jenis Thallassia hemprichii yang memiliki kisaran optimum untuk pertumbuhan antara PSU, sehingga jenis ini dapat bertahan hidup di lokasi pengamatan. b. Derajat Keasaman (ph) Nilai derajat keasaman (ph) hasil pengukuran pada Pulau Pramuka berkisar antara 7,5-8, sedangkan pada Pulau Harapan nilai derajat keasaman (ph) yang terukur adalah sebesar 7,5. Nilai ini sesuai dengan baku mutu Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu ph optimal intuk kisaran air laut adalah 7,5-8,5. Menurut Phillips dan Menez (1988), kisaran ph yang baik untuk lamun adalah pada saat ph air normal, yaitu 7,8-8,5 karena pada saat tersebut ion bikarbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis oleh lamun dalam keadaan melimpah. Sehingga dapat dikatakan bahwa perairan pada kedua pulau tersebut dapat mendukung kelangsungan hidup lamun. c. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO) adalah jumlah oksigen dalam miligram yang terdapat dalam satu liter air (ppt). Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas bagi makhluk hidup terutama bagi organisme laut yang tidak dapat memanfaatkan oksigen bebas secara langsung. Oleh karena itu, oksigen dalam air ditemukan dalam keadaan terlarut. Berdasarkan pengukuran di lapangan diperoleh kandungan oksigen terlarut dalam perairan Pulau Pramuka sebesar 9,64 mg/l, sedangkan pada Pulau Harapan sebesar 7,63-9,64 mg/l. Secara umum kandungan

47 32 oksigen terlarut pada kedua pulau telah memenuhi standar baku mutu air untuk biota laut yaitu > 5 mg/l, sesuai dengan KepMen LH No. 51 Tahun Kandungan oksigen terlarut yang tinggi merupakan indikasi aktifnya fotosintesis yang terjadi pada habitat lamun di kedua pulau tersebut. Kandungan oksigen di suatu perairan tidaklah pernah konstan. Oksigen secara terus menerus diproduksi oleh alga dan tumbuhan akuatik lainnya serta terdifusi oleh angin dan gelombang. Jumlah oksigen yang dapat diserap oleh perairan berbeda-beda tergantung pada suhu, mineralmineral terlarut yang ada di air dan elevasi suatu kawasan. d. Nutrien Salah satu ciri khas lamun yang membedakan dengan tumbuhan laut lainnya adalah kemampuan menyerap nutrien melalui daun, selain oleh akar. Lamun tidak memiliki stomata tapi digantikan oleh kehadiran kutikula yang tipis sehingga daun mampu mengabsorbsi nutrien secara langsung dari perairan. Nitrat dan ortofosfat merupakan salah satu bentuk bahan anorganik, dimana nitrat adalah turunan dari nitrogen sedangkan orthofosfat adalah turunan dari fosfor anorganik terlarut. Seperti telah diketahui bahwa fungsi nitrogen pada tumbuhan adalah memacu pertumbuhan dan sintesis asam amino dan protein namun karena lamun adalah tumbuhan air maka nitrogen harus diubah menjadi bentuk anorganik berupa nitrat dan amonium supaya dapat dimanfaatkan. Kandungan nutrien pada Pulau Pramuka cenderung lebih tinggi dari pada Pulau Harapan. Hal ini yang menyebabkan pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Pramuka lebih tinggi karena lamun mendapatkan pasokan unsur hara yang cukup. Nitrat Besarnya kandungan nitrat di kolom perairan Pulau Pramuka berkisar 0,088-0,249 mg/l, sedangkan di Pulau Harapan sebesar 0,060-0,176 mg/l. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan baku mutu yaitu 0,008 mg/l (KepMen LH No. 51 Tahun 2004). Sehingga kebutuhan lamun untuk membentuk biomassanya dapat terpenuhi dengan kandungan nitrat di kolom perairan yang mencukupi. Kandungan nitrat di Pulau Harapan lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Pramuka.

48 33 Perbedaan nilai ini diduga karena kondisi perairan tiap pulau berbeda. Dalam perairan, nitrat yang lebih banyak dimanfaatkan adalah dalam bentuk nitrat anorganik maupun molekuler, nitrat berperan penting dalam daur nutrien di perairan (Romimohtarto dan Juwana 2001). Menurut McKenzie dan Yoshida (2009), di wilayah pesisir faktor pembatas utama untuk lamun adalah nitrogen. Orthofosfat Orthofosfat digunakan oleh tumbuhan lamun dalam proses fotosintesis dan respirasi. Nilai orthofosfat di kolom perairan Pulau Pramuka sebesar 0,018-0,041 mg/l dan Pulau Harapan terhitung sebesar 0,010-0,049 mg/l. Kedua pulau ini memiliki kandungan orthofosfat dikolom perairan yang lebih besar dari nilai baku mutu. Tingginya konsentrasi orthofosfat dalam kolom perairan dapat menjadi faktor pembatas pertumbuhan lamun, dan menjadi indikator bahwa perairan pada kedua pulau tergolong tercemar berupa limbah atau buangan rumah tangga. Menurut Saeni (1989), sumber-sumber fosfat di perairan berasal dari limbah industri, hancuran dari pupuk, limbah domestik, hancuran bahan organik dan mineral-mineral fosfat Status Komunitas Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Komunitas lamun Pulau Pramuka Komunitas lamun di Pulau Pramuka dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini. Tabel 5. Komunitas lamun di Pulau Pramuka Bulan Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Mei 2011 Transek Garis n Penutupan Lamun (%) Komposisi Spesies Lamun (%) Rata-rata SD Th Cr Cs Ea Hu Hp ,18 ± 14,84 10,91 5,91 16,82 5,45-0, ,64 ± 13,06 10,36-4,82 5,27-3, ,00 ± 19,36 5,91 3,64 9,09 0,45-0, ,27 ± 31,73 43,18 0,82 9,55 0,45-2, ,82 ± 16,62 10,27-7,27 7,27-2, ,45 ± 31,74 22,27 1,82 7,27 10,00-4, ,00 ± 16,58 12,45-15,91 2,82-3, ,55 ± 14,40 14,55-10,18 1,36 4,09 0, ,09 ± 25,48 10,91-12,73 9,55-0, ,18 ± 13,09 8,18 5,36 11,73 1,00 0,09 0, ,00 ± 5,48 9,09 8,64 8,18 1,82-2, ,27 ± 12,92 6,64 2,45 5,45 1,36 0,91 0,45

49 34 Keterangan : n = Jumlah transek kuadrat Th = Thalassia hemprichii Cr = Cymodocea rotundata Cs = Cymodocea serrulata SD = Standar deviasi Ea = Enhalus acoroides Hu = Halodule uninervis Hp = Halodule pinifolia a. Persen penutupan jenis lamun Pulau Pramuka Persentase tutupan nilai proporsi hamparan lamun yang menutupi substratnya dinilai berdasarkan persentase kenampakan lamun dibandingkan dengan kenampakan substratnya. Penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun menutupi suatu kawasan tertentu yang dipengaruhi oleh kepadatan jenis dan ukuran morfologi daun lamun itu sendiri. Dari tiga transek garis yang diamati dapat diketahui nilai persen penutupan lamun dari transek garis 1 sampai transek garis 3 memiliki nilai yang berbeda-beda. 70 Penutupan lamun (%) Transek Garis Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Mei 2011 Gambar 5. Rata-rata penutupan lamun di Pulau Pramuka (%) Gambar 5 menunjukkan bahwa penutupan lamun tertinggi terdapat pada transek garis 1 dan 3, pada bulan September 2010 sebesar 57,27% dan 45,45%, sedangkan pada transek garis 2 penutupan lamun tertinggi terdapat di bulan Mei 2011 sebesar 30,00%. Perbedaan nilai ini diduga akibat perbedaan kondisi substrat setiap transek, pola distribusi dan ketersediaan nutrien pada masing-masing lokasi pengamatan. Dari grafik di atas juga dapat diketahui bahwa pada transek garis 2 terjadi peningkatan kadar penutupan lamun setiap bulannya. Penutupan lamun terendah terdapat pada transek garis 3 yaitu pada bulan Mei 2011 sebesar 17,27%.

50 35 Tabel 6. Rata-rata persentase penutupan setiap jenis lamun di Pulau Pramuka No Jenis LT1 (%) LT2 (%) LT3 (%) 1 Thalassia hemprichii 18,68 11,07 11,43 2 Cymodocea rotundata 3,02 2,16 1,82 3 Cymodocea serrulata 13,50 7,61 9,70 4 Enhalus acoroides 2,43 3,93 6,67 5 Halodule uninervis - 1,02-6 Halodule pinifolia 2,00 2,05 1,97 Total 39,64 27,84 31,58 Terdapat perbedaan persen penutupan masing-masing jenis lamun di setiap transek garis yang ada di Pulau Pramuka. Dari semua jenis yang teramati di Pulau Pramuka, Thalassia hemprichii memiliki nilai persen penutupan yang paling besar baik itu di transek garis 1, 2 maupun 3. Persen penutupan jenis lamun Thalassia hemprichii memiliki nilai tertinggi sebesar 18,68% pada transek garis 1, kemudian diikuti dari jenis Cymodocea serrulata sebesar 13,50% pada transek garis 1. Kedua jenis lamun ini merupakan jenis lamun yang paling banyak ditemukan di lokasi pengamatan Pulau Pramuka. Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam putusannya No. 200 Tahun 2004 menetapkan kriteria baku kerusakan padang lamun sebagai berikut: Tingkat kerusakan tinggi : luas area kerusakan 50% Tingkat kerusakan sedang : luas area kerusakan 30-49,9% Tingkat kerusakan rendah : luas area kerusakan 29,9% Sementara itu status padang lamun berdasarkan persen penutupan ditetapkan sebagai berikut : Kondisi baik : kaya/sehat 60% Kondisi kurang : kurang kaya/kurang sehat 30-59,9% Kondisi rusak : miskin 29,9% Kondisi komunitas lamun di Pulau Pramuka dapat dikatakan memiliki kondisi kurang kaya/sehat pada transek garis 1 dan transek garis 3 dan tergolong miskin pada stasiun 2. Hal ini sesuai dengan kriteria status padang lamun yang dinyatakan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun.

51 36 b. Komposisi jenis lamun Pulau Pramuka Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Pulau Pramuka ditemukan enam spesies lamun yang termasuk kedalam dua famili yaitu Hydrocharitaceae dan Cymodoceae. Keenam spesies tersebut adalah Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, dan Halodule pinifolia (Gambar 6). Transek Garis 1 Transek Garis 2 Cs 34% Ea 6% Hp 5% Th 47% Ea 14% Hu 4% Hp 7% Cs 27% Th 40% Cr 8% Cr 8% Transek Garis 3 Ea 21% Hp 6% Th 36% Cs 31% Cr 6% Gambar 6. Rata-rata komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Pramuka Keberadaan keenam spesies tersebut tidak merata dan tidak semuanya terdapat pada setiap transek garis. Ada lima spesies lamun yang dapat ditemukan disemua stasiun pengamatan yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides dan Halodule pinifolia. Sedangkan spesies lamun Halodule uninervis hanya ditemukan pada transek garis 2.

52 37 Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada ketiga transek garis terdapat perbedaan komposisi jenis lamun yang ditandai dengan penyebaran jenis lamun yang tidak merata. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti kandungan nutrien pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik-titik tertentu dimana tersedia nutrien yang mencukupi dan dilihat dari pola penyebaran jenis lamun, kemudian arah dan kecepatan arus mempengaruhi keberadaan beberapa jenis lamun karena ada jenis lamun yang dapat beradaptasi dengan kondisi arus yang cukup besar dan ada yang tidak, hal ini juga mempengaruhi pola penyebaran dari lamun itu sendiri (Dwindaru 2010). Pada transek garis 1 dan transek garis 3 ditemukan lima spesies lamun, sedangkan pada transek garis 2 ditemukan enam spesies lamun. Ketiga transek garis didominasi oleh jenis lamun Thalassia hemprichii. Pada transek garis 2 jenis lamun yang ditemukan lebih beragam yaitu sebanyak enam spesies dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Keberagaman spesies lamun pada transek garis 2 ini dapat disebabkan oleh kondisi perairan yang lebih terlindung dari perubahan lingkungan dibandingkan dengan stasiun lainnya. Lamun-lamun pada stasiun ini dapat tumbuh dan berkembang lebih optimal. Zonasi sebaran lamun di Pulau Pramuka dapat dikatakan tergolong vegetasi campuran karena lebih dari satu jenis lamun yang ditemukan. Dari keenam jenis lamun yang ditemukan, sebaran lamun di pulau ini termasuk kedalam tipe jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut (Kiswara 1992) bahwa sebaran lamun dapat dikelompokan berdasarkan genangan air atau kedalaman. c. Frekuensi Jenis Lamun Pulau Pramuka Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya suatu jenis lamun dalam suatu kawasan yang diamati. Nilai frekuensi masing-masing jenis lamun yang diamati dapat dilihat pada Tabel 7.

53 38 Tabel 7. Rata-rata frekuensi jenis lamun di Pulau Pramuka No Jenis LT1 (%) LT2 (%) LT3 (%) 1 Thalassia hemprichii 0,86 0,95 0,66 2 Cymodocea rotundata 0,32 0,18 0,16 3 Cymodocea serrulata 0,86 0,68 0,61 4 Enhalus acoroides 0,18 0,39 0,32 5 Halodule uninervis 0,02 0,07 0,05 6 Halodule pinifolia 0,27 0,43 0,18 Rata-rata 0,42 0,45 0,33 Dari Tabel 7 diketahui bahwa spesies Thalassia hemprichii memiliki nilai frekuensi jenis yang lebih tinggi jika dibandingkan jenis lain pada transek garis 2 dan 3. Namun pada transek garis 1 frekuensi jenis Thalassia hemprichii memiliki nilai yang sama dengan Cymodocea serrulata. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa spesies Thalassia hemprichii memilki peluang besar untuk ditemukan di semua transek garis karena memiliki nilai frekuensi yang tertinggi. Sedangkan spesies Halodule uninervis juga berpeluang rendah untuk ditemukan pada setiap transek garis karena memiliki nilai frekuensi yang sangat rendah. Hasil pengamatan di atas sesuai dengan hasil penelitian Dwintasari (2009) yang menyatakan bahwa lamun jenis Thalassia hemprichii mempunyai pengaruh yang paling besar dibandingkan jenis lamun lainnya, karena lamun jenis ini paling banyak dijumpai hampir di seluruh tipe perairan dan sangat baik tumbuh di kondisi perairan Pulau Pramuka yang dangkal dan terbuka saat surut. Disamping itu, Rohmimohtarto dan Juwana (2001) juga menyatakan bahwa Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang memiliki daya tahan yang baik terhadap pencemaran. Hal ini menandakan jenis Thalassia hemprichii adaptif terhadap gangguan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran. d. Tinggi Kanopi Lamun Pulau Pramuka Tinggi kanopi lamun selama pengamatan di Pulau Pramuka dapat dilihat pada Tabel 8 berikut.

54 39 Tabel 8. Tinggi kanopi lamun di Pulau Pramuka Bulan Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Mei 2011 Transek Tinggi kanopi (cm) n Garis Rata-rata SD Minimal Maksimal ,85 ± 14,26 7,2 54, ,41 ± 17,01 5,3 65, ,97 ± 6,08 5,0 17, ,05 ± 3,53 5,2 14, ,31 ± 3,26 4,2 14, ,65 ± 10,76 6,7 32, ,91 ± 4,62 5,7 15, ,09 ± 3,03 6,5 16, ,64 ± 15,31 8,0 51, ,03 ± 5,82 9,2 22, ,31 ± 3,90 8,2 22, ,39 ± 6,51 10,0 17,5 : Jumlah transek kuadrat Keterangan : n SD : Standar deviasi Tinggi kanopi didefinisikan sebagai tinggi di atas dasar permukaan laut, yaitu 80% dari tunas lamun (Duarte 2001). Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa ratarata tinggi kanopi yang diperoleh bervariasi. Pada transek garis 1 dan 2, kanopi paling tinggi terdapat pada bulan Juni 2010 dan yang paling rendah pada bulan September 2010, sedangkan pada transek garis 3 kanopi paling tinggi terdapat pada bulan Januari 2011 dan yang terendah terdapat pada bulan Juni Tinggi maksimal dan minimal kanopi yang dapat dicapai lamun berbeda-beda tergantung jenisnya. e. Persen penutupan epifit pada lamun Pulau Pramuka Epifit pada lamun adalah seluruh organisme autotrofik yang tinggal menetap di bawah permukaan (air) yang menempel pada rhizoma, batang dan daun lamun. Epifit merupakan produsen primer yang penting dalam ekosistem lamun dan memberikan konstribusi yang signifikan dalam rantai makanan. Konstribusi epifit bisa mencapai lebih dari 50% dalam rantai makanan di padang lamun (Borowitzka et al. 2006). Meningkatnya produksi dan biomassa algae epifit yang menempel pada daun lamun merupakan dampak perubahan iklim pada ekosistem lamun.

55 40 Tabel 9. Persen penutupan epifit lamun di Pulau Pramuka Bulan Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Mei 2011 Transek Penutupan Epifit (%) n Garis Rata-rata SD Minimal Maksimal ,91 ± 24, ,55 ± 31, ,73 ± 23, ,82 ± 26, ,82 ± 17, ,00 ± 36, ,00 ± 22, ,18 ± 21, ,55 ± 26, ,91 ± 28, ,18 ± 26, ,09 ± 38, Keterangan : n : Jumlah transek kuadrat SD : Standar deviasi Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa rata-rata persen penutupan epifit pada pulau Pramuka bervariasi setiap bulannya. Pada transek garis 1 dan 2, persen penutupan tertinggi terdapat pada bulan Mei 2010 dan yang paling rendah pada bulan September 2010, sedangkan pada transek garis 3 persen penutupan tertinggi terdapat pada bulan September 2010 dan yang terendah terdapat pada bulan Juni Penutupan epifit pada lamun dikarenakan lamun memiliki substrat stabil dengan akses cahaya, nutrien dan pertukaran air. Kekayaan jenis dan variasi epifit lamun bergantung pada spesies, sebagaimana kondisi lingkungan dan tipe habitat (contohnya kedalaman) Komunitas lamun Pulau Harapan Komunitas lamun di Pulau Harapan berbeda dengan Pulau Pramuka. Hasil pengamatan komunitas lamun di Pulau Harapan dapat dilihat pada Tabel 10.

56 41 Tabel 10. Komunitas lamun di Pulau Harapan Bulan Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Transek Garis n Penutupan Lamun (%) Komposisi Spesies Lamun (%) Rata-rata SD Th Cr Cs Hu Hp ,45 ± 8,50 5, ,64 ± 2,34 3, ,00 ± 35,50 8,32-0,09 16, ,09 ± 11,58 8,00 0,45 0,45-0, ,27 ± 18,22 12,73-4, ,00 ± 31,38 7,73 11,55 10, ,73 ± 8,76 7, ,36 ± 13,62 8,45-2, ,36 ± 17,62 9,91-6, ,73 ± 2,61 2,64-0, Mei ,09 ± 7,35 2,82-1, ,09 ± 10,44 7,36 0,45 1,82-4,45 Keterangan : n = Jumlah transek kuadrat SD = Standar deviasi Th = Thalassia hemprichii Ea = Enhalus acoroides Cr = Cymodocea rotundata Hu = Halodule uninervis Cs = Cymodocea serrulata Hp = Halodule pinifolia a. Persen Penutupan Jenis Lamun Pulau Harapan 35 Penutupan Lamun (%) Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Mei Transek Garis Gambar 7. Rata-rata penutupan lamun di Pulau Harapan (%)

57 42 Pada Gambar 7 dapat dilihat nilai persen penutupan lamun pada tiga transek garis pengamatan di Pulau Harapan memiliki nilai yang berbeda-beda. Pada ketiga transek garis dapat dilihat bahwa nilai persen penutupan lamun tertinggi terdapat di bulan September Sedangkan nilai persen penutupan lamun terendah pada transek garis 1 dan 3 terdapat di bulan Mei 2011 dan pada transek garis 2 terdapat di bulan Juni Pada bulan Juni 2010-September 2010 terjadi peningkatan nilai persen penutupan lamun pada ketiga transek garis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Khotib (2010) dimana terjadi peningkatan nilai persen penutupan lamun di Pulau Harapan pada bulan Mei 2009-Oktober Namun terjadi penurunan nilai persen penutupan lamun yang dimulai dari bulan September 2010 sampai Mei 2011 pada ketiga transek garis. Penurunan nilai persen penutupan lamun ini dapat disebabkan oleh titik-titik tempat lamun itu tumbuh tidak memiliki kondisi yang sesuai agar dapat mendukung perkembangan dari lamun itu sendiri. Faktor-faktor kondisi tersebut diantaranya adalah tersedianya nutrien yang cukup, pola penyebaran lamun tersebut dan kondisi perairan sesuai dengan habitat lamun. Tabel 11. Rata-rata persentase penutupan setiap jenis lamun di Pulau Harapan No Jenis LT1 (%) LT2 (%) LT3 (%) 1 Thalassia hemprichii 5,95 6,91 8,33 2 Cymodocea rotundata 0,11-3,00 3 Cymodocea serrulata 0,14 2,07 4,77 4 Halodule uninervis - - 4,15 5 Halodule pinifolia 0,05-1,11 Total 6,25 8,98 21,36 Spesies lamun yang memiliki nilai persen penutupan yang tertinggi di Pulau Harapan adalah Thalassia hemprichii pada ketiga transek garis. Jenis lamun ini merupakan yang paling banyak ditemukan di lokasi pengamatan Pulau Harapan. Dilihat dari nilai persen penutupan, kondisi komunitas lamun Pulau Harapan termasuk dalam kondisi rusak berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun dengan nilai miskin 29,9%. Kerusakan ini terjadi karena adanya gangguan dari aktivitas manusia seperti penggerukan pasir, limbah organik dan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, sehingga menyebabkan nilai

58 43 persen penutupan lamun menurun dan hanya beberapa jenis lamun yang dapat bertahan. b. Komposisi jenis lamun Pulau Harapan Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Pulau Harapan ditemukan lima spesies lamun yang termasuk kedalam dua famili yaitu Hydrocharitaceae dan Cymodoceae. Kelima spesies tersebut adalah Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, dan Halodule pinifolia (Gambar 8). Keberadaan kelima spesies ini tidak merata dan tidak semuanya dapat tumbuh pada ketiga transek garis, biasanya tumbuh dalam kelompok-kelompok kecil. Spesies lamun yang dapat ditemukan di ketiga stasiun pengamatan adalah Thalassia hemprichii dan Cymodocea serrulata. Transek Garis 1 Cr Cs Hp 2% 2% 1% Transek Garis 2 Cs 23% Th 95% Th 77% Hu 20% Transek Garis 3 Hp 5% Th 39% Cs 22% Cr 14% Gambar 8. Rata-rata komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Harapan

59 44 Dari hasil pengamatan ketiga transek garis di Pulau Harapan terdapat perbedaaan komposisi jenis lamun (Gambar 8). Perbedaan komposisi jenis lamun ini disebabkan oleh penyebaran lamun yang tidak merata di kawasan tersebut dan tergabung dalam kelompok-kelompok kecil. Penyebaran lamun di Pulau Harapan ini tergolong vegetasi campuran karena terdapat lebih dari satu jenis lamun yang hidup bersama-sama dalam kawasan yang sama. Pada transek garis 1 ditemukan empat spesies lamun. Jenis lamun yang memiliki persen penutupan terbanyak dari jenis lainnya adalah Thalassia hemprichii sebesar 95%. Pada transek garis 2 hanya terdapat dua spesies lamun yang teramati. Jenis lamun yang terdapat di kawasan ini lebih sedikit dibanding transek garis lain. Persen penutupan lamun pada transek garis 2 juga di dominasi oleh jenis Thalassia hemprichii sebesar 77% dari total penutupan lamun dan sisanya oleh jenis Cymodocea serrulata sebesar 23%. Pada transek garis 3 merupakan stasiun yang ditemukan jumlah jenis paling banyak yaitu lima spesies lamun yang didominasi juga oleh jenis Thalassia hemprichii kembali dengan nilai persen penutupan sebesar 30%. Nilai penutupan terendah dimiliki oleh jenis Halodule pinifolia sebesar 5%. Pada ketiga transek garis diketahui bahwa Thalassia hemprichii merupakan spesies yang paling mendominasi kawasan tersebut dibandingkan spesies lain. Hal ini karena kawasan ini memiliki substrat dasar pasir yang merupakan habitat yang cocok untuk jenis ini (Khotib 2010). Menurut Kuriandewa (2009), jenis lamun yang paling luas penyebarannya dan paling dominan di Indonesia adalah Thalassia hemprichii, dapat dijumpai di substrat berlumpur, berpasir, dan pecahan karang. Mendominasinya jenis Thalassia hemprichii di kawasan ini diduga karena pada saat pengamatan dilakukan spesies ini mengalami pertumbuhan yang optimal. Dapat dilihat dari Gambar 8 pada bulan Juni 2010-September 2010 terjadi peningkatan nilai persen penutupan lamun pada ketiga transek garis. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Waycott et al. (2004), bahwa musim reproduksi Thalassia hemprichii terjadi pada bulan Juni sampai dengan September.

60 45 c. Frekuensi jenis lamun Pulau Harapan Frekuensi jenis lamun menggambarkan bahwa penyebaran suatu jenis lamun di dalam suatu kawasan cukup luas dan merata. Tabel 12 menjelaskan bahwa spesies Thalassia hemprichii tersebar luas dan cukup merata di ketiga transek garis, serta mempunyai nilai frekuensi jenis yang tinggi dibanding jenis lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Kuriandewa (2009) bahwa jenis lamun yang paling luas sebarannya dan paling dominan di perairan Indonesia adalah Thalassia hemprichii. Spesies lain yang ditemukan di semua stasiun dengan nilai frekuensi jenis yang lebih rendah dari Thalassia hemprichii adalah Cymodocea serrulata. Nilai frekuensi masing-masing jenis lamun yang diamati di tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Rata-rata frekuensi jenis lamun di Pulau Harapan No Jenis LT1 (%) LT2 (%) LT3 (%) 1 Thalassia hemprichii 0,66 0,68 1,00 2 Cymodocea rotundata 0,02-0,18 3 Cymodocea serrulata 0,05 0,23 0,39 4 Halodule uninervis - - 0,07 5 Halodule pinifolia 0,05-0,16 Rata-rata 0,13 0,15 0,30 Berdasarkan hasil pengamatan jenis lamun yang ditemukan di Pulau Harapan lebih sedikit dibandingkan dengan jenis lamun yang ada di Pulau Pramuka. Hilangnya beberapa jenis lamun dikawasan ini dapat terjadi karena letak lokasi ini sangat dekat dengan pemukiman warga, sehingga aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan terjadinya degradasi padang lamun. d. Tinggi Kanopi Lamun Pulau Harapan Tinggi kanopi lamun selama pengamatan di Pulau Harapan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut.

61 46 Tabel 13. Tinggi kanopi lamun Pulau Harapan Bulan Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Mei 2011 Transek Tinggi kanopi (cm) n Garis Rata-rata SD Minimal Maksimal ,20 ± 14,49 11,0 34, ,36 ± 3,02 3,8 7, ,05 ± 4,92 4,0 21, ,28 ± 4,93 5,8 14, ,94 ± 3,63 6,3 11, ,58 ± 3,51 4,3 15, ,59 ± 3,35 2,7 8, ,70 ± 3,69 5,0 10, ,00 ± 3,23 3,5 14, ,41 ± 3,49 4,0 8, ,70 ± 4,34 6,5 9, ,89 ± 1,90 3,2 9,0 Keterangan : n : Jumlah transek kuadrat SD : Standar deviasi Tinggi kanopi didefinisikan sebagai tinggi di atas dasar permukaan laut, yaitu 80% dari tunas lamun (Duarte 2001). Tabel 13 di atas menunjukkan bahwa rata-rata tinggi kanopi yang diperoleh bervariasi. Pada transek garis 1 kanopi paling tinggi terdapat pada bulan Juni 2010 dan yang terendah terdapat pada bulan Mei 2011, sedangkan pada transek garis 2 dan 3, kanopi paling tinggi terdapat pada bulan September 2010 dan yang paling rendah pada bulan Mei 2011, Tinggi maksimal dan minimal kanopi yang dapat dicapai lamun berbeda-beda tergantung jenisnya. e. Persen Penutupan Epifit Pada Lamun Pulau Harapan 14 berikut. Persen penutupan epifit pada lamun Pulau Harapan dapat dilihat pada Tabel

62 47 Tabel 14. Persen penutupan epifit lamun Pulau Harapan Bulan Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Mei 2011 Transek Penutupan Epifit (%) n Garis Rata-rata SD Minimal Maksimal ,36 ± 27, ,09 ± 22, ,82 ± 30, ,00 ± 23, ,82 ± 31, ,00 ± 15, ,64 ± 32, ,36 ± 22, ,36 ± 25, ,82 ± 31, ,09 ± 36, ,18 ± 36, Keterangan : n : Jumlah transek kuadrat SD : Standar deviasi Tabel 14 di atas menunjukkan bahwa rata-rata persen penutupan epifit pada pulau Pramuka bervariasi setiap bulannya. Pada transek garis 1 persen penutupan tertinggi terdapat pada bulan Januari 2011 dan yang paling rendah pada bulan September 2010, pada transek garis 2 persen penutupan tertinggi terdapat pada bulan September 2010 dan yang terendah terdapat pada bulan Juni 2010, sedangkan pada transek garis 3 persen penutupan tertinggi terdapat pada bulan Juni 2010 dan yang terendah terdapat pada bulan September Daun lamun sering terdapat kelimpahan epifit yang paling melimpah, karena lamun memiliki substrat stabil dengan akses cahaya, nutrien dan pertukaran air. Kekayaan jenis dan variasi epifit lamun bergantung pada spesies, sebagaimana kondisi lingkungan dan tipe habitat (contohnya kedalaman) Biomassa Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Biomassa lamun dibedakan atas biomassa di atas substrat (above-ground biomass) dan biomassa di bawah substrat (below-ground biomass). Biomasssa daun dinyatakan dalam gram berat kering per satuan unit luas (gbk/m 2 ). Nilai biomassa lamun pada kedua pulau dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 9.

63 48 Tabel 15. Biomassa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan (gbk/m 2 ) Transek Pramuka Harapan Garis Atas Bawah Atas Bawah 1 125,47 172,97 48,65 80, ,15 74,85 15,86 62, ,96 65,31 23,57 52,11 Rata-rata 63,19 104,37 29,36 65,01 Keterangan : gbk/m 2 = gram berat kering per meter persegi gbk/m Atas Bawah Pramuka Harapan Gambar 9. Biomassa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Berdasarkan hasil pengukuran biomassa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan dapat dilihat bahwa rata-rata biomassa lamun pada Pulau Pramuka memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan Pulau Harapan. Hal ini disebabkan pada Pulau Pramuka jenis lamun yang ditemukan memiliki morfologi tubuh yakni daun, rimpang, dan akar yang lebih besar dan penutupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Harapan sehingga berpengaruh terhadap nilai biomassa lamun tersebut. Beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi, yaitu jenis lamun yang berbeda ditiap lokasi, komposisi partikel substrat, kondisi lingkungan seperti kandungan nutrien dan kecepatan arus. Jenis lamun yang ditemukan di Pulau Pramuka berbeda dengan Pulau Harapan dan komposisi jenis dari kedua pulau ini memiliki nilai yang berbeda pula tiap jenisnya. Komposisi substrat dan kecepatan arus juga mempengaruhi ukuran akar dan rimpang dari tumbuhan lamun. Menurut Azkab (2007), padang lamun yang padat (rapat) menyebabkan biomassanya lebih

64 49 tinggi, begitu pula dengan jenis lamun yang mempunyai ukuran daun dan rhizoma yang lebih besar akan menyebabkan biomassanya lebih tinggi. Nilai biomassa lamun kedua pulau tersebut sesuai dengan Kuriandewa (2009) yang menyatakan bahwa nilai rata-rata biomassa lamun pada umumnya berkisar antara 1 gbk/m gbk/m 2. Gambar 9 di atas menjelaskan bahwa biomassa lamun yang berada di bawah substrat pada kedua pulau lebih tinggi dibandingkan dengan yang berada di atas permukaan substrat. Nilai ini menandakan bahwa bagian tumbuhan lamun yang berada di bawah subtrat lebih besar dibandingkan dengan bagian atas permukaan substrat. Hal ini disebabkan oleh tumbuhan lamun lebih banyak menyerap nutrien dari substrat dibandingkan dari kolom perairan. Menurut Erftemeijer (1993) in Dahuri (2003) menyatakan bahwa lamun mengambil ± 90% nutrien untuk pertumbuhannya melalui sistem perakaran. Hal ini juga dipengaruhi oleh jenis substrat pada kedua pulau yang betipe pasir sehingga dibutuhkan akar dan rimpang yang besar dan kuat untuk dapat bertahan dari arus dan gelombang Transplantasi Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan Transplantasi lamun di Pulau Pramuka a. Tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun di Pulau Pramuka Upaya transplantasi lamun yang dilakukan di kawasan rehabilitasi Pulau Pramuka menggunakan dua metode yaitu metode Polybags dan metode Spring anchor. Tingkat keberhasilan unit transplantasi adalah jumlah unit dari tiap metode pada waktu penanaman awal dan penanaman akhir pada interval waktu yang telah ditentukan. Dari Tabel 16 dapat dilihat tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun di Pulau Pramuka, yaitu metode Polybags sebesar 58% dan metode Spring anchor sebesar 46,67%. Tabel 16. Persen keberhasilan unit transplantasi di Pulau Pramuka Metode Jumlah unit transplantasi Awal Akhir Tingkat keberhasilan (%) Polybags ,00 Spring anchor ,67

65 50 Metode Polybags memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar dibandingkan dengan metode Spring anchor. Hal ini terjadi karena pada metode Polybags bibit lamun yang ditanam beserta substratnya yang diambil dari sumber donor lamun berada dalam polybags, sehingga bibit lamun lebih terlindung dan kokoh. Disamping itu bibit lamun beserta substrat yang ditanam berasal dari daerah donor sehingga adaptasi terhadap substrat baru tidak diperlukan dan gangguan terhadap pembenaman akar lebih sedikit. Sedangkan pada metode Spring anchor ditanam dengan cara menggali sebuah lubang kecil pada substrat yang dalamnya kira-kira 30 cm, kemudian ditutup dengan substrat yang sama. Hal ini menyebabkan lamun yang langsung ditanam pada lubang tersebut sangat rentan terpengaruh kondisi lingkungan perairan, khususnya pada saat kondisi arus perairan yang besar dapat menyebabkan lamun tersebut terangkat dari substratnya. Tingkat keberhasilan beberapa jenis lamun yang transplantasi dengan menggunakan metode Polybags di Pulau Pramuka dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. SR (%) Th Cs Cr Th Cs Cr Th Cs Cr Jun-10 Sep-10 Jan-11 Keterangan : Th = Thalassia hemprichii Cr = Cymodocea rotundata Cs = Cymodocea serrulata Hp = Halodule pinifolia Hu = Halodule uninervis Gambar 10. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun menggunakan metode Polybags

66 51 Dari ketiga jenis lamun yang di transplantasi dengan metode Polybags dapat diketahui jenis yang tingkat keberhasilan tertinggi adalah Thalassia hemprichii. Sedangkan pada kedua jenis lainnya mengalami penurunan yang sangat drastis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini diduga terjadi karena Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang memiliki daya tahan yang baik terhadap pencemaran dan dapat hidup dengan baik di substrat berlumpur maupun berpasir. Tegakan Unit Unit Transplantasi Jumlah Tanaman Jun-10 Sep-10 Jan-11 Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Thalassia hemprichii Cymodocea serulata Cymodocea rotundata Lembar Jumlah Daun Jun-10 Sep-10 Jan-11 Thalassia hemprichii Cymodocea serulata Cymodocea rotundata Gambar 11. Grafik unit, jumlah tanaman, dan jumlah daun lamun transplantasi menggunakan metode polybags

67 52 Pertumbuhan lamun transplantasi dapat dilihat dari jumlah unit, jumlah tanaman dan jumlah daun lamun transplantasi (Gambar 11). Dilihat dari jumlah unitnya, lamun tansplantasi mengalami penurunan yang berturut-turut dari bulan Juni, September 2010 sampai Januari 2011 yaitu 50, 40 dan 29 unit. Penurunan ini terjadi akibat pengaruh dari kondisi lingkungan perairan di antaranya yaitu arus perairan, substrat dan kedalaman akar lamun dalam polybags yang terbenam ke dalam substrat. Dilihat dari jumlah tanaman dan jumlah daun lamun transplantasi membentuk pola yang sama (Gambar 11), dimana pada Juni 2010 hingga September 2010 mengalami kenaikan dan dari September 2010 hingga Januari 2011 mengalami penurunan untuk semua jenis lamun yang di transplantasi. Dari ketiga jenis lamun transplantasi, Thalassia hemprichii memiliki peningkatan yang paling besar dibandingkan jenis lainnya pada Juni 2010 hingga September Hal ini karena pada bulan tersebut spesies ini mengalami pertumbuhan yang optimal. Menurut Waycott et al. (2004) bahwa musim reproduksi Thalassia hemprichii terjadi pada Juni sampai dengan September. Penurunan jumlah tanaman dan jumlah daun lamun transplantasi pada September 2010 hingga Januari 2011 untuk ketiga jenis tersebut, diduga karena pengaruh pola musim dan kondisi lingkungan perairan yang tidak mendukung pertumbuhan lamun transplantasi. Tingkat keberhasilan jenis lamun Enhalus acoroides yang transplantasi dengan menggunakan metode Spring anchor di Pulau Pramuka dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13.

68 53 SR (%) Pengamatan ke- Gambar 12. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun Enhalus acoroides menggunakan metode Spring anchor Transplantasi lamun Enhalus acoroides menggunakan metode Spring anchor dilakukan dengan empat kali pengamatan, dimana setiap pengamatannya memiliki interval waktu tiga minggu. Dari pengamatan pertama ke pengamatan kedua terjadi penurunan tingkat keberhasilan sebesar 13,33%. Penurunan ini terjadi karena pada saat awal lamun tersebut membutuhkan adaptasi terhadap substrat baru. Pada pengamatan ketiga tidak terjadi penurunan, namun pada pengamatan keempat terjadi penurunan yang sangat drastis, yaitu sebesar 40%. Diduga penurunan ini terjadi karena adanya kompetisi untuk mendapatkan nutrien (zat-zat hara) yang tersedia diperairan tersebut. Sebagian besar lamun transplantasi yang mati adalah lamun yang ditanam pada kawasan yang telah ditumbuhi lamun alami. Sedangkan lamun transplantasi yang tersisa sebanyak 46,67%, ditanam pada kawasan yang tidak terdapat lamun alami di sekitarnya.

69 54 Tegakan Jumlah tanaman Pengamatan ke- Lembar Jumlah daun Pengamatan ke- Gambar 13. Grafik jumlah tanaman dan jumlah daun Enhalus acoroides menggunakan metode Spring anchor Pertumbuhan lamun transplantasi dapat dilihat dari jumlah tanaman dan jumlah daun lamun transplantasi (Gambar 13). Dari grafik tersebut sebenarnya dapat kita lihat bahwa grafik jumlah tanaman dan jumlah daun lamun transplantasi membentuk pola yang sama dengan grafik tingkat keberhasilan (Gambar 12). Ada sedikit perbedaaan pada jumlah daun, yaitu terjadi peningkatan jumlah daun yang tumbuh di lamun tranplantasi pada pengamatan ketiga, sementara jumlah tanaman pada pengamatan ketiga memiliki nilai yang sama dengan pengamatan kedua. Hal ini juga disebabkan oleh pemotongan daun yang dilakukan pada awal penanaman, sehingga terjadi fluktuasi jumlah daun yang hidup. Pada awal perlakuan tumbuhan lamun ini melakukan penyesuaian terlebih dahulu dengan lingkungan yang baru dan pemulihan pada bagian tubuh yang terluka akibat pemotongan, setelah beberapa waktu dapat tumbuh dengan perlahan dan stabil sampai pada pengamatan ketiga. Hal ini berarti pada saat pengamatan kedua hingga pengamatan ketiga, lamun transplantasi telah dapat beradaptasi dan tumbuh dengan baik.

70 55 b. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Pramuka Laju pertumbuhan lamun transplantasi diketahui dengan cara mengukur pertumbuhan panjang daun. Pertumbuhan panjang daun yang dimaksud adalah selisih antara panjang daun yang tumbuh waktu penandaan awal dengan penandaan akhir pada interval waktu yang telah ditentukan. Pengukuran pertumbuhan daun lamun transplantasi dibedakan berdasarkan jenis lamun dan ukurannya. Tabel 17. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Pramuka (mm/hari) Spesies Laju pertumbuhan daun (mm/hari) Rata-rata Kisaran Thalassia hemprichii 0,78 0,06-1,78 Cymodocea Serrulata 0,77 0,33-1,11 Cymodocea rotundata 0,89 0,33-1,44 Enhalus acoroides 4,89 1,19-14,29 Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa jenis Enhalus acoroides memiliki ratarata dan kisaran laju pertumbuhan daun yang lebih besar dibanding dengan jenis lamun lainnya yaitu 4,98 mm/hari dan 1,19-14,29 mm/hari. Hal ini karena Enhalus acoroides memiliki morfologi tubuh yakni daun, rimpang, dan akar yang lebih besar dari tiga jenis lamun lainnya. Disamping itu, Enhalus acoroides di transplantasi dengan metode yang berbeda dengan tiga jenis lainnya yaitu menggunakan metode Spring anchor. Sedangkan tiga jenis lainnya di transplantasi menggunakan metode Polybags. Kemampuan lamun untuk tumbuh pada setiap metode berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh lokasi, faktor lingkungan perairan, ketersediaan nutrien dan waktu penanaman Transplantasi lamun di Pulau Harapan a. Tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun di Pulau Harapan Upaya transplantasi lamun yang dilakukan di kawasan rehabilitasi Pulau Harapan juga menggunakan dua metode yang sama pada Pulau Pramuka yaitu metode Polybags dan metode Spring anchor. Tingkat keberhasilan unit transplantasi adalah jumlah unit dari tiap metode pada waktu penanaman awal dan penanaman akhir pada interval waktu yang telah ditentukan. Dari tabel 18 dapat dilihat tingkat

71 56 keberhasilan unit transplantasi lamun di Pulau Harapan, yaitu metode Polybags sebesar 2% dan metode Spring anchor sebesar 53%. Tabel 18. Persen keberhasilan unit transplantasi di Pulau Harapan Metode Jumlah unit transplantasi Awal Akhir Tingkat keberhasilan (%) Polybags Spring anchor Tingkat keberhasilan yang diperoleh untuk metode Polybags sangat rendah sekali, dibandingkan dengan hasil penelitian Khotib (2010) tingkat keberhasilan yang diperoleh adalah sebesar 71,13%. Metode Polybags ini memiliki tingkat keberhasilan yang paling tinggi dibanding metode lainnya. Perbedaaan yang sangat drastis pada persen keberhasilan unit tranplantasi ini dipengaruhi oleh rentang waktu penelitian yang sangat lama, yaitu dari Juni 2010-Januari 2011, sedangkan penelitian Khotib (2010) dari Maret 2009-Mei Waktu penelitian sangat mempengaruhi karena semakin lama waktu maka faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dalam transplantasi lamun juga semakin banyak, beberapa diantaranya yaitu substrat, salinitas, suhu, cahaya, arus perairan, ph dan nutrien. Sementara kondisi ketahanan lamun semakin menurun setiap bulannya. Berdasarkan hal di atas, juga diketahui bahwa waktu atau musim penanaman yang tepat di Pulau Harapan adalah pada bulan Maret-Mei, sedangkan pada bulan Juni-Januari tidak cocok dilakukan transplantasi dengan menggunakan metode Polybags ini. Di samping itu, jumlah unit transplantasi yang ditanam jauh lebih banyak sehingga terjadi perebutan nutrien untuk pertumbuhan lamun. Transplantasi dengan menggunakan metode Spring anchor memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar yaitu sebesar 53%. Hal ini berarti metode transplantasi ini cukup cocok digunakan pada Pulau Harapan dan untuk jenis lamun Enhalus acoroides. Tingkat keberhasilan beberapa jenis lamun yang transplantasi dengan menggunakan metode Polybags di Pulau Harapan dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.

72 57 SR (%) Th Cs Cr Th Cs Cr Th Cs Cr Keterangan : Th = Thalassia hemprichii Cr = Cymodocea rotundata Cs = Cymodocea serrulata Hp = Halodule pinifolia Hu = Halodule uninervis Jun-10 Sep-10 Jan-11 Gambar 14. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun menggunakan metode Polybags Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa ketiga jenis lamun transplantasi yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata mengalami penurunan yang drastis. Penyebab terjadinya hal ini adalah pada saat proses transplantasi berlangsung, terjadi kerusakan pada pagar pembatas kawasan rehabilitasi sehingga lamun yang di transplantasi pada lokasi yang berdekatan dengan pagar pembatas tersebut juga ikut rusak, tidak dapat tumbuh dengan baik, dan lama kelamaan mati. Pada grafik (Gambar 14) dapat dilihat bahwa hanya jenis Thalassia hemprichii yang dapat bertahan sampai bulan Januari 2011 dengan persentase yang sangat kecil yaitu 2%. Pertumbuhan lamun transplantasi dapat dilihat dari jumlah unit, jumlah tanaman dan jumlah daun lamun transplantasi (Gambar 15).

73 58 Unit Unit Transplantasi Juni 2010 September 2010 Januari 2011 Tegakan Jumlah Tanaman Jun-10 Sep-10 Jan-11 Thalassia hemprichii Cymodocea serulata Cymodocea rotundata Lembar Jumlah Daun Jun-10 Sep-10 Jan-11 Thalassia hemprichii Cymodocea serulata Cymodocea rotundata Gambar 15. Grafik unit, jumlah tanaman, dan jumlah daun lamun transplantasi menggunakan metode Polybags Dilihat dari jumlah unitnya, lamun tansplantasi mengalami penurunan yang berturut-turut dari Juni, September 2010 sampai Januari 2011 yaitu 50, 23 dan 1 unit. Penurunan ini terjadi akibat pengaruh dari kondisi lingkungan perairan di antaranya yaitu arus perairan, substrat dan kedalaman akar lamun dalam polybags yang terbenam ke dalam substrat. Dilihat dari jumlah tanaman dan jumlah daun lamun transplantasi membentuk pola yang sama (Gambar 15), dimana pada Juni 2010 ke September 2010 mengalami kenaikan dan dari September 2010 ke Januari 2011 mengalami penurunan untuk jenis Cymodocea serrulata, dan kedua jenis lainnya mengalami

74 59 penurunan. Namun dari ketiga jenis lamun transplantasi, Thalassia hemprichii yang mampu bertahan sampai Januari 2011, sedangkan kedua jenis lainnya mati. Penurunan jumlah tanaman dan jumlah daun lamun transplantasi pada September 2010 ke Januari 2011 untuk ketiga jenis tersebut, diduga karena pengaruh pola musim dan kondisi lingkungan perairan yang tidak mendukung pertumbuhan lamun transplantasi. Tingkat keberhasilan jenis lamun Enhalus acoroides yang transplantasi dengan menggunakan metode Spring anchor di Pulau Harapan dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar SR (%) Pengamatan ke- Gambar 16. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun Enhalus acoroides menggunakan metode Spring anchor

75 Jumlah tanaman 100 Tegakan Pengamatan ke- Lembar Jumlah daun Pengamatan ke- Gambar 17. Grafik jumlah tanaman dan jumlah daun Enhalus acoroides menggunakan metode Spring anchor Dari pengamatan pertama ke pengamatan kedua terjadi penurunan tingkat keberhasilan sebesar 47%. Penurunan ini terjadi karena pada saaat awal lamun tersebut membutuhkan adaptasi terhadap substrat baru, karena di Pulau Harapan belum terdapat jenis lamun Enhalus acoroides. Diduga penurunan ini terjadi disebabkan adanya perebutan nutrien (zat-zat hara) yang tersedia diperairan tersebut dengan jenis lamun alami yang terdapat di sekitarnya. Pertumbuhan lamun transplantasi dapat dilihat dari jumlah tegakan dan jumlah lembar daun lamun transplantasi (Gambar 17). Dari grafik tersebut sebenarnya dapat kita lihat bahwa grafik jumlah tegakan dan jumlah lembar daun lamun transplantasi membentuk pola yang sama dengan grafik tingkat keberhasilan (Gambar 16).

76 61 b. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Harapan Laju pertumbuhan lamun transplantasi diketahui dengan cara mengukur pertumbuhan panjang daun. Pertumbuhan panjang daun yang dimaksud adalah selisih antara panjang daun yang tumbuh waktu penandaan awal dengan penandaan akhir pada interval waktu yang telah ditentukan. Pengukuran pertumbuhan daun lamun transplantasi dibedakan berdasarkan jenis lamun dan ukurannya (Tabel 19). Tabel 19. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Harapan (mm/hari) Spesies Laju pertumbuhan daun (mm/hari) Rata-rata Kisaran Thalassia hemprichii 0,89 0,18-2,22 Cymodocea serrulata 1,19 0,50-1,83 Cymodocea rotundata 0,86 0,39-1,50 Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa jenis Cymodocea serrulata memiliki ratarata laju pertumbuhan daun yang lebih besar dibanding dengan jenis lamun lainnya yaitu 1,19 mm/hari. Namun pertumbuhan daun yang paling tinggi diperoleh jenis Thalassia hemprichii sebesar 2,22 mm/hari. Hal ini karena Thalassia hemprichii memiliki morfologi tubuh yakni daun, rimpang, dan akar yang lebih besar dari jenis lamun lainnya. Ketiga jenis lamun tersebut di transplantasi menggunakan metode Polybags. Kemampuan lamun untuk tumbuh pada setiap metode berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh lokasi, faktor lingkungan perairan, ketersediaan nutrien dan waktu penanaman. Laju pertumbuhan lamun transplantasi baik di Pulau Pramuka maupun Pulau Harapan memiliki laju pertumbuhan yang lambat. Hal ini karena tingkat keberhasilan transplantasi lamun masih sangat beragam. Jika dibandingkan dengan transplantasi lamun di Teluk Banten, setelah berumur 1 tahun menunjukan keberhasilan sekitar 60% untuk Enhalus acoroides dan sekitar 80% untuk Cymodocea serrulata (Kiswara 2009). Sementara waktu pengamatan transplantasi lamun baik di Pulau Pramuka maupun Pulau Harapan kurang dari 1 tahun.

77 Hubungan Antara Lokasi Penelitian dengan Beberapa Variabel Pengamatan secara Spasial dan Temporal Berdasarkan hasil analisa hubungan antara lokasi penelitian dengan beberapa variabel pengamatan (suhu, salinitas, kedalaman, kecerahan, DO, ph, orthofosfat, nitrat, persen penutupan lamun, biomassa lamun, dan transplantasi lamun) menunjukan adanya penyebaran informasi pada setiap lokasi pengamatan. H 0 : τ 1 = τ 2 = 0 ( pulau tidak berpengaruh) H 1 : min ada satu τ i 0, i = 1, 2 (pulau berpengaruh) Tabel 20. Sidik ragam persen penutupan lamun Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F hitung F tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Pulau , ,46 29,61 4,747 Transek(pulau) 4 965,00 239,00 3,60 3,259 galat ,62 66, Total , S = 8,14768 R-Sq = 78,57% R-Sq(adj) = 69,65% Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan tingkat keterandalan yang nyata, hal ini dibuktikan dengan nilai R-Sq = 78,57 %. Hasil analisis data persen penutupan lamun yang diperoleh menunjukan bahwa pada Pulau F hitung > F tabel, berarti tolak Ho. Sehingga pada selang kepercayaan 95% dapat dikatakan pulau berpengaruh nyata terhadap penutupan lamun. Pada transek yang tersarang dalam pulau diperoleh hasil F hitung > F tabel, berarti pada selang kepercayaan 95% dapat dikatakan transek yang tersarang didalam pulau berpengaruh nyata terhadap penutupan lamun.

78 63 Gambar 18. Distribusi spasial lokasi penelitian dengan komposisi jenis lamun dengan menggunakan Analisis komponen utama (PCA) Berdasarkan gambar di atas, transek garis 3 di Pulau Pramuka dicirikan dengan Enhalus acoroides (Ea), sedangkan transek garis 1dan 2 di Pulau Pramuka dicirikan oleh Thalassia hemprichii (Th), Cymodocea serrulata (Cs), Halodule pinifolia (Hp), Halodule uninervis (Hu) dan Cymodocea rotundata (Cr). Namun pada pulau harapan tidak dicirikan oleh spesies apapun, hal ini dikarenakan berdasarkan hasil persen penutupan lamun di Pulau Harapan memiliki nilai yang sangat kecil dan pada ketiga transek garis lamun termasuk kedalam kondisi rusak (KepMen LH No. 200 Tahun 2004).

79 64 Gambar 19. Analisa lokasi penelitian dengan beberapa variabel pengamatan dengan menggunakan Analisis komponen utama (PCA) Hasil analisis komponen utama (PCA) memperlihatkan adanya dua kelompok habitat, yaitu Pulau Harapan dan Pulau Pramuka. Kelompok pertama yaitu Pulau Harapan dicirikan oleh kedalaman, kecerahan, biomassa bawah substrat (BB), suhu, salinitas, metode Spring anchor. Kelompok kedua yaitu Pulau Pramuka dicirikan oleh biomassa atas substrat (BA), persen penutupan lamun pada bulan September 2010 dan Januari 2011, dan metode polybags. Berdasarkan nilai SR (%) diketahui bahwa transplantasi dengan menggunakan metode polybags cenderung lebih baik diterapkan pada Pulau Pramuka dibanding Pulau Harapan, sedangkan transplantasi dengan menggunakan metode spring anchor lebih baik diterapkan pada Pulau Harapan.

80 65 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1) Pada lokasi studi di Pulau Pramuka ditemukan enam spesies lamun alami yakni Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, dan Halodule pinifolia. Sedangkan pada perairan Pulau Harapan hanya ditemukan lima spesies lamun yaitu Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, dan Halodule pinifolia. 2) Dari semua jenis yang teramati di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan, Thalassia hemprichii memiliki nilai persen penutupan yang paling besar. 3) Kondisi komunitas lamun alami di Pulau Pramuka berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun, dapat dikatakan bahwa komunitas lamun memiliki kondisi kurang kaya/kurang sehat pada transek garis 1 dan transek garis 3 dan tergolong miskin pada stasiun 2. Kondisi komunitas lamun alami di Pulau Harapan termasuk dalam kondisi rusak berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun dengan nilai miskin 29,9%. 4) Tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun di Pulau Pramuka dengan metode Polybags sebesar 58% dan metode Spring anchor sebesar 46,67%. Sedangkan tingkat keberhasilan unit transplantasi lamun di Pulau Harapan dengan metode Polybags sebesar 2% dan metode Spring anchor sebesar 53%. Hal ini karena tingkat keberhasilan transplantasi lamun masih sangat beragam. Jika dibandingkan dengan transplantasi lamun di Teluk Banten, setelah berumur 1 tahun menunjukan keberhasilan sekitar 60% untuk Enhalus acoroides dan sekitar 80% untuk Cymodocea serrulata (Kiswara 2009). Sementara waktu pengamatan transplantasi lamun baik di Pulau Pramuka maupun Pulau Harapan kurang dari 1 tahun.

81 Saran 1. Diperlukan penelitian lanjutan untuk transplantasi lamun dengan metode Polybags dan Spring anchor, seperti waktu yang lebih lama dan penambahan pupuk berupa tablet di dalam substrat untuk memperkaya unsur hara (nutrien). Sehingga diharapkan tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang lebih baik. 2. Diperlukannya peran serta masyarakat setempat untuk menjaga dan merawat ekosistem lamun agar tidak rusak. Oleh karena itu, perlunya campur tangan pemerintah dan pengelola kawasan agar terwujudnya peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan ekosistem lamun, seperti sosialisasi mengenai peranan lamun bagi lingkungan dan manfaatnya bagi masyarakat, pelatihan transplantasi lamun dan pemeliharaannya, sehingga ekosistem ini dapat memberikan nilai ekologis dan ekonomis lebih baik di masa yang akan datang.

82 67 DAFTAR PUSTAKA Azkab MH Pertumbuhan dan produksi lamun Enhalus acoroides (L.f) Royle di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu. P In: Moosa MK, Praseno DP & Sukarno (eds.). Teluk Jakarta: Biologi, budidaya, oseanografi, geologi dan kondisi perairan. Pusat Penelitian Oseanografi- LIPI. Jakarta. Azkab MH Pedoman inventarisasi lamun. Majalah Semi Populer Oseana. Lembaga Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 24(1): Azkab MH Produktivitas di lamun. Majalah Ilmiah Semi Populer Oseana. Lembaga Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. 25(1): [BTNKpS] Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Inventarisasi padang lamun di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Jakarta. 44 hlm. Bengen DG Ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut. Pusat Kajian Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bengen DG Perspektif lamun dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. 18 November PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI. Jakarta. Brouns JJWM & Heijs FML Tropical seagrass ecosystem in Papua New Guinea a general account of the environment, Marine Flora and Fauna. Proc. K. Ned. AKAD. Wetnsch C88: Calumpong HP & Fonseca MS Seagrass transplantation and other seagrass restoration methods. Chapter 22, pp In: Short FT, Coles RG (eds). Global seagrass research methods. Elsevier Science B. V. Amsterdam. Dwindaru B Variasi Spasial Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 71 hlm. Hemminga MA & Duarte CM Seagrass ecology. Cambridge University Press. United Kingdom. Hutomo M. dan M. H. Azkab Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana, 12(1):

83 68 Hutomo M Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. P In: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir II geologi, kimia, biologi, dan ekologi. Prosiding Kongres Biologi Indonesia XV. Universitas Indonesia. Jakarta. Kawaroe M Perspektif lamun sebagai blue carbon sink di laut. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. 18 November PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI. Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup Salinan keputusan menteri lingkungan hidup nomor 51 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup Salinan keputusan menteri lingkungan hidup nomor 200 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Jakarta. Khotib A Status Temporal Komunitas Lamun (Seagrass) dan Pertumbuhannya dengan Berbagai Teknik Transplantasi dalam Kawasan Rehabilitasi di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 71 hlm. Kiswara W Dampak Perluasan Kawasan Industri Terhadap Luas Penutupan Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Seminar Nasional Dampak Pembangunan Terhadap Wilayah Pesisir. 2-3 Februari Jakarta, Indonesia. Kiswara W Kandungan Hara Dalam Air Antara dan Air Permukaan Padang Lamun Pulau Barang Lompo dan Gusung Talang, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Kelautan Nasional: pemantapan Keterpaduan dan Pendayagunaan Potensi Sumberdaya, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Kelembagaan Kelautan Nasional Menuju Kemandirian. Jakarta, November Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim. Jakarta. Kiswara W Inventarisasi dan evaluasi Sumberdaya Pesisir : Struktur Komunitas Padang Lamun di Teluk Banten. Makalah Kongres Biologi Indonesia XV. Jakarta, Indonesia. Kiswara W Kondisi Padang Lamun (seagrass) di Teluk Banten Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

84 69 Kiswara W Perspektif lamun dalam produktifitas hayati pesisir. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. 18 November PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI. Jakarta. Kopalit H Kajian Komunitas Padang Lamun sebagai Fungsi Habitat Ikan di Perairan Pantai Manokwari Papua Barat [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 80hlm. Kuriandewa TE Tinjauan tentang lamun di Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional 1 Pengelolaan Ekosistem Lamun Peran Ekosistem Lamun dalam Produktifitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. 18 November PKSPL-IPB, DKP, LH, dan LIPI. Jakarta. McKenzie L Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping Seagrass Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory Oktober. Cairns, Australia. Hal : McKenzie LJ & Yoshida RL Seagrass-Watch : Proceding of workshop for monitoring seagrass habitats in Indonesia. The Nature Conservancy, Coral Triangel Center, Sanur Bali. 9 th May Seagrass-Watch HQ, Caims. 56pp. Nybakken JW Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari Marine biologi: an ecological approach]. Eidman HM, Bengen DG, Hutomo M, & Sukardjo S (penerjemah). PT Gramedia. Jakarta. Xiii hlm. Odum EP Fundamentals of Ecology. 3rd Eds. W. B. Sounders Company. Philadelphia. Phillip RC & Menez EG Seagrasses. Smithsonian Institution Press. Washington D.C. p Saeni MS Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ditjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. Bogor. Wetzel RR Primary Production. In Whitton, B. a (eds.) River Ecology. Blackwell Scientific Publication. Oxford. 725 p. Zieman JC Tropical Seagrass Beds and Mangrove Ecosystem: Their Interaction in the Coastal Zones of the Carribean. UNESCO Rep. Mar. Sci., 23: Zulkifli Sebaran Spasial Komunitas Perifiton dan Asosiasinya Dengan Lamun di Perairan Teluk Pandan Lampung Selatan [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 77hlm.

85 70 LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (McKenzie dan Yoshida 2009)

86 71 Lampiran 2. Gambar pedoman penentuan penutupan lamun (McKenzie dan Yoshida 2009)

87 Lampiran 3. Gambar pedoman penentuan penutupan algae (McKenzie dan Yoshida 2009) 72

88 Lampiran 4. Baku mutu air laut untuk biota laut (KepMen LH No.51 Tahun 2004) 73

89 74

90 Lampiran 5. Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun 75

91 Lampiran 6. Gambar berbagai jenis lamun 76

92 Lampiran 7. Gambar peralatan yang digunakan 77

93 78

94 Lampiran 8. Gambar kawasan rehabilitasi dan transplantasi lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Harapan 79

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2009 dalam kawasan rehabilitasi PKSPL-IPB di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun ( Seagrass Deskripsi Lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun ( Seagrass Deskripsi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) 2.1.1. Deskripsi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut (McKenzie & Yoshida 2009).

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB SKRIPSI

AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB SKRIPSI STATUS TEMPORAL KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) DAN PERTUMBUHANNYA DENGAN BERBAGAI TEKNIK TRANSPLANTASI DALAM KAWASAN REHABILITASI DI PULAU HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun 2.1.1 Deskripsi lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkunga laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizome), berakar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun Menurut Azkab (2006), lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Lamun Lamun (seagrass) merupakan bentangan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari klass angiospermae, tumbuhan air berbunga yang telah menyesuaikan diri hidup terbenam

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vegetasi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan salinitas cukup tinggi.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter fiskia-kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009)

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) 59 Lampiran 2. Gambar pedoman penentuan penutupan lamun dan algae (McKenzie & Yoshida 2009) 60 61 Lampiran 3. Data

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA Rinta Kusumawati ABSTRAK Lamun merupakan tanaman laut berbentuk daun tegak memanjang dengan pola sebaran mengelompok pada substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Peranan Lamun 2.1.1 Biologi Lamun Lamun (seagrass) termasuk dalam sub kelas monocotyledonae dan merupakan tumbuhan berbunga (kelas Angiospermae) (Yulianda 2002).

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta

Lebih terperinci

LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA

LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA VARIASI SPASIAL KOMUNITAS LAMUN DAN KEBERHASILAN TRANSPLANTASI LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA BINANDRA DWINDARU SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam kelompok

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Lamun 2.1.1 Ekosistem Padang Lamun Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA RUMPUT LAUT (SEAGRASS) DI PERAIRAN DESA TUMBAK KECAMATAN PUSOMAEN 1 Idris Baba 2, Ferdinand F Tilaar 3, Victor NR Watung 3 ABSTRACT Seagrass community structure is the basic

Lebih terperinci

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat Album Peta Lamun 2017 Pusat Penelitian Oseanografi PENYUSUN Marindah Yulia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI. STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Mofologi Lamun Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 3, Desember 2013 Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA (Comparison Of Community Structure Seagrasses In Bantayan, Dumaguete City Philippines And

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi padang lamun Untuk menghindari kesalahpahaman antara lamun dan rumput laut, berikut ini disajikan istilah tentang lamun, padang lamun, dan ekosistem lamun (Azkab,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh proses kehidupan berlangsung di lingkungan perairan laut dangkal (Susetiono, 2004). Lamun

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, mor 1, Juni 2013 Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Meilan Yusuf, 2 Yuniarti Koniyo,

Lebih terperinci

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rudini, rudini1990@gmail.com Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH Arief Pratomo, ST, M.Si

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Siti Rahmi A.R. Nusi, 2 Abdul Hafidz Olii, dan 2 Syamsuddin 1 s.rahmi.nusi@gmail.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sumberdaya terbarukan yang memiliki fungsi ekologis, sosial-ekonomis, dan budaya yang sangat penting terutama bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Pulau Nusa Lembongan Nusa Lembongan merupakan salah satu dari tiga pulau di Kecamatan Nusa Penida dan pulau terbesar kedua setelah Pulau Nusa Penida. Letak Nusa

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LAMUN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LAMUN 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LAMUN Dalam dunia tumbuhan, lamun dipandang sebagai kelompok flora yang unik. Dianggap demikian, karena lamun merupakan satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826 KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826 INTISARI Lamun merupakan ekosistem pesisir pantai yang berperan penting untuk menunjang ekosistem lainnya seperti terumbu

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Wilayah pesisir desa Sitardas memiliki panjang garis pantai sekitar 6 km dan

TINJAUAN PUSTAKA. Wilayah pesisir desa Sitardas memiliki panjang garis pantai sekitar 6 km dan 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Desa Sitardas Desa Sitardas berada di Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah. Wilayah pesisir desa Sitardas memiliki panjang garis pantai sekitar 6 km dan berhadapan

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang luas melebihi wilayah daratannya, kurang lebih 70 % wilayah Indonesia adalah laut. Luasnya laut

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan zat yang paling banyak terdapat dalam protoplasma dan merupakan zat yang sangat esensial bagi kehidupan, karena itu dapat disebut kehidupan adalah

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2011 hingga Desember 2011 bertempat di Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan koordinat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Dini Arifa 1, Arief Pratomo 2, Muzahar 2 Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT

KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT ABSTRACT KOMUNITAS LAMUN DI PERAIRAN PESISIR PULAU YAMDENA, KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT Rene Ch. Kepel 1 dan Sandra Baulu 2 1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun

II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun II. Tinjauan Pustaka A. Defenisi Padang lamun Lamun (seagrass) merupakan satu- satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizome, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut (Bengen,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Mashoreng Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar E-mail : supriadi112@yahoo.com

Lebih terperinci