BAB II LANDASAN TEORI. tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari sehingga akan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari sehingga akan"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI Penelitian ini menggunakan teori psikologi sastra untuk menganalis karakter tokoh utama dalam novel Pasung Jiwa karya Okky Madasari sehingga akan ditemukan suatu gejala psikologis tokoh untuk mendiagnosis termasuk ke dalam bentuk apakah gangguan yang dialami tokoh tersebut. Setelah didapatkan bentuk psikologis yang ada pada tokoh utama, yaitu dalam penelitian ini ditemukan penyebab-penyebab psikologis yang mengacu pada diagnosa klinis penderita gangguan identitas disosiatif, maka digunakanlah teori gangguan identitas disosiatif untuk menganalis hal tersebut. 2.1 Unsur Pembangun Novel Sebuah karya fiksi merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi itu sendiri hanya berupa kata, dan kata-kata. Karya fiksi dengan demikian, menampilkan dunia dalam kata, bahasa. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian unsur-unsur, yang paling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas disamping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Menurut Nurgiyantoro (2009: 23) pembagian unsur yang dimaksud adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik, kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya. 10

2 11 Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud misalnya tokoh, alur, tema dan latar belakang. 1) Tokoh Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2009: 165) mengemukakan bahwa penggunaan istilah karakter dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, karakter dapat berarti tokoh-tokoh yang ditampilkan atau pelaku cerita dan perwatakan atau lebih cenderung kepada sifat. Para tokoh dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita, atau tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan oleh pengarangnya disebut tokoh utama atau tokoh inti (Aminudin, 2011: 79). Selain itu dalam menentukan tokoh utama juga dapat dilihat dari keseringan munculnya tokoh dalam suatu cerita. Dalam suatu cerita tokoh inti juga dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif, sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang sifatnya berlawanan dari tokoh protagonis. Tokoh antagonis adalah tokoh yang membawa nilai-nilai negatif. Tokoh merupakan orang atau pelaku cerita yang dihadirkan dalam suatu cerita. Tokoh memiliki kecenderungan tertentu yang digambarkan melalui ucapan

3 12 dan apa yang dilakukan dalam sebuah tindakan. Berdasarkan tindakan atau ucapan yang dilakukan tokoh tersebut akan tergambar bagaimana watak atau karakter dari tokoh. Watak atau karakter pada tokoh sering disebut dengan istilah penokohan. Hal serupa juga diutarakan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009: 166), menurut Abrams tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Hubungan seorang tokoh dengan kualitas pribadinya berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam teori resepsi, pembaca memberikan penilaian penuh terhadap tokoh cerita tersebut. Tokoh adalah figur yang dikenai dan sekaligus mengenai tindakan psikologi. Dia adalah eksekutor dalam sastra. Jutaan rasa akan hadir lewat tokoh. Dalam sebuah novel tokoh memegang peranan yang sangat penting, namun tak lepas dari itu, tokoh dalam novel memegang peranan yang berbeda-beda. Ada tokoh yang penting ada pula tokoh tambahan (Anurkarina, 2015: 35). Pandangan akan tokoh dalam sebuah cerita juga diutarakan Nurgiyantoro (2009: 166), hanya saja Nurgiyantoro menjelaskan istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas. Penokohan ini sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam cerita. Fiksi mengandung dan menawarkan model kehidupan seperti yang disikapi dan dialami tokoh-tokoh cerita sesuai dengan pandangan pengarang terhadap

4 13 kehidupan itu sendiri. Karena pengarang yang sengaja menciptakan dunia dalam fiksi, ia mempunyai kebebasan penuh untuk menampilkan tokoh-tokoh cerita sesuai dengan seleranya, siapapun orangnya, apapun status sosialnya, bagaimana perwatakannya dan permasalahan apapun yang dihadapinya. 2) Tema Tema menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2009: 67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sabagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. Seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema apabila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media untuk mendeskripsikan tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarang (Aminuddin dalam Siswanto, 2008: 161). Pada hakikatnya, tema merupakan suatu ide pokok atau pokok pikiran. Dalam tema tersirat suatu tujuan cerita. Seperti apa tujuan cerita yang akan disampaikan maka tergantung pada tema yang diangkat oleh pengarang. Perlu diketahui bahwa tema semata-mata bukan sekedar apa yang ditentukan oleh pengarang dalam menceritakan sebuah persoalan semata, penentuan tema juga dapat ditafsirkan oleh pembaca sebagai penelaah cerita.

5 14 Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas, dan abstrak. Eksistensi atau kehadiran tema adalah terimplisit dan merasuki keseluruhan cerita, dan inilah yang menyebabkan kecilnya kemungkinan pelukisan secara langsung tersebut. Penafsiran tema utama diprasyarati oleh pemahaman cerita secara keseluruhan (Nurgiyantoro, 2009: 69). Masalah hidup dan kehidupan yang dihadapi dan dialami manusia amat luas dan kompleks, seluas dan sekompleks permasalahan kehidupan yang ada. Walau permasalahan yang dihadapi manusia tidak sama, ada masalah-masalah kehidupan tertentu yang bersifat universal. Artinya, hal itu akan dialami oleh setiap orang dimanapun dan kapanpun walau dengan itensitas yang tidak sama. Novel mengangkat dan mengungkapkan kembali berbagai permasalahan hidup dan kehidupan tersebut setelah melewati penghayatan yang intens, seleksi subjektif dan diolah dengan daya imajinatif, kreatif oleh pengarang ke dalam bentuk dunia rekaan. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema kedalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan dan aksi interaksinaya dengan lingkungan. 3) Alur Plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Hal ini dikemukan oleh Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2009: 113) bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.

6 15 Plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlibat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Penyajian peristiwa-peristiwa itu dalam sebuah karya sastra bersifat linear. Namun antara peristiwa-peristiwa yang dikemukakan sebelumnya dan sesudahnya belum tentu berhubungan langsung secara logis bersebab-akibat. Hal serupa juga dikemukakan Nurgiyantoro (2009: 114), yang mana pertimbangan dalam pengolahan struktur cerita, penataan peristiwa-peristiwa, selalu dalam kaitannya pencarian efek tertentu. Misalnya, ia dimaksudkan untuk menjaga kesinambungan cerita, untuk mencari kejutan, atau komplesitas struktur. Struktur karya naratif yang kompleks, misalnya yang memiliki hubungan yang saling mengait antar peristiwa dan tokoh, namun tak diceritakan secara eksplsit, biasanya menawarkan lebih banyak kemungkinan dan karenanya lebih menantang. Penampilan peristiwa demi peristiwa yang hanya mendasarkan diri pada urutan waktu saja belum merupakan plot, agar menjadi suatu plot maka peristiwaperistiwa tadi harus diolah dan disiasati secara kreatif. Sehingga hasil pengolahan dan penyiasatan itu sendiri merupakan sesuatu yang indah dan menarik, khususnya dalam kaitannya dengan karya fiksi yang bersangkutan secara keseluruhan. 4) Latar Latar sebuah karya fiksi barangkali hanya berupa latar yang sekedar latar, berhubung sebuah cerita memang membutuhkan landas tumpu dan pijakan. Latar netral tak memiliki dan tak mendeskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol

7 16 yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang justru dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Unsur latar yang ditekankan perannya dalam sebuah novel, langsung ataupun tak langsung, akan berpengaruh terhadap elemen fiksi yang lain, khususnya alur dan tokoh. Hal ini juga disampaikan Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2009: 216), Abrams menjelaskan latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Pembicaraan tersebut sebenarnya telah menunjukkan betapa eratnya kaitan antara latar dan unsur-unsur fiksi yang lain. Latar sebuah karya yang sekedar berupa penyebutan tempat, waktu, dan hubungan sosial tertentu secara umum, artinya bersifat netral, pada umumnya tak banyak berperanan dalam pengembangan cerita secara keseluruhan. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial (Nurgiyantoro, 2009: 216). Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan.

8 Psikologi Sastra Atkinson (dalam Minderop, 2011: 3) mengutarakan bahwa psikologi berasal dari kata Yunani psyhe, yang berarti jiwa, dan logos yang berarti ilmu. Jadi psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tingkah laku manusia. Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang di dalamnya tersurat sikap, tingkah laku, pemikiran, pengetahuan, tanggapan, perasaan, imajinasi, serta spekulasi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, psikologi merupakan salah satu aspek yang berkaitan langsung dengan karya sastra. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa dan karsa dalam karyanya. Begitu pula dengan pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan sebagaimana sosiologi refleksi, psikologi sastra juga mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah kedalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri imajiner kedalam teks sastra (Endrasswara, 2003: 96). Ratna (2013: 342) mengutarakan jika psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis, akan tetapi lebih pada memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam karya sastra. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpanganpenyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psikis.

9 18 Sastra tidak mampu melepaskan diri dari aspek psikis. Jiwa pula yang berkecamuk dalam sastra. Memasuki sastra akan terkait dengan psikologi karya itu. Inilah awal kehadiran psikologi sastra dalam penelitian sastra. Hal ini yang menjadikan penelitian pada novel Pasung Jiwa ini mengarah pada pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik dapat dijelaskan bahwa analisis yang akan dilakukan terutama diarahkan pada kondisi kejiwaan tokoh utama yang berperan dalam cerita, untuk mengungkap kepribadian secara menyeluruh. 2.3 Kepribadian Kepribadian merupakan kajian psikologi yang lahir berdasarkan pemikiran, kajian atau temuan-temuan hasil praktik penanganan para kasus para ahli. Objek kajian kepribadian adalah perilaku manusia, yang pembahasannya terkait dengan apa, mengapa, dan bagaimana perilaku manusia. Adapun kepribadian menurut Yusuf dan Juntika (2008: 3) merupakan terjemahan dari bahasa inggris personality. Kata personality berasal dari bahasa latin persona yang berarti topeng yang digunakan para aktor dalam suatu permainan atau pertunjukan. Disini para aktor menyembunyikan kepribadian yang asli, dan menampilkan dirinya sesuai dengan topeng yang digunakan. Pendapat serupa juga dikemukakan Hall & Lindzey (dalam Yusuf dan Juntika, 2008: 3) yang menyebut bahwa secara popular, kepribadian dapat diartikan sebagai keterampilan atau kecakapan sosial, dan kesan yang paling menonjol yang ditunjukkan seseorang terhadap orang lain (seperti seseorang yang dikesankan sebagai orang yang agresif atau pendiam).

10 19 Berdasarkan beberapa pengertian mengenai kebudayaan menurut para ahli, istilah teori kepribadian dapat diartikan sebagai seperangkat asumsi tentang kualitas tingkah laku manusia beserta definisi empirisnya. Hal yang kita ketahui tentang manusia ialah makhluk hidup yang unik dibandingkan dengan makhluk lain seperti hewan. Dibandingkan dengan hewan, manusia lebih bergantung pada faktor psikologis, dan kurang bergantung kepada faktor biologis. Berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol, sedangkan hewan tidak memiliknya. Namun dalam hal kematangan, manusia lebih lambat dibandingkan hewan. Berbicara tentang kepribadian, Kartono (1990: 22) berpendapat bahwasanya segenap kepribadian itu diperengaruhi dari dalam, yaitu oleh dorongan-dorongan dan insting tertentu guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan yang dimaksudkan disini ialah kebutuhan biologis dan kebutuhan sosial. Jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka akan ada ketegangan dan frustasi. Pengkajian tentang motif utama dalam kehidupan manusia ini seperti sebelum-sebelumnya, sebenernya hanya berotasikan pada usaha menghilangkan ketegangan dan frustasi untuk mencapai keseimbangan pada manusia itu sendiri. Disini keluarga berperan penting sebagai penentu utama dalam pembentukan kepribadian anak. Melalui perlakuan dan perwatakan yang baik, anak dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik kebutuhan biologis maupun kebutuhan sosial. Apabila anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka anak akan cendrung berkembang menjadi pribadi yang baik. 2.4 Gangguan Disosiatif Gangguan disosiatif menurut Nevid, Rathus dan Greene (2005: 202) adalah masalah kejiwaan pelaku yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan

11 20 tentang kepribadian, memori, atau kesadaran. Pelaku yang mengalami gangguan ini memperoleh kesulitan untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada dirinya, melupakan kepribadian yang dalam keadaan normal membuat diri kita menjadi satu kesatuan. Gangguan disosiatif dibagi atas empat macam gangguan, yaitu amnesia disosiatif, fugue disosiatif, gangguan depersonalia dan gangguan identitas disosiatif atau kepribadian ganda. Berdasarkan pandangan Nevid, Rathus dan Greene, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai keempat macam gangguan disosiatif. 1) Amnesia Disosiatif (Dissociative Amnesia) Menurut Maldonado, Butler, dan Speigel (dalam Nevid, Rathus dan Greene, 2005: 206) amnesia disosiatif dipercaya sebagai tipe yang paling umum dari gangguan disosiatif. Amnesia diambil dari akar kata Yunani a-, berarti tanpa, dan mnasthai, yang berarti untuk mengingat. Amnesia bukanlah lupa yang biasa, seperti lupa akan nama sesorang atau dimana seseorang meletakkan kunci mobilnya. Kehilangan ingatan dalam amnesia lebih jauh atau luas cangkupannya. Gejala amnesia merupakan gejalah yang umum terjadi pada amnesia disosiatif, fugue disosiatif, dan gangguan identitas disosiatif. Diagnosa amnesia disosiatif tepat apabila diberikan pada gangguan disosiatif yang hanya menunjukkan gejala amnesia saja. Individu yang mengalami amnesia disosiatif dapat secara mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kembali informasi tentang dirinya sendiri ataupun berbagai informasi yang sebelumnya telah ada dalam memori pelaku. Biasanya hal ini terjadi setelah peristiwa yang menekan misalnya menyaksikan kematian seseorang yang dicintai.

12 21 Nevid, Rathus dan Greene (2005: 206) berpendapat bahwasanya kebanyakan kasus dari amnesia disosiatif mengambil bentuk dari amnesia terlokalisasi dimana peristiwa yang terjadi dalam suatu periode waktu tertentu hilang dari ingatan. Misalnya, orang tersebut tidak mampu mengingat kembali untuk beberapa jam atau hari setelah suatu kejadian yang menekan atau traumatis, seperti perang atau pengeboman. Bentuk lain dari amnesia disosiatif menurut Nevid, Rathus dan Greene (2005: 206) mencangkup amnesia selektif dan amnesia keseluruhan. Dalam amnesia selektif, pelaku hanya lupa pada hal-hal khusus yang mengganggu yang terdapat pada suatu periode waktu. Misalnya, pelaku dapat mengingat suatu periode hidup yang dimana pelaku melakukan perselingkuhan, akan tetapi pelaku tidak ingat peristiwa perselingkuhan itu yang membuat pelaku merasa bersalah. Bentuk terakhir dari amnesia disositif ialah amnesia menyeluruh, pelaku lupa akan semua kehidupannya seperti siapa dirinya, apa pekerjaannya, dimana tempat tinggalnya dan dengan siapa dia tinggal. Gangguan amnesia disosiatif mengakibatkan pelaku mendadak kehilangan kemampuan untuk mengingat kembali informasi tentang dirinya. Bentuk-bentuk dari amnesia ini berorentasikan pada kelemahan daya ingat pelaku dalam mengingat kembali memori yang pernah ada, baik pada hal-hal tertentu bahkan pada ingatan keseluruhan. 2) Gangguan Identitas Disosiatif Menurut Kartono (1981: 93) gangguan identitas disosiatif adalah masalah kejiwaan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan pelaku tentang kepribadian, memori, atau kesadaran. Pelaku yang mengalami gangguan disosiatif

13 22 memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi pada diri pelaku, melupakan kepribadian diri bahkan membentuk kepribadian baru. Menurut DSM-IV-TR (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition text revision) (dalam Davison, Gerald dkk, 2006: 258) gangguan identitas disosiatif yang sebelumnya disebut gangguan kepribadian ganda yang merupakan pembentukan dua atau lebih kepribadian berbeda. Gangguan identitas disosiatif mengakibatkan ketidakmampuan pelaku dalam mengingat informasi penting yang dimiliki. Gangguan identitas disosiatif merupakan salah satu dari beberapa macam gangguan disosiatif yang ada. Berbeda dengan gangguan amnesia disosiatif yang berorintasikan pada hilanganya ingatan pada hal-hal khusus ataupun keseluruhan, gangguan identitas disosiatif ini berorientasikan pada pembetukan kepribadian baru pada diri pelaku untuk menyikapi tekanan-tekanan maupun keinginan yang dipendam. Berhubungan dengan adanya kepribadian yang baru, si pelaku akan merasa nyaman dengan hilangnya memori-memori yang membuat dirinya tertekan. 3) Fugue Disosiatif (Dissociative Fugue) Bentuk ketiga dari gangguan disosiatif ialah fugue disosiatif. Nevid, Rathus dan Greene (2005: 207) menyatakan bahwa Fugue berasal dari bahasa latin Fugere, yang berati melarikan diri. Kata fugitive (pelarian/buronan) memiliki asal kata yang sama. Pada fugue disosiatif, memori yang hilang jauh lebih luas daripada amnesia disosiatif. Pelaku tidak hanya kehilangan seluruh ingatannya (misalnya nama, keluarga, atau pekerjaanya), mereka juga secara mendadak

14 23 meninggalkan rumah dan pekerjan mereka serta memiliki kepribadian yang baru. Pelaku dengan gangguan ini secara tiba-tiba dapat memiliki nama yang baru, rumah serta pekerjaan baru, bahkan membentuk karakteristik kepribadian yang baru. Menurut Maldonado dalam (Nevid, Rathus dan Greene, 2005: 207) selain perilaku yang aneh ini, pelaku tersebut dapat terkesan normal dan tidak menunjukkan tanda-tanda lain dari gangguan mental. Pelaku tidak lagi memikirkan tentang masa lalu, atau melaporkan masa lalu yang penuh dengan ingatan kesalahan tanpa menyadari bahwa ingatan ini salah. Bila orang dengan amnesia disosiatif tampak berjalan-jalan tanpa tujuan, orang dalam tahap fugue bertindak lebih terarah. Mereka tetap berada dekat dengan tempat tinggal mereka. Mereka menghabiskan waktu siangnya di taman atau menonton bioskop, atau mereka menghabiskan malam harinya di hotel menggunakan nama dari kepribadian yang baru, biasanya hanya dengan sedikit atau tanpa kontak dengan orang lain saat berada dalam tahap fugue. Namun identitas baru ini tidaklah lengkap serta mengambang, dan kesadaran dirinya akan masa lalu dapat muncul dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari. 4) Gangguan Depersonalisasi Bentuk terakhir dari gangguan disosiatif adalah gangguan depersonalisasi Nevid, Rathus dan Greene (2005: 209) menyebutkan jika gangguan ini ditandai dengan adanya perubahan persepsi yang terjadi secara berulang atau menetap tentang diri sendiri, mereka untuk sementara waktu merasakan hilangnya keyakinan bahwa mereka merupakan individu yang nyata.

15 24 Davison dkk (2006: 257) juga menjelaskan jika derealisasi suatu perasaan tidak nyata mengenai dunia luar yang mencangkup perubahan-perubahan yang aneh dalam persepsi mengenai lingkungan sekitar, atau dalam perasaan mengenai periode waktu juga dapat muncul. Pelaku dan objek juga dapat tampak berubah ukuran atau bentuk dan dapat pula mengeluarkan suara yang berbeda. Semua perasaan ini dapat diasosiasikan dengan kecemasan, termasuk pusing dan ketakutan akan menjadi gila atau dengan depresi. Pada gangguan disositif yang terakhir ini, memori atau daya ingat individu tidak mengalami gangguan, berbeda dengan gangguan-gangguan disosiatif lain yang berorientasikan pada kelemahan daya ingat. Hanya saja pelaku dengan gangguan depersonalisasi biasanya berpikir bahwa dirinya adalah robot, merasa bahwa dirinya sedang bermimpi atau terpisah dari tubuh mereka, merasa melihat diri mereka dari kejauhan atau menonton diri mereka sendiri seolah bergerak di dunia yang tidak nyata. 2.5 Gangguan Identitas Disosiatif Gangguan identitas disosiatif ialah masalah kejiwaan yang dihadapi seseorang dengan memiliki dua atau lebih kepribadian yang berbeda. Wade (2007: 356) berpendapat bahwasanya para ahli meyakini bahwa gangguan tersebut bermula sejak masa kanak-kanak, sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma, seperti tindakan kekerasan. Berdasarkan pandangan ini, trauma menyebabkan suatu pemisahan mental, dimana satu kepribadian akan muncul untuk menangani pengalaman sehari-hari, dan kepribadian lainnya akan muncul untuk menghadapi pengalaman-pengalaman yang buruk.

16 25 Dalam Wade (2007: 356), terdapat kelompok yang meyakini bahwa sebagian besar kasus gangguan kepribadian ganda secara tidak langsung muncul akibat dari interaksi yang terjadi di antara para praktisi klinis dengan klien mereka yang memiliki kerentanan yang disebabkan oleh masalah-masalah psikologis yang mereka miliki. Data menunjukkan bahwa pada sebelum tahun 1980-an, hanya sedikit kasus akan gangguan kepribadian ganda yang terdiagnosis di seluruh dunia, namun pada tahun 1990-an jumlah kasus gangguan kepribadian ganda dilaporkan meningkat menjadi puluhan ribu (Greene, Rathus dan Nevid, 2005: 204). Hal ini membuat sejumlah praktisi mengatakan bahwa kepribadian ganda lebih umum terjadi daripada yang diyakini sebelumnya. Namun, ahli-ahli yang lain tidak terlalu yakin akan gangguan ini. Sejumlah ahli percaya bahwa gangguan tersebut terlalu cepat didiagnosis pada orang-orang yang sangat mudah tersugesti yang bisa saja hanya mengikuti sugesti bahwa mereka mungkin memiliki gangguan tersebut. Meskipun masih menjadi pertanyaan apakah kepribadian ganda adalah fenomena nyata atau suatu bentuk bermain peran, tidak ada keraguan bahwa pelaku yang menampilkan tingkah laku tersebut memiliki kesulitan emosional dan perilaku yang serius. Manusia pada umumnya pasti pernah mengalami hari-hari dimana bertindak tidak seperti diri sendiri. Hal ini dianggap normal dan bukan yang dimaksud dengan kepribadian ganda. Menurut DSM-IV-TR (dalam Davison dkk, 2006: 258), diagnosis gangguan identitas disosiatif dapat ditegakkan bila seseorang setidaknya memiliki dua kepribadian yang terpisah, atau berubah-ubah dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan muncul serta memegang kendali pada waktu yang berbeda.

17 26 Boonn & Draijer (dalam Davison dkk, 2006: 258) mengemukakan jika gangguan identitas disosiatif biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun jarang terdiagnosis hingga usia dewasa. Gangguan seperti ini dinilai Boon dan Draijer lebih luas dibandingkan dengan gangguan disositif yang lain, dan penyembuhannya pun kurang menyeluruh. Boon juga menyatakan gangguan ini jauh lebih sering terjadi pada perempuan dari pada laki-laki. Penegakan diagnosis lain khusunya depresi, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan somatisasi. Gangguan identitas disosiatif umumnya disertai sakit kepala, penyalahgunaan zat, fobia, hanusinasi, upaya bunuh diri, disfungsi seksual, perilaku melukai diri sendiri dan juga simtom-simtom disosiatif lain seperti amnesia dan depersonalisasi. Kasus Eve White pada masanya merupakan laporan kasus GID yang didokumentasikan secara teliti dalam literarur klinis. Namun, banyak kasus lain yang diungkapkan. Salah satu kasus dimuat di Journal of Abnormal Psychology pada tahun 1976 (Davison dkk, 2006: 261). Tiga Wajah Evelyn merupakan riwayat rinci yang ditulis oleh Robert F. Jeans, psikiater yang menangani pasien tersebut. Hasil terapeutiknya berupa integrasi atau frusi beberapa kepribadian pasien, bukan menghilangkan semua kepribadian dan menyisakan satu kepribadian. Ross (dalam Davison dkk, 2006: 261) mengatakan bahwa sebagian ahli kontemporer menganggap berbagai kepribadian tersebut sebagai aspek-aspek penting dari orang tersebut secara keseluruhan, sehingga tujuan terapeutik yang secara umum diterima adalah upaya untuk menyatukan seluruh kepribadian menjadi satu kepribadian tunggal.

18 Bentuk Gangguan Identitas Disosiatif DSM-IV-TR (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th edition text revision) (dalam Davison, dkk, 2006: 258) diagnosis gangguan identitas disosiatif (GID) dapat ditegakkan apabila seseorang memiliki sekurangkurangnya dua kondisi kepribadian yang terpisah. Menurut Nevid dkk (2005: 203) ada empat bentuk gangguan identitas disosiatif berdasarkan beberapa kasus pasien yang mengalami gangguan identitas disosiatif. Bentuk yang pertama ialah kepribadian utama yang tidak menyadari hadirnya kepribadian pengganti, kepribadian yang muncul setelah kepribadian yang melekat pada diri pelaku. Bentuk yang kedua ialah ada satu kepribadian yang dominan dengan adanya beberapa kepribadian yang tersisihkan. Bentuk ketiga dari gangguan identitas disosiatif ialah kedua kepribadian yang berada dalam diri pelaku tidak saling menyadari satu sama lain. Bentuk terakhir dari gangguan identitas disosiatif ialah kedua kepribadian yang berada dalam diri pelaku saling bertentangan dan bersaing untuk mendapat kontrol diri pelaku. Pada bentuk pertama yang berupa kepribadian utama tidak menyadari hadirnya kepribadian pengganti, kepribadian yang hadir setelah kepribadian yang melekat pada diri pelaku. Nevid dkk (2005: 204) dan Durand (2006: 253) menyatakan bahwasanya bentuk ini ditandai dengan adanya kegagalan dalam diri pelaku untuk mengingat kembali informasi pribadi yang terlalu penting untuk dianggap sebagai lupa biasa. Kegagalan dalam mengingat informasi penting dalam diri pelaku menjadikan pelaku berkeyakinan bahwa dirinya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak menyadari pergantian antar kepribadian. Pada bentuk pertama ini hanya kepribadian pengganti yang menyadari hadirnya kepribadian utama.

19 28 Pada bentuk kedua yang berupa adanya salah satu kepribadian yang dominan dalam diri pelaku. Nevid (2005: 203) menyatakan bahwasanya hal ini ditandai dengan adanya kecendrungan salah satu kepribadian yang menunjukkan diri, dan sebaliknya ada kepribadian yang tersisihkan dan jarang muncul menampakkan diri. Melihat kedua penanda tersebut, pada bentuk ini bisa disimpulkan bahwa salah satu kepribadian mempunyai kemampuan untuk menyisihkan kepribadian yang lain. Kepribadian dominan atau inti dan pengganti, tentunya tetap ada penanda yang menunjukkan bahwa kepribadian yang seringkali muncul sudah dapat diketahui bahwa kepribadian tersebut ialah kepribadian dominan. Sedangkan kepribadian yang jarang sekali muncul merupakan kepribadian tersisih yang dimiliki pelaku dan jarang tampak untuk memperlihatkan diri. Pada bentuk ketiga yang berupa kedua kepribadian tidak saling menyadari satu sama lain. Davison (2006: 258) dan Nevid dkk (2005: 203) menyatakan bahwasanya bentuk ini dapat ditandai dengan adanya kesenjangan ingatan atas apa yang telah diperbuat oleh pelaku. Kemudian terjadi karena sekurangkurangnya semua kepribadian hanya memiliki sedikit kontak dengan kepribadian yang lain. Pada bentuk ini semua kepribadian hanya memiliki sedikit ingatan mengenai seperti apa kepribadian yang lain, bahkan tidak mengenali sama sekali bahwa ia memiliki kepribadian yang berbeda. Bentuk ini tentunya melihat bahwa tidak adanya kaitan antara kepribadian satu dengan kepribadian lainnya, sehingga apapun pergantian setiap kepribadian tetap tidak disadari oleh diri pelaku. Pada bentuk terakhir yang berupa kedua kepribadian bersaing untuk mendapatkan kontrol diri pelaku. Davison (2006: 258), Nevid (2005: 204) dan

20 29 Durand (2006: 253) menyatakan bahwasanya bentuk ini ditandai dengan setiap kepribadian yang bersifat cukup kompleks, memiliki pola perilaku, ingatan, dan hubungan tersendiri. Masing-masing kepribadian menentukan tindakan pelaku bila sedang memegang kendali. Biasanya masing-masing kepribadian tersebut cukup berbeda, bahkan saling bertentangan. Bentuk kepribadian ini akan menjadi sebuah pengendali dalam setiap memunculkan salah satu kepribadian. Oleh karena itu, kepribadian ini akan tampak untuk memperlihatkan diri bahwa kepribadian tersebut menarik bagi diri pelaku. Beberapa kepribadian pengganti umumnya mencakup anak-anak dari berbagai usia, remaja dengan jenis kelamin yang berbeda, pekerja seks komersial, serta laki-laki homoseksual dan wanita lesbian. Menurut Nevid dkk (2005: 203) Beberapa kepribadian dapat menunjukkan sindrom-sindrom psikis putus dari realitas yang diekspresikan dalam bentuk halusinasi dan berpikir yang tidak sewajarnya. 2.7 Penyebab Gangguan Identitas Disosiatif Boonn & Draijer dalam Davison dkk (2006: 258) mengemukakan jika gangguan identitas disosiatif biasanya terjadi pada masa kanak-kanak, namun jarang terdiagnosis hingga usia dewasa. Gangguan seperti ini dinilai Boon dan Draijer lebih luas dibandingkan dengan gangguan disositif yang lain, dan penyembuhannya pun kurang menyeluruh. Kartono (1981: 93) menyatakan bahwasanya ada empat penyebab gangguan identitas disosiatif. Penyebab yang pertama ialah adanya kelemahan sistem saraf dalam diri pelaku. Penyebab yang kedua ialah pelaku pernah mengalami kesusahan berat. Selanjutnya, penyebab ketiga dari gangguan identitas disosiatif ialah adanya usaha meredam keinginan

21 30 pada diri pelaku. Penyebab terakhir gangguan identitas disosiatif ialah adanya dorongan dari kemauan yang ingin berdiri sendiri dalam diri pelaku. Pada penyebab gangguan identitas disosiatif yang pertama yaitu kelemahan sistem syaraf. Smeltzer dan Bare (2002: 68) menyatakan kelemahan dalam sistem terjadi aneurisma intracranial (serebral) yang merupakan dinding arteri serebral yang berkembang sebagai hasil dari kelemahan dinding arteri. Pecahnya aneurisma selalu terjadi tiba-tiba, tidak selalu disertai dengan sakit kepala yang berat dan sering kehilangan kesadaran untuk periode yang bervariasi. Baihaqi (2005: 25) menyatakan bahwasanya kelemahan pada sistem saraf ini dapat mempengaruhi seluruh aspek yang berhubungan dengan tingkah laku dan daya tahan terhadap stres. Kriteria kelemahan sistem saraf ditandai dengan kurangnya gizi pada diri pelaku, misalnya penurunan pada glukosa darah yang menyebabkan pelaku mudah emosi. Selanjutnya penanda pada kelemahan sistem saraf ini ialah adanya kelainan pada gen pelaku. Penanda selanjutnya ialah pelaku pernah mengalami penyakit semisal Parkinson yang biasanya disertai dengan gejala depresi. Kelemahan dalam sistem saraf ini juga bisa berupa lobus occipital yang menyebabkan seseorang mendadak kasar, berilusi dan mengalami halusinasi visual. Selain itu menurut Wade (2016: ) kelemahan pada sistem saraf juga ditandai dengan ketidakselarasan antar hemisfer kiri dan kanan, menjadikan pelaku tidak lagi bisa berpikir rasional dan sering berhalusinasi dengan apa yang tidak dia alami. Penyebab gangguan identitas disosiatif yang kedua yaitu mengalami kesusahan berat. Menurut Davison (2006: ) kesusahan ini diakibatkan oleh penyiksaan berat secara fisik atau seksual di masa kanak-kanak. Penyiksaan

22 31 tersebut mengakibatkan dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk mengatasi trauma. Selain itu Baihaqi (2005: 30) juga menjelaskan jika kesusahan ini juga ditandai dengan adanya tekanan-tekanan dengan apa yang tidak disukai oleh pelaku. Tekanan ini membuat pelaku menjadi sengsara dan terkekang seperti hubungan orangtua dan anak yang tidak harmonis, stress berat yang datang berturut-turut dan kurangnya perhatian ibu kepada anaknya. Sedangkan menurut Durand (2006: 257) kesusahan itu tidak sematamata disebab oleh penyiksaan yang didapatkan pelaku. Kesusahan itu bisa berupa kenangan pahit yang pernah dialami pelaku, seperti melihat melihat ibu dan bapaknya meninggal saat menginjak ranjau di medan perang. Kejadian yang menyayat hati diyakini Durand sebagai penanda penyebab gangguan identitas disosiatif berupa mengalami kesusahan besar. Penyebab gangguan identitas disosiatif yang ketiga ialah usaha pelaku dalam meredam keinginan meredam keinginan. Hal ini menurut Kartono (1981: 93) ditandai dengan kegagalan pelaku untuk mewujudkan apa yang diinginkan sebab terhalang oleh keadaan, si pelaku pun tidak mempunyai kesempatan untuk mencapai apa yang diinginkannya. Keadaan itu membuat pelaku selalu berandaiandai bisa memiliki sesuatu yang dinginkan tersebut. Pada akhirnya kecendrungan-kecendurungan tersebut dimasukkan ke dalam sifat beberapa kepribadian dan tidak terkendali. Penyebab gangguan disosiatif terakhir ialah dorongan untuk berdiri sendiri secara liar. Kartono (1981: 93) menyatakan bahwasanya hal ini ditandai dengan fungsi kemauan itu yang merupakan keinginan dari kepribadian berbeda, kemudian dia berkonflik dengan fungsi-fungsi bagian kemauan yang tadi.

23 32 Sehingga dorongan-dorongan kemauan ini masing-masing sudah berdiri sendiri. Maka terjadilah perpecahan pribadi, pribadi majemuk atau kepribadian ganda. Teori ini juga diutarakan Spanos (dalam Davison dkk, 2006: 264) yang menyatakan bahwa orang dengan gangguan identitas disosiatuf ini memiliki kemampuan dalam berfantasi kehidupan dan sering membayangkan bahwa mereka adalah orang lain bukan dirinya sendiri.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. objek dalam suatu penelitian. Konsep bersifat umum, kata-kata kunci yang perlu

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. objek dalam suatu penelitian. Konsep bersifat umum, kata-kata kunci yang perlu BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah suatu gambaran yang menghubungkan antara subjek dan objek dalam suatu penelitian. Konsep bersifat umum, kata-kata kunci yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jepang adalah salah satu negara maju yang cukup berpengaruh di dunia saat ini. Jepang banyak menghasilkan teknologi canggih yang sekarang digunakan juga oleh negara-negara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut.

BAB II LANDASAN TEORI. yang representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau atau kusut. BAB II LANDASAN TEORI A. Konsep. 1. Pengertian Novel. Novel atau sering disebut sebagai roman adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext).

BAB I PENDAHULUAN. (fiction), wacana naratif (narrative discource), atau teks naratif (narrativetext). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra adalah sebuah karya imajiner yang bermedia bahasa dan memiliki nilai estetis. Karya sastra juga merupakan sarana untuk mengungkapkan ide, gagasan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Novel Cinta Brontosaurus karya Raditya Dika belum pernah dijadikan objek penelitian sebelumnya. Oleh karena itu, penulis memberikan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep, yaitu:

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep, yaitu: BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa konsep, yaitu: a. psikosastra b. kesepian c. frustasi d. kepribadian a. Psikologi Sastra

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos.

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. 7 BAB II LANDASAN TEORI E. Pengertian Psikologi Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos. Psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra karena penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra karena penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra karena penelitian ini menyangkut tentang kajian psikologi dalam karya sastra. Psikologi sastra

Lebih terperinci

Bab 5. Ringkasan. Karena akhir-akhir ini film Jepang mulai kembali menyita perhatian para

Bab 5. Ringkasan. Karena akhir-akhir ini film Jepang mulai kembali menyita perhatian para Bab 5 Ringkasan Karena akhir-akhir ini film Jepang mulai kembali menyita perhatian para penikmatnya dengan konflik-konflik cerita yang semakin unik dan menarik, serta banyak konflik yang bisa diangkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan maupun nilai- nilai ajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Nellasari Mokodenseho dan Dian Rahmasari. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Dari beberapa penelusuran, tidak diperoleh kajian yang relevan sebelumnya dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang hampir sama adalah penelitian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini

BAB II LANDASAN TEORI. berjudul Citra Perempuan dalam Novel Hayuri karya Maria Etty, penelitian ini 12 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Penelitian Sejenis Penelitian lain yang membahas tentang Citra Perempuan adalah penelitian yang pertama dilakukan oleh Fitri Yuliastuti (2005) dalam penelitian yang berjudul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan atau menyampaikan suatu hal yang di ungkapkan dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. memberikan atau menyampaikan suatu hal yang di ungkapkan dengan cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan wujud dari daya imajinasi pengarang yang dituangkan dalam sebuah wadah. Sastra sendiri adalah bentuk rekaman dari bahasa yang akan disampaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar,

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara etimologi sastra berasal dari bahasa sanskerta, sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau intruksi, tra artinya alat atau sarana sehingga dapat disimpulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif yang kemudian ditunjukkan dalam sebuah karya. Hasil imajinasi ini

BAB I PENDAHULUAN. imajinatif yang kemudian ditunjukkan dalam sebuah karya. Hasil imajinasi ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan proses kreatif seorang pengarang melalui daya imajinatif yang kemudian ditunjukkan dalam sebuah karya. Hasil imajinasi ini dapat berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berupa tulisan yaitu novel yang menceritakan tentang kehidupan tokohtokoh

BAB I PENDAHULUAN. yang berupa tulisan yaitu novel yang menceritakan tentang kehidupan tokohtokoh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan suatu ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman. Ungkapan-ungkapan tersebut di dalam sastra dapat berwujud lisan maupun tulisan. Tulisan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra atau kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai perwujudan kehidupan manusia dan masyarakat melalui bahasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan

BAB I PENDAHULUAN. dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan karya sastra di Indonesia saat ini cukup pesat. Terbukti dari banyak karya sastra yang muncul, baik berupa novel, puisi, cerpen, dan drama. Hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana dikatakan Horatio (Noor, 2009: 14), adalah dulce et utile BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan struktur dunia rekaan, artinya realitas dalam karya sastra adalah realitas rekaan yang tidak sama dengan realitas dunia nyata. Karya sastra itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan jabaran dari kehidupan yang terjadi di muka bumi ini. Sastra merupakan salah satu seni yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam

BAB II KAJIAN TEORI. bagaimana unsur cerita atau peristiwa dihadirkan oleh pengarang sehingga di dalam BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Drama Sebagai Karya Fiksi Sastra sebagai salah satu cabang seni bacaan, tidak hanya cukup dianalisis dari segi kebahasaan, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik

BAB I PENDAHULUAN. berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan hasil ungkapan kejiwaan seorang pengarang, yang berarti di dalamnya bernuansakan suasana kejiwaan sang pengarang, baik suasana pikir maupun

Lebih terperinci

KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI)

KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI) KLASIFIKASI EMOSI PEREMPUAN YAN TERPISAH DARI RAGANYA DALAM NOVEL KOMA KARYA RACHMANIA ARUNITA (SEBUAH KAJIAN PSIKOLOGI) Disusun Oleh: JOANITA CITRA ISKANDAR - 13010113130115 FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik baik yang berdasarkan aspek kebahasaan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata

BAB II LANDASAN TEORI. suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata BAB II LANDASAN TEORI Seperti yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan bahwa sastra adalah suatu karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan keindahan. Dengan kata lain, kegiatan sastra itu merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai

I. PENDAHULUAN. Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan tulisan yang bernilai estetik dengan kehidupan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Esten (2000: 9), sastra merupakan pengungkapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka

BAB I PENDAHULUAN. ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan seni dan karya yang sangat berhubungan erat dengan ekspresi dan kegiatan penciptaan. Karena hubungannya dengan ekspresi, maka karya sastra

Lebih terperinci

Bab 4. Simpulan dan saran. bahwa tokoh yang bernama Frank dalam novel In The Miso Soup karya Ryu

Bab 4. Simpulan dan saran. bahwa tokoh yang bernama Frank dalam novel In The Miso Soup karya Ryu Bab 4 Simpulan dan saran 4.1 Simpulan Melalui analisis yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh yang bernama Frank dalam novel In The Miso Soup karya Ryu Murakami mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seseorang timbul disebabkan adanya motivasi. Motivasi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seseorang timbul disebabkan adanya motivasi. Motivasi merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku seseorang timbul disebabkan adanya motivasi. Motivasi merupakan suatu keadaan yang mendorong atau merangsang seseorang untuk melakukan sesuatu atau kegiatan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil imajinasi manusia yang dapat menimbulkan kesan pada jiwa pembaca. Karya sastra merupakan hasil dialog manusia dengan problematika yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan suatu karya yang lahir dari hasil perenungan pengarang terhadap realitas yang ada di masyarakat. Karya sastra dibentuk

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008:725) Konsep merupakan (1)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari kebudayaan. Usianya sudah cukup tua. Kehadiran hampir bersamaan dengan adanya manusia. Karena ia diciptakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imajinasi, kemudian tercipta suatu pemikiran imajinatif yang akan tercermin lewat

BAB I PENDAHULUAN. imajinasi, kemudian tercipta suatu pemikiran imajinatif yang akan tercermin lewat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra pada dasarnya mengungkapkan kejadian, namun kejadian tersebut bukanlah fakta yang sesungguhnya melainkan fakta dari hasil pemikiran pengarang. Pengarang

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Penelitian ini melibatkan beberapa konsep, antara lain sebagai berikut: 2.1.1 Gambaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:435), gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan suatu karya imajinatif dari seorang yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Karya sastra banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan dengan bahasa dan gaya bahasa yang menarik.

BAB I PENDAHULUAN. diungkapkan dengan bahasa dan gaya bahasa yang menarik. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil cipta, kreasi, imajinasi manusia yang berbentuk tulisan, yang dibangun berdasarkan unsur ekstrinsik dan unsur instrinsik. Menurut Semi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang, lahir melalui proses perenungan dan pengembaraan yang muncul dari

BAB I PENDAHULUAN. pengarang, lahir melalui proses perenungan dan pengembaraan yang muncul dari 1 BAB I PENDAHULUAN E. Latar Belakang Karya sastra merupakan salah satu sarana untuk mengungkapkan masalah manusia dan kemanusiaan. Sastra merupakan hasil cipta kreatif dari seorang pengarang, lahir melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Jepang adalah salah satu negara yang memiliki kekuatan dalam bidang sastra dan budaya. Selain itu, Jepang juga melahirkan banyak penulis berbakat. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan Yang Relevan Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga memberikan pengalaman dan gambaran dalam bermasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. juga memberikan pengalaman dan gambaran dalam bermasyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan cerminan keadaan sosial masyarakat yang dialami pengarang, yang diungkapkan kembali melalui perasaannya ke dalam sebuah tulisan. Dalam tulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena

Lebih terperinci

ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH UTAMA NOVEL HUJAN DI BAWAH BANTAL KARYA E. L. HADIANSYAH DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA

ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH UTAMA NOVEL HUJAN DI BAWAH BANTAL KARYA E. L. HADIANSYAH DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH UTAMA NOVEL HUJAN DI BAWAH BANTAL KARYA E. L. HADIANSYAH DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA Oleh: Aji Budi Santosa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP, Universitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Menurut Moeliono (2002:701) kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Selanjutnya Menurut Moenir (2001:16) kemampuan berasal dari kata dasar mampu yang jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1990: 3). Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif, hasil kreasi pengarang. Ide

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual memiliki gejala gangguan yang lebih banyak daripada anak yang tidak mengalaminya, tetapi mereka memiliki gejala yang lebih sedikit dibandingkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu

BAB I PENDAHULUAN. indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia, di samping itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif manusia dalam kehidupannya, dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra seni kreatif menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra menurut Wellek dan Warren adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (2013: 3). Hal tersebut dikuatkan dengan pendapat Semi bahwa sastra adalah suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil kreasi manusia yang indah, di dalamnya terdapat daya kreatif dan daya imajinasi. Kedua kemampuan tersebut sudah melekat pada jiwa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori

BAB II LANDASAN TEORI. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori BAB II LANDASAN TEORI Untuk mendeskripsikan dan menganalisis kajian penelitian ini harus ada teori pendukungnya antara lain; hakekat pendekatan struktural, pangertian novel, tema, amanat, tokoh dan penokohan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Konflik terjadi acap kali dimulai dari persoalan kejiwaan. Persoalan

BAB I PENDAHULUAN. Konflik terjadi acap kali dimulai dari persoalan kejiwaan. Persoalan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Konflik terjadi acap kali dimulai dari persoalan kejiwaan. Persoalan kejiwaan itu terjadi karena tidak terkendalinya emosi dan perasaan dalam diri. Tidak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Psikologi Tokoh Eko Prasetyo dalam Novel Jangan Ucapkan Cinta Karya

BAB II LANDASAN TEORI. Psikologi Tokoh Eko Prasetyo dalam Novel Jangan Ucapkan Cinta Karya BAB II LANDASAN TEORI A. Hasil Penelitian Sebelumnya Seperti beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Karya sastra dapat dikatakan bahwa wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungan karena pada dasarnya, karya sastra itu merupakan unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra seringkali digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Sastra seringkali digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra seringkali digunakan sebagai alat untuk mengungkapkan suatu kenyataan yang ditemui di dalam masyarakat. Fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang pengarang dalam memaparkan berbagai permasalahan-permasalahan dan kejadian-kejadian dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Sastrawan yang dicetak pun semakin banyak pula dengan ide-ide dan karakter. dengan aneka ragam karya sastra yang diciptakan. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya. Fenomena kehidupan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 10 BAB II LANDASAN TEORI Bab ini berisi tentang struktural sastra dan sosiologi sastra. Pendekatan struktural dilakukan untuk melihat keterjalinan unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra itu

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Jepang memiliki beraneka ragam seni kebudayaan seperti matsuri, odori, film,

Bab 1. Pendahuluan. Jepang memiliki beraneka ragam seni kebudayaan seperti matsuri, odori, film, Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Jepang memiliki beraneka ragam seni kebudayaan seperti matsuri, odori, film, ongaku, haiku dan lain-lain. Film Jepang adalah film yang diproduksi untuk diputar di Jepang

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, suatu metode analisis dengan penguraian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di

BAB I PENDAHULUAN. pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang terdapat di sekitarnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. puisi. Latar belakang kehidupan yang dialami pengarang, sangat berpengaruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahirnya sebuah karya sastra tentu tidak akan terlepas dari kehidupan pengarang baik karya sastra yang berbentuk novel, cerpen, drama, maupun puisi. Latar belakang

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius). Setelah memiliki

Bab I Pendahuluan. pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius). Setelah memiliki Bab I Pendahuluan 1.Latar Belakang Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius). Setelah memiliki pemikiran bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari negara Jepang. Haruki Murakami, lahir 12 Januari 1949, dan menghabiskan masa

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari negara Jepang. Haruki Murakami, lahir 12 Januari 1949, dan menghabiskan masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Haruki Murakami adalah seorang penulis, novelis, sastrawan, dan penerjemah yang berasal dari negara Jepang. Haruki Murakami, lahir 12 Januari 1949, dan menghabiskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peneliti ingin meneliti salah satu karya dari Asa Nonami berjudul Kogoeru Kiba.

BAB I PENDAHULUAN. peneliti ingin meneliti salah satu karya dari Asa Nonami berjudul Kogoeru Kiba. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asa Nonami merupakan seorang novelis terkenal di Jepang, ia lahir pada 19 Agustus 1960 di Tokyo. Asa Nonami adalah penulis cerita fiksi kejahatan dan cerita horor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karya seni yang memiliki kekhasan dan sekaligus sistematis. Sastra adalah

BAB I PENDAHULUAN. karya seni yang memiliki kekhasan dan sekaligus sistematis. Sastra adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya merupakan hasil kreasi sastrawan melalui kontemplasi dan refleksi setelah menyaksikan berbagai fenomena kehidupan dalam lingkungan sosialnya (Al- Ma ruf 2009:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Gangguan Jiwa BAB II TINJAUAN TEORI 2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa Gangguan jiwa merupakan perubahan sikap dan perilaku seseorang yang ekstrem dari sikap dan perilaku yang dapat menimbulkan penderitaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah manusia dan kehidupan, yang menggunakan bahasa sebagai medium. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. adalah manusia dan kehidupan, yang menggunakan bahasa sebagai medium. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karya sastra merupakan bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan, yang menggunakan bahasa sebagai medium. Sebagai seni kreatif

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Suatu penelitian dapat mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Suatu penelitian dapat mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Relevan Sebelumnya Suatu penelitian dapat mengacu pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai titik tolak, dalam melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah media dari kehidupan masyarakat yang tergambar dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah media dari kehidupan masyarakat yang tergambar dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra adalah media dari kehidupan masyarakat yang tergambar dalam sebuah tulisan-tulisan fiksi. Sastra sangat dekat dengan masyarakat. Sastra bukan hanya sekadar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan seni yang bermediumkan bahasa dan dalam proses terciptanya melalui intensif, selektif, dan subjektif. Penciptaan suatu karya sastra bermula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilepaskan dari masyarakat pemakainya. Bahasa yang dipakai dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat dilepaskan dari masyarakat pemakainya. Bahasa yang dipakai dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan ide, gagasan, pendapat serta perasaan kepada orang lain. Sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat, bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada

BAB I PENDAHULUAN. pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Nurgiyantoro (2012:70) dalam penciptaan sebuah karya sastra, pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada hakekatnya pengarang

Lebih terperinci

BAB I. Imajinasi yang diciptakan berasal dari diri sendiri dan lingkungan sekitar

BAB I. Imajinasi yang diciptakan berasal dari diri sendiri dan lingkungan sekitar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan dunia imajinasi yang diciptakan oleh pengarang. Imajinasi yang diciptakan berasal dari diri sendiri dan lingkungan sekitar pengarang.

Lebih terperinci

CHAPTER II REVIEW OF RELATED LITERATURE. pada penulisan skripsi ini. Teori yang ada pada bab ini adalah teori teori yang

CHAPTER II REVIEW OF RELATED LITERATURE. pada penulisan skripsi ini. Teori yang ada pada bab ini adalah teori teori yang CHAPTER II REVIEW OF RELATED LITERATURE Dalam bab ini, penulis menguraikan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini dan selanjutnya teori yang telah diuraikan digunakan sebagai acuan pada penulisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Situmorang (1995: 3) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebuah jaringan makna

BAB I PENDAHULUAN. Situmorang (1995: 3) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebuah jaringan makna BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Jepang merupakan salah satu negara yang terkenal akan ragam kebudayaannya. Situmorang (1995: 3) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah sebuah jaringan makna yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat memberikan tanggapannya dalam membangun karya sastra.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan aspek penting dalam penelitian. Konsep berfungsi untuk menghindari kegiatan penelitian dari subjektifitas peneliti serta mengendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra memberikan pelajaran penting bagi kehidupan manusia. Dalam karya terdapat pesan-pesan sosial, moral, dan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra memberikan pelajaran penting bagi kehidupan manusia. Dalam karya terdapat pesan-pesan sosial, moral, dan spiritual BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra memberikan pelajaran penting bagi kehidupan manusia. Dalam karya terdapat pesan-pesan sosial, moral, dan spiritual dapat dijadikan pedoman hidup. Karya

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan

Lebih terperinci

ANALISIS PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA NOVEL TEATRIKAL HATI KARYA RANTAU ANGGUN DAN BINTA ALMAMBA DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA

ANALISIS PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA NOVEL TEATRIKAL HATI KARYA RANTAU ANGGUN DAN BINTA ALMAMBA DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA ANALISIS PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA NOVEL TEATRIKAL HATI KARYA RANTAU ANGGUN DAN BINTA ALMAMBA DAN SKENARIO PEMBELAJARANNYA DI SMA Oleh: Enik Kuswanti Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Peristiwa yang terjalin dalam novel Nagabonar Jadi 2 terbentuk menjadi

BAB IV KESIMPULAN. Peristiwa yang terjalin dalam novel Nagabonar Jadi 2 terbentuk menjadi BAB IV KESIMPULAN 4.1 Kesimpulan Peristiwa yang terjalin dalam novel Nagabonar Jadi 2 terbentuk menjadi alur maju serta hubungan kausalitas yang erat. Hal ini terlihat pada peristiwaperistiwa yang memiliki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang)

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang) BAB II LANDASAN TEORI A. Tokoh dan Penokohan 1. Tokoh Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165) tokoh cerita adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan ketertarikan terhadap masalah manusia serta kehidupan sosialnya atau keinginannya

BAB I PENDAHULUAN. dan ketertarikan terhadap masalah manusia serta kehidupan sosialnya atau keinginannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesusastraan ditulis karena motivasi manusia mengekspresikan dirinya sendiri dan ketertarikan terhadap masalah manusia serta kehidupan sosialnya atau keinginannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam buku Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian, sastra dalam bahasa Inggris literature sehingga popular literature dapat diterjemahkan sebagai sastra populer. Banyak

Lebih terperinci

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH GAMBARAN POLA ASUH PENDERITA SKIZOFRENIA Disusun Oleh: Indriani Putri A F 100 040 233 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil ekspresi atau ungkapan kejiwaan seorang yang

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan hasil ekspresi atau ungkapan kejiwaan seorang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra merupakan hasil ekspresi atau ungkapan kejiwaan seorang yang diekspresikan dalam wujud media tulis. Untuk itu, karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan

Bab 2. Landasan Teori. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Penokohan Penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor penting untuk menghidupkan seorang tokoh. dalam bahasa Inggris character berarti watak atau peran, sedangkan karakterisasi

BAB I PENDAHULUAN. faktor penting untuk menghidupkan seorang tokoh. dalam bahasa Inggris character berarti watak atau peran, sedangkan karakterisasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Nurgiyantoro (2013:259) tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan dalam penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kata-kata yang indah, gaya bahasa, dan gaya bercerita yang menarik (Zainuddin, 1992:99).

BAB I PENDAHULUAN. kata-kata yang indah, gaya bahasa, dan gaya bercerita yang menarik (Zainuddin, 1992:99). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan, penggunaan kata-kata yang indah, gaya bahasa, dan gaya bercerita yang menarik (Zainuddin,

Lebih terperinci

INTISARI BAB I PENDAHULUAN

INTISARI BAB I PENDAHULUAN INTISARI Novel teenlit menjadi fenomena menarik dalam perkembangan dunia fiksi di Indonesia. Hal itu terbukti dengan semakin bertambahnya novel-novel teenlit yang beredar di pasaran. Tidak sedikit pula

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Sebelumnya Pada penelitian sebelumnya sudah ada penelitian mengenai teori motivasi tindakan Abraham Maslow, yaitu penelitian yang ditulis oleh Setyawan Budi Jatmiko

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan

BAB I PENDAHULUAN. maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan ungkapan pikiran dan perasaan, baik tentang kisah maupun kehidupan sehari-hari. Seseorang dapat menggali, mengolah, dan mengekspresikan gagasan

Lebih terperinci

Pengantar Psikologi Abnormal

Pengantar Psikologi Abnormal Pengantar Psikologi Abnormal NORMAL (SEHAT) sesuai atau tidak menyimpang dengan kategori umum ABNORMAL (TIDAK SEHAT) tidak sesuai dengan kategori umum. PATOLOGIS (SAKIT) sudut pandang medis; melihat keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan

Lebih terperinci